ANALISIS SPASIAL PEMILIHAN TEMP AT PERTOLONGAN PERSALINAN DI KELURAHAN SENDANGMULYO SEMARANG TAHUN 2010 Spatial Analysis In Choice of Maternity Place In Kelurahan Sendangmulyo Semarang 2010 Triani Wulan Sari, Farid Agushybana, Yudhy Dharmawan Bagian Statistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro email:
[email protected]
Abstract Background: In Semarang, the coverage of profesional delivery attendances was higher than national and smoothly increase. Maternity place and delivery assistance selection are determinant factor MMR. Objective: Identify maternal sociodemographic characteristics by using spatial analysis. Methode: This study is a descriptive observational using spatial analysis. Population is the maternal birth in 2010 in Sendangmulyo subdistrict. Simple random sampling method to get 73 respondents from with a total of 303 mothers. Variables are the sociodemographic caracteristics (age, education, occupation), decision-making and distance of delivery service base on spatial coordinate of women's residences and health sevices arround Semarang. Result: That most of the respondents were: low-risk age, secondary education, mostly housewives and high-income family, choosed a general hospital as a place of delivering baby. The public hospital was chosen by most respondents to the northwest and beyond the Sendangmulyo subdistrict. Respondents with difference sociodemographic characteristics tend to choose hospital that located in the middle of the city of Semarang. These hospitals are located bet\veen 120 to 12400 meters from the mother's residances. Conclusion: Geography'cally, there is no difference choice of maternity place between mothers. However, more high economics status more vary choice of maternity place. Thus, Distric Health Ojfice of Semarang should improve the quality of maternal delivery services wich is closed to residents. Key words: Sociodemographic, selection of delivery services, spatial analysis, geographic information system Abstrak Latar belakang: Di Kota Semarang, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan lebih tinggi dibanding nasional dan meningkat dari tahun ke tahun. Pemilihan tempat persalinan dan penolong persalinan merupakan determinan kematian ibu yang penting. Tujuan: Identifikasi karakteristik ibu bersalin dalam hal demografi menggunakan metode analisis keruangan (spatial analysis). Metode: Penelitian deskriptif dengan metode analisis keruangan. Populasi adalah ibu bersalin di wilayah Kelurahan Sendangmulyo pada tahun 2010, yaitu 303 orang. Sampel secara acak sederhana dan diperoleh sebesar 73 ibu bersalin. Variabel: karakteristik demografi (umur dan tingkat pendidikan, pekerjaan ibu), pengambil keputusan, koordinat tempat tinggal dan tempat pelayanan persalinan. Basil: Karakteristik umur pada kelompok resiko rendah, pendidikan menengah, sebagai ibu rumah tangga, berpenghasilan di atas upah minimum. Rumah sakit umum dipilih oleh sebagian besar responden dengan latar belakang sosio demografi yang berbeda. Rumah sakit yang dipilih berlokasi di tengah kota Semarang. Jaraknya berkisar 120 - 12400 meter dari rumah. Kesimpulan: Pemilihan tempat persalinan secara geografis tidak banyak berbeda antar karakteristik ibu, namun semakin tinggi tingkat ekonomi maka semakin bervariasi dan semakin jauh tempat pertolongan persalinan yang dipilih. Untuk itu DKK Semarang perlu mcningkatkan keberadaan serta kualitas tempat pelayanan persalinan yang lokasinya dekat dengan rumah penduduk, misalnya di bidan praktek svvasta. Kata kunci: sosiodemografi, pernilihan tempat persalinan, analisis keruangan, sistem infbrmasi geografis
113
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 113 - 124
PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan. Diketahui bahwa, pembangunan kesehatan beiperan besar bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional.1 Salah satu tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya.2 Dalam mencapai tujuannya, pembangunan kesehatan di Indonesia mempunyai beberapa indikator, salah satunya adalah angka kematian ibu. Kematian ibu dapat terjadi pada saat kehamilan, persalinan dan masa nifas. Kematian ibu bersalin sangat erat kaitannya dengan penolong persalinan, sehingga salah satu upaya penurunan angka kematian ibu dapat dilakukan melalui upaya kesehatan ibu. Salah satu upaya kesehatan ibu yaitu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan Milienium Development Goals (MDGs) yaitu upaya peningkatan kesehatan ibu yang menjadi komitmen nasional dan global.3'4 Menindaklanjuti program tersebut, salah satu kebijakan Departemen Kesehatan Indonesia adalah mengupayakan agar setiap persalinan ditolong, atau minimal, didampingi oleh bidan.5 Berdasarkan data Profll Kesehatan Indonesia tahun 2008, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi kebidanan sejak tahun 2004 sampai tahun 2008 cenderung mengalami peningkatan.6 Akan tetapi, meningkatnya cakupan penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan di Indonesia belum diimbangi dengan peningkatan jumlah persalinan di sarana pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat dari tingginya (sekitar 66,1%) persalinan yang berlangsung di rumah tinggal. Padahal, di beberapa negara seperti Malaysia, Sri Lanka, Thailand, dan Amerika Serikat hampir semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan.3 Fakta masih adanya angka persalinan di rumah, menunrut diperlukannya pengoptimalan pemberdayaan sarana dan tenaga
kesehatan yang ada untuk persalinan. Pada kenyataannya, upaya ini menemui beberapa kendala antara lain faktor lingkungan, keturunan, perilaku serta pelayanan masyarakat. Di samping itu, juga terdapat faktor ekonomi berupa rendahnya pendapatan perkapita, ketidaktahuan karena rendahnya tingkat pendidikan, ketidakmampuan mengambil keputusan atau menentukan pilihan serta kesiapan tenaga pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu, akses terhadap sarana dan tenaga pelayanan kesehatan yang masih sangat terbatas, juga turut mempengaruhi.7 Adanya Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi P4K) sejak awal kehamilan, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan ibu bersalin. Perencanaan kesehatan persalinan merupakan salah satu kegiatan dalam P4K yaitu salah satunya dengan mempersiapkan penolong persalinan, tempat persalinan serta transportasi yang digunakan ke tempat persaknan sejak awal kehamilan. Berdasarkan hal tersebut, dapat sebagai salah satu cara untuk mengatasi keterambatan pemilihan tempat pertolongan persalinan dan akses terhadap tempat persalinan.8'9 Berdasarkan data Profll Kesehatan Indonesia tahun 200&T cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan kompetensi kebidanan sejak tahun 2004 sampai tahun 2008 cenderung mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 2008 cakupan pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan di Indonesia telah mencapai lebih dari 80%. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008, penolong kelahiran terakhir pada balita yang tertinggi adalah bidan (53,96%), diikuti oleh dukun (30,27%), dan dokter (12,32%).(9) Akan tetapi, meningkatnya cakupan penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan di Indonesia belum diimbangi dengan peningkatan jumlah persalinan di sarana pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat dari tingginya persalinan yang berlangsung di rumah tinggal (sekitar 66,1%). Tingginya angka persalinan tersebut diperkirakan disebabkan oleh masih kentalnya budaya persalinan yang dilakukan secara alami oleh dukun bayi. Selain itu, perilaku kesehatan masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan rumah sakit atau pelayanan kesehatan lain juga masih
Analisis Spasial Pemilihan Tempat.. .(Triani, Farid & Yudhy)
dipengaruhi oleh nilai budaya, norma, etik dan ras tertentu, keluarga, kerabat dan sistem pelayanan kesehatan. Padahal, di beberapa negara seperti Malaysia, Sri Lanka, Thailand, dan Amerika Serikat hampir semua persalinan dilakukan tii fasilitas kesehatan.3
(umur, pendidikan), pekerjaan ibu pendapatan keluarga, pengambil keputusan dan tempat melahirkan serta melakukan analisis keruangan.
Pencapaian cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan tidak diikuti oleh beberapa puskesmas di Kota Semarang, salah satunya adalah puskesmas Kedungmundu yaitu sebesar 89,3%. Puskesmas Kedungmundu merupakan puskesmas -yang memiliki jumlah ibu bersalin terbanyak di Kota Semarang pada tahun 2010, yaitu sebesar 1.677 ibu bersalin.10 Di wilayah Puskesmas Kedungmundu, Kelurahan Sendangmulyo merupakan wilayah yang memiliki Jumlah persalinan terbanyak yaitu sebesar 303 persalinan tahun 2010. Berdasarkan studi awal diketahui bahwa termpat persalinan cukup bervariasi dan secara geografis berada di luar wilayah puskesmas setempat dan Kelurahan Sendangmulyo.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan belah lintang dengan analisis keruangan. Penelitian dilakukan pada bulan April -- Mei 2011. Sampel pada penelitian ini adalah ibu bersalin yang tinggal di Kelurahan Sendangmulyo dan melahirkan di wilayah Kota Semarang tahun 2010. Pengambilan sampel digunakan dengan metode simple random sampling. Sampel dari yang diperoleh yaitu sebesar 73 populasi sebesar 303 ibu bersalin. Peta Dasar Kota Semarang berasal dari Badan Perencanaan Pembanguan Daerah (Bappeda) Kota Semarang tahun 2010.
Menurut ESRI (Environmental Systems Research Institute), salah satu perusahaan yang menghasilkan produk Sistem Informasi Geografis (SIG), lebih dari 80% data pelayanan kesehatan (health care) memiliki beberapa konteks spasial (keruangan) seperti halnya alamat pasien, kode pos, atau lokasi jasa pelayanan (provider)11 Pertolongan persalinan merupakan salah satu pelayanan kesehatan juga memiliki informasi spasial berupa alamat rumah ibu bersalin dan alamat sarana kesehatan. Informasi spasial ini selanjutnya dapat digunakan untuk pemetaan dan evaluasi penggunaan sarana kesehatan untuk persalinan oleh masyarakat. Analisa keruangan pertolongan persalinan yang mencakup informasi tentang alamat ibu dan tempat persalinan ditambah dengan datadata non spasial (misalnya tingkat pendidikan) bermanfaat untuk memberikan masukan dalam proses perencanaan pelayanan kesehatan ibu khususnya untuk distribusi tempat pertolongan persalinan, serta sumberdaya kesehatan dan jejaring rujukan pelayanan antenatal maupun persalinan. -Penelitian identifikasi
ini bertujuan melakukan karakteristik sosiodemografi
METODE
Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengukuran. Pengambilan data yang dilakukan dengan cara wawancara adalah karakteristik umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, pengambil keputusan tempat persalinan. Sedangkan titik koordinat tempat tinggal ibu bersalin dan tempat persalinannya diambil dengan cara identifikasi titik koordinat (garis bujur dan garis lintang) dengan menggunakan GPS etrex Vista. Data diolah dengan menggunakan sistem informasi geografis yang memanfaatkan aplikasi ArcGis 9 dan Google Map. Analisis dilakukan dengan cara overlay peta karakteristik sosiodemografi ibu bersalin dengan tempat persalinan. Berdasarkan hasil overlay peta ini, akandilihat bagaimana kecenderungan ibu bersalin memilih tempat persalinan. Pengukuran jarak dilakukan berdasarkan jarak rute jalan yang ditempuh ibu bersalin dengan menggunakan aplikasi google maps dan pengukuran jarak secara radius dengan aplikasi ArcGis 9. HASIL Karakteristik Responden Jumlah responden adalah 73 ibu bersalin. Sebanyak 90,4% responden termasuk dalam kelompok umur tidak beresiko (20-35 tahun). Sebagian besar responden dengan pendidikan menengah (47,9%). Pekerjaan responden di-
115
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : ,113 - 124
dominasi oleh ibu rumah tangga (56,1%). Selain itu, responden termasuk kedalam keluarga dengan pendapatan tinggi yaitu -94,5% (I upah minimum regional Kota Semarang, Rp. 961.323). Pengambil keputusan tempat persalinan adalah ibu bersalin sendiri (49,3%). Tempat persalinan yang banyak dipilih oleh responden rumah sakit umum sebanyak 52,1%.
Jarak Kelurahan Sendangmulyo dengan pusat pemerintahan kecamatan Tembalang ± 5 km. Sedangkan ke pusat pemerintah kota jaraknya berkisar antara 20 km. Sebaran tempat tinggal responden dan tempat pertolongan persalinan di Kelurahan Sendangmulyo cukup menyebar. Wilayah kelurahan ini merupakan wilayah kampung dan perumahan baru. Adapun gambaran sebarannya dapat dilihat pada Gambar 1.
Tempat Permalmen :
f BPS O RSI* A
f^umah S*f*alm
^
Rymatl Saksi um-j
^
Rumah Ss*:it Sen
O
Respondent
Sasas • Sat3S :
/\/
Batas KecafPStan
/>X Satn Kelunshan walan Keloraltan "j Kel. Sef^d
ns
a
IK,
u«
SOMBER PETA : BAPPEDA KCTA SEUARANG TAHUN 20"0
Gambar 1. Peta sebaran tempat tinggal responden dan tempat melahirkan
Persebaran responden berada di sebelah barat daya Kelurahan Sendangmulyo. Tempat pertolongan persalinan yang dipilih sebagian besar berada di sebelah barat laut dan di luar Kelurahan Sendangmulyo. Lokasi tempat persalinan merupakan daerah di tengah Kota Semarang. Peta Karakteristik Umur Berdasarkan kelompok umur yaitu umur beresiko dan tidak beresiko, sebagian besar
116
memilih rumah sakit umum sebagai tempat persalinan, baik rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta. Rumah sakit umum tersebut sebagain besar berada di sebelah barat laut dan di luar Kelurahan Sendangmulyo. Pada kelompok ibu dengan umur tidak berisiko (resiko rendah) tempat melahirkannya lebih bervariasi dan letaknya lebih menyebar bila dibandingkan dengan kelompok ibu yang berisiko.
Analisis Spasial Pemilihan Tempat...(Triani, Farid & Yudhy)
C3""
Gambar 2. Sebaran Umur dan tempat pelayanan persalinan
Peta Karakteristik Pendidikan Responden dengan pendidikan rendah memilih rumah sakit umum sebagai tempat pertolongan persalinan. Hal ini juga terlihat pada responden dengan pendidikan menengah dan tinggi, sebagian besar memilih rumah sakit umum sebagai tempat
persalinan. Pilihan tempat bersalin lebih bervariasi dari aspek jenis tempat maupun jarak pada pendidikan tinggi dibanding dengan pendidikan yang lebih rendah. Rumah sakit umum tersebut, sebagian besar berada di sebelah barat laut dan di luar Kelurahan Sendangmulyo.
* •*»
Gambar 3. Peta sebaran tingkat perndidikan responden dan tempat melahirkan
Peta Karakteristik Pekerjaan Jenis pekerjaan responden terdiri dari ibu rumah tangga, swasta, wiraswasta, dan pegawai negeri sipil. Sebagian besar
pekerjaan responden adalah tangga (56,1%).
ibu
rumah
117
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 113 - 124
Gambar 4. Peta sebaran responden berdasarkan pekerjaan Sebagian besar responden memilih rumah sakit umum yang berada di sebelah barat laut dan di luar wilayah Kelurahan Sendangmulyo. Lokasi tempat pelayanan persalinan masih tetap cenderung pada daerah perkotaan. Pada gambar 4 dapat diketahui bahwa jarak dan wilayah tempat persalinan cenderung berada di daerah
perkotaan. Peta Sebaran Pendapatan dan Tempat Persalinan Gambar berikut ini menunjukkan sebaran antara pendapatan dan tempat pelayanan persalinan.
Gambar 5. Sebaran tingkat pendapatan dan tempat persalinan
Pendapatan keluarga responden dikelomppokkan berdasarkan nilai UMR Kota Semarang tahun 2011 yaitu Rp 961.323,-. Responden dengan pendapatan
118
keluarga tinggi (Lj UMR), sebagian besar memilih rumah sakit umum sebagai tempat persalinan. Rumah sakit umum tersebut berada di sebelah barat laut dan di luar
Analisis Spasial Pemilihan Tempat.. .(Triani, Farid & Yudhy)
Kelurarahan Sendangmulyo. Berbeda halnya dengan pendapatan keluarga rendah (< UMR), sebagian besar responden bidan praktek swasta yang berada di dalam wilayah Kelurahan Sendangmulyo. Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa responden dengan pendapatan keluarga rendah cenderung memilih tempat persalinan yang berada dekat dengan tempat tinggal responden, sedangkan pendapatan tinggi lebih cenderung untuk memilih tempat persalinan sampai di luar wilayah tempat tinggal dan lebih bervariasi
tempatnya (rumah sakit umum, rumah sakit bersalin dan bidan). Peta Pengambil Keputusan Memilih Tempat Persalinan
Dalam
Sebagian besar pengambil keputusan tempat persalinan adalah ibu bersalin itu sendiri. Tempat persalinan yang banyak dipilih adalah rumah sakit umum yang berada di sebelah barat laut dan di luar Kelurahan Sendangmulyo.
Gambar 6. Sebaran tempat persalinan dan pengambil keputusan
Diketahui bahwa tempat persalinan yang menjadi pilihan responden lebih banyak di luar wilayah Kelurahan berada Sendangmulyo, walaupun di wilayah Kelurahan Sendangmulyo ter dapat saru rumah sakit umum yaitu Rumah Sakit Umum Kota Semarang (rumah sakit pemerintah). Berdasarkan hal ini, dapat dilihat kecenderungan responden di wilayah Kelurahan Sendangmulyo memilih rumah sakit umum tidak melihat jarak dari tempat tinggal sampai ke tempat pertolongan persalinan. Untuk pemanfaatan tempat persalinan di dalam wilayah, responden lebih banyak memanfaatkan bidan praktek swasta dari pada rumah sakit.
Jarak Rumah Dan Tempat Persalinan Pengukuran jarak tempat tinggal dilakukan dengan dua cara. Yang pertama adalah dengan cara menghitung jarak radius tempat tinggal dengan fasilitas kesehatan, dan cara yang kedua adalah dengan mengukur jarak tempuh dengan menggunakan aplikasi Google Map. Dengan menggunakan pengukuran jarak radius tempat tinggal dan tempat persalinan diperoleh : Jarak yang yang paling banyak di tempuh oleh responden yaitu 10001-11000 meter dari tempat tinggal, sedangkan ratarata jarak yang di tempuh 6706 meter. Jarak minimum yang ditempuh adalah 120 meter dan maksimum adalah 12400 meter. Sedangkan hasil pengukuran berdasarkan rute jalan menggunakan google maps, jarak terdekat adalah 9400 meter dan terjauh
119
' Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 113 - 124
adalah 12400 meter dengan rata-rata 11100 meter. Gambar berikut ini menunjukkan pengukuran jarak secara radius
(menggunakan ArcGis) dan pengukuran jarak berdasarkan rute jalan (menggunakan Google Maps).
Gambar 7. Pengukuran Jarak Tempat Tinggal Dan Tempat Pelayanan Persalinan
PEMBAHASAN Sebagian besar responden memilih rumah sakit sebagai tempat persalinan. Tempat persalinan yang menjadi pilihan responden sebagian besar di sebelah barat laut dan di luar dari Kelurahan Sendangmulyo. Rumah sakit tersebut ada yang negeri maupun swasta. Posisi rumah sakit tesebut berada di wilayah keramaian Kota Semarang. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Semarang menemukan bahwa 43,75% responden memilih rumah sakit sebagai tempat persalinan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Palenggaan Kabupaten Pamekasan bahwa perbandingan kebutuhan dan permintaan ibu bersalin akan rumah sakit sangat berbeda. Hal ini dapat diketahui dari permintaan ibu bersalin akan rumah sakit untuk persalinan sebanyak 1,3%, sedangkan berdasarkan kebutuhannya ibu bersalin tidak membutuhkan rumah sakit sebagai tempat persalinan.12 Umur Ibu Bersalian Tidak Berhubungan Dengan Pemilihan Tempat Bersalin Karakteristik umur (beresiko tinggi dan berisiko rendah) memiliki kecenderungan yang sama dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Umur merupakan suatu variabel yang tidak bisa dimodifikasi, sesuatu yang
120
harus diterima. Pada kelompok umur berisiko tinggi memang disarankan untuk tidak hamil lagi, namun demikian apabila sudah hamil maka sebaiknya disarankan untuk lebih memperhatikan perawatan kehamilan dan persiapan persalinan yang lebih baik. Sehingga apabila terjadi komplikasi kehamilan maupun persalinan dapat diketahui lebih dini. Sebagaimana hasil penelitian di Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat tahun 2002, bahwa secara statistik tidak terlihat ada hubungan pemanfaatan penolong persalinan antara responden yan£ berumur risiko tinggi dan risiko rendah. 13 Tingkat pendidikan berkaitan pemilihan tempat bersalin
dengan
Pendidikan yang ditempuh oleh seseorang merupakan salah satu faktor demografi yang sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan individu maupun masyarakat.'14 Tingkat pendidikan mempengaruhi kesadaran terhadap pentingnya kesehatan sehingga mendorong seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Seseorang dengan pendidikan tinggi akan lebih senang menggunakan pelayanan kesehatan modern daripada pelayanan tr'adisional, karena sudah mendapatkan informasi tentang keuntungan dan kerugiannya.3 Seperti halnya beberapa peneliti menyatakan (dalam Rini Susilowati
Analisis Spasial Pemilihan Tempat.. .(Triani, Farid & Yudhy)
(2001)) bahwa pendidikan dan sosial ekonomi rendah merupakan masalah yang perlu diatasi untuk menurunkan angka kematian ibu bersalin, karena hal tersebut ada hubungannya dengan keterlambatan mencari pengobatan akibat kurang pengetahuan. Selain itu, tingkat pendidikan ibu berpengaruh pada umur kehamilan, penggunaan pelayanan kesehatan dan kontrasepsi, serta pengenalan resiko atau tanda-tanda bahaya persalinan. Ibu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi, lebih mudah mcmperoleh informasi tentang kesehatan, sehingga pengetahuan ibu tentang kesehatan meningkat.15
puskesmas tersebut berasal dari semua jenis pekerjaan (buruh, wiraswasta, PNS, petani). Sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga (56,1%). Walaupun demikian, pada peta sebaran tempat persalinan berdasarkan pekerjaan, tidak terlihat jelas adanya perbedaan pemilihan tempat persalinan. Tingkat pendapatan berhubungan dengan variasi pilihan tempat persalinan
Pada peta sebaran tempat pelayanan persalinan berdasarkan tingkat pendidikan dan pendapatan memberikan gambaran bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka variasi tempat persalinan lebih banyak dan secara geografis lebih jauh dan menyebar. Demikian juga pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi, pilihan tempat persalinan lebih bervariasi dan lebih jauh jangkauannya.
Pada penelitian ini, pendapatan keluarga dikelompokkan berdasarkan Upah Minimal Kota Semarang tahun 2011, diperoleh sebagian besar responden merupakan keluarga yang berpendapatan tinggi (94,5%). Pada peta sebaran tempat persalinan berdasarkan pendapatan diperoleh informasi bahwa responden dengan pendapatan keluarga rendah memilih tempat persalinan yang berada di dalam wilayah Kelurahan Sendangmulyo. Tempat persalinan yang jauh dari tempat tinggal responden, dapat membebani keluarga terhadap biaya transportasi ke tempat pertolongan persalinan.
Penggunaan pelayanan kesehatan sedikit banyak akan berhubungan dengan umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Selain itu, penggunaan pelayanan kesehatan merupakan salah satu aspek dari gaya hidup yang ditentukan oleh llingkungan sosial, fisik dan psikologis. Perbedaan pekerjaan atau pendidikan mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti dan bereaksi terhadap kesehatan.16
Beberapa peneliti dalam Rini Susilowati (2001), menyatakan bahwa pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor detcrminan terhadap akses pelayanan kesehatan. Kemampuan finansial keluarga mempengaruhi apakah keluarga tersebut dapat membayar pelayanan kesehatan seperti membeli obat, membayar biaya pelayanan, membayar biaya transportasi ke tempat pelayanan.
Ibu rumah tangga memilih rum ah sakit sebagai tempat persalinan
Ibu dominan dalam menentukan tempat persalinan
Pekerjaan merupakan salah satu faktor predosposisi yang akan mempengaruhi tindakan dalam mencari pelayanan kesehatan. 16 Pekerjaan akan dikaitkan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan peningkatan kesehatannya.17 Namun demikian, dalam penelitian Widawati (2008) dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain di antaranya suku bangsa, budaya, sosial network, presepsi perilaku dan kepercayaan.3 Penelitian yang lain mencmukan bahwa pekerjaan tidak mempengaruhi seseorang untuk memilih fasilitas kesehatan yang akan diakses. Dari penelitian tersebut juga ditemukan bahwa, masyarakat yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di
Kehamilan merupakan salah satu periode kritis dalam kehidupan seseorang wanita. Sehingga kesehatan dan kcselamatan ibu hamil dan bersalin dipengaruhi oleh siapa yang mengambil keputusan dalam pencarian pertolongan persalinan. 18 Pcngambilan keputusan tempat persalinan tidak hanya dilakukan oleh ibu bersalin, menurut Sri Puji (2008) bahwa faktor dukungan suami, dukungan anggota keluarga lain (ibu kandung, ibu merrua, anak yang telah besar atau anggota keluarga lain), anjuran bidan atau dokter, dan dukungan tetangga merupakan faktor penguat kematian ibu bersalin. 121
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 113 - 124
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh sebagian besar pengambil keputusan tempat persalinan responden adalah ibu bersalin. Pada umumnya responden memilih rumah sakit umum sebagai tempat persalinan. Rumah sakit umum yang menjadi pilihan tersebut terletak di luar wilayah Kelurahan Sendangmulyo yang merupakan daerah di tengah Kota Semarang. Hal ini dapat dikarenakan pengalaman kehamilan mereka terdahulu dan anggota keluarga lain.19 Selain itu, sikap dan presepsi para ibu terhadap kehamilan dan kualitas petugas kesehatan adalah kepercayaan dan anjuran atau cetusan dari orang lalin.15 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di daerah Kabupaten Semarang tahun 2000, diperoleh 31,25 % penentu penolong persalinan dan tempat bersalinan adalah istri atau ibu bersalin.15 Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan adanya konsep keterlibatan dan tanggung jawab pria setelah adanya International Converence on Population and Development (ICPD) 1994 dan Beijing 1995 yaitu tanggung jawab laki-laki terhadap seksualitas, kesuburan, pemeliharaan anak dan kerja domestik di perjuangkan sebagai strategi kesetaraan gender.20121 Analisa Jarak Tempat Fasilitas Kesehatan
Tinggal
Dan
Keterjangkauan masyarakat termasuk jarak akan fasilitas kesehatan akan mempengaruhi pemilihan pelayanan kesehatan. Selain itu, jarak merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan pengobatan.22 Pada pemanfaatan pelayanan kesehatan salah satu pertimbangan yang menentukan sikap individu memilih sumber perawatan adalah jarak tempat tinggal ke ketempat sumber perawatan.18 Diketahui bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan yaitu merupakan keterjangkauan lokasi tempat pelayanan, jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia. Aksesibilitas dapat dihitung dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan, seperti jenis pelayanan, tenaga kesehatan yang tersedia dan jam buka.22 Melihat adanya hal tersebut, maka perlu adanya perhatian terhadap transportasi yang
122
ada dan keadaan jalan yang dapat mempengaruhi waktu tempuh untuk mencapai tempat persalinan. Untuk itu, perlu adanya penelitian lanjutan mengenai jalan yang akan mempengaruhi watu tempuh dan transportasi ke tempat pertolongan persalinan. Salah satu upaya untuk mendekatkan jangkauan pelayanan kesehatan kepada ibu bersalin adalah merencanakan persalinannya. Perencanaan persalinan termasuk kedalam Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Kegiatan yang dilakukan untuk perencanaan persalinan yaitu salah satunya dengan dan menyiapkan tempat persalinan 23 transportasi. Meskipun jarak yang ditempuh oleh responden jauh dengan adanya perencanaan ini dapat mengurangi resiko pada saat menuju ke tempat pertolongan persalinan. Menurut penelitian tentang kajian optimasi pola dan tingkat pelayanan sarana dasar di Kota Kecamatan Jalancagak Subang bahwa fasilitas pelayanan dasar meliputi fasilitas sarana kesehatan dan prasarana jaringan jalan untuk menghubungkan dari ke setiap lokasi. Keberadaan sarana fasilitas spesifik harus dapat dengan mudah dicapai, sehingga dapat terlihat bahwa fasilitas - fasilitas cenderung berlokasi yang memiliki akses langsung terhadap ruas-ruas jalan utama serta dilayani oleh sarana transportasi umum.24 Pada penelitian ini, dapat terlihat sebagian besar tempat pertolongan persalinan yang dipilih oleh responden berada di tengah Kota Semarang yang memiliki akses langsung terhadap ruas-ruas jalan utama. Akan tetapi belum terlihat sarana tranportasi umum yang dapat mendukung akses ke tempat persalinan yang di gunakan oleh responden. Diketahui bahwa tempat persalinan yang menjadi pilihan responden lebih banyak berada di luar wilayah Kelurahan Sendangmulyo. Namun demikian, di wilayah Kelurahan Sendangmulyo ter dapat satu rumah sakit umum yaitu Rumah Sakit Umum Kota Semarang. Berdasarkan hal ini, dapat dilihat kecenderungan responden di wilayah Kelurahan Sendangmulyo memilih rumah sakit umum tidak melihat jarak dari tempat tinggal sampai ke tempat pertolongan
Analisis Spasial Pemilihan Tempat.. .(Triani, Farid & Yudhy)
persalinan. Untuk pemanfaatan tempat persalinan di dalam wilayah, responden lebih banyak meraanfaatkan bidan praktek swasta dari pada rumah sakit. Berdasarkan pengukuran jarak tempat tinggal responden dan tempat persalinannya, diketahui jarak yang yang paling banyak di tempuh oleh responden yaitu 10001-11000 meter dari tempat tinggal atau sebaliknya dengan rata-rata jarak yang di tempuh 6706 meter. Jarak minimum yang ditempuh adalah 120 meter dan maksimum adalah 12400 meter. Jarak sebagian besar rumah sakit yang dipilih oleh responden lebih dari 6000 meter (6 km), hal ini menunjukkan bahwa faktor jarak tidak begitu berpengaruh dalam pemilihan tempat pelayanan persalinan. Dilihat secara geografis kondisi jalan dan ketersedian alat transportasi dari tempat tinggal ibu ke fasilitas kesehatan memang memungkinkan untuk akses ke seluruh fasilitas kesehatan yang ada di Kota Semarang. Jadi pada kota-kota besar yang akses jalan dan moda transportasinya baik, aspek jarak tidak begitu berpengaruh dalam pemilihan tempat persalinan. Kelemahan pada penelitian ini adalah pengukuran jarak tidak dilakukan secara langsung ke lapangan tetapi menggunakan peta, serta waktu tempuh dari rumah ibu ke fasilitas kesehatan tidak diukur.
4. Jarak terdekat tempat persalinan sejauh 120 meter. Sementara itu jarak terjauh yang ditempuh sejauh 12400 meter, ratarata jarak yang ditempuh adalah 6706 meter. Berdasarkan temuan analisis keruangan maka disarankan kepada pihak terkait (DKK Semarang) perlu meningkatkan keberadaan serta kualitas tempat pelayanan persalinan yang lokasinya dekat dengan rumah penduduk, misalnya bidan praktek swasta (BPS), sehingga akses pelayanan bersalin lebih dekat dan mudah dijangkau. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada pengelola data kesehatan ibu dan anak di Pukesmas Kedungmundu dan di Dinas Kesehatan Kota Semarang yang telah memberikan banyak masukan. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Tempat persalinan yang banyak digunakan adalah rumah sakit yang lokasinya sebagian besar berada sebelah barat laut dan di luar wilayah Kelurahan Sendangmulyo. Fasilitas kesehatan tersebut berada di wilayah perkotaan Kota Semarang. 2. Secara geografis tidak terdapat perbedaan pemilihan tempat persalinan oleh ibu bersalin berdasarkan kelompok umur dan pengambil keputusan tempat persalinan. 3. Ibu bersalin dengan pendapatan tinggi cenderung memilih tempat persalinan yang secara geografis Ictaknya lebih jauh dan sarana kesehatan yang digunakan lebih bervariasi. Ibu bersalin yang tingkat ekonominya lebih rendah lebih memilih bidan praktek swasta yang lokasinya lebih dekat dengan tempat tinggal.
4.
5.
6.
7.
8.
Undang-Undang Rcpublik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang : Kesehatan. Jakarta, 1992. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063. Jakarta, 2009. Widavvati. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pola Pemilihan Penolong Persalinan Pada Ibu Melahirkan Di Wilayah Kerja Puskesmas Kopo Bandung Tahun 2007. Skripsi di terbitkan. Depok: Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2008. Alisjahbana, Armida S. Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs Di daerah (RAD MDGs). Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010. Fibriana, Arulita Dca. Faktor-faktor Resiko yang Mempengai'uhi Kematian Ibu Materna (Studi Kasus di Kabupaten Cialcap). Tesis diterbitkan. Semarang: Tesis Program Studi Magister Epidemiologi Program Pasca Sarj ana UNDIP, 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profit Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Aprina, Fenty. Analisis Cakupan Persalinan Bidan Di Desa Di Kabupaten Musi Banvu Asin Tahun 2001. Tesis di terbitkan. Semarang: Tesis Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2001. Departemen Kesehatan RI. Menuju Persalinan yang aman dan Selamat agar Ibu
123
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 113 - 124
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
124
Sehat Bayi Sehat. Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2009. Nurazizah, Retno. Hubungan Presepsi dan Motivasi Kader Kesehatan dengan Kinerja dalam Desa Siaga Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Tesis di terbitkan. Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, 2010. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Laporan PWS-KIA Kota Semarang Tahun 2010. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2010. Prahasta, Eddy. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar (Perspektif Geodesi dan Geomatika). Bandung: Informatika, 2009. Dwilaksono, Agung dan Erna Hidayati. Upaya Peningkatan Persalinan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Analisis Need dan Demand di Kecamatan Palenggaan Kabupaten Pamekasan. Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan Vol.6, No 1, JanuariApril 2008: 56-63. Karjati, Atin. Hubungan Antara FaktorFaktor Pada Ibu Bersalin dengan Pemanfaatan Penolong Persalinan Di Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat Tahun 2001. Tesis diterbitkan. Depok: Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002. Kusumawati, Yuli. Faklor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Persalinan dengan Tindakan (Studi Kasus di RS. Dr Moewardi Surakarta). Tesis di terbitkan. Sarjana Semarang: Program Pasca Universitas Diponegoro, 2006. Susilowati, Rini. Pola Pengambilan Keputusan Keluarga dan Penolong Persalinan dalam Memutuskan Merujuk Ibu Bersalin ke Rumah Sakit Pada Kasus Kematian Ibu Bersalin Di Kabupaten Semarang tahun 2000. Tesis Diterbitkan. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2001. Notoatmodjo, Soekodjo. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Notoatmodjo. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Astuiti, Sri Fuji. Pola Pengambilan Keputusan Keluarga dan BIdan dalam
19.
20.
21.
22.
23.
24.
merujuk Ibu Bersalin Ke Rumah Sakit Pada Kasus Kematian Ibu di Kabupaten Demak. Tesis di terbitkan. Semarang: Tesis Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Kebijakan Kesehatan Minat Manajemen Kesehatan Ibu dan Anak (MKIA) UNDIP, 2008. Umar, Lider. Hubungan pengetahuan ibu tentang pelayanan kesehatan dengan pemanfaatannya dalam bersalin di Desa Terbanggi ilir Kecamatan Bandar Mataram Lampung Tengah Tahun 2007. Jurnal Kesehatan "Metro Sai Wawai: Volume II No. 1 Edisi Juni 2009. ISSN: 19779-469X. Cantino, J. Meeting The Cairo Challeng: Progress In Sexual and Reproduvtive Health. New York : Family Care International, 1999. dalam Keumalahayati. Dukungan Suami terhadap Kesiapan Ibu Primigravida Menghadapi Persalinan Di Daerah Pedesaan Di Langsa Nanggroe Aceh Darussalam: Study Grounded Theory. Tesis di terbitkan. Jakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu Kekhususan Keperawatan Keperawatan Maternitas, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008. Rahman, A. Pemberdayaan dikaitkan dengan 12 Area of Concern/12 bidang kritis (isu beijing). Jakarta : Tidak dipublikasikan, 2004. dalam Keumalahayati. Dukungan Suami terhadap Kesiapan Ibu Primigravida Menghadapi Persalinan Di Daerah Pedesaan Di Langsa Nanggroe Aceh Darussalam: Study Grounded Theoiy. Tesis di terbitkan. Jakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Maternitas, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008. Eryando, Tris. Aksesibilitas Kesehatan Maternal Di Kabupaten Tenggerang, 2006. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No.2, Desember 2007: 76-83. Departemen Kesehatan RI. Menuju Persalinan yang aman dan Selamat agar Ibu Sehat Bayi Sehat. Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RJ, 2009. Utora, Ratna Iswari. Kajian Optimasi Pola dan Tingkat Pelayanan Sarana Dasar di Kota Kecamatan Jalancagak Subang. Tesis diterbitkan. Semarang: Program Studi Magister Pembangunan Wilayah dan Kota Konsentrasi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Kota, 2006.
DISPARITAS CAKUPAN PERSALINAN OLEH NAKES, ANC DAN UMUR HARAPAN HIDUP PADA 5 REGION DI INDONESIA TAHUN 2007
Disparity on Coverage of Health Workers, Antenatal Care And Life Expectancy At Birth Among 5 Region in Indonesia, 2007 Teti Tejayanti, Roflngatul Mubasyiroh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Email:
[email protected]
Abstract Background: Maternal Mortality Rate Indonesia ranks seventh of the nine countries in ASEAN. Low-labor coverage among one of the causes of maternal death. Maternity coverage in Indonesia is not all achieved the target. Objective: Disparity in maternity coverage information by health workers in Indonesia's policy priorities in the program. Methode: Data sourced from Riskesdas 2007, Susenas 2007 and IPM BPS 2007. In the initial analysis performed multivariate analysis with logistic regression. Outcome variables described descriptivel meaningful. Result: East Indonesia Region (NTT, NTB, Maluku, North Maluku, Papua and West Papua) occupies the lowest coverage of delivery by health workers other than 4 region. Conclusion: The target and action plan for Indonesia in the East Indonesia Region and the counties with the lowest coverage in each region should be prioritized in the program. Key word: disparity, maternity coverage, life expectancy Abstrak Latar belakang: Maternal Mortality Rate Indonesia menempati urutan ke 7 dari 9 negara di ASEAN. Cakupan persalinan yang rendah menjadi salah salah satu penyebab kematian ibu. Cakupan persalinan di Indonesia belum semua mencapat target. Tujuan: Informasi disparitas pada cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia dapat menjadi kebijakan program dalam menentukan prioritas. Metode: Data bersumber data Riskesdas 2007, Susenas 2007 dan IPM BPS 2007. Pada analisa awal dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik. Hasil variabel yang bermakna dijabarkan secara deskriptif. Hasil: Region Indonesia Timur (NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat) menempati cakupan persalinan oleh nakes terrendah dibanding 4 region lainnya. Kesimpulan: Target dan rencana aksi pada Region Indonesia Timur dan kabupaten dengan cakupan terrendah di masing -masing region harus lebih diprioritaskan dalam program. Kata kunci: disparitas, cakupan persalinan, umur harapan hidup
PENDAHULUAN Pada Bulan Desember Tahun 2000, para pemimpm dunia yang berasal dari 189 negara berkumpul dan berkomitmen sepenuh hati memperkuat upaya global untuk perdamaian, demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan penghapusan kemiskinan. Pada saat yang bersamaan mereka juga
mempromosikan dasar-dasar hak asasi dan martabat manusia. Komitmen yang telah ditetapkan oleh para pemimpin dunia tersebut dinamakan Tujuan Pembangunan Milenium (Milenium Development GoalsMDGs) yang dibuat scbagai dasar untuk mencapai deklarasi di atas. Beberapa dari cita-cita MDGs yang. harus dicapai pada
125
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 125 - 135
tahun 2015 diantaranya adalah : mengurangi angka kelaparan dan kemiskinan menjadi setengahnya, memberdayakan perempuan dan mempromosikan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, mengurangi kematian sebesar sepertiga serta kematian balita sebesar dua pertiga. 1 Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Tahun 2009, menyebutkan salah satu Tujuan MDGs (goal 5) : Meningkatkan kesehatan ibu. Indikatornya adalah angka kematian ibu (AKI) . Indikator proporsi kelahiran yang ditolong teraga terlatih. 2' Selanjutnya Departemen Kesehatan dalam Rencana Jangka Menengah (RPJMN) 2005diantaranya: 2009 ditetapkan tujuan, mengurangi (AKI) dari 307 menjadi 226 perlOO.OOO kelahiran hidup. Dilanjutkan rencana strategis Kementrian Kesehatan dalam pembangunan kesehatan tahun 20102014, yang salah satu prioritasnya adalah menurunkan angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Meningkatkan status kesehatan dengan meningkatkan harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun dan menurunkan angka kematian ibu melahirkan. 3 Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan diatas, maka harus diupayakan penurunan angka kematian ibu. Salah satu upaya adalah memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan program. Tujuan penelitian ini secara umum adalah memberikan informasi disparitas pada cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia. Gambaran disparitas persalinan oleh nakes akan dikaitkan dengan antenatal care dan umur harapan hidup. Informasi disparitas secara khusus dibagi menjadi 5 region, yaitu Region Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur. Biasanya
Bappenas melakukan pembagian region ke dalam 7 region, akan tetapi pada analisa ini Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat dijadikan menjadi Region Indonesia Timur. Penggabungan 6 provinsi menjadi Region Indonesia Timur dikarenakan jumlah kabupaten kotanya tidak terlalu besar dan disparitas yang terjadi kemungkinan tidak terlalu besar. Manfaat yang diperoleh dari informasi ini adalah diketahuinya kabupaten kota yang cakupannya kurang dari target dan yang sudah mencapai target. Dengan diketahuinya indikator tersebut, program dapat lebih terarah dalam melakukan intervensi pelayanan persalinan oleh nakes. Pemerintah Daerah dan Pusat dapat bersinergi merencanakan budgeting yang dibutuhkan berdasarkan disparitas tersebut. Dan pada akhirnya diharapkan program pelayanan kesehatan ibu dapat meningkatkan cakupan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data Riskesdas 2007, Susenas 2007 dan data umur harapan hidup dari laporan EPS 2007. METODE Landasan konsep penelitian bersumber pada Teori Blum yang menyatakan bahwa status kesehatan dipengaruhi 4 faktor, salah satu faktornya adalah pelayanan kesehatan.4 Beranjak dari teori tersebut maka dibuat konsep bahwa umur harapan hidup berhubungan dengan pelayanan kesehatan ibu yaitu persalinan oleh nakes dan antenatal care. Untuk melakukan analisa multivariat maka ditambahkan dengan indikator indikator kesehatan anak. Kerangka konsep sebagai berikut:
Kerangka Konsep Variabel indcpenden Indikator kesehatan ibu Indikator kesehatan anak
126
Variabel dependen Umur harapan hidup tahun 2007
Disparitas Cakupan Persalinan Oleh Nakes.,.( Teti & Rofingatul)
Analisis dengan metode regresi logistik dan cut of point menggunakan median karena data berdistribusi tidak normal. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Desain sumber data yaitu Riskesdas 2007, Susenas 2007. IPM 20007 merupakan survei dengan rancangan cross sectional. Hasil analisis multivariat dari tahap pemilihan kandidat multivariat, pembuatan model, uji interaksi dan kounfounding didapat indikator kesehatan ibu yang berhubungan dengan umur harapan hidup adalah persalinan oleh nakes. Waktu penelitian Riskesdas dilakukan dua tahap, tahap pertama dimulai pada awal Agustus 2007 sampai dengan Januari 2008 di 28 provinsi, tahap kedua pada Agustus September 2008 di 5 propinsi (NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat). Lokasi penelitian adalah 440 kabupaten/kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia.Pengumpulan data Susenas berlangsung 2-3 bulan sebelum penelitian Riskesdas berjalan. Lokasi penelitian Susenas adalah sama dengan sampling frame penelitian Riskesdas.4 Variabel persalinan oleh nakes diperoleh dari data Susenas 2007, variabel antenatal care diperoleh dari data Riskedas 2007 dan umur harapan hidup diperoleh dari laporan EPS tahun 2007. Pada artikel ini informasi yang disampaikan adalah analisa deskriptif dari indikator persalinan oleh nakes, antenatal care dan umur harapan hidup agar lebih fokus. HASIL Indikator kesehatan ibu yang menjadi variabel independen adalah indikator antenatal care (ANC) dan persalinan oleh nakes. Indikator ANC mempunyai cut of point median nasional yaitu : 91,03. Sedangkan pada indikator persalinan oleh nakes dengan cut of point yaitu 73,45. Hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode regresi logistik menghasilkan persalinan oleh nakes mempunyai hubungan dengan umur harapan hidup dengan odds ratio 6,59. Analisa deskriptif dilakukan secara bertahap. Tahap pertama, deskriptif cakupan persalinan oleh nakes secara nasional.
Deskriptif tahap kedua, tahap regional. Cakupan persalinan yang dicapai oleh wilayah kabupaten kota di Indonesia pada 5 region didapatkan seperti pada tabel 1. Cakupan persalinan oleh nakes di tingkat nasional, terrendah yaitu Kabupaten Seram Bagian Timur yang berada di Region Indonesia Timur dengan cakupan hanya sebesar 8,92 persen. Sedangkan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi ada di dua region. Pertama di Kota Pematang Siantar (Region Sumatera) dan kedua di Kota Jogyakarta (Region Jawa Bali), ke duanya mempunyai cakupan tertinggi yaitu cakupan 100 persen. Cakupan terrendah berada di kabupaten dan cakupan tertinggi berada di kota. Tahap kedua, disparitas dilihat pada 5 region. Untuk lebih jelas pembahasan menurut region adalah: 1. Region Sumatera Kisaran pada 10 kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan nakes terrendah yaitu 31,47-52,48 persen dan kisaran antenatal care 26,04 - 100 persen. Sedangkan kisaran tertinggi pada cakupan persalinan oleh nakes 98,31 - 100 persen dan kisaran antenatal care dengan cakupan 88,23 - 100 persen. 2. Region Jawa Bali Kisaran pada 10 kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan nakes terrendah yaitu 20,54 - 48,98 persen dan kisaran antenatal care 84,52 -- 91,52 persen. Umur harapan hidup pada 10 kabupaten kota dengan cakupan persalinan oleh nakes terrendah, semuanya mempunyai umur harapan hidup tidak lebih dari 68 tahun. Sedangkan pada 10 kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan oleh nakes tertinggi, umur harapan hidup semua berada diatas 70 tahun. 3.
Region Kalimantan Kisaran pada 10 kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan nakes terrendah yaitu 22,95 - 48,75 persen dan kisaran antenatal care 63,16 - 100
127
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 125 - 135
Tabel 1 . Sepuluh Kabupaten Kota dengan Cakupan Persalinan Terrendah, ANC dan Umur Harapan Hidup Di 5 Region Tahun 2007 Umur Cakupan Cakupan No Region Kabupaten Kota persalinan oleh nakes antenatal care harapan hidup I. Region Sumatera Nias Selatan 31,47 50,68 68,85 43,87 68,24 32,32 Kepulauan Mentawai 26,04 66,73 Gayo Lues 36,37 83,32 Ogan Komering Ulu Selatan 43,90 69,16 84,92 Batanghari 45,14 68,49 Nias 62,91 68,98 45,96 36,70 Natuna 46,91 67,96 67,24 77,79 Lahat 49,47 52,62 Tanjung Jabung Timur 69,31 69,33 Way Kanan 100,00 52,81 68,93 11. Region Jawa Bali 20,54 84,52 Lebak 63,11 Cianjur 77,25 29,61 64,96 Sampang 74,82 31,69 61,11 Pandeglang 35,75 77,75 63,09 Sukabumi 37,01 93,79 66,12 85,23 Garut 37,05 64,42 47,52 Pamekasan 93,71 62,70 Tasikmalaya 47,76 97,67 67,32 Bogor 48,41 92,61 67,63 91,52 Purwakarta 48,98 66,20 III. Region Kalimantan Murung Raya 63,16 22,95 67,83 Landak 28,97 80,52 64,72 Gunung Mas 29,20 74,99 67,55 Melawi 39,71 77,78 67,53 Katingan 42,85 79,87 67,18 Ketapang 76,21 46,65 66,69 Lamandau 48,21 92,88 66,93 Sekadau 48,45 67,22 78,78 Barito Selatan 48,51 100,00 68,08 Kapuas 48,75 63,16 70,43 IV Region Sulawesi Kolaka Utara 76,67 65,14 20,80 Jeneponto 100,00 21,95 64,55 Mamasa 23,25 40,00 70,78 Mamuju 93,54 31,60 67,76 Buton 78,84 35,30 67,55 35,50 Banggai Kepulauan 93,07 62,66 Mamuju Utara 37,63 62,75 67,44 Toli-toli 71,13 39,27 63,66 Bombana 83,27 39,91 67,10 Wakatobi 70,00 41,06 67,69 V Region Indonesia Timur (NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat) Seram Bagian Timur 8,92 75,00 65,21 Pegunungan Bintang 25,00 10,00 65,17 Asmat 100,0 65,62 10,00 0,00 Yahukimo 10,71 66,03 Halmahera Selatan 69,10 11,21 64,82 Puncak Jaya 77,78 12,00 66,96 Kepulauan Aru 80,27 67,11 13,77 Manggarai 96,16 17,38 66,65 Rote Ndao 18,21 66,78 91,11 Manggarai Barat 93,4 19,42 65,75 Slumber data umur harapan hidup :IPMBPS,2007
128
Disparitas Cakupan Persalinan Oleh Nakes...( Teti & Rofmgatul)
persen. Pola umur harapan hidup di 10 wilayah dengan cakupan terendah mempunyai umur harapan hidup dibawah 70 tahun, sedangkan cakupan tertinggi sebagian mempunyai umur harapan hidup di atas 70 tahun.
3.
4. Region Sulawesi Kisaran pada 10 kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan nakes terrendah yaitu 20,8 - 41,06 persen dan kisaran antenatal care 76,67 - 70 persen. 5.
Region Indonesia Timur Kisaran pada 10 kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan nakes terrendah yaitu 8,92 - 19,42 persen dan kisaran antenatal care 25 - 91,11 persen.
4.
Region Sulawesi Sedangkan 10 kabupaten kota dengan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi mempunyai kisaran cakupan 81,75 98,65 persen dan kisaran antenatal care dengan cakupan 76,18 -- 100 persen. Pola antenatal care dan persalinan oleh nakes di Region Sulawesi tidak berbeda dengan 3 region sebelumnya, yaitu walaupun cakupan antenatal care mencapai sekitar 70 persen, cakupan persalinan oleh nakes masih dibawah 50 persen. Umur harapan hidup mempunyai pola yang sama seperti pada 2 region sebelumnya.
5.
Region Indonesia Timur Sedangkan 10 kabupaten kota dengan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi mempunyai kisaran cakupan 75,11 95,43 persen dan kisaran antenatal care dengan cakupan 89,52 - 100 persen. Pola antenatal care dan persalinan oleh nakes di Region Indonesia Timur tidak berbeda dengan 4 region sebelumnya, bahkan lebih ekstrim yaitu walaupun cakupan antenatal care mencapai sekitar 91 persen, cakupan persalinan oleh nakes masih dibawah 20 persen. Tentunya perlu validasi pula pada data ini. Umur harapan hidup mempunyai pola yang sama seperti pada 4 region sebelumnya.
5 Region dengan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi, penjelasan sebagai berikut: 1.
2.
Region Sumatera Antenatal care pada 10 wilayah terrendah dan tertinggi di region Sumatera ini sangat bervariasi. Sebagai contoh, Kabupaten Way Kanan termasuk dalam 10 wilayah dengan cakupan terrendah, bila dilihat cakupan antenatal care mencapai 100 persen, akan tetapi cakupan persalinan oleh nakes hanya 52,81 persen. Tentunya data antenatal care ini perlu divalidasi lebih lanjut. Umur harapan hidup pada 10 kabupaten kota dengan cakupan persalinan oleh nakes terrendah, semuanya mempunyai umur harapan hidup tidak lebih dari 70 tahun. Sedangkan pada 10 kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan oleh nakes tertinggi, umur harapan hidup hampir semua diatas 70 tahun, kecuali Kota Tanjung Pinang (69,4 tahun) dan Kota Banda Aceh (69,99 tahun). Region Jawa Bali 10 kabupaten kota dengan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi mempunyai kisaran cakupan 98,49 100 persen dan kisaran antenatal care
dengan cakupan 82,4 - 100 persen. Region Kalimantan 10 kabupaten kota dengan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi mempunyai kisaran cakupan 98,49 100 persen dan kisaran antenatal care dengan cakupan 91,03 - 100 persen. Hal yang sama terjadi pada Region Kalimantan dan Region Jawa Bali yaitu terdapat wilayah yang cakupan antenatal care mencapai di atas 100 persen, akan tetapi cakupan persalinan oleh nakes masih dibawah 50 persen.
Untuk dapat lebih jelas gambaran 10 kabupaten kota dengan cakupan persalinan tertinggi dengan antenatal care dan umur harapan hidup dapat dilihat pada Tabel 2.
129
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 125 - 135
Tabel 2. 10 Wilayah dengan Cakupan Persalinan Tertinggi, ANC dan Umur Harapan Hidup Di 5 Region Tahun 2007 Umur Cakupan Region Cakupan harapan hidup persalinan oleh nakes antenatal care Kabupaten / Kota Region Sumatera 69,40 89,58 98,31 Kota Tanjung Pinang 72,11 100,00 Kota Metro 98,43 70,21 Kota Payakumbuh 98,60 92,98 70,32 96,09 Kota Padang Panjang 98,96 71,12 100,00 Kota Bukittinggi 99,18 71,36 99,29 97,22 Kota Medan 69,99 Kota Banda Aceh 100,00 99,49 71,47 98,24 Kota Binjai 99,58 70,21 Kota Padang 99,70 88,23 71,72 97,37 Kota Pematang Siantar 100,00 II. Region Jawa Bali 72,48 Kota Jakarta Utara 98,49 98,36 73,02 Kota Jakarta Barat 95,45 98,65 71,84 92,59 Kota Surakarta 98,84 70,97 Kota Mojokerto 99,01 78,57 71,97 99,22 97,87 Kota Jakarta Pusat 71,99 90,25 Gianyar 99,27 74,32 82,40 Tabanan 99,49 72,85 99,56 100,00 Kota Denpasar 71,64 100,00 Badung 99,69 73,14 Kota Yogyakarta 100,00 100,00 III. Region Kalimantan 69,70 81,58 96,79 Kutai Barat 66,80 Kota Singkawang 92,85 85,79 71,19 86,79 97,00 Kota Tarakan 71,89 Kota Bontang 87,22 100,00 73,07 95,04 Palangka Raya 91,86 65,78 96,09 Kota Banjarmasin 92,58 70,61 91,03 93,42 Kota Samarinda 66,65 94,44 88,89 Kota Pontianak 66,94 Banjar Baru 97,01 100,00 71,52 Kota Balikpapan 96,23 97,10 IV Region Sulawesi 96,57 72,10 81,75 Minahasa Utara 71,42 100,00 Sidenreng Rappang 82,06 70,97 76,18 Bolaang Mengondow 83,01 64,36 97,32 84,83 Poso 72,07 Minahasa 85,84 100,00 100,00 73,56 Pare-pare 89,06 69,22 98,37 Palu 89,45 95,00 72,75 Makassar 92,96 72,26 93,82 Manado 100,00 71,96 Tomohon 93,33 98,65 V Region Indonesia Timur (NTT, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat) 100,00 69,30 75,11 Kota Ternate 59,54 94,28 76,45 Lombok Barat 67,17 100,00 Floras Timur 76,99 66,83 78,75 100,00 Jayapura 97,71 59,16 79,32 Lombok Timur 69,27 92,21 79,94 Fak-fak 71,48 89,52 Kota Kupang 83,35 72,66 Kota Ambon 83,64 100,00 68,16 92,24 95,22 Kota Jayapura 100,00 65,19 Kota Mataram 95,43 Sumber data umur harapan hidup : IPM BPS,2007 No unit I.
130
Disparitas Cakupan Persalinan Olch Nakes...( Teti & Rofmgatul)
PEMBAHASAN Dalam forum global disampaikan bahwa akses universal terhadap kesehatan reproduksi telah disepakati sejak Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo tahun 1994. Meskipun pada awalnya diabaikan, universal akses terhadap kesehatan reproduksi telah tertuang dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pada tahun 2005. MDGs pada tujuan ke 5 adalah meningkatkan kesehatan ibu dengan sasaran 5 a: Mengurangi sampai tiga sampai perempat rasio kematian ibu. Ada dua indikator dalam pencapaian tersebut yaitu : 5.1 Rasio mortalitas maternal (kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup) 5.2 Proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih Fakta yang ada di dunia, setiap tahun tiga juta bayi meninggal dalam minggu pertama kehidupan, sebagian besar penyebabnya berkaitan dengan kesehatan ibu mereka dalam kehamilan dan persalinan. 6' Rendahnya angka persalinan yang ditolong oleh petugas kesehatan yang terampil merupakan penyebab tingginya kematian maternal. 7' Di Negara Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan global tersebut, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam RPJMN tahun 2010-2014 mentargetkan bahwa pada Tahun 2015 AKI di Indonesia harus mencapai 102 per 100.000 kelahiran hidup. 2' Kementrian Kesehatan dalam renstranya mempunyai target menurunkan angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup. 4 " Untuk mencapai target yang telah disebutkan diatas, maka 7.187 kematian ibu harus dicegah, fakta yang ada persalinan oleh nakes dangan cakupan 95 persen hanya mampu mencegah kematian ibu sebesar 3.138. (berdasarkan perhitungan model linear AKTLinakes SDKI 1997-2007).8 Fakta lain adalah pada expert meeting maternal mortality Tahun 2011, disampaikan bahwa status Maternal Mortality Ratio
(MMR) Negara Indonesia pada Tahun 2008, Indonesia menempati urutan ke 7 dari 9 negara,9' Lebih jelasnya sebagai berikut : 1. Singapura (MMR: 9) 2. Brunei Darrusallam (MMR : 21) 3. Malaysia (MMR: 31) 4. Thailand (MMR : 48) 5. Vietnam (MMR: 56) 6. Philipine (MMR: 94) 7. Indonesia (MMR: 240) 8. Myanmar (MMR: 240) 9. Cambodia (MMR: 290) Informasi target dan fakta yang telah disebutkan diatas, yang menjadi sebuah pertanyaan apakah target tersebut dapat terlaksana sesuai dengan fakta yang ada ? Yang perlu digaris bawahi pula adalah bahwa ada faktor kesenjangan atau disparitas telah menjadi issue strategis di tingkat global maupun di Indonesia. Sedangkan target yang ditetapkan pada tahun 2014, ditetapkan secara nasional, tidak terlihat subindikator yang mempertimbangkan disparitas tersebut. Pencapaian program hanya bisa berhasil bila target ditetapkan secara rasional, terfokus dan tuntas. Dalam artian harus dipertimbangkan pula faktor disparitas yang terjadi. Atas dasar pemikiran tersebut, maka tulisan ini diharapkan memberi informasi bagaimana mengupayakan penurunan AKI melalui cakupan persalinan oleh nakes berdasarkan kesenjangan yang terjadi di wilayah Indonesia. Salah satu penyebab faktor kesenjangan adalah faktor geografis. Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri dari beribu -ribu pulau kecil dan mempunyai daerah-daerah terpencil. Tantangan utama yang dihadapi dan prioritas yang harus ditetapkan oleh melalui penilaian suatu negara harus berdasarkan pentingnya dinamika populasi, hubungan dengan sosial, ekonomi, politik dan budaya. I0' Dinamika populasi di negara Indonesia adalah terdiri dari 456 kabupaten kota pada tahun 2007 yang tersebar di 8 kepulauan besar yaitu Sumatera, Jawa, Bali, NTT, NTB, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Dilakukan pengumpulan data berbasis komunitas dari 440 kabupaten kota dan kemudian dianalisis. Dari 440 kabupaten
131
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 125 - 135
kota, didapatkan sebanyak 101 kabupaten kota atau hanya 23 persen mencapai target cakupan persalinan oleh nakes. Artinya pemerintah harus meningkatkan cakupan persalinan 77 persen. Akan berbeda halnya bila kesenjangan menjadi pertimbangan dalam menentukan target.
kota, sedangkan 3 wilayah berada di kabupaten. 3 kota berada di wilayah Provinsi OKI, 4 wilayah (1 kota, 3 Kabupaten) berada di Provinsi Bali, sedangkan 3 wilayah lainnya yaitu 1 kota di Provinsi Jawa Tengah, 1 kota di Provinsi Jawa Timur dan 1 kota di Provinsi Jogyakarta.
Bila faktor kesenjangan dipertimbangkan, maka target yang ditetapkan sebaiknya merujuk pada evidence based. Metode penelitian diawali dengan menghubungkan beberapa indikator kesehatan ibu dan anak dengan umur harapan hidup. Hasil analisis multivariat dengan model akhir didapat bahwa indikator cakupan persalinan oleh nakes berhubungan dengan umur harapan hidup dengan odds ratio 6,59. Selanjutnya, karena cakupan persalinan oleh nakes mempunyai hubungan dengan umur harapan hidup, maka dilakukan analisa deskriptif agar lebih bermanfaat bagi pemegang program. Cakupan terrendah berada di kabupaten dengan cakupan 8,92 persen dan cakupan tertinggi 100 persen berada di kota. Rancangan target dibuat berdasarkan median nasional dengan cut of point adalah 73,45 persen. Perhitungan cut of point berdasarkan 440 kabupaten kota berdistribusi tidak normal. Analisa deskriptif dilakukan dengan membagi wilayah Indonesia ke dalam 5 region. Ke 5 region tersebut adalah : Region Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur. Pada region Sumatera, terdapat 132 kabupaten kota. Cakupan persalinan pada kabupaten kota yang sudah mencapai target Kemenkes sebanyak 39 kabupaten kota, artinya baru 30 persen yang mencapai target. Jika dilihat berdasarkan rata-rata nasional, 51 kabupaten kota atau 38 persen kabupaten kota berada di bawah rata-rata nasional.
Seperti kita ketahui pada umumnya bahwa akses pelayanan di Jawa Bali lebih baik dibanding akses pelayanan di 4 region lainnya. Akan tetapi ternyata di Jawa Bali terdapat Kabupaten Lebak dengan cakupan persalinan oleh nakes yang sangat rendah yaitu 20,54 persen dan terrendah di bandingkan cakupan di 4 region lainnya. Sebenarnya cakupan antenatal care di Kabupaten Lebak lebih tinggi dibanding Cianjur, Sampang dan Pandeglang yang berkisar 77 persen kabupaten kota, akan tetapi cakupan persalinannya lebih rendah dibanding 3 wilayah tersebut. Perlu dilakukan validasi terhadap data tersebut. Dari gambaran cakupan tersebut, dapat dikatakan bahwa di Region Jawa Bali yang mempunyai akses pelayanan lebih baik dibanding 4 region lainnyapun masih terdapat disparitas yang cukup tinggi dalam pelayanan persalinan. Pada Region Kalimantan, terdapat 52 kabupaten kota. Cakupan persalinan pada kabupaten kota yang sudah mencapai target Kemenkes sebanyak 6 kabupaten kota, artinya baru 12 persen yang mencapai target. Jika dilihat berdasarkan rata-rata nasional, 35 kabupaten kota atau 67 persen kabupaten kota berada di bawah rata-rata nasional.
Pada region Jawa Bali, terdapat 124 kabupaten kota. Cakupan persalinan pada kabupaten kota yang sudah mencapai target Kemenkes sebanyak 51 kabupaten kota, artinya baru 41 persen yang mencapai target. Jika dilihat berdasarkan rata-rata nasional, 36 kabupaten kota atau 29 persen kabupaten kota berada di bawah rata-rata nasional. Dari 10 wilayah cakupan terrendah, semuanya berada di Kabupaten dan 8 dari 10 kabupaten tersebut berada di wilayah Provinsi Jawa Barat. Cakupan tertinggi, 7 wilayah berada di 132
Pada Region Sulawesi, terdapat 62 kabupaten kota. Cakupan persalinan pada kabupaten kota yang sudah mencapai target Kemenkes sebanyak 3 kabupaten kota, artinya baru 0,4 persen yang mencapai target 90 persen. Jika dilihat berdasarkan rata-rata nasional, 43 kabupaten kota atau 69 persen kabupaten kota berada di bawah rata-rata nasional. Region Indonesia Timur, cakupan persalinan pada kabupaten kota yang sudah mencapai target Kemenkes sebanyak 2 kabupaten kota, artinya baru 0,2 persen yang mencapai target 90 persen. Jika dilihat berdasarkan rata-rata nasional, 58 kabupaten kota atau 82 persen kabupaten kota berada di bawah rata-rata nasional. Yang menjadi perhatian pada umur
Disparitas Cakupan Persalinan Oleh Nakes...( Tcti & Rofmgatul)
harapan hidup, Region Indonesia Timur pada cakupan persalinan yang terrendah dijumpai umur harapan hidup yang masih dibawah 60 tahun. Hal ini berbeda dengan 4 region sebelumnya. Kesimpulan yang didapat dari disparitas cakupan persalinan yang terjadi di 5 region kisaran sebagai berikut: 1. Region Sumatera 31,47 - lOOpersen. 2. Region Jawa Bali 20,54 - lOOpersen. 3. Region Kalimantan 22,95 -97,1 persen. 4. Region Sulawesi 20,80 - 98,65 persen. 5. Region Indonesia Timur 8,92 - 95,43 persen. No
Region
Kisaran tersebut menggambarkan bahwa Region Indonesia Timur inempunyai cakupan persalinan oleh nakes yang terrendah dibanding 4 region lainnya. Artinya wilayah Provinsi NTT, NTB, Maluku, Maluku Barat, Papua dan Papua Barat harus lebih mendapatkan prioritas dalam program cakupan persalinan oleh nakes. Disparitas pada pencapaian target persalinan oleh nakes Kemenkes dan rata-rata nasional di 5 region sebagai berikut dapat diringkas sebagai berikut:
Kab/kota yang mencapai
Kab/Kota dibawah
target Kemenkes
rata-rata Nasional
Jumlah
%
Jumlah
%
1
Sumatera
39
30
51
38
2
Jawa Bali
51
41
36
29
3
Kalimantan
6
12
35
67
4
Sulawesi
3
0.4
43
69
5
Indonesia Timur
2
0,2
58
82
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 5 region, target cakupan persalinan oleh nakes baik target Kemenkes dan target rata-rata nasional, terrendah adalah Region Indonesia Timur. Dengan demikian acuan pada program dapat lebih terarah dan diperlukan intervensi yang berbeda pada Region Indonesia Timur agar program lebih baik. Hasil analisa ke 5 region yang telah disebutkan di atas bersumber pada data yang berbasis komunitas. Untuk memperkuat informasi ditambahkan data yang bersumber dari fasilitas. Dari masing-masing region, diambil satu daerah yang inempunyai cakupan persalinan oleh nakes terrendah. Hasil persentase yang didapat berbeda, tetapi data ini tidak boleh dibandingkan karena metode yang berbeda yaitu pengambilan data berbasis fasilitas dengan data berbasis komunitas dimana masing-masing inempunyai kelebihan dan kelemahan yang berbeda. Pada Region Sumatera, berdasarkan data fasilitas yaitu profil kesehatan dinas
Kesehatan tahun 2008. Ternyata Kabupaten Nias Selatan juga merupakan salah satu dari 3 daerah yang inempunyai cakupan persalinan oleh nakes terrendah di Sumatera Utara, selain Tapanuli dan Samosir yaitu dengan cakupan 59,33 persen. Pada Region Jawa Bali, dari data Survey GAVTHSS 2010, Kabupaten Lebak menjadi Kabupaten yang mempunyai cakupan terrendah di Provinsi Banten dengan cakupan persalinan 60,16 persen, disebutkan bahwa persoalan akses di wilayah rural menjadi salah satu faktor yang mendasar. n' Informasi dari Kemkes data base kesehatan per kabupaten tahun 2007, cakupan persalinan oleh nakes 57,9 persen. 13' Pada Region Kalimantan, Kabupaten Murung Raya mempunyai cakupan persalinan oleh nakes mencapai 88,49 persen dan merupakan kabupaten dengan cakupan persalinan nakes terrendah di Kalimantan Tengah. 14. Pada Region Sulawesi, Kabupaten Kolaka inempunyai cakupan persalinan oleh nakes 60,41 persen. u' Pada Region Indonesia Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur 133
Jurnal Kcsehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 125 - 135
mempunyai cakupan 61,4 persen pada tahun 2007. Kabupaten Seram Bagian Timur menjadi salah satu dari 4 kabupaten lainnya yang mempunyai cakupan persalinan terrendah selain Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat dan Burn di Provinsi Maluku. Provinsi Maluku mempunyai 632 pulau besar dan kecil. 1?' Berdasarkan informasi data komunitas dan data fasilitas, maka Kabupaten Nias Selatan, Lebak, Murung Raya, Kolaka Utara dan Seram Bagian Timur walaupun mempunyai persentase yang berbeda dalam cakupan. tetapi secara substansi kabupaten kabupaten tersebut termasuk ke dalam daerah-daerah yang mempunyai cakupan yang terrendah di provinsinya. Selain informasi cakupan persalinan oleh nakes, juga disampaikan hasil cakupan antenatal care. Dari 5 region, pola antenatal care menunjukkan bahwa tingginya cakupan antenatal tidak selalu diikuti oleh tingginya cakupan persalinan oleh nakes. Pola ini mungkin biasa terjadi di negara berkembang, sebagai contoh survey maternal di Ghana membuktikan bahwa kematian ibu di Ghana relatif tinggi, dan merupakan yang terbesar kedua menyebabkan kematian perempuan di negeri tersebut. Meskipun hampir semua wanita mencari perawatan antenatal dari tenaga kesehatan profesional, hanya satu dari dua wanita melahirkan di fasilitas kesehatan, dan tiga dari empat wanita mencari perawatan pasca melahirkan. 16. Daerah yang mempunyai mempunyai cakupan persalinan oleh nakes cukup baik secara konsisten mempunyai cakupan antenatal care yang cukup baik pula. Namun demikian, pada daerah yang termasuk dalam 10 wilayah dengan cakupan persalinan oleh nakes terrendah terdapat cakupan antenatal care yang sangat baik. Sebagai contoh : Kabupaten Way Kanan di Region Sumatera, Kabupaten Barito Selatan di Region Kalimantan, Kabupaten Jeneponto- di Region Sulawesi dan Kabupaten Asmat di Region Indonesia Timur yang mencapai cakupan antenatal care 100 persen. Kabupaten Lebak di Region Jawa Bali, walau tidak mencapai 100 persen cakupan antenatalnya, yaitu 84,52 persen akan tetapi status cakupan persalinan oleh nakes terrendah di Jawa Bali. Data-data
134
tersebut menunjukkan bahwa diperlukan validasi lebih lanjut. Umur harapan hidup sebagai standard kemajuan pembangunan manusia dalam bidang kesehatan. Dalam analisa ini, cut of point umur harapan hidup adalah 68,7 tahun yang merupakan rata-rata nasional tahun 2007. Hasilnya menujukkan dari 50 kabupaten kota di 5 region dengan cakupan persalinan terrendah hanya 5 kabupaten yang dengan umur harapan hidup diatas 68,7 tahun artinya 90 persen kabupaten kota yang mempunyai cakupan persalinan terrendah mempunyai status umur harapan hidup di bawah 68, 7 tahun. Sedangkan target pada renstra Kemenkes pada tahun 2010-2014 adalah meningkatkan umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun. Demikianlah informasi pencapaian target berdasarkan evidence based pada indikator cakupan persalinan oleh nakes, cakupan antenatal care dan umur harapan hidup dari 5 region dengan kisaran 10 terrendah dan 10 tertinggi. Setelah diketahuinya kesenjangan terjadi pada pelayanan kesehatan tersebut, yang jauh lebih penting pula adalah upaya memperbaiki derajat kesehatan tersebut. Deteksi dari status kesehatan adalah merupakan langkah awal. Langkah selanjutnya diperlukan rencana aksi yang strategis dan rencana tersebut harus ditangani secara optimal, fokus dan tuntas. Berdasarkan evidence based maka program untuk wilayah Indonesia Timur sudah selayaknya diterjemahkan dalam rencana aksi yang dapat meningkatkan cakupan persalinan oleh nakes dengan pendekatan sesuai dengan sosio, ekonomi dan budaya di wilayah Indonesia Timur. Peningkatan cakupan juga harus diimbangi dengan peningkatan ketrampilan nakes, sehingga faktor kepercayaan masyarakat pada petugas kesehatan dapat meningkat. Dalam pengembangan strategi nantinya diperlukan inovasi, tim sumbcr daya dan pengorganisasian yang akan mcrencanakan : 1. sosialisasi/diseminasi 2. proses pengorganisasian 3. pembiayaan 4. monitoring dan evaluasi. 17'
Disparitas Cakupan Persalinan Oleh Nakes...( Teti & Rofmgatul)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulannya dari 5 region di Indonesia, Region Indonesia Timur perlu mendapat prioritas lebih dibanding 4 region lainnya. Masing-masing di 5 region juga mempunyai daerah yang perlu mendapat prioritas pelayanan. Perbedaan antara data komunitas dan fasilitas yang mungkin tidak terduga, harus menjadi masukan untuk memperbaiki kualitas data dengan validasi data dan kinerja sistem dan bukan untuk raenonjolkan berbagai kesalahan. Dari pola anatenatal care, maka harus ada upaya perubahan perilaku, yaitu tidak hanya antenatal care saja di petugas kesehatan, akan tetapi bersalin juga di tenaga kesehatan. Pada antenatal care, bukan frekuensi yang diutamakan tetapi kualitas antenatal care yang baik sehingga akan mengubah pola cakupan persalinan oleh nakes. Upaya untuk mengubah perilaku tidak akan berjalan efektif bila tidak didahului promosi secara luas dan dukungan nyata dari organisasi profesi, para profesional dan kelompok pemberdaya yang terkemuka dan dihormati. Kementrian Kesehatan harus menyampaikan pesan utama kepada pihak yang tepat, yaitu kepada orang-orang yang dapat menindaklanjuti sehingga dapat menerapkan hasil temuan dan membuat perbedaan yang nyata.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5. 6. 7.
8.
9.
10.
11. 12.
UCAPAN TERIMAKASIH
13.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Badan Litbangkes yaitu dr. Triono Sundoro, Ph.D, Dr.dr. Trihono, MSc dan Prof.dr. Purnawan Junadi, MPH, Ph.D dan dr. Sandi Iljanto yang telah memberi kesempatan menyelesaikan program magister di FKM UI serta memberi masukan tentang kesehatan regional. Terimakasih juga disampaikan pada Miko Hananto, MKes yang telah bekerjasama dalam manajemen data penelitian Riskesdas 2007.
14. 15. 16.
17.
Subowo A, Muhlisa. Strategi MPS(Make Pregnancy Safer) Dalam Upaya Peningkatan Kesehatan Maternal Dan Neonatal Di Kabupaten Halmahera Selatan, Propinsi Maluku Utara. Tahun 2006. Microfinance Empowers. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ BappenasPembangunan Kesehatan Dan Gizi Di Indonesia: Background Study RPJMN 2010-2014. Overviev Dan Arah Ke Depan. Tahun 2009. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan.Renstra Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010-2014. Tahun 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2007, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tahun 2008. Jakarta. Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007, Badan Pusat statistik, Jakarta -Indonesia. 2007. Global Forum For Health Research And World Health Organization, October 2009. Dibalik Angka, Pengkajian Kematian Maternal Dan Komplikasi Untuk Mendapatkan Kehamilan Yang Lebih Aman, WHO, Kementerian Kesehatan. 2007. Perhitungan Model Linear AKI-Linakes SDKI 1997-2007). Presentasi Kebijakan PONED/PONEK. 2011. An Overview Of MMRatio Situation In Indonesia, Presentasi. S. Sumantri Pada '"Expert Meeting on Investigating Causes And Surveillance Systems of Maternal Deaths In Solo, Indonesia, Juni Tahun 2011. Population Situation Analysis, A Conceptual And Methodological Guide, United Nations Population Fund (UNFPA). Technical Divison. 2010. Profil Tahun 2007. Subdis Kesga Dinkes Sumatera Utara 2008. Assesment GAVI-HSS, Direktorat Jendral Bina Gizi Dan KIA, Kementrian Kesehatan, GAVI Alliance, Universitas Indonesia, Provinsi Banten. 2010. Data Base Esehatan Per Kabupaten, Kementrian Kesehatan Tahun 2007. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Tahun 2008. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Tahun 2007. Ghana Maternal Health Survey 2007. Ghana Statistical Service, Ghana Health Service, Macro International Inc, Calverton, Maryland, U.S.A, May 2009. Nine Steps For Developing A Scaling-Up Strategy, World Health Organization, 2010.WHO, 20 Avenue Appia, 1211 Geneva 27, Switzerland.
135
PERILAKU BERISIKO REMAJA DI INDONESIA MENURUT SURVEY KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA INDONESIA (SKRRI) TAHUN 2007 Young Adults Risk Behavior by Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey in2007 Heny Lestary1 Sugiharti1 Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Badan Litbangkes, Kementerian Kcsehatan Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Email :
[email protected]
Abstract Background: Several health problems happen to young adults related to risk behavior, among others are smoking, alcohol drinking, drug misuse, and premarital sex. Field data and facts showed that these risk behavior are inter-related. Objective: This research was aimed to identify risk behavior determinants, the most dominant variable related to risk behavior, and inter relationship among each risk behavior of young adults in Indonesia in 2007. Methods: This research was an analytical study using raw data fromlndonesia Young Adult Reproductive Health Survey data in 2007 which done in 33 provinces. The respondents were young adults within age range 15-24 years old with single status, which comprised of 10.830 men and 8.481 women. Result: Research findings showed that risk behavior determinants among young adults in Indonesia were knowledge, attitude, age, sex, education level, ecomomic status, access to information and media, communication with parents and also friends with risk behaviors. The most dominant variable was sex.Menwere potentially 30 times higher to smoke, 10 times higher to drink alcohol, 20 times higher to misuse drug, and 5 times higher to do premarital sex, compared to women. Conclussion: From this research, it was also known an inter relationship among the four risk behavior in young adults. Keywords: 7ow«g adults, risk behavior, smoking, alcoholism, drugs, premarital sex
Ahstrak Latar belakang: Beberapa masalah kesehatan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan perilaku yang berisiko, yaitu merokok, minum alkohol, penyalahgunaan narkoba, dan hubungan seksual pranikah. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berisiko remaja, faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan perilaku berisiko, dan keterkaitan hubungan di antara masing-masing perilaku berisiko pada remaja di Indonesia tahun 2007. Metode: Penelitian ini merupakan studi analisis lanjut dengan menggunakan data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 yang dilaksanakan di 33 propinsi. Responden adalah remaja berusia 15-24 tahun, berstatus belum kawin, dan terdiri dari 10.830 remaja laki-laki dan 8.481 remaja perempuan. Hasil: Perilaku berisiko pada remaja di Indonesia berhubungan signifikan dengan pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, pendidikan, status ekonomi, akses terhadap media informasi, komunikasi dengan orang tua, dan adanya teman yang berperilaku berisiko. Faktor yang paling dominan hubungannya adalah jenis kelamin. Remaja laki-laki berpeluang 30 kali lebih besar untuk merokok, 10 kali lebih besar untuk minum alkohol, 20 kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba, dan 5 kali lebih besar untuk hubungan seksual pranikah, jika dibandingkan dengan remaja perempuan. Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini juga diketahui adanya keterkaitan hubungan di antara ke-empat perilaku berisiko pada remaja. Kata kunci: Remaja, merokok, alkohol, narkoba, hubungan seksual pranikah
136
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 136- 144
PENDAHULUAN Remaja adalah pribadi yang terus berkembang menuju kedewasaan, dan sebagai proses perkembangan yang berjalan natural, remaja mencoba berbagai perilaku yang terkadang merupakan perilaku yang berisiko (Smet, 1994). Jumlah remaja (usia 15-24 tahun) di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 39.242.100 jiwa atau 18,39% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 213.375.100 jiwa (EPS, 2006). Hal ini berarti sekitar seperlima penduduk Indonesia adalah remaja berusia 15-24 tahun (BPS, 2006).Jumlah remaja yang cukup besar ini bisa menjadi tantangan yang berat bagi pemerintah, terutama berkaitan dengan pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan reproduksi (Hidayat, 2005). Beberapa masalah kesehatan yang terjadi pada remaja berkaitan dengan perilaku yang berisiko, yaitu merokok, minum minuman beralkohol, penyalahgunaan narkoba, dan melakukan hubungan seksual pranikah (Smet, 1994).Perilaku berisiko pada remaja mengacu pada segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian dan adaptasi sosial dari remaja (WHO, 1993).Berbagai data dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa perilaku berisiko pada remaja tersebut terjadi saling berkaitan (Smet, 1994).Merokok, minum alkohol, dan penyalahgunaan narkoba berhubungan erat dengan performance remaja di sekolah, tempat kerja maupun dalam bidang olahraga. Menyalahgunakan satu jenis narkoba akan berkembang menjadi penyalahgunaan berbagai narkoba lainnya (WHO, 1993).Departemen Kesehatan Republik Indonesia mendefmisikan remaja berisiko sebagai remaja yang pernah melakukan perilaku yang berisiko bagi kesehatan, seperti merokok, minum minuman beralkohol, menyalah- gunakan narkoba, dan melakukan hubungan seksual pranikah (Depkes, 2003). Merokok dan minum alkohol merupakan baru loncatan bagi terbentuknya penyalahgunaan narkoba, walaupun tidak semua remaja yang merokok berakhir menjadi pecandu narkoba (Damayanti, 2007).Pada umumnya penyalahgunaan narkoba diawali dengan merokok yang kemudian disusul merokok ganja dan berlanjut pada penyalahgunaan narkoba (Damayanti,
2007).Dari hasil penelitian perilaku remaja di empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bandung diketahui bahwa remaja mengakui alkohol adalah langkah awal sebelum mengkonsumsi narkoba. Beberapa diantaranya mencampur narkoba dengan alkohol dan ada yang menggunakan narkoba sebagai obat kuat dalam melakukan hubungan seksual pranikah (Kristanti, dkk, 2010). Prevalensi perilaku berisiko pada remaja semakin meningkat dan dampak yang ditimbulkannya juga semakin mengkhawatirkan.Pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi remaja juga tidak meningkat prevalensinya.Diperlukan adanya analisis yang mendalam tentang determinan atau faktor-faktor yang menentukan terjadinya perilaku berisiko pada remaja.Sehingga dapat dilakukan intervensi yang lebih baik dan lebih tepat sasaran dari berbagai program yang ada saat ini, baik dari sektor pemerintah maupun swasta. Menurut Green dan Kreuter (Green and Kreuter, 2005), ada tiga faktor yang menyebabkan atau mempengaruhi perilaku berisiko pada remaja. Pertama adalah faktor predisposing atau faktor yang melekat atau memotivasi.Faktor ini berasal dari dalam diri seorang remaja yang menjadi alasan atau motivasi unruk melakukan suatu perilaku.Termasuk dalam faktor ini adalah sikap, pengetahuan, keyakinan, nilai, kepercayaan, kapasitas, umur, jenis kelamin, dan pendidikan.Kedua adalah faktor enabling atau faktor pemungkin.Faktor ini memungkinkan atau mendorong suatu perilaku dapat terlaksana.Faktor ini meliputi ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat/pemerintah terhadap kesehatan, keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan, tempat tinggal, status ekonomi, dan akses terhadap media informasi.Faktor ketiga adalah faktor reinforcing atau faktor penguat yaitu faktor yang dapat memperkuat perilaku. Faktor ini ditentukan oleh pihak ketiga atau orang lain yang meliputi keluarga, teman scbaya, guru, petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan pengambil keputusan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui determinan perilaku berisiko pada remaja,
137
Perilaku Berisiko Remaja di Indonesia...( Heny, Sugiharti)
faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan perilaku berisiko pada remaja, dan keterkaitan hubungan di antara masing-masing perilaku berisiko pada remaja di Indonesia tahun 2007. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang besaran permasalahan kesehatan dan sosial yang terjadi pada remaja di Indonesia, khususnya mengenai perilaku berisiko pada remaja.Perilaku tersebut meliputi merokok, minum alkohol, penyalahgunaan narkoba, dan melakukan hubungan seksual pranikah.Sehingga dapat dijadikan identifikasi kebutuhan upaya kesehatan reproduksi remaja di Indonesia berdasarkan data yang ada di masyarakat. METODE Penelitian ini merupakan studi analitik dengan menggunakan data mentah dari hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 yang dilaksanakan di 33 propinsi. Dalam rancangan SKRRI 2007 ditentukan paling sedikit 40 Blok Sensus (BS) untuk setiap propinsi.Sebanyak 1.694 BS yang terdiri dari 676 di daerah perkotaan dan 1.018 di daerah perdesaan yang dipilih dari BS Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2007.Jumlah BS yang terpilih dalam setiap kabupaten/kota tidak dialokasikan secara proporsional terhadap jumlah penduduk.Dengan demikian, penyesuaian penimbang akhir dilakukan untuk mendapatkan perkiraan seluruh variabel.Dalam setiap BS dilakukan listing bangunan dan rumah tangga secara lengkap dengan metode pengambilan sampel dua tahap (second stage sampling) (BPS, 2007). Di setiap propinsi, pemilihan BS di wilayah perkotaan dan perdesaan dilakukan menggunakan sampling beberapa tahap (multi stage stratified sampling).D\ daerah perkotaan, tahap pertama BS dipilih secara sistematik sampling.Di setiap BS terpilih, 25 rumah tangga dipilih secara acak.Di daerah perdesaan pemilihan rumah tangga dilakukan dengan tiga tahap.Tahap pertama, kecamatan dipilih dengan proporsi banyaknya rumah tangga.Di tahap kedua, di setiap kecamatan terpilih, dipilih BS dengan sistematik sampling.Di tahap ketiga, di setiap BS terpilih, dipilih 25 rumah tangga secara acak.Dari hasil sampling seperti di atas,
138
terpilih 42.341 rumah tangga sebagai sampel, dimana 41.131 berhasil ditemui.Dari seluruh rumah tangga yang ditemukan dalam survei, 40.701 dapat diwawancarai dengan sukses, menghasilkan tingkat respon sebesar 99 persen (BPS, 2007). Dari hasil wawancara rumah tangga, 9.398 responden perempuan dan 12.541 responden laki-laki telah diidentifikasi untuk wawancara individu. Dari seluruh responden tersebut, wawancara berhasil dilaksanakan untuk 8.481 responden perempuan dan 10.830 responden laki-laki, yang masing-masing berusia 15-24 tahun dan berstatus belum kawin, dengan menghasilkan tingkat respon masing-masing 90 dan 86 persen. Respon yang lebih rendah untuk lakilaki kebanyakan berkaitan dengan ketidakhadiran laki-laki yang lebih sering dan lebih lama di rumah tangga tersebut (BPS, 2007). Sama halnya dengan responden SKRRI 2007, responden dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15-24 tahun, berstatus belum kawin, dan terdiri dari 10.830 remaja laki-laki dan 8.481 remaja perempuan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah potong lintang (cross sectional], dimana variabel independen dan variabel dependen diukur dalam kurun waktu bersamaan. Variabel dependen adalah perilaku berisiko pada remaja di Indonesia, sedangkan variabel independen yang merupakan determinan perilaku berisiko pada remaja meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat.Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, dan pendidikan.Faktor pemungkin terdiri dari tempat tinggal, status ekonomi, dan akses terhadap media informasi.Faktor penguat meliputi pendidikan kepala keluarga, komunikasi dengan orang rua, dan keberadaan teman yang berperilaku berisiko. Pengolahan data yang dilakukan mencakup mempelajari variabel-variabel yang terpilih dari kuesioner serta mengeksplorasi data sesuai dengan tujuan penelitian.Selanjutnya menggabungkan data SDKI07-R (Daftar Pertanyaan Remaja) dengan data SDKI07RT (Daftar Rumah Tangga) untuk menganalisis variabel status ekonomi dan pendidikan kepala keluarga. Langkah berikutnya mengecek data, pembersihan data, maupun menghapus data yang berada di luar analisis.Kemudian merekode ulang pada
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 136-144
variabel-variabel terpilih yang sudah sesuai dengan defmisi operasional dan kuesioner.Setelah itu dilakukan perhitungan (scoring), komposit atau penggabungan data dari berbagai variabel dalam kuesioner dan mengkategorikannya sesuai dengan defmisi operasional penelitian.Langkah terakhir adalah analisis data sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 15.0.Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi setiap variabel. Sedangkan analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabelvariabel dominan yang berhubungan dengan kejadian perilaku berisiko pada remaja jika dianalisis secara bersamaan, serta mengetahui variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian perilaku berisiko pada remaja di Indonesia pada tahun 2007.Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik ganda.Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui keterkaitan hubungan di antara ke-empat perilaku berisiko pada remaja, dengan menggunakan uji chi-square.
HASIL Gambaran perilaku berisiko pada remaja usia 15-24 tahun di Indonesia pada tahun 2007 ditampilkan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak bahwa fc*banyak 55,2% remaja pernah melakukan pferilaku berisiko. Secara berurutan pola perilaku berisiko yang terbesar adalah merokok, minum alkohol, melakukan hubungan seksual pranikah, dan penyalahgunaan narkoba. Dari data tersebut terlihat lebih dari separuh remaja di Indonesia pernah merokok dan seperempat remaja pernah minum alkohol. Hal ini dimungkinkan karena rokok dan alkohol banyak dijual bebas sehingga remaja semakin mudah untuk mendapatkannya. Faktor yang mendorong remaja untuk mulai merokok amat beragam, antara lain mencari bentuk jati diri, kurangnya pengetahuan tentang bahaya rokok bagi kesehatan, orang tua yang perokok, dan teman sebaya (WHO, 1993). Selain itu, faktor lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk mulai merokok adalah iklan dan faktor kemudahan mendapatkan rokok, baik dari sudut harganya yang relatif murah maupun ketersediaanya di mana-mana (Aditama, 1997).
Tabel 1. Gambaran perilaku berisiko pada remaja di Indonesia tahun 2007 (n=19.311) Variabel Perilaku Berisiko Merokok Ya Tidak Minum alkohol Ya Tidak Penyalahgunaan narkoba Ya Tidak Hubungan seksual pranikah Ya Tidak
Beberapa remaja minum alkohol sebagai simbol kedewasaan, jalan pintas mengatasi permasalahan hidupnya, berasal dari keluarga yang orang tuanya peminum, dan/atau tekanan teman sebaya (WHO, 1993).Alasan lain karena faktor pertemanan, kebanggaan, agar menjadi berani, faktor pergaulan, ingin coba-coba, agar percaya diri, dan melarikan diri dari masalah keluarga.Remaja di Medan biasa mengkonsumsi alkohol ketika ada
Jumlah
Persentase
10.176 9.135
52,7 47,3
4.761 14.550
24,7 75,3
651 18.660
3,4 96,6
801 18.510
4,1 95,9
pesta, sedangkan bagi remaja Jakarta alkohol langkah awal sebelum merupakan menyalahgunakan narkoba.Bagi remaja Bandung, alkohol merupakan simbol kejantanan, sedangkan bagi remaja Surabaya alkohol merupakan perekat hubungan pertemanan dan penghangat badan (Kristanti, dkk, 2010).Semakin meningkat rata-rata usia menikah di kalangan laki-laki dan perempuan muda, merupakan penyebab banyak
139
Perilaku Berisiko Remaja di Indonesia...( Heny, Sugiharti)
terjadinya hubungan seksual pranikah di kalangan remaja. Hal ini karena semakin panjang jarak antara waktu kematangan seksual dengan usia menikah (WHO, 1993).Hubungan seksual pranikah di kalangan remaja biasanya terjadi karena sedang mabuk, suka sama suka, rasa ingin tahu dan ingin merasakannya setelah menonton video porno atau melihat perempuan seksi, pengaruh teman, dan agar terlihat modern. Selain itu, faktor keterbatasan ekonomi juga merupakan penyebab remaja melakukan hubungan seksual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Kristanti, dkk, 2010). Alasan remaja melakukan penyalahgunaan narkoba karena ingin tahu, identitas pergaulan, modern, dan mendapat pengakuan teman sebaya. Alasan lainnya yaitu menenangkan pikiran, ikut-ikutan teman, bahkan sebagai obat agar 'kuat' dan 'tahan lama' di ranjang ketika melakukan hubungan seksual (Kristanti, dkk, 2010). Teman merupakan pintu masuk utama penyalahgunaan narkoba. Sekitar 4% responden di SLIP, 12% di SLTA, dan 19% di Akademi/PT pernah ditawari narkoba oleh temannya.Sekolah/kampus dan rumah teman merupakan tempat yang paling banyak
digunakan sebagai tempat narkoba (BNN, 2006).
menawarkan
Hasil analisis SKRRI 2007 menunjukkan peningkatan prevalensi perilaku berisiko baik di kalangan remaja laki-laki maupun remaja perempuan, jika dibandingkan dengan hasil SKRRI 2002-2003 (EPS, 2003). Kedua data juga menunjukkan pola yang sama, baik bagi remaja laki-laki maupun perempuan. Secara berurutan adalah merokok, minum alkohol, melakukan hubungan seksual pranikah, dan penyalahgunaan narkoba. Hal ini berarti dalam kurun waktu 5 tahun terjadi peningkatan prevalensi dari ke-empat perilaku berisiko dengan urutan pola yang sama. Prevalensi merokok pada remaja lakilaki meningkat sebanyak 10,9% dan pada perempuan 0,1%. Prevalensi minum alkohol pada remaja laki-laki meningkat sebanyak 5% dan perempuan 3,5%. Prevalensi hubungan seksual pranikah pada remaja laki-laki meningkat sebanyak 1,8% dan perempuan 0,2%. Sedangkan prevalensi penyalahgunaan narkoba pada remaja lakilaki meningkat sebanyak 1,4% dan perempuan 1%. Perbandingan pola perilaku remaja di Indonesia antara tahun 2002-2003 dan 2007 ditampilkan pada Gambar 1.
a Merokok Minum alkohol Penyalahgunaan narkoba • Hubungan seksual pranikah
SKRRI2002-2003
SKRRI2007
Data SKRRI berdasarkan jenis kclamin Gambar 1. Perbandingan perilaku remaja di Indonesia antara tahun 2002-2003 dan 2007
140
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 136 - 144
PEMBAHASAN Peningkatan prevalensi perilaku berisiko pada remaja di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun dapat terjadi karena berbagai hal. Antara lain karena semakin sulitnya kehidupan sehingga menuntut kedua orang tua untuk bekerja lebih keras dan kurang dekat dengan remajanya. Semakin buruk tingkat komunikasi antara remaja dengan orang tuanya, semakin besar kemungkinan remaja melakukan perilaku berisiko (Sarwono, 2001). Kurang dekatnya hubungan antara remaja dengan orang tuanya, menyebabkan remaja lebih dekat dengan teman sebayanya.Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan remaja yang kurang baik hubungan dengan orang tuanya (Yusuf, 2009). Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Raharni (2002), Ismail (2006), dan Iqbal (2008) yang menunjukkan bahwa remaja yang memiliki teman berperilaku berisiko cenderung akan berperilaku berisiko juga. Hal ini terjadi karena remaja ingin diakui oleh lingkungan pertemanannya, tidak
dianggap ketinggalan jaman, dan mempererat hubungan pertemanan. Tabel 2 menunjukkan hasil analisis multivariat. Hasilnya adalah dari 11 variabel independen, terdapat 9 variabel independen yang secara dominan berhubungan dengan perilaku berisiko pada remaja. Serupa dengan kerangka teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu, bahwa determinan yang secara dominan berhubungan dengan perilaku berisiko pada remaja adalah pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, pendidikan, status ekonomi, akses terhadap media informasi, komunikasi dengan orang tua, serta adanya teman yang berperilaku berisiko. Variabel daerah tempat tinggal dan pendidikan kepala keluarga secara statisik terbukti tidak berhubungan secara dominan dengan perilaku berisiko pada remaja. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan perilaku berisiko pada remaja adalah jenis kelamin. Remaja laki-laki secara statistik terbukti memiliki peluang 27 kali lebih besar untuk berperilaku berisiko dibandingkan dengan remaja perempuan.
Tabel 2. Hasil pemodelan akhir multivariat (tahap akhir) No 1 2
3 4 5 6 7 8 9
Variabel Pengetahuan Sikap Umur Jenis kelamin Pendidikan Status ekonomi Akses media informasi Komunikasi ortu Teman perilaku berisiko
SE 0,045 0,042 0,043 0,045 0,046 0,043 0,044 0,045 0.059
Keterkaitan hubungan antara merokok, minum alkohol, dan hubungan seksual pranikah dengan penyalahgunaan narkoba pada remaja di Indonesia tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 3. Dari label tersebut
Nilai p 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
OR 0,712 1,522 2,020 26,966 1,207 1,168 0,672 1,303 2,378
95%CI 0,652-0,778 1,403-1,651 1,858-2,196 24,691-29,452 1,103-1,321 1,074-1,271 0,616-0,733 1,194-1,422 2,117-2,671
terlihat bahwa remaja yang merokok, minum alkohol, atau melakukan hubungan seksual pranikah cenderung akan melakukan penyalahgunaan narkoba.
141
Perilaku Berisiko Remaja di Indonesia...( Heny, Sugiharti)
label 3.
Hasil analisis hubungan antara merokok, minum alkohol, dan hubungan seksual pranikah dengan penyalahgunaan narkoba pada remaja di Indonesia tahun 2007
Variabel Perilaku
Penyalahgunaan Narkoba Tidak Ya
Jumlah
Nilai P
OR 95% CI
Merokok Ya Tidak Minum alkohol Ya Tidak Hubungan seksual pranikah Ya Tidak
646 (6,3%) 5 (0,1%)
9.530 (93,7%) 9.130(99,9%)
10.176(100%) 9.135 (100%)
0,000*
123,777 (51,321-298,526)
595 (12,5%) 55 (0,4%)
4.165(87,5%) 14.495 (99,6%)
4.760(100%) 14.550(100%)
0,000*
37,649 (28,501-49,734)
184(23,0%) 467 (2,5%)
617(77,0%) 18.043(97,5%)
801(100%) 18.510(100%)
0,000*
11,522 (9,542-13,912)
Hubungan antara merokok, penyalahgunaan narkoba, dan minum alkohol dengan kesehatan reproduksi yaitu merokok merupakan jembatan utama untuk penyalahgunaan narkoba dan minum alkohol (Smet, 1994).Secara langsung pecandu narkoba(khususnya mereka yang menggunakan jarum suntik) dapat menjadi sasaran penularan HIV-AIDS (BKKBN, 2001). Secara tidak langsung penyalahgunaan narkoba dan minum alkohol biasanya terkait erat dengan pergaulan seks bebas. Kecanduan narkoba juga akan mengakibatkan bayi lahir dengan ketergantungan obat pula sehingga harus menjalani perawatan intensif yang mahal. Kebiasaan menggunakan narkoba dan alkohol dapat menurun pada sifat anak-anak yang dilahirkan, yaitu menjadi peminum atau pecandu atau mengalami gangguan fisik dan mental (BKKBN, 2001). Hasil analisis pada penelitian ini menguatkan teori tersebut serta teori-teori lainnya dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menyebutkan keterkaitan antara berbagai perilaku berisiko pada remaja. Serupa dengan hasil penelitian Rahayu (2008) yang menunjukkan bahwa remaja yang merokok,
142
minum alkohol, dan melakukan hubungan seksual pranikah cenderung akan berpeluang lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba. Hasil analisis menunjukkan remaja yang merokok berpeluang 124 kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba (p=0,000; OR=123,777; 95% €1=51,321-298,526). Remaja yang minum alkohol berpeluang 38 kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba (p=0,000; OR=37,649; 95% CI=28,501-49,734). Remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah berpeluang 12 kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba (p=0,000; OR=11,522; 95% CI=9,542-13,912). Pada Tabel 4 diperlihatkan hubungan antara merokok dengan minum alkohol pada remaja di Indonesia. Remaja yang merokok berpeluang 16 kali lebih besar untuk minum alkohol dibandingkan dengan remaja yang tidak pernah merokok (p=0,000; OR=15,939; 95% CI=14,327-17,733). Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Raharni (2002) dan Ismail (2006) yang menunjukkan bahwa remaja yang merokok berpeluang untuk penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba cenderung dipengaruhi oleh faktor merokok, alkohol, pernah ditawari, gender, teman/tetangga dan pekerjaan
Jurnal Keschatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 136 - 144
Tabel 4.
Hasil analisis hubungan antara merokok dengan minum alkohol pada remaja di Indonesia tahun 2007
Variabel Perilaku Merokok Ya Tidak
Ya
Minum alkohol Tidak
4.351(42,8%) 409 (4,5%)
5.824(57,2%) 8.726(95,5%)
Pada Tabel 5 ditampilkan hasil analisis hubungan antara minum alkohol dan hubungan seksual pranikah. Hasil analisis menunjukkan bahwa remaja yang minum alkohol berpeluang 15,7 kali lebih besar untuk hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan remaja yang tidak Tabel 5.
Jumlah
Nilai P
OR 95% CI
10.175 (100%) 9.135(100%)
0,000*
15,939 (14,327-17,733)
pernah minum alkohol (p=0,000; OR=15,739; 95% CI=13,111-18,894). Hasil ini serupa dengan hasil penelitian Kristanti, dkk (2010) yang menunjukkan bahwa salah satu alasan remaja melakukan hubungan seksual pranikah adalah karena mabuk
Hasil analisis hubungan antara minum alkohol dengan hubungan seksual pranikah pada remaja di Indonesia tahun 2007
Variabel Perilaku Minum alkohol Ya Tidak
Hubungan seksual pranikah Ya Tidak 655 (13,8%) 146 (1,0%)
4.106(86,2%) 14.405 (99,0%)
Jumlah
Nilai P
OR 95% CI
4.761 (100%) 14.551 (100%)
0,000*
15,739 (13,111-18,894)
KESIMPULAN SARAN Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa faktor faktor yang secara signifikan berhubungan dengan perilaku berisiko pada remaja di Indonesia pada tahun 2007 adalah pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, pendidikan, status ekonomi rumah tangga, akses terhadap media informasi, komunikasi dengan orang tua, dan keberadaan teman yang berperilaku berisiko. Variabel yang dengan paling dominan berhubungan perilaku berisiko pada remaja adalah jenis kelamin. Remaja laki-laki berpeluang 30 kali lebih besar untuk merokok, 10 kali lebih besar untuk minum alkohol, 20 kali lebih besar untuk penyalahgunaan narkoba, dan 5 kali lebih besar untuk hubungan seksual pranikah, jika dibandingkan dengan remaja perempuan. Dari hasil penelitian ini juga diketahui adanya keterkaitan hubungan di antara ke-empat perilaku berisiko pada remaja. Agar Pemerintah dapat lebih banyak memberikan informasi dasar yang tepat dan akurat mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pencegahan perilaku berisiko,
termasuk di dalamnya adalah memberikan informasi kepada remaja mengenai berbagai pengaruh sosial dan psikologis yang berdampak buruk bagi kehidupan mereka akibat dari perbuatan perilaku merokok, minum alkohol, penyalahgunaan narkoba, dan hubungan seksual pranikah, dengan cara antara lain mengadakan berbagai kegiatan seminar dan olahraga, seni atau ilmiah remaja. itu disarankan juga agar Selain Pemerintah/Sekolah/Perguruan Tinggi dapat memberikan informasi agar remaja lebih inengembangkan kepercayaan diri termasuk di dalamnya keterampilan berkomunikasi, sehingga dapat mempunyai kemampuan dalam hal keterampilan hidup sehat, dengan cara lebih banyak menciptakan konselorkonselor remaja dari kalangan mereka sendiri. Juga agar dapat menyampaikan pendidikan kesehatan reproduksi dan keterampilan hidup sehat melalui media massa terutama televisi, dengan acara yang akrab dan diminati oleh remaja.
143
Perilaku Berisiko Remaja di Indonesia...( Heny, Sugiharti)
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik, yang telah mengijinkan penggunaan data SKRRI 2007 dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1.
Aditama, T.Y. 1997. Rokok dan kesehatan.Cetakan pertama, edisi ketiga. Jakarta: Ul-Press. 2. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dan Yayasan Mitra INTI. 2001. Tanya Jawab Kesehatan Reproduksi Remaja: Seri Informasi KRR. Jakarta. 3. Badan Narkotika Nasional. 2006. Hasil survey nasional penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pada kelompok pelajar dan mahasiswa di 33 propinsi di Indonesia tahun 2006. (http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten. php?nama=HasilPenelitian&op=detail_hasil_pe nelitian&id-17&mn=2&smn=e. diakses 29 Maret2010). 4. Badan Pusat Statistik dan Macro International.2003. Swvei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2002-2003. Jakarta. 5. Badan Pusat Statistik dan Macro International.2007. Swvei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007. Jakarta. 6. Badan Pusat Statistisk. 2006. Penduduk Indonesia, Hasil Swvei Penduduk Antar Sensus 2005. Jakarta: Sub Direktorat Statistik Demografi. 7. Damayanti, R. 2007. Peran biopsikososial terhadap perilaku berisiko tertular HIV pada remaja SLTA di OKI tahun 200(J.Disertasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Materi Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Jakarta. 9. Green, L.W. and Kreuter, M.W. 2005.Health program planning: an educational and
144
ecological approach (4lhed.). New York: McGraw-Hill. 10. Hidayat, Z. 2005. Remaja Indonesia dan permasalahan kesehatan reproduksi. Wartu Demografi, 35(4): 14-22. 11. Ismail, A. 2QQ6.Hubungan riwayat merokok dengan penyalahgunaan narkoba di Indonesia (Analisis data Survei Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Rumah Tangga di Indonesia tahun 2005). Tesis, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. 12. Iqbal, M. F. 2008. Perilaku merokok remaja di lingkimgan RW 22 kelurahan Sukatani kecamatan Cimangis Depok tahun 2008. Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. 13. Kristanti, Ch. M., Tjandrarini, D. H., Prasodjo, R., Pradono, J., Hidayaningsih, P., Senewe, F. P., Mubasyiroh, R., Suparmi. 2010. Studi perilaku kesehatan remaja pada 4 kota besar di Indonesia tahun 2009. Laporan Penelitian, dan Pengembangan Badan Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan. 14. Raharni. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan NAPZA di kalangan siswa SMU Negeri Kota Bekasi. Tesis, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. 15. Rahayu, P. S. 2008. Tingkat kejadian penyalahgunaan narkoba pada kelompok pelajar/mahasiswa dan faktor risikonya di DKI Jakarta dan Jawa Timur tahun 2006 (Analisa data Survey Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar/'Mahasiswa di Indonesia tahun 2006). Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. 16. Sarwono, S.W. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafmdo Persada. 17. Smet, B. \994.Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia. 18. World Health Organization. 1993. The health of young people: a challenge and a promise. Geneva, Switzerland. 19. Yusuf. S. 2009. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
PENGETAHUAN HIV DAN AIDS PADA REMAJA DI INDONESIA (Analisis Data Riskesdas 2010) Teenagers' Knowledge on HIV and AIDS in Indonesia (Basic Health Research Analyses 2010) Sudikno,1 Bona Simanungkalit,2 Siswanto2 2
'Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Email:
[email protected]
Abstract Background: Indonesian teenagers' knowledge on HIV and AIDS is still low. Objective: This study aimed to know the description of Indonesian teenagers' knowledge on HIV and AIDS. Methode: It was a descriptive study with cross sectional design. The population was all Basic Health Research samples who were teenage, aged 15-19 years. Inclusion criteria samples were all teenagers aged 15-19 years, unmarried and signing inform consent, while exclusion criteria ones were married teenagers aged 15-19years. Basic Health Research data were used with RKDIO.RT and RKDIO.IND questionnaire details. Collected data included place identification and household member's details (area, age, sex, marital status, education, occupation, and economical status), HIV and AIDS knowledge and sex behavior. HIV and AIDS knowledge is a composite value of RKDIO.IND.Block C02-C03 questions. HIV and AIDS knowledge is high if it is the same as or higher than the median and low if it is lower than the median. Result: The result showed that teenagers' HIV and AIDS knowledge was high (51.1 percent) and low (48.9 percent). The analysis also showed that HIV and AIDS knowledge in urban areas was tend to be better than in rural areas. Conclusion: HIV and AIDS knowledge was also better at teenagers with at least Junior high school education (58.6 percent). Keywords: hiowledge, HIV and AIDS, teenagers Abstrak Latar belakang: Pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja di Indonesia masih rendah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja di Indonesia. Metode: Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain potong lintang. Populasi penelitian adalah semua individu sampel Riskesdas 2010 pada remaja yang berumur 15-19 tahun. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah semua remaja yang berumur 15-19 tahun, termasuk dalam sampel Riskesdas 2010 yang belum menikah dan menandatangani inform consent. Data yang digunakan Riskesdas 2010 dengan rincian kuesioner RKDIO.RT dan RKDIO.IND. Data yang dikumpulkan meliputi pengenalan tempat dan keterangan anggota rumah tangga (wilayah, umur, jenis kelamin, status kawin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi), pengetahuan HIV dan AIDS dan perilaku seksual. Pengetahuan HIV dan AIDS merupakan nilai komposit dari pertanyaan pada RKDIO.IND. Blok C02 sampai dengan C03. Pengetahuan HIV dan AIDS dikatakan baik jika di atas atau sama dengan median, dan kurang jika di bawah nilai median. Hasil: Persentase pengetahuan HIV dan AIDS dengan katagori baik pada remaja di perkotaan sebesar 54 persen dan di perdesaan sebesar 46,6 persen. Kesimpulan Pengetahuan HIV dan AIDS dengan katagori baik pada remaja dengan pendidikan di atas SMP sebesar 58,6 persen lebih tinggi dibandingkan remaja dengan pendidikan di bawah SMP (48,3%). Kata kunci: pengetahuan, HIV dan AIDS, remaja
145
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 145 -154
PENDAHULUAN
infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.3'6
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virusvirus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan Iain-lain).1
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus EpsteinBarr(EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV). Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homos eksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru. Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphomd) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphomd), diffuse large Bcell lymphoma(DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi. Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.7'8
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena rumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan presemmal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntikyang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.2'3 Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang 4 disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya
146
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien Di tempat-tempat terinfeksi HIV. dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif(HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian
Pengetahuan HIV dan AIDS Pada Remaja...( Sudikno, Bona & Siswanto)
menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.9
kumulatif infeksi baru HIV dapat mencapai 1,7 juta orang.12
AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS dan WHO memperki rakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.10 Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika SubSahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.11
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mengungkapkan bahwa kasus HIV dan AIDS sampai dengan bulan Agusrus 2010 dari semua kelompok umur sejumlah 21.770 orang, termasuk remaja.13 Sementara itu Kementerian Kesehatan (2010) melaporkan bahwa sampai dengan akhir tahun 2010 terdapat kasus AIDS sejumlah 24.131 dengan angka kematian 4.539. Kasus AIDS tertinggi terdapat pada kelompok usia muda (15-29 tahun), yaitu 50,5 persen.'4 Meningkatnya jumlah remaja penderita HIV dan AIDS dimungkinkan karena keterbatasan akses informasi dan layanan kesehatan yang berdampak pada rendahnya pengetahuan tentang HIV dan AIDS yang benar. Menurut KPA (2011) pemahaman remaja tentang HIV dan AIDS masih sangat minim, padahal remaja termasuk kelompok usia yang rentan dengan perilaku berisiko. Persentase remaja (15-24 tahun) yang mampu menjawab dengan benar cara-cara pencegahan penularan HIV dan AIDS serta menolak pemahaman yang salah mengenai penularan HIV dan AIDS hanya sebesar 14,3 persen.'3
Selanjutnya, fenomena "gunung es" dalam kasus HIV dan AIDS di Indonesia menjadi diskursus yang perlu mendapat perhatian. Pada tahun 2007, perkembangan siruasi epidemi HIV menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. Jumlah kasus HIV dan AIDS meningkat terus, dan dilaporkan pada akhir tahun 2007 terdapat 11.141 pasien AIDS dan 6.066 orang HIV positif. Jumlah ini diperkirakan hanya dari 10 persen dari seluruh orang yang terinfeksi HIV di Indonesia.12 Walaupun secara nasional prevalensi HIV masih tergolong rendah, tetapi di beberapa tempat telah terjadi penularan yang cukup tinggi. Survei Terpadu HIV dan Perilaku (Depkes RI 2006 - 2007) menemukan ratarata prevalensi HIV pada penduduk Papua mencapai 2,4 persen. Sementara di provinsiprovinsi lain dengan tingkat epidemi tertinggi di Indonesia, ditemukan prevalensi yang tinggi pada penduduk paling berisiko. Mereka adalah pengguna narkoba suntik (52%), penjaja seks (9%), dan laki-laki yang seks dengan laki-laki (5%). Peningkatan penularan HIV yang sangat tajam ini dipicu oleh peningkatan penggunaan narkoba suntik di awal tahun 2000 dan hubungan seksual berisiko. Jika tidak dilakukan intervensi yang intensif, diperkirakan pada tahun 2020 total
Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDK!) tahun 2003 menunjukkan sekitar 34 persen remaja putri dan 21 persen remaja laki-laki berumur 15-24 tahun belum pernah mendengar istilah HIV dan AIDS.15 Sedangkan hasil SDKI 2007 menunjukkan bahwa persentase wanita pernah kawin yang pernah mendengar tentang AIDS sebesar 61 persen dan pada laki-laki sebesar 71 persen. Wanita dengan umur 20-39 tahun, berstatus kawin dengan pendidikan tinggi lebih banyak mendengar AIDS dibanding kelompok wanita lainnya. Demikian juga pada laki-laki mengikuti pola yang sama. Laki-laki dengan tingkat pendidikan lebih tinggi berstatus kawin dan tinggal di perkotaan cenderung lebih banyak mendengar AIDS dibandingkan kelompok laki-laki lainnya. Meskipun sudah banyak yang mempunyai pengetahuan dasar tentang AIDS, namun tingkat pengetahuan tentang cara mengurangi risiko terinfeksi pada umumnya rendah.16 Sedangkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007) menunjukkan bahwa prevalensi nasional yang pernah mendengar istilah HIV dan AIDS sebesar 44,4 persen,
147
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 145 -154
dan 13,9 persen di antaranya yang mengetahui dengan benar penularan HIV dan AIDS.17 Selanjutnya menurut Suryoputro, dkk. (2006) mengemukakan bahwa peningkatan aktifitas seksual dikalangan kaum remaja, tidak diiringi dengan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi termasuk HIV dan AIDS, penyakit menular seksual (PMS) dan alat-alat kontrasepsi.18 Penelitian Sucipto (2007) terhadap 88 remaja menunjukkan bahwa 55,7 persen remaja berpengetahuan baik, 42 persen berpengetahuan sedang dan 2,3 persen memiliki pengetahuan rendah. Sebanyak 55,7 persen remaja memiliki perilaku seksual yang berisiko tertular HIV/ AIDS dan 44,3 persen berperilaku tidak berisiko.19 Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2010) telah menghasilkan serangkaian informasi situasi kesehatan berbasis komunitas yang spesifik berkaitan indikator Millenium Development Goals (MDG), salah satunya terkait dengan HIV dan AIDS, namun analisis tentang pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja 15-19 tahun belum dilakukan. Analisis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pelaksana program kesehatan dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja di Indonesia. METODE Sumber data penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain potong lintang (cross secsional). Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah Riskesdas 2010 dengan rincian kuesioner RKD10.RT dan RKD10.IND. Dalam pelaksanaan Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Badan Litbangkes ditentukan jumlah sampel sebanyak 70 000 rumah tangga meliputi seluruh wilayah provinsi di Indonesia yang dikunjungi oleh tim pengumpul data kesehatan msyarakat. Sampel individu untuk kesehatan masyarakat diperkirakan sebanyak 315 000 individu. Besar sampel penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua
148
individu sampel Riskesdas 2010 pada remaja yang berumur 15-19 tahun. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah semua remaja yang berumur 15-19 tahun, termasuk dalam sampel Riskesdas 2010 yang belum menikah. Data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan diambil dari kuesioner rumah tangga (RKD07.RT) yang meliputi pengenalan tempat dan keterangan anggota rumah tangga (wilayah, umur, jenis kelamin, status kawin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi). Sedangkan dari kuesiner individu (RKD07.IND) adalah pengetahuan HIV dan AIDS dan perilaku seksual. Pengetahuan HIV dan AIDS merupakan nilai komposit dari pertanyaan pada RKD10.IND. Blok C02 sampai dengan Blok C03. Berdasarkan distribusi data, maka pengetahuan HIV dan AIDS dikelompokkan berdasarkan median. Pengetahuan HIV dan AIDS dikatakan baik jika di atas atau sama dengan median, dan kurang jika di bawah nilai median. Prosedur pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan oleh tenaga lulusan Poltekkes atau petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat yang terdiri dari empat orang pewawancara dan satu di antaranya menjadi ketua tim. Cara pengumpulan data meliputi wawancara dengan responden oleh petugas pengumpul data untuk mendapatkan informasi tentang pengenalan tempat dan keterangan anggota rumah tangga (wilayah, umur, jenis kelamin, status kawin, pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi), pengetahuan HIV dan AIDS. Untuk mendapatkan kualitas data yang baik, maka selain dilakukan pelatihan petugas pengumpul data, juga dilakukan bimbingan teknis dan supervisi oleh Penanggungjawab Tingkat Kabupaten/Kota (PJT Kabupaten/Kota), Penanggung Jawab Tingkat Provinsi (PJT Provinsi) dan tingkat pusat (Balitbangkes). Selanjutnya kuesioner untuk wawancara telah diuji-coba terlebih dahulu untuk mengetahui masalah dalam tingkat kesulitan, pemahaman bahasa dan istilah kesehatan, serta alur pertanyaan.
Pengetahuan HIV dan AIDS Pada Remaja...( Sudikno, Bona & Siswanto)
Manajemen dan analisis data Manajemen data meliputi penomoran, editing, pemrosesan data (data entry, dan cleaning). Pengolahan data diawali dengan melakukan scoring terhadap pertanyaan pengetahuan HIV dan AIDS, kemudian dibuat label sebaran sampel berdasarkan kelompok pengetahuan HIV dan AIDS yang kurang dan pengetahuan HIV dan AIDS yang baik berdasarkan nilai median. Di samping itu juga dilakukan weighting tiap record sesuai dengan nilai inflate yang telah tersedia dalamfile. Weight dihitung berdasarkan nilai inflate tiap record dibagi dengan nilai ratarata inflate, Selanjutnya analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu analisis univariate dan bivariate. Analisis univariate dirujukan untuk mengetahui sebaran nilai masing-masing variabel. Sedangkan analisis bivariate bertujuan untuk mengetahui persentase pengetahuan HIV dan AIDS berdasarkan
karakteristik remaja, yaitu: wilayah, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, penyuluhan kesehatan, dan perilaku seksual. BASIL Karakteristik remaja Data yang dianalisis sejumlah 14 355 remaja yang berumur 15-19 tahun dan belum menikah. Sebagian besar remaja yang belum menikah berada di perkotaan dibandingkan di perdesaan, hal ini mungkin dikarenakan faktor sosial dan budaya di perdesaan yang berpengaruh terhadap perkawinan dini pada remaja. Tingkat pendidikan remaja sebagian besar adalah SMP ke bawah, yaitu sebesar 73,1 persen. Sedangkan dari variabel pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar remaja masih sekolah, yaitu sebesar 54,4 persen. Secara rinci karakteristik remaja dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Remaja
Variabel Wilayah Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan
Status ekonomi
Perdesaan Perkotaan Laki-laki Perempuan <=SMP >SMP Sekolah Tidak bekerja Bekerja Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
n = 14355 5691 8664 7402 6953 10487 3868 7815 3910 2630 2709 2957 2963 3013 2713
% 39,6 60,4 51,6 48,4 73,1 26,9 54,4 27,2 18,4 18,9 20,6 20,6 21,0 18,9 Pencegahan
HIV
Pengetahuan tentang penularan HIV dan AIDS
Pengetahuan tentang dan AIDS
Pengetahuan tentang penularan HIV dan AIDS meliputi 10 pertanyaan pada Riskesdas 2010. Dari hasil skor antara 0-100, persentase remaja yang berada di bawah median (skor=70) yang dikatagorikan kurang sebesar 62,1 persen. Persentase remaja yang menjawab dengan benar penularan HIV dan AIDS serta menolak pemahaman yang salah mengenai penularan HIV dan AIDS hanya sebesar 1,4 persen. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Pengetahuan tentang pencegahan HIV dan AIDS meliputi 6 pertanyaan pada Riskesdas 2010. Dari hasil penilaian skor antara 0-100, persentase remaja yang berada di bawah median (skor=83) atau dengan katagori kurang sebesar 46,9 persen. Persentase remaja yang menjawab dengan benar pencegahan HIV dan AIDS hanya sebesar 21 persen. Secara rinci dijelaskan pada Tabel 3
149
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 145 -154
label 2. Pengetahuan tentang Penularan HIV dan AIDS pada Remaja n=14355
Pertanyaan Hubungan seksual yang tidak aman
Penggunaan jarum suntik bersama
Transfusi darah
Penularan dari ibu ke bayi saat pcrsalinan
Penularan dari ibu ke bayi saat menyusui
Penularan dari ibu ke bayi selama hamil
Membeli sayuran segar dari petani/penjual yang terinfeksi HIV dan AIDS Makan sepiring dengan orang yang terkena virus HIV dan AIDS Melalui makanan yang disiapkan oleh ODHA (Penderita fflV dan AIDS) Melalui gigitan nyamuk
Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu
13569 282 504 13 101 556 698 11 636 1 230 1 489 9247 2428 2680 8776 2703 2876 8790 2618 2947 2292 9284 2779 4478 7247 2630 2780 8660 2915 4562 6857 2936
%
'
94,5 2,0 3,5 91,2 3,9 4,9 81,0 8,6 10,4 64,4 16,9 18,7 61,1 18,9 20,0 61,2 18,3 20,5 16,0 64,6 19,4 31,2 50,5 18,3 19,4 60,3 20,3 31,8 47,7 20,5
Tabel 3. Pengetahuan tentang Pencegahan HIV dan AIDS pada Remaja Pertanyaan Berhubungan seksual hanya dengan salah satu pasangan tetap yang tidak berisiko Berhubungan seksual dengan suami/istri saja Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali Menggunakan kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko Tidak menggunakan jarum suntik bersama
Melakukan sunat/sirkumsisi
150
Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu Ya Tidak Tidak tahu
n = 14355
%
12201 1 083 1 071 12348 1 012 995 9395 3417 1 543 10394 2037 1 924 11 265 1 704 1 386 4534 5487 4334
85,0 7,5 7,5 86,1 7,0 6,9 65,4 23,8 10,8 72,4 14,2 13,4 78,5 11,9 9,6 31,6 38,2 30,2
Pengetahuan HIV dan AIDS Pada Remaja...( Sudikno, Bona & Siswanto)
Pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja menurut karakteristik Pengetahuan remaja merupakan indeks komposit dari pengetahuan tentang penularan dan pencegahan HIV dan AIDS. Dengan menggunakan cut-off = median (skor=71), diketahui bahwa persentase pengetahuan HIV dan AIDS kurang pada remaja sebesar 48,9 persen. Persentase remaja yang mampu menjawab dengan benar pengetahuan HIV dan AIDS hanya sebesar 0,3 persen. Tabel 4 menjelaskan tentang pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja menurut karakteristik. Persentase pengetahuan HIV dan AIDS dengan katagori baik pada remaja di perkotaan sebesar 54 persen, sedangkan di perdesaan sebesar 46,6 persen. Menurut jenis kelamin diketahui bahwa persentase pengetahuan HIV dan AIDS kurang maupun
baik tidak jauh berbeda pada laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari tingkat pendidikan tampak bahwa persentase remaja dengan pengetahuan HIV dan AIDS dengan katagori baik pada remaja dengan pendidikan di atas SMP sebesar 58,6 persen lebih tinggi dibandingkan remaja dengan pendidikan di bawah SMP (48,3%). Demikian juga menurut pekerjaan yang menunjukkan kecenderungan persentase adanya pengetahuan HIV dan AIDS lebih baik pada remaja yang masih sekolah dibandingkan dengan remaja yang bekerja maupun remaja yang tidak bekerja (tidak sekolah). Selanjutnya menurut status ekonomi keluarga tampak adanya penurunan persentase pengetahuan HIV dan AIDS dengan katagori kurang dengan meningkatnya kelompok kuintil (Tabel 4).
Tabel 4. Pengetahuan HIV dan AIDS pada Remaja di Indonesia menurut Karakteristik Karakteristik Wilayah Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan
Status ekonomi
n= 14 3 5 5 Perdesaan Perkotaan Laki-laki Perempuan <=SMP >SMP Sekolah Tidak bekerja Bekerja Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5
PEMBAHASAN Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Menurut Lawrence Green dan Marshall Kreuter dalam Sciavo (2007) bahwa pengetahuan seseorang merupakan salah satu faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku seseorang.20 Pengetahuan yang benar tentang HIV dan AIDS pada remaja diharapkan dapat menghindari perilaku berisiko HIV dan IDS. Masa remaja (adolescent) merupakan periode yang kritis pada perkembangan manusia baik secara fisiologis, psikologis dan sosial.
Pengetahuan HIV dan AIDS
Kurang (%) 5691 53,4 8664 46,0 7402 48,8 6953 49,1 10487 51,7 3868 41,4 7815 45,8 3910 51,8 2630 54,1 2709 55,4 2957 52,5 2963 49,2 3013 45,5 2713 42,2
Baik (%) 46,6 54,0 51,2 50,9 48,3 58,6 54,2 48,2 45,9 44,6 47,5 50,8 54,5 57,8
Menurut sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (EPS), proporsi penduduk usia 15-19 tahun hampir mencapai 10 persen dari jumlah penduduk/ 1 Dengan populasi yang cukup besar, maka remaja diharapkan menjadi tumpuan dan tulang punggung dalam meneruskan pembangunan, oleh karena itu sangatlah penting untuk memberikan pcmahaman dan pengetahuan yang benar dan tepat, termasuk informasi tentang HIV dan AIDS. Pertanyaan tentang pengetahuan HIV dan AIDS pada Riskesdas 2010 masih terbatas pada pertanyaan tentang penularan dan pengetahuan HIV dan AIDS yang
151
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 145 - 154
kemungkinan masih kurang mencakup tentang pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja. Selain itu penggunaan teknik wawancara untuk menggali data pengetahuan HTV dan AIDS kemungkinan terjadi over estimate maupun under estimate (bias pengukuran). Untuk menghindari bias pengukuran pada Riskesdas 2010, wawancara terhadap responden remaja perempuan dilakukan oleh enumerator perempuan, dan wawancara terhadap responden remaja laki-laki dilakukan oleh enumerator laki-laki. Pada penelitian ini menunjukkan persentase pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja dengan katagori kurang masih cukup besar, yaitu 48,9 persen. Persentase remaja yang mampu menjawab dengan benar pengetahuan HIV dan AIDS hanya sebesar 0,3 persen lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian KPA.13 Masih minimnya informasi tentang HIV dan AIDS yang diperoleh menjadi salah satu faktor kurangnya pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Oktarina, dkk. (2009) yang mendapatkan adanya hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan HIV dan AIDS. Responden dengan pendidikan tinggi cenderung tingkat pengetahuannya lebih baik.22 Demikian juga dengan penelitian Hardiningsih (2011) pada siswa SMA kelas XI di Surakarta yang menyimpulkan adanya pengaruh positif pendidikan kesehatan terhadap meningkatnya pengetahuan HIV/AIDS.23 Faktor lainnya terkait pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja adalah keterpaparan majalah, poster, tingkat pengetahuan ayah dan tingkat pengetahuan ibu.23 Menurut Wijaya (2009) bahwa informasi mengenai HIV dan AIDS didapatkan remaja sebagian besar melalui media televisi dan radio hanya sebesar 33,3 persen. Pengetahuan yang bcnar dan tepat tentang HIV dan AIDS menjadi salah satu poin penting dalam upaya menghindari penularan HIV, walaupun pengetahuan yang baik yang dimiliki oleh reponden ternyata tidak menjamin bahwa responden tidak melakukan kegiatan yang berisiko terinfeksi HIV. Penelitian kuantitatif KPAI (2010) dengan metode survai yang berbasis website
152
terhadap 2075 pengguna internet berusia lebih atau sama dengan 15 tahun dan berada di Indonesia menunjukkan bahwa dengan pengetahuan HIV/AIDS yang tinggi (88% pada laki-laki dan 86% pada perempuan), masih sekitar 1 dari 4 responden melakukan hubungan seks dengan pacar dan kurang dari 5 persen yang pernah melakukan hubungan seksual komersial. Ditambah lagi dengan penggunaan kondom yang masih kurang dari 20 persen pada hubungan seksual terakhir. Sedangkan perilaku penggunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (Napza) jauh lebih kecil dibandingkan dengan perilaku seksual remaja.26 Khan (2006) merekomendasikan beberapa upaya pencegahan HIV dan AIDS sebagai berikut: peningkatan pengetahuan tentang HIV dan AIDS, program perubahan perilaku khususnya pada remaja yang berisiko HIV dan pada orang yang terinfeksi AIDS, promosi penggunaan kondom pada laki-laki maupun wanita, tes HIV dan AIDS secara sukarela, pencegahan pada wanita hamil, pencegahan penularan dari ibu ke anak, bahaya penggunaan jarum suntik bersama, pendidikan masyarakat, perubahan dalam bidang hukum dan kebijakan untuk melawan stigma, peningkatan ekonomi masyarakat.27 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja dengan katagori baik diketahui sebesar 51,1 persen, sedangkan remaja dengan pengetahuan HIV dan AIDS kurang sebesar 48,9 persen. Persentase remaja yang mampu menjawab dengan benar pengetahuan HIV dan AIDS hanya sebesar 0,3 persen. 2. Pengetahuan HIV dan AIDS pada remaja di perkotaan cenderung lebih baik dibandingkan di perdesaan. 3. Menurut tingkat pendidikan didapatkan bahwa pengetahuan HIV dan AIDS cenderung lebih baik pada remaja dengan pendidikan di atas SMP. Saran 1. Diperlukan upaya penyebaran informasi mengenai HIV dan AIDS secara komprehensif oleh intitusi pemerintah
Pengetahuan HIV dan AIDS Pada Remaja...( Sudikno, Bona & Siswanto)
maupun lembaga swadaya masyarakat, baik melalui media cetak maupun elektronik. 2. Kegiatan promosi pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS melalui sekolah atau institusi pendidikan dengan melibatkan guru maupun siswa. Upaya memasukkan pengetahuan HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi menjadi program ekstrakurikuler di sekolah atau bahkan menjadi salah satu mata pelajaran sekolah bisa menjadi program pencegahan alternatif. 3. Secara khusus, dibutuhkan peran serta orang tua, keluarga, lingkungan dan tenaga kesehatan. Peran tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan penyuluhan-penyuluhan pada semua lapisan masyarakat umumnya dan kalangan remaja khususnya di perdesaaan.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbangkes dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan analisis lanjut data Riskesdas 2010. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada tim manajemen data pusat yang telah membantu dalam penggabungan data dan variabel, sehingga memudahkan dalam melakukan analisis.
12. 13.
14.
15. 16.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
Marx, J. L. (1982). "New disease baffles medical community".Science 217 (4560): 618621.PubMed. Divisions of HIV/AIDS Prevention (2003). "HIV and Its Transmission". Centers for Disease Control & Prevention Diunduh dari id.wikipedia.org/wiki/AIDS. San Francisco AIDS Foundation (2006-0414). "How HIV is spread". Diunduh dari id.wikipedia.org/wiki/AIDS. Holmes, C. B., Losina, E., Walcnsky, R. P., Yazdanpanah, Y., Freedberg, K. A. (2003). "Review of human immunodeficiency virus type 1-related opportunistic infections in sub-Saharan Infect. Dis. 36 (5): 656Africa". Clin. 662. PubMed. Guss, D. A. (1994). "The acquired immune deficiency syndrome: an overview for the emergency physician, Part \".J. Emerg. Med.12 (3): 375-384. PubMed.
17. 18.
19.
20.
21. 22.
23.
Guss, D. A. (1994). "The acquired immune deficiency syndrome: an overview for the emergency physician, Part 2". J. Emerg. Med.U (4): 491^197. PubMed. Boshoff, C. and Weiss, R (2002). "AIDS-related malignancies''..^?. Rev. Cancer 2 (5): 373382. PubMed. Yarchoan, R., Tosatom G. and Littlem R. F. (2005). "Therapy insight: AIDS-related malignancies — the influence of antiviral therapy on pathogenesis and management". Nat. Clin. Pract. Oncol. 2 (8): 406-415. PubMed. Bonnet, F., Lewden, C., May, T., Heripret, L., Jougla, E., Bevilacqua, S., Costagliola, D., Salmon, D., Chene, G. and Morlat, P. (2004). "Malignancy-related causes of death in human immunodeficiency virus-infected patients in the era of highly active antiretroviral therapy. Cancer 101 (2): 317-324. PubMed. UNAIDS (2006). "Overview of the global AIDS epidemic" (PDF). 2006 Report on the global AIDS epidemic. Diunduh dari id. wikipedia. org/wiki/AIDS. Palella, F. J. Jr, Delaney, K. M., Moorman, A. C., Loveless, M. 0., Fuhrer, J., Satten, G. A., Aschman and D. J., Holmberg, S. D. (1998). "Declining morbidity and mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. HIV Outpatient Study Investigators". N. Engl. J. Ate-,/338 (13): 853860. PubMed. Secretariat KPA Nasional. Laporan Komisi Penanggulangan AIDS 2007. Jakarta. 2007. Komisi Penanggulangan AIDS. Pemahaman Remaja tentang HIV/AIDS. www.aidsindonesia.or.id. 2 Februari 2011. Ditjen PPM dan PL Kemenkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, Laporan Trinitlan IV tahun 2010. Ditjen PPM & PL Depkes RI, JakartaIndonesia. 2010 BKKBN. Laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta. 2003. BKKBN. Laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta. 2007. Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007. Jakarta. 2008. Suryoputro, A., dkk. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah: Inplikasinya terhadap Kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Makara Kesehatan. 2006. 10 (1): 30 Sucipto, Adi (2007) Hubitngan Pengetahuan HIV/ AIDS dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja. Undergraduate thesis, Diponegoro University. Skripsi. Schiavo, Renata. Health Communication: from theory to practice, San Fransisco: John Wiley & Sons. Inc. 2007. http://www.bps.go.id/aboutus.phpsp-l. Sensus penduduk Indonesia 2010. Oktarina, dkk. Hubungan antara Karakteristik Responden, Keadaan Wilayah dengan Pengetahuan, Sikap terhadap HIV/AIDS pada Masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistim Kesehatan. Vol 12 (4):362-369. Oktober2009. Hardiningsih. 2011. Tesis: Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan dan Sikap
153
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 145 -154
Dalam Rangka Pencegahan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) Pada Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Surakarta. UNS. 24. Herlina. Tesis. Hubungan antara keterpaparan media komunikasi massa dengan pengetahuan remaja tentang HIV AIDS di SMUN 2 Sinjai dan SMUN Sinjai Selatan Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan tahim 2000. 2001. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. 25. Cindy Wijaya. Skripsi: Tingkat pengetahuan dan sikap remaja dalam mencegah HIV/AIDS di SMA
154
Santo Thomas 1 Medan. Fakultas Kedokteran. 2009. Universitas Sumatera Utara, Medan. 26. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Laporan penelitian: Survai Pengetahuan Dan Perilaku Terkait HIV-AIDS Melalui Websurvey Bagi Pengguna Internet di Indonesia (Upaya untuk mengembangkan program penanggulangan AIDS berbasis web untuk populasi usia muda). Jakarta: Yayasan AIDsina. 2010. 27. Hamzullah Khan, Laetitia J King, Akber Khan Afridi. Review article: Comprehensive HIV/AIDS prevention: focus on youth under threat. Journal of Pakistan Association of Dermatologists. 2006; 16:39-45.
SEKS PRANIKAH SEBAGAI PEMENUHAN HAK REPRODUKSIMAHASISWA DIKOTA SEMARANG
Pre Marriage Sexual Intercourse As Student's Human Right In Semarang Kismi Mubarokah1, Zahroh Shaluhiyah2, Bagoes Widjanarko2 'Fakultas Kesehatan, Universitas Dian Nusvvantoro, Jl. Nakula No. 5-11 Semarang 50131 2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Tembalang 50239, Semarang Email :
[email protected]
Abstract Background: The percentage of intercourse among university students in Semarang city are increase year by year. The occurred of premarital sex was influence by sexual attitude that representation by 3 components such as label for premarital sexual behavior and rules of applications; evaluation summary about premarital sexual behavior; and supportive knowledge structure toward evaluating process. Objective: The objective of this study was to knowing about the cognitive process of premarital sexual behavior in Semarang. Methode: The explorative study used qualitative approach. There were 10 university students joined in depth intei-view. Result: Premarital sexual behavior is still continuing and it's become a latent behavior. It's because of e few causation, such as misinterpretation that premarital sex is a part of reproductive rights fulfillment, sexual harassment in the first experience and sexual satisfaction experience feeling that finally become addictive. Conclusion: interpretation of reproductive rights are not exactly lead to risky sexual behavior. Keyword: social cognitive, premarital sexual, reproductive right
Abstrak Latar Belakang: Persentase mahasiswa yang melakukan seks pranikah di Kota Semarang meningkat dari tahun ke tahun. Munculnya perilaku seks pranikah dipengamhi sikap seksual yang merupakan representasi 3 komponen yaitu labelling tentang perilaku seksual pranikah dan aturan untuk melakukannya, penilaian terhadap seks pranikah serta struktur pengetahuan yang mendukung penilaian terhadap seks pranikah. Tujuan: Untuk mengetahui proses kognitif terbentuknya perilaku seks pranikah di Kota Semarang. Metode: Studi eksploratif ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam terhadap 10 mahasiswa di Kota Semarang yang pernah melakukan seks pranikah. Hasil: Perilaku seks pranikah menjadi terus menerus dilakukan informan dan menjadi laten karena beberapa sebab diantaranya; adanya penafsiran yang tidak tepat bahwa seks pranikah merupakan pemenuhan hak reproduksi; pengalaman pernah mengalami pelecehan seksual; dan pengalaman merasakan kepuasan seksual yang akhirnya menjadi adiktif. Kesimpulan: Penafsiran hak reproduksi yang tidak tepat berakibat kepada perilaku seksual yang beresiko. Kata kunci: kognisi sosial, seks pranikah, hak reproduksi
PENDAHULUAN Perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. (Imron, 2000) Perilaku seks pranikah berisiko terhadap tindakan yang tidak bertanggungjawab seperti unsafe abortion. (Anonimous, 1992) Untuk Asia Tenggara,
WHO memperkirakan sebanyak 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya. Pengguguran kandungan di Indonesia jumlahnya sangat tinggi. Sebanyak 750 ribu hingga 1,5 juta aborsi terjadi dan 2.500 diantaranya berakhir dengan kematian. Menurut data Depkes RI, keguguran di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 17,8 %. (Depkes, 1999).
155
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus2011 : 155-165
Penelitian yang telah dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Lampung menyebutkan bahwa dari 8084 informan, 12% bersikap setuju dengan seks pranikah yang dilakukan oleh pasangan yang sudah berkomitmen untuk menikah. (Sidney dan Sulistinah, 1999) Penelitian lain yang mendukung sikap permisif terhadap seks pranikah adalah survey di empat provinsi, terdapat 2,2% informan setuju bila laki-laki melakukan seks pranikah. (LDFEUI dan NFPCB, 1999) Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanyakan sikap mereka terhadap perempuan yang melakukan seks pranikah. Jika seks pranikah dilakukan antara dua orang yang saling mencintai, maka informan yang setuju menjadi 8,6%. Sedangkan jika mereka berencana untuk menikah, informan yang setuju bertambah menjadi 12,5%. (LDFEUI dan NFPCB, 1999). Studi lain menyebutkan bahwa di Kota Pekalongan persentase remaja laki-laki yang melakukan seks pranikah lebih besar (18,6%) dibandingkan perempuan (5,8%). (Musthofa BS dan Winarni P, 2010). Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah ini diantaranya umur, jenis kelamin, religiusitas, sikap permisif terhadap seksualitas, efikasi diri, akses media pornografi dan kontrol orang tua. (Musthofa BS dan Winarni P, 2010) Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kota Semarang. Berdasarkan survey yang dilakukan PILAR PKBI Jawa Tengah terhadap 1000 mahasiswa di Kota Semarang, terdapat peningkatan persentase perilaku seksual pranikah. (YC PILAR PKBI Jateng, 2008) Pada tahun 2002 terdapat 7,6% mahasiswa yang melakukan seks pranikah. Dua tahun kemudian, persentase meningkat menjadi 9,8% mahasiswa yang melakukan seks pranikah. Data konseling di PILAR juga menunjukkan bahwa hingga tahun 2008 dari 7810 mitra konseling ditemukan kasus seks pranikah sebanyak 671 kasus (8,6%). Mitra konseling terbanyak berada pada usia 20-24 tahun dengan tingkat pendidikan terbanyak di perguruan tinggi. (YC PILAR PKBI Jateng, 2008) Mahasiswa cenderung mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih baik karena tingkat pendidikan yang tinggi. Namun demikian hak-hak yang berkaitan dengan organ
156
reproduksi ini tidak difahami dengan benar. Setiap remaja berhak untuk mendapatkan kesehatan seksual dan reproduksi yang terbaik serta mendapatkan pelayanan dan informasi yang tepat. (PKBI, UGM dan Ford Foundation, 1995) Dengan dimilikinya pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi, maka remaja bisa mengelola kesehatan reproduksi dan seksualnya secara lebih bertanggungjawab. Perilaku Munculnya suatu perilaku seksual pranikah dipengaruhi oleh sikap seksual seseorang dimana sikap ini merupakan representasi dari 3 komponen proses yaitu labelling/ penafsiran tentang perilaku seksual pranikah dan aturan untuk melakukannya, penilaian terhadap seks pranikah serta struktur pengetahuan yang mendukung penilaian terhadap seks pranikah. (Bandura, 1977) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku seksual pranikah dan proses kognitif terbentuknya sikap terhadap perilaku seks pranikah pada kalangan mahasiswa pelaku seks pranikah di Kota Semarang. METODE Penelitian eksploratif ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menitikberatkan pada permasalahan bagaimana gambaran perilaku seksual pranikah pada kalangan mahasiswa dan proses kognitif terbentuknya sikap terhadap perilaku seks pranikah. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas dan Perguruan Tinggi di Kota Semarang dengan kriteria mahasiswa yang pernah melakukan Cara sexual intercourse pranikah. pengambilan data dilakukan secara snowballing/ teknik bola salju, sehingga informan yang terpilih tidak ditentukan dari universitas/ PT tertentu, melainkan mengikuti alur bola salju dari informan pertama. Penentuan informan pertama diperoleh dari infromasi key person yang mempunyai teman yang pernah melakukan seks pranikah. Key person ini digunakan untuk membuka akses peneliti kepada informan pertama. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa pelaku seks pranikah di Kota Semarang. Pengambilan data kualitatif diperoleh dengan metode indepth interview dimana identitas informan tidak dipublikasikan. Penelitian ini menggunakan variabel-variabel yang tersusun dalam teori Social Cognitive
Seks Pranikah Sebagai Pemenuhan Hak...( Kismi, Zahroh, Bagoes)
dari Albert Bandura. (Bandura, 1986) Adapun variabel yang diambil dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam komponen-komponen sebagai berikut: Variabel Sikap : terbentuk dari representasi 3 komponen, pertama labelling informan tentang seks pranikah dan aturan untuk melakukannya, kedua penilaian informan terhadap perilaku seks pranikah, ketiga pengetahuan terstruktur yang mendukung penilaian informan terhadap perilaku seks pranikah. Komponen labelling informan tentang seks pranikah : Merupakan penafsiran/ pemberian label informan mengenai perilaku seksual berisiko/ perilaku seks pra nikah terhadap risiko KTD, IMS, dan HIV&AIDS sesuai dengan pengertian yang terdapat di dalam sistem memori informan. Komponen ini berisi pertanyaan tentang bagaimana pelabelan informan tentang perilaku kissing, petting, sexual intercourse, oral sex dan anal sex. Komponen aturan untuk melakukan perilaku seks pranikah : Merupakan aturan, kaidah, atau nilai yang dianut informan baik terhadap dirinya maupun orang lain untuk melakukan perilaku seksual berisiko. Pada komponen ini meliputi pertanyan tentang aturan peer group terkait dengan trend pacaran, aturan dan sikap orang tua, serta standard seksual yang dianut informan (aturan diri). Komponen penilaian ringkas informan tentang perilaku seks pranikah : Merupakan penilaian singkat dari informan tentang perilaku seksual remaja bila direfleksikan kepada diri informan yang merupakan hasil
dari evaluasi sistem memori informan (evaluation summary). Jawaban mengarah pada salah atau benar, positif atau negatif perilaku itu dilakukan menurut sudut pandang informan sendiri. Komponen pengetahuan terstruktur yang mendukung penilaian : Merupakan informasi atau alasan yang terstruktur atau berurutan dan mendukung responden untuk melakukan penilaian terhadap objek, baik berdasarkan pengalaman seksual teman maupun pengaruh media massa. Masing-masing jawaban atas pertanyaan tersebut dilanjutkan dengan memberikan indepth questions kepada informan dengan kata tanya mengapa dan bagaimana informan bisa mendapatkan penafsiran tersebut hingga mendalam. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti kepada informan setelah beberapa kali pertemuan dan telah terbina rapport. Data yang terkumpul dari 10 informan yang telah memenuhi kriteria dan bersedia menjadi infoman dari universitas/ PT yang berbeda kemudian dianalisa menggunakan content analysis. Untuk validitas data kualitatif, dilakukan trianggulasi teori dengan cara membandingkan hasil penelitian dengan teori dan hasil penelitian lain yang sejenis. Waktu pengambilan data berlangsung mulai bulan September sampai dengan Desember 2008. ALUR PIKIR PENELITIAN Alur pikir penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.1. sebagai berikut.
Komponen Sikap Representasi struktw dalam memori Labelling tentang seks pranikah dan aturan untuk melakukannya Penilaian ringkas tentang seks pranikah Pengetahuan terstruktur yang mendukung penilaian
Perilaku seks pranikah (Premarital Sexual Intercourse)
±
Karakteristik Informan Gambar 1.1. Social Cognitive Theory dari Albert Bandura
157
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 155-165
Pada bagan di atas digambarkan bahwa perilaku seks pranikah dipengaruhi oleh sikap individu tentang seks pranikah. Sedangkan sikap terhadap seks pranikah dibentuk oleh sistem kognitif dalam memori individu yang berisi tiga komponen yakni, label tentang seks pranikah dan aturan untuk melakukan seks pranikah, evaluasi di dalam memori tentang seks pranikah, dan struktur pengetahuan yang mendukung sikap tentang seks pranikah. (Graeff, 1993) Struktur pengetahuan ini bisa berasal dari pengalaman individu atau lingkungan sosialnya. Masingmasing komponen akan membentuk sikap individu dan selanjutnya akan mengarahkan kepada terbentuknya perilaku seks pranikah. HASIL Karakteristik Informal! Sebagian besar informan berusia 21 tahun dengan rentang usia termuda 19 tahun hingga tertua 28 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan metode bola salju sehingga jenis kelamin dan orientasi seksual informan diperoleh berdasarkan konsekuensi atas proses snowballing yang dilakukan. Informan terdiri atas 7 orang informan laki-laki (2 diantaranya homoseksual) dan 3 orang informan perempuan. Rata-rata informan laki-laki berhubungan seksual pertama kali pada usia 22 tahun, informan perempuan pada usia 18 tahun, sedangkan informan gay 16 tahun. Umur pasangan seksualnya pun tidak jauh berbeda dengan umur informan karena sebagian besar menyukai pasangan dengan umur sebaya. Tempat yang dipilih informan untuk berhubungan seksual adalah tempat pribadi dan jauh dari jangkauan orang tua dan teman sebaya. Meski demikian, juga terdapat informan yang berhubungan seksual di rumah saat orang tuanya bepergian. Berikut petikan jawaban salah satu informan. "Rumah cewekku, Ya di kamarnya, kamar bapak ibunya, ruang tamu... ya karena lebih nyaman. Pernah hampir ketahuan tapi ga jadi karena aku langsung masuk kamar mandi... (Informan 1,laki-laki, 21 th) Media informasi sebagian besar informan berasal dari majalah dcwasa/ remaja. Baik pada informan laki-laki heteroseksual maupun homoseksual, keduanya paling suka
158
melihat objek yang dianggap cantik dan berpakaian terbuka. Perbedaannya adalah bila informan laki-laki heteroseksual lebih menyukai objek perempuan yang berpakaian terbuka, sedangkan homoseksual lebih menyukai objek pria berotot (maskuliri). Berbeda dengan informan perempuan, mereka lebih menyukai rubrik diskusi bertema kesehatan reproduksi dan konsultasi seputar remaja. Seluruh informan pernah mendapatkan informasi tentang HIV dan AIDS paling banyak dari media elektronik seperti televisi, radio, dan internet. Hak reproduksi remaja adalah hak yang melekat pada setiap remaja, tanpa membedakan orientasi seksualnya baik heteroseksual atau homoseksual. Perbedaannya terletak pada risiko yang didapatkan atas perilaku yang dilakukan. Salah satu hak reproduksi remaja adalah bahwa setiap remaja berhak dan menggunakan organ reproduksi seksualnya dengan bertanggungjawab.(ICPD, 1994) Bila kelompok heteroseksual mempunyai hak untuk menjaga organ reproduksi dan seksualnya dari risiko KTD, IMS dan HIV&AIDS, sedangkan pada homoseksual (dalam hal ini gay) tidak terdapat risiko KTD, hanya IMS, HIV dan AIDS. Sikap terhadap Perilaku Seksual Pranikah Tidak terdapat perbedaan berarti mengenai sikap tentang perilaku seksual pranikah laki-laki maupun antara informan perempuan. Homoseksual lebih mempunyai sikap setuju terhadap hubungan seks pranikah daripada heteroseksual. Sikap mendukung ini muncul karena tidak adanya risiko KTD pada kelompok informan homoseksual. Meski demikian tetap ada sebagian informan heteroseksual yang juga setuju terhadap hubungan seks pranikah. Menurut informan heteroseksual, hal ini disebabkan oleh adanya inisiasi/ajakan dari pasangan terlebih dahulu sehingga membuka kesempatan untuk mencoba perilaku seks pranikah. Berikut ini contoh petikan jawaban informan heteroseksual. "...dulu pertamanya kan cewekku yang ngajak, memang ga lisan, tapi pake kode... nanti kalau ga dituniti, aku pura-pura ga tau, dianya marah, terns aku dicuekin..., ya sudah...kesempatan, enak, kenapa tidak..." (Informan 2 Laki-laki, 22 th)
Seks Pranikah Sebagai Pemenuhan Hak...( Kisnii, Zahroh, Bagoes)
Labelling terhadap Perilaku Seks Pranikah Seluruh informan menafsirkan perilaku kissing dan petting sebagai perilaku yang wajar atau biasa dilakukan dalam sebuah hubungan dekat. Perilaku berciuman sudah dianggap oleh semua informan sebagai perilaku yang wajar dilakukan dalam sebuah hubungan dekat (close relationship). Menurut sebagian kecil informan, perilaku ciuman saat ini sudah banyak dilakukan bahkan di tempat terbuka, seperti di taman, di kolam renang, di televisi atau di atas kendaraan bermotor. Menurut informan perilaku ini dilakukan karena tidak mempunyai risiko untuk terjadi KTD. Berikut pendapat beberapa informan terkait perilaku kissing. "Ciuman... biasa aja kok buat saya. Kalau ciuman buat saya ga masalah asal ga dilakukan di depan umum..." (Informan 8, Gay, 19 th) "... minum sperma aja ga bisa hamil, apalagi kalau cuma ciuman, ga mungkin banget...." (Informan 9, Perempuan, 21 th) Namun demikian, sebagian kecil informan yang lain menganggap perilaku berciuman berisiko terhadap keberlanjutan perilaku seks yang lebih dalam lagi. Sebagian kecil dari informan memandang berciuman bibir (french kiss) lebih berisiko berlanjut pada terjadinya intercourse dibandingkan dengan berciuman pipi (dry kiss). Pada informan heteroseksual, lebih dari separuh informan menafsirkan intercourse sebagai suatu kesalahan dan perilaku yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan pada informan homoseksual melabelkan intercourse sebagai pemenuhan hak reproduksinya. Status gay yang melekat dan perilaku seks bebas pada kelompok penyuka sejenis ini menjadikan stigma ganda (double burden) di masyarakat. Informan heteroseksual lebih memandang seks pranikah sebagai perilaku terlarang karena meyakini adanya risiko atau konsekuensi negatif atas dilakukannya perilaku tersebut, yaitu KTD, IMS, dan HIV&AIDS. Sedangkan informan homoseksual lebih memandang seks pranikah sebagai pemenuhan hak reproduksi. Menurutnya, seks pranikah bisa dilakukan tidak harus
menikah terlebih dahulu karena tidak adanya legalitas pernikahan sesama jenis. Terdapat sebagian kecil informan heteroseksual yang berpendapat sama dengan pendapat informan homoseksual tersebut yaitu menganggap perilaku seks pranikah sebagai pemenuhan hak reproduksinya. Menurutnya, perilaku seks pranikah dikatakan salah bila dilakukan di tempat umum karena akan mengganggu orang lain. "Itu hak reproduksi Iho. Misal aku terlalu cuek... aku ngeseks di sini... banyak orang lalu lalang, itu kan ga bener. Tapi selama kamu punya duit, man di hotel di rumah cowoke atau di kos gitu... its Okay, so far so good. Yangpentingjangan mengganggu orang-orang sekitar, Tetapi kalau Lho kok ngesex disini... itu kan mengganggu orang, mengganggu penglihatan, mengganggu keinginan, mengganggu semuanya. Itu yang ndak bener, salah... itu ndak bener. (Informan 9, Perempuan, 21 th) Bagi sebagian kecil informan, pernikahan bukanlah sesuatu yang penting dan diharapkan. Mereka sudah memperoleh hak reproduksinya bahkan jauh sebelum menikah. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tidak memberikan dampak yang positif bagi kehidupannya. Sisi negatif yang akan diperoleh setelah menikah, menurutnya adalah aktivitas sosial yang dianggapnya sebagai beban atas tanggungjawab berat dalam kehidupan berumah tangga, misalnya PKK, kerja bakti, arisan, dan aktivitas sosial lainnya. Labelling sebagian besar informan heteroseksual terhadap perilaku oral sex dan anal sex sebagai perilaku yang tidak wajar dan menjijikkan untuk dilakukan dengan pasangan. Hal ini disebabkan karena anal sex melibatkan organ dubur yang merupakan jalan keluar kotoran manusia. Sedangkan sebagian kecil lainnya beralasan karena anal sex bertentangan dengan aturan agama dan mempunyai risiko terinfcksi HIV. Sebagian kecil informan heteroseksual lebih cenderung setuju untuk melakukan oral sex dibandingkan dengan anal sex. Sedangkan seluruh informan homoseksual setuju dan menganggap oral sex dan anal sex sebagai altcrnatif perilaku scksual hubungan sesama jenis. Hal ini jelas karena pasangan 159
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 155-165
homoseksual/ gay tidak bisa melakukan hubungan seksual per vaginal karena keduanya hanya mempunyai organ seksual penis. Aturan melakukan Perilaku Seks Pranikah Kelompok informan laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhawatiran untuk terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki akibat dari perilaku seksualnya. Terdapat juga sebagian kecil informan yang khawatir terinfeksi HIV dan AIDS. Kedua kelompok ini menginginkan hubungan seksual yang aman dari konsekuensi yang merugikan mereka. Berikut salah satu petikan informan. "Yang penting aman, yang udah punya istri tidak mengganggu rurnah tangga mereka. Tapi buat aku yang penting savety, akujuga test HIV, tiap 3 bulan kan, apa yang salah... " (Informan 9, Perempuan, 21 th) Berbeda dengan kelompok informan homoseksual, mereka tidak mempunyai ketakutan untuk terjadi kehamilan. Kelompok informan gay lebih berhati-hati dengan status hubungan yang mereka telah jalin. Selain itu kelompok informan gay juga menghindari adanya perasaan kecewa dan sakit hati dari pasangannya. Informan homoseksual lebih mempunyai standard relational daripada kelompok heteroseksual. Standard relational menjelaskan bahwa hubungan seksual boleh dilakukan karena merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan rasa cinta dan kasih sayang dan merupakan cara untuk meningkatkan keintiman dalam suatu hubungan. (Sprecher, 1993) Pada kelompok heteroseksual masih ada beberapa informan laki-laki dan perempuan yang mempunyai standard recreasional. Standard ini mengatakan bahwa hubungan seksual dapat menjadi salah satu cara untuk mendapatkan kesenangan dan kenyamanan, (Sprecher, 1993) Hal mi lebih karena homoseksual mempunyai keterikatan emosi dan keterlibatan perasaan cinta/ romantism lebih tinggi daripada kelompok heteroseksual. Aturan orang tua dalam memandang perilaku scks anaknya menurut sebagian bcsar informan, melarang anaknya melakukan perilaku seks pranikah. Sebagian besar 160
informan mempunyai orang tua yang melarang anaknya melakukan hubungan seks pranikah karena bertentangan dengan agama yang mereka anut. Selain itu perilaku seks pranikah dapat berdampak pada terjadinya KTD. Orang tua sebagian besar informan merasa malu dan mempunyai aib jika anaknya sampai mengalami KTD. Meski demikian, terdapat sebagian kecil informan yang mempunyai orang tua tidak melarang bila anaknya melakukan perilaku seks pranikah. Orang tua informan ini mempersyaratkan bahwa anaknya diperbolehkan berhubungan seksual asalkan tidak sampai menimbulkan KTD pada pasangannya. Hal ini disebabkan karena hubungan komunikasi antara sebagian kecil informan dengan orang tuanya terbatas. Komunikasi yang terbatas ini disebabkan informan sejak kecil tinggal bersama dengan neneknya. Sehingga pengawasan dari orang tua ke anak pun menjadi terbatas. Berikut petikan jawaban informan tersebut. ... aku sama orang tua komunikasinya minim banget, jarang sharing, pernah bilang, jangan menghamili anak orang, ya kalau aku pake kondom kan artinya aku sudah rnengikuti nasehatnya... kan gitu...memang kurang dekat sih, dari kecil aku tinggal dengan nenek... " (Informan 1, Laki-laki, 21 th) Penilaian Ringkas tentang Perilaku Seks Pranikah Kelompok informan laki-laki lebih banyak menilai perilaku seksualnya sebagai perilaku yang salah daripada informan perempuan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar informan perempuan pernah mengalami kekerasan dalam pacaran atau pelecehan seksual saat usia muda. Menurut mereka, apa yang mereka lakukan saat ini bukan karena kesalahan dirinya sendiri tetapi akibat kesalahan perlakuan orang lain/ pasangan seksual pada masa lalu saat inisiasi sexual intercourse yang pertama. Sedangkan kelompok informan laki-laki menilai perilaku seksnya sebagai suatu kesalahan karena bertentangan dengan sikapnya yang menentang seks pranikah. Sebagian bcsar informan laki-laki mempunyai keyakinan bahwa perilaku seks pranikah bertentangan dengan norma agama dan sosial meskipun
Seks Pranikah Sebagai Pemenuhan Hak...( Kismi, Zahroh, Bagoes)
perilakunya sendiri berbeda dengan sikapnya. Hal ini disebabkan oleh tingginya dorongan seksual yang dimiliki informan dibandingkan dengan aturan yang informan miliki untuk melakukan perilaku seks pranikah. Berbeda dengan informan heteroseksual, kelompok informan homoseksual tidak menilai perilaku seksualnya sebagai perilaku salah. Menurutnya, hal ini disebabkan karena perilaku seks adalah hak reproduksi seseorang yang harus dipenuhi tanpa harus menikah. Bagi seluruh informan homoseksual pernikahan sesama jenis di Indonesia tidak diakui secara hukum. Seluruh informan homoseksual setuju dengan perilaku seks pranikah selama dilakukan dengan pasangan yang telah berkomitmen. Mereka tidak menyetujui perilaku seks pranikah yang terjadi pada pasangan yang hanya mencari kesenangan seks tanpa ikatan (one night stand). "Aturan ONS (one night stand) juga ada, saya hanya melakukan itu saat soya benerbener ingin melakukannya dengan seseorang yang saya suka... sudah ada ikatan, kita yang buat ikatan sendiri, sudah berkomitmen, barn oke, ... ga yang saya ketemu dia terns langsung gitu... engga" (Informan 8, Gay, 19 th) Supportive Knowledge Structure Seluruh informan memiliki pengalaman pernah berhubungan seks sebelum menikah. Mereka menemukan kepuasan seksual (sexual satisfaction) sehingga perilaku seksualnya masih berlanjut hingga saat pengambilan data dilakukan. Pengalaman seksual teman-teman mereka pun sudah semakin banyak, beragam dan tinggi tingkatannya. Sebagian kecil informan mempunyai perilaku seks pranikah karena kebiasaan yang dimiliki teman-teman dalam kelompoknya yang sudah dianggap sebagai trend/ kebanggaan. Sehingga semakin beragam dan tinggi tingkatan perilaku seksualnya, maka semakin tinggi pengakuan posisinya dalam kelompok. Besarnya pengaruh teman berdampak terhadap semakin latennya perilaku seksual pranikah informan. Berikut pendapat salah satu informan mengenai perilaku seks temannya.
"... ada yang hiper, kalau ga ngelakuin sehari aja tuh ga enak aja. Tents sering ganti pasangan, ... ML sekamar berdua. Double date, ... pengen dapet variasi seks. Hampir semua pernah ML, dan kebanyakan suka jajan, PSK.. ". (Informan 7, Laki-laki, 23 th) Selain teman, media juga sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual informan. Setelah melihat objek yang bertema seksual dan pornografi, biasanya informan kemudian melakukan pemuasan hasrat seksualnya baik dengan diri sendiri maupun dengan pasangan seksualnya. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan seksual yang muncul karena informan menonton tayangan yang bertema seksual. Informan heteroseksual menyukai blue film dimana pelakunya berperan sebagai heteroseksual, sedangkan informan homoseksual menyukai blue film dimana ada adegan anal sex didalamnya. Seluruh informan homoseksual tidak mengkonsumsi film biru dimana terdapat pasangan heteroseksual di dalamnya. Berikut pendapat salah satu informan mengenai perilaku seks temannya. "Kalau media paling bokep, yang binan, atau asal ada cowoknya aja, sukanya cowok Asia, wow... kalau hetero aku ga suka, Hat dada cewek-cewek itu biasa aja, tapi...kalau dada cowok-cowok... Asia pula...baru... yuk... " (Informan 6, Gay, 20 th) PEMBAHASAN Keterbatasan Penelitian Kelemahan studi ini adalah hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan terhadap seluruh mahasiswa yang pernah melakukan seks pranikah di Kota Semarang. Hasil penelitian ini hanya menggambarkan kondisi sosial kognitif 10 orang informan yang terpilih melalui proses snowballing saja. Sehingga informasi yang diperoleh hanya terbatas pada subyek penelitian yang ada. Proses kognisi sosial menuju terjadinya perilaku seks pranikah dalam penelitian ini dapat digambarkan bahwa perilaku ini bcrawal dari adanya unsur pelabellan atau pembcrian simbol terhadap perilaku seks yang dianggap wajar oleh informan. Kemudian terbentuk aturan yang dibuat inf-
161
JurnalKesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 155-165
orman sendiri yang mempersyaratkan bahwa seks pranikah harus dilakukan secara aman (dari IMS, KTD, dan HIV) didukung oleh unsur penilaian yang bersifat permisif. Proses penilaian ini didukung oleh informasi yang diperoleh sebagian besar informan dari TV, Radio, dan internet serta kuatnya motivasi teman dalam kelompok untuk mencapai self esteem yang diakui. Pengalaman pernah mendapatkan kekerasan seksual/pelecehan seksual (pada informan perempuan) dan pengalaman mendapatkan kepuasan seksual (sexual satisfaction) pada informan laki-laki berdampak pada semakin latennya perilaku seks pranikah yang berisiko pada kondisi fisik, mental, sosial yang tidak sehat. Sebagaimana definisi kesehatan reproduksi menurut WHO bahwa kesehatan reproduksi mencakup kejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Karakteristik Informan Tempat yang digunakan seluruh informan untuk berhubungan seks paling banyak dilakukan di tempat kos. Tempat kos lakilaki dipilih karena merupakan tempat yang paling aman karena sebagian besar tidak terdapat penjaga atau pemilik kos. Sama halnya dengan informan perempuan, mereka juga memilih tempat kos teman laki-lakinya untuk berhubungan seks. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan survey LSM Sahara Indonesia terhadap 1000 remaja di Bandung pada tahun 2000-2002, yakni 51,5% di tempat kos; 27,3% di rumah perempuan; 11,2% di hotel; sedangkan 10% nya dilakukan di taman, tempat rekreasi, kampus/ sekolah, dan di mobil.(Majalah Gemari, 2003) Bagi informan heteroseksual, mereka selalu memilih tempat untuk berhubungan seksual di tempat yang tersembunyi karena norma masyarakat yang tidak membenarkan adanya laki-laki dan perempuan berada di kamar atau tempat yang sepi. Informan heteroscksual akan merasa malu dan bersalah bila terlihat berduaan atau terbukti melakukan hubungan seks pranikah. Sedangkan pada informan homoseksual, tidak sulit untuk mencari tempat berhubungan seks. Hal ini dikarenakan tidak 162
adanya kecurigaan masyarakat bila melihat sesama laki-laki berada di kamar atau tempat yang sepi. Masyarakat memandang aktivitas dua laki-laki sesama jenis di tempat tertutup sekalipun masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak lebih dari hubungan teman biasa. Meski demikian, sebagian kecil informan homoseksual merasa kesulitan dalam mencari tempat yang bersifat pribadi untuk melakukan anal sex. Mereka lebih mudah mencari tempat untuk melakukan oral sex karena pada perilaku ini, pasangan gay hanya membuka pakaian lebih sedikit daripada bila melakukan anal sex. Berikut kutipan salah satu informan tersebut. "... biasanya emang ga sekaligus dari oral langsung anal, kadang susah nyari tempat dan waktunya... udah oral ga sempet anal, kalau oral kan cuma dibuka itunya...(bagian celana yang menutupi penis)... " (Informan 6, Gay, 20 th) Pada perilaku oral sex tanpa menggunakan kondom, baik fellatio maupun cunnilingus, berisiko dapat menularkan penyakit seperti Hepatitis, Herpes, bahkan HIV bisa menular dalam kondisi tertentu bila terdapat perlukaan dan salah satu pasangan mengidap penyakit tersebut. Sedangkan anal sex mempunyai risiko lebih besar untuk terkena penyakit menular seksual seperti Condiloma aquminata dan atau HPV (Human Papiloma Virus). Selain itu transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus berisiko lebih mudah karena hanya terdapat membran mukosa rektum yang tip is dan mudah robek dan anus sering terjadi lesi. (Nasronudin, 2007) Permisivitas tentang perilaku seks pranikah ditampakkan sama dengan penelitian Sidney dan Sulistinah, 1999. Penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Lampung ini menghasilkan bahwa 12% dari 8084 informan bersikap scruju dengan perilaku seks pranikah yang dilakukan oleh pasangan yang belum menikah tetapi sudah berkomitmen untuk menikah. Dalam penelitian ini permisivitas terhadap perilaku seks pranikah muncul sebagai akibat dari dinamika kelompok yang berkembang di lingkungan informan. Untuk dapat diterima dalam kelompok mereka maka
Seks Pranikah Sebagai Pemenuhan Hak...( Kisnii, Zahroh, Bagoes)
informan harus mempunyai perilaku yang sama atau bahkan lebih dari mereka. Bila informan sudah dinilai hebat oleh kelompok tersebut, maka self-esteem informan bisa dikatakan baik karena diterima oleh kelompok sosialnya (feeling of belonging) dan merasa dirinya berharga. (Felker, 1998 dalam Sirait, 2002). Menurut badan internasional PBB, informan sedang berada pada usia remaja dan beberapa yang lain sudah menginjak usia dewasa. Pada usia ini informan sedang berintegrasi dengan hak-hak yang dimiliki orang dewasa. Tuntutan terhadap pengakuan hak terbukti dari adanya beberapa informan yang lebih cenderung melakukan hubungan seks pranikah karena alasan hak reproduksi yang dimilikinya. Pada usia ini mereka cenderung mencoba sesuatu hal yang dianggap baru termasuk melakukan perilaku seks berisiko, hak sebagai bentuk pemenuhan reproduksinya. (UNFPA.UNFPA and Adolencents.New York.UNFPA:1997) Hal ini tidak sesuai dengan defmisi hak reproduksi yang telah ditetapkan pada Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan. Hak reproduksi adalah hak-hak dasar setiap pasangan maupun individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab memutuskan jumlah, jarak kelahiran, dan waktu unruk memiliki anak dan mendapatkan informasi serta cara melakukannya, termasuk hak unruk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan juga kesehatan seksual (ICPD, 1994). Pada penelitian ini informan tidak melakukan perilaku seksualnya dengan bertanggungjawab. Mereka melakukan aktivitas seksnya dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom (perilaku seks tidak aman) sehingga tetap membahayakan kesehatan pasangan dan keluarganya. Beberapa informan perempuan tidak mendapatkan hak reproduksinya yaitu hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan reproduksi yang bebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan. Oleh karena beberapa informan mengalami pelecehan seksual yang berakibat pada psikoseksualnya, informan cenderung bersifat apatis dengan dirinya. Mereka terus melakukan perilaku seks berisikonya secara
terus menerus dan akhirnya menjadi rutinitas yang laten. Pengertian yang tidak tepat tentang pemenuhan hak reproduksi menurut informan ini perlu diluruskan agar mereka tidak terlalu lama berhadapan dengan risikorisiko perilaku seks pranikah yang ada. Hak reproduksi yang dimaksud oleh lebih dari separuh informan ini lebih dimaksudkan kepada hak seksual. Hak-hak seksual adalah hak asasi manusia yang berkaitan dengan seksualitas. (IPPF, 1995) Pada penelitian ini, informan yang menganggap perilaku seksualnya sebagai pemenuhan hak reproduksinya sebenarnya mereka sedang memenuhi hak seksualnya. Seperti yang dikutip dalam 10 hak seksual dalam piagam IPPF tentang hak seksual dan reproduksi, bahwa semua orang memiliki hak untuk mengeksplorasi seksualitasnya, hak untuk mendapatkan impian dan fantasi yang terbebas dari rasa takut, malu, bersalah, kepercayaan yang salah, dan kesulitan lainnya dalam kebebasan mengekspresikan keinginan mereka dengan memperhatikan hak - hak lainnya. Sedangkan hak reproduksi terkait dengan fungsi organ reproduksi diantaranya hak untuk menentukan penjarakan anak, jumlah anak, dan menentukan waktu melahirkan anak-anak secara bertanggung jawab. Namun demikian hak-hak seksual ini belum diadopsi oleh Indonesia sebagai hak asasi manusia karena terdapat beberapa pertentangan dengan norma dan budaya timur yang berlaku di negeri ini. Faktor lain yang menyebabkan seks pranikah di kalangan remaja yang juga ditemukan dalam penelitian ini yaitu suasana komunikasi rumah tangga yang tidak baik antara orang tua dan anak usia remaja; pergaulan remaja yang semakin bebas; sekolah yang semakin kompetitif; suasana lingkungan yang kurang peduli; dan kemudahan akses media massa. Kemudahan akses terhadap media yang bertema pornografi ini tampak pada sebagian besar informan yang bisa mereka peroleh dari internet dan teman informan. Sedangkan sebagian kecil terpapar media yang bertema pornografi justru berasal dari keluarganya. Sebagian kecil informan ini bisa dengan mudah menyaksikan film dewasa dari koleksi
163
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 155-165
film orang tuanya sendiri yang tidak tersimpan dengan aman dari jangkauan anaknya. Sebagian kecil yang lain mengakses media bertema pornografi dari novel-novel dewasa yang dimiliki oleh pamannya dan dibiarkan bebas terjangkau, tidak tersimpan sebagai buku bacaan pribadi dewasa. Berikut ini salah satu petikan jawaban informan. ... SMP aku nonton bokep itu bawa kepingan... dari .... kalau bokep itu dari ibuku, dari lemari, aku ambil sendiri. Filmnya kayak apa... covernya kayaknya kok bagus, gambarnya menarik... wuah bagus banget ternyata, bokepnya semi, ga kelihatan kelaminnya... " (Informan 3, Laki-laki, 22 th) Menurut Delamater yang dikutip oleh Sprecher dalam bukunya Sexuality menjelaskan bahwa standart orang tua cenderung berpengaruh menjadi lebih konservatif sedangkan standart teman berpengaruh menjadi lebih liberal. (Sprecher, 1993) Hal ini berarti bahwa keluarga yang menjadi tempat pertama bagi anak untuk mengenali nilai-nilai yang ada di masyarakat maka peran orang tua menjadi sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian anak. Hal ini disebabkan karena orang tua merupakan referensi pertama pagi anak dalam melakukan tindakan tertentu, termasuk tindakan yang berkaitan dengan perilaku seksualnya. Menurut Gunarsa, berbagai macam faktor yang berpengaruh pada kenakalan remaja, yaitu faktor keluarga seperti kedekatan hubungan orang rua-anak, gaya pengasuhan orang tua, pola disiplin orang tua, serta pola komunikasi dalam keluarga. Selain itu faktor lain di luar keluarga seperti hubungan dengan kelompok bermain atau 'peer group', ketersediaan berbagai sarana seperti gedung bioskop, diskotik, tempat-tempat hiburan, televisi, VCD, internet, akses kepada obatobat terlarang dan buku-buku porno serta minuman beralkohol. (Gunarsa, 1995). reproduksi remaja dan Kesehatan penanggulangan masalah HIV dan AIDS menjadi isu yang penting karena berimplikasi pada pembangunan nasional yang sekaligus perlu diupayakan untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun2015.
164
KESIMPULAN DAN SARAN Permisivitas perilaku seks pranikah terbentuk karena adanya interaksi unsur-unsur dalam sistem kognisi dengan lingkungan sosialnya. Penafsiran tentang melakukan hubungan seksual merupakan pemenuhan hak reproduksi setiap individu menjadi kurang tepat karena hak reproduksi yang sebenarnya lebih kepada menjaga organ reproduksinya dan berhak menggunakannya secara aman sesuai dengan fungsinya untuk berreproduksi. Perilaku seks pranikah informan lebih sebagai pemenuhan hak seksual yang tidak diimbangi dengan kepatuhan untuk mengikuti aturan yang berlaku di masyarakat Indonesia. Selain itu, pemenuhan hak seksual yang menjadi alasan sebagian informan dalam penelitian ini, mengabaikan pengetahuan yang harus dimiliki dalam rangka melindungi dirinya dari risiko penyakit menular seksual dan KTD. Penafsiran hak reproduksi yang tidak tepat, pengalaman seksual pertama yang tidak menyenangkan dan atau pengalaman kepuasan seksual yang dirasakan setelah munculnya perilaku, berakibat kepada keberlanjutan untuk melakukan perilaku seks yang berisiko terhadap IMS, KTD dan HIV/AIDS. Edukasi terus menerus pada kelompok remaja mengenai hakikat hak reproduksi remaja baik oleh pemerintah maupun civil society menjadi sangat penting untuk memutus mata rantai penularan. Keluarga dan teman berperan penting dalam pengawasan dan pembentukan persepsi awal tentang seksualitas agar remaja terhindar dari pengalaman seksual pertama yang merugikan dan tidak tepat waktu. Selain itu pengajar memiliki peranan yang kuat dalam menumbuhkan sikap hingga kepada perilaku, karena pengajarlah yang berkomunikasi langsung dan sekaligus merupakan referensi bagi mahasiswa. Variasi model belajar dan keragaman sumber informasi menjadikan mahasiswa mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan yang sesuai dengan analisa nilai-nilai yang bermanfaat bagi hidupnya. Sehingga keputusan yang diambil terkait dengan perilaku seksualnya menjadi bisa lebih bertanggungjawab bagi kehidupan pribadi maupun sosial.
Seks Pranikah Sebagai Pemenuhan Hak...( Kisnii, Zahroh, Bagoes)
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Mendiknas atas dukungan pembiayaan melalui Program Beasiswa Unggulan hingga tahun 2008. Juga disampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Promosi Kesehatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang dan Prof.dr. Budi Utomo atas bimbingan penulisan.
9.
10.
11.
12.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Imron, Irawati. Perkembangan Seksualitas Remaja. PBKI Pusat. Jakarta : 2000 Anonimus. Kehamilan yang tidak diinginkan. PKBI dan Member of International Planned Parenthood Federation. 1992 Depkes RI. Profit Kesehatan Indonesia tahun 1998. Pusat data Kesehatan Depkes RI. Indonesia. 1999 Westley, Sidney B. and Sulistinah. Indonesian Sur\>ey Looks at Adolescent Reproductive Health: 1999 LDFEUI dan NFPCB. Baseline Survey of Young Adult Reproductive Welfare in Indonesia 1998/1999. Executive Summary and Recomendation Program. Jakarta: LDFEUI dan NFPCB, Juli 1999 dari situs http://www.kaknung.mul tiply.com.journal diakses 1 Januari 2008 Musthofa. BS dan Winarni, P.Faktor yang mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Mahasiswa di Pekalongan Tahun 2009-2010. [JurnalKespro]. Balitbangkes Vol 1 No.l page 32:2010 Youth Center Pilar PKBI Jateng. Data kunjungan mitra Konseling. PKBI Jateng : Maret 2008. Bandura, A. Social Foundations of Thought And Action : A Social Cognitive Theory. Prentice Hall: New York. 1986
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, PPK-UGM, dan Ford Foundation. Hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, terjemahan bahasa Indonesia Implication of the ICPD programme of action. Yogyakarta. 1995. Bandura, Albert. Social Learning Theory. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey 07632: 1977 Graeff, Judith Allen; Elder, John P; Booth,Elizabeth Mills. Communication for Health and Behavior Change. Academy for Educational Development, Inc: Washington DC. 1993 Sprecher, Susan & McKinney, Kathleen. Sexuality. SAGE Publications, Newbury Park : London. 1993 FK UN AIR. Kesehatan Reproduksi, dejinisi berdasarkan ICPD Kairo. 1994. Dari situs http://www.fk.unair.ac.id/pdfiles/KESEHATA NREPRODUKSLpdf. diakses tanggal 25 April 2011 Majalah Gemari dari artikel 51,5% Remaja Lakukan Hubungan Seks di Tempat Kos, hasil polling dari LSM SAHARA Indonesia, dari situs http://www.gemari.or.id/artikel/945/shtml tahun 2000-2002 Nasronudin. H1V&.4IDS. Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Airlangga University Press: Surabaya. 2007 IPPF. IPPF Charter on Sexualand Reproductive Right. International Planned Parenthood Federation: United Kingdom. 1995 Sirait, Minah.M.M. Hubungan Antara Harga Din dengan Konfonnitas dalain hal Fesyen pada Remaja. Fakultas Psikologi UI: Jakarta.2002 WHO. Programming for Adolescent Health and Development. Report of the WHO/UNFPA/UNICEF Study Group on Programme for Adolescent Health. Geneva: WHO (in press) Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y.l995.Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga.Jakarta:PT BPK Gunung Mulia.
165
FACTORS INFLUENCING CONDOM USE BEHAVIOUR AMONG INJECTING DRUG USERS (IDUS) IN SEMARANG, CENTRAL JAVA Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Kondom Pada Pengguna Narkoba Suntik(Penasun) Di Semarang, Jawa Tengah Any Setyawati1, Bagoes Widjanarko1, Budi Laksono2 'Master Program of Health Promotion, Diponegoro University 2 Yayasan Wahana Bakti Sejahtera (IDU's NGO) Email: Email:
[email protected]
Abstrak Latar Belakang :Hubungan seks telah diidentifikasi sebagai sumber utama penularan HIV dari pengguna narkoba suntik (penasun) untuk pasangan seksual mereka. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan kondom di kalangan IDUmasih rendah. Titjuan: Penggunaan kondom telah diidentifikasi sebagai salah satu metode paling efektif untuk mencegah HIV dan AIDS melalui kontak seksual. Metode: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang mempengamhi penggunaan kondom di kalangan IDU. penelitian explenatory dan 64 IDU dipilih menggunakan teknik accidental sampling. Hasil :menunjukkan bahwa hanya 40,6% dari penasun sering tidak menggunakan kondom selama hiibungan seks pasangan mereka dalam periode enam bidan terakhir. Kesimpulan: Beberapa variabel seperti melihat hambatan dan isyarat eksternal untuk bertindak secara signifikan terkait dengan penggunaan kondom di kalangan IDU. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa persepsi yang baik pada isyarat eksternal untuk tindakan adalah prediktor penggunaan kondom di kalanganlDU. Kata kunci: penasun, penggunaan kondom, HIV dan AIDS
Abstract Background: Sexual intercourse has been identified as the primary source of HIV transmission from Injecting Drug Users' (IDUs) to their sexual partners. Previous study showeds that condom use among ID Us remains low. Objective: Condom use has been identified as one of the most effective methods to prevent HIV and AIDS through sexual contact. Methods: This research aims to analyze the factors influencing condom use among IDUs. This is an explanatory research and 64 IDUs were selected using accidental sampling technique. Results shows that only 40.6 % of IDUs often used condom during sexual intercouse their partners in the last six months period. Conclusions: Some variables such as perceive barriers and external cues to action were significantly associated with condom use among IDUs. Results from logistic regression analysis revealed that good perception on external cues to action was a predictor of condom use among IDUs. their partners at last six months.
Keywords: IDUs, condom use, HIV and AIDS
BACKGROUND T,, ? .- among The number of,, cases ofX-TTTIJHIV infection .... ~ /TTATT ^ • ^ IT TT Injecting Drug Users (IDUs) m Central Java , , . . ~ AAA D ., has been increasing since year 2000. Family 166
International Health (FHI) data in 1998 shows persons _diagnosed as HIV,, . . 25% T £! TT T AA f . . ., positive were IDUs. In 2003 the incidence of rmr • c • I^TT HIV infection among IDUs were increasing . n o n / /r.TT^ ^,, c ,,,,, becoming 28% (FHI). The number of HIV
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 166-173
infection through IDUs in Central Java currently placed as second rank after sexual transmission through Female Sex Worker (FSW). On the other hand, HIV transmission among IDUs has been increasing but transmission HIV among FSWs was decreasing. Beside through needle sharing, another way of HIV transmission among IDUs was through sexual intercourse. Transmission of HIV by sexual contact is an important component by injection-drug associated HIV. Previous research in Bali (2004) shown, 98% IDUs have done sexual intercourse and 59,7% of them do not use condom regularly when they do sexual intercourse with regular partner, 61,9% of them do not use condom when they do sexual intercourse with their casual friend, 44% do not use condom when do sexual intercourse with sex workers. (BKKBN, 2004). Another study in Yogyakarta said that 77% IDUs has at least one sexual partner. About 26% of IDUs conducts sexual intercourse at least once a month, 26% of them have variation in frequency, from one a month till 2-3 times a day (Sucahya, 2002). There is strong evidence that condom use can reduce a sexual transmission of HIV (National Institute of Allergy and Infectious Disease, 2000). Some meta-analysis studies found that condom use could reduce HIV transmission about 80-95% (Center for Disease Control and Prevention, 2001; David and Weller, 1999; Pinkerton and Abramson, 1997; Weller and David, 2005). Low condom use among IDUs and high risk of HIV transmission among IDUs through sexual intercourse, promote the important research about factors influencing condom use among IDUs. Research aim and objectives: This study aims to identify the factors influence the behavior of condom use among IDUs in Central Java. Whilst the specific objectives were as follows : To identify factors such as knowledge to protecting HIV and condom use, perceive susceptibility and vulnerability of getting HIV and AIDS, cost, benefit and cues to action to use condom.
To examine the determinant factors influence the behavior of condom use among IDUs. METHOD Participants Participants recruited from the member of NGO who work with the IDUs in Semarang. The criteria of the participant in this study were the IDUs who have experienced having sexual intercourse at least 6 month, they have at least a sexual partner, and stay in Semarang. The total number of sample in this study was 64 IDUs. Procedures In obtaining the respondents, the researchers use the Outreach Workers of the NGO to facilitate meetings between researchers with the respondents. Outreach Workers will help researchers in communicating the schedule and approaching the respondents in order to make respondents to be willing to participate in this study. The interviews were conducted for about 30-45 minutes which was conducted directly by the researchers. Statistical Analysis Univariate, bivariate and multivariate analysis were employed to analyze the data in this study. Chi-square was used for identifying associations between independent factors and the behavior of condom use, whilst multivariate analysis was employed by using logistic regression to examine the predictors of behavior of condom use among IDUs. RESULT Respondent Characteristics The respondents were predominantly male (96.9%), most of them have average age 2029 (70.3%), mostly they were a high educated people (university level) ( 45,3%.), 93.8% respondents were heterosexual and 71,9% unmarried. Condom Use Behavior About 59.4% of IDUs did not using condom regularly in the last six months, therefore it would cause the increasing risk of HIV infection. The increasing risk of HIV among
167
Factors Influencing Condom Use Behaviour.. .(Any, Bagoes, Budi)
IDUs was also supported by the high frequency of having sexual intercourse without condom use. This study showed that 58% of IDUs stated that the purpose of using condom particularly
for preventing pregnancy rather than for preventing HIV/AIDS transmission. Only 42% IDUs always use condom in order to prevent HIV transmission to their sexual partners.
Table 1. Respondents Characteristics Characteristics
f
%
62 2
96,9 3.1
5 45 13 1
7.8 70,3 20,3 1,6
Education : Junior High School Senior High School University
7 28 29
10,9 43,8 45,3
Sexual orientation : Heterosexual Homosexual Bisexual
60 3 1
93,8 4,7 1,6
Marriage status : Not marriage Marriage Widower/widow
46 16 2
71,9
Gender : Man Woman Age: < 2U years 20 - 29 years 30 -39 years !_ 40 years
Perceived of Succeptibility The study showed that 79.7% of IDUs have positive perceived susceptibility and only 20.3% of them have negative perception on susceptability. Chi-Square analysis showed that there was no relationship between perceived susceptibility and behaviour of condom use (X2=1.182; p value 0,277). Multivariate analysis also showed that perceived susceptibility variable fails to predict the behaviour of condom use since p value >0.05.
168
25,0 3,1
intercourse. Most respondents thought that HIV infection was not serious disease for them and cured by treatment. Respondents also believed that if their partners look clean, it means they do not have HIV infection. Chi-Square analysis showed that there were no relationship between perceived severity and condom use behavior (X2= 0,194; p value=0,660). Whilst logistic regression model showed that perceived vulnerability also fails to predict the behavior of condom use.
Perceived Severity
Perceived Benefit
About 60.9% IDUs have low level of perceived severity and only 39.1% of them have high level of perceived severity. 42.2% of IDUs believed that they will not die because of HIV infection, although they have never used condom during sexual
In term of perceived benefit, the study showed that 64.1% of IDUs have high level of perceived benefit of condom use and 35.9% have low perceived benefit of the behavior.
Jurnal Kcsehatan Reproduksi Vol. 1 No 3. Agustus 2011 : 166- 173
Chi-Square table showed that there was no association between perceived benefit and the behavior of condom use. Whilst logistic regression also shows that perceived benefit fails to predict condom use behavior.
Bivariate analysis showed, that there was no relationship between self efficacy and condom use behavior (X2= 0,357; 0,550). Previous research done in Nigeria shown, that man and woman who have high perceived self efficacy will be able to use condom and their behavior also show the consistency of using condom. Multivariate analysis showed self efficacy fails to predict the behavior of condom use.
Perceived Barriers Only less than half of respondents (48,4%) have high perceived barriers to use condom and the biggest barriers for not using condom is because condoms distributed by NGO usually were not good quality such as too thick, big size and easy to break, therefore it decreases feeling sexual pleasure. Chi-Square analysis showed that there was relationship between perceived barriers and condom use behavior with X2 8,115 and p value 0,004 or less than 0.05. The respondents mentioned that they prefer to buy drug with their own money than to buy condom. They believed that they will not get HIV infection and die because of that but they will die if not using drug. Logistic regression analysis showed that perceived barriers also fails to predict the behavior of condom use among IDUs.
Cues to Action The study showed 59.4% of IDUs have low cues to action and bivariate analysis shown there was positive relationship between cues to action and condom use behavior. Multivariate analysis showed that respondents who have high external cues to action more likely 10.9 times to use condom consistently than IDUs who have low external cues to action. The discussion about HTV from Outreach worker experiences could make the respondents fear to have HIV infection. They prefer believed the outreach workers' experiences rather than information come from health worker, because outreach worker was formerly an IDU and the brotherhood among IDUs is very strong link.
Self Efficacy In term of self efficacy, 43.8% of respondents have high perceived self efficacy and more than half of respondents (56.2%) have low self efficacy.
Table 2. Logistic regression analysis about condom use among IDU VARIABLES
B
S.E
Wald
df
Sig.
Exp (B)
95,0% CI. for EXP (B) Lower
Upper
Perceived benefit
-1,111
0,710
2,449
1
0,118
0,329
0,082
1,324
Perceived barriers
1,584
0,860
3,391
1
0,066
4,876
0,903
26,329
-2,020
0,840
5,786
1
0,016
0,133
0,026
0,688
Cues to Action
2,389
0,874
7,472
1
0,006
10,900
1,966
60,430
Constant
0,600
0,520
1,331
1
0,249
1,966
SelfEfficacy
169
Factors Influencing Condom Use Behaviour...(Any, Bagoes, Budi)
DISCUSSION Respondent Characteristics The respondents were predominantly male (96.9%), most of them have average age 2029 (70.3%), mostly they were a high educated people (university level) ( 45,3%.), 93.8% respondents were heterosexual and 71,9% unmarried. Strecher, Champion, and Rosenstock (1997) also suggest that sociodemographic factors influence perceived susceptibility, perceived severity, benefits, barriers, and self-efficacy and therefore indirectly influence health behaviors. Although the HBM is one of the most widely employed theories of health behavior (Strecher,Champion, & Rosenstock, 1997), the most recent literature reviews of the impact of HBM constructs on health behaviors were published 18 and 26 years ago. Condom Use Behavior About 59.4% of IDUs did not using condom regularly in the last six months, therefore it would cause the increasing risk of HIV infection. The increasing risk of HIV among IDUs was also supported by the high frequency of having sexual intercourse without condom use. Some studies showed that consistency in condom use will reduce HIV transmission through sexual intercourse (fhi, 2002). Some reasons mentioned by IDUs to not using condom during sexual intercourse were because condom will decrease the pleasure, make uncomfortable feeling, and often unavailable when they need. They also think to not using condom if they have sexual intercourse with their steady partner (Sunmola, 2007). This study showed that 58% of IDUs stated that the purpose of using for preventing condom particularly pregnancy rather than for preventing HIV/AIDS transmission. Only 42% IDUs always use condom in order to prevent HIV transmission to their sexual partners. Knowledge of HIV and AIDS Knowledge about HIV can be gained through reading the books, television, newspaper, and also, internet. Research about drug users
170
in Bali on 2003 showed that knowledge about HIV among IDU also gained from Non Government Organization (NGO). NGO have a big contribution to share or discussion about HIV with IDU. The study showed that 50% of IDUs have a high level of knowledge and 50% of them have low level of knowledge about condom and HIV/AIDS transmission. The low level of knowledge among respondents particularly in terms of HIV/AIDS transmission among IDUs such as the respondents thought that HIV/AIDS transmission could be transmitted through anal and vaginal intercourse only and oral sex without condom could not transmit the disease. About 40.6% IDUs also thought that mother who has HIV positive could not transmit the disease to her baby. Other study have showed that condom will use regularly among IDUs when they have multiple partner, but if they have only one partner, especially steady partner, they prefer to not using condom (Hingson, 1990). Manning et al., (1989) found that college students with little knowledge about AIDS perceived greater barriers to practicing safe sex than did students with high knowledge of AIDS. This suggests that while knowledge alone may not affect behavior, lack of knowledge may be associated with increased perceived barriers and subsequently an increase in high risk behavior. Although information about HIV can be obtained from some media, IDU also not interested to read or listen. Research conducted by Tarana Hammon in 2006 showed that IDU ignoring information about HIV from media. Perceived Succeptibility Perceived susceptibility involves one's subjective perception of the risk of contracting the health threat in question. According to Rogers, 1983 that quoted by Caroline Houlding, perceived susceptibility in HIV transmission perceive of risk is suggested (doing sexual using condom) is not performed. The greater the perceived risk, the greater the likely-hood of engaging in behaviors to decrease the risk. Person's perceived susceptability is depend on his/her
Jurnal Kesehatan Reproduksi Vol. 1 No 3, Agustus 2011 : 166- 173
condition when receive the impact of his behavior. If the person receives a serious condition because of his/her behaviour, it would make him/her perceive positive susceptability to the disease, so he/she will do the protection6. Unfortunately, the opposite also occurs. When people believe they are not at risk or have a low risk of susceptibility, unhealthy behaviors tend to result. Most of respondent are adolscent / young adult and they believe if young poeple have an imun to prevent HIV more than adult. Respondet's percieved of less suceptibility about HIV transmission through sexual contact makes the respondents did not always using condom. Research by Andrea showed that 61% of IDU had a low perception of susceptibility to HIV infection. The Health Belief Model (HBM) theorized that's poeple's beliefs about whether or not they susceptible to dieases, and their perception of their benefit of trying to avoid it. influences they readiness to act. Many young adult at risk of HIV infection, do not yet regocnize their suceptibility, do not perceive their seriousness of the AIDS threat, and not motivated to alter risky behavior. Another research shown that older adults generally do not perceive themselves to be at risk for HIV infection, many do not practice safer sex. This same scenario was found with Asian American college students. They tended to view the HIV/AIDS epidemic as a non-Asian problem; thus, their perception of susceptibility to HIV infection was low and not associated with practicing safer sex behaviors. Perceived Severity Perceived severity means feeling concerning the seriousness of contracting an illness both medical/physical (e.g., death, pain) and social consequences (e.g., effects on social relations, family life) and motivated the individual to act. While the perception of seriousness is often based on medical information or knowledge, it may also come from beliefs a person has about the difficulties a disease would create or the effects it would have on his or her life in general.
People who aware the risk of HIV infection, they will prevent themselves from it. Most respondents thought that HIV infection was not serious disease for them and cured by treatment. Respondents also believed that if their partners look clean, it means they do not have HIV infection. More than 50% of respondents said, HIV can be cured by medicine. If they take the medicine regularly, they filling healthy, strong, and not looks a HIV patient. Perceived Benefit The construct of perceived benefits is a person's opinion of the value or usefulness of a new behavior in decreasing the risk of developing a disease. Using condom during sexual intercourse is the best way to prevent HIV infection especially for high risk people like IDUs. A meta analysis research showed that condom could reduce the possibility to transmit HIV infection and if it is used regularly, the effectiveness of the condom use to prevent HIV will be increase more than 69%. Chi-Square table showed that there was no association between perceived benefit and the behavior of condom use. Whilst logistic regression also shows that perceived benefit fails to predict condom use bjehavior. %fr Perceived Barriers Since change is not something that comes easily to most people, the last construct of the HBM addresses the issue of perceived barriers to change. Perceived barriers mean that the individual's psychological, financial, or other perceived expense danger, unpleasantness, and inconvenience. Examples of barriers that influence safer sex behavior include the following: the belief that condoms reduce pleasurable sensation, the perception that condoms are primarily a birth control method rather than protection against STDs/HIV, a preference for oral contraceptives, a perception of invulnerability, to HIV and STDs, the use of alcohol and/or drugs during sex, embarrassment about purchasing condoms, and the feeling that condoms compromise the spontaneity of sex. High cost of health care also the influences of respondents unwilling to check their health status.
171
Factors Influencing Condom Use Behaviour...(Any, Bagoes, Budi)
Self Efficacy Rosenstock, Strecher, and Becker (1988) added the concept of self-efficacy to the HBM, hypothesizing that an individual's belief in his or her confidence to engage in the health behavior is also predictive of engaging in the behavior Self-efficacy is defined by Bandura as "the conviction that one can successfully execute the behavior required to produce the outcome". Self efficacy could be an indicator for people to choose what behavior will make them save or give them advantages or reject the damaging behavior. The application of slef efficacy is to provide training, guide in performing action, use progressive goal setting, give verbal reinforcement, and reduce anxienty. Previous research done in Nigeria shown, that man and woman who have high perceived self efficacy will be able to use condom and their behavior also show the consistency of using condom. Multivariate analysis showed self efficacy fails to predict the behavior of condom use. Cues to Action Champion and Skinner (2008) said that cues to action is talking about events, strategies, or objects that prompt and individual to take action). Health belief Model suggests that there are two type cues to action, those are internal and external cues to action. This study revealed that external cues to action such as information about outreach workers experiences and peer experiences caused the respondents aware and fear about getting infected, was positive correlation to behavior of condom use.
cues to action were the predictor of the occurrence of condom use among IDUs. SUGESSION Local policies on HIV and AIDS can be applied from helping harm reduction programs, especially using condoms in hight risk group of HIV infection and AIDS are still to be done. ACKNOWLEDMENTS We thank for financial support through the Scholarship Program until 2008. Also conveyed thanks to drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH, PhD as Chairman of the Master Study Program Graduate Program in Health Promotion Diponegoro University of Semarang and dr. Bagoes Widjanarko, MPH for his contributions as a research supervisor. REFERENCES 1.
2.
3.
4.
5.
CONCLUSION The study shows that only 40.6 % of TDUs were often use condom when they have sex with their partners at last six months. Some variables such as perceive barriers and external cues to action statistically significant have associations with condom use among IDUs. Whilst logistic regression analysis revealed that good perception on external
172
6.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana. 2004. Pengguna Narkotik Suntik Kerap Hubungan Seks Tak Aman. 2004 [Online]. Available from : http://pikas.bkkbn.go.idarticle_detaii .phpaid=72 [Accessed 2007 September 11]. Glanz, Karen, PhD, MPH; Barbara K. Rimer. 1995. Theory at a Glance, A guide for Health promotion Practice. US Department of Health and Human Services; Public Health Service, National Institute of Health, USA. Hingson, W Ralph, ScD, et al. 1990. Beliefs about AIDS, Use of Alcohol and Drugs, and Unprotected Sex among Massachusetts Adolescents. [Online] American Journal of Public Health. 1990; (3) 80; 295-299. Available from : http://www.aiph.org/cgi/ reprint/80/3/295 [Accessed 2009 Mei 8] Kang, Sung-Yeon, Sherry Deren, Jonny Andia, Hector M. Colon, Rafaela Robles. 2004. Effects of changes in perceived selfefficacy on HIV risk behaviors over time. Journal of Addictive Behaviors; 2004, 29; 567-574 [Online]. Available from : [Accessed 2008 Januari 8]. M, Adegbenga Sunmola, Benjamin O. Olley, and Grace E. Oso. 2007. Predictors of condom use among sexually active persons involved in compulsory national service in Ibadan, Nigeria. Health Education Research; 2007 (4)22; 459-472 [Online]. [Accessed 2007 Februari 28]. Osmond, Dennis H. 1998. Sexual Transmission of HIV. In : Cohen, P.T, Merle A. Sande, Paula A. Volberding. The AIDS Knowledge Base. 3rd ed. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins. 1999
Jurnal Keschatan Reproduksi Vol. 1 No 3. Agustus 2011 : 166- 173
7.
8.
Sucahya, Purvva Kumia. et al. 2002. Memahami Kebutuhan Aktor dan Pengguna Narkotika Suntik. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM & Ford Foundation. Yogyakarta. Toepell, Andrea Riesch. 2003. The Health Belief Model and Safer Sex:Implications for Women's Health. In : Women's Health & Urban Life: An International and Interdisciplinary Journal, the Wellesley Central Health Corporation and is
permanently housed at the Sociology Department, University of Toronto [Online]. Available from: bttp:/Avww.utsc.utoronto .caA-socsci/sever/journal/2.1 /22469%20Book let.pdf. [Accessed 2007 February 101 Injecting and Sexual Behavior of Male Injecting Drug Users in Kathmandu Valley. 2002. Family Health International, HIV/AIDS Prevention and Control Program. Center for Research on Environment Health and Population Activities (CREHPA). Kathmandu,Nepal
173