UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA KASUS MULTIPLE FRAKTUR DI GEDUNG PROF. DR. SOELARTO RSUP FATMAWATI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
KARYA ILMIAH AKHIR SYLVANA 0806334496
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI REGULER DEPOK, JULI 2013
i
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh : Nama : Sylvana NPM : 0806334496 : Ilmu Keperawatan Program Studi Judul Karya Ilmiah Akhir : Analisis Praktik Profesi Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien dengan Multiple Fraktur di Gedung Prof. Dr. Soelarto RSUP Fatmawati
Telah diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Pembimbing : Dr. Roro Tutik, S.Haryati, S.Kp., MARS (
)
Penguji
)
: Ns. Sri Sasongkowati, S.Kep
(
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 5 Juli 2013
iii
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini. Karya Ilmiah Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI); 2. Ibu Dra. Junaiti Sahar, PhD selaku Wakil Dekan FIK UI; 3. Ibu Dr. Roro Tutik, S.Kp., MARS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan motivasi selama penyusunan proposal ini. 4. Ibu Ns. Sri Sasongkowati, S.Kep selaku kepala ruangan GPS Lt. I RSUP Fatmawati dan juga sebagai pembimbing klinik yang telah banyak memberikan bantuan dan juga bimbingan selama praktik. 5. Ibu Riri Maria, MANP selaku koordinator mata ajar Riset Keperawatan 6. Bapak Deni Yasmara selaku mahasiswa residensi yang telah banyak memberikan bimbingan dan juga arahan dalam melakukan praktik. 7. Seluruh perawat di GPS Lt. I RSUP Fatmawati yang telah sabar dalam membimbing dan terus memberikan dukungan selama praktik. 8. Seluruh staff pendidikan bagian Akademik di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 9. Keluarga tercinta dan teman-teman seperjuangan angkatan 2008 yang telah memberikan bantuan materi, dorongan semangat dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga terwujudnya penelitian ini. Semoga doa dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang sesuai dari Tuhan YME. iv
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun sebagai perbaikan. Akhirnya penulis berharap agar Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan tenaga keperawatan pada khususnya.
Jakarta, Juli 2013 Penulis
v
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Sylvana : Ilmu Keperawatan :Analisis Praktik Profesi Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Pasien dengan Multiple Fraktur Di Gedung Prof. Dr. Soelarto RSUP Fatmawati.
Kecelakaan lalu lintas banyak menimbulkan dampak salah satunya adalah fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan/ atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sedangkan multiple fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang lebih dari satu bagian tubuh. Praktik profesi dilakukan di Gedung Prof. Dr. Soelarto Lt. I RSUP Fatmawati pada pasien dengan multiple fraktur dengan menerapkan intervensi positioning lateral 30 derajat guna mencegah ulkus decubitus. Pasien yang mengalami fraktur mengalami hambatan mobilisasi sehingga berisiko mengalami ulkus decubitus. Asuhan keperawatan diberikan dari tanggal 27 Mei sampai 5 Juni 2013, hasilnya menunjukan bahwa ulkus decubitus tidak terbentuk pada pasien. Perubahan posisi harus dilakukan oleh perawat untuk mencegah terbentuknya ulkus decubitus pada pasien dengan hambatan mobilisasi. Kata Kunci: Mutiple fraktur, ulkus decubitus, positioning lateral 30 derajat
ABSTRACT Name Study Program Title
: Sylvana : Nursing :The Profession Practice Analytical of Urban Society Health Nursing to the Multiple Fracture Patient in the Prof. Dr. Soelarto’s Building 1st Floor RSUP Fatmawati.
Road traffic injuries have many impacts one of them is fracture. Fracture is a broken off the continuity of bone and/ or cartilage generally caused by over pressure, whereas multiple fracture is a broken off the continuity of bone more than one part of the body. The clinical practice was done at Prof. Dr. Soelarto’s Building 1st floor RSUP Fatmawati with multiple fracture patient and did intervention lateral 30 degree positioning due to prevent decubitus ulcer. Patient who have fracture have a barrier to mobile as a result take a risk to have a decubitus ulcer. Nursing intervention is given during May 27 until June 5 2013, the result shows that decubitus ulcer is not formed in patient. Changing position should be give by nurse to prevent decubitus ulcer in patient with have a barrier to mobile. vii
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Keywords: Multiple fracture, decubitus ulcer, lateral 30 degree position DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………. ABSTRAK………………………………………………………………… DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1 Fraktur ............................................................................................ 2.2 Ulkus Dekubitus………………………………………………… .. 2.3 Medulla Spinalis…………………………... ................................... 2.4 Pengaturan Posisi……………………... .......................................... BAB 3. KASUS ............................................................................................ 3.1 Kasus .............................................................................................. 3.2 Pengkajian…………………………………………… ................... 3.3 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. BAB 4. ANALISIS KASUS ....................................................................... 4.1 Analisis Data Pasien ........................................................................ 4.2 Pengaruh Pemberian Posisi 30o Dalam Mencegah Ulkus Dekubitus BAB 5. PENUTUP……………………………………….......................... 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 5.2 Saran………………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ .
viii
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
i ii iii iv vi vii viii ix 1 1 4 5 5 7 7 17 24 30 32 32 32 33 36 36 40 43 43 43 45
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Catatan perkembangan pasien
ix
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Transportasi di zaman modern ini ditempatkan sebagai kebutuhan pokok bagi beberapa kelompok masyarakat akibat aktivitas ekonomi, sosial dan sebagainya. Bahkan dalam kerangka ekonomi makro, transportasi menjadi tulang punggung perekonomian, baik di tingkat nasional, regional dan lokal.Tingginya angka transportasi tidak jarang menimbulkan dampak buruk, salah satunya adalah kecelakaan lalu lintas. Dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Data WHO tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif , yakni 22 – 50 tahun. Data dari Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2013, terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya dengan rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya. Toroyan, et all (2013) dalam penelitiannya juga mengatakan kecelakaan lalu lintas menduduki peringkat ke delapan sebagai penyebab kematian secara global, dan penyebab utama kematian pada orang berusia muda, 15-29 tahun. Lebih dari sejuta orang meninggal setiap tahun di jalan di dunia, dan biaya untuk konsekuensi kecelakaan lalu lintas mencapai milyaran dolar.
Penelitian yang dilakukan oleh Tran (2007) mencatat selain menyebabkan kerugian kesehatan, korban kecelakaan lalu lintas juga mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk perawatan di rumah sakit dan menurunnya produktivitas. Kerugian ini diestimasi lebih tinggi dari 1% dari total Pendapatan Domestik Bruto pada negaranegara dengan pendapatan rendah, 1,5% pada negara-negara dengan pendapatan sedang, dan 2% pada negara dengan pendapatan tinggi. Kecelakaan lalu lintas yang
1
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
2
terjadi juga menimbulkan dampak kerugian pada bidang sosial ekonomi. Data Kepolisian RI (2013) menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9%-3,1%) dari Pendapatan Domestik Bruto/PDB Indonesia).
Chan (2013) dalam penelitiannya mencatat sebesar 27% dari seluruh kematian kecelakaan lalu lintas terjadi pada pejalan kaki dan pengendara motor. Di negara dengan pendapatan menengah ke bawah, angka ini menduduki peringkat ketiga kematian di jalanan, tetapi pada beberapa negara lebih dari 75%. BIN mencatat sebagian besar kasus kecelakaan itu terjadi pada masyarakat miskin sebagai pengguna sepeda motor dan transportasi umum. Penelitian yang dilakukan oleh Troyan, et all (2013) yang bekerja sama dengan WHO, mengidentifikasi penyebab kecelakaan di dunia adalah karena faktor kelalaian manusia, seperti kecepatan berkendara yang tidak wajar, dibawah pengaruh alkohol saat berkendara, tidak menggunakan helm saat mengendarai motor, dan tidak meggunakan seat belt saat mengemudi mobil. Di Indonesia, jumlah kendaraan bermotor meningkat setiap tahunnya, data dari Kementerian
Kesejahteraan
Rakyat
(Menkokesra)
menyebutkan,
kecelakaan
pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas dalam setahun. Hampir setiap hari terjadi kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan meninggal dunia, luka berat dan luka ringan. Salah satu akibat dari kecelakaan lalu lintas adalah fraktur atau patah tulang.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Black, 2005). Menurut Price & Wilson (2006) fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Penyebab utama terjadinya fraktur adalah cidera atau benturan, kondisi patologis (tumor, kanker, osteoporosis, osteomelitis), mengangkat beban terlalu besar
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
3
(Price & Wilson, 2006). Proses penyembuhan fraktur memakan waktu yang tidak sebentar sekitar 6 bulan sampai 1 tahun (Brunner & Suddarth, 2006). Selama di rumah sakit pasien fraktur mengalami tirah baring dalam jangka waktu yang cukup lama. Lamanya tirah baring tergantung penyakit atau tingkat keparahan fraktur dan status kesehatan klien. Tirah baring bertujuan untuk mengurangi nyeri pasca operasi dan mengurangi aktivitas fisik serta memberikan kesempatan kepada klien untuk beristirahat.
Melihat adanya pemasangan traksi, pemasangan fiksasi interna (ORIF) atau eksterna (OREF) pada pasien pasca operasi membuat mobilisasi menjadi hal yang sangat sulit bagi pasien dengan masalah keperawatan nyeri dan cemas atau takut bila bagian tubuh yang cedera digerakkan akan menimbulkan komplikasi yang lain. Hal ini menyebabkan tirah baring merupakan hal yang mutlak bagi pasien dengan gangguan muskuloskeletal terutama pasca operasi. Tirah baring dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan komplikasi, yaitu salah satunya adalah terbentuknya ulkus dekubitus pada bagian-bagian tubuh yang terdapat penonjolan tulang.
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnaya dalam jangka panjang (Potter & Perry, 2005). Dekubitus merupakan problem yang serius karena dapat mengakibatkan meningkatnya biaya, lama perawatan dirumah sakit karena memperlambat program rehabilitasi bagi penderita (Potter, Perry, 2002). Menurut The National Pressure Ulcer Advisory Panel, prevalensi luka tekan di rumah sakit 14%-17% dan insiden 7%-9% (Whiitington & Briones, 2004). The Institute for Healthcare Improvement (IHI) mengestimasi bahwa 2,5 juta orang dirawat dengan luka tekan di rumah sakit setiap tahun. Biaya pengobatan luka tekan antara $2,000 sampai $70,000 tergantung tingkat keparahan ulkus (Young & Davis, 2003). Luka tekan sebagian besar terjadi pada individu dengan kesulitan mobilisasi/ aktivitas, sebagai dampak pada kemampuan individu
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
4
mengubah posisi, adalah mengurangi tekanan pada penonjolan tulang (Fisher et al, 2004; Lindgren et al, 2004; Robertson et al, 1990 dalam Moore & Etten, 2011). Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepala bagian belakang (NSW Health, 2003).
Salah satu pencegahan terjadinya ulkus dekubitus adalah dengan positioning. Krapl & Gray (2008), dalam penelitiannya mengatakan memposisikan pasien adalah komponen yang penting dalam mencegah luka tekan, dan termasuk memindahkan pasien ke posisi yang berbeda atau menghilangkan atau memindahkan tekanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain. Positioning dilakukan tidak hanya ketika pasien di tempat tidur tetapi juga saat di kursi atau di kursi roda. Positioning bertujuan meminimalkan penekanan pada penonjolan tulang. Penggunaan bantal dapat digunakan untuk membantu mempertahankan posisi yang tepat (Briggs, 1997 dalam Moore & Etten, 2011). Positioning juga dipengaruhi oleh kemampuan individu untuk merasakan nyeri dan kemampuan fisik aktual untuk bergerak atau reposisi diri mereka (Defloor et all, 2005).
Salah satu penelitian tentang pengaruh pengaruh positioning terhadap kejadian ulkus decubitus telah dilakukan oleh Dame Elysabeth Tutiarnauli Tarihoran (2010) di Unit Stroke RS Siloam Jakarta. Penelitian menggunakan teknik purposive sampling dengan kelompok kontrol dengan total responden 33 orang, masing-masing 16 kelompok kontrol dan 17 kelompok intervensi. Penelitian dengan judul Pengaruh Posisi Miring 30 Derajat Terhadap Kejadian Luka Tekan Grade I (Non Blanchable Erythema) pada Pasien Stroke di Siloam Hospital dilakukan dengan memberikan posisi miring selama 3x24 jam kemudian dievaluasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan secara statistik, dimana kelompok kontrol berpeluang terjadi luka tekan hampir 10 kali dibandingkan kelompok intervensi.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
5
1.2 Rumusan Masalah Ruang GPS Lt. I RSUP Fatmawati merupakan ruangan khusus ortopedi dengan ratarata pasien mengalami keterbatasan mobilisasi karena gangguan muskuloskeletal. Pasien dengan gangguan muskuloskeletal berisiko mengalami ulkus dekubitus karena keterbatasan gerak dan nyeri jika bagian tubuh yang cedera dimobilisasi. Meningkatnya angka kejadian ulkus dekubitus di ruang rawat pada pasien dengan gangguan muskuloskeletal perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu cara mengatasi terbentuknya ulkus dekubitus adalah dengan perubahan posisi. Perubahan posisi lateral 300 setiap 2 jam akan mengurangi tekanan pada bagian punggung. Oleh karena itu, melihat kedaan ini penulis tertarik untuk membuat tulisan tentang analisis Praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Kasus multiple Fraktur di RSUP Fatmawati untuk menganalisis keefektifan perubahan positioning pada pasien dengan hambatan mobilisasi.
1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum Mengidentifikasi pengaruh pemberian posisi lateral 300 pada pasien spine dengan fraktur lumbal dalam upaya pencegahan terbentuknya ulkus dekubitus di GPS Lt. I RSUP Fatmawati
1.3.2. Tujuan Khusus a. Teridentifikasinya kejadian terbentuknya ulkus dekubitus atau tidak pada pasien spine dengan keterbatasan mobilisasi akibat gangguan muskuloskeletal dengan perubahan posisi miring kiri-kanan setiap 2 jam dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan perubahan posisi.
1.4 Manfaat Penulisan Penulisan yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat dalam tiga aspek, yaitu manfaat aplikatif, manfaat kelilmuan, dan manfaat metodologi:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
6
1.4.1 Manfaat Aplikatif a. Manfaat bagi Pelayanan Kesehatan Hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi profesional kesehatan dalam memeberikan asuhan keperawatan khususnya di rumah sakit mengenai angka kejadian ulcus decubitus pada pasien imobilisasi dan cara pencegahannya.
b. Manfaat bagi Masyarakat Hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk menambah
pemahaman
masyarakat
mengenai
ulcus
decubitus
dan
cara
pencegahannya pada pasien home care.
1.4.2 Manfaat Keilmuan Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dan dasar untuk memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang aplikatif terhadap keperawatan khususnya dalam upaya pencegahan terbentuknya ulkus decubitus pada pasien imobilisasi akibat gangguan muskuloskeletal.
1.4.3 Manfaat Metodologi Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam area keperawatan ortopedi dan keperawatan lainnya yang berkaitan dengan ulkus decubitus.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur 2.1.1 Definisi Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Black, 2005). Menurut Price & Wilson (2006) fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan krepitasi (Doenges, 2002).
2.1.2 Klasifikasi Fraktur Berdasarkan kondisi patahannya (Smeltzer & Bare, 2002): a. Fraktur komplet, yaitu: patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi yang normal) b. Fraktur tidak komplet, yaitu: patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang Berdasarkan hubungan dengan dunia luar (Smeltzer & Bare, 2002): a. Fraktur tertutup Fraktur sederhana dengan kondisi kulit sekitar fraktur tetap utuh, tulang tidak menusuk kulit b. Fraktur terbuka Terjadi perlukaan di daerah fraktur sehingga terjadi kontak dengan dunia luar. Terdapat 3 grade:
7
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
8
i.
Grade I
: Luka kecil < 1 cm, dengan kontaminasi minimal/ luka
bersih ii.
Grade II : Luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak dan kontaminasi sedang
iii.
Grade III : Luka lebih besar antara 6-8 cm dengan kerusakan pada syaraf dan tendon dan kontaminasinya berat
Berdasarkan pola fraktur (Smeltzer & Bare, 2002): a. Fraktur linear Fraktur yang garis patahnya utuh. Bisa transverse atau oblique. Terjadi karena kekuatan yang minimal atau sedang. b. Fraktur Oblique Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut 45 derajat terhadap tulang. Fraktur oblique biasanya dihasilkan oleh kekuatan yang memutar. c. Fraktur Longitudinal Fraktur inkomplit dengan penampilan fraktur sepanjang garis axis longitudinal d. Fraktur Transversal (melintang) Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini bisa terjadi pada klien dengan gangguan tulang, seperti: Paget’s disease, osteomalacia, osteogenesis imperfecta. Segmen tulang yang patah direposisi/direduksi kembali ketempat semula, segmen akan stabil dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips. e. Fraktur Spiral (trauma rotasi) Timbul akibat torsi pada ekstermitas. Fraktur ini biasanya karena kekuatan yang memutar dengan dorongan keatas. Fraktur dengan garis fraktur memanjang dengan arah spiral sepanjang batang tulang. Menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
9
Berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (Smeltzer & Bare, 2002): a. Greenstick : Fraktur yang tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak. Merupakan fraktur inkomplit dengan satu sisi mengarah ke sisi berlawanan dan sisi lain menopang. Biasanya akan segera sembuh dan mengalami remodeling ke bentuk dan fungsi yang normal. b. Kominutif : serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang c. Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah) d. Kompressi/ impaksi : fraktur comminuted dengan lebih dari 2 fragmen tulang mendorong satu sama lain. e. Interticular : perpanjangan fraktur pada area sendi f. Patologik : Fraktur yang terjadi pada tulang yang berpenyakit (kista tulang, penyakit piaget, metastasis tulang, tumor) g. Avulsi : merupakan trauma akibat tarikan (fraktur patela). Fraktur memisahkan satu fragmen tulang tempat perlekatan ligament atau tendon (Price & Wilson, 1995).
Menurut Jumlah Dan Garis Patah/Bentuk/Konfigurasi (Brunner&Suddarth, 2002): a. Fraktur kominutif: Lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah, terpisah-pisah dalam berbagai serpihan. b. Fraktur segmental: Bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh dan keadaan ini perlu terapi bedah c. Fraktur multipel: Garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya. Seperti fraktur femur, cruris dan vertebra.
Menurut Posisi Fragmen a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
10
b. Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang disebut juga dislokasi fragmen.
Menurut lokasi fraktur a. Colles’ fraktur : jarak bagian distal fraktur ±1 cm dari permukaan sendi. b. Articular fraktur : meliputi permukaan sendi. c. Extracapsular : fraktur dekat sendi tetapi tidak termasuk ke dalam kapsul sendi. d. Intracapsular : fraktur didalam kapsul sendi. e. Apiphyseal : fraktur terjadi kerusakan pada pusat ossifikasi.
2.1.3 Etiologi a. Langsung/ direct Karena trauma langsung yang mengenai tulang seperti tekanan, putaran/ tarikan b. Tidak langsung/ indirect Karena beban kerja atau kontraksi yang berlebihan pada otot c. Stres atau kelemahan ligamen dan gangguan Patologis pada tulang. Karena penyakit seperti: Infeksi dan tumor d. Proses penyakit: kanker dan riketsia e. Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang f. Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat
menyebabkan
fraktur
(misal:
elektrik
shock
dan
tetani)
(Brunner&Suddarth, 2002).
2.1.4 Tahap Penyembuhan Tulang a. Hematoma (24-72 jam setelah cedera). Hematoma terbentuk di area fraktur akibat robekan pembuluh darah dalam tulang dan perdarahan jaringan lunak di sekelilingnya. Hematoma merupakan
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
11
ekstravasasi darah yang berubah dari cairan menjadi clot semisolid. Jaringan tulang nekrotik dekta fraktur menyebabkan respon inflamasi yang intens. b. Pembentukan fibrokartilage: 3 hari – 2 minggu. Jaringan granulasi mulai mendatangi area hematoma. Hal ini mendorong terjadinya
pembentukan
fibrokartilage,
memberikan
landasan
untuk
penyembuhan tulang. Fagositosis aktif menyerap produk nekrosis lokal. Hematoma diubah menjadi jaringan granulasi (terdiri atas pembuluh darah baru, fibroblas, dan osteoblas) menjadi dasar untuk substansi tulang baru yang disebut osteoid. Osteoblas membangun jaringan serat kolagen dari kedua sisi fraktur yang nantinya akan menyatukan fragmen tulang. Kondroblas membentuk kartilage yang menjadi landasan untuk pertumbuhan tulang. c. Pembentukan callus: 2- 6 minggu Akibat proliferasi seluler dan vaskuler, tempat terjadinya fraktur dikelilingi oleh jaringan vaskuler baru yang disebut sebagai callus. Pembentukan callus merupakan permulaan nonbony union. Mineral (calsium, fosfor, dan magnesium) dan matriks tulang baru terdeposit di osteoid, dan jaringan tulang tidak terorganisasi terjalin di sekitar fraktur. Callus terutama terdiri dari kartilage, osteoblas, kalsium, dan fosfor. Dapat dilihat di X-Ray. Osteoblas terus berpoliferasi dan mensitesis serat kolagen dan matriks tulang, yang secara bertahap dimineralisasi dengan kalsium dan garam mineral untuk membentuk massa sponge. Trabekulae dari tulang yang terjalin menjembatani fraktur. Osteoklas bermigrasi ke tempat perbaikan dan memulai memindahlan tulang yang berlebihan di dalam callus. d. Osifikasi: 3 minggu- 6 bulan. Callus secara bertahap diserap dan ditransformasi menjadi tulang. Cukup untuk mencegah pergerakan pada tempat fraktur ketika tulang diberi sedikit stress. Namun frakturnya masih dapat dilihat pada x-ray. e. Konsolidasi & Remodelling: mulai pada minggu ke-4 – 6 setelah fraktur, dan dapat berlanjut hingga 1 tahun tergantung tingkat keparahan fraktur. Konsolidasi fraktur terus berkembang, jarak antara fragmen tulang makin
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
12
memendek, dan kemudian menutup. Osifikasi terus berlanjut. Remodelling: jaringan tulang yang berlebihan direabsorpsi dan akhirnya menyatu. Kembalinya tulang ke bentuk dan kekuatan struktural sebelum terjadi fraktur. Tulang mengalami remodelling sebagi respon stress beban fisik atau hukum wolf. Osteoblast terus membentuk tulang terjalin baru yang kemudian dirangkai menjadi struktur lamelar tulang kompak. Osteoklas menyerap callus berlebihan. Seiring penyembuhan tulang dan penggunaan tulang sehari-hari, osteobals dan osteoklas berespon dengan me-remodelling tempat perbaikan di sepanjang garis gaya. Hal ini memastikan bahwa bagian tulang yang diperbaiki akan mirip struktur yang tidak cedera (Brunner&Suddarth, 2002).
2.1.5 Manifestasi Klinis a. Deformitas Spasme otot yang terlalu kuat menyebabkan pergeseran dari fragmen tulang, terjadi perubahan posisi dan bentuk, seperti tulang dapat terputar (rotasi) atau ukuran menjadi memendek b. Edema Akibat trauma pada jaringan lunak atau perdarahan yang terjadi didalam jaringan tersebut yang mengikuti fraktur yang timbul beberapa jam setelah kejadian. c. Memar atau ekimosis; merupakan ekstravasasi darah dalam jaringan subkutan d. Spasme otot; merupakan respon proteksi terhadap injuri dan fraktur e. Tenderness f. Nyeri g. Nyeri sedang sampai hebat, lebih saat digerakkan. Nyeri terjadi karena spasme otot h. Kehilangan sensasi Mungkin terjadi karena kerusakan atau gangguan dari saraf akibat edema, perdarahan atau fragmen dari tulang-tulang yang terbuka i. Kehilangan fungsi normal
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
13
j. Mobilitas abnormal k. Krepitus l. Krepitus, bunyi derik tulang yang dapat diperiksa dengan tangan. Hal ini terjadi karena gesekan antara fragmen satu dengan yang lain. Uji krepitus ini dapat berdampak kurang baik, terjadinya kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. m. Syok hipovolemik (Brunner & Suddarth, 2001).
2.1.6 Prinsip Penatalaksanaan 2.1.6.1 Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di rumah sakit. a. Riwayat kecelakaan b. Parah tidaknya luka c. Diskripsi kejadian oleh pasien d. Menentukan kemungkinan tulang yang patah e. Krepitus 2.1.6.2 Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu: a. Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi, dengan tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) b. Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi, dimana beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang c. Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan implant logam) dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue, pin dan tehnik gips
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
14
2.1.6.3 Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat dilakukan dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
2.1.6.4 Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi, dengan cara: a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi b. Meninggikan ekstremitas untuk meminimalkan pembengkakan c. Memantau status neorovaskular d. Mengontrol kecemasan dan nyeri e. Latihan isometrik dan setting otot f. Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari g. Kembali keaktivitas secara bertahap
2.1.7 Tindakan Pembedahan 2.1.7.1 ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) Insisi dilakukan pada tempat yang mengalami ceidera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur a. Fraktur diperiksa dan diteliti b. Fragmen yang telah mati dilakukan irigasi dari luka c. Fraktur direposisi agar mendapatkan posisi yang normal kembali d. Sesudah reduksi fragmen-fragmen tulang dipertahankan dengan alat ortopedik berupa; pin, sekrup, plate, dan paku Keuntungan: a. Reduksi akurat b. Stabilitas reduksi tinggi c. Pemeriksaan struktur neurovaskuler d. Berkurangnya kebutuhan alat imobilisasi eksternal e. Penyatuan sendi yang berdekatan dengan tulang yang patah menjadi lebih cepat
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
15
f. Rawat inap lebih singkat g. Dapat lebih cepat kembali ke pola kehidupan normal Kerugian: a. Kemungkinan terjadi infeksi b. Osteomielitis
2.1.7.2 OREF (Open Reduction and External Fixation) a. Metode alternatif manajemen fraktur dengan fiksasi eksternal, biasanya pada ekstrimitas dan tidak untuk fraktur lama b. Post eksternal fiksasi, dianjurkan penggunaan gips. c. Setelah reduksi, dilakukan insisi perkutan untuk implantasi pen ke tulang d. Lubang kecil dibuat dari pen metal melewati tulang dan dikuatkan pennya. e. Perawatan 1-2 kali sehari secara khusus, antara lain: observasi letak pen dan area, observasi kemerahan, basah, dan rembes, observasi status neurovaskuler distal femur.
2.1.8 Komplikasi 2.1.8.1 Komplikasi awal a. Shock Hipovolemik/traumatik Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) → perdarahan & kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak → shock hipovolemi. b. Kerusakan arteri Kerusakan oleh kontusi, thrombus, laserasi atau spasme. Penyebabnya pemasangan gips, pembebatan terlalu kuat c. Emboli lemak Tidak sering terjadi tetapi berbahaya. Hati-hati pada pasien dengan fraktur tulang panjang dan pelvic terjadi 24-48 jam pasca trauma d. Tromboemboli vena
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
16
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest. e. Cedera saraf Penyebab:laserasi dan edema. Nyeri meningkat, perubahan kemampuan pergerakan f. Infeksi Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor tanda infeksi dan terapi antibiotik. g. Sindrom kompartemen Adanya desakan (perdarahan atau bengkak) pada otot, tulang, pembuluh darah, dan saraf dalam rongga yang tidak fleksibel (Smeltzer & Bare, 2002)
2.1.8.2 Komplikasi lambat a. Delayed union Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi. Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang. b. Non union Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis. c. Mal union Posisi penyambungan fragmen tidak sempurna d. Nekrosis avaskuler di tulang Kematian jaringan tulang akibat tidak adanya vaskularisasi sehingga menurunkan fungsi tulang. Biasanya terjadi pada kepala femur dan carpal e. Kontraktur Akibat imobilisasi yang panjang (Smeltzer & Bare, 2002). 2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik a. Pemeriksaan rontgen : Menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
17
b. Skan tulang, tomografi, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur; juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. c. Arteriogram: Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. d. Hitung darah lengkap; Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma. e. Kreatinin; Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. f. Profil koagulasi; Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple, atau cidera hati.
2.2 Ulkus Dekubitus 2.2.1 Definisi Ulkus Dekubitus Dekubitus adalah nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama (National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP), 1989 dalam Potter & perry, 2005). Luka tekan dapat digambarkan sebagai lesi yang disebabkan oleh tekanan yang terus menerus, gesekan atau robekan. Luka tekan terjadi paling sering di sakrum dan tumit tetapi dapat berkembang dimanapun pada tubuh termasuk koksigis, oksiput, klavikula, telinga, dan hidung (New South Wales Health, 2003). Dekubitus adalah area setempat dari jaringan lunak yang mengalami infark yang terjadi ketika tekanan diberikan pada kulit melebihi tekanan penutupan kapiler normal, sekitar 32mmHg (Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.2 Faktor Risiko Dekubitus Berbagai faktor dapat menjadi predisposisi terjadi dekubitus pada klien: a. Gangguan Input Sensorik Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada klien yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
18
terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri terlalu besar. Sehingga ketika klien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter & Perry, 2005) b. Gangguan Fungsi Motorik Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus. c. Perubahan Tingkat Kesadaran Klien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan. Klien koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang lebih baik. Selain itu pada klien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah menjadi bingung, seperti efek dari pemberian sedasi sehingga terjadi peningkatan risiko dekubitus (Potter & Perry, 2005) d. Gips, Traksi, Alat Ortotik, dan Peralatan Lain Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstermitasnya. Pasien yang menggunakan gips berisiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak. Peralatan ortotik seperti penyangga leher terdapat tekanan yang menutup kapiler (Potter & Perry, 2005).
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Dekubitus a. Gaya Gesek Gaya gesek merupakan tekanan yang dberikan pada kulit dengan arah pararel terhadap permukaan tubuh (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry 2005). Jika terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
19
pada permukaan tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan tubuh. Tulang pasien bergeser kearah kulit dan memberi gaya pada kulit (Maklebust & Sieggren, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan dan terbeban oleh tekanan tersebut, akibatnya tak lama setelah itu akan terjadi gangguan
mikrosirkulasi
lokal
kemudian
menyebabkan
hipoksia,
perdarahan dan nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran darah kapiler akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya. Akhirnya pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai ruang drainase dari area nekrotik (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).
b. Friksi Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan pada kulit saat digeser pada permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHPCR, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epedermis atau lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.
c. Kelembaban Kontak berkepanjangan dengan kelembaban akibat prespirasi, urine, feses, atau drainase menyebabkan maserasi (pelunakan) kulit. Kulit bereaksi terhadap bahan kaustik dalam ekskreta atau drainase dan mengalami iritasi (Smeltzer & Bare, 2002).
d. Penurunan Status Nutrisi Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
20
efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter&Perry, 2005). Pasien yang mempunyai kadar protein rendah atau yang keseimbangan nitrogen negatif mengalami penipisan jaringan dan menghambat perbaikan jaringan (Brunner&Suddarth, 2002). Albumin serum merupakan indikator yang sensitif terhadap defisisensi protein. Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berkaitan dengan edema jaringan hipoalbuminemia dan meningkatkan risiko terjadinya luka dekubitus. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan&Scheele, 1991).
e. Edema Klien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter&Perry, 2005).
f. Anemia Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme sel dan mengganggu penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005).
g. Kakeksia Kakeksia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
21
kelemahan dan kurus. Kondisi ini meningkatkan resiko luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakesia mengalami kehilangan jaringan adiposa yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan (Potter&Perry, 2005).
h. Obesitas Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adiposa pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pasien dengan obesitas mengalami vaskularisasi yang bururk pada jaringan adiposa sehingga rentan terhadap terjadinya luka akibat iskemi (Brunner&Suddarth, 2002).
i. Infeksi Infeksi disebabkan adanya patogen dalam tubuh. Klien infeksi biasa mengalami demam. Infeksi dan demam menigkatkan kebutuhan metabolik tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaforesis dan meningkatkan
kelembaban
kulit,
yang selanjutnya
yang menjadi
predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter&Perry, 2005).
j. Gangguan Sirkulasi Perifer Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami kerusakan iskemia. Gangguan sirkulasi pada pasien yang menderita penyakit vaskuler, pasien syok atau yang mendapatkan pengobatan sejenis vasopresor (Potter&Perry, 2005).
k. Pertimbangan Gerontologi Kulit pada lansia mengalami penurunan ketebalan epidermal, kolagen dermal, dan elastisitas jaringan. Kulit lebih kering sebagai akibat hilangnya
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
22
sebasea dan aktivitas kelenjar keringat. Perubahan kardiovaskular mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Atrofi otot dan struktur tulang menjadi fokus perhatian. Menurunnya persepsi sensoris dan berkurangnya kemampuan mengatur posisi sendiri menunjang tekanan pada kulit yang berkepanjangan (AHCPR, 1994 dalam Bruner&Suddarth, 2002).
2.2.4 Patogenesis Luka Dekubitus Tiga elemen dasar yang menjadi dasar terjadi dekubitus, yaitu: 1) intensitas tekanan dan tekanan yang menutupi kapiler, 2) durasi dan besarnya tekanan, dan 3) toleransi jaringan ((Landis, 1930), (Koziak, 1959), (Husain, 1953; Trumble, 1930) dalam Potter&Perry, 2005)). Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trochanter besar, dan tuberositis iskial (Meehan, 1994 dalam Potter & Perry, 2005). Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan (Scotts, 1988 dalam Potter & Perry, 2005). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry, 2005). Jika tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif. Karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 1995 dalam Potter&Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
23
terjadi saat menaikkan posisi klien diatas tempat tidur. Area tumit dan sakral merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry, 2005). Efek tekanan juga dapat di tingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada karena adanya gravitasi (Berecek, 1975 dalam Potter&Perry, 2005). Jika tekanan tidak terdistribusi secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan. Repons kompensasi jaringan terhadap iskemi, yaitu hiperemia reaktif memungkinkan jaringan iskemi dibanjiri dengan darah ketika tekanan dihilangkan. Peningkatan aliran darah meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke dalam jaringan. Gangguan metabolik yang disebabkan oleh tekanan dapat kembali normal. Equilibrium yang sehat kembali pulih, dan nekrosis jaringan yang tertekan dapat dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Hiperemia reaktif akan efektif hanya apabila tekanan dihilangkan sebelum terjadi kerusakan.
2.2.5 Klasifikasi Ulkus Dekubitus Klasifikasi luka tekan menurut International NPUAP-EPUAP 2009: a. Tahap I (Non-Blanchable Erythema) Kulit utuh dengan kemerahan yang tidak hilang di area yang terlokalisir biasanya diaderah penonjolan tulang. Pigmen kulit tampak lebih gelap, warnanya berbeda dengan area disekitanya. Area tersebut akan terasa nyeri, kencang, lembut, lebih hangat atau lebih dingin dibandingkan dengan jaringan yang membatasinya. Ulkus dekubitus tahap I sulit untuk dideteksi pada orang dengan warna kulit gelap. b. Tahap II (Partial Thickness) Hilangnya sebagian ketebalan dari dermis tampak sebagai luka terbuka yang superficial dengan warna merah muda tanpa nanah. Bisa juga tampak kulit lecet yang berisi serum atau sero-sanguinous. Tampak sebagai luka
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
24
yang mengkilap atau luka kering yang dangkal tanpa pengelupasan atau memar. c. Tahap III (Full Thickness Skin Loss) Kehilangan jaringan total. Terlihat lemak subkutan, tetapi tulang, tendon atau otot tidak terpapar. Terdapat nanah dan terbentuk lubang yang kecil. Tulang hidung, telinga, oksiput, dan malleolus tidak mempunyai jaringan adiposa dan berisiko untuk luka. Sedangkan, daerah yang mempunyai lemak yang signifikan juga dapat terbentuk luka tekan. Tulang/ tendon tidak terlihat atau teraba langsung. d. Tahap IV (Full Thickness Tissue Loss) Kehilangan jaringan total dengan tulang, tendon dan otot terpapar. Terdapat nanah dan jaringan parut. Terbentuk kawah. Kedalaman kategori tahap IV beragam tergantung lokasi anatomi. Kategori tahap IV dapat memperluas ke otot dan/atau mendukung (seperti, fascia, tendon atau kapsul sendi) terjadinya osteomielitis atau osteitis. Tulang/otot terlihat dan teraba langsung.
2.3 Medulla Spinalis 2.3.1 Anatomi & Fisiologi Medulla Spinalis Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang adalah bagian dari columna vertebralis yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat. Saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti jantung, paru, kandung kemih, usus, dan lainnya (Pearce, 2000). Columna vetebralis sendiri terdiri dari 32-33 ruas, terdiri dari 7 vertebra cervikal, 12 vertebra torakalis, 5 vertebra lumbal, 5 vetebra sakral, dan 4 vertebra koksigis. Medula spinalis atau sumsum tulang belakang bermula pada medula oblongata, menjulur kearah kaudal melalui foramen magnum dan berakhir diantara vertebra lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dari pia meter yang
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
25
disebut filum terminale, yang menembus kantung durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh sebuah fisura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh fisura sempit. Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, yaitu penebalan servikal dan penebalan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah; dan plexus dari daerah thoraks membentuk saraf-saraf interkostalis. Sebuah irisan melintang pada sumsum tulang belakang memperlihatkan susunan substansi kelabu yang membentuk huruf H. Kanalis spinalis berikut isinya yaitu cairan serebro-spinal, melintas persis ditengah-tengah huruf H tersebut. Kauda Equina. Disebut demikian karena kemiripannya dengan ekor kuda; kauda=ekor, dan Equina= kuda. Kauda equina ini merupakan berkas yang terdiri dari akar-akar saraf spinalis yang bergerak turun dari tempat kaitannya pada sumsum tulang belakang, melalui kanalis spinalis, untuk kemudian muncul melalui foramina intervertebrales.
2.3.4 Fungsi Sumsum Tulang Belakang Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan gerak refleks. Untuk terjadinya gerak refleks, maka dibutuhkan struktur-struktur sebagai berikut: a. organ sensorik yang menerima impuls, misalnya kulit b. serabut saraf sensorik yang mengantar impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix posterior, dan selanjutnya serabut sel-sel itu akan meneruskan impuls-impuls itu menuju sustansi kelabu pada kornu posterior medula spinalis c. sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis d. sel saraf motorik dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
26
e. organ motorik, yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik
2.3.5 Saraf- saraf Spinalis 2.3.5.1 Jalur saraf Motorik Impuls berjalan dari korteks serebri menuju sumsum tulang belakang, melalui jalur-jalur menurun yang disebut traktus serebrospinalis atau traktus piramidalis. Neuron pertama, yaitu neuron motorik atas, memiliki badanbadan sel-sel dalam daerah pre-Rolandi pada kortex serebri dan serabutserabutnya berpadu erat pada saat mereka melintas antara nukleus-kaudatus dan lentiformis dalam kapsula interna. Neuron motorik bawah, yang bermula sebagai badan sel dalam kornu anterior sumsum tulang belakang keluar, lantas masuk akar anterior saraf spinalis, lalu didistribusikan ke periferi, dan berakhir dalam organ motorik, misalnya otot. Kerusakan pada neuron motorik: Dari segi klinis, perlu dibedakan antara kerusakan pada neuron motorik atas, seperti jalur motorik pada daerah otak, dan gangguan pada neuron motorik bagian bawah. Hemiplegia adalah contoh tentang kerusakan pada neuron motorik atas, dimana otot-otot sebetulnya bukan lumpuh, tetapi lemah dan kehilangan kontrol. Otot pada anggota gerak dapat menjadi spastik, dan gerakan tidak sadar dapat terjadi serta tak terkendalikan, sehingga sering menimbulkan kejang-kejang dan kaku. Refleks-refleks meninggi. Tonus otot tetap ada dan otot yang terkena serangan tidak mengecil. Contoh: poliomielilitis, dan bell’s palsy 2.3.5.2 Jalur saraf sensorik Saraf sensorik tepi akan menghantarkan beberapa impuls “aferen” untuk ditafsirkan oleh daerah sensorik dalam kortex serebri sebagai sentuhan, rasa sakit, gatal, suhu, rasa panas dan dingin, yang berasal dari struktur tepi, sementara impuls “aferen” yang lain timbul dari struktur yang lebih dalam
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
27
sebagai rasa sakit, tekanan, dan sebagainya, serta rasa gerakan dan kedudukan sendi dan otot. Dengan demikian penafsiran perasaan ini tergantung pada rangsangan dari periferi yang dialirkan oleh berbagai neuron, dan akhirnya mencapai stasiun-penafsiran-pusat dalam otak. Impuls saraf sensorik bergerak melintasi traktus menaik yang terdiri dari 3 neuron: a. Neuron yang paling tepi, memiliki badan sel dalam ganglion sensorik, pada akar posterior sebuah saraf spinalis; lantas dendron, yang merupakan sebuah cabangnya, bergerak menuju periferi dan berakhir dalam satu organ sensorik, misalnya kulit. Sementara itu axon, yang merupakan cabangnya yang lain, masuk ke dalam sumsum tulang belakang, lantas naik menuju kolumna posterior dan berakhir pada sekeliling sebuah nukleus dalam medula oblongata b. Sel neuron yang kedua timbul dalam nukleus tersebut, kemudian melintasi garis tengah dalam dengan cara yang sama seperti jalur motorik desendens untuk membentuk dekusasio sensorik, naik melalui pons dan dinsefalon guna mencapai talamus. c. Neuron yang ketiga dan terakhir, bermula dalam talamus, bergerak melalui kapsula interna untuk mecapai daerah sensorik kortex serebri. Traktus menaik ini menghantarkan impuls sentuhan, kedudukan sendi-sendi getaran; sementara yang lainnya menghantarkan impuls sentuhan, rasa sakit dan suhu.
2.3.6 Manifestasi Klinis a. Nyeri akut Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan takut kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia atau quadriplegia. Akibat dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera. b. Kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar, penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
28
Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralysis sensorik dan motorik otak, kehilangan kontrol kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retensi urin dan distensi kandung kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler perifer.
2.3.7 Klasifikasi Cedera Medulla Spinalis Menurut Elstrom (2005), cedera medulla spinalis dibagi dua, yaitu: a. Complete spinal cord injury Bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun sensoris, kehilangan fungsi refleks dibawah level cedera, ini dikenal sebagai complete spinal cord injury. Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1. Cedera pada segmen servikal diatas T1 medula spinalis menyebabkan quadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. b. Incomplete spinal cord injury Bila masih terdapat fungsi motoris atau sensoris, ini disebut sebagai incomplete spinal cord injury.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis: a. Frankel A: complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi b. Frankel B: incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah level lesi c. Frankel C: incomplete, fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional d. Frankel D: incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
29
e. Frankel E: normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal yanpa defisit neurologis
2.3.8 Etiologi Cedera Medulla Spinalis a. Trauma; seperti jatuh, kecelakaan lalu lintas, tekanan yang terlalu berat pada punggung, luka tembak atau kekerasan b. Non Trauma; patologi atraumatis seperti carcinoma, mielitis, iskemia, dan multipel sklerosis (Garrison, 1995 dalam Mustofa, 2012)
2.3.9 Komplikasi trauma medulla spinalis a. Syok neurogenik Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung. Keadaan ini menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ektremitas bawah, terjadi penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya terjadi hipotensi. Sebagai akibat kehilangan cardiac sympatik tone. Penderita akan mengalami bradikardia atau setidak –tidaknya gagal untuk menjadi takhikardia sebagai respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan darah tidak akan membaik hanya dengan infus saja dan usaha untuk menormalisasi tekanan darah akan menyebabkan kelebihan cairan dan udema paru. Tekanan darah biasanya dapat diperbaiki dengan penggunaan vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat akan dapat dipertahankan walaupun tekanan darah belum normal. b. Syok spinal Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit, walaupun tidak seluruh bagian rusak. c. Hipoventilasi Hipoventilasi yang disebabkan karena paralysis otot interkostal dapat merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis didaerah servikal
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
30
bawah atau torakal atas. Bila bagian atas atu tengah medulla spinalis didaerah servikal mengalami cedera, diagframa akan mengalami paralysis yang disebabkan segmen C3 –C5 terkena, yang mempersarafi diagfragma melalui frenikus. d. Trombosis vena profunda Trombosis vena profunda adalah komplikasi umum pada cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal. e. Hiperfleksia autonomic Komplikasi lain adalah hiperfleksia autonomic (dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, piloereksi, bradikardi dan hipertensi), komplikasi lain yaitu berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius,dan tempat pin )
2.4 Pengaturan Posisi Intervensi pengaturan posisi diberiakn untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek pada kulit. Dengan menjaga bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan peluang terjadi dekubitus akibat gaya gesek (AHCPR, 1992 dalam Potter&Perry, 2005). Klien harus diubah posisinya minimal setiap 2 jam. Posisi klien imobilisasi harus diubah sesuai dengan tingkat aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari (Pajk dkk, 1986; Bergstrom dkk, 1987 dalam Potter&Perry, 2005). Adapun cara mengatur posisi 30 derajat dijelaskan oleh Bryant (2000) dalam Tarihoran (2010), pertama, pasien persis ditempatkan di tengah tempat tidur dengan menggunakan bantal untuk menyangga kepala dan leher. Selanjutnya tempatkan satu bantal pada sudut anatar bokong dan matras, dengan cara miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan memanjang diantara kedua kaki. Berdasarkan hasil intervensi yang dilakukan selama 9 hari, penerapan perubahan posisi dengan miring 30 derajat berhasil
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
31
dilakukan terbukti dengan tidak terbentuknya ulkus dekubitus selama pasien dirawat di rumah sakit.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 3 KASUS
3.1 Kasus Tn. M (24 tahun) merupakan klien post ICU. Klien dirawat di ICU selama 3 minggu. Klien mengatakan sebelumnya klien merupakan korban tabrak lari sebuat taxi. Klien sedang mengendarai motor dengan istrinya dan tiba-tiba taxi menabrak motornya dari belakang. Istri klien terpental sejauh kira-kira 20 meter dan Tn. M langsung tidak sadarkan diri di tempat. Kemudian klien dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati. Dari hasil rontgen, klien mengalami fraktur costae ke-VI, fraktur 1/3 sternum, dan fraktur lumbal ke-III. Hasil CT Scan Kepala terlihata danya perdarahan dan klien mengalami cedera kepala sedang. Hasil rontegen Thorax: terlihat fraktur sternum 1/3 posterior pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior, fraktur costae ke-VI anterior kiri, dan contusio paru. Klien saat ini sudah menjalani 2x operasi, yaitu post stabilisasi post ec fraktur kompresi lumbal ke-III tanggal 6 Mei 2013 dan post ORIF fraktur sternum tanggal 9 Mei 2013. Saat ini klien mengeluh nyeri dada pada luka post operasi di daerah lumbal dan klien meringis saat penggantian balutan di 1/3 sternum. Klien juga mengatakan sering meriang. Terlihat hematom pad mata kiri dan kanan dan klien sering berkeringat. 3.2 Pengkajian
Kepala: rambut bersih, warna hitam, tidak ada lesi
Mata: hematom pada mata kiri dan kanan. Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung: tidak ada sekresi, tidak ada penyumbatan
Mulut: mukosa bibir lembaba, warna pink, gigi dan gusi bersih, gusi warna pink
Telinga: tidak ada sekresi
32
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
33
Leher: tidak ada distensi vena jugularis, JVP 5-2 cmH2O
Jantung: bunyi jantung S1, S2, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Paru: bunyi vesikuler, bronkovesikuler, tidak ada ronchi, tidak ada wheezing
Dada: terdapat luka di 1/3 sternum, terdapat nyeri tekan, ada pus, ada darah, luka rembes, edema tidak ada, kemerahan sekitar luka tidak ada
Abdomen: datar, lunak, tidak ada asites, bising usus 22x/menit pada kuadran kanan bawah
Ekstremitas: akral tangan dan kaki teraba hangat, tidak ada edema, Capillary Refill Time < 3 detik, tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kesemutan
Inspeksi (Look): pasien meringis saat dilakukan penggan tian balutan pada sternum dan lumbal. Klien tidak kesakitan saat kedua ekstremitas atas dan bawah digerakkan. Luka post-op pada lumbal: rembes, ada pus, ada darah, tidak ada edema, tidak ada eritema, tidak ada bula, panjang luka ± 10cm. Luka pada 1/3 sternum: masih basah, ada pus, ada darah, rembes, nyeri tekan positif, tidak ada edema, tidak ada kemerahan, panjang luka ± 3cm, diameter ±2cm. Terdapat vulnus pada bokong dan sisi lateral tubuh sebelah kiri: luka kering
Palpasi (Feel): suhu= 38,5o C
Kekuatan Otot (Power):
5555
5555
5555
5555
Pergerakan (Move): klien dapat melakukan ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Thorax (6 Mei 2013) Ujung ETT setinggi vertebrae thorakal II inferior Ujung CVC setinggi vertebrae thorakal VI kanan Mediastinum superior tidak melebar
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
34
Jantung: kesan tidak membesar Aorta baik Pulmo: kedua hillus tidak menebal Tampak perselubungan hampir homogen di kedua lapang paru Sinus kostofrenikus dan diafragma kiri berselubung Sinus kostofrenikus dan diafragma kanan baik Tampak fraktur iga VI kiri anterior Kesan: Ujung ETT setinggi vetebrae thorakal II inferior Ujung CVC setinggi vertebrae thorakal VI kanan Jantung: normal Pulmo: kontusio paru dengan curiga hemathoraks kiri Fraktur iga VI kiri anterior
Thorax (9 Mei 2013) Inspirasi kurang Mediastinum superior tidak melebar Jantung kesan tidak membesar Aorta baik Pulmo: hilus kedua paru tidak menebal Tampak infiltrat di perihilir kanan kiri Diafragma dan sinus kostifrenikus normal Tulang-tulang dan jaringan lunak baik Tampak terpasang CVC dengan ujung distal setinggi T5-6 pada proyeksi vena cava superior Tampak wire pada proyeksi sternum. Kesan: Infiltrat di perihilir kanan kiri Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung CVC denagn ujung distal pada vena cava superior
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
35
Wire pada proyeksi sternum
Hasil Laboratorium Hematologi (22 Mei 2013) Hb
= 8,5g/dl
Ht
= 26%
Leukosit
= 11,4 ribu/uL
Trombosit
= 406 ribu/ul
Eritrosit
= 2,85 juta/uL
Fungsi Hati (22 Mei 2013) Albumin
= 2,60g/dl
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 4 ANALISIS KASUS
4.1 Analisis Data Pasien Tingginya angka urbanisasi menyebabkan jumlah penduduk di ibukota meningkat. Salah satu faktor urbanisasi adalah alasan ekonomi, yaitu dengan harapan mendapat pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik di ibukota. Hal ini juga mempengaruhi jumlah kendaraan bermotor. Semakin meningkatnya jumlah penduduk makan transportasi yang digunakan juga akan meningkat. Hal ini menyebabkan angka kecelakaan lalu lintas juga meningkat sehingga menimbulkan dampak korban meninggal, luka berat, dan luka ringan dengan salah satu masalah perkotaan adalah fraktur. WHO (2011) mencatat dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC dan sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif, yakni 22 – 50 tahun. Klien kelolaan bernama Tn. M (24 tahun) merupakan salah satu korban dari akibat masalah perkotaan yang mengalami masalah kesehatan masyarakat perkotaan berupa kondisi kegawatan (emergency). Dilihat dari umur klien, klien termasuk dalam usia yang paling sering mengalami kecelakaan lalu lintas sesuai dengan data World Health Organization (WHO) tahun 2011 yang menyebutkan bahwa sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif, yaitu 22-50 tahun. Data dari Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2013 juga menyebutkan terdapat sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun meninggal di jalan raya setiap harinya. Penelitian yang dilakukan oleh Toroyan, et all (2013) juga mendapatkan data korban kecelakaan lalu lintas paling banyak berusia 15-29 tahun. Klien mengalami kecelakaan bermotor, saat itu klien sedang naik motor dengan istrinya tiba-tiba sebuah taksi menabrak motor klien dari belakang sehingga klien
36
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
37
terjatuh dari motor dan langsung tidak sadarkan diri sedangkan istri klien terpental sejauh ±20m. Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan, kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas dalam setahun. Hampir setiap hari terjadi kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan meninggal dunia, luka berat dan luka ringan. Klien juga mengatakan saat mengendarai motor klien dan istrinya tidak memakai helm. Hal ini merupakan salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Toroyan, 2013 yang bekerja sama dengan WHO mengatakan salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas secara global adalah faktor kelalaian manusia slah satunya adalah tidak menggunakan helm saat mengendarai motor. Klien jatuh dari motor dan mengalami benturan pada kepala dan dada. Kemudian klien dan istrinya langsung dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati. Hasil CT Scan kepala terlihat adanya perdarahan dan klien mengalami cedera kepala sedang akibat benturan dengan trotoar. Hasil rontgen thorax juga terlihat adanya fraktur sternum 1/3 posterior pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior, fraktur costae keVI anterior kiri dan adanya kontusio paru sebagai akibat benturan dengan trotoar. Saat ini klien sudah menjalani dua kali operasi, yaitu pada tanggal 6 Mei 2013 dilakukan operasi stabilisasi ec fraktur kompresi lumbal ke-III dan tanggal 9 Mei 2013 dilakukan operasi pemasangan ORIF pada sternum klien. Kemudian klien dirawat di ruang ICU selama hampir 3 minggu. Jika dilihat dampak dari kecelakaan tidak hanya menyebabkan kerugian kesehatan, tetapi juga mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk biaya rumah sakit sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tran (2007). Tran juga mengatakan kecelakaan lalu lintas menyebabkan menurunnya produktivitas seseorang. Hal ini terlihat pada pasien yang hampir 1,5 bulan bedrest di rumah sakit dan klien mengatakan ia tidak bisa bekerja sedangkan ia adalah tulang punggung keluarga. Klien membayar rumah sakit dengan menggunakan Kartu Jakarta Sehat (KJS), yang merupakan salah satu kebijakan oleh gubernur DKI Jakarta bagi warga Jakarta yang kurang mampu. Klien mengatakan sangat tertolong oleh adanya program ini sehingga biaya rumah sakit klien gratis.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
38
Klien masuk di ruang rawat Gedung Prof. Soelarto (GPS) Lt. I tanggal 26 Oktober 2013. GPS Lt. I merupakan ruang rawat khusus ortopedi dengan rata-rata pasien mengalami gangguan muskuloskeletal. GPS Lt. I merupakan rawat inap kelas III dengan total kamar sebanyak 5 buah dengan kapasitas 25 tempat tidur. Ruang rawat ini memang khusus dirancang untuk klien dengan gangguan muskuloskeletal yang mengalami hambatan dalam mobilisasi. Tempat tidur semuanya dilengkapi dengan monkeybar atau trapezebar sebagai alat bantu klien untuk mengangkat badannya saat mobilisasi. Disini juga terdapat traksi dengan beban berupa sandbag yang disesuaikan dengan kebutuhan klinis klien, dan juga terdapat alat mobilisasi, seperti kruk dan walker yang dapat dipinjam oleh klien untuk belajar berjalan. Asuhan keperawatan diberikan sejak tanggal 27 Mei-5 Juni 2013. Klien datang dengan status post operasi lumbal dan sternum, kesadaran compos mentis, terpasang CVC, drain pada lumbal, three ways catheter, dan infus NaCL 0,9% dengan data subjektif nyeri pada daerah lumbal dan sternum. Klien masuk ruang rawat GPS Lt. I dengan diagnosa cedera tulang belakang dengan fraktur lumbal. Ruas-ruas tulang belakang itu sendiri berjumlah 32-33 ruas; 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis, dan 4 vertebra koksigis (Pearce, 2000). Di bagian dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang belakang atau medulla spinalis yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat. Medulla spinalis ini terdiri dari 31 saraf, saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti jantung, paru, usus, kandung kemih, dan lainnya. Gangguan pada salah satu saraf ini akan menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh. Level tulang vertebra yang mengalami kerusakan akan menyebabkan cedera pada medulla spinalis. Medulla spinalis terdiri dari 31 pasang saraf, saraf tersebut terdiri dari saraf sensorik dan saraf motorik. Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan menjadi cedera medula spinalis komplet (complete spinal cord injury) dan cedera medulla spinalis tidak komplet (incomplete spinal cord injury). Bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun sensoris, kehilangan fungsi refleks dibawah level cedera, ini dikenal sebagai complete spinal cord injury (cedera medulla spinalis
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
39
komplit). Cedera ini menghasilkan quadriplegia pada servikal ke atas dan paraplegia jika di torakal. Bila masih terdapat fungsi motoris atau sensoris, ini disebut sebagai incomplete spinal cord injury. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera merupakan cedera yang tidak komplit. Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas torakal ke-I (T1). Cedera pada segmen servikal diatas T1 medula spinalis menyebabkan quadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Klien kelolaan Tn. M mengalami fraktur kompresi lumbal ke-III tetapi kedua ektremitas atas dan bawah dapat digerakkan dan tidak mengalami gangguan sensibilitas. Hal ini menunjukkan klien mengalami incomplete spinal cord injury, yaitu cedera pada medulla spinalis dengan masih terdapat fungsi motorik dan fungsi sensorik. Klien mengatakan saat minggu pertama di ICU klien sempat mengalami gangguan BAB dan BAK. Ini terjadi karena pada daerah lumbal terdapat kandung kemih dan rektum. Pada hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock terjadi paralisis bladder. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia (Siddharta, 1999 dalam
Mustofa,
2012).
Pada
defekasi,
kegiatan
susunan
parasimpatetik
membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
40
4.2 Pengaruh Pemberian Posisi 30o Dalam Mencegah Ulkus Dekubitus Pasien dengan gangguan muskuloskeletal berisiko tinggi mengalami ulkus dekubitus karena hambatan dalam mobilisasi, seperti klien dengan terpasang fiksasi interna atau eksterna, terpasang traksi, atau pada klien spine. Pasien biasanya cenderung untuk tidak menggerakkan anggota tubuh apalagi untuk berubah posisi karena akan terasa nyeri dan ada perasaan cemas karena takut akan terjadi komplikasi yang lain apabila banyak bergerak. Luka tekan sebagian besar terjadi pada individu dengan kesulitan mobilisasi/ aktivitas, sebagai dampak pada kemampuan individu mengubah posisi, adalah mengurangi tekanan pada penonjolan tulang (Fisher et al, 2004; Lindgren et al, 2004; Robertson et al, 1990 dalam Moore & Etten, 2011). Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepal bagian belakang (NSW Health, 2003).
Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ulkus dekubitus pada Tn.M, yang pertama adalah kadar albumin. Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berisiko terjadinya luka dekubitus. Pada keadaan hipoalbuminemia akan terjadi perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter & Perry, 2005). Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991). Hal ini sesuai dengan data pada Tn.M, albumin (22 Mei)= 2,60g/dl. Albumin yang rendah pada pasien akan meningkatkan risiko terbentuknya ulkus dekubitus.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
41
Faktor yang kedua adalah anemia. Hasil hematologi Tn.M (22 Mei), Hb= 8,5g/dl. Terlihat kadar Hb pasien sangat rendah dimana Hb normal pada laki-laki adalah 1317g/dl. Kadar hemoglobin yang rendah akan mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga jaringan akan kekurangan nutrisi dan oksigen yang dapat menyebabkan gangguan penyembuhan luka dan berisiko terjadinya ulkus dekubitus (Potter & Perry, 2005).
Faktor yang ketiga adalah obesitas. Sebenarnya jaringan adiposa baik dalam mencegah terjadinya ulkus dekubitus karena dapat sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Tetapi pada pasien dengan obesitas, jaringan adiposa mengalami vaskularisasi yang buruk sehingga rentan terhadap terjadinya luka akibat iskemi (Brunner&Suddarth, 2002). Tn. M dengan BB= 72kg dan TB=170cm, jika dihitung IMT klien= 24,91 ini tergolong ke dalam berat badan lebih dengan risiko.
Faktor yang keempat adalah demam. Selama dirawat klien hampir setiap hari demam disertai meriang hebat dan klien juga mengalami diaforesis. Klien juga sering mengalami demam dan meriang dan mengalami diaforesis. Demam yang terjadi akan meningkatkan metabolisme tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia semakin rentan mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaforesis dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter&Perry, 2005).
Selain dari faktor predisposisi tersebut, Scotts (1998) dalam Potter&Perry (2005) mengatakan dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Pada dasarnya kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler, yaitu lebih besar
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
42
dari 32mmHg akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry, 2005).
Kulit sendiri mempunyai mekanisme fisiologis dalam mencegah kerusakan kulit yaitu melalui mekanisme hiperemia reaktif. Hiperemia reaktif akan efektif hanya apabila tekanan dihilangkan sebelum terjadi kerusakan. Luka tekan itu sendiri dapat terjadi dalam waktu 3 hari sejak terpaparnya kulit akan tekanan (Reddy, 1990 dalam Vanderwee et al, 2006). Hiperemia reaktif akan membanjiri jaringan yang iskemi dengan
darah
sehingga
vaskularisasi
membaik.
Peningkatan
aliran
darah
meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke dalam jaringan dan nekrosis jaringan yang tertekan dapat dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller, 1991 dalam Potter&Perry, 2005).
Intervensi yang dilakukan kepada Tn. M adalah dengan memanfaatkan mekanisme hiperemia reaktif ini yaitu dengan melakukan positioning dengan memberikan posisi miring 30 derajat setiap 2 jam. Krapl & Gray (2008), dalam penelitiannya mengatakan memposisikan pasien adalah komponen yang penting dalam mencegah luka tekan, dan termasuk memindahkan pasien ke posisi yang berbeda atau menghilangkan atau memindahkan tekanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain. Tn. M merupakan pasien dengan fraktur kompresi post-op stabilisasi lumbal. Klien dikelola selama 9 hari mulai tanggal 27 Mei-5 Juni 2013 dan rutin dilakukan setiap hari. Setiap shift dinas/ 8 jam, pasien diubah posisi miring kiri-kanan dengan posisi 30 derajat per 2 jam sebanyak dua kali. Adapun cara mengatur posisi 30 derajat dijelaskan oleh Bryant (2000) dalam Tarihoran (2010), pertama, pasien persis ditempatkan di tengah tempat tidur dengan menggunakan bantal untuk menyangga
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
43
kepala dan leher. Selanjutnya tempatkan satu bantal pada sudut anatar bokong dan matras, dengan cara miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan memanjang diantara kedua kaki. Berdasarkan hasil intervensi yang dilakukan selama 9 hari, penerapan perubahan posisi dengan miring 30 derajat berhasil dilakukan terbukti dengan tidak terbentuknya ulkus dekubitus selama pasien dirawat di rumah sakit.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan a. Tirah baring dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko terjadinya ulkus dekubitus pada pasien b. Pasien dengan gangguan muskuloskeletal mengalami hambatan dalam mobilisasi sehingga berisiko mengalami ulkus dekubitus c. Pemberian postioning dengan posisi 30 derajat dengan miring kiri-kanan setiap 2 jam mencegah terbentuknya ulkus dekubitus pada pasien
5.2 Saran a. Ruangan Pengkajian risiko terjadinya ulkus dekubitus pada setiap pasien baru sudah dilakukan dengan baik oleh perawat di ruangan tetapi observasi terhadap pasien setiap hari dan tindakan pencegahan ulkus dekubitus perlu ditingkatkan, seperti memposisikan miring kiri-kanan setiap 2 jam. Ruangan juga sudah memfasilitasi benda-benda dalam mencegah pembentukan ulkus dekubitus, seperti penggunaan bantal tambahan untuk menyangga punggung dan pada pasien dengan immmobilisasi. b. Keperawatan Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tenaga profesional kesehatan khususnya perawat dalam melakukan asuhan keperawatan terkait usaha pencegahan terbentuknya ulkus dekubitus selama rawat inap. Mengidentifikasi setiap pasien dengan tirah baring lama terhadap risiko dekubitus, mengkaji, mendokumentasikan, dan melakukan usaha dalam
43
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
44
pencegahan dekubitus. Intervensi yang tepat dapat mengurangi komplikasi pada pasien dan menghindari cost tambahan pada pasien. c. Institusi Pendidikan Diharapkan penulisan ini dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber referensi dan dapat diaplikasikan dalam proses belajar mengajar. Institusi pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk tempat sosialisasi informasi dan membekali mahasiswa yang akan menjadi calon-calon perawat profesional
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M. & Hawk, J.H. (2005). Medical surgical nursing: clinical management for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders Defloor, T. (2007). The effect of various combinations of turning and pressure reducing devices on the incidence of pressure ulcer. International journal of nursing studies. Volume: 42 page 37-46. Retrieved from http://www.ebscohost.com on June 28, 2013 Doenges, M., dkk. (1999). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien (M. Kariasa & N. M. Sumarwati, Terj.). Edisi 3. Jakarta: EGC. Maeno, Y., et all. (2009). Significant Association of fracture of the lumbar spine with mortality in female hemodialysis patients: a prospective observational study. Calcif Tissue Int. March 9, 2009, 85: 310-316 Moore, Z. & Etten, M. (2011). Repositioning and pressure ulcer prevention in the seated individual. Wounds UK Vol 7/No.3 NPUAP-EPUAP (National Pressure Ulcer Advisory Panel-European Pressure Ulcer Advisory Panel). (2009). Quick reference Guide Washington DC NSW Department of Health. (2003). Prevention of pressure ulcers: community care settings Pearce, E.C. (2000). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Salemba Empat Potter & Perry. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed-4. Vol 1. Jakarta: EGC
45
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
46
Robertson, J., et all. (2012)Pressure ulcer prevention and treatment: clinical practice guideline Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Ed-2. Jakarta: EGC Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth: textbook of medical surgical nursing. 8th Edition. Vol 3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Sudoyo, A.W., et all. (2006). Ilmu penyakit dalam. Ed-IV. Jilid ke-III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI Tarihoran, D. (2010).
Retrived from www.lontar.ui.ac.id on July 1, 2013
Toroyan, T., et all. (2013). The global status report on road safety on 2013: supporting a decade on action Tran, N.T. (2007). Evaluating an intervention to prevent motorcycle injuries in Malaysia: process, perfomance, and policy. Vanderwee, K., Grypdonck, Bacquer, De., Defloor, T. (2006). Effectiveness of turning with unequal time intervals on the incidence of pressure ulcer lesions. Journal of advanced nursing Volume: 57 Page 59-68. Retreved from htttp://www.ebscohost.com on June 20, 2013 Young. (2004). The 30o tilt position vs the 900 lateral and supine positions in reducing the incidence on non blanching erythema in a hospital inpatient population. Journal of tissue visiability. Volume: 14 Number: 3. Retrieved from http://www.ebscohost.com on June 18, 2013 http://www.harianterbit.com/2013/04/27/kematian-akibat-kecelakaanmotor-masih-mendominasi/ diunduh tanggal 27 Juni 2013 http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintasmenjadi-pembunuh-terbesar-ketiga diunduh tangal 27 Juni 2013 http://metro.sindonews.com/read/2013/05/07/31/746261/setiap-tahunjumlah-kecelakaan-di-depok-meningkat diuduh tanggal 27 Juni 2013
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Lampiran CATATAN PERKEMBANGAN TN. M (27 Mei-5 juni 2013)
Tanggal 27 Mei 2013
Diagnosa Keperawatan Nyeri
-
-
28 Mei 2013
Nyeri
-
Implementasi Keperawatan Mengkaji jenis, lokasi, kapan nyeri timbul, durasi, serta cara klien mengontrol nyeri Mengukur tanda-tanda vital Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam Teknik distraksi: mengajak klien berinteraksi dengan mengobrol Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
Mengukur tanda-tanda vital Mengkaji ketidaknyamanan klien Mengevaluasi teknik napas dalam yang telah diajarkan Membimbing klien untuk melakukan guide imagery
Evaluasi S: -
Skala nyeri 5 Nyeri pada sternum, pinggul kanan, dan lumbal Nyeri tajam seperti ditusuk Nyeri timbul bila luka ditekan tetapi kalau tidak ditekan tidak sakit Dada terasa nyeri saat melakukan teknik napas dalam
O: TD= 130/80 mmHg HR= 103x/menit RR= 22x/menit Suhu: 37,8oC Klien terlihat meringis saat melakukan teknik napas dalam A: masalah nyeri belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital - Kolaborasi pemberian analgesik - Mengajarkan teknik relaksasi yang lain: Guide Imagery S: - Dada sakit saat melakukan tarik napas dalam O: - TD= 120/80 mmH - HR= 100x/menit - RR= 20x/menit
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
(Lanjutan)
29 Mei 2013
Nyeri
-
Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
-
Mengukur tanda-tanda vital Mengevaluasi cara melakukan guide imagery yang telah diajarkan Memantau adanya pembengkakan pada area yang cedera Mengkaji perubahan skala nyeri dan lokasi Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
-
30 Mei 2013
Nyeri
-
Mengukur tanda-tanda vital Motivasi klien untuk membayangkan hal-hal yang indah sambil melakukan tarik napas dalam bila dada tidak terasa
Suhu= 37,7oC Klien meringis saat melakukan teknik napas dalam - Klien terlihat lebih rileks setelah dipandu untuk melakukan guide imagery - Klien tertidur A: masalah nyeri belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital - Mengkaji kemungkinan infeksi dari nyeri tersebut S: - Skala nyeri berkurang menjadi 4 - Nyeri pada daerah pinggul kanan, sternum, dan lumbal O: - TD= 120/80mmHg - HR= 88x/menit - RR= 20x/menit - Suhu- 36,5oC - Terlihat lebih rileks - Tidak ada edema pada sternum dan lumbal A: masalah nyeri belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital - Mengkaji kemungkinan infeksi dari tanda nyeri tersebut - Kolaborasi pemberian analgesik S: - Skala nyeri 4 - Masih terasa nyeri pada daerah pinggul kanan O:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
(Lanjutan)
-
31 Mei 2013
Nyeri
-
-
1 Juni 2013
Nyeri
-
sakit lagi Memantau adanya pembengkakan di area yang cedera Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
Mengukur tanda-tanda vital Memantau adanya pembengkakan di area yang cedera Motivasi klien untuk membayangkan hal-hal yang indah sambil melakukan tark napas dalam bila dada tidak terasa sakit lagi Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
Mengukur tanda-tanda vital Memantau adanya pembengkakan di area yang cedera Motivasi klien untuk melakukan teknik napas dalam
- TD: 120/80 mmHg - HR= 84x/menit - RR= 20x/menit - Suhu= 37,8oC - Tidak ada edema pada sternum dan lumbal A: masalah nyeri belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital - Mengkaji kemungkinan infeksi dari nyeri tersebut - Kolaborasi pemberian analgesik S: - Skala nyeri 3 - Nyeri pada saat luka ditekan/ digerakkan - Nyeri pada sternum, lumbal, dan pinggul kanan O: - TD= 120/80 mmHg - HR= 90x/menit - RR= 21x/menit - Suhu= 37,8oC - Tidak ada edema pada sternum dan lumbal A: masalah nyeri belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital - Mengkaji kemungkinan infeksi dari nyeri tersebut - Kolaboasi pemberian analgesik S: - Skala nyeri 3 - Nyeri pada saat luka ditekan/digerakkan - Nyeri pada daerah sternum, lumbal, dan pinggul kanan
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan) -
3 Juni 2013
Nyeri
-
4 Juni 2013
Nyeri
-
Mengukur perubahan skala nyeri, lokasi, jenis, serta durasi nyeri Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
Mengukur tanda-tanda vital Memantau adanya pembengkakan di area yang cedera Motivasi klien untuk melakukan teknik napas dalam Mengukur perubahan skala nyeri, lokasi, jenis, serta durasi nyeri Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
Mengukur tanda-tanda vital Memantau adanya pembengkakan di
O: - TD= 120/80 mmHg - HR= 88x/menit - RR= 20x/menit - Suhu= 38,7oC - Tidak ada edema pada sternum dan lumbal A: masalah nyeri belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital - Kolaborasi pemberian analgesik - Bila nyeri meningkat, konsul pain service S: - Skala nyeri berkurang menjadi 2 - Sudah mempraktekkan teknik napas dalam bila terasa nyeri - Luka pada sternum masih nyeri, luka pada lumbal tidak nyeri lagi O: - TD= 120/80 mmHg - HR= 82x/menit - RR= 20x/menit - Suhu= 37,7oC - Nyeri tekan pada lumbal negatif, pada sternum positif A: masalah nyeri teratasi sebagian P: - Monitoring tanda-tanda vital - Monitoring dan waspadai adanya nyeri yang meningkat - Kolaborasi pemberian analgesik S: - Nyeri sudah berkuarng, skala 1-2
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
-
5 Juni 2013
Nyeri
-
area yang cedera Mengukur perubahan skala nyeri, lokasi, jenis, serta durasi nyeri Motivasi klien untuk melakukan teknik napas dalam Kolaborasi: Pemberian tramadol 1 ampul (100gr) di drip dalam NaCl 0,9% 500ml/ 8 jam
Mengukur tanda-tanda vital Memantau adanya pembengkakan di area yang cedera Mengukur perubahan skala nyeri, lokasi, jenis, serta durasi nyeri Motivasi klien untuk melakukan teknik napas dalam
-
Sudah mempraktekkan teknik napas dalam bila terasa nyeri Luka pada sternum masih nyeri, luka pada lumbal tidak nyeri lagi
O: TD= 110/80 mmHg HR= 82x/menit RR= 20x/menit Suhu= 37,2oC Nyeri tekan pada lumbal negatif, pada sternum positif - Tarik napas dalam sudah dengan tepat dilakukan A: masalah nyeri teratasi sebagian P: - Monitoring tanda-tanda vital - Monitoring dan waspadai adanya nyeri yang meningkat - Kolaborasi pemberian analgesik - Rencana pulang besok S: - Nyeri sudah berkurang, skala 1-2 - Sudah teratur mempraktekkan tarik napas dalam bila terasa nyeri - Tidak nyeri lagi pada luka sternum dan lumbal O: - TD= 120/80 mmHg - HR= 88x/menit - RR= 20x/menit - Suhu= 36,6 - Nyeri tekan pada lumbal dan sternum negatif A: masalah nyeri sudah teratasi
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
(Lanjutan) P: -
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Rencana rehab medik
(Lanjutan) Tanggal 27 Mei 2013
Diagnosa Keperawatan Risiko Infeksi
-
-
-
28 Mei 2012
Risiko Infeksi
-
Implementasi Keperawatan Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Mengkaji adanya peningkatan keluhan nyeri, edema, drainase/ bau tidak sedap, eritema Mengukur suhu tubuh Melakukan perawatan luka dengan teknik steril Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
Mengukur suhu tubuh Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit
Evaluasi S: -
Setiap sore dan malam hari meriang Selalau berkeringat Seluruh badan terasa sakit Nyeri tekan pada luka post-op
O: Suhu= 37,8oC Leukosit (22/5)= 2,60 g/dl Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula. Nyeri tekan positif. - Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada kemerahan sekita luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula. - Terdapat plebitis pada tangan kiri A: masalah risiko infeksi belum teratasi P: - Monitoring suhu - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik S: - Setiap sore dan malam meriang - Selalu berkeringat - Seluruh badan terasa sakit - Nyeri tekan pada sternum O: - Suhu= 37,7oC - Terdapat plebitis pada tangan kiri - Luka pada sternum: luka rembes. Terdapat pus,
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
(Lanjutan)
-
29 Mei 2013
Risiko Infeksi
-
-
30 Mei 2013
Risiko Infeksi
-
kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
Mengukur suhu tubuh Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum dan lumbal Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Melakukan kompres hangat pada klien Menganjurkan klien untuk banyak minum air putih Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram Paracetamol 1 tablet
Mengukur suhu tubuh
darah, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak sedap. Nyeri tekan posisitf. A: masalah risiko infeksi belum teratasi P: - Monitoring suhu tubuh - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik S: - Setiap sore dan malam hari meriang - Selalau berkeringat - Seluruh badan terasa sakit - Nyeri tekan pada sternum O: - Suhu= 37,9oC - Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula. Nyeri tekan positif. - Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada kemerahan sekita luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula. - Aff drain di lumbal oleh dokter - CVC masih terpasang A: masalah risiko infeksi belum teratasi P: - Monitoring suhu - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik - Konsul dokter anestesi untuk aff CVC S:
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan) -
-
31 Mei 2013
Risiko Infeksi
-
-
Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Melakukan kompres hangat pada klien Menganjurkan klien untuk banyak minum air putih Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram Farmadol Mengukur suhu tubuh Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum dan lumbal Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Melakukan kompres hangat pada klien Menganjurkan klien untuk banyak minum air putih Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
-
Setiap sore dan malam meriang Selalu berkeringat Seluruh badan terasa sakit Nyeri tekan pada sternum
O: Suhu= 38,5oC Luka pada sternum: luka rembes. Terdapat pus, darah, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak sedap. Nyeri tekan posisitf. A: masalah risiko infeksi belum teratasi P: - Monitoring suhu tubuh - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik - Konsul dokter anestesi belum dijawab S: - Setiap sore dan malam hari meriang - Selalau berkeringat - Seluruh badan terasa sakit - Nyeri tekan pada luka sternum O: - Suhu= 37,8oC - Leukosit (22/5)= 2,60 g/dl - Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula. Nyeri tekan positif. - Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada kemerahan sekita luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
(Lanjutan) Farmadol
1 Juni 2013
Risiko Infeksi
-
-
3 Juni 2013
Risiko Infeksi
-
Mengukur suhu tubuh Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Melakukan kompres hangat pada klien Menganjurkan klien untuk banyak minum air putih Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram Farmadol Mengukur suhu tubuh Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum dan lumbal Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan
A: masalah risiko infeksi belum teratasi P: - Monitoring suhu - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik - Follow up kembali dokter anestesi untuk aff CVC S: - Setiap sore dan malam meriang - Selalu berkeringat - Seluruh badan terasa sakit - Nyeri tekan pada sternum O: - Suhu= 38,7oC - Luka pada sternum: luka rembes. Terdapat pus, darah, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak sedap. Nyeri tekan positif. - Aff CVC oleh dokter anestesi A: masalah risiko infeksi belum teratasi P: - Monitoring suhu tubuh - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik S: - Setiap sore dan malam hari meriang - Selalau berkeringat - Seluruh badan terasa sakit - Nyeri tekan pada luka sternum O: - Suhu= 37,7oC - Luka pada sternum: terdapat pus, darah, luka
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
-
4 Juni 2013
Risiko Infeksi
-
-
5 Juni 2013
Risiko Infeksi
-
bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Aff hecting pada luka post-op di lumbal Melakukan kompres hangat pada klien Menganjurkan klien untuk banyak minum air putih Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram Farmadol
Mengukur suhu tubuh Menginspeksi luka terhadap tandatanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Kolaborasi: Pemberian ceftriaxone 2x1 gram
Mengukur suhu tubuh Menginspeksi luka terhadap tanda-
rembes. Tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula. Nyeri tekan positif. - Luka pada lumbal: terdapat pus, darah. Luka rembes. Nyeri tekan positif. Tidak ada kemerahan sekita luka, tidak ada edema, ekimosis, bau tidak sedap, bula. Aff hecting. A: masalah risiko infeksi belum teratasi P: - Monitoring suhu - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik S: - Tidak demam dan meriang lagi - Tidur malam nyenyak - Nyeri tekan pada sternum O: - Suhu= 37,2oC - Luka pada sternum: luka tidak rembes. Darah ada, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada pus, edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak sedap. Nyeri tekan positif. - Luka pada lumbal sudah kering A: masalah risiko infeksi teratasi sebagian P: - Monitoring suhu tubuh - Monitoring hasil lab: leukosit - Kolaborasi pemberian antibiotik - Edukasi cara perawatan di rumah tentang cara menurunkan panas kepada anggota keluarga S: - Tidak demam dan meriang lagi
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
(Lanjutan)
-
-
tanda infeksi Melakukan perawatan luka pada sternum dan lumbal Observasi adanya peningkatan keluhan nyeri Observasi luka terhadap pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak sedap Memberikan edukasi pada anggota keluarga tentang kompres hangat dan peningkatan jumlah cairan saat demam
-
Tidur malam nyenyak Nyeri tekan pada sternum
O: Suhu= 36,7oC Luka pada sternum: luka tidak rembes. Darah ada, tidak ada kemerahan sekitar luka, tidak ada pus, edema, ekimosis, bula, krepitasi, bau tidak sedap. Nyeri tekan positif. - Luka pada lumbal sudah kering A: masalah risiko infeksi teratasi sebagian P: Pulang hari ini
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
(Lanjutan) Tanggal 27 Mei 2013
Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik
-
Implementasi Keperawatan Mengkaji kemampuan fungsional klien Mengukur kekuatan otot klien Meningkatkan motivasi dan kepatuhan klien untuk setiap latihan fisik Melatih ROM aktif dan pasif pada kedua ekstremitas atas dan bawah Mengukut tanda-tanda vital sebelum dan setelah ROM
Evaluasi S: -
-
Kedua tangan dan kaki bisa digerakkan tetapi kadang terasa sakit karena luka di punggung tertarik ADL dibantu keluarga dan perawat
-
Kekuatan otot: 5555
O:
5555 5555 Dapat melakukan ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah - Memotivasi klien untuk terus melatih ekstremitas - TTV sebelum ROM: TD= 130/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 97x/menit Suhu= 37,8oC - TTV setelah ROM: TD= 130/80 mmHg RR= 22x/menit HR= 99x/menit Suhu= 37,8oC - Klien terlihat lemah A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi P: - Lakukan ROM secara berkala - Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM S: - Takut untuk melatih tangan dan kaki karena luka di punggung akan terasa sakit - ADL dibantu oleh keluarga dan perawat O: - Dapat melakukan ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah -
28 Mei 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
-
Melatih ROM aktif dan pasif pada kedua ekstremitas atas dan bawah Meningkatkan motivasi klien untuk melakukan ROM Mengukur tanda-tanda vital sebelum dan setelah ROM
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
5555
(Lanjutan) -
29 Mei 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
ROM tidak dilakukan karena klien menolak
30 Mei 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
ROM tidak dilakukan karena klien demam dan terlihat sangat lemah
31 Mei 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
ROM tidak dilakukan karena klien demam dan
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
TTV sebelum ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 97x/menit Suhu= 37,7oC - TTV setelah ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 21x/menit HR= 100x/menit Suhu= 37,7oC A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi P: - Lakukan ROM secara berkala - Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM S: - Klien mengatakan tidak enak badan dan kepala pusing O: TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 88x/menit Suhu= 37,9oC - Terlihat lemah dan pucat A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital klien S: - Klien mengatakan tidak enak badan dan kepala pusing O: TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 84x/menit Suhu= 38,5oC - Terlihat lemah dan pucat - Diaforesis A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital klien S:
(Lanjutan) terlihat sangat lemah
-
Klien mengatakan tidak enak badan dan kepala pusing
O:
1 Juni 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
-
3 Juni 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
-
Mengukur tanda-tanda vital sebelum dan setelah ROM Melatih ROM pasif pada kedua ekstremitas atas dan bawah Memotivasi klien untuk melakukan ROM
Mengukur tanda-tanda vital sebelum dan setelah ROM Melatih ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah Memotivasi klien untuk melakukan
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
TD= 120/80 mmHg RR= 21x/menit HR= 90x/menit Suhu= 38,5oC - Terlihat lemah dan pucat - Diaforesis A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi P: - Monitoring tanda-tanda vital klien S: - Kepala terasa pusing sehingga tidak kuat untuk latihan - ADL dibantu oleh keluarga dan perawat O: - Dilakukan ROM pasif pada kedua ekstremitas atas dan bawah - TTV sebelum ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 88x/menit Suhu= 38,7oC - TTV setelah ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 21x/menit HR= 90x/menit Suhu= 37,7oC A: masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi P: - Lakukan ROM secara berkala - Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM S: - ADL dibantu oleh keluarga dan perawat O: - Dapat melakukan ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah
(Lanjutan)
-
4 Juni 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
-
ROM Membantu pemasangan brace pada klien
Mengukur tanda-tanda vital sebelum dan setelah ROM Melatih ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah Memotivasi klien untuk melakukan ROM Membantu klien belajar duduk di pinggir tempat tidur
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
TTV sebelum ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 82x/menit Suhu= 37,7oC - TTV setelah ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 22x/menit HR= 84x/menit Suhu= 37,7oC - Latihan pemasangan brace A: masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian P: - Lakukan ROM secara berkala - Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM - Latihan duduk di pinggir tempat tidur besok S: - ADL partial care - Sudah bisa makan sendiri dengan duduk O: - Dapat melakukan ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah - TTV sebelum ROM: TD= 110/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 82x/menit Suhu= 37,2oC - TTV setelah ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 22x/menit HR= 84x/menit Suhu= 37,2oC - Klien dapat duduk di pinggir tempat tidur A: masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian P: - Lakukan ROM secara berkala - Mengukur TTV sebelum dan setelah ROM - Latihan berdiri besok
(Lanjutan)
5 Juni 2013
Hambatan Mobilitas Fisik
-
Mengukur tanda-tanda vital sebelum dan setelah ROM Melatih ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah Memotivasi klien untuk melakukan ROM Memantu klien untuk belajar berdiri
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
-
Rencana konsul dengan rehab medik
-
ADL partial care Sudah bisa makan sendiri dengan duduk
S:
O: -
Dapat melakukan ROM aktif pada kedua ekstremitas atas dan bawah - TTV sebelum ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 20x/menit HR= 88x/menit Suhu= 36,5oC - TTV setelah ROM: TD= 120/80 mmHg RR= 22x/menit HR= 90x/menit Suhu= 36,5oC - Klien dapat berdiri tegak dengan mengunakan brace A: masalah hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian P: - Kunjungan ke rehab medik secara berkala
(Lanjutan) Tanggal 27 Mei 2013
Diagnosa Keperawatan Gangguan Integritas Kulit
28 Mei 2013
Gangguan Integritas Kulit
Implementasi Keperawatan - Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya kemerahan, perdarahan, dan perubahan warna - Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam - Menyangga punggung dengan bantal - Mengganti laken - Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil
-
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Evaluasi S: - Mengeluh nyeri pada daerah punggung dan dada O: - Klien post-op stabilisasi lumbal - Post ORIF fraktur sternum - Terdapat luka pada lumbal, sternum, dan vulnus pada sisi lateral tubuh sebelah kanan - Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Luka pada lumbal: luka rembes, ada pus, dan darah, panjang ± 10cm - Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes, ada pus dan darah A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi P: - Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2 jam - Masase kulit dan daerah penonjolan tulang S: - nyeri pada daerah punggung dan dada O: - Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes, ada pus dan darah A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi
(Lanjutan) P: 29 Mei 2013
Gangguan Integritas Kulit
-
30 Mei 2013
Gangguan Integritas Kulit
-
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil Membantu memandikan klien
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil Membantu memandikan klien
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2 jam Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
S: -
Mengeluh nyeri pada daerah punggung dan dada
O: -
Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Luka pada lumbal: luka rembes, ada pus, dan darah, panjang ± 10cm - Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes, ada pus dan darah A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi P: - Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2 jam - Masase kulit dan daerah penonjolan tulang S: - nyeri pada daerah punggung dan dada O: - Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes, ada pus dan darah A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi P:
(Lanjutan) 31 Mei 2013
Gangguan Integritas Kulit
-
1 Juni 2013
Gangguan Integritas Kulit
-
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2 jam Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
S: -
Mengeluh nyeri pada daerah punggung dan dada
O: -
Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Luka pada lumbal: luka rembes, ada pus, dan darah, panjang ± 10cm - Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes, ada pus dan darah A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi P: - Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2 jam - Masase kulit dan daerah penonjolan tulang S: - nyeri pada daerah punggung dan dada O: - Luka pada sternum: luka rembes, ada pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes, ada pus dan darah A: masalah gangguan integritas kulit belum teratasi P: - Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2
(Lanjutan)
3 Juni 2013
Gangguan Integritas Kulit
-
4 Juni 2013
Gangguan Integritas Kulit
-
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil Membantu memandikan klien
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil Membantu memandikan klien
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
jam Masase kulit dan daerah penonjolan tulang
S: -
nyeri pada daerah dada, luka pada punggung tidak nyeri lagi
O: -
Luka pada sternum: luka tidak rembes, ada pus, darah tidak ada, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Luka pada lumbal: luka kering, tidak ada pus dan darah, panjang ± 10cm - Vulnus pada sisi lateral kanan tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka tidak rembes, tidak ada pus, darah ada A: masalah gangguan integritas kulit teratasi sebagian P: - Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2 jam - Masase kulit dan daerah penonjolan tulang S: - nyeri pada daerah dada, luka pada punggung tidak nyeri lagi O: - Luka pada sternum: luka tidak rembes, ada pus dan darah, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka rembes, tidak ada pus, darah ada A: masalah gangguan integritas kulit teratasi
(Lanjutan)
5 Juni 2013
Gangguan Integritas Kulit
-
Mengkaji kulit di sekitar luka terhadap adanya tanda-tanda infeksi Memberikan posisi miring kiri-kanan/ 2 jam Menyangga punggung dengan bantal Mengganti laken Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil Edukasi tentang perawatan kulit di rumah
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
sebagian P: - Ubah posisi klien dengan miring kiri-kanan/ 2 jam - Masase kulit dan daerah penonjolan tulang - Edukasi pasien dan anggota keluarga tentang perawatan kulit di rumah S: - nyeri pada daerah dada, luka pada punggung tidak nyeri lagi O: - Luka pada sternum: luka tidak rembes, ada pus, darah tidak ada, diameter ± 2cm, panjang ± 3cm - Luka pada lumbal: luka kering, tidak ada pus dan darah, panjang ± 10cm - Vulnus pada sisi lateral kaann tubuh: Diameter ±3cm, panjang ±2cm, luka tidak rembes, tidak ada pus, darah ada A: masalah gangguan integritas kulit teratasi sebagian P: - Ganti balutan secara berkala ke rumah sakit
POSITIONING LATERAL 30 DERAJAT PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR MULTIPLE DI RSUP FATMAWATI Sylvana,S.Kep*, Dr. Roro Tutik, S.Kp., MARS** Sylvana, Mahasiswa Profesi 2012, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus FIK UI Depok 16424 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kecelakaan lalu lintas banyak menimbulkan dampak salah satunya adalah fraktur. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan/ atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sedangkan multiple fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang lebih dari satu bagian tubuh. Praktik profesi dilakukan di Gedung Prof. Dr. Soelarto Lt. I RSUP Fatmawati pada pasien dengan multiple fraktur dengan menerapkan intervensi positioning lateral 30 derajat guna mencegah ulkus decubitus. Pasien yang mengalami fraktur mengalami hambatan mobilisasi sehingga berisiko mengalami ulkus decubitus. Asuhan keperawatan diberikan dari tanggal 27 Mei sampai 5 Juni 2013, hasilnya menunjukan bahwa ulkus decubitus tidak terbentuk pada pasien. Perubahan posisi harus dilakukan oleh perawat untuk mencegah terbentuknya ulkus decubitus pada pasien dengan hambatan mobilisasi. Kata Kunci: Mutiple fraktur, ulkus decubitus, positioning lateral 30 derajat
ABSTRACT Road traffic injuries have many impacts one of them is fracture. Fracture is a broken off the continuity of bone and/ or cartilage generally caused by over pressure, whereas multiple fracture is a broken off the continuity of bone more than one part of the body. The clinical practice was done at Prof. Dr. Soelarto’s Building 1st floor RSUP Fatmawati with multiple fracture patient and did intervention lateral 30 degree positioning due to prevent decubitus ulcer. Patient who have fracture have a barrier to mobile as a result take a risk to have a decubitus ulcer. Nursing intervention is given during May 27 until June 5 2013, the result shows that decubitus ulcer is not formed in patient. Changing position should be give by nurse to prevent decubitus ulcer in patient with have a barrier to mobile. Keywords: Multiple fracture, decubitus ulcer, lateral 30 degree position
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Pendahuluan Tingginya angka transportasi tidak jarang menimbulkan dampak buruk, salah satunya adalah kecelakaan lalu lintas. Dalam dua tahun terakhir ini, kecelakaan lalu lintas di Indonesia oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/TBC. Di Indonesia, jumlah kendaraan bermotor meningkat setiap tahunnya, data dari Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan, kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai 120.226 kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas dalam setahun. Hampir setiap hari terjadi kecelakaan sepeda motor yang mengakibatkan meninggal dunia, luka berat dan luka ringan. Salah satu akibat dari kecelakaan lalu lintas adalah fraktur atau patah tulang. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan (Black, 2005). Penyebab utama terjadinya fraktur adalah cidera atau benturan, kondisi patologis (tumor, kanker, osteoporosis, osteomelitis), mengangkat beban terlalu besar (Price & Wilson, 2006). Proses penyembuhan fraktur memakan waktu yang tidak sebentar sekitar 6 bulan sampai 1 tahun (Smeltzer & Bare, 2006). Selama di rumah sakit pasien fraktur mengalami tirah baring dalam jangka waktu yang cukup lama. Lamanya tirah baring tergantung penyakit atau tingkat keparahan fraktur dan status kesehatan klien. Tirah baring bertujuan untuk mengurangi nyeri pasca operasi dan mengurangi aktivitas fisik serta memberikan kesempatan kepada klien untuk beristirahat tetapi tirah baring yang lama juga akan menimbukan komplikasi yaitu terbentuknya ulkus decubitus pada pasien. Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnaya dalam jangka panjang (Potter & Perry, 2005). Luka tekan sebagian besar terjadi pada individu dengan kesulitan mobilisasi/ aktivitas, sebagai dampak pada kemampuan individu mengubah posisi, adalah mengurangi tekanan pada penonjolan tulang (Fisher et al, 2004; Lindgren et al, 2004; Robertson et al, 1990 dalam Moore & Etten, 2011). Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepala bagian belakang (NSW Health, 2003). Salah satu pencegahan terjadinya ulkus dekubitus adalah dengan positioning. Krapl & Gray (2008), dalam penelitiannya mengatakan memposisikan pasien adalah komponen yang penting dalam mencegah luka tekan, dan termasuk memindahkan pasien ke posisi yang berbeda atau menghilangkan atau memindahkan tekanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain. Ruang GPS Lt. I RSUP Fatmawati merupakan ruangan khusus ortopedi dengan rata-rata pasien mengalami keterbatasan mobilisasi karena gangguan muskuloskeletal. Pasien dengan gangguan muskuloskeletal berisiko mengalami ulkus dekubitus karena keterbatasan gerak dan nyeri jika bagian tubuh yang cedera dimobilisasi. Meningkatnya angka kejadian ulkus dekubitus di ruang rawat pada pasien dengan gangguan muskuloskeletal perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu cara mengatasi terbentuknya ulkus dekubitus adalah dengan perubahan posisi. Perubahan posisi lateral 300 setiap 2 jam akan mengurangi tekanan pada bagian punggung.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Laporan Kasus Kelolaan Utama Tn. M (24 tahun) merupakan klien post ICU. Klien dirawat di ICU selama 3 minggu. Klien mengatakan sebelumnya klien merupakan korban tabrak lari sebuat taxi. Klien sedang mengendarai motor dengan istrinya dan tiba-tiba taxi menabrak motornya dari belakang. Istri klien terpental sejauh kira-kira 20 meter dan Tn. M langsung tidak sadarkan diri di tempat. Kemudian klien dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati. Dari hasil rontgen, klien mengalami fraktur costae ke-VI, fraktur 1/3 sternum, dan fraktur lumbal ke-III. Hasil CT Scan Kepala terlihata danya perdarahan dan klien mengalami cedera kepala sedang. Hasil rontegen Thorax: terlihat fraktur sternum 1/3 posterior pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior, fraktur costae ke-VI anterior kiri, dan contusio paru. Klien saat ini sudah menjalani 2x operasi, yaitu post stabilisasi post ec fraktur kompresi lumbal ke-III tanggal 6 Mei 2013 dan post ORIF fraktur sternum tanggal 9 Mei 2013. Saat ini klien mengeluh nyeri dada pada luka post operasi di daerah lumbal dan klien meringis saat penggantian balutan di 1/3 sternum. Klien juga mengatakan sering meriang. Terlihat hematom pada mata kiri dan kanan dan klien sering berkeringat. Tabel 1 Analisis Data pada Tn. M di Jakarta Tahun 2013 Data Subjektif DS: DO: DS: D0: DS: -
Masalah Keperawatan Nyeri
Skala nyeri 5, pada daerah dada dan punggung Nyeri tajam seperti ditusuk-tusuk Durasi nyeri < 3 menit Diaforesis TD=130/80 mmHg Luka post-op daerah lumbal & sternum Vulnus pada bokong & sisi lateral tubuh sebelah kiri Meringis saat GV Risiko Infeksi Nyeri pada luka post-op Setiap sore dan malam meriang Selalu berkeringat Nyeri pada seluruh tubuh Suhu: 38,5o C Leukosit (22/5): 11,4 ribu/Ul Luka pd sternum & lumbal: luka rembes, pus (+), darah (+), nyeri tekan (+) Plebitis (+) pada tangan kiri CVC (+) Drain pada lumbal Hambatan Mobilitas Fisik Sulit bergerak karena luka post-op terasa nyeri Lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur ADL dibantu keluarga & perawat
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
DO: DS: DO: -
Klien bedrest Post-op stabilisasi lumbal dan ORIF sternum Gangguan Integritas Kulit Sering berkeringat Luka pd sternum: rembes (+), pus(+), darah (+), panjang ± 2cm, daimeter ± 2cm Luka pd lumbal: rembes (+), pus (+), darah (+), panjang ± 10cm Vulnus pd sisi lateral kanan tubuh: rembes (+), pus (+), darah (+), diameter ± 3cm, panjang ± 2cm
Diagnosis keperawatan yang menjadi fokus utama untuk memberikan intervensi keperawatan: gangguan integritas kulit b.d prosedur pembedahan dan nyeri akut b.d post stabilisasi lumbal ke-III dan post ORIF sternum. Intervensi yang dilakukan terkait gangguan integritas kulit adalah dengan mengganti laken setiap hari, memberikan posisi miring kiri-kanan setiap 2 jam, dan memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil. Intervensi yang dilakukan terkait dengan diagnose nyeri adalah dengan mengajarkan teknik relaksasi napas dalam dan guide imagery. Tabel 2 Implementasi dan Evaluasi pada Tn.M
1. 2. 3. 4.
Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam Mengajarkan guide imagery pada pasien Mengganti laken setiap hari Memberikan posisi miring kiri-kanan setiap 2 jam 5. Memasase kulit dan daerah penonjolan tulang dengan baby oil
S: Nyeri sudah berkurang, skala 1-2 Sudah teratur mempraktekkan tarik napas dalam bila terasa nyeri Tidak nyeri lagi pada luka sternum dan lumbal O: Nyeri berkurang dengan dipandu melakukan guide imagery sambil melakukan tarik napas dalam. Jika tidak hilang, klien akan meminta analgesik. Ulkus dekubitus (-) Luka kering, pus (-), darah (-) A: masalah teratasi P: Edukasi pasien dan anggota keluarga tentang perawatan kulit di rumah Evaluasi teknik relaksasi napas dalam klien dan guide imagery
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
ANALISIS SITUASI Klien kelolaan bernama Tn. M (24 tahun) merupakan salah satu korban dari akibat masalah perkotaan yang mengalami masalah kesehatan masyarakat perkotaan berupa kondisi kegawatan (emergency). Klien merupakan salah satu korban tabrak lari sebuah taksi. Klien sedang mengendarai motor dengan membonceng istrinya kemudian klien ditabrak oleh taksi dari belakang. Klien langsung tidak sadarkan diri di tempat dan kemudian klien dan istrinya langsung dilarikan ke IGD RSUP Fatmawati. Hasil CT Scan kepala terlihat adanya perdarahan dan klien mengalami cedera kepala sedang akibat benturan dengan trotoar. Hasil rontgen thorax juga terlihat adanya fraktur sternum 1/3 posterior pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior, fraktur costae ke-VI anterior kiri dan adanya kontusio paru sebagai akibat benturan dengan trotoar. Saat ini klien sudah menjalani dua kali operasi, yaitu pada tanggal 6 Mei 2013 dilakukan operasi stabilisasi ec fraktur kompresi lumbal ke-III dan tanggal 9 Mei 2013 dilakukan operasi pemasangan ORIF pada sternum klien. Kemudian klien dirawat di ruang ICU selama hampir 3 minggu. Asuhan keperawatan diberikan sejak tanggal 27 Mei-5 Juni 2013. Klien datang dengan status post operasi lumbal dan sternum, kesadaran compos mentis, terpasang CVC, drain pada lumbal, three ways catheter, dan infus NaCL 0,9% dengan data subjektif nyeri pada daerah lumbal dan sternum. Klien masuk ruang rawat GPS Lt. I dengan diagnosa cedera tulang belakang dengan fraktur lumbal. Ruas-ruas tulang belakang itu sendiri berjumlah 32-33 ruas; 7 vertebra servikal, 12 vertebra torakalis, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis, dan 4 vertebra koksigis (Pearce, 2000). Di bagian dalam tulang terdapat rongga yang memanjang ke bawah yang berisi sumsum tulang belakang atau medulla spinalis yang merupakan jaringan saraf, bagian dari susunan saraf pusat. Medulla spinalis ini terdiri dari 31 saraf, saraf tersebut mengatur gerakan otot dan organ lain, seperti jantung, paru, usus, kandung kemih, dan lainnya. Gangguan pada salah satu saraf ini akan menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh. Level tulang vertebra yang mengalami kerusakan akan menyebabkan cedera pada medulla spinalis. Medulla spinalis terdiri dari 31 pasang saraf, saraf tersebut terdiri dari saraf sensorik dan saraf motorik. Klien kelolaan Tn. M mengalami fraktur kompresi lumbal ke-III tetapi kedua ektremitas atas dan bawah dapat digerakkan dan tidak mengalami gangguan sensibilitas. Hal ini menunjukkan klien mengalami incomplete spinal cord injury, yaitu cedera pada medulla spinalis dengan masih terdapat fungsi motorik dan fungsi sensorik. Klien mengatakan saat minggu pertama di ICU klien sempat mengalami gangguan BAB dan BAK. Ini terjadi karena pada daerah lumbal terdapat kandung kemih dan rektum. Pada hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock terjadi paralisis bladder. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia (Siddharta, 1999 dalam Mustofa, 2012). Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasi otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Pasien dengan gangguan muskuloskeletal berisiko tinggi mengalami ulkus dekubitus karena hambatan dalam mobilisasi, seperti klien dengan terpasang fiksasi interna atau eksterna, terpasang traksi, atau pada klien spine. Terdapat beberapa faktor predisposisi terjadinya ulkus dekubitus pada Tn.M, yang pertama adalah kadar albumin. Kadar albumin kurang dari 3,0 g/ml berisiko terjadinya luka dekubitus. Pada keadaan hipoalbuminemia akan terjadi perpindahan volume cairan ekstrasel kedalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan resiko terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton & Litwalk, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan cedera jaringan (Potter & Perry, 2005). Selain itu, level albumin rendah dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et el, 1989); Hanan & Scheele, 1991). Hal ini sesuai dengan data pada Tn.M, albumin (22 Mei)= 2,60g/dl. Albumin yang rendah pada pasien akan meningkatkan risiko terbentuknya ulkus dekubitus. Faktor yang kedua adalah anemia. Hasil hematologi Tn.M (22 Mei), Hb= 8,5g/dl. Terlihat kadar Hb pasien sangat rendah dimana Hb normal pada laki-laki adalah 13-17g/dl. Kadar hemoglobin yang rendah akan mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga jaringan akan kekurangan nutrisi dan oksigen yang dapat menyebabkan gangguan penyembuhan luka dan berisiko terjadinya ulkus dekubitus (Potter & Perry, 2005). Faktor yang ketiga adalah obesitas. Sebenarnya jaringan adiposa baik dalam mencegah terjadinya ulkus dekubitus karena dapat sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Tetapi pada pasien dengan obesitas, jaringan adiposa mengalami vaskularisasi yang buruk sehingga rentan terhadap terjadinya luka akibat iskemi (Smeltzer & Bare, 2002). Tn. M dengan BB= 72kg dan TB=170cm, jika dihitung IMT klien= 24,91 ini tergolong ke dalam berat badan lebih dengan risiko. Faktor yang keempat adalah demam. Selama dirawat klien hampir setiap hari demam disertai meriang hebat dan klien juga mengalami diaforesis. Klien juga sering mengalami demam dan meriang dan mengalami diaforesis. Demam yang terjadi akan meningkatkan metabolisme tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia semakin rentan mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton&Litwalk, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Selain itu demam menyebabkan diaforesis dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien (Potter&Perry, 2005). Selain dari faktor predisposisi tersebut, Scotts (1998) dalam Potter&Perry (2005) mengatakan dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dan tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka. Pada dasarnya kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi, pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler, yaitu lebih besar dari 32mmHg akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan trombosis (Maklebust, 1987 dalam Potter&Perry, 2005). Kulit sendiri mempunyai mekanisme fisiologis dalam mencegah kerusakan kulit yaitu melalui mekanisme hiperemia reaktif. Hiperemia reaktif akan efektif hanya apabila tekanan dihilangkan sebelum terjadi kerusakan. Luka tekan itu sendiri dapat terjadi dalam waktu 3 hari sejak terpaparnya kulit akan tekanan (Reddy, 1990 dalam Vanderwee et al, 2006). Hiperemia reaktif akan membanjiri jaringan yang iskemi dengan darah sehingga vaskularisasi membaik. Peningkatan aliran darah meningkatkan pengiriman oksigen dan nutrien ke dalam jaringan dan nekrosis jaringan yang tertekan dapat dihindari (Macklebust, 1991; Pires&Muller, 1991 dalam Potter&Perry, 2005). Intervensi yang dilakukan kepada Tn. M adalah dengan memanfaatkan mekanisme hiperemia reaktif ini yaitu dengan melakukan positioning dengan memberikan posisi miring 30 derajat setiap 2 Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
jam. Krapl & Gray (2008), dalam penelitiannya mengatakan memposisikan pasien adalah komponen yang penting dalam mencegah luka tekan, dan termasuk memindahkan pasien ke posisi yang berbeda atau menghilangkan atau memindahkan tekanan dari satu bagian tubuh ke bagian yang lain. Tn. M merupakan pasien dengan fraktur kompresi post-op stabilisasi lumbal. Klien dikelola selama 9 hari mulai tanggal 27 Mei-5 Juni 2013 dan rutin dilakukan setiap hari. Setiap shift dinas/ 8 jam, pasien diubah posisi miring kiri-kanan dengan posisi 30 derajat per 2 jam sebanyak dua kali. Adapun cara mengatur posisi 30 derajat dijelaskan oleh Bryant (2000) dalam Tarihoran (2010), pertama, pasien persis ditempatkan di tengah tempat tidur dengan menggunakan bantal untuk menyangga kepala dan leher. Selanjutnya tempatkan satu bantal pada sudut antara bokong dan matras, dengan cara miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang berikutnya ditempatkan memanjang diantara kedua kaki. Berdasarkan hasil intervensi yang dilakukan selama 9 hari, penerapan perubahan posisi dengan miring 30 derajat berhasil dilakukan terbukti dengan tidak terbentuknya ulkus dekubitus selama pasien dirawat di rumah sakit. Kesimpulan Perawat menarik kesimpulan bahwa tirah baring yang lama akan meningkatkan risiko terjadia ulkus decubitus pada pasien terutam pada pasien dengan gangguan musculoskeletal yang mengaami hambatan mobilisasi. Pemberian postioning dengan posisi 30 derajat dengan miring kiri-kanan setiap 2 jam mencegah terbentuknya ulkus dekubitus pada pasien Saran Mahasiswa seharusnya mengevaluasi tirah baring pasien secara berkala dengan melakukan perubahan posisi setiap 2 jam sekali dengan miring kiri-kanan. Ruangan juga sudah baik dalam melakukan pengkajian risiko decubitus pada pasien hanya perlu ditingkatkan saja alam hal observasi. Dalam halkeperawatan, diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan terkait usaha pencegahan terbentuknya ulkus decubitus selama rawat inap. Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai salah satu sumber referensi dalam insitusi pendidikan. Ucapan Terima Kasih Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Roro Tutik, S.Kp, MARS selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan karya tulis ini. Pihak Fakultas Ilmu Keperawatan yang telah memberikan sarana bagi saya dalam melakukan penulisan karya ilmiah ini. Peneliti berterimakasih kepada orangtua dan orang-orang yang terkasih atas dukungannya baik secara moril maupun materil. Peneliti juga berterimakasih kepada teman-teman saya atas dukungan dan bantuannya dalam penelitian ini. Referensi Black, J.M. & Hawk, J.H. (2005). Medical surgical nursing: clinical management for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis Missouri: Elsevier Saunders Doenges, M., dkk. (1999). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien (M. Kariasa & N. M. Sumarwati, Terj.). Edisi 3. Jakarta: EGC.
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013
Pearce, E.C. (2000). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: Salemba Empat Potter & Perry. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. Ed-4. Vol 1. Jakarta: EGC Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Brunner & Suddarth: textbook of medical surgical nursing. 8th Edition. Vol 3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Tarihoran, D. (2010).
Retrived from www.lontar.ui.ac.id on July 1, 2013
Toroyan, T., et all. (2013). The global status report on road safety on 2013: supporting a decade on action Tran, N.T. (2007). Evaluating an intervention to prevent motorcycle injuries in Malaysia: process, perfomance, and policy. http://www.harianterbit.com/2013/04/27/kematian-akibat-kecelakaan-motor-masih-mendominasi/ diunduh tanggal 27 Juni 2013 http://www.bin.go.id/awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalu-lintas-menjadi-pembunuh-terbesarketiga diunduh tangal 27 Juni 2013 http://metro.sindonews.com/read/2013/05/07/31/746261/setiap-tahun-jumlah-kecelakaan-di-depokmeningkat diuduh tanggal 27 Juni 2013
* Mahasiswa Profesi 2012 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
** Staf Pengajar Keilmuan DKKD Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Syifa Fauziah, FIK UI, 2013