“ANALISIS PENGENAAN PAJAK REKSA DANA TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI REKSA DANA SEBELUM DAN SESUDAH PELAKSANAAN UU PAJAK No. 17 TAHUN 2000” Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Stara Satu Program Studi Akuntansi Perpajakan
Oleh Nama : Ria Nurhafizah Nim : 104082002770
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYRIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
1
Analisis pengenaan pajak Reksa Dana terhadap pertumbuhan investasi Reksa Dana sebelum dan sesudah pelaksanaan UU pajak No. 17 tahun 2000 ABSTRACT The purpose of this research is to Analyse which uses tax of Money Fund in growing of investment Money Fund before and after performer UU number 17 in year 2000. This research used data of secondary like the sum score of Net Assets Value (NAV) and the sum of Unit Enclose of Money fund who revolve from 1998 until 2007. This data can get from yearly publication in Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). To analyze data, this research use the statistics test non parametric and wilcoxon as an instrument of testing. The result from this research as follows: 1. Based the sum of Net Assets Value (NAV), to indicate if its found difference in growth of Money Fund before and after performance of UU number 17 in year 2000, 2. Based the sum of Unit Enclose, to indicate if its found difference in growth of Money Fund before and after performance of UU number 17 in year 2000, 3. Money Fund has unstable an inclined fluctuation.
Keywords: Application the tax of Money Fund, Growth investment of Money Fund
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertumbuhan spektakular pasar modal Indonesia terjadi dari muali akhir tahun 1998 hingga sekitar pertengahan tahun 1990. Setelah iyu pasar modal akan terus berkembang secara berkesinambungan dengan didukung beberapa factor penting yang menentukan yaitu kondisi makro ekonomi Indonesia dan stabilitas polotik ekonomi. Pasar modal tidak akan berkmbang pesat jika perkembangan makro suatu Negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang negative atau stagnan. Tingkat inflasi yang double digit atau sampai hyper inflation, cadangan devisa yang amat tipis yang disertai deficit neaca transaksi berjalan yang amat tinggi, perolehan ekspor yang rendah dan kebutuhan impor yang tidak bias dipenuhi lagi karena terbatasnya devisa yang tersedia. Ekonomi Indonesia bertumbuh selama repelita IV setinggi rata-rata 5,1% per tahun, dengan tingkat inflasi pada tahun 1989 hanya sekitar 7%, ekspor non migas meningkat pesat dan cadangan devisa di bawah kendali Bank Sentral dan Bank-bank Negara lebi besar US$ 6 milyar. Kondisi makro ekonomi yang demikianlahyang menghasilkan “ledakan” pasar modal secara objektif.
3
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalh diatas, maka masalh yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat perbedaan antara tingkat pertumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum dan sesudah dilaksanakan Undang-undang No. 17 Tahun 2000”.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian “Untuk mengetahui apakah perbedaan antara tingkat perrtumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum dan sesudah dilaksanakan Undang-undang No. 17 Tahun 2000?”. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat bagi dirjen pajak sebagai evaluasi atas dampak yang dihasilkan atas kebijaksanaan tertentu.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Perpajakan 1. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, adalah: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
2. Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. (Resmi, 2003:74). Adapun peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU No. 7 Tahun 1983 yang telah disempurnakan dengan UU No. 7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, dan terakhir UU No. 17 Tahun 2000. Adapun tujuan dan araha dari penyempurnaan UU PPh tersebut adalah sebagai berikut: a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak. b. Lebih memberikan kemudahan kepada wajib pajak.
5
c. Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia. 3. Subjek Pajak Penghasilan Menurut Resmi (2003:74) subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000 mengelompokkan subjek pajak sebagai berikut: a. Subjek pajak orang pribadi, b. Subjek pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, meggantikan yang berhak c. Subjek pajak badan, d. Subjek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
B. Konsep Dasar Investasi Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari capital atau modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi juga digunakan untuk produksi yang akan dating (barang produksi). (http://wikipedia.org/wiki/reksadana). Sedangkan menurut Halim (2005:4) investasi pada hakikatnya merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan memperoleh keuntungan di masa mendatang.
6
C. Konsep Reksa Dana 1. Pengertian Reksa Dana Reksa dana adalah wadah dan pola pengelolaan dana atau modal bagi sekumpulan investor untuk berinvestasi dalam instrument-instrument investasi yng tersedia di pasar modal dengan cara membeli unit penyertaan reksa dana. Dana ini kemudian dikelola oleh Manajer Investasi (MI_ ke dalam portofolio investasi, baik berupa saham, obligasi, pasar uang ataupuun efek atau sekuriti lainnya. Sedangkan menurut Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pasal 1 ayat (27): ‘Reksa dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi.”
2. Bentuk Hukum Reksa Dana Berdasarkan Undang-undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 18
Ayat (1), bentuk hokum reksa dana di Indonesia ada dua, yakni reksa
dana berbentuk Perseroan Terbatas (PT. Reksa Dana) dan reksa dana berbentuk
Kontrak
Investasi
Kolektif.
(http://nofieiman.com/2007/04/investasi-di-reksadan/-29k).
7
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengenai pertumbuhan investasi reksa dana di Indonesia yang mungkin akan mengalami perubahan setelah adanya pengenaan pajak reksa dana atau setelah adanya pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000. Data yang dibutuhkan untuk mengetahui perubahan pertumbuhan investasi reksa dana yaitu jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana dan jumlah Unit Penyertaan yang beredar antara tahun 1998 sampai dengan 2007. Data yang digunakan untuk keperluan analisis adalah data sekunder yang diperoleh dari publikasi tahunan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
B. Metode Pemilihan Sampel Penelitian ini menggunakan convenience sampling atau pemilihan sampel berdasarkan kemudahan sebagai metode pemilihan sampelnya. Dimana metode ini memilih sampel dari elemen populasi yang datanya mudah diperoleh peneliti. Elemen populasi yang dipilih sebagai subjek sampel adalah tidak terbatas sehingga peneliti memiliki kebebasan untuk memilih sampel yang paling cepat dan murah. (Indriantoro, 2002:130).
8
C. Teknik Pengumpulan Data 1. Penelitian Pustaka (Library Research) Kepustakaan merupakan bahan utama dalam penelitian data sekunder dan penelusuran data sekunder memerlukan cara agar penelitian data sekunder lebih cepat dan efisien. (Indriantoro, 2002:150). Sehingga, dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan bahan yang diperlukan dari buku, bahan kuliah, Undang-undang perpajakan, peraturan perpajakan, dan sumber lain yang berhubungan dengan judul dan isi skripsi ini.
2. Penelitian Lapangan (Field Research) Untuk memperoleh guna melengkapi penelitian ini, maka peneliti mengadakan penelitian ke Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) secara langsung guna memperoleh data yang diperlukan.
D. Metode Analisis Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode analisis kualitatif bersifat deskriptif dengan menjabarkan data yang diperoleh melalui observasi lapangan dengan menggunakan analisis statistik melalui suatu bentuk pengujian untuk melihat seberapa besarkah perbedaan yang dihasilkan atas pengenaan pajak reksa dana terhadap pertumbuhan investasi reksa dana di Indonesia. Adapun bentuk pengujian yang digunakan adalah uji statistik non parametrik.
9
Uji statistik non parametrik khusus digunakan untuk menguji dua sampel berhubungan. Pengujian dua sampel yang berhubungan pada prinsipnya ingin menguji apakah dua sampel yang berhubungan satu dengan yang lain berasal dari populasi yang sama. Jika benar demikian, maka ciri-ciri kedua sampel (rata-rata, median dan lainnya) relatif sama untuk kedua sampel ataupun populasinya. Yang dimaksud sampel berhubungan adalah subjek yang diukur sama, namun diberi dua macam perlakuan. Dalam menggunakan uji statistik non parametrik, data yang digunakan dalam penelitian harus memiliki beberapa kriteria, seperti data bertipe nominal atau ordinal dan data bertipe interval atau rasio, namun tidak berdistribusi normal. Wilcoxon merupakan salah satu alat uji dua sampel berhubungan yang digunakan secara luas dalam praktek. (Santoso, 2005:143).
Proses pengambilan keputusan, diantaranya : 1. Hipotesis : Ho : d = 0 atau pertumbuhan investasi reksa dana sebelum dan sesudah pengenaan pajak reksa dana tidak ada bedanya. Hi : d ≠ 0 atau pertumbuhan investasi reksa dana sebelum dan sesudah pengenaan pajak reksa dana berbeda secara nyata. 2. Dasar pengambilan keputusan : a. Dengan membandingkan angka z hitung dan z tabel : Jika z hitung < z tabel, maka Ho diterima Jika z hitung > z tabel, maka Ho ditolak
10
b. Dengan melihat angka probabilitas, dengan ketentuan: Probabilitas > 0,05 maka Ho diterima Probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak 3. Keputusan : a. Dengan membandingkan angka z hitung dan z tabel : Mencari z hitung : Rumus : z =
T – [1/4N(N+1)] 1/24(N)(N+1)(2N+1)
Mencari z tabel : Untuk tingkat kepercayaan 95% dan uji dua sisi (standar untuk perhitungan di SPSS), didapat nilai z tabel adalah ± 1,96. b. Dengan melihat angka probabilitas, dengan ketentuan : Jika angka pada kolom Asymp. SIG adalah lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, dan sebaliknya. (Santoso, 2005:148).
E. Operasional Variabel 1. Pengenaan pajak reksa dana Pengenaan pajak reksa dana dapat diartikan sebagai suatu kebijakan pemerintah atas pembebanan pajak terhadap reksa dana yang sebelumnya tidak dibebankan atau bebas pajak. Dimana atas pengenaan pajak tersebut diharapkan akan menambah pendapatan bagi Negara.
11
2. Pertumbuhan investasi reksa dana Pertumbuhan investasi reksa dana dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang mungkin terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah atas pembebanan pajak reksa dana. Perubahan yang dimaksud adalah kemungkinan terjadinya peningkatan atau penurunan pertumbuhan investasi reksa dana pada tiap periodenya.
12
BAB IV PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Pasar Modal Dalam sejarah Pasar Modal Indonesia, kegiatan jual beli saham dan obligasi dimulai pada abad ke-19. Menurut buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Verreniging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, jual beli efek telah berlangsung sejak 1880. Pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua ke empat setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo.
1. Zaman Penjajahan Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaikbaiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi. Atas dasar itulah maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung
13
memulai perdagangan. Pada saat awal terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu : Fa. Dunlop & Kolf; Fa. Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi & Co.; Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa. Wiekert & V.D. Linden; Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden; Fa. Vermeys & Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders. Sedangkan Efek yang diperjual-belikan adalah saham dan obligasi perusahaan atau perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan Pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya. Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa. Anggota bursa di Surabaya waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Sedangkan anggota bursa di Semarang waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, serta Fa. P.H. Soeters & Co. Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan yang terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 milyar (jika di indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah + Rp. 7 triliun) yang berasal dari 250 macam efek.
14
2. Perang Dunia II Pada permulaan tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan Efek-nya di Batavia serta menutup bursa efek di Surabaya dan di Semarang. Namun pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda.
3. Pasar Modal Indonesia – Orde Lama Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali Pasar Modal Indonesia. Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai Undangundang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka
15
kembali Bursa Efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas
ini
semakin
meningkat
sejak
Bank
Industri
Negara
mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam.
Masa Konfrontasi Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.
Perkembangan
tersebut
makin
parah
sejalan
dengan
memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua
16
perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958. Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia. Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1966. Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.
4. Pasar Modal Indonesia – Orde Baru Langkah demi langkah diambil oleh pemerintah Orde Baru untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang rupiah. Disamping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito,
pemerintah terus mengadakan persiapan
khusus untuk
membentuk Pasar Modal. Dengan surat keputusan direksi BI No. 4/16 Kep-Dir tanggal 26 Juli 1968, di BI di bentuk tim persiapan Pasar Uang dan Pasar Modal. Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari Pasar
17
Modal di Indonesia sebenarnya sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik dan masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan Bursa Efek di Indonesia sejak tahun 1958 s/d 1976 mengalami kemunduran. Setelah tim menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka dengan surat keputusan Kep-Menkeu No. Kep-25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh Gubernur
Bank Sentral.
Dengan
terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali Pasar Uang dan Pasar Modal. Selain sebagai pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek. Pada tanggal 10 Agustus 1977 berdasarkan kepres RI No. 52 tahun 1976 pasar modal diaktifkan kembali dan go publik-nya beberapa perusahaan. Pada jaman orde baru inilah perkembangan Pasar Modal dapat di bagi menjadi 2, yaitu tahun 1977 s/d 1987 dan tahun 1987 s/d sekarang. Perkembangan Pasar Modal selama tahun 1977 s/d 1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Fasilitas-fasilitas yang telah diberikan antara lain fasilitas perpajakan untuk merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di Pasar Modal.
18
Tersendatnya perkembangan Pasar Modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham dan lain sebagainya. Untuk mengatasi masalah itu pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988. a. Pakdes 1987 Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka pula kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi. Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek. b. Pakto 88 Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang ketentuan 3 L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini
19
berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal. c. Pakdes 88 Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh pada Pasar Modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa. Karena tiga kebijaksanaan inilah Pasar Modal menjadi aktif untuk periode 1988 hingga sekarang.
5. Sejarah Reksa Dana Reksa dana yang pertama kali bernama Massachusetts Investors Trust yang diterbitkan tanggal 21 Maret 1924, yang hanya dalam waktu setahun telah memiliki sebanyak 200 investor reksa dana dengan total aset senilai US$ 392.000. Pada tahun 1929 sewaktu bursa saham jatuh maka pertumbuhan industri reksa dana ini menjadi melambat. Menanggapi jatuhnya bursa maka Kongres Amerika mengeluarkan Undang-undang Surat Berharga 1933 (Securities Act of 1933) dan Undang-undang Bursa Saham 1934 (Securities Exchange Act of 1934). Berdasarkan peraturan tersebut maka reksa dana wajib didaftarkan pada Securities and Exchange Commission atau biasa disebut SEC yaitu sebuah komisi di Amerika yang menangani perdagangan surat berharga dan pasar modal. Selain itu pula, penerbit reksa dana wajib untuk menyediakan prospektus yang memuat informasi guna keterbukaan informasi reksa dana, juga termasuk surat berharga yang menjadi objek kelolaan,
20
informasi mengenai manajer investasi yang menerbitkan reksa dana. SEC juga terlibat dalam perancangan Undang-undang Perusahaan Investasi tahun 1940 yang menjadi acuan bagi ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi untuk setiap pendaftaran reksa dana hingga hari ini. Dengan pulihnya kepercayaan pasar terhadap bursa saham, reksa dana mulai tumbuh dan berkembang. Hingga akhir tahun 1960 diperkirakan telah ada sekitar 270 reksa dana dengan dana kelolaan sebesar 48 triliun US Dollar. Salah satu kontributor terbesar dari pertumbuhan reksa dana di Amerika yaitu dengan adanya ketentuan mengenai rekening pensiun perorangan (individual retirement account IRA), yang menambahkan ketentuan kedalam Internal Revenue Code (peraturan perpajakan di Amerika) yang mengizinkan perorangan (termasuk mereka yang sudah memiliki program pensiun perusahaan) untuk menyisihkan sebesar 2.000 US $ setahun. Instrumen investasi reksa dana pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 2006. Pada awal penerapannya, reksa dana belum menunjukkan adanya perkembangan dan pertumbuhan. Dengan adanya sosialisasi kepada para investor, pembebasan pajak dan memiliki rate of return yang tinggi, maka pada tahun 2002 reksa dana mengalami pertumbuhan yang luar biasa.
21
B. Penemuan dan Pembahasan 1. Uji Statistik Non Parametrik Untuk mengetahui perbedaan yang terjadi pada pertumbuhan investasi reksa dana sebelum dan sesudah pelaksanaan UU No.17 Tahun 2000, peneliti menggunakan data berupa jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana dan jumlah Unit Penyertaan yang beredar antara tahun 1998 sampai dengan 2007. Peneliti menggunakan uji statistik non parametik, dengan wilcoxon sebagai alat ukurnya.
a. Uji Analisis Data Nilai Aktiva Bersih (NAB) Berikut merupakan tabel yang menyajikan perbedaan yang terjadi pada pertumbuhan investasi reksa dana sebelum dan sesudah pelaksanaan UU No.17 Tahun 2000, dilihat dari jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB):
Tabel 4.1 Hasil Uji Statistik Non Parametrik Nilai Aktiva Bersih (NAB) Ranks N sesudahpajak sebelumpajak
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 5b 0c 5
Mean Rank .00 3.00
Sum of Ranks .00 15.00
a. sesudahpajak < sebelumpajak b. sesudahpajak > sebelumpajak c. sesudahpajak = sebelumpajak
22
Test Statistics
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
b
sesudah pajak sebelum pajak -2.023a .043
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sumber: Hasil Olah Data
Hasil uji statistik non parametrik dengan menggunakan wilcoxon sebagai alat ujinya, yang berdasarkan jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) menunjukkan bahwa Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,043 yang berarti lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak. Jadi, berdasarkan hasil uji tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada pertumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000 dan sesudah pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000.
b. Uji Analisis Data Unit Penyertaan Selain melalui jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB), peneliti juga menganalisa pertumbuhan investasi reksa dana melalui jumlah Unit Penyertaan
dengan menggunakan wilcoxon sebagai alat ukurnya.
Berikut merupakan tabel yang menyajikan perbedaan yang terjadi pada pertumbuhan investasi reksa dana sebelum dan sesudah pelaksanaan UU No.17 Tahun 2000, dilihat dari jumlah Unit Penyertaan:
23
Tabel 4.2 Hasil Uji Statistik Non Parametrik Unit Penyertaan Ranks N sesudahpajak sebelumpajak
Negative Ranks Positive Ranks Ties Total
0a 5b 0c 5
Mean Rank .00 3.00
Sum of Ranks .00 15.00
a. sesudahpajak < sebelumpajak b. sesudahpajak > sebelumpajak c. sesudahpajak = sebelumpajak
Test Statistics
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
b
sesudah pajak sebelum pajak -2.023a .043
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Sumber: Hasil Olah Data
Hasil uji statistik non parametrik dengan menggunakan wilcoxon sebagai alat ujinya, yang berdasarkan jumlah Unit Penyertaan juga menunjukkan bahwa jumlah Asymp. Sig. (2-tailed) besarnya sama dengan jumlah hasil uji statistik non parametrik berdasarkan jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) yaitu sebesar 0,043 yang berarti lebih kecil dari 0,05 maka Ho ditolak. Sehingga, hasil uji statistik non parametrik baik berdasarkan jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) maupun berdasarkan jumlah Unit Penyertaan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada pertumbuhan investasi reksa dana
24
pada saat sebelum pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000 dan sesudah pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000. Hal tersebut dikarenakan bahwa Unit Penyertaan yang merupakan satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan yang tidak terbagi-bagi dalam reksa dana, dalam pertumbuhannya juga mengalami hal yang sama dengan Nilai Aktiva Bersih (NAB). Sehingga, pada saat jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana mengalami peningkatan maka jumlah Unit Penyertaan akan cenderung mengalami peningkatan pula dan sebaliknya.
2. Analisis Pertumbuhan Investasi Reksa Dana Untuk mengetahui perbedaan yang terjadi pada pertumbuhan investasi reksa dana sebelum dan sesudah pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000, maka dalam penelitian ini memerlukan data berupa jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) dan jumlah Unit Penyertaan pada setiap periode. Nilai Aktiva Bersih (NAB) merupakan alat ukur kinerja investasi reksa dana, sehingga melalui jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) pada setiap periode akan diketahui pula mengenai perkembangan investasi reksa dana. Begitu pula dengan jumlah Unit Penyertaan, melalui jumlah Unit Penyertaan maka akan diketahui mengenai tingkat pertumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000 dan sesudah pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000. Adapun data mengenai jumlah Nilai Aktiva Bersih dan Unit Penyertaan adalah sebagai berikut:
25
Tabel 4.3 Data Persentase Pertumbuhan Investasi Reksa Dana melalui Nilai Aktiva Bersih (NAB) dan Unit Penyertaan Nilai Aktiva Persentase Bersih (NAB) Pertumbuhan 1998 2.99217E+12 -39,1 1999 4.97411E+12 66,2 2000 5.51595E+12 10,8 2001 8.00377E+12 45,1 2002 4.66138E+13 482,3 2003 6.73947E+13 44,5 2004 1.00987E+14 49,8 2005 2.83854E+13 -71,8 2006 5.08692E+13 79,2 2007 9.11538E+13 79,1 Sumber: Laporan Tahunan Bapepam
Tahun
Unit Penyertaan 3.680.892.097,25 4.349.952.950,81 5.006.049.769,65 7.303.771.880,36 41.655.523.049,21 58.080.137.916,24 82.766.354.939,48 20.795.838.961,95 38.242.502.919,82 53.278.235.813,52
Persentase Pertumbuhan -38,7 18,1 15,0 45,8 470,3 39,4 42,5 -74,8 83,8 39,3
Berdasarkan data jumlah Nilai Aktiva Bersih, jumlah Unit Penyertaan maupun persentase pertumbuhan investasi reksa dana tiap periodenya pada tabel 4.1, dapat diketahui bahwa investasi reksa dana mengalami pertumbuhan yang tidak stabil atau cenderung berfluktuasi pada periode sebelum pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 (tahun 1998 – tahun 2002) maupun pada periode setelah pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 (tahun 2003 – tahun 2007). Hal tersebut dikarenakan bahwa pertumbuhan investasi reksa dana dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya stabilitas perekonomian secara mikro maupun makro, persaingan pasar dan kondisi pasar modal, stabilitas sosial dan politik, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), termasuk kejelasan dan efektivitas peraturan, perpajakan, sistem hukum, sektor keuangan serta isu-isu ekonomi lainnya yang dapat menyebabkan minat investor menjadi menurun dalam berinvestasi, Ginting (2008:20). Selanjutnya, akan
26
dijelaskan mengenai pertumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum dan sesudah pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000:
a. Pertumbuhan Investasi Reksa Dana Sebelum Pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 Pada tahun 1999 yang merupakan masa awal pertumbuhan investasi reksa dana yang sangat besar yaitu dengan jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) meningkat sebesar 66,2%. Hal ini disebabkan dengan adanya kenaikan tingkat suku bunga dan belum adanya pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000, sehingga menyebabkan tingginya minat investor untuk menanamkan modalnya pada instrumen investasi reksa dana. Pada tahun-tahun berikutnya reksa dana tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan seperti pada tahun 1999, investasi reksa dana hanya mengalami pertumbuhan dibawah 50%. Namun, pada tahun 2002 investasi reksa dana mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dibandingkan dengan pertumbuhan yang terjadi pada tahun 1999, yaitu sebesar 482,3%, hal ini disebabkan karena investasi reksa dana menawarkan tingkat suku bunga yang sangat tinggi yaitu lebih dari 30% untuk jangka waktu satu tahun. Adanya pertumbuhan investasi reksa dana yang terjadi secara terus-menerus, maka pemerintah menilai bahwa investasi reksa dana memiliki potensi pajak yang sangat besar bagi pendapatan negara dan menurutnya pengenaan pajak terhadap investasi reksa dana dianggap
27
perlu karena harus ada perlakuan yang sama dengan pajak deposito supaya netral dan terciptanya asas keadilan. Sehingga pemerintah mengubah UU No. 7 Tahun 1983 menjadi UU Pajak No. 17 Tahun 2000 yang mengatur tentang Pajak Penghasilan, dimana dalam undang-undang tersebut terdapat penjelasan mengenai pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima dari instrumen investasi reksa dana. Selain itu, hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek. Walaupun pelaksanaan UU tersebut akan menguntungkan bagi pemerintah karena akan menghasilkan sumber pendapatan baru dari sektor pajak dan akan membantu mengurangi tingginya volatilitas pasar, namun jika pemberlakuan pajak reksa dana tersebut telah dilaksanakan
maka
dikhawatirkan
kebijakan
tersebut
akan
mengakibatkan shock bagi pelaku pasar, terutama investor yang baru saja mulai memiliki kepercayaan diri terhadap pasar modal dan akan merusak pasar. Sehingga, jika hal yang dikhawatirkan tersebut terjadi maka pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan yang diharapkan dapat membantu menstabilkan pertumbuhan investasi reksa dana yang mulai meningkat, seperti menaikkan tingkat bunga, menjaga stabilitas inflasi, meningkatkan cadangan devisa, menguatkan pertukaran rupiah terhadap USD, menjaga pertumbuhan perekonomian dan membuat
28
kebijakan investasi, serta membuat regulasi atau peraturan-peraturan yang tidak hanya menguntungkan pemerintah. Selain itu, Manajer Investasi
(MI)
juga
perlu
melakukan
usaha-usaha
seperti
meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya dalam mengelola dana dan portofolio reksa dana para investor, hal tersebut dilakukan guna memberikan kepercayaan kepada para investor agar tetap berminat untuk melakukan investasi.
b. Pertumbuhan Investasi Reksa Dana Sesudah Pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 Kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 yang menempatkan reksa dana sebagai objek pajak secara potensial dapat menghambat atau memperlambat pertumbuhan reksa dana karena dalam perhitungannya menyamaratakan seluruh pemodal tanpa memperhatikan jumlah atau nilai investasi masing-masing pemodal. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Riel Pasaribu (2002) dengan judul “Analisis Dampak Perpajakan terhadap Reksa Dana dan Upaya Pemecahannya”, dikarenakan adanya pengenaan pajak reksa dana maka seluruh pemodal baik individual, badan hukum berbentuk PT, yayasan, dana pensiun, atau asuransi yang selama ini menikmati perlakuan khusus dibidang perpajakan, menjadi kurang tertarik melakukan investasi reksa dana. Para investor menjadi lebih tertarik
menginvestasikan
dananya
secara
langsung
(investasi
29
konvensional). Pengenaan pajak pada reksa dana dianggap bersifat ambivalensi, yaitu di satu sisi mencoba memberikan sweetener kepada investor tertentu, namun di sisi lain hal tersebut sulit direalisasikan bila dilihat dalam praktiknya. Sehingga, pengenaan pajak reksa dana menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan industri reksa dana di Indonesia. Dengan pengenaan pajak terlihat jelas bahwa reksa dana kurang mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan dengan instrumen investasi lainnya. Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2008:28) dengan judul “Kepastian Hukum dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Investasi di Indonesia” berdasarkan hasil studi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Iklim Investasi dan Produktivitas di Indonesia pada tahun 2003 secara umum menunjukkan tingkat investasi mengalami penurunan menjadi hanya sekitar 16% dari Produk Domestik
Bruto
(PDB),
jauh
dari kondisi sebelum
dilaksanakannya UU Pajak No. 17 Tahun 2000 dan sebelum krisis keuangan pada tahun 1997-1998 yang sudah mencapai lebih dari 30%. Sehingga, secara umum pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 dianggap sebagai salah satu penyebab turunnya pertumbuhan investasi. Untuk mendorong pertumbuhan investasi dan memicu pertumbuhan ekonomi di atas 6% per tahun, maka pemerintah harus segera mengambil tindakan-tindakan konkret, diantaranya yaitu: pertama, menjalankan dengan benar Undang-undang yang mengatur tentang
30
Penanaman Modal; kedua, mereformasi sistem perpajakan; ketiga, menyederhanakan sistem perizinan; dan keempat, memperbaiki sistem ketenagakerjaan. Oleh karena itu salah satu upaya yang sangat tepat yang telah dilakukan pemerintah saat ini adalah merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 yo. UU No. 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, melalui UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai upaya implementasi dari UU No. 25 Tahun 2007 Presiden RI telah menerbitkan dua Peraturan Presiden yakni Perpres No. 76 dan Perpres No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Diterbitkannya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maksudnya tak lain guna mendorong pertumbuhan investasi di negeri ini. Sedangkan pada penelitian kali ini, berdasarkan laporan tahunan Bapepam mengenai data persentase pertumbuhan investasi reksa dana melalui Nilai Aktiva Bersih (NAB) dan Unit Penyertaan, menunjukkan bahwa setelah adanya pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2002 yang mengatur tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek , maka pada tahun 2003 pertumbuhan
31
investasi reksa dana mengalami penurunan yaitu sebesar 44,5%, yang sebelumnya pada tahun 2002 investasi reksa dana mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Salah satu penyebab terjadinya penurunan pertumbuhan investasi reksa dana ini adalah adanya pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000. Dimana dengan adanya sosialisasi atas pelaksanaan UU tersebut terhadap pelaku pasar dan aktivitas reksa dana mengakibatkan kondisi pasar modal menjadi tidak stabil dan pertumbuhan investasi reksa dana mengalami penurunan. Penyebab lain yang lebih dapat mempengaruhi penurunan pertumbuhan invetasi reksa dana pada tahun 2003 adalah adanya isu marked to market (penilaian portofolio berdasarkan nilai pasar wajar) dan adanya penegasan Bank Indonesia tentang larangan penjaminan oleh industri perbankan dalam industri reksa dana. Dengan adanya masalah tersebut, pada tahun berikutnya pertumbuhan investasi reksa dana tidak mengalami perkembangan yang pesat, sampai akhirnya pada tahun 2005 terjadi redemption atau pencairan besar-besaran yang dilakukan oleh investor atas reksa dananya, yang disebabkan oleh adanya penurunan harga obligasi. Dengan adanya implikasi dari penurunan harga obligasi terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB) tersebut, maka investasi reksa dana diimplementasikan dengan metode marked-to-market. Dengan terjadinya redemption secara besarbesaran, maka pertumbuhan investasi reksa dana mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu sebesar 71,8%.
32
Pada tahun 2006 pertumbuhan investasi reksa dana kembali meningkat sebesar 79,2%, hal ini terjadi karena adanya upaya pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan investasi reksa dana yang mengalami penurunan, yaitu dengan cara melakukan sosialisasi kepada para pemain saham atas UU Pajak No. 17 Tahun 2000 dan menaikkan tingkat suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia, selain itu meningkatnya pertumbuhan investasi reksa dana disebabkan pula oleh terjadinya penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tingkat terendah. Pada tahun 2007 pertumbuhan investasi reksa dana juga mengalami peningkatan sebesar 79,1%. Peningkatan yang terjadi tidak berbeda jauh dengan peningkatan yang terjadi pada tahun 2006. Hal tersebut dikarenakan kinerja reksa dana relatif bagus, IHSG yang menembus level 2.000, dan reksa dana rata-rata memberi return 20% secara kontinu pada tahun-tahun tersebut. Sedangkan pada level makro ekonomi, terlihat bahwa BI mempertahankan BI rate-nya stabil di 9%, cadangan devisa per Maret 2007 naik hingga US$ 47,221 miliar, serta ekonomi tumbuh 5,4% pada kuartal pertama 2007, sementara rupiah menguat terhadap USD. Sehingga, walaupun UU Pajak No. 17 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2002 telah dilaksanakan, namun pertumbuhan investasi reksa dana pada tahun 2006 dan tahun 2007 dapat mengalami peningkatan kembali karena adanya kebijakan pemerintah yang membantu mempertahankan pertumbuhan investasi reksa dana agar
33
tetap meningkat dan kondisi perekonomian yang terus membaik. Begitu pula pertumbuhan investasi reksa dana pada tahun 2008 tetap mengalami peningkatan dengan dana kelolaan reksa dana sebesar Rp 130 triliun. Hal tersebut terjadi dengan adanya indikasi bahwa tingkat BI rate sebesar 7,5%, tingkat inflasi sebesar 7%, IHSG sebesar 3250, dan tingkat return jangka panjang mencapai 20%. Dengan demikian, terdapat perbedaan pada pertumbuhan investasi reksa dana saat sebelum dan sesudah pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 dan pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan investasi reksa dana. Pertumbuhan investasi reksa dana juga dapat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dan isu-isu yang berkembang di pasar modal karena dapat mempengaruhi kepercayaan para investor bahwa jika membeli reksa dana akan lebih menguntungkan dibanding menempatkan dananya pada instrumen investasi lainnya. Selain itu, masih terdapat beberapa faktor pendukung lainnya yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan
(http://qmfinancial.com/).
Beberapa
investasi faktor
reksa
dana,
pendukung
tersebut
diantaranya sebagai berikut: a. Bank Indonesia diperkirakan masih akan terus menurunkan suku bunga searah dengan laju inflasi yang terkendali dan dijaga di level 6% plus minus 1%. Penurunan tingkat bunga berkorelasi negatif terhadap harga produk pasar modal termasuk obligasi dan saham.
34
b. Likuiditas di pasar uang masih sangat besar karena belum maksimalnya proses pencairan kredit. Dana yang beredar ini akan mencari potensi return yang tinggi dan akan masuk ke pasar modal. c. Nilai tukar rupiah yang tetap terjaga stabil terhadap dollar. Dengan semakin baiknya sentimen dan persepsi asing terhadap kinerja perekonomian dan stabilitas politik dalam negeri, maka Bank Indonesia memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga tanpa memberikan pengaruh yang berarti terhadap nilai tukar. d. Sentimen dan persepsi asing terhadap Indonesia yang semakin membaik adalah faktor pendukung dari terus mengalirnya dana asing masuk ke pasar uang dan pasar modal Indonesia. Walau diperkirakan dana asing ini adalah hot money yang hanya mengincar return tinggi dan mudah sekali untuk profit taking hingga saat dana asing ini keluar akan memberikan dampak negatif, namun keberadaan dana asing ini terbukti telah mendorong kenaikan indeks saham dan harga obligasi. e. Semakin tingginya pemahaman investor terhadap produk reksa dana. Investor telah belajar banyak mengenai risiko yang dimiliki oleh produk investasi reksa dana. f. Semakin berkembangnya bisnis financial planning dan wealth management yang telah membantu memberikan edukasi dan promosi terutama kepada para investor pemula untuk mulai mencoba melakukan investasi di reksa dana.
35
Sedangkan jika dilihat pada tingkat persentase tiap tahunnya, pertumbuhan pada Unit Penyertaan reksa dana cenderung akan mengalami tingkat pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan pada Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana, yaitu cenderung berfluktuasi pada tiap tahunnya. Dimana pada tahun 1998 persentase pertumbuhan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana mengalami penurunan sebesar 39,1%, maka persentase pertumbuhan Unit Penyertaan reksa dana juga mengalami penurunan dengan tingkat penurunan yang tidak terlalu berbeda dengan penurunan pada Nilai Aktiva Bersih (NAB) yaitu sebesar -38,7%. Begitu pula pada tahun 2002, persentase pertumbuhan Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu sebesar 482,3%, maka hal tersebut diikuti pula dengan kenaikan persentase pertumbuhan Unit Penyertaan reksa dana sebesar 470,3%, dan demikian pula pada tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut dikarenakan bahwa Unit Penyertaan merupakan satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan yang tidak terbagi-bagi dalam reksa dana. Sehingga, turun naiknya jumlah Unit Penyertaan tidak terlepas dari kenaikan atau penurunan harga efek ekuitas dan/atau efek utang yang menjadi alat investasi reksa dana tersebut dan dapat pula mempengaruhi turun naiknya jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB). Selain itu, berkurangnya nilai Unit Penyertaan juga dapat disebabkan karena adanya biaya-biaya yang dikenakan oleh perusahaan reksa dana atas produknya.
36
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. KESIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai perbedaan antara tingkat pertumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum dan sesudah dilaksanakannya Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Dalam menganalisis, penelitian ini menggunakan data sekunder berupa jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana dan jumlah unit penyertaan yang beredar antara tahun 1998 sampai dengan 2007 yang diperoleh dari publikasi tahunan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Pengujian ini menggunakan uji statistik non parametrik dan wilcoxon sebagai alat ujinya dengan bantuan program SPSS 15.0. Dari hasil pengujian dan analisis data, dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan jumlah Nilai Aktiva Bersih (NAB), hasil uji menunjukkan nilai signifikan dibawah 5%, sehingga terdapat perbedaan pada pertumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000 dan sesudah pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000. 2. Demikian
pula
berdasarkan
jumlah
Unit
Penyertaan,
hasil
uji
menunjukkan nilai siginifikan yang sama dibawah 5%, sehingga terdapat perbedaan pada pertumbuhan investasi reksa dana pada saat sebelum pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000 dan sesudah pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2000.
37
3. Berdasarkan data jumlah Nilai Aktiva Bersih, jumlah Unit Penyertaan maupun persentase pertumbuhan tiap periodenya dapat diketahui bahwa investasi reksa dana mengalami pertumbuhan yang tidak stabil atau cenderung berfluktuasi. 4. Setelah adanya pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2002, pada tahun 2003 pertumbuhan investasi reksa dana mengalami penurunan yaitu hanya sebesar 44,5%, setelah sebelumnya investasi reksa dana mengalami pertumbuhan yang sangat pesat pada tahun 2002 5. Pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan investasi reksa dana dan pertumbuhan investasi reksa dana juga dapat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dan kepercayaan para investor untuk berinvestasi pada instrumen reksa dana.
B. IMPLIKASI Meskipun faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan investasi reksa dana adalah kondisi perekonomian negara, namun dengan adanya pelaksanaan UU Pajak No. 17 Tahun 2000 mengenai Pajak Penghasilan dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2002 yang mengatur tentang Pajak Penghasilan atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang Diperdagangkan dan atau Dilaporkan Perdagangannya di Bursa Efek, pertumbuhan investasi reksa dana sempat
mengalami penurunan
yang
sangat
drastis dan mengalami
38
pertumbuhan yang tidak terlalu besar pada tahun-tahun berikutnya, padahal sebelum adanya pelaksanaan UU dan peraturan tersebut investasi reksa dana mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Namun, pada tahun-tahun berikutnya setelah dilaksanakannya UU dan peraturan tersebut, pertumbuhan investasi reksa dana kembali mengalami peningkatan yang tidak pesat. Hal tersebut dikarenakan adanya sosialisasi yang baik yang dilakukan oleh pemerintah atas pelaksanaan UU Pajak No.17 Tahun 2000 tersebut kepada para pemain saham, selain itu upaya keras dan inovasi juga dilakukan oleh Manajer Investasi guna menarik minat para investor untuk tetap menanamkan sahamnya pada instrumen investasi reksa dana, serta terjadinya kondisi perekonomian yang sangat mendukung. Sehingga diharapkan untuk tahun-tahun berikutnya investasi reksa dana akan tetap mengalami peningkatan dan pertumbuhan yang stabil. Akhirnya, skripsi ini diharapkan akan menjadi tolak ukur dan bahan evaluasi bagi para pembuat peraturan atau pemerintah dan bagi Manajer Investasi serta pihak-pihak yang berkepentingan. Selain itu, diharapkan skripsi ini akan dapat berpartisipasi bagi dunia pendidikan khususnya di bidang ilmu akuntansi dan menjadi referensi ilmiah mengenai ilmu perpajakan.
39
Daftar Pustaka Alwi Iskandar Z. “Pasar Modal Teori dan Aplikasi”, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta 2003 Antara News. “Pajak Reksa Dana Hambat Pertumbuhan Investasi”, 14 Februari 2008. Ginting, Budiman. “Kepastian Hukum dan Implikasi terhadap Pertumbuhan Investasi di Indonesia”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2008. Hamid, Abdul. “Buku Panduan Penulisan Skripsi”. FEIS UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007. Hamid, Abdul. “Analisis Investasi”, Salemba Empat, Jakrta, 2005. Indriantoro Nur, Supomo Bambang. “Metodologi Penelitian Bisnis”. BPFE UGM, Yogyakarta, 2002, Cet. Ke-2. Junarsin, John E. “Menariknya Investasi Reksa Dana”. Investor, 10 Maret 2008. Manurung, Adler H. “Wacana Pajak Reksa Dana danm Solusi Perbaikan Total”’ Jakarta, 2004. Iman, Nofie. “Investasi Reksa Dana “, http://nofieiman.com/2007/04/investasi-direksadana/239k. Pasaribu Riel. “Analisis Dampak Perpajakan Terhadap Reksa Dana dan Upaya Pemecahannya”, Jurnak Ekonomi & bisnis, Volume 2 Nomor 1, Februari 2002. Priman dita, dkk. “Kompilasi UU Perpajakan Terlengkap”, Salemba Empat, Jakarta, 2005. Resmi, Siti. “Perpajakn Teori dan Kasus”, Salemba Empat, Jakarta, 2003. Santoso, Singgih. “SPSS Menolah Data Statistik secara Profesional”. Elek Komputindo, Jakarta, 2002. Wibowo, H. “Pajak Reksa Dana”, Jurnal Perpajakan Indonesia, Volume 3, Nomor 12, Juli 2004.
40