Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012
ANALISIS-KRITIS PERLUNYA PERUBAHAN KEBIJAKAN TERHADAP PELABELAN MATA PELAJARAN DALAM KURIKULUM SEKOLAH*) CRITICAL ANALYSIS NEED OF THE POLICY CHANGE OF THE SUBJECT MATER LABELLING OF THE SCHOOL CURRICULUM Hermana Somantrie Pusat Kurikulum dan Perbukuan Jl. Gunung Sahari Raya No. 4 Jakarta Pusat Email:
[email protected]/
[email protected] Abstract: The subject matters in Indonesian elementary and secondary education curriculum have been clustered irrationally by two kinds of labeling. On one side, there are some subject matters using “education” label; on the other side, the rests are without “education” label. Both kinds of labeling need to be asked critically through philosophical questions: 1) why has this clustering happened in the school curriculum? and 2) what is the basic philosophy for this clustering? As a matter of fact, curriculum is a pivotal instrument of education in attaining the National Education Aim; therefore, all subject matters in the curriculum should have the same “education” label or should not have one. It seems to be a crucial problem in education world that need to be overcome at the first place before developing a new curriculum. In doing so, all education experts, curriculum developer, and education bureaucracies should have a strong perspective on the matter of “knowledge philosophy”. Keywords: philosophy, knowledge, curriculum, subject matters Abstrak: Mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia telah dikelompokkan secara irasional ke dalam dua jenis labeling (penamaan atau pelabelan). Di satu sisi, beberapa mata pelajaran menggunakan label “pendidikan”; di sisi lain beberapa mata pelajaran tidak menggunakannya. Kedua jenis pelabelan itu perlu dipertanyakan secara kritis melalui pertanyaan filosofis: 1) mengapa pelabelan ini telah terjadi dalam kurikulum sekolah?, dan 2) apa filosofi dasar untuk pelabelan ini? Pada kenyataannya, kurikulum merupakan suatu instrumen penting pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, semua mata pelajaran dalam kurikulum semestinya mempunyai label pendidikan yang sama atau sebaliknya. Hal ini tampak sebagai suatu masalah krusial dalam dunia pendidikan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengembangkan kurikulum baru. Untuk melakukan hal tersebut, semua ahli pendidikan, pengembang kurikulum, birokrasi pendidikan harus memiliki persepktif yang kuat mengenai filsafat pengetahuan. Kata kunci: filsafat, pengetahuan, kurikulum, mata pelajaran
Pendahuluan
tidak peduli terhadap kondisi yang telah “membodohi”
Penggunaan label yang tidak sama terhadap mata-
semua orang selama ini.
mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum
Inti pertanyaan kritisnya yaitu apakah dasar
sekolah di Indonesia telah memunculkan pertanyaan
pertimbangan yang digunakan sehingga memuncul-
kritis. Penjelasan terhadap ketidak-samaan pemberian
kan mata pelajaran tertentu yang diberikan label
label sangat diperlukan demi kepentingan terseleng-
“pendidikan”, sedangkan yang lainnya tidak diberikan
garanya pendidikan yang rasional, logis, atau masuk
label “pendidikan”? Mata-mata pelajaran yang
akal. Jika tidak ada penjelasan yang bisa dimengerti
dimaksud yaitu sebagaimana yang dapat ditelaah pada
oleh banyak orang awam, hal itu menunjukkan bahwa
Ilustrasi 1.
para ahli dalam bidang pendidikan tidak memiliki konsep untuk menjelaskannya, atau bahkan mungkin *)
Diterima tanggal 1 Pebruari 2012 - dikembalikan tanggal 29 Pebruari 2012 - disetujui tanggal 1 Maret 2012
12
Hermana Somantrie, Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah
Ilustrasi 1. Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bangsa, dan negara (Undang-Undang Nomor 20
Mata Pelajaran dalam Kurikulum Berlabel Pendidikan Tidak Berlabel Pendidikan pendidikan agama bahasa pendidikan matematika Pancasila dan ilmu pengetahuan Kewarganegaraan alam biologi, fisika, pendidikan kimia] jasmani dan ilmu pengetahuan olahraga sosial [sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi] seni dan budaya keterampilan/kejuruan muatan lokal
pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi
Sumber: Departemen Pendidikan Nasional. 2006. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional); dan kedua transformasi mata-mata pelajaran melalui peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Atas dasar itu, semestinya seluruh mata pelajaran harus membawa misi pendidikan tanpa kecuali. Lebih jelasnya, misi tersebut akan tampak dalam skematik posisi kurikulum dan mata pelajaran dalam koridor pendidikan yang dapat ditelaah dalam Ilustrasi 2. Konstelasi kurikulum dan muatannya dalam koridor pendidikan sebagaimana yang dalam ilustrasi
Hipotesis yang digunakan untuk mengawal upaya
ter sebut dapat dijela skan bahwa: perta ma,
pencarian jawaban terhadap pertanyaan di atas yaitu
pendidikan merupakan koridor yang sangat luas
bahwa pemberian label mata pelajaran tidak
karena diarahkan pada proses sosial menyeluruh
didasarkan pada perspektif filsafat-pengetahuan
yang membawa seseorang ke dalam kehidupan
(philosophy-knowledge), sehingga hal itu telah
kultural dan/atau peradaban; kedua, kurikulum
menimbulkan adanya mata pelajaran yang berlabel
memuat rancangan seluruh pengalaman belajar yang
pendidikan dan yang lainnya tidak berlabel pendidikan.
diinginkan di dalam lingkungan sekolah termasuk hal-
Tampaknya, kesalahan berpikir mengenai
hal yang tidak dicantumkan dalam kurikulum resmi
pelabelan “pendidikan” terhadap mata pelajaran
(tertulis), yang sering disebut dengan “kurikulum
tertentu sudah terjadi begitu lama. Oleh karena itu,
tersembunyi” atau kurikulum tidak tertulis atau
menjadi wajar apabila banyak orang menganggap
hidden curriculum; dan ketiga, mata pelajaran
hal tersebut telah menjadi suatu kebenaran yang tidak
merupakan rincian pengalaman belajar, baik tertulis
perlu dikritisi lagi. Untuk kepentingan pemajuan ilmu
maupun tidak tertulis, yang akan ditransformasikan
dan pencerahan kepada masyarakat serta kepen-
melalui pembelajaran. Transformasi pengalaman
tingan pelurusan secara akademik perlu dilakukan
belajar mencakup: 1) Knowledge (i.e., facts,
analisis kritis sesuai dengan makna generik pendidikan
explanations, principles, definitions); 2) Skills and
sebagai wahana transformasi berbagai ilmu yang
processes (i.e., reading, writing, calculating, dancing,
diwujudkan dalam bentuk mata pelajaran.
critical thinking, decision making, communicating);
Apabila dikaji secara kritis, seluruh mata
and 3) Values (i.e., the beliefs about matter
pelajaran yang ditransformasi kepada peserta didik
concerned with good and bad, right and wrong,
adalah dalam rangka kepentingan pemberdayaan
bea utiful and ugl y). Dala m a rti bahwa: 1)
potensi dan kompetensi peserta didik melalui koridor
pengetahuan mencakup misalnya fakta, penjelasan,
pendidikan. Dasar pertimbangannya yaitu bahwa:
prinsip, definisi; 2) keterampilan (dan proses)
pertama, transformasi mata-mata pelajaran melalui
mencakup misalnya membaca, menulis, menghitung,
pendidikan adalah sebagai usaha sadar dan terencana
menari, berpikir kritis, membuat keputusan,
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
berkomunikasi; dan 3) nilai mencakup misalnya
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
keyakinan mengenai hal-hal yang berkenaan dengan
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
baik dan buruk, benar dan salah, cantik dan jelek.
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
Masalah pokok yang dihadapi sampai sekarang
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
yaitu belum pernah ada jawaban yang logis-
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
konseptual-argumentatif dalam bentuk dokumen
13
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012
Ilustrasi 2. Posisi Kurikulum dan Mata pelajaran dalam Koridor Pendidikan
Sumber: Diadaptasi dari (1) Gutek, Gerald L. 1997. Philosophical and Ideological Perspectives on Education; dan (2) Audi, Robert. 2003. Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge.
tertulis yang memuat penjelasan mengenai mata
Kajian Konseptual dan Pembahasan
pelajaran tertentu yang diberi label pendidikan dan
Lahirnya Filsafat sebagai Antecedent
mata pelajaran lainnya yang tidak diberi label
Munculnya Pengetahuan
pendidikan.
Kemunculan “pengetahuan (knowledge)” dalam arti
Dengan mengacu pada semua uraian di atas,
yang luas diawali terlebih dahulu dengan lahirnya
penulisan artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi
filosofi (filsafat atau falsafah —philosophy). Filsafat
perspektif filsafat-pengetahuan ( philosophy-
pada hakikatnya merupakan upaya manusia untuk
knowledge) yang dapat digunakan sebagai instrumen
mengupas sedalam-dalamnya terhadap berbagai
untuk menganalisis secara kritis dan menjelaskan
fenomena yang menyangkut alam semesta dan
secara logis-konseptual-argumentatif, apakah seluruh
kehidupan manusia di muka bumi. Proses lahirnya
mata pelajaran perlu menggunakan label pendidikan
filsafat dimulai dari persepsi manusia yang me-
atau seluruh mata pelajaran tidak perlu mengguna-
numbuhkan rasa keingintahuan dan kemudian
kan label pendidikan.
direfleksikan sehingga terakumulasi menjadi filsafat.
Dengan adanya artikel ini diharapkan agar dapat
Suriasumantri (1995) mengartikan filsafat sebagai
memberikan kontribusi pemikiran bagi pelurusan
suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh,
kesalahan berpikir yang sudah dianggap sebagai suatu
suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-
kebenaran selama bertahun-tahun, karena apabila
dalamnya. Gutek (1997) secara umum menjelaskan
hal ini tidak segera diluruskan, sudah barang tentu
bahwa philosophy is the human being’s attempt to
hal itu akan mengakibatkan proses pendidikan di
think speculatively, reflectively, and systematically
Indonesia berlangsung dengan berdasarkan pada
about the universe and the human relationship to
konsep dan kebijakan yang sebenarnya sudah keliru
that universe —filsafat adalah usaha mahluk manusia
sejak awal. Suatu proses pendidikan akan ber-
untuk berpikir secara spekulatif, reflektif, dan siste-
langsung secara benar apabila didukung dengan cara
matik mengenai alam semesta dan hubungan
berpikir logis yang dikonversi ke dalam berbagai
manusia dengan alam semesta.
dimensi konsep dan kebijakan pendidikan yang masuk akal pula.
14
Kupasan filsafat secara mendalam dilakukan dalam rangka mencari makna suatu fenomena dalam
Hermana Somantrie, Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah
alam semesta dan kehidupan manusia. Hasil kupasan
tingkat, atau nilai yang tinggi dari tingkat yang rendah
tersebut ternyata telah dapat melampaui batasan
dunia objek yang cukup jelas dan/atau dipahami,
temporal kemampuan manusia pada periode waktu
sehingga sebagaimana dilihat apakah kita dapat
tertentu. Misalnya banyak filsafat sebagai buah pikiran
menemukan pengetahuan pada tingkat yang rendah
dari para filsuf Athena Yunani Kuno pada masa
tanpa memiliki lintasan perbatasan antara yang
sebelum masehi, seperti Socrates (470 BC - 399
pemahaman praktis dan cukup jelas untuk dipahami.
BC), Plato (429 BC – 347 BC), dan Aristotle (384
Dalam hal ini common sense sebagaimana yang
BC – 322 BC). Sampai kini, mereka menjadi figur-
dimaksudkan oleh Plato diartikan sebagai the basic
figur pemikir paling penting dalam tradisi filosofis
level of practical knowledge and judgment that we
Barat. Socrates adalah guru yang mengajar Plato,
all need to help us live in a reasonable and safe way
dan Plato pada gilirannya juga menjadi guru yang
—tingkatan dasar dari pengetahuan dan pertim-
mengajar Aristotle. Pemikiran ketiga filsuf tersebut
bangan praktis yang kita semua memerlukan untuk
sampai sekarang masih digunakan oleh banyak
membantu kita hidup dalam suatu cara yang dapat
manusia modern pada abad ke-21 setelah Masehi.
dipahami dan aman.
Filsafat lahir karena manusia berpikir tentang
Sesungguhnya secara faktual dapat dikatakan
dirinya dan hubungannya dengan alam semesta.
bahwa filsafat merupakan ibunya dari seluruh
Berkaitan dengan pikiran manusia, Suriasumantri
pengetahuan (the mother of knowledge). Dari adanya
(1995) memberikan ilustrasi dengan patung “Homo
filsafat muncul beraneka ragam jenis pengetahuan
Sapiens atau Manusia yang Berpikir” karya dari
(the body of knowledge) yang dikembangkan terus
Auguste Rodin (1840-1917) yang melambangkan
menerus secara generatif dari satu periode ke periode
bahwa manusia sebagai mahluk berpikir setiap saat
berikutnya. Dalam arti bahwa filsafat telah melahirkan
dalam hidupnya tidak pernah berhenti berpikir dan
banyak pengetahuan, yang kemudian dalam
hampir tidak pernah ada sesuatu hal yang terlepas
perkembangan berikutnya pengetahuan menjadi
dari jangkauan pikirannya dari mulai yang paling
dasar untuk menciptakan ilmu.
remeh sampai dengan yang paling asasi, dari
Sejarah lahirnya filsafat dan pengetahuan serta
pertanyaan yang sepele sampai dengan pertanyaan
hubungan antara kedua hal tersebut dapat ditelaah
yang kompleks mengenai surga dan neraka di akhir
dalam Ilustrasi 3.
nanti. Berpikir itulah yang mencirikan hakikat manusia dan karena berpikirlah dia menjadi manusia. Dalam filsafat mengandung banyak pengeta-
Ilustrasi 3. Sejarah Lahirnya Filsafat dan Pengetahuan serta Hubungannya
huan, yang merupakan akumulasi suatu subjek tertentu yang berguna bagi kepentingan dan kehidupan manusia. Bagaimana proses awal kemunculan sebuah pengetahuan? Dalam hal ini, Conford (1957) menjelaskan bahwa Plato —naturally starts with the position of common sense that knowledge comes to us from the external world through the senses. In his own view this is the lowest type of cognition; he works upwards from beneath towards the world of intelligible objects, so as to see whether we can find knowledge at these lower levels without having to cross the boundary between the sensible and the intelligible— Plato secara alamiah memulai dengan posisi common sense bahwa pengetahuan datang kepada kita dari dunia luar melalui indra. Dalam pandangan
Sumber: Diadaptasi dari Moser, Paul K., Dwayne H. Mulder, & J. D. Trout. 1998. The Theory of Knowledge: A Thematic Introduction.
Plato, hal ini adalah tipe yang paling rendah dari
Hubungan antara filsafat dan pengetahuan dapat
kognisi; ia bekerja dengan gerakan maju ke posisi,
diketahui dari Stace (1932) yang mengemukakan
15
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012
bahwa we sometimes speak of knowledge as if it
sebagaimana yang dikatakan oleh Gutek (1997),
were a body of truths existing independently of any
yakni historically, much of authority has rested on a
human brain. Speaking in this way we say that
belief in God or the supernatural and revelations of
mathematics is a part of knowledge, and that 2 + 2
di vine truths to i nspi red men and wome n.
= 4 is a proposition in mathematics. We speak of
Civilization’s great religion —Judaism, Christianity,
philosophy in the same way. It is a body of thought.
Islam, Hinduism, and Buddhism, for example, rest
It exists historically in various movements. It has
on knowledge claims that involve a holy book or
developed. It takes this direction or that —kita
scriptures, such as, the Bible or the Koran —secara
kada ng-kad ang me mbicar akan p engeta huan
historis, banyak pengetahuan telah berhenti pada
bagaikan suatu bidang kebenaran yang tampak
kepercayaan terhadap Tuhan atau hal-hal yang
secara independen dari otak manusia. Berbicara
rahasia yang menginspirasi umat manusia. Peradaban
mengenai hal ini kita katakan bahwa matematika
agama besar (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan
adalah suatu bagian dari pengetahuan, dan bahwa
Budha), sebagai contoh, meletakkan dasar penge-
2+ 2 = 4 adalah suatu proposisi dalam matematika.
tahuan benar atau fakta dengan melibatkan kitab
Kita membicarakan filsafat dalam cara yang sama.
atau tulisan suci suatu agama, seperti Injil dan Quran.
Itu adalah suatu bidang pemikiran, yang keber-
Jadi, pada intinya pengetahuan dibentuk dengan
adaannya secara historis dalam berbagai gerakan,
berbasiskan pada: 1) kepercayaan terhadap Tuhan
yang telah berkembang, dan memberikan arah ke
melalui kitab-kitab suci; 2) hal-hal rahasia yang di
sini dan ke sana.
luar kemampuan jangkauan manusia; atau 3) halhal yang secara empirik mampu dijangkau dengan
Konstelasi Pembentukan Pengetahuan
pemikiran manusia. Tampaknya basis yang ketiga ini
Dalam rangka membentuk sebuah pengetahuan
lebih banyak digunakan dalam pembentukan
perlu didasarkan terlebih dahulu pada pertimbangan
pengetahuan karena, menurut Suriasumantri (1995),
untuk menjawab beberapa pertanyaan, yang
berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses
menurut Gutek (1997) dinamakan dengan the theory
yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupa-
of knowing and knowledge, yaitu: 1) how do we know
kan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti
what we know? —bagaimana kita tahu apa yang kita
jalan pemikiran tertentu, yang akhirnya sampai pada
ketahui? 2) on what process of knowing do we base
sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan.
our knowledge of the world and society? —pada
Sebagai gambaran, konstelasi pembentukan
proses mengetahui apakah kita mendasarkan
pengetahuan yang secara empirik mampu dijangkau
pengetahuan kita mengenai dunia dan masyarakat?
oleh manusia dapat ditelaah dalam Ilustrasi 4.
3) what is the authority on which we base our claims
Pengetahuan bisa dibentuk melalui berbagai
to truth? — apakah kewenangan kita untuk men-
proses dan sumber yang mencakup sebagai berikut:
dasarkan klaim (a statement that something is true
1) pembentukan pengetahuan melalui hasil pemikiran
or is a fact —suatu pernyataan bahwa sesuatu benar
para ahli mengenai suatu subjek tertentu (scholar-
atau fakta) atau kebenaran? dan 4) do our knowledge
thought); 2) pembentukan pengetahuan dengan
claims derive from divine revelation, empirical
menggali informasi mengenai suatu subjek tertentu
evidence, or personal and subjective experience? —
yang diperoleh melalui kajian dan bacaan (erudition);
apakah kebenaran pengetahuan berasal dari sesuatu
3) pembentukan pengetahuan dengan mengumpul-
yang rahasia berkaitan dengan Tuhan, bukti empirik,
kan data dan fakta mengenai subjek tertentu
atau pengalaman personal dan subjektif?
(information); 4) pembentukan pengetahuan melalui
Meskipun secara faktual pengetahuan menurut
kegiatan mental dan fisik dalam memperoleh suatu
pandangan manusia seperti yang dikemukakan oleh
subjek tertentu (learning); dan 5) pembentukan
Audi (2003), terbentuk berdasarkan pada rangkaian
pengetahuan melalui proses praktikal yang cukup
starting from perception, making conception, and
panjang sehingga terbentuk menjadi suatu subjek
forming belief —mulai dari persepsi, membuat
tertentu (experience).
konsepsi, dan membentuk keyakinan. Namun ternyata banyak manusia percaya bahwa semua pengetahuan secara historis berasal dari Tuhan,
16
Hermana Somantrie, Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah
Ilustrasi 4. Konstelasi Pembentukan Pengetahuan
Sumber: Diadaptasi dari (1) Gutek, Gerald L. 1997. Philosophical and Ideological Perspectives on Education; dan (2)
Simplifikasi Pengetahuan dalam Pendidikan
kepentingan pendidikan tampak sebagaimana yang
Praktis
diuraikan dalam Ilustrasi 5.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan wahana atau
Hasil dari simplifikasi terhadap seluruh mata
kendaraan untuk mentransformasikan berbagai area
pelajaran (agama, kewarganegaraan, bahasa, mate-
disiplin atau bidang pengetahuan yang diharapkan
matika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan
dapat dicapai atau dikuasai dalam kurun waktu atau
sosial, seni dan budaya, keterampilan/kejuruan,
periode tertentu. Transformasi pengetahuan melalui
olahraga dan kesehatan) pada dasarnya sama,
pendidikan diarahkan untuk menumbuhkembangkan
karena basis filsafat dan epistemologi pengetahuan-
dan memberdayakan potensi seseorang secara
nya juga sama. Atas dasar itu setiap cabang
sosiokultural agar berguna bagi dirinya sendiri,
pengetahuan yang akan ditransformasikan melalui
keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam
kurikulum perlu mengandung sekurang-kurangnya
konteks ini, pendidikan menjadi semacam proses
tiga intisari, yaitu: 1) knowledge (i.e., facts,
sosial yang menyeluruh, sebagaimana yang dijelaskan
explanations, principles, definitions); 2) skills and
oleh Gutek (1997), bahwa education refers very
processes (i.e., reading, writing, calculating, dancing,
broadly to the total social processes that bring a
critical thinking, decision making, communicating);
person into cultural life —pendidikan mengacu secara
and 3) values (i.e., the beliefs about matter
luas kepada proses sosial menyeluruh yang mem-
concerned with good and bad, right and wrong,
bawa seseorang ke dalam kehidupan kultural.
beautiful and ugly) — pengetahuan misalnya fakta,
Pengetahuan yang akan ditransformasikan ke
penjelasan, prinsip, pengertian; keterampilan
dalam pendidikan praktis, dalam hal ini kurikulum,
misalnya membaca, menulis, menghitung, menari,
perlu disimplifikasi terlebih dahulu dengan beberapa
berpikir kritis, membuat keputusan, berkomunikasi;
pertimbangan antara lain hanya substansi tertentu
dan nilai-nilai misalnya kepercayaan tentang hal yang
yang esensial bagi peserta didik dan sesuai dengan
berkaitan dengan baik dan buruk, benar dan salah,
tingkat perkembangan mental dan fisik peserta didik.
indah dan jelek.
Berbagai pengetahuan yang disimplifikasi untuk
17
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012
Ilustrasi 5. Simplifikasi Pengetahuan ke dalam Pendidikan Praktis.
Sumber: Diadaptasi dari (1) Gutek, Gerald L. 1997. Philosophical and Ideological Perspectives on Education; dan (2) Suriasumantri, Jujun S. 1995. “Tentang Hakikat Ilmu” dalam Ilmu dalam Perspektif.
Simpulan dan Saran
yang sama kedudukannya dengan pendidikan.
Simpulan
Namun di dalam kurikulum namanya harus berubah
Pemberian label mata pelajaran selama ini tampak-
menjadi “pendidikan matematika” apabila sejumlah
nya tidak berdasarkan pada suatu analisis yang
konsep-konsep matematika tersebut akan dijadikan
lengkap dan masuk akal, sehingga muncul kesan
sebagai mata pelajaran dan ditransformasi kepada
dikotomis bahwa dalam kurikulum sekolah di satu
peserta didik.
sisi seolah-olah ada mata pelajaran yang membawa
Apabila tidak ada peninjauan kembali terhadap
misi pendidikan dan di sisi lainnya seolah-olah ada
kondisi labeling mata pelajaran yang ada sekarang
mata pelajaran yang tidak membawa misi pendidikan.
ini akan membawa implikasi yang lebih luas, yaitu
Kedua kluster mata pelajaran tersebut dibedakan
mewariskan kesalahan berpikir dan sesuatu hal yang
hanya dari segi labelingnya, padahal keduanya berada
tidak masuk akal secara turun-temurun kepada
dalam koridor pendidikan untuk membawa pesan
generasi berikutnya.
pencapaian tujuan Pendidikan Nasional. Dikotomis labeling semacam itu dalam satu kurikulum sebenar-
Saran
nya tidak masuk akal, karena telah terjadi perlakuan
Atas dasar pertimbangan kepentingan transformasi
yang diskriminatif dan tanpa argumentasi ilmiah apa
pengetahuan ke peserta didik melalui pendidikan
pun terhadap hakikat perbedaan seluruh pengetahuan
praktis dan untuk menghindari kerancuan yang
yang akan ditransformasi ke peserta didik melalui
mengakibatkan kesalahan berpikir, pelabelan mata
bidang pendidikan.
pelajaran yang sekarang ini perlu ditinjau kembali,
Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan pada
karena ada mata pelajaran yang berlabel “pendidikan”
hakikatnya merupakan salah satu bidang dari penge-
dan ada mata pelajaran yang tidak berlabel
tahuan dalam arti luas. Oleh karena itu, mempunyai
“pendidikan”. Pentingnya peninjauan tersebut
kedudukan yang sama dengan bidang-bidang
didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut ini.
pengetahuan lainnya, misalnya matematika pada
Pertama, semua mata pelajaran menggunakan
hakikatnya merupakan bidang pengetahuan otonom
label pendidikan dengan alasan bahwa semua mata
18
Hermana Somantrie, Analisis-Kritis Perlunya Perubahan Kebijakan terhadap Pelabelan Mata Pelajaran dalam Kurikulum Sekolah
pelajaran membawa misi yang sama, yaitu transformasi peng etahua n ke p esert a didi k mela lui pendidikan. Mata-mata pelajaran yang dengan menggunakan label pendidikan adalah sebagaimana yang tampak dalam Ilustrasi 6 berikut.
Ilustrasi 7. Mata Pelajaran tanpa Menggunakan Label Pendidikan agama, kewarganegaraan, bahasa,
Ilustrasi 6. Mata Pelajaran dengan Menggunakan Label Pendidikan
matematika, ilmu pengetahuan alam [biologi, fisika, kimia], ilmu pengetahuan sosial [sejarah, geografi,
pendidikan agama,
ekonomi, sosiologi, antropologi],
pendidikan kewarganegaraan,
seni dan budaya,
pendidikan bahasa,
olahraga atau olahjasmani dan kesehatan,
pendidikan matematika,
keterampilan/kejuruan,
pendidikan ilmu pengetahuan alam (biologi,
muatan lokal.
fisika, kimia), pendidikan ilmu pengetahuan sosial [sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi],
Ketiga, muatan-muatan lainnya yang dianggap penting untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum
pendidikan seni dan budaya,
dilakukan sesuai dengan konteksnya yang dapat
pendidikan jasmani dan olahraga,
menggunakan salah satu alternatif dari kemungkinan
pendidikan keterampilan/kejuruan,
sebagaimana yang telah dimuat dalam Ilustrasi 6 dan
pendidikan muatan lokal.
7. Muatan-muatan lainnya yang dimaksud adalah sebagaimana yang dimuat dalam Ilustrasi 8. Dalam hal ini, label bagi muatan-muatan lainnya
Kedua, semua mata pelajaran tidak perlu meng-
yang pelu diintegrasikan ke dalam kurikulum perlu
gunakan label pendidikan dengan alasan bahwa
mengikuti basis pemikiran filsafat-pengetahuan
semua mata pelajaran membawa misi yang sama,
sebagaimana halnya mata pelajaran yang posisinya
yaitu transformasi pengetahuan ke peserta didik
sudah dianggap eksis dalam kurikulum.
melalui pendidikan. Mata-mata pelajaran yang tanpa
Keempat, khusus mengenai “Karakter Bangsa”
menggunakan label pendidikan adalah sebagaimana
tidak dapat disamakan dengan mata pelajaran.
yang tampak dalam Ilustrasi 7 ini.
Dengan kata lain, karakter bangsa seharusnya tidak
Ilustrasi 8. Contoh Muatan Penting yang Perlu Diintegrasikan ke dalam Kurikulum
Contoh Muatan
Tidak Berlabel Pendidikan
Berlabel Pendidikan
hal yang berkaitan dengan karakter bangsa
pendidikan karakter bangsa
pembentukan karakter bangsa
hal yang berkaitan dengan penduduk,
pendidikan kependudukan
kependudukan
hal yang berkaitan dengan lingkungan hidup
pendidikan lingkungan hidup
lingkungan hidup
hal yang berkaitan dengan bencana
pendidikan pengurangan risiko bencana
pengurangan risiko bencana
hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS
pendidikan pencegahan HIV/AIDS
pencegahan HIV/AIDS
hal yang berkaitan dengan kewirausahaan dan ekonomi kreatif
pendidikan kewirausahaan dan ekonomi kreatif
kewirausahaan dan ekonomi kreatif
19
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012
termasuk ke dalam klasifikasi mata pelajaran. Oleh
berkualitas tinggi yang berguna bagi pembangunan
karena itu, karakter bangsa tidak dapat dilaksanakan
bangsa dan negara. Jadi karakter bangsa harus
secara tunggal atau tersendiri sebagai suatu program
dibangun atau dibentuk (character building) oleh
pembelajaran, tetapi built in dalam seluruh aktivitas
seluruh pendidik. Dengan demikian, label bagi karakter
pembelajaran di sekolah. Karakter bangsa merupa-
bangsa tidak menggunakan label pendidikan, tetapi
kan sesuatu hal yang spesifik, karena kedudukannya
lebih tepat menggunakan “Pembentukan Karakter
diarahkan untuk menghasilkan output pendidikan
Bangsa”.
Pustaka Acuan Audi, Robert. 2003. Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge. New York: Routledge. Cornford, Francis MacDonald (translator). 1957. Plato’s Theory of Knowledge: The Theaetetus and the Sophist of Plato. New York: Liberal Arts Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi. Gutek, Gerald L. 1997. Philosophical and Ideological Perspectives on Education. Boston: Allyn and Bacon. Moser, Paul K., Dwayne H. Mulder, & J. D. Trout. 1998. The Theory of Knowledge: A Thematic Introduction. New York: Oxford University Press. Stace, W. T. 1932. The Theory of Knowledge and Existence. Oxford: Clarendon Press. Suriasumantri, Jujun S. 1995. Hakikat Ilmu dalam Ilmu dalam Perspektif. Editor: Jujun S. Suriasumantri. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
20