Analisis Kedalaman Gerusan di Hilir Pintu Sorong pada Dasar Saluran Tanah Liat Berpasir (Sandy Loam) dengan Uji Model Fisik Hidraulik
1
Hasanatul Qamariyah1, Very Dermawan2, Sebrian Mirdeklis Beselly Putra2 Mahasiswa Program Sarjana Teknik Jurusan Pengairan Universitas Brawijaya, Malang 2 Dosen Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang 1
[email protected] ABSTRAK
Pintu sorong (sluice gate) merupakan salah satu konstruksi bangunan air yang berfungsi untuk membagi air sesuai debit yang direncanakan dengan cara mengatur tinggi muka air. Bangunan ini menyebabkan perbedaan kondisi aliran di hulu dan hilir pintu yang berakibat pada terjadinya gerusan di hilir pintu, terutama apabila material dasar salurannya lepas atau lunak. Fenomena gerusan pada dasar saluran di hilir pintu dapat membahayakan konstruksi pintu tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kedalaman gerusan akibat variasi debit dan bukaan pintu dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya serta bentuk dasar yang terjadi pada dasar saluran berupa tanah liat berpasir.Pada penelitian ini dilakukan percobaan menggunakan sembilan variasi debit dengan bukaan pintu tertentu pada kondisi aliran tenggelam. Setiap percobaan menggunakan debit konstan dan dimulai dari dasar rata sampai satu jam pengaliran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi debit dan bukaan pintu mempengaruhi kedalaman gerusan yang ditunjukkan oleh persamaan: ( ) (R2 = 0,859). Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi kedalaman gerusan adalah kedalaman aliran dan bilangan Froude yang ditunjukkan oleh persamaan ( ) (R2 = 0,941) dan (R2 = 0,918). Kedalaman gerusan hasil kajian laboratorium memiliki perbedaan dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan Schocklitsch, Muller dan Eggenberger dengan perbedaan relatif rerata berturut-turut 38,57%, 50,94%, dan 81,32%. Analisis bentuk dasar hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk dasar bervariasi dari plane bed dan ripple. Berdasarkan pendekatan Van Rijn menunjukkan bahwa bentuk dasar yang terjadi bervariasi dari plane bed dan ripple. Bentuk dasar berdasarkan pendekatan Simon-Richardon yaitu plane bed, ripple dan dune. Sedangkan hasil analisis dengan pendekatan Garde Albertson menunjukkan bentuk dasar berada pada daerah transisi. Kata kunci: bentuk dasar, bukaan pintu, debit, kedalaman gerusan, tanah liat berpasir. ABSTRACT Sluice gate is one of hydraulic structure to divide discharge in irrigation channel by controlling the water depth. Sluice gate may cause the flow condition in the upstream and the downstream of the structure change rapidly. This flow change can lead a local scouring on the bed channel, espesially when it is composed by erodible material. When it is occured, it may cause stability problems of the structure. The purpose of this study is to analyze the scour depth and bed forms due to various discharges and opening gates on sandy loam bed channel. This research was conducted in nine various discharges and various opening gates in submerged flow. The Sandy loam bed channel were tested experimentally with a constant discharge and opening gate for one hour. The result showed that scouring depth is affected by the discharge and opening gate which is shown by equation: ( )(R2 = 0,859). Moreover, scouring depth is also affected by water depth and Froude number, that are shown by equestions: ( )-
(R2 = 0,941) and
(R2 = 0,918). The scouring depth in this experiment are
different with Schoklistch, Muller and Eggenberger’s equation. The diffrerence are 38,57% for Schoklitsch’s equation; 50,94% for Muller’s equation; and 81,32% for Eggenberger’s equation. Furthermore, the bed forms observed from experiment was showed different result with analysis after Simon-Richardson, Van Rijn and Garde Albertson. The experiment result is showing that the bed forms are various from plane bed and ripple. Analysis after Van Rijn indicate plane bed and ripple, Simon-Richardson indicate plane bed, ripple and dune. Meanwhile, analysis after Garde Albertson indicate bed forms in transition.. Keywords: bed forms, opening gate, discharge, scouring depth, sandy loam.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pemenuhan pangan suatu negara. Baik tidaknya hasil suatu pertanian dipengaruhi oleh usaha penyediaan dan pengaturan air atau disebut dengan istilah dengan irigasi. Di dalam rangka pemanfaatan air di bidang irigasi, maka dibangun konstruksi air. Salah satunya pintu air untuk membagi debit sesuai rencana. Jenis pintu air yang sering digunakan adalah pintu sorong (sluice gate). Namun, pemanfaatan pintu sorong sebagai bangunan pengatur pada saluran ternyata dapat menimbulkan permasalahan di hilir pintu, yaitu terjadinya gerusan. Hal tersebut terjadi sebagai akibat adanya perubahan karakteristik aliran di sebelah hulu setelah melewati pintu dan di hilir pintu. Selain itu, gerusan juga dipengaruhi oleh sifat material dasar. Fenomena terjadinya gerusan di hilir pintu ini dapat membahayakan konstruksi pintu.Hal tersebut dapat berakibat fungsi pintu terganggu. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu upaya untuk mempelajari fenomena terjadinya gerusan pada dasar saluran di hilir pintu yang dapat dijadikan sebagai dasar atau acuan untuk mencegah atau menanggulangi permasalahan tersebut. Studi ini akan mempelajari mengenai fenomena gerusan di hilir pintu sorong dengan material tanah liat berpasir (sandy loam) menggunakan uji model fisik hidraulik. 1.2. Identifikasi Masalah Bangunan pintu air pada irigasi digunakan untuk mengatur tinggi muka air sesuai debit yang direncanakan. Namun, pemanfaatan pintu air ini ternyata dapat menyebabkan perubahan karakteristik aliran di hulu dan di hilir saluran, seperti kecepatan serta turbulensi sehingga menimbulkan perubahan transport sedimen dan terjadinya gerusan. Pada pintu air, aliran yang melewati bawah pintu (under flow) dapat berupa aliran superkritik yang mempunyai energi tinggi sehingga menimbulkan permasalahan gerusan di hilir pintu, terutama jika dasar saluran tersusun atas material halus atau lunak (Puspitarini et.all, 2002: 420).
Kedalaman gerusan dapat bertambah sampai mencapai batas tertentu. Pada kondisi tertentu, gerusan dapat menyebabkan gangguan stabilitas terhadap konstruksi pintu serta pintu tidak dapat berfungsi dengan baik, atau bahkan kehilangan fungsi sama sekali sebagai bangunan pengatur. Berdasarkan penjelasan diatas, maka diperlukan suatu studi mengenai penggerusan di hilir pintu sorong dengan uji model fisik. 1.3. Manfaat dan Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hubungan atau korelasi antara debit dan bukaan pintu terhadap kedalaman gerusan. 2. Mengetahui konfigurasi dasar saluran yang terjadi sebagai akibat dari variasi debit dan bukaan pintu. 3. Mengetahui kesesuaian analisis kedalaman gerusan dan konfigurasi dasar berdasarkan kajian analitis dengan kajian laboratorium. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hidraulika, khususnya yang berkaitan dengan konsep gerusan lokal di hilir pintu. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aliran Lewat Pintu Sorong (Sluice Gate) Pintu sorong merupakan jenis pintu yang dioperasikan dengan menggeser pintu ke arah vertikal sesuai bukaan yang telah direncanakan. Aliran yang melewati pintu sorong dapat berupa aliran bebas atau aliran tenggelam. Pada kondisi aliran tenggelam, kedalaman aliran di hilir sebelum loncatan lebih besar dari hasil perkalian koefisien kontraksi dan bukaan pintu (y1 > Cc.a). Sebaliknya, pada aliran bebas kedalaman aliran di hilir sebelum loncatan sama dengan hasil perkalian koefisien kontraksi dan bukaan pintu (y1 = Cc.a).
Gambar 1. Aliran melewati pintu sorong Sumber: Subramanya (1986: 251 dan 255)
2.2. Regime Aliran Aliran pada saluran dengan material dasar yang mudah tergerus dapat dikategorikan dalam dua regime aliran dengan daerah transisinya. Setiap kategori regime aliran ini mempunyai karakteristik yang berhubungan dengan bentuk dasar saluran. Pembagian kategori regime aliran dalam hubungannya dengan konfigurasi bentuk dasar saluran adalah sebagai berikut: 1. Regime aliran rendah (lower flow regime): bilangan Froude < 0,4-1 a. ripples b. dunes 2. Daerah transisi Bentuk dasar dari dunes menuju plane bed atau ke antidunes 3. Regime aliran tinggi (upper flow regime): bilangan Froude > 0,4-1 a. Plane bed dengan pergerakan sedimen b. Antidunes standing waves dan breaking waves c. Chutes and pools 2.3. Konfigurasi Bentuk Dasar (Bed Forms) Simon dan Richardson (1960) menjelaskan bahwa bentuk dasar (bed forms) dikategorikan sebagai berikut (Yang, 1996: 60): a. Plane bed Kecepatan aliran naik secara perlahan dan angkutan sedimen mempunyai tinggi yang rata. Butiran bergerak menggelinding atau menggeser. Gerakan terjadi berganti-ganti pada tempat yang tak tentu. Saltasi terjadi pada material halus. b. Ripples Bentuk dasar menyerupai gelombang kecil dengan panjang gelombang kurang dari 30 cm serta tinggi kurang dari 5 cm. Bentuk ripples menyerupai bentuk segitiga dengan sisi bagian hilir lebih curam dari sisi hulu. c. Dunes Dunes memiliki bentuk yang sama dengan ripples. Perbedaan keduanya terletak pada dimensi dunes yang lebih besar. Keduanya terjadi pada bilangan Froude kurang dari 1 (satu) serta gelombang muka air tidak sefase dengan bentuk dasar. Perbedaan fase tersebut ditunjukkan oleh nilai rasio tinggi
Typical ripples pattern
Plane bed
Dunes and Superposed ripples Antidune standing waves
Dunes
Antidune breaking waves
Wash out-dunesor transition
Chutes and pools
Gambar 2. Bentuk dasar (bed forms) Sumber: Yang (1996: 61) puncak bentuk dasar terhadap tinggi muka air dihitung dari setengah tinggi bed forms (∆/h) yang relatif besar (Yalin, M.S, 1977: 210) d. Antidunes Endapan terjadi di hulu, sedangkan di hilir terjadi erosi. Bentuk gelombang antidunes sedikit banyak simetris. e. Chutes and Pools Konfigurasi ini terjadi pada kondisi saluran dengan kemiringan curam, serta kecepatan dan debit sedimen relatif besar. Bentuknya menyerupai bukit dengan endapan besar. 2.4. Analisis Bentuk Dasar (Bed Forms) 2.4.1. Pendekatan Van Rijn (1984) Van Rijn mengklasifikasikan bentuk dasar saluran pada regime aliran rendah dan transisi berdasarkan nilai parameter partikel nirdimensi (d*) serta parameter tingkat angkutan (T). Nilai parameter partikel nirdimensi (d*) dan tingkat angkutan sedimen(T) dihitung dengan: (1) (2) dengan: d* = parameter partikel nirdimensi d50 = diameter butiran 50% lolos saringan s = berat spesifik (specific gravity) ρw = kerapatan air (kg det2/m4) ρs = kerapatan butiran (kg det2/m4)
2.4.2. Pendekatan Garde Albertson Garde Albertson mengklasifikasikan bentuk dasar menurut bilangan Froude serta ( ) dengan tegangan geser di dasar, kerapatan air, kerapatan butiran, g percepatan gravitasi, serta d diameter butiran. Diagram klasifikasi bentuk dasar menurut Garde Albertson dapat dilihat pada Gambat 4.
τo ρw )
= percepatan gravitasi (m/det2) = Parameter tingkat angkutan = kekentalan kinematik (m2/det) = kecepatan geser (m/det) = kecepatan geser kritis (m/det)
(ρ
g T υ U* U*cr
2.4.3. Pendekatan Simon-Richardson (1966) Bentuk dasar menurut pendekatan Simon dan Richardson diklasifikasikan dengan melihat nilai diameter lolos saringan 50% (d50) dan nilai stream power (w = τo.U). Diagram klasifikasi bentuk dasar berdasarkan pendekatan Simon dan Richardson dapat dilihat pada Gambar 5.
Ripples and dunes Transition Antidunes
Fr
τo U (lb/ft det)
Transport stage parameter (T)
Gambar 4. Diagram klasifikasi bentuk dasar menurut Garde Albertson Sumber: Breuser (1974-1975: 5.5)
Parameter partikel nirdimensi (d*)
Gambar 3. Diagram klasifikasi bentuk dasar (bed forms) menurut Van Rijn Sumber: Rijn (1987: 1736)
d50 (mm)
Gambar 5. Diagram klasifikasi bentuk dasar menurut Simon dan Richardson Sumber: Yang (1996: 66)
2.5 Gerusan Lokal Gerusan lokal merupakan akibat yang dapat terjadi apabila dalam suatu saluran ditempatkan penghalang yang menyebabkan perubahan arah aliran. Fenomena gerusan lokal akibat halangan aliran perlu dipelajari dan diperkirakan sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk mendapatkan struktur bangunanyang ekonomis dan aman. Hal-hal penting yang perlu dipelajari mengenai gerusan lokal diantaranya mekanisme terjadinya serta perkiraan kedalaman gerusan. Berdasarkan kesetimbangan volume bahan sedimen yang tergerus, terdapat tiga jenis gerusan lokal (local scouring) (Simons dan Senturk, 1976: 673): a. Gerusan stabil Gerusan yang terjadi jika volume sedimen yang masuk sama dengan ang keluar. b. Gerusan jernih Gerusan terjadi secara berkesinambungan serta tidak ada bahan sedimen yang masuk mengisi kembali lubang sedimen. c. Gerusan dengan volume sedimen masuk berubah-ubah Suplai sedimen yang masuk berubah-ubah volumenya. Estimasi kedalaman gerusan lokal dapat dilakukan dengan cara perhitungan menggunakan rumus atau persamaan yang diusulkan oleh para ahli. Disini, akan dijelaskan persamaan tentang kedalaman gerusan dari Schoklitsch, Muller dan Eggenberger. 2.5.1 Persamaan Schoklitsch Persamaan kedalaman gerusan pertama kali diusulkan oleh Schoklitsch pada tahun 1932 dan selanjutnya dikembangkan oleh para ahli.Rumus yang diperoleh dari hasil percobaan pada model tes dengan dua kondisi yang berbeda, yaitu pada dan aliran air melewati bawah pintu (underflow) dan aliran air melewati atas pintu (overflow).
diperoleh persamaan: (Breusers dan Raudkivi, 1991: 124): (
o
)
(4)
dengan: ds = kedalaman gerusan (m) yo = kedalaman air di hulu pintu (m) y2 = kedalaman air di hilir pintu (m) q = debit per satuan lebar (m2/det) d10 = diameter 10% lolos saringan (mm) H = jarak vertikal antara muka air di hulu dan hilir pintu (m) a = bukaan pintu (m) c = Kedalaman gerusan dibawah apron (m) 2.5.2 Persamaan Muller Muller melakukan tes dengan kondisi aliran underflow serta kombinasi antara underflow dan overflow. Untuk aliran underflow, diperoleh dua persamaan, yaitu untuk kondisi aliran tenggelam (submerged) dan aliran bebas (free wavy jet). Rumus untuk aliran tenggelam ditunjukkan oleh persamaan (5), Sedangkan Persamaan (6) untuk aliran bebas. (5) (6) 2.5.3 Persamaan Eggenberger Eggenberger melakukan tes di laboratorium dan mengusulkan sebuah persamaan berikut: (Breuser dan Raudkivi, 1991: 124): (7) 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Deskripsi Model Penelitian
Pada kondisi aliran overflow (dengan qu = 0 dan L = 0) diperoleh persamaan: (Breusers dan Raudkivi, 1991: 124): (3) Sedangkan pada kondisi aliran lewat bawah pintu (underflow) menggunakan sill (L = 1,5H),
Gambar 7. Sketsa saluran untuk pengamatan
∆
ʎ
Gambar 8. Sketsa pengukuran variabel Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Sungai dan Rawa Jurusan Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Pada percobaan ini digunakan saluran datar sepanjang 8 m dan berpenampang persegi empat dengan lebar 0,5 m dan tinggi 0,6 m. Saluran terbuat dari akrilik, begitu pula dengan pintu sorong yang dipasang sejauh 3 m dari hilir saluran. Sejauh 3,6 m dari bak penenang, apron dipasang dengan tinggi 0,2 m dan panjang 1,4 m, kemudian dasar dibuat turun lagi 0,2 m. Di hilir setelah apron merupakan saluran sepanjang 3 m yang akan diisi material mudah tergerus berupa tanah liat berpasir (sandy loam). Pengaliran dilakukan mulai dari dasar rata sampai satu jam pengaliran. 3.2. Material Dasar Material dasar yang digunakan merupakan tanah liat berpasir (sandy loam) dengan nilai berat jenis (specific gravity) adalah 2,636 yang diperoleh dari hasil pengujian di laboratorium. Dari data tersebut selanjutnya dapat diketahui nilai kerapatan butiran (ρs) 2635,674 kg det2/m4 dan berat spesifik (specific weigth) butiran (s) sebesar 25855,97 kg/m3. Ukuran diameter butiran material dasar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
3.3. Rancangan Perlakuan Penelitian ini dilakukan menggunakan debit pengaliran mulai 0,0010 m3/detik sampai 0,0050 m3/detik dengan interval 0,0005 m3/detik. Posisi bukaan pintu yang digunakan 0,5 cm; 1 cm; 1,5 cm; 2 cm; dan 2,5 cm. Untuk memudahkan percobaan maka dibuat rancangan perlakuan sebagaimana dapat di lihat pada Tabel 2. 3.4. Variabel Penelitian Variabel merupakan faktor-faktor di dalam penelitian yang dapat dipengaruhi dan nilainya dapat berubah. Variabel terkait dalam kajian ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Variabel bebas (yang diatur): 1. Tinggi bukaan pintu sorong (a) 2. Debit di hulu pintu (Q) b. Variabel yang diukur: 1. Kedalaman gerusan (ds) 2. Tinggi muka air di hulu pintu (yo) 3. Tinggi muka air di hilir pintu (y2) 4. Kecepatan aliran (Ua, U2) 5. Jarak (Xs) dan kedalaman gerusan (ds) 6. Jarak (ʎ) dan ketebalan sedimentasi (∆) Tabel 2 Rancangan Perlakuan Q
1 2
(mm)
(m)
d10
0,101
0,000101
d50
0,451
0,000451
d90
1,913
0,001913
Sumber: Hasil pengukuran, 2016
0,001 0,0015
3
(m3/det)
(cm)
0,5
6
0,5
a
0,0035
1
0,002
1
7
1 1,5
2 1
0,0045
0,5 1 1,5
1,5 2,5
8
2
0,003
1,5 1
0,004
0,5 0,0025
1 2
1,5 4
(cm)
0,5
0,5
5
Ukuran
Q No
(m3/det)
Tabel 1. Ukuran Diamater Butiran Material Dasar (Lolos Saringan) Diameter lolos saringan
a
No
1,5 2 2,5
9
2
0,005
1,5 2 2,5
Sumber: Perencanaaan, 2016
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1. Kalibrasi Alat Sebelum melakukan penelitian, maka perlu dilakukan kalibrasi terhadap alat ukur yang digunakan. Pada penelitian ini, dilakukan kalibrasi terhadap alat ukur debit dan alat ukur kecepatan. Nilai kesalahan relatif yang diijinkan sebesar 10 persen. Alat ukur debit yang digunakan merupakan alat ukur berbentuk bendung persegi empat atau Rechbox. Kalibrasi Rechbox dilakukan dengan cara membandingkan antara nilai debit teoritis (QRechbox) terhadap debit takar (Qtakar). Tabel 3. Hasil Kalibrasi Rechbox
Kecepatan aliran diukur menggunakan alat ukur berupa tabung pitot. Oleh karena itu, perlu dilakukan kalibrasi terhadap alat ukur tersebut. Jika kalibrasi alat ukur debit dilakukan dengan membandingkan nilai debit, maka kalibrasi alat ukur kecepatan membandingkan nilai kecepatan hasil pengukuran (Upitot) dan kecepatan teoritis (Uteoritis). Kecepatan teoritis dijadikan sebagai patokan dalam kalibrasi. Tabel 4. Hasil Kalibrasi Pitot No
ypitot
Upitot
Uteoritis
Kesalahan relatif
(m)
0
(m/dt)
(%)
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
1
0,0020
0,1941
0,159
9,433
yRechbox
Qtakar
QRechbox
Kesalahan relatif
(m)
m³/detik
m³/detik
%
2
0,0023
0,2059
0,169
14,758
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
3
0,0025
0,2170
0,178
6,419
1
0,01948
0,00178
0,00189
6,003
4
0,0027
0,2256
0,185
5,291
2
0,02044
0,00188
0,00202
7,720
5
0,00215
0,00242
12,379
0,2311
7,377
0,02317
0,0028
0,189
3 4
0,02472
0,00265
9,344
6
0,0031
0,2427
0,199
1,630
0,00242
5
0,02578
0,00275
0,00282
2,372
7
0,0033
0,2475
0,203
0,078
6
0,02904
0,00326
0,00334
2,397
8
0,0033
0,2506
0,205
6,833
7
0,03150
0,00364
0,00375
3,067
9
0,0035
0,2568
0,210
9,718
8
0,03400
0,00418
0,00418
0,114
9
0,03600
0,00454
0,024
10
0,0043
0,2858
0,234
10,432
0,00454
10
0,03800
0,00486
0,00491
0,937
Max
14,758
11
0,03970
0,00571
0,00522
8,580
Min
0,078
Min
0,024
Rerata
7,197
Max
12,379
rerata
4,812
No
Kesalahan Relatif
Kesalahan Relatif
Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Sumber: Hasil perhitungan, 2016
Debit (lm³/detik)
0,006 0,004
Q = 0,5294(yRechbox)1,4315 R2 = 1
0,002 0,000 0,000 0,010 0,020 0,030 0,040 0,050
yRechbox
Gambar 9. Kurva hubungan tinggi muka air diatas Rechbox dengan debit
Kecepatan (meter/detik)
Kurva Hubungan Tinggi Muka Air dengan Debit
Kurva Hubungan Kecepatan dengan Beda Tinggi Air pada Pitot
0,30 0,20
U = 3,554(ypitot)0,5 R² = 1
0,10 0,00 0,000
0,002 0,004 ypitot (m)
0,006
Gambar 10. Kurva hubungan beda tinggi air pada pitot dengan kecepatan
Dari hasil perhitungan kalibrasi didapatkan nilai kesalahan relatif sebesar 4,812% untuk alat ukur Rechbox dan 7,197% untuk pitot. Kemudian, dari nilai kesalahan relatif yang diperoleh dari hasil perhitungan kalibrasi, dapat diketahui perambatan kesalahan. Kesalahan relatif debit (rQ) = 4,812% Kesalahan relatif kecepatan (rU) = 7,197% Sehingga: Q = A. U A = Q. U-1 (
rA = √ rA rA rb A y ry
√
(
)
rFr = √ ( ) rFr = 8,398% Nilai kesalahan relatif sebesar 8,398% lebih kecil dari nilai yang diijinkan. Sehingga kedua alat tersebut dapat digunakan dalam penelitian. 4.2. Analisis Dimensi Kajian dalam hasil penelitian ini melibatkan beberapa variabel dan parameter. Variabel yang terkait dengan kedalaman gerusan kemudian dikelompokkan sebagai berikut: Tabel 5. Pengelompokan Variabel Pengelompokan Variabel bebas
Variabel terikat
√ o
o
Fr = U. g-0,5. y-0,5 rFr = √
U
)
( ) =√ = 8,657% = 0% (lebar saluran konstan) = b. y = A. b-1 = rA = 8,657%
Fr =
Tabel 6. Bilangan Tak Berdimensi Bilangan tak berdimensi
Sumber: Hasil analisa, 2016 Analisis dimensi dilakukan menggunakan Metode Langhar berdasarkan pengelompokan variabel tersebut. Hasil bilangan tak berdimensi dapat dilihat pada Tabel 6. 4.3. Hubungan antar Variabel yang Mempengaruhi Kedalaman Gerusan Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi besarnya kedalaman gerusan. Variabel pertama yang mempengaruhi nilai kedalaman gerusan yaitu debit per satuan lebar. Jika debit yang dialirkan semakin besar, maka kedalaman gerusan yang terjadi akan bertambah besar. Hal tersebut ditunjukkan oleh Gambar 11. (
Tinggi bukaan pintu (a) Debit per satuan lebar (q) Kedalaman gerusan (ds) Jarak gerusan (Xs) Kecepatan di bawah pintu (Ua) Kedalaman air di hulu pintu (yo) Kedalaman air di hilir pintu (y2)
Percepatan gravitasi (g) Variabel yang dipilih sebagai variabel berulang: percepatan gravitasi (g) bukaan pintu (a) Variabel lain
Sumber: Hasil analisa, 2016
(8)
Kedalaman aliran juga mempengaruhi nilai kedalaman gerusan. Hubungan antar variabel ini dapat dilihat pada Gambar 12. Grafik hubungan 30
Variabel
)
25
dengan (ds/a)
ds/a = 39,688 R2 = 0,859
20 ds/a
𝐪 𝐚𝟏 𝟓 𝐠 𝟎 𝟓
15 10 5 0 0,00
0,20
0,40 q/(a1,5
Gambar 11. Hubungan (
x
0,60
0,80
g0,5)
) dengan ds/a
Grafik hubungan (yo/y2) terhadap (ds/a) 30 25 = ( ) 8,642 20 R2 = 0,941 15 ds/a 10 5 0 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 yo/y2
Gambar 12. Hubungan (yo/y2) dengan ds/a ( )
(9)
Persamaan 9 menunjukkan bahwa semakin besar kedalaman aliran di hulu pintu menyebabkan semakin besar pula kedalaman gerusan. Hal tersebut berbeda dengan hubungan kedalaman aliran di hilir pintu dan kedalaman gerusan yang justru memiliki hubungan berbanding terbalik. Selain debit per satuan lebar dan kedalaman aliran, kedalaman gerusan juga dipengaruhi oleh nilai bilangan Froude di bawah pintu. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa bilangan Froude berbanding lurus dengan kedalaman gerusan. Bilangan Froude yang besar menyebabkan kedalaman gerusan yang besar. Sebaliknya, jika bilangan Froude kecil, kedalaman gerusan akan kecil. Sementara itu, bilangan Froude memiliki hubungan berbanding terbalik dengan bukaan pintu. Hal tersebut berarti bilangan Froude akan semakin besar apabila bukaan pintu kecil. Hubungan antara kedua variabel ini dapat dilihat pada Gambar13. (10)
4.4. Analisis Kedalaman Gerusan Data nilai kedalaman gerusan diperoleh dari percobaan yang telah dilakukan di laboratorium. Kedalaman gerusan hasil percobaan selanjutnya dibandingkan dengan hasil perhitungan. Rumusrumus yang digunakan untuk perhitungan dalam studi ini adalah Persamaan Schocklitsch, Muller dan Eggenberger. Perbandingan kedalaman gerusan dari hasil penelitian dengan hasil perhitungan dari rumus empiris dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan Kedalaman Gerusan Hasil Penelitian dengan Hasil Perhitungan Q
a
dsLab
dsSchoc
PR
klitsch
dsEgge
PR
ds
PR
Muller
nberer
m³/deti k [1] 0,0010
m
m
m
%
m
%
m
%
[2] 0,01
[3] 0,000
[4] 0,005
[5] -
[6] 0,049
[7] -
[8] 0,015
[9] -
0,0015 0,0015 0,0020 0,0020 0,0020 0,0025 0,0025 0,0025 0,0025 0,0030 0,0030 0,0030 0,0030 0,0035 0,0035 0,0035 0,0035 0,0040 0,0040 0,0040 0,0040 0,0040 0,0045 0,0045 0,0045 0,0045 0,0050 0,0050 0,0050
0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 0,02 0,01 0,01 0,02 0,02 0,03 0,01 0,02 0,02 0,03 0,02 0,02 0,03
0,043 0,003 0,056 0,036 0,001 0,078 0,053 0,031 0,000 0,109 0,062 0,052 0,000 0,126 0,092 0,070 0,002 0,124 0,092 0,086 0,072 0,000 0,190 0,172 0,159 0,000 0,108 0,103 0,060
0,048 0,013 0,077 0,018 0,009 0,124 0,070 0,022 0,009 0,186 0,088 0,042 0,015 0,211 0,136 0,092 0,012 0,249 0,146 0,113 0,061 0,012 0,333 0,245 0,171 0,015 0,145 0,101 0,029
11,50 77,39 27,37 98,26 88,66 37,19 23,92 39,29 41,48 29,78 23,52 40,35 32,16 24,15 82,65 50,12 37,18 23,97 17,72 42,87 29,83 6,91 25,31 1,54 51,10
0,193 0,061 0,354 0,174 0,027 0,515 0,272 0,083 0,070 0,696 0,438 0,164 0,095 0,877 0,513 0,520 0,133 0,940 0,647 0,441 0,242 0,113 1,053 0,732 0,558 0,110 0,616 0,463 0,185
78,04 95,09 84,20 79,32 96,24 84,85 80,50 62,59 84,35 85,85 68,22 85,64 82,07 86,54 98,50 86,81 85,77 80,48 70,30 81,95 76,50 71,48 82,45 77,76 67,62
0,076 0,018 0,149 0,067 0,001 0,218 0,110 0,025 0,020 0,297 0,183 0,060 0,029 0,378 0,214 0,219 0,045 0,406 0,274 0,181 0,092 0,035 0,445 0,302 0,227 0,028 0,250 0,183 0,060
44,24 83,62 62,47 46,17 24,85 64,19 51,91 24,75 63,26 66,13 13,68 66,63 56,99 67,98 95,58 69,48 66,45 52,53 21,77 57,32 43,11 29,89 56,80 43,63 0,16
38,57
-
81,32
-
50,94
Rerata
Sumber: Hasil perhitungan, 2016 30
Grafik Hubungan Fra terhadap ds/a
25 20 ds/a
R2 = 0,918
15 10 5 0 0
1
2
3
Fra
4
5
Gambar 13. Hubungan (Fra) dengan ds/a
6
Keterangan: [1] = debit [2] = bukaan pintu [3] = ds hasil penelitian (dslab) [4] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus Schocklitsch (dsScocklitsch) [5] = Perbedaan relatif dslab dengan dsScocklitsch [6] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus Eggenberger (dsEggenberger) [7] = Perbedaan relatif dslab dengan dsEggenberger [8] = ds hasil perhitungan menggunakan rumus Muller (dsMuller) [9] = Perbedaan relatif dslab dengan dsMuller
Dapat dilihat dari Tabel 7 bahwa kedalaman gerusan hasil kajian labotarorium memiliki nilai yang berbeda dengan hasil perhitungan. Rumus Eggenberger menunjukkan hasil paling berbeda dengan perbedaan relatif sebesar 81,32%. Hasil perhitungan dengan rumus Muller menghasilkan perbedaan relatif 50,94%. Perbedaan relatif terkecil ditunjukkan oleh hasil perhitungan dengan rumus Schocklitsch dengan besarnya perbedaan relatif 38,57%. 4.5. Analisis Bentuk Dasar Analisis bentuk dasar hasil penelitian (hasil lab) dilakukan berdasarkan kriteria-kriteria yang dijabarkan oleh Simon-Richardson serta Yalin, sebagaimana telah dijelaskan pada bab tinjauan pustaka. Selain itu, dilakukan analisis perkiraan bentuk dasar dengan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan Simon-Richardson, Garde Albertson serta Van Rijn. Hasil analisis bentuk dasar dapat ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan Bentuk Dasar Hasil Penelitian dengan Berbagai Pendekatan Perkiraan Bentuk Dasar Q
a
m³/detik
m
0,001
0,005
0,0015
Pendekatan
Gambar 14. Contoh bentuk dasar plane bed (pada Q = 0,0015 m3/detik dan a = 0,5 cm)
Hasil Lab Van Rijn
Simon-Richardson
Garde Albertson
Plane bed
plane bed (no motion)
Plane bed (no motion)
Transisi
0,005
Plane bed
plane bed (no motion)
Plane bed (no motion)
Transisi
0,0015
0,01
Plane bed
plane bed (no motion)
Plane bed (no motion)
Transisi
0,002
0,005
Plane bed
Ripple
Ripples
Transisi
0,002
0,01
Plane bed
Ripple
Plane bed (no motion)
Transisi
0,002
0,015
Plane bed
plane bed (no motion)
Plane bed (no motion)
Transisi
0,0025
0,005
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,0025
0,01
Ripple
Ripple
Plane bed (no motion)
Transisi
0,0025
0,015
Ripple
plane bed (no motion)
Plane bed (no motion)
Transisi
0,0025
0,02
Plane bed
plane bed (no motion)
Plane bed (no motion)
Transisi
0,003
0,005
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,003
0,01
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,003
0,015
Ripple
Ripple
Plane bed (no motion)
Transisi
0,003
0,02
Plane bed
Ripple
Plane bed (no motion)
Transisi
0,0035
0,005
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,0035
0,01
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,0035
0,015
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,0035
0,02
Plane bed
Ripple
Ripples
Transisi
0,004
0,005 Plane bed dan Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,004
0,01
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,004
0,015
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,004
0,02
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,004
0,025
Plane bed
Ripple
Plane bed (no motion)
Transisi
0,0045
0,01
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,0045
0,015
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,0045
0,02
Ripple
Ripple
Ripples
Transisi
0,0045
0,025
Plane bed
Ripple
Plane bed
Transisi
0,005
0,015
Ripple
Ripple
Dunes
Transisi
0,005
0,02
Ripple
Ripple
Dunes
Transisi
0,005
0,025
Ripple
Ripple
Dunes
Transisi
Sumber: Hasil analisa, 2016
Gambar 15. Contoh bentuk dasar ripple (pada Q = 0,0025 m3/detik dan a = 0,5 cm)
Perkiraan bentuk dasar (bed forms) dengan pendekatan yang berbeda ternyata memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan parameter yang digunakan pada tiap-tiap pendekatan. Parameter yang digunakan pada pendekatan Van Rijn yaitu parameter partikel nirdimensi (d*) serta tingkat angkutan sedimen (T). Simon dan Richardson menggunakan parameter tegangan geser dasar (τo) dan diameter tengah parikel sedimen (d50). Sementara Garde Albertson mengklasifikasikan bentuk dasar berdasarkan diameter butiran (d), tegangan dasar (τo), serta bilangan Froude. Hasil yang paling mendekati dengan hasil penelitian adalah perkiraan bentuk dasar dengan metode Van Rijn. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Debit (q) merupakan salah satu variabel yang dapat mempengaruhi kedalaman gerusan. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan: ( ) (R2 = 0,859) Selain debit dan bukaan pintu, faktor –faktor yang mempengaruhi nilai kedalaman gerusan adalah bilangan Froude (Fa) serta kedalaman aliran (y). Hubungan antara variabel-variabel tersebut ditunjukkan oleh persamaan: ( ) (R2 = 0,941), dan (R2 = 0,918); 2. Bentuk dasar yang diperoleh dari hasil kajian laboratorium (penelitian) berada pada daerah regime aliran rendah, meliputi plane bed dan ripple. Bentuk dasar berupa plane bed terjadi mulai debit 0,0010 m³/detik sampai dengan 0,0020 m³/detik. Pada debit 0,0025 m³/detik sampai 0,0050 m³/detik bentuk dasar berupa ripple, namun plane bed kembali terbentuk pada bukaan pintu besar; 3. Perbandingan kedalaman gerusan dan bentuk dasar hasil penelitian dengan hasil analitis adalah sebagai berikut: a. Kedalaman gerusan hasil penelitian (hasil kajian laboratorium) memiliki nilai yang berbeda dengan hasil perhitungan dengan
persamaan Schocklitsch, Eggenberger dan Muller. Besarnya Perbedaan relatif untuk persamaan Schoklitsch, Eggenberger dan Muller secara berturut-turut yaitu 38,57%, 81,32%; dan 50,94%; b. Analisis bentuk dasar dari hasil penelitian bervariasi dari plane bed ke ripple. Hasil tesebut sama dengan analisis bentuk dasar metode Van Rijn yang juga menunjukkan variasi dari plane bed ke ripple. Namun, hasil tersebut berbeda dengan pendekatan Simon-Richardson serta Garde Albertson. Bentuk dasar dari hasil pendekatan Simon dan Richardson bervariasi dari plane bed, ripple dan dune. Sedangkan bentuk dasar berdasarkan pendekatan Garde Albertson menunjukkan bahwa bentuk dasar berada pada daerah transisi. 5.2. SARAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penyusun, maka disarankan beberapa hal: 1. Untuk memperoleh keakuratan data dan hasil yang lebih memuaskan, maka diharapkan alat ukur yang digunakan untuk penelitian lebih lanjut memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi; 2. Penelitian lebih lanjut terkait gerusan lokal di hilir pintu dapat dilakukan dengan: a. menggunakan variasi variabel berbeda, misalnya kemiringan dasar saluran b. perbandingan hasil kedalaman gerusan terhadap kondisi aliran bebas c. perbandingan hasil kedalaman gerusan menggunakan beberapa material dasar yang berbeda DAFTAR PUSTAKA Breuser, H.N.C., 1974-1975. Lecture Notes on Sediment Transport 1.International Course in Hydraulic Engineering, Delft Breuser, H.N.C & Raudkivi,A.J., 1991. Scouring. Netherland: International Association for Hydraulic Research Puspitarini, S., Yulistyanto, B., Kinoroto, B.A., 2002.Model Pengendalian Gerusan Lokal Akibat Aliran Superkritik di Hilir Pintu Air. Jurnal TeknoSains. XV (3): 419: 431.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Rijn, Leo C Van., 1987. Mathematichal Modelling of Morphological Processes in The Cas of Suspended Sediment Transport. Thesis aproved by the Delft University of Technology, delft Hydraulics Communication Simon, Daryl B & Senturk, Fuad., 1976. Sediment Transport Technology: Water and Sediment Dynamics. Colorado: Water Resources Publication Subramanya, K., 1986. Flow in Open Channels. New Dehi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Yalin, M.S., 1977. Mechanics of Sediment Transportation 2nd Edition. Queen University, Ontario, Pergamon Press Yang, C.T., 1996. Sediment Transport: Theory and Practice. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc