THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
ANALISIS KARAKTERISTIK DAN MOBILITAS PENGEMIS DI KOTA SALATIGA Choirul Amin, Priyono, Nurul Hidayah, Bagus Mia Syahputra Fakultas Geografi UMS, Jl. A. Yani Tromol Pos I Kartasura Seurakarta Email:
[email protected] Fakultas Geografi UMS, Jl. A. Yani Tromol Pos I Kartasura Seurakarta Email:
[email protected] Fakultas Geografi UMS, Jl. A. Yani Tromol Pos I Kartasura Seurakarta Email:
[email protected]
Abstrak Kebutuhan mobilitas merupakan salah satu karakteristik dasar manusia. Namun demikian, mobilitas penduduk dari desa ke kota juga dapat menimbulkan permasalahan di perkotaaan. Salah satunya adalah munculnya kaum gelandangan dan pengemis. Keberadaan pengemis merupakan fenomena yang umum dijumpai di berbagai kota termasuk Kota Salatiga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik dan pola mobilitas pengemis di Kota Salatiga. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey. Metode pengambilan sampel menggunakan non probability sampling dengan teknik accidental sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pengemis di Kota Salatiga sebagian besar merupakan pendatang dari luar kota Salatiga dan (2) pola mobilitas yang dilakukan berupa mobilitas sirkuler dari tempat tinggal di luar Kota Salatiga menuju Kota Salatiga. Pemahaman tentang pola mobilitas pengemis ini dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk menangani permasalahan pengemis di Kota Salatiga,terutama dalam hal tindakan preventif maupun intervensi dan layanan sosial yang diberikan. Kata Kunci: Urbanisasi, Pengemis, Permasalahan Perkotaan.
1.
perumahan, air bersih dan listrik, ketersediaan pangan dan sebagainya. Belum lagi timbulnya kemacetan lalulintas dan tindakan kriminalitas serta munculnya kaum marjinal perkotaan seperti pengemis. Keberadaan pengemis merupakan fenomena yang umum dijumpai di berbagai kota termasuk Kota Salatiga. Faktor yang melatarbelakangi munculnya pengemis diantaranya adalah rendahnya pendidikan dan keterampilan, rendahnya pendapatan, dan terbatasnya kesempatan kerja di perkotaan. Pengemis telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara berkembang. Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM.
PENDAHULUAN
Mobilitas penduduk penting artinya bagi perkembangan wilayah karena melalui mekanisme ini perbedaan komposisi kependudukan antarwilayah akan terbentuk. Sementara itu, setiap migrasi selalu selektif oleh umur dan jenis kelamin, sehingga gerak penduduk antarwilayah juga memberikan perubahan-perubahan jangka panjang dalam komposisi demografis, sosial maupun ekonomi, baik di daerah asal maupun di daerah tujuan (Rijanta, 2003). Arango(2000) menyatakan bahwa mobilitas dilakukan seseorang karena adanya tekanan lingkungan alam, ekonomi, sosial dan budaya. Demikian pula dengan fenomena urbanisasi yang sering mendatangkan masalah di perkotaan. Penduduk bersaing untuk mendapatkan lapangan pekerjaan, layanan fasilitas umum,
THE 5TH URECOL
874
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017UAD, Yogyakarta
Kota Salatiga masih menghadapi permasalahan kesejahteraan sosial meskipun upaya penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial(PMKS) terus dilakukan tetapi belum berhasil mengurangi jumlah PMKSsecara signifikan. Kondisi ini ditandai dengan meningkatnya jumlahpenduduk miskin (seperti gelandangan, anak jalanan, dan pengemis). dan penyandang masalahkesejahteraan sosial lainnya. Tabel 1. Data Pelayanan yang Dilakukan Dinsosnakertrans Kota Salatiga Tahun 2014 Sumber: Dinsosnakertrans Kota Salatiga, 2015
2.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey.Populasi yang akan menjadi sumber data dalam penelitian ini adalahpengemis di Kota Salatiga. Sampel dalam penelitian ini akandipilih secara non probability sampling dengan teknik accidental sampling. Accidental samling. Sugiyono (2001) menyebutkan bahwa sampling aksidental merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu sesuai dengan sumber data, yang dalam penelitian ini adalah pengemis.Jumlah sampel pengemis dalam penelitian ini sebanyak 53 pengemis. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode surveydanobservasi. Peneliti menggunakan kuesioner untuk survey, sedangkan dalam observasi, peneliti melakukan observasi secara non partisipan (peneliti mengamati dari jauh dalammenggali informasi mengenaisubjek).
3.
Pada tahun 2005 di Kota Salatiga terdapat pengemis sebanyak 87 orang. Sedangkan pada kurun waktu 10 tahun kemudian yaitu pada tahun 2014 jumlah pengemis di Kota Salatiga meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 235 pengemis (Dinsosnakertrans Kota Salatiga, 2015). Sementara menurut data Dinsosnakertrans Kota Salatiga, hanya kurang dari 10% dari keseluruhan jumlah pengemis yang ada yang terlayani. Hal ini terkait dengan pendataan pada kelompok ini (pengemis)yang relatif sulit dilakukan karena mobilitas mereka yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis menganalisis karakteristik dan mobilitas pengemis di Kota Salatiga.
THE 5TH URECOL
875 ISBN 978-979-3812-42-7
METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Kota Salatiga Kota Salatiga merupakan sebuah kota kecil yang berkembang sejak jaman penjajahan Belanda. Letak Kota Salatiga relatif strategis karena dilewati jalan arteri yang menghubungkan Kota Surakarta – Semarang dan Boyolali – Semarang. Kota ini terletak di dataran tinggi, berada di lereng timur Gunung Merbabu pada ketinggian 750-850 mdpl memiliki suhu rata-rata 260c menjadikan Kota Salatiga sehingga memiliki suasana yang sejuk dan nyaman. Wilayahnya yang tidak terlalu luasyaitu 56,781 km² yang terdiri dari 4 kecamatan yakni Argomulyo, Tingkir, Sidomukti, dan Sidorejo dan 22 kelurahan.Pada tahun 2015 terdapat pemekaran wilayah di Kota Salatigabertamabah 1 kelurahan yaitu Kelurahan Kutowinangun Lor sehingga jumlah kelurahan menjadi 23 kelurahan.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kota Semarang yang berjarak kurang lebih 49 km, semua daerah berbatasan langsung dengan Kabupaten Semarang. Pola permukiman mengelompok pada pusat-pusat ekonomi dan pemerintahan dan memanjang mengikuti jalan dan sungai.
Karakteristik Pengemis Kota Salatiga Pengemis dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan minta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain (PP No. 31 Tahun 1980). Adapun indikator untuk menjustifikasi bahwa sesorang adalah pengemis adalah sebagai berikut : (1) Anak sampai usia dewasa; (2) Meminta-minta dirumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas), pasar, tempatibadah dan tempat umum lainnya; (3) Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan, berpura-pura sakit, merintih dan kadang-kadang mendoakan dengan bacaanbacaan ayat suci, sumbangan organisasi tertentu; dan (4) Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentuatau tetap membaur dengan penduduk pada umumnya. Pengemis yang menjadi responden penelitian ini sebanyak 53 orang yang terdiri dari 23 laki-laki dan 30 perempuan. Usia responden pengemis didominasi usia lanjut (usia tidak produktif) yaitu sebanyak 32 orang (60%)berumur >64 tahun, sedangkan yang berada pada rentang usia produktif (1564 tahun) seabanyak 20 0rang (38%), dan kami juga menjumpai satu orang responden pengemis yang masih usia sekolah (12 tahun).
THE 5TH URECOL
Gambar 1.Pengemis manula, dari segia usia sudah tidak produktif Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017.
Gambar 2.Pengemis laki-laki lebih sedikit dijumpai dibanding pengemis perempuan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017.
Sebagian besar responden masih memiliki keluarga utuh di karena mereka berstatus menikah yaitu sebanyak 35,66%, sedangkan sebagian ada yang janda sebanyak 15,28% dan yang masih belum menikah sebanyak 3,6 %. Tingkat pendidikan pengemis sebagian besar adalah lulus SD (88,7 %), sisanya adalah lulus SMP (7,5%), dan lulus SMA (3,8%). Tingkat pendidikan yang rendah nampaknya terkait dengan tingkat akses mendapatkan kesempatan kerja yang layak. Faktor biaya menyebabkan responden tidak
876
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017UAD, Yogyakarta
bisa melanjutkan ke tingkat pindidikan yang lebih tinggi.
Grafik 1. Daerah Asal Pengemis
Satu desa dengan tempat kerja
4% 21% 28%
26% 21%
Gambar 3.Pengemis dengan cacat kaki Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2017.
Mobilitas Pengemis Kota Salatiga Daerah asal pengemis di Kota Salatiga sebagian besar berasal dari wilayah Kota Salatiga sendiri,meski ada juga yang berasal dari luar Kota Salatiga. Daerah asal pengemis dapat dilihat pada Garifk 1. Jarak daerah asal pengemis dari tempat mereka mengemis relatif dekat. Hal tersebut menunjukkan bahwa mengemis tidak memerlukanmobilitas jarak jauh sehingga biaya yang dikeluarkan untuk transportasi tidak banyak dan tenaga yang dikeluarkan juga tidak terlalu banyak.Hal ini juga dipengaruhi umur yang sudah tua sehingga tidak mampu bepergian jauh diluar kabupaten dari tempat tinggalnya
THE 5TH URECOL
877 ISBN 978-979-3812-42-7
Luar desa dengan tempat kerja Luar kecamatan dengan tempat kerja Luar kabupaten dengan tempat kerja Luar Provinsi dengan kerja
Terdapat jugapengemis yang berasal dari luar Kota Salatiga hal ini dikarenakan mengemis di kota dari mereka tinggal dari pendapatan mengemis kurang menjanjikan sehingga mereka memilih mengemis di luar kota dari tempat tinggalnya. Lokasi mangkal mengemis mempengaruhi pola mobilitas pengemis itu sendiri. Lokasi mengemis responden ada
beberapa lokasi yaitu pertokoan, termianal, dan pemukiman warga. Sebagian besar responden mangkal mengemis di pertokoan sebanyak 30 pengemis (57%), sedangkan yang mengemis di terminal sebanyak 16 orang (30%) dan sisanya mengemis secara mobile di permukiman warga. Banyak responden yang lebih memilih mengemis di deretan pertokoan karena faktor pendapatan yang lebih besar. Hal ini karena dipertokoan merupakan tempat usaha dan tidak juga jauh dari pangkalan angkutan kota. Pengemis yang memilih lokasi di termianal biasanya mengemis di dalam area terminal atau luar terminal dengan cara meminta minta didalam bisa tau angkutan kota di Kota Salatiga. Tempat responden menginap atau tidur untuk beristirahat pada malam hari
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
juga menggambarkan mobilitas mereka. Pengemis di Kota Salatiga sebagian besar (50,1 %) tidur di rumah mereka sendiri.Hal ini menunjukkan mobilitas yang mereka lakukan setiap hari dari danke tempat mangkal mengemis ke rumah mereka sendiri. Pengemis yang tidur di terminal ada 1 orang, pengemis yang tidur di mushola atau masjid ada 1 orang, pengemis yang tidur di rumah teman ada 3 orang dan lainnya tidur di sembarang tempat atau berpindah pindah sebanyak 21 orang. Pengemis yang tidur dirumah sendiri adalah mereka yang berasal dari dalam Kota Salatiga.Sedangkan pengemis yang di tidur di tempat umum atau tidur berpindah–pindah tempat adalah mereka yang berasal dari luar daerah Kota Salatiga sehingga memilih untuk tidak pulang ke rumahnya sendiri dengan alasan biaya transportasi tidak sebanding dengan penghasilan jika setiap hari harus pulang pergi daei luar daerah Kota Salatiga sehingga mereka memilih untuk tidur di tempat umum atau berpindah – pindah tidurnya Pengemis yang rumahnya relatif jauh dari tempat mangkal mengemis lebih memilih tidur disembarang tempat untuk menghemat biaya/ongkos transportasi. Mereka memilih tidur di sembarang tempat daripada uang pendapatan hasil mengemis berkurang untuk pulang setiap harinya sehingga mengurangi pendapatan dalam mengemisnya, Sementara itu pengemis yang tidak memiliki rumah (tuna wisma) terpaksa tidur di tempat umum atau berpindah– pindah kare tidak memiliki tempat tidur yang tetap. Sarana mobilitas (moda transportasi yang digunakan oleh responden cukup bervariasi mulai dari bus angkutan kota sebanyak 32 (60%),
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
sepeda motor sendiri sebanyak 5 orang (30%) dan sisanya menggunakan angkutan lain seperti ojek dan ada pula yang ke mana-mana berjalan kaki. Pengemis di Kota Salatiga sebagian besar memanfaatkan angkutan umum seperti bus atau angkutan kota hal tersebut dipilih pengemis karena faktor usia yang sudah tua tidak memungkinkan untuk menggunakan motor sendiri dan faktor biaya angkutan umum yang murah dapat dijangkau oleh pengemis. Pengemis yang memilih menggunakan motor sendiri adalah mereka yang usianya relatif muda yang masih mampu mengendarai motor sendiri.Namun dalam pekerjaan mengemis menggunakan motor sendiri motor selalu dititipkan pada penitipan motor dengan sedikit mengeluarkan biaya juga. Sedangkan untuk pengemis yang tempat mangkalnya tidak jauh dari tempat tinggalnya mereka memilih untuk berjalan kaki untuk menghemat uang. 4.
KESIMPULAN
Sebagian besar pengemis di Kota Salatiga berasal dari luar daerah Salatiga. Tujuan mereka datang semula adalah untuk mencari kerja disini tetapi dengan latar belakang pendidikan yang rendah yaitululusan SD saja membuat mereka tidak dapat pekerjaan yang mensyaratkan pendidikan tinggi akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi pengemis. Migran yang datang ke kota-kota, biasanya memang minim pengalaman, pendidikan rendah, kurang keterampilan kerja dan tidak punay modal uang sehingga banyak dari mereka yang berusaha survive dengan menempuh segala cara, salah satunya dengan menjadi pengemis. Hal ini menunjukkan bahwa masalah pengemis dan kaum miskin kota yang lain adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Jika migrasi desa-kota dapat diminimalisir, maka jumlah pengemis dan kaum marginal lainnya di perkotaan dapat
878
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017UAD, Yogyakarta
dipastikan dapat diminimalisir pula. Oleh karena itu, maka upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutamadi daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota. Selain itu, karakteristik pengemis berdasarkan pola mobilitasnya dapat dijadikan dasar dalam melakukan intervensi ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik pengemis itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Arango, J. (2000). Explaining Migration: A Critical View. International Social Science Journal52 , 283 296. Hutajuluh, Eka P. (2013). Menyoal Makmurnya Pengemis [online] tersedia:http://suar.okezone.com/read/2 013/10/25/58/886704/menyoalakmurnyapengemis. Diakses 10 Januari 2017 Indonesia, Republik. (1992). Peraturan Pemerintah NO. 31 Tentang PenanggulanganGelandangan dan Pengemis, dalam Himpunan Peraturan Perundang-undanganBidang Tugas Rehabilitasi Sosial. Johan. (2007). Gambaran Upaya Penanganan Pengemis di Beberapa Wilayah IndonesiaDirektorat Rehabilitasi Sosial [online] tersedia:http://rehsos.kemsos.go.id/mod ule.php?name=News&file=article&sid= 3. Diakses 11 Januari 2017 Lee, Everett S. (1966) A Theory of Migration. Demography, Vol. 3, No. 1. (1966), pp. 47-57. Mantra, Ida Bagus. (1989)Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Penelitian
THE 5TH URECOL
879 ISBN 978-979-3812-42-7
Kependudukan Mada.
Universitas
Gadjah
Rijanta, R. (2003). Migrasi dan Pembangunan Regional Antara Mitos dan Realitas: Perspektif Teori, Kondisi Empirik di Indonesia dan Prospeknya dalam Era Otonomi Daerah. Majalah Geografi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Maret 2003, Hal. 1 – 20. Sugiyono (2001). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta