Analisis dan Simulasi Pencocokan Pola pada Biometrik Iris dengan Menggunakan Algoritma Incremental Dissimilarity Approximation Mayendra Leaz, Dadang Gunawan Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
Abstrak Suatu sistem biometrik sangat penting untuk identifikasi dan verifikasi suatu individu dengan berbagai tujuan. Biometrik iris merupakan salah satu tipe biometrik dengan tingkat akurasi yang tinggi tetapi banyak pemakaian memori. Tahap pencocokan merupakan salah satu bagian dari sistem biometik iris yang memakai banyak memori sehingga berpengaruh pada waktu proses. Dalam skripsi ini, akan disimulasikan algoritma Incremental Dissimilarity Approximation (IDA) yang akan dibandinkan dengan algoritma vector quantization (VQ). IDA merupakan algoritma pencocokan cepat berdasarkan ketidaksamaan fungsi norm Lp dimana akan menjadi syarat untuk batas pencarian pencocokan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa IDA tidak cocok untuk diaplikasikan pada sistem biometrik iris. Performa yang ditunjukkan sama dengan VQ karena variasi vektor pada citra iris masih memenuhi batas pada algoritma IDA. Namun, secara eksperimental telah didapat nilai batas yang optimal untuk sistem biometrik iris sehingga mempersingkat waktu proses. Kode untuk algoritma VQ dan IDA dikembangkan dengan program MATLAB.
Analysis and Simulation of Pattern Matching on Iris Biometric with Incremental Dissimilarity Approximation Algorithm Abstract A biometric system is really important for identification and verification of a person for a lot of purposes. . Biometric iris is one of biometric types that has high accuracy but use lot of memory. The pattern matching is part of iris biometric system that required a lot of memory that affect to the time process. In this paper, Incremental Dissimilarity Approximation (IDA) algorithm will be simulated and compared with vector quantization (VQ) algorithm. IDA is a fast pattern matching based on dissimilarity functions derived from Lp norm for becoming the bounding criterion of pattern matching. The simulation result show that IDA is not suitable to implement for iris biometric system. It has the same performance as VQ because the variety of the vector still satisfy the bounding criterion. However, the experiment has determined the optimal bound for pattern matching in iris biometric system that decrease the time process. The code for VQ and IDA are developed with MATLAB. Keyword: IDA; pattern matching; vector quantization
Pendahuluan `
Biometrik berasal dari bahasa Yunani yaitu bio dan metrics. Bios berarti hidup dan metron berarti mengukur sehingga biometrik adalah merupakan suatu studi tentang metode untuk mengenali suatu makhluk hidup[1]. Metode biometrik melalui iris digunakan dimana tingkat akurasi dari metode ini sangat tinggi karena pola iris mata sangat unik dan acak[5]. Selain itu tingkat keamanannya tinggi karena untuk menggandakan iris mata sangat sulit dilakukan dan
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
hanya bisa dilakukan oleh orang yang masih hidup karena mata orang yang meninggal akan dengan mudah membusuk. Walaupun ada kekurangan pada metode ini dimana mahal dan membutuhkan banyak penyimpanan data, metode biometrik ini mulai banyak yang menggunakan. Citra iris digunakan dengan dasar pemikiran bahwa pola yang dihasilkan oleh citra iris merupakan pola dengan tingkat keacakan yang sangat tinggi (high degrees of freedom) dan tidak ada hubungannya dengan faktor genetik sehingga iris dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang. Sistem biometrik ini melewati empat tahapan proses, yaitu kuantisasi, normalisasi, pengkodean, dan pencocokan[3]. Pencocokan atau pattern matching merupakan tahap akhir yang menentukan identitas suatu objek apakah sama dengan yang ada pada database atau tidak. Pada tahap pencocokan mempunyai kendala dimana membutuhkan waktu proses yang lama jika berhadapan dengan basisdata yang banyak. Salah satu algoritma yang banyak dipakai dalam pencocokan adalah vektor kuantisasi dan menggunakan hamming distance[16]. Namun dalam implementasinya, kedua algoritma ini akan mencocokan data dalam codeword dengan codebook secara acak (bruteforce) sehingga proses pencocokan akan memakan banyak waktu dan memori. Algoritma pencocokan lainnya juga sudah diimpelementasikan pada biometrik iris seperti dengan menggunakan Hidden Markov[18], dan Adaptive Neuro-Fuzzy Inteference[19]. Namun kedua algoritma ini lebih bertujuan untuk meningkatkan reliabilitas dari suatu sistem biometrik. Algoritma dengan tujuan untuk mempercepat waktu proses telah dilakukan dengan Principle Component Analysis (PCA), dan Independent Component Analysis[12][20]. Incremental Dissimilarity Approximation (IDA) merupakan metode pencocokan cepat untuk meningkatkan waktu proses. Metode ini menggunakan teorema
ketidaksamaan segitiga
dengan norm Lp dimana diharapkan proses pencocokan tersebut akan semakin cepat dan mengurangi pemakaian memori. Dibandingkan dengan metode pencocokan cepat yang lainnya, IDA mempunyai keunggulan dalam kesederhanaan dan kecepatannya dalam melakukan pencocokan karena tidak perlu menggunakan banyak transformasi[6]. IDA mampu menyingkat proses pencarian gambar dari suatu basis data dengan suatu nilai batas. IDA belum dicoba dalam suatu sistem biometrik namun seharusnya mampu memberikan
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
performa yang tidak jauh berbeda karena dalam implementasinya hanya mempunya perbedaan pada besar ukuran antara citra yang diuji dengan citra pada basisdata. Incremental Dissimilarity Approximation Dalam algoritma IDA, secara umum menggunakan syarat triangular inequality pada Lp norm suatu vektor. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai bagian-bagian tersebut. A. Norm Lp Norm Lp dari sebuah vektor X = [x1, … , xM]T berdimensi M didefinisikan sebagai: ! !
!
!
!
|!! |!
= !!!
(1) Dimana nilai p merupakan nilai real positif. Jika suatu template vektor X dan Y1, … , YN dengan kandidat N terhadap dengan siapa X dipasangkan, setiap vektor kandidat mempunyai cardianality yang sama dengan template vektor. Suatu fungsi umum berdasarkan norm Lp untuk mengukur ketidaksamaan antara X dan Yj dapat ditulis sebagai: ! − !!
! !
=
! !!!
!! − !!,!
!
(2)
Jika nilai p=1 maka akan memenuh fungsi SAD (Sum Of Absolute Difference), sedangkan p=2 akan memenuhi fungsi SSD (Sum of Squared Difference). B. Algoritma Incremental Dissmilarity Approximation Pada bagian ini akan dijelaskan metode pattern matching pada domain sinyal yang disebut dengan Incremental Dissimilarity Approximation (IDA) yang bertujuan untuk mempercepat proses berdasarkan norm Lp. IDA bergantung pada pembagian template vektor X dan setiap kandidat vektor Y menjadi beberapa subvektor untuk menentukan batas kondisi sehingga memperingan perhitungan dan meningkatkan efisiensi.[6] Suatu vektor berdimensi M dibagi menjadi disjoint subvektor r yang didefinisikan oleh P dari sejumlah S = {1,2,…M} !! = !! , !! … !! , ! ∈ ! ! !!! !! = ! !! ∩ !! = ∅, ∀! ≠ !, !, ! ∈ 1,2, … !
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
(3)
Suatu P, jika didefinisikan suatu norm Lp X, Yj terbatas dari subvektor asosiasi St ∈ P sebagai !
!
!,!!
=
!∈!!
!!
! !
(4) !
!!
!,!!
=
! !
!∈!!
!!,!
=
!∈!!
(5)
Sehingga ketidaksamaan antara X dan Yj ! − !!
! !,!!
!! − !!,!
!
(6)
Kemudian dengan melakukan prinsip triangular inequality pada subvektor r: ! − !!
! !,!!
≥
!
!,!!
− !!
! !!
, ! = 1, … !
(7)
Dengan menjumlahkan setiap ketidaksamaan pada vektor X dan Yj maka dapat dihasilkan nilai batas-batas bawah dan batas atas. !
! − !!
! !
≥
! !!!
!
!,!!
− !!
!,!!
(8)
Ketidaksamaan pada persamaan tersebut akan memberikan kondisi batas untuk mengelminasi vektor kandidat yang tidak merepresentasikan kondisi matching. Jika batas bawah dari fungsi ketidaksamaan melebihi nilai batas D yang membedakan antara kondisi matching dan nonmatching ! ! !!!
!
!,!!
− !!
!,!!
>!
(9)
Umumnya algoritma ini digunakan untuk mencari suatu pola citra X dengan ukuran N1xN2 ke dalam suatu citra Y dengan ukuran M1xM2 dimana M>N. Citra Y akan dibagi-bagi kedalam beberapa candidate window. Citra X akan melakukan pencocokan dengan setiap candidate window untuk menemukan matched window. Dalam melakukan pencocokan, citra X akan selalu dilakukan pergeseran untuk menemukan nilai pencocokan yang paling baik. Dalam tahap inilah algoritma IDA akan dilakukan untuk membatasi daerah pencarian dan mempersingkat waktu. Ilustrasi seperti pada Gambar 1.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
Gambar 1. Pencocokan pola[14]
Perancangan Simulasi A. Blog Diagram Simulasi Perancangan simulasi terdiri dari 4 bagian yaitu, akusisi citra, segmentasi, normalisasi, dan pencocokan. Gambar 2 menunjukkan model blok diagram simulasi yang diajukan:
Mulai
Selesai
Akusisi Citra
Pra Processing (Grayscale, Median Filter)
Segmentasi (Canny Edge)
Perhitungan Waktu Proses dan Autentikasi
Pencocokan (VQ dan IDA)
Normalisasi dan Ekstraksi (Transformasi Hough)
Gambar 2. Blok Diagram Perancangan Simulasi
B. Akusisi Citra Citra yang didapat berasal dari CASIA dan Phoenix. Data tersebut memiliki ukuran yang berbeda–beda sehingga perlu diolah terlebih dahulu. Data dari CASIA berupa citra grayscale dengan ukuran 320 x 280 dan data dari Phoenix berukuran 768 x 576 yang akan dioleh dengan cara crop dan resize menjadi ukuran 200 x 200. Pengambilan citra diatur sedemikian rupa sehingga titik pusat citra dapat berada di dalam area pupil. Ukuran ini dipilih agar memudahkan pengolahan citra lebih lanjut dalam tahap berikutnya. Citra tersebut disimpan sesuai dengan ekstensi aslinya
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
C. Pre Processing Pra proses dilakukan terhadap data dari proses akusisi. Tahap-tahap tersebut terdiri dari dari grayscale, contrast, dan filter median. 1)
Grayscale: Pada tahap ini bertujuan untuk mengubah citra yang akan diolah menjadi
citra dalam bentuk abu-abu. Hal ini dikarenakan dalam biometrik iris yang terpenting adalah deteksi pola dibandingkan warna. Citra yang mempunyai batas keabuan, hanya diperlukan nilai intensitas untuk tiap piksel sebagai nilai tunggal, sedangkan pada citra berwarna perlu tiga nilai intensitas untuk tiap pikselnya, sehingga citra beraras keabuan membutuhkan ruang memori dan waktu pengolahan yang lebih sedikit daripada citra berwarna (RGB). 2)
Contrast: Citra yang sudah grayscale diberikan operasi contrast untuk memperbaiki
agar lebih jelas. Citra ditingkatkan nilai kontrasnya dengan mengubah nilai intensitasnya dengan equalisasi histogram. 3)
Filter Median: Median filter umumnya digunakan untuk mengurangi noise suatu
citra. Salah satu operasi nonlinear neighborhood yang bisa dilakukan untuk mengurangi noise yang bisa mendeteksi tepi lebih baik dari filter smoothing adalah median filter. Ukuran jendela filter akan mempengaruhi detail tepian yang terdeteksi. Pada pengujiannya akan digunakan ukuran jendela filter 2x2, 3x3, 4x4, 5x5, 6x6, 7x7, 8x8. Akan tetapi, jendela filter 2x2 dipilih karena masih menghasilkan informasi tepian iris yang masih jelas D. Segmentasi Segmentasi merupakan proses untuk mengisolasi daerah iris yang sebenarnya dalam citra mata digital. Daerah iris dapat dibatasi oleh dua lingkaran, lingkaran pertama berada antara sclera dan iris, dan lingkaran kedua berada diantara iris dan pupil. Dalam proses segmentasi, metode yang dipakai adalah Canny Edge Detection. Canny edge detection adalah sebuah proses pendeteksian tepi yang mempergunakan dua proses pengolahan citra menggunakan Gaussian filter dan deteksi tepi mengguankan operator gradient pertama Sobel.Proses threholding merupakan proses terakhir pada Canny Edge Detection. Hal ini dilakukan untuk menentukan piksel mana yang benar-benar merupkana piksel tepi. Proses ini menggunakan dua buah nilai threshold. Nilai ambang yang dipilih untuk deteksi ini adalah 0,1, karena nilai ambang yang terlalu tinggi akan menyebabkan banyak tepian yang hilang. Threshold pertama (T1) disebut threshold tinggi dan threshold kedua (T2) disebut threshold rendah dimana nilai T1>T2. Nilai piksel yang lebih besar dari T1 dianggap sebagai tepian diberi nilai 1. Piksel yang memilki nilai lebih kecil dari T1 namun lebih besar dari T2 dan bertetangga dengan piksel yang
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
memiliki nilai lebih besaru dari T1 juga dianggap sebagai tepian diberi nilai 1. Selain itu, piksel tersebut diberi nilai 0. E. Normalisasi dan ekstraksi ciri Model yang digunakan untuk normalisasi adalah model Daugman’s Rubber Sheet. Model ini bertujuan untuk menormalisasi citra iris yang sebelumnya berbentuk lingkaran menjadi bentuk persegi panjang. Secara matematisnya, memetakan kembali setiap titik dalam iris ke dalam sepasang koordinat polar (r,!) dimana r, dalam interval [0,1] dan ! dalam interval sudut [0, 2!]. Proses ini seprti terlihat pada Gambar 3
Gambar 3. Model Daugman’s Rubber Sheet[3]
Pemetaan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan: I (x (r, !), y (r, )) à I (r, !)
(10)
x (r ,!) = (1 – r) xp ( !) + rxl (!)
(11)
y (r ,!) = (1 – r) yp ( !) + ryl (!)
(12)
Dengan
Dimana I(x,y) merupakan citra iris, (x,y) koordinat asli kartesian, (r, !) koordinat polar tenormalisasi, dan xp, yp dan xl, rl merupakan kooordinat dari pupil dan batas iris sepanjang arah !. Dengan cara ini, citra iris dapat dimodelkan seperti lembaran karet (rubber sheet) fleksibel yang dibatasi dngan pusat pupil sebagai acuan. Proses ini mengubah citra dari radial menjadi rectangular.
Data citra yang sebelumnya
berukuran 200 x 200 diubah menjadi citra rectangular dengan ukuran 60 x 451. Prosesnya dapat terlihat pada Gambar 4
Gambar 4 Normalisasi
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
F. Pencocokan Merupakan tahap akhir dari dimana akan dilakukan pencocokan antara codeword yang telah terbentuk dengan codebook yang ada. Proses dari tahap ni dapat dilihat pada flowchart. Dalam simulasi yang diajukan, algoritma yang dipakai adalah VQ dan IDA yang hasilnya akan dibandingkan Implementasi pada algoritma IDA, citra input mempunyai ukuran yang sama dengan citra basisdata. Jika citra input merupakan vektor X dengan ukuran N1 x N1 maka citra basisdata merupakan vektor Y dengan ukuran N1 x N1 juga. Kemudian akan dicari semua nilai komponen norm Lp setiap pergeseran piksel. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 5, dimana citra input dan basisdata sama-sama berukuran sama yaitu 60 x 450 piksel.
Gambar 5. Pencocokan antar Pixel
Gambar 6 menunjukkan citra uji yang telah dilakukan pergeseran sebesar 100 piksel. Pergeseran ini dilakukan karena posisi mata yang tidak konsisten. Dalam vektor kuantisasi, pergeseran dilakukan pada seluruh daerah dari iris. Karena panjang citra iris ini 450 piksel, maka akan dilakukan pergeseran sebesar 450 kali. Untuk algoritma IDA, pergeseran piksel bergantung dari syarat pembatasan pada algoritmanya. Secara umum, algoritma bisa dilihat dalam diagram alir pada Gambar 7 Geser 100 Piksel
Gambar 6. Pergeseran Piksel
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
tidak Mulai
Cari nilai norm Lp X dan norm Lp Y
Bandingkan X dan Y. Cari nilai norm Lp (X-‐Y)
Memenuhi batas IDA?
Selesai
ya
Geser piksel
Gambar 7. Diagram Alir IDA
Hasil Simulasi Dan Analisis Simulasi dilakukan terhadap citra bersumber dari yang telah disebutkan dalam bab 3. Citra yang akan diuji berjumlah 93 dimana terdapat 30 pasang citra yang merupakan dari objek yang sama dengan waktu pengambilan yang berbeda. Hasil dari simulasi akan ditinjau dari 3 aspek yaitu jumlah pergeseran piksel, waktu proses, dan tingkat akurasi sistem. A. Pergeseran Piksel Dalam proses matching antara citra yang akan diuji dengan citra pada database akan dilakukan pergeseran piksel untuk
mencari nilai Euclidean Distance mana yang paling
mendekati. Pergeseran piksel ini dilakukan karena posisi iris yang tidak konsisten pada berbagai waktu. Setelah pergeseran data, akan dilakukan verifikasi citra yang telah diuji lulus tes apa tidaknya dengan cara pengambilan nilai maksimal dari pergeseran. Metode pergeseran piksel ini dilakukan dengan 3 cara yaitu, Vektor Kuantisasi, IDA, dan eksperimental. Metode eksperimental yaitu penentuan batas pergeseran piksel secara iterasi untuk mencari nilai yang optimum. Simulasi telah diuji dengan ketiga metode tersebut dan didapatkan hasilnya. Metode vektor kuantisasi tentu saja akan menggeser data sejumlah data yang ada dan dalam citra uji ini maka metode ini akan menggeser sebanyak 451 piksel (ukuran 451x60). Untuk metode IDA, dalam pengujiannya diharapkan ada suatu titik dimana pergeseran piksel tersebut akan berhenti ketika tidak memenuhi kondisi batas algoritma IDA. Namun dalam pengujiannya tidak terjadi penghentian dan tetap melakukan pergeseran sampai dengan batas maksimal.. Seperti pada Gambar 8 terlihat untuk file iris12.bmp dan iris9.bmp dengan kedua metode sama
jumlah pergeseran pikselnya. Sumbu positif menandakan
pergeseran ke piksel ke kanan, sedangkan sumbu negatif menunjukkan pergeseran piksel ke kiri. Dimana pada nilai 225 merupakan titik temu pergeseran tersebut.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
(a)
(b) Gambar 8. (a) Dengan metode VQ (b) Dengan menggunakan IDA
Perhatikan pada Gambar 9 nilai-nilai dari pergeseran piksel dari 1 sampai dengan 451 terhadap nilai dari komponen Lp norm. IDA akan berlaku sesuai dengan syarat pada !
persamaan (8). Pada gambar nilai dari komponen
!
!,!!
− !!
!,!!
tetap pada
nilai 6066.864 karena nilainya tidak berubah walaupun mengalami pergeseran piksel. Untuk komponen
! − !!
! !
mempunyai nilai berubah-ubah karena dipengaruhi oleh pergeseran
piksel. Walaupun nilai ini berubah-ubah tetapi tidak memenuhi syarat pada persamaan (8) sehingga tidak terjadi pembatasan pada saat pergeseran piksel. Jadi bisa dikatakan dalam sistem biometrik, data yang dilakukan untuk pengujian tidak memiliki variasi data yang cukup besar sehingga vektor-vektornya tidak memenuhi batas algoritma IDA.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
Gambar 9. Nilai Pergeseran piksel terhadap komponen norm Lp
Pada metode eksperimental, penentuan nilai pergeseran dilakukan melalui berbagai itierasi. Metode iterasi dibagi menjadi dua. Pertama, mencari kesimpulan dari grafik pergeseran dari citra uji dan citra database dengan iris yang sama (objek sama, pengambilan berbeda) untuk melihat dimana posisi maksimal. Dimana metode pertama ini seharusnya sistem
akan
menentukan lulus verifikasi, Metode kedua, juga mencari kesimpulan dari pergeseran citra uji dan citra database namun keduanya merupakan citra iris dari objek yang berbeda sehingga dalam sistem akan menentukan tidak lulus verifikasi, Metode pertama telah dilakukan pada berbagai citra. Pada Gambar 10 hanya merupakan iterasi dari 5 citra saja yang dilampirkan. Jika diperhatikan lebih lanjut, nilai maksimal berada dalam pergeseran 1 sampai dengan 10 piksel. Kemudian bentuk dari histogram seperti distribusi normal, dimana nilai
maksimal berada di sekitar tengah. Semakin jauh atau
semakin banyak pergeran piksel dari pusat nilai kemiripan akan semakin turun. Mengacu pada Tabel 1, didapat hasil pengukuran dengan pergeseran piksel 5, 8, 10, dan 225. Dari 30 hasil simulasi didapat 26 data yang mempunyai nilai kecocokan maksimal pada pergeseran 10 piksel dibandingkan dengan pergeseran 5, 8, atau 225 piksel. Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa jumlah pergeseran untuk metode pertama yang paling optimal adalah 10 piksel. Pergeseran lebih dari itu tidak efisien karena nilai tingkat kecocokan pasti akan mengalami penurunan.
Berurut dari Gambar 10(a) sampai 10(e) mempunyai nilai
pencocokan maksimal sebesar 84,98% , 92% , 79,09% , 88,34% , dan 72.9%.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
Tabel 1. Nilai Kecocokan Citra pada Objek yang Sama dengan berbagai Pergeseran Piksel
No
Citra Uji
Citra Basis data
1
001L_1.png
2
Nilai Kecocokan Pergeseran (Piksel) 5
8
10
225
001L_2.png
77.5667
77.5667
77.5667
77.5667
002L_1.png
002L_2.png
86.6086
86.6086
86.6086
86.6086
3
002R_1.png
002R_2.png
76.1379
76.1379
76.1379
76.1379
4
004L_1.png
004L_3.png
73.6166
73.6166
73.6937
73.6937
5
006L_1.png
006L_1.png
84.265
84.265
84.265
84.265
6
007R_1.png
007R_2.png
92.0659
92.0659
92.0659
92.0659
7
009_1_1.bmp
009_2_1.bmp
72.8559
72.8675
72.8675
72.8675
8
014L_2.png
014L_3.png
81.8038
81.8038
81.8038
81.8038
9
014R_1.png
014R_3.png
82.8387
82.8387
82.8387
82.8387
10
016L_1.png
016L_2.png
79.0975
79.0975
79.0975
79.0975
11
016R_1.png
016R_2.png
88.3012
88.34
88.3474
88.3474
12
018_1_1.bmp
018_2_4.bmp
69.0306
69.0306
82.745
82.745
13
024_1_3.bmp
024_2_4.bmp
70.7481
70.7557
70.7557
70.7557
14
047_1_2.bmp
047_2_4.bmp
87.592
87.592
87.592
87.592
15
051_1_2.bmp
051_2_4.bmp
87.3334
87.3334
87.3334
87.3334
16
052_1_3.bmp
052_2_3.bmp
79.6407
79.6407
79.6407
79.6407
17
056_1_3.bmp
056_2_4.bmp
86.4063
86.5237
86.5237
86.5237
18
058_2_1.bmp
058_1_3.bmp
79.3592
79.3592
79.3592
79.3592
19
069_2_2.bmp
069_1_3.bmp
86.8748
86.8748
87.1152
87.1152
20
083_1_2.bmp
083_2_3.bmp
83.12
83.12
83.12
83.12
21
088_1_1.bmp
088_2_4.bmp
81.8397
81.8397
81.8397
81.8397
22
S1002L03.jpg
S1002L05.jpg
71.2356
71.2356
71.2534
71.2534
23
S1007R06.jpg
S1007R05.jpg
32.3238
34.5419
34.6405
65.809
24
S1008L09.jpg
S1008L10.jpg
62.496
62.8758
63.3357
66.9035
25
S1011L02.jpg
S1011L09.jpg
66.5972
66.8643
67.106
69.7312
26
S1019L01.jpg
S1019L11.jpg
54.102
54.102
54.102
54.102
27
S1028R01.jpg
S1028R03.jpg
80.8036
80.8036
80.8036
80.8036
28
S1028L10.jpg
S1028L11.jpg
50.0527
50.0708
50.0906
50.8076
29
S1019R24.jpg
S1019R01.jpg
72.9224
73.6248
73.6248
73.6248
30
S1011R02.jpg
S1011R10.jpg
62.279
62.4679
62.542
65.8209
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
(a)
(b)
(c)
(d)
(e) Gambar 10. Grafik Pergeseran Piksel dengan nilai kecocokan (a) citra 006_L1.png
dan 006L_3.png (b)citra
007R_1.png dan 007R_2.png (c) 016L_1.png dan 016L_2.png (d) 16R_1.png dan 016R_2.png (e) S1002L03.jpg dan S10002L05.jpg
Untuk metode kedua, iterasi juga telah dilakukan dan hasilnya dapat terlihat pada Gambar 11. Hanya 5 iterasi saja yang dilampirkan. Dari gambar dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk dari persebaran nilai tingkat kecocokan tidak lagi seperti distribusi normal. Nilai maksimal berubah-ubah tidak beraturan dan bentuk persebaran nilai tingkat kecocokan juga tidak
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
beraturan. Bisa diambil kesimpulan nilai maksimal berada dalam rentang pergeseran 10 sampai dengan 200 piksel. Berurut dari gambar (a) sampai (e) mempunyai nilai pencocokan maksimal sebesar 53,7% , 67% , 66% , 67% , dan 54.3%.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e) Gambar 11. Grafik Pergeseran Piksel dengan Nilai kecocokan (a) 002L_1.png dan 004L_1.png (b) 006L_1.png dan 007L_2.png (c) 014L_2.png dan 016_L1.png (d) S1011L09.jpg dan S1019L01.jpg (e) S1008L10.jpg dan S1028R03.jpg
Dari kedua metode tersebut diambil kesimpulan jika memakai metode eksperimental maka nilai yang optimal untuk pergeseran bernilai antara 10 sampai dengan 15 piksel. Walaupun
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
untuk beberapa data tetap memiliki nilai maksimal setelah digeser sebanyak 100 piksel. Hal ini didasarkan pada metode pertama nilai maksimal berada rentang pergeseran 10 piksel dan nilai maksimalnya sudah memenuhi batas verifikasi. Pada metode kedua, walaupun nilai maksimal berada pada posisi yang acak dan tidak beratur, tetapi nilai tersebut tidak ada yang memenuhi batas verifikasi. B. Waktu Proses Waktu proses ini berkaitan dengan jumlah pergeseran piksel yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Semakin sedikit pergeseran piksel yang digunakan maka waktu proses yang digunakan maka waktu prosesnya akan semakin singkat.
Waktu proses untuk vektor
kuantisasi dan IDA relatif sama karena keduanya melakukan pergeseran piksel sampai dengan batas maksimal. Perbandingan waktu proses rata-rata dapat dilihat pada Tabel 2. Dapat terlihat waktu maksimal untuk sistem ini berada pada nilai rata- rata 6 detik. Untuk pergeseran optimum sebesar
10 piksel memiliki waktu proses rata-rata sebesar 0.3 s,
Perbandingan dengan waktu maksimal memiliki rasio sebesar 20 kali lebih efisien. Bila hanya dilakukan 1 kali input data saja, waktu ini tidak terlalu terasa,namun jika dihadapkan dengan suatu sistem yang besar dan berdata banyak rasio perbandingan ini akan sangat meningkatkan efisiensi dari sistem. Tabel 2 Perbandingan Waktu Proses Berbagai Metode Metode
Pergeseran Piksel
Waktu Proses (s)
VQ
225
6.07281
IDA
225
6.07281
Eksperimental
10
0.314782
20
0.590473
50
1.39089
100
2.77027
200
5.42273
Pada gambar 12 terlihat bahwa besar pergeseran piksel berkaitan dengan waktu proses memiliki hubungan sebanding. Dimana semakin besar pergeseran piksel maka waktu proses juga akan semakin waktu. Bentuk grafik garis lurus juga menunjukkan bahwa hubungan keduanya bersifat linear.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
Pergeseran Piksel VS Waktu Proses 7
Waktu Proses (S)
6 5 4 3 2 1 0 0
50
100
150
200
250
Pergeseran Piksel
Gambar 12. Grafik pergeseran piksel dengan waktu proses
C. Tingkat akurasi sistem Pada bagian ini akan dijelaskan tingkat dari akurasi sistem identifikasi iris. Parameter pada bagian ini adalah False Acceptance Rate (FAR) dan False Rejection Rate (FRR). ). FAR adalah kesalahan sistem ketika mengenali citra inputan sebagai subject atau kelas yang salah. Sebagai contoh apabila ada seorang penipu mempunyai nilai kecocokan di atas threshold maka sistem akan menganggapnya sebagai masukan yang valid. Sedangkan FRR adalah kesalahan system ketika menolak atau tidak dapat mendeteksi citra inputan yang sebenarnya anggota kelas dalam database. Total kesalahan adalah jumlah dari nilai FAR dan FRR. Dalam sistem biometrik pada simulasi memakai batas ambang kecocokan sebesar 70 %. Nilai kecocokan berada di atas 70% akan dinyatakan lulus dari uji, Akurasi kinerja dari parameter sistem dapat didefinisikan dengan persamaan: Akurasi = 100% *
1–
FAR+FRR Banyaknya Percobaan (13)
Simulasi untuk mencari FRR dilakukan sebanyak 30 kali dan untuk mencari FAR dilakukan sebanyak 200 kali.Perbedaan jumlah ini dikarenakan untuk mencari FRR data yang diinput harus merupakan objek yang sama dengan pengambilan yang berbeda. Sedangkan untuk FAR hanya perlu melakukan variasi kombinasi dari citra yang berbeda sehingga jumlah percobaan bisa dilakukan sebanyak-banyaknya.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
Dari simulasi dengan menggunakan database CASIA dan Phoenix seperti pada hasil Tabel 1 didapat dalam 30 kali percobaan, terjadi 6 kali penolakan atau bisa dikatakan mempunyai nilai FRR 6/30 atau 0.2. Untuk nilai FAR, dari 200 percobaan tidak ada satu citra iris input yang lulus dari verifikasi sehingga nilai FAR 0/500 atau 0. Dari nilai tersebut maka didapat nilai akurasi sebesar: Akurasi = 100% *
1–
6+20 30+200
= 97.39 % Jika dilihat lebih detil, nilai dari FRR cukup besar dimana terjadi kesalahan 6 kali dari 30 kali percobaan. Kesalahan ini timbul paling banyak berasal dari data citra CASIA. Dalam citra iris CASIA seperti pada Gambar 13, masih terlihat jelas cahaya lampu dari alat pengambil citra irisnya sehingga saat sistem berusaha mencari tepi dari iris, cahaya tersebut dianggap sebagai parameter dari tepi dalam iris yang membuat segmentasi menjadi tidak sempurna. Untuk database Phoenix, pengaruh cahaya tidak terlalu signifikan dan sistem masih mampu untuk melakukan segmentasi sehingga tidak menimbulkan error saat melakukan pencocokan.
Gambar 13 Cahaya pada basisdata CASIA
Untuk nilai FAR, tidak ada masalah dalam parameter ini karena nilai threshold juga cukup ketat untuk citra yang tidak valid dapat lulus dari sistem. Dari percobaan, nilai paling tinggi
mempunyai kecocokan sebesar sekitar 66%. Secara umum, sistem biometrik ini
walaupun mempunyai kekurangan dalam proses segmentasinya tetapi sudah bisa dikatakan baik dengan akurasi keseluruhan sebesar 97.39% .
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
Kesimpulan Berdasarkan simulasi sistem biometrik iris dengan menggunakan algoritma Incremental Dissimilarity Approximation pada tahap pencocokan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil simulasi menunjukkan performa algoritma IDA dan VQ mengeluarkan hasil yang sama dalam pembatasan pergeseran piksel sehingga dapat disimpulkan algoritma IDA tidak cocok untuk diimplementasikan pada sistem biometrik iris. Hal ini disebabkan variasi data vektor pada citra iris masih berada dalam batas dari algoritma IDA. 2. Secara eksperimental didapat nilai pergeseran piksel yang optimum adalah pada nilai 10 piksel. Dengan nilai pergeseran piksel ini waktu proses dapat dipersingkat hingga 1/20 kali dari waktu proses maksimal. 3. Simulasi dari sistem biometrik iris yang dirancang sudah cukup baik mempunyai nilai akurasi 97.39% dengan nilai FRR sebesar 0.2 dan FAR sebesar 0. Besar nilai FRR dan FAR pada simulasi bergantung dari kesempurnaan proses segmentasi dan nilai batas penentu verifikasi. DAFTAR REFERENSI [1] “____”.“Biometric History”. National Science and Technology Council (NSTC). 7 Agustus 2006. www.biometrics.gov. diakses tanggal 20 Desember 2012. [2] Wayman, James L. “Digital Signal Processing In Biometric Identification: A Review”, IEEE ICIP 2002. New York.2002. [3] Padma Polash Paul dan Md. Maruf Monwar. “Human Iris Recognition for Biometric Identification”, IEEE ICCIT 2007,Korea. 2007. [4] “____”. “Comparison of the advantages and disadvantages of biometric technologies”. PBworks.2006.
http://biometrics.pbworks.com/w/page/14811349/Advantages%20and%20disadvantages% 20of%20technologies. diakses tanggal 17 Desember 2012.
[5] Kurniawan, Andreas Eko. “Teknologi Iris Scan Dalam Proses Identifikasi Biometrik”.Skripsi pada Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer UNIKOM. 2006.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
[6] Federico Tombari, Srefano Mattocia, dan Luigi Di Stefano.”Full-Search-Equivalent Pattern Matching with Incremental Dissmilarity Approximations”. IEEE Transactions On Pattern Analysis And Machine Intelligence, Vol 31, No.1, January 2009. 2009. [7] S. C. Tai, C. C. Lai, dan Y. C. Lin. “Two Fast Nearest Neighbour Searching Algorithm for Image Vector Quantization”. IEEE Transaction On Communications, Vol. 44, NO. 12, pp. 1623-1628, December 1996. 1996. [8] Dony, R.D. “The Transform and Data Compression Handbook”. Boca Raton: CRC Press LLC. 2001. [9] Rafael C. Gonzalez, Richard E. Woods. “Digital Image Processing” Second Edition. Prentice Hall.2002 [10]
Nethralya, Shivam.“Eye Structure and Function”. 2009.
http://www.myeyeworld.com/files/eye_structure.htm. diakses tanggal 19 Desember 2012
[11]
Masek,Libor. “Recognition of Human Iris Patterns for Biometric Identification”. The
University Of Western Australia. 2003. [12]
Ihsan, Muhammad. “Optimasi Pengenalan Individu Dengan Analisis Iris Mata
Menggunakan Independent Component Analysis”.Skripsi pada Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Telkom. 2008 [13]
Patel, Snehal. “Fast Search Method for Biometric Signal Processing”. International
Conference on Intelligent and Advanced Systems 2007, Malaysia. 2007. [14]
Wanli Ouyang, Renqi Zhang, dan Wai-Kuen ChamPatel. “Fast pattern matching using
orthogonal Haar transform”. IEEE Conference Computer Vision and Pattern Recognition (CVPR, San Fransisco. 2010. [15]
“____”. “Iris/Retina Biometric”. University of Tennessee..
http://www.utc.edu/Faculty/Li-‐Yang/documents/b6.1.IRIS-‐Retina-‐utc.ppt . diakses tanggal 10 Mei 2013.
[16]
Daugman,John, “How iris recognition works”, IEEE Transactions on Circuits and
Systems for Video Technology 14 (1), January 2004, 21-30.2004. [17]
Kevin W. Bowyer, Stephen Lagree dan Samuel Fenke.” Human Versus
Detection of Texture Similarity In Left and Right Irises”, IEEE Carnahan Conference on Security Technology (ICCST), [18]
International 2010.USA.2010.
Setiawan, Bambang. “Identifikasi Iris Mata Dengan Menggunakan
Hidden Markov Model”. Skripsi pada Jurusan Teknik Elektro Universitas 2009.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
Biometric
Metode Indonesia.
[19]
Setianti, Dwi Kris. “Identifikasi Iris Mata Manusia Menggunakan Metode Adaptive
Neuro-Fuzzy Inference System”. Skripsi pada Jurusan Teknik Elektro Universitas Indonesia. 2008. [20]
Stephanie
A.
C.
Schuckers,
Natalia
A.
Schmid,
Aditya
Vivekanand Dorairaj, Christopher K. Boyce, dan Lawrence A. Hornak. Techniques For Angle Compensation in Nonideal Iris Recognition”. On Systems. MAN, and Cybernetics-Part B:
Abhyankar, “On
IEEE Transactions
Cybernetics, Vol. 37, No. 5, October
2007. 2007. [21]
Rixin Xiao, Chuangbai Xiao, Wanli Ouyani, dan Wai-Kuen Cham. “Fast Pattern
Matching Using Black Sheep Algorithm”. International Signal Processing and Communication Systems (lSP
Symposium on Intelligent ACS
8,2010.China. 2010.
Analisis dan simulasi…, Mayendra Leaz, FT UI, 2013
2010)
December
6-