I. PENDAHULUAN Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami-istri. Inlah yang sebenarnya dikehendaki oleh agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya sebuah perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan itu tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terputusnya sebuah perkawinan, namun hal ini atas dasar dari kehendak yang meliputi. 1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami-istri. 2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakanya kehendak itu dengan ucapan tertentu. Dari putusnya sebuah perkawinan itu maka munculah yang namanya Iddah, dalam ilmu fikih yang berarti massa atau waktu tunggu. Mass menanti yang diwajibkan atas wanita yang diceraikan suaminya, baik karena cerai hidup maupun cerai mati. Istilah Iddah ini lah yang akan kami bahas dalam makalah ini, apa pengertian dari iddah itu, kenapa iddah itu dilakukan dan lain-lain.
II. RUMUSAN MASALAH Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut: A. Apa pengertian dari iddah? B. Kenapa iddah itu dilakukan dan bagaimana masa-masa iddah itu? C. Apakah wanita mempunyai hak dalam iddah?
1
III. PEMBAHASAN A. Pengertian dari Iddah Secara etimologi, ‘iddah yang jamaknya adalah ‘idad berarti bilangan. Secara terminologi, iddah adalah masa yang harus dilalui oleh seorang perempuan (yang bercerai dari suaminya) untuk mengetahui bersihnya rahimnya dari kehamilan. Perempuan yang bercerai dari suaminya baik cerai hidup atau cerai mati harus menjalani masa iddah (masa dimana ia tidak boleh menikah dengan laki-laki lain).1 Iddah merupakan rentang waktu yang harus dijalani oleh seorang wanita tercerai atau wanita yang suaminya meninggal, sebelum ia diperbolehkan untuk menikah kembali. Kata iddah berarti jumlah atau perhitungan, yakkni wanita menghabiskan hari-hari untuk menunggu waktu sesudah berpisah dengan suaminya sehingga ia tidak boleh menikah, kecuali setelah berahirnya hari-hari itu.2 Pada saat tersebut sang istri tidak diperbolehkan menikah atau menawarkan diri kepada lakilaki lain untuk menikahinya. Iddah ini sudah dikenal sejak masa Jahiliyah dulu. Setelah datangnya Islam, iddah ini tetap diakui sebagai salah satu dari ajaran syariat karena banyak mengandung manfaat.
B. Hukum dan Masa-masa Iddah Iddah itu di wajibkan karena terdapat hikmah di dalamnya. Adapun hikmah tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui apakah bekas atau mantan suami yang menceraikanya meninggalkan benih dalam rahimnya atau tidak, 2. Agar terpelihara dari bercampurnya dengan bibit yang akan disemai oleh suaminya yang baru, 3. Memberi kesempatan kepada mantan suaminya untuk berfikir apakah akan kembali berbaikan atau tidak. Hukum ini dimaksudkan untuk memastikan keturunan dari kemungkinan terjadinya kandungan wanita, dan khususnya dalam kasus iddah cerai ia dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan terjadinya ruju’ (penyatuan kembali suami istri yang telah bercerai sebelum habis masa iddah).
1 2
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar FIQIH, (Jakarta:KENCANA. 2003), Hal-141 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH. 2005), Hal-99
2
Ketika masih dalam masa iddah, suami yang telah bercerai masih harus menyediakan tempat tinggal dan mencukupi kebutuhan makan terhadap mantan istrinya, namun hal ini tidak merupakan kewajiban secara hukum, yang berarti sang mantan suami memberikan nafkah untuk istrinya.3 Berkenaan dengan Iddah ini, para ulama telah sepakat mewajibkannya. Yaitu berdasarkan firman Allah SWT, “Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Mereka tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suaminya berhak merujuknya dalam masa menunggu itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” 4 (QS. Al-Baqarah: 228).
Lama masa iddah itu tergantung pada keadaan si istri waktu bercerai dari suaminya. Adapun masa-masa iddah itu adalah sebagai berikut: 1) Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan anak yang dikandungnya, baik cerai mati maupun cerai hidup. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4).
Adapun dari hadist sebagai penguatnya adalah, “Dari Miswar bin Makhramah bahwa Subai’ah al-Aslamiyyah RA pernah melahirkan dan bernifas setelah beberapa malam kematian kematian suaminya. Lalu ia mendatangi Nabi SAW dan meminta izin kepada beliau untuk menikah. Maka beliaupun memberikan izin kepadannya sehingga ia pun menikah.” (HR. Bukhari).
3
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH. 2005), Hal-100 Terjemahan Syaikh Hasan Ayub, Abdul Ghofar, FIKIH KELUARGA Panduan Membangun keluarga Sakinah Sesuai Syariat, (Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR. 2001), Hal-408 4
3
Dan dalam lafazh lain disebutkan, “Ia melahirkan setelah empat puluh malam kematian suaminya.” Menurut lafazh Imam Muslim: az-Zuhri berkata, “Aku menganggap tidak ada larangan bagi seorang wanita menikah lagi ketika ia masih menjalani masa iddahnya, dengan catatan suaminya ini tidak boleh mendekatinya sehingga ia bersuci.” Hadits diatas menunjukan bahwa wanita yang hamil yang ditinggal mati suaminya harus menyelesaikan iddahnya, yaitu dengan lahirnya bayi yang dikandungnya, meskipun belum sampai empat bulan sepuluh hari. Dalam masalah ini masih terdapat perbedaan pendapat. Dan yang dikandung hadits diatas adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat Nabi dan juga yang lainya dengan berdasarkan ini dan keumuman firman Allah SWT. (ath-Thalaq: 4).5
2) Istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan telah digauli suaminya dalam masa itu, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234: “orang-orang yang meninggall dunia diantara kamu dan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menjalani iddah selama 4 bulan 10 hari.”
3) Istri yang diceraikan suaminya sebelum sempat digauli tidak menjalani masa iddah. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan beriman, kemudian kamu menceraikannya sebelum kamu gauli, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
Adapun perempuan yang kematian suami yang belum sempat di gauli oleh suaminnya, yang berlaku baginya adalah beriddah 4 bulan 10 hari. Alasanya ialah bahwa kewajiban beriddah disini bukan untuk mengetahui kebersihan rahimnya dari bibit bekas suaminya, tetapi sebagai penghormatan terhadap suaminya yang sudah meninggal. 5
Terjemahan Syaikh Hasan… Hal-410
4
4) Istri yang bercerai dari suaminya, telah digauli oleh suaminnya sedangkan ia masih dalam masa haid, maka iddahnya adalah selama tiga quru’, sebagaimana dalam firman Allah surat alBaqarah ayat 228: “Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminnya hendaklah menjalani iddah selama tiga quru’. Yang dimaksud dengan tiga quru’ dalam ayat ini menurut jumhur ulama adalah tiga kali suci; sedangakan bagi ulama Hanafiyahtiga quru’ itu berarti tiga kali masa haid. Di antara dua masa tersebutdi atas tiga kali haid itu lebih panjang di banding tiga kali suci.
5) Istri yang bercerai dari suaminya, sedangkan dia telah digauli oleh suaminya; dan dia tidak lagi dalam masa haid atau tidak berhaid sama sekali, maka mas aiddahnya adalah selama tiga bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 4 : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi diantara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu (tentang masa iddahnnya) maka iddahnnya adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid”.
C. Hak Istri Dalam Masa Iddah Istri yang telah bercerai dari suaminnya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentukdari hak yang diberikan oleh mantan suaminya tidak tergantung dari seberapa lama masa iddah yang dijalaninya, namun tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya. Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut: a. Istri yang dicerai dalam bentuk talak raj’iy (talak satu atau talak dua tanpa didahului tebusan dari pihak istri), hak yang diterimanya adalah penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk perbelanjaan untuk pangan, untuk pakaian dan juga 5
tempat tinggal. Kecuali jika pihak istri berbuat durhaka, maka ia tidak berhak menerima apapun. b. Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, dan bain sughra atau bain kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan hamil. Apabila dia dalam keadaan hamil, selain mendapat tempat tinggal juga mendapat nafkah selama masa hamilnya itu. Inilah pendapat jumhur ulama. c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah bahwa ia berhak mendapatkantempat tinggal selamadalam iddah, karena ia harus menjalani iddah di rumah suaminya dan tidak dapat kawin selama masa itu adapun nafkah dan pakaian kebanyakan ulama menyamakanya dengan cerai dalam bentuk talak bain.6
IV. KESIMPULAN Iddah merupakan masa atau waktu tunggu seorang wanita yang di tinggal oleh suaminya baik ditinggal cerai atau ditinggal mati, agar dapat mengetahui apakah rahim wanita itu bersih dari benih mantan suaminya atau tidak. Dalam iddah terdapat manfaat didalamnya selain untuk mengetahui bersihnya rahim wanita dari benih mantan suaminya, juga memberikan waktu berpikir kepada mantan suaminya untuk kembali rujuk atau tidak. Adapun hak-hak yang di miliki wanita saat beriddah telah tersampaikan pada pembahasan sebelumnya.
6
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta:KENCANA. 2003), Hal-144
6