ADDED WORKER DAN DISCOURAGE WORKER Dessy Adriani Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Fenomena perubahan pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi dan depresi, ternyata juga berdampak pada pasar kerja.
Pada hakekatnya, perubahan pertumbuhan
ekonomi dapat dipandang sebagai bagian dari siklus bisnis (bussiness cycle).
Dengan
terbatasnya kesempatan kerja, maka seseorang dapat memutuskan untuk tidak bekerja hingga selesai krisis atau sebaliknya kondisi tersebut mendorong munculnya angkatan kerja baru di pasar tenaga kerja. Kondisi pertama disebut discourage-worker yang akan mengakibatkan angkatan kerja menurun. Adapun kondisi kedua disebut sebagai added-worker yang akan mendorong jumlah angkatan kerja meningkat (Borjas, 1996). Added-worker adalah gagasan yang muncul ketika kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga kehilangan pekerjaannya.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan
pendapatan keluarga. Situasi ini selanjutnya akan mendorong anggota keluarga yang lain untuk masuk ke pasar dengan harapan memperoleh pekerjaan untuk menutupi kerugian dari penurunan pendapatan keluarga. Konsep teori yang digunakan adalah Efek Pendapatan. Resesi Ekonomi umumnya menyebabkan penurunan upah riel para pencari kerja dan peningkatan “harga” pendapatan
(Yaitu, peningkatan jumlah jam kerja yang harus
dikeluarkan untuk memperoleh satu nilai barang tertentu, dan menurunkan harga leisure). Seorang kepala keluarga sejatinya akan memberikan Nonlabor income kepada pasangannya, sebagai gambaran income dari kepala keluarga. Penurunan nonlanor income inilah uang menyebabkan anggota keluarga yang awalnya tidak bekerja akan memutuskan mencari kerja dengan masuk ke pasar kerja sebagai angkatan kerja (Mc Connel et al., 1999). Discourageworker adalah hal yang sebaliknya. Discourage-worker adalah gagasan yang muncul ketika dalam masa resesi, para pencarai kerja (Unemployment) menjadi pesimis untuk memperoleh pekerjaan pada tingkat upah yang diharapkan, sehingga mereka berhenti untuk mencari pekerjaan sementara. Konsep teori yang digunakan adalah Efek Subtsitusi. Penurunan upah riel menyebabkan beberapa individu akan menarik diri dari pasar kerja karena upah riel yang tersedia bagi mereka menurun. Perlu diingat bahwa penurunan upah riel akan menyebabkan penurunan insentif untuk tetap bertahan di pasar kerja. PENDAHULUAN 1
Siklus bisnis dapat memotivasi seseorang untuk masuk ke pasar kerja dalam rangka menutupi pendapatan anggota keluarga yang kehilangan pekerjaannya (added worker). Atau bisa membuat para penganggur kehilangan harapan untuk memperoleh pekerjaan pada pasar yang terdepresi dan memutuskan untuk meninggalkan pasar kerja (discourage worker). Pekerja akan menawarkan tenaga kerja tidak hanya merespon perubahan dalam peluang ekonomi atau kesempatan ekonomi (economic opportunity) tetapi lebih diutamakan bagaimana memperoleh economic opportunity yang disebabkan kegiatan ekonomi atau siklus bisnis (bussiness cycle). Dengan kata lain, perubahan ekonomi yang terjadi di suatu negara akan berdampak pada pasar tenaga kerja. Suatu
studi
menerapkan
pendekatan
komponen
untuk
menguraikan
tingkat
pengangguran menjadi tren (stochastic) dan menjadi siklus serta memperkirakan pengaruh komponen tersebut terhadap partisipasi angkatan kerja. Jumlah penduduk yang bekerja baik discourage worker dan added worker effect berhasil diidentifikasi. Dalam analisis rinci, ditemukan bahwa discourage worker adalah relevan untuk lebih tua pekerja, sedangkan added worker terutama menyangkut perempuan tua dan muda prima. Seperti banyak negara OECD yang sedang menghadapi populasi yang menua serta meningkatnya pentingnya perempuan di pasar tenaga kerja, hasil spesifik gender usia dan mungkin kepentingan tertentu dapat terus dikembangkan untuk penelitian selanjuntnya (Fuchs, Johann dan E. Weber. 2013).
A. ADDED WORKER A.1. Definisi Added Worker Konsep Added Worker pertama kali muncul dalam empiris studi tentang pengangguran di Amerika Serikat selama Depresi Besar yang dilakukan pada tahun 1940 oleh ekonom Wladimir S. Woytinsky dan Don D. Humphrey. Studi Humphrey tidak menemukan dampak dari Added Worker, tetapi tidak menyangkal adanya partisipasi Added Worker dalam pasar kerja (Humphrey, 1950). Humphrey menantang validitas penelitian Woytinsky dengan adanya analisis data time series. Dampak dari Added Worker adalah saat efek pendapatan mendominasi efek substitusi dalam keputusan individu untuk berpartisipasi atau tidak dalam pasar kerja. Secara khusus, Married Woman Added Worker masuk ke pasar kerja sebagai tanggapan atas hilangnya pendapatan riil keluarga meskipun harga waktu luang lebih tinggi dalam kaitannya dengan tingkat upah. Dengan demikian, efek pendapatan dan efek substitusi adalah konsep penting dalam teori Added Worker Effect.
2
Model yang sering digunakan untuk mempelajari Added Worker Effect memandang keluarga sebagai penentu pengambilan keputusan antara waktu luang sebagai barang inferior dan bekerja sebagai barang normal. Dengan pemahaman ini, wanita yang sudah menikah dapat memilih untuk memasuki pasar kerja untuk mengimbangi hilangnya pendapatan keluarganya ketika suaminya kehilangan pekerjaan. Ketika upah keluarga dikumpulkan dan harga rekreasi bervariasi antara individu, tergantung pada daya produktifnya, maka peningkatan pendapatan seseorang individu dapat mengakibatkan anggota keluarga lainnya mendapatkan waktu luang dengan pengurangan waktu kerja. The diminishing marginal utility dari penghasilan menjelaskan mengapa keluarga akan bekerja lebih sedikit (Mincer, 1962). Selanjutnya Mincer (1962) menyatakan kekuatan perempuan produktif, yang biasanya lebih rendah dari suami mereka, tergantung pada tingkat upah dan kesempatan kerja. Sementara kekuatan pendapatan dan partisipasi angkatan kerja memiliki korelasi positif, sebaliknya terdapat hubungan terbalik antara pendapatan suami dan partisipasi istri dalam pasar tenaga kerja. Keputusan Added Worker untuk memasuki pasar
kerja pada saat
penghasilan menurun, menunjukkan efek pendapatan negatif harus lebih besar daripada efek substitusi positif. Dalam keluarga yang kepala rumah tangga laki-laki kehilangan pekerjaan, "penurunan relatif dalam pendapatan keluarga jauh lebih kuat daripada penurunan relatif dalam tingkat upah istri yang 'diharapkan'. Dalam hal ini, efek bersih menyebabkan istri untuk memasuki pasar tenaga kerja, sehingga meningkatkan pasokan tenaga kerja. Sebuah contoh dari added worker effect ditemukan dalam
studi Arnold Katz (1961), yang
menemukan bahwa sebagian besar peningkatan pekerja perempuan menikah dalam depresi tahun 1958 adalah untuk menutupi pendapatan suami yang kehilangan pekerjaan. Dengan uraian di atas, maka kita dapat mendefinisikan Added-worker sebagai jumlah penduduk yang mencari kerja dan sebelumnya belum pernah bekerja(Connell et al, 2001 dan Borjas, 2005). Lebih Lanjut Campbell (1995) juga menunjukkan bahwa adanya addedworker membuktikan mekanisme adanya hubungan antara siklus bisnis dan tingkat partisipasi angkatan kerja. Pada hipotesisnya dinyatakan secondary worker yang sebelumnya berada di luar pasar kerja (misalnya penduduk usia muda dan wanita dengan anak yang masih kecil) terpengaruh oleh adanya resesi ekonomi karena kepala keluarga kehilangan pekerjaannya atau mengalami pengurangan upah riel. Sebagai akibatnya secondary worker masuk ke pasar kerja untuk menutupi pendapatan yang hilang tersebut. Oleh karena itu adanya added-worker effect akan meningkatkan angkatan kerja dan tingkat partisipasi kerja dari secondary worker juga meningkat.
3
Gambar 1 menyajikan kaitan antara discourage effect dan added worker
Wa1
Wb1
Wb2
Wa2
A.2. Added Worker Hypotesis Sebuah hipotesis yang berkaitan dengan added worker memprediksi peningkatan tingkat partisipasi kerja selama periode pengangguran tinggi atau pada masa resesi. Premisnya adalah bahwa secondary worker pergi bekerja untuk mengimbangi pendapatan yang hilang dari pencari nafkah utama . Dengan kata lain, added-worker meningkat selama resesi, dan menurun pada masa ekspansi. Sebagai misal, pada masa resesi, salah satu anggota keluarga, suami, kehilangan pekerjaan. Apakah hal itu membuat anggota keluarga lainnya (isteri) akan termotivasi untuk masuk ke pasar kerja agar dapat memark up pendapatan keluarga. Keluarnya suami dari pasar kerja menunjukkan bahwa produktivitas suami menurun, setidaknya untuk sementara waktu. Situasi ini yang menyebabkan istri masuk ke pasar kerja, sebagai secondary worker. Respon istri masuk ke pasar kerja karena suami kehilangan pekerjaan disebut added-worker effect (lihat Nurlina, 2009). A.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Added Worker 4
Beberapa variabel memberikan kontribusi pada added-worker. Ketika peningkatan tenaga kerja yang ditawarkan tetap, banyak strategi keluarga yang dapat digunakan untuk mengatasi pengangguran, namun penggunaannya tergantung pada harga relatif dan efektivitas alternatif.
Alternatif yang dapat digunakan termasuk didalamnya pinjaman, hidup dari
tabungan, menjual aset, pengurangan konsumsi, dan melakukan pencarian pekerjaan yang lebih intensif oleh suami. Namun dalam kondisi resesi, pencarian pekerjaan baru menjadi lebih relevan, sehingga lebih mungkin terjadinya added-worker (Lundberg, 1985;. Serneels, 2002; Nurlina, 2009). Karekteristik rumah tangga menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi added-worker. Ekonom dapat menggunakan karakteristik rumah tangga untuk memprediksi apakah perempuan menikah akan memasuki pasar tenaga kerja dalam kondisi suami kehilangan pekerjaan. Ketika dihadapkan dengan suami menganggur, keputusan istri untuk memasuki angkatan kerja tergantung pada tunjangan pengangguran, durasi pengangguran, kondisi umum pasar tenaga kerja di daerah sekitarnya, usianya, dan pengalaman kerja pribadinya pada tahun sebelumnya. Meskipun secara umum diterima bahwa kehadiran anakanak menghambat pekerjaan ibu rumah tangga yang suaminya telah kehilangan pekerjaan. Katz menemukan bahwa added-worker lebih menonjol di antara pasangan yang sudah menikah muda dengan anak-anak kecil, mungkin karena tingkat pendapatan yang lebih rendah dari utang (Mattingly & Smith , 2010; Maloney, 1991; Katz, 1961). Adriani (2012) menyatakakan bahwa upah sektoral riel bukan merupakan faktor yang menentukan seseorang untuk masuk ke pasar kerja. Hasil dugaan menunjukkan bahwa added worker dipengaruhi secara nyata oleh peubah jumlah penduduk yang masuk ke pasar kerja dengan alasan membantu ekonomi keluarga dan menambah penghasilan serta putus/tamat sekolah. Kondisi ini menunjukkan bahwa upah bukan merupakan hal yang penting yang mendorong seseorang untuk masuk ke pasar kerja. Situasi ekonomi yang sulit memaksa seseorang untuk masuk ke pasar kerja dengan upah
berapapun, yang setidaknya dapat
membantu memperbaiki ekonomi rumah tangga. Hasil perhitungan elastisitas menunjukkan bahwa added worker di perkotaan dan pedesaan tidak responsif terhadap perubahan tingkat upah. Salah satu fenomena menarik yang dihasilkan adalah pengaruh jumlah penduduk terdidik di perkotaan yang mencari kerja dengan alasan membantu ekonomi keluarga dan menambah penghasilan terhadap peubah added worker terdidik di perkotaan memiliki nilai elastisitas yang paling tinggi yaitu 2,886. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi yang terjadi di negara kita telah menyebabkan terjadinya pengurangan pendapatan rumah tangga yang besar terutama untuk daerah perkotaan sehingga memaksa banyak secondary worker untuk masuk 5
ke pasar kerja dalam rangka membantu ekonomi rumah tangga. Peubah lag endogen setiap persamaan added worker juga berpengaruh nyata terhadap peubah endogen added worker di kedua daerah. Ini menunjukkan bahwa added worker cenderung terus meningkat setiap tahun di Indonesia. Selain itu, temuan menarik yang muncul dari hasil estimasi adalah adanya pengaruh negatif dari teknologi terhadap added worker terdidik di perkotaan. Dengan nilai parameter penduga sebasar -279582. Nilai ini berarti bahwa peningkatan teknologi setiap tahunnya akan menyebabkan penurunan added worker terdidik di perkotaan menurun sebesar 279,5 ribu orang. Nilai elastisitas yang dihasilkan juga bersifat sangat responsif sebesar -1,621 yang berarti jika teknologi meningkat 1 persen/tahun, maka added worker terdidik di perkotaan akan menurun sebesar 1,621 persen. Fakta ini menunjukkan teknologi yang berkembang lebih bersifat capital intensive sehingga cenderung menurunkan minat penduduk untuk masuk ke pasar kerja. Krisis ekonomi yang pernah terjadi di Indonesia menyebabkan added worker terdidik di perkotaan, added worker tidak terdidik di perkotaan, dan added worker tidak terdidik di pedesaan meningkat. Situasi ekonomi yang sulit memaksa seseorang untuk masuk ke pasar kerja dengan upah berapapun, yang setidaknya dapat membantu memperbaiki ekonomi rumah tangga. Selama krisis ekonomi, jumlah added worker terdidik di perkotaan, added worker tidak terdidik di perkotaan, dan added worker tidak terdidik di pedesaan meningkat sebesar 404 ribu, 2,3 juta, dan 581 ribu orang.
A.4. Added Worker Effect Kita kembali pada pertentangan dalam ekonomi ketenagakerjaan mengenai perdebatan antara WS Woytinsky dan Clarence atas added worker effect dibandingkan discourage worker effect di akhir 1930-an. Menurut Woytinsky, depresi menciptakan sejumlah besar pekerja baru, orang-orang yang memasuki angkatan kerja ketika kepala rumah tangga menjadi pengangguran. Di sisi lain, diketahui bahwa jumlah added worker adalah lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pekerja. Menggunakan sampel perempuan menikah yang diambil dari sampel penggunaan publik 1940, kami menunjukkan bahwa added worker yang masih hidup di akhir 1930-an, kelangsungan hidupnya dibantu oleh program operasi bantuan kerja oleh pemerintah. Istri yang suaminya menperoleh pekerjaan dari program tersebut dari pemerintah atau instansi terkait jauh lebih kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja dari istri yang suaminya bekerja di sektor swasta atau pekerjaan pemerintah
6
non-bantuan, atau suami yang menganggur, begitu banyak sehingga added worker effect menghilang secara agregat jika dampak bantuan kerja terus dilekukan (Dong, 1993). Selama resesi besar, yang berlangsung Desember 2007 hingga Juni 2009, durasi ratarata pengangguran mencapai rekor tertinggi di Amerika Serikat, yang menyebabkan peningkatan insiden added worker effect (Rampell, 2010). Tingkat partisipasi angkatan kerja istri naik dengan dugaan bahwa suaminya akan menganggur secara permanen karena resesi, penuaan atau faktor lain (Maloney, 1991). Wanita yang mengharapkan suami mereka akan menganggur untuk jangka panjang lebih mungkin untuk menerima pekerjaan ketika mereka memiliki kesempatan, tapi tanpa niat putus asa yang tersirat oleh adanya peningkatan added worker effect.
B. DISCOURAGE WORKER B.1. Definisi Discourage worker yaitu jumlah penduduk usia kerja yang tidak mencari kerja dengan alasan putus asa karena tingginya jumlah pengangguran (Connell et al, 2001 dan Borjas, 2005). Selanjutnya juga diungkapkan bahwa hubungan antara siklus bisnis dan tingkat partisipasi angkatan kerja juga meningkat karena discourage-worker effect. Discourageworker effect menyatakan bahwa banyak penganggur yang kehilangan harapan untuk memperoleh pekerjaan akibat tingginya pengangguran selama resesi ekonomi.
Para
penganggur memutuskan untuk menunggu resesi selesai dan memutuskan keluar dari pasar kerja. Discourage-worker effect akan menyebabkan turunnya jumlah angkatan kerja dan mendorong turunnya tingkat partisipasi angkatan kerja. Dengan kata lain, discourage-worker effect menurun pada masa resesi, dan meningkat pada masa ekspansi. Seorang discourage-worker, dalam ilmu ekonomi, adalah penduduk yang berada pada usia kerja namun yang tidak aktif mencari pekerjaan atau tidak mendapatkan pekerjaan setelah pengangguran jangka panjang. Hal ini biasanya terjadi karena seseorang telah menyerah mencari atau sudah tidak berhasil dalam mencari pekerjaan, maka istilah "putus asa" seringkali digunakan. Dalam beberapa kasus, keyakinan mereka mungkin berasal dari berbagai faktor termasuk kurangnya pekerjaan di wilayah atau bidang pekerjaan mereka, diskriminasi karena alasan seperti usia, ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual, dan cacat, kurangnya keterampilan yang diperlukan, pelatihan, atau pengalaman, atau, penyakit kronis atau cacat . Pada praktiknya, discourage-worker tidak dianggap sebagai bagian terpenting dari tenaga kerja
dan karenanya, angka discourage-worker tidak dihitung dalam tingkat 7
pengangguran yang paling resmi, yang mempengaruhi penampilan dan interpretasi statistik pengangguran. Meskipun beberapa negara menawarkan langkah-langkah alternatif dari tingkat pengangguran, keberadaan discourage-worker dapat disimpulkan dari rasio pekerja dan populasi yang rendah (Agloba, 2005). Dalam istilah sederhana, discourage-worker berarti bahwa seseorang telah menyerah mencari pekerjaan karena mereka percaya tidak ada pekerjaan apapun yang tersedia. Menurut Badan Pusat Statistik, siapa saja yang ingin bekerja dan mampu melakukannya namun belum mencari pekerjaan dalam empat minggu terakhir karena mereka percaya bahwa mereka tidak mendapatkan pekerjaan untuk beberapa alasan, seperti kurangnya permintaan pekerja di bidang mereka atau diskriminasi yang dirasakan, adalah seorang discourage-worker. Secara umum, Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa lulusan baru, pekerja yang lebih tua dan kaum minoritas adalah orang yang paling mungkin untuk menjadi discourage-worker. B.2. Discourage-Worker Hypotesis Discourage-worker hypotesis menyatakan bahwa seseorang dikategorikan sebagai discourage-worker ketika dia memenuhi syarat untuk pekerjaan dan mampu bekerja, tetapi saat ini menganggur dan tidak berusaha untuk mencari pekerjaan dalam empat minggu terakhir. Pekerja putus asa biasanya menyerah mencari pekerjaan karena mereka tidak menemukan pilihan pekerjaan yang cocok dan / atau bertemu dengan kurangnya keberhasilan ketika menerapkan. Investopedia (2013) menjelaskan seorang discourage-worker, bagaimanapun, adalah seseorang yang sukarela menganggur. Orang tua tinggal di rumah, misalnya, telah memilih untuk tidak bekerja untuk merawat anak mereka dan mengejar kepentingan lain. Karena pekerja putus asa, maka mereka tidak lagi mencari pekerjaan, mereka tidak dihitung sebagai aktif dalam angkatan kerja. Ini berarti bahwa tingkat pengangguran, yang didasarkan pada perhitungan angkatan kerja, tidak menganggap pekerja putus asa. Dengan kata lain, lebih banyak orang akan bekerja jika pekerjaan mudah ditemukan tetapi mereka tidak mencari ketika pekerjaan adalah langka. Pekerja menghitung probabilitas untuk menemukan pekerjaan dalam kaitannya dengan upah kerja mereka adalah kemungkinan untuk mendapatkan dan menyimpulkan bahwa upaya ini tidak sia sia.
B.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Discourage Worker Kondisi discourage-worker diduga jarang ditemukan di Indonesia, tetapi kondisi addedworker banyak terjadi di Indonesia. Hal ini karena latar belakang ekonomi tenaga kerja di Indonesia yang umumnya belum mapan. Pilihan keputusan tidak bekerja meski dengan 8
peluang kecil mungkin dilakukan tetapi lebih karena alasan khusus seperti melanjutkan pendidikan atau kepentingan keluarga, sedangkan fenomena added-worker diduga berkaitan dengan tingginya angka pengangguran (Adriani, 2010). Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi discourage-worker. Apakah Anda baru lulus atau kehilangan pekerjaan Anda karena PHK atau pemecatan, kemungkinan Anda sedang mencari pertunjukan baru. Antara kurangnya lapangan pekerjaan dan persaingan sengit untuk pekerjaan yang baik, mungkin waktu berbulan-bulan, atau bahkan lebih dari satu tahun, untuk mencari pekerjaan. Beberapa orang yang telah melakukan segala sesuatu yang mereka mungkin lakukan untuk menemukan pekerjaan dan masih tetap menganggur menyerah berusaha untuk menemukan dan beralih ke sesuatu yang lain. Finegan dan Margo (1993) menyatakan bahwa discourage-worker memiliki kontribusi cukup besar terhadap pada angkatan kerja. Pekerja marginal yang tergolong discourageworker adalah mereka yang menginginkan pekerjaan tetapi tidak mencari satu dalam empat minggu terakhir untuk alasan apapun. Tidak semua pekerja marginal tidak mencari pekerjaan, beberapa tidak mencari pekerjaan karena kewajiban keluarga, penyakit atau masalah transportasi. Jumlah pekerja di Amerika Serikat (AS) terus meningkat sejak tahun 2009. Pada bulan November 2010, ada lebih dari 1,2 juta pekerja putus asa di AS, peningkatan yang signifikan dari 861.000 pada bulan November 2009. Discourage-worker memiliki konsekuensi negatif bagi perekonomian dan pasar kerja keseluruhan di AS. Ketika Departemen Tenaga Kerja merilis angka pengangguran bulanan, indikator utama dari kesehatan ekonomi AS, discourage-worker tidak dihitung dalam angka pengangguran secara keseluruhan. Para pekerja ini, karena mereka tidak mencari pekerjaan di empat minggu sebelumnya, tidak dianggap menganggur, bahkan jika mereka ingin kembali bekerja. Akibatnya, angka pengangguran bulanan yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja tidak menawarkan gambaran yang lengkap. Penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi Discourage Worker Effect masih sangat jarang dilakukan. Adriani (2012) memperlihatkan discourage worker terdidik lebih responsif terhadap perubahan upah daripada discourage worker tidak terdidik. Nilai elastisitas discourage worker di pedesaan, misalnya sebesar 0,093 dan 0,06 persen berturut-turut untuk tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik di pedesaan. Tingginya jumlah pengangguran di kedua daerah merupakan faktor penentu yang penting bagi seseorang untuk keluar dari pasar kerja. Misalnya nilai parameter penduga untuk pengaruh jumlah pengangguran terdidik di perkotaan terhadap discourage worker terdidik di perkotaan sebesar 0,167743 artinya penambahan pengangguran sebesar 6 orang akan meningkatkan 9
discourage worker sekitar 1 orang.
Satu fakta penting yang muncul adalah besarnya
peranan teknologi terhadap peningkatan jumlah discourage worker tidak terdidik baik di pedesaan dan di perkotaan. Discourage worker tidak terdidik di perkotaan dan pedesaan sangat responsif terhadap perubahan teknologi.
Discourage worker tidak terdidik di
perkotaan lebih responsif terhadap perubahan teknologi dibandingkan dengan discourage worker tidak terdidik di pedesaan. Nilai elastisitas teknologi yang diperoleh sebesar 2,046 dan1,522 untuk persamaan discourage worker tidak terdidik baik di perkotaan dan pedesaan. Nilai ini berarti jika teknologi meningkat sebesar 1 persen setiap tahunnya, maka discourage worker tidak terdidik baik di perkotaan dan di pedesaan akan meningkat sebesar 2,046 persen dan 1,522 persen. Temuan ini sejalan dengan temuan sebelumnya, dimana teknologi yang berkembang di negara kita sebenarnya bersifat capital intensive sehingga cenderung menimbulkan keputusasaan bagi para tenaga kerja untuk masuk ke pasar kerja. Hal ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah, untuk Indonesia dengan kondisi pasar kerja yang excess suplly, perkembangan teknologi yang dianjurkan adalah teknologi yang bersifat labor intensive. Teknologi yang bersifat labor intensive akan tetap membuka lapangan kerja selain mengejar target peningkatan produksi secara nasional. Krisis ekonomi menyebabkan discourage worker terdidik baik di perkotaan maupun di pedesaan meningkat sebesar 2354,005 dan 119667. Artinya selama krisis ekonomi para tenaga kerja terdidik memilih tidak mencari kerja mengingat terbatasnya lapangan pekerjaan yang dapat dilakukan selama krisis ekonomi tersebut. Sebaliknya, selama kiris ekonomi, discourage worker tidak terdidik baik di kota maupun di desa menurun sebesar -618 ribu dan 772 ribu. Hal ini terjadi karena semakin terbatasnya pendapatan keluarga yang mereka peroleh, sehingga mereka terpaksa masuk ke pasar kerja untuk menambah penghasilan keluarga yang menurun akibat terjadinya krisis ekonomi. Pada masa krisis, lapangan kerja bagi tenaga kerja tidak terdidik lebih mudah diciptakan karena mereka bisa ditampung oleh sektor jasa melalui sektor informal. Selama krisis ekonomi discourage worker cenderung menurun sebesar 1,3 juta orang. Jika dikaitkan dengan uraian sebelumnya diketahui bahwa selama krisis ekonomi, jumlah added worker bertambah sebanyak 3,2 juta orang. Hal ini berarti selama krisis ekonomi, jumlah added worker 2,5 kali lebih banyak daripada jumlah discourage worker. Fakta dimana lebih besarnya jumlah added worker dibandingkan discourage worker ini berarti bahwa tenaga kerja di Indonesia sebagian besar belum mapan. Pilihan keputusan untuk tidak bekerja meski dengan peluang kecil mungkin dilakukan tetapi lebih karena alasan khusus seperti melanjutkan pendidikan atau kepentingan keluarga. Di luar alasan tersebut, biasanya 10
secondary worker akan lebih memilih untuk masuk ke pasar kerja untuk mengatasi terjadinya penurunan pendapatan riel keluarga.
B.4. Discourage Worker Effect Sebuah pengangguran berkepanjangan dapat menyebabkan apa yang disebut discourage worker effect, di mana para pekerja keluar dari pasar tenaga kerja. Para istri dari discourage worker effect,
selanjutnya berperilaku sebagai pekerja sekunder, mengubah
penawaran tenaga kerja mereka, dalam menanggapi keputusan pasangan mereka untuk menjadi pengangguran, dengan menjadi pencari nafkah sebagai Added worker (Maloney, 1991). Antara 2007 dan 2009, Amerika Serikat melihat peningkatan besar dalam kontribusi perempuan terhadap pendapatan keluarga, akibat penurunan pendapatan suami karena tiga dari empat pekerjaan dieliminasi itu milik laki-laki. Dalam sebuah efek kembar, pada Added worker effect, istri yang sudah berpartisipasi dalam angkatan kerja juga merespon dengan bekerja meningkatkan jam kerjanya, sehingga meningkatkan alokasi waktu kerja yang mereka disediakan, ketika pasangan mereka berhenti bekerja (Mattingly & Smith,2010). Presmis yang biasanya digunakan dalam studi tentang keputusan istri dalam menghadapi kondisi discourage worker effect, diasumsikan seorang wanita aktif dalam angkatan kerja apakah dia bekerja atau aktif mencari pekerjaan. Namun Penelitian Tim Maloney tidak menemukan bukti telah terjadinya discourage worker effect, ketika mereka memasuki dunia kerja untuk mendapatkan pekerjaan unorthodoxly. Contoh ini mendukung temuan bahwa seringkali perempuan dengan pasangan yang sering menganggur mencari pekerjaan tetapi gagal untuk menemukan pekerjaan yang akan memungkinkan mereka untuk mengimbangi hilangnya pendapatan rumah tangga. Namun kondisi tersebut tidak terjadi selama resesi besar, ketika istri dengan suami menganggur mulai bekerja lebih sering daripada selama periode sebelum pertumbuhan ekonomi (Mattingly & Smith, 2010). Beberapa ekonom percaya bahwa efek discourage-worker membuat angka pengangguran secara keseluruhan tinggi. Ketika ekonomi membaik, dan lebih banyak pekerjaan menjadi tersedia, discourage-worker umumnya mencoba untuk kembali ke angkatan kerja. Begitu mereka mulai mencari pekerjaan lagi, sampai mereka menemukan posisi, mereka dianggap menganggur. Kondisi ekonomi yang meningkat akan meningkatkan jumlah angkatan kerja karena discourage-worker kembali memasuki pasar kerja. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja, sekitar 1,1 persen dari semua individu saat ini tidak dalam angkatan kerja diklasifikasikan sebagai "putus asa" karena mereka ingin bekerja tetapi tidak mencari pekerjaan karena 11
dirasakan kurangnya bukaan tersedia. Discourage-worker berdampak pada tingkat partisipasi kerja, namun tren sosial dan demografi memiliki dampak yang lebih besar. Kalau bukan karena peningkatan discourage-worker selama empat tahun terakhir, tingkat partisipasi akan menjadi 0,5 persen lebih tinggi pada bulan Desember 2011; tingkat partisipasi akan tetap 1,7 poin persen lebih rendah daripada di awal tahun 2008. Jadi apa artinya ini bagi pasar tenaga kerja bangsa? Untuk satu, tingkat pengangguran AS akan menjadi 9,4 persen pada Desember, bukan 8,5 persen jika tidak begitu banyak pekerja menjadi discourage-worker dan meninggalkan pasar tenaga kerja. Namun, tampak bahwa apa yang telah benar-benar menahan tingkat pengangguran yang meroket adalah telah terjadinya penurunan jangka panjang dalam partisipasi angkatan kerja berhubungan dengan faktor sosial dan demografis lainnya (Vinegan dan Margo, 2010).
DAFTAR PUSTAKA Adriani, Dessy. 2012. Analisis Kinerja Pertumbuhan Ekonomi, Pasar Kerja Pertanian Dan Non Pertanian Serta Mutu Modal Manusia Di Indonesia. Disertasi Program Doktor Ilmu Pertanian Fakultas PertanianUiversitas Sriwijaya. Palembang. (Tidal Dipublikasikan). Adriani, Dessy. 2000. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada Periode Krisis Ekonomi Di Indonesia. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Agbola, Frank W. (2005): Integrating Hidden Unemployment in the Measurement of Unemployment in Selected OECD Countries. Applied Econometrics and International Development 5-2, 91–107. Brad R. Watts. 2012. Labor Force Participation and the Impact of Discouraged Workers. The Upjohn Institute. http://www.upjohn.org/node/701. Diakses tanggal 27 Mei 2013. Connell, Champbell., S.L. Brue, dan D.A. Macpherson. 2006. Contemporary Labor Economics. McGraw-Hill Internasional Edition. Boston. Fuchs, Johann dan E. Weber. 2013. A new look at the discouragement and the added worker hypotheses Applying a trend-cycle decomposition to unemployment. ISSN 21952663. IAB Dicussion PaperArticles on labour market issues. Instutut of Employment Research. Germany. Gong, Xiaodong. 2010. The Added Worker Effect and the Discouraged Worker Effect for Married Women in Australia. Australian Treasuryand IZA. Discussion Paper No. 4816. Germany Humphrey, D.D. (1940). Alleged "additional workers" in the measurement of unemployment. The Journal of Political Economy, 48(3), 412–419. 12
Investopedia. 2013. Discourage Worker. http://www.investopedia.com/terms/d/discouraged_worker.asp diakses 10 Juni 2013. Katz, A. (1961). Cyclical unemployment and the secondary family worker. Econometrica, 29 (3), 478. Lundberg, S. (1985). The Added Worker Effect. Journal of Labor Economics, 3(1), 11–37. Maloney, T. (1991). Unobserved variables and the elusive Added Worker Effect. Economica, 58(230), 173–187. Mattingly, M., & Smith, K. (2010.). Changes in wives' employment when husbands stop working: a recession-prosperity comparison. Family Relations, 59(4), 343–357. Mincer, J. (1962). Labor force participation of married women. Aspects of Labor Economics A conference of the Universities—National Bureau Committee for Economic Research, 63–105. McConnell, Bruce SL, dan Macpherson D. 1999. Contemporary Labor Economics. International Edition. MacGraw-Hill Companies. Printed in Singapore. Nurlina. 2009. Ekonomi Ketenagakerjaan. Penerbit Unsri Press. Palembang. Smith, K. “Wives as Breadwinners: Wives’ Share of Family Earnings Hits Historic High during the Second Year of the Great Recession” Carsey Institute Fact Sheet No. 20, Fall 2010. Rampell, C. (2010, July 2). Bleak outlook for the long-term unemployed [Web log message]. Retrieved from http://economix.blogs.nytimes.com/2010/07/02/bleak-outlook-for-longterm-unemployed. Diakses tanggal 27 Mei 2013. Serneels, P. (2002). The Added Worker Effect and intrahousehold aspects of unemployment . Centre for the Study of African Economies Working Paper Series, Retrieved from http://www.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1174&context=csae. Diakses tanggal 27 Mei 2013. Vinegan dan Margo. 1993. Added and Discouraged Workers in the Late 1930s: A ReExamination. National Berau of Economic Research. Historical Working Paper No. 45. Issued in April 1993. Cambrige.
13