ABSTRAK
HERMANTO ADAM (NIM : 271.409.089). Tinjauan Kriminologi Penganiayaan Terhadap Orang Yang Di Duga Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian. Dibawah Bimbingan Dr. Fence Wantu, SH.,MH. dan Dian Ekawaty Ismail, SH.,MH. Skripsi, Jurusan Ilmu Hukum fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo. 2015 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan penganiayaan terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian. Untuk mengetahui kebijakan penegak hukum sebagai upaya rasional dalam menanggulangi tindak penganiayaan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan cara observasi (pengamatan), wawancara, Teknik analisa data. Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban bahwa, hal ini terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian adalah 1. Faktor Emosi;2. Faktor Ikut-ikutan;3.Faktor Balas Dendam;4. Faktor Sanksi Sosial. Bahwa kebijakan penegak hukum sebagai upaya rasional dalam menggulangi tindakan penganiayaan terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan cara Sosialisasi; Koordinasi; Mengaktifkan Polisi Masyarakat; Patroli/Ronda Kewaspadaan dini. Kata Kunci : Kriminologi, Penganiayaan Terhadap Orang, Pencurian.
A. Latar Belakang Kekerasan dengan beragam bentuknya silih berganti muncul diberbagai wilayah di Indonesia. Munculnya kekerasan dengan beragam bentuknya ini sudah barang tentu menggugat konsep ideal Indonesia sebagai negara hukum dan sekaligus juga menggugat konsep ideal tentang suatu bangsa yang berperikemanusiaan, berkeadilan, dan beradab. Media sering kali memberitakan banyak kasus kekerasan yang kerap terjadi, mulai dari tauran antar siswa, demo yang berujung pada kericuhan, kekerasan yang dilakukan Guru kepada siswa, sampai pada kekerasan yang dilakukan sekelompok orang terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana atau yang dinamakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pada umumnya boleh dibilang sadis dan tidak kenal belas kasihan atau
tidak manusiawi. Dikatakan tidak manusiawi, karena
tindakan main hakim sendiri ini telah melibatkan sekian banyak orang yang melakukan pemukulan atau penganiayaan secara beramai-ramai terhadap seseorang atau beberapa orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pemukulan atau penganiayaan ini seringkali disertai dengan penggunaan benda-benda keras, tumpul dan tajam sebagai medianya dengan tanpa belas kasihan sediktpun terhadap orang yang tersebut, bahkan hal ini berujung pada pengrusakan kendaraan milik dari yang diduga sebagai pelaku pencurian tersebut. Perlawanan masyarakat dengan cara yang sangat tidak manusiawi melalui penggunaan kekerasan dalam menghadapi pelaku tindak pidana merupakan pilihan yang tidak berada dalam konteks aturan (hukum) yang berlaku, atau berada di luar mekanisme penyelesaian suatu perkara dalam sistem peradilan pidana. Tindakan semacam ini telah mendahului keputusan
hakim, berarti selain telah mengambil-alih kewenangan lembaga peradilan yang sudah ditentukan sebagai institusi yang berwenang dalam menyelesaikan setiap perkara pidana, pilihan masyarakat ini juga merupakan pengingkaran terhadap asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)1. Ironisnya, beragam bentuk kekerasan yang selama ini terjadi, oleh sebagian masyarakat seolah-olah sudah dianggap sebagai hal yang biasa sehingga kekerasan seringkali digunakan sebagai alat oleh seseorang atau sekelompok orang dengan alasanalasan dan tujuan-tujuan tertentu dengan mengenyampingkan hukum yang seharusnya menjadi principle guiding2, padahal tanpa mereka sadari bahwa mereka yang melakukan penganiayaan tersebut juga telah melakukan tindak pidana terhadap pelaku tindak pidana dan bisa dituntut kembali. Akan tetapi, hal yang sangat memprihatinkan
bahwa sebagian
besar dari beragam bentuk kekerasan tersebut hingga sekarang masih belum dan tidak pernah terungkap tuntas melalui proses hukum sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kenyataan yang demikian merefleksikan bahwa hukum pada tataran empirik ternyata tidak diperlakukan sama untuk setiap orang, padahal sudah sangat jelas bahwa dalam negara yang berdasar atas hukum tidak mengenal adanya diskriminasi. Setiap orang ditempatkan pada kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) atau tiada seorangpun
memiliki keistimewaan (prifilage) ketika harus berhadapan dengan
hukum3. Kenyataan ini sekaligus pula memperlihatkan adanya orang atau sekelompok orang yang seolah-olah mempunyai hak-hak istimewa
1
2 3
sehingga pada gilirannya akan
Dr. Fence M. Wantu, SH., MH. HUKUM ACARA PIDANA, Reviva Cendekia, Yokyakarta, 2011 hlm 13 http://eprints.undip.ac.id/40709/1/BAB_I-DRAFT_DISERTASI-edit.pdf Ibid, hlm 19
semakin memperpanjang daftar perilaku/tindakan orang atau sekelompok orang yang sebenarnya melanggar hukum tetapi tidak tersentuh oleh hukum. Berdas arkan uraian diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: (1) faktor-faktor apakah
yang
menyebabkan terjadinya tindakan penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian ? (2) Bagaimana kebijakan penegak hukum sebagai upaya rasional dalam menggulangi tindakan penganiayaan terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian ? B. Metode Penulisan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yang di sebut dengan penelitian empirik untuk mengkaji apa saja yang menjadi penyebab terjadinya penganiayaan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh masyarakat, guna untuk mendapatkan suatu paparan kesimpulan yang berdasarkan landasan data lapangan guna terpenuhinya persyaratan ilmiah. C. Hasil dan Pembahasan 1. Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Tindakan Penganiayaan Terghadap Orang Yang Diduga Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Polsek Tolangohula, penulis memperoleh informasi bahwa, terjadinya Tindakan Penganiayaan Terhadap Orang Yang Diduga Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian di sebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : a. Faktor Emosi Sebagai bagian dari penyebab terjadinya tindakan penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian adalah karena emosi atau kesal terhadap perbuatan manusia itu sendiri atau orang itu sendiri yang sudah meresahkan
warga atau menimbulkan kepanikan tersendiri oleh warga yang ingin wilayahnya aman sehingga memaksa warga atau sekelompok orang harus menghakimi pelaku pencurian tersebut dengan tanpa memperhatikan hukum positif yang ada di negara tersebut.
b. Faktor Ikut-ikutan Dalam hal menghakimi seseorang yang telah menimbulkan rasa tidak nyaman dilingkungan masyarakat atau telah melakukan tindak pidana pencurian sehingga menimbulkan rasa ingin melakukan tindakan kekerasan kepada orang yang telah di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian secara beramai-ramai atau ikut-ikutan untuk menggunakan kekerasan yang dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa dan sulit untuk di berikan sanksi hukum. c. Faktor Balas Dendam Faktor balas dendam juga termasuk salah satu bagian penyebab terjadinya tindak pidana penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian karena kesal telah terjadi perbuatan yang tidak menyenangkan apalagi dilakukan dirumah sendiri sehingga hal ini menimbulkan rasa yang tidak bisa di tahan untuk dilakukan upaya balas dendam atau penganiayaan terlebih hal tersebut dilakukan seecara beramai-ramai dan dilakukan dengan adanya peluang besar untuk menghakimi pelaku tersebut apalagi pelaku tersebut tidak bisa melawan. d. Faktor Sanksi Sosial Keberadaan sanksi sosial ini juga adalah merupakan bagian yang ada di tengah-tengah masyarakat hal ini jelas karena sanksi sosial bisa menjadikan sesuatu hal yang berujung pada penegakan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat sehingga hal tersebut bisa menjadikan suatu sanksi atau efek jera bagi yang melihat, mengetahui
ataupun yang sudah merasakan dan bisa jadi akan menimbulkan rasa nyaman dan tentram karena sanksi sosial yang ada dimasyarakata tersebut. Adapun hal tersebut dapat tergambarkan pada kejadian yang selama ini terjadi ditengah – tengah masyarakat yang ada di kecamatan tolanguhula dengan data tabeldi bawah ini, antara lain Tabel Jumlah kasus Penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian di Kec. Tolangohula Tahun 2015
Data penganiayaan terhadap NO
TAHUN
Presentase pelaku tindak pidana pencurian
1
2010
2
0.2
2
2011
5
0.5
3
2012
1
0.1
4
2013
-
-
5
2014
2
0.2
10
100
Jumlah
Sumber Data. Polsek Tolangohula Tahun 2015 Berdasarkan data tersebut bahwa Jumlah kasus Penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian di Kecamatan Tolangohula selama 5 tahun terakhir mengambarkan bahwa pada tahun 2010 data yang diperoleh sebanyak 2 kasus, pada tahun 2011 sebanyak 5 Kasus, pada tahun 2012 sebanyak 1 kasus dan pada tahun 2013 tidak terdapat kasus penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang di duga
sebagai pelaku tindak pidana pencurian serta pada tahun 2014 terdapat 2 kasus sehingga hal ini jelas bahwa data tersebut menggambarkan keberadaan sanksi sosial tersebut sangat berpotensi untuk timbulnya rasa tidak akan melakukan perbuatan tersebut karena khawatir terjadinya sanksi sosial ditambah lagi adanya sanksi badan berdasarkan hukum positif yang berlaku4. 2. Kebijakan Penegak Hukum Sebagai Upaya Rasional Dalam Menanggulangi Tindakan Penganiayaan Terhadap Orang Yang Diduga Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian. Adapun bahwa kebijakan pemerintah sebagai upaya rasional dalam menggulangi tindakan penganiayaan terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian adalah dengan cara antara lain : Dalam beberapa kasus pengadilan jalanan yang selama ini terjadi, maka dilihat dari akibatnya dapat dikemukakan disini bahwa orang yang diduga sebagai pelaku pencurian yang menjadi “korban” pengadilan jalanan pada umumnya mengalami luka-luka, baik luka berat maupun luka ringan, dan ada juga yang mati serta rusaknya barang milik orang yang diduga sebagai pelaku pencurian. Tindakan yang dilakukan para pelaku pengadilan jalanan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak piana pencurian ini pada umumya menggunakan benda tumpul maupun benda keras yang digunakan sebagai alat pemukul, yang biasanya ditemukan di seputar tempat kejadian. Selain melakukan pemukulan, tindakan main hakim sendiri juga seringkali disertai dengan menikam/menusuk atau membacok dengan menggunakan senjata tajam, menendang atau menginjak-injak. Bahkan ada diantaranya yang melakukan pembakaran terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian. Memaknai kekerasan sebagai serangan atau penyalahgunaan kekuatan secara fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, 4
Sumber Data. Polsek Tolangohula. Tahun 2015
kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang sangat potensial dapat menjadi milik seseorang. Pendapat lain mengemukakan bahwa kekerasan tidak hanya meliputi dimensinya yang bersifat psikologis. Dengan kata lain, tindak kekerasan tidak hanya meliputi pencurian, perampokan, penganiayaan dan pembunuhan, akan tetapi juga kebohongan, indoktrinasi, ancaman, tekanan dan sejenisnya, yang dilakukan untuk menghasilkan akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental daya pikir seseorang. Hal ini mengkonstruksikan kekerasan ke dalam tiga bentuk. Ketiga bentuk kekerasan ini saling berkaitan di antara yang satu dengan yang lainnya sehingga membentuk “spiral kekerasan” (spiral of violence). Antara lain : 1. Ketidak-adilan (injustice) merupakan kekerasan nomor satu; 2. Perlawanan terhadap ketidak-adilan melahirkan kekerasan nomor dua; 3. dan apabila perlawanan terhadap ketidak-adilan ini dihadapi secara represif maka melahirkan kekerasan nomor tiga. Sedangkan hal tersebut jelas berdasarkan subyek dan pelakunya dapat dibedakan kekerasan ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan langsung atau personal dan kekerasan tidak langsung atau struktural. Sebuah kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya, dan jika tidak ada pelakunya disebut kekerasan tidak langsung atau kekerasan struktural. Kekerasan langsung/personal adalah kekerasan yang pelakunya adalah manusia konkret, baik yang dilakukan secara perorangan (individual violence) maupun kelompok (collective violence), sedangkan kekerasan struktural pelakunya tidak jelas karena kekerasan disini sudah menjadi bagian dari struktur itu sendiri.
Konseptualisasi yang kemudian dapat dikembangkan dari berbagai pandangan mengenai kekerasan tersebut di atas menunjukan bahwa pada bentuk kekerasan personal, kekerasan bisa dilakukan baik secara perorangan (individual violence) maupun secara kolektif (collective violence). Sedangkan pada bentuk kekerasan struktural (structure violence), kekerasan bisa dilakukan oleh negara maupun oleh struktur sosial, atau yang dikatakan sebagai suatu hal “kekerasan pembangunan”, yaitu kekerasan yang munculnya merupakan buah dari kebijakan negara atau pemerintah. Pengadilan jalanan atau tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok orang atau massa terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana masuk dalam pengertian kekerasan kolektif (collective violence), yaitu kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang lain dengan menggunakan alat kekerasan sebagai medianya. Pada dasarnya manusia melakukan kekerasan karena faktor kondisi yang ada di luar dirinya, sehingga terjadinya kekerasan dipandang sebagai hal yang tidak wajar, yaitu suatu tindakan yang dipengaruhi oleh suatu kondisi struktural di luar diri manusia yang mengandung unsur kebetulan. Dalam hal ini konteks pandangan kontingensi terdapat satu teori yang mengemukakan tentang sebab terjadinya kekerasan kolektif, yaitu teori deprivasi relatif (relative deprivation). Teori ini menjelaskan bahwa kekerasan terjadi karena adanya desakan dari kondisi struktural yang melingkupinya, dimana terjadi adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan (value of expectation) berbeda dengan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai harapan itu (value of capabilities). Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan frustrasi pada diri seseorang atau masyarakat, yang dapat mendorongnya untuk melakukan tindakan kekerasan.
Dalam konteks kekerasan tidak ada kelompok lain di masyarakat yang boleh memakai kekerasan kecuali aparat negara. Tujuannya dimaksudkan adalah untuk menjaga kedaulatan negara sekaligus menjaga ketertiban dalam masyarakat. Tertib masyarakat akan hancur jika tidak ada monopoli pemakaian kekerasan. Setidaknya ada 4 (empat) faktor yang membuat masyarakat bertindak dengan kekerasan, yaitu (1) transformasi dalam masyarakat, (2) akumulasi kebencian dalam masyarakat, (3) masyarakat yang sakit dan (4) Orde Baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan. Faktor-faktor transformasi dalam masyarakat menunjuk pada ketidaksiapan masyarakat dalam mengahadapi arus modernisasi dan globalisasi yang dianggap sebagai tekanan yang luar biasa dan membuat masyarakat dalam keadaan tegang terus menerus. Proses tarnsformasi budaya dari masyarakat tradisional ke masyarakat pasca tradisional dengan sendirinya menciptakan disorientasi, dislokasi, disfungsionalisasi yang dirasakan sebagai ancaman ekonomis, psikologis dan politis. Faktor akumulasi kebencian dalam masyarakat. Bertolak dari uraian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengadilan jalanan berupa tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian merupakan suatu bentuk kekerasan dalam pengertian kekerasan kolektif (collective violence) karena pengadilan jalanan dilakukan oleh sekelompok orang (massa) disertai dengan menggunakan alat kekerasan sebagai medianya. Pada dasarnya pengadilan jalanan ini dilakukan karena adanya faktor kontingensi (contingency), atau faktor yang ada di luar diri pelaku, yaitu karena adanya desakan dari kondisi struktural yang melingkupinya, dimana terjadi adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan (value of expectation) berbeda dengan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai harapan itu (value of capabilities). Kemampuan disini menunjuk kepada hukum dan aparat penegak hukum
yang diharapkan masyarakat dapat menanggulangi tindak pidana pencurian ternyata belum berfungsi secara baik dan benar. Dalam pada itu, kekerasan dalam konteks pengadilan jalanan ini pada dasarnya merupakan kekerasan yang menurut etika maupun hukum tidak dapat dibenarkan. Reaksi masyarakat yang memperlakukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dengan menggunakan kekerasan rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di beberapa kota besar di dunia dengan ciri-ciri dan cara-cara yang hampir sama, yang dikenal dengan istilah vigilante. Istilah ini menunjuk kepada penyakit masyarakat kota-kota besar di dunia, yaitu berupa aksi menumpas kejahatan dengan kejam karena polisi dinilai tidak mampu lagi menangani kejahatan yang terjadi di kota-kota tersebut. Kelompok antikriminalitas vigilante itu terjadi secara spontan tanpa organisasi atau pun pimpinan. Perbuatan main hakim sendiri pada dasarnya merupakan salah satu tindak pidana, karena telah melakukan kekerasan terhadap pelaku yang diduga melakukan tindak pidana, sedangkan pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut juga dilindungi oleh hukum dan yang berhak memberikan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana adalah aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang berwenang melakukan proses hukum adalah Kepolisian sebagai pihak penyelidik dan penyidik, Jaksa Penuntut Umum yang berwenang memberikan tuntutan kepada terdakwa, Advokat berwenang mendampingi dan mewakili tersangka ataupun terdakwa dalam melalui tahapan proses hukum, serta hakim sebagai eksekutor yang memberikan sanksi terhadap terdakwa. Berikut ini adalah hasil wawancara penulis dengan Aparat Penegak Hukum mengenai persepsi apara penegak hukum mengenai pertanggungjawaban masyarakat yang melakukan perbuatan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak pidana pencurian di Kecamatan Tolangohula.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Junaidi selaku kanit reserse di Polsek Tolangohula pada tanggal 21 Mei 2015, pukul 10.00 Wita, bahwa perbuatan main hakim sendiri merupakan perbuatan pidana karena perbuatan ini mengakibatkan kerugian baik harta maupun nyawa. Kerugian terjadi tidak hanya kerugian yang dialami korban, melainkan juga kerugian tersebut dialami pelaku5. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan bapak Tomi selaku penyidik pembantu di Polsek Tolangohula Kabupaten Gorontalo (Jum’at,21 Mei 2015, 12.30 Wita), berpendapat bahwa pengertian perbuatan main hakim sendiri berkaitan dengan kekerasan. Kekerasan yang selama ini terjadi dianggap oleh sebagian masyarakat merupakan hal biasa untuk mencapai tujuan -tujuan tertentu6. Sehingga masyarakat mengenyampingkan hukum. Kecenderungan di dalam masyarakat untuk melampiaskan rasa kemarahan dan kebenciannya terhadap pelaku tindak pidana dengan cara-cara yang melanggar hukum yaitu dengan kekerasan seperti misalnya melakukan penganiayaan.
1. Sosialisasi Dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat terhadap penerapan hukum terutama bagi yang melakukan tindakan penganiayaan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian atau dengan istilah lain adalah main hakim sendiri dengan memberikan penjelasan apabila terbukti dan meyakinkan terpenuhi segala unsur-unsur pasal yang ada dalam KUHP maka pelaku main hakim sendiri tersebut akan dijerat dengan hukum itu sendiri.
5
6
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Junaidi selaku kanit reserse di Polsek Tolangohula pada tanggal 21 Mei 2015,Pukul.10.00 Wita. hasil wawancara penulis dengan bapak Tomi selaku penyidik pembantu di Polsek Tolangohula Kabupaten Gorontalo (Jum’at,21 Mei 2015, 12 30 wita),
2. Koordinasi Upaya koordinasi tersebut juga sangat dibutuhkan apabila ada yang dianggap mencurigakan dan sebelum diketahui oleh masyarakat sudah barang tentu harus memperoleh informasi dari masyarakat sehingga oleh pemerintah dalam hal ini pihak yang berwajib segera melakukan upaya atau tindakan lain untuk segera mengamankan pelaku yang di duga telah melakukan suatu perbuatan hukum sebelum memperoleh sanksi dari masyarakat melalui upaya main hakim sendiri. 3. Mengaktifkan Polisi Masyarakat Keberadaan dari polisi masyarakat itu sangatlah penting karena keberadaannya sangat membangtu pihak yang berwajib dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama dari segi keamanan dan ketertiban terutama menjaga agar tidak terjadi main hakim sendiri oleh masyarakat kepada pelaku tindak kejahatan yang mungkin sangat meresahkan masyarakat sehingga hal tersebut sebelum akan dilakukan tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat maka hal ini bisa jadi pihak polisi masyarakatlah yang lebih sigap mengamankan pelaku tersebut dari sanksi sosial terutama main hakim sendiri oleh masyarakat. 4. Patroli/Ronda Sebagai bagian menjaga keamanan dan ketertiban dilingkungan masyarakata sudah seharusnyalah pihak yang berwajib melakukan patroli atau ronda dengan di bantu oleh pihak masyarakat sehingga hal tersebut bisa mengurangi ataupun hal–hal yang tidak diinginkan terutama jika terdapat suatu kejadian yang sangat meresahkan warga masyarakat sehingga tidak akan terjadi apa dinamakan main hakim sendiri oleh masyarakat. 5. Kewaspadaan dini
Kewaspadaan dini juga sangat dibutuhkan karena hal tersebut bisa membantu pihak yang berwajib dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat karena hal tersebut dilakukan untuk tidak terjadi suatu perbuatan main hakim sendiri atau penganiayaan kepada orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian oleh masyarakat kepada seseorang yang diduga telah meresahkan lingkungan masyarakat dan hal ini menimbulkan atau memancing emosi warga untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang di istilahkan main hakim sendiri. D. Kesimpulan Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis meyimpulkan bahwa : 1. Bahwa hal ini terdapat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
tindakan
penganiayaan oleh sekelompok orang terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian adalah : 1. Faktor Emosi; 2. Faktor Ikut-ikutan; 3.Faktor Balas Dendam; 4. Faktor Sanksi Sosial. 2. Bahwa kebijakan pemerintah sebagai upaya rasional dalam menggulangi tindakan penganiayaan terhadap orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan cara : 1. Sosialisasi 1 Koordinasi 2 Mengaktifkan Polisi Masyarakat 3 Patroli/Ronda 4 Kewaspadaan dini
E. Saran Sebagai saran penulis terhadap uraian diatas terhadap tinjauan kriminologi penganiayaan kepada orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian adalah : 1. Agara supaya tidak terjadi upaya penganiayaan kepada orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian atau istilah main hakim sendiri maka haruslah dilakukan suatu proses penerapan sanksi kepada orang yang telah melakukan main hakim sendiri dengan cara mempertegas dalam peraturan perundang-undangan pemberlakukan sanksi hukum tersebut. 2. Agar nantinya upaya main hakim sendiri atau penganiayaan kepada orang yang di duga sebagai pelaku tindak pidana pencurian tidak terjadi maka haruslah dibentuk tim atau dalam istilah polisi masyarakat serta meningkatkan pengamanan dengan melakukan patroli setiap saat dilingkungan masyakarat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Dr. Fence, M., Wantu. 2011. Hukum Acara Pidana. Yokyakarta : Reviva Cendekia. B. Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana C. Internet http://zrandpartner.blogspot.com/2008/11/penganiayaan-menurut-kuhp.html http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/6389/Skripsi%20Muhammad%20Zulfi kar%20Ahmad.pdf?sequence=13/05/2015 http://eprints.undip.ac.id/40709/1/BAB_I-DRAFT_DISERTASI-edit.pdf/13/05/2015