ABSTRACT
Legiyem, Sri. 2011. Comparison of Leadership Principles in Kutadanta Sutta and Cakkavatti Sihanada Sutta. Thesis. Department Dharmaduta. High School State Buddhist Srivijaya Tangerang Banten. Supervisor I Mr. Sapardi, S.Ag., Hum. and mentors II Ir. Suhartoyo Heritage Teak, M.M. Keywords: Leadership Principles, Kutadanta Sutta, Cakkavatti Sihanada Sutta. Issues raised in this research is the lack of leadership in comparison principle and Cakkavatti Sihanada Kutadanta Sutta Sutta in terms of their leadership to achieve peace and prosperity in society. Which definition of leadership in comparison Kutadanta Sutta and Cakkavatti Sihanada Sutta have differences, namely the set system of government. In Kutadanta Sutta, the governance system is governed by sixteen conditions and three methods. While in Cakkavatti Sihanada Sutta, the system of government is set in accordance with the truth of the teachings of the Buddha Dhamma. Moreover, in the Sutta Kutadanta described the principle of sacrifice. While in Cakkavatti Sihanada Sutta not sacrifice principles described. The purpose of this study is to determine the ratio between Kutadanta Sutta and Cakkavatti Sihanada Sutta in terms of leadership principles to achieve prosperity and peace for the people. To achieve the above-mentioned study, the authors used a qualitative research method of comparative analysis and content analysis or content analysis.
Based on these results the authors concluded that the ratio of the leadership principle in the Sutta and Cakkavatti Sihanada Kutadanta Sutta is that in Kutadanta Sutta has been explained in detail about leadership while in Cakkavatti Sihanada Sutta describes only physically from a leader. When the two are combined sutta it will be a high strength and when the power is actually practiced in the system of government leadership or it will bring happiness, prosperity and peace to his followers. Finally, the authors suggest that the soul of a leader who possessed by each person can actually practiced in life. Because, in principle, each individual has a soul or the nature of lead in him. With the soul of leadership that can be practiced in accordance with the teachings of the Buddha Dharma, then one can control himself and can lead themselves, because a potential leader before leading others to be able to lead themselves. There is thus a government or leadership will embrace can run well in accordance with the teachings of the Buddha Dharma and objectives of a government can be realized with better.
PERBANDINGAN PRINSIP KEPEMIMPINAN DALAM KUTADANTA SUTTA DAN CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA
Kemajuan dan kesejahteraan Bangsa Indonesia pada saat ini sangat ditentukan oleh kepemimpinan yang bisa memimpin dengan kebijaksanaan yang nantinya bisa memberikan perkembangan serta kemajuan didalam masyarakat. Seperti saat ini, Bangsa Indonesia sedang berada dalam krisis kepemimpinan. Sejak berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1998 dan dicanangkan Reformasi belum timbul pemimpin-pemimpin baru yang menunjukkan kemampuan memadai untuk memecahkan berbagai persoalan seperti yang ada di negara Indonesia saat ini. Sedangkan tujuan dari Reformasi pada hakikatnya adalah untuk memperjuangkan perbaikan keadaan bangsa di semua aspek kehidupan. . Krisis kepemimpinan ini disebabkan karena kurangnya kepedulian pada kepentingan orang banyak maupun kepentingan lingkungannya. Sekurang-kurangnya terlihat ada tiga masalah mendasar yang menandai kekurangan ini. Pertama, adanya krisis komitmen. Kebanyakan orang tidak merasa mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memikirkan dan mencari pemecahan masalah bersama, masalah harmoni dalam kehidupan dan masalah kemajuan dalam kebersamaan. Kedua, adanya krisis kredibilitas. Sangat sulit mencari pemimpin atau kader pemimpin yang mampu menegakkan kredibilitas tanggung jawab. Kredibilitas itu dapat diukur misalnya dengan kemampuan untuk menegakkan etika memikul amanah, setia pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur dalam memikul tugas dan tanggung jawab yang dibebankan padanya, memiliki keyakinan
dalam menolak godaan dan peluang untuk menyimpang. Ketiga, masalah kebangsaan dan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Saat ini tantangannya semakin kompleks dan rumit. Kepemimpinan sekarang tidak cukup lagi hanya mengandalkan pada bakat atau keturunan. Seorang pemimpin pada dasarnya adalah orang yang mampu untuk memimpin dan perilakunya dapat menjadi tauladan bagi orang lain di dalam kepemimpinannya. Dalam kepemimpinannya, bahwa seorang pemimpin memiliki kemampuan untuk memimpin dan menyejahterakan rakyatnya.Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya sangat tinggi. Seperti halnya kehidupan masyarakat pada saat ini dapat dikatakan lebih maju dari masa kepemimpinan sebelumnya. Namun apakah keadaan seperti ini sekarang sudah dapat dirasakan oleh masyarakat? Keadaan masyarakat saat ini masih sangatlah memprihatinkan, banyak masalah yang sering terjadi seperti: angka kemiskinan tinggi, pendidikkan dan kesehatan yang mahal, pembunuhan, korupsi, bencana alam dan kurangnya kepedulian terhadap linkungan sehingga sering terjadi bencana alam, seperti tanah longsor, banjir dan bencana alam lainnya. Ini merupakan wujud minimnya rasa empati negara terhadap kesengsaraan rakyatnya dan pertanda negara tidak hadir dan melayani masyarakat di saat masyarakat membutuhkan negara sebagai lembaga yang memiliki otoritas mengatur ketertiban dah kehidupan dalam masyarakat. Kejadian di atas terjadi karena adanya banyak faktor penyebab. Salah satu faktor mendasar yang menjadikan semua itu terjadi yaitu kegagalan para pemimipin bangsa. Seorang pemimpin adalah orang yang secara berani mengambil alih masalah orang lain menjadi tanggung jawab dirinya. Seorang pemimpin merupakan problem solver bagi
masyarakatnya. Namun, pada kenyataannya masalah bangsa ini tidak di emban oleh seorang prpblem solver yang kreatif dalam mencari solusi. Akibatnya, tidak ada satu masalah bangsa- pun yang terselesaikan secara tuntas. Seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan, keterampilan, dapat menganalisa informasi secara mendalam untuk mengambil suatu keputusan yang tepat, seorang pemimpin juga harus bisa melibatkan pihak-pihak yang tepat dalam proses pengambilan keputusan. Seorang pemimpin adalah seseorang yang dapat menciptakan situasi yang menginspirasi para pengikutnya agar mencapai tujuan yang lebih baik dan lebih tinggi lagi dari keadaan sebelumnya. Pada kenyataannya seorang pemimpin adalah orang yang mampu
membaca
situasi,
mengatasi
permasalahan,
bertanggung-jawab,
mau
mengembangkan pengikutnya dan yang terpenting memiliki integritas dan etika yang baik, karena seorang pemimpin harus memberikan contoh atau bertindak sebagai panutan bagi pengikutnya. Pada saat ini sangatlah sulit mencari kader-kader pemimpin pada berbagai tingkatan. Orang-orang pada zaman sekarang cenderung mementingkan diri sendiri dan kurang peduli pada kepentingan orang lain maupun kepentingan lingkungannya. Sebagai contoh Kasus Gayus, yang mendapatkan perhatian media sangat besar mengingat jumlah uang, perusahaan dan nama-nama besar yang terlibat. Hal ini sangatlah merugikan bagi negara dan bangsa terutama bagi masyarakat, karena semua pihak juga mengakui bahwa KKN (Korupsi Kolusi Nipotisme) sudah terlalu mengakar keseluruh bagian dari republik ini, tidak hanya disistem tetapi yang lebih berat lagi bahkan sudah merasuk ke hampir semua pekerja dipemerintahan. Oleh sebab itu, perlu adanya dukungan dari semua pihak untuk benar-benar bisa memberantas KKN, bukan hanya menyetujui apa yang ingin
dilakukannya tetapi yang lebih penting adalah turut melakukan aksi nyata untuk mendukung reformasi birokrasi tersebut. Bila keadaan seperti ini tidak cepat diselesaikan maka akan banyak kasus-kasus serupa yang terjadi. Karena selain merugikan negara, masyarakatpun juga akan jadi korban yang nantinya akan membuat kesejahteraan masyarakat menurun serta merosotnya moralitas bangsa. Di sinilah peran seorang pemimpin yang relevan untuk dapat mampu mengambil suatu keputusan yang bijaksana. Sedangkan kepemimpinan dalam Buddhis adalah bagaimana agar setiap orang bisa mengikuti sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Kepemimpinan adalah bentuk seni dan gaya hidup untuk membuat orang lain mengikutinya. Setiap orang paling senang bila perkataannya diikuti orang lain. Seorang pemimpin harus berada dalam kebenaran. Seorang pemimpin harus menjadikan dirinya sebagai panji kebenaran. Kebenaran adalah tuan bagi dirinya. Kebenaran dijaga dengan melaksanakan lima sila (Pancasila), yaitu dengan menghindari pembunuhan, menghindari pengambilan barang-barang yang tidak diberikan, menghindari melakukan perbuatan asusila, menghindari ucapan yang tidak benar, serta menghindari makan makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran. Seorang pemimpin seharusnya bisa melindungi masyarakatnya dan tidak akan membiarkan tindak kejahatan ada dalam pemerintahannya. Selain itu seorang seorang pemimpin seharusnya bisa memenuhi kebutuhan masyarakat baik itu secara materi maupun non materi kepada rakyatnya bukan sebaliknya rakyat yang menyediakan kebutuhan kepada pemimpinnya. Sebagai contoh Pangeran Sidharta yang rela berkorban untuk meninggalkan kesenangan duniawi demi satu tujuan mulia. Harta dan tahta, bahkan keluarga rela ditinggalkan demi mengejar cita-cita luhur untuk mencapai kebuddhaan. Tapi ternyata
pengorbanan yang telah diberikan tidaklah sia-sia. Setelah menderita-sengsara selama enam tahun di hutan Uruvela, Pangeran Sidharta berhasil menemukan obat yang dapat menyembuhkan manusia dari lingkaran lahir, sakit, tua dan mati. Pangeran Sidharta setelah menjadi Buddha menunjukan kepada dunia bahwa pilihannya tidak keliru. Bila saja pada waktu itu, Sang Buddha lebih memilih menjadi raja maka nama dan ajaranya tidak akan ada lagi hingga kini. Kekuasaan memang bukanlah segala-galanya. Kekuasaan akan memberikan makna bagi kehidupan bila digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan banyak orang, untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Pada masa kehidupann-Nya, Buddha juga banyak mengajarkan Dharma kepada para raja yang berkuasa di masa itu untuk memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya itu demi kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Contoh para raja yang menjadi pengikut setia pada masa kehidupan Buddha adalah Raja Bimbisara dan raja Pasenadi Kosala. Kekuasaan itu seperti pedang bermata dua. Bila tidak digunakan dengan baik, maka dapat mencelakakan si pemegang kekuasan itu sendiri. Banyak contoh nyata orang yang telah berkuasa selama sekian puluh tahun harus mengalami sesuatu yang tragis di akhir kekuasaannya. Namanya masih tetap dikenang, tetapi lebih banyak pada hal-hal yang kurang baik dibandingkan halhal bermanfaat. Pengorbanan adalah kata kunci bila seseorang ingin berkuasa dan menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Para pemimpin saat ini seharusnya banyak belajar pada pandangan Buddha tentang kekuasaan. Dalam kurun waktu 35 tahun setelah tercapainya kebuddhaan, hingga wafat-Nya pada usia 80 tahun, Buddha terus melayani umat-Nya. Dengan tekun Buddhamengajarkan ajaran-Nya kepada umat-Nya dari ajaran yang sangat sederhana hingga yang sangat sulit. Setelah mencapai tingkat kebuddhaan, Buddha juga tidak lupa untuk membalas jasa dan
melayani kedua orang tuanya. Diajarkan-Nya Dharma kepada kedua orang tuanya sehingga mereka berhasil mencapai kesucian. Bila ada para bhikkhu murid-Nya yang sakit, tidak segan-segan Buddha juga ikut merawat mereka dengan tangannya sendiri. Dengan terus melayani Buddha menjadikan ajaran-Nya lebih nyata dan dapat dipraktikan. Hal ini mungkin dapat diteladani oleh pemimpin yang ingin terus berkuasa. Dengan melayani, kekuasaan sang pemimpin menjadi lebih nyata dan berguna bagi rakyat yang dipimpinnya. Dengan melayani seolah tidak ada jurang yang menganga antara sang pemimpin dengan yang dipimpin. Pemimpin yang dapat melayani bukanlah pemimpin yang ada di tempat yang tinggi, tetapi membumi bersama rakyat yang dipimpinnya, sehingga segala masalah dapat diselesaikan secara bersama-sama.Bila ingin menjadi seorang penguasa yang baik dan dapat menggunakan kekuasaan yang dimiliki dengan sebaik-baiknya, maka teladan yang telah diberikan Buddha perlu dicontoh. Kekuasaan yang dimiliki harus dibangun atas dasar pengorbanan, pengabdian dan melayani. Selain contoh di atas, seorang pemimpin hendaknya bisa mencontoh Raja Asoka, Raja Asoka adalah seorang Raja yang besar yang memimpin rakyatnya dengan penuh cinta kasih. Walaupun karier kekuasaan diawali dengan menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya melalui pertumpahan darah. Namun, apa yang dilakukannya tidak membuat kenyamanan bagi rakyatnya dan Negara tetangganya, serta korban nyawa dan harta benda yang
tidak
terhitung
jumlahnya.
Sehingga
Raja
Asoka
menyadari
bahwa
kepemimipinannya sangat merugikan bagi orang lain. Dengan menyadari hal ini semua, Raja Asoka memutuskan untuk memimpin negaranya dengan penuh cinta kasih. Kemudian
dengan tekat yang mulia Raja Asoka dalam kepemimpinannya mengembangkan Dasa Raja Dhamma sehingga rakyatnya hidup dengan penuh cinta kasih. Dasa Raja Dhamma adalah sepuluh sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang Raja atau pemimpin. Dasa Raja Dhamma (sepuluh sifat pemimipin) yang di ajarkan oleh Buddha Gotama, yaitu: Dana, Sila, Pariccaga, Ajjava, Maddava, Tapa, Akkodha, Avihimsa, Khanti dan Avirodha. Dengan demikian seorang pemimpin harus mempunyai sifat Dasa Raja Dhamma. Bila suatu negara memiliki pemimpin yang bersifat demikian, maka tidak diragukan lagi masyarakat akan hidup bahagia. Adapun model-model kepemimpinan menurut agama Buddha yaitu: seorang pemimpin harus memilki sifat kedermawanan atau memberi bukan hanya dalam bentuk uang tetapi juga berupa dukungan. Seorang pemimipin harus memilki moral yang baik. Seorang pemimipin harus memiliki sifat kerendahan hati. Seorang pemimipin harus memiliki sifat jujur. Seorang pemimipin harus memiliki sikap ramah tamah dan sopan santun. Seorang pemimipin harus memiliki sifat sederhana dalam kehidupan. Seorang pemimipin harus memiliki sifat yang bebas dari kebencian, keinginan jahat dan sikap bermusuhan. Seorang pemimipin harus memiliki sikap tanpa kekerasan. Seorang pemimipin harus memiliki sabar, rendah hati, tenggang rasa dan pemaaf terhadap kesalahan orang lain. Seorang pemimipin harus mamiliki sikap yang tidak menentang dan menghalang-halangi. Ciri-ciri seorang pemimpin dalam Kutadanta Sutta adalah bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi pelindung bagi masyarakatnya dan tidak membiarkan kejahatan ada di dalam pemerintahannya. Seorang pemimpin seharusnya dapat dijadikan teladan bagi masyarakatnya. Selain itu juga seorang pemimpin hendaknya bisa menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri setelah itu baru bisa memimpin orang lain. Hal ini dapat dilihat dari delapan
ciri seorang pemimpin kerajaan yang bernama Raja Mahavijita yang dijelaskan dalam Kutadanta Sutta, yaitu:
1) Dilahirkan dari ayah dan ibu yang memiliki garis keturunan yang baik dari tujuh generasi, tanpa cacat maupunkritikan untuk kelahirannya. 2) Memiliki wajah yang rupawan, berpenampilan yang menyenangkan, dipercayai, tubuhnya yang bagus, berwarna cerah, berpotongan yang baik dan tegap. 3) Memiliki harta yang besar, maha besar, gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, menpunyai barang-barang dan panen yang baik, lumbung dan penyimpanan harta yang penuh. 4) Memiliki kekuasaan, komandan pasukan yang loyal dan disiplin dari empat devisi yaitu, pasukan gajah, kuda, kereta dan pemanah. 5) Mempunyai keyakinan yang tinggi terhadap agama, dermawan, penyantun, penyokong para samana, brahmana, orang miskin, pengembara, pengemis dan pemohon serta para pelaku kebajikkan lainnya. 6) Memiliki berbagai macam ilmu pengetahuan dan terpelajar. 7) Dapat mengetahui apa yang telah dikatakan dan dapat menerangkan apa yang telah didapatkan kepada orang lain. 8) Memiliki keahlian, pintar, bijaksana dan dapat memikirkan hal sekarang, yang lampau dan yang akan datang. (Digha Nikaya V, 2009:86). Delapan ciri di atas adalah ciri seorang pemimpin yang wajib dimiliki oleh setiap calon pemimpin yang akan menjalankan tugas kepemimpinannya. Selain itu, ciri-ciri di atas juga sesuai dengan yang di Sabdakan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada seperti berikut ini:
Yo sahassamsahassena Sangāme mānuse jine Ekañ ca jeyyamattānam Sa ve sangāmajuttamo Attā have jitam seyyo Yā cāyam itarā pajā Attadantassa posassa Niccam saññatacārino. Artnya: "Penakluk terbesar bukanlah orang yang dapat menaklukan ribuan musuh dalam beribu kali pertempuran, melainkan orang yang dapat menaklukan diri sendiri. Menaklukan diri sendiri itulah yang jauh lebih luhur. Bahkan dewata
maupun Gandhabba, Mara maupun Brahma tidak dapat mengalahkan kembali orang semacam itu, yang memiliki pengendalian dan penguasaan diri." (Dhammapada VIII, 2005:103-104).
Jika seseorang dapat menaklukan dirinya sendiri, itulah yang di anggap sebagai penakluk terbesar dan lebih luhur dari pada menaklukan ribuan musuh dalam suatu pertempuran. Karena orang yang dapat menaklukan dirinya sendiri, pengendalian dirinya sendiri dan dapat mengusai dirinya sendiri, maka tidak akan bisa di kuasai oleh Devata, Gandhaba, Mara, Brahma maupun makluk lain. Selain ciri-ciri di atas, ciri seorang pemimpin juga dapat di temui dalam Maha Parinibbana Suttayang diceritakan bahwa “Ketika kaum Sakya dan kaum Koliya sedang berselisih satu sama lain perihal air di sungai Rohini dan masing-masing pihak berniat untuk melakukan peperangan” (Digha Nikaya V, 2009: 200). Dari permasalahan tersebut seharusnya setiap permasalah tidak harus diselesaikan dengan peperangan, melainkan harus diselesaikan dengan diplomasi (tanpa kekerasan) sehinga tidak tidak ada korban dalam masalah itu. Pada masa kehidupan Sang Buddha, Raja Suddhodana, Raja Bimbisara, dan Raja Ajatasattu adalah seorang pemimpin yang telah menjalankan pemerintahannya berdasarkan ajaran Sang Buddha. Sehingga masayarakat pada masa itu hidup damai dan sejahtera penuh dengan kebahagiaan. Dari ciri-ciri seorang pemimpin dalam Kutadanta Sutta di atas, juga dapat di lihat dari kepemimpinan pada masa raja Asoka. Raja Asoka adalah seorang pemimpin besar yang termasyhur dalam sejarah, yang memiliki sikap toleransi, sikap tenggang rasa, tanpa kekerasan, cinta damai, dan cinta kasih serta mempunyai keberanian, keyakinan dan
pandangan jauh untuk mempraktikkan ajaran Sang Buddha. Sebelum memeluk agama Buddha, Raja Asoka terkenal sebagai raja yang tidak segan-segan membantai beribu-ribu manusia demi menaklukan dan menguasai negara lain. Namun, ketika Raja Asoka mengenal dan memeluk agama Buddha, Raja Asoka kemudian menyadari kesalahannya. Sebagaimana yang terbukti dalam batu prasasti Rock Edict XIII (1994:173) dalam bukunya “The Best Of Buddha”, Raja Asoka secara terbuka menyatakan kesalahannya dan tidak akan menggunakan pedangnya lagi untuk menaklukan negara lain dan berharap agar semua makhluk hidup dengan melaksanakan anti kekerasan, hidup bersih, ramah tamah dan penuh dengan cinta kasih yang berguna untuk dunia ini dan juga berguna untuk dunia selanjutnya. Mengenai ciri-ciri seorang pemimpin dalam Kutadanta Sutta di atas, Sang Buddha memberikan perbandingan antara pemimpin yang bajik dan tidak bajik yaitu sebagai berikut : "…Seorang raja adalah orang tua bagi mereka yang melakukan tindakan bajik". "Jika seorang raja membiarkan kejahatan di negerinya, serta tidak menghukum mereka yang melakukan kejahatan, maka kejahatan akan bertambah banyak…, "Sebaliknya ada raja yang menegakkan Dharma di negerinya. Ia melakukan keadilan dan menindak tegas mereka yang melakukan kejahatan, bahkan demi keadilan, ia rela mengorbankan hidupnya sendiri. Maka para raja-raja dewata akan melindungi….” (Digha Nikaya V, 2009:86). Jadi, pemimpin yang bajik adalah seorang pemimpin yang melindungi rakyatnya dari tindak kejahatan, menegakkan Dharma di dalam pemerintahannya dan dengan tegas memberi hukuman terhadap orang yang melakukan tindak kajahatan serta rela mengorbankan hidupnya demi keadilan. Sedangkan pemimpin yang tidak bajik adalah seorang pemimpin yang tidak melindungi rakyatnya dari tindak kejahatan dan membiarkan
kejahatan terus bertambah di dalam pemerintahannya serta tidak tegas memberi hukuman kepada orang yang melakukan tindak kejahatan.
3.2
Ciri – Ciri Seorang Pemimipin dalam Cakkavatti Sihanada Sutta
Ciri-ciri kepemimpinan dalam Cakkavatti Sihanada Sutta adalah seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya harus mempunyai kemauan, kecakapan, sikap, kesehatan, kecenderungan, kesabaran, dan tetap berusaha untuk merasa bahwa tugas yang diemban adalah suatu tugas yang mulia yang harus dilaksanakan dengan penuh suka rela. Selain itu juga, bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Hal ini terjadi karena para pemimpin dan aparat pemerintah tidak menekan kejahatan melalui hukuman, sehingga kejahatan akan terus meluas. Sehubungan dengan ciri-ciri kepemimpinan di atas, dalam Cakkavatti Sihanada Sutta(Digha Nikaya V, 2009:405), Sang Buddha bersabda sebagai berikut: “Para bhikkhu, demikianlah karena dana-dana tidak diberikan kepada orang yang miskin maka kemelaratan meluas. Karena kemelaratan bertambah maka pencuri bertambah. Karena pencuri bertambah maka kekerasan berkembang dengan cepat. Disebabkan adanya kekerasan yang meluas maka pembunuhan menjadi biasa”.Hal ini dapat pahami bahwa akibat dari dana yang tidak diberikan kepada masyarakat akan menambah kemiskinan dan bertambahnya tindak kejahatan, seperti pencuri, kekersan dan bankan pembunuhan. Selain ciri-ciri di atas, dalam Cakkavatti Sihanada Sutta juga di jelaskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki empat hal yaitu kecantikan atau ketampanan, kebahagiaan, kekayaan dan kekuatan.
3.2.1 Kecantikan atau ketampanan
Kecantikan adalah bagaimana seorang itu dapat melaksanakan peraturanperaturan moral (sila), mengendalikan dirinya sesuai dengan Patimokkha, sempurna dalam sikap dan tingkah laku, dapat melihat bahaya sekalipun itu hanya merupakan kesalahan kecil dan dapat menghindarkan diri dari kesalahan itu serta dapat melatih sila dalam kehidupan sehari-hari, maka dengan demikian seseorang akan mendapatkan aura kecantikan yang sesungguhnya.
3.2.2 Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah bagaimana seseorang dapat menjauhkan diri dari pemuasan nafsu, bebas dari pikiran-pikiran jahat, mencapai dan tetap berada dalam Jhana I dengan memiliki usaha untuk menangkap obyek (vitakka), obyek dikuasai (vicara), kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha) dan ketenangan (viveka) batin. Dengan melenyapkan vitakka dan vicara seseorang dapat mencapai dan tetap berada dalam Jhana II dengan diliputi kegiuran (piti), kebahagiaan (sukha) dan ketenangan (viveka) batin. Dengan melenyapkan piti seseorang dapat mencapai dan tetap berada dalam Jhana III dengan diliputi kebahagiaan (sukha) dan ketenangan (viveka) batin. Dengan melenyapkan sukha seseorang dapat mencapai dan tetap berada dalam Jhana IV dengan pikiran terpusat dan penuh ketenangan batin. Dengan berada di jhana I, jhana II, jhana III dan jhana IV, maka seseorang akan dapat hidup bahagia karena sudah terbebas dari kehidupan keduniawian.
3.2.3 Kekayaan
Kekayaan adalah bagaimana seseorang membiarkan batinnya diliputi oleh cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha) yang dipancarkannya ke satu arah, ke dua arah, ke tiga arah dan ke empat arah dari dunia. Dengan demikian seluruh dunia, dari atas, bawah, sekeliling dan di seluruh penjuru dunia dipancarkan cinta kasih dan kasih sayangnya tanpa batas, penuh rasa simpati dan keseimbangan batin yang tulus, yang mulia, tak terukur, yang bebas dari kebencian dan iri hati, maka seseorang akan mendapatkan kekayaan yang sesungguhnya.
3.2.4 Kekuatan
Kekuatana adalah bagaimana cara seseorang dalam melenyapkan kekotoran batin (asava) sehingga pada kehidupan sekarang ini dapat dicapai dan tetap berada dalam keadaan batin yang suci dan kebijaksanaan yang suci. Dari uraian tersebut jelas bahwa seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki kekuasaan dan memilki wewenang terhadap tugas yang diemban. Maka dari itu, dalam suatu pemerintahan yang ada dalam negara Republik Indonesia ini seorang pemimipin masih memiliki atasan yaitu suatu lembaga yang disebut sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Maksud dari mengundang para menteri, penasihat, Brahmana dan masyarakat dari desa maupun dari kota adalah bahwa sebagai seorang pemimpin dalam mengambil suatu tindakan atau kepeutusan harus melalui musyawarah bersama dan harus mendapat persetujuan dari MPR yang dianggap sebagai penasihat seorang pemimpin. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa dalam melakukan pengorbanan atau memberi
sesuatu kepada orang lain atau makhluk lain, barang yang diberikan harus bebas dari pelanggaran sila termasuk di dalamnya adalah pembunuhan. Sehingga dalam memberi tidak ada yang yang dirugikan baik itu dari yang memberi maupun yang diberi. Sebagai seorang pemimpin dalam menjalankan tugas mulia, tugas untuk mewujudkan suatu masyarakat yang damai dan bahagia adalah suatu yang tidak mudah maka perlu memilih seorang pemimpin yang benar-benar mampu dalam bidangnya bukan sembarang memilih apalagi saat ini sungguh sulit mencari kader atau seorang pemimpin yang di anggap benar-benar mampu menjalankan tugas kepemimpinan dan dapat mencapai Visi dan Misi kepemimpinan yang sudah disepakati bersama dengan penuh kebijaksanaan selalu saja gagal dan jauh menyimpang dari Visi dan Misi yang telah di tetapkan. Hal inilah yang menjadi faktor mendasar kemorosatan moral terjadi dalam pemerintahan sehingga pemerintahan menjadi lemah dan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor kejahatan akibatnya sekarang masyarakat yang di rugikan baik itu dari segi ekonomi ataupun dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Jadi, sebagai seorang pemimpin harus dapat memiliki ketegasan, kejujuran dam mampu menjalankan roda pemerintahan dengan penuh kebijaksanaan tanpa memihak dan tidak lemah, sebagai seorang pemimpin harus memiliki kekuatan serta tidak mudah dipengaruhi. Dengan benar-benar menerapkan prinsip kepemimpinan ini diharapakan seorang pemimpin mampu menjalankan tugas kepemimpinan dengan lebih baik lagi. Tidak hanya sebagai seorang pemimpin, sebagai calon pemimpin dan penerus bangsa harus dapat mewujudkan jiwa kepemimpinannya yang telah tertanam dalam setiap individu masingmasing. Karena pada prinsipnya setiap manusia memiliki jiwa kepemimpinan. Dan perlu diingat bahwa sebagai seorang pemimpin, seseorang itu harus bisa memimpin dirinya
sendiri terlebih dahulu sebelum menjadi pemimpin bagi orang lain. Dengan ketulusan hati dan benar-benar menerapkan prinsip kepemimpinan ini diharapkan tidak ada lagi krisis kepemimpinan dan kesejahteraan, kadamaian dan kebahagiaan masyarakat dapat terwujud. Perbedaan dan persamaan yang telah diuraikan di atas memngenai prinsip kepemimpinan yang ada dalam Kutadanta Sutta dan Cakkavatti Sihanada Sutta menunjukkan adanya pesamaan dan adanya pebedaan. Namun hal itu, menjadikan suatu prinsip kepemimpinan ini menjadi lebih lengkap atau sempurna. Karena perbadaan dan persamaan yang ada dalam kedua tersebut saling melengkapi kekurangan masing-masing, baik itu dari prinsip kepemimpinan yang ada dalam Kutadanta Sutta maupun prinsip kepemimpinan yang ada dalam Cakkavatti sihanada Sutta.
Referensi Bacaan
Ader. 2010. 100 Prinsip Kepemimpinan Terhebat Sepanjang Masa. Yogyakarta: Hanggar Kreator. Bennis, Warren dan Nanus, Burt. 1985. Kepemimpinan, Strategi dalam Mengemban Tanggung Jawab. Jakarta: Alih bahasa Victor Purba, Erlangga. Carnegie, Dale. 2010. Bagaimana Memimpin Diri Sendiri dan Orang Lain untuk Meraih Posisi Puncak. Yogyakarta: Progresif Book. Herwidanto, Dody. 2004. Buku Pedoman Pokok-Pokok Dasar Buddha Dhamma. Bogor: Dhamma Study Group. Kartono, Kartini. 1986.Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal itu?.Jakarta: CV Rajawali. Mukti, Krishnanda Wijaya. 2003. Wancana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dhamma Pembangunan dan Ekayana Buddhis Center. Narada. 1996. Sang Buddha Dan Ajaran-ajaranya. Jakarta:Yayasan Dhammadipa Arama. Pamudji, S. 1986. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dharma. Jakarta: Tri Satva Buddhis Central. Pangarep, Hegar. 2010. 101 Tips Kilat Kepemimpinan. Bandung:Media Presindo. Purwanto, M. Ngalim. 1991. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pusaka Jati, Suhartoyo dan Suyanto. 2010. Pedoman Penulisan Skripsi.Tangerang:Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya. Pusaka Jati, Suhartoyo. 2010.Metodologi Penelitian Agama Buddha Dan Keagamaan Buddha.Tangerang:Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya. Robbins, Stephen P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Jakarta: Erlangga. Saefullah, Asep. 2010. Kiat Menjadi Pemimpin Sukses. Bandung: Pustaka Reka Cipta. Siagian.1988. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta:Bina Aksara. Sumidjo, Wahyo. 1984. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta:Ghalia Indonesia.
Sugimin. 2006. Kepemimipinan dalam Pandanagn Agama Buddha. Jakarta: Gramedia Thoha, Miftah. 1983. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: Rajawali Pers. Tim penyusun. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Widyadharma, Sumedha. 1994. Dhamma Sari. Jakarta:Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda. Asmara, Any. 2002. Aspek Pengorbanan dalam Tiga novel Berbahasa Jawa. http://gemasastranusantara.wordpress.com/2009/07/02/aspek-pengorbanan-dalam-tiga-novelberbahasa-jawa-karya-any-asmara-sebuah-pendekatan-struktur-naratif-dan-semiotik, di akses 04 april 2011. Dhammananda, Sri. 1997. Ajaran Sang Buddha dan Dunia Dewasa ini. http://www.samaggiphala.or.id, diakses 02 April 2011. Pratama, Erick. 1995.Ajaran Kepemimpinan Hindu. Edisi ke 4, http://singaraja.wordpress.com/2008/02/08/ajaran-kepemimpinan-hindu-edisi-4-asta-brataramayana, diakses 12 Mei 2011. Sutarno, 2009. Menjadi Seorang Pemimpin . http://krens1024.wordpress.com/2011/03/09/menjadi-seorang-memimpin, diakses28 Mei 2011. Yosep, Samuel. 1996. Dasa Raja Dhamma. http://www.lankalibrary.com/Bud/dasa-rajadhamma.htm, di akses01 April 2011. Anguttara Nikaya: Numerical Discources of The Buddha. 2003. Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi. Klaten: Vihara Bodhivamsa Wisma Dhammaguna. Dhammapada (Sabda –Sabda Buddha Gotama): Terjemahan. 2005.Jakarta: Dewi Kayana Abadi. Digha Nikaya V: The Long Discources of The Buddha.2009. Maurice Walshe. Jakarta: Dhamma Citta Press. Sutta Pitaka II: Terjemahan. 1993. Cornelis Wowor. Jakarta: Departemen Agama dan Universitas Terbuka. Samyutta Nikaya: The Connected Discourses of The Buddha. 2007. Bhikkhu Bodhi. Klaten: Wisma Sambodhi Klaten. Sila dan Vinaya: Terjemahan. 1997. Teja Rashid. Jakarta: Buddhis Bodhi.