Berita Biologi 9(6) • Desember 2009
PENGGUNAAN PACLOBUTRAZOLDAN ABA DAL AM PERBANYAKAN NENAS SIMADU MELALUI KULTUR IN VITROX [Using Paclobutrazol and ABA on Simadu Pineaplle Variety through in vitro Culture] Ragapadmi Purnamaningsih^*, Ika Mariska dan Yati Supriati Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jin Tentara Pelajar No 3 A, Bogor 'e-mail:
[email protected] ABSTRACT Pineapple (Ananas comosus L. Merr.), represents an important crop in Subang. Somaclonal variation is one of the problem to develop pineapple, especially Simadu variety. Probability to conduct Simadu progeny from the mother plant is very low (5%). Its caused by chimeric of the somatic cells that form meristem. In vitro culture is the alternative method to solve the problem by using the meristem cells from Simadu fruit as explant. Unfortunately, genetic diversity has been observed in many spesies during tissue culture. This phenomenon is usually termed somaclonal variation. Many studies on pineapple demonstrsted that some in vitro propagated materials differ from the source materials from which they are derived. To minimize genetic variability, the use of growth inhibitor such as paclobutazol and absisic acid hopefully would gave the important role in genetic stability. The aim of the research is to multiply Simadu pineapple by using tissue culture technic. In vitro shoot induce from crown of the Simadu fruit until get the sterile shoots. Combination of kinetin (0-5 ppm) with paclobutrazol ( 0-0.1 ppm) or ABA (0-1 ppm) was used in the multiplication stage. Result showed that there are no interaction between kinetin and paclobutrazol or ABA, but there is influence of the single factor. Kinetin increase leave number but decrease plant height and root number. Paclobutrazol increase shoot and leave number, but decrease plant height and root number. There is no influence of ABA to plant height, shoot and root number but decreased leaves number. Kata kunci: Nenas, perbanyakan, kultur in vitro, paclobutrazol, ABA.
PENDAHULUAN
Nenas {Ananas comosus L. Merr.) merupakan tanaman penting di daerah tropis; Thailand merupakan produsen utama. Tanaman nenas memiliki buah yang rasanya manis, segar dan beraroma tajam. Buah nenas sangat kaya akan vitamin A, B, C, kalium, fosfor dan besi (Sripaoraya, 2003). Menurut Kiss et al. (1995) nenas merupakan tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif. Perbanyakan secara konvensional menggunakan bermacam-macam bagian, organ dan jaringan vegetatif seperti 1) suckers yang berasal dari tunas-tunas ketiak daun, 2) ratoon yaitu tunas yang muncul di atas pangkal batang, 3) slips, cabang-cabang yang muncul dari dasar buah, 4) mahkota (crown) yang muncul dari bagian atas buah dan 5) batang utama dari tanaman dewasa. Selama ini penyediaan bibit tanaman nanas dilakukan dengan menggunakan cara konvensional yaitu dengan menanam crown atau dengan menggunakan an akan. Perbanyakan tanaman dengan menggunakan crown/sucker hanya dapat dilakukan pada beberapa kultivar, karena terbatasnya propagul (Sripaoraya et al., 2003). Crown hanya dapat diperoleh
pada saat buah dijual, sedangkan sucker hanya dapat diperoleh dalam jumlah terbatas, karena ukurannya bervariasi sehingga seringkali menyebabkan terbentuknya buah yang bervariasi (Firoozabady dan Moy, 2004). Selain menghasilkan jumlah tunas yang sedikit, perbanyakan konvensional juga membutuhkan waktu yang lama. Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan teknologi alternatif untuk memperbanyak tanaman nanas agar kebutuhan bibit nanas dapat terpenuhi dalam jumlah yang besar, waktu yang singkat dan mutu yang seragam. Nenas varietas Simadu merupakan salah satu komoditas unggulan dari Kabupaten Subang. Harga buah nenas Simadu relatif lebih tinggi dibanding nenas lainnya. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman nenas Simadu secara konvensional adalah timbulnya keragaman sehingga sifat pohon induknya tidak dapat dipertahankan (Roostika dan Mariska, 2003). Pada umumnya dari satu areal pertanaman nenas Simadu hanya dapat diperoleh buah nenas Simadu paling besar 5% (Narli, komunikasi pribadi April 2007). Teknik kultur jaringan terutama melalui regenerasi tunas adventif dapat memberikan harapan
'Diterima: 19 Juni 2009 - Disetujui: 7 September 2009
751
Purnamaningsih et al. - Penggunaan Paclobutrazol dan ABA dalam Perbanyakan Nenas Simadu Melalui Kultur In Vitro
yangmenjanjikanuntuk perbanyakan tanaman (Philips, et al, 1995). Metoda ini dapat diterapkan untuk memperbanyak tanaman nenas Simadu karena perbanyakan secara konvensional tidak dapat memberikan kepastian hasil yang tinggi walaupun diperbanyak secara vegetatif. Tanaman nenas Simadu apabila ditanam kembali belum tentu menjadi tanaman nenas Simadu. Menurut Anonim (2003) hal tersebut disebabkan adanya mutasi pada sebagian sel-sel somatik yang menyusun meristem "khimera". Bahan tanaman yang digunakan secara konvensional terdiri dari banyak meristem sehingga tanaman yang dihasilkan dapat beragam, ada yang sama dan tidak sama sifatnya dengan pohon induknya. Untuk memecahkan masalah tersebut pada penelitian ini digunakan mata tunas dengan ukuran kecil yang berasal dari nenas Simadu dan planlet yang tumbuh dari setiap mata tunas dianggap sebagai individu baru, sehingga diharapkan akan diperoleh biakan nenas Simadu yang mempunyai sifat yang sama dengan induknya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam penggunaan teknik kultur jaringan adalah timbulnya keragaman genetik pada tanaman yang diperbanyak melalui kultur jaringan. Fenomena ini disebut variasi somaklonal (Karp, 1991). Studi pada tanaman pisang menunjukkan bahwa tanaman pisang yang diperbanyak melalui teknik kultur jaringan memperlihatkan perbedaan dengan tanaman asalnya, yaitu meliputi ukuran tanaman, morfologi bunga dan daun (Cote et al, 1993). Penggunaan BAP dalam kultur in vitro nenas sering dilaporkan menyebabkan terjadinya perubahan sifat genetik yang tinggi (Anon., 2003). Selanjutnya Firoozabady dan Gutterson (2003) menyatakan bahwa penggunaan BAP 1,5 mg/1 dikombinasikan dengan NAA 0,5 mg/1 dalam kultur jaringan nenas, dapat meningkatkan daya multiplikasi 3 - 4 kali setiap bulan, namun ditemukan adanya perubahan morfologi pada tanaman hasil kultur jaringan. Untuk menekan/meminimalkan terjadinya perubahan sifat genetik dapat dilakukan dengan meminimalkan kandungan unsur hara dan penggunaan zat pengatur tumbuh yang mempunyai aktivitas rendah (antara lain kinetin), atau dengan pemberian zat penghambat pertumbuhan. Paclobutrazol dan ABA
752
adalah zat penghambat pertumbuhan yang ban>34 digunakan pada jaringan tanaman yang dikulturkar secara in vitro untuk menekan pertumbuhan ruci; (George dan Sherrington, 1984). Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaru: penggunaan kinetin dan paclobutrazol atau ABA dalH3 pertumbuhan biakan nenas Simadu. BAHANDAN METODA Bahan yang digunakan sebagai sumber eksplar adalah mahkota buah dari buah nenas varietas Simadu Media kultur in vitro yang digunakan adalah medk dasar Murashige dan Skoog (MS), sedangkan zai pengatur tumbuh yang digunakan adalah kinetin. paclobutrazol dan ABA. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Sel dan Jaringan, BBPP Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Untuk mendapatkan sumber eksplan maka dipilfli mahkota buah (crown) yang masih segar atau baru dipetik dari pohon. Sebagai sumber eksplan digunakan mata tunas yang berukuran ± 2 - 4 mm yang diisolasi dari mahkota buah. Untuk menghasilkan bahan tanaman (eksplan) yang steril, maka digunakan bahan-bahan sterilan antara lain alkohol, HgCL, 0.2% dan clorox 15 dan 30%. Setelah diperoleh eksplan yang steril, selanjutnya ekplan ditumbuhkan pada media MS dengan penambahan kinetin 3 mg/1 agar diperoleh anakan-anakan baru yang akan digunakan pada perlakuan selanjutnya. Penelitian ini terdiri atas dua kegiatan. Percobaan I Eksplan yang digunakan adalah mata tunas yang sudah steril. Mata tunas tersebut ditanam pada media MS dengan penambahan kinetin (1,3 dan 5 mg/ 1). Selain itu ke dalam media juga ditambahkan zat penghambat pertumbuhan, yaitu paclobutrazol pada konsentrasi 0 dan 0,1 mg/1. Sebagai kontrol, maka digunakan media MS 0 yaitu media dasar MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dan zat penghambat pertumbuhan. Media dibuat padat dengan menambahkan gellrite 2,5 g/1. Kemasaman media dibuat menjadi 5,7 dengan menambahkan HC1 atauNaOH 0,1 N.
Berita Biologi 9(6) - Desember 2009
Rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial dengan 15 ulangan. Adapun faktor yang diuji adalah konsentrasi kinetin dan paclobutrazol. Apabila terdapat perbedaan yang nyata, maka uji lanjut dilakukan dengan menggunakan DMRT pada taraf 5%. Percobaan II Eksplan yang digunakan adalah mata tunas yang sudah steril. Mata tunas tersebut ditanam pada media MS dengan penambahan kinetin (1,3 dan 5 mg/ 1). Selain itu ke dalam media juga ditambahkan zat penghambat pertumbuhan, yaitu ABA pada konsentrasi 0, 0,5 dan 1.0 mg/1. Sebagai kontrol, maka digunakan media MS 0 yaitu media dasar MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dan zat penghambat pertumbuhan. Media dibuat padat dengan menambahkan gellrite 2,5 g/1. Kemasaman media dibuat menjadi 5,7 dengan menambahkan HC1 atau NaOH 0,1 N. Rancangan perlakuan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial dengan 15 ulangan. Adapun faktor yang diuji adalah konsentrasi kinetin dan paclobutrazol. Apabila terdapat perbedaan yang nyata, maka uji lanjut dilakukan dengan menggunakan DMRT pada taraf 5%. Peubah yang diamati Peubah yang diamati adalah jumlah anakan yang terbentuk, jumlah daun, jumlah akar, tinggi tunas serta kondisi visual biakan. HASIL Percobaan I Hasil pengamatan terhadap semua peubah yang diamati (tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun dan jumlah akar menunjukkan tidak ada pengaruh interaksi antara kinetin dan paclobutrazol, tetapi terdapat pengaruh faktor tunggalnya (kinetin dan paclobutrazol) (Tabel 1-8). Percobaan II Sama halnya dengan percobaan I, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya interaksi antara penggunaan kinetin dan ABA terhadap tinggi tunas, jumlah anakan, jumlah daun dan jumlah
Tabel 1. Pengaruh kinetin terhadap tinggi tunas, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Tinggi (cm)
Kinetin 0
1.367a
Kinetin 1
1.060ab
Kinetin 3
0.800b
Kinetin 5
1.040b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 2. Pengaruh paclobutrazol terhadap tinggi tunas, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Tinggi (cm)
Paclobutrazol 0
1.254a
Paclobutrazol 0.1
0.741b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 3. Pengaruh kinetin terhadap jumlah anakan, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Jumlah anakan
Kinetin 0
1.167ab
Kinetin 1
1.000"
Kinetin 3
2.133"
Kinetin 5
1.733ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 4. Pengaruh paclobutrazol terhadap jumlah anakan, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Jumlah anakan
Paclobutrazol 0
1.167"
Paclobutrazol 0.1
2.136"
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 5. Pengaruh kinetin terhadap jumlah daun, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Jumlah daun
Kinetin 0
9.167°
Kinetin 1
11.400*"
Kinetin 3
13.067ab
Kinetin 5
14.067a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
753
Purnamaningsih et al. - Penggunaan Paclobutrazol dan ABA dalam Perbanyakan Nenas Simadu Melalui Kultur In Vitro
Tabel 6. Pengaruh paclobutrazol terhadap jumlah daun, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/I)
Jumlah daun
Paclobutrazol 0
10.958"
Paclobutrazol 0.1
14.227a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 7. Pengaruh kinetin terhadap jumlah akar, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Jumlah akar
Kinetin 0
3.333"
Kinetin 1
1.900b
Kinetin 3
0.330°
Kinetin 5
0.330c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 8. Pengaruh paclobutrazol terhadap jumlah akar, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Jumlah akar
Paclobutrazol 0
1.625a
Paclobutrazol 0.1
0.455b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
akar. Akan tetapi terlihat adanya pengaruh faktor tunggal yaitu kinetin dan ABA terhadap semua peubah yang diamati. Pengaruh kinetin dan ABA terhadap pertumbuhan biakan disajikan pada Tabel 9-16. Visualisasi biakan pada perlakuan ABA disajikan pada Foto 2. PEMBAHASAN Percobaan I Biakan paling tinggi (1,367 cm) berasal dari perlakuan kinetin 0 mg/1 dan tidak berbeda nyata dengan kinetin 1 mg/1 yaitu 1,060 cm. Antara perlakuan kinetin 1, 3 dan 5 mg/1 satu sama lain tidak berbeda nyata (Tabel 1) (Foto 1). Pemberian paclobutrazol 0,1 mg/1 menurunkan tinggi biakan menjadi 0,741 cm, sedangkan tanpa paclobutrazol tingginya dapat mencapai 1,254 cm. Paclobutrazol merupakan zat penghambat tumbuh yang banyak digunakan untuk penyimpanan biakan secara in vitro. Dengan adanya
754
Foto 1. Visualisasi biakan pada media MS dengan penambahan paclobutrazol 0.1 mg/1. a. MS tanpa zpt (kontrol) b. MS + Kinetin 1 mg/1 + Paclobutrazol 0.1 mg/1 c. MS + Kinetin 3 mg/1 + Paclobutrazol 0.1 mg/1 d. MS + Kinetin 5 mg/1 + Paclobutrazol 0.1 mg/1
Berita Biologi 9(6) - Desember 2009
Tabel 9. Pengaruh kinetin terhadap tinggi tunas, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1) Kinetm 0
Tinggi (cm)
Tabel 13. Pengaruh kinetin terhadap jumlah daun, umur 4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Jumlah daun
Kinetin 0
8.833a
a
1.217
a
Kinetin 1
1.119
Kinetin 1
8.313a
Kinetm 3
0.943b
Kinetin 3
9.429a
Kinetin 5
0.862b
Kinetin 5
9.048a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 10. Pengaruh ABA terhadap tinggi tunas, umur 4 minggu
Tabel 14. Pengaruh ABA terhadap jumlah daun, umur 4 minggu
Konsentrasi (mg/1)
Tinggi (cm)
Konsentrasi (mg/1)
Jumlah daun
ABA 0
1.017a
ABA 0
8.833a
ABA 0.5
0.968a
ABA 0.5
8.286*
ABA 1.0
a
ABA 1.0
7.429b
0.967
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 11. Pengaruh kinetin terhadap jumlah anakan, umur 4 minggu
Tabel 15. Pengaruh kinetin terhadap jumlah akar, umur
Konsentrasi (mg/1)
Jumlah anakan
4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Tinggi (cm)
Kinetin 0
Ia
Kinetin 0
1.667a
Kinetin 1
Ia
Kinetin 1
1.437a
Ia
Kinetin 3
1.286a
Kinetin 5
1.238a
Kinetin 3
Ia
Kinetin 5 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
Tabel 12. Pengaruh ABAterhadapjumlah anakan, umur 4 minggu
Tabel 16. Pengaruh ABAterhadapjumlah akar, umur
Konsentrasi (mg/1)
Jumlah anakan
ABAO
la
ABA 0.5
la
ABA 1.0
la
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
4 minggu Konsentrasi (mg/1)
Jumlah daun
ABA 0
1.611a
ABA 0.5
1.417a
ABA 1.0
1.045a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5%, uji DMRT.
755
Purnamaningsih et al. - Penggunaan Paclobutrazol dan ABA dalam Perbanyakan Nenas Simadu Melalui Kultur In Vitro
Jit
Foto 2. Visualisasi biakan pada media MS dengan penambahan Kinetin dan ABA a. Kinetin 1 mg/1 +ABA. 1 mg/1 b. Kinetin 3 mg/1+ABA 1 mg/1 c. Kinetin 5 mg/1 + ABA 1 mg/1 paclobutrazol dalam media maka biakan menjadi lebih pendek, gemuk dan lebih tegar dengan visual daun yang lebih tebal dan lebih hijau. Biakan yang diberi paclobutrazol menjadi pendek karena daya kerjanya menghambat biosintesis gibberellin (Methouachi et al.., 1996; Pinhero dan Fletcher, 1994). Penggunaan kinetin (0-5 mg/1) tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan secara nyata, di mana jumlah anakan tertinggi diperoleh dari perlakuan kinetin 3 mg/1 yaitu sebanyak 2.133, tetapi tidak berbeda nyata dengan MS 0 (kontrol) dan kinetin 5 mg/1 (Tabel 3). Berbeda dengan hasil penelitian Akbar et al. (2003), yang menunjukkan bahwa penggunaan kinetin ( 1 - 5 mg/1) telah memberikan hasil yang terbaik. Pemberian paclobutrazol 0,1 mg/1 ke dalam media menghasilkan jumlah anakan lebih banyak (2.136) dan berbeda nyata dengan tanpa paclobutrazol (1.167). Lambatnya proses multiplikasi tunas pada penelitian ini, dapat dijelaskan karena eksplan awal yang digunakan hanya mata tunas yang ukurannya sangat kecil atau dapat pula disebabkan karena adanya zat penghambat tumbuh dalam media. Penggunaan zat penghambat dalam penelitian ini diharapkan dapat mengatasi masalah perubahan sifat genetik yang sering terjadi pada perbanyakan melalui kultur jaringan. Zat penghambat dalam hal ini dapat menekan proses mitosis yang terlalu cepat dengan merubah rasio zat pengatur tumbuh dalam jaringan tanaman (George dan Sherrington, 1984). Zat penghambat tumbuh paclobutrazol menghambat pertumbuhan kearah pemanjangan tetapi memacu pembentukan tunas ganda. Menurut Salisbury
756
dan Ross (1992) paclobutrazol dapat menghambat biosintesis GA3 serta dapat meningkatkan warna hijau dari daun (Wattimena, 1988). Secara visual penampakan biakan pendek-pendek; selain itu daunnya kecil tidak memanjang dibandingkan kontrol. Hanya daun yang letaknya paling luar yang memanjang sedangkan bagian dalamnya pendek-pendek. Penghambatan terhadap tinggi tunas karena paclobutrazol terlihat pula pada biakan pear {Pyrus spp.) (Oka dan Nino, 1997), dan pule pandak (Purnamaningsih dan Gati, 1997). Biakan pada perlakuan dengan paclobutrazol warnanya lebih hijau dan lebih tegar. Pengaruh kinetin terhadap jumlah daun nyata terlihat dengan adanya peningkatan konsentrasi kinetin. Peningkatan konsentrasi kinetin dari 1 sampai dengan 5 mg/1 meningkatkan pembentukan daun. Demikian pula dengan penggunaan paclobutrazol. Organ daun paling banyak berasal dari kinetin 5 mg/1 yaitu 14.067 dan tidak berbeda nyata dengan kinetin 3 mg/1 sebesar 13.067. Jumlah daun paling sedikit yaitu 9.167 berasal dari perlakuan kinetin 0 mg/1 (Tabel 5). Hasil yang sama diperoleh dari penggunaan paclobutrazol (Tabel 6). Peningkatan konsentrasi kinetin sampai dengan 5 mg/1 menurunkan jumlah akar dari setiap biakan (Tabel 7). Makin sedikitnya jumlah akar yang terbentuk dengan semakin tingginya konsentrasi kinetin yang digunakan, disebabkan karena fungsi kinetin yang lebih berperan untuk memacu pertunasan, sehingga nutrisi dan zat pengatur tumbuh yang ada dalam media digunakan untuk pertumbuhan tunas. Menurut Davies (2005) kinetin merupakan salah satu zat pengatur
Berita Biologi 9(6) - Desember 2009
Foto 3. Aklimatisasi planlet di rumah kaca tumbuh sitokinin yang mempunyai fungsi, antara lain untuk memacu pemanjangan dan pembelahan sel. Kondisi yang sama dari perlakuan paclobutrazol, di mana penambahan paclobutrazol 0,1 mg/1, maka jumlah akar yang dihasilkan hanya % kali (0,455) dibandingkan dengan tanpa penambahan paclobutrazol (1.625) (Tabel
Percobaan II
Selain zat penghambat paclobutrazol, telah pula dicoba zat penghambat lainnya yaitu ABA. Penambahan kinetin (3 dan 5 mg/1) menurunkan tinggi tunas dan berbeda nyata dengan kinetin 1 mg/1 dan kinetin 0 mg/1 (kontrol), tetapi tidak nyata mempengaruhi jumlah anakan, jumlah daun dan jumlah akar. Biakan paling tinggi berasal dari kinetin 0 dan 1 mg/1 yaitu 1,217 cm dan 1,119 cm. Semakin tinggi konsentrasi kinetin maka semakin menurun tingginya. Nampaknya kinetin dalam hal ini lebih mengarahkan biakan untuk bermultiplikasi sesuai dengan perannya untuk memacu pertunasan (Tabel 9). Perlakuan ABA 0, 0,5 dan 1,0 mg/1 tidak mempengaruhi tinggi tunas karena satu sama lain tingginya tidak berbeda nyata, demikian juga pengaruhnya terhadap jumlah anakan. Pada semua konsentrasi ABA semua biakan tidak dapat mengganda, jumlah anakannya hanya satu. Tidak adanya pengaruh penggunaan ABA pada konsentrasi 0,5 dan 1 mg/1 juga
diamati pada peubah jumlah akar (Tabel 16). Akan tetapi tidak demikian halnya dengan jumlah daun di mana penggunaan ABA 1 mg/1 menurunkan jumlah daun dan berbeda nyata dengan ABA 0 dan 0,5 mg/1 (Tabel 14). MenurutWattimena (1988) dan Davies (2005), empat peranan utama fisiologi dari ABA adalah pengaturan stomata, dormansi tunas, dormansi biji dan absisi. Pada percobaan II ini nampaknya penggunaan ABA pada konsentrasi 0,5 dan 1 mg/1 tidak secara nyata mempengaruhi tinggi tunas, jumlah anakan dan jumlah akar yang dihasilkan. Namun nampaknya penggunaan ABA mempengaruhi kandungan air dalam tanaman, di mana tunas terlihat vitrous dan berbentuk roset. Menurut Wattimena (1988), adanya ABA di dalam sel dapat menyebabkan sel penjaga kebocoran H + sehingga stomata menutup. Tentunya hal ini kurang menguntungkan untuk tujuan perbanyakan bibit, karena adanya vitrifikasi pada tunas menyebabkan tunas sulit beradaptasi dengan lingkungan, sehingga planlet banyak yang mati ketika diaklimatisasi. Planlet yang dihasilkan dari percobaan I telah diaklimatisasi di rumah kaca. Proses aklimatisasi dapat berjalan dengan baik dengan tingkat keberhasilan 95%. Bibit yang diperoleh mempunyai morfologi yang relatif sama (Foto 3). KESIMPULAN
Penggunaan kinetin dan paclobutrazol secara tunggal lebih memacu multiplikasi biakan daripada
757
Purnamaningsih et al. - Penggunaan Paclobtltrazol dan ABA dalam Perbanyakan Nenas Simadu Melalui Kultur In Vitro
pertumbuhan ke arah pemanjangan. Semakin tinggi konsentrasi kinetin yang digunakan tinggi tunas makin menurun dan jumlah anakan serta jumlah daun semakin banyak. Penggunaan ABA 1 mg/1 menurunkan jumlah daun tunas in vitro. Planlet dari hasil perlakuan dengan paclobutrazol dapat diaklimatisasi di rumah kaca dengan tingkat keberhasilan 95%. DAFTARPUSTAKA Anonim. 2002. Potensi dan Peluang Investasi Kabupaten Subang 2002. Bappeda Kabupaten Subang. Anonim. 2003. The Biology and Ecology of Pineapple (Ananas comosus var Comosus) in Australia, http:// www.ogrv.gov.au/pdf/iv/pineapple. Cote FX, JA Sandoval, Ph Marie and E Auborin. 1993. Variation in micropropagated bananas and plantains : literature survey. Fruits, 48, 15-22. Davies PJ. 2005. The plant hormone concept : concentration, sensitivity and transport. In PJ Davies (Ed.). Plant Hormones. Phsiology, Biochemistry and Molecular Biology, 1-13. Kluwer Acad Pub .Netherlands. Firoozabady E and N Gutterson. 2003. Cost effective in vitro propagation methods of pineapple. Plant Cell Rep. 21, 844-850. Roostika I dan I Mariska. 2003. In vitro culture of pineapple through organogenesis and somatic embryogenesis : its utilization and prospect. Buletin AgroBio. 6(1), 34-60. Firoozabady E and Y Moy. 2004. Regeneration of pineapple via somatic embryogenesis and organogenesis. In vitro Cell. Dev. Biol.-Plant. 40, 67-74.
758
George EF and PD Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegetics Livin. England. Karp A. 1991. On the current understanding of somaclonal variation. Oxford Surveys of Plant Molecular and Cell Biologi 7, 1-58. Kiss E, J Kiss, G Gyulai and LE Heszky. 1995. A novel method for rapid micropropagation of pineapple. Hort. Sci. 30(1), 127-129. Methouachi JF, R Tadeo, S Zaragoza, E Rimo, Milko and M Toba. 1996. Effect of gibberellic acid and paclobutrazol on growth and carbohydrate accumulation in shoots and roots of citrus root stuck seedling. Hort Sci. 71(5), 747-754. Oka S and T Nino. 1997. Long term storage of Pear (Pyrus spp). shoot culture in vitro by minimal growth method. Japan Agricultural Research Quarterly 31, 1-7. Philips GC, JF Hubstenberger and EE Hansen. 1995. Adventitious shoot proliferation. In OL Gamborg and GC Philips (Eds.). Plant Cell, Tissue and Org Cult. Fundamental methods. Springer-Verlag Berlin Heidenberg, New York. Pinhero RG and RA Fletcher. 1994. Paclobutrazol and ancymidol protect corn seedling from high and low temperature stresses. Plant Growth Reg. 15, 47-53. Purnamaningsih R dan E Gati. 1997. Penyimpanan dan regenerasi pule pandak melalui kultur in vitro. Dalam Pros. Seminar Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia. 12-14 Maret. Surabaya. Ripaoraya S, R Marchant, B Power and MR Davey. 2003. Plant regeneration by somatic embryogenesis and organogenesis in commercial pineapple (Ananas comosus L.). In vitro Cell. Dev. Biol. - Plant 39, 450-454. Salisbury FB and CW Ross. 1992. Plant Physiology. 4th edition. Wadsworth Publishing Co. Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman, 131145. Pusat Antar Universitas, IPB. Bogor.