BAB II TINJAUAN LITERATUR
2.1
Budaya Kerja
2.1.1 Konsep Budaya Kerja Budaya merupakan suatu keseluruhan dari pola perilaku yang terlihat dalam kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran dari suatu kelompok manusia. Secara umum bila orang-orang berinteraksi dalam kurun waktu tertentu, mereka membentuk suatu budaya. Budaya menampilkan “perekat sosial” dan menghasilkan “perasaan kekamian”, sehingga meniadakan proses diferensiasi yang merupakan bagian dari kehidupan organisasi yang tidak dapat dihindari. Setiap budaya mengembangkan harapanharapan tertulis maupun yang tidak tertulis tentang perilaku, aturan, norma yang disepakati para anggota budaya itu. Edgar H. Schein (2010:18) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola asumsi dasar bersama yang dipelajari kelompok tertentu untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang resmi dan telah bekerja dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan terkait dengan masalahmasalah tersebut. Selanjutnya Schein menjelaskan unsur-unsur budaya, yaitu: ilmu
pengetahuan,
kepercayaan,
seni,
moral,
hukum,
adat-istiadat,
perilaku/kebiasaan (norma) masyarakat, asumsi dasar, sistem nilai, pembelajaran/ pewarisan, dan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Robert G. Owens (1987) mengemukakan definisi budaya menurut Terrence Deal and Allan Kennedy, budaya diartikan sebagai suatu sistem pembagian nilai dan kepercayaan yang berinteraksi dengan orang dalam suatu organisasi, struktur organisasi, dan sistem kontrol yang menghasilkan norma perilaku. Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, keberhasilan suatu organisasi ditunjukkan oleh kemampuannya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Budaya dalam suatu organisasi, baik organisasi
7
Universitas Indonesia
8
pemerintah maupun swasta mencerminkan penampilan organisasi, bagaimana organisasi dilihat oleh orang yang berada di luarnya. Pada praktiknya budaya kerja diturunkan dari budaya organisasi. Budaya kerja merupakan suatu komitmen organisasi, dalam upaya membangun sumber daya manusia, proses kerja, dan hasil kerja yang lebih baik. Evie Lotze (2004:1011) menyatakan budaya kerja adalah pandangan umum seorang pekerja yang diimplementasikan dalam bekerja. Budaya kerja terdiri dari sikap yang disepakati bersama terhadap pekerjaan, keyakinan bersama bukan tentang tempat kerjanya, tetapi kerja pada umumnya, perilaku dan rutinitas dalam pekerjaan, tradisi dalam bekerja, dan hal-hal yang biasa dilakukan sehari-hari. Oxford Dictionary of Business and Management dalam Blessinger dan Hrycaj (2013:1), budaya kerja dapat didefinisikan sebagai nilai, adat istiadat, ritual, sikap, dan norma-norma yang disepakati bersama oleh anggota organisasi, yang harus dipelajari dan diterima oleh anggota baru dalam organisasi. Budaya kerja merupakan salah satu elemen penting yang berkontribusi terhadap kualitas kerja pegawai. Thomas Rollins dan Darryl Roberst (1998:4) menyatakan bahwa budaya kerja terdiri dari nilai, termasuk asumsi bersama dan perilaku pegawai dalam suatu organisasi, yaitu bagaimana mereka melihat organisasi, para pelangganpelanggannya, dan rekan kerja dalam organisasi, dan bagaimana mereka berperilaku
sehari-hari
dalam
bekerja.
Prasad
(2012:57)
budaya
kerja
didefinisikan sebagai aturan/peraturan, tradisi/ritual, kebijakan, praktik dan nilai/ keyakinan dari suatu organisasi. Hal ini dapat dilihat dalam cara hidup sekelompok orang di tempat kerja. Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya kerja merupakan nilai, sikap, norma dan asumsi bersama yang telah disepakati dan tercermin pada perilaku pegawai dalam bekerja sehari-hari.
2.1.2 Manfaat dan Fungsi Budaya Kerja Budaya kerja penting dalam suatu organisasi, karena budaya kerja menurut ERC (Employers Resource Council, 2013) sama pentingnya dengan strategi dan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi, alasan lain budaya kerja mempunyai manfaat yang penting dalam organisasi antara lain karena:
Universitas Indonesia
9
1. Budaya kerja suatu organisasi menjadi hal yang menarik dan bahan pertimbangan oleh calon pelamar kerja sebagai bahan evaluasi apabila dia diterima bekerja di organisasi tersebut, 2. Budaya kerja penting untuk mendorong keterlibatan pegawai dalam mempertahankan dan menciptakan lingkungan kerja yang baik, 3. Budaya kerja bisa memberikan dampak kenyamanan dan kepuasan, penelitian menunjukkan kenyamanan dan kepuasan pegawai berkaitan dengan budaya kerja dalam organisasi, 4. Budaya kerja berkaitan dengan kinerja organisasi, terciptanya budaya kerja bisa meningkatkan kinerja keuangan dan secara umum membuat organisasi lebih sukses. Selanjutnya manfaat budaya kerja oleh Roland E. Wolseley dan Laurance R. Campbell dalam Triguno (2004:9-10), menyatakan bahwa: 1. Orang yang terlatih melalui budaya kerja akan menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada padanya dengan daya imajinasi seteliti mungkin dan seobyektif mungkin. 2. Orang yang terlatih dalam budaya kerja akan memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metoda ilmu pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis dan kreatif. 3. Orang yang terdidik melalui budaya kerja berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya, baik nilai spiritual
maupun
standar-standar
etika
yang
fundamental
untuk
menyerasikan kepribadian dan moral karakternya. 4. Orang yang terdidik melalui budaya kerja mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian khusus dalam mengelola tugas dan kewajiban dibidangnya. 5. Orang yang terlatih melalui budaya kerja akan memahami dan menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial, politik, budaya dan menjaga kelestarian sumber-sumber alam, memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang bebas sebagai suatu kondisi yang harus ada.
Universitas Indonesia
10
6. Orang yang terlatih melalui budaya kerja berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat dan bangsanya, penuh tanggung jawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya. Budaya kerja mempunyai empat fungsi dasar (Nielson dan Quick, 1997), yaitu (1) perasaan identitas dan menambah komitmen organisasi, (2) alat pengorganisasian anggota, (3) menguatkan nilai dalam organisasi, dan (4) mekanisme kontrol atas perilaku. Selanjutnya Pattipawae (2011:37) fungsi dari budaya kerja adalah suatu komponen kualitas manusia yang melekat dengan identitas bangsa dan menjadi tolok ukur dasar dalam pembangunan. Ikut menentukan integritas bangsa dan menjadi penyumbang utama dalam menjamin kesinambungan kehidupan bangsa. Terkait erat dengan nilai dan falsafah bangsa yang mendorong kinerja seseorang.
2.1.3 Terbentuknya Budaya Kerja Pada dasarnya budaya kerja dalam suatu organisasi tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan dari pihak-pihak yang berinisiatif dan menciptakan. Inisiatif ini biasanya tertuang dalam filosofi organisasi. Berawal dari sinilah budaya kerja terbentuk dan selanjutnya dikomunikasikan kepada seluruh anggotaanggota organisasi. Umumnya budaya diciptakan oleh pendiri atau top management yang mendirikan atau merintis organisasi. Falsafah atau strategi yang ditetapkan menjadi petunjuk dan pedoman pegawai dalam pelaksanaan tugas. Bila implementasinya baik maka filosofi yang diyakini akan berkembang menjadi suatu budaya (Yuningsih dan Hayati, 2008:6). Budaya kerja berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya, hal itu dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap orang dalam organisasi berbeda. Untuk membentuk budaya kerja membutuhkan waktu bertahun-tahun. Terbentuknya budaya kerja diawali tingkat kesadaran pemimpin atau pejabat di mana besarnya hubungan antara pemimpin dengan bawahannya akan menentukan suatu cara tersendiri apa yang dijalankan dalam perangkat satuan kerja atau organisasi. Dalam hal ini budaya kerja terbentuk dalam satuan kerja atau organisasi itu berdiri, artinya pembentukan budaya kerja terjadi ketika Universitas Indonesia
11
lingkungan kerja atau organisasi belajar dalam menghadapi permasalahan seperti menyangkut masalah organisasi. Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi itu berdiri, artinya pembentukan budaya kerja terjadi tatkala lingkungan kerja atau organisasi belajar menghadapi masalah, baik yang menyangkut perubahan-perubahan eksternal maupun internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi (Sithi dalam Taliziduhu-Ndraha, 2003:76). Perlu waktu bertahun-tahun bahkan puluhan dan ratusan tahun untuk membentuk budaya kerja. Pembentukan budaya di awali oleh pendiri atau pimpinan paling tertinggi atau pejabat yang ditunjuk, di mana besarnya pengaruh yang dimilikinya akan menentukan suatu cara tersendiri apa yang dijalankan dalam satuan kerja atau organisasi yang dipimpinnya. Robbins and Judge (2013:554-555) menyatakan bahwa budaya kerja suatu organisasi terbentuk dari empat unsur yaitu: 1. Filosofi Pendiri Organisasi. Budaya asli berasal dari filosofi pendirinya. Secara tradisional pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal suatu organisasi dan memiliki visi tentang akan menjadi apa nantinya organisasi itu. Kebiasaan, tradisi dan tata cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan membawa kepada pencipta budaya awal suatu organisasi yakni para pendirinya. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri dipandang sebagai faktor utama penentu keberhasilan tersebut. 2. Seleksi. Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan merekrut individu-individu
yang
memiliki
pengetahuan,
keterampilan,
dan
kemampuan untuk berhasil menjalankan pekerjaan di dalam organisasi. Selain itu proses seleksi memberi informasi kepada calon pegawai mengenai organisasi tersebut. Calon pegawai yang diterima nantinya adalah yang memegang nilai-nilai yang selaras dengan nilai budaya suatu organisasi. Proses seleksi merupakan salah satu cara untuk membentuk dan mempertahankan kelangsungan hidup budaya kerja sebuah organisasi.
Universitas Indonesia
12
3. Manajemen Puncak. Tindakan
manajemen
puncak
memiliki
dampak
besar
terhadap
pembentukan budaya kerja suatu organisasi. Melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, para pimpinan memantapkan norma-norma yang berlaku di organisasi terkait sejauh mana pengambilan keputusan yang diharapkan, seberapa banyak kebebasan yang para pemimpin berikan kepada para pegawai, pakaian (seragam) apa yang layak diberikan kepada para pegawai, prestasi kerja apa yang membuat pegawai menerima kenaikan gaji, promosi, bonus dan lain-lain. 4. Sosialisasi. Dalam upaya pembentukan budaya kerja, dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan sosialisasi, yaitu proses yang mengadaptasi para pegawai pada budaya kerja. Sebaik apapun pekerjaan yang dilakukan organisasi dalam melakukan perekrutan dan seleksi, pegawai baru tidak sepenuhnya terindoktrinasi ke dalam budaya kerja organisasi. Karena belum mengenal sepenuhnya budaya kerja tersebut, para pegawai berpotensi mengganggu tradisi dan kebiasaan yang ada dalam organisasi. Untuk itu organisasi mesti membantu para pegawai baru beradaptasi dengan budaya kerja, proses adaptasi ini yang disebut sosialisasi. Selanjutnya Robbins and Judge (2013:555-557), berpendapat bahwa proses sosialisasi dikonsepkan sebagai suatu proses yang terdiri dengan tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Prakedatangan (The Prearrival Stage) Tahap pertama merupakan tahap prakedatangan, terjadi sebelum seseorang anggota baru bergabung dengan organisasi. Setiap individu datang dengan sekumpulan nilai, sikap dan harapan tertentu. Tahap ini merupakan periode pembelajaran dalam proses sosialisasi yang terjadi sebelum pegawai bergabung dengan organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa apa yang diketahui orang sebelum mereka bergabung dengan suatu organisasi, seberapa proaktif kepribadian mereka, merupakan indikator yang penting dalam menyesuaikan diri dengan budaya baru. Salah satu hal yang penting pada tahap ini dalam usaha sosialisasi adalah memilih pegawai dengan
Universitas Indonesia
13
“kepribadian yang pas”, dan menggunakan proses seleksi untuk memberi informasi kepada calon pegawai tentang organisasi secara keseluruhan. Salah satu bentuknya dengan mengenalkan budaya kerja yang ada dalam organisasi. 2. Tahap Perjumpaan (The Encounter Stage) Tahap kedua merupakan tahap dalam proses sosialisasi di mana pegawai baru melihat seperti apa sesungguhnya organisasi dan menghadapi kemungkinan bahwa antara harapan dan realita mungkin berbeda. Jika harapan ternyata sesuai, tahap ini sekedar mempertegas kembali mengenai persepsi yang telah diperoleh sebelumnya. Namun bila harapan dan kenyataan berbeda pegawai baru harus menjalani sosialisasi untuk melepaskan
berbagai
asumsi
yang
sebelumnya
ia
pegang
dan
menggantikannya dengan asumsi-asumsi lain yang dipandang tepat oleh organisasi. Organisasi juga dapat membantu pegawai dalam bersosialisasi salah satunya dengan mengadakan acara kebersamaan yang diikuti seluruh anggota organisasi. 3. Tahap Metamorfosis (The Metamorphosis Stage) Tahap ketiga merupakan tahapan proses sosialisasi di mana pegawai baru berubah dan menyesuaikan diri pada pekerjaan, kelompok kerja dan organisasi. Perubahan yang relatif tahan lama akan terjadi. Pegawai baru itu menguasai keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaannya, dengan berhasil melakukan perannya dan melakukan penyesuaian nilai dan norma kelompok kerjanya. Proses metamorphosis dan sosialisasi berhasil ketika pegawai baru sudah merasa nyaman dengan organisasi dan pekerjaan mereka. Mereka telah menginternalisasi berbagai norma organisasi dan kelompok kerja, dan memahami serta menerima norma-norma tersebut. Metamorfosis yang berhasil akan berdampak positif terhadap produktivitas pegawai baru dan komitmen mereka terhadap organisasi serta mengurangi kecenderungan mereka untuk meninggalkan organisasi. James L. Gibson, Jhon M. Ivancevich, dan James H. Donnelly (2000:36) menyatakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses di mana organisasi membawa pegawai baru ke dalam budaya kerja. Dalam budaya terjadi transformasi nilai Universitas Indonesia
14
asumsi, dan sikap dari pekerja tua kepada yang muda. Tahapan sosialisasi biasanya sesuai dengan jalannya tahapan karier seseorang dalam organisasi. Jadi terbentuknya budaya kerja berawal ketika organisasi terbentuk, tertuang dalam filosofi pendirinya dan dikomunikasikan kepada anggota organisasi lainnya, kemudian dilakukan sosialisasi sebagai proses adaptasi budaya kerja terhadap seluruh pegawai.
2.1.4 Nilai Dalam Budaya Kerja Robbins and Judge (2013:178) mendefinisikan nilai merupakan keyakinan dasar bahwa perilaku atau situasi tertentu lebih disukai baik secara pribadi maupun secara sosial dari pada perilaku atau situasi yang berlawanan atau sebaliknya. Nilai mengandung unsur pertimbangan yang membawa gagasan seorang individu mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan. Nilai merupakan salah satu unsur yang mendasari jalannya organisasi karena menuntun individu untuk melakukan tindakan dan bersosialisasi. Nilai tersebut
diikuti
dengan
doktrin,
falsafah,
peraturan-peraturan,
norma,
kepercayaan, sehingga keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya tergantung pada nilai yang dianut organisasi. Nilai tersebut umumnya diteruskan ke generasi berikutnya, dan kemungkinan dapat bertahan atau berubah, berdasarkan realitas yang dibangun bersama dengan anggota organisasi. Anggota organisasi dituntut untuk menghormati nilai organisasi (Laksmi, 2012:70). Nilai biasanya sangat baik apabila dijabarkan sepenuhnya dalam sikap dan perilaku sehari-hari, terutama harus ditunjukkan oleh para pemimpin, karena sebuah teladan sangat bernilai dalam menjalankan pekerjaan dalam organisasi. Komitmen para pemimpin terhadap nilai (values) yang dianut organisasi menyebabkan perhatian seluruh komponen organisasi ditujukan sepenuhnya kepada substansi perencanaan dan bukan pada bentuknya (Uha, 2013:114). Nilai dalam budaya kerja dapat didefinisikan sebagai suatu kekuatan atau energi yang terpatri dalam setiap individu di dalam berinteraksi di lingkungan kerja yang diwujudkan dalam bentuk aktualisasi diri, pengembangan bakat, norma dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam menjalankan aktifitas kerja sehari-hari. Setiap fungsi atau proses kerja mempunyai perbedaan cara kerja, yang
Universitas Indonesia
15
mengakibatkan berbeda pula nilai yang sesuai dan digunakan dalam kerangka kerja organisasi. Seperti nilai apa yang sepatutnya dimiliki oleh pemimpin puncak dan pemimpin lainnya, bagaimana perilaku setiap orang akan mempengaruhi kerja mereka, kemudian falsafah yang dianutnya seperti “Budaya kerja merupakan suatu proses tanpa akhir” atau “terus-menerus” (Triguno, 2004:56). Blessinger dan Hrycaj (2013:11) menyatakan nilai dipengaruhi oleh sejarah dan pertumbuhan organisasi, perilaku pegawai, keyakinan dan tindakan para pemimpin. Beberapa nilai berkembang di seluruh organisasi dan beberapa nilai hanya berhubungan dengan bagian tertentu dalam organisasi. Selanjutnya Taylor mengamati bahwa organisasi yang secara konsisten dengan model nilai bersama, organisasi tersebut berpengalaman (Blessinger dan Hrycaj, 2013:11): (a) membuat pegawai fokus pada apa yang penting bagi organisasi, (b) mengurangi stress pada individu, (c) mengurangi ketegangan antara individu dengan bagiannya, (d) antusiasme bekerja ditempat kerja, (e) mempunyai kebanggaan dalam pekerjaan, (f) terarah dalam bekerja di tempat kerja, (g) mengurangi pekerjaan yang birokratis, (h) bersikap positif dalam bekerja, (i) mempunyai momentum posif dalam melaksanakan semua pekerjaan.
2.1.5 Internalisasi Internalisasi (internalization) diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standar tingkah laku, pendapat, dan seterusnya di dalam kepribadian (Chaplin, 2005:256). Reber dalam Mulyana (2004:21) mengartikan internalisasi sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan aturanaturan baku pada diri seseorang. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa pemahaman nilai yang diperoleh harus dapat dipraktikkan dan berimplikasi pada sikap. Internalisasi ini akan bersifat permanen dalam diri seseorang. Ihsan (1997:155) memaknai internalisasi sebagai upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai ke dalam jiwa sehingga menjadi miliknya. Berkaitan dengan perilaku, internalisasi dapat didefinisikan sebagai penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku (Kamus
Universitas Indonesia
16
Besar Bahasa Indonesia, 2002:439). Dalam kaitannya dengan nilai, pengertianpengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut pada dasarnya memiliki substansi yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa internalisasi sebagai proses penanaman nilai ke dalam jiwa seseorang sehingga nilai tersebut tercermin pada sikap dan perilaku yang ditampakkan dalam kehidupan sehari-hari (menyatu dengan pribadi). Nilai-nilai tersebut bisa jadi dari berbagai aspek baik agama, budaya, norma sosial, dan lain-lain. Pemaknaan atas nilai inilah yang mewarnai pemaknaan dan penyikapan manusia terhadap diri, lingkungan dan kenyataan di sekelilingnya. Suatu nilai yang telah terinternalisasi pada diri seseorang dapat diketahui ciri-cirinya dari tingkah laku dan perilakunya dalam bekerja sehari-hari di tempat kerja.
2.2
Pustakawan
2.2.1 Pustakawan Perguruan Tinggi Pustakawan adalah salah satu profesi yang berkecimpung di bidang pengelolaan informasi. Secara tradisional definisi pustakawan adalah orang yang ahli dalam mengelola koleksi buku dan bahan-bahan informasi lainnya; dan membantu pengguna untuk mengakses koleksi tersebut (Feather & Sturges, 1997:252). Harrod (1987:451) mendefinisikan pustakawan sebagai orang yang mengelola perpustakaan dan isinya, menyeleksi buku-buku, dokumen dan bahan non buku untuk memenuhi kebutuhan pemakainya. Namun saat ini, pustakawan adalah manajer dan mediator dalam mengakses informasi untuk pengguna yang berasal dari berbagai bidang. Pustakawan tidak hanya mengakses melalui koleksi dan bahan-bahan informasi yang tersedia di perpustakaan tetapi juga melalui sumber-sumber informasi yang tersedia di luar perpustakaan yang dapat diakses secara global (Feather & Sturges, 1997:253). Definisi pustakawan (Reitz, 2014) adalah seseorang yang secara profesional bertanggung jawab dalam mengelola suatu perpustakaan dan isinya, meliputi kegiatan menyeleksi, mengolah dan mengorganisir bahan-bahan pustaka dan menemukan kembali informasi,
Universitas Indonesia
17
memberikan pengajaran, dan layanan sirkulasi untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Sedikit berbeda dengan pustakawan secara umum, dalam Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004:166) yang dimaksud dengan pustakawan perguruan tinggi adalah orang yang bertugas di perpustakaan, memilih, mengolah, meminjamkan, merawat pustaka, menjaga dan mengawasi perpustakaan, serta melayani pengguna. Pustakawan perguruan tinggi paling rendah lulusan sarjana, dengan bidang pendidikan Strata 1 (S1) dalam bidang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi (Pusdokinfo), atau S1 bidang lain yang memiliki kompetensi dalam pengelolaan perpustakaan, dengan melaksanakan tugas keprofesian dalam bidang perpustakaan. Dalam dunia pendidikan tinggi dengan masyarakat civitas akademika yang dilayaninya, maka pustakawan perguruan tinggi harus memiliki kriteria tertentu. Pustakawan harus dapat mengubah dirinya agar bisa mengubah image dan paradigma stereotype pustakawan pada umumnya. Terdapat beberapa hal yang harus dimiliki oleh para pustakawan perguruan tinggi pada era global antara lain (Rismayeti, 2013): (1) memiliki pendidikan dan ketrampilan tentang kepustakawanan, (2) memiliki ketrampilan pemanfaatan teknologi informasi, (3) memiliki ketrampilan bahasa, dan (4) mengetahui kebutuhan pemustaka. Selanjutnya ada beberapa kualifikasi dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seorang pustakawan profesional di perpustakaan perguruan tinggi modern (Line, 1991:171), yaitu: (1) pustakawan perguruan tinggi harus memiliki karakteristik pribadi yang bisa diterima pengguna, kecerdasan dalam membimbing pengguna, mempunyai keterampilan komunikasi dan interpersonal yang baik; (2) pustakawan perguruan tinggi memiliki persyaratan tertentu dan pengetahuan tentang perpustakaan yang dikelolanya, buku-buku dan sumber informasi lain di dalamnya, melayani komunitas perguruan tinggi, dan melayani kebutuhan informasinya baik individu maupun seluruh komunitas perguruan tinggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa pustakawan perguruan tinggi merupakan tenaga kerja bidang perpustakaan yang telah memiliki pendidikan ilmu perpustakaan, baik melalui pelatihan, kursus, seminar, maupun dengan kegiatan sekolah formal dan bekerja di perguruan tinggi. Pustakawan bekerja dan berkarya
Universitas Indonesia
18
secara profesional di bidang perpustakaan dan informasi guna memberikan jasa layanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat penggunanya.
2.2.2 Peran dan Tugas Pustakawan Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa ”Library is Librarian” (Perpustakaan adalah pustakawan). Pendapat ini mengandung pengertian bahwa perpustakaan bukan lagi hanya merupakan tempat atau aspek fisik saja, tetapi lebih merupakan segenap aktivitas yang dimotori oleh pustakawannya. Maju mundurnya perpustakaan tidak lagi tergantung pada besar kecilnya gedung dan koleksi yang dimilikinya, akan tetapi tergantung pada kualitas dan peran pustakawannya (Labovitz, dalam Masruri, 2002: 4). Peran pustakawan perguruan tinggi selama ini membantu pengguna untuk mendapatkan informasi dengan cara mengarahkan agar pencarian informasi dapat efisien, efektif, tepat sasaran, serta tepat waktu. Pustakawan dapat pula menyediakan informasi yang mungkin sangat bernilai, namun keberadaannya sering tersembunyi seperti literatur kelabu (grey literature). Bahkan pustakawan dapat berfungsi sebagai mitra peneliti dalam melakukan penelitian. Merujuk hal tersebut, jelas terlihat kaitan yang erat antara pustakawan sebagai pengelola informasi dengan perannya dalam menunjang tridharma perguruan tinggi (Komalasari, 2006:4). June Abbas (dalam Sudarsono, 2000:3) menjelaskan 9 peran pustakawan di era elektronik, antara lain: (1) pustakawan sebagai gerbang menuju masa depan maupun masa lalu; (2) pustakawan sebagai guru atau yang memberdayakan; (3) pustakawan
sebagai
pengelola
pengetahuan;
(4)
pustakawan
sebagai
pengorganisasi jaringan sumber daya informasi; (5) pustakawan sebagai pengadvokasi pengembangan kebijakan informasi; (6) pustakawan sebagai mitra masyarakat; (7) pustakawan sebagai kolaborator dengan penyedia jasa TI; (8) pustakawan sebagai teknisi kepustakawanan; (9) pustakawan sebagai konsultan informasi. Selanjutnya peran pustakawan perguruan tinggi
yaitu (Gandhi,
2003:140): (1) menyediakan layanan referensi kepada mahasiswa, dosen, dan staf di kampus; (2) membimbing pengguna dalam menelusur informasi; (3) Universitas Indonesia
19
membangun koleksi perpustakaan untuk mendukung tujuan kurikulum program studi; (4) mengelola koleksi terbitan lokal; (5) meningkatkan layanan akses koleksi melalui pinjam antar perpustakaan; dan (6) meningkatkan literasi informasi kepada pengguna. Selain peran di atas Langley (2003:1-2), menyebutkan beberapa tantangan utama yang dihadapi pustakawan perguruan tinggi, di antaranya: 1. Perubahan dalam penyebaran karya-karya ilmiah; 2. Perubahan dalam program studi di pendidikan tinggi; 3. Perkembangan teknologi di perpustakaan, seperti: Cara baru dalam berkomunikasi dengan pengunjung perpustakaan; Bahan pustaka dalam berbagai format, dan membaca dengan berbagai sistem dan perangkat, termasuk teknologi mobile; Teknologi yang mendukung pustakawan dalam bekerja. Pustakawan pada intinya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Seorang pustakawan harus memiliki kemampuan mengelola informasi yang mencakup (Damayanti, 2011): (1) mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, (2) memproses atau mengolah informasi dengan sistem tertentu, (3) menyebarkan informasi dengan berbagai media yang ada, dan (4) melakukan preservasi informasi agar informasi terjaga dengan baik dan tersedia jika diperlukan oleh penggunanya. Pustakawan perguruan tinggi sebagai profesional bidang perpustakaan dan informasi merupakan ujung tombak pelaksana tugas pokok dan fungsi perpustakaan, sekaligus faktor penentu keberhasilan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi perpustakaan tersebut. Untuk itu, sangat diharapkan bahwa para pustakawan perguruan tinggi juga memiliki dan mengembangkan kemampuan holistik dalam rangka berkontribusi untuk pengembangan kelembagaan instansi induk mereka, dan konsisten dalam mengkomunikasikan gagasan dan ide-idenya (Hadi, 2010). Selanjutnya tugas pustakawan akan semakin diperlukan oleh sivitas akademika dalam mendukung peningkatan kualitas hasil karya dan produk akademik mereka adalah peran sebagai instruktur dan pendidik dalam bidang literasi-informasi. Tugas pustakawan lain yang tidak boleh diabaikan adalah turut
Universitas Indonesia
20
serta dalam upaya pengembangan kelembagaan dalam perguruan tingginya; untuk itu
para
pustakawan
harus
senantiasa
meningkatkan
pengetahuan
dan
pemahamannya, bukan saja dalam bidang kepustakawanan, tetapi juga dalam bidang manajemen dan pengembangan pendidikan tinggi.
2.3
Kendala - Kendala Penerapan Budaya Kerja Dalam setiap penerapan budaya kerja di perpustakaan atau organisasi
selalu terdapat hambatan maupun kendala yang mengiringinya. Penerapan budaya kerja berkaitan erat dengan perubahan dalam perilaku pegawainya. Perubahan tersebut kadang kala diiringi adanya sebuah pertentangan atau resistensi dan berbagai respon pegawai terhadap perubahan tersebut.
2.3.1 Resistensi Pada Perubahan Stueart and Moran (2007:58) menyatakan resistensi pada perubahan budaya kadang-kadang bersifat destruktif tapi seringkali juga bisa bersifat kreatif, utamanya berkaitan dengan emosional, filosofi, dan dalam prosesnya terjadi konflik prosedural antar individu dan antar kelompok. Resistensi bisa terjadi karena beberapa alasan (Stueart and Moran, 2007: 58-59), yaitu:. 1. Anggota organisasi tidak mengerti atau tidak mau mengerti perlunya perubahan, mereka merasa nyaman dan puas pada posisi lamanya karena mereka merasa sudah banyak menghabiskan waktu dan biaya dalam mencapai posisinya saat ini. Bagi para pendukung perubahan hal ini ditafsirkan sebagai penolakan atau resistensi terhadap perubahan. Sebaliknya para pegawai baru atau yang belum lama bekerja lebih mudah beradaptasi apabila ada perubahan atau situasi kerja yang baru. 2. Anggota organisasi merasa skeptis tentang keberhasilan dalam penerapan perubahan. Hal ini terjadi karena informasi yang diperoleh mengenai perubahan belum diterima secara penuh bahkan kadang-kadang hanya sebagian atau sepotong saja. Informasi yang diterima akan sesuai apabila terjalin komunikasi yang baik yaitu terjadi komunikasi dua arah antara manajemen pembawa perubahan dengan anggota organisasi, sehingga
Universitas Indonesia
21
resistensi dapat diminimalisir. Kurangnya pemahaman tentang perubahan tersebut yang kadang menimbulkan resistensi. 3. Kebiasaan anggota organisasi terganggu. Mereka merasa bahwa asumsi dasar, nilai pribadi, dan persahabatan dengan pegawai lain terganggu. Perubahan biasanya memperkenalkan kondisi baru dan membutuhkan keahlian dan pengetahuan yang berbeda hal ini yang menjadi kekhawatiran sehingga menimbulkan resistensi oleh para pegawai. 4. Anggota organisasi memiliki persepsi dan kepentingan tersendiri yang kadang sedikit berlawanan dengan perubahan organisasi, meskipun mereka agak terbuka untuk mengikuti perubahan tetapi dengan cara mereka sendiri. Dengan meningkatnya kompleksitas organisasi kadang menimbulkan disparitas/perbedaan dalam memahami latar belakang, sikap dan nilai dalam organisasi sehingga muncul resistensi baik secara individu maupun kelompok. 5. Perubahan yang berlangsung cepat menimbulkan ketegangan dalam organisasi. Hal ini kadang membuat orang takut dan gugup sehingga menimbulkan sikap resisten karena khawatir belum bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlangsung cepat tersebut. 6. Organisasi kadang belum siap menghadapi perubahan, beberapa prasyarat perubahan yang diperlukan belum tersedia, hal ini kadang menimbulkan resisten dari kalangan anggota organisasi. Untuk itu pimpinan harus mampu membangun kepercayaan dalam melaksanakan perubahan sehingga mendapat dukungan dari anggota organisasi. 7. Perkembangan teknologi dan kondisi sosial yang berlangsung cepat saat ini membuat beberapa anggota organisasi merasa tertinggal. Perubahan akan terus berlangsung termasuk pekerjaan itu sendiri yang memerlukan keahlian dan pengetahuan baru sesuai perkembangan teknologi dan kondisi saat ini. 8. Perubahan itu sulit untuk diterapkan, karena berkaitan dengan transisi dalam pekerjaan, cara mengatur pekerjaan dan perubahan dalam lingkungan kerja yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan oleh pimpinan. Setiap perubahan dalam organisasi hendaknya sebagai upaya untuk
Universitas Indonesia
22
melestarikan dan mengembangkan tradisi, nilai yang disepakati dan karakter atau ciri khas organisasi. Dalam banyak kasus beberapa resistensi terhadap perubahan bisa diantisipasi oleh organisasi. Oleh karena itu resistensi harus disadari, dihargai dan dipahami keberadaannya sebagai dampak dari perubahan organisasi, sebisa mungkin dampak yang timbul dapat diminimalisasi sehingga tidak begitu berpengaruh dalam perubahan organisasi yang telah disepakati. Resistensi bisa dilihat sebagai bentuk dinamika dalam organisasi, sehingga setiap anggota organisasi dapat berperan aktif dalam perubahan yang sedang dilaksanakan oleh organisasi.
2.3.2 Respon Pegawai Terhadap Perubahan Di samping alasan-alasan resistensi tersebut di atas, perubahan budaya juga dapat menimbulkan munculnya berbagai respon dan perilaku pegawai terhadap perubahan tersebut. Hal ini disebabkan ada sebagian pegawai yang setengah hati menerima budaya baru, sehingga tidak jarang mereka mengadopsi budaya baru sambil tetap mengidentifikasikan dirinya dengan simbol, nilai dan ritual budaya lama (Kotter and Heskett, 1992 dalam Rojuaniah, 2012:126). Dalam penelitiannya Harris and Ogbona (dalam Rojuaniah, 2012:127) menyatakan bahwa keberhasilan perubahan budaya salah satunya berasal dari kemauan para anggota organisasi untuk berpartisipasi dalam perubahan. Selanjutnya diidentifikasi adanya 9 kemungkinan respon pegawai terhadap perubahan budaya, yaitu: 1. Penerimaan aktif (Active acceptance) pegawai menerima perubahan apa adanya. Di sini pegawai setuju untuk berubah, mau mengadopsi perubahan dan mau berpartisipasi dalam perubahan tersebut tanpa mempertanyakan apakah perubahan itu perlu atau tidak. Kondisi ini terjadi ketika pegawai mempunyai kemauan yang tinggi untuk berubah. 2. Penolakan aktif (Active rejection) respon yang terjadi jika keinginan berubah sangat rendah atau tidak ada, pegawai serta merta menolak perubahan budaya, baik cara yang digunakan maupun komponen
Universitas Indonesia
23
budayanya. Active rejection merupakan kebalikan dari active acceptance dan oleh karenanya merupakan reaksi yang paling tidak diharapkan. 3. Penemuan kembali yang selektif (Selective reinvention) terjadi ketika kemauan pegawai untuk berubah moderat (tidak tinggi, tidak rendah), secara selektif beberapa elemen budaya yang ada dianggap seolah-olah menjadi budaya baru. Jadi sebetulnya tidak ada perubahan yang berarti, kadang hanya artefak saja yang diubah/diberi label baru tetapi nilai-nilai organisasi yang menjadi inti budaya tidak berubah. 4. Penemuan kembali (Reinvention) respon ini terjadi ketika kemauan pegawai untuk berubah rendah, berpura-pura menerima perubahan karena pada dasarnya tidak ada elemen budaya yang berubah. Budaya yang ada hanya ditata ulang seolah-olah membentuk budaya baru. Tidak seperti pada selective reinvention yang mendaur ulang sebagian komponen budaya, pada reinvention pendauran ulang ini dilakukan secara menyeluruh. 5. Penerimaan umum (General acceptance) secara umum pegawai mau menerima perubahan tetapi hanya terhadap sebagian komponen budaya karena pada dasarnya mereka tidak mau mengubah penjiwaan mereka terhadap nilai-nilai dan keyakinan yang ada. Berbeda dengan Selective reinvention yang lebih mengandung unsur pandauran ulang budaya, general acceptance mengandung unsur menolak sebagian budaya yang ada terutama pada komponen luar budaya organisasi. 6. Penolakan umum (General rejection) penolakan secara umum, respon ini terjadi ketika keinginan untuk berubah rendah. Berbeda dengan general acceptance yang mau menerima perubahan meski tidak sepenuhnya, general rejection menolak perubahan yang ditandai dengan adanya ketidakpercayaan pegawai terhadap pimpinan organisasi dan penolakan untuk mengadopsi budaya yang baru. 7. Penafsiran kembali (Reinterpretation), terjadi jika keinginan berubah tinggi, ditandai dengan kecenderungan untuk menterjemahkan budaya yang baru dalam bentuk pengembangan nilai-nilai organisasi dan pola perilaku yang sesuai, baik dengan budaya lama maupun budaya baru. Di
Universitas Indonesia
24
sini para karyawan akan berusaha untuk menyesuaikan perilakunya agar selaras dengan tujuan perubahan. 8. Penafsiran kembali yang selektif (Selective reinterpretation), respon yang terjadi jika keinginan karyawan untuk berubah moderat, respon ini bisa diartikan sebagai reaksi perubahan yang melibatkan penolakan terhadap perubahan dan secara selektif melakukan reinterpretasi terhadap beberapa atribut budaya dan melibatkan beberapa perubahan saja. 9. Ketidaksesuaian (Dissonance) yakni ketika keinginan untuk berubah relatif moderat, respon ini bisa diartikan sebagai a state of cognitive imbalance – terjadinya ketidakseimbangan kognitif akibat adanya usaha perubahan budaya. Kondisi ini ditandai dengan kebimbangan pegawai antara menerima dan menolak perubahan dan tindakan-tindakan pegawai yang tidak konsisten.
2.4
Kerangka Berfikir Dari uraian di atas mengenai teori dan konsep penerapan budaya kerja
dalam organisasi untuk memperjelas keterkaitan antar konsep tersebut peneliti akan menggambarkannya melalui model berikut ini:
Universitas Indonesia
25
Gambar 2.1 Penerapan Budaya Kerja Di Perpustakaan
Penerapan Budaya Kerja
Resistensi (9)
Respon Pegawai (10)
Manajemen Puncak (3) Filosofi Pendiri Organisasi (1)
Internalisasi Budaya Kerja (8)
Seleksi (2) Sosialisasi (4)
Prakedatangan (5)
Perjumpaan (6)
Metamorfosis (7)
Tahapan Sosialisasi Dimodifikasi dari sumber: Robbin and Judge (2013)
Pada Gambar 2.1 Bagian Proses Terbentuknya Budaya Kerja berasal dari filosofi pendiri organisasi (Bagan 1). Filosofi pendiri ini berpengaruh kuat terhadap seleksi yang digunakan dalam perekrutan pegawai baru (Bagan 2). Tindakan-tindakan yang diambil manajemen puncak (Bagan 3) membangun suasana umum terkait perilaku apa yang dapat diterima dan yang tidak dalam organisasi. Bagaimana sosialisasi pegawai baru dilakukan akan bergantung pada tingkat keberhasilan yang dicapai dalam menyelaraskan nilai-nilai yang dianut pegawai baru dengan nilai organisasi dalam proses seleksi maupun preferensi manajemen puncak dalam hal metode sosialisasi (Bagan 4).
Universitas Indonesia
26
Proses sosialisasi terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama prakedatangan (Bagan 5) terjadi sebelum seseorang anggota baru bergabung dengan organisasi. Tahap kedua perjumpaan (Bagan 6) proses di mana pegawai baru melihat nilai budaya dalam organisasi. Tahap metamorphosis (Bagan 7) pegawai baru telah berubah dan menyesuaikan diri pada budaya kerja dalam organisasi. Setelah melalui beberapa proses tersebut (Bagan 1-7) maka terbentuklah internalisasi budaya kerja (Bagan 8). Dalam penerapan budaya kerja bisa terjadi resistensi (Bagan 9), resistensi oleh pegawai kadang-kadang bersifat destruktif tapi seringkali juga bisa bersifat kreatif, utamanya berkaitan dengan emosional, filosofi, dan dalam prosesnya terjadi konflik prosedural antar individu dan antar kelompok. Selanjutnya respon pegawai terhadap penerapan budaya kerja (Bagan 10) dapat menimbulkan munculnya berbagai respon dan perilaku pegawai terhadap perubahan budaya berkaitan dalam penerapan budaya kerja di organisasi. Apabila dalam penerapan budaya kerja terdapat resistensi yang kuat atau respon yang negatif dari pegawai, organisasi bisa melakukan seleksi kembali terhadap pegawai yang akan diterima nantinya, sehingga penerapan budaya kerja pada pegawai terutama pegawai baru akan terlaksana sesuai yang diharapkan oleh organisasi. Penerapan budaya kerja merupakan suatu proses “tanpa akhir” atau “terus-menerus” (Triguno, 2004:56).
Universitas Indonesia