ISSN 1693-6418
EDUKASI
Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 1
26/01/2015 09:47:54
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU NURUDIN
Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Kementerian Agama Republik Indonesia Jln. M.H. Thamrin 6 Jakarta, Tel. +6221 3920379 Email:
[email protected]
Abstract The tendency of an Islamic university to open general subject faculties or program can be seen from the process of transformation and institutional change of the university. STAINs that are mandated to develop Islamic study are experiencing dilemma between following the trend of people need and being consistent with developing Islamic teaching. This study discusses about STAIN Pontianak that develops religious study programs and STAIN Curup that develops general study programs. This study uses qualitative descriptive method and shows that religious study programs in STAIN Pontianak can be developed due to its ability while general courses in STAIN Curup is popular as marked by the increasing number of graduates of general courses and high absorption in the formal sector. Challenge in the development of flagship study programs in STAIN is the parallel between Islamic values and general competence as the requirement of the region. The government is required to provide certainty in the development of study program in STAINs to actualize the development of excellent and competitive study program. Keywords: study programs, general, religion. Abstrak Kecenderungan PTAI menyelenggarakan fakultas ataupun program studi umum dapat dilihat dari proses transformasi dan perubahan kelembagaan PTAI itu sendiri. STAIN yang mengemban mandat pengembangan keilmuan keislaman mengalami situasi dilematis, antara mengikuti trend kebutuhan masyarakat ataukah konsisten dengan aturan mengembangkan disiplin keIslaman semata. Penelitian ini menggambarkan STAIN Pontianak yang mengembangkan prodi agama dan STAIN Curup yang mengembangkan prodi umum. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa, Program studi agama di STAIN Pontianak potensial dikembangkan karena daya dukung yang memadai. Sedangkan Program studi umum di STAIN Curup sangat diminati masyarakat, ditandai dengan peningkatan jumlah mahasiswa pada prodi umum dan tingkat keterserapan lulusan pada sektor formal yang tinggi. Tantangan desain pengembangan prodi unggulan di STAIN adalah keselarasan nilai-nilai KeIslaman dan kompetensi umum sebagai kebutuhan daerah. Pemerintah dituntut memberikan kepastian regulasi pengembangan prodi di STAIN, sehingga arah dan tujuan pengembangan Prodi yang unggul dan kompetitif dapat terwujud. Kata Kunci: program studi, umum, agama.
Naskah diterima 20 Oktober 2014. Revisi pertama, 12 November 2014. Revisi kedua, 19 November 2014 dan revisi terakhir 5 Desember 2014.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 381
381
26/01/2015 09:48:04
NURUDIN
PENDAHULUAN Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) saat ini telah menyelenggarakan fakultas/ program studi umum. Hal demikian dapat kita lihat dari proses transformasi dan perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) bukan sekedar perubahan gedung dan sarana-prasarana fisik tetapi transformasi dan perubahan paradigma ilmu-ilmu keIslaman. Pada kasus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), persoalan Program Studi (Prodi) umum yang dikembangkan bukan hanya persoalan keilmuan semata, bahkan secara kelembagaan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi Bab III Pasal 6 menggariskan bahwa Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan program pendidikan akademik dan atau profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu, atau dalam konteks STAIN adalah lingkup ilmu pengetahuan agama, sehingga kebijakan STAIN membuka beragam jurusan justru dianggap menyalahi peraturan dan keluar dari garis kebijakan yang ditetapkan.1 Alasan yang dikemukakan pengelola STAIN dalam pengembangan prodi umum beraneka ragam, antara lain: Pertama, secara regulasi didasarkan pada interpretasi Keputusan Menteri Agama RI Nomor 387 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Program Studi pada PTAI, yang menyebutkan bahwa “Program studi/jurusan pada PTAI diselenggarakan berdasarkan bidang ilmu, profesi atau vokasi dalam kelompok ilmu agama Islam, atau bidang ilmu, profesi atau vokasi dalam kelompok ilmu-ilmu lain yang diintegrasikan dengan ilmu Agama Islam (Pasal 1)”; hal ini disikapi secara variatif oleh pendidikan tinggi. Terkait regulasi juga terdapat pemahaman yang berbeda atas 1 Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Kementerian Agama, Laporan Seminar Nasional “Penyelenggaraan Program Studi Umum di PTAI dan Pengaruhnya terhadap Prospek Prodi Agama” di Hotel Horison, Februari 2009.
382
keputusan Menteri Agama tentang Statuta yang berlaku di masing-masing STAIN, yaitu tujuan pendirian STAIN adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama Islam dan teknologi serta kesenian yang bernafaskan Islam, dan mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional. Mengembangkan kesenian dan teknologi dan agama dimaknai secara luas sebagai landasan bagi pengem bangan program studi umum di STAIN. Kedua, Konsep yang utuh tentang “integrasi ilmu-ilmu lain dengan ilmu agama Islam” menjadikan perdebatan terkait paradigma dan epistimologi keilmuan, distribusi dan pemilahan peran yang jelas antara STAIN, IAIN, dan UIN dalam penyelenggaraan PTAI di Indonesia. Persoalan dikotomi keilmuan (agama dan umum) di lingkungan PTAI dalam kajian dan forum yang beragam mengalami pasang surut, sehingga kajian tentang bangunan ilmu menjadi tema tersendiri yang senantiasa hangat diperbincangkan di lingkungan PTAI.2 Perubahan beberapa IAIN menjadi UIN melalui perluasan mandat “wider mandate” menjadikan pembahasan tugas dan fungsi PTAI (STAIN, IAIN, dan UIN) kembali menemukan momentum. Apakah hanya UIN yang bisa mengembangkan prodi umum dan integrasi keilmuan? Ataukah pemaknaan integrasi keilmuan dalam pandangan fakar epistimologi keilmuan Islam telah mencapai kesepakatan? Bagaimana juga dengan aspek kebijakan dan regulasinya? Sekedar mengingatkan, bahwa kita telah disuguhi berbagai pendekatan dalam mengkaji perspektif epistimologi keilmuan ini, misalnya: UIN Malang dengan gambar “pohon Ilmu”, UIN Bandung menggambarkan dengan “Roda Pedati”, UIN Jogja dengan “Jaring Labalaba” STAIN Surakarta dengan “Bunga Ilmu” dan seterusnya.
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Kementerian Agama, Penelitian tentang ”Pengembangan Prodi Umum di STAIN dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi Islam” 2008. 2
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 382
26/01/2015 09:48:04
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
Muhibbin menyatakan bahwa perundangundangan kita saat ini tidak lagi menjadikan fakultas atau jurusan menjadi ujung tombak dalam penyelenggaraan pembelajaran, tetapi justru program studi, meskipun keberadaan fakultas dan jurusan masih tetap diperlukan. Itulah sebabnya program studi, disamping lembaga perguruan tingginya yang diakreditasi dan bukan jurusan ataupun fakultas. Kalau untuk mewujudkan PTAI ideal seperti yang kita inginkan menurut Muhibbin cukup berat dan tidak memungkinkan dalam waktu dekat, setidaknya harus ada ghirah besar dari pengelola PTAI untuk membangun program studi unggul yang nantinya dapat dijadikan kebanggaan, terutama dalam hal pengelolaan dan lulusannya.3 Secara umum PTAI belum mempunyai program studi unggul yang dapat dibanggakan, hanya saja barangkali ada beberapa program studi yang mendapatkan perhatian secara khusus, diberikan beasiswa dan ada pembinaan di luar kelas, sehingga mereka dapat dilihat lebih baik, meskipun harus kita akui bahwa justru program studi tersebut merupakan prodi yang kurang diminati masyarakat. Membangun prodi unggul tentu diharapkan menjadi prodi yang dilihat dari berbagai segi menguntungkan, sehingga memunculkan keinginan masyarakat untuk bergabung. Permasalahan dalam penelitian ini ada lah: Bagaimana gambaran program studi (Prodi) agama dan pengembangan prodi umum di STAIN? Bagaimana daya dukung kelembagaan prodi agama dan prodi umum (sarana-prasarana, animo peserta didik, SDM, pembiayaan, kerjasama) di STAIN? Bagai mana strategi pengembangan prodi agama dan pengembangan prodi umum yang memiliki karakter dan berkeunggulan melalui
Muhibbin, Eksistensi Penguatan Fakultas Unggul di PTAI: Pokok-pokok Pikiran tentang Upaya Memperkuat Prodi Keislaman, Makalah Simposium Nasional Reinventing pendidikan Islam Unggul dan kompetitif, di Yogyakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2011, hal. 313-315.
pengembangan kurikulum, SDM, program dan budaya kampus? Sedangkan penelitian ini menggunakan metode kualitatif tipe deskriptif. Sasaran penelitian yaitu STAIN Pontianak sebagai kasus pengembangan prodi agama, sedang kan STAIN Curup, Propinsi Bengkulu untuk kasus pengembangan prodi umum. Narasumber dalam penelitian ini adalah Bagian administrasi Ketua STAIN, Pembantu Ketua, Dosen, Pengelola program studi dan UPT, Dosen, mahasiswa sebagai data primer. Adapun data-data sekunder yang diolah berupa profil STAIN, data kapasitas kelembagaan, Data pengembangan sumber daya manusia dan keuangan (pendanaan) meliputi modelmodel pengembangan, sumber-sumber pemberdayaan, manajemen, laporan kemajuan dan sistem evaluasinya, Data sarana prasarana, dukungan pendanaan masyarakat serta data terkait strategi pengembangan prodi agama yang berkarakter dan berkeunggulan. Penelitian ini dilaksanakan tahun 2011 sebelum terjadi perubahan STAIN Pontianak menjadi IAIN.
Paradigma Pengembangan Program Studi PTAI Mengutip tulisan Azra,4 dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru Perguruan Tinggi. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan pendidikan (contents), metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan bentuk-bentuk baru hubungan dengan
3
4 Azyumardi Azra, IAIN Di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi dalam http://www.ditpertais.net/ artikel/ azyu01.asp 7 Sep 2011.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 383
383
26/01/2015 09:48:04
NURUDIN
masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih luas. D.A. Tisna Amijaya5 memberikan model pengembangan perguruan tinggi melalui identifikasi lima masalah yang dihadapi Perguruan Tinggi secara umum. Pertama, produktivitas yang rendah; kedua, keterbatasan daya tampung; ketiga keterbatasan kemampuan berkembang; keempat, kepincangan di antara berbagai Perguruan Tinggi; dan kelima, distribusi yang tidak seimbang dalam bidangbidang ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta. Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini, Amijaya mengajukan lima program besar. Pertama, peningkatan produktivitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan kepada masyarakat; keempat peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek; kelima, peningkatan kemampuan berkembang. Makalah tentang kurikulum PTAI oleh Ditpertais6 memberikan gambaran kondisi problematis PTAI dalam menjawab tuntutan paradigma perguruan tinggi kedepan, yakni terdapat banyak kendala dalam implementasi program di PTAI, karena lingkungan Perguruan Tinggi dan kebijakan pendidikan nasional yang belum memberikan keleluasaan dalam kerangka otonomi perguruan tinggi. Di sisi lain konsep program pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, sedikit berbeda diperkenalkan Sukadji Ranuwihardjo7, beberapa konsep program yang dirumuskan, yakni, pertama, peningkatan kualitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga, peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976). 6 Makalah “Analisis Kritis Kurikulum PTAI, ditpertais.net/artikel/azyu01.htm, hal. 5-10. 7 Sukadji Ranuwihardjo, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985). 5
384
pendidikan. Konsep-konsep ini kemudian dirumuskan dalam “paradigma baru” Perguruan Tinggi sebagaimana terdapat dalam Rencana Jangka Panjang Ketiga (1996-2005) meliputi: peningkatan kualitas Perguruan Tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan kualitas manajemen yang telah diperbaiki, di mana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi merupakan komponen-komponen terpenting. Secara eksternal implementasi dikeluarkannya “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action” oleh UNESCO8, menjadi sumber baru bagi konsep paradigma baru Perguruan Tinggi di Indonesia yang memuat dasar-dasar bagi misi dan fungsi Perguruan Tinggi; peranan etis, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif Perguruan Tinggi; perumusan visi baru Perguruan Tinggi; penguatan partisipasi dan peranan perempuan dalam Perguruan Tinggi; pengembangan ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi melalui riset dalam bidang ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan sains dan teknologi, dan penyebaran hasil-hasilnya; pengembangan orientasi jangka panjang Perguruan Tinggi berdasarkan relevansi; penguatan kerjasama Perguruan Tinggi dengan dunia kerja, dan analisis dan antisipasi terhadap kebutuhan masyarakat; diversifikasi pemerataan kesempatan pendidikan; pen dekatan baru terhadap pendidikan secara inovatif; pemberdayaan mahasiswa sebagai aktor utama Perguruan Tinggi; pengembangan evaluasi kualitatif terhadap kinerja akademis dan administratif; antisipasi terhadap tantangan teknologi; penguatan manajemen dan pembiayaan Perguruan Tinggi; peningkatan kerjasama Perguruan Tinggi dengan berbagai pihak (stakeholders). Program studi di PTAI terus berkembang seiring perubahan paradigma perguruan tinggi secara nasional, bahkan model 8 UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century, dan juga lihat, A. Malik Fadjar et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 384
26/01/2015 09:48:04
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
pengembangan perguruan tinggi luar negeri turut memengaruhi. Kebijakan Nasional dan tuntutan masyarakat sebagai bagian penting bagi pengembangan PTAI dalam memilih strategi pengembangan keilmuan, termasuk munculnya program studi umum pada fasefase kekinian.
Epistimologi Keilmuan PTAI: Modernisme, Dikotomi Ilmu dan Agama Dalam Islam, ancaman modernitas telah dibahas melibatkan banyak penulis. Karya Fazlur Rahman Islam and Modernity9 telah menjadi karya klasik dan tergolong cukup baik dalam menggambarkan tantangan umat menghadapi modernitas yang dicirikan oleh paham sekuler tersebut. Tidak kalah menarik adalah karya Muhammad Mumtaz Ali, cukup ringkas namun mampu memberi gambaran relatif holistik dan komprehensif tentang problem modernitas yang dihadapi umat Islam.10 Untuk melihat problem modernitas di kalangan umat Islam tetapi dengan pandangan agak pejoratif, karya Bernard Hingga batasLewis amat membantu.11 batas tertentu, ketiga buku Lewis dimaksud punya andil besar dalam menggelorakan image bahwa Islam terkait dengan terorisme. Buku pertama diterbitkan oleh Lewis segera setelah terjadinya kasus 11 September yang terkenal itu.12 Dalam buku yang menjadi best seller waktu itu, Lewis menekankan akan Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982). 10 Muhammad Mumtaz Ali, ”A Study of Western Scholarship on the Compability and Incompability of Islam and Modernization,” Islamic Quarterly XLVI no 2 (2002), 189-219. 11 Bernard Lewis, What Went Wrong? The Clash between Islam and Modernity in the Middle East (New York: Oxford University Press, 2002); idem, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (New York: The Modern Library, 2003); idem, From Babel to Dragomans: Interpreting the Middle East (Oxford: Oxford University Press, 2004). 12 Karya penting terkait dengan Serangan 11 September, terutama dalam kaitannya dengan agama dan masyarakat agama biasa dibaca dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu-Rabi,’ eds. II September: Religious 9
sulitnya (jika bukan tidak mungkin) Islam untuk mampu menghadapi modernitas. Buku kedua ingin memaksa pembaca untuk percaya bahwa reaksi ketidak mampuan Islam dalam menghadapi modernitas (Barat) seringkali negatif yang mewujud dalam bentuk teror. Buku ketiga semakin menekankan image bahwa Islam adalah tempat kaum teroris. Dalam bahasa dia sendiri: ”The struggle is on at the moment. It is in the guerrilla or, as some people would put it, the terrorist phase.” Karya-karya Bernard Lewis menarik karena beberapa alasan. Pertama, ia adalah Guru Besar dalam bidang Islamic Studies yang amat prolific. Kedua, karya-karyanya menjadi salah satu rujukan penting di sejumlah perguruan tinggi di Barat, tetapi pada waktu yang sama, pandangannya seringkali dipandang terlalu bias, antara lain karena ia dikenal sebagai penganut Yahudi tulen. Sikap “anti” Islam/ Arab ini sudah terihat ketika menulis Resensi Buku (Book Review) terhadap karya Edward Said, Orientalism, yang terkenal itu.13 Yang menarik Resensi Buku ini14 kemudian direspon oleh Edward W. Said melalui media yang sama dengan menunjukkan kesalahan sejumlah asumsi dasar yang digunakan oleh Bernard Lewis.15 Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa polemik antara keduanya bisa digambarkan sebagai polemik antara sarjana dalam bidang studi Islam yang berbeda pandangan dasarnya: Bernard Lewis yang lebih merupakan representasi sarjana Barat dan mengagungkan Barat dengan Edward Said yang membela tradisi Timur sekaligus amat krtis terhadap tradisi Barat (Orientalis).16 Perspectives on the Causes and Consequences (Oxford: Oneworld, 2002). 13 Edward W. Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979). 14 Bernard Lewis, “The Question of Orientalism,” dalam The New York Review (24 Juni 1982), 49-56. 15 Edward W. Said, “Orientalism: An Exchange” The New York Review (12 Agustus 1982), 44-46. 16 Hal yang sama juga bisa dilihat pada polemik antara Patricia Crone dengan R.B. Serjeant. Baca antara lain, R.B. Serjeant, Review terhadap Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, oleh J. Wansbrough dan juga Review terhadap Hagarism: The
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 385
385
26/01/2015 09:48:04
NURUDIN
Terlepas dari semua itu, masa modern dengan ciri sekuler telah merasuk ke jantung umat Islam. Hal ini antara lain bisa dilihat dalam dunia pendidikan, yang merupakan satu sarana amat strategis bagi masa depan umat. Dengan pembahasan yang menarik, Yadullah Kazmi17 telah memberi gambaran adanya dikhotomi dalam dunia pendidikan antara ilmu agama dan ilmu umum (dan juga antara ilmu dan agama), yang kemudian menjadi ciri di hampir seluruh dunia Islam termasuk Indonesia. Dalam karyanya ini, Kazmi mengajak umat Islam untuk mengakhiri dikhotomi dunia pendidikan tersebut dan perlu mengembangkan model pendidikan yang mengajarkan makna penting dari perjalanan sejarah peradaban umat Islam (juga umat manusia pada umumnya) yang ia sebut dengan ”education of tradition” dan bukan mereproduksi atau sekedar daur-ulang dari hal-hal yang telah ada tanpa kritik, kreatif, dan innovatif yang ia sebut ”traditional education.” Apakah Islam mengenal dikhotomi ilmu dan agama? Dikhotomi ilmu dan agama dan juga ilmu agama dan ilmu umum merupakan realitas yang kita saksikan sejak lahirnya masa modern hingga saat ini. Dengan demikian, seperti akan dijelaskan berikut ini, sejarah awal Islam tidak mengenal pandangan dikhotomik tersebut. Kita lihat, misalnya, Markus Hattstein18 yang menjelaskan bahwa, satu hal yang amat menarik dalam Islam adalah, pandangan universal dari para ilmuwannya. Para pemikir masa awal Islam hampir semuanya terdidik dalam ilmu fisika dan juga menguasai ilmu kedokteran. Mereka juga mempunyai Making of the Islamic World, oleh Patricia Crone dan Michael Cook, Journal of Royal and Asiatic Studies (1978), 7678; R.B. Serjeant, Review terhadap Slaves on Horses: The Evolution of the Islamic Polity, oleh Patricia Crone, Journal of Royal and Asiatic Society (1981), 210; R.B. Serjeant, Review terhadap Meccan Trade and the Rise of Islam oleh Patricia Crone, Journal of Arabic and Oriental Studies 110 (1990), dan respon terhadapnya bisa dibaca pada Patricia Crone, “Methodes et Debats,” Arabica 39 (1992), 216-240. 17 Yadullah Kazmi, ”Islamic Education: Traditional Education or Education of Tradition?” Islamic Studies 42:2 (2003), 259-288. 18 Markus Hattstein, “Science in Islam.”
386
pengetahuan memadai tentang astronomi, dan mengembangkan sistem dan pemikiran filosofis yang pada dasarnya berbasis ilmu-ilmu kealaman, tapi mereka juga berusaha untuk merekonsiliasi dan menghubungkan agama dan ilmu (to reconcile and to interrelate religion and science), sehingga tidak terjadi kontradiksi terminologi dalam konsep Islam tentang akal.. Filosof kenamaan awal dalam Islam adalah al-Kindi (c. 800-870), dengan karyanya lebih dari 200 menyangkut filsafat, kedokteran, matematika, fisika, kimia, asronomi, dan juga musik. Semua filosof dan juga para penguasa pada waktu itu, selalu memberi perhatian sungguh-sungguh bidang astronomi, dan juga mengkaji bintang dan dimensi penting menyangkut bumi, prediksi cuaca dan juga ketersedian air—semuanya itu mengandung nilai praktis sesuai dengan tuntutan masyarakat pada waktu itu. Karya-karya penting Ibn Ishaq, Ibn Sina, dan para sarjana lainnya menjadi bahan kajian penting di hampir seluruh belahan dunia termasuk daratan Eropah yang masuk melalui bagian selatan India dan juga Andalusia. Karya Ibn Sina terutama Kitab alThibb (Canon Medicine) menjadi karya standar (a major textbook) sekolah-sekolah kedokteran di Barat. Para ahli fisika dunia Arab (Islam) ketika itu bukan hanya meneruskan hasil-hasil ilmu yang ada sebelumnya kepada generasi setelah Islam (Barat) tetapi juga mengembangkannya yang kemudian menjadi landasan penting bagi perkembangan medis di Eropah pada masa Renaissance. Tentu saja, hal ini tidak hanya terbatas pada fisika tetapi juga ilmuilmu lain seperti telah disebut sebelumnya. Dalam bahasa Toby E. Huff, “kekayaan ilmu pengetahuan Yunani dan Arab [Islam] telah berperan besar dalam mengantarkan revolusi ilmu modern yang berkembang di Barat.”19 Toby E. Huff, The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 90. Baca pula Sayid Mujtaba dan Rukni Musawi Lari, Western Civilizaion Through Muslim Eyes (Houston: Free Islamic Literature, 1979); Stephen F. Mason, A History of the Sciences (New York: Collier Books, 1962); Robert M. Palter, ed. Toward Modern Science (New York: E.P. Dutton & Co., 1969); R.M. Savory, ed. Introduction 19
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 386
26/01/2015 09:48:04
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
Memang diakui bahwa ada sejumlah kalangan yang mencoba meminimalisr sumbangan dunia Islam terhadap perkembangan ilmu dan peradaban dunia. Sekedar menyebut satu contoh, hal tersebut bisa dilihat dalam pandangan Bernard Lewis. Seperti dimaklumi, ketika mengkaji tentang masyarakat, budaya, dan juga peradaban, maka nama Ibn Khaldun (1332-1406) amat dikenal, terutama sumbangannya terhadap ilmu sosial berupa sejarah dan sosiologi (atau ilmu soail-budaya). Hampir-hampir tidak ada kajian perkembangan ilmu sosial-budaya yang bisa melepaskan diri dari peran Ibn Khaldun.20 Yang menarik, ketika berbicara ilmu sosial-budaya ini, Bernard Lewis tidak bisa untuk tidak menyebut nama Ibn Khaldun, tetapi disertai catatan tentang tidak terlalu sentralnya peran Ibn khaldun. Ia, misalnya, mengatakan: “Seseorang mungkin akan merujuk ke Ibn Khladun ketika berbicara tentang budaya dan peradaban…. Tetapi sebenarnya orang pertama yang berperan besar di dalamnya adalah Oswald Spengler.”21 Tidak kalah menarik tulisan George Sarton tentang sejarah ilmu (history of science),22 yang antara lain menyebutkan: Pada masa itu, aktivitas para ulama dan ilmuwan Muslim amat superior. Mereka betul-betul menjadi ujung-tombak sekaligus penentu peradaban dunia pada masa itu. Karya-karya mereka amat mendominasi pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Mereka meluangkan waktu cukup untuk melakukan penelitian unggulan dalam bidang-bidang seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, teknologi, geografi, dan kedokteran. Semakin menarik ketika Sarton mengatakan bahwa semua penelitian to Islamic Civilization (Cambridge: Cambridge University Press, 1976); Rom Landau, The Arab Heritage of Western Civilization (New York: The League of Arab States, 1975).. 20 Dua karya berikut bisa memberikan gambaran pemikiran Ibn Khaldun: Aziz Al-Azmeh, Ibn Khaldun (New York: Routledge, 1982; Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun and Islamic Thought-Styles: A Social Perspective (Massachusetts: G.K. Hall and Co., 1981). 21 Lewis, From Babel to Dragomans, 394. 22 George Sarton, Introduction to the History of Science (Cambridge: Carnegie Institution of Washington, 1953).
dan pengembangan ilmu tersebut tidak lepas dari basis kehidupan umat berupa al-Qur’an. Ia mengatakan: “Bagaimana mungkin kita bisa memahami ilmu Islam jika kita tidak memiliki pengetahuan memadai seputar ajaran alQur’an?” Sikap mental yang demikian ini merupakan sikap universal selama kurun waktu abad tengah. Teologi merupakan inti dari ilmu (core of science) sekaligus landasan agama (prop of the religion). Karena itu, ilmu dan agama tidak terpisah, dan kita tidak bisa berharap mampu memahami yang satu tanpa yang lainnya. Yang penting untuk dicatat, pada waktu itu bahasa al-Qur’an menjadi sarana komunikasi internasional dalam perkembangan ilmu. Gustave Le Bon23 juga menulis bahwa Bagdad, Kairo, Toledo, Kordova, dan lain-lain mempunyai universitas yang dilengkapi dengan laboratorium, observatoris, perpustakaan-perpustakaan besar, dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kegitan penelitian ilmiah. Di Sepanyol saja, misalnya, terdapat tujuh puluh perpustakaan umum. Perpustakaan Khalifah al-Hakim di Kordova memiliki koleksi tidak kurang dari enam ratus ribu volume, disertai dengan tidak kurang empat puluh empat katalog. Sebagai gambaran pentingnya ilmu pada masa kemajuan Islam, barangkali ada baiknya jika disebut sejumlah ilmuwan sekaligus ilmu yang ditekuni. Ibn Batutah dikenal sebagai penjelajah (traveler) abad ke-14, Al-Makmun dikenal dengan Bayt al-Hikmah (The House of Wisdom, 828), menerjemahkan karya-karya asli bahasa Yunani, membangun Pusat Observatori Astronomi di Baghdad (829); Al-Battani dan al-Fargani: Astronomi Ptolemaik, ecliptik, perubahan pusaran matahari; Al-Khawarizmi (835): matematika, al-jabar (angka berasal dari India dan juga metode kalkulasi); Abul Qasim al-Ira’i dan Aidamir al-Jildaki: kimia; Abu Bakar Muhammab Ibn Zakariyya al-Razi/Rhazes (865-925): teologi, filsafat, dan fisika terutama 23 Gustave Le Bon, The World of Islamic Civilization, trans. David Macrae (Barcelona: Tudor Publishing Company, 1974).
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 387
387
26/01/2015 09:48:04
NURUDIN
tentang masalah-masalah kedokteran dengan karyanya lebih dari seratus, dan yang paling populer adalah Comprehensive Book; Abu Ali Ibn Zina/Avicenna (980-1037) dikenal sebagai al-mu’allim al-thani: (orang kedua setelah Aristotle): fisika, karya monumentalnya adalah Canon of Medicine; Jabir Ibn Hayyan/ Geber (sering disebut sebagai ahli sufi): kimia, belakangan kemudian dikenal sebagai pendiri kelompok sufi “Penyucian Jiwa” (Brethren of Purity) yang menolak deduktif, geometrical kind of reasoning (semacam pandangan sufi), juga menulis karya Book of Mystery; Ibn al-Haithan/ Al-Hazen (965-1038): Kitab Optik (The Optics Kitab al-Manazhir), juga karya berupa Treatise on Perspectives; Al-Masudi (d. 1009) menulis karya sejarah alam secara ensiklopedik (an encyclopedic natural history) yang antara lain berisi penjelasan/ gambaran tentang mesin pengubah jagung menjadi tepung dengan memanfaatkan angin (windmills); Al-Kindi dan Hunain Ibn Ishaq (809-877): fisika; Abu Raihan al-Biruni (“The Master,” 973-1048) melakukan penelitian tentang gratifikasi khusus tentang metal, batu-batu mulia, dan mineral; Abd Aziz Ismail Ibn Razzaz al-Jazari tentang mekanik melalui karyanya al-Kitab fi Ma’rifat al-Hiyal al-Handasiyyah (The Book of the Knowledge of Ingenious geometrical/mechanical Contrivances) dan juga al-Khazizi dalam karyanya al-Kitab Mizan al-Hikmah (The Book of the Balance of Wisdom).24 Penjelasan diatas yang diadaptasi dari tulisan Akhmad Minhaji, memberi gambaran bahwa pada awal Islam tidak ada model dikotomi keIlmuan.25Landasan ini penting dimunculkan sebagai critical review bagi pengembangan prodi umum maupun agama di STAIN di Indonesia.
24 Data tersebut diambil dari sejumlah buku, dan masih dalam proses tambahan malalui karya-karya yang akan dibaca lebih lanjut. 25 Akhmad Minhaji, Transformasi Paradigma Ilmuilmu keIslaman PTAI di Indonesia, Makalah Simposium Nasional Reinventing Pendidikan Islam Unggul dan kompetitif, di Yogyakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2011.
388
Prospek Program Studi Agama di STAIN Pontianak STAIN Pontianak bermula dari dibentuknya Yayasan Sadar pada tahun 1965, yang diketuai oleh Bapak A. Muin Sanusi, Walikota Pontianak pada saat itu. Selain yayasan, dibentuk pula Dewan Kurator yang diketuai oleh Brigjend Ryacudu, Pangdam XII Tanjungpura. Di dalam yayasan dan Dewan Kurator inilah ulama, aparatur Pemerintah Daerah dan masyarakat bekerja sama mewujudkan berdirinya lembaga pendidikan tinggi agama Islam. Singkawang, dinegerikan berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No. 26 Tahun 1969 tanggal 6 Agustus 1969 sebagai cabang dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian pada tahun 1973, Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Singkawang dipindahkan ke Pontianak dan dilebur dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 93 Tahun 1973 tentang Pemindahan Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah di Singkawang ke Fakultas Tarbiyah di Pontianak. Surat Keputusan tersebut ditandatangani oleh H. A. Mukti Ali selaku Menteri Agama RI pada bulan Oktober 1973. Melalui Keputusan Presiden No. 11 tanggal 21 Maret 1997, bertepatan dengan tanggal 12 Dzulqaidah 1417 H., Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Pontianak, bersama-sama dengan 32 Fakultas Jauh IAIN lainnya di seluruh Indonesia, berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Sejak itu pula, istilah Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Pontianak berubah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak. Dengan demikian, STAIN Pontianak beserta STAIN-STAIN lain memperoleh kesempatan untuk mandiri, tidak lagi bergantung kepada IAIN induk. Penataan infra-struktur dan suprastruktur telah terlihat di STAIN Pontianak, pada tahun akademik 1997/1998 dikembangkan dua disiplin ilmu baru, disamping Tarbiyah
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 388
26/01/2015 09:48:04
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
yang sudah berjalan. Dengan demikian, STAIN Pontianak sekarang ini memiliki tiga jurusan yaiyariah memiliki Prodi Ekonomi Islam dan Muamalah. Jurusan Dakwah memiliki Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Disamping itu STAIN Pontianak juga telah memiliki program magister, yang pengusulannya dimulai tahun 2007, dan tahun 2010 telah keluar izin operasional pembukaan Program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam STAIN Pontianak, sekaligus beroperasi. Upaya operasionalisasi program magister telah dilakukan seperti penyiapan gedung kuliah (tiga lantai) dan kantor, perpustakaan dan tenaga doktor yang relevan dengan program yang akan dibuka. Visi dan misi STAIN Pontianak berdasarkan Keputusan Menteri Agma RI No. 109 tahun 2008 dijabarkan sebagai berikut; Visi STAIN Pontianak adalah “Terwujudnya STAIN Pontianak sebagai Pusat Kajian, Pengembangan dan Pengamalan Ajaran Islam serta Budaya Lokal”. Visi ini kemudian diturunkan ke dalam rumusan misi sebagai berikut: Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran; Meningkatkan kualitas penelitian; Meningkatkan kualaitas pengabdian kepada masyarakat; Melestarikan budaya lokal yang Islami; Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa. Prodi agama di STAIN Pontianak meliputi, Jurusan Tarbiyah yang memiliki dua prodi; Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasan Arab. Jurusan Tarbiyah memiliki Jurusan Tarbiyah STAIN Pontianak pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak. Jika demikian halnya, maka Jurusan Tarbiyah sudah terbentuk sejak tahun 1965 yang secara resmi ditetapkan sebagai Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Cabang Pontianak, pada tahun 1969. Pada tahun 1982, istilah cabang dihapus dan berubah menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah di Pontianak. Setelah penghapusan istilah cabang tersebut kemudian di tahun yang
sama 1982, Fakultas Tarbiyah beralih status menjadi Fakultas Madya. Ketika STAIN Pontianak berdiri pada tahun 1997, nama Fakultas Tarbiyah harus disesuaikan lagi dengan status kelembagaan yaitu Jurusan Tarbiyah. Dalam perkembangannya, jurusan Tarbiyah menjadi jurusan paling populer di kalangan STAIN Pontianak. Hal ini bisa dilihat dari jumlah peminat yang paling banyak untuk masuk jurusan ini. Calon mahasiswa yang mendaftar pada jurusan Tarbiyah PAI, mencapai 618 orang, sementara daya tampung yang ada hanya 315. Akan tetapi karena pertimbangan antisipatif dan pengalaman, sebagian mahasiswa ada yang tidak mendaftar ulang, maka jumlah mahasiswa yang diterima 365 orang. Pada kenyataannya, benar adanya, bahwa mahasiswa yang mendaftar ulang dan tetap konsisten di jurusan Tarbiyah hanya 327 orang. Tidak sebesar pada Tarbiyah PAI, pada Tarbiyah PBA hanya memiliki dayab tampung 70 sementara yang mendaftar 94. Dari jumalah pendaftar tersebut yang diterima 65 dan yang mendaftar ulang hanya 50 orang. Jurusan Syari’ah memiliki program studi Ekonomi Islam dan Muamalah. Jurusan Syariah baik prodi Ekonomi Islam maupun Muamalah mulai mendapat izin operasi tahun 2007. Dalam perkembangannya jurusan Syariah relatif stabil dalam pengertian perbandingan antara kemampuan daya tampung, jumlah pendaftar sampai mahasiswa yang diterima dan mendaftar ulang. Hal yang sama terjadi pada Prodi Muamalah. Jurusan Syariah Ekonomi Islam memiliki daya tampung 105, jumlah yang mendaftar 162. Jumlah mahasiswa yang diterima 91 dan yang mendaftar ulang 76 orang. Prodi Syariah Mualmalah memiliki daya tampung 35 dengen jumlah pendaftar 35 orang. Terjadi penurunan yang aneh pada prodei ini karena perbandingan antara daya tampung dengan jumlah pendaftar dan jumlah mahasiswa yang diterima, kemudian mendaftar ulang malah menurun. Dari daya tampung 35 dan jumlah pendaftar 35, logikanya akan diterima semua, tetapi ternyata yang diterima
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 389
389
26/01/2015 09:48:05
NURUDIN
hanya 23 orang dan yang mendaftar ulang hanya 13 orang.
dan Sumber Daya Manusia “Perubahan Bentuk STAIN ke IAIN”.
Jurusan Dakwah, memiliki program unggulan yang telah dikembangkan STAIN Pontianak yaitu Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) merupakan program studi pada Jurusan Dakwah, Prodi KPI juga mulai mendapat izin operasional pada tahun 2007. Jurusan Dakwah, baik Prodi KPI maupun BPI memiliki kecenderungan yang sama yaitu relatif stabil dalam arti jumlah peminat yang masuk. Akan tetapi, proyeksi ke depan, justru prodi KPI yang diperkirakan akan menjadi favorit karena penyebaran alumni yang cukup cepat di berbagai wilayah Kalimantan Barat. Penyebaran alumni ini diakui oleh unsur pimpinan STAIN bahwa mereka mampu mengambil peran strategis dalam dunia kerja dan dakwah Islam. Posisi demikian, menjadi cermin bagi masyarakat untuk terus berupaya terhadap alumni Prodi KPI ini. Oleh karena itu, STAIN Pontiakan justru menaruh Prodi KPI pada posisi depan untuk mengangkat lembaga dan menjadikan Prodi sebagai Prodi Unggulan. Prodi ini memiliki daya tampung 35 orang mahasiswa dengan jumlah pendaftar 77. Dari jumlah tersebuit diterima 43 orang dan yang mendaftar ulang 30 orang. Sedangkan Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) memiliki daya tampung 35 dengan jumlah pendaftar 41 orang diterima 30 dan yang mendaftar ulang hanya 20 orang.
Upaya pengembangan juga dilakukan dengan pembukaan Program Studi baru misalnya, Jurusan Tarbiyah dikembangkan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jurusan Syari’ah Prodi Akhwalu Syakhsiah, Prodi Ilmu Falaq, Prodi Manajemen Keuangan Syari’ah, Prodi Akuntansi Keuangan Syari’ah. Untuk kasus Jurusan Syari’ah ini sudah dilakukan studi Kelayakan, persiapan dan penyusunan Draft Usulan Seminar/Workshop. Jurusan Dakwah Prodi Manajemen Dakwah, Prodi Psikologi, Prodi Sosiologi, Prodi Al-Qur’an dan Hadits, Prodi Komunikasi Lintas Agama, Prodi Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam. Bukan hanya itu, STAIN Pontianak memproyeksikan untuk penambahan tenaga Pendidik dan Kependidikan pada Jurusan Tarbiyah (S2 dan S.3), Dosen Manajemen Pendidikan Islam, Dosen Pendidikan Fiqih dan Al-Qur’an Hadits Dosen Pendidikan SKI dan Aqidah Akhlak, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris dan Dosen Pendidikan Ekonomi. Tenaga Pendidik Jurusan Syari’ah (Min.S2) Dosen Akhwalu Syakhsiah Dosen Ilmu Falaq Dosen Manajemen Keuangan Syari’ah Dosen Akuntansi keuangan Syari’ah. Tenaga Pendidik Jurusan Dakwah (Min.S2):Dosen Manajemen Dakwah Dosen Psikologi. Dosen Sosiologi. Dosen A-Qur’an dan Hadits Dosen Komunikasi Lintas Agama Dosen Perkembangan Pemikiran Modern Dalam Islam.
STAIN Pontianak konsisten mengembangkan prodi-prodi agama, namun dari usulan proposal perubahan STAIN menjadi IAIN Pontianak terlihat proyeksi yang berbeda terhadap pengembangan prodi agama. STAIN Pontianak tidak pernah berhenti untuk melakukan pengembangan dan menemukan innovasi baru dalam rangka meningkatkan kualitas dan pelebaran sayapnya. Secara kelembagaan, bahkan menginginkan adanya perubahan status dari STAIN ke IAIN. Keinginan tersebut sudah diwujudkan dalam bentuk usulan Pengembangan Kelembagaan
390
STAIN Pontianak menargetkan, tenaga pendidikan minimal S1. Tenaga Arsiparis, Tenaga Keuangan, Tenaga Pustakawan, Tenaga Programmer, Tenaga Operator Komputer, Tenaga Mekanik, Tenaga Administrasi Umum, Tenaga Listrik, Tenaga Audio, Video, Tenaga Elektronik, Tenaga Perhotelan, Tenaga Public Relation, Tenaga Medis/Keperawatan, Tenaga Hukum dan Perundang-undangan akan menjadi pemikiran yang serius dan sedapat mungkin diwujudkan.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 390
26/01/2015 09:48:05
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
Strategi yang dikembangkan STAIN Pontianak tergambar dalam aspek peningkatan akses melalui menjaga, mempertahankan, dan mengembangkan eksistensi STAIN dengan memperkuat prodi agama.Peningkatan kualitas input STAIN melalui pemberian beasiswa bagi yang tidak mampu secara ekonomi namun memiliki academic excellence. Strategi: kerjasama dengan Pemda setempat. Aspek peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, adalah penyiapan akreditasi prodi agar ada kontrol kualitas akademik. Dalam jangka waktu lima tahun diharapkan 90% prodi di STAIN sudah terakreditasi. Hal ini penting karena berdasarkan undang-undang pendidikan semua prodi harus terakreditasi. Peningkatan kualifikasi tenaga pendidik STAIN sehingga dalam lima tahun ke depan semua tenaga pendidik telah memenuhi standar pendidik (minimal S2). Peningkatan kualifikasi tenaga pendidik bisa dilakukan dengan pelbagai macam cara: (a) memberikan bantuan beasiswa bagi tenaga pendidik yang belum memenuhi standar kualifikasi dosen; (b) mendorong mereka untuk meningkatkan kualifikasi akademik dengan biaya mandiri atau mencari bantuan funding dari pihak lain. Peningkatan kompetensi profesional dan kompetensi pedagogis tenaga pendidik STAIN melalui pelbagai pelatihan dan workshop. Hal ini penting untuk meng-upgrade kompetensi profesional dan kompetensi pedagogis mereka. Peningkatan budaya riset di kalangan tenaga pendidik STAIN melalui pelatihan metodologi penelitian dan pemberian bantuan penelitian. Peningkatkan sarana dan prasarana STAIN. Sedangkan aspek manajemen dan tata kelola, dikembangkan melalui peningkatan kualitas manajerial STAIN agar lebih profesional berbasiskan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi melalui pelbagai training dan workshop. Merekrut tenaga pendidik dan administrasi yang memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi.
STAIN Pontianak, Sumber Daya Manusia (SDM) masih jauh dari memadai, baik tenaga pendidik (dosen), tenaga kependidikan (administrasi) dan tenaga fungsional (seperti pustakawan, arsiparis, laboran dan tekhnisi). Untuk persoalan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sedikit demi sedikit dapat teratasi dengan adanya pengangkatan setiap tahunnya, namun jumlah pengangkatan tersebut masih terlalu kecil oleh karena itu sebagai alternatif lain mengatasi persoalan tersebut yaitu dengan memberikan kesempatan kepada tenaga pendidik untuk melanjutkan studi sesuai dengan bidang keilmuan yang dibutuhkan sesuai dengan program studi yang tersedia. Penciptaan academic society adalah bagaimana merancang dan menciptakan lingkungan yang kondusif masyarakat belajar di lingkungan STAIN. Bagaimanapun, masyarakat belajar harus dimulai dengan mengedepankan atau memrioritaskan semua sivitas akademika untuk terlibat langsung terhadap pembentukan masyarakat belajar yang diinginkan. Seperti yang bisa dilihat, di STAIN Pontianak kultur keilmuan dan kompetisi akademik, khususnya di kalangan dosen, seperti aktivitas menulis, seminar dan penelitian, belum terbangun. Sejauh ini dosen baru menjalankan kegiatan belajar mengajar (KBM)/perkuliahan, sementara kegiatan menulis, seminar dan penelitian masih rendah frekuensinya. Kuantitas dan frekuensi karya ilmiah masih tergolong kecil, belum menghasilkan karya-karya yang dapat berkompetisi di tingkat nasional meskipun harus diakui juga, setidaknya dalam 3 tahun terakhir, produktivitas kegiatan ilmiah dan penulisan buku dan jurnal ilmiah sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, namun geliat ini belum menjadi gerakan kolektif. Ke depan memang selain peningkatan secara kuantitas, juga harus diimbangi dengan seleksi kualitas (quality assesment) yang baik dan terencana, serta melibatkan lebih banyak orang.
Berbagai kendala yang dihadapi STAIN Pontianak adalah penyiapan SDM, apalagi untuk pelaksanaan program S2 dan S3. Kasus
Hal tersebut terjadi karena memang belum didukung oleh infrastruktur pengembangan ilmu yang belum memadai, baik pada tingkat EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 391
391
26/01/2015 09:48:05
NURUDIN
dosen maupun mahasiswa. Infrastruktur pengembangan ilmu seperti penguasaan bahasa asing khususnya Arab dan Inggris masih sangat terbatas. Meskipun STAIN telah memiliki pusat pengembangan bahasa (UPT Bahasa) dan tenaga-tenaga profesional pada bidangnya, namun aspek pemanfaatannya mungkin yang masih belum optimal. Sebagai gambaran, tenaga pendidik yang ada meliputi S2.9, S1 23, Diploma.4, SMA.7. Sementara jumlah mahasiswa secara keseluruhan 1875 orang yang terbagi ke dalam 6 prodi: Pendidikan Agama Isalam, Pendidikan Bahasa Arab, Ekonomi Islam, MUA, Komunikasin Penyiaran Islam, Bimbingan Konseling Islam. Dari jumlah prodi yang ada tersebut, penyebaran mahasiswa kelihatan tidak seimbang. Hal ini terkait dengan daya tampung masing-masing prodi yang memang tidak sama. Akibatnya, daya serap mahasiswa baru sangat kurang dan terjadi penumpukan mahasiswa pada salah satu program studi, yaitu Pendidikan Agama Islam. Pada persoalan kurikulum nampak masih belum tersusun dengan rapi (Mata Kuliah yang ditawarkan, Kode Mata Kuliah, penawaran mata kuliah persemester). Kondisi ini harus ditata dengan melakukan penataan (kurikulum) sesuai dengan jurusan dan program studi yang dibuka, dengan melihat kebutuhan pasar terhadap lulusan yang dihasilkan, sehingga memberikan kontribusi terhadap proses pembangunan di bidang pendidikan dalam bentuk daya serap lulusan. Perpustakaan, Jumlah buku referensi masih terbatas terutama buku-buku berbahasa asing (Arab dan Inggris) Pelayanan masih bersifat manual, belum bisa: Ketersediaan referensi yang memadai diharapkan STAIN Pontianak menjadi pusat Kajian Islam Kalimantan Barat, Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bergabung menjadi anggota perpustakaan STAIN Pontianak, dengan prosedur administrasi yang tidak rumit.
392
Persoalan lain yang masih harus diting katkan adalah pada peningkatan kuantitas dan kualitas penelitian. Penelitian yang dirasa masih sangat terbatas baik dilihat dari jumlah judul dan frekuensinya maupun anggaran yang ditawarkan. Yang lebih terasa justru hasil-hasil penelitian yang adapun belum bisa dipublikasikan dan disosialisasikan secara maksimal kepada masyarakat dan perguruan tinggi lainnya. Walaupun sudah banyak hasilhasil penelitian yang dibukukan, namun publikasi yang masih terbatas. Hal ini terkait dengan dukungan finansial (finance supporting) yang masih terbatas dari lembaga. Sementara dari sisi eksternal STAIN Pontianak juga memberlakukan akreditasi mutu pendidikan dan mutu lulusan (out come) pada tiap-tiap jurusan, sehingga belum diketahui matrik perkembangan mutu pendidikannya. STAIN Pontianak memerlukan adanya perubahan pola pikir dan pandangan kalangan civitas akademika ke arah yang lebih produktif, kompetitif, inovatif dan orientasi ke depan (the future oriented). Kemudian Civitas Akademika STAIN Pontianak harus mampu melakukan transformasi kesadaran dari sikap-sikap dan tindakan yang lokal (tindakan tradisional dan afektual) menuju kepada sikap rasional instrumentalis secara lebih terbuka (egaliter), kosmopolit dan beretika. Sebenarnya, STAIN Pontianak merupakan satu-satunya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Kalbar, dan sejauh ini telah berperan sebagai Pembina bagi Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) lainnya di Kalbar. Modal lain yang dimiliki adalah tersedianya beberapa kelengkapan sarana dan prasarana yang relatif memadai, seperti perpustakaan, Laboratorium Bahasa, Komputer dan Praktikum masing-masing Jurusan. Kondisi ini pada dasarnnya bisa menjadi mopdal yang cukup baik untuk pengembangan kelembagaan STAIN ke depan. Modal lain yang dimiliki adalah besarnya animo masyarakat yang masih tetap memilih STAIN Pontianak sebagai Perguruan Tinggi
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 392
26/01/2015 09:48:05
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
tempat belajar bagi generasi sekarang. Dari tahun ke tahun jumlah peminat terus meningkat jumlahnya dan ini bukankah bisa menjadi cermin akan kepercayaan dan sekaligus ekspektasi masyarakat yang begitu besar terhadap STAIN Pontianak. Dukungan dari berbagai pihak nampak terus terjadi dan konsisten untuk terus mengembangkan STAIN.
Prospek Program Studi Umum di STAIN Curup Kenyataan di lapangan menunjukkan STAIN membuka bidang-bidang di luar disiplin ilmu keislaman dalam rangka mengakomodasi kebutuhan stakeholder setempat. Kenya taannya peminat untuk bidang-bidang nonstudi keislaman cukup besar, sedangkan peminat untuk studi-studi keislaman menurun. Pembukaan bidang-bidang studi non-keislaman di STAIN dilakukan secara formal atas ijin dari Diknas dan Depag. Di sini STAIN berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, pembukaan prodi-prodi di luar studi-studi keislaman menyalahi aturan PP No 60 1999. Namun di sisi lain, jika tidak mengakomodasi kebutuhan stakeholder di tingkat lokal maka keberadaan STAIN terancam, sebab STAIN akan ditinggalkan stakeholder. Bagaimana Diktis menegosiasikan antara peraturan perundangan yang ada dan kenyataan di lapangan yang berbeda? Jika PP yang menjadi pegangan maka prodi-prodi non-keislaman di STAIN perlu ditata ulang, dengan resiko akan ada penurunan minat stakeholder untuk kuliah di STAIN dan menghambat perkembangan dan kemajuan STAIN. Jika Diktis membiarkan prodi-prodi non-keislaman tetap eksis maka tidak saja akan memberikan inspirasi bagi STAIN yang lain untuk membuka prodi sejenis tapi juga menyalahi PP yang ada. Mungkinkah STAIN mampu mewujudkan profesionalisme kelembagaan dan keunggulan dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman dengan input yang kurang kompetitif, sementara dari 2.461 tenaga pendidik tetap yang dimiliki saat ini, 533 atau 21,66% masih berkualifikasi S1,
1.809 atau 73.51% berkualifikasi S2, dan 119 atau 4,84% berkualifikasi S3. Sedangkan STAIN Curup di propinsi Bengkulu pada awalnya adalah Fakultas Ushuluddin Curup yang didirikan pada tahun 1963 dan berstatus swasta. Pada tahun 1964 dengan SK Menteri Agama RI Nomor 66 tahun 1964 Fakultas Ushuluddin Curup di Negerikan dengan menginduk ke IAIN Raden Fatah Palembang perkembangan selanjutnya, maka pada Tahun 1982 menjadi Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Cabang Curup dengan SK Menteri Agama RI Nomor 64 Tahun 1982 tanggal 27 Juli 1982 Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Cabang Curup meningkat Statusnya dari Fakultas Muda menjadi Fakultas Madya dan menjadi Fakultas Ushuluddin Curup yang berdiri sendiri (tidak menginduk ke Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang).Dengan perjalanan waktu kemudian berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1997 Tanggal 21 Maret 1997. Fakultas Ushuluddin Curup diubah namanya menjadi STAIN Curup. Pengembangan program studi umum pada STAIN Curup menurut ketua STAIN didasarkan pada interpretasi Keputusan Menteri Agama nomor 502 tahun 2002 tentang STATUTA STAIN Curup. Pada bab III pasal 8 ayat 2 bahwa tujuan pendirian STAIN adalah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama Islam dan teknologi serta kesenian yang bernafaskan Isla, dan mengupayakan peggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat serta memperkaya kebudayaan nasional. Mengembangkan kesenian dan teknologi dan agama dimaknai secara luas sebagai landasan bagi pengembangan program studi umum di STAIN Curup. Aspek lainnya merujuk pada landasan filosofis, visi STAIN Curup menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, peng abdian pada masyarakat memiliki komitmen, mampu menghasilkan lulusan kompetitif, mantap dalam aqidah dan unggul dalam Ilmu pengetahuan. Sehingga misi yang
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 393
393
26/01/2015 09:48:05
NURUDIN
dikembangkan adalah Meningkatkan dan mengembangkan penataan Struktur Orga nisasi. Meningkatkan pelaksanaan tugas kelembagaan, dan meningkatkan kualitas SDM yang Islami. Jenjang pendidikan dan program studi yang dilaksanakan dan dikembangkan STAIN Curup adalah program Strata Satu (S.1) dilaksanakan pada dua jurusan, yaitu Jurusan Tarbiyah dengan prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Pendidikan Bimbingan dan Konseling (BK), Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Sedangkan jurusan dakwah hanya ada satu prodi, yaitu prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Pada program Diploma Tiga (D.3) yang dilaksanakan STAIN Curup adalah Program D.3 Komputer. Pengembangan STAIN dengan membuka program studi umum menurut ketua STAIN sangat menguntungkan, melihat kenyataan perkembangan masyarakat terhadap kebutuh an adanya prodi umum (stake holder sangat membutuhkan lulusan komputer, Bimbingan Konseling, Bahasa Inggris, Komu nikasi dan Penyiaran Islam dan lain-lain). Penyelarasan kemampuan output yang menguasai nilainilai agama dan kompetensi umum adalah karakteristik output yang diharapkan. Idealnya terwujud sarjana muslim yang ahli dalam bidang umum dan mempunyai karakteristik keIslaman yang memadai. Menurut pembantu Ketua Satu STAIN Curup, pengembangan prodi umum pada prinsipnya menjalankan misi STAIN Curup yang sejalan dengan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat dalam rangka ikut serta membentuk masyarakat Indonesia yang bermoral Islami dan berkepribadian Indonesia, serta mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan bangsa Indonesia khususnya dan kemaslahatan umat manusia pada umumnya.
394
Pembantu ketua dua menyatakan bahwa tujuan STAIN Curup mengembangkan prodi umum adalah melihat animo masyarakat yang tinggi terhadap adanya prodi umum tersebut, selain itu respon masyarakat yang tinggi ditandai dengan peningkatan jumlah mahasiswa pada prodi umum dari tahun ketahun. Pemerintah Daerah juga merespon baik terhadap keberadaan STAIN, bahkan tanah yang dimiliki STAIN Curup dulunya pemberian Bupati Ma’ali (1963/1964) dan diberikan juga kendaraan sebagai penghargaan pemda terhadap STAIN. Kedepan STAIN Curup dengan bantuan Pemda dan masyarakat menginginkan pengembangan STAIN menjadi UIN, dengan mengembangkan prodi umum secara lebi intensif. STAIN Curup yang merupakan penyangga bagi Kabupaten Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Pagar Alam. Masyarakat mendukung keberadaan STAIN karena beberapa alasan yaitu, letak geografis STAIN yang relative mudah dijangkau, secara klimatologis cocok untuk proses pembelajaran, dan biaya yang sangat terjangkau. Ditambahkan pembantu ketua dua, STAIN memiliki tanggung jawab moral karena STAIN merupakan satusatunya PTN di wilayah ini. Wilayah sekitar masuk ke STAIN ini mereka juga jauh dari wilayah. Kebutuhan masyarakat terhadap syarat-syarat umum tapi tidak hanya meniru pendidikan umum yang sudah ada tapi harus ada cirri khas. Pengembangan kurikulum prodi umum secara penuh memberi ilmu umum tapi ditambah juga ilmu agar sebagai nilai. Secara kompetensi kurikulum tidak ada yang dikurangi tapi ditambah agama. Tanggapan masyarakat dan pemerintah sebagai mitos sangat luar biasa (sangat mendukung), bahkan ke arah pengembangan UIN. Profil lulusan prodi umum sangat positif, Sudah meluluskan 100-an mahasiswa dari 2 generasi dan 95% sudah bekerja sesuai dengan bidangnya dan sebagian adalah PNS. Prodi umum peminatnya lebih besar dari prodi agama, namun diakui terjadi perilaku keagamaan yang berbeda antar mahasiswa
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 394
26/01/2015 09:48:05
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
prodi agama dan umum. Sikap keagamaan siswa prodi umum dirasakan kurang memiliki rasa keagamaan yang kuat. Prodi bahasa inggris misalnya mampu mengembangkan program kunjungan/penelitian dari luar tentang kebahasaan; mengirim ke luar negeri untuk belajar. Lama menyelesaikan pendidikan ratarata relatif cepat yakni 4,5 tahun. Demikian halnya prodi manajemen informatika yang cukup diminati masyarakat. Prodi ini didorong mampu memberikan penguasaan dasar-dasar ilmiah dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya. Menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sesuai dengan keahlian dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama.
Pengembangan Kelembagaan dan Program Studi STAIN Kedepan Keberadaan STAIN merupakan jawab an kebutuhan masyarakat akan lahir nya perguruan tinggi Islam di daerah yang berkualitas. STAIN lahir dikarenakan kebu tuhan masyarakat daerah akan adanya perguruan tinggi Islam berkualitas yang dekat dan secara geografis terjangkau. Stra tegi pengembangan STAIN dalam tiga ranah yaitu, Perluasan dan Pemerataan Akses; Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing; dan Penguatan Manajemen dan Tata Kelola. Perluasan dan pemerataan akses pada STAIN berfokus pada tiga hal pokok, yaitu: ketersediaan daya tampung, keterjangkauan ekonomi, dan keterjangkauan wilayah. Aspek keterjangkauan ekonomi, diharapkan mahasiswa miskin berpotensi akademik tinggi yang diterima di STAIN meningkat. Sedangkan dari keterjangkauan wilayah, keberadaan STAIN menjadi pendidikan tinggi penyangga di daerah.
Peningkatan Mutu, Relevansi, dan daya saing di fokuskan pada input mahasiswa, lulusan, dosen, karya ilmiah dan penelitian, per pustakaan, kurikulum, kelembagaan, dan jaringan kerjasama. Terkait dengan input Mahasiswa diharapkan kualitas input maha siswa S1 meningkat. Peningkatan kualitas input mahasiswa S1 di STAIN ditandai dengan nilai passing grade (standar nilai kelulusan) berada pada level menengah ke atas. Lulusan STAIN yang melanjutkan pendidikan pascasarjana diharapkan meningkat kedepan. Aspek yang penting juga pengembangan institusi STAIN dituntut mampu mengembangan jaringan kerjasama dalam pengelolaan institusi termasuk pembiayaan dengan lembaga pen didikan tinggi dan pemerintah daerah setempat. Pada aspek penguatan manajemen dan tata kelola, pelayanan akademik di STAIN diharapkan semakin baik dan profesional. Perencanaan program jangka panjang STAIN memiliki Rencana Strategis sehingga pemi lihan prodi dapat direncanakan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarkat peng guna. Memulai membangun prodi unggul tentu harus disiapkan berbagai hal yang nantinya diharapkan dapat mendukung terwujudnya prodi unggul dengan mengoptimalkan prodi yang tersedia. Sedangkan beberapa hal yang perlu disiapkan antara lain: 1). Sumber daya manusia yang handal. Artinya para pengelola yang kapabel, menguasai ilmu manejemen dan penerapannya. Demikian juga dengan dosen yang disamping menguasai bidang ilmu yang ditekuni secara baik, juga ada kemauan untuk membina mahasiswa dan memajukan lembaga melalui ilmu yang dikuasai. 2). Sarana dan prasarana yang cukup. Artinya dari aspek gedung, baik perkuliahan, laboratorium, perpustakaan, pengembangan ilmu, beserta kelengkapannya tersedia dengan cukup. Demikian juga fasilitas akses beberapa referensi melalui internet, tersedia dengan cukup. 3). Proses pembelajaran yang mendorong mahasiswa untuk maju. Artinya perkuliahan dilakukan dengan menggunakan EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 395
395
26/01/2015 09:48:05
NURUDIN
pengantar bahasa asing (Arab dan Inggris) dan menggunakan metode Active Learning for Higher Education, sehingga tidak ada seorang mahasiswapun yang tidak terlibat dalam pembahasan materi kuliah dan kajian-kajian lainnya. 4). Diasramakan. Artinya seluruh mahasiswa ditempatkan pada suatu tempat, baik di ma’had ataupun ditempat tertentu, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pembinaan yang intensif dalam berbagai hal (pembinaan akhlak, penguatan bahasa, pengkajian kitab dan lain-lain). Untuk mewujudkan prodi yang didesain seperti ini semua PTAI dapat melaksanakannya, meskipun baru dimulai dari satu prodi saja. Atas dasar pemikiran ini perlu kiranya STAIN mampu mengembangkan prodi yang unggul dan kompetitif dalam kapasitasnya sebagai pengembang keilmuan keIslaman.
PENUTUP Kesimpulan Program studi agama di STAIN Pontianak potensial terus dikembangkan, terlihat dari trend input mahasiswa yang stabil. Kondisi geografis dan demografis Kalimantan Barat sebagai medan dakwah sebagai kekuatan pengembangan prodi-prodi agama, sedangkan daya dukung yang memadai, menunjang pembelajaran dan peningkatan skill mahasiswa. Strategi pengembangan prodi agama yang memiliki karakter dan berkeunggulan terlihat pada prodi KPI yang jumlah mahasiswanya tidak terlalu besar namun lulusannya secara keseluruhan dapat diterima di masyarakat, lembaga pemerintah dan swasta.
Rekomendasi Program studi umum di STAIN Curup sangat diminati masyarakat, ditandai dengan peningkatan jumlah mahasiswa pada prodi umum dan tingkat keterserapan lulusan pada sektor formal yang tinggi. Penyelenggaraan
396
prodi umum berjalan cukup baik bahkan terkesan lebih di prioritaskan oleh pengelola STAIN. Kedepan, STAIN semestinya didesain mengembangkan prodi unggulan yang ber tujuan mewujudkan keselarasan output yang menguasai nilai-nilai agama dan kompetensi umum serta kebutuhan daerah setempat. Pemerintah (Kementerian Agama) perlu memberikan kepastian regulasi pembukaan prodi di STAIN, sehingga arah dan tujuan pengembangan Prodi yang unggul dan kompetitif, berorientasi pada kebutuhan masyarakat daerah dapat terwujud.
SUMBER BACAAN Akhmad Minhaji, Transformasi Paradigma Ilmu-ilmu keIslaman PTAI di Indonesia, Makalah Simposium Nasional Reinventing Pendidikan Islam Unggul dan kompetitif, di Yogyakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2011. Azyumardi Azra, IAIN Di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi dalam http://www. ditpertais.net/ artikel/ azyu01.asp 7 Sep 2011. Bernard Lewis, What Went Wrong? The Clash between Islam and Modernity in the Middle East (New York: Oxford University Press, 2002); idem, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (New York: The Modern Library, 2003); idem, From Babel to Dragomans: Interpreting the Middle East (Oxford: Oxford University Press, 2004). D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976). Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Renstra Pendidikan Islam 2010-2014, Jakarta, 2010. Edward W. Said, “Orientalism: An Exchange” The New York Review (12 Agustus 1982). Fazlur Rahman, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982).
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 396
26/01/2015 09:48:05
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
George Sarton, Introduction to the History of Science (Cambridge: Carnegie Institution of Washington, 1953). Gustave Le Bon, The World of Islamic Civilization, trans. David Macrae (Barcelona: Tudor Publishing Company, 1974). Makalah “Analisis Kritis Kurikulum PTAI, ditpertais.net/artikel/azyu01. Muhammad Mumtaz Ali, ”A Study of Western Scholarship on the Compability and Incompability of Islam and Modernization,” Islamic Quarterly XLVI no 2 (2002). Muhibbin, Eksistensi Penguatan Fakultas Unggul di PTAI: Pokok-pokok Pikiran tentang Upaya Memperkuat Prodi Keislaman, Makalah Simposium, Yogyakarta, 4-6 Oktober 2011. Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Laporan Penelitian “Pengembangan Program Studi Umum pada STAIN dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi Islam”, Jakarta, 2008.
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Kementerian Agama, Laporan Seminar Nasional “Penyelenggaraan Program Studi Umum di PTAI dan Pengaruhnya terhadap Prospek Prodi Agama” di Hotel Horison, Februari 2009. STAIN Pontianak, Profil STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak Tahun 2010. Sukadji Ranuwihardjo, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985). UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century, dan juga lihat, A. Malik Fadjar et. Al., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yadullah Kazmi, ”Islamic Education: Traditional Education or Education of Tradition?” Islamic Studies 42:2 (2003).
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 397
397
26/01/2015 09:48:05
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA Achmad Habibullah
Peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama & Keagamaan Jalan M. H. Thamrin Nomor 06 Jakarta
[email protected]
Abstract The opinion from studies on religious aspects of senior high school Islamic club summarized in this paper is important considering as lately there is a stronger tendency that Islamic club at school has became a religious movement that is spreading inclusive religious social attitudes. At the beginning of its formation, Islamic club is expected to be the arena for development of Islamic religious knowledge and insight for students that are not sufficiently explored in the activities of Islamic religious education lessons in the classroom. The study used a qualitative approach with in-depth interviews as the main instrument in eight cities in Indonesia, and seeks like to see the social religious attitudes of Islamic club activists associated with aspects of Islam in social life, Islam in the political life of the state, and Islam in gender equality. The findings show that in general high school Islamic club activists are more open and tolerant in neighboring life, but they expect the Islamic system can be the foundation. There is also a tendency that high school Islamic club activists expect that islam can be the foundation of our state system, in which the Islamic system of government (Khilafah Islamiyah) is the best alternative on the democratic system that has drawbacks. High school Islamic club activists in high school tend to put women in a subordinate position of men in both the domestic and the public sphere. Keywords: islamic club, social attitudes, politics, gender equality Abstrak Tulisan yang diangkat dari sebagian hasil penelitian tentang Keagamaan Rohis SMA yang terangkum dalam makalah ini menjadi penting dipaparkan mengingat akhir-akhir ini semakin menguatnya kecenderungan organisasi Rohis di sekolah menjadi sebuah gerakan keagamaan yang menyebarluaskan sikap sosial keagamaan yang insklusif. Pada awal pembentukannya diharapkan Rohis menjadi wadah pengembangan pengetahuan dan wawasan keberagamaan Islam yang ekslusif peserta didik yang kurang tergarap pada kegiatan-kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam di kelas. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam sebagai instrumen utamanya, yang dilakukan pada delapan kota di Indonesia, ingin melihat sikap sosial keagamaan aktivis Rohis yang berkaitan dengan aspek Islam dalam kehidupan sosial, Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, dan Islam dalam keseteraan jender. Temuannya menunjukkan bahwa pada umumnya aktivis Rohis SMA lebih bersikap terbuka dan toleran dalam kehidupan bertetangga, namun berharap sistem Islam dapat menjadi landasannya. Terdapat juga kecenderungan aktivis Rohis mengharapkan Islam menjadi landasan sistem kenegaraan, di mana sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) menjadi alternatif terbaik atas sistem demokrasi yang dipakai yang dinilai terdapat kekurangannya (mudharat). Terlihat juga kecenderungan aktivis Rohis di SMA yang bersikap menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinatif dari laki-laki baik di ranah domestik maupun publik. Kata Kunci: rohis, sikap sosial, politik kenegaraan, kesetaraan jender Naskah diterima 2 Oktober 2014. Revisi pertama, 2 November 2014. Revisi kedua, 15 November 2014 dan revisi terakhir 1 Desember 2014.
398
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 398
26/01/2015 09:48:05
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
PENDAHULUAN Berbagai pemberitaan di media massa mensinyalir bahwa Rohis (Rohani Islam) yang merupakan wadah pengembangan keagamaan Islam peserta didik di sekolah, telah menjadi tempat persemaian faham radikalisme dari kelompok-kelompok keagamaan radikal yang menyusup dalam kegiatan-kegiatan Rohis di sekolah-sekolah. Temuan beberapa penelitian yang dilakukan terkait dengan hal tersebut seperti yang dilakukan oleh LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) memang memperlihatkan adanya kecenderungan radikalisme di kalangan siswa SMA, walaupun dari siswa yang berkecenderungan radikalisme tersebut, hanya sebagian kecil merupakan aktivis Rohis.1 Tidak dapat dipungkiri kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan Rohis telah menjadi daya pikat dan magnet bagi beberapa peserta didik yang ingin memperdalam pengetahuan dan wawasan ke-islamannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin beragamnya kegiatan-kegiatan keagamaan yang dikemas Rohis. Mengapa kemunculan Rohis menjadi begitu fenomenal, karena dalam waktu relatif singkat telah menunjukkan eksistensinya di lingkup lembaga pendidikan yang namanya sekolah? Berbagai hal dapat menjadi penyebab begitu hidup dan eksisnya Rohis di sekolah. Diantaranya, dalam proses pembelajaran di kelas, sebagian guru menggunakan metode pembelajaran yang kurang memadai. Sebuah riset yang dilakukan Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, Jogjakarta Survei terbatas dilakukan LaKIP pada tahun 2010 mencakup 10 wilayah di Jabodetabek (lima kota di DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi) melihat kecil kemungkinan semaraknya faham radikalisme dipicu oleh kegiatan Rohis. Kecenderungan radikalisme tersebut dilihat dari dukungan siswa terhadap tindakan kekerasan berkaitan dengan isu-isu agama. Walaupun belum bertindak radikal, tetapi kesediaan mendukung terhadap tindakan kekerasan atas isu-isu agama hal itu sudah dikategorikan memiliki kecenderungan faham radikalisme. 1
mendapati pembelajaran pendidikan agama di sekolah selain tidak memadai dari banyak segi (kurang kontekstual tapi lebih tekstual, lebih banyak menggunakan metode ceramah yang monoton dan membosankan peserta didik untuk menyimak, dan sebagainya), juga bersifat sangat eksklusif. Pengembangan sikap eksklusif tersebut terlihat pada arah pembelajaran yang lebih bersifat dogmatik. Hal tersebut tidak hanya terjadi dalam konteks pembelajaran Pendidikan Agama Islam saja, tetapi juga terjadi pada guru-guru pendidikan agama lainnya, seperti pada pemebelajaran Pendidikan Agama Kristen. Sebagian guru agama Kristen di wilayah tersebut selalu terpaku pada pola pikir yang cenderung melihat bahwa pelajaran agama di Sekolah tidak jauh berbeda dengan pelajaran sekolah minggu di gereja. Sehingga dalam konteks ini, selain diajarkan ragam nyanyian rohani, peserta didik kebanyakan hanya di pandu untuk menghafalkan pengakuan iman, dan sedikit sekali di arahkan untuk memahami makna ajaran yang terkandung didalamnya.2 Temuan dari Insitut Interfidei, Yogyakarta, memperkuat citra profil guru pendidikan agama seperti itu, yaitu sebagian besar guru pendidikan agama selalu berkutat pada masalah klasik demi memperkuat identitas keagamaannya masing-masing. Kebanyakan para guru tersebut menjalankan aktifitas ritual keagamaan dalam kerangka lahiriah yang formalistik, yang mensyaratkan bahwa pola pengajaran agama harus diarahkan pada upaya memperkuat identitas kegamaan.3 Deskrispi tersebut tentu saja semakin menegaskan bahwa alih-alih menyuburkembangkan atmosfer multikulturalisme yang memiliki sebarannya pada sikap toleran dan pluralis para insan akademis, sebagian besar guru pendidikan agama justru terjebak 2 Lihat, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008, (CRCS UGM, 2008), dalam, http:// www.crcs.ugm.ac.id/ 3 Lihat, Listia,dkk, Problematika Pendidikan Agama di Sekolah, Hasil Penelitian Tentang Pendidikan Agama di Kota Jogyakarta 2004-2006, (Istitut Dian/Interfidei, 2007).
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 399
399
26/01/2015 09:48:06
Achmad Habibullah
pada sekat aliran yang selanjutnya diketahui bernama fundamentalisme.4 Pada akhirmya, fundamentalisme akan menjadi lahan subur untuk berkembangnya sikap-sikap dan perilaku keagamaan yang radikal. Begitupun dari sisi kurikulum yang ter sedia ataupun bahan ajar yang digunakan baik oleh para guru maupun peserta didik di berbagai sekolah, nyatanya juga sangat kuat mempengaruhi kondisi tersebut. Secara subtansi, materi-materi yang dimunculkan di buku bahan ajar, terutama pada buku bahan ajar Pendidikan Agama Islam terkesan masih sangat formalistik-ritualistik dan menekankan nuansa normatif. Misalnya, materi akidah disampaikan melalui pendekatan teologisteosentris, bukan teologis antroposentris yang justru dibutuhkan peserta didik guna menumbuh-kembangkan sikap inklusif dan pluralis bagi tata kehidupan mereka kemudian di masyarakatnya. Begitupun dengan muatan pembelajaran Ibadah terlihat cenderung formalistik-ritualistik. Keberlangsungan pembelajaran pendidik an agama yang demikian itu kemungkinan akan bersifat ganda. Pada satu sisi mempertebal semangat komitmen keagamaan peserta didik, namun pada sisi lain juga dikhawatirkan akan memperkuat semangat fanatisme beragama bagi peserta didik.5 Satu lagi faktor yang kemungkinan menjadi sebab semakin hidup dan eksisnya kegiatankegiatan keagamaan yang diselenggarakan 4 Term ini sederhananya dipahami sebagai sebuah keyakinan yang berupaya menjaga keteguhan prinsipprinsip dasar agama serta cenderung melihat ide-ide multikulturalisme dalam spektrum yang berlawanan. Dalam sejarahnya, aliran ini selalu berupaya menentang semangat pluralisme, terlebih sekularisme, yang dalam konteks dunia modern, sedang mendera tata kehidupan umat muslim secara umum melalui perantara modernitas. Lihat, Richard C. Martin, Defenders of reason in Islam: Mu’tazilism from medieval school to modern symbol (Oxford: Oneworld Publications, 1997). 5 Lihat, Fahrurrozi, Nilai-Nilai Ham Dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas (SMA) Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jurnal Studi Agama Millah, Vol. IV, No. 2, Januari 2005) dalam, http://www.msi-uii. net/Pendidikan%20dan%20HAM.pdf (di akses 6 Juni 2009)
400
Rohis di sekolah-sekolah adalah adanya perkembangan paradigma sekolah yang pada awalnya lebih berupaya mengunggulkan mutu akademis, tetapi atas memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang menginginkan juga anak-anaknya berkembang potensi spiritualitasnya, maka sekolahsekolah berusaha menumbuhkan nuansa keberagamaan di lingkungan sekolahnya, yang salah satunya adalah memberikan dukungan terhadap aktifitas keagamaan pada Rohis. Inilah kiranya dari berbagai faktor tersebut dapat kita amati fenomena tumbuh berkembangnya aktifitas Kerohanian Islam (Rohis) di lingkungan sekolah-sekolah. Artikel ini tidak dalam rangka mengangkat pengaruh guru pendidikan agama, baik pemahaman keagamaan maupun model pem belajaran yang dikembangkan guru dalam proses pembelajaran ataupun berkaitan dengan muatan kurikulum pendidikan agama yang diimplementasikan. Tetapi, artikel yang diangkat dari sebagian hasil pene litian ini mengungkapkan bagaimana sikap sosial keagamaan Rohis di SMA, yang berkaitan dengan tiga aspek, yaitu Islam dalam kehidupan sosial, Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, dan Islam dalam kesetaraan jender. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan diantaranya untuk mengetahui sikap sosial keagamaan Rohis SMA yang dilihat dari pemahaman aktivis Rohis berkaitan dengan Islam dalam kehidupan sosial, Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, dan Islam dalam kesetaraan gender. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dirumuskan sesuai dengan kebutuhan jenis data yang akan digali. Data tentang sikap dan pandangan para aktivis Rohis, termasuk para pembina Rohis, dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan sejumlah tokoh kunci yang terkait dengan gerak perkembangan Rohis di sekolah. Metode yang sama juga digunakan dalam konteks melacak persepsi sekaligus pandangan mereka terkait
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 400
26/01/2015 09:48:06
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
isu-isu sosial, politik, keagamaan, termasuk isu seputar kesetaraan jender yang tampaknya di Indonesia mulai tampak implementasinya. Selain menggunakan wawancara mendalam, penelitian ini juga melakukan observasi dan kajian literatur ataupun dokumentasi yang berkaitan dengan aktifitas keagamaan Rohis di SMA. Pembahasan subjek penelitian ini lebih banyak didasarkan pada data-data yang diperoleh melalui wawancara dengan pihakpihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak, dengan kehidupan keagamaan di sekolah, tepatnya Rohis. Untuk itu, sejumlah SMA dipilih di delapan (8) wilayah yang menjadi sasaran penelitian, DKI Jakarta, Kota Yogyakarta, Kota Semarang, Kota Bandung, Kota Medan, Kota Palangkaraya, Kota Manado, dan Kota Kupang. Dalam pengumpulan data lapangan, penulis dibantu oleh peneliti dari Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, serta peneliti dari UIN Jakarta. Penulis sebagai salah satu tim peneliti ditugaskan menulis bagian laporan hasil penelitian pada bab Sikap Sosial Keagamaan Rohis SMA. Pada laporan hasil penelitian utuhnya mencakup bab Rohis Sebagai Fenomena Keagamaan di SMA dilihat dari tinjauan historis, bab Jaringan Keagamaan dan Sumber Rujukan Keilmuan, dan bab mengenai Aktivitas Rohis, dan sebagainya.
Kajian Pustaka Untuk memahami sikap sosial keagamaan Rohis di SMA pada dasarnya tidak lepas memahami bagaimana gerakan keagamaan sekitar Rohis itu sendiri. Gerakan keagamaan di sini dipahami dalam kerangka umum yang sering digunakan beberapa pengamat sosial yakni sebuah gerakan sosial yang berkaitan dengan isu-isu spiritual atau hal-hal yang gaib (supernatural), yang menentang atau mengusulkan alternatif terhadap beberapa aspek dari agama atau tatanan kultural
yang dominan.6 Muncul dalam konteks lokal tertentu, gerakan keagamaan cendrung memosisikan satu spektrum pemikiran sebagai pelegitimasi pergerakan mereka secara umum. Terikait dengan hal ini, Diane Singerman, memaparkan bahwa model pergerakan komunitas ini dapat dengan mudah tercirikan melalui visi dan misi umum yang mereka jalani. Para anggota komunitas ini misalnya dengan keyakinan tinggi berupaya merancang agenda utama seputar persoalan-persoalan fundamental tentang makna hidup dan bagaimana praktik-praktik Islam hendaknya merasuki elemen keseharian kita mulai dari segi hukum, moralitas, ekonomi hingga politik pemerintahan. 7 Lebih jauh, mereka juga misalnya, sangat menjaga esensi identitas kolektif yang memang dibentuk dari adanya keselarasan tujuan dasar mereka. Dan dari perasaan identitas kolektif yang kuat itulah, rasa solidaritas tercipta dengan mengambil beragam sarana informal—seperti kampus, sekolah, ataupun masjid—sebagai sarana pemerkuat pembentukan solidaritas tersebut. Lebih jauh, sarana-sarana itulah yang pada akhirnya menjaga jaringan diantara mereka tetap terajut baik sehingga hasilnya dapat memobilisasi para anggotanya dalam sebuah kesatuan gerakan.8 Dalam kerangka teori itulah, sikap sosial keagamaan Rohis di bangun. Kharakteristik umum seperti yang telah terjelaskan di atas Terkait definisi term tersebut lihat misalnya, Mayer N. Zald dan Robert Ash. “Social Movement Organizations Growth, Decay, and Change” (Social Forces 44, 1966) hlm.327-340 serta Mayer N. Zald dan John D. McCarthy (eds.). The Dynamics of Social Movement: Resource Mobilization, Social Control, and Tactics, (Cambridge, MA: Winthrop,1979). 7 Kerangka teori tentang gerakan keagamaan siswa ini kami sandarkan pada buku Aktivisme Islam, Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Paramadina, 2007). Buku ini merupakan edisi Indonesia dari buku karya Quintan Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A Social Theory Approach, (Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press). 8 Lihat, Diane Singerman, Dunia Gerakan Sosial Islamis yang Berjejaring, dalam Quintan Wiktorowicz (ed.), Aktivisme Islam, Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Paramadina, 2007), 191-195. 6
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 401
401
26/01/2015 09:48:06
Achmad Habibullah
pada gilirannya menjadi catatan tersendiri tatkala kita mengamati pergerakan kerohanian Islam (Rohis) yang nyatanya, memiliki banyak kemiripan agenda. Jika diatas, term yang digunakan adalah gerakan keagamaan— bersifat global—maka selanjutnya, kita akan masukan kerangka tersebut dalam entitas yang lebih spesifik, sebuah term khusus yang dalam konteks ini kita namai, gerakan keagamaan siswa. Gerakan keagamaan siswa jelas berangkat dari sebuah pandangan bahwa sebuah pergerakan tak hanya merujuk pada satu entitas besar, namun lebih jauh, dapat pula mengacu pada satu entitas kecil yang terdapat di sebuah wilayah, tak terkecuali lembaga sekolah. Dalam konteks ini kehadiran Rohis pada sekitar awal tahun 80-an, memang memberi kecenderungan baru bagi arah pergerakan aktivisme Islam di kalangan peserta didik. Lembaga pendidikan, sekolah, akhirnya menjadi sarana efektif bagi sebuah proses sosialisasi paham keagamaan dan bersamaan dengan itu menjadi media diseminasi ideologi Islam tertentu. Ideologi yang dimaksud adalah sebagaimana yang dibawa oleh kaum yang meyakini kekuatan gerakan revivalisme Islam. Lebih jauh, dari sanalah, Rohis telah benar-benar merubah orientasi gerakannya, dari sebuah bagian kecil dari sistem sekolah, menjadi sebuah entitas yang lebih besar, sebuah gerakan keagamaan siswa, yang pada akhirnya mengkristal menjadi sikap sosial keagamaan Rohis di SMA.
Operasionalisasi Sikap Sosial Keagamaan Islam dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah bentuk relasi kehidupan antarindividual (antar-personal), antar-golongan ataupun antar-komunitas yang bernaung dalam sebuah kesatuan, masyarakat Di dalamnya, tercakup beberapa rumusan sikap yang akan turut mengiringi laju kehidupan bersama tersebut, diantaranya civic value, multikulturalisme, dan toleransi. Jika toleransi 402
sederhananya dipahami sebagai sebuah sikap individu, bisa juga kelompok, yang muncul ketika seseorang ataupun kelompok tersebut berhadapan dengan sejumlah perbedaan dan bahkan pertentangan di tengah masyarakat, maka multikulturalisme lebih jauh dipahami sebagai sebuah bentuk kerelaan diantara para komunitas tersebut untuk hidup dalam kerangka kemajemukan, baik dalam ranah etnis, agama, ataupun budaya, dalam suatu negara. Dalam tulisan ini, keduanya digunakan untuk mengetahui, sejauh mana sikap anggota Rohis dalam kehidupan sosial, utamanya sikap toleransi, yang mereka jalani di tengah masyarakat. Untuk memudahkannya, beberapa variebel yang selanjutnya dijadikan ukuran memperoleh gambaran utuh tentang sikap ini diungkap melalui serangkaian pertanyaan yang ditujukan baik kepada anggota maupun pembina Rohis di beberapa sekolah. Dari sanalah kemudian didapatkan pernyataan ataupun komentar yang pada gilirannya menjadi penjelas atas gambaran sikap para responden. Beberapa variabel pertanyaan yang mengemuka diantaranya, apakah sebaiknya anggota Rohis berteman dekat dengan orangorang yang beragama Islam saja, bahwa orangorang non Islam tidak akan senang dengan orang Islam sebelum orang-orang islam ikut agamanya, dan hanya Islam yang benar dan karena itu non-Islam harus masuk agama Islam. Selanjutnya, apakah keberatan bertetangga dengan orang yang berbeda agama? Jika ya, mengapa? atau keberatankah bila yang berbeda agama itu mengadakan acara kebaktian di lingkungan sekitar, keberatankah jika mereka yang berbeda agama itu memberi bantuan ke lembaga-lembaga Islam (pesantren, madrasah, mesjid, dsb) atau sebaliknya jika orang Muslim membantu lembaga-lembaga non-Islam (gereja, pura, vihara, kelenteng, kuil). Termasuk dalam hal cakupan variabel ini adalah apakah diperbolehkan guru-guru nonMuslim mengajar di sekolah Islam, madrasah
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 402
26/01/2015 09:48:06
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
atau pesantren, begitu juga sebaliknya, bagi guru Muslim yang mengajar di sekolah nonIslam. Kemudian, bagaimana pandangan mereka jika ada dalam keluarga (seperti anak, adik, kakak atau saudara dekat lain) dari mereka yang menikah dengan orang yang berbeda suku atau ras, terlebih berbeda agama? Dan bagaimana sikap terhadap aktivitas memberikan ucapan selamat (seperti Selamat Natal atau Selamat Waisak) kepada orang yang beragama lain, atau terhadap tindakan sekelompok orang yang menutup atau merusak rumah ibadah kelompok lain, bahkan lebih jauh, menyerang kelompok agama lain (seperti kasus Ahmadiyah). Islam dalam kehidupan politik kenegaraan. Kehidupan politik kenegaraan dalam bagian ini difokuskan pada beberapa isu utama yang mencakup diantaranya: relasi agama dan negara, evaluasi atas sistem demokrasi, dan realisasi sistem khilafah Islamiyah di Indonesia. Terkait beberapa fokus isu tersebut, beberapa variabel yang digunakan untuk mengukur sikap dan pandangan siswa mengenai hal ini terumuskan dalam bentuk pernyataan dan pertanyaan sebagai berikut; sejauhmana posisi agama dalam proses kehidupan bernegara di Indonesia dan bagaimana hubungan yang ideal keduanya; sejauhmana negara boleh mencampuri urusan kehidupan beragama, bagaimana pandangan tentang partai-partai Islam dalam pemilu, apakah pemerintah harus tetap mempertimbangkan pandangan agama dalam pengambilan semua keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat. Selain itu, dikarenakan bangsa Indo nesia adalah bangsa yang beragama, maka bagaimana kehidupan keagamaan seharusnya diatur, dan apakah aturan-aturan yang dibuat dan dijalankan negara harus sesuai dengan semangat Islam atau jika tidak sesuai, maka bagaimana prospek aturanaturan itu dikemudian hari, harus ditolak atau sebaliknya, didukung, apakah pemimpin negara harus beragama Islam, apakah setiap agama yang ada di dunia dewasa ini berhak
hidup dan berkembang di tanah air tanpa syarat dan memiliki hak yang sama dengan agama mayoritas di tanah air, dan apakah Kementerian Agama berhak melarang ber kembangnya ajaran agama yang dianggap menyimpang. Masih terkait dengan pertanyaan terakhir, apakah pemerintah mampu menjalankan fungsinya mengatur administrasi kehidupan beragama di tanah air, apakah demokrasi itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam, bagaimana pandangan tentang demokrasi di Indonesia, apakah lembaga-lembaga negara menjalankan fungsinya sesuai dengan semangat demokrasi, dan sebagai proses evaluasi diri, bagaimana pendapat responden tentang sistem demokrasi, masihkan harus dipertahankan atu sebaliknya, kita beralih ke bentuk sistem pemerintah Islam, terkait dengan ini, maka bagaimana kemungkinan diberlakukannya syariat Islam. Islam dalam kesetaraan jender. Keluarga yang baik adalah keluarga yang memberikan peran kepada seluruh anggota keluarga secara seimbang. Baik laki-laki dan perempuan mendapat akses yang sama dalam segala bidang. Melihat hasil perbincangan dengan para aktivis Rohis di berbagai daerah, terlihat bahwa umumnya, mereka berpendapat, peran perampuan dalam rumah tangga di ruang publik haruslah mengikuti kesepakatan yang dibentuk dalam rumah tangga dengan syarat semua ketentuan itu atas izin pihak suami.
HASIL DAN PEMBAHASAN Islam dalam Kehidupan Sosial Penelitian ini menemukan fakta bahwa dalam konteks kehidupan sosial, para aktivis Rohis SMA bersikap terbuka. Mereka bersedia menjalin hubungan sosial (diistilahkan dengan kata gaul) dengan pihak manapun, asalkan berada dalam kerangka Islami. Sebatas bahwa jalinan tersebut tetap menggunakan Islam sebagai landasannya dengan tidak sampai
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 403
403
26/01/2015 09:48:06
Achmad Habibullah
pada adanya pengupayaan pemisahan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Artinya, jalinan hubungan sosial yang dibangun tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan yang dilarang dalam ajaran Islam. Dengan berpegang pada konsep tersebut, para aktivis Rohis cenderung menerima fakta adanya kemajemukan di masyarakat. Kemajemukan merupakan sesuatu yang semestinya diterima apa adanya, itulah yang misalnya diungkapkan oleh Juan Arifianto, seksi perelangkapan rohis SMAN 4 Semarang. Dengan tegas ia menyatakan perbedaan yang terjadi di masyarakat tidak perlu dipermasalahkan karena memang manusia diciptakan secara berbeda-beda.9 Dengan nada mendukung pandangan ter sebut, Rahimin, Pembina Rohis SMAN 4 Palangkaraya, memaparkan secara tegas bahwa kemajemukan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri dan menjadi kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan penguatan atas kehidupan majemuk itulah, terjadinya riak-riak konflik akan mereda seiring berkembangnya sikapsikap arif dan bijaksana dari seluruh elemen masyarakat.10 Masih terkait dengan hal ini, Srimyati, Pembina Rohis SMAN 1 Bandung, memaparkan bahwa bagi orang yang sudah memiliki dasar, keragaman organisasi agama seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dan beberapa organisasi lain, tidaklah menjadi masalah. Baginya, mereka yang sudah mengerti kemajemukan tersebut di dalam dirinya tidak akan terjadi perselisihan. Yang jadi masalah adalah bagi mereka yang awam, yang baru aktif belakangan ini. Karena jika terjadi perbedaan pendapat, terkadang mereka saling memojokkan. Hal itu karena mereka tidak punya dasar kuat. Sebagai contoh, ketika menghadapi masalah khilafiyah, maka sebenarnya itu tidak perlu terjadi, jika 9 Wawancara dengan Juan Arifianto, Anggota Rohis SMAN 4 Semarang 10 Wawancara dengan Rahimin, Pembina Rohis SMAN 4 Palangkaraya.
404
saja kita memahami bahwa perbedaan adalah rahmat.11 Dengan demikian jelas bahwa mayoritas perangkat Rohis baik anggota maupun Pembina, memiliki kesamaan visi perihal kemajemukan. Adapun bentuk nyata dari sikap penerimaan atas kemajemukan tersebut dapat diamati misalnya dari sikap seseorang dalam memilih teman dekat. Hampir dalam setiap wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini, sebagian besar responden menjawab tidak setuju jika mereka hanya berteman dengan umat muslim saja. Ali, pembina rohis SMAN 11 Yogyakarta misalnya berpandangan bahwa pergaulan dengan sesama muslim saja justru akan membatasi dan mempersempit pandangan umat Islam terhadap masyarakatnya sendiri, dan pada gilirannya, justru akan memperkeruh hubungan antar agama di Indonesia yang masih sangat rentan dengan konflik.12 Hal senada ditambahkan oleh Budi Basuki, Pembina Rohis SMAN Semarang, yang menyatakan bahwa tidak pantas seorang muslim bergaul hanya dengan sesama muslim saja. Karena manusia hidup bermasyarakat, maka seorang muslim harus bersosialisasi dengan masyarakat lain tanpa memadang agama.13 Pandangan seperti ini persis seperti yang diungkapkan oleh Salahudin Dja’far, wakil ketua rohis SMAN 4 Menado. Menurutnya, sebagai majkhuk sosial, kita pun harus berteman pula dengan non muslim. 14 Begitupun dengan Srimyati, Pembina Rohis SMAN 1 Bandung. Menurutnya, sudah jelas kalau dalam masalah akidah kita harus menjaganya sendiri. Tapi dalam hal hubungan sesama manusia al-Quran sudah mengajarkan kita untuk berbuat baik. Bukan berarti kita mengikuti ibadahnya, tapi seperti 11 Wawancara dengan Srimyati, Pembina IKARIS/ Rohis SMAN 1 Bandung 12 Wawancara dengan Ali, Pembina Rohis SMAN 11 Yogyakarta. 13 Wawancara dengan Budi Basuki, Pembina Rohis SMAN 4 Yogyakarta 14 Wawancara dengan Shalahuddin Dja’far, anggota Rohis SMAN Menado.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 404
26/01/2015 09:48:06
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
yang dilakukan Rasulullah tetap berakidah kuat sembari berteman untuk mengajak mereka dengan ramah. Jadi terpenting manurutnya, harus ada toleransi, karena alQuran menjelaskan bahwa kita tidak bisa memaksakan agama kepada orang lain. Dan karenanya jelas, sebagai makhluk sosial kita akan saling membutuhkan.15 Dengan nada sama, Aldila Dyas Nurfitri, anggota seksi dakwah Rohis SMAN 3 Semarang, menjelaskan, sudah seharusnya kita mencari teman sebanyak-banyaknya. Jangan membedakan dari agamanya. Menurutnya, yang terpenting hanyalah bahwa kita harus membatasi diri dalam konteks tertentu.16 Bentuk lain dari sikap penerimaan ter hadap kemajemukan dalam bermasyarakat adalah dalam kehidupan bertentangga dengan yang berbeda agama. Sebagian besar responden yang diwawancarai dengan tegas menyatakan bahwa tak ada masalah ketika mereka harus hidup bertetangga dengan non muslim selama pihak non muslim tersebut tidak menggangu atau mempengaruhi kita untuk masuk agama mereka. Pendapat seperti itu misalnya disampaikan Makruf, ketua Rohis SMAN 29 Jakarta. Bahkan tak menjadi masalah jika nonmuslim mendirikan tempat ibadah di wilayah kita, karena itulah wujud penghormatan atas hak mereka dalam beragama.17Senada dengan Makruf, Anwari, guru Pendidikan Agama Islam yang juga pembina Rohis SMAN 3 Semarang, berpendapat yang sama. Menurutnya, selama tidak mengganggu, seperti menggunakan alat musik dengan suara yang cukup keras, tak masalah baginya untuk bertetangga dengan non muslim ataupun jika pihak non muslim tersebut melaksanakanan ibadah disekitar rumahnya.18 15 Wawancara dengan Srimyati, Pembina IKARIS/ Rohis SMAN 1 Bandung 16 Wawancara dengan Aldila D. Nurfitri, anggota Rohis SMAN 3 Semarang. 17 Wawancara dengan Makruf, Ketua Rohis SMAN 29 Jakarta 18 Wawancara dengan Anwari, Pembina Rohis SMAN 3 Semarang
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Budi Basuki, Pembina Rohis SMAN 4 Yogyakarta. “Saya tidak keberatan bila yang berbeda agama itu mengadakan acara kebaktian di lingkungan saya, karena kita harus menghormati hak dan kewajiban seorang umat beragama”.19 Begitu juga dengan Makruf, Ketua Rohis SMAN 29, dia menegaskan, boleh saja tetangga non-muslim melakukan ritual/peribadatan agamanya, karena itu merupakan hak dalam beragama. Asalkan tidak mengajak orangorang setempat mengikuti agamanya. Meski demikian, dari wawancara yang telah dijalani, terlihat bahwa secara umum, aktivis Rohis yang ditemui rata-rata membolehkan non-muslim menyelenggarakan kebaktian ataupun peribadatan di sekitar rumahnya, sejauh tidak menggangu lingkungan sekitar, terkhusus mengusik kehidupan mereka. Dengan mengacu pada keyakinan bahwa setiap warga memiliki hak untuk menjalankan kehidupan keberagamaan, maka menjaga pola multikultural di antara sesama warga masyarakat menjadi point penting yang selanjutnya mereka jadikan acuan ketika hidup bermasyarakat. Spirit yang sama, nampak ketika perbincangan diarahkan kepada respon mereka ketika melihat warga nonmuslim mendirikan tempat ibadah. Sebagai wujud pelaksanaan hak beragama, sebagian besar membolehkan umat lain mendirikan tempat ibadah sejauh memiliki izin dari pihak berwenang dan mendapat persetujuan dari warga setempat serta memiliki komitmen untuk tidak mempengaruhi warga setempat masuk agamanya. Dari beberapa hasil wawancara seperti terjelaskan diatas, terlihat bahwa secara umum, para responden mampu bersikap terbuka dan toleran terhadap kelompok agama lain, baik dalam kehidupan bertetangga, beribadah, ataupun dalam menerima fakta kemajemukan dalam wilayah kepemimpinan. Data yang diperoleh juga menyebutkan Wawancara dengan Budi Basuki, Pembina Rohis SMAN 4 Yogyakarta 19
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 405
405
26/01/2015 09:48:06
Achmad Habibullah
bahwa baik aktivis maupun pembina Rohis, cenderung tak berkeberatan terhadap non muslim yang menjadi tenaga pengajar di sekolah umum. Hanya saja, itu terbatas pada mata pelajaran umum, sedangkan untuk mata pelajaran agama, tetap bahwa mereka masih belum bisa menerima jika non muslim mengajar pendidikan agama. Pendapat positif juga disampaikan Anwari, pembina Rohis SMAN 3 Semarang. Menurutnya, justru dengan adanya guru non muslim yang mengajar di sekolah muslim itulah pada gilirannya akan semakin menambah keluwesan bagi para guru dan murid dalam pergaulan bermasyarakat.20 Namun, untuk konteks sekolah Islam, banyak pihak yang masih keras berkeyakinan bahwa guru non-muslim tidak seharusnya mengajar di sekolah Islam, seperti madrasah. Pandangan ini misalnya dipaparkan oleh Budi Basuki. Dalam kapasitasnya sebagai guru agama dan pembina Rohis SMAN 4 Yogyakarta, dengan tegas ia melarang guru non muslim mengajar di sekolah muslim karena menurutnya, dapat mengganggu kenyamanan masing-masing pihak dalam menjalankan tugasnya.21 Rahimin di SMAN 4 Palangkaraya mendukung pendapat ini, menurutnya tidak pantas guru non muslim mengajar di sekolah Islam, begitu juga sebaliknya guru muslim tidak diperbolehkan mengajar di sekolah non-muslim, karena tidak sesuai dengan visi dan misi sekolah Islam.22 Dari beberapa pendapat di atas, dapat digariskan bahwa sebagian responden mem perbolehkan guru non muslim mengajar di sekolah umum asalkan yang diajarkan adalah mata pelajaran umum. Namun demi kian, beberapa responden merasa khawatir jika non muslim tersebut mengajar di pesantren atau madrasah karena khwatir akan mempercampurkan keyakinan agama mereka.
Wawancari dengan Anwari, Pembina Rohis SMAN 3 Semarang 21 Wawancara dengan Budi Basuki, Pembina Rohis SMAN 4 Yogyakarta 22 Wawancara dengan Rahimin, Pembina Rohis SMAN 4 Palangkaraya 20
406
Selanjutnya, berkaitan dengan sikap penerimaaan sumbangan atau bantuan dalam bentuk uang atau barang dari lembaga non muslim kepada kaum muslim, seluruh aktivis dan pembina Rohis, merasa tidak keberatan bila bantuan tersebut diberikan secara tulus dan ikhlas demi kemanusiaan, bukan untuk maksud-maksud misionaris tertentu. Muhammad Alim, pembina Rohis SMUN 4 Menado misalnya menyatakan bahwa ia merasa tidak keberatan jika non muslim memberikan bantuan atau sumbangan ke lembaga muslim atau sebaliknya.23 Sementara itu, terkait pandangan menge nai pernikahan beda ras, suku, dan latar belakang budaya, hampir seluruh responden yang telah diwawancarai memiliki persamaan pandangan. Secara umum responden men jawab merasa tidak keberatan laki-laki atau perempuan muslim menikah berbeda suku, ras, dan latar belakang budaya. Namun, hal ini berbeda dengan pandangan responden mengenai pernikahan beda agama. Secara umum para responden menyarankan jika bisa dihindari sebaiknya jangan sampai terjadi pernikahan beda agama. Terkait dengan sikap dan keyakinan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang membawa kebenaran dan yang paling memberikan jaminan keselamatan kepada umat Islam, maka dalam rangkaian wawancara yang telah dilakukan mulai dari Medan, Jakarta, Bandung, Kupang, Palangkaraya, Menado, dan beberapa daerah lainnya, terdapat kecenderungan bahwa sebagian besar responden sangat menyetujui dan menyepakatinya. Namun demikian, tidak setuju pula jika mereka harus memaksakan Islam yang benar itu kepada orang-orang non muslim. Terlebih memaksakan kehendak kita agar mereka masuk Islam. Menurut mereka, memaksakanan kehendak, terlebih keyakinan agama, kepada orang lain, merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Selaras dengan pandangan tersebut, Ali, pembina pada Rohis Wawancara dengan Muhammad Alim, Pembina Rohis SMAN 4 Menado 23
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 406
26/01/2015 09:48:06
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
SMAN 11 di Yogyakarta menambahkan bahwa sejatinya ia setuju jika hanya Islam yang benar. Namun jika non muslim dipaksakan untuk masuk Islam, ia sangat menolak hal tersebut.“Saya tidak setuju, karena memaksakan kehendak kepada orang lain sesungguhnya perbutaan yang melampui batas, dan Tuhan tidak menyukai orang-orang yang berbuat demikian, dan di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa untukmu agamamu dan untukku agamaku. Jelas, tidak ada paksaan di dalamnya.”24 Pandangan tersebut terlihat sangat prinsipil bagi para responden. Dan ini disebabkan karena dalam faktanya, ini sudah masuk ke dalam wilayah pembahasan akidah.
Islam dalam Kehidupan Politik Kenegaraan
buah idealiasasi yang alhasil juga turut diyakini oleh para guru agama dan anggota Rohis di SMAN 4 dan SMAN 11 Yogyakarta. Dengan tegas mereka, seperti halnya dengan responden di Kupang, meyakini bahwa Islam mampu menjadi pedoman dalam membentuk perilaku masyarakat, dan karenanyalah, relasi agama dan negara harus selalu terjalin erat demi terciptanya negara yang ideal.27 Sedangkan tentang evaluasi atau penilaian terhadap sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia, meskipun pemahaman para aktivis tentang makna demokrasi, dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, cukup baik, namun mereka berkeyakinan bahwa makna demokrasi tersebut tidak sepenuhnya diterapkan oleh berbagai negara demokrasi, termasuk Indonesia. Dengan nada yang sama, seorang aktivis Rohis asal Jakarta berpendapat, “Menurut saya boleh-boleh saja sistem demokrasi diterapkan tetapi selama ini sistem demokrasi banyak menyimpang dari ajaran Islam”.28
Dari penelitian ini, terkait posisi agama dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia serta hubungan yang ideal di atara keduanya, hampir seluruh responden (aktivis dan pembina Rohis) menginginkan Islam menjadi landasan dalam bersikap dan berperilaku bagi bangsa dan negara. Pandangan seperti itulah yang banyak diyakini oleh para anggota Rohis, seperti misalnya Abdilah Azis, Ketua Rohis SMAN 3 Semarang. Menurutnya, Indonesia sudah semestinya untuk hidup dengan berlandaskan pada kerangka agama, dan Islam, sudah memberikan semua tuntunan dan aturan yang sempurna mengenai tata cara pemerintahan tersebut.25 Idealnya, kaidah-kaidah peme rintahan, termasuk sumber aturan dan kebijakannya, memang harus menggunakan dasar-dasar agama yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan kata lain, negara harus mampu mengatur kehidupan umat beragama, terutama dalam masalah muamalah.26 Se
Adapun, untuk merealisasikan idealisasi tersebut, maka sebagian besar anggota Rohis
Wawancara dengan Ali, Pembina Rohis SMAN 11 Yogyakarta 25 Wawancara dengan Abdilah Azis, Ketua Rohis SMAN 3 Semarang 26 Wawancara dengan Muhammad Alim, Pembina Rohis SMAN 4 Manado
Wawancara dengan Ali dan Budi Basuki di SMAN 4 dan 11 Yogyakarta 28 Wawancara dengan Makruf, Ketua Rohis SMAN 29 Jakarta 29 Wawancara dengan R. Fikri Asyafari, Ketua Rohis SMAN 70 Jakarta
24
Pun demikian pandangan yang diberikan Rosyikhuna FA, Ketua Rohis SMAN 70 Jakarta. Menurutnya, bentuk demokrasi di Indo nesia sangat tidak jelas keberadaannya. Terkadang bercorak liberal, tapi seringkali juga berkarakter, sosialis. Karenanya terlihat bahwa demokrasi belum mampu menjadi sistem yang konsisten. Dan karena sistem demokrasi tersebut masih bermasalah, maka sistem pemerintahan Islam, khilafah islamiyah, alhasil menjadi alternatif terbaik atas sistem demokrasi tersebut. Karena jelas, Islam pun telah mencakup definisi demokrasi seperti membela kepentingan rakyat, rasa saling membantu, bermusyawarah, dan beberapa prinsip demokrasi lainnya.29
27
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 407
407
26/01/2015 09:48:06
Achmad Habibullah
berkeyakinan, penting bagi segenap umat muslim, mendukung wakil-wakil rakyat berlatar belakang keagamaan kuat, duduk di jajaran pemerintahan, legislatif. Sehingga dari merekalah perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam dalam bermasyarakat dan bernegara akan benar-benar terwujud. Tentang hal ini, Makruf berpendapat, wajib hukumnya memilih caleg dari muslim, karena sejatinya, mereka yang akan mengurus pemerintahan ini haruslah paham akan aturan-aturan Islam. Dan para wakil rakyat yang mengerti hukum agama akan meyakini bahwa kehendak agama sesungguhnya adalah juga kehendak rakyat keseluruhan. Karenanya, mereka akan sungguh-sungguh menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang muslim dan sebagai seorang negarawan. Terlebih, ada prinsip utama yang diyakini oleh mereka bahwa berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan agama, resikonya akan masuk neraka. Maka, itulah pentingnya kita memilih orang muslim sebagai pemimpin pemerintahan.30 Lebih jauh, mereka berasumsi bahwa agama yang diturunkan oleh Tuhan sesungguhnya berfungsi untuk memudahkan usaha manusia, maka jika sistem Islam ditegakkan niscaya akan memudahkan rakyatnya. Lagi pula, agama Islam juga bersifat mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan aturan itu tertuang dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Maka dari itu, sudah saatnya agama menjadi sumber aturan untuk mengatur negara. Terkait hal ini, anggota rohis SMAN 29 berpendapat, “semua bidang kehidupan sudah ada dalam alQur’an, manusia tidak perlu merepotkan diri membuat undang-undang karena semuanya sudah diatur dalam agama. Pendapat sedikit berbeda disampaikan salah seorang pengurus Rohis SMAN 70 Jakarta, meskipun negara Indonesia menganut sistem demokrasi, bangsa ini masih memiliki ulil amri, pemimpinpemimpin agama sebagai penjaga syariat dan keutuhan umat Islam. Sejauh kebijakan30
Jakarta
408
Wawancara dengan Makruf, Ketua Rohis SMAN 29
kebijakan yang dikeluarkan oleh sistem negara demokrasi tidak keluar dari koridor syariat dan masih mendapat perseutujuan dari ulil amri maka umat Islam harus mematuhinya “sami’na wa ata’na”. Jika perbuatan negara tersebut sudah betul-betul jauh menyimpang dari ketentuan agama maka umat Islam harus mencegahnya sedapat mungkin. 31 Namun yang jelas, setiap usaha untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dan negara sejauh mengacu kepada sumber-sumber Islam yang otentik layak untuk didukung. Meskipun demikian, tidak semua kelompok yang berjuang menegakkan syariat Islam dapat didukung, banyak juga kelompok-kelompok mengatasnamakan Islam tetapi tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Maka dari sana jelas, bahwa menyangkut sistem Islami, para aktivis meyakini bahwa sistem pemerintahan Islami merupakan yang terbaik. Meskipun sudah banyak sistem pemerintahan yang diterapkan di muka bumi dengan berbagai ideologi yang mendukugnya, sistem pemerintahan Islami tetap menjadi pilihan terbaik. Para aktivis meyakini bahwa Islam telah menjadi idola di berbagai negara di berbagai belahan dunia karena menjamin keragaman masyarakat. Dengan mengacu pada beberapa kasus seperti Malaysia, yang dalam pandangan para anggota Rohis, mampu merealisasikan gagasan ideal tersebut, maka pada gilirannya, sistem khilafah inilah yang akan mendapat banyak simpati dari bangsa lain.32 Bentuk simpati dari bangsa lain itu menurut mereka, dapat dilihat misalnya pada kondisi dimana bank syariah, atau secara umum, ekonomi syariah, akan dijadikan referensi penting bagi sebuah pola perekonomian Islam global. Menurut para aktivis Rohis tersebut, untuk saat ini memang peran negara dalam memperhatikan umat masih kurang, dan 31 Wawancara dengan R. Fikri Asyafari, Ketua Rohis SMAN 70 Jakarta 32 Wawancara dengan Makruf, Ketua Rohis SMAN 29 Jakarta
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 408
26/01/2015 09:48:07
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
itu terutama pada kurangnya penekanan kepada perealisasian syariat Islam. Inilah yang dalam pandangan mereka sebab mengapa kemiskinan masih mendominasi kehidupan bangsa Indonesia.
Islam dalam Kesetaraan Jender Makruf, dari SMAN 29 menyatakan “Jika suami mengizinkan istri mencari nafkah kenapa tidak asalkan mendapat izin dari suami”. Lakilaki boleh berpoligami dengan syarat harus mendapatkan izin dari istri pertama, “Jika keduanya sudah setuju boleh melakukan poligami”. Akan tetapi responden merasa keberatan jika peristiwa ini terjadi pada kedua orang tua mereka. Bapak boleh kawin lagi jika si istri meninggal dunia, karena Rasululullah menikah lagi setelah istri pertamanya meninggal. “Rasulullah melakukan poligami setelah istrinya meninggal”.33 Para aktivis berbeda pandangan menyikapi fenomena poligami oleh para ulama. Menurut mereka tindakan seorang ulama melakukan poligami berdasarkan kepada perintah agama. “Justru karena mengatahui perintah agama itulah ulama melakukan poligami”, ujar salah seorang peserta diskusi. Mereka berpoligami untuk mendapatkan ridho Allah dan Rasulnya. Kalaupun banyak nada miring kepada Aa gym karena media massa ikut serta menciptakan opini tidak sehat terhadap kasusnya, padahal keluarga Aa Gym menyikapinya wajar-wajar saja. Pandangan berbeda disampaikan oleh salah seorang aktivis. Popularitas Aa Gym merosot drastis di mata masyarakat khsususnya kaum perempuan pasca berpoligami dengan salah seorang jamaahnya. Ini sebagai bukti bahwa masyarakat tidak menyetujui poligami. “Pamor AA gym semakin berkurang di mata ibu-ibu, karena para ibu tidak setuju dengan poligami sehingga orang yang poligami tidak bisa dijadikan contoh.34 33
Rohis 34
Wawancara dengan Makruf, Ketua dan pengurus
Dalam bidang pendidikan anak lakilaki mendapat peluang lebih besar dari perempuan, mereka berasumsi bila anak lakilaki disekolahkan terlebih dahulu nantinya akan mengajarkan si perempuan, anak lakilaki juga dapat membantu ekonomi keluarga. “Kalau bisa anak laki-laki lebih didahulukan, jika anak laki-laki disekolahkan si perempuan bisa belajar dari laki-lakinya, jika anak laki-laki bekerja manfaatnya bisa membantu keluarga” ungkap salah seorang aktivis SMAN 29 di Jakarta. Pandangan yang sama diberikan oleh R. Fikri dari SMAN 70 Jakarta. Menurutnya, memang sebaiknya anak laki-laki terlebih dahulu disekolahkan ketimbang perempuan, karena secara psikologis perempuan lebih dominan perasaan ketimbang laki-laki yang dominan pikiran. Dari perspektif agama lakilaki merupakan tulang punggung perempuan, untuk mencari nafkah, bekerja, dan lain-lain.35 Karenanya, terkait perda tentang perempuan, baik Makruf ataupun Fikri lebih melihat bahwa seyogyanyalah perempuan tidak bepergian di malam hari, dan jikapun terpaksa harus pergi, maka wajib baginya ditemani. Logika bahwa kejahatan ada di manamana, menyebabkan dalam banyak hal mereka sangat menyetujui jika pemerintah daerah membuat Perda terkait hal-hal tersebut. Karena inisiatif Pemerintah daerah membuat Perda pasti dilandasi oleh tujuan positif yang akan berguna bagi warganya dikemudian hari. Alhasil, jika respon dari masyarakat positif dan manfaatnya diharapkan oleh masyarakat luas, maka sejatinya, Perda tersebut memang perlu diperbanyak dan benar-harus dimaksimalkan penerapannya. Terkait masalah kepemimpinan, beberapa responden yang diwawancarai menyatakan bahwa sebagaimana anjuran para ahli fiqh, terkhusus perihal ketentuan imam dalam shalat berjamaah, maka sesuai surat alNisa ayat 34, dalam konteks kepemimpinan, diperlukan suatu keteguhan untuk menjadi Wawancara dengan R. Fikri Asyafari, Ketua Rohis SMAN 70 Jakarta 35
Wawancara dengan Vini, Mulyani, dan Adriyani
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 409
409
26/01/2015 09:48:07
Achmad Habibullah
seorang imam. Dan selagi masih ada laki-laki maka seharusnya laki-laki yang harusnya menjadi memimpin, apalagi menjadi presiden. Itulah mengapa, Budi Basuki, Guru Agama Islam SMAN 4 Yogyakarta, menegaskan ketidaksetujuannya pada presiden perempuan. Menurutnya, karena posisi presiden berkaitan dengan pengambilan keputusan penting dan sekaligus menjalankan amanah besar, maka keputusan yang baik seharusnya tidak disetai dengan perasaan, dan ini yang ditakutkan ketika presidennya adalah seorang perempuan. Sebagai contohnya, hal itu dapat dilihat pada kasus yang dialami oleh mantan presiden Megawati ketika bermasalah dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu masih menjadi menteri pada kabinetnya. Dari beberapa penjelasan di atas, setidak nya kita mengambil pemahaman bahwa pandangan serta sikap para aktivitas Rohis terkait isu-isu gender masih belum beranjak dari temuan yang dulu pernah diungkap, yaitu adanya kecenderungan eksklusif pada sebagian anggota Rohis, pun penelitian ini yang tampaknya juga menemukan kecenderungan yang sama. Para aktivis Rohis masih cenderung menempatkan perempuan—baik di lingkup domestik maupun publik— dalam posisi yang subordinat. Seraya mengafirmasi poligami sebagai sebuah realisasi ajaran syari’at Islam mereka juga terlihat memposisikan jilbab sebagai atribut wajib bagi perempuan. Selain itu, mereka juga tampak mementingkan posisi laki-laki baik dalam keluarga ataupun secara luas, dalam dunia politik kenegaraan.
PENUTUP Kesimpulan Dalam kaitannya dengan isu-isu jender, aktivis Rohis masih cenderung menempatkan perempuan—baik di lingkup domestik maupun publik— dalam posisi yang subordinat dari lakilaki. Seraya mengafirmasi poligami sebagai
410
sebuah realisasi ajaran syari’at Islam mereka juga terlihat memposisikan jilbab sebagai atribut wajib bagi perempuan. Selain itu, mereka juga tampak mementingkan posisi lakilaki baik dalam keluarga ataupun secara luas, dalam dunia politik kenegaraan. Yang mungkin perlu digaris bawahi dari penelitian ini adalah meskipun di satu aspek, semisal jender, sikap dan pandangan mereka cenderung seragam, namun pada aspek lainnya, hal itu terkadang berbeda. Hal itu ditemukan misalnya pada ragam sikap dan pandangan mereka dalam aspek keidupan sosial keagamaan. Dalam ranah kehidupan sosial, aktivis Rohis terlihat lebih bersikap terbuka dan toleran—menerima kehadiran komunitas non muslim dalam kehidupannya seharihari baik sebagai pengajar ataupun hanya sebatas hidup bertetangga—maka dalam kehidupan keagamaan, aktivis Rohis terlihat memiliki kekhususan sikap. Mereka misalnya, tetap akan menolak jika jamaah Ahmadiyah tetap diberikan kebebasan beragama. Sikap ini setidaknya dipengaruhi oleh keyakinan mereka yang secara prinsip memang terlihat mengambil posisi berlawanan dengan keyakinan agama lain. Dalam konteks ini, mereka dengan tegas meyakini bahwa Islam merupakan agama paripurna. Yang oleh karena itu, berharap bahwa sistem Islam selain harus menjadi landasan dan panduan umum dalam bersikap dan berperilaku, juga sejatinya harus menjadi dasar kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Secara politis, mereka berpandangan bahwa sistem pemerintahan Islam (khilafah islamiyah) pada giliraannya akan menjadi alternatif terbaik atas sistem demokrasi yang penuh kekurangan. Keyakinan bahwa Islam seyogyanya menjadi sistem kenegaraan, alhasil membuat Rohis secara aktif memperjuangkan beberapa agenda keislaman di tingkatan sekolah. Seperti aksi penganjuran penggunaan rok panjang bagi para siswi (akhwat) dan celana panjang bagi siswa (ikhwan) di lingkungan sekolah, dan
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 410
26/01/2015 09:48:07
SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
aksi-aksi lainnya (anti merokok, anti valentine day), menjadikan Rohis berhasil memainkan perannya sebagai sebuah representasi gerakan Islam kalangan pelajar.
Rekomendasi Melihat pada sikap sosial keagamaan aktivis Rohis di SMA seperti kesimpulan tersebut di atas, walaupun sikap sosial keagamaan tersebut masih sebatas “semangat dalam beragama”, tapi kiranya perlu disikapi dengan penuh perhatian agar semangat tersebut tidak kemudian menjurus dan berkembang kepada sikap dan perilaku yang radikal dalam menjalankan agamanya. Oleh Untuk itu, sebagai antisipasi berkembangnya sikap keberagamaan yang radikal di kalangan aktivis Rohis, khususnya di jenjang SMA, Direktorat Pendidikan Islam pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, perlu mengembangkan pendidikan agama berwawasan multikultural yang tidak hanya dapat diimplementasikan pada pembelajaran di kelas melalui kegiatan intrakurikuler PAI, juga mendorong kegiatan-kegiatan kajian keagamaan yang digagas dan dilaksanakan Rohis yang dapat menyemai sikap keagamaan yang toleran. Hal itu tidak hanya menjadi kepentingan Kementerian Agama, tapi juga pihak lainnya seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah, serta sekolah dapat mengawal kegiatan keagamaan Rohis yang toleran. Selain itu, perlu juga dilakukan penilaian melalui pengkajian mendalam yang dilakukan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan terhadap buku-buku teks dan buku-buku PAI lainnya yang bersifat pengayaan yang menjadi sumber bacaan peserta didik, terutama juga buku-buku yang dipergunakan aktivis Rohis di SMA yang dijadikan referensi permasalahan keagamaan. Perlu juga dihadirkan buku-buku bacaan keagamaan yang membawa pesan-pesan budaya damai
berdasarkan local wisdom (kearifan lokal) yang ada pada masing-masing daerah. Tak kalah pentingnya dari kedua reko mendasi tersebut di atas, para stakeholders perlu mendorong dan memfasilitasi terwujudnya dialog antar kelompok rohani peserta didik (kelompok rohani Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha) SMA agar dapat saling memahami perbedaan dan menghilangkan sekat-sekat komunikasi diantara mereka. Hal ini perlu dilakukan, dengan memahami bahwa sekolah merupakan miniatur kemajemukan masyarakat Indonesia.
SUMBER BACAAN Alatas, Alwi & Fifrida Desliyan, Revolusi Jilbab, Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri SeJabotabek, 1982-1991. Jakarta: Al-I’tishom, 2002 Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan, 1986. Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995. Bubalo, Anthony & Greg Fealy, Joining the Caravan, the Middle East, Islamism and Indonesia. Australia: Lowy Insitute for International Policy, 2005 Daminik, Said Ali. Fenomena Partai Keadilan, Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Bandung: Teraju, 2002. Effendy, Bahtiar. Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2009 Emmerson, Donald K, ed. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: PT. Gramedia, 2001. Frans Husken, dkk, ed. Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial: Indonesia Di Bawah Orde Baru. Jakarta: Grasindo, 1997.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 411
411
26/01/2015 09:48:07
Achmad Habibullah
Hadijaya, ed. Kelas Menengah Bukan Ratu Adil. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Jahroni, Jajang & Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Kuntowijoyo. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994. Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa, Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-2. Bandung, Mizan, 2005 Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Penerjemah. Satrio Wahono, dkk, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
412
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad 20. Jakarta: Serambi, 2004. Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press, 1996 Woodward, R. Mark, Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1998 Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2007
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 412
26/01/2015 09:48:07
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG Suprapto
Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Jl. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta Pusat
[email protected]
Abstract Religious understanding of Islamic studies lecturers in Pasundan University Bandung in this study is related to the relation between religion and state, relation between religion and tolerance, relation between religion and human rights, and relation between religion and gender equality. The findings include that the state should be involved in religious affairs in order to create order to avoid disharmony in inter-religious relations. The state has the authority to conduct enforcement in case of problems related to inter-religious relations. The conception of human rights in Islam is balance between rights and obligations. With regard to gender equality, there is a tendency that leadership in politics or government must be held by men, not women because men are destined to become the leader on earth. Nevertheless, the informants believe that women can be made leaders if there is no man who is able to become a leader. Keywords: religious understanding, Islamic studies lecturer Abstrak Paham keagamaan dosen PAI di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung dalam penelitian ini terkait dengan relasi agama dan negara, relasi agama dan toleransi, relasi agama dan HAM, seta relasi agama dan kesetaraan jender. Temuannya antara lain, bahwa negara harus terlibat dalam urusan agama dalam rangka menciptakan ketertiban agar tidak terjadi disharmoni dalam hubungan antar umat beragama. Negara memiliki otoritas untuk melakukan penertiban bila terjadi persoalan terkait dengan hubungan antar umat beragama. Konsepsi HAM dalam Islam yakni menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Terkait dengan kesetaraan gender, terlihat adanya kecenderungan pandangan bahwa kepemimpinan dalam politik ataupun pemerintahan harus dipegang oleh laki-laki, bukan perempuan. Karena laki-laki ditakdirkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Meskipun demikian, dalam pandangan informan seorang perempuan boleh saja manjadi pemimpin jika memang tidak ada laki-laki yang mampu untuk menjadi pemimpin. Kata Kunci: paham keagamaan, dosen PAI
PENDAHULUAN Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum (PTU) dalam bentuk Mata Kuliah Agama, menurut SK Mendiknas No.232/U/2000 dan No.45/U/2002, tidak masuk dalam materi tersendiri, akan tetapi masuk dalam materi Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK). Pendekatan baru dalam proses pembelajaran sudah mengalami restrukturisasi menggunakan model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dimana materi pengajaran keagamaan lebih mengedepankan aspek kompetensi tertentu ketimbang sebuah pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik.
Naskah diterima 22 Oktober 2014. Revisi pertama, 11 November 2014. Revisi kedua, 24 November 2014 dan revisi terakhir 2 Desember 2014.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 413
413
26/01/2015 09:48:07
Suprapto
PP No. 55 tahun 2007 pada pasal 1 ayat 1 ketentuan umum bahwa yang dimaksudkan dengan pendidikan agama adalah sebuah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam meng amalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan sekurang kurangnya melalui mata pelajaran / kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Hal ini berarti bahwa pendidikan agama merupakan mata kuliah tersendiri, tidak digabungkan dengan mata pelajaran/ mata kuliah lainnya pada semua jenjang pendidikan, termasuk pada bangku kuliah. Adapun fungsi dari pendidikan agama sendiri dalam pasal 2 ayat 1 PP No 55 tahun 2007 adalah membentuk manusia Indonesia yang beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama. Sedangkan dalam pasal 2 ayat 2, Pendidikan agama juga bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam pengem bangan ilmu pengetahuan, seni dan teknologi. Dan penanggung jawab pendidikan agama (dalam semu jenjang pendidikan adalah Menteri Agama (Pasal 3 ayat 2). Dalam SK No.43/DIKTI/Kep. 2006 ter cantum rambu-rambu pelaksanaan MPK ini di Perguruan Tinggi, khususnya rumusan visi, misi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar. Visi dan misi MPK memberi penekanan kepada pemantapan kepribadian mahasiswa sebagai manusia Indonesia seutuhnya, yang secara konsisten mampu mewujudkan nilainilai dasar keagamaan dan kebudayaan. Kompetensi dasar Pendidikan Agama adalah menjadi ilmuwan; (i) profesional, (ii) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (iii) berakhlak mulia, (iv) memiliki etos kerja, (v) berkepribadian dewasa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan. Hal ini berarti perbedaan teologis dan perbedaan
414
madzhab dalam masalah fiqihiyah tidak menjadi materi utama dalam pendidikan keagamaan di Pendidikan Tinggi Umum (PTU). Namun demikian, dalam implemen tasinya, kompetensi yang ingin dicapai dalam pendidikan agama tersebut, sulit untuk terealisasi. Ada beberapa hal yang menyebabkan tidak tercapainya kompetensi tersebut, antara lain; (a) sedikitnya jumlah sks untuk mata kuliah agama yang diberikan kepada mahasiswa, dan biasanya dilakuan pada semester awal masuk kuliah, (b) model dan sistem pembelajaran mata kuliah agama yang lebih cenderung dogmatif dan tidak kritis. Pendidikan keagamaan lebih bersifat monolog doktriner, tidak ada perdebatan dan adu gagasan.(c) materi kuliah keagamaan yang tidak memadai, (d) dosen yang tidak kompeten dan profesional. Akibatnya para mahasiswa banyak mencari dan mendapatkan pemahaman keagamaan diluar kampus. Mereka memperoleh pengetahuan dan pema haman keagamaan dari kelompok kelompok kajian keislaman, seperti kelompok kelompok halaqah/usrah atau kelompok studi ke-Islaman kampus yang formal seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK). 1 Selain yang formal, ada juga kelompokkelompok kajian Islam yang lebih informal dan bersifat underground, seperti Jama’ah Tabligh, Tarbiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, Salafi dan lainnya. Kelompok kelompok kajian Islam tersebut menawarkan banyak warna dan pendekatan dalam pemahaman ke-Islam-an, mulai yang tekstualis normatif, hingga yang kontekstualis liberal. Perbedaan pendekatan dalam pemahaman ke-Islam-an 1 Beberapa Lembaga Dakwah Kampus dapat disebutkan di sini: di IPB dan Untan ada Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM), di Universitas Hasanuddin (Unhas) ada MPM (Mahasiswa Pecinta Musholla), di Universitas Negeri Solo (UNS) ada Lembaga Dakwah Kampus (LDK), di Universitas Brawijaya (Unbraw) ada Unit Akitifitas Kerohanian Islam (UAKI), Universitas Andalas (Unand) ada Forum Kajian Islam (FKI), Jama’ah Salahuddin di UGM, Jama’ah Masjid Salman di ITB, Jama’ah Manarul Ilmi di ITS, Salam di UI dan lainnya.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 414
26/01/2015 09:48:07
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
yang mengakibatkan munculnya kelompokkelompok keagamaan di kampus mulai yang radikal ekstrim, fundamental, moderat, dan liberal. Perbedaan pendekatan tersebut juga menghasilkan perbedaan dalam aksiaksi keberagamaan. Fenomena munculnya radikalisme, fundamentalisme bahkan aksi terorisme di kalangan sebagian mahasiswa, merupakan bentuk kegagalan pendidikan agama di kampus. Penangkapan Pepi Fernando, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah dan Miko Yoshiko, alumni Universitas Jember (UNEJ) oleh Densus 88 terkait aksi terorisme, membuktikan bahwa kampus sebagai menara gading intelektual yang selalu berpikir kritis, tidak bebas dari pengaruh radikalisme dan aksi terorisme. Melihat hal di atas, dipandang penting untuk dilakukan penelitian terkait dengan paham keagamaan dosen mata kuliah Pen didikan Agama Islam Universitas Pasundan (Unpas) Bandung. Penelitian difokuskan pada 3 (tiga) isu strategis: pertama, faham keagamaan dosen mata kuliah agama di Unpas terkait masalah relasi antara agama dengan negara, toleransi, kesetaraan gender, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, mekanisme dan sistem rekrutmen dosen agama di Unpas. Dan ketiga, proses pendidikan mata kuliah agama Islam di Unpas yang dilihat dari segi kurikulum, sistem pembelajaran, sarana/fasilitas, sumber belajar dan evaluasi belajar Tujuan penelitin adalah: pertama, meng analisa faham keagamaan para dosen pengajar mata kuliah agama di Unpas terkait masalah relasi antara agama dengan negara, toleransi, kesetaraan gender, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kedua, menganalisa mekanisme dan sistem rekrutmen dosen agama di Unpas. Ketiga, menganalisa proses pendidikan mata kuliah agama di Unpas dari segi kurikulum, sistem pembelajaran, sarana/fasilitas, sumber belajar dan evaluasi belajar.
Kerangka Konseptual Konsep dan dimensi keberagamaan Agama merupakan dimensi kebutuhan hingga kini bahkan ditempatkan sebagai intitusi kultural yang sentral oleh masyarakat. Agama dikonsepsikan sebagai sistem kepercayaan dan praktek dimana suatu masyarakat atau kelompok berjaga-jaga menghadapi berbagai persoalan. Agama merupakan seperangkat jawaban koheren atas dilema keradaan manusia sehingga menjadikan kehidupan yang lebih bermakna. Menurut Glock and Stark, terdapat 5 (lima) dimensi keberagamaan, yaitu: keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan dan dimensi konsekuensi.2 Dimensi keyakinan diindikasikan dengan berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin teologis tersebut. Dimensi praktik agama diindikasikan dengan mengerjakan atau adanya perilaku ritual dan ketaatan terhadap agama yang dianut. Dimensi pengalaman dindikasikan dengan perasaanperasaan atau persepsi-persepsi yang dialami yang mengkomunikasikan esensi ketuhanan. Dimensi pengetahuan, diindikasikan dengan pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan. Dimensi konskuensi, diindikasikan sebagai akibat dari keyakinan kegamaan, praktik, pengalaman dan pengetauan seseorang dalam bentuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara Benda dan Corwyn, untuk mengukur keberagamaan seseorang dapat dilakukan melalui: 1) kehadiran ke tempat ibadah (chruirch attendence), 2) waktu beribadah (time is prayer), 3) mempelajari kitab suci (study the bible/holy book), 4) aktivitas di tempat ibadah (study in chruch), 5) keterlibatan/ kontribusi keuangan (financial contribution), 6) menikmati kehidupan beragama (share joy and problem of relegion life), 7) membicarakan masalah-masalah agama dalam keluarga atau 2 Bafadal AR Fadhal. 2005. Pengalaman Agama di Kalangan Pemuda, Jakarta, Sekjen Departemen Agama RI, hal.10
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 415
415
26/01/2015 09:48:07
Suprapto
dengan teman-teman (talk about relegion with family and friends) dan 8) mencoba untuk memeluk agama beribadah (try to convert some one).
misalnyamaka terjadi proses internalisasi sehingga membentuk struktur psikis (perasaan) tertentu sebagai pengalaman beragama.
Emile Durkheim merumuskan setiap agama, terutama agama wahyu, memiliki tiga dimensi dasar keberagamaan (religiousitas).3 Pertama, adalah keyakinan beragama (religious belief) yang disebut pula sebagai dimensi idiologis (ideological dimension). Dimensi ini berkaitan dengan pengakuan dan penerimaan terhadap sesuatu atau dzat “ yang sakral”, “Yang Maha Besar” sebagai suatu kebenaran, atau suatu kenyataan. Keyakinan beragama, meliputi dua aspek yaitu nilai relijius (religious values) dan kosmologi (cosmologi). Nilai relijius berkaitan dengan konsepsi tentang apa yang dipersepsi sebagai sesuatu “ yang baik atau buruk”, “yang pantas dan tidak pantas”, “yang benar dan yang salah””yang tepat dan tidak tepat” menurut keyakinannya. Nilai relijius dapat membentuk perilaku seseorang dalam kehidupan sosialnya. Sedangkan kosmologi berkaitan dengan penerimaan atau pengakuan tentang penjelasan mengenai divinitas, alam gaib, termasuk kehidupan, kematian, surge, neraka dan lainnya. Kedua, praktek keagamaan (religious practice) atau dimensi ritualistic (ritualistic dimension). Dimensi ini berkaitan dengan aspek peribadatan termasuk upacara-upacara peribadatan yang dilakukan pemeluknya dalam rangka mnyembahTuhan yang diyakini. Dengan demikian dimensi ini lebih merupakan manifestasi keyakinan yang dimiliki pemeluknya. Ketiga, adalah pengalaman beragama (religious experience dimension) yang meliputi perasaan dan persepsi tentang proses kontaknya dengan apa yang diyakini sebagai sebagai “the ultimate reality”, “devine power” 4atau Sang Ilahi, serta penghayatan terhadap hal-hal yang relijius. Ketika mendengar bacaan al Qur’an,
Paham Keagamaan
3 Emile Durkheim. 1997. The Elementary Form of the Religious Life, Free Press, New York, hal.439 4 Keith Roberts. 1984. Religious in Sociological Perspective, Homewood, Illinois, hal 96-104
416
Bentuk implementasi faham keagamaan adalah corak berfikir keagamaan, yaitu suatu bentuk, pola, model atau struktur berfikir seseorang yang dihasilkan dari proses belajar berlandaskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya sehingga pemikiran tersebut menjadi landasan untuk beraktivitas. Bentuk berfikir keagamaan, menurut Azyumardi Azra dapat dikelompokan menjadi tiga tipe, yaitu: a) Eksklusivisme ekstrim adalah jenis eksklusivisme yang sangat tertutup, dikotomi (benar-salah), dan radikal. Kelompok ini hanya membenarkan mazhabnya sendiri dengan serta merta menyalahkan, menyesatkan, dan mengkafirkan mazhab lain. b) Inklusifisme, adalah liberalisme moderat, plus keyakinan adanya sejumlah non muslim yang bisa selamat (masuk surga) karena beriman kepada Allah, kepada hari akhir dan beramal saleh. Kelompok ini memandang siapapun dapat masuk surga karena memiliki keyakinan kepada Allah dan percaya kepada hari akhir dan beramal saleh. 3) Liberalisme ekstrim adalah kelompok yang tidak membeda-bedakan lagi agama. Menurut kelompok ini, semua agama, terutama agamaagama besar, pada hakikatnya adalah Islam. Karena itu, semua agama karena sama-sama Islam adalah benar. Yang membedakan antara agama Islam dengan agama lainnya hanyalah dalam segi kualitasnya.5
Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di Universitas Pasundan Bandung dengan pertimbangan perguruan tinggi tersebut merupakan universitas pendidikan dan non Kependidikan. Universitas 5 Azyumardi Azra. 1998. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 224
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 416
26/01/2015 09:48:09
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
ini memiliki dinamika aktifis ke-Islam-an dan pengaruhnya pada tingkat lokal dan nasional serta dinamika politik lokal yang berkembang terutama menyangkut isu isu radikalisme keagamaan maupun konflik agama. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2013 melalui pengamatan, studi dokumentasi dan wawancara. Hasil peng amatan dan wawancara mendalam direkam dan dicatat secara sistematis. Selan jutnya dilakukan pengklasifikasian atau pengkategorian data tentang kebijakan pendidikan agama dan proses pembelajaran. Visi dan misi Unpas dianalisa ada-tidaknya kaitan antara paham keagamaan para dosen dan proses pembelajaran mata kuliah agama dengan penerapan nilai nilai keagamaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Universitas Pasundan (Unpas) Universitas Pasundan berdiri pada 14 Nopember 1960. Kehadiran dan pengembangan Universitas ini tidak bisa dilepaskan dari tujuan dan cita-cita organisasi Paguyuban Pasundan yang lahir pada 1914. Organisasi inilah yang awal mula membidani kelahiran universitas itu sebagai pengejawantahan pengabdian Paguyuban Pasundan dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.6 Pada awal berdirinya, ada dua fakultas yang mendukung kehadiran Unpas, yaitu Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Di Fakultas Hukum ada dua jurusan: (1) Hukum Perdata dan (2) Hukum Pidana. Adapun di Fakultas Sosial dan Ilmu Politik ada beberapa jurusan: (1) Administrasi Negara; (2) Kesejahteraan Sosial; dan (3) Hubungan Internasional. Karena meningkatnya kebutuhan dan tuntutan masyarakat, maka di dua fakultas ini dibuka jurusan baru; yaitu
Jurusan Administrasi Niaga dan Jurusan Ilmu Komunikasi untuk FISIP serta Jurusan Hukum Tata Negara untuk Fakultas Hukum. Namun, sejak 1993 berdasarkan keputusan Konsorsium Ilmu Hukum jurusan tersebut diubah menjadi bagian.7 Selanjutnya, pada 1961 Unpas membuka fakultas baru; yaitu Fakultas Teknologi (FT) dengan jurusan Teknologi Makanan dan Teknik Produksi. Namun, kemudian jurusan Teknologi Makanan berubah menjadi Jurusan Teknologi Pangan, dan Jurusan Teknik Produksi berubah menjadi Jurusan Teknik Industri. Sepuluh tahun kemudian (tepatnya pertengahan dasawarsa 70-an), Unpas membuka kembali fakultas baru; yaitu Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Hingga saat ini Fakultas Ekonomi mempunyai tiga jurusan: (1) Jurusan Manajemen, (2) Akuntansi, dan (3) Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Sedangkan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan mempunyai lima jurusan: (1) PPKN, (2) Pendidikan Ekonomi Akuntansi, (3) Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, (4) Pendidikan Matematika, dan (5) Pendidikan Biologi.8 Seiring dengan berjalannya waktu, Universitas Pasundan mengalami kemajuan, terutama dalam pengembangan Fakultas dan Jurusan/Program Studi/Program Kekhususan. Hal ini terlihat pada gambaran berikut: 9 pertama, Fakultas Hukum, dengan Program Ilmu Hukum terdiri dari Program Kekhususan Kepentingan Individu dan Masyarakat, Penegakan Hukum Pidana, Kebijakan Hukum dan Politik, Hukum Ekonomi Internasional. Kedua, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, terdiri atas Jurusan Administrasi Negara, Kesejahteraan Sosial, hubungan Internasional, Administrasi Niaga, dan Ilmu Komunikasi. Ketiga, Fakultas Teknik, terdiri atas Jurusan “Buku Panduan Mahasiswa … …”, hal. 3. “Buku Panduan Mahasiswa … …”, hal. 3. 9 Dikutip dari “Buku Panduan Mahasiswa … …”, hal. 7
Lihat Buku Panduan Mahasiswa Tahun Akademik 2013/2014”, Penerbit: Universitas Pasundan, hal. 3; lihat pula profil Pasundan University, hal. 6.
8
6
3-4.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 417
417
26/01/2015 09:48:09
Suprapto
Teknologi Pangan, Teknik Industri, Teknik Mesin, Teknik Informatika, Teknik Lingkungan dan Teknik Planologi (Perencanaan Wilayah Kota). Keempat, Fakultas Ekonomi, terdiri dari Jurusan Manajemen, Akuntansi, dan Ekonomi Pembangunan. Kelima, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, terdiri atas Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Ekonomi Akuntansi, Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi dan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Keenam, Fakultas Ilmu Seni dan Sastra, terdiri atas Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fotografi dan Film, Seni Musik, dan Sastra Inggris. Ketujuh, Fakultas Pascasarjana, terdiri atas Program Magister Ilmu Administrasi, Program Magister Manajemen, Program Magister Teknik dan Manajemen Industri, Program Magister Hukum, dan Program Magister Teknologi Pangan, Program Magister Pendidikan Matematika dan Program Magister Teknik Mesin. Selain Program Magister, juga dikembangkan Program Doktor, yang terdiri dari Program Doktor Ilmu Manajemen dan Program Doktor Ilmu Sosial/BKU Ilmu Administrasi Publik dan Program Doktor Ilmu Hukum. Visi Universitas Pasundan adalah menjadi komunitas akademik peringkat internasioal yang mengusung nilai Sunda dan Islam. 10 Misi Universitas Pasundan adalah: a) menyelenggarakan pendidikan tinggi bertaraf internasional, b) mewujudkan penelitian bertaraf internasional, c) menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat untuk meningkatkan martabat manusia, d) menjaga, memelihara dan mengembangkan budaya Sunda, dan e) menjaga, memelihara dan mengembangkan Syi’ar Islam. 11 Paham Keagamaan Dosen Agama PAI 10 Dikutip dari “Buku Panduan Mahasiswa … …”, hal. 7; lihat pula profil Pasundan Unversity, hal. 7. 11 Dikutip dari “Buku Panduan Mahasiswa … …”, hal. 7; lihat pula profil Pasundan University, hal. 7.
418
Dosen agama PAI di Unpas berjumlah sekitar 14 orang. Dari jumlah ini hanya 9 orang yang termasuk dosen tetap (8 orang laki-laki dan 1 orang perempuan). Selebihnya dosen tidak tetap. Mereka mengajar di sejumlah fakultas, yaitu: (1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP); (2) Fakultas Ekonomi; (3) Fakultas Hukum; (4) Fakultas Teknik; (5) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan; dan (6) Fakultas Ilmu Seni dan Sastra. Latar belakang mereka tampaknya cukup beragam. Ada dari IAIN (sekarang UIN) Bandung, UNISBA (Tarbiyah), dan IKIP (sekarang UPI). Umumnya mereka lulusan Pendidikan Agama Islam. Namun, meskipun tidak dari IAIN/UIN yang penting mereka menguasai bahasa Arab.12 Di samping mengajar, dosen agama PAI juga aktif di berbagai organisasi keagamaan di tingkat provinsi. Misalnya, mereka aktif di NU, Muhammadiyah, dan GP Anshor. Mereka yang aktif di organisasi keagamaan tersebut juga menularkan ide-idenya kepada mahasiswa pada saat perkuliahan Pendidikan Agama Islam.13 Namun, ada juga di antara mereka yang memiliki pondok (kecil), yang ada kegiatan belajar mengajar.14 Salah seorang informan mengatakan bahwa latar belakang dosen agama PAI memengaruhi pemikiran/faham keagamaan mereka, termasuk latar belakang keluarga/ orang tua mereka. Tidak hanya itu, karakter pribadi masing-masing juga turut memengaruhi pemikiran keagamaan mereka. 12 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013; wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013; wawancara dengan koordinator dosen agama PAI, 22-72013. Penting dicatat, berdasarkan wawancara informan umumnya menyatakan bahwa dosen agama PAI lulusan Pendidikan Agama Islam. Meskipun demikian, dilihat dari curriculum vitae responden memang mereka berasal dari IAIN/UIN, namun fakultas/jurusan/program yang diambil beragam. Ada yang lulusan Fakultas Ushuluddin, Perdata Pidana Islam, Dakwah, dan Syari’ah (Hukum Islam) Jurusan Tafsir Hadist 13 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 22-72013. 14 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 17-72013.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 418
26/01/2015 09:48:09
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
Namun, bagaimanapun, sebagaimana tertera dalam visi Unpas, dosen agama PAI dituntut untuk selain membudayakan budaya Sunda juga menumbuhkan syi’ar Islam.15
Relasi Agama dan Negara Perbincangan tentang relasi agama dan negara diawali dengan diskusi mengenai sistem pemerintahan dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara dan sistem pemilu dalam memilih presiden dan anggota parlemen. Seorang informan berpandangan bahwa Pancasila dan UUD 45 tidak ada masalah sebagai dasar negara dan sistem pemilu dalam memilih presiden dan anggota parlemen. Namun, yang bermasalah justru sekarang ini adalah pemimpin-pemimpin yang ada di pemerintahan.16 Informan lain menyatakan bahwa secara umum pemerintah sudah mengayomi, karena Pancasila mengakomodir keberagaman, dan juga menghargai perbedaan.17 Lagi pula falsafah negara (Pancasila) itu lahir dari kompromi dari berbagai pihak dan aliran, yang di dalamnya mengajarkan sikap toleran.18 Selanjutnya, mengenai penegakan hukum Islam di Indonesia seorang informan mengatakan penegakan hukum Islam itu sesuatu hal yang bagus, tapi apakah sudah siap umat Islam di Indonesia. Ini tergantung pada pribadi masing-masing. Apakah Hukum Islam bisa jadi acuan? Menurutnya, karena hukum Allah itu mutlak dari segi penerapannya maka untuk saat ini masih tidak memungkinkan.19 Hal ini selaras dengan pandangan informan lain bahwa negara kita mayoritas muslim tapi bukan negara Islam dan tentu saja penegakan hukum pada aturan Islam agak sulit 15 16
2013.
diberlakukan.20 Memang, seperti dikatakan salah seorang informan, tidak ada umat Islam yang tidak setuju dengan hukum Islam. Hanya persoalannya, apakah hukum Islam itu bisa diterapkan? Yang masih mengkhawatirkan adalah pemahaman umat Islam yang masih parsial dan dikotomis terhadap ajaran Islam, dan belum beraklhak sebaimana ajaran Islam sehingga bercitra buruk atau tidak maslahat terhadap umat dan ajaran Islam. Menurutnya, apa artinya nama Islam kalau di dalamnya belum tercermin sifat seorang muslim.21 Salah seorang informan mengatakan bahwa sistem demokrasi yang sekarang ini kita kembangkan lebih mengembangkan konsep Barat. Padahal berbeda dengan budaya kita, kita seharusnya menerapkan musyawarah. Dan, menurut konsep Islam itu menghargai orang lain.22 Ini sejalan dengan informan lain yang mengatakan bahwa lebih pas dengan musyawarah mufakat sebagaimana tertera dalam sila keempat. Menurutnya, demokrasi sekarang mahal, setiap pilkada berapa ratus kalilipat uang dikeluarkan, padahal itu lebih bermanfaat dipakai buat rakyat. Jadi, untuk sekarang Indonesia belum siap berdemokrasi.2326 Untuk melaksanakan hukum Islam para informan tampaknya cenderung berpendapat tidak perlu dibentuk negara Islam. Sebagaimana dikemukakan salah seorang informan bahwa negara Islam tidak perlu dibentuk, yang penting nilai-nilai Islam diterapkan. Namun, seringkali nilai-nilai Islam menjadi dangkal karena penafsiran, padahal penafsiran itu selalu berkembang. Dia mengibaratkan suatu saat misalnya kita melewati kebun jagung, tapi di dalamnnya rumput, apakah masih bisa dibilang kebun jagung. Jika memang ada buah jagung sudah pasti jadi kebun jagung. Itu yang
Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 17-7-
Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 18 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 22-7-
20
17
2013.
19
2013.
Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 17-7-
21
2013.
Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 22-7-
Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 26 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 22 23
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 419
419
26/01/2015 09:48:09
Suprapto
jadi persoalan sekarang ini terkait dengan pendangkalan nilai-nila tersebut.2427 Sejalan dengan itu, informan lain juga mengatakan bahwa sebagai warga negara tentu saja akan mengikuti pemerintah, rasanya sulit untuk membentuk negara Islam. Oleh karena itu, yang penting bagaimana caranya melaksanakan syariat Islam. Bagaimana meningkatkan kualitas orangnya dalam konteks Islam, itu jauh lebih baik.2528 Yang penting --menurut salah seorang informan -- aturan-aturan yang dikeluarkan negara mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits. Namun, dalam kasus undang-undang pornografi – misalnya-- kenapa susah disahkan? Padahal sudah jelas dalam Al-Qur’an kalau itu haram. Dalam konteks agama, seharusnya itu segera disahkan. Tapi banyak pertimbangan dari pemerintah karena negara dipimpin oleh orang Islam yang kurang memiliki spirit ke Islaman yang “Universal” tentang baik dan buruk. 2629
di masyarakat umumnya akan menimbulkan konfilk.2831 Di situlah pemerintah harus berperan. Jika pemerintah terlibat dalam menertibkan masyarakat, maka tidak perlu ada FPI --misalnya-- karena negara punya otoritas. Lagi pula, perorangan atau kelompok tidak punya hak untuk melakukan penertiban. Cukup negara yang melakukan hal itu. Oleh karena itu, pemerintah harus bersikap tegas.2932
Hak Azazi Manusia (HAM) Terkait dengan HAM, seorang informan mengatakan kita terkadang berpikir tentang hak kita; padahal orang lain terdzalimi. HAM yang ada sekarang lebih mengutamakan hak daripada kewajiban. Oleh karena itu, HAM di situ secara pribadi bisa ada manfaat dan juga ada madharat.3033 Sebaliknya, dalam Islam, selain memperhatikan hak juga mengutamakan kewajiban. Informan lain mengutarakan, HAM yang ada sekarang lebih banyak dari Barat, sehingga agak berbenturan sedikit dengan budaya kita. Memang Amerika menjunjung tinggi HAM, tapi pada suatu kepentingan mereka juga kadang-kadang menghilangkan HAM itu sendiri demi kepentingannya. Suatu kenyataan bahwa konsep HAM itu dikembangkan ke kita dari Barat, pada saat yang sama Amerika melakukan standar ganda terkait dengan kepentingannya. Dalam konsep Islam HAM itu fitrah dan kita kembali ke AlQur’an dan Hadist. Demikianlah, misalnya, Rasulullah tidak memaksa semua orang untuk masuk Islam, karena ini bagian dari HAM.3134
Adapun mengenai hubungan agama dan negara, seorang informan menegaskan bahwa keterlibatan negara sangat diperlukan dalam urusan agama, karena negara memiliki wewenang dan kekuasaan. Setiap manusia punya perbedaan dan pasti ada konflik, jika bukan negara yang menertibkan siapa lagi.2730 Sebab, negaralah yang punya otoritas absah untuk itu. Hal senada dikemukakan informan lain. Menurutnya, masyarakat harus dilindungi oleh pemerintah, pemerintah yang harus mengatur ketertiban. Jika dibiarkan tanpa ada keterlibatan pemerintah itu akan chaos. Jadi, tugas pemerintah ialah bagaimana membina kerukunan supaya keyakinan yang telah diakui bisa berdampingan secara baik. Suatu keyakinan yang dilindungi oleh negara. Karena adanya ajaran tertentu yang berbeda
Sehubungan dengan seseorang berpindah agama atas naman HAM, seorang informan mengemukakan bahwa dalam Islam tidak boleh, bahkan dosa. Memang itu urusan pribadi, tapi tetap dosa. Maka dari itu, “… saya itu kalau
27 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 25 28 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 26 29 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 27 30 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013.
31 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 32 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 30 33 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 31 34 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013.
24
420
28 29
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 420
26/01/2015 09:48:09
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
ngajar sering bilang anda harus yakin dengan pilihan agama yang akan menyelamatkan anda dan keluarga nantinya. Bukan karena orang tua atau HAM, jadilah agama itu kebutuhan untuk diri sendiri”, kata seorang informan.3235 Lebih jauh informan lain menegaskan bahwa pindah agama itu haram. Tapi untuk bersosial tidak masalah, meskipun dalam keyakinan beda. Oleh sebab itu, dalam bermasyarakat kita tidak boleh menyakiti non muslim. Meskipun demikian, bagi informan yang lain agama itu berdasarkan iman, terserah keyakinan masingmasing, biarkan Allah yanag memberikan hidayah untuk mereka.3336 Soal kebebasan beragama saat ini, seorang informan mengatakan bagus tapi pelaksanaannya yang kurang. Dibandingkan dengan negara lain, kita jauh ketinggalan. Masalahnya adalah soal pembinaan yang harus dilakukan di lapangan. Misalnya, terjadi perkelahian remaja beda agama bisa muncul di permukaan dan menjadi masalah besar, sampai bisa perang 1 desa.3437 Pandangan serupa dikemukakan informan lain. Menurutnya, kebebasan beragama saat ini bagus karena semua pihak bisa berekspersi, semuanya diberikan haknya oleh pemerintah. Tapi biasanya yang minoritas merasa dikucilkan, padahal dari kita tidak ada masalah. Dia menegaskan agama Islam kalau mayoritas mereka aman.3538 Informan yang lain mengatakan kondisi kebebasan beragama “… kalau bebas ya bebas, kalau di pemerintah sudah lumayan bagus. Persoalan umat Islam tentang fatwa MUI taati saja, dan bila ada masalah diselesaikan saja pada tingkat pusat dan kota. Tapi jangan memburukkan atau menjelekan agama lain”.3639
32 35 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 33 36 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 34 37 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 35 38 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 36 39 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013.
Toleransi Ketika membicarakan persoalan pembangunan rumah ibadah antara umat beragama, seorang informan mengatakan tidak masalah asal di suatu wilayah (A misalnya) ada orang non muslim dan ingin membangun gereja. Kita tidak bisa melarang. Sebab, dalam Islam bahkan orang musyrik pun dilindungi.3740 Menurut seorang informan, jika ada rumah yang dipakai untuk beribadah harus diakomodir biar tidak ada salah faham, dan tidak boleh ada yang saling menghalangi di antara mereka.3841 Namun, bagi informan lain, sebaiknya mengikuti aturan pemerintah, dengan jarak sekian. Sebab, beberapa kejadian yang menyebabkan rumah ibadah dilempari karena tidak melihat aturan lingkungan dan tidak memperhatikan jumlah pemeluknya. Di sinilah pemerintah harus tegas, pemerintah harus langsung membuat perencanaan. Paling tidak pemerintah menyediakan lahan untuk ibadah masing-masing. Lebih jauh, dia mengatakan “… sebenarnya yang harus banyak mengalah kita, kita harus punya sifat toleran, jadi dimanapun kalo mayoritas umat Islam agama manapun akan aman. Coba lihat yang lain kalau umat Islam yang minoritas sudah pasti tidak aman kayak di Ambon, jadi Islam itu rahmatan lil alamin”.3942 Jika ada pemeluk agama lain yang ingin mendirikan rumah ibadah di tengah-tengah mayoritas agama lain, menurut seorang informan tidak boleh dihalang-halangi, tapi harus memperhatikan lingkungan sekitarnya dan harus ditentukan tempatnya secara bermusyawarah.4043 Mereka harus ikut aturan. Hal ini bukan berarti pemerintah menyulitkan, karena aturan itu dibuat berdasarkan kajian.4144 Namun, bagi informan lain, “… kalau 40 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 38 41 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 39 42 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 40 43 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 41 44 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 22-7-2013. 37
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 421
421
26/01/2015 09:48:09
Suprapto
pribadi, silahkan saja asal jangan mengganggu, maksudnya mengajak berdakwah, biasanya rumah ibadah seperti itu. Pusat dakwah pasti gereja juga akan seperti itu, kalau mereka bergerak ke orang muslim baru diberikan tindakan”.4245 Dalam kaitan inilah, peran pemerintah dalam mengatasi persoalan pembanguna rumah ibadah umat bergama cukup signifikan. Menurut seorang informan, pemerintah harus bisa mempertahankan kondisi yang baik dan melakukan komunikasi. Selama ini masyarakat merasa tidak diajak bicara, pada saat yang bersamaan harus menaati aturan yang ada. Oleh karena itu, pemerintah harus menjadi organizer yang betul-betul berfungsi menegakkan hukum4346 dan dia punya hak untuk itu.4447 Selain itu, pemerintah juga harus memberikan pemahaman kepada kelompok mayoritas agar tidak menindas yang minoritas. Dengan begitu, karena pemerintah menjadi penengah maka konflik tidak terjadi.4548
Kesetaraan Jender Diskusi tentang kesetaraan jender, ada dua hal pokok yang menjadi sorotan; yaitu soal kepemimpinan perempuan dalam politik/pemerintahan dan relasi lakilaki dan perempuan dalam rumah tangga, antara peran domestik dan luar. Mengenai kepe mimpinan perempuan dalam politik/ pemerintahan, seorang informan mengatakan lebih baik laki-laki yang memimpin dalam pemerintahan, sedangkan perempuan itu untuk posisi wakilnya.4649 Informan lain berpandangan bahwa perempuan cenderung menggunakan perasaaan. Karena itu, dalam 42 45 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 43 46 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 44 47 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 45 48 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 46 49 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013.
422
pengambilan keputusan biasanya juga menggunakan perasaan. Dalam Islam, muslim laki-laki itu ditakdirkan menjadi seorang pemimpin. Sepanjang laki-laki masih ada maka yang menjadi pemimpin adalah lakilaki. Tapi, dalam pandangannya, seorang perempuan bisa saja menjadi pemimpin jika sudah tidak ada laki-laki cukup pantas menjadi pemimpin. Jadi, situasi dan kondisi yang ada menentukan apakah seorang perempuan bisa menjadi memimpin atau tidak.4750 Pandangan ini selaras dengan informan yang lainnya yang menyatakan bahwa meskipun ada ayat “arrijalu qawwamuna ‘alannisa” dan pada ayat lain “minhum ba’duhum fauqo ba’din” kepemimpinan perempuan bisa menjadi pengecualian kalau memang tidak ada lakilaki.4851 Adapun menyangkut relasi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, antara domestik dan luar, seorang informan mengata kan perempuan itu lebih baik menjalankan peran domestik dalam keluarga. Tapi, kalau punya ilmu dan ingin mengembangkannya di luar tidak dilarang, namun dalam batas-batas tertentu, misalnya mengajar. Dan, laki-laki tetap sebagai pemimpin.4952 Peran seperti ini bisa dilakukan seorang perempuan karena Islam menjunjung tinggi mereka. Tapi, mereka sebagai seorang muslimah harus menjaga kehormatan keluarga.5053 Lagi-lagi peran ini bisa dijalankan sepanjang suami mengizinkan mereka untuk bekerja (menjalan peran di luar domestik). Jika suami tidak mengizinkan, maka seorang perempuan tidak diperkenankan menjalankan peran tersebut.5154
50 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 51 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 49 52 Wawancara dengan koordintor dosen PAI, 227-2013. 50 53 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 51 54 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 47 48
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 422
26/01/2015 09:48:09
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
Sistem Pengajaran PAI Pada bagian ini akan dibicarakan halhal mengenai silabus/kurikulum, fasilitas pengajaran, sistem pengajaran, dan sumber pengajaran.
Silabus/Kurikulum Seorang informan mengatakan bahwa seluruh dosen PAI di Unpas menggunakan silabus/kurikulum yang dari Depag dan ditambahkan dengan muatan lokalnya. Misalnya pokok agama, aqidah, syariah, akhlak dan itu menjadi pengajaran yang pokok.5255 Silabus ini penting karena menjadi acuan mengenai apa yang akan disampaikan dan siapa sasarannya/ tujuannya. Di samping itu, juga bagaimana evaluasinya, pertemuannya, dan apa referensinya.5356 Salah seorang informan mengutara kan bahwa mata kuliah PAI ada 2 semester, semester 1 Islam, fikih dan lain-lain dan semester 2 dasar ilmu, teori dasar atau Islam untuk disiplin ilmu.5457 Isi silabus PAI untuk semester I meliputi: (1) urgensi agama dalam kehidupan; (2) Khaliq (Pencipta) dan makhluq (alam semesta dan manusia); (3) dinul Islam; (4) sumber nilai ajaran Islam; (5) ibadah dan hikmahnya; (6) akhlak dan tasawuf; (7) sejarah peradaban dan pemikiran; (8) toleransi dalam Islam; (9) Islam dan kesundaan sebagai identitas Unpas; (10) Islam untuk disiplin ilmu (hukum dalam perspektif Islam, pendidikan dalam perspektif Islam, politik dalam perspektif Islam, ekonomi dalam perspektif Islam, teknologi dalam perspektif Islam, dan bahasa, sastra dan seni dalam persepktif Islam). Untuk isi silabus PAI semester 2 mencakup: (1) universalitas Islam dalam konteks Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI); (2) ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam; (3) alam, manusia dan Tuhan; (4) Islam 55 Wawancara dengan coordinator dosen PAI, 227-2013. 53 56 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 54 57 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 52
untuk disiplin ilmu (pendidikan, ekonomi, sosial politik, hukum, teknik, seni dan sastra); dan (5) kapita selekta (program studi). Informan lain mengatakan sebelum mengikuti mata kuliah PAI diawali terlebih dahulu dengan mentoring yang melibatkan pengurus DKM. Tujuannya untuk mengetahui baca tulis al-Qur’an mahasiswa. Menurutnya, setelah dicek ternyata mahasiswa yang bisa baca al-Qur’an jauh dari yang diharapkan. Bahkan ada mahasiswa Islam tapi tidak bisa baca al-Qur’an. Setelah itu baru memasuki materi mengenai penguatan keyakinan mengenai tugas pokok manusia, soal keyakinan, muamalah, ekonomi Islam, dan lain-lain.5558 Untuk isu-isu tentang HAM, gender, relasi agama dan negara, dan toleransi ada dalam muamalah karena itu menyangkut/ ber hubungan dengan orang lain.5659
Fasilitas Pengajaran Untuk fasilitas pengajaran PAI, disediakan in fokus dan in-out di kelas, juga ada mentoring PAI seperti kuliah biasa tapi di outdoor.5760 Ini biasanya dilakukan di masjid dan ditemani mentor, mahasiswa senior mereka. Menurut salah seorang informan, dengan mentoring itu mata kuliah tidak bertabrakan dan kalau di kelas tidak cukup waktu mengetes satu per satu mahasiswa. Meskipun yang mementor mahasiswa senior tapi diarahkan oleh para dosen per kelompok. Per kelompok terdiri dari 2 mentor dan 10 mahasisa serta wajib semua ikut.5861 Seorang informan mengatakan fasilitas itu memang masih kurang memadai dan ini masih menjadi kendala. Tapi, setidaknya dengan fasilitas yang ada kita bisa melakukan syiar Islam dan membudayakan nilai Sunda. Meskipun demikian, sekarang sedang 58 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 59 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 57 60 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 58 61 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 55 56
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 423
423
26/01/2015 09:48:09
Suprapto
diperjuangkan untuk menambah fasilitas itu.5962 Dan, penting dicatat, seperti dikatakan informan lain, mentoring itu memberikan peningkatan wawasan, tapi memang kendala nya waktu yang sangat kurang.6063
dengan membaca diharapkan mereka terlatih untuk memberikan interpretasi. Karena itu, meskipun kita menggunakan study learning center dan juga pendekatan student oriented, dialog agak kurang berjalan karena kecenderungan mahasiswa sekarang pasif.6669
Sistem Pengajaran
Adapun partisipasi mahasiswa dalam perkuliahan PAI, menurut salah seorang informan, cukup banyak. Tapi ada beberapa mahasiswa yang kurang tingkat kehadirannya. Menurutnya, keikutsertaan mereka dalam perkuliahan menjadi wajar karena mereka mengejar nilai. Sedangkan untuk mentoring ada yang rajin dan juga ada yang malas.6770
Model pembelajaran yang dilakukan para dosen dalam pengajaran PAI tampaknya beragam. Ada ceramah, diskusi, tanya jawab, dan membaca. Model membaca diterapkan dengan cara meminta mahasiswa membaca 1 bab dari suatu buku lalu membuat ringkasan. Atau mereka diminta membaca 10 menit lalu dibuka ruang diskusi.6164 Informan lainnya mengatakan dosen PAI juga menggunakan pendekatan dua arah. Dosen memberikan teori lalu mahasiswa merespon sehingga terjadilah proses diskusi. Setelah itu, mahasiswa diberi tugas untuk menyusun artikel.6265 Model dialogis ini memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berani mengatasi masalah yang dihadapi. Juga punya keberanian mengungkapkan persoalan yang berkaitan dengan agama.6366 Dengan model pembelajaran seperti itu, menurut seorang informan, mahasiswa bisa paham. Tapi dengan tugas penyusunan artikel akan kelihatan jika penyajiannya datar-datar saja maka kurang bagus.6467 Bagi informan lainnya, itu semua tergantung pada bagaimana si pengajar yang mengajarkannya, karena sumber daya kita heterogen. Di situlah dibutuhkan proses pembelajaran yang baik.6568 Lebih jauh, salah seorang informan mengatakan kemauan membaca atau minat baca kurang di kalangan mahasiswa. Padahal 62 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 63 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 61 64 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 62 65 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 63 66 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 64 67 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013. 65 68 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 59 60
424
Tingkat kehadiran itu dapat dilihat pada daftar hadir mahasiswa. Tampaknya ada Perbedaan mencolok antara mahasiswa Program Reguler dan Program Ekstensi dalam mengikuti perkuliahan PAI. Misalnya, pada Program Studi Akuntansi Kelas/ PAR: 10AKB/Reguler Pagi Semester: Ganjil, 2010/2011 dari 55 orang mahasiswa hampir semuanya mengikuti perkuliahan PAI selama 12 kali pertemuan. Sedangkan pada Program Ekstensi Program Studi Manajemen Kelas 10MJ1 Semester: Periode 1, 2011/2012 dari 44 orang mahasiswa hanya separuh yang selalu hadir dalam perkuliahan PAI selama 12 kali pertemuan. Kasus tersebut sebenarnya bersifat kasuistik, dan itu ditangani secara perkasus karena kehadiran tetap merupakan syarat mutlak kelulusan, oleh karena itu kasus yang belum tertangani padahal nilai harus segera diumumkan maka diputuskan tidak lulus. Yang bersangkutan masih dapat mengulang dengan disertakan surat bukti yang sah, seperti surat keterangan dokter atau surat tugas dari instansi. Untuk dosen tamu terkait dengan per kuliahan PAI selama ini biasanya tidak secara khusus memberikan perkuliahan di kelas. Menurut seorang informan biasanya dosen 66 69 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 67 70 Wawancara dengan aktivis dakwah kampus, 177-2013.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 424
26/01/2015 09:48:09
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
tamu diundang dalam stadium general, misalnya dari Unpad. Materi yang diangkat menyangkut isu-isu aktual seperti tentang gerakan Islam (kasus Pesantren Al-Zaitun) atau aliran-aliran keagamaan.6871
Sumber Pengajaran Sumber pengajaran/literatur yang digunakan dalam PAI dibagi ke dalam beberapa kategori. Pertama, buku wajib/pegangan dan buku anjuran untuk mahasiswa. Kedua, buku Pendidikan Agama Islam untuk dosen.6972 Yang pokoknya adalah buku “Afeksi Islam Menjelajahi Nilai-Rasa Transendental bersama Al-Qur’an”, oleh Dr. H. Ali Anwar Yusuf, M.Si., dkk.7073 Salah seorang informan mengatakan bahwa --sebagaimana daftar buku-buku di atas -- buku-buku atau literatur yang digunakan para dosen PAI memuat pandangan-pandangan yang kooperatif, saling menghargai, dan tidak fundamentalis.7176 Kondisi ini tampaknya dipengaruhi oleh buku-buku yang sering dianjurkan untuk dibaca mahasiswa, misalnya buku Qurais Syihab, “Membumikan al-Qur’an”, Endang Saefudin Ansori, “Wawasan Islam”, Miftah Faridl, “Pokok-pokok Ajaran Islam”, dan yang agak sedikit berat buku Nurcholis Madjid, “Doktrin dan Peradaban Islam”.
Evaluasi Sistem Pengajaran Seorang informan mengatakan evaluasi yang dilakukan dalam PAI menjadi pegangan bagi dosen apakah materi yang telah disampaikan sesuai atau tidak, apakah dapat dikuasai atau tidak. Juga ada evaluasi empiris (praktikum), misalnya, kalau ikut mentoring berapa kali hadir? Bagaimana kemampuan 68 71 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 69 72 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 70 73 Buku ini diterbitkan 2005 oleh tafakur berkhidmat untuk umat, Jalan Kiliningan II No. 9 Buahbatu-Bandung 40262. 71 76 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013.
bacaannya, ada perubahan apa tidak? Selain itu, juga ada ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS). Ini semua Jadi komponen bahan evaluasi.7277 Evaluasi ini, menurut informan lain, sesungguhnya bersifat reguler, ada penilain melalui jumlah kehadiran, tugas-tugas di kelas termasuk praktikum dengan bobot kehadiran, 10%, tugas 15%, UTS 35%, dan UAS 40%. Model evaluasi ini dilakukan dengan bentuk objective test dan ada juga dengan esai.7378 Hasil evaluasi ini amat penting utuk melihat seberapa besar pengaruh materi yang telah disampaikan. Dengan evaluasi itu dapat dilihat bagaimana perbandingan antara input dan output bekerja. Disamping itu evaluasi itu berfungsi untuk perbaikan kurikulum. Biasanya 4 tahun sekali dilakukan perbaikan.7479 Kriteria penilaian dalam evaluasi PAI meliputi komposisi ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Penggunaan kriteria ini bukan hal yang mudah. Seperti diakui seorang informan, mereka masih merasa kesulitan dalam merumuskan afeksi, karena sasarannya berkaitan dengan sikap. Kosa katanya agak sulit. Misalnya, sikap tolong menolong dan toleransi, pengujiannya tidak bisa sembarangan harus melalui pengamatan yang cermat. Apakah ada perubahan, yang tadinya tidak suka ke masjid tapi sekarang menjadi suka. Jadi, bukan hanya keterampilan dalam ibadahnya; karena itu psikomotor, tapi lebih ke kebiasaannya. Misalnya, kebiasaan tidak suka mengucapkan salam sekarang jadi suka. Hal ini merupakan bagian yang tersulit, yaitu merupakan dan mempraktekan proses internalisasi (dari pengetahuan agama menjadi sikap atau kepribadian beragama)7580
77 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 78 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 74 79 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 75 80 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 72 73
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 425
425
26/01/2015 09:48:10
Suprapto
Sistem dan Rekruitmen Dosen PAI Terkait dengan mekanisme rekrutmen dosen PAI di Unpas, seorang informan mengatakan bahwa rekrutmen itu dilakukan melalui proses ujian. Kemudian sebelum mereka masuk jadi dosen, mereka mengabdi dulu sekitar 2 tahun. Setelah 2 tahun biasanya baru diangkat menjadi dosen.7682 Menurut informan lain, ada dua mekanisme rekrutmen: Pertama, direkrut dari yayasan dan ini umumnya dosen tetap. Kedua, dari Luar Biasa (LB). Ini dilakukan karena tidak bisa ditangani oleh dosen tetap lantaran banyaknya mahasiswa. Ini semua dilakukan atas usulan fakultas ke pihak rektorat karena merekalah yang paling tahu akan kebutuhan dosen. Untuk saat ini, rekrutmen masih dengan cara nepotisme. Orang yang Kita kenal yang direkrut. Namun, tentu saja mereka mempunyai kompetensi. Oleh karena itu, tidak dipublikasikan; hanya disampaikan kepada penanggungjawab fakultas masing-masing.7783 Syarat dalam rekrutmen dosen PAI, antara lain secara akademik harus punya prestasi yang bagus, harus S2, ada catatan baik di masyaratkat. Maka dari itu, ada cek di masyarakat. Rekrutmen ini tidak dilakukan per tahun tergantung kebutuhan. Untuk dosen PAI malah sudah terpenuhi, kebetulan ada 12 dosen LB (Luar Biasa) dan belum ada lagi yang diangkat.7884 Menurut informan, yang paling sering adalah rekrutmen dosen LB untuk PAI, karena dosen tetap berdasarkan yayasan.7985 Yang terlibat dalam rekrutmrn dosen PAI ialah dekan dan wakil dekan, baik untuk rekrutmen dosen LB maupun dosen tetap. Karena merekalah yang paling tahu di unit kerjanya masing-masing. Bahkan kini untuk dosen tetap harus bergelar doktor.8086 Tidak 76 82 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 77 83 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 78 84 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013; Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 79 85 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 80 86 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013.
426
hanya itu, rektor dan yayasan juga terlibat. Dalam artian, dekan mengajukan ke rektor, tapi tetap ada keterlibatan dari yayasan.8187 Adapun mekanisme pengambilan ke putusan dalam penentuan dosen PAI berada pada Paguyuban Pasundan karena keputusan tertinggi ada situ. Memang usulan awal dari prodi kemudian ke fakultas baru masuk ke UNPAS lalu ke yayasan pendidikan tinggi. Terakhir, ke Paguyuban Pasundan. Namun, untuk dokumen dosen LB selesai di tingkat fakultas.8288
PENUTUP Dari deskripsi mengenai paham keagamaan dosen PAI tentang relasi agama dan negara, HAM, toleransi, dan kesetaraan gender dapat disimpulkan dan direkomendasikan sebagai berikut:
Kesimpulan Pertama, terkait dengan relasi agama dan negara. Para informan yang diwawancarai dalam penelitian ini tampaknya tidak mem persoalkan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara dan sistem pemilu dalam memilih presiden dan anggota parlemen. Karena Pancasila dan UUD 45 dapat memayungi dan menjadi landasan bagi hidup berbangsa dan bernegara. Bahkan dalam pandangan informan Pancasila itu mengandung nilai-nilai Islam. Karena itu, penegakan hukum Islam di Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila tidak jadi soal. Persoalannya, apakah pribadi-pribadi Muslim sudah siap menegakkan hukum Islam? Dalam konteks ini, untuk melaksanakan hukum Islam tidak perlu dibentuk negara Islam karena akan berbenturan dengan konstitusi. Dalam pandangan informan, yang terpenting saat ini adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai 87 Wawancara dengan koordinator dosen PAI, 227-2013. 82 88 Wawancara dengan Wakil Rektor I, 19-7-2013. 81
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 426
26/01/2015 09:48:10
PAHAM KEAGAMAAN DOSEN PAI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
Islam ke dalam pribadi-pribadi muslim. Ini yang harus selalu dilakukan ketimbang sibuk dengan wacana negara Islam. Sistem demokrasi yang kita bangun sekarang ini terlalu berorientasi Barat. Sebetulnya tidak sesuai dengan budaya kita. Karena itu, belum pas buat umat Islam Indonesia. Yang ideal dalam pandangan informan ialah sistem demokrasi yang berdasarkan pada musyawarah-mufakat karena ini sesuai dengan budaya bangsa. Karena itulah, dalam kaitannya dengan peran negara para informan memiliki kesamaan pandangan bahwa negara harus terlibat dalam urusan agama dalam rangka menciptakan ketertiban agar tidak terjadi disharmoni dalam hubungan antar umat beragama. Bagi mereka hanya negara yang memiliki otoritas untuk melakukan penertiban bila terjadi persoalan terkait dengan hubungan antar umat beragama. Pada sudut inilah, dapat dikatakan bahwa pandangan para informan cenderung moderat dalam menyikapi soal relasi agama dan negara. Kedua, terkait dengan HAM. Dalam pan dangan informan, konsep HAM yang selama ini berkembang berasal dari Barat yang terlalu mengutamakan hak. Karena itu, tak heran, kebanyakan orang dewasa ini lebih menuntut haknya dan melupakan kewajibannya. Konsepsi HAM dalam Islam, menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Karena itu, tidak semata-mata menuntut hak tetapi juga harus memperhatikan kewajibannya. Selanjutnya, soal berpindah agama atas nama HAM, para informan berdasarkan keyakinan agamanya— tidak diperbolehkan. Bahkan jika itu dilakukan seseorang akan mendapat dosa dari Tuhan. Dalam konteks hubungan sosial, pindah agama itu absah-absah saja. Namun, dalam konteks keimanan tetap tidak diperbolehkan. Mengenai kebebasan beragama di Indonesia para informan berpandangan bahwa hal itu sudah berjalan dengan bagus. Namun, kelemahannya di tingkat lapangan masih ada. Karena itu, perlu dilakukan pembinaan terusmenerus di tingkat lapangan. Pada sisi ini, para
informan cenderung bersikap moderat dalam menanggapi masalah HAM. Ketiga, terkait dengan toleransi. Sikap para informan hampir sama dalam menanggapi persoalan pembangungan rumah ibadah antara umat beragama. Mereka berpandangan pembangungan itu boleh-boleh saja asal sesuai dengan aturan yang ada. Karena itu, kelompok minoritas membangun rumah ibadah di tengah-tengah kelompok mayoritas tidak menjadi masalah jika hal itu memang sesuai dengan tuntutan umatnya dan tidak melanggar aturan yang ada mengenai pendirian rumah ibadah serta tidak mengganggu lingkungan sekitarnya. Dalam pandangan para informan acapkali terjadi konflik terkait dengan pendirian rumah ibadah karena tidak sesuai dengan aturan yang ada. Bahkan terkadang tidak sejalan dengan peruntukannya. Di tengah situasi itu, dalam pandangan para informan pemerintah harus berperan sebagai mediator dan fasilitator dalam penyelesaian persoalan pembangunan rumah ibadah itu. Pemerintah harus memberikan pemahaman kepada mereka mengenai atura-aturan pembangunan rumah ibadah agar tidak terjadi konflik lagi di kemudian hari. Pada ranah pemikiran ini, para informan cenderung bersikap moderat dalam merespon persoalan pembuangan rumah ibadah antara umat beragama. Keempat, terkait dengan kesetaraan gender. Para informan dalam penelitian ini cenderung berpandangan bahwa kepemimpinan dalam politik/pemerintahan harus dipegang oleh laki-laki, bukan perempuan. Karena laki-laki ditakdirkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Meskipun demikian, dalam pandangan informan seorang perempuan boleh saja manjadi pemimpin jika memang tidak ada lakilaki yang mampu untuk menjadi pemimpin. Di sini sifatnya kondisional untuk perempuan, apakah boleh memimpin atau tidak. Untuk peran seorang perempuan di luar rumah atau peran domestik, para informan berpendapat sebaikanya seorang perempuan menjalankan peran domestik. Karena seorang perempuan
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 427
427
26/01/2015 09:48:10
Suprapto
sangat diharapkan kehadirannya dalam mendidik anak-anak mereka. Namun demikian, para informan tidak menyangkal jika seorang perempuan mau bekerja asalkan mendapat izin suami. Pada konteks ini, para informan juga bersikap moderat dalam menyikapi persoalan kesetaraan gender.
Rekomendasi Melihat kondisi tersebut diatas ke depan nya dapat direkomendasikan: Pertama, terkait dengan isu HAM, gender, dan relasi agama dan Negara, masuk ke dalam materi pembahasan PAI. Karena isu-isu ini selalu menjadi perdebatan akhir-akhir ini dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara.
Farha, Ciciek, 2005. Jangan Ada Lagi Kekerasan dalam Rumah Tangga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Keith Roberts. 1984. Religious in Sociological Perspective, Homewood, Illinois Mujani, Saiful., 2007, Muslim Demokrat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, IKAPI, ISBN13: 978-979-22-2749-9 Yayasan Pendidikan Tinggi (YPT) Pasundan. 2009. Panduan Pelaksanaan Mata Kuliah Wajib Pasundan (MKWP) Pendidikan Agama Islam “Islam Untuk Disiplin Ilmu”. Penerbit: Karya Mulya Utami Print, YPT Pasundan.
Kedua, untuk menjaga akuntabilitas publik sebaiknya ke depan rekrutmen dosen PAI diadakan secara terbuka dan transparan sehingga dapat diakses oleh siapa pun yang ingin mendaftar sebagai calon dosen PAI.
SUMBER BACAAN Dr. Alwi Shihab,. 1998. Islam Inklusif (Menuju Sikap terbuka Dalam Beragama), Penerbit: Mizan, Bandung,, Cetakan III Azyumardi Azra. 1998. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta Azra Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: TIM ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bafadal AR Fadhal. 2005. Drs. Pengalaman Agama di Kalangan Pemuda, Jakarta: Sekjen Departemen Agama RI Buku Panduan Mahasiswa Tahun Akademik 2013/2014. 2013. Penerbit: Universitas Pasundan Dahl, Robert A., Perihal Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001 Emile Durkheim. 1997. The Elementary Form of the Religious Life, Free Press, New York Esposito, John L.dan John O. Voll, 1996. Islam and Democracy, New York: Oxford University Press 428
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 428
26/01/2015 09:48:10
KONSEP PEDAGOGIK DALAM PEMIKIRAN IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI Saifullah
Dosen FITK UIN Ar-Raniry Banda Aceh Email:
[email protected]
Abstract Ibn al-Qabisi Sahnun and are two classical Islamic thinkers who are very concerned about education. Ibn Sahnun was popular earlier than al-Qabisi in the 3rd century of Islamic year, so that the world of Islamic education is heavily colored by the thoughts of the two figures. Ibn Sahnun is even known as the man who first sparked the concept of education that is independent from literary and philosophical schools of thought. The concept of education of Ibn Sahnun is oriented psychological conditions, for example in punishment. Meanwhile, al-Qabisi puts more focus on democratic educational system in the methods, curriculum or materials, procedures and other matters that are closely related to the concept of education in al-Kuttab at that time. Keywords: pedagogy, Ibnu Sahnun and Al-Qabisi Abstrak Ibnu Sahnun dan al-Qabisi adalah dua tokoh pemikir Islam klasik yang sangat konsen terhadap pendidikan. Ibnu Sahnun lebih awal popular dari pada al-Qabisi yaitu pada abad ke-3 Hijriyah, sehingga dunia pendidikan Islam banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran ke dua tokoh ini. Bahkan, Ibnu Sahnun lebih dikenal sebagai orang yang pertama sekali mencetuskan konsep pendidikan yang terlepas keterkaitannya dengan sastra dan mazhab pemikiran filsafat. Adapun konsep pendidikan Ibnu Sahnun lebih berorientasi pada kondisi psikologis anak, misalnya dalam pemberian hukuman. Sedangkan, al-Qabisi lebih memokuskan pada sistem pendidikan demokratis yakni dalam hal metode, kurikulum atau materi, tata cara pembelajaran dan hal lain yang sangat terkait dengan konsep pendidikan di al-Kuttab pada saat itu. Kata Kunci: Pedagogik, Ibnu Sahnun dan Al-Qabisi
PENDAHULUAN Sejarah mencatat dua pemikir Islam klasik yang menuliskan pokok-pokok pemikiran pendidikan secara terpisah dari cabangcabang ilmu-ilmu lainnya. Mereka adalah Ibnu Sahnun dan Al-Qabisi. Ibnu Sahnun yang lahir pada tahun 202 H (abad ke-3) menghasilkan banyak karya yang bisa dijadikan rujukan utama pendidikan modern. Keberadaan pemikirannya telah mampu memberi pen cerahan bagi kemajuan pendidikan Islam di waktu itu. Pemikirannya ternyata masih
sangat relevan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sekarang ini.1 Sehingga abad ke-3 H, dunia pendidikan Islam banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran tokoh ini. Karya Sahnun yang cukup spektakuler pada saat itu adalah kitab Adaba al-Mu’allimin.2 Kitab ini banyak mempengaruhi pemikiran al-Qabisi sebagai seorang pemikir Islam pada 1 Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Angkasa dengan UIN Jakarta Press, 2003), hal.50 2 Hasan Langulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: al-Husna, 2000), hal. 230.
Naskah diterima 20 Oktober 2014. Revisi pertama, 15 November 2014. Revisi kedua, 19 November 2014 dan revisi terakhir 5 Desember 2014.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 429
429
26/01/2015 09:48:10
Saifullah
abad ke-4 H. Al-Qabusi banyak mencurahkan pemikirannya terhadap pendidikan Islam. Kitab pendidikan yang dikarangnya adalah al-Mufassalh Liahwal al-Muta’allimin (Rincian tentang keadaan para pelajar, serta kode etik para guru dan pelajar). Ide-ide yang ada dalam kitab ini sangat dipengaruhi oleh tulisan Ibnu Sahnun, sampai-sampai al-Qabisi meminjam setiap kata yang digunakan oleh Ibnu Sahnun dalam kitabnya Adab al-Mu’allimin.3 Ibnu Sahnun dan al-Qabisi memang dua tokoh pemikir pendidikan Islam klasik yang cukup terkenal dan ide-idenyapun populer sampai sekarang. Kedua tokoh ini memiliki konsep pendidikan tersendiri sepanjang perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan konsep paedagogiek yang ditawarkan oleh kedua tokoh tersebut yang dapat memberi andil bagi peningkatan khasanah intelektual kekinian.
Konsep Pedagogik Ibnu Sahnun Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama sekali mencetuskan pemikiran pendidikan yang terlepas dari keterkaitan dengan sastera dan mazhab-mazhab pemikiran filsafat adalah ide-ide Ibnu Sahnun.4 Tokoh ini mempunyai nama lengkapnya adalah Abd al- Salam Ibn Salam Ibn Sa’id Ibn Habib. Ia berasal dan lahir di Qairawan pada tahun 202 H, tepatnya di Afrika Utara pada masa penyebaran Islam.
Pendidikan dan Tujuan Pendidikan Pemikiran Ibnu Sahnun tentang pendidikan telah disebutkan antara lain sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Adab al-Mu’allimin. Nampaknya buku ini menjadi maestro dan rujukan bagi banyak ulama, dan dianggap buku Hasan Langulung, Asas-asas..., hal.142. Jalaluddin, dkk., Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikiranya, (Jakarta: Raja Grapindo Pesada, 1994), cet.1, hal.133. 3 4
430
pertama yang membahas tentang pendidikan secara terpisah dari cabang ilmu-ilmu lainnya seperti mazhab-mazhab dan filsafat. Buku yang nampaknya ditujukan bagi pendidikan tingkat dasar ini memuat tentang adab guru dan murid dengan rujukannya Hadits Nabi yang berkaitan dengan belajar dan mengajarkan al-Qur’an.5 Dalam catatan sejarah, Ibnu Sahnun me rupakan pendidik kaum muslim yang pertama sebelum ia terkenal sebagai ahli fiqh yang termasyhur di Afrika. Pemikiran pendidikannya meliputi bahasan yang sangat luas, termasuk Islam dan Aqidah Ahl Sunnah menjadi dasar pemikirannya. Pembicaraan ini telah dijelaskan dalam Adab al-Mu’allimin. Ibnu Sahnun memang tidak meng ung kapkan secara lugas tentang tujuan pendidikan, namun dalam pembicaraan dan metode pengajaran yang digunakan terungkap bahwa pembentukan etika secara umum merupakan tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Ibnu Sahnun. Ia telah menjabarkan tujuan tersebut secara lebih detail dalam bukunya sebagaimana berikut: pertama, meningkatkan rasa keberagaman yang mampu membawa manusia pada pandangan egalitarianisme, kedua, menyebarluaskan ilmu agama kepada manusia, ketiga, menghasilkan ilmu dan mendapatkan ma’firah. Tujuan ini menjadi sarana untuk mencapai kedua tujuan sebelumnya, keempat, mendapatkan kedudukan dalam masyarakat, kelima, memperoleh rizki, dan keenam menyerap akhlak.6
Pelaksanaan Hukuman sebagai Alat Paedagogis Pengalaman pendidikan semasa kecil di bawah bimbingan pengawasan sedikit banyak nya mempengaruhi pemikiran dan metode Tibawi, Muslim Education the Golden Age of Chalipha, Art in Islamic Culture, 28, (1954), hal. 43. dari SM Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Penerjemah Abuddin Nata, Montreal, Canada, 2000, hal. 70. 6 Tim Penyususn, Min ‘Alam at-Tarbiyah al-Arabyah alIslamiyah, Jilid I, hal, 261. 5
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 430
26/01/2015 09:48:10
KONSEP PEDAGOGIK DALAM PEMIKIRAN IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
pengajaran yang ia terapkan. Salah satu pemikiran pendidikan Ibnu Sahnun dalam pelak sanaan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak adalah tentang hukuman.
Konsep Pemberian Hukuman menurut Ibnu Sahnun Hukuman sebagai alat pendidikan se benar nya tidak dapat terlepas dari sistem kemasyarakatan dan ketatanegaraan yang berlaku pada waktu itu.7 Sistem dan ke tata negaraan yang dimaksud tentu bagi masyarakat khususnya di Qairawan yang secara karakteristik penduduknya dikenal keras adalah peraturan atau adat istiadat. Hukuman bukan hal yang asing jika ia diterapkan dalam hal pengajaran. Masalah hukuman merupakan masalah etis, yang menyangkut soal buruk dan baik, yaitu soal norma-norma yang berlaku. Sebagai pangkal uraian selanjutnya mengenai hukuman dalam proses pendidikan dapat definisikan sebagai berikut: “Hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh orang tua, guru dan sebagainya sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan pada setiap anak didik”.8 Ibnu Sahnun ketika membahas tentang pelaksanaan hukuman sebagai alat paedagogis, menyatakan bahwa pelaksanaannya tentu harus dibatasi sesuai dengan pelanggaran atau kesalahan anak didik. Dalam hal ini Ibnu Sahnun nampaknya menyadari betul terhadap dampak-dampak psikologis yang mundul dari hukuman terhadap perkembangan jiwa anak. Dalam suatu dialognya bersama Sa’ad, Ibnu Sahnun mengungkapkan pemikirannya tentang pemberian hukuman terhadap anak. Suatu ketika Ibnu Sahnun duduk bersama Sa’ad datanglah seorang anak perempuan Sa’ad yang menangis, dan setelah diketahui penyebab tangisan tersebut yaitu karena ia telah dipukul Baisyuri Majdidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), hal.24. 8 Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para…, (Bandung: Angkasa dengan UIN Jakarta Press, 2003), hal.55 7
oleh gurunya, Ibnu Sahnun kemudian berkata; “Ketahuilah demi Allah aku akan beritahukan hari ini bahwa Nabi SAW. Bersabda: “Bahwa sejahat-jahat umatku adalah mereka yang mengajar anak kecil dengan sedikit kasih sayangnya kepada anak yatim dan keras (pemarah) terhadap orang miskin.” Dalam pemberian hukuman pada anak, pada dasarnya tidak ada ulama yang menghendaki digunakan hukuman sebagai alat untuk mendidik kecuali bila terpaksa.9Kemudian Ibnu Sahnun menambahkan bahwa hukuman yang didasarkan atas kemarahan yang tidak disertai dengan niat mendidik dan membawa manfaat merupakan perbuatan buruk yang akan mendapatkan balasan di akhirat. Hukuman seperti memukul menurut Ibnu Sahnun dapat diberikan kepada anak didik dalam rangka tujuan mendidik asalkan tidak dilakukan secara berlebihan. Ibnu Sahnun bahkan secara tegas menyatakan bahwa hukuman yang dibolehkan harus dibatasi dalam pelaksanaannya seperti pukulan tidak boleh diberikan lebih dari tiga kali (3X) kecuali atas izin orang tua dari si anak didik yang membolehkan untuk lebih dari itu, dan itupun jika si anak terbukti telah menyakiti orang lain.10
Syarat-syarat Pemberian Hukuman Secara lebih jelas persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh Ibnu Sahnun apabila guru melaksanakan hukuman adalah sebagai berikut: 1) hukuman hendaknya diberikan dengan menggunakan kasih sayang, 2) tidak memukul karena semata-mata marah, 3) pukulan itu diberikan untuk kemaslahatan anak, 4) tidak boleh memukul lebih dari tiga kali (3X), kecuali atas izin orang tua anak yang bersangkutan, 5) hendaknya memukul dengan alat yang tidak membahayakan, seperti tongkat kecil, 6) tidak sampai menyakiti fisik anak, 7) Ibnu Sahnun juga memberikan saran untuk 9
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para…, hal.56. Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para…, hal.57.
10
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 431
431
26/01/2015 09:48:10
Saifullah
mempertimbangkan pemberian hukuman fisik, antara lain: memperhatikan akhlak murid, menghormati hak asasi anak didik meskipun anak masih kecil, dan hendaknya tidak sembarangan dalam memberikan hukuman. Ibnu Sahnun memahami betul tentang bahaya memberikan hukuman yang tidak terkendali terhadap perkembangan jiwa anak sehingga ia memberi batasan-batasan atau persyaratan bagi pelaksanaan hukuman sebagai alat paedagogis, yang dimaksudkan agar pendidik berhati-hati terhadap pemberian hukuman.11
Dampak-dampak Pemberian Hukuman dalam Analisis Psikologis. Ada dua dampak pemberian hukuman, yaitu dampak negatif dan dampak positif. Beberapa dampak negatif dari pemberian hukuman adalah: pertama, menimbulkan perasaan dendam kepada si terhukum. Ini adalah akibat dari hukuman yang sewenangwenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat semacam inilah yang harus dihindari oleh pendidik, kedua, menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Inipun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkan oleh pendidik, Memang biarpun hukuman itu baik, kadang-kadang bisa menibulkan akibat yang tidak disukai itu. Hukuman menurut teori menakut-nakuti sering menimbulkan akibat yang demikian itu. ketiga, mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya dianggap telah dibayar dengan hukuman yang telah diterimanya, keempat, Si terhukum juga dapat memancing balasan, dan kelima, apabila hukuman ini terlalu sering dilakukan akan menimbulkan ketakutan terhadap si penghukum. Dampak positif pemberian hukuman adalah: pertama, memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakapcakap di dalam kelas, karena mendapat 11
432
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para…, hal.57.
hukum an, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya, dan kedua, akibat yang lain adalah memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan itu. Biasanya ini adalah akibat dari hukuman normatif. Sering hukuman yang demikian tidak menunjukkan akibat yang kelihatan nyata. Nampaknya hukuman memiliki pengaruh negatif yang lebih banyak daripada positifnya. Lantas bagaimana menggunakan penghukum potensial secara efektif dan berkemanusiaan? Psikolog cenderung tidak dapat menerima hukuman fisik karena telah mengetahui akibat buruknya yang luar biasa. Oleh karenanya untuk menghindari hukuman fisik tersebut ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, hal ini berdasarkan penelitian yang seringkali dianjurkan: 1) Ciptakan satu suasana yang bersahabat dan hangat dengan si anak, 2) Pilihlah hukuman yang sedang saja, yang secara fisik maupun psikologis tidak membahayakan anak, 3) Anda harus yakin betul bahwa anda akan dapat menguasai/ mengendalikan diri ketika melakukan hukuman, 4) Berikan hukuman ini secara konsisten bagi respon yang muncul, di manapun, 5) Arahkan hukuman ini hanya kepada tujuan sasaran perilaku yang akan diperlemah, jangan sesudahnya baru dipikirkan, 6) Buatlah hukuman sesingkat mungkin, 7) Ajarkan anak sedemikian rupa sehingga berperilaku yang baik itu dapat menghilangkan motivsi yang dapat menim bulkan respon yang tidak dikehendaki, dan 8) Buatlah pasangan yang terdiri dari penghukum potensial dengan tanda petunjuk seperti misalnya “jangan” dan “tidak”.12
Konsep Paedagogik Al-Qabisi. Dalam kontek ini perlu dijelaskan lebih dahulu bahwa pendidikan yang dijalankan al-Qabisi adalah pendidikan tingkat dasar yang berlangsung di Kuttab.13 Oleh karenanya, 12 Linda L. Davidof, Psikologi Suatu Pengantar, Edisi ke2, Jilid I, (Jakarta: Erlangga), hal. 208-212. 13 Istilah kuttab atau pendidikan dasar mulai dikenal pada masa awal Islam. Satu lembaga pendidikan
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 432
26/01/2015 09:48:10
KONSEP PEDAGOGIK DALAM PEMIKIRAN IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
konsep pendidikan yang ditawarkannyapun lebih banyak relevansinya dengan proses pendidikan pada anak. Hal ini dapat dilihat dari konsepnya tentang kewajiban mendidik anak. Menurut al-Qabisi, mendidik anak adalah kewajiban agama. Bagi orang tua yang yang mempunyai kemampuan mendidik, hendaknya ia mendidik sendiri anaknya itu, dan seandainya tidak ada kemampuan untuk itu, maka hendaknya ia mendelegasikannya kepada orang alim dan mengupahkannya.14 Kewajiban mendidik anak merupakan proses awal dari upaya peningkatan kualitas ummat. Tanpa melalui proses awal, tentu sangatlah tidak mungkin untuk mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan dapat terealisasi dengan baik. Karena mengingat pada dasarnya anak adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masingmasing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisiten menuju ke arah
titik yang optimal kemampuan fitrah15nya.16 Dalam konteks ini, al-Qabisi berpendapat bahwa jalur pendidikan anak merupakan faktor yang signifikan sebagai penentu keberhasilan proses pendidikan. Secara garis besar, konsep pendidikan yang disuguhkan oleh al-Qabisi, meliputi hal-hal seperti tujuan pendidikan, kurikulum atau materi Pendidikan Islam, metode, teknik belajar, waktu belajar, kode etik seorang pelajar, serta profesioanlisme guru.
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.17
yang diperuntukkan pada anak-anak, sehingga materi yang diajarkannyapun lebih banyak pada proses baca tulis yang dilaksanakn oleh orang-orang Kristen. Pada perkembangan selanjutnya, lembaga pendidikan kuttab tidak lagi mengajarkan proses baca tulis, namun mengajarkan juga ilmu-ilmu lainnya, seperti pengetahuan agama, ilmu berenang, cara berhitung, berkuda dan ketrampilan lainnya. Hal ini bisa dilihat dari dua jenis, kuttab berikut, yakni pertama, kuttab yang mengajarkan ilmu-ilmu non agama (secular learning); kuttab model ini biasanya lebih banyak hidup di Istana dan hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang berduit, karena guru yang mengajar merupakan guru panggilan dan harus dibayar sesuai dengan ilmu yang diajarkannya. Kedua, kuttab yang mengajarkan ilmuilmu agama (religius learning); kuttab model ini biasanya sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat, karena lokasinya mudah terjangkau dan diminati masyarakat pada umumnya. Pada akhirnya, lembaga pendidikan kuttab pun berimplikasi terhadap perbedaan status sosial yang ada didalam masyarakat. 14 Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawuruha fi Bilad al-‘Arabiyyah, Dar alMa’arif, 1987, hal. 120
Fitrah atau dalam psikologi disebut potensialitas adalah kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang (prepotence reflexes). Dalam Islam, fitrah secara etimologis mengandung arti “kejadian”, sehingga fitrah mengandung arti “kejadian” yang berisi potensi dasar beragama yang benar dan lurus. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah sendiri yang artinya “tiaptiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Hadits tersebut menunjukkan bahwa, fitrah merupakan potensi dasar yang bisa berkembang sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya, disamping faktor hereditas (keturunan) juga menentukan pertumbuhan dan perkembangan fitrah seseorang. 16 H. M. Arifin, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet.7, hal. 144. 17 Ali Al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Terj) H. M. ARifin, dari judul asli Dirasah al-Muqarranah fi al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), cet. I, hal. 87.
Pendidikan Anak-anak
Selanjutnya ia juga dikenal sebagai ulama yang berakhlak mulia. Keluasan ilmunya yang tinggi dibarengi dengan ketekunan ibadah dan budi pekerti mulia, menyebabkan apa yang dikerjakannya kepada orang lain akan dapat diterima. Sifat inilah yang nantinya menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan seorang guru dalam mengajar. Guru bukan hanya menguasai berbagai materi pengajaran 15
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 433
433
26/01/2015 09:48:11
Saifullah
dan cara menyampaikannya dengan baik, tetapi juga harus memiliki budi pekerti mulia dan keteladanan yang tinggi. Ia senantiasa menunjukkan rasa takut kepada Allah, bersih jiwanya, cinta pada fakir miskin, gemar berpuasa, shalat tahajjud, menerima apa adanya (qanaah), berhati lembut terhadap orang-orang yang mendapat musibah serta tabah dalam menderita cobaan Tuhan.18
Tujuan Pendidikan Sejalan dengan sikapnya yang berpegang teguh kepada agama dengan spesialisasi bidang fiqh yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan kepribadian si anak yang sesuai dengan nilainilai Islam yang benar.19 Menurutnya, bahwa nilai-nilai pendidikan agama harus bersumber dari akhlak yang mulia. Dalam Islam sendiri, agama merupakan dasar pendidikan akhlak, oleh karenanya akan menjadi suatu keharusan dalam satu pengajaran ditanamkan pendidikan akhlak.20 Hal ini sejalan dengan pendapat Syaibani yang mengemukakan bahwa “tujuan pendidikan Islam adalah mempertinggi nilainilai akhlak21, hingga mencapai tingkat akhlak al-Karimah”.22 Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal. 27. 19 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh..., hal. 88. 20 Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa…, Dar al-Ma’arif, 1987, hal. 121 21 Istilah akhlak merupakan istilah yang lahir dari konsep al-Qur’an dan al-Sunnah (Islam) sehingga dalam aplikasi selanjutnya lebih banyak bersandar pada aturan main yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sebagaimana diyakini oleh ummat Islam. Istilah “akhlak” sangat berbeda dengan istilah “etika” dan “moral”. Karena kedua istilah tersebut secara etimologis berasal dari bahasa Yunani dan Latin (ethos untuk istilah “etika” dan “moras” untuk istilah moral) yang menunjukkan arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, atau nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu golongan atau masyarakat, sehingga dalam aplikasi selanjutnya etika dan moral lebih banyak bersandar pada aturan dan kesepakatan yang dibuat manusia dan masyarakat. (Lihat K.Bertens, Etika, (Jakarta: Pustaka Gramedia, 1997), cet.2, hal.5. 22 Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta:Rajawali Press, 1996), cet.2, hal. 38. 18
434
yang artinya “sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Ini artinya, faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai hal yang paling essensial dalam menetukan keberhasilan satu pendidikan. Analisis yang bisa dikedepankan dari tujuan tersebut adalah fitrah. Anak merupakan potensi dasar yang bisa diolah menurut keinginan pendidik23 --dalam hal ini orang tua dan guru--, sehingga berhasil atau tidaknya seorang anak dalam melakukan interaksi edukatif kesemuanya sangat bergantung pada tujuan awal yang disajikan oleh institusinya sesuai dengan arahan persiapan. Inilah yang sesungguhnya ingin diterapkan oleh al-Qabisi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, alQabisi menyarankan satu sistem pembelajaran yang betul-betul bisa diterima anak yakni sistem pendidikan yang berjalan secara demokratis dan berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan siswa (child oriented). Proses pendidikan ini dapat diterapkan melalui metode kasih sayang, berlaku adil dan tidak sekali-kali memberikan hukuman kepada anak tanpa alasan yang jelas.24 Tindakan demokratis yang dijalankannya telah banyak membantu menanamkan perilaku positif sebagaimana tujuan awal pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, proses perbaikan akhlak akan berjaan secara efektif manakala didukung sikap demokratis para pengelola pendidikan dan adanya dukungan sistem pembelajaran yang juga mendukung penanaman nilai-nilai demokrasi secara wajar.
Materi Pelajaran Dilihat dari aspek pengajaran yang dite rapkan, al-Qabisi membagi materi pelajaran ke dalam dua kategori, yaitu: mata pelajaran wajib dan mata pelajaran pilihan. Mata pelajaran 23 Lihat: Q.S Ar-Rum, 30 dan Hadits kullu mauluudin yuu ladu ‘ala al-fitrah… 24 Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa…, Dar al-Ma’arif, 1987, hal. 122.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 434
26/01/2015 09:48:11
KONSEP PEDAGOGIK DALAM PEMIKIRAN IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
wajib adalah membaca dan menulis al-Qur’an,25 termasuk di dalamnya terdapat bacaanbacaan shalat,26 ditambah dengan penguasaan terhadap ilmu Nahwu dan bahasa Arab yang keduanya merupakan prasyarat untuk memantapkan bacaan al-Qur’an. Alasan utama Al-Qabisi mamasukkan pelajaran membaca dan penulis al-Qur’an ke dalam mata pelajaran wajib adalah karena al-Qur’an merupakan kalam Allah dan menjadi sumber hukum tasyri’. Di samping karena al-Qur’an juga merupakan rujukan utama kaum muslimin dalam masalah ibadah dan mu’amalat.27 Mata pelajaran pilihan adalah materi pelajaran alternatif atau pilihan. Artinya tidak ada kewajiban bagi siswa untuk mengambil mata pelajaran model ini. Dalam kurikulum ini terdapat beberapa materi pelajaran seperti ilmu hitung (hisab), fiqh, penguasaan ilmu nahwu dan bahasa Arab secara lengkap, syi’ir, kisah-kisah bangsa Arab serta sejarah. Materimateri tersebut merupakan pendorong untuk mengkaji ilmu-ilmu tertentu dan sebagai alat untuk menuangkan bakat dan potensi yang dimiliki seorang anak. Materi pilihan yang ditawarkan alQabisi, begitu sarat dengan kepentingan dan pengembangan potensi (bakat) siswa. Misalnya pelajaran berhitung yang kemudian dikenal dengan ilmu matematika merupakan salah satu pelajaran yang mampu mengembangkan cara berfikir anak secara sistematis, logis dan teratur. Sehingga pada proses akhirnya akan dapat melahirkan anak yang jujur, patuh dan taat pada aturan, baik kepada orang tua, agama maupun aturan-aturan lain. Oleh karenanya, materi ilmu hitung akan sangat membantu seorang anak dalam memahami al-Qur’an. Dengan demikian, al-Qabisi menghendaki pendidikan yang betul-betul komprehensif, menyeluruh dan tidak parsial. Karena ilmu 25 Amir Syamsuddin, al-Fikr ‘Inda Ibn Syahnun wa alQabisi, Dar Iqra, hal.88 26 Amir Syamsuddin, al-Fikr ‘Inda..., hal. 89 27 Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa…, Dar al-Ma’arif, 1987, hal. 120.
pada dasarnya satu sama lain saling berkaitan. Tidak ada perbedaan antara ilmu agama dengan non agama. Informasi ini dapt dibaca pada persoalan dualisme ilmu pengetahuan, seperti yang sudah pernah terjadi pada masamasa awal perkembangan madrasah28 atau al-Jami’ah29 atau masa sesudah beliau meninggal dunia, sehingga dalam pendidikan manapun, tingkat dasar, menengah, maupun tingkat per guruan tinggi sudah seharusnya menawarkan mata pelajaran yang dikonsepsikan al-Qabisi.
Metode dan Teknik Belajar Al-Qabisi menjelaskan bahwa pertamatama anak harus diajari membaca dan menghafal al-Qur’an. Jika kedua skil ini sudah mantap, kemudian baru diajari menulis, ditambah lagi dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Metode menghafal yang dianjurkan oleh al-Qabisi itu didasarkan pada pemahaman sebuah hadits Nabi Saw. tentang menghafal al-Qur’an. Nabi mengumpakan orang yang menghafal al-Qur’an bagaikan unta yang diikat dengan tali, jika pemiliknya mengokohkan ikatannya, unta itu akan terikat erat pula, dan jika ia melepaskan tali ikatannya, maka ia akan pergi.” Jika orang yang menghafal al-Qur’an di waktu malam dan di siang hari mengulangngulanginya, maka ia akan tetap mengingatnya, dan jika ia tidak pernah membacanya, maka ia akan melupakannya (hilang hafalannya).30 Atas dasar hadits tersebut, al-Qabisi me nyatakan “sesungguhnya Rasulullah men jelaskan dalam haditsnya tersebut di atas tentang cara-cara mengingat yang dapat meman tapkan hafalan-hafalan al-Qur’an, sehingga ia tak perlu belajar berulangMadrasah yang dimaksud adalah Madrasah Nidzamiyah. Madrasah ini didirikan oleh Nizam al-Mulk pada abad ke-5 Hijriah (ke-11 M) bertepatan dengan tahun 450 H. (Lihat Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 2000), hal.60. 29 Lihat: Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 9. 30 Abudin Nata,Pemikiran Para Tokoh..., (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal. 35. 28
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 435
435
26/01/2015 09:48:11
Saifullah
ulang lagi. Ucapan al-Qabisi ini memberikan petunjuk tentang tahapan-tahapan dalam metode mempelajari dan memahami al-Qur’an, yaitu dimulai dengan menghafal kalimat, kemudian memahami isinya dan setelah itu mengulangi kembali hafalan tersebut hingga mantap. Untuk menghasilkan yang demikian itu diperlukan kecenderungan (al-Mail) yakni daya tarik yang kuat. Dari uraian di atas, dapat penulis analisis bahwa adanya penerapan metode dalam satu proses pendidikan di setiap jenjang, baik dasar maupun perguruan tinggi, harus betulbetul disesuaikan dengan materi pelajaran yang bersangkutan, situasi dan kondisi serta kemampuan guru yang mengajar. Di samping ada pemahaman dari penulis kalau dalam mengajar. Di samping ada pemahaman dari penulis kalau dalam belajar sesungguhnya harus sistematis, gradual atau tahap demi tahap. Hal ini sangat nampak pada pemikiran al-Qabisi yang tidak memperbolehkan seorang mengizinkan anak berpindah dalam belajar alQur’an sebelum hafal betul.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Prinsip yang ditawarkan oleh al-Qabisi dalam persoalan pendidikan lebih menyang kut pada persoalan asasi sebuah institusi pendidikan agama. Dalam konteks ini ada beberapa prinsip yang diaplikasikan oleh alQabisi. Pertama, mengenai larangan belajar di luar agama. Point ini kelihatannya al-Qabisi punya kesamaan visi dengan Ibnu Sahnun, keduanya melarang (anak-anak) non muslim yang mau belajar di kuttab. Begitupun sebaliknya, anak-anak yang beragama Islam juga dilarang mengikuti pengajaran di sekolahsekolah Nasrani.31 Di satu sisi kelihatan sekali kalau al-Qabisi masih menggunakan pola pemikiran normatif dalam mengatur interaksi edukatif yang ada di kuttab. Namun pada sisi yang lain, dapat dianalisis kalau sesungguhnya, Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa…, Dar al-Ma’arif, 1987, hal. 123. 31
436
anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat labil dalam berfikir, dan rentan untuk berpindah idiologi. Oleh karena itu, penulis sangat memaklumi kalau misalnya pada saat itu, baik al-Qabisi maupun Ibnu Sahnun melarang anak-anak Muslim belajar di luar institusi pendidikannya. Kedua, tanggung jawab pendidikan. AlQabisi juga berpandangan bahwa kewajiban mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak adalah tanggung jawab orang tua, namun ketika orang tuanya tidak mampu mengajari anak-anaknya, maka orang tua berkewajiban menyuruh anak-anak belajar kepada orang lain atau mendatangkan guru al-Qur’an. Jika tidak mampu juga, maka hendaklah orang tua dibebankan kepada bait al-mal.32 Dengan demikian dapat diambil pemahaman bahwa yang menjadi penanggung jawab pendidikan adalah orang tua, guru dan pemerintah. Orang tua sebagai pendidik utama.33 Dalam persoalan ini al-Qabisi berpendapat bahwa seharusnya (yang pertama kali) berkewajiban memberikan pengajaran adalah kedua orang tua. Kewajiban tersebut akan sama halnya orang tua memberikan nafkah untuk kehidupan mereka.34 Guru sebagai pendidik kedua. Guru merupakan pengganti orang tua35 dalam urusan pendidikan. Oleh karena itu, menurut alQabisi, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru, antara lain: harus memiliki sifat kasih sayang, bersikap adil, beretika, memiliki planning atau visioner, serta mengerti akan kebutuhan anak.36 Kriteria tersebut sesungguhnya awal dari adanya tanggung jawab yang sama antara orang tua dan guru dalam mendidik anak, sehingga bagi al-Qabisi seorang guru 32 Amir Syamsuddin, al-Fikr ‘Inda Ibn Syahnun wa alQabisi, Dar Iqra, hal. 83 33 Pendidik sebagaimana dijelaskan WJS. Poerwadarminta adalah yang mendidik (kamus umum bahasa Indonesia, 1991, hal. 250). Pengertian tersebut mengisyaratkan kepada kita semua bahwa pendidik tidak hanya terbatas pada guru. 34 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum..., 1991, hal. 88 35 Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh…, (Bandung: Angkasa dengan UIN Jakarta Press, 2003), hal.106 36 Amir Syamsuddin, al-Fikr ‘Inda…, Dar Iqra, hal. 8385.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 436
26/01/2015 09:48:11
KONSEP PEDAGOGIK DALAM PEMIKIRAN IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
haruslah betul-betul manusia alim dan mampu mempertahankan komitmen keguruan yang lumayan besar. Dengan demikian penulis dapat mema hami bahwa pendidikan yang baik harus ditopang oleh adanya kerja sama yang baik antara orang tua dengan guru. Karena pendidikan tidak dibebankan ada satu institusi tertentu, yakni sekolah. Akan tetapi harus melibatkan beberapa institusi lain, seperti rumah, lingkungan sekitar dalam rangka menjadikan anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan semua pihak. Jadi, proses pendidikan harus dimulai oleh orang tua di rumah, kemudian dilanjutkan oleh guru sebagai pendidik di sekolah. Dengan demikian pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab guru sekolah, akan tetapi ada penanggung jawab lain yang seharusnya mempunyai peran penting dalam rangka pembentukan watak anak, yaitu orang tua.
Percampuran Belajar Antara Murid Lakilaki dan Perempuan Percampuran belajar antara murid lakilaki dan perempuan dalam satu tempat atau yang dikenal dengan istilah Co-Educational Classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dicampur dengan murid perempuan di kuttab, sehingga anak itu harus tetap belajar sampai usia baligh (dewasa). Menurut al-Qabisi bahwa bercampurnya anak laki-laki dan perempuan di kuttab untuk belajar adalah suatu hal yang tidak baik. Pendapat ini tampak kelihatan kuno dan tidak dapat diterima masyarakat modern yang menuntut kesamaan derajat dan kemitraan sejajar. Dalam hubungan ini al-Qabisi menilai sesungguhpun pendapatnya terkesan kuno, namun pendapat itulah yang sesuai dengan garis ajaran agama Islam. Karena anak yang berusia muharriqah (masa puberitas/remaja) tidak memiliki ketenangan jiwa dan timbul dorongan kuat untuk mempertahankan jenis kelaminnya hingga sampai waktu dewasa.
Al-Qabisi sebagaimana halnya Ibnu Sahnun (abad 3 H), sependapat bahwa guru yang paling tidak disukai adalah guru yang megajarkan anak-anak perempuan remaja, kemudian mereka dicampur dengan anak lakilaki remaja. Hal demikian akan menimbulkan kerusakan bagi anak perempuan remaja. Salah satu alasan mengapa Al-Qabisi berpegang teguh pada pendapatnya itu adalah karena ia kawatir kalau anak-anak itu menjadi rusak moralnya. Ia memperingatkan agar tidak mencampurkan anak kecil dengan remaja yang telah dewasa (telah bermimpi coitus), kecuali bila anak remaja yang telah baligh tidak akan merusak anak kecil. Sikap al-Qabisi yang tidak sependapat dengan bercampurnya anak laki-laki dengan perempuan dalam satu tempat dalam belajar itu, antara lain didasarkan pada pandangannya bahwa dorongan syahwat biologis (seksual) termasuk dorongan yang paling kuat, dan jika berdekatan dengan wanita dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran seksual yang dapat merendahkan martabatnya dan menjauhkan dari keimanan dan ketaqwaan yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, sikapnya itu tampak lebih didasarkan pada sikap yang amat berhati-hati dalam menjaga moral agama. Di sini terlihat dengan jelas betapa prinsipnya yang demikian kuat berpegang kepada agama dan taat beribadah kepada Allah.37
Kurikulum Kurikulum pendidikan yang ditawarkan oleh al-Qabisi lebih diorientasikan pada kepentingan siswa (child oriented) bukan pada kepentingan guru. Mata pelajaran wajib seperti membaca dan menulis al-Qur’an bagi seorang anak akan menjadi hal yang urgen. Karena bagi seorang mubtadiin, menulis dan membaca merupakan aktivitas awal yang akan banyak membantu proses pemahamannya terhadap isi
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh..., (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal. 36-37. 37
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 437
437
26/01/2015 09:48:11
Saifullah
kandungan al-Qur’an, termasuk peningkatan ilmu pengetahuan lainnya.38
Kurikulum Ijbari (wajib) Kurikulum yang terdiri dari pada kandungan ayat-ayat Al-Qur’an seperti ayatayat sembahyang dan do’a-do’a. Sebagian para ahli mengatakan bahwa ilmu Nahwu dan bahasa Arab, keduanya merupakan persyaratan mutlak untuk memantapkan baca Al-Qur’an, tilawah, menulis dan hafalan. Al-Qabisi lebih lanjut mengatakan bahwa dimasukkannya pelajaran membaca dan menulis Al-Qur’an ke dalam kurikulum ijbari adalah karena Al-Qur’an merupakan kalam Allah dan menjadi sumber hukum dan tasyri’. Al-Qur’an menjadi referensi (rujukan) kaum muslimin dalam masalah ibadat dan mu’amalat. Allah mendorong semangat untuk beribadah dengan membaca Al-Qur’an sebagai berikut
َ ٰ َ َّ ْ ُ َ َ َ َّ َ ٰ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َّ إ َّن ا ٱلل وأقاموا اٱلصلوة ِ ِ ِ ٱلين يتلون ِكتب ا ْ َ ٰ ً ْ ُ َََْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ًّ ْ ُ َ َ َ َّ وأنفقوا ِمما رزقنهمۡ ِسٗا وعل ِنيةٗ يرۡجون َ َّ ً ٰ ِتَ َر ٗة ل ْن تبُ ْو َر “Sesungguhnya oran-orang yang membaca kitab Allah dan mendirikan sembahyang dan membelanjakan hartanya ke jalan Allah setengah dari apa yang kami rezekikan kepada mereka baik dengan cara diam-diam (rahasia) maupun dengan cara teran-terangan mereka mengharapkan usaha dagangnya tidak menderita kerugian.” (Q.S al-Fathir: 29)
Menurut al-Qabisi bahwa ayat tersebut dengan jelas menyuruh umat manusia, agar membaca al-Qur’an, mendirikan shalat dan berbuat baik (akhlak yang mulia) dilakukan secara serempak, tidak terpisah satu sama lainnya. Lebih lanjut al-Qabisi mengatakan 38 Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh…, (Bandung: Angkasa dengan UIN Jakarta Press, 2003), hal.103.
438
bahwa di dalam pelaksanaan shalat yang merupakan tiang agama dibaca ayat-ayat al-Qur’an. Itulah sebabnya kemampuan membaca, menulis dan memahami al-Qur’an merupakan persyaratan untuk melaksanakan kewajiban shalat lima waktu’ selain itu di dalam al-Qur’an terkandung pula petunjuk dan ajaran utama mengenai berbagai masalah yang dihadapi manusia. Pendapat al-Qabisi tentang pentingnya pelajaran membaca dan memahami al-Qur’an dalam hubungannya dengan shalat menggambarkan dengan jelas tentang kecenderungan sebagai seorang ahli fiqih. Lebih lanjut al-Qabisi melihat bahwa dengan mengintegrasikan antara kewajiban mempelajari al-Qur’an dengan sembahyang dan berdoa, berarti telah mengintegrasikan antara aspek berpikir, merasa dan berbuat (beramal). Prinsip kurikulum demikian itu sesuai dengan pandangannya mengenai ilmu jiwa yang ditetapkan melalui tiga prinsip yang logis, yaitu; (1) Menumpahkan perhatian untuk menambah makrifat kepada Allah serta mendekatkan kepada-Nya. (2) Pentingnya ilmu Nahwu (grammar) bagi anak agar dapat memahami kitab suci Al-Qur’an secara benar. (3) Mengajarkan bahasa Arab sebagai alat memahami makna ayat Al-Qur’an beserta huruf hijaiyahnya agar anak dapat menuliskan ayat-ayatnya dan mengucapkannya dengan lancar. Uraian kurikulum menurut pandangan al-Qabisi yang telah disebutkan di atas adalah lebih cocok untuk jenjang pendidikan dasar, atau pra-dasar, yakni pendidikan di al-kuttab, sesuai dengan jenjang yang telah dikenal pada masa itu. Kurikulum tersebut masih cocok dipakai pada jenjang pendidikan tingkat dasar hingga pada masa sekarang.39
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) hal 30. 39
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 438
26/01/2015 09:48:11
KONSEP PEDAGOGIK DALAM PEMIKIRAN IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
Kurikulum Ikhtiari (Tidak Wajib/Pilihan) Kurikulum ini berisi ilmu hitung dan seluruh ilmu Nahwu, bahasa Arab, syair, kisahkisah masyarakat Arab, sejarah Islam, ilmu Nahwu (grammar), dan bahasa Arab lengkap. Lebih lanjut Al-Qabisi mengemukakan bahwa perbedaan antara ilmu-ilmu ikhtiari ini dengan ilmu ijbari adalah dari segi jarak jauh dekatnya ilmu tersebut untuk pembinaan rasa keagamaan yang kuat, dimana ilmu-ilmu jabariah lebih dekat jaraknya dengan pembinaan keagamaan. Disinilah letak begitu kuatnya dengan motivasi keagamaan dalam merumuskan konsep kurikulumnya. Dalam kurikulum ikhtiari ini al-Qabisi memasukkan pelajaran ketrampilan yang dapat menghasilkan produksi kerja yang mampu membiayai hidup di masa yang akan datang. Dengan demikian menurut pandangan al-Qabisi bahwa memberikan pelajaran ketrampilan kerja untuk mencari nafkah hidup sesudah selesai tiap jenjang pendidikan yang ditempuh dengan dasar pengetahuan al-Qur’an serta ketaatan dalam menjalankan ibadah menunjukkan adanya pandangan yang menyatukan antara tujuan pendidikan keagamaan dengan tujuan pendidikan prag matis.
Demokrasi dalam Pendidikan Selanjutnya al-Qabisi memiliki pandangan tentang demokrasi dalam pendidikan. Menurut al-Qabisi bahwa anak-anak yang masuk di Kuttab tidak ada perbedaan derajat atau martabat. Baginya pendidikan adalah hak semua orang tanpa ada pengecualian. Ia menghendaki agar penyelenggaraan pendidikan anak-anak muslim dilaksanakan dalam satu ruang dan memperoleh pengetahuan dari pendidikan yang satu, sehingga tidak perlu dibagi-bagi menjadi tingkat atau jenjang. Pendapatnya yang demikian mengisyaratkan adanya paham demokrasi dalam pendidikan. al-Qabisi juga mengatakan bahwa antara anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Menurutnya bahwa
pendidikan bagi anak-anak perempuan merupakan suatu keharusan, sama dengan pendidikan bagi anak laki-laki, meskipun harus dipisahkan kelasnya antara keduanya sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Sejalan dengan pendapatnya di atas, alQabisi mengatakan bahwa kewajiban mengajar itu adalah kewajiban agama, yang tidak membeda-bedakan tingkatan dan kedudukan sosial di masyarakat. Untuk mendukung terlaksananya demokasi atau pemerataan dalam pendidikan, al-Qabisi menganjurkan agar orang-orang Islam yang berkemampuan material hendaknya mau membantu atau menolong semacam bantuan pendidikan kepada anak-anak yang kurang mampu. Oleh karena itu, bila dikaji risalah al-Qabisi dari aspek pendidikan modern pada masa kini, maka akan diketemukan di dalamnya suatu pandangan yang terlalu berani, meskipun sebelumnya telah muncul berbagai pendapat tentang hal-hal serupa. Namun al-Qabisi tampak bersikap lebih hati-hati dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya sehingga tetap sejalan dengan arus zaman di mana ia hidup, yakni alQabisi tetap memasukkan jiwa agama dalam konsep pendidikan tersebut. Inilah agaknya yang menjadikan pendapatnya sangat sejalan dengan pandangan agama dalam pendidikan. Demikian kuatnya berpegang teguh pada agama, sehingga al-Qabisi sebagaimana halnya Ibnu Sahnun melarang non-muslim untuk belajar di lembaga pendidikan orang Islam, dan melarang orang Islam belajar di lembaga pendidikan Nasrani, karena hal itu dapat mengacaukan jiwa agamanya.40
PENUTUP Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Sahnun lebih ke arah pemahaman psikologis anak seperti yang dijelaskan dalam bukunya adab al-Mu’allimin, yang membahas tentang adab belajar dan mengajar, yang di 40
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hal. 38-41.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 439
439
26/01/2015 09:48:11
Saifullah
dalamnya dibahas pula tentang hukuman dalam pendidikan. Sedangkan al-Qabisi lebih cenderung menerapkan corak pendidikan demokratis dalam mengaplikasikan proses pembelajaran di kuttab, baik itu dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan, kategori mata pelajaran yang diterapkan, maupun kurikulum yang diaplikasikan. Namun ruang lingkup pembahasannya sama-sama pada proses pendidikan anak yang ada di kuttab yaitu pendidikan dasar.
SUMBER BACAAN Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Logos, Jakarta, 1999. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2003. Amir Syamsuddin, al-Fikr ‘Inda Ibn Syahnun wa al-Qabisi, Dar Iqra. Arifin, M, H., Ilmu pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991. ---------------, Dirasah al-Muqarranah fi alTarbiyah al-Islamiyah,Rineka Cipta, cet. I, Jakarta, 1994. Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Terj.) H.M Arifin, M.Ed, dari judul asli Dirasat al-Muqaranah fi al-Tarbiyah alIslamiyah, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Baisyuri Majdidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Al-Amin Press, Yogyakarta, 1997.
440
Hasan Langulung, Asas-asas Pendidikan Islam, alHusna, Jakarta, 2000. Jalaluddin, dkk, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikiranya, Raja Grapindo Pesada, Jakarta, 1994. ----------,Min ‘Alam at-Tarbiyah al-Arabyah alIslamiyah, Jilid I. ---------, Filsafat Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta 1996. K.Bertens, Etika, Pustaka Gramedia, Jakarta, 1997. Linda L. Davidof, Psikologi Suatu Pengantar, Edisi ke-2, Jilid I, Erlangga, Jakarta, 1998. Muhammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah alIslamiyah Ushuluha wa Tathawuruha fi Bilad al-‘Arabiyyah, Dar al-Ma’arif, 1987. Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Logos, Jakarta, 2000. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991. Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Angkasa dengan UIN Jakarta Press, Bandung, 2003. Tibawi, Muslim Education the Golden Age of Chalipha, Art in Islamic Culture, 28, 1954, dari SM Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik dan Pertengahan, Penerjemah Abuddin Nata, Montreal, Canada, 2000.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 440
26/01/2015 09:48:11
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN Nunu Ahmad An-Nahidl
Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan | Balitbang dan Diklat Kemenag RI Jl. MH Thamrin No. 06 Jakarta Pusat | Email:
[email protected]
Abstract Survey of opinion of kiyai on the improvement of quality of study of Kitab Kuning in Pesantren was done in 2014 aimed at finding data and information on expectation of kiyais on aspects of input, process and output of study of kitab kuning in pesantrens. Data was obtained from 22 provinces with 711 kiyais as the samples with systematical random technique. The survey showed that most kiyais give high responses on the indikators used to measure variables of input, process and output. It means that the survey is a factual testimony that most kiyais have positive opinion on the improvement of quality of study of Kitab Kuning in Pesantren Keywords: kitab kuning, quality, pesantren Abstrak Survai Pandangan Kiyai tentang Peningkatan Mutu Kajian Kitab Kuning di Pesantren dilakukan tahun 2014, dengan tujuan menggali data dan informasi tentang harapan kiyai terhadap aspek-aspek input, proses dan output kajian kitab kuning di pesantren. Pengumpulan data dilakukan di 22 propinsi dengan jumlah sampel sebanyak 711 kiyai yang dipilih dengan teknik acak sistematis. Hasil survai menyimpulkan bahwa rata-rata kiyai memberikan respon tinggi terhadap indikator yang digunakan untuk mengukur variabel input, proses dan output. Artinya, temuan survai ini menjadi testimoni faktual bahwa rata-rata kiyai memiliki pandangan positif terhadap peningkatan mutu kajian kitab kuning di pesantren. Kata kunci: kitab kuning, mutu, pesantren
PENDAHULUAN Pesantren adalah lembaga pendidikan pen cetak dan pengkaderan ulama. Sebagian besar ulama di tanah air dilahirkan oleh pendidikan pesantren dan sejenisnya. Maka tugas utama pesantren sebagai lembaga pen didikan reproduksi ulama hendaknya tetap dipertahankan keberlangsungannya. Tegas nya, pesantren yang berkembang saat ini menjadi sangat penting untuk terus didorong agar tetap mampu melahirkan ulama-ulama mutafaqqih fid-din. Mengkader seorang calon ulama jelas tidak mudah dan sederhana, terutama di
tengah dunia pendidikan saat ini yang jauh semakin kompetitif. Sementara, jumlah lem baga pendidikan pesantren yang tetap mempertahankan fungsi dan peran tafaqquh fid-din dengan konsentrasi kepada kajian kitab kuning tinggal sedikit, dan masing-masing memiliki kurikulum dan standar kelulusan yang beragam.1 Saat ini pendidikan umum formal seperti madrasah dan sekolah didirikan di lingkungan 1 Lihat: Badan Litbang dan Diklat. 2011. Survei Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, h. 130133.
Naskah diterima 5 Oktober 2014. Revisi pertama, 15 Oktober 2014. Revisi kedua, 19 November 2014 dan revisi terakhir 4 Desember 2014.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 441
441
26/01/2015 09:48:12
Nunu Ahmad An-Nahidl
pesantren untuk menarik minat orang tua ‘menitipkan’ anaknya di pesantren, dan sebagai jawaban atas kebutuhan santri terhadap legalitas tanda kelulusan pendidikan formal. Namun pendirian pendidikan umum formal itu tidak diikuti upaya peningkatan mutu kajian kitab kuningnya, bahkan cenderung mengabaikannya. Akhirnya, kajian kitab kuning di pesantren hanya berfungsi takmili atas pendidikan umum formalnya. Santri sendiri lebih banyak menghabiskan waktu pembelajarannya di sekolah atau madrasah, dan pesantren lebih sebagai boarding belaka.2 Hasil survai Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan tahun 2011, menyim pulkan bahwa; 1) terdapat varian kitab kuning yang dikaji di pesantren pada setiap bidang keilmuan dilihat dari jenisnya, waktu pembelajarannya, dan pilihan atas kitab yang dikaji; dan 2) waktu pembelajaran kitab kuning dan jumlahnya pada setiap bidang keilmuan tergolong rendah atau menurun. Survai ini merekomendasikan kepada Kemen terian Agama untuk menyusun pedoman pengajaran kitab kuning di pesantren.3 Pertemuan para ulama pengasuh pesantren di Surabaya tahun 2013 tentang “Penguatan Tradisi Keilmuan di Pondok Pesantren,” yang digagas Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan telah menghasilkan sejumlah kesimpulan penting. Antara lain, para ulama men dorong pendidikan pesantren untuk tetap dapat mengadaptasi perkembangan kehidupan dan kebutuhan masyarakat, namun dengan tetap mengemban misi tafaqquh fiddin demi melahirkan ulama yang mumpuni. Para ulama juga meminta kepada Kementerian Agama untuk memfasilitasi penyusunan kuri
kulum tafaqquh fid-din yang terstandar bagi pesantren.4 Berpijak kepada hasil penelitian dan pertemuan ulama tadi, maka tampak jelas bahwa kurikulum tafaqquh fid-din yang terstandar dibutuhkan. Manfaatnya antara lain untuk: 1) mendorong seluruh pesantren di tanah air agar tetap memiliki semangat dan potensi yang sama dalam melahirkan calon ulama; 2) memastikan setiap santri di pesantren memperoleh pembelajaran kitab kuning pada setiap bidang keilmuan sesuai dengan jenjang pendidikannya masingmasing; 3) menjadi acuan bersama bagi setiap pesantren dalam melakukan upaya penguatan kajian kitab kuning. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan kiai terhadap pening katan mutu kajian kitab kuning di pesantren pada tiga aspek, yaitu aspek input, proses dan output. Penelitian ini menjadi penting untuk mempersiapkan sejumlah instrumen pendidikan yang dibutuhkan dalam peren canaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan pesantren ke depan, khususnya kajian kitab kuning di pesantren. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan strategis bagi Kementerian Agama dalam merumuskan kebijakan Pemerintah tentang peningkatan mutu pendidikan pe santren, khususnya pada aspek kajian kitab kuningnya yang menjadi unsur utama pem belajaran di pesantren.
Kerangka Teori Pondok Pesantren dan Pengembangan Pendidikan Pesantren memiliki parameter yang ter ukur ketika dihadapkan kepada pilihan pengembangan pendidikan ke depan. Kaidah
2 Berdasarkan observasi langsung peneliti, pola ini misalnya ditemukan pada sebuah pondok pesantren yang justeru cukup populer di daerah priangan Jawa Barat. 3 Badan Litbang dan Diklat. 2011. Survei Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, h. 130-133.
442
Badan Litbang dan Diklat. 2013. Laporan Halaqah Ulama tentang “Penguatan Tradisi Keilmuan di Pondok Pesantren. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, h. 99-101. 4
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 442
26/01/2015 09:48:12
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
”al-muhafazhat ala al-qadim ash-shalih wa alakhdzu bi al-jadid al-ashlah,” dapat dimak nai sebagai upaya pesantren mengawal keber langsungan dengan cara memacu inovasi dan kreativitas. Al-jadid al-ashlah itu tidak berarti lebih baik dari yang lama, namun lebih tepatnya, ia merelevansi kebutuhan saat ini, dimana kehidupan manusia terus berubah mengikuti perkembangan kemajuan jaman. Namun demikian, tantangan modernitas dengan sistem pendidikan yang ditawarkannya, ternyata tidak mudah diterima begitu saja. Paling tidak terdapat tiga (3) varian respon pesantren atas tawaran pengembangan pendidikan. Pertama, menerima bahkan beralih dengan mengembangkan sistem pendidikan umum, yaitu sekolah dan madrasah. Pada model ini, dominasi penguatan pendidikan umum justeru merubah fungsi pesantren menjadi lebih semacam asrama (boarding). Santri mengaji telah berubah menjadi siswa belajar sepanjang hari di sekolah atau madrasah. Sekalipun masih ada pengajian kitab kuning, maka jumlah jam belajar dan pilihan standar kitabnya terhitung dalam kategori rendah. Tetapi lembaga pendidikan ini masih menyebut dirinya pondok pesantren.5
mempertahankan kajian kitab kuningnya, dan diposisikan sebagai pendidikan takhassus, dimana santrinya tidak lagi mengikuti jenis pendidikan lain (sekolah atau madrasah). Pada pendidikan takhassus, pembelajaran kitab kuning menggunakan sistem klasikal dimana pilihan atas kitab yang dipelajari, standarnya disesuaikan dengan jenjang yang ada, mulai Ula, Wustha, Ulya dan Ma’had Ali. Pada model ketiga ini, sudah mulai dikembangkan metode musyawarah atau mudzakarah kitab, tidak lagi sorogan dan bandongan. Di beberapa pesantren yang tidak mengembangkan pendidikan takhassus, kajian kitab kuning ‘dititipkan’ pada pendidikan madrasah, baik sebagai mata pelajaran kurikuler maupun menjadi bagian dari kegiatan ekstra kurikuler.6 Ketiga model tersebut merupakan varian sikap yang diekspresikan oleh lembaga pendidikan yang sering disebut sebagai pesantren tradisional (salafiyah). Di lain pihak, terdapat sebuah model pesantren yang memang sejak awal didirikan telah mengadopsi sistem klasikal bahkan mengidentifikasikan dirinya sebagai pesantren modern.
Kedua, menolak pengembangan dan ber tahan dengan pola lama yang telah berjalan. Pada model ini, pesantren tetap mem pertahankan tradisi pengembangan intelek tual pada sistem pendidikannya dengan berbasis kitab kuning. Santri pemula biasanya dianjurkan untuk mempelajari sejumlah kitabkitab dasar dengan model sorogan dengan penekanan kepada muhafadzah (hapalan). Sementara untuk kitab-kitab menengah dan atas, dipelajari oleh santri dengan model bandongan.
Dalam perkembangan mutakhir, tampak semakin sedikit ditemukan sebuah pesantren yang memprioritaskan kepentingan tafaqquh fiddin; mendalami ilmu-ilmu agama dengan spesialisasi keilmuan Islam tertentu, seumpama fiqh atau tafsir. Salah satu di antara alasannya adalah bahwa sebagian besar pesantren juga mengelola lembaga pendidikan formal, baik madrasah, sekolah, bahkan perguruan tinggi umum. Dalam kondisi demikian, maka santri jelas tidak dapat lagi menekuni atau takhassus kitab kuning secara matang, mengingat mereka juga harus menyediakan waktu untuk menekuni mata pelajaran umum.
Ketiga, mengambil jalan tengah. Pada model ini, pesantren melakukan pengem bangan sistem pendidikan dengan menyelenggarakan pendidikan umum, namun dengan tetap
Perkembangan ini berdampak serius terhadap menurunnya fungsi dan peran pesan tren sebagai lembaga pendidikan pencetak ulama. Ulama masa depan sulit – untuk tidak
5 Nunu Ahmad An-Nahidl, dkk (Editor). 2010. Otoritas Pesantren dan Perubahan Sosial. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, h. 147-149.
6 Berdasarkan observasi langsung peneliti, pola ini misalnya dikembangkan oleh PP. Babakan Ciwaringin Cirebon dan PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 443
443
26/01/2015 09:48:12
Nunu Ahmad An-Nahidl
mengatakan tidak mungkin – dilahirkan dari sebuah sistem pendidikan umum meskipun ia berada dan dikelola oleh lembaga pesantren sekalipun. Ulama adalah adalah para ‘alim yang menekuni dan mendalami ilmu-ilmu agama secara khusus dan matang. Maka, tercerabutnya ilmu agama dari muka bumi ini adalah identik dengan ketiadaan ulama di tengah kehidupan umatnya.
Konsep Mutu Mutu biasanya dihubungkan dengan suatu produk atau kualitas layanan. Mutu atau kualitas didefinisikan sebagai sesuatu yang diharapkan para pelanggan (masyarakat) dan dianggap memiliki nilai-nilai tertentu. Jadi untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai, didasarkan kepada bagaimana pemahaman pengelolaan lembaga layanan terhadap keinginan dari para pelanggan.7 Tegasnya, kualitas adalah sesuai dengan yang diisyaratkan atau sesuai dengan kebutuhan. Artinya, manakala kesesuaian (persyaratan) itu tidak terpenuhi, maka suatu produk atau jasa dikatakan tidak berkualitas.8 Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan keinginan pelanggan, kebutuhan organisasi, pemasok dan sumber, pemerintah, teknologi, serta pasar atau persaingan. Dalam gambaran yang lebih umum, Goetsch dan Davis menegaskan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.9 Dalam hal ini, kualitas tidak selalu berhubungan atau mencakup produk dan jasa, melainkan juga meliputi proses, lingkungan dan manusia. Ia adalah apapun 7 Randall S. Schuler and Drew L. Harris. 1992. Managing Quality: The Primer for Middle Managers. Massachusetts: Adison Weslwy Publishing Company Inc., h. 21. 8 James W. Cortada. 1993. TQM for Sales and Marketing Management. New York: McGraw-Hill Inc., h. 7 dan 56. 9 D.L. Goetsch dan Davis. 1994. Introduction to Total Quality: Quality, Productivity, Competitiveness. Englewood Cliffs: Prentice-Hall International Inc, h. 4
444
yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen. Jelas, apapun pengertian dasar yang telah disebutkan tadi, tampak sekali bahwa mutu atau kualitas selalu berfokus kepada pelanggan. Sallis menyebutkan bahwa konsep mutu memiliki tiga pengertian, yaitu mutu sebagai konsep yang absolut mutlak, mutu dalam konsep yang relatif, dan mutu menurut konsumen.10 Jika pilihan diberikan kepada mutu dalam konsep yang relatif, maka mutu bukan merupakan atribut dari suatu produk atau jasa. Sesuatu dianggap bermutu jika barang atau jasa telah memenuhi kriteria atau spesifikasi yang telah ditetapkan. Suatu produk atau jasa tidak harus terbaik, tetapi memenuhi standar yang telah ditetapkan. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses dan output. Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Input adalah sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya proses.11 Input pendidikan terdiri atas; a) input sumber daya manusia yang mencakup antara lain; kiai, ustadz, karyawan, dan santri, dan sumber daya lainnya, yaitu peralatan, perlengkapan dan sebagainya; b) input perangkat lunak, yaitu struktur organisasi pesantren, peraturan dan tata tertib pesantren, deskripsi tugas, dan lainnya; c) input harapan-harapan berupa visi yang dibangun oleh sebuah pesantren, misi yang dikembangkan, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh pesantren. Sementara proses pendidikan adalah ber ubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain.12 Dalam konteks pendidikan berskala mikro semisal pesantren, maka proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses Edward Sallis. 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page, h. 22-24. 11 Ditjen Dikdasmen, Direktorat SLTP Depdiknas. 2002. Konsep Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas, h. 7 12 Ibid. 10
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 444
26/01/2015 09:48:12
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input pesantren (kiai, ustadz, ssantri, kurikulum, biaya, sarana dan prasarana, dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan santri sebagai peserta didik. Di sini, peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, tetapi pengetahuan tersebut telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan. Peserta didik juga mampu belajar secara terus menerus dan mengembangkan dirinya. Sedangkan output pendidikan merupakan kinerja pesantren. Kinerja pesantren adalah prestasi yang dihasilkan dari proses dan perilaku pendidikan pesantren. Kinerja pesantren dapat diukur dari kualitas, efektivitas, produktivitas, dan inovasi lembaga pesantren, khususnya prestasi belajar santri yang menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam prestasi akademik dan prestasi nonakademik. Dengan demikian, pendidikan pesantren dikatakan bermutu tinggi, manakala ia telah mempersiapkan inputnya dengan baik, proses pembelajarannya terlaksana sesuai perencanaan, sehingga menghasilkan output pendidikan yang berkualitas.
Metodologi Penelitian Survei dilakukan pada tahun 2014 di seluruh propinsi di Indonesia. Namun pengumpulan datanya hanya dapat dilakukan pada 22 propinsi, yaitu Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sultra, Sulsel, dan Sulteng. 11 propinsi sisanya, tidak dilakukan pengumpulan data dengan alasan, pertama, terjadi perubahan kebijakan terkait anggaran kegiatan, dan kedua, jarak tempuh
lokasi penelitian cukup jauh untuk didatangi, sementara jumlah responden rata-rata hanya 1 atau 2 orang. Jumlah pesantren di 22 propinsi tersebut sebanyak 23.865, atau 90,8% dari jumlah total pesantren di seluruh Indonesia, yaitu sebanyak 24.206 (data tahun 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survai.13 Metode ini memberi keleluasaan kepada peneliti untuk memperoleh temuan studi berupa data-data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Peneliti dapat mentabulasi objek-objek nyata atau mengukur hal-hal yang tidak nyata, seperti pendapat atau pencapaian prestasi tertentu.14 Populasi yang menjadi target penelitian adalah seluruh pesantren di di Indonesia. Penelitian ini mengambil sampel penelitian dari salah satu unit populasi, yaitu kiai sebagai pengasuh pesantren. Alasannya, pertama, kiai adalah figur utama pemegang kendali, penggerak dan penentu arah kebijakan pendidikan pesantren. Kedua, seluruh kiai dipilih dengan tanpa perbedaaan kualifikasi, baik secara personal maupun kelembagaan. Tujuannya agar seluruh kiai memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Dengan demikian, karakteristik populasi adalah homogen. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik acak sistematis (systematic random sampling).15 Tahapannya, pertama menentukan jumlah unit populasi dari setiap target populasi, yaitu 24.206 orang kiai. Kedua, menyusun kerangka sampel dalam kelompok dengan cara membagi jumlah populasi dengan jumlah responden. Kelompok Lihat penjelasan dalam Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES, h. 3-25. 14 Sevilla et al., 1988. Pengantar Penelitian. Jakarta: UI Press, h. 25 15 Ibid. h. 162-163. Bandingkan dengan M. Burhan Bungin. 2006. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana, h. 115, dan Lina Miftahul Jannah. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, h. 128-130 13
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 445
445
26/01/2015 09:48:12
Nunu Ahmad An-Nahidl
= N/n = 24.206/790 = 30,6. Ketiga, memilih satu kelompok yang ada dengan cara acak. Besaran sampel survai pada tingkat kepercayaan 95% (MoE 3,5%) adalah 790. Pemilahan sampel dengan cara acak sistematis (systematic random sampling), menghasilkan sebaran responden di 224 kabupaten/kota di 33 propinsi di Indonesia. Tabel 1. Sebaran Responden pada Kab/Kota/Propinsi Survai Pandangan Kiai terhadap Peningkatan Mutu Kajian Kitab Kuning di Pesantren No
Propinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Lampung DKI Jaya Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Kep. Riau Babel Bengkulu Kep. Riau Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat JUMLAH
446
Jumlah Kab/Kota Sampel 16 35 7 7 5 7 5 6 6 6 5 12 10 22 3 12 26 243 34 124 4 10 35 144 8 84 3 5 7 16 4 6 4 5 9 10 4 5 4 5 7 7 3 5 1 1 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 224 790
Sampel Terjangkau Kiai % 30 85,7% 7 100% 7 100% 6 100% 6 100% 9 75% 16 72,7% 6 50% 243 100% 108 88% 10 100% 129 89,5% 82 97,6% 5 100% 7 43,7% 6 100% 4 80% 10 100% 5 100% 4 80% 7 100% 5 100% - - - - - - - - - - - 711 90,8%
Instrumen yang digunakan berupa kuesioner model pilihan, untuk memperoleh data tentang pandangan kiai terhadap peningkatan mutu kajian kitab kuning di pesantren. Sebelumnya disusun kisi-kisi instrumen. Penyusunan kisi-kisi dan pem bahasannya melibatkan seluruh anggota tim peneliti dan ahli di bidang metodologi penelitian. Instrumen yang digunakan dilakukan validasi, yaitu validitas konsep dengan melibatkan ahli di bidang pendidikan pesantren dan metodologi penelitian. Untuk menilai pandangan kiai terhadap peningkatan mutu kajian kitab kuning di pesantren digunakan metode Likert’s Summated Rating (LSR) atau metode rating yang dijumlahkan, yaitu metode penskalaan pernyataan respons yang menggunakan distri busi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Pandangan kiai terhadap peningkatan mutu kajian kitab kuning diukur dengan menggunakan tiga (3) indikator, yaitu: pertama, pandangan kiai terhadap aspek input, kedua, pandangan kiai terhadap aspek proses, dan ketiga, pandangan kiai terhadap aspek output. Masing-masing kiai diminta untuk menyatakan kesetujuannya atau ketidaksetu juannya dalam lima (5) jenjang respons, yaitu: (a) sangat setuju; (b) setuju; (c) ragu-ragu; (d) tidak setuju; dan (e) sangat tidak setuju. Untuk mengukur respons kiai, analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dan statistik inferensi. Teknik analisis statistik deskriptif yang digunakan meliputi distribusi frekuensi, persentase dan tabulasi silang (crosstab). Analisis ini berguna untuk mengetahui tingkat persetujuan Kiai terhadap setiap butir item pertanyaan terkait input, proses dan output pendidikan. Analisis tabulasi silang berguna untuk melihat kecenderungan persetujuan setiap item pertanyaan variabel input, proses dan output berdasarkan kategori demografik responden, seperti latar belakang pendidikan, jenis lembaga pendidikan yang
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 446
26/01/2015 09:48:12
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
dikelola, wilayah provinsi serta pedoman kurikulum. Sedangkan teknik analisis statistik inferensi yang digunakan adalah analisis korelasi Spearman rho. Analisis ini berguna untuk mengetahui keterkaitan hubungan antara setiap item-item pertanyaan input, proses atau output. Derajat hubungan keterkaitan antara setiap butir pertanyaan diukur dengan koefisien korelasi yang terletak antara -1 ≤ r ≤ 1. Interpretasi koefisien korelasi didasarkan atas 3 (tiga) hal yaitu derajat koefisien korelasi, arah koefisien korelasi serta signifikansi koefisien korelasi. Coolican (1994) mengelompokan interpretasi koefisien korelasi menjadi 5 bagian yaitu r = 0 (tidak ada korelasi), r terletak antara 0,00 – 0,25 (korelasi sangat lemah), 0,25 – 0,50 (korelasi cukup kuat), 0,50 – 0,75 (korelasi kuat), 0,75 – 0,99 (korelasi sangat kuat) dan r =1 (korelasi sempurna). Pengujian signifikansi koefisien korelasi digunakan statistik t dimana untuk memperoleh signifikansi pengujian statistik t telah secara otomatis dengan software SPSS 15. Nilai signifikansi pengujian kurang dari = 5% mengandung arti bahwa koefisien korelasi tersebut bermakna.
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Responden Dalam penelitian ini, jumlah sampel penelitian terjangkau adalah sebanyak 711 responden. Masing-masing mengisi satu buah instrumen penelitian. Dari 711 instrumen atau kuesioner yang diisi oleh responden, tercatat sebanyak 693 instrumen yang dapat dilakukan pengolahan dan analisis data. Tersisa 18 buah data instrumen yang tidak dapat diolah karena datanya rusak dan atau tidak lengkap. Adapun sebaran responden survai pada setiap propinsi sebagaimana tergambar dalam tabel berikut.
Tabel 2. Sebaran Lokasi Penelitian (Provinsi) dan Jumlah Responden (%) No
Provinsi
F
%
1
Aceh
29
4.2%
2
Sumatera Utara
7
1.0%
3
Sumatera Barat
7
1.0%
4
Riau
6
0.9%
5
Jambi
5
0.7%
6
Sumatera Selatan
8
1.2%
7
Lampung
16
2.3%
8
DKI Jakarta
11
1.6%
9
Jawa Barat
236
34.1%
10
Jawa Tengah
108
15.6%
11
DI Yogya
9
1.3%
12
Jawa Timur
127
18.3%
13
Banten
71
10.2%
14
Bali
4
0.6%
15
Nusa Tenggara Barat
7
1.0%
16
Kalimantan Barat
6
0.9%
17
Kalimantan Tengah
4
0.6%
18
Kalimantan Selatan
10
1.4%
19
Kalimantan Timur
5
0.7%
20
Sulawesi Tenggara
4
0.6%
21
Sulawesi Selatan
8
1.2%
22
Sulawesi Tengah
Total
5
0.7%
693
100%
Sumber: Survey Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
693 data responden dari 22 provinsi di Indonesia, dapat diposisikan mewakili secara merata wilayah Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Jumlah sampel penelitian terbesar berada di wilayah Jawa, yaitu Jawa Barat mencapai (34,1%), Jawa tengah (15,6%), Jawa Timur (18,3%) dan Banten (10,2%). Sedangkan untuk wilayah Sumatera, tampak Aceh (4,2%) sangat dominan. Selanjutnya, untuk provinsi lainnya, jumlah sampel terjangkau kurang dari 2%.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 447
447
26/01/2015 09:48:13
Nunu Ahmad An-Nahidl
Aspek Input Kelembagaan Tabel 3. Reproduksi Ulama (%) No Pernyataan
SS
S
RR TS STS Total
Pesantren adalah lembaga pendidikan Q1 pencetak dan 79.5 19.9 0.1 0.4 0.0 pengkaderan ulama mutafaqqih fid-din Tugas utama pendidikan pesantren adalah Q2 menyiapkan calon ulama mutafaqqih fid-din
Lembaga Pendidikan
Sistem pendidikan pesantren perlu disetarakan (mu’adalah) dengan lembaga pendidikan formal SS S RR TS STS Total
Pesantren
28
48 11 13
0
100
Pendidikan Formal Pesantren dan Pendidikan Formal Total
45
39
8
7
1
100
33
49
8
8
1
100
35
46
9
10
0
100
66.0 32.1 1.0 0.7 0.1
100
Kiai memberikan tingkat persetujuan yang sangat tinggi bahwa pesantren adalah lembaga untuk mencetak, mengkader dan menyiapkan calon ulama, bahkan hal tersebut merupakan tugas utama pendidikan pesantren (>98%). Ini artinya peran kesejarahan pesantren sebagai lembaga pencetak ulama harus terus dijaga keberlangsungannya. Tabel 4. Struktur Pendidikan (%) SS
S
RR TS
STS Total
Sistem pendidikan pesantren disetarakan Q3 (mu’adalah) dengan 35.3 45.3 9.3 9.7 0.4 lembaga pendidikan formal Sistem pendidikan pesantren berjenjang, Q4 yaitu jenjang dasar, 44.3 50.4 3.2 2.0 0.0 menengah, atas, dan tinggi Pesantren mengembangkan Q5 bidang kekhususan, 27.5 55.2 7.7 9.0 0.6 seperti PP. Tafsir, PP. Hadis, dll.
100
100
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Demikian halnya, kiai juga memberikan tingkat persetujuan yang sangat tinggi bahwa sistem pendidikan pesantren perlu dibuat berjenjang sesuai dengan tingkat kemampuan 448
Tabel 5. Lembaga yang Dikelola versus Kesetaraan Sistem Pendidikan Pesantren (%)
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
No Pernyataan
santri mempelajari kitab kuning (94,7%). Namun, bahwa sistem pendidikan pesantren perlu disetarakan dengan pendidikan formal hanya didukung oleh 80,5% kiai. Sisanya, menyatakan ragu (9,3%), bahkan tidak setuju (9,7%).
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Hasil analisis tabulasi silang di atas menjelaskan bahwa 76% kiai pengelola pen didikan pesantren saja, cenderung setuju bahwa pendidikan pesantren perlu dise tarakan dengan pendidikan formal, dan 13% di antaranya tidak setuju. Ketidaksetujuan yang lebih rendah diberikan oleh kiai pengelola pesantren plus pendidikan formal (8,4%).
Ketenagaan Tabel 6. Kualifikasi dan Kompetensi Akademik Kiai serta Otoritas Kiai (%) No Pernyataan
SS
S
RR
Kiai wajib Q6 berpendidikan 72.9 24.3 1.9 pesantren Kiai wajib menguasai salah satu bidang Q7 keilmuan secara 45.7 46.4 3.5 khusus, seperti ahli fiqh, ahli tashawuf, dll Kiai memperluas ilmunya dengan Q8 mempelajari 48.9 47.6 2.6 kitab kuning dari berbagai madzhab
TS STS
Total
0.7 0.1
100
4.0 0.4
100
0.9 0.0
100
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 448
26/01/2015 09:48:13
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
No Pernyataan
SS
S
RR
Kebijakan pengembangan pendidikan 24.2 57.7 7.4 Q9 pesantren tidak menjadi wewenang mutlak Kiai semata
TS STS
9.9 0.9
Tabel 8. Lembaga yang Dikelola versus Otoritas Kiai
Total
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Faktor kualifikasi dan kompetensi akademik kiai sangat erat kaitannya dengan latar belakang pendidikannya, keluasan ilmunya secara spesifik bahkan pengetahuan nya di luar madzhab mayoritas, termasuk otoritas kiai dalam kebijakan pesantren. Bahwa kiai wajib berpendidikan pesantren direspon sangat tinggi (97,2%). Demikian halnya bahwa kiai perlu menguasai spesifikasi keilmuan tertentu (92,1%), serta memperluas ilmunya dengan mempelajari kitab kuning dari berbagai madzhab (96,5%). Namun demikian, otoritas mutlak kiai atas kebijakan pengembangan pendidikan pesantren masih disetujui oleh 18,1% Kiai. Tabel 7. Pendidikan Kiai versus Kiai Wajib Berpendidikan Pesantren (%)
Kiai wajib berpendidikan pesantren
Pendidikan Kiai
SS
S
RR
TS
STS Total
Pesantren
72
25
0
2%
1
100
Pendidikan Formal Pesantren dan Pendidikan Formal Total
73
23
5
0%
0
100
73
25
2
1%
0
100
73
24
2
1%
0
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Hasil analisis tabulasi silang menjelaskan bahwa 96% kiai berpendidikan non-pesantren cenderung setuju bahwa seorang kiai wajib berpendidikan pesantren. Temuan ini jelas sangat menarik.
Kebijakan pengembangan pend. pesantren bukan wewenang mutlak kiai semata
Lembaga Pendidikan
SS
S
RR
TS
STS Total
Pesantren
19
57
11
12
1
100
Pendidikan Formal Pesantren dan Pendidikan Formal Total
30
59
3
8
1
100
25
59
7
9
0
100
24
58
7
10
1
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Temuan lain yang juga menarik adalah bahwa 76% kiai pengelola pendidikan pesantren saja, setuju bahwa otoritas pengembangan pesantren bukan hanya milik kiai.
Santri Tabel 9. Mekanisme Penerimaan Santri (%)
No
Pernyataan
Q10
Calon santri baru di tes kemampuan dasar bahasa Arab
SS
S
RR TS STS Total
12.6 48.8 14.8 22.4 1.3 100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Bahasa Arab bagi dunia pesantren merupakan hal yang sangat penting, karena seluruh kitab kuning yang dikaji adalah ditulis dengan bahasa Arab. Namun demikian, tidak seluruh kiai setuju adanya tes kemampuan dasar bahasa Arab dalam mekanisme pene rimaan santri baru (61,4%). Tercatat 38,6% kiai yang memiliki pikiran lain dalam memposisikan bahasa Arab.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 449
449
26/01/2015 09:48:13
Nunu Ahmad An-Nahidl
Kurikulum
Tabel 10. Kegiatan Pengembangan Kreatifitas (%)
No
Pernyataan
SS
S
Tabel 12. Struktur Kurikulum (%)
RR TS STS Total
Santri memperoleh pengetahuan 21.5 63.3 9.0 6.0 0.1 100 Q11 tentang teknik menulis bahs ilmiah (karya tulis ilmiah) Santri dibiasakan menyusun bahs Q12 ilmiah (karya tulis 21.9 62.8 11.5 3.8 0.0 100 ilmiah) terutama dalam bahasa Arab. Santri dilatih menyajikan bahs Q13 ilmiah (karya tulis 23.6 66.4 8.1 1.9 0.0 100 ilmiah) dalam forum mudzakarah santri Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Kiai cenderung sepakat agar santri dilatih menyajikan bahs (karya tulis ilmiah) dalam forum mudzakarah santri (90%), namun respon yang diberikan kiai terhadap keharusan menguasai teknik penulisannya (85%) dan pembiasaannya dalam pembelajaran (85%), cenderung lebih rendah. Padahal dua hal yang disebutkan terakhir ini sangat erat kaitannya dengan karya tulis ilmiah.
Sarana dan Prasarana
No Q16
Q15
Pernyataan
SS
RR
Perpustakaan pesantren dilengkapi kitab47.2 47.1 4.3 kitab kuning dari berbagai madzhab
No
Q17
Q19 0.0
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Perpustakaan pesantren adalah sarana yang paling menunjang dalam mempersiap kan santri menjadi seorang ulama. 94,3% kiai setuju bahwa perpustakaan pesantren perlu dilengkapi kitab-kitab kuning dari berbagai madzhab.
RR TS STS Total
47.9 43.8 4.5 3.4 0.4 100
Tabel 13. Penguasaan Kurikulum (%)
TS STS Total
1.5
Unsur utama pendidikan pesantren adalah mempelajari kitab kuning
S
Pesantren adalah lembaga pengkaderan ulama, dan ulama wajib memahami dan mendalami kitab kuning. Faktanya, ‘hanya’ 91,7% kiai setuju bahwa unsur utama pendidikan pesantren adalah mempelajari kitab kuning. 8,3% kiai bersikap ragu dan tidak setuju.
Q18
S
SS
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Tabel 11. Sarana dan Prasarana yang Dibutuhkan PBM (%) No
Pernyataan
Q20
Q21
Pernyataan Tingkat penguasaan rata-rata santri atas kitab kuning cenderung menurun Rata-rata santri hanya mempelajari kitab kuning pada tingkatan dasar Rata-rata bidang keilmuan yang dipelajari santri terbatas, lebih banyak dalam ilmu fiqh Motivasi ratarata santri untuk memahami kitab kuning cenderung rendah Santri perlu menguasai kitab kuning dari tingkat yang rendah sampai tinggi
SS
S
RR TS STS Total
12.4 59.5 14.5 12.1 1.5 100
8.4 48.6 14.8 25.6 2.6 100
6.0
47.6 14.2 30.3 1.9 100
12.2 56.8 11.6 17.5 1.9 100
64.6 32.8 1.9
0.7
0.0
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Kiai setuju bahwa santri perlu menguasai kitab kuning dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi (97,4%), sementara santri saat ini hanya 450
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 450
26/01/2015 09:48:13
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
mempelajari kitab kuning pada tingkatan dasar (57%). Para kiai juga menyadari bahwa tingkat penguasaan rata-rata santri atas kitab kuning cenderung menurun (71,9%), dan bidang keilmuan yang dipelajari pun terbatas ((53,6%). Motivasi untuk memahami kitab kuning pun rendah (69%) Tabel 14. Korelasi Faktor Penguasaan Kitab Kuning Menurun
No
Pernyataan
1
2
1
Penguasaan rata-rata santri atas kitab kuning cenderung menurun
2
Santri hanya mempelajari kitab kuning pada tingkatan dasar
1
3
Saat ini rata-rata bidang keilmuan yang dipelajari santri terbatas
Motivasi santri untuk memahami kitab kuning cenderung rendah
4
1
3
4
0.506** 0.388** 0.663**
0.554** 0.545**
1
0.500**
1
Keterangan (**) signifikan pada α = 5% Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Hasil analisis korelasi menjelaskan bah wa rendahnya penguasaan santri atas kitab kuning lebih dominan disebabkan oleh rendahnya motivasi santri (korelasi = 0,663), selain disebabkan oleh faktor keterbatasan pembelajaran kitab kuning pada tingkat dasar (korelasi = 0,553) dan faktor bidang keilmuan kitab kuning yang terbatas (korelasi = 0,388). Tabel 15. Kesesuaian Kurikulum dengan Kebutuhan (%) No
Pernyataan
SS
S
RR TS STS Total
Selain kitab kuning, santri Q22 mengkaji kitab-kitab 31.0 57.6 7.2 3.9 0.3 100 ashriyah (modern) Santri mengkaji kitabQ23 kitab dari berbagai 30.6 56.5 9.0 4.0 0.0 100 madzhab
No
Pernyataan
SS
S
RR TS STS Total
Kitab kuning yang dipelajari santri Q24 disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri
44.8 51.6 1.9 1.6 0.1 100
Pesantren menyusun daftar tingkatan kitab kuning yang harus Q25 dikuasai santri, mulai tingkat yang rendah, sedang sampai tinggi sesuai jenjangnya
47.2 49.1 3.6 0.1 0.0 100
Pesantren menyusun sebuah pedoman Q26 pengajian kitab kuning 20.8 55.1 13.0 10.9 0.1 100 yang disepakati bersama oleh seluruh pesantren Pedoman pengajian kitab kuning dibutuhkan untuk memastikan bahwa santri Q27 telah mempelajari kitab 21.0 70.7 6.3 2.0 0.0 100 kuning pada seluruh bidang keilmuan sesuai jenjangnya Pedoman pengajian kitab kuning dibutuhkan sebagai acuan Q28 dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kajian kitab kuning
22.8 71.9 3.7 1.6 0.0 100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Terkait kesesuaian kurikulum dengan kebutuhan, kiai memberikan respon ratarata 87,1% - 88,6% atas pentingnya santri mengkaji kitab berbagai madzhab dan kitabkitab ashriyah. Namun demikian, persetujuan kiai lebih tinggi bahwa pembelajaran kitab kuning perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan santri (96,4%), dan caranya adalah dengan menyusun standar kitab kuning sesuai jenjangnya (96,2%). Para kiai setuju bahwa kajian kitab kuning membutuhkan sebuah pedoman sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran (94,7%), selain sebagai tolak ukur untuk memastikan bidang keilmuan yang dipelajari sesuai jenjang nya (97,1%). Namun demikian, tentang cara menghadirkan pedoman dimaksud, tampaknya pendapat
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 451
451
26/01/2015 09:48:14
Nunu Ahmad An-Nahidl
para kiai tidak cukup utuh. Jika 76% kiai setuju bahwa mereka harus duduk bersama, menyusun dan menyepakati pedoman tersebut untuk kemudian menggunakannya secara bersama-sama, maka 24% kiai cenderung ragu dan atau tidak setuju.
Aspek Proses
Persetujuan kiai cukup rendah (62,3%) bahwa waktu yang digunakan santri saat ini lebih banyak di madrasah atau sekolah, dan waktu santri untuk mempelajari kitab kuning semakin sedikit (52%). Meskipun demikian, ternyata ada korelasi yang signifikan antara dimensi waktu yang semakin sedikit dengan rata-rata penurunan minat dalam mempelajari kitab kuning.
Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar
Tabel 18. Korelasi Faktor Penguasaan Santri Menurun dengan Waktu yang Dimiliki
Tabel 16. Perencanaan Pembelajaran (%) No
Pernyataan
Pesantren menyusun indikator pencapaian Q1 kompetensi santri dalam pengajian kitab kuning
SS
S
25.7 63.6
RR
7.2
TS STS Total
3.5
0.0 100
No
0.1 100
1
2
3
Tingkat penguasaan rata-rata 1 santri atas kitab kuning cenderung menurun
1
Waktu yang digunakan santri lebih banyak di madrasah atau sekolah
-
1
0.259**
Waktu yang dimiliki santri dalam 3 mempelajari kitab kuning semakin sedikit dalam setiap harinya.
-
-
1
2
Materi dalam Q2 pengajian kitab kuning 17.1 61.1 11.1 10.6 disusun per semester
Pernyataan
0.085** 0.356**
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Sumber: Survey Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Respon kiai bahwa pesantren perlu menyusun indikator pencapaian kompetensi dalam pengajian kitab kuning cukup tinggi, yaitu 89,3%. Demikian halnya tentang pentingnya pengaturan pembelajaran per semester (78,2%).
Hasil analisis korelasi menjelaskan = adanya korelasi yang signifikan pada 5% antara rata-rata penguasaan santri atas kitab kuning dengan waktu yang digunakan santri yang lebih banyak di madrasah/ sekolah (0,085). Meski derajat keterkaitan hubungan kedua pernyataan tersebut tingkat korelasinya rendah. Namun demikian, dari sisi minimnya waktu yang digunakan santri dalam mempelajari kitab kuning, tampak memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan rata-rata penguasaan santri akan kitab kuning yang semakin menurun (0,356). Hal ini mengindikasikan bahwa keterbatasan faktor waktu mempelajari kitab kuning dapat menjadi pemicu rendahnya penguasaan santri atas kitab kuning.
Tabel 17. Waktu Pembelajaran (%) No
Pernyataan
SS
Q3
Waktu yang digunakan santri lebih banyak di madrasah atau sekolah
Q4
Waktu yang dimiliki santri dalam mempelajari kitab 9.5 kuning semakin sedikit dalam setiap harinya.
S
RR
TS STS Total
12.4 49.9 16.5 20.0 1.2
42.5 11.8 32.2 4.0
100
100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
452
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 452
26/01/2015 09:48:14
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
Tabel 19. Strategi Pembelajaran (%) No
Pernyataan
SS
S
RR TS STS Total
Q5
Memahami kitab kuning diperkaya dengan mengetahui latar belakang kehidupan penulis kitabnya
19.1 64.3 9.5 6.6 0.4 100
Q6
Memahami kitab kuning diperkaya dengan mengetahui latar belakang sosial dan politik saat kitab tersebut ditulis
11.8 53.3 16.2 16.6 2.1 100
Tabel 20. Penggunaan Sumber Belajar (%)
Memahami kitab kuning diperkaya dengan pendekatan ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi dan antropologi
15.7 58.5 13.9 11.1 0.7 100
Q8
Memahami kitab kuning diperkaya dengan menguasai manhajul fikr-nya
16.9 73.5 7.2 2.4 0.0 100
Q9
Memahami kitab kuning diperkaya dengan mendalami thoriqot istinbat alhukm-nya
21.9 66.2 7.7 4.0 0.1 100
Q7
sosial politik saat sebuah kitab ditulis, akan memposisikan kita lebih obyektif memahami jalan pikiran yang ditawarkan oleh kitab tersebut. Pasalnya, sebagaimana diketahui bahwa tak jarang sebuah buku ditulis untuk sebuah kepentingan tertentu. Misalnya, ditulis untuk kebutuhan penguasa atau sebuah kekuasaan. Maka dapat dimaklumi jika kecenderungan buku tersebuat menjadi bias penguasa.
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Strategi pembelajaran kitab kuning yang paling penting dalam pandangan kiai adalah memahami kitab kuning dengan menguasai manhajul fikr-nya (90,4%), kemudian diperkaya dengan mandalami thoriqot istinbat al-hukmnya (88,1%), dilanjutkan dengan mengetahui latar belakang kehidupan penulisnya (83,1%). Setelah itu, perlu diperkaya dengan pendekatan ilmu-ilmu lain (74,2%), dan yang terakhir, memahami kitab kuning dengan mengetahui latar belakang sosial dan politik saat kitab itu ditulis (65,1%). Hanya saja, kelima pernyataan di atas sesungguhnya tidak untuk dilakukan stratifikasi. Misalnya, mengetahui “latar belakang sosial politik” yang dinilai terendah oleh para kiai, sesungguhnya sama pentingnya dengan menguasai manhajul fikr yang dinilai tertinggi. Sebab, mengetahui latar belakang
No
Pernyataan
SS
S
RR TS STS Total
Q10
Saat ini jenis kitab kuning yang dipelajari santri pada setiap bidang keilmuan adalah terbatas
Q11
Santri perlu dibiasakan menyelenggarakan mudzakarah atau bahtsul masail dengan 49.0 49.6 1.0 0.4 0.0 100 dukungan sarana perpustakaan yang memadai
7.7 54.2 13.2 23.7 1.2 100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Terkait penggunaan sumber belajar bahwa jenis kitab kuning yang dipelajari oleh santri dinilai terbatas direspon beragam oleh para kiai dengan tingkat persetujuan 61,9%. Hal ini dapat berindikasi terhadap rata-rata penurunan penguasaan santri atas kitab kuning.
Evaluasi Proses Belajar Mengajar Tabel 21. Pelaksanaan dan Model Evaluasi (%) No
Pernyataan
SS S
RR TS STS Total
Q12
Secara berkala, tingkat kemampuan santri mengkaji kitab kuning 38.1 58.3 2.8 0.9 0.0 100 diuji dalam sebuah imtihan sanawi.
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 453
453
26/01/2015 09:48:14
Nunu Ahmad An-Nahidl
Respon para kiai terhadap evaluasi hasil belajar sangat tinggi (96,3%). Maknanya, para kiai meyakini bahwa evaluasi hasil belajar sangat penting untuk menguji kompetensi santri dan menilai hasil belajar.
Aspek Output Prestasi Akademik Tabel 22. Raport dan Ijazah (%) No
Pernyataan
SS
S
RR TS STS Total
Q1
Hasil imtihan sanawi santri dicatat dalam Buku Raport
Q2
Santri yang telah menyelesaikan pendidikan pada akhir 42.8 50.7 4.0 2.5 0.0 100 jenjang diberikan tanda kelulusan atau ijazah
Q3
Tanda kelulusan santri atau ijazah dari pesantren diakui legalitasnya oleh Pemerintah
36.1 55.4 4.5 3.7 0.3 100
53.1 38.8 4.3 3.5 0.3 100
Sumber: Survei Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Tahun 2014
Keberadaan buku raport dan tanda kelulusan atau ijazah yang diakui legalitasnya oleh pemerintah didukung oleh lebih dari 91% Kiai. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pesantren meyakini pentingnya instrumen pendidikan formal yang menun jukkan data akademik santri. Persetujuan para kiai atas ijazah lulusan pesantren yang diakui legalitasnya oleh Pemerintah menjadi testimoni bahwa pihak pesantren dapat merespon instrumen pendidikan formal tersebut yang senyatanya sangat dibutuhkan manakala santri ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
454
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan respon kiai terhadap sejumlah indikator yang digunakan untuk mengukur variabel input, proses dan output, dapat disimpulkan bahwa pada aspek kelembagaan, rata-rata kiai memberikan respon tinggi terhadap fungsi pesantren sebagai lembaga reproduksi ulama, sistem jenjang pendidikan, serta perlunya kese taraan dengan lembaga formal. Kiai juga setuju untuk mendistribusikan otoritas tata kelola lembaga pesantren dengan banyak pihak. Para kiai juga merespon sangat positif terhadap kewajiban kiai berpendidikan pesantren serta kompetensinya di berbagai bidang keilmuan, bahkan keilmuan di luar madzhab. Oleh karena itu, kiai merespon sangat baik pentingnya perpustakaan pesantren menghimpun kitabkitab kuning dari berbagai madzhab. Pada aspek peserta didik, para kiai merespon baik pentingnya santri diberikan pengetahuan tentang karya tulis ilmiah, teknik penulisannya serta menyajikannya dalam forum mudzakarah, selain dilatih melakukan tahqiq al-kutub. Sementara itu, kiai tidak sepenuhnya setuju adanya tes kemampuan dasar bahasa Arab dalam mekanisme pene rimaan santri baru. Tetapi, santri perlu menguasai kitab kuning pada seluruh tingkatan, meski saat ini rata-rata santri hanya mempelajari kitab kuning pada tingkatan dasar. Para kiai menyadari bahwa tingkat penguasaan rata-rata santri atas kitab kuning cenderung menurun, dan bidang keilmuan yang dipelajari pun terbatas. Persetujuan kiai pun cukup rendah bahwa waktu yang digunakan santri saat ini lebih banyak di madrasah atau sekolah, dan waktu santri untuk mempelajari kitab kuning semakin sedikit. Meskipun demikian, ternyata ada korelasi yang signifikan antara dimensi waktu yang semakin sedikit dengan rata-rata penurunan minat dalam mempelajari kitab kuning.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 454
26/01/2015 09:48:14
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN
Pada aspek kurikulum, para kiai setuju bahwa unsur utama kurikulum pendidikan pesantren adalah mempelajari kitab kuning. Kajian kitab kuning membutuhkan sebuah pedoman sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran, selain sebagai tolak ukur untuk memastikan bidang keilmuan yang dipelajari sesuai jenjangnya. Namun demikian, tentang cara menghadirkan pedoman dimaksud, pendapat para kiai tidak utuh. Sebagian kecil kiai tidak setuju manakala harus menyusun dan menyepakati pedoman tersebut untuk kemudian menggunakannya secara bersama-sama. Tampaknya, otoritas kiai tidak sepenuhnya bisa diintervensi pihak lain. Strategi pembelajaran yang penting dalam pandangan kiai adalah memahami kitab kuning dengan menguasai manhajul fikr-nya, kemudian diperkaya dengan cara mandalami thoriqot istinbat al-hukm-nya, dilanjutkan dengan mengetahui latar belakang kehidupan penulisnya. Setelah itu, perlu diperkaya dengan pendekatan ilmu-ilmu lain, dan yang terakhir, memahami kitab kuning dengan mengetahui latar belakang sosial dan politik saat kitab itu ditulis. Terakhir, terkait dengan prestasi akademik santri, tampak sekali bahwa keberadaan buku raport dan tanda kelulusan atau ijazah yang diakui legalitasnya oleh pemerintah direspon dengan sangat baik oleh para kiai. Kiai meyakini pentingnya instrumen pendidikan yang menunjukkan data akademik santri yang senyatanya sangat dibutuhkan manakala santri ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Rekomendasi Pertama, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI bersama-sama pondok pesantren perlu merumuskan grand design kaderisasi ulama mutafaqqih fid-din dengan konsentrasi kajian kitab kuning. Tegasnya, perlu sebuah satuan atau program atau jenis pendidikan kader ulama di pesantren yang akan menggunakan kitab kuning sebagai sumber belajar pada seluruh struktur kuri kulumnya. Ia adalah pendidikan yang terarah, terencana dan berkelanjutan yang dimulai sejak pendidikan dasar, menengah, atas hingga jenjang pendidikan tinggi. Memberikan bantuan sumberdaya pen didikan, melindungi kemandirian dan ke khasan nya, serta melakukan akreditasi untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pen didikan. Kedua, kepada Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, untuk menjadi bagian dari supporting system dalam konteks pening katan mutu terhadap satuan atau program atau jenis pendidikan kader ulama mutafaqqih fid-din di pesantren. Ketiga, kepada pondok pesantren, untuk memformulasikan beragam bentuk dan model kajian kitab kuning di pesantren masingmasing kepada satuan atau program atau jenis pendidikan kader ulama mutafaqqih fid-din yang akan dikembangkan oleh Pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan seluruh kiai pengelola pesantren.
Berbagai temuan penelitian di atas, men jadi testimoni faktual bahwa rata-rata kiai memiliki pandangan positif terhadap peningkatan mutu kajian kitab kuning di pesantren pada seluruh aspek, baik aspek input, proses maupun output.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 455
455
26/01/2015 09:48:14
Nunu Ahmad An-Nahidl
SUMBER BACAAN Peraturan-peraturan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam Buku-buku An-Nahidl, Nunu Ahmad dkk (Editor) (2010): Otoritas Pesantren dan Perubahan Sosial. Jakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Badan Litbang dan Diklat (2011): Survei Pengajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren. Jakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Badan Litbang dan Diklat (2013): Laporan Halaqah Ulama tentang “Penguatan Tradisi Keilmuan di Pondok Pesantren. Jakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Bungin, M. Burhan (2006). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta, Kencana. Cortada, James W. (1993). TQM for Sales and Marketing Management. New York, McGrawHill Inc. Dhofier, Zamakhsyari (1982): Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta, LP3ES.
456
Ditjen Dikdasmen, Direktorat SLTP Depdiknas (2002): Konsep Dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta, Depdiknas. D.L. Goetsch and Davis (1994): Introduction to Total Quality: Quality, Productivity, Competitiveness. Englewood Cliffs, PrenticeHall International Inc. Mastuhu (1994): Dinamika sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta, INIS. Mas’udi, Masdar F (1985): “Mengenal Pemikiran Kitab Kuning,” dalam M. Dawam Rahardjo (editor): Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah. Jakarta, P3M. Miftahul Jannah, Lina (2005): Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada. Mochtar, Affandi (1999): “Tradisi Kitab Kuninng: Sebuah Observasi Umum,” dalam Marzuki Wahid, dkk (penyunting), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung, Pustaka Hidayah. Sallis, Edward (1993): Total Quality Management in Education. London, Kogan Page. Schuler, Randall S. and Drew L. Harris (1992): Managing Quality: The Primer for Middle Managers. Massachusetts, Adison Weslwy Publishing Company Inc. Sevilla et al. (1988): Pengantar Penelitian. Jakarta, UI Press. Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi (2006): Metode Penelitian Survai. Jakarta, LP3ES.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 456
26/01/2015 09:48:14
KETENTUAN DAN PEDOMAN PENULISAN DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU
KETENTUAN DAN PEDOMAN PENULISAN
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN KHUSUS
Redaksi Jurnal EDUKASI menerima naskah Karya Tulis Ilmiah (KTI) hasil penelitian tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Naskah adalah orisinil dan belum pernah dipublikasikan pada media atau jurnal lain.
Naskah diketik dengan font Times New Roman 12, satu spasi, ukuran kertas A4, margin 4-3 cm (kiri-kanan) dan 3-3 cm (atas-bawah), dan jumlah halaman 10 sampai dengan 15.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau bahasa Arab sesuai kaidah masing-masing bahasa, Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi makna isinya. Isi naskah sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis. Redaksi tidak berkewajiban mengembalikan naskah yang ditolak.
SISTEMATIKA
Pengiriman naskah harus disertai dengan SURAT RESMI dari penulis, khususnya menyangkut pertanggungjawaban penulis atas legalitas isi naskah. Naskah dikirim ke:
Redaksi JURNAL EDUKASI Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jalan MH Thmarin No. 6 Jakarta Pusat. Telp & Fax. 021-3920379
Naskah dikirim melalui e-mail ke:
[email protected] dengan menyertakan riwayat hidup, meliputi: nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat lengkap tempat tinggal dan tempat bertugas, disertai nomor telepon, fax, e-mail dan nomor rekening bank, untuk kepentingan korespondensi.
JUDUL: Singkat, spesifik, jelas, informatif, menarik, ada kata kunci dan ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Ingris) dengan huruf kapital. NAMA DAN ALAMAT PENULIS: Nama ditulis lengkap tanpa gelar. Alamat yang dicantumkan adalah alamat lembaga tempat penulis bekerja dan dilengkapi pos-el (email), nomor telepon/faks instansi penulis. Jika penulis lebih dari satu orang dengan alamat yang sama, maka cukup mencantumkan satu alamat. Tetapi, jika alamatnya berbeda maka disebutkan semuanya. ABSTRAKSI DAN KATA KUNCI. Abstrak merupakan intisari pokok bahasan dari keseluruhan naskah. Ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Inggris (maksimal 200 kata) dan bahasa Indonesia (maksimal 250 kata). Kata Kunci ditulis di bawah abstrak, antara empat hingga enam kata. PENDAHULUAN. Bagian pendahuluan merupakan bahasan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, kerangka teori, hipotesis (Kuantitatif) dan metodologi. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian yang merupakan inti dari hasil-hasil penelitian, meliputi deskripsi data dan analisis hasil penelitian. Penggunaan grafik dan tabel EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 457
457
26/01/2015 09:48:15
ketentuan Nunudan Ahmad pedoman An-Nahidl penulisan
hendaknya dibatasi jika masih dapat disajikan dengan tulisan secara singkat. Pembahasan merupakan interpretasi penulis terhadap bahasan hasil dan analisis penelitian. Pembahasan dilakukan secara mendalam dan fokus dengan menggunakan acuan teori. PENUTUP. Merupakan bagian terakhir dari keseluruhan naskah yang meliputi kesimpulan dan saran/rekomendasi. *****
CATATAN KAKI Keterangan atau penjelasan khusus yang dinyatakan dalam teks, diberikan dalam bentuk catatan kaki (footnotes), bukan bodynotes atau endnotes, dengan mengacu pada contoh berikut:
BUKU Pengarang. Tahun. Judul buku. Tempat terbit: penerbit, h. Qodry A. Azizy. 2003. Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial. Jakarta: Aneka Ilmu, h.
BAB DALAM BUKU Pengarang. Tahun. “Judul artikel/tulisan,” dalam Judul Buku Utama. Editor. Tempat terbit: penerbit, halaman. Marsana Windhu. 2000. “Dimensi Keke rasan Tinjauan Teoritis Atas Fenomena Kekerasan” dalam Malawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Ed. Franz Magnis Suseno. Yogya karta: Pustaka Pelajar, h. 91-96.
SKRIPSI/THESIS/DISERTASI Pengarang. Tahun. Judul. Tesis pada lembaga perguruan tinggi. Tempat/kota: nama lembaga perguruan tinggi, halaman Husen Hasan Basri. 2006. Politik Luar Negeri Iran Dalam Upaya Menjaga Stabilitas Keamanan dan Pertahanan (Studi Kasus Pengembangan Teknologi Nuklir Dalam Memenuhi Kebutuhan Energi. Tesis Magister Sains, Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, h. 143.
INTERNET Pengarang. tahun. Judul karangan. Nama website. P. Collier and A. Hoeffler. 2002. Aid, Policy and Growth in Post-Conflict Societies. www. worldbank.org
SURAT KABAR Penulis. Tahun. “Judul artikel.” Nama surat kabar, tanggal. Halaman. Eep Saefullah Fattah. 2004. “Pesona Figur Besar.” Koran Tempo, 26 April. H. 5
MAKALAH SEMINAR Pengarang. Tahun. Judul makalah. Makalah disampaikan pada seminar. Penyelenggara. Tempat, tanggal. C. Van Dijk. 2003. Coping with Separatism: Is there a Solution? Makalah dipresentasikan pada Konferensi Internasional tentang Konflik di Asia Pasifik. LIPI. Jakarta, Nikko Hotel, 22-23 Oktober. *****
JURNAL Pengarang. Tahun. “Judul artikel/tulisan.” Nama Jurnal. Jilid/tahun (nomor): halaman. Ahmad Qowaid. 2003. “Profil Guru Pendidikan Agama di Sekolah Umum.” Edukasi Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan, 4 (2): 25-30.
458
SUMBER BACAAN Sumber Bacaan ditulis dengan meng gunakan acuan pada contoh berikut:
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 458
26/01/2015 09:48:15
ketentuan KETENTUAN dan DAN pedoman PEDOMAN penulisan PENULISAN
BUKU
SURAT KABAR
Pengarang (tahun): Judul buku. Tempat terbit, penerbit.
Penulis (tahun): “Judul artikel.” Nama surat kabar, tanggal. Halaman.
Azizy, A. Qodry (2003): Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial. Jakarta, Aneka Ilmu.
Fattah, Eep Saefullah (2004): “Pesona Figur Besar.” Koran Tempo, 26 April. H. 5
BAB DALAM BUKU
MAKALAH SEMINAR
Pengarang (tahun): “Judul artikel/tulisan,” dalam Judul Buku Utama. Editor. Tempat terbit, penerbit. Halaman.
Pengarang (tahun): Judul makalah. Makalah disampaikan pada seminar. Penyelenggara. Tempat, tanggal.
Windhu, Marsana (2000): “Dimensi Keke rasan Tinjauan Teoritis Atas Fenomena Kekerasan” dalam Malawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Ed. Franz Magnis Suseno. Yogya karta, Pustaka Pelajar. H. 91-96.
Van Dijk, C (2003): Coping with Separatism: Is there a Solution? Makalah dipresentasikan pada Konferensi Inter-nasional tentang Konflik di Asia Pasifik. LIPI. Jakarta, Nikko Hotel, 22-23 Oktober. *****
JURNAL Pengarang (tahun): “Judul artikel/tulisan.” Nama Jurnal. Jilid/tahun (nomor): halaman. Qowaid, Ahmad (2003): “Profil Guru Pendidikan Agama di Sekolah Umum.” Edukasi Jurnal Pendidikan Agama dan Keagamaan, 4 (2): 25-30.
TRANSLITERASI ARAB Sistem Transliterasi Arab menggunakan pola berikut:
SKRIPSI/THESIS/DISERTASI Pengarang (tahun): Judul. Tesis pada lembaga perguruan tinggi. Tempat/kota. Hasan Basri, Husen (2006): Politik Luar Negeri Iran Dalam Upaya Menjaga Stabilitas Keamanan dan Pertahanan (Studi Kasus Pengembangan Teknologi Nuklir Dalam Memenuhi Kebutuhan Energi. Tesis Magister Sains, Universitas Indonesia. Jakarta.
INTERNET Pengarang (tahun): Judul karangan. Nama website. Collier, P and A. Hoeffler (2002): Aid, Policy and Growth in Post-Conflict Societies. www. worldbank.org
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 459
459
26/01/2015 09:48:15
Nunu Ahmad An-Nahidl
INDEKS ISI
KUALITAS PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AGAMA PADA PROGRAM PAKET A, B, DAN C Farida Hanun This research is to identify: the progress of the religious educations’ program towards the package A, B, and C program that are spread to 7 provinces in Indonesia. Survey method appears as the method used in this research. The result of the research indicates: 1) the obligation for the people to attend the educational religious course is considered still not well implemented by the institutions’ packages, 2) the amount of religious tutors in the establishment of religious education by the third package is still few, 3) religious tutors with irrelevant background to the formal education still exist 4) There are program organizers that are still considering the implementation of religious education appear not as a compulsory lesson, 5) the coordination between the ministry of religious affairs and the ministry of education and culture is still considered low related to the religious education’s establishment on the package.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: sejauhmana penyelengaraan pendidikan agama pada program paket di 385 Lembaga Program Paket A, B, dan C yang tersebar pada 7 propinsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode survei.Hasil penelitian menunjukkan:1) belum seluruhnya lembaga program paket mewajibkan warga belajar mengikuti mata pelajaran pendidikan agama, 2) jumlah tenaga tutor agama dalam penyelenggaraan pendidikan agama pada program paket3masih terbatas2) masih ada tutor agama yang belum sesuai dengan latar belakang pendidikan formal, 4) masih ada pengelola program paket yang menganggap keberadaan pelajaran pendidikan agama hanya sebagai pelajaran tambahan bukan pelajaran inti, 5) kerjasama Kementerian Agama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih kurang terkait penyelenggaraan pendidikan agama pada program paket.
MODEL KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM di SDIT al-Anwar dan Al-Firdaus Mojokerto Jawa Timur Lilam Kadarin Nuriyanto This research is conducted in SDIT Al Anwar and SDIT Firdaus Mojokerto, East Java. This research is to identify the model of the Islamic education curriculum, to indicate the religious educational implementation, to identify and understand the current difficulties, and finding the ideal model for the religious educational curriculum and its implementation in forming
460
Penelitian ini dilakukan di SDIT Al Anwar dan Firdaus Mojokerto. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model kurikulum pendidikan agama, mengetahui pelaksanaan pendidikan agama, mengetahui kekuatan dan juga kendala yang dihadapi, dan menemukan model yang ideal dari kurikulum pendidikan agama dan implementasinya dalam membentuk karakter
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 460
26/01/2015 09:48:15
INDEKS ISI
the students’ character. The currently operating model of the curriculum is concerned with the National education curriculum’s development which is adapted to each condition of the schools. This also involves local content and self-individual development from the students. The development from the institution is referred to the Quran, AlIslam, the history of Islam, and Arabic language. The everyday routine of reading prayers, the Quran, brief religious lectures, memorizing the brief verses (the 30th), etc is also introduced. The implementation adapts from two learning thematic models; the lower class, and integrated with the upper class. The school applies a full day learning method. The strongest distinction possessed by the two local curriculum and selfindividual development SDIT is located by their ability in cooperating each other in order to create a leadership figure such as the prophet Muhammad saw; trustworthy, fatonah, and tablig. On the other hand, the unfinished and incomplete process of property construction has become a main problem. The ideal curriculum model which has been implemented becomes energy between cultures both in schools and environments.
siswa. Model kurikulum yang digunakan mengacu pada perkembangan kurikulum Pendidikan Nasional yang disesuaikan dengan kondisi masingmasing sekolah. Pengembangan konten lokal dan pengembangan diri peserta didik. Pengembangan Yayasan dalam bentuk Al Qur’an, Al-Islam, Sejarah Islam dan Arab. Juga ada proses pembiasaan pada siswa bahwa doa, membaca Al-Qur’an, doa, Kultum, surat-surat pendek menghafal (Juz 30) dan lain-lain. Pelaksanaan mengadopsi dua model pembelajaran tematik, yaitu untuk kelas bawah, dan terintegrasi untuk kelas atas. Proses pembelajaran sehari penuh sistem sekolah. Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh kedua SDIT kurikulum lokal dan pengembangan pribadi dapat bekerja sama dengan tujuan pendidikan setiap SDIT yang telah memimpin dalam karakter sidiq nabi, dapat dipercaya, fatonah, dan tabligh. Sementara itu, salah satu kendala yang dihadapi oleh sarana dan prasarana sekolah yang belum menjadi lagi.Model kurikulum yang ideal dipasang yang merupakan sinergi antara budaya dan budaya sekolah maupun di luar lingkungan sekolah.
Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Terpadu di SMA-IT Darul Hikam Bandung Suprapto Integrated learning is a learning approach which involves multiple course subjects in order to provide meaningful experience to the students. Integrated education can be realized through the formulation of the vision and mission from the school that need to be achieved, school’s objectives and programs (the strategic plan of the school), the formation of institution culture that reflects the blend of values and learning, which is operationally in the form of curriculum and extracurriculum plan that formulated such a way so that the fundamental values of Islamic teaching and the science (general education) are integrated
Pembelajaran terpadu sebagai pendekatan pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Pendidikan terpadu dapat diwujudkan melalui perumusan visi dan misi dari sekolah yang ingin dicapai, tujuan dan program sekolah (rencana strategis sekolah), pembentukan institution culture yang mencerminkan perpaduan antara nilai dan pembelajaran, yang secara operasional berbentuk rancangan kurikulum dan ekstra kurikulum yang diramu sedemikian rupa sehingga nilai-nilai fundamental ajaran agama Islam dan ilmu terpadu (pendidikan umum) ter
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 461
461
26/01/2015 09:48:15
Nunu Ahmad indeksAn-Nahidl isi
coherently. The implementation of integrated PAI learning in Darul Hikam Senior High School is clearly seen on the typical curriculum (kurhas) of character education with developing 7 values (sincere, patient, trustworthy, discipline, caring, smart and good deeds) through Taqwa Character Building (TCB) as mentioned above. This TCB is in line with the philosophy and vision built by Darul Hikam Senior High School. Moreover, TCB is also aligned with the objectives of the national education.
padu secara koheren. Implementasi pembelajaran PAI terpadu di SMA Darul Hikam terlihat jelas pada kurikulum khas (kurhas) pendidikan karakter dengan mengembangkan 7 nilai (ikhlas, sabar, amanah, disiplin, peduli, cerdas, dan ihsan) melalui Taqwa Character Building (TCB) sebagaimana disinggung di atas. TCB ini sejalan dengan falsafah dan visi yang dibangun oleh SMA Darul Hikam. Lebih dari itu, TCB juga selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
IMPLEMENTASI PERPUSTAKAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH PADA BERBAGAI JENJANG SEKOLAH DI KOTA PADANG Qowaid Library and education are two related concepts. Both can be functional in increasing the quality and prosperity of the people. This is also with inserting Islamic education in schools. Considering upon the existence of Islamic education in schools, the Indonesian ministry of religious affairs has established the ordinance Number 211 Year 2011 concerning the standard of an Islamic educational library in schools. The idea of this research is conducted by the existence of the ordinance which shall be focused on acknowledgement, implementation, and alternative implementation in schools. The result of this research indicates that the law which is related to the standard of the facility and utility of the Islamic educational library for schools are yet still not known by many. Every school by the research has not yet possesses an Islamic educational library and mentioned as it is. The implementation experiences difficulties such as financial support, space, and human resources. The alternative suggested by the research; first: to construct buildings/rooms for the Islamic educational libraries; second: the library must become a part from the general library in school; third: the library may use spare rooms from the school’s mosques or mushallas.
462
Perpustakaan dan pendidikan merupakan dua konsep yang saling berkaitan. Semuanya dapat berfungsi meningkatkan kualitas dan kesejahteraan manusia. Termasuk di dalamnya terkait dengan Pendidikan Agama Islam di sekolah. Berkenaan dengan Pendidikan Agama Islam di sekolah, Menteri Agama Republik Indonesia telah membuat Surat Keputusan tentang Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Sekolah dengan Nomor 211 Tahun 2011. Salah satunya adalah tentang standar Perpustakaan Pendidikan Agama Islam pada sekolah. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang berkenaan dengan Keputusan Menteri Agama tersebut yang difokuskan pada pemahaman, implementasi, dan alternatif implementasinya di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peraturan yang berkenaan dengan Standar Sarana dan Prasarana Perpustakaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah belum banyak diketahui. Semua Sekolah yang diteliti belum mempunyai Perpustakaan khusus Pendidikan Agama Islam sebagaimana tercantum dalam Perataran tersebut. Implementasinya masih mengalami beberapa kendala atau hambatan dana, ruang, dan tenaga pengelola. Alternatifnya antara lain, pertama: membangun gedung/ruang perpustakaan PAI; kedua: Perpustakaan PAI merupakan bagian dari perpustakaan sekolah; ketiga: Perpustakaan PAI menggunakan sebagian ruangan di musala atau masjid sekolah.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 462
26/01/2015 09:48:15
INDEKS isi ISI indeks
PEMENUHAN STANDAR NASIONAL PERPUSTAKAAN DI MADRASAH ALIYAH Umul Hidayati This research is conducted to identify the condition of libraries in Madrasah Aliyah (MA), whether they have fulfilled the national standard kriteria of a library. This study uses the quantitative approach survey method and conducted in 9 provinces; West Java; Easst Java; Central Java; North Sumatera; NTB; South Kalimantan, West Kalimantan, NTT, and Maluku. This research indicates that the libraries in Madrasah Aliyah have not fulfilled the National standard kriteria “Standar Nasional Perpustakaan” (SNP) and the lack of fulfillment is calculated by the percentage of 49,6%. Among 7 variables of the research; the goal and use, the standard human resource, standard facility, standard collection, standard establishment and development of the library, 60,8% only belongs to the variable of standard establishment and development which is considered adequate for the SNP. On the other hand, the lowest variables in fulfilling the SNP are; the standard of facility, human resource, and goal and use of the library. One of the prominent factors of the SNP’s lack fulfillment is the ineffective policy by the head of Madrasah in establishing libraries.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perpustakaan di Madrasah Aliyah apakah sudah memenuhi kriteria sesuai dengan standar nasional perpustakaan. Studi dilakukan di 9 propinsi yaitu di Jabar; Jatim; Jateng; Sumut, NTB; Kalsel, Kalbar, NTT dan Maluku dengan menggunakan metode survai dan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perpustakaan MA belum memenuhi SNP dan masuk kategori sangat kurang memenuhi dengan tingkat keterpenuhan 49,6%. Dari tujuh variabel yang diteliti yaitu tujuan dan fungsi perpustakaan, standar tenaga perpustakaan, standar sarana prasarana, standar koleksi, standar penyelenggaraan dan standar pengelolaan, hanya variabel standar pengelelolaan yang telah mencapai kategori cukup memenuhi dengan tingkat keterpenuhan 60,8%. Sedangkan variabel yang paling rendah pemenuhannya adalah standar sarana prasarana, standar tenaga perpustakaan, tujuan dan fungsi perpustakaan. Salah satu faktor yang menjadi penyebab belum terpenuhinya standar nasional perpustakaan di MA antara lain kebijakan kepala madrasah terhadap penyelenggaraan perpustakaan yang belum maksimal.
Efektivitas MGMP Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru Mata Pelajaran Umum di MTs Lisa’diyah Ma’rifataini This research is to identify the effectiveness of the course teachers’ consultation “Efektifitas Musyawarah Guru Mata Pelajaran” (MGMP) in developing the professionalism of the general course teachers in Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat Efektivitas MGMP dalam Peningkatan Profesionalisme Guru Mata Pelajaran Umum di MTs. Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed method dengan metode analisisnya
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 463
463
26/01/2015 09:48:15
Nunu Ahmad indeksAn-Nahidl isi
This research uses mixed method approach with description analysis as its presentation. The chief of MGMP appears as the correspondent which has become a member of MGMP, kasiMapenda, and the head of madrasah also the supervisor of the establishment of MGMP in seven provinces. This research applies the stratified random sampling as its method sampling. The result of this research shows the lack of effectiveness in consulting the general course teachers’ professionalism based on the goal and structure of MGMP. This is based on the resulting discovery that identifies only the component of the MGMP towards the teachers’ needs appears to be effective compared by the whole six other components involved.
deskriptif presentatif. Sebagai respondennya adalah Ketua MGMP, Guru yang menjadi anggota MGMP, Kasi Mapenda, Ketua Pokjawas, dan Kepala Madrasah sebagai pembina sanggar MGMP yang tersebar di tujuh propinsi. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan Stratified Random Sampling. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kecenderungan MGMP di MTs belum efektif dalam membina profesionalitas guru mata pelajaran umum sesuai dengan tujuan dan fungsi MGMP, yang didasarkan atas temuan hasil penelitian bahwa dari 6 komponen instrumen efektivitas MGMP hanya komponen efektivitas MGMP terhadap Kebutuhan Guru saja yang tergolong efektif, 2 komponen cukup efektif dan 3 komponen instrumen yang lainnya hasilnya cenderung kurang efektif.
Efektivitas Dana BOS Terhadap Peningkatan Mutu Di Madrasah Sumarni This study attempts to know the fund management of Bantuan Operasional Sekolah (BOS/School Operational Assistance) in Madrasah Ibtidaiyah (MI) and Madrasah Tsanawiyah (MTs) and also its effectiveness in improving the education quality in madrasah. The research was conducted in 12 provinces with 144 MI and 98 MTs samples in total. The data were collected using instrument of questionnaires, interview guides, checklists, and being analyzed using SPSS Version 19. The research result shows that, first, the performance of BOS fund management has been very positive. The positive side of this BOS fund management is seen from the level of preparation, the implementation process, and activities after the implementation, its derivative impacts, and general evaluation toward the performance of BOS Team of the madrasah. Second, the BOS fund have avery positive impact towards the quality improvement of madrasah which is measured with
464
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengelolaan dana Bantuan Opera sional Sekolah (BOS) di MI-MTs dan efektifitasnya dalam meningkatkan mutu pendidikan di madrasah. Penelitian dilakukan di 12 propinsi dengan jumlah sampel 144 MI dan 98 MTs. Data di kumpulkan dengan instrumen kuesionair, pedoman wawancara, daftar isian dan dianalisis dengan menggunakan spss versi 19. Hasil pene litian ini menunjukkan bahwa pertama, kinerja pengelolaan dana BOS sudah sangat positif. Sisi positif dari pengelolaan dana BOS ini terlihat dari jenjang persiapan, proses pelaksanaan, dan kegiatan pasca pelaksanaan, dampak turunannya, dan evaluasi umum terhadap kinerja Tim BOS madsarah. Kedua, dana BOS berdampak sangat positif terhadap peningkatan mutu madrasah yang terukur dengan indikator peningkatan status akreditasi madrasah, peningkatan jumlah siswa, dan jumlah siswa tingal kelas dan putus sekolah. Dampak positif BOS juga terrekam dari fakta jejak prestasi
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 464
26/01/2015 09:48:15
INDEKS isi ISI indeks
the indikators of improved accreditation status of madrasah, increasing number of students, and the (decreasing) number of not-grade and drop-out students. The positive impact of BOS is also recorded from the achievement of madrasah students in many and various contests. In addition to that, the BOS fund is able to increase the ethos of school and learning spirit of the students.
siswa madrasah di banyak dan variasi lomba. Selain itu, dana BOS mampu meningkat etos sekolah dan semangat belajar siswa.
Kitab Kuning Dan Madrasah: Studi Pada Pondok Pesantren Hikmatusysyarief NW Salut Selat Lombok Barat Abd. Muin M This study attempts to uncover the education background of Islamic boarding school’s educator, the students’ motivation levels in studying yellow book and education system of Islamic boarding school. Through the qualitative method, the researcher conducted interviews with key informants, observed the education facilities and activities of the students, as well as studied the Islamic boarding school documents, which then lead to the collection of the data and information related to this research issues. The research result shows: (1) With “very adequate” Islamic boarding school education background, the educators of Hikmatusy syarief Islamic boarding school have successfully maintained and preserved the Islamic boarding school system, especially in studying yellow book with madrasah education system. (2) Most of the students have a strong motivation to study yellow book. (3) Values and elements of the education system of this Islamic boarding school is a single unit that integrated, complete each other and strengthen the implementation of the yellow book learning and madrasah education.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan latar belakang pendidikan pengasuh pesantren, tingkat motivasi santri mengaji kitab kuning dan sistem pendidikan pesantren. Melalui metode kualitatif peneliti melakukan wawancara dengan informan kunci, mengobservasi sarana pendidikan dan aktivitas santri, serta mempelajari dokumen-dokumen pesantren, akhirnya dikumpulkan data dan informasi yang berkaitan masalah penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Dengan berlatar belakang pendidikan pesantren yang “sangat memadai”, Pengasuh Pesantren Hikmatusysyarief sukses mempertahankan dan melesatarikan sistem pesantren, khususnya pengajian kitab kuning dengan sistem pendidikan madrasah. (2) Sebagian besar santri memiliki motivasi yang kuat mengaji kitab kuning. (3 Nilai-nilai dan unsur-unsur sistem pendidikan pesantren ini merupakan satu kesatuan yang terpadu, saling melengkapi dan memperkuat pelaksanaan pengajian kitab kuning dan pendidikan madrasah.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 465
465
26/01/2015 09:48:16
Nunu Ahmad indeksAn-Nahidl isi
IJABI dan Pendidikan Ahlul Bait: Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung Nunu Ahmad An-Nahidl Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) merupakan suatu model organisasi Islam Shia di Indonesia.IJABI memiliki karakteristik yang khas. IJABI menyebarkan paham Ahlul Bait dengan memberikan penghargaan pada pendekatan keragaman dan kebudayaan, serta memprioritaskan kepentingan moral daripada yurisprudensi. Studi kualitatif ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut: Apakah Yayasan Muthahhari merupakan institui pendidikan Shia? Bagaimana kah hubungan antara IJABI dan Yayasan Muthahhari? Apakah Yayasan Muthahhari juga menjalankan misi IJABI? Apakah Yayasan Muthahhari mengajari siswanya tentang Shia? Bagaimanakah pembelajaran Shia diberikan?
The all Indonesian Assembly of Ahlulbayt Association (IJABI) is a Shia Muslim organization model of Indonesia. IJABI have distinctive characteristics. IJABI spread the ideology of Ahlulbayt by giving awards to the plurality and cultural approaches, as well as prioritizing moral glory rather than jurisprudence. This qualitative study will answer the following questions; Is Motahhari Foundation is an educational institution Shia? How does the relationship between IJABI and Motahhari Foundation? Is Motahhari Foundation also runs IJABI mission? Is Motahhari Foundation educates students about the Shia? How about Shia learning is given?
Dynamic of Pondok Pesantren as Indegenous Islamic Education Centre In Indonesia Dihyatun Masqon Di Indonesia, pondok pesantren dikenal sebagai institusi pendidikan agama pribumi. Secara historis, pondok pesantren dimulai dengan kedatangan Islam ke Indonesia sebagai pusat yang hanya mengajarkan ilmu agama. Beberapa elemen dasar pada pondok pesantren yaitu: Kiai sebagai tokoh sentral, santri sebagai siswa yang menimba ilmu, pondok sebagai asrama dimana santri tinggal, dan masjid yang berperan sebagai pusat kegiatan pendidikan. Secara umum, dikarenakan oleh system dan metode pengajaran, pondok pesantren dibedakan menjadi dua jenis: tradisional dan modern. Pada dasarnya mereka memiliki visi dan misi yang sama, yaitu mengatakan bahwa pendidikan pondok pesantren adalah pendidikan
466
In Indonesia pondok pesantren is known as the indigenous religious educational institution. Historically it started with the coming of Islam to Indonesia as a center for merely teaching religious knowledge. The basic elements of pondok pesantren are: Kiai as a central figure, santri as a student who persues knowledge, pondok as dormitory where santri lives, and mosque which constitutes as the center of educational activities. In general, due to the system and method of teaching, pondok pesantren classified into two kinds; traditional and modern. Never the less they are having the same vision and mission, that is to say that education is pondok pesantren is community oriented education by cultivating values, moral attitude,
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 466
26/01/2015 09:48:16
INDEKS isi ISI indeks
berorientasi komunitas dengan budidaya nilai, sikap moral dan pembangunan karakter dari komunitas muslim. Itulah yang menjadi alasan utama atmosfer hidup di dalam pondok pesantren terinspirasi kuat dengan apa yang disebut Panca Jiwa- Lima ruh - yaitu: keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, Ikhwanul Islam dan kebebasan yang bertanggung jawab. Di Indonesia modern saat ini, harapan terhadap peran pondok pesantren berubah sejak awal abad kedua puluh, tidak hanya melaksanakan tiga peran tradisional (yaitu) sebagai lokus untuk mengubah pendidikan agama, melestarikan tradisi muslim, dan mencetak ilmuwan, namun juga memainkan peran penting untuk mendidik dan mempersiapkan pemimpin masa depan yang memiliki sifat khusus, yaitu: karakter mulia, suara tubuh, pengetahuan yang luas dan jiwa mandiri.
and character building of muslim community. That is the main reason that life atmosphere inside pondok pesantren is in inspired strongly by what so called Panca Jiwa – Five spirits – namely; sincerity, simplicity, self – reliance, Islamic Brotherhood, and accountable freedom. In modern Indonesia today the expectation towards the role of pondok pesantren move on since early twentieth century, it is not only performing it’s three traditional roles as locus for transforming religious education, preserving muslim traditions, and producing scholars, but nowadays it plays an important role to educate and prepare leaders of tomorrow who posses specific qualities, namely; noble character, sound body, broad knowledge, and independent mind.
Perguruan Islam Republik Indonesia yogyakarta dan transmisi pengetahuan gerakan ahmadiyah indonesia Husen Hasan Basri There are pros and cons to the existence of the Islamic University of Indonesia (PIRI). Some perceive it as a seeding site of Indonesian Ahmadiyah Movement (GAI) ideas and values. PIRI is alleged to have carried out knowledge transmission for GAI. But for some other, PIRI is a foundation organizing merely educational activities without any affiliation to GAI, especially with regard to such knowledge transmission. Through a qualitative research approach, it is found that PIRI was born from an idea of GAI founders that the spirit of GAI underlies the PIRI education activities. Most of the principals at PIRI schools indeed come from GAI. However, most of the teachers come from a variety of socio-religious backgrounds, and the students are from the community that has never been the followers of GAI. PIRI adopts curriculum
Ada pro dan kontra terhadap eksistensi Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI). Sebagian masyarakat melihat PIRI sebagai tempat penyemaian pemikiran dan nilai Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). PIRI diduga telah melakukan transmisi pengetahuan GAI. Tetapi bagi masyarakat lainnya, PIRI adalah sebuah yayasan yang murni menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan tidak memiliki kaitan dengan GAI, apalagi berkaitan dengan transmisi pengetahuan GAI. Melalui pendekatan penelitian kualitatif ditemukan bahwa kelahiran PIRI berasal dari gagasan para pendiri GAI, sehingga ruh GAI melandasi beberapa kegiatan pendidikan di PIRI. Sebagian besar kepala sekolah pada sekolahsekolah PIRI berasal dari GAI. Tetapi, gurugurunya sebagian besar berasal dari berbagai macam latar belakang sosial keagamaan, dan asal
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 467
467
26/01/2015 09:48:16
Nunu Ahmad indeksAn-Nahidl isi
produced by the Ministry of Education and Culture for secular subjects and that produced by the Ministry of Religious Affairs for Islamic as well as their PIRI (Ahmadiya)-specific subject matters. In conclusion, there is historical and spiritual relationship between PIRI and GAI and not organizational relationship. Although there are attempts of GAI knowledge transmission in PIRI, but education in PIRI schools is more oriented to their educational goals of integrating to social changes in the community, and conformity to the Indonesian national education system.
siswanya dari masyarakat bukan pengikut GAI. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mata pelajaran umum. Sedangkan untuk pelajaran agama menggunakan kurikulum Kementerian Agama dan kurikulum ke-PIRIan (ke-Ahmadiyahan-an). Kesimpulannya, ada hubungan historis dan keruhanian antara PIRI dan GAI, tetapi tidak ada hubungan organisatoris. Meskipun ada upaya transmisi pengetahuan GAI di PIRI, namun pendidikan di PIRI dengan lembaga sekolah-sekolahnya lebih mengorientasikan tujuan pendidikannya kepada pengintegrasian terhadap perubahan sosial di masyarakat, dan berkesuaian dengan sistem pendidikan nasional yang diterapkan di Indonesia.
Learning Management System In Higher Education: An Experience At Melbourne University Kasinyo Harto Pola pembelajaran pendidikan tinggi Islam, khususnya di Indonesia, umumnya didominasi pembelajaran konvensional dengan pendekatan yang berpusat pada guru di mana proses pembelajaran berfokus pada jalannya kuliah, bukan pada mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa cenderung pasif dan miskin kreativitas, kurang mampu mendebat, mengujicoba, dan memahami ilmu pengetahuan. Melihat kenyataan ini, maka upaya-upaya ke arah rekonstruksi pola pembelajaran menjadi suatu keharusan. Salah satunya adalah melakukan tolok ukur dengan perbandingan terhadap perguruan tinggi di Australia, seperti Universitas Melbourne. Dengan demikian, penelitian ini berfokus pada sistem manajemen pembelajaran di Universitas Melbourne dalam kaitannya dengan pengembangan kualitas pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pembelajaran yang dikembangkan di Universitas Melbourne dapat meningkatkan pembelajaran aktif mahasiswa melalui berbagai pengalaman belajar, seperti diskusi on-line (pembelajaran
468
Learning pattern of Islamic higher education, especially in Indonesia, is generally dominated by conventional learning with teacher-centered approach in which learning process focuses on the lectures, not on the students. As a result, the students tend to be passive and poor of creativity, less capable of arguing, trying, and appreciating science. Considering this reality, it is a necessity to make some efforts of reconstructing that learning pattern. One of them is doing bench-marking against universities in Australia, like Melbourne University. Therefore, this study focuses on learning management system of Melbourne University in relation to the development of learning quality. The result of the study shows that learning strategy developed at Melbourne University enhances student active learning through a variety of learning experiences, such as on-line discussion (collaborative learning), weekly readings, weekly exams, weekly assignments (independent learning), class presentation, and round table discussion. In addition, learning management system at Melbourne University has
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 468
26/01/2015 09:48:16
INDEKS isi ISI indeks
kolaboratif), bacaan mingguan, ujian mingguan, tugas mingguan (belajar mandiri), presentasi kelas, dan diskusi meja bundar. Selain itu, sistem manajemen pembelajaran di Universitas Melbourne telah berjalan dengan baik seiring dengan sistem terpadu ICT di mana dosen dapat mengkomunikasikan programnya dan mahasiswa dapat berinteraksi dinamis dengan tugas, kuliah, dan mahasiswa lain. Diharapkan hal ini dapat menjadi inspirasi dan model alternatif bagi lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia dalam merancang pola belajar mereka dan dalam menciptakan lingkungan untuk mendorong pembelajaran aktif.
been running well along with an integrated system of ICT that enables the lecturers to communicate their courses and enables the students to interact dynamically with the tasks, lectures, and other students. It is expected that this can be an inspiration and alternative model for Islamic higher education institutions in Indonesia in designing their learning pattern and environment to promote active learning.
Paham Keagamaan Dosen Pendidikan Agama Islam UPN Veteran Yogyakarta Achmad Habibullah The map of religious understanding among the Islamic Subject lecturers with respect to the issues of religion and State, religions and tolerance, religion and gender equality, religion and human rights relations has become important bearing in mind their strategic position in the process of transfer of knowledge and internalizing the religious moral values to their students. In the process, religious understanding enclosing their paradigm of thinking may enter and stain the religious understanding of their students’ facing the conditions of more and more strengthened radical religious understanding. The mapping of religious understanding among the lecturers of Islamic Subject is a case study with a qualitative approach done at UPN Veteran Yogyakarta in 2013. Of the 10 lecturers of Islamic Subject in the university, 7 were interviewed. The study results showed that in general the Islamic Subject lecturers at UPN Veteran Yogyakarta embrace moderate Islamic understanding.
Pemetaan paham keagamaan dosen Pendidikan Agama Islam berkaitan dengan relasi agama dan Negara, relasi agama dan toleransi, relasi agama dan kesetaraan gender, dan relasi agama dan hak asasi manusia menjadi penting mengingat kedudukan dosen yang strategis dalam melakukan proses transfer pengetahuan dan internalisasi nilai-nilai moral religius kepada para mahasiswanya. Dalam proses tersebut, paham keagamaan yang membingkai paradigma pemikiran dosen dapat masuk dan mewarnai paham keagamaan mahasiswanya, yang dihadapkan pada kondisi semakin menguatnya pemahaman keagamaan yang radikal. Pemetaan paham keagamaan dosen Pendidikan Agama Islam ini mengambil studi kasus dengan pendekatan kualitatif pada UPN Veteran Yogyakarta yang dilakukan pada tahun 2013 lalu. Dari 10 dosen Pendidikan Agama Islam yang ada di universitas tersebut, 7 dosen berhasil diwawancarai. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa secara umum paham keagamaan dosen Pendidikan Agama Islam di UPN Veteran Yogyakarta masuk pada kategori paham Islam moderat.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 469
469
26/01/2015 09:48:16
Nunu Ahmad indeksAn-Nahidl isi
Pendidikan Multikultural Di Madrasah Pembangunan Ciputat Tangerang Muhammmad Murtadho Implementation of multicultural education in madrasas is a very interesting topic to present in this paper, considering the characteristics of learners which can be said to be more homogeneous than the secular schools. In general, the multicultural education has become necessary to be applied in educational institutions with heterogeneous learners, especially in terms of their beliefs. Multicultural values taught in school will be more easily practiced in the social life among such heterogeneous students. But this is not the case with homogenous madrasas. The development of multicultural values in madrasahs will call for its own concepts and strategies. Using a qualitative research approach with in-depth interviews as the main data collection instrument, this paper tries to formulate multicultural education conducted by the Madrasah Pem bangunan, Ciputat, Tangerang, by seeing how the context, concept, and its implementation in educational systems are organized. The findings include, among others, the facts that multicultural education in madrasah is nothing new because multicultural values have been taught in many subjects there. These multicultural values are developed and introduced and required by the students in Madrasah Pembangunan to deal with heterogeneous members of society such as the values of tolerance, empathy, cooperation; and four main properties of Muhammad Rasululllah (Genuine, Trustworthy, Authentic, Intelligent). Other values include confidence, quality work and competitive.
470
Implementasi pendidikan multicultural di madrasah merupakan hal yang sangat menarik dipaparkan dalam tulisan ini, mengingat karakteristik peserta didiknya dapat dikatakan lebih homogen dibandingkan dengan sekolahsekolah. Pada umumnya pendidikan multicultural menjadi kebutuhan untuk diaplikasikan pada lembaga-lembaga pendidikan dengan peserta didik yang heterogen terutama dilihat dari agama yang dianutnya. Nilai-nilai multicultural yang diajarkan di sekolah akan lebih mudah dipraktikkan dalam kehidupan social antarpeserta didik yang heterogen tersebut. Tidak demikian dengan madrasah dengan homogenitas yang dimilikinya. pengembangan nilai-nilai multicultural di madrasah memerlukan konsep dan strategi tersendiri. Tulisan ini mencoba merumuskan pendidikan pendidikan multicultural yang dilakukan oleh Madrasah Pembangunan, Ciputat, Tangerang, yaitu melihat bagaimana konteks, konsep, dan implementasinya dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai instrument utama penggalian datanya. Temuannya antara lain pendidikan multikultural di lingkungan madrasah sebenarnya bukan masalah baru karena di lingkungan madrasah nilai-nilai multikultural itu telah diajarkan dalam banyak mata pelajaran. Nilai-nilai multicultural yang dikembangkan dan diperkenalkan serta dibutuhkan peserta didik di Madrasah Pembangunan dalam menghadapi masyarakat yang heterogen seperti nilai-nilai toleransi, empati, kerjasama; dan empat sifat utama rasululllah (Siddiq, Amanah, tabligh, fathonah). Nilai-nilai lainnya adalah percaya diri, bekerja berkualitas dan berdaya saing.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 470
26/01/2015 09:48:16
INDEKS isi ISI indeks
peningkatan mutu madrasah unggulan pada mtSn barabai kalimantan selatan Erlina Farida Madrasah as a sub system of national education system has contributed to the cultural development of the nation. There has been misleading impression that madrasah is a marginal school. The Public Junior Secondary Madrasah (MTsN) of Barabai, South Kalimantan, as a model madrasah has proven to be the center of excellence. This paper provides a study on how MTsN Barabai improve their quality and develop innovative education for quality improvement. This study is purposed to determine how the quality policy and quality of innovation development are implemented. The results of this study demonstrate that the sincerity, hard work, and creativity of the managers in organizing student inputs to implementation process are successfully accomplished to achieve the objectives of student outputs as formulated in the madrasah policy.
Eksistensi madrasah sebagai sub sistem dari sistem pendidikan nasional telah memberikan kontribusi kultural bagi pembangunan bangsa. Kesan bahwa madrasah adalah sekolah marginal faktanya tidak benar. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Barabai Kalimantan Selatan sebagai madrasah model telah menunjukkan jati dirinya sebagai pusat keunggulan (center of excellence). Tulisan ini merupakan kajian tentang bagaimana upaya MTsN Barabai meningkatkan mutu dan mengembangkan inovasi pendidikan untuk perbaikan kualitasnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan mutu dan inovasi pengembangan mutunya. Hasil kajian ini menunjukkan kesungguhan, kerja keras, dan kreatifitas pengelolanya mulai dari input siswa hingga proses implementasinya, berhasil mewujudkan output siswa sesuai tujuan yang dicanangkan dalam kebijakan madrasah.
Peran Pendidikan Dalam Penyuluhan Agama Di Masyarakat Munawiroh This paper draws on the results of research on the Role of Education in Religious Counseling in the Community, which describes how education plays its role in religious counseling activities. The study was conducted in seven provinces, i.e. East Java, West Java, Central Java, North Sumatra, Bali, Central Kalimantan and East Nusa Tenggara. The data were collected by using questionnaires. The findings show that religious counselors understand about the education role they must play in their counseling programs. The activities categorized as the role of education in counseling include religious sermons, regular recitation, group discussion, and individual consultations. The materials provided may vary according to the needs of the community. On the other hand,
Tulisan ini diangkat dari hasil penelitian tentang Peran Pendidikan dalam Penyuluhan Agama di Masyarakat, yang memaparkan bagaimana peran pendidikan yang dijalankan dalam kegiatan penyuluhan agama. Penelitian tersebut dilakukan pada tujuh propinsi, mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Penjaringan data menggunakan angket. Hasil temuannya menunjukan bahwa para penyuluh agama telah memahami peran pendidikan yang harus dijalankan dalam kegiatan penyuluhan yang dilakukan. Aktifitas yang dikategorikan sebagai peran pendidikan dalam penyuluhan seperti ceramah, pengajian rutin,
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 471
471
26/01/2015 09:48:16
Nunu Ahmad indeksAn-Nahidl isi
the needs of the community. On the other hand, the obstacles during the performance of their education role include, among others, considered low benefits, inadequate means of transportation, short availability of textbooks, and lack of public enthusiasm in participating in the counseling.
diskusi kelompok, dan konsultasi perorangan. Materi pendidikan yang diajarkan bervariasi, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan hambatan yang dihadapi penyuluh dalam menjalankan peran pendidikan, antara lain tunjangan yang dinilai masih rendah, alat transfortasi kurang memadai, kurang tersedianya buku bahan ajar, dan masih rendahnya perhatian masyarakat dalam mengikuti penyuluhan.
Membangun Golden Generation Melalui Pembelajaran PAI Terpadu Di SMP YPSA Medan Imran Siregar This paper draws on a study on Integrated Religious Education for School Education System conducted in 2013 focusing on Junior Secondary Education of Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (SMP YPSA) in Medan, using a qualitative approach comprising indepth interviews with key informants, such as the foundation chairman, Principal, Islamic subject teachers, and the parents. This study focused on the development of Islamic Subjects (PAI) management integrated with the rest of junior high school education activities in SMP YPSA Medan. This study found that integrated PAI in the SMP YPSA Medan was implemented by integrating religious and character values into non-religious subject matters. Islamic subjects and character building here were considered the soul of all subject matters. Such integration model was applied in cobwebs construction as well as a logical consequence of YPSA vision and mission that determined that Islamic subjects and character building would be the characteristics of SMP YPSA Medan.
472
Tulisan ini diangkat dari penelitian Penyelenggaraan Pendidikan Agama Terintegrasi Sistem Pendidikan Sekolah yang dilaksanakan pada tahun 2013, dengan lokus pada Sekolah Menengah Pertama Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (SMP YPSA) Medan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa teknik wawancara mendalam kepada informan kunci, seperti ketua yayasan, Kepala Sekolah, guru pendidikan agama Islam, dan orang tua siswa. Penelitian tersebut memokuskan pada pola pengembangan manajemen pendidikan agama Islam (PAI) yang terintegrasikan dengan seluruh aktivitas pendidikan di lingkungan SMP YPSA Medan. Temuannya adalah pembelajaran PAI terpadu di lingkungan SMP YPSA Medan di laksanakan dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama dan karakter secara terpadu ke dalam pembelajaran mata pelajaran non pendidikan agama. Materi pendidikan agama Islam dan pendidikan karakter diposisikan sebagai ruh dari seluruh mata pelajaran. Model integrasi ini diaplikasikan dalam konstruksi jaring laba-laba dan sekaligus sebagai konsekwensi logis dari visi misi YPSA yang menetapkan agama dan karakter menjadi ciri khas SMP YPSA Medan.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 472
26/01/2015 09:48:16
INDEKS isi ISI indeks
Pendidikan Agama Islam Terpadu Pada SMPIT Bina Umat Yogyakarta Soemanto Around the 2000s many institutions labeled as Islamic Integrated Schools (Sekolah Islam Terpadu/SIT) emerged. They were quite attractive to the public. One of the concepts of Integrated Islamic School is a one that uses a combined approach of general and religious educations into a fine integration in terms of curriculum, teaching methods, education of Aqliyah (rational), Ruhiyah (spiritual) and jasadiyah (physical). This study using qualitative approach aims to describe what and how the integration model in Islamic Junior Secondary Education (SMPIT) Bina Umat are all about. The findings suggest that there are at least four components that comprise essential elements of integration in SMPIT Bina Ummah. The first is the integration with the environment. The second is the integration in terms of curriculum aspects. The third is the integration with traditional model of boarding school education. And the fourth is the integrated learning both inside and outside the classroom.
Sekitar tahun 2000-an bermunculan Sekolah-sekolah berlabel Islam Terpadu (SIT). Model sekolah ini cukup diminati masyarakat. Salah satu konsep Sekolah Islam Terpadu adalah sekolah yang menerapkan pendekatan penyelenggaraannya memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama menjadi suatu jalinan baik dalam kurikulum, metode pembelajaran, pendidikan aqliyah, ruhiyah dan jasadiyah. Penelitian dengan teknik kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa dan bagaimana model keterpaduan pada Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Bina Umat. Temuannya menunjukkan bahwa paling tidak ada empat komponen yang menjadi unsur pokok keterpaduan pada SMPIT Bina Umat. Pertama keterpaduan dengan lingkungan. Kedua, keterpaduan pada aspek kurikulum. Ketiga, keterpaduan dengan tradisi pendidikan model Pesantren. Dan, keempat, keterpaduan pem belajaran di dalam dan di luar kelas.
Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pada Raudhatul Athfal Dian Al-Mastiyah Jakarta Timur Iyoh Mastiyah Islamic Education curriculum used by Raudhatul Athfal (Islamic Kindergarten) Dian AlMastiyah is thematic curriculum. It is designed as an integral, holistic and everyday-life-oriented as well as student-centered. By using the thematic curriculum, learning experiences in Raudhatul Athfal (RA) Dian Al Mastiyah become more complete and more meaningful. This study tries to explain about the thematic Islamic education curriculum.
Kurikulum Pendidikan Agama Islam yang digunakan oleh Raudhatul Athfal (RA) Dian AlMastiyah adalah kurikulum tematik. Kurikulum tersebut didesain secara integral, holistik dan berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta berpusat pada anak didik. Dengan menggunakan model kurikulum tematik, pengalaman belajar yang diperoleh anak didik di Raudhatul Athfal (RA) Dian Al mastiyah lebih utuh dan lebih bermakna. Studi ini menjelaskan bagaimana model kurikulum tematik Pendidikan Agama Islam tersebut.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 473
473
26/01/2015 09:48:17
Nunu Ahmad indeksAn-Nahidl isi
pengaruh kualifikasi guru terhadap peningkatan mutu guru agama di sekolah dan madrasah Hayadin This study aimed to determine the effect on the quality of teacher qualifications towards teachers qualities in the school and religious education in madrasas. These were include teachers’ pedagogical knowledge, the ability to make a lesson plan, the increasing of student test scores, and the teachers performance and creativity. This study was undertaken toward madrasas’ teacher qualification improvement programs followers and religious education teacher at the school as well, through graduate school scholarship program. The data collecting techniques was using survey. The samples consisted of madrassa teacher and teacher of religion in the public schools of alumni scholarships S2 and S1. The research instrument consisted of a questionnaire, and documents. The results showed that teacher qualification have had influence on teachers’ pedagogical knowledge, the ability to create lesson plans, performance and teacher creativity and innovation.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualifikasi guru terhadap mutu guru agama di sekolah dan di madrasah. Hal tersebut meliputi pengetahuan pedagogik guru, kemampuan merencanakan pelajaran, peningkatan nilai ujian siswa, kinerja dan kreativitas guru. Penelitian ini dilakukan terkait dengan program peningkatan kualifikasi guru madrasah dan guru pendidikan agama di sekolah melalui program beasiswa strata dua. Pengumpulan data menggunakan teknik survei. Sampel penelitian adalah guru madrasah dan guru agama pada sekolah umum alumni beasiswa S2 dan S1. Instrumen penelitian terdiri atas angket, dan dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa kualifikasi guru memberikan pengaruh terhadap pengetahuan pedagogik guru, kemampuan membuat perencanaan pembelajaran, kinerja dan kreativitas serta inovasi guru.
PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU DI KOTA YOGYAKARTA A.M. Wibowo This research aims to: (1) photograph the model curriculum of Islamic education in integrated Islamic elementary schools (SDIT) in Yogyakarta City; and (2) determine the implementation of Islamic religious education in integrated Islamic elementary schools (SDIT) in shaping the religious character of students. This study used qualitative approach. The findings of the research are: (1) the model of Islamic religious education curriculum implemented in SDIT in Yogyakarta city is a model of integrated Islamic religious education in each subject; (2) the Islamic religious education integrated in each subject to
474
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memotret model kurikulum pendidikan agama Islam pada Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Kota Yogyakarya; dan (2) mengetahui implementasi pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) dalam membentuk karakter keagamaan peserta didik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Temuan penelitiannya yaitu: (1) model kurikulum pendidikan agama Islam yang diterapkan di SDIT di Kota Yogyakarta adalah model pendidikan agama Islam yang terintegrasi dalam setiap mata pelajaran; (2) pendidikan agama Islam yang terintegrasikan
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 474
26/01/2015 09:48:17
INDEKS ISI
shape the characters of students is done in various approaches, namely full day school, habit forming, communicative stimulative, learning by doing, human approach, and leadership. The factors supporting the success of character building in SDIT in Yogyakarta include hidden curriculum, supplemental curriculum, habituation program, various learning used while constraints in SDIT include poor facilities and infrastructure, cost of education, as well as the participation of parents that is still insufficient.
dalam semua mata pelajaran dalam rangka penanaman nilai-nilai karakter peserta didik dilakukan dalam berbagai bentuk pendekatan, yaitu fullday school, habit forming, communicative stimulative, learning by doing, human approach, dan leadership. Faktor pendukung keberhasilan pendidikan karakter di SDIT di Yogyakarta tersebut antara lain, adanya hidden curriculum, kurikulum tambahan, program pembiasaan, dan berbagai pendekatan pembelajaran yang dipergunakan. Sedangkan kendala yang menjadi penghambat pendidikan karakter di SDIT tersebut adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai, biaya pendidikan yang mahal, serta peran serta orang tua yang masih terasa kurang.
PENDIDIKAN KARAKTER DI MADRASAH IBTIDAIYAH MODEREN SAHID, BOGOR, JAWA BARAT Sumarsih Anwar This study aims to know (1) opinion and policy of principal of Sahid Modern Madrasah Bogor on character education (2) implementation of character education in Sahid Modern MI Bogor and (3) evaluation and assessment of character values. This study is a case study done at Sahid Modern MI Bogor, West Java using qualitative approach. The main instruments are interview, observation technique and documented study. The findings are (1) Principal of Sahid Modern MI Bogor believes that Islam already had a more comprehensive term than character education namely akhlakul karimah (good moral). Madrasah is not only responsible in producing students that excel in science and technology but also Islamic character and personality. (2) Character education is done by integrating values of character in every subject, intra curriculum and extra curriculum subject and culture development and (4) evaluation and assessment of attitude and behavior (values of akhlakul karimah) is done by teacher by observing the students at school when students are at school.
Penelitian ini bertujuan mengetahui: (1) pandangan dan kebijakan kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) Moderen Sahid Bogor mengenai pendidikan karakter; (2) implementasi pendidikan karakter di MI Moderen Sahid Bogor; dan (3) cara evaluasi dan penilaian nilai-nilai karakter. Penelitian ini merupakan penelitian kasus yang dilakukan di MI Moderen Sahid Bogor Jawa Barat, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen utamanya adalah wawancara, dan juga menggunakan teknik observasi, serta studi dokumentasi. Temuan penelitiannya adalah: (1) Kepala MI Moderen Sahid Bogor berpandangan bahwa dalam agama Islam sudah ada istilah yang lebih komprehensif dibanding pendidikan karakter itu sendiri yakni akhlakul karimah (akhlak mulia). Madrasah tidak hanya bertanggungjawab dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi yang lebih penting adalah pembentukan jati diri, karakter dan kepribadian yang Islami (akhlakul karimah); (2) pendidikan karakter (akhlakul karimah) dilakukan melalui pengintegrasian nilai-nilai
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 475
475
26/01/2015 09:48:17
Nunu Ahmad An-Nahidl
karakter pada setiap mata pelajaran, kegiatan intrakurikuler, dan ekstrakurikuler, serta pengembangan budaya sekolah; dan (4) evaluasi dan penilaian terhadap sikap dan perilaku (nilainilai karakter akhlakul karimah) dilakukan guru melalui teknik observasi terhadap peserta didik sehari-hari di lingkungan sekolah yang dilakukan setiap saat selama peserta didik di sekolah. STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER PADA MADRASAH TSANAWIYAH MUHAMMADIYAH 01 PURBALINGGA, JAWA TENGAH Umi Muzayanah This study aimed to describe the strategy of integrated character education in madrasah management. This research is a case study done in MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga, Central Java, by using descriptive qualitative approach. Data collection was done by interview, observation, and document review. The results showed that (1) strategy of character education through madrasah management has not been implemented to the fullest. In the preparation of planning activities not listed explicitly madrasah character values to be achieved, both in the work plan of the madrasah (RKM) annual and mid-term (four years). In practical terms, this madrasah has internalized the values of character through discipline and self habituation activities; (2) integrated character education strategy in the implementation of learning can be seen in subjects of science, Civics, sosial studies, Quran Hadit, and morals. Internalization of character values is applied to the planning, implementation of learning, through the process of evaluation of learning outcomes; and (3) the strategy of character education through training activities is conducted through extracurricular activities such as scouting, PMR (Youth Red Cross), Pencak Silat Tapak Suci, sports, training for girls, and so forth.
476
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi pendidikan karakter yang terintegrasi pada manajemen madrasah. Penelitian ini merupakan penelitian kasus di MTs Muhammadiyah 01 Purbalingga, Jawa Tengah, dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Instrumen pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, observasi, dan kajian dokumen. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) strategi pendidikan karakter melalui manajemen madrasah belum diterapkan secara maksimal. Dalam penyusunan perencanaan kegiatan madrasah belum tercantum secara eksplisit nilai-nilai karakter yang akan dicapai, baik pada rencana kerja madrasah (RKM) tahunan maupun jangka menengah (empat tahunan). Pada tataran praktis, madrasah ini sudah melakukan internalisasi nilainilai karakter melalui tata tertib dan kegiatan pembiasaan diri; (2) strategi pendidikan karakter terintegrasi dalam pelaksanaan pembelajaran sudah nampak pada mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahun Alam), PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), Quran Hadit, dan Akidah Akhlak. Internalisasi nilai-nilai karakter diterapkan pada proses perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, sampai proses evaluasi hasil belajar; dan (3) strategi pendidikan karakter melalui kegiatan pembinaan dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler pramuka, PMR (Palang Merah Remaja), kegiatan pencak silat Tapak Suci, olah raga, dan keputrian, dan sebagainya.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 476
26/01/2015 09:48:17
INDEKS ISI
EVALUASI KEBIJAKAN MADRASAH IBTIDAIYAH NEGERI SEBAGAI SATUAN KERJA KEMENTERIAN AGAMA Wakhid Kozin, Nurudin, Muhammad Rais The issue in this research is how the effectiveness of Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) as a working unit of the Ministry of Religious Affairs? This study aimed to evaluate the policies of Madrasah Ibtidaiyah Negeri as a working unit of the Ministry of Religious Affairs. This study used a mixed method (quantitative and qualitative). The findings in this study are: First, the process of learning in MIN is still good, despite its position as a working unit (PIU). Second, management functions (planning, implementation and reporting of program) at MIN is good, despite many obstacles on the planning aspects of the program, although the process pays no regard to needs assessment and does not involve stakeholders more broadly. Third, MIN does not have proper personnel both in terms of quantity and quality. Fourth, with regard to accountability aspects of financial management accountability, MIN still experiences difficulties in an attempt to follow Government Accounting Standard (SAP). Fifth, the context of the arrangement of the future, most of the Heads of Office of Religious Affairs of Cities and Regencies and agree that MIN should remain a working unit, while the Principals agree that should remain a working unit. However, MIN effectiveness as a working unit requires structural support or the Deputy Head and Treasurer.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) sebagai satuan kerja Kementerian Agama? Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kebijakan Madrasah Ibtidaiyah Negeri sebagai satuan kerja Kementerian Agama. Penelitian ini menggunakan mixed methods (kuantitatif dan kualitatif). Temuan dalam studi ini antara lain: Pertama, proses belajar mengajar (teaching learning process) di MIN tetap bisa diselenggarakan dengan baik, meskipun posisinya sebagai Satuan Kerja (Satker). Kedua, Fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan program) di MIN berjalan dengan baik, meskipun ditemukan kendala pada aspek perencanaan program, di mana dalam prosesnya belum memperhatikan aspek kebutuhan (need assessment) dan belum melibatkan pemangku kepentingan secara lebih luas. Ketiga, MIN belum memiliki SDM baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Keempat, aspek akuntantabilitas pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, MIN masih mengalami kesulitan dalam upaya mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Kelima, konteks penataan kedepan, sebagian besar Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten maupun Kota setuju MIN tetap sebagai satuan kerja, sedangkan Kepala MIN setuju MIN tetap sebagai satuan kerja. Meski demikian, efektifitas MIN sebagai satuan kerja membutuhkan daya dukung struktur Wakil Kepala dan atau Bendahara.
EFEKTIFITAS PEMBINAAN MADRASAH DINIYAH DI KOTA YOGYAKARTA Abd. Muin M. The issue in this research is the effectiveness of coaching committed by the Ministry of Religion of Yogyakarta to improve teaching skills of madrasah diniyah teachers. To that end,
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat efektifitas pembinaan yang dilakukan aparat Kementerian Agama Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kemampuan
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 477
477
26/01/2015 09:48:17
Nunu Ahmad An-Nahidl
this study aims to describe the effectiveness of coaching to improve madrasah diniyah teachers’ skills and abilities. This study uses descriptive qualitative method with primary data collection through focus group discussions (FGDs), in-depth interviews, and observation while secondary is data obtained through documentation. The study showed that the Ministry of Religious Yogyakarta City officials have not been effective to guide the improvement of capabilities of madrasah diniyah teachers’ teaching skills because the Ministry of Religious Affairs has not programmed ability and teaching skills development of teachers with adequate budget.
dan keterampilan mengajar guru madrasah diniyah? Untuk itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tingkat efektifitas pembinaan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengajar guru madrasah diniyah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data primer melalui focus group discussion (FGD), wawancara mendalam, dan observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa aparat Kementerian Agama Kota Yogyakarta belum efektif melakukan pembinaan terhadap peningkatan kemampuan dan keterampilan mengajar guru madrasah diniyah. Hal ini disebabkan karena Kementerian Agama belum memogramkan pembinaan kemampuan dan keterampilan mengajar guru dengan anggaran yang memadai.
PROSPEK PROGRAM STUDI AGAMA DAN UMUM DI STAIN PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT, DAN STAIN CURUP BENGKULU Nurudin The tendency of an Islamic university to open general subject faculties or program can be seen from the process of transformation and institutional change of the university. STAINs that are mandated to develop Islamic study are experiencing dilemma between following the trend of people need and being consistent with developing Islamic teaching. This study discusses about STAIN Pontianak that develops religious study programs and STAIN Curup that develops general study programs. This study uses qualitative descriptive method and shows that religious study programs in STAIN Pontianak can be developed due to its ability while general courses in STAIN Curup is popular as marked by the increasing number of graduates of general courses and high absorption in the formal sector. Challenge in the development of flagship study programs in STAIN is the parallel between Islamic values and general competence as the requirement of the region. The government is required to provide certainty in the development of study program in STAINs to actualize the development of excellent and competitive study program.
478
Kecenderungan PTAI menyelenggarakan fakultas ataupun program studi umum dapat dilihat dari proses transformasi dan perubahan kelembagaan PTAI itu sendiri. STAIN yang mengemban mandat pengembangan keilmuan keislaman mengalami situasi dilematis, antara mengikuti trend kebutuhan masyarakat ataukah konsisten dengan aturan mengembangkan disiplin keIslaman semata. Penelitian ini menggambarkan STAIN Pontianak yang mengembangkan prodi agama dan STAIN Curup yang mengembangkan prodi umum. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa, Program studi agama di STAIN Pontianak potensial dikembangkan karena daya dukung yang memadai. Sedangkan Program studi umum di STAIN Curup sangat diminati masyarakat, ditandai dengan peningkatan jumlah mahasiswa pada prodi umum dan tingkat keterserapan lulusan pada sektor formal yang tinggi. Tantangan desain pengembangan prodi unggulan di STAIN
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 478
26/01/2015 09:48:17
INDEKS ISI
adalah keselarasan nilai-nilai KeIslaman dan kompetensi umum sebagai kebutuhan daerah. Pemerintah dituntut memberikan kepastian regulasi pengembangan prodi di STAIN, sehingga arah dan tujuan pengembangan Prodi yang unggul dan kompetitif dapat terwujud. SIKAP SOSIAL KEAGAMAAN ROHIS DI SMA PADA DELAPAN KOTA DI INDONESIA Achmad Habibullah The opinion from studies on religious aspects of senior high school Islamic club summarized in this paper is important considering as lately there is a stronger tendency that Islamic club at school has became a religious movement that is spreading inclusive religious social attitudes. At the beginning of its formation, Islamic club is expected to be the arena for development of Islamic religious knowledge and insight for students that are not sufficiently explored in the activities of Islamic religious education lessons in the classroom. The study used a qualitative approach with in-depth interviews as the main instrument in eight cities in Indonesia, and seeks like to see the social religious attitudes of Islamic club activists associated with aspects of Islam in social life, Islam in the political life of the state, and Islam in gender equality. The findings show that in general high school Islamic club activists are more open and tolerant in neighboring life, but they expect the Islamic system can be the foundation. There is also a tendency that high school Islamic club activists expect that islam can be the foundation of our state system, in which the Islamic system of government (Khilafah Islamiyah) is the best alternative on the democratic system that has drawbacks. High school Islamic club activists in high school tend to put women in a subordinate position of men in both the domestic and the public sphere.
Tulisan yang diangkat dari sebagian hasil penelitian tentang Keagamaan Rohis SMA yang terangkum dalam makalah ini menjadi penting dipaparkan mengingat akhir-akhir ini semakin menguatnya kecenderungan organisasi Rohis di sekolah menjadi sebuah gerakan keagamaan yang menyebarluaskan sikap sosial keagamaan yang insklusif. Pada awal pembentukannya diharapkan Rohis menjadi wadah pengembangan pengetahuan dan wawasan keberagamaan Islam yang ekslusif peserta didik yang kurang tergarap pada kegiatankegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam di kelas. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam sebagai instrumen utamanya, yang dilakukan pada delapan kota di Indonesia, ingin melihat sikap sosial keagamaan aktivis Rohis yang berkaitan dengan aspek Islam dalam kehidupan sosial, Islam dalam kehidupan politik kenegaraan, dan Islam dalam keseteraan gender. Temuannya menunjukkan bahwa pada umumnya aktivis Rohis SMA lebih bersikap terbuka dan toleran dalam kehidupan bertetangga, namun berharap sistem Islam dapat menjadi landasannya. Terdapat juga kecenderungan aktivis Rohis mengharapkan Islam menjadi landasan sistem kenegaraan, di mana sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) menjadi alternatif terbaik atas sistem demokrasi yang dipakai yang dinilai terdapat kekurangannya (mudharat). Terlihat juga kecenderungan aktivis Rohis di SMA yang bersikap menempatkan perempuan dalam posisi yang subordinatif dari laki-laki baik di ranah domestik maupun publik.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 479
479
26/01/2015 09:48:17
Nunu Ahmad An-Nahidl
KONSEP PEDAGOGIK DALAM PEMIKIRAN IBNU SAHNUN DAN AL-QABISI Saifullah Ibn al-Qabisi Sahnun and are two classical Islamic thinkers who are very concerned about education. Ibn Sahnun was popular earlier than al-Qabisi in the 3rd century of Islamic year, so that the world of Islamic education is heavily colored by the thoughts of the two figures. Ibn Sahnun is even known as the man who first sparked the concept of education that is independent from literary and philosophical schools of thought. The concept of education of Ibn Sahnun is oriented psychological conditions, for example in punishment. Meanwhile, al-Qabisi puts more focus on democratic educational system in the methods, curriculum or materials, procedures and other matters that are closely related to the concept of education in al-Kuttab at that time.
Ibnu Sahnun dan al-Qabisi adalah dua tokoh pemikir Islam klasik yang sangat konsen terhadap pendidikan. Ibnu Sahnun lebih awal popular dari pada al-Qabisi yaitu pada abad ke-3 Hijriyah, sehingga dunia pendidikan Islam banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran ke dua tokoh ini. Bahkan, Ibnu Sahnun lebih dikenal sebagai orang yang pertama sekali mencetuskan konsep pendidikan yang terlepas keterkaitannya dengan sastra dan mazhab pemikiran filsafat. Adapun konsep pendidikan Ibnu Sahnun lebih berorientasi pada kondisi psikologis anak, misalnya dalam pemberian hukuman. Sedangkan, al-Qabisi lebih memokuskan pada sistem pendidikan demokratis yakni dalam hal metode, kurikulum atau materi, tata cara pembelajaran dan hal lain yang sangat terkait dengan konsep pendidikan di al-Kuttab pada saat itu.
PANDANGAN KIYAI TENTANG PENINGKATAN MUTU KAJIAN KITAB KUNING DI PESANTREN Nunu Ahmad An-Nahidl Survey of opinion of kiyai on the improvement of quality of study of Kitab Kuning in Pesantren was done in 2014 aimed at finding data and information on expectation of kiyais on aspects of input, process and output of study of kitab kuning in pesantrens. Data was obtained from 22 provinces with 711 kiyais as the samples with systematical random technique. The survey showed that most kiyais give high responses on the indikators used to measure variables of input, process and output. It means that the survey is a factual testimony that most kiyais have positive opinion on the improvement of quality of study of Kitab Kuning in Pesantren
480
Survai Pandangan Kiyai tentang Peningkatan Mutu Kajian Kitab Kuning di Pesantren dilakukan tahun 2014, dengan tujuan menggali data dan informasi tentang harapan kiyai terhadap aspekaspek input, proses dan output kajian kitab kuning di pesantren. Pengumpulan data dilakukan di 22 propinsi dengan jumlah sampel sebanyak 711 kiyai yang dipilih dengan teknik acak sistematis. Hasil survai menyimpulkan bahwa rata-rata kiyai memberikan respon tinggi terhadap indikator yang digunakan untuk mengukur variabel input, proses dan output. Artinya, temuan survai ini menjadi testimoni faktual bahwa rata-rata kiyai memiliki pandangan positif terhadap peningkatan mutu kajian kitab kuning di pesantren.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 480
26/01/2015 09:48:17
INDEKS MITRA BESTARI
INDEKS MITRA BESTARI
Azyumardi Azra, Prof., Dr., M.A.
Ronald A. Lukens-Bull, Prof., Ph.D.
Muhaimin AG, Dr. H.
Muhammad Hisyam, Prof., Dr., M.A.
M. Bambang Pranowo, Prof., Dr., M.A.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 481
481
26/01/2015 09:48:17
Nunu Ahmad An-Nahidl
INDEKS PENULIS
A Anwar, Sumarsih. Pendidikan Karakter di Madrasah Ibtidaiyah Modern Sahid, Bogor, Jawa Barat. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014.
B Basri, Husen Hasan, Perguruan Islam Republik Indonesia Yogyakarta dan Transmisi Pengetahuan Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014.
F Farida, Erlina. Peningkatan Mutu Madrasah Unggulan pada MTsN Barabai Kalimantan Selatan. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014.
H Habibullah. Paham Keagamaan Dosen Pendidikan Agama Islam UPN Veteran Yogyakarta. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014. Habibullah. Achmad. Sikap Sosial Keagamaan Rohis di Sma pada Delapan Kota di Indonesia. Volume 12, Nomor 3, SeptemberDesember 2014. Hanun, Farida. Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Agama pada Program Paket A, B, dan C. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014. Harto, Kasinyo. Learning Management System In Higher Education: An Experience At Melbourne University. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014.
Hidayati, Umul. Pemenuhan Standar Nasional Perpustakaan Di Madrasah Aliyah. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014.
K Kozin, Wakhid, Nurudin, Muhammad Rais. Evaluasi Kebijakan Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sebagai Satuan Kerja Kementerian Agama. Volume 12, Nomor 3, SeptemberDesember 2014.
M M., Abd. Muin. Efektifitas Pembinaan Madrasah Diniyah di Kota Yogyakarta. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014. Ma’rifataini, Lisa’diyah. Efektivitas MGMP dalam Peningkatan Profesionalisme Guru Mata Pelajaran Umum di MTs. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014. Masqon, Dihyatun. Dynamic Of Pondok Pesantren As Indegenous Islamic Education Centre In Indonesia. Volume 12, Nomor 1, JanuariApril 2014. Mastiyah, Iyoh. Model Kurikulum Tematik Pendidikan Agama Islam pada Anak Usia Dini: Studi Kasus Raudhatul Athfal (RA) Dian Al Mastiyah Jakarta Timur. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014. Muin M., Abd. Kitab Kuning dan Madrasah: Studi pada Pondok Pesantren Hikmatusysyarief NW Salut Selat Lombok Barat. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014. Munawiroh. Peran Pendidikan Dalam Penyuluhan Agama di Masyarakat. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014.
Hayadin. Pengaruh Kualifikasi Guru Terhadap Peningkatan Mutu Guru Agama di Sekolah dan Madrasah. Volume 12, Nomor 2, MeiAgustus 2014.
482
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 482
26/01/2015 09:48:17
INDEKS PENULIS
Murtadlo, Muhamad. Pendidikan Multikultural di Madrasah Pembangunan Ciputat Tangerang. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014. Muzayanah, Umi. Strategi Pendidikan Karakter pada Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah 01 Purbalingga, Jawa Tengah. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014.
Suprapto. Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Terpadu di SMA-IT Darul Hikam Bandung. Volume 12, Nomor 1, JanuariApril 2014. Suprapto. Paham Keagamaan Dosen Pai Universitas Pasundan Bandung. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014.
N
W
Nahidl, An-, Nunu Ahmad. Ijabi dan Pendidikan Ahlul Bait Studi Kasus pada Yayasan Muthahhari Bandung. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014.
Wibowo. A.M. Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar Islam Terpadu di Kota Yogyakarta. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014.
Nahidl, An, Nunu Ahmad. Pandangan Kiyai tentang Peningkatan Mutu Kajian Kitab Kuning di Pesantren. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014. Nuriyanto, Lilam Kadarin. Model Kurikulum Pendidikan Agama Islam di SDIT Al-Anwar dan Firdaus Mojokerto Jawa Timur. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014. Nurudin. Prospek Program Studi Agama dan Umum di Stain Pontianak, Kalimantan Barat, dan Stain Curup Bengkulu. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014.
Q Qowaid. Implementasi Perpustakaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah pada Berbagai Jenjang Sekolah di Kota Padang. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014.
S Saifullah. Konsep Pedagogik dalam Pemikiran Ibnu Sahnun dan Al-Qabisi. Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014. Siregar, Imran. Membangun Golden Generation Melalui Pembelajaran PAI Terpadu di SMP YPSA Medan. Volume 12, Nomor 2, MeiAgustus 2014. Soemanto. Pendidikan Agama Islam Terpadu pada SMPIT Bina Umat Yogyakarta. Volume 12, Nomor 2, Mei-Agustus 2014. Sumarni. Efektivitas Dana Bos terhadap Peningkatan Mutu di Madrasah. Volume 12, Nomor 1, Januari-April 2014.
EDUKASI Volume 12, Nomor 3, September-Desember 2014
EDUKASI v12_n3_2014 (A4) isi set3.indd 483
483
26/01/2015 09:48:18