Vol. 4, No.1, Desember 2010
JURNAL
ISSN : 0216-9991
Pengelola Jurnal “PERSPEKTIF PENDIDIKAN” Pelindung : H.M. Lukman Nawi, M.Pd. Penanggungjawab : Drs. J. Albert Barus, M.Pd. Dewan Editor : Drs. Sukasno, M.Pd. Ansuri Naib, S.Ip.M.M. Drs. H. Rudy Hartoyo, M.Pd., Dra. Hj.Hindun Hairani, M.Pd. Ny. Masnon Arief, M.Pd. Dra. Ida Iriantini Pemimpin Redaksi : Dra. Y. Satinem, M.Pd. Sekretaris Redaksi : Hartoyo, M.Pd. Staf Redaksi : Tri Astuti, M.Pd. Nur Nisai Muslihah, M.Pd. Alamsyahril, M.Pd. Yazid Ismail, M.Pd. Mukhlas Yusuf, M.Pd. Edy Sutriono, M.Pd. Drajat Friansyah, S.Si Budi Mulyanto, M.Pd. Perspektif Pendidikan merupakan Media publikasi hasil penelitian, dan karya ilmiah di bidang pendidikan yang terbit dengan ISSN : 0216-9991, terbit 2 (dua) kali pertahun Alamat Redaksi : Jln. Mayor Toha Kelurahan Air Kuti Lubuklinggau
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
2
PENINGKATAN KEMAMPUAN SEKRETARIAT DPRD DALAM MEMPASILITASI TUGAS DAN WEWENANG DPRD KOTA LUBUKLINGGAU Oleh Ansuri Naib, S.Ip., M.M. ABSTRACT This research is done in the secretariat of Lubuklinggau Municipal Assembly (Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau) and this thesis is held to fulfill the requirements for the degree of Magister at STIE MITRA Indonesia Graduate Program. The secretariat of Lubuklinggau Municipal Assembly (Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau) is one of the administrator or implementer element in Lubuklinggau government. So the situational objectives in this thesis is to improve the administration skill from 120 letter/month in 2003 become 200 letter/month in 2004. Based on the result the research about the readiness of 12 company standard function, hence it is known that the main problems faced by the secretariat of Lubuklinggau municipal assembly in achieving their main goal is that there are unready function and factor, among others: The understanding of municipal assembly‟s member towards their tasks or duties and function based on the regulation of municipal assembly‟s rule order and the regulation of law, so that there are difficulties in facilitate their task/duties, lack of state official or regular personel in the secretariat of municipal assembly, insufficient readiness of human resources in municipal assembly, limited tools or equipment and infrastructure to support municipal assembly‟s task, among othes: Projector, CD-room, and transportation, insufficient fund. From the result of analysis of problem above, the alternative solutions are: Optimize the utilities of resources available there, such as: human resources, equipment/infrastructure. Developing human resources in the secretariat of municipal assembly and municipal assembly‟s member, preparing well the task of the secretariat of municipal assembly in the future, including fund allotment, giving job motivation to the officials. In addition, the recommendations given are doing coordination toward the activities plan in order to solve the problem and to increase or to develop the implementation of function. Kata kunci: Sekretariat DPRD, Tugas,Wewenang. A. Pendahuluan Kota Lubuklinggau adalah salah satu Kota setingkat Kabupaten paling barat wilayah Propinsi Sumatera Selatan yang dibentuk tanggal 21 Juni 2001 dengan Undang-Undang nomor 07 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lubuklinggau yang terletak pada posisi 102 40‟ 0” – 103 0‟ 0” Bujur Timur Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
3
(BT) dan 3 4‟ 10” – 3 22‟ 30” Lintang Selatan (LS), berbatasan langsung dengan Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu, Kabupaten Surolangun Propinsi Jambi dan Kabupaten Musi Rawas Propinsi Sumatera Selatan. Kota Lubuklinggau terletak pada daerah tropis basah pada curah hujan rata-rata 2000 s.d. 2500 mm pertahun dimana setiap tahunnya jarang sekali ditemukan bulan-bulan kering. Luas Wilayah Kota Lubuklinggau 401,500 Km2 atau 401,50 Ha yang terdiri dari 8 (delapan) Wilayah Kecamatan dan 77 (tujuh puluh tujuh) kelurahan serta 525 (lima ratus dua puluh lima) Rukun Tetangga (RT) dengan Jumlah Penduduk 230.000 Jiwa. Jenis dan nama barang/jasa yang dihasilkan oleh Sekreratiat DPRD Kota Lubuklinggau adalah berupa pelayanan terhadap anggota DPRD. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan administratif terhadap kegiatankegiatan DPRD Kota Lubuklinggau sesuai dengan keputusan Walikota Lubuklinggau nomor 168 tahun 2003 tentang tugas pokok dan fungsi sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau. Dalam rangka memenuhi tuntutan tugas yaitu memberikan pelayanan (jasa) yang baik terhadap anggota DPRD, maka sekretariat DPRD harus proaktif dalam memahami semua peraturan yang berlaku sebagai penunjang dalam memberikan jasa (pelayanan) tersebut, sehingga pelayanan (jasa) yang diberikan betul-betul dapat menjadi kepuasan pelanggan, dalam hal ini anggota DPRD Kota Lubuklinggau baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Sesuai dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Lubuklinggau seperti tertuang dalam keputusan DPRD nomor 02 tahun 2002 tentang peraturan tata tertib DPRD Kota Lubuklinggau antara lain disebutkan untuk melaksanakan Demokrasi Pancasila sebagai pencapaian aspirasi masyarakat guna menciptakan masyarakat sejahtera, dan dikaitkan dengan tugas dan fungsi sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau, maka Visi sekretariat DPRD adalah “Terwujudnya pelaksanaan fungsi DPRD melalui pelayanan terhadap anggota dan pimpinan DPRD secara prima”. Berdasarkan Visi sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau, maka ditetapkan misi Sekretariat DPRD adalah: a. Memberdayakan dan meningkatkan kualitas pelayanan administratif kepada anggota DPRD. b. Meningkatkan sarana dan prasarana rapat-rapat dan alat kelengkapan DPRD. c. Mendorong upaya peningkatan kualitas anggota DPRD. d. Peningkatan kualitas SDM personal Sekretariat DPRD. Adapun makna Misi tersebut adalah:
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
4
a.
b.
c.
d.
Memberikan pelayanan administratif kepada anggota DPRD dalam bentuk pemberian fasilitas administratif dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan-bahan yang dijadikan referensi. Penyiapan sarana dan prasarana serta kelengkapan DPRD untuk dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas anggota dan pimpinan DPRD. Mendorong upaya peningkatan kualitas anggota DPRD yang dilakukan dengan memfasilitasi kegiatan ilmiah khususnya yang ada relevansinya dengan tugas-tugas anggota DPRD. Pelayanan prima terhadap anggota dan pimpinan DPRD terwujud manakala personalia sekretariat DPRD memiliki keahlian yang sejalan dengan tugas-tugas DPRD serta pokok dan fungís sekretariat DPRD.
Dengan keputusan Walikota Lubuklinggau nomor 01 tahun 2002 dibentuklah Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau dengan penjabaran tugas pokok dan fungsi diatur dengan Keputusan Walikota nomor 38 tahun 2002 tanggal 16 Juni 2002. Dalam pelaksanaan pelayanan administrasi ketatausahaan dituntut wawasan yang luas terhadap pelaksana, antara lain pemahaman terhadap peraturan dan petunjuk yang harus diketahui dan dipahami oleh masingmasing aparatur. Oleh karena itu personal pelaksana yang terkait dalam pelayanan administrasi Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau haruslah mempunyai pengetahuan yang cukup dan harus berpedoman pada peraturan yang berlaku dan dilaksanakan dengan prosedur kerja yang telah ditetapkan. Proses pelaksanaan pekerjaan seharí-hari dalam memberikan pelayanan administrasi pada kenyataannya belum berjalan dengan optimal dan masih banyak kendala-kendala yang ditemui sehingga menimbulkan ketidakpuasan pelanggan, hal ini disebabkan antara lain: 1. Kurangnya kesadaran staf untuk mentaati dan memahami peraturan dan petunjuk yang ada. 2. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang arti pentingnya administrasi. 3. Masih kurangnya koordinasi antara bagian terhadap kerja yang terkait. Dengan memperhatikan kondisi ini, maka Manajemen Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau harus dapat mencari solusi terbaik sehingga tujuan situasional dapat terlaksana sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Sumber daya manusia sangatlah mendukung tercapainya tujuan situasional yang diharapkan. Sumber daya manusia yang ada pada Sekretariat Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
5
DPRD Kota Lubuklinggau secara kualitas maupun kuantitas belumlah memadai untuk menunjang tugas-tugas Sekretariat DPRD secara efisien dan efektif dalam rangka memberikan pelayanan terhadap anggota DPRD. Guna mencapai tujuan situasional organisasi yaitu meningkatkan pengolahan surat-surat pada bagian persidangan Sekretariat Dewan Kota Lubuklinggau, maka rumusan masalah dititikberatkan pada kesiapan fungsi baku organisasi yang ada pada Sekretariat Dewan tersebut. Berdasarkan permasalahan di atas maka rumusan masalahnya adalah: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja aparatur Sekretariat DPRD sehingga pelayanan terhadap anggota DPRD masih rendah sesuai dengan analisis hubungan organisasi terhadap 12 fungsi baku. 2. Faktor-faktor apa saja yang dominan sebagai pendorong aparatur Sekretariat DPRD untuk dapat meningkatkan kinerjanya guna memberikan pelayanan yang baik kepada anggota DPRD berdasarkan 12 fungsi baku. 3. Dapatkah tercapai tujuan situasional yaitu meningkatnya pengolahan surat menyurat dari tahun ke tahun pada bagian persidangan dan risalah Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah: a. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau. b. Untuk mengetahui penyebab rendahnya kualitas pelayanan yang diberikan terhadap anggota DPRD. c. Untuk mengetahui dan mengindentifikasikan kualitas pelayanan yang tepat untuk memenuhi selera pelanggan. Adapun hasil yang diharapkan oleh Sekretariat DPRD Kota lubuklinggau yaitu: 1. Terlaksananya Visi dan Misi Organisasi sesuai dengan rencana strategis Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau. 2. Meningkatnya Kinerja Aparatur Sekretariat DPRD guna memberikan pelayanan secara prima kepada Anggota DPRD terutama dalam upaya peningkatan pengolahan surat menyurat dari 120 buah/bulan menjadi 200 buah/bulan pada tahun 2004. 3. Mengoptimalkan SDM yang ada untuk pimpinan DPRD dalam upaya meningkatkan peran dan fungsi Anggota DPRD secara administratif terutama dalam pengolahan surat menyurat.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
6
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan bermanfaat: 1. Untuk memberikan sumbang saran bagi instansi dalam mengambil kebijakan atau Keputusan terhadap langkah organisasi untuk memperbaiki kinerja pegawai terutama dalam pelayanan surat menyurat. 2. Memberikan gambaran kepada instansi terhadap kualitas pelayanan yang diharapkan oleh pelanggan. 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi kajian ilmiah bagi akademik. B. Kajian Teori Pengertian Sistem Systema memiliki pengertian sebagai “whole Compunded of Several Partas” atau suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian, atau dapat diartikan juga bahwa “Systema mengandung pengertian sebagai “Himpunan komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan/kesatuan. Secara umum sistem dapat digambarkan sebagai keseluruhan yang mencakup komponen masukan (input) proses keluaran (output) dan umpan balik (feed back) yang terjadi dalam suatu lingkungan (environment) tertentu, di mana keseluruhan tersebut bergerak ke arah tujuan tertentu. Menurut Hadjisarosa (1997), sistem yang dimaksud di sini digunakan sebagai penuntun langkah “mengenali hal”, dengan maksud “mengenali hal secara benar dan utuh”. Berhubung yang dimaksud adalah “benar dan utuh” menurut hukum-hukum ketetapannya, maka tidak dapat lain yang digunakan haruslah sistem ciptaan-Nya, namun dalam membahas masalah sistem di sini adalah sistem yang mempunyai hubungan yang saling terkait antara sub sistem yang satu dengan yang lainnya dan bekerja sama dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pendekatan sistem sub sistem harus saling mendukung tingkat kesiapannya, karena apabila ada salah satu sub sistem belum siap maka akan menghambat kerja sub sistem yang lain. Pengertian sistem sebagai suatu metode atau cara berfikir dalam pengertian tertentu dikenal sebagai suatu pendekatan sistem. Sistem memandang segala sesuatu sebagai hubungan yang berpasang-pasangan. Segala sesuatu kejadian atau persoalan tidaklah merupakan suatu keterkaitan yang tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi, tetapi memiliki hubungan sebab akibat. Berfikir sistem adalah berfikir secara benar dan utuh, sehingga pendekatan sistem ini merupakan suatu metode di dalam upaya memecahkan persoalan dengan menggali dan mengetahui akar persoalan itu sendiri. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
7
Pengertian Tujuan Baku dan Tujuan Situsional Setiap organisasi, lembaga atau perusahaan baik yang bersifat profit maupun non profit, didirikan dengan tujuan tertentu, dan pasti memiliki tujuan baku. Tujuan baku organisasi adalah tujuan organisasi yang dirumuskan dengan memperhitungkan keseluruhan tantangan yang mungkin dihadapi oleh organisasi manapun (Hadjisarosa, 1997, naskah 3:02). Disamping tujuan baku setiap organisasi juga memiliki tujuan situasional organisasi, yaitu tujuan organisasi yang dirumuskan dengan memperhitungkan tantangan yang nyata dihadapi (Hadjisarosa, 1997, naskah 3:020). Dengan demikian baik tujuan baku organiasi maupun tujuan situasional organisasi yang dirumuskan senantiasa memperhitungkan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh organisasi. Tantangan tersebut bersumber pada kepentingan, dalam arti bahwa setiap menentukan suatu kepentingan akan menghadapi dua tantangan yang memerlukan penyelesaian. Dua tantangan tersebut adalah : a. Tantangan pertama mengenali produk yang perlu disediakan untuk memenuhi kebutuhan sehubungan dengan kepentingan yang dimaksud. b. Tantangan kedua mengenali bagaimanakah cara menyediakan produk dimaksud. Dari uraian tersebut dapat ditarik pengertian: a. Tujuan baku atau tujuan pokok organisasi, adalah tujuan yang ingin dicapai organisasi yang bersifat tetap atau permanen dan dalam kurun waktu yang lebih lama. Tujuan baku dirumuskan sedemikian rupa sehingga memenuhi semua kepentingan dalam organisasi. b. Tujuan Situsional adalah tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi dalam waktu atau situasi tertentu dan dalam kurun waktu yang lebih pendek. Fungsi-Fungsi Baku Organisasi Fungsi-fungsi baku adalah fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi, fungsi-fungsi baku dikenali dengan bertolak dari S0 organisasi. Fungsi-fungsi baku organisasi mencakup 12 (dua belas) fungsi, 7 (tujuh) fungsi tergolong fungsi spesifik dan 5 (lima) fungsi tergolong fungsi umum. Predikat “umum” mengingatkan, bahwa output fungsi yang bersangkutan tergolong input umum artinya merupakan input (diperlukan oleh) semua fungsi. Predikat “spesifik” mengingatkan bahwa output fungsi yang bersangkutan tergolong input spesifik artinya merupakan input (diperlukan) fungsi-fungsi tertentu saja. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
8
Cara Menentukan Faktor Strategi Eksternal a. Beri bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Faktor-faktor tersebut kemungkinan dapat memberikan dampak terhadap faktor-faktor strategis. b. Hitung rating untuk masing-masing faktor dengan memberi skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi organisasi yang bersangkutan, pemberian nilai rating untuk faktor peluang bersifat positif (peluang yang semakin besar diberi rating +4, jika peluangnya kecil diberi rating +). Pemberian rating ancaman adalah kebalikannya. c. Jumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan bagi organisasi yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana organisasi tertentu bereaksi terhadap faktorfaktor strategis eksternalnya. Jika manajer strategis telah menyelesaikan analisis faktor-faktor strategis eksternalnya (peluang dan ancaman), ia juga harus menganalisis faktor-faktor strategis internal (kekuatan dan kelemahan) dengan cara yang sama. Cara Penentuan Faktor Strategis Internal a. Beri bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategis organisasi (semua bobot tersebut jumlahnya tidak melebihi skor total 1,00). b. Hitung rating untuk masing-masing faktor dengan memberi skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi organisasi yang bersangkutan, variabel yang bersifat positif (semua variable yang masuk katagori kekuatan) diberi nilai +1 sampai dengan + 4 (sangat baik) dengan membandingkannya dengan rata-rata pesaing utama, sedangkan variabel yang bersifat negatif kebalikannya. c. Kalikan bobot dengan rating, untuk memperoleh faktor pembobotan. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai dengan 1,0 (poor). d. Jumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan bagi organisasi yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana organisasi tertentu beraksi terhadap faktorfaktor strategis internalnya (Freddy Rangkuti, 1999:22-26). Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010
9
Pengertian Motivasi Motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Sedangkan rumusan lain tentang motivasi merupakan kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya demikian, untuk memenuhi kebutuhan individu tertentu. Azas-Azas Motivasi Azas-azas motivasi meliputi: a. Azas megikutsertakan: mengajak bawahan untuk ikut berpartisipasi dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengajukan pendapat, rekomendasi dalam proses pengambilan keputusan. b. Azas komunikasi: menginformasikan secara jelas tentang tujuan yang ingin dicapai, dan cara mengerjakannya dan kendala-kendala yang dihadapi. Kinerja Kinerja adalah suatu hasil yang dicapai oleh pekerja dalam bidang pekerjaannya menurut kriteria tertentu yang berlaku untuk suatu pekerjaan tertentu dan dievaluasi oleh orang-orang tertentu. Menurut Robbins (1996:18) bahwa kinerja karyawan adalah sebagai fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi. Selain itu, maksud penetapan tujuan kinerja adalah menyusun sarana yang berguna tidak hanya bagi evaluasi kinerja pada akhir periode telaah, tetapi juga untuk mengelola proses kerja selama periode tersebut.
Pengukuran Kinerja Dengan penelitian kinerja memungkinkan untuk bersama-sama antara atasan dengan bawahan dalam menyususn statu rencana untuk memperbaiki hasil yang telah dicapai”. Adapun alasan perlunya menilai kinerja karyawan adalah sebagai berikut: 1. Menyediakan informasi sebagai dasar pengambilan keputusan tentang promosi dan gaji. 2. Menyediakan kesempatan bagi karyawan untuk bersama-sama meninjau prilaku karyawan berkaitan dengan pekerjaannya. Kerangka Berpikir Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 10
Sebagaimana dengan rumusan permasalahan yang telah diangkat yaitu “bagaimana meningkatkan kinerja Pegawai pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau”, maka pembahasan penelitian ini mengarah pada strategi meningkatkan Kinerja Pegawai guna memberikan pelayanan secara prima kepada Anggota DPRD Kota Lubuklinggau menurut pengamatan dan analisa yang penulis lakukan dari 12 fungsi baku yang ada, maka terdapat 8 (delapan) fungsi terpilih yang sangat dominan sebagai pendukung pencapaian tujuan situsional yang ingin dicapai. Dengan demikian akan jelas mengenai pengukuran kesiapan masing-masing. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian dilakukan pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau, jalan Yos Sudarso nomor 05 Lubuklinggau Timur. Sedangkan objek penelitian difokuskan pada Pemberian Pelayanan terhadap Anggota DPRD Kota Lubuklinggau, terutama terhadap pengolahan surat menyurat bagian persidangan dan rísalah sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2004 sampai dengan bulan April 2004 dalam jam dinas. Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus, yaitu suatu metode penelitian yang terperinci tentang obyek penelitian selama kurun waktu tertentu termasuk lingkungan dan kondisi masa lalunya secara mendalam dan menyeluruh. Keuntungan riset studi kasus ini antara lain adalah penelitian dapat dilakukan lebih mendalam sehingga dapat menjawab tentang keadaan yang terjadi. Adapun ke-8 Fungsi baku pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau adalah sebagai berikut: 1. Fungsi Transaksi (F0). 2. Fungsi Perebutan Pelanggan (F1). 3. Fungsi Produksi (F2). 4. Fungsi Perencanaan Pemasaran (F3). 5. Fungsi Perencanaan Produk (F4). 6. Fungsi Reset Pengembangan Produk (F5). 7. Fungsi Riset Pasar dan Pemasaran (F6). 8. Funsi Peralatan dan Pembekalan (F8). Dalam melaksanakan tugas dan fungsi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut : 1. Faktor Internal a). PJB Produk yang dapat dipasarkan pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau berupa pelayanan kepada Anggota DPRD Kota Lubuklinggau yang nantinya akan berkelanjutan kepada pelayanan Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 11
masyarakat dan fasilitasi kepada Anggota DPRD baik secara teknis maupun nonteknis, dalam artian bahwa Sekretariat DPRD dapat menunjang seluruh tugas dan fungsi DPRD secara administratif. Adapun kegiatan pelayanan terhadap Anggota DPRD yang sudah dilaksanakan antara lain: a. Menyiapkan bahan persidangan, mengatur serta menyediakan tempat dan keperluan rapat-rapat. b. Menyediakan dan menyiapkan naskah-naskah yang berkaitan dengan pelaksanaan persidangan. c. Memberikan pelayanan administrasi dan membuat catatan yang dianggap perlu mengenai jalannya rapat dan persidangan. d. Menyiapkan rancangan keputusan yang dibuat oleh DPRD/Pimpinan DPRD e. .Menyelenggarakan penyusunan rísalah, ikhisar dan resume rapat-rapat DPRD. Dari gambaran yang ditulis pada PJB di atas menunjukkan bahwa PJB tersebut merupakan faktor kesiapan, sehingga bermakna kekuatan. b) Pegawai Keadaan dan kondisi Sumber Daya Manusia Pegawai pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau sebanyak 31 orang yang terdiri dari 15 orang pegawai tetap dan 16 orang pegawai tidak tetap, dengan pembagian 12 pegawai tetap pada bagian umum dan 3 pegawai tetap pada bagian persidangan dan risalah serta 11 pegawai tidak tetap pada bagian umum dan 5 pegawai tidak tetap pada bagian persidangan dan risalah, Keadaan ini menunjukkan bahwa bagian persidangan yang begitu padatnya volume pekerjaan tentu dirasakan kurang, begitu pula tingkat pendidikan maupun pengalaman dan kemampuan yang dimiliki oleh pegawai baik pegawai tidak tetap maupun pegawai tetap saat ini masih sangat minim, oleh karena itu faktor pegawai ini menunjukkan ketidaksiapan, sehingga bermakna kelemahan. c) Dana/pembiayaan Pembiayaan merupakan faktor pendukung pada fungsi transaksi pada kondisi sekarang dana tidak tersedia sesuai dengan program yang ada, untuk itu faktor dana keadaan tidak siap dan bermakna kelemahan. d) Petunjuk Pelaksanaan Petunjuk pelaksanaan (juklak) diperlukan sebagai acuan pelaksanaan suatu kegiatan, selain itu juga untuk memudahkan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan. Pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 12
terdapat beberapa macam kegiatan, dan untuk itu pula dari masingmasing kegiatan telah dibuat juklaknya. Juklak yang ada belum dapat berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan karena kesiapan baik aparatur yang ada maupun keuangan yang tersedia belumlah memadai, sehingga ada program yang tidak dapat dilaksanakan. Kenyataan tersebut di atas menunjukkan ketidaksiapan faktor petunjuk pelaksanaan berada pada tingkat yang tidak memadai, sehingga memberikan makna kelemahan. e) Peralatan dan Pembekalan Faktor sarana dan prasarana pada fungsi transaksi antara lain meliputi peralatan kantor seperti meja kursi, komputer, mesin tik, lemari, alat komunikasi dan alat transportasi. Kondisi sarana dan prasarana pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau baik kuantitas maupun kualitas masih sangat terbatas, sehingga perlu adanya perawatan dan perbaikan serta penambahan. Sebagai upaya untuk menjadikan faktor yang tidak siap menjadi faktor yang siap maka telah dilakukan tindakan turun tangan oleh tingkat pimpinan, merupakan faktor yang siap dan merupakan kekuatan. 2. Faktor Eksternal a) Anggota DPRD Anggota DPRD dalam hal ini merupakan pengguna/konsumen dari kegiatan Sekretariat DPRD, sehingga respon Anggota Dewan sangat dibutuhkan dalam memberikan dukungan, partisipasi maupun sumbangan pemikiran merupakan bentuk respon pengguna jasa terhadap produk yang dijual oleh Sekretariat DPRD baik dalam tehnis pelaksana maupun pendanaan. Dalam pelaksanaan kegiatan yang tercakup dalam program Sekretariat DPRD diharapakan dukungan anggota dewan baik berupa informasi maupun pemikiran, akan tetapi kenyataannya lain tidak seperti yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor ini (Anggota DPRD) tidak siap sehingga merupakan kelemahan. b) Pemerintah Dukungan pemerintah merupakan tolak ukur kesiapan faktor ini terhadap setiap kegiatan yang disusun oleh Sekretariat DPRD dari segi peraturan, komitmen dan dukungan, maka faktor pemerintah sangat positif. Dengan peraturan-peraturan yang ada seperti adanya petunjuk pelaksanaan setiap kegiatan maupun motivasi yang diberikan kepada Sekretariat DPRD, maka dapat memacu tugas-tugas Sekretariat,
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 13
sehingga hal ini menunjukkan tingkat kesiapan yang memadai dan memberikan makna peluang. D. Simpulan dan Saran 1. Rumusan Tujuan Situsional (SO) Dengan mempertimbangkan hasil penelitian tentang kesiapan fungsi dan faktor, Analisis SWOT, Fungsi terpilih serta adanya peluang maka ditetapkan Tujuan Situsional (SO), Final Sekretariat DPRD Kota L ubuklinggau yaitu : “Meningkatkan kemampuan pengolahan surat menyurat pada bagian persidangan dan rísalah Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau”. 2. Fungsi-fungsi yang menjadi fokus penelitian dalam upaya pencapaian Tujuan Situsional Final dari 12 fungsi baku yang ada terdapat fungsi yang siap dan fungsi yang tidak siap, yaitu: a. Fungsi yang siap 1) Fungsi Manajemen Personalia 2) Fungsi Manajemen Keuangan 3) Fungsi Manajemen Akutansi 4) Fungsi Inti Manajemen b. Fungsi dan faktor yang tidak siap 1) Fungsi transaksi, pada faktor internal adalah kesepakatan kontrak, pegawai petunjuk pelaksana, peralatan dan pembekalan serta tindakan turun tangan. 2) Fungsi perebutan pelanggan, pada faktor internal adalah pedoman pegawai, sarana dan prasarana serta dana. 3) Fungsi produksi, faktor internal agalah dana, juklak, serta sarana dan prasarana. 4) Fungsi perencanaan pemasaran, pada faktor internal adalah juklak dan dana. 5) Fungsi perencanaan produk, faktor internal adalah juklak, dana dan tindakan turun tangan serta faktor eksternal adalah Anggota DPRD. 6) Fungí riset dan pengembangan produk, faktor internal adalah dana dan juklak. 7) Fungsi riset pasar dan pemasaran, faktor internal adalah data riset, dana serta peralatan dan perbekalan, sedangkan faktor eksternal adalah Anggota DPRD. 8) Fungsi manajemen peralatan dan perbekalan, faktor internal adalah peralatan dan perbekalan serta dana. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 14
Berdasarkan beberapa alternatif terbaik terhadap langkah pemecahan persoalan maka penulis merekomendasikan kepada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau meningkatkan 8 (delapan) fungsi yang tidak siap menjadi siap, perlu dilakukan persiapan dengan koordinasi perencanaan untuk penyusunan jadwal waktu dan lokasi. Dukungan dana, sarana prasarana dan SDM pegawai, yang meliputi koordinasi perencanaan secara umum sebagai berikut: a) Mengisi struktur organisasi/bidang tugas yang belum ada personilnya. b) Membagi habis tugas dan wewenang yang ada sesuai dengan bidang tugasnya. c) Membentuk perpustakaan, sehingga menambah wawasan. d) Memotivasi pegawai Sekretariat DPRD sehingga dapat lebih aktif. e) Peningkatan kerjasama dan koordinasi antarbagian pada Sekretariat DPRD. f) Peningkatan pemahaman kepada Anggota DPRD terhadap tugas pokok dan wewenangnya. g) Penyempurnaan tugas pokok dan fungsi serta peraturan tata tertib DPRD. h) Evaluasi dan penataan ulang SDM pegawai, termasuk penempatannya. Untuk memprogramkan kegiatan tersebut perlu melibatkan unit kerja terkait, yaitu Pemerintahan Kota Lubuklinggau, Pimpinan DPRD Kota Lubuklinggau, Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau, kepala-kepala bagian pada Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau. Kemudian rekomendasi secara terperinci dari masing-masing fungsi yang tidak siap adalah sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan fungsi transaksi antara lain: a. Kesepakatan kontrak Kesepakatan dapat dilakukan dengan melibatkan pimpinan DPRD dan pemerintah Kota Lubuklinggau. b. Pegawai Kegiatan kepegawaian dapat dilaksanakan mulai bulan Agustus 2004 dengan melibatkan Sekretariat Daerah Kota Lubuklinggau, Badan Kepegawaian Daerah dan Pimpinan DPRD. c. Dana Penyiapan dana agar dimulai saat pengajuan anggaran biaya dengan melibatkan bagian keuangan Pemerintah Kota Lubuklinggau. d. Petunjuk Pelaksanaan
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 15
Kegiatan ini diharapkan memulai tugasnya dengan melibatkan Anggota DPRD, Sekretariat DPRD, dan Sekretariat daerah Kota Lubuklinggau. e. Tindakan Turun tangan Tindakan turun tangan ini dilaksanakan 1 minggu sekali dengan melibatkan pejabat struktural pada sekretariat DPRD secara berjenjang. 2. Untuk meningkatkan fungsi perebutan pelanggan antara lain a. Pedoman Kegiatan ini harus dimulai bulan Agustus 2004 dengan melibatkan Anggota DPRD periode 2004-2009 dan Pemerintah Kota Lubuklinggau. b. Pegawai Program ini harus secara bertahap dapat dipenuhi yaitu dimulai pengadaan pegawai periode Oktober 2004 dengan melibatkan Badan Kepegawaian daerah dan kota Lubuklinggau c. Peralatan dan Pembekalan Program ini diharapkan Bagian Keuangan Sekretariat Kota Lubuklinggau dan Bagian Perlengkapan Sekretariat Daerah Kota Lubuklinggau. d. Dana Insentif pegawai diharapkan sudah diajukan pada APBD dengan melibatkan pemerintah kota Lubuklinggau. 3. Untuk meningkatkan fungsi produksi antara lain: a. Dana Bantuan dana sudah dianggarkan pada APBD dengan melibatkan pemerintah kota Lubuklinggau dan Bappeda Kota Lubuklinggau. b. Juklak Kegiatan tersebut diharapkan dimulai pada awal tugas anggota DPRD 2004-2009 yaitu dengan melibatkan anggota DPRD Kota Lubuklinggau. c. Peralatan dan perbekalan Pengadaan perbekalan agar diusulkan melalui APBD dengan melibatkan panitia anggota DPRD pemerintah kota. 4. Untuk meningkatkan fungsi perencanaan pemasaran antara lain: a. Petunjuk pelaksanaan kegiatan ini diupayakan dibahas oleh anggota DPRD periode 20042009 dengan melibatkan sekretariat DPRD dan pemerintah kota Lubuklinggau. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 16
5.
6.
7.
8.
b. Dana Kebutuhan dana ini agar ini agar dianggarkan pada APBD dengan melibatkan pemerintah kota Lubuklinggau. Untuk meningkatkan funsi pelaksanaan produk, antara lain: a. Juklak Memberikan motivasi secara terus menerus kepada pegawai dengan melibatkan pejabat struktural pada sekretariat DPRD kota Lubuklinggau. b. Dana c. Tindakan turun tangan Tindakan turun tangan dari pimpinan diharapkan paling sedikit 1 kali seminggu memonitor pelaksanaan di lapangan dengan melibatkan anggota DPRD, BAPPED dan sekretaris DPRD. Untuk meningkatkan fungsi riset dan pengembangan produk antara lain: a. Dana Pelaksanaan program ini agar dianggarkan pada APBD dan dilanjutkan pada APBD bulan Januari 2005 dengan melibatkan BAPPEDA dan pemerintah kota Lubuklinggau. b. Petunjuk pelaksanaan Kegiatan ini agar dilaksanakan den gan melibatkan komponen masyarakat dan pemerintah kota Lubuklinggau. Untuk meningkatkan fungsi riset pasar dan pemasaran antara lain: a. Data riset Untuk mendapatkan data salah satunya dengan studi banding anggota DPRD dan sekretariat DPRD dengan melibatkan pemerintah kota Lubuklinggau. b. Dana Kegiatan ini agar dianggarkan pada APBD dengan melibatkan pemerintah kota Lubuklinggau dan rekanan serta pimpinann DPRD kota Lubuklinggau. Untuk meningkatkan fungsi manajemen peralatan dan perbekalan antara lain: a. Peralatan dan perbekalan Pengadaan perlengkapan ini untuk dianggarkan pada APBD dengan melibatkan bagian perlengkapan sekretariat daerah dan pemerintah kota Lubuklingau. b. Dana Dana untuk dianggarkan secara bertahap dengan melibatkan BAPPEDA dan pemerintah kota Lubuklinggau.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 17
DAFTAR RUJUKAN Bappeda. 1993. Selayang Pandang Kota Lubulinggau. .............. 1993. Laporan Akuntanbilitas Kinerja (LAKIP) Sekretariat DPRD Kota Lubuklinggau. Hadjisaroso, Poenomosidi. 1977. Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenai Hal Secara Benar dan Utuh, Naskah 1. Yogyakarta: Program Magister Manajemen STIE Mitra Indonesia. .............. 1997. Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenai Hal Secara Benar dan Utuh, Naskah 2. Yogyakarta: Program Magister Manajemen STIE Mitra Indonesia. ............. 1998. Corporate Plan. Yogyakarta: Program Magister Manajemen STIE Mitra Indonesia. Osborne, dkk. 1996. Mewirausahakan Birokrasi-Reiventing Goverment. Yogyakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Rangkuti, Freddy. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abd ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 18
PERANAN PERGURUAN TINGGI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh Rubasit
Abstrak Tulisan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan bagaimana peranan perguruan tinggi mempersiapkan lulusannya sehingga menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Metode penulisan yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Untuk meningkatkan peranan perguruan tinggi dalam mempersiapkan lulusannya perguruan tinggi harus melaksanakan tridarma secara optimal, diperlukan peningkatan kegiatan keagamaan dan kemahasiswaan yang mengacu pada perwujudan tridarma perguruan tinggi, penalaran mahasiswa serta pembinaan ukhuwah islamiyah sehingga terciptanya kampus yang agamis dan akademik. Kata kunci : perguruan tinggi, kualitas, sumber daya manusia. PENDAHULUAN Perguruan tinggi mempunyai tugas dan fungsi untuk meningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang berkualitas merupakan modal utama menciptakan manusia kreatif, aktif yang dapat bekerja dan bersaing di era globalisasi. Selain itu peningkatan SDM mempunyai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi sampai saat ini masalah SDM belum terselesaikan hal ini sering ditemukan kasus-kasus seperti penyelesaian perselisihan perburuhan yang tidak adil, korupsi, penyalagunaan wewenang, pelayanan yang mengecewakan masyarakat serta kasus kriminalitas lainnya. Semua itu mencerminkan kurangnya kualitas SDM yang ada. Dalam Tap MPR Nomor : VII/MPR/2001 tentang Misi Indonesia Masa depan Menjelang tahun 2020 disebutkan :“pembangunan sumber daya manusia yang bermutu akan terwujudnya sistem pendidikan yang berkualitas dan mampu melahirkan SDM yang handal serta berakhlak mulia, mampu berkerja sama dan bersaing di era globalisasi. SDM yang bermutu tersebut memiliki keimanan, ketakwaan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 19
memiliki etos kerja serta mampu membangun budaya kerja yang produktiv dan berkepribadian ``. Berdasarkan uraian di atas masalah SDM menarik untuk dibahas dari berbagai aspek. Salah satunya aspek pembangunan nasional yang membutuhkan SDM yang berkualitas, dari aspek perguruan tinggi sebagai penghasil SDM masih dipertanyakan bagai mana mempersiapkan SDM yang berkualitas? SUMBER DAYA MANUSIA BERKUALITAS Standar tolok ukur tentang SDM belum ada, hal ini menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan sudut pandang. Jika ditinjau dari aspek kesehatan maka perhatian tertuju seperti tinggi badan, berat badan, kandungan gizi. Kemudian dari aspek pendidikan yang akan dikaji adalah indeks prestasi dan kecepatan menyelesaikan studi dan sertifikasi yang diperoleh. Berdasarkan alasan di atas maka tolak ukur kualitas SDM perlu memperoleh bahasan dan rumusan yang lengkap dan operasional. Rumusan kualitas ciri-ciri SDM bermacam-macam dan berbeda-beda. Hal ini menunjukkan beragamnya pengertian dan rumusan kualitas SDM tersebut. Menurut Dahlan (1989:12) kualitas SDM dikelompokan menjadi dua bagian besar yaitu kualitas fisik dan kualitas non fisik. Kualitas fisik memiliki perangkat ukur berupa kesegaran jasmani, bobot, tinggi badan, dan ketahanan fisik. Hal ini diperkuat oleh Praktiknya (1989:6 ) yang mengatakan kriteria kualitas fisik adalah sehat, kuat, rajin, dan tangguh. Sedangkan kualitas non fisik dibagi menjadi beberapa kelompok, yakni: 1) Kualitas spiritual yaitu menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa; 2) Kualitas pribadi yaitu menyangkut ciri pokok yang ada pada diri manuasia; 3) Kualitas bermasyarakat yaitu menyangkut hubungan sesama manusia; 4) Kualitas keserasian dengan lingkungan; 5) Kualitas berbangsa yaitu menyangkut hubungan dengan bangsa-bangsa lain, dan 6) Kualitas kekaryaan yaitu menyangkut kualitas sebagai SDM pembangunan. Dari berbagai uraian tentang deskripsi SDM diatas maka penulis sependapat dengan rumusan yang di kembangkan oleh M. Alwi Dahlan karena penjabarannya lebih terurai, sistematis, dan mudah di operasionalkan. Rumusan operasional kualitas non fisik dapat dirinci sebagai berikut. 1) Kualitas keimanan dan ketakwaan yaitu menyangkut kegiatan manusia dengan Allah SWT sang pencipta, dengan ciri manusia yang menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan dalam agama; 2) Kualitas intelektual dan kepribadian yaitu menyangkut ciri pokok manusia antara lain : Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 20
kecerdasan, ketahanan mental dan tangguh dalam berkerja serta mempunyai sikap kemandirian; 3) Kualitas kemasyarakatan yaitu menyangkut hubungan sesama manusia yang mempunyai ciri-ciri : Solidartitas sosial, rasa persamaan sosial, tanggung jawab dan disiplin sosial; 4) kualitas keserasian dengan lingkungan yaitu menyangkut ciri-ciri sikap dan wawasan dalam hubungan dengan alam lingkungan; 5) kualitas berbangsa yaitu : menyangkut hubungan dengan bangsa-bangsa lain, dengan ciri-ciri : cinta tanah air, rasa kebangsaaan, disiplin nasional dan ketahanan budaya, dan 6) Kualitas kekaryaan yaitu menyangkut kualitas sebagai SDM pembangunan dengan ciri-ciri : etika kerja, disiplin kerja, etos dan semangat kerja, inovatif dan kreatif dalam melaksanakan pekerjaan wawasan masa depan dan tidak memandang rendah setiap jenis dan hasil pekerjaan. Dengan demikian rumusan kualitas SDM ini diharapkan dapat menunjang arah pembangunan pada sektor pendidikan yang bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 21
20 IDEAL TYPE LULUSAN Perguruaan tinggi dituntut kemampuannya untuk menciptakan dan menghasilkan lulusan yang baik. Secara skematis kebutuhan masyarakat akan kualitas SDM dirumuskan sebagi berikut. Perguruan Tinggi Masyarakat
Lulusan
Rumusan Profil / ciri-ciri
Kebutuhan kualitas SDM dalam pembangunan masyarakat
SDM yang beriman dan takwa Kemampuan intlektual dan kepribadian Kemampuan kemasyarakatan Kemampuan keserasian dengan lingkungan Kemampuan berbangsa Kemampuan berkarya
Orientasi perguruan tinggi tentulah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat secara ideal memerlukan manusia pembanggunan yang tangguh secara fisik maupun non fisik. Bertitik tolak pada orientasi tersebut, perguruan tinggi harus mampu mengoperasionalkan sasaran akhir dari kegiatannya untuk menghasilkan SDM yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara minimal. Manakala kebutuhan masyarakat terbentuk seperti pada skema tersebut, maka perlu untuk merumuskan secara operasional ciri-ciri kualitas (profil) sarjana yang akan di bentuk dan dihasilkannya. Perguruan tinggi, secara institusional tentu mempunyai tujuan pendidikan yang hendak diwujudkan. Namun belum ada perguruan tinggi mempunyai rumusan operasional tentang profil atau ciri-ciri lulusan yang hendak di hasilkannya. Sebagai ilustrasi SDM di dasarkan keimanan dan ketakwaan, perlu di terjemahkan bahwa perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang berkualifikasi: 1) taat menjalankan ibadah dan menjauhi segala larangan dalam ajaran agama; 2) mampu menjadi motivator, penyebar dan pengembang kehidupan ke agamaan pada lingkungan masyarakatnya; 3) dapat memimpin upacara atau pelaksanaan ibadah dalam kehidupan keluarga maupun masyarakatnya, dan 4) sebagai pendidikan moral, spiritual, masyarakat di lingkunggan. Semua kualitas kebutuhan masyarakat, yang ada pada skema di atas di rumuskan secara operasional sehingga menjadi profil lulusan ideal yang di hasilkan oleh suatu perguruan tinggi. Profil atau ciri-ciri yang di rumuskan secara operasional dan memiliki dua kepentingan pokok, yaitu eksternal dan internal, secara eksternal masyarakat dapat menilai tentang kualitas perguruan tinggi dari sisi SDM yang di hasilkan. Kemudian masyarakat dapat mengukur kualitas peguruan tinggi dari kegiatan akademik. Dari kegiatan tersebut dapat memudakan masyarakat untuk menentukan SDM yang dibutukan secara cepat dan tepat.
PERANAN PERGURUAN TINGGI Setiap perguruan tinggi mempunyai peranan strategis dalam mempersiapkan dan menghasilkan SDM yang berkualitas untuk pembangunan, terutama usaha menghasilkan kualitas SDM non fisik.
Lalu apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukan peranan tersebut, untuk menghasilkan kualitas SDM yang diharapkan? Perguruan tinggi pada dasarnya mempunyai tugas dan Fungsi melaksanakan Tridarma perguruan tinggi. yaitu : darma pendidikan dan pengajaran, dama penelitian dan darma pengabdian pada masyarakat. Ketiga darma tersebut harus dilakukan secara terpadu dan simultan, konteksnya dengan usaha menghasilkan SDM sebagai Output perguruan tinggi yang berkualitas, maka perguruan tinggi dapat melakukan berbagai kegiatan Tridarma perguruan tinggi baik darma pendidikan dan pengajaran, darma penelitian, dan darma pengabdian pada masyarakat. Dengan pelaksanaan Tridarma yang berkualitas, akan menghasilkan SDM yang berkualitas seperti yang di butuhkan dalam pembagunan. Dalam uraian darma pendidikan dan pengajaran ini akan lebih banyak bahasan tentang peningkatan komponen belajar mengajar, sedangkan peningkatan kegiatan kukurikuler mahasiswa akan banyak terurai pada pembahasan darma penelitian dan darma pengapdian pada masyarakat. Proses belajar mengajar dengan pendekatan sistem Input dan Output dapat digambarkan sebagai berikut : Masukan (mahasiswa baru )
PT
Keluaran (kelulusan )
Balajar adalah berubah, artimya belajar menuntut adanya perilaku sebelum belajar menjadi perilaku yang lebih baik setelah proses belajar. Untuk memproleh kualitas lulusan yang baik,maka komponen dalam proses belajar perlu ditingkatkan. Dalam proses belajar mengajar terdapat beberapa komponen strategis sebagai penunjang utama menghasilkan Output yang diharapkan. Komponen proses belajar mengajar adalah: 1) komponen tujuan; 2) kuliah atau kegiatan akademik; 3) Mahasiswa; 4) Dosen; 5) Teknologi, dan; 6) Sarana dan Administrasi. Komponen-komponen tersebut manakalah dihubungkan dalam Interaksi proses belajar mengajar akan tampak seperti gambar beikut:
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 22
Interaksi Formal Dosen
Mahasiswa Interaksi Non Formal Tujuan Kuliah Teknologi Sarana Administrasi
Penilaian dan umpan balik Keenam komponen ini harus memproleh perhatian dan peningkatan yang sepadan sebagai usaha menghasilkan lulusan yang berkualitas yaitu : 1. Komponen tujuan pendidikan, perguruan tinggi harus merumuskan tujuan pendidikan pada tingkat lembaga, tingkat program studi, tingkat kurikulum/ kegiatan akadmik. Untuk itu sebuah perguruan tinggi harus menetapkan tujuan ini lebih kongkrit sehingga keberasilan dan Output akan lebih mudah dilakukan pengukuran. 2. Kuliah atau kegiatan akademik, adalah kegiatan terstruktur yang bertujuan membantu dan menggairakan untuk kemajuan dalam studi. Peningkatan kualitas kuliah/ kegiatan akademik ini dapat dilakukan dengan memantapkan secara dinamis Kurikulum dan silabus perkuliahan, mengembangkan kegiatan kuliah dengan diskusi, sistem modul, adanya sistem evaluasi keberhasilan belajar yang mantap dan objektif. 3. Komponen mahasiswa, komponen mahasiswa ini sangat menentukan untuk mencapai sasaran kualitas hasil proses belajar mengajar. yang perlu memperoleh perhatian dalam komponen ini tentu saja mahasiswa sebagai bahan awal (Input) yang akan berproses untuk berubah menjadi lebih baik. Untuk memproleh masukan mahasiswa harus dipilih yang berkualitas, dengan Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 23
berbagai cara perekrutan yang mendasarkan dan mengutamakan kualitas, baik melalui penelusuran prestasi akademik (PPA), beasiswa kemitraan daerah (BKD) maupun seleksi umum (SPMB). 4. Komponen dosen, walapun dosen lebih banyak berperan sebagai Informator,transmitter, motivator, katalisator, moderator, dan fasilitator dalam proses belajar, namun perlu ditingkatkan mengetahui jumlah maupun kualitasnya. Agar interaksi antara dosen dan mahasiswa dapat lebih intent dan mempunyai perhatian yang cukup, maka beban dosen dalam kaitan membina dan mengembangkan mahasiswa harus seimbang. Maka perlu peningkatan jumlah dosen untuk memproleh rasio dosen dengan mahasiswa yang ideal. Di sisi lain yang tidak kalah strategis untuk meningkatkan peningkatan kualitas dosen adalah dengan cara melaksanakan program studi lanjut maupun program non degree serta pembinaan karier melalui jenjang jabatan fungsional maupun struktural perguruan tinggi dalam hal ini dapat memuat matriks pembinaan dan program studi (program degree maupun non degree) yang mantap. 5. Komponen teknologi, dimaksudkan teknologi dalam pendidikan yang merupakan penggunaan alat bantu dalam peroses belajar mengajar. Perguruan tinggi perlu melengkapi dan mengembangkan teknologi pendidikan dengan cara memperbanyak audio visual baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Disamping itu peningkatan pelayanan dalam proses belajar sangat diperlukan dengan adanya sistem presensi yang tertib, alat komunikasi yang memadai. 6. sarana dan administrasi, komponen terakhir ini tentu sangat di perlukan untuk komunikasi menunjang keberhasilan proses belajar mengajar. Adanya suasana kampus yang akademik, administrasi yang cepat dan tepat serta tertib, perpustakaan yang mampunyai fasilitas buku dengan pelayanan dan kenyamanan suasana dan tertib memberikan andil yang berharga dan proses belajar mengajar. Selanjutnya, perguruan tinggi mempunyai tugas memelihara, menjembatani dan menemukan ilmu pegetauhah serta teknologi, yang merupakaan pelaksanaan darma ke dua yaitu darma penelitian. Tugas ini akan dapat terlaksanan dengan baik manakala Civitas akademikanya melakukan suatu Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 24
pengkajian dan penelitian dengan baik. Peruruan tinggi harus mampu melakukan penelitian untuk memecahkan permasalahan praktis maupun pengembangan ilmu untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pembangunan. Hasil dari kegitan ini secara simultan tentu merupakan bahan yang sangat berharga bagi sebuah perguruan tinggi yaitu dalam rangka mendukung perkembangan lebih lanjut pada pelaksanaan darma pendidikan maupua darma pengabdian pada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, maka perguruan tinggi harus mampu menghasilkan karya penelitian untuk pengembangan pengetahuan maupun memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sedang membangun. Maka perlu peningkatan kegiatan penelitian baik kualitas nya maupun kuantitasnya (misalnya diskusi, seminar, penulisan karya ilmiah melalui media cetak/elektronik). Usaha ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan dan keterampilan tenaga peneliti (dosen), penyediaan waktu dan dana yang memadai yang lebih penting adalah pengembangan perilaku menjadi perilaku akademik, Inovatif, kreatif serta sikap ilmiah (skeptis, kritis, dan analis ) pada setiap diri seorang dosen serta usaha meningkatkan kerja sama dengan instansi pemerintah / swasta lembaga penelitian dalam program-program peningkatan kualitas penelitian maupun program penelitian. Disamping tugas seperti uraian diatas, pada darma penelitian ini, sebuah perguruan tinggi juga mempunyai tugas mendidik para mahasiswa dalam pengembangan aspek penalaran, pengembangan berpikir ilmiah maupun keterampilan dan kemampuan melakukan kegiatan penelitian. Usaha ini merupakan langkah awal peningkatan kualitas SDM untuk kebutuhan pembangunan dimasa yang akan datang. Dari usaha ini memberikan bekal berharga bagi SDM masa depan untuk mengelola sumberdaya alam maupun SDM secara inovatif dan kreatif yang sangat bermanfaat dalam pembangunan. Kemudian bagaimana melakukan pembinaan penelitian dan penalaran ini. Perguruan tinggi dalam hal ini perlu menyediakan tenaga-tenaga pembimbing dan pembina kegiatan kegiatan penelitian yang memadai jumlah maupun kualitasnya, baik untuk pemecahan masalah pembangunan maupun penelitian dalam rangka penulisan tugas akhir (skripsi). Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 25
Disamping itu perguruan tinggi dapat menyediakan kesempatan dan Fasilitas dalam pengembangan penalaran maupun kegiatan ilmiah lainnya, dengan membentuk laboratoriumlaboratorium pada masing-masing progam studi, adanya kelompokkelompok kajian sesuai program studi dan megadakan seminar / ceramah keilmuan secara rutin. Bagi mahasiswa kegiatan ini merupakan kegiatan yang mendukung proses belajar yang di sebut dengan kegiatan kokurikuler. Agar perguruan tinggi tidak dijauhi oleh masyarakat maka perguruan tinggi harus mampu melakukan kegiatan kemasyarakatan, sebagai pewujudan penerapan ilmu dan hasil penelitian untuk kepentingan memecakan masalahyang dihadapi masyarakatnya, sebagai pelaksanaan darma pengabdian pada masyarakat dari perguruan tinggi. Civitas akademika (dosen, mahasiswa dan karyawan) menjadi pioner penggerak pembangunan masyarakat sekitarnya, baik melalui program pelatihan pemecahan masalah pembangunan Inovasi-inovasi untuk kemajuan, memberikan motivasi berswadaya dalam pembangunan dan program kuliah kerja nyata. PERANAN LINGKUNGAN PENUNJANG Peranan lingkungan penunjang dalam membentuk kemampuan moral keagamaan, kemajuan organisasi dan watak kepemimpinan sangat diperlukan ilmu pengetauhan. Yang dimaksud dengan lingkungan penunjang disini adalah peranan tempat ibadah (Masjid dan kegiatan keagamaan) serta lembaga ke mahasiswaan. Lembaga-lembaga semacam ini akan memberikan andil besar dalam usaha meningkatkan kualitas watak dan moral agama, serta pembinaan kepemimpinan melalui berbagai aktivitas mahasiswa. Untuk itu lembaga semacam ini perlu meningkatkan peranan nya terutama untuk menciptakan kampus yang sarat dengan ukhuwah islamiyah diantara civitas akademika untuk menciptakan kampus yang akademik.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 26
PENUTUP Simpulan yang dapat dirumuskan dari uraian dimuka sebagai usaha penekanan bahasan adalah : Pertama, untuk meningkatkan peranan perguruan tinggi dalam rangka peningkatan kualitas SDM (lulusan) perguruan tinggi harus melaksanakan Tridarma secara optimal. Hal-hal yang ditekan dalam melaksanakan tri darma perguruan tinggi yaitu. 1. Pelaksanaan proses belajar perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas maupuan kuantitas komponen-komponen yang terkait dalam proses belajar mengajar. 2. pelaksanaan penelitian, perlu lebih ditingkatkan dan dilakukan secara serius dengan berbagai cara, misalnya penyediaan kesempatan dengan dana yang memadai, peningkatan kualitas peneliti serta melakukan berbagai kerjasama dengan pihak lain. 3. pelaksanan darma pengabdian masyarakat agar lebih terarah pada spesifikasi ciri pokok sebuah perguruan tinggi dalam membina dan mengembangkan pembangunan dalam masyarakat. Kedua, diperlukan peningkatan kegiatan keagamaan dan kegiatan kemahasiswaan, yang mengacu pada perwujutan tridarma, penalaran mahasiswa serta pembinaan oleh ukhuwah islamiyah, sehingga tercipta kampus yang agamis dan akademik. Ketiga, berbagai peranan perguruan tinggi pada dasarnya akan menjadikan SDM yang berkualitas secara non fisik. Supaya peranan tersebut lebih mudah dan operasional, maka tolok ukur keberhasilan harus dirumuskan secara operasional. Untuk itu dari perguruan tinggi diperlukan lulusan yang memiliki ciri-ciri atau kualifikasi produk sebuah perguruan tinggi. Hal ini harus dilaksanakan secara berhati-hati dan perlu studi mendalam, agar frofil lulusan perguruan tinggi dapat mendekati kualitas SDM sesuai kebutuhan pembangunan dalam masyarakat.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 27
DAFTAR PUSTAKA Atmojo, Sakijo Noto. 2001. Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta: FKM UI. Dahlan, M. Alwi. 1989. Makalah Ilmu Ilmiah Pembangunan Kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia. Yogyakarta: PAU Studi Universitas Gajah Mada. Effendy, Mochtar. 1996. Manajemen Islam. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Handoko, Tahi. 2007. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Marbun, B.N. 1980. Editor Konsep Manajemen Indonesia Seri Manajemen No . 54 Bagian Produksi Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen. Jakarta. Pratiknyo, Ahmad W. 1989. Makalah Tema Ilmiah Pengembanagan Kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia. Yogyakarta: PAU Studi Sosial Universitas Gajah Mada. Sondang, Siagian. 2006. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Gunung Agung. Tap MPR No : VII / MPR / 2001. Tentang Misi Indonesia Masa Depan Menjelang Tppahun 2020. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 28
PENGELOLAAN KELAS OLEH GURU MATEMATIKA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGRI SUKARAYA KECAMATAN SUKU TENGAH LAKITAN ULU TERAWAS KABUPATEN MUSI RAWAS Oleh Siti Aisyah
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan guru matematika mengelolah kelasnya di SMP Negeri Sukaraya Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data di kumpulkan melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas. kurang mampu mengelola kelas. Kata Kunci : pengelolaan kelas, guru, matematika. A. PENDAHULUAN Pengelolaan kelas adalah aktifitas guru untuk menciptakan kondisi kelas yang kondusif dengan menggunakan berbagai sumber, baik manusia, fasilitas sarana dan prasarana, maupun sumber daya teknikal lain sehingga memberikan dukungan yang optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Menurut Purnomo, (2003: 4), pengelolaan kelas dapat efektif dan efisien, bila mengikuti proses manajemen. Pembelajaran yang efektif dan efisien akan tercapai apa bila setiap siswa di kelas dapat bekerja dengan tertib. Kenyataan di SMP Negeri Sukaraja kecamatan STL Ulu Terawas Kab Musi Rawas guru mengalami hambatan dalam proses kegiatan belajar dan siswa tidak melibatkan diri dalam kegiatan belajar di kelas. Indikasi kearah itu antara lain ditunjukan ketika kegiatan belajar berlangsung siswa tidak mengerjakan tugas yang diberikan, siswa mengulur-ulur waktu Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 29
mengerjakan tugas, dan siswa tidak bergairah mengerjakan tugas. Ada banyak faktor penyebab yang dapat ditelusuri, namun bila dicermati intinya berpangkal dari kondisi proses pengelolaan kelas. Oleh karena itu perbaikan ataupun peningkatan ditujukan pada pengelolaan dan pentingnya pengelolaan kelas itu sendiri. Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dideskripsikan dalam penelitian ini adalah menyangkut pelaksanaan pengelolaan kelas. Masalah yang diteliti dirumuskan sebagai berikut. Bagaimana pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru matematika di SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas. Dengan fokus masalah yang meliputi bagaimana guru mengenali siswanya?, bagaimana guru mengorganisasi kelas?, bagaimana guru menerapkan disiplin kelas?, bagaimana guru mengatasi tingkah laku siswa yang menyimpang?, bagaimana guru memotivasi siswa?, dan bagaimana guru memahami tentang pengelolaan kelas?. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Mahmud, dkk (2001:265) mengatakan, penelitian kualitatif mengunakan paradigma alamiah. Artinya penelitian ini mengasumsikan bahwa kenyataan empiris terjadi dalam suatu konteks sosio-kultural yang saling terkait satu sama lain. Pemilihan subjek penelitian dilakukan berdasarkan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi kelas, dan studi dokumentasi. Data dianalisis dengan teknik analisis induktif. Langkah analisis, yaitu: 1). Reduksi data; 2). Penyajian data; 3). Penarikan kesimpulan atau verifikasi.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 1. Hasil penelitian Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa pemahaman guru matematika SMP Negeri Sukaraya kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas tentang pengelolaan kelas kurang , hal ini terlihat dari : guru kurang berusaha mengenali siswanya, guru kurang mampu mengorganisir kelas, guru kurang mampu menerapkan disiplin, guru kurang mampu memotivasi siswa, Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 30
dan guru kurang mampu mengatai perilaku menyimpang siswa, dengan kesimpulan khusus sebagai berikut : 1. Guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas kurang berusaha untuk mengenal siswanya, hal ini tergambar dari : 1) hanya memiliki data siswa kelas VII 5 berarti hanya sebagai wali kelas; 2) data siswapun tidak lengkap seperti nilai UN, prestasi, pendapatan orang tua perbulan, kelemahan, hobi dan sebagainya; 3) mudah menghapal nama anak yang pintar, nakal atau yang lemah sekali, kalau anak yang biasa-biasa saja biasanya terlupakan; 4) salah memangil nama siswa. 2. Guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas kurang mampu mengorganisasikan kelas. Hal ini terlihat dari: 1) jarang melakukan pemisahan tempat duduk terhadap siswa yang suka ribut alias bercerita disaat guru mengajar; 2) kurang memahami cara mengatur tempat duduk yang baik ( tidak menggangu pandangan siswa untuk melihat kedepan ); 3) kemampuan guru dalam melakukan penataan meja untuk diskusi kelompok sangat kurang; 4) tidak memberikan pengarahan bagaimana cara membentuk kelompok agar cepat dan tidak ribut. 3. Guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas kurang mampu menerapkan disiplin kelas, terlihat:1) penerapan disiplin sekolah dan disiplin guru; 2) bila tidak bisa mengajar karena halangan, guru menitipkan tugas untuk siswanya; 3) sudah membuat aturan dalam usaha mendisiplinkan anak di dalam kelas hanya berbentuk lisan sehingga anak sering lupa; 3) tidak ada aturan yang dibuat dan disepakati bersama antara guru dan siswa tentang disiplin yang akan diterapkan di dalam kelas, sehingga siswa merasa kurang bertanggungjawab untuk melaksanakan aturan tersebut. 4. Guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas kurang mampu mengatasi misbehavior siswa. Hal ini terlihat dari: 1) guru kurang mampu mengatasi siswa yang ribut di kelas; 2) sudah memberikan reward dan punishment sebagai usaha Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 31
memodifikasi misbehavior siswa; 3) tidak mau repot, kalau ada kasus langsung kewali kelas dan guru BP; 4) jarang melakukan pemisahan tempat duduk siswa yang suka cerita/ribut di kelas; 5) tidak melakukan hukuman fisik. 5. Guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas kurang mampu memotivasi siswa. Hal ini terlihat dari: 1) pembawaan mengajar kurang menyenangkan dan disukai siswa; 2) sudah memberi reward berupa bonus nilai dan pujian, namun pujian jarang diucapkan guru; 3) guru menggunakan apresepsi pada materi aljabar “ materi itu sulit bila tidak diperhatikan dengan serius dan materi ini akan kalian temui lagi di kelas VIII dan IX bahkan di SMA pun akan kalian temui”. Kalimat ini akan terekam oleh siswa dan akan menjadi momok akhirnya. 6. Guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas kurang memahami pengelolaan kelas, hal ini tergambar dari: 1) tidak mengetahui apa yang menjadi latar belakang guru perlu melakukan pengelolaan kelas; 2) belum tahu dengan dimensi pengelolaan kelas; 3) jarang sekali menggunakan alat peraga untuk mengajar seperti pada materi bilangan pecahan; 4) disaat memulai mengajar sebuah materi baru guru jarang sekali menjelaskan manfaat dari materi itu dalam kehidupan sehari-hari; 5) disiplin guru dalam melaksanakan tugas mengajar cukup; 6) jarang mengadakan tindakan pemisahan tempat duduk terhadap siswa yang ribut disaat belajar; 7) kemampuan melakukan penataan meja untuk diskusi kelompok sangat kurang; 8) guru tidak memahami aturan tata letak siswa agar tidak menggangu penglihatan siswa lain untuk melihat kedepan; 9) kurang menganalisis siswanya; 10) belum memberikan reward ( bonus nilai ) dan punishment ( pengurangan nilai ); 11) pembawaan guru mengajar kurang, kaku, tegang, dan menakutkan bagi siswa terlihat dari kegelisahan siswa terhadap guru saat proses belajarmengajar.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 32
2. Pembahasan Pertama, usaha guru untuk mengenali siswanya kurang hal ini berdampak pada keterbatasan pada kemampuan guru untuk mengelola siswa seefektif mungkin di kelas. Seorang guru dapat membimbing perkembangan dan pertumbuhan setiap siswa. Bila ia telah mengenal siswa-siswanya dengan cara menjalin hubungan yang akrab dengan siswa. Guru hendaknya memperlihatkan bahwa guru mengenal siswa dengan mempelajari minat, kebutuhan, masalah, pribadi mereka secara individual, setelah guru mengenal siswa dengan baik maka guru akan mudah mengelola siswa sesuai dengan minat, bakat dan karakteristik mereka. Usaha mengenali siswa ini dapat dilakukan guru dengan mengunakan pendekatan pribadi maupun bekerja sama dengan wali kelas dan guru BP/BK. Kedua, kemampuan guru mengorganisasi kelas kurang. Seorang guru yang sedang mengajar di dalam kelas, secara langsung guru sebagai menejer kelas. Guru memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengelola kelas sesuai dengan metode pengajaran, kondisi kelas, dan situasi kelas saat itu, sehingga pembelajaran dapat berjalan konduktif. Pengaturan tempat duduk akan mempengaruhi kelancaran pengaturan proses pembelajaran. Menurut Rachmat (1998, 119-122), ada beberapa kemungkinan pengaturan tempat duduk siswa seperti : a) pola berderet atau berbaris berjajar, pada umumnya siswa yang tinggi duduk di belakang, sedangkan siswa yang pendek penglihatan atau pendengarannya terganggu dapat duduk di depan; b) pola bersusunan berkelompok, digunakan bila tujuan pembelajaran menghendaki siswa berdiskusi kelompok memecahkan masalah, setip kelompok harus ada pemimpinnya dan sebaiknya setiap siswa diberikan kesempatan untuk memimpin secara bergiliran; c) pola formasi tapal kuda, menempatkan posisi guru di tengah-tengah para siswanya. Pengaturan formasi tapal kuda memberikan kemudahan siswa dan guru untuk saling berkomunikasi dan berkonsultasi dalam berdiskusi; d) pola lingkaran atau persegi, baik juga untuk metode diskusi. Polohami dan Baker (2005: 106) menyatakan apabila siswa mulai menampilkan kecenderungan berbuat nakal, memindahkan tempat duduknya kedekat meja guru dapat berefek preventif. Ketiga, kemampun guru menerapkan disiplin kelas cukup. Seorang guru dapat menerapkan disiplin kepada siswa bila gurunya Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 33
memberikan contoh disiplin yang benar, disiplin muncul dari kebutuhan untuk mengadahan keseimbangan antara apa yang ingin di lakukan individu dengan individu yang lain. Diperlukan kemampuan diri untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan tanpa melanggar hak-hak orang lain ( Rachmat, 1998: 171 ). Penanggulangan pelanggaran disiplin dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut: 1) pengenalan siswa; 2) tindakan korektif yang meliputi: a) lakukan tindakan dan bukan ceramah; b) kontrol kerja; c) peraturan dan konsekuensinya dengan jelas; d) tindakan penyembuhan ( Purnomo 2003 : 7 ) Keempat, kemampuan guru mengatasi perilaku menyimpang siswa kurang. Perilaku siswa yang menyimpang dapat mempengaruhi kelancaran proses belajar-mengajar karena itu guru sebagai manejer kelas harus mempunyai keterampilan untuk mengatasi hal tersebut. Bila kelas sudah disiplin maka perilaku menyimpang siswa akan terkendali dengan sendirinya. Guru harus mengetahui seseorang yang beperilaku menyimpang disebabkan oleh salah satu dari dua alasan ini, yaitu : 1) Siswa telah belajar berperilaku yang tidak sesuai, atau 2) Siswa tidak belajar berperilaku yang sesuai, sehingga tugas guru adalah menguasai dan menerapkan empat prinsip belajar yaitu: penguatan positif, hukuman, penghargaan, dan penguatan negatif (Rohman ,1998 : 60) Kelima, kemampuan guru matematika SMP Negeri Sukaraya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas memotivasi siswa kurang. Hasil belajar ditentukan antara lain oleh gabungan antara kemampuan dasar siswa dan kesungguhan dalam belajar. Kesungguhan belajar ditentukan oleh motivasi yang bersangkutan oleh karena itu sangat penting menumbuhkan motivasi belajar siswa. Guru kiranya dapat memadukan perkembangan kognitif siswa dengan kemampuan mereka berinteraksi sesama mereka, dengan cara mengatur lingkungan belajar siswa, dan mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, serta memberikan dukungan dinamis, dengan demikian setiap siswa dapat berkembang secara maksimal. Selain itu guru dapat mengembangkan motivasi belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model ARCS yaitu: attention (perhatian) , relevance (relevansi), convidance Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 34
(kepercayaan diri), satisfaction (kepuasan) ( Irwan 77: 43). Perhatian siswa muncul di dorong rasa ingin tahu. Adapun strategi untuk merangsang minat dan perhatian siswa: 1) menggunakan metode penyampaian bervariasi; 2) menggunakan media untuk melengkapi penyampaian; 3) jika merasa tepat gunakan humor dalam menyajikan/penyampaian materi matematika; 4) menggunakan peristiwa nyata, anekdot dan contoh-contoh untuk memperjelas konsep yang disampaikan; 5) menggunakan teknik bertanya untuk melibatkan siswa, motivasi siswa akan terpelihara apabila mereka menganggap apa yang di pelajari memenuhi kebutuhan pribadi, atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang di pegang. Adapun strateginya yaitu: 1) guru harus menjelaskan tujuan pembelajaran; 2) memberikan contoh, latihan atau tes yang langsung berhubungan dengan kondisi siswa. percaya diri, merasa diri kompeten, merupakan potensi untuk dapat berinteraksi positif dengan lingkungan. Adapun strategi yang digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri, merasa diri kompeten, merupakan potensi untuk dapat berinteraksi positif dengan lingkungan adapun strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri: 1) menyusun materi agar mudah dipahami, diurutkan dari materi, yang mudah ke yang sulit. Dengan demikian siswa merasa mengalami keberhasilan sejak awal belajar; 2) Tumbuh kembangkan kepercayaan diri siswa; 3) Berikan umpan balik yang konstruksi selama proses belajar mengajarnya, keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan dan akan termotivasi untuk terus berusaha mencapai tujuan yang serupa. Untuk meningkatkan atau memelihara motivasi guru dapat menggunakan pemberian penguatan berupa pujian, pemberian kesempatan, dan sebagainya. Strategi untuk meningkatkan kepuasan : 1) menggunakan pujian secara verbal dan ungkapan balik yang informatif, bukan ancaman atau sejenisnya, 2) Berikan kesempatan kepada siswa untuk segera menggunakan atau mempraktekkan pengetahuan yang baru di pelajarinya, 3) minta kepada siswa yang telah menguasai keterampilan atau pengetahuan untuk membantu teman-temannya yang belum berhasil; 4) bandingkan prestasi siswa dengan prestasinya sendiri dimasa lalu atau dengan setandar tertentu, bukan dengan siswa lain (Irwan dkk, 1997).
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 35
Keenam, pemahaman guru tentang pengelolaan kelas kurang. Bila guru kurang memahami pengelolaan kelas maka akan berdampak kepada kebebasan guru dalam mengajar. Guru bisa mengajar dengan baik, bila kelas terkondisikan dengan baik. Untuk itu perlu peningkatan pemahaman guru tentang pengelolaan kelas.
D. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdsarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa guru matematika di SMP Negeri Sukakarya Kecamatan STL Ulu Terawas Kabupaten Musi Rawas belum mampu mengelola kelas dengan baik. Hal ini antara lain ditunjukan dengan kurangnya pemahaman tentang manajemen kelas, kurang kemampuan dalam mengenali siswa, kurang mampu mengatasi perilaku siswa yang menyimpang, guru matematika juga belum mencoba untuk mengelola kelas secara sepesifik yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran matematika, yang pada umumnya menjadi pelajaran momok bagi siswa.
2. Saran Setelah menyimak hasil dari temuan penelitian yang telah dilaksanakan, maka peneliti meyarankan pemahaman guru mengenai pengelolaan kelas perlu ditingkatkan. Peningkatan pemahaman guru dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) pihak sekolah harus meyediakan buku-buku tentang pengelolaan kelas; 2) setiap guru wajib membaca dan membahas buku tersebut pada rumpun mata pelajaran mereka; 3) mengaktifkan MGMP sekolah untuk membahas permasalahan dan rencana penyelesaiaannya bukan sekedar tempat menyusun perangkat mengajar saja; 4) menyediakan lessen study di sekolah minimal tiga kali dalam sebulan; 5) mengadakan supervisi untuk melihat kemampun guru dalam pengelolaan kelas; 6) mengadakan kuisioner, wawancara mengenai kemampuan dalam mengelola kelas sebagai masukan dari sudut pandang siswa.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 36
DAFTAR PUSTAKA Adhi, Rustana. 2007. Menbangun Kondisi Kelas yang Kondusif dan Mantap. http://www.sabda.org./pepek/ pustaka/030214/guru.htm. 2 Agustus 2007. Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen Manusiawi. Jakarta: Rineka Cipta.
Pengajaran
Secara
Bolla, Jhon L. 1985. Keterampilan Mengola Kelas. Jakarta: Depdikbud, Dirjen PT, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTS. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Hasibun, ddk. 1994. Proses Belajar Mengajar. Keterampilan Dasar Pengajaran Mikro. Bandung: Remaja Rosda Karya Popham, W. James and Eva L. Baker. Teknik Mengajar Secara Sistematis. Hadi, Amirul ddk. 2005. Jakarta: Rineka Cipta. Purnomo, 2003. Strategi Pengajaran. http://www. Pikiran Rakyat.com/cetak/0504/17/0311htm. 2 Agustus 2007. Rachmat, M. 1998. Manajemen Kelas. Jakarta: Depdiknas. Shadiq, Fadjar. 2005. Juli. Bagaimana Cara Matematika Meningkatkan Kecakapan Mengenal Diri Sendiri Para Siswa?. Limas. 38-40. Sugiarti, Titik. 2001. Peningkatan Keterampilan Pengolahan Kelas Guru Baru Matematika di SLTP. Jurnal Ilmu Kependidikan. 28(2), 154-164. Sumardi, 2004. Usaha Meningkatkan Kosentrasi Siswa dalam Pembelajaran Matematika melalui Keterampilan Guru Mengola Kelas pada Siswa MTS. http://pasca.UMS.ac.id/mod.hpp?mod=publisher&op=viewart icle&artid=71. 2 Agustus 2007. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 37
DUKUNGAN ANGGARAN TERHADAP PROGRAM PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PADA PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN KOTA LUBUKLINGGAU Oleh Rudi Erwandi ABSTRACT The objective of this research is to describe the funding support to increase the minimal service standard at the basic education in Kota Lubuk Linggau. The method used in this research is descriptive qualitative. The data ware collected by interview, observation and the study of documentation. The proses of data analysis were as follows; data reduction, data display and made conclusion. The results of the research show that the Dinas Pendidikan Dan Pengajaran Kota Lubuklinggau had used all the budget resources to achieve minimal service standard. All the Basic Schools (SD and SMP) had used the budget optimally to achieve the minimal service standard. The supporting of Consultative body (DPR) in achieving the minimal service standard. The efforts of the other institution and the responsibity of the school in achiving the minimal standard service. The conclusion shows that the obove factors had been done optimally but still met some problems in achieving the minimal service standard in Kota Lubuklinggau. Key word: Fuction, Budgeting, Minimal Service Standard, Basic education
PENDAHULUAN Pendidikan dikenal sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar yang termasuk dalam fakta besar baik untuk skala nasional maupun skala yang bertaraf internasional tentang hak-hak sosial dan ekonomi. Pendidikan dasar untuk semua adalah hak yang paling jelas dirumuskan dalam hak-hak tersebut. Sedangkan dalam UUD Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 38
1945, pendidikan merupakan salah satu hak warganegara yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah. Oleh karena itu, pendidikan harus dapat dirasakan secara nyata sebagai bagian dari hak yang dimiliki oleh setiap warganegara tanpa terkecuali. Satu dari sederet isu dan problematika pendidikan yang cukup signifikan untuk diperbincangkan saat ini adalah tentang masalah pembiayaan pendidikan dan problem pembiayaan (anggaran) pendidikan akan semakin terasa bobotnya manakala tahun ajaran baru dimulai dan menjelang ulangan atau ujian pada semua jenjang pendidikan. Para orang tua utamanya masyarakat marjinal di perkotaan maupun perdesaan pasti menjerit manakala menerima rincian biaya masuk sekolah, ulangan atau ujian dari penyelenggara pendidikan. Bukan saja karena biaya pendidikan yang dari tahun ke tahun terus bertambah mahal tetapi juga disebabkan oleh semakin sempitnya akses kelompok marjinal untuk dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan diharapkan akan mampu mendorong pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dan satuan pendidikan untuk dapat mencapai otonomi pengelolaan pendidikan. Pemerintah bersama pemerintah provinsi akan mengambil peran sebagai mitra pemerintah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan dengan pola dekonsentrasi. Seperti dikemukakan oleh Tilaar (1999:28) bahwa sistem pengelolaan pendidikan akan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar dan proses mengajar itu sendiri dalam proses belajar yang menghasilkan tamatan pendidikan yang diinginkan. Sementara itu, seperti yang kita ketahui bahwa proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan memerlukan dukungan biaya. Amanat Undang-undang Dasar tahun 1945 yang tertuang dalam pasal 31 ayat (1) yang berbunyi tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; ayat (2) menjelaskan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang, dapat terwujud seperti yang diharapkan. Masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: ”Bagaimanakah dampak yang timbul dengan adanya dukungan pembiayaan pendidikan yang telah dianggarkan baik oleh Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 39
pemerintah maupun partisipasi masyarakat untuk mendukung tercapainya standar pelayanan minimal dalam rangka menuntaskan wajib belajar (wajar) 9 tahun?” Dari rincian masalah yang diamati berkenaan dengan upaya pencapaian SPM berdasarkan indikator yang telah ditetapkan, yaitu meliputi: (a) Upaya apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau untuk memberikan dukungan anggaran yang optimal bagi pencapaian program SPM; (b) Bagaimanakah respon pihak sekolah untuk mengoptimalkan dukungan anggaran dalam rangka pencapaian SPM; (c) Bagaimanakah dukungan yang diberikan oleh pihak Legislatif untuk mengoptimalkan anggaran untuk pencapaian SPM; (d) Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang terjadi di sekolah dalam upaya mengoptimal pencapaian SPM. Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sejauh mana dampak dari dukungan anggaran terhadap program pencapaian SPM wajib belajar 9 tahun di Kota Lubuklinggau tahun pelajaran 2005/2006 yang meliputi: (a) Upayaupaya yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau untuk memberikan dukungan anggaran yang optimal bagi pencapaian program SPM; (b) Respon pihak sekolah untuk mengoptimalkan dukungan anggaran dalam rangka pencapaian SPM; (c) Wujud dukungan yang diberikan oleh pihak Legislatif untuk mengoptimalkan anggaran untuk pencapaian SPM; (d) Faktor pendukung dan penghambat yang terjadi di sekolah dalam upaya mengoptimal pencapaian SPM. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau serta 32 responden yang ada pada satuan pendidikan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, karena metode kualitatif dianggap sebagian peneliti banyak menguntungkan, karena penelitian ini lebih memfokuskan kepada kajian literatur dan lebih menuntut kepada pemaparan yang bersifat deskriptif, pengumpulan angka, penafsiran terhadap data secara apa adanya. Pertimbangan digunakannya metode deskriptif kualitatif karena dengan metode ini lebih memungkinkan untuk menangkap realita ganda (multiple realities), dan mendeskripsikan situasi secara komprehensif dalam konteks yang sesungguhnya Seperti Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 40
dikemukakan oleh Sugiyono (2005:1-3) bahwa metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, menekankan pada keaslian, tidak bertolak dari teori secara deduktif, melainkan berangkat dari fakta sebagaimana adanya. Pada penelitian ini penulis mengambil populasi SD sederajat berjumlah 97 dan SMP sederajat berjumlah 34 sekolah. Sedangkan sampel adalah 26 SD Negeri dan 6 SMP Negeri yang berada di wilayah Kota Lubuklinggau. Penentuan sampel subjek sumber data penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling. Selanjutnya pengumpulan data yang digunakan adalah melalui teknik observasi wawancara dan teknik dokumentasi. Dalam mengumpulkan data yang diperoleh, peneliti menggunakan teknik analisa data deskriftif kualitatif. Dengan demikian dapat diharapkan temuan yang dihasilkan benar-benar berasal dari data yang diperoleh dari kenyataan di lapangan dan bukan dari teori yang dipercaya sebelumnya. Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menyebarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, serta membuat kesimpulan yang mudah dipahami baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Dalam analisis penelitian kualitatif terdiri dari langkahlangkah sebagai berikut, yakni reduksi data, display data, dan verifikasi data untuk menarik kesimpulan. Miles & Huberman (Sugiyono, 2005: 91) HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara terhadap sumber-sumber data yang berkenaan dengan masalah dukungan anggaran dalam upaya mewujudkan ketercapaian SPM bidang pendidikan, secara keseluruhan dapat dideskripsikan sebagai berikut: Upaya Dinas Pendidikan dan Pengajaran dalam mengoptimalkan SPM; dalam melaksanakan pembangunan di Kota Lubuklinggau ini pada prinsipnya mengacu pada Rencana Strategis (Renstra) Dinas Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 41
Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau tahun 2003-2007, namun tentu saja dalam perjalanannya diperlukan penyesuaianpenyesuaian sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Visi Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau itu sendiri adalah ”Terciptanya Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas, Beriman dan Bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa“. Jadi, apa yang kita lakukan tentunya tak terlepas dari Rencana Strategi (Renstra) yang telah kita susun dan dirumuskan serta visi dan misi yang sudah kita tetapkan. Selanjutnya, berkaitan dengan masalah dukungan anggaran pendidikan dalam rangka pencapaian standar pelayanan minimal (SPM) di bidang pendidikan dapat diperoleh rangkuman informasi tersebut sebagai berikut: (1) Berusaha memproses pengusulan hingga pencairan dan penyaluran biaya BOS dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Kota secara cepat dan akurat. Bentuk konkrit upaya yang dilakukan antara lain dengan melakukan pemetaan dan pendataan satuan pendidikan sehingga diketahui jumlah murid yang ada pada satuan pendidikan, satuan pendidikan yang memerlukan biaya operasional lain dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan; (2) Mengajukan anggaran operasional kepada Pemerintah Kota untuk kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukkan bagi setiap satuan pendidikan dalam bentuk biaya BOS-APBD dan Subsidi (APBD) dengan besaran yang diperkirakan sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan serta berdasarkan usulan kepala satuan pendidikan dan hasil pemantauan di lapangan; (3) Anggaran yang diajukan mencakup kebutuhan operasional, sarana dan prasarana termasuk renovasi dan rehabilitasi, serta kebutuhan lain untuk memacu peningkatan prestasi belajar siswa serta keterlaksanaan wajib belajar 9 tahun, seperti pengajuan biaya bea siswa GN-OTA bagi siswa yang berpretasi dan tidak mampu; (4) Melakukan supervisi, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan anggaran pada setiap satuan pendidikan tentang pemanfaatan biaya-biaya yang diberikan; (5) Memberikan pembinaan pada satuan pendidikan dalam hal yang berkenaan dengan administrasi (manajemen) maupun yang menyangkut tata cara penggunaan biaya-biaya yang diberikan untuk kepentingan pendidikan di satuan pendidikan; (6) Mencari peluang-peluang pembiayaan lain yang dapat dimanfaatkan di satuan pendidikan guna Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 42
pencapaian standar pelayanan minimal, misalnya yang berkenaan dengan bea siswa serta bantuan bagi siswa yang tidak mampu dari GN-OTA; (7) Pada umumnya pemanfaatan biaya oleh satuan pendidikan cukup efektif serta selektif, dalam arti penggunaan biaya didasarkan pada RAPBS yang disusun dengan skala prioritas; (8) Melakukan uji program dengan DPRD dan lobbi dengan DPRD untuk memberikan pemahaman tentang mendesaknya Anggaran Pendidikan yang diajukan untuk direalisasikan dalam APBD; (9) Menyusun Rencana Kerja Tahunan bidang pendidikan dengan mengedepankan skala prioritas untuk tahun yang bersangkutan. Sedangkan yang berkaitan dengan dukungan anggaran, informasi yang penulis peroleh menunjukkan besaran anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan setiap tahunnya terlihat adanya kenaikan yang cukup siginifikan, walaupun belum memenuhi sepenuhnya amanat Undang-Undang. Tahun 2005 anggaran untuk sektor pendidikan di kota Lubuklinggau mencapai besaran 9,73% dari total APBD, pada tahun 2006 anggaran sektor pendidikan mengalami kenaikan dengan besaran 13,47% dari total APBD, dan untuk tahun 2007 yang telah disetujui oleh DPRD sebesar 18,61% dari total APBD yang dituangkan dalam Perda Nomor 9 tahun 2006 tentang Perubahan Struktur dan Pengalokasian Biaya Pendidikan (Dinas Diknas Kota Lubuklinggau, 2007). APM untuk SD sederajat pada kisaran di atas angka 90.00 artinya dari jumlah anak usia 7-12 tahun sebanyak 90 % ke atas. Sedangkan APM untuk tingkat SMP sederajat masing-masing pada kisaran 6000 artinya dari jumlah anak usia 13-15 tahun sebanyak 60 % ke atas masih bersatuan pendidikan di SMP sederajat. Angka Partisipasi Kasar (APK) menurut jenjang pendidikan di kota Lubukinggau. Diamati menurut jenjang pendidikan, angka partisipasi kasar (APK) tingkat SD sederajat di kota Lubuklinggau di semua kecamatan pada tahun 2006 mencapai angka di atas 100.00. Hal ini disebabkan banyaknya anak usia 5-6 tahun yang telah memasuki pendidikan SD, juga adanya penduduk berusia di atas 12 tahun yang masih menjalani pendidikan di SD. Sehingga banyaknya penduduk penduduk yang masih bersatuan pendidikan di SD jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun. Sedangkan APK untuk tingkat SMP sederajat di kota Lubuklinggau dan di semua kecamatan pada tahun 2006 mencapai angka 100. Hal Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 43
ini disebabkan banyak siswa yang memasuki usia SMP di kota Lubuklinggau melanjutkan pendidikan dengan munculnya dana BOS. Karena semua anak di satuan pendidikan jenjang SMP tidak dipungut biaya apapun dan tidak membebani orang tua siswa, maka lonjakan siswa yang mendaftar dan masuk ke jenjang pendidikan SMP meningkat secara drastis. Angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM), baik pada tingkat kecamatan maupun rata-rata terlihat adanya kenaikan yang signifikan. Hal ini bila dikaitkan dengan standar pelayanan minimal, di satu pihak menunjukkan adanya perbaikan dalam kemampuan daya tampung satuan pendidikan serta anak yang membutuhkan satuan pendidikan. Sedangkan di pihak lain menunjukkan tingkat ketercapaian standar pelayanan minimal di bidang pendidikan dan proyeksi kebutuhan tambahan bagi upaya peningkatan standar pelayanan minimal di bidang pendidikan. Secara keseluruhan, hasil wawancara dengan seluruh responden yang dilakukan oleh peneliti yang berhubungan dan berkenaan dengan penggunaan dana, bantuan oprasioanl sekolah (BOS) menyatakan bahwa penggunaan dana bantuan tersebut yang telah diterima secara keseluruhan adalah untuk membiayai kegiatan oprasional sekolah sesuai dengan ketentuan dalam buku panduan BOS dan BOS Buku yang diterbitkan oleh Departemn Pendidikan Nasional (Depdiknas). Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut: (1) Pembiayaan yang digunakan untuk kegiatan pada satuan pendidikan atau siswa, yang meliputi beberapa sektor antara lain; (a) Penerimaan Siswa baru; (b) Kegiatan kesiswaan/ekstra kurikuler; (c) Ulangan harian siswa; (d) Ujian satuan pendidikan. (2) Peningkatan mutu, yang mencakup hal-hal sebagai berikut: (a) Pembelian buku teks dan referensi; (b) Pengembangan profesi guru (KKG, Pelatihan/Penataran); (c) Kegiatan belajar mengajar; (d) Sarana dan prasarana pendidikan. (3) Biaya operasional, mencakup hal-hal sebagai berikut: (a) Perawatan satuan pendidikan/perbaikan kerusakan ringan; (b) Pembayaran honorarium guru honor; (c) Pembiayaan barang dan jasa; (d) Belanja inventaris kantor. (4) Lainlain. Terdiri atas: (a) Pembelian bahan habis pakai (ATK); (b) Administrasi Kantor/kelas; (c) Kesejahteraan guru/pegawai; (d) Subsidi untuk anak kurang mampu; (e) Transport dan lain-lain
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 44
Berkenaan dengan dampak atau pengaruh dukungan anggaran atau dana untuk pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, jawaban yang berkenaan dengan dampak atau pengaruh dukungan anggaran atau dana untuk pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, jawaban yang diberikan responden bervariasi. Sebanyak (15,25%) menyatakan sangat membantu bagi pelaksanaan manajemen sekolah, Sebanyak (37,5%) menyatakan dapat menunjang kegiatan belajar-mengajar sebagaimana mestinya, sebanyak (15,625%) sangat membantu bagi ketertiban administrasi sekolah, dan sebanyak (31,25%) secara tegas menyatakan pengaruh terhadap biaya yang diberikan sangat membantu dalam peningkatan kinerja sekolah. Dukungan legislatif Kota Lubuklinggau terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di Kota Lubuklinggau cukup positif. Hal ini terungkap dari wawancara peneliti dengan Anggota DPRD Kota Lubuklinggau yang menangani masalah anggaran. Secara umum informasi yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan dukungan sebagaimana yang dimaksudkan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: (1) Melakukan uji coba program dengan pihak Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau; (2) Mengusulkan beberapa butir (item) pembiayaan untuk dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran kepada Pemerintah Kota yang berkenaan dengan kebutuhan pendidikan di Kota Lubuklinggau, antara lain pembangunan satuan pendidikan baru, penambahan ruang kelas baru (RKB) dan rehab satuan pendidikan; (3) Mengalokasikan biaya penambahan sarana dan prasaran pendidikan (meubelair) pada RAPBD; (4) Melakukan evaluasi atau pemantauan secara langsung secara berkala terhadap pelaksanaan pendidikan di Kota Lubuklinggau dengan mengadakan kunjungan ke satuan pendidikansatuan pendidikan; (5) Menampung aspirasi masyarakat melalui komunikasi ke konstituen berkenaan dengan masalah pendidikan yang dihadapi oleh masyarakat; (6) Mengupayakan kenaikan anggaran secara priodik sesuai dengan kemampuan keuangan daerah guna mencapai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang; (7) Mengupayakan penerbitan perda berkaitan dengan masalah pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, seperti Perda Perubahan Struktur dan Pengalokasian Dana Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 45
Pendidikan (Perda Nomor 9 tahun 2006); (8) Mengupayakan tercapainya standar pelayanan minimal bidang pendidikan sebagaimana yang telah ditetapkan. Secara rinci faktor pendukung untuk mengoptimalkan ketercapaian SPM dalam rangka upaya menuntaskan wajib belajar 9 tahun di Kota Lubuk Linggau antara lain adalah sebagai berikut: (1) Jumlah satuan pendidikan ada di Kota Lubuk Linggau dilihat dari segi jarak relatif mudah dijangkau; (2) Tenaga pengajar pada setiap satuan pendidikan relatif terpenuhi;(3) Sarana dan prasarana pendidikan relatif memadai; (4) Sebagian besar masyarakat sudah dapat memahami pentingnya pendidikan bagi anaknya; (5) Pihak pengelola pendidikan (satuan pendidikan) dengan Komite Satuan pendidikan cenderung dapat memahami fungsinya masing-masing. Faktor yang menjadi penghabat antara lain : (1) Tidak meratanya sistem penyebaran guru sesuai kebutuhan; (2) Kurangnya SDM Guru yang telah memenuhi kualifikasi pendidikan yang diperysratkan; (3) Kurang terukurnya sistem pengukuran kinerja satuan pendidikan yang dilakukan oleh lembaga terkait (Dikjar); (4) Masih lemahnya dukungan DPRD dalam sistem pengesahan anggaran pendidikan; (5) Lemahnya sistem rekrutmen pengangkatan Kepala; (6) Lemahnya SDM di lingkungan Dinas Dikjar dalam menyusun anggaran sesuai dengan tuntutan SPM; (7) Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menciptakan rasa memiliki fasilitas pendidikan; (8) Dana bantuan oprasional sekolah (BOS) tidak disalurkan secara teratur per bulan, tetapi tiga bulan sekali bahwa terkadang satu semester sekali. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan umum yang dapat diambil dari keseluruhan hasil penelitian yang dilaksanakan adalah bahwa dukungan anggaran terhadap upaya pencapaian standar pelayanan minimal di bidang pendidikan, relatif mencukup kebutuhan biaya oprasional pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di Kota Lubuk Linggau, dalam arti bahwa peranan anggaran dalam upaya pencapaian standar pelayanan minimal mencapai hasil yang cukup signifikan. Dukungan anggaran telah diupayakan secara maksimal baik oleh Pemerintah Kota, Pihak Legislatif serta masyarakat melalui komite sekolah.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 46
Saran yang dapat disampaikan berkaitan dengan hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) Kepada Pihak Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau hendaknya berusaha untuk memaksimalkan dalam menentukan dan mengajukan anggaran pendidikan secara proporsional; (2) Dalam mengajukan anggaran hendaknya diserta dengan dukungan data yang konkret sehingga anggaran yang disusun dapat berjalan secara efektif dan bermanfaat; (3) Pihak sekolah hendaknya berupaya secara kreatif mencari sumber-sumber dana selain dari orang tua murid untuk kepentingan pembiayaan pendidikan dengan melakukan kerja sama dengan pihak lain melalui Komite Sekolah atau dunia usaha lainnya; (4) Pihak sekolah hendaknya dapat memanfaatkan sumber dana yang diperoleh secara efektif dan efisen sesuai dengan skala prioritas kebutuhan disetiap sekolah masing-masing; (5) Pihak sekolah hendaknya dapat memerankan fungsi Komite Sekolah secara maksimal untuk melakukan pendekatan dan lobi kepada pihak Pemerintah ataupun kepada pihak legiaslatif dalam mengupayakan anggaran pendidikan secara menyeluruh sesuai tuntutan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sebesar 20 % dari total APBD; (6) Komite sekolah hendaknya lebih meningkatkan kepeduliannya tentang kebutuhan pendidikan, khsususnya di sekolah dengan meningkatkan upaya mencari sumber-sumber dana yang lain yang tidak mengikat. DAFTAR RUJUKAN Baedhowi.2005. Sistem Pendidikan Nasional Dalam Era Otonomi Daerah. Jakarta: Depdiknas. Danim, Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas, 2004. Analisa Kesenjangan Pembiayaan Dalam Mencapai Standar Pelayanan Minimal pada Pendidikan Dasar 9 Tahun, Jakarta : Biro Perencanaan
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 47
Depdiknas, 2004. Analisa Statistik Untuk Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota Berdasarkan Standar Pelayanan Minimal, Jakarta : Biro Perencanaan Depdiknas, 2004. Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Biro Perencanaan Depdiknas, 2004. Model Penyajian dan Analisa Data Pendidikan Kabupaten Kota, Jakarta: Balitbang Depdiknas, 2004. Pedoman Perhitungan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Sesuai Standar Pelayanan Minimal , Jakarta : Biro Perencanaan Depdiknas, 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta Dinas Pendidikan Kota Lubuklinggau. 2003. Rencana Strategis (RENSTRA) Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Lubuklinggau 2003-2007. Lubuklinggau: Dikjar Kota Lubuklinggau Karyoso. 2005. Manajemen Perencanaan dan Penganggaran. Jakarta: Restu Agung. Moleong, Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sasongko, Nur Rambat.2004. Manajemen Penjamin Mutu Berbasis Sekolah,Makalah Penataran Tingkat Nasional Kepala SD dan SMP. Jakarta: Depdiknas. Siagian, Sondang P.2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Sugiyono. 2003. Metode Peneltian Administrasi. Bandung: Alfabeta. ----------. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta.
Bandung: CV
Supriadi, Dedi. 2004. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 48
Tilaar, H.A.R. 2000. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Universitas Bengkulu, 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Bengkulu: Program Pascasarjana. Zakaria.2005.Jenjang dan Jenis Perencanaan,Bahan Ajar Mata Kuliah Perencanaan Pendidikan. Bengkulu: UNIB
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 49
Model Respons Penyimak dalam Pengajaran Apresiasi Sastra Cerita (Pengembangan Model Pengajaran dan Pemilihan Bahan dengan objek Kajian Cerita Rakyat Sumatera Selatan di SLTP Kota Lubuklinggau) Oleh Tri Astuti
ABSTRAK Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang pemilihan bahan pembelajaran dengan objek kajian cerita rakyat Sumatera Selatan dan pengembangan model pengajaran Respons Penyimak dalam pengajaran apresiasi sastra cerita pada siswa kelas I SLTP di Kota Lubuklinggau. Untuk itu, ada dua metode penelitian yang digunakan: Pertama, metode analitis-deskriptif, yaitu untuk mengkaji secara teoritis kesesuaian pemilihan bahan ajar cerita; Kedua, metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk melihat secara empiris kesesuaian pemilihan bahan dan ketepatan penggunaan model pembelajaran Respons Penyimak pada siswa kelas I SLTP di Kota Lubuklinggau. Ada dua SLTP yang digunakan sebagai tempat penelitian, yaitu SLTP Negeri 1 dan SLTP Negeri 2 Lubuklinggau. Hasil analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian diperoleh simpulan: (1) pemilihan bahan apresiasi sastra cerita dengan objek kajian cerita rakyat daerah Sumatera Selatan sesuai untuk siswa kelas I SLTP di kota Lubuklinggau, bahan dapat menarik minat dan memotivasi siswa, terlebih dengan penggunaan sarana atau media pembelajaran berupa kaset rekaman pembacaan cerita, siswa lebih dapat terfokus perhatian dan konsentrasinya untuk menyimak cerita; (2) penerapan Model Respons Penyimak yang dikembangkan dalam tindakan penelitian menunjukan keefektifan. Ini terlihat dari pelaksanaan proses pengajarannya dan hasil kegiatan siswa merespons cerita. Dari proses pengajarannya, siswa telah dapat terlibat langsung dalam proses pemaknaan karya sastra. Dari hasil merespons cerita, hasil diskusi siswa menunjukan respons yang bersifat sementara, relatif dan variatif; dan hasil tes siswa menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik, hasil tes akhir lebih
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 50
baik dari hasil tes awal dan tes akhir setiap siklus pembelajaran selalu meningkat. Kata-kata Kunci: Pemilihan bahan, cerita rakyat, dan model Respons Penyimak. A. Pendahuluan Pengajaran sastra jika dilakukan secara benar, dapat memberikan sumbangan yang besar dalam memecahkan masalahmasalah kehidupan nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam masyarakat (Rahmanto, 1988:15). Bertitik tolak dari pernyataan tersebut, pengajaran sastra di sekolah, dari jenjang pendidikan dasar sampai tingkat lanjutan perlu dibina dan dikembangkan dengan baik. Menurut Moody (1971:6-13) pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Sebagaimana konsep Horace (dalam Wellek & Warren, 1993:25), dengan dulce et utile, yang artinya sastra itu indah dan berguna. Keindahan karya sastra tercermin dari pemakaian bahasanya. Sementara nilai kegunaannya, berkaitan dengan sastra yang selalu mengangkat persoalan-persoalan kehidupan manusia dalam masyarakat dengan segala aspeknya. Dengan demikian, jelas sastra dapat memberikan pengalaman jiwa dan batin penikmatnya untuk dapat mengintrospeksi diri dalam mencapai kehidupan yang lebih layak. Melihat relevansi sastra bagi kehidupan dan dalam pendidikan sebagaimana diungkap di atas, pengajaran sastra di sekolah merupakan sarana penting yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian anak. Terlebih pada anak usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Tarigan (1995:6-13) mengemukakan peranan sastra bagi anak-anak dapat memberikan dua nilai, (1) nilai instrinsik, seperti kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan, memupuk dan mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman-pengalam baru, mengembangkan wawasan menjadi perilaku insani yang menyadari dirinya dan orang lain, memperkenalkan kesemestaan pengalaman, dan memberikan harta Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 51
warisan budaya generasi terdahulu; dan (2) nilai ekstrinsik, seperti menunjang perkembangan bahasa, sosial, kepribadian, dan kognitif anak. Kesesuaian dan ketepatan pemilihan bahan, serta kemampuan guru dalam melakukan proses pembelajaran sastra di sekolah akan sangat membantu dalam pencapaian upaya tersebut. Kenyataan menunjukkan, sampai saat ini, banyak keluhan terhadap hasil pengajaran sastra di sekolah. Ungkapan ketidakpuasaan pengajaran sastra senantiasa diarahkan pada sasaran tudingan yang itu-itu saja, yaitu kurikulum, guru bahasa dan sastra, dan sarana (Sarumpet dalam Harna, 2003: 1). Kurangnya porsi kurikuler sastra sebagai bagian dari pelajaran bahasa, juga sorotan minimnya kesanggupan guru bahasa untuk menyajikan materi sastra melalui metode dan pendekatan yang sesuai dengan asas didaktik, serta kurangnya bahan bacaan sastra di sekolah-sekolah hanya merupakan penjabaran dari ketiga permasalahan di atas. Untuk itu, maka melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK), penulis berupaya mencari dan menemukan alternatif solusi terhadap permasalahan pembelajaran sastra tersebut, khususnya apresiasi sastra cerita. Dalam penelitian ini penulis berupaya mengembangkan kriteria pemilihan bahan dengan objek kajian cerita rakyat daerah Sumatera Selatan dan pemilihan model pembelajaran Respons Penyimak pada siswa SLTP di kota Lubuklinggau. Istilah Model Respons Penyimak dalam penelitian ini penulis adopsi dari Model Respons Pembaca yang merupakan hasil pengembangan model yang dilakukan oleh Louise M. Rosenblatt, R.E. Probst, David Bleich, Norman C. Holand. Jane P. Tomkins, dan Ch. R. Cooper. Hal ini mengingat proses pengajaran sastra yang penulis kembangkan dalam hal ini tidak menggunakan media bahan bacaan, namun menggunakan media pengajaran berupa bahan simakan hasil rekaman pembacaan cerita. Jadi, konsep teorinya bergeser sedikit, dari peranan pembaca menjadi peranan penyimak dalam pemberian makna terhadap karya sastra. Teori tentang Model Respons telah muncul sejak tahun 1960an merupakan suatu kajian sastra yang mendobrak kajian sastra strukturalisme, yaitu yang hanya menaruh perhatian pada teks sastra. Teori ini berkonsentrasi secara khusus pada apa yang dikerjakan pembaca (dalam hal ini diganti menjadi penyimak, pen.) sastra dan bagaimana mereka mengerjakannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 52
Robert Con Davis (1986: 345), bahwa Modern Response theory, from the late 1960s through the present, concentrates exclusively on what readers/listeners do and how they do it. Dengan kata lain, teori pengajaran ini menitikberatkan pada aktivitas siswa untuk melakukan respons terhadap karya sastra berdasarkan tanggapan pribadinya. Model Respons Penyimak adalah rancangan kegiatan pengajaran sastra (cerita rakyat) yang berorientasi pada peranan penyimak dalam melakukan transaksi dengan karya sastra pada saat mengkaji teks sastra. Dalam proses transaksi, kajian atau pemaknaan karya sastra oleh siswa didasarkan pada tanggapan pribadinya yang bersifat individual. Respons pribadi ini selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk berinteraksi dengan teks, sesama teman, atau dengan guru. Dari proses ini diharapkan pengalaman sastra yang diperoleh adalah melalui pandangan diri siswa sendiri. Jadi, bukan merupakan visi orang lain dalam dirinya. Dalam pelaksanaannya, Model Respons Penyimak menekankan pada penggunaan Metode Diskusi, sehingga langkah-langkah pengajarannya adalah (a) mendengarkan atau menyimak pembacaan teks cerita sebagai langkah awal, (b) mereaksi dan merespons, (c) mendiskusikan respons, dan (d) menarik kesimpulan hasil diskusi. Di samping itu juga, dalam pelaksanaanya memperhatikan tiga hal utama dalam konsep pendekatan, yaitu strategi, kondisi, dan prinsip pengajaran yang didasarkan pada Model Respons Penyimak. Sedangkan dalam pengembangan kriteria pemilihan bahan, penulis berupaya mengembangkan pemilihan bahan dengan objek kajian cerita rakyat daerah Sumatera Selatan, yang meliputi bentuk mite, legenda, dan dongeng. Hal ini mengingat prinsip pemilihan bahan pengajaran yang dikemukakan dalam kurikulum, salah satunya adalah mengutamakan bahan yang dekat atau berada di lingkungan siswa, baru bahan yang jauh dari lingkungan siswa. Selain itu juga, mengingat bahwa cerita rakyat merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang yang perlu diwariskan dan dilestarikan pada generasi penerusnya.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 53
B. METODOLOGI Ada dua metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode analitis-deskriptif dan metode tindakan kelas. Metode pertama adalah analitis-deskriptif digunakan pada saat melakukan penelitian mengenai pemilihan bahan atau kajian bahan, dengan cara melakukan analisis dan deskripsi secara teoritis terhadap enam buah cerita rakyat Sumatera Selatan untuk mengetahui representasi kesesuaian bahan dengan tingkatan siswa kelas 1 SLTP. Enam buah bahan cerita rakyat Sumatera Selatan yang dianalisis, masing-masing dipilih dua buah yang mewakili bentuk dongeng, legenda, dan mite. Metode penelitian yang kedua adalah PenelitianTindakan Kelas, digunakan untuk melihat secara empiris kesesuaian pemilihan bahan dengan menggunakan objek kajian cerita rakyat dan proses pengajarannya melalui penerapan Model Respons Penyimak. Bentuk penelitian tindakan kelas yang dipilih adalah Penelitian Tindakan Kelas Simultan Terintegrasi. Persoalan-persoalan pembelajaran yang diteliti, dimunculkan dan diidentifikasikan oleh peneliti, dan bukan dari guru. Peran guru hanya dilibatkan dalam proses penelitian di kelas, yaitu pada aspek aksi/tindakan dan refleksi terhadap pratikpraktik pembelajaran di kelas. Dalam pelaksanaannya, penelitian tindakan kelas ini menggunakan sistem siklus dengan proses pengkajian berdaur (cyclical), yang setiap langkahnya terdiri dari empat tahap, yaitu (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (action), (3) observasi (observation), dan refleksi (reflection). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes hasil belajar, angket respons siswa, dan wawancara. Tes hasil belajar digunakan untuk memperoleh data kuantitatif yang berupa hasil belajar siswa. Bentuk soal objektif, dengan empat alternatif jawaban A, B, C, dan D, dan jumlah soal untuk masing-masing bentuk cerita 20 soal. Angket respons siswa digunakan untuk memperoleh tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran yang dilakukan. Sedangkan wawancara, baik pada guru maupun siswa untuk memperkuat tanggapan atau respons tentang pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra Cerita Model Respons Penyimak dengan objek kajian cerita rakyat daerah Sumatera Selatan yang diperoleh dari observasi selama pelaksanaan pembelajaran maupun jawaban angket siswa. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 54
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pemilihan Bahan Pengajaran Pemilihan bahan pengajaran apresiasi sastra cerita pada model respons, menurut Kusdiana (2002:195) perlu memperhatikan strategi, kondisi, dan prinsip yang memungkinkan siswa dapat merespons sendiri cerita yang disimaknya atau dibacanya. Strategi yang harus diperhatikan berkaitan dengan bahan cerita yang harus dapat menyentuh perasaan siswa sehingga siswa dapat memberikan reaksi emosionalnya terhadap bahan cerita. Kondisi yang harus diperhatikan berkaitan dengan ketepatan bahan cerita yang diberikan kepada siswa sehingga dapat menyajikan refleksi yang berharga dalam pemahaman terhadap unsur-unsur yang membangun karya sastra, seperti tema, pesan atau amanat, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan penggunaan gaya bahasa dalam cerita. Dan juga penilaian siswa terhadap karya sastra yang disimak atau dibacanya. Sedangkan prinsip yang harus diperhatikan adalah kesesuaian bahan dengan minat dan perhatian siswa, kemampuan dan kebutuhan siswa, serta tak lupa disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan alokasi waktu yang diperlukan. Bahan cerita terpilih yang dijadikan bahan kajian analisis pemilihan bahan dan yang digunakan dalam tindakan penelitian adalah berupa cerita rakyat daerah Sumatera Selatan, yang berbentuk mite, legenda, dan dongeng. Bahan-bahan cerita tersebut, masingmasing terdiri dari dua buah untuk cerita yang mewakili bentuk mite, dengan judul Bute Puru dan Raja Biku; dua buah untuk cerita berbentuk legenda, dengan judul Keramat Bukit Ngonang dan Panggar Besi; dan dua buah lagi untuk cerita berbentuk Dongeng, dengan judul Dongeng tentang Kalong dan Batu Tangkup. Jadi, jumlah keseluruhan cerita yang dianalisis pemilihan bahannya ada enam buah. Namun, yang digunakan dalam tindakan penelitian hanya tiga buah cerita, yaitu Bute Puru, Keramat Bukit Ngonang,dan Dongeng tentang Kalong. Jika dilihat dari strategi pemilihan bahan, bahan cerita terpilih telah menyentuh perasaan siswa. Siswa dapat memberikan reaksi emosionalnya terhadap cerita-cerita tersebut. Pada cerita berjudul Bute Puru, siswa telah memberikan reaksi omosionalnya, yaitu mereka telah menyenangi cerita yang menggambarkan perjuangan seseorang yang cacat jasmani dalam mempertahankan Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 55
kebenaran, hak dan kewajibannya. Pada cerita yang berjudul Keramat Bukit Ngonang siswa pun dapat memberikan reaksi emosionalnya, karena cerita menceritakan satu sisi bagian kehidupan orang dewasa atau remaja yang mulai ingin dikenal siswa, yaitu tentang tata cara dan larangan terhadap pergaulan dua manusia yang berlainan jenis kelaminnya. Begitu pun pada cerita Dongeng tentang Kalong, siswa pun telah dapat memberikan reaksi emosionalnya, dengan menyenangi cerita yang tokoh-tokohnya adalah binatang yang pada dasarnya dapat merupakan simbul dari perwatakan manusia. Siswa dapat merespons dan menilai prilaku tokoh Kalong dan Ular Kobra yang memiliki sifat berlawanan dan mengandung pesan pendidikan bagi budi pekerti siswa. Siswa secara rata-rata telah dapat merespons unsur-unsur yang membangun sastra cerita dan dapat memberikan penilaian terhadap isi setiap cerita yang diresponsnya. Dilihat dari segi kondisi, bahan cerita rakyat daerah Sumatera Selatan telah menyajikan refleksi yang berharga bagi pendidikan budi pekerti dan moral siswa. Pada cerita berjudul Bute Puru, pesan cerita yang ingin disampaikan adalah agar kita gigih dan tabah dalam berjuang dan hendaknya jangan merebut hak yang sebenarnya telah menjadi milik orang lain. Pada cerita berjudul Keramat Bukit Ngonang, pesan cerita adalah hendaklah jangan melupakan pesan atau amanat yang telah diberikan, karena melanggar pesan atau amanat berarti penghianat dan akan memperoleh hukuman. Dan pada cerita berjudul Dongeng tentang Kalong, pesan cerita adalah hendaknya kita teguh dan memiliki pendirian karena itu akan membuat hidup kita tentram. Di samping itu pula, bahan cerita terpilih telah memotivasi siswa untuk mereaksi dan merespons baik secara perseorangan, secara kelompok, maupun secara klasikal. Dilihat dari segi prinsip, penerapan bahan cerita rakyat daerah Sumatera Selatan dalam pengajaran apresiasi sastra cerita, baik dari kajian secara teoritis maupun praktis dalam tindakan penelitian, bahan telah menarik minat dan perhatian siswa, serta sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Bahan cerita merupakan bahan pembelajaran yang bersifat baru, isinya menyampaikan pesan-pesan pendidikan yang di dalamnya mengajarkan tata krama, budi pekerti, dan moral kepada siswa, serta dapat menanamkan rasa kecintaan dan bangga terhadap sastra dan Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 56
budaya sendiri. Di samping itu pula, bahan cerita terpilih terdapat kesesuaiannya dengan tema dan tujuan pembelajaran yang diharapkan dalam kurikulum, serta dapat dikaji dalam proses pembelajaran yang menggunakan waktu antara dua sampai tiga jam pelajaran. Dari hasil angket dan wawancara, serta dilihat dari hasil tes siswa merespons cerita, dari ketiga bentuk cerita rakyat yang dijadikan objek kajian apresiasi sastra cerita, cerita berbentuk mite atau legenda yang lebih disukai, sesuai, dan diminati oleh siswa setingkat SLTP. Namun, bukan berarti cerita berbentuk dongeng tidak sesuai lagi dan tidak diminati lagi oleh siswa SLTP. Siswa pun masih menyukai dan menyenangi. Hanya pada anak usia SLTP, mereka lebih senang pada cerita-cerita yang bersifat lebih nyata, konkrit, dan dapat dibuktikan kebenarannya. Sedangkan cerita-cerita yang bersifat khayalan dan fantasi mulai berkurang untuk disukainya
2. Pelaksanaan Pengajaran Model Respons Penyimak Langkah-langkah pelaksanaan pengajaran apresiasi sastra cerita Model Respons Penyimak yang telah dilakukan di SLTPN 1 dan SLTPN 2 Lubuklinggau adalah: (1) mendengar dan menyimak teks sastra sebagai langkah awal, (2) Siswa mereaksi dan merespons cerita dari hasil simakkannya. (3) Siswa memecahkan masalah dan mendiskusikan hasil respons pribadinya dengan kelompok dan secara klasikal, (4) Siswa mengambil simpulan hasil diskusi sebagai langkah akhir dari kegiatan merespons cerita. a. Kegiatan Guru Kegiatan guru yang utama dalam pengajaran Model Respons Penyimak adalah mengarahkan dan membimbing siswa agar dapat merespons sendiri cerita. Hasil observasi terhadap kegiatan pembelajaran dari siklus 1 sampai siklus 3, secara umum menunjukkan bahwa guru, baik di SLTPN 1 maupun di SLPTN 2 Lubuklinggau, sudah dapat melaksanakan prosedur pembelajaran apresiasi sastra cerita Model Respons Penyimak. Guru telah memotivasi dan mengarahkan siswa untuk mereaksi dan menemukan permasalahan-permasalahan dalam cerita melalui beberapa pertanyaan pemicu yang diberikannya. Guru pun telah membimbing siswa dalam merespons cerita berdasarkan LKS. Dalam kegiatan Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 57
diskusi, guru telah membimbing dan mengarahkan siswa untuk melakukan kerja sama secara baik dalam menganalisis, menanggapi dan menyimpulkan hasil respons. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru tampak bersemangat dan berantusias sekali dalam mengembangkan Model Respons Penyimak. Menurut guru, ini merupakan pengalaman baru yang dapat menambah wawasannya dalam pengajaran apresiasi sastra cerita. Namun, walaupun demikian, guru masih terpengaruh dengan cara pembelajaran konvensional. Ini terlihat dengan kurang maksimalnya guru dalam membimbing seluruh siswa untuk aktif bekerja sama dalam kegiatan diskusi. Guru masih kurang mendorong kesungguhan siswa untuk menyimpulkan hasil responsnya dan guru pun masih kurang menanggapi hasil respons dari masing-masing kelompok siswa, guru masih lebih banyak berinisiatif untuk merespons sendiri dan kemudian menyampaikannya kepada siswa. Dengan demikian, masih terdapat beberapa sikap dan prilaku guru yang belum sesuai dan harus diperbaiki untuk lebih mengefektifkan pengajaran apresiasi sastra Model Respons penyimak. b. Kegiatan Siswa Kegiatan siswa yang utama adalah menyimak dan merespons sendiri cerita. Hasil observasi terhadap kegiatan pembelajaran dari siklus 1 sampai siklus 3, menunjukkan bahwa secara umum siswa SLTPN 1 dan SLTPN 2 Lubuklinggau telah dapat mengikuti prosedur pelaksanaan pengajaran apresiasi sastra cerita Model Respons Penyimak. Siswa kelihatan sangat senang dan berusaha aktif dalam kegiatan pengajaran. Dalam merespons cerita, siswa berusaha menemukannya sendiri berdasarkan LKS, selanjutnya respons tersebut dianalisis dan disimpulkan dalam kegiatan diskusi, baik dalam diskusi kelompok maupun dalam diskusi kelas. Bentuk respons siswa pun telah mengarah pada bentuk respons yang diharapkan, yaitu personal, topikal, formal, dan interpretatif. Namun, dalam pelaksanaan kegiatan diskusi, belum semua siswa dapat aktif dalam mengemukakan hasil responsnya. Masih ada sebagian siswa yang tampak hanya diam dan hanya mendengarkan serta mengikuti respons rekannya. Juga masih ada beberapa siswa yang hanya mengobrol saja. Kerja sama dalam diskusi belum terjalin secara baik. Secara umum, belum ada keberanian siswa untuk Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 58
menyanggah dan memberikan pendapat terhadap respons yang lain. Dalam menyimpulkan hasil respons, belum ada kesungguhan dari siswa karena siswa cenderung masih mengharapkan simpulan respons orang lain, terutama dari gurunya. 3. Hasil Siswa Merespons Cerita a. Hasil Diskusi Siswa Merespons Cerita Hasil diskusi siswa merespons cerita, baik pada siswa SLTPN 1 maupun siswa SLTPN 2 Lubuklinggau, menunjukkan bahwa respons siswa bersifat sementara, relatif, dan variatif. Berikut ini hasil diskusi siswa merespons cerita pada pembelajaran siklus 1, siklus 2, dan siklus 3 dari masing-masing siswa, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau: 1) Pada pembelajaran siklus 1, respons siswa, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau yang sama atau hampir sama, yaitu pada penetapan tokoh utama cerita, penetapan sifat tokoh cerita, penetapan tokoh cerita yang patut dan tidak patut ditiru, penetapan latar (tempat dan waktu), penetapan peristiwa dalam cerita, penetapan makna kalimat dalam cerita, dan penilaian dalam cerita; Respons siswa yang beragam, yaitu pada penetapan ide pokok atau topik permasalahan yang diungkapkan dalam cerita, pesan cerita, makna kata dalam cerita, dan makna tersirat dalam kutipan paragraf cerita; Respons siswa yang berbeda dan banyak mengalami kesalahan, yaitu pada penetapan peran pengarang dan penetapan tokoh pendamping cerita. 2) Pada pembelajaran siklus 2, respons yang sama atau hampir sama, baik pada siswa SLTPN 1 maupun siswa SLTPN 2 Lubuklinggau, yaitu pada penetapan tokoh utama cerita, penetapan tokoh pendamping cerita, penetapan karakter tokoh cerita, penetapan latar tempat dan waktu dalam cerita, penetapan makna kalimat dalam cerita, dan penilaian terhadap isi cerita; Respons yang beragam, yaitu pada penetapan ide pokok atau topik permasalahan yang diungkapkan dalam cerita, penetapan pesan cerita, penetapan tokoh yang patut ditiru dan tak patut ditiru, penetapan makna frase dalam kalimat cerita, dan penetapam peristiwa dalam cerita; Respons yang berbeda dan mengakibatkan sedikit terjadinya kesalahan, yaitu pada
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 59
penetapan peran pengarang dan penetapan tokoh pendamping cerita. 3) Pada pembelajaran siklus 3, respons yang sama atau hampir sama, pada siswa di SLTPN 1 dan SLTPN 2 Lubuklinggau, yaitu pada penetapan tokoh utama cerita, penetapan tokoh pendamping cerita, penetapan karakter tokoh cerita, penetapan latar tempat dalam cerita, penetapan makna kalimat dalam cerita, penetapan peristiwa dalam cerita, dan penilaian terhadap isi cerita; Respons yang beragam, yaitu pada penetapan ide pokok atau topik permasalahan yang diungkapkan dalam cerita, penetapan pesan cerita, penetapan latar waktu dalam cerita, penetapan makna kata dalam kalimat cerita, dan penetapan makna bunyi mantra ; Respons yang berbeda dan mengakibatkan sedikit terjadinya kesalahan, yaitu pada penetapan peran pengarang dalam cerita. Dari tiga data yang diperoleh dari tiga siklus pelaksanaan pembelajaran di atas, menunjukkan bahwa siswa, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklingau mengalami kesulitan dalam merespons sudut pandang cerita. Dalam merespons tokoh cerita, siswa mengalami kesulitan bila menentukan dalam sebuah cerita tokoh utama cerita lebih dari satu, seperti dalam cerita Keramat Bukit Ngonang. Rata-rata siswa beranggapan bahwa dalam sebuah cerita, tokoh utama itu hanya ada satu. Selain itu, masih juga berkaitan dengan tokoh cerita, yaitu dalam penetapan karakter tokoh cerita, siswa tampak sulit menerima karakter dalam diri seorang tokoh bila memiliki sifat baik sekaligus juga sifat buruk. Selama ini, konsepsi siswa selalu disuguhi bahwa seorang tokoh cerita hanya memiliki satu figur karakter, misalnya A sebagai tokoh jahat dan B sebagai tokoh baik. Dalam penetapan latar cerita, rata-rata siswa baru dapat merespons latar waktu yang berkaitan dengan pergantian jam, sehingga rata-rata siswa hanya menyebutkan latar waktu pagi, siang, sore atau malam. Sementara, latar waktu berkaitan dengan hari, bulan, tahun dan periode tertentu, tampaknya belum dipahami siswa. b. Hasil Tes Siswa Merespons Cerita Hasil tes siswa merespons cerita, pada siswa SLTPN 1 maupun siswa SLTPN 2 Lubuklinggau, pada umumnya mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu hasil tes akhir siswa lebih baik dari hasil tes awalnya, sehingga gain siswa selalu meningkat. Ini Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 60
membuktikan bahwa Model Respons penyimak cukup efektif dalam meningkatkan hasil pengajaran apresiasi sastra cerita di SLTP. Begitu pun hasil tes pada setiap akhir pembelajaran pada masing masing siklus senantiasa meningkat. Pada pembelajaran siklus 3, rata- rata hasilnya lebih baik dari siklus 2 dan pada siklus 2, rata-rata hasilnya lebih baik dari siklus 1. Kecuali di SLTPN 1 Lubuklinggau, rata-rata hasil tes akhir pada siklus 3 mengalami penurunan dari ratarata hasil tes akhir siklus 2. Gambaran rinci peningkatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Untuk siswa SLTPN 1 Lubuklinggau pada siklus 1 peningkatan gain siswa sebanyak 13,19% dari hasil rata-rata tes awal sebesar 57,27% dan rata-rata tes akhir sebesar 70,46%; pada siklus 2 peningkatan gain siswa sebanyak 16,26% dari hasil rata-rata tes awal sebesar 58,31% dan rata-rata tes akhir sebesar 74,57%; dan pada siklus 3 peningkatan gain siswa sebanyak 18,65% dari hasil rata-rata tes awal sebesar 53,79% dan rata-rata tes akhir sebesar 72,45%. Dengan demikian, rata-rata peningkatan gain siswa SLTPN 1 Lubuklinggau sebanyak 16.04%. 2) Untuk siswa SLTPN 2 Lubuklinggau, pada siklus 1 peningkatan gain siswa sebanyak 18,26% dari hasil rata-rata tes awal sebesar 49,45% dan rata-rata tes akhir sebesar 67,72%, pada siklus 2 peningkatan gain siswa sebanyak 19,36% dari hasil rata-rata tes awal sebesar 49,62% dan rata-rata tes akhir sebesar 68,98%, dan pada siklus 3 peningkatan gain siswa sebanyak 26,01% dari hasil rata-rata tes awal sebesar 50,00% dan rata-rata tes akhir sebesar 76,01%. Dengan demikian, rata-rata peningkatan gain siswa SLTPN 2 Lubuklinggau sebanyak 21,21%. 3) Rata-rata peningkatan gain dan hasil tes akhir setiap siklus pembelajaran pada siswa SLTPN 1 dan siswa SLTPN 2 Lubuklinggau menunjukkan adanya perbedaan. Rata-rata peningkatan gain siswa SLTPN 2 Lubuklinggau (21,21%) lebih besar dari siswa SLTPN 1 Lubuklinggau (16,04%). Namun, ratarata hasil tes akhir setiap siklus pembelajaran, siswa SLTPN 1 Lubuklinggau (72,49%) lebih besar dari siswa SLTPN 2 Lubuklinggau (70,90%). Sekalipun demikian, rata-rata kemampuan tes akhir siswa SLTPN 1 dan siswa SLTPN 2 Lubuklinggau sama-sama masih dalam kategori cukup. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 61
4. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengajaran Faktor pendukung dan penghambat pengajaran apresiasi sastra cerita, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubukinggau, meliputi (a) faktor guru, (b) faktor siswa, dan (c) faktor sarana, fasilitas, dan kondisi tempat terjadinya pengajaran. a. Faktor Pendukung Pengajaran 1) Faktor Guru Guru, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau telah dapat melaksanakan pengajaran apresiasi sastra cerita Model Respons Penyimak. Guru tampak antusias, bersemangat, dan telah dapat menarik simpati siswa. Guru di SLTPN 1 Lubuklinggau sudah cukup senior, sedangkan guru di SLTPN 2 Lubuklinggau masih sangat Yunior berkaitan dengan masa tugas mengajarnya. 2) Faktor Siswa Siswa, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau telah dapat mengikuti pelaksanakan pengajaran apresiasi sastra cerita Model Respons penyimak. Mereka tampak semangat, antusias, dan serius dalam mengikuti pembelajaran. Berkaitan dengan kemampuan dasar merespons cerita, dari hasil tes awal, kemampuan awal siswa SLTPN 1 Lubuklingau lebih baik dari kemampuan awal siswa SLTPN 2 Lubuklinggau. 3) Faktor Sarana, Fasilitas, dan Kondisi Pengajaran Sarana fasilitas bahan cerita dengan menggunakan media kaset rekaman pembacaan cerita, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau sangat menarik minat dan perhatian siswa. Siswa dapat lebih terfokus dan lebih berkonsentrasi karena harus mendengarkan dan menyimak pembacaan cerita. Kondisi pengajaran dengan penyediaan waktu yang cukup, yaitu dua sampai tiga jam pembelajaran dapat menunjang kelancaran pelaksanaan pengajaran.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 62
b. Faktor Penghambat Pengajaran 1) Faktor Guru Guru, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau, kurang maksimal dalam membimbing dan mengarahkan siswa untuk bekerja sama yang baik dalam diskusi. Tampaknya, guru belum terbiasa menggunakan metode diskusi dalam pengajarannya. Guru masih banyak berinisiatif untuk menyampaikan hasil responsnya kepada siswa, sehingga mengakibatkan siswa selalu cenderung mengharapkan kesimpulan respons dari gurunya. 2) Faktor Siswa Siswa, di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau belum seluruhnya bisa aktif dalam kegiatan diskusi. Dalam mereaksi dan merespons cerita, siswa belum bisa melakukannya sendiri, sekali pun telah ada bantuan melalui LKS. Siswa masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan dari guru. Dalam menyimpulkan hasil responsnya, siswa pun melakukannya belum sungguh-sungguh. Belum ada keberanian siswa untuk menyampaikan hasil responsnya dan menyanggah respons yang lain. Siswa senantiasa cenderung mengharapkan kesimpulan respons orang lain, terutama respons gurunya. 3) Faktor Sarana, Fasilitas, dan Kondisi Pengajaran Tidak tersedianya sarana pengajaran berupa bahan cerita rakyat daerah Sumatera Selatan di perpustakaan sekolah, baik di SLTPN 1 maupun di SLTPN 2 Lubuklinggau, juga minimnya bahan-bahan cerita yang lain, menyebabkan sulitnya melakukan penyediaan bahan kajian pembelajaran untuk apresiasi sastra cerita yang diperlukan. Penyediaan bahan kajian cerita dengan mengunakan fasilitas media rekaman, masih dianggap sesuatu yang merepotkan guru dan dipandang sebagai media pembelajaran yang cukup mahal. Kondisi pembelajaran yang dilaksanakan pada jadwal jam sekolah siang, sekalipun dilakukan pada awal jam pelajaran tetap terasa kurang efektif, apalagi bila dilaksanakan pada jadwal jam pelajaran terakhir, seperti di SLTPN 1 Lubuklinggau pada siklus 3. Belum lagi ditambah cuaca hari Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 63
yang turun hujan deras, dan hari-hari biasa yang segala aktivitas kegiatan sekolah dilakukan di lingkungan sekolah, serta letak sekolah yang berada di pusat kota, sehingga suasana sekolah menjadi bising dan ribut. Tentu saja kondisi waktu dan suasana lingkungan seperti ini kurang efektif untuk kegiatan menyimak dan merespons cerita, lebih luas lagi untuk kegiatan belajar siswa. Dengan demikian, bila disimpulkan secara umum, faktor utama penghambat dalam pengajaran Model Respons Penyimak yang dikembangkan di SLTPN 1 dan di SLTPN 2 Lubuklinggau adalah terletak pada pelaksanaan metode diskusi yang digunakan. Guru maupun siswa belum terbiasa menerapkan metode ini dalam pembelajaran. Sehingga siswa mengalami kesulitan untuk mengemukakan responsnya, sedangkan guru mengalami kesulitan dalam mengarahkan dan membimbing siswa melakukan kerja sama untuk membahas hasil responsnya. D. SIMPULAN, REKOMENDASI, DAN SARAN 1. Simpulan A. Pemilihan Bahan 1) Cerita rakyat daerah Sumatera Selatan, yang meliputi mite, legenda, dan dongeng, dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi sastra cerita di SLTP kota Lubuklinggau. Bahan cerita bersifat baru, menarik minat dan perhatian siswa, isi cerita sarat pesan pendidikan dan moral, dapat menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap sastra dan hasil budaya daerah sendiri. Bahan cerita juga sesuai dengan tema dan tujuan kurikulum, tingkat kemampuan dan kebutuhan siswa SLTP, serta dapat dikaji dalam proses pembelajaran di kelas yang menggunakan waktu dua sampai tiga jam pelajaran. 2) Dari tiga bentuk cerita rakyat yang ada, cerita berbentuk mite dan legenda lebih disukai, lebih sesuai, dan lebih diminati siswa SLTP. Anak seusia SLTP, mereka lebih senang pada cerita-cerita yang bersifat lebih nyata, konkrit, dan dapat dibuktikan kebenaranya. Sementara, cerita-cerita yang berifat fantasi dan khayalan, seperti Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 64
umumnya dongeng mulai berkurang untuk disukai dan diminati siswa karena menurut mereka, cerita tersebut hanya bersifat hiburan saja. 3) Hasil tindakan penelitian di kelas, baik siswa di SLTPN 1 maupun siswa di SLTPN 2 Lubuklinggau tampak antusias, bersemangat, dan senang mengikuti proses pengajarnnya. Lebih-lebih dengan penggunaan media kaset rekaman, perhatian siswa dapat lebih terfokus dan konsentrasi. B. Pengembangan Model Respons Penyimak Pengembangan Model Respons Penyimak dalam pengajaran apresiasi sastra cerita dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam mempelajari/mengkaji sastra, terutama sastra daerah, juga dapat menumbuhkembangkan kembali tradisi bercerita kepada siswa, yang saat ini hampir punah. Melalui model pembelajaran ini, siswa dapat melakukan apresiasi sastra cerita secara langsung dari hasil kegiatannya menyimak cerita. Artinya, siswa sebagai pembelajar sastra dapat terlibat langsung dalam beinteraksi dan bertransaksi dengan karya sastra, dengan siswa yang lain, dan dengan guru dalam kegiatan diskusi. Sehingga respons siswa dalam kegiatan diskusi dapat menunjukkan respons yang bersifat sementara, relative , dan variatif. 2. Rekomendasi Secara keseluruhan, gambaran tentang model pelaksanaan pengajaran Respons Penyimak dapat didekripsikan seperti pada bagan model 5.1 berikut ini.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 65
Guru Proses (Tindakan dan Iklim Situasi Kelas) Bahan Pembelaja ran
Strate gi Kondi si
Langkah-langkah KBM Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4
Hasil
Prinsi p
Siswa
Bagan 5.1 Model Pelaksanaan Pengajaran Apresiasi Sastra Cerita Respons Penyimak di SLTP Berdasarkan bagan model pelaksanaan pengajaran di atas, maka dalam pelaksanaan pengajaran apresiasi sastra cerita Model Respons penyimak di SLTP, guru melakukannya bertitik tolak dari bahan pembelajaran. Bahan pembelajaran cerita yang dipilih adalah bahan pembelajaran cerita yang diambil dari lingkungan budaya setempat, yaitu Sumatera Selatan. Bahan sebelumnya dianalisis tingkat kesesuaiannya dengan tujuan pembelajaran, minat dan perhatian siswa, serta kemampuan dan kebutuhan siswa. Bahan juga dipilih dengan mempertimbangkan alokasi waktu yang digunakan/dibutuhkan dan tetap memperhatikan strategi, kondisi, dan prinsip dalam pengajaran apresiasi sastra cerita Model Respons Penyimak. Dalam pelaksanaan pengajarannya, bahan perlu dikuasai oleh guru untuk diajarkan kepada siswa melalui kegiatan menyimak dan selanjutnya siswa meresponsnya berdasarkan tanggapan pribadinya. Dengan demikian, guru harus dapat menciptakan iklim belajar yang benarbenar didasarkan pada respons siswa. Strategi, kondisi, dan prinsip pengajaran apresiasi sastra cerita Model Respons Penyimak penting diperhatikan dan dipahami oleh guru maupun Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 66
siswa untuk selanjutnya dicerminkan dalam langkah-langkah KBM. Langkah-langkah KBM Model Respons penyimak, mengikuti empat tahapan atau fase. Fase 1, adalah kegiatan mendengar dan menyimak pembacaan teks cerita; Fase 2, adalah kegiatan mereaksi dan merespon cerita. Hasil Diskusi merespons siswa bersifat sementara, relative, dan variatif; Fase 3, adalah memecahkan masalah dan mendiskusikan respons; dan Fase 4, adalah mengambil kesimpulan diskusi. 3. Saran Berdasarkan simpulan dan rekomendasi hasil penelitian seperti tersebut di atas, saran-saran untuk peningkatan dan pengembangan pengajaran apresiasi sastra cerita di SLTP adalah sebagai berikut. 1) Setiap SLTP perlu melengkapi perpustakaannya dengan bahanbahan cerita, khususnya bahan cerita rakyat daerahnya untuk meningkatkan minat dan kecintaan siswa terhadap hasil budaya dan sastra daerahnya, juga membantu mempermudah guru dalam penyediaan bahan pengajaran. 2) Guru SLTP diharapkan dapat terus meningkatkan kemampuannya dalam pengajaran sastra cerita, khususnya dengan penggunaan Model Respons Penyimak dan melakukan analisis pemilihan bahan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, minat dan perhatian siswa, kemampuan dan kebutuhan siswa, serta waktu pembelajaran yang digunakan/dibutuhkan. 3) Kepala sekolah, penilik, dan lembaga terkait hendaknya terus mengupayakan peningkatan kemampuan guru, khususnya dalam pengajaran sastra dengan cara melakukan kerja sama dalam kegiatan pengabdian dan penelitian. 4) Peneliti yang lain, hendaknya dapat melakukan kegiatan penelitian lebih lanjut, lebih mendalam, dan lebih rinci, agar permasalahan pengajaran apresiasi sastra di sekolah dapat teratasi.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 67
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. (1995). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Offset. Bascom, W.R. (1965). “Four Functions of Folkore” dalam The Study of Folklore (ed.) Alan Dundes, Englewoode Cliffs, New Jersey, Printice hall. Beach, R.W. & Marsal, J.D. (1991). Teaching Literature in the Secondary School. Orlando: Harcourt Brace Javanovich, Inc. Brumfit, C.J. (1985). Language and Literature Teaching, from Practice to Principle. London: William Clows LTD. Danandjaja, J. (1984). Folklor Indonesia. Jakarta: Temprint. Davis, R.C. (1986). Contemporary Literary Criticism: Modernism Through Post-Structuralism. New York: Longman. Djumiran, dkk. (1979/1980). Cerita Rakyat Daerah Sumatera Selatan. Palembang: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Depdikbud. Elliott, J. (1991). Action Research for Educational Change. Buckingham- Philadelphia: Open University Press. Gani, R. (1988). Pengajaran Sastra Indonesia, Respons dan Analisis.Jakarta: Depdikbud. Harna, M.M. (2003). Asumsi Pembelajaran Sastra di Sekolah (Makalah). Bandung: Seminar Nasional Paradigma Baru Pengajaran Sastra FKM Program Pascasarjana UPI. Hopkins, D. (1993). A Teacher‟s Guide to Classroom Research. Buckingham-Philadelphia: Open University Press. Kasbolah E.S, K. (1988/1999).Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta:Depdikbud. Kusdiana, A. (2002). Penggunaan Model Respons Siswa untuk Mengefektifkan Pengajaran Membaca Cerita di Sekolah Dasar. Bandung: Pascasarjana UPI (Tesis). Moody, H.L.B. (1971). The Teaching of Literature. London: Longmann.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 68
Probst, R.E. (1988). Response and Analysis: Teaching Literature in Junior and Senior High School. Portsmouth: Boynton/Cook Publishers. Rahmanto, B. (1988). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Rasyid, A., dkk. (1978/1979). Cerita Rakyat Daerah Sumatera Selatan. Palembang: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Depdikbud. Rossenblatt, L.M. (1983). Literature as Exploration. New York: The Modern Language Association of America. Rusyana, Y. (1978). Metode Pengajaran Sastra. Bandung: IKIP. Wellek, R & Austin W. (1993). Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia. Yass, B. (1993). Cerita Rakyat daari Sumatera Selatan. Jakarta: Grasindo. Yass, B. (2000). Cerita Rakyat dari Sumatera Selatan. Jakarta: Grasindo.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 69
ACTION AND FUNCTION METHOD (AFM) Sihombing, Elsina. developed AFM in 2008 at SMA YADIKA SOUTH SUMATRA ABSTRACT Sihombing, Elsina. developed AFM in 2008 at SMA YADIKA SOUTH SUMATRA. The method was carried out in the experiment of 720 minutes (every week except days off, in a mount of 90 minutes per week for 8 weeks). It was handled by 2 English teachers who have been selected through YADIKA STANDARD on the basis of undergraduate degree with the average grade of GPA on 2.75. Since the writer was the „Principal‟ in that school at that time, so she directly supervised those two English teachers in applying the method discussed. Before applying such a method, both of them were trained by the writer as their supervisor and as their principal as well for 15 hours; 1.5 hours a day for 10 days. This program was only focused in 8 weeks using AFM purely toward 2 classes of 38 students per each at the tenth grades. Each of the two teachers handled one class from the starting point until the end of the program. The main purpose of conducting this action research was to prove whether AFM was significantly effective or not. Practically, the writer gave hand books to students and the teachers as well, then, they were drilled by using AFM. As the result of this action research, the students speaking achievement increased (100% ) mastered ±500 words, (100%) could express their feeling, condolence, the condition of themselves, the condition of family, and other related topics. The students became able to communicate in English (>90%), got high motivation to learn (>95%), became able to break the ice(>95%), the students and the teacher competed positively to increased their motivation to learn . Key words : Action, Function, Method, Communicative Competence. B. REGULATION AFM focuses on Action and Function which was done against the students, and the students would give responses in the form of motor skills as their real action. The action discussed here is Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 70
the learners‟ responses to the teacher‟s command which is taught right from the beginning. The function is the learners‟ response to the teacher‟s functional model which is taught gradually in the process of teaching. The command and the functional model should be the learners‟ comprehensible input. The „input develops her/his „action‟ and „function‟. The action and the function develop her/his language use. The „use‟ develops her/his communicative competence. The „communicative competence‟ develops her/his language acquisition. The „acquisition' produce her/his language ability in verbal (spoken and written) performance and non-verbal performance as the learners‟ comprehensible output. Here is the diagram of the AFM-system : Communicat ive Competence
Acqisition
Fluency
USE
Verbal & nonverbal performan ce
ACTION FUNCTION
Listening reading looking
Comprehens ible output Compre Hensible input
The learners‟ comprehensible input is that the message listened, read or looked at which is understood by the learners. The „action and function‟ are the learners‟ physical responses to the teacher‟s command as well as her/his meaningful expressions as the Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 71
response of the teacher‟s functional model. The „use‟ is that the natural verbal (spoken and written), or natural non-verbal performance that develops her/his communicative competence. The „communicative competence‟ is the learners‟ ability to communicate effectively in a culturally significant setting (Hymes, 1972; Wilkins, 1976; Widdowson, 1978; Savignon, 1983; Wenden and Rubin, 1987; Wenden, 1991: in Zainil , 2003). It develops the learners‟ acquisition. The „acquisition‟ is the learners‟ mastery of the language. It produces the learners fluency. The “fluency” is the learners natural use the language without thinking of its structure and without translating the language into her/ his native language. Finally, the comprehensible „output‟ is the learner‟s natural verbal (spoken and written) performance as well as her/his natural non-verbal performance which is understood by the message sender and the message receiver. The message sender can be the speaker, the writer, or the person who does the non-verbal signal. The message receiver can be the listener, the leader or the person who pays attention to the non-verbal signals. The sender‟s and receiver‟s understandings increase their motivation. Finally, the writing and the reading activities are taught later at the intermediate level. Thus, AFM focuses on teaching and learning process. The process must be focused on „use‟ message or meaning, not on „usage‟ forms. Since this method aims to drill the learners to communicate accurately (communicative competence) both verbally and non-verbally to enhance them involving in the teaching-learning process.
C. CORE ACTIVITIES The purpose of this method is to make the students to raise ACTION and FUNCTION during the process of teaching and learning. At this chance, the teachers play a big role to apply elicitation to elicit the students‟ responses in the form of gesture or language production unstratifiedly. When the teachers found a troublesome, they would find troubleshooters to overcome such a case. The activities are classified as follow : Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 72
1. ACTION ACTIVITIES First of all, class is started by using TPR technique as follows: a. The teacher‟s position is in the middle of two students on the right and two students on the left side. b. The teacher use gesture to motion four students coming forward the class and pleased them to be seated two on the left and the other two on the right without any noise. c. The teacher starts to give instructions to stimulate the four students to act like what the teacher acts. The teacher says :”hands up!” she shows her hands up to the students and the students imitate the action. Then, she instructs “hands down” together with, she puts her hands down as she stimulates the four students to act the same. It is drilled two to three times. d. The teacher instructs without action, “hands up…!down…!” and the four students respond physically. Even, the patterned four students engage the other students in the class to do the action joyfully. At the end, some of the students want to be the volunteers to act in front of the class. e. The teacher takes steps, a, b, c, and d for all the students in the class alternately in groups. f. The teacher continues to teach new vocabularies by adapting steps „a to e‟ involving all the students alternately in group. g. The teacher elaborates the given instructions and the new ones, illustrating or sometimes commands only and elicits the students to respond in action, in group, individually, or wholly. h. For the purpose of comprehension, the teacher reviews the given and the new instructions without illustrating (from the teacher) but the students automatically respond in action, in group, individually, or wholly. i. For the purpose of improvement, the teacher presents new vocabularies in the form of instruction by applying the previous steps „a to h‟. 2. FUNCTION ACTIVITIES
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 73
To break the ice in the classroom, the teacher makes a model of the language function, in other words, a language pattern for instance, „Expressing Condolence‟: a) “I‟m so sorry to hear that your grandma was dead yesterday!” Four students are welcomed to come forth and positioned them two on the right and the other two on the left side of the teacher. b) While the four students stand up near the teacher, she says „welcome and please be seated‟ c) The teacher makes the language pattern as the model of the language function, by saying : “I‟m so sorry to hear that your grandma was dead yesterday” ( twice or more) d) The four students are regulated, she says „stand up‟ (while pointing to one of the four students.) e) The teacher expresses uncompletely :”I‟m so sorry to hear that….” Then, the student who is pointed to stand up try to repeat and complete the teacher‟s utterance with “ I‟m so sorry to hear that your grandma was…”. If the student is confused, the teacher leads him by presenting some equivalent options such as : „dead, sick, on accident, acute‟. i) The teachers give a stimulus and says „good, please be seated‟ next, points to another students in the group to do the same and so forth to the third, the fourth students. j) The second round, four other students are welcomed coming forward to do steps „a to f‟ of which the teacher substitutes the content of the language pattern with the others similar words. k) For the purpose of comprehension, the students are drilled intensively until step g. i) For the purpose of improvement, the teacher adds the former expression with the new phrases and drills step a to h, for instance : “I‟m so sorry to hear that your grandma was dead yesterday morning in the hospital.” j) The teacher practice step „a to i‟ per group alternately. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 74
During the process of teaching and learning, the teacher should be initiatively anticipates the hesitance from the students. The students surely are interested and involved joyfully in such a good circumstance. In other words, the teacher never out of seeing and evaluating the students performances. To decide whether the lesson will be continued or reviewed based on the process – evaluation results. To evaluate the students mastery, the teacher gives them oraltest of which the purpose is to elicit the students to have English production. D. FINDINGS During the treatment (720 minutes) of using AFM, here are the results noted : 1. The method could minimize the hesitance from the students and even, the former taciturn students became eager talkable students. 2. Most of the students (> 95%) always put questions on the teacher at the end of teaching and learning process . 3. The total number of the samples (100%) mastered ±500 vocabularies. 4. The total number of the students (100%) could express their condolence shortly or completely in accordance with the context given. 5. The total number of the students (100%) can ask and answer the questions of individual condition, family condition, giving opinion, asking and expressing feeling, telling the time in a dialogue. 6. Most of the students (>95%) were involved joyfully during the learning process. 7. Most of the students (>95%) had a braveness to break the ice when the teacher starting the topic of the lesson. 8. All the students were engaged and always raised their hands to be selected by the teachers to act out the instruction from the teachers. 9. At the end of the teaching and learning process, the students always felt that it was lack of time.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 75
10. The climate of the English class seemed always bright, in which the students and the teachers competed positively to increase their own motivation to learn until they get satisfaction, since the teacher varies the strategies of motivation. 11. The teachers always need additional time to teach the students without feeling boring. 12. The students performance and relationship toward the teachers noted closer and friendlier.
E. CONCLUSION AND SUGGESTION 1. CONCLUSION Based on the process of which the method adapted, and the result of the method, it is really proved that „ACTION AND FUNCTION METHOD‟ can, not only engage the students to take participation to play a role (producing language and gesture), but also motivate them be the subjects of the process since the teachers always stimulated them to reduce their hesitance and even unpossessed it at all during the process. It is reasonable to emphasize that this method is very suitable to be applied against multi level learners by the English teachers for the purpose of gaining the English achievement effectively and efficiently. 2 . SUGGESTION Since this method (ACTION and FUNCTION) has good biases toward multi level learners and lets the two-sides subjects (teachers and learners) to compete to learn more without neglecting the function of each, so it is suggested for all English teachers around the world especially in Indonesia to apply this method for various skills of learning English as a foreign language as well as language acquisition. Moreover, for the educational researchers can also take this issue to be investigated scientifically.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 76
REFEERENCES Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta. Rhineka Cipta. Asher, James. 1982. Learning Another Language through Action. Los Gatos, California : Sky Oaks Productions. Brown, H.Douglas.1987. Principles of Language Learning and Teaching. San Francisco.Prentice-Hall, Inc. Celce-Murcia, Mariane. 1991 Collins Publisher. Language Teaching Approaches An Overview. New York : Newbury House, A Devision of Harper. Hymes, D. 1968. The Ethnography of Speaking, in Zainil (2003). “Language Teaching Method”. Padang States University Press. Savignon, Sandra. 1983. Communicative Competence. California. Addison-Wesley Publishing Company. Tuckman, Bruce. 2004. Conducting Educational Research. Washington, D. C. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher. Widdowson, H.G. 1978. Teaching Language as Communication. Oxford. Oxford University Press. Wilkins, D.A. 1976. National Syllabuses. Oxford. Oxford University Press. Zainil. 2003. Language Teaching Method. Padang – West Sumatra. Padang State University,Press.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 77
IMPLEMENTASI MAPLE 13 UNTUK MENYELESAIKAN SISTEM PERSAMAAN LINEAR SECARA NUMERIK Oleh Drajat Friansah, S.Si. ABSTRAK Sistem Persamaan Linear merupakan salah satu materi yang dibahas dalam matakuliah Aljabar Linear, sistem ini diaplikasikan dalam berbagai bidang salah satunya adalah bidang ekonomi. Penyelesaian Sistem Persamaan Linear bisa dilakukan dengan beberapa alternatif. Matriks menjadi suatu alternatif dalam penyelesaian sistem persamaan linear, matriks yang diperbesar (augmented matrix) adalah salah satu cara untuk menyatakan sistem persamaan linear, matriks ini pula yang digunakan untuk menyelesaikan sistem tersebut dengan berbagai metode yaitu metode invers matriks, eliminasi gauss-jordan, metode crammer. Untuk mempermudah proses penyelesaian tersebut digunakan aplikasi maple 13. Kata kunci : maple, sistem persamaan linier, numerik. I. PENDAHULUAN Hasil pengamatan dalam bidang sains maupun matematika sering ditampilkan dalam susunan baris-baris dan kolom-kolom yang membentukjajaranpersegi panjang yang disebut “matriks”. Definisi Matriks adalah susunan segi empat siku-siku dari bilangan-bilangan.Bilangan-bilangan dalam susunan tersebut dianamakan entri dalam matriks (Anton, H., 1993:22).Carayangbiasadigunakanuntukmenuliskansebuah matriksdenganmbarisdannkolom,dansalahsatucaraaplikasipenggunaa n matriks untuk mempersingkat sistem persamaan linear, cara seperti ini disebut matriks yang diperbesar (Rorres, 2004:25). Aplikasimatriksyangdisusundalambentukmatriksya n g diperbesarbanyak mengilhamipenyelesaiansistempersamaanlinear,penyelesaiantersebu tmeliputiaturanCrammer,EliminasiGaussJordan,InversMatriks,dalampenggunaanmetodemetodetersebutdigunakanberbagaisifat-sifatoperasimatriks. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 78
II.PEMBAHASAN A. SistemPersamaanLinear Suatusistemsebarangdarimpersamaan linear dengan n factor yang tidak diketahui dapat dituliskan sebagai:
Dimana adalahbilangan-bilangan yangtidakdiketahui sedangkanadan byangbersubskrip menyatakan konstanta-konstanta.Misalnya,suatusistemumumyangterdiridaritiga persamaanlineardenganempatbilanganyangtidakdiketahuidapatdituli ssebagai:
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 79
Penulisansubskripganda padakoefisienbilanganyangtidakdiketahuiadalah sebuah cara untuk menyatakanletakkoefisiendalamsistemtersebut.Subskrippertamapada koefisien menunjukkanpersamaanyang muncul pada koefisien tersebut, sedangkan subskrip kedua menunjukkan bilangan tidak diketahui yang dikalikan oleh koefisien tersebut. Jadi, terdapat pada persamaan pertama dan mengalikan bilangan tidak diketahui . B. MatriksYangDiperbesar Jikakitatelusuri letak+,xdan=,makasistem yangterdiridarimpersamaan lineardengannbilangantidakdiketahui dapatdisingkatdenganhanyamenuliskansusunanbilanganbilangandalamjajaran empatpersegipanjang.
Jajaran ini kitasebutmatriksyang diperbesar(augmentedmatrix)darisistemtersebut,Istilah matriksdigunakandalammatematikauntukmenyatakansebuah jajaranempatpersegi panjangdaribilanganbilangan.Matriksmunculdalamberbagai konteks,khususnya dalampenyelesaiansistempersamaanlinear.
C. Sekilas Tentang Maple Maple adalah suatu program aplikasi komputer untuk Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 80
matematika yang diproduksi oleh Waterloo Maple Inc., Ontario, Canada.Program ini pada awalnya dikembangkan oleh civitas University of Waterloo, Canada tahun 1988 (Maplesoft, 1988).Maple merupakan suatu Sistem Komputasi Simbolik (Symbolic Computation System) interaktif yang sangat kuat.Program inicocok digunakan oleh kalangan pelajar, pendidik, matematikawan, statistikawan dan ilmuwan untuk mengerjakan komputasi numerik dan simbolik. D. Implementasi Maple 13 Dalam Penyelesaian Sistem Persamaan Linear Secara Numerik 1.
InversMatriks Finan, B. Marcel(2001:55)dalam buku Fundamentals of Linear Algebra menyatakan,“A square matrix Aof size n is called invertible or non-singular if there exists a square matrix B of the same size such thatAB=BA=I. In this case B is called the inverse of A.” Definisi tersebut menyatakan jika A adalah sebuah matriks kuadrat berukuran n, dan jika kita dapat mencari matriks B sehingga AB = BA = I, maka A dikatakan dapat dibalik (invertible) dan B dinamakan invers dari A. Jika A adalah matriks n x n yang dapat dibalik, maka untuk setiap matriks B yang berukuran n x 1, sistem persamaan AX = B mempunyai persis satu pemecahan (trivial), yakni X = A1 B(Anton, H., 1993:48). Contoh 1 : Tinjaulah sistem persamaan linear
DalambentukmatrikssisteminidapatditulissebagaiAX= B,dimana: Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 81
Denganmenggunakanmaplekitadapatmenghitunginvers(A).
> Perintah di atas digunakan untuk mengaktifkan paket aljabar linear dalam maple >
Menentukan determinan matriks A > Menentukan invers matriks A >
>
Mengalikan invers matriks A dengan vektor B >
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 82
Dari hasil tersebut diperoleh nilai x1 = 2, x2= 1, x3 = -1 Metode ini dapat diterapkan hanya apabila sistem tersebut mempunyai jumlah persamaan dan bilangan tak diketahuinya sama, selain itu matriks koefisiennya harus dapat dibalik. 2.
MetodeCrammer Anton, H. (1993:83),JikaAX=Badalahsistemyang terdiri dari n persamaan linear dalam n bilangan takdiketahui sehingga det(A) ≠ 0, maka sistem tersebut mempunyai pemecahan yang unik. Pemecahan ini adalah
DimanaAjadalahmatriksyangkita dapatkan dengan menggantikan entri-entri dalam kolom ke j dari Adengan entrientri dalam matriks.
Contoh:2
DenganmenggunakanaturanCrammerkita akan menyelesaikan sistem persamaan linear di bawah ini:
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 83
Penyelesaian: > >
>
>
>
>
>
>
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 84
> > >
Jadinilai Kesulitanterjadipadasaatpenyelesaianmempunyaisolusibanyak atau non trivial
3.
EliminasiGauss-Jordan EliminasiGaussdiperkenalkanKarlFriendrichGauss(17771855)dengan melakukanserangkaian operasi baris terhadap sebuahmatriksdiperbesardarisuatusistempersamaanlinearmenjad i matrikseselonbarislalu disempurnakan oleh Wilhelm Jordan menjadi bentuk matriks eselon baris tereduksi yang kita kenal dengan metode Eliminasi GaussJordan.Rorres(2004:13)setiapmatriksmemilikibentuk eselonbaristereduksiyangunik, artinyakitaakanmemperoleheselonbaristereduksi yangsamauntukmatriksyangtertentubagaimanapunvariasioperasi barisyang dilakukan. Langkah kerja Eliminasi Gauss-Jordan adalah mengubah sebuah matriks yang diperbesar menjadi matriks dalam bentuk eselon baris tereduksi (reduced row-echelon form). Anton, H. (1993:8) menyatakan matriks tersebut harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Jikabaristidak terdiri seluruhnya darinol, makabilangantaknol pertama dalam baris tersebut adalah 1. (Kita menamakan ini 1 utama) 2. Jikaterdapatbarisyangseluruhnyaterdiridarinol,makasemua baris seperti itu dikelompokkanbersama-sama di
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 85
bawahmatriks. 3. Dalam sebarang dua baris yang berurutan yang seluruhnya tidak terdiri dari nol, maka 1 utama dalam baris yang lebih rendah terdapat lebih jauh ke kanan dari 1 utama dalam baris yang lebih tinggi. 4. Masing-masing kolom yang mengandung 1 utama mempunyai nol di tempat lain. Darilangkah kerja tersebutdi kitadapatmenyelesaikansistempersamaanlinearberikut:
atas
Contoh3:
Selesaikan sistem persamaan linier di bawah ini dengan menggunakan eliminasi Gauss
Penyelesaian: > >
Mendefiniskan variabel > Mengubah sistem persamaan linear menjadi matriks yang diperbesar >
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 86
Menambahkan -2 kali baris 1 pada baris 2 matriks M >
Menambahkan -3 kali baris 1 pada baris 3 matriks G1 >
Menambahkan >
baris 2 pada baris 1 matriks G2
Menambahkan >
baris 2 pada baris 3 matriks G3
Mengalikan ½ pada baris 2 pada matriks G4 >
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 87
Mengalikan -2 pada baris 3 pada matriks G5 >
Menambahkan >
baris 3 pada baris 1 matriks G6
Pada tahap ini matriks yang dihasilkan yaitu G7berada pada bentuk eselon baris atau kita sebut metode Eliminasi Gauss, untuk menyempurnakannya kita lakukan tahap berikutnya: Menambahkan >
baris 3 pada baris 2 matriks G7
Keseluruhan langkah di atas disebut sebagai metode Eliminasi Gauss-Jordan, yaitu mengubah matriks yang diperbesar menjadi bentuk eselon baris tereduksi.Dari hasil tersebut diperoleh nilai
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 88
Contoh4:
Selesaikan system persamaan linear homgen berikut ini dengan menggunakan Eliminasi Gauss
Penyelesaian: > >
> >
Membentuk matriks koefisien dari sistem persamaan linear dengan menghilangkan kolom terakhir dari matriks A. >
Menguji sistem persamaan linear apakah memiliki solusi non trivial > Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 89
Menyelesaikan sistem persamaan dengan menggunakan eliminasi gauss >
Menentukanhasilpenyelesaiandenganberbagaiparameter. >
Jadi solusi umumnya adalah
Contoh 5
Untuk nilai berapakah sistem persamaanlinier di bawah ini memiliki solusi trivial
Penyelesaian: > > >
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 90
Mengubah matriks menjadi matriks diperbesar >
Menyelesaikan sistem dengan Eliminasi Gauss >
Menentukan nilai trivial
untuk sistem yang memiliki solusi non
>
Menentukan hasil faktor dari sistem di atas > Jadi berdasarkan langkah-langkah di atas diperoleh nilai yang menyebabkan sistem persamaan tersebut memiliki solusi trivial, yaitu dan Contoh 6 Untuk nilai a berapakah sistem berikut ini tidak memiliki solusi?Tepat hanya satu solusi?Tak ter hingga banyaknya solusi?
Penyelesaian: >
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 91
>
(1 >
(2 >
(3 >
(4 Setelah dilakukan Eliminasi Gauss diperoleh persamaan , selanjutnya persamaan ini difaktorkan dengan perintah : >
(5
> Nilai a = 4 dan a = -4 disubstitusikan ke persamaan diperoleh : >
dan
(6
(7 >
(8 >
(9 > > >
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 92
(10 )
(11 ) (12 )
Selanjutnya untuk nilai Eliminasi Gauss. > > (4)
disubstitusikan ke matriks hasil
>
((13))
(14) >
((14))
(15) Dari hasil di atas untuk nilai a = 4 diperoleh solusi banyak > > (4)
>
((16))
> Error, (in LinearAlgebra:-LA_Main:-BackwardSubstitute) inconsistent system Untuk nilai tidak ada solusi, jadi untuk nilai memiliki tepat satu solusi Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 93
(16)
(17)
III. KESIMPULAN Berbagai alternatif yang digunakan untuk menetukan solusi sistem persamaan linear masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan maupun kekurangan tersebut dapat saling melengkapi ketika kita sebagai pengguna mampu memanfaatkannya sesuai dengan konteks persoalan yang dihadapai. Adapun bentuk kemudahan yang ditawarkan dalam aplikasi maple 13 adalah untuk menyelesaikan berbagai persoalan matematika salah satunya sistem persamaan linear, tidak lantas membuat kita malas memahami dan melakukan cara-cara manual dalam menyelesaikan sistem persamaan linear, karena fungsi awal aplikasi ini adalah untuk memberi gambaran/target akhir yang ingin dicapai ketika kita dihadapkan pada persoalan matematika.
DAFTAR PUSTAKA Anton, H., 1993, Aljabar Linier Elementer (Edisi Ketiga), Erlangga, Jakarta. Charles, 1993, Aljabar Linear dan Penerapannya, Gramedia, Jakarta. Finan, B. Marcel, 2001, Fundamentals of Linear Algebra, Arkansas Tech University, Texas. Kartono, 2005, Aljabar Linear, Vektor dan Eksplorasi dengan Maple(Edisi Kedua),Graha Ilmu, Yogyakarta. Maplesoft,1988, [online] http://en.wikipedia.org/wiki/waterloo_Maple. [3 Agustus 2010] Maplesoft, 2009, Maple13The Essential Tool for Mathematics and Modeling, Copyright Maplesoft. Rorres, 2004, Aljabar Linear Elementer versi Aplikasi, Erlangga, Jakarta
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 94
PEMBELAJARAN ENERGI DAN DAYA LISTRIK MELALUI PENDEKATAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi Kuasi Eksperimen pada Salah Satu SMK di Kota Lubuklinggau) Oleh: A. Budi Mulyanto ABSTRAK Pelajaran fisika atau pelajaran IPA secara umum dipandang sebagai mata pelajaran yang kurang memberi manfaat bagi siswa SMK kelompok Teknologi dan Industri. Hal ini mengakibatkan motivasi belajar siswa sangat lemah untuk mengikuti pelajaran IPA secara baik, apalagi ditunjang dengan perolehan bidang keahlian yang sering tidak sesuai dengan keinginan siswa, terutama yang mendapatkan bidang Teknik Bangunan. Oleh sebab itu, diperlukan strategi pembelajaran dengan metode dan pendekatan yang tepat untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Inilah yang menjadi latar belakang pemilihan pendekatan STM dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain “The OneGroupPretest-Postest Design”. Sampel penelitian siswa kelas II TB2 SMKN 3 Lubuklinggau. Untuk melihat keefektifan pendekatan yang dieksperimenkan, digunakan acuan ketuntasan hasil belajar, peningkatan skor (gain), serta respons siswa dan guru terhadap pelaksanaan pembelajaran melalui pendekatan STM. Dari hasil skor akhir untuk tes penguasaan konsep dan sikap kepedulian terhadap lingkungan, hasil belajar siswa mencapai ketuntasan. Namun, untuk tes kreativitas, siswa belum mencapai ketuntasan belajar, juga dari hasil analisis berdasarkan skor total. Gain skor tes penguasaan konsep, kreativitas, dan sikap kepedulian cukup tinggi, dan melalui analisis uji t terhadap rata-rata skor tes penguasaan konsep, kreativitas, dan sikap kepedulian, diperoleh: semua rata-rata skor akhir lebih baik dari pada skor awal secara signifikan. Respons siswa dan guru, yang diperoleh melalui angket dan wawancara, sangat baik. Pada umumnya, terutama siswa merasa senang mengikuti proses pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui pendekatan STM dan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya. Kata Kunci: Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 95
A. PENDAHULUAN Dalam menghadapi eraglobalisasi dengan perkembangan teknologi dan industri yang sangat pesat, upaya mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil merupakan hal yang sangat penting. Dunia pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) kelompok Teknologi dan Industri merupakan salah satu ujung tombak bagi terciptanya upaya tersebut. Perkembangan teknologi dan industri banyak didasari oleh konsep-konsep pada materi pelajaran Fisika. Salah satunya yaitu pokok bahasan Energi dan Daya Listrik yang konsep-konsepnya sangat dibutuhkan oleh para siswa lulusan SMK kelompok Teknologi dan Industri di lapangan pekerjaannya, juga dalam kehidupan kesehariannya. Secara umum, tujuan penyelenggaraan SMK sebagaimana dikemukakan pada keputusan Menteri Pendidikan Nasional ”(Depdiknas, 2002: 83) adalah sebagai berikut. “Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bertujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa untuk menyiapkan mereka sebagai tenaga kerja tingkat menengah yang terampil, terdidik, dan profesional, serta mampu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, program pembelajaran adaptif di SMK kelompok Teknologi dan Industri bertujuan menyiapkan tamatannya untuk menjadi tenaga kerja yang memiliki bekal penunjang bagi penguasaan keahlian profesi dan bekal kemampuan pengembangan diri untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Depdikbud, 1999: 1). Sejalan dengan itu, Sidi (2001:15) berpendapat bahwa materi kurikulum di masa depan harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan fisika siswa SMK kelompok Teknologi dan Industri masih sangat rendah, bila dilihat dari perolehan NEM-nya. Oleh sebab itu, maka selayaknya penanganan proses pembelajaran fisika harus dilakukan dengan strategi, pendekatan dan model pembelajaran yang baik. Sebagaimana diungkapkan oleh Hudoyo (1988: 96) bahwa strategi Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 96
belajar mengajar akan menentukan terjadinya proses belajar mengajar yang selanjutnya menentukan hasil belajar. Pembelajaran fisika yang banyak dilaksanakan di sekolah masih berorientasi pada teacher centered, yaitu guru masih banyak berperan sebagai penyampai materi pelajaran, siswa hanya belajar di kelas dan guru tidak membangun pengalaman yang siswa temui dari lingkungannya. Pola pengajaran seperti ini dapat menyebabkan pembelajaran fisika kurang memberi bekal bagi siswa untuk menghadapi perkembangan teknologi pada lingkungan masyarakatnya. Pujiadi (1997: 3) menyatakan bahwa pendidikan sains yang dilakukan dalam pembelajaran biasa kurang mampu menciptakan masyarakat yang memiliki literasi iptek. Di samping itu, ukuran keberhasilan siswa di sekolah hingga saat ini masih mengacu pada perolehan nilai EBTA, EBTANAS atau nilai ujian akhir. Soal-soal yang digunakan lebih banyak sekedar mengukur kemampuan kognitif dan lebih diperuntukkan bagi siswasiswa kelompok atas. Sementara siswa-siswa kelompok sedang ke bawah, yang tidak akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kurang diperhatikan. Akibatnya, di lapangan sering muncul anggapan bahwa keterampilan proses tidak dirasa perlu untuk dikembangkan dalam pembelajaran IPA sebab EBTA atau EBTANAS hampir tidak pernah memunculkan soal-soal yang mengukur keterampilan proses (Rustaman, 2001:1). Jika dikaitkan dengan tujuan penyelenggaraan SMK, maka siswa sekolah kejuruan di samping harus memiliki penguasaan konsep yang baik, diharapkan juga memiliki kemampuan keterampilan proses, kreativitas serta sikap kepedulian terhadap perkembangan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan pada tingkat pra-universitas, pelajaran IPA semakin tidak disukai oleh peserta didik (Pujiadi, 2002b: 2). Oleh sebab itu, jumlah siswa yang mengambil jurusan IPA semakin sedikit, apalagi untuk di sekolah kejuruan, peserta didik masih menganggap bahwa pelajaran IPA hanya sebagai pelajaran tambahan yang dirasa kurang bermanfaat bagi mereka. Meskipun antara sains dan teknologi tidaklah identik dan memiliki aktifitas yang berbeda, namun antara sains dan teknologi memiliki ketergantungan yang tinggi. Sains dapat menjembatani perkembangan teknologi dan teknologi yang handal dapat memberi Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 97
fasilitas terhadap pengembangan sains. Oleh sebab itu, untuk dapat melaksanakan pendidikan sains dengan baik, seorang guru perlu menyadari bahwa kedua bidang tersebut berada secara terpisah tetapi memiliki kemampuan yang saling mendukung (Pujiadi, 2001a: 5). Upaya perbaikan terhadap sistem pengajaran sains telah banyak ditempuh baik dari segi kurikulum, siswa, maupun guru. Dalam bidang kurikulum, pada SMK kelompok Teknologi dan Industri setelah diberlakukannya kurikulum 1994, kemudian dilakukan juga inovasi dengan diterbitkannya kurikulum edisi 1999, yang menganut prinsip di antaranya berbasis kompetensi dan kemampuan daya jual (Depdikbud, 1999:i). Berkaitan dengan siswa, dalam rangka mendekatkan siswa dengan lingkungan masyarakat dan untuk lebih mengenal dunia usaha/industri (DUDI), mulai tahun pelajaran 1994/1995 digulirkan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Dan yang berkaitan dengan kemampuan guru, dilakukan penataran para guru termasuk guru pada bidang adaptif di pusat-pusat pelatihan guru. Namun, usaha-usaha itu terasa masih kurang dapat memberi manfaat yang optimal terhadap perkembangan pengajaran sains bagi siswa. Penggunaan pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam pembelajaran sains merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan minat siswa dan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penguasaan konsep, keterampilan proses, aplikasi konsep, kreativitas dan sikap kepedulian siswa terhadap sains dan teknologi serta dapat melakukan tindakan nyata dalam menghadapi perkembangan teknologi yang sangat pesat. Yager (1996a: 51) menyatakan bahwa domain-domain yang tercakup dalam program STM meliputi: concept domain, proses domain, application and connection domain, creativity domain, attitude domain dan world view domain. Pengembangan terhadap Program STM dilakukan sebagai akibat atas kekecewaan yang timbul dari lemahnya hubungan antara pembelajaran sains terhadap kebutuhan sebagian besar siswa terutama kelompok menengah ke bawah (Lazarowitz & Pinchas, 1993: 106). Melalui pendekatan STM siswa dapat mempelajari sains dengan mengambil isu yang berkembang di lingkungannya sehingga pelajaran sains dapat terasa lebih dekat dan dibutuhkan. Roy (dalam Hidayat, 1993:2) menyatakan bahwa STM sebagai perekat yang Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 98
mempersatukan IPA, teknologi dan masyarakat secara bersamasama. Penumbuhan minat siswa dalam proses pembelajaran adalah hal yang penting, dengan adanya minat yang kuat seseorang akan memiliki semangat dan kesanggupan yang kuat pula untuk mengikuti dan melaksanakan suatu kegiatan tertentu. Beberapa hal yang mengakibatkan siswa lanjutan kurang menyukai dan kurang berminat terhadap IPA diungkapkan oleh Hidayat (1996: 20) sebagai berikut. 1. Dalam mengajarkan IPA guru terlalu menekankan fakta-fakta dan konsep tanpa menghubungkan dengan lingkungan sekitar. 2. Pengajaran IPA cenderung menyiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan hanya berorientasi pada pengetahuan. 3. Siswa kurang diberi kesempatan untuk bertanya. 4. Kurangnya perhatian guru terhadap berbagai masalah lingkungan yang timbul dari interaksi antara sains dan teknologi dalam masyarakat. 5. Evaluasi lebih banyak ditekankan pada pengetahuan dan kurang memperhatikan sikap, proses, dan kreativitas siswa. Dewasa ini, dalam masyarakat kita sedang hangat-hangatnya berkembang isu tentang kenaikan tarif dasar listrik, yang tentunya juga menjadi permasalahan yang dihadapi para siswa, terutama siswa SMK. Permasalahan listrik tergolong pada konsep abstrak karena bendanya tidak dapat dilihat. Keabstrakan konsep listrik tersebut memberi peluang besar terhadap kesalahan konsep pada siswa dan dapat mengakibatkan kesulitan bagi mereka untuk memahami sifatsifatnya. Melalui pendekatan STM diharapkan siswa SMK kelompok Teknologi dan Industri dapat lebih memiliki bekal yang memadai untuk menghadapi permasalahan tersebut secara positif. B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian, permasalahan dalam penelitian dibatasai pada: 1) Hasil belajar berupa penguasaan konsep, kreativitas, dan sikap kepedulian siswa terhadap lingkungannya.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 99
2) Penguasaan konsep yang diukur merupakan penguasaan siswa terhadap konsep-konsep Energi dan Daya Listrik. 3) Kreativitas siswa yang diukur meliputi kemampuan fluency (kelancaran), flexibility (keluwesan), dan originality (keaslian). 4) Sikap kepedulian siswa terhadap lingkungan dibatasi pada sikap siswa terhadap lingkungannya yang berkaitan dengan konsep-konsep fisika. Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah adalah “Bagaimana pengaruh pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui Pendekatan STM terhadap hasil belajar siswa pada SMK kelompok Teknologi dan Industri?” Selain rumusan masalah tersebut, dibuat pertanyaan atau rumusan masalah penelitian sebagai berikut. 1. Apakah hasil belajar siswa setelah mengikuti pembalajaran melalui pendekatan STM pada pokok bahasan Energi dan Daya Listrik memperlihatkan ketuntasan hasil belajar? 2. Bagaimanakah peningkatan nilai (gain) pada aspek pemahaman konsep siswa setelah mengikuti pembelajaran melalui Pendekatan STM pada pokok bahasan Energi dan Daya Listrik? 3. Bagaimanakah peningkatan nilai pada aspek kreativitas siswa setelah mengikuti pembelajaran melalui Pendekatan STM pada pokok bahasan Energi dan Daya Listrik? 4. Bagaimanakah peningkatan nilai pada aspek sikap kepedulian siswa terhadap lingkungannya setelah mengikuti pembelajaran melalui Pendekatan STM pada pokok bahasan Energi dan Daya Listrik? 5. Pada kelompok siswa manakah pembelajaran melalui Pendekatan STM lebih menunjukkan keefektifan? 6. Bagaimanakah respon siswa terhadap pembelajaran melalui pendekatan STM pada pokok bahasan Energi dan Daya Listrik? C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) Pendekatan STM merupakan strategi pembelajaran yang mengaitkan antara isu atau permasalahan yang berkembang di Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 100
masyarakat, terhadap konsep-konsep sains yang tertuang dalam kurikulum. Yager (1993: 3) menyatakan bahwa National Science Teacher Association (NSTA) memandang STM sebagai teaching and learning of science in the context of human experience. Dengan Pendekatan STM peserta didik dibawa dalam suatu proses pembelajaran yang berkaitan dengan pengalaman mereka terutama yang berkaitan dengan perkembangan sains dan teknologi. Tegasnya menurut Hidayat (1996:1), Program STM dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara kemajuan sains dan teknologi, informasi ilmiah dalam dunia pendidikan dan nilai-nilai sains itu sendiri dalam kehidupan masyarakat secara praktis. Menurut Poedjiadi (2001: 71-72) untuk melaksanakan pembelajaran melalui pendekatan STM disarankan menggunakan beberapa langkah sebagai berikut. 1) Tahap apersepsi, inisiasi, invitasi atau eksplorasi, yaitu pengemukaan isu atau permasalahan yang tengah berkembang di masyarakat, kemudian dikaitkan dengan konsep-konsep yang relevan. Isu atau permasalahan tersebut, dapat dimunculkan oleh guru atau dari siswa. 2) Tahap pembentukan konsep, dilakukan melalui kegiatan belajar mengajar yang dapat menggunakan metode diskusi, eksperimen, observasi, atau demonstrasi. Pada tahap ini dapat juga terjadi pemantapan konsep. 3) Tahap aplikasi konsep, pada tahap ini siswa mengaplikasikan konsep yang telah terbentuk untuk menyelesaikan atau menganalisis isu atau permasalahan yang telah diungkapkan. 4) Tahap pemantapan konsep, yaitu langkah pemantapan kembali konsep-konsep yang telah dikonstruksi oleh siswa guna menghindari adanya miskonsepsi. 5) Tahap evaluasi yang mencakup berbagai aspek, yaitu penguasaan konsep, keterampilan proses, aplikasi konsep, kreativitas dan sikap kepedulian yang diharapkan dapat menghasilkan tindakan nyata. 2. Konsep, Kreativitas, dan Sikap a. Konsep Konsep merupakan suatu gagasan atau ide yang didasarkan pada pengalaman yang relevan dan dapat digeneralisasikan. Menurut Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 101
Rosser (dalam Dahar, 1996: 80) “Konsep merupakan suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian yang memiliki atribut-atribut sama.” Menurut Dahar (1996: 33) ciri-ciri konsep IPA sebagai berikut. a. Konsep merupakan buah pikiran yang dimiliki oleh seseorang dan dapat merupakan simbol. b. Konsep diambil dari hasil pengalaman manusia terhadap benda, peristiwa, dan fakta. c. Konsep adalah hasil pikiran abstraksi manusia yang dirangkum dari berbagai pengalaman. d. Konsep merupakan kaitan antara fakta-fakta atau pola dari faktafakta. e. Konsep dapat mengalami perubahan jika ditemukan fakta-fakta baru yang menyimpang dari fakta-fakta sebelumnya. Konsep-konsep yang saling berkaitan dapat digeneralisasi membentuk prinsip, dan prinsip-prinsip yang sudah diterima karena telah mengalami pengujian-pengujian dapat menjadi hukum. Pada kerangka yang lebih luas, fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsipprinsip dapat membentuk suatu teori. b. Kreativitas Kreativitas sering disebut sebagai daya cipta yang memungkinkan untuk dapat memberikan berbagai alternatif dalam memecahkan masalah. Menurut Munandar (1990: 48) kreativitas merupakan kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan atas informasi atau unsur yang ada. Juga Nickerson, (1985: 88) “Kreativitas adalah kumpulan dari kemampuan dan kecenderungan yang membawa seseorang untuk sering menghasilkan hal yang kreatif”. Sund dan Carin (1978: 79-81) mengemukakan lima kemampuan berpikir kreatif adalah: a. Kelancaran (fluency) adalah kemampuan menghasilkan banyak gagasan untuk menyelesaikan masalah. b. Keluwesan (flexibility) adalah kemampuan mengemukakan berbagai kategori gagasan. c. Keaslian (originality) adalah kemamapuan mengemukakan gagasan asli atau unik yang jarang dimunculkan oleh orang lain. d. Penguraian (elaboration) adalah kemampuan menguraikan secara terinci. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 102
e. Sensitivitas (sensitivity) kemampuan merasakan dan merespon permasalahan dari keadaan lingkungannya. c. Sikap Sikap dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan bertindak atau perasaan keberpihakan seseorang terhadap suatu obyek dan akan berpengaruh pada orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Subianto (1988: 57) menyatakan bahwa sikap adalah keadaan kompleks manusia yang mempengaruhi tingkah lakunya terhadap orang, benda dan peristiwa. Lebih rinci Sujana (1988: 48) berpendapat bahwa sikap merupakan kesediaan untuk menolak atau menerima suatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut apakah berarti atau tidak baginya. Dengan demikian, sikap kepedulian merupakan gambaran kepribadian yang cenderung positif terhadap suatu obyek atau peristiwa. 3. Energi dan Daya Listrik Arus listrik merupakan gerakan muatan listrik melalui suatu penghantar (konduktor), arah arus listrik disepakati sebagai arah aliran muatan positif. Kuat arus (I) menyatakan besarnya muatan listrik (Q) yang mengalir melalui suatu penampang pada penghantar setiap detik, atau I = Q/t (Kertiasa & Budikase, 1993: 181). Arus listrik terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik, dan arus listrik mengalir dari potensial tinggi ke potensial rendah. Jika dua titik A dan B memiliki beda potensial sebesar V, maka besarnya energi listrik yang dibutuhkan untuk memindahkan muatan sebesar Q selama t detik dari titik A ke titik B adalah, W = QV (Kertiasa & Budikase, 1993: 199). Daya listrik merupakan besarnya energi listrik yang terpakai setiap satu satuan waktu. Semakin besar daya peralatan listrik yang digunakan semakin besar pula energi listrik yang terpakai, dan tentunya berdampak terhadap mahalnya pembayaran listrik yang harus kita lakukan. Penghematan penggunaan energi listrik dapat dilakukan dengan upaya pemilihan daya listrik yang secukupnya dan perlakuan yang benar terhadap pemakaian peralatan yang dioperasikan dengan listrik (peralatan listrik). Secara matematik daya listrik dinyatakan sebagai berikut. W , karena W = Q.V maka, P t Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 103
Q.V , sementara Q/t = I maka, t P I.V , (Giancoli 1991: 469). Ketarangan: P = daya listrik (watt) W = energi listrik (joule) t = waktu (detik) Q = muatan listrik (coulumb) V = beda potensial listrik (volt) I = kuat arus listrik (ampere) Dari definisi resistansi atau yang biasa disebut sebagai hukum Ohm, yaitu R = V/I, dengan R sebagai nilai hambatan dari resistor yang dinyatakan dalam ohm, maka persamaan di atas dapat dituliskan sebagai berikut. V V2 (Tipler, 1991: 148). P (IR)I I 2 R, atau P V R R Persamaan di atas berlaku untuk penghantar yang memiliki hambatan sebesar R dan dialiri arus listrik sebesar I. P merupakan daya yang hilang atau daya disipasi pada penghantar tersebut (Sutrisno & Tan Ik Gie, 1983: 65). Pembayaran listrik merupakan biaya dari energi listrik yang terpakai, dan biasanya dihitung selama satu bulan. Dalam sistem internasional (SI) energi listrik bersatuan joule atau watt detik, namun dalam kehidupan sehari-hari Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggunakan satuan yang lebih besar yaitu kilowatt-hour (kWh). Satu kilowatt-hour merupakan besarnya energi yang terpakai selama satu jam dengan laju tetap sebesar satu kW (1 kWh = 3,6 106 J) (Surya, 1996: 116). Listrik merupakan salah satu bentuk energi yang paling mudah untuk diubah menjadi bentuk energi yang lain, sehingga listrik menjadi kebutuhan yang mendasar bagi umat manusia. Perubahan energi listrik menjadi energi kalor merupakan perubahan energi yang paling mudah terjadi. Setiap arus listrik yang mengalir melalui suatu penghantar akan menghasilkan energi kalor, besarnya energi kalor yang dihasilkan tergantung pada besarnya hambatan dari penghantar tersebut. Untuk suatu penghantar yang memiliki hambatan sebesar R dan dialiri arus listrik sebesar I, maka selama P
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 104
selang waktu t akan menghasilkan energi panas sebesar I2.R.t, energi panas biasa dinyatakan dalam kalori (1 kalori = 4,18 J). Kesanggupan suatu penghantar untuk dilalui arus listrik sangat dipengaruhi oleh luas penampang (ukuran) penghantar tersebut. Semakin kecil ukuran penampang kawat, semakin besar hambatannya, dan semakin besar pula energi kalor yang dihasilkan. Energi kalor yang berlebihan pada penghantar listrik dapat mengakibatkan terbakarnya isolator dan terjadinya hubungan singkat serta dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran. Oleh sebab itu, pada pemasangan instalasi listrik harus diperhitungkan ukuran kawat penghantar yang akan digunakan, dan penggunaan sekring (fuse) untuk membatasi besarnya arus listrik yang akan mengalir pada penghantar tersebut. Peralatan listrik rumah tangga sebenarnya juga merupakan hambatan listrik, berarti rangkaian peralatan listrik rumah tangga juga merupakan rangkaian hambatan. Ada dua jenis rangkaian hambatan yang kita kenal yaitu rangkaian seri dan rangkaian paralel atau dapat pula gabungan dari kedua jenis rangkaian tersebut. 1) Rangkaian Seri Pada rangkaian seri salah satu kaki dari masing-masing hambatan berhubungan dengan salah satu kaki dari hambatan lain. Contoh rangkaian seri digambarkan sebagai berikut.
R1 R2 R3 Besarnya hambatan total pada rangkaian seri adalah: R s R 1 R 2 R 3 ... 2) Rangkaian Paralel Pada rangkaian paralel kedua kaki dari masing-masing hambatan berhubungan dengan kedua kaki dari hambatan lain. Contoh rangkaian paralel digambarkan sebagai berikut. R1 R2 R3 Besarnya hambatan total pada rangkaian paralel adalah:
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 105
1 1 1 1 ... R p R1 R 2 R 3
Pada Instalasi listrik rumah tangga, dibuat sedemikian rupa agar semua beban (peralatan listrik) mendapat tegangan listrik yang sama besar. Untuk itu, maka pemasangan peralatan tersebut dirangkai secara paralel, dan masing-masing peralatan akan dialiri arus listrik yang besarnya berbeda-beda, tergantung pada besar hambatannya. Pada rangkaian seri tidak terdapat cabang, maka arus listrik yang mengalir pada semua beban sama besar, sedangkan pada rangkaian paralel semua beban mendapat beda potensial yang sama. Prinsip tersebut dapat membantu kita untuk menentukan besarnya beda potensial dan kuat arus yang mengalir pada masing-masing hambatan dalam rangkaian. Selanjutnya daya dari masing masing hambatan tersebut dapat dihitung dengan persamaan, Pi = Ii Vi. Ketengan : Pi = Daya listrik yang dikonversi oleh hambatan tersebut (watt). Ii = Kuat arus listrik yang mengalir melalui hambatan tersebut (ampere). Vi = Beda potensial antara kedua ujung hambatan tersebut (volt).
D. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah desain kuasi berbentuk “ The One-Group Pretest-Postest Design” atau desain satu kelompok pretes-postes yang oleh Fraenkel & Wallen (1993: 246) digolongkan pada weak experiment design. Desain tersebut digambarkan sebagai berikut. O Pretest
X Treatment
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 106
O Postest
Perlakuan (Treatment) yang diberikan pada kelas eksperimen, yaitu kelas IITB2 SMKN 3 Lubuklinggau adalah pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui pendekatan STM. Tes awal dan tes akhir dilaksanakan dengan menggunakan alat tes yang sama. 2. Instrumen Penelitian Instrumen pokok yang digunakan adalah instrumen tes hasil belajar berupa tes kemampuan penguasaan konsep, kreativitas dan sikap kepedulian siswa terhadap lingkungannya. Sedangkan instrumen pendukungnya berbentuk angket dan wawancara. 3. Teknik Analisis Data Langkah-langkah dalam menganalisis data tes hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menentukan skor rata-rata dan standar deviasi tes awal dan tes akhir dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut. X i (Sudjana, 1986: 66) X N S
( X i X ) 2 (Sudjana, 1986: 91) N 1
2. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui kenormalan data. Rumus yang digunakan dengan rumus:
adalah uji kecocokan 2 (Khi-kuadrat)
2
(f o f e ) 2 (Minium E.W, 1993: 290). fe
Selanjutnya 2hitung dibandingkan dengan 2tabel dengan derajat kebebasan (dk) = J – 3 , dimana J adalah banyaknya kelas interval. Jika 2hitung 2tabel , maka dapat dinyatakan bahwa data berdistribusi normal, dalam keadaan lain data tidak berdistribusi normal. Hasil perhitungan tes kreativitas, pada tes awal diperoleh 2hitung = 6,3 < 2tabel = 11,3. Pada tes akhir diperoleh 2hitung = 5,6 < Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 107
2tabel = 11,3. Sedangkan untuk tes sikap kepedulian terhadap lingkungan, pada tes awal diperoleh 2hitung = 8,1 < 2tabel =11,3. Dan pada tes akhir diperoleh 2hitung = 4,2 < 2tabel = 11,3. Dengan demikian, baik pada tes awal maupun tes akhir diperoleh data yang berdistribusi normal. 3. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas digunakan uji varians dua buah peubah bebas. Dengan demikian, hipotesis yang akan diuji adalah : 2 2 H 0 : Sakhir S awal 2 2 S awal : Sakhir
Ha
Uji statistiknya menggunakan uji-F, dengan rumus:
Fhitung
S12 S 22
(Sudjana, 1986: 242).
Kriteria pengujiannya adalah: H o diterima jika Fhitung F1 α (n1 1; n 2 1) , dan H o ditolak jika F mempunyai harga-harga 2
lain. Dari hasil perhitungan tes kreativitas, diperoleh Fhitung = 1,1 < Ftabel = 1,7.. Dengan demikian, data dapat dikatakan memiliki varians yang homogen. 4. Uji Perbedaan Dua Rata-rata Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk menguji perbedaan antara dua rata-rata, yaitu data tes awal dan tes akhir. Hipotesis yang akan diuji adalah:
Ho
: X akhir X awal
Ha
: X akhir X awal
Karena kedua data berdistribusi normal dan homogen, maka uji statistik yang digunakan adalah uji-t dengan rumus:
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 108
x akhir x awal
t hitung s
dengan :
s 2
1 1 n akhir n awal
2 2 (n akhir 1) S akhir (n awal 1) S awal
n akhir n awal 2
(Sudjana,
1986: 232), Kriteria pengujiannya: terima H o jika t t (1 ) dan tolak H o jika t mempunyai harga-harga lain. Derajat kebebasan untuk
daftar distribusi t adalah ( n 1 n 2 2 ) (Sudjana, 1986: 243). Selanjutnya, untuk melihat peningkatan hasil belajar (gain) secara lebih teliti dari masing-masing mahasiswa ataupun kelompok golongan siswa, digunakan rumus: g
skor tes akhir skor tes awal skor maksimum skor tes awal
(Meltzer,
2002: 1259). Ketuntasan hasil belajar diukur dengan kriteria ketercapaian ketuntasan belajar jika 85% subyek atau lebih memperoleh skor 65% atau lebih dari skor total (Depdikbud, 1994: 39). Angket yang berisi respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran Energi dan Daya listrik melalui Pendekatan STM dianalisis dengan skala sikap secara aposteriori, yaitu skala dihitung setiap item berdasarkan jawaban responden dan selanjutnya dipersentase dan diinterpretasikan hasilnya. Selain itu juga, dicari skor netralnya untuk dibandingkan dengan skor sikap siswa sehingga dapat terlihat kecenderungan sikap siswa secara umum. Data wawancara, baik dengan siswa maupun guru, sebagaimana angket, dianalisis per-butir pertanyaan wawancara, selanjutnya diinterpretasikan dan dibandingkan dengan hasil analisis tes dan angket untuk memperoleh kesimpulan akhir yang akurat.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 109
E. PEMBAHASAN 1. Ketuntasan Belajar Ketuntasan belajar merupakan salah satu ukuran keberhasilan dari proses belajar mengajar. Kriteria keberhasilan yang digunakan ialah jika 85% siswa atau lebih mendapatkan skor 65% atau lebih dari skor total (Depdikbud, 1994: 39). Untuk tes penguasaan konsep dari subyek sebanyak 32 siswa, terdapat 28 siswa atau 87,5% siswa yang mendapatkan skor 65% atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa untuk domain penguasaan konsep, siswa yang telah mengikuti pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui Pendekatan STM mencapai ketuntasan belajar. Tercapainya ketuntasan belajar siswa pada domain penguasaan konsep setelah mereka mengikuti pembelajaran melalui Pendekatan STM, menunjukkan bahwa Pendekatan STM cukup efektif untuk meningkatkan penguasaan konsep. Penguasaan konsep siswa ditunjukkan oleh kemampuan mereka dalam memahami konsep-konsep fisika yang dipaparkan dalam masing-masing jawaban pada setiap butir soal. Pada tes kreativitas, dari subyek sebanyak 32 siswa, hanya 13 siswa atau 40,6% siswa yang mendapatkan skor 65% atau lebih. Berarti pada domain ini siswa yang telah mengikuti pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui Pendekatan STM belum mencapai ketuntasan belajar. Sedangkan untuk tes sikap kepedulian, terdapat 29 siswa dari 32 siswa atau 90,6% siswa yang mendapat skor 65% atau lebih. Dengan mengacu pada kriteria ketuntasan belajar, berarti siswa yang telah mengikuti pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui Pendekatan STM telah mencapai ketuntasan belajar pada domain sikap kepedulian terhadap lingkungan. Belum tercapainya ketuntasan belajar pada domain kreativitas, dimungkinkan karena keterbatasan waktu pembelajaran yang hanya tiga kali pertemuan. Dengan waktu yang sangat singkat belum memadai untuk dapat memupuk kreativitas siswa secara signifikan. Apalagi untuk keadaan keadaan psikologis siswa yang kurang baik sebagai akibat atas kekecewaan yang mendalam meraka karena mendapatkan bidang keahlian Teknik bangunan yang sangat tidak mereka minati. Oleh sebab itu, walaupun mereka memiliki kemampuan kreatif namun karena kurang dipupuk maka kurang
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 110
berkembang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Munandar (1999: 52), bahwa walaupun setiap orang mempunyai bakat kreatif, namun kalau tidak dipupuk bakat tersebut tidak akan berkembang. Untuk ketuntasan belajar yang di analisis melalui skor total, yaitu hasil penjumlahan dari skor tes penguasaan konsep, tes kreativitas, dan tes sikap kepedulian terhadap lingkungan, dari 32 siswa hanya 24 siswa atau 81,3% yang mendapatkan skor 65% atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang telah mengikuti pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui Pendekatan STM belum mencapai ketuntasan belajar. Belum tuntasnya pencapaian hasil belajar siswa ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya, kurangnya waktu pertemuan dan belum terbiasanya para siswa mengikuti pembelajaran melalui Pendekatan STM. Waktu pembelajaran yang hanya tiga kali pertemuan, ternyata belum memadai untuk membawa beberapa siswa dalam mencapai skor dengan proporsi 65% atau lebih, meskipun hanya untuk 29% siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Saripudin (dalam Nasution, 1992: 92) yang mengemukakan bahwa memang bentuk anak pada dasarnya berbeda, setiap anak dapat mencapai taraf penguasaan penuh (belajar tuntas). Yang membedakan individu satu dengan yang lain dalam belajar adalah waktu. Artinya, ada anak yang dapat menguasai materi pelajaran dengan penuh dalam waktu yang singkat dan ada yang memerlukan waktu lebih lama. Namun, pada akhirnya anak akan mencapai penguasaan secara penuh. Dari hasil angket terungkap juga bahwa siswa pada kelas eksperimen belum pernah mengikuti pembelajaran melalui metode diskusi dan pendekatan STM. Belum terbiasanya para siswa tersebut, tentunya menjadi kendala bagi siswa untuk menyesuaikan diri, terutama dengan metode diskusi yang menuntut siswa aktif menyampaikan buah pikiran dan bertukar pendapat. Dari hasil wawancara, mereka menganggap semua ini merupakan kendala yang dialami selama mengikuti pembelajaran melalui pendekatan STM. Jika diteliti lebih dalam, penyebab ketidaktuntasan hasil belajar siswa lebih dikarenakan oleh rendahnya perolehan skor pada Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 111
tes akhir kreativitas. Waktu yang hanya sekitar satu bulan yang digunakan untuk pelaksanaan pembelajaran, ternyata terlalu singkat untuk meningkatkan kreativitas siswa. 2. Peningkatan Nilai (Gain) Penguasaan Konsep Dari hasil analisis terhadap skor tes awal dan tes akhir pada tes penguasaan konsep diperoleh rata-rata gain sebesar 0,57; dengan gain terbesar 0,81 dan gain terkecil 0,33. Peningkatan nilai pada tes penguasaan konsep tersebut didukung pula dengan analisis statistik melalui uji t. Dari hasil analisis uji t diperoleh nilai thitung sebesar 14,3, sedangkan nilai ttabel = 1,7, dengan tarap kepercayaan 95% dan derajat kebebasan 62. Karenanya thitung = 14,3 > ttabel = 1,7. Dengan demikian, maka H0 ditolak atau berarti rata-rata skor tes akhir lebih baik secara signifikan daripada tes awal. Peningkatan nilai pada tes penguasaan konsep yang cukup tinggi disebabkan oleh konsep-konsep yang dipelajari berangkat dari isu yang berkembang di masyarakat, dan didiskusikan dalam proses pembelajaran, sehingga siswa termotivasi untuk dapat memecahkan permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Pengungkapan isu pada awal pembelajaran yang di sarankan pada Pendekatan STM, membawa siswa dalam permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Myers (dalam Yunita, 1999:80) bahwa siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan pendekatan STM memperoleh konsep yang berkaiatan dengan kehidupan sehari-hari dan sesuai dengan masalah yang mereka hadapi. Rata-rata gain yang diperoleh untuk kelompok atas pada tes penguasaan konsep adalah paling tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa lainnya yaitu sebesar 0,59. Untuk kelompok sedang rata-rata gain-nya 0,58 dan untuk kelompok bawah 0,55. Hal ini menunjukkan pada tes penguasaan konsep, pendekatan STM lebih efektif untuk kelompok atas, meskipun selisihnya sangat kecil.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 112
3. Peningkatan Nilai (Gain) Kreativitas Untuk tes kreativitas, rata-rata gain yang diperoleh sebesar 0,3, jauh lebih kecil dari rata-rata gain pada tes penguasaan konsep. Namun demikian, dari uji t terhadap rata-rata skor tes akhir dan ratarata skor tes awal, diperoleh rata-rata skor tes akhir kreativitas secara signifikan masih lebih baik daripada rata-rata tes awalnya. Hal ini ditunjukkan dengan thitung = 6,4 > t (0,95.62) = 1,7. Ini berarti H0 ditolak. Pembelajaran melalui Pendekatan STM, pada domain kreativitas, menunjukkan bahwa siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Sekalipun demikian, Pendekatan STM cukup efektif untuk meningkatkan kreativitas siswa. Yager ( 1996a) menyatakan bahwa pembelajaran dengan melibatkan siswa dalam kegiatan nyata, kemudian mendorong siswa untuk dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dapat mengembangkan aspek keterampilan, sikap, serta kreativitas, di samping aspek kognitif siswa. Rata-rata peningkatan nilai tertinggi pada tes kreativitas, juga diperoleh pada kelompok atas, yaitu sebesar 0,34; untuk kelompok sedang 0,32 dan kelompok bawah 0,25. Hal ini menunjukkan bahwa Pendekatan STM, pada tes kreativitas juga lebih efektif untuk kelompok atas. 4. Peningkatan Nilai (Gain) Sikap Kepedulian terhadap Lingkungan Untuk tes sikap kepedulian, rata-rata peningkatan nilai yang diperoleh lebih besar daripada rata-rata gain untuk tes kreativitas yaitu 0,45. Hasil uji t terhadap rata-rata tes awal dan tes akhir sikap kepedulian diperoleh thitung = 6,7 > t(0,95.62) = 1,7, berarti H0 ditolak atau rata-rata tes akhir sikap kepedulian secara sigifikan lebih baik daripada rata-rata tes awalnya. Ditinjau dari peningkatan nilai dan hasil uji t menunjukkan bahwa Pendekatan STM efektif untuk meningkatkan sikap kepedulian siswa terhadap lingkungannya. Temuan ini senada dengan kesimpulan Yager (1996a: 7), yang menyatakan bahwa pembelajaran sains dengan pendekatan STM dapat membantu mengembangkan sikap positif. Hal ini juga didukung oleh hasil Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 113
penelitian yang dilakukan oleh M.C Comas (dalam Yager, 1996b) yang menyatakan bahwa pembelajaran melalui Pendekatan STM dapat meningkatkan kontrol diri siswa yang dalam hal ini dapat diartikan sebagai bentuk sikap kepedulian. Pengembangan sikap siswa yang lebih baik diharapkan nantinya dapat berkembang menjadi tindakan nyata yang tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi di lingkungan masyarakatnya. Lebih lanjut Selby (1986: 12) juga menyatakan bahwa pembelajaran sains melalui pendekatan STM dapat memperjelas pencapaian tujuan pembelajaran pada aspek afektif. Dari hasil analisis peningkatan nilai pada skor tes awal dan skor tes akhir untuk masing-masing kelompok siswa, diperoleh peningkatan nilai terbesar pada kelompok atas, yaitu 0,53. Pada kelompok sedang sebesar 0,43 dan kelompok bawah 0,38. Rata-rata peningkatan nilai dari masing-masing kelompok siswa untuk tes penguasaan konsep, tes kreativitas dan tes sikap kepedulian ditunjukkan pada grafik berikut ini. Grafik Rata-rata Gain untuk Masing-masing Kelompok Siswa
Gain tertinggi untuk semua domain diperoleh pada kelompok atas. Ini dimungkinkan karena siswa pada kelompok atas lebih bisa termotivasi pada saat mengikuti pembelajaran melalui Pendekatan STM. Kelompok bawah merupakan kelompok siswa yang hampir kehabisan motivasi untuk belajar di sekolah, sehingga waktu yang singkat belum memadai untuk meningkatkan motivasi belajar mereka Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 114
lebih optimal. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran mereka yang sering tidak masuk sekolah. Kepada mereka telah selayaknya untuk mendapatkan bimbingan secara lebih intensif untuk mengembalikan minat belajarnya. 5. Angket Respon Siswa terhadap Pembelajaran melalui Pendekatan STM Berdasarkan jawaban angket respon siswa terhadap pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui Pendekatan STM, secara umum siswa merasa senang. Pernyataan kesenangan mereka tersebut didukung oleh 44% menjawab sangat setuju, dan 50% menjawab setuju. Sebagian besar siswa, 63% sangat setuju dan 34% setuju, bahwa pembelajaran melalui Pendekatan STM dapat memotivasi belajar mereka. Di samping itu, mereka juga yakin bahwa pembelajaran melalui Pendekatan STM dapat meningkatkan penguasaan konsep, kreativitas dan sikap kepedulian mereka terhadap lingkungan, pernyataan tersebut didukung oleh minimal 87% siswa dengan jawaban setuju dan sangat setuju. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pembelajaran melalui Pendekatan STM, tidak terlalu mereka rasakan, pernyataan ini didukung oleh 50% siswa dengan menjawab setuju dan sangat setuju. dan 97% siswa mengharapkan kelanjutan dari pelaksanaan pembelajaran melalui Pendekatan STM. Berdasarkan perhitungan rata-rata skor netral dan rata-rata skor siswa, secara keseluruhan sikap siswa terhadap pembelajaran Energi dan Daya Listrik adalah positif. Hal ini terlihat dari rata-rata skor siswa sebesar 4,2 lebih besar dari rata-rata skor netral sebesar 3,1. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui Pendekatan STM, dapat merangsang motivasi siswa untuk belajar secara mandiri, dan secara aktif menemukan pengetahuannya sendiri. 6. Wawancara terhadap Siswa dan Guru Dari hasil wawancara terhadap siswa yang mewakili masingmasing kelompok siswa, secara umum diperoleh bahwa siswa senang mengikuti pembelajaran melalui Pendekatan STM. Pendekatan STM dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Hal ini disebabkan karena Pendekatan STM berangkat dari isu yang berkembang di Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 115
lingkungan siswa, sehingga siswa merasakan secara langsung manfaat dari belajar fisika. Siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran, dan mereka mengharapkan adanya kelanjutan dari penerapan Pendekatan STM dalam pelaksanaan pembelajaran yang akan datang. Kendala yang mereka uangkapkan lebih karena penggunaan metode diskusi, yang menurut mereka sulitnya untuk mengungkapkan pendapat, serta waktu yang banyak terbuang karena penyusunan bangku. Tanggapan tiga guru terhadap penerapan Pendekatan STM yang diperoleh dari hasil wawancara secara umum senada bahwa Pendekatan STM dapat meningkatkan motivasi siswa dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Melalui Pendekatan STM siswa merasa terlibat langsung dalam upaya pemecahan masalah yang berkaitan dengan lingkungannya. Para guru sependapat bahwa penerapan Pendekatan STM dalam kegiatan pembelajaran fisika dapat dilanjutkan dengan tetap memperhitungkan kendalakendalanya. Kendala yang terungkap bahwa penerapan Pendekatan STM membutuhkan persiapan guru yang lebih baik, termask dalam penyusunan bahan ajarnya. E. SIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang dilaksanakan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. Secara umum pembelajaran melalui pendekatan STM cukup efektif untuk meningkatkan motivasi belajar, serta meningkatkan penguasaan konsep, kreativitas, dan sikap kepedulian siswa terhadap lingkungan. 2. Pembelajaran melalui pendekatan STM, lebih efektif pada siswa golongan kelompok atas. 3. Pendekatan STM dengan salah satu topik pembelajaran Energi dan Daya Listrik dapat mengembangkan sikap kepedulian siswa terhadap lingkungan. 4. Respons siswa terhadap pembelajaran Energi dan Daya Listrik melalui pendekatan STM sangat baik, meskipun Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 116
pendekatan ini merupakan hal yang baru bagi mereka. Pada umumnya, siswa merasa senang mengikuti proses pembelajaran tersebut dan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya. 5. Respon guru, secara umum mereka berharap dan mengupayakan untuk melanjutkan pelaksanaan pembelajaran melalui pendekan STM. Kendala yang ditemukan, membutuhkan waktu yang lebih lama dan persiapan yang lebih baik, serta dibutuhkan ketekunan mencari tema. DAFTAR PUSTAKA Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Depdikbud. (1994). Kurikulum SMU. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. (2002). Keputusan Menteri Pendidikan Nasional R. I. tentang Pedoman Penyusunan Standar Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2002. Jakarta: Mini Jaya Abadi. Fraenkel, JR. & N. E. Wallen (1993) How to Design and Evaluate Research in Education. USA: McGraw-Hill, Inc. Giancoli, D.C. (1991). Physics, Principles with Applications. London: Prentice Hall International, Inc . Hidayat, E.M. (1993). Mengenal Sains dengan pendekatan Science Technology Society. Makalah Tidak Dipublikasikan. ---------- (1996). Pendidikan dan Pembelajaran Sains yang Bagaimana yang Cocok dan Berguna untuk Siswa-siswa di Sekolah Indonesia, Khasanah Pengajaran IPA. Makalah Tidak Dipublikasikan. Hudoyo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud. Minium E.W, Bruce M.K & Gordon B. (1993). Statistical Reasoning in Psychology and Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 117
Munandar, S.C.U., Munandar A.S., Conny Semiawan. (1990). Memupuk Bakat dan Kreativitas Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: PT Gramedia. Nickerson, R.S. dkk. (1985). The Teaching of Thinking. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associaties Publisher. Poedjiadi, A. (1997). Pendidikan Sains di Indonesia: Retrospeksi dan Perspektif. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bandung. Tidak dipublikasikan. ---------- (2001a). Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat. (Makalah). Program Pascasarjana UPI, Bandung. Tidak dipublikasikan. ---------- (2002a). Konstruktivisme dan Pendekatan S-T-M (Sebuah Alternatif Pembelajaran dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi). (Makalah Lokakarya). FPMIPA UPI: Bandung, (24 Juli 2002). ---------- (2002b). Pendidikan Sains-Teknologi-Masyarakat dalam Pendidikan Sains. (Makalah). Seminar Sehari Peningkatan Profesionalisme Guru Kimia di Bandung. (4 Mei 2002). Rustaman, N.Y. (2001). Pengembangan Butir Soal Keterampilan Proses Sains. (Makalah). Tidak dipublikasikan. Sidi, I. D. (2001). Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Radar Jaya Offset. Subiyanto. (1988).Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud. Sujana. (1986) Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Surya, Y. (1996). Olimpiade Fisika, Jakarta: Primatika Cipta Ilmu.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 118
KEMAMPUAN MEMAHAMI PUISI PADA SISWA KELAS XI2 SMA ALIKHLAS LUBUKLINGGAU MELALUI INTEGRASI STRATEGI EKSPOSITORIK DAN STRATEGI HEURISTIK Oleh Nur Nisai Muslihah, M.Pd. ABSTRACT The problem in the development of teaching and learning innovation in the classroom is Is it effective to use integrated expository and heuristic strategy in increasing the eleventh grade students fokltale comprehension at SMA Al Ikhlas Lubuklinggau. This teaching and learning innovation development was to find out to what extent the integrated expository and heuristic strategy increased the eleventh grade students folktale comprehension at SMA Al Ikhlas Lubuklinggau. The development of this teaching and learning inovation was carried out in three cycles with two meeting for each. The finding of pretest showed that among students, 10 students (24,39%) exceeded the score of 65 or more, and 31 students (75, 61%) got score less than 65. While the average score was 50,01. In the first cycle, there were 15 students (36,58%) exceeded score65 or more and 26 students (64,41%) got less than 65. The average score was 60,05. In the second cycles, there were 25 students (60,97%) exceeded score 65 or more and 16 students (39,02%) got less than 65. And the average score was 64,05. In the last cycle, there were 36 students (87,80%) exceeded score 65 or more and 5 students (12,19%) got less than 65. While the average score was 78,50. From the findings, it is found there was …… of increasing of students! Comprehension. Thus, it could be concluded that the integrated expository and heuristic strategy is effective in increasing the eleventh grade students folktale comprehension at SMA Al Ikhlas Lubuklinggau Key Word: Folktale, Comprehension, Expository, Heuristic, Strategy
Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil karya seni sekaligus menjadi bagian dari kebudayaan. Karya sastra mengandung unsur keindahan yang dapat menimbulkan perasaan senang, nikmat, terharu, menarik perhatian dan menyegarkan pikiran penikmatnya. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 119
Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan, karya sastra selalu berkaitan dengan persoalan kehidupan manusia yang terdapat dalam masyarakat karena karya sastra selalu membicarakan perilaku kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Dengan kata lain, karya satra juga dapat dipandang sebagai cerminan dari kehidupan manusia, sebagai tangga dari kehidupan manusia, dan sebagai evaluasi dari kehidupan manusia karena karya sastra juga menggambarkan tentang keinginan suatu kebudayaan, gambaran tradisi yang berlaku, dan tingkat kehidupan yang telah dicapai oleh suatu masyarakat pada suatu masa serta harapan yang dicita-citakan. Di samping itu, karya sastra dapat memberikan pengalaman jiwa serta pengalaman batin pembacanya untuk dapat mengintrospeksi kehidupan yang lebih layak, karena bahasa yang digunakan dalam karya sastra lebih estetis dan artistik bila dibandingkan dengan karya nonsastra lainnya sehingga pembaca tidak mudah bosan untuk membaca, menikmati, dan mendalami makna yang terkandung di dalamnya. Uraian di atas mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya sastra dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu tepatlah bila sastra dimasukkan dalam pembelajaran di sekolah. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia SMA tahun 2001 hahwa siswa mampu menikmati, menghayati, memahami dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (Depdikbud, 2004: 42) Lebih lanjut lagi ditegaskan dalam salah satu standar kompetensinya adalah “memahami berbagaipuisi, novel Indonesia/terjemahan” Terkait dengan hal ini Semi (1988:194) mengemukakan bahwa: manfaaat membaca dan mempelajari sastra bagi siswa adalah untuk menunjang keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, mengembangkan rasa, karsa dan pembentukan watak kepribadian. Karya sastra Indonesia terdiri atashikayat, fiksi (prosa), dan drama. Hal ini sejalan dengan pendapat Pudyardono (1983: 19) yang menyatakan bahwa karya sastra prosa terbagi atas karya sastra prosa Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 120
lama dan karya sastra prosa baru. Salah satu bentuk karya sastra prosa lama adalahpuisi.puisi mengandung nilai sosial, budaya, agama, pendidikan dan tata nilai yang dianut masyarakat untuk disampaikan kepada pembaca. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab sastra lama khususnyapuisi perlu diajarkan di sekolah menengah. Selain itu sastra lama sudah jarang dikenal kecuali melalui pelajaran di sekolah. Idealnya pembelajaran sastra itu menyenangkan karena materinya cukup mengasyikkan, terutama prosa karena bahasa prosa bersifat naratif dan mudah dipahami. Namun kenyataannya siswa mengalami kesulitan dalam menganalisis prosa lama (hikayat). Hal ini banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain karenapuisi sudah jarang dikenal oleh siswa. Selain itu bahasa dalampuisi adalah bahasa yang bersifat klise, istana sentrik, dan bersifat anonim, yang jarang ditemui dalam karya sastra (prosa) pada masa kini. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau diketahui bahwa penyebab belum berhasilnya pembelajaran sastra lama khususnyapuisi pada siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau adalah minimnya buku-buku sastra lama (hikayat) sehingga mengakibatkan rendahnya kemampuan memahami sastra lama (hikayat) para siswa serta kurangnya kreatifitas guru dalam pembelajaran sastra lama termasukpuisi. Guru juga tidak menuntun siswa dalam memahamipuisi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Hasil wawancara dengan beberapa orang siswa diketahui bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mengalisispuisi karena selain kurang terbiasa membacapuisi sebagai salah satu jenis karya sastra lama, juga kurangnya pengetahuan dan pengalaman siswa dalam memahamipuisi meskipun mereka bisa dan senang membaca prosa. Pada dasarnya pembelajaran sastra lama (hikayat) di kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau sudah dilaksanakan namun baru sampai pada tahap membaca dan menceritakan isipuisi sehingga diketahui rendahnya pemahaman siswa terhadap sastra lama (hikayat). Wal hasil pembelajaran analisis sastra lama (hikayat) Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 121
belum memenuhi harapan yang diinginkan dalam tujuan pembelajaran dan kurikulum yang digunakan. Hal ini terbukti dari hasil tes pra tindakan yang diberikan kepada siswa kelas XI2 masih tergolong rendah. Dari 41 siswa yang mengikuti tes awal hanya 10 siswa (24,39%) yang telah mencapai nilai 65 ke atas dengan nilai rata-rata 50.01. Hasil wawancara dengan guru dan siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau dianalisis untuk mencari solusi dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum. Diskusi menghasilkan beberapa alternatif strategi belajar mengajar yang dimungkinkan dapat diterapkan untuk meningkatkan pembelajaran apresiasi sastra lama (hikayat). Selanjutnya peneliti menyimpulkan integrasi dua buah strategi belajar mengajar (ekspositorik dan heuristik) ditetapkan sebagai alternatif yang diterapkan dalam memahami sastra lama (hikayat) siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau. Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami sastra lama (hikayat di kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau, perlu diambil alternatif penyelesaian masalah-masalah yang muncul di dalam kelas. Terkait dalam hal ini Depdikbud (1996: 24) mengemukakan bahwa peningkatan hasil belajar merupakan masalah pokok dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di kelas perlu dilakukan Pengembangan Inovasi Pembelajaran di Sekolah (PIPS). Selanjutnya Depdiknas (2007:1-2) menjelaskan bahwa PIPS suatu program pengembangan inovasi pembelajaran yang ditujukan untuk mengenali masalah pembelajaran, menemukan masalah pembelajaran yang aktual dengan mengembangkan inovasi pembelajaran dalam konteks persekolahan. Inovasi dapat berupa rekayasa, pengembangan baru, modifikasi, penggabungan, dan/atau penyesuaian komponen pembelajaran dengan kondisi setempat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa adalah dengan mengembangkan kegiatan belajar mengajar secara bervariasi (Soekirno, 1986: 1). Dalam pembelajaran guru memegang peranan yang sangat penting. Berhasil atau tidaknya pembelajaran ditentukan oleh guru. Oleh karena itu, Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 122
untuk mencapai tujuan pembelajaran guru harus mampu meningkatkan situasi pembelajaran dan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan tersebutlah yang menggugah peneliti untuk mengadakan Pengembangan Inovasi Pembelajaran di Sekolah (PIPS) dengan mengintegrasikan paradigma lama yang sifatnya teacher oriented dengan paradigma baru yang sifatnya student oriented. Pengintegrasian strategi ekspositorik dan heuristik dalam memahami sastra lama (hikayat) keduanya akan saling mendukung dan menunjang. Dalam hal ini peneliti berkesimpulan bahwa integrasi strategi ekspositorik dan heuristik dalam memahami sastra lama (hikayat) dapat mengoptimalisasikan pembelajaran sastra lama (hikayat) siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau. Strategi ekspositorik menekankan guru sebagai pihak yang mencari dan mengolah pesan atau materi pelajaran sekaligus menjelaskan pesan kepada siswa. Guru lebih aktif ketimbang siswa. Siswa tinggal “terima jadi” dari guru. Penerapan strategi ekspositorik dalam memahami sastra lama (hikayat) dengan cara guru menjelaskan dan membimbing siswa dalam menganalsis unsur-unsur yang membangun sebuahpuisi baik secara intrinsik maupun intrinsik. Kemudian siswa diberi tugas untuk memahamipuisi. Dengan strategi ini siswa dimungkinkan dapat mengetahui teori tentangpuisi dan dapat memahami isipuisi. Strategi heuristik lebih menekankan siswa sebagai pihak yang mencari dan mengolah pesan (materi pelajaran). Peran guru sebagai pembimbing dalam pembelajaran. Siswa yang lebih aktif ketimbang guru. Penerapan strategi heuristik dalam pembelajaran bersifat induktif, Artinya siswa diberi kesempatan untuk mencari dan mengolah pesan. Guru tidak berada di depan siswa dan menariknarik siswa untuk mengikutinya, tetapi siswa yang berada di depan, guru mengarahkan, memberi dorongan, dan membantu siswa yang mengalami kesulitan.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 123
Integrasi strategi ekspositorik dan heuristik dalam memahami sastra lama (hikayat) memungkinkan siswa dapat belajar secara deduktif-induktif (campuran). Dalam arti strategi ekspositorik mengutamakan penyampaian materi di awal pembelajaran kemudian dilanjutkan dengan strategi heuristik yang menguamakan siswa yang mengolah materi dalam bimbingan dan pengarahan dari guru. Berdasarkan pada pemikiran tersebut penelitian ini dilaksanakan sebagai suatu sumbangan bagi peningkatan pemahaman sastra lama (hikayat) untuk para guru dan siswa, khususnya di Kelas XI2 SMA Alikhlas Lubuklinggau.puisi yang dipilih dalam penelitian ini adalahpuisi yang berstandar Kurikulum Terpadu Satuan Pendidikan, sesuai dengan tingkat usia siswa SMA dan sesuai dengan konteks pendidikan siswa SMA Al Ikhlas yang berada di lingkungan pondok pesantren modern Al Ikhlas. Secara umum permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Apakah melalui integrasi strategi ekspositorik dan heuristik kemampuan memahamipuisi siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau dapat meningkat?” Tujuan Penelitian Secara eksplisit, tujuan penelitian pengembangan inovasi pembelajaran ini adalah untuk meningkatkan kemampuan memahamipuisi siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau melalui integrasi strategi ekspositorik dan heuristik. Secara implisit penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan kesulitan-kesulitan yang menyebabkan rendahnya kemampuan siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau memahamipuisi; 2) mendeskripsikan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau memahamipuisi melalui strategi ekspositorik; 3) mendeskripsikan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau memahamipuisi melalui strategi heuristik;
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 124
4) mendeskripsikan ada atau tidaknya peningkatan kemampuan memahamipuisi siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau melalui strategi ekspositorik; 5) mendeskripsikan ada atau tidaknya peningkatan kemampuan siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau memahamipuisi melalui strategi heuristik; 6) mendeskripsikan ada atau tidaknya peningkatan kemampuan memahamipuisi siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau melalui integrasi strategi ekspositorik dan heuristik. Manfaat Hasil Penelitian Hasil Penelitian Pengembangan Inovasi Pembelajaran ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi siswa dalam meningkatkan kemampuannya dalam memahamipuisi melalui integrasi strategi ekspositorik dan heuristik. Bagi guru, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuannya dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaranpuisi dengan mengintegrasikan strategi ekspositorik dan heuristik Bagi kepala sekolah, manfaatnya sebagai masukan dalam mengefektifkan pembinaan, pengelolaan, dan pemanfaatan serta pelaksanaan pendidikan yang sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bagi penilik sekolah dapat memberikan gambaran potensi siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau kaitannya dengan penggunaan strategi ekspositorik dan heuristik yang diintegrasikan dalam memahamipuisi. Bagi Kakandep Diknas, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam rangka penentuan kebijakan dalam pembinaan pembelajaran Bahasa Indonesia. Bagi dosen pengasuh mata kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan dosen dalam menggunakan strategi dalam pembelajaran melalui Penelitian Pengembangan Inovasi Pembelajaran di Sekolah sehingga tercipta kemitraan antara dosen dengan para guru SMA Al Ikhlas Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 125
Lubuklinggau dalam memecahkan masalah pembelajaran sastra lama (hikayat). Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat diinformasikan kepada mahasiswa dalam pembelajaran sehingga dapat diterapkan dalam kegiatan appersepsi maupun pembelajaran sastra secara umum dalam pelaksanaan PPL II. Kajian Pustaka Berikut ini peneliti uraikan teori-teori dan hasil temuan penelitian/pengembangan terdahulu yang relevan. 1. Pengertian puisi Hikayat adalah nama jenis sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai wahananya (Hooykaas, 1974:5; Hussein, 1974:12; Baried, 1985:4). Selanjutnya Baried (1985: 9) mengemukakan bahwa sastrapuisi dalam pengertian sastra Indonesia adalah 1) bersifat sastra lama, 2) ditulis dalam bahasa Melayu, 3) sebagian besar kandungan ceritanya berkisar dalam kehidupan istana; 4) unsur rekaan merupakan ciri yang menonjol; dan pada lazimnyapuisi mencakup bentuk prosa yang panjang. Pendapat lain menyatakan bahwapuisi adalah cerita yang mengisahkan tentang tokoh-tokoh yang hidup di lingkungan istana atau tokoh yang ada kaitannya dengan kehidupan istana atau golongan bangsawan, atau tentang orang-orang terkemuka pada suatu kurun waktu tertentu. 2. Penggolongan Sastrapuisi Baried (1985: 27-31) mengemukakan bahwa dalampuisi terdapat tiga unsur utama yaitu rekaan, sejarah, dan biografi. Selanjutnya Baried menggolongkan sastrapuisi dalam tiga jenis, yaitu: 1)puisi jenis rekaan; 2)puisi jenis sejarah; dan 3)puisi jenis biografi. 2.1puisi Jenis Rekaan Hikayat jenis rekaan ini memiliki unsur-unsur yang menonjol. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1) istana menduduki pusat yang sangat berperan; 2) tujuan utama ceritanya ialah untuk menghibur pendengarnya, terutama mengenai suasana yang serba agung, keindahan yang terdapat di sekitarnya, putra-putri yang saling mencintai dengan parasnya yang elok sempurna, kehebatan-kehebatan yang di atas kemampuan manusiawi ditonjolkan ke muka untuk Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 126
3) 4) 5)
6)
mengasyikkan orang sehingga sejenak dibawa ke alam dan suasana lain yang jauh berbeda dan jauh lebih bagus daripada suasana hidup rakyat biasa seeeehari-hari yang serba susah (Hooykaas,1937: 88). tokoh-tokoh utamanya selalu mendapatkan kemenangan dan mengalami akhir yang baik; segi ajaran moral tidak diabaikan; pola cerita selalu bersifat streotif, antara lain percintaan di antara unsur-unsur istana, peperangan antarkerajaan, dan berperannya makhluk atau kekuatan ajaib; adanya alur cerita yang dapat diramalkan seperti perpisahan dan pertemuan kembali; rintangan dan jalan mengatasinya, kegagalan dan hasil, kekalahan dan kemenangan.
2.2puisi Jenis Sejarah Hikayat jenis sejarah ini lebih mengutamakan unsur-unsur yang bersifat historis yang mendukung cerita. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1) Penyebutan nama-nama tempat yang memang ada dalam pengertian geografis. Tempat-tempat itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) tempat-tempat yang dikenal umum seperti Siam, Majapahit. (2) Asal-mula nama suatu tempat. Nama-nama tempat yang aneh kedengarannya diberi penjelasan tentang asal-usul terjadinya. Nama itu dikaitkan dengan kenyataan yang ada di alam. 2) Penyebutan nama-nama historis dalampuisi, seperti Sultan Malikul Saleh, Malikul Jalil, Gajah Mada, dan lain-lain (Baried: 28). 3) Kandungan cerita terutama merupakan silsilah suatu dinasti. Hikayat jenis sejarah diawali dengan riwayat pendirinya, pendirian dinasti dalam suatu kerajaan, tentang putra-putrinya yang kemudian menjadi penguasa, perkawinan antardinasti yang bersifat politis untuk maksud-maksud ekspansi, hubunganhubungan persahabatan antardinasti, tentang intrik yang berlarutlarut yang membawa banyak korban (Teeuw, 1970: 97-100). 4) Tahun terjadinya peristiwa tidak dinyatakan dengan jelas, tetapi dengan cara yang samar-samar yaitu dengan mempergunakan
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 127
istilah-istilah tertentu seperti tahun lembu dan sebagainya (Teeuw, 1970: 130). 5) Dalampuisi jenis sejarah, pembicaraan mengenai peristiwaperistiwa yang bersifat kontemporer mendapat tempat tersendiri, misalnya mengenai proses islamisasi kerajaan-kerajaan Pasai dan Petani (Baried, 1985:30) 2.3 puisi Jenis Biografi Hikayat jenis biografi ini ditandai oleh unsur-unsur yang menonjol sebagai berikut. 1) Menerangkan dan menyoroti tokoh-tokoh historis dan peristiwaperistiwa yang sesungguhnya terjadi (Baried, 1985: 30). 2) Pusat perhatianpuisi bergeser ke arah kepribadian manusia genius, orang yang bermoral, intelektual, atau orang yang memiliki emosi yang tinggi, yang memiliki perhatian rohani tersendiri (Wellek, 1956: 75) 3) Biografi disusun secara kronoogis dan logis (Wellek, 1956: 75). 4) Biografi tidak mengenal perbedaan yang metodologis (Wellek, 1956: 75) 5) Dalampuisi jenis biografi tetap dirasakan adanya unsur fiktif(Baried, 1985: 31). 3. Strukturpuisi Sebuah karya sastra baik sastra lama maupun baru, dalam bentuk cerita, sastra memiliki unsur-unsur pembentuknya yang oleh para ahli disebut dengan istilah struktur. Demikian juga dengan sastra lama (hikayat). Menurut Baried (1985: 63), strukturpuisi terdiri atas tema, motif, penokohan, latar, dan sudut tinjauan. Dilihat dari segi isinya, tema puisi pada pokoknya menyangkut soal kepercayaan, agama, pandangan hidup, adat istiadat dan sosial. Hal itu terjadi karenapuisi sebagai karya seni merupakan cermin masyarakat pada waktu itu dan dapat digunakan sebagai media untuk mendidik, mengemukakan fakta-fakta, mengkritik dan lain-lain. Selanjutnya Abrams dalam Baried (1985: 65) mengemukakan bahwa motif adalah istilah yang digunakan untuk melukiskan karakter, peristiwa, atau konsep yang sering diulang-ulang yang ada dalam cerita rakyat atau kesusastraan.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 128
Fungsi motif dalampuisi adalah untuk memperpanjang cerita agar mendukung amanat dan motif sebagai pembayangan dalam cerita. Pembayangan dimaksudkan untuk menarik pembaca, memberikan gambaran apa yang akan terjadi dalam uraian selanjutnya. Berkaitan dengan motif, Baried (1985: 65-74) mengemukakan bahwa motif dalampuisi banyak sekali antara lain motif kelahiran, motif perkawinan (sayembara , poligami dan pelanggaran janji), motif ikan, motif impian, motif ahli nujum, motif nakhoda, dan motif perpisahan. Berbicara masalah penokohan dalampuisi, ada beberapa peristiwa yang pada dasarnya merupakan wadah pertentangan antara tokoh utama yang baik dan tokoh utama yang jahat. Biasanya yang baiklah yang mendapaat kemenangan gemilang dan yang jahat dapat dikalahkan. Pada umumnya tokoh utama berada di pihak yang benar, berwatak baik, dan dengan segala kehebatan dan kesaktiannya dia unggul dalam suatu pertempuran atau perkelahian. Unsur lain dalampuisi yaitu latar atau settting. Menurut Wellek (1965: 210) latar adalah lingkungan. Dari segi lain, latar menyangkut aspek yang lebih luas. Sedangkan menurut Abrams (1966: 85) latar di samping tempat terjadinya suatu peristiwa, juga periode. Dalampuisi, kebanyakan latar berkaitan dengan lingkunan istana. Masalah posisi atau sudut tinjauan pengarang, dalam karya sastra pengarang bisa berada di luar saja atau bisa juga berada dalam cerita itu. Terkait dalam hal ini Ali (1967: 125) mengemukakan lima macam pencerita dalam sastra Indonesia yaitu: tokoh utama, tokoh bawahan, pengarang pengamat, pengarang analitik, dan percampuran antara tokoh utama dan pengarang analitik. 4. Pengertian Analisis Menurut Firdaus (1984), ada beberapa istilah yang secara umum memiliki arti yang sama yaitu analisis, penyelidikan, pengkajian, resensi, dan kritik. Dalam penelitian ini peneliti cenderung untuk menggunakan istilah pengkajian karena dalam mengkaji lapisan-lapisan yang terdapat dalam suatu karya sastra penulis menggunakan cara kerja dan landasan secara teoritis.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 129
Hal ini sejalan dengan pendapat Aminuddin (1995:39) yang mengemukakan bahwa kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan tertentu. Kajian sastra menyangkut dua hal. Pertama, kajian sastra merupakan bentuk analisis karya sastra yang dilaksanakan dengan bertolak dari sistematika tertentu. Kedua, kajian sastra merupakan hasil analisis karya sastra yang wujud paparannya bisa bervariasi sesuai dengan fokus pembahasan dan keperluan yang melatarbelakanginya. Ditinjau dari prosesnya kajian sastra demikian merupakan kegiatan yang bersifat reseptif dan produktif. Kegiatan reseptif berkaitan dengan upaya memahami unsur-unsur dan hubungan antar unsur dari karya sastra yang dijadikan bahan kajian. Sementara kegiatan produkstif berkaitan dengan upaya manyusun dan mengungkap-kan hasil dalam sistematika tertentu. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa kajian terhadap karya sastra berarti menyelidiki atau memeriksa, memahami, dan mengiterpretasikan unsur-unsur yang membangun karya sastra, baik dari segi bentuk maupun isi. Kegiatan ini merupakan salah satu sarana atau alat dalam pemberian makna terhadap suatu karya sastra, sekaligus merupakan bagian dari cakupan apresiasi sastra secara keseluruhan. 5. Strategi Pembelajaran Istilah strategi pembelajaran yang dalam istilah lama disebut dengan strategi belajar mengajar, berkaitan erat dengan pendekatan, metode dan teknik. Strategi belajar mengajar merupakan pola-pola umum kegiatan guru-anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Strategi belajar mengajar diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Menurut Winataputra (1997:2.34-2.39) strategi belajar mengajar dibagi berdasarkan berbagai pertimbangan, yaitu: 1) proses pengolah pesan, 2) pihak pengolah pesan, 3) pengaturan guru, 4) jumlah siswa, dan interaksi guru dengan siswa. Berdasarkan pertimbangan proses pengolahan pesan terdapat dua strategi belajar mengajar yaitu deduktif dan induktif. Dari segi pihak pengolah pesan terdapat dua strategi belajar mengajar yaitu ekspositorik dan heuristik (inkuiri dan diskoferi). Dilihat dari Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 130
pengaturan guru terdapat dua jenis strategi belajar mengajar yaitu strategi belajar mengajar seorang guru dan strategi belajar mengajar pengajaran beregu (team teaching). Selanjutnya dilihat dari jumlah siswa ada 3 strategi belajar mengajar yaitu klasikal, kelompok kecil dan individual. Dan atas interaksi guru dengan siswa dibagi menjadi strategi belajar mengajar tatap muka dan melalui media.
6. Strategi Belajar Mengajar Ekspositorik dan Heuristik 6.1 Strategi Belajar Mengajar Ekspositorik Menurut Winataputra (1997: 2.34), jika yang mengolah pesan atau materi pelajaran itu guru, maka strategi belajar mengajar yang digunakan adalah ekspositorik. Dengan strategi ini, guru yang mencari materi pelajaran yang akan diajarkan dari berbagai sumber, kemudian guru yang mengolahnya dan dibuatnya rangkuman dan mungkin juga berupa bagan. Dalam menerapkan strategi ini guru menjelaskan materi pelajaran dengan posisi di depan siswa (kelas) dan siswa tinggal menerima, dan bila perlu mencatatnya. Strategi ini merupakan pola lama yang sering disebut dengan teacher oriented. Jadi guru lebih aktif daripada siswa, dan siswa tinggal “terima jadi/ beres” dari guru. Langkah-langkah pelaksanaan strategi belajar mengajar ekspositorik ini adalah sebagai berikut: 1) guru mencari dan menyiapkan materi pelajaran dari berbagai sumber; 2) guru menjelaskan materi pelajaran dengan menggunakan media; 3) guru dan siswa mengadakan tanya jawab: 4) guru beserta siswa menyimpulkan materi pelajaran; dan 5) siswa diminta untuk mencatat atau mempelajarinya kembali di rumah masing-masing sekaligus mengerjakan PR/LKS. Strategi belajar mengajar ini bersifat tradisional karena siswa tinggal menerima suapan dari guru tanpa berupaya untuk menemukan materi apa senarnya yang sedang dipelajari. Memang strategi ini memudahkan siswa namun kelemahannya siswa tidak diajak untuk belajar secara kritis karena “siswa hanya menerima apa adanya” yang disampaikan oleh guru.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 131
6.2 Strategi Belajar Mengajar Heuristik Menurut Winataputra (1997: 2.34). jika yang mencari dan mengolah pesan (materi pelajaran) adalah siswa, maka strategi belajar mengajar yang digunakan adalah strategi belajar mengajar heuristik. Dengan strategi ini guru berperan sebagai pembimbing kegiatan belajar siswa. Jadi yang lebih aktif adalah siswa. Dalam hal ini guru tidak berada di depan siswa dan menarik-narik siswa untuk mengikutinya, akan tetapi siswa yang berada di depan kelas, guru mengarahkan, memberi dorongan, membantu siswa yang mengalami kesulitan. Siswa harus menemukan sendiri pesan tersebut. Dengan demikian strategi ini bersifat student oriented. Penerapan strategi belajar-mengajar heuristik dalam pembelajaran mengikuti langkah-langkah berikut. 1) siswa mencari (memilih/menentukan) materi pelajaran; 2) siswa mempelajari dan mengolah materi secara berkelompok (diskusi) untuk menemukan materi/pesan; 3) siswa melaksanakan diskusi kelas dan siswa kelompok lain menanggapinya; 4) siswa bersama guru menarik kesimpulan hasil diskusi. Keuntungan dari strategi heuristik ini adalah secara berangsurangsur akan terbentuk sikap positif pada diri siswa seperi kreatif, kritis, inovatif, percaya diri, terbuka dan mandiri karena siswa belajar dengan cara menemukan sendiri “bukan belajar karena disuapi”. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas. Metode ini mengacu pada rancangan spiral yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (Madya, 1994: 14). Selanjutnya Rofiudin (1994: 24) mengemukakan bahwa prosedur kerja penelitian ini berupa siklus spiral yang terdiri atas empat tahapan yaitu: 1) perencanaan (planning); 2) pelaksanaan tindakan (action); 3) observasi (observation); 4) evaluasi refleksi (evaluation reflection). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau tahun 2009 yang berjumlah 41 orang. Data Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 132
dikumpulkan dengan menggunakan teknik tes berupa tes objektif dan essai dan nontes berupa observasi, wawancara, dan angket. Analisis data dengan menggunakan rumus persentase. Untuk mengetahui ketuntasan belajar secara individu dalam mengapresiasihikayat peneliti menggunakan rumus: B x 100 Y S Keterangan : Y = Persentase yang dicari B = Jawaban siswa yang betul S = Jumlah Skor yang diperoleh Untuk mengetahui ketuntasan belajar secara klasikal peneliti menggunakan rumus : T x 100 Y M Keterangan: Y = Persentase yang dicari T = Jumlah siswa yang tuntas belajar M = Jumlah seluruh siswa dalam kelas Untuk mengetahui persentase peningkatan hasil tindakan peneliti menggunakan rumus: R 2 R1 x 100 X R1 Keterangan: X = Persentase peningkatan hasil tindakan R1 = Nilai rata-rata sebelum tindakan R2 = Nilai rata-rata sesudah tindakan I dan tindakan II Pengumpulan data dimulai sebelum melakukan tindakan, kemudian tes awal (pratindakan), dan pada akhir setiap tindakan dilakukan tes akhir siklus I, II. dan III. Keberhasilan tindakan didasarkan pada dua kriteria yaitu dari segi proses dan hasil penelitian. Dari segi proses, tindakan dikatakan berhasil apabila di dalam pembelajaran siswa memiliki kemampuan dan tampak antusias memahamipuisi melalui integrasi stategi ekspositorik dan heuristik. Dari segi hasil, apabila 85% siswa sudah mendapat nilai 65 berarti tindakan telah berhasil. Sebaliknya
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 133
apabila siswa yang mendapat nilai 65 belum mencapai 85% berarti tindakan tersebut belum berhasil. HASIL PENELITIAN Sebelum dilakukan tindakan diberikan tes awal. Hasil tes awal diperoleh nilai rata-rata sebesar 50,01. Hal ini terlihat dari sejumlah 10 (24,39%) siswa yang telah mencapai nilai 65 dan 31 (75,60%) siswa yang mencapai nilai 65 sebanyak 41 siswa yang dijadikan setting penelitian. Data tes awal tesebut menunjukkan bahwa kemampuan memahamipuisi siswa XI2 SMA Al Ikhlas Lubuklinggau masih tergolong kurang karena belum mencapai target ketuntasan belajar secara klasikal. Pada saat tes awal siswa merasa asing denganpuisi kasrenapuisi merupakan salah satu genre sastra klasik yang sudah jarang dikenal di masyarakat. Apalagi materi tentangpuisi belum pernah dibahas karena contohpuisinya tidak ada dan guru sendiri kurang begitu memahami tentangpuisi. Hal ini tampak pada jawaban siswa yang merasa asing dengan istilahpuisi dan bahasa yang digunakan di dalamnya dirasakan aneh. Secara struktural siswa sangat bingung menentukan tema dari sebuahpuisi dan merasa asing dengan unsur motif dalampuisi karena unsur Siklus I dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan (6 x 45 menit). Hasil tes akhir siklus I diketahui siswa yang mendapat nilai 65 berjumlah sebanyak 26 orang dengan persentase sebesar 63,41% 15 yang mendapat nilai 65 sebanyak 15 siswa dengan persentase sebesar 36,58% dengan nilai rata-rata sebesar 60,05. Nilai rata-rata tes akhir siklus I telah meningkat dari 50,01 ke 60,05. Nilai rata rata tersebut mengalami peningkatan sebesar 10,04 atau (60,0550,01) : 50,01 x 100= 2,00%. Hasil tes akhir siklus I telah mengalami peningkatan dari tes awal, namun belum mencapai target ketuntasan dan daya serap secara klasikal. Jadi tindakan siklus I perlu dilanjutkan ke tindakan siklus II.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 134
Dasil tes akhir siklus II menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh nilai 65 berjumlah 25 orang (60,97 %) dan yang telah mencapai nilai 65 sebanyak 16 orang (39,02%) dengan nilai ratarata sebesar 64,05. Hasil tes akhir siklus II telah meningkat dari dari 60,05 ke 64,05. Nilai rata-rata tersebut mengalami peningkatan sebesar 4,00 atau (64,05-60,05): 60,05x 100 = 6,66%. Hasil rata-rata tes akhir siklus II telah mengalami peningkatan dari rata-rata siklus I. Peningkatan tersebut belum mencapai target daya serap klasikal. Oleh karena itu, perlu dilanjutkan ke tindakan penelitian siklus III. Hasil tes akhir siklus III dengan mengintegrasikan strategi heuristik dan ekspositorik dalam memahamipuisi diperoleh nilai yang 65 berjumlah 5 orang dengan persentase sebesar 12,19%. Sedangkan siswa yang memperoleh nilai 65 berjumlah 36 orang (87,80%) dengan nilai rata-rata sebesar 78,50. Secara kualitatif hasil tes akhir siklus III telah meningkat dari dari 64,05 ke 78,50. Nilai rata-rata tersebut mengalami peningkatan sebesar 14,45 atau (78,5064,05): 64,05 x 100 = 2,25%. Hasil rata-rata tes akhir siklus III telah mengalami peningkatan dari rata-rata siklus II. Peningkatan tersebut telah mencapai target daya serap klasikal, yaitu siswa yang memperoleh nilai 65 berjumlah 36 orang (87,80%). Setelah dilaksanakan tindakan sebanyak tiga siklus dengan enam kali pertemuan, peneliti yakin bahwa integrasi strategi heuristik dan ekspositorik merupakan salah satu inovasi pembelajaran di dalam kelas dalam meningkatkan kemampuan siswa kelas X SMA Al Ikhlas Lubuklinggau memahamipuisi sebagai salah satu genre karya sastra lama yang sudah jarang dibaca dan dipelajari Nilai ratarata siklus I meningkat dari 50,01 ke 60,05 dan mengalami peningkatan sebesar 10,04 . Nilai rata-rata siklus II meningkat dari 60,05 ke 64,05 dan mengalami peningkatan sebesar 4,00 Dan Nilai rata-rata siklus III meningkat dari 64,05 ke 78,50 dan mengalami peningkatan sebesar 14,45. Dengan demikian hipotesis tindakan yang berbunyi ”Jika pembelajaran menggunakan strategi heuristik dan ekspositorik yang diintegrasikan pada langkah-langkah yang ditentukan, maka kemampuan memahamipuisi kelas XI SMA AL Ikhlas Lubuklinggau dapat meningkat” terbukti kebenarannya. Untuk mengetahui besarnya persentase peningkatan nilai ratarata setiap hasil tes pratindakan sampai setelah tindakan siklus III adalah sebagai berikut. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 135
1) 2)
Nilai rata-rata tes pratindakan sebesar 50,01 Nilai rata-rata tes akhir setiap akhir siklus (sebanyak tiga siklus) T1 T 2 T 3 60,05 64,05 78,05 67,53 N 3 Berdasarkan nilai rata-rata peningkatan ketiga siklus di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi peningkatan nilai rata-rata sebelum dan sesudah tindakan sebesar (R2-R1): R1x100 = (67,5350,05): 50,05x100= 3,49%. Dengan demikian, hasil kemampuan akhir yang dicapai yang dicapai siswa kelas XI SMA AL Ikhlas Lubuklinggau dalam mengapresiasihikayat dengan pendekatan sruktural dan pendekatan kontekstual selama tiga siklus penelitian mengalami peningkatan sebesar 3,49%.
PEMBAHASAN Pada tindakan siklus I, hikayat yang menjadi bahan pembelajaran adalah “Hikayat Raja Among”. Dan hikayat yang digunakan untuk tes akhir siklus I berjudul “Hikayat Raja Budiman”. Siklus I dilaksanakan sebanyak 2 kali pertemuan (6 x 45 menit). Hasil tes akhir siklus I diketahui siswa yang mendapat nilai 65 berjumlah 15 siswa dengan persentase sebesar 36,58% yang mendapat nilai 65 sebanyak26 orang dengan persentase sebesar 63,41% dengan nilai rata-rata sebesar 60,05. Hasil tes akhir siklus I telah mengalami peningkatan dari tes awal, namun belum mencapai target ketuntasan dan daya serap secara klasikal. Jadi tindakan siklus I perlu dilanjutkan ke tindakan siklus II. Siswa mulai menyukai hikayat dan antusias dalam membaca dan memahami hikayat. Hal ini tampak pada peningkatan kemampuan siswa dalam memahami hikayat dengan strategi ekspositoris. Meskipun pada siklus I ini belum semua siswa antusias terhadap materi memahami hikayat. Namun pada siklus I ini siswa sudah mulai mengenal dan dapat memahami hikayat dengan strategi ekspositori berdasarkan langkah-langkah yang sistematis dan terarah
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 136
sehingga terjadi peningkatan nilai rata-rata dari nilai-rata-rata tes awal sebesar 10,04. Pada siklus II dalam pembelajaran digunakan strategi heuristik dalam memahami hikayat “Hikayat Raja Budiman”. Siklus ini mengalami peningkatan nilai rata-rata dari siklus I sebesar 4,00. Selanjutnya dilaksanakan siklus III dengan 2 kali pertemuan. Strategi yang digunakan dalam pembelajaran adalah integrasi strategi ekspositori dan heuristik. Pada siklus III siswa tampak lebih antusias dalam memahami hikayat ketimbang pada siklus I dan II bahkan pada siklus ini siswa sudah bisa memenceritakan isi hikayat dengan menggunakan bahasanya sendiri dan mengungkapkan isi yang terkandung dalam hikayat. Hal ini disebabkan integrasi strategi ekspositori dan heuristik memberikan dampak positif dalam pembelajaran karena kedua strategi ini memiliki kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi. Kekurangan yang ada pada strategi ekspositorik ditutupi dengan kelebihan yang ada padastrategi heuristik. Dan dengan strategi heuristik ini siswa diberi kebebasan untuk mencari dan menemukan isi dan makna yang terdapat dalam hikayat. Pada siklus III ini mengalami peningkatan nilai rata-rata dari siklus II ke siklus III sebesar 14,45. Berdasarkan hasil pengamatan, wawancara, angket, dan catatan di lapangan hasil pembelajaran dan situasi interaksi belajar mengajar sangat aktif. Selain itu mengintegrasikan dua strategi yang saling melengkapi dapat mempermudah siswa dalam memahami hikayat. Setelah pelaksanaan tindakan selama 3 siklus dengan masingmasing siklus sebanyak 2 kali pertemuan terdapat peningkatan kemampuan memahami hikayat siswa kelas XI SMA Al Ikhlas Lubuklinggau dengan integrasi ekspositori dan heuristik. Pada tes awal (tes pratindakan) diperoleh nilai rata-rata 50,01 telah tuntas 10 orang ( 24,39%) dan belum tuntas 31 orang (75,61 %). Pelaksanaan tindakan siklus I yang terbagi atas dua kali pertemuan, diperoleh nilai rata-rata 60,05 telah tuntas 15 orang (36,41%) dan belum tuntas 26 orang (63,41 %) dan mengalami peningkatan sebesar 10,04 (2,00,%). Pelaksanaan tindakan siklus II yang terbagi atas dua kali pertemuan, diperoleh nilai rata-rata 64,05 telah tuntas 25 orang (60,97%) dan belum tuntas 16 orang (39,02 %) dan mengalami peningkatan sebesar 4,00 (6,66%). Pelaksanaan tindakan siklus III yang terbagi atas dua kali pertemuan, diperoleh Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 137
nilai rata-rata 78,50 telah tuntas 36 orang (87,80%) dan belum tuntas 5 orang (12,19%) dan mengalami peningkatan sebesar 14,45 (22,5%). Bila dibandingkan antara hasil tes pratindakan dengan tes akhir selama tiga siklus penelitian terjadi peningkatan nilai rata-rata sebesar 9,43 (52,67%). Dari keseluruhan pelaksanaan yang telah dilaksanakan selama tiga siklus dapat diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan nilai siswa setiap siklus dengan rata-rata nilai 3.11(17,22 %).
SIMPULAN DAN IMPLIKASI Simpulan 1) Strategi heuristik dan ekspositorik yang diintegrasikan dapat meningkatkan kemampuan memahamipuisi siswa kelas XI SMA AL Ikhlas Lubuklinggau. 2) Siswa sangat antusias dalam memahamipuisi dengan strategi heuristik dan ekspositorik yang diintegrasikansiswa dapat mengaplikasikan teori yang diperoleh melalui strategi ekspositorik ketika memahamipuisi melalui strategi heuristik . 3) Nilai rata-rata siklus I meningkat dari 50,01 ke 60,05 dan mengalami peningkatan sebesar 10,04 . Nilai rata-rata siklus II meningkat dari 60,05ke 64,05 dan mengalami peningkatan sebesar 4,00. Dan Nilai rata-rata siklus III meningkat dari 64,05 ke 78,50 dan mengalami peningkatan sebesar 14,45. 4) Peningkatan nilai rata-rata dari hasil tes pratindakan sampai tes akhir selama tiga siklus penelitian sebesar 34,92 (52,67%). Peningkatan nilai siswa setiap siklus dengan rata-rata nilai 3.11(17,22 %). Implikasi Setelah dilaksanakan refleksi siklus I, II, dan III maka peneliti dapat mengimplikasikan sebagai berikut. 1) Integrasi strategi heuristik dan ekspositorik dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengoptimalisasikan kemampuan memahamipuisi pada siswa SMA.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 138
2) Guru perlu melatih dan menumbuhkembangkan kegiatan pemahaman terhadappuisi pada siswa serta membimbing dengan penuh kesabaran dan jangan takut ketinggalan materi dengan menerapkan kedua strateg ini. 3) Strategi heuristik dan ekspositorik yang diintegrasikan dapat membimbing siswa untuk memahamipuisi sebagai salah satu jenis karya sastra lama yang sudah jarang dibaca orang tetapi memuat nilai-nilai yang perlu diwariskan kepada generasi mendatang. 4) Hasil kerja siswa setelah memahamipuisi hendaknya dikoreksi dan ditunjukkan kekurangan dan kesalahanya dalam memahamipuisi dengan integrasi dua strategi.
Daftar Pustaka Abrams, M.H. 1966. a Glossary of Literary Term (Copyright. 1941. by Dan S Norton and Petters Rushton) Baried, Baroroh et. Al. 1985: Memaham ipuisi dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusbinbangsa Depdikbud. Burhan , Yasir. 1991. Problema Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung : Ganaco. Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Depdikbud. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah. Kebijakan Umum: Jakarta. Depdiknas. 2007. Pedoman Penyusunan Usulan dan Laporan Pengembanan Inovasi Pembelajaran di Sekolah (PIPS) tahun anggaran 2008. Jakarta: Depdiknas Djamaris, Edwar. 1984. Menggali Khasanah Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 139
Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo. Hooykass, C. 1947. Over Maleische Literature. Leiden: EJ. Brill. Ikram, Achadiati. 1997. Filologi Nusantara. Jakarta: Pustaka Jaya. Jabrohim. 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Muslihah, et. Al. 2006. Kolaborasi Pendekatan Struktural dengan Pendekatan Kontekstual Melalui Metode Diskusi dalam Mengoptimalisasikan Pembelajaran Apresiasihikayat Siswa kelas XI SMA AL Ikhlas Lubuklinggau (2006)”. Lubuklinggau: STKIP. Nurgiantoro, Burhan., 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Rahmanto; B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisius. Rosjidi, Ajip. 1988. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Bina Aksara Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. ---------. 1998. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya. Wardani, I. G. A. K. 1991. Pengantar Apresiai Sastra Prosa. Jakarta P 36 Depdikbud. Wellek, Renne dan Warren Austin. 1956. Theory of Literature. New: York: Harcourt, Bracand Company.
Perpektif Pendidikan Vol IV Tahun 2010 140