BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tuberkulosis Paru 2.1.1. Definisi dan Klasifikasi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis dengan gejala klinik yang sangat bervariasi dan menyerang pada bagian atau organ tubuh tertentu misalnya paru-paru, kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, kulit dan lain-lain. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah dan termasuk penyakit infeksi terpenting setelah penyakit malaria (Mukty, 2005). Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ektrapulmonar (Djojodibroto, 2009) Perhimpunan
Dokter
Paru
Indonesia
(PDPI)
(2006),
mengklasifikasikan
tuberkulosis paru berdasarkan 2 hal yaitu Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau basil tahan asam (BTA) dan berdasarkan golongan pasien. Klasifikasinya yaitu :
2.1.1.1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas: a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan juga positif.
Universitas Sumatera Utara
b. Tuberkulosis paru BTA (-) - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif. - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan Mikobakterium tuberkulosis.
2.1.1.2. Berdasarkankan golongan pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+) atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : - Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll). - TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis.
c. Kasus defaulted atau drop out (lalai) Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Universitas Sumatera Utara
d. Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
Pembagian Tuberkulosis menurut WHO didasarkan pada terapi yang terbagi menjadi kategori yaitu : Kategori I, ditujukan terhadap : •
Kasus baru dengan dahak positif
•
Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II, ditujukan terhadap : •
Kasus kambuh
•
Kasus gagal dengan dahak BTA positif
Kategori III, ditujukan terhadap : •
Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas
•
Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik
Universitas Sumatera Utara
4
2.1.2. Morfologi dan Biomolekuler Mycobacterium tuberculosis Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch (1882) yaitu kuman yang berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37° C dengan tingkat pH optimal pada 6,4 sampai 7,0. Untuk membelah diri dari satu sampai dua kuman membutuhkan waktu 14-20 jam (Aditama, 2006). Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding selnya ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol. Karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen Mycobacterium tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Di lapisan luar dinding sel ditemukan suatu lipid yang terbentuk dari asam mikolat berantai panjang. Asam mikolat ini mengalami esterifikasi sehingga terdapat tiga elemen dinding basil TB, yaitu lipid yang berasal dari asam mikolat, arabinogalaktan, serta muramil dipeptida (Djojodibroto,2009). Genom Mycobacterium Tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen
Universitas Sumatera Utara
yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.
2.1.3. Patogenesis Tuberkulosis Paru Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama. Penderita penyakit TB sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis (Djojodibraoto, 2009). Sumber penularan adalah pasien dengan TB BTA (+) yang pada saat batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk dahak (droplet nuclei). Sekali batuk pasien tersebut dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan / partikel dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari dapat langsung membunuh kuman. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Gerdunas-TB, 2007). Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada dinding saluran pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernapasan bagian atas, droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus mana pun; tidak ada prediksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu focus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi. Basil TB yang masuk tadi akan mendapatkan perlawanan dari tubuh, jenis perlawanan tubuh tergantung kepada
Universitas Sumatera Utara
pengalaman tubuh, yaitu pernah mengenal basil TB atau tidak pernah sama sekali (Djojodibroto, 2009).
2.1.3.1. Tuberkulosis Primer Individu yang terinfeksi basil TB untuk pertama kalinya hanya memberikan reaksi seperti jika terdapat benda asing di saluran pernapasan. Selama tiga minggu, tubuh hanya membatasi fokus infeksi primer melalui mekanisme peradangan, tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan pertahanan imunitas selular (delayed hypersensitivity). Setelah 3 minggu terinfeksi basil TB, tubuh baru mengenal seluk-beluk basil TB. Setelah 3-10 minggu, basil TB akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh ditandai dnegan timbulnya reaktivitas dan peradangan spesifik. Proses pembentukan pertahanan imunitas selular akan lengkap setelah 10 minggu. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer (Sudoyo, 2007). Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi beberapa pilihan sebagai berikut : 1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum). Ini yang paling banyak terjadi.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis – garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
3. Menyebar dengan cara :
Universitas Sumatera Utara
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. b. Penyebaran secara bronkogen, penyebaran pada paru yang bersangkutan maupun ke paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama dahak dan ludah sehingaa menyebar ke usus. c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman Penyebaran ini dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan : - Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau - Meninggal. Sebagian besar orang yang terkena infeksi basil tuberkulosis dapat berhasil mengatasinya, hanya beberapa orang saja (3-4% dari yang terinfeksi) yang tidak berhasil menanggulanginya keganasan basil TB (Djojodibroto, 2009).
2.1.3.2. Tuberkulosis Post-Primer (Tuberkulosis Sekunder) TB post-primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen setelah TB primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. TB post-primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu TB bentuk dewasa, localized tuberculosis, TB menahun, dan sebagainya. Bentuk TB inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit malignan, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal pesterior lobus superior maupun lobus inferior. Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru (Sudoyo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut : 1. Dihisap / reabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat. 2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
2.1.4. Manifestasi Klinis & Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala respiratorik berupa batuk kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit ini. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit. Demam dapat terjadi menetap dan naik turun sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, ,meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Sudoyo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Proses penegakan diagnosis diawali dengan anamnesis tentang gejala – gejala yang ada kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Setelah itu akan dilakukan pemeriksaan dahak untuk mencari ada tidaknya kuman TB dalam bentuk basil tahan asam (BTA) (CDC, 2010). Untuk mendapatkan hasil yang akurat diperlukan rangkaian kegiatan yang baik, mulai dari cara batuk untuk mengumpulkan dahak, pemilihan bahan dahak yang akan diperiksa, teknik pewarnaan dan pengolahan sediaan serta kemampuan membaca sediaan di bawah mikroskop. Harus diketahui bahwa untuk mendapatkan BTA (+) di bawah mikroskop diperlukan jumlah kuman yang tertentu, yaitu sekitar 5.000 kuman/ml dahak (Aditama, 2006). Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis dengan mengumpulkan 3 bahan dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan yang dikenal dengan konsep Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Sewaktu : dahak dikumpulkan pada saat pasien yang diduga TB dating berkunjung pertama kali. Saat pulang suspek membawa pot penampung dahak.. Pagi
: dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot penampung dibawa sendiri kembali.
Sewaktu : dahak dikumpulkan pada hari kedia, saat pasien menyerahkan dahak pagi hari. Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yaitu : - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+) - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Universitas Sumatera Utara
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+) Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: - Bayangan berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. - Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan / nodular. - Bayangan bercak milier. - Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks karena pemeriksaan mikroskopis sangat spesifik (98%) untuk TB paru (WHO, 2002) . Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks sangat perlu dilakukan sesuai dengan indikasi (Gambar 2.1) sebagai berikut: • Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Harus dilakukan pemeriksaan foto toraks dada untuk mendukung diagnosis TB paru BTA (+) • Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah diberi pengobatan dengan antibiotik non-OAT. •Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Alur Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru (Gerdunas-TB, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Available from http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf.). 2.1.5. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) harus adekuat dan minimal 6 bulan. Setiap Negara harus mempunyai pedoman dalam pengobatan TB yang disebut National Tuberculosis Programme (Program Pemberantasan TB). Prinsip pengobatan TB adalah menggunakan multidrugs regimen. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi basil TB terhadap obat. OAT dibagi dalam dua golongan besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua (PDPI, 2006). Obat lini pertama (utama) adalah isonoazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z), rifampisin (R), sedangkan yang termasuk obat lini kedua adalah etionamide, sikloserin, amikasin, kanamisin kapreomisin, klofazimin dan lain-lain yang hanya dipakai pada pasien HIV yang terinfeksi dan mengalami multidrug resistant (MDR). Dosis yang dianjurkan oleh International Union Against Tuberculosis (IUAT) adalah dosis pemberian setiap hari dan dosis pemeberian intermitten. Perlu diingat bahwa dosis
Universitas Sumatera Utara
pemberian setiap hari berbeda dengan dosis intermitten yang lebih lama berkisar 3 hari 1 X [Tabel 2.1]. Setiap obat memiliki efek samping tertentu begitu juga dengan OAT, maka harus diperhatiakn cara penanganannya [Tabel 2.2]. Tabel 2.1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Paru Dosis yang direkomendasikan Nama Obat
Dosis Pemberian Setiap Hari mg/kgBB
Dosis Pemberian Intermittern
Maksimum (mg) mg/kgBB
Maksimum (mg)
Isoniazid (H)
5 mg
300 mg
15 mg
750 mg (1 minggu 2X)
Rifampisin (R)
10 mg
600 mg
15 mg
600 mg (1 minggu 2X)
Pirazinamid (Z)
35 mg
2500 mg
50 mg
Streptomisin(S)
15-20 mg
750-1000 mg
15-20 mg
Etambutol (E)
15-25 mg
1800 mg
750-1000 mg
(Djojodibroto, D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.) Tabel 2.2. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Efek samping
Penyebab
MINOR Tidak nafsu makan, mual, sakit
Tatalaksana OAT DITERUSKAN
Rifampisin
Obat diminum malam sebelum tidur
Nyeri sendi
Pirazinamid
Beri aspirin/ allopurinol
Kesemuran s/d rasa terbakar di
INH
Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100
perut
kaki Warna kemerahan pada air seni
mg perhari Rifampisin
Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
MAYOR Gatal dan kemerahan pada kulit
HENTIKAN OBAT Semua jenis
Beri antihistamin dan dievaluasi
Universitas Sumatera Utara
OAT
ketat
Tuli
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Ikterik / hepatitis imbas obat
Sebagian
Hentikan semua OAT sampai ikterik
(penyebab lain disingkirkan)
besar OAT
menghilang dan boleh diberikan
(vertigo & nistagmus)
hepatoprotektor Muntah dan confusion
Sebagian
Hentikan semua OAT dan lakukan
besar OAT
uji fungsi hati
Gangguan penglihatan
Etambutol
Hentikan etambutol
Kelainan sistemik, termasuk
Rifampisin
Hentikan rifampisin
syok dan purpura (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Penatalaksanaan di Indonesia. Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb.tb.html).
Pedoman
Diagnosis
&
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk mengganti paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap yang terdiri dari fase intensif dengan fase lanjutan [Tabel 2.3] dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal 2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja. 3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar. 4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit. 5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Pemberian Obat Dosis Tetap
BB
Fase intensif
Fase lanjutan
2 bulan
4 bulan
Harian
Harian
3x/minggu
Harian
3X/minggu
RHZE
RHZ
RHZ
RH
RH
150/75/400/275
150/75/400
150/150/500
150/75
150/150
30-37
2
2
2
2
2
38-54
3
3
3
3
3
55-70
4
4
4
4
4
>71
5
5
5
5
5
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & di Indonesia. Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb.tb.html)
Penatalaksanaan
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru ataupun fasiliti yang mampu menanganinya. Paduan obat anti TB menurut program pemberantasan TB paru yang dipergunakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO ada tiga: Kategori 1 : 2HRZE/ 4H3R3 Pada pasien baru TB paru (+), pasien TB paru BTA(-) foto toraks (+) Kategori 2 :2HRZES/HRZE/5H3R3E3 Pada pasien kambuh, gagal dan pada pasien dengan pengobatan terputus. Kategori 3 :2HRZ/4H3R3
2.1.6. Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru
Universitas Sumatera Utara
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006).
Evaluasi klinik - Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. - Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. - Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) · Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak · Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik harus selalu dilakukan yaitu : - Sebelum pengobatan dimulai - Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan · Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: · Sebelum pengobatan · Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) · Pada akhir pengobatan
Evalusi keteraturan berobat ·
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan minum obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
Universitas Sumatera Utara
penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. · Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria Sembuh - BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat. - Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan. - Adanya perbaikan klinis berupa hilangnya batuk, penambahn berat badan dan lain-lain - Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.
2.2. Strategi DOTS 2.2.1. Pengertian DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah suatu stategi pengobatan TB paru dengan OAT yang mengutamakan pengawasan minum obat selama masa pengobatan, mencegah pasien drop out (putus berobat) serta pencarian dan penemuan kasus baru di masyarakat. Dalam program ini terdapat pengawas minum obat (PMO) yang mempunyai tugas untuk PMO mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan dan semangat kepada pasien, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan serta memberi penyuluhan kepada pasien. Organisasi kesehatan dunia, WHO (2010c) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
2.2.2. Komponen Strategi DOTS
Universitas Sumatera Utara
Menurut WHO (2010b), DOTS mengandung lima komponen penting, yaitu : 1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional. 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis, utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. 3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy). Pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai dengan standar. Seperti diketahui, pengobatan TB memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat 2 atau 3 bulan tidak jarang keluhan pasien telah menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu, harus ada suatu sistem yang menjamin pasien mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai. Orang yang melakukan pengawasan dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, keluarga, ataupun kader disebut PMO. 4.
Pengadaan OAT secara berkesinambungan (tersedia). Masalah uatama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah.
5.
Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /stándar. Setiap pasien TB yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas pasien yang kemudian tercatat di catatan TB yang ada di fasilitas kesehatan tersebut.
2.2.3. Pelaksanaan DOTS Untuk meningkatkan pelaksanaan DOTS, saat ini telah terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO dan IUALTD (WHO, 2006) yaitu: 1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu. 2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TBHIV, DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan
Universitas Sumatera Utara
3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum. 4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan non-pemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care. 5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif. 6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program. Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang juga sangat berperan dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula. Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu : 1. Kartu pengobatan TB 2. Kartu identitas penderita TB 3. Register laboratorium TB 4. Formulir pindah penderita TB bila pasien pindah pengobatan 5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
2.2.4. Pengawas Minum Obat ( PMO) Salah satu komponen DOTS yang paling penting adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung minum obat. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Syarat-syarat PMO antara lain :
Universitas Sumatera Utara
•
Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
•
Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya.
PMO merupakan kunci dari keberhasilan DOTS tersebut. PMO memiliki beberapa tugas penting yaitu: •
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan (69 bulan)
•
Memberi dorongan dan semangat kepada pasien berupa nasehat – nasehat
•
mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan ataupun bila terdapat indikasi lain
•
Memberi penyuluhan kepada pasien & keluarga pasien mengenai penyakit TB dan mengawasi keluarga pasien yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB agar melakukan pemeriksaan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit pelayanan kesehatan (Depkes, 2006)
Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: • TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur. • TB bukan penyakit keturunan atau kutukan. • Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya. • Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan). • Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
Universitas Sumatera Utara
• Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke pelayanan kesehatan.
2.2.5. Tindakan Penyuluhan Pemberian penyuluhan tentang penyakit TB dan cara pengobatannya juga harus dilakukan. penyuluhan dapat dilakukan secara : · Peroranga/Individu Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotek saat mengambil obat ataupun di rumah-rumah penduduk.
·
Kelompok Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit, balai pengobatan dan lain-lain
Cara memberikan penyuluhan •
Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
•
Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
•
Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas
•
Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dan lain-lain)
2.2.6. Tingkat Keberhasilan Strategi DOTS Tingkat keberhasilan pengobatan dengan DOTS merupakan hal yang sangat penting diperhatikan. Nilai ini akan menunjukkan apakah strategi DOTS tersebut berhasil atau gagal dilaksanakan. Menurut laporan WHO (2010a), keberhasilan DOTS antara tahun 1995 sampai 2008 adalah 36 juta orang tetapi lebih dari 6 juta orang lainnya gagal
Universitas Sumatera Utara
diobati dan meninggal. Angka ini menunjukkan masih banyak kasus TB yang tidak tertangani walaupun dengan menggunakan strategi DOTS. Pada penelitian tingkat keberhasilan strategi DOTS pada pasien TB (+) baru (pertama kali berobat) oleh WHO (2010a) ditemukan angka keberhasilan pengobatan adalah 86% yaitu pada tahun 2007. Itu adalah pertama kalinya pengobatan dengan DOTS melewati angka target global yaitu 85% sesuai dengan ketetapan World Health Assembly (WHA) tahun 1991. Asia Tenggara memiliki angka keberhasilan 88% sedangkan di daerah Eropa masih sangat rendah yaitu 67%.. Di Indonesia, keberhasilan strategi DOTS dinilai cukup berhasil. Data dari WHO (2010a) menunjukkan keberhasilan DOTS terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007, keberhasilan DOTS mencapai 91% pada kasus TB (+) baru. Angka ini menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dari pengobatan TB paru dengan DOTS. Di kota Medan, tingkat kesembuhan pasien TB paru pada tahun 2008 sangat rendah yaitu 770 orang dari 2.505 kasus (30,74%). Banyak hal yang menyebabkan kasus TB di kota Medan tidak sembuh atau gagal berobat (Depkes, 2009).
2.2.7. Kendala Pelaksanaan DOTS Masih banyak kendala dalam pelaksanaan DOTS merupakan faktor yang mempersulit dalam pemberantasan TB. Salah satu kendala yang paling sering terjadi adalah rendahnya compliance dan pengetahuan penderita yaitu pasien TB paru tidak mengerti dan tidak sadar akan pentingnya pengobatan yang berkelanjutan dan teratur yang diberikan kepadanya sehingga pasien biasanya tidak begitu peduli mengikuti prosedur pengobatan (Gitawati, 2002).
Kendala lain yang ditemukan dalam pengobatan dengan DOTS antara lain : 1, Pengawasan yang kurang dari PMO, dokter ataupun petugas kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pasien merasa bosan dengan pengobatan yang sangat lama sehingga menolak untuk minum obat lagi. Hal ini seharusnya bisa diatasi dengan pemberian penjelasan dari awal pengobatan. 3. Ketersedian obat juga salah satu kendala pengobatan khususnya pada daerah yang sulit terjangkau.
Universitas Sumatera Utara