BAB II DASAR TEORI 2.1 Pelapukan Lateritik pada Batuan Ultramafik Ciri pelapukan di daerah tropis adalah proses hidrolisa melalui pelarutan alkali, alkali tanah dan silika. Pada kondisi tersebut, mineral pada batuan ultramafik sangat tidak stabil sehingga memungkinkan terbentuknya lapisan penutup yang tebal di atas batuan ultramafik. Selama proses pelapukan, olivin terdekomposisi membentuk mineral lain seperti saponit, nontronit, pimelit, goetit dan kuarsa. Reaksi yang terjadi merupakan pertukaran ion nikel dan magnesium pada batuan serpentin akibat aktivitas airtanah ditunjukkan dalam persamaan reaksi berikut :
Mg3Si2O5 ( OH )4 + 3 Ni ++ aq. ↔ Ni3Si2O5 ( OH )4 + 3 Mg ++ aq. Serpentin
Ni-serpentin
%.-berat
zone limonit atas kedalaman (m)
zone limonit bawah zone pelindian zone saprolit atas zone saprolit tengah zone saprolit bawah
Gambar 2.1 Zonasi pelapukan di atas batuan ultramafik (lubang borCIII-TB1511 endapan Ni-lateritik Gebe) (Darijanto, 1999)
5
2.1.1 Genesa Nikel Laterit Air hujan yang mengandung CO2 dari udara meresap hingga permukaan airtanah sambil melindi mineral primer yang tidak stabil seperti olivin dan piroksen. Airtanah meresap secara perlahan sampai batas antara zona limonit dan saprolit, kemudian mengalir secara lateral dan selanjutnya didominasi transpotrasi larutan secara horizontal (Valeton, 1967). Batuan asal ultramafik pada zona saprolit diimpregnasi oleh nikel melalui larutan yang mengandung nikel, sehingga kadar nikel dapat naik hingga 7% berat. Nikel sendiri dapat mensubstitusi magnesium dalam serperntin atau mengendap pada rekahan bersama dengan larutan yang mengandung magnesium dan silicon sebagai garnierit. Akibat disintegrasi batuan, airtanah dapat masuk ke dalam rekahan yang terbentuk dan memungkinkan intensitas pelindian (karena pengaruh morfologi) akan semakin besar. Disamping hidrolisa magnesium dan silikon, airtanah yang kontak dengan batuan pada zona saprolit akan dijenuhkan oleh unsur nikel. Sedangkan unsur-unsur yang tertinggal seperti besi, aluminium, mangan, krom, kobalt
dan
nikel
di
zona
limonit
akan
dikayakan
sebagai
mineral
oksida/hidroksida seperti goetit, hematite, manganit. Menurut Valeton (1967), akibat terjadinya proses lateritisasi kedua, dalam endapan laterit tersebut dapat diendapkan berbagai macam laterit yang terbentuk secara poligenetik. Di sini besi dari bagian atas termobilisasi dan akan membentuk hematit atau konkresi goethit pada zone pengkayaan besi sekunder.
6
Air hujan kaya CO2 dari atmosfir
ZONE LIMONIT
Sedikit pelindian zone limonit di musim hujan
Pengurangan larutan pembawa Ni, Mg, Si
Konsentrasi residu dari Fe dan khromit
Penguapan, pengendapan Si, Al selama musim kering
Fe-hidroksida (+Ni,Al) Al-hidroksida mineral lempung Mn-hidroksida (+Co) Cr-spinel
naiknya air tanah akibat gaya kapiler
ZONE PELINDIAN
Penambahan larutan pembawa Ni, Mg, Si
Pengendapan kembali sebagian Ni, Mg, Si, pada rekahan mis. sebagai : - garnierit - krisopras
BATUAN ASAL
ZONE SAPROLIT
silikat yang mengandung nikel terurai Mg, Si, dan Ni larut
Sebagian Mg mengendap kembali pada rekahan di batuan asal PERIDOTIT-SERPENTINIT mis. : - gel magnesit - serpentin
Serpentinisasi
BATUAN ULTRAMAFIK
Gambar 2.2 Skema pembentukan bijih nikel dalam penampang laterit di atas batuan ultramafik (Darijanto, 1988). peridotit dengan zone saprolit
laterit insitu zona pelindian
zone pengayaan utama zone erosi
daerah pengendapan larutan pembawa nikel
pengayaan nikel yang kurang intensif akibat sedikitnya rekahan
pengayaan nikel yang dalam akibat intensifnya rekahan
Gambar 2.3 Penampang skematik endapan nikel laterit New Caledonia (menurut de Chetelat, dalam Boldt, 1967)
7
2.1.2 Efek Fe, Ni, Mn dan Cr Bagi Kesehatan Manusia Berbagai logam berat merupakan racun kapiler dan racun enzim. Efek toksiknya tidak hanya didasarkan pada suatu mekanisme reaksi saja, akan tetapi mempunyai berbagai tempat kerja, yang peranannya tidak diketahui dengan jelas hingga kini. Ion logam berat akan mendenaturasi protein dan mengusir kation bervalensi banyak dari ikatan kompleksnya dengan protein dan dengan demikian mempengaruhi pusat katalik pada enzim. Disamping itu, senyawa ini bereaksi dengan gugus fungsi lainnya dalam biomolekul. Karena sebagian akan tertimbun di berbagai organ terutama saluran cerna, hati dan ginjal, maka organ-organ inilah yang terutama dirusak. Yang terutama menimbulkan masalah adalah bahwa tidak hanya senyawasenyawa yang sudah dikenal beracun saja seperti senyawa arsen dan Cr6+ yang memiliki efek karsinogen, tetapi juga berbagai sesepora elemen penting bagi kehidupan (seperti kobalt dan mangan) juga memiliki efek karsinogenik. 1. Besi (Fe) Keracunan besi secara akut dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh pada daerah injeksi racun. 30 sampai 120 menit setelah keracunan akan terjadi muntah hebat, nyeri lambung dan diare. Setelah itu, karena dilatasi pembuluh yang intensif, terjadi syok yang parah yang kemudian menyebabkan kematian. 2. Nikel (Ni) Pada kontak yang lama pada suatu tempat yang sama (akumulatif), logam nikel dapat menyebabkan terjadinya dermatitis kontak (nikel), bahkan dengan beberapa senyawa lainnya, nikel juga dapat bekerja kanserogen. Senyawa nikel ynag paling berbahaya adalah nikeltetrakarbonil yang memiliki titik didih 430C yang dalam jumlah yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan keracunan paru-paru.
8
3. Mangan (Mn) Mangan merupakan sesepora unsur esensial (3-9 mg/hari). Keracunan mangan biasanya diakibatkan oleh kalium permanganat dan mangan (IV) oksida yang ditandai luka korosif yang sangat hebat (terjadi muntah, diare dan nyeri yang amat sangat) dan terjadi pneumonia aspirasi yang dalam beberapa hari dapat menyebabkan kematian. Sementara mangan (IV) oksida dapat menyebabkan pneumonia akut dengan letalitas tinggi. Saat bersifat akumulatif, dapat menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (ensefalitis mangan) dengan gejala mirip Parkinson, cacat pada intelegensia, parastesia dan ganguan motorik. 4. Kromium (Cr) Cr3+ muncul sebagai senyawa chromic sulfate (Cr2(SO4)3), chromic oxide (Cr2O3), chromic chloride (CrCl3), chromic potassium sulfate, bermanfaat sebagai nutrien yang akan membantu metabolisme tubuh terutama dalam membantu hormon insulin menjalankan fungsinya untuk mengontrol kadar gula dalam darah. Tidak hanya mengontrol kadar gula, Cr3+ juga mampu menjaga keseimbangan karbohidrat dan secara langsung mempengaruhi metabolisme tubuh yang melibatkan lemak, protein, maupun kalori. Kandungan Cr3+ dalam tubuh orang dewasa yang direkomendasikan adalah antara 50 sampai 200 μg. Cr6+ telah terbukti bersifat karsinogen yaitu bisa menyebabkan penyakit kanker pada manusia. Karena sifatnya yang karsinogen maka kandungan krom dalam air minum standar dibatasi maksimum sebesar 50 μg per liter. Kasus keracunan Cr6+ yang terkenal adalah yang terjadi di kota kecil Heinskley di negara bagian California Amerika Serikat, yaitu karena limbah industri (akibat korosi pipa-pipa berkrom pada cerobong asap PLTU).
9
2.2 Parameter Fisika – Kimia Air 2.2.1 Total Suspended Solid (TSS) Total Suspended Solid (TSS) atau jumlah padatan tersuspensi merupakan keseluruhan dari material padatan baik organik maupun non organik yang tersuspensi didalam air. Padatan tersuspensi ini dapat berasal dari erosi, limbah buangan industri, pertumbuhan alga di dalam air, discharge air buangan. Agar tetap tersuspensi dalam jangka waktu yang lama di dalam air, padatan tersebut harus memiliki berat yang cukup kecil dengan densitas atau SG yang relatif kecil dan memiliki ukuran yang kecil. Semakin besar konsentrasi TSS di dalam air maka akan semakin keruh air tersebut. Dengan konsentrasi yang tinggi dalam air, padatan tersuspensi dapat menyebabkan menurunnya kualitas air dan kemampuan menahan oksigen menurun. TSS dapat diestimasi dengan memperhitungkan kekeruhan atau kejernihan air, tetapi pengukuran TSS yang akurat memasukkan parameter berat dari total jumlah material yang tersuspensi dalam sampel air. TSS dilaporkan dalam berat padatan terlarut terhadap volume air dengan satuan milligram per liter (mg/L).
2.2.2 Total Dissoleved Solid (TDS) Total dissolved solid atau besar jumlah padatan terlarut merupakan jumlah dari material padat yang terlarut di dalam air. Padatan terlarut ini merupakan hasil dari buangan sama seperti TSS, akan tetapi padatan terlarut dalam air memiliki ukuran yang jauh lebih kecil dari padatan tersuspensi dalam air. TDS sendiri tidak menyebabkan kekeruhan pada air karena keseluruhan padatan terlarut dalam air secara merata dengan jumlah yang kecil. Padatan anorganik berupa anion yang terlarut didalam air antara lain karbonat, klorida, sulfat dan nitrat, sedangkan kation antara lain sodium, potassium, kalsium dan magnesium.
10
2.2.3 Dissolved Oxygen (DO) Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen di dalam air. Biasanya ditampilkan dalam konsentrasi oksigen dalam sejumlah volume air (miligram per liter air atau mg/L). Di alam, oksigen dari atmosfer dapat bercampur dengan air seperti saat air menabrak batuan atau saat terjadi ombak serta oleh adanya tumbuhan dan alga yang berfotosintesis di dalam air.
2.2.4 Potensial Reduksi-Oksidasi (Eh) Reaksi reduksi-oksidasi (redoks) memegang peranan penting dalam proses geokimia airtanah. Reaksi redoks didefinisikan sebagai reaksi dimana terjadi perpindahan elekron. Bagian yang menerima elektron disebut mengalami reduksi sedangkan bagian yang melepaskan electron disebut mengalami oksidasi. Potensial redoks merupakan parameter intensitas dari reaksi redoks secara keseluruhan, bukan hanya spesifik pada reaksi oksidasi atau reduksi saja. Dalam beberapa literatur, potensial redoks disimbolkan dengan Eh, diukur dalam volts (V), milivolts (mV), atau Eh (1 Eh = 1 mV). 2.2.5 Derajat Keasaman Air (pH) Konsep pH pertama kali diperkenalkan oleh ahli kima Denmark S.P.L Sørensen pada tahun 1909, diambil dari pondus hydrogenii (Latin), potentiel hydrogène (Perancis), dan potential of hydrogen (Inggris). pH sendiri merupakan pendekatan matematis kimia, dimana p mewakili −log10 dan H mewakili konsentrasi ion hidrogen[H+]. pH merupakan suatu ukuran derajat keasaman dari larutan. Larutan pada temperatur 25°C dengan pH kurang dari 7.00 disebut sebagai asam, sedangkan denga pH lebih dari 7.00 disebut basa. pH 7.00 sendiri disebut sebagai larutan netral pada temperature 25°C, karena pada pH ini konsentrasi H3O+ mendekati seimbang dengan konsentrasi OH− pada air murni. Rumus perhitungan pH adalah : pH = - log 10 H+
11
Gambar 2.4 Diagram Eh-pH untuk Fe, Ni, Mn dan Cr pada temperatur 250C dan tekanan 1 atm (Takeno, 2005)
12
2.3 Siklus Hidrologi Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi relatif tetap dari masa ke masa. Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang berlangsung terus menerus. Serangkaian peristiwa tersebut dinamakan siklus hidrologi. Sebagian air hujan yang tiba di permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah yang rendah, masuk ke sungai, dan akhirnya ke laut. Tidak semua air yang mengalir akan tiba ke laut. Dalam perjalanan ke laut, sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai-sungai (disebut interflow). Tetapi sebagaian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater runoff = limpasan air tanah).
Gambar 2.5 Siklus hidrologi (Mori, 1977)
13
2.4 Metode Rasional Metode Rasional adalah salah satu dari metode tertua dan awalnya digunakan hanya untuk memperkirakan debit puncak (peak discharge). Ide yang melatarbelakangi metode Rasional adalah jika curah hujan dengan intensitas I terjadi secara terus menerus, maka laju limpasan langsung akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi Tc. Waktu konsentrasi Tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di outlet. Laju masukan pada sistem (IA) adalah hasil dari curah hujan dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat Tc dinyatakan sebagai runoff coefficient (C) dengan (0 ≤ C ≤ 1) (Chow 1988). Persamaan yang digunakan adalah:
Q = 0.287 C I A Dengan Q = estimasi discharge (m3/det) C = koefisien runoff I
= intensitas curah hujan (mm/jam)
A = luas catchment (km2) Dalam penggunaan metode rasional, ada beberapa asumsi dan batasan yang digunakan untuk mempermudah dalam perhitungan, antara lain (Wanielista 1997): a. Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam satu jangka waktu tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi. b. Limpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan intensitas yang tetap, samadengan waktu konsentrasi. c. Koefisien runoff dianggap tetap selama durasi hujan. d. Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.
14
e. Koefisien runoff biasanya diambil dari tabel nilai koefisien runoff, sehingga harus ada ajdustment tertentu terhadap daerah penelitian dalam menggunakan metode ini.
2.4.1 Koefisien Runoff Air limpasan yang terkumpul melalui saluran alami maupun buatan, akan membentuk aliran air yang lebih besar dan menjadi banjir yang mengalir melalui sungai-sungai yang ada. Sungai tidak hanya berasal dari limpasan air hujan, tetapi terutama berasal dari kumpulan air dibawah permukaan yang mengalir ke sungai (baseflow). Koefisien runoff diperoleh dari hasil perbandingan antara jumlah hujan jatuh dengan yang mengalir sebagai limpasan di atas permukaan tanah tertentu. Adapun variabel yang mempengaruhi koefisien runoff antara lain: a. Persentase luas area yang terjadi runoff b. Karakteristik tanah c. Lama terjadinya hujan (durasi curah hujan) d. Intensitas curah hujan e. Bentuk dari drainage area f. Kemiringan dan tata guna lahan Daerah Aliran Sungai Besarnya koefisien limpasan untuk kombinasi dari gabungan berbagai variabel ini tercermin dari nilai C. Dengan demikian C dapat dikatakan sebagai indikator dari kualitas ruang hidrologi. Besarnya C adalah berkisar antara 0≤C≤1, dimana jika nilai C=0 menunjukkan bahwa kondisi permukaan DAS sangat porus, sedangkan jika nilai C=1 menunjukkan kondisi permukaan DAS tersebut kedap air.
15
Tabel 2.1 Koefisien runoff untuk metode rasional (Hassing, 1995) Koefisien runoff C = Ct + Cs + Cv Topografi, Ct
Tanah, Cs
Vegetasi, Cv
Datar (<1%)
0.03
Pasir dan gravel
0.04
Hutan
0.04
Bergelombang (1-10)%
0.08
Lempung berpasir
0.08
Pertanian
0.11
Perbukitan (10-20)%
0.16
Lempung dan lanau
0.16
Padang rumput
0.21
Pegunungan (>20%)
0.26
Lapisan batu
0.26
Tanpa
0.28
tanaman (Sumber: Suripin, 2004.)
Tabel 2.2 Hydologic Soil Properties Classified by Soil Texture Texture Class
Sand Loamy Sand Sandy Loam Loam Silt Loam Sandy Clay Loam Clay Loam Silty Clay Loam Sandy Clay Silty Clay Clay
Effective Water Capacity (in./in) 0.35 0.31 0.25 0.19 0.17 0.14 0.14 0.11 0.09 0.09 0.08
Minimum Infiltration Rate (in./hr) 8.27 2.41 1.02 0.52 0.27 0.17 0.09 0.06 0.05 0.04 0.02
SCS Hydrologic Soil Group A A B B C C D D D D D
(Sumber: Rao et al., 1982)
16
Tabel 2.3 Koefisien Runoff berdasar Land Use dan Hydrologic Soil & Slope Range
1
Lower runoff coefficients for use with storm recurrence intervals < 25 year Higher runoff coefficients for use with storm recurrence intervals > 25 years 3 High Density Residential – greater than 15 dwelling units per acre 4 Medium Density Residential – 4 to 15 dwelling units per acre 5 Low Density Residential – 1 to 4 dwelling units per acre 2
(Sumber: WaterWare Consultants, 2000)
Pada suatu daerah dengan tata guna lahan yang berbeda-beda, besarnya koefisien limpasan ditetapkan dengan mengambil rata-rata berdasarkan bobot luas, seperti berikut ini:
Cr =
∑ C .A ∑A i
i
i
Dimana: Cr
= Harga rata-rata limpasan
Ci
= Koefisien limpasan pada tiap-tiap daerah
Ai
= Luas pada masing-masing daerah (ha)
17
2.4.2 Intensitas Curah Hujan Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi (Loebis, 1992). Intensitas curah hujan (dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam) yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan pada daerah yang luas, jarang sekali terjadi dengan intensitas tinggi, tetapi berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit (Sudjarwadi 1987). Sri Harto (1993) menyebutkan bahwa dalam analisis Intensitas Durasi dan Frekuensi (IDF) curah hujan, diperlukan analisis frekuensi dengan menggunakan rekaman data hujan dalam waktu yang panjang. Akan tetapi, jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau disebabkan oleh karena keterbatasan alat, dapat ditempuh cara empiris dengan mempergunakan rumus eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishigura. Menurut Loebis (1992) intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empirik menggunakan metode mononobe sebagai berikut:
R I = 24 24
⎛ 24 ⎞ ⎜ ⎟ ⎝ t ⎠
2
3
Keterangan: I
: intensitas curah hujan (mm/jam)
t
: lamanya curah hujan (jam)
R24 : curah hujan maks dalam 24 jam (mm)
18
2.4.3 Daerah Tangkapan Air (Water Catchment Area) Daerah tangkapan air (Water catchment area) merupakan suatu cekungan topografi yang dibatasi oleh suatu garis yang menghubungkan puncak tertinggi pada sebagian sisinya, sehingga aliran air hanya terjadi pada sistem tersebut saja. Cekungan ini biasanya berasosiasi dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) dimana tinggian atau punggungan merupakan batas antar DAS.
19