1
Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastyastu Pertama kali, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Rektor, Senat, dan Pimpinan ISI Yogyakarta, yang telah memberi amanat kepada saya untuk memberikan Kuliah Umum Perdana dengan tajuk “Penciptaan & Pengkajian Seni Berbasis Riset dan Teknologi”, pada Acara Penerimaan Mahasiswa Baru ISI Yogyakarta, 2015. Demikian pula, Selamat Datang saya ucapkan kepada kalian semua – para mahasiswa dan mahasiswi baru tahun akademik 2015/2016 – di ISI Yogyakarta. Congratulation untuk Penerimaan kalian di Dunia Akademik ISI Yogyakarta. Semoga Kalian dapat belajar banyak di bidang studi masing‐masing, menemukan jalan kreativitas pribadi, untuk kemudian bersinergi, dan berkarya.
2
Segala Sesuatu Itu Kelindan “Penciptaan & Pengkajian Seni Berbasis Riset dan Teknologi” Kuliah Umum Perdana oleh M Dwi Marianto Dalam Acara Penerimaan Mahasiswa Baru Angkatan 2015 / 2016 ISI Yogyakarta Yogyakarta, 31 Agustus 2015
Kuliah ini saya buka dengan pernyataan dari seorang saintis tulen bernama Stephen Hawking, yang menyatakan bahwa sains itu bukan melulu menghamba pada nalar, namun juga sebagai pengikut perasaan dan hasrat”i Maka untuk mengondisikan munculnya kreativitas, pembaruan, dan inovasi seyogyanya kita tanggalkan cara‐cara berfikir yang terlalu linier, reduksionis, dan dangkal, yang memisahkan‐misahkan antara: seni dan sains; antara seni dan teknologi. Seakan‐akan otak kita ini berbelah pilah, sebagai belahan kanan (untuk imaginasi) dan belahan kiri (untuk logika) yang beroperasi sendiri‐sendiri.Untuk mengatasi persoalan ini, kiranya perlu kita tengok kembali pandangan kreatif Leonardo da Vinci (1452 – 1519) yang mengatasi dikhotomi keliru itu, dengan mengatakan ”Untuk mengembangkan suatu pemikiran yang komplit, pelajarilah ilmunya seni, dan pelajari pula seninya ilmu. Belajarlah bagaimana melihat dan mengamati. Sadarilah bahwa segala sesuatu itu kait mengait dan saling berhubungan(kelindan)” Untuk itu marilah kita tengok kata‐kata yang membentuk tajuk diatas. “Penciptaan”, kata benda abstrak yang berasal dari kata ‘cipta’, yang dapat diartikan sebagai “Tindakan atau serangkaian kerja untuk menyiptakan (to create) sesuatu yang baru; mendisain (to design) sesuatu untuk memecahkan suatu permasalahan, atau untuk memenuhi suatu kebutuhan; atau membuat sesuatu yang unik/spesial/menarik yang menginspirasi inovasi dan invensi. “Pengkajian”, kata benda abstrak yang berasal dari kata ‘kaji’, artinya suatu upaya intelektual memahami dan memaknai sesuatu secara sistematik, apakah secara tekstual maupun kontekstual, yaitu dengan cara mengamatinya terlebih dahulu secara keseluruhan, lalu mengidentifikasi dan mendeskripsikan apa yang menampak, kemudian menganalisisnya, diikuti dengan menginterpretasi, dan diakhiri dengan memberi penilaian. “Riset/Research “ (sebagai kata beda), adalah Kegiatan mencari atau menemukan sesuatu secara mendalam dan komprehensif. Dalam Encyclopaedia Britannica, research dituliskan sebagai upaya penyelidikan yang dilakukan secara seksama, terfokus, dan berkesinambungan, kerap pula melalui proses coba‐coba dan eksplorasi bebas (trial and error). Riset dapat bersifat basis atau terapan.
3
“Technology”, adalah suatu istilah (term) yang terbentuk dari kata “techne” (berasal dari bahasa Yunani kuno, yang artinya ‘seni’ atau ‘kriya’) dan kata “logos” (juga dari bahasa Yunani) yang berarti ‘kata atau pengataan’, yang di Yunani dimaknai sebagai suatu wacana tentang seni, apakah dalam pengertian seni murni atau seni terapan. Ketika ‘technology’ mulai dipakai dalam bahasa Inggris di abad ke‐17, istilah ini melulu dipakai untuk mendiskusikan hal‐hal yang berhubungan dengan seni‐seni terapan saja, namun dalam perkembangannya kemudian cakupan istilah teknologi menjadi semakin luas. Pada awal abad ke‐20, ranah cakupannya telah berkembang lebih luas, meliputi berbagai cara, proses, serta ide‐ide yang merupakan tambahan untuk wacana tentang peralatan alat‐ alat dan mesin‐mesin. (Disadur dari Encyclopaedia Britannica) Dalam Pengkajian Seni, sudah jelas dipahami bahwa untuk memahami dan memaknai seni seseorang harus melakukannya secara sistematik; melalui riset dan mengaplikasikan metode saintifik, bahkan sering kali harus melalui berbagai peralatan ukur, pindai, dan dokumentasi yang memadai. Namun, bagaimana dengan Penciptaan Seni? • Harus melalui Riset dan Teknologi kah untuk menyipta seni, atau untuk mendisain suati produk? • Mungkinkah? • Ada acuannya kah? • Tokoh dunia mana yang telah teruji karyanya dan oleh karenanya dapat dijadikan sebagai role model? • Adakah tokoh‐tokoh bangsa kita sendiri yang layak dipandang sebagai teladan, atau dipakai sebagai sumber acuan? • Hikmah apa yang dapat kita ambil sebagai pelajaran? Berikut ini adalah beberapa ide yang saya tawarkan: Berfikir Kelindan, Mengkreasi Solusi “Induk dari segala temuan adalah kebutuhan”, kata Tom Kelley (dalam bukunya The Art of Innovation). Karena ada suatu kebutuhan yang mendesak lah, seseorang, atau suatu komunitas menjadi tertantang untuk memutar otak, menentukan gagasan, guna mencari solusi memenuhi kebutuhan itu. Mari kita ambil satu contoh kongkrit, tentang serangkaian aktivitas inovatiff yang sedang berjalan sekarang. Seorang rohaniwan, yang kebetulan pemerhati Seni dan Lingkungan bernama V. Kirdjito melihat bahwa di daerahnya di lereng timur Gunung Merapi, wilayah Klaten, Jawa Tengah, selalu mengalami kekeringan di musim kemarau. Air bersih sangat sulit didapat, para penduduk terpaksa membeli air bersih walaupun mahal. Kalau tidak ternak mereka mati. Problem ini selalu berulang setiap tahun, tanpa ada solusi yang komprehensif. Sementara itu, di musim hujan, masyarakat tidak
4
berbuat apa‐apa terhadap air hujan yang datang melimpah. Dibiarkan terbuang begitu saja. Pada suatu ketika, berdasarkan pengamatannya atas pola kebiasaan masyarakat disana, Kirdjito meminta agar para penduduk di daerahnya tidak membuang botol‐botol plastik bekas kemasan minuman bermerek, untuk dimanfaatkan menyimpan air hujan. Kirdjito pun membangun bak‐bak tadah hujan. Ia menginisiasi pembentukan forum lintas kepercayaan, untuk mengelola air secara arif dan efisien, serta merawat sumber‐sumber/mata air di Kecamatan Kebonaran, Klaten, Jawa Tengah. Ia meminta para tokoh agama di wilayah itu bekerja‐sama mengatasi problem bersama, yaitu kekurangan air bersih. Hasilnya, problem kekurangan air bersih pun dapat diperkecil. Paling tidak dari air hujan yang ditampung di botol‐botol plastik bekas, dan dari air yang disimpan dalam bak tadah hujan, mereka dapat memberi minum ternak mereka di musim kemarau. Bukan hanya itu saja, Kirdjito mengkaji dan mencermati air hujan. Air hujan menurutnya memiliki kandungan mineral atau total dissolved solid (TDS) yang rendah. Kandungan TDS yang rendah dalam air tak disukai bakteri, lagi pula terhindar dari pencemaran logam berat. Ia melakukan berbagai percobaan dengan mengionisasi air hujan melalui pendekatan elektrolisis. Dipasanglah dua bejana yang dihubungkan dengan pipa plastik yang pada salah satu ujungnya diberi filter busa/kapas. Air hujan dimasukkan dalam dua bejana yang dipasangi konduktor baja. Dengan menggunakan power supply DC 12 Volt, ia mengaliri air dalam ‘bejana satu’ dengan aliran listrik (searah) negatif melalui konduktor baja. Air dalam ‘bejana dua’, dialiri listrik positif melalui konduktor baja. Dengan alat elektrolisis itu ia mengurai molekul air, dan menghasilkan: “air yang berifat basa” (alkaline) yang mengandung ion negatif; dan “air yang bersifat asam” mengandung ion positif. Air basa dapat diminum, membuat tubuh bekerja alami, tidak keberatan. Dari pengalaman mengonsumsi air basa bermuatan ion negatif, banyak orang memberi kesaksian bahwa mengonsumsi air basa membuat tubuh kembali sehat dan bugar, tidak mudah lelah, serta tahan terhadap penyakit.ii Untuk menyebarkan ilmu ini, Kirdjito telah melatih orang‐orang untuk membuat alat elektrolisis air, untuk dikembangkan lebih jauh. Banyak orang di beberapa kota telah menampung air hujan, dan membuat sendiri alat pengurai molekul air, dan memanfaatkan air dengan baik. Masyarakat di wilayah tersebut di atas kini bangga ketika mereka menyuguhi tamu mereka minuman dari air tampungan hujan. Air hujan sekarang dipandang sebagai anugerah langit. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh sejarawan terkenal Arthur Schlesinger bahwa sains dan teknologi memang
5
merevolusi kehidupan kita, namun ingatan, tradisi dan mithologi kita lah yang membingkai tanggapan kita.iii Dalam kasus ini dapat dikatakan bahwa V. Kirdjito tidak menerima problem ekologis secara apa adanya, ia mencari solusi. Melalu niat yang baik dan passion sosiokultural, ia melakukan pengamatan mendalam terhadap lingkungan alam sekitar dan fenome kultural yang ada, melakukan riset tentang air, dan memanfaatkan sains yang dipelajarinya untuk menyiptakan produk dengan technologi tepat guna, untuk mengatasi permasalahan. Belajar Dari Tokoh Historis Leonardo da Vinciiv “Sungguh terkesan aku akan pentingnya berbuat. Mengetahui tentang sesuatu tidaklah cukup; kita harus mengamalkan. Punya keinginan pun tidak lah cukup; kita harus melakukan sesuatu” (Leonardo Da Vinci) Dalam sejarah Modernisme, ada satu periode yang berlangsung cukup panjang dari abad ke‐14 sampai abad ke‐17 di Eropa, yaitu satu periode yang disebut Renaissance, atau Rebirth, yang artinya “Kelahiran Kembali”; disitulah berlangsung pemunculan kembali suatu proses belajar, kebangkitan sastra, berkembang pesatnya seni dan budaya,yang terbebas dari kungkungan pemikiran Zaman Kegelapan Abad Pertengahan ketika banyak masyarakat terbelenggu dalam mithologi, dogmatisme, dan mistisisme yang mengerdilkan kritisisme, rasionalitas, serta yang mengebiri keberanian untuk mengedepankan ide‐ide dan kemungkinan baru. Salah satu tokoh penting dari Renaissance di Italia adalah Leonardo da Vinci (1452 – 1519), yang sampai sekarang dipandang sebagai salah satu pemikir besar dunia, seniman terkemuka, filsuf , saintis inovatif di beberapa bidang ilmu, anatomis yang menyiptakan metode penyelidikan sendiri tentang anatomi. v
Pelukis Mona Lisa itu melakukan berbagai pengamatan mendalam atas fenomena
alam; mendeskripsikan, mencatat, memverifikasi, memaknai, dan menuliskan hasil‐hasil temuannya secara detil. Da vinci melihat bahwa sains dan seni itu setara, sebagaimana logika dan imaginasi. Ia pun menganjurkan bahwa untuk memiliki suatu pemikiran dan pemahaman yang lengkap, orang harus mempelajari ilmunya seni, dan juga sebaliknya bagaimana mempelajari seninya ilmu. Ia menggarisbawahi pentingnya melakukan pengamatan mendalam dalam mempelajari sesuatu; dan pentingnya memahami bahwa
6
segala sesuatu itu kelindan, kait mengait dan saling mempengaruhi. Tak ada sesuatu pun yang terpisah dari semesta.vi
Sesungguhnya banyak tokoh dunia yang menghasilkan berbagai temuan saintifik dan
teknologis berdasarkan pengamatan mendalam atas alam, meneliti dan mengambil insight dan pelajaran dari sana, dan menyiptakan sistem dan/atau produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan dunia, diantaranya: Viktor Schauberger (1885 – 1958), orang yang melakukan riset atas keberagaman hayati dan air selama lebih dari 20 tahun sendirian, dan memperoleh berbagai temuan ekologis yang sungguh relevan bagi permasalahan lingkungan dan air masa kini, serta untuk memproduksi peralatan tepat guna untuk masyarakat selagi ia masih hidup, bahkan tetap bagi kondisi global yang mengalami berbagai problem lingkungan yang mendasar.vii Belajar Dari Tokoh‐Tokoh Negeri Sendiri
Setelah berkenalan secara lebih dalam dengan Da Vinci, orang Itali, marilah kita
arahkan perhatian ke dalam negeri, guna menyoroti dan mengamati figur‐figur dari bangsa sendiri. Sebab dalam belajar berlaku satu kenyataan yang terjadi di mana dan kapan saja, yaitu bahwa ‘apapun itu baru ada setelah ia diamati, sebelum diamati ia tidak ada’. Dalam Kuliah Umum Perdana, saya ingin mengedepankan beberapa figur yang bagi kebanyakan dari kalian mendengar namanya pun belum pernah, apalagi mengetahui. Tokoh‐tokoh yang saya kemukakan ini adalah: Sigit Sukasman, Heri Dono, MA Setyanto, dan Venzha Christ. Mereka ini adalah pelaku seni yang melakukan riset panjang dan mengaplikasikan teknologi yang mereka pilih untuk menyatakan ide‐ide dan konsep kreatif mereka, sebagai berikut:
Sigit Sukasman Adalah seorang seniman pembuat wayang (Kelahiran Yogyakarta, 1937 – 2009), yang menjalani pencarian akan esensi wayang secara ekstrim untuk melakukan perubahan dan pembaruan. Seniman yang dijuluki ‘Van Gogh van Java’ ini sejak akhir tahun 1950‐an sampai tahun 2000‐an, hidup sebagai seorang ‘pegila’ dan ‘penekun’ wayang. Begitu terobsesi ia akan wayang kulit purwa klasik. Namun ia tidak menerima ujud, bentuk, dan cara tradisional memainkan wayang begitu saja. Sukasman merenungi Wayang Purwa, mempertanyakannya secara kritis, mempelajarinya secara mendalam, dan mempraktikkan hasil studi dan observasinya dengan membuat wayang menurut penafsiran inovatifnya. Lebih radikal lagi, Sukasman menyiptakan suatu genre seni pertunjukan wayang kulit, yang dinamakan Wayang Ukur.
7
Foto 1& 2. Sigit Sukasman, dan wayang Betara Guru dan kendaraannya Lembu Nandi, wayang kreasi Sigit Sukasman (1936 – 2009), yang menyiptakan Wayang Ukur.
Dengan keingintahuan yang besar Sigit Sukasman melakukan riset longitudenal, dan studi yang mendalam tentang wayang. Ia mempelajari anatomi, proporsi, tipologi dan ekspresi wajah manusia. Awalnya Ia mempertanyakan mengapa tidak membuat wayang dengan anatomi, proporsi, dan wajah yang naturalis saja seperti sosok manusia pada umumnya. Ia mempraktikkan asumsi dan teorinya dengan membuat sketsa, drawing wayang, dan mengeksekusinya sendiri. Ia melakukan percobaan dan membuat wayang, dari yang realis sampai yang dikarikaturkan. Ia menggeluti kerja pembuatan wayang kulit, dan mengikuti kemana saja wayangnya ‘membawa’ dia. Lantaran semangat pencariannya akan makna kesejatian wayang, Sukasman melanglang buana, dan beberapa tahun tinggal di mancanegara: Amerika dan Belanda, Ia pun secara inovatif merekayasa cara pementasan Wayang Ukur yang diciptakannya, salah satunya adalah dengan mengoptimalkan efek cahaya dengan teknologi pencahayaan. Namun pada akhirnya, setelah puluhan tahun bereksperimen dan mengalami sendiri, Sukasman menyimpulkan bahwa memang diperlukan cara dan teknik yang tepat untuk membedakan suatu karakter wayang yang satu dari karakter wayang yang lain. Untuk keperluan ini diperlukan penyangatan, atau pengarikaturan. Temuan Sukasman ini ternyata memiliki kesejajaran dengan hasil penelitian (temuan kemudian, setelah temuan Sukasman) VS Ramachandran ‐ seorang pakar neurosains Amerika kelahiran India – yang setelah meneliti konsep Rasa dalam Estetika dan Seni India bahwa prinsip utama seni adalah pengarikaturan atau penyangatan, sehingga rasa yang mau disampaikan dapat ‘teraksasakan’, atau, maksudnya teramplifikasi sehinga jelas tertangkap oleh indra‐indra yang teraktifkan dari pemirsa.viii
8
Ilustrasi 1. Studi Sukasman untuk menyangatkan karakter wayang. Dengan pengataan lain, melalui pencarian diri yang panjang Sukasman akhirnya benar‐benar memahami – secara detil dan komprehensif ‐ bahwa penyangatan/pengarikaturan secara khas atas anatomi, proporsi, gesture, ukuran, dan atribut dari satu karakter wayang sangat diperlukan, agar penonton dapat segera mengenali tokoh‐tokoh yang sedang ditonton. Ini jauh lebih efektif dan berkarakter dibandingkan dengan cara pengujudan wayang secara naturalis sesuai dengan anatomi dan proporsi manusia rata‐rata, karena dengan naturalisme pembeda antara karakter wayang yang satu dengan karakter lain tidak besar, sehingga untuk mengenalinya relatif membutuhkan usaha, proses, dan waktu yang lebih panjang. Melalui temuannya sendiri, Sukasman membuat genre wayang kulit yang lain, termasuk dalam hal pementasannya, ia mengoptimalkan aspek pencahayaan yang melibatkan piranti lighting modern, dan memberinya nama yaitu “Wayang Ukur”.
9 Heri Dono
Adalah salah satu seniman (kelahiran Jakarta, 1960) terkemuka Indonesia yang telah mulai kiprah go internasional‐nya sejak akhir 1980‐an, pernah mengikuti hampir semua art event bergengsi dunia di semua Benua. Karyanya berjudul Trocomod, kini masih dipamerkan di Venice Biennale 2015, satu‐satunya karya dari seniman Indonesia, yang mendapat perhatian besar dari para pengunjung. Ia pun baru saja menyelesaikan Pameran Tunggalnya selama tiga bulan, di Stockholm, Stockholm, yang sepenuhnya disponsori oleh Fargfabriken. Dan paket pameran yang sama akan ditampilkan lagi di kota yang berbeda di Sweden pada bulan Oktober ini. Salah satu karya yang dipamerkan Heri Dono, adalah instalasi video yang menayangkan cuplikan pertunjukan wayang berjudul “Kisah Kasih Vincent van Gogh and Sukasman”, yang mempertemukan figur Vincent van Gogh dan Sigit Sukasman. Heri Dono, yang sering menghadirkan figur‐figur wayang pada karyanya, selalu melakukan riset untuk menyipta karya seni. Riset dijalaninya dengan penuh kesadaran, perhatian dan passion, sebab ia sangat percaya bahwa ide‐ide kreatif dan kedalamannya hanya dapat diperoleh bila seniman melakukan riset sebelumnya, apakah yang subjeknya berkaitan dengan karya yang mau dibuat secara langsung maupun tidak. Heri Dono menggarisbawahi pentingnya ajaran WS Rendra tokoh teater yang reputasinya mendunia; Rendra mengajarkan bahwa seniman perlu melakukan pengamatan dan riset mendalam agar ia memperoleh fakta objektif dari suatu subjek yang akan diangkat menjadi karya.ix Fakta objektif yang diperoleh dari pengamatan mendalam dan/atau riset akan menjadi insight (pemahaman baru tentang sesuatu yang bersifat esensial dan mendasar). Insight selalu bersifat unik, khas, dan niscaya berpotensi untuk ditransformasi mejadi metafor, ide‐ ide, atau konsep‐konsep kreatif. Namun demikian, riset tidak harus dilakukan seperti seorang biolog, atau chemist yang melakukan riset di lab yang dingin, steril, dengan peralatan nan serba terukur dan baku. Riset bisa dilakukan melalui pengamatan mendalam, mencari tahu sejarah, anatomi, struktur dan konsep dari sesuatu, untuk menemukan hal‐hal baru sebagai model pengembangan atau sebagai ide untuk memulai sesuatu yang baru. Heri Dono dulu selagi studi di ISI Yogyakarta melakukan kunjungan ke tokoh‐tokoh pelaku seni apakah di dalam kampus akademik atau di luar tembok akademik, dan belajar dari tokoh‐tokoh yang dipilihnya. Sigit Sukasman, adalah salah satu seniman yang menjadi gurunya dalam membuat suatu pertunjukan dan dalam membuat karakter‐karakter yang akan ditampilkan. Heri Dono belajar dari Sigit Sukasman tentang serba‐serbi wayang lalu ikut praktik membuat wayang di studio Sukasman ketika Sukasaman masih hidup dan berkarya. Hasilnya, pada akhir tahun 1980‐an Heri mementaskan wayang legendanya di Seni‐Sono Yogyakarta. sejak itulah Heri Dono menampilkan karya seninya – walau ia studi di Jurusan seni Lukis – sebagai suatu pertunjukan dengan totalitasnya, dimana ia dapat memadukan media apa saja untuk merealisasi suatu ide yang barangkali tidak cukup kuat seandainya hanya dinyatakan melalui bahasa rupa. Dari kebiasaannya membaca buku, melakukan riset atas subjek‐subjek yang dipilih, dan dari pengamatannya yang mendalam Heri mampu menyiptakan beberapa cara pendekatan kreatif dalam berkarya seni, diantaranya: menggabungkan dua hal yang sekilas berbeda, contohnya ‘animasi’ dan ‘animisme’, lalu mengambil ide‐ide khusus dari kedua hal
10
ini; mengambil ide dari ‘fermentasi’ dan tindakan ‘memfermentasi’, disini diartikan bahwa ide‐ide kreatif tidak harus seketika dinyatakan begitu saja, melainkan harus dipersiapkan segala sesuatunya agar dapat terlahirkan secara matang, tepat pada waktunya; seperti memferementasi anggur untuk dibuat wine, si pembuat dapat membukanya kapan saja, untuk peristiwa apa saja, semakin lama wine disimpan semakin baik. Demikian pula dengan karya seni, idenya dapat terus berkembang dan dikembangkan, lalu dinyatakan secara baru sesuai situasi dan konteksnya di kala karya itu dihadirkan kembali. Berikut ini adalah karya Heri Dono dari 13 karyanya yang dipamerakan di Pameran Tunggalnya di Stockholm, Swedia, yang diberi judul “Animachines”.
Foto 3. Suasana Pameran Tunggal “Animachine” Karya Heri Dono, di Fargfabriken, Stockholm, Swedia, 28 April – 28 june 2015.
Mastok Setyanto Adalah seorang pencinta, promotor, dan pengamat bambu; aktivis lingkungan hidup, pekerja sosial; pendiri Bengkel Hijau. Dilahirkan di Banyuwangi, 1967. Mastok telah membuat berbagai macam produk tepat guna, dianrtaranya: saung, peralatan masak dan kerja dari bambu, kincir angin bambu untuk energi listrik microhydro, rumah terapung. Sering membuat pelatihan tentang pemanfaatan bambu untuk berbagai keperluan. Ia mengoleksi sejumlah spesies bambu yang diperlukan sebagai bahan studi dan dimanfaatkan hasilnya, dan tempatnya menanam diperlakukan sebagai laboratorium alam. Ia sendiri menanam bambu sebagai contoh nyata bagi kedua putranya yang diperkenalkan pada bambu, dan diajarinya bagaimana membudidayakan bambu. Baginya bambu adalah: senjata sosial; tabungan hijau; spesies pelestari bumi dan lingkungan; sumber energi; pemberi oksigen lingkungan dan penyimpan air tanah agar tidak terjadi kekeringan. Bambu adalah sumber ide dan bahan untuk mempraktekkan teknologi tepat guna bagi penyangga eknomi keluarga dan masyarakat. Dengan, melalui, dan tentang bambu ia menyiptakan konsep dan
11
mempraktikkan ide membuat limbah menjadi sekolah. Berbagai seminar, workshop, dan kegiatan sosial yang dilakukan sebagai volunteer merupakan kerja kesehariannya. Ia adalah seorang pelaku disain tepat guna yang semua ide dan konsep inovatifnya didasarkan pada riset longitudenalnya atas bambu. Ketertarikannya akan bambu‐bambu membawanya menjelajah ke berbagai wilayah di Nusantara untuk meneliti dan mendokumentasi bambu sebagai sumber pegetahuan dirinya dan masyarakat. Mastok aktif mempublikasi berbagai kegiatan dia yang berkaitan dengan pengelolaan bambu dan lingkungan hidup melalui media sosial, diantaranya: Bengkel Hijau; dan baltyra.com.
Foto 4,5, 6,7: Karya‐karya, profile Mastok Setyanto, dan gaya hidup pedesaan yang dipilih.
Venzha Christ Adalah seorang praktisi seni media baru (Lahir tahun 1975), alumnus Jurusan Interior Desain, FSRD, ISI Yogyakarta, namun menekuni Seni Media Baru sejak 1999. Bersama beberapa rekannya Venzha aktif mengelola HONF (House of Natural Fiber) di Yogyakarta, dengan prinsip kerjanya menyatukan pendidikan, seni, dan teknologi dengan komunitas‐
12
komunitas lokal tanpa adanya pembatasan kultural. Venzha melakukan berbagai eksplorasi yang berani; tanpa ragu‐ragu ia melintasi kotak disiplin keilmuan untuk memperoleh ide‐ode dan pemahaman baru. Ia bereksperimen secara bolak‐balik antara seni dan sains, melintasi batas‐batas konvensional yang ada, serta melakukan berbagai macam riset untuk memperoleh fakta‐fakta objektif. Maka bukan kebetulan kalau karyanya sering sangat provokatif, oleh karenanya kerap membuat penonton bertanya “Seni kah ini?”. Karyanya eksis di suatu wilayah yang terkadang berbahaya, acap kali berisik dan gaduh, atau terbilang aneh, misalnya ia merekam dan memperdengarkan degup tubuhnya sendiri selagi dirinya menjalani pembiusan di Intensive Care Unit. Ia merekam pula suara‐suara mikro dari suatu proses fermentasi, dalam hal ini Venzha bereksperimen fermentasi atas sejumlah buah yang ternyata mengeluarkan suara‐suara masing‐masing yang khas. Ia berperan sebagai direktur artistik untuk Yogyakarta International Videowork Festival and Cellsbutton, dan untuk the Yogyakarta International Media Art Festival. Melalui jaringan new media art internasional Venzha berhasil melanglang buana, menggelar karya instalasi, menyelenggarakan workshop, membuat rekaman soundscape dan mencari tahu berbagai data dan info tentang UFOs.x
Foto 8 & 9 : Ketika Venzha Christ melakukan eksperimen soundscape di “Area 51” di Nevada, USA.
Baru‐baru ini Venzha berhasil memperoleh akses untuk memasuki pangkalan rahasia militer Amerika Serikat, yang disebut sebagai Dreamland, atau Groom Lake, di bagian selatan Nevada. Fungsi pangkalan rahasia militer itu belum pernah diumumnkan secara resmi. Masih meruapakan misteri bagi masyarakat awam. Di Area 51 disana ia melakukan eksperimen dengan merekam bunyi‐bunyian yang muncul, atau terdengar di sekitar pangkalan militer itu. UFOs sering muncul di area itu; juga kerap diduga bahwa pihak militer Amerika melakukan eksperimen dan pengembangan senjata dan pesawat tempur maupun intai. Yang jelas area itu sangat dirahasiakan dan sengaja disamarkan. Yang spesial dalam hal
13
ini adalah izin yang diperoleh bagi Venzha untuk memasuki area itu dan diberi kesempatan melakukan penelitian dan merekam soundscape disana. Ini merupakan suatu prestasi seseorang yang sungguh luar biasa. Soundscape yang direkam di Area 51 di Pangkalan Militer di Nevada itu ditampilkan sebagai suatu instalasi bunyi dan yang sifatnya khas tempat itu saja, di UCR ARTSblock's Culver Center of the Arts, di Universitas California di Riverside, California, USA.
Foto 10 & 11: Tampilan Instalasi “Area 51” Venzha Christ di University of California in Riverside, California, USA.
Kata Akhir Telah kita ketahui tadi bahwa sesungguhnya pengombinasian seni, sains, dan teknologi telah dikembangkan secara baik sekali dan produktif oleh Leonardo da Vinci pada pada paruh kedua abad ke‐15 sampai akhir hayatnya pada dekade kedua abad ke‐16. Seniman/saintis/desainer/filsuf istimewa ini mengembangkan cara memahami dan belajar dari alam melalui metode yang dikembangkannya sendiri, yaitu melalui pengamatan mendalam. Segala sesuatu itu seakan baru ada setelah diamati, sebelum diamati ia ‘tidak ada’. Melalui pengamatan lah Leonardo mampu melihat dan sepenuhnya memahami bahwa segala sesuatu itu kait‐mengait/kelindan. Dari pengamatan pulalah ia mampu mengaitkan hal‐hal yang tak berkaitan sama sekali, lalu memadukannya menjadi sesuatu yang baru. Da Vinci bukanlah orang yang melulu berteori, namun seorang pelaku yang menyiptakan berbagai karya, yang kini digolongkan dalam berbagai kotak disiplin ilmu atau genre seni. Ia melihat pentingnya mempelajari ilmu‐nya seni, sebagaimana pentingnya mempelajari seni‐ nya ilmu Di Indonesia pun bermunculan para kreator dan inovator yang paket kerjanya terdiri dari langkah‐langkah yang saling kait‐mengait, seperti: mengamati, melakukan riset, merumuskan kerja kreatif berdasarkan insight masing‐masing, lalu merealisasikannya melalui karya dengan teknologi yang dipilih dan dikembangkan masing‐masing. Sigit Sukasman, Heri Dono, Mastok Setyanto, dan Venzha Christ hanyalah sampel dari para inovator yang dapat diteladani. Sigit Sukasman menyiptakan genre pertunjukan wayang yang baru dengan Wayang Ukur dan karakter‐karakter wayangnya yang khas, berdasarkan riset yang panjang.
14
Heri Dono juga mengawinkan kerja riset, membaca buku, mengamati fenomena keseharian, dan berkaraya seni berdasarkan konsep‐konsep kreatif yang disusunnya sendiri, diantaranya: ‘memfermentasi’ dan mengolah ide‐ide kreatifnya; dan menganimasi potensi‐ potensi virtual (anima) dari benda‐benda temuan dan ide‐ide kreatifnya melalui karya‐karya yang diperlakuka sebagai performance art. Mastok Setyanto dengan passionnya yang besar akan bambu dan pembudidayaannya secara holistik, dan kerja kultural‐intelektualnya melakukan penelitian tentang bambu dan lingkungan hidup, dapat dijadikan contoh bagi banyak orang dalam mengembangkan local wisdom untuk mengelola berbagai potensi alam sekitar secara innovatif, bagi kesejahteraan masyarakat dan pelestarian ekosistem. Aktivitas dan jaringan kerja, serta karya Venzha Christ, dimana pendidikan, seni, teknologi, dan budaya komunitas disinergikan melalui pendekatan saintifik atau teknologis yang dapat dioperasikan atau ditampilkan secara baik melintasi batas‐batas negara, pantas dilihat sebagai acuan yang baik, dan sekaligus sebagai tantangan. Semoga paparan diatas tentang cara berfikir dan capaian istimewa dari kelima tokoh tersebut di atas telah menginspirasi, atau minimal telah memprovokasi kalian semua. Sebagai pengakhir, saya ingin berbagi tentang impressi yang mendalam saya setelah menonton video ceramahForget What You Know dari seorang jenius (ketika masih berumur 13 tahun), bernama Jacob Barnett (di Youtube) yang mengatakan: “Untuk menggapai sukses, engkau harus memandang segala sesuatu dengan perspektif‐mu sendiri yang unik, dan jangan cuma berdiam di tempat aman untuk menerima fakta‐fakta lurus seperti apa adanya”. Selamat belajar dan mencoba hal‐hal baru dengan imaginasi kreatif di ISI Yogyakarta. Jangan takut perubahan dan berubah. Yogyakarta, 31 Augustus 2015 Salam Perubahan, M Dwi Marianto
15
Sumber Bacaan: Coat, Callum (1996), Living Energies: An Exposition of Concept related to the theories of Viktor Schauberger, Bath: Gateway Books. Bohm, David (1980), Wholeness and the Implicate Order, London: Routledge & Kegan Paul. Buzan, Toni (1994), Book of Genius Suprapto, Yos (2009), Teknologi Tepat Guna Dalam Konteks Estetika, Yogyakarta: PPs ISI Yogyakarta Ramachandran, VS dan W. Hirstein (1999), “The Science of Art: A Neurological Theory of Aesthetic Experience”, Journalof Consciuousness Studies, Vol ^, no: 6‐7, June / July 1999 “AIR HUJAN RASA URBAN”oleh Mawar Kusumo dan Regina Rukmorini, Minggu 7 Juni 2015. Stallings, Tyler (2013), “Venzha Christ and the Sounds of ‘Area 51’, UCR ARTblock. Video dari Youtube: Wawancara Peter Gontha dan WS Rendra, disana Rendra menekankan pentingnya riset agar pelaku seni menangkap fakta objektif. Venzha Christ – Art in the Society Forget what you know / Jacob Barnett Website: Meetville.com CREATIVETHINKINGWITH.COM www.history.com
i
Meetville.com Lihat laporan di Kompas Minggu “AIR HUJAN RASA URBAN”oleh Mawar Kusumo dan Regina Rukmorini, Minggu 7 Juni 2015. iii Lihat di Quotations on Science & Technology di internet. iv Lihat di Creativethinkingwith.com v www.history.com/topics/italian‐renaissance vi Silahkan baca buku David Bohm (1980), Wholeness and the Implicate Order, London: Routledge & Kegan Paul. vii Silahkan lihat di internet, banyak situs yang membicarakan tekhnologi Viktor Schauberger dan relevansi temuan‐temuannya bagi permasalahan air dan lingkungan dewasa ini. Lihat buku Callum Coats (1996), Living Energies: An Exposition of Concept related to the theories of Viktor Schauberger, Bath: Gateway Books. Juga lihat buku Yos Suprapto (2009), Teknologi Tepat Guna Dalam Konteks Estetika, Yogyakarta: PPs ISI Yogyakarta. Yos Suprakto telah membuat beberapa mesin dan pembangkit listrik tepat guna berdasarkan temuan‐temuan Viktor Schauberger. viii Ramachandran, VS dan W. Hirstein (1999), “The Science of Art: A Neurological Theory of Aesthetic Experience”, Journalof Consciuousness Studies, Vol ^, no: 6‐7, June / July 1999. ix Lihat di Youtube, satu seri wawancara Peter Gontha dan WS Rendra, disana Rendra menekankan pentingnya riset agar pelaku seni menangkap fakta objektif. x Lihat video tentang Venzha Christ di Youtube Venzha Christ – Art in the Society. Buka pula artikel Tyler Stalling “Venzha Christ and the Sound of Are 51” di UCR ARTblock. Cek pula mengenai profil Venzha Christ yang disarikan oleh Radio Australia, “Asia Profile: Indonesia's experimental artist Venzha Christ”. ii