Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMALARIA DAN INSEKTISIDA FRAKSI ETIL ASETAT DAN SENYAWA 5,7,2',5",7",4"-HEKSAHIDROKSIFLAVANON-[3,8"]-FLAVON DARI BATANG Garcinia celebica Linn Mirna Saga Febryna Sara*, Taslim Ersam1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK
Telah dilakukan pengujian aktivitas antimalaria dan insektisida fraksi etil asetat dan senyawa 5,7,2',5",7",4"-heksahidroksiflavanon-[3,8"]-flavon (1) dari batang spesies Garcinia celebica linn. Uji aktivitas antimalaria dilakukan secara in vitro terhadap P.falciparum. DMSO digunakan sebagai kontrol negatif kemudian dibuat lima konsentrasi (10; 1; 0,1; 0,01; 0,001)μg/mL dengan penambahan senyawa uji dan dibuat lima konsentrasi (100; 10; 1; 0,1; 0,0) μg/mL dengan penambahan fraksi uji. Aktivitas antimalaria dapat ditentukan dengan menghitung banyaknya eritrosit yang terinfeksi parasit setiap 1000 eritrosit dan dianalisis dengan menggunakan probit SPSS 16.0 sehingga didapatkan nilai IC50. Uji aktivitas insektisida dilakukan terhadap larva instar III nyamuk Aedes Aegypti. Variasi konsentrasi senyawa uji adalah 400, 40, 4, dan 0.4 µg/mL sedangkan variasi konsentrasi fraksi uji adalah 1000, 500, 250, 125, 62.5, dan 31.25 µg/mL. Aktivitas insektisida ditentukan dengan menghitung % mortalitas yang terjadi selama pemaparan 24 jam sehingga didapatkan nilai LC50. Senyawa (1) menunjukkan IC50 sebesar 0,47 μg/mL dan LC50 125,92 μg/mL sedangkan fraksi etil asetat menunjukkan IC 50 sebesar 0,027 μg/mL dan LC50 691,67μg/mL. Kata kunci : Garcinia, Biflavonoid, Antimalaria, Plasmodium falciparum, Insektisida ABSTRACT
The test of antimalarial and insecticidal activity of ethyl acetate fraction and the compound 5,7,2',5",7",4"-heksahidroksiflavanon-[3.8']-flavone (1) from Garcinia celebica Linn has been done. The test of antimalarial activity is done by in vitro against P.falciparum. DMSO is used as a negative control and five concentrations is made (10, 1, 0,1;0.01, 0.001) μg/mL with the addition of test compounds and also five concentrations (100, 10, 1, 0,1; 0.01) μg/mL for addition of the test fraction is made. Antimalarial activity can be determined by counting the number of erythrocytes that infected by parasites per 1000 erythrocytes and analyzed using SPSS 16.0 probit to obtain IC50 values. Insecticidal activity test is carried out on third instar larvae of Aedes aegypti. The variation of the concentration of test compounds is 400, 40, 4, and 0.4 μg/mL while the concentration variation of the test fraction is 1000, 500, 250, 125, 62.5, and 31.25 μg/mL. Insecticidal activity is determined by calculating the percentage of mortality in 24 hours exposure to obtain LC50 value. Compounds (1) shows IC50 of 0,47 μg/mL and LC50 125,92 μg/mL, whereas ethyl acetate fraction showed IC50 of 0,027 μg/mL and LC50 691,67 μg/mL. Keyword : Garcinia, Biflavonoid, Antimalarial, Plasmodium falciparum, Insectisidal I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropis yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Tidak kurang dari 54% spesies tumbuhan di dunia tersebar di hutan tropika, dan itu setara dengan 250.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi sedangkan 30.000 spesies diantaranya terdapat di hutan tropika Indonesia (Ersam, 2001). * Corresponding author Phone : +6281803504484, e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. e-mail:
[email protected]
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Keberagaman tumbuhan tropika Indonesia merupakan sumber utama senyawa-senyawa kimiawi berkhasiat. tertentu yang digunakan oleh masyarakat secara turun temurun (Farnsworth, N.R., 1996). Banyak diantara senyawa tersebut yang telah digunakan sebagai bahan obat atau perangkat biokimia, farmakologi dan fisiologi dalam perkembangan biofarmaka. Penelusuran senyawa-senyawa aktif farmakologis dari tumbuhan-tumbuhan ini didasarkan pada pendekatan dari etnobotani, yaitu informasi mengenai tumbuhan sebagai obat tradisional Penggunaan tumbuhan sebagai obat di Indonesia masih terbatas pada pengamatan tradisional dan belum banyak diketahui kandungan senyawa dan manfaat lainnya, akan tetapi penggunaannya sudah berlangsung secara turun temurun dan bersifat empiris. Bioaktifitas tumbuh-tumbuhan sebagai obat
tradisiaonal tidak terlepas dari sifat senyawa-senyawa hasil metabolit sekunder dalam tumbuhan tersebut. Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil senyawa metobolit sekunder adalah Garcinia yang merupakan genus utama pada famili Clusiaceae. Disamping itu dilaporkan bahwa famili Clusiaceae memiliki 400 spesies dan dikenal sebagai sumber utama senyawa fenolat seperti santon, kumarin, dan flavon dan banyak diantaranya bersifat aktif menghambat pertumbuhan Plasmodium falciparum yang merupakan penyebab penyakit malaria. Sampai saat ini penyakit malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang serius dan kompleks yang dihadapi oleh sebagian besar masyarakat dunia, khusunya oleh negara tropis. Penyakit ini disebabkan oleh empat spesies parasit protozoa yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae yang menginfeksi sel darah merah manusia yang penularannya melalui nyamuk anopheles. Setiap tahunnya lebih dari satu juta manusia meninggal dan sekitar 300-500 juta manusia di dunia terinfeksi malaria (Trigg, 1998). Usaha penanggulangan wabah penyakit malaria telah dilakukan secara terus menerus dengan cara sosialisasi oleh para medis di puskesmas serta pemanfaatan tumbuhan yang berkhasiat menyembuhkan terus dilakukan. Kina misalnya, merupakan obat antimalaria tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Walaupun khasiatnya dapat menyembuhkan malaria ternyata juga memiliki efek samping terhadap kesehatan manusia, seperti sakit kepala dan gangguan fungsi mata. Pengobatan terus beralih pada obat sintetik seperti kloroquin. Namun penggunaan obat ini mengalami kendala setelah ditemukan beberapa kasus resistensi terhadap P. falciparum. Sebagai alternatif penggantinya digunakan kombinasi kloroquin dengan obat antimalaria lain. Hal ini belum menunjukan hasil yang memuaskan karena hanya akan menambah biaya serta bersifat toksik. Oleh sebab itu, pencarian dan penemuan bahan kimiawi baru dari tumbuhan masih terus dilakukan dan dikembangkan untuk mendapatkan alternatif obat antimalaria yang aman dan efektif. Selain itu, mengacu pada konsep kedokteran dalam kesehatan yaitu lebih baik melakukan pencegahan sebelum melakukan pengobatan. Pencegahan penyakit malaria dapat dilakukan dengan mencegah pertumbuhan nyamuk dengan suatu insektisida. Saat ini sudah banyak insektisida yang digunakan oleh masyarakat, hanya saja efek samping yang ditimbulkan cukup mengganggu kesehatan. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa tumbuhan memiliki aktivitas larvasida sehingga dapat dijadikan sebagai insektisida alami. Salah satu contohnya adalah ekstak Xanthium spinosum memiliki LC50 349,3 μg/ml terhadap larva Aedes aegypti (Ciccia, 2000). Tumbuhan dengan Genus Xanthium memilki aktivitas sebagai antimalaria dan mengandung senyawa fenolat. Hal tersebut menunjukkan bahwa dapat diperoleh Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
insektisida alami dari tumbuhan untuk mencegah penyebaran penyakit malaria. Berdasarkan uraian diatas, kelompok PAKTI yang telah mengahasilkan banyak senyawa metabolit sekunder hasil isolasi dari genus Garcinia melakukan penelitian terhadap senyawa biflavonoid dari spesies Garcinia sebagai antimalaria. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh PAKTI dan Najiyah 2008 diperoleh senyawa biflavonoid yakni 5,7,2',5",7",4"-heksahidroksiflavanon-[3,8"]-flavon (1) dan fraksi etil asetat dari batang Garcinia celebica Linn (Discostigma Fabriel Miq). Senyawa biflavon dan fraksi ini belum dilaporkan aktivitasnya sebagai antimalaria. Oleh karena itu perlu dilakukan uji bioaktivitasnya sebagai antimalaria sehingga kedepannya diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat antimalaria yang aman dan efektif. Selain itu, perlu dilakukan uji insektisida senyawa (1) dan fraksi etil asetat terhadap larva nyamuk sehingga diharapkan dapat berguna sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit malaria. II METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain tabung eppendolf, laminer air flow, lemari pendingin, candle jar, sentrifuge, tabung sentrifuge, botol scot, labu erlenmeyer steril, kertas saring berukuran pori 0,22 μm, kaca preparat, inkubator CO 2, pipet pasteur, mikropipet, pipet volume, cawan petri, termometer, plat well 24, mikroskop dan tabung reaksi. 2.1.2 Bahan Bahan yang digunakan untuk uji antimalaria merupakan senyawa isolat murni yaitu senyawa 5,7,2',5",7",4"-heksahidroksiflavanon-[3,8"]-flavon (1) dan fraksi etil asetat dari batang Garcinia celebica Linn (Discostigma Fabriel Miq). Bahan-bahan lain yang digunakan adalah parasit P. falciparum (Strain 3D7), HEPES , RPMI 1640 (Rosewell Parla Memorial Institute), Natrium bikarbonat (NaHCO3), hiposantin, gentamisin, aquademineralisasi (aqua DM), serum darah manusia (PMI, Surabaya), natrium klorida (NaCl), dimetilsulfoksida (DMSO), minyak immerse, dan pewarna Giemsa 20%, larva nyamuk Aedes aegypty instar III. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Uji Aktivitas Antimalaria Secara In vitro Uji aktivitas antimalaria dilakukan dengan menggunakan metode Desjardins (1979) yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu : 2.2.1.1 Pembuatan Medium Tidak Lengkap (Incomplete Medium) Medium tidak lengkap dibuat dengan mencampurkan 10,4 gram RPMI-1640, 5,96 gram HEPES, 2,1 gram natrium bikarbonat, 0,05 gram hiposantin dan 0,5 mL gentamisin, lalu ditambahkan aqua DM sampai volume 1000 mL. Larutan disaring dengan kertas saring berukuran pori 0,22 μm,
dimasukkan ke dalam botol scot , disimpan pada suhu 4 . medium ini diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37 dan pH 7,3 – 7,4 sebelum digunakan. 2.2.1.2 Persiapan Medium Lengkap Medium lengkap adalah medium yang mengandung 10% serum manusia. Serum manusia ini berasal dari darah manusia yang diperoleh langsung dari PMI Surabaya. Medium lengkap dibuat dengan mencampur medium tidak lengkap sebanyak 90 mL dengan serum darah manusia 10 mL. 2.2.1.3 Pembiakan Kultur Parasit P. falcifarum Prosedur biakan dibuat berdasarkan metode Trager dan Jensen (1976). Proses pembiakan kultur parasit P. falcifarum yaitu: Tabung yang berisi parasit beku dicairkan hingga suhu 37 dan ditambahkan natrium klorida 3,5% kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifuge. Kultur disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit pada suhu 4 dan supernatan dibuang. Endapan disuspensikan dengan 5 mL medium tidak lengkap, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit pada suhu 4 dan supernatan dibuang. Langkah ini diulang sebanyak 3 kali. Endapan ditambahkan 4,5 mL medium lengkap dan 0,5 mL eritrosit 50% dicampur secara perlahan. Kultur dipindahkan ke cawan petri dan dimasukkan ke dalam candle jar dan disimpan dalam inkubator CO2 pada suhu 37 2.2.1.4 Pembuatan Bahan Uji Prosedur pembuatan bahan uji dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: Senyawa (1) 1 mg zat uji dilarutkan dalam 100 μL DMSO (sebagai stok). Larutan stok diambil 10 μL, ditambahkan 490 μL medium lengkap maka diperoleh larutan dengan konsentrasi 200 μg/mL. Buat variasi konsentrasi larutan tersebut menjadi 10 ; 1; 0,1; 0,01; dan 0,001 μg/mL. Pembuatan larutan uji dilakukan secara aseptik dan dibuat duplo. Fraksi Etil Asetat 10 mg zat uji dilarutkan dalam 100 μL DMSO (sebagai stok). Larutan stok diambil 10 μL, ditambahkan 490 μL medium lengkap maka diperoleh larutan dengan konsentrasi 2000 μg/mL. Buat variasi konsentrasi larutan tersebut menjadi 100 ; 10; 1; 0,1; dan 0,01 μg/mL. Pembuatan larutan uji dilakukan secara aseptik dan dibuat duplo. Kontrol Negatif Kontrol negatif dibuat dari parasit pada media tanpa bahan uji dan pelarut (DMSO) dengan konsentrasi 0,5% sebanyak 500 μL dalam pelarut aqua DM dan dibuat duplo. 2.2.1.5 Prosedur pengujian Pengujian senyawa uji menggunakan suspensi parasit dilakukan pada sumur well 24 yang tiap-tiap senyawa uji di perlakukan duplo. Tiap-tiap sumur akan diperlakukan sebagai berikut:
senyawa S1a
(D1) 10 100 1
(D2) 1 10 2
(D3) 0,1 1 3
(D4) 0,01 0,1 4
(D5) 0,001 0,01 5
S1b
6
7
8
9
10
S2b
11
12
13
14
15
S2a
16
17
18
19
20
Gambar 2.1 Plat well 24
Kontrol (-) (-)
S= sumur
Medium lengkap dimasukkan ke dalam masingmasing sumur sebanyak 1080 μL untuk S1a dan S2a. Senyawa uji (10 μg/mL) dimasukkan 120 μL pada sumur 1 untuk S1a dan fraksi (100 μg/mL) dimasukkan 120 μL pada sumur 1 untuk S2a, lalu dikocok hingga homogen kemudian ambil 120 μL dari sumur 1 ditambahkan ke sumur 2 begitu seterusnya hingga sumur 5 kecuali sumur kontrol – (negatif). Diambil 500 μL larutan dari sumur – sumur S1a dipindahkan ke sumur-sumur S1b kemudian tambahkan 500 μL suspensi parasit ke semua sumur. Inkubasi plat well 24 ke dalam inkubator selama 48 jam. 2.2.1.6 Analisa Data Setelah diinkubasi selama 48 jam, kultur dipanen dan dibuat hapusan darah tipis pada kaca preparat lalu difiksasi dengan metanol. Setelah kering diberi pewarna Giemsa 20%. Kemudian dibiarkan selama 15 menit , dialiri dengan aqua DM dan dikeringkan. Minyak immerse diteteskan pada daerah yang monolayer (hapusan yang tipis) untuk memudahkan pengamatan pada mikroskop dengan perbesaran 1000x. Hitung % parasitemia dan % penghambatan pertumbuhan parasit dengan menghitung jumlah eritrosit yang terinfeksi setiap 1000 eritrosit di bawah mikroskop sebagai berikut: a. b.
)
c. Dimana : d.
Xp = parasitemia uji Xk = parasitemia kontrol (-) )
))
Analisa data hasil uji antimalaria seluruhnya dari tiap-tiap perlakuan diolah menggunakan analisa probit program SPSS seri 16,0 untuk menentukan IC50 2.2.2 Uji Aktivitas Insektisida Metode ini mengacu pada penelitian Meyer dan Ferrigni dalam jurnal Planta Medica, volume 45
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
(1982), hal 31-34 dimana hewan uji diganti dengan menggunakan larva instar III nyamuk Aedes aegypti serta mengacu pada penelitian G. Ciccia dalam jurnal Ethnopharmacology, volume 72 (2000). Larva yang digunakan adalah instar III yang didapatkan dari ITDUNAIR. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : 2.2.2.1 Pengujian Aktivitas Insektisida Senyawa (1) Senyawa biflavonoid diambil sebanyak 2 mg dan dilarutkan dengan larutan dimetil sulfoksida sebanyak 0,025 ml, dan kemudian diencerkan dalam labu ukur dengan akuades hingga 5 ml sehingga menjadi larutan dengan konsentrasi 400 μg/mL. Larutan sampel kemudian diencerkan dengan akuades sampai konsentrasinya menjadi 40, 4 dan 0,4 μg/mL. Larutan kontrol dibuat dengan prosedur sama dan ditambahkan 0,025 ml dimetil sulfoksida, tetapi tanpa menggunakan sampel. Masing-masing larutan diambil 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larva nyamuk Aedes aegypti sebanyak 10 ekor. Untuk setiap konsentrasi masing-masing dilakukan 2 kali pengulangan. Larutan didiamkan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan yang masih hidup dari tiap lubang. 2.2.2.2 Pengujian Aktivitas Insektisida Fraksi Etil Asetat Senyawa biflavonoid diambil sebanyak 20 mg dan dilarutkan dengan larutan dimetil sulfoksida sebanyak 0,01 ml, dan kemudian diencerkan dalam labu ukur dengan akuades hingga 10 ml sehingga menjadi larutan dengan konsentrasi 2000 μg/mL. Larutan sampel kemudian diencerkan dengan akuades sampai konsentrasinya menjadi 1000, 500, 250, 125, 62,5 dan 31,25 μg/mL. Larutan kontrol dibuat dengan prosedur sama dan ditambahkan 0,01 ml dimetil sulfoksida, tetapi tanpa menggunakan sampel. Masing-masing larutan diambil 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larva nyamuk Aedes aegypt sebanyak 10 ekori. Untuk setiap konsentrasi masing-masing dilakukan 3 kali pengulangan. Larutan didiamkan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan yang masih hidup dari tiap lubang. 2.2.2.3 Analisa Data Angka mati dihitung dengan menjumlahkan larva yang mati dalam setiap konsentrasi (3 lubang). Angka hidup dihitung dengan menjumlahkan larva yang hidup dalam setiap konsentrasi 3 lubang). Akumulasi angka hidup dan mati dari setiap konsentrasi dihitung kemudian dihitung % mortalitas atau kematiannya. Grafik dibuat dengan log konsentrasi sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Toksisitas dan aktivitas dilaporkan sebagai LC50, yang menunjukkan konsentrasi dalam ppm yang menyebabkan 50% kematian larva selama 24 jam. Nilai LC50 diperoleh dengan menggunakan persamaan regresi linier y = a + bx atau persamaan dari model grafik yang paling sesuai dengan data yang diperoleh. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Uji Aktivitas Antimalaria Tahapan pengujian senyawa ini bertujuan untuk menguji keaktifan senyawa biflavonoid dan fraksi etil asetat dengan konsentrasi yang berbeda dalam mengahambat pertumbuhan parasit P.falciparum dalam eritrosit. Berdasarkan siklus hidup P. falciparum secara aseksual maka dapat dilakukan uji aktivitas antimalaria secara in vitro, yaitu suatu metode dimana semua kondisi meliputi suhu dan pH percobaan diatur sesuai dengan kondisi di dalam tubuh manusia. Kontrol negatif yang digunakan pada penelitian ini adalah dimetil sulfoksida (DMSO). Kontrol negatif dibuat untuk mengetahui tingkat pertumbuhan dari parasit. Pada tahapan ini langkah pertama yang dilakukan adalah melarutkan bahan uji, yaitu senyawa (1) dan fraksi yang dilarutkan dengan dimetilsulfoksida (DMSO) sebanyak 100 µL. Setelah itu dibuat variasi konsentrasi dari senyawa maupun fraksi dan ditempatkan pada plat well (D5-D1). Variasi konsentrasi senyawa uji yang digunakan ada lima konsentrasi yaitu 10 (D1), 1 (D2), 0.1 (D3), 0.01 (D4), 0.001(D5) µg/mL sedangkan untuk variasi konsentrasi dari fraksi yang digunakan adalah 100 (D1), 10 (D2), 1 (D3), 0.1 (D4), 0.01(D5) µg/mL dan tiap konsentrasi dilakukan dua kali pengulangan (duplo).Kontrol negatif yang digunakan yaitu DMSO (K-) dengan konsentrasi tidak lebih dari 0,5% dan parasit pada medium tanpa bahan uji. Kultur parasit yang telah dibuat dipindahkan dalam plat well yang telah berisi senyawa dan fraksi. Plat well kemudian dimasukkan ke dalam candle jar dan diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam. Inkubasi 48 jam ini merupakan siklus aseksual parasit dalam darah (skizogoni eritrositik), sehingga dapat dikatakan pengujian ini terjadi pada fase skizontosidal yaitu menghitung besarnya daya hambat senyawa isolat atau ekstrak pada fasa intraeritrositik. Setelah 48 jam diinkubasi, lempeng sumur mikro dikeluarkan. Biakan parasit dipanen dan dibuat hapusan darah tipis pada preparat dengan cara meratakan permukaan preparat dengan menggunakan bantuan preparat lain. Kemudian hapusan darah di preparat dibiarkan kering dan difiksasi dengan metanol. Proses fiksasi bertujuan untuk menempelkan darah ke obyek agar tidak mudah terhapus dan menghindari kontaminasi dengan bakteri. Preparat ini diwarnai dengan giemsa 20% setelah kering. Pemberian giemsa ini bertujuan agar parasit yang terinfeksi oleh senyawa (1) dan fraksi mudah diamati. Parasit memiliki tiga warna setelah diberi giemsa yaitu sitoplasma berawarna biru, pigmen malaria berwarna kuning dan inti parasit berwarna merah ungu. Hapusan senyawa (1) dan fraksi diamati menggunakan mikroskop. Sebelum diamati dengan mikroskop, hapusan darah tipis ditetesi dengan minyak immerse yang bertujuan untuk memperjelas pengamatan banyaknya eritrosit yang terinfeksi oleh parasit dibawah mikroskop. Penghitungan jumlah
eritrosit terinfeksi dipilih dari lapangan-lapangan pandang yang hapusannya baik (monolayer) dan selanjutnya hapusan parasit difoto pada 0 jam dan 48 jam setelah diinkubasi. Keaktifan senyawa uji dalam menghambat parasit P. falciparum dapat diketahui melalui pengamatan jumlah eritrosit yang terinfeksi P. falciparum (% parasitemia). Bentuk dan warna parasit seperti pada Gambar 4.4 (b) yang dihitung sebagai jumlah parasit yang menginfeksi eritrosit setiap 1000 eritrosit dibawah mikroskop.
(a) (b) Gambar 3.1 Eritrosit pada 0 jam (a), Setelah inkubasi 48 jam (b)
3.2 Aktivitas Antimalaria Senyawa (1) dan Fraksi Aktivitas antimalaria dari senyawa (1) dan fraksi dapat diketahui dengan melakukan perhitungan terhadap % parasitemia yang telah didapatkan pada pengujian senyawa. Sehingga menghasilkan % pertumbuhan, % hambatan, dan % hambatan rata-rata, seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.1. untuk senyawa (1) dan tabel 4.2. untuk fraksi. Dari data % hambatan rata-rata dan konsentrasi dosis uji yang digunakan, dilakukan analisa probit menggunakan program SPSS 16.0 sehingga dapat diperoleh nilai IC50. Nilai IC50 adalah besarnya konsentrasi senyawa atau obat yang dapat menghambat 50% pertumbuhan parasit Tabel 3.1 Persen pertumbuhan parasetemia dan persen penghambatan senyawa (1) terhadap P. falciparum 3D7
Pada tabel 3.1 diatas menunjukkan hubungan antara konsentrasi dan % hambatan yang berbanding lurus. Semakin tinggi konsentrasi maka nilai % hambatan juga semakin tinggi. Pada konsentrasi antara 0,1-1 μg/mL, senyawa ini sudah mampu menghambat pertumbuhan parasit sebesar 36,15-51,18%, sehingga dapat diketahui bahwa nilai 50% penghambatan pertumbuhan parasit berada diantara konsentrasi 0,1-1 µg/ml. Untuk mengetahui nilai 50% penghambatan secara pasti maka dilakukan Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
analisa probit menggunakan program SPSS 16.0 sehingga diperoleh nilai IC50 senyawa (1) sebesar 0,476 µg/ml (lampiran). Nilai IC50 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,476 µg/ml, senyawa (1) dapat menghambat 50% pertumbuhan parasit P.falciparum pada sel eritrosit. Tabel 3.2 Persen pertumbuhan parasetemia dan persen penghambatan fraksi terhadap P. falciparum 3D7
Sama halnya dengan tabel 3.1, pada tabel 3.2 diatas juga menunjukkan hubungan antara konsentrasi dan % hambatan yang berbanding lurus. Semakin tinggi konsentrasi maka nilai % hambatan juga semakin tinggi. Tetapi pada pengujian fraksi etil asetat terdapat perbedaan variasi dosis uji yang digunakan yaitu 100, 10, 1, 0,1, 0,01 μg/mL. Pada konsentrasi antara 0,01-0,1 μg/mL, senyawa ini sudah mampu menghambat pertumbuhan parasit sebesar 39,10566,305%, sehingga dapat diketahui bahwa nilai 50% penghambatan pertumbuhan parasit berada diantara konsentrasi 0,01-0,1 µg/ml. Data-data tersebut diolah menggunakan analisa probit program SPSS 16 sehingga diperoleh nilai IC50 senyawa (1) sebesar 0,027µg/ml (lampiran). Nilai IC50 menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,027 µg/ml, senyawa (1) dapat menghambat 50% pertumbuhan parasit. Nilai IC50 untuk senyawa (1) yaitu 0,47 μg/mL memberikan arti bahwa senyawa ini tergolong moderat sebagai antimalaria karena konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat parasit lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa klorokuin yang merupakan kontrol positif. Senyawa klorokuin merupakan obat antimalaria yang digunakan saat ini dengan nilai IC50 sebesar 0,035 μg/mL sehingga senyawa ini digunakan sebagai kontrol positif. Sedangkan pada fraksi etil asetat yang memiliki nilai IC50 sebesar 0,027 μg/mL, dapat dikatakan aktif menghambat pertumbuhan parasit P.falciparum. Berdasarkan nilai IC50, fraksi etil asetat memiliki aktivitas penghambatan yang lebih baik dibanding senyawa (1). Perbedaan aktivitas antimalaria antara senyawa satu dengan yang lain maupun dengan ekstrak, dan fraksinya dapat dipengaruhi oleh sifat fisika maupun sifat kimia dari senyawa-senyawa tersebut. 3.3 Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Uji Senyawa (1) dan fraksi etil asetat memiliki aktivitas penghambatan parasit P.falciparum yang
berbeda. Senyawa (1) yang merupakan senyawa biflavonoid memiliki struktur sebagai berikut: HO HO
O OH OH
O HO
O
OH
O
Gambar 3.2 Struktur Senyawa (1)
Senyawa (1) memiliki aktivitas penghambatan terhadap parasit P.falciparum yang lebih kecil dibandingkan dengan fraksi etil asetat. Fraksi etil asetat merupakan fraksi yang diperoleh setelah melalui 2 tahap KCV (Kromatografi Cair Vakum). Fraksi ini mengandung senyawa target yang merupakan senyawa (2). Adapun struktur dari senyawa (2) adalah sebagai berikut: HO HO
O OH OH
O HO
O OH OH
O
Gambar 3.3 Struktur senyawa (2)
Fraksi etil asetat yang mengandung senyawa (2) menunjukkan aktivitas penghambatan parasit P.falciparum yang lebih baik dibandingkan dengan senyawa (1). Perbedaan keaktifan dari senyawa (1) dan fraksi etil asetat sangat erat hubungannya dengan struktur senyawa tersebut yang dapat ditinjau dari tiga aspek sifat fisik senyawa antara lain efek elektronik, hidrofobik dan ukuran molekul (Hansch,Corwin, dkk,. 1968). Aspek elektronik ditinjau berdasarkan pKa dan dissosiasi senyawa. Senyawa yang memiliki pKa yang besar cenderung keasamannya berkurang dan terdapat dalam bentuk tak terionisasi. Sifat tersebut menyebabkan kelarutan dalam lemak besar, sehingga aspek ini dapat pula dihubungkan dengan aspek lipofilisitas (kelarutan dalam lemak). Aspek sterik dapat ditinjau berdasarkan ukuran molekul dengan fleksibilitasnya menempati sisi aktif (Hansch dkk, 1968). Kedua aspek ini tidak memberikan kontribusi terhadap aktivitas antimalaria senyawa dalam penelitian ini. Aspek lipofiliitas memberikan kontribusi terhadap aktivitas senyawa dalam penelitian ini, dimana pada umumnya senyawa biflvonoid yang tidak berikatan dengan glikosida termasuk golongan senyawa fenolat yang lebih bersifat non polar. Senyawa ini memiliki kelarutan yang tinggi terhadap lemak sehingga sifat lipofilisitasnya tinggi. Sifat lipofilisitas yang tinggi yang dimiliki oleh senyawa biflavon menyebabkan senyawa tersebut mudah melalui membran lipid semipermeabel dari parasit .Setelah senyawa mudah melalui membran lipid Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
parasit dan dapat masuk kedalam vakuola makanan parasit maka menurut Kumar 2006 senyawa-senyawa biflavon tersebut dimungkinkan dapat berperan dalam menghambat pembentukan polimer heme (hemozoin) yang berfungsi sebagai nutrisi parasit. Didalam vakuola makanan parasit terjadi pemecahan hemoglobin menjadi heme bebas dan globin oleh enzim sistein protease. Heme bebas (Fe3+) bersifat sangat racun karena dapat menyebabkan spesi oksigen yang sangat reaktif sehingga dapat memicu reaksi oksidatif sehingga parasit menjadi mati. Oleh karena itu parasit harus mengubahnya menjadi suatu substansi yang tidak toksik yaitu dengan cara membentuk polimer dari residu-residu heme melalui suatu ikatan koordinasi antara Fe3+ heme satu dengan gugus hidroksil heme lainnya sehingga membentuk molekul β-hematin, selanjutnya membentuk agregat yang lebih besar yang disebut hemozoin. Proses pembentukan agregat hemozoin ini merupakan proses yang dapat dimanfaatkan sebagai target pada terapi antimalaria. Oleh karena itulah sebagian besar antimalaria bekerja dengan pembentukan kompleks, sehingga terjadi proses penstabilan metabolisme pembentukan turunan hematin. Mekanisme penghambatan pembentukan polimer heme (hemozoin) yaitu dengan pembentukan kompleks antara senyawa dengan Fe3+ yang terkandung dalam heme bebas (Ignatushchenko et al., 1997). Mekanisme pembentukan kompleks tersebut tidak terlepas dari gugus-gugus yang terikat pada senyawa tersebut. Adanya posisi-posisi pada 5hidroksi dengan 4-karbonil, 5”-hidroksi dengan 4”karbonil, dan 3”-hidroksi dengan 4”-karbonil memungkinkan terjadinya pembentukan kompleks dengan logam besi pada heme sesuai dengan pernyataan Sun dkk (2008). Adanya pembentukan kompleks ini dapat menghambat pembentukan agregat hemozoin sehingga heme tetap berada dalam bentu bebas yang merupakan racun bagi parasit. Berdasarkan uraian diatas dapat ditelusuri bahwa aktivitas antimalaria senyawa (1) dan fraksi etil asetat cenderung ditinjau dari aspek lipofilisitas dan gugus-gugus yang terikat dalam senyawa. Aspek tersebut dapat berkaitan dengan keaktifan dalam menghambat pertumbuhan parasit. Fraksi etil asetat memiliki keaktifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa (1) karena struktur dari kandungan senyawa (2) pada fraksi etil asetat memiliki lebih banyak posisi yang memungkinkan terjadinya pembentukan kompleks dengan Fe3+ yang terkandung dalam heme bebas. 3.4 Pengujian Aktivitas Insektisida Pengujian aktivitas insektisida bertujuan untuk mengetahui keaktifan senyawa dalam membunuh larva uji/nyamuk yang dapat diamati dari nilai LC50 yang diperoleh. Nilai LC50 merupakan besarnya konsentrasi yang mengakibatkan terjadinya kematian sebesar 50% dari banyaknya hewan uji. Uji insektisida ini mengacu pada penelitian Meyer dan Ferrigni dalam jurnal Planta Medica, volume 45
3.4.1 Aktivitas Insektisida Senyawa (1) Pengamatan dilakukan setelah pemaparan selama 24 jam. Hasil pengamatan aktivitas insektisida dari senyawa (1) dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 3.3 Hasil Pengamatan Aktivitas Insektisida Senyawa (1) Setelah Pemaparan Selama 24 jam
Pada tabel 3.3 diatas merupakan hasil pengamatan aktivitas insektisida dari senyawa (1) setelah dipaparkan selama 24 jam. Tabel tersebut menunjukkan adanya hubungan yang berbanding lurus antara konsentrasi senyawa uji dengan rata-rata kematian larva nyamuk. Semakin besar konsentrasi dari senyawa uji maka jumlah larva nyamuk yang mati akan semakin besar. Untuk menghitung nilai LC50, maka perlu dilakukan perhitungan akumulasi jumlah larva yang masih hidup dan akumulasi jumlah larva mati, setelah itu didapatkan % mortalitas yang nantinya akan digunakan dalam menghitung nilai LC50. Hasil perhitungan % mortalitas dari senyawa (1) ditunjukkan pada tabel 4.4 dibawah ini. Tabel 3.4 Hasil Perhitungan % mortalitas yang disebabkan oleh senyawa (1)
Perhitungan mati akumulasi didapatkan dari jumlah larva yang mati pada konsentrasi yang diamati ditambah dengan total larva yang mati pada konsentrasi sebelumnya. Penjumlahan dimulai dari konsentrasi terendah yaitu 0,4 μg/mL. Mati terakumulasi 0,4 μg/mL adalah 0, sedangkan untuk mati terakumulasi dari 4 μg/mL diperoleh dari jumlah larva yang mati pada konsentrasi ini ditambah dengan jumlah yang mati pada konsentrasi sebelumnya (0,4 μg/mL),yaitu 0. Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama untuk konsentrasi selanjutnya. Hidup terakumulasi dihitung dengan cara yang sama namun dimulai dari konsentrasi tertinggi. Mati akumulasi blanko (C) dihitung dari berapa jumlah larva nyamuk yang mati pada blanko. Dari hasil mati terakumulasi (A), hidup terakumulasi (B) dan mati terakumulasi blanko (C) dapat dihitung untuk jumlah total larva (D) dengan menjumlahkan nilai dari (A) dan (B) untuk setiap konsentrasi. Rasio mati total larva dihitung berdasarkan selisih antara mati akumulasi (A) dengan mati akumulasi blanko (C) dibagi dengan jumlah larva total (D). Setelah itu didapatkan %mortalitas larva dari nilai rasio mati total dikali 100%. Berdasarkan nilai-nilai yang didapatkan pada tabel 3.4, maka dapat dibuat suatu grafik hubungan antara log konsentrasi (sumbu x) dengan %mortalitas (sumbu y) yang ditunjukkan pada gambar 3.4 dibawah. Series1 150 %mortalitas
(1982), hal 31-34 dimana hewan uji diganti dengan menggunakan larva instar III nyamuk Aedes aegypti serta mengacu pada penelitian G. Ciccia dalam jurnal Ethnopharmacology, volume 72 (2000). Larva instar III nyamuk Aedes aegypti diperoleh dari Institute Tropical Disease (ITD) UNAIR. Senyawa uji/sampel yang digunakan adalah senyawa (1) dan fraksi etil asetat batang Garcinia celebica Linn (Discostigma Fabriel Miq). Senyawa uji atau fraksi dilarutkan dengan DMSO sebanyak 0,5%.. Setelah itu senyawa atau fraksi diencerkan dengan akuades dalam berbagai konsentrasi. Setiap tabung yang berisi 2 ml senyawa uji atau fraksi dengan berbagai konsentrasi masingmasing diisikan dengan 10 larva instar III nyamuk Aedes aegypti. Uji aktivitas insektisida untuk senyawa (1) menggunakan variasi konsentrasi 400, 40, 4, dan 0,4 μg/mL sedangkan untuk fraksi etil asetat menggunakan variasi konsentrasi 1000 , 500, 250, 125, 62,5, dan 31,25 μg/mL. Pengujian insektisida fraksi etil asetat dilakukan secara triplo sedangkan untuk senyawa (1) dilakukan secara duplo karena keterbatasan bahan yang ada.
-2
100
Poly. (Series1)
50 0 0
2
-50 Log konsentrasi
y = 6,667x3 - 2,005x2 4 1,459x + 0,157 R² = 1
Gambar 3.4 Grafik hubungan antara log konsentrasi dengan %mortalitas senyawa (1)
Dari grafik diatas dapat diperoleh persamaan regresi polinomial y = 6,667x3-2,005x2-1,459x+0,157. Berdasarkan persamaan ini maka dapat dihitung nilai LC50 dari senyawa (1) yaitu 125,92 μg/mL. 3.4.2 Aktivitas Insektisida Fraksi Etil Asetat Pengamatan dilakukan setelah pemaparan selama 24 jam. Hasil pengamatan aktivitas insektisida dari fraksi etil asetat dapat dilihat pada tabel 3.5.
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Tabel 3.5 Hasil Pengamatan Aktivitas Insektisida Fraksi Setelah Pemaparan Selama 24 jam
didapatkan pada tabel 3.6, maka dapat dibuat suatu grafik hubungan antara log konsentrasi (sumbu x) dengan %mortalitas (sumbu y) yang ditunjukkan pada gambar 3.5 dibawah. 100 Series1
%mortalitas
80
Pada tabel 3.5 diatas menunjukkan adanya hubungan yang berbanding lurus antara konsentrasi senyawa uji dengan rata-rata kematian larva nyamuk. Semakin besar konsentrasi dari senyawa uji maka jumlah larva nyamuk yang mati akan semakin besar. Untuk menghitung nilai LC50, maka perlu dilakukan perhitungan akumulasi jumlah larva yang masih hidup dan akumulasi jumlah larva mati, setelah itu didapatkan % mortalitas yang nantinya akan digunakan dalam menghitung nilai LC50. Hasil perhitungan % mortalitas dari fraksi etil asetat ditunjukkan pada tabel 3.6 dibawah ini. Tabel 3.6 Hasil Perhitungan % mortalitas yang disebabkan oleh fraksi etil asetat
Perhitungan mati akumulasi didapatkan dari jumlah larva yang mati pada konsentrasi yang diamati ditambah dengan total larva yang mati pada konsentrasi sebelumnya. Penjumlahan dimulai dari konsentrasi terendah yaitu 31,25 μg/mL. Mati terakumulasi 31,25 μg/mL adalah 0, sedangkan untuk mati terakumulasi dari 62,5 μg/mL diperoleh dari jumlah yang larva yang mati pada konsentrasi ini ditambah dengan jumlah yang mati pada konsentrasi sebelumnya (31,25 μg/mL),yaitu 0. Perhitungan dilakukan dengan cara yang sama untuk konsentrasi selanjutnya. Hidup terakumulasi dihitung dengan cara yang sama namun dimulai dari konsentrasi tertinggi. Mati akumulasi blanko (C) dihitung dari berapa jumlah larva udang yang mati pada blanko. Dari hasil mati terakumulasi (A), hidup terakumulasi (B) dan mati terakumulasi blanko (C) dapat dihitung untuk jumlah total larva (D) dengan menjumlahkan nilai dari (A) dan (B) untuk setiap konsentrasi. Rasio mati total larva dihitung berdasarkan selisih antara mati akumulasi (A) dengan mati akumulasi blanko (C) dibagi dengan jumlah larva total (D). Setelah itu didapatkan %mortalitas larva dari nilai rasio mati total dikali 100%. Berdasarkan nilai-nilai yang Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
60 40 20 0 -20 0
2 Log konsentrasi
y = 91,99x3 534,9x2 + 1019x 636,8 R² = 0,998 4
Gambar 3.5 Grafik hubungan antara log konsentrasi dengan %mortalitas fraksi etil asetat
Dari grafik diatas dapat diperoleh persamaan regresi linear y = 91,99x3-534,9x2+1019x-636,8. Berdasarkan persamaan ini maka dapat dihitung nilai LC50 dari fraksi etil asetat yaitu 691,67 μg/mL(lampiran). Berdasarkan pengujian aktivitas insektisida yang telah dilakukan pada senyawa (1) dan fraksi etil asetat maka dapat diketahui bahwa senyawa (1) dan fraksi etil asetat tidak aktif sebagai insektisida. Suatu zat dikatakan aktif atau toksik pada uji insektisida dengan konsentrasi maksimal 1000 μg/mL, jika memiliki nilai LC50 ≤ 500 μg/mL untuk ektrak sedangkan untuk senyawa murni dikatakan aktif jika memiliki nilai LC50 ≤ 50 μg/mL (Meyer dkk, 1982). Nilai LC50 dari senyawa (1) yaitu 125,9215 μg/mL sehingga > 50 μg/mL dan nilai LC50 dari fraksi etil asetat yaitu 691,6717 μg/mL sehingga > 500 μg/mL. IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap senyawa 5,7,2',5",7",4"heksahidroksiflavanon-[3,8"]-flavon (senyawa 1) dan fraksi etil asetat dari spesies Garcinia celebica Linn maka dapat disimpulkan bahwa fraksi etil asetat aktif sebagai antimalaria dengan nilai IC50 0,027 µg/mL sedangkan senyawa (1) aktif moderat terhadap antimalaria dengan IC50 0,476 µg/mL apabila dibandingkan dengan kloroquin yang merupakan kontrol negatif. Sedangkan aktivitas insektisida dari senyawa (1) dan fraksi etil asetat dapat dilihat dari nilai LC50. Senyawa (1) memiliki nilai LC50 125,92 μg/mL sedangkan fraksi etil asetat memiliki nilai LC50 691,67μg/mL. Keduanya tidak aktif sebagai insektisida. 4.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan struktur dengan aktivitas penghambatan pertumbuhan parasit P.falciparum agar dapat diketahui mekanisme kerja senyawa secara pasti. Selain itu penelitian ini perlu dilanjutkan
dengan uji toksisitas terhadap hewan uji sehingga dapat memberikan kontribusi di bidang kesehatan.
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Bapak Prof. Dr. Taslim Ersam selaku dosen pembimbing atas segala diskusi, bimbingan, motivasi, arahan dan semua ilmu yang bermanfaat. 2. Ayah, Ibu, Kakak, dan Mas atas segala doa, dorongan dan dukungannya secara materiil dan spiritualnya. 3. Teman-teman seperjuangan PAKTI-ITS dan angkatan 2007 Kimia-ITS atas do’a dan dukungannya 4. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Daftar Pustaka Ersam, T. 2001. “Senyawa Kimia Mikromolekul beberapa Tumbuhan Artocarpus Hutan Tropika Sumatera Barat”. Disertasi PPs. ITB. Bandung. Farnsworth, N.R. 1996. “Biological and Phytochemical Screnning of Plants”. J. Pharm 55(3), 226-227. Ciccia, G., Cousiio, J., Mongelli, E. 2000. “Insecticidal Activity Againts Aedes aegypti larvae of Some Medicinal South American Plants”. Journal of Ethnopharmacology 72, 185-189. Trigg P.I., A.V. Kondrachine. 1998. “The Current Global Malaria Situation, In Irwin W. Sherman, Malaria Parasite Biologi, Phatogenesis and Protection”. ASM Press. Washington DC, 1998, pp, 11-22. Trager,W., Jensen, J.B. 1976. “Human malaria parasites in continuous culture”. Science 193, 673–675. Meyer, Laughlin, Ferrigini. 1982. “Brine Shrimp: Convenient General Bioassay for Active Constituent”. Planta Medica 45, 31 – 34. Hansch, Corwin., Lien, E. J., Helmer, Friederike. 1963. “Structure-Activity Correlations in the Metabolism of Drugs”. Archives of Biochemistry and Biophysics 128, 319-330. Ignatushchenko, MV, Winter. RW, Bachinger. HP, Hinrichs. DJ, Riscoe. MK. 1997. “Xanthones as antimalarial Agents Studies of a Possible Mode of Action”. FEBS Lettetrs 409, 67-73. Kumar, S., Guha, M., Choubey, V., Maity, P., dan Bandyopadhyay, U. 2006. “Antimalarial Drugs Inhibiting Hemozoin (β-hematin) Formation: A Mechanistic Update”. Life Science 80, 813-828. Sun, Shaofang., Chen, Weijun., Cao, Wei., Zhang, Fenyang., Song, Jirong., Tian, Chengrui. 2008. “Research on the Chelation Between Quercetin and Cr(III) Ion by Density Funcional Theory (DFT) Method”. Journal of Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Molecular Structure : THEOCHEM 860, 4044.