MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 2/PUU-IX/2011 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PEMERINTAH, DPR, DAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (III)
JAKARTA SELASA, 29 MARET 2011
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 2/PUU-IX/2011 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON -
Deni Juhaeni I Griawan Wijaya Netty Retta Herawaty Hutabarat Bagus Putu Mantra
ACARA Mendengarkan Keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (III) Selasa, 29 Maret 2011 Pukul 10.05 – 11.31 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5)
Maria Farida Indrati Muhammad Alim Ahmad Fadlil Sumadi M. Akil Mochtar Hamdan Zoelva
Alfius Ngatrin
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Kuasa Hukum Pemohon: -
Aji Suharto I Made Astawa Rusdin Ismail Taufik Hidayat
Ahli dari Pemohon: -
Frans Asisi Datang
Pemerintah: -
Mualimin Abdi (Direktur Litigasi Kemenkumham) Puji Admoko (Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian) Jayadi Gunawan (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian) Prabowo Catur Rasa (Dirjen Peternakan & Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian) Suharyanto (Karo. Hukum & Informasi Publik Kementerian Pertanian) Pujianto Ramlan (Kementerian Pertanian) Tjahyo Daminin (Kementerian Pertanian) Heni Susila Wardaya (Kementerian Hukum dan HAM) Sri Wijayanti Tri Handono Wihendro John Indra G. Purba Joko Supriyanto
Ahli dari Pemerintah: -
Suharto Deni Wijaya Lukman
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.05 WIB
1.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-IX/2011 dinyatakan terbuka dan dibuka…, dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pada pagi hari ini kita akan mendengarkan acara keterangan dari Pemerintah dan DPR, dan Saksi-Saksi serta Ahli dari Pemohon. Berdasarkan permohonan para Pemohon, dalam Pengujian UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Untuk pertama kalinya, maka saya minta pada pihak Pemohon untuk menjelaskan siapa yang hadir hari ini.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Terima kasih Majelis Hakim Yang Kami Muliakan, dan dari pihak Pemerintah Yang Saya Hormati, dan juga dari para Ahli. Dari Pemohon yang hadir ada empat, Kuasa Pemohon sebetulnya lima, yang satu sedang ada keperluan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Untuk saya perkenalkan, diri saya sendiri adalah Aji Suharto. Yang di sebelah kanan saya adalah I Made Astawa. Yang di sebelah kiri saya adalah Rusdin Ismail. Dan yang paling ujung adalah Bapak Taufik Hidayat. Demikian perkenalan dari kami, Majelis Hakim Yang Kami Muliakan. Terima kasih.
3.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih. Pada Pemerintah.
4.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamulaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, Yang Mulia. Saya sendiri Mualimin Abdi, dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian di samping kiri saya ada, drh. Jayadi Gunawan, M.Ph., Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dari Kementerian Pertanian. Kemudian di samping kirinya ada, drh. Prabowo Catur Rasa, beliau adalah Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Kemudian di samping kirinya lagi ada, Pak Surhayanto, Kepala Biro Hukum dan Informasi Publik
3
Kementerian Pertanian. Kemudian di samping kirinya lagi ada, Pak Pujianto Ramlan, dari Kementerian Pertanian. Kemudian di samping kirinya lagi ada, Pak Tjahyo Damirin, dari Kementerian Pertanian. Yang Mulia, kemudian di belakang juga hadir kawan-kawan dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yaitu ada Ibu…, ada Pak…, Ibu Sri Wijayanti, kemudian ada Tri Handono Wihendro, ada Pak John Indra G. Purba, ada Pak Joko Supriyanto, kemudian ada Pak Heni Susila Wardaya, semuanya dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kementerian Pertanian. Kemudian Yang Mulia, Pemerintah sudah menghadirkan Ahli, sebagaimana surat yang Pemerintah sampaikan kepada Yang Mulia, dua tanggal…, 24 Maret 2011. Hadir di sini Yang Mulia, di persidangan ini; Satu, Dr. drh. Deni Wijaya Lukman, M.Si., beliau dari akademisi dari Institut Pertanian Bogor. Yang kemudian yang kedua adalah Pak Suharto, S.H., M.A., beliau adalah praktisi yang mendalami hukum pertanian dan yang terkait dengan kesehatan hewan, Yang Mulia. Terima kasih. 5.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih. Ya, sidang hari ini adalah Sidang Panel yang diperluas oleh karena Ketua dan Wakil Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi berhalangan hadir, dan sesuai dengan peraturan…, UndangUndang Mahkamah Konstitusi maka pimpinan sidang ini dipimpin oleh saya, sebagai salah satu dari Hakim Panel. Saya persilakan kepada Pemerintah hari ini untuk menjelaskan penjelasan dan keterangannya yang…, untuk menanggapi permohonan Pemohon. Saya persilakan.
6.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Baik, Yang Mulia. Tadi ada yang kelewatan ini di samping saya, Yang Mulia, itu drh. Puji Admoko, Ph.D., beliau Direktur Kesehatan Hewan karena duduk di depan terlewat, mohon maaf. Yang Mulia, seperti biasa bahwa kami sudah mempersiapkan opening statement yang apa…, untuk dibacakan pada persidangan hari ini, kami persilakan kepada Pak Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pak drh. Prabowo Catur Rasa. Silakan Bapak.
7.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, silakan.
8.
PEMERINTAH: PRABOWO CATUR RASA Bismillahirahmanirahim. Assalamualaikum wr. wb.
4
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, bahwa berdasarkan salinan permohonan dari para Pemohon yang telah kami terima, melalui surat Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-IX/2011, tanggal 3 Januari 2011 dan perbaikan permohonannya tanggal 24 Januari 2011, yang salinannya kami terima melalui surat Mahkamah Konstitusi RI Nomor 244:/PAN/MK/III/2011, tanggal 2 Maret 2011. Para Pemohon mengajukan permohonan pengajuan di Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkenankan Pemerintah menyampaikan keterangan pembuka, opening statement sebagai berikut; Pokok permohonan para Pemohon; Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 58 ayat (4) UndangUndang Peternakan dan Kesehatan Hewan, telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai pedagang eceran telur ayam, pedagang eceran daging babi, pedagang eceran daging anjing, dan peternak babi yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Para Pemohon berasumsi bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, telah merugikan haknya, sebagai warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk hidup, serta mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Kedudukan hukum para Pemohon; a. Bahwa para Pemohon, menganggap ketentuan Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, membuat mereka sebagai pelaku usaha produk hewan, pedagang telur ayam, pedagang daging babi, pedagang daging anjing, dan peternak babi, diwajibkan untuk memenuhi ketentuan tersebut. Para Pemohon, beranggapan ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang mewajibkan Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal dalam menjalankan kegiatan usahanya, tidak mungkin dipenuhinya karena bertentangan dengan hak konstitusinya, khususnya dalam menjamin kelangsungan hidup dan kehidupannya. b. Ketentuan tersebut menurut para Pemohon, telah merugikan dan menghalangi hak konstitusionalnya. Khususnya hak atas pekerjaan
5
dan kehidupan yang layak, hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut. Oleh karena itu, para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang Mulia, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan penjelasannya, menyebutkan siapa saja yang memenuhi syarat sebagai Pemohon, yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, subyek hukum yang memenuhi syarat sebagai Pemohon tersebut, lebih lanjut dipertegas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya yaitu harus memenuhi 5 persyaratan. Atas dasar hal-hal tersebut, maka menurut Pemerintah, perlu dipertanyakan; 1. Kepentingan para Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2. Apakah kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud, apabila ada, bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial, yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. 3. Apakah ada hubungan sebab akibat, antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, dan 4. Jika memang ada kerugian konstitusional quote noun, yang didalilkan oleh Pemohon, apakah dengan dikabulkannya permohonan kerugian tersebut, tidak akan atau tidak lagi terjadi. Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon, yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, merugikan hak konstitusionalnya dan dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon tidak memahami maksud dari ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, sehingga mereka berasumsi bahwa ketentuan tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Padahal maksud ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan
6
adalah untuk menjamin bahwa setiap produk hewan yang diproduksi, di dan atau dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia untuk diedarkan harus memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan bagi manusia yang mengkonsumsinya, serta memenuhi syarat ketentraman batin masyarakat penganut agama tertentu yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia. Hal ini dijamin oleh alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Di samping itu persyaratan disertai
sertifikat veteriner dan sertifikat halal bagi produk hewan untuk konsumsi masyarakat yang diperdagangkan antar negara sudah merupakan kaidah internasional sebagaimana diatur dalam perjanjian cenetery and vito cenetery. Berdasarkan penjelasan di atas, pemerintah menyatakan bahwa para Pemohon tidak memahami atau telah keliru memahami maksud dari ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Usaha para Pemohon sebagai pedagang eceran telur ayam, pedagang eceran daging babi, pedagang eceran daging anjing, dan peternak babi, tidak termaksuk kategori jenis usaha yang diatur dalam Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ketentuan harus disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan ditujukan untuk unit usaha produk hewan di produsen dan atau yang memasukkan produk hewan ke dalam wilayah Republik Indonesia atau importir untuk diedarkan. Oleh karena itu asumsi para Pemohon yang menyatakan adanya kerugian konstitusional yang disebabkan oleh Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak beralasan. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, untuk menanggapi pokok permohonan para Pemohon dalam melakukan pengujian apakah Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terlebih dahulu harus diuji kedudukan hukum atau legal standing para Pemohon, untuk itu Pemerintah memberikan tanggapan bahwa para Pemohon tidak berwenang selaku pihak legitima persona standi in
yudisio.
Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon Satu, Pemohon Dua, dan Pemohon Tiga sebagai pedagang eceran telur ayam, pedagang eceran daging babi, pedagang eceran daging ajing tidak mempunyai kapasitas sebagai Pemohon dalam Perkara Peternakan dan Kesehatan Hewan. Alasanya adalah ketentuan peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner mengatur sebagai berikut: a. Dalam jenis-jenis hewan potong yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri pertanian tidak termasuk anjing, karena baik secara nasional
7
maupun menurut kaidah International OAI dan Codeks Elementarys Commission, anjing tidak termasuk hewan potong untuk di konsumsi manusia. Namun termasuk kategori hewan kesayangan atau pet animal , Pasal 2 ayat (2). b. Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang dan baru dapat diedarkan setelah dibubuhi cap atau stempel oleh petugas pemeriksa yang berwenang. Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat, Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5). c. Setiap usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan tentang kesehatan masyarakat veteriner dari ternak babi, syarat-syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk, Pasal 8. d. Setiap usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan kesehatan masyarakat veteriner dari ternak unggas, syarat-syarat kesehatan lingkungan, dan perkandangan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuknya, Pasal 9. e. Setiap orang atau badan hukum: 1. Dilarang mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. 2. Yang mengedarkan telur harus mengikuti cara penyimpanan dan pengangkutan telur yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian, Pasal 10. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT 140/2010 diatur bahwa kesimpulan hasil pengawasan kesehatan masyarakat veteriner yang menyatakan karkas, daging, dan atau jeroan tersebut aman, sehat, dan utuh, dinyatakan dalam surat keterangan kesehatandaging atau SKKD yang ditandatangani oleh dokter hewan berwenang di rumah potong hewan atau di unit penanganan daging atau UPD denga format SKKD. SKKD tersebut harus disertakan pada peredaran karkas, daging, dan atau jeroan. Dari ketentuan PP Nomor 22/1983 dan Permentan Nomor 13/2010 tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: a. Sertifikasi veteriner, terhadap telur dilakukan terhadap sistem produksi, penyimpanan, dan pengangkutan tidak terhadap telur butir per butir. b. Sertifikasi veteriner, tidak dapat dilakuan terhadap sistem produksi di unit usaha peternakannya yang harus memenuhi ketentuan kesehatan masyarakat veteriner, syarat kesehatan lingkungan dan perkandangan tidak dilakukan terhadap penjualan eceran daging babi. c. Sertifikasi veteriner, terhadap daging anjing tidak dilakukan karena menurut ketentuan OIA dan Codeks Elementarys Commission daging anjing tidak termasuk hewan potong untuk dikonsumsi manusia namun termasuk kategori hewan kesayangan atau pet animal.
8
Apabila daging anjing dikonsumsi oleh manusia menurut kedua kaidah internasional tersebut diatas, dianggap melanggar prinsip kesejahteraan hewan atau animal welfare. d. Nomenklatur sertifikat veteriner, dalam undang-undang sering disebut berbeda dalam Permentan, sebagai contoh dalam Permentan Nomor 13/2010 disebut surat keterangan kesehatan daging (SKKD) bahkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang karantina hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan, nomenklatur sertifikat veteriner disebut sebagai sertifikat kesehatan. Sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh otoritas veteriner di negara asal sesuai dengan kaidah organisasi kesehatan dunia (OIA) tersebut disyaratkan..., disyaratkan untuk disertakan pada pemasukan hewan dan produk hewan sebagai media pembawa hama dan penyakit hewan karantina (HPHK). e. Ketentuan-Ketentuan PP Nomor 22/1983 dan Permentan Nomor 13 Tahun 2010 tersebut masih berlaku berdasarkan ketentuan penutup Pasal 95 Undang-Undang 18 Tahun 2009 yang menyatakan, “Semua
peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini tetap berlaku sampai dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini”.
Pemerintah berpendapat bagi Pemohon 1, pedagang eceran telur ayam, ketentuan Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan hanya ditujukan kepada produk hewan yang diproduksi di wilayah Republik Indonesia dan produk hewan yang dimasukan atau di import ke dalam wilayah Republik Indonesia untuk diedarkan. Artinya subjek hukumnya adalah produsen dan importir produk hewan sedangkan usaha yang dijalankan oleh Pemohon Pertama sebagai pedagang telur eceran atau retail tidak dikenakan kewajiban sertifikasi terhadap produk yang dijualnya. Dari penjelasan tersebut diatas berlakunya ketentuan Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak menimbulkan hambatan teknis dan ekonomis bagi Pemohon Satu dalam menjalani usahanya sebagai pedagang eceran telur ayam, dengan demikian berlakunya Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak menimbulkan kerugian hak dan kewenangan konstitusional Pemohon Satu, selanjutnya Pemohon Dua, Pemohon Tiga, Pemohon Empat, yang masing-masing sebagai pedagang daging babi, pedagang daging anjing dan peternak babi, tidak mungkin usahanya disertai sertifikat halal sebagaimana Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hal ini, sesuai dengan kriteria for use of the term halal dari Codeks Elementarys Commission. Secara sosiologis masyarakat mengetahui bahwa hewan dan produk hewan sebagaimana usaha yang dijalankan Pemohon Dua, Pemohon Tiga, Pemohon Empat, tersebut adalah produk yang tidak halal
9
sehingga tidak mungkin disertai dengan sertifikat halal. Pengertian halal, dalam ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan hewan hanya ditujukan kepada hewan dan produknya yang dipersyaratkan. Bahkan, para Pemohon sendiri menyatakan bahwa produk-produk yang dijualnya sebagai tidak halal merupakan suatu notoafield. Pemerintah dengan ini, memberikan tanggapan bahwa Pemohon Empat, selaku peternak babi tidak memahami bahwa ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan dikhususkan untuk produk hewan (antara lain daging babi) yang diproduksi dan atau dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia untuk diedarkan. Artinya, usahanya sebagai peternak babi tidak mungkin terkena kewajiban sertifikat halal sebagai ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pemerintah dengan ini memberikan tanggapan bahwa para Pemohon seharusnya memperhatikan bahwa ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak berdiri sendiri. Namun, berkaitan dengan Pasal 58 Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyatakan, ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian. Pemerintah menyadari bahwa keberadaan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan memberlakukan peraturan pelaksanaan, namun bukan berarti bahwa peraturan perundangundangan yang mengatur hal-hal tersebut tidak ada atau rest vacuum. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 yang sudah ada, berdasarkan ketentuan penutup Pasal 95 Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkan peraturan pelaksanaan yang baru yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini. Dari penjelasan di atas, jelas bahwa legal standing Para Pemohon yang menganggap ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan merugikan hak konstitusionalnya tidak terbukti karena para Pemohon bukan subjek hukum yang termasuk ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan kedudukannya tidak sesuai Pasal 51 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU.III/2005 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU.V/2007. Dengan demikian, menurut pemerintah, sangat patut dan wajar apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan bahwa permohonan para Pemohon ditolak, atau setidaktidaknya tidak dapat diterima. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sehubungan dengan adanya ketentuan kewajiban penyertaan Sertifikat
10
Veteriner dan Sertifikat Halal dalam Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dengan ini pemerintah mengemukakan hal-hal sebagai berikut: 1. Fungsi alami dan sifat asal hewan. a. Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup manusia, baik dipandang dari segi kuantitas maupun kualitsanya. Sebagai komoditas dagang, pangan memiliki peranan yang sangat besar dalm meningkatkan citra pangan nasional di dunia internasional dan sekaligus penghasil devisa. b. Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan Hak Asasi setiap rakyat Indonesia, harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, dan bergizi. Untuk mencapai semua itu perlu diselanggarakan suatu sistem penyediaan pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsinya, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. c. Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan, perlu dibebani tanggung jawab terutama apabila pangan yang diproduksinya menyebabkan kerugian pada kesehatan manusia dan atau kematian orang yang mengonsumsinya. d. Pangan asal hewan merupakan sumber protein yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup, menjaga dan meningkatkan kesehatan, kualitas hidup, seta produktifitas manusia karena mengandung asam amino esensial yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh atau digantikan oleh protein lain. Di sisi lain pangan asal hewan digolongkan sebagai pangan yang mudah busuk atau perishable serta dapat menjadi pembawa agen patogen yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia, hewan, dan lingkungan, sehingga dikategorikan sebagai pangan yang berpotensi membawa bahaya bagi kesehatan, potential hazardous food. e. Beberapa penyakit hewan dapat ditularkan kepada manusia atau zoonosis yang dapat ditularkan melalui produknya, termasuk pangan asal hewan yang dikenal dengan istilah food bone zoonosis. f. Ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan berbunyi, “Produk hewan yang diproduksi di-
dan atau dimasukkan ke Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan, wajib disertai Sertifikat Veteriner dan Sertifikat Halal”. Penjelasan pasal tersebut menerangkan yang
dimaksud dengan Sertifikat Veteriner adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwenang, yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan.
11
2. Penyebab foodborne diseases yang terkait daging dan telur : a. Sebelum memaparkan beberapa mikroba pathogen penyebab foodborne diseases pada manusia, terlebih dahulu dijelaskan mengenai keamanan pangan. Menurut Pasal 1 ayat (4) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, yang dimaksud dengan kemanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan pencemaran biologi, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. b. Bahaya atau hazard yang dapat terbawa dan atau mencemari atau mengkontaminasi pangan asal hewan terdiri dari; 1. bahaya biologi berupa cacing, protozoa, cendawan (fungi), bakteri riketsia, virus, dan prion. 2. Bahaya kimia berupa racun atau toksin, baik yang dihasilkan oleh bakteri maupun kapang atau mikotoksin, residu antibiotik dan obat hewan, residu hormon pemicu pertumbuhan, cemaran logam berat. 3. Bahaya fisik berupa serpihan kaca, potong…, potongan kayu, logam, batu, rambut, benang, dan lain-lain. c. Foodborne disease yang terkait dengan produk hewan dan dapat menular ke manusia, dilaporkan terus meningkat. Berbeda food…, beberapa foodborne disease yang bersifat zoonotic telah lama berjangkit di Indonesia, antara lain antraks yang disebabkan oleh bakteri dan dapat ditularkan melalui daging sapi, kambing, domba, dan kerbau, salmonellosis yang disebabkan bakteri salmonella yang dapat ditularkan melalui telur dan daging. Sisi kortasis yang disebabkan oleh kista cacing pita atau taenia solium yang dapat ditularkan melalui daging babi, serta toksoplasmosis yang dapat ditularkan melalui daging kambing dan domba. Selain itu, ada beberapa penyakit menular baru (emerging infectious disease) yang ditularkan melalui produk hewan dan menjadi perhatian dunia. Antara lain, bakteri salmonella yang nontifoid, compiler bacter, essericia coli, cryptosporidium, dan penyakit yang disebabkan oleh prion penyebab sapi gila (bovine spongiform
encephalopathy).
d. Penularan foodborne diseases pada umumnya melalui makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan dan akan menimbulkan gejala klinis berupa sakit perut, mual, muntah, diare, kram perut, sakit kepala, tidak nafsu makan, demam, dan lain-lain. Apabila gejala diare dan muntah terjadi dalam waktu lama, maka dapat mengakibatkan kehilangan cairan tubuh. Masa inkubasi penyakit berkisar antara beberapa jam sampai beberapa minggu tergantung jenis mikro organisme yang menginfeksinya. e. Berdasarkan uraian di atas, diperlukan penerapan sistem jaminan keamanan pangan di rantai penyediaan pangan mulai dari hulu sampai ke hilir atau yang dikenal dengan save from form to table
12
concept. Pemerintah, produsen, dan konsumen bertanggungjawab
terhadap keamanan pangan. Salah satu bentuk penerapan jaminan keamanan produk hewan adalah ketentuan tentang sertifikat veteriner yang telah diatur oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organisation for Animal Health) atau OIA yang merupakan acuan Internasional dalam perdagangan global untuk urusan kesehatan hewan dan produk hewan. 3. Kegunaan jaminan keamanan pangan bagi produk hewan; a. Pangan asal hewan mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, sehingga rawan terhadap pemalsuan dan penambah bahan-bahan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Penambahan bahan perngawet, pewarna, dan bahan-bahan yang dilarang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Demikian juga pemalsuan seperti daging sapi diganti dan/atau dicampur dengan daging celeng dapat mengganggu ketenteraman batin masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan pengawasan dan pemeriksaan, serta pengujian terhadap pangan yang diproduksi dan diedarkan untuk konsumsi masyarakat. b. Implementasi jaminan keamanan dan kesehatan pangan asal hewan dibuktikan dengan sertifikat verteriner yang diwajibkan bagi produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia untuk diedarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 4. Ada jaminan ketenteraman batin masyarakat konsumen produk hewan; a. Di samping aspek kesehatan konsumen, yang perlu diperhatikan dalam memproduksi di dalam negeri dan memasukkan dari luar negeri, mengedarkan, dan mengonsumsi pangan asal hewan adalah aspek kehalalan bagi yang dipersyaratkan. Kehalalan pangan bagi yang dipersyaratkan. Dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kehalalan pangan ini merupakan jaminan bagi ketenteraman batin masyarakat yang mengonsumsi pangan asal hewan, khususnya masyarakat muslim yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia. Hal ini dijamin dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Kemudian daripada itu, untuk membentuk
suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ketentuan Alinea keempat pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 ini dijabarkan dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Di samping itu, ketentuan mengenai halal juga diatur dalam codex alimentarius commissions criteria for use of the term halal, sebagai salah satu unsur dari perjanjian sanitary
13
and phytosanitary yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. b. Dalam implementasinya, jaminan ketenteraman batin masyarakat ini dinyatakan di dalam sertifikat halal yang diwajibkan bagi produk hewan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia untuk diedarkan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. c. Beberapa negara pemasok pangan asal hewan ke Indonesia tidak mewajibkan persyaratan kehalalan dalam produksi pangannya. Oleh karena itu guna menjamin kehalalan pangan yang dimasukan dari luar negeri, Pemerintah mempersyaratkan kehalalan untuk produk impor yang dipersyaratkan. Saat ini di Indonesia lembaga yang melakukan akreditasi terhadap lembaga sertifikasi halal, baik di dalam maupun di luar negeri adalah Lembaga Pengkajian Pengawasan Obat dan Makanan atau LPPOM, Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Atas hal tersebut di atas, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah memberikan jaminan kesehatan, ketentraman batin, dan kepastian terhadap setiap orang yang mengkonsumsi produk hewan, serta dalam rangka ikut mendorong implementasi dari perjanjian sanitary and phytosanitary. Dengan demikian, menurut Pemerintah ketentuan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah sejalan dengan amanah konstitusi dan karenanya tidak merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, pada dasarnya Pemerintah tetap mengakui dan menjunjung tinggi kewenangan konstitusional khususnya hak asasi manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat manusia, kesejahteraan, kebahagiaan, kecerdasan, serta keadilan. Demikian pula halnya dengan keberadaan hak konstitusional para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa kedudukan hukum Para Pemohon tetap dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun mengenai pokok permohonan Para Pemohonnya menganggap bahwa Pasal 58 ayat (4) undang-undang a quo bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 adalah tidak benar dan tidak mempunyai relevansi dengan ketentuan undang-undang a quo. Mengenai hal ini, Pemerintah menerangkan bahwa Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak bertentangan dengan: a. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
14
b. Pasal 28A yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan dan kehidupannya”. c. Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, dan
d. Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dalam legal standing permohonan Para Pemohon yang berasumsi
bahwa ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, merugikan hak konstitusional mereka yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Namun Pemerintah telah dapat membuktikan bahwa hal itu tidaklah benar. Para pemohon sebagai pedagang eceran telur ayam, pedagang eceran daging babi, pedagang eceran daging anjing, dan peternak babi, tidak terganggu usaha yang dijalankannya karena adanya ketentuan Pasal 58 ayat (4) undang-undang a quo. Dengan demikian para Pemohon masih berhak; a. Atas pekerjaan dan penghidupan mereka yang layak bagi kemanusiaan yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. b. Untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupan mereka yang dijamin oleh Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945. c. Atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Berkaitan dengan hak yang dijamin oleh pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Pemerintah menjelaskan bahwa produk hewan yang diusahakan oleh Pemohon Dua, Pemohon Tiga, dan Pemohon Empat, setara notoir feit tidak halal, dengan demikian tidak perlu disertai dengan sertifikat halal. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Para Pemohon telah salah memahami atau salah menafsirkan ketentuan Pasal 53 ayat, Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dengan demikian Para Pemohon masih berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu yang dijamin oleh Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain Pasal 53, Pasal 58 ayat (4) undang-undang a quo tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, sudah seharusnya jika Pemohon…, permohonan para Pemohon ditolak.
15
Sesuai uraian di atas, Pemerintah dengan ini menegaskan bahwa jika permohonan para Pemohon, yaitu ketentuan Pasal 58 ayat (4) UU a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, dikhawatirkan akan menimbulkan implikasi negatif sebagai berikut; a. Tidak ada jaminan keamanan dan kesehatan pangan bagi produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Republik Indonesia untuk diedarkan. b. Disharmoni hukum dan akan menimbulkan implikasi benturan antar undang-undang karena sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan umum UU a quo, yaitu bahwa penyusunan UU a quo mempertimbangkan semua produk undang-undang yang telah diundang-undangkan, yaitu antara lain; 1) Undang-Undang Nomor 16/1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. 2) Undang-Undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement
Assembling the World Threat Organization.
3) Undang-Undang Nomor 7/1996 tentang Pangan, dan 4) Undang-Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. c. Konflik horizontal antar pemeluk agama yang berbeda. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, berdasarkan penjelasan tersebut di atas, mohon kiranya kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, yang memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berkenan memberikan putusan sebagai berikut; 1) Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. 2) Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para-para Pemohon tidak dapat diterima. 3) Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan. 4) Menyatakan ketentuan Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya. Keterangan Pemerintah secara lengkap, sebanyak 12 eksemplar akan disampaikan pada persidangan berikutnya atau melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Atas perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Billahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum wr. wb.
16
9.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih, Bapak. Jadi nanti yang tertulis disampaikan ke Panitera. Karena DPR tidak hadir, maka sekarang akan didengarkan keterangan Ahli, yaitu dari Pemohon, Bapak Frasnsisi…, Frans Asisi Datang. Silakan ke depan Pak, untuk disumpah dan juga Bapak Deni Wijaya Lukman dan Bapak Suharto. Yang Muslim di sini dan yang Kristen di sini. Bapak yang menyumpah, silakan. Ya, silakan Pak…, Pak Mah…, Muh…, Muhammad Alim untuk menyumpah.
10.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. Bismillaahirrahmaanirrahiim, demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
11.
AHLI DISUMPAH OLEH HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Bismillaahirrahmaanirrahiim, demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
12.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih. Bisa kembali ke tempatnya. Yang sekarang…, yang beragama Katolik.
13.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Katolik, ya. Lafal janji yang saya ucapkan. Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
14.
AHLI DISUMPAH OLEH KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
15.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih Pak. Ya, yang pertama kali, saya serahkan kepada Ahli dari Pemohon untuk menjelaskan apa yang akan diungkapkan
17
terhadap permohonan para Pemohon. Dan saya minta ringkas, Pak. Sila…, silakan. 16.
AHLI DARI PEMOHON: FRANS ASISI DATANG Terima kasih, Yang Mulia.
17.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Bapak mau di depan atau di bangku, silakan.
18.
AHLI DARI PEMOHON: FRANS ASISI DATANG Di sini juga tidak apa-apa.
19.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Silakan.
20.
AHLI DARI PEMOHON: FRANS ASISI DATANG Pertama, mendengar penjelasan Pemerintah yang cukup panjang itu, sebenarnya sudah terang benderang. Tetapi pasal ini tetap tidak terang karena berhenti pada kata ‘halal’ dan di dalam penjelasan hanya ada penjelasan mengenai apa ar…, yang memberikan halal dan veteriner itu. Persoalannya adalah pasal ini terlalu pendek dan tidak ada penjelasan mengenai yang dijelaskan oleh Pemerintah tadi. Bahwa tidak termasuk babi, tidak termasuk anjing, tidak termasuk butir per butir itu, itu persoalannya. Jadi sebaiknya Pemerintah memberikan penjelasan itu pada pasal penjelasan. Kalau saya membaca ini, kebetulan saya beragama Katolik, saya tentu akan merasa bahwa ini mendiskriminasi kami yang memakan daging babi. Karena bagaimana daging babi bisa dijual, kalau harus bersertifikat halal. Tentu tidak mungkin, sertifikat halal hanya diberikan yang sesuai dengan hukum Islam. Saya memberikan penjelasan secara tertulis, tetapi ini yang saya buat sebelum mendengar keterangan Pemerintah. Pertama mengenai produk hewan, kata ‘produk’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 3 makna, yaitu barang atau jasa yang dibuat dan ditambahkan gunanya, dan nilainya dalam proses produksi, dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu. Benda atau yang bersifat kebendaaan seperti barang atau jasa atau bangunan yang merupakan hasil konstruksi, hasil…, hasil kerja. Sedangkan kata ‘hewan’ itu memiliki mebi…, makna dalam kamus itu binatang. Dalam Tesaurus itu termasuk satwa. Berdasarkan penjelasan itu, kata frasa ‘produksi’
18
dalam pasal ini berarti semua hewan termasuk babi, anjing, itu termasuk di dalam pasal ini. Yang kedua mengenai sertifikat halal, kata ‘halal’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna diizinkan, tidak dilarang…, (tidak dilarang oleh syarak). Kata ‘syarak’, saya lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna hukum yang bersendikan ajaran Islam, hukum Islam. Berdasarkan definisi KBBI itu frasa ‘sertifikat halal’ berarti sertifikat yang menunjukan telah diizinkan atau tidak dilarang oleh hukum Islam. Masalahnya, apakah semua produk hewan itu tidak dilarang, apakah semua produk hewan itu tidak dilarang oleh hukum Islam? Faktanya tidak semua, dan Pemerintah tadi sudah menjelaskan. Tidak semua produk hewan itu diizinkan oleh hukum Islam, ada sebagian produk hewan yang tidak diizinkan oleh hukum Islam. Jadi frasa ‘sertifikat halal’ Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2009 tersebut, tidak mengizinkan produk hewan yang dilarang oleh hukum Islam, dan karena pasal tersebut, tidak semua produk hewan dapat diedarkan di wilayah NKRI. Jadi Pasal 58 ayat (4) undang-undang tersebut tidak memungkinkan diedarkannya produk hewan yang dilarang oleh hukum Islam, karena pasal itu berhenti di situ. Penjelasannya tidak ada sama sekali. Terima kasih Yang Mulia, singkat sekali. 21.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Kemudian Ahli dari Pemerintah, saya persilakan Bapak Deni Wijaya Lukman.
22.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Izin Yang Mulia, jika diizinkan yang pertama akan menyampaikan Pak Suharto dulu.
23.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Pak Suharto ya, silakan Pak Suharto.
24.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUHARTO Terima aksih Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi, boleh saya menampilkan (…)
25.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Silakan.
19
26.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUHARTO Saya ingin menerangkan mengenai Pasal 58 ayat (4) UndangUndang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Lanjut. Di sini kita mau tidak mau harus menerangkan dimulai dengan isi pokok dari undang-undang ini, yaitu sumber daya peternakan dan kesehatan hewan sebagai bahan untuk membangun peternakan dan kesehatan hewan yaitu lahan, air, sumber daya genetik hewan, dan tumbuhan, yang kita dikenal sebaga negara yang memiliki mega day for city oleh CBD, dan benih (suara tidak terdengar jelas) bakalan, alat, dan mesin peternakan dan kesehatan hewan. Lanjut. Ini dipayungi oleh asas undang-undang ini, yaitu manfaat dan berkesinambungan, kerakyatan dan keadilan, terbuka dan terpadu, mandiri atau bermitra, dan profesional. Lanjut. Prosesnya peternakan dan kesehatan hewan diselenggarakan secara tersendiri atau bisa juga terintegrasi dengan sektor dan subsektor lain. Di dalam undang-undang ini dikenal suatu parade yang baru, sektor peternakan atau pembangunan peternakan menggunakan sistem agribisnis peternakan. Kemudian kesehatan hewan, menggunakan sistem kesehatan hewan nasional dengan masukan atau input berupa pakan, alat, dan mesin, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta permodalan atau pembiayaan. Lanjut. Sasarannya adalah penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal atau sering disingkat ASUH, jasa dan bahan baku industri. Kemudian meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, hewan dan lingkungan, meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, dan meningkatkan pendapatan dan devisa negara. Lanjut. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat terutama peternak, kemudian melindungi wilayah RI dari ancaman penyakit dan gangguan kesehatan manusia, hewan dan ekosistemnya, serta mempertahankan status kesehatan hewan nasional. Undang-undang ini disusun dengan memperhatikan ketentuan undang-undang lain. Yaitu antara lain Undang-Undang mengenai Konservasi Sumber Daya Hayati Dan Ekosistemnya, Undang-Undang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Undang-Undang Kesehatan Conventional Biological Diversity atau Konvensi pengesahan Keanekaragaman Hayati, dan Undang-Undang pengesahan Agreement Establishing WTO, yang antara lain isinya adalah sanitary dan phytosanitary agrement, dimana SPS agreement ini terdiri dari tiga pilar, pertama aspek sanitari, yaitu kesehatan hewan dan keamanan pangan. Kemudian phytosanitary..., tadi maaf, sanitary diatur di dalam dua konvensi yaitu OIA tadi untuk kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta codex elementary commission untuk keamanan pangan. Kemudian phytosanitary untuk kesehatan tumbuhan.
20
Juga Undang-Undang Pangan, Per..., Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Penataan Ruang. Lanjut. Pasal 58 ayat (4) berbunyi, “Produk hewan yang diproduksi di,
dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah RI untuk diedarkan, wajib disertai sertifikat veteriner, dan sertifikat halal”. Tadi Ahli dari Pihak
Pemohon sudah menerangkan bahwa ketentuan ini sangat singkat, namun gunanya di dalam ilmu hukum, ada yang disebut penafsiran, untuk memahaminya tidak dapat dilepaskan dari ayat-ayat lain dari pasal tersebut. Yaitu antara lain Pa..., ayat (6), ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan peraturan menteri. Peraturan-peraturan menteri yang mengatur hal-hal ini ada banyak, antara lain Nomor 295 Tahun 1989, Nomor 4..., 13 Tahun 1992, 381 Tahun 2005, 20 tahun 2009, 13 tahun 2010 yang masih berlaku dengan kekuatan penutup dari Pasal 95 Undang-Undang 18/ 2009. Kemudian penafsiran Pasal ini, dan ayat..., Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang ini adalah yang terkena kewajiban disertai sertifikat veteriner, disebut halal adalah: Satu. Produk hewan yang diproduksi di unit produksi. Misalnya telur di peternakan ayamnya, kemudian daging di RPH atau Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, dan Rumah Pemotongan Babi, dan produk hewan yang diimpor. Karena harus ekuivalen antara produk yang dihasilkan dalam negeri dan produk yang diimpor dari luar negeri. Persyaratan sertifikat veteriner tidak berlaku bagi produk hewan yang dijual secara eceran, ini di dalam..., diatur di dalam PP 28 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan peraturan-peraturan menteri yang tadi saya sebutkan. Kemudian persyaratan halal..., persyaratan sertifikat halal tidak berlaku untuk produk hewan yang tidak dipersyaratkan halal, karena Pemohon pun sudah mengatakan, “Ini suatu notoire feiten”. Jadi sebetulnya semua orang sudah tahu mengenai hal ini. Lanjut. Alasan pemerintah harus melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap produk hewan di tempat produksi dan yang diimpor adalah, satu, untuk menjamin kesehatan dan keamanan bagi konsumen. Karena tadi sudah dijelaskan oleh pemerintah bahwa produk hewan ini merupakan media penyebaran penyakit-penyakit berbahaya yang dapat menular pada manusia atau zoonosis, juga dapat menimbulkan kematian pada manusia. Sebagai contoh misalnya penyakit sapi gila, itu bisa menimbulkan kematian pada manusia. Dan untuk menjamin ketenteraman batin konsumen, kita tahu bahwa masyarakat konsumen produk hewan di Indonesia ini adalah kaum muslimin, maka bagian terbesar dari penduduk ini harus dijamin ketenteraman batin masyarakatnya. Kalaupun misalnya masyarakat nonmuslim mengkonsumsi pangan yang halal, ini tidak..., mereka tidak dirugikan. Tapi lain halnya kalau kaum muslimin terpaksa harus mengkonsumsi pangan asal hewan yang tidak halal, mereka sangat dirugikan berdasarkan keyakinan spiritualnya. Dasar dari ketentuan ini yaitu alinea
21
keempat pembukaan UUD 1945, tadi sudah dikemukakan oleh Pemerintah, dan Undang-Undang Kesehatan yang menjamin bahwa semua pangan harus dijamin keamanan dan kesehatannya, dan undangundang pengesahan agreement establishing WTO, antara lain tadi saya sebutkan, codex alimentarius commission mengenai keamanan pangan, di situ diatur juga mengenai halal, term halal, yaitu yang dihalalkan oleh kaum muslimin. Tentunya yang tidak dihalalkan, tidak diharuskan untuk memenuhi syarat halal, sebagaimana tertuang di dalam tadi PP mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner dan peraturan-peraturan menteri yang tadi sudah saya sebutkan. Bagaimana apabila Pasal 58 ayat (4) undang-undang ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat? Dikhawatirkan, ini akan menimbulkan implikasi negatif. Pertama, kaum muslimin Indonesia sebagai mayoritas penduduk akan resah karena merasa haknya tidak dijamin oleh negara. Nah, implikasi negatifnya adalah mereka akan tidak mematuhi ketentuan undang-undang yang sudah..., misalnya ketentuan pasal tadi dinyatakan tidak berlaku. Dan timbul dis-harmoni antar berbagai undang-undang. Oleh karena itu, mengenai kesehatan ini dan mengenai ketenteraman batin masyarakat juga diatur di dalam tadi UndangUndang Pangan, Undang-Undang pengesahan Agreement Establishing WTO, antara lain perjanjian SPS dan undang-undang perlindungan konsumen. Jadi kalau misalnya undang-undang ini tidak mensyaratkan kesehatan, berarti tidak mensyaratkan kehalalan untuk produk tertentu, tentu akan bertabrakan dengan ketentuan undang-undang yang lain yang masih berlaku. Kemudian keamanan dan kesehatan ketenangan batin konsumen juga tidak akan terjamin, yang sangat dikhawatirkan akan timbul konflik horizontal ini. Lanjut…, nah selesai terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 27.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. Terima kasih, Pak Suaharto. Saya persilakan Pak Denny Wijaya Lukman.
28.
AHLI DARI PEMERINTAH: DENNY WIJAYA LUKMAN Ya, saya menyoroti dari aspek keamanan pangan. Seperti diketahui bahwa keamanan pangan khususnya produk hewan ini saat ini terakhir di dunia ini menjadi perhatian. Karena hampir seluruh produk hewan itu dapat menjadi media pembawa penyakit, baik terutama penyakit yang berasal dari hewan dan yang paling ditakutkan adalah penyakit yang berasal dari hewan yang dapat menular ke manusia.
22
Oleh sebab itu, penting untuk setiap negara untuk melindungi negara dan masyarakatnya terhadap masuknya agen penyakit tersebut. Itu yang kita kenal sebagai agen penyakit zoonotik atau agen atau agen penya..., agen zoonosis dan diketahui agen zoonosis saat ini adalah sebagai salah satu bioterorisme karena ini akan menyebabkan gangguan kestabilitas nasional dan itu bisa dibawa melalui produk hewan, seperti yang kita ketahui antraks. Antarks bisa dimasukan untuk importir, itu dari produk hewan terutama juga dari daging termasuk di dalamnya juga bisa ditularkan atau dibawa oleh daging babi. Beberapa penyakit lain seperti salmonella yang dapat ditularkan melalui telur, ini juga sudah menjadi kasus nasional karena kita..., salmonella adalah penyebab tifus pada manusia dan itu salah satu penyebab utamanya adalah telur yang peternakannya tidak dikendalikan dari aspek kesehatan hewannya. Seperti dilaporkan oleh badan kesehatan hewan dunia, dari 1.500 penyakit yang berada pada manusia, artinya agen patogen yang berada di manusia 70%..., 75%-nya dari penyakit-penyakit baru dalam dua dasawarsa terakhir ini bersumber pada hewan. Oleh sebab itu, badan organisasi kesehatan hewan dunia dan organisasi kesehatan itu memberikan perhatian utama kepada produkproduk hewan termasuk juga hewan, jangan sampai produk-produk tersebut membawa agen penyakit kepada suatu negara dan berkembang dari negara ke negara yang lain. Mengenai sertifikat veteriner ini menjadi ketentuan utama dari peraturan internasional itu. Dan itu..., oleh sebab itu, dimasukan di dalam undang-undang dalam rangka menjamin bahwa produk yang dimasukan atau diedarkan di negara tersebut bebas dari penyakit hewan terutama dan juga dari penyakit-penyakit yang dapat ditularkan ke manusia, baik pada hewan maupun pada produk hewan. Yang jelas sertifikat veteriner ini tidak diberikan pada retailer yang atau pedagang eceran. Itu saja penjelasannya mungkin nanti bisa ditambahkan. Terima kasih. 29.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. Terima kasih, Pak Denny. Saya persilakan kepada Pemohon untuk menanggapi atau Pemerintah untuk menanggapi.
30.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Terima kasih, Hakim Ketua dan Anggota Majelis yang kami muliakan. Setelah kami tadi mendengarkan secara seksama jawaban yang disampaikan Pemerintah dan keterangan dari para Ahli. Jadi kita tidak sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Pemerintah.
23
Bahwasanya apa yang disampaikan Pemerintah kalau dari Pemohon tidak punya legal standing itu adalah keliru. 31.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, tentang legal standing itu nanti Majelis yang akan menjelaskan. Tapi sekarang ada pertanyaan atau tidak kepada para Ahli?
32.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Siap, kita akan lanjutkan Majelis. Kepada Ahli, Frans Asisi Datang, ya. Dari apa yang tadi Ahli terangkan kita sudah bisa menangkap, tapi ada yang belum jelas yang perlu kami perjelas lagi dan kami akan tanyakan. Bahwa dari bunyi Pasal 58 ayat (4) yang di situ kata ‘wajib’ seandainya ini ada pedagang babi, pedagang anjing, pedagang telur, dengan bunyi yang di Pasal 58 ayat (4), apakah ada perbedaan dalam pelaksanaan penerapan Pasal 58 ayat (4) yang tadi disebutkan? Jadi kewajiban sertifikat veteriner dan sertifikat halal, apakah ada perbedaan di antara dari masing-masing pedagang ini. Terima kasih, Majelis.
33.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, silakan?
34.
AHLI DARI PEMOHON: FRANS ASISI DATANG Kalau kita melihat pasal itu, membaca pasal itu saja, tidak ada perbedaan. Semua diperlakukan sama, tidak ada keterangan atau ada perbedaan bahwa ini tidak dikenakan pada pedagang, tidak dikenakan pada yang tidak halal. Karena bunyinya begini, “Produk hewan yang
diproduksi di dan/atau dimasukan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan, wajib disertai sertifikat halal”. Jadi untuk
diedarkan. Jadi termasuk pedagang itu, mereka juga kan mengedarkan atau mendagangkan, seperti itu. Jadi, andaikata penjelasan Pemerintah itu menjadi bagian dari undang-undang ini, tidak ada masalah sama sekali. Terima kasih, Yang Mulia.
35.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ada tanggapan kembali?
24
36.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Ada kelanjutannya, Majelis. Saya lanjutkan kepada Saksi Ahli Bapak Frans Asisi Datang, jadi setelah tadi yang Ahli sampaikan bahwa tidak ada pengecualian dari para pedagang dengan bunyi ketentuan Pasal 58 ayat (4). Apakah dari para pedagang ini dengan ketentuan wajib itu berarti tidak bisa lagi dia melakukan hak dia untuk berdagang, jadi selaku pedagang daging telur, daging ayam, dengan dia tidak bisa menunjukan sertifikat wajib halal, apakah ini masih bisa melakukan usaha yang dilakukan tadi?
37.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Silakan.
38.
AHLI DARI PEMOHON: FRANS ASISI DATANG Ya terima kasih, Yang Mulia. Mungkin dia tetap bisa melakukan kegiatan dagangnya, tetapi bisa di apa namanya..., ditanya oleh Pemerintah dan bisa didenda karena dia tidak punya sertifikat, untuk itu bahwa telur yang dijualnya itu bersertifikat, seperti itu. Saya punya pengalaman di Jepang, Yang Mulia, setiap makanan itu, itu ditulis pedagang produksi mana, pedagangnya siapa dan tanggal berapa dan lain-lain, itu...itu ada, tapi itu di negara maju dan itu di..., bisa dilakukan sehingga pedagangnya itu, apa namanya..., tahu, ya kita pembeli tahu siapa yang memproduksinya begitu, kalau..., kalau mereka..., kita mempunyai masalah kita bisa menuntut melalui barang yang kita beli. Nah, kalau dia mendapat sertifikat halal atau sertifikat veteriner, itu untuk pedagangnya itu sendiri, maka betapa ya, pedangang itu akan direpotkan untuk itu apalagi pedagang eceran kecil, ya tapi kalau pedagang eceran besar mungkin mereka dengan gampang melakukan itu ya, dia mungkin bisa tetap berdagang tetapi mungkin bisa dituntut oleh Pemerintah, ”Karena mana sertifikatnya?” Kalau ditanyakan.
39.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Jadi kewajiban untuk menyertakan sertifikat halal dan veterinernya itu merupakan kewajiban yang tidak bisa, tidak dipenuhi, itu Ahli?
40.
AHLI DARI PEMOHON: FRANS ASISI DATANG Dari kata diedarkan, itu bahwa memang harus ada, harus memiliki sertifikat itu, kalau dia mengedarkan barang itu.
25
41.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Dari kami cukup, Majelis. Mungkin ada rekan yang akan menambahkan.
42.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ada? Kalau tidak saya serahkan kepada Bapak Hakim. Ya, Pak Hamdan silakan.
43.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Saya mau tanya kepada Pemohon, sejak berlakunya undangundang ini, Juni 2009, sebagai produk peternak babi dan tadi pedagang telur. Sudah ada enggak larangan untuk mengedarkan karena tidak ada sertifikat halal, kan sudah lama ini berlakunya, sudah ada belum? Atau pernah Saudara diganggu karena tidak ada sertifikat halal?
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Dari pertanyaan Yang Mulia, bias kami jawab untuk saat ini semenjak undang-undang ini beredar memang belum ada, jadi untuk masalah real, lose belum ada, jadi kita sebagai potensial lose yang kita sampaikan di sini, Yang Mulia. Terima kasih.
45.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, Pak Fadlil? Oh sama, ya Pak Muhammad Alim, silakan Bapak.
46.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Saya tunjukan kepada Ahli Pemerintah Bapak Suharto. Di Pasal 58 ayat (4) yang diuji oleh para Pemohon ini, itu kan 2 sertifikat yang diperlukan, sertifikat veteriner berarti dia bagus, aman, sehatlah untuk dikonsumsi dan sertifikat halal. Bagaimana menurut pendapat Ahli, karena di dalam ini kebetulan mayoritas bangsa kita adalah pro muslim dan di dalam ketentuan AlQuran itu, itu makanan, itu harus halalan tayibah, halal dan tayib, halal itu artinya tidak..., bukan yang haram dan tayib itu kalau sehat, aman dan bagus untuk kesehatan. Nah karena dia merupakan suatu tuntunan yang diperlukan, bagaimana pendapat Ahli sekiranya ada orang yang menjual babi kepada orang yang kebetulan adalah beragama Islam atau kan katakanlah dia menjual sesuatu yang tidak mempunyai sertifikat halal, padahal itu barang haram untuk dikonsumsi oleh umat Islam. Terima kasih.
26
47.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Sekaligus Pak Akil.
48.
HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Ya, saya begini, Pemohon itu dalam melakukan pengujian norma Pasal 58 ayat (4) ini, berangkat dari pikiran bahwa yang tidak halal itu, produk hewan yang tidak halal baik babi, anjing, itu sudah notoir feits, saya ingin tanya sebaliknya, apakah produk daging babi itu yang diberi sertifikat halal itu, lalu menjadi halal untuk dikonsumsi oleh masyarakat yang tidak boleh mengonsumsi itu, karena notoire feits. Atau sebaliknya, produk hewan misalnya seperti sapi, katakanlah daging, yang cara pemotongannya tidak halal, lalu diberi sertifikat halal, lalu menjadi halal bagi mereka yang bisa mengonsumsi itu. Kalau sesuatu yang sudah terang benderang, itu kan tidak perlu diberikan penjelasan lagi. Itu namanya redundant (berlebih-lebihan). Sesuatu yang sudah terang benderang, tetapi diberi penjelasan lagi gitu, malah menjadi tidak terang dia. Kalau implementasinya, yang nyatanyata belum ada, itu kan harus berbeda itu, karena kita harus menilai, apakah norma di dalam Pasal 58 ayat (4) ini, itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, sebagai hukum dasar, bukan implementasi, kalau implementasi itu akibat pelaksanaan dari undangundang, forumnya tidak di Mahkamah ini, di tempat lain itu. Nah oleh karena sesuatu norma, yang katakanlah menjadi perselisihan, sudah secara terang benderang, dia sesuatu yang tidak halal, kan tidak termasuk sebagian maupun seluruhnya dari ketentuan 58 ayat (4) itu. Karena harus..., apakah cara berpikirnya seperti itu, karena berangkat dari notoire feits itu atau sebaliknya itu tadi. Sesuatu yang tidak halal, ketika dia memperoleh sertifikat, baik dari veteriner maupun sertifikat halal, lalu menjadi halal, kan ini bisa berpikir sebaliknya, kan gitu. Saya mohon penjelasan Ahli, mungkin Pak Suharto atau Ahli Bahasa. Tapi kalau dari sisi bahasa, memang ya penafsiran bahasanya ya. Tapi dari konstitusionalitas norma, berangkat dari posisi notoire feits itu tadi. Terima kasih.
49.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih, Pak Akil. Saya persilakan lebih dahulu Pak Suharto, mungkin?
50.
AHLI DARI PEMERINTAH: SUHARTO Baik. Terima kasih, Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konsitusi Yang Mulia.
27
Saya ingin menjelaskan pertanyaan dari Pak Hakim, yang pertama yaitu sejak sertifikat diberlakukan, bagaimana untuk produk…, mengenai Al Quran, Pak ya? Sebagaimana saya jelaskan, juga Pemerintah menjelaskan tadi bahwa di dalam membaca ketentuan Pasal 58 ayat (4) ini tidak berdiri sendiri. Paling tidak harus dihubungkan dengan ayat-ayat lain dari pasal ini, yaitu Pasal 58 ayat (6), yang mengatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 58 ayat (1) sampai (5) ditetapkan dengan Permen. Nah, kemudian juga ada ketentuan peralihan mestinya, cuma di undang-undang ini jadi ketentuan penutup. Kalau dalam ilmu hukum disebutnya ketentuan peralihan bahwa peraturan-peraturan pelaksanaan yang masih ada sampai dengan diundang-undangkannya undangundang ini, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, dan belum dibuat ketentuan-ketentuan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu, tadi Pemerintah pun sudah menampilkan di sini ketentuan dari PP, mengenai Kesehatan Masyarakat veteriner, dan Permen-Permen yang mengatur hal-hal lebih lanjut dari yang diterangkan di dalam Pasal 58 ayat (4). Bahwa di dalam PP Kesmavet dan Permen-Permen itu, diatur mana-mana yang…, apa namanya…, tidak perlu disertai dengan sertifikat halal. Tentunya seperti tadi Pak Hakim yang kedua mengatakan, “Apabila…, misalnya apa…, produk hewan yang tidak halal dikasih sertifikat halal,” itu tidak mungkin, Bapak Hakim. Karena di dalam peraturan itu tentunya mengacu pada Al Quran, kalau menentukan halal dan tidak halal. Bahkan di dalam Codex Alimentarius Commision, itu sebagai bagian dari sanitary dan fight thousand agreement pun diatur mengenai itu. Mana-mana produk yang halal, mana-mana yang tidak halal. Nah, kemudian apabila kita berpikir sebaliknya pun, misalnya tadi…, produk hewan yang halal, tapi dipotong secara tidak halal, seperti misalnya kalau di Australia, di-steaming dulu sebelum disembelih, sapi di…, apa…, enggak tahu pakai cara apa, sampai dia pingsan. Tapi dalam beberapa hal, tentu ada juga yang mati sapi itu. Nah, dalam hal demikian, kebetulan di Indonesia yang mengakreditasi lembaga sertifikat halal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri adalah LPPOM MUI. Ya ini tidak mungkin dia akan diberikan sertifikat halal untuk misalnya sapi yang sudah mati, kemudian dipotong menjadi halal, tidak mungkin itu. Karena tentunya mereka sudah profesional dan disumpah, jadi tidak mungkin. Oleh karena itu, kalau sudah ada sertifikat halal, itu sudah jaminan bahwa barang itu halal. Namun sebaliknya, untuk yang sudah notoire feits, bahkan Pemohon pun mengatakan bahwa yang namanya babi, daging anjing, daging babi, itu ya memang semua orang sudah tahu, itu tidak halal, tidak mungkin, dosa bagi…, apa namanya…, sloter atau Lembaga Sertifikasi Muslim, untuk menyatakan bahwa produk-
28
produk yang tidak halal itu harus halal. Ini kalau ingin terang, tentunya kita harus baca juga yang tadi sudah saya sampaikan, PP mengenai Kesmavet, dan Peraturan-Peraturan Menteri yang sudah ada, yang masih berlaku berdasarkan ketentuan penutup dari undang-undang ini. Nah, kemudian…, apa lagi ya. Saya pikir sudah semua, Majelis Hakim. Terima kasih. 51.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Pak Denny, mungkin ada tambahan?
52.
AHLI DARI PEMERINTAH: DENNY WIJAYA LUKMAN Terima kasih, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim. Saya hanya menambahkan istilah untuk produk hewan, sebenarnya juga ada di pendahuluan dari undang-undang tersebut. Di sana juga sudah ada definisinya dan saya sepaham, seperti yang diterangkan bahwa undangundang ini tidak berdiri sendiri karena terkait dengan keamanan pangan sendiri, itu sudah ada Undang-Undang Nomor 7 dan untuk perlindungan konsumen sudah ada Undang-Undang Nomor 8, dan semua di sana kalau kita lihat bahwa konsumen harus mendapatkan pangan yang aman dan layak, itu intinya. Arti layak dari codex alimentarius sendiri itu tergantung dari suatu negara. Bilamana di suatu negara tersebut terkait dengan agama mayoritas, maka mungkin halal boleh disebutkan sebagai di dalam aturan. Oleh sebab itu, misalnya saja semboyan yang didengungkan di dalam…, oleh Kementerian Pertanian adalah aman, sehat, utuh, dan halal. Itu sudah sesuai seperti yang dikatakan oleh Pak Hakim, halalan thoyyibah. Itu untuk di Negara Republik Indonesia dan tadi sebelumnya sudah dijelaskan bahwa mana yang halal, itu juga sudah diatur di dalam beberapa parlemen. Terima kasih.
53.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih. Tambahan untuk Pak Frans.
54.
AHLI DARI PEMOHON: FRANS ASISI DATANG Saya hanya melihat dari segi bahasa yaitu, apa karidandan, sebagai sebuah wacana, sebuah undang-undang itu harus utuh. Kalau kita melihat ke pasal yang lain lagi, itu pekerjaan ahli…, pengacara, kalau ada yang menggugat sesuatu, melihat kesana kemari. Tapi, sebagai sebuah wacana, sebagai wacana yang utuh, undang-undang ini harus dilengkapi penjelasan mengenai vet…, apa namanya…, yang tadi dijelaskan oleh pemerintah itu.
29
Jadi sekali lagi saya katakan di sini, Yang Mulia, andaikata penjelasan yang diberikan pemerintah ada di dalam penjelasan, tidak ada masalah dalam undang-undang ini, tidak ada masalah pasal ini. Terima kasih, Yang Mulia. 55.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, Pemohon?
56.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Terima kasih, Majelis. Ada yang kami tambahkan lagi, kami akan bertanya kepada Ahli Pemerintah apabila diizinkan, terima kasih. Jadi, dari apa yang disampaikan Ahli dari pemerintah ini, menurut kesimpulan dari Pemohon bahwa ada sesuatu yang boleh menyimpang dari Pasal 58 ayat (4). Artinya, jadi ketentuan Pasal 58 ayat (4) ini bisa dilanggar, menurut kami Pemohon. Tadi keterangan dari Ahli tadi, apakah demikian? Mohon dijelaskan dari Ahli pemerintah.
57.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, pemerintah mau menjelaskan atau cukup?
AHLI DARI PEMERINTAH: SUHARTO Saya pikir itu kesimpulan dari Pihak Penanya. 58.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, nanti kalau gitu dijawab dalam kesimpulan saja, ya. Ada yang perlu ditanyakan kembali ya? Cukup? Ya Pemohon, ini bukti dari Anda yang disampaikan kepada Panitera, masih kurang bukti P-5, compact disk tentang keadaan pasar tradisional Pemohon (Manado, Sulawesi), dan compact disk tentang peternakan babi tradisional di wilayah Bali. Oh, sudah? Sudah, rupanya sudah lengkap. Ya, jadi semua bukti-bukti tidak ada tambahan?
59.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Cukup Majelis, semua bukti-bukti ada.
60.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, kalau begitu..., alat bukti saya sahkan. KETUK PALU 1X 30
Ya, apakah Pemohon dan Pemerintah akan mengajukan Ahli lagi atau cukup dengan sidang ini saja? 61.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Terima kasih, Hakim Ketua Majelis. Dari Pemohon akan mengajukan Saksi, Ahli..., Ahli satu lagi. Sebetulnya kita sudah mengajukan hari ini, berhubung ada suatu hal beliau tidak bisa hadir, nanti akan kita coba hubungi kembali dan kami akan menyiapkan satu Ahli lagi kalau diizinkan. Terima kasih.
62.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih. Pemerintah?
63.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Ya, Yang Mulia. Jika diizinkan bahwa sidang ini kan…, Pemerintah sudah menerangkan secara tegas, gamblang, apa yang dianggapkan oleh Pemohon. Kemudian, Pemerintah juga sudah mulai ahli, Pemohon juga sudah mendengarkan ahli, saya kira kok cukup gitu ya persidangan, kita diberikan kesempatan saja untuk membuat kesimpulan, kemudian sidang terakhir untuk pembacaan putusan.
64.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, karena Pemohon masih ingin mengajukan Ahli, maka nanti kita buka sidang kembali. Tapi, Saksi, Ahli itu harus diberikan kepada Panitera secepatnya, sehingga juga akan kita jadwalkan kapan mulai sidangnya. Ada sesuatu yang perlu disampaikan, sebelum saya tutup sidang ini?
65.
KUASA HUKUM PEMOHON: AJI SUHARTO Ada dari Pemohon, Majelis. Tadi..., apakah dari Pemohon nanti akan mendapatkan jawaban yang disampaikan pemerintah, itu satu. Kemudian yang kedua, apakah dari Pemohon dikasih kesempatan diberikan tanggapan, apa yang disampaikan oleh pemerintah? Terima kasih.
66.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, nanti keterangan Pemerintah akan diberikan, ya. Dan kalau Pemohon itu dalam tadi..., sudah diberi waktu untuk menanyakan kepada Pemohon, ya. Tapi, sidang yang selanjutnya nanti akan kita
31
dengarkan kembali apa yang akan dikemukakan. Ya sudah. Ya, kalau tidak ada permasalahan yang akan diajukan, maka saya tutup sidang ini. 67.
KUASA HUKUM PEMOHON: RUSDIN ISMAIL Yang Mulia, mohon diizinkan. Karena Pemerintah menyampaikan tanggapan secara tertulis di hadapan Majelis, kami mohonkan juga setidak-tidaknya juga kami akan memberikan tanggapan secara tertulis atas jawaban (…)
68.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, ya (...)
69.
KUASA HUKUM PEMOHON: RUSDIN ISMAIL Jadi bukan hanya tanggapan lisan pada hari ini, tapi kami secara tertulis akan melakukan itu.
70.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. Ini kebiasaan di Mahkamah Konstitusi, memang. Nanti pada akhir dari sidang ini baik Pemohon, Pihak Pemerintah, dan DPR semua boleh memberikan kesimpulan akhir terhadap apa yang ada di dalam persidangan ini dan itu hanya akan dilihat dan diperiksa oleh Hakim semuanya, ya. Akan ditambahi Pak Alim.
71.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Saudara Pemohon, begini ya. Anda tidak berhadapan dengan Pemerintah dan DPR. Anda memohon, dia hanya memberi keterangan, karena permohonan Anda sudah ada, keterangan dia sudah ada, itu sudah cukup, kalau soal itu jawab-menjawabnya. Adapun mengenai pembuktian, itu silakan. Dan pada akhirnya akan diberi kesempatan mengajukan kesimpulan. Anda juga, dia juga, tidak seperti acara di pengadilan…, Peradilan Umum. Sana ada gugatan, ada eksepsi atau jawaban, ada replik, ada duplik. Ndak, ndak begitu kalau di sini.
72.
KUASA HUKUM PEMOHON: RUSDIN ISMAIL Itu betul, Yang Mulia (…)
73.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya, apalagi?
32
74.
KUASA HUKUM PEMOHON: RUSDIN ISMAIL Kami tidak membantah itu.
75.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya, sudah. Sudah begitu aturannya.
76.
HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Begini Saudara Pemohon, ya. Saudara…, Saudara baca dulu Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang. Pemerintah dan DPR tuh bukan pihak, hanya pemberi keterangan. Yang Saudara uji kan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, jadi cukup disampaikan keterangan Ahli, nanti Majelis yang akan memutus dan hanya Saudara dan Pemerintah itu kalau mau mengajukan kesimpulan, kalau enggak juga enggak apa-apa. Itu saja, jadi ndak ada tanggap-menanggap.
77.
KETUA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, jadi kalau Pemohon akan mengajukan Ahli kembali, maka kami tunggu dan nanti kami akan panggil kembali untuk sidang selanjutnya. Oleh karena itu, semua sudah selesai dan saya tutup sidang ini.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.31 WIB
Jakarta, 29 Maret 2011 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d. Mula Pospos NIP. 19610310 199203 1001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
33