MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 78/PUU-IX/2011
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI DARI PEMOHON, PEMERINTAH, DAN PIHAK TERKAIT (VIII)
JAKARTA SELASA, 13 MARET 2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 78/PUU-IX/2011 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran [Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait (VIII) Selasa, 13 Maret 2012, Pukul 11.22 - 13.59 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Moh. Mahfud MD Achmad Sodiki Ahmad Fadlil Sumadi Hamdan Zoelva Harjono M. Akil Mochtar Maria Farida Indrati Muhammad Alim
Eddy Purwanto Ery Satria Pamungkas Wiwik Budi Wasito
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5.
Leli Qomarulaeli Hendrayana Masduki Christiana Chelsia Umar Idris
(Perkumpulan Media Lintas Komunitas) (Lembaga Bantuan Hukum Pers) (Pemantau Regulasi dan Regulator Media Yogyakarta) (Yayasan 28) (Aliansi Jurnalis Indonesia)
B. Kuasa Hukum Pihak Terkait: 1. 2. 3. 4. 5.
Yanuar P. Wasesa Yusril Ihza Mahendra Mansur Munir AH Wakil Kamal Iqbal Tawakkal Pasaribu
(PT. Viva Media Asia) (MNC) (MNC) (ATVSI ) (ATVSI)
C. Ahli dari Pihak Terkait: 1. 2. 3. 4.
Edward Depari Erman Rajagukguk Morissan Santri Indra Astuti
(PT. Viva Media Asia) (MNC) (ATVSI) (LSPP)
D. Ahli dari MK: 1. Effendi Gazali E. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mualimin Abdi Budi Priyono Susilo Hartono Heri Indra Amir Budiono Toni Rulita
F. Ahli dari Pemerintah: 1. Mudzzakir
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.22 WIB 1.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk mendengar keterangan Ahli dalam Perkara Nomor 78/PUU-IX/2011, yaitu Perkara Pengujian UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Silakan, Pemohon perkenalkan diri dulu.
2.
PEMOHON: LELI QOMARULAELI Selamat siang, Yang Mulia. Terima kasih, nama saya Leli Qomarulaeli dari Medialink sebagai Pemohon.
3.
PEMOHON: HENDRAYANA Assalamualaikum wr. wb., selamat siang. Perkenalkan, saya Hendrayana Yang Mulia dari Pemohon, dari Lembaga Bantuan Hukum Pers.
4.
PEMOHON: MASDUKI Terima kasih, Yang Mulia. Saya Masduki dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media Yogyakarta, terima kasih.
5.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Selamat siang, Yang Mulia, Majelis Hakim. Saya Christiana Chelsia Chan dari Yayasan 28, Pemohon, terima kasih.
6.
PEMOHON: UMAR IDRIS Saya Umar Idris, Ketua AJI Jakarta, terima kasih. Sebagai Pemohon.
7.
KETUA: MOH. MAHFUD MD Baik, Pemerintah?
1
8.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir Yang Mulia, saya Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebelah kiri saya ada Pak Budi Priyono, Staff Ahli Bidang Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemudian di sebelah kirinya Pak Susilo Hartono Kepala Biro Hukum di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemudian di belakang ada Pak Heri, Pak Indra, Pak Amir, Saudara Budiono, Saudara Toni, dan Ibu Rulita dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemudian Yang Mulia, pemerintah hari ini menghadirkan Ahli Dr. Mudzzakir yang sudah hadir di hadapan Yang Mulia, terima kasih.
9.
KETUA: MOH. MAHFUD MD Baik, Pihak Terkait?
10.
KUASA PIHAK TERKAIT (VIVA MEDIA ASIA): YANUAR P. WASESA Yanuar dan Aji Wijaya dari Viva Media Asia, Yang Mulia. Menghadirkan Ahli, Edward Depari.
11.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Oke. MNC?
12.
KUASA PIHAK TERKAIT (MNC): YUSRIL IHZA MAHENDRA MNC ya, saya Yusril Ihza Mahendra, Saudara Mansyur Munir, Kuasa Hukum PT. MNC, dan hari ini menghadirkan Ahli ya, Prof. Dr. Erman Rajagukguk. Terima kasih, Yang Mulia.
13.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. ATVSI?
14.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: AH. WAKIL KAMAL Hadir, Yang Mulia. Kami Kuasa Hukum ATVSI, AH. Wakil Kamal dengan Iqbal Tawakkal Pasaribu. Kemudian kami mendatangkan satu Ahli, Drs. Morissan, S.H., M.A., terima kasih, Yang Mulia.
2
15.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ahli dari LSPP? Pihak Terkait LSPP?
16.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: SANTI INDRA ASTUTI Selamat siang, Assalamualaikum wr. wb. Saya Santi Indra Astuti dari ... mewakili Ahli Terkait dari LSPP.
17.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Mewakili Ahli atau Ahli?
18.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: SANTI INDRA ASTUTI Ahli dari LSPP.
19.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, kemudian ada Ahli yang diundang oleh Mahkamah Konstitusi, bukan Ahlinya Pihak yang berperkara tapi Ahli yang diminta oleh Mahkamah Konstitusi, Saudara Effendi Gazali, hadir?
20.
AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Hadir, Yang Mulia.
21.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, para Ahli mohon maju ke depan untuk mengambil sumpah. Bapak Dr. Muzzakir, Bapak Edward Depari, Bapak Prof. Erman Rajagukguk, Drs. Murrisan, S.H., M.H., Ibu Santi Indra Astuti, dan Effendi Gazali, Ph.D.,
22.
PEMOHON: HENDRAYANA Yang Mulia, mohon maaf.
23.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan, siapa?
3
24.
PEMOHON: HENDRAYANA Dari Pemohon, seyogianya mau menghadirkan Prof. Alwi, hari ini namun Beliau sakit.
25.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Alwi Dahlan?
26.
PEMOHON: HENDRAYANA Ya, Alwi Dahlan.
27.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. (...)
28.
Silakan, apakah Saudara mau mengusulkan lagi atau mau tertulis
PEMOHON: HENDRAYANA Betul, Yang Mulia. kami meminta untuk kesempatan di waktu yang lain.
29.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik.
30.
PEMOHON: HENDRAYANA Terima kasih.
31.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, yang beragama Islam sebelah sini, yang Kristen atau beragama lain di sini. Silakan Bu Maria, Pak Edward Depari dulu.
32.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, ikuti lafal janji yang saya ucapkan, Oh Katolik. Ya, ikuti lafal janji yang diucapkan. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.”
4
33.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
34.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
35.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, silakan duduk Pak Edward. Berikutnya yang beragama Islam akan diambil sumpah oleh Bapak Hakim Fadlil Sumadi.
36.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan mengikuti ucapan sumpahnya menurut Agama Islam, dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
37.
SELURUH AHLI YANG BERAGAMA ISLAM DISUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
38.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, terima kasih. Silakan duduk, Pak.
39.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, hari ini dimulai dari Ahli yang diajukan oleh pemerintah, untuk mendengar keterangan Ahli ini dipersilakan Ketua Panel Bapak Harjono yang mengarahkan dan memandu agar terarah pada pokokpokok masalah. Silakan, Pak Dr. Mudzakkir dan Pak Harjono silakan dipimpin.
40.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya. Pak Drs. Mudzakkir, Pemerintah sudah memberi pengarahan belum? Sudah. Tapi intinya tetap pada persoalan Pasal-Pasal yang dimasalahkan. 5
41.
AHLI DARI PEMERINTAH: MUDZAKKIR Betul, Yang Mulia.
42.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Saya kira Pak Mudzakkir sudah paham akan permasalahannya ya?
43.
AHLI DARI PEMERINTAH: MUDZAKKIR Ya, insya Allah.
44.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya, oleh karena itu fokus saja untuk persoalan ini. Silakan, Pak Mudzakkir.
45.
AHLI DARI PEMERINTAH: MUDZAKKIR Ya. Baik, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Saya ingin memnyampaikan pokokpokok pikiran saya dan naskah sudah saya tulis, nanti setelah selesai pembacaan ini akan kami serahkan kepada Panitera. Jadi, inti yang dimintakan permohonan atau permintaan kepada saya untuk memberi keterangan adalah mengenai norma hukum yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 34 ayat (4) yang ini relevan kaitannya dihubungkan dengan Pasal 58, khususnya huruf a dan huruf c yang berkaitan dengan sanksi pidana Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4). Saya ingin sampaikan mengenai ketentuan Pasal 18 ayat (1) … karena ini nanti berkonsekuensi kepada kaidah hukum pidana. Saya ingin jelaskan mengenai interpretasi terhadap Pasal 18 ayat (1). Bahwa di dalam Pasal 18 ayat (1), kata-kata yang difokuskan dalam konteks ini adalah istilah yang dibatasi yang terkait dengan pemusatan pemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh 1 orang atau badan hukum. Pembatasan oleh hukum administrasi di bidang penyiaran yaitu dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan peraturan pelaksanaannya. Yang kedua, pembatasan dalam konteks ini berlaku juga pembatasan di bidang hukum keperdataan atau istilah yang lain hukum bisnis atau dagang, khususnya yang terkait dengan UndangUndang Anti Monopoli. Jadi dilihat dari korporasi, dia adalah dibatasi oleh Undang-Undang Anti Monopoli dan dilihat dari sudut hukum administrasi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan peraturan pelaksanaan yakni PP Nomor 50 Tahun 2005. 6
Nah, pembahasan berikutnya. Bahwa norma hukum dimuat dalam Pasal 18 ayat (1) yang isinya memuat ketentuan pembatasan mengenai pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh 1 orang atau badan hukum baik di wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, esensi dari ketentuan tersebut adalah untuk mencegah adanya monopoli dalam penguasaan lembaga penyiaran swasta. Oleh karenanya ketentuan Pasal 18 ayat (1) dipergunakan kata “dibatasi”. Pengaturan lebih lanjut Pasal 18 ayat (1) diamandatkan atau dimandatkan dalam peraturan pemerintah. Content peraturan pemerintah tersebut adalah mengatur bagaimana pembatasan kepemilikan dan penguasaan dan pembatasan kepemilikan silang, disusun oleh KPI bersama pemerintah yang produk hukumnya telah diterbitkanlah PP Nomor 50 Tahun 2005. Sehubungan dengan telah ditetapkannya PP Nomor 50 Tahun 2005 tersebut, maka penafsiran ketentuan Pasal 18 ayat (1) dikaitkan dengan ketentuan yang dimuat dalam PP tersebut dan menjadi satu kesatuan pemahaman. Mengingat PP tersebut merupakan peraturan organik dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, maka ruas lingkup terbatas dan dibatasi sesuai dengan amanat oleh undang-undang dan oleh karenanya tidak boleh memuat ketentuan yang bertentangan dan melalui norma hukum yang dimuat dalam undang-undang yang memberikan amanat tersebut. Jika ada ketentuan PP yang dinilai bertentangan dengan norma hukum yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 atau Pasal 18 khususnya, maka proses pengujiannya materiilnya dilakukan oleh Mahkamah Agung karena menjadi kompetensi absolut Mahkamah Agung. Apabila norma hukum yang dimuat dalam Pasal 18 ayat (1) dan ketentuan Pasal 58 huruf a yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Melalui interpretasi sistemik, ketentuan Pasal 18 ayat (1) tersebut dihubungkan dengan ketentuan lain terutama Pasal 16, tidak memuat norma yang … memuat norma sebagai berikut. Yang intinya Pasal 18 adalah lembaga penyiaran swasta sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum. Saya ingin garis bawahi dalam konteks ini adalah badan hukum Indonesia. Kemudian yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan televisi dan seterusnya, saya tidak bacakan. Pasal 17 yang relevan, lembaga penyiaran swasta sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) didirikan dengan modal awal seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum. Saya ingin garis bawahi dimiliki oleh warga negara Indonesia berarti perseorangan dan/atau badan hukum berarti korporasi atau badan hukum atau … maaf, badan hukum. Jadi kesimpulan dari 2 ketentuan tersebut, LPS (lembaga penyiaran swasta) adalah harus badan hukum dan badan hukum 7
tersebut di LPS itu dimiliki oleh perseorangan dan atau badan hukum. Jadi kalau begitu yang khusus yang terkait dengan badan hukum … tadi sudah saya sebutkan berarti dia tunduk kepada hukum perseroan atau hukum mengenai badan hukum, sedangkan mengatur LPS-nya tentang izin dst. adalah tunduk pada hukum administrasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Berikutnya. Pengertian pemusatan pemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh orang atau satu badan hukum, baik satu wilayah siaran maupun beberapa wilayah yang dibatasi yang apabila dilanggar, dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. Harus dipahami, dalam kaitannya dengan ketentuan hukum administrasi yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan peraturan pelaksanaannya adalah PP Nomor 50 Tahun 2005, sedangkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 telah mengatur norma yang intinya mensyaratkan lembaga penyiaran swasta berbentuk badan hukum. Jadi, kalau ada LPS yang tidak berbadan hukum, tidak akan memperoleh izin. LPS yang berbadan hukum tersebut, usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio, televisi. Kepemilikan LPS yang berbadan hukum tersebut, didirikan dengan modal awal seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Terhadap ketentuan tersebut, yang dihubungkan dengan izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud Pasal 33 yang memuat ketentuan, “Sebelum menyelenggarakan kegiatan lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.” Majelis Hakim Yang Saya Hormati. Dengan demikian izin penyelenggaraan penyiaran dimiliki oleh lembaga LPS berbentuk badan hukum. Badan hukum LPS dimiliki oleh warga negara Indonesia perseorangan dan/atau badan hukum. Dari ketetapan tersebut, dapat diperoleh pengertian hukum izin penyelenggaraan penyiaran diberikan kepada LPS yang berbadan hukum, bukan diberikan kepada perseorangan atau individu dalam LPS atau juga bukan kepada badan hukum yang bukan LPS. LPS yang berbadan hukum tersebut, kepemilikannya oleh warga negara Indonesia perseorangan atau badan hukum. LPS yang berbadan hukum tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 dan peraturan pelaksanaannya PP Nomor 50 Tahun 2005, termasuk bidang hukum … yang ini semuanya adalah termasuk bidang hukum administrasi, sedangkan kepemilikan saham pada badan hukum yang ikut memiliki saham pada LPS, saya ulangi lagi ini, ikut memiliki saham pada LPS yang berbadan hukum tersebut, tunduk kepada hukum badan hukum, hukum perseroan, berarti dia termasuk hukum perseroan, hukum perdata, atau hukum dagang atau bisnis. Oleh sebab itu, Majelis Hakim Yang Saya Muliakan, ada dua pengertian pembatasan dalam kotik ini adalah pembatasan administrasi 8
dan pembatasan dalam bidang kepemilikan yang ini diatur dalam Undang-Undang Anti Monopoli. Majelis Hakim Yang Saya Muliakan. Sekarang saya akan kupas Pasal 34 ayat (4). Pasal 34, “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.” Penjelasannya, yang dimaksud dengan izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain adalah misalnya izin penyelenggaraan penyiaran yang diberikan kepada badan hukum tertentu, dijual atau dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain. Pembahasan, dihubungkan dengan norma hukum pidana yang dimuat dalam Pasal 58 huruf c, harus diinterpretasikan secara sistemik, sistematik, berhubungan dengan ketentuan lain yang mengatur ketentuan penyelenggaraan penyiaran swasta atau LPS. Penjelasan Pasal 34 tersebut telah memberikan pengertian yang tegas, jelas, apa maksud frasa dipindahtangankan kepada pihak lain? Tidak perlu saya kutip penjelasannya. Perbuatan pokok yang dilarang dalam Pasal 34 ayat (4) adalah memindahtangankan izin penyelenggaraan penyiaran kepada pihak lain karena izin penyelenggaraan penyiaran hanya diberikan kepada LPS yang berbadan hukum. Berarti, izin penyelenggaraan penyiaran tersebut tidak boleh diberikan atau dimiliki oleh perorangan atau badan hukum lain yang bukan LPS. Izin penyelenggaraan penyiaran yang telah diperoleh dari LPS yang berbadan hukum, hanya berlaku untuk badan hukum tertentu tersebut, tidak untuk badan hukum atau perseorangan yang lain dan oleh karenanya tidak boleh mengalihkan atau menjual izin kepada badan hukum lain atau perseorangan yang lain. Pembahasan, jelas yang ketiga bahwa yang menjadi objek pengalihan atau jual-beli adalah izin penyelenggaraan penyiaran. Saya ulangi lagi, jadi yang objek menjadi pengalihan atau jual-beli adalah izin penyelenggaraan penyiaran. Oleh karenanya, apabila LPS yang berbadan hukum tersebut menjual kepada badan hukum lain atau perseorangan lain, dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud Pasal 58 huruf c. Permasalahan hukum yang timbul adalah apakah pengalihan kepemilikan saham mayoritas pada badan hukum yang ikut serta memiliki LPS yang berbadan hukum tersebut, termasuk perbuatan mengalihkan izin penyiaran sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (4) yang dapat dikenakan sanksi Pasal 58 huruf c. Saya ingin menjawab sendiri. Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, larangan mengalihkan izin penyelenggaraan ditujukan pada LPS yang menjual izin penyelenggaraan penyiaran yang diperolehnya kepada badan hukum lain atau perseorangan lain, sehingga melalui perbuatan hukum tersebut, izin penyelenggaraan penyiaran berpindah dari LPS yang berbadan hukum aslinya kepada badan hukum lain atau perseorangan lain. Tadi sudah saya jelaskan interpretasi yang 9
saya sampaikan. Atas dasar keterangan tersebut, maka larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan yang terkait dengan hukum administrasi mengenai persoalan perizinan sebagaimana diuraikan sebelumnya. Izin tersebut melekat pada badan hukum LPS yang bersangkutan, tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, baik badan hukum lain atau perseorangan yang lain. Oleh sebab itu, apabila badan hukum yang telah go public yang ikut memiliki LPS, yang telah memperoleh izin yang menguasai mayoritas saham pada Badan Hukum LPS, yang saham mayoritasnya beralih kepada badan hukum lain, tidak termasuk yang dimaksud Ketentuan Pasal 34 ayat (4) dan Pasal 58 huruf c. Beralihnya kepemilikan saham pada badan hukum, yang ikut serta memiliki Badan Hukum LPS tidak identik dialihkannya izin penyelenggaraan penyiaran kepada badan hukum lain. Karena beralih kepemilikan saham mayoritas pada badan hukum tersebut tunduk kepada hukum perseroan atau hukum keperdataan, atau sering juga hukum bisnis (hukum dagang), dan tidak tunduk kepada hukum administrasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, dan juga PP Nomor 50 Tahun 2005. Apabila beralihnya saham mayoritas pada badan hukum yang ikut memiliki Badan Hukum LPS tersebut termasuk sebagai perbuatan dilarang Pasal 34 ayat (4), dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c, seharusnya berdasarkan asas legalitas. Dalam hukum pidana Pasal 1 ayat (1) KUHAP … KUHP … maaf, salah menulis … harus dimuat di dalam ketentuan norma dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, tidak boleh dilakukan dengan cara menginterpretasi secara analogi atau kias terhadap norma hukum yang dimuat didalam Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 58 huruf c. Demikian, norma hukum dimuat dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 58 huruf a, sehingga mengalihkan kepemilikan saham mayoritas dalam suatu badan hukum yang ikut serta memiliki Badan Hukum LPS tersebut, termasuk sebagai perbuatan dilarang dalam Pasal 34 ayat (4) dan Pasal 58 huruf c. Jadi, konsekuensinya memasukkan ini menurut Ahli adalah bertentangan dengan asas legalitas karena telah menggunakan analogi atau kias. Cara interpretasi yang demikian ini, bertentangan dengan asas legalitas dalam hukum pidana, dan bertentangan dengan penerapan asas kepastian hukum dalam penegakan hukum pidana yang pada kliernya dapat dilanggar hak asasi seseorang yang dijadikan tersangka, terdakwa, terpidana yang dijamin oleh konstitusi. Terhadap semua itu, Ahli berpendapat … menyampaikan pendapat hukum sebagai berikut. Ketentuan Pasal 18 ayat (1), yang dihubungkan dengan ketentuan sanksi pidana dalam Pasal 58 huruf a bahwa pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, 10
dibatasi dan pembatasannya tesebut sebagian diatur dalam ayat, dan ayat yang lain, dan sebagian diatur dalam pasal lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002, dan sebagian lain secara teknik operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005, maka pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) termasuk sebagai tindak pidana, sebagaimana Pasal 58 huruf a harus ditafsirkan secara sistematik berdasarkan kaidah hukum administrasi. Sedangkan kepemilikan suatu LPS yang telah masuk kategori monopoli, diatur dalam Undang-Undang Anti Monopolpi, yang termasuk kategori hukum keperdataan. Yang ingin saya sampaikan di dalam PP Nomor 50, ya Tahun 2005 sudah mengatur sanksi administratif yang di dalamnya diatur demikian. Terhadap … sanksi administratif adalah; Yang pertama, dalam suatu proses pengurusan izin-izin itu sudah diatur mengenai aturan-aturan sebagaimana yang telah diatur di dalam undang-undang ini. Dan apabila, proses pengurusan izin itu tidak sesuai dengan aturan undang-undang ini, dan pokok-pokok materi dalam undang-undang yang dimuat dalam PP itu, maka itu izin akan ditolak. Demikian juga perpanjangan izin yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, maka dia akan ditolak. Termasuk di dalamnya, bila perpanjangan izin atau bila pengurusan izin itu memuat kaidah hukum atau temuantemuan yang menyatakan terjadinya pelanggaran Pasal 18 ayat (1), secara otomatis ini izin … izin penyelenggaraan penyiaran tidak akan terbit dan perpanjangan izin penyiaran juga tidak akan diperpanjang. Dan ini dimuat dalam Pasal 8 huruf a … ayat (3) huruf c, demikian juga, Pasal 9 ayat (11) … Pasal 9 ayat (11) mengenai persoalan perpanjangan izin. Dan oleh sebab itu, Majelis Hakim yang saya muliakan. Apabila ada pihak-pihak yang saya sebutkan tadi, izin penyiaran diberikan kepada LPS dan hanya untuk LPS yang bersangkutan, maka dialihkan kepada yang lain, yang bersangkutan juga dapat digunakan sanksi administratif dalam bentuk pencabutan. Sekarang yang Pasal 34 ayat (4), yang dihubungkan dengan Ketentuan Pidana Pasal 58 huruf c. Bahwa yang dimaksud pemindahtanganan kepada pihak lain, yang dikenakan sanksi pidana adalah LPS yang berbadan hukum, yang telah memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran menjual izin penyelenggaraan penyiaran, atau mengalihkan penyelenggaraan penyiaran kepada badan hukum lain atau persoalan lain … badan hukum lain, persoalan lain ini adalah yang terkait dengan larangan untuk memperoleh izin penyiaran … penyelenggaraan penyiaran. Izin penyiaran diberikan kepada LPS, dan hanya berlaku untuk LPS yang bersangkutan, maka tidak dapat dialihkan. Dengan pertimbangan bahwa LPS adalah berbadan hukum, dan kepemilikan dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan 11
hukum, maka jika badan hukum ikut serta memiliki badan hukum LPS yang dalam perkembangannya ternyata saham mayoritasnya bisa berpindah kepada pihak lain, tidak diartikan mengalihkan izin penyelenggaraan penyiaran kepada badan hukum lain atau perseorangan lain karena penjualan saham pada badan hukum atau saham perseorangan tersebut tidak secara otomatis izin penyiaran menjadi batal demi hukum atau beralih kepada badan hukum lain atau perseorangan sebagaimana yang dimaksud Pasal 34 ayat (4) dan juga Pasal 58 huruf c. Perpindahan saham mayoritas atau saham perseorangan kepada pihak lain yang ikut serta memiliki badan hukum LPS tersebut, tunduk kepada hukum keperdataan atau hukum keperdataan oleh ... atau hukum perseroan. Oleh sebab itu, jika ini hendak dimaksudkan agar supaya ini dilarang menurut ahli semestinya di dalam norma itu secara terang benderang disebutkan bahwa larangan menjual saham Lembaga Penyiaran Swasta, baik badan hukum maupun perseorangan kepada pihak lain, sampai pada izin itu dicabut. Seharusnya ada ketentuan seperti itu karena tidak ada ketentuan seperti itu, harus dimaknai dalam konteks ini bahwa sejauh yang terkait dengan badan hukum publik atau badan hukum keperdataan yang go public saya kira tunduk pada badan hukum go public. Tetapi ini tidak mengubah atau tidak berarti mengalihkan izin penyelenggaraan penyiaran yang diperoleh terhadap LPS yang bersangkutan. Demikian pendapat ahli, sampaikan terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 46.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Kita lanjutkan nanti sesi tanya jawab pada ahli, kita lakukan setelah kelima-limanya ... keenam ya, memberikan keahlian, keterangan keahlian. Kita undang berikutnya, Pak Edward Depari dari Pihak Terkait. Silakan Pak Edward.
47.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Terima kasih, Yang Mulia. Yang kami muliakan, Ketua Mahkamah Konstitusi serta Para Hakim Anggota Konstitusi. Hadirin dan hadirat yang terhormat. Sebagai seorang akademisi dalam disiplin ilmu komunikasi, praktisi public relation, pelaku dalam bisnis pertelevisian selama sepuluh tahun, serta pengamat maupun kolumnis perilaku organisasi dan kinerja media. Izinkan kami menyampaikan pandangan terhadap argumen yang mendasari gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat. Saya juga ingin menyampaikan bahwa saya tidak akan membaca semua apa yang sudah saya paparkan dalam makalah karena saya anggap sudah diserahkan
12
pada Hakim dan sudah dibaca, kami akan menyampaikan beberapa
highlight.
Pertama, benarkah sebagai akibat dari pengawas ... penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) pada tangan segelintir pengusaha, hak masyarakat untuk memperoleh keragaman materi penyiaran (diversity of content) menjadi terhambat, bahkan tersumbat? Itu yang pertama. Yang kedua, benarkah kepemilikan LPS saat ini tidak mencerminkan keragaman kepemilikan (diversity of ownership)? Dan yang ketiga, yang ingin saya singgung sedikit adalah masalah benarkah kepemilikan silang (cross ownership) yang dipraktikkan bisnis pertelevisian sekarang ini harus diharamkan? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami ingin menyampaikan realitas, sosial, ekonomi bisnis pertelevisian yang dikaitkan dengan posisi media penyiaraan ini sebagai industri ekonomi dan sekaligus sebagai industri kultural. Yang Mulia, Lembaga Penyiaran Swasta hidup dengan menawarkan airtime yang diisi oleh tayangan-tayangan yang diharapkan meningkatkan minat pemirsa untuk menyaksikan tayangan tersebut dalam jumlah yang sangat besar, sehingga di sini rating itu menjadi sangat penting. Nah, untuk mencapai rating yang tinggi agar menjamin pemasukan anggaran iklan yang optimal, maka mau tidak mau media harus berkompetisi dalam menyajikan siaran tayangan yang variatif, kompetitif, dan atraktif. Kenapa mereka mengikuti hukum branding karena yang mereka jual adalah produk, tayangan itu menjadi brandmaker, hukum tersebut adalah pertama distinctiveness artinya apapun yang disiarkan oleh media komunikasi masa ini, harus berbeda dengan satu sama lain. Yang kedua relevan, pemirsa yang menjadi konsumen harus menganggap itu relevan. Dan yang ketiga, konsisten, dalam arti apa? Kualitas tayangannya. Oleh sebab itu, kalau kita melihat televisi swasta memang harus bersaing menyajikan program tayangan yang berbeda dan mengusahakan agar tayangan mereka menarik, sehingga mereka mampu menjual audience-nya kepada advertising agency. Mereka menjual audience karena apa, dalam istilah media ini disebut sebagai commodified audience. Semakin tinggi audience, semakin tinggi rating, semakin besar prospek untuk memperoleh keuntungan yang tinggi. Yang kedua, televisi merupakan industri yang padat modal dan padat teknologi, sehingga tidak banyak pengusaha yang mampu mempertahankan kelangsungan hidup bisnis ini tanpa keberanian melakukan investasi jangka panjang. Sebagai ilustrasi, Yang Mulia. Jika biaya operasional sebuah tayangan TV per jam itu berkisar antara Rp25.000.000,00 sampai Rp100.000.000,00 bisa dibayangkan dalam 1 hari kalau kita katakan rata-rata biaya operasional per tayangan Rp50.000.000,00/sehari dalam 24 jam, mereka harus mengalokasikan dana sebesar Rp1,2 miliar, 13
Sebulan Rp3,6 miliar, setahun hampir Rp450 miliar. Itu belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan kalau ada exclusive right, kemudian kalau mereka apa namanya itu … menyajikan tayangan-tayangan langsung yang harus membayar uplink-downlink satellite yang biayanya tidak sangat murah. Nah, sementara itu kue iklan yang diperebutkan oleh 10 LPS yang ada itu, tahun lalu menurut data yang kami peroleh dari Saudara Fachri Mohamad salah seorang petinggi di Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Menurut data AC Nielsen, besarnya kurang lebih Rp60 triliun dan hampir 65% dikuasai oleh TV, Media TV, kurang lebih Rp39 triliun. Nah, Rp39 triliun ini harus direbut oleh 10 LPS, termasuk juga LPP karena mereka sudah boleh beriklan. Nah, yang mampu bertahan hidup sampai saat ini dan yang mampu … yang kita lihat adalah … bukan bertahan hidup, maaf. TV yang mampu memperoleh revenue yang tertinggi itu adalah 4 besar (RCTI, SCTV, Indosiar, dan Trans TV), selebihnya memang masih harus mengusahakan agar mereka mampu bertahan hidup. Untuk itu, untuk bisa mempertahankan kelangsungan bisnisnya, maka mereka melakukan, melakukan tindakan-tindakan untuk apa … konsolidasi, akuisisi saham, maupun bermitra dengan stasiun TV lainnya yang lebih mapan. Karena apa? Berbeda dengan di Amerika Serikat atau di negara-negara industri maju pada umumnya, kehadiran stasiun TV selalu dikaitkan dengan daya dukung ekonomi masyarakat. Sehingga pembatasan dilakukan justru untuk menyelamatkan industri ini sendiri. Itulah sebabnya di Amerika Serikat kita hanya mengenal 4 lembaga penyiaran swasta, yaitu ABC, CBS, NBC, dan FOX. Di Australia hanya 3, Indonesia memiliki 10. Ketika hal ini saya singgung, sebagai dewan secara nasional tahun 1995, dalam suatu sidang bersama Direktur Jenderal Radio Televisi dan Film waktu itu, mendiang Bapak Alex Leo Zulkarnain. Beliau menyatakah bahwa “Ya ini bung edward kan ngomong gini karena bapak mau melindungi kepentingan RCTI, ndak mau ada pesaing lain. Kita kan perlu lebih demokratis”, kata beliau. Okelah, berhenti sampai di situ. Nyatanya memang kita memiliki saat ini 10 lembaga penyiaran swasta. Tapi, lepas dari itu kita lihat, yang diuntungkan dalam hal ini adalah pemirsa, masyarakat. Kenapa? Pemirsa TV di Indonesia ini merupakan pemirsa yang paling dimanja di seluruh dunia. Kita bisa menyaksikan, sebagai ilustrasi. La liga, Premier league, kemudian juga Liga Italia bahkan tayangan tinju internasional secara langsung dari rumah kita masing-masing tanpa harus membayar. Sementara di negara bersangkutan, pemirsa harus menyaksikan melalui pay per view atau melalui cable, di sini mereka dimanja. Dan perlu saya katakan bahwa keadilan beragam tayangan yang menarik bagi pemirsa ini. Ini memiliki implikasi sosiologis, karena apa? Karena pemerintah diuntungkan, karena kehadiran demikian beragam 14
acara televisi. Ini menyebabkan televisi berperan sebagai sistem penyelamat, kartu penyelamat sosial (Social Safety Card). Bisa dibayangkan tayangan yang murah meriah ini ya, kalau tidak bisa dijangkau oleh masyarakat yang berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah, mereka akan ya … bisa-bisa mereka itu akan misalnya, bergejolak, frustasi, dan membicarakan masalah kehidupan kesulitan hidup sehari-hari. TV berhasil mengalihkan perhatian mereka, walaupun tidak menyelesaikan masalah mereka. Tapi, paling tidak ini ada implikasi positifnya. Kemudian, dalam buku yang berjudul “Media Diversity: Economics, Owner Ship, and The FCC” yang ditulis oleh Mara Einstein dipaparkan hasil penelitian mengenai hubungan antara kepemilikan Stasiun TV dengan isi siaran sebagai berikut.
“No proven causality between media ownership and programming content, television’s reliance on advertising as its primary resource of revenue is the reason why have we have so many choices”. Jadi dia mengatakan, “Ketergantungan TV pada iklan, itu yang menyebabkan
pemirsa memiliki banyak pilihan.” Kalau ada keluhan masyarakat menyangkut ragam tayangan televisi selama ini, biasanya keluhan mereka yang disampaikan secara terbuka kepada publik lewat media massa, media cetak, terutama. Itu adalah hal-hal yang menyangkut tayangan yang dirasakan kurang mendidik, tayangan yang berbau mistis, dan tayangan yang dipandang melecehkan logika atau melecehkan derajat wanita, sebatas itu. Oleh sebab itu, Yang Mulia. Melihat kenyataan tersebut di atas, argumen pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran berpotensi merugikan hak publik akan keragaman isi siaran menjadi sangat tidak terbukti dan sangat tidak relevan untuk diperdebatkan. Pemusatan kepemilikan sejauh di luar ideologi dan primordialisme harus tetap dibenarkan. Isu yang jauh lebih penting untuk masyarakat sebenarnya adalah bukan diversity of content tetapi the quality of content. Dalam hal ini Komisi Penyiaran, kalau institusi ini fungsional pasti dapat memantau dan menguasai … mengawasi kualitas tayangan. Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim yang kami muliakan. Dalam paparan di depan persidangan Mahkamah ini beberapa waktu yang lalu, salah seorang anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang terhormat Saudara Effendy Choirie, yang ikut membidangi lahirnya Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, menyatakan bahwa semangat dari Undang-Undang Penyiaran adalah memastikan keragaman isi dan memastikan keragaman kepemilikan. Nah, masalah keragaman isi telah terealisasikan, namun bagaimana dengan masalah kepemilikan? Pertama-tama kita harus sepakat lebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan istilah keragaman kepemilikan. Yang kedua, kita harus memberi argumentasi yang tegas mengapa kondisi kepemilikan stasiun 15
TV swasta dianggap tidak mencerminkan keragaman kepemilikan? Jika keragaman kepemilikan berarti bahwa mereka yang memiliki stasiun TV atau mengendalikan beberapa stasiun TV adalah orang yang berbeda-
a. b. c. d.
beda bahkan badan hukum yang berbeda-beda, maka tidak ada alasan untuk mengatakan kondisi kepemilikan TV swasta saat ini bertentangan dengan prinsip diversity of ownership. Keragaman kepemilikan ini akan menjadi lebih nyata manakala anggota masyarakat pun ikut memiliki stasiun TV melalui kepemilikan saham dalam kasus perusahaan TV yang telah go public. Jika kita melihat lebih jauh jenis-jenis jasa penyiaran berdasar Undang-Undang RI Nomor 52 Tahun 2002 … sori, maaf, Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang terdiri atas: Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan Dapat kita simpulkan bahwa dari sisi kepemilikan lembaga penyiaran, berbagai komponen dalam masyarakat, mulai dari pemerintah, swasta, komunitas, dan perorangan dapat menyelenggarakan atau memiliki bisnis jasa penyiaran. Jika yang dikhawatirkan adalah kepemilikan beberapa stasiun TV oleh satu pemilik akan mendorong terjadinya hegemoni opini atau ideologi, hal tersebut juga tidak pernah terbukti. Kinerja masing-masing stasiun TV mencerminkan genre program yang berbeda-beda. Program berbeda, segmen khalayak sasaran yang berbeda, serta orientasi pemberitaan yang juga berbeda. Jika terjadi kecenderungan bersifat ideologis atau primordial, maka Komisi Penyiaran dapat melakukan intervensi. Di sisi lain, media yang partisan akan kehilangan kredibilitas dan dijauhi oleh pemirsa, bahkan dihindari oleh pengiklan. Akibatnya, tanpa ada usaha diributkan LPS semacam ini akan MPP alias mati pelan-pelan. Kita lihat analoginya dalam kehidupan media cetak, media partisan dengan segala respek pada pengelolaannya cenderung kehilangan pemirsa. Tidak banyak iklan yang tertarik untuk beriklan karena brand mereka tidak ingin diasosiasikan dengan ideologi. Kalau mereka mampu bertahan hidup, hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Sisi lain yang menarik menyangkut kepemilikan beberapa LPS di bawah satu pemilik yang dikaitkan dengan keragaman isi adalah kenyataan bahwa di antara sepuluh LPS yang beroperasi di Indonesia, dua di antaranya memfokuskan perhatian pada tayangan public affairs, sesuatu yang jarang dan langka kita lihat di luar negeri. Di Amerika Serikat misalnya, hanya CNN, itu pun cable net … news network yang berjangkauan internasional. Ternyata televisi yang melakukan narrow casting dengan mengkhususkan diri pada program berita, talk-show,
16
investigative creativity reporting, dan sejenisnya, memperoleh tempat di
hati masyarakat. Kekhususan program ini sangat membantu masyarakat, mempersempit senjang informasi antara warga desa dengan warga kota. Antara the information rich dengan the information poor. Berbeda dengan media cetak, televisi mampu mengatasi faktor jarak, ruang, dan waktu. Serta mampu mengatasi sekat-sekat perbedaan status sosial ekonomi untuk akses informasinya. Di sinilah sebenarnya proses demokratisasi informasi dalam arti pemerataan dapat diwujudkan. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Yang Mulia, masyarakat Indonesia dapat mengakses informasi dari TV nasional dan mempersempit ruang gerak bagi pengaruh siaran televisi asing. Dengan demikian, spirit Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 seperti yang disampaikan oleh Saudara Effendy Choirie menyangkut diversity of ownership telah berjalan dengan baik dan tidak relevan untuk diperdebatkan. Sidang Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, yang terakhir tentang kepemilikan silang. Jelas dikatakan dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tindakan tersebut atau kepemilikan silang dibatasi bukan dilarang. Di Amerika Serikat, dimana aturan-aturan Federal Communication Commission (FCC) mengenai posisi media penyiaran, kita jadi … yang kita sering kita jadikan acuan, cross ownership telah dibenarkan sejak tahun 1996. Alasannya adalah realitas ekonomi menyangkut persaingan merebut kue iklan, menempatkan media cetak, terutama surat kabar kehilangan dukungan iklan yang signifikan sehingga mereka terpaksa harus menghentikan penerbitannya. Pencabutan larangan kepemilikan silang yang telah berlaku sejak tahun 1970 dan dianggap terlambat untuk menyelamatkan kelangsungan hidup media cetak, akhirnya membawa masyarakat Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan sebagai berikut. “Now it’s too late as many
newspaper have folded due to increasing economic competition.” Beberapa surat kabar termuka, yang prestisius, seperti Christian Science Monitor, Boston Globe, terpaksa gulung tikar. Seandainya media cetak tersebut diizinkan bersinergi dengan stasiun televisi, mungkin riwayatnya akan berbeda. Dengan demikian para Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan. Tidak selayaknya juga masalah komunikasi silang ini dijadikan isu. Tuntutan pasar tidak memberi peluang, selain itu juga tuntutan teknologi ke depan akan menafikan hal tersebut. Kenapa? Ke depan perusahaan bisnis media penyiaran cenderung mengarah kepada konvergensi (media convergence) karena tuntutan teknologi. Artinya, pemenuhan (suara tidak terdengar jelas) akan disinergikan dengan medis … media online, digital cable TV, paperview, dan sebagainya. sehingga isu komunikasi silang akan sirna dengan sendirinya.
17
Sebagai kesimpulan, ingin kami kemukakan hal berikut. Pertama, hak konstitusional warga negara telah dipenuhi oleh LPS, melalui penyajian informasi yang beragam sesuai prinsip diversity of content. Kedua, hak konstitusional warga negara telah dipenuhi oleh LPS karena prinsip keragaman pemilikan memang menuju jalan sesuai dengan amanah undang-undang. Yang ketiga. (suara tidak terdengar jelas) sebagai prinsip dalam kehidupan demokrasi, melekat atau inheren pada individu, bukan pada media. Artinya, kedaulatan tetap pada pemir … pada pemirsa. Individu berhak memilih dan memilah informasi apa yang ingin diperolehnya dan diketahuinya dari media massa. Media hanya berperan sebagai provider, memberi jasa informasi, dan bukan penghambat hak individu. Yang ketiga. Pertentangan yang terjadi antara dua kubu dalam melihat hubungan antara media massa dengan masyarakat, pada hakikatnya mencerminkan kepentingan dua arus pemikiran ( suara tidak terdengar jelas) of source. Di Amerika Serikat seperti juga di Indonesia, dua arus tersebut adalah free market (suara tidak terdengar jelas), of source (arus pemikiran pasar bebas) versus pro social programming (arus pemikiran program keberpihakan sosial). Literature komunikasi, mengilustrasikannya sebagai berikut.
Let communication companies freely compete and they will create as smart programming as the market will be. Again, pro social programming will not be created without regulation. Dengan demikian, yang sebaiknya diatur adalah content-nya,
isinya, tayangannya. Sebagai kata akhir, Yang Mulia, izinkan kami menyampaikan kenyataan bahwa kepentingan kita akan hubungan antara masyarakat dengan media penyiaran, khususnya televisi, lebih baik difokuskan pada kualitas program agar lebih pro sosial, bukan kepada kepemilikannya yang notabene tidak menyalahi prinsip diversity of content and diversity of ownership. Agar kualitas program terjaga, perlu pemantauan dan pengawasan. Makanisme kontrol terhadap program media siaran telah dijalankan oleh komisi penyiaran Indonesia, oleh masyarakat sendiri yang merasa dirugikan dalam kasus kayangan tertentu, dan oleh setiap individu yang dalam ilmu … disiplin ilmu komunikasi, memiliki mekanisme pertahanan diri yang disebut sebagai de facto selectivity. Mempermasalahkan kepemilikan, selama pemiliknya mampu menjadikan program LPS yang beragam dan entertaining bagi masyarakat, akan counter productive. Memang sangat ideal bila LPS mampu menghasilkan program tayangan yang entertaining, educative, dan sekaligus informatif. Walaupun kenyataanya, bisnis televisi eksis mengikuti struktur industri dan berorientasi pada pasar, sehingga tidak berada dalam posisi menyenangkan setiap orang. Namun, sebagai industri kultural karena apapun yang disampaikan oleh media massa itu potensial membentuk opini, menyampaikan nilai 18
untuk membentuk sikap dan perilaku, maka perlu ada pengawasan terhadap materi tayangannya. Disinilah LPS memilikii tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program tayangannya. Dalam konteks ini, pengawasan dari berbagai pihak terhadap konteks tayangan, menjadi jauh lebih relevan ketimbang mempersoalkan siapa pemilik dan pengendali stasiun TV swasta. Jika kita berempati parba … pemirsa, the song is more important than the singer. Terima kasih. 48.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Terima kasih, Pak Edward Depari. Kita dengar Ahli berikutnya dari MNC, Prof. Erman Rajagukguk. Silakan.
49.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: ERMAN RAJAGUKGUK Terima kasih, Yang Mulia. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Kuasa Hukum para Pemohon yang saya hormati. Kuasa Hukum Termohon yang saya hormati. Hadirin sekalian yang terhormat. Assalamulaikum wr. wb. dan salam sejahtera kepada kita semua. Saya adalah Dosen Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang antara lain mengajar hukum perusahaan, dan hukum anti monopoli, dan persaingan usaha yang sehat. Pihak Terkait dalam permohonan judicial review ini meminta saya untuk memberikan keterangan Ahli sesuai dengan bidang keahlian saya, berkaitan dengan uji materi antara … atas Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Ketua dan Anggota Hakim Majelis Konsitusi yang saya muliakan, pertanyaan yang mendasar adalah apakah Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum baik di wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran dibatasi. Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyatakan “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindah tangankan kepada pihak lain”. Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas timbul pertanyaan sebagai berikut,
19
1. Apakah apabila satu perusahaan memiliki umpamanya satu sampai tiga stasiun penyiaran televisi dapat diartikan bahwa perusahaan tersebut sudah melakukan monopoli terhadap penyiaran televisi? 2. Apakah bila suatu perusahaan membeli saham suatu perusahaan penyelenggara siaran televisi dengan demikian telah terjadi jual beli atau pemindahan izin penyiaran sehingga bertentangan dengan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran? Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan, 1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. 2. Pelaku usaha patut diduga, patut diduga atau dianggap secara bersamasama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1) “Apabila 2 atau 3 pelaku usaha, atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.” Untuk menentukan apakah suatu perusahaan atau dua perusahaan bersama-sama telah melakukan monopoli atas siaran televisi harus dilakukan analisa rule of reason approach, untuk itu harus ditentukan terlebih dahulu pasar produk dan pasar teritorial atas siara televisi. Pasar produk untuk siaran televisi adalah siaran televisi bebas iuran atau pembayaran, artinya tidak termasuk siaran televisi berlangganan. Dalam hal ini siaran televisi tersebut adalah TVRI, SCTV, RCTI, ANTV, Trans TV, Trans 7, Indosiar, MNC TV, TV One, Metro TV, Global TV, Jakarta TV, yang jumlah keseluruhannya adalah 12 stasiun siaran televisi. Pasar produk dari stasiun TV tersebut adalah seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, satu perusahaan yang memiliki sampai misalnya 3 stasiun siaran televisi tidak dapat dikatakan melakukan monopoli atas siaran televisi di Indonesia karena 3 stasiun siaran televisi hanyalah 25% dari seluruh siaran televisi di Indonesia, 3 stasiun siaran televisi tersebut tidak dapat membatasi masyarakat Indonesia untuk menyaksikan siaran televisi karena ada sembilan stasiun televisi lainnya yang dapat diakses oleh masyarakat. Begitu pula jika dua perusahaan bergabung sehingga menguasai sampai enam stasiun siaran televisi, kedua perusahaan tersebut tidak menguasai 75% siaran televisi di Indonesia karena masih ada enam stasiun televisi, siaran televisi lainnya, sehingga tidak melanggar Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat.
20
Andai kata kedua perusahaan tersebut sampai menguasai 75% siaran televisi, perusahaan tersebut baru patut diduga melakukan penguasaan produksi atau pemasaran jasa stasiun televisi, kedua perusahaan tersebut baru melakukan penguasaan produksi atau pemasaran jasa siaran televisi apabila ia mampu menutup akses masyarakat untuk menangkap siaran televisi lainnya. Bila masyarakat tetap mampu menangkap siara televisi lainnya tidak dapat dikatakan kedua perusahaan tersebut melakukan penguasaan atas siaran televisi. Sebagai kesimpulan, apabila satu perusahaan menguasai sampai tiga stasiun siaran televisi atau dua perusahaan bergabung menguasai 6 stasiun televisi, hal itu tidak dapat dikatakan menguasai siaran televisi di Indonesia, atau melakukan monopoli atas siaran televisi di Indonesia. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Perusahaan yang mengambil alih perusahaan penyiaran televisi melalui pembelian saham perusahaan tersebut tidak dapat diartikan bahwa perusahaan tersebut telah mengambil, mengalihkan atau menjual izin siaran televisi kepada pihak lain. Perusahaan penyiaran televisi yang berbentuk perseroan terbatas adalah merupakan suatu badan hukum, suatu badan hukum sebagai subjek hukum mempunyai harta kekayaan sendiri, terlepas dari harta kekayaan pengurus dan pemegang sahamnya. Pemegang sahamnya suatu perseroaan terbatas boleh berganti-ganti tetapi aset suatu perseroaan terbatas tetap menjadi aset perseroaan terbatas itu ... sebagai badan hukum, dalam hal ini penggantian pemegang saham tidak berarti penggantian kepemilikan aset termasuk izin siaran dari perseroan terbatas tersebut. Pemilik izin siaran adalah perseroan terbatas sebagai badan hukum yang terlepas dari aset pemegang sahamnya. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Sebagai kesimpulan saya berpendapat bahwa Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 lahir dengan mengingat antara lain. Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), Pasal 28F, Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33 ayat (3), dan Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana telah diubah dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Begitu juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Pengusaha Tidak Sehat, lahir dengan mengingat antara lain Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Dua, penggantian pemegang saham suatu perseroan terbatas yang memiliki izin siaran tidaklah berarti izin siaran tersebut telah dipindahkan atau dijual kepada pihak lain. Izin siaran tersebut tetap miliki perseoran terbatas sebagai badan hukum. Sehingga penggantian pemegang saham suatu perseroan penyelenggara siaran televisi tidak 21
melanggar Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang … Nomor 2 tentang … Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas yang menyatakan suatu perseoran terbatas adalah suatu badan hukum lahir mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Demikianlah pendapat saya. Atas perhatian dan kesabaran Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, serta hadirin yang saya hormati mendengarkan uraian saya ini, saya sampaikan banyak terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 50.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Terima kasih, Prof. Erman. Kita dengarkan berikutnya Pihak Terkait … Ahli dari Pihak Terkait ATVSI Saudara Drs. Morissan.
51.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: MORISSAN Yang Mulai Ketua dan Hakim … Hakim Konstitusi, selamat pagi. Assalamualaikum wr. wb. Nama saya Morissan, saya adalah mantan praktisi media massa dan sekarang adalah dosen komunikasi dan media di Jakarta. Sehubungan dengan permohonan pengujian ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran … Undang-Undang Penyiaran terhadap Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan Pemohon, maka perkenankan saya menyampaikan keterangan ahli sebagai berikut. Pertama adalah Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 membagi lembaga penyairan ke dalam 4 kategori, yaitu lembaga penyiaran swasta, publik, komunitas, dan berlangganan. Undang-Undang mendefinisikan lembaga penyiaran swasta sebagai lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi. Saya tekankan di situ pada kata komersial, yang secara bahasa diartikan bahwa komersial ini adalah bersifat mencari keuntungan atau bisa juga dikatakan sebagai bertujuan untuk mencari keuntungan. Next, lembaga penyiaran swasta komersial memperoleh sebagian besar pendapatan dari iklan dan sponsor. Karena bersifat komersial mencari iklan dan sponsor, maka kepentingan pemasang iklan adalah yang utama. Jadi kepentingan pemasang iklan adalah yang utama dan karena itu tidak ada jaminan kepentingan publik akan terlayani dengan baik. Karena dia adalah komersial melayani … yang utama adalah iklan dan sponsor, maka tidak ada jaminan kepentingan publik akan terlayani dengan baik. 22
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa banyak negara memiliki stasiun televisi, TV, dan radio publik. Undang-Undang Penyiaran RI mendefinisikan lembaga penyiaran publik sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara bersifat independent, netral, tidak komersial, dan fungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Di situ saya katakan ada …. tekankan sifat independent, netral, tidak komersial untuk dipertentangkan dengan sifat komersial pada lembaga-lembaga LPS swasta. Artinya bahwa tujuan utama dari pada lembaga penyiaran publik ada … adalah independent, netral, menjadi lembaga penyiaran yang independent dan netral. Dengan kata lain kalau kita bisa analogikan bahwa lembaga penyiaran swasta tidak … sebenarnya tidak dituntut untuk harus independent. Lembaga penyiaran swasta tidak dituntut untuk harus netral karena Undang-Undang Penyiaran memberikan sifat komersial kepada lembaga penyiaran swasta, tapi tanggung jawab utama untuk bersifat independent dan netral ada pada lembaga penyiaran publik. Next, di Indonesia lembaga penyiaran swasta sering kali dituntut secara tidak proporsional dan bahkan berlebihan untuk juga melaksanakan pelayanan publik. Tanggung jawab utama pendidikan dan pelayanan publik sebenarnya berada di tangan lembaga penyiaran publik yaitu TVRI dalam hal ini dan RRI. TVRI dan RRI perlulah kita tuntut … perlu dituntut untuk memperbaiki programnya agar mampu menghasilkan program yang bermutu dan mendidik. Kedua, lembaga penyiaran itu jelas-jelas telah menikmati anggaran negara yang berasal dari pajak rakyat karena sumber utama pendapatan mereka ada dari APBN. Lembaga Penyiaran Swasta bukan menggunakan APBN sebagai sumber utama pendapatan meraka. Yang menjadi soal sekarang adalah seringkali kita mendengar banyak pihak menuntut, pertanyaannya adalah mengapa Lembaga Penyiaran Swasta yang justru lebih dituntut untuk bertindak seolah-olah “Bertindak menjadi lembaga penyiaran publik?” Next. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi, sekarang izinkan saya untuk membahasa sedikit mengenai liberalisasi media yang terjadi di Indonesia saat ini. Pandangan yang berlaku umum di kalangan para ahli ekonomi menyatakan bahwa persaingan bebas atau free competition akan memberikan manfaat kepada masyarakat luas karena persaingan bebas memungkinkan tersedianya barang dan jasa yang beragam dengan harga kompetitif. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak tahun 1958 dengan adanya gerakan reformasi, industri media penyiaran dan media secara umum mengalami apa yang disebut dengan liberalisasi media. Di mana setiap orang punya hak untuk mendirikan media massa termasuk stasiun televisi. Banyak pihak yang berasumsi bahwa persaingan antara media penyiaran akan meningkatkan keragaman kepemilikan atau diversity of 23
ownership dan keragaman isi program siaran atau diversity of content.
Hal ini yang menjadi dasar argumen mereka yang berpandang seperti ini adalah menganggap menganalogikan program siaran televisi sama dengan program produk manufaktur industri pada umumnya. Kalau kita melihat pada program produk manufaktrur industry pada umumnya, suatu produk persaingan yang terjadi antara produsen itu akan mampu menekan harga dan konsumen pada akhirnya akan menikmati keuntungan. Produsen juga mampu untuk membuat produk berdasarkan kualitas. Mereka yang berasal dari konsumen kelompok atas akan memperoleh produk berkualitas lebih baik dengan harga lebih mahal dan tentunya dengan biaya produksi yang juga lebih tinggi. Produk yang lebih murah ... produsen juga dapat membuat produk yang lebih murah dengan kualitas lebih rendah dengan biaya produksi yang lebih rendah. Namun untuk program televisi hal itu tidak dapat dilakukan. Stasiun televisi tidak dapat membuat suatu program untuk kelas audience kelas bawah dengan harga murah. Kualitas program siaran televisi itu adalah linear atau sama dengan biaya produksi. Semakin tinggi kualitas suatu program stasiun televisi semakin tinggi pula cost yang dibutuhkan untuk … untuk mendukung program itu ... untuk memproduksi program itu. Artinya bahwa stasiun televisi tidak bisa membuat program antara audience kelompok atas dan kelompok bawah dengan harga berbeda. Persamaannya adalah harganya harus seragam, biaya produksi harus seragam, dan biaya produksi mengikuti kualitas. Banyak pihak yang beranggapan bahwa semakin banyak media penyiaran di buka dan semakin tinggi tingkat persaingan maka akan semakin tinggi pula tingkat keragaman itu. Itu asumsi yang sering kita dengar banyak berlaku saat ini. Next. Sejumlah penelitian dalam hal ini telah dilakukan di berbagai negara demokrasi sejak lima dekade yang lalu, jadi sejak tahun 1960-an untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut. 1. Apakah keragaman kepemilikan media massa khususnya televisi memiliki hubungan positif dengan keragaman isi program siaran? Artinya memiliki hubungan positif adalah bahwa semakin banyak orang mempunyai stasiun televisi maka semakin beragamlah program siaran itu. 2. Apakah dengan semakin banyak lembaga penyiaran di buka dan dimiliki banyak orang akan semakin meningkatkan keragaman isi program siaran? Penelitian mengenai efek kenaikan jumlah stasiun penyiaran terhadap keragaman program siaran telah dimulai melakukan atau dilaksanakan sejak tahun 1990-an. Next. Saya ingin mencoba untuk melihat hal ini, isu ini sebenarnya bukan isu baru karena isu ini sudah dibahas dan bahkan diteliti oleh banyak sarjana diberbagai negara, khususnya negara demokrasi, untuk menjawab pertanyaan hubungan antara jumlah kepemilikan dan tingkat 24
keragaman isi siaran. Misalnya saya ambilkan contoh di sini, (suara tidak terdengar jelas) and Adams Tahun 1995 menemukan adanya penurunan tajam tingkat keragaman program ketika otoritas siaran di Amerika memberlakukan peraturan yang dinamakan Prime Time Access Rule atau PTAR pada tahun 1971. PTAR atau Prime Time Access Rule itu adalah peraturan yang melarang stasiun televisi local di Amerika untuk menyiarkan program yang berasal dari stasiun televisi jaringan pada saat prime time, yaitu pada saat jam utama stasiun televise, itu biasanya malam hari, yaitu antara jam 20.00 sampai 23.00 tergantung dari pada wilayah masingmasing. Dalam upaya untuk mendorong terjadinya keragaman isi siaran pada stasiun televisi lokal. Jadi saya ulangi lagi bahwa peraturan dari prime time access rule ini melarang stasiun televisi lokal di Amerika yang jumlahnya ratusan untuk menyiarkan program yang berasal dari stasiun televisi jaringan pada saat prime time dalam upaya untuk mendorong terjadinya keragaman isi siaran pada stasiun televisi lokal itu. Sebelum aturan PTAR ini berlaku, semua televisi lokal di Amerika itu berjaringan ... hampir sebagian besar televisi lokal Amerika berjaringan dengan empat stasiun televisi terbesar di negara itu. Dan kebanyakan dari pada televisi lokal itu menayangkan program-program yang ditayangkan oleh televisi jaringan. Dengan ditiadakannya siaran yang … yang dikirimkan dari televisi jaringan, maka televisi lokal harus berusaha dengan kemampuan mereka sendiri pada jam prime time untuk menyediakan program kepada audience lokal mereka. Dalam hal ini, (suara tidak terdengar jelas) kedua peneliti itu menemukan terjadinya penurunan tingkat keragaman isi program televisi menyusul diterapkannya peraturan tersebut. Kita bisa melihat bahwa ada ratusan stasiunTV lokal di Amerika, dan pada kenyataanya ketika itu adalah semuanya hampir beragam, isi program siarannya. Jadi, terjadi penurunan isi keragaman isi program siaran. Akhirnya mereka menyimpulkan, pelarangan siaran televisi jaringan di wilayah (suara tidak terdengar jelas) lokal, ternyata tidak mampu mendorong keragaman isi program televisi lokal. Next. Dan akhirnya perlakuan dari PTAR sendiri dicabut di Amerika pada tahun 1995, sehingga kemudian televisi jaringan yang ada di Amerika, yang … yang … yang … yang ada empat terbesar itu sekarang sudah tidak lagi dilarang untuk menayangkan programnya pada saat prime time. Einstein dengan sponsor FCC (Federal Commucation Commision) KPI-nya Amerika mengukur tingkat keragaman siaran pada dua periode, yaitu tahun 1966, 1974, yaitu saat PTAR yang tadi saya singgung diberlakukan dan periode 1989, 2002, yaitu ketika peraturan tersebut tidak diberlakukan lagi, dan mereka mencoba untuk membandingkannya. Einstein menemukan adanya penurunan signifikan tingkat keragaman program televisi setelah PTAR mulai diberlakukan pada tahun 1971. Ia 25
juga menemukan peningkatan keraguan program televisi secara substansial setelah peraturan tersebut dicabut secara resmi pada tahun 1995. Ketika TV lokal balik lagi menyiarkan tayangan program dari stasiun jaringan. Einstein menemukan bahwa ternyata tingkat keragamannya itu meningkat program acaranya itu. Einstein menyimpulkan bahwa kebijakan PTAR telah gagal mencapai tujuannya untuk mendorong munculnya keragaman televisi lokal di Amerika. Jadi, pada awalnya PTAR itu dimaksudkan untuk mendorong keragaman, justru tidak tercapai maksudnya itu. Next. Barry dan Wolf Dongle … wolf Fogel melakukan penelitian empiris terhadap efek pelanggaran aturan kepemilikan stasiun radio di Amerika sebagaimana ketentuan Undang-Undang Telekomunikasi atau Telecommunication Act Tahun 1996. Melalui Telecommunication Act Tahun 1996 ini pemerintah Amerika … Amerika memberi kelonggaran bagi pemilik stasiun televisi untuk memiliki lebih banyak stasiun radio. Penelitian dilakukan terhadap tingkat keragaman isi siaran radio atau format radio, pada stasiun radio pada tahun 1993 dan 1997. Jadi, ada dua periode, yaitu periode sebelum dan sesudah terjadinya peningkatan konsentrasi kepemilikan stasiun radio sebagai akibat diberlakukannya Undang-Undang Telekomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelonggaran yang diberikan telah mengakibatkan konsentrasi kepemilikan, sebagai konsekuensi bahwa orang boleh memiliki lebih banyak media radio, maka mengakibatkan terjadi konsentrasi kepemilikan. Sebagai konsekuensinya, dan berkurangnya jumlah stasiun radio. Tetapi, kebijakan ini telah meningkatkan keberagaman isi siaran radio. Adanya paradoks ini, yaitu keberagaman isi siaran meningkat manakala jumlah stasiun radio menurun disebabkan karena pemilik yang memiliki lebih dari satu stasiun radio, cenderung memilih format radio yang berbeda, tetapi masih berdekatan. Sebagai pilihan strategi dalam menghadapi persaingan, seorang pemilik yang juga memiliki satu media yang sejenis, dia tidak akan pernah tertarik untuk mengkonfrontirkan program menjadikan dua media dimilikinya untuk saling adu kepala untuk saling bersaing head to head. Mereka akan lebih meny … menyamakan untuk mereka berkonsentrasi pada program-program tertentu yang berbeda, sehingga akhirnya menghasilkan lebih banyak program berbeda yang pada akhirnya mendorong pada keberagaman isi media. Next. 52.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Masih lama ini, untuk Ahli ini?
53.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: MORISSAN Tiga menit lagi, Yang Mulia. 26
54.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Kalau bisa agak disingkat, ya?
55.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: MORISSAN Ya. Penelitian oleh Lie dan Xiang [Sic!] terhadap tingkat isi keberagaman program televisi di Taiwan menunjukkan bahwa tiga stasiun televisi jaringan di negara tersebut, mengurangi tingkat keragaman isi programnya. Hal ini dilakukan seiring semakin tingginya tingkat pesaing industri penyiaran dengan masuknya sejumlah televisi baru selama periode 1986 hingga 1996. Next. Lewatkan saja ini penelitian yang lainnya, sama. Next.
56.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Kalau bisa kesimpulannya yang dikaitkan dengan persoalan, Pasal 18. Apa yang mau disampaikan oleh Ahli yang berkaitan dengan kepemilikan?
57.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: MORISSAN Oh, lagi … lagi.
58.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya.
59.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: MORISSAN Pertanyaan sekarang adalah, persaingan seperti apa yang mampu mendorong keberagaman program? Keragaman program sekarang hanya akan terjadi jika level persaingan dikendalikan pada tingkat moderat, bukan pada tingkat sengit atau tinggi. Dengan kata lain, persaingan dalam tingkat sedang atau cukup akan mampu meningkatkan keragaman program televisi. Di situ saya mengutip beberapa jurnal, dimana para penelitinya itu mem … mem-publish penelitiannya. Next. Fenomena akuisisi konsolidasi atar lembaga penyiaran swasta di Indonesia, akhir-akhir ini dapat dipandang sebagai proses pembentukan struktur industri penyiaran baru akibat persaingan. Akuisisi oleh investor terhadap beberapa stasiun penyiaran televisi yang terjadi selama ini masih jauh dari munculnya potensi monopoli. Kegiatan akuisisi dapat dipandang sebagai upaya untuk menghasilkan stasiun penyerian televisi yang lebih produktif dan efisien. Langkah-langkah akuisisi dan konsolidasi antara perusahaan pemilik stasiun televisi sudah sepatutnya 27
dilakukan karena justru dapat mendrong terjadinya keragaman isi siaran. Next. Kesimpulan. Berbagai penelitian yang dilakukan sarjana di berbagi negara di dunia, menujukkan bahwa persaingan sengit antara lembaga penyiaran memiliki hubungan negatif dengan tingkat keragaman isi program siaran. Akuisisi ... kesimpulan kedua, akuisisi antara perusahaan pemilik stasiun televisi sudah sepatutnya dilakukan, justru untuk mendorong terjadinya keragaman isi siaran. Demikian, Yang Mulia, keterangan saya. Terima kasih. 60.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Baik, nanti kalau ada bentuk tertulisnya mohon disampaikan pada Panitera. Berikut, kita masih ada 2 ahli, tapi karena Pak Effendi ini katanya ada kegiatan mengajar, Pak ya? Ditunggu mahasiswa? Bisa kalau begitu untuk ... saya minta untuk Bu Santi terakhir saja ya? Pak Effendi dulu ya. Tidak masalah Pak Effendi? Tapi masih menunggu untuk tanya jawab kalau ada kemungkinan tanya jawab. Oke, kalau begitu silakan Bu Santi.
61.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: SANTI INDRA ASTUTI Baik. Bismillahirrahmaanirrahiim, assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Majelis Hakim yang saya Muliakan, juga hadirin yang saya hormati, perkenankanlah dalam tulisan ini saya menyampaikan butir-butir pemikiran sehubungan dengan gugatan yang diajukan terhadap beberapa pasal Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Apa yang saya sampaikan dilandasi oleh kapasitas saya selaku Ahli dalam kajian media dan sehari-hari saya memang juga adalah dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Majelis Hakim yang saya Muliakan, Undang-Undang Penyiaran memiliki amanah yang sangat penting yaitu menjaga dan mewujudkan sistem penyiaran yang demokratis. Dalam kapasitas kepakaran saya, demokratisasi penyiaran merupakan prasyarat penting guna membangun masyarakat yang cerdas, ini disebabkan karena demokrasi menyediakan ruang-ruang yang terbuka dan setara bagi proses transfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang meningkatkan harkat serta martabat manusia. Tanpa adanya demokrasi, proses transfer tersebut akan didominasi oleh kepentingan pihak-pihak hanya memikirkan kepentingannya sendiri, apakah itu secara ideologis, politis, maupun bermotifkan ekonomi. Majelis Hakim Yang Terhormat, sebagai gambaran mengenai pokok-pokok pemikiran yang hendak saya tekankan yaitu pentingnya demokratisasi penyiaran bagi pencerdasan masyarakat, saya akan memperlihatkan ilustrasi menyangkut program siaran televisi swasta kita 28
yang riil. Jika dicermati selama bertahun-tahun program televisi diberbagai stasiun televisi swasta yang paling menonjol, pada dasarnya itu-itu saja. Sinetron, infotainment, komedi, reality show, acara olahraga, dan berita. Marilah kita cermati program televisi yang ditayangkan kemarin, Senin 12 Maret 2012, dari keseluruhan program ini, berapa banyak kandungan edukasi dan distinctiveness yang didapatkan oleh masyarakat. Kita mulai dari sinetron. Sinetron Indonesia dari segi kontennya mengandung permasalahan yang serius, rangkuman berbagai kajian yang pernah dilakukan rata-rata menunjukkan betapa minimnya kualitas sinetron Indonesia. Hingga kini sinetron yang tidak berkualiatas dan mendaur ulang konflik dalam eskalasi yang semakin mengerikan dan tidak masuk akal, masih merajalela. Silakan perhatikan jam prime time televisi swasta kita berdasarkan catatan saya, 4 stasiun televisi terbesar mengangkat sinetron, yang lainnya adalah komedi, satu mengangkat pemberitaan, dan satu lagi mengangkat olahraga. Berapa banyak dari program-program tersebut yang berkualitas dan di mana letak distinctive-nya atau keunikan program-program dari berbagai stasiun televisi swasta ini, itu bisa dijawab oleh kita sendiri. Infotainment juga menjadi salah satu sajian utama televisi kita, sepanjang Senin 12 Maret 2012, tak kurang dari tujuh stasiun televisi swasta menyiarkan infotainment sebagai acara tetap harian, ada yang menyiarkan dua program selama satu setengah jam, ada juga yang menyiarkan hingga empat setengah jam selama satu hari. Selain sinetron dan infotainment, program lain yang menonjol keberadaannya adalah reality show. Majelis Hakim Yang Terhormat, saya akan menyampaikan naskah Anda secara ... naskah saya secara tertulis yang merinci kandungankandungan yang berbahaya, tapi dalam catatan saya sedikit sekali reality show yang memang memberikan manfaat. Sebagian besar justru bermasalah dan memberikan pendidikan yang tidak baik. Reality show emosi misalnya, pernah berperkara di pengadilan ketika korban yang tidak terima dikerjai menuntut ke pengadilan. Sementara pada era sekarang ini, reality show yang Termehek-Mehek misalnya mengungkap aib keluarga sebagai konsumsi publik, demikian pula dengan beberapa reality show lainnya yang sangat tidak sensitif terhadap permasalahan privat, yang seharusnya tidak diumbar secara terbuka kepada publik. Ini baru beberapa, Majelis Hakim Yang Terhormat. Karena jika akan dirunut, maka persoalan kualitas program tayangan televisi kita akan semakin mengkhawatirkan. Dalam pokok pertimbangan ini, saya belum membahas pelecehan, penyimpangan, dan penafsiran sembarangan yang dilakukan oleh industri penyiaran terhadap pokokpokok ajaran agama misalnya, ketika mimbar mesjid dipindahkan ke layar kaca, selebritisasi ustaz, interpretasi ayat Alquran yang divisualisasikan dengan pendekatan sinetron yang dramatis, serta 29
campur aduk mistik dan klenik dalam program-program sinetron yang dilabeli religius adalah contoh nyata ikhwal komodifikasi agama, yang harus saya labeli dengan satu kata memprihatinkan. Semuanya kalau diurutkan secara rinci jelas bakal makan tempat dan pembahasan yang menyita waktu. Saya tentu saja tidak menafikan mengenai konten program televisi yang positif, sayangnya program-program semacam ini hanya dapat tempat di ruang-ruang yang tidak strategis, bukan pada sajian primetime, atau hanya terkenal pada waktu tertentu, seperti ramadhan. Rating dalam hal ini lagi-lagi berkuasa. Kini bayangkanlah bagaimana demokratisasi penyiaran dapat terwujud dalam situasi sedemikian, hiruk pikuk televisi kita dalam mengangkat program-program unggulannya adalah hirup-pikuk yang seragam, mengeksploitasi penonton demi rating bukan demi pencerdasan dan peningkatan martabat manusia. Begitu satu stasiun televisi meraih banyak penonton dengan tayangannya. Maka stasiun lain dengan tidak kreatif berlomba-lomba untuk menjiplak program sejenis, tentu dengan kandungan yang lebih lebay supaya penonton tertarik. Sayangnya program yang dijiplak dalam fenomena epigonisme ini adalah program yang tidak baik atau program yang berkualitas rendah. Jika demokratisasi penyiaran … sekali lagi, menunjang upaya pencerdasan masyarakat melalui proses transfer or knowledge atau transfer ilmu dan nilai-nilai terpuji kepada penontonnya, maka silakan dibayangkan sendiri ilmu dan nilai macam apa yang telah di transfer kepada para penonton televisi kita dewasa ini (Intrik, kekerasan, kecengengan, aib, pelecehan, dan lain-lain). Semua itu bukan tanpa harga karena kita tahu betapa besarnya pengaruh media penyiaran dalam kehidupan manusia di jaman ini. Dalam situasi di mana pelaku industri penyiaran tidak mempedulikan pencerdasan penonton dan semata-mata hadir sebagai pelaku pasar industri penyiaran, maka demokratisasi penyiaran bukanlah kondisi yang bisa tercipta dengan sendirinya. Majelis Hakim Yang Saya Hormati, isu yang dibicarakan dalam sidang ini adalah diversity of ownership dan diversity of content. Dengan apa yang ada sekarang ini, diversity of content jelas belum terwujud dan penyebabnya dapat dicurigai berujung pada pola-pola kepemilikan yang monopolistik, yang menyeragamkan selera setiap stasiun televisi. Dan berbicara mengenai lembaga penyiaran swasta, pertanyaan saya adalah apakah lembaga penyiaran swasta tidak punya tanggung jawab untuk mencerdaskan penontonnya? Apakah lembaga penyiaran swasta tidak patut untuk dituntut guna menyediakan program yang berkualitas bagi penontonnya? Yang jelas, kalau kita mau pakai logika pasar, pedagang dimanapun harus punya tanggung jawab terhadap kualitas produknya, bukan melemparkan tanggung jawab peningkatan kualitas produk itu kepada pihak lain. 30
Majelis Yang Saya Hormati, silang pendapat dalam menafsirkan pasal-pasal hukum adalah hal yang biasa, selain untuk memperjelas pengertian pasal-pasal tersebut sekaligus juga untuk menajamkan pokok-pokok yang dipermasalahkan, sehingga tercipta persepsi yang selaras. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, saya memandang bahwa pasal-pasal, undang-undang ini telah mengupayakan langkah-langkah guna melindungi kepentingan publik dan mendemokratisasi penyiaran secara nyata. Pasal-pasal yang dipermasalahkan pun perlu dilindungi dan ditegaskan untuk menjamin demokratisasi penyiaran yang terwujud dalam keanekaragaman isi tayangan. Situasi keanekaragaman ini tidak akan muncul dalam situasi industri yang monopolistik. Izinkan saya mengutip (suara tidak terdengar jelas) yang menyatakan bahwa demokratisasi penyiaran hanya dapat diwujudkan melalui keragaman kepemilikan (Diversity of Ownership) dan keragaman isi siaran (Diversity of Content). Tanpa adanya keragaman tersebut, maka dunia penyiaran selamanya akan berada di bawah tekanan kapitalis dan para pemodal besar yang hanya menginginkan perlindungan bagi investasi yang sudah ditanamkan. Adalah menjadi tugas akademisi seperti saya, sesuai batasan disiplin ilmu yang saya geluti guna mendesak dan mengingatkan siapapun bahwa upaya pengaturan undang-undang penyiaran dari kalangan industri penyiaran komersial yang belum terbukti serius mengupayakan kualitas penayangan program siarannya adalah sesuatu yang dapat mengancam demokratisasi penyiaran dan karenanya membahayakan upaya pencerdasan masyarakat Indonesia. Itu saja majelis hakim yang saya hormati, juga hadirin yang lain. Terima kasih, wassalamualaikum wr. wb. 62.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Baik, terakhir. Pak Gozali, silakan.
63.
AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi serta Bapak/Ibu semua sejawat dan para hadirin yang ada di dalam ruangan ini. Karena saya dihadirkan sebagai Ahli dari Mahkamah Konstitusi dan menyambung apa … teman-teman tadi yang sudah memperkenalkan posisinya, maka saya harus memperkenalkan juga posisi akademisi saya sebagai berikut. Yang pertama, ketika saya menerima undangan dari Mahkamah Konstitusi ini sebagai Ahli dari Mahkamah Konstitusi. Saya langsung mendengar bahwa justru teman-teman Pemohon di sini mulai bisik-bisik 31
dengan mengatakan hati-hati dengan Ahli yang namanya Effendi Gazali karena ada kemungkinan dia sudah dibayar oleh kalangan stasiun televisi. Tapi, ini justru saya ambil sebagai faktor dalam penyajian saya. Ini namanya money driving factor atau rating driving factor atau economically atau economic driving factor, yang pertama. Yang kedua, ada lagi tuduhan bahwa dia masih tidak berani bersaksi di Mahkamah Konstitusi karena setelah itu dia pasti akan dicekal dan tidak akan tayang lagi di stasiun-stasiun televisi. Yang kedua ini adalah sebuah faktor yang kami sebut sebagai politics of communication. Jadi bahwa kalau Anda memiliki sebuah stasiun televisi, Anda bisa memilih siapa-siapa yang tayang di stasiun televisi tersebut. Tapi syukurlah saya merasa bahwa selama ini saya tidak terlalu takut ya dicekal oleh media, sudah pernah terjadi. Juga … bahkan kalau sekarang ini saya agak punya waktu, agak banyak. Jadi, nanti saya akan hadir sampai tanya jawab karena sementara ini sedang tidak menjadi dosen gara-gara melaporkan apa … petinggi kampus ke … apa ... ke KPK, akhirnya sekarang, ya bahkan professor shift saya juga dicekal. Jadi kondisi saya sekarang sebagai peneliti dan itu sekali lagi terkait dengan politik komunikasi. Baik, saya bisa langsung saja ke ko … di halaman pertama, saya ingin menunjukkan bahwa apa yang sudah disajikan para Ahli tadi sebetulnya bukan barang baru, ya. Saya menelusuri ini sampai kepada Komisi Hudson tahun 1947 misalnya, dan ini adalah bagian dari disertasi saya. Dan saya langsung diuji oleh Denis McQuail. Prof. Denis McQuail adalah yang menciptakan teori media performance, media responsibility, dan media accountability. Boleh dikatakan hampir seluruh Komisi Penyiaran di dunia, termasuk juga Dewan Pers akan menggunakan teoriteori ini untuk menguji media performance, media responsibility, maupun
media accountability.
Dari sini saya ingin segera mengatakan bahwa dalam ilmu komunikasi, wilayahnya akan segera jatuh pada akuntabilitas media, bukan sekedar pada responsibilitas media. Dan di situ dengan jelas kalau boleh, mohon halaman selanjutnya. Di sini sudah dijelaskan bahwa kalau kita berbicara hanya pada konteks harapan-harapan bahwa stasiun televisi baik swasta maupun publik, itu punya harapan-harapan untuk selalu mendidik masyarakat, itu hanya berhenti pada divining proper conduct. Padahal yang disebut sebagai akuntabilitas media adalah compelling, (memaksa) proper conduct. Karena itu, kalau boleh halaman selanjutnya. Maka berdasarkan teori akuntabilitas media, saya ingin mengatakan bahwa legal standing Pemohon dalam hal ini, teman-teman ini adalah sah, bahkan wajib melakukannya secara konsisten. Di sini dengan jelas ada tiga bagian yang saya kaitkan, dimana disebutkan bahwa ada rights dan duties, jadi adalah hak dan kewajiban dari seluruh warga negara untuk menjadi pengumpul dan memproseskan informasi. 32
Dan itulah yang terkait dengan Pasal 28D dan Pasal 28F dari UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya. Tadi sudah banyak disinggung tentang diversity of ownership, keberagaman kepemilikan serta plurality of content atau kebhinekaan, genre, dan isi acara. Nah, yang jauh lebih menarik sekarang adalah saya berusaha mencoba mematahkan bahwa kedua hal tersebut tidak bisa dipandang sama. Bahwa ada jiung yang lama ketika Lasswell mengatakan dalam konteks komunikasi, maka yang berlaku hanyalah,
“Who says what? In which channel? To whom? With what effect?” Tetapi (suara tidak terdengar jelas) mengatakan bukan itu SaudaraSaudara, yang benar adalah, “Who gets to say what to whom?” Siapa yang mendapatkan kanal atau saluran tertentu? Siapa yang bisa melakukan framing kepada masyarakat? Siapa yang boleh menayangkan iklan politik terus-menerus misalnya, siapa yang tidak? Kira-kira seperti itu. Jadi ini logika di balik politics of communication. Bisa terus? Nah, siapa yang mengaturnya? Saya tahu bahwa sudah pernah ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi tentang posisi KPI dan Pemerintah. Tetapi dalam konteks keilmuan, maka yang harus mengaturnya adalah Komisi Penyiaran Indonesia setara dengan FCC yang banyak disebut-sebut tadi, ICASA, CRTC, dan lain-lainnya. Kenapa demikian? Karena hanya badan regulator independent yang bisa mengawasi interaksi seperti ini. Jadi ada interaksi seperti ini antara market, government, dan civil society yang kemudian hasil interaksi tersebut ditayangkan oleh media. Makanya namanya media karena dia memediasi interaksi dari elemen-elemen seperti ini. Nah, saya hanya ingin sekali saja memberikan satu contoh dan berharap ada interaksi kalau diizinkan oleh Ketua Sidang baik saat ini maupun nantinya dalam tanya jawab. Bahwa rasionalitas yang mengatakan pemasang iklan cerdas, bahwa pemilik stasiun cerdas, bahwa pemerintah cerdas, dan lain sebagainya itu, saya akan patahkan dengan satu contoh dan ini sudah terjadi di negeri kita. Bahkan menurut saya barangkali di negeri kita ini adalah satu-satunya atau kalaupun pengamatan saya terbatas, satu dari yang sangat langka dimana bahkan debat kandidat calon presidennya bisa dipotong oleh iklan. Hanya di negeri ini pembawa acara akan mengatakan, “Mohon sabar sebentar Pak SBY, mohon sabar sebentar, Pak JK, mohon sabar sebentar, Bu Mega, kita akan kembali setelah pesan-pesan berikut ini.” Hanya di negeri kita ini, sejauh pengamatan saya. Jadi yang ingin saya katakan, dibutuhkan sebuah pengaturan politik komunikasi yang jauh lebih independent, itu tulisan saya yang dimuat di buku Political Communication in Asia. Kemudian selanjutnya, bagaimana perkembangan mutakhir untuk menilai tatanan media yang bisa dikategorikan demokratis dalam negara yang memang demokratis? Di sini saya melihat teman-teman wakil dari pemerintah atau Pihak Terkait, saya berharap juga kita sama-sama melakukan updating atau pembaharuan pemikiran. Karena dengan
33
keputusan MK yang mengatakan bahwa pemerintah ikut bersama-sama dengan KPI dalam banyak hal mengatur penyiaran di Indonesia, tugas Bapak-Bapak dan Ibu di pemerintah tidak hanya dalam konteks memperhatikan bagaimana perpindahan izin penyiaran, siapa yang layak dapat, dan sebagainya. Tetapi juga bagaimana politik komunikasi tersebut, serta tatanan media yang demokratis itu bisa terjadi. Misalnya seperti ini, bisa mohon bantuan? Ya, dalam konteks yang seperti ini ya, ini sajian atau diskusi kami di World Journalism Education Congress baru saja di Afrika Selatan. Kalau tadi segitiga itu dibikin menjadi berkembang jauh lebih rumit, maka kekuatan market dengan public relations dan lawyers-nya itu jauh lebih kuat. Yang Mulia Ketua Sidang dan para Hakim Konstitusi yang ada di sini. Mungkin secara sederhana saya ingin mengatakan berapa bayaran yang diterima oleh para lawyer yang membela pihak-pihak televisi swasta di sini atau pun humas yang membela pihak-pihak televisi swasta, misalnya untuk sampai ke persidangan ini, dibandingkan yang membela civil society di sebelah kanan sana, misalnya. Termasuk juga nanti honor untuk Ahli dari Mahkamah Konstitusi, misalnya kalau dibandingkan ya berapa jumlahnya misalnya. Untuk melihat … untuk melihat peta ini secara riil. Saya ingin membawa tatanan teori ke tatanan empiric secara riil, misalnya ya dalam konteks ini. Kalau boleh terus? Nah, ini Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu ya, dalam konteks selanjutnya, tatanan media dalam demokrasi itu sekarang sudah diukur dengan 19 elemen. Saya enggak tahu, apakah Bapak dan Ibu sempat memperhatikannya. Ini sudah 19 elemen cara mengukurnya sekarang, termasuk di dalamnya bagaimana konsentrasi kepemilikan media di wilayah regional, lokal, sampai ke tingkat pusat, misalnya itu diperhatikan sedemikian rupa. Termasuk juga kebebasan di dalam ruang redaksi (news room). Berapa kali pemilik stasiun wajahnya muncul di sta … di televisinya ya, partainya, dan lain sebagainya. Itu diperhatikan dengan 19 elemen ini. Kalau Bapak-Bapak dan Ibu mengatakan Bapak-Bapak dan IbuIbu cukup cepat mengikutinya, saya mengatakan saya malah telat mengikutinya, saya … saya sedang berusaha melakukan riset ini, tibatiba selanjutnya sudah keluar indikator baru, ya. Di mana kalau boleh selanjutnya lagi? Sudah 26 indikatornya Belum sempat kita mempelajari yang 19 di Indonesia, sudah keluar bahwa indikatornya menjadi 26, sekarang untuk menilai bagaimana tatanan media di dalam sebuah negara yang demokratis sesungguhnya. Kalau begitu … bisa terus? Mohon, Ya. Setelah melakukan studi yang cukup komprehensif, saya melakukan studi ini saya pikir bukan saat sekarang, ada Saksi-Saksi di sini. Saya rasa sejak tahun 1996, kami keliling Indonesia untuk mempelopori Undang-Undang Penyiaran juga perbaikan Undang-Undang 34
Pers, dan segala macam, maka saya mengatakan hampir seluruh negara demokratis berusaha untuk mendapatkan kepastian hukum dalam konteks tafsir satu badan hukum tadi ya, melawan fenomena sepertinya ada kepemilikan terselubung, pemilikan lintas negara, kecepatan teknologi transaksi, devit … derivatif ya melalui bursa saham, dan lain sebagainya. Karena itu, Pasal 1 badan hukum pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus ditafsirkan sebagai satu badan hukum, baik badan hukum pemegang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), yaitu lembaga penyiraran swasta, maupun badan hukum apa pun dan di tingkat mana pun yang menguasai dan memiliki lembaga penyiaran swasta. Bisa selanjutnya, mohon? Setelah melakukan studi yang cukup komperatif juga, saya menyimpulkan bahwa hampir seluruh negara demokratis di seluruh dunia berusaha untuk mendapatkan kepastian hukum dalam konteks tafsir pihak lain. Jadi untuk melawan misalnya fenomena ketahanan ideologi, ketahanan budaya, pemilikan terselubung. Di Indonesia agak dikenal dengan istilah Ali Baba ya, si Ali yang punya nama, sebetulnya si Baba pemiliknya, atau bisa dibalik si Baba yang punya nama, si Ali sebetulnya si pemiliknya ya, dan itu juga dalam konteks tertentu dipelajari dengan seksama di dunia. Kemudian juga ada persoalan pemilikan lintas negara. Jadi misalnya bagaimana demokrasi di negara-negara European Union, Uni Eropa misalnya. Dari mana dipancarkan, kemudian memantul balik ke negara mana, misalnya, kecepatan teknologi transaksi derivatif dan juga incompetency. Tidak boleh juga misalnya, penyiaran jatuh ke tangan orang-orang yang ing … yang tidak kompeten. Karena itu frasa pihak lain pada Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, harus ditafsirkan sebagai perorangan atau badan hukum yang berbentuk lembaga penyiaran swasta yang memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), juga badan hukum apa pun dan di tingkat mana pun yang menguasai, memiliki lembaga penyiaran swasta. Dan secara keseluruhan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memang harus ditafsirkan hanya sebagai berikut. “Izin penyiaran penyelenggaraan …. Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dilarang dipindahtangankan dengan cara diberikan, dijual, dialihkan kepada perorangan atau badan hukum yang berbentuk Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang memiliki Izin Peyelenggaraan Penyiaran (IPP), juga badan hukum apa pun di tingkat mana pun.” Tetapi saya belum selesai. Lalu bagaimana? Media dievap … dievaluasi setiap akhir masa, izin penyelenggaraan penyiarannya berakhir, bahkan boleh ditantang oleh pihak lain. Ini yang terjadi di banyak negara-negara demokratis karena pihak lain bisa mengatakan, “Kenapa mereka yang lebih layak diberi kepercayaan mengelola pabrik domain tersebut? Kami punya proposal yang jauh lebih baik.” 35
Dan ini yang sangat penting, izin penyelenggaraan penyiaran tidak dapat dilanjutkan dengan alasan apa pun, ya. Ketika tidak dapat dilanjutkan dengan alasan apa pun, harus dikembalikan ke badan regulator independent, harus dikembalikan. Nah, yang menjadi persoalan kemudian adalah begini, bolehkah memiliki lebih dari satu izin penyiaran dalam satu wilayah siaran? Kalau saya ditanya secara pribadi, bukan sebagai Ahli, maka saya mengatakan sebaiknya tidak boleh. Tetapi ketika saya berdiri di sini sebagai Ahli dari Mahkamah Konstitusi dengan keilmuan yang ada pada saya, maka saya mengatakan harusnya ditentukan oleh jumlah sharing. Sharing itu adalah bagian dari khalayak yang diperbolehkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia pada satu wilayah siaran atau pada tatanan sistem berjaringan. Dan kata-kata ini nanti saya usulkan dimuat bahwa pengukuran bagian khalayak media tersebut, harus dilakukan oleh lembaga yang harus dapat diaudit oleh Komisi Penyiaran Indonesia dan/atau bersama sebuah badan pemeringkatan, pengukuran khalayak media. Jika boleh kita masuk ke halaman selanjutnya. Di sini adalah pertemuan saya dengan semua Saudara-Saudara saya yang ada di sini. Pak Edward Depari ini adalah guru saya, dia yang pertama kali memperkenalkan kepada saya tentang ilmu komunikasi. Saya rasa pada titik ini, kami semua sama bahwa … ya ini sangat penting ya bahwa ketidakpastian rating dan sharing di Indonesia sudah berlangsung begitu lama, DPR dan industri membiarkannya. Jadi kalau boleh disebut ya, kecuali saya barangkali dan teman-teman yang terus melawannya, semua yang hadir di sini adalah korban dari sistem rating di Indonesia yang tidak pernah diaudit. Bagaimana kita bisa menganggap kecuali kita hanya berpatokkan pada jangkauan secara geografis berapa jumlah sharing atau bagian khalayak yang bisa dicapai. Jadi secara geografis saja maka itu bisa ditentukan, tapi kalau berdasarkan rating dan sharing maka diperlukan sebuah lembaga pengukuran rating dan sharing itu yang betul-betul bisa diaudit, ini tidak terjadi, dan “Ketidakcerdasan” nasional ini berlangsung sudah begitu lama sementara di negara seperti Amerika Serikat yang banyak sekali disebut-sebut oleh dosen-dosen saya tadi sudah berlangsung sejak tahun 1960, kongresnya langsung mengatakan tidak bisa hal yang seperti ini, kita harus mendirikan Media Rating Council karena media inilah yang akan ... yang sangat hati-hati sekali. Jadi artinya secara sederhana media ini bisa mengatakan kepada perusahaan rating ”tolong tunjukan dimana responden Anda, antarkan saya malam ini juga.” Selama ini, kalau boleh lagi saya berinteraksi sedikit dengan izin Ketua sidang, apakah ada satu pun diantara Bapak dan Ibu yang hadir dalam ruangan ini yang pernah mengetahui atau pernah menjadi responden dari lembaga rating? Saya keliling Indonesia mungkin untuk 36
seminar yang jumlahnya ribuan, setiap pertanyaan ini saya sampaikan tidak pernah ada orang yang mengacungkan tangan bahwa dia pernah menjadi responden dari lembaga rating ini. Padahal sekali lagi, ini sangat penting untuk pengaturan mencegah monopoli persepsi ataupun opini publik. Jadi, posisi saya tidak dalam posisi ingin mengatakan bahwa satu perorangan atau pun badan hukum tidak boleh memiliki lebih dari satu stasiun televisi di satu kota, ataupun dalam konteks berjaringan, tidak dalam posisi itu. Saya hanya ingin mengatakan orang harus jujur mengakui apakah dia memiliki perusahaan itu atau bukan? Dan ketika sahamnya berpindah pun dia harus menjelaskan, siapa terakhir yang memiliki saham? Dan kalau misalnya sudah berpindah, dia harus menyerahkannya kepada Komisi Penyiaran Indonesia. Apakah dia boleh memiliki lebih dari satu stasiun di sebuah kota? Harus dicek juga asalusulnya, ada stasiun yang pernah mendapat ijin di Surabaya misalnya, kemudian bergabung lagi dengan TV yang ada di Jakarta misalnya, itu tidak masalah dalam konteks stasiun berjaringan sejauh, ini yang tadi ini ya, jumlah sharing-nya tadi dihitung dengan sungguh-sungguh, apakah kita ingin memutuskan secara geografis ataukah betapa berapa yang mereka dapat? Nah, terakhir. Ketua sidang dan Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat. Saya sudah berkali-kali sebetulnya menjadi saksi ini di DPR, setelah saya hitung-hitung honor saya dari menjadi saksi ahli di DPR seperti ini, totalnya sudah 10,2 juta dalam rapat dengar pendapat, saya tidak tahu nanti berapa lagi honor yang diterima dari sini, tetapi hasilnya hampir tidak ada. Karena sekali lagi, jiwa dari Undang-Undang Penyiaran itu adalah diversity of ownership dalam konteks memperhatikan politics of commucation tadi dengan aturan-aturan yang jelas dan bukan semata-mata dianggap kita ini ingin melarang orang tidak boleh memiliki satu stasiun di satu kota, bukan itu intinya. Tetapi bagaimana kita menumbuhkan stasiun-stasiun televisi kita secara cerdas. Mohon maaf, saya tadi ... saya bertentangan dengan salah seorang ahli saya rasa, hati-hati Pak, kalau saya yang menguji skripsi atau disertasi itu pasti tidak lulus, ketika mengatakan seakan-akan tugas mendidik masyarakat hanya ada pada pendidikan ... lembaga penyiaran publik sedangkan lembaga penyiaran swasta diperbolehkan agak lebih longgar untuk tidak mendidik publik misalnya ya, atau boleh bersenangsenang dengan kenikmatan yang dia peroleh. Akhirnya, demikian kurang atau lebihnya saya mohon maaf, wassalamualaikum wr. wb.
37
64.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Baik, kita pasti membuka tanya jawab ya, cuma karena ada salah satu Hakim ini yang harus menunaikan persiapan yang lain, saya bisa persilakan untuk meninggalkan dulu. Kita mulai lagi, jadi Ahli sudah menyampaikan pandangan keahlian saya, oleh karena itu kita berikan kesempatan karena yang di sini banyak yang mengajukan Ahli adalah dari Pemerintah dan Terkait, saya mohon klarifikasi dulu dari Pemerintah terkait apakah masih ada pertanyaanpertanyaan yang disampaikan pada ... terutama Ahlinya mungkin. Yang kedua, kemudian Ahli, bisa yang didatangkan oleh Mahkamah Konstitusi maupun juga Pihak Pemohon, silakan, (suara tidak terdengar jelas) Terkait.
65.
PEMERINTAH: BUDI PRIYONO Yang Mulia, Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Kami dari Pihak Pemerintah, saya kira sudah cukup Pak karena Ahli yang kami datangkan sejak awal persidangan saya kira sudah memenuhi apa yang diharapkan oleh Pemerintah untuk apa itu ... memberikan pertimbangan atas dari pada Pemohon, terima kasih.
66.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Pemerintah cukup, Terkait?
67.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: YANUAR Dari kami sementara cukup, Yang Mulia.
68.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Sementara cukup?
69.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: YANUAR Ya.
70.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Pihak Pemohon? ada berapa kira-kira yang bertanya?
71.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Kurang lebih ada tiga. 38
72.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Tiga ya, langsung saja. Nanti kalau sudah ditanyakan yang pertama, tidak usah diulangi lagi.
73.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Ya.
74.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya, silakan. Dan kepada siapa pertanyaanya?
75.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Oleh rekan saya duluan, Pak.
76.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Oke, silakan.
77.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Terima kasih.
78.
PEMOHON: UMAR IDRIS Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan pertama untuk … sebetulnya bukan pertanyaan, tapi penegasan untuk Bapak Erman Rajagukguk yang banyak berbicara mengenai Undang-Undang Anti Monopoli yang mengatakan bahwa kondisi pada saat ini dianggap tidak melanggar peraturan (…)
79.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO
80.
Begini, begini. Anda jangan memposisikan beda pendapat ya, bertanya saja. PEMOHON: UMAR IDRIS Bertanya saja?
81.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya.
39
82.
PEMOHON: UMAR IDRIS Oke.
83.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Beda pendapat Anda tidak usah disampaikan, bertanya saja.
84.
PEMOHON: UMAR IDRIS Ya. Bagaimana … pertanyaan untuk Bapak Erman adalah bagaimana dengan pernyataan maupun penegasan dari KPPU di persidangan ini pada sidang-sidang sebelumnya yang mengatakan bahwa berkaitan dengan hal-hal Undang-Undang Penyiaran KPPU tidak dalam posisi untuk menyatakan pendapat. Itu satu pertanyaan kami. Untuk Bapak Morissan, pertanyaan kami yang kedua. Sama seperti yang ditujukan oleh Bapak Effendi Gazali, mengapa swasta dituntut sebagai stasiun televisi public, itu karena menggunakan frekuensi yang itu milik publik, apakah selama ini stasiun televisi swasta tidak memiliki frekuensi publik sehingga tidak memiliki kewajiban publik terhadap masyarakat di dalam siaran-siarannya? Saya kira itu saja dari saya, Yang Mulia.
85.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Oke. Jadi langsung dilanjutkan ya. Tapi sebelumnya begini, terhadap pertanyaan yang diberikan kepada Pak Erman dengan keterangan dari KPPU tidak harus sama, ya.
86.
PEMOHON: UMAR IDRIS Tidak.
87.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Tidak harus sama dan tidak dibandingkan, kalau itu memang haknya dari pendapat Ahli, silakan, tidak harus sama. Jadi itu tergantung Pak Erman, apakah mau dijawab kalau memang pendapatnya beda. Silakan ya. Kita teruskan yang pertanyaan berikutnya?
88.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Terima kasih, Pak Hakim. Pertanyaan ditujukan kepada Pak Edward Depari, mohon penjelasan lebih lanjut tentang pernyataan yang Bapak sampaikan, dalam konteks keahlian yang tadi Bapak sampaikan 40
ada dua, dua pernyataan yang menurut saya konteksnya agak berbeda. Di awal Bapak menyatakan bahwa audience itu layak dijual, tapi di sisi lain Bapak menyatakan bahwa audience itu … maksud saya begini, audience itu seakan-akan layak dijual sehingga seakan-akan menjadikan audience itu adalah barang, sementara konstitusi kita tidak ada satu kata pun yang menyatakan bahwa manusia atau harkat, derajat, martabat penonton sekalipun itu layak untuk dijual itu, gitu. Nah apakah ada teori yang memang menyatakan tentang hal demikian sehingga kita memang pada dasarnya … mohon maaf, seluruh warga negara Republik Indonesia, penonton, pemirsa itu layak dijual seakan-akan menjadi goods bagi rating. Itu yang pertama. Dan yang kedua, terkait dengan (…) 89.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Saya ingatkan saja ya, pertanyaan jangan ditujukan pada konsepkonsep yang kemudian itu menjadi konsep pribadi karena tujukan saja kalau Anda bertanya hubungannya dengan persoalan yang Anda masalahkan di sini.
90.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Ya. Dalam hal ini Beliau menyatakan bahwa jaminan diversity of content sudah terjadi, tapi di sisi lain Beliau menyatakan bahwa ada perbedaan derajat dalam menentukan porsi pemirsa. Dan ini mau saya kaitkan dengan pertanyaan kedua kepada Ahli, Bapak Morrisan yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitian-penelitian dari Amerika Serikat yang tadi dipaparkan atau ahli-ahli dari Amerika Serikat yang … yang semua menyatakan bahwa karena … apa, istilah tadi prime time … mohon maaf saya lupa istilahnya tadi ya, dengan … dengan pemaksaan seperti itu malah tidak terjadi keragaman. Itu yang Beliau sampaikan. Tapi dalam konteks ini saya mohon informasi lebih lanjut karena apakah ada persamaan untuk menyatakan bahwa program lokal di Amerika seperti yang program lokal di Indonesia, Bapak Hakim. Seperti itu, untuk memperkuat (…)
91.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Kalau hasil penelitian … kalau hasil penelitian tidak bisa diklarifikasi pendapatnya karena itu laporan saja. Anda hanya percaya itu valid atau tidak saja ya. Saya kira kalau komentarnya bolehlah, kalau hasil penelitiannya kita nanti tidak berujung mendiskusikan itu. Jadi pendapat Anda adalah persoalan konten lokalnya beda Amerika, di sini?
41
92.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Ya.
93.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Itu pendapat terhadap pendapat Ahli, begitu saja?
94.
PEMOHON: CHRISTIANA CHELSIA Ya. Terima kasih.
95.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Oke yang berikutnya, cukup? Ya. Jadi ada pertanyaan-pertanyaan tadi yang saya kira nanti juga tidak menutup kemungkinan Hakim pun juga menggunakan haknya, tapi saya kira dari Pemohon dulu kepada Ahli yang ditanya supaya menggunakan kesempatan untuk menjawab. Silakan siapa dulu, Pak Erman dulu.
96.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: ERMAN RAJAGUKGUK Terima kasih, Majelis Hakim yang saya muliakan. Pertanyaan Kuasa Pemohon yang saya hormati, mengapa KPPU tidak dalam posisi untuk mengemukakan pendapat. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), ya ini terserah kepada KPPU untuk tidak mengemukakan pendapat saya, kompetensi … saya tidak bisa menilai KPPU. Tetapi, saya sebagai dosen hukum antimonopoli dan persaingan usaha, dan saya juga sebagai dulu Wakil Ketua Tim Pemerintah untuk menyusun UndangUndang Persaingan Usaha, berpendapat bahwa undang-undang ini mengenai barang dan jasa, dan saya berpendapat siaran televisi itu merupakan jasa. Jadi, masuk dalam ruang lingkup pengaturan UndangUndang Antimonopoli dan Persaingan Usaha. Demikianlah, saya menjawab tadi bagaimana pandangan saya mengenai pasal apakah ini satu perusahaan yang menguasai tiga siaran televisi sudah dapat dikatakan memonopoli atau tidak? Dan menurut saya, menurut undang-undang, tidak. Demikian, Majelis Hakim Yang Saya Muliakan.
97.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Terima kasih, ya. Berikutnya, Pak Morissan. Setelah itu Pak Edward nanti.
42
98.
AHLI DARI PIHAK TERKAIT: MORISSAN Terima kasih, Yang Mulia. Terhadap dua pertanyaan ini, yang pertama, mengapa swasta dituntut sebagai stasiun publik? Bukankah swasta itu juga menggunakan frekuensi publik? Memang benar bahwa semua stasiun penyiaran itu menggunakan frekuensi publik yang merupakan ranah publik, tetapi Undang-Undang Penyiaran memang membagi-bagi jenis-jenis media penyiaran itu berdasarkan fungsinya masing-masing. Ada lembaga penyiaran swasta, publik, komunitas, berlangganan. Nah, ini memiliki karakter yang berbeda dan diberi sifat oleh Undang-Undang Penyiaran berbeda. Swasta diberi sifat sebagai bersifat komersial. Lembaga penyiaran publik diberi sifat sebagai lembaga publik yang harus netral, independent, dst. Sementara swasta komersial. Dan kalau kita omong komersial, enggak mungkin logika sederhana kita kemudian dia harus bersifat independent, gitu karena di manapun misalnya, di seluruh dunia, media itu banyak dimiliki oleh politisi dan hal yang wajar kalau media yang dimiliki politisi itu kemudian membela kepentingan pemiliknya yang politisi. Itu hal yang lumrah. Nah, tinggal sekarang kepada masyarakat untuk mengetahui … kecerdasan untuk mengetahui bahwa kalau pemiliknya adalah politisi, tentunyalah pasti dia tidak mungkin independent. Maka saya katakan tadi bahwa lembaga penyiaran swasta karena oleh undang-undang bersifat komersial, bukan berarti tidak bisa sama sekali independent. Kalau saya lhat, di begitu banyak … di beberapa lembaga penyiaran swasta yang ada saat ini, mereka banyak sekali melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan publik. Kalau saya bandingkan TVRI dengan lembaga penyiaran swasta, kalau kita lihat misalnya, Metro TV atau TV One, itu lebih publik kadang-kadang daripada TVRI, lebih publik sifatnya. Nah, bukan berarti bahwa kemudian lembaga penyiaran publik itu … lembaga penyiaran swasta itu menjadi tidak sama sekali … apa namanya … mengabaikan hak-hak publik. Dia tetap … sejauh ini, mereka tetap melaksanakan fungsi-fungsi kepublikannya, walaupun undang-undang mengatakan, “Anda bersifat komersial.” Artinya bahwa Anda sulit untuk bersifat independent, netral. Yang Mulia, pertanyaan kedua adalah pertanyaan mengenai program Prime Time Access Rule sebagaimana saya kemukakan tadi bahwa pada kebijakan di Amerika ketika itu adalah, stasiun TV jaringan tidak diperbolehkan untuk menyiarkan program siarannya pada waktu prime-time di stasiun TV lokal. Nah, ini maksudnya adalah supaya stasiun TV lokal itu membuat program sendiri, sehingga terjadi keberagaman. Tetapi, setelah sekian tahun berjalan, kemudian diteliti oleh para peneliti ini kemudian menemukan bahwa ternyata tingkat keberagaman justru menurun. Secara signifikan, malah.
43
Nah, kalau ditanya tadi, apakah program lokal di Amerika sama dengan di Indonesia, pada umumnya setiap program di mana pun, itu levelnya sama. Program televisi itu pembagiannya atau genrenya itu bisa dibagi sama. Kita bisa membagi berdasarkan news, sinetron, drama, soap opera, reality show, infotainment, musik, dsb. Itu bisa berlaku sama. Nah, para peneliti ini mencoba untuk membagi program dalam kriteria sejumlah tertentu dan kemudian menghitung berapa persen dari keseluruhan kriteria program yang ada itu terpenuhi, apakah 100%, 80%, 70%, dst. Dan hasil penelitian itu menunjukkan bahwa keragaman program itu menurun. Demikian, Yang Mulia, penjelasan dari saya. 99.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Baik. Terakhir, Pak Depari.
100. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Terima kasih, Saudari Pemohon, Saudari Chelsia. Saya tidak menggunakan istilah, tapi swasta menganggap audience itu layak dijual. Saya sendiri juga sebagai pribadi, tidak ingin dijadikan bagian dari apa yang dijual oleh stasiun televisi. Tapi, literatur media menyebut ini sebagai commodified audience, karena apa? Karena sering sekali orang tidak mengerti atau salah menginterpretasikan. Mereka mengatakan, “Yang dijual oleh televisi adalah tayangannya.” Sebenarnya salah. Televisi menyediakan air time, diisi dengan program tayangan, dengan maksud menjaring jumlah pemirsa yang optimal. Jadi, kalau misalnya agensi menanyakan kepada stasiun televisi, “Oke. Mengapa Anda meminta saya menyampaikan … menampilkan tayangan saya, eh sori, iklan saya di tayangan X,” misalnya. Itu karena rating yang tinggi. Apanya rating yang tinggi? Misalnya kalau rating itu 10, dan satu angka itu mempresentasikan 1 juta pemirsa, maka pada saat prime time, pada saat jam yang sama misalnya di tengah-tengah persiangan TV yang bersiaran saat itu, program ini yang memiliki rating yang sangat tinggi. Nah, oleh sebab itu yang dijual adalah jumlah audience-nya. Dan saya mohon maaf, mungkin saya harus pakai tanda petik tadi, mungkin itu, satu. Dan yang kedua, boleh Yang Mulia saya sedikit hanya memperjelas mengenai prime time access rule tadi. Saya ingin menambahkan bahwa prime time access rule yang dikeluarkan itu sebenarnya bertujuan memberi peluang bagi ke stasiun lokal untuk memperoleh limpahan iklan. Jadi, yang dibatasi di sana adalah prime time dari 4 jam menjadi 3 jam. Dengan catatan, satu jam nanti mengalir ke televisi lokal. Persoalannya itu tidak terwujud karena apa? Pengiklan tetap ingin menempatkan iklan mereka ditayangan yang 3 jam. Sehingga 44
akhirnya apa, harga meningkat, ya yang memperoleh keuntungan tetap stasiun yang dominan tadi, ya network-nya tadi. Jadi, itu yang terjadi sebenarnya. Jadi, terus terang saya ingin menggaris bawahi di sini yang namanya Federal Communications Commission di Amerika Serikat, tidak pernah mengatur … mengontrol tayangan. Karena apa? Mengontrol tayangan itu bertentangan dengan first amendment, yang mengatakan
congress shall not make any regulation abridging the freedom of expression. Jadi, yang diatur oleh FCC adalah struktur industri. Ini kita harus jelas, struktur industrinya, bukan tayangannya, itu saya harus klarifikasi. Terima kasih. 101. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Juga ada pertanyaan, ya. Saya lupa, Ahli. 102. AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Ya. 103. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Silakan. 104. AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Saya mungkin dengan cepat ini, Pak Edward Depari guru saya sampai kapan pun Pak Edward Depari tetap guru saya, tapi Federal Communications Commission mengatur tentang isi siaran dalam konteks pernah menjatuhkan penalti yang sangat berat sampai ratusan ribu dolar, ketika memang terjadi “sesuatu yang dianggap pelanggaran.” Dari hal-hal yang terkait dalam industri penyiaran di Amerika Serikat. Ini … ini perlu kita … kita selesaikan dalam bentuk seminar yang sangat ilmiah ini, Pak. 105. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Untuk kepentingan Mahkamah, ya dua-dua ini kan harus dibuktikan saja. 106. AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Ya.
45
107. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Kalau Pak Gozali bisa (…) 108. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Boleh saya itu? 109. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya, silakan. 110. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Ya, betul itu kasus, Yang Mulia. Belum bisa kita generalisasikan. 111. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Oke. 112. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Karena apa, satu contoh di Amerika Serikat. Negara ini adalah negara yang sangat sekuler, yang memisahkan agama dan Negara. Tapi ketika Presiden Reagan melihat kenyataan bahwa penting bagi Amerika Serikat untuk membuka hubungan diplomatik dengan Vatikan. 113. HAKIM ANGGOTA: HARJONO
Heem. 114. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Maka, aturan tadi otomastis dirubah. 115. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya, ya. 116. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Jadi, ada kekecualian, tadi kan kita tuang dalam asas hukum for every rule there it must be an exception. Terima kasih, Yang Mulia. Saya tidak berbeda pendapat dengan Effendi. 46
117. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Baik, satu pertanyaan untuk Pak (…) 118. AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Ya, mungkin yang ingin saya katakan adalah sebuah gambaran dimana sebetulnya Komisi Penyiaran Indonesia ataupun FCC di Amerika itu, jangan dipandang sebagai sebuah apa ya, diktator yang kemudian akan sangat mencengkram industri penyiaran bahkan kalau kita berbicara soal diversity of ownership ini misalnya, justru FCC yang pernah meminta kepada kongres ya untuk menaikkan jumlah sharing tadi, dalam konteks geografis tadi. Dia meminta dinaikkan, jangan 35, jadi 45. Tetapi, ketika ada tindak lanjut dengan kongres akhirnya dicapai kata sepakat, 39-lah misalnya. Tapi, betul-betul dalam konteks tertentu soal sharing dan rating tadi harus benar-benar, saya yakin semua yang ada di sini tahu persis bahwa itu tidak pernah diaudit, dan itu masih meragukan. Nah, menjawab atau pun menyambungkan apa yang disebutkan oleh teman-teman tadi, saya kembali ingin mengatakan bahwa posisi saya adalah semua orang harus klir, harus jelas dan jujur, tidak menyembunyikan sebuah entitas penyiaran pada perusahaan kakeknya, lalu mengatakan yang itu kan cuma cucunya, dan lain sebagainya, seperti itu. Sebut saja, memang kami yang membeli itu, dan saham sekian persen. Jangan lupa, Majelis Hakim Yang Mulia dalam waktu dekat kita akan memasuki era digital, dimana ketersediaan lembaga penyiaran itu menjadi lebih banyak, dan itu kita sepakati kan? Jumlahnya misalnya untuk Jakarta saja, bisa antara 60, ya Pak Edward? Antara 60 sampai 70. Berarti kita tidak akan membatasi bahwa satu perusahaan misalnya, hanya boleh memiliki satu karena kapabilitasnya bisa dua atau tiga misalnya, tapi yang ingin kita pastikan sama seperti saya menyambung, ada juga kesepakatan saya dengan teman dosen Pak Morissan ya. Bahwa kalau misalnya ada status stasiun televisi, punya kecenderungan menampilkan diri pemiliknya sendiri, atau partai yang dibesarkan, maka dijamin bahwa dalam konteks sharing tadi, baik secara geografis maupun secara bagian khalayak yang menontonnya, misalnya ditetepakan hanya 30%, dengan harapan ada 70% lain di luar sana yang bisa mengimbangi, supaya terjadi yang itu tadi diversity of ownership, kemudian meningkat menjadi diversity of perception, dan diversity of public opinion, misalnya itu. Jadi, kita harus melihatnya dalam konteks yang seperti itu. Dan ini dibutuhkan, sekali lagi putusan Mahkamah Konstitusi ini untuk memberikan (…)
47
119. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Sebentar-sebentar, ini kan kita (…) 120. AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Ya. 121. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Juga menampung pertanyaan Hakim-Hakim yang lain. 122. AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Ya. 123. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Silakan, dari Hakim ada yang bertanya? Silakan, Pak Akil. 124. HAKIM ANGGOTA: M. AKIL MOCHTAR Ya. Kalau kita melihat model lembaga penyiaran di Indonesia ini, ini kan ada empat yang masing-masing punya satu regulasi tapi di dalam suatu regulasi itu memberikan perbedaan-perbedaan juga, lalu karena misalnya saya ingin mengatakan misalnya sumber pembiayaannya, yang bersifat publik itu utamanya adalah APBN dan seterusnya, baru ada iklan gitu. Tapi kalau yang swasta, yang paling utama iklan gitu, baru sumber usaha lainnya. Dari penempatan-penempatan seperti itu pasti akan memberikan perbedaan-perbedaan output-nya dalam rangka melaksanakan konten yang di ... yang menjadi bagian dari empat lembaga ini. Nah, yang kita persoalkan sekarang, katakanlah yang berkaitan dengan Lembaga Penyiaran Swasta, yang diatur di dalam Pasal 16 dan sumber pembiayaannya itu juga adalah di dalam Pasal 19 misalnya, yang kemudian juga memberikan kewenangan 20% untuk sahamnya bisa dimiliki oleh orang asing atau badan hukum asing. Nah, yang ingin saya tanyakan adalah ketika kita menuntut suatu apa namanya ... pemberlakuan yang sama terhadap berbagai regulasi yang berbeda seperti itu, lalu apakah masing-masing lembaga penyiaran itu juga berbeda, dalam konteks apa yang dia lakukan terhadap masyarakat secara luas karena memang berbeda-beda gitu. Itu apa ... bagaimana kita bisa menuntut misalnya satu stasiun LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) itu harus independent, tidak mungkin misalnya independency dari LPS itu sama dengan Lembaga Penyiaran Pemerintah misalnya. Itu 48
bagaimana dalam ukuran kesehariannya, sehingga kecenderungan seperti itu tidak melanggar apa namanya ... misi yang dicantumkan di dalam norma yang ada di dalam pasal-pasal ini bagi mereka yang menyelenggarakan dari empat model lembaga penyiaran itu. Yang kedua, pertanyaannya adalah yang dilarang itu kan atau bukan dilarang sebenarnya menurut undang-undang, tapi dibatasi. Kalau kita melihat norma yang tercantum di dalam Pasal 18 ayat (1) ini sebenarnya apakah normanya yang lain itu yang tidak jelas misalnya apa namanya ... penguasaan oleh satu orang atau satu badan hukum, atau norma yang dibatasi itu yang dilarang? Ini kan ada tiga (suara tidak terdengar jelas) yang di ... hal yang dilarang ... hal yang dituju di dalam Pasal 18 ayat (1) itu. Satu badan hukum, satu orang dilarang untuk mempunyai satu kepemilikan, bukan dilarang ya? Satu wilayah siaran. Satu orang, satu badan hukum di satu wilayah siaran itu dibatasi, apakah satu badan hukum, satu orang, atau dibatasinya yang tidak jelas? Saya mohon pendapat Ahli, terserahlah Ahli mana yang mau jawab dua pertanyaan itu. Terima kasih. 125. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Saya juga bertanya ini pada yang bisa menjawab lah kira-kira karena saya yakin bahwa undang-undang ini juga sudah dipahami oleh semua pihak. Pertama begini, undang-undang ini meskipun judulnya adalah Undang-Undang Penyiaran, tapi titik beratnya masih pada persoalan corporate ship-nya. Belum ada persoalan-persoalan yang lain, bagaimana norma-norma penyiarnya belum, tapi pada saat corporate ship-nya yang sebagai penyelenggara penyiaran itu. Pertama itu. Yang kedua adalah Pasal 5 itu ada bunyi yang berbunyi seperti ini, “Penyiaran diarahkan untuk ...,” lalu G nya, “Mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan sehat dibidang penyiaran.” Saya ada satu koreksi, sebetulnya bukan penyiarannya diarahkan, tapi tata penyiaran ini mestinya karena penyiaran itu kan hanya masalah teknis saja apa yang dilakukan ... menyiarkan. Itu kalau penyiarannya yang diarahkan itu tidak bisa mencegah monopoli, tapi tata penyiaran yang bagaimana dilakukan inilah yang mencegah monopoli karena ada kata mencegah monopoli, apakah pemuatan mencegah monopoli itu hanya bagi persoalan kepemilikan corporate saja, atau behind itu ada persoalan mencegah monopoli itu apa? Apakah itu yang dicegah adalah jangan sampai lembaga penyiaran itu punya banyak channel, apakah itu saja? Atau jauh di luar itu, ada sebetulnya yang ingin dicapai dengan larangan untuk mencegah monopoli kepemilikan? Jadi not for the ship pemilikan itu sendiri, tapi ada hal lain yang kemudian menelorkan ini persoalan. Yang kedua adalah ... yang ketiga. Kita bicara tentang diversity of ownership, diversity of content. Lalu juga karena ini berangkat dari praktik, seolah-olah itu nanti bisa dikontrol kalau sudah diselenggarakan, 49
oleh karena itu KPI dituntut untuk itu. Tapi apakah juga tidak mungkin bahwa diversity untuk duanya itu, diberi preventif di depannya. Jadi tidak hanya nanti coba kalau sudah begini dilakukan oleh KPI bisa, oleh KPPU bisa. Tapi jauh sebelum itu ber … diselenggarakan itu preventifnya bisa dilakukan. Ini yang kedua. Lalu Pak Erman ya. Tadi Pak Erman mengatakan bahwa ini kalau dihitung sebagai suatu monopoli belum bisa karena pasarnya ini seluruh Indonesia. Oleh karena itu, hitung-hitungannya belum jatuh pada sampai larangan monopoli yang dilarang oleh undang-undang persaingan, tidak sesehat itu. Apa ini pasarnya tidak terbatas? Karena pasarnya adalah ditentukan berapa channel dalam waktu serentak itu ada? Jadi, pasarnya bukan Indonesia, tapi, channel berapa? Lalu serentak itu ada, itulah pasarnya. Jadi menghitung pasarnya beda dengan menghitung pasar … meskipun ini sama-sama jasanya. Tapi, menghitung pasarnya beda. Ya, jadi satu jam ini berapa channel yang pergi bersama-sama, serentak bersama-sama, itulah pasarnya. Ini yang saya kira minta penjelasan tentang penghitungan pasar, terima kasih. Bisa dimulai Pak Gozali dulu atau Pak siapa? Yang Pak Depari kalau mempunyai pendapat silakan. 126. AHLI DARI PEMERINTAH: MUDZAKKIR Terima kasih, saya ingin memberikan komentar atau pendapat saya terkait dengan hal yang berhubungan dengan aspek norma hukumnya ya, sesuai dengan kompentensi dan keahlian saya. Yang pertama, saya tadi sudah menyampaikan bahwa kalau saya mencoba untuk menelusuri gagasan pikiran yang mendasari dengan pasal-pasal yang lain hubungannya dengan Pasal 18 ini adalah mencegah terjadinya monopoli kepemilikan. Tentu saja ini rasionya adalah akan berakibat kepada yang lain, begitu ya. Jadi, prinsipnya adalah memonopoli kepemilikan yang dicegah, ya. Sehingga kata-kata ini terkait dengan apa yang dikemukakan tadi bahwa pasal yang lain juga mengatur yang sama. Cuma kompetensinya itu yang berbeda, ya. Di dalam pasal ini … lebih mengarah kepada kewenangan komisi penyiaran dan pemerintah dalam rangka untuk penerbitan izin-izin, ya. Kalau tadi dihubungkan dengan preventifnya, kalau coba kita baca di dalam … ketentuan di dalam PP Nomor 50 Tahun 2005 ini. Menurut saya, saya mencoba mencermati di situ, ini menurut saya sudah lengkap. Dalam arti untuk menerbitkan sebuah izin, izin tentang penyiaran tadi ya, nampaknya sudah ada prasyarat-prasyarat tertentu. Yang kedua adalah apabila prasyarat-prasyarat tertentu tidak dipenuhi berarti kan itu tidak dibolehkan. Ini artinya bahwa salah satu prasyarat yang dimuat di dalam PP itu, kontennya salah satu diantaranya Pasal 18, ya. Yang kedua, kalau itu masa izinnya habis, itu akan diperpanjang lagi. Nah, ketika hendak memperpanjang itu bersama KPI, 50
mengontrol lagi, menguji atau mengecek lagi apakah dalam suatu proses penyelenggaraan ini ada enggak kaidah-kaidah yang dilanggar di dalam aturan-aturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Ha, di situ muncul lagi … yang ingin disampaikan tadi bahwa kalau sekiranya ada pasal-pasal yang dilanggar, termasuk juga Pasal 18 ayat (1) ini, maka izin penyiarannya tidak akan diperpanjang ya. Yang tadi sudah saya sebutkan yang tidak diperpanjang itu ada klausulnya di situ. Sehingga tidak diperpanjang izinnnya setelah mempertimbangkan dari KPI, ya. Jadi, atas dasar ini menurut saya bahwa di dalam Pasal 18 yang dihubungkan dengan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005, ini yang saya kira dalam konteks prefentifnya sudah masuk, dalam maksud dan tujuannya sudah masuk. Yang esensinya tadi adalah secara administratif menghindari monopoli, ya. Tapi, kalau tadi saya juga sampaikan … kalau aspek monopoli perusahaan dalam konteks keperdataannya yang Prof. Erman sudah sampaikan ya saya kira ada dua bidang yang sama. Kalau itu kiranya itu bisa masuk di sana, kompetensinya ada di sana, tapi yang khusus ini adalah yang terkait dengan administratifnya, ya. Kemudian, hal yang lainnya yang ingin saya katakan adalah ini yang menarik dalam pasal … pasal-pasal ini yang dimohonkan uji adalah Pasal 18 plus Pasal 34 ayat (4) adalah mengenai penyelenggara pihak penyiaran yang mengalihkan tadi, ya. Jadi, kalau penyelenggara pihak penyiaran di sini adalah lembaga penyiaran swasta yang berbadan hukum, ya. Kata-kata berbadan hukum dan yang satunya lembaga penyiaran swasta. Saya mencoba menelusuri, nampaknya ini aspek profesionalisme dalam bidang penyiaran di satu pihak dan jaminan kepastian tentang kelembagaannya di lain pihak, ya. Ya, kalau … kalau itu digunakan di dalam satu bagian ini jelas. Lembaga penyiaran dalam konteks ini sebagai jaminan kualitas penyiaran karena memang dia adalah lapangan atau sesuai dengan profesi masing-masing ya. Dan saya kira itu yang tadi pasal pencegahan tadi sudah saya sampaikan. Saya kira itu pendapat yang saya sampaikan untuk melengkapi apa yang tadi sudah saya sampaikan. Hanya saya ingin menyampaikan Majelis Hakim bahwa kalau pasal ini diubah ya, ada diubah dengan usulan konstitusional bersyarat (…) 127. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ya. Tidak usah sampai penafsiran, biar saja, resikonya tidak usah. 128. AHLI DARI PEMERINTAH: MUDZAKKIR Ya, terima kasih.
51
129. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Itu biar menjadi wewenang penilaian hakim. 130. AHLI DARI PEMERINTAH: MUDZAKKIR Ya. 131. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Silakan yang mau menjawab berikutnya, Pak Depari? 132. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: EDWARD DEPARI Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin memberikan jawaban, sebagian jawaban atas pertanyaan dari Hakim yang pertama, Hakim … Yang Mulia Hakim yang pertama tadi. Sekalipun ada empat lembaga penyiaran yang berbeda, tapi yang mempersatukan keempat lembaga tadi adalah tanggung jawabnya. Ini yang penting. Satu hukum yang berlaku dalam media penyiaran seperti televisi adalah, “ Whatever you air on television it has to be entertaining.” Karena panggilan televisi memang untuk menghibur. Kemudian para pakar mengatakan, selain menghibur juga harus mendidik dan sekaligus informatif. Tapi memproduksi siaran yang memenuhi ketiga unsur tadi, mahalnya bukan main, Yang Mulia, dan membutuhkan kreativitas yang tinggi. Sementara kalau LPS nya begitu banyak, mereka harus bersaing, maka tidak banyak yang terlalu bisa kita harapkan dari produksi yang sifatnya massal, kecuali entertaining yes, tapi belum tentu informatif dan edukatif. Oleh sebab itu, penekanan saya tadi dalam apa namanya … dalam posisi saya sebagai Saksi/Ahli adalah lebih baik kita concern pada kualitas tayangannya bukan kepada kepemilikannya, bukan … dan pada diversity of content. Karena bagaimana pun juga masyarakat tidak pernah mempertanyakan siapa yang memiliki stasiun TV itu? Mereka ingin tahu ya, apa yang mereka hasilkan dan bermanfaat buat saya? Jadi dengan sendirinya, masyarakat sendiri akan menghukum kalau LPS ini dimanfaatkan untuk kepentingan individual dari pemiliknya. Dia akan kehilangan kredibilitasnya dan stasiunnya ini tidak akan dilihat oleh pemirsa dan tidak akan dilirik oleh pengiklan. Ini yang penting, jadi ada mekanismenya. Kalau toh itu dimanfaatkan misalnya, untuk kampanye, kepentingan politik, silakan. Yang penting harus dibuktikan bahwa dia membayar dan membayar tadi, membayar airtime tadi dibuktikan juga dengan pajak yang harus dibayarkan kepada negara. Sehingga tidak bisa juga sewenang-wenang karena harga iklan prime time juga cukup
52
mahal. Dan tidak menutup kesempatan bagi pihak lain juga untuk beriklan di sana, untuk kepentingan politik mereka. Jadi, ini bisa diatur. Kemudian, yang penting juga ya, dalam demokrasi kita mengenal sistem check and balance. Dengan sendirinya supaya LPS tidak sewenang-wenang dalam penyajian tayangannya, perlu ada kontrol. Nah, mengapa perhatian kita saat ini selalu lebih tertuju pada corporate ship ketimbang norma penyiaran? Sebenarnya, keduanya memang saling terkait, Yang Mulia. Norma penyiaran itu akan tercermin pada kinerja tayangan dan pada penampilan tayangan. Di situ normanya akan terlihat, ya. Sehingga ketika kita gagal atau kita belum berhasil mengontrol pemilik televisi untuk menjanjikan tayangan berkualitas. Akhirnya apa? Kita lari ke corporate ship. Sebenarnya normanya tampil pada kinerja tayangan. Sehingga dengan demikian ya, kalau kita misalnya mengutamakan norma, maka sudah selayaknya pengawasan terhadap kualitas tayangan, itu yang lebih diperketat. Saya rasa itu yang ingin saya sampaikan, tapi kalau menyangkut mekanisme preventif, saya tidak merasa dalam posisi untuk menjawab, Yang Mulia. Tapi yang terakhir yang ingin saya katakan, persoalannya adalah masyarakat kita memang belum semuanya memiliki pandangan yang cukup kritis untuk menilai tayangan televisi sehingga perlu “perlindungan”. Yang kita lihat dalam sejarah, akses terhadap media penyiaran, terutama televisi, kalau masyarakat Amerika Serikat, mereka sudah berada pada tahap reading society, masyarakat yang melek baca lebih dahulu baru mengenal televisi. Kita melek baca itu masih bermasalah, tahu-tahu masuk kepada apa namanya itu … akses pada tayangan televisi. Sehingga kita lebih menjadi apa? Viewing society tanpa didukung oleh kemampuan sebagai reading society. Karena reading society itu adalah masyarakat yang mampu berpikir kritis karena dia banyak membaca, mampu membandingkan. Sementara viewing society cenderung untuk tidak kritis karena mereka menyajikan dan menyaksikan tayangan yang dibatasi oleh waktu sehingga kadangkadang banyak sekali logika yang dilecehkan. Nah, oleh sebab itu yang saya ingin sampaikan, kewajiban pemerintah bersama KPI untuk melakukan apa yang disebut Media Literacy Campaign (Kampanye Melek Media). Artinya masyarakat dididik untuk mengetahui apa tayangan yang bermanfaat bagi dirinya, apa yang harus dijauhkan, ya. Sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menilai media bukan sekedar dari isi tayangan, tapi juga dari ideology yang ada di balik media tadi sehingga masyarakat akan terlindungi. Saya rasa itu yang perlu saya sampaikan. Terima kasih. 133. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Baik, silakan berikutnya.
53
134. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: MORISSAN Terima kasih, Yang Mulia. Saya mungkin tidak ingin membahas yang aspek-aspek korporasi dari apa yang ditanyakan tadi. Tapi saya ingin … tertarik dengan yang ditanyakan oleh salah satu anggota Hakim Yang Mulia mengenai … bahwa terjadi per … perla … menuntut perlakuan yang sama dengan regulasi yang berbeda. Kita tahu bahwa stasiun televisi di Indonesia ada empat kategori, swasta, publik, komunitas, berlangganan. Masing-masing diatur secara berbeda, diberi sifat secara berbeda, baik dibahas Undang-Undang Penyiaran, maupun dengan PP-PP yang berbeda, sifatnya berbeda. Tapi ada kecenderungan bahwa masyarakat menuntut salah satu jenis stasiun penyiaran itu, lembaga penyiaran itu, ingin sama. Dalam hal ini misalnya, lembaga penyiaran swasta dituntut untuk sama kewajibannya dengan televisi publik atau lembaga penyiaran publik, misalnya harus juga independent, netral, dan sebagainya. Bahkan dikritik karena terlalu banyak sinetron yang picisan, dianggap (suara tidak terdengar jelas) picisan atau reality show yang dianggap tidak bermutu, dan sebagainya. Nah, inilah yang kadang kita harus apa namanya … cermat bahwa … bahwa aturan adalah aturan bahwa … bahwa setiap lembaga penyiaran itu memiliki karakter dan sifatnya masing-masing. Dan kita juga sebagai … sebagai … sebagai pengamat juga harus … harus bijak dalam menilai ini. Saya ambil contoh misalnya di Inggris misalnya, di situ ada TV swasta, ada TV publik. Ketika orang ingin menonton hiburan, mereka menonton TV … TV … TV swasta. Tapi ketika mereka menonton … ingin menonton program berita, mereka lebih percaya kepada BBC, yang lebih dianggap lebih objektif. Ini adalah pilih-pilihan yang … yang tersedia oleh … dikalangan masyarakat untuk memilih sesuai dengan kebutuhannya. Nah, stasiun televisi ketika membuat program, dia sangat memperhatikan siapa target audience-nya. Apakah itu audience-nya adalah orang berpendidikan rendah atau para profesor? Kita tidak bisa menyamakan program untuk anak SD atau orang tidak berpendidikan SD yang buta huruf, sama … harus sama-sama disukai juga oleh yang … yang ditonton oleh para profesor atau yang bergelar S3. Ini enggak fair, gitu lho ya. Apa yang disukai orang yang tidak berpendidikan tentu adalah yang … yang ringan-ringan, yang tidak terlalu menguras analisis otaknya. Jadi, ya itu mereka … mereka tidak mau yang … yang beratberat, mereka suka yang … yang mudah, yang ringan-ringan, yang menghibur, yang tidak membuat ia berpikir. Berbeda dengan mereka berpendidikan tinggi, mereka membutuhkan program-program yang mampu menarik analisa berpikir mereka. Nah, ini saja sudah berbeda dan … dan stasiun TV swasta lebih menyukai program-program yang … yang lebih mampu menangkap 54
audience yang banyak. Masalahnya adalah audience yang banyak ini
adalah mereka yang umumnya berpendidikan menengah ke bawah ya, berpendidikan rendah, gitu lho. Jadi … jadi ini persoalan selera. Kalau kita mengatakan bahwa program tertentu itu picisan, tidak bermutu, sebagainya, sebenarnya kita hanya berpersepsi menggunakan selera kita untuk mengatakan bahwa orang lain itu mempunyai selera tidak bagus. Terima kasih dari … dari saya, Yang Mulia. 135. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Pak Efendi, silakan. 136. AHLI DARI MK: EFFENDI GAZALI Ya, saya mau meneruskan … pertama-tama terima kasih, Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Pertanyaannya menurut saya sangat mencerdaskan untuk membuka pikiran kita ke depan karena kata kuncinya adalah tatanan. Tatanan baik dalam konteks korporasinya, maupun dalam konteks bagaimana nanti mengukur kinerja tadi. Jadi, berkali-kali saya dengar di dalam ruangan ini, bahkan sampai barusan. Kata bahwa apanya kualitas, kualitas, dan kualitas. Pertanyaannya, siapa yang bisa menilai kualitas tayangan televisi selama ini? Siapa? Ini pertanyaan penting. Siapa yang benar-benar menonton? Itu ada bukunya, Pak ya, yang luar biasa. “Siapa yang betul-betul menonton televisi?” Begitu pertanyaan buku itu dan sampai sekarang enggak bisa dijawab oleh profesor ahli komunikasi sekalipun. Jadi, pertanyaannya adalah dalam konteks tatanan itu menjadi dibuat menjadi lebih sistematis atau lebih mudah. Yang pertama bahwa akan ada yang disebut dengan potensial audience atau tadi yang disebut sebagai geographical sharing, ya. Jadi, kalau satu stasiun dengan teknologinya. Kalau kita berbicara digital, nanti menjadi lain ya, menjadi tersebar begitu rupa daya jangkaunya. Tapi, katakanlah begitu. ada alat untuk mengukur bahwa yang pertama adalah potensi audience-nya. Berapa dari setiap kanal itu? lalu ditambah lagi dengan yang benar-benar menonton, ya Pak ya, captive audience, kemudian real audience itu, seperti apa? Audience sharing, namanya. Nah, ini kita enggak punya di Indonesia. Ada satu-satunya dan enggak pernah diaudit, ya Mas ya? Boleh ketawa-ketawa yang di belakang, tapi riilnya kan demikian. Kita enggak percaya pada konteksnya. Jadi bagaimana, bagaimana kuantitasnya kita enggak percaya, lalu kualitasnya juga dipertanyakan dalam konteks persepsi yang seperti itu. Karena itu preventifnya atau preferensinya disediakan dua jalur. Jalur yang pertama itu tadi, Komisi Penyiaran Indonesia dan dalam konteks Indonesia bersama pemerintah. Itu kemudian, bisa saling ini ya, saling 55
mengingatkan bahwa kalau ada pelanggaran-pelanggaran dalam Undang-Undang Penyiaran menyangkut hal ini, dan lain-lain segala macam, itu nanti mereka akan mengeluarkannya. Tapi dalam konteks yang kita diskusikan pada saat ini dengan pasal-pasal itu, maka kejelasan dalam industri penyiaran ini dimulai dari satu, ya memang perusahaan ini yang membeli, yang memiliki, ya sudah dia yang memiliki. Oleh karena satu dan lain hal tidak bisa dilanjutkan, kembalikan ke komisi penyiaran atau pemerintah. Itu, itu. Nah, kemudian memang ini tugas bangsa ini bersama-sama. Terima kasih kalau nantinya Mahkamah Konstitusi mempeloporinya dalam penafsiran yang nanti diputuskan oleh Majelis Hakim, tetapi intinya di situ nanti akan ada sebuah upaya untuk mengingatkan kepada tatanan ini bahwa akan ada batasan dalam konteks, apakah diputuskan secara geografis atau diputuskan secara khalayak yang betul-betul diperoleh, dan itu terkait lagi dengan nanti hasil rating dan sharing tadi. Jadi kedua tatanan ini harus berjalan bersamaan supaya kita kemudian bisa sampai pada diskusi yang rata, yang sama karena kalau tidak ... maka dari tadi, makanya kemudian kenapa dalam kasana keilmuan muncul ekonomi media karena dalam “Merupakan campuran dari hal tersebut”, kalau hanya ekonomi saja maka postulat-postulat ekonomi yang berlaku. Tetapi betul sekali kata Edward Depari, kami akan selalu bersama-sama ketika berbicara pada bagian media, kata kuncinya tanggung jawab, enggak bisa, kalau Anda tidak bisa ... bahkan sebetulnya perginya lebih jauh bukan lagi responsibility, enggak cukup, accountability, akuntabilitas kami tuntut Anda kalau Anda melakukan pelanggaran-pelanggaran. Nah, dalam konteks yang lebih jauh, tentunya kita selalu mengatakan kita tidak ingin menganggap bahwa pemikiran-pemikiran sekelompok profesor ataupun akademisi tentang kualitas siaran itu jauh lebih bagus dari pemikiran teman-teman lain, ataupun bagian dari Bangsa Indonesia yang dianggap mungkin pendidikannya lebih rendah, dan lain-lain. Tapi ada tugas dari media yang sampai sekarang belum pernah dihapuskan dalam semua teori media, educating, apapun, sekecil apapun Anda harus mengedukasi. Nah, karena itu tadi prevensi-nya ada dalam dua hal, yang pertama tidak membiarkan kalau terjadi kesalahan dilebih dari angka tertentu sehingga masih bisa “diimbangi” oleh angkaangka lainnya atau genre-genre lainnya, serta pada bagian yang kedua, itu tadi, secara kualitatif KPI bersama dengan pemerintah memperhatikan kualitas isi siaran dan pada bagian yang tertentu bisa dituntut oleh masyarakat, gitu. Yang paling kita khawatirkan adalah nantinya ukuran-ukuran ini bergerak demikian cepat sementara kita dalam konteks menentukan tatanan kepemilikan, kemudian tatanan bagian dari audience yang boleh dikaitkan dengan aturan-aturan dimana sudah disebut monopoli atau tidak itu adalah kita kejar-kejaran dengan digitalisasi, saya enggak tahu 56
ya di Indonesia kemungkinan besar digitalisasi lebih terperangkap pada siapa supplier alat apa dan bagaimana tarik-menariknya, belum pada akibat-akibat nyatanya yaitu misalnya nanti sharing itu bisa lebih dari 100%, kalau orang memiliki dua, Pak kita misalnya suatu saat menonton seperti yang disebutkan tadi, lagi nonton hiburan satu, lalu ada yang buat informasi, kita nonton dua jadinya, di HP yang satu kita nonton apa, kemudian pada laptop yang lain kita nonton lain, di rumah bisa satu televisi nonton ini, anak-anak nonton yang lain, dan sebagainya. Maka pasarnya lebih dari 100%, maka di Amerika misalnya pada konstelasi terakhir diizinkannya itu bergeraknya kalau menyambut digital sampai 65%. Orang tidak lagi berbicara “Wah, 50% plus satu adalah monopoli”, tidak. Jadi sekali lagi kita tidak berada dalam posisi, kalau saya ya untuk mengatakan bahwa kita melarang satu perusahaan memiliki lebih dari satu stasiun penyiaran, bukan itu. Tapi dari depan jujur, kami perusahaan ini kami memiliki izin ini, perusahaan ini memiliki izin ini. Dalam konteks digitalisasi kami punya tiga tetapi dalam konteks monopoli ini dianggap belum melanggar karena untuk tadi, untuk tujuantujuan preferensi, dan saya sekali lagi mengatakan saya sependapat mungkin dengan bapak-bapak Ahli yang lain bahwa terutama juga dari Ibu Ahli dari LPP ini bahwa apapun alasannya, mau seperti apapun bentuk medianya selalu ada tugas untuk education, gitu Pak ya, terima kasih. 137. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Pak, silakan. 138. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: SANTI INDRA ASTUTI Baik, terima kasih. Bapak-bapak dan Ibu Majelis Hakim yang saya hormati, sebagian besar dari apa yang ditanyakan tadi sebenarnya sudah dijawab, mungkin saya hanya memberi highlight pada dua fakta terpenting saja. Yang pertama adalah mari kita pahami bersama bahwa logika industri penyiaran dalam beroperasi itu akan berbeda logika sirkulasi, distribusi, maupun pemanfaatan sumber daya ekonominya dengan industri media cetak karena lembaga ... karena industri penyiaran ini ... maaf, menggunakan frekuensi yang notabene adalah ranah milik publik maka itu memperkuat tadi yang disampaikan oleh Bapak Edward Depari maupun juga oleh Bapak Effendi Gazali bahwa sebesar-besarnya kemaslahatan juga harus dikembalikan kepada publik, lembaga penyiaran swasta dalam hal ini telah berbagi porsi iklan untuk korporasinya maka kemudian juga harus memikirkan apa yang bisa di
57
share kepada publik yang dimanfaatkan ininya ... posisinya sebagai audience untuk meraih iklan tersebut, itu satu. Kemudian yang kedua, terkait dengan masalah pembagian
audience yang berbeda-beda, memang menyamaratakan selera setiap
orang tapi juga selera adalah masalah konstruksi. Saya kira juga agak gegabah kalau ... ini masyarakat kalangan bawah, kemudian pantaslah dikasih sinetron-sinetron yang seperti ini karena enggak bisa mikir dan maunya yang ringan-ringan saja. Teman-teman di industri pertelevisian punya sumber daya dan kreatifitas yang luar biasa yang bisa membuat lebih dari itu. Kemudian untuk tindakan preventif yang telah disinggung oleh Pak Edward Depari soal media literacy tadi Pak, saya sangat sepakat bahwa ada tindakan preventif yang bisa dilakukan lewat media literacy yang syukur-syukur bisa diakomodasi dalam kesempatan ini. Media literacy itu bukan lagi diwajibkan sebagai tanggung jawab Kominfo saja, Kominfo punya bagian seperti itu atau KPI saja, tapi juga semua pihak yang ada di dalam konstelasi industri penyiaran termasuk dalam hal ini adalah media. Mohon maaf saya harus mencarikan lagi literaturnya, tapi saya ingat dulu, pernah mendapatkan literatur yang menyatakan bahwa di beberapa negara bagian di Amerika salah satunya adalah Chicago di Illinois itu kalau sudah mencapai angka tertentu lembaga penyiaran swastanya sudah mencapai keuntungan katakanlah $20.000.000, saya enggak tahu jumlah persisnya, Pak. Itu mereka wajib mendedikasikan berapa persen dari penghasilannya itu untuk kegiatan literasi media. Jadi semacam CSR-nyalah untuk perusahaan tersebut. Nah itu belum saya lihat ada di sini, syukur-syukur kalau ini juga bisa diakomodasi terkait dengan tindakan preventif tersebut. Itu saja, terima kasih. 139. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Silakan, Pak Erman. 140. AHLI DARI PIHAK TERKAIT: ERMAN RAJAGUKGUK Majelis Hakim yang saya muliakan, dalam keterangan saya ini dalam menganalisis apakah suatu perusahaan televisi melakukan monopoli atau tidak, pertama kali kita harus menentukan pasar produknya, jadi pasar jasanya. Jadi saya menghitung pasar jasa itu sekitar 12 televisi. Saya tidak menghitung Lombok TV misalnya, yang hanya bisa ditangkap di Lombok atau Yogya TV, tidak. Jadi saya menghitung 12 TV yang bisa ditangkap menurut saya juga di seluruh Indonesia mungkin ada Jakarta TV, tapi Jakarta TV mengatakan dia mengadakan kerja sama dengan TV-TV daerah sehingga juga bisa ditangkap di daerah.
58
Nah, setelah ditentukan pasar produk, kita tentukan pasar teritori … pasar teritorialnya. Saya mengatakan ini seluruh Indonesia. Memang tidak … tidak dalam 24 jam seluruhnya dia dapat ditangkap karena ada siaran-siaran TV yang hanya sampai jam 01.00, atau jam 02.00, atau mulainya jam 05.00 tidak jam 04.00. Jadi biasanya saya sehabis shalat subuh, saya langsung memutar TV-TV untuk melihat warta berita. Nah saya suka mengganti-ganti channel itu karena kadangkadang berita TV itu sudah basi, sudah 4 hari diulang-ulang itu saja. Sebagai mantan wartawan harian Kami, 1968-1975 saya diajarkan, berita itu adalah yang up to date. Jadi kalau sudah 4 hari usianya sudah tidak berita lagi sebenarnya, tapi TV-TV sekarang ini, sementara ini ada yang mengulang berita-berita itu sudah 4-5 hari. Itu saya kritisi, sehingga saya cari channel lain yang eksklusif beritanya. Nah, tentu tidak semua dalam siaran ... jam siaran yang sama. Saya tidak tahu apakah dia dilarang siaran atau dia tidak mampu membiayai siaran sampai 24 jam. Ada TV, siaran TV, stasiun TV yang 24 jam siarannya itu, jam 02.00, jam 03.00. Begitu juga pasar teritorial itu saya hitung dari Sabang sampai Marauke, tapi bisa juga kecilkan pasar itu menjadi pasar Jawa saja, atau pasar Jawa Barat saja, atau pasar Jakarta saja. Bisa dihitung itu dan saya yakin kalau satu perusahaan mengusai 2 atau 3 siaran TV, dia belum jatuh dalam klasifikasi monopoli menurut Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha yang Sehat. Demikian, Majelis Hakim yang saya muliakan. 141. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Saya kira cukup ya dari pertanyaan-pertanyaan kita dijawab, saya kembalikan pada Pak Ketua. 142. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Terima kasih, Pak Harjono. Sampai dengan hari ini kita sudah mendengar saksi dan ahli sebanyak 30 orang. Menurut Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah cukup untuk segera mengambil putusan dan sidang berikutnya bisa vonis gitu. Tetapi tadi Pemohon masih minta untuk mengajukan ahli lagi agar sidang berikutnya dibuka. Apakah masih tetap pada permohonan seperti itu atau cukup? 143. PEMOHON: HENDRAYANA Betul, Yang Mulia. Kami meminta waktu untuk (…) 144. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Untuk sidang lagi? 59
145. PEMOHON: HENDRAYANA Sebenarnya kami itu ada … masih ada 5 ahli lagi, Yang Mulia, yang didaftarkan ke Panitera itu, kalau memang di … kalau memang diperlukan, Yang Mulia (…) 146. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya, baik. Ada Alwi Dahlan, Ikhlasul Amal, Juwono Sudarsono, Saldi Isra, Paulus Widianto, Ahli Yanuar … Yanuar Rizky. Yang pemerintah ini ada Assegaf, Morissan, sudah, Eri Firmansyah, Nindyo, (suara tidak terdengar jelas) Rifai, Mudzakkir, sudah, Felix Subagyo, Erman Rajagukguk, sudah. Kemudian dari Pihak Terkait, Pak Erman, Pak Erman ini sekaligus mewakili Terkait sekaligus Pemerintah, lalu Morissan juga. Kemudian dari Mahkamah Konstitusi Pak Effendi Gazali, Bambang Kesowo, sudah semua ya, dengan Piliang, Iwan Piliang. Nah baik, Saudara masih minta sidang lagi? Baik. Pemerintah juga, ini ada yang belum, apakah mau … masih mau dihadirkan namanama yang belum hadir? 147. PEMERINTAH: BUDI PRIYONO Saya kira cukup, Pak. 148. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup. Terkait? 149. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: YANUAR Cukup, Yang Mulia. 150. KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup. Baik. Meskipun … jadi, sidang berikutnya tetap akan dibuka pada Kamis, tanggal 5 April 2012, jam 11.00 WIB untuk mendengar keterangan dari Pemohon, tetapi juga kalau ada yang sangat penting, bisa sebelum tanggal 1 April itu sudah didaftarkan nama yang akan dihadirkan ke Mahkamah. Kalau tanggal 1 April tidak didaftarkan, nanti diprioritaskan khusus saksi maupun ahli yang akan dihadirkan oleh Pemohon. Sidang hari ini ditutup (…) KETUK PALU 3X 60
151. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: YANUAR P. WISESA Yang Mulia, maaf. SIDANG DITUTUP PUKUL 13.59 WIB
Jakarta, 13 Maret 2012 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d. Paiyo NIP. 19601210 198502 100 1
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
61