NOTA DINAS No. 701 /TU.210/I/9/2011 Yth.
: Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian
Dari
: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Hal
: Tinjauan Kritis Legislasi Pertanian
Tanggal
: 19 September 2011
Bersama ini saya sampaikan bahwa berdasarkan inventarisasi awal yang dilakukan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), ditemukan bahwa beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan pembangunan pertanian belum sepenuhnya dapat diterapkan sebagaimana mestinya, karena berbagai alasan. Selain itu dari hasil analisis sementara terlihat belum semua aspek dari hal-hal yang mestinya diatur melalui peraturan dan perundangan, tercakup dalam peraturan perundangan yang ada. Dari hasil penelaahan awal tersebut dapat kami laporkan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlu adanya peninjauan yang menyeluruh terhadap berbagai produk peraturan perundangan yang ada secara sistematis, terutama yang sejalan dengan 4 (empat) target sukses Kementerian Pertanian. Sebagai langkah awal saya sampaikan tinjauan yang dilakukan terkait dengan upaya pencapaian target swasembada dan swasembada berkelanjutan. 2. Tinjauan awal ini berkaitan dengan kebijakan penyediaan lahan pertanian, upaya peningkatan produktivitas (perbenihan, perlindungan varietas tanaman, pedoman perizinan usaha budidaya tanaman), sistem penyuluhan, kebijakan harga, kebijakan tentang karantina, serta kebijakan yang terkait dengan Perencanaan Pembangunan Pertanian Jangka Menengah/Panjang. 3. Pembahasan dan hal-hal yang dikritisi difokuskan pada pokok-pokok yang diatur dalam peraturan yang ada, fakta dan permasalahan serta usulan penyempurnaan yang diajukan. Bila hasil penelaahan ini dikomunikasikan dengan berbagai pihak terkait di lingkup Kementerian Pertanian dan Sektor terkait lainnya, akan didapat suatu masukan yang lebih komprehensif bagi produk legislasi yang terkait dengan pembangunan pertanian ke depan. Demikian laporan hasil penelaahan terhadap berbagai produk hukum yang terkait dengan pembangunan pertanian yang dilakukan oleh PSEKP. Atas perhatian dan kerjasamanya, disampaikan terima kasih.
Kepala Badan,
Dr. Ir. Haryono, MSc.
DUKUNGAN LEGISLASI UNTUK MENGAKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN FOKUS : PENCAPAIAN TARGET SWASEMBADA DAN SWASEMBADA BERKELANJUTAN TUJUAN: 1.
Tinjauan kritis
terhadap legislasi yang telah ada terkait dengan upaya pencapaian target
swasembada dan swasembada berkelanjutan; 2.
Rekomendasi
yang dibutuhkan untuk mengakselerasi pencapaian target swasembada dan
swasembada berkelanjutan; 3.
Mendorong komitmen semua stakeholder terhadap kebijakan dan implementasi regulasi yang telah di ‘undang’ kan.
KONTEKS YANG DIDALAMI: 1. Kebijakan yang terkait dengan Penyediaan lahan pertanian; 2. Kebijakan yang terkait dengan Peningkatan Produktivitas (perbenihan, perlindungan varietas tanaman, pedoman perizinan usaha budidaya tanaman); 3. Kebijakan yang terkait dengan Sistem Penyuluhan; 4. Kebijakan Harga; 5. Kebijakan tentang Karantina; 6. Kebijakan yang terkait dengan Perencanaan Pembangunan Pertanian Jangka Menengah/ Panjang dan Master Plan; I.
KEBIJAKAN YANG TERKAIT DENGAN PENYEDIAAN LAHAN PERTANIAN
Dasar Aturan/Perundangan yang dikaji : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pokok-pokok yang diatur dalam Perundangan di atas: 1. Undang-undang ditetapkan sebagai upaya untuk menekan laju alih fungsi lahan pada
kawasan pertanian.
2. Sifat undang-undang ini adalah berusaha memberikan insentif kepada petani yang berusaha
mempertahankan lahannya sebagai areal pertanian pangan. 3. Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang mekanisme alih fungsi lahan kalau itu terpaksa
dilakukan. Fakta dan Permasalahan: 1. Dalam PP no 1 tahun 2011 yang merupakan implementasi dari UU no 41 tahun 2009, dalam pasal 22 dari PP 1/2011 tentang criteria dan persyaratan lahan yang ditetapkan sebgai lahan pertanian berkelanjutan dinilai masih bersifat multi tafsir bagi daerah sehingga membuka peluang bagi daerah untuk menetapkan luasan areal yang lebih kecil dari yang semestinya. Pada era Otonomi Daerah ada kecenderungan daerah untuk menghasilkan PAD sebesar-besarnya sehingga lebih memprioritaskan sektor industri dan mengorbankan pertanian. 2. Inti undang-undang ini adalah lebih kearah pemberian insentif kepada petani yang mempertahankan lahannya untuk usaha budidaya tanaman pangan. Agar efektif perlu diterbitkan PP yang mengatur tentang insentif tersebut. 3. Hal pokok yang belum diatur dalam undang-undang ini adalah tentang pemetaan lokasi lahan pertanian yang dilindungi beserta klasifikasinya (sama sekali tidak boleh dikonversi, boleh dikonversi dalam jangka menengah dan panjang) dan data dukung yang diperlukan untuk menetapkan jumlah minimum luas areal pertanian pangan di daerah yang bersangkutan. Penyempurnaan yang Diperlukan 1. Adanya tata aturan yang komprehensif tentang kewajiban pemerintah daerah untuk
memetakan areal pertaniannya (luasan dan lokasi rinci) terutama pada areal pertanian yang diusahakan untuk tanaman pangan yang dibutuhkan bagi wilayah yang bersangkutan. Dalam konteks ini harus sinkron dengan RT RW dan telah memperhitungkan dinamika soseial ekonomi jangka panjang. Sebagai contoh misalnya, perlunya pemetaan lahan pertanian yang bisa dijadikan buffer untuk konversi (secara teknis social dan ekonomi dalam jangka menengah/panjang tidak mungkin dapat dicegah untuk konversi). 2. Selain itu juga perlu ada ketentuan batas minimum areal pertanian pangan perpenduduk
yang perlu tersedia di suatu wilayah, yang mengharuskan pemerintah daerah untuk melakukan pencetakan areal pertanian baru secara partisipatif bila areal pertaniannya masih
kurang, dan kewajiban pemerintah daerah mempertahankan areal pertanian yang ada saat ini. 3. Perlu ada tata aturan yang lebih jelas tentang alih fungsi lahan terlantar menjadi lahan
pertanian. Hal lain yang belum tersentuh adalah ketentuan mengenai alih fungsi lahan terlantar menjadi lahan pertanian, terutama yang berasal dari areal kehutanan.
II. KEBIJAKAN YANG TERKAIT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS 1. PERBENIHAN Dasar Aturan/Perundangan : a.
Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;
b. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; c.
Keputusan Presiden No.72 Tahun 1971 tentang Pembinaan Pengawasan Pemasaran dan Sertifikasi Benih;
d. Peraturan Pemerintah No. 44/1995 tentang Perbenihan; e. PP 13/2004 tentang penggunaan varietas asal untuk pembuatan varietas turunan esensial f.
PP 14/2004 tentang syarat dan tatacara pengalihan pembuatan varietas turunan dan penggunaan yang dilindungi oleh pemerintah.
Pokok-pokok yang diatur dalam Perundangan di atas 1. Mensyaratkan bahwa seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan dan menjual jenis/varietas tertentu. 2.
Bila orang lain ingin memanfaatkan atau pun menjual jenis/varietas yang sama, mereka harus membayar kepada pemilik hak paten.
Fakta dan Permasalahan: 1. Program perbenihan umumnya baru produksi yang
terbatas, dan
memperhatikan sektor formal dengan
cakupan
hanya menangani beberapa varietas yang telah
menunjukkan permintaan tinggi. 2. Hanya perusahaan yang mempunyai akses untuk memperoleh paten, sedangkan petani pada umumnya tidak akses terhadap hak paten. 3. Industri benih perlu dilakukan secara komersial agar mampu memberi insentif finansial bagi pelakunya dan menjadi mesin penggerak untuk produksi dan distribusi dalam skala besar.
Namun sektor perbenihan informal yang menyediakan benih baru dari penangkar atau petani tidak boleh diabaikan karena sector ini mensuplai 60 persen benih yang digunakan petani. Sebagian besar benih yang digunakan petani berasal dari sektor informal, yaitu berupa gabah yang disisihkan dari sebagian hasil panen musim sebelumnya. 4. Di sisi lain, pada masyarakat lokal, inovasi benih banyak yang sudah dilakukan secara turun temurun sehingga
pengetahuan tentang perbenihan
pada
kelompok masyarakat local
tersebut menjadi milik bersama. 5. Inovasi yang menjadi milik kelompok seperti tersebut sulit untuk diakui karena berdasarkan UU benih, semua didorong untuk berbadan hukum. 6. UU perbenihan belum memberikan ruang lebih banyak untuk mendorong kreativitas inovasi teknologi karena terkendala oleh administrasi hak paten, badan hukum, dsb. Penyempurnaan yang Diperlukan 1. Berdasarkan kondisi obyektif tentang perkembangan industri perbenihan disarankan adanya ayat-ayat yang lebih rinci dan terukur untuk mengantisipasi perkembangan industry perbenihan perusahan multinasional (khususnya yang terkait dengan GMO). 2. Aturan Perbenihan yang mengatur tentang kewenangan hak cipta /inovasi teknologi perbenihan oleh petani yang tidak dipatenkan, termasuk oleh kelompok masyarakat lokal yang telah ada secara turun temurun.
Tujuan aturan ini adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap petani dan kelompok masyarakat lokal yang belum akses terhadap hak paten. 2.
PEDOMAN PERIZINAN USAHA BUDIDAYA TANAMAN PANGAN
Dasar Aturan/Perundangan: 1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 39/Permentan/Ot.140/6/2010 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan. 2. Permentan 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan. Pokok-pokok yang diatur dalam Perundangan di atas 1. Pemberian pelayanan perizinan, dan pelaku usaha yang akan melakukan usaha budidaya tanaman pangan skala usaha tertentu, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan, pemberdayaan petani skala luas, petani kecil dan petani kecil berlahan sempit, kepastian usaha tanaman pangan dalam mendukung ketahanan pangan.
2. Ruang lingkup Peraturan ini meliputi: (a). jenis dan perizinan usaha budidaya tanaman pangan; (b). persyaratan dan tata cara permohonan izin usaha budidaya tanaman pangan; (c). kemitraan; (d). pengembangan usaha; (e). pembinaan dan pengawasan; (f). peran serta masyarakat; dan (g). sanksi administratif. Penyempurnaan yang Diperlukan Perijinan sebaiknya mengacu pada tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Akan didalami lebih lanjut. 3.
KEBIJAKAN YANG TERKAIT DENGAN SISTEM PENYULUHAN
Dasar Aturan/Perundangan yang Mendukung : 1. UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2009 tentang Pembiayaan, Pembinaan dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 3. Peraturan Menteri Pertanian nomor 273 /Kpts/OT.160/4/2007, tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. 4. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
PER/02/MENPAN/2/2008
tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. 5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang Pedoman Pembinaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Swasta. 6. Peraturan Menteri Pertanian nomor 165 /Kpts/OT.160/12/2008, tentang Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional. 7. Peraturan Menteri Pertanian nomor 25/Permentan/OT.140/ 5/2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian. 8. Peraturan Menteri Pertanian nomor
42/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Metode
Penyuluhan Pertanian. 9. Peraturan Menteri Pertanian nomor 49/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Kebijakan dan Strategi Penyuluhan Pertanian. 10. Peraturan Menteri Pertanian nomor 51/Permentan/OT.140/12/2009 tentang Pedoman Standar Minimal dan Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Penyuluhan Pertanian. 11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Permentan/OT.140/ 1/2008 tentang Pedoman Pembinaan THL-TBPP.
Pokok-pokok yang diatur dalam Perundangan di atas 1. Pemerintah menyelenggarakan penyuluhan budidaya tanaman serta mendorong dan membina peranserta masyarakat untuk melakukan kegiatan penyuluhan dimaksud. 2. Pemerintah
berkewajiban
memberikan
pelayanan
informasi
yang
mendukung
pengembangan budidaya tanaman serta mendorong dan membina peranserta masyarakat dalam pemberian pelayanan tersebut. 3. UU ini merupakan satu titik awal dalam pemberdayaan para petani melalui peningkatan sumberdaya manusia dan kelembagaan para penyuluh pertanian. Fakta dan Permasalahan: 1. Banyak daerah yang kemudian mengurangi peranan kelembagaan penyuluhan pertanian menjadi sekedar sebagai lembaga teknis. 2. Pemerintah daerah kurang mendukung alokasi anggaran dan peningkatan SDM bidang penyuluh pertanian. 3.
Pasal 6 UU No. 16 tahun 2006, dimana: a. Petani
memiliki
kebebasan
untuk
menentukaii
pilihan
jenis
tanaman
dan
perribudidayaannya. b. Dalam menerapkan kebebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petani berkewajiban berperanserta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. c. Apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu. Aturan ini secara tidak langsung menyebabkan kurang efektifnya kegiatan penyuluhan pertanian, karena saran-saran dari penyuluh tidak memiliki daya penekan. 4. Pasal 26 ayat 4 UU 16 tahun 2006 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme kerja dan metode penyuluhan ditetapkan dengan peraturan menteri, gubernur, atau bupati/walikota. Masalahnya adalah beragamnya respon daerah dalam menindaklanjuti hal ini, dimana di beberapa daerah dinilai kurang kondusif. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan, pembinaan dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Penyempurnaan yang Diperlukan 1. Alokasi anggaran yang memadai untuk pemenuhan sarana dan prasarana serta opersional penyuluhan pertanian. Point ini dapat dijadikan dalam klausul pada aturan pada UU tentang Pemerintahan Daerah. 2. Peningkatan jumlah dan kapasitas sumber daya manusia untuk penyuluhan. Rangkap tugas penyuluh untuk kegiatan adminisitrasi seharusnya dihindari, sehingga efektifitas kegiatan menjadi lebih optimal. 3. Pemberian tekanan yang lebih kuat kepada pemerintah daerah, bahkan berupa sanksi, agar memiliki tanggung jawab dalam
pembangunan kelembagaan dan operasionalisasi
penyuluhan pertanian di wilayahnya. 4. Revisi berbagai kebijakan yang kurang kondusif untuk pelaksanaan penyuluhan pertanian di era demokratis dan pasar terbuka saat ini. 5. Peraturan Perundangan yang mengatur masalah tugas pokok dan fungsi masing-masing serta pengelolaan dari kelembagaan penyuluh tersebut. 6. Diperlukan SK Mentan atau Mendagri tentang tanggung jawab Pemda dalam pembinaan para penyuluh. 4. KEBIJAKAN HARGA BERAS Dasar Aturan/Perundangan yang Mendukung a. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009; b. Inpres No. 9/2001; c.
Inpres No. 13 tahun 2005;
d. Inpres No. 3 tahun 2007
Pokok-pokok yang diatur dalam Perundangan di atas Melaksanakan kebijakan pembelian gabah/beras dalam negeri dan pelaksanaannya secara nasional oleh Perum Bulog Fakta dan Permasalahan: Pemerintah sampai saat ini menetapkan
HPP dengan
kualitas tunggal, yaitu beras kualitas
medium. Kebijakan tersebut kurang memberikan insentif untuk perbaikan kualitas gabah/beras melalui pengembangan berbagai inovasi teknologi. Kebijakan tersebut kurang kondusif untuk mendorong perbaikan rendemen gabah. Hal ini terlihat dari rendemen giling gabah di Indonesia
(62,7%) yang jauh tertinggal dibandingkan dengan rendemen giling gabah di beberapa negara produsen padi di Asia, seperti China 70%, Thailand 69,1%, dan India, Bangladesh, dan Vietnam masing-masing 66,6%.
Penyempurnaan yang Diperlukan 1. Kebijakan harga perlu diubah dari kualitas tunggal atau medium ke multi-kualitas atau kualitas super dan premium, sehingga tercipta insentif untuk mendorong perbaikan kualitas gabah/ beras. 2. Penerapan kebijakan harga multikualitas perlu mempertimbangkan beberapa kreteria sebagai berikut: a. membuat kebijakan perberasan yang elastis, dalam arti tidak hanya menetapkan
Perbedaan kualitas beras menurut butir patah, yaitu beras patah 5% atau 25%, tanpa butir menir; b. Perbedaan musim panen, yaitu musim hujan atau musim kemarau; dan c.
Perbedaan varietas, yaitu varietas unggul atau varietas lokal/aromatik. Tingkat HPP untuk beras dengan butir patah 5%, dipanen pada musim kemarau, dan dari varietas lokal/aromatik ditetapkan lebih tinggi dibandingkan dengan beras berkualitas medium.
3. Pemerintah perlu HPP berdasarkan standar dan harga yang ditetapkan namun juga perlu menetapkan harga pembelian gabah/beras milik petani yang kualitasnya di bawah standar berdasarkan tabel rafaksi. 4. Penetapan HPP perlu selalu disesuaikan dengan perkembangan harga input dan output (inflasi). 5. Terkait dengan perubahan iklim, maka ketidakpastian produksi dan harga pangan meningkat. Antisipasi terhadap permasalahan ini membutuhkan waktu yang cepat. Terkait dengan itu, aturan perubahan terhadap UU dan PP yang sudah ada untuk mengatasi masalah yang sifatnya darurat perlu disertakan dalam UU tersebut.
5. KEBIJAKAN TENTANG KARANTINA
Dasar Aturan/ Perundangan yang Mendukung 1. Permentan No 64/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran karkas, Daging dan Jeroan dari Luar Negeri; 2. Permentan Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007 tentang Perubahan Peraturan Mentan Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, daging, dan Jeroan dari Luar Negeri 3. Permentan Nomor 61/Permentan/OT.140./8/2007 tentang Perubahan Peraturan Mentan Nomor
64/Permentan/OT.140/12/2006
Juncto
Permentan
Nomor
27/Permentan/
OT.140/3/2007 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, daging, dan Jeroan dari Luar Negeri Pokok-pokok yang diatur dalam Perundangan di atas 1. Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan dari Luar Negeri. Karkas, daging, dan/atau jeroan tersebut berasal dari ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba), babi, unggas dan produk olahannya. 2. UU 18/2009 antara lain menguraikan aturan tentang penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan yang berasaskan manfaat, berkelanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan dan keprofesionalan (pasal 1, pasal 2 dan pasal 3 hurf b. UU yang sama pada pasal 34 (4) disebutkan pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan dari luar negeri dilakukan apabila produk dan pasokan hewan atau ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Pasal 59 (4) pemasukan dari luar negeri ke dalam negeri mengutamakan kepentingan nasional. 3. UU 7/1996 pasal 2 menyebutkan pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberi manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Fakta dan Permasalahan: Dari uraian pada UU No 18/2009 dan UU No 7/1996, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan dari luar negeri adalah selisih antara kebutuhan konsumsi dalam negeri dengan produksi dalam negeri. Ini berarti perhitungan selisih tersebut menjadi dasar
besaran volume pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan. Kebutuhan tersebut dibatasi hanya untuk konsumsi masyarakat, tidak disebutkan untuk kegiatan industri yang digunakan untuk diekspor.
Penyempurnaan yang Diperlukan a. -
Penyempurnaan Pasal demi Pasal Pasal 1:
Definisi 1: sebaiknya dalam definisi karkas juga disebut tidak termasuk buntut. Sehingga terkait dengan definisi daging dan daging variasi pada Lampiran 1, sebenarnya buntut tidak dapat dimasukkan dalam kelompok daging (variasi). Definisi 4:
pada definisi daging tidak ada istilihal halal, sedangkan yang lain ada. Mungkin
maksudnya daging secraa umum termasuk daging babi. Oleh karena itu sebaiknya definisi daging babi dan daging lainnya (ruminasia besar, ruminansia kecil, unggas, dll) dipisahkan menjadi daging ruminansia, daging babi dan daging lainnya. Definisi 7: Disini dijelaskan juga bahwa daging adalah bagian dari otot skeletal karkas. Artinya daging berasal dari otot tertentu yang ada pada karkas. Pada bagian sapi ada juga otot yang terdapat di jantung, ekor, kepala, dll. Oleh karena itu pengelompokan buntuk/oxtail, lidah/tongue dan kaki/feet menjadi daging variasi menjadi sumir. Sebaiknya istilah daging variasi diganti dengan tidak menyertakan kata “daging”. Karena jika ada kata daging bisa sulit mengelompokkan dalam HS Number. Disarankan masuk kelompok sesuai dengan HS Number yang berlaku standar international. Definisi 10: Jeroan isi rongga perut:
yaitu usus, perutan dan ginjal serta romgga dada: yaitu
jantung, paru, limpa, hati. Jadi isi rongga tersebut dijelaskan, sehingga menjadi jelas kalau usus dan perut tidak masuk dalam kelompok ini. Definisi 31: Unit Usaha Pemasukan ada kata terus menerus, Berati yang bersifat insidentil tidak diakui. Dengan demikian pemberian izin pemasukan (SPP) hanya diberikan pada unit usaha yang melakukan usaha secara terus menerus dan sebaiknya terdaftar secara khusus sebagai importir karkas, daging dan jeroan seperti definisi Permentan ini. Definisi 35: agar menjadi lebih jelas sebaiknya pada akhir uraian ditambah: yang dibuat negara produsen bukan label re labeling yang mungkin terjadi saat transit di negara lain. Kasus yang ditemui di perbatasan Kalimantan Barat dan Timur dengan Malaysia Barat, diduga ada daging sapi
India yang masuk Indonesia via Malaysia, di repacking dan re labeling sehingga seakan-akan bukan dari negara India.
Pasal 2: Tujuan peraturan ini tertuang dalam Pasal 2 (2) yaitu untuk mencegah masuknya HPHK (hama dan penyakit hewan karantina) dan/atau PHMU, mempertahankan status Indonesia sebagai negara bebas HPHK dan/atau PHMU (penyakit hewan menular utama), memberikan perlindungan kesehatan, serta menjamin ketenteraman bathin masyarakat dalam mengkonsumsi karkas, daging, dan/atau jeroan. Pada kalimat terakhir ini sebaiknya dilengkapi dengan kata-kata yang berasal dari luar negeri. Pasal 34: Tindakan karantina hewan dapat berupa pemeriksaan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan/atau pembebasan. Sebaiknya dijelaskan tindakan perlakuan yang diberikan baik pada hewan maupun produk hewan. Pasal 37 (2) huruf b: Kata-kata: tidak diketemukan adanya gejala HPHK ..... seperti meragukan, bukankan seharusnya diketemukan adanya gejala HPHK....... Pasal 38 (1) huruf a: Kata-kata: tempat pemasukan tertular HPHK ..... tidak jelas maknanya. Mungkin ada kata yang kurang. b. Penyempurnaan Umum i.
Karena UU ini adalah payung hukum permentan, maka pada permentan 20/2009 sebaiknya pada awalnya disebutkan bahwa pemasukan hewan atau ternak dan produknya dari luar negeri dengan memperhatikan kepentingan nasional, kemandirian pangan, dan memenuhi kekurangan berdasarkan perhitungan konsumsi dan produksi dalam negeri.
ii.
Permentan 20/2009 sebaiknya pada awalnya disebutkan bahwa pemasukan hewan atau ternak dan produknya dari luar negeri dengan memperhatikan kepentingan nasional, kemandirian pangan, dan memenuhi kekurangan berdasarkan perhitungan konsumsi dan produksi dalam negeri.
iii.
Pasal 35 dan 36 yang menjelaskan fungsi instalasi karantina, pada kenyataannya banyak produk karkas, daging, dan/atau jeroan masuk ke instalasi karantina bukan milik pemerintah, tetapi dikenal dengan IKHS (instalasi karantina hewan sementara) milik pemngusaha. Kondisi ini tentu mempengaruhi keputusan petugas karantina dan menyulitkan pengendalian. Oleh sebab itu, sebaiknya instalasi karantina dilengkapi fasilitasnya.
iv. Bagaimana mekanisme yang baik agar peredaran daging ke daerah dapat diregristasi oleh
Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota belum dijelaskan. Oleh karena itu izin peredaran yang diberikan oleh Ditjennakeswan sebaiknya ditembuskan kepada Dinas Peternakan daerah yang bersangkutan: Pasal 41 (1) kata kunci regristasi v.
Tim Pengawasan Peredaran daging dan jeroan impor Provinsi dan Kabupaten/Kota diintensifkan dengan melakukan pengawasan secara berkala dan insidental serta dilakukan penguatan fasilitas laboratorium agar standar ASUH dapat diterapkan: Pasal 41 ayat (2) dan (3) kata kunci pengawasan peredaran
vi. Pada awalnya penggunaan daging impor terbatas untuk restoran dan hotel berbintang.
Secara tersirat pada permentan ini daging impor dapat dipasarkan di pasar eceran (wetmarket dan supermarket): Pasal 41 (1) kata kunci pengecer. Perlu ditinjau kembali. vii. Lampiran 1 sebaiknya menggunakan istilah baku administrasi perdagangan dunia yang
merujuk ke HS Number. Istilah daging industri dapat bias bahwa seakan-akan daging impor kelompok ini digunakan hanya untuk bahan baku industri. Padahal kenyataannya banyak juga masuk ke pasar eceran (wetmarket dan supermarket). Demikian juga istilah daging variasi dapat bias seakan-akan kelompok ini bagian dari daging padahal tidak. Oleh karena itu istilah daging variasi diganti dengan istilah sesuai HS Number.
6.
KEBIJAKAN YANG TERKAIT DENGAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA MENENGAH/PANJANG Dasar Aturan/Perundangan yang Mendukung a.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2007, tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025.
b.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014.
c.
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
Pokok-pokok yang diatur dalam Perundangan di atas a. Perpres nomor 5 yang terkait dengan pembangunan pertanian dominan pada upaya pemenuhan
kebutuhan pangan dalam negeri, dengan target pertumbuhan produksi per komoditi, serta ekspor komoditi pertanian. b. Sangat terbatas dibahas esensi pembangunan pertanian yang terkait dengan kondisi petani dan
akses mereka terhadap sumberdaya, utamanya lahan. c.
Pertanian hanya dilihat pada beberapa komoditi penting seperti sawit, karet dan kakao. Sementara pengembangan pangan hanya di fokuskan pada koridor Sulawesi, Maluku dan Papua melalui peningkatan indeks pertanaman serta peningkatan luas areal tanam/panen melalui pencetakan areal pertanian baru dan program khusus seperti MIFEE.
Fakta dan Permasalahan: a.
Dari semua aturan yang ada belum dengan baik merumuskan arah dan sasaran pembangunan pertanian dalam jangka panjang, terutama yang terkait dengan tingkat kesejahteraan petani dan akses terhadap sumberdaya, utamanya lahan.
b.
Selain itu belum begitu terlihat bagaimana keterkaitan pembangunan pertanian dengan pembangunan
sektor
lainnya.
Dalam
berbagai
kesempatan
Menteri
Pertanian
menyampaikan perlunya dukungan sektor lain terhadap pembangunan pertanian, karena pertanian hanya bisa menangani sekitar 20% dari masalah yang ada dan sisanya memerlukan dukungan pihak lain. c.
Belum diuaraikan secara jelas keterkaitan antara kegiatan pertanian skala kecil dengan pengembangan kegiatan ekonomi utama
Penyempurnaan yang Diperlukan a. Adanya tata aturan yang komprehensif tentang target yang ingin dicapai dalam jangka panjang,
dalam bentuk Grand Strategy Sistem Pembangunan Jangka Panjang Pertanian Terpadu. Dokumen ini diharapkan akan menjadi basis kesepakatan Nasional tentang arah, sasaran dan tujuan pembangunan ke depan. Dokumen ini dapat berupa suatu undang-undang, yang tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pelaksanaan pembangunan pertanian nasional. b. Grand Strategy Sistem Pembangunan Jangka Panjang Pertanian Terpadu tersebut bukanlah
suatu rencana pembangunan Kementerian Pertanian, tetapi rencana pembangunan pertanian ke
depan, dimana ruang lingkup dan tujuannya tidak saja terkait dengan apa-apa yang akan dilaksanakan Kementerian Pertanian, tetapi juga mengait dengan sektor di luar pertanian dan dukungan pihak terkait lainnya. Adanya kesepakatan bersama secara nasional tentang arah dan sasaran pembangunan pertanian ini, diharapkan akan menjadi acuan bersama semua pihak terkait dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pertanian ke depan.