PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSORCING BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011 SKRIPSI
OLEH :
NIKMATUR ROCHMAH
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2016
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSORCING BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011 SKRIPSI
OLEH :
NIKMATUR ROCHMAH NPM : 12120011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2016
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING BEDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 27/PUU-IX/2011 / SKRIPSI
OLEH : NIKMATUR ROCHMAH NPM :12120011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2016
i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING BEDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR. 27/PUU-IX/2011
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH : NIKMATUR ROCHMAH NPM : 12120011
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2016
ii
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING BEDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011
NAMA
: NIKMATUR ROCHMAH
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 12120011
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH PEMBIMBING
Andy Usmina Wijaya, SH.,MH.
iii
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai Gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya,19 Agustus 2016
Tim Penguji Skripsi :
1. Ketua
: Andy Usmina Wijaya.,SH.,MH
(………………………)
( Dekan )
2. Sekretaris : Andy Usmina Wijaya.,SH.,MH
(………………………)
( Pembimbing )
3. Anggota
:1. Taufiqurrahman, Dr. H. SH, M.Hum
(………………………)
( Dosen Penguji I )
2. Musa, SH.,MH
(……………………….)
( Dosen Penguji II )
iv
MOTTO :
“ORANG – ORANG HEBAT DIBIDANG APAPUN BUKAN BARU BEKERJA KARENA MEREKA TERINSPIRASI, NAMUN MEREKA MENJADI TERINSPIRASI KARENA MEREKA LEBIH SUKA BEKERJA.MEREKA TIDAK MENYIA – NYIAKAN WAKTU UNTUK MENUNGGU INSPIRASI ”
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmannirohim Assalammualaikum Wr. Wb Segala Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunianya kepada kita. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Tidak lupa shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasullah Nabi Muhammad Saw, Keluarga,sahabat, dan kita sebagai penulis hingga akhir zaman. Skripsi ini disajikan dengan maksud untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Wijaya Putra Surabaya. Disamping itu penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan motivasi dari berbagai pihak mungkin dapat menyelesaikannya. Untuk Itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih dengan setulus hati kepada : 1. Sekali lagi tak henti –hentinya saya panjatkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberkati saya dengan rahmat dan hidayah Nya sehingga ide penulis skripsi ini dapat terwujud. 2. Terima kasih pula saya tujukan kepada Bpk Andy Usmina S.H,.MH. Selaku Dekan Fakultas hukum Universitas Wijaya Putra dan selaku dosen pembimbing yang sangat begitu sabar memberikan pengarahan selama bimbingan dan tak segan bersikap sebagai sahabat dan sosok seorang bapak.
vi
3. Bapak H. Budi Endarto, S.H.,M.Hum selaku Rektor dan Dosen kami selama perkuliahan selalu memberikan motivasi dan pandangan terhadap persaingan dalam dunia bisnis. 4. Alm. Ibu Tri Wahyu Andayani S.H.,M.HUM selaku Dekan dan Dosen pengajar kami pada semester awal perkulihaan, beliau sangat berjasa atas ilmu yang diberikan kepada Mahasiswanya dan beliau juga dapat menjadi sahabat bagi Para Mahasiswa, 5. Ucapan terima kasih untuk Bapak dan ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan pada diri penulis. 6. Ucapan terima kasih yang terhingga atas segala usaha dan doa dari orang tua saya Bapak Nursalim dan Ibu Urifah . Saya ucapkan terima kasih atas dukungannya kepada anak dan suami saya ayah Candra Adi Setiawan dan Adek Kenzie Adyatama Ardhani dan kakak saya Ulfa Agustin 7. Terima kasih buat staff Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, Ibu Fifin yang selalu memberikan informasi yang up to date dan yang selalu sabar ya bu dalam mengahadapi mahasiswanya yang jail dan humoris . 8. Terima Kasih buat Bp. Muljono Anwar selaku Kepala Departement GA PT. STELL PIPE INDUSTRY OF INDONESIA. Tbk, dan sebagai atasan langsung saya yang sudah memberikan Dukungan dan besedia membatu untuk menyelesaikan skripsi. 9. Terima kasih buat rekan – rekan Hrd Somplak “ Mami Nugranigrum, Om Xut, Pak kasih Eric, Om sinyow Dana,Macan Hepy, Om Bagus, dan My Tibel Wulan yang sudah memberikan dukungan saya untuk menjadi seorang Sarjana Hukum.
vii
10. Terima kasih buat sahabat Airin(iin) yang sudah memberikan semangatnya kepada saya dan menjadi My fussy semoga kita selalu bersama. Akhir kata, seperti kata pepatah kesempurnaan manusia itu hanya dimiliki yang Maha sempurna, untuk itu penulis mohon maaf apabila terucap kata-kata yang tidak berkenan baik yang disengaja maupun tidak di sengaja, dan saya berharap skripsi ini bermanfaat serta dapat memperluas wawasan bidang hukum bagi para mahasiswa yang tertarik dengan pokok bahasan skripsi ini.
Wasalamualiakum Wr. Wb Surabaya, 19 Agustus 2016
Nikmatur Rochmah
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... i HALAMAN PENGAJUAN .......................................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii HALAMAN PENGUJIAN ............................................................................................ iv HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN............................................................ v KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 4 1.3 Penjelasan Judul ................................................................................................ 4 1.4 Alasan Pemilihan Judul ..................................................................................... 5 1.5 Manfaat Penelitian............................................................................................. 6 1.6 Tujuan Penelitian............................................................................................... 7 1.7 Metode Penelitian.............................................................................................. 7 1.7.1 Tipe Penelitian............................................................................................... 7 1.7.2 Pendekatan Masalah ...................................................................................... 7 1.7.3 Sumber Bahan Hukum ................................................................................... 8 1.7.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengelolahan bahan hukum................................. 8 1.7.5 Analisa Data Hukum..................................................................................... 9
ix
1.8 Sistematika Penulisan...................................................................................... 9
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING BEDASARKAN KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA ...................................... 11 2.1 Outsourcing bedasarkan kitab undang – undang hukum perdata ....................... 11 2.2 Outsourcing bedasarkan undang – undang nomor 13 tahun 2012 ...................... 12 2.3 Outsourcing bedasarkan keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi nomor 101/men/vi/2004 tentang tata cara perizinan penyedia jasa pekerja ................... 22 2.4 Outsourcing bedasarkan keputusan mentri tenaga kerja dan transmigrasi nomor kep.220/men/x/2004 tentang syarat- syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan ........................................................................... 24
BAB III PENERAPAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011 ......... 25 3.1 Pengujian materiil,pertimbangan,dan putusan MK............................................ 25 3.2 Norma baru dan tindak lanjut putusan MK ....................................................... 36 3.3 Pelaksanaan outsourcing pasca putusan MK ..................................................... 38 3.4 Perlindungan hukum pekerja outsourcing pasca putusan MK dengan menetapkan prinsip pengalihan perlindungan...................................................................... 39 3.5 Prinsip pengalihan perlindungan yang dimuat dalam permenakertrans No.19 Tahun 2012 ................................................................................................................. 42
x
BAB IV PENUTUP ....................................................................................................... 47 4.1 Kesimpulan...................................................................................................... 47 4.2 Saran ............................................................................................................... 49 DAFTAR BACAAN ...................................................................................................... 50
xi
1
8BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha di Indonesia yang semakin bertumbuh banyak dan bersaing
ketat
membuat
pemilik
perusahaan-perusahaan
meningkatkan kualitas kinerja usahanya yang efektif
untuk
berusaha
dan efisien dengan
mempekerjakan pekerja/buruh semaksimal mungkin dengan jumlah tenaga kerja seminimal mungkin dengan dengan harapan pekerja/buruh dapat memberikan kontribusi dan keuntungan yang besar bagi peursahaan sesuai dengan sasaran perusahaan tempat mereka bekerja,salah satu cara yang berkembang saat ini yang banyak dilakukan oleh pengusaha yaitu fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business),sedangkan pekerja penunjangan bagi perusahaan diserahkan kepada pihak lain melalui perusahaan penyedia jasa. Proses kegiatan inilah yang dikenal dengan istilah Outsourcing. Dasar dari outsorcing yaitu pasal 64 undang undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaa pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerja atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis,dalam perkembangannya sistem ini sangat membantu perusahaan dalam meningkatkan kegiatan - kegiatan produksinya/gagasan awal berkembangnya outsourcing sebenarnya adalah untuk mambagi resiko usaha dalam berbagai masalah yang
2
belum diidentifikasi sebagai strategi bisnis. 1Outsourcing sebenarnya adalah sistem yang sudah diterima secara global di Negara- Negara lain, akan tetapi disebabkan kurangnya pengawasan pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan Outsourcing melenceng dari aturan semestinya, outsourcing dipakai perusahaan sebagai jalan keluar untuk mengurangi upah buruh, sehingga mengarah ke perbudakan modern.
2
Dalam memulai hubungan kerja antara pekerja Outsourcing
dengan perusahaan haruslah membuat suatu perjanjian kerja guna mengetahui kejelasan status dari pekerjaannya, hal seperti ini sangatlah bermanfaat bagi pekerja outsourcing agar untuk mengetahui hak dan kewajiban pekerjaannya. Keberadaan hukum ketenagakerjaan sangat strategis dan mendasar, hal
ini
terjadi karena muatan nya bukan hanya teknis semata, tetapi juga penuh dengan muatan sosial, ekonomi, dan politik yang juga berkaitan dengan masalah hak asasi manusia.3 Dalam kenyataannya ada beberapa kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini sehingga masalah outsourcing masih merupakan masalah yang perlu di selesaikan oleh pemerintah. Adapun usaha yang dilakukan serikat pekerja/buruh untuk mendapat perlindungan dan haknya yaitu melakukan demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah serta melakukan pemberitaan-pemberitaan di media cetak dan elektronik yang pada intinya serikat pekerja/buruh menuntut pemerintah untuk memperhatikan
1
Sehat Damanik, 2006, Outsorcing dan Perjanjian Kerja , DSS Publishings, Hal 2 .
2
http//www.Tempo.com, Sistem Outsorcing melenceng dari tujuan .
3
Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: Penerbit Mandar Maju, Hal 4.
3
nasib mereka dan juga menuntut kepada pemerintah agar menghentikan sistem outsourcing, dikarenakan sistem seperti ini hanya untuk merugikan pekerja dalam jenjang karir mereka karena tidak ada peningkatan jabatan dalam kerja dengan kata lain mereka akan menjadi budak selama mereka bekerja di perusahaan. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
No.27/PUU-IX/2011 yang menguji
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66. Dan pada tanggal 5 Januari 2012 Mahkamah Konstitusi telah diputuskan permohonan peninjauan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diajukan oleh Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran Listrik dimana lewat putusan Mahkamah Konstitusi mensyaratkan bahwa perjanjian kerja dan frasa ..” perjanjian kerja dengan waktu tertentu dalam pasal 66 ayat (2) huruf b UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh4. Outsourcing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menjamin mengenai hak atas pekerjaan dan 4
Vide.Putusan Mahkamah Konstitusi, No. 27/PUU-IX/Perihal Penguji Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945.
4
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja .
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan diatas , maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja
outsourcing berdasarkan
ketentuan hukum di Indonesia ? 2. Bagaimana penerapan perlindungan pekerja
outsourcing
pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011?
1.3 Penjelasan Judul Judul penulisan skripsi ini adalah “ Perlindungan hukum terhadap pekerja outsorsing bedasarkan putusan mahkamah konstitusi no 27 / PW – IX / 2011 “ maka saya akan menjelaskan dan menjabarkan judul sebagai berikut : Outsourcing
atau alih daya merupakan penyerahan pekerjaan tertentu suatu
perusahaan kepada pihak lain yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi resiko dan mengurangi beban perusahaan. Usaha bisnis seperti ini sebenarnya usaha yang saling menguntungkan para pihak, pada perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan
dengan
perusahaan
penerima
pemborongan
pekerjaan
serta
pekerja/buruh didalamnya. Karena semua mengenai outsourcing baik perusahaan outsourcing dan pekerja outsourcing sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun kurangnya pengetahuan hukum dari
5
pekerja/buruh dan kurangnya pengawasan dari pemerintah dan masih banyaknya hak-hak dari pekerja/buruh dirampas oleh perusahaan-perusahaan yang nakal, Sehingga diperlukan perlindungan hukum dari pemerintah berupa pengawasan dan tindakan yang tegas kepada perusahaan-perusahaan yang merampas hak-hak dari pekerja/buruh. Hal ini berguna untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi pekerja/buruh dalam melaksanakan tugas tanggung jawabnya, baik di pekerjaan maupun dalam keluarga pekerja/buruh. Sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara pekerja/buruh, perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan.
1.4 Alasan Pemilihan judul Bedasarkan uraian latar belakang diatas maka ada beberapa alasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
PEKERJA
OUTSOURCING
BEDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO 27 /PW – IX / 2011 “ Alasan – alasan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Di Indonesia masih banyaknya terjadi demontrasi mengenai pekerja outsorcing . 2. Masih kurangnya pengawasan pemerintah membuat banyak perusahaan menerapkan outsourcing melenceng dari aturan . 3. Dengan bedasarkan putusan mahkamah no 27 / PW – IX / 2011 yang melegalkan outsourcing sehingga para pekerja outsourcing mendapatkan perlindungan dan hak – hak yang terjamin .
6
1.5 Tujuan Penulisan Bedasarkan uraian perumusan masalah diatas, adapun tujuan penulisan skripsi ini selain
untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar sarjana
hukum serta sebagai sarana untuk mengaplikasian keilmuan yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan di fakultas hukum universitas wijaya putra Surabaya khususnya tentang hukum ketenagakerjaan . Skripsi ini juga diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan tentang hukum ketenagakerjaan
khususnya tentang perlindungan hukum tenaga kerja
outsourcing bedasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 , serta memberi pengetahuan kepada masyarakat, tentang tenaga kerja kontrak (Outsourcing).
1.6 Manfaat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini manfaat penelitian yang di kaji dalam penulisan skripsi ini yaitu : 1. Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis yaitu merupakan suatu studi di Bidang Hukum Ketenagakerjaan di mana penulisan skripsi ini dapat memberikan gambaran lebih jelas tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja outsorcing bedasarkan undang-undang, dan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi penulis
berikutnya,
ketenagakerjaan.
serta
masyarakat
yang
khususnya
dalam
dunia
7
2. Manfaat Praktis Menambah pengetahuan mengenai tahapan-tahapan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan mengetahui secara langsung penerapan perlindungan pekerja outsourcing pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011.
1.7 Metode Penelitian Penulisan skripsi ini mengkaji tentang perlindungan hukum terhadap pekerja outsorcing yang masih banyak terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing.
1.7.1 Tujuan Penelitian Tipe penelitian skripsi ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu
penelitian yang menekankan pada hukum dan peraturan perundang – yang memiliki hubungan praktek kegiatan pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing.
1.7.2 Pendekatan Masalah Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian melalui pendekatan perundang – undangan yaitu penelitian yang dilakukan dengn cara menganalisa hukum dan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan praktek pelaksanaan perlindungan hukum pekerja outsourcing.
8
1.7.3 Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang yang digunakan dalam skripsi ini adalah bahan hukum primer yaitu peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam mewujudkan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing : a.
Kitab KUHPerdata
b.
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
c.
Kepmenkertrans KEP.100/MEN/VI/2004
d.
Kepmenakertrans KEP.101/MEN/VI/2004
e.
Kepmenakertrans KEP.220/MEN/X/2004
f.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011
Serta bahan hukum sekunder yang diperoleh dari kepustakaan yaitu berupa artikel – artikel dan karya tulis para sarjana yang berhubungan dan berkaitan dengan pekerja anak serta yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dapat mendukung menyusun skripsi ini.
1.7.4 Prosedur Pengumpulan Dan Pengelolaan Bahan Hukum Dalam pengumpulan bahan hukum diperoleh dengan menggunakan cara study kepustakaan yaitu dilakukan dengan mengumpulkan bahan – bahan hukum dan menganalisa literature – literature yang berhubungan dengan pokok bahassan skripsi ini. Sedangkan proses pengelolahan bahan hukum yaitu data – data disusun bedasarkan masalah yang yang dikemukakan tentang bentuk perlindungan hukum terhaap
pekerja
outsourcing
bedasarkan
putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor.27/PUU-IX/2011 dan penerapan perlindungan hukum pekerja outsourcing.
9
Kemudian dari hasil pengumpulan data – data yang diperoleh disusun secara sistematis dan berurutan sehingga dapat mendukung penulisan skripsi ini.
1.7.5
Analisa Data Hukum
Teknik analisa data hukum yang menggunakan adalah deskriptif analisa yaitu menggunakan Undang – Undang yang berlaku dan dari data – data yang diperoleh dari kepustakaan yang digunakan sebagai arahan untuk kemudian dipadukan dan dianalisa sehingga dapat ditarik kesimpulan secara menyeluruh.
1.8 Sistematika Pertanggung Jawaban Penulisan skripsi ini dibuat sebagaimana lazimnya suatu karya ilmiah sehingga dapat muda dipahami dandi mengerti . sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi empat bab dimana bab yang satu dengan yang lain saling berkaitan di antara lain Pada Bab I sebagai pendahuluan yang berisi secara garis besar permasalahan dan arah pemikiran yang akan kami bahas dalam penulisan skripsi ini. Dalam bab ini berisi mengenai uraian latar belakang dalam permasalahan yang di hadapi, penjelasan judul yang di maksud guna memberikan batasan dalam pembahasan, tujuan penulisan dan metode penulisan dan diakhiri dengan sistematika pertanggung jawaban. Pada Bab II dikemukakan pembahasan rumusan masalah yang pertama yaitu dalam hal ini akan dijabarkan menjadi Satu sub bab , dalam sub bab pertama akan
10
membahas tentang perlindungan hukum terhadap pekerja outsorsing bedasarkan undang –undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketengakerjaan . Pada Bab III menguraikan pembahasan dari rumusan masalahan yang kedua dalam bab ini dijabarkan menjadi Satu sub bab , dalam sub bab pertama akan membahas tentang implementasi perlindungan pekerja outsoursing pasca putusan mahkamah konstitusi nomor 27/PUU-IX/2011. Pada Bab IV adalah Bab penutupan dan skripsi ini merupakan kesimpulan saran dari pokok pokok masalah yang di bahas serta kesimpulan dalam bab II dan III.
11
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSORCING BEDASARKAN KETENTUAN HUKUM DI INDONESIA .
2.1. Outsourcing Bedasarkan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata . Outsourcing terdapat dalam Pasal 1601b KUHPerdata yang mengatur mengenai perjanjian – perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. “Perjanjian pemborongan pekerja adalah sebuah perjanjian dimana pihak yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak yang lainnya untuk diserahkan dalam suatu jangka waktu yang ditentukan dengan menerima suatu jumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan tersebut “ Beberapa prinsip yang berlaku dalam pemborongan pekerjaan bedasarkan KUHPerdata: a.
Dalam hal terjadi kesepakatan pemborongan pekerjaan dan pekerjaan telah dimulai dikerjakan,maka pihak yang memborongkan tidak bisa menghentikan pemborongan pekerjaan ,kecuali apabila bersedia menganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak lainnya.
b. Pemborongan pekerjaan berhenti, apabila si pemborong meninggal dunia, akan tetapi pihak yang memborongkan diwajibkan untuk membayar kepada ahli waris
12
si pemborong mengenai biaya pekerjaan yang telah dijanjikan dalam perjanjian,serta harga bahan – bahan bangunan yang telah disediakan. c. Pemborong bertanggung jawab terhadap perbuatan – perbuatan orang – orang yang telah dipekerjakan olehnya. Ketentuan pemborongan pekerjaan dalam KUHPerdata berbeda dengan ketentuan UUK. KUHPerdata tidak membatasi pekerjaan – pekerjaan mana yang dapat diborongkan/outsorce , selain itu pemborongan pekerjaan dalam KUHPerdata lebih maknai sebagai pemborongan bangunan, dalam UUK membatasi mengenai pekerjaan yang dapat diborongkan,yaitu bagian yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis utama perusahaan.5
2.2.
Outsourcing Bedasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Outsourcing merupakan
bisnis kemitraaan dengan tujuan memperoleh
keuntungan bersama6,salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing dengan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan7 dalam menjalankan kegiatannya perusahaan pemborong memiliki hubungan kerja dengan pekerja sedangkan hubungan antara perusahaan pengguna dan perusahaan pemborong hanya terkait dengan pekerjaan yang diborongkan8, secara garis besar terdapat dua jenis karyawan yaitu karyawan kontrak dan karyawan tetap,karyawan kontrak didasarkan pada pasal 59 undang 5
KUHPerdata.Op.Cit.
6
Lalu Husni, Op.Cit. Hal 188.
7
Ibid, Hal 188.
8
Much. Nurachmad , Op.Cit. Hal 13.
13
undang nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,dan keputusan menteri tenaga
kerja
dan
transmigrasi
KEP.
100/MEN/VI/2004
tentang
Ketentuan
Pelaksanaan Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT).9 Hubungan kerja yang terbentuk dalam penyerahan sebagian pelaksaan perkeja pada perusahaan (outsourcing) bedasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 , baik melalui pemborongan kerja maupun penyedia jasa pekerja / buruh dengan pekerja /buruh yang dipekerjakannya10. Dalam bidang manajemen pengertian outsourcing merupakan pendelegasian opersasi dan manajemen harian suatu proses bisnis pada pihak luar (perusahaan
penyedian
penyedia
jasa
outsoursing)
.Outsourcing
awalnya
merupakan istilah dalam dunia bisnis untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja suatu perusahaan dengan mendatangkan dari luar perusahaan11 ,perusahaan penyedia pekerja/buruh harus memenuhi syarat sebagai berikut : 12 a.
Adanya hubungan kerja pekerja /buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b.
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana yang dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 59 dan/atau
9
Redaksi RAS, Op. Cit. Hal 13.
10
M.Fauzi, 2006,Aspek Hukum Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain ( outsourcing) ,Risalah Hukum, Hal 89.
11
Lalu Husni,Op.Cit. Hal188.
12
Ibid, Hal 191.
14
perjanjian kerja waktu tidak tertantu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. c.
Perlindungan upah dan kesejahteraan,syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh dibuat secara tertulis wajib memuat pasal – pasal sebagaimana yang dimaksud dalam Undang – Undang No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Selain itu
bedasarkan
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Selain itu bedasarkan
Peraturan
101/MEN/VI/2004
Mentri
tentang
Tenaga
Kerja
cara
perizinan
tata
dan
Transmigrasi
perusahaan
No
KEP
penyedia
jasa
pekerja/buruh disebut bahwa apabila perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemebri pekerja,kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis sekurang – kurangnya memuat :13 a.
Jenis pekerja yang akan dilakukan perkeja/buruh dari perusahaan penyedia jasa.
b.
Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a,hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan antara perusahaan perusahaan
penyedia penyedia
jasa
dengan
jasa
pekerja/buruh
sehingga
yang
dipekerjakan
perlindungan,upah
dan
kesejahteraan,syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. c.
Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh
13
Ibid, Hal 191.
15
sebelum untuk jenis – jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja, dalam hal penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketengakerjaan tidak pernah ditemukan kata outsourcing secara langsung, namun Undang – Undang ini merupakan tonggak baru yang mengatur dan mendelegasi permasalahan outsourcing. Dalam Undang – Undang ini adalah perjanjian pemborongan pekerja atau penyedia jasa atau pekerja atau buruh. Dalam KUHPerdata seperti sebagaimana dijelaskan diatas bahwa ketentuan yang mengatur outsourcing terdapat dalam Pasal 64 sampai Pasal 66 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan14. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 64 disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pekerjaan pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh15, selanjutnya dalam pasal 65 disebutkan bahwa penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pengaturan lebih lanjut mengenai ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kep. 220/MEN/X/2004 tentang syarat – syarat penyerahan sebagian pelaksanaaan pekerjaan kepada perusahaan lain16, Pasal 66 disebutkan bahwa pekerjaan yang dapat dijadikan dalam perjanjian
14
N.L.M. Mahendrawati ,2009,Perjanjian Outsourcing, Dalam Kegiatan Bisnis, Kertha Wicaksana,Vol 15. No2: Hal151.
15
Lalu Husni,Op.Cit,Hal 189.
16
Much.Nurachmad , Loc.Cit.
16
outsourcing adalah pekerjaan – pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan
pokok
atau
produksi17,
proses
pengusaha
hanya
diperbolehkan
memperkerjakan pekerja/buruh dengan Perjanjian Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) dan/atau Perjanjian Waktu Yang Tidak Tertentu (PKWTT) yang dimaksud kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan diluar usaha pokok (core bussines) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut anatar lain: Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengamanan
(security),
usaha
jasa
penunjangan
di
pertambangan
dan
perminyakan, usaha penyedia angkutan pekerja/buruh. Pasal 66 ayat 2 huruf(c) di jelaskan
perlindungan
upah
dan
kesejahteran,
syarat-syarat
kerja
mapun
penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak yang sama sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, Syarat-Syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. 18
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ) . Secara
17
Bungasan Hutapea , 2010 , Perlindungan Hukum Menurut Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Outsourcing, Jurnal Penemuan Hukum APHI, No.3: Hal.297. 18
Anonimous, 2011, Ketenagakerjaan & Penyelesaian Perselisishan Hubungan Industrial, Jakarta, Penerbit: Indonesia, Legal, Center Publishing For Law and Justice Reform, Hal. 106-107.
17
normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian, namun masih banyak perusahaan – perusahaan yang tidak atau membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karna ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karna kelaziman , sehingga atas dasar kepercayaan perjanjian secara lisan19. Jangka waktu perjanjian dapat dibuat waktu tertentu bagi hubungan kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya dan waktu tidak tertentu bagi hubungan kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap, status pekerjanya adalah pekerja kontrak sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu disebut perjian kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja tetap20. Dan masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja, kesungguhan dan keahlian pekerja, lama masa percobaan adalah tiga bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa ijin dari pejabat yang berwenang) dalam ketentuan ini tidak dibolehkan melaksanakan percobaan kepada pekerja waktu tertentu karena perjanjian kerja berlaku relatif sangat singkat .21 Undang-Undang ketenagakerjaan dalam beberapa pasalnya terdapat hak fundamental pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul , mengeluarkan 19
Lalu Husni , Op. Cit, Hal.69.
20
Ibid, Hal.70.
21
Ibid, Hal. 70-71.
18
pikiran dengan lisan dan tulisan22 , maka agar suatu peraturan perundang-undangan berlaku secara efektif,maka secara substansial harus memperhatikan beberapa asas yaitu23 : 1.
Undang-Undang tidak boleh berlaku surut yang artinya Undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang - undang tersebut serta terjadi setelah undang –undang itu dinyatakan berlaku.
2.
Undang – Undang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superior derogat lex impriori) .
3.
Undang – Undang yang bersifat khusus yang mengesampingkan undang – undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generali) , apabila pembuatannya sama artinya
terhadap peristiwa – peristiwa khusus wajib
diberlakukan undang – undang yang menyebutkan peristiwa tersebut walaupun peristiwa khusus
tersebut dapat diberlakukan undang – undang yang
menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. 4.
Undang – Undang baru mengalahkan undang – undang lama ( lex posteriori derogat lex priori) artinya undang – undang lain yang lebih dahulu berlaku dan mengatur mengenai suatu hal tertentu tidak berlaku lagi apabila telah ada undang- undang yang baru yang berlaku belakangan dan mengatur hal tersebut akan tetapi makna dan tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang – undang yang lama tersebut.
5.
Undang- Undang tidak dapat diganggu gugat, artinya Undang- Undang hanya dapat dicabut dan atau oleh lembaga yang membuatnya . Di Indonesia Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk menguji secara materiil hanya dapat peraturan perundang – undangan dibawah undang – undang saja. Kewenangan tersebut mengandung makna bahwa mahkamah agung dapat
22
Agusmidah, 2011, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik , Medan, Penerbit: PT.Softmedia, Hal.95.
23
Lalu Husni, Op.Cit, Hal.35.
19
menyatakan bahwa suatu peraturan tertentu dibawah undang – undang tidak mempunyai kekuatan hukum (harus ditinjau kembali ) karena bertentangan dengan peraturan diatas. 6.
Undang- Undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi melalui pelestarian atau pembaharuan (inovasi ) .
Kewajiban merupakan suatu tugas tanggung jawab dari para pihak, adapun kewajiban para pekerja/buruh seperti yang telah diatur dalam KUHPerdata pasal 1603, pasal 1603a, pasal 1603b, pasal 1603c, yang pada intinya adalah sebagai berikut24 : 1. Pekerja/buruh wajib melakukan pekerjaan, melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri , meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keahliannya, maka bedasarkan ketentuan peraturan perundangundangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (PHK demi hukum). 2. Pekerja/buruh wajib menaati peraturan dan petunjuk dari dari pengusaha,dalam melakukan pekerjaan pekerja/buruh wajib menaati petunjuk yang diberikan pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja/buruh sebaiknnya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut. 3. Kewajiban ganti rugi dan denda, jika pekerja/buruh melakukan perbuatan merugikan perushaan baik karena kesengajaan dan kelalaian., maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja/buruh wajib ganti rugi dan denda.
24
Lalu Husni, Op.Cit , Hal. 72.
20
Dan yang menjadi kewajiban pengusaha pada intinya yaitu sebagai berikut:25 1.
Kewajiban membayar upah, dalam hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. Ketentuan tentang upah ini juga mengalami perubahan pengturan kearah hukum public. Hal ini terlihat dari campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah terendah yang harus dibayar oleh pengusaha yang dikenal dengan upah minimum, maupun pengaturan upah dalam peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah. Campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya upah ini penting guna menjaga agar jangan sampai besarnya upah yang diterima oleh pekerjaan terlampau rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja meskipun secara minimum.
2.
Kewajiban
memberi
istiirahat/cuti,
pihak
pengusaha
diwajibkan
untuk
memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur. Hak atas istirahat ini penting artinya untuk menghilangkan kejenuhan pekerja dalam melakukan pekerjaan. Dengan demikian diharapkan garah kerja akan tetap stabil. Cuti tahunan yang lamanya 12 hari kerja, selain itu pekerja juga berhak atas cuti panjang selama 2 bulan setelah bekerja terus menerus selama 6 tahun pada suatu perusahaan ( pasal 79 Undang- Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ). 3.
Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan, pengusha wajib mengurus pengobatan/perawatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (pasal
1602x
KUHPerdata),dalam
perkembangan
hukum
ketenagakerjaan,kewajiban ini tidak hanya terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan,tetapi juga bagi pekerja yang tidak bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan,kematian
telah
dijamin
melalui
perlindungan
jamsostek
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang no 3 tahun 1992 tentang jamsostek. 25
Ibid.
21
4.
Kewajiban memberikan surat keterangan, kewajiban ini didasarkan pada ketentuan
pasal
1602a
KUHPerdata
yang
menentukan
bahwa
majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberikan tanggal dan tanda tangan. Dalam surat tersebut dijelaskan mengenai sifat pekerjaan yang dilakukan, lamanya hubungan ( masa kerja ). Surat keterangan itu juga diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pekerja. Surat keterangan tersebut sangat penting artinya bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru, sehingga dapat diperlakukan sesuai dengan pengalamannya.
Jika diliat dari substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ini tampak bahwa Undang –Undang menyatukan berbagai peraturan perundang – undangan yang selama ini peraturannya masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang –undangan baik yang menyangkut upah,norma kerja,penempatan tenaga kerja dan hubungan kerja26, namun dalam peraturan menteri tenaga kerja No. 02/MEN/1967 disebutkan bahwa peraturan perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan – ketentuan tentang syarat- syarat kerja yang berlaku pada perusahaan yang bersangkutan dan memuat tata tertib perusahaan. Sejalan dengan pengertian tersebut dalam
Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan juga memberikan pengertian peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat – syarat kerja serta
tata tertib perusahaan27, dalam pengertian tersebut jelas bahwa
peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang berisikan syarat, 26
Ibid. Hal.29.
27
Ibid, Hal.89.
22
hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dan tata tertib perusahaaan28, sehingga seringkali peraturan perusahaan bertentangan dengan Undang – Undang dasar 1945 serta Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang merugikan hak - hak pekerja/buruh dan juga sangat disayangkan kurangnya pengetahuan ilmu hukum dari pekerja/buruh dan kurangnya pengawasan dari pihak pemerintah sehingga banyak pengusaha/perusahaan yang membuat peraturan perusahaan melenceng dari peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah, hal – hal tersebut pastinya merugikan pekerja/buruh. Perbedaan peraturan perusahaan dan peraturan pemerintah mengakibatkan perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh mengenai hak dan kewajiban para pihak, juga perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
2.3. Outsourcing
Bedasarkan
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi Nomor 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Kepmenakertrans tersebut menyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa adalah perusahaan berbadan hukum,akan tetapi kepmenakertrans tersebut tidak merinci secara tegas mengenai badan hukum apa saja yang diizinkan dalam usaha outsourcing tersebut. Oleh karna tidak adanya batasan,maka semua bentuk badan hukum dimungkinkan untuk menjalani bisnis outsourcing tersebut.
28
Ibid,
23
Apabila perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan,kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang kurangnya memuat: a. Jenis pekerja yang akan dilakukan perkeja/buruh dari perusahaan penyedia jasa. b. Penegasan
bahwa
dalam
melaksanakan
pekerjaan
sebagaimana
yang
dimaksud dalam huruf a,hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan,upah dan kesejahteraan,syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja / buruh sebelum untuk jenis – jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja, dalam hal penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja /buruh.
Selanjutnya
perjanjian
tersebut
harus
didaftarkan
pada
instansi
yang
bertanggungjawab dibidang ketenagakerjaan, kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Melaksanakan pekerjaan dengan melampirkan draft perjanjian kerja. Dalam melakukan pendaftaran instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melakukan penelittian ,apabila telah memenuhi ketentuan maka diterbitkan bukti pendaftaran, namun apabila tidak sesuai dengan ketentuan maka pejabat instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan memberikan catatan pada bukti pendaftaran hal – hal yang tidak sesuai dengan ketentuan,
ditetapkannya
kepmenakertrans
tersebut,
peraturan
mengenai
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh telah terpenuhi, akan tetapi ketentuan
24
tersebut dapat berjalan secara optimal maka peran dari pegawai pengawas ketenagakerjaan akan sangat menentukan.29
2.4. Outsourcing
Bedarsarkan
KEP.220/MEN/X2004
Keputusan
Tentang
Syarat
Menteri
–Syarat
Tenaga
Penyerahan
Kerja
No
Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Ditetapkannya
Kepmenakertrans
diatas
merupakan
ketentuan
untuk
melakasanakan Undang – Undang Ketenagakerjaan, hal – ha yang diatur dalam ketentuan tersebut menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi ketika perusahaan menyerahkan pekerjaanya kepada perusahaan lain. Diantaranya
ialah bahwa penyerahan pekerjaan harus dibuat dan ditanda
tangani kedua belah pihak secara tertulis melalui pemborongan pekerjaan. Penerima pekerjaan yang menandatangani perjanjian pemborongan tersebut harus merupakan perusahaan yang berbadan hukum dan mempunyai izin usaha dari instansi yang terkait. Kepmenakertrans tersebut juga mengharuskan adanya jaminan atas seluruh hak – hak pekerja. Syarat lainnya adalah penyerahan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan hanya dapat dilakukan terhadap pekerjaan – pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan utama perusahaan melainkan hanya berupa kegiatan penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 30
29
Keputusan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.KEP.101/MEN/VI/2004, tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. 30
Keputusan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.KEP.220/Men/x/2001, tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain.
25
BAB III PENERAPAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA OUTSOURCING PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-IX/2011
3.1. Pengujian Materiil ,Pertimbangan Dan Putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga peradilan di Indonesia. Bedasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 ,yang kemudian diatur pula dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi (UU MK), Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban, keempat kewenangan tersebut adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji Undang – Undang terhadap Undang – Undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang – Undang dasar.31 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Dalam putusan Mahkamah Konstitusilah dapat diketahui apakah suatu Undang – Undang yang dimohonkan bertentangan atau tidak dengan Undang – Undang Dasar. Hal ini
31
Anomimous, 2006, Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis, Penerbit: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkmah Konstitusi, Hal.34.
26
dengan sendirinya berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memuat bagaimana suatu ketentuan dalam Undang – Undang Dasar 1945 ditafsirkan terkait dengan ketentuan , Undang – Undang yang dimohonkan tersebut. Di sisi lain, karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dn mengikat maka putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan suatu permohonanan pengujian Undang – Undang terhadap Undang- Undang Dasar, baik mengabulkan sebagian atau seluruhnya, dengan sendirinya telah mengubah ketentuan suatu Undang – Undang dengan menyatakan bertentangan dengan UUD1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itulah putusan yang mengabulkan tersebut harus dimuat dalam Berita Negara dalam waktu 30 hari sejak dibacakan agar diketahui masyarakat umum. Putusan Mahkamah Konstitusi mulai berlaku sejak saat setelah dibacakan dalam sidang
pembacaan putusan yang terbuka untuk umum, Bagi putusan yang
mengabulkan permohonan, hal ini berarti sejak setelah pembacaan putusan tersebut, Ketentuan Undang- Undang yang dibatalkan tidak berlaku lagi sehingga setiap penyelenggara Negara dan warga Negara tidak dapat lagi menjadi sebagai dasar hukum kebijakan atau tindakan32, maka bisa diketahui bersama bedasarkan Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Negara memberikan wewenang kepada Mahkmah Konstitusi untuk menguji Undang – Undang yang bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945 yang merupakan Undang – Undang tertinggi di Indonesia dan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. 32
Ibid, Hal.35.
27
Berdasarkan peninjauan ulang Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 59 yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ( Pekerja Kontrak) dan pasal 64 yang
mengatur tentang penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya (Outsourcing) yang memiliki dampak langsung dan tidak langsung kepada semua buruh/pekerja kontrak dan buruh/ pekerja Outsourcing yang ada di Indonesia dan sangat merugikan hak - hak konstitusionalnya yang diatur dalam UUD1945, yaitu mengenai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dan hak atas kesejahteraan dan kemakmuran. Yang telah diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi serta bedasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 127/PAN.MK/2011 dan di registrasi dengan Nomor 27/PUU-IX/2011,yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah. Adapun beberapa alasan yang dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 tersebut yaitu33: 1.
Penekanan terhadap efesiensi yang secara berlebihan untuk semata – mata meningkatakan investasi guna mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah ini berakibat pada hilangnya keamanan kerja (job security) bagi pekerja/buruh Indonesia, karena sebagian tidak akan lagi menjadi buruh/pekerja
tetap,
tetapi
menjadi
buruh/pekerja
kontrak
yang
akan
berlangsung seumur hidupnya. Hal inilah yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai satu bentuk perbudakan zaman modern.
33
Vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
28
2.
Bahwa status sebagai pekerja/buruh kontrak ini pada kenyataannya berarti juga hilang hak – hak, tunjangan kerja, jaminan – jaminan kerja dan sosial yang biasanya dinikmati oleh mereka yang mempunyai status sebagai pekerja/buruh tetap, yang dengan demikian potensial menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan
buruh/pekerja
Indonesia
dan
karenanya
buruh/pekerja
merupakan bagian terbesar dai rakyat Indonesia, pada akhirnya juga akan menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesiapada umumnya. 3.
Dalam hubungan kerja bedasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2003 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) sebagaiman juga diatur dalam Pasal 64 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 , buruh/pekerja diliat semata – mata sebagai komodiatas atau barang dagangan, di sebuah pasar tenaga kerja. Buruh/pekerja dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan kekuatan modal yang akhirnya akan timbul kesengajaan sosial yang menganggu antara yang kaya dan yang miskin dan tidak menutup kemungkinan kelak anak cucu kita menjadi budak di negeri sendiri dan akan diperbudak oleh bangsa sendiri dan ini jelas bertentangan dengan Pasal 27
ayat (2) UUD 1945 ”Setiap warga Negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.Pasal 28D ayat(2)” Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja “. 4.
Dalam hubungan kerja bedasarkan
dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2011 dan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain sebagaimana juga diatur dalam Pasal 64 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 (outsourcing) buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, maka muda dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya bika tidak diperkerjakan/dibutuhkan lagi. Dengan demikian komponen upah sebagai salah satu dari biaya – biaya (cost) bisa tetap ditekan seminimal mungkin. Inilah yang
terjadi
jika
dilegalkannya
sistem
kerja
“pemborongan
pekerjaan”(outsourcing), yang akan menjadi buruh/pekerja semata sebagai sapi
29
perahan para pemilik midal dan ini adalah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD1945 yang menyatakan “ Perekonomian disusun sebagai usaha bersama bedasarkan atas asas kekeluargaan”. Didalam penjelasannya ditegaskan bahwa ini artinya perekonomian kita bedasarkan demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semuanya, untuk semua dengan kemakmuran masyarakat yang diutamakan. Maka dari sinilah terlihat persis perbudakan modern dan degradasi nilai kemanusiaan, buruh/pekerjasebagai komoditas atau barang dagangan akan terjadi secara resmikan melalui Undang –Undang. Kemakmuran masyarakat yang diamanatkan konstitusipun akan menjadi kata –kata kosong yang merupaka hiasan atau kata mutiara saja. 5.
Sistem outsourcing, kontruksi hukumnya yaitu adanya suatu jasa pekerja mereckrut calon pekerja
untuk ditempatkan diperusahaan pengguna, yang
diawali dengan suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk menempatkan pekerja diperusahaan penggguna dan perusahaan pengguna mengikatkan dirinya
untuk
penempatan
menggunakan tenaga
kerja,
pekerja
tersebut.
perusahaan
Bedasarkan
penyedia
jasa
perjanjian
pekerja
akan
mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Misalnya Rp. 10.000.000 untuk 100 orang, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja – pekerja tersebut dijual kepada pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern. 6.
Di lain pihak outsourcing juga menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu . Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak menjamin adanya job security , tidak adanya kelangsungan pekerjaan Karena seorang pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi disitu, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga pekerjaan akan menjadi persoalan bagi pekerja yang akan di outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu , kalau job
30
securitynya tidak terjamin jelas bertentangan dengan Pasal 27ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. 7.
Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukan adanya dua macam outsourcing yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dan outsourcing mengenai pekerjaannya yang di lakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan ,konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada. sub contractor . Sub contractor untuk melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Maka dari sinilah sub contractor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub contractornya dengan pekerja.
8.
Bahwa kalau dikaitkan dengan konstitusi,hal ini memaksakan adamnya hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya, hal ini tidak memenuhi unsur – unsur hubungan kerja yaitu
Adanya
perintah,perkerjaan dan upah, maka menunjukkan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum. 9.
Bahwa perbudakan terhadap outsourcing mutlak, dan perusahan penyedia jasa pekerja pada dasarnya menjual manusia kepada user. Dengan sejumlah uang akan mendapatkan keuntungan dengan menjual manusia.
10. Bahwa Pasal 59 dan Pasal 64 Undang – Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan Pasal 27ayat (2),Pasal 28D ayat (2),dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena manusia harus dilindungi adalah manusia yang seutuhnya. Bekerja seharusnya adalah untuk memberikan kehidupan yang selayaknya tetapi ketika itu pekerja hanya sebagai bagian produksi dan terutama dengan kontrak – kontrak yang dibuat, maka hanya sebagai salah satu bagian produksi, sehingga perlindungan sebagai manusia menjadi lemah. 11. Bahwa bedasarkan fakta – fakta alasan diatas, keprihatinan nyata sebagai besar buruh/pekerja kiranya
Mahkamah
berkenan
melaksanakan
karena berangkat dari maupun, sehingga patut
haknya
untuk
melakukan
pengujian Pasal 59 dan Pasal 64 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003
31
tentang ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 . 12. Bahwa karena Pasal 65 dan Pasal 66 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan ada dengan kaitannya ada kaitanya dengan Pasal 64 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka dengan sendirinya pasal 65 dan Pasal 66 Undang – Unddang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat(2) dan Pasal 33ayat (1) UUD 1945. Dalam hasil putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 59 dan 64 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945karena menurut pemohon ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64 bertentangan dengan Undang – Undang Ketenagakerjaan, yang pada intinya mengatur
tentang
penyerahan
sebagai
pekerja
kepada
perusahaan
lain
(outsourcing), maka buruh/pekerja diliat semata mata sebagai komoditas atau barang dagangan disebuah pasar tenaga kerja selain itu buruh/pekerja ditempatkan sebagai faktor produksi semata, dengan begitu mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dan diputus hubungan kerjanya ketika tidak dibutuhkan lagi yang pada gilirannya komponen upah dapat ditekan seminimal mungkin, bahwa outsourcing adalah suatu bentuk pemaksaan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerjanya yang sebenarnya tidak memenuhi unsur – unsur hubungan kerja yaitu adanya perintah, pekerjaan dan upah, maka hal ini menunjukan bahwa pekerja hanya dianggap sebagai barang saja bukan sebagai subjek hukum, karena itu menurut pemohon Pasal 59 dan Pasal 64 Undang – Undang ketenagakerjaan, yang dengan sendirinya terkait dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2),
32
Pasal 3 ayat 1 UUD 1945, juga pada Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mempunyai hukum yang mengikat. Uraian diatas menurut ketentuan Pasal 59 Undang – Undang ketenagakerjaan telah sejalan dengan amanat konstitusi khususnya yang terkait dengan hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak karna itu ketentuan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon, dalam ketentuan Pasal 59 dan Pasal 64 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menghambat dan merugikan hak konstitusional sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2), Pasla 28D ayat (2),Pasal 33 ayat (1)UUD 1945 dengan hasil putusan sebagai berikut34 : AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: Mengabulkan pemohonan pemohon untuk sebagian; a.
Frasa”…Perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66ayat (2) huruf b Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara republik Indonesia tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian
34
Vide Putusan Mk No.27/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
33
kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak – hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakansebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. b.
Frasa “…Perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak – hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain ataupun 3 perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
c.
Menolak untuk permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya;
d.
Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Setelah adanya keputusan dari Mahkamah Konstitusi, dan untuk menidak lanjuti
Keputusan Mahkamah Konstitusi maka pemerintah dalam hal in Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia melalui Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran Nomor : B.31/PHIJSK/I/2012 tantang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 27/PUU-IX/2011. Surat Edaran tersebut ditujuhkan kepada kepala instansi
34
yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan provinsi diseluruh Indonesia. Adapun inti isi dari Surat Edaran tersebut sebagai berikut 35: 1.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap berlaku.
2.
Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan maka :
a.
Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan
atau
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh
dengan
pekerja/buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak – hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lain , maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT) . b.
Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan
penerima pemborongan
pekerjaan
pekerja/buruh
atau
perusahaan
penyedia
jasa
dengan
pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak – hak 35
Lalu Husni, Op.Cit.Hal.194.
35
bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Pekerjaan Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 3.
Dengan Adanya putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 dengan mempertimbangkan keberadaan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak , sebelum diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka PKWT yang saat ini masih berlangsung pada perusahaan pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. Ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang mensyaratkan bahwa perusahaan outsourcing (pemborong pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh) harus berbadan hukum ditujukan dalam rangka menjamin perlindungan hukum bagi pekerja /buruh yang dipekerjakan, didalam Undang – Undang tidak menyebutkan bentuk badan hukum dimaksud karena dalam ilmu hukum dikenal beberapa bentuk ilmu hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), koperasi, yayasan sehingga penerapan ketentuan ini menimbulkan permasalahan.
36
3.2.
Norma Baru Dan Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyatakan isi UU bertentangan dengan UUD1945. Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan penafsiran ketentuan serta norma baru. Mahkamah Konstitusi memberi norma baru sebagaimana terurai pada butir amar putusan. Dalam sistem peradilan bagian putusan yang bisa dieksekusi adalah amar putusan. Hal – hal yang dikemukakan dalam pertimbangan bila tidak diuraikan secara tegas didalam amar putusan maka pertimbangan itu bukan bagian yang dapat dieksekusi. Karena itu amar putusan pengadilan harus final dan terbebas dari tafsir, berikut ini pertimbangan putusan Mahkmah Konstitusi yang tegas tetapi tidak disebut secara eksplisit didalam amar putusan; “ Dengan menerapkan pengalihan perlindungan….masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak – hak sebagai pekerja secara layak dan proposional.” Bedasarkan amar putusan diatas, Kemenekertrans dalam Surat Edaran No. B.31/PHIJSK/I/2012 menafsirkan amar putusan Mahkamah Konstistusi itu sebagai berikut: a. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan
atau
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh
dengan
pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan perlindungan hak – hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima permborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa
37
pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan
atau
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh
dengan
pekerja/buruhnya harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWTT) . b. Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan pekerjaan
atau
perusahaan
penyedia
jasa
penerima pemborongan pekerja/buruh
dengan
pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak – hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan
atau
perusahaan
penyedia
jasa
pekerja/buruh
dengan
pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Pekerjaan Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Mahkamah Konstitusi memberi norma baru bagi kepentingan perlindungan pekerja/buruh outsourcing,mahkamah konstitusi tidak menjelaskan kapan putusan No 27/PUU-IX/2011 mulai berlaku, maka putusan terebut berlaku sejak diucapkan, artinya
putusan
Mahkamah
Konstitusi
tersebut
tidak
berlaku
surut,
dan
konsekuensinya perbuatan hukum mengenai PKWT dalam outsourcing yang sudah dibuat sebelum putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan bisa tidak sah atau batal bedasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Apabila
putusan
Mahkamah
Konstitusi
dinyatakan
berlaku
surut
akan
menimbulkan keresahan tertutama pada pengusaha sebab PKWT yang sedang berjalan berhubungan dengan nilai tender kerja, karena itu putusan Mahkamah
38
Konstitusi dapat diterapkan untuk perjanjian kerja outsourcing yang dibuat setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan. Pemberian norma baru oleh Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan pengujian UU Ketenagakerjaan, Mahkamah Konstitusi memberi norma baru terkait dengan keterwakilan serikat pekerja/serikat buruh dalam perundingan kerja bersama (PKB) di dalam perusahaan, untuk memberI kepastian hukum pemerintah dapat mengadopsi keseluruhan norma yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi sebagau hukum positif.36
3.3.
Pelaksanaan
Outsourcing
Pasca
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.27/PUU-IX/2011. Menurut amar putusan tersebut, prinsipnya pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak – hak konstitusionalnya. Karena itu harus ada jaminan kepastian bahwa hubungan antara pekerja dan perusahaan outsourcing yang melindungi pekerja dan pengusaha tidak menyalahgunakan kontrak outsourcing. Untuk menjamin pelindungan hak – hak pekerja tersebut diatas tidak cukup hanya dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) saja karena kedudukan atau posisi tawar (bargaining position) pekerja lemah sebagai akibat oversupply tenag kerja.37
36
37
http//www.Hukumonline.com
Ahmad Fadlil Sumadi, “ Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing “, Jurnal Konstitusi IX , No.1(Maret 2012) :Hal.23.
39
Solusinya Mahkamah Konstitusi memberikan 2 (dua) model perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja yaitu : 1. Mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan yang melakukan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan PKWTT, atau 2. Menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja dengan Transfer of Undertaking Protection of Employment(TUPE)38. Bedasarkan prinsip dan solusi tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa “ perjanjian kerja waktu tertentu” daam Pasal 65 ayat (7) dan dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang - Undang Ketengakerjaan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Artinya bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945 dimana “perjanjian kerja” tersebut disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak - hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia njasa pekerja/buruh.
3.4
Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlindungan. Prinsip pengalihan tindakan perlindungan dijelaskan pada butir (3.18) Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/20011, prinsip pengalihan tindakan prlindungan pekerja bagi peke rja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau 38
Putusan MK Nomor 27/PUU-IX/2011, Hal.44.
40
TUPE) adalah perlindungan atas hak – hak pekerja /buruh yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Menurut butir (3.18) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 prinsip tersebut telh diterapkan dalam hukum ketenagakerjaan, yaitu dalam hal auatu perusahaan diambil alih oleh perusahaan lain. Prinsip tersebut diterapkan untuk melindungi hak – hak para pekerja ketika perusahaan tempat pekerja diambil alih oleh perusahaan lain. 1. Tujuan Prinsip Pengalihan Perlindungan Prinsip pengalihan perlindungan pekerja/buruh diterapkan untuk melindungi para pekerja/buruh outsourcing dari kewenangan – kewenangan pihak pemberi kerja/pengusaha. Dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan ,perusahaan pemberi kerja tidak dapat lagi memberikan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyedia jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru , maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak – pihak yang berkepentingan,
kecuali
perubahan
untuk
meningkatkan
keuntungan
bagi
pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya. Selain itu penerapan prinsip pengalihan perlindungan yang bertujuan untuk melindungi hak – hak pekerja/buruh outsourcing juga diharapkan dapat : 1. Mendorong perusahaan – perusahaan untuk sebanyak mengurangi atau tidak melakukan sistem kerja outsourcing.
41
2. Mendorong perusahaan – perusahaan untuk sebanyak mungkin menggunakan sistem kerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) 3. Memastikan kelangsungan pekerjaan bagi pekerja dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan pekerja (Transfer of Undertaking Protection of Employment – TUPE).39
2. Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja Outsourcing Setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011, secara teknis dapat diatur suatu perjanjian outsourcing yang dapat melindungi semua pihak, dalam hal ini perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan pekerja. Perusahaan outsourcing yang akan melaksanakan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat menentukan perjanjian kerja bedasarkan sifat pekerjaannya : a.
Pekerjaan yang bersifat tetap dan ada terus – menerus Pada pekerjaan yang bersifat tetap ada terus – menerus , bagi pekerja/buruh yang memenuhi persyaratan diperlakukan dengan menggunakan PKWTT. Dalam hal ini perusahaan pengguna (perusahaan pemberi
kerja)
tetap menginginkan
pekerja/buruh yang sama walaupun prusahaan pemenang tendernya berbeda, maka harus diatur adanya tanggung jawab renteng dimana perusahaan pengguna membayarkan komponen biaya pesangon ke dalam harga perjanjian kerja outsourcing. Untuk itu harus secara jelas diatur dalam hal terjadi pengalihan kepada perusahaan perusahaan outsourcing baru dengan kondisi pekerja/buruh belum habis PKWT nya . Hak karyawan atas kepastian kelanjutan bekerja jika sebelum
39
masa kontrak ada pengalihan pekerjaan kepada
Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing bisa dihapus?, (Jakarta:Pohon Cahaya,2013),Hal.140.
42
perusahaan lain atau tidak bersedia melanjutkan pekerjaan dengan adanya perhitungan uang pisah yang besarnya diatur tersendiri. b.
Pekerjaan Yang Bersifat Sementara Pada
pekerjaan
yang
bersifat
sementara,
penggunaan
pekerja/buruh
outsourcing dapat dilakukan dengan menggunakan PKWT. Pelaksanaan PKWT tentu saja sesuai dengan peraturan yang berlaku , yaitu sesuai dengan Undang – Undang Ketenagakerjaan yaitu kontrak hanya boleh diperpanjang dua kali atau dalam masa tidak lebih dari tiga tahun. Jadi , jika hanya dua kali PKWT, misalnya 1 tahun diperpanjang, maka tidak boleh lagi PKWT, harus menjadi karyawan tetap (PKWTT) diperusahaan outsourcing40. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 pada perjanjian kerja waktu tertentu disarankan adanya percantuman kausul sebagai berikut : Pada bagian Tanggung Jawab para pihak : “pihak pertama (perusahaan) bertanggung jawab dalam
terselenggaranya
pengalihan hak
Pihak Kedua
(pekerja/buruh)”Pada bagian Hak Para Pihak: “Pihak kedua berhak atas kepastian kelangsungan bekerja jika masa kontrak belum berakhir pada saat terjadi pengalihan kepada perusahaan lain”41. 3.5. Prinsip Pengalihan Perlindungan Yang Dimuat Dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Prinsip pengalihan perindungan yang lahir dari putusan Mahkamah Konstitusi
40
Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, Hal118-119.
41
Ibid, Hal.119.
43
No.
27/PUU-IX/2011
dimaksud
untuk
menciptakan
kepastian
hukum
bagi
pekerja/buruh outsourcing di Indonesia, maka untuk menjalankan amanah dari putusan tersebut, Pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan Undang – Undang Ketenagakerjaan yaitu Permenakertrans No. 19 Tahun 2012. Prinsip pengalihan perlindungan diterapkan dengan cara membuat klausul mengenai pengalihan perlindungan pada perjanjian kerja outsourcing, antara perusahaan
pelaksana
sebagai
pekerjaan
dengan
pekerja/buruh.
Menurut
Permenakertrns No.19 Tahun 2012, ada dua jenis penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing), yaitu melalui perjanjian pemboronmgan pekerjaan atau perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh. Beberapa pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012 memuat ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu : Pasal 9 ayat (2) huruf b “
Perjanjian
pemborongan
pekerjaan
harus
memuatjaminan
terpenuhinya
perlindungan kerja dan syarat – syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang – undangan “. Pasal 10 “ Perjanjian peborongan pekerjaan harus didaftarkan oleh perusahaan penerima pemborongan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan “. Bedasarkan 2 (dua) ketentuan diatas perjanjian pemborongan pekerjaan merupakan perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan
44
penerima pemborongan yang dalam perjanjian itu harus memuat jaminan terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat – syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundangan. Jaminan tersebut diperkuat dengan ketentuan yang mengharuskan pendaftaran perjanjian tersebut pada instansi yang bertanggung jawab
dibidang
ketenagakerjaan
kabupaten/kota
tempat
dilaksanakannya
pemborongan pekerjaan. Selanjutnya ketentuan perjanjian kerja pemborongan pekerjaan yang memuat prinsip pengalihan perlindungan terdapat pada Pasal 13 Permenakertrans No.19 . Perjanjian
kerja
pemborongan
merupakan
perjanjian
antara
perusahaan
pemborongan pekerjaan (perusahaan outsourcing) dengan pekerja/buruh, ketentuan tersebut berbunyi : Pasal 13 “ Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak – hak pekerja/buruh daam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang – undangan “. Ketentuan tersebut tidak memaparkan secara langsung mengenai prinsip pengalihan perlindungan, namun mengandung tujuan utama prinsip pengalihan perindungan. Oleh sebab itu pada perjanjian kerja pemborongan pekerjaan harus memuat jaminan terpenuhinya perlindungan kerja,agar dapat mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan perusahaan pemborongan pekerjaan dalam hal terjadi pengantian pemborongan dan perusahaan tersbut mengalihkan hak – hak pekerjanya pada perusahaan lain sehingga pekerja/buruh tetap menerima hak – hak pekerja/buruh pada jenis pekerjaan pembiringan pekerjaan.
45
Selanjutnya, Pasal – Pasal dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yang memuat ketentuan mengenai prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pada jenis perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh: Pasal 19 ayat (1) huruf b “ Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh fdari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi pengantian perushaan penyedia jasa pekerja/buruh. “ Pasal 20 ayat (1) “ Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus didaftarkan kepada instansi yang
bertanggung
jawab
dibidang
ketenagakerjaan
kabupaten/kota
tempat
pekerjaan dilaksanakan. “ Pasal 32 ayat (1) “ Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyedia jasa pekerj/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.” Pasal 32 ayat (2) “ Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru maka masa kerja yang telah dilalui pada perusahaan
46
penyedia jasa
pekerja/buruh yang
lama
harus tetap dianggap ada dan
diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.” Beberapa ketentuan diatas merupakan ketentuan yang mengandung prinsip pengalihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing pada jenis perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Prinsip pengalihan perlindungan lebih banyak diterapkan pada jenis pekerjaan yang terus menerus ada didalam perusahaan, maka kemungkinan sering terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh juga harus didaftarkan pada instansi yang bertanggung
jawab
pada
bidang
ketenagakerjaan
kabupaten/kota
tempat
dilaksanakannya pekerjaan. Ketentuan tersebut juga mengatur pelaksanaan prinsip pengalihan perlindungan diberlakukan dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh. Perusahaan pemberi kerja tersebut mengalihkan pekerjaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati. Seperti masa kerja yang telah dilalui pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap
dianggap
ada
pekerja/buruh yang baru.
dan
diperhitungkan
oleh
perusahaan
penyedia
jasa
47
BAB IV PENUTUP
4.1. KESIMPULAN Bedasarkan uraian – urian diatas dapat saya simpulkan: 1. Dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ketentuan outsourcing diatur dalam Pasal 64 sampai Pasal 66 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan : a. Pasal 64 menyatakan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pekerja pemborong atau penyedia jasa pekerja/buruh. b. Pasal 65 menyatakan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. c. Pasal 66 menyatakan pekerjaan yang dapat dijadikan dalam perjanjian outsorcing adalah pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pokok atau proses produksi. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menyatakan berbagai peraturan perundang – undangan baik menyangkut upah, norma kerja, penempatan tenaga kerja , hubungan kerja ,syarat kerja ,hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dan tata tertib perusahaan. Maka perusahaan yang menggunakan sistem pekerja outsourcing harus sesuai dengan ketentuan Undang- Undang dan peraturan pemerintah jika tidak sesuai mengakibatkan perselisihan antara perusahaan dan pekerja/buruh dan aspek
perlindungan
hukum kepada pekerja/buruh diarahkan pada upaya untuk menghindari eksploitasi
oleh pemberi kerja (pengusaha) mengingat posisinya
yang
memungkinkan untuk melakukan tindakan tersebut. Perlindungan hukum terhadap pekerja dalam rangka mewujudkan keadilan sosial yang dapat
48
dilakukan dengan menetapkan berbagai peraturan yang bersifat memaksa di dalam hubungan kerja outsourcing.
2. Perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing bedasarkan putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 dengan melakukan pengujian Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terhadap Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam putusan MK ini pengusaha tidak dapat leluasa memberhentikan pekerja begitu saja, pengusaha harus menjamin bahwa hak pekerja harus terlindungi walaupun
perusahaan outsourcing yang
mempekerjakan berganti. Dalam ketentuan ini dapat diartikan bahwa masa pekerja tetap dihitung dan mendapatkan pesangon jika terkena PHK dan setelahnya dikeluarkannya putusan MK No.27/PUU-IX/2011, Kemenakertrans menerbitkan Permenakertrans No.19 Tahun 2012 dan setelah hadirnya Permenakertrans
No.19
Tahun
2012,perusahaan
outsourcing
harus
melaksanakan prinsip pengaihan perlindungan bagi pekerja/buruh outsourcing yang dimuat dalam klausul yang terdapat dalam perjanjian kerja pemborongan pekerjaan ataupun perjanjian kerja penyedia jasa pekerja/buruh. Maka dengan dilaksanakannya prinsip ini, jika suatu waktu terjadi pergantian perusahaan pemborongan pekerjaan ataupun perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, hak – hak pekerja serta masa kerja yang telah dilalui pekerja pada perusahaan yang lama tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.
49
4.2. SARAN
1. Semakin besarnya campur tangan pemerintah dibidang perburuhan yang menyangkut hubungan kerja outsourcing akan membawa konsekuensi semakin banyak peraturan perundang – undangan yang akan ditetapkan dan dalam membuat peraturan perundang – undangan tersebut, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan asas – asas peraturan perundang – undangan yang ada,serta tidak menutup kemungkinan antara satu peraturan perundang – undangan dengan yang lainnya akan saling bertentangan,untuk itu diperlukan sikronisasi peraturan perundang – undangan baik. 2.
Dan juga pasca adanya putusan MK, perusahaan penyedia jasa outsourcing harus menyatakan dengan tegas didalam perjanjian kerjanya yang berbentuk PKWT mengenai pengalihan perlindungan hak – hak bagi pekerja dalam hal objek kerjanya tetap ada dan harus menjamin keberlangsungan pekerja serta memenuhi hak – hak pekerja. Pelaksanaan prinsip pengalihan perlindungan bagi
pekerja/buruh
harus
berkesinambungan
dan
pemerintah
harus
meningkatkan perannya dalam melakukan pengawasan seperti observasi langsung dan harus bedasarkan regulasi tingkat pusat dan daerah untuk memastikan tidak adanya penyelewengan.
50
DAFTAR BACAAN
Anomious,2011,Ketenagakerjaan dan penyelesaian perselisishan hubungan industrial , Jakarta , penerbit Indonesia Legal Center publishing For law and Justice Reform. Anonimous ,2006, Menegakan Negara Hukum Yang Demokratis , Penerbit Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Bahder Jhon Nasution , 2004, Hukum Ketenagakerjaan kebebasan Berserikat bagi Pekerja , Mandar Maju , Bandung. Bungasan Hutapea, 2010, Perlindungan Hukum Menurut Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Outsorcing , Jurnal Penelitian Hukum APHI,DEJURE,1410-5632 Vol.10 No.3.Lalu Husni, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Indonesia Persada, Jakarta. Libertus Jehani, 2008, Hak – Hak Karyawan Kontrak, Forum Sahabat,Jakarta M. Fauzi, 2006. Aspek Hukum Penyerahan Sebagin Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (outsorcing), Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul , 021969X.Vol.2 , No.2 Maimun ,2004 , Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar,PT Pradya Pramita, Jakarta Muh Nurachmad, 2009, Tanya Jawab Seputar Hak – Hak Tenaga Kerja Kontrak (Outsorcing), Visimedi,Jakarta N.L.M , Mahendrawati , 2009, Perjanjian Outsorcing Dalam Kegiatan Bisnis, Kertha Wicaksana, Vol.15, No.2 Redaksi RAS, 2010, Hak dan Kewajiban Karyawan, Raih Asa Sukses, Jakarta