1
Studi Kritis Hadis-Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal Karya M. Syuhudi Ismail SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Peryaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh Nurzaeni NIM: 104034001222
PPROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432/2011
2
Studi Kritis Hadis-Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal Karya M. Syuhudi Ismail SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Peryaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh Nurzaeni NIM: 104034001222
Pembimbng
Dr. Bustamin, M.Si. NIP: 196307011998031003
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432/2011
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Studi Kritis Hadis-Hadis yang Mempunyai Sebab
Secara Khusus pada Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal Karya M. Syuhudi Ismail telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir Hadis.
Jakarta, 21 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Bustamin, M.Si. NIP: 196307011998031003
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. NIP: 197110031999032001
Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A. NIP: 196009021987031001
Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A. NIP: 197701202003121003
KATA PENGANTAR Rasa syukur yang tak terhingga, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Karena dengan segala ke-Mahaan-Nya, penulis dapat merampungkan skripsi yang berjudul “Studi Kritis Hadis-Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal Karya M. Syuhudi Ismail.” Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarganya, para shahabatnya, dan siapa saja yang mengikuti sunahnya hingga akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini, banyak hal yang telah dilewati, baik suka maupun duka. Semuanya terangkum dalam setiap jejak langkah yang menjadi bagian sejarah hidup penulis. Hal lain yang penulis sadari, bahwa proses pembuatan skripsi ini merupakan rekaman sejarah kebaikan berbagai pihak dengan perannya masingmasing. Karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, baik dalam bentuk bahan-bahan materi skripsi maupun motivasi untuk terus bersemangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skrpsi ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal Fakih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku ketua jurusan Tafsir Hadis, dan Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum selaku sekertaris Jurusan Tafsir Hadis.
i
ii
2. Bapak Dr. Bustamin M.Si. sebagai dosen pembingbing skripsi. Penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan saran-sarannya serta dukungannya untuk terus berjuang menyelasaikan skripsi ini. 3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyalurkan ilmunya untuk penulis kembangkan sehingga menjadi ilmu yang bermanfaat. 4. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama‟. 5. Kedua orang tua penulis dan adik-adik penulis yang dapat mengerti, memahami dan selalu mendukung segala aktifitas penulis. 6. Ahmad Zaeni, S.Th.I. beserta keluarga yang sangat membantu dan sudi direpotkan dalam penulisan skripsi ini. 7. Teman-teman di Kelapa Dua yang terlalu banyak jika disebutkan satu-persatu, baik nama maupun bantuannya. Sekali lagi penulis sampaikan terima kasih kepada siapapun yang tidak bisa disebutkan namanya. Berkat dukungan dan doa mereka semua, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan setiap orang yang membacanya. Jakarta, 06 Juni 2011
iii
Penulis
PEDOMAN TRANSLITERASI
a. Padanan Aksara Huruf Huruf Arab Latin ا b ب t ت ts ث j ج h ح kh خ d د dz ذ r ر z ز s س sy ش s ص d ض t ط z ظ „ ع gh غ f ف q ق k ك l ل m م n ن w و h هـ ` ء y ي
Keterangan tidak dilambangkan be te te dan es je ha dengan garis di bawah ka dan ha de de dan zet er zet es es dan ye es dengan garis di bawah de dengan garis di bawah te dengan garis di bawah zet dengan garis di bawah koma terbalik diatas hadap kanan ge dan ha ef ki ka el em en we ha apostrof ye
b. Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
a
fathah
iv
ِ ُ
i u
kasra dammah
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ai au
a dan i a dan u
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَـا
â î û
a dengan topi di atas i dengan topi di atas u dengan topi di atas
Adapun Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab
َ ي َ و c. Vokal Panjang
ــــِــي ــــُـــو
d. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf )ال, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh = الشمسيةal-syamsiyyah, = القمريةal-qamariyyah. e. Tasydîd Dalam alih-aksara, tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tasydîd itu terletak setelah kata sandang yang diikuti hurufhuruf samsiyyah. f. Ta Marbûtah Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. begitu juga jika ta marbûtah tersebut diikuti kata sifat (na„t). Namun jika ta marbûtah diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/. g. Huruf Kapital Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya . Contoh = البخارal-Bukhâri.
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..............................................................................................
i
Pedoman Transliterasi ...................................................................................
iii
Daftar Isi........................................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah. .......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................
4
C. Kajian Pustaka.......................................................................
5
D. Tujuan Penelitian. .................................................................
6
E. Metodologi Penelitian. ..........................................................
6
F. Sistematika Penulisan. ..........................................................
7
SEKILAS TENTANG M. SYUHUDI ISMAIL .........................
9
A. Riwayat Hidup M. Syuhudi Ismail ......................................
9
B. Karir M. Syuhudi Ismail .......................................................
12
C. Karya-Karya M. Syuhudi Ismail ...........................................
14
BAB II
D. Gambaran Umum Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma‟ani al-Hadist tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal ..........................
16
BAB III METODOLOGI M. SYUHUDI ISMAIL DALAM MELACAK SANAD DAN MATAN HADIS SERTA PEMIKIRANNYA PADA DISIPLIN ILMU HADIS ................................................
22
A. Kaidah Kesahihan Sanad dan Matan Hadis ..........................
22
vi
BAB IV
BAB V
B. Metodologi Penelitian Hadis Nabi .......................................
27
C. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Pada Suatu Hadis ..................
36
STUDY KRITIS SANAD, MATAN, DAN PEMIKIRAN M. SYUHUDI ISMAIL ..............................................................
38
A. Hadis Tentang Yang Tidak Menyayangi Tidak Disayangi ..
38
B. Hadis Tentang Urusan Dunia ................................................
43
C. Hadis Tentang Mandi Pada Hari Jumat ................................
48
D. Hadis Tentang Kewajiban Mandi Pada Hari Jumat ..............
55
E. Hadis Tentang Syair (Puisi) dan Nanah ................................
60
F. Hadis Tentang Syair dan Hikmah .........................................
65
PENUTUP....................................................................................
72
A. Kesimpulan. ..........................................................................
72
B. Saran-Saran. ..........................................................................
73
Daftar Pustaka..........................................................................................
75
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu hadis melewati beberapa fase, salah satunya adalah fase pembukuan. Hadis-hadis Nabi saw. mulai dibukukan secara resmi pada masa pemerintahan „Umar bin „Abd al-„Azîz (99-101 H). Akan tetapi, ada beberapa dari kalangan sahabat Nabi yang secara pribadi mengumpulkan dan menulis hadis-hadis sebelum masa pemerintahan „Umar bin „Abd al-„Azîz. Mengenai hadis-hadis tersebut, para ulama membagi hadis-hadis yang memiliki kedudukan terbaik pada masa itu menjadi beberapa bagian: 1. Al-Sahîfah al-Sâlihah. Naskah yang berisi hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah ra. dan ditulis langsung oleh muridnya, Humâm bin Munabbih. Naskah ini disebut juga dengan Sahîfah Humâm. 2. Al-Sahîfah Sadîqah. Naskah ini ditulis langsung oleh „Abdullâh bin „Amr bin „As. Ia dinilai oleh Abû Hurairah ra. memiliki pengetahuan yang lebih mengenai hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Ia juga merupakan sahabat yang telah mendapat restu langsung dari Nabi untuk menulis hadishadisnya, walaupun dalam kondisi Nabi yang tidak memungkinkan. 3. Sahîfah Samurah bin Jundub. Naskah ini tersebar dikalangan para ulama, isinya banyak mengandung sains.
1
2
4. Sahîfah Jabir bin „Abdullâh. Ia adalah sahabat yang banyak mencatat hadis-hadis Nabi Muhammad saw. mengenai ibadah haji dan khutbah Nabi pada haji Wada„. Naskah-naskah ini menunjukkan bahwa sebelumnya telah ada upaya penulisan hadis yang didasarkan atas kepentingan sahabat tersendiri, jauh dari legalitas yang diperintahkan oleh „Umar bin „Abd al-„Azîz.1 Hal ini tentunya mempersempit dugaan adanya peluang terkontaminasinya hadis-hadis tersebut. Mengenai suatu hadis, jika ada keterangan dari Nabi Muhammad saw. yang (tampak) berseberangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an, maka di situlah sering terjadi perbedaan pemahaman maknanya. Di sisi lain, sebagaimana disinyalir dalam alQur‟an, Nabi Muhammad saw. selain dinyatakan sebagai Rasûlullâh, beliau juga merupakan seorang manusia dengan segala sifat dan fungsinya yang begitu kompleks. Seperti, menjadi kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim dan lain sebagainya, sehingga ketika memahami ucapan, perbuatan, dan taqrîr-nya2 perlu diketahui perannya saat itu.3 Dalam memahami hadis, seseorang harus mengetahui kondisi sanad dan matannya. Selain itu, harus mengetahui situasi dan kondisi yang terjadi ketika Nabi mengeluarkan hadis, misalnya dengan mengetahui asbâb al-wurûd hadîts. Kemudian, perlu juga mengetahui tentang sifat-sifat hadis tersebut, apakah bersifat umum ataukah kejadiannya memang bersifat khusus. Hal itu semua sangat diperlukan guna mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai suatu hadis. 1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan (Mizan: Bandung, 1992) h. 129. 2 Pembenaran yang dilakukan dengan cara diamnya Nabi Muhammad saw. terhadap perbuatan yang dilakukan seseorang. 3 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994) h. 5.
3
Banyak ulama dengan berbagai karyanya berusaha menyajikan metode untuk memahami hadis. Tetapi, kebanyakan dari mereka bukan berasal dari Indonesia, yang tentunya karya-karyanya pun bukan berbahasa Indonesia. Hal ini berdampak pada minimnya literatur-literatur maupun bahan bacaan yang memudahkan dalam memahami ilmu hadis. Meskipun begitu, ada beberapa ulama Indonesia yang menaruh perhatian terhadap perkembangan ilmu hadis di Indonesia. Salah satunya adalah M. Syuhudi Ismail, melalui pemikiran serta karya-karya inovatifnya dalam bidang hadis, ia memberikan wacana pemahaman yang amat baik dan menguraikan teori yang memudahkan dalam memahami hadis. Di antara karya beliau yang sangat membantu dalam memahami hadis adalah buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Untuk lebih memahami karya beliau, penulis beusaha mengkritisi hadis yang terdapat pada buku tersebut. Setelah menguraikan latar belakang pemikiran di atas, penulis berusaha merumuskannya dalam sebuah judul skripsi, yaitu “Studi Kritis Hadis-Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal Karya M. Syuhudi Ismail.” Beberapa hal yang membuat penulis memilih studi kritis hadis pada buku M. Syuhudi Ismail ini antara lain karena karya-karya beliau yang begitu penting terhadap perkembangan hadis di Indonesia, juga karena beliau tidak menerangkan silsilah sanad hadis dan tidak pula menjabarkan kualitas hadis pada bukunya. Karena itu, penulis ingin menguraikan hadis-hadis yang terdapat pada buku tersebut untuk lebih
4
mengetahui kondisi sanad dan matannya, serta lebih memahami pemikiran M. Syuhudi Ismail mengenai hadis-hadis tersebut.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Seperti telah diuraikan dalam latar belakang masalah, bahwa M. Syuhudi Ismail pada buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal tidak mencantumkan silsilah sanad. Ia hanya mengatakan bahwa hadis-hadis tersebut keadaannya sahih, demikian juga dengan keotentikan matannya. Pada buku tersebut, terdapat banyak tema hadis yang menjadi pembahasan. Sehingga, ketika penulis membahasnya akan menjadi pembahasan yang terlalu luas. Seperti pembahasan hadis yang berkaitan dengan Jawami‟ al-Kalim, Bahasa Tamsil, Ungkapan Simbolik, Bahasa Percakapan, Ungkapan Analogi, dan lain-lain. Dari sekian tema yang ada pada buku itu, penulis membatasi dengan membahas dan mengkritisi sanad dan matan serta pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam hadis-hadis yang terdapat pada bab Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus yang terdiri dari enam hadis yang menjadi pokok pembahasan penulis. Selain itu, karena hadishadis tersebut memiliki asbâb al-wurûd yang menjadi salah satu landasan dalam memahami hadis. Setelah membatasi masalah, maka perumusan masalahnya adalah Bagaimana kondisi sanad dan matan hadis-hadis yang menjadi bahan kajian penulis? Bagaimana pola pemikiran M. Syuhudi Ismail terhadap hadis-hadis tersebut?
5
C. Kajian Pustaka Kajian mengenai hadis dan pemikiran M. Syuhudi Ismail memang telah beberapa kali dibahas. Di antaranya, penulis menemukan disertasi yang berjudul Pembaharuan Pemikiran tentang Hadits Nabi Muhammad saw. di Indonesia (Studi atas Pemikiran M. Syuhudi Ismail).4 Pada disertasi ini, penulisnya hanya mengkonsentrasikan pemikiran M. Syuhudi Ismail saja tanpa menganalisa hadishadisnya, baik sanad maupun matannya. Selain itu, penulis menemukan skripsi yang berjudul Kontribusi M. Syuhudi Ismail dalam Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia.5 Pada Skripsi ini, ia lebih fokus pada pemikiran karya-karya M. Syuhudi Ismail dalam mengembangkan pemahaman mengenai hadis-hadis. Dengan demikian, skripsi ini tidak membahas mengenai sanad dan matan hadis. Ia juga tidak membahas mengenai orientasi dan latar belakang M. Syuhudi Ismail mengembangkan pemikirannya berkaitan dengan hadis-hadis. Di antara kajian mengenai M. Syuhudi Ismail tersebut, tidak ada satupun yang mengkaji dan menyinggung secara khusus tentang sanad dan matan hadis-hadis yang mempunyai sebab secara khusus pada buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Oleh karena itu, penulis menemukan ruang kosong dalam khazanah kepustakaan Islam yang dibahas secara khusus. Dengan ini, penulis berharap bisa mendeskripikannya menjadi pembahasan tentang “Studi Kritis Hadis-
4
Arifudin Ahmad, “Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi Muhammad saw. di Indonesia (Studi atas Pemikiran M. Syuhudi Ismail).” (Disertasi S3 Pasca Sarjana IAIN Jakarta, 1999). 5 Lili Rusli. “Kontribusi M. Syuhudi Ismail dalam Perkembangan Ilmu Hadis Di Indonesia.” (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004)
6
hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus pada Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Karya M. Syuhudi Ismail.
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk lebih mengetahui kualitas sanad dan matan hadis yang menjadi bahan kajian penulis. 2. Memahami pemikiran M. Syuhudi Ismail terhadap hadis-hadis tersebut. 3. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat Jurusan Tafsir Hadis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam meraih gelar S.Ud.
E. Metodologi Penelitian Pada penelitian ini, metode yang penulis gunakan adalah metode kepustakaan (Library Research). Penulis mencoba mengumpulkan data, lalu dielaborasi dan dianalisa sesuai dengan kajian yang hendak penulis kritisi. Dengan langkah inilah penulis mendapatkan sumber data. Adapun sumber data primer yang menjadi rujukan penulis adalah Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) dan Metodologi Penelitian Hadis Nabi, semuanya karya M. Syuhudi Ismail. Untuk metode pencarian dan penelitian kualitas hadis, penulis menggunakan metode yang umum dipakai oleh ulama hadis. Di antaranya Syu„aib al-Arna‟ût dan Al-Albânî. Selanjutnya, penulis
7
merujuk penilaian kedua ulama tersebut, karena sesuai dengan metode yang penulis tempuh. Sedangkan sumber skundernya adalah al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz alHadîst al-Nabawî. Karya A.J. Weinsinck, serta buku, artikel dan sumber lainnya yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas. Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode “Deskriptif Analitif”, yaitu memberi gambaran pemikiran M. Syuhudi Ismail dan menganalisa secara kritis hadis-hadis yang menjadi kajian penulis melalui data dan sumber yang penulis peroleh. Di samping itu, dalam mencapai penulisan yang baik dan benar sebagaimana layaknya sebuah karya tulis. Maka penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007”.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini penulis susun dalam lima bab, yaitu: Bab pertama adalah pendahuluan. Pada bab ini, penulis mengemukakan gambaran secara umum mengenai skripsi yang akan penuulis bahas, di antaranya mengenai latar belakang masalah yang merupakan uraian singkat landasan pemilihan bahan kajian, pembatasan dan perumusan masalah yang memperjelas topik pembahasan, kajian pustaka sebagai bahan perbandingan dengan kajian lainnya, tujuan penulisan, metodologi penelitian sebagai langkah-langkah proses penelitian dalam kajian ini, dan sistematika penulisan. Bab kedua mengenai sekilas tentang M. Syuhudi Ismail, dalam hal ini biografi dan karya-karya M. Syuhudi Ismail penulis tampilkan. Yaitu mengenai riwayat hidup
8
M. Syuhudi Ismail, karir intelektual M. Syuhudi Ismail, dan sekilas tentang karyakarya M. Syuhudi Ismail. Tujuannya adalah untuk lebih mengenal tokoh yang pemikirannya menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Pada bab ini penelitian terhadap buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal lebih diutamakan. Bab ketiga, mengenai metodologi M. Syuhudi Ismail dalam melacak sanad dan matan hadis serta pemikirannya pada disiplin ilmu hadis. Pada bab ini, sebelum penulis mengemukakan metodologi yang disampaikan oleh M. Syuhudi Ismail, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan kaidah kesahihan sanad dan matan hadis sebagai prapemahaman penelitaian hadis. Setelah itu, penulis mengemukakan tentang metodologi yang menjadi acuannya dalam menyelesiakan dan memberikan pemahaman mengenai sebuah hadis. Kemudian dibahas mengenai pemikiran M. Syuhudi Ismail pada suatu hadis berlandaskan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumya. Bab keempat adalah tentang studi kritis sanad, matan, dan pemikiran M. Syuhudi Ismail. Pada bab ini penulis akan membahas hadis-hadis yang akan dikritisi sanad dan matannya dengan metode yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Selanjutnya, penulis juga akan menelusuri pemikiran M. Syuhudi Ismail mengenai hadis-hadis tersebut. Bab kelima adalah penutup. Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan yang diikuti dengan saran-saran.
BAB II SEKILAS TENTANG M. SYUHUDI ISMAIL
A. Riwayat Hidup M. Syuhudi Ismail Muhammad Syuhudi Ismail bin H. Ismail bin Mistin bin Soemohardjo dilahirkan di Rowo Kangkung, Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 23 April 1943 M, sebuah desa yang terletak kurang lebih 20 KM dari Kabupaten Lumajang, atau sekitar 170 KM dari timur kota Surabaya.1 Ayahnya, H. Ismail, yang berasal dari suku Madura adalah seorang saudagar yang taat beragama. Sedangkan ibunya, Sufiyatun, berasal dari keturunan suku Jawa yang sangat perhatian dan penuh motivasi terhadap pendidikan anaknya. Pendidikan awal M. Syuhudi Ismail dimulai dari Sekolah Rakyat Negeri (SRN), tepatnya ketika ia berusia enam tahun, yaitu tahun 1949 M. Selama enam tahun ia menempuh pendidikan dasar di Sidorejo, yang tidak lain masih di Kabupaten Lumajang, hingga tahun 1955 M. dan mendapatkan ijazah di sekolah tersebut.2 Di samping itu, M. Syuhudi Ismail juga mendalami ilmu-ilmu keagamaan di waktu pagi dan sore dengan bimbingan orang tuanya. Selain dengan orang tuanya, ia juga mendalami ilmu keagamaannya pada seorang ulama dari salah satu pesantren di Jember, Jawa Timur, yang bernama Kiyai Mansur. Pada kiyai itu, ia
1
A. Arifudin, Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi Muhammad saw. di Indonesia: Study atas Pemikiran M. Syuhudi Ismail (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), h. 35. 2 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung : Angkasa, 1987) cet. 10. h. iii.
9
10
amat tekun dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan sehingga dapat menguasai beberapa ilmu keagamaan.3 Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Rakyat Negeri, selanjutnya pada usia dua belas tahun, tepatnya tahun 1955 M, ia melanjutkan pendidikan formalnya pada Sekolah Pendidikan Agama Negeri di daerah Malang. Selama tiga tahun ia bergelut dengan pendidikan keguruan dalam bidang agama, hingga akhirnya ia menamatkan studinya pada tahun 1959 M. dan mendapatkan ijazah. Pasca memperoleh Ijazah Keguruan Agama, ia diminta ayahnya untuk mengabdikan diri menjadi guru pada sebuah madrasah di daerahnya, Rowo Kangkung. Namun permintaan orang tuanya tersebut ditolak dengan alasan ia masih ingin mendalami pendidikan formalnya. Oleh karena itu, ia melanjutkan studi formalnya di Sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) pada tahun 1959 M. di Yogyakarta.4 Setelah tiga tahun lamanya menempuh pendidikan hakim, akhirnya M. Syuhudi Ismail mendapatkan Ijazah di instansi pendidikan tersebut. Kemudian ia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pengadilan Agama di daerah Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Di sana, M. Syuhudi Ismail tidak hanya mengabdikan diri kepada negara, ia juga menyempatkan waktu untuk melanjutkan studinya di Institut Agama Islam Negeri Ujung Pandang. Sebuah Perguruan Tinggi yang bernama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta cabang Makasar dan kemudian perguruan itu lebih populer dengan sebutan IAIN Alaudin. Sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keinginannya yang kuat untuk memperdalam pendidikan hakim, ia memutuskan untuk memperdalam 3 4
Arifudin, Pembaharuan Pemikiran, h. 36. Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, cet. 10. h. iii.
11
ilmunya pada Fakultas Syariah di institut tersebut. Akhirnya pada tahun 1969 M. ia lulus dan mendapatkan gelar Sarjana Muda IAIN dengan mengajukan karya ilmiah yang berjudul “Tempus Delictus Dalam Hukum Pidana Islam”.5 Selama masa tugas dan pendidikannya di Ujung Pandang, M. Syuhudi Ismail yang telah berusia 22 tahun berjumpa dengan Habiba binti H. Sanusi yang kemudian dipersuntingnya pada tanggal 26 Oktober tahun 1965 M. Dengan gadis berdarah Bugis kelahiran Pare-Pare tersebut, ia dikaruniai lima orang buah hati. Mereka adalah Yunida Indriani, Khairul Muttaqien, Muhammad Fuad Fathany, Muhammad Ahsan dan Muhammad Irfan.6 Setelah lulus dari IAIN dengan gelar Sarjana Muda, ia melanjutkan pendidikan formalnya ke tingkat sarjana lengkap pada Fakultas Syariah di tempat yang sama dan tamat pada tahun 1973 M., dengan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia”. Setelah menyelesaikan studinya di IAIN Alaudin dengan mendapatkan gelar sarjana lengkap, ia melanjutkan pendidikannya pada Studi Purna Sarjana (SPS) di Yogyakarta hingga lulus pada tahun 1979 M.7 Tidak sampai disitu, ia pun melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi dengan mengikuti program pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan tamat pada tahun1985 M.8 Beberapa selang waktu setelah menamatkan pendidikan S2 di Pascasarja IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia melanjutkan studi doktoralnya di insitut yang sama. Pada masa itu, disertasinya yang berjudul “Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah” 5
Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,cet. 10. h. iii. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995). Cet. III. h. vii. 7 Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,cet. 10. h. iii. 8 Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Cet. III. h. 269. 6
12
mendapatkan tanggapan baik dari berbagai pihak, sehingga beberapa penerbit berkeinginan untuk menerbitkan karyanya tersebut. Di sisi lain, M. Quraish Shihab, salah seorang dosen promotor karya M. Syuhudi Ismail memberikan komentar bahwa M. Syuhudi Ismail adalah peraih gelar doktoral Ilmu Hadis pertama yang dihasilkan oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan memperoleh yudisium “Amat Baik”. Ia juga memperoleh piagam sebagai “Doktor Terbaik” dari Rektor dalam acara wisuda IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lebih jauh, M. Syuhudi Ismail merupakan satu-satunya mahasiswa yang memperoleh dua predikat kehormatan akademik sepanjang IAIN Syarif Hidaytullah Jakarta melaksanakan program doktornya.9
B. Karir M. Syuhudi Ismail Sejauh pengamatan penulis, karir M. Syuhudi Ismail diawali dengan menjadi pegawai Pengadilan Agama Tinggi (Mahkamah Syar„iyyah) di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan dari tahun 1962 hingga tahun 1970 M. Lalu pada tahun 1967 M., ia diangkat sebagai dosen luar biasa di Institut Agama Islam Negeri Ujung Pandang, dan pada tahun 1970 M. ia diangkat sebagai dosen tetap pada institut tersebut. Saat itu, ia lebih berkonsentrasi pada karirnya di bidang pendidikan sehingga ia meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai Pengadilan Agama Tinggi.10 Integritasnya dalam bidang pendidikan dapat terlihat dari kegiatannya memberikan kuliah di berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta dari tahun
9
Muhammad Quraish Shihab dalam Sekapur Sirih, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah karya M. Syuhudi Ismail (Jakarta: Bulan Bintang, 1995). Cet. III. h. xvi-xvii. 10 Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Cet. III. h. v.
13
1973 M. hingga tahun 1985 M. Di antaranya, ia memberikan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Alaudin, Makasar (sejak tahun 1967 M.), di Fakultas Tarbiyah UNISMUH Makasar di Ujung Pandang dan Enkrekang (sejak tahun 1974-1979 M.), di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syariah Universitas Muslim Indonesia (sejak tahun 1976-1982 M.). Selain itu, M. Syuhudi Ismail juga aktif dalam memberikan pendidikan agamanya di pesanteran IMMIM Tamalenrea Ujung pandang, sejak tahun 1973 M. hingga tahun 1978 M.11 Selain mengajar, ia juga bertugas sebagai Kepala Bagian Mahasiswa dan Alumni IAIN Alaudin Ujung Pandang hingga tahun 1978 M. Di samping itu, ia sempat menjabat sebagai sekretaris KOPERTAIS Wilayah VIII Provinsi Sulawesi dari tahun 1974 M. samapai tahun 1983 M. Selanjutnya, pada priode ini pula, tepatnya dari tahun 1979 M. hingga tahun 1982 M., ia menjabat sebagai sekretaris al-Jam„iyyah IAIN Alaudin. Selain aktif dalam berbagai macam bidang keilmuan, M. Syuhudi Ismail juga aktif dalam berbagai macam kegiatan sosial kemasyarakatan. Hal itu terbukti dari kemampuannya dalam berafiliasi dan bergabung membesarkan organisasiorganisasi kemasyarakatan. Misalnya ia aktif di Majlis Tarjih Dewan Wilayah Sulawesi Selatan. Pada organisasi tersebut ia diangkat menjadi Tim Penentuan Arah Kiblat Masjid al-Markaz al-Islami. Di tempat lain, keaktifannya dalam organisasi juga dibuktikan dengan membuat wadah untuk kalangan intelektual. Di organisasi ini, M. Syuhudi Ismail membuat forum diskusi dalam rangka menampung aspirasi kalangan masyarakat menengah ke atas yang mencintai dan haus akan ilmu keagamaan. Dalam wadah ini, ia dipercaya sebagai ketua
11
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Cet. III. h. iv.
14
umumnya. Lebih jauh, pada tanggal 7 Desember 1990 M., M. Syuhudi Ismail juga pernah menjadi Sekretaris Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk Korwil Sulawesi Selatan.12 Kegigihan
dan
keuletan
M.
Syuhudi
Ismail
dibuktikan
lewat
keintegrasiannya baik di dunia pendidikan maupun organisasi sehingga hasil karya dan sepak terjangnya mendapatkan tanggapan positif dari berbagai kalangan. Namun ketika berada dalam puncak karirnya, ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. M. Syuhudi Smail wafat setelah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tepatnya pada hari Ahad, 19 Nopember 1995 M. dan dikebumikan di pekuburan Islam (Arab), Bontoala, Ujung Pandang.
C. Karya-Karya M. Syuhudi Ismail M. Syuhudi Ismail merupakan sosok intelektual yang banyak menghasilkan karya. Di tengah kesibukannya, ia masih sempat menulis berbagai macam karya ilmiah, mulai dari permasalahan agama hingga permasalahan umum. Namun di antara karya-karyanya, M. Syuhudi Ismail lebih fokus pada bidang hadis. M. Syuhudi Ismail banyak menghasilkan tulisan yang dicetak dalam bentuk buku, di antara buku-bukunya adalah: 1. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Bulan Bintang, Jakarta, 1988 M.). 2. Pengantar Ilmu Hadits (Angkasa, Bandung, 1988 M.) 3. Dampak Penyebaran Hadis Palsu (Berkah, Makasar, 1989 M.) 12
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 251.
15
4. Cara Praktis Mencari Hadis (Bulan Bintang, Jakarta, 1991 M.) 5. Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Bulan Bintang, Jakarta, 1993 M.) 6. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Bulan Bintang, Jakarta, 1994) .13 Selain itu, banyak juga tulisan beliau yang berupa makalah, artikel, ensiklopedi, dan lain-lain. Antaralain adalah: 1. Beberapa Hadits Populer dalam Masyarakat (Makalah, Ujung Pandang, 1982 M.). 2. Sistem Pemahaman dan Pendalaman al-Hadits (Makalah Fakultas Syriah IAIN Alaudin Ujung Pandang, 1982 M.).14 3. Imam Bukhari dan Beberapa Keistimewaannya (Artikel, surat kabar terbitan Jakarta, 1975 M.). 4. Metode Penelitian Hadis Ditinjau dari Metode Penelitian Sejarah (Pidato Ilmiah, IAIN, 1980 M.).15 5. Penelaahan Hadits dalam Usaha Pemecahan Masalah Hukum Sebelum Penggunaan Metode Ijtihad, (Paper, Kelompok Studi dan Riset IlmuIlmu Keislaman, Ujung Pandang, 1981 M.). 6. Pembahagian Hadits Nabi dan Tingkatannya (Pascasarjana, 1984 M.). 7. Hadits-Hadits Nabi Tentang Hukum dan Peradilan (Pascasarjana, 1985 M.).
13
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Buku, Bulan Bintang, Jakarta, 1994). M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Buku, Bulan Bintang, Jakarta, 2007) 14 Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, cet. 10. h. iii. dan h. 191. 15 Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, cet. 10. h. iii-v. dan h. 191
16
8. Pembahasan Kitab-kitab Hadits (Diktat, Ujung Pandang, 1986 M.).16 9. Hadits Shahih (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985 M.). 10. Hadits Hasan (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985 M.). 11. Hadits Dha‟if (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985 M.). 12. Abu Hurairah (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985 M.). 13. Ibnu Majah (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985 M.). 14. Al-Turmudzi (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985 M.).17
D. Gambaran Umum Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal Buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal adalah salah satu karya terbaik M. Syuhudi Ismail yang berisi kumpulan hadis-hadis nabi yang sahih. Buku ini berisi enam bab. Pada setiap bab dilengkapi hadis-hadis yang sesuai dengan judul babnya, kecuali bab enam yang berisi penutup dan merupakan jawaban dari semua hadis yang telah disampaikan. Buku ini merupakan naskah pidato yang disampaikan oleh M. Syuhudi Ismail dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar (berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, tanggal 30 juni 1993) di hadapan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa IAIN Alaudin Ujung Pandang Makasar pada tanggal 26 Maret 1994 M. Sebagian yang hadir menyarankan kepada M. Syuhudi Ismail, agar pidato tersebut segera diterbitkan. Bahkan, salah satu lembaga penerbitan di 16
Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, cet. 10. h. iii-iv. Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, cet. 10. h. iii-iv. M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis (Bulan Bintang: Jakarta, 1999) cet ke-2. h. 96 17
17
Ujung Pandang sempat mengemukakan kesediannya untuk menerbitkan naskah pidato tersebut. Setelah pidato, M. Syuhudi terlibat dalam beberapa diskusi ilmiah tentang pemahaman hadis Nabi, sehingga ia menyimpulkan bahwa penerbitan naskah pidato tersebut tampaknya bermanfaat.18 Pada dasarnya, judul buku ini sesuai dengan judul naskah pidatonya, yaitu “Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual dan Kontekstual (Telaah Ma„ani alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal). Namun untuk penerbitan, maka judul tersebut direvisi menjadi Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal.19 Buku ini diterbitkan kurang lebih satu tahun sebelum M. Syuhudi Ismail meninggal, yaitu pada tanggal 1 Muharram 1415 H./11 Juni 1994 M. Penerbitnya adalah PT. Bulan Bintang, Jalan Kramat Kwitang I No. 8 Jakarta 10420.20 Buku yang berisi 96 halaman ini berusaha memaparkan makna beberapa hadis ditinjau dari berbagai aspek, sehingga menghasilkan pemahaman yang sesuai dengan teks maupun konteksnya. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikan secara singkat setiap bab dari buku ini sebagai berikut : 1. Bab I Bab yang berisi pendahuluan ini adalah gambaran umum tentang pemahaman hadis dari sudut pandang peran Nabi yang begitu kompleks sehingga menghasilkan berbagai kemungkinan makna. Perihal sebab yang menyertai hadis juga dijadikan acuan untuk lebih memahami makna yang dikandungnya. Selain itu, mengenai hadis yang mempunyai kedudukan 18
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. v. Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. vi 20 Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. vi. 19
18
sahih tetapi tampak saling bertentangan, dimungkinkan pemahamannya secara tekstual maupun kontekstual. Pada akhirnya dalam berbagai hadis Nabi, terkandung ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, dan atau lokal.21 2. Bab II Bab kedua membahas sekitar bentuk matan hadis Nabi dan cakupan petunjuknya. Pada bab ini, M. Syuhudi Ismail membaginya menjadi lima klasifikasi. Pertama, Jawami‟ al-Kalim (ungkapan singkat namun padat makna) yang berisi hadis-hadis tentang Kemampuan Nabi mengemukakan jawami‟ al-kalim, Perang itu siasat, Minuman khamar, dan Mahram karena susuan. Kedua, Bahasa Tamsil (perumpamaan) yang berisi hadis-hadis tentang Persaudaraan atas dasar iman (1), Persaudaraan atas dasar iman (2), Kembali dari haji seperti bayi, dan Dunia sebagai penjara. Ketiga, Ungkapan Simbolik (ramzi) yang berisi hadis-hadis tentang Dajjal, Tuhan “turun” ke langit dunia, dan Ususnya orang mukmin dan orang kafir. Keempat, Bahasa Percakapan (dialog) yang berisi hadis-hadis tentang Amalan yang utama (1), Amalan yang utama (2), Amalan yang utama (3) Amalan yang utama (4), Kata kunci tentang iman, dan Berbuat adil kepada anak. Kelima, Ungkapan Analogi (qiyasi) yang berisi hadis-hadis tentang Warna kulit anak dan ayahnya, Penyaluran hasrat seksual yang bermakna sedekah.22 3. Bab III Pada bab ketiga dibahas mengenai kandungan sembilan hadis yang dihubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad saw. Di antaranya Lima 21 22
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 3-7. Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 9.
19
keutamaan Nabi Muhammad, Para pelukis yang disiksa, Kepala negara dari suku Quraisy (1), Kepala negara dari suku Quraisy (2), Pemimpin dari suku Habsyi, Keharaman keledai kampung, Keterbatasan pengetahuan hakim, Hakim berijtihad, dan Cara Nabi berbaring.23 4. Bab IV Kali ini, M. Syuhudi Ismail menerangkan tentang petunjuk hadis Nabi yang dihubungkan dengan latar belakang terjadinya. Pembahasan dalam bab keempat ini dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, Hadis yang tidak Mempunyai Sebab Secara Khusus. Berisi hadis-hadis tentang Keimanan pezina, pencuri, dan peminum khamar, Kewajiban menunaikan zakat al-fitri, Rukyah dan hisab, dan Berpuasa karena melihat bulan. Kedua, Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus. Berisi hadis-hadis tentang Yang tidak menyayangi tidak disayangi, Urusan dunia, Mandi pada hari jum‟at, Kewajiban mandi pada hari jum‟at, Syair (puisi) dan nanah, dan Syair dan hikmah. Ketiga, Hadis yang Berkaitan dengan Keadaan yang Sedang Terjadi. Berisi hadis-hadis tentang Setan dibelenggu dalam bulan Ramadhan, Wanita menjadi pemimpin, Mematikan lampu tatkala hendak tidur, Memlihara jenggot dan kumis.24 5. Bab V Pembahasan terakhir adalah tentang petunjuk hadis Nabi yang tampak saling bertentangan. Dalam bab ini, hadis-hadis yang tampak saling bertentangan dimungkinkan untuk dicari penyelesaiannya melalui beberapa metode yang umum dipakai oleh beberapa ulama. Itupun dengan 23 24
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 33. Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 49.
20
catatan bahwa hadis-hadis tersebut kedudukan sanadnya sahih. Dengan demikian, sebelum kandungan matan hadis yang tampak bertentangan dibahas, maka terlebih dahulu sanad-sanad hadis yang bersangkutan diteliti. Di antara metode yang umum dipakai adalah: a. al-Tarjih, yaitu meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat. b. al-Jam‟u (al-taufiq atau al-talfiq), yaitu mengkompromikan kedua hadis yang tampak bertentangan, atau diamalkan keduanya sesuai konteksnya. c. al-Nasikh wa al-Mansukh, yaitu menjadikan salah satunya sebagai “penghapus” atau “yang dihapus”. d. al-Tauqif, yaitu “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.25 Beberapa hadis yang menjadi pembahasan dalam bab ini adalah Larangan dan kebolehan buang hajat menghadap kiblat, Wajib dan tidak wajibnya mandi janabah karena senggama tanpa mengeluarkan sperma, Larangan dan kebolehan menulis hadis, dan Larangan dan kebolehan kawin kontrak (nikah mut‟ah). 6. Bab VI Bab terakhir dari buku ini adalah kesimpulan dari semua hadis yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Penjelasan yang dikemukakan M. Syuhudi Ismail mengisyaratkan bahwa ada beberapa hadis yang kandungannya dapat dipahami secara tekstual dan atau kontekstual. Dalam
25
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 71-73.
21
memahami kandungan hadis (setelah diketahui kesahihan sanadnya) diperlukan kegiatan pencarian qarinah-qarinah atau indikasi-indikasi yang relevan dan berhubungan dengan matan hadis tersebut. Dalam melakukan ijtihad, sangat disayangkan untuk mengabaikan teori dari berbagai disiplin pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial, misalnya sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah. Dengan demikian akan semakin jelas pemahaman ajaran Islam yang universal, temporal, dan lokal.26
26
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, h. 89-91.
BAB III METODOLOGI M. SYUHUDI ISMAIL DALAM MELACAK SANAD DAN MATAN HADIS SERTA PEMIKIRANNYA PADA DISIPLIN ILMU HADIS
A. Kaidah Kesahihan Sanad dan Matan Hadis Pengertian hadis secara umum adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. baik dari ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat. Walaupun, banyak ulama dalam menguraikan istilah hadis berbeda-beda penjabarannya, namun dari penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut dapat dipahami maknanya secara umum sebagaimana pengertian hadis di atas. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis menyampaikan makna hadis sebagaimana umumnya dipahami. Kajian mengenai hadis menjadi kajian yang membuka ruang perdebatan cukup luas. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Kedua, tidak seluruh hadis ditulis pada zaman Nabi. Ketiga, munculnya berbagai macam pemalsuan hadis. Keempat, adanya proses penghimpunan (tadwin) hadis yang memakan waktu lama. Kelima, karena jumlah hadis yang begitu banyak dengan metode penyusunan yang beragam dan telah terjadi periwayatan hadis secara makna.1
1
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Buku, Bulan Bintang, Jakarta, 2007) cet ke-2 h. 7-20. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995). Cet. III. h. 87-123.
22
23
Pada perkembangannya, hadis terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah hadis sahih. Jenis hadis ini menurut para ulama memiliki kriteria tersendiri, diantaranya: Pertama, sanadnya tersambung. Yaitu, tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya. Hal itu terjadi dari periwayat hadis pertama hingga akhir sanad dari hadis itu. Ketersambungan sanad hadis ini biasanya terjadi karena hubungan antara guru dan murid. Lebih rinci lagi, para ulama menguraikan beberapa hal mengenai periwayatan hadis. Di antaranya, semua nama perawi hadis harus tercatat pada sanad yang diteliti. Selanjutnya, mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat dan meneliti kata-kata antara perawi dengan periwayat terdekat dalam sanad, seperti kata haddatsanî, haddatsâ, akhbaranâ, „an, anna, dan lain sebagainya. Lebih jauh, untuk meneliti kesahihan sanad hadis, perawinya harus dinyatakan tsiqqat („âdil dan dâbit). Dengan demikian, ketersambungan sanad bisa dikatakan sahih ketika ia dalam keadaan muttasil dan marfû„. Kedua, periwayatnya bersifat „âdil. Dalam hal ini, para ulama menyatakan bahwa perawi tersebut bisa dikatakan „âdil jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Beragama Islam, baligh, berakal, taqwa, murû„ah, teguh dalam beragama, tidak berbuat dosa besar seperti syirik, menghindari dosa kecil, tidak berbuat bid„ah,
tidak berbuat maksiat, tidak berbuat fasik, menjauhi hal-hal yang
dibolehkan yang dapat merusak murû„ah, baik akhlaqnya, dapat dipercaya dan selalu berlaku benar. Dari kelima belas kategori yang dikemukakan tersebut, berdasarkan penelitian para ulama, terdapat satu sifat yang harus dimiliki oleh perawi yang dianggap dâbit, yaitu murû„ah.
24
Ketiga, periwayatnya bersifat dâbit. Pengertian dâbit dapat dipahami sebagai orang yang terjaga hafalannya tentang apa yang didengarnya dan ia mampu untuk menyampaikan hafalannya itu kapan saja ia menghendakinya. Dalam hal ini, para ulama memberikan ciri dan sifat perawi yang dâbit. Anatara lain adalah: 1. Perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya. 2. Perawi itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya. 3. Perawi itu mampu menyampaikan dengan baik riwayat yang telah didengar dan dihafalnya. Selanjutnya, para ulama mempersempit batasan bagi orang yang dikategorikan sebagai orang yang dâbit. Para ulama dapat mengatakan dâbit ketika periwayatnya dapat diketahui berdasarkan kesaksian para ulama dan berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikan dengan apa yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dâbit-annya. Sehingga, jika perawi itu mengalami kekeliruan maka ia masih dapat dinyatakan oleh para ulama sebagai perawi yang dâbit. Keempat, perawi hadis tersebut terhindar dari ke-syaz-an. Yakni, apabila seorang perawi hadis yang tsiqqat meriwayatkan hadis sedangkan perawi lain yang juga tsiqqat tersebut tidak meriwayatkannya. Hal ini, menurut al-Syâfi„î sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail, bisa disebabkan karena kesendirian individu periwayat dalam sanad hadis yang lebih dikenal dengan istilah fard mutlaq (kesendirian absolut) atau memang karena terdapat perawi yang tidak tsiqqat.
25
Kelima, hadis itu terhindar dari „illat. Istilah ini menurut Ibn Salâh dan alNawawî sebagaimana dikutip oleh M. Syuhudi Ismail adalah sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadis. Keberadaannya mempengaruhi kedudukan hadis yang memiliki kualitas sahih menjadi tidak sahih. Para ulama hadis umunya menyatakan ke-„illat-an suatu hadis dengan menunjukkan ciri bahwa sanad hadis tersebut tampak muttasil dan marfû„, tetapi setelah diadakan penelitian ternyata hadis tersebut muttasil tetapi mauquf. Bisa juga, sanadnya yang tampaknya muttasil dan marfû„, tetapi setelah diadakan penelitian ternyata muttasil tetapi mursal (hanya sampai pada tingkat tabi„î). Hal itu dimungkinkan karena terjadinya percampuran dengan hadis lain atau terjadinya kesalahan dalam penyebutan riwayat. Hal senada mengenai kaidah kesahihan sanad hadis juga disampaikan oleh Bustamin dan M. Isa H. A. Salam dalam karyanya Metodologi Kritik Hadis. Buku yang amat ringkas ini mengawali kajiannya mengenai sanad hadis dengan mengemukakan
kajian
kitab-kitab
Rijâl
al-Hadîts.
Disusul
dengan
mengemukakan penentuan hadis yang diteliti dan penelitian kualitas periwayat hadis. Lalu mereka mengemukakan mengenai kriteria kebersambungan sanad hadis dan meneliti syuzûz dan „illat.2 Mengenai kriteria kesahihan matan hadis, bebrapa ulama mengatakan bahwa penelitian mengenai matan hadis tidak mudah dilakukan. Hal itu dikarenakan masih minimnya kitab-kitab yang mengkritik matan secara khusus. Beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya penelitian matan, yaitu : 1. Adanya periwayatan secara makna. 2
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam Metodologi Kritik Hadis (PT. Raja Garfindo Persada: Jakarta, 2004) h. 22-58.
26
2. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja. 3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui. 4. Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “suprarasional”. 5. Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan. Walau bagaimanapun, para ulama telah berusaha melakukan penelitian matan hadis dengan berbagai pendekatan, salah satunya dengan menggunakan pendekatan bahasa Arab, karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan hadisnya. Selain pendekatan bahasa, para ulama juga melakukan pendekatan lainnya. Seperti pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa kritik matan hadis tidak hanya menggunakan pendekatan bahasa. Melalui berbagai pendekatan tersebut, penelitian mengenai matan hadis dapat dimungkinkan untuk menentukan kualitas hadis. Menurut al-Khatîb alBaghdadî, sebagaimana dikutip oleh Bustamin dan M. Isa H. A. Salam bahwa matan hadis bisa diterima jika memenuhi keriteria sebagai berikut: 1. Tidak bertentangan dengan akal sehat. 2. Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur‟an yang telah muhkam (ketentuan yang telah tetap) 3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
27
4. Telah bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama terdahulu. 5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti. 6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat. Jika salah satu di antara kriteria tersebut tidak ditemukan pada sebuah penelitian hadis, maka hadis tersebut dikategorikan memiliki matan yang tidak sahih. Ibn al-Jauzî secara singkat menyampaikan mengenai kriteria kesahihan matan hadis dengan mengatakan bahwa, jika hadis tersebut bertentangan dengan akal atau bertolak belakang dengan ketentuan pokok agama, maka ia digolongkan sebagai hadis maudû„.3 Di sisi lain, ada ulama yang menempuh jalan tengah dalam memberikan rambu-rambu kasahihan matan hadis. Salâh al-Dîn al-Adabî mengemukakan bahwa matan hadis dikatakan sahih jika : 1. Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur‟an. 2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. 3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, dan sejarah 4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.4 B. Metodologi Penelitian Hadis Nabi 1. Penelitian Sanad Salah satu kegiatan para ulama hadis dalam mengetahui sanad-sanad hadis adalah dengan cara men-takhrîj hadis. Kegiatan ini amat perlu disebabkan beberapa faktor, di antaranya : 3 4
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 62-63 Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 63-64.
28
a. Untuk mengetahui asal-usul riwayat yang akan diteliti. b. Untuk mengetahui seluruh riwayat hadis yang akan diteliti. c. Untuk mengetahui ada dan tidaknya syâhid atau muttabi„ pada sanad yang diteliti. Lebih jauh, untuk mengetahui seluruh sanad yang terdapat pada hadis yang akan di- takhrîj, perlu diadakan sebuah penelitian yang terpadu. Untuk menempuhnya, dapat digunakan dua pendekatan, yaitu Takhrîj al-Hadîts Bi al-Lafz dan Takhrîj al-Hadîts Bi al-Maudu„. Metode Takhrîj al-Hadîts Bi al-Lafz digunakan oleh ulama hadis dengan cara mengutip kata dari matan hadis yang akan diteliti. Para ulama dalam hal ini biasanya menggunakan kamus hadis. Salah satu kamus hadis yang sering digunakan untuk penelitian hadis adalah karya A.J. Weinsinck yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî, dengan judul al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz al-Hadîst al-Nabawî. Kamus ini setidaknya merujuk kepada sembilan perawi hadis yang lebih dikenal dengan sebutan Kutub al-Tis„ah. Kitab-kitab tersebut adalah : a. Abû „Abdullâh Muhammad bin Ismâîl bin Ibrâhîm bin Mugîrah Bardazbah al-Bukhârî, dengan karyanya Jami „al-Sahîh, Sahîh alBukhârî. b. Abû Husain Muslim bin al-Hujâj al-Qusairi al-Naisâiburi, dengan karyanya Jami „al-Sahîh, Sahîh Muslim. c. Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy‟ast al-Sijistânî, dengan karyanya Sunan Abî Dâwud.
29
d. Abû „Isâ Muhammad bin „Isâ bin Sawrah al-Tirmidzî, dengan karyanya Sunan al-Tirmidzî. e. Abû „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib al-Nasâ‟î, dengan karyanya Sunan al-Nasâ‟î. f. Abû „Abdullâh Muhammad bin Yazîd al- Quzwînî, dengan karyanya Sunan Ibn Mâjah. g. Abû Muhammad „Abdullâh bin „Abd al-Rahmân al-Dârimî, dengan karyanya Sunan al-Dârimî. h. Mâlik bin Anas, dengan karyanya al-Muwattâ‟. i. Abû „Abdullâh bin Ahmad bin Hanbal, dengan karyanya Musnad alImam Ahmad bin Hanbal. Kamus hadis yang serupa, terdapat pada kitab al-Jâmi„ al-Saghîr Min Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr karangan al-Imam al-Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân al-Suyûtî. Di dalam kamus hadis ini, al-Suyûtî mengklasifikasi hadis-hadis berdasarkan urutan abjad dari awal matan. Di sisi lain hampir setiap hadis yang dikutip selalu dikaitkan dengan sahabat yang meriwayatkannya. Lebih jauh, ia juga mengomentari kualitas sanad hadis tersebut. Kekurangan kitab ini adalah terkadang hadisnya ditulis tidak lengkap. Di sisi lain, kualitas yang diberikan al-Suyûtî amat longgar (tasahul) dan tidak dijelaskan pada hadis tersebut mengenai juz dan bagian-bagian kitab yang dikutip. Ketika peneliti menggunakan kitab ini, setidaknya untuk mengetahui lebih jauh, penulis perlu menggunakan bantuan kitab lain. Salah satunya kitab syarah al-Jâmi„ al-Saghîr ini, yaitu Faid al-Qadîr karya „Abd al-Raûf alMannâwî.
30
Adapun kitab-kitab yang menjadi rujukan kitab al-Jâmi„ al-Saghîr Min Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr adalah: a. Kitab Sunan al-Tirmidzî karya Imam al-Tirmidzî, kodenya ()ت. b. Kitab Tarîkh karya al-Bukhârî, kodenya ()تخ. c. Kitab Sahîh Ibn Hibban karya Ibn Hibban, kodenya ()حب. d. Kitab Hilyât al-Awliyâ‟ Wa Tabaqât al-„Asfiyâ‟ susunan Abû Nu„aim al-Asbahânî, kodenya ()حل, e. Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal karya Imam Ahmad, kodenya ()حن, f. Kitab Sahîh al-Bukhârî karya Imam al-Bukhârî, kodenya ()خ, g. Kitab al-Adab karya Imam al-Bukhârî, kodenya ()خذ, h. Kitab Tarîkh Baghdad karya Abû Bakr Ahmad bin „Alî bin Sabit bin Ahmad al-Baghdâdî yang lebih dikenal dengan sebutan al-Khatîb alBaghdâdî, kodenya ()خط, i. Kitab Sunan Abû Dâwud karya Imam Abû Dâwud, kodenya ()د, j. Kitab hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abî Syaibah, kodenya ()ش, k. Kitab al-Sunan karya Sa„d bin Mansur, kodenya ()ص, l. Kitab al-Mu„jam al-Kabîr karya Imam al-Tabarani, kodenya ()طب, m. Kitab al-Mu„jam al-Wasit karya Imam al-Tabarani, kodenya ()طس, n. Kitab al-Mu„jam al-Saghîr karya Imam al-Tabarani, kodenya ()طص, o. Kitab Musnad Abû Ya„lâ karya Abû Ya„lâ, kodenya ()ع, p. Kitab al-Jâmi„ karya „Abd al-Razâq bin Hammâm, kodenya ()عب, q. Kitab al-Kâmil Fi al-Du„âfa‟ karya Ibn „Adî, kodenya ()عذ, r. Kitab al-Du„afâ‟ karya „Uqailî, kodenya ()عق,
31
s. Kitab al-Zawâ‟id Musnad Ahmad bin Hanbal atau lebih masyhur dengan nama al-Zawâ‟id karya „Abdullâh bin Ahmad bin Hanbal, kodenya ()عن, t. Kitab al-Firdaus atau Ma„tsur al-Khitab al-Mukhrâj „Alâ Khitâb alSyihâb karya Imam al-Dailamî, kodenya ()فر, u. Kitab yang termuat dalam kitab Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim yang diriwayatkan oleh Mutafaq „Alaih (Imam al-Bukhârî dan Imam Muslim), kodenya ()ق, v. Kitab Sunan al-Dâr al-Qutnî karya Imam al-Dâr al-Qutnî, kodenya ()قط. Seandainya terdapat pada kitab lain, namun dengan penulis yang sama. Maka dalam kitab al-Jâmi„ al-Saghîr akan diberi keterangan. w. Kitab al-Mustadrâk karya Imam al-Hâkim, kodenya ()ك. Seandainya terdapat pada kitab lain, namun dengan penulis yang sama. Maka dalam kitab al-Jâmi„ al-Saghîr akan diberi keterangan. x. Kitab Sahîh Muslim karya Imam Muslim, kodenya ()م, y. Kitab Sunan al-Nasâ‟î karya Imam al-Nasâ‟î, kodenya ()ن, z. Kitab Sunan Ibn Mâjah karya Imam Ibn Mâjah, kodenya ()هـ. aa. Kitab Syu„âb al-Imân karya Imam al-Baihaqî, kodenya ()هب. bb. Kitab al-Sunan al-Kubrâ karya Imam al-Baihaqî, kodenya ()هق. cc. Kitab yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi hadis, yaitu Abû Dâwud, al-Tirmidzî dan al-Nasâ‟î. Dikutip oleh al-Suyûtî dari kitab Sunan mereka masing-masing.
32
dd. Kitab yang diriwayatkan oleh empat orang perawi hadis, yaitu Abû Dâwud, al-Tirmidzî, al-Nasâ‟î dan Ibn Mâjah. Dikutip oleh al-Suyûtî dari kitab Sunan mereka masing-masing. Adapun lambang-lambang yang digunakan untuk menilai kualitas sanad hadis dalam kitab Jâmi„ al-Saghîr adalah sahîh ()صح, hasan ()ح, dan da„îf ()ض. Cara mencari hadis Nabi melalui pendekatan kata dapat juga dilakukan dengan menggunakan kamus hadis berupa kitab Hidâyat al-Bârî Ilâ Tartîb Ahâdits al-Bukhârî yang disusun oleh „Abd al-Rahîm Ambar al-Misrî alTahtawî. Kamus Hadis ini hanya dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Jâmi „al-Sahîh, Sahîh al-Bukhârî karya Imam alBukhârî. Ada pula kamus hadis untuk mencari hadis-hadis yang terdapat pada kitab Jâmi„ al-Sahîh, Sahîh Muslim, yaitu kitab Fihris Li Tartîb Ahâdîts Sahîh Muslim karya Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî„. Selain itu, Muhammad Fu‟ad „Abd al-Bâqî„ juga menyusun kitab-kitab yang digunakan untuk mencari hadis-hadis riwayat Ibnu Mâjah dan hadis-hadis riwayat Imam Mâlik.5 Lain daripada itu, Muhammad al-Syarîf bin Mustafâ al-Tauqidî menyusun sebuah kitab yang dapat dipakai untuk mencari secara khusus hadis-hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim. Kamus hadis ini diberi nama kitab Miftah al- Sahîhain. Selain memuat hadis-hadis dari kitab Sahîh al-Bukhârî dan Sahîh Muslim, kitab ini juga memuat Sayrh kedua kitab tersebut. Adapun kitab-kitab yang dirujuk oleh kamus hadis ini adalah: a. Sahîh al-Bukhârî, terbitan tahun 1296 H, dengan kode بُخَارِي
5
Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, cet ke-2 h. 19-29.
33
b. Sahîh Muslim, terbitan tahun 1290 H, dengan kode ٌُهسْلِن c. Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî karya Ibnu Hajar al-„Asqalânî, terbitan tahun 1301 H, dengan kode عسْ َقالَنِي َ d. „Umdat al-Qârî Syarh Sahîh al-Bukhârî susunan Abû Muhammad Mahmûd bin Ahmad al-„Ainî, terbitan tahun 1309 H, dengan kode ْعَيْنِي e. Irsyâd al-Sarî karya Muhammad Qastalânî terbitan mesir 1293 H, terbitan tahun 1293 H. dengan kode طالَنِي َس ْ َق f. al-Minhâju Fî Syarh Sahîh Muslim bin al-Hajjâj atau dikenal dengan Sahîh Muslim Bi Syarh al-Nawawî terbitan tahun 1293 H. dengan kode َن َووِي.6 Selain itu, ada juga kamus hadis yang menerangkan berbagai hadis yang termuat dalam kitab yang bukan merupakan kitab hadis. Kamus hadis tersebut adalah al-Bughyât Fi Tartîbi Ahâdîts al-Hilyât buah karya al-Sayyid „Abd al-„Azîz bin al-Sayyid Muhammad bin al-Sayyid Siddîq al-Camarî. Kamus hadis ini memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab Hilyât al-Awliyâ‟ Wa aTbaqât al-„Asfiyâ‟ susunan Abû Nu„aim al„Asbahânî. Kitab ini memuat dua bagian, yaitu hadis yang berbicara mengenai hadis-hadis Fi„liyyah dan hadis-hadis Qauliyyah. Dalam Kamus Hadis ini termuat kurang lebih 5000 hadis. Ada juga ulama yang mengarang karya yang serupa dengan Hilyât, yaitu Abû Bakr Ahmad bin „Alî bin Sabit bin Ahmad al-Baghdadî yang lebih dikenal dengan sebutan al-Khatîb al-Baghdadî, ia menyusun kitab Tarîkh Baghdâd. Serupa dengan kitab al-Hilyât, Tarîkh Baghdâd juga memuat dua bagian, yaitu hadis yang berbicara mengenai hadis-
6
Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, cet ke-2 h. 30-32.
34
hadis Fi„liyyah dan hadis-hadis Qauliyyah. Tarîkh Baghdâd memuat sekitar 4500 hadis.7 Metode Takhrîj al-Hadîts Bi al-Maudu„ dilakukan dengan cara mencari hadis sesuai temanya, dengan bantuan kamus hadis seperti Miftah alKunûz al-Sunnah krya A.J. Weinsinck. Kitab Miftah al-Kunûz al-Sunnah ini memuat empat belas kitab, selain Kutub al-Tis„ah ditambah dengan kitab Musnad Zaid bin „Alî, Musnad Abî Dâwud al-Tayâlisi, Tabâqat Ibn Sa„d, Sîrah Ibn Hisyâm dan al-Maghazî al-Wâqidî. Kitab yang disampaikan di dalam kitab Miftah al-Kunûz al-Sunnah tidak semuanya lengkap, oleh karena itu perlu ditambah dengan kitab yang serupa, yaitu kitab yang membahas berdasarkan topik hadis yang serupa, kitab tersebut antara lain misalnya Muntaqâb Kanz al-„Umâl yang disusun oleh „Alî bin Hisyâm al-Dîn al-Mutaqî yang merujuk kurang lebih dua puluh kitab. Setelah mendapatkan sanad yang telah diteliti, maka harus dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Melakukan i„tibar. Menurut Mahmûd al-Tahhân adalah
Menyertakan sanad-sanad hadis tertentu dengan sebuah riwayatnya yang pada bagian sanadnya tampak terdapat hanya seorang perawi saja agar dapat diketahui apakah ada periwayat lain atau tidak bagi sanad-sanad hadis yang dimaksud.8 Dalam hal ini, setelah dilakukan i„tibar maka dibuatlah skema sanad hadis. b. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya. Pada langkah kedua ini mengacu kepada kaidah kesahihan sanad hadis. Segi-segi 7 8
Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, cet ke-2 h. 37-39. al-Tahhân, Taisîr al-Mustalah al-Hadîts, juz I h. 75.
35
pribadi periwayat diterangkan dengan meneliti kualitas pribadi periwayat dan kapasitas intelektual periwayat. Melakukan jarh wa alta„dil, meneliti persambungan sanad hadis yang diteliti, dan meneliti syuzuz dan „illat. c. Menyimpulkan hasil penelitian sanad.
2. Penelitian Matan Setelah
peneliti
mengetahui
seluruh
sanad-sanad
hadis
serta
mengetahui kualitas perawi tersebut dan menyimpulkan kualitas hadis dari segi sanad hadis, maka peneliti harus meneliti keberadaan kualitas matan hadis tersebut. Adapun langkah-langkah yang akan diupayakan oleh seorang peneliti matan hadis adalah: a. Meneneliti matan hadis dengan melihat kualitas sanadnya. Dalam hal ini peneliti harus memahami bahwa kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualias sanadnya dan peneliti benar-benar telah menguasai kaidah kesahihan sanad hadis sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. b. Meneliti susunan lafaz yang semakna. Yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya perbedaan lafaz pada setiap hadis Nabi. Ketika terjadi hal tersebut, peneliti melakukan langkah metode muqaranah9, ziyâdah10 dan idrâj11.
9
Metode ini adalah metode perbandingan. Metode ini tidak hanya digunakan pada matan saja tetapi juga pada sanad-sanad hadis. 10 Menurut bahasa, ziyadah adalah tambahan, hal ini bisa terjadi pada lafaz atau kalimat yang terdapat pada matan itu. Ulama hadis biasanya menekankan bahwa ziyadah itu dilakukan oleh seorang perawi.
36
c. Meneliti kandungan matan. Dalam hal ini peneliti membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan dengan kandungan matan yang tidak sejalan atau bertentangan. d. Menyimpulkan hasil penelitian matan hadis.
C. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Pada Suatu Hadis Pemikiran berasal dari kata pikir. Menurut bahasa, maknanya adalah akal budi, ingatan, dan angan-angan. Dalam makna lainnya, pikir bisa juga berarti kata dalam hati atau pendapat. Sedangkan menurut istilah, pemikiran adalah proses, cara, perbuatan memikir seseorang atau problem yang memerlukan pemecahan.12 Selain itu, dapat juga dikemukakan bahwa pemikiran adalah cara pandang seseorang yang hasil dari pemikirannya dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Dalam hal ini penulis akan menelusuri pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam memahami hadis Nabi. Pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam kaitannya dengan hadis-hadis yang penulis bahas, dapat dipahami sebagai berikut: 1.
Dalam memahami hadis, terlebih dahulu ia mendudukan hadis tersebut pada porsinya. Yaitu dengan mengemukakan perbedaan dan kekhususan yang disebabkan oleh perbedaan waktu dan tempat. Dengan cara ini, maka tampaklah hadis yang menunjukkan bahwa ajaran Islam bersifat universal, temporal dan lokal.
11
Idraj menurut bahasa adalah memasukan atau menghimpun. Kaitannya dengan matan hadis adalah memasukan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan itu berasal dari Nabi karena tidak adanya penjelasan dalam matan hadis tersebut. 12 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) cet. 4. h. 872-873.
37
2.
Setelah itu, ia mengemukakan segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi Muhammad saw. dan memahami situasi dan kondisi yang melatar belakangi atau yang menyebabkan terjadinya hadis tersebut. Dalam hal ini, ia menggunakan asbâb al-wurûd. Dengan pendekatan tersebut, bisa jadi suatu hadis dipahami secara tersurat (tekstual) dan dipahami secara tersirat (kontekstual).13
3.
Selanjutnya ia akan menjelaskan makna hadis dengan merujuk pada kitab-kitab syarah hadis. Setelah itu, menyimpulkan makna hadis sebenarnya dan menjelaskan kemungkinan hadis tersebut untuk dipahami secara universal, temporal atau lokal. Setelah penulis pahami, ternyata metode yang digunakan M. Syuhudi
Ismail untuk meneliti suatu hadis, tidak jauh berbeda dengan para ulama hadis terdahulu. Hanya saja, ia berusaha mengemasnya dengan susunan yang dibuat semenarik mungkin dan berusaha mengaitkannya dengan berbagai disiplin ilmu yang terus berkembang.
13
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Buku, Bulan Bintang, Jakarta, 1994). M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Buku, Bulan Bintang, Jakarta, 2007) h. 3-7.
BAB IV STUDI KRITIS SANAD, MATAN, DAN PEMIKIRAN M. SYUHUDI ISMAIL
Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu penulis menggaris bawahi bahwa pada bab IV ini penulis hanya mengkritisi sanad dan matan hadis yang terdapat dalam kitab hadis selain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Karena kedua perawi tersebut telah disepakati oleh para ulama akan kesahihan hadisnya.
A. Hadis Tentang Yang Tidak Menyayangi Tidak Disayangi 1. Kritik Sanad Di dalam buku Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal pada bab Hadis yang Mempunyai Sebab Secara Khusus karya M. Syuhudi Ismail, tercantum potongan hadis:
Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka tidak disayangi (HR. al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain. Dari Abû Hurairah) M. Syuhudi Ismail dalam bukunya menyatakan bahwa hadis tersebut berstatus sahih, namun pada buku itu tidak disebutkan rangkaian sanad yang menunjukkan bahwa hadis tersebut sahih. Di sisi lain, ia juga tidak menyampaikan secara sempurna terdapat di kitab mana saja ia berada. Setelah penulis lacak, hadis tersebut memiliki banyak perawi yang meriwayatkannya. Di dalam kitab al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz al-Hadîst al-Nabawî karya Arnold
38
39
Jhon Weinsinck, terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadis. Di antaranya Kha (kitab Sahîh al-Bukhârî) adab 18 dan 28. Mim (Sahîh Muslim) Fada‟il 65. Dal (Sunan Abî Dâwud) adab 145. Ta (Sunan al-Tirmidzî) birru 12. Ham (Musnad Ahmad bin Hanbal) II, 229, 241, 369 dan 514.1 Di dalam kitab Sunan Abî Dâwud.
Sanad-sanad hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud adalah Musadad, Sofyân, al-Zuhrî, Abû Salama dari Abû Hurairah. Hampir terjadi persamaan antara sanad-sanad yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî, Muslim dan Abû Dâwud mengenai hadis yang tidak menyayangi tidak disayangi. Pada hadis Abû Dâwud sanad pertama diriwayatkan oleh Musadad. Kitab Sunan al-Tirmidzî
1
Arnold Jhon Weinsinck, Mu‟jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîs al-Nabawiyah. EJ. Brill, Leiden. Jilid II h. 236. 2 Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud (Dar al-Fikr: Beirut) bab fi qablati al-rajuli waladahu Juz 4 h. 24.
40
Rangkaian sanad hadis dari Al-Tirmidzî adalah Ibn Abî „Amru dan Sa„îd bin „Abd al-Rahmân, Sufyân, al-Zuhrî, Abû Salamah dari Abû Hurairah ra. Menurut al-Tirmidzî (Abû „Îsâ) bahwa hadis ini berstatus hasan sahîh.3 Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Sanad-sanad hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal di dalam kitabnya, Musnad Ahmad bin Hanbal mengemukakan sanad-sanad hadis yang diriwayatkannya amat banyak, namun dalam hal ini penulis mengambil sebuah hadis yang sanad-sanadnya adalah „Abdullâh, Abî (Ahmad bin Hanbal), Husyaim, al-Zuhrî, Abî Salamah dari Abû Hurairah ra. Menurut penulis, hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal ini berkualitas sahih karena memenuhi syarat alSyaikhâni (al-Bukhârî dan Muslim) . Hemat penulis semua hadis di atas berkualitas sahih. Hal itu disebabkan karena hadis di atas memenuhi kriteria kesahihan sanad hadis. Di antaranya terdapatnya ketersambungan sanad, periwayat-periwayatnya bersifat „âdil dan dâbit. Perawi hadisnya juga harus terhindar dari ke-syaz-an dan terhindar dari „illat.. Dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa hadis mengenai yang tidak menyayangi tidak disayangi sanad-sanadnya sahih.
3
Abû „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Sawrah al-Tirmidzî , Sunan al-Tirmidzî (Daar al-Fikr: Libanon) Bab Rahmat al-Walad juz 4 h. 318. 4 Abû „Abdullâh bin Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. (Dar alKutub al-Islamî: Beirut) juz II h. 228, 241, 269, dan 514. 152. juz IV h. 365.
41
2. Kritik Matan Kriteria kesahihan matan hadis menurut para ulama di antaranya adalah meneliti sisi bahasa yang sesuai dengan bahasa kenabian, mengemukakan pendapat ulama, meneliti sejarah, dan melihat kesesuaian dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk mengetahui kualitas matan hadis yang menjadi objek penelitian penulis, maka penulis menggunakan pendekatan tersebut. Hadis di atas secara umum menerangkan tentang kasih sayang harus diberikan kepada semua manusia, berlaku tanpa batasan waktu dan tempat. Dalam hal ini, penulis akan menguraikannya sebagai berikut. Pertama, mengemukakan melalui pendekatan bahasa. Dengan mengambil sebuah kata yang dianggap penting, yaitu yarhamu, asal kata dari rahima-yarhamu yang berarti menyayangi, dan kata tersebut biasa digunakan oleh Rasulallah saw. Kedua, penulis mengemukakan melalui pendekatan pendapat para ulama. Di antaranya penulis mengemukakan pendapat al-„Ainî.5 Ia mengutarakan bahwa hadis di atas serupa dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Barang siapa yang tidak menyayangi manusia, maka ia tidak disayangi oleh Allah swt.6 Selanjutnya, al-„Ainî mengemukakan hadis yang diriwayatkan oleh al-Tabarânî, yaitu,
Barang siapa yang tidak menyayangi orang yang ada di bumi, maka ia tidak disayangi oleh siapa yang ada di langit.7 5
Badru al-Dîn al-„Ainî al-Hanafî, „Umdat al-Qâri Syarh Sahîh al-Bukhârî (Mulifat Wurud Min Multaqi Ahl al-Hadis) Juz XXXII h. 194. 6 Abû al-Husain Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim al-Qusyairî al-Nîsâbûrî, al-Jâmi„ alSahîh al-Musammâ Sahîh Muslim (Dar al-Jail Beirut + Dar al-Afaq al-Jadidah-Beirut) bab Rahmatu al-Sibyan wa al-„Iyal wa Tawadi„uhu. Jilid 7 h. 77.
42
Selanjutnya, ia mengutarakan pendapat al-Tabarânî yang dikutip dari kitab Mu„jam al-Ausat,
Barang siapa yang tidak menyayangi kaum muslimin, maka ia tidak disayangi oleh Allah swt. 8
Ketiga, penulis mengemukakan dengan pendekatan sejarah. Dalam hal ini, penulis merujuk ke asbâb al-wurûd hadis. Setelah dilacak bahwa hadis tersebut memiliki kisah tentang al-Aqra‟ yang melihat Rasulullah saw. mencium cucunya, sedangkan ia tidak pernah mencium kesepuluh anaknya. Mananggapi hal tersebut, Rasulullah saw. bersabda dengan hadis yang menjadi pembahasan ini. Dengan demikian, melalui pedekatan sejarah, hadis di atas pernah terjadi di masa Rasulallah saw.9 Keempat, kesesuaian hadis dengan prinsip agama. Ajaran mengenai kasih sayang merupakan syariat yang ditujukkan kepada seluruh manusia. Bahkan Rasulullah saw. diturunkan ke muka bumi ini sebagai rahmatan li al-„âlamîn. Jadi hadis ini sesuai dengan syariat agama. Dengan demikian melalui keempat pendekatan tersebut penulis berkesimpulan bahwa matan hadis yang tidak menyayangi tidak disayangi sahih.
3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Tentang Hadis Yang Tidak Menyayangi Tidak Disayangi 7
Sulaimân bin Ahmad bin Ayûb Abû al-Qâsim al-Tabarânî, al-Mu„jam al-Kabîr (Maktabah al-„Ulûm wa al-Hukm-al-Mausul) Juz. II h. 355. 8 al-Tabarânî, al-Mu„jam al-Awsat (Dar al-Haramain-al-Qahirah 1415) Juz. IX h. 23. 9 Lihat Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî.
43
Pemikiran M. Syuhudi Ismail tentang hadis pertama ini diawali dengan menyampaikan sebuah hadis dan mendudukan hadis tersebut pada porsinya, yang di dalam hadis tersebut mengandung asbâb al-wurûd hadis itu. Setelah itu, ia memberikan kesimpulan bahwa hadis itu merupakan Jawami„ al-Kalim, yaitu ungkapan yang singkat namun padat dengan makna. Lebih jauh, jika hadis ini difahami secara tekstual, maka hadis ini mengandung petunjuk yang bersifat universal. Pemikiran M. Syuhudi Ismail dipengaruhi oleh asbâb al-wurûd hadis ini dan pendapat al-Nawawî yang menyatakan bahwa hadis ini bersifat umum, berlaku tanpa batas waktu dan tempat.10 Menurut penulis, pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam memahami hadis ini
adalah menitikberatkan pada keterangan dari asbâb al-wurûd. Selain itu, metode yang digunakannya dalam meneliti hadis diatas juga tidak jauh berbeda dengan ulama hadis kebanyakan.
B. Hadis Tentang Urusan Dunia 1. Kritik Sanad Hadis tentang urusan dunia
Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu (HR Muslim) Hadis tentang urusan dunia hanya terdapat dalam kitab Shahih Muslim, yaitu al-Jami„ al-Sahîh al-Musamma Sahîh Muslim karya Abû al-Husain Muslim
10
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani alHadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Buku, Bulan Bintang, Jakarta, 1994). h. 54-55.
44
bin al-Hujjaj bin Muslim al-Qusyairî al-Nîsâburî.
Informasi tersebut penulis
kutip dari kitab Kanzu al-„Umâl Fî Sunan al-Aqwâl wa al-Af„âl karya „Alî bin Hisyâm al-Dîn al-Mutaqî al-Hindî, di dalam bukunya terdapat keterangan Mim „An Anas Wa „Aisyah.12 Perlu diketahui, mengenai hadis tentang urusan dunia. Ada beberapa hadis dengan tema yang sama, tetapi berbeda dari sisi sanad dan matan. Di antara hadis tersebut adalah: Kitab Sunan Ibn Mâjah
Rangkaian sanad-sanadnya adalah Muhammad bin Yahyâ, „Affân, Himmâd, Tsâbit, Anas bin Mâlik dan Hisyâm bin „Urwah, dari bapaknya dari „Âisyah.
Rangkaian sanad hadis dengan tema yang sama ini hampir serupa
dengan sanad-sanad hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hemat penulis hadis di atas sesuai dengan kriteria kesahihan sanad hadis. Jadi penulis, berkesimpulan bahwa hadis ini berkualitas sahih.
11
al-Nîsâbûrî, al-Jâmi„ al-Sahîh al-Musammâ Sahîh Muslim, bab Wujub al-Imtitsal ma qalahu Syar „an Duna. Jilid VII h. 95. 12 „Alî bin Hisyâm al-Dîn al-Mutaqî al-Hindî, Kanzu al-„Umal Fî Sunan al-Aqwâl wa alAf„âl (Tarqîm al-Kitâb Muwâfiq Li al-Matbu„) juz XI h. 465. 13 Muhammad bin Yazîd Abû „Abdullâh al-Quzwînî, Sunan Ibn Mâjah (Dar al-Fikr: Beirut). Juz II. h. 825.
45
Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Dalam kitabnya, Ahmad bin Hanbal mengemukakan sanad-sanad hadis dari berbagai jalur. Namun, penulis mengambil sebuah hadis yang sanad-sanadnya adalah „Abdullâh, Abî (Ahmad bin Hanbal), „Abd al-Samad, Hammad, Tsâbit, dari Anas.14 Seperti halnya kualitas hadis di atas, penulis berkesimpulan bahwa status hadis tersebut berkualitas sahih karena sesuai dengan kriteria kesahihan sanad hadis. Hadis-hadis di atas memiliki rangkaian sanad yang sahih. Baik itu melalui penelitian yang telah dilakukan oleh perawi hadis maupun para pengkritik hadis. Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa hadis mengenai urusan dunia sanad-sanadnya sahih.
2. Kritik Matan Sebagaimana kriteria kesahihan matan, hal-hal yang ditempuh adalah: Pertama, penulis meneliti dari sisi bahasa Arab untuk mencari kesesuaian dengan bahasa Nabi. Namun perlu diketahui bahwa hadis di atas secara umum mengenai
14
Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz III h. 152.
46
urusan dunia, yaitu tentang petani yang hendak mengawinkan tanamannya agar mendapatkan hasil terbaik. Dengan pendekatan bahasa, penulis mengambil sebuah kata yang dianggap penting, yaitu A„lamu, asal kata dari „Alima-ya„lamu yang berarti mengetahui. Kata tersebut merupakan ism tafdîl (kata kerja yang bermakna memiliki keunggulan dari yang lainnya) kata a„lamu pada hadis tersebut digunakan oleh Rasulallah saw. karena petani tersebut lebih mengetahui masalah pertnian. Kedua, penulis mengemukakan melalui pendekatan pendapat para ulama. Dalam hal ini penulis mengemukakan pendapat al-Nawawî. Menurutnya, ucapan Nabi tersebut tidak berdasarkan syariat tetapi menurut pendapat dan ijtihadnya sendiri tentang urusan dunia sebagaimana layaknya kehidupan kesehariannya. Di sisi lain, para sahabat seperti „Ikrimah mengatakan bahwa lafaz tersebut tidak bersumber dari Nabi saw. secara hakiki. Di tempat lain, para ulama mengatakan bahwa bidang pertanian bukanlah keahliannya, Nabi lebih memahami soal perdagangan, perang, dan menggembala kambing. Oleh karena itu, masalah pertanian bukanlah bidangnya.15 Ketiga, penulis menjelaskan dengan pendekatan sejarah, di dalam kitab Sahîh Muslim dikemukakan pada suatu hari Rasulullah saw. lewat dan bertemu petani yang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina). Ia bersabda, “Sekiranya kamu tidak melakukan hal itu niscaya kurma itu akan baik.” Mendengar komentar dari Nabi saw. petani tersebut tidak lagi melakukan hal itu. Setelah beberapa lama, Nabi saw. lewat dan menegur para petani itu, “Mengapa pohon kurma itu?” lalu para petani mengatakan sesuai dengan apa yang telah 15
Abû Zakaria Yahyâ bin Syarafuddîn al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî (Dar al-Ihya al-Turats al-„Arabi: Beirut) Juz XV h. 116.
47
disampaikan oleh Nabi saw. Mendengar keluhan seperti itu, Nabi bersabda, “Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu”.16 Hadis beserta asbâb al-wurûd yang terdapat di dalam kitab Sahîh Muslim merupakan bukti pendekatan sejarah hadis di atas pernah dialami oleh Rasulallah saw. Keempat, kesesuaian hadis dengan prinsip agama. Ajaran mengenai ikhtiar dalam kehidupan duniawi amat ditekankan, terutama inovasi dalam berbagai hal agar mendapatkan hasil terbaik. Allah swt. berfirman dalam surah al-Qasas [28]: 77, Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. Bahkan, setelah melakukan shalat ditekankan untuk bertebaran mencari karunia Allah swt. Di dalam firman-Nya dikemukakan,
Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu„ah [62]: 10) Ikhtiar dalam kehidupan duniawi, inovasi dalam berkerja dan mencari karunia Allah swt. merupakan sesuatu yang amat dianjurkan syariat Islam. Oleh karena itu, hadis ini tidak bertentangan dengan agama. Dengan demikian setelah dikemukakan empat macam pendekatan kesahihan matan hadis, dapat penulis simpulkan bahwa matan hadis tersebut sahih.
16
al-Nîsâbûrî, al-Jâmi„ al-Sahîh al-Musammâ Sahih Muslim, bab Wujub al-Imtitsal ma qalahu Syar „an Duna. Jilid VII h. 95.
48
3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Tentang Hadis Urusan Dunia Dalam hadis kedua tentang urusan dunia, M. Syuhudi Ismail mengemukakan hadis dan mendudukan hadis tersebut pada porsinya lalu mengemukakan asbâb al-wurûd hadis itu dengan mengutip kitab Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî karya Abû Zakaria Yahyâ bin Syarafuddîn al-Nawawî, setelah dikemukakan asbâb al-wurûd hadis itu. Ia menyimpulkan bahwa hadis tersebut tidak dapat difahami secara tekstual, karena masalah pertanian bukanlah bidang Nabi saw. Tetapi ia lebih mengedepankan kehidupan akhirat, walaupun di sisi lain ia juga ahli dalam beberapa hal urusan dunia. Hadis ini harus difahami secara kontekstual, karena menunjukkan penghargaan kepada petani yang melakukan pekerjaannya secara profesional, yaitu sesuai dengan bidangnya.17 Seperti hadis sebelumnya, pemikiran M. Syuhudi Ismail terhadap hadis ini bertolak dari pemahamannya terhadap asbâb al-wurûd yang mengiringi hadis tersebut. Begitu juga dengan metodologi penelitiannya, tidak berbeda dengan hadis sebelumnya.
C. Hadis Tentang Mandi Pada Hari Jumat 1. Kritik Sanad Hadisnya adalah,
. Apabila kamu sekalian hendak datang (menunaikan shalat) jumat, maka hendaklah (terlebih dahulu) mandi (HR. al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain)
17
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 56-58.
49
Di dalam kitab al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz al-Hadîst al-Nabawî terdapat isyarat yang menyatakan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadis. Di antaranya Kha, jum„ah (di dalam kitab Sahîh al-Bukhârî kitab Jumat) 2, 3, 5, 6, 12, dan 26, adzan 161, dan syahadah 185. Mim (Sahîh Muslim) Musafirin 26 dan 27, Jum„ah 1, 2, 3, dan 6-8. Dal (Sunan Abî Dâwud) Taharah 127 dan 128. Ta (Sunan al-Tirmidzî) Jum„ah 29. Nun (Sunan al-Nasâ‟î) Jum„ah 7, 8, 11, dan 25, dan Siyam 81. Jah (Sunan Ibn Mâjah) Iqamah 78, 80, dan 83. Di (Sunan alDârimî) Salat 190. T (al-Muwatta) Jum„ah 2 dan 4. Hamim (Musnad Ahmad bin Hanbal) 1, 51, 46 dan 365.18 Kitab Sunan al-Dârimî
Selain al-Dârimî, terdapat pula matan hadis yang serupa dengan sanad yang juga hampir serupa, adapun rangkaian sanad-sanadnya adalah Khalid bin Mukhallid, Mâlik, Nâfi„ dari Ibn „Umar ra.
Pada hadis yang diriwayatkan oleh
al-Dârimî ini memiliki sanad-sanad yang kuat, terhindar dari syaz dan illat, di sisi lain sanad-sanadnya juga memiliki ketersabungan hubungan antara guru dan murid dengan demikian penulis simpulkan bahwa kualitas hadis al-Dârimî sahih. Kitab Sunan al-Nasâ‟î
18
Weinsinck, Mu‟jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîs al-Nabawiyah. Jilid I h. 370. al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, bab al-Ghuslu Yaum al-Jumu„ah juz I h. 423. 20 Ahmad bin Syu„aib Abû „Abd al-Rahmân al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î al-Kubrâ (Dar alKutub Ilmiyyah: Beirut) bab Ijab al-Ghusli Yaum al-Jum„ah juz I h. 521. 19
50
Adapun al-Nasâ‟î dalam kitabnya mengeluaran hadis mengenai mandi pada hari jumat dengan sanad-sanad sebagai berikut, Qutaibah bin Sa„îd, Mâlik, Nâfi„ dari Ibn „Umar ra. Rangkaian sanad al-Nasâ‟î hampir serupa dengan rangkaian sanad yang diriwayatkan oleh al-Dârimî. Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Hadis pada kitab Musnad Imam Ahamd bin Hanbal, rangkaian sanadnya adalah „Abdullâh, Abî (Ahmad bin Hanbal), Yahyâ, „Ubaidillâh, Nâfi„ dari Ibn „Umar ra.21 Pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad ini, penulis menyimpulkan bahwa hadis ini berkualitas sahih, karena sesuai dengan kriteria kesahihan sanad hadis. Sejauh penelusuran penulis, mengenai hadis mandi pada hari jumat terdapat sanad dan matan yang berbeda, hadis-hadis tersebut adalah: Kitab Sunan Abî Dâwud
21
Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz II h. 55.
51
Sanad-sanadnya adalah Abû Taubah al-Rabî„ bin Nâfi„, Mu„âwiyah, Yahyâ, Abû Salamah bin „Abd al-Rahmân dari Abû Hurairah ra. dan bersumber dari Ibn „Umar ra. Kitab Sunan Ibn Mâjah
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah, rangkaian sanadnya adalah Muhammad bin „Abdullâh bin Namir, „Umar bin „Ubaid, Abî Ishaq, Nâfi„ dari Ibn „Umar ra. Kitab Sunan al-Tirmidzî
Rangkaian sanadnya adalah Ahmad bin Munî„, Sufyân bin „Uyainah, alZuhrî, Salîm dari bapaknya, Abî al-Ja„d. Kitab Sunan al-Nasâ‟î
22
al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud, bab Fi Ghusli Yaum al-Jum„ah juz I h. 134. al-Quzwini, Sunan Ibn Mâjah, Bab Ma Ja‟a Fi al-Ghusli Yaum al-Jum„ah Juz I. h. 346. Pada bab lain terdapat tema yang sama yaitu pada bab Ma Ja‟a Fi Zinati Yaum al-Jum„ah juz I h. 349. 24 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Bab al-Ightisalu yaum al-Jum„ah juz 2 h. 364. 23
52
Rangkaian sanadnya adalah Katsîr bin „Ubaid al-Huasî, Muhammad bin Harb Humasî, al-Zubaidî, al-Zuhrî, Salîm dari „Abdullâh bin „Umar bin alKhattab. Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Dan yang ketujuh yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. „Abdullâh, Abî (Ahmad bin Hanbal), Sufyân, al-Zuhrî, dari Salîm dari bapaknya, Abî al-Ja„d. Yahyâ, „Ubaidillâh, Nâfi„ dari Ibn „Umar ra. Rangkaian sanad-sanad hadis yang berbeda matan tetapi temanya sama, menurut sebagian pakar dan pengkritik sanad hadis semuanya berkualitas sahih, dengan demikian penulis berkesimpulan bahwa sanad-sanad dari matan hadis yang berbeda tetapi temanya sama berkualitas sahih karena sesuai dengan kriteria kesahihan sanad hadis.
2. Kritik Matan Mengacu pada kriteria kesahihan matan, penulis melakukan langkahlangkah sebagai berikut. Pertama, penulis akan meneliti dari sisi bahasa Arab yang sesuai dengan bahasa kenabian. Melalui pendekatan bahasa, penulis mengambil sebuah kata yang dianggap penting, yaitu al-Jumu„ah. Kata alJumu„ah merupakan isim „alam yang berarti kumpul, kata tersebut merupakan
25
al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î al-Kubrâ, bab Ijab al-Ghusli Yaum al-Jum„ah juz I h. 520 dan 521. Pada bab Hasu al-Imam Fi Khutbatihi „Ala Ghusli Yaum al-Jum„ah, Juz III h. 93, 105, 106. 26 Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. juz II h. 9, 35, 37, 41, 42, 48, 53, 55, dll.
53
sebutan hari suci pada hari keenam, yaitu hari berkumpulnya umat Islam di Masjid untuk mendirikan shalat berjama‟ah di siang hari. Kata tersebut sering digunakan terutama ketika membicarakan keutamaan-keutamaan maupun kegiatan yang ada pada hari jumat.27 Kedua, penulis mengemukakan melalui pendekatan pendapat para ulama. Menurut al-„Ainî, hadis ini menunjukkan kewajiban terhadap laki-laki dewasa agar melakukan mandi tatkala mendatangi masjid, terutama pada hari jumat.28 Selain itu, ia mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan anjuran mensucikan badannya dengan mandi ketika berpergian dan tidak dianjurkan bagi yang tidak.29 Kebersihan, keindahan, dan kerapihan bagi seorang muslim sangat dianjurkan, terlebih ketika hendak shalat jumat. Ketiga, penulis mengemukakan dengan pendekatan sejarah. al-Husainî di dalam bukunya, al-Bayân wa al-Ta„rîf mengatakan bahwa ia mengutip hadis dari Imam Mâlik, al-Syaikhânî, Ashâb al-Sunan selain Abî Dâwud riwayat yang bersumber dari Ibn „Umar mengatakan bahwa hadis ini berkaitan dengan prilaku sahabat yang memakai baju wol yang jarang dicuci sehingga menyebabkan bau yang sangat menyengat ketika Rasulullah saw. khutbah jumat. Nabi merasakan seusana yang kurang meyenangkan sehingga bau tak sedap itu mengganggu keberlangsungan aktivitas shalat jumat. Ketika itulah Rasulullah saw. bersabda perihal mandi sebelum shalat jumat.30
27
Jamâl al-Dîn Muhammad Min Mukrâm Ibn Manzûr, Lisân al-‟Arab (Dâr al-Fikr: Libanon). Juz II h. 36. 28 al-„Ainî al-Hanafî, „Umdat al-Qâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz IX h. 497. 29 al-„Ainî al-Hanafî, „Umdat al-Qâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz X h. 65. 30 al-Sayyid al-Syarîf Ibrâhîm bin Muhammad ibn Hamzah al-Husainî, al-Bâyan al-Ta„rîf Fî Asbâb al-Wurûd al-Hadîts al-Syarîf (Dar al-Turats al-„Arabi: Kairo) h. 50.
54
Keempat, kesesuaian dengan prinsip agama. Kesucian, kebersihan, dan keindahan merupakan salah satu hal yang disenangi dan sesuai dengan fitrah manusia juga sejalan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, hadis ini tidak bertentangan
dengan
prinsip-prinsip
agama.
Dengan
demikian
setelah
dikemukakan empat macam pendekatan kesahihan matan hadis, dapat penulis simpulkan bahwa matan hadis tersebut sahih. 3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail tentang Hadis : Mandi Pada Hari Jumat Pada hadis ketiga, tentang mandi di hari jumat. M. Syuhudi Ismail mengemukakan terlebih dahulu pendapat Dâwud al-Zahiri yang memahaminya secara tekstual. Setelah itu M. Syuhudi ismail mengemukakan asbâb al-wWurûd dengan merujuk kitab al-Bayân al-Ta„rîf Fî Asbâb al-Wurûd al-Hadîts al-Syarîf karya Al-Sayyid al-Syarîf Ibrâhîm bin Muhammad ibn Hamzah al-Husainî. Pada kitab ini dikemukakan bahwa ada sahabat Nabi yang bekerja sebagai tukang kebun. Ketika shalat jumat, ia pergi ke masjid masih mengenakan baju wol kasar yang jarang dicuci dan memang biasa dipakai bekerja, sehingga bau keringatnya menyengat. Sedangkan ketika itu nabi sedang menyampaikan khutbah jumat dan cuaca pun dalam keadaan panas. Tidak bisa dielakkan lagi, bau badan yang menyengat itu membuat resah Nabi dan para sahabat. Maka keluarlah hadis nabi yang mengisyaratkan agar orang yang menghadiri shalat jumat hendaknya mandi terlebih dahulu. Dalam hal ini M. Syuhudi Ismail menyimpulkan bahwa hadis ini difahami sebagai hadis yang mempunyai sabab khusus, dan difahami secara kontekstual.31
31
Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 58-59.
55
Hemat penulis dengan gambaran yeng telah dikemukakan dan rujukan yang digunakan pemikiran M. Syuhudi Ismail dipengaruhi oleh asbâb al-wurûd yang dikemukakan oleh Al-Sayyid al-Syarîf Ibrâhîm bin Muhammad ibn Hamzah di dalam karyanya al-Bayân al-Ta„rîf Fî Asbâb al-Wurûd al-Hadîts al-Syarîf. Metode yang digunakannya pun sama dengan yang sebelumnya.
D. Hadis Tentang Kewajiban Mandi Pada Hari Jumat 1. Kritik Sanad Hadisnya adalah Mandi pada hari jumat adalah wajib atas setiap orang yang telah bermimpi (HR. al-Bukhârî, Muslim, dan lain-lain) Hadis ini berhubungan dengan hadis sebelumnya. Jika sebelumnya berbicara tentang keharusan mandi jum‟at karena kondisi badan dan pakaian yang jarang dibersihkan. Maka dalam hadis ini keharusannya lebih dikarenakan telah bermimpi baligh. Mengenai sanad hadis keempat ini senada dengan informasi yang tedapat dalam hadis ketiga, yaitu terdapat dalam kitab kitab al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz al-Hadîst al-Nabawî terdapat isyarat yang menyatakan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadis, yaitu Kha, jum„ah (di dalam kitab Sahîh alBukhârî kitab Jumat) 2, 3, 5, 6, 12, dan 26. Adzan 161, syahadah 185. Mim (Sahîh Muslim) Musafirin 26 dan 27 dan Jum„ah 1, 2, 3, dan 6-8. Dal (Sunan Abî Dâwud) Taharah 127 dan 128. Ta (Sunan al-Tirmidzî) Jum„ah 29. Nun (Sunan alNasâ‟î) Jum„ah 7, 8, 11 dan 25 dan Siyam 81. Jah (Sunan Ibn Mâjah) Iqamah 78,
56
80, dan 83. Di (Sunan al-Dârimî) Salat 190. T (al-Muwatta) Jum„ah 2 dan 4. Hamim (Musnad Ahmad bin Hanbal) 1, 51, 46, dan 365.32
Kitab Sunan al-Nasâ‟î
Dalam riwayat al-Nasâ‟î, sanad-sanadnya adalah Muhammad bin Salamah Abû al-Harits al-Misri, Ibn Wahb, „Amr bin al-Harist, Sa „id bin Abî Hilâl dan Bakir bin al-Asyjâ, Abî Bakr bin al-Munkadir, „Amr bin Salîm, „Abd al-Rahmân bin Abî Sa„îd al-Khudrî dari Abî Sa„îd al-Khudrî. Hadis yang diriwayatkan oleh al-Nasâ‟î ini memenuhi kriteria kesahihan sanad hadis, yaitu terdapatnya ketersambungan sanad, periwayat-periwayatnya bersifat „âdil dan dâbit. Perawi hadisnya juga harus terhindar dari ke-syaz-an dan terhindar dari „illat. Kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal
32
Weinsinck, Mu‟jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîs al-Nabawiyah. Jilid I h. 370. al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î al-Kubrâ, bab Ijab al-Ghusli Yaum al-Jum„ah juz I h. 520 dan 521. Pada bab al-Siwak Yaum al-Jum„ah, Juz I h. 519. 33
57
Begitu pula sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hemat penulis seuruhnya berkualitas sahih karena sanadnya tersambung, periwayatperiwayatnya bersifat „âdil dan dâbit, dan terhindar dari ke-syaz-an serta terhindar dari „illat. Sanad-sanad adalah „Abdullâh, Abî (Ahmad bin Hanbal), Sofyân, Sofwân bin Salîm, „Ata bin Yasâr dari Abî Sa„îd al-Khudrî. Sedangkan hadis yang awal matannya tidak diawali kata (al) yaitu: Kitab Sunan Abî Dâwud
Sanad-sanadnya adalah „Abdullâh bin Musalamah bin Qa„nab, Mâlik, Safwân bin Salîm, „Ata bin Yasâr dari Abî Sa„îd al-Khudrî. Kitab Sunan Ibn Mâjah
34
Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz III h. 6, 30, 60, 65, dan 69. al-Sijistanî, Sunan Abî Dawud, bab Fi al-Ghusli Yaum al-Jum„ah juz I h. 134. Pada 135 dan 136 pun terdapat tema yang sama dengan sanad yang berbeda. 35
58
Rangkaian sanad sebagai berikut: Sahl bin Abî Sahl, Sufyân bin „Uyainah, Safwân bin Salîm, „Ata bin Yasâr dari Abî Sa„îd al-Khudrî. Kitab Sunan al-Nasâ‟î
Rangkaian sanad-sanadnya adalah Qutaibah bin Sa„îd, Mâlik, Safwân bin Salîm, „Ata bin Yasâr dari Abî Sa„îd al-Khudrî.
Dari seluruh rangkaian sanad-
sanad hadis mengenai kewajiban shalat jumat bagi yang telah bermimpi baligh, baik yang diawalai dengan kata (al) maupun tidak, hemat penulis bahwa sanadsanadnya berkualitas sahih. Karena sesuai dengan kesahihan sanad hadis seperti sanad-sandnya bersambung, periwayat-periwayatnya bersifat „âdil dan dâbit. Perawi hadisnya juga harus terhindar dari ke-syaz-an dan terhindar dari „illat.
2. Kritik Matan Sebagaimana kriteria kesahihan matan, langkah-langkah yang dilakukan penulis. Pertama, penulis akan meneliti dari sisi bahasa Arab untuk kesesuaian dengan bahasa kenabian. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hadis ini secara umum mengenai anjuran mandi pada hari jumat, dan dikhususkan bagi mereka yang telah bermimpi. Melalui pendekatan bahasa, penulis mengambil sebuah kata yang dianggap penting, yaitu Muhtalimun. Kata Muhtalimun merupakan asal kata 36
al-Quzwînî, Sunan Ibn Mâjah, Bab Ma Ja‟a Fi al-Ghusli Yaum al-Jum„ah Juz I. h. 346. Pada bab lain terdapat tema yang sama yaitu pada bab Ma Ja‟a Fi Zinati Yaum al-Jum„ah juz I h. 346. 37 al-Nasâ‟î, Sunan al-Nasâ‟î al-Kubrâ, bab Ijab al-Ghusli Yaum al-Jum„ah juz I h. 520. Pada tema yang sama juga dikemukakan oleh al-Nasâ‟î pada bab al-Hai‟atu Li al-Jum„ah, Juz I h. 523.
59
dari ihtalama-yahtalimu, kata tersebut merupakan isim fâ„il yang berarti orang yang bermimpi atau baligh. Kata tersebut sering digunakan oleh Rasulullah saw. ketika menunjukkan bahwa seseorang tersebut telah dewasa, dan amat banyak hadis yang menunjukkan hal itu. Kedua, penulis mengemukakan melalui pendekatan pendapat para ulama. Hadis ini hampir serupa dengan hadis kajian penulis sebelumnya. Namun pada hadis ini lebih dikhususkan kepada orang-orang yang telah bermimpi baligh. Menurut al-„Ainî, hadis mengenai kewajiban mandi tersebut tidak dianjurkan kepada yang belum bermimpi baligh, dan amat dianjurkan bagi yang telah bermimpi baligh untuk mandi pada shalat jumat.38 Ketiga, penulis mengemukakan dengan pendekatan sejarah, hadis ini mempunyai sabab yang sama, tetapi berbeda dalam hal pengkhususan. Hadis sebelumnya menunjukan sebab bau badan salah seorang sahabat yang sangat menyengat dari pakaian yang jarang dicuci. Pada hadis ini kewajiban mandi dikhususkan bagi mereka yang telah bermimpi, terlebih bagi orang yang jarang mandi lalu hendak melakukan shalat jumat, maka hal itu diwajibkan. Keempat, kesesuaian dengan prinsip agama. Sebagaimana halnya hadis sebelumnya yang mengindikasikan kesucian, kebersihan, dan keindahan adalah sejalan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, hadis ini tidak bertentangan dengan agama. Dengan demikian, setelah dikemukakan empat macam pendekatan kesahihan matan hadis, dapat penulis simpulkan bahwa matan hadis tersebut sahih. 38
al-„Ainî al-Hanafî, „Umdat al-Qâri Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz 10 h. 66. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibn Rajab, namun ia mengemukakan bahwa hadis ini menunjukkan kewajiban khusus bagi orang-orang yang telah bermimpi, karena mereka hendak mendirian shalat jumat. Zainudîn Abî al-Farâj Abd al-Rahmân Ibn Syihâb al-Dîn al-Baghdadî al-Dimasyqî alSyahîr bi Ibn Razab, Fath al-Bârî Li Ibn Rajab (Dar Ibn al-Jauzi) juz 5 h. 340.
60
3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Tentang Hadis Kewajiban Mandi Pada Hari Jumat M. Syuhudi Ismail mengemukakan pendapatnya mengenai hadis tentang kewajiban mandi pada hari jumat dengan mengutip pendapat hadis sebelumnya (Mandi pada hari Jumat). Dapat dikatakan bahwa pemikiran M. Syuhudi Ismail pada hadis ini, pemahamannya adalah secara kontekstual. Ia menyatakan bahwa masyarakat yang terbiasa mandi dua kali sehari dan bau tubuhnya tidak mengganggu masyarakat lainnya maka ia tidak diwajibkan mandi. Adapaun bagi mereka yang jarang mandi dan jarang mengganti pakaian diwajibkan mandi sebelum melaksanakan shalat jumat.39 Pada hadis ini, M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa hadis ini difahami secara kontekstual dan pemikirannya mengacu kepada hadis sebelumnya yang membicarakan tema yang sama. Namun hemat penulis, pada hadis ini M. Syuhudi Ismail tidak menyinggung bahwa hadis ini diwajibkan bagi mereka yang telah bermimpi baligh. Dalam hadis ini terlihat bagaimana Syuhudi mengaitkan pemahamannya dengan hadis sebelumnya. Karena dalam hadis diatas tiadak terdapat asbâb alwurûd. Maka ia menganalogikan keharusan mandi jumat karena telah bermimpi baligh dengan keharusan yang disebabkan kotornya pakaian dan badan, lebih lagi jika dua hal tersebut terjadi secara bersamaan.
E. Hadis Tentang Syair (Puisi) dan Nanah 1. Kritik Sanad 39
Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 59-60.
61
Hadisnya adalah Lebih baik perutmu diisi nanah daripada diisi syair (puisi) (HR. alBukhârî dan lain-lain) Di dalam kitab al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz al-Hadîst al-Nabawî terdapat isyarat yang menyatakan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadis, yaitu Kha, (di dalam kitab Sahîh al-Bukhârî kitab Adab) Adab 92 dan 4. Mim (Sahîh Muslim) Syi„ir 907. Dal (Sunan Abî Dâwud) Adab 87. Ta (Sunan alTirmidzî) Adab 71. Nun (Sunan al-Nasâ‟î) 69. Jah (Sunan Ibn Mâjah) Adab 42. Di (Sunan al-Dârimî) Isti‟djan 69. Hamim (Musnad Ahmad bin Hanbal) 1, 175, dan 177.40 Kitab Sunan Abî Dâwud
Sanad-sanadnya adalah Abû Walîd al-Tayâlîsî, Syu„bah, al-A„Masy, Abî Sâlih dari Abû Hurairah ra. Kitab Sunan Ibn Mâjah
40
Weinsinck, Mu‟jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîs al-Nabawiyah, Bab Min Ayamtaliya Syi„ran Jilid III h. 140. 41 al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud, bab Adab Ma Ja‟a Fi Syi„r juz IV h. 460.
62
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah, rangkaian sanadnya sebagai berikut: Abû Bakar, Hafs, Mu„âwiyah, Wakî„, al-A„masy, Abî Sâlih dari Abû Hurairah ra. Kitab Sunan al-Tirmidzî
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî, sanad-sanadnya adalah „Îsâ bin „Utsmân bin „Îsâ al-Ramlî, „Ammi Yahyâ bin „Îsâ, al-A„masy, Abî Sâlih dari Abû Hurairah ra. Kitab Sunan al-Dârimî
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Dârimî, sanad-sanadnya adalah „Ubaidillâh bin Mûsâ, Hanzalah, Salîm dari Ibn „Umar ra. Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
42
al-Quzwini, Sunan Ibn Mâjah, Bab Ma Karahu Min al-Syi„r Juz II. h. 1236. Pada halaman 1237 di bab yang sama terdapat tema yang sama, namun berbeda sanad. 43 al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Bab Li Ayyamtalia Jaufa Ahadakum Qaihan Min alSyi„r. juz V h. 140. Pada halaman 141 terdapat pula tema yang sama dengan sanad yang berbeda. 44 al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, bab Li Ayyamtalia Jaufa Ahadakum juz II h. 384.
63
Rangkaian sanad-sanadyna adalah „Abdullâh, Abî (Ahmad bin Hanbal), Muhammad bin Ja„far, Syu„bah dan Hujjâj, Syu „bah, Qatâdah, Yunus bin Jubair, Muhammad bin Jubair bin Sa„d dari Sa„d. Menurut penulis, secara keseluruhan sanad hadis mengenai syair (puisi) dan nanah berkualitas sahih. Hal itu disebabkan karena hadis di atas memenuhi kriteria kesahihan sanad hadis. Di antaranya terdapatnya ketersambungan sanad, periwayat-periwayatnya bersifat „âdil dan dâbit. Perawi hadisnya juga harus terhindar dari ke-syaz-an dan terhindar dari „illat. 2. Kritik Matan Untuk mengetahui kualitas matan hadis ini, penulis melakukan langkahlangkah sebagai berikut: Pertama, penulis meneliti melalui pendekatan bahasa. Dalam hal ini, penulis mengambil contoh sebuah kata yang dianggap penting, yaitu Syi„ran. Kata Syi„ran merupakan asal kata dari sya„ara yasy„uru fahuwa syi„ran, kata tersebut merupakan masdar yang berarti syair (puisi). Kata tersebut sering digunakan oleh Rasulullah saw. ketika menunjukkan kebolehan maupun larangan bersyair (puisi). Pada masa jahiliyah, salah satu kegiatan orang-orang Arab adalah membuat syair. Namun dalam hal ini, Nabi amat melarang penggunaan syair dengan kata-kata yang tidak baik. Dengan demikian kata tersebut bukanlah kata asing, amat banyak hadis yang menunjukkan hal itu. Kedua, penulis mengemukakan melalui pendekatan pendapat ulama. Hadis mengenai
syair
(puisi)
ini
merupakan
larangan
bagi
mereka
yang
mendendangkannya, namun dalam hal ini terdapat batasan yang menyebabkan larangan untuk bersyair. Ulama melarang orang-orang mendendangkan syair 45
Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz I h.175, 181, II, 39, 288, 331, 355, 391, 478, 480, III, 41.
64
karena ada suatu yang bersifat ejekan. Hal ini dapat menyebabkan rusaknya kerukunan. Di tempat lain, ada pula ulama yang memubahkan bersyair, karena di dalamnya tidak terindikasi kata-kata kotor yang tidak diinginkan.46 Ketiga, penulis menggunakan pendekatan sejarah. Hadis ini dikemukakan oleh Rasulullah saw. tatkala beliau mengadakan perjalanan ke kota al-„Araj. Kota tersebut merupakan pertemuan berbagai macam kafilah dan budaya. Tiba-tiba terdapat salah seorang dari mereka (ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang kafir) yang mendendangkan syair yang berisi ejekkan terhadap Nabi saw. Sebab itu, Rasulullah saw. mengeluarkan pernyataan sebagaimana hadis di atas. Dengan asbâb al-wurûd demikian, peristiwa itu pernah dialami oleh Rasulallah saw. Keempat, kesesuaian dengan prinsip agama. Agama melarang kepada siapa saja yang menggunakan kata-kata kotor, apalagi bentuknya penghinaan. Allah swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang lakilaki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Hujarat [49] : 11) Sebagaimana firman Allah swt. di atas, dapat dipahami bahwa perkataan maupun syair yang baik dan benar merupakan anjuran agama. Oleh karena itu, 46
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Juz 15 h. 14.
65
hadis ini tidak bertentangan dengan agama. Dengan demikian setelah dikemukakan empat macam pendekatan kesahihan matan hadis, dapat penulis simpulkan bahwa matan hadis tersebut sahih.
3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Tentang Hadis Syair (puisi) dan Nanah Hadis yang berbicara tentang syair dan nanah ini, terlebih dahulu didudukan oleh M. Syuhudi Ismail sesuai pada porsinya, lalu ia mengatakan jika difahami secara tekstual, maka Rasulullah saw. melarang para sahabat dan umat Islam umumnya untuk mendendangkan syair. Akan tetapi, pengertian mengenai perut diisi nanah lebih baik daripada bersyair menunjukkan bahwa syair tersebut berbentuk ejekan kepada Nabi. Dengan demikian hadis tersebut tidak bisa dipahami secara tekstual, tetapi dipahami secara kontekstual.47 Lebih dari itu, M. Syuhudi Ismail mengemukakan asbâb al-wurûd yang menunjukkan hal ihwal Rasulullah saw. bersabda demikian. Menurut al-Nawawî peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah saw. berada di kota al-„Araj. Di sana terdapat seseorang yang bersyair yang isinya mengejek Rasulullah saw. sehingga beliau bersabda demikian.48 Dengan gambaran yang telah M. Syuhudi Ismail kemukakan, hemat penulis, ia memahami hadis ini secara kontekstual dan temporal berlandaskan asbâb al-wurûd. Hal ini mengindikasikan pemikirannya dipengaruhi oleh alNawawî dengan mengutip dari kitab Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî.
47
Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 60-61. 48 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Juz 15 h. 14.
66
F.
Hadis Tentang Syair dan Hikmah 1. Kritik Sanad Hadisnya adalah,
Sesungguhnya sebagian dari syair itu hikmah (HR. al-Bukhârî dan lain-lain) Di dalam kitab al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz al-Hadîst al-Nabawî terdapat isyarat yang menyatakan bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab-kitab hadis, yaitu Kha, (di dalam kitab Sahîh al-Bukhârî kitab Adab) Adab 90. Ta (Sunan al-Tirmidzî) Adab 69. Jah (Sunan Ibn Mâjah) Adab 41. Di (Sunan alDârimî) Isti‟djan 68. Hamim (Musnad Ahmad bin Hanbal) 1, 269, 273, dan 303.49 Kitab Sunan Abî Dâwud
Hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud, sanad-sanadnya adalah : Abû Bakar bin Abî Syaibah, Ibn al-Mubârak, Yûnus, al-Zuhrî, Abû Bakar bin „Abd alRahmân bin al-Harits bin Hisyâm, Marwân bin al-Hakam, „Abd al-Rahmân bin alAswâd bin „Abd Yaghûts dari Ubai bin Ka„b.64 Kitab Sunan Ibn Mâjah
49
Weinsinck, Mu‟jam al-Mufahrâs li Alfâz al-Hadîst al-Nabawiyah.. Bab Inna Min alSyi„r Hikmah Jilid III h. 140.
67
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah, sanad-sanadnya sebagai berikut: Abû Bakar, Abû Usamah, al-Zuhrî, Abû Bakar bin „Abd al-Rahmân, Marwân bin Hakam, „Abd al-Rahmân bin al-Aswâd bin „Abd Yaghûts dari Ubai bin Ka„b.
Kitab Sunan al-Tirmidzî
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî, sanad-sanadnya adalah Abû Sa„îd al-Asyja, Yahyâ bin „Abd al-Mâlik bin Abî Ghuinah, Abî Ghuinah, „Asim, Zar, „Abdullâh. Menurut Abû „Îsâ, hadis ini jika diriwayatkan melalui sanad tersebut berkualitas gharîb, hadis ini marfu karena riwayat Abû Sa„îd al-Asyja dari Ibn Abî Ghuniah. Sedangkan jika perawinya selain dari jalan Ibn Abî Ghuniah adalah mauquf. Kitab Sunan al-Dârimî
50
al-Quzwînî, Sunan Ibn Mâjah, Bab al-Syi„r Juz II. h. 1235.
68
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Dârimî. sanad-sanadnya adalah Abû „Asim, Ibn Juraij, Ziyad atau Sa„d, Ibn Syihâb, Abû Bakar bin „Abd al-Rahmân bin Hisyâm, Marwan bin al-Hakam, „Abd al-Rahmân bin al-Aswâd bin „Abd Yaghûts dari Ubai bin Ka„b. Menurut Husain bin Salîm, sanad-sanad hadis ini da„if karena ada perawi yang bernama Ibn Juraij. Akan tetapi kedudukan hadis ini menjadi baik menurut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal.
Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal
Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, sanad-sanadnya adalah „Abdullâh, Abî (Ahmad bin Hanbal), Yazîd bin Harun, Ibrâhîm bin Sa„d, al-Zuhrî, Abû Bakar bin „Abd al-Rahmân bin al-Hârits bin Hisyâm, Marwân bin Hakam, „Abd al-Rahmân bin al-Aswâd bin „Abd Yaghûts dari Ubai bin Ka„b. Hadis ini berkualitas shahih karena memenuhi syarat al-Bukhârî . Dari enam hadis yang penulis kemukakan, lima hadis sanad-sanadnya berkualitas sahih, sedangkan sanad yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzî sanadnya berkualitas da„îf, namun hadis tersebut terangkat menjadi sahih karena terbantu
51
al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, bab Inna Min al-Syi„r Hikmah juz II h. 383. Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz V h.125. pada juz dan halaman yang sama terdapat pula hadis serupa dengan sanad yang berbeda. 52
69
dengan hadis-hadis sahih yang terdapat dalam kitab-kitab sunan lainnya, oleh karena itu hadis yang berkualitas da„îf tersebut bersatatus sahîh li ghairihi. Dengan demikian secara umum penulis kemukakan bahwa hadis mengenai syair (puisi) dan hikmah kualitas sanadnya sahih.
2. Kritik Matan Sebagaimana kriteria kesahihan matan, penulis menguraikan langkahlangkah sebagai berikut. Pertama, penulis akan meneliti dari sisi bahasa Arab yang sesuai dengan bahasa kenabian. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hadis di atas secara umum mengenai anjuran bersyair. Sekilas, tampaknya hadis ini dengan hadis sebelumnya bertentangan. Namun setelah diadakan berbagai macam pendekatan maka hadis tersebut akan bermakna sejalan dan dapat dikhususkan kepada siapa hadis tersebut berlaku. Melalui pendekatan bahasa, penulis mengambil contoh sebuah kata yang dianggap penting, yaitu hikmah. Kata hikmah merupakan asal kata dari hakama-yahkumu hikmatan. Kata tersebut merupakan masdar yang berarti hikmah, rahasia, atau mengetahui hal yang benar. Kata tersebut sering digunakan oleh Rasulullah saw. ketika menunjukkan sebuah kalimat, perbuatan serta ucapan yang mengandung hikmah. Kedua, penulis mengemukakan melalui pendekatan pendapat ulama. Dalam hal ini, penulis telah mengemukakan pada hadis sebelumnya. Yaitu, syair yang baik diperbolehkan menurut para ulama. Sedangkan yang dilarang adalah syair yang bertujuan menghina, mengejek dan berimplikasi negatif. Ketiga, penulis mengemukakan dengan pendekatan sejarah. Sebab turunya sebuah hadis adakalanya diawali dengan berbagai peristiwa dan ada pula yang
70
tanpa diawali dengan peristiwa yang melatar belakanginya. Mengenai hadis ini tidak ditemukan peristiwa yang melatar belakangi sebab musabab turunya hadis tersebut. Keempat, kesesuaian hadis dengan prinsip agama. Kriteria keempat ini telah penulis kemukakan di atas, namun untuk memperkuat pandangan agama maka penulis kemukakan pendapat al-Sindî, menurutnya bahwa syair (puisi) boleh dilakukan dengan tujuan kebaikan. Akan tetapi jika syair dilakukan untuk hal-hal yang buruk maka syair itu diserupakan dengan nanah. Pada umumnya syair merupakan hawa nafsu yang dikemukakan oleh penyair, namun untuk membatasi hal itu penyair haruslah dilandasi dengan keimanan dan amal saleh.53 Dari tiga pendekatan, nampaknya secara matan hadis ini dapat dikategorikan berkualitas sahih walaupun tanpa pendekatan asbâb al-wurûd, karena tidak semua hadis terdapat asbâb al-wurûdnya.
3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail Tentang Hadis Syair dan Hikmah Pembahasan hadis keenam ini menegaskan bahwa di dalam syair terdapat hikmah. Pada hadis kelima di atas hadis itu bersifat temporal dan tidak difahami secara tekstual. Pada kali ini jika mendendangkan syair sesuai dengan syariat Islam, maka mendendangkan syair diperbolehkan. Oleh karena itu, hadis keenam ini menurut M. Syuhudi Ismail dipahami secara tekstual.54 Lebih jauh penulis kemukakan, bahwa hadis sayir dan nanah serta hadis syair dan hikmah bertentangan secara tekstual. Dalam hal ini Syuhudi
53
Muhammad bin „Abd al-Hâdî al-Sindî, Hâsyiyah al-Sindî „Alâ Sunan Ibn Mâjah (Mauwqi„ al-Islam) juz VII h. 153. 54 Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal, h. 61-62.
71
menyikapinya dengan menggunakan kaidah dalam ilmu hadis, yaitu dengan pendekatan ilmu mukhtalif hadis, yaitu bagaimana menyikapi hadis-hadis yang terlihat bertentangan padahal kedua hadis tersebut keduanya berstatus sahih. Oleh karena itu ia berkesimpulan bahwa hadis tersebut tidak dihapus, tetapi diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisinya, atau hadis tersebut tidak difahami secara tekstual tetapi kontekstual.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pemaparan penulis pada skripsi ini, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sanad-sanad hadis dalam buku Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal pada bab Hadis-Hadis Yang Mempunyai Sebab Secara Khusus yang terdiri dari enam buah hadis, secara umum berkualitas sahih, karena hadis-hadis tersebut memenuhi kriteria kesahihan sanad hadis. Di antaranya : Terdapatnya ketersambungan sanad, periwayatnya bersifat „âdil dan dâbit, dan terhindar dari syaz dan „illat. Tetapi, ada sanad lain dari al-Turmuzi tentang hadis yang tidak menyayangi tidak disayangi dengan kualitas hasan-sahih 2. Sedangkan dari segi matan, hadis-hadis tersebut juga berkualitas sahih karena sesuai dengan kriteria kesahihan matan. Antara lain dengan meneliti melalui pendekatan bahasa, melalui pendekatan pendapat ulama, melalui pendekatan sejarah dengan pemahaman asbâb al-wurûd, dan sesuai dengan prinsip agama. Tetapi ada satu matan hadis dari al-Darimi tentang hadis syair dan hikmah dengan kualitas dha‟if. 3. Pemikiran M. Syuhudi Ismail dalam kaitannya dengan hadis-hadis yang penulis bahas, dapat dipahami sebagai berikut:
72
73
a.
Dalam memahami hadis, terlebih dahulu ia mendudukan hadis tersebut pada porsinya. Yaitu dengan mengemukakan perbedaan dan kekhususan yang disebabkan oleh perbedaan waktu dan tempat. Dengan cara ini, maka tampaklah hadis yang menunjukkan bahwa ajaran Islam bersifat universal, temporal dan lokal.
b. Setelah itu, ia mengemukakan segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi Muhammad saw. dan memahami situasi dan kondisi yang melatar belakangi atau yang menyebabkan terjadinya hadis tersebut. Dalam hal ini, ia menggunakan asbâb al-wurûd. Dengan pendekatan tersebut, bisa jadi suatu hadis dipahami secara tersurat (tekstual) dan dipahami secara tersirat (kontekstual). c.
Selanjutnya ia akan menjelaskan makna hadis dengan merujuk pada kitab-kitab syarah hadis. Setelah itu, menyimpulkan makna hadis sebenarnya dan menjelaskan kemungkinan hadis tersebut untuk dipahami secara universal, temporal atau lokal.
Setelah penulis pahami, ternyata metode yang digunakan M. Syuhudi Ismail untuk meneliti suatu hadis, tidak jauh berbeda dengan para ulama hadis terdahulu. Hanya saja, ia berusaha mengemasnya dengan susunan yang dibuat semenarik mungkin dan berusaha mengaitkannya dengan berbagai disiplin ilmu yang terus berkembang.
B. Saran-Saran 1. Sebaiknya para peneliti hadis lebih teliti dalam memberi perhatian mengenai pemikiran pensyarah hadis.
74
2. Bagi peneliti sanad maupun matan hadis, kategori dan kriteria yang ditawarkan oleh M. Syuhudi Ismail dapat dijadikan acuan. 3. Selain sanad dan matan hadis, peneliti selanjutnya juga harus menekankan pengembangan pemahaman hadis agar tidak salah dalam mensyarahkan maksud dan tujuan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
al-„Ainî, Badru al-Dîn Abû Muhammad Mahmud bin Ahmad. „Umdat al-Qâri Syarh Sahîh al-Bukhârî. Beirut: Muhammad Amin Damaj, t.t. Anwar, M. Syafi‟i. Pemikiran Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995. Arifudin, Ahmad. “Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi Muhammad saw. di Indonesia: Study Pemikiran M. Syuhudi Ismail.” Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999. al-„Asqalânî, Ahmad bin „Alî bin Hajar Abû Fâdil. Fath al-Bârî Syarh Ibn Hajar al-„Asqalânî. T.tp: Dâr al-Fikr wa al-Maktabah as-Salâfiyyah, t.t. al-Bukhârî, Abû „Abdullâh Muhammad bin Ismâîl bin Ibrâhîm bin Mugirah Bardazbah. al-Jâmi„ al- Sahîh al-Musammâ Sahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Bustamin dan Salam, M Isa H. A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2004. al-Husaini, H.M.H. al-Hamid. Riwayat Hidup Nabi Besar Muhamad saw. Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1992. al-Husainî, al-Sayyid al-Syarîf Ibrâhîm bin Muhammad ibn Hamzah. al-Bâyan alTa„rîf Fî Asbâb al-Wurûd al-Hadîts al-Syarîf. Kairo: Dâr al-Turâts al„Arabi, t.t. Ibn Hanbal, Abû „Abdullâh Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamî, t.t. Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits Bandung: Angkasa, 1987 --------. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) Bulan Bintang, Jakarta, 1988. --------. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Bulan Bintang, Jakarta, 1993. --------. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Tela‟ah Ma‟ani al-Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal. Bulan Bintang, Jakarta, 1994 --------. Cara Praktis Mencari Hadis. Bulan Bintang, Jakarta, 1999.
75
76
al-Misrî, Jamal al-Dîn Muhammad Min Mukram Ibn Manzûr al-Afriqî. Lisân al„Arab. Libanon: Dâr al-Fikr, t.t. al-Mutqî, „Alî bin Hisyâm al-Dîn. Kanzu al-„Umal Fî Sunan al-Aqwâl wa alAf„âl. Beirut: al-Maktabah al-Islamî, 1398 H/1978 M. al-Nasâ‟î, Ahmad bin Syu„aib Abû „Abd al-Rahmân. Sunan al-Nasâ‟î al-Kubrâ. Beirut: Dâr al-Fikr, 1400 H/1980 M. al-Nawawî, Abû Zakariâ Yahyâ bin Syarafuddîn. Sahîh Muslim bi Syarh alNawawî. Mesir: al-Matba‟ah al-Misriyyah, 1924 M. al-Nîsâbûrî, Abû al-Husain Muslim bin al-Hujjaj bin Muslim al-Qusyairî al-Jâmi„ al-Sahîh al-Musammâ Sahîh Muslim. Beirut: Dâr al-Jail wa Dâr al-Afaq al-Jadîdah, t.t. al-Quzwînî, Muhammad bin Yazîd Abû „Abdullâh. Sunan Ibn Mâjah. Dar al-Fikr: Beirut, t.t. al-Sijistanî, Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy„ats. Sunan Abî Dâwud. Dar al-Fikr: Beirut, t.t. al-Sindî, Muhammad bin „Abd al-Hâdî. Hâsyiyah al-Sindî „Alâ Sunan Ibn Mâjah. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t. Tim Penyusun. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah, 1983. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005 al-Tirmidzî, Abû „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Sawrah. Sunan al-Tirmidzî. Libanon: Daar al-Fikr, t.t. Umar, Nasarudin. “Sosok Ilmuan Murni Yang Penuh Percaya Diri.” Harian Pedoman Rakyat. Jumat 24 Nopember, 1995. Weinsinck, A.J. al-Mu„jam al-Mufahrâs Li Alfâz al-Hadîst al-Nabawî. Leiden: EJ. Brill, 1936. Zakariâ, Abû al-Husyain Ahmad ibn Faris ibn. Mu‟jam al-Maqâyis fi al-Lughah. Beirut: Daar al-Fikr, 1994.