MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-IX/2011
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [PASAL 62 AYAT (1) JUNCTO PASAL 8 AYAT (1) HURUF J] TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
JAKARTA SELASA, 31 JANUARI 2012
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-IX/2011 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen [Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) huruf j] PEMOHON Organisasi Advokat Indonesia (Virza Roy Hizzal) ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (IV) Selasa, 31 Januari 2012, Pukul 11.04-11.51 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN
1) 2) 3) 4) 5) 6)
Achmad Sodiki Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Hamdan Zoelva Maria Farida Indrati Harjono
Ery Satria Pamungkas
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1) Organisasi Advokat Indonesia (Virza Roy Hizzal) B. Kuasa Hukum Pemohon: 1) 2) 3) 4) 5)
Hadi Syahroni Vicktor Dedy Sukma Suhartini Yuda Sanjaya Yanti
C. Pemerintah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)
Mualimin Abdi Lasminingsih Tarmizi Widodo Sri Agustina Ratna Nurul Alfia Panga Situmeang Ayu Agung Mustafa Kamal Kristina Mirna
D. Ahli Dari Pemerintah 1) Bernadette M. Waluyo 2) Eva Achjani Zulfa
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11:04 WIB 1.
KETUA: ACHMAD SODIKI Sidang Perkara Nomor 74/PUU-IX/2011 dalam rangka mendengarkan keterangan Saksi atau Ahli dari Pemohon atau Pemerintah. Dengan ini saya nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Baik, assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, selamat sejahtera untuk kita semua. Kami persilakan pada Pemohon siapa yang hadir saat ini.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: HADI SYAHRONI Selamat pagi, assalamualaikum wr. wb.
3.
KETUA: ACHMAD SODIKI Waalaikumsalam wr. wb.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: HADI SYAHRONI Kami dari tim kuasa Pemohon. Sebelah kiri kami, Majelis. Saudara Virza Roy Hizzal selaku Pemohon. Saya Hadi Syahroni selaku kuasa dari Pemohon. Sebelah kanan saya Victor Dedy Sukma selaku kuasa, sebelah kanan Saudara Yanti, sebelah kanan Suwartini dan paling ujung adalah Yuda Sanjaya.
5.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik, dari Pemerintah silakan.
6.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Pemerintah hadir, Yang Mulia. Dari yang sebelah kanan ada Ibu Lasminingsih, beliau adalah Kepala Biro Hukum Kementerian Perdagangan. Saya sendiri Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di sebelah kiri saya ada Pak Tarmizi dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia, kemudian di sebelahnya lagi Pak Widodo, beliau adalah Sekertaris Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen. Kemudian di sebelahnya lagi ada Ibu Sri Agustina, Direktur Pemberdayaan Konsumen. Kemudian di belakang, Yang Mulia, ada Ibu Ratna Nurul Alfia, Panga Situmeang, Ibu Ayu Agung, ada Pak Mustafa Kamal, ada Ibu Kristina, ada Ibu Mirna dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan kawan-kawan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kemudian, Yang Mulia, di hadapan Yang Mulia sudah hadir sebagaimana surat yang sudah Pemerintah sampaikan kepada Yang Mulia. Hadir Ahli dari Pemerintah, yang pertama Prof. Bernadette M. Waluyo sudah 1
hadir, Yang Mulia. Kemudian yang kedua, Dr. Eva Achjani Zulfa, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia. 7.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baiklah, hari ini kita akan mendengarkan keterangan Ahli seperti yang telah disebut tadi, Ibu Prof. Bernadete dan Saudara Eva Achjani Zulfa. Kami persilakan untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu sebagai Ahli. Silakan Ibu Maria.
8.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, Ibu Bernadette ikuti lafal janji yang saya ucapkan. Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga tuhan menolong saya. Terima kasih.
9.
AHLI YANG BERAGAMA KRISTEN DISUMPAH Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga tuhan menolong saya.
10.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik, silakan kembali. Silakan Pak Fadlil.
11.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Silakan mengikuti sumpah menurut agama Islam. Bismillahirrahmaanirahiim, demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Cukup, terima kasih.
12.
AHLI YANG BERAGAMA ISLAM DISUMPAH Bismillahirrahmaanirahiim, demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
13.
KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan kembali Bu. Baiklah kami persilakan Saudara Prof. Dr. Bernadette M. Waluyo untuk memberikan keterangan Ahlinya, bisa di podium.
14.
AHLI DARI PEMERINTAH: BERNADETTE M. WALUYO Bapak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, Ibu dan Bapak Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan pula. Ibu dan Bapak Wakil dari Pemerintah yang saya hormati, para Pemohon yang saya hormati dan para hadirin sekalian yang saya hormati. Izinkan kami menyampaikan pendapat atas pertanyaan yang disampaikan oleh Pemerintah yaitu tentang Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-
2
Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Mengapa ketentuan tersebut diberi sanksi pidana? Pasal 8 ayat (1) huruf j juncto Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar. Nah, pasal di atas itu mengatur tentang perbuatan perdata dari pelaku usaha yang dapat mengalami proses kriminalisasi, sehingga pelaku usaha harus bertanggung jawab secara pidana. Tindakan mengualifikasi suatu perbuatan yang merupakan perbuatan perdata sebagai tindak pidana yang dapat dijatuhi sanksi pidana disebut kriminalisasi perbuatan perdata. Nah, kata kriminalisasi berasal dari kata dasar kriminal yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berkaitan dengan kejahatan atau pelanggaran hukum yang dapat dihukum menurut Undang-Undang Pidana. Sementara masih menurut kamus yang sama, kata kriminalisasi diartikan sebagai proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Nah, kriminalisasi (criminalisation) dalam Bahasa Inggris, diambil dari Black Law Dictionary adalah adalah the ex or an instance of making a previously law full ex criminal usually by passing a statute. Nah, dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan inti dari kriminalisasi. Yang pertama adalah ada perbuatan yang sebelumnya merupakan perbuatan biasa yang sah atau legal, atau tidak melanggar hukum. Yang kedua, ada proses berupa kebijakan hukum atau kebijakan Pemerintah yang menetapkan bahwa perbuatan yang sebelumnya itu sah atau legal, atau tidak melanggar hukum, menjadi sebuah perbuatan hukum yang melanggar hukum atau perbuatan pidana, atau sering disebut tindak pidana. Nah, dari pengertian di atas, Ibu dan Bapak. Jelas bahwa objek dari proses kriminalisasi bukanlah maupun lembaga tertentu, melainkan sebuah perbuatan. Sehingga kriminalisasi bukan tindakan sewenang-wenang untuk mendiskreditkan seseorang atau lembaga tertentu sebagai lembaga kriminal karena orang atau lembaga tidak bisa dikriminalisasikan. Yang dikriminalisasikan adalah perbuatannya, itu pun masih harus didahului dengan dikeluarkannya suatu kebijakan atau peraturan yang menetapkan bahwa perbuatan tersebut secara spesifik sebagai tindak pidana. Nah, seperti pertanyaan semula, Ibu dan Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Alasan mengapa di dalam UUPK diatur tentang kriminalisasi perbuatan perdata, dapat dijelaskan secara historis, yaitu dengan memahami maksud pembuat undang-undang. Nah, secara historis, dapat dikemukakan berapa … beberapa hal. Yang pertama, semua pelaku usaha adalah konsumen. Sebaliknya, tidak semua konsumen adalah pelaku usaha. Sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh konsumen adalah menyangkut semua lapisan dan golongan masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Yang kedua, posisi konsumen selalu lebih lebih lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha, khususnya adalah dalam hal teknologi dan informasi tentang produk. Yang ketiga, cara memberikan perlindungan kepada konsumen itu ada beberapa cara, antara lain yang pertama dengan mencantumkan pasal-pasal dalam undang-undang 3
yang memberikan perlindungan kepada konsumen dengan menetapkan hakhak konsumen dan kewajiban pelaku usaha. Namun ada cara lain yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen adalah dengan mencantummkan pasal-pasal dalam undang-undang yang mengatur tentang perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi. Nah, berdasarkan kajian terhadap UUPK, jelas sekali bahwa cara untuk melindungi konsumen yang saya sebut terakhir, yaitu dengan mencantumkan pasal dalan undang-undang yang mengatur tentang perilaku pelaku usaha. Itulah yang dianut oleh pembentuk undang-undang untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Nah, hal ini terbukti bahwa pasal-pasal di dalam UUPK yang mengatur tentang perilaku pelaku usaha itu lebih banyak dibandingkan dengan pasal-pasal yang mengatur tentang konsumen. Nah, folisofinya adalah bahwa kalau perilaku pelaku usaha ini diatur sesuai dengan peraturan perundangan dan pelaku usahanya itu mentaati. Maka barang/jasa yang dihasilkan pada akhirnya akan aman dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Nah, hal ini pada gilirannya akan memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlu dikemukakan di sini Ibu dan Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa Pasal 8 ayat (1) UUPK itu merupakan peraturan umum yang dalam beberapa bagian yaitu tercantum dalam huruf a dan huruf j akan diatur lebih lanjut atau sesuai dengan peraturan perundangan. Nah, barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan oleh pelaku usaha itu bisa menimbulkan akibat tertentu bagi konsumen mulai dari kerugian materiil sampai dengan kematian. Karena itu, pembuat undangundang merasa perlu untuk memberi sanksi pidana untuk pasal-pasal tersebut. Nah, mengenai kriminalisasi perbuatan perdata itu dapat terjadi melalui dua cara. Yang pertama adalah melalui proses legislasi. Nah, dalam satu dekade terakhir ini dalam proses pembuatan peraturan perundangundangan di Indonesia itu terdapat kecenderungan untuk menggunakan sanksi pidana yang secara teoritik memang harus dipandang sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam mengatur perilaku manusia di dalam masyarakat sebagai sarana untuk menegakkan kaidah hukum keperdataan. Nah, sebagai contoh adalah sanksi pidana dalam Pasal 62 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan sanksi pidana bagi perbuatan perdata, “Pelaku usaha yang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam Bahasa Indonesia, sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.” Walaupun ini disadari atau barang … bahkan bisa dimaklumi sikap Bangsa Indonesia seperti dikemukakan di atas nampaknya itu dilandasi reaksi yang berkelebihan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang memang telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sebagian terbesar Bangsa Indonesia. Lalu, cara yang kedua untuk melakukan kriminalisasi perbuatan perdata adalah selain melalui proses legislasi adalah melalui proses peradilan. Yaitu dengan penjatuhan sanksi pidana pada perbuatan yang sesungguhnya adalah perbuatan perdata murni yang juga terjadi di dalam proses penegakkan hukum di Indonesia. Nah, dari apa yang saya kemukakan mengenai … apa … sanksi pidana terhadap Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dapat saya sampaikan beberapa kesimpulan, yang pertama adalah bahwa 4
kriminalisasi perbuatan perdata atau pengkualifikasian perbuatan perdata yang menurut peraturan perundangan bidang hukum keperdataan itu bukan merupakan perbuatan melawan hukum menjadi suatu perbuatan atau tindak pidana melalui dua cara yang pertama adalah melalui proses legislasi dan yang kedua melalui proses peradilan. Kesimpulan yang kedua adalah mengenai kedudukan Pasal 8 ayat (1) UUPK itu merupakan ketentuan umum. Lalu yang ketiga bahwa ketidakkonsistenan di dalam penegakkan hukum, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Pasal 8 ayat (1) huruf j UUPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian, Ibu dan Bapak Ketua serta Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi tentang pendapat yang dapat saya sampaikan tentang sanksi pidana terhadap Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Terima kasih atas waktu yang diberikan. 15.
KETUA: ACHMAD SODIKI Zulfa.
16.
Terima kasih Ibu Prof. Dr. Bernadette. Kami silakan Ibu Dr. Eva Achjani
AHLI DARI PEMERINTAH: EVA ACHJANI ZULFA Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. Bapak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, Bapak-Ibu Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati, Bapak-Ibu hadirin sekalian yang saya hormati. Izinkan saya untuk menyampaikan pendapat saya, sebagaimana kita tahu bahwa sudah diajukan satu permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi yaitu terhadap Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Adapun permohonan ini dalam pemahaman saya adalah dilatarbelakangi oleh sejumlah perkara pidana, antara lain perkara pidana Dian dan Randy, Charlie dan … Charlie Wiwi dan Calvin dalam perspektif Pemohon yang saya tangkap di dalam permohonan. Hal ini dianggap sebagai satu hal yang bermasalah karena didasarkan pada adanya penyimpangan di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana dengan alasan-alasan adanya penggunaan teknik penyelidikan deliver order atau terselubung didasarkan pada sanksi … saksi verbal lisan yang oleh Pemohon dianggap tidak valid dan kurang objektif. Atas dasar poin B Pemohon menganggap telah terjadi abuse of power. Kemudian penegak hukum dalam hal ini bekerja tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Lebih jauh di dalam permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Saya dalam hal ini berdasarkan bidang keahlian saya yaitu di bidang hukum pidana menangkap bahwa Pemohon mempermasalahkan adanya sejumlah kesalahan di dalam penerapan asas. Yang dalam hal ini kalau boleh saya bacakan barangkali adalah bahwa pembuat Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengambil langkah pragmatis dengan melakukan kriminalisasi yang menurut Pemohon bertentangan dengan asas ultimum remedium vide halaman 24 dari permohonan. Berdasarkan asas … ini saya kutip dari permohonan Pemohon, asas nullum crimen noella poena sine lege certa yang menurut saya ini tidak atau kurang tepat begitu Majelis Hakim. Maka perumusan perbuatan pidana harus jelas. Di mana dalam permohonan disebutkan oleh Pemohon bahwa pasal tidak merumuskan perbuatan pidana secara jelas, tidak pasti, dan 5
menimbulkan keraguan. Atas terjadinya perbedaan atau disparitas antara penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dengan Kementerian Perdagangan untuk menentukan objek yang dapat dikenai larangan, ini saya kutip dari halaman 25. Sehingga oleh Pemohon disimpulkan bahwa hal ini bertentangan dengan asas legalitas. Kemudian terhadap rumusan pasal tersebut sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku dianggap pula bertentangan dengan asas nonretroaktif. Kemudian juga dianggap bahwa berdasarkan ajaran sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif. Yang oleh Pemohon dianggap bahwa menurut pandangan hidup masyarakat perbuatan ini bukan merupakan suatu perbuatan yang patut untuk dicela berdasarkan asas-asas keadilan atau kepatutan di dalam hukum tidak tertulis dan bersifat umum. Kemudian pencantuman sanksi pidana dalam undang-undang tidak tepat dan tidak proporsional. Berdasarkan hal tersebut maka secara sederhana dapat dinyatakan bahwa Pemohon menganggap bahwa undangundang ini bertentangan dengan asas legalitas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. Nah, saya melihat bahwa ada sejumlah permasalahan yang utamanya ini berkaitan dengan penerapan atas atau pelanggaran sejumlah asas dalam hukum pidana. Yaitu asas legalitas, asas lex certa, asas ultimum remedium, asas negative materiil wettelijk wet, ini menurut saya. Karena di dalam permohonan Pemohon hanya disebutkan bahwa sifat melawan hukum materil. Apakah itu dalam fungsi yang positif atau negatif saya kira … saya duga ini dalam fungsi yang negatif. Kemudian asas proporsionalitas di dalam penjatuhan satu sanksi pidana. Dan yang terakhir adalah bahwa pembentuk undang-undang tidak mengindahkan penggunaan sarana non penal di dalam satu kebijakan yang dibuat. Nah, dalam hal ini kalau kita mengacu kepada maksim nullum delictum nulla poena sine prefi lege poenali pada dasarnya lahir sebagai sarana pencegahan atau deterrence dan perlindungan. Dalam banyak literatur para penulis memberikan klaim bahwa maksim ini lahir dari pandangan seorang sarjana hukum Jerman, yaitu Van Verbracht yang dikenal dengan teori psychology juangnya. Berdasarkan teori tersebut Verbracht menyatakan bahwa tujuan utama dari perumusan satu tindak pidana dan sanksinya dalam satu aturan perundang-undangan adalah sebagai sarana preventif guna mencegah perbuatan yang dianggap merugikan oleh anggota masyarakat. Sekaligus membatasi ruang gerak penggunaannya untuk melakukan tindakan abuse of power. Ini ditujukan kepada penegak hukum. Jadi kalau kita lihat di situ ada dua tujuan sebetulnya dari satu perumusan perundang-undangan yang terkait dengan diberikannya sanksi pidana terhadap perbuatan itu. Kalau kita lihat bahwa secara teoritis bahwa maksim ini kemudian melahirkan tiga asas utama dalam hukum pidana yaitu asas nullum crimen sine lege, nulla poena sina crimen, dan nulla crimen sine lege. Makna asas pertama yaitu nullum krimen sine lege adalah bahwa satu tindak pidana harus ditentukan atas dasar aturan perundang-undangan. Di Indonesia hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan satu ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Saya kutip satu terjemahan dari R. Susilo yang mengatakan bahwa dasar pemidanaan adalah undang-undang. Tetapi kalau kita mengacu kepada naskah asli dari rumusan ini di dalam bahasa Belanda yang menggunakan 6
istilah istilah wettelijk bukan wet, maka yang dimaksud di sini adalah perundang-undangan, bukan undang-undang. Sehingga satu perbuatan harus dinyatakan dalam satu aturan perundang-undangan. Kita semua pasti paham makna ini karena menyangkut bukan hanya undang-undang dalam produk legislatif, tetapi makna aturan perundang-undangan dalam pengertian yang luas. Alasan istilah istilah wettelijk dan bukan wet, didasarkan pada pemikiran yang mengacu pada geum lexs specialis derogat legi generali bahwa pada umumnya aturan perundang-undangan khusus dan perundangundangan yang lebih rendah, memiliki fungsi yang lebih besar daripada aturan perundang-undangan pada umumnya. Makna aturan yang lebih besar yang dimaksud di sini pada dasarnya adalah ketentuan ini lebih jelas dan lebih teknis sifatnya. Oleh karena itu bisa dipahami bahwa lex specialis kemudian mengesampingkan legi generali. Dalam hal ini fungsi dari ketentuan undang-undang atau perundangundangan adalah memiliki dua fungsi, yaitu fungsi penerapan … penetapan norma dan penciptaan norma. Jadi, ketika satu perbuatan dirumuskan dalam satu aturan perundang-undangan, kiranya kita dapat pahami bahwa tujuan dari perumus undang-undang adalah kedua hal itu. Dalam hal ini, kalau kita lihat seperti apa yang sudah disampaikan oleh pron … Prof. Bernadette tadi bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen dilahirkan dalam kaitannya fungsi penciptaan norma, di mana diharapkan bahwa setiap individu warga negara mampu berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh aturan perundang-undangan. Dalam hal ini yang terkandung dalam undang-undang ini memberikan perlindungan kepada mereka yang tidak memahami bahasa asing, sehingga dapat dengan mudah memahami dan menggunakan satu produk yang sudah ditetapkan dalam aturan perundang-undangan secara aman. Perlindungan ini tentunya tidak mutlak, tetapi dengan adanya sanksi pidana di dalam aturan perundang-undangan tersebut, diharapkan bahwa setiap orang akan patuh dan mentaati norma tersebut. Terkait dengan asas lex certa, maka di dalam hal ini atau berdasarkan maksim itu makna lex certa adalah bahwa aturan undang-undang harus cukup jelas, sehingga merupakan pegangan bagi warga masyarakat untuk memilih tingkah laku mana yang boleh dan tidak boleh, dan memberikan kepastian hukum kepada penguasa tentang batas kewenangannya. Namun banyak sarjana, saya kutip di sini Bapak dan Ibu Majelis Hakim, mulai dari yang klasik sampai dengan yang terkini barangkali, yaitu Bekaria, Basyuni, Yan Remerlin, hingga Safmester mengakui bahwa kesulitan kerap dijumpai oleh pembuat undang-undang, tatkala ia merumuskan satu delik secara rigid. Hal ini bisa terjadi bahwa satu jenis perbuatan yang dikriminalisasi atau kriminialisasi yang hendak ditanggulangi hanya dapat digambarkan dengan cara yang sangat kabur. Di sini barangkali saya boleh tambahkan, contoh misalnya di dalam KUHP adanya delik-delik tertentu yang hanya disebutkan kualifikasinya saja. Penganiayaan barangali, hanya disebutkan barang siapa melakukan penganiayaan, tanpa secara detail dirumuskan apa itu penganiayaan. Nah, berdasarkan contoh itu jelas fungsi penjaminan atau kepasatian hukum dalam norma tertulis dalam hal ini undang-undang, telah menjadi jauh berkurang. Itu kita pahami. Namun harus diakui bahwa tipologi umum seperti ini tidak dapat dihindari. Hal ini karena alasan yang sangat sederhana, yaitu adanya berbagai varian perilaku yang dapat dimasukan dalam rumusan 7
substantif delik, sehingga pembuat undang-undang tidak sanggup merinci lebih konkret semua perilaku yang bersangkutan itu. Oleh karena itu hukum pidana membuka diri, di mana norma-norma yang kabur dan terbuka seperti yang diuraikan di atas, yang dalam praktik peradilan harus dikonkretkan oleh hakim dalam ranah hukum pidana. Oleh karena itu hal ini … dalam hal ini, pemahaman dengan … tentang asas atau ajaran lex certa dalam kenyataannya tidak se-rigid yang dituntut oleh Pemohon sebagaimana yang terjadi dalam perumusan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Mengenai pemahaman fungsi pidana sebagai satu bentuk ultimum remedium, dalam pembahasannya banyak disandingkan dengan asas oportunitas. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa asas legalitas di samping memiliki fungsi melindungi, juga memiliki fungsi yang lain yaitu fungsi instrumental yang menegaskan dalam batas mana pelaksanaan kekuasaan pemerintah tegas-tegas diperbolehkan. Di dalam hal ini yang dimaksud di sini adalah penegak hukum. Asas ini mengandung konsekuensi bahwa setiap pelanggaran undangundang harus dituntut, makna asas tersebut. Beberapa negara seperti Jerman, aturan ini dipergunakan secara mutlak. Sebaliknya, di Perancis, Belgia, dan Belanda sebagaimana suatu bentuk mekanisme atau sistem hukum yang banyak kita rujuk, asas nullum crimen sine … sine poena legali atau tiada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang, selalu diikuti oleh asas oportunitas yang menentukan bahwa pemerintah, yaitu penegak hukum berwenang tetapi tidak berkewajiban menurut undangundang untuk menuntut semua tindak pidana. Karena alasan-alasan oportunitas, maka penuntutan dabat juga diabaikan. Harus ada pembatasan kepentingan karena perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat perubahan struktur sosial, politik, dan ekonomi. Oleh karena itu, pemahaman saya terkait dengan asas ultimum remedium ini berkaitan bukan, bukan berkaitan dengan bagaimana pencantuman satu sanksi atau rumusan sanksi di dalam undang-undang, tetapi lebih kepada penerapan hukum di lapangan. Tetapi tentunya di dalam praktek juga penegak hukum kebanyakan melihat bahwa ruang untuk menggunakan oportunitasnya ini menjadi sangat sempit dikaitkan dengan hukum acara pidana. Oleh karena itu, fungsi ultimum remedium di sini tidak hanya mengikat penuntut umum dalam mempertimbangkan penuntutan seperti yang saya kemukakan tadi, akan tetapi juga mengikat hakim dengan kaitannya dengan penjatuhan putusan pidana. Ini menegaskan penggunaan ultimum remedium di dalam penerapan satu aturan pidana. Karakteristik dan kondisi masyarakat yang terus berubah dari waktu ke waktu membuka peluang perubahan perasaan hukum di dalam masyarakat. Bapak Ibu sekalian saya beralih ke asas sifat melawan hukum materiil yang juga dipermasalahkan di dalam permohonan ini di mana dianggap bahwa Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak sesuai dengan asas ini. Sifat melawan hukum materil di dalam fungsinya yang negatif dalam ajaran tentang dasar penghapus pidana atau strafuitsluitingsgrond di dalam hukum pidana ditetapkan sebagai dasar pembenar yang menghapus sifat melawan hukum berdasarkan pandangan masyarakat. Ini merupakan bentuk dasar penghapus pidana yang digunakan di dalam upaya pembuktian dalam sidang pengadilan. Jadi ini adalah dasar penghapus pidana yang berkembang di dalam doktrin.
8
Hukum pidana tertulis tidak mengenal asas ini, oleh doktrin yang berkembang dalam hukum pidana ini merupakan alasan bagi hakim untuk menghapus pidana yang berasal dari pandangan masyarakat atau dari ketentuan di luar undang-undang. Undang-undang boleh mengatur tetapi masyarakat bisa saja berubah, tetapi ini harus dibuktikan dalam satu sidang pengadilan. Oleh karena itu, tidak serta merta kita menganggap bahwa satu perbuatan yang dirumuskan di dalam aturan perundang-undang bertentangan dengan perasaan hukum masyarakat. Saya kira catatannya seperti itu mengenai sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif. Bapak-Ibu sekalian, kembali kepada penjatuhan sanksi pidana seperti yang kita tahu bahwa putusan-putusan yang menjadi dasar dari permohonan ini sebagian sudah diperiksa oleh hakim dan sudah kita ketahui bunyinya atau hasilnya seperti apa. Saya kira apa yang menjadi pertimbangan di dalam melihat kepada kebutuhan masyarakat tentunya sudah kita maklumi bahwa itu dinilai oleh hakim. Oleh karena itu, tidak menjadi alasan sebetulnya untuk mempermasalahkan rumusan undang-undang. Maka di sini saya kira proporsionalitas di dalam penggunaan sanksi pidana, proporsionalitas di dalam penjatuhan sanksi pidana saya kira lebih banyak berbicara kepada permasalahan penegakan hukum dari sekedar perumusan undang-undang. Maka di sinilah fungsi ultimum remedium ditempatkan dengan permohonan yang diajukan oleh Pemohon dalam rangka uji materil undang-undang maka permasalahan penggunaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai sarana instrumental dari penegak hukum bukan merupakan satu alasan yang saya kira tepat. Penutup, dalam hal ini saya ingin sampaikan bahwa berdasarkan uraian di atas maka pandangan yang mendasari Pemohon terhadap uji materil Undang-Undang Perlindungan Konsumen berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana. Pada dasarnya menurut saya tidaklah tepat karena dimungkinkan perumusan undang-undang secara umum sebagai mana yang dirumuskan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi Korban yang dalam pandangan ilmu pengetahuan hukum pidana tidak bertentangan dengan asas lex certa. Bahwa ajaran ultimum remedium sifat melawan hukum materil dalam fungsi yang negative serta proporsionalitas penjatuhan sanksi pidana sesungguhnya merupakan fungsi instrumental yang menjadi masalah dalam penerapan satu undang-undang dan bukan pada perumusannya. Demikian pandangan saya terhadap apa yang menjadi permasalahan di dalam permohonan ini. Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. 17.
KETUA: ACHMAD SODIKI Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih Saudara Dr. Eva Achjani Zulfa. Kami persilakan dari pemerintah barang kali ada sesuatu yang ingin disampaikan.
18.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Cukup, Yang Mulia. Cuma barang kali tadi yang terakhir Ibu Eva Achiani Zulfa barangkali bukan perlindungan saksi dan korban perlindungan konsumen barangkali ya? Karena itu nanti … ya sebutannya. Saya kira itu saja yang lain sudah terang dan jelas Yang Mulia. Terima kasih.
9
19.
KETUA: ACHMAD SODIKI Baik, dari Pemohon ada?
20.
PEMOHON: VIRZA ROY HIZZAL Ada sedikit, Yang Mulia.
21.
KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan.
22.
PEMOHON: VIRZA ROY HIZZAL Saya dari Pemohon prinsipal yang juga advokat. Memang relevan untuk menanyakan dalam kasus ini. Tadi pada Saudara Ahli Ibu Eva, tadi Saudara Ahli menyatakan bahwa memang untuk mengatur suatu undang-undang peraturan pidana itu secara rigid, sulit. Tapi menurut saya ya setidak-tidaknya harus ada dua hal dalam penerapan pidana yaitu actus reus tindakan dan juga mens rea-nya yang juga niat jahatnya itu tergambarkan dalam sutu pasal undang-undang yang diterapkan. Yang ingin saya tanyakan, dalam Pasal 81J itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang tanpa manual berbahasa Indonesia. Yang ingin saya tanyakan, apakah menurut pasal tersebut ada terdapat moral yang dilanggar yang tergambarkan dalam pasal tersebut. Kemudian jika dikaitkan dengan niat jahat tersebut tentu di dalam KUHP sendiri yang sudah berlaku berpuluh-puluh tahun di Indonesia jelas tentang tindak pidana yang itu mensiratkan mens rea ataupun actus reus, tindakanya juga misalnya dalam penipuan, penggelapan, pembunuhan, halhal yang sudah diatur KUHP secara jelas itu jelas-jelas melanggar moral di dalam masyarakat. Yang ingin saya tanyakan kembali yang tadi, tidak menyertai manual Bahasa Indonesia apakah ada moral yang dilanggar dalam penerapan pasal tersebut? terima kasih.
23.
KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan Dr. Eva.
24.
AHLI DARI PEMERINTAH: EVA ACHJANI ZULFA Terima kasih, Bapak Majelis Hakim, izinkan saya menjawab. Mengenai perumusan, bahwa kita tahu memang dalam satu tindak pidana ada empat syarat, saya katakan syarat. Dalam hal ini bahwa satu perbuatan dikatakan tindak pidana kalau subjeknya adalah manusia meskipun perkembangannya adalah korporasi di situ. Adanya satu unsur kesalahan di dalam tindakan itu dan bahwa perbuatan hukum dalam hal ini makna melawan hukum kita harus terjemahkan baik formil maupun materiil melawan hukum dalam pengertian melanggar undang-undang dan kepatutan di dalam masyarakat serta dapat dipertanggungjawabkan. Ini syarat. Tetapi terus terang bahwa di dalam suatu perumusan undang-undang pidana ya, perundang-undangan pidana tidak harus syarat-syarat ini 10
diterjemahkan secara tertulis. Kalau tadi memang dikatakan pasal-pasal 362 misalnya, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain.” Unsur kesalahan dan unsur perbuatan di situ dirumuskan secara jelas. 378, “Barang siapa dengan menggunakan nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan suatu barang.” Dia di situ dirumuskan secara tertulis. Tetapi kalau kita lihat tadi secara contoh, “Barang siapa melakukan penganiayayaan.” Unsur kesalahan tidak dirumuskan secara tertulis bahkan barangkali kita bisa bandingkan dengan ketentuan-ketentuan di dalam buku ketiga KUHP tidak satu pun dari perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di situ di rumuskan unsur kesalahannya secara tertulis. Dalam hal ini kalau kita lihat bahkan di dalam rancangan KUHP sekalipun meskipun ini masih menjadi konflik apakah unsur kesalahan akan dicantumkan secara tertulis atau barangkali yang hanya tertulis hanya dalam bentuk … kesalahan dalam bentuk kelalaian saja itu masih menjadi dilema. Tetapi intinya adalah bahwa tidak harus unsur kesalahan itu dirumuskan secara tertulis. Makna bahwa itu tersirat di dalam perbuatan, ya. Bahwa kalau kita bicara tentang moralitas adanya niat jahat dari saat seseorang untuk melakukan tindak pidana, ya. Dalam pasal-pasal tertentu dianggap bahwa dengan terbuktinya perbuatan orang itu dianggap salah, itu menjadi sah saja. Saya kira di dalam rumusan yang ada di dalam Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) huruf j Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang tadi dibacakan. Kalau kita boleh menterjemahkan seperti yang saya ungkapkan bahwa niat jahat itu tidak harus kemudian digambarkan dalam bentuk unsur kesalahan yang dicantumkan secara tertulis dan itu tidak menjadi satu alasan yang menyebabkan satu perumusan undang-undang menjadi cacat. Begitu, terima kasih. 25.
KETUA: ACHMAD SODIKI Ya, ada lagi silakan.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON: HADI SYAHRONI Ya, Ibu Eva. Saya menambahkan dari prinsipal tadi yang mempertanyakan mengenai rumusan secara tertulis kan dan tadi Ibu mengatakan bahwa itu tidak harus perlu ada seperti itu. Kalau boleh saya membandingkan dengan buku yang pernah ditulis oleh Prof. Cipto Raharjo dalam bukunya “Hukum Dalam Jagad Ketertiban.” Halaman 36 sampai 39 beliau … beliau mengutip dari Fuller ada 8 … ada 8 asas. Asas yang keempat dikatakan bahwa harus dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum, oke. Bagaimana masyarakat umum dapat mengerti satu uraian tindak pidana kalau memang itu tidak ditulis secara terurai? Aparat penegak hukum saja terdapat disparitas, apalagi masyarakat biasa.
27.
KETUA: ACHMAD SODIKI Silakan.
11
28.
AHLI DARI PEMERINTAH: EVA ACHJANI ZULFA Terima kasih, yang pertama saya kira berkaitan dengan pengunaan istilah disparitas, biasanya di dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana ini disparitas berkaitan dengan permasalahan perbedaan penjatuhan sanksi pidana, bukan perbedaan perspektif di dalam penerjemahan satu aturan perundang-undangan. Itu yang pertama. Kalau ada perbedaan di dalam menginterpretasikan aturan perundangundangan, di dalam hukum pidana yang kita pahami ada banyak cara untuk melakukan interpretasi itu. Ada sembilan cara, misalnya yang ditemukan oleh Pak Purnadi Purbacaraka, interpretasi secara gramatikal, secara historis. Seperti tadi yang dikemukakan oleh Prof. Bernadette, interpretasi futuristis, interpretasi secara teologis, maupun sosiologis. Interpretasi itu hadir sebagai sarana untuk menerjemahkan ketentuan-ketentuan yang rasanya memang sulit untuk dirumuskan secara tertulis. Tadi saya sampaikan pandangan-pandangan seperti Pak Sav Mezter, Pak Keiser, Pak Basyuni, kemudian Beckaria sekalipun yang klasik, mengatakan bahwa sulit memang untuk kemudian menerjemahkan satu aturan yang emmang bisa dimengerti oleh semua orang. Kalau kita lihat misalnya apa yang dipandang oleh Fuller sebagai harus rigid, itu rasanya memang itu adalah satu cita-cita ideal. Tetapi seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen misalnya yang dikutip oleh Basyuni dalam bukunya, International Criminal Law. Dikatakan bahwa Kelsen sendiri pada akhirnya mengatakan bahwa untuk mencapai satu yang rigid, itu harus benar-benar dipikirkan secara matang. Saya ambil contoh, misalnya pengalaman di dalam hukum pidana. Makna barang di dalam perumusan Pasal 362 KUHP, “Barang siapa mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.” Sepintas lalu kita anggap itu jelas, mengambil barang. Tetapi ketika orang berbicara, apakah listrik itu barang? Karena dia tidak bisa disentuh, dia tidak bisa dipegang, tidak bisa dipindahkan, kecuali dengan sarana tertentu. Di tahun 1984 misalnya, ada pencurian … pembobolan Bank BNI 46 yang dilakukan oleh seseorang namanya Seno Aji, tapi maaf bukan profesor. Namanya Seno Aji di Los Angels, Amerika Serikat, dengan cara apa? Dengan cara menerobos satu rekening di Bank BNI Cabang Kota. Yang berpindah adalah nomor, angka 800000, itu di dalam layer komputer. Apakah ini kita bisa terjemahkan sebagai barang? Sarana interpretasi ini menjadi alat ketika memang dibutuhkan satu keterangan yang lebih lanjut. Oleh karena itu, memang menjadi sah saja. Dan lagi memang di dalam beberapa literatur yang ditulis, teknik perumusan undang-undang saya kira Majelis Hakim di sini, itu khususnya Prof. Maria, memahami itu. Ada beberapa teknik, antara lain misalnya di dalam hukum pidana dengan menyebutkan kualifikasinya saja. Dianggap orang paham, penganiayaan orang paham apa itu menganiaya, tidak harus menjelaskan semuanya. Tetapi ada juga yang mengatakan, “Ini susah, namanya apa ya?” Tidak bisa disebutkan namanya, tetapi hanya bisa disebutkan saja perbuatannya. “Barang siapa tanpa hak masuk ke dalam pekarangan rumah orang tanpa izin, 18 … 167.” Kita tidak tahu masuk ke pekarangan rumah orang tanpa izin itu judulnya apa, sehingga kualifikasinya tidak bisa disebutkan dalam rumusan ketentuan undang-undang, atau dirumuskan dua-duanya secara lengkap. Tetapi selengkap apa pun, ternyata misalnya yang dirumuskan secara jelas saya tadi katakan, “Barang siapa mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain secara
12
melawan hukum disebut sebagai pencurian.” Itu pun masih memerlukan interpretasi. Saya kira itu jawaban saya, terima kasih. 29.
KETUA: ACHMAD SODIKI Cukup ya. Dari Majelis cukup? Baik, dari Pemerintah sudah cukup ya? Jadi Sidang ini diakhiri dalam prosesnya dan pada Pemohon, Pemerintah ya, DPR, dipersilakan untuk membuat kesimpulan yang kita nantikan harus disampaikan kepada Majelis pada hari Selasa, tanggal 7 Februari 2012, jam 16.00 WIB ya? Jika pada saat itu tidak disampaikan, berarti tidak menyampaikan kesimpulan ya? Sidang selanjutnya akan diundang dalam rangka pembacaan putusan ya. Baik, cukup ya semuanya? Baiklah. Dengan demikian, maka Sidang saya nyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11:51 WIB Jakarta, 31 Januari 2012 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d. Paiyo NIP. 19601210 1985021001 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
13