MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 45/PUU-IX/2011
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON (IV)
JAKARTA SELASA, 4 OKTOBER 2011
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 45/PUU-IX/2011 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan [Pasal 1 angka 3] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1) H. Muhammad Mawardi 2) Hambit Bintih 3) Duwel Rawing
4) H. Zain Alkim 5) H. Ahmad Dirman 6) Akhmad Taufik
ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon (IV) Selasa, 4 Oktober 2011, Pukul 11.01 – 12.45 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Moh. Mahfud MD. Achmad Sodiki Muhammad Alim Harjono Hamdan Zoelva Maria Farida Indrati Anwar Usman Ahmad Fadlil Sumadi M. Akil Mochtar
Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1) 2) 3) 4)
H. Muhammad Mawardi Duwel Rawing Akhmad Taufik Hambit Bintih
B. Kuasa Hukum Pemohon: 1) 2) 3) 4) 5)
Agus Surono M. E. Manurung Rio Tiyadi Imron Halimi Teddy Turangga
C. Ahli dari Pemohon: 1) 2) 3)
Hadin Muhjad I Gde Pantja Astawa Tommy Hendra Purwaka
D. Saksi dari Pemohon: 1) 2)
I Ktut Subandi Jaholong Simamora
E. Pemerintah: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Mualimin Abdi Heni Susila Wardoyo Supardi Gunardo Agung Prasetyo Abimanyu Joffan
(Kementerian (Kementerian (Kementerian (Kementerian (Kementerian (Kementerian
Hukum dan HAM) Hukum dan HAM) Kehutanan) Kehutanan) Kehutanan) Kehutanan)
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.01 WIB
1.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sidang Mahkamah Konstitusi untuk Perkara Nomor 45/PUUIX/2011, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, silakan perkenalkan diri dulu.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: AGUS SURONO Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia, izinkan kami memperkenalkan diri. Saya sendiri Agus Surono. Kemudian di sebelah kanan Teddy Turangga, Advokat. Sebelah kiri, Manurung, Advokat. Kemudian di sebelah kirinya lagi adalah Imron…, Bapak Imron, Advokat. Dan kemudian yang paling ujung adalah Bapak Rio Tiyadi, Advokat. Bersama ini, Yang Mulia bahwa Prinsipal juga hadir, Bupati Kapuas, Bapak Mawardi. Bupati Gunung Mas, Pak Hambit juga hadir dan beberapa bupati yang lainnya. Pada kesempatan hari ini, Yang Mulia, Ahli yang hadir adalah yang pertama Prof. Dr. H. M. Hadin Muhjad, S.H., M.Hum., yang paling ujung, beliau adalah Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat. Kemudian yang kedua adalah Bapak Tommy Hendra Purwaka, S.H., LL.M., Ph.D., Ahli Hukum Sumber Daya Alam, Dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya. Dan sebelahnya lagi adalah Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H., beliau adalah Ahli Hukum Tata Negara dan Perundang-Undangan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung. Pada kesempatan hari ini, ada dua Saksi yang hadir, Yang Mulia, yaitu yang pertama adalah Bapak I Ketut Subandi. Pekerjaan atau jabatan adalah PNS Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kapuas. Yang kedua, Jaholong Simamora, S.H., M.H., PNS pada Kantor Pertanahan Kabupaten Kapuas. Demikian, Yang Mulia.
3.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Pemerintah?
4.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb.
3
5.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Waalaikumsalam.
6.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Yang Mulia, hadir di persidangan ini tim dari Kehutanan. Saya sendiri Gunardo Agung Prasetyo. Kemudian di samping kami, kiri ini, Saudara Abimanyu, samping kirinya lagi adalah Saudara Supardi, dan yang paling ujung adalah Saudara Jovan. Kemudian dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, di samping kanan kami, Dr. Mualimin. Kemudian paling ujung adalah Saudara Heni Susila. Demikian, terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb.
7.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, hari ini kita khusus akan mendengar keterangan Saksi dan Ahli. Saksi dimohon maju dulu, Pak Ketut Subandi dan Pak Jaholong untuk mengambil sumpah. Maju! Agamanya apa Bapak? Pak Ketut? Hindu. Pak Jaholong? Kri…, Kristen. Oke, baik yang agama Hindu dulu. Silakan Bu Maria. Ya, ini Saksi Bu.
8.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, ikuti lafal janji yang saya ucapkan, ya. “Om Atah Parama Wisesa. Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.”
9.
SAKSI YANG BERAGAMA HINDU: Om Atah Parama Wisesa. Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya.
10.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
11.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik. Langsung, Bu. Terus, Bu, yang Kristen.
4
12.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. “Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya.”
13.
SAKSI YANG BERAGAMA KRISTEN: “Saya berjanji sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya.”
14.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
15.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan duduk, Pak! Dimohon maju ke depan untuk mengambil sumpah, Prof. Hadin Muhjat. Prof. Gde Pantja Astawa, dan Bapak Tommy Hendra Purawaka, Ph.D. Bapak Hadin Muhjat beragama apa Bapak? Islam. Pak Gde? Hindu. Pak Hendra Tommy? Katolik. Baik kalau begitu, mulai dari yang beragama Islam, Pak Alim. Ini Ahli, Pak Alim.
16.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya, ikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
17.
AHLI YANG BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
18.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
19.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, yang beragama Hindu, Prof. Gde Pantja Astawa, Pak Harjono.
5
20.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Ikuti lafalnya, Pak Panca. “Om Atah Parama Wisesa,” Oh, ada. Ya, dilengkapi dulu! Bersumpah, Pak, ya, ya. “Om Atah Parama Wisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
21.
AHLI YANG BERAGAMA HINDU: Om Atah Parama Wisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
22.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Terima kasih.
23.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Kemudian Bapak Tommy Hendra Purwaka, Bu Maria.
24.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, ikuti lafal janji yang saya ucapkan. Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
25.
AHLI YANG BERAGAMA KATOLIK: Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
26.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
27.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan duduk Bapak-bapak. Kita akan mendengar dulu Saksi Fakta, untuk itu Saudara I Ketut Subandi maju ke podium. Pemohon, silakan diberi tahu harus menerangkan apa Saudara Subandi ini.
6
28.
KUASA HUKUM PEMOHON: AGUS SURONO Baik, mohon…, mohon izin, Yang Mulia. Bahwa Pemohon kami minta untuk memberikan beberapa keterangan terkait dengan kondisi objektif yang ada di lapangan, terutama mengenai masalah kawasan hutan sejak…, apa…, sejak berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan ini, khususnya di wilayah administratif Pemohon.
29.
SAKSI DARI PEMOHON: I KTUT SUBANDI Yang Mulia, Yang…, Majelis Hakim yang saya hormati. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya selaku saksi. Assalammualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Perkenankanlah saya menyampaikan keterangan yang berkaitan dengan uji materiil terhadap Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan sebagai salah satu ekosistem yang berperan sebagai penyangga kehidupan dan penyeimbang lingkungan hidup telah dapat kami pahami atas peran hutan tersebut bagi keberlanjutan kehidupan di muka bumi, baik yang bersifat lokal maupun yang bersifat global.
30.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ada yang tertulis ndak itu, Saudara? Ada yang tertulis bisa diserahkan ke Majelis Hakim tidak?
31.
SAKSI DARI PEMOHON: I KTUT SUBANDI Ada, Pak…, Pak Majelis.
32.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Coba diambil petugas persidangan! Cukup. Ada lebih dari satu kan?
33.
SAKSI DARI PEMOHON: I KTUT SUBANDI Ada, Pak.
34.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya. Silakan teruskan, Pak.
35.
SAKSI DARI PEMOHON: I KTUT SUBANDI Terima kasih, Yang Mulia, saya lanjutkan. Peran hutan di Provinsi Kalimantan Tengah telah banyak berkontribusi untuk model 7
pembangunan Negara Republik Indonesia dan menyumbangkan devisa yang tidak sedikit untuk menunjang program-program pembangunan. Namun sejak ditunjuknya wilayah Kalimantan Tengah sebagai kawasan hutan yang hampir mencapai 99,6%, sampai saat ini belum memberikan kepastian hukum karena Pemerintah Pusat hanya mendasarkan pada penunjukan. Hal ini sangat sering menimbulkan konflik penggunaan lahan di lapangan antara Pemerintah, baik itu proyek-proyek Pemerintah yang menggunakan lahan dengan masyarakat adat, atau pun adanya perusahaan, atau…, baik perusahaan perhutanan, perkebunan, pertambangan, dan lain-lain dengan batas..., dengan masyarakat adat Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan batas-batas kawasan hutan di lapangan tidak ada. Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, perkenankan saya sedikit menerangkan secara teknis tentang sejarah kawasan hutan provinsi…, di Provinsi Kalimantan Tengah dan permasalahan yang timbul akibat tidak adanya batas-batas kawasan hutan di lapangan sebagai berikut. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan Nomor 759/KPTS/UM/X/1982 tentang…, tanggal 12 Oktober 1982, menunjuk wilayah Provinsi Kalimantan Tengah seluas 19.300.000 hektare sebagai kawasan hutan dengan fungsi kawasan hutan sebagai berikut. Hutan Suaka Alam seluas 729.919 hektare, Hutan Lindung seluas 800.000 hektare, Hutan Produksi Terbatas seluas 3.400.000 hektare, Hutan Produksi Biasa seluas 6.088.000 hektare, Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 4.302.181 hektare, dan Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Provinsi DATI I Kalimantan Tengah Tahun 1982, skala 1:500.000 sebagai lampirannya. Melihat pembagian fungsi kawasan hutan tersebut di atas, apabila diperbandingkan dengan luas Provinsi Kalimantan Tengah seluas 19.356.700 hektare, maka dapat disimpulkan bahwa 99,6% luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah berada di dalam lokasi hutan. Dan berdasarkan analisa terhadap Peta Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan Provinsi DATI I Kalimantan Tengah tahun 1982 yang dikenal dengan Peta TGHK tahun 1982 dapat diketahui bahwa Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah dan ibu kota kabupaten seKalimantan Tengah secara umum di dalamnya adalah…, di dalamnya ada gedung-gedung perkantoran Pemerintah, pemukiman penduduk, sarana umum, dan lain-lain, semuanya masuk ke dalam kawasan hutan. Sebagai contoh, pola ruang di kabupaten Kapuas, apabila mengacu peta TGAK tahun 1982 yaitu presentase kawasan hutannya 99,06% dan nonkawasan hutannya hanya 0,9% dan ini berarti semua wilayah Kabupatan Kapuas yang telah berumur 205 tahun, berada di dalam kawasan hutan. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, dapat saya sampaikan bahwa mengenai tata cara penandatanganan nota kesepakatan telah diatur melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian 8
Nomor 680/KPTS/UM/1981 tanggal 8 Agustus 1981 tentang Pedoman Penatagunaan Nota Kesepakatan yang mana pada amar memutuskan telah ditetapkan Pasal 1 ayat (1) bahwa penatagunaan nota kesepakatan di suatu wilayah Provinsi adalah kegiatan guna menentukan kedudukan hutan di wilayah provinsi bersangkutan menurut fungsinya yang didasarkan atas kesepakatan antara instansi terkait dengan pengguna lahan di daerah. Yang dalam hal ini, instansi teknis kehutanan di pusat maupun di daerah menyiapkan naskah rencana penatagunaan nota kesepakatan yang selanjutnya dimusyawarahkan antara instansi yang berkaitan dengan penggunaan lahan di daerah dengan koordinasi gubernur kepala daerah tingkat 1 yang bersangkutan untuk mendapat kesepakatan. Namun, proses kesepakatan yang ditandatangani antara Menteri Pertanian dengan Gubernur Kalimantan Tengah pada saat itu yang melahirkan peta rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan provinsi Dati I Kalimantan Tengah Tahun 1982 belum dapat kami pahami dan belum bisa diterima dengan akal sehat karena faktanya 99,6% wilayah provinsi Kalimantan Tengah adalah hutan dan hal ini benar-benar mengebiri hak-hak konstitusi kami. Apabila ketentuanketentuan tersebut tetap berlaku, maka berdampak konsekuensi hukum terhadap upaya-upaya pengembangan wilayah dan pembangunan wi…, yang kami lakukan di daerah. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, selanjutnya di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982, pada keputusan bagian ketiga bahwa Menteri Pertanian memerintahkan kepada Direktur Jenderal Kehutanan untuk melaksanakan pengukuran dan penataan batas kawasan hutan di lapangan. SK Menteri Pertanian tersebut sudah sangat jelas mengamanatkan setelah kawasan hutan ditunjuk, maka untuk selanjutnya agar dilakukan pengukuran dan penataan batas kawasan di lapangan agar dapat menjamin kepastian hukum batas kawasan hutan dengan batas-batas nonkawasan hutan. Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal (1) angka 3, kawasan hutan didefinisikan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, sejak ditunjuknya wilayah Kalimatan Tengah sebagai kawasan hutan yang hanya didasarkan pada penunjukan saja dan sampai dengan sekarang tidak dilakukan pengukuran dan penataan batas di lapangan, baik itu penataan batas terhadap kawasan hutan maupun penataan batas terhadap fungsi kawasan hutan. Fungsi kawasan hutan terdiri atas hutan soka alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Hal ini sering kali menyebabkan timbulnya konflik penggunaan lahan di lapangan Karena ketika Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah mendirikan perizinan kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan lain-lain yang menggunakan kawasan 9
hutan di dalam wilayah provinsi Kalimatan Tengah, selalu saja terjadi konflik-konflik penggunaan lahan dengan masyarakat adat Kalimatantan tengah yang telah ada sebelum Indonesia merdeka. Dan sepanjang penyelesaian masalah yang kami ketahui, selalu saja masyarakat menjadi pihak yang kalah dan hak-hak konstitusinya diabaikan. Padahal masyarakat kami juga mempunyai alas hak terhadap hal-hal yang menjadi miliknya yaitu ada yang berupa verklaring, ada rekomendasi adat, dan lain-lain. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, akibat tidak jelasnya batas-batas kawasan hutan, maka kami selaku aparat pemerintah di daerah sangat sulit sekali dalam memberikan pelayanan perizinan kepada masyarakat maupun dunia usaha, terkait dengan perizinan bidang perkebunan, pertanian, perikanan, perumahan, dan pemukiman maupun sarana dan prasarana lainnya karena areal yang dimohon berstatus sebagai kawasan hutan. Dan apabila hal ini kami lakukan atau kami berikan, maka berdampak hukum pidana karena dianggap memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa izin serta memberi izin usaha lainnya di dalam kawasan hutan. Yang Mulai Majelis Hakim Konstitusi yang, yang saya hormati. Merumut…, menurut pendapat saya (…) 36.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sebentar, sebentar, saya kira sudah cukup, kalau Saksi tidak boleh berpendapat. Nanti yang berpendapat biar tiga Bapak Ahli ini. Saudara silakan duduk.
37.
SAKSI DARI PEMOHON: I KTUT SUBANDI Terima kasih, Yang Mulia, atas kesempatannya.
38.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Oke, ya. Silakan. Berikutnya, Pak Jahalong. Sama ya, bukan mengajukan pendapat tapi menunjukkan fakta-fakta yang Saudara lihat yang berkait dengan perkara ini. Silakan, ada juga yang tertulis, ada yang sudah ditulis?
39.
SAKSI DARI PEMOHON: JAHALONG SIMAMORA
Ndak ada, Yang Mulia. 40.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Oh, tidak ada. Ya, silakan.
10
41.
SAKSI DARI PEMOHON: JAHALONG SIMAMORA Terima kasih, Bapak Hakim Yang Mulia. Perkenankan saya menyampaikan kesaksian berkenaan dengan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 1 angka 3. Di dalam pengalaman kami di kantor pertanahan Kabupaten Kapuas bahwa sejak tanggal 17 Juli 2008 sampai dengan bulan November 2010, layanan pertanahan persertifikatan tanah untuk yang pertama kali itu berhenti total. Dan sejak November 2010 sampai saat ini kami dapat melayani khususnya di perkotaan saja, jadi di luar kota tidak bisa melayani. Dan banyak proyek-proyek yang tertunda dan dibatalkan. Dan juga pemohon-pemohon persertifikatan tanah untuk hak milik yang pada kenyataannya memang adalah hak adat, tetapi dengan RTRWP atau TGHK 1982, dimana Kalimantan Tengah dinyatakan hampir 100% adalah hutan, BPN dibayangi rasa ketakutan dan takut dipidana, sehingga pelayanan pertanahan macet. Jadi banyak kegiatan-kegiatan yang sifatnya bisa merugikan masyarakat dan BPN tidak dapat melayani. Itu saja, Majelis Yang Mulia.
42.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan duduk! Majelis Hakim, apakah ada yang mau mendalami kesaksian ini? Saya kira sudah cukup jelas ya tadi. Baik, sekarang kepada Ahli. Pertama, Prof. Hadin.
43.
AHLI DARI PEMOHON: HADIN MUHJAD Bismillah, alhamdulillah. Assalamualaikum wr. wb.
44.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Waalaikumsalam.
45.
AHLI DARI PEMOHON: HADIN MUHJAD Yang Mulia Ketua Majelis, para Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, hadirin yang saya hormati. Perkenankanlah saya ingin menyampaikan pendapat berkenaan tentang konstitusionalitas Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pendapat saya, saya mulai dengan isu hukum yaitu apakah Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar…, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila kita perhatikan Pasal 1 angka 3 yang rumusannya adalah bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan 11
keberadaannya sebagai hutan tetap. Pasal 1 angka 3 kalau kita lihat dari aspek legal drafting itu masuk dalam ketentuan umum. Ketentuan umum ini berisi batasan tentang pengertian atau definisi, berisi tentang singkatan atau akronim, berisi hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal berikutnya, seperti asas, maksud, dan tujuan. Fungsi ketentuan umum adalah untuk menjelaskan makna, pengeritan, atau definisi, singkatan atau akronim, dan hal-hal lain yang bersifat umum terhadap materi pokok yang diatur di dalam undangundang yang bersangkutan. Apabila kita lihat pengeritan Pasal 1 angka 3 itu dimaksud untuk memberikan pengertian terhadap materi pokok yang diatur, dalam hal ini adalah Pasal 14 dan Pasal 15 UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999. Pasal 14 terdiri dari dua ayat, Pasal 15 juga terdiri dari dua ayat. Nah, dengan memperhatikan pengertian yang dirumuskan oleh Pasal 1 angka 3 dengan materi pokok yang terdapat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41, maka jelas bahwa pengertian Pasal 1 angka 3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Argumentasinya adalah sebagai berikut. Yang pertama, tentang soal kepastian hukum. Di dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dijelaskan bahwa yang memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan adalah kegiatan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan itu meliputi empat tahapan, yaitu: a. Penunjukan kawasan hutan, b. Penataan batas kawasan hutan, c. Pemetaan kawasan hutan, dan d. Penetapan kawasan hutan. Status dan batasan kawasan hutan yang memberikan kepastian hukum apabila dilakukan dengan empat tahapan ini, atau yang disebut oleh Pasal 1 angka 8 (suara tidak terdengar jelas) Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan adalah rangkaian kegiatan. Jadi rangkaian kegiatan dari empat tahapan, penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas status, letak, batas, dan luas kawasan hutan. Oleh karena itu, apabila dilakukan hanya satu tahapan, yaitu berupa penunjukan kawasan hutan saja, belum dapat memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, dapat saya simpulkan bahwa norma Pasal satu angka 3 yang digunakan hanya pada frasa ‘ditunjuk’, bukan ditetapkan sebagai tindakan Pemerintah untuk menentukan status dan batasan kawasan hutan, jelas tidak menimbulkan kepastian hukum, berarti Pasal 1 angka 3 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Argumentasi kedua adalah dari aspek hukum administrasi. Dalam hukum administrasi, salah satu tindakan Pemerintah, dalam kaitan ini yang kita kenal adalah penetapan atau keputusan Pemerintah. Sedangkan istilah penunjukan, tidak dikenal di dalam lingku…, di dalam bagian dari bestuurshandelingen. 12
Dalam hukum administrasi, salah satu aspek untuk mengukur keabsahan penetapan adalah menyangkut soal prosedur pembuatan. Karena cacat prosedur, dapat menyebabkan cacatnya penetapan. Prosedur standar tindakan Pemerintah adalah terdiri dari tahapan persiapan, termasuk di dalamnya peran serta masyarakat dan kemudian tahapan terakhir adalah pengambilan keputusan atau penetapan. Tahapan persiapan diperlukan untuk menghindari cacat karena ketidakcermatan atau ketelitian. Kecermatan atau ketelitian dimaksud agar untuk menetapkan fakta yang benar, sehingga tersangkut asas pemeriksaan yang teliti. Asas ini mensyaratkan bahwa pengambilan keputusan oleh Pemerintah harus didahului oleh pemeriksaan yang teliti tentang fakta. Nah, selain itu di dalam bagian yang terpenting di dalam hukum administrasi modern untuk menjamin hak-hak dasar warga negara, agar warga negara tidak menjadi objek, melainkan menjadi subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, maka harus dimungkinkan seluruh warga masyarakat mengajukan keberatan yang terkait, yang ada kepentingan, dan peran serta masyarakat sebelum keputusan yang diambil. Dalam kaitan kasus ini, dalam proses pengukuhan kawasan hutan, maka apabila kita perhatikan di dalam penjelasan Pasal 15 Undang-Undang angka 1, kegiatan yang tersangkut dengan penunjukan, itu disebutkan adalah pertama pembuatan peta, penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar. Yang kedua, pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas. Yang ketiga, pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan. Dan yang terakhir pengumuman rencana. Pengumuman rencana batas kawasan hutan, termasuk di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak. Kegiatan penunjukan ini oleh Pasal 17 PP 44 Tahun 2004 dikatakan sebagai proses awal suatu wilayah tertentu untuk menjadi kawasan hutan. Dan ini juga telah diakui sendiri oleh Pemerintah di dalam Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/KPTSII/2001 yang untuk Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 48/MenhutII/2004. Seterusnya, kalau kita lihat bagian lain dari tahapan persiapan ini yang penting, yang terkait langsung dengan kasus a quo adalah adanya pemeriksaan yang teliti dari Pemerintah tentang fakta yang benar dan peran serta masyarakat. Nah, ternyata di dalam tahapan proses pengukuhan kawasan hutan, yang dimaksud dengan pemeriksaan teliti dari Pemerintah, kecermatan, dan peran serta masyarakat, itu hanya terdapat pada tahapan kedua, yaitu dalam penataan batas. Hal ini disebutkan di Pasal 19 ayat (2) PP Nomor 44. Kegiatan itu adalah pertama pemancangan batas…, pemancangan patok batas sementara. Yang kedua, pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara. Yang ketiga, inventarisasi dan penyelesaian, inventarisasi dan penyelesaian hak-hak 13
pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan. Dan di penyusunan berita acara pengakuan oleh masyarakat di sekita..., di sekitar trayek batas atas hasil pemancangan patok batas sementara. e. Penyusunan berita acara pemancangan batas sementara yang disertai dengan peta pemancangan patok batas sementara. f. Pemancangan pal batas yang dilengkapi dengan lorong batas. g. Pemetaan hasil penataan batas. h. Pembuatan dan penandatanganan Berita Acara Tata Batas dan Peta Tata Batas. i. Plaporan kepada menteri dengan tembusan kepada gubernur. Nah setelah penataan batas, kemudian tahapan ketiga pemetaan, baru terakhir adalah penetapan. Penetapan kawasan hutan adalah sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 11 PP Nomor 44, penegasan tentang kepastian hukum mengenai status batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap. Dengan demikian, apabila kita lihat ketentuan Pasal 1 angka 3 yang hanya pada tahapan penunjukan tidak diikuti dengan tahapan kedua, ketiga, yaitu penataan batas dan pemetaan, jelas hal ini tidak memberikan perlindungan kepada warga negara yang harus aktif dalam penyelenggaraan administratif pemerintahan. Dengan demikian, Pasal 1 angka 3 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28I ayat (1)..., ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Demikian yang bisa saya sampaikan, salah khilaf saya mohon maaf. Wabillahi Taufik Walhidayah. Assalamualaikum wr. wb. 46.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Selanjutnya Bapak Prof. Pantja Astawa. Silakan, Pak.
47.
AHLI DARI PEMOHON: I GDE PANTJA ASTAWA Majelis Hakim, Ketua, dan seluruh Anggota yang saya muliakan. Izinkan saya menyampaikan pendapat dari perspektif yang lain, terutama saya ingin menyampaikan pendapat dari perspektif hukum admi..., hukum positif. Lebih khusus lagi, hukum tertulis itu peraturan perundangn-undangan yang terkait dengan norma yang dipersoalkan di dalam kasus a quo. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya hormati. Dalam perspektif hukum positif, khususnya hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan seperti halnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tidak selamanya memberikan jaminan kepastian hukum. Dalam hal-hal tertentu, hukum tertulis dapat menjadi sumber ketidakpastian hukum. Apabila rumusan, kaidah dari hukum tertulis tidak jelas arti, maksud, dan tujuannya yang kita kenali sebagai istilah ambigous, atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretative), atau bahkan terjadi inkonsistensi di dalam penggunaan (suara tidak terdengar jelas) lahan. 14
Lebih-lebih lagi kalau terjadi kebijakan pelaksanaan yang menyimpang dari maksud, atau..., maaf, dari..., menyimpang dari bunyi atau maksud hukum tertulis yang bersangkutan. Semuanya itu dapat menjadi sebab timbulnya ketidakpastian hukum. Cara untuk mengatasi kekurangan peraturan perundangundangan, sebagaimana yang saya sebutkan di atas adalah dengan memperbesar peranan hakim. Dalam hal ini hakim bukan hanya sekedar mulut atau corong undang-undang, tapi sebagai pihak yang mempertimbangkan baik, buruk. Manfaat (mudarat) suatu peraturan perundang-undangan agar hukum tetap terlaksana dengan adil dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakat. Saya tidak bermaksud untuk..., mohon maaf Yang Mulia, mendikte Majelis Hakim yang saya muliakan. Saya hanya menyampaikan pendapat dan saya yakin Yang Mulia memiliiki pemahaman yang berkenaan dengan apa yang akan saya sampaikan ini. Untuk itu, Hakim harus menafsirkan, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum (argumentum a contrario). Bahkan lebih jauh dari itu, manakala diperlukan, hakim harus menciptakan hukum untuk memutus suatu perkara. Hal ini menimbulkan fenomena baru dalam sistem hukum kontinental, yaitu makin pentingnya peranan putusan hakim atau yurisprudensi sebagai subsistem hukum. Bahkan putusan hakim mempunyai arti yang lebih besar karena mendekatkan hukum (suara tidak terdengar jelas), hukum yang nyata atau yang diberlakukan terhadap suatu perkara. Atas dasar itu adalah sangat tidak beralasan, Menteri Kehutanan menafsiirkan secara sepihak Ketentuan Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 khususnya frasa ‘ditunjuk dan/atau’ dalam rumusan Pasal 1 angka 3 tersebut, dengan menyatakan bahwa penunjukan adalah sama dengan penetapan kawasan hutan, hal itu tampak dari: 1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5426/Menhut-VII/2006 tanggal 12 Juli 2006, kemudian, 2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, dan yang terakhir, 3. Surat edaran Menteri Kehutanan Nomor 404/Menhut-II/2003-nya mengacu dan berpedoman pada keputusan Menteri Pertanian Nomor 759 tahun 2002 tentang Penunjukan Area Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah seluas 15.000…, maaf…, 15.300.000 hektare. Saya katakan tidak beralasan karena yang pertama, selaku menteri yang notabene adalah pembantu presiden adalah pelaksana undang-undang, dalam hal ini adalah Undang-Undang 41 Tahun 1999 karena dia berada pada domain atau cabang kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh presiden sebagai chief of executive atau chief of government dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UndangUndang Dasar 1945. Kalaupun konsisten melaksanakan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, 15
seharusnya pemerintahlah yang melaksanakannya, bukan menteri karena pengertian pemerintah dalam Pasal 41 angka 14 adalah pemerintah pusat, sedangkan pengertian pemerintah pusat menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah…, perlu saya kutip di sini selengkapnya..., “Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Yang kedua, jangankan menteri, presiden yang mengangkat dan memberhentikan menteri tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan bunyi ketentuan yang ada dalam undang-undang. Karena itu, tindakan Menteri kehutanan yang menafsirkan secara sepihak ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah tindakan tanpa wewenang atau ultra vires. Sehingga apa pun bentuk hukum atau tindakan ultra vires itu, sama sekali tidak memiliki legal binding dan oleh karenanya batal demi hukum, van rechtwegenietig atau null and void. Ketiga, kewenangan untuk menafsirkan bunyi ketentuan yang terdapat dalam undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, ada pada hakim. Dalam hal ini adalah Majelis Hakim yang saya muliakan. Ketua dan Anggota Majelis Hakim yang saya hormati, sebagaimana yang saya kemukakan di atas bahwa kebijakan pelaksanaan menyimpang dari bunyi atau maksud hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan adalah salah satu sumber penyebab timbulnya ketidakpastian hukum. Penyimpangan kebijakan yang diambil oleh Menteri Kehutanan yang dituangkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang yang saya sebutkan di atas adalah satu contoh nyata dari sumber penyebab timbulnya ketidakpastian hukum. Selain kebijakan pelaksanaannya menyimpang, rumusan kaidah hukum yang tertulis ataupun peraturan perundang-undangan yang ambigu adalah juga menjadi sebab timbulnya ketidakpastian hukum. Rumusan kaidah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 khususnya frasa ‘ditunjuk dan/atau’ dinilai oleh para Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi merugikan hakhak konstitusional para Pemohon. Menghadapi rumusan kaidah hukum yang ambigu di satu pihak dan kewajiban mengadili di pihak lain, maka hakim tidak mungkin menjadi sekadar corong atau mulut undang-undang. Hakim dalam…, menciptakan…, menjalankan tugasnya dituntut juga untuk memberi arti suatu ketentuan agar dapat mencakup suatu peristiwa hukum tertulis. Bahkan wajib menemukan hukum untuk menyelesaikan peristiwa konkret tertentu. Untuk kepentingan tersebut hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini saya kutip di dalam…, ini Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 16
Metode yang dapat digunakan oleh hakim untuk menerapkan atau menemukan hukum secara tepat bagi keperluan memecahkan masalah hukum konkret yang dihadapi, dilakukan dengan penemuan hukum (Rechtsvinding atau legal finding). Ada 2 metode utama yang digunakan hakim dalam penegakan penerapan hukum yaitu penafsiran dan konstitusi hukum. Dalam hal perkara a quo lebih relevan hanya menggunakan metode penafsiran. Penafsiran atau interpretasi adalah usaha untuk memberi makna suatu atau sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar di dalam memecahkan suatu permasalahan hukum, perbedaan antara norma dan/atau suatu sengketa hukum. Dengan mengutip pendapat dari J.A. Pointer dalam Rechtsvinding, didapati bermacam-macam metode penafsiran. Di antaranya yang saya anggap relevan dalam kasus ini adalah penafsiran berdasarkan tata bahasa atau ilmu bahasa, penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penafsiran sistematis. Sekali lagi saya hanya ingin menyampaikan pendapat. Mudahmudahan ini bisa membantu dan mengingatkan, Yang Mulia. Penafsiran berdasarkan tata bahasa atau gramatika adalah penafsiran yang berusaha menemukan arti atau makna kata-kata atau kalimat dalam teks peraturan perundang-undangan dengan cara menghubungkan arti kata, atau kata-kata dengan pengertian, atau kata-kata dengan pengertian arti yang lazim dipakai sehari-hari. Dalam Burgerlijk Wetboek atau BW didapati ketentuan mengenai cara menafsirkan secara gramatika suatu perjanjian. Misalnya saya ambil contoh Pasal 1342, “Jika kata-kata suatu persetujuan jelas tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan…, dalam menafsirkan. Karena dalam undang-undang ada prinsip, apabila kata-kata atau kata-kata dalam suatu undang-undang telah cukup jelas, dilarang untuk ditafsirkan, meskipun secara keseluruhan kaidahnya kurang atau tidak baik.” Yang kedua, Pasal 1343, “Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai pengertian…,” maaf, “Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi berbagai penafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu daripada dipegang teguh arti kata menurut hokum,” Maaf, “…menurut huruf.” Yang ketiga, Pasal 1344, “Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut artinya yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan.” Yang keempat, Pasal 1345, “Jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat persetujuan. Dalam peraturan perundang-undangan, suatu kata atau kata-kata harus diberi arti sebagaimana kata atau kata-kata tersebut diartikan dalam bahasa sehari-hari.” Yang berikut adalah penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan. Penafsiran berdasarkan 17
wet…,
wet
histories
dilakukan dengan meneliti bahan-bahan penyusunan rancangan dan menelusuri pembicaraan di DPR dan dari lain bahan yang bertalian pembentukan suatu undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Tidak kurang penting untuk diperhatikan yaitu berbagai hasil kajian atau academic chart atau rancangan akademik yang disusun dalam rangka pembuatan undangundang tersebut. Dan yang terpenting seperti yang tadi saya sampaikan adalah penafsiran sistematik. Penafsiran sistematik bertolak pada sebuah prinsip, hukum adalah sebuah sistem. Untuk menemukan arti, atau pengertian suatu norma, atau istilah dilakukan dengan cara menghubungkan satu ketentuan dengan ketentuan-ketentuan lain, baik dalam peraturan perundang-undangan yang sama maupun dengan peraturan perundang-undangan atau kaidah hukum yang lain. Dengan menggunakan penafsiran sistem sistematik, maka ketentuan Pasal 1 angka 3 khususnya frase ‘ditunjuk dan/atau ditetapkan’ berkorelasi dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Kedua pasal ini berada di bagian ketiga di bawah judul Pengukuhan Kawasan Hutan. Ketentuan Pasal 1 angka 3 selengkapnya berbunyi, “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Ketentuan Pasal 14 menegaskan: • Ayat (1) : “Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan.” • Ayat (2) : “Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.” Sedangkan ketentuan Pasal 15 menyebutkan: • Ayat (1) : “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. Penunjukan kawasan hutan, b. Penantaan batas kawasan hutan, c. Pemetaan kawasan hutan, dan d. Penetapan kawasan hutan.” • Ayat (2) : “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mempraktikkan rencana tata ruang wilayah.” Hal terpenting dari ketiga ketentuan tersebut di atas sekaligus menjawab dan memperjelas makna frasa ‘ditunjuk dan/atau ditetapkan’ dalam rumusan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Adalah terletak pada kegiataan pengukuhan kawasan hutan sebagai proses, cara, pembuatan, mengukuhkan untuk memberi legalitas atau kepastian hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan itu…, hutan untuk itu sendiri dilakukan melalui proses yang tadi saya kemukakan: a. Penunjukan kawasan hutan, b. Penantaan batas kawasan hutan, 18
c. Pemetaan kawasaan hutan, dan d. Penetapan kawasan hutan. Penunjukan kegiatan hutan merupakan kegiatan awal dari pengukuhan kawasan hutan yang masih harus diikuti oleh kegiatan penantaan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan akhirnya pada penetapan kawasan hutan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penunjukan kawasan hutan merupakan kegiatan awal dari pengukuhan kawasan hutan, sedangkan penetapan kawasan hutan merupakan kegiatan penutup dari pengukuhan kawasan hutan. Dua-duanya baik penunjukan dan penetapan adalah bagian dari proses ke arah pengukuhan suatu kawasan sebagai kawasan hutan. Pengukuhan itu sendiri merupakan legalitas untuk memberikan kepastian hokum aras kawasan hutan. Atas dasar itu guna menjamin adanya kepastian hukum serta menutup peluang untuk ditafsirkan lain dan sekaligus menunjukkan konsistensi dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15, maka ketentuan angka 1…, maaf, ketentuan Pasal 1 angka 3, khususnya frasa ‘ditunjuk dan/atau ditetapkan’ harus dinyatakan bersyarat (conditionally constitutional) yaitu konstitusional, sepanjang dimaknai kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang dikukuhkan sebagai kawasan hutan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan. Bila tidak dimaknai demikian, maka ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang 41 Tahun 1999 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakkonsistenan dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15, sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Demikian juga berimplikasi terganggunya penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan daerah. Sebagaimana yang digariskan dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), serta Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Last but not least membawa implikasi juga terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28H ayat (1), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dan tidak kalah pentingnya, akhirnya membuka peluang ditafsirkannya secara sepihak oleh Menteri Keuangan, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam pemaparan saya di atas. Semua ini berimplikasi merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon, sebagaimana yang saya uraikan di dalam uraian saya ini. Kalau Majelis mengizinkan karena panjang sekali, apa nanti saya akan serahkan saja?
19
48.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Serahkan saja.
49.
AHLI DARI PEMOHON: I GDE PANTJA ASTAWA Jadi itu saja pendapat saya yang terpenting. Terima kasih.
50.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Ya, pokok-pokoknya tadi sudah ditangkap, ya. Terima kasih, Prof. Pantja Astawa. Berikutnya, Prof…, Bapak Tommy Hendra Purwaka, S.H., LL.M., Ph.D., silakan Bapak. Petugas Pesidangan, naskah itu diambil dulu, Prof. Pantja Astawa sama Prof. Hadin, kalau ada yang tertulis, Bapak.
51.
AHLI DARI PEMOHON: TOMMY HENDRA PURWAKA Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Dari hasil telaahan saya, izinkan saya menyampaikan pendapat sebagai berikut. Pertama, alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum di sini saya artikan sebagai suatu keadaan dimana seluruh rakyat Indonesia hidup dalam yang tidak takut akan hari esok karena kebutuhan hidup setiap warga negara terpenuhi. Salah satu sumber daya alam yang diharapkan dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut adalah hutan. Untuk dapat memenuhi harapan tersebut, hutan harus seabaikbaiknya diurus melalui kegiatan pengurusan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 65 Undang-Undang Kehutanan. Dalam hal ini, kita fokuskan kepada Pasal 14 dan Pasal 15 UndangUndang Kehutanan. Yang Mulia, kegiatan pengurusan hutan tersebut di atas, bila dilakukan seluruhnya sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka hutan sebagai objek dari kegiatan pengurusan tersebut dapat diharapkan menjadi salah satu kontributor utama terwujudnya kesejahteraan umum. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa tahap-tahap kegiatan pengurusan hutan tersebut di atas, tidak terlaksana di Kalimantan Tengah sesuai ketentuan undang-undang. Yang terlaksana adalah jalan pintas, yaitu hanya dengan melaksanakan penunjukkan dan/atau penetapan kawasan hutan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan, untuk mempertahankan keberadaan hutan sebagai hutan tetap. Jalan pintas itu sudah barang tentu sangat bertentangan dengan kegiatan pengurusan hutan.
20
Dengan demikian, pelaksanaan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan tidak akan dapat mewujudkan kesejahteraan umum, sebagaimana dikemukakan dalam alinea keempat Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Dari sudut pemahaman hutan sebagai sumber daya alam, Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa hubungan pemanfaatan hutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Keadilan dan keselarasan yang tercipta dalam hubungan pemanfaatan hutan tersebut akan menghasilkan, misalnya saja efisiensi dalam bidang ekonomi, kesejahteraan dalam bidang sosial, dan keberlanjutan dalam kegiatan pembangunan di daerah. Hakim Konstitusi yang saya muliakan, pelaksanaan hubungan pemanfaatan hutan secara adil dan selaras antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana digambarkan di atas, ternyata tidak pernah dapat diwujudkan dengan penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan. Sebaliknya, pelaksanaan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan dewasa ini telah menimbulkan banyak permasalahan, termasuk pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional Pemerintah Daerah, kepala daerah sebagai perseorangan, dan masyarakat daerah. Hakim Konstitusi yang saya muliakan, hutan merupakan salah satu jenis kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia yang dikuasai, bukan dimiliki oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, penggunaan, pemanfaatan, pengelolaan hutan oleh Kementerian Kehutanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak akan dapat dicapai hanya dengan menunjuk, dan menetapkan kawasan hutan, serta mempertahankan kebenarannya hanya sebagai hutan tetap berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan, tanpa melibatkan Pemerintah dan rakyat daerah yang memiliki hak-hak konstitusional atas hutan dan hak-hak konstitusional lainnya yang berkaitan dengan hutan. Yang Mulia, hutan merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh rakyat dan Kementerian Kehutanan hanya dapat menguasainya berdasarkan mandat dari rakyat. Dari sudut hukum kekeyaan negara, hutan yang demikian itu disebut domain public. Negara hanya menguasai dan tidak memiliki. Penguasaan oleh negara tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan dalam bentuk kegiatan pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan hutan dengan tujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan tersebut, lebih merupakan kegiatan kepemilikan daripada kegiatan dari pihak penerima kuasa atau mandat. Kegiatan kepemilikan akan 21
menempatkan hutan sebagai domain privat dalam kekayaan negara. Sebagai konsekuensinya, kegiatan tersebut ternyata kemudian melanggar hak-hak konstitusional dari rakyat yang memberikan mandat kepadanya. Demikian, Yang Mulia, pendapat saya. Terima kasih. 52.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, terima kasih. Bapak kalau ada yang tertulis, harap petugas persidangan diambil juga! Baik, Pemohon apakah ada yang perlu didalami?
53.
KUASA HUKUM PEMOHON: AGUS SURONO Cukup, Yang Mulia.
54.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Cukup. Pemerintah, ada yang ingin ditanyakan?
55.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik, terima kasih, Yang Mulia. Jadi nampaknya, baik Saksi pelaku maupun Ahli menjelaskan bahwa seolah-olah hutan, kewenangan di bidang kehutanan itu ada pada Kementerian Kehutanan. Kami ingin tanya, baik kepada Saksi Ahli maupun pelaku tentang proses penunjukan kawasan hutan maupun penetapan kawasan hutan. Barangkali bisa dijelaskan karena di sana sudah secara tegas diatur dalam PP Nomor 44 Tahun 2004 bahwa penunjukan itu pun dimulai dari bawah, sebagai halnya tata guna hutan kesepakatan, Majelis Hakim bahwa awalnya memang didahului dengan kesepakatan semua stakeholder terkait di daerah, kemudian diusulkan kepada gubernur, baru gubernur ke Dirjen Kehutanan pada saat itu. Kemudian ditetapkan seba…, ditunjuk sebagai kawasan hutan karena memang belum dilakukan tata batas dan dilanjutkan dengan penetapan kawasan hutan, sehingga bukan kewenangan tunggal oleh Kementerian Kehutanan. Tadi juga disinggung masalah menjadikan seolah-olah Pemerintah Daerah tidak bisa berbuat apa-apa dengan telah ditetapkannya atau ditunjuk sebagai kawasan hutan. Perlu kami sampaikan bahwa semua perizinan di bidang kawasan hutan maupun non kawasan hutan, tidak ada satu pun yang ke luar dari Kementerian Kehutanan tanpa rekomendasi, tanpa restu, baik dari bupati dan/atau gubernur, tidak ada. Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada satu perizinan pun, baik tukar-menukar, pelepasan kawasan hutan, perubahan fungsi, dan peruntukan kawasan hutan, HPHTI, tanpa sentuhan dari Pemerintah Daerah.
22
Kemudian, kami sampaikan juga bahwa Ketua Tim Tata Batas juga ada pada bupati, anggotanya juga semua stakeholder terkait di daerah. Jadi, sifatnya Kementerian Kehutanan kewenangannya hanya di ujung, di ujung saja. Semacam mendeklarasi saja terhadap apa yang telah dilakukan dalam proses panjang. Itu mungkin yang dapat kami sampaikan, barangkali kami mengundang tanggapan dari Saksi maupun Ahli. Terima kasih, Yang Mulia. 56.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik ya, nanti…, anu itu…, biar Hakim yang menyimpulkan karena memang tidak mencari kesepakatan ya. Kecuali pertanyaan. Kalau..., kalau pendapat begitu nanti kami yang menilai. Baik ada lagi? Hakim Pak Hamdan…, Hakim Hamdan Zoelva.
57.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Saya sedikit saja mau konfirmasi kepada Pemerintah. Pemerintah…, Menteri Kehutanan mengeluarkan SK Nomor 292, 31 Mei 2011, itu mempergunakan istilah ‘penunjukan’ salah satunya. Apakah ini yang dimaksud adalah penunjukan dalam Pasal 15 ayat (1a)? Artinya masih ada langkah-langkah selanjutnya untuk mencapai pengukuhan kawasan hutan. Dan apakah implikasinya setelah keluar penunjukan dalam SK Nomor 292 ini? Apakah dengan demikian..., apa..., apa..., wilayah yang ditunjuk itu menjadi bukan kawasan hutan atau sebaliknya menjadi kawasan hutan? Karena ada dua di sini. Saya mau konfirmasi saja.
58.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik, terima kasih (...)
59.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Hakim Harjono..., sebentar dulu. Hakim Harjono, sekalian.
60.
HAKIM ANGGOTA: HARJONO Terima kasih, Pak Ketua. Jadi Pemerintah ya ini yang menjadi krusialnya agaknya pada Pasal 1 angka 3 itu ada kata ‘yang ditunjuk’ ya, ‘ditunjuk’. ‘Ditunjuk’ atau ‘ditetapkan’ coba saya seperti Pak Hamdan juga kalau tadi dihubungkan dengan proses pengukuhan ya. Yang ingin saya tanyakan adalah apa produk yang namanya penunjukan ini pernah..., sudah pernah ada sebelum undang-undang ini lahir? Artinya kemudian untuk mengakomodasi apa yang sudah ada itu kemudian digunakan kata ‘ditunjuk’, ya.
23
Yang berikutnya adalah kalau tadi pasal ketentuan yang disebut oleh Pak Hamdan tadi proses untuk pengukuhan ya. Sebetulnya itu belum final itu walau ditunjuk di situ, finalnya adalah pada pengukuhan. Pertanyaan saya adalah apakah kawasan-kawasan yang sekarang sudah distatuskan, ditunjuk, dan ditetapkan itu sudah ada finalisasi pengukuhannya? Sudah ada finalisasi pengukuhannya? Ya itu yang berhubungan dengan kata ‘ditunjuk dan ditetapkan.’ Berikutnya adalah ini masalah tapi ini sebetulnya bukan masalah Anda, ini masalah penyusun dari undang-undang ini. Karena ini mengapa yang kalau saya inventarisasi di sini ada kata yang banyak sekali digunakan tapi kemudian diurut secara berbeda ya. Hutan tetap, hutan tetap itu ada di situ, kawasan tiga itu. Sebagai hutan tetap ya, hutan tetap itu malah tidak didefisinikan. Apa hutan tetap itu selamalamanya akan tetap, ya? Apa status hutan tetap itu karena ada ditentukan di dalam kawasan hutan itu ya? Lalu juga konsekuensi dari perumusan Pasal 1 angka 3 dengan dikatakan ‘kawasan hutan adalah’ maka ini mengandung konsekuensi bahwa kalau Anda nanti menemukan kata ‘kawasan hutan’ di dalam pasal-pasal berikutnya itu maknanya ini, bukan begitu? Nah, ini yang kemudian menjadi membingungkan karena kawasan hutan ini dipakai beberapa kali yang kalau kemudian dipahami secara kontekstual dalam pasalnya itu sebetulnya tidak ini..., tidak ang..., Pasal 1 angka 3 ini. Karena ada kawasan hutan disebut ada di situ ada kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian, taman buruan, taman buruan kok juga mengunakan kawasan hutan. Semua mengunakan kawasan hutan, kawasan hutan, kawasan hutan, lalu kawasan hutan itu hubungannya dengan Pasal 1 angka 3 ini apa itu? Ini yang seringkali juga membingungkan karena di sini ada dua hal definisi yang sebetulnya menyangkut persoalan status, kalau undang-undang ini mestinya statusnya inilah yang harus ditunjukkan ya. Kalau fungsi itu fungsi apa pun juga nanti itu menjadi fungsi seperti itu menjadi punya legal..., punya kedudukan hukum kalau sudah distatuskan. Ini banyak istilah-istilah teknisnya saja yang mestinya ya itu melatarbelakangi saja, bukan didefisinikan, gitu. Ini hal-hal yang perlu disampaikan, justru di dalam pengertian ini pengukuhan kawasan hutan itu tidak muncul. Padahal itu produk hukumnya yang utama adalah pengukuhan itu kalau final, tapi yang didefinisikan justru fungsi-fungsi itu. Hutan lindung..., apa..., mempunyai fungsi, kalau sudah berfungsi itu apa artinya? Hutan lindung itu mestinya menjadi hutan lindung setelah dinyatakan menjadi hutan lindung, bukan karena fungsi. Fungsinya itu bisa saja hutan lain itu punya fungsi itu tapi tidak ditetapkan sebagai hutan lindung, ya. Umpamanya saja hutan lindung adalah semua kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai pelindungan sistem penyangga. Itu…, apa itu…, keadaan nyatanya dari hutan itu, tapi yang penting putusannya itu menjadi hutan lindung atau tidak.
24
Jadi ini hal-hal yang menurut saya juga menjadi bingung bagi mereka yang membaca, terutama kalau sudah bicara tentang status hukumnya. Pasal 4, “Semua hutan di wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terdalam di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kalau semua hutan, maka hutan itu definisinya ada di Pasal 2, “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan…,” Nah, definisinya definisi sistem ekosistemnya, tapi yang dikuasai oleh negara kan bukan itu, tapi hutan negaranya yang diposisikan sebagai kawasan hutan itu. Apa seluruh yang mempunyai masuk kriteria yang kedua itu mesti menjadi hutan negara karena ada hutan hak? Hutan hak kan tidak termasuk hutan negara. Ini…, ini persoalan membuatnya saja, tapi itulah yang saya kesankan, hanya kembali pada persoalan ‘pengukuhan’ tadi dan pengertian tentang ‘ditunjuk’. Terima kasih. 61.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Hakim Fadli?
62.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Pertanyaan saya ini saya tujukan kepada Pemerintah. Setelah saya mendengar keterangan keahlian dari Prof. Pantja Astawa bahwa memahami Pasal 3…, Pasal 1 angka 3 itu mesti dikaitkan dengan Pasal 14 dan Pasal 15. Kalau saya kaitkan dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Harjono, maka Pasal 3 angka…, sorry…, Pasal 1 angka 3 kaitannya dengan Pasal 14 yang berbunyi, “Berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.” Itu artinya Pemerintah melakukan kegiatan inventarisasi terhadap hutan-hutan yang semula sudah ada, yang semula sudah ada. Tadi…, jadi tadi ditanyakan, apakah pengukuhan itu semula sudah ada apa belum hutannya, penentuan mengenai hutannya itu? Semula sudah ada? Lalu yang kedua, masih terkait dengan Pasal 14 yang lalu dikaitkan dengan Pasal 15 yang menurut Hakim Harjono tadi kata ‘pengukuhan’ itu belum ada rumusannya, tapi tujuannya untuk…, apa namanya…, untuk terciptanya kepastian hukum, justru di sini kepastian hukum yang hendak diciptakan itu sepertinya…, nanti mohon klarifikasi, apakah…, apa namanya…, yang saya gambarkan atau yang saya pikirkan itu benar bahwa sejak…, yang namanya kegiatan pengukuhan yang tersebut di dalam Pasal 15 tadi yang disampaikan oleh Prof. Pantja Astawa, dimulai dari penunjukan, penataan batas, pemetaan kawasan, penetapan kawasan hutan, itu sejak proses yang pertama, A, B, C, D, itu sudah punya implikasi hukum semua? Dan bahkan yang pernah terjadi di sini, itu sudah…, implikasinya itu sampai terjadi dikriminalkannya seseorang, begitu ya, kalau ini berkaitan dengan orang, seseorang. Ketika kawasan hutan itu masih dalam proses ditunjuk, lalu ada orang yang memaanfaatkan, lalu digunakan 25
pasal-pasal yang…, apa namanya…, melakukan okupasi terhadap kawasan itu, sehingga ini kriminal. Lah, apakah adil? Atau kalau itu memang adil, bagaimana rasionalisasi keadilannya? Sedang ditunjuk saja sudah…, belum dikukuhkan…, padahal ini kegiatan inventarisasi kan sebenarnya? Kegiatan menginventarisasi hutan, tapi ketika, “Oh, ini yang gambarannya.” Orang yang menginventarisasi kan menggambarkan ini, ini, ini, begitu ya? Ketika masih dibayangkan karena ini sudah merupakan beschikking…, kata salah seorang wakil Pemerintah kemarin dikatakan, “Karena ini sudah merupakan beschikking dari Pemerintah, maka ini sudah menimbulkan akibat hukum. Dan akibat hukumnya itu bisa salah satu di antaranya terkait dengan soal-soal pidana.” Gimana ini? Apakah…, apakah begitu maksudnya? Bukankah misalnya ketika ini kalau sudah selesai proses pengukuhan itu, baru ada akibat-akibat hukum? Ini mohon nanti diklarifikasi. Yang kalau saya kaitkan dengan keterangan Pemerintah di sini, menarik untuk dibaca halaman 13, Pak, nanti bisa dibaca pada…, apa namanya…, menjelang alenia terakhirnya itu bunyinya begini keterangan Pemerintah itu bahwa jika kemudian di dalam kawasan hutan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan tersebut, ini ditunjuk lho, ini artinya proses pertama. Terdapat hak-hak pihak ketiga yang dapat dibuktikan dengan alas hak yang sah, maka penyelesaiannya dilakukan melalui penataan batas atas kawasan hutan yang ditunjuk tersebut dan terhadap hak-hak pihak ketiga yang ada sebelum penunjukan dikeluarkan statusnya dari kawasan hutan. Ini ada banyak dimensi terkait dengan bidang hukum. Ini apakah penyelesaiannya melalui proses perdata atau melalui proses pidana seperti tadi? Kalau sudah dikriminalkan, bagaimana perdatanya? Atau yang terakhir, saya mau minta klarifikasi, apakah pernah ada misalnya, pernah ada suatu kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan, lalu seperti yang terjadi di…, apa namanya…, Penajam Paser Utara misalnya saya…, misalnya. Lalu di situ sudah ada pemukiman yang…, apa…, transmigrasi yang sudah mempunyai hak milik, lalu ada penyelesaian perdatanya, ada penyelesaian pidananya, ada penyelesaian administrasi negaranya dengan mengeluarkan atau meng-exclude ini sebagai kawasan hutan? Saya mohon untuk bisa dijelaskan supaya rakyat itu…, atau paling tidak istilah Bapak tadi stakeholder itu bisa mengerti, gitu. Apa yang disampaikan oleh Prof. Astawa dalam tataran yang lebih praksis, itu bisa dipahami. Terima kasih, Pak Ketua. 63.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan Pemerintah, yang bisa dijawab hari ini, dijawab. Yang tidak, nanti di dalam kesimpulan tertulis penjelasannya. Silakan!
26
64.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik, terima kasih, Ketua Majelis Hakim yang sangat terhormat. Jadi, bisa kami sampaikan kawasan hutan versi Undang-Undang 41 Tahun 1999, yaitu memang hutannya telah ada dulu, dengan menggunakan undang-undang lama yaitu Undang-Undang 65 Tahun 1967. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 melahirkan tata guna hutan kesepakatan. Yang kami sampaikan tadi bahwa beberapa stakeholder terkait…, pengguna lahan di daerah berkumpul, menyepakati suatu wilayah ini kawasan hutan atau bukan kawasan hutan. Apakah kawasan hutan ini sebagai hutan lindung, produksi, atau konservasi? Ini mereka berkumpul kemudian mengusulkan kepada Kementerian Kehutanan melalui gubernur…, mohon maaf, Kementerian Pertanian pada saat itu, sehingga…, apa…, terjadilah yang dinamakan Tata Guna Hutan Kesepakatan. Di sana memang, sifatnya masih makro, Bapak Yang Terhormat, ya…, Ibu dan Bapak sekalian Majelis Hakim Yang Terhormat. Sifatnya masih makro dan di sana dilengkapi dengan titik-titik koordinat. Sebagai ilustrasi, dua pesawat kita pada saat dua atau tiga bulan yang lalu, telah meng-grounded-kan pesawat asing yang terbang tanpa izin. Dari mana diketahui dia melanggar hukum yurisdiksi Indonesia? Itu jelas dapat diduga melalui titik koordinat. Mereka melewati tanpa izin, itu bisa melanggar. Demikian yang terjadi juga di peta-peta kawasan hutan. Nah, tidak menutup kemungkinan bahwa pada lokasi-lokasi yang telah disepakati atau ditunjuk sebagai kawasan hutan, ada beberapa hak-hak yang sebelumnya tidak terdeteksi, sebelumnya tidak terdeteksi dan kemungkinan juga sudah berada sebelum penunjukan. Tadi dipersoalkan bahwa bagaimana implikasi yuridisnya kalau ada semacam aktivitas, ada masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan, yang itu masuk…, masuk tertunjuk sebagai kawasan hutan? Itu jelas, Majelis Hakim Yang Mulia, itu akan kita hormati dan kita keluarkan sebagai kawasan hutan…, dari kawasan hutan. Perlu kami tegaskan kembali bahwa proses tata batas, itu juga melibatkan stakeholder terkait di daerah dengan komandan dari bupati…, diketuai oleh bupati. Pada saat sebelum pe…, melakukan tata batas di lapangan, itu ada suatu kegiatan yang namanya membuat rintis batas. Dalam rintis batas di…, apa…, dilakukan apa…., pendataan, apakah di sana ada hak-hak pihak ketiga. Kita melibatkan semua kepala desa, semua lurah yang…, yang ada di set yang bersangkutan, sehingga kita harapkan semua data-data yang ada di lokasi itu akan bisa terdeteksi. Nah, dari situ jelas dari Panitia Tata Batas akan…, apa…, mearrange atau me…, apa…, mengevaluasi apakah hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat atau keberadaan masyarakat itu jauh sebelum adanya penunjukan atau dapat diakomodir, dilepaskan, atau dikeluarkan dari kawasan hutan. Ini seluruhnya kewenangan dari Panitia Tata Batas, 27
bukan menteri, Panitia Tata Batas yang ada di lapangan. Hasilnya itu pun dilaporkan kepada gubernur, baru terakhir Menteri Kehutanan, gitu. Kemudian tadi disampaikan juga masalah hutan tetap. Sesuai ketentuan, Yang Mulia bahwa yang namanya hutan tetap itu tetap bisa diubah asal dengan mekanisme. Jadi ada hutan konservasi, lindung, maupun produksi, jika Pemerintah Daerah memerlukan, silakan usulkan melalui mekanisme yang ada dan Menteri Kehutanan tidak serta-merta bilang, “Ya” atau “Tidak.” Karena Kementerian Kehutanan diikat oleh suatu aturan, harus ada penelitian yang namanya tim terpadu. Tim terpadu itu adalah suatu penelitian ilmiah yang diketuai oleh LIPI, LIPI. Jadi Menteri Kehutanan tidak bisa, “Ya” atau “Tidak,” enggak bisa, sebelum ada kajian ilmiah dari lembaga yang berwenang. Itu pun berdasarkan…, apa…, aturan atau Undang-Undang Pasal 19…, Pasal 9. Jadi yang dinamakan (suara tidak terdengar jelas) itu tetap atau tidak tetap itu enggak ada yang…, yang selamanya abadi, ini tetap hutan konservasi. Kalau memang secara ilmiah, katakanlah bisa menjadi areal penggunaan lain, silakan saja, tetapi harus melalui penelitian. Karena kalau Menteri Kehutanan langsung bisa, “Ya” langsung mengatakan, “Ya” berarti melanggar hukum. Itu mungkin yang dapat kami sampaikan, Yang Mulia, terima kasih. 65.
HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA Ini dari Pemerintah, saya agak penasaran ini. Tadi saya sampaikan di halaman…, halaman 12, Keterangan Pemerintah, itu Menteri keluarkan SK Nomor 292. Pertanyaannya apakah SK Nomor 292 ini sama tingkatannya dengan pengukuhan kawasan hutan? Ataukah hanya tindakan awal, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14? Ini kan mengandung risiko, kalau…, kalau sama tingkatannya dengan pengukuhan artinya selesai sudah pasti, maka orang yang membuka kebun di kawasan yang dikeluarkan sebagai kawasan hutan, itu tidak ada masalah, tidak ada implikasi pidananya kalau…, kalau masuk. Tapi kalau itu masih tindakan awal, berarti ini belum pasti, ini yang…, yang mana yang dimaksud? Apakah sama tingkatannya dengan pengukuhan atau baru langkah pertama dari proses pengukuhan? Itu saja pertanyaannya.
66.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Izin, Yang Mulia. Jadi tingkatannya dapat kami katakan sama sepanjang tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan sebaliknya, dalam konteks kami tunjuk sebagai kawasan hutan dengan SK Menteri Pertanian atau Menteri Kehutanan, kalau ada pihak ketiga SK itu salah, “Pak Menteri, saya punya bukti sebaliknya,” silakan. Itu baru kita akomodir. Terima kasih, Pak.
28
67.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, persidangan untuk perkara ini dianggap sudah cukup kecuali Pihak Pemohon atau Pemerintah masih ingin mengusulkan ada sidang lagi, tapi kalau kami dari Majelis Hakim merasa sudah cukup bahan-bahan. Setelah membaca semua (…)
68.
KUASA HUKUM PEMOHON: AGUS SURONO Mohon izin, Yang Mulia.
69.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Silakan.
70.
KUASA HUKUM PEMOHON: AGUS SURONO Sesuai dengan permohonan kami bahwa kami masih akan menghadirkan dua ahli lagi untuk didengar keterangannya, Yang Mulia, yaitu (…)
71.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Sudah ada?
72.
KUASA HUKUM PEMOHON: AGUS SURONO Ya, Yang Mulia. Ahli Hukum Kehutanan yang sidang pada sidang berikutnya, Yang Mulia.
73.
KETUA: MOH. MAHFUD MD. Baik, kalau begitu supaya me…, baik, kalau begitu nanti menunggu pemberitahuan berikutnya dan supaya dipastikan bahwa ahli yang ingin Saudara hadirkan juga bisa hadir ya? Jadi jangan me…, menunda sidang terus karena tidak bisa pada waktu yang ditentukan yang menentukan jadwal itu untuk di sini, Mahkamah Konstitusi karena terkait dengan jadwal-jadwal lain. Pun Pemerintah juga kalau masih mau mengajukan dalam waktu dekat ini supaya disampaikan juga nama yang ingin diajukan sebagai ahli. Nah sebelum sidang ditutup, kami akan mengesahkan dulu alat bukti yang disampaikan oleh Pemohon, yaitu P-1 sampai dengan P-48. Jadi ada 48 dokumen yang diserahkan ke Majelis untuk dipelajari sebagai alat bukti. KETUK PALU 1X
29
Ada lagi? Pemerintah mengajukan sampai P-6…, T-1 sampai dengan T-6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 sampai yang terakhir Kemen Kehutanan Nomor 292. KETUK PALU 1X Baik, dengan demikian, nanti akan diberi tahu sidang berikutnya menunggu jadwal dan hari ini dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.45 WIB
Jakarta, 4 Oktober 2011 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d. Paiyo NIP. 19601210 198502 1 001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
30