ISSN 1829 - 8001 Terakreditasi No. 373/AU1/P2M BI/07/2011
Jurnal
Penelitian
L IP I
Vol.9, No.2, 2012
POLITIK ACEH Evaluasi atas Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh: Gagal Menyejahterakan Rakyat dan Sarat Konflik Internal Disparitas Regional dan Konflik Pilkada Aceh 2012 Dominasi Partai Aceh Pasca-MoU Helsinki Pergeseran Masalah Keamanan di Aceh The EU and Peace Building in Aceh-lndonesia: a Lesson-Learned for Strengthening Security Policy in Civilian Mission Approach Problematika Peran Ganda Gubernur di Daerah Otonomi Khusus Absennya Politik Pengawasan DPR Era Reformasi Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Energi
REVIEW BUKU Melihat Relasi Daerah dan Negara Tahun 1950-an dengan Membongkar Narasi Besar Sejarah
Jurnal Penelitian Politik
Jumal Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2PLIPI), merupakan media pertukaran pemikiran mengenai masalah-masalah strategis yang terkait dengan bidang-bidang-bidang politik nasional, lokal, dan internasional; khususnya mencakup berbagai tema seperti demokratisasi, pemilihan umum, konflik, otonomi daerah, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dan diplomasi, dunia Islam serta isu-isu lain yang memiliki arti strategis bagi bangsa dan negara Indonesia. P2P-LIPI sebagai pusat penelitian milik pemerintah dewasa ini dihadapkan pada tuntutan dan tantangan baru, baik yang bersifat akademik maupun praktis kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan persoalan dengan otonomi daerah, demokrasi, HAM dan posisi Indonesia dalam percaturan regional dan internasi onal. Secara akademik, P2P-LIPI dituntut menghasilkan kajian-kajian unggulan yang bisa bersaing dan menjadi rujukan ilmiah pada tingkat nasional maupun internasional. Sementara secara moral, P2P-LIPI dituntut untuk memberikan arah dan pencerahan bagi masyarakat dalam rangka membangun Indonesia baru yang rasional, adil dan demokratis. Karena itu, kajian-kajian yang dilakukan tidak semata-mata berorientasi praksis kebijakan, tetapi juga pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, khususnya perambahan konsep dan teori-teori baru ilmu politik, perbandingan politik, studi kawasan dan ilmu hubungan internasional yang memiliki kemampuan menjelaskan berbagai fenomena sosial politik, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional
LIPI Mitra Bestari
Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar (Ahli ASEAN dan Politik Luar Negeri) Prof. Dr. Indria Samego (Ahli Perbandingan Politik dan Bidang Keamanan) Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid MA (Ahli Otonomi Daerah dan Politik Lokal) Prof. Dr. Syamsuddin Haris (Ahli Kepartaian, Pemilu, dan Politik Nasional) Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti (Ahli Bidang Pertahanan dan Politik Internasional) Prof. Dr. Riza Sihbudi (Ahli Dunia Islam dan Politik Timur Tengah) Prof. Dr. Zaenuddin Jafar (Ahli Bidang Hubungan Internasional)
Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi Sekretaris Redaksi Keuangan Produksi dan Sirkulasi Alamat Redaksi
ISSN Distributor
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Heru Cahyono Indriana Kartini, Mardyanto Wahyu Tryatmoko, Sri Yanuarti Luky Sandra Amalia Sarah Nuraini Siregar Nanto Sriyanto, Anggih Tangkas Wibowo P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta 12710 Telp. (021) 525 1542, ext. 757, 763 ; Faks. (021) 520 7118 1829-8001 Yayasan Obor Indonesia Jin. Plaju No. 10 Jakarta 10230 Telp.: (021) 31926978, 3920114 Faks.: (021)31924488 E-mail:
[email protected]
Jurnal Penelitian
Vol. 9, No. 2, 2012
DAFTAR ISI Catatan Redaksi Artikel
iii • Evaluasi atas Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh: Gagal Menyejahterakan Rakyat dan Sarat Konflik Internal H eru Cahyono
1
• Disparitas Regional dan Konflik Pilkada Aceh 2012 Fadjri Alihar
23
® Dominasi Partai Aceh Pasca-MoU Helsinki Moch. N urhasim
35
• Pergeseran Masalah Keamanan di Aceh Sarah N uraini Siregar
51
• The EU and Peace Building in Aceh-Indonesia: a Lesson-Learned for Strengthening Security Policy in Civilian Mission Approach Chairul Fahm i
63
Resume Penelitian • Problematika Peran Ganda Gubernur di Daerah Otonomi Khusus M ardyanto Wahyu Tiyatmoko
75
• Absennya Politik Pengawasan DPR Era Reformasi Wawan Ichwanuddin
91
• Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Energi Athigah N ur Alam i
105
Review Buku • Melihat Relasi Daerah dan Negara Tahun 1950-an dengan Membongkar Narasi Besar Sejarah D ini Sutya n i
Tentang Penulis
119 129
CATATAN REDAKSI
Provinsi Aceh baru saja melangsungkan pemilih an kepala daerah (Pilkada) pada April 2012 lalu. Itu merupakan pemilihan kepala daerah Aceh yang kedua pasca-MoU Helsinki, yang menjadi momentum perdamaian di Aceh setelah sekian lama didera konflik berkepanjangan. Pilkada 2012 melibatkan persaingan antara lima pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, termasuk Irwandi Yusuf yang merupakan calon petahana. Kesempatan pilkada kali ini menjadi momen menarik dan sekaligus penting bagi kelangsungan demokrasi dan perdamaian di Aceh. Pilkada yang pertama kali dilakukan pascaMoU Helsinki pada April 2006 mengundang spekulasi atas kemungkinan terjadinya konflik yang m enyebabkan pilkada tersebut akan gagal, namun spekulasi tersebut terbantahkan dengan terpilihnya pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Pilkada 2006 bahkan berlang sung dalam kondisi yang relatif damai—kendati tetap diwarnai sejumlah tindak kekerasan dan intimidasi—bila mengingat Aceh baru saja lepas dari konflik menahun. Berdasarkan pertimbangan dan pengalaman Pilkada 2006, banyak pihak yang mengharapkan Pilkada 2012 akan sukses. Namun, perkem bangan menjelang pelaksanaan Pilkada 2012 menunjukkan hal lain. Ketegangan mengaki batkan tertundanya pelaksanaan pilkada yang seharusnya berlangsung pada tahun 2011, hingga sengketa yang harus diselesaikan di tingkat Mah kamah Konstitusi. Sengketa tersebut termasuk di dalamnya tentang keabsahan calon independen dalam pilkada. Publik Aceh dalam menghadapi Pilkada 2012 seolah terbelah antara kubu Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan yang maju dari jalur independen dengan kubu Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf di sisi lain. Ketegangan itu juga memunculkan korban jiwa di salah satu kubu. Ketegangan yang memuncak ini seolah menjadi “langkah mundur” jika menengok kelangsungan Pilkada 2006 yang tidak terlalu banyak gejolak.
Jurnal Penelitian Politik kali ini menyajikan ulasan tentang perkembangan demokrasi lokal di Aceh. Berangkat dari latar belakang yang terurai di atas, artikel yang kami tampilkan menyangkut persoalan konstelasi politik dan demokrasi lokal di Aceh. Tema ini menyangkut perkembangan dan perbandingan dua pilkada yang sudah dilangsungkan di Aceh dengan perkembangan dukungan terhadap pemenang Pilkada 2012 Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Permasalahan ke sejahteraan dan pembangunan yang tidak merata dan dukungan politik menjadi isu sentral dalam artikel berjudul “Disparitas Regional dan Konflik Pilkada Aceh 2012”. Ketimpangan pembangunan yang berujung pada ketidakpuasan sejumlah ka bupaten di Provinsi Aceh menjadi sorotan, terkait dengan peta dukungan terhadap lima pasangan cagub dan cawagub yang bertanding pada Pilkada 2012. Uraian artikel tersebut menggarisbawahi dukungan yang kuat kepada pasangan pemenang Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang terkonsentrasi di Pantai Timur, sedangkan keempat pasangan lainnya, terutama Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar, mendulang suara dari Pantai Barat dan wilayah tengah. Argumen menarik dari artikel tersebut adalah kaitan antara dukungan suara yang bersinggungan dengan ketimpangan pembangunan dan peluang munculnya upaya pembentukan provinsi baru. Pada artikel lain membahas r -ngenai perkembangan Partai Aceh (PA) sebagai kekuat an utama politik lokal. PA adalah transformasi GAM yang pada era konflik merupakan kekuatan bersenjata, sedangkan pada era damai sudah bertansformasi menjadi kekuatan politik yang medan perjuangannya adalah parlemen dan pemerintahan lokal. Transfonnasi GAM menjadi PA masih menjadi salah satu tolok ukur bagi kelangsungan perdamaian di Aceh, menyusul ditinggalkannya jalan kekerasan menjadi jalan konstitusional. Kondisi internal PA dan perkem bangan perdamaian Aceh masih sejalan, meski pun kita harus tetap memperhatikan komponen
kekuatan masyarakat sipil sebagai bagian dari stabilitas perdamaian Aceh ke depannya. Jurnal Penelitian Politik kali ini juga hadir dengan resume hasil penelitian yang dilakukan oleh kelompok penelitian di Pusat Penelitian Politik LIPI (P2P LIPI). Tim penelitian pertama mengkaji topik menarik mengenai problematika peran ganda gubernur di daerah otonomi khusus, dengan mengambil studi kasus Aceh, Papua, DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Peranan gubernur di era otonomi daerah sering bermasalah antara perannya dalam mewakili pemerintah pusat dan menerapkan kebijakan pemerintah pusat di daerah pada satu sisi, dan di sisi lain bagaimana gubernur menyelaraskan hubungan dengan lembaga-lembaga yang ada di lingkup pemerintahannya. Peranan gubernur di keempat daerah penelitian tersebut menunjuk kan perbedaan terkait karakter kekhususan masing-masing daerah dan terkait juga dengan tuntutan dan perdebatan tentang kekhususan/ keistimewaan yang dianggap belum tuntas. Penelitian kedua ditampilkan dari hasil pene litian yang melihat fungsi pengawasan DPR di era reformasi. Dinamika politik era reformasi tidak serta-merta membuat DPR menjadi lebih baik. Ini karena terkadang “godaan” politik transaksional antara DPR dan pemerintah menjadikan mereka lebih banyak menggunakan fungsi pengawasan sebagai “kartu tr u f ’ dan peningkatan posisi tawar dengan pemerintah. Belum lagi adanya anggapan bahwa fungsi pengawasan diukur dari seberapa sering penggunaan hak angket dan interpelasi yang diajukan, dibandingkan dengan mekanisme dengar pendapat yang merupakan skema sederhana, tetapi sepatutnya juga efektif dalam menjalankan fungsi pengawasan. Persepsi tersebut mengakibatkan penggunaan hak angket dan interpelasi menjadi bias dan sarat dengan politik transaksional, yang pada gilirannya menjadikan DPR semakin terpuruk bahkan lemah dalam pelaksanaan fungsi utamanya, yaitu fungsi legislasi. Laporan penelitian terakhir merupakan kaj ian terhadap diplomasi Indonesia dan isu keamanan energi. Tim peneliti melihat perkembangan dan perubahan posisi Indonesia dari negara pengeks por migas menjadi net importir merupakan hal krusial yang harus diikuti perubahan paradigma
dalam pengembangan cetak biru kebijakan energi nasional. Hal itu harus dibarengi dengan penguat an diplomasi dan pengembangan energi yang tidak lagi bersandar pada energi fosil, namun juga energi terbarukan dan jaringan mitra internasional yang dapat menguatkan posisi Indonesia sebagai negara net importir. Akan tetapi, perkembangan skema kebijakan energi Indonesia masih terlalu menekankan pada aspek domestik (domestic heavy) yang menempatkan Indonesia sebagai area eksploitasi dan belum melihat potensi in ternasional sebagai sumber yang dapat dijadikan alternatif. Hal itu terlihat dari Pertamina yang belum didukung secara maksimal sebagai pemain di tingkat regional bahkan global. Penelitian ini juga melihat peranan pemerintah belum konsisten dalam m enerapkan energi sebagai sebuah komoditas strategis yang harus diperjuangkan dengan mengedepankan kepentingan nasional, sembari tetap mengedepankan efisiensi. Selain ketiga resume penelitian tersebut, edisi kali ini juga hadir dengan ulasan buku yang berjudul “Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an” sebagai kajian me narik yang melengkapi pem belajaran kita terhadap persoalan otonomi daerah masa kini. Pada dasawarsa dimana Indonesia mengalami perjuangan berat karena banyaknya gerakan sepa ratis yang muncul di berbagai daerah, sedangkan pemerintah pusat masih belum sepenuhnya stabil pasca-kemerdekaan. Kita masih bisa mengingat tuntutan daerah terhadap pemerintah pusat yang sebagian berujung dengan penyelesaian militer, telah membuat Indonesia yang masih muda baik sebagai bangsa dan negara, terkoyak. Buku ini merupakan sebuah upaya untuk mengingat kembali masa tersebut dan memberikan ingatan segar akan sebuah periode penting yang justru paling sedikit catatannya. Redaksi berharap hadirnya Jurnal Pene litian Politik ini dapat disambut baik oleh para pembaca. Akhir katai kami ucapkan selamat membaca. REDAKSI.
EVALUASI ATAS PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS ACEH: GAGAL MENYEJAHTERAKAN RAKYAT DAN SARAT KONFLIK INTERNAL Heru Cahyono Abstract Aceh special autonomy granted by Act N o .ll o f 2006 on Governing Aceh, following the MoU of2005 as a form o f reconciliation in a dignified way towards social development, economics, andpolitics in Aceh in a sustainable manner. After more than six years have passed, we see how the implementation o f special autonomy has not rim as expected. In the economicfield we saw, the special autonomy fu n d is not managedproperly, thus making the welfare o f the Acehnese people in general are not improved. Ironically, the increased prosperity is enjoyed only bv a handful o f people close to the circles o f power, giving rise to the phenomenon o f new rich people there. In the political sphere, the permissibility o f the specificity ofAceh local parties are not able to reduce the potential conflicts that exist, and even actually produce new internal conflicts among returnees. Those frictions has complicated the dynamics o f conflict in Aceh. Failure o f specificity in the fields ofpolitics and economics, in turn, will make the difficult issue o f Aceh from the “vicious cycle ” o f conflict and poverty issues in there as well.
Keywords: Special autonomy, failure, polities, economics Abstrak Otonomi khusus Aceh diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, menindaklanjuti MoU Helsinki 2005 sebagai bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Akan tetapi, setelah lebih dari enam tahun berlalu kita menyaksikan bagaimana pelaksanaan otonomi khusus kurang berjalan sesuai dengan harapan. Di bidang ekonomi kita menyaksikan, dana otonomi khusus tidak terkelola dengan baik sehingga membuat kesejahteraan masyarakat Aceh secara umum tidak mengalami perbaikan. Ironisnya, peningkatan kesejahteraan justru hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan sehingga menimbulkan fenomena orang-orang kaya baru di sana. Di bidang politik, adanya partai lokal tidak mampu meredam potensi konflik yang ada, dan bahkan justru memicu konflik internal baru antara sesama mantan GAM. Friksi tersebut semakin memperumit dinamika konflik di bumi Aceh. Kegagal an pelaksanaan kekhususan di kedua bidang itu, politik dan ekonomi, pada gilirannya akan mempersulit untuk mengeluarkan Aceh dari “lingkaran setan” konflik sekaligus masalah kemiskinan di sana. Kata kunci: Otonomi khusus, kegagalan, politik, ekonomi.
Pendahuluan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem otonomi daerah mengakui dan meng hormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istim ew a yang diatur dengan undang-undang. Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah bersifat khusus adalah daerah yang diberikan otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus atau daerah istimewa ini sesungguhnya merupakan bentuk desentralisasi asimetris sebagai pola relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima
wewenang, lembaga, dan keuangan yang berbeda dengan daerah lain. Desentralisasi asimetris lahir dengan asumsi karakteristik Indonesia yang beragam akan sulit hanya diwadahi dengan satu pola pusat-daerah. Hal inilah yang melahirkan adanya otonomi khusus di Aceh, Papua, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Aceh sebagai daerah provinsi merupakan ke satuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
1
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhu susan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memo randum o f Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Aceh dan Papua adalah dua wilayah yang m endapatkan otonom i khusus dengan d i dasarkan atas pertimbangan adanya konflik dan separatism e, sem entara pertim bangan kultural untuk Yogyakarta, dan sebagai ibu kota negara untuk DKI Jakarta. Untuk wilayah yang mendapatkan otonomi khusus dengan pertimbangan bekas wilayah konflik dan separa tis seperti Aceh dan Papua, pemberian otonomi khusus juga dibarengi dengan pengucuran dana otonomi khusus yang jumlahnya tidak kecil.1 Ini sebagai cara politis pusat untuk “membeli loyalitas” wilayah konflik dan bekas separatis. Seluruh elemen masyarakat tentu sepakat, menindaklanjuti MoU Helsinki 2005 maka UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan titik pijak menciptakan Aceh yang sejahtera. Tak ada lagi yang menginginkan kondisi sebelum UUPA. Dengan pemahaman ini maka otonomi khusus Aceh semestinya tidak lagi bersifat darurat, tetapi harus digeser ke semangat pendekatan peningkatan kesejahteraan. Namun, telah lebih dari enam tahun berlalu kita menyaksi kan pelaksanaan otonomi khusus kurang berjalan sesuai dengan harapan. Kita mendapati secara ekonomi pembangunan belum berjalan maksimal dan kesejahteraan rakyat secara umum belum mengalami peningkatan. Sementara itu, secara politik, kita dalam beberapa waktu belakangan ini justru disuguhi dengan pelbagai aksi kekerasan dan konflik di bumi Aceh.
1Dana Otsus dikucurkan selama 20 tahun. Untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai tahun ke-20 besarnya setara dengan 1% plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Lihat, Pasal 183 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
2
Tulisan ini hendak melakukan evaluasi atas perjalanan otonomi khusus Aceh semenjak diperolehnya kekhususan itu melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Secara khusus fokus tulisan ini akan melakukan evaluasi di bidang ekonomi dan politik. Sejauh mana otonomi khusus di bidang ekonomi dikelola secara baik dan mampu meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Sementara itu, juga melihat sejauh mana kekhu susan yang dinikmati Aceh di bidang politik mampu dikelola untuk menciptakan kehidupan politik yang lebih aman, stabil, dan demokratis. Tentu saja persoalan desentralisasi asimetris di wilayah bekas konflik seperti di Aceh akan memiliki permasalahan tersendiri yang tidak mudah, baik tatkala Aceh harus memerankan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia, maupun tidak dipungkiri “masih tetap hidupnya” kepentingan lokal ke-Aceh-annya. Di sisi lain, terdapat dinamika internal yang sarat dengan tarik-menarik kepentingan antara pelbagai faksi di Aceh di satu pihak, dan di pihak lain tarikmenarik antara kepentingan provinsi dengan kepentingan kabupaten/kota. Otsus Di Bidang Ekonomi: Gagal M enyejahterakan Rakyat Aceh 1. Buruknya Pengelolaan Dana Otsus Salah satu amanat penting dalam perumusan UU itu adalah akselerasi pembangunan. Idealnya, UU Otonomi Khusus (Otsus) dan turunannya yang bermuara kepada kesejahteraan harus memberi wewenang, kelembagaan, dan keuangan khusus. Upaya mengukur kesejahteraan dapat dibaca pada tiga indikator: kewenangan, kelembagaan, dan keuangan. Karakteristik geografis, sejarah, kultur, dan individu yang berbeda diasumsikan sudah terwadahi dalam UU 11/2006 untuk Aceh. Ini berarti, penggunaan kekhususan yang terwujud dalam regulasi daerah tak boleh melenceng dari tujuan meningkatkan kesejahteraan. Ini terutama dilihat dari pola relasi provinsi-kabupaten/kota. Otsus diletakkan di level provinsi. Ia tak hanya menciptakan hubungan berbeda Jakarta-provinsi, tapi juga provinsi-kabupaten/kota.2* 2Bayu Dardias, “Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua”, dalam http://nasional.kompas.com, 3 Juli 2012 diakses pada
Salah satu cara melihat gagal atau berhasil nya desentralisasi asimetris yang dilekatkan kepada Aceh sejak 2006 adalah dengan kaca mata kesejahteraan. Kesejahteraan diletakkan sebagai tujuan akhir, sedangkan otonomi khusus merupakan upaya pencapaiannya. Menyangkut hal ini, perhatian kita langsung tertuju pada dana Otsus yang telah digulirkan bagi Aceh, mengingat jumlahnya berkisar 4-5 triliun rupiah per tahunnya tentu tidaklah sedikit. Akan tetapi, bila kita menengok ke daerah Aceh secara umum, kita menangkap kesan kuat bahwa dana Otsus belum mampu menunjukkan peran signifikan dalam mengangkat kesejahteraan rakyat di sana. Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama bagi Aceh. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada awal Januari 2012 lalu menyebutkan angka kemiskinan di Aceh bertambah selama enam bulan, bahkan kemiskinan di Aceh men duduki peringkat pertama di Pulau Sumatra. Masih tingginya angka kemiskinan di Aceh dikarenakan pengelolaan dana otonomi khusus Aceh belum tepat dan oleh beberapa pihak dinilai masih amburadul.3 Tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh masih tergolong tinggi, yakni peringkat tujuh secara nasional dan bahkan berada di peringkat pertama untuk wilayah Sumatra. Berdasarkan data yang dihimpun BPS bahwa tingkat kemiskinan Aceh berada pada kisaran 19,48%. Angka ini berada jauh di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36%.4 Berdasarkan data BPS angka kemiskinan tidak mengalami pergeseran yang cukup signifikan, yakni 23,53% tahun 2008 dan 21,80% pada tahun 2009. Persentase penduduk miskin terbanyak terdapat di Kabupaten Pidie Jaya, yakni 27,97%, disusul Aceh Besar (27,09%), Subulussalam (26,80%), Bener Meriah (26,58%), dan Nagan Raya (26,22%).5 Sementara itu, dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi daerah perkembangannya 7 Juli 2012. ; Penilaian ini antara lain dikemukakan oleh Dosen Fakultas Eko nomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh, Nazamuddin, dikutip dalam Firman Hidayat, “Aceh Miskin Karena Salah Pengelolaan Dana”, http://www.theglobejournal.com, 5 Januari 2012, diakses pada 16 April 2012. 4 http://www.analisadaily.com, 28 Juni 2012, diakses pada 7 Juli 2012. 5 Badan Pusat Statistik dan Bappeda Aceh, Aceh dalam Angka 2010, hlm. 33.
lebih memprihatinkan lagi, terdapat setidaknya enam sektor yang selama kuartal pertama 2010 mengalami pertumbuhan negatif, yakni sektor jasa (minus 0,03%), sektor konstruksi (minus 0,30%), industri pengolahan minyak dan gas (0,42%), keuangan, persewaan, dan jasa peru sahaan (minus 1,17%), pertambangan minyak dan gas (minus 2,09%), dan penggalian (minus 8,55%).6 Terkait dengan begitu buruknya pengelolaan dana Otsus ini, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh m enduga penggunaan dana otonomi khusus Aceh tidak bersih alias terindikasi korupsi. Selama tiga tahun terakhir penggunaan dana otonomi tidak tanggung-tanggung sebesar 3,5 triliun rupiah per tahun selalu bermasalah. Selama ini, jika dilihat realisasi pengelolaan dana Otsus di lapangan selalu bermasalah, ditambah kurangnya kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap proses pekerjaan di lapangan.7 Tidak mengherankan bila hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri menyatakan, Provinsi Aceh mendapat skor terburuk dalam otonomi daerah.8 Pihak Inspektorat Provinsi Aceh juga memi liki penilaian serupa bahwa pengalokasian Dana Otsus sejak tahun 2008-2010 mengalami banyak kendala dan tidak tepat sasaran, mulai dari tingkat provinsi sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan keterlambatan dan banyak ke salahan dalam perencanaan program dimulai dari tingkat provinsi hingga ke daerah. Kesalahan itu terjadi akibat pemerintahan kabupaten/kota tidak menyediakan tempat untuk berjalannya sebuah program sehingga banyak kegiatan-kegiatan yang 6Badan Pusat Statistik dan Bappeda Aceh, Aceh dalam Angka 2010, hlm. 474. 7Hal ini disampaikan oleh Isra Safril, Kepala Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik GeRAK Aceh. Terdapat sekitar 122 proyek bersumber dana dari Otsus dan hingga pertengahan 2011 belum diselesaikan oleh Pemerintah Aceh. “Kami menduga ada banyak terjadi korupsi pada proyek ini di daerah-daerah", ujarnya. Lihat, http://centraldemokrasi.com 27 April 2011, diunduh pada 2 Januari 2012. 8 Selain Aceh, provinsi lain yang kinerjanya amat buruk ialah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Papua. Kementerian Dalam Negeri membuat pemeringkatan itu berdasar 173 in dikator yang termuat dalam laporan kinerja penyelenggaraan otonomi daerah tahun 2009. Indikator penilaian itu antara lain kinerja keuangan, pelayanan publik, transparansi, dan akun tabilitas. http://centraldemokrasi.com 21 April 2011, diunduh pada 2 Januari 2012.
3
tidak terselesaikan pada tahun berjalan. Dalam hal pengawasan dana Otsus, permasalahan yang dialami oleh tim inspektorat adalah sukarnya melakukan pengawasan secara khusus. Dana Otsus bercampur dengan dana-dana lain sehingga tim inspektorat juga sulit berkoordinasi dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab karena pengguna anggaran ada di provinsi, sedangkan kuasa pengguna anggaran dan PPTK berada di kabupaten/kota.9 Dana Otsus dialokasikan oleh pemerintah pusat sebanyak 40% untuk provinsi, sedangkan 60% lagi dialokasikan untuk pemerintahan kabu paten/kota. Sejak tahun 2008 temuan yang sangat menonjol adalah ketidakefektifan dalam pengelo laan dana Otsus. Ini menyangkut program dengan perencanaan waktu kurang baik, termasuk lokasi dan volume. Selain itu, banyak program-program yang tidak sesuai dengan kontrak, pembayaran melebihi pelaksanaan fisik, dan banyak kegiatan yang ditelantarkan. Sementara itu, kualitas hasil pekerjaan masih sangat rendah sehingga banyak yang tidak bisa difungsikan oleh masyarakat. Lokasi proyek yang tidak tepat dan pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat juga menjadi sorotan. Dana Otsus adalah salah satu sumber pendapatan Aceh dan kabupaten/kota seba gaimana disebutkan dalam pasal 179 ayat (2c) UUPA. Meskipun disebutkan sebagai sumber pendapatan daerah kabupaten/kota, namun dana Otsus tidak langsung ditransfer Pemerintah Pusat ke pemerintah kabupaten/kota, melainkan ditransfer menjadi penerimaan Pemerintah Aceh. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 183 ayat (1) UUPA, yaitu dana otsus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk mem biayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Pihak kabupaten banyak mengeluhkan mengenai dominasi pemerintah provinsi di dalam pengelolaan dana Otsus, padahal di dalam UUPA disebutkan bahwa pemerintah provinsi hanya “mengadministrasikan” dana Otsus dan 9 Kepala Inspektorat Provinsi Aceh Syafruddin kepada http:// lheglobejournal.com, 9 Februari 2011, diakses pada 10 April 2011.
4
bukan mengelolanya. Oleh karena itu, dalam pandangan pemerintah kabupaten, mestinya dana Otsus langsung ditransfer ke rekening pemerintah kabupaten/kota agar dapat dikelola secara relatif otonom oleh pemerintah kabupaten/kota. Akan tetapi, pemerintah provinsi berargumen bahwa dana Otsus harus dikelola oleh pemerintah provinsi karena pertama, otonomi khusus bagi Aceh berada di provinsi dan bukan di pemerintah kabupaten kota. Inilah mengapa disebut otonomi khusus Pemerintah Aceh, dan bukan otonomi khusus bagi pemerintah Kabupaten Pidie, atau otonomi khusus bagi Pemerintah Bener Meriah, dan sebagainya. Alasan kedua, ialah bahwa lantaran otonomi khusus terletak di level provinsi maka pemerintah provinsi-lah yang harus mem pertanggungjawabkan penggunaan dana Otsus. Oleh sebab itulah pengelolaan dana tersebut harus di tingkat provinsi karena amatlah riskan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan di tingkat kabupaten/kota, sedangkan provinsi yang harus mempertanggung] awabkan penggunaannya. Sebagaimana di daerah normal, gubernur di daerah otonomi khusus juga memainkan peran ganda (dua! role), dalam kerangka dekonsentrasi maupun desentralisasi. Alternatif pertama dari dekonsentrasi hanya terdapat dekonsentrasi dari menteri kepada instansi vertikalnya. Sementara itu, alternatif kedua adalah di samping adanya dekonstrasi tersebut, terdapat pula dekonsentrasi dari pemerintah kepada wakil pemerintah untuk mengemban tugas pemerintahan umum.10*Se menjak masa Orde Baru, pada jabatan gubernur telah mencakup peranan sebagai “alat pusat” (dekonsentrasi) dan juga sebagai “alat daerah” (desentralisasi). Dalam kerangka dekonsen trasi itulah, gubernur harus mampu menerapkan kebijakan pusat di daerah; sementara pada saat bersamaan dalam rangka desentralisasi ia harus menyelaraskan hubungan dengan instansiinstansi yang ada di lingkup pemerintahannya. Di sinilah kiranya letak masalah peran gubernur, khususnya di daerah otonomi khusus, yaitu ter dapat masalah yang lebih kompleks dibandingkan daerah “normal” . Problematika peran ganda gubernur di daerah otonomi khusus juga lebih ,0Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2011), hlm. 154-155.
bervariasi tergantung karakter kekhususan yang dimiliki daerah tersebut." Mengenai frase harus “diadministrasikan” pada Pemerintah Provinsi Aceh sebagaimana tertera dalam ayat (4) Pasal 183 UUPA, ha rus diartikan bahwa Pemerintah Aceh sebagai penerima dana Otsus dari pemerintah pusat untuk membiayai enam program pembangunan kabupaten/kota melalui bantuan keuangan khusus kepada kabupaten/kota. Ayat ini merupakan derivat yang menegaskan ketentuan Pasal 179 ayat (2) huruf c UUPA. Artinya, dana Otsus juga merupakan penerimaan kabupaten/kota. Dengan demikian, untuk melaksanakan enam program pembangunan kabupaten/kota dengan dana Otsus, Pemerintah Aceh harus mentransfer lebih lanjut dana Otsus ke kabupaten/kota sesuai dengan program pembangunan yang telah disepakati bersama, meliputi: infrastruktur, ekonomi rakyat, pengentasan kem iskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan sehingga dana Otsus tersebut juga merupakan penerimaan bagi kabupaten/kota, yang mesti pula dicantumkan dalam APBK mereka.12 Terlepas dari perdebatan makna “diadminis trasikan” tadi, di dalam UUPA sendiri terdapat pasal-pasal yang dianggap saling bertentangan. Pasal 179 menyebutkan, “Salah satu pendapatan Aceh dan Kabupaten di Aceh adalah dari dana Otsus”. Akan tetapi, pasal ini berlawanan dengan Pasal 183, yang menyebutkan, “Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c merupakan penerimaan Peme rintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kem iskinan serta pendidikan, sosial, dan kesehatan.”13 Ini artinya dana ini tidak ditransfer langsung oleh Pemerintah Pusat ke kabupaten, melainkan harus ditransfer dulu ke Pemerintah Aceh. Semestinya bila kita menafsirkan pasal 179 maka dana Otsus harus ditransfer langsung " Mardyanto Wahyu Tryatmoko (Ed.), Problematika Peran Ganda Gubernur di Daerah Otonomi Khusus, (Jakarta: P2PLIPI, 2011). l2Taqwaddin, “Pengelolaan Dana Otsus”, dalam http://pekikdaerah.wordpress.com, diakses 20 Juni 2011. Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Ketua Lem baga Kajian Hukum Aceh. 13 Lihat UU No. II Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
ke rekening kabupaten.14 Dan pasal 179 UUPA itu jelas bahwa dana Otsus boleh dikelola oleh kabupaten.15 Permasalahan lain di seputar dana Otsus yang menimbulkan keanehan besar bagi kabu paten/kota ialah menyangkut sisa lebih pengguna anggaran (silpa). Di dalam Qanun No. 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Dana Otsus disebutkan bahwa alokasi dana Otsus 60% untuk kabupaten dan 40% untuk provinsi. Akan tetapi, ketika terjadi Silpa dari dana Otsus juga dijadikan pendapatan provinsi (APBA). Kabupaten/kota tentu saja memandang dengan sangat aneh hal ini karena dana Silpa (yang jumlahnya tidak kecil) seharusnya kembali ke kabupaten/kota, sementara bila dimasukkan ke APBA maka hal tersebut amat bertentangan dengan metode akuntansi manapun.16* Agar tidak terjadi lagi disinkronisasi antara substansi dalam UUPA dengan Qanun Aceh maka sementara pihak menyerukan agar eksistensi Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 Tatacara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otsus harus segera direvisi disesuaikan dengan kebutuhan hukum untuk mempercepat mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh. Kehadiran qanun ini menuai beberapa permasalahan, antara lain:pertam a , menegaskan Otsus hanya penerimaan Pemerintah Provinsi Aceh (Pasal yang menempatkan kabupaten/kota sebagai penonton saja. K edua , pengalokasian anggaran ke kabupaten/kota tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, melainkan dalam ben 14 Wawancara dengan M. Jafar Ibrahim, Sekretaris Bappeda Kabupaten Bireun, 25 Mei 2011, di Bireun. Keterangan serupa diperoleh dari wawancara dengan Munir Usm.»,, Wali kota Lhokseumawe, 26 Mei 2011, di Lhokseumawe. Wawancara pula dengan Wali kota Banda Aceh, Mawardy Nurdin, 23 Mei 2011, di Banda Aceh. 15 Wawancara dengan Munir Usman, Wali kota Lhokseumawe, 26 Mei 2011, di Lhokseumawe. Keterangan senada dari M. Jafar Ibrahim, Sekretaris Bappeda Kabupaten Bireun, dalam wawancara tanggal 25 Mei 2011. di Bireun. 16Wawancara dengan Munir Usman, Wali kota Lhokseumawe, 26 Mei 2011, di Lhokseumawe. Hal senada dikemukakan oleh Wali kota Banda Aceh, Mawardy Nurdin (wawancara tanggal 23 Mei 2011, di Banda Aceh serta wawancara dengan Sekretaris Bappeda Kab. Bireun, M. Jafar Ibrahim tanggal 25 Mei 2011 di Bireun. Silpa setiap kabupaten/kota di Aceh tergolong besar. Contoh untuk Kabupaten Pidie saja, Silpa dana Otsus antara 2008-2010 mencapai R pl20 miliar. Wawancara dengan M. Adnan, Sekretaris Bappeda Kabupaten Pidie, 27 Mei 2011. di Pidie.
5
tuk pagu yang setiap tahun ditetapkan gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA (Ps 11 ayat 6), menimbulkan sikap tak peduli dari pemerintah kabupaten/kota. Ketiga, penyusunan enam program dan kegiatan pembangunan harus mengacu pada RPJP Aceh dan kabupaten/kota, RPJM Aceh dan kabupaten/kota serta RKPA dan RKPK. Masalahnya, kapan ada Qanun RPJP, RPJM, dan RKPA?17 Di sini perlu ditegaskan bahw a dana Otsus merupakan penerimaan kabupaten/kota. Karenanya, pelaksanaan enam program pem bangunan yang dibiayai dana Otsus dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Aceh harus menganggarkan dalam APBA bahwa dana Otsus yang diterima dari pemerintah pusat akan disalurkan ke pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk bantuan khusus. Secara mendasar perdebatan antara gubernur dengan para bupati/Wali kota sesungguhnya memasuki wilayah keistimewaan Aceh. Bagi Gubernur, dengan adanya keistimewaan Aceh maka yang harus diberlakukan ialah UUPA Aceh, sementara di lain pihak para bupati/ Wali kota di Aceh secara sadar atau tidak sadar sedang akan mengkritisi otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi, yang pada ujungnya sebenarnya mereka mengkritisi MoU Helsinki maupun UUPA itu sendiri. Kendati menolak disebut sedang mengkritisi MoU Helsinki atau UUPA, bupati/Wali kota melihat bahwa terdapat sejumlah hal yang bertolak belakang terkait dengan pelaksanaan otonomi khusus Aceh yang dijabarkan di dalam UUPA yang memberikan otonomi kepada pem erintah provinsi. Hal ini dianggap bertentangan dengan otonomi umum yang berlaku di mana Pemerintah Pusat memberikan otonomi kepada tingkat II. Hal ini dinilai tidak sinkron dan dilematis. Seha rusnya otonomi umum yang berlaku untuk daerah-daerah lain di Indonesia dengan otonomi khusus (seperti di Aceh) memiliki titik berat yang sama, yakni di tingkat II. Sebab apabila terjadi perbedaan seperti sekarang maka yang terjadi adalah tumpang tindih yang terkait dengan pengelolaan keuangan karena di satu sisi pemerintah pusat langsung ke tingkat II, namun 17 Taqwaddin, “Pengelolaan Dana Otsus”, dalam http://pekikdaerah.wordpress.com, diakses 20 Juni 2011.
6
di sisi lain untuk otonomi khusus, pemerintah pusat memberikan langsung ke tingkat 1.18Dana yang jumlahnya triliunan rupiah tersebut dikelola Pemerintah Provinsi Aceh sehingga dampaknya pembangunan di daerah menjadi labil. Wali kota/ bupati juga melihat sesuatu yang aneh karena dana Otsus malah dijadikan pendapatan dalam Anggaran Belanja Pendapatan Aceh (APBA). Hal ini semakin memperumit khususnya daerah kabupaten/kota di Aceh sehingga pembangunan di daerah menjadi labil.19 Terkait dengan dana Otsus, akibat egoisme pengelolaan dana di tangan provinsi maka sering kali dana itu tidak tepat sasaran. Padahal Pemerintah Pusat tiap tahunnya mengucurkan dana Otsus yang nilainya besar hingga triliunan rupiah, sungguh sayang apabila dana yang besar tidak tepat guna dan tidak berhasil guna, dan tidak bisa diaplikasikan dengan baik. Pihak kabupaten/ kota menilai hampir-hampir dana Otsus yang besar jumlahnya bagaikan “hilang” begitu saja lantaran hasilnya tidak tepat sasaran.20 Provinsi banyak m endesain program yang sifatnya kecil-kecil, kurang mengena, dan tidak banyak bermanfaat,21lebih dari itu proyek yang dibangun tidak berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan tidak bisa menjadi stimulus atau semacam pengungkit agar ketika program tersebut selesai dilaksanakan maka Aceh bisa mandiri. Terlihat jelas bahwa dalam dana Otsus ini, kota/kabupaten hanya menerima dalam bentuk kegiatan. Kabupaten/kota mungkin bisa mengusulkan kegiatan, namun proyek mana yang didanai juga ditentukan oleh provinsi. Akibat banyaknya kegiatan yang dilaksanakan oleh provinsi dalam kerangka dana Otsus ini dan tentu dengan jangkauan yang cukup luas pula, membuat begitu banyak kegiatan menjadi terlambat, kurang koordinasi, kurang pengawasan, tidak tepat sasaran, dan berujung 18Wawancara dengan Munir Usman, Wali kota Lhokseumawe, 26 Mei 2011, di Lhokseumawe. 19 http://waspada.co.id, 05 July 2010, diakses pada 11 April 2011. 20Wawancara dengan Munir Usman, Wali kota Lhokseumawe, 26 Mei 2011, di Lhokseumawe. 21Wawancara dengan Mawardy Nurdin, Wali kota Banda Aceh, 23 Mei 2011 di Banda Aceh.
dengan kualitas akhir pekeijaan yang buruk. Oleh karena itu, banyak hasil yang kurang memuaskan, bahkan ada beberapa yang terbengkalai seperti gedung yang baru dibangun belum sampai naik atap tiba-tiba waktu habis, lantas pada tahun berikutnya tidak dianggarkan lagi.22 Provinsi jelas memperlihatkan dirinya tidak mengetahui medan. Sebagaimana kasus yang terjadi di Aceh Timur di mana dana Otsus hendak digunakan untuk membangun sekolah, tetapi ketika akan mulai dibangun ternyata tanahnya merupakan tanah sengketa. Atau pembangunan puskesmas, namun tatkala hendak mengangkut material ternyata jalan menuju ke lokasi belum tersedia, satu-satunya akses dengan m enggunakan sampan, dan akhirnya proyek dibatalkan. Ini membuktikan adanya perencanaan yang buruk dan ketidaktahuan medan.23 Hasil Pansus DPRA dan Badan Anggaran DPR RI terhadap penggunaan dana Otsus Aceh memang menyiratkan kekecewaan yang men dalam. Pemanfaatan dana Otsus belum mencapai hasil sebagaimana diharapkan.24 Dari temuan Pansus DPRA, disinyalir banyak proyek Otsus tidak tepat sasaran, tidak tepat peruntukan, tidak tepat waktu, dan tidak tepat pelaporan. Padahal, dalam waktu tiga tahun saja (2008-2010) dana yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk Aceh mencapai 11 triliun rupiah, dengan rincian tahun 2008 sebesar Rp3,590 triliun, sebesar Rp3,728 triliun (2009), dan Rp3,849 triliun (2010). Sementara itu, untuk tahun 2011 akan diberikan sebanyak Rp4,4 triliun. Menyangkut Pasal 183 UUPA dapat dikemukakan beberapa catatan dan tawaran solusi. Pertama, secara tersirat penguasa (pemegang kekuasaan) otonomi khusus ada pada Pemerintah Aceh. Jikapun benar demikian, kekuasaan ini harus diartikan sebagai kewenangan mengatur, mengelola, mengawasi, dan memantau. Jadi, bukan kekuasaan untuk melaksanakan sendiri melulu sesuai dengan selera provinsi.25 Kedua, 22Wawancara dengan Mawardy Nurdin, Wali kota Banda Aceh, 23 Mei 2011, di Banda Aceh. 23 Wawancara dengan Ari Maulana, Direktur KMPD (Komite Monitoring untuk Perdamaian dan Demokrasi), 23 Mei 2011, di Banda Aceh. 24Serambi, 5 November 2010, diakses 16 September 2011.
dana Otsus harus fokus ditujukan pada 6 (enam) bidang pem bangunan, yaitu infrastruktur, ekonomi rakyat, pengentasan kem iskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan. Oleh karena itu, pemanfaatan dana Otsus selain dari keenam bidang ini tidak sesuai dengan UUPA. Karenanya, jika ada kasus pelanggaran/kejahatan terhadap hal ini, layak ditindaklanjuti. Ketiga, dana Otsus memiliki masa waktu tertentu, sebagaimana ditegaskan dalam ayat (2) Pasal 183 UUPA, yaitu berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Untuk tahun pertama (2008) sampai dengan tahun kelima belas (2022) besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAUN) dan untuk tahun keenam belas (2023) hingga tahun kedua puluh (2028) besarnya setara dengan 1% plafon DAUN. Idealnya, dalam limit waktu yang terba tas itu, Pemerintah Aceh harus lebih fokus dan terencana sehingga kesempatan ini tidak berlalu sia-sia. Karenanya, penggunaan dana Otsus untuk enam program pembangunan di atas harus jelas dan terarah sesuai dengan RPJM RPJP Aceh dan kabupaten/kota yang tertera di dalam qanun. Keempat, Pasal 183 ayat (5) UUPA menyatakan, penggunaan dana Otsus dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh. Maksudnya, apa saja kegiatan yang akan dibiayai dana Otsus harus dicantumkan di dalam Qanun Aceh tentang APBA, yang kemudian dialokasikan menjadi bantuan khusus untuk kabupaten/kota. Isu seputar permasalahan pengelolaan dana Otsus, tidak pelak telah membuat hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan, perebutan kewenangan di seputar pengelolaan dana Otsus ini telah menimbulkan konflik yang berkepan jangan dan bagaikan tiada hentinya antara para bupati/Wali kota se-Aceh berhadapan dengan Gubernur Aceh. Sejumlah permasalahan menyangkut peran gubernur untuk kasus Aceh banyak dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan gubernur setempat yang cenderung diskriminatif. Beberapa kabu paten/kota mengemukakan adanya ketidak-adilan dalam pembangunan yang menggunakan dana daerah.wordpress.com, diakses 20 Juni 2011.
25 Taqwaddin, “Pengelolaan Dana Otsus”, dalam http://pekik-
7
Otsus. Termasuk yang merasakan ketidak-adilan adalah kota Banda Aceh. Ini lantaran alokasi dana Otsus dilakukan dengan menggunakan rumusan yang selama ini dipakai oleh DAU (yakni luas wilayah, jumlah penduduk, indeks pembangunan manusia, dan tingkat kemiskinan). Akibat rumus an semacam itu, Banda Aceh hanya menerima pembagian dana Otsus yang relatif kecil, yakni hanya Rp59,43 miliar untuk tahun 2010, jauh di bawah Aceh Timur yang memperoleh hingga Rp 161,03 miliar atau Aceh Utara Rp 127,65 miliar.26 Ini lantaran Banda Aceh memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang kecil, dan IPM digolongkan relatif tinggi. Banda Aceh se benarnya mengharapkan alokasi dana Otsus tidak menggunakan rumusan yang biasa digunakan DAU, namun menggunakan rumusan tersendiri yang memperhatikan kekhasan masing-masing wilayah. Untuk Banda Aceh, misalnya, mestinya dipertimbangkan pula mengenai posisi Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi, di mana setiap jengkal wilayahnya— baik itu jalan, gedung, lampu-lampu jalan, maupun drainase— harus dipelihara dan memerlukan biaya perawatan yang tidak kecil. Hal ini berbeda dengan wilayah kabupaten lain yang mungkin luas, tetapi tidak membutuhkan perawatan lantaran sebagian besar terdiri atas kebun.27 Politik diskriminasi yang dikembangkan oleh Irwandi telah memunculkan semacam ungkapan yang berkembang di Aceh bahwa, “Pembangunan kini hanya untuk sebagian Aceh oleh Aceh 1 (m aksudnya Gubernur) sehingga pembangunan belum dari ‘Aceh 1 untuk 1 Aceh’.”28 Padahal, pembangunan yang menggunakan dana Otsus harus ditujukan untuk satu Aceh, sebagaimana ditegaskan Pasal 3 UUPA, yaitu mulai dari perbatasan Sumatra Utara hingga berbatas dengan Selat Malaka dan Samudra Indonesia.Jadi, bukan hanya untuk sebagian Aceh sehingga dengan alokasi anggaran yang adil antara tiga bagian Aceh maka soliditas Aceh yang satu tidak mudah digoyahkan oleh
26Data alokasi dana Otsus yang diperoleh dari Bappeda Aceh. 27Wawancara dengan Mawardy Nurdin, Walikota Banda Aceh, 23 Mei 2011, di BandaAceh. 28Serambi Indonesia, 9 November 2010, diakses 6 Juli 2011.
8
wacana Aceh Leuser Antara-Aceh Barat Selatan (ALA-ABAS).29 Selain itu, dana Otsus digunakan untuk program pembangunan provinsi dan kabupaten/ kota. Pelaksanaan program tersebut harus mem perhatikan keseimbangan kemajuan pembangun an antarkabupaten/kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana Otsus, yang pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi Aceh. Ketentuan ini dinyatakan tegas dalam Pasal 183 ayat (4) UUPA. Adanya penyebutan kata “dan” yang menghubungkan frase pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh, harus dimaknakan bahwa program pembangunan Aceh dengan dana Otsus dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh. Sementara itu, program pembangunan kabupaten/kota yang dibiayai dana Otsus dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Provinsi dianggap tidak memikirkan kondisi bagaimana Aceh setelah dana Otsus tidak ada lagi. Karena pembangunan secara diskriminasi hanya diperuntukkan bagi kelompok yang dekat dengan kekuasaan. Kita kini menyaksikan bagaimana pembangunan hanya mengalir pada orang-orang yang dianggap mendukung gubernur yang sedang menjabat, atau di wilayah-wilayah di mana terdapat pendukung gubernur. Pembangunan biasanya akan jatuh ke kampung para pendukung gubernur, ke daerah mereka. Bagi beberapa pihak fenomena semacam ini dianggap sebagai nilai dari perdamaian. Diyakini bahwa Pemerintah Pusat juga mengetahui betapa menyedihkannya situasi di Aceh—baik itu menyangkut masalah kinerja pemerintahan yang buruk, pembangunan yang tidak tepat sasaran, maupun pelbagai kasus korupsi—akan tetapi pemerintah pusat mungkin harus bersikap hati-hati dalam menyikapinya karena ada perhitungan bahwa daerah-daerah yang pernah konflik memerlukan waktu 15-20 tahun untuk dapat normal kembali. Tindakan terlalu tegas ditakutkan justru akan menimbulkan konflik kembali.30 Wilayah-wilayah yang paling merasakan adanya diskriminasi tentu adalah Aceh bagian tengah. Dari wilayah inilah sempat bergaung kuat 29Taqwaddin. “Pengelolaan Dana Otsus”, dalam http://pekikdaerah.wordpress.com, diakses 20 Juni 2011. 30 Wawancara dengan Mawardy Nurdin, Walikota Banda Aceh, 23 Mei 2011, di Banda Aceh.
desakan untuk memisahkan diri dari Provinsi Aceh, dan berkeinginan untuk membentuk provinsi sendiri dalam wacana ALA-ABAS. Mereka menganggap provinsi sengaja mendis kriminasi Aceh bagian tengah lantaran adanya perbedaan etnik, budaya, dan bahasa dengan Aceh. Mereka merasa bahwa orang Aceh yang kini berkuasa sengaja hendak memarginalkan Aceh bagian tengah.31 Perasaan berbeda ideologi juga terdengar dari sana. Bahwa masyarakat Aceh bagian tengah di masa konflik dulu memang di identifikasi banyak yang berpihak kepada NKRI terutama di sekitar elite politik dan mahasiswa, berbeda dengan wilayah-wilayah Aceh yang merupakan pendukung GAM. Keinginan untuk melepaskan diri dari Aceh, dengan munculnya gerakan ALA dan ABAS lebih berangkat dari kekecewaan karena pembangunan kurang di perhatikan.32 Kalangan bupati di wilayah tengah Aceh, seperti Bener Meriah dan Aceh Tengah, mengeluhkan mengenai dana-dana pembangun an yang sedikit sekali mengalir ke wilayah mereka. Gubernur Aceh dianggap dengan sadar melakukan diskriminasi terhadap Aceh bagian tengah. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya perbedaan ideologi, politik, dan budaya di antara mereka. Hubungan gubernur dengan bupatibupati di Aceh bagian tengah dan selatan terlihat kurang harmonis karena masing-masing pihak masih memendam semacam “dendam masa lalu”. Hal ini karena gubernur berasal dari eksponen GAM, sedangkan bupati-bupati di Aceh bagian tengah merupakan mantan-mantan milisi dan laskar Merah Putih yang pro-NKRI. Permusuhan masa lalu tersebut terbawa-bawa hingga sekarang sehingga mengganggu hubungan kerja dan manajerial administratif menjadi tidak profe sional dan banyak dipengaruhi faktor perbedaan politik dan perbedaan kelompok. Orang seperti Bupati Bener Meriah, Tagore Abubakar, seolah yakin bahwa para mantan GAM termasuk yang kini berkuasa di pemerintahan Aceh masih me nyimpan kuat semangat separatis hingga kini.33
31 Wawancara dengan Tagore Abubakar, Bupati Bener Meriah, 24 Mei 2011. 32 Wawancara dengan Yuli Zuardi Rais, Direktur Sefa, 21 Mei 2011, di Banda Aceh. 33Wawancara dengan Bupati Bener Meriah, Tagore Abubakar, 24 Mei2011.
Kecuali fenomena diskrim inatif dalam pembangunan, ada kecenderungan lain bahwa dana Otsus diarahkan untuk meningkatkan popularitas Gubernur yang memang berniat maju kembali sebagai gubernur. Contoh yang paling mengemuka ialah mengenai proyek JKA serta sumbangan-sumbangan untuk pesantren yang banyak dikritik alokasinya karena tidak transparan. Selain itu, dana bantuan mengalir ke pesantren yang dekat atau mendukung gubernur. Salah satu dayah (pesantren) yang menikmati aliran dana Otsus ialah Yayasan Darul Muchlisin, yang dimiliki oleh keluarga dari seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tengah, Muksin Hasan. Yayasan tersebut telah menerima Dana Otonomi Khusus (Otsus) 2012 senilai Rp4 miliar. Sejumlah kalangan wartawan di sana mempertanyakan mengapa hanya Yayasan Darul Muchlisin yang mendapatkan dana Otsus, sedangkan di Aceh Tengah masih banyak yayasan lainnya, Muksin enggan menjawab. Terkait dengan hal ini, Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jangko) menduga ada penggunaan dana Otsus 2012 di Aceh Tengah untuk kepentingan pribadi. Menurut Jangko, salah satu bukti penyeleweng an terhadap dana Otsus 2012 adalah pada Yayasan Darul Muchlisin atau Dayah Terpadu Darul Muchlisin. Jangko menduga yayasan itu mendapatkan dana dari Otsus padahal masih ada dayah lain yang lebih membutuhkan dana. Ini karena pimpinan Yayasan Darul Muchlisin adalah salah seorang Anggota Dewan Aceh Tengah sehingga dayah itu dengan mudah mendapatkan anggaran tersebut.34 Selama menjabat, Irwandi Yusuf memang banyak meluncurkan program yang langsung menyentuh kepentingan rakyat Aceh, di anta ranya ialah Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), pemberian beasiswa bagi putra-putri Aceh yang akan melanjutkan pendidikan, baik di dalam maupun luar negeri, pemberian santunan kepada anak yatim dan fakir miskin, pemberian bantuan untuk dayah (pondok pesantren), Alokasi Dana Gampong (ADG) di mana setiap gampong 34Koordinator Jangko. Hamdani. Http://waspada.co.id, 14 Juli 2012, diakses pada 16 Juli Hamdani merincikan dana Otsus yang disalurkan untuk Yayasan Darul Muclisin: dari Rp4 miliar itu digunakan untuk biaya perencanaan Rp 120 juta, biaya peng awasan Rp 120 juta, biaya pengelolaan Rp40 juta, dan biaya pembangunan fisik Rp3,720 miliar.
9
menerima dana Rp 100 juta per tahun.35Di antara program-program tersebut yang paling banyak mendapat dukungan rakyat sekaligus sorotan ialah program JKA. Program JKA merupakan program jaminan pengobatan gratis bagi seluruh rakyat Aceh. Bagi rakyat Aceh yang dapat mem buktikan memiliki KTP atau kartu keluarga Aceh maka berhak menikmati JKA. Bila penduduk Aceh tercatat sekitar 4,4 juta jiw a,36 maka mereka semua—baik yang miskin maupun yang kaya—terlingkupi oleh program JKA. Tentu saja program ini mendapat kritikan tajam dari banyak kalangan di Aceh karena dinilai merupakan pemborosan besar, mengingat program semacam ini tidak sepantasnya diberikan kepada kalangan warga kaya lantaran mereka sebenarnya mampu berobat sendiri, dan semestinya hanya diperun tukkan bagi warga miskin. Nyatanya Pemerintah Aceh tiap tahunnya harus mengeluarkan dana sekitar Rp400 miliar hanya untuk keperluan pembayaran premi asuransi pelayanan berobat gratis melalui JKA. Pemprov Aceh diminta memprioritaskan masyarakat kurang mampu atau warga miskin sebagai penerim a m anfaat pelayanan dan pengobatan gratis melalui program JKA. Saat ini yang paling membutuhkan pela yanan kesehatan dan pengobatan gratis program JKA itu adalah masyarakat kurang mampu.37 Bahkan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), dalam Surat Keputusan Nomor 903-275 tahun 2011 tentang Evaluasi Raqan APBA 2011 dan Rancangan Pergub Aceh tentang Penjabaran APBA 2011 yang diterbitkan pada 21 April lalu, meminta agar kebijakan tersebut dikaji ulang. Untuk usulan anggaran asuransi kesehatan, JKA yang mencapai Rp400,5 m iliar dalam pelaksanaan program tersebut, Pemerintah Aceh diminta membuat data akurat terhadap sasaran yang akan dibantu, yaitu masyarakat miskin.38
35 Wawancara dengan Iswadi Jamil, M anajer Tim Sukses Irwandi (wilayah Biereun) untuk Pilkada Gubernur 2011, di Banda Aceh, 30 Mei 2011, di Banda Aceh. 36Total penduduk Aceh ialah 4.363.477 jiwa. BPS - Bappeda Aceh, Aceh dalam Angka 2010. (Aceh: BPS, 2010), hlm. 35. 37Ketua Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Provinsi Aceh, Tgk Faisal Ali, dalam http://www.analisadaily.com, 7 Mei 2011, diunduh pada 19 Mei 2011. 38Ibid.
10
2. Korupsi Merajalela Korupsi hampir merata berlangsung di bumi Aceh pascaperdamaian. Beberapa di antaranya berlangsung dengan amat vulgar seperti kasus di Aceh Utara, tetapi terdapat kesan kuat bahwa pemerintah pusat sengaja menutup mata atas gejala tersebut. Ini karena pemerintah pusat memperhitungkan faktor keamanan bahwa Aceh masih dalam masa transisi dari konflik. Dengan demikian, setiap penanganan kasus korupsi secara tegas maka taruhannya ialah keamanan dan ditakutkan akan membuyarkan perdamaian di Aceh.39 Sejumlah kasus korupsi yang dibiarkan mengendap begitu saja, di antaranya ialah adanya indikasi korupsi Rpl ,4 triliun dari tendertender yang tidak wajar dan tender-tender yang dimenangkan oleh orang-orang atau kelompok di sekitar kekuasaan. Selain itu, mark-up pembelian alat-alat kesehatan Rp21 miliar, termasuk pula kasus penjualan besi tua rangka jembatan yang dilego ke Medan, kasus pembangunan rumahrumah dhuafa di seluruh Aceh yang nilainya mencapai Rp250 miliar (2008-2009) serta yang paling mutakhir ialah kasus dana kerja gubernur sebesar Rp68 miliar.40 Dalam kasus dana kerja gubenur, sejumlah kalangan yang kritis di Aceh menduga kuat terjadi semacam politik perselingkuhan anggaran dalam masalah dana kerja gubernur dengan dana aspirasi anggota DPRA. DPRA diketahui telah menyepakati pengalokasian dana kerja Gubernur Aceh serta dana aspirasi DPRA dalam RAPBA Tahun 2011 yang total jumlahnya Rp413 miliar. Di lain pihak, kedua mata anggaran tersebut sebenarnya tidak diatur secara umum di dalam ketentuan pengelolaan keuangan daerah. Bahkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap APBA Tahun 2009 dinyatakan ada indikasi pelanggaran dalam proses pengajuan dan penetapan pos mata anggaran tersebut. Untuk itu, kalangan LSM meminta agar DPRA meninjau
39Wawancara dengan seorang wartawan senior, 21 Mei 2011, di Banda Aceh. Keterangan senada disampaikan oleh seorang politisi senior mantan anggota DPRA 1999-2009, dalam wawancara tanggal 22 Mei 2011, di Banda Aceh. 40 Wawancara dengan seorang wartawan senior, 21 Mei 2011, di Banda Aceh.
ulang pengalokasian kedua pos anggaran tersebut dalam APBA 2011.41 DPRA telah menyepakati dana kerja guber nur sebesar Rp68 miliar maupun dana aspirasi DPRA Rp5 miliar per anggota dalam Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) RABPA 2011. Pengalokasi dana aspirasi DPRA dan dana keija GubemurAVagub Aceh memang patut ditin jau ulang sebab berdasarkan fakta dari hasil audit BPK tahun 2009 ditemukan indikasi pelanggaran dalam proses pengajuan dan penempatan pos anggaran tersebut. Bahkan temuan dari hasil audit BPK RI tersebut jelas menyatakan bahwa paengalokasian anggaran tersebut telah melang gar Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah seperti yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2). Dalam pengalokasian dana aspirasi 69 anggota DPRA sebesar Rp5 miliar per anggota dan dana keija Gubernur/Wakil Gubernur Rp68 miliar itu diduga telah terjadi permainan atau intrik politik anggaran antara lembaga legislatif dan eksekutif. Kedua lembaga ini ketika meng golkan anggaran tersebut telah melakukan perselingkuhan politik.42 Penggunaan dana kerja Gubernur Aceh tersebut termasuk pemborosan, demikian pula sebagian dana aspirasi anggota dewan. Ini lantaran dana itu mengalir ke pihak-pihak tertentu yang terkait dengan politik mereka. Seharusnya, 41 Hal itu dinyatakan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, Direktur LBH Banda Aceh Hospi Novrizal Sabri, Koordinator KontraS Aceh Hendra Fadli yang tergabung dalam aliansi sikap Gerakan Respons Hukum Cepat (GRHC), dan Koordinator Bidang Advokasi dan Kampanye Masyarakat Transparasi Aceh (MaTA) Baihaqi, ketika menanggapi disepakatinya dana kerja gubernur sebesar Rp68 miliar maupun dana aspirasi DPRA Rp5 miliar/anggota dalam Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) RABPA 2011. “Apabila pengalokasian dana ini tetap dilakukan, sementara tindakan itu sudah dinyatakan salah maka lembaga legislatif (DPRA) harus bertanggung jawab di kemudian hari tatkala masalah ini diproses secara hukum oleh penegak hukum,” ujar Askhalani. Lihat, serambinews.com, 09 Nov 2010, diakses 6 Juli 2011. 42 Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, dalam serambinews.com, 09 Nov 2010, diakses 6 Juli 2011. Dugaan ini muncul karena dana kerja Gubemur/Wakil Gubernur Aceh sebelumnya telah dipangkas saat pembahasan tingkat kelom pok kerja (pokja) Dewan, dari Rp68 miliar yang diusulkan, dipangkas jadi R pl8 miliar. Sementara dana aspirasi dewan saat itu belum muncul maka ketika dana aspirasi dimunculkan dalam pembahasan PPAS terjadilah tawar-menawar. Kalau dana aspirasi digolkan maka dana kerja gubernur juga harus digolkan. Kalau tidak, eksekutif tak mau menyetujui dana aspirasi.
dana kerja Gubemur/Wagub Aceh Rp68 miliar maupun dana aspirasi itu dapat dipergunakan untuk kepentingan rakyat Aceh, seperti untuk bantuan relokasi masyarakat korban bencana alam, yaitu korban banjir bandang di wilayah Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Barat, Gayo Lues, dan Aceh Timur, yang terjadi pada 2010. Namun, yang terjadi adalah masyarakat yang terkena bencana ini hanya diberi bantuan sangat kecil, yakni Rp 100 juta per kabupaten sebagai dana tanggap darurat. Hampir lima tahun pemerintahan Irwandi Yusuf-M. Nazar beijalan namun pemerintahan keduanya dinilai belum berbuat banyak bagi rakyat A ceh. K eberhasilan pem bangunan dinilai sangat kecil, dengan salah satu indi katornya adalah dilihat dari ketidakmampuan Pemerintah Aceh untuk mengundang investor menanamkan modalnya di Aceh, hanya sedikit terjadi pembukaan investasi baru.43Di lain pihak sejumlah investor yang masuk biasanya justru menimbulkan konflik dengan rakyat, khususnya menyangkut izin-izin tambang yang selama masa pemerintahan Irwandi telah dikeluarkan, yaitu sekitar 100 izin tambang (emas, biji besi) yang belakangan justru menimbulkan bentrok dengan rakyat sekitar. Dalam hal demikian, Gubernur biasanya terlihat tidak membela rakyat, namun secara lugas lebih menampakkan pembelaan kepada perusahaan-perusahaan tersebut.44Itulah sebabnya kalangan aktivis banyak melakukan tuntutan agar pemerintah Aceh menutup 120 tambang yang ada di Aceh karena dinilai merusak lingkungan.45* Orang Aceh kini menyaksikan bagaimana para mantan pejuang separatis GAM menduduki 43Wawancara dengan Yuli Zuardi Rais, 21 Mei 2011, di Banda Aceh. 44Antara lain tambang biji besi di Aceh Besar dan Aceh Selatan, tambang emas di Pidie. Wawancara dengan seorang informan, politisi senior mantan anggota DPRA 1999-2009,22 Mei 2011. 45Pada April 2010 demo serupa berlangsung di Gedung DPRA, di Banda Aceh. Setidaknya ada dua kelompok massa dari Aceh Selatan dan Aceh Besar datang ke Gedung DPRA di Banda Aceh, menuntut penutupan tambang di Manggamat, Aceh Selatan, dan Lhoong, Aceh Besar karena dinilai telah merusak lingkungan. Di lain pihak, Irwandi senantiasa mengatakan bahwa izin perusahaan tambang di Aceh sekarang tidak ada yang bermasalah, dan semuanya sudah sesuai ketentuan serta tidak merusak hutan lindung. Lihat, acehkita.com, 6 Mei 2010, diakses 15 Januari 2011. Lihat pula, http://berita.Iiputan6. com, 30 Mei 2011
11
jabatan-jabatan penting di pemerintahan maupun di parlemen, lantas rakyat mengamati apakah yang mereka dapat perbuat untuk rakyat Aceh serta untuk lebih memakmurkan Aceh. Akan tetapi, rakyat Aceh harus menerima kenyataan dengan penuh kekecewaan karena justru orangorang tersebut selama lima tahun berkuasa nampak lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan orang-orang terdekat saja.
dalam UUPA No. 11/2006 yang belum sesuai dengan MoU Helsinki.
Pembangunan di Aceh hanya bertumpu pada proyek-proyek pemerintah yang dinikmati oleh segelintir elite saja. Walau digulirkan dana dan anggaran besar untuk Aceh, namun itu hanya un tuk dan dinikmati oleh elite yang tidak memiliki multiplier effect kepada masyarakat. Sektor riil terbukti mengalami kemandekan, pengangguran tetap besar, dan rakyat tidak mendapatkan peker jaan, sementara hampir sebagian besar proyek dikuasai oleh mantan-mantan kombatan saja. Kontraktor yang bukan GAM atau tidak memiliki kedekatan dengan GAM tidak bisa memperoleh proyek. Hal ini karena proyek-proyek pemerintah selalu jatuh ke kalangan GAM, khususnya orangorang di sekitar Irwandi. Muncullah fenomena orang kaya baru (OKB) di kalangan kombatan entah itu berkat kedudukan mereka di jabatanjabatan politik di pemerintahan dan parlemen, maupun menjadi pengusaha-pengusaha baru dari proyek-proyek pemerintah. Di lain pihak, kelas menengah yang lama banyak yang menjadi jatuh miskin akibat bisnis mereka harus gulung tikar.46
Beberapa pasal di dalam UUPA Tahun 2006 yang masih dianggap bertentangan dengan MoU Helsinki antara lain mengenai pengelolaan ka wasan khusus perdagangan (perdagangan bebas/ pelabuhan bebas) dan sumber daya alam migas. Dalam hal ini masih terdapat perdebatan, apakah pengelolaan bersama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh sebagaimana diatur oleh UUPA ataukah dikelola oleh Pemerintah Aceh berdasarkan MoU Helsinki? Selain itu, ber dasarkan Pasal 11 UUPA pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur sistem pengawasan terhadap pelaksanaan urusan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota. Hal ini dianggap bertentangan dengan MoU Helsinki bahwa Pemerintah Pusat hanya berwenang terhadap politik luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kehakiman, dan kebebasan beragama.47 Pasal ini memang masih potensial menimbulkan konflik antara Peme rintah Aceh dengan Pemerintah Pusat karena dianggap bertentangan dengan MoU Helsinki maupun draf RUUPA versi DPR Aceh yang menginginkan semacam ‘pemerintahan sendiri’ (self government) bagi Aceh. Di samping pasal 11 di atas, terdapat beberapa pasal lain di dalam UUPA 11/2006 yang juga masih menimbulkan perdebatan, yakni pasal 156, pasal 194, dan pasal 165.48*
Otsus Aceh di Bidang Politik
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan yang memerlukan peraturan pelaksanaan, seperti:
1. Hal-hal yang Belum dan Sudah Tercapai Otsus Aceh menemukan bentuk dalam UUPA 11/2006 setelah sempat berusaha menemukan pola sejak awal Reformasi melalui Tap MPR IV/1999, yang diwujudkan dalam UU 18/2001. Pada pelaksanaan UU sebelumnya, Otsus Aceh tak berjalan dengan baik karena konflik bersenjata masih tinggi dan masalah identitas belum tuntas. Ini terasa sangat berbeda dengan pelaksanaan UUPA yang disepakati semua pihak. Hampir sebagian besar kesepakatan dalam MoU Helsinki 15 Agustus 2005 telah tercantum dalam UUPA, kendati tetap terdapat beberapa pasal di 46 Wawancara dengan seorang wartawan senior, 21 Mei 2011, di Banda Aceh.
12
a. Pasal 8 UUPA memberlakukan Peraturan Presiden tentang konsultasi (konsultasi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Aceh mengenai persetujuan internasional yang dilakukan Pusat dan pembuatan UU dan kebijakan administrasi dari Pusat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh; b. Pasal 9 UUPA mengenai Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lem 47Amrizal J. Prang, Aceh dari Konflik ke Damai, (Aceh: Bandar Publishing, 2008), hlm. 54. 48 Lihat Tri Ratnawati (Ed.), Persepsi Lokal dan Prospek Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Aceh: Aspek Kewenangan Pemda dan Keuangan Daerah, (Jakarta: LIPI, 2007), hlm. 44-48.
baga atau badan di luar negeri namun perlu diatur dengan Peraturan Presiden; c. Pasal 18 tentang Pendidikan Islamiyah di Aceh diatur dengan standar dari Pusat, me lalui perundang-undangan;49 d. Dari sisi wewenang, Pemerintah Pusat lalai memberi PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait pengelolaan sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP yang seharusnya diterbitkan pada 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu lain yang ditunggu terkait dengan minyak gas (migas) dan ke hutanan. Muncul kesan kuat, Otsus yang dijanjikan mirip dengan kepala dilepas, se dangkan ekor tetap dipegang. Terganggulah upaya percepatan kesejahteraan.50 Dari sebagian kalangan yang memiliki garis ideologi lebih keras, khususnya di kalangan Partai Aceh, memang masih terdengar disuarakannya nada kekecewaan terhadap implementasi MoU Helsinki yang belum cukup memuaskan, khususnya lantaran kewenangan yang dimiliki oleh Pem erintahan Aceh dirasakan belum optimal. Mereka sendiri menilai bahwa UUPA No. 11 Tahun 2006 sebagai rujukan hukum belum sepenuhnya mencerminkan semangat dan prinsip-prinsip MoU Helsinki. Di lain pihak, banyak pasal di dalam UUPA sendiri tidak dapat dilaksanakan lantaran belum ada peraturan pemerintah (PP) dan qanun-nya, antara lain PP tentang perdagangan, pelabuhan bebas, tentang pengadilan HAM, dan lain-lain.51 Dalam masalah pengadilan HAM bagi para pelaku pelanggaran kemanusiaan berat di masa konflik, sebenarnya terjadi semacam “konsensus” untuk melupakan ihwal tersebut. G ubernur Aceh terdahulu, Irwandi Yusuf, tidak melakukan tekanan apapun terhadap terlaksananya kesepakatan ini.52 Gubernur Aceh *Ibid„ hlm. 49
yang baru, Zaini Abdullah, yang mewakili sayap radikal PA khusus menyangkut pengadilan HAM ini agaknya akan bersikap setali tiga uang, artinya mereka diduga tidak akan terlalu “bersikeras” untuk menuntut pengadilan HAM. Di luaran mereka seolah berargumen bahwa hal tersebut merupakan isu yang amat sensitif sehingga membuat PA harus berpikir strategis dengan cara menghindari sikap provokatif yang dapat mengganggu kelanggengan situasi perdamaian di A ceh.53 Akan tetapi, pada kenyataannya beberapa pihak berspekulasi bahwa PA dengan sadar dan sengaja tidak memforsir ihwal ini semata-mata apabila itu dilaksanakan maka akan banyak petinggi PA yang juga bakal terseret masalah pelanggaran HAM di masa lalu.54 Isu lain yang masih menimbulkan perde batan dan bisa menjadi salah satu ganjalan cukup besar ialah menyangkut posisi Wali N anggroe yang m erupakan lembaga yang muncul pada saat konflik. Kalangan garis keras seperti PA jelas berkeinginan agar Wali Nanggroe yang kini dijabat oleh Malik Mahmud bukan sekadar simbolik atau hanya jabatan “akal-akalan” yang tidak memiliki wewenang yang jelas, maupun hanya sekadar hadir pada acara-acara protokoler.55Dengan kemenangan PA sayap radikal dalam Pilkada (pemilihan kepala daerah) Gubernur 2012 banyak pihak menduga bahwa mereka bakal coba menghidupkan kem bali Wali Nanggroe dan memperkuat fungsinya. Setidaknya, PA akan berjuang agar peran Wali Nanggroe tidak dibatasi hanya sebatas lembaga adat.56 Ini pulalah alasan mengapa Pemerintah Pusat agaknya lebih senang bila Irwandi kembali memenangkan Pilkada 2012. Kendati berasal dari persemaian yang sama, Pemerintah Pusat melihat Irwandi sudah jauh lebih moderat. Pemerintah pusat sebaliknya amat berhati-hati apabila Aceh. 33 Wawancara dengan Kautsar Muhammad Yus, Sekretaris Pemenangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf. pada 23 Mei 2011 di Banda Aceh.
50Bayu Dardias. Op.Cit.
54Wawancara dengan seorang wartawan senior, 21 Mei 2011, di Banda Aceh.
51 Wawancara dengan Kautsar Muhammad Yus, Sekretaris Pemenangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, pada 23 Mei 2011 di Banda Aceh.
55 Wawancara dengan Kautsar Muhammad Yus, Sekretaris Pemenangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, pada 23 Mei 2011 di Banda Aceh.
52 Wawancara dengan seorang politisi senior dan mantan ang gota DPRA periode 1999-2009, pada 22 Mei 2011 di Banda
56Wawancara dengan seorang wartawan senior, 21 Mei 2011, di Banda Aceh.
13
Z aini-M anaf memenangkan Pilkada karena secara ideologis kelompok Zaini-Manaf masih m em iliki ideologi GAM yang kental dan ditakutkan akan melakukan perubahan radikal dalam politik pemerintahan di Aceh, apalagi Zaini-Manaf menguasai sepenuhnya organisasi PA sementara PA menguasai kursi DPRD di sejumlah kabupaten di Aceh dan termasuk menguasai DPRA di tingkat provinsi.57 Pasal 96 Undang-Undang 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sendiri secara eksplisit menyebut Wali Nanggroe sebagai pemuka adat belaka. Namun, di dalam Rancangan Qanun (Raqan) yang disusun oleh DPRA 2009-201458— yang notabene dikuasai unsur PA—menempatkan Wali Nanggore bukan lagi sekadar institusi adat melainkan sebagai institusi politik. Raqan ini masih menimbulkan polemik dan tantangan yang tidak kecil dari sebagian rakyat Aceh, terlebih Raqan 2010 lebih dekat pada bentuk pemerin tahan semacam monarki (kerajaan). Di sisi lain, generasi yang hidup saat ini memiliki pengalam an berpolitik dalam alam demokrasi, baik secara struktural maupun kultural.59 Pemerintahan Aceh dalam hal ini memang menginginkan tiga perbaikan sekaligus menyangkut Wali Nanggroe, yakni dalam hal sistem pemilihan, kedudukan, dan kewenangan. Dalam hal sistem pemilihan, mereka menginginkan Wali Nanggroe dipilih melalui penunjukan, yakni diambil dari “trah” Hasan Tiro karena menganggap Wali Nanggroe adalah kelanjutan dari Kerajaan Aceh. Sementara dari sisi kedudukan, mereka menghendaki Wali Nanggroe bukan lagi mitra atau setingkat dengan gubernur melainkan memiliki kedudukan di atas gubernur. Dari segi kewenangan, PA menuntut Wali Nanggroe mesti memiliki dua kewenangan,
57Wawancara dengan Yuli Zuardi Rais, 21 Mei 2011, di Banda Aceh. 58DPRA periode 2004-2009 sebelumnya juga pernah membuat draf Raqan (2007), di sana disebutkan bahwa Wali Nanggroe dipilih oleh sebuah perwakilan (DPR, pemerintah, ulama, majelis adat, utusan pemuda, unsur perempuan, utusan-utusan dari Jakarta). Selain itu, DPRA 2004-2009 tidak sependapat bila wali Nanggroe bisa memecat gubernur dan membubarkan parlemen karena itu melanggar konstitusi. Wawancara dengan seorang informan, tokoh politik senior, dan mantan anggota DPRA periode 1999-2009, 22 Mei 2011 di Banda Aceh. 59 http://khazanaharham. wordpress. com /2010/12/26/walinanggroe-pilihan-rakyat. diakses 11 Juli 2011.
14
yakni dapat memecat gubernur serta dapat membubarkan parlemen.60 2. Kekhususan Bidang Politik dan Dinamika Politik Internal Aceh menikmati kekhususan di bidang kepartaian dengan diberi tempatnya bagi keberadaan partai lokal dan calon independen. Terselenggaranya pemilu setempat yang menyertakan partai-partai lokal dan calon independen tersebut merupakan salah satu keberhasilan terbesar pelaksanaan Otsus Aceh sehingga transformasi kekuatan GAM ke dalam struktur pemerintahan modem dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diimplementasikan. Euphoria politik seputar pemilihan umum dan Pilkada merupakan salah satu hal yang begitu dinikm ati rakyat Aceh pasca-M oU Helsinki dan diberlakukannya UUPA 2006, tetapi dari situ pulalah kerumitan politik bertambah dan dinamika konflik internal bagaikan mene mukan momentum. Kecuali masih terdapatnya perbedaan politik yang cukup tajam antara Aceh dengan wilayah-wilayah sebelah tengah dan selatan, dinamika politik di Aceh agak diperkompleks dengan munculnya friksi internal mantan GAM. Perpecahan sesama mantan GAM merupakan fenomena yang begitu menguras perhatian dan ketegangan semenjak pertengahan 2011 hingga semester pertama 2012. Fenomena tersebut terkait erat dengan persaingan menjelang Pilkada 2012. Menjelang Pilkada yang sedianya diseleng garakan akhir tahun 2011 namun baru terlaksana April 2012 itu, suhu politik di Aceh memang terasa memanas. Pihak-pihak yang hendak mencalonkan diri dalam Pilkada telah mulai melakukan manuver masing-masing yang sempat menimbulkan ketegangan di masyarakat. Friksi di tubuh mantan GAM, yang kini bermetamorfosis menjadi Partai Aceh, kembali terlihat menjelang Pilkada yang berlangsung serentak di tingkat provinsi dan di 19 kabupaten.61 Pada pertarungan 60 Wawancara dengan seorang informan, tokoh politik senior dan mantan anggota DPRA periode 1999-2009, 22 Mei 2011 di Banda Aceh. 61 Kecuali Pilkada untuk memilih gubernur, pada 2011 seluruh kabupaten di Aceh secara serentak akan menggelar Pilkada kecuali Aceh Tamiang. Subulussalam, Aceh Selatan, Bireun, dan Pidie Jaya.
merebut kursi gubernur, Partai Aceh dengan tegas tidak lagi mendukung Irwandi Yusuf namun mengajukan calon lain, yakni Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Irwandi Yusuf sendiri akan maju dari jalur independen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama masa Irwandi tidak semua rakyat Aceh menikmati pembangunan. Di kalangan GAM sendiri, banyak dari mereka yang merasa tidak mendapat apa-apa. Di sinilah mungkin antara lain kekesalan unsurunsur di PA terhadap Irwandi. Irwandi dianggap hanya menguntungkan sekelompok kecil GAM yang dekat dengannya saja di samping Irwandi dinilai tidak bisa berbuat banyak untuk PA sen diri. Pertikaian kelompok Zaini-Manaf dengan Irwandi juga menyangkut masalah ideologis. Zaini-Manaf termasuk dalam kelompok Malik Mahmod (Wali Nanggroe) yang disebut sebagai GAM ideologis di mana mereka masih mengikuti prinsip-prinsip yang digariskan oleh Hasan Tiro. Termasuk dalam hal kedudukan dan fungsi Wali Nanggroe misalnya, mereka menginginkan Wali Nanggroe yang lebih kuat fungsinya. Sementara itu, Irwandi diketahui merupakan GAM yang pragmatis. Semenjak berkuasa empat tahun terakhir, Irwandi diketahui semakin mening galkan garis ideologi GAM dan lebih memilih bersikap lunak terhadap Jakarta. Partai Aceh ideologis menuding kelompok Irwandi menjadi amat pragmatis dan menomorsatukan kekayaan materi saja.62 Dalam kenyataannya, antara kedua kelompok tersebut terlihat sama karena masingmasing lebih mengedepankan kepentingan kelompoknya. Setelah PA dengan tegas tidak lagi men calonkan Irwandi, PA lantas melakukan pem bersihan sistem atis terhadap anasir-anasir yang diketahui sebagai pendukung-pendukung Irwandi. Di sejum lah daerah, pendukung Irwandi dicopot dari jabatan-jabatan strategis dan penting struktur kepengurusan partai, kendati keanggotaan mereka tidak dibekukan sehingga secara resmi kelompok pro-Irwandi masih merupakan anggota PA.63 Ketua-ketua DPC PA 62 Wawancara dengan seorang politisi senior dan mantan ang gota DPRA 1999-2009, 22 Mei 2011, di Banda Aceh. 63 Wawancara dengan seorang wartawan senior, 22 Mei 2011, di Banda Aceh. Keterangan serupa diperoleh dari wawancara dengan Tgk. Linggadinsyah, mantan Jubir PA, 30 Mei 2011 di Banda Aceh. Kini ia menjabat sebagai Sekretaris SC Pe-
tingkat kabupaten yang dicopot, antara lain Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Singkil, Subulussalam, dan Aceh Timur. Sementara Ketua KPA tingkat kabupaten yang dicopot adalah Aceh Timur, Bireun, Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Singkil. Sementara itu, di tingkat “pusat” Tgk Linggadinsyah dicopot dari jabatan sebagai juru bicara PA Provinsi Aceh.64 Serangkaian tindakan pencopotan ini berlangsung mulus di banyak daerah. Hanya sempat teijadi “perlawanan” di Kabupaten Bireun di daerah tersebut kelompok pendukung Irwandi melakukan serangan balik dengan merusak kan tor PA setempat. Kelompok Irwandi tentu tidak bisa berbuat banyak atas tindakan reposisi ini lantaran GAM hingga kini memang masih menggunakan jalur komando. Di dalam AD/ART partai memang terdapat klausul tambahan yang menyebutkan bahwa apabila diperlukan/dikehendaki maka Dewan Partai Aceh (DPA) memiliki kewenangan untuk dapat melakukan restrukturisasi kembali kepengurusan PA di tingkat kabupaten/kota. Al hasil, tindakan pencopotan orang-orang Irwandi sesungguhnya memiliki dasar hukum yang jelas, yakni aturan di dalam PA itu sendiri. Dengan demikian, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, entah mungkin itu dianggap otoriter, namun kelompok Irwandi harus menerima restrukturisasi yang telah diambil oleh DPA karena itu adalah hak partai.65 Yang membuat kelompok Irwandi semakin tidak berkutik ialah kenyataan bahwa DPA sendiri dikuasai sepenuhnya oleh kelompok Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf.66 menangan Irwandi. 64Wawancara dengan Tgk. Linggadinsyah, mantan Jubir PA, 30 Mei 2011 di Banda Aceh. Kini ia menjabat sebagai Sekretaris SC Pemenangan Irwandi. 65Wawancara dengan Tgk. Linggadinsyah, mantan Jubir PA, 30 Mei 2011 di Banda Aceh. Kini ia menjabat sebagai Sekretaris SC Pemenangan Irwandi. 66 Lihat Moch. Nurhasim, (Ed.), Transformasi Politik Ge rakan Aceh Merdeka Pasca Mou Helsinki, (Jakarta: P2P-L1PI, 2008), hlm. 67-68, 71. Sebagaimana diketahui bahwa dr. Zaini Abdullah adalah petinggi GAM yang masuk ke dalam “Ke lompok 16” yang berbasis di Stockholm, Swedia. Kelompok 16 merujuk pada 16 orang yang disebut sebagai GAM Ang katan 1976, antara lain Hasan Tiro, Malik Mahmud, dr. Zaini Abdullah, Bachtiar Abdullah, dan Zakaria Saman.. Eksistensi Kelompok 16 ini sangat penting karena seluruh keputusan organisasi GAM pasca MoU Helsinki masih mengikuti jalur
15
Kalangan PA yakin bahwa setelah langkah pencopotan para pengikut Irwandi dari jabatan struktural di PA maka PA semakin solid dalam mendukung sepenuhnya pencalonan Z ain iM anaf menghadapi Pilkada 2012.67 Irwandi sebagai mantan perwakilan senior GAM jelas tidak punya akar yang mendalam di kalangan kombatan. Ia di masa konflik dulu memang lebih sebagai intelektual GAM yang bekerja mengu rusi propaganda GAM seraya menerjemahkan ucapan-ucapan Sofyan Dawod ke dalam bahasa Inggris.68 Di pertengahan proses Pilkada sempat terjadi perdebatan tajam antara kelompok Irwandi dengan PA m enyangkut keberadaan calon independen di dalam Pilkada mendatang. DPRA yang dikuasai oleh eksponen PA secara resmi menolak keberadaan calon independen dalam Pilkada Gubernur Aceh 2011,69 Belakangan KIP memutuskan untuk melaksanakan pilkada di Aceh dengan tetap membolehkan keiikutsertaan calon independen. Akibatnya, PA sempat menyatakan tidak ikut serta dalam Pilkada di seluruh Aceh, baik itu tingkat provinsi maupun pilkada bupati/Wali kota, artinya PA memboikot pilkada Aceh. PA menyatakan akan menolak mengikuti pilkada jika pemerintah pusat tidak mengeluarkan kebijakan menunda pelaksanaan pilkada Aceh. PA menilai telah terjadi masalah kekisruhan regulasi dan menganggap telah terjadi “serangan” terhadap UU Pemerintahan komando mereka. Kelompok 16 ini meski telah berubah karena ada yang sudah meninggal, namun keberadaannya masih menjadi salah satu posisi penting dalam memutuskan kebijakan-kebijakan organisasi. Sementara itu, Muzakir Manaf adalah tokoh yang karismatis dan populer di kalangan GAM lapangan (lokal/Aceh) karena ia adalah mantan Panglima Ten tara Nasional Aceh (TNA)-sayap militer GAM. Setelah TNA dibubarkan Muzakir Manaf mengetuai Komite Peralihan Aceh (KPA) yang bertugas “mengontrol” kekuatan mantan kombatan GAM. KPA ini mirip veteran TNA yang strukturnya berada di bawah pimpinan pusat yang mengomandoi wilayah-wilayah cabang yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Acch. 67 Wawancara dengan Kautsar Muhammad Yus, Sekretaris Pemenangan Zaini Abdulla-M uzakir Manaf, pada 23 Mei 2011 di Banda Aceh. 68 Wawancara dengan Kautsar Muhammad Yus, Sekretaris Pemenangan Zaini Abdulla-M uzakir Manaf, pada 23 Mei 2011 di Banda Aceh. 69http://waspada.co.id, 29 Juni 2011, diakses pada 5 Juli 2011. Melalui voting tanggal 28 Juni 2011, DPRA akhirnya secara resmi menolak calon independen. Lihat, http://harian-aceh. com,\ Juli 2011.
16
Aceh setelah Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 256 UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.70 Sikap keras yang ditunjukkan oleh PA dengan menolak keputusan Mahkamah Kon stitusi (MK) yang membatalkan pasal 256 UUPA bukanlah sepenuhnya cerminan dari “kesetiaan” PA terhadap UUPA melainkan lebih mengindikasikan adanya tujuan politis tertentu. Agaknya sebagai upaya untuk mengganjal ma junya Irwandi maka Partai Aceh bersikeras untuk menolak calon independen dalam pilkada 2011 dengan alasan bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2006 dan MoU Helsinki. Bahwa pasal 256 UUPA mengatur calon independen atau perseorangan hanya sekali diperkenankan pada pilkada Aceh, yakni pada Desember 2006. Kendati MK telah membatalkan pasal 256, Fraksi Partai Aceh menganggap pembatalan itu di luar prosedur karena lembaga peradilan tersebut tidak pernah berkonsultasi dengan DPRA sebelum memutuskannya. PA berpendapat pasal 256 tidak boleh dicabut karena tidak adanya calon independen merupakan kekhususan bagi Provinsi Aceh. Mereka berargumen kalau pasal ini dicabut sama saja melanggar MoU Helsinki.71*Sikap PA yang begitu bersikukuh soal calon independen ini bertolak belakang dengan sikap mereka yang dengan begitu mudah mentolerir pelanggaran lain MoU Helsinki, seperti pada poin pengadilan HAM di masa konflik. Di sini terlihat bahwa konflik politik pelbagai faksi di Aceh—baik itu antara gubernur dengan bupati maupun friksi antara sesama GAM—telah membuat tiadanya kesatuan pendapat dan sikap di antara rakyat Aceh mengenai implementasi MoU Helsinki maupun UUPA, bahkan tiadanya kesatuan pendapat di kalangan mantan GAM sendiri. Ada 70 Hal itu disampaikan Ketua Umum Partai Aceh Muzakkir Manaf. Keterangan diberikan hanya beberapa jam sebelum berakhirnya jadwal pendaftaran pada 7 Oktober 2011. www. acehkita.com., 1 Oktober 2011, diakses 15 Januari 2012. “Kamoe yang jelas hana meuikot menyo keputusan nyoe hatta jelas (Kami yang jelas tidak akan ikut serta apabila keputusan ini tidak jelas)... Perhatian utama kami adalah penyelamatan UUPA sebagai wujud perjuangan rakyat Aceh selama 35 tahun”, kata Muzakkir Manaf. Terkait dengan adanya pasal di UUPA yang dicabut dan belum adanya keputusan pasti dari Pusat, PA akan membawa masalah ini ke meja perundingan dengan melibatkan pihak ketiga, 71 Lihat, http://waspada.co.id., 29 Juni 2011, diakses pada 5 Juli 2011.
kecenderungan bahwa masing-masing pihak memainkan peran aktifnya dalam menafsirkan MoU Helsinki atau pasal-pasal dalam UUPA secara terpisah sehingga pasal-pasal itu seperti semacam komoditas belaka untuk menyerang kubu-kubu yang berseberangan. Menyaksikan adanya kemungkinan kebun tuan politik yang membahayakan keamanan di Aceh dengan ketidak-ikutsertaan PA di dalam pilkada di Aceh maka agaknya atas pertimbangan itu MK lantas memerintahkan Komisi Inde penden Pemilu Aceh untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon.72Dalam waktu tujuh hari tersebut, KIP juga diminta untuk melakukan verifikasi serta penetapan bagi pasangan calon baru. KIP mematuhi keputusan MK seraya bertekad tidak mengubah jadwal pemungutan suara pada tanggal 16 Februari 2012,73 yang 72 Kompas.com, 17 Januari 2012, diakses 18 Januari 2012. 75 Putusan sela yang dijatuhkan MK tanggal 17 Januari 2012 dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan KIP Aceh. Selain Mendagri, permohonan SKLN juga diajukan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dalam pertimbangannya, MK mengungkapkan, MK sebelumnya telah memerintahkan pembu kaan kembali pendaftaran sesuai putusan sela MK terkait seng keta pilkada yang diajukan sejumlah calon independen yang diputus pada 2 November 2011. Ketika itu, pemohon meminta kepastian hukum terkait diperbolehkannya calon independen mengikuti pilkada Aceh 2012. Putusan sela yang membolehkan calon independen mengikuti Pilkada Aceh itu dikuatkan dalam putusan akhir pada 24 November 2011. Namun, pelaksanaan putusan sela 2 November 2011 itu ternyata belum digunakan sepenuhnya oleh pihak-pihak yang masih belum bersikap karena masih menunggu putusan akhir MK 24 November. Namun, setelah putusan akhir dijatuhkan, waktu pendaftaran sebagai bakal pasangan calon sudah ditutup oleh KIP Aceh karena MK hanya memerintahkan pembukaan pendaftaran selama 7 hari (terhitung dari tanggal 2 November). “MK memahami kalau ada pihak yang belum menentukan sikap hukum tertentu, yaitu ikut mendaftar sebagai pasangan calon atau tidak ikut mendaftar pasangan calon karena ma sih menunggu kepastian hukum sampai pokok permohonan diputus pada 24 November 2011. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya pengabaian atas hak-hak partai politik atau perseorangan yang seharusnya dapat mencalonkan diri se bagai calon kepala daerah dalam pilkada Aceh. Keadaan ini sangat potensial mengganggu pelaksanaan pilkada Aceh dan penyelenggaraan pemerintahan Aceh. Terkait dengan hal tersebut. M K memutuskan untuk kembali menjatuhkan putus an sela dalam perkara SKLN Mendagri vs KJP Aceh untuk dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat dan proses pilkada yang lebih demokratis serta kepastian hukum yang adil. Mah kamah menilai ada alasan yang penting, mendesak, dan serta merta untuk menjatuhkan putusan sela dengan memerintah kan membuka kembali pendaftaran calon dengan tujuan untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepenting an dengan Pilkada Aceh 2011-2012 guna menentukan sikap hukumnya setelah mengetahui keabsahan Pilkada Aceh,” kata
belakangan harus diundur menjadi 17 April 2012. Proses sebelum keluarnya keputusan sela sendiri di Aceh diwarnai dengan pelbagai peristiwa kekerasan bersenjata yang oleh banyak pihak diduga sebagai buntut dari rencana boikot PA dalam Pilkada di Aceh.74 Pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf belakangan berhasil memenangkan Pilkada Gubernur Aceh. Rapat pleno rekapitulasi perolehan suara pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2012-2017 yang dilaksanakan oleh KIP Aceh di DPRA menempatkan pasangan dr. Zaini Abdullah-Muzakir Manaf sebagai peraih suara terbanyak sekaligus menjadikan pasangan dari Partai Aceh ini sebagai gubemur/wakil gubernur terpilih. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1, dari lima pasang calon yang ikut Pilkada Aceh 2012, pasangan Zaini-M anaf menduduki peringkat pertama dengan peroleh 1.327.695 suara atau 55,78%. Pasangan ini mendominasi di 14 kabupaten/kota. Di urutan kedua, pasangan drh. Irwandi Yusuf-Dr. Ir. Muhyan Yunan, M.Sc. (HW. Eng) yang menang di 9 kabupaten/kota dengan perolehan 694.515 suara (29,18%), disusul oleh Muhammad Nazar-Ir. Nova Iriansyah meraih 182.079 suara (7,65%), Prof. Dr. Dami M. Daud, M.A.-Tgk. Ahmad Fauzi, M.Ag. dengan 96.767 suara (4,07%), Tgk Ahmad Tajuddin-Teuku Suriansyah 79.330 suara (3,33%).75* Tabel 1. Perolehan Suara Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh Periode 2012-2017 N a m a P a sa n g a n Dr.
Z a in i
A b d u lla h -
Ju m la h S u a ra
P e rse n ta se
1 .3 2 7 .6 9 5
5 5 ,7 8 %
6 9 4 .5 1 5
2 9 ,1 8 %
N a z a r-Ir.
1 8 2 .0 7 9
7 ,6 5 %
P ro f. Dr. D a r n i M . D a u d ,
9 6 .7 6 7
4 ,0 7 %
7 9 .3 3 0
3 ,3 3 %
M u z a k ir M a n a f D rh .
Ir w a n d i
Y u s u f-D r.
Ir. M u h y a n Y u n a n , M .S c . (H W .E n g ) M uham m ad N o v a Iria n s y a h
M .A .- T g k . A h m a d
Fauzi
M .A g Tgk.
A hm ad
T a ju d d in -
T e u k u S u ria n s y a h
Hakim MK. 74 http://www.waspada.co.id/04 Januari 2012, diakses 05 Januari 2012. 75 http://aceh.tribunnews.com, 18 April 2012, diunduh pada 18 April 2012.
17
Pilkada 2012 masih memperlihatkan domi nasi Partai Aceh. Di samping memenangkan pertarungan Pilkada Gubernur, Partai Aceh juga mampu mendudukkan enam pasangan calon bupati-wali kota di enam dari 17 kabupaten/ kota dalam pilkada serentak pada 9 April 2012. K eenam kandidat dari PA m em enangkan perhelatan pilkada dengan suara yang meya kinkan sehingga mampu unggul cukup satu putaran. Enam kabupaten yang dimenangkan Partai Aceh dengan satu putaran ialah Aceh Besar (pasangan Mukhlis Basyah/Samsulrizal), Kabupaten Pidie (Sarjani Abdullah/M. Iriawan), Kota Lhokseumawe (Suaidi Yahya/Nazaruddin), Kabupaten Aceh Utara (Muhammad Thaib/M. Jamil), Kabupaten Aceh Timur (Hasballah/ Syahrul) serta Kabupaten Aceh Jaya (Azhar Abdurrahman/Maulidi). Selain itu, ada empat calon pasangan dari Partai Aceh yang maju pada putaran kedua, yakni di Kota Sabang, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tengah.76 Kendati akhirnya Pilkada 2012 di Aceh dapat berlangsung dengan selamat, namun kita perlu memberi catatan tentang maraknya kekerasan politik yang mengitarinya. Proses pemilukada di Aceh 2012 memang ditandai dengan banyaknya insiden kekerasan dan intimidasi, khususnya yang dialami oleh kandidat selain dari Partai Aceh, kendati ada sedikit kasus di mana justru kader PA yang menjadi korban kekerasan.77 Kondisi keamanan di Aceh mulai tidak kondusif semenjak kuartal terakhir 2011 dan puncak ketegangan di awal tahun 2012. Terjadi sejumlah tindak kekerasan yang berlangsung di pelbagai tempat di Aceh. Sekelompok Orang Tak Dikenal (OTK) bersenjata menembak warga di sejumlah lokasi sehingga menewaskan enam orang dengan sebagian besar korban adalah pekerja asal Jawa. 76http://www.waspada.co.id, 16 April 2012, diunduh 17 April 2012 .
77 Pada 25 Juni 2012 sebuah mobil berlambang PA ditembak orang tak dikenal di Jalan Banda Aceh-Medan, kawasan Lhueng Bata, Kota Banda Aceh. Akibatnya, pengemudinya mengalami cidera serius. Pada hari yang sama, rumah kontrakan penasihat Partai Aceh Zakaria Saman di kawasan Gampong Pineueng, Kota Banda Aceh, dilempari granat namun tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Granat yang meledak di rumah kontrakan mantan petinggi GAM itu merusak mobil yang parkir di garasi serta kanopi rumah tersebut. Sebagian dinding rumah itu terlihat serpihan bekas bahan peledak, http://centraldemokrasi.com, 26 Juni 2012, diakses 27 Juni 2012.
18
Kondisi ini seakan-akan hendak mengancam pelaksanaan Pilkada Aceh. Kondisi keamanan di Aceh memburuk dengan terjadinya penembakan pekerja asal Jawa di sejumlah wilayah di Aceh menjelang pilkada ditengarai kuat berkaitan erat dengan pilkada. Pilkada yang rencananya berlangsung 16 Februari akhirnya ditunda menjadi 17 April 2012.78Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, harus mengungsi ke luar negeri karena ia sampai saat terakhir masih mengalami tindakan teror, percobaan pembunuhan, dan aksi pemukulan oleh pendukung Partai Aceh terhadap dirinya pada saat menghadiri pelantikan gubernur-wakil gubernur terpilih.79 Irwandi menilai aksi kekerasan tersebut telah menodai dan mencederai perdamaian di Aceh yang telah ditandai dengan Perjanjian Helsinki tahun 2005 lalu. Ia menilai perdamaian di Aceh masih rapuh. 3. Dominasi Mantan GAM dalam Pemerintahan Minus Kapabilitas Dengan keikutsertaan mantan-mantan GAM dalam perebutan kekuasaan di Pilkada (2006 dan 2012) serta dalam pemilu legislatif2009, mereka bukan hanya mendominasi pemerintahan di Aceh melainkan pula m enunjukkan dominasinya pada pemilu legislatif menyusul pembentukan partai lokal oleh mantan GAM yang dinamakan Partai Aceh. Undang-Undang kekhususan Aceh m engakom odasi partai lokal maka dalam pemilu 2009 mantan-mantan GAM membentuk partai lokal yang dinamakan Partai Aceh dengan Muzakir M anaf sebagai ketua umum partai. Kendati disebut-sebut banyak menggunakan taktik intimidasi, PA menunjukkan dominasinya dalam pemilu legislatif2009. Di tingkat provinsi, DPRA hasil pemilu 2009 dikuasai oleh PA de ngan menduduki 33 kursi dari 69 kursi yang ada, disusul oleh Partai Demokrat (10), Partai Golkar (8), Partai Amanat Nasional (5), Partai Keadilan Sejahtera (4), Partai Persatuan Pembangunan (4) 78detikNews, 12/01/2012. Diakses 13 Januari 2012. 79http://centraldemokrasi.com, 27 Juni 2012, diakses pada 28 Juni 2012. Partai Aceh melalui juru bicaranya, Fahrul Ra/i, membantah bahwa kadernya melakukan pemukulan kepada Irwandi Yusuf. “Tidak ada kaitan dengan Partai Aceh karena memang yang melakukannya adalah kerumunan massa yang menyaksikan prosesi pelantikan Zaini Abdullah dan Muzakir M anaf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih periode 2012-2017. Kami menyayangkan aksi pemukulan itu,” katanya.
serta Partai Daulat Aceh, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bitang masing-masing satu kursi. Pemandangan serupa kita lihat di kabu paten/kota. Di beberapa kabupaten, suara Partai Aceh bahkan bisa mencapai 70%, seperti kita lihat di Bireun, Pidie, Pidie Jaya, Lhokseumawe, dan Aceh Utara. Dominasi Partai Aceh agak kurang bila kita bergeser ke wilayah Aceh sebelah tengah dan selatan, khususnya di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Singkil yang mampu direbut oleh Golkar, sementara Partai Demokrat memenangkan pertarungan di Banda Aceh dan Aceh Tengah/0 Dominasi PA bisa kita saksikan begitu mencolok di Aceh Utara di mana bupatinya berasal dari eksponen GAM dan 70% lebih kursi legislatif dikuasai oleh PA, bahkan semua komisi yang ada di DPRK Aceh Utara diborong habis oleh orang-orang PA, yakni Komisi A (bidang pemerintahan) mulai dari ketua, wakil ketua, sampai sekretaris dipegang oleh kader PA. Hal serupa terjadi pada Komisi B (bidang perekonomian), Komisi C (bidang keuangan), Komisi D (bidang pembangunan) serta Komisi E (bidang keistimewaan, syariat Islam, dan Kesra) semuanya dipegang oleh unsur PA.* 81 so PA praktis menguasai sebagian besar wilayah di Aceh, kecuali mereka lemah di Aceh sebelah tengah, seperti Aceh Tengah. Bener Meriah. Singkil, dan Subulussalam. Sementara di tempat-tempat lain penguasaan kursi PA mencapai lebih dari 50%, bahkan di Aceh Utara dan Bireun lebih dari 70%. Di Aceh Utara, PA mendominasi 32 kursi dari 45 kursi yang ada, partai-partai lain hanya mendapat sisanya, yakni Demokrat (4) serta sembilan partai kebagian satu kursi, yakni Golkar, PPP, PAN, PDIP, PKS, PBB, SIRA, Partai Buruh, dan PPD. Di kota Lhokseumawe misalnya PA merebut 13 kursi dari 25 kursi yang tersedia, sisanya dibagikan kepada Demokrat (4), PAN (2), PKS (2), PPP (1), Golkar (1), SIRA (1). dan Partai Bersatu Aceh (1). Wilayah yang agak "netral” ialah di Banda Aceh di mana Demokrat menang dengan 8 kursi (ini sejalan dengan kemenangan kader Demokrat, Mawardy Nurdin, seba gai Wali kota Banda Aceh), disusul oleh Partai Aceh (6), PKS (5) , Golkar (3), Partai Daulat Aceh (3), PAN (2), SIRA (1), PBB (1), dan PPP(l). 81 Komisi A, dengan ketua Aminuddin B., wakil ketua Abdul Muthalib, dan sekretaris Nasruddin, semuanya dari PA; Komisi B. ketua Usman Abidin, wakil ketua Anwar Sanusi, sekretaris Tgk. Fauzi. kesemuanya dari PA; Komisi C, ketua Khaidir, wakil ketua Ali Basyah. sekretaris Azhari, juga dari PA semua; Komisi D ketua Ismail A. Jalil, wakil ketua Abdul Hadi Zainal Abidin, sekretaris M. Yusuf, juga dari unsur PA semua; serta Komisi E juga dikuasai oleh PA, yakni ketua Tgk. Munir Syamsuddin, wakil ketua Tgk. M. Natsir Asnawi, dan sekretaris M. Natsir Tahir. Lihat, data yang terdapat pada papan pengumuman di DPRK Kabupaten Aceh Utara.
Bila kita m enyaksikan betapa kuatnya dom inasi PA di DPRK akan m enjelaskan penyebab parlemen setempat gagal melakukan fungsi kontrol secara memadai terhadap eksekutif karena fenomena yang terjadi lebih menjurus pada terjadinya kolusi antara eksekutif dengan legislatif. Kecenderungan kolusi semacam ini nampak terlihat di wilayah-wilayah yang merupakan basis PA, seperti Aceh Utara, Bireun, Pidie, Aceh Timur, di mana setiap kebijakan bupati senantiasa lolos di tingkat Dewan. Itulah mengapa ada sementara bupati atau Wali kota yang mungkin terindikasi melakukan tindak ko rupsi akan bersikap tenang-tenang saja mengingat anggota parlemen setempat pun tidak mengkritisi ataupun menyuarakan pengusutan kasus korupsi dimaksud. Di lain pihak, setiap tender yang ada di wilayah tersebut sudah menjadi rahasia umum akan jatuh ke tangan pihak-pihak yang dekat dengan partai berkuasa. Dalam kasus tindak pidana korupsi, PA cen derung akan melindungi kadernya. Umpamanya dalam kasus yang menyangkut Ketua DPRK Langsa, Muhammad Zulfri, kendati kalangan di luar PA telah meminta agar yang bersangkutan dicopot dari posisi Ketua DPRK, namun DPA Partai Aceh dalam surat tanggal 8 Maret 2011 dengan tegas menyatakan tetap mempertahankan kader Muhammad Zulfri sebagai Ketua DPRK Langsa dengan alasan kasus yang dihadapinya adalah kasus lama sebelum yang bersangkutan menjabat sebagai anggota dan Ketua DPRK Langsa.82 Sejalan dengan kondisi parlemen di ka bupaten/kota, parlemen di tingkat provinsi menunjukkan kinerja yang mengecewakan. Ini tidak mengherankan karena DPRA dikuasai oleh PA yang rata-rata berpendidikan rendah. Akibat kualitas parlemen yang rendah, telah membuat parlemen tidak lagi bicara tentang program terhadap gubernur, melainkan mereka lebih berbicara masalah bagaimana memperjuangkan kepentingan. DPRA hasil Pemilu 2009 yang dikuasai oleh PA dinilai memiliki kualitas yang jauh lebih buruk dibandingkan DPRA hasil pemilu-pemilu sebelumnya. Sebagaimana diketa hui para kader PA yang duduk di DPRA adalah mantan-mantan kombatan, mereka mungkin ahli 82 Serambi Indonesia, 26 Mei 2011, diakses 29 Mei 2011.
19
perang, tetapi mereka tidak paham administrasi dan tidak paham ekonomi dan pembangunan. Benar bahwa DPRA didukung oleh sederetan staf ahli, tetapi posisi staf ahli di sini diisi oleh kawan-kawan mereka juga. Sesama kombatan yang mungkin belum memiliki jabatan— sekadar bagi-bagi rezeki—akibatnya mereka bukan ahli pula.83 Sungguh ironis menyaksikan perilaku para mantan GAM. Dulu, mereka katanya berjuang untuk melawan ketidak-adilan, tetapi kini mereka menciptakan ketidak-adilan baru terhadap rakyat Aceh. Setelah berkuasa, mereka hanya sibuk memperkaya diri sendiri, mengenyangkan perut sendiri dan kelompoknya saja, tanpa peduli bagaimana nasib rakyat Aceh pada umumnya.
memperumit dinamika konflik di bumi Aceh, mengingat perbedaan atau sentimen politik antarmantan GAM dan kelompok masyarakat yang dahulu di masa konflik pro-NKRI juga belum terselesaikan secara maksimal. Kegagalan pelaksanaan kekhususan di kedua bidang itu, politik dan ekonomi, pada gilirannya akan membuat sulitnya mengeluarkan Aceh dari lingkaran setan konflik dan sekaligus masalah kemiskinan di sana. Ekonomi 1.
Kesim pulan Seluruh elemen masyarakat tentu sepakat, menindaklanjuti MoU Helsinki 2005 maka UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan titik pijak menciptakan Aceh yang sejahtera. Dengan pemahaman semacam ini maka otonomi khusus Aceh beserta dana otsusnya se mestinya bukan sekadar upaya pemerintah pusat untuk “membeli kesetiaan” rakyat Aceh atau tidak lagi bersifat darurat, tetapi harus menuju kepada semangat peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh. Akan tetapi, setelah lebih dari enam tahun berlalu, kita menyaksikan pelaksanaan otonomi khusus kurang berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Di bidang ekonomi kita me nyaksikan dana otonomi khusus tidak terkelola dengan baik sehingga membuat kesejahteraan masyarakat Aceh secara umum tidak mengalami perbaikan. Ironisnya, peningkatan kesejahteraan justru hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan sehingga menimbulkan fenomena orang-orang kaya baru di sana. Di bidang politik, situasinya lebih rumit lagi. Pemberian kekhususan dengan diperbo lehkannya adanya partai lokal, tidak mampu meredam potensi konflik yang ada bahkan justru memproduksi konflik internal baru antara sesama mantan GAM. Friksi tersebut justru semakin 83Wawancara dengan Mawardy Nurdin, Wali kota Banda Aceh, 23 Mei 2011 di Banda Aceh.
20
2.
3.
4.
Desentralisasi asimetris yang diberikan ke pada Aceh dilatarbelakangi dengan pertim bangan bahwa Aceh merupakan wilayah bekas konflik dan separatis, untuk wilayah semacam itu pemberian otonomi khusus juga dibarengi dengan pengucuran dana ot sus yang jumlahnya tidak kecil. Dana otsus yang telah digulirkan bagi Aceh berkisar Rp4-5 triliun per tahunnya. Akan tetapi, apabila kita menengok ke dae rah tersebut, kita secara umum menangkap kesan kuat bahwa dana otsus belum mam pu menunjukkan peran signifikan dalam mengangkat kesejahteraan rakyat Aceh. Hal ini terkait dengan begitu buruknya pengelolaan dana otsus sehingga diduga banyak penggunaan dana otsus yang tidak bersih. Di lain pihak, pengalokasian dana otsus mengalami banyak kendala dan tidak tepat sasaran mulai dari tingkat provinsi sampai ke tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan keterlambatan dan banyak ke salahan dalam perencanaan program dimu lai dari tingkat provinsi hingga ke daerah. Terjadi pertikaian yang berkepanjangan antara Gubernur Aceh dengan para bupati/ wali kota menyangkut pengelolaan dana otsus. Kabupaten/kota menginginkan dana otsus ditransfer langsung dan dikelola sendiri oleh kabupaten/kota. Secara mendasar perdebatan antara guber nur dengan para bupati/wali kota sesung guhnya memasuki wilayah keistimewaan Aceh. Bagi gubernur, dengan adanya keis timewaan Aceh maka yang harus diber
5.
6.
7.
lakukan ialah UUPA Aceh. Sebaliknya, para bupati/wali kota di Aceh secara sadar atau tidak sadar sedang hendak mengkri tisi otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi, yang pada ujungnya mereka hen dak mengkritisi MoU Helsinki maupun UUPA itu sendiri. Bupati/Wali kota berargumen bahwa se cara umum di Indonesia otonomi menitik beratkan di daerah kabupaten/kota, tetapi di Aceh dengan UU Nomor 11/2006 ti tik berat otonomi khusus ada di provinsi. Dengan demikian, menjadi sesuatu yang aneh apabila dana otsus malah dijadikan pendapat-an dalam Anggaran Belanja Pendapatan Aceh (APBA). Kecuali mengedepankan politik diskrimi natif dalam pembangunan, ada pula ke cenderungan dana otsus diarahkan untuk meningkatkan popularitas gubernur yang memang berniat maju kembali dalam pilkada gubernur. Contoh yang paling mengemuka ialah mengenai proyek JKA, banyak kritik terhadap sumbangan-sum bangan untuk pesantren yang alokasinya tidak transparan, dan dana bantuan jatuh ke pesantren yang dekat atau mendukung gubernur. Korupsi hampir merata berlangsung di bumi Aceh pascaperdamaian, beberapa di antaranya berlangsung dengan amat vulgar seperti kasus di Aceh Utara. Akan tetapi, terdapat kesan kuat bahwa pemerintah pu sat sengaja menutup mata atas gejala terse but. Ini karena pemerintah pusat memper hitungkan faktor keamanan, bahwa Aceh masih dalam masa transisi dari konflik.
Politik 1.
Terdapat beberapa pasal di dalam UUPA Tahun 2006 yang masih dianggap ber tentangan dengan MoU Helsinki antara lain ialah Pasal 11 UUPA yang dianggap bertentangan dengan keinginan untuk ‘pemerintahan sendiri’ (self government) bagi Aceh; di samping terdapat beberapa ketentuan yang memerlukan peraturan pelaksanaan.
2.
3.
4.
5.
Isu lain yang masih menimbulkan perde batan dan bisa menjadi salah satu ganjal an cukup besar ialah menyangkut po sisi Wali Nanggroe. Kalangan garis keras seperti PA jelas berkeinginan agar Wali Nanggroe—yang kini dijabat oleh Malik Mahmud—bukan sekadar simbolik, bu kan lagi sekadar institusi adat, melainkan sebagai institusi politik yang memiliki ke wenangan besar dan strategis. Aceh menikmati kekhususan di bidang politik dengan pelegalan keberadaan par tai lokal dan calon independen. Terse lenggaranya pemilu setempat yang me nyertakan partai-partai lokal dan calon independen tersebut merupakan salah satu keberhasilan terbesar pelaksanaan otsus Aceh. Karena itulah, transformasi kekuat an GAM ke dalam struktur pemerintahan modem dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diimplementasikan. Euphoria politik seputar pemilihan umum dan pilkada mempakan salah satu hal yang begitu dinikmati rakyat Aceh pasca-MoU Helsinki dan diberlakukannya UUPA 2006. Namun, dari situ pulalah kerumitan politik bertambah dan dinamika konflik internal bagaikan menemukan momen tum. Selain masih terdapat perbedaan dan sentimen politik yang cukup tajam antara Aceh dengan wilayah-wilayah sebelah tengah dan selatan, dinamika politik di Aceh agak diperumit dengan munculnya friksi internal mantan GAM. Perpecahan sesama mantan GAM mempakan fenome na yang begitu menguras perhatian dan ketegangan terkait erat dengan persaingan menjelang Pilkada 2012. Dominasi mantan GAM di pemerintahan dan parlemen, baik di provinsi maupun tingkat kabupaten/kota tidak diikuti de ngan kapabilitas yang memadai sehingga kinerja parlemen maupun pemerintahan mengalami penumnan kualitas dan men jurus kolusi, sedangkan di sisi lain korupsi merajalela.
21
Daftar Pustaka A. Buku/Artikel Darma, Satya dan Arief Rahman. 2007. Menatap Demokrasi. Jakarta: Satker BRR Penguatan Kelembagaan Kominfo. Dardias, Bayu. 2012. “Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua”, dalam http://nasional. kompas.com, 3 Juli 2012.
B. Media Massa acehkita.com, 6 Mei 2010, diakses 22 Juni 2010. www.acehkita.com, 7 Oktober 2011, diakses 15 Januari 2012 http://aceh.tribunnews.com, 18 April 2012, di unduh pada 18 April 2012. http://www.analisadaily.com, 7 Mei 2011, diun duh pada 19 Mei 2011.
Gayatri, Irine H. dan Septi Satriani. 2008. Di namika Kelembagaan Mukim Era Otonomi Khusus Aceh. Jakarta: P2P-LIPI.
http://berita.liputan6.com, 30 Mei 2011.
_______ . 2007 Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh. Jakarta: F2P-L1PI.
http://centraldemokrasi.com, 26 Juni 2012. Diak ses pada 27 Juni 2012.
Hidayat, Firman. 2012. “Aceh Miskin Karena Salah Pengelolaan Dana” Otsus. http:// www.theglobejoumal.com, 5 Januari 2012, diakses pada 16 April 2012. Hoessein, Bhenyamin. 2011. Perubahan, Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru ke Reformasi. Jakarta: FISIP UI. Nurhasim, Moch. (Ed.). 2008. Transformasi Poli tik Gerakan Aceh Merdeka Pasca-MoU Helsinki. Jakarta: P2P-LIPI. _______ . 2006. Evaluasi Pelaksanaan Daru rat Militer di Aceh 2003-2004. Jakarta: P2P-L1PI. Prang, Amrizal J. 2008. Aceh dari Konflik ke Da mai. Aceh: Bandar BD. Ratnawati, Tri (Ed.). 2007. Persepsi Lokal dan Prospek Impelementasi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pemerin tahan Aceh: Aspek Kewenangan Pemda dan Keuangan Daerah. Jakarta: P2P-LIPI. Reid,Anthony (Ed). 2006. Verandah ofViolence: The Background to the Aceh Problem. Singapura: Singapore University Press. Taqwaddin. 2011. “Pengelolaan Dana Otsus”, dalam http.V/pekikdaerah.wordpress. com, diakses 20 Juni 2011. Tryatmoko, Mardyanto Wahyu (Ed.). 2011. Pro blematika Peran Ganda Gubernur di Dae rah Otonomi Khusus. Jakarta: P2P-LIPI.
22
http://centraldemokrasi.com, 27 April 2011, di unduh pada 2 Januari 2012.
http://centraldemokrasi.com, 27 Juni 2012. Diak ses pada 28 Juni 2012. www.detik.com, 13 Februari 2009, diunduh pada 15 Juni 2011. detikNews, 12/01/2012, diakses 13 Januari 2012. http://theglobejournal.com, 9 Februari 2011 diak ses 10 April 2011. http . / / k h a z a n a h a r h a m . wordpress. com/2010/12/26/wali-nanggroe-pilihanrakyat, diakses 11 Juli 2011. Kompas.com, 17 Januari 2012, diakses 18 Januari 2012. http://waspada.co.id, 05 Juli 2010, diakses 11 April 2011. http://waspada.co.id, 14 Juli 2012, diakses 16 Juli 2012 http://waspada.co.id., 29 Juni 2011, diakses pada 5 Juli 2011 http://www.waspada.co.id/04 Januari 2012, diakses 05 Januari 2012 http://www.waspada.co.id, 16 April 2012, diun duh 17 April 2012. serambinews.com, 9 November 2010, diakses 6 Juli 2011. Serambi Indonesia, 5 November 2010, diakses 16 September 2011. Serambi Indonesia, 26 Mei 2011, diakses pada 29 Mei 2011.
DISPARITAS REGIONAL DAN KONFLIK PILKADA ACEH 2012 Fadjri Alihar Abstract Aceh ’s governor election 2012 is an interestingphenomenon, which was two former leaders o f GAMof two differentparties runfor the election. Those two leaders were Zaini Abdullah and his running mate Mazakir Manaf, and Irwandi Yusufand his running mate Muhyan Yunan. Fortunately, Zaini Abdullah and Muzakir Manafhad won the election by 56%, while Irwandi Yusuf and his running mate Muhyan Yunan hadjust voted by 29% voter from all districts ofAceh. Simmilarly, in each regencies inAceh, at least in 11 districts out o f 18, this election hadalso votedfor mayors and/or head of districts ’candidates who camefrom Partai Aceh. After lost in the election, Irwandi Yusuf one of the governor ’s candidate declared Partai Nasional Aceh (PNA), as his political vehicle. Any violence happened duringAceh ’s governor election 2012 supposedly would not have gone into anyfurther deterioration. It is due to the sense ofkeeping the Mo U Helsinkv in correct order. Keyword: Local election, GAM, violence, MoUHelsinki, conflict Abstrak Pilkada Aceh 2012 mempunyai fenomena yang menarik karena dua orang tokoh GAM maju sebagai calon gubernur, tetapi dengan perahu yang berbeda. Pilkada Aceh 2012 akhirnya dimenangkan secara telak oleh pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf dengan jumlah suara 56 persen, sementara pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan yang maju melalu jalur independen hanya memperoleh suara 29 persen. Pilkada Aceh 2012 pada tingkat kabupaten/kota juga dimenangkan oleh calon-calon bupati/Wali kota yang didukung Partai Aceh pada 11 daerah dari 18 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Setelah mengalami kekalahan, Irwandi Yusuf mendirikan Partai Nasional Aceh (PNA) sebagai kendaraan politiknya. Kekerasan yang terjadi pada saat Pilkada Aceh 2012 kiranya tidak akan berlarut-larut karena masing-masing pihak tidak ingin mencederai MoU Helsinki yang telah berhasil membawa perdamaian di Aceh.
Kata kunci: Pilkada, GAM, kekerasan, MoUHelsinki, konflik
Pendahuluan Sejak nota kesepakatan (MoU) Helsinki ditan datangani tanggal 5 Agustus 2005, Provinsi N anggroe Aceh D arussalam (NAD) telah menyelenggarakan dua kali Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Yang pertama, Pilkada Aceh diselenggarakan pada bulan April 2006 kurang lebih setahun setelah ditandatanganinya MoU Helsinki, dan yang kedua Pilkada Aceh diseleng garakan pada tanggal 9 April 2012. Kedua pilkada tersebut mempunyai karak teristik yang berbeda. Pada saat pilkada ta hun 2006 terlihat penyelenggaraannya relatif berlangsung secara damai jika dibandingkan dengan pilkada tahun 2012. Pilkada tahun 2006 sebenarnya juga tidak terlepas dari berbagai tindakan intimidasi, namun tidak sampai meng
ganggu proses penyelenggaraan pilkada tersebut. Di samping itu, tidak ada sengketa pilkada yang harus diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), baik pada tingkat pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun bupati dan wakil bupati. Sebaliknya, ketika Pilkada Aceh 2012 berlangsung untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur ternyata diwarnai dengan berbagai pertikaian yang menjurus ke arah konflik hori zontal. Pada Pilkada 2012, ada dua kubu yang berseberangan dan keduanya berasal dari mantan anggota GAM yaitu, pertama, kubu Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan yang maju sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Aceh melalui jalur independen. Kedua, kubu Partai Aceh yang mengusung Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf masing-masing sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
23
Majunya kedua elite mantan GAM ini dikha watirkan oleh beberapa kalangan akan mengulang sejarah konflik Aceh. Hal ini mengingat tingginya intesitas insiden yang melibatkan dua kelompok yang bersaing, yaitu kubu Irwandi Yusuf dan kubu Partai Aceh. Insiden demi insiden terus terjadi dalam keseharian mulai dari pemukulan, pembakaran, dan penembakan mobil hingga pembunuhan. Salah seorang Tim Sukses (TS) yang dikenal dekat dengan Irwandi Yusuf tewas ditembak oleh orang-orang tidak dikenal (OTK).1 Pilkada Aceh 2012 untuk tingkat gubernur dimenangkan secara spektakuler oleh pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir M anaf dengan jumlah suara sebanyak 56%, sementara Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan hanya memperoleh suara 29%. D engan dem ikian, pem ilihan gubernur Aceh berlangsung satu putaran karena suara yang diperoleh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf melebihi 33%. Dalam Pilkada Aceh 2012 ternyata banyak sekali pasangan yang kalah mengajukan gugatan ke MK, baik pada pemilihan gubernur maupun pada pemilihan bupati/Wali kota. Pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan mengajukan gugatan ke MK dengan alasan terjadinya intimidasi secara masif pada saat berlangsungnya Pilkada Aceh 2012.2 Demikian pula ada 6 pasangan calon bupati dan wakil bupati yang mengajukan guggatan ke MK dengan berbagai alasan.3 Puncak dari eskalasi perseteruan antara kelompok Irwandi Yusuf dan Partai Aceh terjadi ketika dilantiknya Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf secara resmi oleh Menteri Dalam Negeri menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh definitif. Pada saat pelantikan tersebut terjadi pemukulan terhadap Irwandi Yusuf oleh anggota Partai Aceh. Irwandi Yusuf merasa kecewa terha1Serambi Indonesia, “Dalam Dua Pekan, 40 Kekerasan Terjadi di Aceh”, 3 April 2012. 2http//www. acehkita. com. berita/putusan akhir MK soal Pilka da, 3 April 2012, diakses pada tanggal 3 April 2012. 3Alasan yang menarik diajukan calon bupati dan wakil bupati yang kalah dalam Pilkada Aceh Singkil untuk menggugat bupati dan wakil bupati pemenang pilkada ke MK, dengan alasan mereka sebelumnya dianggap pernah menjalani hukuman tanpa mengumumkannya ke publik. Gugatan calon bupati dan wakil bupati yang kalah tersebut ditolak oleh MK karena tidak terbukti dalam persidangan.
24
dap pihak kepolisian yang tidak serius mengusut kasus pemukulan tersebut,4 sehingga untuk sementara waktu Irwandi Yusuf mengasingkan diri ke Malaysia.5 Setelah kalah dalam Pilkada Aceh 2012, Irwandi Yusuf m endirikan Partai Nasional Aceh (PNA). Partai tersebut didirikan untuk menampung para mantan anggota GAM yang berpihak kepada Irwandi Yusuf selama berlang sungnya Pilkada Aceh 2012. Dengan adanya dua kelompok mantan anggota GAM yang bernaung di bawah dua orang pimpinan yang berbeda, menimbulkan pertanyaan, apakah gubernur Aceh terpilih dapat merangkul para pihak yang tersisih dalam Pilkada Aceh 2012, terutama demi menjaga perdamaian yang telah diamanatkan MoU Helsinki. Tulisan ini mencoba mengkaji relasi dis paritas regional dalam kaitannya dengan Pilkada Aceh pada tahun 2006 dan 2012. Hal ini dimak sudkan untuk melihat sejauh mana disparitas regional berpengaruh terhadap para pemilih dalam menentukan pilihannya. Selanjutnya, akan dilihat pula perubahan pilihan di antara para pemilih dalam dua periode pilkada tersebut. Apakah tidak ada perubahan yang berarti atau terjadi pergeseran orientasi para pemilih?
Penduduk dan Disparitas Sosial Jumlah penduduk Aceh ternyata tidak sebanding dengan luas wilayahnya. Luas wilayah Aceh sebesar 58.376 kilometer persegi dengan jumlah penduduk hanya 4,5 juta jiwa pada tahun 2010. Dengan demikian, kepadatan penduduk relatif jarang, yaitu hanya 77 jiwa per kilometer persegi. Kota Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Aceh memiliki tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, yaitu 3.654 jiwa per kilometer persegi. Sementara itu, daerah yang paling jarang penduduknya adalah Kabupaten Gayo Lues yang hanya 14 jiwa per kilometer persegi.6 Sebaran penduduk juga sangat bervariasi, terutama antara pantai barat dan timur Aceh serta daerah pedalaman. Hampir separuh penduduk 4Kompas, 25 Juni 2012. 5 Menjelang Idul Fitri 2012 Irwandi Yusuf kembali ke Aceh. 6http://www.worddfriend. web. id/indonesia/provinsi nanggroe aceh darussalam, diakses 5 Juli 2012
Aceh terkonsentrasi di daerah pantai timur yang jumlahnya sekitar 2,2 juta jiwa. Kabupatenkabupaten yang mempunyai kontribusi jumlah penduduk terbesar, yaitu Kabupaten Aceh Utara (530 ribu jiwa), Kabupaten Biruen (390 ribu jiwa), Kabupaten Pidie (380 ribu jiwa), dan Kabupaten Aceh Timur (360 ribu jiwa).7 Secara sosiologis masyarakat Aceh terdiri atas beberapa suku bangsa. Namun, suku bangsa yang paling dominan berdomisili di Aceh adalah Suku Aceh. Sebagian besar Suku Aceh berdomisili di pesisir pantai timur Aceh mulai dari Kabupaten Aceh Pidie hingga Tamiang. Suku Aceh merupakan kelompok masyarakat yang suka merantau. Dengan demikian, mereka dikenal sebagai kelompok masyarakat yang maju karena selalu berinteraksi dengan dunia luar.8 Suku bangsa lainnya yang m endiam i wilayah Aceh antara lain adalah Suku Gayo yang hidup di daerah pedalaman Aceh Tengah. Selanjutnya, dikenal juga Suku Aneuk Jamee yang berdomisili di Kabupaten Aceh Selatan. Suku bangsa lainnya adalah suku Tamiang yang berdomisili di Kabupaten Aceh Tamiang. Kemudian Suku Sinabang dan Simeulue yang berdiam di wilayah Kabupaten Simeulue. Pada saat terjadinya konflik, wilayah Aceh terbagi dalam tiga bagian, yakni daerah merah, abu-abu, dan putih. Wilayah merah dikategorikan daerah yang selalu dilanda konflik, seperti kawasan pesisir pantai timur Aceh. Wilayah abu-abu dikenal sebagai daerah dengan intensitas konflik yang rendah, seperti wilayah pesisir pantai barat Aceh. Sementara daerah putih meru pakan daerah tidak tersentuh oleh konflik, seperti daerah Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Aceh Singkil.
timur Aceh juga cukup tinggi, terutama dari segi pendidikan. Dalam setiap pilkada, khususnya pemilihan gubernur, selalu dikuasai Suku Aceh yang berasal dari pantai timur Aceh. Selain itu, banyak posisi penting dalam birokrasi Pemda Provinsi Aceh juga dikuasai oleh Suku Aceh. Daerah pesisir pantai timur Aceh merupakan urat nadi perekonomian karena merupakan jalur utama transportasi yang menghubungkan Kota Banda Aceh dan Medan. Dengan demikian, daerah tersebut menjadi daerah terbuka yang mampu membuka wawasan masyarakatnya, terutama dalam menyerap berbagai informasi kemajuan secara cepat.9Di samping itu, beberapa daerah di pesisir pantai timur Aceh merupakan daerah yang kaya sumber daya alam, seperti gas alam cair. Sementara pesisir pantai barat dan pedalaman Aceh merupakan daerah yang terisolasi, terutama sebelum tahun 1990-an. Pada awal tahun 2000 muncul ide pemben tukan Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) sebagai respons terhadap kurangnya perhatian Pemerintah Provinsi Aceh terhadap daerahdaerah yang berada di pedalaman, seperti Kabu paten Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil. Tidak lama kemudian, masyarakat di pesisir pantai barat Aceh juga memproklamirkan pembentukan Provinsi ABAS (Aceh Barat Selatan). Daerahdaerah yang tergabung di dalam ABAS, yaitu Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Simeulue. Beberapa alasan utama yang dikemukakan dalam pembentukan Provinsi ALA dan ABAS, antara lain adalah memperpendek rentang kendali dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.10
Masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai timur dan barat Aceh mempunyai karak teristik yang berbeda, terutama dari segi sosial ekonomi. Masyarakat pesisir pantai timur Aceh relatif lebih maju dibandingkan dengan daerah lainnya di Aceh. Hal ini mengingat kualitas SDM masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai
Ketika Ibrahim Hasan pertama kali menjabat Gubernur Aceh, salah satu daerah yang mendapat perhatian khusus adalah wilayah pantai barat Aceh. Hal ini mengingat selama ini daerah terse but relatif tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lainnya, khususnya dengan wilayah pantai timur Aceh. Jalan-jalan di pantai barat Aceh kondisinya sangat buruk dan bahkan ruas jalan
7lbid
9Ibid.
8MukhtarNaim, “Merantau: Minangkabau Voluntary Migration”, disertasi doktor, (Singapura: Department ofSociology, University of Singapore, 1973).
"Thung Ju Lan dkk, Penyelesaian Konflik Aceh: Aceh dalam Proses Rekonstruksi dan Rekonsiliasi, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-LIPI, 2006).
25
mulai dari Banda Aceh hingga ke Singkil terdapat sekitar 20 rakit yang harus dilalui. Pemikiran Ibrahim Hasan ketika itu sederhana sekali bahwa untuk memajukan perekonomian Aceh harus didukung dengan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Selama ini yang diperhatikan hanya wilayah bagian timur Aceh karena kaya dengan sumber daya alam, seperti gas alam cair (LNG-Liquid Natural Gas), sedangkan bagian pantai barat Aceh dibiarkan merana dengan keterisolirannya. Padahal potensi sumber daya daerah pantai barat Aceh juga tidak kalah menarik karena banyak yang belum dieksplorasi secara optimal. Dewasa ini, pantai barat Aceh dengan potensi perkebunan kelapa sawitnya semakin menarik investor untuk menanamkan modalnya. Sementara kejayaan gas alam cair (LNG) di Kabupaten Aceh Utara telah berakhir sejalan semakin berkurangnya cadangan yang dikandung. Belum lagi masa jabatan pertama Ibrahim Hasan sebagai gubernur habis, jalan-jalan di pantai barat Aceh telah selesai dibangun dan mulai berfungsi. Rakit-rakit yang dulunya men jadi kendala sekarang berganti dengan jembatan rangka baja yang melintasi berbagai sungai yang lebarnya hingga ratusan meter. Jika dulu jarak tempuh antara Kota Banda Aceh dan Singkil melalui jalur pantai barat dibutuhkan waktu sekitar tiga hari namun sekarang hanya dibutuh kan waktu kurang dari 15 jam. Kejelian Ibrahim Hasan mengembangkan pantai barat Aceh harus diakui karena dengan terbukanya daerah tersebut perekonomian Aceh secara keseluruhan semakin berkembang dan maju. Jalan-jalan dan sejumlah jembatan yang per nah dibangun oleh Ibrahim Hasan pada dekade 1990-an di daerah pantai barat Aceh hancur berantakan ketika terjadinya bencana tsunami di Aceh pada akhir tahun 2004. Sebagian besar jalan-jalan tersebut menjadi lautan, sementara jembatan-jembatan yang semula dibangun sangat kokoh sekarang tinggal puing-puing belaka. Namun, sarana transportasi darat di daerah pantai barat Aceh dewasa ini telah pulih kembali diba ngun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya alam di daerah pantai barat Aceh mulai ditemukan dan dieksploitasi, seperti batu
26
bara dan pasir besi. Perekonomian di daerah pantai barat Aceh semakin berkembang sejalan dengan banyaknya investor yang menanamkan modal di daerah tersebut. Selanjutnya secara geografis, wilayah Provinsi NAD terbagi atas tiga kawasan, yaitu kawasan atas, kawasan tengah, dan kawasan bawah. Kawasan atas terdiri atas Kota Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Biruen, Kota Lhokseum aw e, Aceh U tara, Aceh Timur, dan Kota Langsa. Kawasan Tengah meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Simeulue, dan Aceh Tamiang. Sementara Kawasan Bawah terdiri atas Kabu paten Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Selatan, dan Gayo Lues.11 Ketiga kawasan tersebut di atas mempunyai karakteristik yang berbeda, terutama dari segi sosio-kultural. Kawasan atas sebagian besar wilayahnya merupakan pesisir pantai timur Aceh dengan mayoritas penduduk dengan Suku Aceh. Kawasan tersebut diketahui merupakan basis Gerakan Aceh Merdeka, khususnya wilayah K abupaten Aceh U tara dan Aceh Tim ur.*12 Berkaitan dengan Pilkada Aceh tahun 2012, tentunya ketiga kawasan tersebut menjadi rebutan bagi para calon yang bersaing, khususnya dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
Eksperimen Demokrasi Pilkada Aceh 2006 Kurang lebih satu tahun setelah penandatanganan MoU-Helsinki, pilkada secara langsung dan serentak diselenggarakan di seluruh Aceh. Pelak sanaan pilkada tersebut merupakan salah satu klausul yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Aceh. Pilkada Aceh merupakan eksperi men demokrasi yang sangat penting di Indonesia mengingat kepala daerahnya dipilih secara langsung oleh masyarakat. Pilkada tersebut merupakan pemilihan kepala daerah yang per tama di Indonesia dengan menggunakan sistem " Moch. Nurhasim, Negara dan Masyarakat dalam Konflik Aceh: Studi tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Aceh, (Jakarta: LIPI, 2004). Lihat pula, Moch. Nurhasim, “Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara In timidasi, Partisipasi, dan Mobilisasi Politik”, Jurnal Penelitian Politik, Vol.l, N o.I, 2004, hlm. 66-76. '2Ibid.
pemilihan secara langsung. Padahal selama ini setiap pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, ,baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Pilkada Aceh diselenggarakan sekitar bulan April 2006 dengan agenda pemilihan gubernur dan wakil gubernur dan beberapa bupati dan Wali kota berikut wakilnya. Berbagai kalangan akademisi dan pengamat, terutama pengamat politik, ketika itu meragukan Pilkada di Aceh berlangsung dengan damai. Keraguan tersebut bukannya tanpa alasan, mengingat Aceh baru saja lepas dari konflik yang berkepanjangan. Benihbenih konflik yang selama ini terpendam dapat saja muncul kembali dengan adanya rivalitas politik antara para pengikut calon kepala daerah yang ikut bersaing dalam pilkada. A da kesan P ilk ad a A ceh 2006 yang diperkirakan akan berdarah-darah sengaja dibesar-besarkan dan dihembuskan pihak-pihak tertentu yang tidak senang melihat Aceh damai pascapenandatangan MoU-Helsinki. Namun, tekad menyukseskan Pilkada Aceh secara damai tidak hanya datang dari pihak TNI dan Polri, aparatur pemerintah, melainkan juga datang dari masyarakat di seluruh wilayah Aceh. Mereka menyadari betul, jika dalam penyelenggaraan pilkada terjadi kekacauan maka yang pertama terkena imbasnya adalah masyarakat sendiri. Sebagai catatan, tidak semua kabupaten dan kota mengikuti pilkada di Aceh karena ada be berapa orang bupati/Wali kota yang belum habis masa jabatannya. Ada lima pasangan calon yang mengikuti pilkada untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, sedangkan untuk pemilihan bupati/Wali kota diikuti oleh 17 pasangan. Khusus untuk calon gubernur, dua di antaranya berasal dari mantan anggota GAM, satu orang mantan pejabat gubernur, dan dua orang berasal dari purnawirawan TNI. Sementara untuk calon bupati dan Wali kota sebagian besar diikuti oleh para mantan anggota GAM. Keikutsertaan para mantan anggota GAM dalam Pilkada Aceh merupakan salah satu klausul dalam MoU-Helsinki yang menjamin setiap warga Aceh memiliki hak untuk berpartisipasi sebagai kandidat dalam pemilihan daerah di Aceh yang diselenggarakan pada bulan April 2006 dan seterusnya.
Pilkada Aceh 2006 merupakan perhelatan akbar secara nasional dan mata dunia inter nasional akan melihat kemampuan Indonesia dalam menyelenggarakan sebuah pemilihan kepala daerah yang baru pertama dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. Tidak kurang pemantau Uni Eropa secara khusus datang ke Aceh untuk mengawasi penyelenggaraan pilkada tersebut agar berlangsung secara demokratis dan tanpa ada intimidasi dari kelompok manapun. Demikian juga, para pemantau nasional tidak ketinggalan ikut berpartisipasi melakukan penga wasan penyelenggaraan Pilkada di Aceh. Selama masa kampanye tidak ditemukan insiden yang berpotensi menggagalkan Pilkada Aceh. Kekhawatiran yang selama ini dikemukakan ternyata tidak terjadi dalam Pilkada Aceh. Sungguh sangat menakjubkan pilkada yang diprediksi akan berdarah-daerah ternyata tidak setetes darah pun tumpah di Bumi Serambi Mekkah. Masing-masing kandidat kepala daerah beserta seluruh masyarakat Aceh bahu-membahu mengawal dan mengamankan pilkada tersebut agar tidak ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Tidak lama setelah pemungutan suara, pada malam harinya sudah dapat diketahui hasilnya. U ntuk pem ilihan gubernur/w akil gubernur dimenangkan oleh pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang keduanya mantan anggota GAM. Sementara itu, dalam pemilihan bupati/Wali kota ternyata sebagian besar di menangkan oleh pasangan yang sebelumnya pernah menjadi anggota GAM. Terpilihnya para mantan anggota GAM tersebut menjadi kepala daerah di berbagai kabupaten dan kota di Aceh secara tak langsung menunjukkan bahwa ma syarakat menginginkan sebuah perubahan. Hal ini kemungkinan karena selama ini masyarakat bosan dan apatis dengan pola kepemimpinan sipil yang cenderung berlaku korup. Beberapa bupati atau Wali kota kemudian ada yang habis masa jabatannya sehingga di adakan pilkada susulan. Beberapa daerah yang melakukan pilkada susulan adalah di pantai barat Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat, juga dimenangkan oleh mantan GAM. Sebagai catatan, pilkada di Aceh Selatan berlangsung dalam dua putaran karena pada
27
putaran pertama tidak ada di antara calon bupati yang unggul secara mayoritas (di atas 33%). Pilkada terakhir di Aceh diselenggarakan pada dua daerah yang baru dimekarkan, yaitu Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam. Pilkada di Kota Subulussalam berlangsung dua putaran. Selama berlangsungnya pilkada di Aceh pada tahun 2006, hanya satu pilkada yang berakhir di Mahkamah Konstitusi, yaitu Pilkada Kota Subulussalam. Kota tersebut merupakan daerah baru hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil.13 Pilkada Aceh 2012 Berbeda dengan Pilkada Aceh 2006 ternyata pelaksanaan Pilkada Aceh 2012 sempat menga lami penundaan hingga empat kali. Seharusnya Pilkada Aceh dapat diselenggarakan pada tahun 2011, namun adanya perdebatan yang berkepan jangan tentang kehadiran calon independen telah mengakibatkan jadwal Pilkada Aceh bergeser. Sengketa Pilkada Aceh 2012 bermula dari pencalonan Irwandi Yusuf melalui jalur indepen den karena Partai Aceh tidak lagi mencalonkan dirinya sebagai calon gubernur Aceh periode 2012-2017. Untuk memperkuat pencalonan dirinya Irwandi Yusuf kemudian mengajukan gugatan ke MK. MK diharapkan akan mengkaji apakah ada celah dari Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki maupun Undang-Undang Pemerin tahan Aceh (UU PA) tentang keberadaan calon perseorangan dalam Pilkada Aceh 2012. Setelah melakukan kajian secara mendalam tentang gugatan Irwandi Yusuf, kemudian MK memutuskan mencabut pasal 259 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Peme rintahan Aceh serta memperbolehkan calon independen ikut berpartisipasi dalam Pilkada Aceh 2012, baik untuk pemilihan gubemur/wakil '’Tidak ada jaminan jika persoalan pilkada akan selesai dengan cepat bila dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi. Hasil pilkada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, ternyata terus berlarut-larut dan belum ada tanda-tanda penyelesaian sejak diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 2010. Kekisruhan pilkada tersebut semakin berlarut-larut ketika keputusan MK membatalkan keputusan KPUD Kotawaringin Barat yang telah menetapkan Wali kota dan wakil Wali kota terpilih. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada tanda-tanda penyelesaian pilkada tersebut walaupun tokoh-tokoh masyarakat Kotawaringin Barat sudah turun tangan.
gubernur Aceh maupun bupati/wali kota dan wakil bupati/wali kota. Keputusan MK tersebut mendapat tantangan keras dari Partai Aceh yang menguasai hampir separuh kursi di DPR Aceh.14 Muzakir Manaf, salah seorang petinggi Partai Aceh, mengatakan bahwa pencabutan pasal 256 UU PemerintahaitAceh merupakan peristiwa buruk yang kemungkinan terulang kembali dan inilah sebuah wujud tidak ada jaminan UndangUndang Pem erintahan Aceh sebagai dasar perdamaian Aceh akan berlanjut.15 Ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah, yang juga berasal dari Partai Aceh menyatakan menolak Pilkada Aceh karena kehadiran calon independen bertentangan dengan MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Partai Aceh yang menguasai parlemen (48%) tidak memasukkan klausul calon independen dalam Peraturan Daerah (Qanun) Pilkada Aceh. Sebagai akibatnya Qanun tersebut tidak dapat disahkan karena Pemerintah Provinsi Aceh yang notabene masih dipimpin Gubernur Irwandi Yusufjuga tidak sepakat. Kemudian Partai Aceh sebagai partai lokal terbesar memutuskan memboikot Pilkada Aceh 2012 dengan tidak mendaftarkan calon gubernur dan wakil gubernur sampai tutup masa pendaftaran calon peserta pilkada pada tanggal 7 Oktober 2011. Seandainya Partai Aceh benar-benar me nolak ikut berpartisipasi dalam pesta demokrasi (Pilkada) Aceh 2012 tentunya merupakan kerugian besar bagi investasi demokrasi lokal. Salah satu saham demokrasi Aceh adalah partai lokal yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya di Indonesia.16 Terjadi kekosongan demokrasi di Aceh jika sampai Partai Aceh menarik diri dari Pilkada 2012 karena mereka menguasai hampir separo dari DPR Aceh. Seyogianya, modal partai lokal tersebut dimanfaatkan secara maksimal 14 K eputusan MK No. 108/P H P U .D -X /2011, tanggal 2 November 2011. Khusus untuk calon perseorangan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa calon perseorangan ti dak bertentangan dengan UUD 1945 maupun MoU Helsinki. Mahkamah hakim mengutip butir 1.2.2, MoU Helsinki tentang “Political Participatiori', yaitu dengan penandatangan nota ke sepahaman, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan caloncalon untuk semua posisi pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan setelahnya. 15 Teuku Kamal Fasya, “Pilkada dan Lembaran Gelap De mokrasi Aceh", Kompas, 13 Oktober 2011 16/ b i t/.
28
oleh Partai Aceh untuk bertarung dalam Pilkada Aceh 2012 walaupun di dalamnya terdapat calon independen. Setelah mengalami penundaan beberapa kali, akhirnya ditemukan titik terang agar Partai Aceh dapat berpartisipasi dalam Pilkada Aceh 2012. Demi berlangsungnya Pilkada Aceh 2012 dengan damai, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi kemudian menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke MK terkait dengan penyelenggaraan Pilkada Aceh. Rencana se belumnya, pilkada tersebut akan dilaksanakan pada awal tahun 2012 dan ini tentunya menutup peluang Partai Aceh untuk ikut pesta demokrasi tersebut. Sebelum M endagri m enggugat KPU, sebenarnya kalangan Partai Aceh merasa cemas karena merasa akan tersisih dalam dalam Pilkada Aceh 2012. Hal ini mengingat KIP Aceh terus menjalankan tahapan pilkada dengan alasan waktu penyelenggaraan pilkada semakin sempit, walaupun Partai Aceh tidak ikut mendaftar. Adanya lobi-lobi politik, termasuk di dalamnya menjalin kerja sama dengan PDI-P, telah menun jukkan bahwa sebenarnya Partai Aceh tidak mau kehilangan muka dalam Pilkada Aceh 2012. Adanya teror di tingkat lokal telah menambah tekanan agar Partai Aceh diberi peluang untuk berpartisipasi dalam Pilkada Aceh 2012 dengan membuka kembali pendaftaran calon peserta pilkada. Dalam putusan selanya pada tanggal 16 Januari 2012, MK memerintahkan Komisi Inde penden Pemilihan (KIP) Aceh membuka kembali pendaftaran. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon guber nur dan wakil gubernur maupun bupati/wali kota dan wakil bupati/wali kota yang belum sempat mendaftar, baik yang diajukan oleh partai politik maupun melalui jalur perseorangan. Dalam keputusan sela tersebut, MK juga memutuskan Pilkada Aceh bisa ditunda selambat-lambatnya sampai tanggal 9 April 2012. Keputusan sela yang dikeluarkan MK tersebut disam but gem bira oleh berbagai kalangan di Aceh, khususnya pihak Partai Aceh. Partai Aceh yang semula berniat menolak kemudian memutuskan untuk ikut Pilkada Aceh 2012. Pada tanggal 20 Januari 2012, Partai
Aceh mendaftarkan pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf ke KIP Aceh sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Setelah ditutupnya pendaftaran oleh KIP Aceh, ada lima pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang terdaftar maju dalam Pilkada Aceh 2012, yang terdiri atas dua pasangan diusung oleh partai politik dan tiga pasangan melalui jalur independen. Strategi yang diterapkan Partai Aceh yang semula menolak pilkada diduga merupakan strategi mengulur waktu (buying time) untuk meraih simpati. Hal ini mengingat Partai Aceh merupakan partai pemenang pemilu legislatif yang menguasai mayoritas kursi di DPR Aceh. K alangan petinggi Partai Aceh menyadari sepenuhnya bahwa pem erintah pusat tidak mungkin meninggalkan apalagi menyingkirkan mereka untuk tidak berpartisipasi dalam Pilkada Aceh 2012. Seandainya Partai Aceh benar-benar tidak ikut Pilkada Aceh 2012, tentu Pemerintahan Provinsi Aceh akan banyak mengalami gangguan dan hambatan karena kursi DPR Aceh hampir separuh dikuasai oleh mantan anggota GAM yang dulunya berada di bawah komando Muzakir Manaf. Sebagai catatan bahwa kedua Pilkada Aceh khususnya untuk pemilihan gubernur yang dise lenggarakan pasca-MoU Helsinki berlangsung satu putaran. Pada saat Pilkada 2006, Irwandi Yusuf yang berpasangan dengan Muhammad Nazar yang ketika itu diusung Partai Aceh memenangkan pemilihan gubernur Aceh dengan jumlah suara sekitar 36%. Pada saat Pilkada 2012, ternyata pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf secara telak memenangkannya dengan jumlah suara sebesar 56%. Sementara pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan yang maju melalui jalur independen hanya meraih suara 29%. Jika diperhatikan perolehan suara pada pe milihan gubernur Aceh 2012 ternyata bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh ternyata hanya 9 kabupaten/kota yang dapat dimenangkan pasangan Irwandi dan Muhyan Yunan, yaitu Kota Langsa, Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Singkil, Kota Subulussalam, dan Banda Aceh. Hanya empat kabupaten/kota perolehan suara Irwandi dan Muhyan Yunan
29
yang cukup signifikan, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Singkil, Kota Subulussalam, dan Banda Aceh. Sementara itu, 14 kabupaten/kota lainnya dimenangkan pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf dengan rata-rata perolehan suara lebih dari dua kali lipat dari suara yang diperoleh pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan. Hampir seluruh kabupaten di pesisir pantai timur Aceh memilih pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Daerah tersebut secara tradisional merupakan daerah basis Partai Aceh karena merupakan daerah konflik yang banyak melahirkan para pimpinan GAM, seperti Muzakir Manaf. Bahkan perolehan suara pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie jumlahnya lima kali lipat daripada jumlah suara yang diperoleh pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan. Untuk pemilihan tingkat kabupaten dan kota ternyata karakteristiknya tidak berbeda dengan pemilihan gubernur. Calon-calon bupati yang diusung Partai Aceh unggul pada 11 kabupaten dari 18 daerah yang ikut Pilkada Aceh 2012. Data tersebut menunjukkan bahwa elektabilitas sekaligus eksistensi Partai Aceh masih sangat kuat di Aceh. Di antara 18 kabupaten dan kota yang ikut pilkada ternyata hanya tiga kabupaten yang menyelenggarakan pilkada putaran kedua, yaitu Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Barat Daya. Walaupun pemilihan gubernur Aceh 2012 berlangsung satu putaran dan dimenangkan secara telak oleh pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, namun penetapan pemenangnya mengalami penundaan karena digugat oleh Irwandi Yusuf ke MK. Berbagai alasan yang dikemukakan, antara lain Pilkada Aceh 2012 khususnya untuk pemilihan gubernur sarat dengan intimidasi dan teror. Walaupun sebagian bukti-bukti yang diajukan Irw andi Y usuf benar, namun gugatannya untuk membatalkan hasil Pilkada Aceh 2012 ditolak oleh MK. Hal ini mengingat bahwa MK hanya berwenang memeriksa sengketa perolehan suara dalam sebuah pilkada.
Dampak Pilkada 2012 Pilkada 2012 berbeda dengan Pilkada Aceh 2006 yang secara umum berlangsung secara damai tanpa insiden yang berarti. Walaupun sebenarnya Pilkada Aceh 2006 mengandung potensi konflik di antara sesama elite GAM, dan ini merupakan awal kekecewaan bagi elite GAM Swedia, namun perseteruan tersebut tidak sampai mencuat keluar. Dalam pelaksanaan Pilkada Aceh 2012, khususnya untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, diwarnai dengan berbagai kekerasan dan intimidasi yang kadang dilakukan secara ter buka. Adanya rivalitas di antara sesama mantan anggota GAM yang bersaing dalam Pilkada Aceh 2012 telah mengakibatkan suhu politik di Aceh meningkat. Irwandi Yusuf yang merasa dirinya tidak diusulkan lagi menjadi calon gubernur oleh Partai Aceh kemudian mencalonkan dirinya melalui jalur independen. Ketika mencalonkan diri, Irwandi Yusuf menyatakan bahwa hampir semua mantan pang lima wilayah GAM mendukungnya.17 Namun demikian, kondisi yang terjadi di lapangan terjadi tarik-menarik antara pihak Irwandi Yusuf dan Partai Aceh dalam memengaruhi massa, khususnya para mantan anggota GAM. Seperti diketahui dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan ternyata kalah telak. Walaupun sebelum nya hampir seluruh mantan panglima wilayah menyatakan mendukung Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan, namun dalam kenyataannya kalangan akar rumput tidak mendukung mereka. Selama berlangsungnya proses Pilkada Aceh 2012, khususnya untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, telah menimbulkan ketidak stabilan politik di wilayah yang baru jeda dari konflik tersebut. Berbagai tindak kekerasan, teror, dan intimidasi kembali marak di Aceh. Insiden penembakan berturut-turut terjadi mulai tanggal 31 Desember 2011 hingga 5 Januari 2012 yang menewaskan 10 orang warga sipil dan sebanyak 13 orang mengalami luka-luka. Bahkan salah seorang tim sukses Irwandi yang bernama Saiful alias Cagee tewas ditembak oleh orang yang tidak dikenal.18 17 Serambi Indonesia, “Irwandi Konsolidasi Dengan Mantan Kombatan GAM Aceh Besar”, 13 Februari 2011. ltIbid.
30
Kekerasan juga terjadi terhadap warga pendatang dengan adanya penembakan oleh orang-orang tidak dikenal. Oleh karena itu, banyak pendatang dari daerah-daerah tertentu eksodus meninggalkan Aceh. Memperhatikan kekerasan yang terjadi pada saat Pilkada Aceh 2012, kiranya hampir menyerupai kekerasan ketika terjadinya konflik Aceh antara tahun 1976-2005. Salah satu karakteristiknya adalah banyak warga pendatang yang menjadi korban. Karakteristik lainnya ialah adanya penggergajian menara-menara listrik. Dengan adanya kesamaan karakteristik kekerasan pada saat Pilkada Aceh 2012 dan konflik masa yang lalu tentu diduga pelakunya juga tidak jauh berbeda. Meningkatnya tindak kekerasan di Aceh, Joko Suyanto selaku Menko Polhukam me nyatakan berkali-kali bahwa tindak kekerasan tersebut berkaitan dengan pilkada. Dikhawatirkan konflik tersebut menjadi konflik terbuka antara para pendukung Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh, yang notabene di bawah kendali Muzakir Manaf yang dulunya pernah menjadi Panglima GAM. Jika ini yang terjadi akan mengulang lem baran kelam sejarah Aceh karena pada awal-awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia pernah terjadi perang saudara di Aceh. Perang tersebut dikenal dengan peristiwa “Cumbok”. Pada saat itu, terjadi perseteruan antara Uleebalang (kaum bangsawan) dangan para ulama, khususnya kaum ulama muda yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Perang Cumbok terjadi karena adanya perbe daan persepsi antara kaum ulama dan Uleebalang tentang Proklamasi Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Bagi kaum ulama memaknai proklam asi merupakan sebuah momentum berakhirnya berbagai kezaliman khususnya di Aceh dari penjajahan Belanda dan Jepang. Sementara itu, pihak Uleebalang melihat larinya Jepang harus segera diganti dengan Belanda dengan maksud untuk memulihkan kekuasaan tradisionalnya. Perang Cumbok merupakan konflik di antara sesama masyarakat Aceh, tetapi sangat brutal. Perang tersebut merupakan lembaran hitam yang tidak terlupakan bagi para korban. Prof. Teuku Ibrahim Alfian, seorang sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan
dalam peristiwa perang Cumbok banyak sekali keluarganya yang menjadi korban dan hingga kini kuburan mereka tidak diketahuinya. Namun Siegel menjelaskan bahwa Perang Cumbok tidak bisa dilepaskan dari konteks tatanan sosial masyarakat Aceh ketika itu. Tatanan tersebut tanpa disadari masyarakat bahwa Aceh dibangun untuk kepentingan Belanda.19 Apakah lem baran kelam yang pernah terjadi di masa lalu akan terulang kembali di Aceh pascaPilkada 2012? Hal ini mengingat tipologi perseteruan Irwandi Yusuf dan Partai Aceh hampir mirip dengan penyebab pecahnya Perang Cumbok yaitu karena adanya perbedaan persepsi dan interpretasi dalam menafsirkan MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Konflik terbuka di antara sesama mantan pemimpin GAM kemungkinan terjadi sangat kecil, terlebih hingga melibatkan para mantan anggotanya pada akar rumput. Pertama, mereka pernah bersama-sama berjuang melalui kekuatan bersenjata hingga terwujudnya perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki. Kedua, Pemerintah Pusat harus tetap menjaga perdamaian Aceh karena untuk menjaga citra di mata dunia internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang berhasil mewujudkan perdamaian tanpa kekerasan. Van Dijk20menjelaskan bahwa akhir penye lesaian konflik di Aceh sangat berbeda dengan penyelesaian konflik di daerah lain. Penyelesaian pemberontakan Darul Islam di Aceh berakhir dengan klimaks mengingat Daud Beureueh selaku pimpinan pemberontakan, turun gunung secara sukarela dan terhormat, kemudian diampuni. Demikian pula setelah penandatanganan MoU Helsinki, semua anggota GAM, baik yang ada di penjara maupun di hutan kembali ke pangkuan ibu pertiwi tanpa ada yang dihukum. Sementara pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan Makassar berakhir setelah pimpinannya tewas ditembak pasukan TNI. Namun, kiranya perlu dipikirkan sebuah re solusi konflik yang bersifat rekonsiliasi, terutama untuk menjembatani perbedaan persepsi antara |fl T. James Siegel, The Rope o f God, (California: University of California, 1962). 211C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: Grafity Press, 1988).
31
kelompok Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf setelah Pilkada Aceh 2012. Apalagi pada saat pelantikan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai gubernur dan wakil gubernur sempat terjadi pemukulan terhadap Irwandi Yusuf oleh anggota Partai Aceh.21 Pemukulan tersebut telah mengakibatkan konflik antara Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf semakin bertambah besar. Tidak lama setelah Pilkada Aceh 2012 selesai, Irwandi Yusuf mendirikan Partai Nasional Aceh (PNA) sebagai kendaraan politiknya.22 Kehadiran PNA sebagai partai lokal kedua di Aceh tentunya akan meramaikan persaingan perebutan kursi di DPR Aceh antara kubu Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf pada Pemilu 2014 yang akan datang. Perlu diperhatikan pula bahwa hasil rekapi tulasi KIP Aceh di beberapa daerah putih ternyata mayoritas masyarakatnya memilih pasangan Irwandi Yusuf dan Muhyan Yunan. Daerah putih tersebut terdiri atas Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, dan Subulussalam. Kelima daerah tersebut se lama ini dikenal merupakan daerah yang selalu memperj uangkan berdirinya Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara). Adanya gagasan pembentukan Provinsi ALA sangat mengganggu para elite Aceh yang menguasai Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh dengan segala upaya menentang pembentukan Provinsi ALA. Bahkan dalam MoU Helsinki terlihat adanya usaha membendung pembentukan Provinsi ALA dengan menyebutkan bahwa perbatasan Aceh kembali pada perbatasan tahun 1956.23 Sentimen-sentimen Pilkada Aceh 2012 dikhawatirkan berdampak pula terhadap kebi jakan anggaran dan sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan oleh Pemda Aceh. Kemungkinan daerah-daerah yang tidak memilih pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir M anaf dalam Pilkada Aceh 2012 akan mengalami pemotongan anggaran secara signifikan. Demikian pula dana otonomi khusus (otsus) yang selama ini mengalir kemungkinan dikurangi jumlahnya atau dihentikan dengan berbagai alasan. Selanjutnya, 21 Kompas.com, 26 Juni 2012, diakses 28 Juni 2012. 22Ibid. 23 Ibid
32
dari segi SDM kemungkinan orang-orang yang berasal dari daerah AL A tidak diberikan peluang untuk menduduki jabatan penting di Pemerintah Provinsi Aceh. Jika kebijakan anggaran dan SDM yang disusun Pemerintah Provinsi Aceh bersifat diskrim inatif karena masalah Pilkada Aceh 2012, kemungkinan isu pembentukan provinsi baru di Aceh akan semakin kuat. Jika kebijakankebijakan yang tidak populer tersebut tetap dijalankan, dikhawatirkan akan mempercepat lahirnya provinsi ALA. Apalagi para peng gagas ALA dan ABAS bersatu membuat sebuah grand design yang dapat menyatukan kedua daerah tersebut menjadi sebuah provinsi baru di Aceh. Penggabungan ALA dan ABAS menjadi nilai tawar yang tinggi dengan pemerintah pusat karena kedua daerah tersebut mempunyai SDM yang memadai dan sumber daya yang berlimpah sebagai modal pembentukan sebuah provinsi baru di Aceh. Memperhatikan berbagai fenomena yang terjadi di Aceh pasca-Pilkada tahun 2006 dan 2012 kiranya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dikaji. Pertama, masa depan integrasi politik dan kewilayahan Aceh. Kedua, eksistensi politik lokal lima tahun ke depan. Ketiga, hubungan antara provinsi dan kabupaten-kabupaten. Pemerintah Daerah Aceh berkewajiban menjaga integrasi politik dengan jalan merangkul semua elemen masyarakat agar bersama-sama membangun Aceh. Jangan sampai ada sekelompok masyarakat yang merasa tersingkirkan. Selain itu, mengingat pula apa yang di sampaikan Teuku Kemal Fasya bahwa salah satu saham demokrasi Aceh adalah partai lokal yang tidak dimiliki daerah lain.24 Partai lokal tersebut seyogianya secara terus-menerus ditumbuh kembangkan agar iklim demokrasi semakin berkembang di Aceh. Selanjutnya, Pemerintah Daerah Aceh jangan sekali-kali menjalankan roda pemerintahan dengan sistem “Aceh Centris”. A rtinya, orang-orang yang direkrut untuk menduduki jabatan birokrasi di provinsi harus memperhatikan aspek keterwakilan, khususnya dari berbagai suku non-Aceh, seperti Suku Gayo, Alas, Singkil, dan Simeulue. 24Teuku Kemal Fasya, Op.Cit., "Pilkada...”.
Penutup Setelah penandatanganan MoU Helsinki, telah diselenggarakan dua kali pilkada di Aceh, yakni Pilkada 2006 dan Pilkada 2012. Kedua pilkada tersebut relatif berlangsung damai walaupun dalam penyelenggaraannya diwarnai dengan berbagai tindakan intimidasi dan teror. Artinya, berbagai gangguan tersebut tidak sampai meng gagalkan pilkada. Semuanya merupakan proses yang cukup wajar pada masa transisi masyarakat Aceh menuju kehidupan demokrasi yang lebih baik. Ada dua faktor yang menyebabkan pe nyelenggaraan Pilkada Aceh (2006 dan 2012) berjalan dengan damai. Pertama, masyarakat Aceh sudah lelah dengan konflik sehingga mere ka bahu membahu mengamankan pilkada jangan sampai ada gangguan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kedua, masing-masing kelompok yang bersaing dalam Pilkada Aceh 2012 menyadari sekali bahwa mereka tidak akan menciderai MoU Helsinki yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh. Dinamika perpolitikan Aceh untuk lima tahun ke depan bakal semakin menarik dan keras. Seperti diketahui Pemilu 2014 sudah semakin dekat dan menjadi ajang perebutan pengaruh, terutama bagi partai lokal. Hampir dapat dipastikan dua partai lokal yang sama-sama mempunyai basis kombatan GAM, yaitu Partai Aceh dan Partai Nasional Aceh bentukan Irwandi Yusuf akan bertarung memperebutkan kursi di DPR Aceh. Dengan adanya dominasi dua partai lokal tersebut diperkirakan suara partai nasional semakin kecil di Aceh pada pemilu 2014 yang akan datang. Hasil pemilu 2014 menjadi barometer bagi Pilkada Aceh pada tahun 2017. Artinya, siapa yang menguasai DPR Aceh pada pemilu 2014 maka merekalah yang unggul pada Pilkada tahun 2017. Diperkirakan situasi dan kondisi pelaksa naan pemilu 2014 akan berbeda dengan Pilkada Aceh 2012. Pemilu 2014 akan berlangsung dengan keras karena dua partai lokal berbasis GAM tidak mau kehilangan muka. Kemungkinan intimidasi dan teror akan marak lagi di Aceh menjelang pemilu 2014. Setelah memperhatikan berbagai persoalan yang muncul pada saat berlangsungnya Pilkada
Aceh Tahun 2012, perlu didesain sebuah resolusi konflik. Hal ini dimaksudkan untuk meredam dan meredusir potensi konflik di antara masingmasing kelompok yang pernah bersaing dalam Pilkada Aceh 2012, terutama pada akar rumput. Hal ini mengingat pemilu 2014 sudah dekat, tentu pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkada Aceh 2012 akan bertarung kembali. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan resolusi konflik yang perlu dilakukan, antara lain: (i) saling meng hormati antara pihak yang menang dan kalah dalam Pilkada 2012; (ii) menumbuhkan rasa ke bersamaan antarkelompok masyarakat, terutama bagi kelompok-kelompok yang pernah bersaing dalam pilkada untuk bersama-sama membangun Aceh; (iii) Tidak melakukan diskriminasi dalam kebijakan anggaran pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya, terutama kepada daerah-daerah yang dianggap tidak berpihak kepada calon yang menang dalam Pilkada Aceh 2012; (iv) merekrut tenaga-tenaga SDM yang berkualitas secara proporsional dari semua kabupaten/kota untuk duduk dalam birokrasi Pemerintahan Provinsi Aceh untuk bersama-sama memikirkan masa depan Aceh.
Daftar Pustaka A. Buku Fasya, Teuku Kemal. “Pilkada dan Lembah Gelap Demokrasi Aceh”. Kompas, 13 Oktober 2011. Hurguronje, Snouck. 1906. The Achenese. Leiden: Late E.J. Brill, Vol. II. Naim, Muchtar. 1973. Merantau; Minangkabau Voluntary Migration. Disertasi. Singapura: De partment of Sociology, University of Singapore. __. 1976. “M igration M agnitute o f the Minangkabau a n d other Ethnic Groups in Indonesia. Some Stastical Estimate”. Berita Anthropologi. 8 (27), 18-45. Nurhasim, Moch. dkk. 2003. Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik. Aktor Konflik, Ke pentingan dan Upaya Penyelesaian. Jakarta; LIPI. _______ . 2004. Negara dan Masyarakat dalam Kon flik Aceh: Studi tentang Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Penyelesaian Konflik Aceh. Jakarta: LIPI. _______ . 2004. “Pemilu Legislatif 2004 di Aceh: Antara Intimidasi, Partisipasi, dan Mobilisasi Politik”, Jurnal Penelitian Politik, Vol. 1, No. 1.
33
Pemerintah Provinsi Aceh. 2012. Hasil Sementara Rekap Hitung Suara Pemilihan Calon Gu bernur dan Wakil Gubernur Aceh 2012-2017. Banda Aceh: KIP Aceh. Piekar, A.J. 1949. Atjeh en de Oorlog met Japan. S’Grevenhage: Van Hoeve. Siegel, T. James. 1962. The Rope o f God. California: University of California. Sulaiman, Muhammad Isa. 2000. GAM; Idiologi dan Gerakannya. Jakarta: Grasindo. Thung, Ju Lan, dkk. 2006. Penyelesaian Konflik Aceh: Aceh dalam Proses Rekonstruksi dan Rekon siliasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-LIPI. Usman Hasan. “Konflik yang Multidimensional dan Penyelesaiannya Secara Damai”, dalam Musni Umar (Ed.). 2002. Aceh Win-Win Solution. Jakarta: Penerbit Forum Kampus Kuning. Van Dijk, C. 1988. Darul Islam: Sebuah Pemberon takan. Jakarta: Grafity Press.
34
Wawer, Wendelin. 1974. Muslime und Christen in der Republik Indonesien. Wiesbaden: Frans Steiner Verlag. Zentgraaf, H.C. 1937. Atjeh. Batavia B. Majalah dan Koran Kompas, 24 Februari 2011. Kompas, 2 Juli 2012. Kompas. 24 Juli 2012 Kompas, 19 Juli 2012. Serambi Indonesia, 13 Februari 2011. Serambi Indonesia, 26 Maret 2012. Serambi Indonesia, 3 April 2012. Serambi Indonesia, 24 April 2012.
DOMINASI PARTAI ACEH PASCA-MoU HELSINKI Moch. Nurhasim Abstract Mo UHelsinki has opened the Pandora ’s box of conflict inAceh. The resolution ofconflicts through thepolitical and economic designs, and integration, has brought significant changes into the political constellation in Aceh, especially after GAM established the Aceh Party. Aceh Party ’s dominance has not only beaten the other localparties, but at the same time has beaten the national parties. Changes in the political constellation in Aceh will carry important implications, especially for the future ofpeace in Aceh. GAM existence embodied by the dominance of the Aceh Party and the Aceh Transitional Committee will certainly be an important factor, because some of those who had taken up arms and are now in power, and has taken economic benefit will surely rethink if they want to revive the GAM ideology in the past. This article States and concludes that conflict in Aceh has already denounced by with the second time winning by GAM candidate in governor ’s election. Keywords: Local party, the aceh party, the political constelation.the existence o f GAM Abstrak MoU Helsinki telah membuka kotak pandora konflik di Aceh. Penyelesaian konflik melalui desain politik, ekonomi, dan integrasi, membawa perubahan yang signifikan dalam konstelasi politik di Aceh, khususnya setelah GAM mendirikan Partai Aceh. Dominasi Partai Aceh tidak saja mengalahkan partai-partai lokal lainnya, tetapi juga sekaligus mengalahkan partai-partai nasional. Perubahan konstelasi politik di Aceh akan membawa implikasi yang penting, khususnya bagi masa depan perdamaian di Aceh. Eksistensi GAM yang diwujudkan oleh dominasi Partai Aceh dan Komite Peralihan Aceh tentu akan menjadi faktor penting. Sebagian mereka yang pernah mengangkat senjata dan kini berkuasa serta memperoleh keuntungan dari segi ekonomi, tentu akan berpikir ulang jika ingin menghidupkan kembali ideologi GAM masa lalu. Artikel ini sekaligus memberikan kesimpulan bahwa konflik Aceh sesungguhnya sudah usai dengan terpilihnya dua kali Gubernur Aceh dari pihak GAM.
Kata kunci: Partai lokal, Partai Aceh, konstelasi politik, eksistensi GAM.
Pendahuluan Tulisan ini hendak membahas satu perkembangan penting dalam sejarah hubungan antara Indonesia dengan Aceh. Sebuah gambaran tentang mengapa dan untuk apa pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) meminta diperbolehkannya mendirikan partai lokal serta ketidakbersediaan untuk mem bentuk partai nasional berbasis Aceh seperti yang ditawarkan oleh delegasi RI dalam perundingan Helsinki. Alasan-alasan pihak GAM dan harapan mereka akan berkiprah dalam politik di Aceh, merupakan salah satu butir paling penting untuk mempercepat penyelesaian konflik Aceh yang sudah berlangsung sejak 1976. Keotentikan sekaligus kecerdasan dari para juru runding GAM dalam memilih strategi serta kepekaan masyarakat Aceh yang terus
mendukung partai dan calon yang diusung oleh GAM memperlihatkan bahwa masyarakat Aceh menghendaki agar konflik Aceh tidak terulang kembali.
Tarik Ulur Partai Lokal di Meja Perundingan Helsinki Partai Aceh (PA) adalah anak kandung sejarah yang lahir akibat konflik antara Indonesia-Aceh sejak 1976. Penyelesaian konflik melalui Memorandum ofUnderstanding (MoU) Helsinki 2005 telah membuka peluang berdirinya partai lokal di Aceh. Formula itu awalnya diterapkan untuk penyelesaian masalah Papua, namun justru di Papua tidak dapat berjalan sesuai dengan skenario. Dalam kasus Aceh, permintaan adanya partai lokal datang dari juru runding pihak GAM.
35
Awalnya, delegasi pemerintah Republik Indonesia (RI) tidak memikirkan alternatif untuk memberi partai lokal, tetapi partai nasional berbasis lokal. Dalam kesempatan itu, sejumlah partai politik nasional pendukung SBY-JK menjanjikan akan memberikan 1.000 anggota di setiap provinsi agar GAM dapat mendirikan sebuah partai nasional berbasis lokal di Aceh. Namun, gagasan itu ditolak oleh para juru run ding GAM. Mereka justru menghendaki adanya partai lokal bukan partai nasional. Grand design ini pemah disebut oleh Damien Kingsbury dalam bukunya.1
dianggap sebagai refleksi kontrol yang tersen tralisasi. Zaini Abdullah, salah seorang petinggi GAM yang kini menjadi Gubernur Aceh, pada waktu itu mengatakan, “Pembentukan partai lokal merupakan hak politik GAM dan hak dasar warga Aceh. Selama konflik, hak politik bangsa Aceh telah dinafikkan. Partai lokal adalah wadah bagi semua masyarakat Aceh untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Jika partai lokal terbentuk, tidak tertutup kemungkinan para pimpinan GAM yang kini bermukim di Swedia pulang ke Aceh. Kami lebih senang pulang daripada hidup di negeri orang terlalu lama.”5
Dari segi skenario yang telah disiapkan oleh pihak GAM, munculnya gagasan partai lokal tidak term asuk dalam skenario yang disiapkan oleh Nurdin Abdurrahman dan Damien Kingsbury. Pihak GAM menyiapkan skenario A, B, dan C. Skenario A adalah security arrangements, International monitors, acceptingfurther talks o f self-government. Skenario B adalah security arrangements, international monitors, with political agreement on self-government. Dan skenario C adalah security arrangements, international monitors, with political agreement on self-government in practice dan skenario tera khir (D) adalah exit strategy? Keempat skenario tersebut, tidak memasukkan kerangka partai lokal sebagai salah satu agenda alternatif.
Tak pelak, persoalan partai lokal di Aceh menjadi salah satu isu krusial dalam perundingan Helsinki. Hal itu disebabkan delegasi Pemerintah Pusat kesulitan untuk memberikan persetujuan; terhadang oleh peraturan UU No. 12/2003 tentang Partai Politik yang tidak mengatur masalah partai lokal. Ketegangan sempat memuncak, ketika Sofjan Djalil menyatakan bahwa pihak GAM tidak boleh turut serta dalam pemilu sebagai partai lokal. Ketegangan ini berkaitan dengan penafsiran UU Pemilu di Indonesia yang memang tidak pemah mengatur mengenai pemilu lokal dan partai lokal.
Karena itu, partai politik lokal di Aceh adalah sebuah hasil kompromi di meja perun dingan. Pembentukan partai politik lokal adalah solusi demokratis dan praktis. Alasan, sejarah sudah m em buktikan bahwa m asalah Aceh tidak dapat diselesaikan secara militer.123 Damien Kingsbury dalam sebuah kesempatan di Majalah Tempo mengatakan, “Pihak Indonesia sedang menimbang tawaran GAM, khususnya mengenai struktur politik, aturan baru dalam pemilu lokal, termasuk ide tentang partai lokal.”4Alasan pihak GAM pada waktu itu adalah agar solusi penyele saian Aceh terjadi secara demokratis. Sementara dalam pandangan Kingsbury, keberadaan partai 1Lihat Damien Kingbury, Peace in Aceh a Personal Account o f the Helsinki Peace Process, (Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2005), hlm. 35-37.
Secara jelas tersirat bahwa keinginan para petinggi GAM meminta partai lokal di Aceh agar mereka dapat berkiprah dalam politik dan pemerintahan. Formula demikian, sesungguhnya merupakan bentuk dari peletakan demokrasi sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik yang berlarut-larut. Gagasan partai lokal jelas dimaksudkan oleh pihak GAM sebagai landasan sekaligus instrumen bagi mereka untuk terlibat dalam politik dan pemerintahan di Aceh. Dalam bahasa mereka, keberadaan partai lokal adalah sarana perwujudan implementasi dari selfgovernment yang mereka tuntut. Berkaitan pula dengan partai lokal sebagai bentuk selfgovernment yang dituntut oleh pihak GAM, pihak GAM juga meminta adanya hak veto anggota parlemen Aceh dalam mengambil keputusan bagi wilayah Provinsi Aceh.6 Dalam konteks teori konflik, tuntutan partai lokal berupa self-government dan hak
2Ibid. 3 Gatra, Nomor 37, 25 Juli 2005.
5Ibid.
4Majalah Tempo, edisi 08/XXXIV/18-24 April 2005.
6Ibid.
36
veto oleh pihak GAM adalah sebuah side paym ents. Pandangan yang senada dengan pendapat -Lewis A. Coser menyatakan bahwa sebuah upaya penyelesaian konflik dapat pula dilakukan dengan memberikan bayaran tambahan (side payments).1 Salah seorang juru runding GAM yang pemah ditemui oleh penulis di Aceh menjelaskan bahwa biaya tambahan itu berkaitan dengan GAM tidak lagi menuntut kemerdekaan (self-determination). Sebagai kompensasinya, mereka menuntut terlibat dalam proses de mokrasi. Model demikian dianut dalam teori integrasi politik yang mengaitkannya dengan demokrasi. Pandangan ini menyebutkan bahwa penyelesaian konflik dan integrasi mustahil dapat diwujudkan bila tidak dibarengi dengan sistem demokrasi dan aktor-aktor yang memegang teguh nilai-nilai demokrasi sebagai pedoman bertindak. Perspektif ini menjelaskan bahwa konflik hanya dapat diselesaikan oleh mekanisme demokrasi atau lahir dari sebuah sistem demokrasi.8 Pihak GAM sebenarnya menyadari bahwa kerangka besar yang mereka kehendaki adalah terlibat dalam politik dan pemerintahan di Aceh. Gagasan itu akhirnya yang dapat mengubah tun tutan self-determination menjadi self-government sehingga desentralisasi pem erintahan akan memberikan prospek baru bagi mereka yang mengangkat senjata, untuk bertransformasi dalam bentuk perjuangan baru yang dapat disebut sebagai partai politik, dan pemerintahan Aceh. Kerangka ini sesuai dengan formula penyelesaian yang dianut oleh MoU Helsinki yang menganut pola decommissioning, demobilization, and reintegration (DDR) dalam menyelesaikan konflik Aceh melalui perundingan. Salah satu tahapan penting dalam meletak kan demokrasi sebagai salah satu kerangka untuk menyelesaikan konflik Aceh ditentukan sejak putaran kedua hingga putaran ketiga pada 12-16 April 2005. Tahapan ini merupakan bagian penting atas terjadinya transformasi politik GAM. Transformasi itu tampak dari sejumlah kesepakatan tentang kerangka dari struktur 7Lewis A. Coser, The Function ofSocial Conflict. (New York: Free Press, 1956), hlm. 157-161. 8Brian Gormally, Conversion from War to Peace: Reintegra tion o f Ex-Prisoners in Nothern Ireland, (Bonn: BICC, 2001), hlm. 11.
administratif Aceh dan partisipasi lokal dalam pemilu. Kesepakatan tentang partai politik lokal ini dilanjutkan pada perundingan keempat pada 26-31 Mei 2005. Salah satu masalah yang terus dinegosiasikan bahwa pihak GAM tidak mungkin dapat terlibat dalam pemerintahan Aceh tanpa adanya suatu partai politik. Menurut Malik Mahmud, partai lokal bagi GAM adalah suatu yang mendasar. Malik Mahmud mengatakan pada Majalah Tempo, bahwa: “ ...Sejak berada di dalam Republik Indonesia, rakyat Aceh selalu kecewa. Sebabnya, pemerin tahan yang pemah berdiri di Aceh tidak betulbetul mewakili aspirasi yang berkembang di ma syarakat. Dengan pengalaman itu, dalam upaya penyelesaian masalah Aceh, GAM menuntut agar rakyat Aceh punya partai politiknya sen diri yang sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh..
Tidaklah heran pihak GAM khawatir dengan sikap Pemerintah RI yang belum sepenuhnya memenuhi tuntutan pemerintahan sendiri dan partai lokal tersebut. Padahal, pihak GAM telah mengubah tuntutannya dari merdeka menjadi pemerintahan sendiri. Pihak GAM mengatakan bahwa Pemerintah RI secara tegas menolak keinginan GAM untuk m em bentuk partai lokal.910*Hal ini disampaikan oleh Nur Dzuli kepada Agence France-Presse (AFP) sebelum perundingan putaran keempat hari ketiga bera khir.11 Karena sikap Pemerintah RI yang masih cenderung tidak mengabulkan tuntutan GAM, akhirnya pembahasan sempat terhenti hampir tiga jam dan terancam bubar. Agenda pembentukan partai lokal di Aceh memang tidak ada dalam skenario para juru runding RI, termasuk Pemerintah RI. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Widodo A.S. menegaskan bahwa pemerintah menolak pendirian partai politik lokal di Aceh. “Partai lokal tidak bisa diakomodasi dengan undangundang yang mengatur partai politik di seluruh Tanah Air,” tuturnya.12
9Lihat wawancara Malik Mahmud dengan Majalah Tempo, edisi 22/XXXlV/25-31 Juli 2005. 10 Tempointeraktif.com, diakses pada 14 Juli 2005. "Ibid. 12Ibid.
37
Pembicaraan mengenai partai lokal ini telah menyebabkan perdebatan sengit antara pihak GAM dan RI bahkan mengancam perundingan putaran kelima bubar. Menurut laporan majalah Tempo, terjadi perdebatan yang sangat tegang mengenai isu partai lokal ini, bahkan perundingan sempat macet dan ditunda hingga tiga jam. “... .Debat yang tegang pun sempat terjadi pada dialog putaran kelima itu. Sumber Tempo yang menyaksikan perundingan itu mengatakan soal partai lokal membuat dialog macet hampir tiga jam. Padahal, Sabtu pekan lalu adalah hari tera khir dialog putaran kelima. Delegasi Indonesia mengusulkan partai lokal adalah partai nasional yang berbasis di Aceh. Sementara GAM me minta kata-kata “berbasis nasional” dihilang kan. Akibatnya, dialog macet sampai tengah hari sehingga sang penengah Martti Ahtisaari turun tangan....”13 Pihak Pemerintah RI tidak langsung dapat mengabulkan permohonan partai lokal dari pihak GAM karena yang disetujui oleh pemerintah adalah partisipasi politik, sementara pihak GAM menuntut partai lokal. “... .GAM menuntut hak mendirikan partai lokal bagi setiap warga Aceh bisa segera dimasukkan dalam butir perjanjian. Tapi utusan pemerin tah tak bisa segera mengabulkannya. Delegasi Indonesia juga tak bisa ambil keputusan tegas. Soalnya, untuk menampung partai lokal itu harus mengubah undang-undang politik nasi onal. Artinya, keputusan partai lokal bagi Aceh harus dengan persetujuan DPR RI. Karena itu, delegasi Indonesia tak berani mematok kepu tusan di Helsinki. ‘Kita hanya menjelajahi ke mungkinan bahwa partai lokal itu secara prin sip masih mungkin’, ujar pemimpin delegasi Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin...”14 Oleh karena itu, wajar apabila pihak GAM sejak putaran ketiga, keempat, dan kelima me nyangsikan komitmen Pemerintah RI mengenai masalah partai lokal. Keinginan GAM untuk membawa perdamaian di Aceh melalui kerangka demokrasi juga tampak dari butir-butir pertemuan GAM dengan masyarakat Aceh yang diseleng garakan dua hari menjelang putaran terakhir perundingan. Pernyataan yang dirilis oleh pihak 13Majalah Tempo, edisi 22/XXXIV/25-31 Juli 2005. "Ibid.
38
GAM pada 10 Juli 2005, dua hari menjelang pertemuan Helsinki Juli 2003 (pertemuan ketiga) sebagai berikut:15 1.
2.
3.
4.
5.
6.
GAM dengan senang hati mengumumkan kesimpulan yang sukses dari pertemuan kedua dengan wakil kelompok masyarakat sipil Aceh. Pertemuan bersejarah kedua di Lidingo, Swedia, pada 9 dan 10 Juli 2005 telah di fasilitasi dengan bantuan dari Olof Palme International Center. GAM terbuka terhadap kesempatan tukar pendapat dengan kelompok masyarakat sipil Aceh dalam proses dialog damai di Helsinki dan mendiskusikan dengan me reka tentang prospek perdamaian di Aceh. Sebagaimana halnya pertemuan dengan kelompok masyarakat sipil sebelumnya, GAM telah disokong melalui dukungan yang ditunjukkan oleh perwakilan warga sipil Aceh untuk melakukan proses damai di Helsinki. Baik GAM maupun kelompok masyarakat sipil Aceh percaya bahwa satu-satunya ja lan untuk sebuah perdamaian yang menye luruh dan langgeng adalah melalui perjan jian negosiasi yang memberikan rakyat Aceh hak dan kemampuan untuk menen tukan urusan-urusan mereka sendiri dalam konteks Republik Indonesia. Sementara GAM dan kelompok masyara kat sipil Aceh meneguhkan kembali komit men mereka untuk menerima proses damai melalui dialog dan merasa prihatin karena masih dilanjutkannya aktivitas militer di Aceh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kelompok oposisi yang menen tang proses damai yang tak lain adalah politisi oportunis di Jakarta. Dalam pertemuan dengan kelompok masyarakat sipil Aceh, GAM lagi-lagi menunjukkan komitmen untuk menerima negosiasi damai sepanjang menghasilkan
1! Pernyataan ini sebenarnya bukan pernyataan khusus, melain kan menjadi bagian dari keterangan pers GAM tentang hasil pertemuan kedua antara pihak elit politik GAM di pengasingan dengan sejumlah elemen masyarakat sipil. Pertemuan itu sendiri dilangsungkan di Lidingo, Swedia pada 9 dan 10 Juli 2005 yang difasilitasi oleh lembaga internasional Olof Palme International Center, Stockholm.
sebuah hasil yang demokratis di Aceh, ter masuk terbentuknya partai politik lokal di bawah sebuah sistem pemerintahan sendiri. Keinginan GAM untuk tetap memperta hankan partai politik lokal senada dengan yang disampaikan oleh juru bicara GAM, Zaini Abdullah, “Kalau tak ada partai lokal, tidak akan ada perubahan politik.”16 Dengan alasan itulah, GAM tetap mempertahankan tuntutannya karena bagi mereka bila rakyat Aceh pada umumnya dan khususnya mantan anggota GAM tidak dapat membentuk partai politik lokal sebagai sarana untuk transformasi perjuangan dari senjata ke politik maka tentulah konsep self-government yang ditawarkan oleh GAM tidak memiliki arti signifikan dan GAM kembali akan menjadi kelompok kekuatan strategis pasca-MoU yang terpinggirkan. Karena itulah, inti dari self-government adalah partai politik lokal yang akan menjadi instrum en bagi GAM untuk terjun dalam dunia politik, khususnya dalam pemilu lokal dan pemilihan kepala daerah secara langsung di Aceh. Bagi GAM sebagaimana disebutkan oleh Malik Mahmud maupun Bakhtiar Abdullah serta Damien, tanpa ada partai politik lokal yang menjadi wadah eks-GAM tentu GAM akan sulit mengharapkan ada perubahan politik secara mendasar di Aceh. Selain itu, self-government juga berkaitan dengan pembagian (sharing) sumber-sumber ekonomi yang menguntungkan masyarakat Aceh; secara politik ditentukan oleh Pemerintahan Aceh sehingga Pemerintah Pusat harus mengkonsultasikan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan persetujuan internasional, kebijakan administratif, utang luar negeri, pene tapan bunga bank serta masalah pengangkatan jaksa dan Kapolda.
kepada Presiden dan Wapres, khususnya yang menyangkut isu kritis dan sensitif.17Dampaknya, ketika GAM menghendaki partai lokal, para juru runding tidak dapat memutuskannya. Karena kelanjutan perundingan diujung tanduk, akhirnya Wakil Presiden Jusuf Kalla mengabulkan permohonan pihak GAM. Kepu tusan ini diambil setelah Hamid Awaluddin menelepon Jusuf Kalla pada saat terjadi lobi antara Nur Dzuli dangan Hamid dengan tujuan agar ada kejelasan tentang partai politik lokal di Aceh dan perundingan yang tinggal selangkah tidak sia-sia. Versi GAM memiliki cerita yang lain, bahwa yang melakukan komunikasi dari hati ke hati an tara GAM dengan Indonesia adalah antara Nurdin dengan Sofyan Djalil. Pendekatan yang ditempuh adalah sebagai orang Aceh, untuk menuntaskan persoalan partai politik yang diminta oleh GAM. Sofyan Djalil akhirnya melakukan komunikasi dengan Wapres Jusuf Kalla dengan mengatakan apabila GAM tidak diberi partai lokal maka perundingan akan bubar. Demokrasi lokal yang diyakini oleh pihak GAM dapat menciptakan perubahan politik secara cepat sebagai strategi transform asi kekuatan bersenjata menjadi kekuatan politik adalah inti dari mode integrasi yang dibangun oleh CMI dan GAM. Dalam konteks ini, integrasi adalah proses percepatan kekuatan bersenjata yang memberontak untuk menjadi bagian dalam sistem politik dan struktur pemerintahan di Aceh.
Sebelum Hamid memutuskan untuk meng akomodasi masalah pembentukan partai politik tersebut, terlebih dahulu harus berkonsultasi de ngan Presiden dan Wakil Presiden. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, sebelum para juru runding RI berangkat ke Helsinki, mereka telah diwanti-wanti oleh Presiden dan Wapres bahwa setiap pertukaran proposal (counter proposal) harus terlebih dahulu dikonsultasikan
Untuk mencapai hal itu, GAM menawarkan apa yang disebut sebagai reformasi dalam proses politik, dengan mengajukan sejumlah agenda yang harus dipenuhi dalam MoU Helsinki dan menjadi dasar bagi politik Aceh di masa depan. Cara ini merupakan ilustrasi dari penyelesaian persoalan separatisme GAM melalui sistem demokrasi. Cara ini mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Spencer dalam menyelesaikan persoalan separatisme, yang menegaskan bahwa integrasi politik mensyaratkan adanya jaminan atas praktik-praktik demokrasi yang kuat. Tanpa berjalannya sistem demokrasi dan aktor-aktor yang memegang teguh nilai-nilai demokrasi sebagai pedoman bertindak, integrasi politik
16 Majalah Tempo, edisi 22/XXXIV/25-31 Juli 2005
17Wawancara tertulis dengan Usman Basja salah seorang juru runding, 27 Maret 2007.
39
diasumsikan oleh Spencer tidak akan dapat diwujudkan. Karena dalam proses integrasi dibutuhkan akomodasi-akomodasi, sebagaimana yang ditekankan oleh Greetz, khususnya untuk mengakomodasi kelompok yang selama ini berlawanan secara politik. Secara ringkas, penyelesaian konflik Aceh yang terjadi sejak 1976 diselesaikan melalui kerangka Spencer dengan menggunakan de mokrasi sebagai pendekatan, yaitu melalui reformasi politik dan proses politik di Aceh, yang secara ringkas tergambar dalam Tabel 1 di bawah ini. . P ihak GAM m engubah tu ntutan dari merdeka menjadi pemerintahan sendiri dengan syarat adanya partai politik lokal dan pemilu lokal merupakan logika membangun perubahan politik dalam kerangka sistem demokrasi. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa suatu proses transformasi dari peijuangan bersenjata menjadi peijuangan politik membutuhkan instrumen yang berbeda. Perjuangan bersenjata membutuhkan
kekuatan (force—dalam hal ini adalah angkatan perang), sementara perjuangan politik dalam sistem demokrasi salah satu instrumennya adalah partai politik. Tidaklah heran bila GAM setelah mengubah tuntutannya dari merdeka menjadi self-government, berjuang keras di perundingan untuk meminta instrumennya, yaitu adanya partai politik lokal dan kesempatan bagi kelompok mantan GAM untuk memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal. Logika ini berbanding terbalik dengan konsep yang ditawarkan oleh Republik Indonesia, yaitu otonomi khusus yang titik beratnya lebih pada sektor ekonomi ketimbang politik.
Identitas Baru GAM: KPA dan Partai Aceh Setelah perundingan RI-GAM berhasil di tandatangani pada 15 Agusuts 2005, minimal terdapat dua persoalan krusial yang terjadi. Kedua persoalan itu adalah pertama, bagaimana m enyatukan “kelompok separatis” sebagai
Tabel 1. Konsensus Politik antara Rl-GAM dalam Perjanjian Helsinki
*■
SelfGovernment (Pemerintahan Sendiri)
40
sebuah bagian integral dari sistem politik suatu negara; dan kedua, bagaimana meningkatkan kesetiaan “kelompok separatis” sebagai bagian sebuah warga negara dalam sistem politik Indonesia. Jawaban atas kedua soal ini, terletak pada dua konsep institusi yang penting, yaitu Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh. Metamorfosis GAM menjadi KPA adalah sebuah proses awal yang dapat disebut sebagai bagian dari strategi konsolidasi kekuatan politik secara internal. Hal itu tampak bahwa KPA identik dengan TNA (Tentara Nasional Aceh) GAM karena secara stuktur mirip dengan bentuk institusi militer yang dibentuk oleh GAM. Organisasi ini juga sangat eksklusif dan tertutup dengan keanggotan hanya berasal dari mantan kombatan GAM. Bentuk perubahan demikian bukanlah tanpa alasan, selain untuk memagari agar para mantan kombatan GAM yang bersenjata memiliki organisasi, sekaligus dapat menjadi mesin politik dalam proses politik. Karena itu, KPA adalah wajah baru GAM dalam kekuatan “setengah militer”, sedangkan secara politik terwujud pada partai yang didiri kan, yaitu partai lokal. Dari segi perundangan, pemberlakuan UU No. 11/2006 tentang Pemerin tahan Aceh sedikit memberi payung keberadaan partai lokal. Setelah adanya payung hukum tentang partai lokal, para elite politik GAM mendeklarasikan Partai GAM melalui KPA. Kelahiran Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM) sempat ditanggapi miring karena dianggap sebagai ketidakpatuhan GAM terhadap MoU Helsinki. Alasannya adalah karena deklarasi Partai Gerakan Aceh Mandiri identik dengan gerakan untuk kemerdekaan. Secara prosedural, keberadaan partai lokal ini diatur pada UU No. 11/2006 meliputi beberapa hal. Pertama, dibentuk sekurang-kurangnya oleh 50 orang WNI, berusia minimal 21 tahun dan berdomisili tetap di Aceh, dengan memperhatikan keterwakilan politik perem puan sekurangkurangnya 30 persen; kedua, didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum oleh Kantor Wilayah Departemen di Aceh; dan ketiga, untuk dapat ikut dalam Pemilu DPRA/DPRK harus memiliki pengurus sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah kabupaten/kota di Aceh; memiliki pengu rus lengkap sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
kecamatan dalam setiap kabupaten, dan memiliki anggota sekurang-kurangnya 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik lokal. Secara riil, KPA memiliki kesiapan untuk itu semua karena anggotanya telah tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh. Masalahnya hanya terletak pada good will Pemerintah RI dalam merespons masalah ini. Lalu, mengapa makna ini kurang dipahami oleh pihak Jakarta dan membuat syarat yang terlalu berat? Pertama, elite parpol di Jakarta sebenarnya tidak menghendaki adanya parpol lokal karena kemungkinan kepentingan mereka akan terganggu; kedua, kurangnya visi elite parpol di Jakarta dalam upaya merancang sistem politik yang berbasis integrasi politik. Ini tampak dari beberapa perlawanan terhadap substansi dari UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh; ketiga, adanya benturan kepentingan politik antara parpol lokal dengan parpol nasional dalam mem perebutkan basis dukungan politik. Bolehnya rangkap keanggotaan sebagaimana disebut dalam Pasal 83 menggambarkan bahwa desain parpol lokal sebenarnya adalah setengah parpol. Kenyataan ini diperparah oleh kemungkinan akan m atinya parpol lokal dengan adanya ketentuan electoral treshold (Pasal 90) yang terlalu besar. Pada pasal 90 disebutkan bahwa parpol lokal dapat mengikuti pemilu selanjutnya bila m em peroleh sekurang-kurangnya 5% jumlah kursi DPRA atau memperoleh sekurangkurangnya 5% jumlah kursi DPRK yang tersebar sekurang-kurang pada !4 jumlah kabupaten/kota di Aceh. Pertanyaannya adalah apabila parpol lo kal termasuk parpol yang dibentuk GAM mati ke mana mereka akan memperjuangkan kepentingan politiknya? Idealnya desain parpol lokal adalah suatu kekhususan bagi GAM, dengan bertolak pada kebijakan affirmative action dengan tujuan memberi peluang bagi GAM menyalurkan dan mematangkan basis politiknya sebagai jalan untuk mengakhiri cara mengangkat senjata dan mendorong cara-cara berpolitik yang sehat dan beradab. Dari segi identitas politik, baik di KPA maupun di Partai Aceh, sisa-sisa perjuangan Hasan Tiro tidak semuanya dihapuskan. Hal itu tecermin pada bendera Partai Aceh yang berwarna putih dengan garis bingkai warna
41
hitam. Garis bingkai ini merupakan perwujudan dari garis perjuangan Hasan Tiro ketika pertama kalinya mendeklarasikan GAM. Garis ini terus dipertahankan sebagai salah satu identitas dari Partai Aceh dan KPA yang merupakan wajah baru dari Gerakan Aceh Merdeka.
Konsolidasi Kekuatan GAM “ ... .Bagi kami, ada saatnya perang, ada saatnya damai, dan ada saatnya untuk berubah dari ber perang ke politik.. .Begitu perjanjian ditandata ngani maka kami harus patuh untuk memilih cara baru melalui jalur politik.. ,”18
Bagi GAM, sebagai konsekuensi atas perun dingan Helsinki yang telah dicapai, mereka tidak dapat berkata lain kecuali mengikuti komando dari Swedia. Ketika para pemimpin mereka di Swedia melakukan perundingan dengan pihak RI maka para panglima wilayah GAM kemudian mengikuti langkah tersebut. Meskipun mereka sadar bahwa dunia politik bukanlah dunia yang mereka kuasai, tetapi itulah makna komando bagi mereka. GAM harus beradaptasi dengan arena baru dalam bentuk demokrasi lokal di Aceh. Meski mereka menyadari bahwa aturan main itu tidak sepenuhnya dikehendaki. Namun, salah satu capaian yang penting adalah adanya kesadaran bahwa para elite GAM harus mengikuti arena permainan baru. Bagi aktivis GAM yang lahir pada 1976 (Angkatan 1976) sebagai kelompok intelektual GAM, demikian pula angkatan berikutnya, mereka memiliki kemahiran politik, strategi, dan lobi-lobi politik tinggi. Akan tetapi, bagi GAM yang muda-muda (generasi 1998-2003 yang tersebar di be berapa wilayah Aceh) membutuhkan penyesuaian tersendiri. Awalnya mereka agak gagap dengan dunia baru, dunia politik. Namun, demokrasi adalah sebuah proses. Kita sulit berharap akan terjadi perubahan yang drastis. Akan tetapi, yang jelas mulai ada perkembangan ke arah proses demokrasi dalam internal GAM.19 GAM yang muda-muda ini muncul sejak era pasca-DOM di 18 Wawancara dengan salah seorang petinggi Partai Aceh, di Banda Aceh, 1 Juli 2008. 19 Wawancara dengan aktivis Demos, di Banda Aceh, 1 Juli 2008.
42
sejumlah wilayah Aceh. Sebagian besar mereka berpendidikan menengah ke bawah. Golongan ini berjumlah paling besar dibandingkan dengan golongan elite GAM, yaitu mereka-mereka yang berjuang sejak 1976, kemudian periode berikutnya, dan GAM masa DOM. Mereka ini memiliki kemahiran politik tersendiri yang sejajar dengan para politisi partai di Aceh saat ini. Oleh karenanya, kesadaran kelompok ini untuk beradaptasi politik cukup besar mengingat mereka pemain baru dalam dunia politik. Di sisi lain, tulang punggung demokrasi lokal di Aceh juga tergantung dari sejauh mana GAM dapat berubah dari cara-cara militer menjadi cara-cara sipil dalam berdemokrasi. Kesadaran tersebut melahirkan pemikiran bagi para elite GAM untuk melakukan konsolida si kekuatan dan penataan organisasi. Pada 16-18 Maret 2008 mantan-mantan Panglima Wilayah GAM di seluruh Aceh berkumpul di Sabang Hills yang difasilitasi oleh empat organisasi, yaitu FES, Ollof of Palme International, Demos, dan KPA. Tujuan dari pertemuan itu adalah untuk melakukan peningkatan kapasitas politik GAM secara sistematis.20 Dari sini diharapkan akan nada peningkatan kapasitas pengetahuan mantan kombatan tentang demokrasi, politik, dan perdamaian. “ ... Dari pertemuan itu akhirnya para elite GAM menyadari perlunya sekolah demokrasi dan per damaian. Tools kita sekarang adalah spidol dan kertas piano, bukan lagi senjata seperti pada saat menjadi kombatan. Dalam konteks itu, perjuang an tetap pada spirit yang lama, tetapi ada proses rasionalisasi dalam melihat situasi politik bah wa mereka mulai melakukan redefinisi tentang makna merdeka, bukan semata-mata sebagai upaya untuk melepaskan diri, tetapi ada makna lain merdeka dari keterbelakangan, kemiskinan, dan sebagainya.. .”21
Dalam konteks seperti itu, perkembangan secara internal dari pihak GAM adalah mulai adanya kesadaran tentang cara berpikir. Bahwa demokrasi telah menjadi jalan bagi langkahlangkah untuk menentukan perjuangan mereka dan tidak lagi menggunakan senjata. Orientasi 20 Wawancara dengan aktivis Demos, di Banda Aceh, 1 Juli 2008. 21Ibid.
dan cara pandang semacam ini penting karena bagaimanapun GAM adalah aktor utama konflik di Aceh selama hampir 33 tahun lamanya. . .Pada awalnya mereka ini belum memahami demokrasi itu harus dijalankan seperti apa. Me reka masih sering kali menggunakan cara-cara kemiliteran. Dalam beberapa kali pelatihan poli tik yang kami lakukan dengan pihak KPA dan Partai GAM (waktu belum berubah menjadi Partai Aceh) mereka para mantan kombatan ini diam saja. Tetapi setelah satu-dua hari mereka mulai cepat menangkap esensi dari pelatihan politik tentang demokrasi dan mereka mulai paham atas cara-cara apa yang harus dilakukan dalam berdemokrasi. Kami selalu menekankan bahwa dulu kita berjuang dengan cara senjata, sekarang kita berjuang dengan menggunakan pensil, spidol serta kertas.”22 Perubahan yang tampak terlihat adalah perubahan cara berpikir aktivis GAM. Seperti tampak dalam kutipan di atas, mereka mulai me nyadari bahwa mereka masuk dalam dunia baru, yakni dunia politik. Kaidah-kaidah berpolitik dan berdemokrasi menjadi konsekuensi logis dari orientasi perjuangan yang membedakan dengan perjuangan mereka di masa lalu. Dengan cara berpikir seperti itu, akhirnya mereka mendirikan Partai GAM tanpa akronim. Kehadiran Partai GAM tanpa singkatan yang diumumkan pada 7 Juli 2007 ini direspons secara negatif oleh Jakarta dan aparat kepolisian. Bahkan ketika Partai GAM diubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri, tetap saja dipersoalkan oleh pihak Jakarta. Akhirnya, pada saat Partai Gerakan Aceh Mandiri didaftarkan ke Departe men Hukum dan HAM di Aceh, terjadi negosiasi politik antara para petinggi GAM dengan Jusuf Kalla di Jakarta. Jusuf Kalla merekomendasikan agar Partai Gerakan Aceh Mandiri diubah men jadi Partai Aceh.23 Pada saat pendirian ini terjadi perdebatan pada internal GAM yang sangat intensif, antara pihak-pihak yang setuju, dengan pihak-pihak yang kurang setuju atas penggunaan nama GAM dan Gerakan Aceh Mandiri maupun dengan lambang bendera GAM.24 22Ibid. 23 Wawancara dengan Zakaria Saman, tokoh mantan GAM, orang kepercayaan Malik Mahmud, di Banda Aceh pada Juli 2008. 2*Ibid., menurut informasi dari Kautsar salah seorang intelek-
Perdebatan internal GAM mengenai partai politik yang akan mereka dirikan juga menambah perbedaan kepentingan dengan para simpatisan sebelumnya. Ada seorang tokoh yang mengun durkan diri (Tgk. Is) setelah Partai GAM (tanpa akronim) diubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri, yang kemudian diubah lagi menjadi Partai Aceh. Padahal dari segi ideologi, partai mereka satu-satunya partai lokal yang memasuk kan Pancasila sebagai asas partai. Asas Partai GAM ada tiga, yaitu Islam, Pancasila, dan Adat Baku Ta ’alam (yang diadopsi dari masa Iskandar Muda). Ada kekecewaan dari sebagian kader-kader GAM atas perubahan-perubahan tersebut karena Jakarta dianggap masih curiga terhadap mereka walaupun mereka sudah menyerahkan dan me letakkan senjata. Pihak GAM memahami bahwa simbol-simbol yang mereka gunakan sebelumnya adalah trade mark yang tidak mungkin begitu saja diganti. Akan tetapi, justru di sini terjadi persoalan ketika mereka harus membentuk partai politik. Penggunaan nama GAM dianggap sebagai bentuk resistensi oleh kelompok ini terhadap pemerintah dan dianggap pelanggaran terhadap kesepakatan MoU Helsinki. Demikian pula dengan simbol-simbol GAM yang terus mereka gunakan dalam beberapa perubahan nama.25Mereka juga sempat kecewa dan bersite gang dengan pihak Polri ketika kantor mereka didatangi polisi pada saat acara pengenalan partai pada 7 Juli 2007.26 Oleh karena itu, perubahan nama partai politik yang didirikan dan ideologinya tersebut menggambarkan dinamika dalam proses politik di Aceh antara mantan GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah RI termanifestasi pada sejumlah institusi, baik para politisi di Jakarta, TNI dan Polri maupun Menteri Hukum dan HAM (M enkumham) serta pandangan tual Partai Aceh bahwa perdebatan itu memang sangat sengit, yang menggambarkan adanya kelompok yang setuju dan tidak setuju, di mana kelompok yang tidak setuju karena menganggap simbol-simbol GAM terlalu kecil bila hanya direduksi untuk sebuah partai politik. Wawancara dengan Kautsar, di Banda Aceh, Juli 2008. 25 Wawancara dengan narasumber di Banda Aceh yang tidak bersedia disebutkan namanya, Juli 2008. 26 Wawancara dengan Yahya Muad, Sekjen Partai Aceh, di Banda Aceh, Juli 2008.
43
sejumlah pejabat mengenai hal itu. Sejak GAM mendeklarasikan Partai GAM pada 7 Juli 2007, Menkumham sudah memberi komentar akan menolak keberadaan partai tersebut karena diang gap melanggar MoU Helsinki dan bertentangan dengan ideologi NKRI.27 Betapapun GAM belum dibubarkan hingga akhir 2008, namun telah ada perubahan yang cukup signifikan. GAM yang dulu mengusung agenda kemerdekaan, menurut pernyataan para elite-elitenya, ideologi itu telah “dikubur” seiring dengan perkembangan perdamaian di Aceh.28 Akibat resistensi yang dilakukan oleh pihak Jakarta, akhirnya kelompok GAM mengubah strategi dengan jalan mengikuti alur berpikir Jakarta agar kepentingan mereka untuk mendiri kan partai politik dapat dilakukan.29 Tujuannya adalah menyelamatkan kepentingan GAM yang lebih besar; terlibat dalam politik di tingkat lokal sebagai media untuk menguasai politik dan kekuasaan. Bahkan ketika simbol-simbol mereka ditolak maka dilakukan perubahan ben dera yang awalnya menggunakan bendera GAM dimodifikasi di mana bulan bintang dihilangkan dan garis hitam-putih diubah. Garis hitam-putih merupakan garis yang ditorehkan oleh Hasan Tiro di atas bendera Aceh-Turki pada saat mereka bekerja sama melawan penjajahan Portugis.30 Oleh karena itu, proses adaptasi yang dilakukan kelompok GAM adalah dalam rangka menyelamatkan kepentingan mereka dalam alam demokrasi. Tanpa partai politik, GAM akan ketinggalan kereta (powerless), padahal perundingan hampir bubar pada putaran kelima ketika tuntutan terhadap adanya partai lokal hampir tidak dipenuhi oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dengan kata lain, proses adaptasi politik yang dilakukan oleh kelompok GAM adalah untuk mengawal tuntutan mereka dalam MoU Helsinki yang belum dipenuhi dan untuk mempeijuangkan kepentingan mereka yang lebih 27Mengenai hal ini dapat dilihat pada Serambi, Juli 2007. 28 Wawancara dengan Zakaria Saman, tokoh mantan GAM, orang kepercayaan Malik Mahmud di Banda Aceh pada Juli 2008. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Sekjen Partai Aceh, wawancara dengan Yahya Muad, Sekjen Partai Aceh, di Banda Aceh, Juli 2008. 29Wawancara dengan Kautsar, di Banda Aceh, Juli 2008. 30Wawancara dengan Yarmen, di Banda Aceh, Juli 2008.
44
besar, yaitu terwujudnya pemerintahan daerah yang otonom dalam bentuk self-government. Mereka menilai bahwa saat ini Pemerintahan Aceh bukanlah suatu pemerintahan seperti yang dim aksudkan dalam MoU Helsinki karena saat ini merupakan pemerintahan transisional untuk menuju self-government yang rencananya akan ditinjau ulang pada 2009 setelah pemilu legislatif. Tentu saja isu ini memiliki dampak yang cukup besar di Aceh, apabila khususnya GAM menguasai dan mendominasi parlemen tingkat lokal (DPR Aceh dan Kabupaten/Kota). Meskipun mereka menuntut self-government, tetapi kerangkanya tetap dalam bingkai Republik Indonesia. Dengan kata lain, Pemerintahan Aceh yang sekarang masih cenderung dianggap sebagai pemerintahan yang transisional belum seperti Pemerintahan Aceh yang mereka kehendaki pada MoU H elsinki. N am un, kekhaw atiran itu ternyata tidak terbukti karena setelah PA menjadi pemenang pemilu lokal tahun 2009 di Aceh, tidak ada hidden agenda yang diperjuangkan oleh mereka, seperti yang sering kali disebut oleh beberapa narasumber pada saat kajian ini dilakukan pada 2008. Meski peluang demokrasi pada aras lokal sangat besar dengan hadirnya partai politik di tingkat lokal, demokrasi yang dikembangkan masih pada taraf memenuhi standar demokrasi prosedural, belum pada upaya untuk membangun demokrasi yang substansial. Secara alamiah ini wajar karena Aceh saat ini masih pada taraf transisi dari situasi perang yang dilakukan oleh kelompok yang memegang senjata ke arah arena baru politik. Karena itu, proses pembangunan demokrasi yang terjadi masih bersifat adaptasi demokrasi, memperkenalkan nilai-nilai demokrasi kepada kekuatan yang pernah memegang senjata. Proses demikian membutuhkan waktu dan pengawalan agar perkembangan demokrasi tidak berubah menjadi anarki di satu sisi, sementara di sisi lain memunculkan esklusivitas kelompok. Lebih penting dari itu, ada gejala penguatan primordialisme dan etnis dalam pembentukan partai-partai politik di Aceh. Suasana tersebut kurang sejalan dan mendukung gagasan besar demokrasi yang mempersyaratkan perlunya kompetisi yangfair, ruang dan kesempatan yang
sama bagi semua pihak yang ingin terlibat dalam politik baru di Aceh. Sayang sekali, gejalagejala kekerasan dan intimidasi justru cenderung meningkat seiring dengan menguatnya perebutan kekuasaan politik dan kontestasi politik di Aceh. Padahal kekerasan bukanlah nilai yang dikem bangkan dalam berdemokrasi.
Perubahan Konstelasi Politik di Aceh Setelah MoU Helsinki ditandatangani, proses politik di Aceh bukan saja menarik namun seka ligus mengejutkan. Mengapa? Paling tidak dari tiga peristiwa politik penting, yaitu Pilkada 2006, Pemilu 2009, dan Pilkada 2012, teijadi perubahan watak dan konstelasi politik di Aceh. Partai na sional seperti Golkar dan PPP (yang pemah jaya di Aceh), Demokrat, PDI Perjuangan, PAN, dan lainnya, digeser kekuatannya oleh Partai Aceh. Tak pelak, dari tiga peristiwa politik tersebut, pi hak GAM dapat dianggap telah menjelma sebagai kekuatan politik paling fenomenal dalam sejarah politik di Aceh. Perkembangan tersebut sekaligus memperlihatkan dominasi Partai Aceh dan KPA dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat di Aceh, baik dari sisi politik maupun ekonomi. Pada Pilkada 2006, pembuktian apakah GAM memiliki pengaruh terhadap masyarakat Aceh menjadi perhatian sebagian besar pihak yang mengikuti perkembangan politik Aceh. Di adopsinya calon independen pada UU No. 11/2006 mempakan terobosan baru sebagai jalan bagi masuknya GAM dalam tampuk kekuasaan di Aceh. Cara ini bukan saja menjadi tangga untuk mencapai kekuasaan, tetapi sekaligus membuka mang interaksi dalam konteks politik lokal. Cara ini mempakan affirmative action bagi kelompok GAM, sebuah kekhususan agar mereka memiliki akses dalam kekuasaan di tingkat lokal. Pasca-MoU Helsinki, dan untuk kali pertama gubernur, bupati, dan/atau Wali kota dipilih secara langsung putaran pertama 11 Desember 2006, GAM memenangkan hampir di sepamh jumlah kabupaten kota. Terakhir pada Pilkada 2008, GAM menang di Kabupaten Bireun ketika Nurdin Abdurrahman, salah seorang jum mn-ding GAM, ikut dalam Pilkada pada 2008 itu. Sementara itu, pada Pilkada 11 Desember 2006, calon independen dari GAM, Ir. Irwandi Yusuf
yang;berpasangan dengan Muhammad Nazar, terpilih sebagai Gubernur Aceh dan sekitar tujuh calon independen lainnya yang berasal dari man tan GAM memenangkan pemilihan;bupati dan wali kota seperti telah disinggung pada- tulisan sebelumnya. Kemenangan para elite GAM dalam Pilkada Gubernur dan Bupati di Aceh tahap pertama 11 Desember 2006 telah mengubah dinamika dan peta kekuatan politik di Aceh. Kemenangan tokoh GAM pada Pilkada Gubernur dan 9 bupati/ wali kota telah menjadikan GAM sebagai kekuat an politik yang diperhitungkan. Basis mereka umumnya di wilayah-wilayah basis perjuangan GAM sebelumnya, khususnya wilayah Aceh bagian Utara (Sabang, Aceh Jaya, Pidie, Pidie Jaya, Bireun, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, dan Aceh Timur). Kemenangan tersebut di sisi yang lain juga merupakan salah satu keuntungan ekonomi bagi mereka. Di sisi lain, politik pasca-Pilkada Gubernur di Aceh juga menjadi titik awal perbedaan kepentingan internal GAM. Hal ini tampak dari sejumlah kasus berikut. Pertama, pencopotan Sofyan Dawood oleh Malik Mahmud sebagai Juru Bicara KPA yang digantikan oleh Ibrahim KBS. Kedua, perbedaan afiliasi politik juga mulai kelihatan karena Malik Mahmud menjadi penasihat Partai Aceh (partai yang didirikan oleh GAM) sementara elite-elite GAM yang lain seperti M. Nur Dzuli dan Sa’diayah Marhaban (adik kandung Malik Mahmud, pendiri Liga Inong Bale Aceh/LINA) cenderung mendukung Partai SIRA. Ketiga, ada pergulatan pemikiran di internal GAM mengenai simbol-sim bol perjuangan GAM di masa lalu karena sebagian elite tidak setuju bahwa simbol-simbol GAM dijadikan sebagai simbol partai. Alasan kelompok yang menolak—yang sering dikaitkan dengan kelompok Irwandi—karena terlalu menurunkan derajat simbol perjuangan, mengingat partai politik adalah sebuah organisasi yang kecil dibandingkan dengan GAM.31 Struggle ofpow er, perjuangan untuk mem perebutkan kekuasaan di Aceh yang dilakukan oleh kelompok GAM merupakan pintu utama 31Wawancara dengan Kautsar. aktivis GAM yang kini menjadi salah seorang pengurus Partai Aceh, di Kantor Partai Aceh Banda Aceh pada 1 Juli 2008.
45
yang paling mendasar bagi tahapan-tahapan penyelesaian persoalan konflik dan ideologi yang selama ini mereka perjuangkan. Dengan mereka turut serta dalam ruang kekuasaan di Aceh, secara langsung mereka mengakui konstitusi dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Hal ini merupakan suatu langkah maju Pemerintahan Susilo Bambang Yudhono-Jusuf Kalla yang tidak pemah diberi kan oleh rezim-rezim sebelumnya, khususnya di masa Orde Baru. Bagi kelompok GAM, perjuangan politik adalah menguasai posisi-posisi strategis di bidang pemerintahan dan legislatif.32 Mereka menyadari bahwa dengan cara itu maka kelom pok ini akan eksis di tengah kompetisi politik dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya. Upaya merebut posisi-posisi strategis ini dianggap sebagai satu-satunya cara agar GAM menjadi kekuatan politik yang besar di Aceh. Dalam dunia politik dan demokrasi, hal ini mempakan suatu kewajaran karena salah satu cara yang ditempuh untuk menyelesaikan konflik adalah melalui jalur politik. Ketika kelompok yang mengangkat senjata ini meninggalkan cara-cara militernya dan masuk ke jalur politik dalam konteks demokrasi lokal di Aceh maka sebuah keniscayaan bahwa mereka yang mendirikan partai politik ingin menguasai parlemen atau memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Kelompok GAM berupaya untuk mem perkuat posisi politik karena jalur-jalur lain, khu susnya birokrasi dan militer tidak memungkinkan untuk mereka masuki. Mereka bagaimanapun “kurang siap” untuk berkompetisi secara lang sung karena sumber daya manusia yang lemah dan rata-rata pendidikan mereka masih rendah. Akibatnya, sebagian besar potensi kelompok GAM masuk dalam ranah politik lokal (Partai Aceh) dan kurang tersalurkan ke bidang-bidang yang lain. Selain masuk dalam partai lokal, mereka akhirnya mencari cara instan agar dapat bertahan dengan memasuki dunia pialang, yakni sebagai pialang-pialang proyek dan mendirikan perusahaan-perusahaan.33 * Ibid. 33GAM telah menjadi kekuatan ekonomi baru di Aceh karena hampir sebagian besar proyek-proyek untuk pembangunan infrastruktur harus melalui mereka. Informasi ini disampaikan
46
Di sisi yang lain dengan cara menguasai posisi-posisi strategis itu, GAM akan memiliki kesempatan untuk mendefinisikan ulang menge nai Pemerintahan Aceh yang mereka kehendaki.34 Yang dimaksud dengan pendefinisian ulang itu terkait dengan beberapa butir dalam MoU Helsinki yang masih menjadi perbedaan antara pihak GAM dengan pihak Republik Indonesia. Salah satu butir menjelaskan bahwa masalah Pemerintahan Aceh akan ditentukan oleh DPR Aceh hasil Pemilu 2009. Oleh karena itu, legisla tif Aceh hasil Pemilu 2009 memiliki kesempatan untuk melakukan peninjauan kembali mengenai apa yang dim aksud dengan Pem erintahan Aceh. Ini merupakan pisau bermata dua karena dapat berkonotasi lain, yang di dalamnya tentu memiliki efek politik dan peluang munculnya masalah disintegrasi di Bumi Tanah Rencong. GAM menyadari bahwa anggota mereka yang sebagian besar berpendidikan SLTP dan SLTA tidak mungkin akan berkompetisi melalui jalur birokrasi di dalam pemerintahan. Karena itu, peluang yang mereka miliki lebih pada jalur perebutan kekuasaan gubernur, bupati, dan Wali kota serta menduduki jabatan politik lainnya seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan/atau kabupaten/kota.35 Dalam konteks itu, GAM kemudian menjelma sebagai sebuah kekuatan politik baru di Aceh yang ditakuti oleh lawan-lawan politik seka ligus diminati oleh para pencari koalisi untuk perebut-an jabatan-jabatan strategis. Periode ini mengingatkan kita pada pasca-Perang Cumbok tahun 1947 ketika uleebalang dikalahkan oleh kaum ulama maka kaum ulama (teungku) inilah yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk mewarnai politik di Aceh. Jika pemilu terakhir di masa reformasi (Pemilu 2004) sebelum Pilkada 2006 dijadikan sebagai pembanding, sejak Pemilu 2004 telah ada fenomena bahwa garis afiliasi politik masyarakat Aceh cenderung kembali pada basis politik lama mereka. Dari 24 partai peserta Pemilu 2004 di oleh sejumlah pengusaha di Aceh yang ditemui pada Juli 2008 yang lalu. Fenomena yang sama juga teijadi di Aceh Utara dan Aceh Timur sebagaimana informasi dari berbagai pihak yang disampaikan kepada tim kajian pada saat turun lapangan pada Juli 2008 di Aceh Utara dan September 2008 di Aceh Timur.
Ibid.
35Ibid.
Aceh, memperlihatkan bahwa di kawasan Aceh bagian Utara ditandai oleh menguatnya dukungan masyarakat terhadap partai-partai Islam dan Partai Golkar. Daerah ini dalam sejarahnya memang merupakan basis pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara untuk daerah yang menjadi sumbu konflik, partai yang memperoleh dukung an masyarakat di sana (tanpa memperhatikan urutan) adalah PPP, PAN, Golkar, PBR, PKS, PBB, PKB, dan Demokrat. Pola perubahan konstelasi suara pada Pemilu 2004, mirip dengan kecenderungan pada Pilkada
2006 karena hampir sebagian besar wilayah sumbu konflik menjadi basis utama dari GAM. Data di bawah menggambarkan dominasi GAM walaupun terpecah dengan adanya dua calon, yaitu Irwandi-Nazar (calon independen) dan Humam-Hasbi yang dicalonkan oleh GAM. Akan tetapi, keduanya adalah refleksi dari GAM karena mereka adalah kader yang besar dan dibesarkan oleh GAM. Eksistensi GAM melalui Partai Aceh terus menguat, yang dibuktikan pada hasil Pemilu 2009 dan Pilkada Aceh 2012 dengan mengge ser dominasi partai-partai politik nasional hasil
Sumber: diolah dari data KPU.
Tabel 3. Perbandingan Suara Sah DPR-RI di Daerah Sumbu Konflik
47
Tabel 4. Hasil Pilkada Aceh 2006 Nama Calon
Persentase Suara
Irw andi-N azar
38,2
H um am -H asbi
16,62
M alik-Sayed
13,97
A zw ar-N asir
10,61
G hazali-Salahudin
7,8
Iskandar-Saleh
5,54
Tam licha-H arm en
3,99
D jali-Syauqas
3,26
Sumber: diolah dari data KPU Aceh
Pemilu 2004 di sejumlah wilayah dan wilayah provinsi Aceh, Hasil Pemilu 2009, Partai Aceh menguasai hampir 37 persen kursi DPR Aceh, sedangkan di sebagian kabupaten/kota lainnya mereka menang dengan perolehan suara hampir 80 persen. Eksistensi Partai Aceh kembali teijadi pada Pilkada 2012 ketika calon yang mereka diusung (Zaini Abuddlah-Muzakir Manaf) ung gul dengan perolehan 55,7 persen dan menjadi pemenang Pilkada 2012 dalam satu putaran. Sementara itu, gubernur petahana, Irwandi hanya memperoleh 29,18 persen suara, jauh di bawah pasangan yang diusung oleh Partai Aceh. Sebaliknya, Nazar yang diusung Partai Demokrat hanya memperoleh dukungan 7,65 persen. Dengan demikian, tampak bahwa basis politik Partai Aceh dan GAM identik dengan wilayah Aceh bagian Utara, yang menguasai hampir 47,6 persen dari 2,6 juta pemilih di Aceh. Sebaran kemenangan Zaini Abdullah terjadi di Sabang, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireun, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang.36 Dari gambaran konstelasi politik di Aceh, se jak Pemilu 2004 hingga Pilkada 2012, sebenarnya kunci pemilih terletak pada Aceh bagian atas. Partai atau kelompok yang menguasai wilayah atas, meliputi Sabang, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireun, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang, secara otomatis akan mendominasi politik Aceh dan akan menguasai parlemen.
lokal di Aceh diperbolehkan dan disampaikan dalam perundingan Helsinki. Dalam perkem bangannya, pembentukan partai oleh GAM memang bersifat eksklusif, namun tidak secara terbuka mengakomodasi unsur-unsur selain kader yang pemah terlibat dalam GAM. Walaupun se cara ideologi, Partai Aceh disebut sebagai partai terbuka,37 dalam praktiknya tidaklah demikian. Eksklusivitas GAM sebagai kelompok disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, bahwa pendirian Partai Aceh cenderung overload karena kehadiran Partai Aceh kurang mampu menyerap jumlah anggota dan partisan GAM yang jum lahnya ribuan orang. Partai Aceh mengalami persoalan karena struktur Partai Aceh yang tidak mungkin menampung seluruh mantan kombatan dan non-kombatan (sipil) yang dulu mendukung nya. Kedua, hal ini juga sebagai akibat dari proses transformasi politik yang relatif hanya tersedia di partai politik (transformasi politik) dan di bidang ekonomi (usaha dan kontraktor). Ketiga, GAM sulit diterima di birokrasi dan lembaga-lembaga lainnya untuk menyerap mereka sebagai tenaga kerja. Padahal untuk dapat bertahan (survive), mereka harus mempunyai pendapatan (income generating). Karena itu, salah satu persoalan yang terjadi di internal Partai Aceh adalah persoalan pemba gian posisi. Untuk itu, akhirnya mereka hanya menampung para Panglima Sagoe dan para elite GAM untuk menduduki jabatan dalam struktur partai politik Aceh. Hampir seluruh Panglima Sagoe (tingkat kabupaten) menjadi Ketua DPC Partai Aceh di kabupaten, demikian pula dengan yang tingkat kecamatan. Sementara struktur partai di tingkat pusat diisi oleh elite-elite GAM seperti yang dulu menjabat sebagai Panglima GAM dan posisi lainnya yang selevel ketika mereka mengangkat senjata.
Pembentukan Partai Aceh adalah bagian dari gagasan dan perjuangan atas tuntutan agar partai
Keempat, eksklusivitas Partai Aceh—dan sejumlah organisasi yang dibentuk oleh GAM— juga menggambarkan konsolidasi yang dilakukan oleh kelompok ini dalam menyongsong perubah an politik Aceh baru. Mereka menghendaki agar kekuatan yang didirikan terkonsolidasi dengan baik dan tidak pecah dikemudian hari. Akibatnya sebagian anggota GAM yang dianggap dapat
36 Komisi Independen Pemilihan Aceh, peta sebaran perolehan suara para calon pada Pilkada 2012.
37 Wawancara dengan Sekjen Partai Aceh, Tgk. Yahya Muad, di Banda Aceh, 1 Juli 2008.
Catatan Penutup
48
menghambat konsolidasi partai karena dianggap berbeda kepentingan seperti Nur Dzuli dan Irwandi Yusuf tidak memperoleh posisi yang cukup berarti di Partai Aceh. Nur Dzuli dan Irwandi dianggap lebih mendukung Partai SIRA ketimbang Partai Aceh.38 Di sisi lain, mereka masih “belum percaya” atas komitmen dari kelom pok lain karena dianggap akan menyebabkan tujuan dan target politik mereka yang tidak akan tercapai. Selain itu, Partai Aceh yang didukung oleh organisasi mantan GAM seperti KPA dan Majelis GAM yang dibentuk pasca-M oU Helsinki meng gambarkan bahwa mantan GAM begitu percaya bahwa kekuatan mereka di bidang politik tidak bisa dibendung oleh kelompok lain. Eksistensi ini menjadi penting, berkaitan dengan perubahan situasi politik pada Pemilu 2009 dan pascaPemilu 2009 serta bagi masa depan Aceh dan pengawalan MoU Helsinki, yakni ketika mereka sudah menguasai parlemen di Aceh, memenangkan jabatan gubernur, dan sejumlah jabatan bupati dan wali kota di wilayah Aceh.
Daftar Pustaka Coser, Lewis A. 1956. The Function ofSocial Con flict. New York: Free Press Gatra, Nomor 37, 25 Juli 2005.
Kingbury, Damien. 2005. Peace in Aceh A Personal Account o f the Helsinki Peace Process. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia. Tempo, edisi. 08/XXXIV/l 8-24 April 2005. Tempo, edisi. 22/XXXIV/25-31 Juli 2005. Tempointeraktif.com, diakses pada tanggal 14 Juli 2005.
Wawancara dengan aktivis Demos di Banda Aceh, 1 Juli 2008. Wawancara dengan Dino, aktivis LSM di Banda Aceh, Juli 2008. Wawancara dengan Kautsar, aktivis GAM yang kini menjadi salah seorang pengurus Partai Aceh. Wawancara dilakukan di Kantor Partai Aceh Banda Aceh pada 1 Juli 2008. Wawancara dengan narasumber di Banda Aceh yang tidak bersedia disebutkan namanya, Juli 2008. Wawancara dengan salah seorang petinggi Partai Aceh di Banda Aceh, 1 Juli 2008. Wawancara dengan Sekjen Partai Aceh, Tgk. Yahya Muad, di Banda Aceh, 1 Juli 2008. Wawancara dengan Yarmen, di Banda Aceh, Juli 2008. Wawancara dengan Zakaria Saman, tokoh mantan GAM, orang kepercayaan Malik Mahmud, di Banda Aceh pada Juli 2008. Wawancara dengan Zakaria Saman, tokoh mantan GAM, orang kepercayaan Malik Mahmud di Banda Aceh pada Juli 2008. Wawancara tertulis dengan Usman Basja salah seorang juru runding, 27 Maret 2007.
Gormally, Brian. 2001. Conversion from War to Peace: Reintegration o f Ex-Prisoners in Nothern Ireland. Bonn: BICC.
38Wawancara dengan Dino, aktivis LSM, di Banda Aceh, Juli 2008 .
49
PERGESERAN MASALAH KEAMANAN DI ACEH Sarah Nuraini Siregar Abstract Since the New Order Era untilpost-MoUHelsinki, the security issue in Aceh has always been widely reported that reach international audience. This conditions indicates that security in Aceh is still an enduring problem because of complexity o f the dynamics o f politics in Aceh. Chronologically, in the New Order Era andpost-New Order era, the security issue in Aceh was always closely associated with armed groups and separatist movements which wrapped with political demands. After the tsunami andMoUHelsinki, security issue began shift to the crime aspect, but the trend is actually statistically higher than before the Helsinki MoU. That pattern shows a shifting security problems in Aceh. This paper is to analyze how the shift in security problems in Aceh, which associated with a variety o f internal problems experienced by Aceh. Thus, it would seem that the issue o f security in Aceh is notjust a security breach, but also deals with political issues. Keywords: Security, Aceh, shifting Abstrak Sejak Orde Baru hingga pasca-MoU Helsinki, persoalan keamanan di Aceh selalu menjadi sorotan banyak pihak, termasuk dunia internasional. Ini memperlihatkan bahwa keamanan di Aceh masih mengalami kendala yang disebabkan oleh kompleksitas dari dinamika perpolitikan di wilayah tersebut. Secara kronologis, pada masa Orde Baru maupun pasca-Orde Baru, isu keamanan di Aceh selalu terkait erat dengan kelompok bersenjata dan gerakan separatisme yang dibalut dengan tuntutan politik. Lalu pasca-tsunami dan MoU Helsinki, masalah keamanan mu lai bergeser pada aspek kriminalitas, dengan kecenderungan yang justru tinggi secara statistik jika dibandingkan sebelum MoU Helsinki. Dari sini terlihat adanya pola pergeseran masalah keamanan di Aceh. Tulisan ini mencoba menganalisis bagaimana pergeseran masalah keamanan di Aceh, dikaitkan dengan berbagai persoalan internal yang dialami Aceh. Dengan demikian, akan terlihat bahwa masalah keamanan di Aceh bukan sekadar gangguan keamanan, melainkan juga berhubungan dengan isu politik di provinsi tersebut.
Kata kunci: Keamanan, Aceh, penggeseran
Pendahuluan Masalah keamanan di Provinsi Aceh hampir selalu menjadi isu menarik. Semenjak Orde Baru sampai pasca-MoU Helsinki, persoalan keamanan di provinsi ini selalu menjadi sorotan banyak pihak, termasuk dunia internasional. Dari sisi historis, masalah keamanan di Aceh mengalami dinamika yang cukup kuat dari masa ke masa, termasuk setelah berlangsungnya dua Pilkada pasca-ditandatanganinya MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 sebagai momentum awal perdamaian di bumi Serambi Mekkah ini. Sebagaimana kita ketahui, sebelum adanya MoU Helsinki khususnya pada masa Orde Baru,
Aceh termasuk daerah konflik. Konflik tersebut tecermin melalui gerakan separatisme GAM (Gerakan Aceh M erdeka) yang “melawan” pemerintah dengan tujuan utama melepaskan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan ini dihadapi oleh pemerin tah melalui beberapa kebijakan pengelolaan keamanan di Aceh, mulai dari Daerah Operasi Militer (DOM) hingga Darurat Militer (Darmil), termasuk menggunakan pendekatan militer sebagai cara utama dalam menghadapi GAM. Pendekatan militeristik di era Orba memang dianggap menjadi satu-satunya cara yang cepat dan taktis dalam menangani kelompok bersenjata GAM ketimbang pendekatan dialogis. Dapat dipastikan bahwa kekuasaan politik Orde Baru
51
menjadi salah satu kekuatan yang mengontrol kebijakan pengelolaan keamanan di Aceh saat itu. Namun, pendekatan ini terbukti tidak mampu menyelesaikan persoalan kekerasan di Aceh saat itu. Apalagi implikasi dari penggunaan kekuatan militer dirasakan langsung oleh masyarakat seperti jatuhnya korban sipil dan rasa traumatik yang mendalam.1 Tidak hanya itu, penanganan keamanan dengan status DOM saat itu juga memperlihatkan indikasi terjadinya pelanggaran HAM. Runtuhnya Orba dan adanya tekanan masyarakat di era reformasi menyebabkan status Aceh sebagai DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998. Era pemerintahan pasca-Orba secara langsung berpengaruh pada pola kebijakan penanganan atas persoalan keamanan di Aceh.
Pasca-Orde Baru: (Masih) Menggunakan Kekuatan Militer Walau Orde Baru tidak lagi berkuasa, keamanan di Aceh masih menjadi persoalan. Untuk menye lesaikan persoalan di Aceh, ada beberapa upaya yang ditempuh oleh pemerintahan pasca-Orba. Di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid pada 12 Mei 2000, melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC), pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani “Jeda Kemanusiaan” yang ber laku mulai 2 Juni 2000 hingga 15 Januari 2001. Jeda Kemanusiaan sebenarnya merupakan terobosan penting dalam menginternasionalisasi konflik melalui pengenalan upaya mediasi HDC. Jeda tersebut diganti melalui Kesepakatan Dialog Jalan Damai pada Maret 2001, tetapi kesepakatan ini juga tidak menghasilkan kemajuan yang be rarti dalam mencari titik temu antara pihak yang bertikai.2 Kesepakatan Jeda Kemanusiaan ini pada akhirnya tidak berhasil mengurangi tingkat kekerasan di lapangan. Kedua belah pihak, baik militer (TNI) maupun GAM saling menyalahkan atau menuduh pihak ketiga sebagai pelaku tindak kekerasan. Sebagai contoh, pembunuhan misterius terhadap tokoh intelektual atau tokoh LSM masih berlangsung saat itu.
Karena tidak mencapai titik temu, pada tanggal 11 April 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 tentang Langkah Menyeluruh untuk Penyelesaian Masalah Aceh, yang tidak mencakup deklarasi keadaan darurat di Aceh. Instruksi ini pada akhirnya membuka jalan bagi peningkatan operasi militer. Pada bulan Juli 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Di masa kepemim pinannya, sempat ditandatangani Kesepakatan Penghentian Kekerasan (Cessation ofHostilities Agreement) di Jenewa pada 9 Desember 2002. Kesepakatan ini mengharuskan GAM menye rahkan seluruh persenjataannya, relokasi, dan perum usan ulang peran aparat keam anan Indonesia di Aceh serta keputusan bersama untuk membentuk beberapa daerah damai.3 Namun akhirnya, kesepakatan ini juga menemui kegagalan. Sementara itu, kekuatan GAM saat itu masih berpengaruh di Aceh. Tambahan pula, sejumlah elemen masyarakat Aceh mengajukan tuntutan referendum. Beberapa peristiwa pemberontakan bersenjata kembali terjadi. Akhirnya, dengan dipicu oleh kegagalan upaya dialog melalui Cessation o f Hostilities Agreement (CoHA) (Perjanjian Penghentian Permusuhan), operasi militer kembali dilakukan di Aceh yang inti dari semua pelaksanaan operasi tersebut adalah menumpas kekuatan bersenjata GAM.4Presiden Megawati menghentikan perjanjian tersebut dengan mengeluarkan Keppres No. 28 Tahun 2003 yang menetapkan Provinsi NAD sebagai daerah dalam keadaan bahaya dengan tingkatan darurat militer.5*Kebijakan Darurat Militer diang gap oleh pemerintah saat itu sebagai cara yang tepat untuk mengakhiri sejumlah kekerasan dan menumpas jumlah kelompok bersenjata di Aceh. Selain itu, kebijakan ini dianggap sebagai metode 3Ibid., hlm. 20.
1SarahNuraini Siregar, “Polri dan Pengelolaan Keamanan Pasca MoU Helsinki”, dalam Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Beranda Per damaian: Aceh 3 Tahun Pasca MoUHelsinki, (Jakarta &Yogya: P2P LIPI & Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 262.
4 Sejumlah operasi tersebut antara lain Operasi Wibawa (02 Januari 1999), Operasi Sadar Rencong I (Mei 1999-Januari 2000), Operasi Sadar Rencong II (Februari 2000-Mei 2000), Operasi Sadar Rencong III (Juni 2000-Februari 2001). Lihat Kontras, Aceh: Damai dengan Keadilan (Seri Aceh II), (Jakarta: Sentralisme Production, 2006), hlm. 78.
2Ikrar Nusa Bhakti, “Beranda Perdamaian: Catatan Pendahu luan”, dalam Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Seranta...,/6W., hlm. 19.
5Moch. Nurhasim (Ed.)., Evaluasi Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh 2003-2004, (Jakarta: P2P LIPI, 2006), hlm. 4.
52
.
Tabel 1 Jumlah Korban Masyarakat Darmil Periode 19 Mei 2003-18 Mei 2004 Kabupaten/Polres
M asyarakat
Aceh Barat Aceh Barat Daya
43 0
Aceh Besar
30
Aceh Selatan
74
Aceh Tengah
63
Aceh Tenggara
3
Aceh Tim ur
136
Aceh Utara
171
Banda Aceh Bireuen Pidie
18 3
mencapai 620 orang, seperti data yang tercantum di bawah ini. Satu tahun setelah pelaksanaan darmil, tepatnya tanggal 19 Mei 2004, status Darurat Militer di Aceh diturunkan menjadi Darurat Sipil melalui Keppres No. 43 Tahun 2004.7Walaupun telah terjadi perubahan status, pemerintah tetap melakukan operasi militer dan tidak melakukan pengurangan jumlah pasukan. Selain itu, dari pihak Kepolisian juga tetap melakukan dan melanjutkan operasi pemulihan keamanan di Aceh.
77
Sabang
2
Jum lah
620
Sumber: Posko Biro Operasional Polda NAD
untuk memulihkan keamanan dan menstabilkan fungsi pemerintahan daerah. Evaluasi atas kebijakan ini memunculkan dua pandangan. Pandangan pertama dari ke lompok militer yang menganggap pelaksanaan darmil efektif dalam menumpas kekuatan GAM. Sebaliknya, pandangan dari kalangan sipil, khususnya di Aceh, implikasi dari darmil lebih besar dirasakan oleh masyarakat ketimbang pe numpasan kekuatan bersenjata GAM. Beberapa versi laporan menyebutkan bahwa tidak sedikit jumlah korban masyarakat pada saat penerapan darmil. Ada beberapa versi jumlah korban yang berjatuhan sejak diterapkannya darmil di Aceh. Palang Merah Indonesia melaporkan bahwa mereka menemukan 82 korban tewas di minggu pertama sejak penerapan darmil dan 151 korban di akhir minggu ketiga.6 Selain itu, di bulan November 2003, juru bicara militer melaporkan setidaknya 395 orang sipil telah terbunuh sejak dimulainya darmil. Diperkirakan jatuhnya korban tersebut terjadi di Aceh Utara dan Aceh Timur. Pemerintah Indonesia menyalahkan GAM atas korban-korban tersebut.
MoU Helsinki: Perubahan Kondisi Keamanan dan Penataan Keamanan Peristiwa bencana tsunami membuat Aceh men jadi sorotan dunia dan sebagian besar kalangan menginginkan agar momentum itu dapat menjadi titik awal bagi penyelesaian masalah Aceh melalui pendekatan dialog. Melalui proses dan negosiasi antara berbagai pihak, akhirnya peme rintah RI dan GAM sepakat untuk menghentikan kekerasan di Aceh. Kesepakatan tersebut digelar melalui Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Beberapa kesepakatan dalam MoU ini turut memenga ruhi perubahan secara signifikan di berbagai aspek, khususnya aspek kondisi keamanan dan penataan keamanan di Aceh. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang tersirat di dalam butir-butir MoU Helsinki, terutama di Butir 4 mengenai kesepakatan security arrangements di Aceh.
Laporan versi Polda NAD juga menyebutkan adanya korban masyarakat yang memang terjadi selama darmil. Selama hampir setahun pelaksa naan darmil, jumlah korban sipil (masyarakat)
Berdasarkan kesepakatan dalam MoU Helsinki maka pasca-MoU Helsinki mulai terjadi pergeseran fungsi kepolisian dibandingkan masa sebelum MoU Helsinki. Ada beberapa indikasi yang menandai pergeseran tersebut. Pertama, setelah MoU Helsinki ditandatangani, fungsi polisi yang sebelumnya menjadi kekuatan militer atau unsur kombatan berangsur dikembalikan lagi pada fungsi keamanan. Ini memberikan konsekuensi bahwa pemerintah pusat harus menarik seluruh personel polisi non-organik di Aceh. Dengan demikian, jumlah kekuatan personel polisi di Aceh hanya dibatasi sebanyak 9.100 personel. Angka 9.100 personel tersebut
6 Sarah Nuraini Siregar, “Implikasi Darurat Militer di Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya”, dalam Moch. Nurhasim, Ibid., hlm. 146-147.
7Sarah Nuraini Siregar, “Polri dan Pengelolaan Keamanan Pasca MoU Helsinki”, dalam Ikrar Nusa Bhakti (Ed.), Beranda Perda maian..., Op.Cit., hlm. 269.
53
Tabel 2. Memorandum o f Understanding (MoU)1 Between the Government of the Republic Indonesia and the Free Aceh Movement Poin 4: Security Arrangements (Pengaturan Keamanan) 1.
Semua aksi kekerasan antarkelompok yang berti kai akan berakhir sejak ditandatangani-nya MoU antarkedua belah pihak (GAM & Pemerintah RI).
2.
GAM wajib melakukan demobilisasi 3.000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan lagi memakai seragam atau menunjukkan unsur maupun simbol militer setelah ditandatanganinya MoU.
3.
GAM wajib menurunkan/menyerahkan semua senjata, amunisi, dan bahan peledak yang selama ini digunakan. Proses ini akan dilakukan dan dipan tau oleh Aceh Monitoring Mission (AMM). Dalam hal ini, GAM bersedia menyerahkan sejumlah 840 senjata.
4.
Penyerahan senjata tersebut akan dimulai tanggal 15 September 2005 yang dilakukan dalam empat tahap, dan berakhir tanggal 31 Desember 2005.
5.
Pemerintah Indonesia akan menarik semua ele men kekuatan pasukan militer dan polisi non-organikdari Aceh.
6.
Relokasi kekuatan pasukan militer dan polisi non organik akan dimulai tanggal 15 September 2005 yang dilakukan dalam empat tahap, bersamaan dengan penyerahan senjata oleh GAM, dan bera khir tanggal 31 Desember 2005.
7.
Jumlah pasukan militer organik di Aceh setelah penarikan adalah 14.700 personel, dan jumlah pasukan polisi organik setelah penarikan adalah 9.100 personel.
8.
Setelah ditandatanganinya MoU, tidak ada pengerahan kekuatan militer. Pengerahan kekua tan militer yang melebihi satu pleton harus melakukan pemberitahuan kepada Ketua AM M
(Head of Monitoring Mission). 9.
Pemerintah Indonesia wajib menyerahkan seluruh senjata, amunisi, dan bahan peledak ilegal yang selama ini digunakan oleh kelompok-kelompok ile gal di Aceh.
10. Pasukan polisi organik bertanggung jawab dalam hal penegakan hukum di Aceh. 11. Kekuatan militer bertanggung jawab dalam hal pertahanan luar (eksternal) Aceh. Dalam situasi normal, hanya kekuatan militer orga-nik yang be rada di Aceh. 12. Para personel polisi organik di Aceh akan diberikan pelatihan khusus yang terkait dengan nilai men junjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
didasarkan atas pertimbangan rasio polisi, yakni 1:400. Beberapa kalangan mengkritik penetapan rasio tersebut karena rasio polisi tidak hanya ditentukan oleh jumlah penduduk, tetapi juga letak geografis, kondisi wilayah, dan potensi gangguan keamanan yang akan dihadapinya.8 Kedua, personel polisi yang ada di Aceh adalah polisi organik. Dalam konteks tersebut, peran dan fungsi polisi lebih diarahkan kepada penegakan hukum dan menjaga keamanan masyarakat Aceh. Institusi ini bertanggung jawab atas keamanan masyarakat Aceh, termasuk di dalamnya menjaga ketertiban umum dan keamanan publik. Pembatasan jumlah personel kepolisian di Aceh justru menjadi permasalahan tersendiri bagi Polri, khususnya Polda NAD. Pembatasan tersebut ju stru dianggap oleh Polda NAD m engham bat rencana proyeksi penciptaan situasi keamanan di Aceh. Padahal di lain pihak, tersirat bahwa MoU Helsinki justru memberikan am anat agar polisi menjadi institusi yang lebih berperan untuk mengatasi keamanan sejak ditandatanganinya MoU tersebut hingga masa tugas AMM berakhir di Aceh. Atas dasar itulah, pasca-MoU Helsinki, peran dan tanggung jawab polisi relatif lebih besar dibandingkan dengan peran TNI. Dengan hal tersebut di atas, Polda Aceh menyusun Renstra untuk menjalankan tugas tersebut. Salah satu poin Renstra Polda NAD 2005-2009 adalah memperluas gelar lapis kemampuan dan kekuatan polisi, khususnya di Provinsi Aceh. Poin ini dicerminkan melalui kebijakan Kapolda Aceh saat itu, Irjen Pol. Bachrumsyah, antara lain mengembangkan kekuatan untuk m enanggulangi kejahatan transnasional dan antiteror di Provinsi Aceh.9 Pembatasan jum lah personel kepolisian juga dianggap menghambat tugas mereka dalam mengamankan beberapa situasi. M isalnya, mereka juga bertanggung jawab dalam melaku kan pengamanan obyek vital strategis. Per sonel kepolisian dilibatkan dalam pengamanan tersebut, seperti pengamanan Provit Exxon Mobil, termasuk pengamanan 141 kilometer %Ibid., hlm. 271.
1Disarikan dari Appendix MoU Helsinki, dalam Damien Kingsbury, Peace in Aceh: A PersonaI Account o f the Helsinki Peace Process, (Singapore: Equinox Publishing, 2006). hlm. 204-205.
54
9 Paparan Kapolda NAD, “Situasi Khusus Kesatuan”, dalam Perkembangan Kamtibmas dan Gakkum di Provinsi NAD, (Banda Aceh: Polda NAD, 2007).
pipa gasnya. Sebanyak 650 personel kepolisian dilibatkan dalam pengamanan tersebut yang dikoordinasikan dengan bantuan TNI (350 personel). Pengamanan BRR dan warga negara asing di Aceh juga menjadi tanggung jawab kepolisian NAD. Dengan demikian, pembatasan jumlah tadi tetap tidak sesuai dengan kapabilitas fungsi dan tugas mereka di lapangan. Berdasarkan sejumlah alasan di atas maka jumlah personel kepolisian di NAD yang awalnya diatur dalam MoU Helsinki adalah sebanyak 9.100 berubah menjadi sekitar 11.000 personel; tepatnya 11.634 personel, dengan komposisi pembagian personel polisi di tiap-tiap wilayah sebagai berikut. Permasalahan lainnya yang dihadapi Polri dalam melakukan fungsi keamanan di Aceh, yakni m asih terjadi benturan penindakan antara polisi syariah (dalam bahasa Perda disebut Wilayatul HisbahfWH) Aceh dengan personel kepolisian. Di dalam Perda Syariah, memang
Tabel 3. Penempatan Personel Kepolisian di NAD pasca-MoU Helsinki* N o.
D a era h /W ila y a h
Jum lah
Jum lah
K esatuan
P erso n el
P en d u d u k
1 .
Markas Polda NAD
2 .4 5 5
-
2.
Banda Aceh
1 .0 8 5
1 7 7 .8 8 1
3.
Sabang
216
2 8 .5 9 7 .
4.
Pidie
711
4 7 4 .3 5 9
5.
Bireun
420
3 5 1 .8 3 5
6.
Kota Lhokseumawe
344
1 0 6 .1 4 8
7.
Aceh Utara
401
4 9 3 .6 7 0
8.
Aceh Timur
493
3 0 4 .6 4 3
9.
Kota Langsa
603
1 3 7 .5 8 6
10.
Aceh Tengah
472
1 6 0 .5 4 9
11.
Aceh Tamiang
419
2 3 5 .3 1 4
12.
Aceh Tenggara
519
1 6 9 .0 5 3
13.
Aceh Singkil
380
1 4 8 .2 7 7
14.
Aceh Selatan
410
1 9 1 .5 3 9
15.
Aceh Barat Daya
245
1 1 5 .6 7 6
16.
Aceh Barat
456
1 5 0 .4 5 0
17.
Aceh Jaya
18 0
6 0 .6 6 0
18.
Aceh Besar
499
2 9 6 .5 4 1
19.
Bener Meriah
344
1 0 6 .1 4 8
20.
Gayo Lues
312
7 2 .0 4 5
21.
P. Simeulue
256
7 8 .3 8 9
22.
Nagan Raya
249
1 2 3 .7 4 3
11.634
4 .326.486
Jum lah
'Ibid.
diatur dan ditetapkan mengenai keberadaan polisi syariah. Namun masalahnya, sampai saat ini belum ada pengaturan tugas, wewenang, dan koordinasi yang jelas dari polisi syariah tersebut. Ironisnya, tindakan polisi syariah yang dilakukan di lapangan justru “melebihi” wewenang polisi. Mereka seringkah mengatasnamakan “syariah Islam” saat melakukan penindakan terhadap masyarakat Aceh.10Pihak kepolisian merasa ada benturan wewenang yang dapat berdampak pada konteks keamanan itu sendiri. Dari perspektif kepolisian, tindakan di atas justru melanggar prosedur hukum itu sendiri, dan apabila situasi nya kacau, Polri yang akhirnya disalahkan. Keberadaan polisi syariah saat itu masih belum jelas statusnya dalam organisasi Pemerin tahan Daerah (Pemda) sehingga juga tidak jelas pihak yang memiliki otoritas untuk mengatur peran dan fungsi mereka. Polisi merasa “sulit bergerak”, sedangkan potensi-potensi gangguan ketertiban dapat terjadi kapan saja. Selain itu, keberadaan polisi syariah merupakan salah satu hal yang menjadi tuntutan utama masyarakat Aceh, khususnya pihak mantan GAM. Saat tuntutan utam a ini dipenuhi, secara tidak langsung keberadaan polisi syariah menjadi penting di hadapan publik. Bagi kepolisian, ini menjadi dilema politis. Mestinya polisi dapat langsung melakukan fungsi keamanannya tanpa harus memandang status dan keberadaan pihak manapun. Selama ada pihak yang berpotensi dan terbukti mengganggu ketertiban umum atau melanggar aturan main sistem hukum maka polisi syariah pun semestinya dapat ditindak dengan tegas oleh kepolisian. Dalam konteks keamanan masyarakat, pasca-MoU Helsinki masih memperlihatkan adanya tindakan kriminalitas yang mengganggu keamanan masyarakat di Aceh. Padahal, jika dibandingkan dengan masa sebelum MoU Helsinki, gangguan kriminalitas relatifjarang ter jadi karena saat itu fokus utama keamanan adalah konflik bersenjata antara GAM dan TNI dan Polri. Tindakan kriminalitas yang terjadi di Aceh dapat dibagi menjadi dua. Pertama, kriminalitas berkualitas tinggi. Contohnya adalah kejahatan 10 Sarah Nuraini Siregar, “Polri dan Pengelolaan Keamanan Pasca MoU Helsinki”, dalam Ikrar Nusa Bhakti (Ed)., Beranda Perdamaian..., Op.Cit., hlm. 276-277.
55
yang menggunakan senjata api dan bahan pele dak, kontak senjata, pembunuhan, pembakaran, dan sebagainya. Kejahatan ini terjadi sekitar 11 bulan setelah MoU dibandingkan dengan 11 bulan sebelum MoU. Kedua, kriminalitas secara umum, seperti pencurian. Data dari Polda NAD menyebutkan bahwa kriminalitas dengan senjata api sebanyak 98 kasus, yang terungkap adalah 54 kasus (55,10%). Berikut data yang membandingkan antara kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat Aceh pada masa sebelum dan sesudah MoU Helsinki. Tabel 4 memperlihatkan terjadi pening katan sebesar 361% jumlah kasus gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat di Aceh. Dengan demikian, gangguan keamanan dalam bentuk kriminalitas secara umum justru malah meningkat pasca-MoU Helsinki dibandingkan dengan kriminalitas berkualitas tinggi pada masa pra-MoU Helsinki. Masalah keamanan lainnya yang muncul pasca-MoU Helsinki adalah bahwa ada senjatasenjata ilegal yang beredar di wilayah NAD, khususnya di masyarakat. Pada bulan September 2007, Pemerintah Provinsi Aceh mengumumkan kepada sem ua pihak untuk m enyerahkan senjata-senjata ilegal tanpa dikenai sanksi. Hal ini dilakukan karena senjata-senjata tersebut diduga masih beredar di wilayah NAD. Penyerahan senjata berakhir pada tanggal 9 Oktober 2007 dengan hasil yang tidak memuaskan. Menurut pihak kepolisian NAD, hanya terdapat 35 senjata rakitan dan beberapa peledak yang diserahkan. Bahkan, beberapa dari senjata tersebut tidak lebih dari senapan angin yang dimodifikasi mirip AK-47." Selain kasus senjata ilegal, masalah lainnya adalah maraknya kejahatan bersenjata. Kejahatan ini mulai terjadi sejak Januari sampai dengan Oktober 2007. Salah satu jenis kejahatan tersebut adalah penembakan dan pelemparan granat yang intensitasnya mulai tinggi antara bulan April-Juli 2007.112 Data dari Kepolisian Aceh menyatakan bahwa nilai kekerasan bersenjata di tahun 2007 ternyata lebih tinggi dibandingkan tahun 2006. Sejauh ini, Aceh Timur merupakan wilayah 11World Bank-DSF, Laporan Pemantauan Konfik Aceh, (1-31 Oktober 2007). 12Ibid.
56
Tabel 4. Perbandingan Gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat di Aceh
20 Bulan Sebelum MoU Helsinki No.
a.
b. c. d. e. f. g. h. i.
a. b. c. d. e.
20 Bulan Sebelum MoU (15 Desember14 Agustus 2005) Gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Perampokan dan 10 Perampokan Kendaraan Bermotor CURAS 25 4 CURAT 11 Pencurian Motor Pemerasan 33 19 Penganiayaan Pengrusakan 9 Kutipan Pajak Nanggroe 24 2 Perompakan kapal Jumlah 137 Jenis Kasus
Lain-lain Sweeping Massa/GAM Bakar kendaraan bermotor Narkotika Kebakaran/Pembakaran Unjuk Rasa Jumlah Jumlah Total
r
16 7 97 45 15 180 317
20 Bulan Setelah MoUHelsinki No.
a.
b. c. d. e. f. g-
h. i.
a. b. c. d. e.
20 Bulan Setelah MoU (15 Agustus 2005— Jenis Kasus 14 April 2007) Gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat 98 Perampokan dan Perampokan Kendaraan Bermotor 111 CURAS CURAT 116 449 Pencurian Motor Pemerasan 44 Penganiayaan 159 Perusakan 23 29 Kutipan Pajak Nanggroe Perompakan kapal 5 Jumlah 1.034 Lain-lain Sweeping Massa/GAM Bakar kendaraan bermotor Narkotika Kebakaran/Pembakaran Unjuk Rasa Jumlah Jumlah Total
6 4 182 162 72 426 •1.460
Sumber: Biro Operasional Polda Nanggroe Aceh Darussalam, 2007.
yang seringkah mem iliki catatan krim inal bersenjata paling buruk, yakni sebesar 36% dari jumlah kasus yang teijadi di Aceh tahun 2007.13 Fenomena ini menunjukkan bahwa tindakan polisi untuk mengumpulkan senjata ilegal masih belum berhasil mengurangi gangguan keamanan di Aceh pasca-MoU Helsinki.
Keamanan dalam Pilkada Aceh Pemilihan kepala daerah (pilkada) NAD tahun 2006 merupakan peristiwa politik pertama yang penting bagi Aceh. Keberhasilan pelaksanaan pilkada ini dapat menjadi titik awal keberhasilan pemerintah pula dalam menjaga situasi kondusif di Aceh, khususnya soal keamanan. K epolisian NAD m erasa bahwa untuk melakukan pengamanan pilkada pada tahun 2006 membutuhkan penam bahan personel, bahkan juga bantuan dari TNI. Proses yang terjadi saat itu pada awalnya agak alot dengan Aceh Monitoring Mission (AMM) karena AMM merasa pengamanan pilkada dapat dibantu oleh para mantan anggota GAM. Ada kekhawatiran dengan diturunkannya personel TNI akan men ciptakan stigmatisasi terjadinya pelanggaran MoU Helsinki, di mana dalam klausul MoU tidak diperbolehkan adanya gelar pasukan tanpa seizin AMM. Tawaran tersebut dirasakan tidak realistis oleh pihak kepolisian karena tugas dan fungsi pengamanan tidak dapat diberikan kepada pihak yang bukan merupakan institusi keamanan negara. Hal tersebut juga melanggar konstitusi dan tidak sesuai dengan kebijakan penanganan keamanan yang semestinya. Penegasan yang dilakukan oleh Polda Aceh membuahkan hasil. Akhirnya AMM menyetujui bantuan penambahan personel pengamanan yang diajukan oleh polisi kepada TNI. Dalam hal ini penanggung jawab utama tetap berada di tangan Polda Aceh. Pada konteks pilkada tersebut, aspek lain yang terlihat dalam penanganan keamanan adalah operasionalisasi koordinasi antara TNI dan Polri. Koordinasi ini memang terkait dengan MoU Helsinki, yaitu peran TNI di Aceh mulai berkurang, namun aspek keamanan menjadi wilayah tugas kepolisian. Oleh karena itu, ketika menjelang pilkada, dibutuhkan pengamanan yang
13ibid.
maksimal dan hal tersebut menjadi tanggung jawab Polda Aceh. Mengingat jumlah personel kepolisian saat itu tidak memadai maka pihak Polda dapat meminta bantuan keamanan kepada TNI. Dengan demikian, peran TNI baru dapat terlihat di depan publik jika harus membantu permintaan dari Polri. Di sinilah dapat dilihat fungsi koordinasi tugas, khususnya bantuan dari TNI untuk Polri. Ketika AMM menyetujui bantuan personel keamanan dari TNI, terlihat kinerja kepolisian yang dibantu oleh TNI relatif baik dan diakui oleh banyak pihak. Pengakuan tersebut adalah efektivitas dalam menjalankan fungsi keamanan masyarakat saat momentum pilkada. Polri yang saat itu dibantu oleh TNI dapat mengamankan proses pilkada hingga berjalan dengan sukses dan aman. Kedua institusi ini dapat berkoordinasi dengan baik sehingga kerja sama juga berjalan dengan bagus. B eberapa kalangan ju g a m em berikan apresiasinya pada penyelenggaraan Pilkada 2006. Kesuksesan penyelenggaraan Pilkada Aceh 2006 merupakan peristiwa bersejarah dan monumental karena keberhasilan terselenggaranya 20 pilkada di Aceh secara serentak pada bulan Desember 2006 dengan damai, tertib, dan adil. Masyarakat Aceh yang dulu tercerai berai karena “perang saudara” selama puluhan tahun, berhasil meng goreskan tinta emas pada bangunan Indonesia. Hal ini membuktikan masyarakat Aceh mem punyai budaya luhur dan menjunjung tinggi perdamaian. Dunia internasional pun memuji keberhasilan Pilkada Aceh 2006.14 Di lain pihak, pada Pilkada 2012 dapat dikatakan mengalami situasi keamanan yang sebaliknya. Pemilihan kepala daerah (gubernur) Aceh untuk kedua kalinya dilaksanakan secara langsung dan pencoblosannya direncanakan pada 16 Februari 2012. Namun, karena terjadi sejumlah peristiwa yang mengancam keamanan masyarakat dan pilkada itu sendiri, akhirnya jadwal tersebut ditunda dan pencoblosan baru bisa dilaksanakan pada tanggal 9 April 2012. Sebelum pelaksanaan pencoblosan, sejak Januari 2012 masalah keamanan di Aceh mencuat kembali. Gangguan keamanan ini terkait erat de ,4J. Kristiadi, “Memadamkan Bara Kuasa Pilkada Aceh,” dalam Kompas.com, 13 Desember 2011, diakses 7 September 2012.
57
ngan suasana menjelang pilkada dan dampaknya adalah masyarakat yang merasa terintimidasi secara politik melalui tindak kekerasan. Sejak bulan Januari 2012, kondisi keamanan di Aceh tidak kondusif dalam tiga pekan terakhir di bulan tersebut. Seperti yang terungkap oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI ketika ia melakukan kunjungan ke Aceh selama dua hari.15 Dari hasil kunjungannya, kondisi keamanan Aceh memburuk dengan peristiwa Sekelompok Orang Tak Dikenal (OTK) bersenjata melakukan penembakan kepada warga di sejumlah lokasi. Aksi penembakan ini dilakukan di tiga lokasi dan menewaskan enam orang, di mana sebagian besar korban adalah pekerja asal Jawa.16 Walaupun belum dapat dipastikan apakah penembakan tersebut berkaitan erat dengan pilkada, aksi itu tentu menimbulkan implikasi rasa ketakutan di dalam masyarakat. Beberapa peristiwa gangguan keamanan yang m enjurus ke penem bakan m isterius menjelang Pilkada Aceh juga terjadi, seperti gambaran di bawah ini:17 ■
4 Desember 2011, terjadi penembakan di PT Setia Agung, Aceh Utara, yang menewas kan tiga orang dan melukai lima orang lain nya. Sebelumnya, terjadi pula penembakan di perusahaan survei minyak dan gas PT Zaratex NV di Sawang, juga Aceh Utara. ■ 31 Desember 2011, sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi lagi penembakan di Mess Tel kom di Bireun, Aceh. Pelaku menembaki pekerja galian kabel di Mess Telkom yang saat itu hendak beranjak tidur. Tiga pekerja tewas, dan tujuh lainnya terluka. Seluruh nya adalah pekerja pendatang asal Jawa Timur. ■ 1 Januari 2012, sekitar pukul 21.30 WIB, seorang warga di Desa Seureuke, Ke camatan Langkahan, Aceh Utara, juga tewas ditembak kelompok tak dike nal. Ia ditembak di bagian kepala ke tika sedang berada di warung kopi.
15Lihat detikNews, 12 Januari 2012, diakses 5 April 2012.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga menyesalkan terus meningkatnya intensitas kekerasan yang terjadi menjelang penyelenggaraan Pilkada Aceh. Metode kekerasan yang terjadi beragam, antara lain berupa penyerangan fisik, penganiayaan, teror, intimidasi, dan perusakan alat-alat kam panye.18 Kasus intimidasi secara umum juga dilakukan dalam bentuk menghalang-halangi masyarakat untuk datang ke lokasi kampanye, melakukan pelemparan dan pembakaran mobil tim sukses, pemukulan serta perusakan terhadap alat peraga kampanye. Situasi terebut mengaki batkan rendahnya jaminan keamanan bagi warga Aceh dan menjadi biaya politik tinggi yang harus dikeluarkan rakyat. K eam anan yang m em buruk di Aceh menjelang Pilkada membuat pemerintah melaku kan pertemuan rapat kerja dengan sejumlah instansi, seperti Menteri Dalam Negeri, Deputi V Menko Polhukam, Wakil Kepala BIN, Kabareskrim Mabes Polri, Ketua KPU, Bawaslu, dan sejumlah anggota DPR asal Aceh (Nasir Bjarail, Sayed Fuad Zakaria, dan Nova Iriansyah).19 Inti dari pertem uan ini adalah membahas kondisi keamanan dan pelaksanaan pilkada di Aceh. Enam poin penting yang menyangkut hal tersebut antara lain adalah (i) Meningkatnya tindak kekerasan di Aceh dalam dua pekan terakhir diduga berhubungan dengan Pilkada; (ii) Semua tindak pidana ataupun teror yang terjadi di Aceh harus diberantas oleh Polri, apabila perlu dengan pendekatan terorisme. Polri terkait hal ini menyatakan akan mengirim tim Densus 88 untuk menangani keamanan di Aceh, (iii) DPR (dalam hal ini tim pemantau UUPA dan Otonomi Khusus Aceh), Pemerintah dan KPU bersepakat perlunya diupayakan penerimaan kembali bakal calon kepala daerah yang belum sempat mendaftar; (iv) Meski begitu, agar KPU tidak melanggar hukum, harus ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi; (v) Untuk melahirkan keputusan Mahkamah Konstitusi, Mendagri telah menggugat KPU ke MK; (vi) Jika putusan Mahkamah Konstitusi tidak sesuai harapan, 18 Waspada Online, 4 April 2012, “Pilkada Aceh, Jaminan Keamanan Rendah,” diakses 9 Oktober 2012.
Ibid. 17“TNI Siap Jaga Keamanan Pilkada Aceh,” dalam www.starberita.com, diakses 12 Oktober 2012.
58
19 “Ini Enam Poin Penting Pertemuan DPR Soal Pilkada dan Keamanan Aceh”, dalam The Atjeh Post, Kamis, 12 Januari 2012, diakses 5 September 2012.
jalan terakhir yang diharapkan adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden.
Kecamatan Lhong, Aceh Besar. Target bom ini untuk menghancurkan konvoi kandidat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.21
Tidak hanya melalui pertemuan di atas, LSM seperti Kontras turut memberikan saran agar ke amanan di Aceh menjelang pilkada dapat segera ditangani oleh Polri selaku garda terdepan dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurut pihak Kontras, Kapolri dapat segera mengefektifkan penggunaan aturan internal, yaitu Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Menjaga Keamanan Aceh. Ini menjadi penting karena momentum Pilkada Aceh dapat menjadi salah satu ukuran dalam menilai harapan dan terjaminnya demokratisasi di Aceh.
Selain itu, sebagai institusi keamanan terdepan, Polri menyatakan komitmennya untuk melakukan pengamanan dalam Pilkada Aceh. Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution saat itu menyatakan Aceh membu tuhkan tambahan personel untuk memastikan kondisi aman dan proses pilkada berjalan lancar. Pengamanan pilkada di Aceh membutuhkan 780 personel dengan sebagian besar akan dikirim dari Mabes Polri ke Aceh sebagai back-up.TNl sendiri juga menyatakan kesiapannya untuk membantu Polri apabila dibutuhkan tambahan personel untuk mengamankan Pilkada Aceh.
Terlebih lagi dari seluruh w ilayah di Indonesia yang melaksanakan pilkada, Pilkada Aceh yang dinilai paling rawan karena selama proses pilkada sudah terjadi 57 kasus teror dan intimidasi. Data Panitia Pengawas Pilkada Aceh20 menyebutkan, sampai 1 April 2012, tercatat 57 kasus teror berupa intimidasi di seluruh Aceh dan semuanya terkait dengan pelaksanaan pilkada. Selain kasus intimidasi, Panwas juga menerima 37 laporan pelanggaran terkait pilkada yang terjadi di Aceh. Akibat kondisi keamanan menjelang pilkada yang semakin tidak kondusif, Polri akhirnya memutuskan untuk menurunkan Densus 88. Keterlibatan Densus 88 adalah dengan menu runkan 80 anggota Korps Burung Hantu untuk mengamankan pilkada dan menangkap pelaku teror intimidasi dan penembakan menjelang pemilihan gubernur tersebut. Hasilnya, Densus 88 dan Polda Aceh menembak Maimun JF yang diduga sebagai pelaku teror Pilkada Aceh pada Sabtu, 24 Maret 2012 sore, di Desa Limpok Darussalam, Banda Aceh. Pelaku ditembak karena berusaha kabur dengan memanjat tembok. Tersangka diduga terlibat dalam membawa bom rakitan yang memiliki daya ledak menghancurkan mobil pada tanggal 10 Maret 2012 di kawasan Jalan Banda Aceh-Meulaboh Meunasah Lhok, 20 Lihat bharatanews, 3 April 2012, diakses 5 April 2012.
Di lain pihak, LSM seperti Kontras amat m enyayangkan keterlibatan Densus 88 AT Mabes Polri dalam operasi untuk menurunkan angka kriminalitas di Aceh terkait penyeleng garaan pilkada.22 Menurut Kontras, operasi ini bisa dikategorikan sebagai operasi keamanan ilegal, mengingat mandat tugas Densus 88 AT Mabes Polri sebagai satuan tempur untuk memerangi kejahatan terorisme. Jika Maimun JF diumumkan sebagai bagian dari kelompok teroris, keputusan untuk menembak hingga tewas Maimun JF semakin memperburuk ketegangan politik menjelang Pilkada 9 April 2012. Model pendekatan keamanan seperti ini dikhawatirkan justru mengancam rasa keamanan masyarakat. Polri sendiri memastikan telah melaksanakan penangkapan dan penembakan terduga tero ris di Aceh sesuai standar operasi penangkapan pelaku tindak pidana terorisme. Pelaku yang diduga teroris tersebut tewas ditembak polisi saat penangkapan dan penggerebekan. Polisi berdalih tersangka berusaha melarikan diri. Selain itu, pi hak Polri merasa berkepentingan dalam menjaga keamanan pilkada di Aceh. Pengamanan tetap dilakukan menjelang proses pilkada dan pada hari pencoblosan. Pada saat pelaksanaan pencoblosan, total kekuatan personel hampir mencapai 9.000 aparat pengamanan yang merupakan gabungan antara TNI dan Polri. Rinciannya terdiri dari 21 http://www.beritasatu.com/nasional/38807-densus-tembakpeneror-Pilkada.html, diakses 28 Agustus 2012. 22 h ttp ://w w w . k o n tr a s .o r g /in d e x .p h p ? h a l =s ia r a n _ pers&id=1478, diakses 28 Agustus 2012.
59
7.930 anggota Polri dan 1.749 anggota TNI.23 Mereka tersebar di 8.848 tempat pemungutan suara dengan pola pengamanan secara tertutup dan terbuka. Polri juga dibantu oleh pengamanan 21.000 Linmas dan didukung 780 personel Brimob dari Mabes Polri. Kemudian, untuk menjamin keamanan di Aceh, Mabes Polri juga telah mengirimkan tenaga ahli, term asuk di bidang teknologi informasi, untuk memantau komunikasi di Aceh. Polda Aceh terus memonitor komunikasi orang-orang yang berpotensi melakukan tindak kekerasan di Aceh. Tak hanya itu, Polri juga akan mendatangi kantong-kantong tempat tinggal etnis tertentu yang rawan mendapat tindak kekerasan oleh oknum yang berharap situasi keamanan di Aceh tak kondusif. Kepolisian Daerah Aceh mendata dari 9.768 tempat pemungutan suara (TPS), sekitar 5.000 di antaranya yang dinilai rawan gangguan keamanan dalam pelaksanaan Pilkada Aceh.24Untuk mengantisipasi terjadinya gangguan keamanan, TPS yang terjauh itu ditempatkan dua personel Polri. Sementara itu, TPS berkategori rawan satu dijaga satu personel. Adapun TPS yang dinilai aman, personel Polri yang ditugaskan bisa berpindah-pindah. Walaupun demikian, persoalan keamanan menjelang pilkada tidak berhenti begitu saja. Peristiwa penembakan teijadi lagi pasca-Pilkada. Syukri Abdullah (35), seorang pengusaha yang juga sekretaris Partai Aceh (PA) Lhokseumawe, tewas ditembak saat melintas dengan mobil di Jalan Medan-Banda Aceh di kawasan Kuta Biang, Kabupaten Bireuen. Pelaku penembakan diduga lebih dari dua orang. Mereka meng gunakan mobil Avanza. Dari olah TKP, pelaku menggunakan senjata laras panjang, AK-47, dengan 7 tembakan yang ditemukan di lokasi.25 Walaupun Polri menduga itu terkait masalah pribadi dan agenda korban bukan urusan partai, namun implikasi dan munculnya asumsi-asumsi yang bernuansa politik terkait dengan pilkada tetap muncul ke permukaan. 23 http://www.hariansumutpos.com/2012/04/30913/densusawasi-Pilkada-aceh-hari-ini, diakses 28 Agustus 2012. 24 http://www. tempo, co/read/news/2012/01/19/180378465/ 5000-TPS-Rawan-dalam-Pilkada-Aceh, diakses 12 Oktober
2012. 25detikNews, 16 Mei 2012, diakses 5 September 2012.
60
Analisis Masalah Keamanan dalam Pilkada di Aceh Jika melihat perbandingan masalah keamanan pada Pilkada Aceh antara tahun 2006 dan 2012, dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi ke amanan relatif lebih bergejolak pada tahun 2012, dengan puncak peristiwanya adalah Pilkada Aceh 2012. Pada awalnya, masalah keamanan ini muncul karena dipicu oleh konflik antar-elite di dalam dinamika politik Aceh, yakni perselisihan internal antara Irwandi Yusuf, gubernur terpilih sejak 2006, dengan Partai Aceh yang didirikan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Partai Aceh tidak mendukung rencana Irwandi Yusuf mencalonkan diri melalui jalur in dependen untuk periode kedua dengan beberapa cara. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar argumentasi partai ini. Pertama, berdalih pada Pasal 256 UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan kandidat independen hanya diperbolehkan mencalonkan diri sekali pada pemilu pertama. Kedua, menolak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa calon independen tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan MoU Helsinki. Peno lakan ini diperkuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang mengesahkan Qanun (peraturan daerah) pada akhir Juni 2010 yang melarang calon independen. Ketiga, berdalih bahwa kekerasan tidak kondusif bagi pelaksanaan pilkada sehingga harus ditunda.26 Akibatnya, pilkada untuk memilih gubernur dan bupati/Wali kota tertunda hingga empat kali. Partai Aceh yang pada awalnya menolak ikut serta akhirnya bersedia mengikuti pilkada setelah proses lobi yang melibatkan Kementerian Dalam Negeri ditambah keputusan MK bahwa pendaftaran calon gubernur dibuka kembali. Pilkada akhirnya dilaksanakan pada 9 April 2012 atau dua bulan setelah masa jabatan Irwandi Yusuf berakhir. Konflik antar-elite politik ini turut merun cing karena Irwandi dengan berlandaskan pada keputusan MK, bermaksud maju sebagai calon independen. Sebagaimana diketahui, MK pada 30 Desember 2010 telah membatalkan Pasal 256 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah 26 The Habibie Centre, Catatan Kebijakan Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia: Ringkasan Eksekutif Peta Kekerasan di Indonesia Januari-April 2012, Edisi 01 Juli 2012, hlm. 5.
Aceh yang mengatur calon perseorangan hanya diperbolehkan sekali dalam Pilkada Aceh 2006. Dengan demikian, Pilkada Aceh harus merujuk kepada UU Nomor 12 Tahun 2008 yang kembali membolehkan calon perseorangan. Sementara itu, DPR Aceh, yang dikendalikan oleh Partai Aceh, juga menolak mengesahkan Qanun mengenai pilkada yang membolehkan calon independen. Tambahan lagi, serangkaian aksi pembunuhan di bulan Desember dan Januari yang kelihatannya ingin menunjukkan potensi tinggi kerusuhan telah memaksa pilkada beberapa kali ditunda.27 Awalnya dijadwalkan tanggal 10 Oktober 2011 kemudian berubah menjadi 14 November, namun ditunda menjadi 24 Desember, 16 Februari 2012, dan terakhir 9 April. Dengan perubahan tanggal yang terakhir, dapat dikatakan Partai Aceh berhasil mencapai tujuannya, yaitu memaksa pilkada dilakukan setelah Irwandi tidak lagi menjabat sebagai gubernur karena masa jabatannya berakhir tanggal 8 Februari 2012. Kementerian Dalam Negeri telah menunjuk seorang caretaker, Tarmizi Karim, asal Aceh Utara, bertugas sampai gubernur baru terpilih dilantik. Semakin tidak kondusifnya masalah ke amanan di Aceh turut dipengaruhi oleh belum optimalnya peran aparat keamanan dan penye lenggara pilkada dalam menangani kekerasan dan merespons pengaduan masyarakat. Lambatnya penindakan oleh kepolisian terlihat misalnya dari kasus penembakan pada akhir tahun 2011. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh saat itu pada awalnya mengklaim bahwa insiden itu tidak ber hubungan dengan pilkada, tetapi merupakan aki bat persaingan bisnis dan kecemburuan penduduk lokal terhadap pendatang. Pernyataan ini secara tidak langsung telah dikoreksi pada tanggal 21 Februari 2012 ketika Kapolda mengatakan bahwa penembakan dilakukan oleh satu kelompok yang sama dan sudah diketahui, tetapi Polda menolak mengungkapkannya.28 Barulah kemudian pada tanggal 24 Maret 2012, Polda menangkap 6 tersangka, itu pun setelah serangkaian pertemuan di Jakarta yang membahas masalah keamanan di
27 Lihat Asia Briefing No. 135, 29 Februari 2012, Indonesia: Menghindari Kekerasan Pilkada di Aceh.
Aceh dan telah diputuskannya agar Densus 88 diturunkan. Lambatnya aparat merespons kekerasan dikhawatirkan dapat merusak iklim perdamaian yang sudah membaik sejak tahun 2005. Dalam jangka panjang, pem biaran ini berpotensi mengembalikan kultur politik kekerasan di Aceh. Penyelenggara pilkada juga dianggap tidak tanggap terhadap pengaduan masyarakat. Forum LSM Aceh dan Acheh-Sumatra National Libe ration Front (ASNLF), misalnya, menyebutkan bahwa terjadi banyak kecurangan dan intimidasi dalam pilkada, tetapi tidak ditindaklanjuti oleh penyelenggara pilkada. Ini juga mengindikasikan bahwa peran lembaga-lembaga penyeleng gara pilkada juga tidak berjalan optimal. Hal ini mengundang spekulasi tentang adanya kepenting an politis tertentu yang membuat insiden-insiden kekerasan dan intimidasi dibiarkan terjadi. Oleh karena itu, harus diakui bahwa per soalan keam anan di A ceh, terutam a pada konteks Pilkada 2012 bukan hanya semata merupakan masalah lambannya respons aparat keamanan dalam menindak kasus kekerasan yang terjadi. Namun, perlu dilihat bahwa peristiwa penembakan yang terjadi sedemikian sistematis sehingga merepotkan aparat keamanan dalam menindak pelaku. Hal ini menuntut Polri untuk menurunkan kekuatan Densus 88. Terjadinya kekerasan yang m ayoritas m erupakan kasus penem bakan bersenjata, menimbulkan satu pertanyaan besar, yaitu bagaimana senjata-senjata tersebut masih ada (dipegang) oleh suatu oknum tertentu? Pertanya an ini kemungkinan besar dapat ditelusuri ke belakang, pada saat realisasi MoU Helsinki ada butir kesepakatan yang menyebutkan bahwa pihak GAM wajib memberikan persenjataan mereka sebanyak 840 pucuk senjata untuk dimusnahkan. Sejumlah kalangan saat itu— terutama Polri dan TNI— mempertanyakan dari mana klaim angka 840 tersebut mengingat jumlah personel GAM juga lebih dari 1.000 orang. Inilah yang akhirnya dikhawatirkan, sebab adanya penembakan-penembakan misterius tersebut sudah pasti dilakukan oleh seseorang yang memegang senjata dan identifikasi senjata tersebut sulit ditelusuri, sebab terkadang peluru
28The Habibie Centre, Catatan Kebijakan..., Op.Cit., hlm. 6.
61
dari senjata tidak diketahui pemilik aslinya atau hasil senjata rampasan.
Penutup Uraian di atas sebenarnya memperlihatkan bahwa keamanan di Aceh masih mengalami kendala yang disebabkan oleh kompleksitas dari dinamika perpolitikan di wilayah tersebut. Jika kita lihat secara kronologis, baik pada masa Orde Baru maupun pasca-Orde Baru, isu keamanan di Aceh selalu terkait erat dengan kelompok bersenjata, gerakan separatisme, dan kekuatan militer, de ngan dibalut oleh tuntutan politik. Bahkan di masa itu, masalah politik di Aceh lebih cenderung diselesaikan melalui pendekatan militer. Ternyata setelah MoU Helsinki berlangsung, persoalan keamanan di bumi Serambi Mekkah ini tidak sepenuhnya selesai. Masa awal setelah MoU Helsinki ditandatangani, masalah keamanan mulai bergeser pada aspek kriminalitas, dengan kecenderungan yang justru tinggi secara statistik jika dibandingkan sebelum MoU Helsinki. Pada hal di sisi lain, rasio polisi di wilayah ini dapat dikatakan mengalami perbaikan. Di lain pihak, persoalan kriminalitas pada masa tersebut tidak dapat sepenuhnya menjadi “kesalahan” Polri semata. Beberapa temuan dari berbagai literatur mengakui bahwa klausul dalam MoU Helsinki mengenai penyerahan senjata mantan anggota GAM belum semuanya diberikan. Terdapat dugaan bahwa masih ada senjata-senjata ilegal yang beredar di Aceh. Ini bisa saja dikaitkan dengan serangkaian kekerasan yang terjadi di Aceh menjelang Pilkada 2012 dan dilakukan oleh oknum tertentu. Saat Pilkada Aceh 2012 menjadi sorotan banyak pihak, pada waktu yang bersamaan pula gangguan keam anan terjadi kem bali. Secara politik hal ini berkaitan, apalagi se jumlah analisis menyatakan bahwa, baik teror, kekerasan, maupun intimidasi yang terjadi disi nyalir berhubungan dengan pelaksanaan pilkada. Tarik-menarik kepentingan antar-elite menjelang pilkada menjadi muara dari persoalan keamanan di Aceh. Apalagi tindak kekerasan yang teijadi secara nyata melibatkan beberapa oknum mantan kombatan. Pola tindakan tersebut tentu dirasakan secara langsung oleh masyarakat, bukan sekadar ancaman. Sayangnya, setelah teijadi serangkaian
62
pembunuhan dan intimidasi, barulah Polri selaku instansi keamanan bertindak. Oleh karena itu, untuk terus menjaga kepastian hukum di Aceh, Polri perlu segera mengungkap dan menindak kasus-kasus kekerasan terkait pilkada. Tidak hanya Polri, Pemerintah pun bertanggung jawab dalam menjamin keamanan masyarakat Aceh, agar potensi kekerasan tidak terjadi lagi.
Daftar Pustaka Asia Briefing No. 135, 29 Februari 2012. Bhakti, Ikrar Nusa (Ed). 2008. Beranda Perdamaian: Aceh 3 Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta &Yogya: P2P LIPI & Pustaka Pelajar. Bharatanews, 3 April 2012, diakses 5 April 2012. Centre, The Habibie. Catatan Kebijakan Peman tauan Konflik Kekerasan di Indonesia: Ring kasan Eksekutif Peta Kekerasan di Indonesia Januari—April 2012, Edisi 1 Juli 2012. detikNews, 12 Januari 2012, diakses 5 April 2012. detikNews, 16 Mei 2012, diakses 5 September 2012. http://www.beritasatu.com/nasional/38807-densus-tembak-peneror-Pilkada.html, diakses 28 Agustus 2012. http://www.hariansumutpos.com/2012/04/309I3/ densus-awasi-Pilkada-aceh-hari-ini, diakses 28 Agustus 2001. http ://www. kontras. org/index.php?hal=siaran_ pers&id=1478, diakses 28 Agustus 2012. http://www. tempo.co/read/news/2012/01 /19/ 1803 78465/5000- TPS-Rawan-dalam-Pilkada-Aceh, diakses 12 Oktober 2012. Kingsbury, Damien. 2006. Peace in Aceh: a Per sonal Account o f the Helsinki Peace Process. Singapore: Equinox Publishing. Kompas, 13 Desember 2011, diakses 7 September 2012 .
Kontras. 2006. Aceh: Damai dengan Keadilan. (Seri Aceh II). Jakarta: Sentralisme Production. Nurhasim, Moch. (Ed). 2006. Evaluasi Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh 2003—2004. Jakarta: P2PLIPI. Paparan Kapolda NAD. 2007. Perkembangan Kam tibmas dan Gakkum di Provinsi NAD. Banda Aceh: Polda NAD. The Atjeh Post, 12 Januari 2012, diakses 5 September 2012 .
Waspada Online, 4 April 2012, diakses 9 Oktober 2012. World Bank-DSF. 2007. Laporan Pemantauan Konfik Aceh, 1-31 Oktober 2007.
THE EU AND PEACE BUILDING IN ACEH-INDONESIA: A L esson-L earned for S trengthening S ecurity P olicy in C ivilian M ission A pproach Chairul Fahmi Abstract Since the European Union s (EU) Common Foreign and Security Policy (CSFP) launched in 1993 when Maastricht Treaty signed, the development of CFSP has become an important of the EU’s external activities in related to both the EU’s a common policy and international order. However, The CFSPfacing the challenges of the traditional model in which CFSP vis a vis North Atlantic Treaty Organization (NATO) ’s interest to occupied the EU’s member State on security policy. This study was conducted to analyses the externalization o f the EU through CFSP which has increasingly importantfor both the Union integration as a global actor and the regions across the world. The purpose is to examine how and why the EU is developing CFSP become involved across the world and causing particular impact on peace building in Aceh-Indonesia? To achieve the aim, historical CFSP development, background of the conflict and CFSP ’s instrument that used within the EU mission in Aceh-Indonesia is addressed. The analysis is mainly based on examination ofliteratures and EU official documents through a theoreticalframework and empirical evidence of practice. The result stated that the EU’s role in peace building in Aceh become civilian model 's approach in addressing o f peace process in Sub-National conflict in the region. Keywords: Europeon Union, peace building, Aceh Abstrak Sejak Common Foreign and Security Policy (CSFP) dikeluarkan pada 1993, bersamaan dengan ditanda tanganinya Perjanjian Maastrich, CFSP telah menjadi bagian penting bagi hubungan eksternal dan skema tatanan dunia yang diacu oleh Uni Eropa (UE). Namun, CFSP juga mendapatkan tantangan dari model tradisional seperti konsep keamanan dari NATO yang juga menjadi acuan dalam kebijakan keamanan negara-negara UE. Kajian ini bermaksud mendalami penerapan hubungan luar negeri UE melalui skema CFSP yang merupakan bagian penting bagi integrasi UE dalam peranannya sebagai aktor global dan kawasan. Artikel ini bertujuan menganalisis mengenai latar belakang dan bagaimana pengembangan CFSP serta peranan UE di dunia, khususnya dalam perdamaian di Aceh. Untuk itu, ulasan dalam artikel ini akan mengupas sejarah perkembangan CFSP, latar belakang konflik Aceh, dan instrumen yang digunakan CFSP dalam misi UE di Aceh. Data yang digunakan dalam tulisan ini bersumber dari dokumen dan pernyataan yang diungkapkan oleh pejabat UE. Kesimpulan yang dapat diambil ialah, peranan UE dalam perdamaian di Aceh dapat menjadi model pendekatan sipil dalam menangani proses perdamaian pada konflik sub-nasional di kawasan. Kata kunci: Uni Eropa, peace building, Aceh
Introduction The European Union (EU) has become an increas ingly important global actor, especially afiter Cold War. Lahdensuo notes that since January 2003 European Security and Defense Policy (ESDP) has been engaged in several missions including in the Former Yugoslav Republic, the Democratic of Congo, Middle East, and Aceh-Indonesia as
the first ever the EU’s succeed mission in South East Asia based on soft power approached.1 The EU’s mission in Aceh has been monitor ing the implementation of the peace agreement between the Indonesia Government and Free Aceh Movement (GAM). In this peace agreement 1Sarai Lahdensuo, Building Peace in Aceh: Observations on the Work o f the Aceh Monitoring Mission (AMM) andlits Liaison with Local Civil Society, retrieved March 21,2008, from http:// tvww.cmi.fi/files/AMM_report.pdf. 2006, p. 38.
63
process there have been several actions taken particularly in the security hand over and destruction of weapons. Subsequently, EU mission in Aceh was important test for the Union’s ability to apply some of the security policy instruments it envisaged under the Helsinki goals which The aim of the CSDP is to give to the EU a politico-military capability for purely European operations where the US and/or NATO do not want to be involved, for example, for peacekeeping and other military and security tasks, without undermining the importance of NATO as the provider of territorial defence for most Member States.2 Although it is limited in scope and time, this ESDP engagements have given the EU added confidence and are the first hand-on manifestation of the extemalization of the EU through a Common Foreign and Security Policy (CFSP) dimension, which may lead to more ambitious interventions in the fiiture. The EU 's common foreign and security policy it launched when the Maastricht Treaty on EU signed in February 1992 and came into force since November 1993, with this treaty the Member States upgraded their joint capacity for foreign policy co-operation by assembling new instruments and decision making procedures under the label o f the common foreign and security policy in second pillar of EU/EC.3 One of the objectives of the Union as emphasized in the Maastricht Treaty as Nuttal notes that “to assert its identity on the international scene, in particular through the implementation of a common foreign and security policy including the eventual framing of a common defense policy, which might in time lead to a common defense”.4 Therefore, the EU’s civilian crisis management is an evolving concept, which has been positively promoted and developed during recent years. The first EU civilian crisis mission started in 2003 in Bosnia-Herzegovina, and then extended to Former Yugoslav Republic 2 S. Keukeleire and J. MacNaughtan, The Foreign Policy o f the European Union, (New York: Palgrave Macmillan, 2008), p. 221.
of Macedonia, the Democratic of Congo and Aceh.5 Yet, in Aceh, the EU’s mission through Aceh Monitoring Mission (AMM) has been an interesting challenge from the outset. The AMM is exceptional from at least two points of views. Firstly, the AMM is the first EU civilian mission in Asia ever and, secondly; it is considered to be purely a civil monitoring mission with a unique background and task. Another exceptional feature of the Aceh peace process is that it is an outcome of a process, which combines a private diplomacy process and a crisis management mission by regional organizations and govemments. As a result, it has required exceptionally smooth collaboration between civil society and intergovemmental actors. Notwithstanding, through the AMM, the EU embarked upon its first ESDP mission in Asia. According to Fieth, AMM efforts at helping solve the conflict in Aceh were part of the EU’s broader policy goal of strengthening security and stability in the region. Furthermore, Fieth argues that the EU led AMM was a concrete expression of the EU’s commitment, not only to the peace process in Aceh, but also to peace and long-term develop ment in Indonesia and the region as a whole.6 It shows, the European Union involvement in the success of Aceh peace process. The EU also funded the Crisis Management Initiative which success a mediation role leading to the signing of a peace agreement between the Government of Indonesia (Gol) and the Gerakan Aceh Merdeka/ Free Aceh Movement (GAM). Meanwhile, the overall objective of the AMM is to assist the Gol and GAM in the implementation o f the Memorandum of Understanding (MoU). Therefore, the Commission provided assistance in support of the immediate reintegration needs of ex-GAM combatants and political prisoners and to villages/communities of retum (small infrastructure, livelihoods).7This objective is to encourage the development of the rule of law and democracy in Aceh. 5Lahdensuo, Building Peace in Aceh..., Op.Cit., p. 15.
3 M. Merlingen & R. Ostrauskaite, European Union PeaceBuilding and Policing, (London and New York: Routledge, 2006), p. 34.
6P. Fieth, ‘'Strengthening peace after the disaster the Aceh Moni toring Mission’’, ESDP News Letter 2006,2 (1-32). Retrieved on September 12,2008, from http://www.iss.europa.eu/uploads/ media/ESDPjiewsletter_ 002.pdf p. 8.
4S.J. Nuttall, European Foreign Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2000), p. 272.
1Keukeleire & MacNaughtan, The Foreign Policy o f the Euro pean Union..., Op.Cit., p. 221.
64
Historical Conflict in Aceh After Indonesia declared its independence, the nominally still existing sultanate of Aceh was abolished and the territory incorporated into the province of North Sumatra. Because of unending protests by the Acehnese people, the Indonesian govemment was forced and promised in 1959 to grant Aceh a greater degree of autonomy. However, this promise was not ever fulfilled in reality until recently. This unfulfilled promise in the past had created a great deal of resentment and disappointment the Acehnese at that time. The frustrated intentions of the Acehnese in exercising their right to self-determination was later emphasized by the establishment of Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF), to be later renamed Free Aceh Movement, and even later known as GAM, was founded on 4 December 1976 by Hasan Tiro, a descendant of the last sultan of Aceh. According to Schulze “GAM’s ideology was one of national liberation aimed at freeing Aceh from all political control of the foreign regime of Jakarta and the creation of an independent Acehnese State”.8 This movement became the defining factor in the armed political rebellion, and hence regarded as the renaissance of resistance tradition. In response, president Soeharto imposed martial law and intensified military intervention against this freedom movement and identified the province as a Military Operation Territory or Daerah Operasi Militer (DOM).9This designation would remain with Aceh province throughout the anti-insurgency operations carried out from 1990-1998. In his book Working fo r Conflict; Skills And Strategies fo r Actions, Fisher argues that the long continuing Aceh conflict (the so-called “Aceh War”) during the Soeharto regime, could be classified into two main forms of conflicts; underground conflict, known as ‘Pre-DOM period between 1976-1989, and the second, known as the ‘open conflict period,’ well-known as the 8K.E. Schulze, Mission notso Impossible the Aceh Monitoring Mission and Lessons Learnedfor the EU, (Fredrich Ebert Stiftung Library home page, 131, 2007). Retrieved September 10, 2008, from: http://library.fes.de/pdf-files/id/04786.pdf, p. 86. 9 E.F. Drexler, Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State, (Pennsylvania: University o f Pennsylvania Press, 2008), p. 86.
post DOM, occurring between 1998-2003.101 According to Fisher, as quoted by Ishaq (2006, p. 70) on his essay about ‘The anatomy of Aceh conflict”, even if GAM was proclaimed a long time ago (on its independence day in December 04, 1976 by Hasan Tiro), it did not echo to all areas at the time. It was opined that GAM only gained in popularity shortly after the period of DOM implementation in 1989. Since early 1998, after the collapse of the Soeharto regime, the euphoria of the reform movement in Indonesia made room for the birth of student protest movements to launch the public political demand for the withdrawal of the DOM status in the province. This was followed by the establishment of the human right rehabilitation for the victims of the conflicts. As the regime changed, President Abdurrahman Wahid ended the martial law in Aceh in 1998, but armed conflict continued between the combatants of the Aceh freedom movements and Indonesian security forces (TNI).11 Predictably, both sides between GAM and TNI could be claimed that has committed serious human right abuses.
The Long Road of The Peace Talks The long enduring conflict involving the TNI troops and the GAM combatants was for the first time brought to the negotiation table in the year 1999. The first peace negotiation process mediated by the Henry Dunant Center (HDC), a Geneva based humanitarian organization, was aimed at ending the over 30 years of internal con flict which had killed approximately more than 10,000 people (Huber, 2004, p.6). Consequently, a Joint Understanding Humanitarian Pause for Aceh was signed by both parties on May 12, 2000. The main goals for this mission were to provide humanitarian assistance for the people of Aceh by minimising the military activities from both sides, and promoting trust and confidence amongst both groups, in order to implement a peacefiil solution (Human Right Watch, 2008). 10Simon Fisher, et al., (Eds.), Working with Conflict: Skills and Strategies fo r Action, (New York: Zed Books in Association with Responsding to Conflict, 2000), p. 224. 11E. Aspinall, “Peace without Justice? The Helsinki Peace Pro cess in Aceh”, Journal o f Centralfor Humanitarian Dialogue, 3 (1-44)2008. Retrieved September 6,2008 from: www.hdcentre. org/files/ Justice%20Aceh%20final.pdf.
65
U nfortunately, the political instability during the regime of President Wahid hindered both parties from successfiilly implementing the Humanitarian Paused Agreement. Considering the powerful role of the military in Indonesian politics, President Wahid failed in enacting aspects of the agreement to which the military were obliged to fulfill. Eventually, due to strong pressure o f military leaders, the number of TNI involved in the conflict was increased by order of the Presidential Instruction (Instruksi President)-(Inpres) No. 4 on April 11,2001. The Instruction recognized that the efforts at resolving the Aceh conflict through dialogue with the GAM separatists had produced no results and that level of violence were increasing.12 Even if the joint agreements were considered practically ineffective by both parties; mutual ef forts prompted the extension of the agreement on two occasions. During these extension periods, meetings between the Gol and GAM succeeded in retuming both parties to the discussion table in Geneva. The “continually stopping and then starting again” meetings failed to achieve an agreement as a result of the crisis of trust between the both parties. Both groups suspected each other of having no political will in achieving the long lasting peace desired.13 Although previous peace talks were not as successful as hoped, the peace process was not abandoned, and continued until the next presi dential era. Megawati, the successor to president Wahid continued with a non-military approach by starting other peace negotiations in February 2002. As Sukma describes that a successful of the negotiation was finally signed by the Cessation of Hostility Agreement (CoHA) in December 2002. However, as in the previous case, President Megawati also faced strong pressure from several domestic institutions— including the Indonesian Military—to increase the number of military forces in Aceh.14 The military argued that the 12H. Soesastro, A.L. Smith, & H.M. Ling (Eds.), Governance in Indonesia: Challenges Facing the Megawati Presidency, (Jakarta: Institute of Southeast Asian Studies Publisher, 2003). 13International Crisis Group, Aceh: a New Chance fo r Peace, (International Crisis Group, Asia Briefing No.40, 2005). Re trieved September 10,2008, from: http://www.crisisgroup.org/ home/index. cfm ?id=3615&l=l. 14Rizal Sukma, “Secessionist Challenge in Aceh: Problems and
66
humanitarian approach was an ineffective ap proach to dealing with the Aceh conflict. As a result of the pressure, the Presidential Decree No. 28/2003 on Martial Law was issued.15 This law was recognized to have had an adverse impact on the conflict because of the sheer increase in the number of human rights violations in Aceh province. The worsening situation in Aceh made it more difficult to achieve a negotiated settlement, which CoHA in practice was ineffectual, and eventually abandoned.
The EU and Peace Building in Aceh Following the operations conducted in Bosnia Herzegovina, Congo, Middle East and other regions in the world, the EU mission in Aceh — Indonesia was the first ever CFSP/ESDP mission in Asia. This mission launched to monitor the implementation of a Memorandum of Understanding (MoU) of peace agreement between the Indonesia Government and free Aceh movement, the aim of which is to restore peace in Aceh-Indonesia. This EU mission represents an invaluable opportunity for the EU to demonstrate its capacity to rapidly launch a complex CFSP/ESDP mission over long distances of Europe, and it was focused to conduct the decommissioning, demobilization and reintegration of former combatants, redeployment of non-organic Indonesian military forces, as well as post-tsunami reconstruction in an effort to achieve sustainable security and development in the region. It also adopted its EU first common security strategy in 2003 and the European Security Strategy (ESS) which stressed the EU’s global role as a credible and effective actor, as Solana States that “the EU should be ready to share in the responsibility for global security and in building a better world”.16 As a result, the EU mission in Aceh through AMM
Prospects”, in H. Soesastro, A.L. Smith, & H. M. Ling (Eds.), Governance in Indonesia..., Op.Cit., p. 156-157. 15D. Kingsbury, Peace in Aceh: a Personal Account o f the Helsinki Peace Process, (Jakarta and Singapore: Equinox Publisher, 2006), p. 10. 16Javier Solana, A secure Europe in a Better World: European Security Strategy. Retrieved September 18,2008, from Institute for Security Studies, website: http://www. iss. europa. eu/uploads/ media/solanae.pdf, 2003.
provides an opportunity to put the capabilities of the CFSP/ESDP into practice in worldwide.
tens of thousands, and negatively impacted the economic and political situation of the whole country.19
The Helsinki Peace Process
Moreover, Kingsbury describes that under the auspices of President Ahtisaari, the agreement covered a series of conditions mandated by both parties;
The people in Aceh have endured all the sufferings associated with conflicts during the more than thirty years of bloody conffontations between the Gol and GAM. Therefore, the terrible disaster of the 26th of December 2004 tsunami and the earthquake which took the lives of approximately 170,000 people had further complicated the condition and suffering in Aceh. Hence, within the context of the post-tsunami environment, the heightened sense of urgency to resolve the conflict for an everlasting peace came to the fore and this galvanized the international community into action.17 Despite the former attempts at reaching peace deals there was the sense that the right conditions for a long lasting peace simply did not exist prior to 2005. This pessimism however, did not extinguish the desires of the main actors to find a peaceful solution in Aceh. Hence, Rathner & Hazdra argues that it is not an exaggeration when many politicians and scholars spoke of the most devastating tsunami and earthquake of December 2004 as a “Blessing in Disguise” in ending the conflict.18 Within a few hours of the undersea earthquake off the coast of Sumatra (measuring 9.1 on the Richter-scale) and the Tsunami that followed, ten times more people died than the number of people killed in the thirty year Aceh civil conflict, forcing the principal actors back to the negotiating table. The peace process was facilitated by Crisis Management Initiative (CMI) and supported by the EU Commission. Then, after eight months of negotiations and many rounds of talks in Finland, on August 15, 2005 the Indonesian govemment and GAM leader signed a MoU in Helsinki. The agreement brought an end to nearly thirty years of conflict that caused 15.000 victims, displaced 17Taina Jarvinen, Aceh Monitoring Mission and the E U ’s role in the Aceh peace process, (Finland: University o f Helsinki Press, 2008), p. 80. 18J. Rathner & P. Hazdra, “The Aceh Monitoring Mission: an Innovative Approach to DDR”. Retrieved September 10,2008, from BMLV Website: http://www.bmlv.gv.at/pdf_pool/publikationen/small_arm sache-m onitoring_missionj_rathner_p_ hazdra.pdf, 2007. p. 4.
“GAM was required to disarm, handing its weapons over to the govemment security forces. The govemment of Indonesia promised a broader autonomyfor Aceh including the right of the Ex-GAMmembers to independently establish localpoliticalparties and local govemment. This regional govemment was given control over the natural resources in the oil and gas-rich province. The parties sought to find a suitable monitoring body for the eventual agreement. For this aim, an Aceh Monitoring mission was established by the European Union. Five ASEAN contributing were given the mandate to create a monitoring task force that was to ensure the implementation of the terms of the peace agree ment by both parties ”.20 In general, this peace agreement between Gol and GAM, both of parties commit in the MoU to achieve a peaceful, comprehensive and sustainable solution to the conflict in Aceh. Accordingly, Solana wrote that “the MoU details the agreement and the principles that will guide the political process in Aceh, covering the following topics inter alia political reform in Aceh, including a law on the goveming of Aceh, political participation, economy and rule of law; human right; amnesty and re-integration of GAM members into society; establishment of the Aceh Monitoring Mission and agreement on a dispute settlement mechanism”.21 In short, contrary to the CoHA agreement of the previous peace process which consisted of an open—ended series of confidence building measures aimed at creating conditions for a final 19 Kingsbury, Peace in Aceh..., Op.Cit., p. 23. 20M. Ahtisaari, “The Helsinki Accord and Its Implementation”, Paper presented at the Conference of Building Permanent Peace in Aceh: One Year After the Helsinki Accord, Jakarta, Indonesia, 2006. Retrieved September 20, 2008, from http://www.cmi. fi/?content=speech&id=87,2006, p. 129. 21 Javier Solana, Welcomes Launch o f Aceh Monitoring Mis sion. Retrieved September 7,2008, from the Council ofthe EU Website: http://ue.eu.int/ueDocs/cms_Data/docs/pressdata/EN/ declarationsZ86245.pdf, 2005, p. 3.
67
settlement, the strength of the MoU was that the parties had reached an agreement on the core political and economic status of Aceh in relation to the Central govemment, rule of law issues, political participation, and human rights. It was only made possible by the major concession o f GAM to give up its armed resistance for independence and accept the offer for autonomy within Indonesia. As well as with involved the EU as the international actor on implementation.
The EU CFSP Contributes to Peace Keeping in Aceh The EU Civilian Crisis Management (CCM) mission and then later called the EU monitoring Mission in Aceh (AMM), Indonesia, as one of the elements of the EU’s extemal action under CFSP/ESDP, and it marks as a remarkable short mission of the EU in Asia and a succeed cooperation with ASEAN States on establishing peace building in Aceh-Indonesia. Gifted with a strong mandate including monitoring demobilization, the decommissioning of arms, the withdrawal of govemment forces, the reintegration of former combatants and the launch of a new political process, this mission has so far provided an effective contribution in ending years of fighting and paving the way to sustainable peace.22 For the EU, the AMM also represented a test case for the newly established civilian crisis management mechanisms within the ffamework of the CFSP/ESDP in Asia and demonstrated the ability of the EU to live up to its vision of being a credible global actor in international politics as proclaimed in the European Security Strategy and also emphasized in Article 17.2 of the TEU, “questions referred to in this Article shall include humanitarian and rescue tasks, peacekeeping tasks and task of combat forces in crisis management, including peacemaking”.23* Then, these missions also based on “Petersberg tasks” which ESDP missions are not limited to 22 Adam Burke & Patrick Baron, Supporting Peace in Aceh: Development Agencies and International Involvement, (USA: East West-Center Washington, 2008). 23 Agnieszka Nowak, (Eds.), Civilian Crisis Management: the EU Way, (European Union: Institute for Security Studies, 2006), [electronic version], retrieved September 15,2008. from: http:// www.iss.europa.eu/uploads/media/cp090.pdf. p. 12.
68
the military dimension but also include civilian tasks. The Petersberg tasks are an integral part o f the European security and defense policy (ESDP) tasks of a humanitarian, peacekeeping, peacemaking and post-conflict stabilization tasks. According to Beeck (2007, pp. 20-1) the most EU civilian crisis management missions have so far been police missions or operations focusing on border assistance and the rule of law, such as the EU mission in Balkan. Meanwhile the AMM is unique because it is the EU’s first civilian mission in Asia and an exclusively civil monitoring mission established within the framework of ESDP while the Commission was involved inside. Then, the strategic guidance of the AMM fell under the responsibility of the European Council and it was also financed by the EU’s CFSP budget line as well as by contributions o f participating countries. As a result, The AMM has been as important as the agreement to stabilize Aceh province. Unlike previous attempts to bring an end to the conflict, a significant international player was associated with the implementation of the agreement.
Background to the Mission Following an official invitation by the Indonesian Govemment and fully supported by the GAM leadership, the EU decided to take up the challenge of its first mission in Asia. Basically, both parties who signed the MoU ware leaming from past experiences on the failure of previous peace agreements which the humanitarian pause and the CoHA in 2002 without involved of a strength international body as a guarantor on implementation the peace agreement. The Helsinki MoU, therefore, agreed that the EU must be invited, and the Council took note of the report of the Technical Assessment Mission (TAM) in July 2005, and finally welcomed the successful conclusion. It agreed that the EU was prepared in principle, to provide observers to monitoring implementation of the MoU, Although, there was little enthusiasm for the launch of the envisaged operation from the EU Political and Security Committee (PSC), while some EU countries such as Finland, Sweden, the Netherlands and France, as well as Switzerland and Norway pushed for EU engagement for
the mission. Then, together with five ASEAN countries, the EU mounted a monitoring mis sion called-AMM in order to ensure that the memorandum is properly implemented.24 Referring to the EU Council Joint Action 2005/643/CFSP, the AMM was established on 9 September 2005 and practically, the monitoring team was deployed to properly start the mission as soon as the MoU was signed and took effect in September 15, 2005. The speed with which the operation was put together shows how much progress has been made on the ESDP during the last few years and testifies to the European Union’s commitment to carry on a peace keeping in a region of the world that has one through lots of suffering (Merlingen & Ostrauskaite, 2008, p. 129). However, at the same time, it was apparent that any vacuum between 15 August (when MoU signed) and the launch o f AMM on 15 September could be potentially dangerous to the peace agreement. Then, the Council and Commission, with participation of the CMI, drew up a concept for an EU Initial Monitoring Presence (IMP) to cover the gap.25 Moreover, The AMM was a civilian mission within the ffamework of the ESDP, and it was to be the first ESDP mission in Asia, far away from Europe neighbour, at 10,000 km from home. However the EU mission in Aceh was regarded as potentially beneficial in various respects, at least As Braud and Grevi described that:
method with priority given to rapid reaction response. The capability-building started by setting quantitative targets and holding pledging conferences where Member States committed a specific number of relevant national experts and it was only after this process was only after this process was started that the EU defined the purpose of the capabilities.27 Then, the AMM was formally a civilian operation, but in practice it could be seen as a mixed mission that engaged in the planning phase of the Civ-Mil cell, its resources and unique capabilities combining Council and Commission officials. The Civ-Mil cell thus fully involved already in a fact-finding this mission. Obviously, it appears that the AMM as the first CFSP/ESDP mission in Asia has extremely interesting and innovative approach to extemalization of the EU CFSP, which mandated a variety o f military and civilian tasks. The AMM has conducted monitoring and supporting the parties of the MoU with disarmament, reintegration, human right, new legislation, withdrawal the military forces and many other demanding politi cal issues.28 Hence, the EU crisis management mission was delivered good result for the region as well as succeeded of CFSP/ESDP operation in Asia region in establishing peace, democracy and human right. Despite it was new challenge for the EU become the global actor in the world.29
Mission Mandate and the Features "A mission in Indonesia would match the Vision o f those who regarded the Union as a global player, not limited to stabilizing its neighbourhood but nurturing more ambitious goals, and the mission would offer a test case for the functioning o f the ESDP machineryfor civil crisis management, and it particular o f the newly established civil-military cell”.26 The development of civilian and military capabilities within ESDP both followed a similar 24 P. Kirwan, “From Europe to Global Security Actor: the Aceh Monitoring Mission in Indonesia”, in M. Merlingen & R. Ostrauskaite (Eds.), European Security andDefence Policy, (London and New York: Routledge, 2008), p. 125. 25 Ahtisaari, “The Helsinki Accord and Its Implementation”, Op.Cit., p. 28. 26Pierre-Antoine Braud & Giovanni Grevi, “The EU Mission in Aceh: Implementing Peace”, Journal ofInstitute fo r Security Studies, 61 (1-41) 2005, p. 24.
The CFSP/ESDP acting on its challenges, in September 2005, officially the EU launched the AMM as a civilian crisis management operation, acting as a facilitator and as a supporter to the parties in their effort in creating a peaceful solu tion for the Aceh conflict. This led to a Council decision in September to establish the EU’s first ever crisis management operation in Asia, as the Council expresses that this mission is: “An important role played by the AMM, which will conclude its mandate on September 2005, in monitoring and supporting the peace 27 Agnieszka Nowak, (Eds.), Civilian Crisis Management..., Op.Cit., p. 21. 28Burke & Baron, 2008, p. 15. 29Ibid., p. 15.
69
process. The Council underlines the need to draw comprehensive lessons from this experience for future EU civilian crisis management missions ”.30 The overall objective o f the AMM was to assist the Gol and the former GAM in the implementation of the MoU for the first six month period of its initial mandate starting shortly after its coming in to being from 15 September 2005 until 15 March 2006 and followed by a period of extension for three months until December 15 June 2006. In accordance with this, it was clearly stated in the MoU that AMM was mandated in the joint action under main tasks in the peace keeping mission. Then, the AMM’s primary task was to monitor the decommissioning, disarmaments and demobilizations (DDR) of former GAM combatants as well as to rule on disputed amnesty cases. The withdrawal of the non-local TNI and police troops from Aceh was also another task mandated by the MoU.31 Hence, it represents a new test for the EU ’s capacity to handle post-conflict management which providing key lessons on DDR practice that will hopefully also contribute towards the formulation o f a comprehensive DDR concept. Meanwhile, the integration and reconciliation process are not really objectives of CFSP/ ESDP, but responsd to the extemal action of the Commission framework to stabilize post crisis situations.32 So, the EU mission in Aceh was also a good example of how practical collaboration between the Commission and the Council can strengthen the impact of an ESDP operation in Aceh-Indonesia in particular. These points, indeed has achieved incredible success under AMM in implementing its tasks mandated by the MoU as well the result of TEU and ESS. To this fact, under the comprehensive monitoring of the AMM, a total of 840 weapons were successfully handed in by the ex members of GAM by the end of 2005. The executions of the disarmaments were done in four stages from 30 EU Council, EU Council conclusion on Indonesia/Aceh, retrieved September 7, 2008 from: http://www.europa-eu-un. org/articles/en/article_6584_en. htm, 2006. 31 Pierre-Antoine Braud & Giovanni Grevi, “The EU Mission in Aceh: Implementing Peace”, Op.Cit., p. 27-28. 32Ibid., p. 36.
70
September to December 2005. Following this success was the monitoring of the withdrawal of the non-local TNI and Police troops from Aceh, amounting on 25.890 and 5.791 respectively. This mission was completely executed within the period of September to December 2005.33 In addition to the above tasks, the Gol was given responsible under MoU to provide the economic support to Ex-GAM combatants, affected civilians and amnestied political prisoners. To fulfill this task, the AMM provided it’s monitoring towards empowerment and social support related programmmes launched by the govemment of Indonesia and with the assistances of other cooperated partners like International Organization of Migration (IOM) and World Bank.34In order to ensure that the empowerment program worked out successfully to the approximately 3000 ex GAM combatants, the AMM team were verily involved in field monitoring covering all districts and sub districts in all over Aceh province. Furthermore, AMM was tasked to ensure the establishment of human rights under the terms of the MoU during the process of the reintegration of former GAM combatants. By involving its district level offices, the AMM team monitored human right abuses that occurred during the implementation of MoU in 2005. According to the AMM conducted investigations and discussions with relevant authorities for to enhance trust building among the parties. Moreover, it also meant at strengthening the awareness of civil society groups and national institutions on the field of human rights. At the same time, the commission o f AMM was mandated on providing the assistances of monitoring the process of legislative changes under the Law on the Goveming of Aceh, while was mandated as the major tasks of the AMM, its main goal was to contribute to bringing the security, stability,
33Aceh Monitoring Mission, “About AMM”, retrieved Sep tember 6,2008, from AMM website: http://www.aceh-mm.org/ english/ammmenu/about.htm, 2008. 34 P. Fieth, “Strengthening Peace after the Disaster the Aceh Monitoring Mission”, ESDP News letter, 2 (1-32) 2006. Re trieved on September 12, 2008, from: http://www.iss.europa. eu/uploads/media/ESDP newsletter_002.pdf., p. 5.
economic development and social justice back to the province.35 If it oompared to many traditional observation missions, it appears that the AMM constituted a flexible approach to be verified and designed to responsd maximally to the need of the former adversaries. It also marked as its excellent example of mutually reinforcing co-operation with ASEAN member countries on issues on regional peace and security. Initially, based on the MoU proposed, the AMM was not a military operation but a civilian mission; its members did not carry weapons. Practically, its 230 unarmed personnel was comprised of 130 personnel from EU member countries and 100 personnel from the ASEAN States distributed in mixed teams throughout 11 districts offices with an operational headquarters in Banda Aceh. However, most of the members had military background as this was necessary to perform certain technical actions required in the field.36Therefore, The Head of Mission reported to the Council of the European Union through the Political and Security Committee and to Javier Solana, Secretary General/High Representative of the Council of the EU on matters related to the AMM, as well as to the parties, the CMI, and the contributing countries on possible violations of the MoU.37
proposal suggested that the Commission would fund the mission through a grant to a Member States. Subsequently, the first part of the AMM mission fiinded by the Rapid Reaction Mechanism (RRM), while the salaries of the staff would be fiinded by Member States. The Commission, however, could not legally finance those parts of the mission which were military in nature such as DDR operation, meanwhile the Council argued that “from a legal standpoint, the RRM could not finance a crisis management operation pertaining to CFSP objectives, and not those of the EC”.38 From the reaction of the Council, it became clear that it saw the Commission’s proposal as a takeover bid for the mission chain of command. Then, it was only Javier Solana’s personal intervention that swung the debate in favour of EU deployment and financing it from the CFSP budget. However, out of a total budget of €15 million, the CFSP could only cover €9 million and the rest had to be provided by willing and able some of Member States.39
Meanwhile, on the financial issue, the AMM was one of the greatest challenges. There was no consensus among the Member States and it was potentially deployment in Aceh was further complicate by the fact that the EU’s “complicated and cumbersome procedures and budgetary process would not allow for the deployment of a fully-fledged AMM on 15 August”. Nevertheless, The EU Commission’s Extemal Relations Directorate General proceeded to draft a proposal for financing the mission in July 2005. Then, this
As the implementation of the AMM man date; however, the political aspect and law in Aceh dramatically changed, a new law on the Governing of Aceh, incorporating provision of the 15 August 2005 peace agreement, was drafted in consultation with broad sectors of the Acehnese public and the GAM, enacted by national parliament and then signed by the President of Indonesia on 01 August 2006. As a result, the democracy system was established by the first ever direct local elections were held on 11 December 2006 where a former GAM fighter, Irwandi Yusuf, secure a comfortable majority and was inaugurated as the first directly elected governor of Aceh on 08 February 07. The elections were monitored by European Union election observers who generally confirmed that they were free and fair.
35P. Kirwan, “From Europe to Global Security Actor: the Aceh Monitoring Mission in Indonesia," in M. Merlingen & R. Ostrauskaite (Eds.), European Security’ and Defence Policy, (London and New York: Routledge. 2008), p. 134-136.
38 Pierre-Antoine Braud & Giovanni Grevi, “The EU Mission in Aceh: Implementing Peace”, Op.Cit., p. 22-25.
36Aceh Monitoring Mission, “About AMM”, Op.Cit. 37 J. Rathner and P. Hazdra, “The Aceh Monitoring Mission: an Innovative Approach to DDR”. Retrieved September 10, 2008, from BMLV Website: http://www.bmlv.gv.at/pdf_pool/ publikationen/sm all arm s_ache-m onitoring_m ission J _ rathner_p_hazdra.pdf2007, p. 20.
39K.E. Schulze, Mission not so Impossible the Aceh Monitor ing Mission and Lessons Learned fo r the EU, (Fredrich Ebert Stiftung Library home page, 131,2007). Retrieved September 10, 2008, from: http://library.fes.de/pdf-files/id/04786.pdf. p. 86. See also, E.F. Drexler, Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State, (Pennsylvania: University o f Pennsylvania Press, 2008), p. 44.
71
Finally, despite in the first time o f the mission suffered a number of challenges and problems, particularly the mismatch between the limited time ffame for setting up the mission and also the far lengthier and highly bureaucratic funding process in Brussels. But, all of these tasks have been creating the peace stabilization in Aceh, particularly in term of human rights, justice, democracy and good govemment for the region. The following part of election for local govemment which former ex-combant took position will have a close look at the impact credibly on peace stabilization after the mission in Aceh.
Conclusion The mission of the EU throught AMM has been monitoring and supporting the parties of the MoU with disarmament, reintegration, human rights, new legislation, and many other demanding political issues. The AMM is also an important part of the EU’s capacity building in the field of CCM. The civilian mission expertise for the purposes of peace-building is a relatively new phenomenon. It is imperative that the capacity of the international community to meet the needs of peace building and crisis management is strengthened. As a result, The EU mission in Aceh showed this expertise had been successful in running their task in the field. The EU mission in Aceh also as an effort of extemalization of the EU’s influences in region which it had demonstrated its ability to mobilize its crisis management instrument within ESDP likewise the EU has done in Congo, Balkan and other regions in the world. Furthermore, thejoint mission with five ASEAN countries had strength ened its position in Asia and helped to develop relations with the Indonesian Govemment. In addition, the AMM represented a traditional foreign policy instmment with the goal of promoting the strategic economic, political and security interests of the European Union, as mentioned at the ESS paper that the EU “should be ready to share in the responsibility for global security and in building a better world”.40 As a result, the extemalization of CFSP through AMM 40 European Security Strategy, A Secure Europe in a Better World, retrieved September 10, 2008, from: http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cmsUpload/78367.pdf,2003, p. 5.
72
provided a reality for the EU to put the words of the strategy into practice.
References Aceh Monitoring Mission. 2008. “About AMM”. Re trieved September 6, 2008, from AMM Web site : http://www.aceh-mm.org/english/amm_ menu/about.htm, 2008. Ahtisaari, M. 2006. “The Helsinki Accord and Its Implementation”. Paper presented at the Conference of Building Permanent Peace in Aceh: One Year after the Helsinki Ac cord. Jakarta, Indonesia, 2006. Retrieved September 20, 2008, from http://www.cmi. fi/?content=speech&id=87, 2006. Aspinall, E. 2008. “Peace without Justice? The Helsinki Peace Process in Aceh”. Journal of Centralfor Humanitarian Dialogue, 3 (1-44). Retrieved September 6, 2008 from: www.hdcentre.org/files/Justice%2 0Aceh %20final.pdf. Braud, Pierre-Antoine & Giovanni Grevi. 2005. “The EU Mission in Aceh: Implementing Peace”. Journal o f Institutefor Security Studies, 61 (141). Retrieved September 6,2008, from: http:// aei.pitt. edu/5 735/01/occ61 .pdf Burke, Adam & Patrick Baron. 2008. Supporting Peace inAceh: Development Agencies and In ternational Involvement. USA: East West-Center Washington. Drexler, E.F. 2008. Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press. EU Council. 2006. EU Council conclusion on Indonesia/Aceh. Retrieved September 7, 2008 from: http://www.europa-eu-un.org/articles/en/ article_6584_en.htm, 2006. European Union Police Mission. 2008. Contributing States. Retrieved August 20,2008 from EUPM Website: http://www.eupm.org/ContributingStates.aspx. Fieth, P. Strengthening Peace after the Disaster the Aceh Monitoring Mission. ESDP News letter, 2 (1-32), 2006. Retrieved on September 12,2008, from: http://www.iss.europa.eu/uploads/media/ ESDP_newsletter_002.pdf. Human Rights Watch. The Aceh Conflict and Interna tional Humanitarian Law. Retrieved September 10, 2008, from HRW Publication Website: http://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indacehOSOl-10.htm #P571 125349.
International Crisis Group. Aceh: a New Chance for Peace. International Crisis Group, Asia Briefing No.40, 2005. Retrieved September 10, 2008, from:'http://www.crisisgroup.org/home/index. cfm?id=3615&l=l. Jarvinen, Taina. 2008. Aceh Monitoring Mission and the EU’s Role in the Aceh Peace Process. Finland: University of Helsinki Press. Keukeleire, S., & J. MacNaughtan. 2008. The Foreign Policy o f the European Union. New York: Palgrave Macmillan. Kingsbury, D. 2006. Peace in Aceh: a Personal Ac count of the Helsinki Peace Process. Jakarta and Singapore: Equinox Publisher. Kirwan, P. 2008. “From Europe to Global Security Ac tor: the Aceh Monitoring Mission in Indonesia.” In M. Merlingen & R. Ostrauskaite (Eds.), European Security andDefence Policy. London and New York: Routledge. Lahdensuo, Sami. 2006. Buildingpeace inAceh: Observations on the Work o f the Aceh Monitoring Mission (AMM) and its Liaison with Local Civil Society. Retrieved March 21,2008, from: http:// www. cmi.fi/ftles/AMM_report.pdf. Merlingen, M. & R. Ostrauskaite. 2006. European Union Peace-Building and Policing. London and New York: Routledge. ______ . 2008. European Security and Defence Po licy: an Implementation Perspective. London and New York: Routledge. MoU RI-GAM. 2005. Memorandum of Understanding between RI and GAM [draft]. Retrieved September 22,2008, from CMI Website: http:// www. cmi.fi/files/Aceh_Mo U.pdf Nowak, Agnieszka. Eds. 2006. Civilian Crisis Ma nagement: theEU Way. European Union: Insti tute for Security Studies. [Electronic version], retrieved September 15, 2008, from: http:// www. iss. europa. eu/uploads/media/cp090.pdf.
Nuttall, S.J. 2000. European Foreign Policy. Oxford: Oxford University Press. Rathner, J., & P. Hazdra. “The Aceh Monitoring Mission: an Innovative Approach to DDR”. Retrieved September 10, 2008, from BMLV Website: http://www.bmlv.gv. at/pdf_pool/publikationen/small_arms_ache-monitoring_ missionJ_rathner_p_hazdra.pdf 2007. Schulze, K.E. 2007. Mission not so Impossible the Aceh Monitoring Mission and Lessons Learned for the EU. (Fredrich Ebert Stiftung Library home page, 131). Retrieved September 10, 2008, from: http://library.fes.de/pdf-files/ idZ04786.pdf Solana, Javier. 2003. A secure Europe in a Better World: European Security Strategy. Retrieved September 18,2008, from Institute for Security Studies Website: http://www.iss.europa.eu/uploads/media/solanae.pdf. ______ . 2005. Welcomes Launch o f Aceh Monitor ing Mission. Retrieved September 7,2008, from the Council of the EU Website: http://ue.eu.int/ ueDocs/cms_Data/docs/pressdata/EN/declarationsZ86245.pdf 2005. ______ . 2006. Comment: Consolidating the Peace Process in Aceh. New Straits Times online. Re trieved September 15,2008, from: http://ue.eu. int/ueDocs/cms_Data/docs/pressdata/EN/articlesZ92160.pdf 2006. Sukma, Rizal. 2003. “Secessionist Challenge inAceh: Problems and Prospects”. In H. Soesastro, A.L. Smith, & H. M. Ling (Eds.), Governance in Indonesia: Challenges Facing the Megawati Presidency. Jakarta: Institute of Southeast Asian Studies Publisher.
73
PROBLEMATIKA PERAN GANDA GUBERNUR DI DAERAH OTONOMI KHUSUS* Mardyanto Wahyu Tryatmoko Abstract The dynamic of decentralization and regional autonomy system following democratization in Indonesia contributes to changes of governor's role as an institution that plays a Central role in center-regional power relation. Although the governor has a dual role as both a representative of the Central govemment as well as representatives o f the people in its region, this position seems ambiguous while districts/cities have power also to manage their own region autonomously. Granting broad autonomy and authority as well as the direct elec tion of regional heads at the same time at the provincial and regent/city contributed to the ambiguity o f the dual role of the governor. The problems faced by the governor due to such system are assumed to be very complex in the special autonomous regions, even though the emphasis area of autonomy of this region lies in the province, Keywords: Goverment, dual role, problematics, decentralization, special authonomy Abstrak
Dinamika sistem desentralisasi dan otonomi daerah yang menyertai demokratisasi di Indonesia turut mengu bah peran gubernur sebagai lembaga yang memainkan peran sentral dalam hubungan pusat-daerah. Meskipun gu bernur memiliki peran ganda, baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun wakil daerah, posisi ini tampak ambigu ketika kabupaten/kota memiliki kekuasaan juga untuk mengatur daerahnya secara otonom. Pemberian otonomi dan otoritas yang besar di samping pemilihan kepala daerah secara langsung di tingkat provinsi dan kabupaten/kota turut berkontribusi pada ambiguitas peran ganda gubernur. Persoalan yang dihadapi gubernur diasumsikan sangat kompleks di daerah otonomi khusus, meskipun penekanan titik berat otonomi berada di tingkat provinsi. Kata kunci: gubernur peran ganda problematika, desentralisasi, otonomi khusus.
Pendahuluan Selama lebih dari satu abad pelaksanaan desentralisasi, bangsa ini masih dihadapkan pada persoalan pembagian kekuasaan di antara lem baga-lembaga pemerintahan yang belum stabil. Kini persoalan hubungan kekuasaan antarlevel pemerintahan itu dapat dengan jelas dicermati dari posisi gubernur. Sebagai intermediary in stitution gubernur (menunjuk lembaga provinsi) menghadapi posisi problematik atau dilematik, yaitu bagaimana menerapkan kebijakan dari pemerintah nasional (pusat) dan menyelaraskan hubungan dengan lembaga-lembaga di dalam lingkup pemerintahannya.
* Penelitian dengan judul tersebut dilakukan oleh tim peneliti yang beranggotakan: Mardyanto Wahyu Tryatmoko (koordina tor), Afadlal, Tri Ratnawati, dan Heru Cahyono.
Berbagai upaya untuk memperjelas ke wenangan dan hubungan antarlembaga pemerin tahan sudah banyak ditempuh oleh negara. Di awal reformasi, bangsa Indonesia telah sepakat memberikan dasar pengaturan yang lebih jelas mengenai otonomi daerah di dalam konstitusi. Melalui amandemen kedua konstitusi, bangsa ini mengatur beberapa hal substantif mengenai pemerintahan daerah. Pertama, wilayah (daerah) pem erintahan dibagi secara jelas ke dalam provinsi, kabupaten dan kota, di mana setiap pemerintahan di wilayah tersebut berhak men jalankan otonomi seluas-luasnya kecuali yang menjadi urusan pemerintah (nasional). Kedua, untuk mendukung otonomi daerah itu, setiap pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, kepala pemerintahan daerah yang dipi
75
lih secara demokratis (tidak disebutkan secara langsung), dan berhak menetapkan peraturan daerah. Ketiga, hubungan kekuasaan antarpemerintahan harus memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah serta hubungan pelaksanaan kewenangan yang harus memperhatikan keadilan dan keselarasan. Keempat, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus/istimewa dan ke satuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Baik Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pem erintahan D aerah yang dikeluarkan sebelum amandemen kedua UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004 yang merevisinya tidak memuat pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi. Namun, dalam praktiknya, pengaturan mekanisme desentralisasi di dalam kedua UU tersebut masih banyak yang rancu, terutama dalam mengatur mekanisme dem okrasi dan adm inistrasi pem erintahan lokal. Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam praktiknya, hubungan kekuasaan dan distribusi kewenangan antartingkatan pemerintahan men jadi polemik yang panjang. Pertama, masih ada kegamangan menempatkan titik berat otonomi daerah sehingga terjadi kekaburan distribusi kewenangan dan kekuasaan antardaerah. Kedua, berseraknya titik berat otonomi daerah tidak selaras dengan pilihan prosedur demokrasi lokal, yaitu pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Karena pilkada, aktor lokal bisa memainkan apa saja termasuk menggunakan kebijakan di daerah dan lintas daerah. Ketiga, hubungan kekuasaan dan distribusi kewenangan (urusan) antarpemerintahan masih belum jelas sehingga menimbulkan konflik antarpemerintahan daerah. Keempat karena terperangkap oleh persoalan adm inistrasi, negara m engabaikan hak-hak tradisional dan adat. Sejak Decentralizatie Wet 1903 diberlaku kan hingga saat ini tampak desentralisasi di Indonesia belum dapat dijadikan sarana untuk memastikan demokrasi dan jaminan hidup rakyat berjalan dengan baik. Persoalan desentralisasi di Indonesia masih berkutat pada pencarian formula hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat (nasional) dengan daerah (lokal), antar-daerah, dan intra-daerah. Pola hubungan kekuasaan an
76
tara pemerintah nasional dan lokal diwarnai oleh persoalan derajat otonomi. Persoalan hubungan kekuasaan antardaerah otonom diwarnai dengan tiadanya kejelasan pembagian kewenangan. Sementara itu, persoalan hubungan kekuasaan di dalam internal daerah selalu diwarnai dengan pergulatan perebutan dan penggunaan kekuasaan yang tidak demokratis. Pergeseran sistem desen tralisasi dan otonomi daerah pascareformasi turut mengubah kedudukan dan peran gubernur sebagai lembaga yang memainkan peran sentral dalam hubungan Pusat-Daerah. Meskipun gubernur memiliki peran ganda sebagai wakil pemerintah pusat dan masyarakat di daerah, posisi ini tampak ambigu ketika kabupaten/kota diberi juga kekuasaan (otonomi) untuk mengatur dirinya sendiri. De ngan kata lain, pemberian otonomi kewenangan yang luas dan sekaligus pemilihan langsung kepala daerah di saat yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota turut menyebabkan ambiguitas peran ganda gubernur. Sementara itu, selain tidak ada klausul mengenai “hierarki” antartingkat pemerintahan, baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004 juga tidak mengatur dengan jelas fungsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ambiguitas hubungan antartingkat pemerintahan ini diasumsikan memunculkan pelbagai perm asalahan, baik berupa tidak tersampaikannya program-program pemerintah pusat hingga ke masyarakat bawah maupun konflik antara provinsi dan kabupaten/kota. Meskipun pemerintah mengeluarkan PP No. 19/2010 dan diperbarui dengan PP No. 23/2011 untuk mengatasi permasalahan antartingkat pemerintahan, efektivitas PP ini masih diragukan oleh banyak pihak. PP ini dapat tidak berlaku di daerah-daerah yang memiliki status sebagai daerah khusus/istimewa. Permasalahan-perma salahan yang dihadapi gubernur akibat dualisme perannya diasumsikan dapat lebih kompleks daripada yang muncul di daerah-daerah normal. Berdasarkan uraian tersebut, ada dua pertanyaan besar yang diajukan dalam studi eksploratif ini. Pertama, permasalahan-permasalahan apa yang dihadapi gubernur sebagai alat Pusat dan Daerah di daerah otonomi khusus? Kedua, bagaimana implikasi permasalahan, dari peran ganda gubernur tersebut terhadap efektivitas pemerintahan daerah?
Untuk mengungkap dan memahami gambar an empirik mengenai persoalan-persoalan peran ganda gubernur, studi ini menggunakan metode kualitatif-eksploratif dengan mengambil kasus di empat daerah otonomi khusus/istimewa, yaitu Aceh, Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua. Studi kasus yang digunakan dalam studi ini mendasarkan pada beberapa teknik yang sama dengan studi sejarah, tetapi studi kasus menambah dua sumber bukti, yaitu observasi langsung dan wawancara yang sistematis.1Oleh karena itu, pengumpulan data primer dilakukan dengan serangkaian wa wancara mendalam dengan sejumlah narasumber di daerah dengan teknik purposive sampling. Sementara itu, data sekunder dicari dari studi pustaka, penelusuran dokumen, kliping koran, dan internet. Focus Group Discussion juga diselenggarakan untuk memperkaya data dan informasi. Secara substantif, studi mengenai otoritas pemerintah provinsi dalam relasinya dengan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah pusat ini menggunakan pendekatan institusi (institutionalism). Secara umum, institutionalism merupakan pendekatan yang melihat bagaimana institusi-institusi bertindak dan bagaimana dinamika hubungan antarorganisasi atau institusi yang sedang atau akan dibangun.2Meskipun studi ini terlihat fokus pada otoritas gubernur, sangat sederhana jika studi ini menggunakan pendekatan aktor atau elite. Otoritas politik gubernur bukan hanya semata-mata dilihat dari kepentingan politik individu, tetapi diasosiasikan dengan negara, yang terdiri atas tindakan-tindakan otoritatif institusi-institusi pemerintah. Titik penting yang menjadi penekanan studi ini adalah lebih pada aspek politik dibanding aspek administrasi. Aspek politik yang dimaksud adalah hubungan kekuasaan antar-institusi, di mana kekuasaan gubernur menjadi titik perhatian. Meskipun demikian, aspek managerial administrasi tetap disinggung meskipun dalam
1Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Melhods, (California: Sage Publications, lnc„ 1984). 2R.A.W. Rhodes, “The Institutional Approach”, dalam David Marsh dan Gerry Stoker, Theory and Melhods in Political Science, (London: MacMillan Press, 1995).
porsi untuk menjelaskan dinamika persoalan kekuasaan tersebut.
Peran Gubernur di antara Desentralisasi dan Dekonsentrasi Berbicara mengenai peran ganda gubernur sebagai w akil pem erintah pusat dan enti tas di daerah tidak terlepas dari pengaturan fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi. Kedua konsep ini ham pir tidak dapat dibedakan hingga banyak sekali variasi definisi. Cheema dan Rondinelli, misalnya, menjelaskan bahwa dekonsentrasi merupakan bagian dari sistem desentralisasi.3 M enurut M awhood, secara konseptual desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan sistem yang jelas perbedaannya.4* Tabel 1 berikut ini memberikan perbedaan konsep antara dekonsentrasi dan desentralisasi. Tabel 1. Perbedaan Konsep Dekonsentrasi dan Desentralisasi K aitan Definisi P rin sip p e n g o rg a n is a s ia n
D e k o n s e n tra s i B u re a u c ra tic d e c e n
D e s e n tra lis a s i D em o c ra tic d e c e n tra li
tralizatio n
za tio n
A d m in istrativ e d e c e n -
Political d e c e n tra liz e d
tra liz ed S tu k tu r di
Field ad m in istra tio n
L ocal g o v e m m e n t
m a n a prinsip
R e g io n a l a d m in is tra
L ocal s e lf-g o v e rn m e n t
m e n d o m in a si
tion P re fe c to ra l a d m in is
M unicipal a d m in istra tio n
tratio n P raktik
D e le g a tio n o f p o w e rs
D ev olution o f p o w e rs
Sumber: Philip Mawhood, Local Govemment in the Third World, 1983
Jika dicermati lebih mendalam, perbedaan antara desentralisasi dan dekonsentrasi terletak pada penekanan politik dan administrasi. Persoal an politik menyangkut sumber, penggunaan, dan akuntabilitas kekuasaan, sedangkan persoalan 3 Menurut beberapa penulis di dalam buku yang diedit oleh Cheema dan Rondinelli, terdapat empat bentuk desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi kepada agen-agen semi otonom dan parastatal, devolusi kepada pemerintahan lokal, dan transfer fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga publik kepada non-pemerintah. G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (Eds.), Decentralization and Development: Policy Implemen tation in Developing Countries, (Beverly Hills, London, New Delhi: Sage Publications, 1983). 4 Philip Mawhood, “Decentralization: the Concept and the Practice", dalam Philip Mawhood (Ed.), Local Government in The Third World: The Experience ofTropical Africa, (Chicester, New York, Brisbane, Toronto, and Singapore: John Wiley & Sons, 1983).
77
administrasi lebih kepada mekanisme distribusi atau pembagian kewenangan (urusan). Politik di dalam desentralisasi bermakna pembagian sebagian kekuasaan pemerintahan oleh kelom pok-kelompok yang berkuasa di tingkat pusat kepada kelompok-kelompok lain di tingkat lokal. Setiap kelompok memiliki otoritas yang relatif otonom, tidak terikat dengan kepentingan pusat. Di tingkat lokal, kekuasaan (politik) digunakan oleh penguasa perwakilan (birokrat dan politisi) untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan publik. Akuntabilitas penggunaan kekuasaan di tingkat lokal tentu saja ditujukan lebih kepada kepentingan-kepentingan lokal daripada kepentingan-kepentingan di tingkat pusat. Meskipun desentralisasi sangat populer dipakai oleh negara maju ataupun berkembang, baik untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas pemerintahan maupun demokratisasi, di be berapa kasus desentralisasi hanya dipakai sebagai aksesoris. Di banyak kasus, desentralisasi tidak diadopsi untuk merespons tekanan dari bawah, tetapi hanya sebagai saluran ide/kepentingan pemerintah nasional. Dalam konteks ini desen tralisasi hanya dipakai oleh para politisi untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.5 Politik di dalam dekonsentrasi dimaknai dalam konteks pembagian kekuasaan di antara sesama kelompok-kelompok yang berkuasa di area yang berbeda. Struktur politik pada dasarnya mewakili kepentingan-kepentingan penguasapenguasa pusat dan tergantung pada dukungan mereka. Pengguna kekuasaan yang membuat kebijakan-kebijakan formal adalah perangkat pemerintahan yang ditunjuk secara terpusat. Di dalam praktik, kekacauan pemerintahan dapat teijadi dari persoalan kekaburan pemakaian sistem dekonsentrasi dan desentralisasi. Menurut Mawhood, power s haring di dalam pemerintahan sangat kompleks dan terdiri atas lembaga dan struktur yang tidak sederhana. Kompleksitas ini terkadang m engaburkan praktik, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi. Terkadang praktik sistem dekonsentrasi dirancang dan diberi label desentralisasi. Demikian juga struktur desentralisasi sering kali dikikis secara perlahan 5 Kathleen O ’Neill, Decentralizing The State: Elections, Par ties, and Local Power in theAndes, (New York: Cambridge University Press, 2005).
78
dengan menerapkan lebih banyak kontrol selain membatasi penggunaan sumber daya lokal. Kekaburan atau kebingungan penggunaan sistem dekonsentrasi dan desentralisasi ini merupakan persoalan klasik di banyak negara. Terlepas dari kekaburan penggunaan sistem dekonsentrasi dan desentralisasi, Fumihiko Saito mengingatkan bahwa bentuk-bentuk desen tralisasi yang bervariasi dapat dilihat sebagai mekanisme untuk menyesuaikan hubunganhubungan antarpemerintahan yang ada. Fokus perhatiannya adalah meredefinisi peran dan pertanggungjawaban setiap tingkat pemerin tahan terkait hubungannya dengan tingkat pemerintahan lainnya. Ada dua hal pokok dalam melihat persoalan desentralisasi dari hubungan antarpemerintahan. Pertama adalah bagaimana membagi habis fungsi-fungsi yang diperlukan antara pemerintah pusat dan lokal: fungsi-fungsi apa yang seharusnya dibebankan pada level struktur administrasi yang mana. Kedua, adalah persoalan koordinasi untuk mengharmonisasi pelaksanaan fungsi-fungsi yang terbagi di setiap level pemerintahan.6Perdebatan mengenai dekon sentrasi dan desentralisasi menjadi tidak begitu penting ketika setiap level pemerintahan diberi kebebasan otonomi, tetapi sekaligus mendapat kewajiban untuk mempertahankan kesatuan bangsa. Tantangan bagi suatu unit pemerintahan dalam melakukan peran/fungsi ganda ini tidak lagi terletak pada struktur pemerintahan yang hierarki, dimana tingkat pemerintahan yang lebih tinggi dapat melakukan perintah dan kontrol. Saat ini struktur pemerintahan di daerah lebih banyak berbentuk horizontal karena sama-sama memiliki otonomi, dengan pendekatan consultative untuk mencapai koordinasi. Meskipun dalam konteks otonomi daerah di Indonesia hubungan antara gubernur dan bu pati/wali kota adalah sejajar, gubernur memiliki fungsi sentral untuk menjaga kesatuan bangsa. Berdasarkan UU No. 32/2004 pasal 38, gubernur diberi kekuasaan oleh pemerintah pusat dalam tiga hal, yaitu (i) Pembinaan dan pengawasan pe nyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/ 6Fumihiko Saito, “Decentralization and Local Governance: Introduction and OverView” , dalam Fumihiko Saito (Ed.), Foundations fo r Local Governance: D ecentralization in Com parative Perspective, (Heidelberg: Physica-Verlag, 2008).
kota; (ii) Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/ kota; (iii) Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. K etiga tugas dan w ew enang tersebut menunjukkan posisi provinsi sebagai wakil pemerintah pusat. Tugas pembinaan, koordinasi, dan pengawasan yang dilekatkan pada gubernur sebagai bentuk dekonsentrasi pada praktiknya tidak selaras dengan fungsi desentralisasi yang juga dimilikinya, terlebih ketika dihadapkan pada otonomi (desentralisasi) yang dimiliki kabupaten/ kota. Kenyataannya, otonomi kabupaten/kota dan provinsi dipertegas dengan pem ilihan kepala daerah secara langsung. Mekanisme pemilihan ini semakin mempertegas hubungan antarlevel pemerintahan yang tidak hierarkis sehingga banyak Wali kota/bupati yang tidak lagi mengindahkan instruksi, bahkan usulan gubernur sekalipun mengatasnamakan wakil pem erintah pusat. B eberapa fak to r yang menyebabkan ketidakpatuhan bupati terhadap gubernur antara lain: (i) Pembagian kewenangan antarpemerintahan yang tidak jelas; (ii) Tidak ada pembiayaan administrasi untuk kabupaten/kota dari provinsi; (iii) Kontestasi politik yang terbuka dalam pilkada; (iv) Intervensi kepentingan politik subjektif dalam kebijakan publik. W alaupun dem ikian, beberapa daerah otonomi khusus yang mengatur dengan jelas antara kewenangan administrasi dan kekuasaan antara gubernur (provinsi) dengan Wali kota/ bupati (kota/kabupaten) tidak menunjukkan gejolak disharmoni. Daerah Khusus Ibu kota Jakarta yang meletakkan titik berat otonomi di tingkat provinsi lebih memperlihatkan hubungan serasi daripada konflik antara provinsi dan kabupaten/kota. Kabupaten dan kota ditempatkan sebagai daerah administratif (bukan otonom) yang merupakan sub-ordinat provinsi. Dengan demikian, bupati dan Wali kota seharusnya loyal terhadap gubernur karena hubungan mereka terikat dalam struktur hierarki. Bupati dan Wali kota tidak dipilih langsung, tetapi diangkat dari pejabat sipil atas usul gubernur. K ekhususan sebagai ibu kota negara menempatkan Jakarta lebih banyak berperan
sebagai eksekutor program nasional daripada menjalankan ide lokal. Ini tidak salah karena kewenangan yang dimiliki DKI Jakarta dalam banyak hal bersinggungan dengan kepentingan Pemerintah Pusat. Konsekuensinya, banyak peraturan daerah yang dihasilkan oleh guber nur dan DPRD diarahkan untuk mendukung Peraturan Pemerintah tertentu. Atau sebaliknya, Peraturan Pemerintah selalu dibutuhkan untuk memayungi perda yang sesungguhnya juga diinisiasi oleh Pemerintah Pusat. Anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pun disinergikan dengan kementerian terkait yang masuk dalam struktur APBN. Setidaknya, cost sharing antara pemerintah daerah dengan Pemerintah Pusat sering dijalankan untuk mengatasi keruwetan persoalan ibu kota negara. Satu indikasi lagi yang mendukung ‘sentralisasi’ adalah adanya struktur deputi gubernur yang terpisah dengan SKPD dalam struktur pemerintahan DKI Jakarta. Kasus Jakarta menunjukkan bahwa derajat otonomi daerah relatif kecil karena konteks determinasi pemerintah nasional sangat besar dalam hal “standardisasi” wilayah ibu kota negara modem. Dengan kata lain, intervensi pemerintah pusat dalam pengaturan daerah ini sangat besar sehingga tampak bahwa pemerin tah daerah khusus Jakarta seolah-olah tidak memiliki otonomi. Negosiasi antarpolitisi untuk menentukan kebijakan lokal masih menunjukkan bentuk-bentuk otonomi, tetapi hal itu lebih banyak sebagai respons program Pemerintah Pusat daripada kepentingan masyarakat lokal. Sekali lagi, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pengaturan yang ada di DKI Jakarta mempakan hasil kompromi atau lebih banyak mempakan intervensi Pusat. Satu lagi daerah otonom khusus yang m enunjukkan kekhasan sehingga konflik antara gubernur dengan bupati/wali kota tidak terlihat adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki hak otonomi dan memiliki fungsi desentrali sasi. Keistimewaan Yogyakarta ditunjukkan oleh kekuasaan gubernur yang tidak melalui pemilihan umum. Kedudukan simbolik sultan sebagai penguasa kultural di samping sebagai kepala pemerintahan diasumsikan mengikat “kepatuhan” bupati/wali kota. Hubungan hierarki
79
antara provinsi dan kabupaten/kota tidak terikat oleh struktur pemerintahan modem dalam kon teks dekonsentrasi, tetapi lebih pada kesadaran simbolik kultural dalam konteks monarki. Posisi gubernur DIY akibat keistimewaan nya bukan tanpa masalah. Yogyakarta sebagai daerah istimewa yang tadinya damai justru diusik oleh pemerintah pusat dengan mempertanyakan keistim ew aannya. H ingga kini penetapan gubernur masih menjadi tarik ulur antara DIY dengan pemerintah pusat. Presiden SBY mengu sik kekhususan Yogyakarta dengan mendesak penggunaan prosedur pemilihan gubernur secara langsung dan memisahkan kedudukan gubernur dan sultan dengan alasan penegakan demokrasi dan penghapusan monarki. Desakan Pemerintah Pusat untuk menyeragamkan prosedur demokrasi semacam ini justru menyebabkan ketegangan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan DIY dan di antara kelompok-kelompok di dalam DIY sendiri. Hal ini menjadi salah satu pertanyaan mendasar tentang itikad baik pemerintah pusat dalam memperhatikan keragaman daerah dan sekaligus memelihara perdamaian. Sementara itu, banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas pemerintahan DIY karena kuatnya patrimonialisme dan feodalisme menyebabkan tidak banyak gagasan yang berkembang.7 Sebagai daerah istim ew a, Y ogyakarta memang belum memiliki otonomi khusus yang diatur secara formal di dalam UU. Kekhususan perihal posisi kepala daerah dwi-tunggal yang melekat pada Yogyakarta selama ini masih sekadar berbentuk konsensus antarmasyarakat Yogyakarta dan antara Yogyakarta dengan pemerintah nasional. Persoalannya, konsensus ini sangat lemah sehingga bentuk otonomi khusus yang dimiliki Yogyakarta mudah sekali dipermainkan oleh pihak-pihak tertentu. Karena belum memiliki payung hukum, konsensus mengenai kekuasaan gubernur membuka peluang bagi banyak pihak untuk menggugatnya. Sementara itu, dua daerah otonom khu sus lainnya, Aceh dan Papua diasum sikan memiliki persoalan hubungan pemerintahan yang lebih kompleks dibanding daerah-daerah 7 Suryo Sakti H ad iw ijo y o , M e n g g u g a t K eistim ew a a n Jogjakarta: Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009).
80
normal. Aceh memiliki kebebasan membentuk lembaga-lembaga yang mendukung pemerin tahan lokal. Oleh karena itu, lembaga-lembaga lokal seperti Wali Nangroe diasumsikan turut memengaruhi efektivitas hubungan pemerintahan antara provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, hubungan antara provinsi dengan kabupaten di Aceh boleh jadi lebih problematik mengingat proses re-integrasi masyarakat pascakonflik belum sepenuhnya berjalan dengan mulus. Permasalahan re-integrasi GAM di pelbagai level kehidupan ini sedikit banyak berpengaruh terhadap pola hubungan provinsi dengan kabupaten, setidaknya karena alasan berikut: (i) naiknya beberapa eksponen mantan GAM, baik itu menjadi gubernur maupun bupati mesti diakui menimbulkan masalah psikologis di beberapa tempat. Selama masa konflik, GAM diketahui juga menyerang kantor-kantor pemerintahan dan aparat pemerintahan, termasuk menculik kepala-kepala desa. Ketika kini antara mantan GAM dengan aparat pem erintahan berada di dalam satu jajaran pemerintahan, niscaya perasaan “kita” dan “mereka” belum sepenuhnya hilang. Perasaan saling curiga masih relatif tinggi.8 Suasana psikologis demikian bukan tidak mungkin masih menghinggapi pula dalam hubungan antara provinsi dengan kabupaten, khususnya bila bupati dipegang oleh unsur bukan GAM. Sebagaimana diketahui beberapa wilayah di Aceh khususnya di Aceh bagian tengah dan selatan (seperti Kabupaten Bener Meriah) dalam sejarah konflik di masa lalu merupakan pendukung-pendukung NKRI, setidaknya memi liki afilisiasi politik yang pro-Jakarta,9 sekaligus 8Di Kabupaten Aceh Utara ketika bupatinya dipegang oleh mantan GAM, para pegawai di jajaran pemerintahan di sana melihat bupati baru bagaikan “orang asing” yang begitu saja masuk ke dalam lingkungan mereka. Perasaan demikian kian terpelihara juga lantaran bupati yang mantan GAM biasanya mem bawa sendiri penasihatnya, dan kurang mempercayai staf-staf yang ada di pemerintahan kabupaten. 9M asyarakat Gayo di Aceh Tengah ikut terseret dalam kon flik bersenjata. Dalam perspektif mempertahankan NKRI, muncullah insiatif beberapa kelompok di Aceh Tengah serta beberapa daerah lain di dataran tinggi Gayo untuk memben tuk kelom pok dengan nama seperti Front Pembela Merah Putih, Garuda, dan Pujakesuma. Kelompok-kelompok sipil bersenjata yang lahir sebagai solidaritas melawan GAM. Lihat, Irine Hiraswari Gayatri (Ed.)., Runtuhnya Gampong di Aceh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2P LIPI, 2008), hlm. 196-197.
memiliki sikap yang skeptis dan bersikap kontra terhadap perjuangan GAM. (ii) Secara kultural Aceh tidaklah homogen, khususnya bila kita berbicara mengenai dua kebudayaan besar di sana antara budaya Aceh dengan budaya Gayo.101 Dalam tradisi pemerintahan desa di Tanah Gayo misalnya tidak dikenal istilah gampong atau keuchik, melainkan sebutan kampung atau kepala kampung/kepala desa karena kampung di Gayo telah lama “ditaklukkan” oleh UU No. 5/1974 dan kemudian UU No. 5/1979. Inilah mengapa ketika di sepenjuru Aceh pascaera otonomi bergema tuntutan kembali ke gampong, justru orang-orang Gayo merasa keberatan lantaran “kampung”-lah yang lebih dikenal di daerah Gayo.11 Demikian juga dengan Papua yang jelas memiliki perbedaan sistem atau mekanisme hubung-an antara pemerintah provinsi dan ka bupaten/kota. Jika dicermati, kekhususan Papua dibanding daerah lainnya terletak di struktur pem erintahan provinsi. K arena persoalanpersoalan etnis atau identitas lokal sangat kuat, masyarakat Papua perlu mewadahi kepentingan suku yang beragam di dalam lembaga yang disebut sebagai Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP merupakan lembaga legislatif selain Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Kedua lem baga ini yang berperan penting dalam perumusan kebijakan daerah (provinsi), terutama berupa peraturan daerah provinsi (perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus).12 Persoalannya, titik berat otonomi khusus Papua yang diletakkan di tingkat provinsi dengan segala kerumitan strukturnya tampak tidak sinkron dengan sistem yang terbangun di tingkat kabupaten/kota. Ketika provinsi menjalankan kekhususannya, 10Budaya Gayo berlaku di sebagian wilayah di Aceh sebelah Tengah, Tenggara, dan Timur seperti Bener Meriah, Gayo Lues, Singkil, dan Tamiang. K ebudayaan di daerah ini memiliki ciri-ciri kesamaan berdasarkan pola-pola budaya M elayu Tua, terutam a sangat tam pak pada karakteristik bahasa ibu, adat dan kesenian tradisi yang dimiliki. 11Lihat Irine Hiraswari Gayatri, Op.cit., hlm. 184-187. 12 Perdasi sama dengan peraturan daerah provinsi lainnya yaitu untuk mengatur lebih lanjut segala hal yang berkaitan dengan urusan wajib dan pilihan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 32/2004. DPRP selalu berkolaborasi dengan gubernur dalam proses legislasi pembuatan perdasi. Dalam kekhususan Papua, pembuatan perdasus selalu melibatkan M RP karena substansinya berkaitan dengan persoalanpersoalan adat.
kabupaten/kota masih terikat dengan sistem sebagaimana tersebut di dalam UU No. 32/2004. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan kekhususan Papua sulit diimplementasikan karena rujukan pelaksanaan pemerintahan daerah yang tidak sinergis antara provinsi dan kabupaten/kota dalam menerjemahkan kekhususan dan sistem dalam UU No. 32/2004.13 Asumsinya, terdapat banyak hubungan problematik antara provinsi dan kabupaten/kota di Papua terkait pelaksanaan kewenangan-kewenangan khusus yang menjadi domain provinsi dan kewenangan desentralisasi yang juga dimiliki kabupaten/kota.
Problematika Kekuasaan Gubernur dalam Otonomi Khusus K ekaburan kekuasaan gubernur di daerah otonom i khusus seperti Papua, Aceh, dan Yogyakarta sebenarnya mencerminkan carutmarutnya pembagian kewenangan di antara institusi-institusi pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal karena kepentingan parsial elite. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan desentralisasi, tetapi sistem hubungan kekuasaan di mana desentrali sasi itu berlangsung.14 Kekaburan kewenangan atau kekuasaan institusi-institusi lokal dapat dibaca dari misalnya eksklusivisme politik bupati-bupati yang dapat memotong {by pass) kewenangan gubernur secara langsung untuk berhubungan dengan lembaga-lembaga nasional dan eksklusivisme politik gubernur yang tidak memperhatikan hubungan koordinasi dengan lembaga legislatif lokal. Meskipun terdapat perbedaan titik berat otonomi daerah, pola hubungan kekuasaan antara bupati dan gubernur, antara daerah khusus dengan daerah normal tidak ada bedanya. Jika di daerah normal bupati bisa membantah gubernur dengan berargumen pada kelemahan UU 32/2004, sementara di daerah khusus (Aceh 13 Bambang Purwoko dan Zarah Ika Rahmawati, “Papua: G overnability yang Belum Terjaw ab” , dalam Pratikno dkk., Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, (Yogyakarta: Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 2010). 14 Vedi R. H adiz, D ecen tra liza tio n a n d D em ocrazy in Indonesia: A Critique o f Neo-Institutionalist Perspectives, Development and Change 35 (4): 697-718 (2004).
81
dan Papua), bupati bisa bermain cantik dengan menggunakan UU 32/2004 atau UU sektoral untuk berkelit dari kekuasaan gubernur yang menggunakan UU khusus. Inti dari persoalan ini adalah adanya kelonggaran aturan hukum dalam pelaksanaan kebijakan publik. Kerancuan skema desentralisasi dan otonomi daerah sangat berdampak pada kegaduhan politik di tingkat lokal. Di daerah khusus, terutama Aceh dan Papua, penekanan titik berat otonomi di tingkat provinsi ternyata tidak sinkron dengan pem ilihan umum kepala daerah langsung, baik untuk gubernur maupun bupati/wali kota. Persoalan ini sebenarnya menjadi lebih rumit terjadi di daerah-daerah otonom normal di mana titik berat otonomi masih tersebar, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Sangat sulit meng harapkan kepatuhan bupati/Wali kota terhadap gubernur meski dalam urusan administrasi pemerintahan karena otonomisasi politik kedua lembaga. Persoalannya, otonomi politik (misal dalam pemilihan politisi lokal) yang diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota seringkah dicampur-adukkan dengan persoalan adminis trasi. Proses-proses administrasi tidak memakai proses-proses birokratik rasional, tetapi sering diintervensi oleh kepentingan politik gubernur yang lebih banyak bersifat subjektif. Sebagai
dampaknya, desentralisasi adm inistratif (bi rokratik) yang di dalamnya termuat pembinaan, pengawasan, dan koordinasi berjenjang menjadi tidak berjalan karena prosedur politik (atas nama demokrasi) yang tidak sesuai telah merusak tatanan itu.15 Pola Problematik Hubungan Kekuasaan Gubernur Penelitian ini lebih mencermati problematika peran ganda gubernur di daerah otonomi khusus selama lima tahun terakhir. Dari beberapa kasus sebagaimana diuraikan di dalam bab-bab sebelumnya, problematika kekuasaan gubernur di daerah otonomi khusus dapat dikategorikan ke dalam beberapa karakteristik sebagaimana di dalam tabel berikut ini. Titik berat otonomi di tingkat provinsi di Papua pada kenyataannya tidak menempatkan gubernur sebagai kekuatan dominan. Kekuasaan di Papua sangat terffagmentasi karena bupati/wali kota merasa memiliki otonomi yang sama dengan gubernur. Kehadiran Asosiasi Bupati Pegunung15Persoalan ini tam pak mengonfirmasi tesis Etzioni-Halevy, yaitu demokrasi sebagai suatu dilema bagi birokrasi. Eva E tzioni-H alevy, B u rea u cra cy a n d D em ocracy: A P o litical Dilemma, (London, Boston, M elboum e and Henley: Routledge & Kegan Paul, 1983).
Tabel 2. Karakteristik Peran Ganda Gubernur di Daerah Otonomi Khusus 2006-2011 P eran G a n d a G u b ern u r
D aerah K hu s u s / Istim ew a DKI Jak arta
DI Yogyakarta
K arak teristik D aerah
H ubungan d en g a n P u sa t
H u b u n g a n d e n g a n D aerah
K ekhususan Ja k a rta diperoleh k a re n a posisinya
Intervensi d a n p e n g e n d alia n kebijakan
G u b ern u r m e m eg an g kendali pen u h
s e b a g a i Ibu kota n eg a ra . Titik b e ra t otonom i
dari p em erintah p u s a t s a n g a t b esar.
a ta s p em erin tah an di kab u p aten /k o ta.
b e ra d a di tingkat provinsi, s e d a n g k a n k a b u p a ten /
C h e c k s a n d b a la n c e s lem ah d an
kota h an y a bersifat adm inistratif.
did u g a a d a konspirasi d en g a n DPRD.
K eistim ew aan Y ogyakarta diterim a k a ren a faktor
P erte n ta n g a n d alam p e n e n tu a n posisi
Ikatan heg em o n i d alam hu b u n g an ke
historis asal-u su l d an p ro s e s pendirian b a n g s a .
g u b ern u r m asih b erlan g su n g hingga
k u a s a a n lokal s a n g a t b esar. C h e c k s
K eistim ew aan Y ogyakarta terletak p a d a posisi
penelitian ini.
a n d b a la n c e s d alam p em erin tah an
g u b ernur yang m e ran g k ap s e b a g a i sultan, tetapi
lem ah k aren a dom inasi k ek u a saa n
ini selalu dip e rd eb atk a n hingga p e m b a h a s a n
sultan s e b a g a i gubernur.
RU Unya beriarut. A ceh
O tonom i k h u su s A ceh m e rupakan hasil p erju an g an
Irwandi dinilai s a n g a t d e k a t d en g a n
H u bungan g u b ern u r d e n g a n lem b ag a-
rakyat A ceh m enuntut keadilan ekonom i dan
P em erin tah P u s a t s e h in g g a im ple
le m b ag a lokal s a n g a t kolutif d an dis
p en g a k u an identitas dari pem erintah pusat.
m en tasi k eistim ew aan A ceh b an y ak
kriminatif. Ini terkait d en g a n ideologi
K onstelasi politik lokal s a n g a t kom pleks tidak
y an g m e len ce n g dari MoU Helsinki.
GAM -nonGAM .
O tonom i k h u su s P a p u a ju g a diterim a s e b a g a i hasil
N egosiasi parsial a n ta ra g u b ern u r
H ubungan g u b e m u r d en g a n lem b ag a-
tuntutan keadilan ekonom i d a n p e n g a k u a n identi
d e n g a n P em erin tah P u s a t terkait
le m b ag a lokal tidak harm onis.
ta s. Legislatif lokal (provinsi) d e n g a n sistem bika-
im plem entasi O tsu s
h an y a terkait afiliasi politik GAM -nonGAM , tetapi ju g a kepentingan politik identitas (Islam d an ad at) lainnya. Papua
82
P erte n tan g an d e n g a n p ara bupati
m eral m e ru p ak an bentuk ako m o d asi kepentin g an -
serin g teijadi k aren a g u b e m u r dinilai
k epentingan identitas lokal yang b erag a m .
a ro g a n d an diskriminatif.
an Tengah merupakan contoh ‘perlawanan’ dari tindakan ‘diskriminatif’ Gubemur Suebu. Selain itu, tidak sedikit para bupati yang memotong {by pass) kewenangan gubemur untuk mendapatkan perhatian langsung dari lembaga-lembaga pusat. Dalam hal ini, peran gubemur seperti terombangambing karena sikap pemerintah nasional yang ambigu. Di samping itu, lembaga-lembaga lain seperti DPRP dan MRP seperti tidak memiliki fungsi karena filter pemerintah yang terlalu ketat karena kekawatiran atas penguatan separatisme. Secara mendasar perdebatan antara gubemur dan bupati/Wali kota yang menyentuh persoalan distribusi kekuasaan atau kewenangan juga terjadi dalam skema keistimewaan Aceh. Bagi gubernur, mengimplementasikan pasal-pasal dalam UUPA adalah penting. Sementara itu, para bupati dan Wali kota justru mencoba mengkritisi otonomi khusus yang dititikberatkan di tingkat provinsi, yang mana mereka justru sedang mengkritisi MoU Helsinki dan UUPA itu sendiri. Kegaduhan politik lokal di daerah otonomi khusus juga dipicu oleh diskrim inasi yang dilakukan oleh pemegang otoritas dominan kepada mereka yang memiliki perbedaan ideologi atau kepentingan politik. Bentuk diskriminasi yang paling jelas adalah distribusi dana otsus dan penyediaan infrastruktur di Aceh dan Papua. Wilayah-wilayah yang merasakan adanya dis kriminasi berpotensi memisahkan diri. Dampak secara nasional dari diskriminasi ini adalah tidak hanya beberapa kecamatan yang ingin memisahkan diri dengan membentuk kabupaten baru, atau beberapa kabupaten yang ingin lepas dengan membentuk provinsi baru, tetapi juga provinsi ingin memisahkan diri menjadi bangsa yang mandiri/merdeka. Akibat diskriminasi, enclave-enclave politik baru muncul meminta pemisahan. Misal keinginan ALA-ABAS yang ingin pisah dari Aceh, Asosiasi Kabupaten Pegunungan Tengah yang ingin membentuk provinsi baru lepas dari Papua, hingga ingin lepasnya Papua dari NKRI. Pemberian otonomi berlebih kepada suatu daerah sebagai upaya reintegrasi kelompokkelompok separatis terlihat sebagai bentuk pembiaran. Terdapat kesan kuat bahwa pemerin tah nasional sengaja menutup mata atas patologipatologi seperti korupsi, kolusi, dan diskriminasi.
Dampaknya, korupsi sudah menjadi hal yang jamak terutama di daerah yang kuat isu separatis me (Papua dan Aceh), bahkan beberapa terlihat sangat vulgar. Faktor kedekatan kekuasaan juga menjadi penentu kelancaran distribusi sumber daya dan prasarana. Sebagai contohnya, baik dana otsus maupun dana pembangunan lainnya akan lancar diterima jika ada kedekatan hubung an antara gubemur dengan bupati/wali kota. Jika hubungan itu tidak harmonis, kepala daerah akan potong kompas berhubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Sistem hubungan kekuasaan yang terbangun di tingkat lokal masih memungkinkan terlaksananya pola-pola patologi itu secara lebih luas. Selain persoalan koordinasi antarpemerin tahan, check and balances antarlembaga di tingkat lokal terlihat tidak berjalan efektif dalam pelbagai varian. Di Papua, check and balances tidak pernah berjalan dengan baik karena eksklu sivisme politik setiap lembaga. Hubungan antar lembaga tidak harmonis, baik antara gubemur dengan DPRP, gubemur dengan MRP, maupun DPRP dengan MRP. Kontestasi antarelite dalam perebutan jabatan-jabatan publik sangat keras karena masing-masing mencoba mengangkat identitas mereka dengan latar-belakang yang sangat bervariatif, tidak hanya suku, tetapi juga agama dan kewilayahan (kelompok pantai versus gunung). Dalam pelaksanaan otonomi khusus di Aceh, gubemur menjadi posisi yang problematik karena selain harus menjalin hubungan baik dengan pemerintah nasional, ia harus berhadapan dengan kepentingan lembaga-lembaga lokal yang tidak tunggal. Di tingkat lokal, Gubernur Irwandi sudah lama berseberangan dengan para bupati non-GAM. Selain itu, di dalam GAM sendiri, kelompok ideologis sudah tidak lagi memper cayai Irwandi. Orang-orang di dalam Partai Aceh menilai Irwandi telah terbawa arus “permainan” pemerintah pusat sehingga lambat laun Aceh akan disamakan dengan daerah otonom lainnya. Varian tidak berjalannya check and ba lances juga terpola dalam bentuk kerja sama antara gubemur dan DPRD yang terjalin erat, tetapi dalam kerangka barter politik untuk saling mengamankan kepentingan ekonomi-politik. Keunggulan Partai Aceh di kantong-kantong
83
GAM dalam praktiknya justru menciptakan enclave-enclave baru yang lebih melindungi kepentingan elite daripada masyarakat. Di tingkat kabupaten, kuatnya dom inasi partai lokal menjelaskan kuatnya kolusi saling melindungi kepentingan ekonomi-politik, dan bukan check and balances di antara lem baga-lem baga lokal. Main mata yang mengarah pada korupsi antara eksekutif dan legislatif merupakan ke cenderungan dalam dinamika pemerintahan Aceh. Sementara itu, dominasi partai lokal di tingkat provinsi justru menunjukkan lemahnya kapasitas lembaga legislatif karena sebagian besar anggotanya adalah mantan kombatan pe rang yang berpendidikan rendah dan sama sekali tidak memahami administrasi pemerintahan dan politik.
pemerintah nasional. Argumen ini didukung oleh kenyataan kecilnya saluran politik masyarakat karena hanya ada satu lembaga legislatif, yaitu di tingkat provinsi. Satu-satunya penyeimbang kekuasaan gubemur adalah DPRD. Meskipun demikian, ada dugaan bahwa negosiasi alot antara gubemur dan DPRD sering kali ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak ketiga. Dewan kota dan kelurahan jelas tidak efektif sebagai artikulator kepentingan masyarakat karena hanya berfungsi sebagai lembaga konsultatif untuk kepala daerah administratif. Perlu diingat bahwa Wali kota dan bupati di wilayah Jakarta hanya menjalankan kewenangan yang diinstruksikan oleh gubemur.
Varian lain dari m andulnya check and balances adalah “pem aksaan” kepentingan politisi DPRD dalam proses legislasi dengan dalih pemenuhan kebutuhan public goods. Kepentingan-kepentingan tersebut diadopsi ke dalam pokok-pokok pikiran (dikenal dengan sebutan pokir) yang dalam pelaksanaan APBD diterjemahkan menjadi anggaran pembiayaan pembangunan. Terdapat dugaan di Jakarta (mungkin juga di banyak daerah) bahwa pengu saha memanfaatkan hubungan-hubungan kliental dengan anggota DPRD yang mengolah pokir menjadi mata anggaran. Kasus ini diduga terjangkit dalam APBD DKI Jakarta 2011 yang memikul beban titipan besar berupa pokir dari anggota DPRD Provinsi DKI yang berjumlah 2,6 triliun rupiah atau sekitar 9,14 persen. Pokir tersebar masuk ke dalam mata anggaran 166 SKPD dan Unit Kerja Perangkat Daerah. Pokir diwujudkan dalam bentuk proyek sebanyak 1.793 kegiatan.16
Kapasitas dan sistem pemerintahan sebenarnya dapat dijabarkan menjadi empat hal yang dapat digunakan untuk m enjelaskan lebih detail mengenai problematika kekuasaan gubernur. Empat hal tersebut adalah political will dari elite nasional, konsistensi atau kejelasan regulasi, kapasitas lembaga, dan instrumen pengendalian hubungan kekuasaan itu.
Kekuasaan tunggal kepala daerah khusus Jakarta terletak di provinsi karena tidak terbagi ke tingkat kabupaten dan kota. Karena kabupaten/ kota berstatus administratif, gubemur merupakan penguasa eksekutif tertinggi di wilayah Jakarta. Kasus Jakarta menunjukkan bahwa gubernur terkesan hanya sebagai icon belaka. Kekuasaan gubernur tampak bukan untuk kepentingan masyarakat lokal, tetapi lebih merespons program 16 “KPK Diminta Awasi APBD DKI”, Suara Pembaruan, 5 Februari 2011.
84
Faktor-faktor Determinan
a.
Political will dari elite nasional
Elite nasional yang dimaksud dalam poin ini adalah mereka yang sedang berkuasa (rulling elit es) dan mampu memengaruhi kebijakan secara nasional. Situasi yang tadinya normal dapat berubah menjadi bergolak ketika terjadi pembahan kebijakan yang didesak oleh elite yang berkuasa. Di dalam kasus DIY misalnya, jelas konstitusi menyebutkan ada penghormatan terha dap daerah yang memiliki latar belakang sejarah atau hak asal-usul. Selama sekian lama status keistimewaan Yogyakarta tanpa ada persoalan, namun belakangan SBY mempersoalkan sistem pemerintahan Yogyakarta yang dianggapnya tidak demokratis karena tidak ada mekanisme pemilihan langsung untuk gubemur. Kasus ini menunjukkan bahwa elite nasional yang sedang berkuasa tidak memiliki kehendak politik yang seharusnya disesuaikan dengan kesepakatan bangsa sebagaimana disebutkan dalam konstitusi.
b.
Inkonsistensi/Ketidakjelasan Regulasi
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa kompleksitas peran ganda gubemur di daerah otonomi khusus sangat dipengaruhi oleh regulasi yang tidak jelas dan tidak konsisten. Regulasi yang tidak jelas menimbulkan multiinterpretasi yang berujung pada konflik di daerah. Contoh kasus dari persoalan ini adalah aturan mengenai distribusi dana otsus yang tidak jelas di dalam UU Otsus Aceh. Akibat tidak jelasnya aturan, teijadi konflik antara gubemur dan para bupati yang berkepanjangan. Inkonsistensi pelaksaan kebijakan banyak terjadi di daerah khusus terutama di Aceh dan Papua. Kedua daerah ini memiliki undangundang khusus, tetapi di saat yang bersamaan undang-undang yang sifatnya umum juga berlaku. c.
Kapasitas Kelembagaan
Kapasitas menunjukkan kemampuan lembagalembaga dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Terkait dengan peran gubemur, kapasitas dapat menunjuk pada sejauhmana diskresi diambil dalam melaksanakan peran nya. Kasus DKI Jakarta menunjukkan bahwa banyak pihak yang menilai Fauzi Bowo tidak banyak membuat terobosan-terobosan (diskresi) sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu nya (Sutiyoso). Oleh sebab itu, peran otonomi Gubernur Jakarta masa kepemimpinan Fauzi Bowo terlihat lemah dan lebih didominasi oleh intervensi pemerintah nasional. Problem atika peran gubernur ju g a d i pengaruhi oleh kapasitas lembaga-lembaga yang bersinggungan langsung dengannya. Carut-marutnya pemerintahan di Papua bukan saja terletak pada kelemahan gubemur sebagai pemegang otoritas utama pelaksanaan otonomi khusus. Tersendatnya pemerintahan di Papua juga disebabkan oleh kapasitas DPRP dan MRP yang relatif rendah dalam melaksanakan kontrol pemerintahan Diskresi d.
Instrumen pengendalian
Hubungan kekuasaan yang tidak harmonis antara pemerintah nasional, gubemur (provinsi), dan kabupaten/kota juga disebabkan oleh tidak adanya instrumen pengendalian untuk mengatur
hubungan itu. M eskipun di dalam regulasi tentang pemerintahan daerah mencantumkan klausul m engenai m ekanism e pem binaan, koordinasi, dan pengawasan berjenjang, dalam praktiknya ketiga hal itu tidak berjalan dengan baik. Absennya ketiga fungsi tersebut terjadi karena banyak hal, di antaranya adalah karena rendahnya komitmen lembaga pemerintahan yang lebih tinggi dan lemahnya kapasitas lem baga yang seharusnya melakukan fungsi-fungsi tersebut. Fenomena dan dampak dari absennya instmmen pengendalian ini bisa dilihat dalam kasus Papua dan Aceh. Untuk kasus Jakarta, hubungan antara provinsi dengan kabupaten/ kota tidak ada persoalan karena hanya bersifat administratif. Kasus DIY sangat menarik karena hegemoni kekuasaan sultan menjadi instrumen pengendalian kekuasaan yang lebih efektif dibandingkan fungsi-fungsi yang diamanatkan di dalam regulasi formal. Teraturnya hubungan antara bupati/Wali kota dengan gubemur (Sultan Yogyakarta) karena ikatan hegemoni menjadi pertanyaan berikutnya mengenai efektivitas good governance di daerah.
Implikasi Problematika Peran Ganda Gubernur Sebagai intermediary institution, gubernur memiliki peran strategis untuk memperlancar ke bijakan nasional dan sekaligus mengharmonisasi kebijakan-kebijakan daerah. Ketidakjelasan atau ambiguitas peran gubemur tentu berdampak pada carut-marutnya pelaksanaan pemerintahan daerah pada khususnya dan pemerintahan nasional pada umumnya. Implikasi praktik penyelenggaraan pemerintahan yang ditimbulkan oleh ambiguitas peran gubernur beberapa tahun belakangan ini tidak seragam di antara empat daerah otonomi khusus yang diteliti. M eskipun ada perbedaan, terdapat ke cenderungan pola implikasi yang sama akibat problem atika peran gubernur di Papua dan Aceh. Pertama, tiadanya hierarki kewenangan antarlevel pemerintahan menyebabkan rivalitas politik antarkepala daerah (gubemur, wali kota, dan bupati) menjadi semakin sengit dan tidak terkontrol. Setiap kepala daerah merasa bahwa dirinya memiliki otonomi yang tidak dapat digu gat oleh yang lain. Oleh sebab itu, para kepala
85
daerah ini merasa berhak dan seenaknya meng gunakan sumber daya lokal untuk kepentingan ekonomi-politiknya karena tidak ada mekanisme efektif untuk saling mengawasi. Ada beberapa kasus perilaku kepala dae rah yang sama ditemui di Aceh dan Papua. Baik Gubernur Suebu maupun Irwandi Yusuf banyak dinilai oleh m asyarakatnya meng gunakan kewenangan pengelolaan dana otsus lebih banyak untuk kepentingan pencitraan dirinya daripada untuk masyarakat secara adil dan merata. Masyarakat Papua lebih mengetahui bahwa dana Respek adalah dari Gubemur dan tidak menyadari bahwa itu bagian dari Otsus. Demikian juga dengan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dan Alokasi Dana Gampong (ADG) yang dikeluarkan oleh Gubemur Irwandi dinilai terlalu berlebihan dan hanya untuk pencitraan dirinya. Kenyataannya, anggaran-anggaran yang terlalu banyak ini juga sebatas nama dan kurang efektif mengangkat kesejahteraan masyarakat setempat. Praktik diskriminasi penyaluran dana otsus karena tidak adanya ketentuan yang jelas, baik di dalam undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan daerah menyebabkan gubemur dianggap melakukan diskriminasi. Akibat dari diskrim inasi ini terjadi ketimpangan pem bangunan antardaerah. Hal ini terjadi, baik di Aceh maupun Papua. Akibat pengawasan berlapis yang lemah, praktik korupsi tumbuh subur, baik di Papua maupun Aceh. Aparat pemerintah nasional yang tidak tegas ditambah dengan lemahnya penga wasan provinsi menyebabkan kompsi menjadi tindakan yang jamak. Kondisi ini menggambar kan bahwa seolah-olah, baik pemerintah pusat maupun gubemur sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah nasional melakukan pembiaran karena kekhawatiran meningkatnya ancaman disintegrasi. Dampaknya, dana otsus Papua tidak pemah dirasakan atau sedikit menetes sampai ke masyarakat akar rumput dan hanya berhenti di tingkat para elite daerah. Justru situasi semacam ini yang dalam kenyataannya semakin memper besar kelompok-kelompok yang antipati terhadap pendekatan kesejahteraan yang dilakukan negara melalui dana otsus. Sebagian besar masyarakat Papua menilai bahwa otsus gagal. Oleh sebab itu, tuntutan separatisme menjadi semakin menguat.
86
Situasi di Aceh berbeda dengan di Papua. Di Aceh karena politik dikuasai oleh kelompok GAM, penyaluran dana otsus lebih banyak dibagi ke kelompok-kelompok radikal (mantan kom batan GAM), baik dalam bentuk proyek maupun jabatan. Program otsus menetes ke tempat-tempat yang dekat dengan orang yang berkuasa. Diskriminasi penyaluran dana otsus di perparah dengan minimnya fungsi pembinaan berjenjang. Akibat absennya fungsi pembinaan berjenjang, penempatan pejabat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh dan Papua tidak memperhatikan kapasitas SDM. Di Aceh, faktor kedekatan ideologi masih menjadi penentu penempatan jabatan di dalam birokrasi. Di Papua karena keterbatasan SDM, banyak tenaga pengajar (guru) yang dijadikan camat atau perangkat di SKPD. Akibat dari penempatan pegawai yang tidak memperhatikan kapasitas, fungsi-fungsi pemerintahan menjadi terganggu. Masyarakat jelas tidak menerima pelayanan publik secara optimal. Akhirnya, pembangunan daerah tidak dapat berkembang. Untuk kasus DIY, kuatnya sistem hegemoni dalam kedudukan sultan selaku gubemur me nyebabkan pertanyaan besar mengenai kualitas demokrasi lokal. Terdapat dugaan bahwa otoritas sultan yang bersifat hegemonik sangat mendu kung penguasaan keraton atas sumber-sumber produktif termasuk tanah-tanah di Yogyakarta. Dengan kata lain, akibat hegemoni yang sangat kuat, sebagian besar kebijakan yang diambil oleh gubemur diduga mengarah pada pengamanan kepentingan politik-ekonomi sultan. Kuatnya hegemoni Keraton Yogyakarta sangat memengaruhi mekanisme checks and balances di dalam pemerintahan formal. DPRD terkesan tidak berani mengambil jarak dengan gubemur untuk melakukan pengawasan sebagai mana mestinya. Demikian juga pengawasan dari masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan yang dijalankan gubemur masih sangat minim. Bupati dan Wali kota juga sangat patuh dan loyal terhadap gubemur. Sementara itu, kasus DKI Jakarta menun jukkan bahwa gubernur tampak kehilangan otonominya karena intervensi kebijakan pusat yang sangat kuat dalam mengatur ibu kota negara. Intervensi tidak hanya muncul dari kebijakan,
tetapi juga melekat pada kelembagaan daerah. Adanya struktur deputi di dalam kelembagaan daerah menyebabkan mekanisme keija perangkat daerah carut-marut. Posisi deputi bertabrakan dengan posisi sekretaris daerah sehingga dalam praktiknya, SKPD juga di bawah bayang-bayang deputi. Karena adanya struktur kelembagaan yang ambigu ini menyebabkan friksi di dalam birokrasi, D am paknya, prioritas program pembangunan tidak berjalan dengan baik. Peran gubemur DKI Jakarta sesungguhnya juga dipengaruhi oleh kapasitas pemimpin. Kapa sitas individu Fauzi Bowo yang berbeda dengan Sutiyoso dianggap menjadi penentu kelancaran pelaksanaan otonomi daerah, Kapasitas Fauzi Bowo yang tidak setegas Sutiyoso dinilai banyak kalangan menyebabkan pelaksanaan pembangun an Jakarta kurang berjalan dengan baik. Banyak program yang terlambat dikerjakan oleh Pemda Jakarta dan terkesan menunggu instruksi pusat. Titik tunggal otonomi di provinsi menyebab kan Gubemur DKI Jakarta bebas dalam mengatur proyek-proyek pembangunan, baik yang berasal dari inisiatif pemda maupun instruksi pemerintah nasional. Terdapat dugaan bahwa praktik tawarmenawar program antara gubernur dengan DPRD sangat kuat, Di DPRD sendiri disinyalir dan bukan rahasia umum terjadi komersiali sasi proyek-proyek oleh oknum DPRD. Hal ini karena terlalu banyak kepentingan yang bermain, pembahasan program-program termasuk APBD selalu mengalami keterlambatan.
Penutup: Implikasi terhadap Desentralisasi D esentralisasi di Indonesia seakan m ulai menapak ke arah akom odasi kepentingan lokal yang beragam dengan pemberian otonomi khusus, meskipun tujuan di antaranya adalah mengurangi konflik dan separatisme. Pemberian otonomi khusus kepada Aceh terlihat cukup efek tif meredam gejolak separatisme, tetapi dalam kenyataannya konflik horizontal di Aceh semakin memanas, baik ditandai oleh kontradiksi antara GAM vs non-GAM maupun internal kelompok Partai Aceh (PA) sendiri. Ini berbeda dengan pemberlakuan otonomi khusus di Papua yang tampak belum memberikan kontribusi berarti,
dan bahkan konflik dan isu separatisme meng alami eskalasi. Efektivitas desentralisasi untuk mengu rangi konflik dan separatisme menjadi pertanyaan penting bagi kasus Aceh dan Papua untuk konteks Indonesia. Gubemur menjadi institusi terpenting dalam konteks ini karena titik tekan otonomi khusus memberikan mandat lebih besar kepadanya daripada lembaga-lembaga lainnya di daerah. Kapasitas gubemur akan menentukan keberhasilan tujuan otonomi khusus. Tentu saja hal ini sangat problematik karena kuat atau lemahnya gubemur tergantung pada posisi mana dia berada dan pada sisi mana dia dilihat dalam konteks hubungannya dengan Pemerintah Pusat dan entitas di daerah. Otonomi khusus yang diberikan kepada suatu daerah justru akan menjadi bumerang bagi pemerintah nasional jika tidak dikelola dengan baik terutama oleh gubemur. Dampak negatif desentralisasi bahkan pemah disampaikan oleh John Major (mantan PM Inggris) yang menyebut desentralisasi sebagai “the Trojan Horse” yang akan menyulut friksi, frustasi, dan keinginan untuk meminta kemerdekaan penuh. Ketakutan dampak negatif desentralisasi juga diibaratkan oleh H. L. de Silva (wakil permanen Sri Lanka di PBB) yang menyebut desentralisasi sebagai ular yang memikat, yang dengan bisanya dapat membawa kematian bagi republik.17 Persoalan-persoalan patologi kekuasaan gu bemur hams menjadi prioritas perhatian pemerin tah untuk segera memperbaiki mekanisme desentralisasi termasuk komitmen untuk melak sanakannya. Terdapat dua hal yang setidaknya perlu diperhatikan untuk memperbaiki desain dan tata kelola desentralisasi. Hal pertama dilihat dari komitmen pemerintah pusat itu sendiri. Intervensi pemerintah nasional terhadap daerah dalam kadar tertentu hams diperhatikan. Ini penting karena derajat desentralisasi tergantung pada seberapa besar kewenangan (authority) yang dimiliki daerah. Dalam konteks otonomi khusus, apakah kewenangan daerah itu tunggal atau terbagi, apakah eksplisit dan telah termuat dalam regulasi, atau apakah implisit dan masih memerlukan 17 Dawn Brancati, Peace by Design: Managing Intrastate C onflict through D ecentralization, N ew York: O xford U niversity Press, 2009.
87
interpretasi lebih lanjut. Distorsi pelaksanaan desentralisasi tanpa disadari sering kali terjadi dalam bentuk pelanggaran jurisdiksi legislatif lokal dan kecurigaan terhadap aktivitas lokal se hingga pemberian otonomi kepada daerah terlihat setengah hati. Meskipun telah ada pembagian kewenangan yang luas yang diatur dalam UU, re alitasnya pemerintah pusat dapat memperlemah/ mereduksi kewenangan pemerintah daerah atas nama kepentingan nasional. Pada kenyataannya pemerintah nasional juga dapat menyetir legislasi lokal melalui penunjukan politisi secara tidak langsung atau memecat politisi (legislator) lokal secara diskriminatif melalui partai politik. Ketika tindakan-tindakan ini dilakukan di dalam sistem demokrasi, sesungguhnya desentralisasi berada dalam situasi nondemokratis. Intervensi Pemerintah Pusat dalam hal ini termasuk komitmennya dalam memberikan otonom i kepada suatu daerah. Kom itm en disini dapat didefinisikan sebagai pembinaan, koordinasi, dan pengawasan. Penetrasi kepen tingan pusat yang sangat kuat atas nama negara kesatuan terhadap masa depan otonomi daerah terutama untuk daerah-daerah khusus/istimewa dalam praktiknya justru memunculkan semangat pertentangan yang lebih besar. Hal kedua dilihat dari kapasitas lembagalembaga lokal. Desentralisasi gagal karena kapasi tas kelembagaan pemerintahan daerah lemah atau tidak mampu menjalankan dan mengembangkan diskresi yang telah dilimpahkan pemerintah pusat kepada daerah. Ketidakmampuan gubemur dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan daerah dan “perintah” pusat mempakan salah satu contohnya. Akibat lemahnya kapasitas gubemur sebagai intermediary institution, pemerintahan di daerah tidak dapat berjalan secara efektif. Malahan, konflik antarlembaga akan sangat rentan terjadi. Kelemahan kapasitas lembaga lokal juga dapat diidentifikasi dari persoalan masyarakat yang kekurangan atau tidak memiliki semangat kebersamaan (sense o f unity) dan komitmen dalam mendukung tata kelola daerah otonom. Se mangat kebersamaan mempakan faktor penting kohesi nasional. Praktik pelaksanaan otonomi dewasa ini adalah masyarakat cendemng apatis, sedangkan elite lokal saling memangsa atas nama
88
kepentingan parsial. Di beberapa daerah yang masih “tertinggal” kapasitas masyarakat belum terlihat dalam mendukung pemerintahan lokal. Perhatian penting yang hams diperhatikan dalam persoalan ini adalah semakin besar otonomi yang diberikan kepada suatu daerah hams seimbang dengan kapasitas lembaga-lembaga di daerah termasuk pemerintah dan masyarakatnya. Kedua hal tersebut tentu tidak bisa diper hatikan secara terpisah. Desentralisasi di negara kesatuan jauh lebih mmit dibandingkan di negara federal. Ini karena esensi desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia tidak saja mencakup pemberian delegasi sebagian kekuasaan kepada daerah, tetapi juga memuat pemberdayaan dalam rangka peningkatan kapasitas institusi lokal. Fungsi pembinaan, pengawasan, dan koordinasi pemerintahan secara berjenjang mempakan ter jemahan aspek penting dalam pemberdayaan. Persoalannya, ketiga aspek pemberdayaan itu tidak berjalan baik di Indonesia sehingga terdapat kesan adanya pembiaran. Upaya pemberdayaan terhadap lembagalembaga lokal hams tems dilakukan di samping memberikan otonomi yang tidak seragam. Jika “pembiaran” tetap berjalan, daerah akan senantiasa menganggap Pemerintah Pusat tidak serius memberikan otonomi. Implikasinya, cita-cita kemandirian atau otonomi daerah akan jauh dari terwujud. Lebih parah dari itu, tuntutan separatisme akan semakin besar. Selain pemberdayaan, satu hal lagi yang penting dalam pelaksanaan desentralisasi adalah konsistensi pada penegakan aturan hukum. Penegakan aturan hukum setidaknya dapat mengurangi praktik diskriminasi dan disharmoni hubungan antarlevel pemerintahan. Jika tidak segera diselesaikan, persoalan-persoalan ini akan berdampak pada resistensi terhadap desentralisasi yang bemjung pada upaya pemisahan diri atau pengentalan ethnic nationalism. Jika sistem desentralisasi tidak segera diperbaiki, oposisi yang kuat terhadap desentralisasi akan terus eksis sehingga akan memperlemah demokrasi.
Daftar Pustaka Brancati, Dawn. 2009. Peace by Design: Managing Intrastate Conflict through Decentralization. New York: Oxford University Press.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli (Eds.). 1983. Decentralization and Development: Po licy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills, London, New Delhi: Sage Pu blications. Gayatri, Irine Hiraswari (Ed.). 2008. Runtuhnya Gam pong di Aceh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2PLIPI. Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2009. Menggugat Keis timewaan Jogjakarta: Tarik Ulur Kepentingan, Konflik Elite, dan Isu Perpecahan. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Hadiz, Vedi R. 2004. Decentralization and Democrazy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives, Development and Change 35 (4): 697-718. Halevy, Eva Etzioni. 1983. Bureaucracy and Democracy: A Political Dilemma. London, Boston, Melboume and Henley: Routledge & Kegan Paul. Mawhood, Philip. “Decentralization: the Concept and the Practice”, dalam Philip Mawhood (Ed.). 1983. Local Government in The Third World: The Experience o f Tropical Africa. Chicester, New York, Brisbane, Toronto, and Singapore: John Wiley & Sons.
O’Neill, Kathleen. 2005. Decentralizing The State: Elections, Parties, and Local Power in the Andes, New York: Cambridge University Press. Purwoko, Bambang dan Zarah Ika Rahmawati. 2010. “Papua: Governability yang Belum Terjawab, dalam Pratikno dkk. 2010. Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi. Yogyakarta: Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas Gadjah Mada. Rhodes, R.A.W. “The Institutional Approach”. Dalam David Marsh dan Gerry Stoker. 1995. Theory and Methods in Political Science. London: MacMillan Press. Saito, Fumihiko. “Decentralization and Local Govemance: Introduction and OverView”, dalam Fumihiko Saito (Ed.). 2008. Foundations for Local Governance: Decentralization in Comparative Perspective. Heidelberg: PhysicaVerlag. Yin, Robert K. 1984. Case Study Research: Design and Methods. California: Sage Publications, Inc.
89
ABSENNYA POLITIK PENGAWASAN DPR ERA REFORMASI Wawan Ichwanuddin Abstract Three post-Suharto elections have generated a much more dynamic DPR compared to the previous period, especially in how they perform oversight functions. More than thirty proposals of interpellation and inquiry have been asked in the DPR. There are several possible reasons why the members o f the DPR over enthusiastic to use of the interpellation and inquiry. First, the DPR has limited resources to maximize oversight by the committees through hearings with the govemment. The expertise ofboth members of the DPR and their supporting stafj,s is not comparable to the govemment backed by the expertise o f competent staffs. Moreover, it could be most legislators still think that the DPR oversightfunction is measured by the use o f these rights. Second, efforts to use the interpellation and inquiry is a part of the political strategy of the political parties in DPR to improve their bargaining position in dealing with the govemment, especially according to great media coverage andpublic attention. However, the DPR oversight which is not accompanied by “oversight politics ” takes the abandonment o f the principalfunctions of the DPR as the legislators. The pattern of relationships between DPR and President also tends to be caught up in the legitimacy competition. Keywords: Oversightfunctions, the Houde of Representatives, the inquiry, the interpellation Abstrak Tiga Pemilu pasca-Soeharto telah menghasilkan DPR yang lebih dinamis dibandingkan DPR di era Orde Baru terutama pada pelaksanaan fungsi pengawasan. Lebih dari tiga puluh usulan interpelasi dan angket telah diajukan oleh DPR. Terdapat sejumlah alasan di belakang antusiasme anggota DPR dalam menggunakan hak interpelasi dan angket. Pertama, DPR memiliki keterbatasan kemampuan untuk memaksimalkan pengawasan melalui skema dengar-pendapat dengan pemerintah. Keahlian anggota DPR dan staf ahli mereka tidak sepadan dengan keahlian yang dimiliki oleh pemerintah didukung oleh staf yang lebih kompeten. Lebih dari itu, anggota DPR bisa j adi beranggapan bahwa fungsi pengawasan mereka diukur dari penggunaan hak-hak tersebut. Kedua, upaya penggunaan hak angket dan interpelasi oleh anggota DPR merupakan bagian dari strategi politik partai politik di DPR untuk meningkatkan posisi tawar dengan pemerintah, terutama menarik perhatian media massa dan publik. Namun, pengawasan DPR tersebut tidak dibarengi dengan “pengawasan politik” yang diperlihatkan dengan pengabaian fungsi utama DPR sebagai legislator. Pola hubungan DPR dan Presiden cenderung bermuara pada perebutan legitimasi. Kata kunci: Fungsi pengawasan, DPR, hak angket, hak interpelasi.
Pendahuluan Tiga kali pemilu pascajatuhnya Soeharto telah menghasilkan DPR yang jauh lebih dinamis dibandingkan lembaga perwakilan rakyat selama Orde Baru, terutama jika dilihat dari bagaimana DPR melaksanakan fungsi pengawasan me reka. Bahkan, dinamika politik pengawasan DPR sejak tahun 1999 dianggap cenderung melampaui dina-mika politik yang umumnya ' Penelitian dengan judul tersebut dilakukan oleh tim pene liti yang beranggotakan Wawan Ichwanuddin (koordinator), Syamsuddin Haris, LiliRomli, Luky Sandra Amalia, dan Aisah Putri Budiatri.
ditemukan dalam skema sistem pemerintahan presidensial. Pada tahun 2001, penggunaan hak angket DPR berujung pada pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR. Dilatarbe lakangi pengalaman tersebut, MPR melakukan perubahan atas UUD 1945 untuk memperketat proses pemakzulan presiden dengan meniadakan peluang bagi politisi DPR melakukan pemecatan hanya atas dasar politik. Selain harus melalui penilaian Mahkamah Konstitusi, pemakzulan hanya bisa dilakukan jika presiden dan/atau wakil presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, yakni berupa pengkhianatan terhadap
91
negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya serta tidak memenuhi lagi syarat sebagai presiden.1Dengan demikian, perubahan konstitusi yang dilatarbelakangi semangat untuk memperkuat sistem presidensial ini ternyata tidak serta-merta mengurangi intensitas penggunaan hak-hak pengawasan DPR. Dalam waktu kurang dari satu setengah tahun pada awal masa kerjanya, DPR Periode 2009-2011 telah mengajukan dua kali usul hak angket. Pada dua periode sebelumnya, 1999-2004 dan 2004-2009, tercatat tidak kurang dari sembilan belas usul hak interpelasi dan 14 usul hak angket yang pemah diajukan. Secara kuantitatif, penggunaan hak interpelasi dan angket DPR jelas jauh lebih produktif jika dibandingkan dengan DPR Orde Baru.12 Selama tiga puluh tahun lebih masa Orde Baru, DPR hanya sekali mengusulkan penggunaan hak ang ket, yaitu terkait kasus H. Thahir (Pertamina).3 Dari sisi substansi, menarik untuk dikaji lebih lanjut apakah peningkatan jumlah usul interpelasi dan angket tersebut mempakan indikator bahwa DPR telah semakin optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan. Berdasarkan latar belakang tersebut, tulisan ini akan membahas bagaimana fungsi penga wasan yang dijalankan DPR sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2011. Fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah tiga hak pengawasan yang dimiliki DPR, sebagaimana diatur dalam 1Tentang ini lihat antara lain, Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers, 2007). •'Peningkatan penggunaan hak DPR sejak tahun 1999 tersebut terjadi seiring dengan penguatan posisi DPR pascaperubahan UUD 1945. Stephen Sherlock menyebutnya sebagai satu dari dua pergeseran terbesar kekuasaan lembaga di Indonesia sejak jatuhnya Soeharto, selain penguatan pemerintahan daerah. Sthephen Sherlock, “The Parliament in Indonesia’s: Decade of Democracy: People’s Forum or Chamber o f Cronies?’’, dalam EdwardAspinall and Marcus Mietzner(Eds.), Problems ofDemocratisation in Indonesia: Elections, Institutions andSociety, (Singapore: ISEAS, 2010), hlm. 160. 3Usulan yang ditandatangani oleh 20 anggota DPR, masingmasing 14 orang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPD1) dan 6 orang dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP), sempat lolos pada sidang pleno DPR tanggal 7 Juli 1980, tetapi kemudian akhirnya ditolak. Usul angket ini bermula dari ketidakpuasan atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H. Thahir dan Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam sidang pleno, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang sebelumnya diajukan 7 orang anggota Fraksi Karya Pembangunan (FKP).
92
UUD 1945, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Sementara itu, pengawasan “rutin” yang dilakukan DPR melalui berbagai alat kelengkapan yang dimilikinya, seperti melalui komisi tidak menjadi bahasan tulisan ini. Setidaknya ada dua alasan mengapa penggunaan ketiga hak tersebut sangat penting untuk dibahas secara khusus. Pertama, penggu naan hak-hak politik telah banyak memengaruhi relasi antara DPR sebagai institusi legislatif dan Presiden sebagai pimpinan lembaga eksekutif. Kedua, meskipun hak interpelasi dan hak angket cukup sering digunakan oleh DPR pasca-Orde Baru, namun efektivitasnya untuk mengoreksi kebijakan masih banyak dipertanyakan.
Fungsi Pengawasan DPR dan Kedaulatan Rakyat Secara umum, ada tiga fungsi utama yang dijalankan lembaga legislatif di dunia, yaitu fungsi perwakilan, fungsi legislasi, dan fungsi pengaw asan. Pertam a, fungsi perw akilan merujuk pada fungsi parlemen dalam merepre sentasikan kedaulatan rakyat. Karena itu, mereka memiliki kewajiban moral untuk mewakili dan memperjuangkan kepentingan dan opini seluruh segmen dalam masyarakat, tidak hanya kelompok masyarakat yang telah memilihnya dalam pemilu. Kedua, fungsi legislasi merupakan fungsi yang paling tua atau paling tradisional dari lembaga parlemen. Fungsi ini merujuk pada pembuatan atau deliberasi aturan-aturan umum yang mengikat seluruh warga negara. Ketiga, kapasitas untuk mengontrol potensi penyimpangan dari inisiatif dan kekuasaan eksekutif adalah tugas mendasar lain yang harus dimiliki parlemen.4 4 Patrick Ziegenhain, “The Indonesian Legislature and Its Impacts on Democratic Consolidation”, dalam Marco Bunte and Andreas Ufen (Eds.), Democratization in Pos-Soeharto Indoensia, (London and New York: Routledge, 2009), hlm. 37. Ada beragam klasifikasi yang dibuat Sarjana Ilmu Politik mengenai fungsi dasar lembaga legislatif. Dalam klasifikasi Ziegenhain, fungsi anggaran, yang disebutkan dalam pasal 20A UUD 1945 sebagai satu fungsi DPR yang tersendiri, merupakan bagian dari dua fungsi yang lain. Pengesahan anggaran dilaku kan melalui undang-undang dan merupakan bagian dari fungsi legislasi, sedangkan pengawasan legislatif atas implementasi anggaran yang telah disetujui merupakan bagian dari fungsi pengawasan. Sarjana lain, seperti Rod Hague, Martin Harrop, dan Shaun Breslin mengidentifikasi tiga fungsi kunci dari parlemen modem, yaitu representasi, deliberasi, dan legislasi. Selain itu, menurut Hague dkk., ada beberapa fungsi lain yang penting yang dijalankan sebagian parlemen di dunia, yaitu
John Lees (1977) mendefinisikan pengawasan (oversight) lembaga legislatif sebagai “tingkah laku anggota legislatif dan staf mereka, baik secara individual maupun secara kolektif, yang hasilnya disengaja atau tidak berdampak terhadap perilaku birokrasi.”5 Dalam konteks pelaksanaan kedaulatan rakyat, pengawasan ini mempunyai makna yang sangat strategis karena merupakan bentuk pertanggungjawaban anggota legislatif, baik secara moral maupun politis, kepada rakyat yang telah mewakilkan kedaulatan mereka kepada orang-orang yang telah mereka pilih melalui pemilu. Pengawasan oleh lembaga legislatif ini memungkinkan terjaminnya kepentingankepentingan rakyat dalam kebijakan eksekutif, sejak proses pembuatan, pelaksanaan, hingga pertanggungjaw abannya. Dengan berbagai hak konstitusional yang melekat pada fungsi pengaw asannya, lem baga le g isla tif dapat mengkritisi kebijakan yang merugikan rakyat, seperti adanya unsur kerugian keuangan negara, penyalahgunaan kewenangan, pengutamaan alokasi anggaran hanya bagi kelompok tertentu, terabaikannya hak-hak kelompok marginal, dan sebagainya. Jika ini dijalankan maka siklus kekuasaan politik yang hulu dan hilirnya adalah rakyat dapat diwujudkan. Untuk mewujudkan hal tersebut, legislatif harus mampu memelihara otonomi yang cukup agar dapat mengawasi kekuasaan eksekutif.6 The World Bank Institute m elakukan analisis untuk menyelidiki hubungan antara potensi pengawasan legislatif dengan: (i) tipe pemerintahan (presidensial, semipresidensial, atau parlementer); (ii) tingkat pendapatan na membentuk pemerintahan, mengesahkan anggaran, dan penga wasan terhadap lembaga eksekutif, dan menyediakan saluran rekrutmen elit dan sosialisasi. Rod Hague, Martin Harrop, and Shaun Breslin, Comparative Government and Politics: An Introduetion, 4lhedition. (Basingstoke: Macmillan Press, 1998), hlm. 190-196. Sementara itu, Miram Budiardjo menyebutkan hanya dua fungsi dasar, yaitu (i) menentukan kebijakan dan membuat undang-undang; dan (ii) mengontrol badan eksekutif. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 322-327. 5Ricardo Pelizzo and Rick Stapenhurs, "Tools for Legislative Oversight: An Empirical Investigation”, Rick Stapenhurs, et al. (Eds.), Legislative Oversight andBudgeting: A WorldPerspective, (Washington DC: The World Bank, 2008), hlm. 9. 6 Soetjipto, Ani et al.. Kerja Untuk Rakyat, (Jakarta: Pusat Kajian Politik UI, 2009), hlm. 163-164.
sional brutto (rendah, menengah, atau tinggi); dan (iii) tingkat demokrasi (nondemokratis, quasidemokratis, atau demokratis). Dengan mengacu pada tujuh instrumen, yaitu dengar pendapat di komite (committee hearings), dengar pendapat di sidang paripurna, komisi penyelidik, mengajukan pertanyaan, waktu pertanyaan (question time), dan interpelasi, studi ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, negara dengan sistem pemerintahan parlementer secara umum dilengkapi dengan instrumen pengawasan yang lebih banyak. Kedua, ada hubungan yang jelas antara tingkat pendapatan dan jumlah instrumen pengawasan, di mana negara-negara dengan pendapatan tinggi umumnya memiliki instru men pengawasan yang lebih tinggi. Ketiga, ada hubungan yang juga linear antara instrumen pengawasan dengan tingkat demokrasi, di mana semakin demokratis sebuah negara, semakin banyak instrumen pengawasan yang dimiliki legislatifnya.7Analisis ini hanya menyimpulkan adanya hubungan antara keduanya dan tidak dapat menemukan arah antara keduanya. Dengan kata lain, tidak dapat disimpulkan adanya sebuah hubungan kausalitas. Selanjutnya, yang memiliki hubungan lang sung dengan tingkat demokrasi adalah potensi pengawasan, bukan pengawasan pada tataran aktual. Menariknya, dengan menggunakan data dari studi-kasus di parlemen Italia, Ricardo Pelizzo justru menyimpulkan bahwa efektivitas pengawasan berbanding terbalik dengan ba nyaknya penggunaan instrumen pengawasan. Semakin banyak legislatif menggunakan instru men pengawasan yang mereka miliki, perhatian dan energi mereka terbagi ke banyak isu sehingga kehilangan fokus.8 Dengan demikian, dalam menganalisis fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR, 1Ibid., hlm. 15-20. Banyak akademisi melihat ada kecende rungan menarik penguatan sistem presidensialisme di Indonesia pascaamandemen konstitusi, yaitu adanya penguatan keduduk an Presiden dan DPR sekaligus. Dalam realitasnya. DPR bahkan tidak j arang justru berperilaku seperti parlemen dalam sistem parlementer. Sistem multipartai dalam pemilu-pemilu pasca-Orde Baru dianggap sebagai salah satu penyebab kom pleksitas ini. 8Ricardo Pelizzo, “Oversight and Democracy Reconsidered”, Rick Stapenhurs, et al. (Eds.), Legislative Oversight and Budgeting: A WorldPerspective, (Washington DC: The World Bank, 2008), hlm. 44.
93
ada tiga konsep yang perlu kita bedakan, yaitu potensi pengawasan, praktik pengawasan, dan efektivitas pengawasan. Potensi pengawasan menunjuk pada jumlah instrumen pengawasan yang secara normatif diberikan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lain kepada DPR. Dalam praktiknya, penggunaan instrumen pengawasan tersebut berbeda antara satu instru men dengan instrumen yang lainnya. Sebagai contoh, penggunaan angket oleh DPR selama ini jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan interpelasi. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sulit-tidaknya prosedur yang harus dilalui; atau seberapa besar implikasi politik dari penggunaan instrumen tersebut.
atau tidak berlanjut. Keberlanjutan pengawasan DPR tersebut sangat dipengaruhi oleh proses politik, atau lebih tepatnya kompromi politik yang terjadi di antara fraksi di DPR. Situasi ini muncul terutama karena lemahnya fraksi pendukung pemerintah di parlemen. Presiden Wahid di masa pemerintahannya hanya memiliki basis parpol pendukung di parlemen sebesar 11% (PKB), sedangkan Megawati 31% (PDIP). Hal ini menjadi latar belakang bagi kedua presiden untuk berupaya menjalin koalisi dengan parpol dan fraksi TNI/Polri guna memperoleh dukungan DPR atas pemerintah. Meskipun demikian, tidak ada koalisi formal yang kuat di parlemen selama periode ini terbentuk.
Akan tetapi, penting untuk digarisbawahi, banyaknya penggunaan instrumen pengawasan tidak dengan sendirinya menunjukkan efektivitas pengawasan yang lebih tinggi. Efektivitas penga wasan ini dapat dilihat dari dampak pengawasan tersebut, misalnya seberapa besar pengawasan DPR mencegah penyimpangan atau melakukan koreksi terhadap kesalahan eksekutif dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan.
Basis dukungan Wahid di DPR berangkat dari koalisi informal parpol yang mendukung dirinya dalam pencalonan presiden, di antaranya Poros Tengah (PPP, PAN, PK, dan PBB), PKB, beberapa parpol kecil yang bergabung dalam Fraksi Daulat Ummat, dan Golkar. Dukungan tersebut kemudian diperkuat dengan mengalo kasikan 86% kursi kabinet untuk kader-kader parpol. Upaya Wahid tersebut berbuah hasil de ngan masuknya delapan fraksi ke dalam barisan pendukung Wahid, termasuk PDIP. Namun, blok politik pendukung presiden di parlemen runtuh setelah Wahid membongkar-pasang menteri dari unsur parpol.
Pengawasan DPR Periode 1999-2004 Pemilu pertama pascajatuhnya Orde Baru digelar pada tahun 1999 dan menghasilkan perubahan komposisi kekuatan politik. Dominasi Golongan Karya (G olkar) selam a tujuh kali pem ilu berakhir dengan munculnya PDIP sebagai partai politik (parpol) pemenang pemilu dan menjadi parpol dengan perolehan kursi terbanyak di DPR (30,6%), diikuti oleh Golkar (24%), dan PPP (11,6%).9 Tidak hanya komposisinya saja yang berubah, perilaku politik DPR hasil Pemilu 1999 juga cenderung mengalami perubahan, antara lain dengan menguatnya pengawasan DPR terhadap eksekutif. Bahkan, kerja pengawasan DPR ini pernah menyebabkan pemecatan Presiden Abdurrahman Wahid. Selama pemerintahan kedua presiden ini, terdapat sembilan isu yang diusulkan dengan hak interpelasi dan angket oleh DPR, dimana sebagian diterima dan sebagian lainnya ditolak Sekertariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Periode 1999-2004, (Jakarta: Sekertariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2004), hlm. 9.
94
Berdasarkan Tabel 1, terlihat adanya kecen derungan mayoritas di DPR tidak lagi memberi kan dukungan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Hanya PKB yang konsisten memberikan dukungan. Setelah Wahid digantikan oleh Megawati, beberapa parpol, antara lain PK dan PKB menyatakan secara pilihannya sebagai opo sisi. Serupa dengan masa Pemerintahan Wahid, Megawati juga melakukan pola yang sama, yakni menjaring kekuatan di parlemen dengan memberikan 53% kursi di kabinet untuk parpol. Namun, hal ini tidak serta-merta menghasilkan dukungan yang kokoh di parlemen selama masa pemerintahannya karena berbagai usul interpelasi dan angket juga harus dihadapinya. Hanya Ang ket Bulog II yang terkait dengan Akbar Tandjung yang gagal memperoleh dukungan mayoritas fraksi di DPR. Jika dilihat dari perjalanan DPR periode 1999-2004 ini, isu yang diangkat tidak hanya
Tabel 1. Sikap Fraksi-fraksi terhadap Pengawasan DPR RI Masa Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Hak Angket dan Interpelasi yang Diajukan
No
Hak Interpelasi Pembubaran Departemen Sosial dan Penerangan Hak Interpelasi Pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla Hak Angket Kasus Yanatera Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei Hak Agket Kasus Bulog II Kasus No. 1-3 ''('(.„■i : mendukung pengajuan hak pengawasan/tidak puas terhadap jaw aban Presiden (I : menolak pengajuan hak pengawasan/puas terhadap jaw aban Presiden
j : mengubah pendapat dari tidak puas m enjadi puas terhadap jaw aban Presiden Kasus No. 4 : m enolak pengajuan hak pengawasan/puas terhadap jaw aban Presiden : mendukung pengajuan hak pengawasan/tidak puas terhadap jaw aban Presiden
Tabel 2. Sikap Fraksi-Fraksi terhadap Pengawasan DPR RI Masa Presiden Megawati (2001-2004)
Fraksi Koalisi N
Fraksi Netnl/Kalmr
F ra k si
Hak Angket dan Interpelasi yang Diajukan
H ak A ngket D ana N onbujeter B ulog (kasus A kbar Tandjung)_______________ H ak A ngket D ivestasi PT Indosat 3. 4. 5.
H ak Interpelasi B an tu an Presiden u tk Pem bangunan A sram a TN I/Polri H ak Interpelasi K unjungan P residen ke T im or Leste H ak Interpelasi L epasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke M alaysia________________
: m endukung pengajuan h ak pengaw asan/tidak p u as dengan jaw ab an Presiden : m enolak pengajuan hak pengaw asan/puas dengan jaw ab an Presiden : m engubah sikap m endukung pengajuan hak pengaw asan m enjadi m enunda (abstain)
menyangkut persoalan yang mendapatkan per hatian masyarakat, tetapi juga persoalan yang terkait langsung dengan kepentingan politik parpol, seperti penggunaan hak interpelasi dalam kasus pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Selain itu, beberapa usul interpelasi dan angket muncul bersamaan dengan isu politik lain, contohnya Angket Buloggate I dan Bruneigate, Interpelasi Asrama TNI, dan Interpelasi Kun jungan ke Timor Timur. Angket Buloggate I dan Bruneigate muncul saat konflik politik antara DPR dan Presiden Wahid semakin meruncing karena berbagai alasan, termasuk keputusan Presiden untuk mencopot beberapa orang menteri yang berasal dari parpol dan melakukan bongkarpasang struktur pimpinan TNI/Polri. Angket Buloggate I dan Bruneigate muncul di saat yang tepat sebagai alat bagi DPR untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid. Kemudian, Interpelasi Asrama TNI dan Interpelasi Kunjungan ke Timor Timur muncul tepat di saat kasus Bulog II menjerat pimpinan Golkar, Akbar Tandjung. Kedua interpelasi yang mempertanyakan kebijakan Megawati tersebut seolah-olah merupakan jawaban atas ancaman Golkar untuk melakukan cerai politik terhadap parpol yang mendukung hak angket atas kasus Bulog II dan boikot politik terhadap pemerin tahan Megawati. Hal inipun ditandai dengan adanya perubahan sikap PDIP setelah munculnya kasus asrama TNI dan kunjungan ke Timor Timur yang melunak kepada Golkar dengan menarik kembali dukungannya untuk Angket Bulog II. Tiga latar belakang tersebut dinilai melekat pada penggunaan hak interpelasi dan angket yang dijalankan oleh DPR periode 1999-2004, meskipun secara normatif kasus-kasus tersebut tentu saja muncul juga karena ada dugaan terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang oleh pemerintah, khususnya presiden. Meskipun demikian, jika dilihat dari tiga latar belakang tersebut, dua di antaranya lebih terkait dengan kepentingan politik parpol. DPR Periode 1999-2004 juga ditandai oleh kuatnya posisi anggota, yang tidak dapat dipecat (PAW) oleh partainya, termasuk ke tika anggotanya membangkang dari keputusan partai. Meskipun demikian, keputusan akhir menyangkut hak interpelasi dan angket pada
96
akhirnya berada di tangan fraksi. Dalam proses politik pengawasan tersebut, kompromi dan lobi politik dilakukan oleh fraksi. Hal ini amat terlihat dalam penggunaan Interpelasi Pencopotan Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi, di mana PDIP mengalami perubahan sikap saat Presiden Wahid menjanjikan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Wakil Presiden Megawati. Hai ini juga terlihat dari Angket Bulog II, Interpelasi Asrama TNI/Polri, dan Interpelasi Timor Leste, di mana Golkar dan PDIP mengalami perubahan sikap. Dari kasus-kasus tersebut, beberapa anggota DPR yang tidak mematuhi kebijakan partai bahkan mendapatkan sanksi. Dari sisi efektivitas, penggunaan hak penga wasan DPR 1999-2004 tidak memperlihatkan adanya pengaruh terhadap perubahan perilaku dan kebijakan pemerintah. Hanya satu peng gunaan hak interpelasi yang mampu menciptakan perbaikan kebijakan pemerintah, yakni Inter pelasi Asrama TNI, di mana dana pengelolaan bantuan Presiden menjadi lebih tertata. Namun, penggunaan hak interpelasi dan angket lainnya tidak memperlihatkan dampak yang nyata atas perubahan perilaku dan kebijakan pemerintah.
Pengawasan DPR Periode 2004-2009 Usul hak pengawasan yang pertama diajukan DPR Periode 2004-2009 adalah usulan hak in terpelasi atas Penarikan Surat (Mantan) Presiden Megawati Soekamoputri tentang Pemberhentian Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Pengangkatan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 25 Oktober 2004. Usul interpelasi yang pertama ini diajukan pada saat Presiden SBY belum genap sebulan menduduki kursi presiden. Usul inter pelasi tersebut akhirnya ditolak. Usul interpelasi lain yang juga ditolak menjadi hak institusional DPR, antara lain usul Interpelasi Impor Beras I, Interpelasi Impor Beras II, dan Interpelasi Kenaikan Harga BBM. Sebaliknya, usul hak interpelasi yang diterima sebagai hak interpelasi DPR di an taranya adalah Interpelasi Busung Lapar dan Wabah Polio; Persetujuan Pemerintah terhadap Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747 yang
berisi perluasan sanksi terhadap Iran terkait dengan pendayagunaan uranium; Penyelesaian Kasus KLBI/BLBI; dan Kenaikan Harga Kebu tuhan Pokok. Keempat hak interpelasi ini bera khir dengan penyampaian keterangan pemerintah yang diwakili oleh sejumlah menteri terkait atas pernyataan DPR dan tidak ada satupun yang berlanjut kepada penggunaan hak angket maupun hak menyatakan pendapat. Sisanya, yaitu usul Interpelasi SK Wapres tentang Pembentukan Timnas Penanganan Ben cana di Aceh; Surat Seswapres yang berisi arahan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla agar para menteri tidak terlalu menganggap penting rapat kerja dengan DPR; MoU Helsinki tentang penyelesaian kasus Aceh; dan Video Conference Rapat Kabinet Presiden SBY dari Amerika Serikat kandas di tengah jalan karena berbagai sebab. Sementara itu, Interpelasi Lumpur Lapindo nasibnya lebih tidak jelas lagi sebab usul ini tidak pemah ditolak sebagai hak interpelasi DPR, tetapi juga tidak diterima, melainkan statusnya— meminjam istilah yang digunakan beberapa politisi—masih on call. Kasus tersebut tidak memiliki kadaluarsa dan kapanpun bisa dibuka kembali oleh DPR atau dengan kata lain ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Dari 12 usulan hak angket yang diajukan, hanya 4 usulan yang diterima sebagai hak angket DPR, sedangkan 6 usulan ditolak, dan sisanya 2 usulan kandas di tengah jalan atau tidak berlanjut. Usulan hak angket yang disetujui menjadi hak angket DPR, antara lain usul hak angket atas Penjualan Tanker Pertamina; Penyelenggaraan Ibadah Haji; Kenaikan Harga BBM (II); dan Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Legislatif 2009. Dari beberapa usul hak angket yang disetujui DPR, ada yang menghasilkan rekomendasi yang cukup konkret, di antaranya dalam kasus penjualan tanker Pertamina yang berujung pada dipenjarakannya mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Demikian halnya dengan Angket Kenaikan Harga BBM yang berhasil mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan penurunan harga BBM sebanyak tiga kali dan mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang Negative Lisi yang mengatur mengenai larangan bagi
kontraktor untuk memperhitungkan tujuh belas jenis biaya operasional sebagai cost recovery.'0 Sementara itu, Angket DPT dapat dikatakan berakhir antiklimaks. Panitia angket yang me nyatakan bahwa KPU harus bertanggung jawab atas persoalan ini dengan cara memberhentikan anggota KPU dalam waktu yang sesingkatsingkatnya. Rekomendasi tersebut kemudian dilimpahkan kepada DPR periode berikutnya untuk ditindaklanjuti. Namun, persoalan ini tidak jelas kelanjutannya, bahkan hampir tidak pemah dibahas lagi di DPR. Sementara itu, usul hak angket yang ditolak di antaranya adalah Angket Kenaikan Harga BBM (I); Lelang Gula Impor Ilegal; Kredit Macet Bank Mandiri; Impor Beras; Penunjukan ExxonMobil Ltd. sebagai Pimpinan Operator Lapangan Minyak Blok Cepu; Transfer Pricing PT Adaro Indonesia. Sisanya, yakni Angket Penyelesaian KLBI/BLBI dan Pilkada Maluku Utara kandas alias prosesnya berhenti di tengah jalan. Kegagalan beberapa usul hak interpelasi, angket, ataupun menyatakan pendapat DPR pada periode 2004-2009 tersebut tidak lepas dari peran lobi yang dilakukan pemerintah kepada parpol-parpol di DPR. Pemerintah melakukan pertemuan tertutup, yang diwakili Wakil Presiden Jusuf Kalla atau beberapa orang menteri dengan pimpinan fraksi-fraksi dan komisi terkait untuk membicarakan tentang usul interpelasi atau angket yang sedang dibahas di parlemen. Selain Wapres dan menteri mengadakan pertemuan tertutup dengan pimpinan fraksi dan komisi terkait, Presiden juga mengumpulkan sejumlah menteri yang berasal dari partai koalisi pendu kung pemerintah untuk menanyakan kembali loyalitas partainya terhadap kebijakan pemerin tah yang tengah diproses di DPR. Kesepakatan yang dihasilkan lobi-lobi tersebut kemudian “diamankan” sebagai keputusan partai yang diinstruksikan untuk ditaati, baik oleh fraksi maupun anggota mereka di DPR. Selain itu, upaya untuk menggagalkan usu lan hak pengawasan DPR juga dilakukan dengan cara memunculkan usulan hak tandingan untuk kasus yang sama, misalnya dimunculkan usulan10* 10Risalah Rapat Paripurna, Agenda: Pengantar Laporan Akhir Panitia Angket DPR-R1 tentang Kebijakan Pemerintah Menaik kan Harga BBM. 28 September 2009.
97
hak interpelasi untuk memecah suara dalam proses pengajuan usulan hak angket terhadap persoalan yang sama. Akibatnya, para peng gagas gagal memperoleh dukungan mayoritas dalam pemungutan suara. Kegagalan usul hak pengawasan DPR biasanya juga dipengaruhi oleh isu yang sedang diajukan berkaitan dengan kepentingan elite parpol besar. Sementara itu, dari sekian banyak usulan tersebut, masing-masing hanya empat usul yang diterima sebagai hak interpelasi dan hak angket DPR. Sebagaimana terjadi pada DPR Periode 1999-2004, usul interpelasi atau angket ikut didukung oleh fraksi anggota koalisi pendukung pemerintah. Meskipun kecenderungan fraksi anggota koalisi pendukung pemerintah menolak kebijakan pemerintah merupakan realitas yang agak aneh, namun karena tidak ada kesepakatan minimum yang mengikat parpol dan Presiden di dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) maka sikap “liar” parpol tersebut dalam merespons kebijakan pemerintah menjadi suatu pilihan yang dianggap wajar. Realitas ini menyebabkan koalisi yang terbentuk cenderung semu karena parpol pendukung pemerintah sering kali tidak merasa harus turut bertanggung jawab terhadap kebijakan pemerintah.1' Penggunaan hak interpelasi maupun hak angket ini selain menyita waktu dan energi bagi DPR dan Presiden juga menimbulkan situasi kon flik dan ketegangan politik yang kadang-kadang tidak produktif bagi efektivitas pemerintahan sebab tidak hanya berdebat tentang substansi materi hak interpelasi dan hak angket melainkan juga soal teknis, seperti ketidakhadiran Presiden secara langsung dalam rapat paripurna DPR. Berkaca pada kuantitas anggota koalisi pendukung pemerintah yang mencapai 403 kursi atau di atas 70% dari total kursi DPR seharusnya pemerintahan SBY-JK terbangun secara konstruktif, stabil, dan efektif. Akan tetapi, sebaliknya, efektivitas kinerja kabinet dan pemerintahan hasil Pemilu 2004 ini hampir selalu terganggu oleh manuver fraksi-fraksi di DPR yang notabene sebagian di antaranya 11Syamsuddin Haris, Format Baru Relasi Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca-Amandemen Kon stitusi (2004-2008), disertasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2008), hlm. 189.
98
adalah anggota koalisi pendukung pemerintah. Tarik-menarik politik hampir selalu terjadi ketika parpol melalui fraksi mengajukan usulan peng gunaan hak interpelasi untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah ataupun hak angket untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang disinyalir terjadi pelanggaran. Karena itu, muncul kesan secara publik bahwa manuver politik sebagian anggota Dewan berhasil jika dapat memojokkan Presiden secara politik. Meskipun demikian, konflik dan ketegangan yang terjadi di antara DPR dengan Presiden tidak pemah berlangsung lama. Secara umum, biasanya tensi ketegangan menurun setelah dilakukan rapat konsultasi antara Presiden dengan pimpinan DPR.12
Pengawasan DPR Periode 2009-2014 Sampai dengan akhir tahun 2011, ada dua kasus angket yang diajukan DPR Periode 2009-2014, yaitu tentang penyelamatan (bailout) Bank Century dan mafia perpajakan. Usul hak angket Bank Century diinisiasi oleh sembilan anggota DPR lintas fraksi yang menduga adanya skandal dalam penyelamatan Bank Century, terutama karena ada beberapa persoalan dalam kebijakan tersebut yang tidak bisa dijelaskan secara tuntas oleh pemerintah. Karena itu, mereka meng galang dukungan anggota DPR lainnya untuk mengusut dugaan tersebut dengan menggunakan hak angket DPR.13 Pada tanggal 12 November 2009, usul hak angket resmi diajukan oleh 139 orang anggota DPR yang berasal dari semua fraksi, kecuali Fraksi Partai Demokrat. Usul yang kemudian ditandatangani oleh 503 dari total 560 anggota DPR ini akhirnya disetujui dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 1 Desember 2009.14 12Ibid, hlm.118. 0 Wawancara dengan Muhammad Misbakhun, salah seorang inisiator angket dari Fraksi PKS, pada tanggal 18 Oktober 2011, di Jakarta. 14Anggota Fraksi Partai Demokrat akhirnya ikut menandatanga ni usul hak angket. Perubahan sikap ini terjadi setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi atas Kasus PT Bank Century Tbk., Nomor 64/LHP/XV/l 1/2009, tanggal 20 November 2009. Laporan tersebut menyebutkan adanya sembilan indikasi pelanggaran. Audit investigasi ini sendiri dilakukan BPK atas permintaan Komisi XI DPR, yang melihat bahwa terdapat in dikasi penyimpangan dalam kebijakan pemerintah menangani Bank Century. Laporan Panitia Angket DPR R I Mengenai Pengusutan Kasus Bank Century dalam Rapat Paripurna DPR
Setelah bekerja selama hampir tiga bulan, Pansus mengakhiri tugasnya. Dalam Rapat Pansus tanggal 23 Februari 2010, fraksi-fraksi menyampaikan pandangan akhir terkait empat masalah pokok yang diselidiki Pansus, yaitu soal akuisisi dan merger Bank Century, pembe rian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), pemberian Penyertaan Modal Sementara (PMS), dan soal aliran dana. Berdasarkan pandangan akhir fraksi-fraksi tersebut, Pansus kemudian menyusun kesimpulan dan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Rapat Paripurna DPR. Karena terdapat perbedaan pandangan yang sulit disatukan, Pansus akhirnya menyusun dua opsi kesimpulan dan rekomendasi, yaitu (i) Opsi A, yang pada intinya menganggap tidak ada kebijakan yang salah dalam proses bailout; dan (ii) Opsi C, yang menganggap bahwa ada kebi jakan yang salah yang menyebabkan terjadinya penyelewengan dalam kasus Century.15 Pengambilan keputusan DPR mengenai kasus Bank Century dilakukan pada Rapat Paripurna DPR tanggal 2 Maret 2010. Lobi antarfraksi yang dilakukan sebelum pemungutan suara malah memunculkan opsi baru, yaitu Opsi AC. Opsi yang didorong oleh Demokrat, PAN, PPP, dan PKB ini mencoba menggabungkan kesimpulan dari dua opsi sebelumnya. Namun, Opsi AC tersebut tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota DPR. Saat pemungutan suara mengenai pilihan kesimpulan angket, Opsi C mengungguli Opsi A, dengan 325 suara berbanding 212 suara. Dengan demikian, DPR menyimpulkan adanya kebijakan yang salah dalam bailout Bank Century. Presiden SBY secara khusus menyampaikan bantahan terhadap beberapa kesimpulan pokok yang dibuat Pansus. Menurut SBY, kebijakan penyelamatan Bank Century diambil dalam masa sulit, yaitu saat dunia dilanda krisis ekonomi, di mana informasi tidak selalu lengkap dan sering berubah sehingga pilihan-pilihan yang tersedia juga tidak selalu mudah. SBY juga memper tanyakan konsistensi sikap DPR, yang saat itu mendukung kebijakan yang diambil pemerintah, tetapi kem udian m em pertanyakan asumsi situasi krisis saat kebijakan diambil. SBY juga RI tanggal 2 Maret 2010. 15Laporan Panitia Angket DPR RI
Op.Cit.
menyatakan penolakan terhadap kemungkinan kriminalisasi atau pemidanaan terhadap para pejabat yang berada dibalik kebijakan bailout tersebut. SBY juga membantah dugaan adanya dana bailout yang mengalir dari Bank Century kepada Tim Kampanye SBY-Boediono atau Par tai Demokrat serta sejumlah nama lainnya. Dari berbagai angket DPR yang pernah diajukan selama pemerintahan SBY, angket Bank Century ini bisa dikatakan istimewa. Tidak hanya diajukan dengan dukungan terbanyak, angket ini juga sangat menyita perhatian publik yang tergambar dari maraknya demonstrasi di berbagai kota dan masifnya liputan media selama Pansus DPR bekerja. Akan tetapi, dua hal tersebut tidak menjadi ukuran efektivitas pengawasan yang dilakukan DPR. Efektivitas pengawasan harus dilihat dari dampak pengawasan tersebut terhadap koreksi kebijakan yang menyimpang, bukan dari seberapa sering instrumen pengawasan tersebut digunakan ataupun seberapa besar perhatian masyarakat terhadap proses pengawasan yang dilakukan DPR. Meskipun DPR memutuskan bahwa diduga terjadi penyimpangan dan tindak pidana ko rupsi yang terindikasi merugikan keuangan dan perekonomian negara dalam kebijakan bailout Bank Century, namun hingga akhir 2011 hanya sebagian (kecil) yang telah diproses hukum, yaitu dari pihak pemilik dan pengelola Bank Century, sedangkan dari kalangan pejabat pemerintahan, belum ada satupun yang diproses secara hukum, kecuali dalam kapasitas sebagai saksi yang dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menangani kasus ini. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai tindak lanjut dari keputusan DPR mengenai penyelamatan Bank Century. Memang benar bahwa berdasarkan UU No. 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket, penyelidikan yang dilakukan DPR bukanlah sebuah proses pro justisia sehingga hasilnya hanyalah keputusan politik dan tidak dapat dijadikan alat bukti di depan pengadilan. Meskipun demikian, jika penyelidikan yang dilakukan secara terbuka berhasil mengungkap bukti-bukti secara kuat dan meyakinkan maka itu dapat menjadi masukan, jika bukan rujukan bagi KPK atau lembaga penegak hukum lain dalam memproses kasus ini.
99
Banyak kalangan yang m elihat bahwa hambatan terbesar bagi KPK dalam memproses secara hukum kasus adalah dilema KPK yang cenderung tersandera oleh kasus hukum yang menimpa pimpinan KPK saat itu, terutama menyangkut penetapan Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah sebagai tersangka oleh Kejak saan Agung. Karena desakan masyarakat luas, akhirnya Kejaksaan Agung men-deponeering kasus ini. Deponeering ini akhirnya menjadi semacam utang budi pim pinan KPK yang mengubah derajat independensi lembaga ini terhadap pemerintah. Karena itu, banyak yang merasa pesimistis kasus hukum Bank Century ini dapat diselesaikan secara tuntas selama belum ada pergantian pimpinan KPK. Di sisi lain, harus dilihat pula bahwa penyelesaian kasus ini juga dipengaruhi politik transaksional yang teijadi di DPR. Komitmen ter hadap penuntasan kasus ini patut dipertanyakan karena sejak awal fraksi-fraksi di Pansus Angket Bank Century membuat kesepakatan mengenai kerangka dan metode kerja Pansus. Dalam hal pemeriksaan saksi, contohnya, nama-nama yang dipanggil harus diputuskan secara kolektif. Tidak dipanggilnya SBY ke rapat Pansus dan tidak ada nya konfrontasi antara Jusuf Kalla, Sri Mulyani Indrawati, dan Boediono mengenai bagaimana kebijakan bailout diambil memang merupakan salah satu hasil kesepakatan yang dibuat fraksifraksi di Pansus. Fraksi-fraksi juga sejak awal menyepakati bahwa proses penyelidikan tidak sampai menyangkut SBY, apalagi sampai ke proses pemakzulan.16 Bisa jadi itu disebabkan kalkulasi politik masing-masing parpol bahwa belum tentu partainya akan memperoleh benefit apalagi menjadi yang paling diuntungkan, jika terjadi pemakzulan.17 Yang perlu dicatat, kesepakatan antarfraksi tersebut tentu saja dengan persetujuan atau bah kan berdasarkan arahan atau instruksi pimpinan parpol. Ini mengungkap realitas sebenarnya siapa yang menentukan hasil akhir angket dan
pengawasan DPR secara keseluruhan. Dengan demikian, peran DPR sebagai sebuah institusi politik yang merepresentasikan kedaulatan rakyat tersubordinasi oleh peran segelintir elite parpol yang sebenarnya menggenggam kekuasaan fraksi-fraksi di DPR. Dengan demikian, dari angket Bank Century ini dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan DPR belum dilakukan secara terlembaga.18 Pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kemudian bertugas di kantor pusat Bank Dunia dan pembentukan Se kretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Pendukung Pemerintah, di mana Aburizal Bakrie sebagai ketua umum Partai Golkar menjadi ketua harian Setgab, adalah dua peristiwa penting yang sulit dipisahkan dari Angket Bank Century. Sangat sulit untuk menganggap kedua peristiwa tersebut hanya sebuah kebetulan semata, mengingat perseteruan keduanya saat Sri Mulyani sebagai menteri keuangan membuat beberapa kebijakan dan pernyataan yang dianggap tidak bersahabat bagi kelompok usaha Aburizal Bakrie. Salah seorang anggota Pansus Bank Century dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, secara terbuka mengakui bahwa semua parpol di DPR, termasuk PDIP menggunakan kasus tersebut sebagai instrumen politik. Pertama, proses ang ket akan menjadi senjata untuk menekan parpol lain. Itu jauh lebih menonjol dibandingkan upaya serius DPR secara kelembagaan untuk mengung kap secara tuntas dan mengoreksi berbagai kebijakan atau persoalan yang diangkat dalam interpelasi ataupun angket. Dalam kasus Bank Century, belum ada perubahan kebijakan yang bersifat “sistemik” yang sudah dilakukan. Kedua, proses di Pansus Century juga digunakan sebagai instrumen untuk kepentingan elektoral, yaitu meningkatkan citra parpol di mata publik atau setidaknya merusak citra parpol lain.19Kuskrido Am bardhi dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) setuju bahwa ada motif elektoral di balik Angket Bank Century. Namun, berbeda dengan pernyataan Hendrawan Supratikno, ia menyim
16 Wawancara dengan Muhammad Misbakhun, salah seorang inisiator angket dari Fraksi PKS, pada tanggal 18 Oktober 2011, di Jakarta. Misbakhun menyebutkan bahwa fraksi-fraksi sepakat agar kegaduhan Pansus 'terukur’.
18Purwo Santoso, Dosen Fisipol UGM, dalam FGD “ Evaluasi Politik Pengawasan DPR RI Era Reformasi” di Yogyakarta, 6 April 2011.
17Wawancara dengan Fiendrawan Supratikno, anggota Pansus Bank Century dari Fraksi PDIP, pada tanggal 13 Oktober 2011, di Jakarta.
19Wawancara dengan Hendrawan Supratikno,* anggota Pansus Bank Century dari Fraksi PDIP, pada tanggal 13 Oktober 2011, di Jakarta.
100
pulkan bahwa electoral effect dari Angket Bank Century tidak signifikan. Data beberapa survei LSI sejak sebelum hingga sesudah keputusan DPR soal angket menunjukkan bahwa perubahan elektabilitas parpol-parpol relatif kecil.20 Kasus angket kedua yang diajukan DPR Periode 2009-2014 adalah mengenai perpajakan. Ada empat fraksi yang mendukung pengajuan usul angket ini, yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PKS, dan Fraksi Partai Hanura. Kasus diangkat karena selama ini terjadi kebocoran penerimaan pajak dalam jumlah yang sangat besar. Padahal, pajak merupakan sumber pendapatan utama bagi Negara. Beberapa kasus yang terungkap, seperti kasus Gayus Tambunan hanyalah sedikit contoh dari buruknya pengelo laan pajak selama ini. Untuk menuntaskannya, diperlukan penyelidikan terhadap aturan dan kebijakan mengenai perpajakan yang diduga juga bermasalah. Penyelidikan yang komprehensif, mendalam, dan tuntas terhadap masalah perpa jakan tersebut hanya dapat dilakukan DPR jika menggunakan instrumen hak angket. Sementara itu, lima fraksi lainnya, yaitu Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi PPP menyatakan penolakan karena menganggap penggunaan angket tersebut tidak diperlukan. Penyelesaian kasus mafia pajak sebaiknya dibawa ke ranah hukum. Jika DPR melakukan penye lidikan melalui pembentukan panitia khusus hak angket, dikhawatirkan hanya akan menjadi ajang politik yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan, tetapi tidak dapat menuntaskan substansi permasalahan. Pada tanggal 22 Februari 2011 DPR meng gelar rapat paripurna yang mengagendakan pengambilan keputusan atas usul hak angket anggota DPR tentang perpajakan menjadi hak angket DPR. Sebelum lobi dilakukan, beberapa anggota fraksi penolak angket mendorong tidak digunakannya voting dalam menentukan angket ini. Mereka tampaknya sadar dengan risiko 20 Kuskrido Ambardhi, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan pengajar UGM, dalam FGD “Evaluasi Politik Pengawasan DPR RI Era Reformasi” di Yogyakarta, 6 April 2011. Dodi meyakini bahwa hasrat partai-partai untuk terlalu mudah menggunakan instrumen interpelasi dan angket dalam melakukan pengawasan DPR akan berkurang jika menge tahui kecenderungan ini.
bahwa jika voting dilakukan, ada kemungkinan sejumlah anggota dari fraksi-fraksi penolak usulan hak angket yang akan menyeberang dan mendukung angket. Namun, upaya tersebut tidak berhasil dan rapat paripurna memutuskan untuk melakukan voting. Terpecahnya sikap parpol-parpol pendukung pemerintah dalam kasus angket mafia pajak juga berdampak pada politik di internal koalisi. Parpol-parpol anggota koalisi yang ikut mendu kung angket Demokrat mendapatkan peringatan, termasuk dari SBY langsung yang menyatakan akan segera melakukan penataan ulang koalisi karena ada satu-dua partai yang dinilai tidak lagi menaati kesepakatan. Publik bisa menangkap bahwa pesan ini ditujukan kepada Golkar dan PKS, dua partai anggota koalisi yang justru ak tif ikut mendukung usul hak angket. Di tengah perdebatan di antara parpol anggota Setgab, muncul kabar adanya tawaran Demokrat kepada Gerindra dan PDIP untuk masuk ke dalam kabinet. Reskjuffle yang dilakukan pada bulan Oktober 2011 kemudian mengkonfirmasi bahwa Gerindra dan PDIP akhirnya tetap berada di luar pemerintahan. Dari kasus angket bailout Bank Century dan usul angket mafia perpajakan yang bergulir di DPR sejak bulan Oktober 2009 hingga akhir tahun 2011, kita dapat menyimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan DPR melalui peng gunaan hak angket belum terlembaga dan lebih ditentukan oleh peran elit parpol. Dalam kasus Angket Century, hal ini tampak jelas mulai dari pilihan fraksi-fraksi dalam mendukung atau me nolak usul angket; pilihan untuk mendukung opsi kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan; hingga sikap terhadap tindak lanjut atas hasil angket. Hal yang sama teijadi dalam pengambilan
Tabel 3. Hasil Pemungutan Suara terhadap Usulan Hak Angket Mafia Pajak Mendukung Hak Angket
Golkar (106 suara) PDIP (84 suara) PKS (56 suara) Hanura (16 suara) PKB (2 suara, yaitu Lily Wahid dan Effendi Choirie) Jumlah: 264 suara
MaaotefeHafcAriglret Fraksi Demokrat (145 suara) Fraksi PAN (43 suara) Fraksi PPP (26 suara) Fraksi PKB (26 suara) Fraksi Gerindra (26 suara) Jumlah: 266 suara
101
keputusan mengenai disetujui atau tidaknya penggunaan hak angket untuk menyelidiki masalah mafia pajak. Dari segi hasil atau dampaknya, perbaikan yang bersifat menyeluruh dan sistematis kebi jakan setelah usul angket belum terjadi seperti yang diharapkan. Yang kemudian menonjol adalah kesan bahwa penggunaan angket sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan masingmasing parpol, baik sebagai alat bargaining poli tik maupun sebagai instrumen pencitraan parpol untuk menghadapi pemilu. Hal yang menarik adalah parpol-parpol yang mendukung angket menyadari bahwa parpol lain juga melakukan hal yang sama sehingga dapat dikatakan tidak ada satu parpol pun yang mengharapkan hasil yang benar-benar ekstrem. Bisa jadi hal tersebut dilatarbelakangi masing-masing parpol khawatir bahwa benefit terbesar dari akhir kasus ini akan dinikmati parpol lain. Dengan latar belakang ini, adanya kesepakatan fraksi-fraksi untuk menjaga “kegaduhan yang terukur” yang menghindari pemakzulan SBY dalam proses angket Bank Century menjadi sangat masuk akal.
Pengawasan tanpa “Politik”: Catatan Penutup Kecenderungan pengawasan yang dijalankan DPR dalam dua belas tahun terakhir menunjukkan bahwa DPR tidak memiliki “politik pengawasan”, yaitu semacam kerangka keija yang jelas, pola yang melembaga, dan target pencapaian yang terukur mengenai bagaimana seharusnya fungsi pengawasan dikelola dan diimplementasikan agar pemerintahan hasil pemilu dapat bekerja efektif serta menghasilkan pemerintah yang bersih dan tata-kelola pemerintahan yang baik. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan fungsi legislasi yang didasarkan pada sebuah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun dan disahkan DPR setiap tahun, meskipun implementasinya memang dapat dikatakan belum optimal. Praktik dan implementasi fungsi pengawasan dibiarkan ditafsirkan sendiri-sendiri oleh setiap parpol dan bahkan oleh setiap politisi parpol di DPR. Kecen derungan seperti ini sering kali tampak dibalik sikap dan pandangan politik politisi parpol yang berbeda dan bertolak belakang dengan sikap dan pandangan fraksinya.
102
Secara faktual DPR dapat dikatakan cukup rajin, bahkan mungkin terlalu rajin memanfaatkan hak-hak politiknya untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Namun, sulit dipungkiri bahwa konteks pelaksanaan fungsi tersebut masih terperangkap pada motif dan ke pentingan jangka pendek ketimbang suatu politik pengawasan yang dirancang untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang dihasilkan pemilu-pemilu pasca-Orde Baru. Akibatnya, sebagian besar penggunaan hak interpelasi dan hak angket itu pada akhirnya berhenti sebagai prosesi penggunaan hak politik belaka. Melalui upaya penggunaan hak politiknya tersebut, DPR ingin memperlihatkan kepada publik bahwa mereka benar-benar bekerja, hadir sebagai wakil rakyat, dan peduli terhadap aneka masalah bangsa. Dalam bahasa yang lain, para politisi parpol di DPR cenderung menjadikan momentum penggunaan hak interpelasi dan hak angket sebagai panggung politik dengan berbagai motif dan kepentingan politik, baik pribadi para anggota DPR maupun parpol-parpol. Padahal, alat-alat kelengkapan DPR, khu susnya komisi-komisi yang didesain atas dasar pengelompokan urusan atau bidang pemerin tahan, sebenarnya memiliki kesempatan yang luas untuk meminta penjelasan dan mengoreksi kebijakan pemerintah melalui rapat kerja komisi dengan salah satu atau beberapa kementerian yang mewakili pemerintah. Dalam realitasnya sering kali forum rapat kerja komisi dengan para menteri yang mewakili pemerintah ini jauh lebih efektif ketimbang penggunaan hak interpelasi dan hak angket. Apalagi undang-undang dan tata tertib DPR sendiri memungkinkan komisi-komisi membentuk panitia keija (panja) jika menemukan indikasi penyimpangan yang dilakukan pemerin tah terkait kebijakan tertentu yang tengah dibahas oleh komisi yang bersangkutan. Ada beberapa kemungkinan penjelasan mengapa para anggota DPR lebih antusias menggunakan hak-hak interpelasi dan hak angket ketimbang memanfaatkan rapat-rapat kerja komisi dengan unsur pemerintah? Pertama, skala dan porsi peliputan media terhadap rapat kerja komisi-komisi DPR dengan pemerintah relatif lebih kecil dan terbatas dibandingkan peliputan upaya penggunaan hak interpelasi ataupun hak
angket. Kedua, pada umumnya anggota DPR, beserta staf ahlinya, tidak menguasai materi dan teknis kebijakan secara mendalam sehingga forum rapat kerja komisi cenderung dikuasai oleh unsur pemerintah yang memiliki para staf ahli dan pejabat eselon I yang berkompeten di bidangnya. Ketiga, penyebaran sumber daya manusia yang dimiliki parpol-parpol di DPR tidak merata sehingga parpol tertentu tidak memiliki kekuatan yang diharapkan jika kualitas anggota komisi dari fraksi yang bersangkutan tidak begitu memadai ketika berlangsung rapat kerja komisi dengan mitranya dari pemerintah. Keempat, bisa jadi sebagian besar anggota DPR masih beranggapan bahwa penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat adalah perwujudan dari fungsi pengawasan yang dimiliki Dewan. Padahal, terdapat banyak area politik yang dapat digunakan oleh DPR untuk mengimplementa sikan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Kelima, sulit dipungkiri bahwa upaya penggunaan hak interpelasi dan hak angket meru pakan bagian dari strategi politik parpol-parpol di DPR untuk meningkatkan posisi tawar dalam berhadapan dengan pemerintah. Apalagi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pada dasarnya hampir selalu bersinggungan dengan kepentingan politik parpol, baik secara langsung maupun tak langsung. Tiga m otif sekaligus keuntungan politik yang diraih parpol melalui momentum pengajuan hak interpelasi dan hak angket adalah (i) popularitas publik yang menjadi semacam investasi elektoral untuk pem ilu berikutnya; (ii) meningkatnya posisi tawar parpol ketika berhadapan dengan pemerintah; dan (iii) terbukanya peluang menikmati insentif politik dan ekonomi dari potensi transaksi politik dan negosiasi terkait persetujuan ataupun penolakan atas upaya penggunaan hak interpelasi dan hak angket. Singkatnya, di satu sisi, upaya penggunaan hak interpelasi dan hak angket adalah panggung politik yang begitu “seksi” dan terbuka bagi para politisi sehingga cenderung dipandang sebagai momentum strategis, baik untuk aktualisasi diri para politisi maupun parpol, terutama bagi fraksi kecil yang kurang mendapat kesempatan unjuk kekuatan dalam rapat-rapat kerja komisi. Di sisi
lain, upaya penggunaan hak-hak politik DPR tersebut tampaknya merupakan “lahan meng giurkan” bagi politisi dan parpol di DPR untuk meraih keuntungan politik sekaligus ekonomi, baik bagi politisi parpol secara individu maupun bagi parpol secara institusi. Tampaknya gabungan berbagai faktor itu pula yang menjelaskan mengapa parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi politik pendukung pemerintah tidak jarang ikut mendukung atau bahkan tampil sebagai pemra-karsa upaya penggunaan hak interpelasi dan hak angket. Fenomena ini sekurang-kurangnya memperlihatkan bahwa motif dan kepentingan politik politisi dan parpol yang berorientasi jangka pendek sering kali lebih dominan. Pengawasan politik yang tidak disertai skema, tujuan, dan target terukur yang jelas membawa berbagai konsekuensi. Pertama, terbengkalainya fungsi pokok DPR sebagai pembentuk undang-undang. Untuk DPR periode 2004-2009, misalnya, undang-undang yang dihasilkan jauh dari yang ditargetkan. Dari 366 rancangan UU (RUU) yang ditargetkan dalam Prolegnas selama lima tahun, DPR hanya berhasil menyelesaikan 193 RUU atau sekitar 52,7%. Sebagian besar dari UU yang dihasilkan tersebut, yaitu 65 UU-pun terkait pemekaran wilayah.21 Kedua, pola relasi DPR-Presiden cende rung terperangkap pada persaingan legitimasi sehingga konflik dan ketegangan politik yang tidak produktif mewarnai fenomena penggunaan hak interpelasi dan hak angket. Akibatnya, tak hanya berkembang relasi konfliktual antara DPR dan Presiden, tetapi juga pola relasi yang potensial bersifat transaksional karena sebagian upaya penggunaan hak interpelasi dan hak angket cenderung diselesaikan di balik layar panggung politik formal di DPR. Koalisi enam parpol pendukung pemerintah (Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PKB dan PPP) di bawah bendera Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi yang semula dibentuk Presiden Yudhoyono untuk mengefektifkan kinerja pemerintah akhirnya
21 Untuk melihat kinerja legislasi DPR, lihat antara lain, PSHK, Rekam Jejak Kuasa Mengatur: Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2009, (Jakarta: PSHK, 2010); Formappi. Lemba ga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Formappi, 2005).
103
terperangkap sebagai wadah transaksi politik di antara parpol yang bergabung di dalamnya. Ketiga, pemerintahan hasil pemilu-pemilu demokratis pasca-Soeharto terpenjara dalam konstruksi demokrasi presidensial yang berbiaya ekonomi dan politik tinggi, tetapi tidak produktif dan tidak efektif dalam mewujudkan pemerintah yang bersih serta keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam situasi demikian tampaknya tak banyak yang bisa diharapkan publik dari fungsi pengawasan DPR kecuali sekadar maraknya pentas politik nasional akibat hiruk-pikuk perilaku para politisi parpol yang cenderung “memperdagangkan” otoritas dan hak politik mereka sendiri.
Daftar Pustaka Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Poli tik (edisi revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Formappi. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat di
Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta: Formappi. Hague, Rod, Martin Harrop, and Shaun Breslin. 1998.
Comparative Government and Politics: An Introduction. 4,hedition. Basingstoke: Macmillan Press. Haris, Syamsuddin. 2008. Format Baru Relasi
Presiden-DPR dalam Demokrasi Presidensial di Indonesia Pasca-Amandemen Konstitusi (2004-2008). Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia. _____ _ . 2007. Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers.
Pelizzo, Ricardo. 2008. “Oversight and Democracy Reconsidered”, dalam Rick Stapenhurs, et al. (Eds.), Legislative Oversight and Budget ing: A World Perspective. Washington DC: the World Bank. PSHK. 2010. Rekam Jejak Kuasa Mengatur: Catatan
PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2009. Jakarta: PSHK.
Risalah Rapat Paripurna, Agenda: Pengantar Lapor an Akhir Panitia Angket DPR-RI tentang Ke bijakan Pemerintah Menaikkan Harga BBM, 28 September 2009. Sekertariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Re publik Indonesia. 2004. Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Periode 1999-2004. Jakarta: Sekertariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sherlock, Sthephen. 2010. “The Parliam ent in Indonesia’s: Decade of Democracy: People’s Forum or Chamber of Cronies?”, dalam Edward Aspinall and Marcus Mietzner (Eds.), Problems
o f Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS. Soetjipto, Ani et al. 2009. Kerja untuk Rakyat. Jakarta: Pusat Kajian Politik UI.
Transkripsi Pidato Presiden RI Menanggapi atas Ha sil Akhir Pansus Angket Bank Century DPR-RI. Ziegenhain, Patrick. 2009. ”The Indonesian Legislature and Its Impacts on Democratic Consolidation”, dalam Marco Bunte and Andreas Ufen (Eds.).
Democratization in Pos-Soeharto Indoensia, London and New York: Routledge.
Wawancara Hendrawan Supratikno, anggota Pansus Bank Centu ry dari Fraksi PDIP, pada tanggal 13 Oktober 2011, di Jakarta.
Laporan Panitia Angket DPR RI Mengenai Pengu sutan Kasus Bank Century dalam Rapat Pari purna DPR RI tanggal 2 Maret 2010.
Kuskrido Ambardhi, Direktur Eksekutif Lembaga Sur vei Indonesia (LSI) dan dosen Fisipol UGM, dalam FGD “Evaluasi Politik Pengawasan DPR RI Era Reformasi” di Yogyakarta, 6 April 2011.
Pelizzo, Ricardo and Rick Stapenhurs. 2008. “Tools for Legislative Oversight: An Empirical Investigation”, dalam Rick Stapenhurs, et al. (Eds.).
Muhammad Misbakhun, inisiator angket dan ang gota DPR Fraksi PKS, pada tanggal 18 Oktober 2011, Jakarta.
Legislative Oversight and Budgeting: A World Perspective. Washington DC: the World Bank.
104
Purwo Santoso, dosen Fisipol UGM, dalam FGD “Evaluasi Politik Pengawasan DPR RI Era Re formasi” di Yogyakarta, 6 April 2011.
POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN ISU KEAMANAN ENERGI1 Athiqah Nur Alami Abstract Energy security is seen as a part o f contemporary international security issues. It does not onlyfocus on the security of the State but also human security in the country. Besides, the issue ofenergy security cannot be separated from the conception of geopolitical view that the geographical position of a country as part of its potential in the international political constellation. Meanwhile, reviewing energy security from the perspective of international political economy relates to the relationship between economic interdependence of countries in theform of eneigy trading activities in theform of exports and imports o f energy-producing and consuming countries. It is also about the pursuit of national energy companies to seek energy sources and secure energy supplies in other countries. Therefore, energy security is one of the important issues which need to be a concern o f Indonesia sforeign policy. As now, the attention of the Indonesian govemment in the energy sectorfocus on energy management at the domestic level. Indonesia 's energy sector is still driven by domestic-oriented or inward-looking perspective. As a result, the govemment did not see energy security as a strategic commodity that can support andoptimize the effectiveness of Indonesia ’s diplomacy in the regional and international levels. This represents a “missing link" in Indonesia ’s eneigy sectorpolicy, where an outward-looking ofinternationalperspective is missing in both thepolicy andpolitical reality. Keywords: Energy security, fozeign policy, indonesia, diplomacy, non-traditional security Abstrak Keamanan energi dipandang sebagai bagian dari isu keamanan internasional kontemporer yang tidak hanya memfokuskan pada keamanan negara, tetapi juga keamanan manusia di dalam negara tersebut. Selain itu, persoalan keamanan energi tidak dapat dilepaskan dari konsepsi geopolitik yang melihat posisi geografis suatu negara sebagai bagian dari potensi yang dimiliki dalam konstelasi politik internasional. Sementara itu, mengkaji keamanan energi dari perspektif ekonomi politik internasional didasarkan pada hubungan ketergantungan ekonomi antamegara. di antaranya dalam bentuk aktivitas perdagangan energi, baik berupa ekspor maupun impor dari negara produsen dan konsumen energi serta kiprah perusahaan energi nasional untuk mencari sumber energi dan mengamankan pasokan energi di negara lain. Keamanan energi merupakan salah satu isu yang penting dan perlu menjadi perhatian kebijakan luar negeri Indonesia. Selama ini, perhatian pemerintah dalam sektor energi lebih fokus pada pengelolaan energi di tingkat domestik. Sektor energi Indonesia masih didorong oleh perspektif yang domestic-oriented atau inwardlooking. Akibatnya, pemerintah belum melihat energi sebagai komoditas strategis yang menjadi isu penting dalam kebijakan luar negeri yang dapat mendukung efektivitas dan optimalisasi diplomasi Indonesia di tingkat regional dan internasional. Hal ini menunjukkan adanya missing link dalam kebijakan sektor energi Indonesia, di mana per spektif internasional yang outward-looking belum banyak terlihat, baik dalam kebijakan maupun realita politiknya. Kata kunci: Keamanan energi, politik luar negeri, Indonesia, diplomasi, keamanan non-tradisional
Pengantar Dalam satu dekade terakhir keamanan energi telah menjadi isu global dan agenda politik luar negeri negara-negara dunia. Sumber energi di 1 Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri atas Athiqah Nur Alami (koordinator), Ganewati Wuryandari, R.R. Emilia Yustiningrum, dan Nanto Sriyanto.
antaranya minyak bumi, gas, dan batu bara, tidak hanya dipandang sebagai komponen penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan komoditas pasar internasional, tetapi juga memiliki nilai strategis dalam kepentingan politik keamanan nasional dan internasional. Pening katan aktivitas ekonomi industri dan pesatnya pertumbuhan populasi dunia telah mendorong
105
kenaikan kebutuhan energi, sedangkan jumlah pasokan energi semakin terbatas. Pada situasi inilah, ketergantungan antamegara dalam rangka pengamanan sektor energi menjadi hal yang krusial, khususnya bagi negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang. Ketergantungan terhadap pasokan energi tersebut mengarah pada pentingnya kerja sama dalam hal perdagangan komoditas energi dan penggunaan energi yang lebih efisien serta penciptaan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Pada saat yang sama ketergantungan energi juga mengarah pada peluang dan risiko akan kompetisi dan konflik antamegara dalam memperoleh pasokan energi. Oleh karena itu, sudah seharusnya kebijakan keamanan energi suatu negara melibatkan diplomasi antamegara dan menjadi salah satu agenda dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Hal ini dikarenakan keamanan energi dalam konteks politik luar ne geri menekankan pada relasi dan persinggungan antara kepentingan ekonomi politik dan politik keamanan yang strategis, baik di level domestik maupun internasional. Namun persoalannya, selama ini perhatian pemerintah Indonesia dalam sektor energi lebih fokus pada pengelolaan energi di tingkat domestik. Sektor energi Indonesia masih domestic-oriented atau inward-looking. Persoalan energi Indonesia utamanya terletak pada kesalahan dalam pengelo laan sektor energi di level domestik, khususnya setelah diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang memberikan peranan lebih besar kepada pihak swasta serta kurangnya peran pemerintah Indonesia. Pengelolaan sektor energi lebih bertumpu pada penguatan mekanisme pasar dalam penentuan harga bahan bakar minyak dan listrik sehingga kebijakan keamanan energi Indonesia lebih cenderung melihat energi sebagai komoditas pasar. Akibatnya, pemerintah Indonesia belum melihat energi sebagai komoditas strategis yang menjadi isu penting dalam kebijakan luar negeri yang dapat mendukung efektivitas dan optimalisasi diplomasi Indonesia, di tingkat regional dan internasional. Kondisi ini di antaranya terlihat dari masih lemahnya proses institusionalisasi kebijakan keamanan energi di tataran lembaga pemerintah yang menjadi ujung
106
tombak diplomasi Indonesia. Kiprah kerja sama energi dalam forum global lebih banyak dimain kan oleh departemen teknis. Pemerintah juga belum mendorong dengan sepenuh hati kiprah perusahaan energi nasional dan swasta untuk menjadi pemain dalam pasar energi regional maupun internasional. Hal tersebut menunjukkan pemerintah belum mempertimbangkan dinamika regional dan internasional dalam isu energi. Padahal perkembangan global memperlihatkan, politik luar negeri negara-negara industri maju telah terintegrasi dengan kebijakan energinya, dan persoalan energi telah menjadi bagian dari kepentingan nasional yang utama dari suatu negara. Sebagai bagian dari upaya untuk melihat kedua sisi keamanan energi dalam konteks isu nontradisional maka kajian ini menempatkan keamanan energi sebagai isu yang penting yang perlu menjadi perhatian kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia. Dalam pembahasannya, tulisan ini memfo kuskan pada sisi domestik dan internasional dari isu keamanan energi. Pada sisi domestik keaman an energi, antara lain akan membahas tentang dinamika isu dan kebijakan energi Indonesia, di samping peran dan kepentingan aktor dalam pengelolaan sektor energi Indonesia. Sementara itu, sisi internasional dari isu keamanan energi memfokuskan pada posisi Indonesia dalam pasar energi Asia Pasifik serta kiprah kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia dalam isu keamanan energi.
Dinamika Isu dan Kebijakan Energi Indonesia Indonesia merupakan negara dengan jumlah pen duduk terbesar keempat di dunia, di mana pada tahun 2011 diproyeksikan mencapai 237.315 juta orang1 yang menempati 6.000 pulau yang berpenghuni, dengan 80 persen penduduknya terkonsentrasi di Jawa, Bali, dan Madura.12 Sebenarnya, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, ditandai dengan jumlah 1Asia Pacific Energy Research Center, APEC Energy Demand and Supply Outlook 2006 Energy at the Crossroads, (Japan: IEEJ, 2006), hlm. 14-19. 2IEA. Energy Policy Review o f Indonesia., (Paris: 1EA. 2008), hlm. 25.
produksi dan cadangan energi yang besar pada minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Namun, sumber daya alam yang melimpah belum mampu meningkatkan penghasilan per kapita (GDP) penduduknya dimana pada tahun 2008 baru mencapai $3.263.3 Padahal pada dasarnya, jumlah penduduk dan penghasilan per kapita akan memengaruhi tingkat konsumsi energi. Dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang diproyeksikan men capai 4,6% per tahun pada periode 2002-2030 dan upaya pemerintah untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk hingga 1% pada periode yang sama maka akan memengaruhi konsumsi energi, khususnya kebutuhan minyak bumi untuk transportasi serta listrik untuk komersial dan perumahan.4 Untuk itu, proyeksi permintaan energi Indonesia pada tahun 2002-2030 mem perlihatkan akan terjadi kenaikan konsumsi energi sebesar 2,9%, dengan pengguna energi terbesar adalah industri 40%, perumahan 29%, transportasi 28%, dan komersial 3%.5 Data di atas memperlihatkan empat hal, pertama, konsumsi energi pada sektor industri mengalami peningkatan 4%, meskipun pening katan ini lebih rendah dibandingkan periode 1980-1990an yang mencapai 6,5% per tahun. Peningkatan konsumsi energi ini terfokus pada peralatan mesin dan elektronik yang dipengaruhi oleh penghapusan subsidi pemerintah untuk men dorong efisiensi energi di masa depan. Kedua, konsumsi energi untuk sektor transportasi juga mengalami peningkatan hingga 6,3%, khususnya pembangunan jalan raya yang mencapai 87% dari total pertumbuhan di sektor ini. Akibatnya, permintaan bensin untuk mobil dan motor naik dua kali lipat, solar untuk bus dan truk naik dua kali lipat, dan industri kendaraan roda empat menghasilkan 3,4 unit mobil tahun 2002, dan meningkat tajam hingga 13,9 unit mobil tahun 2030. Hal ini juga ditunjang oleh kenaikan pendapatan per kapita sebesar 4,6% per tahun
yang m em engaruhi daya beli m asyarakat terhadap kendaraan roda empat.6 Ketiga, konsumsi energi untuk perumahan justru mengalami penurunan hingga 1,1% per tahun dibandingkan periode 1980-1990an yang mencapai 2,1%. Konsumsi energi untuk rumah tangga mayoritas berasal dari listrik untuk penerangan dan peralatan rumah tangga sehingga konsumsi listrik meningkat dari 6% tahun 2002 mencapai 13% tahun 2030. Peningkatan kon sumsi listrik ini diimbangi dengan penurunan konsumsi minyak tanah karena digantikan oleh gas alam dan listrik. Keempat, konsumsi energi untuk komersial mencapai 40% hingga tahun 2030, sejalan dengan pertumbuhan sektor jasa yang mayoritas membutuhkan listrik untuk penerangan, periklanan, pusat perbelanjaan, dan jasa-jasa lainnya.7 Berbagai kondisi di atas memperlihatkan konsumsi energi yang berbeda pada masing-masing komponen energi, dimana konsumsi terbanyak adalah batu bara 4,7% per tahun, yang diikuti oleh minyak bumi dan gas alam 2,8%, tenaga air 2,6%, dan energi baru terbarukan lainnya sebesar 1,3%.8 D ata tersebut m enunjukkan beberapa analisis situasi energi Indonesia saat ini yang dapat menggambarkan dinamika isu energi di Indonesia.9Pertama, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar namun akses masyarakat terhadap energi masih terbatas. Kedua, ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi berbasis yang masih sangat besar. Hal ini terlihat dari besarnya pangsa konsumsi BBM yang merupakan 63% dari energi final. Akibatnya impor BBM besar, meskipun ekspor energi juga besar. Untuk komoditas minyak bumi misalnya, sampai dengan tahun 2006 pemakaian dalam negeri mencapai 611 ribu barel per hari, berasal dari impor sebesar 487 ribu barel per hari. Sementara ekspor minyak bumi mencapai 514 ribu barel per harinya. Ketiga, harga komoditas 6 Ibid. ''Ibid.
3Asia Pacific Energy Research Center. Energy OverView 2010, (Japan: APERC.2011), hlm. 74. 4Asia Pacific Energy Research Center, APEC Energy Demand and Supply Outlook 2006 Projections to 2030 Economic Review, (Japan: APERC, 2006), hlm. 41-42. 5Ibid.
s Kementerian ESDM RI, "Kebijakan Energi Nasional: Penge lolaan, Ketahanan, dan Kerja sama Energi”, makalah yang disampaikan pada FGD Penelitian Politik Luar Negeri dan Keamanan Energi. Jakart, 16 Juni 2011, hlm. 5. 9Kementerian ESDM RI, Blue Print Pengelolaan Energi Na sional 2005-2025, (Jakarta: ESDM RI, 2005).
107
gas dan batu bara di dalam negeri tergolong tinggi dibandingkan harga ekspornya. Padahal daya beli masyarakat terhadap batu bara dan gas masih rendah, sementara belum ada insentif ekonomi, baik fiskal maupun nonfiskal bagi energi fosil untuk pemakaian dalam negeri. Keempat, struktur APBN masih tergantung pada penerimaan migas dan dipengaruhi subsidi BBM. Kelim a, industri energi belum bisa berkembang secara optimal karena menghadapi kendala. Beberapa kendala tersebut, antara lain: (i) keterbatasan infrastruktur energi; (ii) belum tercapainya nilai keekonomian dari harga energi, termasuk di dalamnya ialah BBM, gas alam untuk pabrik pupuk, dan energi terbarukan; (iii) inefisiensi dalam pemanfaatan energi. Berbagai kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam bauran energi primer akibat belum optimalnya pem anfaatan energi dan gas dalam negeri. Selain itu, pengembangan energi alternatif seperti EBT masih terhambat karena adanya subsidi BBM sehingga subsidi membengkak. Akibat lainnya ialah Indonesia telah menjadi net importir minyak, paling tidak sejak 2003. Guna mengatasi hal tersebut di atas maka pemerintah Indonesia, dalam Blue Print Kebi jakan Energi Nasional 2005-2025, menetapkan beberapa kebijakan utama dan pendukung. Kebijakan utama pemerintah menekankan pada empat hal, yaitu (i) penyediaan energi melalui penjaminan ketersediaan pasokan energi dalam negeri, pengoptimalan produksi energi dan pelaksanaan konservasi energi; (ii) pemanfaatan energi melalui efisiensi pemanfaatan energi dan diversifikasi energi; (iii) penetapan kebijakan harga energi ke arah harga keekonomian dengan tetap mempertimbangkan kemampuan usaha kecil dan bantuan bagi masyarakat tidak mampu dalam jangka waktu tertentu; serta (iv) peles tarian lingkungan dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Sementara itu, ke bijakan pendukungnya meliputi pengembangan infrastruktur energi, kem itraan pem erintah dan dunia usaha, pemberdayaan masyarakat serta penelitian, pengembangan, pendidikan dan pelatihan. Garis kebijakan energi tersebut menunjuk kan perubahan paradigma dalam pembangunan
108
sumber energi Indonesia. Paradigma sebelumnya lebih memandang pembangunan sumber energi bersifat eksploitatif yang ditujukan untuk revenue dan ekspor. Sebaliknya, paradigma yang di kembangkan saat ini lebih melihat pembangunan sumber energi ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan beberapa tujuan utama. Pertama, pembangunan energi diarahkan untuk mewujudkan ketahanan energi nasional, yaitu (i) energi tersedia, mudah diperoleh, harga terjangkau, dan bersih; dan (ii) tata kelola energi yang mampu bertahan dan lentur terhadap gejo lak energi dunia. Kedua, pembangunan sumber energi diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan resource-based industry (industri berbasis sum ber daya), yakni (i) industri manufaktur (industri sekunder) yang meningkatkan nilai tambah mineral dan energi; dan (ii) industri barang dan jasa (industri tersier) yang menopang resource-based industry (industri pertambangan) dan industri manufaktur.10 Perubahan paradigma tersebut pada akhirnya memengaruhi rumusan kebijakan energi dan sumber daya mineral nasional saat ini yang terwujud secara garis besar ke dalam dua hal. Pertama, sesuai Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Sasaran Kebijakan Energi Nasional 2025, Indonesia menetapkan rencana optimalisasi pengelolaan energi berupa Bauran Energi 2025. Komposisi energi pada tahun 2025 diharapkan terdiri atas batu bara (30%), gas bumi (30%), minyak bumi (20%), dan EBT (17%) yang terdiri atas bahan bakar nabati (biofuel) sebesar 5%, panas bumi 5%, biomass/nuklir/air/surya/angin sebesar 5%, dan batu bara yang dicairkan sebesar 2%.11Kedua, pemerintah menetapkan kebijakan nasional energi dan sumber daya mineral yang dituangkan dalam UU Energi No. 30 Tahun 2007 dan UU Minerba No. 4 Tahun 2009. Perubahan paradigma dalam pembangunan energi di atas terjadi di dua lini, yaitu sisi suplai dan sisi kebutuhan. Dari sisi pasokan, pemerintah menetapkan adanya jaminan pasokan energi yang diperoleh m elalui eksplorasi, optimasi serta diversifikasi produksi. Semen tara itu, dari sisi kebutuhan energi, pemerintah '°lbid. " Ibid.
berupaya memengaruhi kesadaran masyarakat untuk melakukan diversifikasi dalam penggunaan energi dan konservasi energi (efisiensi). Dari sisi pasokan dan kebutuhan energi, pemerintah menentukan harga energi di antaranya melalui subsidi langsung. Dari berbagai langkah itulah maka di harapkan akan terwujud ketahanan energi dan mineral di Indonesia. Sebagai operasionalisasi dari kebijakan nasional tersebut maka pemerintah menerbitkan UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (Pasal 4 ayat (3)) dan beberapa UU sek toral di antaranya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas (dengan perubahannya berdasarkan putusan MK tahun 2004), dan UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Berbagai UU tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri. Dengan menganalisis arah dan kecenderung an kebijakan energi Indonesia di atas maka kita dapat menempatkannya dalam dua paradigma yang berkembang guna melihat sektor energi. Kedua paradigma tersebut, yaitu energi dilihat sebagai komoditas strategis dan energi sebagai komoditas pasar yang memiliki argumentasi dan rekomendasi kebijakan yang berbeda. Seperti terlihat dalam Tabel 1. Dapat dikatakan bahwa arah kebijakan energi Indonesia belum menjadikan energi se bagai komoditas strategis. Indonesia nampaknya belum mendayagunakan posisi geopolitik dan
geostrategisnya dalam jalur transportasi energi dunia sebagai aset strategis sektor energi. Seperti kita ketahui, Selat Malaka memiliki posisi stra tegis sebagai jalur transportasi laut atas minyak bumi yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika Barat ke negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur. Kondisi ini meningkatkan potensi kasus perompakan di laut (sea robbery) di Selat Malaka dan menyebabkan jalur transportasi laut dapat mengancam keamanan energi Indonesia. Hal ini masih ditambah dengan potensi kecelakaan kapal tanker di Selat Malaka, baik tenggelam, tabrakan, maupun pecah, yang menyebabkan tumpahnya minyak mentah dan mencemari perairan tersebut sehingga keam anan energi Indonesia juga terganggu.12 Untuk itu, risiko-risiko yang dapat mengancam keamanan energi Indonesia tersebut semestinya dapat menjadi bagian dari komponen penting untuk m eningkatkan posisi tawar Indonesia dalam isu keamanan energi global. Upaya pengamanan tersebut juga penting meli batkan institusi keamanan negara sehingga energi juga dipandang sebagai komoditas strategis bagi Indonesia. Indonesia cenderung menjadikan energi sebagai komoditas ekonomi atau pasar. Dalam paradigma ini, kebijakan energi diserahkan pada mekanisme pasar dan dilakukan untuk menghindari inefisiensi penggunaan dan meng hemat APBN. Hal ini di antaranya terlihat dari 12 Raymond Atje. "Energy Security dan Kerja Sama Bidang Energi di Asia Timur”, paper yang disampaikan pada diskusi bertema Kerja sama Energi di Asia Timur dalam Kerangka East Asia Summit (EAS), Jakarta. 11 Agustus 2005, BPPKCEACoS, hlm. 21.
Tabel 1. Paradigma Sektor Energi* Paradigma
Argumentasi
Enerai sobaoarKomoditas Strategis
Menentukan pertumbuhan ekonomi nasional
Pengamanan pasokan fisik membutuhkan institusi keamanan negara Contoh Rekomendasi Mengurangi ketergantungan energi dari sumber ekster Kebijakan nal Pengendalian dan penguasaan terhadap wilayah yang menghasilkan energi Regulasi yang membatasi konsumsi domestik Penyimpanan energi Penetapan harga energi oleh pemerintah
. cnergiseciagai
t fV n h n y g ia f t f cf nnm n r r f t l f n
Menghindari inefisiensi penggunaan dan menghemat anggaran belanja negara Interdependensi perekonomian negara pengekspor dan pengimpor energi Penentuan harga oleh pasar Perusahaan negara diberlakukan sama dengan swasta guna melakukan investasi energi, melakukan kerangka kerja sama pada tataran regional antara negara pengekspor dan pengimpor
'M akm ur Keliat. “Kebijakan Keamanan Energi”, makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Penelitian P2P-LIPI, 22 Februari 2011, di Jakarta.
109
adanya penguatan mekanisme pasar dalam penentuan harga bahan bakar m inyak dan listrik untuk mengurangi beban APBN, seperti program penghapusan subsidi BBM. Padahal pembangunan energi Indonesia masih mengalami kekurangan infrastruktur dan pengembangan energi baru terbarukan tetap memerlukan keter libatan pemerintah, daripada pasar atau swasta. Keterlibatan pemerintah juga masih diperlukan dalam mengatasi instabilitas harga migas dunia, khususnya gejolak minyak dunia yang fluktuatif. Penetapan harga komoditas oleh pemerintah akan dapat membantu menstabilkan harga di level domestik, di tengah konstelasi ekonomi politik internasional. Perkembangan paradigma sektor energi Indonesia ke arah mekanisme pasar, yang ditandai dengan menguatnya keterlibatan pihak swasta, juga terlihat dalam aspek pengelolaannya. Pemerintah melakukan penataan ulang berbagai aktor dalam pengelolaan sektor energi Indonesia, baik di sektor hulu maupun hilir dari kebijakan energi Indonesia. Penataan yang dimaksud terjadi khususnya dalam konteks posisi BUMN sebagai sektor energi m ilik pem erintah, di antaranya Pertamina dan PLN sebagai regulator sektor energi. Dalam era liberalisasi ini, BUMN merupakan pelaku usaha yang disamakan dengan pihak swasta meski kepemilikan modalnya tetap berada di tangan pemerintah.
Peran dan Kepentingan Aktor dalam Pengelolaan Sektor Energi Indonesia Dinamika peran dan kepentingan di sektor energi Indonesia telah mengalami perubahan yang begitu pesat sejak diterapkan regulasi sektor energi mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2009. Sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, hingga yang terakhir adalah UU Ketenagalistrikan tahun 2009, peranan pihak swasta telah demikian terbuka di Indonesia. Hal ini semakin menegaskan arah kebijakan energi Indonesia yang memandang energi sebagai komoditas pasar daripada komoditas strategis. Perubahan utama yang terjadi dalam pena taan para aktor sektor energi, yaitu perubahan peran pemerintah sebagai regulator di sektor energi. Kebutuhan untuk perencanaan kebijakan dan intervensi {demand side management) sektor 110
energi jelas membutuhkan kebijakan yang lebih terkoordinasi dengan baik. Keberadaan Dewan Energi Nasional (DEN), sebagai lembaga koor dinatif yang bekerja sama dengan International Energy Agency (IEA), telah menunjukkan upaya lembaga tersebut untuk dapat menjadi dapur penggodok kebijakan dengan mempertimbang kan pengalaman negara-negara konsumen. Kerja sama ini dapat dimaknai sebagai dukungan terhadap tugas dan fungsi DEN, terutama yang terkait dengan koordinasi dan perum usan strategi keamanan energi nasional yang meru pakan bidang kerja dari IEA dari sejak awal pembentukannya. Hal lain yang perlu dicermati juga adalah kerja sama ini merupakan bentuk perubahan pola Indonesia sebagai negara yang pada saat ini telah berubah menjadi pengimpor minyak dan gas alam. Namun, dalam hal pelaksanaan kebijakan pengembangan sektor kelistrikan yang menge depankan penggunaan batu bara masih terdapat persoalan. Pasokan batu bara yang terjamin men jadi persoalan penting yang perlu diatur dengan melibatkan pihak penambang, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah (Pemda). Hal ini jangan sampai mengancam kelangsungan pasokan domestik sementara ekspor batu bara Indonesia ke luar negeri malah meningkat. Seperti halnya pasokan gas alam yang masih sangat kecil pemanfaatan domestiknya, perkembangan gas alam lebih lambat dibandingkan pemanfaatan batu bara, padahal cadangan gas alam Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan batu bara. Di sektor migas, perubahan peran pemerin tah terjadi dengan perubahan peran dan fungsi Pertamina sebagai pelaku industri migas. Peranan pengatur di sektor migas di sisi hulu dan hilir pada saat penelitian dipegang oleh BP Migas dan BPH Migas. Pertamina sebagai pelaku industri migas belum tergoyahkan kekuatannya (mono poli) di sisi hilir, meskipun telah ada beberapa perusahaan swasta asing yang membuka usaha retail BBM di Indonesia. Namun, keberadaan Pertamina di hilir industri migas telah menim bulkan kekhawatiran dengan kecilnya kekuatan Pertamina dibandingkan perusahaan swasta multinasional, seperti Chevron dan ExxonMobil. Kondisi tersebut di atas terjadi karena desakan kebutuhan peningkatan pasokan
migas Indonesia yang tidak mungkin dipenuhi sendiri oleh Pertamina. Teknologi eksplorasi dan eksploitasi yang dimiliki Pertamina tidak dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan migas nasional. Hal ini dikemukakan oleh pihak yang mendukung keberadaan pihak swasta multina sional sebagai peranan yang harus dibuka untuk mendukung kemampuan Pertamina. Keberadaan Pertamina yang masih memiliki sejumlah kilang yang belum optimal produksinya seharusnya dilihat sebagai sebuah kesempatan kerja sama yang mendatangkan upaya alih teknologi. Sementara di sektor kelistrikan, peranan PLN sendiri telah bergeser dari posisi semula sejak diterapkannya liberalisasi sektor kelistrikan pada tahun 1985. Liberalisasi sekarang sudah menyentuh pada sisi peranan pihak pemda dan swasta untuk dapat menentukan tarif listrik lokal, yang pada awalnya hanya membuka peran swasta pada sisi pembangkitan listrik saja. Di sisi pembangkitan tenaga listrik, peranan pihak swasta semakin terbuka dengan menimbang kebutuhan investasi yang demikian besar. Meski keberadaan PLN di sisi pembangkitan masih demikian besar, kecenderungan peningkatan pembangkitan yang dilakukan pihak swasta juga semakin penting. Lagi-lagi alasan investasi yang demikian mendesak menjadi pendorong upaya tersebut. Namun, yang perlu dipertimbangkan adalah peranan pihak swasta kecil dan menengah dalam pembangkitan listrik mikrohidro yang sudah berlangsung dengan baik di sejumlah provinsi. Sektor kelistrikan ju g a m enunjukkan perkembangan yang besar dari aspek konsumsi bahan bakar yang digunakan. Meningkatnya penggunaan batu bara tak lepas dari program percepatan kelistrikan Tahap I yang menitikberat kan pada pengalihan dari minyak bumi ke batu bara. Pada Tahap II, pembangkit listrik tenaga panas bumi menjadi prioritas, yang berarti mem butuhkan investasi dalam jumlah besar. Dalam hal ini, PLN m em ilih m enggunakan ja lu r pinjaman luar negeri yang didanai dari sejumlah lembaga keuangan internasional. Pilihan ini tentunya harus melalui keputusan yang matang, dan pada akhirnya tetap pada penetapan harga listrik yang terjangkau masyarakat dengan mem
pertimbangkan kemampuan pemerintah dalam membayar pinjaman itu. Dengan demikian, keterbukaan Indonesia di sektor energi mengerucut pada pertanyaan apakah sektor energi di Indonesia sepenuhnya berada di tangan swasta atau pasar? Sejauh pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini, keberadaan swasta merupakan pilihan dari keterdesakan kebutuhan Indonesia yang dijawab dengan peningkatan kemampuan pasokan energi ( s u p p l y s i d e m a n a g e m e n t) . Perkembangan ke depan sebagaimana diamanatkan oleh energi bauran yang dicanangkan pada tahun 2025, aspek d e m a n d s i d e m a n a g e m e n t juga harus diperha tikan. Peningkatan penggunaan bahan bakar minyak masih akan mendominasi, mengingat konsumsi sektor transportasi tetap tinggi dan perilaku konsumen masih belum dapat dikatakan efisien. Hal lain yang terkait dengan reservasi energi adalah pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Hingga tulisan ini dibuat, sektor ini juga menun jukkan peningkatan, namun belum sepenuhnya didukung dengan regulasi yang terkoordinasi
antara pihak pemerintah dan Pemda. Insentif yang belum memadai dari pemerintah untuk pengembangan sektor energi baru dan terbarukan menjadi kendala bagi pelaku dunia usaha untuk dapat lebih berperan di sektor ini. Keberadaan pengusaha pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan panas bumi di Indonesia yang dihasilkan dari kerja sama dengan pihak negara-negara Uni Eropa, misalnya, masih perlu didukung dengan sistem perbankan yang memadai. Kondisi di atas sebenarnya dapat dikatakan ironis, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Pasifik pemilik cadangan terbukti dan potensial dari energi baru terbarukan sekaligus energi berbasis fosil. Kegiatan ekspor impor dalam pasar energi di Asia Pasifik, misalnya, masih lebih banyak dilakukan pada sumber energi primer seperti minyak, batu bara, dan gas alam. Pada satu sisi, hal tersebut menunjukkan besarnya ketergantungan negaranegara di Asia Pasifik terhadap sumber energi fosil, di sisi lain fakta tersebut mengindikasikan besarnya nilai transaksi dan potensi pasar energi di Asia Pasifik, yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia.
111
Indonesia dalam Pasar Energi Asia Pasifik Indonesia merupakan salah satu pemain utama dalam pasar energi Asia Pasifik. Sampai dengan akhir tahun 2010, nilai pasokan dan konsumsi energi Indonesia berada pada urutan terbesar kelima di bawah Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan. Ketersediaan cadangan batu bara yang lumayan besar menjadikan Indonesia memegang peranan penting sebagai pemain dalam pasar batu bara di Asia Pasifik, yaitu sebagai produsen. Indonesia m emproduksi batu bara sebesar 134652 Ktoe atau berada dalam urutan keempat setelah Cina, India, dan Australia. Produksi tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri yang dapat tercukupi tanpa harus mengimpor dari negara lain, tetapi juga ekspor ke negara lain. Ekspor batu bara Indonesia sebagian besar ditujukan ke negara-negara Asia Pasifik yang di antaranya merupakan negara-negara importir utama batu bara, yakni India, Jepang, Korea Selatan, Taipeh, Cina, dan Malaysia. Indonesia, di samping Vietnam, adalah negara pemasok utama batu bara murah ke Cina. Impor batu bara dari Indonesia telah meningkat dengan cepat sejak tahun 2000 dan memasok kira-kira tiga per empat kebutuhan batu bara Cina. Sebagian besar batu bara tersebut berasal dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan konsumsi batu bara yang cukup spektakuler dalam sepuluh tahun terakhir. Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam tersebut disebabkan m ening katnya permintaan batu bara sebagai sumber energi utama untuk pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun negara-negara importir. Sejalan dengan prospek bisnis batu bara yang diperkirakan semakin membaik, ekspor batu bara Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh meskipun dengan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Masih terbatasnya negara pemain dalam pasar produk batu bara menunjukkan terbukanya peluang bagi Indonesia. Indonesia sebenarnya telah memiliki modal dalam bermain di komo ditas batu bara mengingat Indonesia merupakan salah satu pemilik cadangan batu bara mentah terbesar dan produsen batu bara terbesar. Artinya
112
Indonesia tidak mengalami persoalan berarti dalam hal pasokan batu bara mentah. Sementara itu, besarnya nilai total impor produk batu bara oleh Thailand, Jepang, Korea Selatan, Taipeh, Vietnam, dan Australia merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Jepang sendiri sebagai eksportir batu bara ternyata masih memerlukan impor batu bara dari negara lain. Artinya bahwa konsumen dalam pasar produk batu bara sudah jelas tersedia. Indonesia mestinya berani mengembangkan teknologi untuk pengolahan batu bara mentah menjadi produk batu bara bernilai jual lebih tinggi, yang dapat diekspor ke negara-negara tersebut. Thailand, misalnya, yang merupakan importir terbesar produk batu bara di Asia Pasifik, menggantungkan sektor industri besi dan bajanya pada pasokan produk batu bara olahan, utamanya dari Cina dan Jepang. Oleh karena itu, pasar produk batu bara masih terbuka lebar bagi Indonesia dan Indonesia harus membuka diri yang lebih luas dari sekadar produsen dan eksportir batu bara mentah. Tidak jauh berbeda dengan komoditas batu bara mentah, Indonesia juga merupakan pemain utama dan penting dalam pasar minyak di Asia Pasifik. Indonesia adalah produsen, eksportir, sekaligus importir bagi minyak mentah (crude oil). Indonesia adalah pemilik cadangan minyak terbesar kelima (yaitu sebesar 3,7 miliar barel per hari pada tahun 2008) di Asia Pasifik setelah Cina (14,8 mb/d), India (5,8 mb/d), Malaysia (5,5 mb/d), dan Vietnam (4,5 mb/d).13Indonesia dapat dikatakan sebagai produsen minyak mentah karena produksinya berada dalam urutan kedua terbesar (55318 Ktoe) setelah Cina (195050 Ktoe). Total ekspor minyak mentah Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan pertama (20619 ktoe) di kawasan Asia Pasifik mengung guli Malaysia (14994 Ktoe), Australia (14992 Ktoe), dan Vietnam (14000 Ktoe). Namun, jika dibandingkan dengan komoditas ekspor energi lainnya, nilai ekspor minyak mentah Indonesia merupakan terbesar ketiga setelah batu bara dan gas. Indonesia mengekspor minyak mentahnya ke beberapa negara importir minyak utama, 13Asia Pacific Energy Research Center, APEC Energy OverView 2010, (Singapura: APEC Secretariat, 2011); IEA, “Energy Ba lances ofNon-OECD Countries", Paris: IEA, 2011.
yaitu Jepang, Cina, India, Korea Selatan, dan Singapura. S elain m engekspor m inyak m entah, Indonesia merupakan salah satu importir minyak mentah terbesar di Asia Pasifik. Tingginya konsum si m inyak di tengah keterbatasan cadangan dan produksi minyak, menjadikan Indonesia tidak dapat hanya bertumpu pada produksi minyak dalam negeri. Pada awalnya impor minyak hanya dimaksudkan untuk me menuhi kekurangan kebutuhan energi nasional. Akan tetapi, kebutuhan dalam negeri semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang memasuki industrialisasi dan pertambahan populasi penduduk Indonesia. Oleh karena itu, kebutuhan minyak harus dipenuhi dengan cara impor dari negara lain. Pada tahun 2010, nilai impor minyak bumi Indonesia telah mencapai 101.093.030 barel m inyak yang berasal dari Saudi Arabia (44.050.541), Malaysia (24.451.592), Turki (11.340.882), N igeria (10.344.698), Brunei Darussalam (7.644.040), Algeria (1.988.948), Sudan (655.341), dan Cina (616.988).14 Total nilai impor minyak bumi tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan nilai ekspor m inyak bumi Indonesia, yang pada 2010 hanya berada dalam kisaran angka 121.000 barel minyak. Tujuan ekspor minyak bumi Indonesia adalah Jepang (23.407), Korea Selatan (17.607), Singapura (10.576), Amerika Serikat (4.779), Taiwan (1.961), dan negara lainnya (62.671).15 Situasi perdagangan minyak bumi Indonesia di atas menunjukkan bahwa ke depannya nilai produksi dan ekspor minyak bumi Indonesia akan semakin menurun, sem entara tingkat konsumsi dan nilai impor akan terus mening kat. Berkurangnya produksi minyak mentah Indonesia, menurut Raymond Atje, merupakan imbas dari menurunnya kegiatan eksplorasi minyak sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-1998.16 Oleh sebab itu, sejak 2003 Indonesia telah berubah status dari net eksportir ke net importir minyak. Status inilah yang kemudian mendasari keluarnya Indonesia 14 Ditjen Migas Kementerian ESDM RI, Indonesian Energy Statistics Leaflet, (Jakarta: ESDM, 2010). 15 Ibid. 16Atje, Energy Security dan Kerja sam a...”, Op.Cit.. hlm. 18.
dari keanggotaan OPEC. Indonesia tidak lagi dianggap sebagai negara produsen minyak, selama belum ditemukannya cadangan minyak baru dan belum adanya eksplorasi baru. Indonesia juga merupakan produsen penting gas, khususnya gas alam. Produksi nasional gas alam Indonesia mencapai 72640 Ktoe atau berada dalam posisi kedua setelah Cina. Hal ini tentu didorong oleh ketersediaan gas alam yang cukup besar di Indonesia. Cadangan gas alam Indonesia pada tahun 2008 tercatat 3.180 miliar kubik meter (bcm-billion cubic metres) atau berada pada posisi kedua di Asia Pasifik. Ekspor gas alam Indonesia menempati nilai ekspor tertinggi (33873 Ktoe) di antara negara-negara Asia Pasifik dan merupakan komoditas ekspor nasional terbesar kedua setelah batu bara. Negara tujuan ekspor gas alam Indonesia di antaranya merupakan negara-negara importir gas alam, yaitu Jepang, Korea Selatan, Taipeh, India, Thailand, dan Malaysia. Karena tidak semua mereka memiliki cadangan gas alam yang cukup maka mereka tidak mengekspornya dan justru mengimpornya untuk memenuhi kebutuhan gas alam nasional. Oleh karena itu, peluang Indonesia untuk menjadi pemain utama gas alam sangat besar, meskipun Indonesia tersaingi oleh eksportir gas alam lainnya, seperti Malaysia, Australia, dan Brunei Darussalam. Sementara itu, jika dibandingkan dengan sumber energi fosil maka pasar energi baru terbarukan (EBT) dan nuklir tergolong sepi dan belum dikembangkan. Padahal Indonesia meru pakan salah satu negara yang memiliki produksi nasional EBT selain Cina, India, Jepang, Filipina, dan Selandia Baru. Produksi nasional sumber EBT di Indonesia didominasi oleh sumber panas bumi yang nilainya mencapai 7146 Ktoe. Cina dan Jepang memiliki potensi besar akan sumber tenaga air, terlihat dari pasokan jenis energi ini di kedua negara yang mencapai 50326 Ktoe dan 7017 ktoe. Sementara nuklir banyak diproduksi oleh Jepang, Korea Selatan, Cina, Taipeh, dan India. Namun, data Asia Pacific Energy Research Center (APERC) tahun 2011 menunjukkan tidak adanya aktivitas perdagangan (ekspor-impor) bagi kedua jenis komoditas tersebut. Posisi EBT dan nuklir bagi sebagian besar negara-negara Asia Pasifik bukan untuk
113
menopang sektor utama perekonomian, seperti industri atau transportasi, melainkan lebih banyak diperuntukkan bagi sektor transformasi yang sifatnya sekunder atau pendukung bagi sektor primer. Penggunaan EBT juga lebih difokuskan pada kebutuhan domestik dan lokal masyarakat karena beberapa bentuk EBT seperti panas bumi tidak dapat diubah menjadi portable energy yang dapat dipindahkan dan diperdagangkan. Sementara itu, tidak adanya aktivitas perda gangan nuklir lebih dikarenakan alasan politis, mengingat kepemilikan nuklir merupakan isu yang sensitif bagi banyak negara, meskipun penggunaannya lebih banyak dialokasi untuk pembangkit listrik. Berdasarkan analisis akan posisi Indonesia dalam pasar energi di Asia Pasifik khususnya untuk komoditas minyak, batu bara, gas alam, dan EBT maka Indonesia masih memiliki peluang luas untuk memainkan peran. Meskipun saat ini Indonesia merupakan net importir minyak, tidak mengurangi peluang Indonesia untuk berkiprah dalam pasar minyak Asia Pasifik. Beberapa peluang yang dapat dimainkan Indonesia dalam pasar energi Asia Pasifik, di antaranya, pertama, Indonesia agaknya perlu tetap menjaga relasinya dengan negara-negara OPEC karena akan dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam kancah politik internasional. Meskipun di internal OPEC posisi Indonesia relatif terbatas jika dibandingkan dengan negara-negara penghasil utama minyak, seperti Saudi Arabia, Iran, dan Venezuela, tetapi jika dilihat secara makro, posisi Indonesia yang pemah menjadi anggota OPEC akan memberikan posisi strategis bagi Indonesia. Misalnya, pengalaman Indonesia pada 2004 ketika Menteri ESDM RI berperan sebagai Presiden OPEC Conference sekaligus Sekjen OPEC, menjadikan Indonesia sebagai pihak yang dapat diperhitungkan. Menteri ESDM RI saat itu sering kali diminta masukannya dan diajak konsultasi oleh negara-negara pengimpor minyak mengenai kebijakan energi dunia dan arah kebijakan OPEC. Kedua, Indonesia kaya dan memiliki potensi sumber energi nonfosil atau sumber energi ter barukan seperti tenaga air, panas bumi, biomasa, tenaga surya, dan tenaga angin. Karena sebagian besar jenis energi ini tidak dapat diekspor maka
114
pemanfaatannya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan energi domestik, dimana selama ini pemanfaatannya memang belum maksimal. Sum ber energi panas bumi di Indonesia, misalnya, dari potensi sebesar 27.199 MW (setara 11 miliar barel minyak), namun kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 852 MW (3%). Jenis energi ini perlu dimaksimalkan penggunaannya karena sifatnya yang ramah lingkungan dan tidak berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan dan pema nasan global. Selain itu, investasi sektor energi terbarukan di level global mulai mengalami ke naikan secara dramatis sekitar tahun 2005 ketika terjadi kenaikan harga komoditas energi berbasis fosil. Beberapa negara secara agresif mulai meningkatkan alokasi bagi upaya pembukaan lapangan pekerjaan di industri ini. Meskipun investasi ini cenderung mengalami penurunan pada pertengahan 2008 karena krisis keuangan dan penyebab lainnya, peluang Indonesia untuk berinvestasi atau sebagai lahan investasi masih sangat menjanjikan. Ketiga, guna semakin memperluas kiprah di pasar energi dunia, Indonesia harus mendorong perusahaan milik negara seperti Pertamina untuk lebih aktif mencari sumber energi dengan berin vestasi ke negara lain. Negara tujuan investasi harus diperluas pula ke negara-negara penghasil minyak nonkonvensional, seperti Afrika dan Rusia. Pertamina hendaknya juga didorong untuk dapat masuk ke Angola, misalnya, untuk berin vestasi sekaligus menimba pengetahuan tentang eksplorasi minyak di laut dalam karena nyaris seluruh produksi minyak Angola berasal dari laut dalam. Selain itu, Pertamina perlu memiliki pengalaman bekerja sama dengan perusahaan minyak dunia yang telah beroperasi di sana. Sampai dengan 2011 paling tidak terdapat tujuh perusahaan minyak yang telah mengeksplorasi minyak di Angola, di antaranya Total, Exxon, BP, Chevron, ENI, Statoil, dan Norsk Hydro. Untuk memuluskan upaya di atas tentu saja dibutuhkan dukungan pemerintah Indonesia. Selama ini, pemerintah kurang memberikan per hatian dan dukungan terhadap perusahaan energi nasional yang akan berkiprah di luar negeri. Hal ini masih dipandang sebagai business as usual dan tidak dilihat sebagai bagian dari diplomasi internasional. Kondisi ini jauh berbeda dengan
yang terjadi di AS ketika Kongres AS merasa perlu untuk menghalangi penjualan Unocal milik AS kepada Cina. Dalam kasus tersebut, pemerintah AS dan perusahaan minyaknya saling bersinergi dan bekeija sama untuk mengamankan kepentingan minyak AS dan menjamin keamanan pasokan minyak ke AS. Peluang keempat yang dapat dimainkan Indonesia adalah mengintensifkan kerja sama dan investasi sektor industri energi konvensional, seperti minyak bumi dan batu bara. Di sektor batu bara, selain pembangunan infrastruktur maka Indonesia dapat berkiprah dalam investasi untuk menghasilkan teknologi batu bara bersih. Hal ini penting mengingat penggunaan batu bara sebagai sumber energi terkendala oleh dampak negatifnya bagi lingkungan hidup dan kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca. Sementara itu, untuk komoditas minyak bumi misalnya, Indonesia perlu mengeksplorasi dan mengeksploitasi lapangan-lapangan migas yang dihasilkan dari cekungan hidrokarbon yang baru 15 dari 60 cekungan yang beroperasi. Pem bangunan kilang BBM, LNG, LPG, terminal transit BBM serta jaringan pipa gas juga dapat menjadi alternatif investasi yang menjanjikan. Peluang kerja sama m elalui investasi itulah yang perlu didorong oleh pemerintah Indonesia. Hal ini penting mengingat potensi kerja sama sektor energi di Asia Pasifik sangat menjanjikan, baik dalam hal investasi maupun alih teknologi. Meskipun begitu, kepentingan yang sama khususnya di antara negara-negara industri maju membuat kompetisi dalam kerja sama dengan negara lain menjadi hal yang tidak terhindarkan. Untuk memanfaatkan berbagai peluang di atas sekaligus berkompetisi secara lihai dalam pasar energi, khususnya di kawasan Asia Pasifik maka kemampuan dalam diplomasi sektor energi menjadi penting dalam kebijakan luar negeri suatu negara, termasuk Indonesia.
Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi Energi Indonesia Berkembangnya dimensi internal dan eksternal yang terkait dengan permasalahan energi di atas, mendorong pemerintah Indonesia untuk menang gapinya melalui sejumlah langkah-langkah strategis untuk pengamanan sumber daya dan
pasokan energinya. Dalam konteks ini, politik luar negeri merupakan sektor yang memiliki andil penting dalam menunjang pencapaian pemerintah dalam pengamanan pasokan energi, melalui diplomasi dan kerja sama dengan pihak-pihak di luar negeri. Sebagai suatu kesatuan keberhasilan pembangunan nasional tidak bisa semata diletak kan pada kisaran upaya domestik, apalagi bagi negara berkembang seperti Indonesia dalam suasana saling kuatnya ketergantungan hubungan antarbangsa dewasa ini, upaya membangun hubungan dan diplomasi yang lebih baik dengan negara-negara lain juga merupakan kepentingan nasional Indonesia. Pemerintah Indonesia dalam hal ini perlu membangun koordinasi dan kerja sama antara berbagai pemangku kepentingan. Secara kelem bagaan, beberapa instansi dan lembaga pemerin tah yang memiliki kepentingan dengan isu energi di Indonesia, antara lain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan, Kementerian Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri (Kemlu), dan Dewan Energi Nasional (DEN). Keberagaman instansi yang terlibat terse but menunjukkan bahwa upaya pemenuhan kebutuhan energi nasional tidak hanya dilakukan melalui upaya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Pemerintah perlu melakukan upaya intensifikasi guna meningkatkan ketersediaan energi di dalam negeri, dengan melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi baru, baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk mewujudkan upaya tersebut tentu membutuhkan pembiayaan besar. Sementara itu, ketidakmampuan pemerintah untuk mendanai se luruh eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi baru tersebut membuat dukungan investor asing menjadi sangat penting. Di tengah kondisi persaingan energi global yang sangat ketat saat ini, upaya pemerintah untuk menjaring masuknya modal asing di Indonesia tentu tidak mudah. Se lain membutuhkan iklim investasi yang kondusif di dalam negeri, peran diplomasi suatu negara untuk mendapatkan investor asing juga menjadi sangat penting. Dalam kerangka hubungan internasional, diplomasi memiliki kegunaan pula untuk meningkatkan atau memperbaiki hubungan
115
dan membicarakan kepentingan-kepentingan nasional masing-masing. Peran diplom asi energi m enjadi sama penting dengan diplomasi di bidang politik dan keamanan, mengingat hal tersebut juga menyangkut kepentingan nasional yang vital. Dalam konteks ini, diplomasi energi Indonesia perlu berorientasi pada terjaminnya pemenuhan kebutuhan energi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, peran aktif diplomasi energi secara total menjadi suatu keharusan. Meskipun Kemlu RI adalah salah satu instansi yang menjadi ujung tombak dalam melaksanakan diplomasi energi Indonesia, secara kelembagaan diplomasi energi Indonesia dalam realitasnya tersebar ke berbagai kementerian. Dalam menjalankan diplomasi energi tersebut, aktor-aktor pemerintah yang lin tas sektoral di atas harus memainkan peran sesuai dengan ruang lingkup bidang masing-masing. Ini dimungkinkan oleh aturan perundangan yang berlaku, yaitu UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, kendati sesuai Pasal 7 UU tersebut, konsultasi dan koordinasi tetap dilakukan oleh Kemlu RI. Sesuai dengan prinsip politik luar negeri bebas dan ak tif dalam menjalin kem itraan dan kerja sama di bidang pengem bangan energi, pemerintah Indonesia saat ini secara luas terlibat aktif dalam berbagai kerangka kerja sama energi internasional. Kerja sama tersebut digalang melalui berbagai forum internasional (baik bilateral, regional, maupun multilateral) dan lembaga internasional (PBB dan nonPBB). Menurut Kementerian ESDM RI, Indonesia saat ini terlibat hampir di seratus jenis forum energi internasional. Hanya yang patut menjadi catatan penting selanjutnya ialah apakah berbagai forum tersebut sudah dapat memenuhi kepentingan na sional energi Indonesia. Dari sekian ratus forum kerja sama tersebut, ironinya hanya ada beberapa forum kerja sama saja yang sudah memasuki tahapan kegiatan yang sifatnya operasional. Beberapa kerja sama energi internasi onal yang dalam tataran operasionalnya bergerak maju, antara lain yang dapat dicatat adalah kerja sama energi Indonesia-Jepang untuk alih teknologi dan peningkatan kelembagaan, kerja sam a energi Indonesia-N etherlands
116
untuk energi baru dan terbarukan, khususnya pembangkit listrik dari mikrohidro, kerja sama energi Indonesia-Cina berbentuk investasi, dan kerja sama energi Indonesia-Norwegia terkait dengan pengurangan emisi karbon. Selebihnya ada beberapa kerja sama energi internasional yang kemudian tidak ada kelanjutannya sama sekali dan banyak juga kerja sama tersebut yang sifatnya masih sebatas norm-setting, seperti memorandum o f understanding (MoU), letter o f intent (Lol), dan lain-lain.17 Dalam diplomasi energi Indonesia yang secara sim ultan m elibatkan m ultiaktor di atas, tentu koordinasi lintas sektor menjadi penting. Diplomasi yang optimal hanya dapat dicapai apabila ada koordinasi yang berjalan baik antarpelaku diplomasi. Komunikasi yang terbangun melalui koordinasi pada gilirannya diharapkan melahirkan sinergi di antara aktoraktor diplomasi energi. Selain itu, juga membantu dalam memilih isu yang akan diperjuangkan di forum-forum internasional sebagai kepentingan nasional. Diplomasi energi Indonesia pada haki katnya untuk memperjuangkan suatu kepentingan nasional, yaitu mengamankan pasokan kebutuhan energi Indonesia. Diplomasi energi Indonesia yang tersebar di berbagai kementerian, dengan masing-masing core competence-nya, seharusnya tidak menim bulkan persoalan jika ada koordinasi lintas sektor yang terkelola baik. Hanya realitasnya, fungsi tersebut terlihat masih belum berjalan secara terpadu. Sejauh ini Kemlu RI yang memiliki peran sentral dalam diplomasi, yakni sebagai koordinator dan konsultan bagi aktor-aktor inter nasional lainnya di dalam menjalin hubungan luar negeri, kenyataannya masih belum secara optimal menjalankan fungsinya. Fungsi koordinatif yang seharusnya dijalankannya belum terlihat menonjol. Padahal, peran koordinator dalam diplomasi energi sangat vital. Koordinator tidak saja menjadi pintu masuk bagi para pemangku kepentingan untuk menyampaikan kepentingan, aspirasi, pemikiran, dan masukan, tetapi juga 17 Biro Perencanaan dan Kerja Sama. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, "Kebijakan Energi Nasional: Penge lolaan, Ketahanan dan Kerja Sama Energi”, makalah yang disampaikan pada acara diskusi terbatas bertema “Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Energi” yang diseleng garakan oleh Tim Polugri P2P-LIPI, 16 Juni 2011, di Jakarta.
menjadi sumber informasi dan penentu target yang harus diperjuangkan oleh para perunding yang berasal dari beberapa stakeholder lainnya di berbagai forum bilateral, regional, dan multila teral energi. Realitasnya, dalam diplomasi energi Indonesia, Kemlu RI dinilai masih lebih banyak berkutat pada fungsi administratif.18 Kemlu RI melalui perwakilan-perwakilan RI di luar negeri masih sebatas memberikan dukungan kepada delegasi-delegasi yang mewakili Indonesia dalam berbagai forum -forum internasional yang membahas isu energi, termasuk mendampingi mereka dalam forum-forum tersebut.19 Kelembagaan diplomasi energi Indonesia yang tersebar ke berbagai kementerian tanpa kejelasan pembagian kewenangan dan koordi nasi, di samping ketidakjelasan tujuan dan target dari yang diperjuangkan melalui diplomasi, merupakan permasalahan yang melemahkan diplomasi energi Indonesia. Diplomasi energi Indonesia di berbagai forum internasional belum bisa mem berikan kontribusi optim al bagi perekonom ian nasional. Indonesia m asih belum mampu mengambil manfaat optimal dari diplomasi politik dan fakta sebagai negara kaya akan sumber daya alam untuk menekan negara lain demi melindungi kepentingan nasional Indonesia. Dengan demikian, Kemlu RI sudah saatnya memiliki direktorat khusus yang menangani isu energi. Keberadaan direktorat ini akan membawa isu energi berada pada satu atap sehingga isuisu teknis terkait dengan masalah energi yang akan dirundingkan dan aktor-aktor yang akan menjalankan diplomasi energi berada di satu direktorat tersendiri. Kemlu RI, yang dilengkapi dengan sejumlah perwakilan Indonesia di luar negeri, sebenarnya dapat memainkan peran yang lebih aktif untuk membuka peluang-peluang sumber energi baru dan kerja sama energi di luar negeri. Hal ini karena kementerian-kementerian teknis selama ini lebih banyak teijebak pada soalsoal yang terkait dengan pengamanan pasokan kebutuhan energi di dalam negeri.20 Artinya, 18 Wawancara dengan Shaleh Abdurrahman, Dewan Energi Nasional (DEN), 12 Juli 2011, di Jakarta. 19 Wawancara dengan Farida Zed, Dewan Energi Nasional (DEN), 12 Juli 2011, di Jakarta.
persoalan keamanan energi masih lebih banyak terkonsentrasi pada upaya-upaya domestik, yang mengakibatkan belum tergarap optimalnya lahan di luar negeri untuk mendukung upaya pemenuhan pasokan kebutuhan energi nasional.
Penutup Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan dan peluang dalam pengelolaan keamanan energi, baik di level nasional maupun internasional sehingga penyikapannya perlu memperhatikan perkembangan dinamika domestik dan global. Di dalam negeri, persoalan energi Indonesia utamanya terletak pada mismanajemen sektor energi, khususnya pasca-diberlakukannya UU Migas Tahun 2001 yang memberikan peranan lebih besar kepada pihak swasta serta kurangnya peran pemerintah Indonesia. Hal ini ditandai dengan lebih bertumpunya pengelolaan sektor energi pada penguatan mekanisme pasar dalam penentuan harga bahan bakar minyak dan listrik untuk mengurangi beban APBN, terlihat dengan adanya program penghapusan subsidi. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan keamanan energi Indonesia lebih cenderung melihat energi sebagai komoditas pasar. Pem erintah belum banyak m elibatkan diplomasi yang melihat energi juga sebagai komoditas strategis, salah satunya ditandai dengan belum adanya institusionalisasi kebijakan keamanan energi di level Kementerian Luar Negeri RI. Pemerintah juga belum mendorong dengan sepenuh hati kiprah perusahaan energi nasional dan swasta untuk menjadi pemain dalam pasar energi regional maupun internasional. Situasi ini menandakan pemerintah Indonesia belum mempertimbangkan dinamika regional dan internasional di sektor energi. Dengan kata lain masih terdapat missing link dalam kebijakan sektor energi Indonesia, di mana muatan dan perspektif internasional yang outward-looking belum banyak terlihat, baik dalam kebijakan m aupun realita politiknya. Sem entara itu, politik luar negeri negara-negara industri maju telah terintegrasi dengan kebijakan energinya, yaitu persoalan energi telah menjadi bagian dari kepentingan nasional yang utama dari suatu negara. Dalam hal ini proses sekuritisasi dan
20Ibid.
117
politisasi sektor energi telah terjadi di banyak negara industri maju. Indonesia sebenarnya telah memiliki arah kebijakan keam anan energi nasional yang cukup jelas. Namun, kebijakan ini belum cukup dijabarkan, termasuk mengenai operasionali sasinya. Keberadaan UU Migas 2001 yang lebih mengedepankan aspek pasar dalam regulasinya justru mengandung berbagai persoalan, salah satunya adalah lemahnya posisi pemerintah jika dibandingkan swasta dalam pelaksanaan kebi jakan energi. Padahal secara makro kebijakan energi Indonesia masih membutuhkan peran besar pemerintah, termasuk dalam menjaga sta bilitas harga minyak dunia yang sangat fluktuatif. Peran pemerintah juga menjadi tidak bisa diabaikan dalam hal koordinasi pengembangan energi yang terpengaruh kebijakan otonomi daerah. Permasalahan birokrasi yang dapat memengaruhi persoalan distribusi sektor listrik, misalnya, tidak bisa dianggap remeh. Dalam kondisi tersebut, pasar energi di Indonesia belum dapat dikatakan telah terbentuk dan terpetakan secara jelas. Pemerintah masih harus menjadi tumpuan penting bagi terbangunnya infrastruktur yang lebih mapan. Di dunia internasional kerja sama energi juga dilakukan di tingkat pemerintah, walaupun bukan berarti mengecilkan peran swasta. Mengingat peran energi yang strategis maka pemerintah masih dominan dalam banyak pengembangan energi di kawasan Asia. Semen tara itu, dalam pengembangan infrastruktur tidak akan sanggup bila dibebankan kepada swasta. Indonesia perlu memanfaatkan berbagai peluang untuk berkiprah di kawasan Asia Pasifik dan internasional. Asia Pasifik saat ini merupakan pemain penting dalam pasar energi dunia, baik sebagai produsen, konsumen, eksportir, maupun importir. Sebagian besar aktivitas produksi dan konsumsi energi negara-negara Asia Pasifik untuk menjalankan roda perekonomian nasional bergantung pada komoditas primer konvensional yaitu minyak, batu bara, dan gas alam serta ko moditas nonkonvensional seperti sumber energi terbarukan (renewable energyy) dan nuklir. Meskipun saat ini Indonesia merupakan net importir minyak, tetapi tidak mengurangi peluang Indonesia untuk berkiprah dalam pasar energi
118
dunia, baik melalui kerja sama internasional maupun investasi.
Daftar Pustaka Asia Pacific Energy Research Center. 2006. APEC Energy Demand and Supply Outlook 2006 Projections to 2030 Economic Review. Japan: APERC. Asia Pacific Energy Research Center. 2011. APEC Energy OverView 2010, Japan: APERC. Asia Pacific Energy Research Center. 2006. APEC Energy Demand and Supply Outlook 2006 Energy at the Crossroads. Japan: IEEJ. Atje, Raymond. “Energy Security dan Kerja sama Bidang Energi di Asia Timur”, makalah yang disampaikan dalam diskusi bertema “Kerja sama Energi di Asia Timur dalam Kerangka East Asia Summit (EAS)”, 11 Agustus 2005. Jakarta: BPPK-CEACoS. Biro Perencanaan dan Kerja Sama, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI. “Kebi jakan Energi Nasional: Pengelolaan, Ketahanan dan Kerja Sama Energi”, makalah yang disam paikan pada acara diskusi terbatas “Politik Luar Negeri Indonesia dan Isu Keamanan Energi” yang diselenggarakan oleh Tim Polugri P2PLIPI, 16 Juni 2011, di Jakarta. D itjen M igas K em enterian ESDM RI. 2010. Indonesian Energy Statistics Leaflet. Jakarta: ESDM. IEA. 2008. Energy Policy Review o f Indonesia. Paris: IEA. IEA. 2011. Energy Balances o f Non-OECD Coun tries. Paris: IEA. Keliat, Makmur. “Kebijakan Keamanan Energi”, makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Penelitian P2P LIPI, 22 Februari 2011, di Jakarta. Kementerian ESDM RI. 2005. Blue Print Penge lolaan Energi Nasional 2005-2025. Jakarta: ESDM RI. Kementerian ESDM RI. “Kebijakan Energi Nasio nal: Pengelolaan, Ketahanan, dan Kerja sama Energi”, makalah yang disampaikan pada FGD Penelitian Politik Luar Negeri dan Keamanan Energi, 16 Juni 2011, di Jakarta. Wawancara dengan Farida Zed, Dewan Energi Nasi onal (DEN), 12 Juli 2011, di Jakarta. Wawancara dengan Shaleh Abdurrahman, Dewan Energi Nasional (DEN), 12 Juli 2011, di Jakarta.
MELIHAT RELASI DAERAH DAN NEGARA TAHUN 1950-AN DENGAN MEMBONGKAR NARASI BESAR SEJARAH Dini Suryani Resensi Buku Judul Buku
: Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an
Penulis
: Sita Van Bemmelen dan Remco Reben (penyunting)
Penerbit
: Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit
: 2011
Tebal
: viii + 350 halaman
ISBN
: 978-979-461-772-4 Abstract
Histories in the period o f the 1950’s are not much discussed in the realm ofhistorical discourse in Indonesia. A decade in which this country was experiencing a very severe struggle, due to the separatist movements emerged in various parts of Indonesia, while the govemment had not been stable enough post-independence. It is time for us to leave the big narration of Indonesia history at the national for a moment, by looking more closely into the local level. How the fate o f regions determined by the political realities o f the 1950s and how the meeting point of national and local context? This article aims to review a book entitled “Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an ”to answer those questions. Keywords: History o f 1950*Indonesia, local, national Abstrak Sejarah dasawarsa 1950-an masih belum banyak didiskusikan dalam wacana historiografi Indonesia. Padahal dasawarsa tersebut Indonesia mengalami perjuangan berat karena banyaknya gerakan separatis yang muncul di berbagai daerah, sedangkan pemerintah pusat masih belum sepenuhnya stabil pascakemerdekaan. Oleh karena itu, penting bagi kita saat ini untuk sejenak meninggalkan narasi besar sejarah Indonesia dari kacamata Jakarta (pusat) dan melihat lebih dekat sejarah di tingkat lokal. Bagaimana nasib daerah ditentukan oleh kenyataan politik pada tahun 1950-an dan bagaimana titik temu antara konteks nasional dan lokal? Artikel ini bertujuan mengulas buku berjudul “Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an” untuk memperoleh jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kata kunci: Sejarah Indonesia 1950-an, lokal, nasional
Pendahuluan Reformasi 1998 merupakan simpang sejarah penting bagi bangsa Indonesia dengan adanya berbagai perubahan di segala aspek. Namun sesungguhnya, jarang disadari bahwa pengalam an bangsa Indonesia pascareformasi itu mirip dengan yang terjadi pada bangsa Indonesia pada tahun 1950-an. Ada beberapa isu penting yang sama diperdebatkan pada tahun 1950 dan saat ini. Isu pertama adalah mengenai otonomi daerah. Gagasan dan gerakan ‘memekarkan’ atau
‘memerdekakan’ diri yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada titik tertentu di kurun waktu tersebut serupa dengan tuntutan otonomi daerah yang muncul pascareform asi yang direspons dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang kerap kali muncul disertai dengan mobilisasi dan menguatnya sentimen etnis. Isu kedua adalah mengenai demokrasi. Selain mengenai dorongan otonomi daerah, reform asi m em unculkan kem bali diskusi yang lebih hangat mengenai demokrasi. Pada
119
tahun 1950-an, muncul suatu istilah mengenai “demokrasi khas Indonesia” yang dipertahankan secara kuat sejak 1959 oleh Presiden Soekarno maupun Soeharto. Pada hari ini istilah demokrasi dipahami secara lebih umum, yang kemudian menimbulkan pertanyaan bagaimana sesung guhnya demokrasi parlementer dan partai politik bekerja dalam kurun waktu 1950-an. Lebih jauh lagi, bagaimana organisasi berafiliasi dengan partai-partai politik dan menjalin hubungan dengan elite serta masyarakat. Di samping itu, reformasi memunculkan kembali keinginan untuk mengkaji lebih dalam mengenai perjalanan sejarah sosial politik ekonomi di tingkat lokal. Berkaitan dengan itu, mirip dengan situasi saat ini, buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an ini juga menawarkan peristiwa yang terkait tentang dinamika politik di level lokal. Isu ketiga yang mengemuka pada saat reformasi adalah mengenai kebobrokan kinerja aparatur negara, dengan korupsi sebagai ciri khas yang marak dan paling utama. Sama seperti situasi saat ini, di tahun 1950-an birokrasi Indonesia juga dilanda korupsi yang merajalela oleh aparatur negara. Para perwira militer yang ditugaskan di daerah pada masa revolusi terlibat dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi, rupa nya masih ingin melanjutkan aktivitasnya. Dalam hal ini, para perwira militer itu bekerja sama dengan pemerintahan sipil untuk mendapatkan “tambahan” penghasilan. Kesamaan isu yang dimiliki di masa refor masi dan tahun 1950-an membuat kajian selama kurun waktu tersebut penting untuk disimak dan direnungkan kembali. Hal ini yang coba dita warkan oleh buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an yang disunting oleh Sita van Bemmelen dan Remco Raben. Buku yang berisi tiga belas artikel ini mencoba mendalami cara-cara baru dalam memandang daerah pada tahun 1950-an, suatu periode yang dianggap sebagai ‘terra incognita', periode yang tidak banyak dikaji dan disentuh. Dalam artikel pertama, kedua penyunting, Sita van Bemmelen dan Remco Raben menjelaskan urgensi bahwa tahun 1950-an adalah dekade penting di mana Indonesia diakui menjadi negara yang berdaulat. Dengan demikian, mereka
120
menganggap bahwa inform asi yang cukup komprehensif mengenai apa yang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia dalam kurun waktu tersebut sangat dibutuhkan. Karena itu, buku ini penting untuk diulas.
Tahun 1950-an: Tidak Sekadar Latar Dalam buku ini, tahun 1950-an tidak menjadi sekadar latar belakang cerita mengenai periode lain, namun menjadi cerita utama. Senada dengan tulisan yang dikemukakan oleh Vicker di mana ia menekankan bahwa sejarah tahun 1950-an harus lah diletakkan dalam sebagai satu unit historis yang penting karena pada saat itulah Indonesia mengalami fase perjuangan terberat sebagai sebuah negara-bangsa.1 Nordholt mendukung argumen ini, bahwa apa yang terjadi pada tahun 1950-an itu sangat menarik untuk dikaji dinamika dan kompleksitasnya secara partikular. Secara sengaja buku ini menempatkan artikel klasik Ruth McVey yang berjudul “The Case o f Disappearing Decade” yang ditulis pada tahun 1994 dan diterjemahkan menjadi “Kasus Tenggelamnya Sebuah Dasawarsa” (halaman 18-36). Artikel ini seakan menjadi penegas bahwa dasawarsa 1950-an perlu untuk dikaji secara khusus. Pada bagian awal, McVey mengungkapkan bahwa ada masa tahun 1950-an adalah masa di mana para cendekiawan dan sejarawan tidak dapat mengungkapkannya dengan jelas, penuh dengan isu-isu yang tidak bisa dipecahkan. Ia mengandaikan tahun 1950-an bagaikan Laut Sargaso yang bisa membuat para cendekiawan terdampar kebingungan. Di masa Orde Baru, tahun 1950-an bahkan dipandang sebagai suatu masa yang penuh dengan hal-hal negatif. Periode parlementer yang dipenuhi dengan instabilitas politik, masa di mana dem okrasi kepartaian mengalami kekacauan, dan kebijakan ekonomi yang gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, juga pembe rontakan yang bermunculan dari daerah-daerah. Pascakudeta 1 Oktober 1965 yang menimbulkan kejadian berdarah, secara sistematis Orde Baru 1Adrian Vikers, “Mengapa Tahun 1950-an Penting bagi Kajian Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (Eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor, KITLV dan Pustaka Larasan, 2008), hlm. 67-78.
menciptakan ‘budaya diam ’ terhadap segala kebijakan Orde Lama termasuk meninggalkan dan berhenti membicarakan segala “kekacauan” yang teijadi di tahun 1950-an serta menggantinya dengan era “ketertiban” dan “kem ajuan” . Artikel McVey juga menunjukkan bahwa Orde Baru berupaya untuk menghalangi penelitian tentang tahun 1950-an salah satunya karena ingin menutupi citra Soekarno yang masih populer dan memusatkan perhatian pada masa revolusi. Sejarawan asing secara tidak langsung juga tidak mempedulikan masa itu, meski dengan alasan yang berbeda-beda atau sama dengan sejarawan nasional. Pendapat tersebut juga diamini oleh Vickers.2 Selain menceritakan tentang minimnya minat kajian mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1950-an, McVey memaparkan bahwa sesungguhnya dekade itu bukanlah dekade kegagalan. Pada dasawarsa itu McVey mengung kapkan bahwa sesungguhnya tidak ada gejala disintergrasi bangsa yang benar-benar berbahaya. Kecuali Maluku, tidak ada pemberontakan daerah yang berambisi memisahkan diri dari Indonesia, baik itu Aceh, Sumatra Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. McVey menganggap hal ini haruslah dilihat sebagai sesuatu yang positif bahwa Indonesia cukup kokoh sebagai masya rakat yang diimpikan (imagined communities), sebagaimana konsep yang dikemukakan oleh Benedict Anderson,3 bahwa wacana mengenai persekutuan ada dalam pikiran elite pribumi kepulauan ini, meskipun tidak pemah saling bertemu. McVey menganggap bahwa sejatinya perbedaan pusat-daerah pada waktu itu dapat ditengahi oleh demokrasi parlementer, meski enggan diakui. McVey mengambil contoh yang paling menonjol, yaitu penolakan sebagian besar pemimpin Muslim untuk mengubah pemerin tahan republik, meskipun mereka gagal dalam perjuangan mengubah sifat sekulernya menjadi negara Islam. Dari situ McVey percaya bahwa mereka beranggapan bahwa tujuan-tujuan Islam hams dipeij uangkan melalui negara-kebangsaan Indonesia, bukan dengan menentangnya. Hal 2Ibid., hlm. 68. 3Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread ofNationalism, (New York: Verso, 1991)
ini sekaligus m em buktikan bahwa sistem parlementer telah berjalan cukup baik dalam mengakomodasi perbedaan antara golongan sekuler dan agama. Dalam artikelnya, Ruth McVey juga mene kankan peran penting kaum elite nasional di tahun 1950-an itu. Mereka yang pertama-tama sadar atas kepentingan bersama yang hendak diusung. Ia memaparkan kedekatan antara kelompok elite bangsawan lama dengan pamong praja, di satu pihak dengan di pihak lainnya elite militer yang semakin kuat dan sebagian di antaranya adalah pendatang baru. Kaum elite yang juga menjadi fokus dari artikel McVey, seakan menjadi pedo man lain dalam artikel-artikel dalam buku ini.
Melihat Sejarah Daerah Lebih Dekat Sejak awal, isu yang cukup menonjol dikemuka kan dalam buku ini adalah tentang pendefinisian kembali daerah. Hal ini terlihat bahwa enam artikel membahas mengenai sejarah daerah dan isu-isu lain yang berkaitan dengan itu. Artikel pertama disajikan oleh Suprayitno dengan judul “Jalan Keluar yang Buntu: Federasi Sumatra sebagai Gagasan Kaum Terpojok” (halaman 64-105). Tulisan ini beranjak dari masa revolusi ketika Belanda membentuk sistem federal yang kembali didudukinya. Tengku Mansoer, wali Negara Sumatera Timur (NST), yang juga ketua Jong Sumatranen Bond (JSB) mencoba mencari dukungan bagi gagasannya untuk membentuk Federasi Sumatra dari kalangan elite di berbagai daerah di pulau tersebut, menjelang penyerahan kedaulatan, di akhir tahun 1948. Gagasan itu sekaligus menunjukkan adanya upaya untuk menjadikan identitas Sumatra sebagai imagined community. Gagasan itu sempat mendapat respons positif dari sejumlah tokoh politik termasuk kaum feodal di daerah yang dikuasai Belanda. Mereka merasa terancam dengan aksi gerilya yang muncul, khususnya di Tapanuli (Sumatra Utara) dan Sumatra Timur. Federasi Sumatra dipandang sebagai satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan kedudukan politik Indonesia agar segera memiliki kedaulatan sendiri. Untuk menegosiasikan gagasan tersebut diadakan Muktamar Sumatra I dan II. Namun sayangnya, pasca-Muktamar I dan II muncul kesadaran bahwa gagasan itu tidak 121
mungkin terwujud. Paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan keraguan itu. Pertama, kekompak an internal kurang karena tokoh daerah Sumatra yang mendukung republik tidak mendukung gagasan Federasi Sumatra atau identitas suku serta basis primordial lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dituliskan oleh Anthony Reid, bahwa salah satu hal yang menyebabkan ditolaknya gagasan negara Sumatra adalah ide ini sungguh tidak menarik bagi orang Aceh atau orang Batak yang berjiwa bebas.4Yang kedua sekaligus yang terpenting, para peserta menyadari lemahnya kekuatan mereka di masing-masing daerah atau kemungkinan besar akan kalah bila berhadapan dengan kekuatan Republik. Ketiga, mereka menyadari bahwa hubungan politik dengan pe mangku kepentingan di tingkat nasional dan internasional kurang kuat. Peristiwa Muktamar Sumatra ini merupakan peristiw a yang ham pir terlupakan. Meski begitu hal ini menunjukkan bahwa betapa masih terbukanya pilihan untuk pembangunan negara (state building) di Indonesia waktu itu. Dalam peristiwa ini kita bisa melihat pertaruhan antara elite berpengaruh di daerah dengan kekuatan di pusat (Jakarta). Pada artikel kedua yang bicara soal iden titas daerah, Gusti Asnan membicarakan soal pemetaan wilayah yang menyinggung pula soal pembentukan identitas. Dalam artikel yang berjudul “Regionalisme, Historiagrafi, dan Pemetaan Wilayah” (halaman 106-132), Asnan menceritakan bahwa terdapat upaya kaum elite di Sumatra Barat dalam menyusun gagasan “Minangkabau Raya” yang mencakup wilayah Riau dan Jambi yang disatukan sejak 1948. Penyebaran ide tersebut dilakukan lewat buku sekolah yang menceritakan tentang sejarah lokal. Sumatra Barat adalah salah satu wilayah yang sejak tahun 1950-an gigih mempeijuangkan otonomi dan desentralisasi. Namun sayangnya, perjuangan itu tidak pemah direspons dengan baik oleh pemerintah pusat. Kekecewaan itu pada akhirnya diwujudkan dengan jalan pintas memproklamirkan sebuah gerakan separatis yang disebut dengan Pemerintahan Revolusioner Re publik Indonesia (PRRI) di tahun 1958. Gerakan 4 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV, 2011), hlm. 314.
122
PRRI itu diatasi oleh pemerintah republik dengan sikap represif dan berhasil membuat PRRI terde sak. Provinsi Sumatra Tengah dipecah menjadi tiga provinsi, yaitu Sumatra Barat, Jambi, dan Riau. Pembersihan terhadap unsur-unsur PRRI di daerah inipun dilakukan, diiringi dengan “pencucian otak” warga daerah. Impian akan kebesaran Minangkabau Raya dibuang jauh-jauh. Sebagai bagian dari upaya itu, dilakukan pula penulisan ulang sejarah daerah dan penaataan ulang materi pelajaran geografi serta pembuatan peta daerah. Ketidakpuasan kaum elite Riau dan Jambi dipaparkan dalam artikel selanjutnya oleh Gusti Asnan yang berjudul “Berpisah untuk Ber satu: Dinamika Pemekaran Wilayah di Sumatra Tengah tahun 1950-an” (halaman 133-160). Ketidakpuasan atas dominasi elite Minangkabau dan “pemaksaan” atas gagasan Minangkabau Raya dilawan dengan gerakan dan tuntutan untuk memisahkan diri dari Minangkabau dan membentuk provinsi sendiri. Pemerintah pusat kemudian meluluskan permintaan itu pada tahun 1957. Menutup tulisannya di artikel kedua ini, Asnan menunjukkan bahwa pemekaran wilayah bukanlah jawaban dari permasalahan yang ada. Setelah dimekarkanpun Riau dan Jambi kembali menyuarakan ketidakpuasannya, yang sebelum nya kepada Bukittinggi, lalu kepada Jakarta. Pejabat pemimpin daerah yang notabene adalah orang luar dirasa sangat menganggu karena mereka merasa kekayaan daerah dikuras dan dibawa ke Jakarta. Jika pemimpin Riau masih orang luar maka mereka mengancam untuk memisahkan diri dari NKRI. Ancaman yang ditanggapi pem erintah dengan terpilihnya Saleh Yazid, orang asli Riau sebagai gubemur pada Desember 1998. Tidak hanya dalam hal pemimpin saja, komposisi pembagian hasil bumi Riau, khususnya minyak bumi juga diatur sehingga bisa memberikan keuntungan pada dae rah itu. Nyatanya, gerakan pemekaran wilayah tidak pemah berhenti. Di Riau sendiri, setelah tuntutan-tuntutan sebelumnya dipenuhi, gerakan yang serupa muncul dari Kepulauan Riau, yang kemudian melalui UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, keinginan tersebut diloloskan oleh pemerintah
pusat. Dari sini, Asnan menggarisbawahi bahwa gerakan pemekaran wilayah adalah gerakan yang terus akan terjadi di Indonesia. Baginya, di satu sisi gerakan tersebut adalah untuk memenuhi hasrat daerah, namun di sisi lain untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Setelah bicara soal pemekaran wilayah, pada bagian selanjutnya dalam buku ini, terdapat arti kel mengenai pembentukan provinsi Kalimantan Tengah yang ditulis oleh Gerry van Klinken. Dalam artikelnya yang berjudul “Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan” (halaman 161-194), Van Klinken menceritakan perjuangan kaum elite Dayak dalam mengusahakan pembentukan provinsi baru Kalimantan Tengah yang sebelumnya merupakan bagian dari Kalimantan Selatan. Van Klinken menceritakan bagaimana para orang-orang Dayak di Kuala Kapuas melakukan penyambutan yang luar biasa terhadap Soekarno yang berkunjung ke sana pada tahun 1957. Upaya itu tenyata berhasil membuat Soekarno memperlakukan wilayah tersebut dengan cukup istimewa, yaitu menjadi kannya ibu kota Maphilindo (Malaysia, Filipina, dan Indonesia) yang ada dalam bayangannya serta membuat Rusia membangun jalan di sana. Atas upaya orang-orang Dayak tersebut, Van Klinken menjelaskan bahwa terdapat dua pandangan yang muncul di dua pihak. Orang Jakarta memandang orang-orang “p rim itif’ itu telah mempersembahkan suatu kesetiaan yang sangat besar, sedangkan orang setempat melihatnya sebagai pernyataan identitas se tempat yang tidak dapat dipungkiri lagi. Meski begitu, Van Klinken menekankan bahwa hal ini harus dimaknai secara lebih baik di mana kedua persepsi yang sangat berbeda itu sejatinya bisa eksis di waktu yang bersamaan. Secara lebih luas, kita harus memahami interaksi antara etnisitas dan negara-bangsa. Dalam konteks ini etnisitas bukan sekadar fenomena budaya apalagi peninggalan, tetapi tesirat sebagai bagian dari proses pembentukan negara modem pada dekade 1950-an itu. Politik identitas etnis telah diizinkan keberadaannya di Republik ini. Bukan karena para pemberontak etnis yang menginginkan separatisme memaksakan kehendaknya, me lainkan karena pemerintah pusat sendiri telah memilih merekrut para loyalis provinsi yang
terlihat seperti mencari perlindungan. Politik serupa muncul lagi pada tahun 2001, meskipun dalam wujud yang lain, yaitu penyingkiran orang non-Dayak. Dalam konflik etnis antara Dayak dan Madura yang pecah pasca-Orde Baru itu, sebuah organisasi militan Dayak menempati po sisinya kembali termasuk milisi yang mempunyai koneksi dengan elite yang mengingatkan pada kelompok elite yang pada tahun-tahun sebelum provinsi ini dibentuk. Politik kedaerahan muncul kembali dan tampak dalam tindakan mengusir semua pendatang dari Madura.5 Setelah menyusuri sejarah daerah di Pulau Sumatra dan Kalimantan, buku ini mengajak kita untuk melihat perkembangan politik di Sulawesi sepanjang dasawarsa 1950-an. Esther Velthoen dalam artikel yang berjudul “M em etakan Sulawesi Tahun 1950-an” (halaman 196-216) menjabarkan proses integrasi Sulawesi Selatan (yang pada saat itu juga meliputi Sulawesi Tenggara) ke dalam negara kesatuan namun terhalang oleh konflik yang rumit antara gerakan Kahar Muzakkar—dengan gerakan Darul Islam (DI)— menghadapi pemerintah pusat. Velthoen m engem ukakan bahwa pada masa awal kem erdekaan, Sulawesi cukup sulit untuk dipetakan dan ditetapkan perbatasan daerah-daerahnya. Hal ini dikarenakan terus berubahnya konstelasi perbatasan ketika per juangan untuk otonomi dipengaruhi oleh konteks nasional, regional, dan lokal. Konstelasi etnis dan historis kemudian tergeser oleh pengaruh panji-panji Islam modernis yang diusung oleh Kahar Muzakkar, dan konsep-konsep kunci yang dibawa oleh Republik Indonesia, yaitu modernitas, antikapitalisme, korporatisme serta kemerdekaan. Pengaruh-pengaruh yang datang dari kedua belah pihak ini sejatinya relatif baru dibanding pembagian kesukuan, kebahasaan, dan politik yang lebih lama, yang diwarisi dari masa prakolonial dan masa penjajahan. Velthoen menyoroti tiga wilayah di Sulawesi Selatan yang berada dalam pusaran konflik antara Kahar Muzakkar dan pemerintah pusat, yaitu Toraja, Semenanjung Tenggara, dan Buton.
5 Selanjutnya lihat Gerry van Klinken, “Pembentukan Aktor di Kalimantan Tengah”, dalam bukunya Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, (Jakarta: KITLV 2007), hlm. 207-229.
123
Dalam kasus Toraja, perbedaan yang sudah lebih dahulu ada antara dataran tinggi Toraja dengan tetangganya, Bugis di dataran rendah, memiliki dimensi-dimensi politik dan keagamaan yang baru dalam konteks negara-bangsa yang baru. Identitas ke-Toraja-an menguat akibat tindakan-tindakan pengejaran yang dilakukan oleh Andi Sose, seorang perwira militer yang ditugaskan di wilayah itu, terhadap orang Kristen. Akhirnya orang Toraja cenderung memihak pada pemerintah pusat yang sekuler sebagai jaminan perlindungan terhadap lawan-lawan lokal mereka. Sementara itu, yang terjadi di Semenanjung Tenggara terdapat perbedaan antara DI dan RI yang tampak mirip dengan perbedaan pada masa kolonial dan prakolonial antara suku Tomekongga dan suku Tolaki. Perjuangan Kahar Muzakkar melawan pemerintah pusat seketika menggantikan peijuangan merebut kemerdekaan. Tolaki awalnya berpihak pada NICA kemudian berpihak pada RI. Lalu, pasukan Djihad Konawe dari Tolaki membela penduduk Tolaki terhadap serangan-serangan, baik dari pihak DI maupun dari pasukan TNI. Kedua suku itupun akhirnya tidak memiliki posisi tawar yang kuat ketika pasukan Republik Indonesia berhasil menga lahkan pasukan Muzzakar. Alasannya adalah mereka dianggap mendukung gerakan DI dan memberontak pada pemerintah. Buton adalah wilayah yang paling kurang terpengaruh oleh konflik yang teijadi di Sulawesi pada saat itu. Buton lebih memilih mengejar ambisinya lewat jalur politik dibanding mem bentuk milisi sendiri. Ambisi Buton adalah menegaskan kembali posisi sebagai pusat politik utama di Sulawesi bagian tenggara yang pada zaman Jepang diserahkan pada Kendari secara terpaksa. Buton harus mengklaim memiliki kese tiaan pada ideologi nasionalis karena sejatinya ia memiliki riwayat akrab dengan Belanda. Buton menginginkan pemerintah Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi pemerintah tradisional dan hukum adat Buton. Namun, usaha itu tidak membuahkan hasil karena tenggelam oleh implikasi yang ditimbulkan dari konflik bersenjata di Sulawesi Selatan. Ketika provinsi baru dibentuk, bukan seperti yang diinginkan oleh Laode Manarfa, putra Sultan Buton yang
124
memperjuangkan kepentingan ini, lantaran provinsi itu berpusat di Kendari, bukan di Buton. Kegagalan Buton akhirnya tidak banyak tersisa lagi dan pasca-kejadian pada tahun 1965, Buton justru menjadi salah satu daerah terbelakang. V elthoen m enutup tulisannya dengan menggambarkan situasi yang tampak di Sulawesi menjelang akhir 1950-an. Konstelasi baru di Sulawesi Tengah muncul dan pemberontakan bersenjata telah mati. Batasan provinsi menjadi lebih pasti. Tiga daerah yang dibahas Velthoen semuanya semakin berada dalam kontrol politik administratif Makassar. Meski begitu, Velthoen tetap menekankan bahwa ini harus dilihat lebih luas, bahwa dalam perjalanannya telah terjadi proses pergeseran kekuasaan dari Makassar ke Jakarta. Pemberontakan bersenjata ditindas, berkembangnya struktur negara yang lebih kuat, dan dimasukkannya secara pasti daerah-daerah dalam negara nasional yang tersentraliasasi, untuk sementara bisa menetralkan persaingan antar daerah. Artikel selanjutnya masih bicara mengenai suasana politik di Sulawesi pada tahun 1950-an. Kali ini muncul Diks Pasande yang bercerita mengenai “Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja” (halaman 217-245). Diks Pasande menuliskan betapa beratnya perjuangan Tana Toraja untuk membebaskan diri dari dominasi Bugis yang direpresentasikan oleh Andi Sose, yang juga dari Luwu dan telah menjadikannya daerah taklukan di masa lalu. Masyarakat Tana Toraja sejatinya memiliki tujuan utama untuk menempatkan daerah Tana Toraja sejajar dengan daerah-daerah lain. Mencakup pula di dalamnya otonomi daerah Tana Toraja, pemerintah yang dipimpin oleh anak daerah serta militer yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab pada Jakarta. Kehadiran Andi Sose dipandang sebagai penghalang usaha itu, sedangkan Andi Sose adalah seorang perwira militer yang ditugaskan di Tana Toraja bermaksud untuk menguasai kekayaan alam di daerah tersebut. K ekristenan muncul sebagai identitas baru perlawanan terhadap invasi Bugis secara terpaksa. Pilihan menggunakan kekristenan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari situasi m asyarakat saat itu. Tidak semua pemuka masyarakat mendukung jika memakai simbol
kedaerahan dalam melawan Andi Sose karena beberapa memang ada yang berpihak pada Andi Sose. Pasande mengemukakan bahwa perkem bangan di daerah ini sebenarnya ditentukan oleh kemampuan pemerintah pusat untuk merangkul para gerilyawan lokal dengan mengintegrasikan nya ke dalam tubuh TNI, yang waktu itu hanya berjumlah satu kompi. Berkaitan dengan hal itu maka identitas kekristenan kemudian juga menjadi pilihan. Gereja Toraja dalam hal ini tidak terang-terangan mendukung aksi perlawanan masyarakat Toraja melawan Andi Sose, meski juga tidak menghalanginya. Hal ini dikarenakan sebagian tokoh Parkindo ketika itu merupakan pengurus Gereja Toraja dan sebaliknya. Parkindo menjelang dan setelah Pemilu 1955 merupakan kekuatan politik yang cukup besar di wilayah itu.6Parkindo nyatanya menjadi alat yang cukup efektif untuk melawan Andi Sose sehingga muncul kesan bahwa seakan-akan apa yang terjadi di dasawarsa 1950-an adalah peristiwa Islam-Kristen semata, sedangkan sebenarnya latar belakangnya jauh lebih kompleks daripada itu.
Diskusi Mengenai Demokrasi dan Korupsi Selain bicara mengenai situasi daerah di tahun 1950-an, beberapa artikel dalam buku ini juga mendiskusikan soal demokrasi. Sebagaimana yang telah dituliskan di awal resensi ini, bahwa buku ini juga berusaha menggambarkan bagaima na sesunguhnya demokrasi parlementer dan kerja partai politik sepanjang tahun 1950-an. Termasuk bagaimana partai dan organisasi yang berafiliasi dengannya menjalin hubungan dengan elite juga masyarakat. Tulisan mengenai demokrasi yang dimaksud dalam buku ini mencoba menggambar kan bagaimana politik nasional masuk ke daerah dan menginfiltrasi dan mengkutubkan kehidupan komunitas daerah pada dasawarsa 1950-an. Kisah yang diungkapkan adalah tentang harapan besar yang ada di hati rakyat kecil untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik sesudah kemerdekaan Indonesia. 6 Parkindo tergolong partai menengah yang mendapat suara sebesar 10.6% di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Lihat, Herbert Feith, Pemilu 1955 di Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 1999), hlm. 115.
Dalam artikel yang ditulis oleh Agustinus Supriyono yang berjudul “Konflik Perburu han Endemis di Pelabuhan Semarang pada Masa Revolusi dan Masa Republik” (halaman 246-268) menyajikan peristiwa kerusuhan buruh yang terjadi di kalangan buruh galangan kapal di Semarang. Kerusuhan itu dipimpin oleh buruh yang paling terampil, yaitu buruh tongkang. PKI yang pemah memiliki salah satu kekuatan di wilayah itu pada tahun 1920-an bangkit kem bali melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yaitu serikat buruh yang berafiliasi pada partai tersebut. Ketidakstabilan situasi nasional di tahun 1945-1949 (masa revolusi) utamanya pemerintah pendudukan Belanda di Kota Semarang dan be lum pulihnya perusahaan bongkar-muat Belanda memberi kesempatan pada bangkitnya serikat buruh SOBSI, yang pada masa kolonial Belanda telah ditindas dan dibubarkan pada pendudukan Jepang. Aksi-aksi dan pemogokan dilakukan, tetapi tidak membawa pengaruh yang signifikan karena perusahaan-perusahaan Belanda hampir tidak dapat meneruskan kegiatannya dengan menguntungkan. Ketika perusahaan Belanda dinasionalisasi tahun 1957, gerakan buruh tidak dapat melawan penguasa sipil dan militer yang memadamkan kerusuhan buruh dengan todongan senjata, sementara PKI yang semula berada di belakang malah mengalihkan kegiatannya ke pedesaan. Supriyono menutup tulisannya dengan me nyatakan bahwa kemerdekaan yang diproklama sikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pengakuan dan penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda 27 Desember 1949 serta nasionalisasi perusahaan Belanda 1957 bukanlah jembatan emas menuju peningkatan kesejahteraan ekonomis dan per baikan perjanjian kerja bagi buruh seperti yang diharapkan. Bahkan buruh cenderung menjadi korban atau setidaknya alat dari kepentingan elite untuk mendapatkan sumber-sumber daya politik dan ekonomi. Pada artikel selanjutnya, Mutiah Amini mencoba mengaitkan politisasi Kota Gede, sebuah kota kecil di Yogyakarta di mana PKI pemah memiliki sejumlah simpatisan di kalangan pengrajin perak di tahun 1920-an, mirip dengan yang terjadi di Semarang. Amini mengawali ar
125
tikelnya yang berjudul “Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede pada 1950-1960-an” (halaman 269-294) dengan bercerita tentang partai politik yang aktif di panggung nasional pada 1950, yaitu Masyumi, PKI, PNI, dan NU yang memiliki cabang di Kotagede. Masyumi bahkan memiliki akar yang kuat di Kotagede karena organisasi keagamaan Muhammadiyah telah lebih dulu masuk. PKI yang telah dikenal sejak 1920-an juga mampu mengembangkan basis di wilayah itu dalam waktu yang relatif singkat. Sejak 1953, dua partai itu saling berebut massa. Di tahun 1955, keduanya melirik buruh kerajinan perak sebagai potensi utama Kotagede, yang jumlahnya cukup banyak. Dalam prosesnya, PKI cenderung bisa lebih menjaring massa, melalui SOBSI, organisasi buruhnya; sedangkan SBII, perserikatan buruh yang berafiliasi dengan Masyumi kurang dapat menandinginya. M eskipun banyak buruh yang menjadi anggota SOBSI dan memihak pada PKI, namun relasi juragan dan buruh perak yang sudah ter jalin lama tidak terpengaruh secara berarti. Para juragan yang mengorganisasi diri dalam Koperasi Pengusaha Perak (KP2) cukup memperhitungkan kebutuhan para buruh dan KP2 sendiri terdiri dari kelompok juragan yang berafiliasi di kedua partai, Masyumi dan PKI. Hubungan yang relatif harmonis itu bertahan dan tampak pada pemilu 1955, di mana keduanya mendapat suara realtif sama banyak, yaitu 40 persen.7 Pasca-gerakan pemberontakan yang bertubitubi di berbagai wilayah di Indonesia—seperti DI di Jawa Barat, PRRI di Sumatra Barat, dan Permesta di Sulawesi— Masyumi mendapatkan dampaknya, yaitu dilarang beraktivitas oleh pemerintah Indonesia sebagai partai politik. Hal itu disebabkan bahwa Masyumi dianggap terlibat dalam pemberontakan di berbagai daerah utamanya di Jawa Barat, Minangkabau, dan Sulawesi Selatan. Seiring dengan hilangnya dari arena politik di Kotagede, pengikutnya kemu dian berpindah ke organisasi Muhammadiyah. Dalam tubuh KP2 sendiri juga tidak banyak pengaruhnya. Posisi ketua masih ditempati oleh 7 Untuk pemilihan Jawa Tengah muncul hasil yang cukup berbeda. Di Karesidenan Yogyakarta, partai yang meraih suara tertinggi adalah PKI (35%), disusul oleh PNI (30,6%), Masyumi (19,8%) dan NU (14.6%). Lihat, Herbert Feith, Op.Cit., hlm. 123.
126
orang Masyumi hingga tahun 1962. KP2 sempat dipimpin oleh simpatisan komunis pada tahun 1962, tetapi jabatan lain masih dipegang oleh orang-orang Masyumi. Demikian pula, terkait dengan kebijakan perburuhan organisasi ini, tidak banyak yang berubah. Tahun 1965, keseimbangan kekuatan politik dan kemasyarakatan di Kotagede runtuh. Kehan curan PKI pada tingkat nasional berpengaruh di pelosok Indonesia, termasuk Kotagede. KP2 yang beberapa pengurusnya terkait dengan PKI divakumkan, dan SOBSI dibubarkan. Lenyapnya komunis sebagai salah satu unsur dari dua elemen utama di Kotagede menjadikannya dikenal sebagai Kota Santri di kemudian hari. Di samping persoalan demokrasi, buku ini juga menyinggung permasalahan birokrasi yang bobrok karena melakukan korupsi, isu yang juga banyak dibicarakan pada masa reformasi ini. Howard Dick dalam tulisannya yang berjudul “Ekonomi Indonesia pada Tahun 1950-an: Kurs Beraneka, Jaringan Bisnis serta Hubungan Pusat Daerah” (halaman 35-63). Dick menjelaskan bahwa korupsi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari birokrasi Indonesia dalam kurun waktu tersebut. Terdapat persaingan daerah melawan pusat dalam menguasai sumbersumber ekonomi yang melimpah di luar Jawa (karet, minyak, kopra) dan menimbulkan konflik regional. Komandan-komandan militer di daerah yang telah terlibat sejak masa revolusi berniat melanjutkan aktivitas mereka untuk mendapatkan tambahan penghasilan karena negara yang masih belum stabil ini belum mampu menggaji mereka dengan layak. Pemerintah Pusat, yang memang sangat membutuhkan pemasukan menerapkan kebijakan fiskal berganda dan memungut berbagai macam pajak serta melakukan berbagai regulasi menyedot bagian yang lebih besar dari penghasilan ekspor-impor daerah. Kebijakan tersebut memiliki efek penyim pangan dalam lapangan ekonomi dan pada bagian kedua dasawarsa 1950-an menjadi katalis gerakan daerah. Akibatnya, muncullah berbagai pasar gelap, pelanggaran terhadap berbagai peraturan resmi, dan praktik penyelundupan yang seakan dibiarkan oleh Angkatan Laut yang juga korup (rent-seeking). Pengusaha Tionghoa kemudian juga meninggalkan Indonesia karena
lahan bisnis dikuasai oleh penguasa militer dan sipil. Hal tersebut dirasa tidak menguntungkan bagi mereka yang akhirnya memilih Singapura dan Hong Kong sebagai tempat berbisnis yang baru. Ketika pemberontakan di daerah berhasil diakhiri, dan kekuatan ekonomi militer diguling kan, aktivitas bisnis para pengusaha Tionghoa itu dilanjutkan oleh para komandan dan pejabat sipil yang lebih tunduk pada Jakarta.
Penutup Dua artikel terakhir dalam buku ini sepertinya dimaksudkan untuk menjadi pengikat dari tulisan bunga rampai yang telah disajikan sebelumnya. Artikel pertama ditulis oleh Remco Raben, salah satu penyunting buku, dan artikel kedua ditulis oleh Taufik Abdullah, sejarawan terkemuka Indonesia. Remco Raben dalam artikelnya yang berjudul “Bangsa, Daerah, dan Ambiguitas Modernitas” (halaman 295-315) seakan menjadi benang merah dari apa yang dibahas dalam buku ini. Raben menekankan bahwa bangsa dan daerah tidak dapat dipertentangkan. Meski tuntutan otonomi dipandang sebagai suatu pemunculan kembali etnisitas oleh para politisi di tingkat nasional tahun 1950-an, dan juga selama Orde Baru, sejatinya tuntutan otonomi mereflesikan karakteristik utama masyarakat Indonesia. Daerah tidak sekadar mendupliaksi atau meng adopsi apa yang dibangun oleh pusat, tetapi daerah ternyata mengalami perdebatan tersendiri bagaimana masyarakat modem itu sesungguhnya dan apa saja kesenjangan antara negara dan bangsa. Raben berpendapat dengan melihat bangsa melalui kacamata daerah kenyataan tersebut dapat disibakkan. Dalam artikel terakhir di buku ini, Taufik Abdullah menyajikan sebuah tulisan mengenai “Regionalism e dan Sen tralisme” (halaman 316-334) yang mengajak pembaca untuk menyadari bahwa permasalah an pendikotomian Jawa dan luar Jawa, baik dalam wacana maupun kebijakan yang diambil pemerintah masih bercampur-aduk dalam hasrat nasionalisme bahkan hingga sekarang. B agaim anapun, buku ini m enyajikan rangkaian sejarah yang cukup komprehensif mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun 1950-an, sebuah dekade yang sering diang
gap menjadi periode yang sulit ditelusuri dalam simpang sejarah Republik Indonesia. Sebagai bunga rampai, artikel yang ada dalam buku ini cukup berkaitan satu dengan yang lain sehingga pembaca tetap bisa mengkerangkainya sebagai satu kesatuan yang utuh. Artikel klasik McVey yang diletakkan di ba gian awal, seakan mempakan payung yang sangat tepat untuk mengawali buku ini. Jika artikel McVey adalah payung maka artikel Raben bisa dikatakan sebagai benang merah dari keseluruhan artikel di buku ini. Bahwa tujuan membongkar narasi besar sejarah melalui peristiwa spesifik di daerah dan pengidentifikasian relasi pusat dan daerah pada dekade 1950-an disajikan secara baik dalam artikel ini. Tidak hanya sampai di situ, refleksi atas apa yang terjadi pasca-Orde Baru dengan apa yang terjadi pada kurun waktu 1950-an di akhir artikel, menyadarkan kita bahwa penting untuk belajar dari sejarah karena sejarah bisa jadi berulang, meski dalam wajah yang berbeda. Buku ini men jadi sumbangan penting dan patut untuk dibaca oleh mahasiswa, akademisi, atau peminat sejarah karena sudah selayaknya peristiwa yang terjadi pada tahun 1950-an memiliki tempat yang sama dengan peristiwa lain yang terjadi di Indonesia.
Daftar Pustaka Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread o f Nationalism. New York: Verso. Feith, Herbert. 1999. Pemilu 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Nordholt, Henk Schulte. 2011. “Indonesia in the 1950s: Nation, Modemity, and Post-Colonial State”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Landen Volkenkunde. Vol. 167, No.4 (2011), dalam http://www.kitlv-journals.nl/index.php/htlv. Nordholt, Henk Sculte, Bambang Purwanto, Ratna Saptari (Eds.). 2008. Perspektif Baru Penu lisan Sejarah Indonesia Jakarta: Yayasan Obor, KITLV dan Pustaka Larasan. Reid, Anthony. 2011. Menuju Sejarah Sumatra: An tara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV Van Klinken, Gerry. 2007. Perang Kota Kecil: Ke kerasan K om unal dan D em okratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV.
127
TENTANG PENULIS Heru Cahyono merupakan peneliti pada Puslit Politik Lem baga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sarjana ilmu politik FISIP UI. Pernah menjadi wartawan (1991-1999). Karya yang telah dipublikasikan antara lain, Peranan Ulama dalam Golkar: dari Pemilu sampai Malari (Sinar Harapan, 1992), Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 (Sinar Harapan, 1998). Kecuali itu, juga kontributor pada buku Sistem Pemilihan Umum di Indonesia (Sinar Harapan, 1998), Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1998), Kecurangan dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilu 1997 (Yayasan Obor Indonesia, 1999), Tentara Mendamba Mitra (Mizan, 1999), Tentara yang Gelisah (Mizan, 1999), Soemitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, (Sinar Harapan, 2000) , Kerusuhan Sosial di Indonesia (Grasindo, 2001) , Konflik Antar Elit Politik Lokal (Pustaka Pelajar, 2005), Konflik Elite Politik di Pedesaan (Pustaka Pelajar, 2005), Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia (Pustaka Pelajar, 2006), Runtuhnya Gampong di Aceh: Studi Masyarakat Desa yang Bergolak (Pustaka Pelajar, 2008), Beranda Perdamaian: Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Pustaka Pelajar, 2008).
Fadjri Alihar lahir di Singkil, Aceh, 5 Nopember 1955. Ia me nyelesaikan pendidikan doktor bidang Geografi di Universitas Kassel, Jerman, pada tahun 1996. Sekarang bekeija sebagai peneliti bidang Ekologi M anusia, Pusat P enelitian K ependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Moch. Nurhasim memperoleh gelar SI Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilm u P olitik U niversitas Airlangga Surabaya pada tahun 1996, sedang kan gelar master ilmu politik diperoleh dari Universitas Indonesia pada 2007. Saat ini ia
bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Ia pemah menjadi Ketua Centerfo r Alternative Defence and Studies pada the Ridep Institute, sebuah lembaga independen yang konsem terhadap demokrasi dan perdamaian. Ia menulis di beberapa jurnal ilmiah dan aktif melakukan penelitian yang berkaitan dengan demokrasi, militer, dan konflik.
Sarah Nuraini Siregar menyelesaikan studi di tingkat sarjana (2002) dan Pascasarjana (2005) pada jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Sejak tahun 2004 sampai sekarang menjadi salah satu peneliti di bidang Perkembangan Politik Nasional, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Ia juga aktif sebagai salah satu staf pengajar di jurusan Ilmu Politik FISIP UI sejak 2002 hingga sekarang. Beberapa tulisannya ter muat dalam buku-buku antara lain: Problematika Pengelolaan Keamanan di Wilayah Konflik: Aceh dan Papua; Model Kaji Ulang Pertahanan Indonesia: Supremasi Sipil dan Transformasi Pertahanan', Evaluasi Penerapan Darurat Mili ter di Aceh (2003-2004)', Hubungan Sipil-Militer Era Megawati, Beranda Perdamaian: Aceh Tiga Tahun Pasca Mo U Helsinki serta kontribusi tulisannya di jurnal ilmiah, seperti Evaluasi 10 Tahun Reformasi Polri (Jurnal P2P LIPI, 2008).
Chairul Fahmi adalah staf pengajar di Fakultas Syariah IAIN ArRaniry, Banda Aceh. Ia menyelesaikan program sarjana di Jumsan Perbandingan Hukum dan Mazhab IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan program master jurusan European Law and Policy (MAELP) di University of Portsmouth, United Kingdom pada tahun 2007. Ia pemah aktif di berbagai NGO internasional, di antaranya Child Fund International, Canadian Red Cross, IOM, World
129
Bank, dan Aceh Justice Resource Center. Di samping sebagai dosen, ia juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif pada The Aceh Institute.
Mardyanto Wahyu Tryatmoko memperoleh gelar sarjana Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada pada tahun 2001. Semenjak 2002, ia merupakan peneliti pada bidang Perkembangan Politik Lokal, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Pada 2009 ia mendapatkan dua gelar master, yaitu Magister Administrasi Publik dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya dan Master of Public Policy dari National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) Tokyo, Jepang. Hingga saat ini, ia menekuni kajian otonomi daerah dan konflik
Wawan Ichwanuddin menyelesaikan studi S1 dan S2 pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Bergabung sebagai peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(P2P-LIPI) sejak akhir 2006. Mempunyai minat dan pengalaman penelitian yang terkait dengan masalah partai politik, pemilu, lembaga perwakilan, dan politik lokal.
130
Athiqah Nur Alami merupakan salah seorang peneliti pada Bidang Perkembangan Politik Internasional, Pusat Pene litian Politik LIPI. Ia menamatkan pendidikan S 1 dari jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan S2 dari Graduate Studies of International Affairs, A ustralian N ational University, Canberra, Australia. Fokus kajian penelitiannya adalah P olitik Luar Negeri Indonesia, Hubungan Indonesia-Australia, dan Gender dalam Hubung an Internasional. Ia telah menghasilkan sejumlah publikasi antara lain menjadi salah satu kontribu tor pada buku Mencermati Enam Dekade Politik Luar Negeri Indonesia (2007), Format Baru Politik Luar Negeri Indonesia (2009), Kebijakan Luar Negeri Indonesia dan Lingkungan Hidup (2010) serta Perempuan dan Globalisasi: Studi Kasus Trajficking di Kabupaten Karawang, Jawa Barat (2010).
Dini Suryani adalah kandidat peneliti yang bergabung dengan Pusat Penelitian Politik LIPI pada awal tahun 2011. Ia memperoleh gelar sarjana dari jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010 dengan skripsi mengenai Politik Corporate Social Responsibility (CSR) di Era Otonomi Daerah. Pernah memenangkan juara terbaik pertama lomba karya ilmiah bersama tim mengenai Politik Urban dan Ruang Publik, pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) tahun 2008. Saat ini sedang mendalami studi konflik di tingkat lokal.
Naskah
Redaksi Jurnal Penelitian Politik menerima kiriman naskah dengan ketentuan berikut: 1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pemah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun. 3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal. 4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5. Persyaratan teknis: a. Panjang naskah untuk artikel, 20-25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10-15 halaman A4, spasi 1,5. b. Diketik dengan menggunakan huruf Times New Roman, Font ukuran 12 dengan 1,5 spasi. c. Naskah dilengkapi dengan daftar pustaka dan abstraksi (100-200 kata). d. Naskah ditulis dengan format tulisan ilmiah (dilengkapi dengan catatan kaki dan daftar pustaka) e. Naskah dikirim dalam bentukprintout beserta softcopy ke alamat re daksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi (penerbitan.p2p@ gmail.com). f. Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. g. Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya.
Langganan
Harga Pengganti ongkos cetak Rp50.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal Penelitian Politik.
Alamat
P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai XI Jin. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta 12710 Telp. (021) 525 1542, ext. 757, 763; Faks. (021) 520 7118
Informasi Hasil Penelitian Terpilih
LIPI Press