pengantar redaksi
Daftar Isi
Volume 2 / 2007 19 Call of The Wild 23 Apa itu CITES?
Monitoring, Koordinasi, Sinkronisasi, Evaluasi merupakan beberapa ungkapan yang sering sekali di dengar saat ini. Inti dari ungkapan tersebut adalah mengunjungi lokasi COREMAP II yang menempati pesisir Indonesia. Beberapa diantaranya bahkan dekat negara
24 Ikan yang Bikin Heboh Itu 25 Melongok Keindahan Di Teluk Abui
tetangga. Sebagai salah satu fungsi management, kegiatan monitoring dan
26 Short Technical Communication
evaluasi sangat penting untuk dilakukan. Bahkan ADB dan Bank Dunia sebagai
27 Rumput Laut, Primadona Kab.
atau kegiatan untuk mengevaluasi perkembangan sampai dengan pertengahan
Sikka
lembaga bantuan program COREMAP II akan melakukan Mid Term Review waktu pelaksanaan program. Salah seorang pejabat yang bertanggung jawab dalam mengatur perjalanan pejabat, staf dan juga konsultan ke lokasi
29 Munas Terumbu Karang
COREMAP II adalah Ir. Elfita Nezon, PPK COREMAP II. Buletin vol 2 tahun 2007,
“Reef for Welfare”
berkesempatan melakukan dialog dengan PPK COREMAP II khususnya tentang
30 Liga COREMAP II Kab. Buton
pengelolaan satker tersebut. Menyadari kesibukan dan beban pekerjaan yang diemban, namun kesediaan waktu beliau untuk melakukan wawancara sudah
31 COREMAP II Terkini
merupakan suatu hal yang beruntung. Direktur dan Project Manger COREMAP II ke Belanda menghadiri Pertemuan Konvensi CITES ke 14 di Belanda. Pada pertemuan tersebut dibicarakan tentang kemungkinan dimasukkannya spesies karang merah (Corallium rubrum) dalam Appendix II. Wacana ini sangat mengganggu beberapa kelompok masyarakat yang hidupnya bergantung pada spesies ini. Di Indonesia, spesies
Redaksi
karang merah dapat dijumpai pada perairan dalam di bagian timur Indonesia. Sementara Departemen Kelautan dan Perikanan menentang spesies Banggai Cardinal masuk dalam Appendix II. Banggai Cardinal, sejenis spesies ikan
Pelindung:
yang menjadi andalan masyarakat kabupaten Banggai. Bulletin COREMAP II
Syamsul Maarif
menyajikan informasi seputar Cites dan beberapa isu seputar sumber daya
3
Pengantar Redaksi
4
Wawancara Ibu Elfita Nezon “ Bersama melaksanakan Konservasi Terumbu Karang”
akan menggelar sebuah forum yang menjadi ajang tempat bertukar pikiran kelompok maupun individu yang terlibat dalam pengelolaan terumbu karang juga akan diselenggarakan pada bulan September 2007 dalam bentuk Musyawarah Nasional (MUNAS), sekelumit informasi mengenai acara ini juga disajikan.
Gerak Sosialisasi COREMAP II
8
Monitoring, Evaluasi dan Koordinasi COREMAP II di NTT
9
Menyadarkan Masyarakat yang merusak Terumbu Karang
12 Pengenalan Karang Merulinidae 13 Beasiswa COREMAP II “Dana Beasiswa Ditransfer Langsung!” 15 Meningkatkan Kepercayaan Bank Dunia
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Penanggung Jawab:
Elfita Nezon
Akhirnya, tim redaksi Bulletin COREMAP II berharap media komunikasi ini
Aris Kabul Pranoto
dapat menjadi media pertukaran informasi antar program COREMAP II di Indonesia. Untuk itu, berbagai saran untuk perbaikan kualitas Bulletin ini sangat
Staf Redaksi:
kami harapkan. Selamat membaca!!!
Miftahul Huda Leonas Chatim Amehr Hakim Design Grafis:
Pola Grade
CALL OF THE WILD
Distribusi:
16 Kayangan itu ada di Kepala Papua
Yaya Mulyana Eko Rudianto
Pemimpin Redaksi:
ISSN : 1907-7416
6
Penasehat:
laut yang menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Kemudian COREMAP II
Yudha Miasto
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
Ir. Elfita Nezon MM atau lebih dikenal dengan panggilan Ibu Inet, saat ini menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sebelumnya beliau memegang tanggung jawab Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) program COREMAP II. Posisi yang sangat strategis dalam menentukan keputusan - keputusan penting terutama aspek management SATKER. Meskipun tidak disadarinya, beliau adalah satu-satunya wanita yang menjabat sebagai Penanggung jawab Keuangan SATKER COREMAP II Pusat pada tahun 2007.
menjalankan tugas yang diembankan kepada saya seperti air mengalir saja, sehingga tidak terbebani walaupun ada masalah saya percaya pasti ada jalan keluarnya.
Nah, berbicara tentang COREMAP II, bagaimana tanggapan ibu tentang program ini? Program COREMAP II mempunyai konsep yang sangat bagus. Konsep program COREMAP II sesungguhnya konsep konservasi secara ideal. Jadi program COREMAP II adalah sebuah konsep kegiatan konservasi yang dilaksanakan secara utuh sebagai satu kesatuan. Kita menyadari bahwa untuk mengimplementasikan kegiatan tersebut dibutuhkan waktu yang tidak pendek, diperlukan tahapan-tahapan yang harus dijalani. Disinilah peran tiap-tiap komponen dijalankan, sebagaimana di dalam program COREMAP II yang memiliki komponen Pengelolaan Berbasis Masyarakat (CBM) di mana didalamnya mengembangkan kegiatan Mata Pencaharian Alternatif (MPA), komponen lain adalah Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS), Penguatan Kelembagaan, Penyadaran Masyarakat (Public Awareness) dan lainnya. Semua komponen ini saling terkait sehingga tidak bisa jalan
Wawancara dengan Ir. Elfita Nezon, MM, PPK COREMAP II,
“Bersama melaksanakan
konservasi terumbu karang” Edisi ini, Bulletin COREMAP II mengungkap lebih luas perspektif Ibu Inet tentang program COREMAP II. Bagaimanapun posisinya di program COREMAP II tidak bisa terlepas dengan tanggung jawab dalam keluarga. Beruntunglah, Ibu Inet memiliki keluarga yang mendukungnya dalam urusan karir.
Bagaimana tanggapan keluarga Ibu terhadap tanggung jawab yang ibu emban? Hingga saat ini keluarga mendukung akan tanggung jawab yang saya emban. Sebisa mungkin, saya menjalani tugas dalam hidup ini dengan prinsip keseimbangan, termasuk keseimbangan antara karir dan keluarga. Dalam membagi waktu dan perhatian antara karir dan keluarga tentunya bukanlah pilihan yang mudah, namun satu hal yang saya lakukan adalah mengkomunikasikan tanggung jawab yang saya emban kepada keluarga yaitu kepada suami dan anak saya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam satu kondisi, keberadaan saya di kantor sangat dibutuhkan sehingga mengurangi waktu saya bersama keluarga, seolah saya mendahulukan karir. Namun saya juga fair atau menjaga keseimbangan, ketika suatu saat keluarga saya harus diprioritaskan. Bagian terpenting dalam menentukan pilihan-pilihan tersebut adalah komunikasi yang baik. Tentu cara mengkomunikasikannya disesuaikan pula dengan kondisi dan situasi saat itu.
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Apakah Ibu merasakan adanya perbedaan beban antara pria dan wanita dalam mengemban tanggung jawab ini? Saat ini sudah tidak ada perbedaan perlakuan antara wanita dan pria dalam menjalankan tanggung jawabnya termasuk sebagai pejabat. Faktor keberhasilan seseorang dalam memimpin atau menjabat, tidak ditentukan atas gender (laki-laki atau perempuan) melainkan kemampuannya menjalankan fungsi-fungsi management. Meskipun wanita, apabila dapat bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang diambil, maka tentunya akan dihormati. Sebaliknya, meksipun laki-laki tetapi tidak bisa melakukan tugas management dengan baik tentunya tidak akan berhasil dalam memimpin.
Bagaimana komentar terhadap jabatan yang sudah ibu emban dalam beberapa tahun terakhir? Bagi saya, menjalankan peran sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sama saja, artinya apapun jabatan itu adalah amanah yang diberikan Tuhan kepada kita untuk mengelola sebuah SATKER COREMAP II ini yang merupakan sebuah program yang besar. Maka, amanah ini harus kita jalankan secara bertanggung jawab dengan konsep keseimbangan dengan tidak melupakan kodrat sebagai wanita. Pada prinsipnya saya
yang diharapkan dapat menjadi jembatan atau komunikasi antara program dan masyarakat, kemudian menyusun Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). Setelah dokumen perencanaan ini matang, baru masyarakat melakukan kegiatan Mata Pencaharian Alternatif (MPA) yang disepakai dalam RPTK. Tiap langkah yang telah ditentukan, harus dilalui secara langkah demi langkah. Kita sudah sepakati bahwa program COREMAP II dilakukan berbasis keinginan masyarakat (bottom up approach). Peran pemerintah pusat terfokus pada pendampingan dan fasilitasi kegiatan. Kedepan kita berharap, daerah yang secara struktur masyarakatnya sudah lebih siap, dapat menjadi contoh daerah-daerah yang lain. Hal lain yang menjadi kendala adalah ketersediaan Sumber daya manusia (SDM) yang masih terbatas. Keterbatasan SDM ini dipengaruhi pula dengan aktifitas politik di daerah yang secara nyata juga mempengaruhi perkembangan program. Proses pengambilan keputusan politik di daerah, koordinasi antara pengelola program dengan lembaga-lembaga di daerah seperti BAPPEDA dan DPRD sedikit banyak mempengaruhi perkembangan program COREMAP II di daerah masing-masing. Dalam hal administrasi, SDM yang kita miliki juga masih ter-
Kunci keberhasilan Program COREMAP II adalah bersama dan bersatu padu dalam melaksanakan Program COREMAP II tidak bisa dengan sendiri-sendiri. Antara pemerintah pusat, daerah, pengusaha, swastas, NGO, eksekutif dan legislative harus bersama-sama sendiri-sendiri perlu koordinasi dan komunikasi yang baik dalam menjalankannya selain itu juga mempunyai tujuan dan sasaran yang sama dalam suatu program COREMAP II. Setiap komponen dikembangkan dengan tujuan agar suatu kawasan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk melindungi dan menjaga dari kegiatan-kegiatan yang merusak hingga pada akhirnya nanti partisipasi dan tanggung jawab pengelolaan program dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri. Pendekatan yang dilakukanpun mengedepankan karakteristik daerah-daerah masing-masing. Maka dari itu, komponen Penyadaran Masyarakat (Public Awareness) harus lebih proaktif dalam melakukan sosialisasi berdasarkan karakter dan budaya daerah setempat.
Apa komentar ibu terhadap pencapaian program COREMAP II khususnya di daerah. Kita sangat menyadari bahwa hingga saat ini, target pencapaian masih kurang dari sasaran yang telah ditentukan. Hal ini tentunya menjadi perhatian kita semua, karena kita juga tidak bisa memaksakan kehendak dengan menjalan program secara terburu-buru. Seperti halnya di tiap desa harus membuat Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK)
batas dalam menterjemahkan dokumen Program COREMAP II secara cermat. Belum lagi implementasinya di lapangan dengan berbagai kendala yang dihadapinya. Selain itu, kita perlu juga memperhatikan kesepakatan-kesepakatan (hukum) adat yang sudah dijalankan oleh masyarakat selama ini seperti halnya hak ulayat dan sebagainya. Meskipun demikian, satu pendekatan belum tentu dapat diimplementasikan di daerah yang lain mengingat latar belakang budaya yang berbeda.
Harapan untuk COREMAP II? Pertama di tingkap executing di semua lini, yang terlibat harus commit terhadap tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Kita juga harus meningkatkan koordinasi dengan daerah. Harapan saya bersama-sama melaksanakan konservasi terumbu karang. Kunci keberhasilan Program COREMAP II adalah bersama dan bersatu padu dalam melaksanakan Program COREMAP II tidak bisa dengan sendiri-sendiri. Antara pemerintah pusat, daerah, pengusaha, swastas, NGO, eksekutif dan legislative harus bersama-sama. Terumbu karang adalah common property yang penangannnya melibatkan banyak pihak (multi stakeholders). Kendala yang dihadapi sebenarnya adalah tantangan bagi kita untuk maju, semoga!!.
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
Gerak Sosialisasi COREMAP II
“Nelayan hanya boleh mengambil ikan di zona pemanfaatan, itupun dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan seperti pancing dan jaring insang (gill net)” demikianlah ungkapan Saudara Thamrin salah ketua Kelompok Masyarakat Pengawas di Sumatera Barat. Selain itu Thamrin juga menjelaskan tentang pentingnya melakukan upaya pengelolaan sumber daya laut dengan menjaga lingkungan pesisir kita. Penjelasan yang disampaikan memiliki kedalaman pengetahuan dan nilai-nilai konservasi yang sangat baik. Meskipun dalam kehidupannya, Thamrin sempat berpindah dari satu kota ke kota lain di Indonesia, namun pengetahuan secara khusus mengenai upaya pengelolaan dan konservasi sumber daya laut didapat dari sosialisasi yang dilakukan oleh Program COREMAP II sejak tahap pertama.
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Salah satu manfaat dari kegiatan sosialisasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, Bupati Kab. Mentawai mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pelarangan penggunaan terumbu karang sebagai bahan bangunan. Suatu kegiatan yang sebelumnya sangat marak dilakukan masyarakat di Kab. Mentawai. Kegiatan sosialisasi akan pentingnya ekosistem terumbu karang di propinsi Sumatera Barat mendapat porsi yang bagus. Ir. Zultani (alm), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Propinsi Sumatera Barat menjelaskan bahwa kegiatan sosialisasi program COREMAP II telah dilakukan dalam berbagai bentuk, diantaranya membentuk Forum Komunikasi Media Kelautan Perikanan se-Sumatera Barat. Forum ini terdiri dari perwakilan 16 media cetak dan elektronik yang berdomisili di Sumatera Barat. Kegiatan lain adalah pemilihan Uda dan Uni Terumbu Karang, yang merupakan cikal bakal Duta karang Indonesia.
Salah satu manfaat dari kegiatan sosialisasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, Bupati Kab. Mentawai mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pelarangan penggunaan terumbu karang sebagai bahan bangunan. Suatu kegiatan yang sebelumnya sangat marak dilakukan masyarakat di Kab. Mentawai. Kemudian pembentuk Kawasan Konservasi Laut daerah (KKLD) di Teluk Katurai dan Teluk Saibi Sikabua. Penetapan KKLD ini bersinergi dengan kawasan konservasi hutan yang berada di Pulau Siberut. Penetapan kawasan ini diharapkan akan diperkuat dengan SK Bupati untuk aturan pengelolaanya.
Kegiatan ini mengemuka pada saat kunjungan wartawan media cetak berskala nasional mengunjungi Propinsi Sumatera barat dalam kegiatan Overview Wartawan ke lokasi COREMAP II. Bersamaan dengan kegiatan tersebut, dilakukan pula persiapan kegiatan tenaga penyuluh yang sedang diseleksi untuk Kab. Mentawai. Ir. Chairil Anwar, selaku Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Mentawai menyampaikan informasi bahwa masyarakat asli Mentawai mempunyai karakteristik yang spesifik dimana kelompok perempuan sangat berperan (tulang punggung) di struktur keluarga masyarakat Mentawai. Program COREMAP II harus melakukan pendekatan untuk melibatkan kelompok perempuan lebih substantive melalui sosialisasi program.
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
Menyadarkan Masyarakat yang Merusak
Terumbu Karang
Masyarakat pesisir Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene Kepulauan (Pangkep) akhirnya menyadari jika ternyata ada cara yang lebih menguntungkan lagi dari usaha jual beli kepiting yang selama ini mereka lakoni. Maklum selama ini kepiting, kepiting yang mereka tangkap, berapapun ukurannya, langsung mereka jual. Padahal ternyata ukuran tersebut mempengaruhi nilai jualnya sendiri. “Jika ukurannya besar maka harganya pun tinggi tapi jika ukurannya kecil maka harganya pun relatif rendah,” jelas Hamzah Adam, salah satu nelayan Tekolabbua di Pangkep. Untuk lebih banyak mendapatkan harga yang tinggi akhirnya mereka pun menyiasatinya dengan menangkarkan terlebih dahulu kepiting-kepiting yang mereka anggap masih muda dan masih bisa dibesarkan lagi. Siasat tersebut nyatanya mereka peroleh setelah mengikuti berbagai penyuluhan yang digagas melalui pelaksanaan program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II). Merekapun kini merubah pola penangkapan menjadi budidaya. “Kami tak mengalami kesulitan sedikitpun saat menjalani perubahan pola ini,” jelas Hamzah Adam, salah satu nelayan Tekolabbua. Malahan, menurutnya dengan pola yang baru ini warga mendapatkan keuntungan ganda.
Pada Medio Mei 2007, dilaksanakan kegiatan overview wartawan dengan lokasi Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Berikut petikan artikel laporan perjalanan yang telah dimuat di majalah Samudra edisi Juni.
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Masyarakat pesisir Tekolabbua, Kecamatan Pangkajene Kepulauan (Pangkep) akhirnya menyadari jika ternyata ada cara yang lebih menguntungkan lagi dari usaha jual beli kepiting yang selama ini mereka lakoni.
jadi titik sosialisasinya di 6 kecamatan pesisir dan 1 kecamtan kepulauan yaitu Kecamatan Liukag Topak Biring.
“Karena dengan sistem penangkaran selain bisa menghasilkan jumlah yang lebih besar kamipun tidak akan kehabisan stok jualan,” jejas Hamzah. Maklum ketika pembukaan lahan tambah identik dengan penebangan mangrove, warga Tekolabbua justru mempertahankan keberadaan tanaman penahan ombak ini.
Khusus untuk kecamatan kepulauan ini, terdapat sekitar 40 pulau, 15 desa, dan 1 kelurahan. Setiap kecamatan tersebut memiliki karakter dan permasalahan yang berbeda-beda.
“Bahkan keberadaan mangrovemangrove ini justru menguntungkan bagi usaha budidaya mereka,” jelas Ir. Hasanuddin Muin, Coordinator Public Awareness COREMAP II Kabupaten Pangkep. Apalagi kerimbunan mangrove menjadi tempat yang cocok bagi kepiting untuk bertelur.
“Tapi sebagian besar adalah permasalahan penggunaan alat tangkap yang merusak ekosistem terumbu karang,” jelas Hj. Nuraidah SH, Wakil Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pangkep. Mereka antara lain menggunakan bahan peledak dan beracun untuk menangkap ikan.
Dengan panen seminggu sekali, bisa dikatakan kegiatan penangkaran kepiting selama ini dijalani sudah bisa menambah kesejahteraan taraf hidup warga Tekolabbua. “Untuk selanjutnya kami mengharapkan program COREMAP II yang selama ini sudah berjalan dapat lebih dioptimalkan,” ungkap Hamzah.
Sebagai contoh masyarakat di Pulau Karangan, Kecamtaan Liukang Tupak Biring banyak sekali nelayan yang melakukan pengambilan dan eksploitasi karang. Karena aktivitas tersebut sudah berlangsung selama tahunan dan cenderung telah mengakar, awalnya kita mengalami kesulitan untuk proses penyadarannya,” jelas Hasanuddin.
Payung Hukum yang Lebih Kuat Untuk kabupaten Pangkep, COREMAP II sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 2005 lalu. Ketika itu yang men-
Untuk menyiasati, maka melalui program COREMAP II diajak pula para tokoh masyarakat dan agama yang me-
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
Keindahan bawah laut perairan Sulawesi
Monitoring, Evaluasi dan koordinasi COREMAP II
di Nusa Tenggara Timur Sikka Maumere
Flores
“Intinya melalui program COREMAP II ini kita ingin mengajarkan kepada masyarakat bahwa akan ada nilai ekonomis lebih yang mereka dapatkan dari aktivitas menjaga kelestarian lingkungan,” miliki pengaruh besar dalam kelompok masyarakat tersebut. “Salah satunya melalui kegiatan dakwah yang kita sebut da’i pesisir,” kata Hasanuddin. Dengan cara tersebut secara perlahan pola dan kebiasaan merusak masyarakat pun bisa diminimalisir. Untuk lebih mempertegas larangan perusakan terhadap ekosistem terumbu karang, pemerintah kabupaten Pangkep pun telah memiliki payung hukum yang jelas. Antara lain melalui Peraturan Daerah (Perda) pesisir tahun 2007. Perda ini sekaligus melengkapi dan memperkuat keberadaan perda lainnya yang sudah terbentuk lebih dahulu, yaitu Perda Nomor 10 tahun 2001 yang memuat tentang larangan usaha yang mengarah pada perusakan ekosistem terumbu karang. Perda inilah yang sebenarnya menjadi payung hukum terhadap tindak an yang mengancam pada perusakan terumbu karang. “Hanya saja ketika itu perhatian masyarakat masih belum begitu besar, didukung pula dengan pengetahuan minim yang mereka miliki, “papar Hasanuddin. Hingga terkesan keberadaan perda tersebut selalu terabaikan.
10
BULETIN COREMAP II
Namun sejak program COREMAP II merambah ke Kabupaten Pangkep, sosialisasi dan penegakan hukum ini pun semakin dipertegas. Salah satunya, selain dengan mengajak aparat keamanan setingkat kepolisian, juga dengan membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas). Pokwasmas inilah yang bertugas melakukan pengawasan terhadap setiap tindakan merusak di masyarakat. Sementara aparat kepolisian menjadi perpanjangan tangan, sebagai penegak hukum, dari Pokwasmas tersebut. Hasilnya, bukan saja muncul kesadaran untuk tidak lagi merusak tapi juga ada kesadaran dalam kelompok masyarakat tersebut untuk saling mengingatkan agar tidak melakukan lagi kegiatan yang merusak.
Taman wisata laut daerah Keberhasilan lain yang bisa dilihat dari penjabaran Program COREMAP II di Kabupaten Pangkep adalah keberadaan Kawasan Taman Wisata Laut Daerah Kapoposan. Ini merupakan wilayah konservasi laut yang sudah sejak lama dikelola oleh badai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) daerah.
Volume 2 / 2007
“Dengan program COREMAP II, keberadaan kawasan konservasi ini semakin kita perkuat lagi, terutama dari segi kelembagaan dan pemberdayaan masyarakatnya,” jelas Hasanuddin. Langkah penguatan yang ditempuh antara lain pemberian bantuan sarana dan prasarana pendukung usaha warga juga pembinaan yang mengarah kepada pemberdayaan masyarakat. Yang tentunya tidak melupakan hakekat menjaga pelestarian dan keamanan ekosistem lingkungannya. “Intinya melalui program COREMAP II ini kita ingin mengajarkan kepada masyarakat bahwa akan ada nilai eko nomis lebih yang mereka dapatkan dari aktivitas menjaga kelestarian lingkungan,” kata Syahrun, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Dengan begitu, menurut Syahrun, jika COREMAP II bisa terlaksana dan terserap baik oleh masyarakat, maka bukan hanya segi kelestarian lingkungan yang terjaga tapi juga tingkat kese jahteraan dan taraf hidup masyarakat nya bertambah.
Unit Monitoring Evaluation and Feed Back (Monev) mengadakan kunjungan lapang yang dilakukan pada pertengahan bulan April 2007 ke Kupang (Nusa Tenggara Timur/NTT) dan Maumere (Kab. Sikka). Kunjungan lapang mempunyai tiga tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu: pertama, mengetahui pencapaian program COREMAP II di lokasi, memonitoring penerapan prosedur program dilaksanakan, dan ketiga mengidentifikasi problem yang dihadapi di lapangan. Melalui kunjungan lapang ini, Sekretaris Eksekutif bersama tim Monev yang terdiri dari Yuliaty Latief, MJ Sitepu, Celly Catharina dan Dian Fiana merekomendasikan beberapa hal, diantaranya adalah perlunya percepatan kinerja program COREMAP II baik di sisi administrasi maupun tiap komponen program seperti CBM, MCS, Penyadaran Masyarakat, Program Mitra Bahari. Disisi lain, melalui komponen Penyadaran Masyarakat, Regional Coordination Unit (RCU) NTT mengadakan sebuah kegiatan sosialisasi penyelamatan terumbu karang kepada sekitar 500 orang pelajar Taman kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT). Kegiatan terse-
but mengusung tema Gerakan bersih pantai, penanaman mangrove dan wisata kelautan di NTT. Kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Gubernur NTT, Drs. Frans Leburaya dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTT. Kunjungan koordinasi untuk komponen Penyadaran Masyarakat menuju desa Hoder Waigete, Sikka yang lokasinya berada di pesisir utara. Di desa Hoder, tim PA dan beberapa konsultan individu berdiskusi dengan Bapak Vincent yang telah mengikuti program COREMAP II sejak tahap pertama hingga saat ini. Dia merupakan salah satu anggota kelompok masyarakat konservasi di dusunnya. Menurutnya, program COREMAP II mempunyai konsep pengelolaan terumbu karang yang sangat bagus. Dia
Keindahan bawah laut Kabupaten Sikka
mengikuti berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh COREMAP II yang diselenggarakan di desanya maupun di kabupaten. Meskipun hingga saat ini belum menerima kucuran dana langsung dari masyarakat, namun sema ngat untuk menjaga dan melindungi dari serangan gelombang laut sangat diprihatinkan oleh Pak Vincent. “Bila kegiatan ekplorasi karang terus dilakuan, maka dalam waktu 10 tahun kedepan, rumah kami yang berjarak sekitar 300 meter dari pantai akan tenggelam” katanya dengan semangat. Pak Vincent berharap adanya tindakan yang tegas terhadap pihak-pihak yang masih saja melakukan eksplorasi karang tersebut.
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
11
Pengenalan Karang
Family Merulinidae Seri pengenalan jenis-jenis karang disadur langsung dari Buku Pengenalan Jenis-jenis karang di Kawasan Konservasi laut yang dikeluarkan oleh Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Terumbu karang adalah endapan-endapan massif yang penting dari kasium karbonat yang dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Antozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan tambahan dari alga berkapur dan orga nisme-organisme lainnya yang menghasilkan kalsium carbonat. Binatang karang merupakan makhluk hidup sederhana yang berbentuk tabung dengan mulut di bagian atas dan mulut ini pula berfungsi juga sebagai anus. Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi sebagai penangkap. Nama karang (coral) diberikan kepada ordo sclerectinia yang anggotanya mempunyai skeleton kapur keras. Ordo
sclerectinia dibagi atas kelompok yang membentuk terumbu (reef building) dan kelompok yang tidak membentuk terumbu. Kelompok yang membentuk terumbu dikenal dengan nama karang hermatipik yang memerlukan sinar matahari untuk kelangsungan hidupnya, dan yang tidak membentuk terumbu dikenal dengan nama karang ahermatipik yang secara normal lhidupnya tidak tergantung pada sinar matahari. Dilihat dari bentuk pertumbuhannya, karang dibedakan menjadi enam ka tegori utama yaitu: (1) karang bercabang, (brenching); (2) karang padat (massive); (3) karang mengerak (encrusting); (4) Karang Meja (tabulate); (5) karang berbentuk daun (foliose); (6) Karang jamur (mushroom).
Berdasarkan struktur geomorphologi dan proses pembentukannya, terumbu karang terdiri atas 4 (empat) tipe terumbu yaitu: (1) Terumbu karang tepi (fringing reef); (2) Terumbu Karang penghalang (barrier reef); (3) Terumbu karang cincin (atoll); (4) Terumbu karang takat/gosong (patch reef).
Beasiswa COREMAP II dikucurkan
Bulletin COREMAP II memperkenalkan Family Merulinidae. Ada dua spesies yang dibahas yaitu spesies Hydrophora microconos dan Hydropora rigida. Hydropora microconos dijumpai pada kedalaman 1 - 7 meter dengan ciri-ciri memiliki bentuk koloni massive dan bulat. Spesies ini umumnya memiliki warna krem, coklat dan hijau dan mempunyai kemiripan dengan spesies Hydropora exesa. Spesies Hydropora microconos banyak tersebar di perairan laut Merah, perairan Indonesia dan juga perairan Australia dengan habitatnya dijumpai di daerah bobah, reef slope dan juga perairan dangkal. Sementara Hydropora rigida dijumpai pada kedalaman 1-7 meter dengan koloni berbentuk aborescent tanpa ada perambatan pad adasar substrat. Umumnya berwarna krem atau hijau. Karang ini mempunyai kemiripan dengan karang Hydropora pilosa. Habitat karang ini banyak dijumpai pada di daerah gobah di perairan Nicobar, perairan Fiji, Indonesia dan perairan Australia.
Tri Iswari
Beasiswa untuk kelompok masyarakat usia sekolah sudah mulai digulirkan. Melalui Program Mitra Bahari (PMB) anak-anak di lokasi program COREMAP II sudah mulai mendapat perhatian khususnya dalam bidang pendidikan. COREMAP II memberikan dukungan biaya pendidikan kepada siswa yang sesuai kategori yang ditetapkan. Selain itu, bantuan juga diberikan kepada mahasiswa yang mengikuti program Praktek Kerja Lapang (PKL) di lokasi COREMAP II dan menekuni bidang Kelautan, Perikanan khususnya ekosistem terumbu karang.
Informasi lebih detail mengenai kegiatan beasiswa di Program Mitra Bahari (PMB) COREMAP II diperoleh dari Tri Iswari (Bu Is) selaku Asisten Konsultan untuk Program Mitra Bahari. Berikut petikan wawancara dengan Bu Is.
Tanya (T): Apa sebenarnya tujuan pemberian beasiswa ini? Bu Is: Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil pada umum nya berada pada situasi ekonomi yang marginal terutama untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Ada dua masalah besar, yaitu melanjutkan sekolah dan ancaman putus sekolah. Disisi lain dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) untuk pengelolaan terumbu karang cukup banyak. Menyikapi kondisi tersebut pemerintah melalui Program Mitra Bahari COREMAP II Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merasa terpanggil untuk memenuhi kesenjangan pendidikan teresebut melalui Program Beasiswa COREMAP II. Tujuannya adalah memberikan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa yang berprestasi secara akademik namun mengalami kendala ekonomi. Dengan program ini diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berpotensi dalam mempercepat pembangunan sektor kelautan khususnya rehabilitasi terumbu karang dan ekosistem yang berasosiasi.
T: Ada berapa macam jenis beasiswa yang diberi kan oleh Program Mitra Bahari COREMAP II?
Hydrophora microconos
12
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Hydropora rigida
!!!
J: Jenis beasiswanya adalah untuk SMP, SMA, Politeknik atau kursus kejuruan, S1 khusus untuk bantuan penulisan tugas akhir atau skripsi, S2 khusus, S3 khusus untuk bantuan penulisan desertasi, dan S2 sandwich master degree.
T: Bagaimana persyaratannya? Apakah ada preferensi bagi pemberian beasiswa? J: Beasiswa ini 80% diperuntukkan bagi anak yang orang tuanya berpenghasilan rendah, kemudian 20% bagi siswa yang berprestasi di bidang pengelolaan terumbu karang, serta anak-anak suku tertentu yang relatif tertinggal di ban ding penduduk pesisir lainnya.
T: Sejak kapan program ini mulai dilaksanakan? J: Sejak tahun 2006
T: Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? J: Mekanismenya adalah Pengelola Proyek di tingkat kabupaten atau Project Management Unit (PMU) menghubungi sekolah-sekolah di daerah, lalu melalui kepala sekolah melakukan rekruitmen disertai berkas-berkas pendukung. Kemudian semua ini diusulkan ke konsorsium Mitra Bahari yang ada di Propinsi untuk dilakukan verifikasi dan seleksi oleh ketua PMB. Hasil seleksi akan ditetapkan oleh Kepala Dinas untuk ditetapkan dalam Surat keputusan Kepala Dinas (SK Kadis).
T: Kendala apa saja yang sudah dihadapi dalam pelaksanaan beasiswa ini? J: Kendala administrasi seperti penerbitan Surat Edaran (SE). SE baru terbit tanggal 24 April 2007. SE menjadi salah satu persyaratan administrasi utama untuk pencairan dana beasiswa. Namun syukur Alhamdulillah, setelah SE terbit maka pencairan beasiswa akan lancar, Insya Allah. Kemudian berkas-berkas pengusulan dari sekolah-sekolah deerah memakan waktu yang cukup lama. Menyadari kendala ini, peran PMB di propinsi harus labih aktif dan persuasive kepada calon penerima beasiswa.
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
13
T: Bagaimana dengan sistem pembayarannya J: Setelah nama penerima beasiswa ditetapkan melalui SK Kepala Dinas, dan proses pencairan dana dilakukan selanjutnya dana penerima beasiswa akan langsung ditransfer ke rekening yang bersangkutan.
Meningkatkan
kepercayaan
Bank Dunia
Tim mission Bank Dunia kagum terhadap perkembangan Program COREMAP II. Bank Dunia yang diwailiki oleh Mr. Pawan Patil, Feddy Sondita, Unggul P, dan Bisma mendapatkan informasi yang utuh tentang berbagai persoalan yang dihadapi oleh COREMAP II secara keseluruhan. Review Mission yang dilakukan di Jakarta bertujuan untuk membahas berbagai persoalan yang dihadapi oleh COREMAP II dalam melaksanakan programnya. Satu per satu Presentasi yang disampaikan mulai dari tingkat NCU, RCU dan PMU menggambarkan kondisi di lapangan yang sangat membutuhkan perhatian lebih serius dari pengelola program termasuk Bank Dunia sebagai lembaga donor.
T: Komposisi besarnya bantuan yang diberikan oleh COREMAP II? J: Untuk tingkat SMP mendapat bantuan Rp. 500.000 tingkat SMA mendapat Rp. 700.000 S1 (penulisan) mendapat Rp. 1.000.000; S2 satu paket selama 6 bulan sebesar Rp. 6.000.000 sedangkan S3 satu paket mendapat 8 juta selama 6 bulan untuk penulisan. Jumlah yang menerima 75 orang SMA 75 orang.
T. Bagaimana dengan Beasiswa Sandwich Master degree? J: Beasiswa ini merupakan program sandwich master yang dilakukan oleh perguruan tinggi dalam negeri yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Program ini dilakukan selama 4 semester dengan 3 semester di dalam negeri dan 1 satu semester di luar negeri. Perguruan tinggi yang menye lenggarakan program ini harus memiliki kerjasama dengan universitas di luar negeri. Namun Perguruan tinggi penyelenggara di Indonesia belum ditentukan. Calon mahasiswa akan mendapat dukungan mengikuti kursus bahasa Inggris.
muan workshop review meeting tersebut, dan memberikan apresiasi kepada pengelola COREMAP II khususnya di tingkat PMU. Beberapa persoalan yang muncul pada saat dilksanakan Supervision Mission ke lokasi dibahas secara mendalam. Sehingga memperjelas persoalan yang timbul. Kemudian, solusipun dibicarakan dan di sepakati sebagai upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi.
Teknisnya pelaksanaan Program Beasiswa Sandwich Master Program COREMAP II adalah sebagai berikut: Pertama NCU membuka kesempatan kepada pengelola program COREMAP II yang berminat untuk melanjutkan studi tingkat Master. Peminat akan menyampaikan dokumen yang dipersyaratan. Dokumen ini selanjutnya akan di seleksi dan diverifikasi oleh Tim Seleksi Administrasi dari PMB Nasional. Untuk wilayah dengan bantuan Bank Dunia ada 30 orang yang lulus seleksi administrasi. Para calon mahasiswa yang lulus seleksi administrasi, akan lanjut kepada seleksi kemampuan Bahasa Inggris dan TPA. Hasil seleksinya sebanyak 25 orang untuk wilayah Timur Indonesia. Semua calon yang lulus akan mendapat Surat Keterangan (SK) dari Direktur Jenderal KP3K DKP. Semua calon yang lulus administrasi dan wawancara akan mengikuti kursus bahasa Inggris secara intensif di Jakarta. Semua biaya kursus akan di tanggung oleh NCU COREMAP II. Perkuliahan akan dimulai pada bulan Maret 2008. Selama kuliah, PMB Nasional akan membentuk tim konseling yang terdiri dari Prof. Daniel Monintja dan Tri Iswari untuk memastikan para mahasiswa dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapi selama kuliah. Sukses!!
Beberapa kali adu argumentasi terjadi antara peserta workshop, tak jarang membuat Direktur NCU COREMAP II, Ir. Yaya Mulyana mengklarifikasi dan menjelaskan berbagai persoalan. Suasana pertemuan yang dinamis dan kondusif namun tetap pada koridor kebersamaan, membuat workshop progress review menjadi ajang pertemuan yang sangat produktif. Mr. Pawan Patil pada akhir pertemuan mengatakan kekagumannya pada perte-
Koordinasi antara elemen program di seluruh tingkatan menjadi isu utama dalam workshop progress review ini. Implementasi program COREMAP II melibatkan banyak sekali instansi yaitu Departemen Ke l a u t a n d a n Pe r i k a n a n s e b a g a i Executing Agency (EA) bersama LIPI dan Departemen Kehutanan di tingkat Pusat. Sementara di Daerah (Propinsi dan Kabupaten) melibatkan Dinas Kelautan dan Perikanan bersama dinas terkait dan juga Bappeda, kemudian keterlibatan Perguruan Tinggi dan LSM. Keterlibatan instansi tersebut dimuat dalam dokumen perencanaan Prog ram COREMAP II bantuan WB pada dokumen Project Appraisal Document (PAD). Dokumen ini menjadi acuan tiap kegiatan monitoring oleh Bank Dunia termasuk Mid Term
Review (MTR) yang akan berlangsung pada awal tahun 2008. Marine Management Area (MMA) atau K awasan Konser vasi Laut Daerah (KKLD) menjadi isu hangat yang dibahas secara mendalam. Pemahaman dan definisi mengenai KKLD serta penerapannya di lapangan, menjadi tantangan berat program ini. Penerapan konsep KKLD di lapangan ternyata tidak sesederhana teoriteori yang seringkali di bahas di Jakarta atau forum-forum berskala nasional. Mengenai isu MMA dan KKLD, Direktur NCU, Ir. Yaya Mulyana, yang sehari-hari menjabat sebagai Direktur Konservasi Taman Nasional Laut DKP, memberikan gambaran yang sangat rinci dan contoh penerapan konsep KKLD di Raja Ampat. Penjelasan ini tentunya memberikan kemudahan dalam memahami dan mene rapkan konsep KKLD di lapangan. Di akhir acara, Dr. Pawan Patil merasa senang dan sangat percaya akan kemajuan Program COREMAP II di kemudian hari. Diharapkan pula bahwa semangat yang ditunjukkan oleh pengelola COREMAP II pada pertemuan tersebut menjadi dasar kemajuan di daerah.
Progress Review COREMAP II oleh Bank Dunia
14
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
15
“Bukan main indahnya”. Begitulah decak kagum yang meluncur secara spontan dari bibir Dr. gery Allen, setelah ahli biologi laut dari Australia itu menyembulkan kepalanya di atas perairan Kepulauan Raja Ampat. Keindahan bawah laut yang berada di kawasan “kepala burung” pulau Papua itu memang tak perlu disansikan lagi.
Lebih dari setengah jumlah spesies terumbu karang di dunia ini ada di kepulauan Raja Ampat. Tapi, kondisinya dikhawatirkan bakal rusak karena terancam ekplorasi secara serampangan.
kadang melintasi kawasan ini. “Di beberapa tempat seperti di Salawati, Batanta, dan Weigeo, kadang kita juga melihat keluarga dugong (ikan duyung), “tutur Alen. Seluruh kekayaan biota laut yang ada diperairan Raya Ampat tadi, bisa dibilang, memiliki skala keaslian terbesar (sekitar 75%) yang masih tersisa di dunia. Oleh karena itu, tak salah jika kawasan ini layak menyandang sebutas sebagai “The Heart of The World Coral Triangle” (Jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia). Dan yang menariknya, untuk menikmati keasrian panorama diperairan Raja Ampat, kita tak harus menyelam hingga ke dasar seperti yang telah dilakukan oleh Alen. Sebab, di beberapa tempat, seperti di perairan dekat kampong Saondarek, kita bisa menyaksikan seluruh keindahan itu dari atas permukaan air.
“Bukan main indahnya”. Begitulah decak kagum yang meluncur secara spontan dari bibir Dr. Gery Allen, se telah ahli biologi laut dari Australia itu menyembulkan kepalanya di atas perair an Kepulauan Raja Ampat. Keindahan bawah laut yang berada di kawasan “kepala burung” pulau Papua itu memang tak perlu disansikan lagi.
Kayangan itu ada di kepala
Papua
16
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Selain itu pula, masih banyak situs lain yang tak kalah menawan yang ada di permukaan, diantaranya yakni berbagai artefak peninggalan budaya kuno yang tersebar di 1.500 pulau karang yang ada di sana. Kawasan seluas sekitar 43.000 kilometerspersegi ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang tak kalah menarik, seperti berbagai kelelawar, burung cenderawasih merah, kuskus, ular, kodok, kadal, dan ikan darat dari jenis ikan pelangi di pulau lainnya, bahkan kita bisa menjumpai ragam tumbuhan langka seperti anggrek dan kayu merbabu.
Bagaimana tidak? Di perairan tersebut, hingga saat ini masih hidup tak kurang dari 537 spesies terumbu karang yang sudah sulit ditemukan di tempat lain di jagat ini. Itu belum termasuk biota langka lainnya, seperti 1.047 jenis ikan, 699 jenis moluska, dan sedikitnya 5 jenis penyu khas yang hanya hidup di sana. Spesies unik lainnya yakni bebe rapa jenis pigmy seaborse (kuda laut mini), wobbegong, dan manta ray (ikan pari). Ada juga jenis ikan endemic eviota raja seperti ikan gobbie. Saat melakukan penyelaman, Allen menggambarkan bahwa di Manta Point yang terletak di Arborek Selat Dampier, ia kerap ditemani beberapa ekor manta ray yang jinak, atau mengamati penyu yang tengah melahap sponge. Dan yang tak kalah mengasyikkan adalah saat-saat melintasi perairan dekat Cape Kri atau Chicken Reef. Di sana, kata Alen, para penyelam akan ditemani oleh ribuan ikan, seperti gerombolan ikan tuna, giant trevally, snappers, atau barakuda. Barisan hiu karang juga
Pendek kata, kemolekan alam yang ada di kawasan Raja Ampat bak kehidupan di kayangan layaknya dalam dongeng para dewa, asri dan sangat indah. Oleh sebab itu, wajar jika kawasan ini kini mejadi perhatian dunia. Tak kurang dari kalangan peneliti, penggiat lingkungan, para penyelam professional, serta wisatawan asing sangat antusias melakukan penelitian serta menikmati kekayaan hayati di kawasan ini.
Yang Kondisinya Masih Baik Tinggal 60% Nah, bagi yang berminat mengunjungi kawasan ini, mereka bisa menggunakan speed boat dari Pelabuhan Sorong. Untuk itu, hanya dibutuhkan tempo perjalanan sekitar 2 jam. Dus, sebenarnya pula, wilayah ini sangat berpotensi dikembangkan menjadi kawasan wisata dunia.
Keindahan bawah laut Raja Ampat
Tapi, persoalannya jika akses ke sana dibuka selebar-lebarnya tanpa memperhatikan aspek keamanan lingkungan (layaknya yang dialami oleh kawasan konservasi alam lainnya) niscaya hal itu akan berdampak buruk terhadap kelestarian alam
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
17
budaya masyarakat setempat dalam melindungi kekayaan alamnya.
Agar tindakan perusakan lingkungan di sana tidak semakin meluas, maka pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan) bekerjasama dengan berbagai kalangan diantaranya Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy dan Pemerintah Daerah Raja Ampat harus segera melakukan berbagai program pelestarian di Raja Ampat. Kekhawatiran yang sebenarnya amat beralasan. Kegiatan yang dipicu oleh semangat komersialisasi nyatanya mulai marak di beberapa tempat. Mereka tak segan-segan memanfaatkan batu karang dan pasir untuk digunakan sebagai bahan bangunan, serta menebang hutan bakau untuk membuka jalan. Dan berdasarkan pengamatan Chritovel Rotinsulu, Project Leader Conservation International Indonesia, kondisi terumbu karang yang ada di Kabupaten Raja Ampat saat ini, hampir 17% di antaranya mengalami kerusakan. Tinggal 60%-nya yang kondisinya masih baik. Kerusakan tersebut juga disebabkan oleh salahnya pola penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat, yang
18
BULETIN COREMAP II
tidak memedulikan aspek keamanan lingkungan, seperti menggunakan bahan peledak, menebar potassium (racun), menjaring dengan pukat harimau, serta penangkapan dengan menggunakan kompresor. “Cara-cara seperti itu, jelas akan merusak ekosistem di sana,” kata Christovel. Penangkapan ikan dengan bom, menurut Jufri Macap (tokoh pemuda Raja Ampat), sebenarnya pula banyak dilakukan oleh nelayan yang berasal dari luar kepulauan Raja Ampat, termasuk diantaranya gerombolan nelayan asing. “Para nelayan asing bisa bebas berkeliaran di sini karena kurangnya patroli dari pihak keamanan,” tuturnya. Masyarakat Kepulauan Raja Ampat sendiri, tambah Jufri, sangat patuh terhadap Sasi, yakni
Volume 2 / 2007
Sasi sepenuhnya dikontrol oleh para tokoh adat. Oleh karena itu, masyarakat nelayan di Kepulauan Raja Ampat akan melaut pada musim-musim tertentu saja. Jika ada yang melanggarnya, mereka akan dikenai hukuman secara adapt pula, seperti membayar sejumlah denda. “Atau dilarang menangkap ikan selama satu musim. Hukum adat ini juga berlaku bagi siapa saja,termasuk nelayan asing, “kara Jufri. Agar tindakan perusakan lingkungan di sana tidak semakin meluas, maka pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan) bekerjasama dengan ber bagai kalangan diantaranya The Nature Conservancy dan Pemerintah Daerah Raja Ampat- harus segera melakukan berbagai program pelestarian. Untuk itu, menurut Direktur Pulau-Pulau Kecil, Alex Retraubun, seyogianya semua elemen masyarakat bersatu untuk menjaga dan melindungi alam di lingkungan nya. Diharapkan, hal tersebut akan memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara nasional, program tersebut dituangkan dalam “Coral Reef dan Management Program II” (COREMAP II) yang dicanangkan sejak Agustus 2005. Cakupan kegiatannya antara lain memberdayakan masyarakat pesisir, mengurangi laju degradasi terumbu karang berdasarkan karakteristik ekosistemnya. Sejatinya, “Melindungi terumbu karang ibarat menanam investasi besar untuk anak cucu, “tutur Alex.
Musyawarah Nasional Terumbu Karang
“Reef for Welfare” Coral Reef Rehabilitation and Mana gement Program (COREMAP II) merupakan salah satu bentuk upaya Pemerintah Indonesia dalam memberdayakan dan mendukung masyarakat pesisir untuk mengelola dan memanfaatkan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Beberapa program juga dilakukan oleh lembaga dan institusi sebagai wujud peran serta aktif dalam mengelola dan melakukan konservasi terumbu karang Indonesia. Menyadari akan banyaknya kelompok maupun individu yang terlibat dalam pengelolaan terumbu karang, sebuah pertemuan berskala Nasional dalam bentuk Musyawarah Nasional (MUNAS) akan diselenggarakan.
Munas bertujuan meningkatkan pemahaman bersama antara stakeholders di pusat maupun daerah dalam upaya penyelamatan terumbu karang Indonesia. Diharapkan Munas Terumbu Karang akan menghasilkan kesepakatan Masyarakat Pemerhati Terumbu Karang Indonesia (Indonesia Coral Reef Society). Selain itu, Munas Penyelamatan Terumbu Karang membahas bebe rapa topik tentang isu pengelolaan terumbu karang dalam bentuk mini symposium; dan juga Pameran ke giatan yang berkaitan dengan Terumbu Karang Indonesia.
Munas Terumbu Karang yang baru pertama kali dilakukan ini diselenggarakan pada tanggal 10 - 11 September 2007, di Hotel Mercure, Ancol Jakarta.
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
19
Call of The Wild Oleh: Yaya Muyana dan M. Eko Rudianto
Mr. Chairman, United States of America would like to withdraw our proposal No. 19 on Banggai Cardinal Fish ………… Sepenggal kalimat dan pernyataan yang disambut dengan tepuk tangan tertahan dan tarikan nafas lega oleh delegasi Indonesia. Kamipun saling berjabat tangan dengan wajah sumringah menyambut pernyataan ini. Semua adalah hasil kerja keras dan panjang dari seluruh anggota delegasi, bahkan sebelum berangkat ke Den Haag, Netherland untuk menghadiri Sidang CoP 14 CITES. COREMAP II yang kali ini diwakili oleh Yaya Muyana, Direktur PMO/NCU COREMAP II dan M. Eko Rudianto, Project Manager COREMAP II, ikut merasa beruntung dan bangga menjadi anggota delegasi Indonesia tersebut. Pada CoP ke 14 CITES kali ini Amerika Serikat (USA) melalui proposal No. 19 berusaha memasukan ikan Cardinal Banggai (Pterapogon kauderni) ke dalam Apendiks II. (lihat cerita box: “Ikan yang bikin heboh”). Proposal tersebut disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti New Jersey Academic of Aquatic Sciences Mr. Alejandro Vageli, hasil penelitiannya di Banggai selama beberapa tahun. Pihak Indonesia tentu saja cukup terkejut dengan proposal tersebut karena konsultasi belum dilakukan secara intensif. Oleh sebab itu sikap Indonesia adalah menolak proposal tersebut dan upaya untuk menekan USA mencabut usulannya telah dilakukan sejak hari pertama dengan melakukan berbagai langkah. Langkah awal adalah menerbitkan leaflet tentang posisi Indonesia yang menolak usulan Amerika tersebut sekaligus membuat dan membagikan pin. Leaflet dan pin tersebut berulangkali ditutupi oleh leaflet cardinal fish yang diterbitkan oleh LSM
20
BULETIN COREMAP II
yang mendukung proposal Amerika, dan setiap pagi leaflet tersebut kami pindahkan posisinya keatas, dan ditambahkan bila sudah habis. Pada setiap kesempatan bertemu delegasi lain, DELRI juga minta dukungan mereka untuk menolak proposal Amerika tersebut. Pertemuan informal dengan pihak USA juga bahkan sudah dilakukan sejak hari pertama sidang dilakukan, diikuti de ngan pertemuan-pertemuan berikutnya. Pihak USA dalam setiap pertemuan terlihat semakin melunak dan berulangkali menawarkan agar Indonesia dapat sepakat agar proposal tersebut dapat diterima bila dimasukkan dalam appendiks III CITES. Pertemuan terakhir 2 jam sebelum proposal tersebut dibahas, juga gagal memperoleh kesepakatan. Tapi penulis waktu itu merasa bahwa sepertinya Amerika akan tidak terlalu ngotot lagi, dan pimpinan delegasinya sempat ngomong ke DELRI, “we will present our short intervention, then we’ll see where it goes ……”.
Volume 2 / 2007
yang menyatakan bersedia untuk berbicara antara lain Australia, Cina, Jepang, Kamboja, Thailand, Iran, Argentina, Qatar, beberapa negara Afrika, Uni Emirat Arab, LSM SMS dan FAO. Lobby tersebut juga ditempuh dengan cara tukar menukar dukungan terhadap proposal masing-masing.
Tampaknya seluruh upaya dan kerja keras tersebut memberikan hasil, setelah USA menyampaikan proposalnya, dan Indonesia menolaknya dengan alasan pokok untuk melindungi masyarakat setempat, berturut-turut negara lain menyatakan juga keberatannya atas listing tersebut. Australia, Cina dan Argentina
misalnya menekankan pentingnya national management measures untuk spesies endemic tersebut dibandingkan dengan memasukkannya kedalam listing. Iran mempertanyakan tentang legalitas penelitian yang dipakai sebagai dasar proposal. Jepang memperkuat dengan alasan bahwa semua pihak diharapkan memberikan kesempatan terhadap Indonesia untuk mengelola species dimaksud dan Thailand menyatakan bahwa menurut FAO proposal tersebut tidak memenuhi kriteria biologi dan FAO menyatakan bahwa expert panel mereka juga menolak masuknya species ini kedalam listing karena tidak memenuhi persyaratan biologi utamanya dari segi produktivitas dan tingkat
Yaya Mulyana dan M. Eko Rudyanto di Den Haag
Pada hari ketiga sidang, pada saat break lunch, Mr. Vagelli dengan fasilitasi LSM Special Species Network (SSN) menyampaikan presentasi tentang perlunya memasukkan BCF kedalam Appendiks II CITES. DELRI juga hadir pada pertemuan tersebut dan menyampaikan berbagai argumen ilmiah untuk membantah apa yang disampaikan Vagelli. Sebagai tambahan, Indonesia menyampaikan bahwa penelitian yang digunakan sebagai dasar penyusunan proposal tersebut adalah ilegal karena tidak memenuhi prosedur sesuai dengan Kepres No. 100 tahun 2002. Pertemuan side event tersebut menjadi cukup menghangat, dan dari pengamatan penulis, terlihat beberapa kelompok audience terpengaruh dengan pernyataan keras DELRI. Langkah strategis lainnya yang dilakukan DELRI adalah melakukan lobby terhadap beberapa negara untuk mendukung Indonesia dan meminta mereka untuk melakukan intervensi pada saat proposal tersebut dibahas. Negara dan lembaga
Upacara Pembukaan CoP ke 14 CITES di Den Haag
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
21
penurunan populasi. Berbagai keberatan tersebut akhirnya mendorong USA untuk menyatakan mundur seperti yang dikutip pada awal tulisan ini, yang memang sejak awal juga sudah mulai gamang terhadap proposalnya sendiri. Itulah sekelumit drama pembahasan salah satu proposal di CoP 14 CITES kali ini yang mengambil tema besar ”CALL OF THE WILD”. Proposal No 19 tersebut merupakan bagian dari 70 agenda pembahasan dan 37 proposal untuk amandemen apendiks CITES. Mengingat banyaknya topik yang perlu diputuskan, tak heran bila pembahasannya memakan waktu sampai 14 hari, yang dimulai pada tanggal 3 sampai dengan 15 Juni 2007 di Kota Den Haag, 1 jam perjalanan dari ibukota Belanda, Ámsterdam. Penulis harus terbenam dan terpaksa menikmati kota Den Haag yang dingin dan sepi selama setengah bulan. Untung saja tidak sulit menemukan kedai nasi disekitar hotel tempat kami menginap, bahkan pada saat break makan siang, kami masih sempat jalan kaki ke KBRI untuk nongkrong di kedai nasinya yang murah dan nikmat luar biasa. Pada pertemuan kali ini, cukup banyak juga draft decision terkait Marine Aquatic Species yang dibahas. Sebanyak 14 dokumen didiskusikan dan 7 spesies diusukan untuk masuk pada appendix I atau apendiks II. Species-species tersebut antara lain teripang (Sea cucumber); cetaceans; porbeagle sharks (Lamna nasus), spiny dogfish (Squalus acanthias), sawfish (Pristidae spp.), european eel (Anguilla anguilla), red and pink coral (Corallium spp). Teripang diserahkan pada FAO untuk didiskusikan dalam waktu dekat un-
Kedepan, sangat diyakini bahwa pembahasan species-spesies aquatik akan semakin banyak, karena meningkatnya kesadaran untuk perlindungan satwa liar di perairan. Sejauh ini, mekanisme CITES dianggap cukup ampuh untuk membatasi perdagangan internasional satwa liar dengan adanya sanksi yang diterima oleh negara anggota apabila mereka melanggarnya. (Lihat Box “Apa itu CITES”). Tak heran kalau pertemuan kali ini diikuti oleh 1.900 orang dari 171 negara, termasuk LSM dan organisasi lingkungan lainnya. Untung saja selama 2 minggu mengikuti sidang CITES, kami berkesempatan berkunjung ke lapangan pada hari Sabtu dan Minggu, pada saat sidang libur. Hari Sabtu, panitia CoP 14 mengorganisasikan kunjungan ke bea cukai pelabuhan Roterdam untuk melihat bagaimana kondisi di lapangan mangawasi spesies yang masuk listing CITES untuk diimpor atau diekspor secara teregulasi. Pelabuhan Roterdam sendiri merupakan pelabuhan terbesar di Eropa dengan 500 pelayaran terjadwal dan terhubung dengan 1000 pelabuhan lain di dunia. Pada tahun 2005 jumlah barang yang masuk dan keluar melalui pelabuhan ini
Upaya pengawasan perdagangan hewan di kantor Duane Den Haag
22
BULETIN COREMAP II
scan yang bekerja secara hidraulik. Container akan melewati lorong x-ray scan yang membutuhkan waktu 3 menit, dan seluruh proses scanning sampai direlease hanya membutuhkan waktu 15 menit. Apabila dijumpai gambar yang mencurigakan, baru dilakukan pembongkaran secara fisik terhadap container tersebut. Selain itu, pihak Bea Cukai juga dibantu oleh pasukan anjing pelacak, untuk mendeteksi produk tembakau, mariyuana dan bahan-bahan peledak.
tuk menyusun pola pengelolaan yang berkelanjutan. Usulan Jepang untuk peninjauan kembali listing Cetaceans ditolak oleh sidang. Porbeagle sharks dan spiny dogfish ditolak usulannya untuk masuk listing appendiks II. Sementara itu sawfish (Pristidae spp.), european eel (Anguilla anguilla), serta red and pink coral (Corallium spp) berhasil diadopsi CoP 14 untuk masuk dalam appendiks II CITES dengan beberapa perkecualian.
Volume 2 / 2007
Sistem pemeriksaan seperti tersebut diatas, disamping mempercepat proses keluar masuk barang, juga cukup efektif. Selama ini telah cukup banyak endangered species, baik hidup maupun produknya yang berhasil dicegah masuk kedaratan Eropa. Beberapa diantaranya yang berhasil ditemukan seperti gading gajah, kima, kulit beruang dan harimau, bahkan pernah juga ditemukan anak gajah hidup di dalam container. Saat ini anak gajah tersebut masih dititipkan di Kebun Binatang di Belanda. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa control terhadap perdagangan satwa liar cukup ketat dan sekaligus menjadi bukti bahwa CITES tidak hanya berhenti di kertas, tapi benarbenar terimplementasi di lapangan.
Spesies yang menjadi pembicaraan di Cop 14 CITES
sebesar 370 juta metric ton. Pelabuhan ini, termasuk kawasan industrinya terbentang sepanjang 40 km seluas 10.000 ha, berhadapan langsung dengan North Sea Eropa. Pelabuhan ini pada tahun 2005 merupakan pelabuhan terbesar ketiga didunia setelah Shanghai dan Singapore. Pengawasan keluar masuk barang ditangani oleh pihak Bea dan Cukai termasuk juga pengawasan spesies-spesies yang masuk kedalam listing Apendiks I dan II CITES (bekerjasama dengan Ministry of Agriculture, Nature and Food Quality). Untuk melakukan pemeriksaan terhadap barang yang keluar masuk, dilakukan dengan sistem sampling. Container yang terpilih untuk diperiksa yang tentunya didasarkan pada informasi pendahuluan yang akurat akan discan melalui peralatan container
Satu hal yang perlu ditiru adalah ketaatan para petugasnya dalam menerapkan aturan yang ada. Peraturannya sangat sederhana yaitu tahan barang yang dilarang dan loloskan barang yang lengkap dokumennya dan secara aturan diijinkan memasuki pasar Eropa. Ketaatan itu rupanya tidak hanya dimiliki oleh para petugasnya, tapi juga oleh masyarakat disana. Waktu kami menyusuri pelabuhan tersebut termasuk menyusuri ping-
Kebersihan dan keteraturan itu juga terlihat pada saat kami menyusuri kanalkanal di kota Amsterdan keesokkan harinya. Tadinya kami berpikir bahwa kota itu terawat dan bersih karena penduduknya yang sedikit. Tapi, hipotesis itu dimentahkan, karena saat menyusuri jalan-jalan di kota Amsterdam, kami melihat ribuan manusia berlalu lalang, lengkap dengan bus, mobil, trem dan kereta. Anehnya, bau polusi tidak terasa dan sebaran sampah dijalan-jalan, juga tidak terlihat.
Sungguh sebuah pengalaman yang sangat lengkap. Setengah bulan di negeri orang merupakan kesempatan belajar yang luar biasa (plus bonus keberhasilan Indonesia mempertahankan ikan eksotisnya untuk tidak masuk listing CITES, terpilihnya perwakilan Indonesia Dr. Tukirin Partomihardjo sebagai anggota Plants Committee dan ditolaknya usulan Philiphine untuk memasukkan Cacatua goffini - burung cacatua endemik dari Kepulauan Tanimbar- hasil penangkarannya untuk diijinkan diekspor). Belajar dari gigihnya sekelompok manusia menanggapi Call of the Wild, untuk menjaga kelestarian warisan flora dan fauna sampai dengan disiplinnya masyarakat di Negara sana menegakkan aturan, mengelola sumberdayanya secara baik dan menjaga keteraturan dan kebersihannya, yang pada gilirannya alam memberikan kembali kepada kita rejeki, kelimpahan dan kesejahteraan yang tak ada habisnya.
Amsterdam sendiri merupakan kota yang sebagian besar berada dibawah permukaan air laut, sehingga sangat tergantung pada sistem kanal dan bendungan. Sistem tersebut yang dimanaje secara baik, telah berhasil menghindarkan Amsterdam dari langganan banjir setiap tahun. Bahkan kanal-kanalnya sekarang mungkin menghasilkan jutaan dollar dari wisatawan yang berjumlah 2,5 juta setiap tahunnya. Tak heran jika pemerintah kota Amsterdam menjaganya dengan baik. Setiap malam kanal-kanal tersebut dibersihkan, dan tentu saja tidak ada lagi limbah cair dari industri dan rumah tangga yang langsung dialirkan ke kanal-kanal tersebut tanpa diolah terlebih dahulu.
Memang beruntung, kami sebagai pengelola COREMAP II dapat hadir dalam hingar bingarnya dunia mencoba menyelamatkan sumberdaya alamnya yang sangat terbatas itu. Sumberdaya alam yang sebagian kebetulan berada di rumah kita tetapi sesungguhnya bukan milik kita. Mereka adalah warisan dunia dan titipan anak cucu kita. Pertemuan dan perjalanan ini memberikan inspirasi dan semangat bagi kita untuk dapat mengelola COREMAP II secara lebih baik lagi, sehingga tujuan yang dicita-citakan untuk menyelamatkan termbu karang dunia ini dapat terwujud. Kerja keras, kerja cerdas, kerjasama dan bekerja dengan hati adalah kunci untuk mewujudkannya. (ym & mer)
giran kota Roterdam dari laut dengan menaiki kapal kecil yang bersih dan terawat, terlihat semuanya serba teratur, terawat dan bersih. Kesan pelabuhan dan laut yang bau amis dan kotor sama sekali tidak terlihat. Ikan terlihat berenang kesana kemari dengan bahagianya, pohon-pohon pantai yang menghijau dan kondisi perairan yang bebas polusi, sungguh menyejukkan mata.
Tempat-tempat menarik di kota Den Haag
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
23
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sendiri, yang disepakati oleh 80 negara di Washington DC pada tahun 1973. Organisasi ini dibentuk untuk membatasi perdagangan internasional satwa liar. Perdagangan internasional satwa liar tersebut diyakini memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap menurunnya jumlah berbagai spesies flora dan fauna di dunia ini. Pada saat ini tercatat 171 negara menjadi anggotanya. Setiap 2 tahun sekali organisasi ini mengadakan pertemuan yang disebut dengan Conference of the Parties (CoP) untuk menyepakati berbagai keputusan termasuk mengamandemen apendiks I dan II. Tujuan CITES adalah untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesies flora dan fauna liar tidak menyebabkan kepunahan spesies tersebut. Anggota CITES mengatur perdagangan satwa liar melalui peraturan dan kontrol terhadap
Agar spesies dapat dimasukkan kedalam apendiks I atau II, anggota CITES perlu mengirimkan proposal yang didukung dengan data ilmiah dan biologi tentang populasi dan trend perdagangannya. Proposal tersebut akan dibahas pada CoP, dan bila diterima oleh 2/3 anggota yang hadir (dengan quorum kehadiran 2/3 dari anggota CITES), maka proposal tersebut akan diadopsi dan mengikat terhadap seluruh anggota. Apabila kemudian, dirasakan bahwa perdagangan akan meningkatkan atau menurunkan jumlah populasi spesies tertentu, maka akan diusulkan transfer antar apendiks atau bahkan dikeluarkan dari apendiks. Pada saat ini terdapat 5.000 spesies fauna dan 28.000 spesies flora diproteksi melalui 3 apendiks CITES. Setiap anggota perlu meregulasi perdagangan internasional melalui system perijinan dan sertifikat untuk mengekspor dan impor spesies yang masuk listing terse-
CITES harus mengelola data populasi dan perdagangan spesiesnya dan mengirimkan laporan setiap tahun kepada CITES. Sementara itu didalam CITES sendiri terdapat beberapa committee antara lain Standing committee (SC) dan 3 scientific committee yaitu Plant Committee (PC), Animal Committee AC), dan the Nomenclature committee (NC). Pertanyaannya adalah apakah selama ini CITES efektif dalam mengatasi kepunahan spesies tertentu. Untuk perdagangan internasional, CITES dinilai cukup efektif. Hal ini tergambar dari usianya yang sudah mencapai 30 tahun dan anggotanya yang semakin bertambah setiap tahun. Perdagangan internasional satwa liar selama ini juga cukup terkendali, utamanya yang akan masuk pasar Eropa dan Amerika Utara. Namun demikian, kelestarian flora dan fauna tidak semata tergantung pada pembatasan perdagangan. Banyak hal lain yang harus dilakukan antara lain
Apa itu spesies yang termasuk kedalam 3 macam Apendiks CITES, apendiks I, II dan III. Apendiks I berisikan list flora dan fauna yang terancam punah karena perdagangan internasional. Perdagangan spesies pada apendiks ini pada umumnya dilarang dan hanya diijinkan untuk pengecualian yang sangat khusus. Apendiks II berisikan daftar flora dan fauna liar yang terancam punah bila perdagangan internasionalnya tidak diregulasi. Oleh sebab itu mereka membutuhkan kontrol dengan tujuan agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan. Salah satu alat yang digunakan adalah sistem kuota yang diperbolehkan untuk perdagangan internasional yang masuk dalam apendiks ini. Sedangkan spesies yang masuk dalam apendiks III adalah spesies yang kontrol perdagangannya diatur oleh aturan nasional dan penga turan perdagangan internasionalnya diatur oleh negara itu sendiri dengan negara rekan dagangnya.
24
BULETIN COREMAP II
but. Setiap anggota perlu menetapkan peraturan nasional yang antara lain untuk menetapkan management authority yang mengatur sistem perijinan dan menerbitkan sertifikat berdasarkan saran dari scientific authority yang akan menetapkan kuota perdagangannya dan masukan ilmiah. Kedua otoritas tersebut juga akan membantu CITES untuk enforcement-nya melalui kerjasama dengan customs, polisi atau lembaga lainnya. Setiap anggota
Volume 2 / 2007
menjaga habitatnya, mengelola spesiesnya dengan menetapkan management measure yang tepat. Dan langkah-langkah itulah yang sedang dilakukan oleh COREMAP II dalam menjaga kelestarian terumbu karang. Belajar dari CITES mendorong kita untuk mengelola sumber dengan baik, karena bila tidak maka tekanan Internasional semakin besar dan kita dipaksa harus menjaga sumber daya kita karenanya. (ym & mer)
Ikan Yang Bikin Heboh Itu Ikan Cardinal Banggai (Pterapogon kauderni) pasti memiliki nama lokal, tapi sampai dengan saat ini kami belum memperolehnya. Ikan yang cukup terkenal dikalangan hobbyist ini sayangnya kurang mendapat perhatian di dalam negeri, sampai dia diusulkan oleh seorang peneliti USA untuk dimasukkan kedalam Apendiks II CITES. Ikan ini juga diusulkan untuk dimasukkan ke dalam IUCN Red List dengan status Critically Endangered. Alasan utamanya adalah bahwa ikan ini hanya terdistribusi pada kawasan yang sangat terbatas, low fecundity dan dieksploitasi secara intensif oleh para nelayan dan pedagang. Gerakkannya yang lamban dan berada di perairan dangkal, memudahkannya untuk ditangkap. Species ini tersebar pada kawasan yang sangat terbatas sekitar 5.500 km2 dengan jumlah total populasi yang rendah yaitu hanya 2,4 juta. Dengan tingkat eksploitasi rata-rata 700 - 900 ribu per tahun, dan tingkat kerusakan habitatnya yang mengkhawatirkan, memang dapat dimengerti kenapa para konservationist memiih jalan pintas untuk memasukkannya dalam listing CITES maupun Red List IUCN.
Tetapi, apa memang semengerikan itu ceritanya, dan apakah memang tidak ada jalan lain untuk memanfaatkannya secara berkelanjutan. Para ahli setempat dan bahkan FAO tidak setuju dengan claim tersebut diatas dan mereka menyarankan bahwa langkah management measure di tingkat nasional dan lokal lebih cocok diterapkan daripada langsung memasukkannya ke dalam listing CITES. Karena ada kekhawatiran bahwa perdagangannya disamping tidak berkelanjutan secara ekologis, juga memberikan kontribusi yang rendah pada kesejahteran masyarakat, dan belum memberikan kontribusi nyata pada Pendapatan Asli Daerah (Ndobe dkk., 2005). Ikan P. kauderni memiliki mortalitas terbesar pada fase awal setelah pelepasan juvenil dari perlindung an dalam mulut induk jantannya, juga terjadi kanibalisme oleh induk dan ikan dewasa lainnya pada saat pelepasan (Vagelli & Volpedo, 2004). Fertilitas P. kauderni relatif rendah, dengan 40-60 butir sekali bertelur (Vagelli, 1999). Sifat umum ikan tersebut antara lain: a) berperilaku statis, jarang berpindah-pindah jauh, b) selama mengerami, induk tidak
membutuhkan pakan (puasa), c) tidak adanya phase pelagis, juvenil cenderung mencari perlindungan dan berdiam pada simbiont (mikrohabitat) di lokasi pelepasan dan d) kebutuhan habitat/mikro-habitat khusus induk dan juvenil dapat diperkirakan berdasarkan pengamatan habitat dan perilaku alami (Vagelli 2004) sehingga juvenil dapat mencari mangsa alami tanpa menjauhi perdiamannya. Mengingat sifat-sifat ikan banggai tersebut yang cenderung menetap pada kawasan tertentu, maka sejak tahun 1980-an, banyak studi me ngusulkan agar Kepulauan Banggai mendapatkan status konservasi, namun sampai tahun 2005 belum ada implementasi. Juga telah direncanakan beberapa kegiatan akan dilaksanakan yang bertujuan mewujudkan pengelolaan sumberdaya pesisir yang lebih baik, terutama dalam konteks pemanfaatan Banggai Cardinalfish. Semoga dengan kegiatan-kegiatan ini, pada CoP 15 CITES mendatang, kita bisa tunjukkan pada dunia bahwa tanpa harus memasukkannya ke dalam listing CITES, kita bisa mengelolanya secara berkelanjutan. (ym & mer)
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
25
Melongok Keindahan
Short Technical Communication
di teluk Abui
One of the most important indicators of the performance of COREMAP II 2 is to include 10% of the District’s reefs in co-managed no-take areas. Here is an example from Sikka (see Figure 1 below) that illustrates how to measure progress towards this goal using Arc View 3.3.
Dikutip dari buku Terumbu Karang Indonesia Dalam Perspektif Media oleh : Sanny MK, Samudra
Subject: Example for measuring progress towards the COREMAP II 10% goal - Sikka.
Ibarat ikan tangan Aprika Rani Hemada menggapai perairan Teluk Abui. Leonas yang mengikuti dari belakang juga menikmati pemandangan bawah laut yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. Kedua sosok ini memang sedang melakukan snorkling dalam acara Journalist Traveling Seminar and Writing Competition, akhir November lalu.
One of the most important indicators of the performance of COREMAP II 2 is to include 10% of the District’s reefs in co-managed no-take areas. Here is an example from Sikka (see Figure 1 below) that illustrates how to measure progress towards this goal using Arc View 3.3. 1. Calculate the total surface area of all reefs in district waters. This is easily done using a GIS with data from CRITC-LIPI. These data include polygons for near-shore habitats (fringing reef, patch reef, beach, shoals. etc.).
Decak kagum dari mulut Rani yang sehari-hari sebagai wartawan Bisnis Indonesia di Jakarta. “Terumbu karangnya lebih indah dibandingkan Bunaken, Bali, Lombok dan Senggigi,” katanya. Memang Rani pernah berenang di ketiga daerah yang selama ini terkenal di mancanegara sebagai lokasi wisata baharai terbaik. Menurut Rani, ketika memandang ke bawah mata menjadi sejuk. Apalagi, ujarnya ikan-ikannya lucu tersembunyi di antara rimbunan karang. Penilaian senada diungkapkan Leonas Chatim, staf program COREMAP II (Coral Reef Management Program) yang menemani jurnalis dari Jakarta. Menurutnya, banyak perbedaan lokasi Teluk Abui dibandingkan Bunaken. Di Teluk Abui, katanya, kedalamannya hanya dua meter. “Dan jenis terumbu karang dan ikan hiasnya lebih menarik,” katanya.
Memang, Taman Nasional Laut Raja Ampat memiliki 75 persen jenis ikan karang yang ada di dunia. Dari hasil survey, ditemukan 899 dari 1.104 jenis spesies ikan yang ada di seluruh dunia. Selain itu, di banyak tempat pantainya bersih dengan pasir yang putih melandai.
Note that all non-reef features (beach, muddy bottom, etc.) need to be excluded first. If the boundaries of District waters are not clearly defined you can use the 4 nm zone as an approximation (Figure 2). Use the tool X Tools (downloadable freeware) in Arc View 3.3 to intersect reef polygons with District waters.
A. Surface area of reefs in Sikka: 11,478 ha
2. Calculate the target value of the indicator. The target value of the indicator is simply 10% of (A) B. Target value of the indicator: 1,148 ha 3. Calculate the surface area of reefs contained in DPLs. For this, you will need polygons of the DPLs. If you only have coordinates of the DPLS, you can use XTools to convert coordinates into polygons. Next, use XTools to intersect the reefs polygon with the DPL polygons, and calculate the surface area of the intersected polygon. C. Surface area of reefs within DPLs: 218 ha1 (1.9% of all reefs in Sikka)
Abraham, nakhoda kapal yang membawa rombongan wartawan, menjelaskan kawasan Teluk Abui belum banyak didatangi wisatawan. Alhasil, keindahan dan kelestarian terumbu karang belum terusik tangan-tangan jahil. Dia berharap keindahan tersebut terus terjaga sehingga bisa dinikmati generasi mendatang.
4. Calculate surface area of reefs contained in other protected areas (if any). First, get a polygon shapefile of the protected area. Next, follow the same procedure as in (3). In Sikka, there is only one other protected area, namely the Tawan Wisatal Alam Laut Maumere Bay. D. Surface area of reefs in TWAL: 7,422 ha1
Tak terasa, dua jam Abraham membawa wartawan menyusuri gugusan pulau di Kabupaten itu. Selain snorkeling, Abraham juga menemani para kuli tinta mendarat di beberapa pulau yang tidak berpenghuni.
5. Determine which part of the reefs contained in other protected areas is no-take. The management authority
Figure 1: District waters of Sikka, East Flores, Indonesia, with Daerah Perlindungan Laut established during COREMAP II 1, and sites surveyed on June 26-28 2007. may have this information available as a simple percentage, or it may have a map of the zoning plan of the protected area. If a percentage is not available and if the area has already been zoned, then you can intersect the reef polygon with the polygons of the no-take areas. For TWAL Teluk Maumere, a zoning plan has not yet been completed, but it is likely that BKSDA will target to have ca. 25% of the TWAL in no-take areas. ■» E. Surface areas of no-take reefs in TWAL: 1,856 ha 6. Calculate the total area that is planned as no-take area and compare to the target value of the indicator. ■» F. Planned total no-take area in Sikka district waters (C+E): 2,074 ha, which is almost two times higher than the target. Note the minor contribution of the DPLs towards the COREMAP II 10% goal. 7. Design a strategy for further development of the MPA network. Whereas this step is mainly informed by the closeness of the actual value of the indicator to the targeted value, other considerations also come into play. For Sikka, the TWAL by itself would have sufficed to achieve the target, were it not that the TWAL still lacks a zoning plan. Therefore, the DPLs, although small, might still be of some help to achieve sustainable fishery objectives in the absence of protected area management in the TWAL. Another reason to plan additional protected areas (DPL or others) is representation. The exposed Southern coast does not have any protected areas, even though there are some reefs in the Western part of the coastline. So one could consider to plan additional protected areas to enhance sustainability of fisheries on the Southern shore. In other areas, it may be necessary to additionally develop Kawasan Konservasi Perairan to achieve the COREMAP II 10% goal. 1
The surface area of all seven DPLs combined amounts to 284 ha, but not all of this area is reef.
Aprika Rani bersama seorang anak di Raja Ampat
26
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Volume 2 / 2007
From: Peter J. Mous,
[email protected] Pages: 3 Date: Thu, Jul 12, 07
BULETIN COREMAP II
27
Rumput laut, Primadona Kabupaten Sikka
Potensi laut tidak hanya berupa ikanTanaman pun menjadi sumber kekayaan yang menghasilkan devisa. Rumput laut primadonanya. Tanaman air ini menjadi andalan Indonesia dalam penguasaan pasar dunia. Pada 2007 diprediksi Indonesia menguasai 31 persen pangsa rumput laut jenis euchema dan gracilaria.
Dalam Lokakarya Pengembangan Rumput Laut Nasional di jakarta bulan lalu, anggota tim rumput laut Badan Pengerapan dan Pengkajian Teknologi Achmad Zatnika mengatakan, kontribusi Indonesia cenderung meningkat sampai 2010. Meskipun tidak menonjol, “Tahun 2008 diprediksikan kontribusi Indonesia sekitar 32 persen, 2009 sekitar 34 persen, dan 2010 sekitar 35 persen,” kata dia. Sedangkan untuk produk olahan rumput laut yaitu karaginan, Indonesia mampu menguasai pasar dunia sekitar 13 persen pada 2007. Tahun berikutnya sekitar 13,7 persen dan pada tahun 2009 sekitar 14 persen. Sementara pada 2010 naik menjadi 15 persen. Salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia adalah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini mampu menghasilkan 350 ton sampai 400 ton rumput laut ker-
28
BULETIN COREMAP II
Dikutip dari buku Terumbu Karang Indonesia Dalam Perspektif Media Oleh : Rima Ria Lestari
ka mendapatkan pengarahan pemerin tah terumbu karang yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui program Coral Reef Mapping (Cormap). ing setiap bulan. Uniknya petani rumput laut di kabupaten tersebut berasal dari para pencemar laut. Mereka semula nelayan yang menggunakan senjata perusak untuk memanen ikan. Salah satunya Hanawi. Pria beranak tiga ini terbiasa melaut dengan meledakkan bom. Diakuinya ikan hasil tangkapan akan melimpah dengan menggunakan bahan peledak. Selain itu ia dan kawankawannya memancing menggunakan bahan dan pukat hiu. Tapi pekerjaan ini hanya menjadai penyambung hidup. Penghasilan yang
diperoleh tidaklah mencukupi kebutuhan keluarga. Dari memancing dengan bahan, penghasilan setiap nelayan rata-rata sekitar Rp. 100 ribu per bulan. Paling-paling ada tambahan jika berhasil mendapatkan sirip ikan hiu. Tapi seringkali kebutuhan hidup tidak bisa ditunda. Akhirnya menggunakan bahan peledak menjadi pilihan utama.
Dalam program tersebut, mereka secara visual diperkenalkan dengan perusakan alam yang selama ini dilakukan. Perusakan itu membuat hasil pancing nelayan meningkat tapi mencelakai mata pencaharian mereka di masa datang. Pasalnya kehancuran terumbu karang akan mengurangi jumlah keberlangsungan hidup ikan di laut.
“Dulu kita tidak tahu kalau akan merusak terumbu karang. Karena bagi kita, yang penting bisa menghasilkan banyak ikan untuk dijual.” Kata Hanawi yang kini menjadi ketua kelompok Koperasi Koja Jaya, Koja Doi, Sikka. Lalu mere
Program ini dimulai pada akhir 2004. Para nelayan secara bertahap meninggalkan kebiasaan meledakkan terumbu karang. Nyaris seluruh nelayan di Koja Doi beralih profesi sebagai petani rumput laut. Dari semula berpenghasilan rata-rata Rp. 100 ribu perbulan, kini penghasilan mereka melonjak sampai Rp. 2,5 juta sampai Rp. 3 juta perbulan. “Sekarang kit abisa punya uang banyak tapi dengan kerja yang aman,” kata dia.
Salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Indonesia adalah Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini mampu menghasilkan 350 ton sampai 400 ton rumput laut kering setiap bulan.
Volume 2 / 2007
Usaha budidaya rumput laut ini memang menjanjikan. Saat musim baik, Maret hingga April, hasil panen yang diperoleh
mencapai 4.000 ton hingga 5.200 ton kering rumput laut. Sedangkan di musim buruk, September sampai November, setiap kali panen memperoleh 200 kilogram rumput laut kering. Usaha ini pun tidak membutuhkan waktu panjang. Dalam 45 hari rumput laut sudah bisa dipanen. Sayangnya, mereka hanya menjadi pembudidaya saja. Tidak ada hasil olahan rumput laut meski secara sederhana. Paling paling hanya direbus dan diberi gula untuk dijadikan minuman. Itupun hanya sebagai konsumsi rumah tangga. Koja Doi bukanlah satu-satunya desa di kabupaten Sikka yang akan menjadi sentra budidaya rumput laut. Bupati Sikka Alexander Longginus mengatakan melalui Coremap II ini, 34 desa mendapatkan binaan. Sedangkan pada tahap I terdapat enam desa. “Kami tidak banyak berharap. Untuk lima tahun kedepan, tidak ada lagi yang menggunakan peledak saja sudah cukup sebagai langkah awal,” kata dia. Pasalnya proses pemahaman akan pentingnya terumbu karang tidaklah mudah. Kabupaten Sikka memperoleh bantuan dana APBN untuk pelaksanaan program
Coremap II sebesar Rp. 56 miliar. Pada tahap I Rp. 45 miliar. Setiap tahunnya dipersiapkan dana Rp. 600 juta sampai Rp. 700 juta dari APBD untuk menyo kong program pemulihan terumbu karang. Berdasarkan data, DKP, sedikitnya 43 persen areal terumbu karang di Indonesia rusak parah. Kerusakan terbesar terjadi di bagian barat Indonesia, termasuk pantai utara Jawa (pantura). Hanya 6,2 persen terumbu karang yang masih baik. Terumbu karang ini sebagian besar berada di wilayah timur Indonesia. Sementara 22 persen terumbu karang masuk kategori baik dan 28,8 persen lainnya dalam kondisi terancam rusak. Besarnya potensi rumput laut di sektor perekonomian tampak pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2004, volume ekspor rumput laut sekitar 50 ribu ton. Ekspor ini bernilai 24,3 juta dolar AS. Sedangkan ekspor agar-agar (makanan olahan rumput laut) pada tahun yang sama mencapai 3 ribu ton dengan nilai sekitar 6,2 juta dolar AS. Negara yang menjadi pesaing Indonesia dalam memproduksi rumput laut adalah Filipina, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Eropa, India, Cili dan Madagaskar.
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
29
Liga COREMAP II
Kab. Buton
COREMAP II TERKINI Terbitnya SE Dirjen Perbendaharaan Departemen Keuangan tentang Pencairan Dana Pinjaman/hibah WB, terbitnya SK KKLD Kab. Batam, Mentawai dan Raja Ampat, serta dilaksanakannya berbagai workshop dan terbitan berita di media tentang programprogram COREMAP II, merupakan beberapa capaian yang telah berhasil diraih oleh COREMAP II selama periode ini. Berikut, gambaran rinci tentang kondisi COREMAP II sampai dengan saat ini, utamanya yang diperoleh selama periode April - Juni 2007. Batam Bintan
Tapanuli Tengah
Natuna
Lingga
Raja Ampat Biak
Ratusan bahkan ribuan, masyarakat Buton menyaksikan jalannya pertandingan sepak bola, Liga COREMAP II Cup yang diselenggarakn oleh PMU Buton. Kesebelasan yang mengikuti liga COREMAP II berasal dari seluruh kecamatan di Kab. Buton. Tak tanggung-tanggung, perhelatan kompetisi sepak bola ini dibuka dan ditutup oleh Bupati Kab. Buton. Hadir berbagai elemen pemerintah dan kelompok masyarakat di Kab. Buton termasuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Propoinsi Sulawesi Tenggara. Kemeriahan masyarakat dalam kompetisi sepak bola ini menyedot perhatian berbagai kalangan terhadap COREMAP II sebagai pelaksana kompetisi ini. Ada hubungan apakah antara sepak bola dengan terumbu karang? Tentu tidak ada hubungan langsung antara keduanya, namun sebagai kegiatan yang menyita banyak perhatian masyarakat tentunya menjadi waktu yang tepat untuk memperkenalkan COREMAP II. Mobilisasi massa warga Kab. Buton menjadi mudah karena ada nya satu kegiatan yag sangat diminati dan digemari oleh masyarakat sekitar. “Bagi warga Buton, acara seperti ini sangat disenangi. Bahkan PSSI Kab. Buton belum pernah menyelenggarakan kompetisi dengan jumlah masa yang hadir sebanyak ini.” Ujar Rahim, selaku KPA COREMAP II Buton yang sekaligus Ketua Pelaksana Liga COREMAP II di Kab. Buton.
Suatu kegiatan lokal yang mendapat perhatian banyak pihak dan orang dalam kegiatan tersebut. Apalagi, unsur Bupati, Pejabat Pemerintah Daerah dan sekaligus organisasi masyarakat di Kab. Buton turut berpartisipasi. Selanjutnya, COREMAP II di PMU Buton sebagai pelaksana program konservasi
Kegiatan ini menjadi ajang social marketing bagi COREMAP II di Kab. Buton.
30
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
terumbu karang memanfaatkan waktu untuk menyampaikan visi dan misi serta tujuan program COREMAP II. Sehingga semangat memenangkan pertandingan dapat dijadikan modal untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang di perairan Buton dan sekitarnya, semoga!!!
Buton
Mentawai
Jakarta
Nias Selatan
Wakatobi
Nias
ADB
WB
Pangkep Selayar
Sikka
Conserving Coral Reef Ecosystems Means Food for Tommorrow COREMAP II WILAYAH BARAT (ADB) Komponen Penguatan Kelembagaan dan Manajemen Proyek Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Nasional dan Regional; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain penyusunan kebijakan nasional dan pedoman pengelolaan SD TK, penyusunan renstra pengelolaan TK tingkat kabupaten dan propinsi dan piot testing aplikasi MCS dan penetapan MMA. Sampai dengan periode ini telah diterbitkan Kep. Men KP tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Juga telah diterbitkan SK Bupati tentang penetapan MMA untuk Kota Ba-
tam dan Kab. Mentawai, serta Renstra Pengelolaan TK Kab. Tapteng dan Nias Selatan. Draft Renstra kabupaten lainnya juga telah disusun termasuk usulan lokasi MMA. Jaringan Coral Reef Information and Training Centre (CRITICs); Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain riset, monitoring dan managemen informasi. Sampai dengan periode ini Jaringan Critics baik nasional maupun daerah telah berjalan. Juga telah diselesaikan baseline ekologi dan baseline sosek pada Tahun 2004 dan 2006 di Kabupaten : Nias, Tapteng, Mentawai, Natuna, Batam, Lingga, Nias Selatan, Bintan. Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat (CREEL) telah dimulai pelaksanaannya termasuk monitoring kesehatan karang. Riset agenda daerah
juga telah selesai dilaksanakan di kota Batam, Kab Mentawai, Nias dan Natuna. Juga telah dilaksanakan pelatihan CREEL, sistem informasi, penulisan popular, manual BME. Juga melaksanakan workshop pengembangan jaringan CRITICs, riset agenda dll Pengembangan SDM dan Penyuluhan; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain pengembangan sumberdaya manusia, training dan penyuluhan. Sampai dengan periode ini telah dilaksanakan berbagai pelatihan termasuk pelatihan Underwater Fotografi,. Pemilihan Duta Karang Daerah dan Nasional juga telah dilaksanakan, perlombaan cerdas Cermat Tingkat SMU, takshow di Media Elektronik seperti Radio dan TV, Overview wartawan kelokasi COREMAP II. Melaksanakan
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
31
dilakukan, penetapan Daerah Perlindungan Laut di 55 desa dan pelaksanaan MCS. Pengembangan Infrastruktur dan Layanan Sosial; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain melaksanakan survey baseline social ekonomi serta identifikasi dan penyediaan infrastruktur social dan layanan masyarakat. Sampai dengan periode ini survei sosial ekonomi telah dilaksanakan di 26 desa, membangun 23 pondok informasi, 3 jetty, 6 tambatan perahu, 5 paket MCK serta 14 paket sarana air bersih.
Sub komponen Pemberdayaan Masyarakat memiliki aktivitas utama antara lain pembentukan organisasi masyarakat, training dan capacity building dan perencanaan partisipatoris pada tingkat lokal.
pelatihan dan Workshop bagi pengelola program dan masyarakat termasuk merekrut penyuluh Lapangan sejumlah 2 orang setiap Kabupaten. Kegiatan publik awareness juga dilaksanakan dengan menerbitkan feature COREMAP II dibeberapa media cetak, penerbitan buletin COREMAP II dan ikut serta dalam KONAS, dan Conference Coastal Zone Asia Pacific. Pengelolaan Proyek; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama yaitu pembentukan PMO dan PIU, pengadaan barang dan jasa serta pembentukan sistem akuntansi, monitoring dan pelaporan. Sampai dengan periode ini telah terbentuk lembaga pengelola pusat (PMO) dan NPIU LIPI. Di tingkat propinsi dibentuk Regional Coordinating Unit (RCU) di 3 propinsi dan Project Implementing Unit (PIU) di 8 kabupaten/kota. Saat ini PMO dibantu oeh Project Management Consultant dan 3 yunior konsultan individual, serta masing-masing PIU dibantu oleh Regional Advisor.
32
BULETIN COREMAP II
Volume 2 / 2007
Komponen Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain pembentukan organisasi masyarakat, training dan capacity building dan perencanaan partisipatoris pada tingkat lokal. Sampai dengan periode ini telah disusun 55 Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) dengan pendampingan oleh LSM dan Penyuluh Lapangan. Juga telah berhasil dibentuk 190 kelompok masyarakat (Pokmas), 32 Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK). Kelompok masyarakat tersebut telah dilatih dan sejumlah 300 masyarakat telah dilatih dalam penyusunan RPTK. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain survei sumberdaya dan ekologi serta implementasi RPTK. Sampai dengan periode ini 11 lokasi survei sumberdaya TK telah
Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama yaitu identifikasi, studi kelayakan,pengembangan, pilot testing dan implementasi proyek-proyek pengembangan MPA dan kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat. Juga melaksanakan pelatihan kelompok masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan usaha kecil. Sampai dengan periode ini telah dilaksanakan identifikasi usaha mikro, dan penyusunan studi kelayakan untuk pengembangan usaha skala kecil. Pelatihan sudah dilakukan terhadap 400 orang untuk kegiatan keramba jaring apung, budidaya kepiting, budidaya rumput laut, Kedai pesisir, budidaya ikan lele, budidaya tripang dll.
Sub komponen Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif memiliki aktivitas utama yaitu identifikasi, studi kelayakan, pengembangan, pilot proyek dan implementasi proyek-proyek pengembangan MPA dan kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat
COREMAP II WILAYAH TIMUR (WB) Komponen Penguatan Kelembagaan. Program Koordinasi, Pemantauan dan Evaluasi (M&E), dan Pelatihan; Sub-komponen ini meliputi: manajemen program; Pemantauan, Evaluasi, dan Feedback di Pusat, pelatihan dan workshop untuk penyusunan strategi dan peningkatan kemampuan pengelola; serta identifikasi 6 Kabupaten Tambahan untuk Keikutsertaan dalam Tahap III; Sampai dengan periode ini telah dibentuk pengelola kegiatan pusat (NCU) maupun pengelola di 5 propinsi (RCU) dan 7 pengelola kabupaten (PMU). Konsultan PMU, konsultan procurement, konsultan keuangan dan konsultan individual telah direkruit. Pada NCU juga telah dibentuk unit monev yang bertugas untuk melakukan monitoring, evaluasi dan feedback program COREMAP II pusat dan daerah. Rapat rutin diselenggarakan hampir tiap minggu dan juga telah dilakukan progres review meeting dengan pihak world bank.
Riset dan Pemantauan Terumbu Karang-CRITC, Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain Pengelolaan CRITICs, pemantauan kesehatan terumbu karang tingkat kabupaten; pemantauan perikanan karang tingkat kabupaten; pemantauan kondisi sosial ekonomi, serta dukungan untuk Riset Lokal. Sampai dengan periode ini NPIU LIPI telah melaksanakan baseline surveys di lokasi COREMAP II dan beberapa pelatihan, seperti MPTK, GIS dan pelatihan database dan web. Bantuan Hukum, Kebijakan dan Strategi; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain pengembangan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang, bantuan teknis pengembangan kebijakan tingkat propinsi, kabupaten dan desa, strategi pengeloaan perikanan karang hidup. Sampai dengan periode ini telah diterbitkan Kepmen Terumbu Karang No.38 tahun 2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Draft Strategy Marine Biodiversity Conservation, Draft Strategi Jejaring Kawasan Konservasi
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
33
Laut, Draft Strategi Perdagangan Ikan Karang Hidup dan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan serta beberapa pedoman teknis yang dijadikan acuan bagi daerah dalam menyusun rencana strategis dan peraturan daerah. Dalam rangka bantuan teknis/asistensi secara aktif NCU COREMAP II melakukan pembinaan dan penguatan kelembagaan di daerah.
Komponen Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Berbasis Masyarakat secara kolaboratif Pemberdayaan Masyarakat, Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain Pelatihan Perikanan Terumbu Karang secara Berkelanjuta, pemasaran Sosial Pengelolaan Terumbu Karang, Rapid Rural Appraisal (RRA), Wisata Studi (Study Tours) dan Cross Visits (Kunjungan Silang) oleh Masyarakat; Fasilitasi di Desa dan Bantuan Teknis; Pembentukan Pusat Informasi Terumbu Karang (CRIC) di desa, dan pengembangan jaringan komunikasi Radio 2-Arah; Sampai dengan periode ini daerah telah melaksanakan pelatihan-pelatihan dan study tour. Di daerah juga telah terekrut pendamping 40 SETO, 115 CF dan 284 Motivator desa di 7 lokasi COREMAP II, terbangunnya 48 pondok informasi dan 1 sistem radio di Raja Ampat. Pengelolaan Terumbu Karang BerbasisMasyarakat, Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain Pemetaan partisipatif dan penilaian Sumberdaya Desa, penyiapan rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK), penyusunan Perdes; Pembentukan daerah perlindungan laut, inventarisasi sarana dan prasarana perikanan tingkatdesa, percontohan pemakaian alat tangkap ramah lingkungan, pemantauan kondisi TK dan sosek berbasis masyarakat, pengawasan kolaboratif dan penegakan hukum (MCS) serta penguatan dan pengembangan kawasan pengelolaan berbasis masyarakat; Sampai dengan periode ini telah tersusun RRA di 177 desa, PRA di 99 desa, RPTK di 92 desa, 85 DPL dan 177 pokmas. Registrasi dan statistik perikanan dalam proses untuk tahun 2007. Juga telah dilak-
34
BULETIN COREMAP II
Sub komponen Pengelolaan Wilayah Konservasi Laut (MCA) di Kabupaten memiliki aktivitas utama antara lain: pembentukan Dewan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (DPMP), pengembangan renstra pesisir dan laut, pengembangan marine conservation area, dan pengembangan model perdagangan karang hidup berkelanjutan.
sanakan MCS terpadu di propinsi dan kabupaten. Pengembangan Masyarakat; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain pembentukan dan operasionalisasi sistem pengelolaan keuangan desa dan pengelolaan dana pubik; pengembangan model dana bergulir, pengembangan mata pencaharian alternative, perbaikan sarana dan prasarana desa melaui block grant dan block grant kabupaten. Sampai dengan periode ini baru berhasil diterbitkan mekanisme pencairan block grant dan seed fund melalui Perdirjen Perbendaharaan, Depkeu. Pengelolaan Wilayah Konservasi Laut (MCA) di Kabupaten; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain: pembentukan Dewan Pember-
Volume 2 / 2007
dayaan Masyarakat Pesisir (DPMP), pengembangan renstra pesisir dan laut, pengembangan marine conservation area, dan pengembangan model perdagangan karang hidup berkelanjutan.. Sampai dengan periode ini telah terbit SK DPMP di 7 kabupaten/kota, penyusunan draft renstra, identifikasi MCA/KKLD, serta penyelenggaraan lokakarya/workshop. Dukungan bagi Taman Laut; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain Penguatan Kapasitas PHKA, Pertukaran Belajar antara Pengelola Taman Laut, Penguatan Taman Nasional Laut / TNL dan pengelolaan bersama KSDA;. Sampai dengan periode ini telah terbentuk NPIU PHKA dengan SK Dirjen PHKA No.SK17/IV-KK/2007 dan penyelenggaraan workshop Marine Park Management pada tahun 2005.
Komponen penyadaran masyarakat, penyuluhan dan kemitraan bahari. Kampanye Penyadaran Publik; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain penyebaran dan perbanyakan materi kampanya yang telah ada, pengembangan, pembuatan dan penyebaran materi PA baru, pengembangan program PA tingkat propinsi dan kabupaten, program advokasi dan dukungan untuk jurnalis independen dan Media; Sampai dengan periode ini telah dibuat bahan materi sosialisasi di tingkat pusat,propinsi dan kabupaten; iklan di TV, radio dan media cetak;pelatihan-pelatihan tingkat pusat, pripinsi dan kabupaten; pengadaan peralatan mutimedia dan pelatihannya; serta telah dilakukan baseline study tentang tingkat kesadaran masyarakat. Pendidikan; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain: Pengembangan muatan lokal untuk kurikulum SD dan SMP, pelatihan guru, even pendidikan untuk anak-anak dan remaja. Sampai dengan periode ini telah diselesaikan pencetakan seri buku Pesisir dan Laut Kita untuk SD (kelas 1-6), Penyusunan Mulok untuk SMP dan SMA tahun 2007, Penyusunan Buku Panduan untuk Guru, Sosialisasi tentang pendidikan kelautan dan penanggulangan bencana/siap siaga terhadap bencana dan pelatihan guru-guru.
Program Kemitraan Bahari; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain pembentukan kantor pengelola program mitra bahari, advisory services, penempatan tenaga ahli, beasiswa SMA, S1 dan S2, bantuan penelitian untuk S2 dan S3, responsive research dan Praktek kerja lapangan. Sampai dengan periode ini telah ditunjuk sekretariat PMB pusat dan 5 RC di propinsi, ditetapkan penerima beasiswa SMA sebanyak 30 siswa, peserta PKL sebanyak 41 orang, seconded staff sebanyak 4 orang, beasiswa S2 khusus sebanyak 7 orang, beasiswa S3 sebanyak 4 orang, responsive research sebanyak 11 judul penelitian. Komunikasi Dukungan Program; Sub komponen ini memiliki aktivitas utama antara lain pembuatan visi, logo, peatihan media, buletin dan sistem komunikasi internal. Sampai dengan periode ini telah disusun mailing list COREMAP II untuk komunikasi intern, pelatihan media, pembuatan bulletin, serta distribusi pedoman/manual. (team pmo/ncu COREMAP II)
Volume 2 / 2007
BULETIN COREMAP II
35