BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Wacana munculnya lembaga pengawas jasa keuangan ada sejak adanya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Pada undang–undang tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Pada tanggal 22 November 2012, UU No. 21 tentang OJK disahkan. OJK dibentuk sebagai lembaga yang independent, dan berfungsi mulai 31 Desember 2012. Selanjutnya OJK menggantikan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan yang selama ini dilakukan oleh Kementrian Keuangan, melalui Badan Pengawas Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam – LK). Di akhir tahun 2013, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dalam pengawasan perbankan yang selama ini dipegang oleh Bank Indonesia (BI) dialihkan pada OJK. Posisi OJK sebagai lembaga independent tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) bersama Kementrian Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lembaga–lembaga tersebut merupakan lembaga yang berkoordinasi dan memiliki fungsi untuk menjaga stabilitas keuangan. Tujuan dari pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini antara lain agar seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan : 1. Terselenggara secara teratur,
1
adil, transparan, dan akuntabel, 2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan, 3. Mampu melindungi kepentingan konsumen
dan
masyarakat.
Otoritas
Jasa
Keuangan
memiliki
fungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan disektor jasa keuangan. Tugas dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, sektor pasar modal, dan sektor IKNB. Pembentukan OJK ini melalui banyak kontroversi, banyak pihak yang meragukan keberadaan OJK dan mengkritiknya. Hal ini melihat pada kegagalan lembaga otoritas jasa keuangan di negara lain, contohnya seperti di Inggris dan Amerika. Hal ini menjadi perhatian dimana OJK merupakan lembaga independent baru yang dikelilingi uang triliunan rupiah, ditengah beberapa lembaga negara yang independent yang sering terkait korupsi dan merugikan negara. Seperti di Inggris, kegagalan otoritas jasa keuangan di Inggris disebabkan karena lambatnya koordinasi otoritas jasa keuangan Inggris dengan pihak Bank Sentral ketika ada bank yang tutup. Berakibat munculnya desakan dari parlemen Inggris untuk mengembalikan fungsi pengawasan pada bank Sentral. Hal yang sama juga ditakutkan dapat menimpa OJK di Indonesia, sehingga ketika pembentukannya bermunculan berbagai kontroversi. Salah satu tugas dari OJK merupakan perlindungan dan pengawasan terhadap konsumen, dalam rangka memenuhi tugas ini OJK mengeluarkan 4 kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pengawasan konsumen. Kebijakan tersebut antara lain :
2
1. 2.
3.
4.
Peningkatan budaya menabung, dalam rangka mendukung peningkatan akses keuangan masyarakat Edukasi dan akses keuangan UMKM, dalam rangka mendorong peningkatan akses pembiayaan Lembaga Jasa Keuangan ( LJK ) kepada UMKM dan mendorong capacity building UMKM di bidang pengelolaan keuangan. Pemberdayaan Konsumen, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Industri Jasa Keuangan maupun Lembaga Jasa Keuangan Pencegahan penghimpunan dana/ investasi tanpa ijin, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan formal.
Untuk melaksanakan 4 kebijakan tersebut salah satu cara yang dilakukan oleh OJK dengan program Inklusi dan Literasi keuangan. Program Inklusi dan Literasi keuangan yang dicanangkan oleh lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah naik daun. Sesuai dengan Pasal 4 Undang – Undang Nomer 21 tahun 2011, tentang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah satu tujuan pembentukan OJK untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan tujuan yang dimaksud, OJK memandang perlu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai lembaga keuangan serta mengenal produk dan jasa keungan. Dengan demikian masyarakat dapat menggunakan produk dan jasa keuangan secara bijak, dan mendapatkan kemudahan untuk mengakses layanan jasa keuangan tersebut. Inklusi keuangan dan literasi keuangan ini muncul melihat dari fenomena dimana banyak masyarakat di pinggiran terutama di pedesaan yang banyak belum mengenal mengenai produk–produk jasa keuangan, dan belum mampu untuk mengakses jasa – jasa keuangan tersebut. Jasa – jasa keuangan ini sangat penting adanya terutama untuk menghadapi resiko – resiko pada unsur ketidakpastian di
3
masa depan. Banyak dari masyarakat di pedesaan yang belum mengenal jasa keuangan seperti asuransi, jasa – jasa perbankan, dan jenis – jenis tabungan. Masyarakat di pedesaan masih banyak yang memiliki pandangan bahwa untuk menggunakan atau mengenal layanan jasa perbankan tidaklah penting, masyarakat sering kali tidak memiliki persiapan untuk masa depan mereka. Hal ini dikarenakan masyarakat di pedesaan memiliki kecenderungan pola pikir hidup untuk hari ini, dan hari esok dijalani saja sesuai air mengalir. Mereka tidak menyadari bahwa masa depan mengandung unsur resiko dan ketidakpastian, sehingga perlu di persiapkan. Melalui program inklusi keuangan dan literasi keuangan inilah stigma tersebut ingin diubah oleh pemerintah. Melalui program inklusi keuangan dan literasi keuangan pemerintah ingin membuka wawasan masyarakat mengenai pentingnya mempersiapkan masa depan mereka. Melalui program inklusi keuangan dan literasi ini masyarakat juga diharapkan dapat melek terhadap layanan perbankan, sehingga mereka dapat mengerti manfaatnya. Menurut Bank Indonesia, saat ini belum ada pengertian yang baku untuk inklusi keuangan, Finnancial Action Task Force (FATF) mendefinisikan inklusi keuangan sebagai berikut “ Financial Inclusion involves providing access to an adequate range of safe, convenient and affordable financial services to disadvantaged and other vulnerable groups, including low income, rural and undocumented persons, who have been underserved or excluded from the formal financial sector.” (FATF) (http://www.bi.go.id/id/perbankan/keuanganinklusif /Indonesia/Contents/Default.aspx di akses pada tanggal 1 Maret 2016 ) 4
Dari pengertian tersebut maka dapat kita lihat bahwa inklusi keuangan merupakan tentang akses masyarakat terhadap jasa – jasa perbankan. Terutama untuk masyarakat dari lingkungan rentan, seperti masyarakat yang kurang beruntung, berpenghasilan rendah, dan masyarakat di pedesaan. Inklusi keuangan berbicara mengenai kemudahan, kenyamanan dan keamanan yang didapat masyarakat dalam mengakses jasa – jasa keuangan. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) literasi keuangan adalah kemampuan untuk memahami bagaimana uang bekerja, tentang bagaimana seseorangan mampu mengelola uang tersebut, baik untuk program investasi sehingga dapat meningkatkan sumber daya keuangannya, dan juga mengenai cara orang menggunakan uangnya tersebut untuk beramal atau membantu orang lain. Pengetahuan mengenai literasi keuangan sangat penting, terutama dengan bertumbuhnya perekonomian Indonesia dan munculnya masyarakat kelas menengah baru. Literasi keuangan ini membantu masyarakat untuk dapat secara bijak menggunakan
uangnya.
Semakin
meningkatnya
kondisi
perekonomian
masyarakat maka semakin meningkat pula pertumbuhan produk – produk keuangan, sehingga hal ini dapat menjadi kesempatan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya, melalui produk – produk keuangan seperti investasi, tabungan, maupun asuransi. Akan tetapi untuk dapat memanfaatkan produk – produk keuangan tersebut demi meningkatkan kesejahteraannya, maka masyarakat dituntut untuk cerdas dalam mengelola
5
keuangannya baik dalam individu maupun dalam keluarga, kecakapan masyarakat dalam mengelola keuangan tersebut dapat kita sebut sebagai literasi keuangan. Indonesia merupakan negara yang besar, kaya akan sumber daya alamnya, Indonesia dikenal sebagai jajaran negara – negara berkembang. Akhir – akhir ini kondisi perekonomian nasional Indonesia mulai meningkat, hal ini ditandai dengan naiknya jumlah kelas menengah di Indonesia. Kenaikan kondisi ekonomi Indonesia yang cukup signifikan tidak lantas mengurangi angka pengangguran di Indonesia, bahkan angka pengangguran meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjangkau lapisan masyarakat kecil, salah satu penyebab hal ini ditengarai karena rendahnya tingkat literasi dan inklusi keuangan. Melihat hal tersebut OJK sebagai salah satu lembaga pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai literasi dan inklusi keuangan, sebagai upaya mengatasi hal tersebut. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia yang dilakukan pada tahun 2013 dengan responden sejumlah 8000 responden. Diketahui bahwa tingkat literasi keuangan masyarakat di Indonesia sebesar 21,8 % dengan tingkat inklusi sebesar 59,7%. Pada data tersebut menunjukkan bahwa tingkat Literasi dan Inklusi keuangan di Indonesia masih rendah. Pada tahun 2014 didapat data adanya kenaikan tingkat Literasi dan Inklusi keuangan. Tahun 2014 literasi keuangan di Indonesia bertumbuh dari tahun 2013 yang hanya sebesar 21.8 %, di tahun 2014 menjadi 23%, untuk inklusi keuangan pada tahun 2013 sebesar 59,7%,
sedangkan
untuk
tahun
2014
bertumbuh
menjadi
61,7%
(http://finansial.bisnis.com/read/20150224/90/405640/ojk-tingkatkan-literasi-daninklusi-keuangan di akses pada tanggal 1 Maret 2016). Berdasarkan data tersebut
6
upaya OJK untuk meningkatkan inklusi keuangan dan literasi keuangan mulai menampakkan hasil, dengan meningkatnya prosentase tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Untuk mencapai kenaikan tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia OJK melakukan berbagai cara. Salah satu cara yang digunakan dengan bekerja sama dengan lembaga – lembaga keuangan di Indonesia untuk memberikan edukasi pada masyarakat atau literasi keuangan pada masyarakat. Selain itu untuk mempermudah akses masyarakat pada
jasa – jasa keuangan OJK juga
menerbitkan beberapa produk tabungan yang mudah di akses oleh masyarakat, salah satunya adalah tabungan LAKU PANDAI. Ini merupakan bukti keseriusan dari pemerintah untuk meningkatkan tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Program edukasi ini salah satunya dengan memberikan bentuk pelatihan pengelolaan keuangan keluarga. Pelatihan pengelolaan keuangan keluarga ini menyentuh langsung pada masyarakat di pedesaan, dengan kebanyakan sasarannya merupakan ibu – ibu rumah tangga. Perempuan menjadi sasarannya karena selama ini di masyarakat kita yang banyak melakukan pengelolaan keuangan keluarga adalah perempuan, sehingga di sini dipandang efektif untuk memberikan edukasi pengelolaan keuangan keluarga pada kelompok perempuan. Salah satu lembaga keuangan yang diberikan tugas oleh OJK untuk melaksanakan program literasi dan inklusi keuangan di Indonesia adalah Bank B. Bank B merupakan salah satu lembaga perbankan besar yang ada di Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas literasi keuangan dari OJK tersebut Bank B
7
memberikan pelatihan pengelolaan keuangan keluarga sebagai bentuk dari program CSR Bank B tersebut. Serta untuk melaksanakan inklusi keuangan Bank B, melaksanakan program tabungan dari pemerintah yaitu tabungan Laku Pandai. Dalam pelaksanaanya BCA mengajak pihak ketiga untuk memberikan pelatihan pengelolaan keuangan tersebut dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, disini pihak BCA bekerja sama dengan Yayasan Y sebagai pihak ketiga. Yayasan Y merupakan LSM yang banyak bergerak pada pendampingan sektor ekonomi sosio–mikro di tengah masyarakat. Yayasan Y ini sudah sering bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun NGO lainnya untuk memberikan literasi keuangan di masyarakat. Bank B bermitra dengan Yayasan Y dalam melaksanakan program literasi keuangan untuk masyarakat di pedesaan sebagai bentuk program CSR dari Bank B. Saat ini program kemitraan ini berjalan dibeberapa wilayah di Yogyakarta dan Jawa Tengah, untuk di provinsi Jawa Tengah telah berjalan di beberapa kabupaten seperti Grobogan, Jepara dan Wonogiri. Sedangkan untuk di Provinsi Yogyakarta berjalan di Kabupaten Gunung Kidul. Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul merupakan salah satu wilayah yang menjadi wilayah pelaksanaan program Literasi Keuangan kerjasama Bank B dengan Yayasan Y di Kabupaten Gunung Kidul. Wilayah Kecamatan Karangmojo merupakan wilayah yang masuk dalam kategori pedesaan. Rata – rata mata pencaharian masyarakatnya adalah petani, masih banyak masyarakat di daerah Karangmojo yang masuk dalam kelompok rentan. Selain itu tingkat literasi dan inklusi keuangan di daerah Bejiharjo, 8
Kecamatan Karangmojo ini masih rendah. Banyak masyarakatnya masih terjerat hutang rentenir, dan berpendidikan rendah. Program inklusi dan literasi keuangan bertujuan untuk memberikan pemahaman baru terhadap masyarakat mengenai pengelolaan keuangaan. Disisi lain selama ini masyarakat telah memiliki pola tersendiri dalam mengelola keuangan, dan mereka juga memiliki jaring pengaman tradisional untuk mengatasi masalah keuangan mereka. Seperti dengan adanya lembaga sosial tradisional yang ada pada masyarakat seperti arisan, maupun lembaga keuangan informal yang selama ini ada ditengah masyarakat, tidak dipungkiri keberadaan lembaga – lembaga tersebut merupakan jaring pengaman masyarakat, ketika mereka memerlukan kebutuhan kebutuhan akan keuangan. Ketika muncul lembaga OJK dengan kebijakan - kebijakannya, maka konsep baru mengenai pengelolaan keuangan telah disodorkan pada masyarakat. Masyarakat dipaksa untuk memahami mengenai konsep literasi keuangan yang berasal dari negara – negara maju. Konsep literasi dan inklusi keuangan yang dipandang ideal oleh pemerintah, sekarang berdiri bersandingan dengan pola – pola pengaturan keuangan tradisional. Hal ini menarik untuk dikaji, sejauh mana konsep literasi keuangan dan implementasi kebijakan – kebijakan literasi dan inklusi keuangan yang diterapkan oleh OJK relevan dengan kondisi masyarakat, khususnya di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo. Selain itu penelitian ini juga melihat implementasi program ini terhadap kebutuhan masyarakat berkaitan dengan peningkatan ekonomi masyarakat sesuai dengan tujuan awal adanya program ini,
9
ataukah jusru program ini menjadi jembatan bagi pihak bank B untuk meraup nasabah kategori unbanked di pedesaan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah : Bagaimana implementasi program literasi dan inklusi keuangan di Desa Bejiharjo? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui implementasi program literasi dan inklusi keuangan pada desa Bejiharjo 2. Menganalisis kebutuhan masyarakat terhadap program literasi dan inklusi keuangan 1.4 Kajian Pustaka 1.4.1 Konsep Inklusi Keuangan Inklusi keuangan masih terdengar asing ditelinga kita, konsep mengenai inklusi keuangan ini mulai booming paska krisis di tahun 2008. Pada krisis tahun 2008 banyak melemahkan perekonomian, baik di negara berkembang maupun maju. Yang banyak merasakan dampaknya adalah masyarakat kaum rentan, mereka banyak yang tidak memiliki persiapan untuk masa depan mereka. Sehingga berkaca dari pengalaman ini pada G20 Pittsbugh Summit tahun 2009 para anggota G20 menyepakati bahwa perlu peningkatan akses masyarakat rentan terhadap jasa – jasa keuangan. Masyarakat di pedesaan seringkali kesulitan untuk
10
mengakses jasa keuangan di lembaga keuangan formal seperti bank, berbeda dengan masarakat di perkotaan yang lebih mudah mengaksesnya, karena fasilitas di perkotaan lebih mudah dijangkau. Untuk mengatasi keterbatasan akses layanan keuangan tersebut, maka muncul suatu program perluasan akses layanan keuangan yang disebut dengan inklusi keuangan. Program ini berupaya untuk memperluas akses layanan keuangan terhadap masyarakat secara luas dan menyeluruh dengan tujuan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Inklusi keuangan diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi, serta dapat memberikan manfaat kesejahteraan bagi rakyat banyak. Inklusi keuangan meruapakan upaya untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses sistem keuangan ataupun layanan keuangan, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kemiskinan. Melalui inklusi keuangan, akses masyarakat untuk mendapatkan layanan keuangan dipermudah, didukung dengan fasilitas dan layanan keuangan yang mudah mereka akses. Untuk memahami mengenai Inklusi keuangan kita perlu melihat beberapa definisinya. The Consultative Group to Assist the Poor (CGAP) mendefinisikan inklusi keuangan sebagai berikut : “state in which all working age adults have effective access to credit, savings, payments, and insurance from formal service providers. Effective access involves convenient and responsible service delivery, at a cost affordable to the customer and sustainable for the provider, with the result that financially excluded customers use formal financial services rather than existing informal options” ( CGAP – GPFI ) Dari definisi tersebut dijelaskan bahwa inklusi keuangan berkaitan terhadap akses masyarakat terhadap layanan – layanan keuangan, baik berupa
11
tabungan, asuransi, transfer, pembayaran dan layanan keuangan lainnya. Akses ini berkaitan dengan kemudahan, kenyamanan serta biaya yang terjangkau dalam pemanfaatan layanan keuangan tersebut. Dengan kata lain inklusi keuangan ini mempermudah masyarakat untuk mendapatkan akses – akses layanan keuangan, yang selama ini dalam pandangan masyarakat masih dirasa rumit dan sulit. Definisi dari CGAP ini diperkuat dengan definisi dari Reserve Bank of India (RBI) yang mendefinisikan inklusi keuangan sebagai berikut : “process of ensuring access to appropriate financial products and services needed by all sections of the society in general and vulnerable groups such as weaker sections and low income groups in particular, at an affordable cost in a fair and transparent manner by regulated, mainstream institutional players”(RBI/Reserve Bank of India). Bank of India mendefinisikan bahwa inklusi keuangan merupakan proses untuk menyediakan akses lembaga – lembaga keuangan, terutama untuk kaum rentan, orang – orang yang berpenghasilan rendah. Hal ini juga model inklusi keuangan yang diterapkan oleh OJK, dimana OJK juga berusaha menyediakan akses – akses keuangan untuk kaum rentan dengan bekerjasama dengan lembaga – lembaga keuangan di Indonesia. Akses – akses tersebut diwujudkan dalam beberapa program tabungan, seperti program simple yang merupakan tabungan untuk pelajar, untuk pelajar dari tingkat PAUD hingga SMA. Produk tabungan LAKU PANDAI merupakan jenis tabungan yang saat ini sedang gencar dilaksanakan, tabungan laku ini merupakan layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif. Tabungan laku ini diharapkan dapat mencapai semua lapisan masyarakat. Program – program tabungan ini merupakan program tabungan yang diterbitkan oleh OJK bekerja sama dengan bank – bank di
12
Indonesia, bertujuan untuk menyediakan layanan produk tabungan yang sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Program inklusi keuangan ini berupaya untuk memperluas akses layanan jasa keuangan terhadap masyarakat secara luas dan menyeluruh dengan tujuan pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam pembangunan ekonomi Indonesia, perbankan memiliki peran yang besar untuk menjadi motor penggerak kegiatan inklusi keuangan, mengingat perbankan Indonesia memiliki share kegiatan keuangan sampai dengan 80% (Bank Indonesia, 2014). Sekjen PBB Kofi Annan dalam Steelyana (2013) menyatakan : “ Building inclusive financial sectors improves people’s lives, in particular those of the poor. A Small loan, a savings account or an insurance policy can make a great difference to a low – income family. They enable people to invest in better nutrition, housing, health and education for their children. They ease the strain of coping with difficult times caused by crop failures, illness or death. They help people plan for the future. In many developing countries, small – scale enterprises and micro- entrepreneurs face severe financing constraints. But with acces to finance, they can participate fully in the economic life of their societies, create employment for themselves and others and realize their full potential. Where such businesses are given opportunities to develop, countries will have a better chance to flourish. Inclusive financial sectors can go a long way toward breaking the vicious circle of poverty. But an unremitting effort by the ionternational community will be needed. Let us all do our utmost to empower the poor and to ensure that poor people around the world have acces to wider range of financial services. With more opportunities build on their ideas, energies and visions, they will lead the way in working their way out of poverty with dignity.” Dari pernyataan sekjen PPB Koffi Anan, menegaskan bahwa inklusi keuangan berhubungan dengan memberikan kemudahan akses untuk masyarakat miskin. Dengan pinjaman berbunga rendah, polis asuransi, ataupun dengan 13
tabungan yang mudah di akses oleh masyarakat miskin, maka akan mendorong masyarakat
miskin
untuk
keluar
dari
kemiskinannya
dan
mencapai
kesejahteraannya. Sehingga inklusi keuangan ini berhubungan dengan penciptaan layanan keuangan yang ditujukan kepada masyarakat di pedesaan maupun kaum rentan. Menurut Adalessossin & Kaya (2015), definisi inklusi keuangan memiliki beberapa dimensi yaitu, aksesibilitas, kesesuaian, ketersediaan dan penggunaan sistem keuangan, dimensi – dimensi ini membangun sistem keuangan inklusif. Dimensi – dimensi inklusi keuangan juga terdapat dalam rancangan tabungan Laku Pandai yang dicanangkan oleh OJK, dengan tujuan aksesibilitas yang mudah dijangkau oleh masyarakat oleh karena itu tabungan laku ini jangkauan wilayahnya adalah desa. Selain itu juga diterapkan dimensi yang lain seperti kesesuaian, ketersediaan, dan penggunaan sistem keuangan. Melalui skema tabungan laku tersebut, maka dimensi inklusi keuangan diharapkan dapat dicapai, dengan segala kemudahan yang dimiliki oleh tabungan laku. Tabungan Laku Pandai ini juga mulai diterapkan kepada masyarakat di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, tabungan Laku Pandai di Karangmojo salah satunya dilaksanakan oleh pihak Bank B, dimana mulai dengan pemberian literasi keuangan oleh mitra Bank B dalam hal ini Yayasan Y, terlebih dahulu kepada masyarakat dengan tujuan membentuk mindset masyarakat tentang pentingnya menabung untuk mempersiapkan masa depan. Setelah diberikan pelatihan literasi keuangan, masyarakat diperkenalkan dengan tabungan Laku Pandai. Dimana pada jenis tabungan ini menerapkan dimensi inklusi keuangan.
14
Pada tabungan laku pandai ini masyarakat dimudahkan dengan, tidak adanya pemungutan biaya administrasi untuk tabungannya, dan besarnya saldo awal untuk menabung di tiadakan. Masyarakat pun dipermudah aksesnya dengan mereka tidak usah jauh–jauh ke cabang bank B terdekat. Mereka cukup mendatangi agent – agent bank yang telah ditunjuk oleh bank B, yang biasanya merupakan warga desa tersebut. Menurut Shankar (2013) pentingnya inklusi keuangan berasal dari berbagai faktor, yaitu : a.
Ketidakmampuan untuk mengakses keuangan dapat menyebabkan pengecualian entitas financial dalam memperoleh permodalan. Entitas adalah individu atau organisasi yang berbadan hukum. b. Kurangnya akses pada tabungan yang aman dan formal dapat mengurangi dorongan mereka untuk menyimpan. Kurangnya akses ini dapat berakibat jika masyarakat membutuhkan dana, maka mereka akan mencari dana dari pinjaman – pinjaman yang menerapkan bunga yang tinggi. Hal itu akan beresiko peminjam akan sulit untuk melunasi hutangnya. c. Kurangnya produk kredit berarti ketidakmampuan untuk melakukan investasi dan usaha meningkatkan mata pencaharian mereka. Akses mendapatkan kredit yang susah akan menghambat pengusaha kecil dalam mendapatkan permodalan untuk mengembangkan usahanya. d. Kurangnya produk remitansi menyebabkan transfer uang sulit dan berisiko tinggi e. Kurangnya produk asuransi menyebabkan kurangnya manajemen resiko dan pemerataan kesejateraan. Menurut Agrawal (2008) inklusi keuangan ini adalah suatu proses untuk menjamin masyarakat dalam mengakses layanan jasa keuangan secara menyeluruh seperti tabungan, pinjaman, asuransi, pembayaran, dan lain lain. Hadirnya tabungan laku pandai yang menyasar pada masyarakat di pedesaan dan
15
masyarakat kaum rentan ini, merupakan upaya untuk menyediakan akses layanan jasa keuangan kepada masyarakat secara menyeluruh, dalam bentuk tabungan. Tabungan ini menawarkan kemudahan akses oleh segala jenis golongan masyarakat, sehingga setiap elemen masyarakat dapat menabung. Menurut Stelyana (2013) ada beberapa tujuan dari Inklusi keuangan menurut PBB, antara lain : 1. Akses ke layanan perbankan umum seperti kredit, sewa, hipotek, asuransi, pensiun, dan uang transfer. Akses dimaksudkan kemudahan akses dalam menjangkau layanan – layanan tersebut; 2. Peraturan internal dan eksternal dari lembaga keuangan yang akan mendorong inklusi keuangan melalui kebijakan. Dalam hal ini dituntut kerjasama pemerintah dengan lembaga – lembaga keuangan untuk menerbitkan skema kebijakan yang nantinya mendorong terjadinya inklusi keuangan; 3. Investasi berkelanjutan di lembaga keuangan dalam rangka untuk memungkinkan akses jasa keuangan di depan, dan 4. Mendorong persaingan di area perbankan, sehingga bank dapat bertahan secara ekonomi dan memberikan layanan produk dan jasa yang ditujukan untuk mendorong inklusi keuangan. Terutama pada masyarakat golongan ekonomi lemah, ataupun masyarakat yang berada di kawasan pedesaan. 1.4.2 Konsep Literasi Keuangan Inklusi keuangan dan literasi keuangan merupakan dua hal yang berbeda namun saling berkaitan. Jika inklusi keuangan kita berbicara mengenai sarana, dalam literasi keuangan berkaitan dengan pembelajaran. Kegiatan literasi ini bertujuan untuk memberikan edukasi pada masyarakat sehingga masyarakat memiliki kemampuan atau keyakinan untuk memilih dan memanfaatkan produk
16
dan jasa keuangan guna meningkatkan kesejahteraan. Literasi keuangan adalah kemampuan masyarakat untuk memproses informasi ekonomi dan membuat keputusan tentang perencanaan keuangan, akumulasi kekayaan pensiun dan utang. ( Lusardi dan Mitchell, 2007 ). Sebelum program Inklusi keuangan Laku Pandai masuk ke wilayah kecamatan Karangmojo, terlebih dahulu masyarakat di berikan literasi keuangan untuk membentuk mindset mereka, supaya mereka sadar akan literasi keuangan, dan pentingnya untuk mengelola keuangan mereka terutama untuk mempersiapkan masa depan mereka. OJK
(2013)
mendefinisikan
literasi
keuangan
sebagai
tingkat
pengetahuan, keterampilan dan keyakinan masyarakat pada lembaga keuangan serta produk dan jasanya, yang dituangkan dalam parameter atau ukuran indeks. Indeks literasi keuangan ini sangat penting untuk melihat peta sesungguhnya mengenai tingkat pengetahuan masyarakat terhadap fitur, manfaat dan resiko, hak dan kewajiban mereka sebagai pengguna produk dan jasa keuangan. Strategi literasi ini diluncurkan oleh presiden pada tanggal 19 November tahun 2013, dengan memiliki 3 pilar utama : 1. Edukasi dan kampanye nasional : Edukasi ini dengan memberikan pelatihan – pelatihan mengenai literasi keuangan bekerjasama dengan lembaga – lembaga keuangan di Indonesia, dan juga gencar mengampanyekan mengenai gerakan literasi keuangan nasional. 2. Penguatan infrastruktur : Penguatan infrastruktur ini melalui program – program layanan keuangan dengan jalan kerja sama dengan lembaga – lembaga keuangan, baik dengan bank swasta maupun dengan bank pemerintah. 3. Pengembangan produk dan layanan : Hasil dari penguatan infrastruktur menghasilkan produk – produk layanan keuangan yang mudah di akses oleh masyarakat, seperti SIMPEL (Simpanan
17
Pelajar), Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Mewujudkan Keuangan Inklusif). Menurut survey yang dilakukan oleh ANZ sejak tahun 2003 Literasi keuangan merupakan kemampuan untuk menilai informasi dan membuat keputusan yang efektif dalam penggunaan uang maupun dalam mengelola keuangan (Worthington, 2013). Sehingga di sini masyarakat tidak hanya dituntut untuk memahami cara kerjanya saja, tetapi juga memahami bagaimana dia dapat mengelola keuangannya serta untuk mempersiapkan masa depannya. Lebih lanjut menurut Australian Banker’s Association (ABA, 2013) menekankan literasi keuangan tidak hanya tentang menghitung keuangan saja, akan tetapi mereka juga memahami tetang permasalahan keuangan dan konsekuensi dari tindakan atau keputusan yang mereka ambil, termasuk dampaknya terhadap kesejahteraan mereka. Sehingga literasi keuangan yang baik adalah ketika masyarakat tidak hanya mampu untuk mengelola uangnya saja, tetapi mereka juga mampu mengenali uangnya. Dalam rangka mencapai literasi keuangan, khususnya pada masyarakat di daerah pedesaan OJK bekerjasama dengan berbagai pihak untuk memberikan literasi keuangan kepada masyarakat. Di Wonosari OJK bekerja sama dengan bank B untuk melaksanakan program literasi keuangan. Dalam rangka menjalankan mandat dari OJK pihak bank B bermitra dengan Yayasan Y untuk memberikan literasi keuangan pada masyarakat di Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul, salah satunya di Desa Bejiharjo.
18
Dalam melaksanakan kegiatan literasi keuangan ini Yayasan Y memberikan pelatihan pengelolaan keuangan rumah tangga, dengan sasaran ibu – ibu rumah tangga. Pengelolaan keuangan menurut Yayasan Purba Danarta (2015) merupakan cara pengaturan pendapatan yang diperoleh saat ini agar kebutuhan saat ini terpenuhi dan cita – cita serta kebutuhan di masa depan dapat diwujudkan serta terpenuhi. Sehingga dalam memberikan literasi keuangan Yayasan Y memperkenalkan bagaimana prinsip – prinsip pengelolaan keuangan, dan juga bagaimana merencanakan masa depan, salah satunya dengan merencanakan tabungan. Setelah pemberian literasi keuangan oleh Yayasan Y kemudian dilanjutkan dengan pemberian sarana masyarakat untuk kemudahan menabung, dengan masuknya program tabungan Laku Pandai dari Bank B. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD,2005), ada 3 kriteria seseorang dapat dikatakan melek literasi keuangan : 1. 2. 3.
Pengetahuan yang berkaitan dengan resiko dan peluang keuangan Kemampuan untuk mengidentifikasi sumber bantuan keuangan Kemampuan untuk mengambil tindakan yang efektif untuk meningkatkan keuangan dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan.( Smyczek & Matysiewics, 2014 )
Kemampuan tentang literasi keuangan diperlukan oleh masyarakat, dengan literasi keuangan diharapkan masyarakat dapat mengenali dan menyikapi uangnya dengan bijak. Dengan literasi keuangan masyarakat juga diharapkan mampu untuk mempersiapkan masa depannya. Literasi keuangan dalam bentuk semua aspek keuangan pribadi bukan ditujukan untuk mempersulit atau mengekang orang dalam menikmati hidup serta menggunakan uang yang mereka miliki, tetapi justru
19
dengan literasi keuangan, individu atau keluarga dapat menikmati hidup dengan menggunakan sumber daya keuangannya dengan tepat dalam rangka mencapai tujuan keuangan pribadinya (Warsono, 2010). Menurut Munaldus (2012) ada 4 pola pengelolaan keuangan yang sering kita temukan di tengah – tengah masyarakat. 4 Pola tersebut dapat dijabarkan melalui table 1.1. Masyarakat di Desa Bejiharjo berdasarkan penggolongan pola pada tabel 1.1, banyak menerapkan pola satu dan pola dua. Mereka masih banyak yang mengandalkan hutang jika memiliki kebutuhan yang mendadak. Literasi keuangan erat kaitannya dengan perencanaan keuangan, Tamimi (2009) menyatakan setidaknya ada 5 hal yang pokok tentang literasi keuangan : 1. Tinggi rendahnya tingkat Literasi keuangan tidak dipengaruhi perkembangan ekonomi suatu negara. 2. Tingkat literasi keuangan dipengaruhi oleh faktor demografi. Ada hubungan yang kuat antara tingkat literasi keuangan, dengan pendidikan, jenis kelamin, tingkat pendapatan, dan pengalaman. Menurut penelitian tingkat literasi pada perempuan lebih rendah dibandingkan dengan pria. 3. Tingkat literasi keuangan juga mempengaruhi seseorang dalam keputusannya untuk melakukan investasi. 4. Tingkat literasi keuangan memiliki pengaruh yang kuat terhadap strategi seseorang dalam berinvestasi maupun dalam pengalamannya. Orang yang memiliki tingkat literasi wellliterate, akan cenderung menggunakan jasa professional untuk meminta saran dalam mengembangkan investasinya. Sedangkan untuk mereka yang masih memiliki tingkat literasi rendah akan cenderung mendengarkan saran keluarganya, temannya, atau lingkungannya. 5. Tingkat literasi juga sangat mempengaruhi perbedaan seseorang dalam melakukan investasi. Melalui kelima hal pokok tersebut, dapat terlihat bahwa tingkat literasi seseorang mempengaruhi dalam keputusan seseorang, dalam mengambil tindakan. Sehingga 20
semakin tinggi tingkat literasi keuangan seseorang, maka mereka akan semakin tahu tindakan yang harus mereka pilih. Tinggi rendahnya literasi keuangan seseorang mempengaruhi perilaku dan kebiasan mereka dalam mengelola keuangan mereka. 1.4.3 Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah pada tahun 2012 melalui UU NO. 21 tentang OJK membuat Indonesia memiliki sistem baru dalam pengaturan dan pengawasan sistem jasa keuangan. OJK merupakan lembaga yang bersifat independent dan bebas dari campur tangan pihak lain. Fungsi dari OJK untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan pada sektor jasa keuangan. Sebelumnya kewenangan dalam pengawasan daan pengaturan sektor jasa perbankan di Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan pengaturan serta pengawasan terhadap asuransi dilakukan oleh Kementrian Keuangan. Pengaturan dan pengawasan sekuritas dilakukan oleh BAPEPAM – LK (Badan Pengawas Pasar Modal – Lembaga Keuangan). Ketika dibentuk OJK maka fungsi dan tugas dari ketiga lembaga tersebut berpindah menjadi tugas dan tanggung jawab dari OJK. Pelimpahan wewenang ini membuat OJK memiliki tugas pokok yaitu mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan. Selain itu tujuan dari dibentuknya OJK antara lain, mendorong kegiatan sektor jasa keuangan agar terselenggara secara teratur, adil, transparan,
21
dan akuntabel. Mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK memiliki kewenangan yang tinggi terhadap sistem perbankan di Indonesia, menurut Siregar and James (2006) adanya OJK ini tidak otomatis akan menyelesaikan masalah sebelum OJK lahir dan bukan berarti merupakan alat untuk menyelesaikan semua kelemahan pengawasan pada sektor keuangan, karena melihat pada pengalaman – pengalaman dari negara lain banyak juga negara yang mengalami kegagalan dengan sistem OJK ini. Terlebih melihat dari resiko Independensi OJK cukup besar, melihat dari banyaknya partai yang ada di Indonesia, dan OJK yang di kelola oleh orang – orang yang sama dari institusi sebelumnya hal ini menjadi kekhawatiran jika nantinya OJK hanya akan dipenuhi kepentingan – kepentingan politis dari pihak – pihak tertentu. Hadirnya lembaga keuangan OJK yang memiliki otoritas besar pada lembaga keuangan yang ada di Indonesia, dinilai akan mempermudah sistem perbankan di Indonesia. Bank dapat melayani segala jenis pelayanan keuangan. Dengan adanya OJK akan mempermudah masalah perizinan, pengaturan, dan pengawasan, dan exit policy karena berada dalam satu atap yaitu wewenang OJK. Selain itu adanya kebijakan pencegahan penghimpunan dana investasi tanpa ijin juga dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan formal, tetapi disini OJK dihadapkan dengan tantangan dari nilai, sistem, serta lembaga keuangan tradisional yang berlaku ditengah masyarakat, yang selama ini mampu terbukti menjadi jaring pengaman bagi masyarakat.
22
1.4.4
Lembaga Keuangan Tradisional
Keberadaan lembaga keuangan tradisonal yang ada ditengah masyarakat selama ini, tidak dapat dipungkiri merupakan jaring pengaman sosial yang ada di tengah – tengah masyarakat. Ketika lembaga – lembaga keuangan konvensional memiliki prosedur yang rumit, maka lembaga – lembaga keuangan tradisonal ini menjadi sebuah solusi bagi masyarakat dalam hal keuangan. Selama ini lembaga keuangan tradisional berjalan dengan menggunakan unsur trust yang ada dalam masyarakat. Lembaga keuangan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia selama ini masih bersifat tradisional, seperti sistem gotong royong, sistem ijon, sistem mendreng, sistem arisan, dan sistem rumah gadai. Sistem – sistem ini lebih mudah berkembang pada masyarakat kita, karena pada sistem ini masyarakat dalam mendapatkan dana tidak diberi persyaratan yang rumit seperti pada lembaga keuangan konvensional. Pada sistem tradisional yang menjadi syarat utama adalah kepercayaan dan gotong royong. Sistem tradisional ini lebih mudah diterapkan oleh masyarakat. Sistem gotong royong, sudah sangat kita kenal dan merupakan salah satu modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat kita. Sistem gotong – royong ini sering juga kita sebut sebagai sistem tanggung renteng. Selain itu kita juga mengenal sistem ijon, sistem ijon ini biasanya ada pada masyarakat petani. Sistem mendreng, pada sistem mendreng ini biasanya yang menjadi barang transaksi adalah barang – barang keperluan rumah tangga, dengan cara kredit. Sebenarnya melalui sistem mendreng ini harga barang yang diperjual-belikan menjadi lebih mahal. Jasa ini banyak diminati, karena banyak dari masyarakat yang memiliki ekonomi pas–pasan beranggapan
23
bahwa melalui mendreng ini mereka mampu membelinya perabot rumah tangga tersebut. Walau melalui sistem mendreng ini, hutang yang mereka lakukan termasuk hutang konsumtif. Sistem arisan merupakan hal umum di tengah masyarakat kita. Arisan merupakan kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, dan kemudian diundi diantara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya. Arisan ini merupakan salah satu cara masyarakat untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, dapat dikatakan juga arisan ini adalah salah satu cara masyarakat untuk menabung. Di dalam arisan yang ada di pedesaan, biasanya juga ada kegiatan menabung dan pinjaman. Masyarakat sering menggunakan pinjaman dalam arisan ketika membutuhkan pinjaman uang. Sistem rumah gadai, merupakan sistem dimana individu atau lembaga yang menawarkan pinjaman uang dengan jaminan barang dari si peminjam. Untuk menggunakan jasa ini, masyarakat cukup dengan menggadaikan barang berharga yang mereka miliki, untuk ditukar dengan pinjaman. Ketika sudah jatuh tempo waktu peminjaman, masyarakat dapat menebus kembali barang yang mereka gadaikan. Dengan syarat yang tidak rumit, masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan pinjaman untuk kebutuhan mereka. Sistem – sistem tradisional tersebut juga banyak ditemukan di tengah – tengah masyarakat desa Bejiharjo. Seperti sistem arisan, disetiap dusun di desa Bejiharjo memiliki sistem arisan ditingkat dukuh yang di adakan satu bulan sekali. Kegiatan arisan ini merupakan sarana masyarakat untuk menjaga silaturahmi.
24
Pada kegiatan arisan juga ada kegiatan simpan pinjam. Selain itu ketika kegiatan arisan diadakan biasanya akan datang juga para pedagang mendreng, dimana biasanya mereka menawarkan barang – barang perkakas rumah tangga yang dapat masyarakat beli dengan sistem cicilan. Ketika ada pertemuan arisan tersebut juga sering didatangi oleh bank plecit yang menagih angsuran pada ibu – ibu. Keberadaan bank plecit memang masih banyak ditengah masyarakat Desa Bejiharjo, karena masyarakat mengakui dengan adanya bank plecit mereka dapat dengan mudah mendapatkan pinjaman, untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. 1.4.5 Inklusi dan Literasi Keuangan pada Perempuan di Pedesaan Program inklusi dan literasi keuangan di desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul yang menjadi sasaran adalah kaum ibu – ibu rumah tangga. Selama perempuan sering disebut menteri keuangan rumah tangga, karena pembagian pengaturan keuangan dalam keluarga biasanya dilakukan oleh perempuan, dimana perempuan yang melakukan pengelolaan keuangan rumah tangga, sedangkan para lelaki yang mencari nafkah. Akan tetapi meski para perempuan mengelola keuangan rumah tangganya, akan tetapi akses mereka untuk menggunakan layanan keuangan formal masih rendah. Menurut data dari Worldbank sampai dengan Juli 2016 masih 40 % lebih dari perempuan di seluruh dunia yang belum mengenal mengenai layanan keuangan formal. Kebanyakan yang menggunakan akses untuk layanan keuangan formal adalah para lelaki, sedangkan jika para perempuan biasanya mengandalkan pinjaman dari keluarga, teman, atau layanan keuangan informal. Selama ini di dalam rumah
25
tangga khususnya di pedesaan kebanyakan yang memiliki akun rekening pada lembaga keuangan formal adalah suami yang nantinya jadi akun rekening keluarga, sedangkan para ibu banyak yang tidak memiliki. Literasi dan Inklusi keuangan menjadi perhatian khusus dari World Bank, dimana World Bank memiliki target 2020 masyarakat dapat memiliki akses layanan keuangan formal, bukan dalam lingkup perumah tangga, tapi tiap individu mampu mengakses dan memiliki rekening pada lembaga keuangan formal. Sehingga di sini para perempuan diharapkan dapat memiliki akun rekening perbankan. Dimana menurut World Bank dengan bertambahnya perempuan yang memiliki akses dan menggunakan jasa keuangan formal, maka akan memberikan keuntungan bagi perempuan, dan juga mereka dapat berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Jika perempuan memiliki akses terhadap lembaga keuangan, mereka dapat meningkatkan kehidupan ekonomi keluarganya. Hal ini akan berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Di Indonesia program literasi dan inklusi keuangan ini juga menjadi titik perhatian oleh lembaga pemerintah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dimana program ini salah satu sasarannya adalah perempuan di pedesaan. Pada literasi keuangan ini, para perempuan diberi pelatihan bagaimana pengelolaan keuangan rumah tangga, serta diberi kesadaran mengenai akses terhadap lembaga – lembaga keuangan formal. Harapannya ketika para perempuan yang selama ini mengelola keuangan rumah tangganya telah “melek financial” mereka dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Sedangkan melalui program inklusi keuangan, maka
26
faktor pendukung untuk kemudahan akses tersebut juga disediakan salah satunya dengan program Laku Pandai. Disisi lain selama ini masyarakat terutama kaum perempuan, jika mengalami membutuhkan pinjaman mereka memiliki lembaga keuangan informal yang dapat dengan mudah untuk mereka akses. Ketika muncul program literasi dan inklusi keuangan ini, maka akan mempengaruhi perubahan nilai – nilai sosial, norma yang berlaku di masyarakat, pola perilaku
individu dan organisasi,
susunan kelembagaan masyarakat, kekuasaan dan wewenang. Karena disini mereka diberikan hal baru yang berbeda dengan kebiasaan mereka sebelumnya. Pemberian literasi keuangan sebagai upaya dari pemerintah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, serta memberikan sarana pada masyarakat untuk kemudahan dalam mengakses layanan perbankan, serta tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mendorong cara berpikir masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Pemikiran mengenai literasi keuangan beranjak dari paradigma modern yang berasal dari ideologi kapitalis. Adanya program inklusi dan literasi keuangan dapat kita lihat dari kacamata teori modernisasi. Dalam teori modernisasi menjelaskan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat dunia ketiga berasal dari faktor – faktor internal dari masyarakat itu sendiri. Menurut Budiman (1995) modernisasi diartikan sebagai perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pramodern menuju masyarakat yang modern. Menurut Harrod-Domar dalam Budiman (1995), perkembangan ekonomi suatu negara ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai tabungan dan investasi, sehingga menurut Harrod perkembangan
27
ekonomi selalu di ukur melalui nilai investasi modal. Hal ini terlihat dari tujuan literasi dan inklusi keuangan, dimana pada literasi dan inklusi keuangan bertujuan suapaya masyarakat mengenal layanan dan jasa keuangan sehingga mampu untuk menggunakan layanan jasa keuangan untuk menginvestasikan uangnya. Sehingga jika dilihat dari kritik teori modernisasi ajaran atau ideologi baru yang diberikan melalui program – program pembangunan yang dicap sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan, sangatlah rawan menjadi alat untuk penyebaran hegemoni negara-negara maju. Negara dunia ketiga dikhawatirkan hanya menjadi pangsa pasar produk negara maju, dan mengakibatkan ketergantungan pada negara-negara maju, sehingga nilai-nilai asli dalam masyarakat tersebut hilang. Inkeles (1964) menyebutkan beberapa karateristik manusia modern yang antara lain : a. Menerima hal – hal baru, b. Demokratis, c. Menghargai waktu dan berorientasi ke masa depan, d. Memiliki perencanaan dan pengorganisasisan, e. Percaya diri, f. Perhitungan, g. Menghargai harkat hidup manusia lain, h. Lebih percaya terhadap IPTEK. Pada literasi dan inklusi keuangan akan dianggap berhasil jika ada kenaikan tingginya tabungan dan investasi, jika tabungan dan investasi masyarakat rendah maka pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut juga rendah. Menurut Otoritas Jasa Keuangan meningkatnya angka inklusi keuangan Indonesia pada tahun 2014 dari 21,8% menjadi 36% berkontribusi terhadap menurunnya angka kemiskinan, hal ini sejalan dengan peningkatan akses keuangan. Dengan meluasnya akses layanan keuangan keberbagai daerah di Indonesia, maka akan
28
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya angka kemiskinan dengan munculnya pusat-pusat ekonomi baru. Tabel 1.1 Pola Pengelolaan Keuangan Pola
Penggunaan
Karateristik
Pola 1
Utang dulu => dapat uang => bayar utang => belanja => utang lagi
Pola ini sering ditemukan pada keluarga yang sangat miskin. Pola hidupnya gali lubang, tutup lubang karena cenderung mempunyai banyak anak. Seringkali pengeluarannya lebih besar daripada pendapatannya.
Pola 2
Dapat uang => Ini sering ditemukan pada keluarga ekonomi belanja habis menengah tetapi memiliki gaya hidup yang konsumtif. Mereka tidak memiliki cadangan keuangan dan mengandalkan hutang jika dalam situasi darurat. Mereka memilik masa depan yang stagnan dan tidak berkembang.
Pola 3
Dapat uang => belanja => menabung (dari uang sisa kalau ada)
Pola yang ketiga ini sering ditemukan pada masyarakat yang mendapatkan pendidikan keuangan dari pendidikan CU. Mereka mendapatkan sedikit kesadaran akan pentingnya menabung, akan tetapi mereka belum dapat melaksanakannya secara konsisten. Tujuan mereka menabung bukan untuk inverstasi tapi hanya sekedar mengamankan uangnya saja. Jika terjadi keadaan darurat mereka juga belum siap menghadapinya.
Pola 4
Dapat uang => bayar utang => menabung/inve stasi => belanja
Pola ini merupakan tingakat tertinggi, dan sering ditemukan pada anggota CU yang sudah paham dengan pola keuangan yang di terapkan oleh CU. Kelompok ini memiliki tujuan yang jelas. Ada 2 hal yang mereka terapkan ketika mendapatkan uang, yaitu : (1) Mencatat seluruh pemasukan dan pengeluaran (2) Memprioritaskan menabung atau membayar hutang. Mereka menerapkan hidup hemat dan kebiasan menabung dan berinvestasi.
Sumber : Munaldus (2012 )
29