<< Kekerasan Budaya Pasca 1965 >> Diskusi Asahan Aidit vs SalimSaid From: ASAHAN Sent: Wednesday, January 8, 2014 7:11 AM
Beste bung Salim, Terima kasih atas komentar bung Salim dan saya dengan senang hati membacanya. Saya tidak akan menyebutkan atau menekankan perbedaan ataupun persamaan dalam masing-masing tulisan kita karena saya anggapa gaya atau kebiasan itu sudah semakin konservativ dan lebih banyak basa basinya yang justru menghalangi kelancaran dan kewajaran sebuah diskusi serius. Sesudah membaca buku Wijaya Herlambang KEKERASAN BUDAYA PASCA 1965 ( saya singkat saja "KBP 65) saya terkesan oleh beberapa hal mengenai sosok dan pemikiran Wijaya Herlambang a.l. kapasitasnya sebagai seorang kritikus sastra, analisisnya yang tajam dan mengurai, kepandaiannya mengelola tulisan yang bersifat sastra dan politik serta ilmu dalam sebuah buku. Saya kira kombinasi macam demikian sangat mudah membuat seorang penulis tergelincir pada agitasi (bila bicara soal politik), pada intelektualisme (bila bicara soal ilmu) dan subyektivisme (ketika menganalisa dan mengurai). Dan saya tidak melihat penulis ini terpelest pada bidang yang manapun namun tetap berjalan dengan lancarnya di tempat-tempat yang licin tersebut. Tapi memang, secara ideologis saya tentu banyak yang sependapat dengan dia dan mengenai soal ini pasti saja bung Salim bisa memahami. Namun saya juga tidak mau tergelincir untuk sampai meninggalkan obyektivitas dan semata mementingkan faktor subyek sendiri saja. Kita berhadapan dengan ilmu dan bukan mempertengkarkan ideologi dan hanyut dalam perdebatan politik. Obyektivitas di sini adalah cermin yang harus jadi patokan kita dan bukanlah sesuatu yang harus dimutlakkan tapi sebagai akibat absennya cermin tsb kita juga akan kehilangan arah atau orientasi. Anti komunis dalam alam demokrasi adalah hak setiap orang seperti juga hak setiap orang untuk menjadi komunis sebagai pilihan ideologinya lalu pada giliranya ada pula hak menyerang dan hak membela diri. Hak menyerang masih banyak menimbulkan soal tapi lain halnya dengan hak membela diri yang tidak boleh direduksi sekecil apapun. Dan ini menjadi persoalan bangsa kita hingga sekarang: hak bela diri terlalu sempit dan sengaja dipersempit oleh penguasa dan bahkan hingga dicekik sama sekali. Demokrasi kita menjadi timpang meskipun kediktatoran tampak goyah dan terlihat sulit untuk tegak kembali. Komunisme tidak diberi hak hidup dan hak 1
membela diri di sebuah negara yang menyebut dirnya negara demokrasi. Saya melihat buku Herlambang ini sebagai sebuah usaha baru untuk menegakkan hak bela diri dari semua korban kekerasan Orba di masa lalu yang hingga kini pengaruhnya masih sangat kuat. Dan yang menjadi korban sekarang ini bukan lagi semata kaum komunis (mereka sudah hampir habis) tapi yang non Komunis dan juga lapisan sebagian terbesar rakyat hingga ke segolongan intelektuil yang juga non Komunis harus hidup dalam ketegangan karena selalu dalam kekuatiran dituduh Komunis dan bahkan hingga didiskriminasi bila telah dicurigai sebagai bersimpati dengan Komunis. Saya yakin bung Salim tidak akan setuju denga situasi yang begini. Saya sendiri secara pribadi tidak setuju MK dilarang meskipun jiwa MK tidak saya setujui. Saya juga adalah penganut kebebasan ber-ekspressi dalam pengertian umum dan yang sedang aaya lakukansekarang ini adalah justru saya sedang menggunakan kebebasan itu. Tanpa adanya kebebasan ber-expresi tidak akak lahir karya manusia yang wajar. Tapi kebebasan ber-expressi yang diberi isi tujuan membasmi Komunisme sudah pasti saya tentang yang kebebasan semacam itu dikemudikan oleh kekuatan sebuah penguasa negara dengan tujuan menghancurkan kebebasan ber-expressi orang lain maupun pihak lawan. Dan MK telah menjadi alat langsung penguasa Orba turut serta menghancurkan Komunisme dengaan senjata budaya seni mereka Kebebasan ber-expessi yang mereka tafsirkan secara palsu dan penipuan sehingga istilah "kebebasan ber-expressi" yang didominasi dan menuurut tafsiran MK membuat banyak orang menjadi takut untuk menentangnya tapi bila membelanya berarti akan turut-turut memerangi Komunis. Menurut saya Nasakom sama sekali bukan membuat PKI menjadi besar malah sebaliknya Nasakom yang disokong PKI telah membuat PKI menambah musuh secara tidak perlu. Sebelum Nasakom dilahirkaan secara formal setiap anggota PKI yang menjalankan ajaran agama Islam bisa dengan tenang melakukannya yang memang amat jelas PKI membiarkan semua anggotanya menganut sesuatu agama yang dipilihnya meskipun PKI bukan nengurusi soal agama karna PKI adalah Partai Politik. Tapi begitu Nasakom-nya Presiden Soekarno disokong kuat oleh PKI, Partai menghadapi banyak musuh dari kalangan Islam di luar PKI. PKI membesar dan berkembang adalah karena Partai menempuh jalan yang salah: jalan damai untuk merebut kekuasaan. Tapi PKI ketika itu dengan penuh kesedaran menempuh dan melaksanakan garis politik jalan damai yang punya risiko fatal yang sama dengan yang ditempuh Presiden Soekarno di saat-saat menentukan di puncak kegagalan G30S: MENGHINDARI PERTUMPAHAN DARAH yang berahir dengan akibat malah darah telah tertumpah puluhan kali bahkan ratusan kali lebih banyak dibadingkan sendainya mengadakan perlawanan. Dan begitu jugalah yang dialami PKI bersma 2
simpatisan dan sebagian rakyat Indonesia. Jalan damai PKI memang banyak menarik perhatian dan simpati orang banyak dan oleh sebab itulah PKI dapat membesar yang nantinya sebagai calon babi potong untuk dipestakan di tengah musuh-musuhnya terutama Angkatan Darat . Saya yakin cukup banyak para seniman, budayawan dan para pemuda kita yang tidak sadar dan tidak tahu telah makan duit CIA. Dan kalau demikian bukanlah sesuatu yang mesti disesalkan asalkan tidak secara sedar memburunya yang kemudian untuk menerima tugas-tugas dari CIA. Hingga menjelang ahir tahun 1961 saya masih berada di Jakarta dan menjadi mahasiswa UI di Rawamangun. Mungkin saja kalau saya mendapat kesempatan sekolah ke Amerika dan mendapat besiswa saya akan ke Amerika . Tapi ke Sovyet Uni pun saya harus berusaha sendiri tanpa dukungan organisasi yang manapun. Bahkan abang sulung saya tidak setuju saya belajar ke luar negeri: ke Soviet Uni apalagi ke Amerika. Tapi saya tetap menggunakan hak saya dari usaha sendiri dengan cara melamar seperti ribuan calon penerima besiswa lainnya tanpa dukungan siapapun. Ketika MK dilarang oleh bung Karno saya sudah tidak berada di Indonesia dan dari sana saya juga tidak mendengar bahwa lawan-lawan Lekra mengalami kesulitan hidup, repressi, kehilangaan pekerjaan dan kehilangan kesempatan untuk bekerja (Mungkin seperti yang dialami oleh para korban 65 hingga sekarang ini). Tapi saya rasa sulit untuk menyalahkan Lekra atau menuduh Lekralah yang menyebabkan semua penderitaan mereka. Lekra hanya berdebat dan melakukan perang pena. Lekra tidak punya kuasa dan yang berkuasa adalah Pemerintahan Presiden Soekarno. Lekra bisa menyokong tapi tidak bisa mengendalikan seorang Soekarno. Dan MK dibubarkan dengan sebuah keputusan Presiden, dengan kertas, sedangkan Lekra dihancurkan dengan peluru dan bayonet, penjara serta buangan. Lain umpamanya dengan para mahasiswa pendemonstran dan pendongkel Pemerintahan Soekarno yang bekerja sama langsung dengan militer dan sama-sama antusias untuk menghancurkan Lekra dan komunisme. Bung Salim, maafkan, ini sudah terlalu panjang dari saya. Salam, ASAHAN.
3
----- Original Message ----From: Salim Said Sent: Monday, January 06, 2014 4:22 AM Subject: Fwd: KEKERASAN BUDAYA PASCA 1965...
Bapak Asahan Yth, Beberapa hari lalu saya membeli beberapa buku di toko buku Gramedia. Salah satu yang saya beli adalah karya Dr. Wijaya Herlambang,Kekerasan Budaya Pasca 1965. Saya sudah selesai membaca buku itu, tapi karena saya ingin lebih mengerti karya buku yang menarik itu saya sedang mencari waktu membacanya kembali. Penelitian yang dilakukan Herlambang (kemudian menjadi tesis doktornya di salah satu Universitas di Australia dan kini terbit di Indonesia dalam terjemahan dengan judul Kekerasan Budaya Pasca 1965) saya anggap sangat menarik dan usaha intelektual yang penting. Selama ini pada umumnya kritik dan pembicaraan tentang karya sastra kita hanya melihat karya sastra sebagai sebuah produk seni, produk kreatif, dan sedikit sekali (kalau toh ada) yang melihatnya sebagai teks budaya yang dari dalamnya kita bisa melihat ideologi sang penulis serta kecenderungan masyarakat pada suatu zaman dan pada suatu lokasi. Memang harus diakui, studi budaya yang memperlakukan produks kreatif (sastra, film, komik, teater dll) sebagai teks yang mengandung banyak hal, adalah fenomena baru dalam ilmu humaniora. Sepanjang sejarah sastra Indonesia moderen, gaya dan pendekatan H.B.Jassin, dan murid-muridnya di Fakultas Sastra UI (Sekarang Fakultas Ilmu Budaya) adalah model dan penjuru bagi semua yang menulis kritik terhadap sastra Indonesia di dalam maupun di luar negeri. Dr. Wijaya Herlambang adalah salah satu sarjana Indonesia yang mendekati sastra Indonesia dengan pendekatan baru, artinya bukan dalam tradisi H.B. Jassin. Menurut pengakuannya sendiri, Dr. Herlambang membahas kesenian Indonesia karena terobsessi oleh pertanyaan "bagaimana ideologi anti komunis bisa bertahan lama, jauh setelah jatuhnya Orde Baru." Dalam aline yang sama (halaman 4) Herlambang menyimpulkan ," tidak bisa dipungkiri bahwa bertahannya ideologi anti-komunis merupakan akibat langsung dari pendekatan politik Orde Baru untuk menghancurkan komunisme dan mencegah munculnya kembali paham itu di Indonesia..." Assumsi dari kesimpulan Herlambang itu adalah bahwa di Indonesia kekuatan anti Komunis adalah hanya militer, yang kemudian dibantu oleh "agen-agen
4
kebudayaannya" yakni para seniman yang tidak tergolong Kiri dan bahkan "berperang" melawan kaum Kiri. Menurut saya di sini kelemahan utama Herlambang. Penulis ini tidak meletakkan persoalan yang ditelitinya dalam kontek politik zamannya. Persoalan Kiri lawan Kanal sudah mulai tampil dalam sejarah Indonesia sejak Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan pada tahun 1950. Puncak dari "perang" antara Kiri melawan Kanan adalah pada masa Demokrasi Terpimpin. Di bawah payung doktrin Nasakom Pemimpin Besar Revolusi yang mendominasi kegiatan budaya adalah kegiatan kiri. Pada saat itulah buku-buku mereka yang dituduh Manikebu dan Humanisme Universal dilarang oleh kekuatan kiri dengan menggunakan tangan Mendikbud Prof. Priyono, seorang pemegang bintang Stalin. Dalam buku baru saya Dari Gestapu ke Reformasi ada saya ceritakan bagaimana orang-orang yang dituduh Manikebu masa itu terpaksa harus menulis dengan nama samaran karena tidak ada lagi media yang mau memuat tulisan mereka akibat teror dari golongan kiri. Teror kiri waktu itu dipimpin oleh Pramudaya Ananta Tur yang secara leluasa menggunakan rubrik Lentera pada harian milik Partindo, Bintang Timur. Pujian berlebihan kepada novel September sesungguhnya tidak usah terjadi kalau saja Herlambang dengan saksama mempelajari berbagai tafsiran dan teori tentang Gestapu. Novel Massardi tidak lebih dari terjemahan kreatif dari teori missing link professor Wertheim yang sejak awal Orde Baru sudah menuduh Soeharto sebagai dalang Gestapu. Pada halaman 8, Herlambang menulis,"bahwa peran CCF di Indonesia merupakan salah satu faktor penting yang telah memanipulasi gagasan "kebebasan"(liberty) yang tujuannya adalah menghancurkan komunisme -- yang pada tahun 1960an telah menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia-- dan sekaligus untuk membela kepentingan ekonomi pemerintah AS." Ada dua komentar saya untuk kalimat tersebut. Pertama, masa yang disebutkan Herlambang adalah masa Perang Dingin. Dalam masa itu hampir seluruh dunia tidak mungkin terbebas dari konflik Timur-Barat tersebut. Amerika bergerak di mana-mana membendung Sovyet dan Cina serta sekutu-sekutu mereka. Pihak sebaliknya juga demikian.Karena Amerika lebih kaya, tentu duit dan fasilitas yang ditebarkannya lebih banyak dari pihak lawannya.Saya masih ingat USIS (kantor penerangan Amerika) membiarkan bukunya dicuri oleh anak-anak muda yang tertarik membaca buku buku Amerika itu. Beasiswa ke Amerika juga tersedia 5
sampai Sukarno mempersult mahasiswa ke Amerika dan memfasilitasi mereka belajar ke Eropa Timur, Uni Sovyet dan Cina. Pihak timur melawan Amerika itu dengan mendatangkan buku-buku dengan cetakan bagus dan dengan harga murah. Beasiswa ke Eropa Timur, Sovyet dan Cina juga tersedia banyak. Kami orang Indonesia waktu itu memanfaatkan dengan baik kesempatan dari Barat dan Timur waktu tersebut.Tapi itu bukti bahwa kita orang Indonesia tidak begitu saja jadi obyek "manipulasi" asing, dari Barat maupun dari Timur. Ya, betul, PKI adalah salah satu kekuatan politik terbesar waktu itu. Tapi kita sebaiknya tidak berhenti pada kalimat itu. Sebab kalau berhenti di situ, sulit kita mengerti mengapa PKI dengan mudah dihabisi oleh militer setelah 1 Oktober 1965. PKI bisa mencapai tingkat itu banyak disebabkan oleh lindungan Nasakom Sukarno serta kepandaian PKI memanfaatkan kesempatan yang dibukakan Sukarno itu. Di samping PKI dan Sukarno ada Angkatan Darat yang sangat anti Komunis. Tapi selain tentara ada jumlah besar golongan anti Komunis yang tadinya ada dalam Masyumi dan PSI (Keduanya dibubarkan Sukarno pada tahun 1960) serta sejumlah golongan anti Komunis dalam NU, Partai Katolik dan PNI. Mereka-mereka yang anti Komunis inilah yang mendukung Angkatan Darat dalam menghadapi PKI dan Sukarno setelah 1 Oktober 1965. Saya sebenarnya bisa bicara lebih panjang lagi mengomentari buku Dr. Wijaya Herlambang. Inti kritik saya sekarang adalah jangan sekali-sekali menafikan sejarah. Soal ideologi anti Komunis yang berlangsung hingga masa reformasi sekarang yang dibahas oleh Herlambang, adalah kejadian-kejadian yang akarnya sudah merupakan sejarah. Maka kalau Herlambang ingin menjawab pertanyaan yang mendasari obsessi penilitiannya, dia harus sensitif terhadap sejarah politik Indonesia, termasuk masa-masa jauh sebelum 1 Oktober 1965. BS. ----------
6
ASAHAN:
KEKERASAN BUDAYA PASCA 1965 Buku Wijaya Herlambang* Sebuah inspirasi baru Buku ini adalah sebuah kajian ilmiah tapi juga sarat dengan peristiwa sejarah khususnya sejarah G30S dan budaya anti komunis Orde Baru. Analisis dan bukti-bukti sejarah serta wawancara mewarnai buku Wijaya Herlambang ini hingga menguatkan kesan bahwa penulisnya bukan saja seorang peneliti ilmiah yang serius tapi juga tegas memihak. Memihak pada kebenaran dan obyektivitas. Ini perlu ditegaskan mengingat pentingnya kelahiran buku ini yang pasti mampu memberikan inspirasi kepada setiap peneliti lainnya yang cenderung memilih obyektivitas untuk isi kajiannya tapi juga tegas berpihak pada kebenaran betapapun risiko yang akan dihadapi di tengah masyarakat maupun pihak penguasa. Tapi juga buku ini penting bagi setiap mahluk Indonesia yang semuanya punya trauma peristiwa G30S dengan segala komplikasinya dari budaya anti komunis yang diwariskan Orba suharto. Setiap orang perlu berpikir kembali terutama bagi mereka yang terbius selama hampir setengah abad oleh budaya anti komunis Orba suharto yang sangat sulit waras kembali. Wijaya Herlambang menggunakan bahasa yang jelas dan bahkan cukup banyak bab-bab yang sesungguhnya adalah essay-essay yang brilyant dengan analisis peristiwa dan analisis ideologi anti komunis yang mengungkapkan inti masaalah secara amat mantap dan jitu. Umpamanya Neoliberalisme di bidang kebudayaan dengan ayat-ayat suci mereka seperti : "kebebasan ber-expressi" dalam seni budaya yang sesungguhnya adalah ideologi anti komunis yang tampak seolah diperhalus dan mudah ditelan. Tapi sesungguhnya tujuan "kebebsan ber-expresi" itu adalah untuk bebas membasmi komunis serta menyebarkan kebancian dan dendam kesumat terhadap komunisme sepanjang abad melalui seni budaya yang bertuhankan "humanisme Universal". Wijaya Herlambang, penulis buku ini terasa jelas adalah juga seorang kritikus sastra yang membedah hasil sastra atau salah satu produk kebudayaan, istilah yang sering digunakannya, secara amat tajam dan mengurai. Penciuman politiknya sebagai seorang ilmuwan dan sarjana sangat tajam yang itu membuat dia bisa lancar bicara *
WIJAYA HERLAMBANG: Kekerasan Budaya Pasca 1965; Tanggerang Selatan; Marijn Kiri: 2013; 334 hlm.
7
soal politik dan pula analisisnya. Umpamanya Herlambang dalam ulasannya dan penilaiannya mengenai perdebatan atau lebih tepatnya perselisihan antara KUK (Komunitas Utan Kayu) dan boemipoetra, di pihak boemipoetra dan pihak sekutunya dalam menyerang pihak KUK cumalah menyinggung soal-soal permukaan saja tapi tidak menyingung masalah inti sebagai isi perut KUK yang menyebarkan budaya anti Komunis dan pembenaran terhadap kekerasan pembantaian pasca G30S serta penganut ekonomi Neoliberalisme dan agen berkebudayaan liberal Barat meskipun hanya melalui ide-ide besar mereka "kebebasan ber-ekspressi" yang ibu kandungnya adalah "Hunanisme Universal". Saya sendiri menganggap analisis Wijaya Herlambang ini adalah jenius meskipun tampak lahirnya sederhana saja . Metode Wijaya Herlaambang dalam mengumumkan apa yang tersembunyi dan apa yang terang-terangan dalam karya karya produk budaya kaum Manifest Kebudaayaan maupun pecahannya seperti KUK, adalah langsung membedah karya-karya mereka itu sendiri yang memang karya-karya itu sendirilah yang berbicara. Saya jadi teringat akan seorang kritikus sastra yang besar bangsa Rusia abad ke 19 Dobroliubov yang terkenal dengan ucapannya: "Tidak penting apa yang kau maksudkan (di luar text), yang penting apa yang telah kau katakan (dalam text)." Dengan kata lain Wijaya Herlambang telah membedah hingga ke dasar obyek yang dibedahnya dan lalu menunjukkan kepada setiap orang apa yang ada di sana dan dan apa yang tidak ada dengan pertolongan penerang analisis yang tidak keluar dari bingkai obyektivitas dan sambil juga tetap berdisiplin menunjukkan diri sebagai seorang ilmuwan dan peneliti. Kombinasi kwalitas yang demikian masih amat langka dan amat jarang kita temukan di Indonesia sekarang ini. Masyarakat sastra Indonesia sendiri sering bilang: "Di Indonessia sekarang ini tidak ada kritikus sastra". Tapi dengan lahirnya buku Wijaya Herlambang "Kekerasan Budaya Pasca 1965", toh kita sudah bisa bilang, kritikus sastra sudah ada di Indonesia. Dengan menggunakan dokumen dokumen dan juga wawancara langsung dengan tokoh-tokoh sastra dan budaya, penulis buku ini mengurai analisisnya dan menawarkan kesimpulan-kesimpulan dan bahkan mengungkap banyak masalah yang dulu tidak atau belum terungkap atau bahkan dimanipulasi yang justru dilakukan oleh produk-produk kebudayaan Orba melalui institusi-institusi kebudayaan dan kesenian mereka.
8
Dalam buku ini Gunawan Mohamad sangat banyak disoroti dan hasil penyorotan Wijaya Herlambang bahwa Gunawan Mohamad adalah seorang moderat anti Komunis, simpatisaan PSI, menerima banyak bantuan dari CCF (Congress for Cutural Freedom) yang dibiayai oleh CIA yang kemudian bubar karena campur tangan CIA dalam CCF ini justru pernah dibongkar oleh majalah Amerika The New York Time. Tapi yang mendapat biaya dan bantuan lainnya dari CIA bukan cuma Gunawan Mohamad tapi masih banyak dan sangat banyak para tokoh sastrawan dan budayawan lainnya yang menikmati uang CIA seperti umpamanya dikirim ke luar negeri hanya untuk menulis sebuah novel dengan tema anti komunis atau dengan banyak alasan lainnya seperti dapat beasiswa belajar di luar negeri. Dan tujuan CIA satu-satunya adalah untuk menciptakan kader-kader Indonesia anti komunis dan pembasmian Komunis di Indonesia. Sedangkan alat budaya mereka yang terampuh adalah: "kebebasan ber-expresi" yang diisikan atau dipompakan ke berbagai semboyan yang bagus-bagus seperti "Humanisme Universal" yang kemudian melahirkan karya-karya seni budaya yang bertemakan anti komunis yang terutama dipelopori oleh majalah horizon dan majalah Sastra. Contoh-contoh yang diambil oleh Wijaya Herlambang adalah cerpen-cerpen yang bertema yang melegitimasi kekerasan atau pembantaian manusia oleh rezim suharto tapi dengan cara mem "pahlawankan" para pelaku kekerasan (algojo) sebagai pengemis rasa "harap dimaklumi" atau "harap bertimbang rasa" kepada pembaca karena para pelaku kekerasan itu "terpaksa" atau tidak ada jalan lain dan harus melakukannya untuk menyelamatkaa hidup mereka sendiri yang ini tentu saja merujuk pada ideologi Manifest Kebudayaan: "sekejam-kejam manusia toh mereka masih memiliki sinar cahaya ilahi". Dan ujar mereka cahaya ilahi itu harus diselamatkan, jadi para algojo tidaklah bersalah dan tidak boleh dihukum bahkan harus dibenarkan dan DILEGITIMASI yang itulah ideologi suharto dan Orde Baru hingga sekarang ini: PEMBUNUHAN MASAAL DI TAHUN 65/66 DAPAT DIBENARKAN DAN PERLU UNTUK MEMBASMI KOMUNIS DAN MENYELAMATKAN INDONESIA. Dan ideologi Orba suharto inilah yang telah dibedah oleh Wijaya Herlambang dalam bukunya dalam bentuk studi ilmiah yang bermuatan sejarah itu secara amat gamblang, penuh penekanan dan bahkan cukup sering diulang ulang dalam banyak pengulasan selanjutnya di dalam bukunya. Dan dia sampai pada kesimpulan penting bahwa legitimasi kekerasan budaya maupun kekerasan fisik yang dilancarkaan Orba suharto di Indonesia adalah cikalbakal untuk melaksanakan Neoliberalisme dan demokrasi Liberal di Indonesia dan semua tujuan itu hanya bisa dilaksanakan
9
hanya dengan cara membasmi Komunisme hingga keakar-akarnya dan ideologi inilah yang membimbing Indonesia hingga sekarang ini. Hal lain yang menarik juga adalah bahwa Wijaya Herlambang menggunakan metode perbandingan antara versi Nugroho Notosusanto, Arswendo Atmowiloto, Arifin C.Noor ( Film "Pengkhianatan G30Spki") dengan novel Noorca Massardi September yang bertolak belakang secara ideologis dan bahkan menjungkir balikkan semua rekayasa Orde Baru tentang peristiwa, G30S. Herlambang mengatakan bahwa Orde Baru dan para sekutu budayanya menggunakan, menciptakan "kenyataan" yang sesungguhnya adalah fiksi belaka. Sebaliknya Noorca Massardi dengan Novel September- nya mengunakan fiksi untuk menggambarkan kebenaran sejarah. Dengan cukup panjang lebar bahkan dengan bab tersendiri Wijaya Herlambang mengulas, membedah dan mengurai novel September karya Noorca Massardi dan memberikan penilaian tinggi terhadap novel tsb. Sangat menarik untuk dibaca. ASAHAN. Hoofddorp, 6 Januari 2014.
10