PENGGUNAAN RUANG DISKRESI BffiOKRATIK DALAM KONTEKS POLITIK LOKAL DAN SISTEM AKUNTABILITAS DIERAOTONOMIDAERAH (perbandingan pada Pemerintah Kota Surabaya, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bima)
Ringkasan Disertasi
Oleh: Sri Juni Woro Astuti No. Mhs: 04/1361fPS
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2009
TIM PROMOTOR: 1. Prof. Dr. Warsito Utomo 2. Prof. Dr. Muhadjir M. DarWin, MP A. 3. Dr. Agus Pramusinto, MDA.
TIM PENILAI: 1. Dr. Samodra Wibowo,MoSc.,Mag. rer. publ. 2. Dr. Wahyudi Kumorotomo,MPP.
3. Prof.H. Soehino,SH.
.
TIM PENGUJI: 1. Dr. Erwan Agus Purwanto,M.Si. 2. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni,M.Si.
Pimpinan Sidang: Dekan FISIPOL UGM Prof. Dr. Pratikno,M.Soc.Sc.
1 RingkasanDisertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rakhmat dan hidayahNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan desertasi dengan judul PENGGUNAAN RUANO DlSKRESI BIROKRA TIK DALAM KONTEKS POLITIK LOKAL DAN SJSTEM AKUNTABILITAS DJ ERA OTONOMI DAERAH (perbandingan_ Pemerintahan Kota Surabaya, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bima). Tema ini dipandang sangat menarik dan perlu untuk dikaji mengingat konsep diskresi birokratik itu sendiri masih mengundang perdebatan, baik dalam pemaknaan terhadap konsep diskresi, batasan, maupun bagaimana. mengukur kualitas tindakan diskresi, apakah acceptable dan accountable atau tidak. Demikian pula jika dilihat dari kondisi empiris di Indonesia terkait dengan stigma negatif yang melekat pada birokrasi pemerintah selama ini. Bahkan pada era refo~asi, di tengah upaya untuk memperbaiki citra birokrasi, temyata masih terdapat banyak kendala, yang menempatkan pejabat-pejabat birokrasi pada situasi ambigu dan kurang kondusif bagi penggunaan diskresi yang dimilikinya. Kajian tentang diskresi birokratik pemerintah daerah di era otonomi ini diharapkan dapat memberikan energi positif bagi penegakan profesionalisme aparatur birokrasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik. Selama proses penulisan Disertasi ini penulis menyadari begitusedikitnya yang sudah diketahui dan begitu banyaknya yang belurn diketahui, hal ini menyadarkan betapa proses learning tidak akan pemah berhenti. Oleh karena itu sebanyak dan setebal apapun yang telah dituliskan dalam disertasi ini tentu masih mengandung banyak kelemahan karena sesungguhnya tulisan ini hanyalah setetes air di tengah . lautan samudra ilmu. Penulis sangat menyadari dengan keterbatasan yang ada, banyak pihak yang telah memberikan dukungan dalam rangka terselesaikannya tulisan ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah mendukung penulisan Disertasi ini, khususnya kepada: 2 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAsMi, 2009
1. Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng.,Ph.D., mantan Rektor Prof. Dr.Sofian Effendi,MPIA, clan Prof. Dr. Miftab Thoha,MP A mantan ketua Bidang Studi Ilmu Sosial Sekolah Pascasarjana UGM, yang telah membeiikan kesempatan kepada penulis, untuk mengikuti program S3 di Universitas Gadjah Mada hingga terselesaikannya Disertasi ini. 2. Prof.H.Saleh Soegiyanto,M.Sc., Ph.D, selaku Ketua P3BIM, clanBpk. Budi Endarto, SH.,M.HuDh Rektor Universitas Wijaya Putra, yang telah memberi kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk terns berkarya dan menempuh studi S3 in~ 3. Terimakasih yang terdalam penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Warsito Utomo sebagai Promotor Utama yang dengan sangat profesional, akomodatif, penuh kesabaran clan perhatian beliau selalu mengarahkan dan memotivasi penulis sehingga penulis merasa seperti mendapat perhatian tidak hanya dari seorang 'guru' tetapi juga seorang 'bapak'. Juga kepada Prof.Dr.Muhadjir M. Darwin dan Dr. Agus Pramusinto, DEA selaku Ko-Promotor ditengah kesibukan yang lr.ar biasa telah meluangkan waktu untuk selalu memberi motivasi dan masukan-masukan yang sangat bermanfaat hingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. 4. Prof.H.Soehino,SH., Dr. Samodra Wibawa,M.Sc., Mag.rer.publ. dan Dr. Wahyudi Kumorotomo,MPP. sebagai Tim Penilai yang telah banyak memberi masukan demi kelayakan disertasi ini. Prof. Dr. Eko Prasojo (UI) dan Dr. Purwo Santosa, yang telah menyediakan waktu berdiskusi dengan peneliti. Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. dan Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni,M.Si. selaku Penguji, penulis ucapkan terimakasih atas segala kritik, masukan dan saran yang $aDgat bennanfaat dalam perbaikan tulisan.ini. 5. Dekan FISIPOL UGM Prof. Dr. Pratikno,M.Soc.Sc. dan Mantan Dekan FISIPOL, Prof.Dr. Mohtar Mas'oed, serta Ketua Program S2 dan S3 Jurusan Administrasi Negara FISIP:OLUGM beserta seluruh staf yang telah memfasilitasi penyelesaianlprogran doktor di bidang IImu Administrasi Negara.
3 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti;2009
6. Wakil Rektor I dan n UWP, Dir. PPs-UWP Dr.H.Wasis Budiarto,M.s.APU., daft mantan Dir. PPs-UWP Prof.H. Mas'ad Saleh serta seluruh rekan dosen Progam PPs-UWP khususnya Dr.Esa Wahyu Endarti, Dr.Indah, Dr. Woro, Dr. Izmi, Dr. Indra. Agus,M.si., Dwi Wahyu, M.Si" Dr. (cand) Agus S., dll yang selalu menyemangati agar segera 'talus'; Bu Dewi~M.Si., Bu Trisa, MM., Bu Dwi Lesno, MM., Dr. Nugroho, Dr. (cand) Wahyu Kurniawan, dosen dan seluruh Staf Universitas Wijaya Putra (Kampus I & II) yang tidak dapat disebutkan satu per satu disini, terima kasih atas segala perhatian dan supportnya. 7. Bapak Yuliafito,M.Si., Bpk. Bahtiar,M.Si, dkk dari Pemkab Situbondo, Bpk. Musliniin, MSi, Bpk. Gufron,M.Si. dkk..dari Pemkab Bima, serta Bpk. Hafid, M.Si.,dkk dari Pemkot Surabaya yang telah membantu peneliti selama pengumpulan data. Juga untuk tint teknis, mas Hari,S.Sos., pak Sasmito,M.Si. terima kasih atas segala bantuannya. 8. Do'a dan terimakasih penulis persembahkan kepada Ayahanda dan Ibu R Soetantoro (~m.), yang sudah memberi bekal ilmu dan pelajaran untuk 'hidup' di dunia ini, ananda persembahkaD karya ini. sebagai bakti ananda. Juga kepada Bapak & Ibu H. Fahrur Rozi (mertua) yang tak henti-hentinya mengirimkan nasehat dan doa dari jauh dengan sangat tulus. 9. Terspesial untuk suami tercinta, DR. Falih Suaedi,M.Si, yang selalu setia, penuh keSabaran, selalu memberi dukungan, serta untuk buah hati tersayang mas Rana, mas Dian, mas Ozi dan si cantik Tifany terima kasih yang tidak terukir atas kesabaran dan pengertian kalian semua, maatkan atas waktu-waktu dan perhatian yang sempat 'terbagi' selama ini. Kalian adalah sumber inspirasi yang tak pemah kering, sumber kelcuatanyang tak pemah padam, dan selalu me~adi penyegar dalam kelelahan dan kepenatan yang panjang ini. Pepatah mengatakan tiada gading yang tak retak demikian pula apabila dalam persembahan ini terda(>at kealphaan atau kelalaian yang sama sekali tidak penulis sengaja, dengan penuh kerendahan hati dan ketulusan penulis mohon maaf kepada semua pihak. Yogyakarta, April 2009 PENULIS 4 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
. A. Latar .Belakangdan Permasalahan P~nelitan Diskresi birokratik meropakan salah satu bidang utama dalam studi ilmu Administrasi Negara atau Adminis1rasi Publik yang masih perlu mendapat perhatian, karena konsep diskresi birokratik ini masih mengundang perdebatan publik, baik dalam pemaknaan terhadap konsep diskresi, batasan, maupun bagaimana mengukur kualitas tindakan diskresi, apakah acceptable dan accountable atau tidak. Demooan pula pada tataran implementasinya, khususnya pada era reformasi dimana dinamika politik lobi yang berkembang sangat pesat, tentu membawa implikasi terbadap birokrasi pemerintah daerah dalam kaitannya dengan penggunaan roang diskresi. Di tengah upaya untuk memperbaiki citra birokrasi, temyata masih terdapat banyak kendala, yang menempatkan pejabat-pejabat birokrasi pada situasi ambigu dan kurang kondusif bagi penggunaan roang diskresi khususnya dalam pengambilan kuputusan sesuai dengan domain kewenangan, tugas dan tanggungjawabnya yang dimilikinya. Situasi kurang kondusifyang dimaksud antara lain adalah: pertama, aturan perondang-undangan yang belum stabil (sering berobah) sehingga membuat pejabat di daerah kesulitan mencema maksud dan mengejawantahkannya pada tataran operasional. Kedua, stroktur birokrasi Indonesia yang pada masa lalu lebih bersifat mekanik, hierarkhis, dan sentralistis telah memberi kontribusi terhadap eksistensi nilai-nilai budaya birokrasi patrimonial yang berorientasi tinggi pada ke~asaan dan menimbulkan sikap 'pasrah' bawahan UDtuk selalu mematuhi segala anjuran atasannya. Nilai-nilai tersebut telah menenggelamkan daya kritis birokrasi yang seharusnya bercirikao sebagai organisasi rasional dan efisien. Ketiga, kondisi lingkungan ekstemal birokrasi yakni sistem politik yang masih ambigu dimana di satu sisi ingin melaksanakan sistem demokrasi seeara riil dan luas dalam rangka mewujudkan tata pemerintahao yang baik (good governance) t«1tapidi sisi lain instrumen demokrasi belum benar-benar dibangun seeara 1>aik. Walaupun disadari beratoya tantangan birokrasi dalam menghadapi tekanan-tekanan politis di era otonomi dan demokrasi lokal yang semakin kuat tersebut, serta kondisi internal yang kurang kondusif, namun birokrasi 5 RingkasanDiserlasi. SriJuniWcwAstuti,2009
diharapkan tetap bersikap netral dan profesional, sehingga mampu merYalankan diskresinya secara akuntabel. Untuk itu, sangat diperlukan sistem akuntabilitas yang efektif sehingga mempu mengontro~penggunaan diskresi birokratik. Penelitian ini, 0100. karenanya, berusaha mengkaji penggunaan ruang diskresi birokratik pemerintah daerah di era otonomi dalam konteks dinamika politik. lokal dan sistem akuntabilitas. Dengan mempertimbangkan pluralisme sistem sosial masyarakat Indonesia, maka penelitian ini dilaksanakan di tiga wilayah yang memiliki perbedaan kultur yang cukup signifikan, yakni : Kota Surabaya dengan kultur masyarakat yang IOOihterbuka, egaliter dan cenderung mengarah pada budaya politik partisipan; Kabupaten Situbondo dengan kultur pesantren dan paternalistik yang kuat sehingga pola kekuasaan secara riil ada diantara elit pesantren, elit politik dan elit birokrasi; serm Kabupaten Bima dimana kondisi sosial ekonomi masyarakat yang relatif rendah dan kecendenmgan budaya. politiknya masih bercorak parokhial, sehingga kekuasaan nyata di daerah itu masih dimonopoli 0100sejumlah keei)"elit parmi dan pejabat politik (Bupati). Adapun masalah utama yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah "bagaimanakah penggunaan ruang diskresi birokrasi di -era otonomi daerah?" Untuk menjawab permasalahan utama tersebut, dijabarkan beberapa masalah secara lOOihspesiflk sebagai berikut: 1. Apakah kebijakan pemerintah pusat (aspek legal formal) di era otonomi daerah memberikan ruang diskresi bagi birokrasi pemerintah daerah? 2. Bagaimana realisasi penggunaan ruang diskresi birokrasi pemerintah . daerah
tersebut?
3. Parameter dan pertimbangan apakah yang mendasari penggunaan ruang diskresi birokrasi pemerintah daerah dan apakah keputusan yang dibuat pada ruang diskresi birokrasi tersebut memenuhi kriteria akuntabel? 4. Apakah sistem akuntabilitas telah berjalan dengan efektif seh.ingga mampu mengontrol penggunaan ruang diskresi dalam sistem birokrasi 6 Ringkasan Disertasi, SriJuniWoroAstuti,2009
pemerintahdaerah (Pemerintahkota Surabaya,kabupatenSitubondo, dan Bima)? . B. Tujuan dan Manfast Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola penggunaan rnang diskresi birokrasi di era otonomi d~erah. Adapun secara lebih spesiftk dapat dirnmuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1) Mendeskripsikan adanya diskresi birokratik di era otonomi daer8h dari aspek legal formal sesuai aturan pernndang-undangan yang berlaku 2) Mendeskripsikan realisasi penggunaan ruang diskresi birokratik di era otonomi daerah pada pemerintah daerah kota Surabaya, kabupaten Situbondo, dan Bima. 3) Mengidentiftkasi pertimbangan-pertimbangan dalam penggunaan rnang diskresi birokratik 4) Mendeskripsikan sistem akuntabilitas internal dan ekstemal dalam penggunaan ruang diskresi birokratik Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik seeara teoritik maupun seeara praktis. Secara teoritik diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kejelasan konsep dan pengukuran diskresi birokratik. Diskresi hendaknya tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran melainkan sebagai keleluasan yang melekat (inherent) pada setiap jabatan dalam menjalankan kewenangan dan tanggungjawab tugasnya. Diskresi dapat dinilai dari akuntabilitasnya berdasarkan sejnmlah parameter legal dan noematif. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sarana kontrol terhadap jalannya pemerintahan di daerah terkait dengan pola hubungan antara eksekutif dan legislatif terntama dalam pengambilan keputusan pada ~omain birokrasi agar lebih dapat meningkatkan kesadaran pentingnya pen~akan profesionalisme dan netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7 Ringkasan Diserlasi,SriJuniWoroAstuti,2009
c. Keaslian Penelitian Kajian teotang kinerja birokrasi sudah banyak dilakukan. tetapi penelitian yang difokuskao pada diskresi birokrasi sebagai bagian integral dalam meocapai kioerja birokrasi belum banyak meodapat perbatian. Hal ioi dapat diketahui dari masih sedikitoya hasil-hasil penelitian yang membahas teotang diskresi birokratik di Indonesia, namun beberapa kajian yang telah dilakukao patut mendapat perbatian. Penelitian-penelitian tersebut lebih I?anyakdifokuskao pada ideotifikasi variabel-variabel atau faktor detenninan (input) diskresi birokratik. Penelitian yang menekankan pada variabel input sebagai faktor pendorong dao pengh~bat diskresi tersebut di atas dapat dikategorikao kedalam kajian pada level mikro yang membangun proposisi bahwa karakteristik organisasional (faktor internal) yang meliputi: budaya orgaoisasi, struktur, jenis pekerjaan, faktor sumberdaya manusia, dan faktor ekstemal (karakteristik klien, kepentingan politisi) sebagai detenninan diskresi aparat birokrasi. Selain kajian pada tataran mikro tersebut, terdapat beberapa penelitian yang dilakukan pada level makro kelembagaan. Mainstream kajian ioi mendukung teori positif diskresi birokratik yang meoyatakan bahwa derajad diskresi lembaga birokrasi ditentukan oleh legislatif. Berdasarkan elaborasi penelitian terdahulu, ada yang menarik untuk lebih diungkap dari sekedar mengidentifikasi faktor-faktor detenninan (input) diskresi birokratik baik pada level makro maupuo mikro, yakni sisi output. Belum banyak kajian tentang diskresi birokratik yang difokuskao uotuk menjelaskan sisi output dari pengguoaan kewenangan diskresi dan menganalisis apakah tindakan diskresi tersebut memenuhi kriteria akuntabel. Padahal dalam pembahasan teoritis penerapan diskresi birokratik masih mengundang perdebatan (theoritical gap) meogenai sejauhmana diskresi diperlukan dan apakah batasanbatasan diskresi yang seharusnya dipertimbangkan. Perlu tidaknya diskresi tentu akan dinilai d~ri parameter diskresi tersebut serta akuntabilitas dari keputusan atau tindakan yang dihasilkan. Selain itu juga terdapat kesenjangan empirik (empirical gap) dimana diskresi birokratik di negara-negara maju identik dengan fleksibilitas yang 8 Ringkasan Disertasi,SriJuniWooAstuti,2009
.. dilakukan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik, sementara di Indonesia dan Africa, diskresi birokratik cenderung dipandangsebagai sumber korupsi yang karenanya perlu dibatasi atau bahkan ditiadakan. Untuk itulah penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan (gap) teoritis dan empirik tersebut. Dengan demikian keaslian penelitian ini (significance) terletak pada perbedaan mainstream dari. peneliti terdahulu dan metode yang digunakan. Dipilihnya pendekatan ,kualitatif ini ditujukan untuk memperoleh suatu pemahaman tentang diskresi birokrasi dalam pe~pektif yang lebih luas dan natural. Untuk tujuan tersebut, kajian ini berusaha mengelaborasi aspek-aspek yang terkait diskresi birokratik. Aspek-aspek tersebut meliputi: aspek formal (aturan hukum) yang menjadi dasar pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah (termasuk adanya inkonsistensi antar produk-produk hukum yang ada), dinamika politik lokal yang mewujud dalam proliferasi kepentingan politik pejabat (politik) yang selalu dicoba diintervensikan kedalam sistem birokrasi, serta perkembangan dinamika' sistem akuntabilitas (kontrol) birokrasibaik internal maupun ekstemal. Tabe11.2. Mapping Penelitian Diskresi Birokrasi LEVEL (I) Mikro (Individ ual)
FOKUS (2) Faktor Internal (Input)
PENELITI (3) Aiken & Hage (1966)
HASIL (4) Struktur Organisasi dgn tingkat formalisasi tinggi merupakan faktor penghambat pengambilan keputusan petugas
Miller (1967)
Ada hubungan yang signifikan antara tingkat profesionalisme dengan kecenderungan petugas untuk melakukan enyimpangan (Diskresi) :
Wasserman (1971) & Peyrot (1982)
Organisasi 'dengan tingkat rutinitas peketjaan tingg sangat minim tingkat fleksibilitas dan diskresinya
9 Ringkasan Disertasi, SriJuniWoroAstuti,2009
Mikro (Individ uaL)
Makro (Inter Organisa sio nal)
Kelly (1994)
Nilai-nilai budaya berpengaruh thd karakteristik struktur organisasi selanjutnya mendasari penerapan diskresi
Faktor Ekstema I (Input)
Goodsell (1981) & Tripi (1984)
Perbedaan karakteristik Idien berpengaruh pada perbedaan sikap (diskresi) dim pelayanan public
Faktor Internal & Eksterna I (Input)
Patrick G.Scott (1997)
Kontrol birokrasi
Faktor internaleksternal
Patrick G. Pengaruh kontrol birokrasi Scott (akuntabilitas) dan karakteristik klien (1997) terhadap Diskresi lebih kuat dari pada
Aksepta bilitas Diskresi (InputOutput) Suppy Side (Input)
pengaruh profesionalisme SDM, Diskresi menghasilkan perbedaan dalam pelayanan
Hasenfeld Diskresi birokrasi dibatasi dan & ditentukan oleh lembaga legislative; Steinmetz legislatif cenderung memberikan (1981), diskresi yang lebih tinggi kepada Fiorina birokrasi ketika menghadapi masalah (1982), yang tidak dikuasainya; legislative menentukan besarnya diskresi Tripi (!984), Moe oirokrasi secara sepihak ( 1989) Wood & Anderson (1993), Sean 10
Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
,.
Demand Side (Input)
Makro (Organi sasional)
Faktor SDM mempen garuhi diskresi dIm pelayana n (InputOutput) Pengaru h diskresi thd kineIja birokrasi (Output) Pengaru h diskresi dan etika pelayana n thd kineIja pelayana n (Output)
gailmard (2002), . Volden (2002) Krause (1999),Mei er (1993), Rourke (1984), james Q. Wison (1989) Madlenka (1980)
Birokrasi tidak hanya secara pasif menerima pemberian diskresi oleh legislatif, melainkan juga ikut menentukan besarnya diskresi yang dikehendaki berdasarkan pertimbanan dampak positif dan negatif dari keputusan yang akan dihasilkan Birokrat dpt mengontrol pelayanan publik jika memiliki tingkat rasionalitas teknikal yang tinggi, Jika tidak pelayanan akan dikontrol oleh politisi
Melkisadek Noh Bernabas (2000)
Diskresi administrasi yang rendah menyebabkan rendahnya kineIja 'birokrasi
Feibe Bertha Rondonowu (2003), Lukman Arif (2006)
Diskresi administrasi berpengaruh kuat thd kineIja birokrasi, sedangkan etika pelayanan berpengaruh kurang kuat thd kineIja birokrasi, Diskresi menimbulkan dampak positif bagi kepentingan masyarakat.
11 Ringkasan Disertasi, SriJuniWoroAstuti,2009,
Faktor Internaleksternal Akuntab ilitas (InputOutput) Faktor Intemalekstemal .Akuntab iIitas Diskresi (InputOutput)
Madlenka (1980)
Birokrasi dpt mengontrol pelayanan publik jika memiliki tingkat rasionalitas teknikal yang tingg~ lika tidak pelayanan akan dikontrol oleh politisi
Sri luni Woro Astuti (2009)
Kemampuan penggunaan ruang diskresi birokratilc rendah karena sistem akuntabilitas (internal & eksternal) belum beIjalan efektif, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak memenuhi kriteria noematif dan tidak akseptabel.
C. Tinjauan Pustaka Ct. Diskresi Birokratik Dalam khasanah administrasi publik, pembahasan tentang diskresi selalu mengundang debat dan kontroversi. Sementara sebagian kelompok menolak perlunya penerapan diskresi, namun sebagian yang lain menghendaki adanya landasan normatif untuk dilaksanakannya diskresi (Bryner, 1987). Berbagai literatur mendetiniskan diskresi dalam konteks yang bervariasi, yakni diskresi dalam pelaksanaan aturan (rule) dan kebijakan (policy) atau diskresi dalam pengambilan keputusan (decision making). Chandler dan Piano (1982: 108) menggambarkan diskresi dalam konteks pelaksanaan aturan dan kebijakan, sebagai "... the freedom administrators have to make choices which determine how a policy will be implemented ". Davis (1969:4) menyatakan: " A public officer has discretion wherever the effective limits on his power leave him free to make a choice among possible cources of action and inaction". (seorang pejabat publik memiliki diskresi dimana batas efektif dari kekuasaan yang dimilikinya memberikan kesempatan atau kebebasan untuk membuat satu 12 RingkasanDisertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
pilihan diantara berbagai altematif tindakan baik untuk berbuat atau tidak
berbuat).
.
.
.
Sedangkan dalam konteks pengambilan keputusan, diskresi mengacu pada kekuasaan (power) dan hak (right) uotuk membuat keputusan fonnal dengan alasan atau pertimbangan di antara altematif-alternatif yang akseptabel (American Law Encyclopedia, Vol.3). Jowell dalam tulisannya mendefmisikan diskresi sebagai : " the room for decisional manoeuvre possessed by a decision maker" (1973: 179). Untuk memahami diskresi birokratik dalam bahasan ini dipaparkan dalam dua perspektif yakni persektif Old Public Administration dengan konsep dikotomi politik administrasi dan perspektif manajemen. Paradiema Old Public Administration : Dikotomi Politik-Administrasi Diskresi birokratik yang dijelaskan melalui paradigma dikotomi politik - administrasi menyangkut pemisahan fungsi lembaga negara dimana secara tegas dipisahkan antara fungsi pembuatan kebijakan (Iegislatit) dengan fungsi pelaksana kebijakan (eksekutif). Pembuatan kebijakan adalah fungsi dan domain lembaga politik, sedangkan pelaksanaan kebijakan adalah fungsi pada domain lembaga administratif (birokrasi). Wilson (1887) menyatakan: " when politics end, administration begins" (dalam Frederickson, 1997). Dengan adanya pemisl. Ian kekuasaan tersebut, maka birokrasi hanya bisa menerapkan kelelu(i,5aannya (diskresi) pada level 'bawah' (administrasi), sementara legislatif adalah pembuat kebijakan pada level 'atas'. Paradigma dikotomi politik-administrasi ini, memandang bahwa diskresi birokratik ditentukan secara top-down oleh para politisi pembuat kebijakan (Bawn, 1995; Fiorina. 1986; McCubbins, 1985; McNollfgast, 1989 dalam Krause, 1999). Pandangan ini yang kemudian dikenal sebagai teori positif diskresi birokratik. Diskresi birokratik menurut perspektif ini dima sudkan sebagai keleluasaan bagi tindak~ public agency (birokrasi) dalal.. ruang lingkup atau bentangan yang rhasih dimungkinkan dalam mengimplementasikan mandat kebijakan yang lebih luas yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif (Scott, Patrick, 1997). Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, birokrasi pemerintah memerlukan 13 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
keleluasaan yaitu kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Keleluasaan atau kebebasan bertindak dan mengambil keputusan itulah yang disebut dengan diskresi. Dengan diberikannya diskresi berarti sebagian kekuasaan yang dipegang oleh badan legislatif dipindahkan ke tangan birokrasi pemerintah. sebagai badan eksekutif (pelaksana kebijakan). Perspektif dikotomi politik~administrasiini menegaskan bahwa .dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas administrasi publik atau birokrasi pemerintah selalu memerlukan adanya diskresi birokratik dalam kapasitasnya sebagai implementor kebijakan (Bl}'Iler, 1987 ; Meier, 1993; Rouke, 1984; d8n Wilson, 1989). Sejalan dengan banyaknya kritikan terhadap paradigma politikadministrasi, maka konsep diskresi birokratik sebagaimana dipaparkan di atas juga mengalami Pergeseran. Seperti dikatakan Bl}'Iler (1987) bahwa diskresi birokratik atau yang disebut juga sebagai diskresi bidang administratif berhubungan juga dengan pemberdayaan aparat dalam aktivitas pembuatan peraturan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Dalam konteks ini, besamya diskresi dalam pembuatan kebij$n tergantung pada preferensi politisi yang duduk di dewan yang menganggap perlu tidaknya birokrasi diberikan keleluasaan (diskresi) untuk membuat kebijakan (Bawn,1995; McCubbins dan Weingast, 1989; Epstein dan Halloran,1994; Martin, 1997; McNollgast,1987; danjuga Volden, 1999). Namun dalam prakteknya, birokrasi lebih banyak dituntut untuk menghasilkan sejumlah keputusan yang tidak saja bersifat telcnis operasional tetapi juga dalam pembuatan keputusan-keputusan strategik guna mengatasi masalah publik yang sangat dinamis dan dalam rangka mengisi kekosongan kebijakan akibat keterbatasan legislatif. Dalam situasi demikian, birokrasi harus memainkan peran ganda, bahkan jamak, tidak hanya sebagai eksekutor atau implementor kebijakan melainkan juga sebagai formulator dan sekaligus evaluator kebijakan (Wibawa, 2004). Guna mengoptimalkan kapasit~~mya,birokrasi membutuhkan ruang diskresi yang memadai agar dapat menentukan pitihan diantara altematif yang mungkin ditempuh untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Terlebih dalam negara kesejahteraan (welfare state), diskresi sangat diperlukan, mengingat azas legalitas saja dianggap tidak cukup bagi administrasi negara (birokrasi pemerintah) untuk dapat berperan seeara 14 Ringkasan Disertasi, SriJuniWoroAstuti,2009
maksimal dalam melayani berbagai kepentingan masyarakat yang berkembang semakin luas dan kompleks (SF. Marbun, 2006). Terkait dengan kondisi empirik tersebut, maka sejauhmana birokrasi (administrative agencies) dapat menggunakan diskresinya lebih sebagai hasil "bargaining' antara legislatif dan eksekutif untuk menentukan zone dimana diskresi birokratik dapat diterima (Barnard,1983; Simon, 1976 dalam Krause, 1999). Demikian pula, Chandler dan Piano (1982) menerangkan bahwa bureaucratic discretion adatah hasil interaksi antara politik dan administrasi. Datam proses interaksi politik - administrasi tersebut, birokrasi temyata tebih aktif metakukan lobi-tobi. untuk mendukung suatu kebijakan atau mengatahkan usutan-usutan kebijakan yang bertentangan dengannya. James A.Wilson (dalam Krause, 1999) mengungkapkan bahwa hampir-hampir birokrasi tidak pemah menjadi lembaga yang pasif dan tunduk pada legislatif, sebatiknya ia selatu berusaha memanipulasi atasannya (legislatit) untuk mencapai rencana-rencana yang. menguntungkan baginya. Hasil kajian Krause (1999) membuktikan bahwa diskresi juga ditentukan oleh preferensi birokrasi bukan hanya oleh legislatif. Dengan demikian toori positif yang nienyatakan bahwa derajad diskresi birokratik tergantung pada kehendak atau preferensi politisi (legislatit) tidak sepenuhnya benar. Perspektif Manaiemen Dalam perspektif manajemen, diskresi terkait dengan pengambilan keputusan manajerial maupun individu dalam organisasi. Pada setiap pekerjaan betapapun ketatnya dia dikontrol tetap memiliki tingkat diskresi (meski sekecil apapun). Demikian pandangan Simon (1957) yang menyatakan pentingnnya diskresi bagi setiap pelaksanaan pekerjaan bahkan pada organisasi yang paling hirarkis dan otoritarian sekalipun (dalam Hill, 1997). Namun hal itu tidak berarti diskresi bisa dilakukan secara bebas. Sebagaimana ditegaskan oleh Barnard (1938) dan Simon (1945) bahwa diskresimemiliki batasan-batasan atau parameter yang perIu diperhatikan oleh pembuat keputusan. Satu hal yang perlu dikontrol dalam
15 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
penggunaan diskresi ini adalah dasar pemikiran atau pertimbangan yang mendorong diterapkannya diskresi oleh seorang pejabat. Dari perspektif dikotomi politik-administrasi maupun perspektif manajemen yang telah dipaparkan di atas, terdapat kesepahamao terhadap perlunya diskresi birokratik dalam pelaksanaan kebijakan serta pembuatan keputusan pada domain birokrasi. Meskipun secara teoritis diskresi diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas birokrasi, namun diskresi birokratik juga sering dianggap berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan, tenrtama jika petugas bertindak tanpa otoritas yang sah atau dengan kewenangannya itu dapat melanggar nilai-nilai keadilan dan moral (Wilson, 1989; Rohr, 1989; Lipsky, 1980; Keiser & Soss, 1998). Demikian pula Heritage Foundation , Hoover Institute dan aliran-aliran konservatif lainnya, memandang diskresi sebagai aneaman yang dapat merusak komunitas politik. Solusi mereka adalah secara radikal melarang diskresi birokrasi, birokrasi hanya boleh menjalankan apa yang harns dikerjakan. Dengan tegas mereka menyatakan tidak setuju dengan penerapan diskresi karena dianggap dapat menimbulkan kekaeauan serta menganeam kapasitas peraturan dan hukum yang sudah ada.' Namun disisi lain, John Lock (1965);Davis (1969);Bryner (1997) dll para pengikut Aristoteles berpendapat bahwa administrator perlu memiliki discretionary power atau discretionary decision dalam melaksanakan setiap kebijakan, karena undang-undang (kebijakan) tidak mungkin mengcover seluruh permasalahan yang ada seeara riil. Intinya, hukum tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya diskresi. Sehingga para birokrat perlu menggunakan diskresi untuk melaksanakan undang.,-undang tersebut dan mencapai tujuan kebijakan. Namun sejauh ini hukum administrasi negara belum dapat memberi jaminan bagi penerapan diskresi birokratik sebag~i fungsi dari administrasi negara.
16 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Proposisi 1: Hukum tidak mungkin mampu mengatur secara lengkapdan rinci semua tindakan yang akan dan perlu dilakukan oleh pemerintah,sehingga menimbulkan tuntutan agar diberikan diskresi (kebebasan) kepada birokrasi pemerintahuntuk bertindakatas inisiatifsendiriterutamadalam menghadapimasalah-masalahpublikyangpentingdanmendesak. Diskresi secara intrinsik terkait dalam pengarnbilan keputusan manajerial maupun individu dalam organisasi. Ketika suatu pekeIjaan didelegasikan kepada orang lain (bawahan), maka orang' yang mendelegasikan (atasan) pekeIjaan itu akan kebilangan sejumlah kontrol atas peketjaan tersebut. Proposisi 2: Setiap pekerjaan pada setiap level dalam organisasi secara inheren telah memuat discretionary power yang secara langsung atau tidak diskresi tersebut digunakan untuk menunjang efektivitas pelaksanaan tugas-tugas individu pelaksana maupun manajer dalam membuat keputusan. Hal itu tidak berarti diskresi bisa dilakukan secara bebas, melainkan perlu adanya kontrol. Pendapat untuk mengontrol diskresi melalui pengaturan tentang diskresi secara teknis, baik itu dalam bentuk standard operation procedure (SOP), buku pedoman, prosedur tetap atau istilah lainnya, tidak dapat diterima karena dengan begitu sarna saja tidak terdapat ruang disl
17 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
berbagai tuntutan yang berbeda tersebut (Cooper,1982 dalam Scott, 1997). Sedangkan Burke (1986) menyebutkan bahwa parameter. diskresi lebih mengacu pada pertimbangan-pertimbangan normatif sehingga suatu tindakan diskresi dapat dipandang acceptable atau appropriate. Apapun yang digunakan sebagai dasar kriteria atau parameter, pada dasarnya ditujukan untuk memberikan batasan sejauhmana diskresi tersebut dapat diterlma sebagai tindakan yang akuntabel. Selain perlunya parameter sebagai batasan sejauh mana diskresi patut diterapkan, ada beberapa variabel lain yang juga perlu diperhatikan dalam pelaksanaan diskresi birokrasi yaitu antara lain: konteks dimana keputusan harns diambil, kultur internal organisasi (etika dan profesionalisme), peraturan dan batasan (legal), serta lingkungan eksternal organisasi yang bersangkutan (dinamika sosial, ekonomi dan politik) (dalam Scott,1997). Co2.Kewenangan Birokrasi dalam Konteks Politik Dikarenakan tingginya pengarnh politik maka pembahasan mengenai domain kewenangan dan diskresi birokrasi selalu menjadi isu yang tidak akan ada habisnya, terlebih lagi ketika dihadapkan pada tuntutan untuk mengakomodir nilai-nilai pluralist-democracy di satu sisi dan administratiJ-eficiency di sisi lain. Pengarnh sistem dan dinamika politik sebagai supra-sistem dari birokrasi selalu mengundang polemik sejak awal dimulai dari paradigma dikotomi politik-administrasi. Sebagairnana diketengahkan 0100 frank J. Goodnow (1900) yang seeara tegaS mernbagi fungsi pemerintahan dalam dua jenis yakni politik dan administrasi. Politik berurusan dengan kebijakan atau ekspresi dari kehendak negara, sedangkan adrninistrasi berurusan dengan pelaksanaan dari kebijakan tersebut (Goodnow (1900); dalam Shafritz dan Hyde; 1987). Goodnow juga menekankan perlunya keseimbangan dan harmonisasi antara kedua fungsi tersebut. Lebih lanjut ia menegaskan, agar kedua fungsi tersebut dapat sejalan, maka independensi kedua badan tersebut harus dikorbankan. Artinya, otoritas pelaksana (administrasi) harns merupakan dan berada dalam posisi subordinate terhadap otoritas pembuat kebijakan (politik), atau otoritas pembuat kebijakan harns mengontrol otoritas pelaksana (Shamtz dan Hyde; 1987:28). Narnun prinsip yang ditawarkan oleh Goodnow tersebut banyak mendapat sanggahan, antara lain dari Fred W. Riggs (dalam Bantista et 18 Ringkasan Diserlasi. SriJuniWoroAstuti,2009
aI., 1993:121-125) berpendapat bahwa politik dan administrasi lebih baik jika dilihat sebagai satu kesatuan. Pandangan Riggs sebagaimana ditafsirkan oleh Kirwan (1987:398), lebih memandang dikotomi politik administrasi ini sebagai dua level politik yang berbeda, dimana antara superordinate dan subordinate dalam pemerintahan berkaitan dengan ruang lingkup tugas umum mereka. Level politik yang lebih tinggi mengacu pada kebijakan yang lebih luas, dan diasumsikan sebagai domain pejabat politik (Bantista et ai, 1993:125). Sedangkan level politik yang lebih rendah menyangkut kebijakan yang ruang lingkupnya lebih spesiflk sehingga. sifat kebijakannyapun lebih operasional. Level kebijakan yang lebih spesiflk dan operasional inilah yang menjadi domain kewenangan birokrasi. Namun kebanyakan politisi kurang memiliki pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan publik. Sebagaimana pendapat Dror dalam Caiden (1982:55) bahwa kebanyakan politisi kurang berkualitas sehingga kevacuman dalam pembuatan kebijakan pada level politis diambil aIih prakarsanya oleh para birokrat. Meskipun kebijakan publik dibuat di arena politik, namun perencanaan dan irnplementasi dari kebijakan tersebut berada pada arena birokrasi {Caiden,1982:55). Sehingga birokrasilah yang sebenarnya lebih banyak memegang peranan dalam pembuatan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan. Setiap kebijakan yang diambil oleh eksekutif bersama-sama dengan legislatif dan kemudian dilaksanakan oleh birokrasi harns tetap berada dalam koridor kepentingan publik (bukan kepentingan golongan I parpol dan kelompok masyarakat tertentu). Namun fakta menunjukkan bahwa kepentingan politik cenderung mengontrol keputusan diskresi birokrasi. Terutama dalam kebijakan pelayanan publik yang bersifat distributif, seringkali fakta yang ada dimanipulasikan untuk mempengaruhi kepurusan diskresi birokrasi demi kepentingan politik praktis yang tidak benar-benar merepresentasikan kepentingan publik. Sebagaimana hipotesis Mladenka (1980) tentang politik perkotaan (urban politics) sebagai berikut: " "... urban services are political sources that can be manipulated, redistributed, and withdrawn in the scramble for electoral advantage. Loyal wards are rewarded with superior services. Major service decisions are made by the machines, handed down to the bureaucracy, and implemented in accordance with the
-
19 Ringkasan Oisertasi, SriJuniWoroAstuti,2009
scheme that seeks to wring maximum political advantage from the distribution of finite service resource".
Kebijakan distribusi pelayanan (services) seringkali didesain untuk memperoleh keuntungan poHtik semaksimal mungkin dengan hanya memberikan pelayanan yang terbatas kepada wilayah-wilayah tertentu yang loyal secara politik. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan prinsip social equity yang merupakan spirit yang harns dikedepankan oleh administrasi publik atau birokrasi (Frederickson, 1997). Namun pembelokan atau manipulasi kepentingan tersebut sebenamya dapat diminimalisir dengan satu hal yakni profesionalisme birokrasi. Sebagaimana pendapat Miranda (1994) sebagai berikut: "...that bureaucratic rules best explain the distribution of urban services where professionalism dominates so that systematic bias is unlikely and that distributive decisions are made by impartial administrators who rely upon technical rational rather thanpolitical criteria ". .
Namun penelitianMladenka(1980)menunjukkanbahwa sulit bagi
birokrasi untuk mengontrol distribusi pelayanan yang sebenarnya merupakan tanggungjawabnya, dan bahwa birokrat menggunakan kriteria teknis dan rasional dalam menyelesaikan permasalahan distribusi pelayanan. Fakta yang terjadi adalah bahwa mereka secara konsisten melakukan manipulasi demi memperoleh keuntungan atas dukungan suara yang diberikan kepada para politisi. Dengan demikian kewenangan dan diskresi birokrasi akan menjadi area yang sangat rentan terhadap intervensi politik dan mengabaikan nilai-nilai social equity, manakala profesionalisme birokrasi belum dapat ditegakkan. C.2. Diskresi dan Sistem akuntabilitas Penerapan diskresi perlu dibatasi oleh berbagai parameter yang bersumber dari sistem internal maupun eksternal birokrasi. Mekanisme kontrol atau sistem akuntablitas yang berjalan di dalam sistem internal (resposibilias) dan eksternal (akuntabilitas) itulah yang pada akhirnya akan mengarahkan kualitas diskresi birokrasi.
20 Ringkasan Diserlasi.SriJuniWort> Astuti, 2009
Proposisi 3: Penggunaan diskresi birokratik memerlukan kontrol baik yang bersumber dari internal (responsibilitas) maupun dari eksternal birokrasi berdasarkan norma-nonna yang berkembang dalam masyarakat (-oomtabilitas), agar ticiakteIjadi overdiscretion yang menjuros pada mall-administration. Carl Friedrick (1940) (dalam Denhardt,I991:U3), menyatakan bahwa responsibilitas (internal accountability) birokrasi hanya bisa dijamin melalui penegakan standar profesionalisme atau kode etiksebagai mekanisme "internal checks and ballances". Pendapat ini disebut Waldo (1984) sebagai "inner chec~'. Dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan pada masyarakat modem membuat legislatif semakin kesulitan dalam merumuskan kebijakan dengan detail. Sementara itu, birokrasi sudah semakin berkembang dan menyadari perlunya membangun semangat "democratic responsibility" sebagai. bagian dari tugas administrator (Denhardt,I991:113). Jadj, responsibilitas tidak semata-mata atas dorongan dan tuntutan eksternal tetapi juga dari internal birokrasi. Pandangan ini dikenal dengan "subjective responsibi/iJy" yakni ukuran responsibilitas yang tergantung pada sistem nilai di dalam birokrasi itu sendiri. Sedangkan, Finer (1941) lebih menekankan perlunya ekSternal check and balances. Dalam pandangan Finer, kontrol oleh lembaga legislatif lebih efektif untuk. menghindari teIjadinya penyalahgunaan kekuasaan birokrasi (mall administration). Pandangan ini dikenal dengan "objective responsibility" (daIam Denhardt,1991:112). Klitgaard (1991) . juga menyatakan sebagai berikut: "accountability manages discretion and discretion is the essence of administrative decentralization. An "accountability mechanism" is thus a map from the outcomes of actions of pub/ik officials to sanctions by citizens. Governments are "accountable'" if citizens can discern representative from unrepresentative government and can sanction them appropriately, retaining those in office who perform well and ousting those who do no. fl.
21 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Dari kedua pandangan tersebut Romzek dan Duhnick (1987), akhirnya mengidentiftkasiadanya dua kelompok akuntabilitas,yakni akuntabilitasinternalyang meliputitanggungjawab secara birokatisdan profesiona1;dan akuntabilitasekstemalyang meliputipertanggung;awaban secara politis dan legal (Ro~k dan Dubnick,1987;Vig~a, 200:.:64). Sistem akuntabilitas ini digunakan untuk. mengontrol apakah dis.cresi birokratik digunakan sesuai koridor hukum dan. nonnatif d&tam menjalankansuatu kebijakanpublik sehinggamencapaihasilltujuanpng diharapkan.Datam hal ini,jenis diskresi birokrasidapat dibeda-bedakh.1 sesuai dengan jenis-jeniskebijakanpublik. Pemetaanjenis-jenis diskresi sesuaideogankarakteristikkebijakan publikini sangat.tepatjika dikaitkan dengankerumitandalamproses legislatifuya(Morgan,Shinn,dan Green, http://www.eli.pdx.edul2002). Integrated Redistributive Policy: Produces administratif political discretion Demand pattern of stakeholders
Fragmented
Distributive Policy: Produces Administrative Technical Discretion Low
"
Self-Regulatory Policy: Produces Administrative Professional . Discretion Regulatory Policy: Produces Administrative Planning Discretion
.
'
'
AdmmlstratIveand polIt leaI costs
High
Of reachingdecision Gambar 2.2. Jenis kebijakan publik dan tipe diskresi Sumber: Morgan, Shinn, & Green, 2002
22 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstufi,2009
C.3.Kerangka Konsep Diskresi birokratik dikonseptualisasikan sebagai suatu roang yang memungkinkan pejabat atau aparat birokrasi memiliki keleluasaan dalam membuat keputusan sesuai dengan domain kewenangaMya. Sebagaimana fakta yang ada bahwa pada tataran implementasi kebijakan, birokrasi pemerintah akan selalu dihadapkan pada situasi yang kompleks dan .lebih romit dari kondisi yang diaSumsikan pada saat suatu kebijakan diromuskan. Pada intinya dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sangat diperlukan adanya fleksibititas, kreativitas, dan inovasi dalam rangka menyesuaikan dengan berbagai tuntutan (competing demands) yang secara riil dihadapi. Dalam penggunaan ruang diskresi tersebut terdapat batasan atau parameter yang perlu dipertimbangkan - se~agai sisi input, yakni: parameter hukum (/ega!), etika (ethicaf), profesional (professionaf), dan kepentingan publik (public interest). Dalam organisasf birokrasi, Weber (1~47) menegaskan bahwa batasan.batasan tersebut mengacu pada kew~nangan yang secara formal inheren dalam birokrasi tersebut. Artinya bahwa penggunaan ruang diskresi adalah suatu keniscayaan dalam pelaksanaan suatu kewenangan formal. Sementara itu tindakan atau keputusan (diskresi) - sebagai sisi output- perIu dikontrol metalui mekanisme kontrol birokrasi baik internal maupun ekstemal, agar keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Untuk itu diperlukan mekanisme kontrol (sistem akuntabilitas) baik internal ma\!pun ekstemal agar diskresi birokrasi tidak keluar dari batasan atau parameter akseptabilitas (Gambar 2.3).
23 Ringkasan Disertasi, SriJuniWoroAstuti,2009
Bureaucratic Domain Law & Policy Implementation
External
Internal AccountabUity Accountability
Bureaucratic
Profe~sional I
Professional
J Acceptable! Accountable Decision Making
Effectiveness Policy Implementation Garnbar 2.3. Normative model o/.Bureaucratic Discretion (Model normatif penggunaan Diskresi Birokrasi 24 Ringkasan Disertasi.Sri JuniWaroAstuti, 2009
D. Metode Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan, penelitian ini menggunakan pendekatan utama kualitatif. Pendekatan tersebut digunakan kerena penelitian ini berusaha mengkaj; pola hubungan antar konsep yakni diskresi birokratik, intervensi politik dan sistem akuntabilitas dalam maknanya yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan tujuan dari penelitian kualitatif yakni untuk mencari pola hubungan antar konsep-konsep yang sebelumnya tidak ditentukan" dengan melakukan pengamatan melalui lensa-iensa yang lebar (Brannen, 1997:11). Penelitian ini mengambil 3 setting pemerintah daerah yakni pemerintah Kota Surabaya, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bima dimana masing-masing memiliki perbedaan corak sosial budaya dan politik. Pemilihan tiga lokasi ini ditujukan adalah untuk melihat penggunaan ruang diskresi birokrasi dan perkembangan sistem akuntabilitas publik secara kontektual. ' Teknik analisis data dapat dirangkum dalam matrik sebagai berikut: Matriks 3.1. Unit analisis, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data berdasarkan aspek yang dikaji Aspek dianalisis
yang
1) Derajat Diskresi Birokrasi: Analisis berdasarkan Substansi UU No. 32 dan UU No. 33 Tahun 2004 Serta Rumusan Tugas Pokok dan Fungsi Birokrasi 2) [nkonsistensi kebijakan di era otonoroi
Unit Analisis
Sumber data & teknik pengumpulan data Sumber Data: Data Kebijakankebijakan terkait sekunder, al: UU No. 22/1999, 'dengan UU No. 32/2004, otonomi, PP No. 8/2003, PP kewenangan NoA1/2007, pemerintah daerah dan Keputusan & rumusan tugas Instruksi Menteri, dan Permendagri, Surat pokok fungsi birokrasi Dirjen,dll Teknik perangkat daerah pengumpulan data: Dokumentasi Sumber data Primer
Teknik Analisis Content analysis (analisis isi) secara kualitatif
25 Ringkasan Diserlasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Kasus-kasus yang menjadi perbatian publik terkait dgn Keputusan yang dibuat pada domain birokrasi di bidang : I) Kepegawaian 2) Perencanaan 3) Pelaksanaan program Intervensi dalam Pejabat politik ruang (Bupatil penggunaan Diskresi Birokratik Walikota, anggota DPRD), Pengusaha, Pejabat birokrasi level atas, partai politik
Penggunaan ruang diskresi birokratik Pemerintah pada kota Surabaya, Kabupaten Situbondo dan Bima
1) Relasi Tipe Kebijakan, Diskresi dan Birokratik Pertirnbangan Diskresi
Kebijakan dasar dan keputusan (diskresi birokratik), lndividu Pejabat dan pihak
Teknik pengum Ian data: wawancatJ, FGD, angket Sumber d Sekunder Teknik pengumpulan data: Dokumentasi Sumber data: Data Primer Teknik pengumpulan data: wawancara, FGD, dan angket (survey)
1) Analisis kualitatif interaktif dengan triangulasi sumber, metode dan teori. 2) Analisis kuantitatif deskriptif
Sumber data: 1) Analisis Data Primer kualitatif Teknik interaktif pengumpulan data: - dengan wawancara, FGD, triangulasi sumber, dan angket (survey) Sumber data: metode Data Sekunder: dan teori. Kasus-kasus 2) Analisis dan kuantitatif menonjol pendapat yg dimuat deskriptif media massa Teknik pengumpulan data: Dokumentasi Sumber data: I) Analisis Data Sekunder: kualitatif Kasus-kasus interaktif dan menonjol dengan pendapat yg dimuat triangul? . media massa sumber, __ 26
R;ngkasan O;serlas;, SriJuniWoroAstuti,2009
J) Pertimbangan yang secara riil dasar menjadi pengambilan keputusan pada level birokrasi
mengintervensi (Kepala daerah. anggota DPRD, pengusaha)
..
Teknik pengumpulan data: Dokumentasi Sumber data: Data Primer Teknik pengumpulan data: wawancara, FGD, dan angket (survey)
metode dan teori.
') Analisis kuantitatif deskriptif
,
Individu pejabat 1) Pemahaman Birokrat terhadap struktural sistem akuntabilitas. dan publik implikasinya terhadap diskresi birokrasi
,I Orientasi pertangungjawab an Birokrasi j)
Individu
Sumber data: Data Primer Teknik pemmmpulan data: wawancara,dan angket (survey)
Pejabat
struktural
Mekanisme 1) lndividu dim kontrol birokrat, J) Organisasi, penggunaan al: struktur ruang diskresi kekuasaan, I standar prosedur. 3) Keputusan birokratik
E. Basil daD Temuan Penelitian Hasit penetitian menyimputkan bahwa penggunaan ruang diskresi birokratik betum dapat digunakan secara tepat. Ruang diskresi birokrasi yang secara yuridis format metekat pada kewenangan birokrasi untuk mengambil keputusan pada tataran teknis operasional temyata betum 27 Ringkasan Disertasi, SriJuniWoroAs/uti,2009
sepenuhnya dapat digunakan sebagaimana mestinya. Penggunaan ruang diskresi birokratik dikatakan tepat apabila menghasilkan keputusankeputusan atau tindakan-tindakan yang secara normatif dapat diterima (acceptab!e) dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Berdasarkan hasil analisis terhadap kasus-kasus terpilih pada lokasi penelitian, menunjukkanbahwa keputusan-keputusanyang dibuat pada domain kewenangan birokrasi, masih banyak yang dinilai kurang dapat diterima dan oleh karenanyajuga kurang akuntabel. Hal ini karena dalam proses pembuatan keputusan-keputusan tersebut banyak dipengaruhi atau diinteniensi oleh kepentingan elit lokal yang tidak mengedepankan kepentingan masyarakat melainkan untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Mengapa intervensi - intervensi itu terns diterima dan akhirnya justru mendasari keputusan-keputusan birokratik? Hal itu tidak terlepas dari mindset birokrasi yang telah terbentuk selama ini dan terus menerns berlangsung sejak era orde lama, orde barn hlogga orde reformasi, yang menunjukkan lemahnya sistem birokrasi pemerintah. Birokrasi cenderung belum bersikap profesional dan dalam menjalankan fungsinya masih berorientasi pada kekuasaan. Kepentingan politik praktis masih dominan mempengaruhi keputusankeputusan yang dihasilkan pada level birokrasi. Sehlogga sejauh ini keberadaan birokrasi pemerintah sebagai instrumen politik masih sangat efektif. Walalupun kondisi tersebut login direfonnasi sejak diterapkannya sistem desentralisasi dan otonomi luas, namun ternyata sejauh ini belum menampakkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Desentralisasi dan otonomi baru berlangsung sebatas pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah namun belum -clapat diwujudkan dalam tataran demokrasi rakyat yang sesungguhnya. Ketika demokrasi itu belum beljalan secara sempurna, maka perlu diwaspadai teljadinya 'pengkerdilan' makna demokrasi yang hanya menjadi milik elite politik lokaI. Elit politik (Iegislatif maupun eksekutif) lokal dapat menjelma menjadi 'raja kecil' di daerah yang hanya memikirkan kekuasaan sebagaimana fenomena yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. Fungsi birokrasi yang seharusnya dijalankan dalam sistem yang transparan dan akuntabel tidak mustahil justru bejalan ke arah sebaliknya. Keputusan-keputusan yang diambil justru sarat dengan nuansa 28 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
kepentingan politik praktis jangka pendek seperti 'politik balas jasa' atau 'tebar pesona' untuk mendulang suara pada pemilihan legislatif, pilkada, atau juga pemilu. Keberanian birokrasi untuk bertindak profesional dan berlawanan dengan kebijakan yang 'salah' tersebut sangat keeil. Birokrasi lebih banyak memilih untuk mematuhi kehendak superiomya (pejabat politile) walaupun kredibilitasnya di mata publik akan merosot. Birokrasi tidak berani menggunakan mang diskresinya secara kreatif untuk keluar dari kungkungan intervensi politik guna memberikan perhatian yang .Iebih besar terfladap permasalahan-permasalahan riil yang dihadapi masyarakat di daerah. HasH penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran sosok birokrasi yang oleh Blau dan Meyer (1897) dideskripsikan sebagai suatu jenis Qrganisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administratif serta mengorganisasikan orang dalam jumlah besar; yang tujuannya adalah meningkatkan efisiensi administrasi dan dapat menjawab permasalahanpermasalahan di semua aspek kehidupan masyarakat, temyata belum memiliki sistem yang memadai untuk mencapai tujuan tersebut. Demikian pula konsepsi Weber tentang prinsip-prinsip birokrasi sarna sekali belum dituangkan dalam sistem operasional birokrasi pemerintahan daerah hingga era otonomi daerah dewasa ini, terutama prinsip bahwa individu pejabat secara personal bebas akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalarn jabatannya, dan bahwa setiap pejabat mempunyai kontrak jilbatan yang harus dijalankan dimana uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggungjawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa mekanisme check and balances yang ingin dikembangkan dengan adanya penguatan demokrasi di tingkat lokal temyata belum terwujud: sebagaimana diharapkan. Kepentingan-kepentingan pribadi, baik berupa kepentingan politik maupun ekonomis, dari para elit daerah masih mendominasi keputusan-keputusan yang dibuat pada domain birokrasi. Mileu politik yang' sangat dominan terus mendesak dan memaksa sistem birokrasi sehingga 'dinding-dinding' ruang diskresi yang sebelumnya memang sudah rapuh karena tidak ditopang dengan dasar etika dan spirit profesionalisme birokrasi (sejak 29 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti.2009
.
orde hm'la hingga orde baru) sangat mudah diintervensi. Akibatnya birokrasi menjadi lemah dan tidak mampu menggunakan diskresi yang telah dimilikinya guna menyelesaikan tugas-togas administrasi pemerintahan dan pelayanan publik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan profesionalisme. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas publik belum berhasil dibangwi dan dikembangkan sebagai mekanisme
kontrol yang cfektif terhadap tindakan dan keputusan-keputusanyang .
dibuat pada domain birokrasi pemerintah daerah. Sistem akuntabilitas publik masih dijaJankan dengan setengah hati dan belum menjadi budaya kerja pada birokrasi pcmerintah di Indonesia. Banyak pihak mengartikan 8kuntabilitas publik hanya terbatas pads pelaporan pertanggungjawaban keuangm semata. Oricntasi pertanggungjawaban internal temyata belum dapat menjadi mekanisme kontrol yang efektif dalam mengarahkan dan mei1gontrol pola perilaku dan pengambilan keputusan agar selalu mengedepankan parameter-parameter yang secara normatif dapat diterima .
(acceptable)yakni parameteretika(ethical),profesional(professionalsm), ilmu pengetahuan (knowledge) dan kepentingan publik (public interest) disamping parameter legal. Secara lebih spesifIk, kesimpuian penelitian yang dapat ditarik dari ketiga lokasi (setting) penelitian yang memiliki karakteristik sosial budaya yang relatif berbeda yakni pemerintah Kota Surabaya, Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Bima adalah sebagai berikut: 1) Dari aspek yuridis formal berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dan berbagaiperaturan perundang-undangan yang terkait, menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah daerah memiliki ruang diskresi yang relatiC luas. Ruang lingkup diskresi birokratik dapat ditelusuri dari urusan-urusan Pemerintah yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, yang dikelompokkan dalam enam bidang, yakni kewenangan dalam: (1) urusan penyelenggaraan pemerintahan, (2) kelembagaan, (3) pelayanan publik, (4) pengelolaan keuangan, (5) kepegawaian, dan (6) penggunaan sumberdaya alam. Dari hasil analisis aspek formal disimpulkan adanya variasi ruang diskresi sebagai berikut:
30 Ringkasan Disertasl,SriJunlWoroAstuti,2009
II urusaripemerlntahan BKelembagaan . pelayanan publlk !illkeuangan 13kepegawalan Cpenggunan SOA
Gambar 4.3. Derajat Diskresi BirOkrasiPemda ditinjau d8ri aspek Yuridis Fonnal a) Ruang diskresi dalam menjalankan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan penggunaan sumber daya alam 'Iuas', karena tidak terdapat banyak. regulasi atau' peraturan teknis yang mengikat pelaksanaan tugas dan kewenangan birokrasi pemerintah daerah sehingga terdapat cukup keleluasaan untuk membuat
kebijakansendiri.
.
b) Ruang diskresi dalam pelayanan publik juga "luas" walaupun terdapat lebih banyak peraturan perundang-undangan namun daerah tetap diberikan keleluasaan dalam menjalankan kebijakan sesuai dengankondisi daenmnya, misatD.yadalam merumuskan index atau
standarpelayanandi daerahnya.
.'
.
.
c) Ruang diskresi di bidang kepegawaian 'cukup atau sedang' karena walaupun peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah pusat cukup operasional dalam memberi petunjuk pelaksanaan di bidang kepegawaian, Damno daerah masih memiliki reDtang pilihan yang luas untuk mengambil sikap sendiri sesuai koildisi kepegawaian
di daerahnya.
:
.
d) Ruang diskresi dalam pengelolaan keua.o.gan dan kelembagaan dikategorikt~}.'terbatas' karena banyaknya kebijakan yang mengatur .
dan membata.
31 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti.2009
keleluasaanuntuk melaksanakankebijakan dan hams tunduk pada peraturanyangditetapkanpusal 2) Realisasi penggunaan ruang diskresi birokratik dalam penelitian ini difokuskan pacta keputQsan-keputusan yang dihasilkan pada domain .birokrasi dimana secara garis besar tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah (birokrasi) dikelompokkan ke dalam tiga. bidang yakni: (1) pengelolaan kepegawaian, (2) perencanaan dan (3) pelaksanaan pembangunan. Dari ketiga bidang tersebut diidentifIkasi beberapa kasus yang menjadi isu menonjol di masing~masing daerah. Pembatasan pactakasus-~us terpilih pada ketiga bidang ini dilakukan setelah proses pengumpul8Jl data dimulai, (bukan dirancang sebelumnya) disesuaikan dengaii kondisi aktual di daerah. Hasil penelitian menuqjukkan bahwa realisasi penggunaan ruang diskresi birokratik pada ketiga bidang tersebut secara umUm masih rendah dan belum digunakan sebagaimana mestinya. Secara spesifik dari ketiga lokasi penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Pemerintah Kota Surabaya Birukrasi secara umum belum mampu menggunakan rnang diskresi yang. dimiliki dengan baik sesuai dengan parameter legal dan nonnatif. Penggunaan diskresi di bidang kepegawaian lebih rendah dibandingkan dengan di bidang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Diskresi Birokratik yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kepegawaian temyata banyak yang justrn tidak digunakan untuk mengambil keputusan dengan tepat sesuai ketentuan fonnal yang berlaku. Di bidang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan penggunaan ruang diskresi birokratik relatif agak lebih baik (tinggi) dimana pejabat birorasi masih dapat mengambil keputusansesuai tugas dan kewenangannya walaupun masih terdapat. intervensi dan pembatasan terhadap kewenangan 'birokrasi. b) Pemerintah Kabupaten Situbondo Analisis penggunaan ruang diskresi birokratik pada Kabupaten Situbondo dibagi dalam duaperiode kepemimpinan yakni pada era Bupati H.M. Diaman dan H. Ismunarso. Pada era Bupati M. Diaman, penggunaan ruang diskresi birokratik sangat rendah. 32 Ringkasan Disertasi,SriJuniWon> Astuti,2009
Birokrasi tidak dapat mengambil keputusan pada domain kewenangannya secara mandiri, baik di bidang kepegawaian, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan tingginya pengaruh kekuatan politik praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan serta masih tingginya nilai-nilai patronase baik di kalangan masyarakat luas maupun di lingkungan organisasi pemerintahan. Sedangkan pada era Bupati Ismunarso, pengaruh Kyai mulai sedikit memudar seiring dengan berakhimya dominasi PKB. Namun muncul kekuatan politik berbasis ulama yang lain yakni. PPP, sehingga secara riil peran ulama. daIam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat ditinggalkan. Intervensi terhadap penggunan ruang diskresi birokratik masih tetap besar datang dari berbagai kelompok. e) Pemerintah Kabupaten Bima Penggunaan ruang diskresi birokratik pada pemerintah Kabupaten Bima sangat rendah dibandingkan Surabaya dan Situbondo. Keleluasaan pejabat birokrasi untuk mengambil keputusan pada domain tugas dan tanggung jawabnya tidak dapat digunakan karena dominannya peran Bupati dalam setiap pengambilan keputusan, baik di bidang kepegawaian, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Rendahnya penggunaan ruang diskresi terutama di bidang kepegawaian, sedangkan ruang diskresi di bidang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan diakui masih relatif dapat digunakan. Dari hasil analisis ternyata penggunaan diskresi birokratik di bidang kepegawaian yang paling rendah dibandingkan dengan penggunaan ruang diskresi di bidang perencanaan dan pelaksanaan program. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang menyangkut kepegawaian dipandang sangat strategis dan menentukan kelangsungan pejabat politik di daerah. Pejabat politik memandang kebijakan kepegawaian daerah sebagai sarana efektif untuk mendapatkan dukungan politis dari kalangan birokrasi. Sedangkan dalam fungsi perencanaan dan pelaksanaan program, ruang diskresi birokratik relatif lebih dapat digunakan karena kedua bidang tugas ini lebih memerlukan kompetensi teknis yang memang 33 Ringkasan Diserlasi,SriJuniWoroAstuti,2009
dimiliki para birokrat. Namun demikian upaya intervensi dari berbagai pihak masih tetap dilakukan sehingga pada akhirnya pejabat birokrasi tidak dapat menggunkan ruang diskresinya secara optimal. Salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan penggunaan ruang diskresi birokratik adalah masih eksisnya budaya patronase dalam sistem birokrasi yang ditandai dengan tingginya orientasi pada kekuasaan danjabatan. 3) Pertimbangan dalam penggunaan ruang diskresi birokrasi. Dalam pelaksanaannya, diskresi birokratik perlu memperhatikan sejumlah parameter normatif yang dijadikan dasar bagi layak tidaknya diskresi yang meliputi: (1) kesesuaian dengan ketentuan hukum yang lebih luas (Legal), (2) tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika dan moral (Ethical), (3) mengutamakan kepentingan publik (citizen/public interest) yang lebih luas, dan (4) prinsip-prinsip profesionalisme (professionalism) serta (5) disiplin ilmu (knowledge).. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ruang diskresi birokratik lebih banyak "memberi" peluang masuknya pertimbanganpertimbangan lain di luar yang normatif tersebut, sehingga keputusan yang dihasilkan kurang acceptable. Pertimbangan-pertimbangan tersebut adalah adanya pertukaran 'kepentingan' antar berbagai aktor yang ikut terlibat dalam pembuatan keputusan pada domain birokrasi yang dapat diklasiflkasikan sebagai berikut: kepentingan politik (balas jasa), kepentingan ekonomi (untuk parpol), kepentingan individu. Pihak-pihak (aktor) dari loar birokrasi yang terlibat melakukan intervensi (elit lokal) adalah: Kepala Daerah, DPRD, Partai Politik, Tokoh (Kyai), Pengusaha, dan individu pejabat birokrasi level atas. Dari ketiga setting penelitian ternyata terdapat pola yang sedikit berbeda, sebagai berikut: a) Di Pemerintah Kota Surabaya terdapat keragaman pertimbangan dalam penggunaan ruang diskresi disamping yang normatif seperti legal, profesional, etika, tetapi banyak juga yang menggunakan pertimbangan di luar yang normatif seperti kepentingan politis dan ekonomis. Keragaman juga dapat dilihat dari sumber atau aktor yang melakukan intervensi yakni dari Partai politik melalui 34 R!ngkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
anggota DPRD. dan Walikota, dan intervensi dari kalangan pengusaha. Dari sejumlah kasus yang diidentifikasi, temyata pertimbangan kepentingan ekonomi lebih menonjol dari pada kepentingan politik. Hal ini sejalan dengan konstelasi kekuatan politik di DPRD yang relatif terpolarisasi sehingga tidak nampak adanya kekuatan atau pengaruh warna politik yang dominan. Kuatnya kepentingan ekonomis juga menunjukkan orientasi nUai dari sistem sosial l1}asyarakat kota Surabaya yang bercorak heterogen,
rasional, dan 'business
minded'
.
b) POOa Pemerintah Kabupaten Situbondo, penggunaan . ruang diskresi birokratik lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik, dan ekonomis. Situbondo dengan karakteristik masyarakat yang sedang dalam masa transisi dari kultur patemalistik
-
pesantren menujukultur yang lebih rasional - moderntemyata
terdapat pula pergeseran pola dalam penggunaan ruang diskresi birokrasi. Pada era Bupati Moh. Diaman. intervensi Kyai sangat menonjol sedangkan pada era Bupati Ismunarso. intervensi Kyai agak sedikit berkurang dan mulai bergeser pada kepentingan individu baik dari kalangan pejabat maupun pengusaha. Selain kepentingan partai juga terdapat indikasi kepentingan ekonomi yang 'dipaksakan' oleh Bupati, anggota DPRD, Kyai, dan pengusaha. c) Pada Pemerintah Kabupaten Bima, dengan latar belakang budaya kesultanan (kerajaan) dan status sosial ekonomi masyarakat yang relatif masih rendah temyata diikuti pola perilaku birokrasi dalam penggunaan ruang diskresi yang temyata juga sangat rendah dan pertimbangan yang mendasarinya lebih pada ketaatan pada atasan politiknya yakni Kepala Daerah (Bupati). Pertimbangan yang mendasari selain 'politik balas jasa' juga terdapat indikasi kepentingan nepotism uotuk mendapat keuntungan secara fmansial. Namun secara umum kepentingan politik lebih tinggi. Sedangkan intervensi lain juga datang dari individu anggota DPRD namon kadamya sangat rendah jika dibandingkan dengan intervensi Bupati.
35 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Dari paparan di atas, dapat ditarik generalisasi empiris bahwa penggunaan ruang diskresi birokratik tidak dapat lepas dari adanya intervensi berbagai pihak seperti partai politik, kalangan swasta (pengusaha), dan para superiomya (individu -individu kepala daerah dan pejabat di atasnya). Sistem birokrasi belum menunjukkan adanya perobahan (reformasi) menuju sistem birokrasi yang netral dan profesional. Kemampuan pejabat birokrasi dalam menggunakan ruang diskresi sesuai dengan parameter normatif yang acceptable yakni: legal, ethical, profesional, knowledge, dan public interest masih rendah. Ruang diskresi yang dimiliki lebih banyak digunakan untuk "memberi" peluang masuknya pertimbangan-pertimbangan lain di luar yang nonnatif tersebut, sehingga hasilnya juga kurang acceptable. Keputusan-keputusan dan tindakan yang diambil dalam domain birokrasi tidak selalu dijaga agar tetap berpijak pada parameter legal dan normatif. Sebagian dari keputusankeputusan yang diambil pada domain kewenangan birokrasi justru dibuat atas dasar kepentingan atau pertimbangan-pertimbangan diluar parameter yang acceptable tersebut (gambar 8.9). Professional Keuntungan
ekonomi Jabatan
Ethical
~ Public Interest
Knowledge
Ne~b",
I
Kepentingan kelompok, Politik
Gambar 8.9. Pola Penggunaan ruang diskresi (discretion space) pada sistem birolcrasi pemda 36 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
4) Efektivitas Sistem akuntabilitas. Dimensi terkait yang dibahas untuk mendeskripsikan efekt:f tidaknya sistem akuntabilitas dalam mengontrol pola perilaku dan pI.ngambilan keputusan birokrasi dalam hal ini meliputi: pemahaman birokrat terhadap sistem akuntabilitas publik, orientasi pertanggungjawaban atau kepatuhan birokrasi, dan mekanisme kontrol yang berlaku dalam konteks pembuatan keputusan pada domain birokrasi. ,
Pemahaman birokrat terhadap sistem akuntabilitas Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman birokrat tentang konsep akuntabilitas masih rendah. Birokrasi pemerintah tidak terbiasa memberikan pertanggungjawaban secara langsung kepada masyarakat. Rendahnya pemahaman akan menghasilkan kesadaran yang rendah pula. Individu pejabat yang pemahaman akuntabilitasnya rendah maka kesadaran dan komitmennya juga akan rendah pula. Hal ini berimplikasi
pada rendahnya kemampuan birokrasi dalam penggunaan rnang. diskresinya sehingga keputusan atau tindakan yang dilakukan seringkali tidak tepat. Sebagaimana yang dikemukakan Klitgaard (1988:99) bahwa penggunaan diskresi dan kekuasaan hams disertai dengan akuntabilitas agar tidak menghasilkan perilaku korup. Demikian pula perdebatan antara Finer dan Friedrick di era 1940-an, mengenai pentingnya akuntabilitas internal (responsibilitas) dan akuntabilitas eksternal sebagai sarana kontrol terhadap perilaku birokrasi yang kemudian dielaborasi oleh Rornzek dan Dubnick (1987). Orientasi Pertan!!.!!.un!!.iawabanBirokrasi Hasil penelitian ini menunjukkan rendahnya orientasi pertanggungjawaban birokrasi kepada rakyat dan mengabaikan kepentingan publik yang. lebih luas. Sebagaimana setting pemerintahan pada era Orde Bam, Pemerintah Daerah didesain untuk lebih mementingkan kepentingan pusat. Sedangkan di era reformasi dengan prinsip otonomi seluas-Iuasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat (3) UU
37 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
No. 32 taboo 2004), temyata orientasi pertanggungjawabanbirokrasi masih pada atasan dan Kepala Daerah (gambar 9.2). Tingginya orientasi pertanggungjawaban birokrasi kepada Kepala Daerah tidak berarti bahwa mek8nisme pertanggungjawaban birokratis (bureaucratic accountability) telah beIjaian dengan efektif. Kontrol birokratis tidak bertumpu pada kontrol atasan karena preferensi individu atasan semata, melainkan mekanisme yang secara luas dipakai untuk mengelola kepentingan atau tujuan administrasi pemerintaban (daerah) yang dikelola melalui pemusatan perhatian pada poocak hirarkhi birokrasi. Pengendalian diterapkan secara intensif pada aktivitas lembaga, melalui prosedur yang ketat dan pengawasan melekat serta huboogan atasanbawahan yang berpola "komando". Temuan empiris, menoojukkan tingginya komitmen bawahan terhadap kepentingan atasan secara individual bukan institusional. Kondisi ini disebabkan masih kuatnya pola hubungan patronase dalam birokrasi yang selama ini sudah mengakar menjadi budaya. Mekanisme Kontrol dalam Pene:e:unaan Ruane: Diskresi Birokrasi Secara teoritis, mekanisme kontrol yang dapat dijalankan secara formal meliputi kontrol legal, birokratis, profesional (berdasarkan kode etik), dan politik dari lembaga perwakilan rakyat. Namun fenomena riil yang teIjadi justru kontrol dari elit politik lokal yang lebih efektif dalam mengontrol birokrasi pemerintah daerah, karena di era reformasi ini daerah mendapat otoritas secara politik yang sangat besar. Sedangkan mekanisme kontrol formal yang dijalankan hanya sebatas memenuhi formalitas, seperti laporan pertanggungjawaban anggaran yang dibuat untuk memenuhi pertanggungjawaban administratif baik secara internal kepada atasan maupun eksternal kepada lembaga-Iembaga pengawas pusat dan . independen. Dari ketiga lokasi penelitian, diketahui bahwa sistem akuntabilitas yang sudah beIjalan pada umumnya adalah akuntabilitas birokratik (terutama untuk bidang kepegawaian dan perencanaan pembangunan), meskipun relatif masih semu. Akuntabilitas birokratik semu karena masih terdapat bias di benak staf dan pejabat birokrasi antara kewajiban 38 Ringkasan Disettasi,SriJuniWoroAstuti,2009
mempertanggung jawabkan pekeIjaan kepada 'atasan sesuai tujuan kebijakan dan lernbaga atau kepatuhan terhadap atasan secara personalindividual. Kepatuhan terhadap sistern dan prosedur serta tujuan kebijakan yang dijalankan ternyata bsmyak yang hanya dUakukan uotuk memenuhi persyaratan fonnal. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patronase masih melekat di kalangan birokrasi dan pejabat politik, dimana pejabat politik dan pejabat birokrasi berusaha menipertahankan hubungan saling menguntungkan (transactionalrelationship). Fenomena ini meIiarik uotuk menjelaskan mengapa birokrasi tidak mlJlllpu menggunakan. ruang diskresinya deogan tepat. Selain sistem akuntabilitas birokratik, sistem akuntabilitas profesional, legal dan politik juga belurn dapat dijalankan dengan efektif. Belum efektifnya sistem akuntabilitas profesional dalam arti belum terinstall-nya spirit profesiooalisme dan kedisiplinan dalam menjalankan kode etik administrasi negara yang dapat dUihatdari belumtumbuhnya self control dalam sistern birokrasi maupun individu. Keputusan yang diam,bil belum mencenninkan kesadaran profesionalisme (professionalism awareness) dan seringkali secara teknis kurang tepat. Demikian pula sistem -ilkuntabilitaspolitik dan legal, belum dapat berjalan dengan efektif. Hal ini terbukti masih banyaknya ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan publik yang telah ditetapkan dalam proses politik dengan pelaksanaan kebijakan yang merupakan domain administrative. Sistem kontrol oleh pihak eksternal birokrasi (baik secara legal dan politik) belum menunjukkan kekuatannya sebagai sarana kendali yang efektif agar birokrasi mampu menggunakan ruang diskresi yang dimilikinya uotukmenghasilkan keputusan dan tindakan yang akseptabel.-Dengan demikian berdasarkan analisis data empirik dan teoritis, kajian ini menegaskan perlunya keseimbangan antara internal dan eksternal kontrol agar penggunaan ruang diskresi birokrasi dapat menghasilkan keputusan dan tindakan yang akuntabel, tidak menyimpang dari parameter legal dan nonnatif(gambar 9.9). _
39 RingkasanDisertasi,SriJuni WoroAs/uti,2009
Internal check& ballances
External check& ballances
Keputusan yang akuntabel
Gambar 9.9. Sistem Akuntabilitas Internal dan ekstemal dalam penggunaan roang diskresi birokrasi
Dari temuan data empirik pada ketiga sistem pemerintah daerah, secara spesiflk menunjukkan perbedaan dinamika sistem akuntabilitas dan penggunaan ruang diskresi. Sistem akuntabilitas di Kabupaten Bima nampak belum begitu berjalan dengan baik dibandingkan di kabupaten Situbondo, yang juga masih belum begitu efektifjika dibandingkan dengan sistem akuntabilitas di Surabaya. Berdasarkan survey pada masing-masing pemerintah daerah diketahui bahwa umumnya pejabat dan star birokrasi
rnenilai sistem akuntabilitas (pertanggungjawaban)yang efektif adalah . pertanggungjawaban birokratik dimana dalam pemabaman mereka adalah menjalankan pekerjaan dan melaporkannya sesuai prosedur administratif yang ada kepada atasan atau struktur yang lebih tinggi. Tingginya orientasi pertanggungjawaban kepada atasan menunjukkan bahwa dalam praktik pemerintahan masih menggunakan model akuntabilitas yang hierarkhis dan monolithic, dimana akuntabilitas publik secara formal dimaknai hanya kepada satu arah pertanggungjawaban pegawai kepada atasannya dan pemerintah kepada 40 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
parlemen-dan tidak kepada masyarakat. Mod~l tersebut kemudian terbukti kurang efektif dalam mengontrol terjadinya penyimpangan birokrasi dan penggunaan ruang diskresi yang tidak akseptabel. Fenomena ini menjadi menarik untuk dijelaskan kembali, karena sesungguhnya dapat menunjukkan bahwa birokrasi pada dasamya hanya 'alat' untuk menjalankan kebijakan dan kehendak para atasan politiknya. Dalam kasus-kasus yang dianalisis tersebut dapat diketahui bahwa birokrasi tidak mampu menggunakan diskresinya dan membiarkan kepentingan - kepentingan lain diluar parameter legal dan nonnatif: prinsip profesionalisme, etika, keilmuan dan kepentingan publik, menjadi pertimbangan dalam menjalankan fungsi pelaksanaan pembangunan. Meski diakui bahwa pecan birokrasi saat ini masih sangat l:uat dalam memobilisasi sumber daya pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan, namun perlu dilihat bahwa semua itu dijalankan dalam sistem birokrasi masih lemah (tidak mandiri dan profesional). D~ngan demikian, opini terhadap birokrasi "yang selalu diilustrasikan sebagai "bureaucratic kingdom", yang eenderung menjadikan birokrasi sebagai kekuatan yang sakral, sesungguhnya dari perspektif diskresi justru menunjukkan sisi sebaliknya. Ketidak.ilampuan birokrasi dalam menolak intervensi dan kehendak politik sempit dari para superior politiknya merupakan fenomena yang perhi dipandang dari sisi sistem birokrasi (bukan hanya dari sisi personal birokrat). Analisis ini berusaha merefleksikan pemikiran Weber dimana dalam tulisannya membahas mengenai kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat -merupakan sesmitu yang benar-benar hams dibedakan dengan birokrasi(dalam Albrow, 1989). Kenyataan tidak terlepasnya birokrasi dari pengamh politik sebenarnya juga sudah diperhitungkan oleh Weber dengan mengatakan bahwa kemungkinan penyimpangan birokrat yang tidak mampu memisahkan perilaku mereka dari kepentingannya sebagai individu dan anggota kelompok masyarakat yang oleh karenanya bisa memiliki kepentingan politik tertentu (Beetham,1975). Oleh kerana itu perlu dibangun sistem birokrasi kuat sehingga mampu menolak tekanan politik dengan pondasi profesionalisme sumber daya aparatur ymg tinggi. Dengan dasar profesionalisme (self-control!) diharapkan. kemampuan birokrasi dalam menggunakan ruang diskresinya semakin tinggi dalam arti lebih fungsional. Namun ketika penggunaan rentang 41 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
pilihan (diskresi) yang luas tersebut tanpa diikuti dengan sistem akuntabilitas yang efektif - khususnya akuntabilitas profesional (selfcontroll), maka kepentingan yang berusaha mengkooptasi dan mengintervensi domain birokrasi dapat leluasa menjalankan misinya. Sootu tindakan diskresi dikatakan memenuhi akuntabilitas internal jika telah melalui proses kontrol profesional (self-control/) dan kontrol birokratik dapat dipertanggungjawabkan kepada atasan Sedangkan secara ekstemal suatu tindakan diskresi hams dapat memenuhi kriteria 8kuntabilitaslegal - tidak bertentangan dengan hukum yang lebih luasmaupun politis - transparansi, equity, dan responsiveness sehingga diskresi birokrasi benar-benar sesuai dengan kepentingan publik-. Dengan demikian, ukuran diskresi dalam hal ini sebenarnya bukan pada derajat tinggi atau rendahnya namun lebih dititik beratkan pada pemenuhan. kriteria yang secara nonnatif dapat diterima dan dipertanggungjawabkan. Benang merah dari analisis di atas diharapkan dapat menjelaskan bahwa meskipun berdasarkan ketentua1) perundang-undangan, birokrasi pemerintah. daerah telah diberi keleluasaan (diskresi) yang lebih besar, namun temyata kewenangan yang besar itu tidak dapat dijalankan dengan baik (berdasarkan prinsip etika, profesional, keilmuan dan kepentingan publik) manakala sistem akuntabilitas publik tidak berjalan dengan efektif dan seimbang antara akuntabilitas internal (responsibility) dan akuntabilitas eksternal (responsiveness). Orientasi pertanggungjawaban yang perlu dibangun tidak hanya secara vertikal (birokratik internal), tetapi juga perlu dibangun self-controll (kontrol profesional) dimana birokrasi secara internal dapat mengontrol dirinya sendiri sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika administrasi publik dan 1ebihpenting lagi adalah berjalannya kontrol politik yang berasal dari elemen masyarakat dan penegakan hukum (law enforcement).
-
-.
.
-
F. Implikasi Teoritis Berdasarkan analisis hasil penelitian, maka thesis dari penelitian ini adalah "penggunaan ruang diskresi pada birokrasi pemerintah daerah lebih ditentukan oleh preferensi elit daerah daripada oleh DPRD (legislatifs choice) ataupun preferensi birokrasi (agency's choice)". 42 Ringkasan Disertasi.SriJuniWoroAstuti. 2009
Dengan demikian implikasi teoritis dari basil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil analisis melengkapi pandangan toori positif diskresi birokratik dari sisi supply yang menyatakan bahwa besamYI1diskresi birokratik tergantung pada preferensi pembuat kOOijakan(legislative's choice), maupun dari sisi demand yakni preferensi birokrasi yang mengusung toori agency's choice. 2. Penggunaan ruang diskresi birokratik dalam realisasinya justru lebili banyak ditentukan oleh para eUt lokal (Kepala Daerah, anggota DPRD, dan tokoh-tokoh masyarakat seperti ulama dan pengusaha), dimana pada era otonomi daerahmereka memiliki kekuasaan besar dan karenanya dapat 'menekan' atau 'mempersempit' ruang diskresi para birokrat. 3. Mendukung teori social exchange yang diinisiasi oleh Romans (1958), dimana dalam penggunaan ruang diskresi birokratik telah terjadi pertukaran (exchange) antara kepeotingan para elit lokal dengan 'kepentingan' pejabat birokrasi. Fenomena rendahnya kemampuan birokrat dalam penggunaan ruang diskresi yang melekat pada tugas dan fungsinya organisasi perangkat daerah temyatii IOOilidipicu oleh 'kekhawatiran' atas kedudukan atau jabatan yang sudah dimilikinya, sehingga mereka rela mempertukarkan jabatannya itu dengan kepatuhannya terhadap pejabat politik yang merupakan superiomya. 4. Mendukung pula pendapat Chandler dan Piano (1982) yang menyatakan bahwa diskresi birokratik merupakan hasil negosiasi (bargaining) antara politik dan admiilistrasi. Namun dalam hal ini negosiasi dan pertukaran sosial yang teljadi tidak hanya antara politisi di lembaga legislatif (DPRD) dengan pejabat-pejabat di lembaga administrasi, melainkan juga dengan elit daerah yang lain terutaJi1a Kepala Daerah selaku pimpinan eksekutif dan tokoh-tokoh masyarakat, serta pengusaha yang secara riil memiliki kekuasaan besar dan sangat berpengaruh dalam pembuatan kOOijakandi tingkat lokal. 5. Memperkuat temuan Madlenka (1980)' dengan hipotesis urban politics-nya yang menyatakan bahwa kebijakan distribusi pelayanan (services) yang menjadi wilayah kewenangan birokrasi seringkali didesain untuk memperoleh keuntungan politik semaksimal mungkin dengan hanya memberikan pelayanan yang sangat terba'~ kepada 43 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
wilayah-wilayahtertentu yang loyal secara politik. Terutama yang terjadi di KabupatenBimadan Situbondo,banyakkebijakandistributif yang dibuat hanya untuk memberikan imbalan bagi kelompok masyarakatyangmemberikandukunganpolitikkepadaBupati.
6. Penggunaanroang . diskresi birokratik yang menyimpangdari parameternonnatif,mengakibatkanrendahnyaefektivitasdan eflSiensi pelaksanaan kebijakan di era otonomi daerah. Dengan demikian penelitian ini juga mendukungpandangan Klitgaard (1991) bahwa diskresi sangat diperlukan dalam penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, namun dalam pelaksanaannya diperlukan mekanismeakuntabilitasagar penggunaandiskresi dapat dikontroldan diarahkansesuaidenganparameter-param~ternormatif. G. Rekomendasi Studi tentang diskresi birokrasi ini sesungguhnya hanya meropakan sebagian keeil dari upaya untuk melakukan pengamatan dalam lensa-Iensa lebar terkait dengan penyelenggaraan administrasi publik yang seharusnya sudah memasuki paradigma baru dalam tatanan pemerintahan dan pelayanan publik. Konsepsi reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mengubah kinerja birokrasi menjadi lebih profesional dan akuntabel perlu dikawal dengan berbagai cara atau sarana. HasH penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu 'jendela' yang memungkinkan untuk melihat secara lebih jemih kompleksitas pennasalahan yang menghambat pencapaian tujuan reformasi. Berdasarkan kajian teoritik dan analisis data empirik terkait dengan pola penggunaan roang diskresi birokrasi dan masih belum efektifnya sistem akuntabilitas internal dan eksternal dalam mengontrol kinerja birokrasi pemerintah daerah, menunjukkan bahwa sejauh ini tujuan refonnasi birokrasi dan otonomi belum tercapai. Fenomena politisasi birokrasi memang tidak mungkin dihilangkan dari sistem pemerintahan atau negara dimanapun juga walau dengan derajad dan intensitas berbeda. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana membuat birokrasi menjadi lembaga profesional yang menjalankan tugas administrasi pemerintahan dimana fokus utama dari tanggungjawabnya adalah pada pelayanan publik yang secara konsisten perlu ditingkatkan. 44 Ringkasan Disertasi,SriJuniWon> Astuti,2009
<.
Adapun pokok-pokokpemikiranyang dapat disumbangkansebagai rekomendasihasil penelitianini adalahsebagaiberikut: 1) Dalam paradigma governance, pemerintah (eksekutif) tidak identik dengan negaradan negarapun tidak semr.tadikelolaoleh pemerintah(eksekutif).Perluditekankanbahwa peranmasyarakat dalam penyelenggaraan fungsi negara
-
yang meliputi eksekutit:
legislatifdan yudikatif- sangat penting, selain peran pemerintah (eksekutif)dan kalanganswasta(prival).Denganpemisahanyang tegas tersebut, maka dapat dipetakan kedudukanbirokrasiyang sesungguhnyaberada dimana. SeIama ini birokrasi diidentikan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebutjuga. sebagai birokrasi pemerintah. Demikian juga dalam penyusunan Raneangan Undang-UndangAdministrasi Pemerintahan(RUUAP) saat ini, kedudukanbirokrasi berada di bawah eksekutif.
-
-
Selama Kepala Eksekutif yang merupakan pejabat politik lebih mementingkan kepentingan politis yang hanya berorientasi pada kekuasaan, maka sulit diharapkan birokrasi untuk menjaga netralitas dan meningkatkan profesionalismenya. 2) Tanpa berniat untuk sekedar meniru sistem peinerintahan di negara-negara maju seperti Jerman, Belanda, dan Amerikakejelasan hukum tentang sistem administrasi negara sangat diperlukan sebagai pijakan dalam mengatur kedudukan dan fungsi dari lembaga-Iembaga negara secara tegas dan komprehensif,tidak raneu dan tumpang tindih. Pemikiran ini ingin menegaskan dukungan terhadap konsepsi tentang netralitas birokrasi yang hanya bisa diwujudkan dalam sistem administrasi negara yang jelas dasar hukunmya dimana kedudukan birokrasi menjadi lebih independen dan harus tunduk terhadap amanah Undang-Undang. Dengan demikian, wacana netralitas birokrasi dapat dikonkritkan agar selaku penyelenggara fungsi administrasi publik birokrasi diposisikan sebagai lembaga negara }1Ulgprofesional. Birokrasi memegang fungsi administratif daIarri penyelenggaraan fungsifungsi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang pelaksanaannya didasarkan dan atas nama konstitusi. 3) Sebagaimana diketahui bahwa kendala utama adalah terletak pada kekhawatiran birokrat (bureaucratic anxiety) terhadapmasa depan 45 R;ngkasan D;serlas;, SriJun;WoroAstuti.2009
.
jenjang karir dan jabatannya. Akibatnya pejabat birokrasi banyak yang melakukan upaya-upaya di luar standar etika dan profesional demi mendapatkan posisi jabatan yang tinggi dalam birokrasi. Hal ini dapat ditanggulangi dengan diterapkannya prinsip meritokrasi birokrasi. secara konsekwen, pembinaan dan mmuyemen kepegawaian dengan standarkinerja PNS yang jelas, transparan,
proporsional,dan kompetitif.
.
4) Lebih spesifik diperlUlqut juga amandemen terhadap UndangUndang yang mengatui tentang Pegawai Negeri Sipil khususnya dalam penyelenggataan pemerintahan daerah. Kewenangan pengelolaan di bidang kepegawaian (rekruitment, placement, promotions,
dan lain
-
lian) idealnya
dilakukaa
oleh suatu
lembaga profesional dan independen dengan proses yang transparan sehingga netralitas dan profesionalisme PNS dapat lebih dijamin. Salah satu yangperlu diatur secara lebih tegas adalah tentang masajabatan pejabat struktural dalam jangka waktu yang tetap sehingga dapat menghindaJican petasaan '1;idakaman' bagi seorang pejabat birokrasi yang bekerja dalam konteks dinamika politik lokal yang sangat intens. 5) Langkah selanjutnya yang diperlukan adalah melakukan penguatan internal (internal capacity building) yang meliputi peningkatan kapasitas kelembagaan, profesionalisme aparatur birokrasi, khususnya dengan menanamkan pemahaman akan semangat "democratic responsibility" sebagai bagian dari tugas administrator dalam sistem pemerintahan dan negara demokrasi. 6) Adapun untuk membangun sistem akuntabilitas politik yang benar-benar efektif, diperlukan usaha pembangunan kapasitas masyarakat di tingkat lokal (local capacity building) melalui program-program akselerasi pemberdayaan institusi lokal dengan mekanisme bottom up- sehingga rnampu menjadi instrumen demokrasi dan kontrol sosial yang lebih arif. Namun, mengingat struktur masyarakat lokal yang heterogen dengan tingkat diferensiasi status sosial ekonomi masy8rakat yang relatif tinggi, maka dalam tahap ini, masih diperlukan peran (intervensi) birokrasi sebagai fasilitator dan katalisator sesuai bidang tugasnya secara profesional dan mandiri. Bilamana perlu di daerah-daerah
-
46 Ringkasan Diserlasi,SriJuniWoroAstuti,2009
. dengan tingkat sosial ekonomi yang relatif rendah seperti di Kabupaten Bima diperlukan inisiasi dari atas (Top down strategy). Peran ini hanya bisa dilakukan manakala pemahaman dan semangat democratic responsibility sudah terbangun dan menjadi bagian inheren dari moral dan etika administrasi publik. Dari sejumlah rekomendasi di atas, diharapkan akan terbentuk sistem akuntabilitas birokrasi yang berjalan seimbang. yakni akuntabilitas internal melalui kontrol birokratik dan profesional dengan akuntabilitas ekstemal melalui kontrol legal dan politik. Dengan bekerjanya sistem akuntabilitas internal dan ekstemal yang seimbang, maka birokrasi akan semakin bijak dalam menggunakan ruang diskresi sesuai parameter-parameter yang memenuhi nilai-nilai normatif dan dapat diterima (acceptable).
47 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, M., dan Hage,J. 1966.OrganizationalAlienation:A Comparative Analysis.AmericanSociologicalReview.31:497-507 Albrow, M. 1996. Birokrasi (ferjemahan). Yogjakarta: PT.Tiara Wacana.
Bawn, Kathleen. 1995.-Political Controlversus Expertise:Congressional Choice About AdministrativeProcedures. American Political ScienceReview.89: 62-73. Blau, Peter M. Dan Meyer, Marshall W., 1987. Birokrasi dalam MasyaralratModem (terjemahan), VI-Press, Jakarta. Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Pemilihan Kualitattif dan Kuanitatif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar - Fakultas Tarbiyah Antasari Samarinda.Bryner, G. 1987. Bureaucratic Discretion: Law and Policy in Federal RegUlatory Agencies. New York: Pergamon Press. Chandler, Ralph. C. Dan PIano, Jack C. 1988. The Public Administration Dictionary (2nd edition). Santo Barbara, California. ABC-Clio. Inc. Cooper,T.L.1982. The Responsible Administrator:An approach to ethics for the administrative role.Port Washington, N.Y.:Kennikat Press. Denhardt, Robert B. 1991. Public Administration: An Action Orientation. Pacific Grove.California: Brooks/Cole Publishing Company. Fiorina,M. P. 1986. Legislator uncertainty, legislative control and the delegation of legislative power. Journal of law, Economics and Organization, 2:33-51.
48 RingkasanDisertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Frederickson, H.C.,1997. The Spirit of PubliC' Administration, Sanfrancisco, Jose-Bass Publisher.
Gailmard, S. 2002. Expertise,Subversitionand BureaucraticDiscretion. Journal of Law, Economicand Organization,Vol. 18, 2: 536555. Goodsell, C. 1981. Looking Once Again at Human Service Bureaucratiy. Journal of Politics, 43:763-778. Hasenfeld, Y., dan Steinmetz, D. 1981. Client-Official Encoenter in Social Service Agencies. dalam Goodsell. The Public Encounter: Where State and Citizen Meet. Bloomongton: Indiana University Press, 83-101. Hill, Michael (Ed). 1997. The Policy Process in The Modem State. England. Pearson Education Limited. Homans,G.C.1958. Social Behavior as Exchange. American Journal of Sociology, 63 (6): 597-606. Kelly, R.M. 1994. Theories of justice and ~eet-Ievel discretion. Journal of public administration research and theory, 4: 119-140. Klitgaard, Robert. 1988. Controlling Corruption. Berkeley dan Los Angeles: University of California Press. Krause, G. 1999. A two-way street: The institusional dynamics of modern administrative state. Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press. Lipsky, M. 1980,.Street-level bureaucracy: the dilemmas ofindividuls public services. NY: Russel Sage Foundation.
in
49 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Marbun, S.F.2006. Diskresi dan Upaya perlindungan pejabat publik dalam upaya pemberantasan korupsi. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta.
McCubbins, M.D. 1985.. Legislative design of regulatory structure. American Journal of political Science. 29: 721-748.
~
McNollgast. 1987. Administativeproceduresas instrumentsof political control.3. Meier, KJ. 1993. Politics and bureaucracy:Alienationamong industrial scientistsand engineers.Americansociologicalrevie. 32: 755768. Meier, Kenneth 1. and Krause,GeorgeA. 2000. American Journal of PoliticalScience,pp. 292-307. Miller, G.A. 1967. Professional in Bureaucracy: Alienation among Industrial Scientists and Engineers. American Siciological Review, 32: 755-768. Miranda, Rowan A. And Ittipone Tunyavong, "Patterned Inequality? Reexamining the Role of Distributive Politics in Urban Service Delivery," Urban Affairs Quarterly, Vol. 29, No.4, June 1994, pp. 509-534. . Mladenka, Kenneth R., "the Urban Bureaucracy and the Chicago Political Machine: Who Gets What and the Limits of Political Control," The American Political Science Review, Vol. 74, 1980, p. 991. Peyrot, M., 1982, Caseload Management: Choosing Suitable Clients in a Community Health Clinic Agency, Social Problems, 30: 157167.
50 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Romzek,Barbara S. Dan Dubnick,MelvinJ. 1987.Accountabilityin the public sector: Lessons from the challenger tragedy. Public AdministrationReview.47 (3):227-238. Rohr, J.A.l989. Ethics/or Bureaucrats: An essay on law and virtue (2 nd 00.) New York: Dekker. Rourke, Francis E., 1984, Bureaucracy, Politics and Public Policy, 3th edition, New York: Macmillan.
51 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
Data Pribadi
1. Nama 2. Tempat ffgllahir 3. Agama 4. Pekerjaan
5. StatusMarital Suami Anak
: Sri Juni Woro Astuti : Yogyakarta, 9 Juni 1966 : Islam : Dosen FISIP dan Program Magister Administrasi Pubtik Universitas Wijaya Putra Surabaya
: Menikah : Dr. Falih Suaedi,M.Si. : 1. Widian Eka Kirana 2. Rahadian Fuadi 3. Fauzian Akmal Ramli 4. Tifany Amira Dewi
6. Alamat Rumah JI. Sawentar No. 10 Surabaya 60131 Telp. 031-5030538/081330892518, E-mail:
[email protected]. 7. Alamat Kantor Kampus I: JI. Raya Benowo No. 1-3 Surabaya 60197, Telp. 031-7413061, 7404404. Kampus II: JI. Gunungsari Surabaya 60224, Telp. 031-5623436,5622378,5663670.
52 Ringkasan Disertasi,SriJuniWoroAstuti,2009
8. Riwayat Pendidikan a. 1989 : SaJjana Umu Adminitrasi Negara, Fakultas Umu Sosial dan Umu Politik Universitas Airlangga,Surabaya. b. 1996 : Master of Commerce bidang Manajemen Sumber Daya Manusia, University ofWoliongong, Australia. c. 2009 : Program Doktor Umu Administrasi Negara, FISIPOL UGM, Yogyakarta.
9. Riwayat Pekerjaan
a. 1990-2002 b. 1992-1994 c. 1997-2001 d. 1999-2002
: Dosen Universitas Hang Tuah Surabaya : Sekretaris Jurusan UmuAdmnistrasi Negara FIA UHT : Ketua Jurusan UmuAdmnistrasi Niaga, UHT : Ketua Pusat Studi Pengembangan SDM Univ. Hang Tuah .
e. 2000-2002 f. 2006-2008
: Pembantu Dekan n FIA UHT, (2000-2002). : Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Wijaya Putra g. 2002-sekarang : Dosen Fakultas Umu Sosial dan Umu Politik dan Program Pasca SaJjana Universitas Wijaya Putra e. 2006-sekarang : Ketua Tim Monitoring dan Evaluasi Universitas
Wijaya Putra
.
10. Organisasi:
a. Persatuan Sarjana Hmu Administrasi (PERSADI) b. IndonesiaDemocratization Watch (INDECH), Jakarta. c. Indonesian Society for Quality Concern (ISQc), Surabaya.
53 Ringkasan Disertasi, SriJuniWaroAstuti,2009