REFERAT GAMBARAN DUCTAL CARCINOMA IN SITU PADA MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI) PAYUDARA
Oleh : Eva Hadaniah Asyati NIM : 11/326481/PKU/12928 Pembimbing : Dr. dr. Lina Choridah, Sp.Rad(K)
BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA 2014
BAB I PENDAHULUAN
Kanker payudara adalah keganasan yang paling umum pada wanita, dimana lebih dari 210.000 kasus didiagnosis di Amerika Serikat setiap tahunnya. Menurut WHO, berdasarkan gambaran histopatologinya kanker payudara diklasifikasikan menjadi 3 tipe mayor, yaitu karsinoma non invasif (non invasive carcinoma), karsinoma invasif (invasive carcinoma), dan Paget’s disease. Ketiga tipe mayor tersebut dibagi lagi menjadi beberapa subtipe. Klasifikasi tipe dan sub tipe kanker payudara tercantum pada tabel 1.1 Karsinoma payudara invasif
ditemukan pada 70% - 85% dari total
insidensi, dimana 15% - 30% kasus adalah karsinoma in situ, dan 80% di antaranya merupakan Ductal Carcinoma In Situ (DCIS). Awalnya DCIS merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan, kurang dari 1% dari seluruh kasus baru yang didiagnosis sebagai karsinoma mammae.2,3,4 Ductal Carcinoma In Situ adalah karsinoma invasive dengan spectrum penyakit yang luas, dari tingkat keganasan derajat rendah sampai derajat tinggi dengan fokus keganasan invasive.5 Dengan perkembangan pemeriksaan Mammografi berkualitas tinggi, DCIS sebagai subgrup karsinoma mammae, jumlah temuan kasus baru DCIS meningkat pesat akhir-akhir ini, dan presentasinya berubah. Kebanyakan pasien yang terdiagnosis, secara klinis bersifat asimptomatik dengan massa yang nonpalpable. Konsep awal DCIS sebagai entitas tunggal menjadi tidak valid. Konsep yang digunakan saat ini adalah DCIS sebagai satu spektrum lesi yang heterogen dengan potensi menjadi maligna.3 Insidens DCIS meningkat nyata dari 5,8 per 100.000 wanita pada tahun 1970 menjadi 32,5 per 100.000 wanita pada tahun 2004 tetapi kemudian menetap. DCIS tidak lazim pada wanita usia muda (<30 th). Risiko DCIS adalah 0,6 per 100.000 wanita usia 49-60 tahun dan meningkat 1,4 per 100.000 wanita usia 7084 tahun.6 Dengan demikian tidak ada modalitas pencitraan selain Mammografi yang dapat diterima untuk evaluasi DCIS, namun Magnetic Resonance Imaging
2
(MRI) sering digunakan setelah deteksi lesi dengan mammografi karena MRI dapat membantu mengarahkan pembuatan keputusan bedah diantara pilihan yang memungkinkan. MRI merupakan modalitas yang revolusioner dalam pencitraan diagnostic tubuh manusia dan menunjukkan perkembangan yang pesat pada 2-3 dekade terakhir ini. Sebagai pemeriksaan diagnostik radiologis yang non-invasif dan tanpa penggunaan radiasi, MRI telah membangkitkan minat yang besar untuk digunakan dalam mendeteksi kelainan payudara, dan terutama peran utamanya dalam mendeteksi tumor payudara fase dini. Akurasi MRI melebihi mammografi dalam mengevaluasi 3 faktor pertama yang menentukan nilai klinisnya yaitu penyakit yang multisenter, ukuran tumor dan status payudara kontralateralnya. Karena itu MRI mempunyai akurasi diagnosis untuk DCIS dibandingkan mammografi film maupun digital, terutama penggunaan yang selektif terhadap pasien dengan resiko tinggi.5 Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui peran MRI payudara serta mengetahui gambaran DCIS pada pemeriksaan MRI. Dengan mengetahui ciri-ciri DCIS pada pemeriksaan MRI Payudara, dapat melengkapi hasil pemeriksaan pada mammografi dan USG pada lesi yang sangat sukar untuk ditemukan. Dengan demikian dapat membantu klinisi dalam penatalaksanaan dan pengambilan keputusan bedah.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Karsinoma Mammae Terdapat beberapa klasifikasi karsinoma mammae berdasarkan tipe histologis. Salah satu yang banyak digunakan adalah klasifikasi dari Fisher et al. pada 1975, namun Fisher tidak memasukkan karsinoma in situ di dalam klasifikasinya. Klasifikasi lain disusun oleh Linell et al. pada 1984, yang membagi karsinoma mammae ke dalam tipe non-invasif dan invasif. Klasifikasi yang juga banyak digunakan adalah dari WHO yang dipublikasikan pada 1981 (Tabel 1).1,7
B. Definisi DCIS Ductal Carcinoma In Situ (DCIS), atau dikenal juga sebagai intraductal carcinoma7,8 adalah karsinoma mammae yang bersifat non-invasif.8,9,10 Istilah ‘in situ’ diartikan sebagai "in place", sehingga karsinoma non-invasif didefinisikan sebagai pertumbuhan abnormal pada sel-sel yang masih berada di area dimana selsel itu berasal.9 DCIS ditandai dengan proliferasi sel epitel yang bersifat maligna, yang terbatas pada duktus mammae (lumen saluran air susu) tanpa invasi melalui membran basal ke stroma di sekitarnya.10,12,13 Karena membran basal tidak ditembus, DCIS tidak menginfiltrasi parenkim mammae dan tidak mempunyai akses ke limfonodi, sehingga tidak dapat bermetastasis.12 DCIS hanya menyerang duktus mammae. Duktus pada mamme sendiri berfungsi menyalurkan air susu dari lobulus-lobulus (dimana air susu diproduksi), menuju ke nipple. DCIS dapat menyerang satu duktus (unifokal) atau lebih dari satu duktus (multifokal), sehingga DCIS dapat dijumpai di lebih dari satu area pada mammae.9 Istilah DCIS pertama kali dikenal pada tahun 1893. Konsep lesi jinak yang bisa berkembang menjadi karsinoma invasif tidak sepenuhnya dipahami sampai tahun 1930-an dimana telah terjadi evolusi dalam istilah "carcinoma in situ". Pada mulanya DCIS dianggap sebagai lesi maligna
yang selalu membutuhkan
4
mastektomi. Namun, pemahaman yang lebih baik tentang aspek biologi DCIS disertai pemahaman bahwa Terminal Ductal Lobular Unit (TDLU) merupakan asal dari sebagian besar lesi patologis pada mammae, termasuk DCIS, telah menggeser paradigma penatalaksanaan ke arah lumpektomi. Informasi lebih lanjut tentang patogenesis dan riwayat alamiah dari DCIS telah memberikan kontribusi terhadap berbagai pendekatan dalam pengelolaan DCIS.14
C. Klasifikasi DCIS Klasifikasi DCIS menjadi beberapa subtipe berdasarkan pada berbagai observasi secara mikroskopis, termasuk pola arsitektur proliferasi sel dalam duktus yang terlibat, tingkat nekrosis tumor, dan derajat diferensiasi sitonuklear.14 Sejumlah sistem klasifikasi telah diusulkan untuk menstandarisasi diagnosis DCIS (Tabel 2). Sistem klasifikasi yang paling sederhana adalah sistem klasifikasi Van Nuys yang membagi DCIS menjadi tiga kelompok lesi, yaitu grade 1 dan 2 (non-high-grade) serta grade 3 (high-grade). Van Nuys prognostic index, yang membedakan lesi berdasarkan usia, ukuran lesi, serta tebal margin, dapat digunakan untuk menentukan grading lesi, yang berkaitan dengan pengelolaan DCIS14 (Tabel 3).15 Pada tahun 1997, berdasarkan rekomendasi dari komite Consensus Conference on the Classification of DCIS, ditetapkan tiga grading nuklear (low, high, dan intermediate).12,15,16,17 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa DCIS low-grade dan high-grade mempunyai rute genetik yang berbeda. DCIS low-grade umumnya positif terhadap reseptor estrogen (ER) dan reseptor progesteron (PR), sementara DCIS high-grade cenderung menampilkan kurangnya ekspresi terhadap ER dan PR. Diperkirakan
DCIS low-grade dapat berkembang menjadi Invasive Ductal
Carcinoma (IDC) low-grade, sedangkan DCIS high-grade dapat berkembang menjadi IDC high-grade.18
D. Epidemiologi DCIS Data menunjukkan bahwa insiden DCIS meningkat sampai usia 65-69 tahun dan setelah itu menurun. Insiden DCIS 3,7 kali lebih besar pada kelompok usia
5
tersebut dibandingkan pada usia di bawah 60 tahun. Insiden DCIS yang tertinggi terjadi pada wanita Kaukasia diikuti oleh Afrika Amerika dan Kepulauan AsiaPasifik.11 Banyak
penelitian
menunjukkan
bahwa
peningkatan
penggunaan
Mammografi adalah penjelasan yang paling mungkin untuk terjadinya peningkatan insiden DCIS.7,11,12,16,17 Insidens DCIS meningkat nyata dari 5,8 per 100.000 wanita pada tahun 1970 menjadi 32,5 per 100.000 wanita pada tahun 2004 tetapi kemudian menetap. DCIS tidak lazim pada wanita usia muda (<30 th). Risiko DCIS adalah 0,6 per 100.000 wanita usia 49-60 tahun dan meningkat 1,4 per 100.000 wanita usia 70-84 tahun.11 Antara tahun 1983 dan 2000 di Amerika serikat, terdapat peningkatan 500% DCIS pada wanita usia ≥ 50 tahun, meskipun insiden tersebut menurun pada tahun 2005. Pada usia < 50 tahun, kejadian DCIS meningkat 290% dari 1983 sampai 2003. Secara ringkas, terjadi peningkatan DCIS pada wanita setelah 50 tahun di seluruh dunia. Peningkatan ini dapat disebabkan karena kesadaran yang lebih besar pada wanita mengenai keganasan pada payudara, peningkatan dalam skrining dan diagnostic payudara, penggunaan selektif dari MRI pada pasien resiko tinggi atau penggunaan penanda genetic untuk mengidentifikasi pasien resiko tinggi.5 Seperti pada karsinoma mammae invasif, DCIS umumnya menyerang wanita, dan sangat jarang terjadi pada pria.6 DCIS pada pria umumnya menyerang pada usia yang lebih tua dibanding pasien wanita, dan kebanyakan adalah lowgrade.14
E. Faktor Resiko DCIS Terdapat banyak factor risiko untuk berkembangnya DCIS meliputi demografi, reproduksi, biologis dan perilaku. Jelas bahwa insidens DCIS berkaitan dengan usia.5 Angka kejadian DCIS tertinggi pada wanita Kaukasia dibandingkan dengan Afrika, Amerika, Asia dan Kepulauan Pasifik dengan angka kejadian terendah pada wanita Hispanik. Satu penelitian mrnunjukkan bahwa kejadian DCIS lebih
6
tinggi pada wanita perkitaan disbanding wanita pedesaan. Penelitian lain menunjukkan DCIS juga lebih lazim pada wanita yang tidak berpendidikan, khususnya yang tidak mengenyam sekolah tinggi. Satu penelitian di Australia menunjukkan bahwa angka kejadian DCIS adalah 7,3% pada wanita yang cenderung berpendapatan lebih tinggi dibandingkan 4,5% pada mereka yang berpendapatan rendah. 5 Faktor resiko DCIS kurang lebih serupa dengan pada karsinoma mammae invasif, berkaitan dengan usia.5,12,14 faktor resiko DCIS (Tabel 4).
(doja)
Beberapa peneliti telah merumuskan
14
F. Anatomi Mammae Payudara normal terutama terdiri dari parenkim (lobulus dan duktus), jaringan ikat, dan lemak (Gambar 2). Produk dari lobulus disalurkan melalui duktus. Ada sekitar 15 sampai 20 lobus di payudara. Sementara duktus-duktus akan bermuara ke nipple. Hanya duktus utama yang tervisualisasi pada mammogram, dan terlihat di regio subareolar sebagai penebalan struktur linier di sekeliling nipple.19,20 Lobulus merupakan unit-unit glandular yang terlihat sebagai opasitas berupa bercak yang ill-defined dengan densitas medium. Ukurannya bervariasi dari 1 sampai beberapa milimeter, dan opasitas yang lebih besar merupakan kumpulan dari lobulus dengan sedikit lemak disela-selanya.
Jaringan ini
berada di antara fascia premammary dan retromammary.19,21 Jumlah dan distribusi jaringan glandular sangat bervariasi. Wanita yang lebih muda cenderung memiliki lebih banyak jaringan glandular daripada wanita yang lebih tua. Atrofi glandular dimulai dari inferomedial, dan densitas residu glandular tampak menetap lebih lama di kuadran superolateral. Namun, pola apapun dapat terlihat pada usia dewasa.19 Unit fungsional pada mammae adalah Terminal Ductal Lobular Unit (TDLU), yang terdiri dari lobulus dan duktus ekstralobular. TDLU merupakan point penting karena merupakan lokasi awal (origin) dari sebagian besar kelainan mammae.19,21
7
Struktur trabekular, yang merupakan kondensasi dari jaringan ikat, tampak sebagai opasitas linier tipis (<1 mm) dengan densitas medium sampai tinggi. Ligamentum Cooper adalah trabekula pendukung yang memberikan bentuk karakteristik pada payudara, dan tampak sebagai garis lengkung (curved) di sekitar lemak pada lobulus.19 Payudara terdiri dari sejumlah besar lemak, yang tampak lusen, atau hampir hitam, pada mammogram. Lemak terdistribusi di lapisan subkutan, di antara unsur-unsur parenkim di bagian sentralnya, dan di lapisan retromammary di anterior muskulus pektoralis.19,20 Limfonodi tampak di aksila dan kadang-kadang pada mammae itu sendiri.
17
Sementara vena tampak melintasi mammae sebagai opasitas linier
yang uniform, dengan diameter sekitar 1 sampai 5 mm dan arteri tampak sebagai opasitas linier uniform yang sedikit lebih tipis (dibanding vena), terlihat paling jelas ketika disertai kalsifikasi, seperti pada pasien dengan aterosklerosis, diabetes, atau penyakit ginjal.19
G. Patologi DCIS Pada DCIS, terjadi gangguan pada arsitektural epitel glanduler mammae yang melibatkan hilangnya lumen dan proliferasi sel epitel di dalam unit acinar, dimana keadaan tersebut akibat ketidakseimbangan antara proses apoptosis dan proliferasi.14 Ahli patologi sepakat untuk membagi DCIS menjadi 5 subtipe berdasarkan gambaran arsitektural selnya
(papillary,
micropapillary, cibriform, soild, dan comedo). Empat yang pertama termasuk ke dalam kelompok non-comedo. Secara umum, DCIS comedo-type seringkali berhubungan dengan high-nuclear-grade, aneuploidi, tingkat proliferasi sel yang tinggi, over ekspresi
HER2/neu (c-erB2), serta
perkembangan klinis yang lebih agresif. Lesi non-comedo-type mempunyai ciri-ciri sebaliknya.4 DCIS berada di dalam spektrum lesi preinvasif yang berasal dari dalam jaringan mammae yang
normal, dimana terjadi perkembangan
histologis dari hiperplasia atipikal ke arah karsinoma mammae invasif.
8
Meskipun proses awal dan jalur yang tepat dari tumorigenesis mammae masih sulit untuk didefinisikan, hampir semua karsinoma mammae invasif timbul dari karsinoma in situ. Perubahan kromosom yang terjadi baik pada DCIS maupun pada kanker invasif, menunjukkan hubungan evolusi pada kedua kondisi tersebut.5,8,14 Data klinis dan laboratoris menunjukkan bahwa DCIS dapat berkembang menjadi penyakit invasif. Namun apa alasannya dan seberapa sering DCIS berkembang menjadi penyakit invasif serta apakah tipe tertentu DCIS berkembang menjadi invasif, masih kurang dipahami dengan baik. Diperkirakan berkembangnya DCIS terjadi pada pasien yang sebelumnya didiagnosis dengan penyakit payudara jinak yang tidak menerima pengobatan dan tidak di evaluasi secara biopsi.14
H. Manifestasi Klinis DCIS Umumnya, DCIS secara klinis bersifat asimptomatik, namun dapat bermanifestasi sebagai massa yang teraba pada palpasi, nipple discharge, atau Paget disease.2,18,12 Beberapa tahun sebelumnya, DCIS dideteksi secara klinis sebagai massa yang teraba pada palpasi, walaupun seringkali jarang terdeteksi. Saat ini, sebagian besar DCIS terdeteksi sebagai mikrokalsifikasi pada pemeriksaan Mammografi pada lebih dari tiga perempat (76%) kasus, sebagai massa yang tidak teraba pada palpasi pada 11% kasus, dan kombinasi di atas sebanyak 13% kasus.2,8 DCIS juga kadang terdeteksi secara kebetulan saat evaluasi mammae untuk keluhan lain yang tidak berhubungan dengan DCIS.2
I.
Diagnosis DCIS Di negara maju diagnosis DCIS berdasarkan hasil pencitraan radiologis, sementara di negara-negara berkembang atau negara tertinggal tetap mengandalkan eksisi dan analisis histologi dari jaringan yang di biopsi.5 Anamnesis tentang riwayat penyakit serta pemeriksaan fisik, dapat melengkapi pemeriksaan tentang status kesehatan pasien secara keseluruhan.
9
Point-point pada riwayat penyakit serta pemeriksaan fisik terangkum dalam tabel 5 dan 6.22 Diagnosis
secara
radiologis
terutama
melalui
pemeriksaan
Mammografi, diikuti dengan biopsi secara stereotaktik. Namun, teknik baru seperti MRI dan analisis sitologi duktus dapat meningkatkan kemampuan deteksi DCIS.12 Diagnosis definitif tetap ditegakkan melalui evaluasi patologi.22
J.
Pemeriksaan Radiologi pada DCIS
1.
Duktografi Duktografi, atau galaktografi, menggunakan pencitraan Mammografi setelah injeksi kontras ke dalam duktus mammae. Indikasi pemeriksaan ini adalah nipple discharge yang profus, spontan, dan nonmilky dari duktus tunggal. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui lokasi dari sistem duktus yang terlibat. Penyebab dari discharge seringkali tidak teridentifiksasi. Kadang kelainan intraluminal dapat terlihat, tapi temuan pada pemeriksaan ini memiliki spesifitas yang rendah.19
2.
Mammografi Dalam 20 tahun terakhir, seiring dengan penggunaan Mammografi secara luas untuk tujuan skrining, angka kejadian DCIS meningkat secara dramatis. Hal tersebut berpengaruh pada evolusi dalam penatalaksanaa DCIS.8 Indikasi pemeriksaan Mammografi adalah pemeriksaan awal untuk pasien yang simptomatik (mikrokalsifikasi) di atas usia 35 tahun, serta untuk skrining. Terdapat beberapa manifestasi DCIS pada Mammografi. Kalsifikasi adalah yang paling sering tampak (pada 50-75% kasus).10,16,17,22 Kalsifikasi pada DCIS biasanya adalah pleomorfik, yang bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan kepadatannya, dikelompokkan
ke dalam cluster, sering
bermanifestasi sebagai gambaran linier atau segmental, mencerminkan visualisasinya di dalam duktus. Sebaliknya, kalsifikasi yang terkait dengan
10
kelainan jinak cenderung lebih bulat, lebih seragam dalam kepadatan, dan tersebar atau terdistribusi dalam kelompok.4,22 Manifestasi lainnya termasuk opasitas jaringan lunak, dengan atau tanpa kalsifikasi. Kadang DCIS tampak sebagai massa simpel atau mammae yang asimetris tanpa kalsifikasi (~ 8% kasus).12,17 Temuan lain, seperti distorsi arsitektur parenkim, dilatasi duktus retroareolar, dan meningkatnya kepadatan parenkim mammae, juga telah dilaporkan. Meskipun kebanyakan kasus DCIS didiagnosis secara mammografi, 6-23% lesi DCIS lesi tidak terlihat pada mammografi.10 Mammografi kadang dapat digunakan untuk karakterisasi histologis DCIS. Sebagai contoh, kalsifikasi linear dan beberapa kelompok kalsifikasi granular halus biasanya konsisten dengan poorly-differentiated (comedo type) atau well-differentiated (non-comedo type) DCIS. Namun, prediksi histologi dan ukuran lesi secara pemeriksaan mammografi tidak selalu dapat diandalkan. Terbukti dalam satu penelitian, lesi DCIS berukuran 2 cm lebih besar pada pemeriksaan histologis daripada ukuran yang diperkirakan oleh mammografi pada delapan (44%) tumor tipe mikropapilari dan lima (12%) tumor tipe komedo murni.12,14,17 Mammogram kadang kurang tepat menentukan perluasan DCIS. Namun ada teknik yang harus dilakukan pada pre operasi untuk menentukan perluasan kalsifikasi tumoral. Jika dijumpai massa, harus diukur diameternya. Ukuran massa pada lesi low-grade dan intermediate-grade diperkirakan sekitar 2 cm pada sebanyak 50 % kasus, bila hanya dua posisi ortogonal yang dilakukan pada pemeriksaan Mammografi. Penggunaan rutin magnification view, seperti posisi khusus lainnya, secara signifikan akan mengurangi kekurangtepatan dalam penghitungan ukuran lesi. Seluruh mammae harus diperiksa dengan teliti untuk menentukan apakah terdapat lesi di area lain di mammae yang bersangkutan, sehingga akan mempengaruhi pengambilan keputusan pada breast conserving treatment. Untuk tujuan tersebut, Mammae kontralateral juga harus dievaluasi, dan Mammografi mammae bilateral diperlukan.22
11
Secara umum, Mammografi adalah metode terbaik untuk deteksi dan evaluasi DCIS, dan telah terbukti memiliki sensitivitas tinggi. Dengan semakin meluasnya skrining secara Mammografi dan kemajuan terbaru dalam teknik dan interpretasi Mammografi, saat ini DCIS terdata sebanyak 20-40% dari semua kanker nonpalpable yang terdeteksi di kalangan wanita dari segala kelompok usia.13
3. Ultrasonografi (USG) USG mammae telah menjadi teknik pemeriksaan tambahan atau penunjang bagi Mammografi yang paling sering digunakan selama ini. Kontribusi utama USG adalah efektivitasnya dalam membedakan lesi kistik dari massa padat.19 Salah satu manfaat mengidentifikasi kelainan pada pemeriksaan USG pada pasien yang terdeteksi memiliki DCIS berdasarkan pemeriksaan Mammografi adalah untuk memandu proses intervensi (misalnya biopsi). Massa hipoekoik berbentuk mikrolobulasi dengan perluasan pada duktus, disertai transmisi akustik yang normal dianggap merupakan fitur DCIS yang paling umum pada USG mammae.12 Indikasi pemeriksaan USG mammae adalah (1) massa yang terdeteksi pada Mammografi, pada simptomatik pasien berusia di atas 35 tahun, dimana sifat alamiah massa tersebut belum terdefinisi, (2) massa yang teraba pada palpasi namun tidak terlihat pada Mammografi, (3) massa yang teraba pada pasien dengan usia kurang dari yang dianjurkan untuk pemeriksaan rutin Mammografi, dan (4) sebagai guiding untuk tindakan intervensi.19 Dengan kualitas USG yang baik, penggunaannya dalam praktek sehari-hari sangat mungkin untuk mengidentifikasi proses DCIS di dalam sistem duktus. Kalsifikasi di dalam duktus pun dapat teridentifikasi, sehingga biopsi yang dipandu oleh USG mammae merupakan prosedur yang dapat diterapkan.12 Keterbatasan USG adalah bahwa pemeriksaan ini sangat tergantung pada operator. Selain itu, gambaran pada hasil pemeriksaan USG
hanya
meliputi sebagian kecil dari mammae pada satu saat. Oleh karena itu, survei
12
inklusif secara keseluruhan tidak mungkin didapatkan dalam satu gambar, dan ada kemungkinan luput mendeteksi suatu lesi.19
4. MDCT Scan Secara umum, CT memiliki sensitivitas yang lebih rendah namun memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibanding MRI. Peran multidetektor CT Scan dalam evaluasi karsinoma mammae, termasuk DCIS, masih belum terdefinisi. Namun demikian, multidetector CT Scan mungkin berguna bila dikombinasi dengan MRI dalam proses mapping pra operasi.17
5.
Skintigrafi Indikasi pemeriksaan skintigrafi adalah untuk evaluasi lesi yang berukuran lebih dari 1 cm dan untuk pemeriksaan aksila, dapat pula mengevaluasi resistensi terhadap obat (kemoterapi).23 Walaupun tidak diindikasikan untuk tujuan skrining untuk deteksi karsinoma mammae, Skintimammografi berperan penting pada berbagai kondisi klinis yang spesifik, pada kasus yang tidak terdiagnosis secara Mammografi, serta untuk evaluasi pasien beresiko tinggi.23
6.
PET Scan Indikasi pemeriksaan PET Scan pada mammae adalah untuk pemeriksaan terhadap aksila, scar pada mammae, serta pada lesi yang multifokal. Pemeriksaan ini merupakan yang paling sensitif dan spesifik dibanding modalitas pencitraan lainnya, namun juga paling mahal dan paling jarang digunakan.23
7. MRI Indikasi pemeriksaan MRI pada mammae adalah sebagai skrining pada wanita dengan resiko tinggi, dimana ditemukan scar pada mammae, implan, lesi multifokal sert lesi borderline. MRI mungkin lebih sensitif untuk deteksi DCIS daripada Mammografi namun kurang spesifik. Pola enhancement DCIS pada MRI biasanya bersifat fokal, namun juga dapat tampak sebagai gambaran
13
difus. Peningkatan enhancement pada pemberian kontras dikaitkan dengan ukuran dan kepadatan duktus pada DCIS. Diperkirakan peningkatan enhancement tersebut adalah karena adanya angiogenesis tumor dalam stroma di sekitar duktus yang terlibat pada DCIS.14 Namun enhancement pada MRI tidak menunjukkan pola yang spesifik.12 MRI
dapat meningkatkan
kemampuan untuk mendeteksi dan
menentukan ukuran dan sifat alamiah DCIS. Ini mungkin sangat berguna dalam mengevaluasi residu penyakit, invasi yang occult, dan multisentrisitas lesi. MRI juga berperan dalam evaluasi pasien yang berisiko tinggi untuk timbulnya penyakit yang invasif atau pada pasien dengan keluhan nyeri, parenkim yang padat, atau gambaran nodular pada mammae, dimana pemeriksaan fisik atau Mammografi sulit atau tidak dapat diandalkan. Namun masih dibutuhkan analisis coft-benefit untuk menentukan penerapan MRI pada praktek sehari-hari.14,19 a. Teknik MRI Payudara Sebelum dilakukan serial penyangatan kontras dinamis, sekuens aksial 3D-non-fat suppressed T1-weighted, aksial dua dimensi fast spin-echo T2weighted dan sagittal 2D-fat suppressed T2-weighted fast spin-echo dilakukan untuk meningkatkan spesifisitas karakterisasi lesi dengan cara evaluasi lesi yang mengandung darah, lemak atau cairan dan menggambarkan kecurigaan adanya artefak seperti penanda postbiopsy atau klip.24 Pencitraan MR payudara yang optimal membutuhkan sequences T1weighted yang dilakukan baik precontrast maupun postconstrast (biasanya dengan fat suppresed), yang memaksimalkan resolusi temporal dan spasial dan meminimalkan ketebalan bagian. Paling sering, sequences ini dilakukan pada bidang aksial atau sagital. Saat ini sekuens yang digunakan aksial tiga dimensi (3D) fat suppressed spoiled gradient-echo T1- weighted untuk pencitraan precontrast dan postcontrast dinamis, meskipun dalam masa lalu kita telah menggunakan sequens sagital dinamis. Semua vendor peralatan MRI saat ini mendukung teknik yang sama dengan penyangatan kontras dinamis pada pencitraan payudara.24
14
Umumnya MRI payudara dilakukan pada 1,5 T GE Signa TwinSpeed HD atau sistem HDX dengan penggunaan GE 8-channel high definition breast coil. Pada sequens pra dan postcontrast dikonfigurasi sebagai akuisisi tunggal multiphase dengan 2 menit (per tahap) temporal resolusi. Fase precontras digunakan sebagai substraction mask, dengan jeda berikutnya di mana gambar diperiksa dan injeksi bahan kontras dimulai. Setelah pemberian bolus intravena bahan kontras gadolinium chelate, pencitraan dilanjutkan, dengan empat fase diperoleh selama 8 menit terus-menerus. Central k-space (K0) dari akuisisi postcontrast pertama waktunya terjadi 90 detik setelah mulai injeksi bahan kontras. Konstruksi sekuens ini memungkinkan cukup resolusi temporal untuk deteksi dini penyangatan lesi dan karakterisasi materi kontras kinetika sekaligus memaksimalkan resolusi spasial. Seri dinamis berikutnya, sekuens sagittal 3D fat suppressed gradien-echo T1-weighted dilakukan untuk kedua payudara. Parameter pencitraan MR payudara ditunjukkan pada Tabel 1.24 Penyangatan kontras dicapai dengan menyuntikkan dosis standar gadopentetate dimeglumine pada kecepatan 2 mL / detik diikuti dengan injeksi saline 20-30 mL pada kecepatan yang sama; bahan kontras diberikan secara bertahap 5-mL berdasarkan berat badan pasien, sehingga setiap pasien menerima setidaknya dosis tunggal tetapi tidak lebih dari dua kali lipat dosis (median, 20 mL). Pasien dengan kerusakan ginjal, tetapi dengan laju filtrasi glomerulus dari 30 mL/min/1.73 m2 atau lebih tinggi, menerima satu dosis gadobenate. American College of Radiology merekomendasikan pemberian bolus 0,1 mmol / kg bahan kontras berbasis gadolinium diikuti oleh saline flush minimal 10 Ml.24
b. Manifestasi DCIS di Payudara MR Pencitraan DCIS dapat hipo-isointense pada precontrast T1-weighted dan T2weighted fat saturated. DCIS menunjukkan peningkatan kontras awal yang dianggap berkaitan dengan tumor angiogenesis. Umumnya gambaran MRI paling sering yang dilaporkan untuk manifestasi DCIS berupa penyangatan
15
nonmasslike berkelompok dalam duktus, linear, segmental, atau distribusi regional. 24 Namun, manifestasi lain seperti bentuk penyangatan linear-ductal, segmental, focal atau penyangatan area regional, penyangatan difus atau penyangatan mass juga dapat dilihat. Lesi DCIS murni menunjukkan penyangatan nonmasslike pada 59% kasus, sedangkan 14% bermanifestasi sebagai penyangatan mass, 14% tidak menunjukkan penyangatan, dan 12% bermanifestasi sebagai penyangatan focal.25
c.
Biopsi di pandu MRI (B) Kebutuhan untuk melakukan biopsi terhadap lesi payudara melalui
pembedahan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan terutama biopsi pada lesi yang terlihat hanya pada MRI. MRI memungkinkan pencitraan dari bidang pandang yang lebih besar dan visualisasi yang lebih baik dari struktur jauh di dalam payudara. Visualisasi yang lebih baik berarti kesempatan yang lebih baik menargetkan bagian lesi paling mencurigakan dan memperoleh sampel terbaik untuk pemeriksaan patologis. Sruktur pembuluh darah lebih mudah terlihat sehingga mengurangi risiko komplikasi selama biopsi yang dipandu dengan MRI.26
K. Diagnosis Banding DCIS Diagnosis banding DCIS bervariasi sesuai dengan grading dan perluasan penyakit ini. Sebagian literatur mendeskripsikan diagnosis banding DCIS secara histologi. 1. Hiperplasia duktus atipikal (ADH) dan DCIS low-grade. Penilaiannya berdasarkan perluasan minimal dari lesi. Ketika proliferasi sel-sel ganas lowgrade meliputi kurang bahwa dua duktus atau perluasannya < 2mm, diagnosis ADH harus ditegakkan. Kriteria ini tidak berlaku untuk lesi high-grade. 2. DCIS low-grade solid dan Lobular Carcinoma In Situ (LCIS). DCIS low-grade dengan pola pertumbuhan yang solid mungkin sulit untuk dibedakan dari LCIS klasik atas dasar morfologi saja. Dalam skenario ini E-cadherin biasanya dapat
16
diandalkan membedakan DCIS low-grade (E-cadherin positif) dengan LCIS (E-cadherin negatif). 3. DCIS high-grade dan LCIS pleomorfik (PLCIS). Kedua lesi ini ditandai dengan proliferasi sel pleomorfik ganas dengan inti besar dan keduanya seringkali menunjukkan area nekrosis pada tipe komedo. LCIS klasik sering terlihat di sekitar PLCIS. E-cadherin jelas membedakan antara DCIS highgrade (E-cadherin positif) dengan PLCIS (E-cadherin negatif). 4. DCIS dengan mikroinvasi (MI). Mikroinvasi didefinisikan sebagai perluasan pertumbuhan sel kanker di luar membran basal, dimana diameter lesinya kurang dari 0,1 cm.1,15
L. Penatalaksanaan DCIS Saat ini, pengelolaan DCIS masih kontroversial, hal ini merefleksikan variasi pilihan penatalaksanaan yang ditawarkan kepada pasien. Guideline dari
Konsensus sepakat bahwa tujuan pengobatan untuk DCIS adalah
konservasi mammae, dengan efek kosmetik yang optimal dan resiko rekuren atau invasif yang minimal.14 Standar penatalaksanaan DCIS terdiri dari koordinasi beberapa disiplin ilmu, yang terdiri dari ahli radiologi, ahli bedah, ahli patologi, dan ahli onkologi. Rekomendasi penatalaksanaan dirangkum dalam Tabel 5.8 Pilihan penatalaksanaan standar untuk DCIS saat ini meliputi: 1. Lumpektomi tanpa mengambil limfonodi dengan iradiasi seluruh mammae; 2. Mastektomi total dengan biopsi limfonodi sentinel +/- rekonstruksi; 3. Lumpektomi tanpa mengambil limfonodi atau radiasi. Pemberian Tamoxifen selama 5 tahun dapat dipertimbangkan sebagai ajuvan bagi pasien yang penatalaksanaannya mengacu pada opsi pertama (terutama bagi mereka dengani ER positif) dan opsi ketiga. Pilihan penatalaksanaan yang paling sesuai untuk masing-masing pasien tergantung pada berbagai faktor klinis-patologis seperti usia pasien dan luasnya penyakit. Pilihan ketiga, yang paling konservatif dari semua pilihan, umumnya hanya
17
dipertimbangkan untuk pasien yang dianggap beresiko sangat rendah untuk terjadinya rekurensi lokal (LR).9,15 Mastektomi total adalah penatalaksanaan yang dianjurkan bagi pasien dengan DCIS yang telah menyebar secara luas melalui duktus mammae. Karena DCIS tidak menyebar ke limfonodi di bawah lengan, limfonodi tersebut biasanya tidak ikut diambil. Total mastektomi memerlukan rawat inap singkat di rumah sakit dan memerlukan waktu untuk pemulihan. Rekonstruksi mammae dapat dipertimbangkan. Tindakan ini dapat dilakukan pada saat mastektomi atau di lain waktu.9 M. Prognosis DCIS15 DCIS adalah prekursor pada karsinoma invasif dan jika tidak ditangani sedini mungkin, sebuah penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30% dari lesi DCIS akan berkembang menjadi kanker invasif selama periode waktu 30 tahun. Beberapa faktor kliniko-patologis telah terbukti mempengaruhi tingkat rekurensi lokal (LR). Yang termasuk ke dalam kriteria prognosis buruk adalah sebagai berikut: 1. Usia muda saat terdiagnosis. Penelitian yang bersifat observasional telah melaporkan peningkatan risiko kanker yang rekuren pada wanita muda. Wanita berusia < 40 tahun pada saat diagnosis memiliki peningkatan resiko 89% untuk terjadinya rekurensi tumor mammae ipsilateral (IBTR) dibandingkan dengan wanita yang berusia > 40 tahun pada saat diagnosis. 2. Tumor high-grade. Wanita dengan tumor high-grade memiliki peningkatan kemungkinan untuk terjadinya IBTR. 3. Nekrosis comedo-type. Nekrosis jenis ini telah berulang kali menunjukkan secara konsisten dan sangat terkait dengan peningkatan risiko IBTR. 4. Tumor berukuran besar. Ukuran tumor yang besar berhubungan positif dengan tingkat yang lebih tinggi untuk IBTR. 5. Margin pembedahan yang positif. Margin pembedahan yang positif sangat terkait dengan risiko IBTR. Kebanyakan klinisi setuju bahwa margin 10 mm
18
jelas negatif dan margin < 1mm tidak memenuhi kriteria. Margin 10 mm atau lebih dikaitkan dengan penurunan 98% risiko terjadinya IBTR. 6. Nilai negatif pada ER. Status ER positif dikaitkan dengan kemungkinan penurunan rekurensi lokal. Status PR positif juga berhubungan dengan kecenderungan untuk menurunnya IBTR. 7. Nilai negatif pada HER2. DCIs dengan HER2 positif dikaitkan dengan risiko rekuren yang lebih tinggi. Namun point ini didapat dari sebuah penelitian dalam lingkup kecil.15
19
BAB III PEMBAHASAN
Ductal carsinoma In Situ (DCIS) merupakan keganasan non-invasif yang sering ditemui pada pencitraan payudara rutin. Mungkin dapat terlihat sebagai tumor primer atau berhubungan dengan focal tumor high grade lainnya. Deteksi dini sangat penting karena sebagian besar DCIS
dapat berkembang menjadi
karsinoma invasif. Evaluasi dengan magnetic resonance imaging (MRI) dapat mengubah penatalaksanaanya karena pada pencitraan rutin seperti mammografi kadang hanya dapat mendeteksi kalsifikasinya saja sedangkan luasnya DCIS tidak terlihat.24 Magnetic resonance imaging (MRI) umumnya dilakukan pra operasi kanker payudara untuk mengidentifikasi sejauh mana penyakit dan margin tumor, dan untuk menilai keterlibatan fokus multisenter ipsilateral dan kontralateralnya.24 Indikasi MRI payudara digambarkan dalam literatur termasuk penentuan stadium dan luasnya penyakit pada pasien dengan kanker payudara yang baru didiagnosa, evaluasi pasien dengan tumor primer yang tidak diketahui, evaluasi pasien dengan margin operasi positif setelah bedah konservasi payudara, monitoring pasien yang sedang menjalani kemoterapi neoadjuvant, evaluasi integritas implan payudara, skrining untuk kanker payudara pada seorang wanita yang sangat risiko tinggi untuk penyakit ini, dan digunakan sebagai alat pemecahan masalah untuk wanita dengan temuan mammografi samar-samar.27 MRI sering digunakan setelah deteksi lesi dengan mammografi karena MRI dapat membantu mengarahkan pembuatan keputusan bedah diantara pilihan yang memungkinkan. Akurasi MRI melebihi mammografi dalam mengevaluasi 3 faktor pertama yang menentukan nilai klinisnya yaitu penyakit yang multisenter, ukuran tumor dan status payudara kontralateralnya. Karena itu MRI mempunyai akurasi diagnosis untuk DCIS dibandingkan mammografi film maupun digital, terutama penggunaan yang selektif terhadap pasien dengan resiko tinggi. Angka deteksi DCIS pada populasi resiko tinggi pada penemuan mammaografi, ultrasonografi (USG) dan MRI masing-masing 50%, 42,9% dan 85,7%. Angka 20
temuan ini sama tinggi untuk kanker invasive maupun pre invasive (DCIS) sehingga pemeriksaan MRI di rekomendasikan dalam pencitraan pasien dengan resiko tinggi.28 DCIS dapat terjadi dalam hubungannya dengan invasif kanker, baik pada lesi yang sama atau dalam payudara yang sama tetapi dalam lesi yang berbeda, serta pada sisi kontralateral. Hal ini dapat secara signifikan mengubah penatalaksanaan, dari operasi konservasi payudara sampai operasi yang lebih luas atau mastektomi. Lima puluh tujuh persen dari semua keganasan payudara memiliki komponen baik invasif dan intraductal, sedangkan DCIS hanya terlihat pada 16,8% dan karsinoma invasif hanya 26,5%. Identifikasi lesi pada MRI yang berhubungan dengan keganasan terlihat pada 85,9% kasus DCIS saja dan 98,1% kasus pada DCIS dengan invasif komponen duktal.29 Dua puluh tujuh persen dari wanita yang menjalani pra operasi evaluasi pencitraan MR ditemukan memiliki penyakit multifokal, yang termasuk DCIS dan intraductal campuran dan fokus invasif.30 Selain itu, 3% dari perempuan yang menjalani pencitraan payudara bilateral setelah menerima diagnosis baru kanker payudara
ditemukan
memiliki
mammographically
okultisme
DCIS
di
25,31,32
kontralateral payudara.
DCIS dapat hipo-isointense pada precontrast T1-weighted dan T2weighted fat saturated. DCIS menunjukkan peningkatan kontras awal di 34 dari 36 kasus, menemukan yang dianggap berkaitan dengan tumor angiogenesis. Umumnya gambaran MRI paling sering yang dilaporkan untuk manifestasi DCIS berupa clumped nonmasslike enhancement dalam duktus, linear, segmental, atau distribusi regional. Namun, manifestasi lain seperti bentuk linear-ductal enhancement, segmental, focal atau wilayah regional enhancement, difus enhancement atau enhancement mass juga dapat dilihat. Lesi DCIS Murni menunjukkan nonmasslike enhancement pada 59% kasus, sedangkan 14% bermanifestasi sebagai enhancement mass, 14% tidak menunjukkan enhancement, dan 12% bermanifestasi sebagai focal enhancement.25 Sebaliknya, lesi invasif campuran dan DCIS bermanifestasi sebagai enhancing mass pada 76% kasus. Yang paling umum adalah bentuk linear-ductal
21
enhancement (51% kasus), diikuti oleh heterogen enhancement (21,2%), homogen enhancement (15%), reticular enhancement (9%), dan punctuate enhancement (3%). Distribusi enhancement yang paling sering adalah segmental (42% kasus), diikuti oleh fokal (33%), diffuse (9%), linear duktal (6%) dan regional enhancement (9%). High-grade DCIS lebih sering bermanifestasi sebagai enhancing mass daripada DCIS intermediate atau low- grade. Low-grade DCIS sering menunjukkan nonmasslike enhancement atau tidak ada enhancement.24 Sebuah penelitian retrospektif menemukan bahwa angka deteksi DCIS 92% dengan MRI dan 56% dengan mammografi dan dikatakan bahwa 48% dari DCIS grade tinggi terlewatkan pada mammografi dan terdeteksi pada MRI.33 MRI juga dapat mendeteksi lesi multisentrik, memperkirakan besar tumor dan memprediksi sifat invasive dari lesi.5 MRI mempunyai sensitivitas 94% dalam mendeteksi lesi multisentrik dibandingkan dengan mammografi yang mempunyai sensitivitas 38%.34 Sebuah penelitian yang sama, sensitivitas MRI dan mammografi dalam mendeteksi lesi multisentrik pada DCIS masing-masing 94% dan 38%.35 Penelitian multipel menunjukkan bahwa MRI dapat mendeteksi focus multiple pada 10%-30% pada pasien DCIS sedangkan mammografi dan usg tidak bisa mendeteksi lesi metasentrik ini.5 Multrisentrisitas di definisikan sebagai sebuah lesi 5cm dari lesi utama atau pertumbuhan yang terputus-putus ke dalam kuadran payudara yang lain.36 Penilaian pola pertumbuhan DCIS selama proses pembentukan jaringan dan penilaian tumor berdasarkan histologis sulit. Karena itu, pemeriksaan ukuran tumor dengan MRI mungkin bisa lebih akurat daripada dengan pemeriksaan patologik dan insidens penyakit multisentrik tersembunyi pada DCIS (6,3%) dapat di deteksi oleh MRI.37 Angka sensitivitas MRI dalam mendeteksi DCIS kontralateral adalah 77%, dan hasil MRI tersebut mengarahkan untuk dilakukan biopsi payudara kontralateral pada 18% dan hasilnya 28% positif.38 Setiap tehnik pencitraan yang tersedia untuk mendeteksi DCIS memiliki kelemahan dan keterbatasan tetapi setiap tehnik juga saling melengkapi satu sama lain. Adapun Kelebihan MRI meliputi non-invasif, tidak menggunakan radiasi, agen
22
kontras cenderung kurang menimbulkan reaksi alergi, struktur jaringan lunak sangat jelas dan detail terlihat dan apat dengan mudah membuat ratusan gambar dari hampir semua arah dan dalam setiap orientasi. 39 Sedangkan kekurangan MRI antara lain sangat mahal, tidak dapat menemukan semua jenis kanker (yaitu kanker payudara ditandai dengan microcalcifications), tidak selalu bisa membedakan antara tumor ganas atau penyakit jinak (seperti fibroadenoma payudara), yang dapat menyebabkan hasil positif palsu, tidak menyakitkan tetapi pasien harus berada dalam mesin tertutup sehingga dapat menjadi masalah bagi pasien claustrophobia, ada kemungkinan kecil bahwa seorang pasien dapat mengalami reaksi alergi terhadap agen kontras, atau infeksi kulit bisa berkembang di tempat suntikan.39 Pemeriksaan MRI dapat menentukan apakah kanker telah menyebar, dan membantu menentukan pengambilan tindakan yang yang terbaik sehingga klinisi dan radiologist perlu untuk memutuskan tehnik pencitraan mana yang sesuai kondisi pasien dengan pertimbangan usia, riwayat keluarga dan factor resiko lain. Bagaimanapun pemeriksaan MRI sangat mahal, di Amerika Serikat biaya rata-rata untuk MRI payudara adalah $5000,00.39
Untuk alasan ini, indikasi MRI
preoperative untuk diagnosis penyakit payudara dengan jelas di muat di literature dan memastikan bahwa hanya pasien tertentu yang menjalani MRI payudara.40
23
BAB IV KESIMPULAN
DCIS adalah karsinoma mammae yang bersifat non-invasif. Penyakit ini mempunyai spektrum yang cukup luas, mulai dari lesi low-grade yang tidak mengancam jiwa sampai lesi high-grade yang mengarah pada karsinoma mammae invasif. MRI Payudara bukan dimaksudkan untuk menggantikan mammografi maupun ultrasound, melainkan pemeriksaan MRI bila dinilai bersama sama dengan mammografi dan ultrasonografi, akan memberikan informasi yang sangat
menunjang
dalam
mendeteksi
keganasan payudara
serta untuk
memvisualisasi lesi-lesi DCIS yang tersembunyi yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan
lainnya.
MRI
juga
dapat
mendeteksi
lesi
multisentrik,
memperkirakan besar tumor dan memprediksi sifat invasive dari lesi dan hal ini sangat mempengaruhi dalam keputusan pengambilan tindakan bedah. MRI lebih sensitif, tapi kurang spesifik mendeteksi
DCIS dibanding
mammografi & ultrasnografi. Hal inilah mengapa MRI tidak direkomendasikan sebagai tes skrining untuk perempuan yang tidak berisiko tinggi terkena (average risk) kanker payudara, karena akan mengakibatkan tidak diperlukan suatu biopsi dan tes lainnya. Penting diketahui bahwa screening MRI dilakukan di fasilitas yang dapat melakukan MRI-guided untuk melakukan biopsi payudara. Jika tidak, maka seluruh pemeriksaan perlu diulang di fasilitas lain saat biopsi dilakukan. Gambaran MRI untuk manifestasi DCIS yang paling sering dilaporkan berupa penyangatan nonmasslike berkelompok dalam duktus, linear, segmental, atau penyangatan regional. Namun, manifestasi lain seperti bentuk penyangatan linear-ductal,
penyangatan
segmental,
penyangatan
focal
atau
regional,
penyangatan difus atau penyangatan mass juga dapat dilihat.
24
DAFTAR PUSTAKA
1.
Anderson I. Invasive breast cancer, In: Gourtsoyiannis NC, Ros PR eds. Radiologic-pathologic correlation from head to toe, understanding the manifestation of disease. Germany, Pa:Springer, 2005: 757-9
2.
Siziopikou KP. Ductal carcinoma In Situ of the Breast, Current Concepts and Future Directions. Arch Pathol Lab Med. 2013; 137
3.
Silverstein MJ. Ductal Carcinoma In Situ of the Breast: Controversial Issues. The Oncologist. 1998; 3: 94-103.
4.
Anonymous. Female Reproductive System: Breast. In: Gunderman RB. Essential Radiology: Clinical Presentation, Pathophysiology, Imaging. 2nd ed. New York.Thieme Medical Publishers, Inc; 2006. pp 193-4.
5.
Badruddoja M. Ductal Carcinoma In Situ of the Breast A Surgical Perspective. International Journl of Surgical Oncologi. 2012. Available from: http:/dx.do.org/10.1155/2012/761364
6.
B. A. Virnig, T. M. Tuttle, T. Shamliyan, and R. L. Kane, “Ductal carcinoma in Situ of the breast: a systematic review of incidence, treatment, and outcomes. Journal of the National Cancer Institute. 2010; 102(3): 170–8.
7.
Anderson I. Invasive Breast Cancer. In: Gourtsoyiannis NC, Ros PR, editors. Radiologic-Pathologic Correlations from Head to Toe, Understanding the Manifestation of Disease. Germany. Springer; 2005. pp 757-9.
8.
Burstein HJ, Polyak K, Wong JS, Lester SC, Kaelin CM. Ductal Carcinoma In Situ of the Breast. N Engl J Med. 2004; 350 (14): 1430-41.
9.
Komen SG. Facts For Life, Ductal carcinma In Situ. 2012. [cited 2013 Jun 6]. Available from: www.kkomen.org.
10. Shin HJ, Kim HH, Kim SM, Kwon GY, Gong G, Cho OK. ScreeningDetected and Symptomatic Ductal carcinoam In Situ: Differences in the Sonographic and Pathologic Features. AJR. 2008; 190: 516-25.
25
11. Virnig BA, Shamliyan T, Tuttle TM, Kane RL, Wilt TJ. Diagnosis and Management of Ductal Carcinoma in Situ (DCIS). AHRQ. 2009; 185. 12. Kruger G. Ductal carcinoma In Situ. [cited 201 Jun 6]. Available from: radiopaedia.org/articles/ductal-carcinoma-in-situ. 13. Gwak YJ, Kim HJ, Kwak JY, Lee SK, Shin KM, Lee HJ, et al. Ultrasonographic Detection and Characterization of Asimptomatic Ductal Carcinoma In Situ with Histopathologic Correlation. Acta Radiol. 2011; 52 (364): 364-71. 14. Leonard GD, Swain SM. Ductal Carcinoma In Situ, Complexities and Challenges. Journal of the National cancer Institude. 2004; 96 (12): 906-20. 15. Bae A. Ductal carcinoma In Situ: What the Pathologist Need to Know and Why. International Journal of Breast Cancer. 2013. Available from: http:/dx.doi.org/10.1155/2013/914053. 16. Yang WT, Tse GMK. Sonographic, Mammographic, and Histopathologic Correlation of Symptomatic Ductal Carcinoma In Situ. AJR. 2004; 182: 10110. 17. Yamada T, Mori N, Watanabe M, Kimijima I, Okumoto T, Seiji K, et al. Radiologic-Pathologic
Correlation
of
Ductal
Carcinoma
In
Situ.
RadioGraphic. 2010; 30: 1183-98. 18. Park JS, Park YW, Kim EK, Kim SJ, Han SS, Lee SJ, et al. Sonographic Findings of High-grade and Non-High-grade Ductal Carcinoma In Situ of the Breast. J Ultrasound ed. 2010; 29: 1687-97. 19. Anonymous. Radiology of the Breast: Introduction. In: Chen MYM, Pope TL, Ott DJ, editors. Basic Radiology. USA. Yhe McGraw-Hill Companies. 2006. 20. Anonymous. The anatomy and physiology of the breast. Available at Medscape Radiology, www.Medscape.org (Accessed in May, 20th 2014) 21. Stavros AT. The Breast. In: Rumack CM, Wilson SR, Charboneau, JW, Levine D. Diagnostic Ultrasound. 4th ed. Philadephia. Elsevier Mosby. 2005. pp 773-839.
26
22. American College of Radiology. ACR-ACS-CAP-SSO Practise Guideline for the Management of Ductal Carcinoma In Situ of the Breast (DCIS). 2006. 23. Steward R, Downey L. Breast Cancer Workup, Approach Consideration. [cited 2012 Apr 1]. Available from: emedicine.medscape.com/article /1947145-workup. 24. Basha M, Fundaro GM, Shah BA, Ali S, Pantelic MV. Ductal Carcinoma In Situ of The Breast : MR Imaging Findings with Histopathologic Correlation. Radiographic. 2010(30): 1673-87 25. Renz DM, Böttcher J, Baltzer PA, et al. The contralateral synchronous breast carcinoma: a comparison of histology, localization, and magnetic resonance imaging characteristics with the primary index cancer. Breast Cancer Res Treat 2010;120(2):449–59. 26. Lowe S, A Review of MRI The Breast and MRI-Guided Stereotactic Biopsy. 2014. Available at www.eradimaging.com (Accessed in July, 18th 2014) 27. Argus A, Mahoney MC. Indication for Breast MRI : Case-Based Review. AJR. 2011(196): WS1-WS14 28. C. C. Riedl, L. Ponhold, D. Fl¨ory et al., “Magnetic resonance imaging of the breast improves detection of invasive cancer, preinvasive cancer, and premalignant lesions during surveillance of women at high risk for breast cancer. Clinical Cancer Research. 2007;13(20): 6144–52. 29. P. P. Rosen and H. Oberman, Tumors of Mammary Gland, Armed Forces Institute of Pathology, Washington, DC, USA,1993. L. 30. Liberman, E. A. Morris, D. D. Dershaw, A. F. Abramson,and L. K. Tan, “MR imaging of the ipsilateral breast in women with percutaneously proven breast cancer. American Journal of Roentgenology. 2001; 180(4): 901–10. 31. Liberman L, Morris EA, Kim CM, et al. MR imaging findings in the contralateral breast of women with recently diagnosed breast cancer. AJR Am J Roentgenol 2003;180(2): 333–41. 32. Rosen EL, Smith-Foley SA, DeMartini WB, Eby PR, Peacock S, Lehman CD. BI-RADS MRI enhancement characteristics of ductal carcinoma in situ. Breast J 2007;13(6):545–50.
27
33. C. K. Kuhl, S. Schrading, H. B. Bieling et al., “MRI for diagnosis of pure ductal carcinoma in situ: a prospective observational study. The Lancet. 2007; 370(9586): 485–92. 34. E. S. Hwang, K. Kinkel, L. J. Esserman, Y. Lu, N.Weidner, and N. M. Hylton. Magnetic resonance imaging in patients diagnosed with ductal carcinoma-in-situ: value in the diagnosisof residual disease, occult invasion, and multicentricity. Annals of Surgical Oncology. 2003; 10(4): 381–88. 35. J. H.Menell, E. A.Morris, D. D. Dershaw, A. F. Abramson, E. Brogi, and L. Liberman. Determination of the presence and extent of pure ductal carcinoma in situ by mammography and magnetic resonance imaging. Breast Journal. 2005; 11(6): 382–90. 36. A. B. Hollingsworth, R. G. Stough, C. A. O’Dell, and C. E. Brekke. Breastmagnetic resonance imaging for preoperative locoregional staging. American Journal of Surgery. 2008; 196(3) : 389–97. 37. A. B. Hollingsworth and R. G. Stough, “Preoperative breast MRI for locoregional staging. The Journal of the Oklahoma State Medical Association. 2006; 99(10) : 505–15. 38. C. D. Lehman, C. Gatsonis, C. K. Kuhl et al. MRI evaluation of the contralateral breast in women with recently diagnosed breast cancer. The New England Journal ofMedicine. 2007; 356(13) :1295–303. 39. M. Badruddoja and J. H. Yang. Size of breast cancer tumor after core-needle biopsy and fine-needle aspiration does not affect patient treatment plan. Archives of Surgery. 2005; 140(10): 1008–9. 40. M. Badruddoja. Image-guided treatment of breast cancer. Journal of the American College of Surgeons. 2010; 210(3) : 372–4.
28
LAMPIRAN Tabel 1. Klasifikasi karsinoma mammae dari WHO tahun 1981.5
Tabel 2. Sistem klasifikasi dan Grading DCIS.12
Tabel 3. Sistem skoring pada Van Nuys Prognostic Index.16
29
Tabel 4. Hasil penelitian mengenai faktor resiko DCIS.12
Tabel 5. Standar Penatalaksanaan DCIS.6
30
Tabel 6. Parameter MRI Payudara
31
Gambar 1. A. Anatomi Payudara B. Terminal ductal lobular unit (TDLU). A.
B.
Gambar 2. A. MLO view pada mammae normal. B Skematis dari gambar A.
32
Gambar 3. Proses patobiologik yang terkait dengan DCIS. Skema di bawah menggambarkan proses molekuler, seluler, dan patologis yang terjadi pada jaringan sehat yang bertransformasi menjadi lesi preinvasif, seperti DCIS, sampai menjadi karsinoma mammae.
Gambar 4. Jenis-jenis mikrokalsifikasi yang sering terlihat pada pemeriksaan Mammografi. Hanya tipe linear dan brancing atau pleomorfik yang dicurigai ke arah malignansi.
Gambar 5. Skrining MRI payudara wanita 39 tahun dengan peningkatan risiko
kanker payudara setelah pemberian kontras menunjukkan area focal mengelompok, nonmasslike enhancement (panah) dengan distribusi linear pada payudara bagian bawah. Temuan ini mencurigakan untuk karsinoma duktal in situ, yang dikonfirmasi oleh biopsi yang dipandu MRI.
33
Gambar 6. Multifocal low-grade DCIS pada wanita 46 tahun dengan riwayat keluarga kanker payudara dengan keluhan discharge berdarah pada nipple bilateral dan benjolan yang teraba di payudara kanan. (a-c) Precontrast T1-weighted pada potongan sagital dan parasagittal menunjukkan lesi isointense. (d) Sagittal early postcontrast menunjukkan area mengelompok dan liniear-duktal enhancement (panah) di kuadran kanan atas bagian dalam. (e, f) Sagittal early postcontrast menunjukkan area focal (panah di e) dan segmental (panah di f) peningkatan mengelompok pada posisi jam 12. Arrowhead di f menunjukkan kista. Bidang peningkatan dalam d-f sesuai dengan lesi di-c. (g) Sagital T2-weighted menunjukkan daerah dengan intensitas sinyal heterogen yang mengandung area yang lebih kecil relative hiperintens terhadap parenkim payudara pada posisi jam 12 (panah), temuan yang sesuai dengan enhancement dari area nonmasslike mengelompok, terlihat pada d -f. Tiga area yang paling menonjol terukur masing-masing 37 × 16 × 28 mm, 22 × 8 × 7 mm, dan 23 × 17 × 6 mm. Arrowhead menunjukkan kista. Biopsi dipandu MRI dilakukan. (h) Photomicrograph (hematoxylin-eosin [HE] noda) menunjukkan dilatasi terminal duktal lobular unit, melapisi secara monoton, sel-sel bulat seragam (panah) dengan rumbai, micropapillation, dan gambaran sitologi low grade tanpa invasi ruang basal membran, temuan yang konsisten dengan DCIS low grade. Mastektomi radikal yang dimodifikasi payudara kanan dilakukan. Lesi DCIS terukur 40 × 35 × 20 mm pada evaluasi patologis. Lobular carcinoma in situ kontralateral juga kemudian ditemukan.
34
Gambar 7. Low-grade DCIS pada wanita 61 tahun dengan nipple unilateral discharge berdarah dan temuan mammographic negatif. (a) Sagital precontrast T1-weighted payudara kiri menunjukkan area enhancement tanpa kelainan. (b) Sagittal early post-T1-weighted menunjukkan enhancement area focal mengelompok (panah-head) dengan penyangatan duktal berdekatan (panah) pada posisi jam 12. Penyangatan lesi terukur 10 mm diameter sumbu panjang. Excisional bi-opsy dilakukan. (c) Photomicrograph (HE stain) menunjukkan saluran melebar dengan pertumbuhan papiler intraductal sel monoton seragam. Sel-sel epitel asli adalah selsel kolumnar tinggi (panah kepala ¬), sedangkan epitel displastik terdiri dari sel-sel bulat biru (panah). Temuan ini mewakili DCIS low grade, yang telah dilakukan bedah konservasi payudara. Lesi DCIS lesi terukur 5 mm diameter sumbu panjang pada evaluasi patologis, dibandingkan dengan 10 mm pada pencitraan MR.
Gambar 8. Intermediate-grade DCIS pada wanita 53 tahun dengan biopsi-terbukti invasif duktal karsinoma pada payudara kontralateral. (a) Precontrast T1-weighted dari payudara kiri menunjukkan lesi yang relatif isointense terhadap parenkim payudara. (b, c) sagital (b) dan aksial (c) gambar postcontrast awal menunjukkan lesi dengan penyangatan linear (panah) di kuadran atas bagian luar yang diukur 38 mm diameter sumbu panjang. Biopsi dipandu MRI dilakukan. (d) Photomicrograph (pembesaran original, × 60; HE stain) menunjukkan saluran meluas diisi dengan sel besar dengan sitoplasma yang jelas; sel-sel kecil dengan inti gelap bernoda, dikelilingi oleh lapisan lengkap myoepithelial (panah lurus); dan nekrosis sentral tipe noncomedo (panah melengkung). Pasien menjalani operasi konservasi payudara. Lesi DCIS terukur 32 mm pada eksisi.
35
Gambar 9. Low- to intermediate-grade DCIS pada seorang wanita 73 tahun dengan patologis terbukti karsinoma duktal invasif dan DCIS pada payudara kontralateral yang dievaluasi untuk melihat perluasan penyakit. (a, b) gambar payudara kanan berturut-turut aksial precontrast T1-weighted tidak menunjukkan kelainan. (c-e) aksial (c, d) dan sagital (e) gambar postcontrast awal menunjukkan dilatasi duktus mammae retroareolar dengan penyangatan periductal segmental bercabang(panah). (f) gambar MR sagital T2- weighted menunjukkan terkait peningkatan intensitas sinyal segmental-duktal dengan distribusi yang sama (panah). Daerah penyangatan terukur 73 × 11 × 12 mm. Biopsi di pandu MRI adalah telah dilakukan. (g) Photomicrograph (HE stain) menunjukkan beberapa saluran dilatasi (D) dilapisi oleh lapisan satu atau dua sel sederhana sel bulat displastik monomorfik monoton (panah) dengan peningkatan rasio inti-sitoplasma dan dikelilingi oleh stroma bekas luka fibrosis. Tidak ada invasi membran basal. (h) Photomicrograph (pembesaran asli, × 400, HE noda) menunjukkan fibroblast dengan inti slitlike (panah lurus) dikelilingi oleh kumpulan padat kolagen (arrowheads) menekan diselingi fibrofatty jaringan payudara (panah melengkung), temuan yang konsisten dengan DCIS low–to intermediate grade. Mastektomi sederhana tepat dilakukan. Lesi DCIS berukuran 20 mm diameter sumbu panjang di eksisi. Ukuran perbedaan lesi DCIS antara area penyangatan pada MRI dan lesi pada hasil eksisi berkaitan dengan penyangatan periductal dan fibrosis stroma.
36
Gambar 10. Multifocal high-grade DCIS pada pasien yang sama seperti pada Gambar 1. Kalsifikasi terlihat, yang terbukti DCIS high grade pada biopsi stereotactic dan eksisi berikutnya. Margin tumor adalah 5 mm. Pencitraan MR dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana keterlibatan tumor (a, b) Consecutive aksial precontrast T1-weighted menunjukkan hiperintensitas di wilayah excisional biopsi sebelumnya, sebuah temuan yang mungkin merupakan produk darah pascaoperasi. (c-e) aksial (c, d) dan sagital (e) postcontrast awal menunjukkan daerah penyangatan multifokal mengelompok (panah) membentang dari puting ke posterior dan terukur 78 × 18 × 35 mm. Sebuah rongga biopsi excisional sebelumnya juga terlihat (panah di d). Perhatikan bahwa tidak ada bukti dari intensitas sinyal yang abnormal di daerah yang sesuai pada gambar precontrast (lih a, b). (f) Kurva penyangatan kinetik menunjukkan penyangatan dini plateu kinetika. Alat ukur ditempatkan di kuadran atas bagian luar diatas area penyangatan mengelompok. (g) Photomicrograph (pembesaran asli, × 200; HE stain) menunjukkan proliferasi klonal sel duct (panah) dengan variable inti ukuran dan bentuk mengisi saluran, bersama dengan area nekrosis (panah lurus pendek), limfosit infiltrasi (panjang panah lurus), dan fibrosis konsentris periductal (panah melengkung). (h) Photomicrograph (pembesaran asli, × 400, HE stain) menunjukkan nekrosis seluler (panah), serta pleomorfisme seluler tingkat tinggi, hilangnya polaritas sel, dan menyusun selular secara acak. Peningkatan rasio inti-sitoplasma juga tampak jelas. Biopsi dipandu MRI dari penyangatan jaringan subareolar dilakukan dan mengungkapkan DCIS high grade. Mastektomi direncanakan.
37