1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara dengan latar belakang penduduk yang
majemuk. Warga negara asli Indonesia saja terdiri dari berbagai macam suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Beragam adat istiadat, norma, agama, kebiasaan, bahasa, seni dan budaya membaur dan melebur menjadi satu kesatuan yang harus dilestarikan dan dibanggakan. Kemajemukan tersebut, ditambah dengan letak geografis, keindahan panorama Indonesia, dan berbagai unsur lainnya membuat tidak sedikit orang dari berbagai belahan dunia di luar Indonesia tertarik untuk hanya sekadar berkunjung bahkan tinggal di negara beribu pulau ini. Orang-orang tersebut tentu datang dengan membawa budaya lain dari asal negara mereka lalu kemudian berinteraksi dengan masyarakat Indonesia dan saling beradaptasi dengan budaya baru. Budaya itu berhubungan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Sebagian orang berbicara bahasa Indonesia, sebagian juga ada yang berbahasa asing, ada juga orang yang berpakaian minim, ada yang berpakaian tertutup, dan ada juga orang yang meninggal dikubur, dibakar atau dikremasi, dan lain sebagainya. Semua hal ini disebabkan dari suatu budaya yang telah lama ada sejak manusia lahir dan pengaruh budaya dalam perkembangan manusia. Menurut Koentjaraningrat
(dalam
Mulyana,
1990:18)
kata
“budaya”
merupakan
perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dan budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang berarti “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat berpendapat bahwa budaya adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat
2
dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial (Mulyana, 1990:19). Kontak antara masyarakat dari budaya yang berbeda adalah proses alamiah yang sudah lama terjadi dan bukanlah fenomena baru. Sepanjang sejarah manusia, manusia telah melakukan perjalanan di seluruh dunia karena berbagai alasan, baik dalam mencari padang rumput hijau, melarikan diri dari penganiayaan dan bencana, untuk perdagangan atau untuk menaklukkan dan menjajah, atau mencari petualangan atau menyenangkan. Kegiatan ini telah menghasilkan pertemuan masyarakat dari berbagai latar belakang. Proses ini telah menyebabkan perubahan dalam pola asli kehidupan dan budaya masyarakat yang bersangkutan, serta pembentukan masyarakat baru. Pertemuan budaya dan perubahan yang dihasilkan adalah apa yang secara kolektif telah datang untuk dikenal sebagai akulturasi. (Sam dan Berry, 2006 : 26) Sementara itu, the International Organization for Migration (IOM) pada tahun 2004 mendefinisikan akulturasi sebagai ‘adopsi progresif unsur-unsur budaya asing (ide, kata, nilai, norma, perilaku dan institusi) oleh orang-orang, kelompok atau kelas tertentu.’ (Sam, 2006 : 11) Datangnya orang dari luar Indonesia dengan membawa berbagai hal yang berbeda dari tempat asalnya, tentu menimbulkan proses interaksi dan pertukaran informasi di antara masyarakat lokal dan pendatang (imigran). Suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang pendatang dengan lingkungan sosio-budaya yang baru itulah yang disebut dengan proses akulturasi. Proses akulturasi budaya merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
3
Perbedaan yang dibawa oleh pendatang tersebut bisa dalam hal ras, etnik, sosioekonomi, atau gabungan dari kesemuanya. Perbedaan antarbudaya itulah yang dapat mempengaruhi pemikiran, perilaku, dan pola komunikasi seseorang baik secara individu maupun dalam kelompok sosialnya. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak, baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur yang ada di suatu daerah. Akulturasi budaya di Indonesia banyak terdapat di setiap daerah. Baik dalam hal pengaruh budaya luar seperti budaya Barat, budaya Cina, budaya Amerika, maupun pengaruh budaya agama lain seperti Hindu, Budha, Konghucu, Islam, Katolik, Protestan, dan sebagainya. Pengaruh dari berbagai budaya yang masuk ke Indonesia semakin memperkaya warisan budaya Indonesia dari masa ke masa. Sebagian dari budaya tradisi ada yang masih eksis bertahan dan dilestarikan hingga kini, namun sebagian lagi ada yang hampir punah tergerus arus globalisasi yang berkembang sangat cepat sekarang ini. Hal ini sangat disayangkan karena budaya merupakan warisan sebuah bangsa yang juga menjadi saksi sejarah sekaligus harta berharga yang patut terus dilestarikan dan bisa juga dikembangkan tanpa meninggalkan keaslian unsur budaya yang ada. Istilah “globalisasi” itu sendiri diciptakan untuk menggambarkan ruang lingkup perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi dalam komunikasi dan kebudayaan (Featherstone, 1990). Dunia akan menjadi “global village”, yang menyatu, saling tahu, dan terbuka, serta tergantung satu sama lain (Levitt, 1983). Kemajuan dalam bidang teknologi yang mempermudah komunikasi karena menjadikan jarak, ruang, dan waktu bukanlah lagi sebagai pembatas, dapat menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa sehingga dapat dengan mudah menerima terpaan dari kebudayaan luar. Menurut Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya (Khor, 2005). Proses penyesuaian budaya oleh suatu bangsa dengan perkembangan baru merupakan proses yang alami. Hal tersebut bertujuan agar mereka dapat mempertahankan eksistensi dengan melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi sebuah bangsa harus
4
tetap memperkokoh dimensi-dimensi kebudayaan mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak tereliminasi oleh budaya asing. Salah satu cara untuk memperkenalkan pada dunia tentang kekayaan budaya yang dimiliki suatu bangsa agar tetap terjaga dimensi dan struktur nilainya adalah melalui iklan pariwisata di media. Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Dalam hal ini media tidak terlepas dari peran dan fungsi dalam penyampaian pesan (Hafied, 2000: 8). Menurut Hafied (2000: 15) fungsi media antara lain: 1. Pengawasan (Surveillance), adalah memberi informasi dan menyediakan berita. 2. Korelasi (Correlation), adalah seleksi dan interpretasi informasi tentang lingkungan. 3. Penyampaian Warisan Budaya (Transmission of the Social Heritage), merupakan suatu fungsi dimana media menyampaikan informasi, nilai, dan norma dari suatu generasi ke generasi berikutnya atau dari anggota masyarakat ke kaum pendatang. 4. Hiburan
(Entertainment),
dimaksudkan
untuk
memberi
waktu
istirahat dari masalah setiap hari dan mengisi waktu luang. Kini proses komunikasi untuk memperoleh informasi tidak selalu harus dilakukan secara tatap muka, melainkan bisa juga melalui media massa seperti televisi, radio, dan internet sebagai media baru saat ini. Masyarakat sangat membutuhkan media massa untuk memenuhi kebutuhannya akan informasi yang selalu berkembang dengan cepat seiring dengan perkembangan zaman. Melalui media massa, terjadi proses komunikasi dimana penyampaian pesan dapat memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari sesuatu yang memiliki arti dan makna yang kemudian diterima oleh pihak lain. Dalam penelitian ini menganalisis sebuah iklan pariwisata. Berdasarkan fungsi media yang telah disebutkan, iklan pariwisata termasuk ke dalam fungsi penyampaian warisan budaya. Menurut Effendy (2004: 22-26), lahirnya media massa merupakan salah satu kemajuan dari dunia informasi dan komunikasi. Media massa menyebarkan
5
pesan-pesan yang mampu mempengaruhi khalayak yang mengkonsumsinya dan mencerminkan kebudayaan masyarakat, dan mampu menyediakan informasi secara simultan ke khalayak yang luas, dan membuat media menjadi bagian dari kekuatan institusional dalam masyarakat. Dapat dikatakan bahwa media massa dapat menjadi jembatan yang dapat melintasi jarak, waktu, bahkan pelapisan sosial dalam suatu masyarakat untuk menghubungkan komunikator dengan komunikan. Media massa juga mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan respon dan kepercayaan. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokok media massa membawa pula pesanpesan persuasif yang dapat mempengaruhi bahkan mengarahkan respon seseorang. Sedangkan iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memperoleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk, dan meyakinkan (Sudiana, 1986:1). Iklan adalah komunikasi non komersil dan non personal tentang sebuah organisasi dan produk-produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak target melalui media bersifat massal, seperti televisi, radio, koran, majalah, direct mail, reklame luar ruang, atau kendaraan umum. Sedangkan menurut Suyanto, periklanan adalah penggunaan media bayaran oleh seseorang penjual untuk mengkomunikasikan informasi persuasif tentang produk (ide, barang dan jasa) ataupun organisasi yang merupakan alat promosi yang kuat (2004:3). Iklan dapat menjadi media dan cara agar budaya di Indonesia terus terjaga kelestariannya dan terus dikenal oleh generasi yang akan datang. Salah satu contohnya adalah melalui iklan pariwisata. Melalui iklan pariwisata, khalayak tidak hanya mendapat informasi mengenai potensi wisata alam saja melainkan juga potensi wisata seni dan budaya. Kebudayaan sebagai salah satu aspek dalam pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata itu. Melalui iklan pariwisata, sebuah negara dapat memperkenalkan khasanah budayanya kepada negara lain dan kepada masyarakat lokal sendiri sehingga
6
budaya tersebut tak punah begitu saja. Baik itu budaya asli maupun budaya yang telah mengalami proses akulturasi. Di Indonesia sendiri, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memiliki beberapa program kerja untuk terus memajukan pariwisata, seni dan budaya di Indonesia, salah satunya dengan branding “Wonderful Indonesia” yang kini telah mendunia. Salah satu wujudnya adalah iklan pariwisata dengan tagline “Wonderful Indonesia” dimana iklan ini merupakan media informasi dan sekaligus bersifat persuasif, memperkenalkan potensi wisata alam, wisata seni, wisata budaya, wisata religi, bahkan wisata kuliner dari tiap-tiap daerah di Indonesia yang dibuat video dengan format dan tampilan audio-visual yang sangat apik dan menarik. Video tersebut nantinya diunggah ke kanal Youtube, dan sekaligus sebagai penjelas informasi tentang pariwisata Indonesia yang ada di website Kementrian Pariwisata. Melalui iklan pariwisata “Wonderful Indonesia”, audiens tidak hanya dapat melihat keindahan panorama suatu daerah di Indonesia yang sedang dipromosikan, namun juga kekayaan seni dan budayanya. Kekayaan budaya yang dimiliki suatu daerah dapat diperkenalkan melalui iklan tersebut, tak hanya budaya asli namun juga hasil akulturasi dari budaya lain yang menambah aset warisan budaya bangsa yang ada. Hal tersebut penting bagi audiens, terutama bagi bangsa Indonesia sendiri karena saat ini dinamika zaman telah mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Dengan mengetahui akulturasi budaya yang terjadi di Indonesia, dapat menumbuhkan sikap toleransi, solidaritas, dan tenggang rasa sehingga dengan tumbuhnya sikap-sikap tersebut dapat menjadi modal untuk meningkatkan mutu, kualitas dan karakter bangsa. Agar sikap-sikap tersebut dapat tumbuh, salah satu caranya ialah mengkomunikasikan bentuk-bentuk akulturasi budaya melalui media iklan. Penulis memilih satu iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” yaitu pada episode Jawa Timur. Dalam iklan tersebut banyak sekali ditampilkan seni dan budaya yang ada di berbagai daerah di Jawa Timur. Setelah melihat iklan tersebut penulis melihat bahwa Jawa Timur memiliki keberagaman budaya yang terakulturasi dari budaya lain, yang juga ditampilkan dalam video iklan tersebut.
7
Bentuk-bentuk akulturasi budaya di Jawa Timur pada iklan tersebut dapat dilihat pada warisan budaya seperti aretefak-artefak, desain arsitektur bangunan, seni dan tradisi, gaya busana, kuliner, dan sebagainya. Pengaruh-pengaruh budaya dari luar Jawa Timur yang terakulturasi dengan budaya asli Jawa Timur sendiri semakin menambah nilai historis dan estetis pada budaya yang indah tersebut. Penulis memilih iklan pariwisata episode Jawa Timur karena dalam iklan ini lebih menonjolkan potensi seni dan budaya, dibandingkan dengan episode provinsiprovinsi lain yang lebih banyak menunjukkan potensi wisata alamnya. Selain itu juga karena latar belakang penulis yang berasal dari provinsi Jawa Timur sehingga lebih mudah mengenal lokasi, seni, dan budaya yang ditampilkan dalam iklan tersebut dan penulis juga ingin memperkenalkan pariwisata Jawa Timur kepada pembaca penelitian ini. Untuk itu penulis mencoba untuk meneliti dan menganalisis representasi akulturasi budaya di Jawa Timur dalam iklan tersebut melalui tanda, objek dan makna yang tergambar pada visual, audio, dan narasi iklan tersebut. Penulis menggunakan analisis semiotika Charles Sanders Peirce yang mengkaji bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan untuk berkomunikasi. Semiotik melihat kebudayaan sebagai sistem tanda yang oleh anggota masyarakatnya diberi makna sesuai dengan konvensi yang berlaku (Hoed, 2008: 6). Dalam kaitannya dengan dunia komunikasi, secara spresifik Alan O’Connor menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus (Connor, 1990). Artinya bahwa masing-masing pemaknaan orang tentang budaya akan sangat tergantung pada pemahaman subyektif antar aktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya. Meskipun manusia hidup di alam modern yang serba kompleks, mereka tetap tidak rela kehilangan jati diri kesukuannya (Morris, 1969). Melalui semiotika yang digunakan untuk menganalisis iklan tersebut maka akan diketahui simbol, ikon, dan indeks yang menandakan representasi akulturasi. Penulis menilai bahwa iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” sangat sesuai ditonton oleh khalayak, terutama generasi muda saat ini yang memiliki sifat kritis, kreatifitas, daya nalar dan intelektual tinggi, rasa nasionalisme terhadap
8
bangsa dan negara, yang dapat menerima, meresap, menyaring dan memanfaatkan segala bentuk informasi yang didapat. Agar para generasi muda saat ini tetap mengenal warisan budaya Indonesia sejak zaman nenek moyang dan dapat melestarikannya di globalisasi saat ini. Penulis berharap melalui iklan tersebut audiens yang menontonnya juga dapat terinspirasi dan mengambil pesan penting terutama dalam hal pelestarian budaya dan menumbuhkan kecintaan terhadap Indonesia. Oleh karena itu, maka penulis bermaksud menyusun skripsi dengan judul “REPRESENTASI AKULTURASI BUDAYA DALAM IKLAN (Analisis Semiotika Iklan Pariwisata “Wonderful Indonesia” Episode “East Java”)”
1.2
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi pertanyaan
penelitan
ini
adalah:
“Bagaimana
akulturasi
budaya
di
Jawa
Timur
direpresentasikan dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”?”
1.3
TUJUAN PENELITIAN Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, penulis
berusaha menganalisis bagaimana representasi akulturasi budaya ditampilkan di dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengkaji representasi akulturasi budaya di Jawa Timur melalui penciptaan tanda-tanda visual, verbal, non-verbal, musik dan bahasa yang digunakan di dalam video iklan tersebut dimana iklan “Wonderful Indonesia” episode “East Java” merupakan materi promosi wisata Jawa Timur.
1.4
MANFAAT PENELITIAN
1.4.1
Manfaat Akademis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
dalam
perkembangan kajian media, terutama kajian yang berhubungan dengan representasi akulturasi budaya dalam media. Selain itu kajian ini diharapkan dapat memberikan pandangan baru dalam kajian komunikasi
9
khususnya pada konsep iklan pariwisata “Wonderful Indonesia”, terutama ditinjau dari analisis semiotik. 1.4.2
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal bagi penelitian serupa di masa mendatang. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan informasi dan maanfaat bagi media massa juga wawasan bagi pembaca agar melestarikan budaya bangsa sendiri dan menghormati budaya bangsa lain.
1.5
OBJEK PENELITIAN Objek dalam penelitian adalah simbol-simbol akulturasi budaya di dalam
tayangan iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”
yang
berupa visual, audio, dan narasinya.
1.6
KERANGKA PEMIKIRAN Menurut Nawawi (1995: 39)1 suatu penelitian memerlukan kejelasan titik
tolak landasan berpikir dalam memecahkan masalahnya. Untuk itu disusun kerangka teori yang memuat pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot. Menurut Kerlinger (Rakhmat, 2004: 6)2 teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Berdasarkan alasan di atas, maka penulis dalam melaksanakan penelitian menggunakan kerangka pemikiran dan teori-teori yang relevan dengan topik permasalahan yaitu : 1.6.1
Iklan : Media Representasi
Representasi adalah penghubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang membuat manusia mampu merujuk dunia objek-objek, orang-orang, dan kejadian 1
Nawawi, Hadari.1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2
Rakhmat, Jalaluddin.2002. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
10
kejadian fiksional yang bersifat imajiner. Representasi akan dapat dipahami ketika ia berfungsi secara ideologis dalam memproduksi relasisosial yang berbentuk dominasi dan eksploitasi. Dalam proses representasi tersebut, ada tiga elemen yang terlibat yaitu objek sebagai sesuatu yang direpresentasikan, tanda, representasi itu sendiri, dan coding, yakni seperangkat aturan yang menentukan hubungan antara tanda dengan pokok-pokok persoalan (Noviana, 2002:61). Gambar dan tanda visual, semirip apapun dengan benda yang mereka acu, adalah tanda yang membawa makna. Dengan demikian maka harus diinterpretasi. Foto, iklan, dan visual yang bersifat ikonis dan indeksikal, merupakan representasi dari objek sebenarnya. Iklan sebagai bagian dari media massa merupakan media representasi. Sebab, gambar maupun tulisan, caption atau kata-kata yang dikandungnya merupakan tanda dan representasi dari objek sebenarnya di dunia nyata. Meski demikian terkadang makna yang dihasilkan penonton/pembaca iklan bisa berbeda dari makna yang dimaksudkan oleh produsen atau pencipta iklan (Hal, 2002:32). Dalam penelitian ini, iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode East Java merepresentasikan akulturasi budaya di Jawa Timur yang ditunjukkan dalam bentuk gambar-gambar yang menampilkan wujud budaya material dan nonmaterial yang mengalami proses akulturasi. Tak hanya melalui gambar secara visual, namun ditunjang juga dengan latar musik dan narasi yang merupakan tanda dan representasi dari objek sebenarnya. 1.6.2
Akulturasi Budaya Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1980)
mendefinisikan akulturasi sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini terdapat perbedaan antara bagian kebudayaan yang sukar berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian
11
kebudayaan yang mudah berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (overt culture). Covert culture misalnya: 1) sistem nilai-nilai budaya, 2) keyakinankeyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3) beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan 4) beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan overt culture misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan bendabenda yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna dan memberi kenyamanan.3 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa akulturasi diartikan percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi (KUBI, 2001:24). Suyono (1985:15), menyatakan bahwa akulturasi merupakan pengembilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau bertemu. Sedangkan (Lauer, 1993:403) memberi pengertian akulturasi adalah meliputi fenomena yang dihasilkan sejak kedua kelompok atau individu yang berbeda kebudayaan mulai melakukan kontak langsung, yang diikuti perubahan pola kebudayaan asli dari salah satu atau kedua kelompok itu. Dohrenwend dan Smith (1962) menyatakan bahwa individu lebih terakulturasi dalam menerima norma-norma, dan cepat mengikuti segala aktivitas struktural pada suatu kebudayaan baru (Tangkudung, 2000:29). Berbagai pendapat para ahli tersebut menganai akulturasi dapat dipahami bahwa akulturasi lahir apabila kontak antara dua kebudayaan atau lebih itu berlangsung terus menerus dengan intensitas yang cukup. Menurut Joyomartono (1991:41), akulturasi sebagai akibat kontak kebudayaan ini dapat terjadi dalam salah satu kebudayaan pesertanya tetapi dapat pula terjadi di dalam kedua kebudayaan yang menjadi pesertanya. Akulturasi memiliki makna yang berbeda dengan difusi. Suatu kebudayaan dapat mengambil anasir kebudayaan lain tanpa terjadinya akulturasi. 3
Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1980)
12
Terkait dengan persoalan tingkat intensitas perpaduan dua kebudayaan atau lebih, para ahli antropologi mengajukan beberapa istilah yaitu: (1) substitusi; (2) sinkretisme; (3) adisi; (4) dekulturasi; (5) orijinasi; dan (6) penolakan (Haviland, 1988:263). Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Haviland tersebut, maka penjabarannya sebagai berikut: a. Substitusi, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa unsur atau kompleks unsur-unsur kebudayaan yang ada sebelumnya diganti dengan unsur-unsur baru yang memenuhi fungsinya, yang melibatkan perubahan struktural dalam tingkat yang lebih kecil. b. Sinkretisme, ialah istilah untuk menunjukkan adanya unsur-unsur lama bercampur dengan yang baru dan membentuk sebuah sistem baru. Dalam hal ini kemungkinan terjadi adanya perubahan yang berarti. c. Adisi, yaitu istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana unsur atau kompleks unsur-unsur baru ditambahkan pada yang lama. Dalam hal ini mungkin terjadi atau tidak terjadi adanya perubahan struktural. d. Dekulturasi,
ialah
istilah
untuk
menunjukkan
tingkat
perpaduan
kebudayaan, dimana bagian substansi sebuah kebudayaan mungkin hilang. e. Orijinasi, ialah istilah untuk menunjukkan tingkat perpaduan kebudayaan, dimana ada unsur-unsur baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang timbul karena perubahan situasi. f. Penolakan, ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan kondisi dimana perubahan mungkin terjadi begitu cepat, sehingga sejumlah besar orang tidak dapat menerimanya. Kondisi semacam ini dapat menimbulkan penolakan total, pemberontakan, atau kebangkitan.4 Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui kerancuan dalam penggunaan kata budaya dan kebudayaan. Tetapi ada perbedaan yang mendasar antara kata budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan 4
http://prof‐arkan.blogspot.com/2012/04/akulturasi‐sebagai‐mekanisme‐perubahan.html
13
rasa itu. Talcott Parsons dan A.L. Kroeber (dalam Panuju, 1994) membedakan kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Kebudayaan dan tindakan kebudayaan adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior). Untuk memahami kebudayaan yang menjadi penekanan utama adalah persepsi dari pesan dan makna yang terkandung dari setiap fenomena, tingkah laku maupun peristiwa. Menurut Gerry Phillipsen (seorang profesor komunikasi dari University of Washington) budaya sebagai sebuah konstruksi sosial dan transmisi sejarah dalam bentuk simbol, arti, dasar pikiran dan peraturan (EM Griffin 2003: 420). Menurut ilmu antropologi, kebudayaan dipahami sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya memiliki arti daya dan budi. (Darmastuti, 2013:38) Menurut Liliweri (2003 : 120) dalam Darmastuti, budaya terdiri dari budaya material dan non material. Budaya material adalah hasil produksi suatu budaya berupa benda yang dapat ditangkap oleh indera, misalkan pakaian, alatalat dan sebagainya. Budaya material tidak hadir dengan sendirinya, tetapi dia dibangun berdasarkan nilai tertentu. Budaya material dibagi menjadi dua yaitu overt material dan covert material. Overt material mereflesikan benda nyata menjadi simbol budaya. Sedangkan covert material merupakan nilai-nilai kebudayaan yang bersifat abstrak. Contoh overt material dan covert material adalah keris yaitu sebagai nilai overt material, sedangkan tingkat kedigdayaan dan kekuatan merupakan covert material (2013: 39-40). Budaya nonmaterial merupakan budaya yang diwujudkan dalam bentuk gagasan atau ide-ide yang diikuti dengan kesadaran penuh bahkan dengan penuh ketakutan kalau orang tidak menjalankannya. Budaya nonmaterial terdiri dari : 1. Nilai Nilai merupakan komponen evaluatif dari kepercayaan kita, mencakup kegunaan, kebaikan, estetika dan kepuasan. Nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik dan buruk atau benar dan salah.
14
Nilai membentuk sikap kita tentang sesuatu apakah itu bermoral atau tidak bermoral, benar atau salah dari suatu objek, peristiwa, tindakan atau kondisi. 2. Norma Norma merupakan komponen yang mengatur baik atau buruk suatu tindakan yang ada dimasyarakat. Norma mengatur standar perilaku dalam kehidupan suatu komunitas. Yang dipertukarkan dalam norma adalah nilai-nilai budaya yang merupakan standar kelompok, dasar dari kehidupan sebuah kelompok. Norma merujuk pada perilaku rata-rata yang kita temui dalam masyarakat. Para sosiolog membedakan norma dalam : a. Statistical Norms merupakan bentuk yang berulang-ulang dan sering dipraktekan dalam kehidupan masyarakat. b. Ideal Norms merupakan seperangkat aturan atau standar perilaku yang diharapkan dalam semua situasi. Norma yang kita sering temui dalam kehidupan kita sejari-hari memiliki bentuk yang bermacam-macam. Bentuk-bentuk norma tersebut adalah cara, kebiasaan, tata kelakuan (mores), adat kebiasaan (custom), kepercayaan (belief) dan bahasa. Budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat tampil dalam tiga wujud. Tiga wujud kebudayaan tersebut adalah : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, peraturan dan sebagainya. Budaya dalam wujud ini sering disebut dengan adat atau adat istiadat. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud dalam ini sering disebut sistem sosial karena manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda dari hasil karya manusia. Ini sering disebut dengan kebudayaan fisik, wujudnya adalah berupa bendabenda yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Pada beberapa penjelasan di buku-buku pelajaran Sosiologi (Soekanto, 1990), proses akulturasi tersebut dapat digambarkan seperti berikut:
15
Gambar 1.1 Proses Akulturasi Ada beberapa istilah yang memiliki makna yang mirip dengan akulturasi dan terkadang dipertukarkan. Asimilasi, misalkan, sering kali sebagai memiliki makna yang sama dengan akulturasi. Sebagaimana dikatakan Dedy Mulyana, terkadang orang saling mempertukarkan istilah “akulturasi” dengan “asimilasi” sebagai suatu hal yang sama. Padahal, menurut Mulyana, asimilasi cenderung menonjolkan kesinambungan budaya, yaitu hilangnya identitas budaya yang khas. Sementara akulturasi hanya menekankan pada perubahan identitas budaya, tanpa harus kehilangan identitas budaya yang asli. Perbedaan Akulturasi dan asimilasi adalah bahwa akulturasi merupakan proses dua arah, sedangkan asimilasi merupakan proses satu arah. Konsep-konsep lain yang mirip seperti akomodasi, adaptasi, integrasi, absorpsi dan amalgamasi juga digunakan untuk menunjukkan apa yang terjadi bila dua kelompok budaya atau dua kelompok etnik bertemu (2006 : 11). Masyarakat Indonesia terdiri atas tiga lapisan budaya, yaitu kebudayaan daerah/lokal/suku
bangsa;
kebudayaan
nasional;
dan
kebudayaan
16
internasional/global, akulturasi budaya terjadi pada ketiga lapisan budaya tersebut, dengan instensitas dan kapasitas yang berbeda-beda (Hoed, 2011 : 198). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multikultural yang terpengaruh oleh berbagai budaya. Bahkan menurut Hoed, transformasi budaya di Indonesia terjadi sepanjang sejarah, sejak zaman Hindu, zaman Islam dan zaman masuknya orang Eropa ke Indonesia ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Perbedaanya pada masa kini adalah pada kecepatannya. Transformasi budaya pada masa kini berlangsung sangat cepat, yaitu dalam hitungan bulan dan tahun, sedangkan pada era sebelumnya akulturasi dapat terjadi dalam hitungan dekade atau abad (Hoed, 2011). Hal ini, terjadi karena adanya revolusi komunikasi dan informasi yang memungkin setiap orang dari berbagai budaya dapat melakukan kontak tanpa harus bertatap muka dan bahkan bisa saling berkomunikasi dan berinteraksi sehingga akulturasi dapat terjadi tanpa harus terhalang oleh faktor ruang dan waktu.
1.7
KERANGKA KONSEP
1.7.1
Semiotika dan Teks Iklan
Semiotika adalah salah satu tradisi dalam ilmu komunikasi yang mempelajari tentang tanda. Dalam kajian semiotik, secara luas kajian ini merujuk pada dunia yang terbentuk atas tanda-tanda, dimana melalui tanda-tanda tersebut yang kemudian menghubungkan manusia dengan realitas. Tanda merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Konsep tanda juga muncul pada hubungan antar manusia, dimana tanda tersebut dalam konteks sosial merupakan basis dari segala komunikasi yang terjadi antar manusia5. Manusia melalui tanda melakukan komunikasi dengan sesamanya. Tanda terdiri dari dua unsur, penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti suara, tulisan atau benda. Sedangkan Petanda adalah konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. 5
Alex Sobur mengutip dari Little John, Semiotika Komunikasi (2009). Remaja Rosda Karya. Bandung.
17
Sedangkan simbol merupakan sejenis tanda, dimana hubungan antara penanda dan petanda seakan-akan bersifat arbitrer6. Simbol adalah sesuatu yang berdiri/ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan di antaranya tersembunyi atau tidaknya tidak jelas. Sebuah simbol dapat berdiri sebagai bagian dari budaya, institusi, identitas, keyakinan, cara berpikir, ideologi, harapan. Misalnya dalam penggunaan simbol tertentu sebagai lambang negara Dalam prakteknya, eksistensi tanda dan simbol membutuhkan kode untuk dapat dipahami maknanya. Kode merupakan cara pengombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan kepada yang lain. Kode ini terikat pada suatu sistem sosial dan budaya tertentu. Misalnya hal ini digambarkan ketika manusia berkomunikasi melalui bahasa. Maka tanda dalam hal itu dapat dipahami sebagai penggunaan kata dan penggunaan kode digambarkan sebagai jenis bahasa yang digunakan. Makna dari kata atau tanda tersebut dapat dipahami ketika bahasa atau kode tersebut terkait dengan kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa yang bersangkutan. Tanda terangkai dalam kode-kode yang terkait dengan kesepakatan sosial dan budaya yang berlaku diantara pengguna kode tersebut. Piliang (2010 : 307) menyatakan dalam menganalisis kebudayaan dalam kajian semiotika, maka kebudayaan perlu dilihat sebagai teks, yaitu rangkaian tanda-tanda bermakna, yang diatur berdasarkan kode atau aturan tertentu. Teks adalah suatu wujud dari tindak penggunaan tanda dan simbol dalam kehidupan sosial, yaitu berupa kombinasi seperangkat tanda, yang dikombinasikan dengan kode atau cara tertentu, dalam rangka menghasilkan makna tertentu. Dalam prakteknya teks kemudian dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu teks verbal dan teks visual. Dimana teks verbal terdiri teks oral dan teks tertulis. Teks verbal yang secara sempit disebut sebagai discourse, dan teks tertulis yang secara sempit disebut sebagai teks, yang termasuk didalamnya adalah puisi, novel, teks hukum, surat, piagam, nota. Teks visual adalah yang didalamnya melibatkan 6
Arbitrer : konsep dalam semiotika yang menyatakan bahwa hubungan antara petanda dan penanda semata berdasarkan kesepakatan sosial, bukan hubungan alamiah.
18
unsur-unsur visual seperti gambar, ilustrasi, foto, lukisan, citra rekaan komputer atau system animasi komputer. Termasuk dalam teks visual ini adalah teks fashion, teks televisi, teks seni (lukisan, patung, tari dan teater), teks arsitektur, teks film, teks animasi dan juga teks iklan. Sebagai salah satu bentuk teks dan produk budaya maka iklan pun dapat dipahami sebagai beragam teks yang dibentuk serangkaian tanda atau simbol yang terikat oleh kode-kode atau konvensi dari suatu kebudayaan tertentu serta mempunyai makna yang membentuk wacana atau sebuah pemikiran tertentu. Hal ini misalnya dapat digambarkan dalam iklan melalui gambar / visual, suara / musik (audio) dan teks atau narasi dari iklan tersebut. 1.7.2
Membaca Visual Iklan dengan Semiotik Pierce Berdasarkan klasifikasi Pierce, sesuai dengan deskripsi iklan, maka
peneliti membaca iklan dengan menggunakan klasifikasi tanda yang berelasi dengan objek. Ikon mencakup pada suara dan gambar yang ada dalam iklan, suara yang dimaksud adalah suara tokoh atau narator dalam iklan, voice over, dan latar musik. Kemudian yang dimaksud dengan gambar adalah segala sesuatu yang bergerak, berwarna, dan menyerupai sesuatu yang sesuai dengan aslinya. Simbol mencakup tuturan dan tulisan yang ditampilkan iklan, seperti merk, atau kalimat dari pemeran iklan. Bentuk tanda Pierce bisa saling tumpang tindih, dalam artian bahwa elemen yang dianggap ikon, bisa juga menjadi simbol untuk makna tertentu. Teks dalam bentuk visual memungkinkan adanya ideologi yang tersembunyi. Pierce menyatakan ideologi di balik teks adalah unsur konotatif yang patut diamati selain dari unsur denotatif berupa objek ataupun tanda itu sendiri. Teks dalam bentuk iklan dan film memasukkan unsur teknis seperti posisi kamera (angle dan shot), pencahayaan dan editing,selain dari elemen-elemen fisik lain yang ada dalam iklan. 1.7.3
Membaca Representasi Lewat Semiotik Membaca representasi dalam bentuk tanda merupakan kajian dari studi
semiotik. Menurut Umberto Eco, semiotik berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai tanda (Sobur, 2003 : xiii). Semiotik merupakan metode yang berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di
19
balik sebuah tanda baik termasuk dalam bentuk teks, iklan, dan berita. Semiotik memelajarisistem-sistem, aturan, konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti (Kriyantono, 2006 : 263-264). Semiotika memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan, baik oleh penyampai maupun penerima (encoder atau decoder). Maka bukan saja konsep yang mutlak dan statis yang bisa ditentukan dengan kemasan pesan, namun pemaknaan merupakan proses aktif. Makna merupakan hasil dari interaksi dinamis di antara tanda, interpretant, dan objek. Sehingga makna secara historis ditetapkan dan mungkin akan berubah seiring perjalanan waktu. Penelitian ini bermaksud membaca bagaimana representasi mengenai konsep akulturasi budaya ditampilkan oleh iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode East Java. Representasi berusaha digali melalui pembacaan semiotik dengan menggunakan konsep Charles Shanders Pierce.
1.8
METODOLOGI PENELITIAN
1.8.1
Tipe dan Metode Penelitian Tipe atau jenis yang digunakan oleh penulis adalah penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang yang diamati.7 Penelitian deskriptif menurut Kenneth D.Bailey adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fenomena secara detail (untuk menggambarkan apa yang terjadi).8 Penelitian ini juga memiliki tujuan melihat gambaran tentang representasi akulturasi budaya dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”. Ciri khas metode ini adalah penekanan pada lingkungan yang alamiah (natural) berarti data yang diperoleh dengan cara yang berbeda di tempat dimana peneliti itu akan buat. Peneliti melakukan observasi dan menonton program 7
Robert C. Bogdan dan Stevcen, J. Taylor, Introductiion to Qqualitative research methods : a phenoenological Approach inthe social science, alih bahasa Arif Furchan, jhon wiley and son, usaha nasional, surabaya, 1992 hal 21-22 8 Kenneth D. Bailey, Methods of Social Research, Free prees, Newyork, 1982 hal 38
20
tersebut, begitu halnya juga dengan analisis dan interpretasi data (Semiawan, 2010 : 56). Penulis ingin melihat dan memahami kode sosial apa saja yang ada dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” dan bagaimana akulturasi budaya di Jawa Timur direpresentasikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode Analisis
Semiotika terhadap representasi akulturasi budaya pada iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” yang diunggah pada Agustus 2013 di kanal Youtube. Semiotika
berkaitan
dengan
komunikasi
dan
merepresentasikan
pemaknaan akan pesan yang didapat lewat proses komunikasi, maka semiotika juga berdekatan dengan media pendukung dari komunikasi tersebut. Salah satunya adalah media massa melalui iklan yang dengan cara khususnya sendiri, secara terperinci mengungkapkan makna-makna yang ada ketika konstruksi realitas muncul memberikan prespektif lain. Tanda-tanda yang dianalisis dapat memunculkan makna secara interaktif dan juga dapat dideskripsikan dengan jelas.
1.8.1.1 Semiotika Semiotika berasal dari kata Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Tinarbuko, 2008: 11). Semiotika adalah suatu bentuk strukturalisme, karena ia berpandangan bahwa manusia tidak bisa mengetahui dunia melalui istilah-istilahnya sendiri, melainkan hanya melalui struktur-struktur konseptual dan linguistik dalam kebudayaan. Charles S. Peirce (dalam Budiman, 2008: 3) menyebutkan bahwa semiotika adalah tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin formal tentang tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda, tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan juga dunia itu sendiri, sejauh yang terkait dengan pikiran manusia. Penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dengan demikian, bagi Pierce semiotika adalah suatu cabang dari filsafat yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi
21
sebagai tanda, dan juga produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain (Danesi, 2010: 33). Semiotika menurut Charles S. Pierce adalah merupakan tentang tanda sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari logika (Sobur, 2004: 12). Menurut Pierce, dalam pengertian yang paling luas, logika adalah “Pemikiran yang berlangsung melalui tanda”, setara dengan semiotika umum yang tidak hanya meninjau kebenaran tetapi juga kondisi umum tanda yang menjadi sebuah tanda. Tanda terkait dengan logika karena tanda adalah sarana pikiran sebagai artikulasi bentuk-bentuk logika (Kriyantono, 2007: 261). Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), objek, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Pierce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan auan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Danesi, 2010: 34). Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi (Kriyanto, 2007: 261). Contohnya ialah saat seorang wanita mengenakan hijab, maka wanita tersebut sedang mengkomunikasikan mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol kereligiusan. Misalnya ketika aktris Dewi Sandra memerankan tokoh utama dalam sinetron Catatan Hati Seorang Istri di televisi swasta RCTI. Tampil sebagai tokoh sentral yang mengenakan hijab diantara pemeran-pemeran wanita utama lainnya yang tidak berhijab, para penonton bisa saja memaknainya sebagai ikon wanita muslim yang religius atau wanita yang shalihah.
22
Tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Kajian semiotika dibedakan atas dua jenis, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (Sobur, 2006: 15). Sobur (2006: 16) menjelaskan lebih lanjut mengenai dua jenis kajian semiotika seperti di bawah ini: Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya adalah mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu: pengirim, penerima kode, pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Dari penjelasan kedua jenis kajian semiotika tersebut dapat dipahami bahwa yang paling utama adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisi pada penerimaan tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasi itu sendiri, karena pada hal ini tujuan berkomunikasinya tidak dipersoalkan. Semiotika sangat luas cakupan penggunaanya dalam berbagai ilmu. Semiotika yang memiliki konsep tentang tanda dapat diimplementasikan di bidang ilmu apapun guna untuk memahami lebih jauh mengenai tanda. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Rahayu Surtiati Hidayati (dalam Yuwono dan T. Christomy, 2004: 77-78) bahwa semiotika dapat dimanfaatkan oleh berbagai ilmu: arsitektur, kedokteran, sinematografi, linguistik, kesusastraan, bahkan hukum dan antropologi untuk memahami tanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan, bukan sebagai hakekat esensial objek. Ada dua tokoh penting semiotika yang perlu diketahui dan penulis akan memaparkan secara singkat kaitan diantara para tokoh yang juga merupakan pakar semiotika tersebut. Yang pertama adalah Ferdinand de Saussure (1857 - 1913) dari Swiss, yang merupakan orang yang pertama kali mencetuskan gagasan untuk melihat bahasa sebagai sistem tanda (Danesi, 2010: 36). Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam course in general linguistics, “sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan.” Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya
23
pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif. Saussure juga menjelaskan perbedaan antara dua model analisis dalam penelitian bahasa, yaitu analisis diakronik (diachronic) dan analisis sinkronik (synchronic). Analisis diakronik adalah analisis tentang perubahan historis bahasa, yaitu yaitu bahasa dalam dimensi waktu, perkembangan dan perubahannya. Analisis sinkronik, adalah analisis yang didalamnya kita mengambil irisan sejarah dan mengkaji struktur bahasa hanya pada satu momen waktu tertentu saja, bukan dalam konteks perubahan historisnya. Apa yang disebut dengan pendekatan strukturalisme (structuralism) dalam bahasa, adalah pendekatan yang melihat hanya struktur bahasa, dan mengabaikan konteks waktu, perubahan, dan sejarahnya. Tokoh kedua adalah Charles Sander Peirce (1839 - 1914) dari Amerika Serikat yang mendefinisikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (secara harfiah berarti ‘sesuatu yang melakukan representasi’) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apa pun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu). Hubungan antara ketiga dimensi ini tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Pierce juga membuat tipologi 66 jenis tanda dan mengklasifikasikannya sesuai dengan fungsi yang dimilikinya (Danesi, 2010: 36-37). Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda, misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan ada hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia (Yuwono dan T. Christomy, 2004: 8384). 1.8.1.2 Semiotika Charles Sanders Peirce Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
24
jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, simiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system tersetruktur dari tanda (Barthes, 1988:179 dalam Kurniawan,2001:53). Suatu tanda menandakan suatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan symbol, bahasa, wacana dan bentuk-bentuk nonverbal, teoriteori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika. Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan ditengah-tengah dunia yang centang-perenang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran”, ujar pines (dalam Berger,2000:14). Dengan semiotika kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika, seperti kata Lechte (2001:191), adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system (code) ‘system tanda’ (Segers, 2000:4). Hjelmslev (dalam Cristomy, 2001:7) mendefinisikan tanda sebagai “suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan)”. Cobley dan Jansz (1999:4) menyebutnya sebagai “discipline is simply the analysis og signs or the study of the functioning of sign system” (ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana system penandaan berfungsi). Charles Sanders Peirce (dalam Littlejhon, 1996:64) mendefinisikan semiosis sebagai “a relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna)”. Charles Morris
25
(dalam Segers, 2000: 5) menyebut semiosis ini sebagai suatu “proses tanda yaitu proses ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme”. Charles Sanders Peirce adalah tokoh semiotika yang berlatarbelakang pendidikan filsafat dan menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika. Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pemikirannya, logika sama dengan semiotik, dan semiotik dapat diterapkan pada segala macam tanda. Teori dari Pierce sering kali disebut sebagai Grand Theory dalam semiotikanya. Lebih disebabkan karena gagasan Pierce bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Ia ingin mengidetifikasi partikel dasar tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam strukur tunggal (Wibowo, 2013 : 17). 1.8.1.3 Teori Triadic (Segitiga Makna) Charles Sanders Peirce Peirce melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. Model Triadic Peirce memperlihatkan peran besar subjek dalam proses transformasi bahasa. Tanda menurut Peirce selalu berada di dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak berbatas, yaitu proses penciptaan rangkaian interpretan yang tanpa akhir (Piliang, 2010 : 310). Dalam teori Triadic (segitiga makna) Peirce terdapat tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu sign/representamen (tanda), object (objek), dan interpretant (interpretan). Peirce berpandangan bahwa salah satu bentuk tanda adalah kata, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Jika ketiga elemen makna ini berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Teori Triadic atau segitiga makna Peirce ini berusaha mencari tahu bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Berdasarkan objeknya, menurut Peirce tanda (sign/representamen) terbagi atas 3 jenis yaitu, icon (ikon), index (indeks), symbol (simbol).
26
Gambar 1.2 Teori Segitiga Makna (Triangle of meaning) Teori segitiga makna adalah sebuah teori yang mengupas tentang bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan untuk berkomunikasi. Menurutnya, semiotika berangkat dari tiga unsur utama yang disebut dengan teori segitiga makna atau triangle of meaning, yaitu sebagai berikut:9 a. Sign (tanda) adalah bagian tanda yang merujuk pada sesuatu menurut cara berdasarkan kapasitas tertentu. b. Object adalah sesuatu yang merujuk oleh tanda. Biasanya objek merupakan sesuatu yang lain dari tanda itu sendiri atau objek dan tanda merupakan entitas yang sama. Ada beberapa macam objek dalam teori semiotika yang dikemukakan oleh Charles, yaitu: -
Objek representasi yaitu objek sebagaimana di representasikan oleh tanda.
-
Objek Dinamik yakni objek yang tidak tergantung pada tanda, objek inilah yang merangsang penciptaan tanda.
c. Interpretant merupakan efek yang ditimbulkan dari proses penandaan atau bisa juga interpretan adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita, sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.
9
John Fiske, Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, 2007, hal 63.
27
Tabel 1.1 : Jenis Tanda dan cara kerjanya10 Jenis Tanda Ditandai Dengan Ikon Indeks
Simbol
Contoh
Proses Kerja
-persamaan (kesamaan)
Gambar, foto dan -dilihat
-kemiripan
patung
-hubungan sebab akibat
-asap---api
-keterkaitan
-gejala---penyakit
-konvensi atau
-kata-kata
-kesepakatan sosial
-isyarat
-diperkirakan
-dipelajari
Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” melalui teori segitiga makna Peirce (sign, object, interpretant) yang penulis susun dalam bentuk tabel seperti di bawah ini: Tabel 1.2 : Tabel Analisis Penelitian berdasarkan Teori Segitiga Makna Peirce SIGN (Tanda) OBJECT
INTERPRETANT
Dalam menganalisis iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode East Java ini, tampilan visual atau potongan-potongan gambar yang menunjukkan simbol-simbol akulturasi budaya akan ditampilkan dalam bagan pada bagian sign. Kemudian penjelasan mengenai potongan-potongan gambar tersebut secara tekstual akan dijabarkan dalam bagan pada bagian object. Pada bagian object dalam bagan juga akan disertakan narasi atau voice over yang menyertai gambar pada
iklan.
Sedangkan
penjelasan
mengenai
akulturasi
budaya
yang
direpresentasikan melalui visual dan audio akan dideskripsikan dalam bagan pada bagian interpretant. Setelah menganalisis dalam format bagan dan memberi sedikit penjelasan setelahnya, penulis akan menganalisis akulturasi budaya dalam iklan tersebut pada level realitas, representasi dan ideologi.
10
Indiawan Seto Wahyu Wibowo. Semiotika Komunikasi, Mitra Wacana Media : Jakarta, 2013, hal 18-19.
28
1.8.2
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan prosedur yang harus dilakukan. Prosedur
yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang akan dipecahkan. a. Data Primer Data primer adalah data utama yang terjadi materi penelitian bagi penulis. Dalam konteks penelitian ini data primernya adalah : visual dan audio dari video iklan
pariwisata
“Wonderful
Indonesia”
episode
“East
Java”
dengan
menggunakan analisis semiotika dengan mencatat tanda, simbol, dialog yang merepresentasikan akulturasi budaya dalam iklan tersebut. Dalam penelitian ini penulis melakukan pengamatan dengan melihat langsung serta mencermati setiap tanda-tanda pada objek penelitian yakni pada video iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”. b. Data Sekunder Guna menunjang penelitian ini dan pengumpulan data. Penulis membutuhkan data lainnya seperti buku, internet, dan literatur yang dapat mendukung data primer tersebut. 1.8.3
Fokus Penelitian Fokus dari penelitian ini adalah akulturasi budaya yang ada di Jawa Timur
yang ditampilkan dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”, dimana dalam iklan pariwisata tersebut banyak representasi akulturasi budaya yang ditampilkan. 1.8.4 Teknik Analisis Data Setelah mendapatkan data dari iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” kemudian data tersebut diteliti berdasarkan kategori-kategori yang telah dibuat. Secara teknis penulis menggunakan analisis semiotika, untuk mengungkap representasi akulturasi budaya dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”. Tema yang menjadi penelitian yaitu representasi akulturasi budaya dalam iklan pariwisata tersebut. Perangkat Analisis Semiotika yang
29
digunakan adalah model Charles S Peirce. Elemen-elemen dalam iklan dalam hal ini dibagi menjadi tiga tingkat analisis sebagaimana dimodelkan oleh John Fiske: level realitas (appearances), level representasi, dan level ideologi. Penulis akan melakukan analisis data dengan teknis berikut: a. Mendefinisikan objek analisis: Penulis mendefinisikan objek analisis yaitu representasi akulturasi budaya pada tayangan iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”.. b. Mengumpulkan teks: Selanjutnya penulis mengumpulkan teks media yaitu iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” yang penulis unduh dari Youtube. c. Menjelaskan teks: Subjek penelitian yang diteliti merupakan video iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java” yang berdurasi 3 menit 13 detik dengan objek penelitian representasi akulturasi budaya dalam iklan pariwisata tersebut. d. Menjelaskan kode-kode kultural: Penjelasan mengenai akulturasi budaya yang ditampilkan dalam iklan tersebut. e. Kesimpulan: Pada tahap yang terakhir ini, penulis mampu menarik kesimpulan dari penelitian, “Bagaimana representasi akulturasi budaya dalam iklan pariwisata “Wonderful Indonesia” episode “East Java”?
1.9
SISTEMATIKA PENULISAN Agar penelitian ini mengarah ke judul, maka dalam penelitian ini penulis
susun menjadi lima bab dengan rincian sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi jenjang-jenjang penelitian yang meliputi rancangan penelitian. Terdiri dari sub-sub bab tentang latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tinjauan kepustakaan dari kajian teoritis yang berguna sebagai alat untuk mengkaji pesan-pesan yang terkandung dalam
30
objek penelitian melalui pembedahan pengertian konsep variabelvariabel yang menjadi dasar pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini, serta unit analisis yang akan diteliti. BAB III
: TINJAUAN UMUM Bab ini berisikan tentang tinjauan umum mengenai subjek dan objek penelitian.
BAB IV
: HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN Dalam bab ini berisikan penyajian data penelitian , pengolahan data yang telah didapatkan dalam penelitian, dan pembahasan serta analisis tentang pemecahan masalah.
BAB V
: PENUTUP Pada bab terakhir ini memuat kesimpulan dari semua hal pada babbab sebelumnya dan saran-saran serta kritik yang konstruktif terhadap konsep dan juga disertai dengan daftar pustaka serta lampiran-lampirannya.