BAB 1:
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah: Bentuk, Besaran dan Peta Politik Uang1
Isu politik uang pada Pemilu, baik Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Kepada Daerah (Pilkada), makin lama makin hangat. Isu politik uang atau juga biasa disebut money politics (MP) mengalami progress bukan hanya bentuknya, melainkan juga besaran, dan peta berlangsungnya. Keterlibatan pihak-pihak dalam politik uang juga meluas, bukan hanya Caleg dan tim suksesnya dan pemilih. Perkembangan bentuk MP memperlihatkan begitu banyak pihak yang tak terhindarkan terlibat. Gambaran inilah yang perlu di kaji agar waktu pemberlakuan 15 tahun Pileg di Indonesia segera dapat diketahui dan diobati. Kabupaten Seluma adalah Kabuoaten baru hasil pemekaran paska reformasi. Namun semangat pemekaran ternyata cukup mudah terhapus oleh gelombang sapuan MP, baik Pileg maupun Pilkada. Sebagian orang berpendapat bahwa derasnya trade off dalam Pemilu adalah sejak pemberlakuan Pilkada langsung pada tahun 2014. Sejak itu bentuk, besaran dan petanya tak terkendali, bahkan oleh pigak pengawas, dan Gakumdu yang di dalamnya ada kepolisian. Di bawah ini, tabel 1.1 adalah data tentang pelanggaran Pileg tahun 2014 di Kabupaten Seluma yang didokumentasikan oleh Panwas. Memang bukan secra eksplisit data tersebut memperlihatkan pelanggaran politik uang; tetapi penjelasan oral oleh Panwas beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Caleg saat kampanye antara MP dan pelanggaran atribut. Dari data tabel 1.1 hanya sedikit pelanggaran yang berlanjut ke masalah pidana; sebagian besar pelanggaran tindak lanjut KPU saja. Secara kualitatif pada Bab 5, pengalaman lapangan para peserta FGD akan menjawab tentang isu MP ini.
penelitian tentang politik uang atau money politics (MP) di Kabupaten Seluma yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Seluma bekerjasama dengan tim peneliti Universitas Bengkulu ini, sama dengan tema penelitian yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Bengkulu Tengah. Selain gambaran nasional tentang fenomena politik uang yang ada di Bab 1, substansi pembahasan Bab 2 tentang tinjauan pustaka dan sebagian metode penelitian dari Bab 3 relatif sama. 1Tema
1
Tabel 1.1:Rekap Data Laporan/Temuan Dugaan Pelanggaran Pemilu Panwaslu Kabupaten Seluma N o
NOMOR DAN TANGGAL LAPORAN
PELAPOR
TERLAPOR
DUGAAN PELANGGA RAN
TAHAPAN
STATUS PELANGGA RAN
1
1/LP/PILEG/I /2014
Mulyan Lubis, S.Sos
Majroel Simanalu dan Khairin, SE
Pelanggaran Administrasi
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
2
02/TM/PILEG/I /2014
Muhammad Zarwan, S.Sos
Calon Peserta pemilu Legislatif 2014
Pelanggaran Administrasi.
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
3
03/TM/PILEG/I / 2014
Muhammad Zarwan, S.Sos
Calon Peserta pemilu Legislatif 2014
Pelanggaran Administrasi.
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
4
04/LP/PILEG/I/ 2014
Dr. Sudirman
Sri Hariyanti
Pelanggaran Administrasi.
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
5
05/TM/PILEG/I / 2014
Muhammad Zarwan, S.Sos
Calon Peserta pemilu Legislatif 2014
Pelanggaran Administrasi.
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
6
05/LP/PILEG/I V/ 2014
Fakhroni
Bachtiar sakar
Pelanggaran Pidana
Kampanye
Bukan Pelanggaran Pemilu
7
16/LP/PILEG/I V/ 2014
IIn Sumandi
Husni Tamrin
Pelanggaran Pidana
Kampanye
Tindak Lanjut Kepolisian
8
07/LP/PILEG/I V/ 2014
Zamhari Yakub
Tenno Haika
Pelanggaran Administrasi
Pemungutan dan Perhitungan Suara
Sengketa Pemilu
9
08/LP/PILEG/I V/ 2014
Murti Suryani
PPS Padang Pelawi Kec Sukaraja
Pelanggaran Administrasi
Pemungutan dan Perhitungan Suara
Sengketa Pemilu
10
08/TM/PILEG/I V/ 2014
Iwan Setiawan, S.Pd.I
Emilia Puspita
Pelanggaran Administrasi
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
11
09/TM/PILEG/I V/ 2014
Iwan Setiawan, S.Pd.I
Elmi Supiati
Pelanggaran Administrasi
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
12
10/TM/PILEG/I V/ 2014
Iwan Setiawan, S.Pd.I
H. Ahmad Kanedi, SH., MH
Pelanggaran Administrasi
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
13
11/TM/PILEG/I V/ 2014
Iwan Setiawan, S.Pd.I
Sri Rezeki
Pelanggaran Administrasi
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
14
12/TM/PILEG/I V/ 2014
Iwan Setiawan, S.Pd.I
Emilia Puspita dan Eliza S Zarkanti
Pelanggaran Administrasi
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
2
15
13/TM/PILEG/I V/ 2014
Iwan Setiawan, S.Pd.I
Partai Hanura
Pelanggaran Administrasi
Kampanye
Tindak Lanjut KPU
16
14/TM/PILEG/I V/ 2014
Hertiwin
Neri Nurhayati dan Sapi’in
Pelanggaran Pidana
Kampanye
Tindak Lanjut Kepolisian
17
15/TM/PILEG/I V/ 2014
Zulhendrizal, SS
Suhin
Pelanggaran Pidana
Kampanye
Bukan Pelanggaran Pemilu
18
16/TM/PILEG/I V/ 2014
Iwan Setiawan, S.Pd.I
KPU Kab. Seluma
Pelanggaran Administrasi
Pemungutan dan Perhitungan Suara
Tindak Lanjut DKPP
Sumber : Panwas Seluma, 2015
Secara nasional, dalam waktu 15 tahun terakhir, proses demokratisasi di Indonesia berlangsung sangat cepat. Segera setelah meninggalkan sistem mobilisasi politik di masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat Indonesia menjalani praktik demokrasi secara partisipatoris, terutama pada sistem Pemilu. Sayangnya proses pemelajaran partisipasi politik yang cepat itu, tidak seluruhnya berjalan menuju proses yang konstruktif dan positif. Implementasi Pemilu langsung, baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, maupun Pemilu Kepala Daerah, merupakan strategi mempercepat transisi politik dan memperkuat sistem. Kabar gembiranya adalah, bahwa sebagian warganegara sebagai pemilih semakin mengerti tentang prinsip partisipasi politik. Mereka juga semakin punya semangat untuk meningkatkan literasi politiknya; mesti provisi dari negara masih belum memadai. Seperti pengalaman Pemilu di berbagai negara, pemilihan wakil dan pemimpin menggunakan instrumen apapun punya efek politik uang. Di Indonesia, bentuk, frekuensi dan besaran politik uang makin fenomenal, dan tak terbendung. Isu politik uang, transaksi suara, “jual-beli” posisi Caleg dari daftar calon Parpol, dan berkembangnya bisnis tim sukses adalah tantangan serius dari keberlangsungan Pemilu di Indonesia.Fenomena itu menjadi proses perapuhan atas hak pilih rakyat, yang merupakan hak asasi warganegara. Dominasi isu politik uang pada Pemilu Legislatif (Pileg) makin jelas dari kasus-kasus Pileg. Indikasi tentang menguatnya praktik politik uang di setiap Pileg menjadi fokus berbagai lembaga; Indonesia Indicator (I2), ICW, serta divisi Humas Mabes Polri pun melakukan penelitian berdasar atas keprihatinan pada isu politik uang ini. Catatan ICW padapelaksanaan Pileg tahun 2014 menunjukkan bahwa kasus-kasus politik uang pada Pileg meningkat secara signifikan. Pileg tahun 1999 terdapat kasus politik uang, tetapi pada Pileg berikutnya, berturut-turut 2004, 2009, dan 2014 situasinya semakin parah. Pada tahun 2014, jumlah kasus politik uang berkembang mencapai enam kali lipat dibanding dari tahun 1999. Data ICW yang dipublikasikan melalui Republika (2014) diolah menjadi data pada Figur 1.1 di bawah ini, yang memperlihatkan peningkatan angka dan 3
persentase kasus politik uang dari Pileg ke Pileg dalam periode 15 tahun terakhir. Figur 1.1:
Tren Peningkatan Kasus Politik Uang Dalam Pileg
350 300 250 200
Kasus
150
persentase
100
50
0
1999
2004
2009
2014
Sumber: Republika (2014), http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politik-uangdominasi-pelanggaran-pemilu-2014
Keprihatinan ICW, I2 juga menjadi perhatian kepada isu politik uang ini. I2 melakukan studi dengan menggunakan media mapping selama dua bulan, yaitu antara bulan April- Mei 2014. Berdasarkan pemberitaan media dalam kurun dua bulan tersebut, terdapat 14.556 berita tentang Pileg. Dari jumlah tersebut 3.318 diantaranya atau 23 persen adalah pemberitaan tentang pelanggaran Pileg. Diantara pelanggaran tersebut 1.716 pemberitaan nya adalah politik uang. Figur yang menggambarkan kondisi tersebut dapat dilihat di bawah ini: Figur 1.2: Ekspos Media tentang Kasus Pelanggaran Pileg 2014
Pemberitaan Pileg 2014
Berita Pelanggaran Pileg Berita Politik Uang
Sumber: Indonesia Indicator (2014) dalam http://news.detik.com/berita/2579488/money-politics-pelanggaran-paling-banyak-di-pileg2014 4
Dari pemetaan I2, menurut Rustika Herlambang, menegaskan bahwa pelanggaran Pileg terbanyak yang mendapatkan sorot media adalah politik uang (52%); interes media berikutnya adalah penggelembungan suara (18%), Pemilu ulang atau pencoblosan ulang (12%), pelanggaran kode etik (9%), serta penghitungan ulang (9%). Data yang terkumpul dari studi I2 tersebut lebih jelas terlihat pada Figur 1.3 di bawah ini: Figur 1.3: Bentuk Kasus Pelanggaran yang Diekspos Media
Politik Uang Penggelembungan suara
Pemilu Ulang/Pencoblosan ulang Pelamggaran Kode Etik
Sumber: Republika (2014), http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politik-uangdominasi-pelanggaran-pemilu-2014
Data hasil pemantauan ICW (2014) di lima belas propinsi di Indonesia, menunjukkan bahwa selama proses Pileg, mulai dari kampanye sampai dengan pencoblosan,ditemukan 313 kasus pelanggaran yang mengandung unsur politik uang. Misalnya pemberian uang, pemberian barang, pemberian jasa, serta penggunaan sumberdaya (diekspos pada Figur 1.4). Bila studi ICW itu hanya mengekspos politik uang di 15 propinsi, bukan berarti propinsi di luar itu tidak terjadi pelanggaran dalam bentuk politik uang. Menurut divisi Humas Mabes Polri ditemukan tidak semua propinsi di Indonesia melaporakan praktik politik uang.
5
Figur 1.4: Proporsi Bentuk Politik Uang yang Ditemukan pada Pileg 2014 di Lima Belas Propinsi di Indonesia Pemberian uang
Pemberian barang
Pemberian Jasa Penggunaan sumberdaya
Sumber: ICW (2014) dalam http://news.detik.com/berita/2579488/money-politicspelanggaran-paling-banyak-di-pileg-2014
Studi Indonesia Indicator (I2) berhasil menyebutkan tujuh propinsi terbanyak memiliki kasus politik uang pada Pileg 2014. Sementara Mabes Polri juga mencatat data tentang kasus politik uang pada Pileg 2014. Di bawah, dierbandingkan antara temuan I2 dan catatan Mabes Polri tentang pelaporan kasus politik uang. Tabel 1.2: Data Indonesia Indicator dan Mabes Polri tentang Kasus Politik Uang Ekspos Propinsi dengan Politik Uang/Propinsi (I2)
Sumatra Barat Riau Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Timur Papua
Catatan Polri tentang Propinsi dengan Kasus Politik (Polri) Propinsi Jumlah Kasus Sumatra Barat 1 Riau Kepri 1 Bengkulu 8 Sulawesi Tenggara 10 Nusa Tenggara Timur 7 Jawa Timur 4 Papua 1 Maluku Utara 1 Gorontalo 6 Jawa Tengah 5 Sulawesi Selatan 5 Sulawesi Utara 3 Maluku 3 Bali 2 Banten 1 Sumatra Utara 1 DIY 1
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etia-politik-uang-dominasipelanggaran-pemilu-2014
6
Munculnya data yang demikian adalah konsekuensi dan implikasi dari meterialisasi demokrasi melalui instrumen Pemilu di Indonesia. 2 Prof. Komaruddin Hidayat memperingatkan bahwa fenomena vote buying ini membuat ongkos politik amat mahal.Ongkos politik ditanggung oleh Parpol, terutamamenjadi beban para caleg. Efek "domino” nya ada pada konsekuensi pengembalian modal uang yang sudah keluar saat mengikuti proses Pileg. Dana politik yang perlu dikumpulkan berfungsi ganda, sebagian untuk membayar pinjaman, dan sebagian lainnya untuk biaya politik berikutnya. Prediksi Hidayat cepat atau lambat, sedikit atau besar, para politisi cenderung terlibat korupsi. Tabel 1.3:
Kasus dan Besaran Politik Uang Indikasi Besaran Uang Rp. 5.000 – Rp. 50.000 Rp. 26.000 – Rp. 50.000
Kasus 24 28
Tabel 1.3 di atas menjelaskan tentang besaran vote buying yang di catat oleh studi ICW. Tentu saja besaran ini sangatlah bervariasi, termasuk fakta yang terjadi di daerah lokasi penelitian ini, Kabupaten Seluma. Esensi besaran menjadi fokus penting dalam studi ini, mengingat konsekuensi logis atau efek dari vote buyingke arah potensi korupsi ketika sudah mendapatkan kursi dan otoritas. Selanjutnya, figur 1.5 di bawah, menunjukkan catatan kasus politik uang yang dilakukan berdasar Partai Politik. Tentu saja figur ini bukanlah jastifikasi terhadap keridakterlibatan Parpol kontestan Pileg di luar kelima Parpol ini, melainkan kasus-kasus yang sempat masuk dalam proses penyelesaian Meski fenomena politik uang ada di mana-mana, kasus-kasus di Indonesia agak berbeda dari beberapa hasil penelitian di negara lain, di mana ada keterlibatan Partai dalam kasus politik uang. Dalam kasus incumbent atau pertahana ikut mencalonkan diri, maka sama seperti penelitian lain, cenderung melibatkan unsur aparat Pemda, serta penyalahgunaan akses sumberdaya dan aset negara.
Hasil temuan studi “Literasi Politik: Konsep, Reframing, dan Rekonstruksi Pada Pemilu Legislatif 2014 Kabupaten Kepahiang“ (2015). 2
7
Figur 1.5: Kasus Politik Uang yang Terindikasi Partainya 60 50 40 30 20 10
0
Kasus
Sumber: diolah dari data ICW (2014), dalam http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hotpolitic/14/05/11/n5etia-politik-uang-dominasi-pelanggaran-pemilu-2014
Hasil penelitian dari KPU Kota Bengkulu, 3 yang fokuspenelitiannya tentangpolitical turnoutatau kehadiran pemilih, memperlihatkan adanya fakta politik uang pada Pileg. Para narasumber dari penelitian itu menyebutkan bahwa indikasi mulainya menguatnya politik uang ini sejalan dengan pemberlakuan Pemilu Kepala Daerah langsung (sejak tahun 2004). Di mana pada Pileg tahun 2009 dan 2014 lalu kasus-kasus transaksi suara makin “membudaya” dan “terbuka”. Kelemahan regulasi saat ditemukan kasus dan penyelesaian nya yang tidak efektif - menumpulkan penegakkan sanksi hukum atas kasus-kasus politik uang. Pandangan masyarakat tentang politik uang makin pragmatis, di mana sesungguhnya masyarakat memahami tentang buruknya praktik politik uang; dalam realita masyarakat makin berani dan terbuka meminta “reward” dari Caleg dan tim sukses atas dukungan yang mereka berikan. Vote buying bukan lagi aib dan tertutup, mereka makin bernilai rasional. Fenomena itu terjadi di Kabupaten Seluma dan praktik Pileg di Kabupaten Seluma.
3
Dapat dibaca pada Laporan Penelitian KPU Kota Bengkulu tahun 2015. 8
Figur 1.6: Indikasi Proporsi Keterlibatan Berbagai Pihak dalam Politik Uang Kasus Politik Uang
Caleg
Tim Sukses
Aparat Pemda
Sumber: diolah dari data ICW (2014), dalam http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hotpolitic/14/05/11/n5etia-politik-uang-dominasi-pelanggaran-pemilu-2014
Figur di atas adalah gambaran proporsi kasus-kasus yang melibatkan berbagai pihak dalam politik uang. Seperti pengalaman tim peneliti pada beberapa FGD untuk studi partisipasi politik di Kabupaten/Kota di wilayah Bengkulu, tren dominasi vote buying dilakukan oleh Caleg sendiri, melalui “mekanisme” sosialisasi. Kasus itu terjadi atas dasar hasil transaksi yang samasama dikehendaki oleh Caleg dan pemilih. Pemilih biasanya selalu menuntut Caleg agar dating dan hadir pada acara sosialisasi – di situlah maka transaksi suara dan vote buying langsung terjadi, apakah disepakati “pra-bayar” atau “paska-bayar”. Pada analisis dan pembahasan, fenomena ini akan dibahas. 1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian a. Perilaku politik uang, terutama trade off makin fenomenal. Masyarakat tidak lagi melihat praktik politik uang sebagai rahasia, bentuk praktik politik uang, besaran dan petanya berlangsung terbuka dan bervariasi. Berdasar rumusan itu, maka studi ini mengajukan pertanyaan seperti apa proses, bentuk, besaran dan peta dari kasus-kasus politik uang dalam proses Pemilu Legislatif di Kabupaten Seluma ?. Di samping itu perlu ada pertanyaan siapa saja pelaku yang terlibat ?; b. Motif terjadinya politik uang atau trade offsangat bervariasi, maka studi ini perlu mengetahui apa akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang ?; c. Praktik trade off suara dalam bentuk apapun menjadi fenomena yang tak terhindarkan dalam berbagai Pemilu, tetapi dalam diskusi-diskusi begitu banyak orang yang ingin menyudahi praktik kotor ini - ini adalah problem banyak pihak. Dalam studi ini diajukan pertanyaan apa rekonstruksi masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang ?. 9
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk: a) Mengidentifikasi proses terjadi politik uang dalam proses Pemilu Legislatif, termasuk bentuk, besaran, dan peta, serta pelaku; b) Mengetahui akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang; c) Mengetahuilokus praktik politik uang; dan d) Menggali gagasan masyarakat untuk menyusun rekonstruksi mengatasi praktik politik uang.
10
BAB 2:
KAJIAN PUSTAKA tentang POLITIK UANG1
Bab 2 ini mendiskusikan empat artikel jurnal yang sangat penting bagi studi politik uang. Mereka adalah studi terdahulu mengenai isu politik uang, dan berseting berbagai negara. Harapannya, studi-studi itu dapat menjadi rambu-rambu bagi penelitian di Kabupaten Seluma. Berikut adalah diskusi tentang studi Appolonio dan La Raja (2004), Dal Bo (200), Krumholz (2013), dan Asia News Monitor (2014). Studi Appolonio dan La Raja (2004: 1135-7) berhasil membuat kajian pustaka tentang identifikasi pihak-pihak yang berkontribusi terhadap organisasi politik dan apa pengaruh dari dukungan uang itu secara politis. Secara organisasional, keputusan pihak kelompok kepentingan yang mendukung keuangan kepada partai politik sebagai bentuk kontribusi politik berdasar pada modal, besar kecil ukuran keanggotaan organisasi nya, serta pengalaman politik. Hasil studi mereka yang penting menjadi dasar dari penelitian ini adalah bahwa perubahan regulasi pembatasan kontribusi/donasi politik dan kuantitas sumberdaya politik berpengaruh terhadap kapasitas Partai Politik; konfigurasi itulah yang menjamin berlangsungnya partisipasi politik. Kajian Appolonio dan La Raja menunjukkan bahwa ada tiga aras penting dalam menjelaskan hubungan uang dan politik. Pertama, mengenai kontribusi kelompok kepentingan kepada organisasi politik. Mereka menemukan kelompokkelompok kepentingan yang berkontribusi, yaitu kelompok denganaccess goals sampai kelompok denganelectoral goals, yaitu studi Herrnson dan Sorauf. Dari kajian pustaka itu Appolonio dan la Raja menyatakan bahwa kelompok kepentingan maupun korporasi sama-sama menggunakan strategi sama mendukung dan berkontribusi terhadap organsasi politik – meskipun motifnya berbeda-beda (dari studi Eismeier dan Pollock; Endersby dan Munger; Grier dan Munger; Grier, Munger, dan Roberts; Handler dan Mulkern; serta Masters dan Zardkoohi. Motif dari kelompok yang berorientasi pada akses dalam memberi kontribusi adalah untuk membangun hubungan agar mendudukkan anggotanya pada kursi legislatif, yang nantinya akan mengatur kebijakan tertentu sesuai dengan kepentingannya, ditemukan pada studiHall dan Wayman; serta Langbein. Untuk kelompok yang berorientasi pada Pemilu, atau electoral-oriented groups, yaitu organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi kebijakan, seperti serikat buruh, mereka berkontribusi dengan maksud merubah komposisi legislatif agar ada perubahan wacana orientasi di dalam tubuh lembaga legislatif itu, seperti pada studi Eismeier dan Pollock; Gopoian; Humphries; dan Wilcox. Bab 2 Tinjauan Pustaka pada Laporan Penelitian KPU Kabupaten Seluma ini sama dengan Bab 2 pada La[poran Penelitian KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, sebab keduanya memiliki tema sama yaitu Politik Uang. Keduanya memiliki laporan yang berbeda pada Bab 1, Bab 4, Bab 5, dan Bab 6. 1
11
Perspektif kedua, menurut kajian Appolonio dan La Raja terhadap studi terdahulu (2004, hal. 1135-7) menunjukkan bahwa kontribusi kepada organisasi politik bergantung pada konteks, isu, penugasan kandidat, persepsi kekuasaan anggota organisasi. Untuk konteks politik ada pada studi Hansen, Jacobson dan Kernell;kesamaan isu perjuangan ditemukan pada studi Eismeier dan Pollock, Handler dan Mulkern. Studi yang memperlihatkan status mayoritas partai sejalan dengan contributor adalah karya Cox dan Magar, serta Rudolph; penugasan kandidat ditemukan dari studi Grier dan Munger.Sementara persepsi kekuasaan anggota ditemukan pada studi Grentzke danarah tren partai jangka pendek dibaca oleh Appolonio dan La Raja dari studi Jacobson dan Kernell. Pendekatan ketiga, seberapa organisasi sumberdaya itu mempengaruhi orientasi politik. Pandangan konvesional menyebutkan bahwa sumberdaya keuangan punya hubungan langsung pada tingkat kegiatan politik. Makin banyak uang yang dimiliki maka organisasi itu akan menggunakannya untuk politik. Appolonio dan La Raja menggunakan studi Baumgartner dan Leech, Berry, Rozell dan Wilcox, Schlozman dand Tierney, Walker, serta Wright untuk menjelaskan tentang pentingnya sumberdaya dalam pengambilan keputusan organisasi. Studi lain yang menjelaskan lebih spesifik tentang hubungan sumberdaya dan kontribusi politik antara lain Masters dan Keim, Wilcox;dan adanya anggota yang dimintaimenyediakan dana bagi organisasi seperti pada studi Conybeare dan Squire, Delaney, Fiorito, dan Masters, serta Masters dan Keim. Penelitian Appologio dan La Raja menunjukkan bahwa paratai politik perlu dana dan sumberdaya untuk membayar pelobi, mobilisasi massa dan berbagai kepanitiaan dalam proses Pemilu. Saat kekurangan uang, ketergantungan kepada simpatisan dari grassroot dan aliansi – saat itulah pragmatism partai menerima donasi atau soft money mudah terjadi. Situasi ini bersambut dengan kepentingan perusahaan bisnis / profit yang membutuhkan kebijakan-kebijakan tertentu. Mereka pasti berusaha menyumbangkan soft money untuk membayar pelobi berpengaruh dan biaya kepanitiaan kepada partai maupun kandidat.2 Relevansi studi Appologio dan La Raja dengan penelitian ini ada pada isu dukungan sumberdaya pihak luar kepada Partai Politik dan kandidat legislatif. Keterbatasan sumberdaya Partai mendorong nya menjalankan politik uang, atau menerima uang untuk ditukar dengan kepentingan. Dengan kondisi seperti itu, pada konteks US pun, jelas siapa yang diuntungkan dari regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh legislatif.3Dari pihak pemberi soft money, penting untuk dikonsultasikan pada Dalam penelitian itu, Appologio dan La Raja menunjukkan bahwa antara 1992 – 2000 dari 100 organisasi yang di survai di setiap putaran Pemilu Legislatif persentase terbesar soft money dilakukan oleh perusahaan (88% 96%), sementara asosiasi tidak lebih dari 8% saja. 3 Sampai dengan tahun 2002 di US belum ada aturan pembatasan donasi keuangan dalam kampanye. Ada bukti bahwa soft money untuk partai politik memunculkan korupsi dalam sistem politik. Donasi atau Fat Cats – para 2
12
hasil penelitian ini tentang seberapa penting kontribusi soft money kepada partai politik maupun kandidat. Untuk konteks US, perusahaan atau asosiasi yang keanggotaannya kecil, dan punya pengalaman politik tertentu akan menggunakan strategi soft money ini. Jadi soft money bukan faktor dominan bagi kontributor. Ditemukan perusahaan lokal lebih banyak memainkan soft money dibanding korporasi multinasional. Studi pustaka berikutnya adalah karya Dal Bó (2007). Tulisan nya menarik karena ia menerangkan tentang konsep Pemilu Legislatif itu sebagai bagian dari keputusan kolektif dari masyarakat, di mana keputusan kolektif itu ditentukan oleh pilihan individual. Hampir seluruh keputusan kolektif saat ini dilakukan melalui voting. Konsentrasi studi Bó adalah tentang pilihan individu dalam keputusan kolektif yang dipengaruhi oleh pihak luar yang menawarkan bayaran dari pilihan itu, terutama kepada kelompok terpuruk. Di Indonesia fenomena itu kita masukkan dalam kategori beli suara atau politik uang. Menurut Bó pihak “luar” pemilih (kepentingan kolektif, di Indonesia baca Daerah Pemilihan), bisa mengatur keputusan kolektif yang diambil melalui voting. Hasilnya pasti tidak efisien, tidak maksimal dan salah. Bó mencatat studi-studi terdahulu dalam literatur Ilmu Politik du US – bahwa Partai Politik dan pihak lain adalah elemen yang melakukan “trade off” diantara para legislator itu (misalnya studi Cox dan McCubbing, Weingast dan Marshall). Jadi banyak legislator yang terlibat kolusi-kolusi semacam itu. Teori pilihan pemilih dalam suatu voting yang digunakan olehBó(2007, hal. 790-1) dalam artikelBribing Voters adalah antara outcome-related costs atau voterelated costs, di mana keduanya termasuk suara korup. Situasi kerahasiaan atau secrecy dari pemilihan menentukan vote buying. Demikian juga tentang hasilnya, kalau suara yang diberikan itu korup, maka keputusan kolektif yang dihasilkan adalah buruk atau salah. Secrecy atau kerahasiaan tidak cocok dengan adanya outcome-related costs yang rendah. Public vote sebenarnya mendorong terjadinya akuntabilitas individu. Kalau akuntabilitas individu tinggi, maka secrecy atau kerahasiaan memilih tidak diperlukan. Inilah mengapa voting selalu tetap merupakan pemilihan rahasia, sebab voters pada dasarnya tidak akuntabel terhadap yang lain. Meski legislator tetap harus akuntabel terhadap konstituen nya. Bó mnelusuri studi terdahulu tentang pemilih dan pemilihan ini, dia menemukan bahwa selalu ada tawaran hadiah pada pemilihan orang-orang penting. Meski demikian studi yang ditelusuri Bó menunjukkan bahwa pemilih tetap peduli pada pemilihan dan hasilnya, termasuk adanya kendala dana. Diantara studi tentang ahli di US pun mendapat kesulitan dalam melacak siapa saja yang berkontribusi terhadap partai politik, dan berapa besar kontribusi tersebut (Appologio dan La Raja 2004).
13
efek kompetisi yang dikaji adalah studi Dekel, Jackson dan Wolinsky, Grüner dan Felgenhauser, Morgan dan Vardy. Morgan dan Vardy menemukan bahwa dalam pemilihan selalu ada kompetisi meski tidak ada uang. Kajian Bó terhadap studi terdahulu menunjukkan selalu ada vote trading (pada pemikiran Buchanan dan Tullock, Coleman). Secara positif oleh Bó dipahami secara luas bahwa vote trading bukan berupa uang melainkan keuntungan yang didapat oleh voters karena terjadi trading soal aspirasi. Tetapi ada studi lain memperlihatkan bahwa vote trading terjadi apabila pemilih harus memilih kandidat-kandidat yang tidak mereka sukai. Sementara studi Snyder memperkuat studi terakhir itu, bahwa ada fenomena “membeli” legislator, tentu untuk kepentingan si pemilik kepentingan melalui suara pemilih. Pilihan voters itu terbagi menjadi dua, pertama pilihan kolektif; dan kedua. Pilihan individual. Dalam hal politik uang, maka keduanya bisa untuk kepentingan tertentu, yaitu untuk kepentingan masyarakat sendiri, atau untuk kepentingan pemimpin, atau untuk pengusaha yang membacking. Selain itu, banyak orang yang tidak tau mengapa menerima uang. Pada pilihan kolektif, disebut strategi mayoritas – sebab yang menerima adalah mayoritas warga, dan ini merupakan strategi dominan. Pilihan individual, juga strategi dominan, tetapi tawarannya rahasia ( Bó, 2007, hal. 794-5). Mengenai trade off, studi Bó menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk perubahan preferensi pilihan akibat adanya tawaran uang. Akibatnya, di kawasan “No” untuk kandidat tertentu, perlu strategi mayoritas (kolektif) dan kompensasi penuh untuk mencapai vote-related costs dan outcome-related costs.Pada pemilih yang bersih/tidak korup mereka memilih kandidat yang benar, atau pemilih yang jujur memilih wakil yang jujur. Bila calon legislator kalah pada daerah pemilihan “Yes”, maka penyelenggaranya yang buruk. Dalam konteks Barat, dalam situasi akuntabilitas kolektif dengan voting tertutup, maka cenderung korup. Di dalam akuntabilitas individu, hanya pemilih korup yang mendukung calon kandidat yang buruk, yang nantinya pasti tidak akan terpilih lagi. Hanya wakil yang jujur yang akan terpilih kembali. Voters, ternyata, bukan “korban”, beberapa studi terdahulu menunjukkan bahwa sesama mereka melakukan kolusi yang memudahkan pemain eksternal masuk mempengaruhi pilihan. Berdasar studi Bó praktik seperti ini justru lebih mudah dan banyak terjadi di internal Partai Politik, bahkan sesudah mereka berada di legislatif (Alesina dan Spear, Cox dan McCubbins, Weingast dan Marshall, juga Krehbiel). Figur 2.1 dan 2.2 di bawah ini adalah logika pemikiran dari penjelasan di atas, agar lebih mudah mencerna oleh pembaca 14
Figur 2.1: Koneksitas Penyandang Dana dan Kebijakan dalam Konteks Politik Uang Perusahaan Asosiasi Pihak Ketiga/ Kelompok Kepentingan
Partai Politik Caleg
Kebijakan Pro Penyumbang
Pemilih Voters Sumber: di desain berdasar perspektif Dal Bó (2007)
Figur 2.2: Eksklusi Pemilih dari Hasil Pileg Vote Buyer
Outcome of the Election
Voters
Kecuali untuk voters yang oportunis
Ada kerjasama yang kuat: - Komuniaksi sesama voters - Interaksi berkalikali - Berlangsung dengan kontrak
Sumber: di desain berdasar perspektif Dal Bó (2007)
Studi Krumholz (2013) tentang politik uang di US. Koneksitas antara uang dan politik bukanlah suatu rahasia pada sejarah politik di US. Banyak sekali kasus-kasus tentang politik uang yang kotor. Praktik politik uang tetap merupakan “misteri” sebagai kasus illegal yang tak terungkap, yang berpengaruh kuat pada sistem politik federal sehari-hari. Studi Krumholz fokus pada efektivitas kerja lembaga yang bertanggungjawab memantau praktik politik uang secara online, bernama Centra for Responsible Politics (CRP). CRP sudah bekerja selama 30 tahun terakhir. Dalam Pemilu berlangsung korupsi. Bila ada konflik kepentingan, da nada uang swasta yang mengalir ke pelayanan publik sebagai uang pelicin, di situlah jelas ada korupsi, ketika publik tidak bisa memonitor relasi-relasi kotor semacam itu, maka praktik politik kotor tumbuh subur. Menurut catatan Krumholz, CRP meneliti siapa saja yang beruntung dari industri kampanye sekita Washington. CSO yang
15
aktif secara politik rela mengeluarkan uang ratusan juta dolar untuk aktivitas politiknya. Data tentang hasil lobi federal dan data keuangan lain, termasuk perkembangan harta anggota kongres dan pegawai pemerintah, di sajikan di OpenSecret.org kepada masyarakat. Krumholz menemukan bahwa Pemilihan Umum dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang mengejutkan, dari tahun 2000 – 2012 saja, kurun satu dasawarsa ada kenaikan 188 persen, yaitu dari $ 3 milyar menjadi $ 6.3 milyar.Krumjolz juga mencatat perusahaan dan lembaga menyumbang Partai Politik dan Assosial yang berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah antara lain Wall Street, Bank, Asuransi, Venture Capital Fund, Jasa Peminjaman, pengembang real estate. Asuransi dan real estate paling besar menyumbang kandidat dalam bentuk cash untuk kampanye. Mengapa, sebab mereka membutuhkan kekuasaan yurisdiksi atas industri, perusahaan, dan isu-isu penting mereka di situ. Pada konteks Indonesia, catatan Asia News Monitor (2010) mengindikasi dengan jelas adanya politik uang dan lokusnya dalam proses Pileg. Politik uang terjadi bahkan sejak awal dari proses Pileg; Asia News Monitor menemukan bahwa politik uang sudah terjadi pada saat nominasi kandidat di Parpol. Lokus terjadinya politik uang, termasuk vote buying dapat di gambarkan sebagai berikut: Figur 2.3: Tren Lokus Politik Uang dalam Proses Pileg di Indonesia Parpol
Kader Non Kader Kader bisa ‘dibeli’ oleh Non Kader
Proses Penyusunan Kandidat
Politik Uang
Daftar Calon
Politik Uang
Kampanye
Pencoblosan
Vote Buying (Direct money distribution/ Basic commodities to voters
Vote Buying
Sumber: diolah dari data Asia Week Monitor (2010)
Kajian pustaka di atas menjadi pegangan tim peneliti untuk merespon rumusan masalah, serta menjawab pertanyaan dan tujuan penelitian. Temuan studistudi lalu yang diuraikan pada artikel di atas, akan diundang lagi pada Bab 5 - agar hasil studi ini menjadi produk sintesa antara temuan lapangan dan kajian teoritis dari studi sebelumnya. 16
BAB 3:
METODE PENELITIAN1
Penelitian tentang politik uang ini menggunakan pendekatan penelitian aksi. Penelitian aksi dipilih sebagai respon atas kebutuhan hasil yang diharapkan dari studi ini, yaitu memperbaiki proses Pileg di masa depan. Seperti halnya model penelitian kualitatif yang lain, dalam penelitian aksi ini, semua yang trlibat dalam penelitian, baik peneliti maupun subyek / narasumber bersama membangun pengetahuan, dan melakukan studi dalam rangka perubahan (Yaumi dan Damopolii, 2014). Oleh Creswell penelitian aksi ini disebut participatory action research / PAR (Creswell, 2010). sedangkan Neuman (2006) menyebutnya sebagai observation participant researchatau PAR.2 Esensi penelitian aksi adalah menyangkut perkembangan pengetahuan praktis dalam upaya memperbaiki kondisi masyarakat. Bagi para peneliti yang mengaplikasikan penelitian ini, mereka menyebut studi semacam ini sebagai proses demokratis dan partisipatoris (Yaumi dan Damopolii, 2014, h. 3-4). Untuk memahami di mana posisi PA dalam sudut pandang paradigma, Yaumi dan Damoolii membantu menyusun sebuah matriks komparasi pendekatan penelitian tindakan/aksi dari dua pendekatan lain, yaitu positivisme dan hermeneutik dan postmodernisme. Matriks komparasi dapat dilihat sebagai berikut: Fondasi Filosofis
Positivisme
Ontologi Obyektivis Epistimologi Obyektivis Teori Dapat digeneralisasi Refleksivitas Metodologik Peran peneliti Jauh dari data Sumber: Yaumi dan Damopolii (2014, h.6)
Hermeneutik & Posmodernisme Subyektivis Subyektivis Tertentu Hiper Dekat dengan data
Realisme kritis &Action Research Obyektivis Subyektivis Tertentu Epistemik Dekat dengan data
Dari matriks di atas tampak bahwa ada kesamaan antara PA dan deduktif yang berciri positivis, yaitu pada aspek ontologi obyektivis. Secara keseluruhan, terutama pada epistomologi, teori dan peran peneliti, maka penelitian aksi sama dengan paradigma hermeneutik dan posmodernisme. Keunggulan dari penelitian aksi adalah prinsip partisipatorisnya, dan visi perubahan; terutama pada upaya membangun kesadaran subyek. Dengan kata lain, temuan-temuan PAperlu menghasilkan suatu pengetahuan baru untuk menjawab kebutuhan dan perbaikan kondisi sosio-kultural, apalagi perubahan hidup partisipan dan 1Seperti
telah disebutkan pada Bab 1 di depan, metode yang dipergunakan untuk penelitian untuk isu politik uang di Kabupaten Seluma ini adalah penelitian tindakan atau action research, seperti yang dipergunakan pada studi yang sama di Kabupaten Bengkulu Tengah. Meotde yang sama juga dipergunakan pada studi tema besar partisipasi politik KPU di Kabupaten Kepahiang dan Kota Bengkulu. Maka tulisan pada Bab 3 ini juga dipergunakan pada ketiga Laporan Penelitian tersebut. 2 Sebagai peneliti dan penulis laporan penelitian untuk Literasi Politik di Kabupaten Kepahiang, dan Political Turnout di Kota Bengkulu, maka metode untuk penelitian Politik Uang ini menggunakan metode yang sama dengan kedua penelitian tersebut. Referensi yang digunakan untuk menyusun Bab 3 ini juga digunakan pada kedua Laporan Penelitian tersebut. 17
peneliti.. Argumentasi dasar dari PA di atas, menjadi titik kesesuaian dengan teman studi literasi politik ini, akar perjumpaan nya ada pada isu literasi sebagai inti dari proses penguatan rakyat dalam konteks demokratisasi, dengan beberapa keunikan dari mandatPA. Penelitian ini merupakan pertemuan antara tim peneliti dari lembaga penyelenggara Pileg dan akademisi dan masyarakat pemilih. Penelitian aksi memfasilitasi kebutuhan ini, terutama kebutuhan pengkajian, pembingkaian / pengkerangkaan, dan proses rekonstruksi konsep dan praktik politik uang di lapangan. Studi ini menghasilkan suatu pengetahuan baru berkonteks politik uang di tingkat lokal, gunanya untuk memperbaiki posisi partisipan dan masyarakat dalam ruang politik. Hasil penelitian dijadikan masukan mengungkap misteri politik uang, dan menjadi model strategi penurunan politik uang di daerah.Strategi memperbaiki instrumen hukum dan penegakkan pelanggaran Pileg, terutama politik uang, adalah luaran yang telah dirumuskan pada Bab 1. 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian aksi memiliki beberapa model diantaranya: model Kurt Lewin, model Kemmis dan McTaggart, model John Elliott, model Schmuck, dan model Stringer (Yaumi dan Damopolii, 2014). Sesuai dengan kebutuhan isu dan tujuan serta pertanyaan penelitian, maka penelitian politik uang ini menggunakan model Kemmis dan McTaggart. Pada model ini, petunjuk adanya proses sosial yang terjadi dan hasil perubahan praktik perilaku eksis ketika terjadi interaksi sosial dalam masyarakat, terutama dalam kasus-kasus politik uang. Tahap dari model Kemmis dan McTaggart antara lain terdiri atas: 1. Pengkajian 2. Pengkerangkaan atau reframing 3. Rekonstruksi atau reconstructing
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Seluma. Argumen yang mendasari pemilihan lokasi adalah: pertama, KPU Kabupaten Seluma memilih tema politik uang untuk memahami pelaksanaan partisipasi Pemilu Legislatif tahun 2014. Kedua, sejak Pemilu Kada langsung tahun 2004 berlangsung kasus-kasus politik uang terus meningkat, meski jarang bisa dibuktikan secara hukum. Rumor tentang politik uang bukan menjadi rahasia lagi. Para pemilih pada Pileg 2014, justru menunggu melakukan negosiasi dengan para “calo” yang mengaku utusan Caleg.Ketiga, studi politik uang ini dibutuhkan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan Pileg; sekaligus sebagai bahan dasar memperbaiki praktik Pileg yang bersih ke depan.
18
3.3
Peubah Yang Diamati
Isu besar politik uang memiliki berbagai gejala menarik yang dapat dieksplorasi, diantaranya: Proses, bentuk, besaran, dan peta dari kasus-kasus politik uang dalam Pemilu Legislatif ?. Aktor yang menjadi pelaku yang terlibat ; Motif terjadinya politik uang, dan akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang; Gagasan masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang. 3.4 Model yang Digunakan Studi ini mengikuti model Kemmis dan McTaggart, yang dalam pelaksanaannya mengalami modifikasi, sesuai dengan kebutuhan yang dialami di lapangan. Basis etnografi yang dimiliki oleh tim peneliti menjadi bekal untuk mengembangkan metode PA ini. Model Kemmis dan McTaggart memiliki tiga tahapan utama, yaitu: pengkajian, pengkerangkaan atau reframing, dan rekonstruksi atau reconstructing (Yaumi dan Demopolii, 2014, hal. 21) Di samping ada tahapan, model Kemmis dan McTaggart ini merupakan suatu proses siklus berbentuk spiral, yang secara berkelanjutan bergerak maju. Dalam setiap siklus terdapat tahap kolaboratif, pastisipatorik, dan reflektif. Sedangkan proses keberlanjutan seperti spiral digambarkan sebagai: - Merencanakan perubahan - Mengubah dan mengobservasi, proses, dan konsekuensi dari perubahan - Merefleksi proses dan konsekuensi - Merencanakan kembali - Memberi tindakan dan mengobservasi kembali - Merefleksi kembali, dan seterusnya (Yaumi dan Demopolii, 2014, hal. 24) Gambaran siklus dan proses keberlanjutan spiral dari Kemmis dan McTaggart dapat dilihat berikut ini:
19
Figur 3.1: Siklus dan Proses Keberlanjutan Spiral Dari Kemmis Dan McTaggart Plan
Act & observe
re fl e
Reflect
Revised Plan
Reflect Act & observe
Sumber: Yaumi dan Demopolii (2014: 24)
3.5 Pelaksanaan Penelitian Sebagai tahapan dari penelitian aksi yang dan mengikuti model Kemmis dan McTaggart, maka di siniada penjelasan tentang tahapan penelitiannya. Model Kemmis dan McTaggart bertumpu pada dua proses, siklus dan spiral. Pada proses siklus, maka studi ini mengkover kegiatan: a. Pengkajian, yaitu proses belajar bersama tentang politik uang. Proses belajar ini dilakukan pada saat pengumpulkan informasi melalui FGD. Tim peneliti dan partisipan penelitian sama-sama mengkaji tentang politik uang dari pemaknaan warga tentang politik uang, identifikasi proses politik uang, bentuk, besaran, lokus, dan petaproses politik uang. Pada model Kemmis dan McTaggart tahap ini disebut kajian terhadap “act & observe”. b. Tahap pengkerangkaan atau reframing dilakukan berdasar pada konteks proses dan aktor pelaku dan penerima politik uang, apa yang dilakukan orang, bagaimana orang berinteraksi untuk transaksi suara dan bentuk politik uang lain. Nilai dan pemahaman orang tentang politik uang, cara partisipan menginterpretasi politik uang dari pengalaman sosial mereka. c. Tahap rekonstruksi atau reconstructing – adalah pengembangan atas framing dan reframing dari perilaku politik uang pada Pileg tahun 2014 (dan pengalaman Pileg 2004, 2009). Reframing dari Pileg tahun 2014 sesungguhnya telah masuk pada tahap “revised plan” dari model Kemmis 20
dan McTaggart, di mana usulan kebijakan yang tersusun menjadi input pada perbaikan memerangi kasus-kasus politik uang bagi KPU Kabupaten Seluma, dan KPU pada umumnya. Sedangkan pada proses spiral, maka studi yang saat ini dilakukan menjadi siklus pertama, yang akan menjadi rangkaian spiral secara berkelanjutan seperti gambar model Kemmis dan McTaggart di atas. Artinya ke depan perlu ada studistudi lanjutan yang akan mengkaji perubahan-perubahan kebijakan, baik yang direvisi berdasar pada hasil studi ini atau berdasar pada masukan dan agenda setting lain dari kebijakan tentang politik uang. 3.6 3.6.1
Teknik Pengumpulan Data Focus Group Discussion (FGD) Sesuai dengan tema studi, politik uang, maka pengumpulan data melalui FGD ini perlu melibatkan: pimpinan Parpol, Panwas, Gamkudu, Kepolisian, anggota KPU Kabupaten Seluma, Tokoh Masyarakat, Wartawan setempat, LSM / ormas setempat, Pemilih pemula (pada Pemilu 2014 lalu), perempuan, kelompok rentan/miskin, pemilih dari kelompok terdidik, pelaku bisnis setempat,Caleg yang tidak mendapat kursi.Jumlah peserta FGD 22 orang, dengan memperhatikan proporsi dari unsur-unsur di atas, terutama proporsi perempuan.
a.
b.
c.
d.
Instrumen FGD, meluputi: Konsep politik uang: - Politik uang itu apa ? - Apa saja yang termasuk dalam konsep politik uang ? atau bentukbentuk politik uang ? - Politik uang itu nyata atau mitos ? Bagaimana politik uang terjadi ? - Di mana lokus politik uang ?(di masyarakat, penyelenggara, parpol, media,atau) - Siapa yang memberi uang, siapa menerima uang ? - Motif politik uang apa saja ? Mengapa di beberapa lokasi terjadi ? dan di lain lokasi di lokasi dalam tempat yang sama tidak terjadi ? faktor apa yang mempengaruhi ? - Apakah uang yang menentukan hasil Pemilu Legislatif ? - Apa saja efek politik uang dalam konteks pembangunan di Seluma (Legislasi, pengawasan, dan anggaran) ? - (kalau politik uang kepada pemilih) Kelompok mana yang paling mudah dibeli suaranya ? - Di mana uang paling banyak dikeluarkan oleh Caleg dan Parpol: - Adakah pendonor/cukong bagi caleg ? kalau ada, siapa saja mereka ? - Pemetaan kasus-kasus politik uang pada Pemilu Legislatif 2014 lalu. Solusi atau rekomendasi untuk antisipasi fenomena politik uang ? - Apakah kita khawatir dengan politik uang ?
21
-
Kira-kira kondisi kunci apa yang akan meredakan politik uang ? Bagaimana rekomendasi peserta untuk menghilangkan jual-beli suara, dan percukongan dalam Pemilu Legislatif ?
3.7 Tahap analisis:
atas:
Substansi analisis meliputi peubah dari isu politik uang, yaitu - Proses, bentuk, besaran dari kasus-kasus politik uang dalam Pemilu Legislatif; - Aktor atau yang menjadi pelaku yang terlibat ; - Motif terjadinya politik uang, dan akar masalah yang mendorong terjadinya politik uang; - Gagasan masyarakat untuk mengatasi praktik politik uang. Sedangkan Tahap dari model Kemmis dan McTaggart antara lain terdiri a. Pengkajian b. Pengkerangkaan atau reframing c. Rekonstruksi atau reconstructing
22
BAB 4:
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab 4 ini terdiria atas lima sub-bab: yaitu, sejarah kabupaten, geografi, demografi, kondisi sosial-budaya dan politik, dan catatan pelanggaran Pileg yang berkaitan dengan politik uang. Data tentang deskripsi ini dikumpulkan melalui KPU Kabupaten Seluma, Panwas Kabupaten Seluma, dan Dokumentasi Pemda Kabupaten Seluma.
4.1 Sejarah Seluma Kabupaten Seluma adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan pada tahun 2003.Kabupaten induk, Bengkulu Selatan itu terpecah menjadi tiga kabupaten, satu induknya, da nada dua pemekaran, yaitu Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur. Sebagian besar dari sejarah Seluma, akan dibahas dalam konteks sejarah Kabupaten Bengkulu Selatan. Seluma berasal dari kata “Seluman” atau “menghilang”.Asal kata tersebut berkembang dari cerita rakyat Seluma yang diberikan oleh Maharaja Sakti yaitu suami Puteri Gading Cempaka, yang merupakan Raja ketiga dari Kerajaan Sungai Serut Bangkahulu.Ia mendapat sebutan Seluman atau menghilang karena pada saat Maharaja Sakti menyaksikan naga yang membendung sungai di antara dua bukit, yaitu Bukit Campang dan Bukit Lesung; ia menemukan dua butir telur naga tersebut. Kedua telur itu lalu menetas.Dari situlah asal dari legenda Seluma.
4.2 Era Otonomi Daerah Seluma merupakan bagian dari Kabupaten Bengkulu Selatan yang ber-ibukota di Manna. Kabupaten Bengkulu Selatan terbentuk berdasarkan surat keputusan Gubernur Militer Sumatera Selatan Nomor 50/Gb/1952 dengan nama Daerah Swatantra Tingkat II Sumatera Selatan. Kabupaten ini menjadi kabupaten definitif pada tahun 1955,berdasar Undang-Undang Darurat Nomor 4 tahun 1956.Luas wilayah ketika itu adalah 5.949,14 Km2; dan jumlah penduduk sebanya 389.899 jiwa.Wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan gabungan dari bekas tiga Kewedanaan, yaitu Kewedanaan Seluma, Kewedanaan Manna, dan Kewedanaan Kaur. Diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, memupukkeinginan masyarakat bekas Kewedanaan Selumauntuk menjadi kabupaten sendiri, lepas dari Kabupaten Bengkulu Selatan.Cita-cita itu adalah cita-cita seluruh masyarakat daerah Kawedanan Seluma, dan telah lamamemperjuangkannya.Keinginan masyarakat Seluma menjadi Kabupaten merupakan suatu harapan luhur dan impian yang sangat dinantikan menjadi kenyataan. Orde reformasi yang lahir setelah Rezim Orde Baru turun,memberi peluang dan angin segar bagi masyarakat Seluma untuk kembali berjuang untuk memiliki pemerintahan sendiri. Wilayah yang diklaim sebagai daerah Seluma adalah wilayaheks Kewedanaan Seluma.Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang 23
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mempercepat proses pemekaran Kabupaten Seluma itu.Efek Undang-Undang otonomi tersebut, respon masyarakat Kawedanan Seluma yang tampak dari para pemuka dan tokoh masyarakat untuk mengajukan pemekaran Kabupaten sendiri, dan memishkan pemerintahan dari Kabupaten Bengkulu Selatan. Awal perjuangan menuju pemerintahan sendiri di wilayah Kawedanan Seluma itu dimulai pada tanggal 24 November 1999.Saat itu sekelompok masyarakat Seluma mengadakan pertemuan di Hotel Tiara Bengkulu dan bersepakat untuk mendirikan sebuah Kabupaten Otonom baru.Selanjutnya, pada tanggal 15 Januari 2000 terbentuk lahformat timperjuangan bernama Presidium Persiapan Kabupaten Seluma (PPKS). Pertemuan penetapan tim PPKS tersebut dihadiri lengkap oleh tokoh-tokoh masyarakat yang mewakili seluruh kecamatan yang ada dalam wilayah bekas Kewedanaan Seluma. Proposal pemekaran yang disusun oleh Bustan A. Dali selaku konseptor disetujui oleh Ketua Umum PPKS (Iwan N. Aksa) dan ketua bidang Ortalala (Bahrullah Abbas) pada tanggal 23 April 2000.Persetujuan proposal diputuskan dalam forum rapat PPKS, yang selanjutnya disampaikan kepada Bupati dan DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan.Tonggak sejarah perjalanan pembentukan kabupaten baru terjadi pada tanggal 26 Agustus 2000, di mana DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan menerbitkan keputusan DPRD Nomor 35 Tahun 2000 tentang persetujuan rencana pemekaran Kabupaten Bengkulu Selatan. Selanjutnya, Bupati Kabupaten Bengkulu Selatan juga mengeluarkan keputusan Nomor 101 Tahun 2001 tentang pembentukan Tim Pemekaran Kabupaten Bengkulu Selatan. Usulan pemekaran diajukan kepada DPR RI, dan mendapat persetujuan melalui Rancangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten MukoMuko, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur pada tanggal 27 Januari 2003. Selanjutnya, RUU tersebut ditetapkan oleh Presiden Repubik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. 4.3 Geografi Secara geografis, Kabupaten Seluma berada pada titik koordinat 30 – 50 Lintang Selatan dan 102o – 1030 Bujur Timur. Perbatasan dengan Kabupaten lain di kekitarnya adalah sebelah utara dengan Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah selatan dengan Kecamatan Pino Raya Kabupaten Bengkulu Selatan, sebelah timur dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Kepahiang, sebelah barat dengan Samudera Hindia. Topografinya meliputi 42,32 persen terletak pada ketinggian 0-100 m di atas permukaan laut.Sekitar 28,10 persen pada ketinggian 100-500 m di atas permukaan laut.Serta 10,88 persen berada di atas 1000 m permukaan laut.
24
Figur 4.1:
Peta Kabupaten Seluma pada Peta Sumatra
Sumber :https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Seluma
4.4 Aspek Hukum, Politik, dan Sosial Aspek hukum yang dijadikan dasar pemekaran wilayah bekas Kewedanaan Seluma untuk menjadi Kabupaten Seluma antara lain ialah, (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18 ; (2) Surat Edaran MenteriDalam Negeri Republik Indonesia No. 2/2/22 tanggal 22 November 1969, perihal pemekaran daerah ; (3) Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antar Pusat dan Daerah ; (5) PP. Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonom ; (6) PP Nomor 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah ; (7) Keputusan Bupati Bengkulu Selatan Nomor 50 tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Pemekaran Wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan ; (8) Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor 26 tahun 2000 tentang pemekaran Wilayah Kabupaten dalam Provinsi Bengkulu ; (9) Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bengkulu Selatan Nomor 35 tahun 2000 tentang Persetujuan Rencana Pemekaran Wilayah Kabupaten Bengkulu Selatan ; dan (10) Surat Pernyataan Dukungan dari Tokoh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Selatan. Pembentukan Kabupaten Seluma juga mendapat dukungan secara legal-formal dari banyak kalangan, terutama dari segenap lapisan masyarakat bekas Kewedanaan Seluma.Dukungan tersebut merupakan indikator besarnya aspirasi masyarakat yang menuntut adanya pembentukan Kabupaten Seluma.Secara politik, dukungan datang dari:
25
- Partai Golkar Kabupaten Bengkulu Selatan - Partai Kebangkitan Bangsa Bengkulu Selatan, - Partai Persatuan Pembangunan Kabupaten Bengkulu Selatan, - Partai Amanat Nasional Kabupaten Bengkulu Selatan, - Partai Politik Islam Indonesia Masyumi Kabupaten Bengkulu Selatan, - Partai Demokrasi Indonesia Kabupaten Bengkulu Selatan, - Partai Republik Kabupaten Bengkulu Selatan, Secara sosial, dukungan datang dari masyarakat Kecamatan Seluma, Masyarakat Kecamatan Talo, masyarakat kecamatan Semindang Alas, Masyarakat Kecamatan Sukaraja, serta masyarakat etnis Minangkabau yang menetap di Bengkulu Selatan. Pada Pileg tahun 2004, Kabupaten Seluma telah memiliki institusi DPRD. Pada tanggal 31 Agustus 2004 terlah terjadi pelantikan anggota DPRD sebanyak 25 orang; dan selanjutnya dilakukan memilihan Pimpinan DPRD tersebut.Pada tahun 2005 dilakukan Pilkada, dan pada tanggal 3 Agustus 2005 dilantik pula Bupati dan Wakil Bupati terpilih hasil Pilkada tersebut. Instrumen hukum yang mendasari pelantikan tersebut adalah SK Mendagri No. 131.28-520.Kepala Darah Seluma yang baru dilantik tersebut adalah H. Murman Effendi sebagai Bupati dan Drs. H. Bustami, TH sebagai Wakil Bupati. Sebagai Daerah Otonom Baru, Kabupaten Seluma merupakan wilayah yang termasuk ke dalam kategori daerah tertinggal. Indikator kategori ketertinggalan wilayah berkaitan dengan: pertama, daerah isolasi, ini terlihat dengan belum terbukanya desa-desa pedalaman seperti Hulu Sukaraja (Talang Tais dan Padang Capo), Hulu Tumbuan (cawang), Hulu Seluma (Lubuk Resam, Talang Empat, dan Sekalak), Hulu Talo dan Hulu Semidang Alas. Kedua, fasilitas pelayanan publik masih relatif rendah, sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan publik Kabupaten termasuk minimal. Dari 168 desa dan kelurahan yang ada di wilayah Seluma, 95 desa diantaranya masih terisolir atau 56,55 persen. Penduduk Kabupaten Seluma mayoritas adalah etnis Serawai (78%) yang merupakan penduduk asli yang menurt cerita rakyat penduduk setemppat berasal dari Palangkenidai Pagar Alam Sumatera Selatan. Penduduk lainnya berasal dari etnis Jawa, Sunda, Bugis, Bali, Minangkabau, dan batak.Tahun 2007 penduduk Kabupaten Seluma berjumlah 190.696 jiwa yang menyebar di seluruh wilayah.Sedangkan luas Kabupaten Seluma adalah 2.400.044 km2 dengan pemanfaatan ruang 30% berupa hutan lindung. 4.5 Fenomena Politik Uang di Kabupaten Seluma Sama dengan di berbagai wilayah di Indonesia, kasus-kasus pelanggaran politik uang sangat sulit untuk dibuktikan.Ada bukti, bukan berarti kasus bisa diselesaikan secara hukum, sebab tenggang antara menyiapkan bukti dan saksi telah gugur karena kedaluwarsa. Di Kabupaten Seluma, Panwas memiliki 18 catatan kasus laporan/temuan dugaan pelanggaran Pemilu. Sebesar 83,3 persen diantara nya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Caleg pada tahap kampanye.Pelanggaran masa kampanye mayoritas adalah soal 26
politik uang. Sedangkan sebesar 11,1 persen pelanggaran yang dilaporkan dilakukan oleh penyelenggara, yaitu KPU dan PPS pada tahap pemungutan dan perhitungan suara, serta 5,5 persen terlapor adalah Partai Politik yang diduga melanggar saat kampanye. Menurut Panwas, status pelanggaran 61,1 persen pelanggaran pada saat kampanye. Status pelanggaran itu menuju tindak lanjut KPU.Sejulah 11,1 persen pelanggaran kampanye dan status pelanggarannya di identifikasi bukan pelanggaran Pemilu.Kemudian, 11,1 persen pelanggaran kampanye dan status pelanggarannya tindak lanjut ke kepolisian.Serta sejumlah 11,1 persen kasus lainnya pada tahap pemungutan dan perhitungan suara status pelanggaran adalah sengketa Pemilu.Sementara ada satu kasus (5,56 persen) pelanggaran adminsitrasi pada tahap pemungutan dan perhitungan suara, dengan status pelanggaran tidak lanjut DKPP. Data di atas dituangkan dalam bentuk figur, tampak sebagai berikut: Figur 4.2: Pelaku Pelanggaran (Terlapor) di Kabupaten Seluma pada Pileg 2014 Pelaku Pelanggaran
Caleg
Penyelenggara
11%
Parpol
0% 6%
83%
Sumber : Panwas Seluma, 2014
Dari Figur 4.2 tampak bahwa Caleg adalah target yang dimonitor oleh penyelenggara maupun masyarakat; namun dengan munculnya banyak kasus yang terindikasi politik uang – menunjukkan bahwa transaksi selama Pileg adalah misteri – ia ada tetapi sulit dibuktikan. Sebagian dari dugaan pelanggara, setelah disusun dalam bentuk laporan dan dipelajaroi, maka hanya 22 persen saja yang merupakan pelanggaran pidana.Sisanya masuk kategori pelanggaran administrasi.Dengan masuknya kasus ke kategori pelanggaran administrasi, maka tindak lanjut penyelesaian adalah ke KPU. Lihat figure 4.3 di bawah ini.
27
Figur 4.3:
Dugaan Pelanggaran di kabupaten Seluma pada Pileg 2014
22% Pidana Administrasi 78%
Sumber : Panwas Seluma, 2014
Figur 4.4 menunjukkan bahwa lokus yang paling kritis terjadi pelanggaran adalah masa kampanye.Aktivitas politik uang, apapun bentuknya juga paling banyak terjadi pada masa kampanye ini. Transaksi suara serta bentuk pelanggaran politik uang ada di area ini, karena antara Caleg dan tim kemenangan/sukses sangat konteks untuk melakukan transaksi.Bagi pemilih, saat ini pula suara mereka punya daya tawar.Walau banyak cerita mengenai praktik politik uang saat pemungutan dan perhitungan suara, kemungkinan itu hanya kecil dari catatan Panwas. Figur 4.4:
Identifikasi Lokus Kasus Pelanggaran Tahapan
Kampanye
Pemungutan dan Perhitungan suara
17%
83%
Sumber : Panwas Seluma, 2014
28
Hasil investigasi Panwas, tidak seluruhnya masuk ke tindak lanjut ke Kepolisian, meski itu masalah politik uang.Figur 4.5 di banwah ini menujukkan bahwa mayoritas kasus masuk status tindak lanjut KPU. Figur 4.5:
Status Pelanggaran yang Ditetapkan Panwas 12 10 8 6 4 2 0
11 2
2
2
1
Status Sumber : Panwas Seluma, 2014
Tabel 4.1: Laporan Dana Kampanye Partai Politik Peserta Pemilu Kabupaten Seluma, Pemilu Legislatif 2014 No
Partai Politik
Penerimaan (Rp)
Pengeluaran (Rp)
Periode
1
PBB
NIHIL
NIHIL
2014
2
PAN
234,381,335
122,324,850
3 Maret- 24 April 2014
PKPI
112,000,000
111,220,000
PDI-P
94,355,200
94,355,200
31 Maret- 17 April 2014 11 Januari 2013 -17 April 2014 1Maret 2014 -17 April 2014
3
DEMOKRAT
5
NASDEM
7
GERINDRA
9
PPP
4 6 8 10 11
PKB PKS
GOLKAR
50,000
30,702,518 54,526,056 80,000,000 8,000,000
103,000,000 112,389,200
-
29,775,000 50,475,000 80,000,000 3,900,000
102,700,000 112,389,200
2014
3 Maret - 5 April 2014 11 Januari 2013 -17 April 2014 -
1 Maret 2014 -17 April 2014 28 Februari- 5 April 2014
Lap. Tanggal
28 November 2013 24 April 2014 28 Februari 2014 17 April 2014 17 April 2014 21 April 2014 21 April 2014 21 April 2014 26 Desember 2013 23 April 2014 -
Sumber : Model DK9 & DK10- PARPOL. Hasil Audit Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Legislatif 2014 Kab. Seluma
29
Banyak kasus politik uang dikaitkan dengan dana kampanye. Lohika itu benar, apabila manajemen kampanye dari para Caleg di jalankan oleh Partai Politik. Kenyataannya hamper semua Caleg mengelola dana kampanyenya sendiri. Maka, yang bisa dilakukan untuk melihat politik uang oleh Partai adalah dana kampanye. Meski hal ini mejadi misleading. Setidaknya data tentang dana kampanye Parpol dipakai sebagai indikator balance antara kegiatan mereka dengan pelaporan penggalangan finansial oleh Partai.
30
BAB 5:
ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL
Isu penelitian di Kabupaten Seluma bertema sama dengan isu yang diangkat pada penelitian di , yaitu Politik Uang atau Money Politics (MP). Data primer yang dipakai ddalam studi ini dikumpulkan melalui sebuah FGD.1 Riset ini merupakan salah satu tema riset nasional yang dilakukan oleh KPU tentang “Partisipasi Politik”. Dimana setiap Kabupaten/kota perlu terlibat dalam penelitian dengan tema besar partisipasi politik tersebut. Ada 5 topik yang diangkat yaitu, kehadiran dan ketidak hadiran pemilih, perilaku pemilih, sukarelawan dalam pemilu, dan yang terakhir adalah politik uang. Kabupaten Seluma mendapatkan topik MP. Tema MP sangat penting untuk dikaji karena kita dapat melihat selama hampir 15 tahun setelah reformasi, progres atau kemajuan pemilihan umum sangat terlihat.Sebelum reformasi orang-orang harus memilih namun berada dibawah tekanan.Saat ini para pemilih sudah semakin punya pengalaman bahwa pemilu merupakan tanggung jawab semua pihak sehingga muncul kegembiraan-kegembiraan dalam menyambut Pemilu. Namun, tidak hanya respon-respon yang positif saja yang muncul tapi juga muncul hal-hal negatif yang tidak dapat dihindari. Salah satunya adalah praktik MP.Banyak sekali kasus-kasus politik uang yang terjadi di masyarakat baik sebelum Pemilu berlangsung maupun saat pencoblosan. Hal ini turut membayangi keberhasilan maupun ketidaberhasilan Pemilu baik ditingkat daerah maupun tingkat nasional. Untuk itulah studi ini dilakukan, bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk MP, besaran MP, akar masalah Mp, dampak MP,serta proses terjadinya, serta lokus MP biasa terjadi. Ada 23 orang narasumber yang hadir pada FGD, terdiri dari berbagai unsur: komisioner KPU Kabupaten Seluma, Caleg yang tidak terpilih, LSM setempat, utusan / pengurus Partai Politik, personel Polresta Seluma yang ikut sebagai anggota Gakumdu pada Pileg 2014, pengusaha setempat, kelompok marginal/miskin, jurnalis setempat, mantan tim sukses, tokoh masyarakat, pemilih pemula, dan Panwas pada Pileg 2014. Hasil dari FGD, dipergunakan untuk analisis tiga tahap: yaitu pengkajian, framing dan reframing, serta rekonstruksi. Pada intinya, hal-hal yang di analisisdari data FGD dan data sekunder ini adalah kajian dan framing mengenai pengetahuan dari konsep MP, bagaimana terjadinya MP, di mana lokus terjadinya. Proses reframing terjadi pada makna MP, bentuk MP, besaran MP, lokus MP, serta peta MP.Sedangkan rekonstruksi, pada dasarnya adalah usaha membangun kembali Pileg yang lebih baik, bagaimana solusi yang memungkinkan semua pihak terlibat untuk mengatasi MP. Agar kondisi politik dan demokrasiIndonesia ke depan bebas MP. 1FGD
dilaksanakan di ruang pertemuan Hotel Arnanda Tais pada Sabtu, 13 Juni 2015. Semula, FGD dijadwalkan akan dimulai pada pukul 10.00 WIB namun baru bisa dimulai pukul 11.00 WIB karena perjalanan yang cukup memakan waktu dari Bengkulu ke Seluma, tim peneliti baru tiba di Hotel Arnanda pukul 10.30 WIB dan sesampainya di sana juga masih menunggu para narasumber yang belum hadir.
31
5.1 Kajian dan Framing Isu MP
a. KajianKonsep MP Peserta FGD dengan antusias merumuskan pengetahuan, pengalaman dan pemaknaan tentang MP. Proses itu sangatlah menarik, karena semua partisipan, baik itu para komisioner KPU Kabupaten Seluma, Caleg yang tidak terpilih, LSM setempat, utusan / pengurus Partai Politik, personel Polresta Seluma yang pernah bertugas di Gakumdu pada Pileg 2014, jurnalis setempat, mantan tim sukses, maupun tokoh masyarakat, sama-sama menyetujui bahwa MP itu ada. Fenomena penelusuran MP menarik, karena siapapun dan apapun latar belakang narasumber, keyakinan tentang praktik MP cukup memberi gambaran pada studi ini bahwa “misteri” dari MP itu ada pada tangan banyak orang; misteri itu menjadi pengetahuan dan pengalaman banyak orang. Memang ada beberapa hal yang membedakan pengetahuan mereka tentang MP, karena bentuk MP makin lama makin beragam. Di samping merespon ancaman pelanggaran, MP juga merespon kebutuhan transaksi, termasuk besaran MP berbentu vote buying dan vote selling. MP itu ada … berkembang anekdot dalam masyarakat yang menyebut MP dengan “wanipiro”. Ada istilah lain, yaitu NPWP (nomer piro wani piro). Caleg bayangan pun menggunakan money politik, namun biasanya dibiayai oleh orang yang punya uang. Sumbernya bisa juga dari pihak luar.
Temuan diskusi FGD tentang asal terjadinya MP disajikan dalam Figur 5.1 berikut: Figur5.1:
Terjadinya Politik Uang
Menghalalkan segala cara
Caleg khawatir tidak terpilih Terjadinya politik uang
Banyak tim menyusup ke penyelenggara di TPS
Mbaun cabe/ Biasa terjadi
Sumber: FGD Juni 2015
32
Berdasar eksplorasi, ditemukan ada empat pokok ide yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan terjadinya MP. Pertama, banyak Caleg yang tidak berpengalaman dalam politik, banyak pendatang baru, persaingan antar Caleg di internal Parpol maupun antar Parpol sangat ketat, menghadapi komunitas pemilih yang pragmatis – semua alasan tadi sesungguhnya menggambarkan bahwa Caleg khawatir tidak terpilih sebagai wakil rakyat.Persoalan kompetisi yang dilakukan oleh Caleg bukan pada esensi perwakilan, dan fungsi legislatif - persoalan mendasarnya adalah ketakutan Caleg tidak terpilih. Kedua, sebagian orang yang terlibat MP dan Caleg yang tidak siap kalah percaya bahwa dalam politik berlaku prinsip “menghalalkan segala cara”. Dalil itu mereduksi framing demokrasi dan hak politik rakyat. Peserta FGD menangkap fenomena adanya legitimasi atas praktik MP; MP sebagai manifestasi dari konsekuensi permainan politik dan absah adanya. Ketiga, tren penyusupan tim pemenangan atau tim sukses ke dalam institusi penyelenggara, terutama di TPS merupakan temuan penting. Kalau ada kasus-kasus seperti ini, maka masyarakat makin tidak respek dan kehilangan kepercayaan kepada penyelenggara. Dengan kata lain Pileg menjadi mekanisme perwakilan yang mulai kehilangan arah. Keempat, masyarakat menyebut MP sebagai mbaun cabe, ini adalah istilah setempat/lokal untuk menyebut fenomena sosial yang sering terjadi dalam masyarakat. Framing masayarakat tentang konsep M sebagai perilaku social yang biasa terjadi perlu studi yang lebih mendalam. Sebab indikasi MP sebagai mbaun cabe adalah perilaku yang sangat biasa terjadi – maka framing MP adalah bagian dari budaya. Framingterjadinya money politics
Untuk mencalonkan diri caleg harus ada uangnya dulu untuk menarik perhatian pemilih
- Orang Seluma biasa menyebut MP dengan “Mbaun cabe” yaitu sudah sangat biasa terjadi di Seluma. - Caleg untuk tingkat Kabupaten, memberi uang lebih banyak dari Caleg di tingkat lainnya; karena persaingan di daerah lebih besar, sehingga kekhawatiran untuk kalah lebih besar. - Caleg memberikan uang kepada pemilih melalui relawan, keluarga, orang dekat. - Kesulitan untuk melacak kasus politik uang adalah hukum kita sendiri. MP sudah menjalar di seluruh Kabupaten Seluma.
Box framing di atas menjadi simpulan dari terjadinya MP di Kabupaten Seluma dari sudut pandang para peserta yang hadir pada FGD. Catatannya adalah bahwa peserta FGD dari studi ini sangat beragam dan di dalam FGD telah terjadi dialog dan sharing informasi. 33
b. Framing untuk konsep Pemilih Framingterjadinya pemilih dalam konteks pembahasan money politics. Ada fenomena sosiologis yang menarik dalam FGD, di mana tanpa diminta beberapa peserta, terutama jurnalis, LSM setempat, dan tokoh masyarakat, mengemukakan tentang “siapa” itu pemilih. Itu mencerminkan bahwa masyarakat belajar dari pengalaman perkembangan masalah MP, dan merekaberhasil menyusun kerangka pikir tentang “kategori” pemilh dalam Ada dua perspektif tentang pemilih: 1. Kelompok muda dan progresif berpendpat bahwa: - Pemilih ada lima kategori: tradisional, cerdas, pragmatis, apatis, cerdas sekaligus pragmatis. Pemilih cerdas tidak bisa dipengaruhi, sangat sulit untuk membeli suara kelompok cerdas. Karena ia memiliki kesadaran yang tinggi mengenai relevansi pemilu dengan kredibilitas caleg. Sedangkan pemilih pragmatis adalah yang jelas melakukan MP, bahkan melakukan penawaran suara. Pemilih cerdas dan pragmatis menjadikan caleg sebagai ATM. 2. Tokoh masyarakat dan Parpol menyebutkan bahwa pemilih dapat dikategorikan menjasitiga tipe: pemilih tradisional (MP nya berupa uang), pemilih professional (tidak mudah dipengaruhi),dan pemilih emosional (menjadi Caleg “bayangan”, biasanya menerima janji dari Caleg). Kategorisasi pemilih tersebut terjadi karena tingkat ekonomi dan pendidikan
c. FramingBentuk MP di lapangan pada Pileg 2014: Bentuk MP di Indonesia, khususnya di lokasi penelitian – memiliki perbedaan dan keunikan dalam masalah ini. Secara teoritis, yang jamak terjadi, adalah vote buying; tetapi seperti disebutkan oleh Dal Bo (2007), politik uang di Indonesia cenderung berupa trade off di mana terjadi vote buying bersamaan dengan vote selling. Pragmatisme yang melahirkan MP juga tampak pada masyarakat lain di Bengkulu. Studi political turnout, literasi politik, political behavior, dan political voluntarism selalu muncul dan terungkap persoalan MP dalam artian trade off.2 Hal ini menunjukkan bahwa studi partisipasi politik mendapat tantangan dari isu MP. Mulai dari tingkat kehadiran pemilih ke TPS ada kendala penting dari adanya ancaman praktik politik uang. Literasi politik ternyata juga dikontrol oleh MP, sehingga banyak komunitas yang terlibat MP walaupun mereka juga mengikuti berbagai sosialisasi dari penyelenggara atau kelompok masyarakat sipil. Dalam perilaku politik, praktik MP jelas berpengaruh terhadap pilihan pemilih, di mana unsur vote buying menjadi dasar dari pilihan politik. Praktik MP, mewarnai pertumbuhan kesukarelaan politik. Kesukarelaan politik Penelitian yang disebutkan di atas, adalah penelitian bertema besar partisipasi politik yang dilakukan di Sembilan Kabupaten dan Kota di Propinsi Bengkulu antara Mei – Agustus 2015. 2
34
bertumbuh ketika literasi politik membaik – sementara perkabngan literasi politik tercemar oleh MP; sehingga kesukarelaan politik relatif rendah, dan tidak merata. Box berikut menggambarkan proses kerangka MP oleh para peserta FGD dalam studi politik uang ini: Dokumentasi hasil dialog pada FGD tentang bentuk MP: - MP sudah membudaya atau menjadi fenomena, bentuknya seperti uang dan barang serta janji-janji politik, seperti janji memberikan kedudukan tertentu. - Bentuk uang dan barang yang dijanjikan bertujuan untuk mempengaruhi pemilih. Bisa disebut sebagai membeli suara. - Terjadinya MP karena ada unsur yaitu pra money politic (calon) tidak berani bertarung terbuka. Berupa uang, barang, dan janji. - Menawarkan program pemerintah kepada pemilih. - MP tidak memandang tempat baik di desa maupun kota, terjadi secara seimbang. - Kalau di perkotaan bentuknya uang cash - Di perdesaan selain uang yaitu barang. Bentuk barang misalnya: kain, jilbab, barang pecah belah, alat dapur, kostum olah raga, bola, seragam organisasi. Barang biasanya di bagi melalui tim. - Bentuk lain dari MP adalah ancaman atau premanisme (jika kamu tidak memilih si A, maka kasus kamu akan saya angkat ke pengadilan). Kasus yang dijadikan bahan ancaman, biasanya sudah direkayasa. Pemilih dengan potensi membawa massa dijebak, misalnya diajak ke tempat hiburan malam agar Caleg dan tim ada bahan untuk mengintimidasi pemilih. Bentuk rekayasa, jika menyangkut anak muda - di beri miras. Kasus miras inilah nanti dipakai sebagai bahan intimidasi untuk memilih, dan mencarikan suara untuk Caleg tertentu. - Di samping bentuk MP yang inisiasinya berasal dari pihak Caleg; bentuk MP juga ada yang berasal dari pihak pemilih. Pemilih meminta “buah tangan” dari Caleg. Karena Caleg adalah pihak yang perlu suara.
Sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian, studi ini ingin menggambarkan praktik politik uang dalam Pileg 2014. Peserta FGD percaya bahwa politik uang bukan mitos. MP menjadi misteri terbangun oleh akar persoalan instrumen hukum; sebagaimana disebutkan berkali-kali oleh peserta FGD bahwa kelemahan membuktikan kebenaran kasus MP adalah waktu yang ditentukan dalam regulasi untuk penyelesaiannya. Orang yang sudah tertangkap melakukan transaksi suara, dan diproses hukum, bisa “menghilang” sampai dengan kasusnya kedaluwarsa, hingga perkaranya gugur demi hukum. Maka, rakyat juga tahu betapa sulit menangani masalah MP. Transaksi suara, apakah itu vote buying atau vote selling, yang mana keduanya termasuk trade off ,3 terjadi di ruang-ruang privat melalui relawan. Misteri transaksi bukan hanya soal bukti transaksi, tetapi besaran transaksi juga misteri bagi semua pihak, 3
Fenomena ini sama dengan yang terjadi di Kabupaten Bengkulu tengah.
35
termasuk Caleg , pemilih punya batas informasi tentsng besaran. Sebab relawan atau “calo” yang menentukan. Masyarakat mengetahui bahwa kasus MP tidak berlanjut kemana-mana. Salah satu sebabnya adalah bila diproses lebih lanjut, banyak pihak yang tersangkut. Pembiaran di dalam konteks misteri bisa jadi bukan kebetulan, melainkan upaya sistemik. Temuan lapangan ini dilengkapi dengan pengakuan peserta FGD bahwa pihak yang membuka kasus tidak mudah. Biasanya yang membuka kasus mendapat ancaman, atau ditutup mulut. Kalau pembuka kasus dilindungi dan diberi reward atas prestasi keberaniannya, barangkali misteri akan terungkap. Panwas adalah pihak yang banyak dipertanyakan efektivitas kerjanya oleh masyarakat. lembaga yang diharapkan dapat melindungi Pileg dari praktik kotor MP, nyatanya kemampuannya terbatas, dan banyak mendapat “tantangan” dari pelaku MP. Wilayah pelosok atau pinggiran menjadi target utama MP. Berikut adalah figur misteri MP dari hasil FGD: Figur 5.2:
MisteriPolitik Uang
Efektivitas kerja Panwas Transaksi melalui relawan secara privat
Sumber: FGD Juni 2015.
Instrumen hukum lemah soal waktu -Substansi -Penegakan
Misteri Politik Uang
Kalau diproses hukum, semua kena
- Ancaman <5tahun hukuman - Pelaku tidak bisa ditahan - Kadaluwarsa Tidak ada reward untuk yang membuka kasus
36
Jurnalis: Caleg tidak mendapat kursi
Komisioner KPU Tokoh masyarakat
MP nyata dilakukan. Pemilih menunggu orang yang akan memberi mereka uang baru mereka akan memilih. Tidak ada sangkut paut antara pemilih dengan caleg, yang memiliki hubungan adalah antara pemilih dengan orang yang memberi uang. Secara real MP pasti terjadi, namun belum bisa dibuktikan secara empiris. Contohnya serangan fajar MP nyata. Calo biasanya pergi menyebarkan uang sehabis magrib kepada para warga dirumah.
Uang banyak pasti menang. Terjadinya dari pengkaderan di parpol. Kaderisasi dari parpol harus lebih baik dan lebih berkualitas. Parpol biasanya memilih calon yang memiliki uang. Bahkan bukan orang yang dari kader parpol itu sendiri walaupun kader terbaik parpol.
d. Peta TransaksiSuara Studi ini berhasil menyusun peta transaksi suara berdasarkan pengalaman para peserta FGD, baik dari pengalaman melihat langsung dan informasi yang beredar pada masyarakat. Hasil berbagi pengalaman tersebut dapat di tuangkan dalam figur berikut: Figur 5.3: Peta Transaksi Suara
Caleg - Parpol
Tim Sukses: - Bikin Peta atau “Plot” pemilih
-
Pemilih Tradisipnal Cerdas Apatis Pragmatis Cerdas dan Pragmatis
“Relawan” dari Caleg: - Keluarga - Orang dekat Dalam MP, mereka bertugas sebagai pendistribusi; - Tidak formal - Tidak bisa dilacak – terutama dalam besaran transaksi Pemilih minta oleh-oleh kepada “Relawan” “Calo” – menawarkan suata kepada Caleg. Pemilih datang kerumah Caleg waktu magrib atau malam, menawarkan sejumlah suara. Mereka iniah yang disebut “Calo”
37
e. Framing Besaran Transaksi Suara Besaran transaksi suara tetap menjadi misteri; berapa jumlah nominalnya bervariasi dan begantung pada pengaturan oleh “calo”. Di Seluma, nominal transaksi yang disebutkan oleh peserta FGD cukup besar. Dibandingkan dengan kasus MP di Kabupaten , besaran Mp di Kabupaten Seluma mencapai 3 – 5 kalinya; matriks di bawah memperlihatkan nominal besaran tersebut. Informasi para narasumber. Lokasi praktik transaksi kebanyakan di daerah pelosok; alasannya pengawasan lebih longgar. Menurut masyarakat, MP belum akan mereda paska Pileg 2014. Sebagian masyarakat menyebutkan bahwa Pileg 2014 adalah Pemilu yang paling parah MP. Habasa mereka seperti menunjukkan pesimis masayarkat tentang praktik MP. Polisi
Aktivis LSM
-
Caleg propinsi biasanya satu paket antara partai dan caleg. Jumlahnya 200250 ribu per kepala. Paling banyak terjadi di daerah pelosok karena pengawasannya lebih longgar. Selain itu MP juga berlaku meski ada hubungan keluarga dan kekerabatan, tidak peduli mereka keluarga, suara harus tetap dibeli dengan harga yang sama.
- Caleg nasional biasanya memberi uang jumlahnya lebih kecil. Sedangkan caleg kabupaten lebih besar jumlahnya. - Pemilih memilih Caleg yang memberi uang paling besar. Kalau di level lapangan bisa sampai 400-450ribu per orang. - Hukum tidak tegas karena pemimpin yang menang karena money politik tidak ada yang gugur. - Caleg yang memiliki uang bisa naik memiliki kedudukan. Pemilu 2014 adalah pemilu yang paling parah, untuk tahun-tahun yang akan datang kemungkinan akan lebih parah. - Dari tahun ke tahun pemilu semakin parah. Di mulai dari tahun 2004 setelah reformasi.
Ada perbedaan besaran politik uang dan transaksi suara dari Caleg tingkat nasional, provinsi, dan Kabupaten/Kota. Informasi berdasarkan pengalaman dari peserta FGD yang sudah mengikuti Pileg tahun 2014 (juga tahun-tahun sebelumnya), bahwa Caleg ke DPR tingkat nasional lebih sedikit main uang. Sementara Caleg untuk tingkat provinsi kecil sampai sedang; dan yang paling besar main pilitik uang adalah Caleg lokal. Menurut pengalaman peserta, persaingan di tingkat lokal/Dapil sangat ketat. Sehingga para Caleg sangat mudah tersulut kepanikan dan berinisiatif melakukan transaksi suara. Ungkapan partisipan FGD tentang hukum yang tidak tegas dalam menyelesaikan masalah MP, menjadikan sikap masyarakat makin permisif terhadap MP. Mereka sangat tahu bahwa resiko dari praktik MP, dan memenangkan kandidat yang melakukan MP - menghasilkanseorang pemimpin yang menang karena curang, dan money politics. Proses itu disebut sebagai proses framing. Melalui pembentukan pengetahuan yang sama terjadi reframing tentang prinsip perwakilan dan kepemimpinan, yaitu Caleg / pemimpin yang memiliki uang bisa naik dan memiliki kedudukan. 38
Pemilu 2014 adalah pemilu yang paling parah, dan ada kekhawatiran untuk tahun-tahun yang akan datang.
-
f. DampakMP Framing dampakyang dipikirkan oleh peserta FGD antara lain: Dengan terpilihnya pemimpin yang kurang berkualitas, maka selama satu periode masyarakat tidak bisa merasakan kepemimpinan yang berkualitas. Mereka cenderung menduduki jabatan untuk mengembalikan uang yang telah meraka keluarkan ketika kampanye. Artinya konsentrasi kerjanya hanya untuk mengembalikan uang. Jiwa patriotisme nya sudah hilang Dampakyang sangat buruk bagi pola pikir masyarakat, hanya memikirkan untuk mendapat uang dalam transaksi suara. Selebihnya, masyarakat menjadi apatis. Sistem politik memburuk Politik uang menjadi “budaya” dalam masyarakat Muncul berbagai kritik terhadap praktik MP, pada saat yang sama tidak bisa menghindari MP: “Ada uang …orang berani mencaleg … tidak punya uang orang tidak bisa jadi Caleg”
g. Tantangan Reframing Keinginan banyak pihak untuk mengakhiri praktik kotor MP muncul. Kepolisian dan tim pengawasan lainnya mengaku ingin MP tidak muncul pada Pemilu, khususnya pada Pileg. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa selain tren moralitas yang berkembang ke arah mem“budaya”kan MP, instrumen hukum yang dijadikan dasar kerja mencegah dan memproses MP tida cukup memadai lagi. Praktik Mp di lapangan berkembang pesat dan inovatif – tidak cukup cepat direspon oleh instrumen hukum politik.
Polisi: kesulitan-kesulitan untuk menyidik kasus politik uang adalah dikarenakan oleh ancaman hukuman yang lemah tidak ada yang lebih dari 5 tahun, dan tidak ada undang-undang yang mengatur tentang penahanan atau penangkapan. Masa penyidikan kadaluarsa dalam 14hari, itu waktu yang terlalu singkat, sehingga caleg bisa lari dan perkaranya menjadi hilang tidak bisa diselidiki lagi. Aktivis: money politics sudah dipetakan oleh tim-tim dari caleg. Pelaksanaan pemberian uang adalah satu hari sebelum pemilihan. Bukti-bukti ada banyak namun sangat sulit untuk mengungkapnya. Masyarakat walaupun sudah diberi uang belum tentu memilih caleg tersebut. Masyarakat bisa menerima semua uang dari semua caleg namun tetap memilih yang ada dihati nurani mereka.
39
5.2 RekonstruksiPolitik Uang Rekonstruksi dalam studi ini adalah rekomendasi dari peserta FGD untuk merespon MP di masa datang. Rekonstruksi yang disususn oleh para peserta FGD sebenarnya merupakan optimisme dari pengalaman buruk MP di masa Pileg 2014 lalu, berupa rekomendasi: Kepada Partai Politik Kepada Caleg
- Melakukan kaderisasi lebih baik - Suara terbanyak mesti diutamakan diberikan kepada kader -
Apa yang bisa dilakukan oleh Penyelenggara
-
Yang bisa dilakukan oleh tokoh masyarakat
-
Kontribusi LSM
Tugas Media
Kepada pemilih – terutama pemula
Mengetahui isu kritis Dapil Merawat integritas internal Partai Meningkatkan intelektual secara berkelanjutan Meningkatkan kualitas pribadi Menggali pamor –sebab pemimpin perlu punya pamor Memiliki modal sosial Menghimpun dana untuk biaya kampanye beserta akuntabilitas publik nya
Memasukkan kepemiluan dalam kurikulum sekolah Meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan pemilih Melakukan pengawasan Melakukan revisi UU (terutama tentag masa kedaluwarsa/waktu) - Mengikuti aturan lain yang bersih dan fair - Perbaikan rekrutmen partai
Mendesak Partai untuk membina kader dengan serius Sosialisasi kepada Partai Politik Meninjau ulang regulasi Mendesak Panwas dan Gakumdu aktif dan efektif dalam bekerja - Mendesak pemeirntah memberi hadiah kepada masyarakat yang dapt membongkar MP, penyelenggara yang bersaih dan baik - Mendorong Parpol mengikatkan perannya - Mendorong Parpol untuk melakukan perubahan internal, sehingga menjadi partai kader - Ikut serta melakukan sosialisasi dan menjadi bagian dalam membangun literasi politik -
Melakukan pengawasan terhadap Caleg dan pemilih Melakukan pengawalan aktivitas penyelenggara Tolak politik uang Untuk yang pemilih miskin, negara memberi kompensasi uang transportasi ke TPS
40
BAB 6:
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Tujuan studi ini adalah untuk mengidentifikasi proses terjadi politik uang dalam proses Pemilu Legislatif, termasuk bentuk, besaran, danpeta, serta pelaku. Proses identifikasi tersebut juga merupakan proses framing dan reframing, seperti yang dimandatkan pada alur metode. Selain itu, studi ini dilakukan untuk mengetahui akar masalah yang Mendorong terjadinya politik uang. Lokus praktik politik uang merupakan hal yang juga menjadi tujuan penelitian ini. Sebagai hal akhir yang penting dari studi ini adalah menggali gagasan masyarakat untuk menyusun rekonstruksi mengatasi praktik politik uang. Penyusunan rekonstruksi menjadi bagian penting dari rekomendasi. Identifikasi bentuk MP dan framing dari bentuk MP tersebut – bentuk politik uang di Seluma tercatat lebih bervariasi dibanding dengan bentuk politik uang di Kabupaten Seluma. Ada carian MP yang bernuansa kekerasan, lebih dari substansivote buying. Beberapa kasus sangat terencana dan sistematis melalui intimidasi. Ada yang bentuknya menjebak orang-orang potensial, seperti tokoh, orang yang punya reputasi, dan punya massa. Mereka dijebak dengan kasus pelacuran dan miras. Setelah berhasil dijebak, demi nama baik, mereka didesak untuk bekerja untuk Caleg tertentu; mereka ahrus “membayar” dengan menyediakan suara. Calo semacam ini makin marak di Seluma. Anak-anak muda sebagai pemilih pemula juga kena jabakan semacam ini. Framing yang terbentuk pada MP, bukan hanya trade off biasa, melainkan mengandung praktik kotor pemerasan, intimidasi, dan ancaman pencemaran nama baik. Dari sudut besaran, berdasar pengakuan atas pengalaman di lapangan dari para peserta FGD, besaran MP makin tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari kasus yang terungkap di Kabupaten Seluma. Kisaran besaran MP mencapai Rp 200/250ribu sampai dengan Rp. 300/400ribu. Besaran ini ada perbedaan antara Caleg tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten. Tingkat Kabupaten ternyata jauh lebih besar dari pada mereka yang mencalon di tingkat Provinsi dan Nasional. Mengapa? Karena persaingan antar Caleg sangat ketat; persaingan ini lah yang menjadi penyebab munculnya MP. Lokus MP – kantong praktik MP di perdesaan dan tempat-tempat terpencil, mereka tumbuh subur, karena tidak ada pengawasan yang memadai. Kawasan terpencil juga memiliki penduduk yang relative miskin, sehingga permainan uang lebih mudah terjadi. Calo-calo yang melakukan tawar-menawar dengan Caleg, mereka bermain di daerah perdesaan – karena trade off di sana lebih mudah dijalankan. Peta politik uang – identifikasi peta MP sangat menarik, karena peserta FGD berhasil menyusun framing tentang proses, relasi Caleg dan pemilih, serta membuat kerangka siapa para pemilih. Identitas pemilih itu muncul berkaitan dengan respon mereka terhadap trade off. Kategori mereka mulai dari kelompok yang tidak terpengaruh oleh MP, sampai dengan kelompok yang bermain dan
aktif menjalankan trade off padasaat Pileg. Rekayasa MP yang muncul pada pemetaan menunjukkan bahwa tantangan terbesar terjadi ketika memikirkan solusi menurunkan MP. Akar MP – yang paling awal disebut bermain MP adalah Caleg, yaitu Caleg yang tidak siap kalah. Proses kaderisasi parpol di daerah yang tidak memadai dan berkembangnya Caleg non kader menjadi salah satu penyebab penting dari munculnya MP di lapangan. Para Caleg non kader ini hanya mau “duduk” di Parlemen, bukankader yang merebut kursi untuk menjalankan visi dan misi politik dari Parpol. Rekonstruksi yang berhasil di susun oleh peserta lebih terinci, di sana ada suatu kondisi solusi yang menyeluruh. Artinya banyak pihak perlu bekerja secara bekelanjutan untuk menekan terjadinya MP. Gagasan itu menunjukkan implikasi bahwa penyelesaian MP bukan hanya urusan Panwas, Gakumdudan KPU, serta penyelenggara – jalan keluar yang perlu dijalankan adalah keikut sertaan pihak public lainnya. Lembaga public itu adalah lembaga adat setempat dan tokohnya, organisasi masyarakat sipil setempat, media, dan pemilih. Asumsinya, di tingkat nasional, juga dilakukan upaya serius dalam merespon MP; dimulai dengan revisi instrument hukumnya, di mana secara teknis masa kedaluwarsa menjadi alasan utama penegakkan di lapangan.
REFERENSI Apollonio, D. E. and Raymond J. La Raja 2004, “Who Gave Soft Money? The Effect of Interest Group Resources on Political Contributions “, The Journal of Politics, Vol. 66, No. 4 (November 2004), pp. 1134-1154 University of Chicago Press on behalf of the Southern Political Science Association Asia News Monitor [Bangkok] 29 Jan 2010, “Indonesia: Government should make breakthrough in money politics prevention”, Thai News Service Group Jan 29, 2010, Bangkok, Thailand Asia+News+Monitor/$N/656306/DocView/1240666963/fulltext/2AE6F12 C735D4D96PQ/14?accountid=49069 Cresswell, John W., 2010, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Dal Bó, Ernesto 2007, “Bribing Voters”, American Journal of Political Science, Vol. 51, No. 4, October 2007, pp. 789-803, Published by: Midwest Political Science Association. Published by: Midwest Political Science Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/4620100. Accessed: 10-05-2015 13:54 UTC Hendrastiti, Titiek Kartika dan Wahyu Widiastuti, 2015, “Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voters Turn Out) Pada Pemilu Legislatif 2014”, KPU Kota Bengkulu, Bengkulu. Hendrastiti, Titiek Kartika dan Wahyu Widiastuti, 2015, “Literasi Politik: Konseo, Reframing, dan Rekonstruksi Pada Pemilu Legislatif 2014 Kabupaten Kepaniang”, KPU Kabupaten Kepahiang, Kepahiang. Hendrastiti, Titiek Kartika dan Wahyu Widiastuti, 2015, “Identifikasi Praktik Politik Uang Pada Pemilu Legislatif 2014 Kabupaten Bengkulu Tengah”, KPU Kabupaten Bengkulu Tengah, Kembang Seri. Krumholz, Sheila 2013, “Campaign Cash and Corruption: Money in Politics, PostCitizens United”, Social Research, suppl. Special Issue: Corruption, Accountability, and Transparency 80.4 , Copyright New School for Social Research, Graduate Faculty, Johns Hopkins University Press, New York, Winter 2013, pp. 1119-1134,1322. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/10.1111/j.00223816.2004.00293.x . Accessed: 10/05/2015 09:29 Neuman, W Laurence, 2006, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 6th edition, Pearson, Boston, New York, San Francisco. Yaumi, Muhammad, Muljono Damopaolli, 2014, Action Research: Teori, Model, dan Aplikasi, Kencana Pranadamedia Group, Jakarta Publikasi KPU Kabupaten Seluma, 2014 Panwas Kabupaten Seluma, 2015 Pemerintah Daerah Kabupaten Seluma, 2009
Koran Online: Republika, Politik Uang Dominasi Pelanggaran Pemilu 2014 http://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/05/11/n5etiapolitik-uang-dominasi-pelanggaran-pemilu-2014. Minggu, 11 Mei 2014, 19:32 WIB DetikMinggu 11 May 2014, 18:35 WIB Money Politics, Pelanggaran Paling Banyak di Pileg 2014 http://news.detik.com/berita/2579488/money-politics-pelanggaran-palingbanyak-di-pileg-2014 Peta Seluma, https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten Seluma