ANALISIS CAMPURAN SPEKTRAL SECARA LINIER (LSMA) CITRA TERRA MODIS UNTUK KAJIAN ESTIMASI LIMPASAN PERMUKAAN (Studi Kasus Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya) Tesis Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Penginderaan Jauh
diajukan oleh
ABDUR RAHMAN 08/276128/PGE/00753
Kepada PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010
ANALISIS LINEAR SPEKTRAL CAMPURAN (LSMA) CITRA TERRA MODIS UNTUK KAJIAN ESTIMASI LIMPASAN PERMUKAAN (Studi Kasus Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya)
INTISARI Dalam penentuan koefisien aliran, diperlukan model yang tepat yang dapat memperkirakan nilai koefisien aliran suatu DAS. Telah terjadi penurunan daya dukung Sub DAS Riam Kanan sebagai daerah tangkapan air yang disebabkan oleh kritisnya tutupan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat akurasi metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) dalam menyadap informasi tutupan lahan (vegetasi, permukaan kedap air, tanah terbuka dan air) pada level subpiksel serta bagaimana parameter tutupan lahan dapat dijadikan parameter masukan untuk menentukan distribusi koefisien aliran di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya berdasarkan data Citra Terra MODIS. Metode LSMA merupakan pendekatan analisis sub-piksel yang dapat memberikan informasi fraksi dalam satu piksel, sehingga merupakan solusi potensial untuk mengkelaskan satu piksel. Metode klasifikasi Maximum Likelihood digunakan untuk pembanding dari metode LSMA. Citra Satelit Landsat7 ETM+ digunakan untuk, uji akurasi. Koreksi Atmosferik, Minimum Noise Fraction, (MNF), dan Pixel Purity Index (PPI) diterapkan untuk meningkatan hasil akurasi. Hasil penelitian menunjukkan komponen tutupan lahan pada setiap piksel endmember citra fraksi metode LSMA menghasilkan nilai RMS Error rata-rata sebesar 0,1227, uji akurasi dengan menggunakan citra Landsat7 ETM+ sebesar 87 %, menunjukkan setiap komponen tutupan lahan telah terpisahkan dengan baik dengan standar deviasi kesalahan yang kecil dalam mendeteksi setiap endmember tutupan lahan pada tingkat sub-piksel. Tutupan lahan yang dapat disadap oleh citra Terra MODIS diklasifikasikan menjadi kelas vegetasi seluas 60.679,89 ha (62 %), Tanah terbuka 28.382,37 ha (29,32 %), dan air seluas 7.733,51 ha (7,99 %). Melalui tumpangsusun data raster tutupan lahan diperoleh pola distribusi nilai koefisien aliran Sub DAS Riam Kanan didominasi oleh kelas rendah sebesar 30,59%, kelas normal sebesar 41,25 %, kelas tinggi sebesar 9,95 % dan kelas ekstrim sebesar 18,22 %. Hasil perhitungan uji statistik menunjukkan bahwa C estimasi tidak berbeda nyata dengan hasil C aktual pada taraf kepercayaan 95% dengan tingkat akurasi rata-rata sedang sebesar 78,14 %.
Kata Kunci:
koefisien aliran, Maximum Noise Fraction, Pixel Purity Index, Analisis Linier Spektral Campuran, tutupan lahan iv
LINEAR SPECTRAL MIXTURE ANALYSIS TERRA MODIS IMAGERY FOR STUDY RUNOFF ESTIMATE (Case Study in Sub Watershed of Riam Kanan)
ABSTRACT Simple approach to estimate watershed runoff coefficient value is needed model to forecast problem of demage and watershed and hydrology data problem. Have happened degradation of energy support in Riam Kanan Sub Watershed which critical of landcover impact. Simple approach to estimate watershed coefficient value of runoff is needed correct model with Terra MODIS imagery to overcome problem of demage and watershed and hydrology data problem. One of the approach that is exploiting satellite imagery with applied technique of remote sensing.This research aims are to test accuration level Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) in tapping landcover information at sub-pixel level and also how landcover can be mad as parameter input to determine runoff coefficient distribution in Sub Watershed of Riam Kanan based on Terra MODIS Imagery. LSMA is approach with sub-pixel analysis which can give information the fraction one pixel, so that is a potential solution to classify one pixel. Maximum Likelihood Classifier applied as comparable from LSMA. Landsat7 ETM+ imagery use accuracy assessment as a higher spatial resolution image. Atmospheric Correction, Minimum Noise Fraction (MNF), and Pixel Purity Index (PPI) to applied in this research to increase the accuration. The Research found that each land cover component in each pixel shown by fraction image from LSMA method results with RMS Error average is 0,1227, the accuracy test using Landsat7 ETM+ image aqual to 87 %, indicates that LSMA have a high accuration to detect the endmember of landcover at level sub-pixel. Landcover able to be tapped by Terra MODIS Imagery classified to become class of Vegetation equal to 60.6789,89 hectare (62 percent), bare soil equal to 28.382,37 hectare (29,32 percent), and water body equal to 7.733,51 hectare (7,99 percent). The results of overlay raster data from landcover parameter was obtained by distribution pattern of runoff coefficient dominated by low class aqual to 30,59 percent, normal class aqual to 41,25 percent, high class aqual to 9,95 percent and extreme class aqual to 18,22 percent distributed at up stream and middle of Riam Kanan Sub Watershed. Result of statistical test indicated that result of C estimation do not different with result of C actual at significant 95% with good enough, mean accuration equal to 78,14 %. Keywords : runoff coefficient, Minimum Noise Fraction (MNF), Pixel Purity Index (PPI), Linear Spectral Mixture Analysis, landcover v
KATA PENGANTAR Alhamdulillah Penulis panjatkan rasa syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “ ANALISIS CAMPURAN SPEKTRAL SECARA LINIER (LSMA) CITRA TERRA MODIS UNTUK KAJIAN ESTIMASI LIMPASAN PERMUKAAN (Studi Kasus Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya)“. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh derajat Sarjana S2 pada Program Studi Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Dalam penyusunan tesis ini, baik dari awal hingga akhir penulisan banyak sekali memperoleh bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bimbingan, petunjuk, saran dan dorongan, bantuan materiil, fasilitas serta motivasi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Projo Danoedoro, M.Sc, Ph.D, dan Bapak Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran guna penyelesaian tesis ini. Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih, baik kepada lembaga/instansi maupun perorangan yang telah memberikan bantuan materiil ataupun non materiil secara langsung atau tidak langsung yaitu kepada : 1. Rektor Universitas Gadjah Mada dan Staf, yang telah memberikan kelancaran dalam studi maupun fasilitas yang telah disediakan selama masa pendidikan S2. 2. Prof. Dr. Suratman, M.Sc., selaku Dekan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. 3. Prof. Dr. H. Sudarmadji, M., Eng Sc., selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. 4. Prof. Dr. H. Hartono, DEA,DESS, selaku Pengelola Jurusan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. 5. Sigit Heru Murti, B.S., S.Si, M.Si, selaku Dosen Penguji, terima kasih atas bimbingan dan arahannya. 6. Drs. Sudaryatno, M.Si., selaku Dosen Penguji, terima kasih atas bimbingan dan arahannya. 7. Muhammad Kamal, S.Si, MGIS, terima kasih atas saran dan sumbangan pemikirannya yang sangat membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 8. Muhammad Farda, S.Si, MCs, terima kasih atas sharing ilmu dan arahannya yang sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini. 9. Seluruh Staf pengajar dan karyawan Program Pascasarjana Geografi yang membantu dan mendukung penulisan selama masa studi di Universitas Gadjah Mada. 10. BPDAS Wilayah Barito Propinsi Kalimantan Selatan, khusus untuk Mas Supriatno atas bantuan data sekundernya. 11. BPKH Wilayah V Propinsi Kalimantan Selatan, atas bantuan data sekunder. vi
12. PT. PLN Waduk Ir. P.M. Riam Kanan Wilayah Kalsel-Teng, Bapak H. Yazidi, Bapak Kardoyo, Bapak Kamsin, Mas Reza dan Mbak Vera, atas bantuan datanya. 13. Syamani, S.Hut, M.Sc, Nurlina, S.Si, M.Sc & Ichsan Ridwan, S.Si, M.Kom, Mas Adi (S1-KPJ UGM), yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini. 14. Seluruh Staf pengajar dan karyawan Fakultas Geografi yang membantu dan mendukung penulisan selama masa studi di Universitas Gadjah Mada. 15. Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan Bapak Ir.H.A.Riswandi Bandung, MS, selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unlam yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada. 16. Bapak Ir. Suhaili Asmawi, MS, Bapak Ir. H. Mijani Rahman, M.Si, Bapak Ir. Eka Iriadenta, M.Si, Bapak Ir. H. Mauluddin Agus, Bapak Hamdani, S.Pi, M.Si serta rekan-rekan di Program Studi MSP yang telah memberikan bantuan baik materiil dan fasilitas untuk penyelesaian tesis ini. 17. Keluargaku tercinta rasa cinta yang tulus dan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Istri Diana Agustina dan buah hatiku Wafiq Haafizhoh atas do’a, dorongan, pengertian dan pengorbanan serta motivasi untuk penyelesaian studi. 18. Sahabat-sahabatku di Asrama IPMABA-Yogyakarta ; Om Husaini, M. Yadi, M. Jamil, M.Atma Prawira, M.Shoma, B., M.Fezzi, M., Gt. Firmansyah, M. Satya, Gt. M. Reddy, Sandy, M. Wahyu, R, M. Daddy, F., Mbenk, Dandy, Rina, atas kebersamaan selama ini, 3 sekawan Geodesi-UGM (Komeng, Ancah, Upik) serta Iqbal&Toyib (eks Anak Asrama IPMABA), dan 3 anak bawang (Indah, Dewi & Lina). 19. Sahabat-sahabat mahasiswa S2 Penginderaan Jauh Angkatan 2009 ; Fariz, Yusuf, Imam, Mukhtar, Sawal, Jumaris, Iis, Ridwan, Mardiyanto, Laode, George, Bustan, Puji, terima kasih atas kebersamaan selama masa studi. 20. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini. Hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran ke arah perbaikan sangat penulis harapkan. Saran dan kritik dari pembaca dapat disampaikan melalui e-mail:
[email protected]. Semoga penelitian ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Yogyakarta, Agustus 2010 Penulis, Abdur Rahman vii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii PERNYATAAN .................................................................................................... iii INTISARI ........................................................................................................... iv ABSTRACT ........................................................................................................ v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI.......................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix BAB
I.
BAB II.
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
Latar Belakang .......................................................................... Perumusan Masalah .................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................... Keaslian Penelitian ...................................................................
1 4 5 5 6
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
11
2.1.
2.2.
2.3.
Sistim Penginderaan Jauh Multispektral ................... 2.1.1. Pengertian Penginderaan Jauh Multispektral 2.1.2. Pantulan Spektral Obyek ............................... 2.1.3. Citra Terra MODIS ........................................ 2.1.4. Citra Landsat ETM+ dan Aplikasinya ........... Klasifikasi Multispektral Tutupan Lahan .................. 2.2.1. Klasifikasi Kasar (Hard Classification)......... 2.2.2. Klasifikasi Lunak (Soft Classification) .......... 2.2.3. Analisis Citra Multispektral dengan Metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA).... 2.2.4. Pixel Purity Index (PPI) ................................. 2.2.5. Transformasi Minimum Noise Fraction (MNF) ........................................................... 2.2.6. Maximum Likelihood .................................... Sistim Informasi Geografis ....................................... 2.3.1. Digital Elevation Model (DEM) .................... 2.3.2. Analisis Geostatistik ..................................... viii
11 11 11 12 13 15 16 16 17 20 21 22 23 23 24
2.5. 2.6. BAB III.
2.3.3. Kriging .......................................................... 2.3.4. Semi-Variogram ............................................ 2.4. Hidrologi Daerah Aliran Sungai ................................... 2.4.1. Peran Vegetasi dalam Hidrologi Daerah Aliran Sungai ............................................................... 2.4.2. Infiltrasi Tanah .................................................. 2.4.3. Kemiringan Lereng ........................................... 2.4.4. Analisis Timbunan Air Permukaan .................. 2.4.5. Koefisien Limpasan (Runoff Coefficient).......... Kerangka Pemikiran .............................................................. Batasan Operasional ..............................................................
METODE PENELITIAN ............................................................ 3.1. Pemilihan Lokasi Penelitian .................................................... 3.2. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................ 3.2.1. Bahan Penelitian ........................................................... 3.2.2. Alat Penelitian .............................................................. 3.3. Variabel Penelitian ................................................................... 3.4. Populasi dan Sampel ............................................................... 3.5. Tahapan Penelitian .................................................................. 3.5.1. Tahap Persiapan ......................................................... 3.5.2. Tahap Pelaksanaan ....................................................... 3.5.2.1. Pengolahan Citra Modis ................................ 3.5.2.2. Pemotongan (Cropping) Lokasi Penelitian ... 3.5.2.3. Minimum Noise Fraction (MNF) ................... 3.5.2.4. Penentuan Indeks Kemurnian Piksel (Pixel Index Purity) Citra Terra MODIS .................. 3.5.2.5. Penentuan Endmember Citra Terra MODIS .. 3.5.2.6. Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) Citra Terra MODIS ........................................ 3.5.2.7. Klasifikasi Multipektral Maximum Likelihood....................................................... 3.6. Kerja Lapangan ...................................................................... 3.7. Uji Ketelitian ........................................................................ 3.8. Interpretasi Karakteristik Fisik DAS........................................ 3.8.1. Interpretasi Bentuklahan Secara Visual........................ 3.8.2. Derivasi Kemiringan Lereng dari DEM ....................... 3.8.3. Interpretasi Tutupan Lahan Secara Digital................... 3.8.4. Interpretasi Infiltrasi Tanah Secara Visual Kualitatif... 3.8.5. Interpretasi Simpanan Permukaan Pola Aliran /Kerapatan Aliran .......................................................... ix
25 26 27 29 30 30 30 31 32 36 38 40 40 40 40 41 42 42 43 43 45 46 47 47 49 49 50 50 50 53 53 54 54 54 55
3.9. Tahap Analisis Hasil.................................................................. 3.9.1. Digitasi ........................................................................ 3.9.2. Pemetaan Batas DAS, Pola Aliran dan Kerapatan Aliran ............................................................................ 3.9.3. Tumpang Susun (Overlay)............................................ 3.9.4. Estimasi Koefisien Limpasan Permukaan (C).............. 3.9.5. Perhitungan Nilai C Berdasarkan Model Hujan Aliran ............................................................................ 3.9.6. Analisis Data Hidrologi ................................................ 3.9.7. Evaluasi Hasil Estimasi Koefisien Limpasan Permukaan..................................................................... 3.9.8. Pemetaan Distribusi Spasial Limpasan......................... 3.10. Tahap Akhir ........................................................................ BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 4.1. Kondisi Geografis Daerah Penelitian ..................................... 4.1.1. Letak Luas dan Batas ................................................... 4.1.2. Iklim ............................................................................. 4.1.3. Topografi ...................................................................... 4.1.4. Geologi ......................................................................... 4.1.5. Jenis Tanah ................................................................... 4.1.6. Keadaan Hidrologi dan Jenis Pengairan ....................... 4.2. Penentuan Sampel (ROI-Region of Interest) ........................ 4.3. Koreksi Geometrik ................................................................. 4.4. Koreksi Bow Tie ..................................................................... 4.5. Koreksi Radiometrik ............................................................. 4.6. Minimum Fraction Noise........................................................ 4.7. Indeks Kemurnian Piksel (Pixel Purity Index)....................... 4.8. nD-Visualizer.......................................................................... 4.9. Endmember............................................................................. 4.10. Analisis Linier Spektral Campuran (LSMA) ......................... 4.11. Klasifikasi Maximum Likelihood............................................ 4.12. Uji Akurasi Metode LSMA.................................................... 4.13. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan............................................ 4.14. Hasil Interpretasi Kemiringan Lereng ................................... 4.15. Hasil Interpretasi Infiltrasi Tanah........................................... 4.16. Simpanan Permukaan ............................................................. 4.17. Perhitungan Koefisien Runoff ................................................
x
56 56 57 57 57 60 61 62 65 65 66 66 66 67 69 70 70 71 72 73 76 77 78 80 82 83 84 94 95 101 109 111 117 118
BAB V.
4.18. Analisis Data Hidrologi ......................................................... 4.18.1. Volume Hujan ........................................................... 4.18.2. Volume Aliran .......................................................... 4.18.3. Nilai Koefisien Aliran ............................................. 4.19. Ketepatan Nilai Estimasi Koefisien Aliran ........................... 4.19.1. Perbandingan Terhadap Nilai Koefisien Aliran Piksel Homogen....................................................... 4.19.2. Perbandingan Terhadap Nilai Koefisien Aliran DAS Menggunakan Tabel ..................................... 4.19.3. Perbandingan Terhadap Nilai Koefisien Aliran DAS Dari Data Hidrologi ....................................... 4.20. Uji Statistik ............................................................................ 4.21. Distribusi Koefisien Aliran DAS ........................................... 4.22. Distribusi Koefisien C-Total Sub DAS .................................. 4.23. Kendala-Kendala Penelitian ...................................................
121 121 122 123 125
128 129 130 133 137
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 5.1. Kesimpulan ............................................................................ 5.2. Saran....................................................................................... 5.3. Permasalahan-Permasalahan Dalam penelitian .....................
139 139 140 140
125 127
RINGKASAN ....................................................................................................... 141 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 164 LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 170
xi
DAFTAR TABEL Nomor Tabel
Halaman
Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan Peneliti............................................................................
8
Tabel 2.1. Kisaran Spektrum Panjang Gelombang, Resolusi Spasial dan Penerapan Citra Terra-Modis Resolusi 500 m ...............................
13
Tabel 2.2. Kisaran Spektrum Panjang Gelombang, Resolusi Spasial, dan Penerapan Citra Landsat ETM+ ....................................................
15
Tabel 2.3. Metode Klasifikasi Interpolasi Spasial ..........................................
24
Tabel 3.1. Bahan Penelitian .............................................................................
40
Tabel 3.2. Alat Yang Digunakan Dalam Penelitian..........................................
40
Tabel 3.3. Jenis Variabel, Perolehan Data dan Analisis ..................................
41
Tabel 3.4. Matriks Uji Ketelitian Hasil Interpretasi ........................................
51
Tabel 3.5. Penyesuaian Klasifikasi Penggunaan Lahan Terhadap Klasifikasi Vegetasi Penutup dalam metode Cook dengan Modifikasi ............
58
Tabel 3.6. Klasifikasi Kemiringan Lereng menurut Metode Cook ..................
59
Tabel 3.7. Klasifikasi Infiltrasi Metode Cook dengan Modifikasi ..................
59
Tabel 3.8. Penyesuaian Klasifikasi Kerapatan Aliran Terhadap Simpanan Permukaan dengan Metode Cook ....................................................
59
Tabel 3.9. Klasifikasi Infiltrasi Menurut Richard dan Cossens ........................
60
Tabel 3.10. Nilai Koefisien Aliran (C) untuk Persamaan Rasional (U.S. Forest Service dalam Asdak 2004) ..................................................
63
Tabel 3.11. Nilai Koefisien Aliran (C) untuk Daerah Urban ..............................
64
Tabel 3.12. Klasifikasi Limpasan Permukaan Metode Cook..............................
65
Tabel 4.1. Data Jumlah Bulan Basah, Bulan Lembab dan Bulan kering selama 10 tahun ...............................................................................
68
xii
Tabel 4.2. Klasifikasi Type Iklim Menurut Schmidt dan Fergusson ................
69
Tabel 4.3. Kemiringan Lereng menurut Klasifikasi Departemen Kehutanan (1993)...............................................................................................
70
Tabel 4.4. Panjang Anak Sungai yang Bermuara ke Sub DAS Riam Kanan....
72
Tabel 4.5. Informasi Data Header dari Nilai Reflectance Scale dan Reflectance Offsets Citra Terra MODIS 500 Tahun 2009...............
77
Tabel 4.6. Nilai Reflektansi Minimum dan Maksimum Setap Saluran Hasil Kalibrasi Nilai Digital ke Nilai Reflektansi.....................................
78
Tabel 4.7. Nilai Minimum dan Maksimum Fraksi Setiap Endmember Hasil Klasifikasi LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009.......................
86
Tabel 4.8. Sampel Nilai Fraksi Setiap Endmember Hasil Klasifikasi LSMA untuk Citra Terra-MODIS Tahun 2009 ...........................................
87
Tabel 4.9. Matriks Uji Hasil Akurasi Maximum Likelihood Citra TerraMODIS Tahun 2009 ........................................................................
95
Tabel 4.10. Matriks Uji Akurasi Hasil Rule Classifier LSMA Terra-MODIS Tahun 2009 ......................................................................................
96
Tabel 4.11. Data Hasil Uji Akurasi RMSE Error Metode LSMA TerraMODIS Tahun 2009 dengan Citra Landsat7 ETM+ Tahun 2009 ...
98
Tabel 4.12. Lokasi Sampling Berdasarkan Global Positioning System (GPS)...
102
Tabel 4.13. Interpretasi dan Identifikasi Tutupan Lahan Berdasarkan Warna, Tekstur, Rata-Rata Nilai Spectral/Reflectance Hasil Analisis dan Cek Lapangan degan Citra Terra-MODIS RGB432........................
103
Tabel 4.14. Penyesuaian klasifikasi penggunaan lahan terhadap klasifikasi vegetasi penutup dalam metode Cook Dengan Modifikasi .............
104
Tabel 4.15. Luas Masing-Masing Endmember Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009.......................
105
xiii
Tabel 4.16. Hasil Klasifikasi dan Luas Kemiringan Lereng Sub DAS Riam Kanan ...............................................................................................
109
Tabel 4.17. Hasil Klasifikasi Infiltrasi Tanah di Sub DAS Riam Kanan ...........
113
Tabel 4.18. Perhitungan Model Ordinary Kriging untuk Sampel Infiltrasi Tanah ...............................................................................................
115
Tabel 4.19. Hasil Klasifikasi Kerapatan Aliran Tanah di Sub DAS Riam Kanan ...............................................................................................
117
Tabel 4.20. Hasil Klasifikasi Limpasan Permukaan (C) di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya ......................................................................
119
Tabel 4.21. Luas Poligon dan Faktor Bobot Stasiun Curah Hujan Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Tahun 2009 ........................................
121
Tabel 4.22. Nilai Koefisien Aliran Hasil Perhitungan Data Pengukuran ...........
125
Tabel 4.23. Perbandingan Nilai C-Estimasi Piksel Homogen dengan C-Tabel .
127
Tabel 4.24. Perbandingan Nilai C-Estimasi Tutupan Lahan dengan C-Tabel....
127
Tabel 4.25. Perbandingan Nilai C-Terukur dan (C) Estimasi.............................
128
Tabel 4.26. Hasil Uji Statistik t-student Nilai Koefisien Aliran (C) Estimasi ....
129
Tabel 4.27. Hasil Klasifikasi Koefisien Aliran (C) Metode Cook di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya ............................................................
130
Tabel 4.28. Perbandingan C-Terukur dan C-Estimasi ........................................
134
Tabel 4.29. Hasil Uji Statistik t-student Nilai Koefisien Aliran (C) Estimasi .... 1345
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 2.1.
Pola Respon Spektral Beberapa Obyek
....................................
12
Gambar 2.2.
Satelit Terra dan Sensor ................................................................
12
Gambar 2.3.
Satelit Landsat ETM+ dan Bagian-Bagiannya..............................
14
Gambar 2.4.
Hard Classification dan Soft Classification..................................
17
Gambar 2.5.
Pendekatan LSMA dengan Multiple endmembers
...................
20
Gambar 2.6.
Indeks PPI
.................................................................................
21
Gambar 2.7.
Grafik Vektor MNF (Nilai Eigen) dan Scatter Plot dari MNF.....
22
Gambar 2.8.
Grafik Analisis Semivariogram
................................................
27
Gambar 2.9.
Daur Hidrologi ...........................................................................
28
Gambar 2.10.
Fungsi Ekosistem DAS ................................................................
29
Gambar 2.11.
Skema Kerangka Alur Pemikiran .................................................
35
Gambar 3.1.
Peta Lokasi Penelitian di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM Sebagai Latar Belakang ......................
39
Gambar 3.2.
Diagram Alir Penelitian ...............................................................
44
Gambar 3.3.
Diagram Alir MNF........................................................................
47
Gambar 3.4.
Diagram Alir Proses PPI ...............................................................
48
Gambar 3.5.
Diagram Alir Metode LSMA ........................................................
49
Gambar 3.6.
Skema Perhitungan Koefisien Aliran Metode Cook ....................
57
Gambar 3.7.
Polygon Thiessen ..........................................................................
62
xv
Gambar 4.1.
Masking Citra Terra-MODIS Berdasarkan Batas DAS yang Telah di Buffer .............................................................................
73
Perbandingan Hasil Koreksi Geometrik Citra Terra-MODIS Komposit 457 ................................................................................
74
Distribusi Lokasi Titik GCP dan Nilai Titik GCP dan RMS Error .............................................................................................
75
Perbandingan Citra Terra MODIS Hasil Koreksi Bow Tie Citra Sebelum Terkoreksi dan Telah Terkoreksi ...................................
76
(a) Citra dan Histogram Sebelum Dikoreksi Radiometrik dan (b) Setelah Dikoreksi ....................................................................
78
(a) Nilai Vektor Eigen Hasil MNF (b) Scatter Plot Hasil MNF Citra Terra-MODIS Tahun 2009...................................................
79
Gambar 4.7.
Citra Terra-MODIS Tahun 2009 Hasil Proses MNF ....................
80
Gambar 4.8.
(a) Plot Indeks Kemurnian Piksel dengan Jumlah Iterasi 10000 (b) Citra Terra-MODIS Hasil PPI dengan Iterasi 10000 ..............
82
Hasil Analisis nD-Visualizer pada nD-Control Citra TerraMODIS RGB421Tahun 2009 Untuk Empat endmember Tutupan Lahan (Vegetasi, Air, Tanah, dan Permukaan Kedap Air) ................................................................................................
83
Gambar 4.10. Kurva Pantulan endmember (Vegetasi,Tanah,Permukaan Kedap Air dan Air Citra Terra-MODIS Tahun 2009 ...............................
84
Gambar 4.11. Citra Fraksi Endmember Air Hasil Klasifikasi Citra TerraMODIS Tahun 2009......................................................................
88
Gambar 4.12. Citra Fraksi Endmember Tanah Hasil Klasifikasi Citra TerraMODIS Tahun 2009......................................................................
89
Gambar 4.13. Citra Fraksi Endmember Kedap Air Hasil Klasifikasi Citra Terra-MODIS Tahun 2009............................................................
90
Gambar 4.14. Citra Fraksi Endmember Vegetasi Hasil Klasifikasi Citra TerraMODIS Tahun 2009......................................................................
91
Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6.
Gambar 4.9.
xvi
Gambar 4.15. Citra Fraksi Endmember RMS Error Hasil Klasifikasi Citra Terra-MODIS Tahun 2009............................................................
92
Gambar 4.16. Abundance Map Hasil Klasifikasi LSMA Citra Terra MODIS Tahun 2009 ...................................................................................
93
Gambar 4.17. Citra Terra MODIS Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood di Sub DAS Riam Kanan dan Sektiarnya .........................................
99
Gambar 4.18. Citra Terra MODIS Hasil Rule Classifier di Sub DAS Riam Kanan dan Sektiarnya .................................................................. 100 Gambar 4.19. Histogram Endmember Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi LSMA Citra Terra MODIS Tahun 2009 ................................................... 105 Gambar 4.20. Endmember Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi LSMA Citra Terra MODIS Tahun 2009 ............................................................ 107 Gambar 4.21. Tampilan Sebagian Kenampakan Obyek hasil Cek Lapangan pada Citra Terra MODIS RGB431 serta Kondisi Lapangan Tahun 2009 ................................................................................... 108 Gambar 4.22. Histogram Kelas Kemiringan Lereng di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya............................................................................... 110 Gambar 4.23. Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya . 110 Gambar 4.24. Ilustrasi Pengukuran Infiltrasi Tanah Dengan Menggunakan Double Ring Infiltrometer ............................................................. 112 Gambar 4.25. Peta Infiltrasi Tanah dan Titik Sampling Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya............................................................................... 112 Gambar 4.26. Boxplot Infiltrasi Tanah di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya...................................................................................... 113 Gambar 4.27. Semivariogram Sampel Infiltrasi Tanah ....................................... 116 Gambar 4.28. Peta Kerapatan Aliran di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya. 118 Gambar 4.29. Boxplot Sebaran Koefisien Limpasan (Runoff) di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya.......................................................... 119 xvii
Gambar 4.30. Peta Distribusi Spasial Koefisien C-Raster Hasil Overlay di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya................................................. 120 Gambar 4.31. Polygon Thiessen Curah Hujan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya...................................................................................... 122 Gambar 4.32. Hubungan Debit dan Curah Hujan Hasil Perhitungan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Bulan Januari – September Tahun 2009 ................................................................................... 124 Gambar 4.33. Plot Volume Hujan dan Volume Aliran di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Bulan Januari – September Tahun 2009 ... 124 Gambar 4.34. Sebaran Lokasi Piksel Homogen Untuk Uji Akurasi ................... 126 Gambar 4.35. Peta Distribusi Spasial Kriteria Runoff menurut Cook di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM sebagai Latar Belakang........................................................................................ 132 Gambar 4.36. Grafik Perbandingan antara C-Aktual dan C-Estimasi di Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya ................................................. 135 Gambar 4.37. Peta Distribusi Spasial Koefisien C di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM sebagai Latar Belakang................. 136
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran 1.
Halaman
Data Nilai Fraksi Setiap Endmember Pada Setiap Oiksel Hasil Metode LSMA ..................................................................
170
Ilustrasi Interpretasi Citra Terra-MODIS Uji Akurasi LSMA.........................................................................................
174
Lampiran 3.
Distribusi Titik Sampel Untuk Uji LSMA .................................
175
Lampiran 4.
Tutupan Lahan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Hasil Cek Lapangan, 2010 ........................................................
176
Satuan Lahan, Jenis Tanah dan Koordinat Infiltrasi di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Hasil Cek Lapangan Tahun 2010 ................................................................................
177
Perhitungan Koefisien Aliran Aplikasi Tabel Koefisien U.S. Forst Service (1980) dan Schwab, dkk (1981)...................
178
Lampiran 7.
Uji Akurasi t-Student Hasil C-Estimasi ...................................
180
Lampiran 8.
Perhitungan C-Terukur dari Data Hidrologis.............................
182
Lampiran 9.
Peta Jenis Tanah di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya.......
184
Lampiran 10.
Peta Bentuk Lahan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya...................................................................................
185
Peta Koefisien C Vegetasi Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya...................................................................................
186
Peta Koefisien C Lereng di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya...................................................................................
187
Lampiran 2.
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 11. Lampiran 12.
xix
Lampiran 13.
Peta Koefisien C Infiltrasi Tanah Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya............................................................................
188
Peta Koefisien C Kerapatan Aliran (Drainage Density) di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya.......................................
189
Peta Distribusi Spasial Koefisien C Raster Hasil Overlay di Sub DAS Riam Kanan dan ........................................................
190
Peta Distribusi Limpasan Permukaan Hasil Klasifikasi Metode Cook di Sub DAS Riam Kanan dan .............................
191
Peta Distribusi Spasial Koefisien C di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM sebagai Latar Belakang.....................................................................................
192
Rekapitulasi Data Curah Hujan dan Hari Hujan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya..............................................
193
Lampiran 19.
Contoh Perhitungan C-Terukur dari Data Hidrologis................
195
Lampiran 20.
Data Pengukuran DMA Waduk Riam Kanan per Septermber dari Tahun 2000 - 2009 ..........................................
196
Jenis Tutupan Lahan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya...................................................................................
198
Lampiran 22.
Satuan Bentuk Lahan Untuk Peta Geomorfologi.......................
200
Lampiran 23.
Contoh Perhitungan Infiltrasi Tanah Metode Horton ................
201
Lampiran 24.
Perhitungan Koefisien C Masing-Masing Sub DAS dan CTotal Data Hidrologi Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya ....
202
Perhitungan Koefisien Aliran (C) Masing-Masing Sub DAS di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Berbasis Raster dan Vektor .................................................................................
203
Perbandingan Nilai C-Terukur dan C Estimasi serta Tingkat Akurasi..........................................................................
209
Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17.
Lampiran 18.
Lampiran 21.
Lampiran 25.
Lampiran 26.
xx
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem ekologi. Sebagai suatu sistim ekologi, dalam suatu DAS terdapat interaksi dan saling ketergantungan (interdependensi) antara jasad hidup dan lingkungannya, sehingga setiap ada masukan (input) ke dalam ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang berlangsung dengan melihat keluaran dari ekosistem tersebut. Dalam ekosistem DAS komponen masukan terdiri atas curah hujan sedangkan komponen luaran terdiri dari debit aliran, muatan sedimen dan unsur-unsur hara di dalamnya (Asdak, 2004; Gunawan, 2007). Keberadaan dan kondisi ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) atau sering disebut cekungan sungai merupakan salah satu isu nasional dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini dikarenakan salah satu variabel terjadinya banjir adalah kondisi DAS yang kritis, seperti terjadinya penyimpangan tata guna lahan.
Fenomena tersebut
merupakan indikasi rusaknya keseimbangan tata air (water balance) akibat berkurangnya kemampuan beberapa proses daur hidrologi (infiltrasi dan daya tampung) sehingga nilai limpasan permukaan pada daerah aliran sungai (DAS) menjadi lebih besar melewati kapasitas tampung sungai. Kondisi ini menyebabkan berkurang dan hilangnya daerah resapan sebagai penyangga terhadap beban banjir yang terlalu besar, akibat tingginya curah hujan yang terjadi (Bakornas, 2004 ; Yusuf dkk, 1985). DAS Riam Kanan merupakan daerah aliran sungai yang secara administratif terletak di Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Sebagai daerah resapan air (catchment area) DAS Riam Kanan merupakan kawasan lindung yang di dalamnya terdapat permukiman sebanyak 12 desa yang termasuk ke dalam kecamatan Aranio. Di lain sisi kawasan DAS Riam Kanan memiliki nilai strategis, karena terdapat Waduk Riam Kanan yang berfungsi sebagai sarana pengendali banjir dan kekeringan, pembangkit tenaga listrik dan pemasok kebutuhan air, untuk keperluan domestik dan industri, keperluan irigasi untuk pengairan sawah dan pengembangan perikanan, serta sebagai sumber pembangkit tenaga listrik (PLTA).
2 DAS Riam Kanan dan sekitarnya telah mengalami penurunan daya dukung sebagai daerah tangkapan air.
Tingkat kerusakan yang telah terjadi yaitu sebesar
40.057,106 ha termasuk dalam kriteria sangat kritis, 23.451,046 ha kritis, 9.311,299 agak kritis dan 33.453,086 tidak kritis (BPKH V, 2008). Penelitian yang akan dilakukan meliputi luas wilayah ± 966,44 km2 yaitu meliputi Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya. Tutupan lahan di dareah penelitian terdiri dari hutan homogen dengan luasan 37.697,492 ha terdiri dari hutan kerapatan rendah (3.022,563 ha), hutan kerapatan sedang (24.098,637 ha), hutan kerapatan tinggi (2.366,513 ha), ladang (725 ha), semak belukar (6.109,792 ha), alang-alang (1.283,820 1 ha) danau (90,860 ha) dan pemukiman (301,56 ha) (Suhardi, 2005). Penelitian ini sangat penting dilaksanakan karena kondisi hidrologis Sub DAS Riam Kanan semakin menurun. Permasalahan tersebut dapat dillihat dengan sering terjadinya bencana banjir, berkurangnya kemampuan waduk sebagai pembangkit tenaga listrik akibat kapasitas tampung yang mulai berkurang karena dekomposisi sedimen, keresahan masyarakat akan bahaya banjir dan jebolnya waduk, yang secara keseluruhan menjadi perbincangan menarik baik dari kalangan akademisi, praktisi maupun pemerintahan (Kompas, 2007 ; LAPAN, 2006). Tutupan lahan merupakan faktor yang sangat dinamis. Banyak metode yang telah digunakan untuk mengidentifikasikan perubahan tutupan lahan terkendala akibat proses perubahan faktor tutupan lahan yang tidak diikuti dengan ketersediaan data dan informasi yang up todate. Kalaupun ada tingkat kedetailannya kadang belum mampu mengakomodir berbagai kepentingan, akibat ketidakseragaman sistim klasifikasi tutupan lahan yang diacu (Danoedoro, 2004). Di sisi lain, tingginya tingkat kerusakan DAS yang ditandai makin meningkatnya frekuensi banjir, serta cepatnya proses alih fungsi lahan merupakan kajian yang mendesak dalam analisis DAS.
Untuk mengatasi
kelangkaan informasi tersebut, maka pemanfaatan citra satelit dengan terapan teknik penginderaan jauh, merupakan pilihan yang tepat. Koefisien
limpasan permukaan merupakan faktor penting yang harus
diperhitungkan dalam penentuan volume limpasan. Selain faktor lain berupa relief, infiltrasi tanah, timbunan air permukaan, besar kecilnya koefisien permukaan suatu DAS
3 dipengaruhi oleh buruknya tutupan lahan pada DAS tersebut. Salah satu pendekatan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan (landcover) untuk data citra digital multispektral dapat dilakukan melalui pendekatan pengenalan respon nilai spektral. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa obyek yang terdapat di permukaan bumi dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lain melalui respon nilai spektralnya. Metode klasifikasi multispektral yang digunakan dalam mengklasifikasikan nilai spektral biasanya merujuk kepada metode-metode konvensional seperti maximum likelihood, minimum distance, maupun menggunakan metode parallelepiped. Pada metode-metode klasifikasi multipsektral di atas, satu piksel citra diasumsikan hanya mengandung satu jenis obyek saja (pure pixel).
Namun pada
kenyataannya satu piksel pada citra multisaluran seperti piksel yang dimiliki oleh citra MODIS dengan resolusi spasial 500 x 500 meter, dapat memiliki lebih dari satu obyek. Adanya piksel campuran (mixel) ini dapat mengganggu ketelitian dalam proses klasifikasi selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini mengantarkan peningkatan berbagai aplikasi dan pemanfaatan ilmu penginderaan jauh dalam berbagai aspek kajian termasuk kajian hidrologi.
Salah satu pemanfaatan teknologi tersebut
adalah dapat mengatasi permasalahan piksel campuran yang dihasilkan oleh rendahnya resolusi spasial oleh sistim sensor satelit, misalnya satelit MODIS. Di antara metode klasifikasi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan piksel campuran (mixel) yaitu dengan menggunakan Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA). LSMA menyediakan suatu strategi kuantitatif dalam mempelajari citra multispektral. Metode ini telah digunakan untuk melakukan deteksi sub-piksel serta klasifikasi dari piksel campuran pada citra hasil penginderaan jauh (Aklein, 1998 ; De Asis et al., 2007 ; Nurlina, 2008). Spectal Mixture Analysis (SMA) telah terbukti dapat digunakan untuk mengekstrak parameter vegetasi dengan sangat baik ( De Asis, 2007; Vohland, 2007; Munoz, 2005; Nurlina, 2008). Selain itu SMA juga telah digunakan untuk klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan oleh Lu (2000).
4 Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk mengkaji Daerah Aliran Sungai (DAS) Riam Kanan sebagai daerah penelitian
untuk mengetahui kondisi
hidrologi terutama distribusi spasial limpasan permukaan dengan memanfaatkan datadata dan informasi nilai spektral yang dapat disadap melalui citra penginderaan jauh. Hasil penelitian diharapkan menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam penentuan prioritas konservasi sumberdaya air dan keberlanjutan DAS dan Waduk Riam Kanan sebagai salah satu aset sumberdaya air.
Bertolak dari argumentasi yang telah
dikemukakan di atas, penelitian ini mengambil judul “Analisis Campuran Spektral Secara Linier (LSMA) Citra Terra-Modis Untuk Kajian Estimasi Limpasan Permukaan (Studi Kasus Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya)“. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan 2 masalah penting yang difokuskan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Dalam konteks tutupan lahan diperlukan teknik interpretasi sistim klasifikasi tutupan lahan yang tepat dalam menyediakan informasi untuk keperluan analisis DAS. DAS di Kalimantan banyak yang berukuran besar sehingga penerapan sistim klasifikasi baik dengan menggunakan citra resolusi tinggi maupun menengah tidak mudah dilakukan. Oleh sebab itu untuk keperluan ini perlu diuji coba penggunaan Citra Terra MODIS. 2. Penggunaan citra resolusi rendah seperti citra Terra MODIS membawa konsekuensi munculnya piksel campuran (mixed pixel) dalam jumlah besar dalam sistim klasifikasi. Oleh karena itu diperlukan metode klasifikasi yang dapat mengatasi permasalahan mixel tersebut salah satunya yaitu dengan menggunakan Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA). 3. Meningkatnya koefisien aliran permukaan dan volume limpasan sebagai salah satu faktor terjadinya banjir dipengaruhi oleh tutupan lahan, sehingga tutupan lahan merupakan indikator untuk mengukur tingkat kerusakan DAS. Oleh sebab itu diperlukan model yang tepat dan berbasis citra resolusi rendah untuk mengekstraksi tutupan lahan untuk analisis koefisien aliran permukaan.
5 Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan 3 pertanyaan penelitian ini, yaitu: 1. Sejauh mana efisiensi dan akurasi penggunaan citra resolusi rendah seperti Citra Terra MODIS untuk menganalisis citra fraksi endmember tutupan lahan pada wilayah DAS yang luas seperti di Kalimantan ? 2. Apakah metode klasifikasi Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) mempunyai akurasi yang tinggi untuk mengatasi munculnya mixel dalam menyadap informasi tutupan lahan dari citra MODIS ? 3. Bagaimana kondisi tutupan lahan dapat dijadikan sebagai salah satu parameter untuk mengestimasi distribusi limpasan permukaan berdasarkan citra Terra MODIS di Sub DAS Riam Kanan Propinsi Kalimantan Selatan ?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Melihat sejauh mana efisiensi dan tingkat akurasi citra fraksi endmember citra Terra MODIS dalam menganalisis tutupan lahan di wilayah sub DAS Riam Kanan Propinsi Kalimantan Selatan? 2. Sejauh mana tingkat akurasi dari algoritma klasifikasi Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) dalam menyadap informasi tutupan lahan dari citra MODIS, dibandingkan dengan citra dengan resolusi yang lebih tinggi dalam hal ini Citra Landsat 7 ETM+. 3. Memetakan distribusi koefisien aliran di Sub DAS Riam Kanan Propinsi Kalimantan Selatan melalui Interpretasi Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Menambah wawasan dalam pengembangan dan pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistim Informasi Geografis khususnya dalam bidang hidrologi dalam pendugaan koefisien limpasan permukaan (runoff) berbasis nilai piksel.
6 2. Informasi berupa basis data berupa informasi distribusi spasial koefisien limpasan, keadaan tutupan lahan di DAS Riam Kanan dan sekitarnya sehingga diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelolaan dan evaluasi tingkat kerusakan Daerah Aliran Sungai. 1.5. Keaslian Penelitian Pemilihan obyek kajian dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penerapan teknik pengolahan citra penginderaan jauh untuk menganalisis tutupan lahan pada level sub-piksel di Daerah Aliran Sungai dengan menggunakan metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) dari data citra satelit MODIS belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian sebelumnya dengan kajian tutupan lahan masih banyak menggunakan metode klasifikasi konvensional seperti maximum likelihood. Beberapa penelitian dengan menggunakan metode yang sama dengan kajian yang berbeda adalah sebagai berikut. Penelitian tentang pemantauan perubahan tutupan vegetasi di DAS Citarum telah dilakukan oleh Wikantika (2005). Penelitian tersebut menggunakan metode Analisis Spektral Campuran (Spectral Mixture Analysis) yang kemudian dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada daerah yang sama dengan menggunakan metode Change Vector Analysis (CVA). Hasil penelitian berupa citra fraksi endmember vegetasi beserta proporsi spasialnya dari tahun 1991, 1992, dan tahun 2000, dimana selama periode tahun 1992 sampai 2000 terdeteksi terjadi perubahan areal vegetasi seluas ± 1245 hektar. Penelitian tentang perubahan tutupan lahan di DAS Gesing juga dilakukan oleh Pratisto (2008). Penelitian tersebut menggunakan citra Landsat dan ASTER untuk mendeteksi perubahan lahan dan volume limpasan serta Banjir di DAS Gesing Provinsi Jawa Tengah. Metode yang digunakan dengan interpretasi visual terhadap karakteristik lahan dan metode NDVI dengan pendekatan nilai piksel dengan mengacu klasifikasi menurut State of California Department of Transportation (SCDT). Volume limpasan menggunakan pendekatan metode Rasional dan Simulasi Peak Discharge dengan menggunakan PC Raster Aguilla, dan pendekatan Bahaya banjir dengan menggunakan
7 kuisioner. Penelitian ini berhasil memetakan distribusi perubahan vegetasi, simulasi volume limpasan dan agihan banjir di DAS Gesing. Rudorf (2007) melakukan penelitian dengan menggunakan citra temporal dari EO-I Hyperion mengekstrak komponen-komponen konsentrasi inorganik material suspensi dan fitoplankton.
Penelitian ini menerapkan beberapa
tahap pemrosesan
meliputi ; Minimum Noise Fraction (MNF), Pixel Purity Index (PPI) dan Spectral Mixture Analysis (SMA).
Penelitian berhasil memetakan distribusi komponen-
komponen tersebut di perairan melalui citra multitemporal. Selanjutnya Nurlina (2008), melakukan penelitian dengan menggunakan citra Landsat Multitemporal dan Citra Ikonos untuk mendeteksi perubahan tutupan lahan di daerah perkotaan di Kota Banjarbaru. Minimum Noise Fraction (MNF), Pixel Purity Index (PPI) dan Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) diterapkan dalam model perhitungan. Penelitian ini berhasil memetakan perubahan vegetasi, permukaan kedap air, tanah terbuka dan air termasuk tingkat akurasinya dari data masukan citra fraksi endmember. Penelitian dengan menggunakan Linear Mixture Model untuk aplikasi perubahan penggunaan lahan juga dilakukan oleh Oliveira (2003) dengan menggunakan citra MODIS dengan resolusi 500 m di wilayah daratan Portugis. Penelitian ini menerapkan beberapa tahap pemrosesan meliputi ; Minimum Noise Fraction (MNF), Pixel Purity Index (PPI) dan Linear Mixture Model (LMM). Dalam penelitian tersebut berhasil dipetakan 9 kelas penutup lahan dengan perubahan sebesar 25 – 50 % per tahun. Penelitian sejenis telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, baik menggunakan foto udara maupun citra satelit. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya terutama terletak pada citra yang digunakan, metode penelitian dan lokasi penelitian. Perbedaan dan persamaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya diuraikan pada Tabel 1.1.
8 Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Dilakukan Peneliti
Nama Peneliti
Tahun
Judul/Lokasi
Tujuan
Tingkat Ketelitian
Wikantika K., Yorda Prita U., Ahmad Riqqi
2005
Mendeteksi perubahan vegetasi
Semi DetailDetil
Interpreasi Visual Metode SMA Metode CVA
Multitemporal LANDSAT TM/ETM
Citra fraksi dari endmember vegetasi beserta proporsi spasialnya secara temporal tanpa uji akurasi
Small,C
2000
Deteksi Perubahan Vegetasi dengan Metode Spektral Mixture Analysis (SMA) dari Citra MODIS TM dan ETM, DAS Gesing Estimation of Urban Vegetation Abundance by Spectral Mixture Analysis, Newyork.
Estimasi vegetasi daerah perkotaan
di
Semi Detail
LANDSAT TM dan Foto udara resolusi 2 meter
Rudorff C.D.M., Novo, E.M.L., Galva L.S.,
2007
Mendeteksi perubahan komponen air di dataran banjir Sungai Amazon
Semi Detil
Spectral Mixture Analysis memberikan hasil yang baik dalam mengestimasi fraksi vegetasi sebesar 0,1 dibanding dengan NDVI (0,2) Citra endmember air bersih, fitoplankton, DOM dan SIM
Oliveira Goncalves Caoetano M.
2003
Spectral Mixture Analysis of EO-I Hyperion Imagery Focused on the Spatial-Temporal Variability of The Amazon Floodplain Multicomponental Waters, Amazone River Landcover Time Profiles From Linear Mixture Models Applied to LANDSAT Images, Potuguese Continental Teritory
Spectral Mixture Analysis, NDVI, Tassel Cap Greeness Menggunakan 3 jenis endmember, (High Albedo, Low Albedo, dan vetasi) Spetral Mixture Analysis
Mendeteksi perubahan lahan di daratan Portugis
Semi Detil
Linear Mixture Model, NDVI
Citra Temporal Terra-MODIS
P, P,
Metode
Citra yang Digunakan
Citra Temporal EO-1 Hyperion
Hasil
Citra endmember Vegetasi, Badan Air, Urban dan industri, irigasi dan hutan yang terbakar
9 Nama Peneliti
Tingkat Ketelitian
Metode
Citra yang Digunakan
Hasil
Tahun
Judul/Lokasi
Tujuan
Totok Gunawan
1991
Penerapan Teknik Penginderaan Jauh Untuk Menduga Volume limpasan Menggunakan Karakteristik Lingkungan DAS Bengawan Solo Hulu Jawa Tengah
Estimasi koefisien limpasan permukaan
Detil
Interpreasi Visual Metode Cook Metode Rasional Analisis Hidrograf
Foto Udara HP 1:10.000 tahun 1983, FU Inframerah 1:50.000 tahun 1981
Sudaryatno
2000
Penerapan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistim Informasi Geografis untuk Estimasi Volume limpasan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang Semarang Jawa Tengah
Estimasi koefisien limpasan permukaan
Semi detil
Interpretasi visual Metode Cook Metode Rasional Metode DEM Analisis hidrograf
Citra LANDSAT -Peta bentuk lahan, TM 1:50.000 Kemiringan lereng tahun 1996, FU Peta penggunaan Pankromatik HP lahan, peta koefi1:25.000 tahun sien limpasan per1993 peta mukaan topografi - Data koefisien lim1:50.000 pasan
Pratisto
2008
The Impact of Landcover Change on Discharge Response and Flood Hazard
Interpretasi digital, Metode Soil Curve Number (SCN), Metode DEM
Citra LANDSAT TM Multitemporal tahun 1995, 1999, 2000
Semi detil
-Peta bentuk lahan, Kemiringan lereng Peta penggunaan lahan, peta koefisien limpasan permukaan - Data koefisien limpasan Data Volume limpasan
-Peta perubahan Penggunaan lahan -Data koefisien dan Volume runoff -Modelling peningkatan volume runoff berdasarkan perubahan penggunaan lahan
10 Nama Peneliti
Tahun
Judul/Lokasi
Tujuan
2008
Pemanfaatan Citra LANDSAT ETM+ dan SIG untuk Pendugaan limpasan permukaan di DAS Jene’Berang Hulu, Kab.Gowa, Sulawesi Selatan
Semi Detail
Interpretasi visual dan digital Metode Cook Analisis Hidrograf
Citra LANDSAT -Peta bentuk lahan, ETM+ tahun Kemiringan lereng 2002 Penggunaan lahan, Kerapatan aliran, - Peta koefisien Limpasan permukaan - Peta Distribusi Spasial Limpasan Permukaan
2009
Pengaruh Klasifikasi Maximum Likelihood dan Maximum Mahalanobis Distance dalam Analisis Hidrograf (Studi Kasus pada DAS Garang, Jawa tengah)
Mengkaji Kemampuan Citra LANDSAT ETM+ untuk mengekstrak informasi parameter lahan penentu koefisien limpasan permukaan, pendugaan dan pemetaan agihan limpasan permurkaan - Melihat tingkat akurasi dari 2 algoritma multispektral, yaitu Maximum Likelihood dan Mahalanobis Distance dalam ekstraksi informasi tutupan lahan
Semi Detail
Citra LANDSAT ETM+ tahun 2000, peta tekstur tanah,
Nurlina
2008
Deteksi Perubahan Tutupan Lahan di daerah Perkotaan
Detail
Abdur Rahman
2010
Linear Spectral Mixture Analysis untuk Kajian Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Perkotaan Menggunakan Data Satelit LANDSAT Multi-temporal
Analisis tutupan lahan dengan algoritma Maximum Likelihood dan Mahalanobis Distance -Analisis hidrograf -SCS Curve Number Linear Spectral Mixture Analysis dan Klasifikasi Maximum Likelihood
Menguji kemampuan citra Terra-MODIS untuk estimasi koefisien aliran berbasis nilai piksel
Semi detil
Interpretasi visual dan digital Metode Linear Spectral Mixture Analysis, Metode DEM Analisis Hidrograf Metode Regresi
Citra MODIS,Landsat ETM+, Peta Topografi 1:50.000, Peta Tanah 1:25.000, Peta Geologi 1:250.000
Nurfaika
John Lande
Ernst
Analisis Campuran Spektral Secara Linier (LSMA) Citra Terra-Modis untuk Kajian Estimasi Limpasan Permukaan (Studi Kasus Sub Das Riam Kanan dan Sekitarnya)
Tingkat Ketelitian
Metode
Citra yang Digunakan
Hasil
-Citra tutupan lahan hasil klasifikasi -Hidrograf hasil analisis
Data LANDSAT Citra fraksi endmember Multitemporal vegetasi, permukaan kedap air, dan IKONOS tanah terbuka, dan air termasuk tingkat akurasinya serta perubahan tutupan lahan
-Citra fraksi endmemberVegetasi,Tanah,Air dan kedap Air, peta agihan koefisien limpasan, bobot baru variabel vegetasi
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistim Penginderaan Jauh Multispektral 2.1.1. Pengertian Penginderaan Jauh Multispektral Sistem penginderaan jauh didesain memiliki sifat multi aplikasi yaitu multi spektral, multi spasial dan multi temporal. Sifat multi spektral dari sistem penginderaan jauh dikarenakan sensor kamera satelit menggunakan saluran penginderaan dua atau lebih pada saat yang bersamaan. Semakin banyak kanal atau saluran yang digunakan maka informasi yang didapat semakin banyak dan lengkap. Sifat multi spasial berarti sistem penginderaan jauh memiliki ketajaman (ketelitian) spasial sebanyak dua atau lebih, sering juga disebutkan ketelitian spasial ini sebagai resolusi spasial. Jika resolusi spasial semakin tinggi maka semakin tinggi ketelitian citra yang berarti mempunyai skala yang semakin besar pula. Sedangkan sifat multi temporal
berarti
kemampuan
sensor
penginderaan
jauh
untuk
melakukan
pengulangan penyapuan suatu daerah tertentu pada waktu yang telah ditetapkan. Kembalinya satelit untuk menyapu suatu kawasan dapat pada periode satu jam, satu hari (Mirabito et al., 2004). 2.1.2. Pantulan Spetral Obyek Setiap benda pada dasarnya mempunyai struktur partikel yang berbeda, baik mikro maupun makro. spektralnya.
Perbedaan struktur ini mempengaruhi pola respons
Oleh karena itu, pengenalan dan perbedaan respon spektral dapat
dijadikan landasan bagi pembedaan obyek.
Cara memberikan respons terhadap
gelombang elektromagnetik yang mengenainya berbeda-beda, baik dari satu jenis ke jenis lain maupun dari spektrum satu ke spektrum lain. Terdapat pola respon spektral obyek yang merupakan hasil dari berbagai penelitian di lapangan dan di Laboratorium. Pola inilah yang menjadikan dasar pemilihan band untuk kajian obyek tertentu. Gambar 2.1. menjelaskan uraian ini. 11
12
Gambar 2.1. Pola Respon Spektral beberapa Obyek (Jensen, 2004) 2.1.3. Citra Terra Terra merupakan satelit pengamat bumi yang dilucurkan pada tanggal 18 Desember 1999 (dengan periode misi selama 6 tahun), sebagai plaform pertama program pengamatan bumi skala besar yang dipromosikan oleh NASA. Kemudian program satelit ini diberi nama baru sebagai EOS-AM1 dengan diluncurkannya satelit Terra dan Aqua pada tanggal 4 Mei 2002 dengan spesifikasi 5 sensor yang tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Program tersebut hasil kerjasama Internasional antara NASA (Ceres, Modis, dan Misr), Jepang (Aster) dan Kanada (Moppit). Satelit Terra diluncurkan dengan orbit polar, sun-synchronous pada ketinggian 700 – 737 km (705 di ekuator), sudut inklinasi 98,2o, recurrence cycle 16 hari di ekuator, periode 98,88 menit.
Sumber : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php Gambar 2.2. Satelit Terra dan Sensor
13 Sensor
MODIS
(Moderate-Resolution
Imaging
Spectroradiometer)
menghasilkan resolusi radiometrik 16-bit perpiksel ini menghasilkan citra dijital dalam beberapa band ; Biru (Band 3), merah (Band 1), Hijau (Band 4), near-infrared (Band 2,5 dan 16 – 19), SWIR (Band 6 dan 7), Visible (Band 8 – 15), MWIR (Band 20 – 26) dan TIR (Band 27 – 36). Sementara resolusi spasial bervariasi antara 250 m (band 1 dan 2), 500 m (band 3 – 7) dan 1000 m (band 8 – 36) (Prahasta, 2008). Pada Tabel 2.1, menunjukkan kisaran panjang gelombang, resolusi spasial dan penerapan Citra Terra-Modis yang digunakan dalam penelitian. Tabel 2.1. Kisaran Spektrum Panjang Gelombang, Resolusi Spasial, dan Penerapan Citra Terra-Modis, Resolusi Spasial 500 m Band
Keterangan
1 2 3 4 5
Panjang Gelombang (µm) 0.62 – 0.67 0.84 – 0.87 0.46 – 0.48 0.55 – 0.57 1.230 – 1.250
Merah (Red) Infra Merah Dekat (NIR) Biru (Blue) Hijau (Green) Infra Merah Tengah 1 (MIR1) 6 Infra Merah Tengah 2 1.628 – 1.652 (MIR2) 7 Infra Merah Tengah 2.105 – 2.155 (MIR) Sumber : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php
Resolusi Spasial 250 m 250 m 500 m 500 m 500 m
Penerapan
Tanah, Awan, Aerosol
500 m 500 m
2.1.4. Citra Landsat ETM+ dan Aplikasinya Satelit Landsat (Land Satellite), milik Amerika Serikat, pertama kali diluncurkan pada tahun 1972, dengan nama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite-1).
Keberhasilan pada misi pertamanya, kemudian dilanjutkan dengan
peluncuran seri kedua, tetapi dengan nama Landsat, sehingga ERTS-1 pun berubah nama menjdi Landsat-1. Demkian juga untuk seri berikutnya dengan nama Landsat. Seri ini telah sampai pada Landsat-7 hingga saat ini. Selama dalam kurun waktu tersebut, telah terjadi perubahan sensornya, sehingga ke tujuh satelit tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua generasi ; generasi pertama (Landsat 1 – 3) dan generasi kedua (Landsat 4-7). Landsat 1 – 2 memuat dua macam sensor; RBV
14 (Return Beam Vidicon, terdiri atas 3 band RBV1, RBV2 dan RBV3 dengan resolusi spasial 79 meter) dan MSS (Multispectral Scanner, resolusi spasial pada 79 meter terdiri atas 4 band yaitu MSS4, MSS5, MSS6 dan MSS7 yang dimulai dari nomor urut 4 mengacu pada tiga band pertama RBV). Landsat 3 masih memuat kedua macam sensor tersebut, namun dengan penyusutan jumlah band pada RBV menjadi satu band tunggal yang beresolusi spasial 40 meter.
Gambar 2.3. Satelit Landsat ETM+ dan bagian-bagiannya Landsat 4-5 memuat 2 macam sensor pula, dengan mempertahankan MSS nya, tetapi mengganti RBV dengan TM (Thematic Mapper), karena alasan kapabilitas. Dengan demikian urutan penomeran MSS menjadi MSS1, MSS2, MSS3 dan MSS4. Sensor TM yang mempunyai tujuh band dinomeri urut dari 1 hingga 7, dengan catatan spektrum yang digunakan pada TM 6 adalah band infra merah thermal dengan resolusi 120 m, yang menyelip antara dua band inframerah tengah (TM5 dan TM7 yang beresolusi 30 m). Karena adanya kegagalan pada peluncuran Landsat 6, maka pada tahun 1999 diluncurkan Landsat 7 dengan sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper Plus).
ETM+ sebenarnya meneruskan keberhasilan TM pada
Landsat 4 dan 5, dengan tambahan satu band pankromatik (0,52 – 0,90 µm) dengan
15 resolusi 15 m.
Juga terdapat perbedaan lain yaitu resolusi spasial untuk band
inframerah thermal adalah 60 m, disamping kalibrasi koreksi radiometrik 5 %. Tabel 2.2., jenis sensor, spesifikasi teknik dan panjang gelombang yang digunakan pada Landsat MSS, TM dan ETM+. Tabel 2.2.. Kisaran Spektrum Panjang Gelombang, Resolusi Spasial, dan Penerapan Citra Landsat ETM+
1
Panjang Gelombang (Micrometer) 0.45 – 0.515
Resolusi Spasial 30 m
2
0.525– 0.605
30 m
3
0.63 – 0.690
30 m
4
0.75 – 0.90
30 m
5
1.55 – 1.75
30 m
6 7
10.40 – 12.5 2.09 – 2.35
60 m 30 m
Band
Pan 0.52 – 0.90 Sumber : Pusdata LAPAN (2007)
15 m
Penerapan Band biru penetrasi tinggi terhadap air, cocok untuk studi sumberdaya air dan dapat untuk mensuport analisis tanah, vegetasi dan landuse. Band hijau, puncak reflektansi berada pada daerah ini, maka keutamaan saluran ini adalah untuk studi diskriminasi jenis-jenis vegetasi. Band merah, cocok untuk diskriminasi vegetasi, kontras tinggi antara vegetasi dengan obyek lain. Inframerah dekat, cocok untuk indentifikasi tanaman, kontras antara vegetasi, tanah dan air. Inframerah gelombang pendek, baik untuk studi kandungan air tanah, kelembaban tanah, dan fenomena thermal. Infra merah thermal, untuk studi hidrothermal Inframerah gelombang pendek, sangat baik untukidentifikasi formasi batuan dan lahan terbuka Pemetaan tutupan lahan
2.2. Klasifikasi Multispektral Tutupan Lahan Klasifikasi multispektral merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria nilai spektral atau nilai kecerahan pada beberapa saluran sekaligus, dengan asumsi dasar bahwa tiap obyek dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lain berdasarkan nilai spektralnya (Danoedoro, 1996). Dalam analisis citra multispektral untuk tutupan lahan secara langsung hanya dapat diterapkan untuk pemetaan tutupan lahan (landcover) dan bukan penggunaan lahan. Aspek penggunaan lahan secara deduktif dapat diturunkan dari informasi penutup lahannya. Dalam konteks tutupan lahan teknik interpretasi atau klasifikasi
16 tutupan lahan dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu Hard Classification dan Soft Classification (Campbell, 2002). 2.2.1. Klasifikasi Kasar (Hard Classification) Hard Classification atau klasifikasi kasar yaitu sistim klasifikasi yang "memaksa" satu pixel untuk ditunjuk sebagai satu kelas tutupan lahan. Kenapa dikatakan "memaksa", sebab secara teoritis, satu pixel pada citra satelit kemungkinan berisi sejumlah objek (tidak hanya 1 objek). Pada citra yang memiliki resolusi spasial rendah (coarse resolution), misalnya Citra Terra MODIS yang memiliki ukuran pixel 500mx500m, dalam luasan spasial citra seperti itu, sangat mungkin satu pixel Citra Terra MODIS berisi banyak objek, misalnya vegetasi, air, tanah, bangunan, sekaligus dalam 1 pixel. Meskipun terdapat banyak obyek dalam 1 pixel, dalam konsep Hard Classification, satu pixel harus "dipaksakan" untuk dijadikan satu kelas tutupan lahan. Biasanya kelas yang akan muncul adalah obyek yang paling dominan (paling banyak) di dalam pixel yang bersangkutan. Sebab obyek yang paling dominan akan mendominasi rona/warna (nilai pixel). Hard Classification atau teknik klasifikasi kasar dikelompokkan lagi menjadi 2, yaitu interpretasi visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual umumnya kita kenal sebagai delineasi atau digitasi, dan ini merupakan teknik yang paling umum kita gunakan. Teknik interpretasi digital atau interpretasi otomatis dilakukan menggunakan algoritma statistik, seperti Maximum Likelihood, Minimum Distance, Parallelipiped, Neural Network, k-Nearest Neighbour, dan sebagainya. 2.2.2. Klasifikasi Lunak (Soft Classification) Soft Classification nama lainnya adalah Sub Pixel Analysis atau Endmember Extraction, biasa juga disebut Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) atau Spectral Mixture Unmixing, adalah teknik klasifikasi (interpretasi) citra dengan menguraikan (memecah) masing-masing pixel yang ada pada citra. Sehingga satu pixel pada citra bisa "ditunjuk" menjadi beberapa kelas tutupan lahan. Dasarnya adalah, bahwa satu pixel pada citra umumnya terdiri atas beberapa obyek, pixel yang terdiri atas beberapa obyek ini disebut Mixed Pixel (Mixel). Teorinya, nilai pixel
17 objek campuran (mixed pixel) merupakan kombinasi tertimbang dari nilai spektral obyek-obyek yang ada dalam pixel tersebut. Soft classification tidak hanya diperuntukkan untuk tutupan lahan, bisa juga digunakan untuk aplikasi yang lebih rumit seperti identifikasi kandungan mineral tanah, identifikasi jenis batuan, identifikasi spesies tanaman, dan sebagainya. Dalam aplikasinya, soft classification sangat sulit, sehingga sangat jarang digunakan dan menjadi tidak populer bagi praktisi penginderaan jauh.
Gambar 2.4. Hard Classification dan Soft Classification (Ramirez, 2008) 2.2.3.
Analisis Citra Multispektral dengan metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) Linear Spectral Mixture Analysis menyediakan suatu strategi kuantitatif
dalam mempelajari citra multispektral. Metode ini telah digunakan untuk melakukan deteksi subpiksel serta klasifikasi dari piksel campuran pada citra hasil penginderaan jauh (Aklein, 1988). Pada Linear Spectral Mixture Analysis, nilai spektral pada piksel dimodelkan sebagai kombinasi linear dari pantulan setiap endmember, yang besarnya sesuai
18 dengan persentasi tutupan dari setiap endmember di lapangan.
Endmember
merupakan komponen fisik dasar yang secara fundamental dianggap tidak bercampur dengan komponen yang lainnya dalam sebuah piksel. Asumsi mengenai model linear diperlukan agar setiap komponen dapat dengan mudah diatur dan dipisahkan dari sebuah piksel.
Konfigurasi ini dapat mereduksi banyaknya nilai pantulan dari
campuran setiap endmember yang terdeteksi pada skala panjang gelombang radiasi elektromagnetik (Aklein, 1998 ; De Asis et al., 2007 ; Nurlina, 2008). Setiap obyek di permukaan bumi yang terekam oleh satelit penginderaan jauh memantulkan atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang juga disebut dengan nilai kecerahan (brightness value). Obyek-obyek tersebut dibentuk dalam piksel-piksel pada citra satelit yang merupakan bagian terkecil dari suatu citra. Untuk satelit Terra-MODIS yang memiliki resolusi spasial 500 x 500 meter dan meliputi wilayah yang heterogen, tentunya setiap pikselnya terdiri dari satu obyek saja, sehingga terdapat kemungkinan bahwa dalam satu piksel citra terdapat campuran dari beberapa obyek (spectral mixing).
Dengan menggunakan metode LSMA, maka
obyek-obyek yang terdapat dalam satu piksel dapat diidentifikasi dan dapat ditentukan proporsi spasialnya. Pada model ini, obyek yang akan diidentifikasi serta dihitung proporsi spasialnya diistilahkan dengan endmember. Sasaran dari LSMA adalah menghitung secara fraksional tutupan dari mayoritas unit tutupan lahan yang diteliti (endmember) di dalam piksel-piksel citra. Masukan (input) dari model LSMA adalah nilai reflektansi citra yang digunakan serta endmember (nilai piksel murni dari endmember). Pada Gambar 2.5. dapat dilihat model LSMA pada suatu piksel dengan beberapa endmember. Hasil dari proses ini (output) adalah nilai fraksi citra untuk setiap endmember bersama-sama dengan suatu citra yang berisikan kesalahan kecocokan (error of fit) (Vohland, et al., 2007; Nurlina, 2008). LSMA dengan model pemisahan spektral linier hasil pengukuran nilai kecerahan dari piksel tunggal dalam saluran tunggal dimodelkan sebagai berikut (Aklein, 1998):
19 Rmeas ,b =
dimana: Rmeas,b Rem,b Fem,b εb
= = = =
∑ (R n
em =1
em ,b
Fem ,b ) + ε b
............................................................. (1)
nilai kecerahan hasil pengamatan dalam setiap saluran nilai pantulan spektral dari endmember dalam setiap saluran nilai fraksi dari endmember pada setiap piksel dalam setiap saluran error atau kesalahan antara nilai kecerahan yang dimodelkan dan nilai kecerahan yang diukur dalam setiap saluran
Bila terdapat m saluran dengan n endmember, maka dalam bentuk matriks persamaan diatas menjadi:
⎡ Ri1 ⎤ ⎡ r11 r12 ..... r1n ⎤ ⎡ f i1 ⎤ ⎡ ε i1 ⎤ ⎢R ⎥ ⎢ r ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ i 2 ⎥ = ⎢ 21 r22 ..... r2 n ⎥ x ⎢ f i1 ⎥ + ⎢ε i 2 ⎥ ⎢..... ⎥ ⎢..... ..... ..... .....⎥ ⎢.....⎥ ⎢.....⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ Ri 4 ⎦ ⎣ rm1 rm12 ..... rmn ⎦ ⎣ f in ⎦ ⎣ε im ⎦
............................................ (2)
Sebagai batasan, jumlah dari semua fraksi endmember sama dengan satu (Aklein, 1998): n
∑F j =1
j
=1
.......................................................................................(3)
f i1 + f i 2 + f 13 + ... + f in = 1 dan 0 ≤ fin ≤ 1 .......................................... (4) RMS (Root Mean Square) error dihitung untuk setiap piksel berdasarkan pada perbedaan antara nilai kecerahan yang dimodelkan dan nilai kecerahan yang diukur dari setiap piksel dalam saluran yang dinyatakan dengan (Aklein, 1998):
⎤ ⎡1 m ε i = ⎢ ∑ (Rij − R mod el )2 ⎥ ⎦ ⎣ m j =1
1/ 2
2 n ⎡1 m ⎛ ⎞ ⎤ ε i = ⎢ ∑ ⎜ Rij − ∑ r jk * f ik ⎟ ⎥ k =1 ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ m j =1 ⎝
dimana: εi = error pada piksel ke-i m = jumlah saluran n = jumlah endmember
……………….....…………………(5) 1/ 2
……………………………….. (6)
20 Rij Rjk fk i j k
= = = = = =
nilai kecerahan pada piksel ke-i saluran ke-j nilai piksel murni pada saluran ke-j endmember k fraksi piksel ke-i, endmember k indeks piksel (1,2,3,..., jumlah baris x jumlah kolom) indeks saluran (1,2,3,..., m) indeks endmember (1,2,3,...)
Gambar 2.5. Pendekatan LSMA dengan Multiple endmembers (Vohland et al., 2007) 2.2.4. Pixel Purity Index (PPI)
Pixel Purity Index (PPI) digunakan untuk menentukan nilai ekstrem spektral murni dari piksel. Hal ini berkaitan erat dengan respon nilai spektral dari setiap material yang memberikan kombinasi linier untuk menghasilkan semua nilai spektral pada citra. PPI dimodelkan dengan menggunakan proyeksi n-Dimensi dari Scatter Plot ke ruang 2-D yang kemudian ditandai dengan piksel yang ekstrem pada setiap hasil proyeksi. Piksel ekstrem yang dihasilkan dari setiap proyeksi akan direkam dan jumlah total dari waktu setiap piksel yang ditandai ekstrem akan dicatat. Gambar 2.6.
Pada
digambarkan total nilai piksel ekstrem dengan jumlah iterasinya.
Hasilnya adalah citra PPI dengan nilai digital dari setiap piksel yang cerah pada citra menunjukan lokasi pantulan dari endmember. Citra inilah yang kemudian digunakan untuk menyeleksi beberapa piksel untuk dianalisa lebih lanjut, dengan begitu dapat mengurangi nilai piksel yang akan diuji.
21
Gambar 2.6. Indeks PPI (El-Nahry dan Altinbas, 2006) 2.2.5. Transformasi Minimum Noise Fraction (MNF)
Transformasi Minimum Noise Fraction (MNF) merupakan algoritma yang terdiri dari dua operasi reduksi data yang dilakukan secara berurutan (Green et al., 1988).
Tahap pertama merupakan dasar untuk estimasi noise pada data yang
direpresentasikan menggunakan matriks korelasi. Transformasi ini menskalakan dan mengkorelasikan kembali noise yang ada pada data dengan varians. Pada tahap ini informasi mengenai korelasi noise antar saluran belum diperhitungkan. Tahap kedua menentukan korelasi yang sesungguhnya dengan mengatur komponen yang berisi informasi jumlah dari varians pada seluruh saluran. Transformasi MNF merupakan versi modifikasi dari Principle Component Analysis (PCA).
Perbedaannya adalah jika pada PCA nilai eigen yang tinggi
mengindikasikan varians data yang dominan pada saluran yang ditransformasikan, pada MNF, nilai eigen yang mendekati 1 diasumsikan sebagai noise. Transformasi ini digunakan untuk mengidentifikasi sekaligus mengisolasi noise yang ada pada citra. Pada Gambar 2.7. dapat dilihat grafik nilai eigen serta transformasi antara dua komponen yang dipilih. Dimensi pada data hasil transformasi dapat mengindikasikan jumlah endmember yang dapat digunakan.
22
\
Gambar 2.7. (a) Grafik Vektor MNF (Nilai Eigen) (b) Scatter Plot dari MNF 2.2.6. Maximum Likelihood
Algoritma Maximum Likelihood merupakan algoritma yang secara statitstik paling mapan, karena memberikan hasil akurasi yang tinggi dalam pemetaan tutupan lahan. Pada algoritma ini, pixel dikelaskan sebagai objek tertentu tidak karena jarak equalidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space yang berupa elipsoida. Pengambilan keputusan metode Maximum Likelihood dilakukan berdasarkan persamaan berikut (Danoedoro, 1996) :
[
[
(
D = ln (ac ) − 0,5 ln ( Cov c ) − 0,5( X − M c ) Cov c dimana : D = c = X = = Mc = ac Covc ⏐Covc⏐ Covc-1 ln T
= = = = =
T
−1
)( X − M )]] c
............... (7)
jarak yang diberi bobot suatu kelas tertentu vektor piksel yang diklasifikasi vektor rerata sampel kelas c persentase probabilitas sembarang piksel untuk dapat menjadi anggota kelas c, dimana nilai default (yang ditawarkan komputer) adalah 1,0 berasal dari pengetahuan/informasi apriori matriks kovariansi piksel-piksel pada sampel kelas c, determinan Covc (aljabar matriks) inversi Covc (aljabar matriks) fungsi algoritma natural fungsi transposisi (aljabar matriks)
23 2.3. Sistim Informasi Geografis
Sistim Informasi Geografis (SIG) adalah himpunan alat (tools) yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, pengaktifan sesuai kehendak, pentransformasian, serta penyajian data spasial dari suatu fenomena nyata di permukaan bumi untuk maksud-maksud tertentu, data yang dimaksud adalah data spasial atau keruangan maupun atribut yang bersifat keterangan (Burrough, 1986). Aronof (1989) dalam Danoedoro (1996) mengartikan SIG sebagai suatu sistem berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data
bereferensi
geografis,
yaitu
pemasukan,
pengelolaan/manajemen
data
(menyimpan dan mengaktifkan kembali), manipulasi dan analisis, serta keluaran. Selanjutnya Danoedoro (1996) mengatakan bahwa pemanfaatan SIG secara terpadu dalam sistem pengolahan citra digital untuk memperbaiki hasil klasifikasi sehingga optimalisasi penginderaan jauh satelit dapat direalisasi. Penggunaan SIG saat ini banyak digunakan untuk bidang-bidang terapan seperti terapan dalam bidang hidrologi. Dalam kajian Daerah Aliran Sungai misalnya untuk studi kerawanan banjir, besarnya estimasi limpasan permukaan dapat dengan mudah diperoleh dengan menggunakan SIG dengan cara menurunkan peta satuan lahan dan mengintegrasikan tabel-tabel skor pada setiap satuan pemetaan hasil dari penggabungan berbagai peta (peta tutupan lahan, peta kerapatan aliran, peta lereng dan peta infiltrasi tanah). Selanjutnya informasi spasial baru berupa peta turunan estimasi limpasan permukaan diperoleh dengan mengkalkulasi (overlay) keempat veriabel pembentuk limpasan permukaan. 2.3.1. Digital Elevation Model (DEM)
Konsep tentang Digital Terrain Model (DTM) merupakan suatu hal yang relatif masih baru dan telah berkembang pesat. Istilah ini dikembangkan oleh dua orang Engineer Amerika Serikat (Miller dan La Flamme) yang bekerja di Laboratorium Fotogrametri MIT (Massachusetts Institute of Technology) di akhir tahun 1950-an. Mereka mendefenisikan DTM adakah gambaran permukaan bumi
24 yang disajikan secara statistik yang terdiri dari himpunan titik-titik koordinat X,Y,Z hasil pengukuran lapangan (Prahasta, 2008).
Sejak saat itu muncul beberapa
terminologi lain seperti Digital Elevation Model (DEM), Digital Height Model (DHM), Digital Ground Model (DGM), dan Digital Terrain Elevation Data (DTED) atau Digital Surface Model (DSM). 2.3.2. Analisis Geostatistik
Bentuk Permukaan bumi mempunyai perbedaan pola spasial, contohnya nilai kecerahan (brightness value) dari sebuah citra diumpamakan terbentuk dari catatan tentang kekayaan ruang ini. Karakteristik spasial akan mengambil bentuk atau pola tertentu.
Seorang analis seringkali mencoba mengetahui perbedaan pola spasial
tersebut dengan cara menggambarkan dalam bentuk pola-pola spasial.
Untuk
mengukur perbedaan tersebut diperlukan sebuah piksel atau piksel tetangga yang menggambarkan keterkaitan hubungan spasial pada sebuah data citra satelit. Variabel acak yang terdistribusi disebuah ruang seperti nilai pantulan spektral disebut dengan regionalized. Pengukuran geostatistik digunakan untuk mengekstrak variabel-variabel spasial yang terdapat pada region. Teknik interpolasi geostatistik dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan spasial antara data yang ada untuk memperoleh data baru, melalui data grid dari nilai elevasi (Jensen, 2005). Metode interpolasi dapat dikategorikan dengan berbagai cara.
Beberapa
metode yang digunakan antara lain metode global dan lokal, Eksak dan non Eksak dan Deterministik dan Stokastik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. berikut (Chang, 2006) : Tabel 2.3. Metode Klasifikasi Interpolasi Spasial
Global Deterministik Stokastik Analisis Trend Regresi (ineksak) (ineksak)
Lokal Deterministik - Thiessen (eksak) - Estimasi Densitas (Ineksak) - IDW (eksak) - Splines (eksak)
Sumber : Chang (2006)
Stokastik Kriging (eksak)
25 2.3.3. Kriging
Salah satu metode interpolasi yang terkenal yaitu metode Kriging. Dinamakan Kriging karena berdasarkan penemunya
Krige (1951), yang
menggunakan istilah umum untuk bentuk bangun segiempat siku dari algoritma regresi linier yang digunakan untuk mengestimasi nilai atribut yang kontinu pada beberapa lokasi sampel yang menggunakan data hanya dari daerah studi (Jensen, 2005). Kriging merupakan metode gridding yang bersifat fleksibel dan geostatical yang sangat bermanfaat di berbagai bidang dan menyediakan tampilan visual dengan daya tarik yang kuat bagi data yang tersebar secara tidak teratur. Metode ini berusaha untuk mengekspresikan trends yang terkandung di dalam data hasil pengukuran sehingga titik-titik tinggi yang terdapat disepanjang punggung bukit
dapat
dihubungkan berbeda dengan titik tinggi yang terisolasi oleh garis kontur (bull’s eye). Terdapat beberapa metode kriging yaitu ; 1) Model Variogram , 2) Model Drift dan 3) model Nugget effect (Prahasta, 2008). Aplikasi metode Kriging di Indonesia banyak dipakai untuk aplikasi pengamatan curah hujan. Curah hujan memiliki variasi keruangan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain. Apabila tebal hujan yang jatuh pada suatu DAS digambarkan pada koordinat Kartesian (x, y), maka akan terbentuk plot permukaan tebal hujan yang berbeda-beda pada titik-titik (x, y). Plot permukaan ini merupakan fungsi dari tiap titik lokasi yang dapat dinyatakan dengan (Hadi, 2008): r(x, y) = f(x, y) ………………………………………….
(8)
dimana : r(x, y) = Tebal curah hujan pada lokasi (x, y). Pada kenyataannya fungsi tersebut tidak pernah diketahui, karena variasi keruangan terlalu kompleks untuk dimodelkan melalui fungsi matematis. Untuk mengatasi hal ini, dibuat perkiraan fungsi tersebut atas dasar sejumlah pengukuran tebal hujan pada beberapa lokasi sampel.
26 n
rz ( x, y ) = ∑ λ j r j ( x, y ) j −1
dengan
…………………………........…. (9)
n
∑ λj = 1 j −1
dimana : λj rj(x, y) rz(x, y) n
= = = =
Faktor bobot lokasi j. Tebal hujan pada lokasi j. Prediksi tebal hujan pada lokasi z. Jumlah titik lokasi sampel disekitar titik lokasi yang diprediksi.
2.3.4. Semi-Variogram
Semi-Variogram atau lebih sering disebut Variogram, merupakan ukuran perilaku data secara spasial. Variogram dipakai untuk menentukan jarak dimana nilai-nilai data pengamatan menjadi saling tidak tergantung atau tidak ada korelasinya. Variogram adalah perangkat dasar Geostatistik untuk visualisasi, permodelan, dan eksploitasi autokorelasi spasial dari variabel teregionalisasi. Nilai
variogram
disekitar
titik
awal,
dinamakan
sebagai
nugget,
mencerminkan kontinuitas lokal dan variabilitas data. Jika mendekati kontinyu dan variabilitasnya kecil, maka nilai variogram di sekitar titik awal akan 0.
Nilai
variogram untuk jarak yang besar sama dengan nilai varians data yang bersangkutan dan nilainya hampir tetap, dinamakan sill.
Sedangkan jarak (h) yang nilainya
mencapai range disebut dengan sill. Bila nilai variogram di titik awal tidak sama dengan 0, maka dikatakan bahwa variogram mempunyai effek nugget. Nugget mencerminkan adanya data skala kecil yang tidak dapat dikorelasikan. Ada yang mengatakan bahwa efek nugget ini adalah “sampling error” (Oliver, 1990). Secara umum persamaan semivariogram dirumuskan sebagai berikut :
[
1 N (h) γ (h) = ∑ Z ( xi + h) − Z ( xi ) 2 N ( h) i =1 dimana : γ(h) Z(xi) Z(xi+h) N(h)
= = = =
]
2
……………………………………….(10)
Semivariogram nilai pengamatan di titik xi nilai pengamatan di titik xi + h banyaknya pasangan titik yang mempunyai jarak h
27
Gambar 2.8. Grafik Analisis Semivariogram 2.4. Hidrologi Daerah Aliran Sungai
DAS merupakan daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksud. Daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi, yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian (Sriharto, 1993). Aliran permukaan menurut Linsley (1982) akan dialirkan oleh suatu sistem sungai yang saling berhubungan sedemikian rupa, sehingga aliran-aliran yang berasal dari kawasan tersebut keluar melalui suatu aliran tunggal. DAS juga merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang didalamnya terjadi hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara unsur-unsur biotik, abiotik dan manusia dengan segala aktivitasnya (Gambar 2.8). Perubahan yang terjadi terhadap suatu unsur akan mempengaruhi kondisi DAS secara keseluruhan.
28 Sisa air hujan yang langsung jatuh ke permukaan tanah disebut tembusan (throughfall), sedang bagian air yang kemudian menetes dari dedaunan dan batang yang disebut crowndrip, yang mengalir lewat sepanjang batang ke permukaan tanah disebut aliran batang (stemflow) (Anderson et al., 1976). Banyaknya air yang tidak langsung dapat mencapai permukaan tanah tergantung pada karakteristik tanaman penutup. Karakteristik ini meliputi bentuk dan ukuran daun, bentuk dan kerapatan tajuk, kekasaran kulit batang dan kelurusan batang pohon. Air yang dapat mencapai permukaan tanah masih terbagi bagi lagi, sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian akan mengisi ledok ledok permukaan tanah (depression storage), dan sisanya akan mengalir sebagai limpasan (runoff). Banyaknya air yang meresap ke dalam tanah tergantung pada sifat sifat fisik tanah terutama tekstur dan stuktur tanah, keadaan topografi permukaan dan keadaan relief mikro permukaan tanah. Dalam proses hidrologi (Gambar 2.9.) mulai hujan hingga menjadi limpasan, akan selalu terjadi penguapan. Besarnya penguapan ini tergantung pada keadaan tutupan lahan, keadaan cuaca dan sifat sifat meteorologis daerah kajian (Hadi, 2006).
Gambar 2.9. Daur Hidrologi
29 2.4.1. Peran Vegetasi dalam Hidrologi Daerah Aliran Sungai
Peran vegetasi dalam fungsi hidrologi DAS sangat penting karena berkaitan dengan aliran permukaan DAS tersebut.
Apabila vegetasi diubah dalam batas
tertentu, dapat mempengaruhi respon aliran air dalam DAS terhadap curah hujan tertentu (Asdak, 2002). Keberadaan vegetasi memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi air hujan yang jatuh untuk menguap dan terinfiltrasi, sehingga mengurangi kesempatan air untuk membentuk aliran permukaan. Dalam hal ini vegetasi berperan sebagai penghambat efektif terbentuknya aliran permukaan. Semakin besar persentase tutupan vegetasi semakin kecil kemungkinan air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah. Pengamatan-pengamatan hidrologi hutan selama bertahun-tahun telah menunjukkan bahwa limpasan permukaan pada DAS yang berhutan adalah jarang sekali (Seyhan, 1993). Hamilton dan King (1983 dalam Suprayogi, 2003) mendapatkan bahwa hampir setiap percobaan di DAS, menunjukkan kenaikan hasil air sebagai tanggapan terhadap penebangan hutan. Kenaikan tersebut pada umumnya sebanding dengan tajuk yang dihilangkan, kenaikan berkurang setelah hutan di DAS tersebut pulih kembali.
INPUT = HUJAN
VEGETASI VEGETASI
TANAH
LERENG
DAS = PROSESOR
OUTPUT = DEBIT, MUATAN SEDIMEN
Gambar 2.10. Fungsi Ekosistem DAS (Asdak, 2002)
MANUSIA IPTEK
30
2.4.2. Infiltrasi Tanah
Infiltrasi adalah aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Dalam infiltrasi dikenal dua istilah yaitu kapasitas infiltrasi dan laju infiltrasi (dinyatakan dalam mm/ham). Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, sedang laju infiltrasi adalah kecepatan infiltrasi yang nilainya tergantung pada kondisi tanah dan intensitas hujan (Triatmodjo, 2009). Pada hujan dengan intensitas tinggi, kapasitas infiltrasi akan terlampaui dengan beda cukup besar dibandingkan dengan hujan yang kurang intensif. Hujan dengan intensitas tinggi dapat menurunkan infiltrasi akibat kerusakan struktur permukaan tanah (pemadatan) yang ditimbulkan oleh tenaga kinetis hujan dan air larian yang dihasilkan (Asdak, 2002). 2.4.3. Kemiringan Lereng
Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju air larian, dengan demikian akan mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kemiringan lereng, keadaan parit, bentuk-bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume air larian. DAS dengan sebagian bentang lahan datar atau pada daerah cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan air larian yang lebih besar dibandingkan daerah DAS dengan kemiringan lereng yang lebih besar serta pola pengairan yang lebih baik. 2.4.4. Analisis Timbunan Air Permukaan
Analisis timbunan air permukaan dapat didekati dengan pengukuran kerapatan aliran. Linsley (1949 dalam Asdak, 2002) mengemukakan bahwa suatu daerah cepat kering atau mengalami penggenangan dapat dilihat dari penilaian kerapatan alirannya. Kerapatan kurang dari 1 mil/km2 menunjukan bahwa daerah tersebut selalu mengalami penggenangan, sedangkan lebih dari 5 mil/km2 daerah tersebut cepat kering. Hal ini dikarenakan daerah yang mempunyai alur-alur sungai rapat
31 (kerapatan alirannya tinggi), tidak memberikan kesempatan aliran permukaan ditahan oleh lereng-lereng sebelum mencapai sungai. Meijerink (1970) juga menyatakan bahwa kerapatan aliran suatu wilayah dapat digunakan untuk mewakili atau menilai secara numerik kondisi timbunan permukaan wilayah tersebut.
Berdasar alasan yang dikemukakan dari kedua
pernyataan tersebut, maka interpretasi simpanan air permukaan dapat diwakili dengan mengukur kerapatan alirannya. 2.4.5. Koefisien Limpasan (Runoff Coeficient)
Koefisien aliran adalah cara mudah yang digunakan untuk menggambarkan rasio dari rata-rata aliran dengan rata-rata hujan
(Hudson, 1995),
sedangkan
Sosrodarsono (1976) mengemukakan dua pengertian dari koefisien aliran. Pertama koefisien aliran mempunyai arti yaitu koefisien aliran puncak yang menunjukan perbandingan antara besarnya puncak aliran dengan intensitas hujan rata-rata selama waktu tiba banjir dan luas pengaliran. Pengertian kedua mengartikan koefisien aliran adalah perbandingan antara jumlah aliran langsung dengan jumlah curah hujan. Cook (1940 dalam Chow, 1964) mengembangkan metode empiris untuk menduga besarnya koefisien limpasan permukaan puncak, dengan mengaitkan faktor lereng, infiltrasi tanah, vegetasi penutup dan timbunan air permukaan. Parameter karakteristik DAS tersebut diklasifikasikan kemudian diberi nilai (skor) secara proporsional menurut kuat lemahnya pengaruh terhadap aliran permukaan untuk mendapat koefisien limpasan permukaan (C). Nilai koefisien aliran sering digunakan sebagai indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami kerusakan secara fisik. Nilai C berkisar antara 0 hingga 1. nilai 0 menunjukan bahwa semua air hujan yang jatuh akan mengalami intersepsi dan infiltrasi, sehingga tidak terjadi aliran permukaan, sedang nilai 1 menunjukan nilai sebaliknya.
Nilai koefisien aliran dapat dibedakan menjadi
koefisien aliran volume limpasan, koefisien aliran bulanan, dan koefisien aliran tahunan (Arsyad, 2000; Asdak 2002).
32 2.5. Kerangka Pemikiran
Landasan teori dari penelitian ini adalah mempertimbangkan hubungan kenampakan bentang lahan (landscape features) dengan proses-proses hidrologi (hydrologic processes) melalui interpretasi citra satelit Terra-MODIS.
Untuk
mengkaji banyaknya pengaruh parameter yang mempengaruhi kondisi hidrologi skala DAS diperlukan model yang tepat yang lebih ditekankan kepada analisis empiris, terutama untuk menganalisis limpasan permukaan sebagai penyebab terjadinya banjir. Penggunaan SIG saat ini banyak digunakan untuk bidang-bidang terapan seperti terapan dalam bidang hidrologi. Dalam kajian Daerah Aliran Sungai misalnya untuk studi kerawanan banjir, besarnya estimasi limpasan permukaan dapat dengan mudah diperoleh dengan menggunakan SIG dengan cara menurunkan peta satuan lahan dan mengintegrasikan tabel-tabel skor pada setiap satuan pemetaan hasil dari penggabungan berbagai peta (peta tutupan lahan, peta kerapatan aliran, peta lereng dan peta infiltrasi tanah). Selanjutnya informasi spasial baru berupa peta turunan estimasi limpasan permukaan diperoleh dengan mengkalkulasi (overlay) keempat veriabel pembentuk limpasan permukaan. Salah satu faktor penyebab terjadinya banjir adalah faktor perubahan tutupan lahan. Dalam konteks tutupan lahan diperlukan teknik interpretasi sistim klasifikasi tutupan lahan yang tepat dalam menyediakan informasi untuk keperluan analisis DAS. Penerapan sistim klasifikasi citra resolusi rendah untuk menganalisis tutupan lahan pada DAS dengan wilayah yang luas akan memberikan potensi masuknya mixed pixel jauh lebih besar daripada citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi. Penggunaan citra resolusi rendah seperti Citra Satelit MODIS dicoba pada daerah tutupan lahan seperti di Kalimantan dengan asumsi potensi masuknya mixel akan menjadi lebih banyak. Oleh karena itu diperlukan metode klasifikasi yang dapat mengatasi permasalahan mixel tersebut salah satunya yaitu dengan menggunakan Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA). Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
limpasan
permukaan suatu DAS dapat dianalisis melalui proses-proses yang terjadi dalam daur hidrologi dan pendekatan-pendekatan empiris.
Empat faktor yang berpengaruh
33 terhadap koefisien limpasan yaitu ; variabel infiltrasi, variabel vegetasi, variabel lereng dan variabel kerapatan alur drainase. Infiltrasi tanah dipengaruhi oleh permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menampung air, yang selanjutnya akan berperan penting dalam menentukan besar kecilnya koefisien limpasan permukaan. Faktor vegetasi dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface detention).
Faktor lereng akan
mempengaruhi perilaku hidrograf dalam hal timing, semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju limpasan permukaan. Besar kecilnya kerapatan aliran (drainage density) suatu DAS akan memberikan pengaruh linier terhadap kecepatan aliran, sebab semakin tinggi kerapatan aliran semakin besar pula kecepatan air larian untuk curah hujan yang sama. Keempat variabel penentu koefisien aliran masing-masing diklasfikasikan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi.
Klasifikasi kemiringan lereng dan
vegetasi tutupan lahan digunakan pendekatan sistim klasifikasi yang dikeluarkan oleh State of California Department of Transportation (SCDT), klasifikasi infiltrasi tanah menggunakan klasifikasi Richard dan Cossens yang disesuaikan dengan sistim klasifikasi metode SCDT. Sedangkan klasifikasi timbunan air permukaan digunakan dengan menggunakan metode klasifikasi kerapatan aliran yang diadaptasi dari Linsley (1959) dan Meijerink (1970), Gunawan (1991 dan SCDT (2000). Dengan menggunakan bantuan Sistim Informasi Geografis (SIG), parameterparameter fisik medan yang diekstraksi dari citra penginderaan jauh citra TerraMODIS (tutupan lahan), kerapatan aliran, peta-peta penunjang seperti ; peta kemiringan lereng, dan peta tanah (data tanah), dikuantitatifkan dengan teknik pengharkatan tertimbang selanjutnya dilakukan operasi tumpang susun (overlay) untuk mendapatkan nilai koefisien limpasan permukaan. Untuk membuktikan kebenaran dari estimasi koefisien limpasan permukaan hasil klasifikasi multispektral diuji dengan dengan menggunakan citra fraksi resolusi yang lebih tinggi dalam hal ini citra fraksi Landsat7 ETM+. Pengujian C estimasi dengan C aktual dilakukan dengan menggunakan tiga pembanding yaitu dengan menggunakan perhitungan data hidrologis, piksel homogen dan C-proporsi dari tabel.
34 Hasil akurasi dikatakan akurat bila C hasil estimasi tidak berbeda dengan C-pembanding dengan menggunakan hipotesis dari uji beda t berpasangan. Hasil penelitian ini berupa citra fraksi endmember vegetasi, permukaan kedap air, tanah, tubuh air, tutupan lahan hasil klasifikasi metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA), serta informasi distribusi spasial koefisien limpasan permukaan. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan pijakan sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan pengelolaan konservasi tanah dan air khususnya sumberdaya air di sekitar DAS Riam Kanan termasuk didalamnya keberadaan waduk Riam kanan sebagai kawasan resapan air (Catchment Area) selanjutnya dengan ketersediaan dana upaya-upaya untuk mitigasi bencana seperti banjir, dan longsor dapat diantisipasi secara dini. Adapun diagram kerangka pemikiran penelitian ini dapat dapat dijelaskan pada Gambar 2.11. berikut :
35 Estimasi limpasan permukaan di Sub DAS Riam Kanan
Kontur Digital Parameter Lereng, dan Kerapatan Alur
Tutupan Lahan di DAS Riam Kanan (Citra Terra MODIS)
Overlay (Raster)
Post Classification (Rule Classifier)
Uji Akurasi
Koefisien Limpasan Permukaan (C) Hasil Estimasi
Citra Fraksi Landsat ETM+ Tahun 2009
Informasi Tutupan Lahan Kelas dalam 1 piksel Tahun 2009
Peta Proporsi Tutupan Lahan Tahun 2009
Infiltrasi Tanah
Informasi Tutupan Lahan Pada Tingkat Sub-Piksel Tahun 2009
Evaluasi C estimasi dengan C aktual (Dari data hidrologi, Piksel Homogen & Tabel)
Klasifikasi konvensional (Maximum Likelihood Tahun 2009
Linear Spectral mixture Analysis Tahun 2009
Uji t-Student Citra Terra MODIS Tahun 2009
Keterangan : = dibandingkan
Gambar 2.11. Skema Kerangka Alur Pemikiran
Hasil Evaluasi C Ketepatan Estimasi
36 2.6. Batasan Operasional
Bentuklahan (Landform) merupakan bentukan pada permukaan bumi sebagai hasil perubahan bentuk permukaan bumi oleh proses-proses geomorfologis yang beroperasi di permukaan bumi (Dibyosaputro, 1997). Citra (Image) adalah (1) gambaran dari suatu obyek yang dihasilkan oleh pantulan atau pembiasan dari cahaya yang difokuskan oleh lensa atau cermin (Sutanto,1986); (2) Gambaran suatu rekaman (umumnya sebagai citra foto) dari suatu obyek yang dihasilkan oleh optikal, elektro-optikal, optikal mekanikal, atau alat-alat lainnya. Gambaran tersebut umumnya digunakan bila radiasi elektromagentik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu perujudan yang tidak langsung direkam pada film (Purwadhi, 2000; Short, 1982). DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggungpunggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (asdak, 2002). Endmember merupakan komponen fisik dasar yang secara fundamental dianggap tidak bercampur dengan komponen yang lainnya dalam sebuah piksel (Wikantika, 2005). Hidrograf (Hydrograf) adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara tinggi muka air atau debit terhadap waktu (Linsley, 1975). Hidrograf Aliran (Discharge Hydrograph) adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara debit dengan waktu. Hidrograf Tinggi Muka Air (Stage Hydrograph) adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara tinggi muka air dengan waktu. Interpretasi Citra (Image Interpretation) merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengindentifikasikan obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 dalam Sutanto, 1986). Infiltrasi (Infiltration) adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah (Asdak, 2002). Koefisien limpasan permukaan (Runoff Coefficient) adalah rasio antara aliran langsung dengan hujan yang menyebabkan aliran tersebut (Linsley, 1975).
37 Limpasan permukaan (Surface Runoff) merupakan bagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan, besar kecilnya limpasan ini tergantung pada air hujan per satuan waktu, keadaan penutup tanah (topografi terutama kemiringan lereng), jenis tanah dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya hujan) (Rahim, 2000) Penggunaan Lahan (Landuse) adalah segala macam campur tangan manusia baik secara menetap maupun berpindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik materiil maupun spritual ataupun kebutuhan kedua-duanya (Malingreau, 1978). Piksel (picture element) adalah unsur data dengan aspek spasial dan spektral (Sutanto, 1992). Pixel Purity Index adalah indeks kemurnian piksel yang ditentukan dari hasil rekaman piksel murni dengan sejumlah iterasi. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) adalah suatu proses untuk melihat sesuatu dengan menggunakan alat sensor seperti mata, hidung, telinga, lidah maupun kulit. Jadi penginderaan jauh merupakan suatu proses penginderaan yang dilakukan dari jarak jauh sedangkan yang diindera adalah bukanlah obyek atau fenomena langsung melainkan hasil dari rekamannya (Sutanto, 1977). Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistim dan alat yang memiliki kemampuan untuk menyimpan, mengolah, menganalisis dan memanipulasi data spasial untuk menghasilkan informasi baru. Reflektansi (reflectance) adalah rasion antara total radiasi yang dipantulkan oleh suatu benda dengan radiasi yang mengenai benda tersebut. (International Commission on Illumination, 1957). Resolusi Spasial adalah ukuran terkecil obyek yang dapat dideteksi oleh sistim sensor satelit.
38
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis citra digital Citra TerraModis untuk mendeteksi tutupan vegetasi pada tingkat sub-piksel dengan menggunakan metode Linear Spectral Mixture Analysis sebagai parameter input untuk menentukan koefisien aliran permukaan. Sistim Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk pengolahan dan analisis data berupa tumpang susun (overlay) dan pengharkatan (scoring). Tumpang susun (Overlay) dilakukan untuk pembuatan peta satuan lahan, scoring digunakan untuk mengkuantitatifkan parameter penentu koefisien
limpasan permukaan, serta pemetaan untuk memperoleh informasi
distribusi spasial limpasan permukaan. 3.1. Pemilihan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Riam Kanan dan sekitarnya dengan dibatasi oleh 114o55’20” BT – 115o15’33”BT dan 03o21’55”LS – 03o40’38”LS, terletak di Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Pertimbangan pemilihan lokasi didasarkan pada Sub DAS Riam Kanan merupakan lokasi sumber limpasan dan sedimentasi terbesar yang akan memicu pendangkalan waduk dan terjadinya banjir di Bagian Hilir. Pertimbangan lain didasarkan pada tersedianya 6 stasiun penakar hujan, data tinggi muka air waduk (DMA), yang dijadikan sebagai data pembanding untuk evaluasi ketelitian hasil estimasi limpasan. Dalam penelitian ini diujicoba menggunakan area penelitian yang lebih sempit dengan asumsi bahwa peluang masuknya miksel campuran (mixed pixel) sama dengan menggunakan area yang lebih luas pada DAS dengan karakteristik yang tidak jauh berbeda.
38
39
Gambar 3.1. Lokasi Penelitian di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM sebagai Latar Belakang
40 3.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1. dan Tabel 3.2. sebagai berikut : Tabel 3.1. Bahan Penelitian No. Bahan Penelitian 1. Data Digital Terra-MODIS level 2G MOD02HKM.A.2009170.0240.005.2010040082305.geotiff perekaman tanggal 01 – 29 September 2009 2. Data Digital Landsat7 ETM+ level 1 G path/row 117/062 perekaman tanggal 16 Juni 2009 3. Peta Rupa Bumi 1 : 50.000 lembar 1712-33 (Tiwingan), Lembar 1712-24 (Aranio), Lembar 1712-61 (Benteng), Lembar 1712-62 (Kahelaan) dan 1712-34 (Jombang) Tahun 1999 4. Peta Kontur RBI Digital skala 1 : 50.000 5. Peta-peta Tematik : - Peta Geologi Kabupaten Banjar skala 1 : 200.000 tahun 1970 - Peta Jenis Tanah Kabupaten Banjar skala 1 : 25.000, tahun 1974 6.
Data Papan Duga Muka Air Waduk (DMA) dan data curah hujan tahun 2009
Sumber NASA USGS Bakosurtanal Bakosurtanal Lembaga Penelitian Tanah Bogor BMKG & PT.PLN Riam Kanan Propinsi Kalimantan Selatan
Tabel 3.2. Alat yang digunakan dalam penelitan No. Alat Penelitian Kegunaan 1. Note Book Toshiba (Satelite A50) dengan kapasitas memori Pemrosesan hasil 1GB dan Hardisk 40 GB penelitian 2. Software ENVI versi 4.5 Pengolahan Citra 3. Software Arc.GIS 9.2,Watershed Delineation Tools (WDT), Pemetaan dan analisis Ilwis 3.3. data spasial 4. Software Global Mapper Ver. 10 Ekstraksi DEM 5. Frame_and_fill_win32 Perbaikan Stripping Citra Landsat 6. Abney level Pengukuran kemiringan lereng 7. Global Positioning System (GPS) Garmin 76 CSx Penentuan posisi di lapangan 8. Double Ring Infiltrometer Pengukuran laju infiltrasi 9. Kamera digital Dokumentasi 10. Alat tulis menulis Mencatat hasil penelitian
41 3.3. Variabel Penelitian
Pada Tabel 3.3. berikut ini akan diuraikan jenis variabel, cara perolehan dan analisis data. Tabel 3.3. Jenis Variabel, Perolehan Data dan Analisis No
Jenis Variabel DEM
1.
Bentuklahan
3
1.
Kemiringan Lereng
3
2.
Tutupan lahan/Pengguna Lahan
3.
Infiltrasi
3
4.
Simpanan permukaan/Kerapatan Aliran
3
Perolehan Data Data Cek Sekunder Lapangan 3 3
3
3
3
3
3
3
3
Cara Analisis Interpretasi visual : Deteksi, identifikasi, analisis + peta geologi dan DEM Diturunkan dari DEM, dibuat dari kontur digital Interpretasi Digital, Metode Klasifikasi Multispektral metode Linear Spectral Mixture Analysis & maximum likelihood, Supervised Classification. Interpretasi visual (pendekatan deduktif induktif+data sekunder)+cek lapangan dengan double ring infiltrometer Kerapatan aliran dihitung berdasarkan satuan lahan dengan menggunakan software ArcGis 9.2. dan tools WDT,Ilwis 3.3.
42 3.4. Populasi dan Sampel
Penentuan populasi dan sampel dilakukan untuk uji akurasi dari kedua metode klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini.
Sampel yang dimaksud dalam
penelitian ini berupa sejumlah piksel yang dianggap homogen dan mewakili dari seluruh piksel yang digunakan untuk analisis.
Penentuan sampel dilakukan dengan cara
mengecek di lapangan (ground check) terhadap kenampakan visual piksel yang dicurigai sebagai piksel murni, kemudian posisi/koordinat diplot dan dilacak langsung di lapangan bila di lapangan terdapat hanya satu obyek homogen berarti penentuan sampel sudah tepat. Untuk keperluan tersebut dalam penelitian ini digunakan sampel berkisar antara 50 – 100 piksel. Homogenitas data sampel ditunjukkan oleh homogenitas piksel pada setiap sampel dimana simpangan baku kelompok piksel tiap sampel haruslah rendah untuk setiap saluran. Cara termudah untuk mengambil sampel yang memenuhi kriterium ini adalah dengan mengambil piksel-piksel murni (pure piksel).
Pada luasan yang
homogen, pengambilan piksel murni dapat secara mudah dilakukan dengan memilih piksel di bagian tengah kenampakkan obyek. Melalui penampilan citra komposit warna yang baik, homogenitas obyek dicerminkan oleh warna yang seragam (Danoedoro, 1996). Pengambilan sampel untuk luas daerah kurang dari 500.000 Ha adalah 50 sampel per kategori (Congalton dan Grenn 1999 dalam Lilliesan et al., 2004). Sedangkan menurut Lillisand dan Kiefer (1990) pada prakteknya digunakan minimum 10n hingga 100n pixel.
3.5. Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan selama penelitian berlangsung terdiri dari ; tahap persiapan, tahap praprocessing, tahap kerja lapangan, Interpretasi Ulang, Uji akurasi, tahap analisis hasil dan tahap penyelesaian. Secara rinci prosedur jalannya penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian.
43
3.5.1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan persiapan penelitian yang meliputi : studi kepustakaan, mempersiapkan peta-peta tematik, mempersiapkan citra yang akan digunakan untuk analisis,
mempersiapkan
peralatan
yang
akan
digunakan
di
lapangan
dan
mempersiapkan perangkat lunak dan perangkat keras untuk mendukung penelitian.
3.5.2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian meliputi ; 1. Tingkat akurasi metode klasifikasi multispektral antara metode klasifikasi Analisis Campuran Spektral Secara Linier (LSMA) dan metode klasifikasi Maximum Likelihood dalam menyadap informasi tutupan lahan dari citra Terra-MODIS terdiri dari Kerja Tahap I yang terdiri tahapan pada butir: 3.5.2. sampai dengan point 3.5.4. 2. Informasi tutupan lahan (vegetasi, permukaan kedap air, tanah terbuka dan air) sebagai parameter masukan untuk estimasi
limpasan permukaan di DAS Riam
Kanan terdiri dari Kerja Tahap II yang terdiri dari tahapan pada butir 3.9.1 sampai dengan 3.10.8.
44 Citra Terra-MODIS Th. 2009 Resolusi 500 x 500 m
Koreksi Bow-Tie & Citra Landsat7 ETM+ Th.2003 Resolusi 30 x 30m
Data Pengukuran Tanah dengan Double Infiltrometer
Koreksi Radiometrik dan Koreksi Geometrik
Interpolasi Spasial Metode Kriging
Kontur Digital Skala 1 : 50.000
Analisis Spasial
Pemotongan Citra
Citra Terkoreksi (Radiometrik dan Geometrik)
Minimum Noise Fraction
Pixel Purity Index
Data Curah Hujan, Data DMA
Maximum Likelihood Th. 2009
Q=a+bX
Peta Tutupan lahan Th. 2009
Model Hujan Aliran Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) Th.2009
Uji Akurasi (Confusion Matrix & Kappa)
Debit Turunan Citra Fraksi Endmember Tutupan Lahan Th. 2009 (%vegetasi, %permukaan kedap air, % tanah terbuka, % tubuh air) per piksel & Citra RMS Error
Uji Akurasi (RMS Error)
C Terukur (Observasi) Citra Landsat ETM+Th.2009 Resolusi 30 m x 30 m
DRO Pemisahan hidrograf
Peta Proporsi Tutupan lahan Th. 2009 Metode LSMA
Peta Kerapatan Aliran
DEM
Post Classification (Rule Classifier) Peta Raster Land Cover
Keterangan : = Input = Proses = Hasil
Peta Raster Infiltrasi Tanah
Peta Raster Timbunan Permukaan
Peta Raster Lereng
Overlay (Persamaan 19) Koefisien Aliran (C) Th. 2009
Persamaan 19 : C 2009 = C landcover 2009 + C Slope + C Infiltrasi + C Kerapatan Aliran
Gambar 3.2. Diagram Alir Penelitian
Peta Batas DAS
45 3.5.2.1. Pengolahan Citra Modis
Ada beberapa tahapan persiapan pengolahan yang diterapkan pada citra Modis sebelum dilakukan analisis citra dengan model LSMA tahapan tersebut meliputi ; koreksi geometrik, bow tie, konversi DN menjadi nilai reflektansi dan pemotongan citra. Koreksi geometrik citra dilakukan pada distorsi geometrik non sistimatis. Koreksi geometrik yang dilakukan yaitu georeference Citra MODIS L1B yang meliputi proses scalling, rotating, translating,
dan skewing citra sesuai dengan
ukuran sebenarnya. Pada proses koreksi ini dibutuhkan transformasi polinomial yang membutuhkan beberapa titik ikat medan untuk mentransformasikan koordinat citra pada posisi sebenarnya. Reflektrasi citra atau resampling akan menghasilkan citra baru hasil transformasi.
Resampling yaitu menempatkan kembali posisi piksel-piksel hasil
transformasi sesuai titik ikat yang telah ditentukan. Proses resampling dilakukan dengan menggunakan algoritma nearest neighbor interpolation terhadap data asli citra Modis resolusi spasial 250 m dan 500 m. Koreksi Bow Tie dilakukan untuk menghilangkan duplikasi data pada barisbaris tertentu, terutama yang jauh dari nadir.
Duplikasi data terjadi karena
peningkatan Instantaneous Field of View (IFOV) dari 1 x 1 km dari titik terendah. Titik hampir mendekati 2 x 5 km pada sudut penyiaman maksimum 55o. Koreksi dilakukan dengan menggunakan tools ENVI (Geoference Map) pada software ENVI 4.4. terhadap resolusi spasial 250 m saluran 1 (merah) dan saluran 2 (NIR), resolusi spasial 500 m pada saluran 3 (biru) dan 4 (hijau). Hasil koreksi geometrik dan bow-tie selanjutnya disimpan dalam format ENVI standar. Konversi DN menjadi nilai reflektansi dengan menggunakan transformasi data setiap saluran yang digunakan menjadi reflektansi dengan menerapkan algoritma linear spectral mixture analysis (LSMA). Metode yang dilakukan untuk membuat reflektansi terkoreksi dari data digital 16 bit adalah dengan metode koreksi atmosfer yang dalam prosesnya memerlukan informasi jarak matahari-bumi dan posisi sudut
46 matahari (zenith). Nilai reflektansi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Refb = Ref_scaleb x (Bb – Ref_offsetsb) .....................................................(11) Dimana : Refb Ref_scaleb Bb Ref_offsetsb
= nilai reflektansi pada saluran ke-b = nilai skala (refelctance scale) = saluran ke-b = nilai offset (reflectance offsets) saluran ke-b
Informasi parameter nilai reflektansi dan offset sudah tersedia pada data SDS data MODIS L1B dalam format HDF. Koreksi geometrik masih perlu dilakukan melalui proses registrasi image to image dengan menggunakan transformasi polynomial orde tiga dan metode resampling nearest neighbours. Citra yang dijadikan referensi dalam hal ini adalah citra Landsat ETM+ tahun 2003 yang sudah terkoreksi diperoleh dari BPKH Wilayah V Banjarbaru. Pengujian tingkat ketelitian interpretasi koreksi geometrik menggunakan persamaan yang dikemukakan oleh Jensen (1996) dinyatakan dalam Root Mean Square Error (RMSE) sebagai berikut :
RMS error =
((x
1
− x orig
) (y 2
1
− y orig
) ) .......................................................... (12) 2
dimana : RMSE = Root Mean Square Error xorig & yorig = koordinat baris dan kolom yang asli GCP dari citra x1 & y1 = 3.5.2.2. Pemotongan (Cropping) Lokasi Penelitian
Pemotongan (cropping) citra dilakukan sesuai dengan batas DAS melalui fasilitas Watershed Delineation Tools (WDT) yang terintegrasi pada program Arc.GIS. Batas DAS yang telah diperoleh kemudian dipakai untuk memotong scene Citra Terra MODIS yang telah dikoreksi radiometrik dan geometrik. Orientasi dari kegiatan ini bertujuan untuk memfokuskan lokasi kajian sehingga mempermudah
47 proses kegiatan interpretasi visual (bentuklahan dan infiltrasi tanah) maupun interpretasi digital (penutup/penggunaan lahan) sesuai tujuan penelitian yang ingin dicapai. 3.5.2.3. Maximum Noise Fraction (MNF)
Tahap ini bertujuan untuk menyederhanakan data digital multispektral dan meminimalkan gangguan (noise), serta mengurangi kompleksitas data. Proses kerja MNF dapat dilihat pada Gambar 3.3. berikut : Dark Current MNF
Estimate Noise
Image Statistic Existing Statistic
Transform Eigen value Evaluate images
Gambar 3.3. Diagram Alir MNF (ENVI 4.0 Tutorials, 2000).
3.5.2.4. Penentuan Indeks Kemurnian Piksel (Pixel Purity Index) Citra Terra MODIS
Penentuan nilai piksel murni dari setiap endmember Citra Terra MODIS merupakan tahap paling penting dari keseluruhan tahapan LSMA. Piksel murni tersebut adalah piksel yang mengandung nilai kecerahan (BV) dari suatu obyek (endmember) saja. Nilai murni dari setiap endmember diperoleh dari masing-masing saluran pada citra yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk mendefenisikan piksel murni dari setiap endmember, dilakukan pemrosesan PPI (Pixel Purity Index) dengan menggunakan software ENVI 4.4. dengan input hasil dari transformasi Minimum Noise Fraction (MNF). Hasil dari PPI ini merupakan nilai piksel murni dari setiap
48 endmember yang akan digunakan sebagai input dalam metode Linear Spectral Mixture Analysis. Tahapan pemrosesan PPI dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Pixel Purity Index (PPI)
Select Data
Estimate Noise
Evaluate PPI Results
Discard Low MNFs Std.Deviation Threshold Maximize Iterations Display and Histograms
Threshold PPI to ROI(s)
Gambar 3.4. Diagram Alir Proses PPI (ENVI 4.0Tutorials, 2000). Diagram alir di atas menjelaskan tahap pemrosesan PPI dengan input data hasil dari proses MNF (setelah dilakukan pemotongan sejumlah saluran yang dianggap lebih banyak mengandung noise). Proses PPI ini menerapkan sejumlah iterasi dalam proses deteksi piksel murni. Hasil dari pemrosesan ini adalah citra sebaran piksel murni yang nilainya tergantung dari berapa kali suatu piksel terekam sebagai piksel yang ekstrem.
ROI
dari sebaran piksel murni diambil dengan
menentukan nilai ambang (Threshold) dengan nilai tertinggi yang jumlahnya lebih dari 1.
ROI inilah yang selanjutnya diplot pada ruang n dimensi dengan
menggunakan nD-Visualizer pada tahap penentuan nilai spektral murni setiap endmember.
49 3.5.2.5. Penentuan Endmember Citra Terra MODIS
Endmember adalah obyek yang dipisahkan dari obyek-obyek lainnya. Banyaknya jumlah endmember tergantung kepada jumlah saluran yang akan digunakan dalam proses LSMA.
Jumlah endmember harus kurang dari jumlah
saluran yang digunakan, biasanya untuk data MODIS jumlah endmember yang digunakan tidak lebih dari empat (Drake dan Settle, 1989). Penelitian ini akan menggunakan 6 saluran pada data MODIS yaitu saluran 1-5 dan saluran 7. Jenis endmember harus merupakan obyek-obyek yang berbeda secara ekstrem, dalam hal ini endmember yang akan dipisahkan dalam setiap piksel ada empat endmember yaitu vegetasi, tanah terbuka, air dan permukaan kedap air (perumahan penduduk). Keempat endmember ini kemudian dicari nilaipantulan spektralnya menggunakan nD-Visualizer dengan input ROI hasil dari proses PPI. 3.5.2.6. Linear Spectal Mixture Analysis Citra Terra MODIS
Penerapan Linear Spectral Mixture Analysis dilakukan dengan menggunakan tools Linear Unmixing yang telah disediakan pada software ENVI 4.4.
Input pada
tahap ini adalah nilai spektral murni dari setiap endmember yang dihasilkan dari proses PPI.
Hasil dari proses ini berupa nilai desimal atau presentase (%) fraksi
setiap endmember yang berada pada satu piksel. Proses ini menghasilkan citra fraksi dari setiap endmember dan citra fraksi RMSE. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.5. Reflektan MODIS
Reflektan Band 3
Citra Fraksi RMS Error
Penentuan nilai Spektral murni setiap endmember (PPI)
Citra Fraksi Veg.
Band 4 Band 5
Linear Spectral Unmixing
Band 7
Citra Fraksi Perm. kedap Air Citra Fraksi Tanah
Citra Fraksi Air
Gambar 3.5. Diagram Alir Metode LSMA
50
3.5.2.7. Klasifikasi Multispektral Maximum Likelihood
Algoritma Maximum Likelihood merupakan algoritma yang secara statistik paling mapan. Obyek di lapangan tidak selalu homogen, oleh karena itu keberhasilan metode algoritma ini tercapai dengan asumsi bahwa obyek homogen secara statistik selalu terdistribusi normal (Bayesian), yang dikelaskan sebagai objek tertentu tidak karena jarak equalidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space yang berupa elipsoida.
Bila obyek tidak homogen dan tidak
terdistribusi normal kemungkinan algoritma ini tidak dapat dipakai. Pengambilan keputusan metode Maximum Likelihood dilakukan berdasarkan persamaan 7. Klasifikasi multispektral Maximum Likelihood pada citra Terra MODIS digunakan sebagai pembanding dari metode LSMA. Proses sepenuhnya menggunakan software ENVI 4.4. 3.6. Kerja Lapangan
Pelaksanaan uji lapangan dilakukan untuk mengecek kebenaran hasil interpretasi yang telah dilakukan, untuk memperoleh data yang tidak dapat disadap langsung dari citra seperti data infiltrasi tanah.
Selain itu teknik wawancara
digunakan untuk memperoleh informasi terjadinya perubahan penggunaan lahan antara rentang waktu citra yang dipakai sampai dengan dilaksanakannya penelitian. 3.7. Uji Ketelitian
Uji akurasi hasil klasifikasi/interpretasi diperlukan sebagai justifikasi ilmiah tentang layak tidaknya pendekatan atau metode yang dipakai dan untuk merekomendasikan seberapa besar tingkat kebenaran hasil interpretasi. Uji akurasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji akurasi hasil interpretasi berdasarkan metode Short (1982) dan Koefisien Kappa. Berikut Tabel 3.4, Matrix uji ketelitian hasil interpretasi.
51 Tabel 3.4. Matriks Uji Ketelitian Hasil Interpretasi Hasil Data Lapangan Klasifikasi 1 2 ... X11 X12 ... 1 X21 X22 ... 2 ... ... ... ... Xi1 Xi2 ... i X ... X ∑Kolom -1 -2 Sumber : Stehman et al., 1997)
i X1i X2i ... Xii X-i
ΣBaris Xi+ X2+ ... Xi+ n
Producer’s Accuracy X11/X+1 X22/X+2 ... Xii/X+i
User’s Accuracy X11/X1+ X22/X2+ ... Xii/Xi+
Parameter Akurasi : • Producer’s Accuracy
=
xii
•
=
x ii
User’s Accuracy
n
∑x
x +1 x1+ ii
•
Overall Accuracy
=
• •
Ommission Error Commission Error
= 100% - Producer’s Accuracy = 100% - User’s Accuracy
i =1
n
x100% ...................................................... (13)
Penentuan akurasi hasil klasifikasi untuk setiap kelas juga dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu Producer’s Accuracy dan User’s Accuracy. Producer’s Accuracy dihitung dari jumlah sampel yang benar pada setiap kelas, dibagi dengan jumlah sampel yang masuk kelas tersebut berdasarkan data lapangan. Sedangkan user’s accuracy dihitung dari jumlah sampel yang benar pada setiap kelas, dibagi dengan jumlah sampel hasil klasifikasi pada kelas tersebut. Akurasi keseluruhan (Overall Accuracy) merupakan tingkat kebenaran hasil klasifikasi secara kuantitatif setelah dibandingkan dengan data lapangan. Ketidaksesuaian atau kesalahan pengklasifikasian piksel pada Confusion Matrix dikelompokkan atas 2 bagian, yaitu : •
Kesalahan Omisi (Ommission Error), merupakan persentase kesalahan dari suatu kelas di lapangan, tetapi tidak terklasifikasikan sebagai kelas tersebut pada hasil klasifikasi. Contoh ; jika nilai ommission error kelas hutan sebesar 15 %, berarti
52 dari seluruh kelas hutan yang ada di lapangan, sekitar 15 % dari kelas hutan tersebut terklasifikasikan sebagai kelas lain. •
Kesalahan Komisi (Commission Error), merupakan persentase kesalahan penentuan suatu kelas pada hasil klasifikasi, tetapi bukan termasuk kelas tersebut di lapangan. Contoh ; jika nilai commission error kelas hutan sebesar 15 % berarti dari seluruh kelas hutan hasil klasifikasi, 15 % diantaranya adalah kelas lain di lapangan. Koefisien Kappa oleh Congalton (Lillesand et al., 2004) adalah sebagai
berikut : k
K=
k
n ∑ x ii − ∑ x i + .x +1 i =1
i =1
i
N 2 − ∑ xi + .x +1
..................................................................... (14)
i =1
dimana : K = xii = xi+ = x+1 = N =
Kappa Coefficient, dengan nilai 0 – 1 Piksel (yang benar) pada diagonal utama Confusion Matrix Jumlah piksel seluruh kolom pada baris jumlah piksel seluruh baris pada kolom Jumlah seluruh piksel sampel
Uji akurasi dengan metode LSMA dalam penelitian ini menggunakan pendekatan selisih antara hasil fraksi masing-masing endmember tiap piksel MODIS dengan hasil fraksi dari setiap endmember yang diperoleh dari pengamatan dengan citra resolusi lebih tinggi yaitu citra Landsat7 ETM+ .
Model evaluasi akurasi
dihitung dengan persamaan : fdifference = f LSU – fLandsat ........................................................................... (15) Selanjutnya Root Mean Square Error (RMSE) pada persamaan berikut digunakan untuk evaluasi akurasi dari model yang digunakan :
53 fRMSE =
( fLSU − fLandsat ) 2 ………………………………….(16) S
Dimana S adalah jumlah saluran yang digunakan pada proses LSU, fLSU adalah fraksi hasil LSU pada tiap piksel y dari citra Terra MODIS, fLandsat adalah persen setiap komponen tutupan lahan dari citra Landsat7 ETM+ 3.8. Interpretasi Karakteristik Fisik DAS
Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Untuk pengenalan objek pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan yaitu : deteksi, identifikasi dan analisis. Input data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil interpretasi (penutup/penggunaan lahan) citra MODIS dengan software image processing ENVI 4.4. secara rinci berikut diuraikan proses interpretasi parameter yang terkait dengan tujuan penelitian. 3.8.1. Interpretasi Bentuklahan Secara Visual
Bentuklahan merupakan bagian dari permukaan bumi yang mempunyai bentuk khas sebagai akibat dari proses dan struktur batuan selama priode tertentu. Oleh karena itu keberadaannya ditentukan oleh faktor : topografi, struktur geologi dan proses eksogenetik. Interpretasi bentuklahan dilakukan secara visual (on screen) pada citra komposit RGB 321 pada citra MODIS. Interpretasi secara visual dilakukan melalui tiga tahap yaitu: deteksi, identifikasi dan analisis. Hasil interpretasi tersebut diplot dengan peta geologi, peta RBI dan DEM untuk memperoleh informasi titik ketinggian (beda tinggi/relief lokal) dan jenis bantuannya. Dalam penelitian ini, klasifikasi bentuklahan yang digunakan adalah klasifikasi dari Verstappen (1985 dalam Dibyosaputro, 1995) lampiran 22.
54 3.8.2. Derivasi Kemiringan Lereng dari DEM
Interpretasi kemiringan lereng menggunakan data primer citra satelit TerraMODIS tidak dapat dilakukan secara langsung, yang dapat diekstrak adalah bentuk relief, oleh karena keterbatasan resolusi spasial citra yang digunakan, sehingga harus dibantu menggunakan data kontur dari peta RBI digital skala 1:50.000. Dari DEM tersebut dibuat peta turunan kemiringan lereng dan dikelaskan berdasarkan sistem klasifikasi metode Cook. Dalam penelitian ini, kemiringan lereng diklasifikasikan berdasarkan dengan metode yang digunakan yaitu klasifikasi menurut SCDT. Secara rinci klasifikasi kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 3.4. 3.8.3. Interpretasi Tutupan Lahan Secara Digital
Interpretasi untuk pemetaan tutupan lahan diperoleh dari hasil klasifikasi multispektral, yaitu dengan menggunakan metode Linear Spectral Mixture Analysis. Selanjutnya dianalisis melalui pendekatan tutupan lahan dengan memperhatikan hubungan ekologis antara tutupan lahan dan penggunaan lahan yang dikontrol dengan kegiatan cek lapangan. Sistem klasifikasi yang digunakan adalah sistem klasifikasi tutupan lahan menurut Sistim Klasifikasi Schwab, dkk (1991) dalam Arsyad, 2000. 3.8.4. Interpretasi Infiltrasi Tanah Secara Visual Kualitatif
Infiltrasi tanah tidak dapat secara langsung diinterpretasi dari citra satelit, akan tetapi dianalisis melalui pendekatan interpretasi visual citra terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi infiltrasi tanah. Faktor-faktor tersebut dapat diperoleh melalui pendekatan karakteristik fisik lahan seperti bentuklahan, kemiringan lereng, faktor penutup/penggunaan lahan, serta dari peta tematik tanah (jenis, tekstur dan struktur tanah) yang menghasilkan penyesuaian nilai infiltrasi tanah secara kualitatif. Peta infiltrasi hasil interpretasi yang masih diragukan, kemudian di uji di lapangan dengan menggunakan alat double ring infiltrometer. Perhitungan hasil pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode Horton (1939, dalam Arsyad 1989), hasil dari pengukuran tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan sistem
55 klasifikasi yang dikemukakan oleh Richard dan Cossens (1965, dalam ILRI 1974) dan disesuaikan dengan sistim klasifikasi Metode Cook. Rumus infiltrasi Metode Horton adalah : ft = fc + (fo-fc)e-kt......................................................................................(17) keterangan : ft = laju infiltrasi (cm/menit) fo = laju infiltrasi awal (cm/menit) fc = laju infiltrasi akhir/konstant (cm/menit) k = konstanta t = waktu (menit) 3.8.5. Interpretasi Simpanan Permukaan, Pola Aliran/Kerapatan Aliran
Interpretasi simpanan air permukaan dapat diperoleh dari hasil interpretasi kerapatan aliran permukaan dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan aliran maka simpanan air permukaan semakin kecil. Menurut Linsley (1949), kerapatan aliran kurang dari 1 mil/mil2 menunjukkan bahwa daerah tersebut selalu mengalami penggenangan, sedangkan jika lebih besar 5 mil/mil2 daerah tersebut cepat kering. Meijerink (1970) mengatakan bahwa kerapatan aliran suatu wilayah dapat digunakan untuk mewakili atau menilai secara numerik kondisi simpanan permukaan. Berdasarkan pendapatan tersebut maka pemberian harkat (score) untuk simpanan air permukaan dapat diwakili dengan mengukur kerapatan aliran DAS dengan menggunakan persamaan Kerapatan Aliran : Dd = L.A-1 dimana: Dd L A
............................................................................................(18)
= Kerapatan drainase (km/km2) = Jumlah total panjang sungai dalam DAS (km) = Luas Satuan Lahan (km2). (Sumber : Linsley, 1996)
Secara kualitatif, interpretasi secara visual pola aliran dilakukan dengan menggunakan DEM dari Kontur RBI Digital Skala 1 : 50.000 kemudian selanjutnya diturunkan peta pola aliran melalui tools Wathershed Delineation Tools (WDT).
56 3.9. Tahap Analisis Hasil
Data masukan dalam penelitian ini terdiri dari data grafis atau data spasial dan data atribut atau data tabular. Data spasial terdiri dari data dalam format vektor dan raster. Sebagai pengolah data digunakan Sistim Informasi Geografis dengan menggunakan software Arc.GIS ver 9.2. Data format vektor meliputi : Peta Tanah, Peta Geologi, dan Peta RBI Digital. Sedangkan data format raster diantaranya data Citra Satelit Terra MODIS, dalam format Geotiff, data Digital Elevation Model (DEM). Adapun data atribut berupa data karakteristik fisik lahan. Data grafis atau data spasial tersebut di atas harus dikonversi kedalam bentuk digital. Proses konversi dan analog yang secara langsung menurunkan data raster adalah pemindai atau scanner. Data vektor juga dapat secara langsung diperoleh dari data analog melalui proses digitasi. 3.9.1. Digitasi
Digitasi adalah proses pengubahan data analog ke dalam data digital yang tersimpan dalam media magnetic dengan format data vektor (Danoedoro, 1996). Data vector merupakan data yang disusun dalam segmen-segmen yang disimpan melalui persamaan matematis. Sebelum proses digitasi, terlebih dahulu dilakukan proses registrasi dengan menggunakan sistim koordinat UTM (Universal Transvers Mercator). 3.9.2. Pemetaan Batas DAS, Pola Aliran dan Kerapatan Aliran
Pemetaan batas DAS, pola aliran dan kerapatan aliran menggunakan analisis data hidrologi. Wathershed Deliniation Tools (WDT) adalah salah satu tools gratis yang dapat diintegrasikan dengan software ArcGis 9.2. dikembangkan untuk analisis hydrologi yang terdiri dari tiga tools yaitu : Watershed Delineation, iRaindrop, iWathershed. Data masukan DEM dalam format raster tersebut diproses dengan menggunakan tools WDT, luaran proses akan menghasilkan kerapatan aliran dan batas DAS.
peta pola aliran,
57 Pada prinsipnya penentuan DAS secara otomatis membutuhkan aliran yang kontinyu pada daerah penelitian yang dimodelkan dengan memperkecil terjadinya pemutusan aliran (sink). 3.9.3. Tumpang-susun (Overlay)
Proses tumpang-susun (overlay) peta bertujuan untuk membuat peta satuan lahan. Peta satuan lahan digunakan sebagai satuan pemetaan dalam penelitian untuk menghasilkan informasi baru yaitu berupa peta distribusi spasial
limpasan
permukaan. 3.9.4. Estimasi Koefisien limpasan permukaan (Cp)
Koefisien limpasan permukaan diperoleh dari tumpang susun (overlay) empat variabel pembentuk koefisien limpasan permukaan (C) yaitu : kemiringan lereng (slope), infiltrasi tanah, kerapatan aliran dan tutupan lahan. hasil yang diperoleh kemudian disesuikan dengan Tabel 3.3. (Tabel karakteristik pembentuk koefisien aliran metode Cook dengan modifikasi.
Koefisien aliran (C) dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut : C 2009 = C land cover + C slope + C infiltrasi + C kerapatan aliran …...(19)
Selanjutnya parameter pembentuk koefisien limpasan permukaan tersebut dikuantitatifkan dengan cara memberikan harkat (score) pada masing-masing parameter dengan menggunakan pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang. Dasar yang digunakan dalam pemberian harkat (score) adalah tabel metode Cook dengan modifikasi (Tabel 3.5. Tabel 3.6, Tabel 3.7, dan Tabel 3.8). Kemiringan Lereng Penutup/Peng.Lahan
Koefisien Aliran Resolusi 500x500
Infiltrasi Tanah Simpanan Permukaan
Gambar 3.6. Skema Perhitungan Koefisien Aliran Metode Cook
58 a. Vegetasi Penutup
Vegetasi penutup diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit secara digital, melalui proses klasifikasi multipektral. Untuk menentukan bobot baru pembentuk koefisien limpasan permukaan pada variabel vegetasi, diperoleh dari persamaan Linier Spectral Mixture Analysis (LSMA) seperti pada persamaan 3 dan 4 sebagai berikut (A.Klein, 1998): n
∑F j =1
j
=
f i1 + f i 2 + f13 + ... + f in = 1
0 ≤ fin ≤ 1 ……………….(20)
Hasil dari persamaan Linier Spectral Mixture Analysis (LSMA) tersebut merupakan kombinasi linier tertimbang (terbobot) dari nilai piksel citra dari masingmasing proporsi (persentasi) kehadiran obyek dalam setiap piksel. Bobot (proporsi) masing-masing obyek yang dihasilkan dari persamaan 3 dan 4 tersebut sudah merupakan nilai bobot yang dijadikan sebagai parameter masukan untuk menentukan parameter tutupan lahan pada klasifikasi metode Cook dengan Modifikasi. Penyesuaian klasifikasi penggunaan lahan terhadap klasifikasi vegetasi penutup hasil dari klasifikasi dengan menggunakan analisis Linier Spectral Mixture Analysis (LSMA) selanjutnya disesuaikan dengan Tabel U.S. Forest Service (1980 dalam Asdak, 2004) dan Schwab, dkk (1981 dalam Arsyad, 2000) dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Penyesuaian klasifikasi penggunaan lahan terhadap klasifikasi vegetasi penutup dalam metode Cook. Klasifikasi bentuk Penggunaan lahan Permukiman, permukaan diperkeras, lahan terbuka Sawah irigasi, sawah tadah hujan, semak /belukar, tegalan.
Karakteristik tutupan lahan Metode Cook Tidak ada tanaman penutup efektif atau sejenisnya Tanaman penutup sedikit hingga sedang, tidak ada tanaman pertanian dan penutup alam sedikit, < 10% DAS tertutup baik Hutan kurang rapat, 50% DAS tertutup baik oleh tutupan vegetasi sedang pepohonan dan rumput. kebun campuran Hutan rapat, tutupan 90% DAS tertutup baik oleh vegetasi rapat hingga rumput, kayu-kayuan atau sangat rapat. sejenisnya.
Harkat
Harkat
20
0,08 – 0,10
15
0,1 – 0,12
10
0,06 – 0,08
5
0,04 – 0,06
Sumber : Modifikasi Metode Linsley (1959); Meijerink (1970); Gunawan (1991)
59 b. Kemiringan Lereng Tabel 3.6. Klasifikasi Kemiringan Lereng menurut Metode Cook
Kelas Lereng I II III IV
Konfigurasi Relief Datar Bergelombang Perbukitan Medan terjal dan kasar
Kemiringan (%) 0-≤5 >5-≤10 >10-≤30 >30
Harkat 0,3 0,25 0,15 0,1
Koefisien C 0,28 – 0,35 0,20 – 0,28 0,14 – 0,20 0,08 – 0,14
Sumber : Modifikasi Metode Linsley (1959); Meijerink (1970); Gunawan (1991) dan SCDT (2003) dalam Pratista (2008).
c. Infiltrasi Tanah
Menurut Cook, infiltrasi tanah dapat dibedakan menjadi empat kelas yaitu: kelas diabaikan (sangat rendah), kelas rendah, kelas sedang dan kelas tinggi. Adapun sistem klasifikasi yang digunakan yaitu dapat dilihat pada Tabel 3.7. \
Tabel 3.7. Klasifikasi Infiltrasi Metode Cook dengan Modifikasi Klasifikasi Infiltrasi Tanah Harkat Tidak ada penutup tanah efektif, lapisan tanah tipis 0,12 kapasitas infiltrasi diabaikan Tingkat infiltrasi rendah; lempung atau tanah lain yang 0,08 kapasitas infiltrasinya rendah Normal, tanah geluh dan in-filtrasi hampir sama dengan 0,06 tipe perairan. Tinggi; tanah dengan tekstur pasir atau tanah lain yang 0,04 cepat meresap air
Koefisien C 0,12 – 0,16 0,08 – 0,12 0,06 – 0,08 0,04 – 0,06
Sumber : Modifikasi Metode Linsley (1959); Meijerink (1970); Gunawan (1991) dan SCDT (2003) dalam Pratista (2008).
Tabel 3.8. Klasifikasi Infiltrasi menurut Richard dan Cossens
Kelas 0 I II III IV Sumber : ILRI (1974)
Klasifikasi Infiltrasi Sangat lambat Lambat Sedang Cepat Sangat cepat
Laju Infiltrasi (mm/jam) ≤ 2,5 > 2,5 - ≤ 15 > 15 - ≤ 28 > 28 - ≤ 53 > 53
60 d. Simpanan Air Permukaan/Kerapatan Aliran
Meijerink (1970) mengatakan bahwa kerapatan aliran suatu wilayah dapat digunakan untuk mewakili atau menilai secara numerik kondisi simpanan permukaan. Berdasarkan pendapat tersebut, maka pemberian harkat (score) untuk simpanan air permukaan dapat diwakili dengan mengukur kerapatan aliran DAS dari persamaan (18), adapun sistem klasifikasi dan harkat (score) untuk variabel ini dapat dilihat pada Tabel 3.9. Tabel 3.9.
Penyesuaian klasifikasi kerapatan aliran terhadap simpanan permukaan dengan metode Cook
Kerapatan aliran (mil/mil2)
Kriteria
>5
Tinggi
>2-≤5
Rendah
>1-≤2
Normal
≤1
Diabaikan
Klasifikasi metode Cook Depresi permukaan dangkal, daerah pengaliran curam, tidak ada rawa Sistem drainase baik Normal, depresi permukaan dipertimbangkan, ada danau, empang atau rawa <2% daerah pengaliran Drainase jelek, timbunan air permukaan besar
Harkat
Koefisien C
0,1
0,12 – 0,16
0,08
0,08 – 0,12
0,06
0,06 – 0,08
0,04
0,04 – 0,06
Sumber : Modifikasi Metode Linsley (1959); Meijerink (1970); Gunawan (1991) dan SCDT (2003) dalam Pratista (2008).
3.9.5. Perhitungan Nilai C Berdasarkan Model Hujan Aliran
Karena terbatasnya Stasiun Pengukuran Air Sungai (SPAS) yang ada di daerah penelitian hanya berdasarkan pada pencatatan tinggi muka air di Waduk Riam Kanan berupa data pengamatan tinggi muka air melalui papan duga (DMA), maka debit aliran diperkirakan dari data curah hujan dan data DMA. Terlebih dahulu dibuat model hubungan hujan aliran antara data debit dan data hujan dalam periode waktu yang sama, selanjutnya berdasarkan hubungan tersebut dibangkitkan data debit berdasarkan data hujan yang tersedia. dirumuskan sebagai berikut:
Model regresi sederhana yang dipakai
61 Q = a + bp ...................................................................................... (21) dimana : Q = debit bulanan (mm/bulan) p = Hujan Bulanan (mm/bulan) a = konstanta Selanjutnya nilai koefisien limpasan aktual diperoleh dari hasil perhitungan tebal aliran langsung (Direct Runoff) dibagi dengan tebal hujan:
Tebal Aliran Langsung (DRO) Koefisien Aliran =
………………. (22) Tebal Hujan
Hasil analisis perhitungan nilai C hasil perhitungan aktual kemudian dibandingkan dengan hasil estimasi koefisien limpasan permukaan (C) interpretasi dengan melakukan uji beda dengan menggunakan persamaan (25). 3.9.6. Analisis Data Hidrologi
Untuk menguji akurasi dari data koefisien runoff, diakukan analisis data hidrologi, dimana data-data yang diperlukan adalah: -
Curah hujan rerata DAS, data berupa curah hujan harian tiap stasiun, koordinat stasiun dan batas DAS. Data tersebut diolah dengan metode polygon Thiessen (Gambar 3.7). Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya, dimana hujan yang terjadi pada suatu luasan di dalam DAS dianggap sama dengan hujan yang tercatat pada stasiun hujan terdekat. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan tidak merata di daerah penelitian (Triatmodjo, 2009).
62
•p2 A2 A5
•p5
A1
•p1 A3
•p3
•p4 A4
Gambar 3.7. Polygon Thiessen -
Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalam hujan di stasiun yang berada dalam poligon, kemudian dibagi dengan luas daerah yang ditinjau akan menghasilkan hujan rerata yang dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut: p=
A1 p1 + A2 p 2 + A3 p3 + ..... + An p n A1 + A2 + A3 + ..... + An
………………………….(24)
dimana : p = hujan rerata kawasan p1,p2,…pn = hujan pada stasiun 1,2,3 ......, n A1,A2,…,An = luas daerah yang mewakili stasiun 1,2,3 ......, n
3.9.7. Evaluasi Hasil Estimasi Koefisien limpasan permukaan
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan hasil estimasi, dengan melihat perbedaan dan persentase selisih antara nilai hasil estimasi dengan nilai hasil pengukuran ataupun tabel. Evaluasi dilakukan dengan cara :
63 •
Membandingkan nilai koefisien aliran hasil estimasi dengan nilai koefisien aliran hasil perhitungan rumus (19), untuk Sub DAS Pa’au, Sub DAS Kalaan, Sub DAS Tabatan, Sub DAS Sekitar Waduk Riam Kanan outlet Waduk Riam Kanan.
•
Membandingkan nilai koefisien aliran hasil estimasi pada 50 piksel yang memuat obyek homogen dengan koefisien aliran piksel yang sama yang nilainya ditentukan dengan menggunakan tabel U.S. Forest Service (1980) (Tabel 3.9 dan Tabel 3.10)
Tabel 3.10. Nilai koefisien aliran (C) untuk persamaan rasional Tataguna Lahan Tanah Pertanian, 0 – 30 % Tanah Kosong Rata Kasar Ladang Garapan Tanah berlempung, tanpa vegetasi Tanah berlempung, dengan vegetasi Berpasir, tanpa vegetasi Berpasir, dengan vegetasi Padang Rumput Tanah Berlempung Tanah Berpasir Hutan/Bervegetasi Tanah Tidak Produktif > 30 % Rata, kedap air Kasar
Koefisien Aliran
0,30 – 0,60 0,20 – 0,50 0,30 – 0,60 0,20 – 0,50 0,20 – 0,25 0,10 – 0,25 0,15 – 0,45 0,05 – 0,25 0,05 – 0,25 0,70 – 0,90 0,50 – 0,70
Sumber : U.S. Forest Service (1980 dalam Asdak, 2004) Pengujian dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama dengan melihat nilai ratarata persentase selisih antara nilai koefisien aliran hasil estimasi dengan hasil perhitungan dan yang kedua menggunakan uji beda dua kelompok data yang saling berpasangan dengan menggunakan uji statistik (t-student) dengan hipotesis sebagai berikut (Atmaja, 2009):
t = dimana: x s µ n
= = = =
x−µ .............................………………………(25) s/ n rata-rata sampel Standar deviasi rata-rata populasi jumlah sampel
64 pengambilan hipotesis penelitian didasarkan pada : H0 : ⏐µ1-µ2⏐ H1 : ⏐µ1-µ2⏐
= 0 ; nilai rata-rata koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien aliran perhitungan tidak berbeda nyata. ≠ 0 ; nilai rata-rata koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien aliran perhitungan berbeda nyata.
Daerah Penolakan H0 terletak pada thitung <-ttabel dan thitung > ttabel ; taraf signifikansi 95 %. Tabel 3.11. Nilai koefisien aliran (C) untuk Daerah Urban Tataguna Lahan
Koefisien Aliran
Daerah Perdagangan : Pertokoan Pinggiran
0,70 – 0,90 0,50 – 0,70
Permukiman : Perumahan satu keluarga Perumahan berkelompok, terpisah-pisah Perumahan berkelompok, bersambungan Sub Urban Daerah Apartemen
0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40 0,50 – 0,70
Industri : Daerah ringan Daerah padat
0,50 – 0,80 0,60 – 0,90
Taman Pekuburan Tempat Bermain Daerah Stasiun Kereta Api Daerah belum diperbaiki Jalan
0,10 – 0,25 0,20 – 0,35 0,20 – 0,40 0,10 – 0,30 0,70 – 0,95
Bata : Jalan, hamparan Atap Sumber : Schwab dkk. (1981. dalam Arsyad, 2000)
0,75 – 0,85 0,79 – 0,95
65 3.9.8. Pemetaan Distribusi Spasial Limpasan
Pemetaan agihan atau distribusi spasial melalui analisis agihan atau distribusi spasial
limpasan permukaan dilakukan limpasan permukaan pada lokasi
penelitian berdasarkan harga atau nilai koefisien limpasan permukaan pada setiap satuan lahan. Nilai koefisien limpasan permukaan setiap satuan lahan merupakan hasil nilai (score) total dari parameter fisik DAS yang dipertimbangkan sebagai parameter fisik lahan yang berpengaruh terhadap
limpasan permukaan. Untuk
mengetahui tingkatan dan distribusi spasial limpasan permukaan yang ada pada lokasi penelitian, maka nilai C setiap satuan lahan diklasifikasikan berdasarkan metode Cook pada Tabel 3.12. dan hasil klasifikasi tersebut kemudian dipetakan. Tabel 3.12. Klasifikasi limpasan permukaan Metode Cook Kelas I II III IV Sumber : Meijerink (1970)
Kriteria Rendah Normal Tinggi Ekstrim
Nilai (%) 0-25 26-50 51-75 76-100
3.10. Tahap Akhir
Tahap akhir dari penelitian ini adalah penyusunan laporan, yang didalamnya terdapat pembahasan secara deskriptif dalam bentuk gambar dan tabel dan penjelasan, analisis klasifikasi multispektral dari citra MODIS dan analisis kemiripan koefisien limpasan permukaan hasil estimasi dengan koefisien limpasan terukur dan tabel.
66
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Geografis Daerah Penelitian 4.1.1. Letak, Luas dan Batas
Batasan Sub DAS Riam Kanan dalam penelitian ini adalah daerah aliran sungai Riam Kanan yang bagian hilirnya dibatasi oleh Stasiun Pengamatan Tinggi Muka Air Waduk Riam Kanan. Daerah penelitian merupakan suatu cekungan yang dikelilingi oleh komplek pegunungan yang terdiri dari Gunung Pampurun (407 m), Gunung Tiwang (476 m), dan Gunung Pahiyangan (516 m) di Sebelah Utara. Di bagian Timur dibatasi oleh Gunung Galang Gulang (630 m), Gunung Tarip Kidangan (668 m), dan Gunung Manjaan (624 m). Di bagian Selatan dibatasi oleh Gunung Aurbunak (1000 m), Gunung Pematang Bikat (500 m), dan Gunung Kahung Amparan (860 m). Sedangkan di bagian Barat dibatasi oleh Gunung Matangkaca Tiwingan (179 m), Gunung Atawang (203 m), Gunung Kaluhin (188 m), Gunung Bapaling (203 m), Gunung Bukit Batas (252 m) dan Gunung Sarang Burung (191 m) (Bakosurtanal, 1999). Sub DAS Riam Kanan mempunyai luas ± 966,44 km2. terbentang
Luasan tersebut
pada empat kecamatan yaitu Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan
Astambul, Kecamatan Aranio dan Kecamatan Karang Intan dan 12 kelurahan. Wilayah ini dibatasi di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pengaron Kabupaten Banjar, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar (Kabupaten Banjar Dalam Angka, 2006).
Berdasarkan
proyeksi penduduk hasil Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar (2006) jumlah rumah tangga mencapai 24.156 rumah tangga dengan jumlah penduduk sebanyak 66
67 83.515 orang. Jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Karang Intan yaitu sebesar 28.453 orang dan yang terkecil terdapat di Kecamatan Aranio yaitu sebesar 8.201 orang.
Jika dilihat kepadatannya maka yang terpadat penduduknya adalah
Kecamatan Astambul dengan 153 penduduk per km2 sementara kecamatan Aranio hanya 7 km2. 4.1.2. Iklim
Iklim merupakan keadaan cuaca rata-rata pada suatu tempat yang ditentukan berdasarkan perhitungan komponen iklim, yaitu suhu udara dan curah hujan di tempat tersebut dalam kurun waktu yang panjang. Secara umum keadaan iklim pada daerah penelitian tergolong beriklim tropis yang dicirikan dengan adanya dua musim yang berbeda yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Seperti halnya daerah lain yang termasuk dalam wilayah Indonesia, maka di Kabupaten Banjar juga hanya mengenal dua musim, yaitu musim kemarau dan penghujan. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di Indonesia. Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau di Indonesia. Sebaliknya pada bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal dari Asia dan Samudera Pasifik setelah melewati beberapa lautan, dan pada bulan-bulan tersebut biasanya terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Suhu merupakan faktor terpenting dari penyebaran vegetasi. Suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Mei tahun 1998 sebesar 28,40C, sedangkan suhu rata-rata terendah terjadi pada bulan Juli tahun 1994 sebesar 25,30C.
Selain itu, sebagai
daerah tropis maka kelembaban udara relatif tinggi dengan rata-rata berkisar 56,0 % sampai 98,5 %, dengan kelembaban maksimum pada bulan Januari dan serta minimum pada bulan September. Curah hujan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan pada data curah hujan yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah III Banjarbaru
68 selama 10 Tahun, yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2010, rincian dari data curah hujan tersebut meliputi jumlah curah hujan rata-rata dan hari hujan, Curah Hujan ratarata di daerah penelitian tertinggi pada bulan Desember yaitu sebesar 552 mm/th yang terjadi pada tahun 2000, sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli sebesar 10 mm/th dan terjadi pada tahun 2001. Antara curah hujan dan keadaan angin biasanya ada hubungan erat satu sama lain. Keadaan angin pada musim hujan biasanya lebih kencang dan angin bertiup dari barat dan barat laut. Oleh karena itu musim tersebut dikenal dengan sebutan musim barat. Pada tahun 2006 kecepatan angin yang terjadi rata-rata sebesar 2,875 knots per bulan (Kabupaten Banjar Dalam Angka, 2006) Pada Tabel 4.1. dapat dilihat rekapitulasi perhitungan jumlah Bulan Basah (BB) dan Bulan K (BK) dimana ditentukan jumlah BB yaitu jumlah CH berkisar antara 60 mm – 100 mm sedangkan jumlah BK adalah jumlah CH yang kurang dari 60 mm. Tabel 4.1. Data jumlah bulan basah, bulan lembab dan bulan kering selama 10 tahun No.
Tahun
∑ Bulan basah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
3 2000 3 2001 5 2002 2 2003 4 2004 2 2005 2 2006 3 2007 3 2008 3 2009 Rerata 3 Sumber : Pengolahan data Primer(2010)
∑ Bulan Lembab
∑ Bulan Kering
3 1 1 1 2 4 4 3
0 2 0 3 0 0 0 0 3 2 1
1 2
Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklim di Indonesia dibagi menjadi 8 Tipe seperti dirincikan pada Tabel 4.2.
69 Tabel 4.2. Klasifikasi type iklim menurut Schmidt dan Ferguson No.
Tipe
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
A B C D E F G H
Nilai Q (%)
0 ≤ Q ≤ 14,3 14,3 ≤ Q ≤ 33,3 33,3 ≤ Q ≤ 60,0 60,0 ≤ Q ≤ 100,0 100,0 ≤ Q ≤ 167,0 167,0 ≤ Q ≤ 300,0 300,0 ≤ Q ≤ 700,0 700,0 ≤ Q
Keterangan
Sangat basah, vegetasi hutan hujan tropik Basah, vegetasi hutan hujan tropik Agak basah, vegetasi hutan rimba Sedang, vegetasi hutan musim Agak kering, vegetasi hutan saban Kering, vegetasi hutan saban Sangat kering, vegetasi alang-alang Ekstrim kering, vegetasi alang-alang
Jumlah bulan basah sebanyak 84 bulan (rata-rata 3) dan jumlah bulan kering sebanyak 24 bulan (rata-rata 1). Dari data pada Tabel 4.2., dapat ditentukan nilai Q, diperoleh dari hasil perhitungannya sebagai berikut: Q=
Jumlah rata − rata bulan ker ing x 100% Jumlah rata − rata bulanbasah
Q=
1 x100% 3
= 33,3% Berdasarkan klasifikasi dari Schmidt dan Fergusson tersebut, maka nilai Q untuk lokasi penelitian sebesar 33,3 % terletak antara 14,3 % - 33,3 %. Hal ini berarti iklim di Kecamatan Aranio termasuk kedalam tipe iklim B. 4.1.3. Topografi
Dari analisis DEM (Digital Elevation Model) yang diturunkan dari peta kontur digital 1 : 25.000, diperoleh informasi bahwa DAS Riam Kanan berada pada elevasi antara 0 – 1.878m dpl, dengan 35 % berada di ketinggian 0 – 7 m, 55,54 % pada ketinggian 50–300 m, sisanya 9,45 % berada pada ketinggian lebih dari 300 m. Kemiringan lereng Kabupaten Banjar relatif bergelombang, dengan didominasi kemiringan lereng 0 – 8% seluas ± 2,12%, 8 – 15% seluas ± 14,72%, 15 – 25% seluas
70 ± 19,44%, 25 – 40% seluas ± 18,88 %. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Kemiringan Lereng menurut Klasifikasi Departemen Kehutanan, 1993 Kemiringan Kelas (%) Kemiringan 1 I 0–8% 2 II 8 – 15 % 3 III 15 – 25 % 4 IV 25 – 40 % 5 V > 40 % 6 Danau Luas Total (Ha) Sumber : Hasil Analisis 2010 No.
Keterangan
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Luas Total (Ha) 798,409 5.548,793 16.826,010 7.327,010 7.118,224 79,108 37.697,554
(%)
2,12 14,72 44,63 19,44 18,88 0,21
4.1.4. Geologi
Kondisi geologis kawasan Kabupaten Banjar terbentuk dari lempung, pasir, debu, dan kerikil hasil dari patahan pegunungan dan intrusi berumur holosen. Berdasarkan Peta Geologi tahun 1970, batuan di Kabupaten Banjar sebagian besar terdiri dari batuan beku, batuan endapan dan metamorf yang termasuk dalam anggota formasi Manunggul dan Formasi Paniungan serta batuan vulkanik (basalt, lanau, dolerit) anggota Formasi Paau. 4.1.5. Jenis Tanah
Pada umumnya tanah di wilayah ini bertekstur halus (77,62%) yaitu meliputi tanah liat, berlempung, berpasir dan berdebu Sementara 4,93 % bertekstur sedang yaitu jenis lempung, berdebu, liat berpasir, sisanya 5,39 % bertekstur kasar yaitu pasir berlempung, pasir berdebu. Kedalaman tanah yang efektif bagi akar untuk leluasa mengambil air bagi tumbuhnya tanaman, di wilayah ini pada umumnya (66,45%) lebih dari 90 cm, sementara kedalaman 60-90 cm meliputi 8,72 %, dan 30-60 cm hanya 4,83 %.
71 Menurut peta tanah eksplorasi tahun 1974 skala 1 : 250.000 dari Lembaga Penelitian Bogor di wilayah Kabupaten Banjar terdapat 5 (lima) kelompok jenis tanah yaitu tanah Organosol-Gleihumus, Aluvial, Kompleks Podsolik Merah KuningLaterit, Latosol dan Kompleks Podsolik merah Kuning-Latosol.
Jenis tanah
organosol gleihumus dengan bahan induk bahan aluvium dan fisiografi dataran yang meliputi 28,57%, tanah aluvial dengan bahan induk lahan aluvium dan fisiografi dataran meliputi 3,72%. Tanah komplek podsolik merah kuning dan laterit dengan bahan induk batuan baku dengan fisiografi dataran meliputi 4,29%, latosol dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi intrusi meliputi 24,84%. Dan jenis tanah komplek podsolik merah kuning, latosol dengan batu induk endapan dan metamorf meliputi 28,57%. 4.1.6. Keadaan Hidrologi dan Sarana Pengairan
Pada Sub-sub DAS Riam Kanan dengan luas wilayah ± 96,644 ha terdapat sungai yang bermuara ke sungai Martapura dan terdapat 2 buah bendungan/dam, yaitu yang berada di bagian hulu Sungai Riam Kanan dengan fungsi sebagai Pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air yang terletak di Desa Tiwingan Lama Kec. Aranio Kabupaten Banjar dengan luas genangan 5.891 ha, meliputi Sungai Hajawa, Pa’au, Malino, Artain, Kalaan, Anawit, Tayub, Mandimaro, Tabatan, dan Sungai Tunjungan. Sedangkan bendungan berada di Desa Mandikapau Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar dengan luas genangan 462 ha, berfungsi sebagai irigasi percetakan sawah dan sarana air bersih yang sumber airnya dari limpahan Sungai Riam Kanan (Bendungan Riam Kanan), Sungai Aranio, Mandikaleng, Mandikapau, Mandiangin dan Sungai Batuampar (BPDAS Barito, 2003). Keadaan anak sungai yang mengalir ke Sub DAS Riam Kanan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.4. berikut:
72 Tabel 4.4. Panjang Anak Sungai yang Bermuara ke Sub DAS Riam Kanan No. Nama Anak Sungai Panjang (Km) Keterangan 1. Hajawa 25 Nomor 1 s/d 10 mengalir ke 2. Pa’au 28 Danau Riam Kanan 3. Malino 9 4. Artain 15 Nomor 11 s/d 15 mengalir ke 5. Kalaan 21 Dam irigasi Mandikapau 6. Anawit 4 7. Tayub 15 Momor 16 s/d 18 mengalir ke 8. Mandimaro 6 Sungai Riam Kanan Hilir 9. Tabatan 16 10. Tunjungan 20 11. Aranio 3,5 12. Mandikaleng 6 13. Mandikapau 3,5 14. Mandiangin 4 15. Batuampar 7 16. Tawing 12 17. Besar 17 18. Lakan 10 Sumber : Laporan Tahunan BPDAS Barito (2003) 4.2. Penentuan Sampel (RoI – Region of Interest)
Penentuan titik sampel (RoI) dilakukan pada citra yang telah di masking dengan polygon Batas DAS yang telah di buffer sebelumnya. Selain itu, efek awan dan bayangan yang mengganggu dalam proses klasifikasi selanjutnya dapat dieleminir (Gambar 4.1.). Pengambilan sampel klasifikasi dilakukan secara interaktif pada citra dengan menerapkan beberapa metode, dengan jumlah piksel minimal 10N untuk setiap kelas, dimana N adalah jumlah saluran yang digunakan (Richard et al., 2006). Karena keterbatasan resolusi spasial dari citra yang digunakan, maka dalam pengkelasan awal digunakan teknik clustering (unsupervised) untuk menentukan alokasi dari piksel awal.
Selanjutnya penentuan sampel dilakukan dengan
menggunakan kombinasi citra komposit dan dipandu dengan peta-peta tematik (Peta penggunaan lahan tahun 2008 dari BPKHV-Banjarbaru).
73
Batas DAS
Awan
Gambar 4.1.
Masking Citra Terra-MODIS berdasarkan batas DAS yang telah dibuffer
4.3. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik pada citra Terra MODIS dilakukan dengan menggunakan software ENVI 4.4. Koreksi ini dilakukan bertujuan mengembalikan posisi citra akibat proses gejala distorsi ke posisi yang sebenarnya di permukaan bumi. Koreksi geometrik dilakukan secara otomatis pada citra asli dalam format HDF untuk seluruh saluran dari saluran 1-7.
74 Citra MODIS diproyeksikan dengan menggunakan sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM) dengan datum WGS 84. Koreksi geometrik dilakukan secara otomatis dengan menggunakan fasilitas pada tools Map-geoference MODIS. Kenampakan citra hasil koreksi geometrik RGB 321 ditunjukkan pada Gambar 4.2. Pada Gambar 4.2. dapat dilihat perbedaan citra yang belum dikoreksi dan telah dikoreksi. Citra yang telah dikoreksi berbentuk lebar dan kenampakan lebih baik dibandingkan dengan citra yang belum terkoreksi dengan kenampakan memanjang dan pepat. Proses yang terjadi pada koreksi ini adalah translasi dan rotasi. Proses translasi merupakan proses pengalihan posisi piksel pada citra sesuai dengan posisi piksel di lapangan sehingga mempunyai koordinat yang benar. Sedangkan proses rotasi merupakan perputaran posisi citra sehingga mempunyai orientasi yang benar. Proses geometrik juga dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan menggunakan metode registrasi image to image. Proses registrasi dilakukan dengan pembuatan titik GCP (Ground Control Point) yang sama antara citra Terra-MODIS (Warp Image) dan citra Landsat ETM+ 2003 (Basic Image) yang telah dikoreksi bersumber dari BIOTROP.
Gambar 4.2. Perbandingan Hasil Koreksi Geometrik citra MODIS Komposit 147
75 Obyek yang dijadikan titik GCP adalah kenampakan obyek pada citra yang tidak mudah berubah (permanen) seperti ujung-ujung daerah sekitar waduk dan percabangan sungai. Transformasi yang digunakan untuk mengubah koordinat piksel ke dalam grid UTM (Universal Transvers Mercator) adalah transformasi polinomial orde tiga dengan aturan minimal 10 titik GCP dan metode resampling nearest neighbour. Penggunaan transformasi tersebut atas dasar penyesuaian dengan kondisi fisik daerah penelitian yang bertopografi berbukit hingga bergunung dan menghindarkan peluang terjadinya pengubahan nilai piksel. Titik GCP yang dibuat dalam penelitian ini adalah 10 (sepuluh) titik.
Terra-MODIS 2009 (Base Image)
Landsat ETM+ 1992 (Warp Image)
Gambar 4.3. Distribusi Lokasi Titik GCP dan Nilai Titik GCP dan RMS-Error
76 Ketelitian hasil koreksi geometrik ditunjukkan dengan besarnya nilai RMSE (Root Mean Square Error). Idealnya hasil kali nilai RMSE dengan resolusi spasial citra = ½ resolusi spasial citra (Howard, 1996).
Berdasarkan hasil perhitungan
dengan menggunakan perangkat lunak ENVI, diperoleh nilai RMSE citra Terra MODIS 2009 adalah 0,283276 (Gambar 4.3).
Tingkat ketelitian dari koreksi
geometrik yang telah dilakukan adalah 0,283276 x 500 m = 141,638 m, hal ini berarti bahwa nilai hasil koreksi lebih kecil dari nilai ½ x resolusi spasial (250 m). Dengan demikian pemilihan titik kontrol medan telah memenuhi syarat ketelitian, sehingga ketelitian hasil koreksi geometrik dapat diterima. 4.4. Koreksi Bow Tie
Pada citra MODIS selain koreksi geometrik dilakukan juga koreksi bow tie untuk menghindarkan tumpang tindih pada seluruh saluran.
Koreksi bow tie
dilakukan untuk semua saluran (saluran 1 – 7), dan hasil citra MODIS yang belum terkoreksi dan yang sudah dikoreksi dapat dilihat pada Gambar 4.4. Dari Gambar 4.4. dapat dilihat citra yang belum dikoreksi pada daerah sekitar waduk Riam Kanan mengalami tumpang tindih piksel sehingga terlihat garis tumpang tindih piksel, setelah dikoreksi bow tie kenampakan tumpang tindih pada Waduk tersebut hilang serta kenampakan piksel pada citra lebih halus dan lebih jelas.
Gambar 4.4.
(a) (b) Perbandingan Citra MODIS hasil koreksi Bow Tie (a) Citra belum terkoreksi dan (b) Citra telah terkoreksi
77 4.5. Koreksi Radiometrik
Terdapat dua proses klasifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu soft classification dengan menggunakan Linear Spectral Mixture Analysis (SMA) dan hard classification menggunakan klasifikasi Maximum Likelihood. Format data yang diperlukan untuk kedua data berbeda. Untuk klasifikasi LSMA menggunakan nilai surface reflectance, sedangkan untuk klasifikasi Maximum Likelihood menggunakan nilai digital (digital number). Oleh karena itu sebelum dilakukan proses klasifikasi dengan LSMA, data digital landsat terlebih dahulu dikonversi ke nilai surface reflectance untuk keperluan pemrosesan selanjutnya. Pada tahap ini telah dilakukan koreksi radiometrik menggunakan software pengolahan citra digital dengan menggunakan tools band math yang tersedia pada software ENVI 4.4. dengan menggunakan rumus (11). Data input dari proses ini merupakan citra hasil kalibrasi nilai digital ke nilai radians dalam format BSQ, dengan input Angka skala dan nilai offset reflektansi pada tiap saluran panjang gelombang untuk setiap saluran yang digunakan berturut-turut dari saluran 1 – 5 dan 7. Untuk pemrosesan automatic kalibrasi ke nilai radians ini diperlukan data citra asli, dan parameter yang diperlukan untuk pemrosesan terdapat dalam informasi dari data Header pada citra MODIS yang akan digunakan seperti disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel
4.5. Informasi Data Header dari Nilai Reflectance Scale dan Reflectance Offsets Citra Terra MODIS 500 Tahun 2009
Saluran Reflectance Scale 1 0.00005189 2 0.00003175 3 0.00004404 4 0.00003660 5 0.00003877 6 0.00003507 7 0.00002849 Sumber : Data primer yang diolah (2010)
Reflectance Offset -0.00000000 -0.00000000 -0.00000000 -0.00000000 -0.00000000 -0.00000000 -0.00000000
78 Tabel 4.6. Nilai Reflektansi Minimum dan Maksimum Setiap Saluran Hasil Kalibrasi Nilai Digital ke Nilai Reflektansi Band Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3 Saluran 4 Saluran 5 Saluran 6 Saluran 7
Citra MODIS Resolusi Sapsial 500 meter Tahun 2009 Nilai Reflektansi Sebelum Dikalibrasi Nilai Reflektansi Setelah Dikalibrasi Min Max Min Max 0.014114 1.152269 0.0000000 1.139193 -1.000000 0.880682 0.0000000 2.080514 0.040518 1.171713 0.0000000 1.155654 0.023498 1.151195 0.0000000 1.126585 -1.000000 0.980958 0.0000000 2.540714 -1.000000 0709216 0.0000000 2.298137 -1.000000 0689825 0.0000000 1.866978
Sumber : Data primer yang diolah (2010)
(a) (b) Gambar 4.5. (a) Citra dan Histogram sebelum dikoreksi Radiometrik dan (b) setelah dikoreksi Nilai piksel hasil dari kalibrasi citra MODIS mencerminkan nilai pantulan objek. Citra MODIS yang telah berubah nilai pikselnya menjadi nilai reflektansi tidak menunjukkan perbedaan secara visual. Perubahan secara signifikan tampak nyata pada histogram citra. Saluran yang telah dikalibrasi mempunyai nilai rentang 0 – 1. Gambar 4.5. di atas menunjukkan hasil histogram kalibrasi radiometrik. 4.6. Minimum Noise Fraction
Tahap pemrosesan Minimum Noise Fraction diaplikasikan pada nilai surface reflectance hasil koreksi atmosferik pada masing-masing tahun. Proses ini digunakan untuk mereduksi noise yang ada pada citra yang digunakan dengan menggunakan nilai vektor eigen. Asumsi yang digunakan bahwa semakin tinggi nilai eigen maka
79 kandungan informasi semakin maksimal, dan sebaliknya nilai eigen yang semakin mendekati 1 menandakan data yang banyak mengandung noise. Proses ini juga digunakan untuk mengurangi kompleksitas data yang digunakan sehingga lebih mudah dalam pemrosesan selanjutnya dalam menentukan piksel murni dari setiap endmember. Hasil dari tahap ini memperlihatkan nilai eigen pada masing-masing saluran seperti ditunjukkan pada Gambar 4.6, memperlihatkan nilai eigen tertinggi terdapat pada saluran 1 sebesar 10, saluran 2 dan 3 mempunyai nilai eigen yang hampir sama yaitu 8, begitu juga dengan saluran 4 dan 5 masing-masing bernilai 6 dan 4, sedangkan saluran 6 dan 7 mempunyai nilai masing-masing 4 dan 3.
(a)
(b)
Gambar 4.6. (a) Nilai Vektor Eigen Hasil MNF (b) Scatter Plot Hasil MNF Citra Terra-MODIS Tahun 2009 Merujuk pada hasil nilai eigen tersebut kita dapat menentukan jumlah saluran keluaran yang diinginkan dari hasil proses MNF ini. Pada proses ini jumlah saluran keluaran yang digunakan tetap sama dengan inputnya yaitu 7 saluran dengan pertimbangan bahwa nilai eigen yang dihasilkan dapat dikatakan tidak terdapat nilai eigen yang mendekati 1, juga dengan pertimbangan bahwa jumlah saluran dalam penentuan nilai spektral dari piksel murni yang digunakan pada proses PPI harus sama dengan jumlah saluran pada citra surface reflectan yang menjadi input pada poses LSMA.
80
Gambar 4.7. Citra Terra MODIS Tahun 2009 Hasil Proses MNF 4.7. Indeks Kemurnian Piksel (Pixel Purity Index)
Salah satu tahapan terpenting dalam penelitian dengan metode LSMA adalah tahapan penentuan nilai piksel murni dari setiap endmember tutupan lahan. Penentuan nilai piksel murni pada penelitian ini menggunakan metode Indeks Kemurnian Piksel (Pixel Purity Index). Metode ini digunakan untuk mencari piksel yang paling murni diantara seluruh piksel campuran pada citra dengan cara merekam piksel murni yang paling ekstrim dengan melakukan sejumlah iterasi. Proses ini menghasilkan piksel murni dimana setiap nilai piksel berhubungan dengan jumlah waktu dimana piksel tersebut terekam sebagai piksel yang ekstrim. Input dari tahap ini merupakan citra hasil MNF yang berbasis noise yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Jumlah iterasi ditentukan sebesar 10000 yang merupakan nilai default yang diberikan oleh ENVI. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan metode ini pada data hiperspektral, memberikan kesimpulan bahwa jumlah iterasi yang memberikan hasil maksimal adalah 104 dan 105 (Plaza dan Chang, 2008).
81 Penelitian ini telah mencoba sejumlah iterasi untuk mendapatkan citra piksel murni yang paling akurat untuk data multispektral, dimulai dengan iterasi 5.102, 5.103, 104 sampai dengan 105.
Dari beberapa iterasi tersebut memperlihatkan hasil
bahwa semakin besar jumlah iterasi yang digunakan maka jumlah piksel murni yang terekam sebagai piksel yang ekstrim juga akan semakin banyak, sehingga akurasinya juga akan semakin besar. Selain itu, jumlah iterasi di atas 104 akan memberikan hasil yang relatif sama. Pada penelitian ini jumlah iterasi yang digunakan adalah yaitu sebesar 104 dengan pertimbangan bahwa untuk citra MODIS terdapat kesulitan untuk menemukan nilai piksel murni dari permukaan kedap air. Diagram proses PPI seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.8 (a) dan 4.8 (b) menunjukkan jumlah total piksel ekstrim yang ditemukan pada proses PPI yang merupakan fungsi dari sejumlah iterasi yang digunakan.
Pada masing-masing
diagram tersebut menunjukkan bahwa untuk citra MODIS tahun 2009 jumlah total piksel murni yang ditemukan sebesar 104 piksel. Citra hasil PPI ini menunjukkan sebaran piksel murni pada citra daerah penelitian, dimana piksel yang lebih cerah dengan nilai piksel yang lebih tinggi menunjukkan piksel yang lebih murni dan sebaliknya piksel yang semakin gelap dengan nilai piksel yang rendah menunjukkan piksel yang semakin tidak murni. Dari citra hasil PPI ini kemudian ditentukan ROI (Region of Interest) dengan menentukan nilai ambang (threshold) minimum dan maksimum dari keseluruhan nilai piksel hasil PPI. Batas ambang maksimum yang digunakan adalah nilai piksel tertinggi yang jumlahnya lebih dari 1 piksel, sedangkan batas ambang minimum ditentukan sampai dengan jumlah piksel keseluruhan untuk ROI tidak lebih dari 2000 piksel seperti direkomendasikan oleh ENVI. Piksel hasil ROI ini kemudian menjadi input pada proses nD-Visualizer dalam menentukan nilai pantulan spektral setiap endmember tutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini.
82
(a)
(b) Gambar 4.8. (a) Plot Indeks Kemurnian Piksel dengan Jumlah Iterasi 10000 (b) Citra Terra MODIS Hasil PPI dengan Iterasi 10000 4.8. nD-Visualizer
Proses nD-Visualizer pada penelitian ini digunakan untuk mengkelaskan, mengidentifikasikan dan menentukan lokasi dari piksel murni hasil PPI. Input yang digunakan dalam analisis nD-Visualizer adalah citra hasil MNF, yang disesuaikan dengan ROI hasil analisis PPI.
nD-Visualizer juga dapat dipergunakan untuk
83 mengetahui separabilitas dari setiap kelas. Hasil dari visualisasi nD-Visualizer dapat diplot pada diagram kurva pantulan (z profile) untuk melihat pantulan spektral tiap piksel pada setiap endmember. Hasil kurva pantulan beberapa piksel dirata-ratakan sehingga hanya menghasilkan satu nilai spektral pada setiap endmember. Pantulan spektral inilah yang digunakan sebagai input dalam proses klasifikasi menggunakan metode LSMA. Plot nilai spektral pada nD-Visualizer disajikan pada Gambar 4.9., untuk masing-masing endmember untuk citra Terra-MODIS tahun 2009.
Gambar 4.9.
Hasil Analisis nD-Visualizer pada nD-Control Citra Terra MODIS RGB431 Tahun 2009 untuk Empat endmember Tutupan Lahan (Vegetasi, Air, Tanah, dan Permukaan Kedap Air)
4.9. Endmember
Endmember merupakan obyek atau material yang akan dipisahkan pada setiap piksel. Jumlah endmember yang digunakan untuk klasifikasi dengan metode LSMA tidak boleh lebih dari jumlah saluran yang digunakan. Penelitian ini menggunakan 7 saluran yaitu saluran 1 – 7, sedangkan jumlah endmember ditentukan yaitu 3 jenis endmember yaitu vegetasi, tanah, dan air. Pemilihan keempat endmember tersebut dengan melihat kondisi tutupan lahan di daerah penelitian secara umum yang dianggap telah mewakili sebagian besar jenis tutupan lahan yang ada. Selain itu jenis endmember juga terlihat berbeda secara ekstrim, ditunjukan pada kurva spektral tiga obyek utama yang ada di bumi seperti diperlihatkan pada Gambar 4.10. berikut ini.
84
Gambar 4.10.
Kurva Pantulan endmember (vegetasi, tanah, permukaan kedap air dan Air Citra Terra MODIS Tahun 2009
Pantulan spektral untuk keempat jenis tutupan lahan dihasilkan dari kurva pantulan pada proses nD Visualizer melalui proses pemilihan dengan mengambil nilai rata-rata. Keempat endmember inilah yang nantinya akan dipisahkan pada setiap piksel pada proses klasifikasi dengan menggunakan LSMA. Penentuan nilai pantulan spektral dari setiap endmember ini bersifat trial and error. Endmember yang baik akan menghasilkan nilai error terkecil pada proses LSMA. 4.10. Analisis Linier Spektral Campuran (LSMA)
Klasifikasi dengan metode LSMA digunakan untuk menentukan persentase setiap endmember pada satu piksel berdasarkan karakteristik spektral masing-masing endmember.
Nilai pantulan pada setiap piksel pada citra diasumsikan sebagai
kombinasi linier setiap pantulan dari setiap endmember. Hasil dari LSMA sangat ditentukan oleh input dari setiap spektral endmember tutupan lahan yang dikaji pada penelitian ini. Karena itu pemilihan spektral dari setiap endmember menjadi sangat penting pada proses klasifikasi dengan menggunakan metode ini. Untuk memenuhi julat spektral yang dibutuhkan untuk analisis algoritma matriks linear spectral unmixing dan keperluan sinkroninasi antara
85 nilai spektral citra dan pustaka spektral (spectral library), maka saluran yang digunakan hanya sebatas pada saluran 1(620 – 670 nm), saluran 2 (841 – 876 nm), saluran 3 (459 – 479 nm) dan saluran 4 (545 – 565 nm) yang dianggap mewakili endmember air, tanah, kedap air dan vegetasi. Ketelitian pada proses klasifikasi dengan menggunakan metode ini ditentukan oleh nilai RMS error yang dihasilkan, juga nilai persentase dari setiap endmember pada setiap piksel. Idealnya nilai persentase yang dihasilkan oleh setiap endmember mempunyai range antara 0 sampai dengan 1, sehingga jumlah persentase pada setiap piksel harus sama dengan jumlah persentase setiap endmember pada piksel tersebut yaitu sebesar 1 atau 100 %. Misalnya, jika suatu piksel terdiri dari 25 % tutupan lahan A, 25 % tutupan lahan B dan 50 % tutupan lahan C, maka nilai pantulan spektral pada piksel tersebut merupakan nilai rata-rata dari 0,25 kali pantulan spentral tutupan lahan A, ditambah 0,25 kali pantulan spektral tutupan lahan B, ditambah 0,5 kali pantulan tutupan lahan C, sehingga nilai setiap piksel akan bernilai sama dengan 1. Hasil dari proses klasifikasi dengan metode LSMA ini berupa citra fraksi dari setiap endmember tutupan lahan bersama dengan citra RMS Errornya.
Hasil
pengolahan citra dengan metode LSMA adalah diperoleh citra fraksi endmember Air (Gambar
4.11), citra fraksi endmember tanah (Gambar 4.12.), citra fraksi
endmember permukaan kedap air (Gambar 4.13.), citra fraksi endmember Vegetasi (Gambar 4.14.), citra kesalahan (RMS Error) Gambar 4.15 dan Abundance Map Gambar 4.16. Citra fraksi yang dihasilkan menunjukan persentase endmember pada setiap piksel yang ditunjukkan dengan tingkat kecerahan piksel, yaitu semakin tinggi persentase suatu endmember, maka tingkat kecerahannya semakin mendekati putih, sebaliknya semakin rendah persentase suatu endmember akan semakin gelap atau mendekati hitam.
86 Tabel 4.7. Nilai Minimum dan Maksimum Fraksi Setiap endmember Hasil Klasifikasi LSMA Citra Terra_MODIS Tahun 2009 Endmember Tubuh Air Vegetasi Tanah Permukaan Kedap Air RMS Error
Nilai Fraksi Endmember Citra Terra MODIS Tahun 2009 Minimum Maksimum Rerata -0.689392 1.760.563 1.160.907 -0.103283 1.246.885 0.019627 -0.684346 1.098.163 -0.179308 -0.030269 1.126.459 -0.012532 0.000000 0.075727 0.037173
Sumber : Data primer yang diolah (2010) Secara umum dari statistik masing-masing citra fraksi (Tabel 4.7.) terlihat bahwa nilai minimum dan maksimum dari setiap endmember tidak berada pada rentang 0 sampai dengan 1 sebagaimana mestinya. Nilai fraksi negatif menunjukkan bahwa obyek yang bersangkutan tidak ada dalam suatu piksel, sedangkan nilai fraksi lebih dari 1 menunjukkan bahwa piksel tersebut kekurangan ragam endmember. Hasil citra fraksi secara keseluruhan (Gambar 4.11 – Gambar 4.15) menunjukkan bahwa pada citra fraksi endmember vegetasi juga terdapat tutupantutupan lahan lainnya yang terpisahkan menjadi endmember vegetasi, permukaan kedap air, air dan tanah terbuka. Pada penelitian ini terdapat kesulitan untuk membedakan antara pantulan spektral permukaan kedap air dan pantulan spektral pada obyek tanah yang mempunyai rona yang hampir sama. Untuk menghindari kesalahan dalam menentukan endmember kelas permukaan kedap air dan tanah, pengambilan keputusan dikontrol dengan peta penggunaan lahan tahun 2009 dari BPKHV dan Citra Landsat ETM+ tahun 2009 (SLC-OFF) yang telah diperbaiki dengan menggunakan fasilitas frame_and_fill. Dengan demikian diharapkan kesalahan dalam menentukan kelas endmember untuk kelas permukaan kedap air dan tanah terbuka dapat ditekan sekecil mungkin karena terbatasnya resolusi dari citra Terra-MODIS yang digunakan. Untuk hasil yang lebih baik sebaiknya penentuan spektral murni dari setiap endmember dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan menggunakan alat spektrometer. Dalam hal ini telah dilakukan beberapa kombinasi dari nilai spektral dari setiap endmember, sampai akhirnya menemukan hasil klasifikasi LSMA dengan nilai rata-rata RMS Error yang paling rendah untuk Citra Terra MODIS tahun 2009 yaitu sebesar 0,029.
87 Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode LSMA mempunyai standar deviasi kesalahan kecil sehingga mampu mengklasifikasikan tutupan lahan dengan baik, juga mengingat bahwa nilai fraksi setiap endmember apabila dijumlahkan akan menghasilkan nilai sama dengan 1 (satu) (Tabel 4.8). Hal tersebut masih memenuhi fungsi batas dari model pemisahan spektral linier ini yang tercantum pada persamaan (1), sehingga hasil penelitian ini dapat diandalkan. Kemampuan metode LSMA yang secara kuantitatif dapat memberikan informasi presentase setiap endmember tutupan lahan pada setiap piksel menjadikan metode ini dapat direkomendasikan sebagai salah satu metode klasifikasi yang lebih akurat dibandingkan dengan metode klasifikasi konvensional seperti Maximum Likelihood. Data nilai fraksi seluruh piksel daerah penelitian hasil klasifikasi dengan metode LSMA untuk setiap endmember disajikan pada Lampiran 1. Pada penelitian ini terdapat garis (stripping) pada seluruh citra fraksi endmember yang dihasilkan, hal ini diduga sebagai akibat dari gagalnya mekanisme scanning
(pushbroom/wishbroom)
pada
saat
melakukan
perekaman
obyek.
Kekurangan tersebut merupakan permasalahan dalam penelitian ini yang tidak dapat dipecahkan oleh peneliti, sehingga akan mempengaruhi keakuratan terhadap hasil penelitian. Tabel 4.8. Sampel Nilai Fraksi Setiap endmember Hasil Klasifikasi LSMA untuk Citra Terra-MODIS Tahun 2009 Piksel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rerata
Sumber :
Air 0,223336 0,232944 0,242552 0,252159 0,261767 0,271375 0,280982 0,290590 0,300198 0,309805 0,271375
Nilai Fraksi Endmember Tanah Kedap Air 0,399721 -0,020274 0,405015 -0,013284 0,410310 -0,006293 0,415605 0,000697 0,420900 0,007687 0,426194 0,014677 0,431489 0,021668 0,436784 0,028658 0,442079 0,035648 0,447374 0,042638 0,426194 0,014677
Vegetasi 0,400669 0,405205 0,409741 0,414277 0,418814 0,423350 0,427886 0,432422 0,436958 0,441495 0,423350
RMS Error 0,028212 0,028509 0,028806 0,029103 0,029400 0,029697 0,029994 0,030291 0,030588 0,030885 0,029697
Analisis klasifikasi Linear Spectral Mixture Analys Citra Terra-MODIS Tahun 2009
88
Awan
Awan
Gambar 4.11. Citra Fraksi Endmember Air Hasil LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009
89
AAwan
Gambar 4.12. Citra Fraksi Endmember Tanah Hasil LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009
90
Awan
Gambar 4.13. Citra Fraksi Endmember Kedap Air Hasil LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009
91
Awan
Gambar 4.14. Citra Fraksi Endmember Vegetasi Hasil LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009
92
Awan
Gambar 4.15. Citra RMS Error Hasil LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009
93
Kabupaten Prop.Kalsel
Sumber : Analisis Klasifikasi LSMA Citra Terra-MODIS (29-08-2009)
Gambar 4.16. Abundance Map Hasil Klasifikasi LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009
94
4.11. Klasifikasi Maximum Likelihood
Metode Maximum Likelihood yang dilakukan pada penelitian ini merupakan metode pembanding dalam proses klasifikasi.
Perbandingan kedua metode ini
dilakukan dengan uji akurasi. Uji akurasi dilakukan dengan komposisi kelas dan training area uji akurasi yang sama. Penyetaraan kelas dan training area uji akurasi dimaksudkan agar perbandingan akurasi hasil klasifikasi dan evaluasi dapat lebih obyektif. Metode Maximum Likelihood yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan asumsi probabilitas untuk semua kelas adalah sama. Metode ini akan berjalan baik jika setiap daerah contoh memiliki distribusi normal yang ditunjukkan oleh indeks separabilitas (Transformed Divergence) melalui perangkat lunak ENVI berkisar antara 1,900 – 2.000. karena keterbatasan resolusi dari citra Terra-MODIS yang digunakan, jumlah kelas tutupan lahan diklasifikasikan menjadi 4 kelas untuk klasifikasi yang mempunyai jenis tutupan lahan sama. Jumlah 4 kelas ini disesuaikan dengan kelas yang didapatkan pada metode LSMA, yang terdiri dari vegetasi, permukaan kedap air, tanah dan air. Tahap awal metode Maximum Likelihood dilakukan dengan mencari traning area atau ROI (Region of Interest). Masing-masing training area untuk citra ini diperoleh indeks separibilitas di atas 1,9 untuk citra Terra-MODIS tahun 2009. ini menunjukkan bahwa setiap daerah contoh untuk masing-masing tahun pada daerah penelitian menunjukkan distribusi normal. Uji akurasi dengan tabel Confusion Matrix dan Coefficient Kappa pada peta tutupan lahan hasil klasifikasi Maximum Likelihood (Gambar 4.17), menunjukkan tingkat akurasi keseluruhan (overall accuracy) yang sangat baik yaitu 86,70 % (Kappa sebesar 0,7346). Tingginya hasil akurasi tersebut bukan hanya pada nilai akurasi secara keseluruhan, namun juga pada nilai producer’s accuracy dan user’s accuracy. Pada matriks hasil klasifikasi Maximum Likelihood (Tabel 4.9.), terlihat bahwa 2 kelas yang terdiri dari ; vegetasi, dan permukaan kedap air memiliki producer’s accuracy tertinggi yaitu 92,24 %, sedangkan user’s Accuracy tertinggi dimiliki oleh kelas air dan tanah sebesar 99,58 %.
95
Tabel 4.9. Matriks Uji Akurasi Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood Citra TerraMODIS Tahun 2009 Hasil Kelas Air Vegetasi Tanah Kedap Air
Air Uji 220 0 1 18
Training Area Uji (dari Citra Landsat7 ETM+ Tahun 2009) Vegetasi Tanah Kedap Air Total Prod.Acc. Uji Uji Uji (%) 10 0 4 240 92.24 715 3 0 718 84.61 25 86 2 110 86.25 92 2 16 128 70.73 Overall Accuracy 86,70 % Kappa Coefficient 0.7346
User Acc. (%) 91,60 99,58 78,18 12,50
Sumber : Pengolahan Data Primer (2010) Akurasi terendah pada akurasi klasifikasi dimiliki oleh kedap air yaitu sebesar 70,73 %, sedangkan akurasi terendah untuk pemetaan dimiliki oleh kelas kedap air sebesar 12,50 %.
Matriks akurasi menunjukkan bahwa sebagian nilai spektral
permukaan kedap air terklasifikasi sebagai tanah terbuka dikarenakan pada resolusi Citra Terra-MODIS yang rendah mengakibatkan piksel permukaan kedap air warna/rona mirip dengan piksel tanah terbuka.
Hasil uji akurasi pada metode
klasifikasi Maximum Likelihood memperlihatkan bahwa metode klasifikasi ini merupakan metode konvensional yang paling akurat jika dibandingkan dengan metode konvensional lainnya. 4.12. Uji Akurasi Metode LSMA
Uji akurasi yang digunakan untuk metode LSMA menggunakan dua metode uji, yaitu mengunakan confusion matrix dan RMS Error.
Uji akurasi dengan
confusion matrix digunakan untuk membandingkan hasil klasifikasi metode LSMA dan metode klasifikasi Maximum Likelihood. Sebelum dilakukan uji akurasi, citra fraksi endmember hasil LSMA terlebih dahulu dikelaskan kembali dengan menggunakan fasilitas Rule Classifier. Rule Classifier merupakan metode klasifikasi pasca pengkelasan (post classification) yang digunakan untuk mengkelaskan kembali atau menggabungkan beberapa kelas dengan batas ambang yang baru, dengan asumsi bahwa satu piksel dikelaskan berdasarkan endmember yang paling dominan, yaitu endmember yang mempunyai nilai fraksi atau persentase terbesar dalam satu piksel.
96
Hasil dari Rule Classifier menghasilkan citra dengan jumlah kelas yang sama dengan citra yang digabungkan. Tabel 4.10. Matriks Uji Akurasi Hasil Rule Classifier LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009 Hasil Kelas Air Vegetasi Tanah Kedap Air
Air Uji 226 0 1 18
Training Area Uji (dari Citra Landsat7 ETM+ Tahun 2009) Vegetasi Tanah Kedap Air Total Prod.Acc. Uji Uji Uji (%) 10 0 4 240 92.24 770 9 0 779 85.27 25 95 2 123 89.62 98 2 16 134 72.73 Overall Accuracy 86.75 % Kappa Coefficient 0.7463
User Acc. (%) 94.17 98.84 77.24 11.94
Sumber : Pengolahan Data Primer (2010)
Uji akurasi dengan tabel Confusion Matrix dan Coefficient Kappa pada peta tutupan lahan hasil klasifikasi Rule Classifier (Gambar 18), menunjukkan tingkat akurasi keseluruhan (overall accuracy) yang baik yaitu 86,75 % (Kappa sebesar 0,7463).
Baiknya hasil akurasi tersebut bukan hanya pada nilai akurasi secara
keseluruhan, namun juga pada nilai producer’s accuracy dan user’s accuracy. Pada matriks hasil Rule Classifier (Tabel 4.10.), terlihat bahwa kelas yang yang memiliki tingkat akurasi tertinggi baik pada Producer’s Accuracy maupun User’s Accurasi terdapat pada kelas air yaitu sebesar 92,24 % (Producer’s Accuracy) dan 94,17 % (User’s Accuracy). Akurasi terendah pada akurasi klasifikasi dimiliki oleh kelas kedap air yaitu sebesar 72.73 % (Producer’s Accuracy) dan 11,94 % (User’s Accuracy). Uji akurasi yang diterapkan untuk metode LSMA juga menggunakan nilai RMS Error yang dihasilkan dari persamaan 15. Uji akurasi RMS Error digunakan untuk mengetahui sejauh mana akurasi dari metode LSMA dalam klasifikasi tutupan lahan pada level sub-piksel, dalam hal ini dilakukan uji untuk setiap fraksi atau persentase dari tutupan lahan yang dihasilkan dari metode LSMA dengan menggunakan citra Landsat7 ETM+ tahun 2009.
97
Uji akurasi RMS Error dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan data uji pada citra fraksi setiap endmember hasil LSMA. Sampel piksel yang diambil adalah piksel yang memiliki nilai fraksi pada setiap endmember berada pada rentang 0 sampai dengan 1. Jumlah sampel yang diuji sebanyak 30 sampel, sampel yang diuji diusahakan mempunyai komposisi fraksi 100%. Adapun distribusi piksel yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3. Satu piksel citra MODIS berukuran 500x500 meter akan meliputi 16,6 x 16,6 piksel atau sebanyak 280 buah piksel pada 1 piksel citra Landsat7 ETM+ yang beresolusi spasial 30 x 30 meter. Piksel Landsat sebanyak 280 ini selanjutnya yang akan diinterpretasi tutupan lahannya untuk menguji tingkat ketelitian metode LSMA pada 1 piksel citra Terra-MODIS. Contoh uji akurasi metode LSMA menggunakan citra Landsat dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis uji akurasi ini menunjukkan akurasi diperoleh nilai rata-rata RMS Error 0,1227 untuk seluruh tutupan lahan sebesar atau dengan akurasi rata-rata sebesar 87 %. Hal ini menunjukkan bahwa metode LSMA dapat mempresentasikan setiap fraksi endmember tutupan lahan pada setiap piksel dari citra Landsat7 ETM+, sehingga
metode
ini
dapat
dijadikan
sebagai
mengklasifikasikan tutupan lahan pada suatu wilayah.
metode
alternatif
dalam
98
Tabel 4.11. Data Hasil Uji Akurasi RMS Error Metode LSMA Citra Terra-MODIS Tahun 2009 dengan Citra Landsat7 ETM+ Tahun 2009
99
Gambar 4.17. Citra Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
100
Gambar 4.18. Citra Terra MODIS Hasil Rule Classifier Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
101 4.13. Hasil Klasifikasi Tutupan Lahan
Tutupan lahan adalah istilah yang digunakan ahli geografi untuk menggambarkan kelas vegetasi (alami) dan konsentrasi buatan (artificial) yang menutupi permukaan lahan. Melalui citra satelit tutupan lahan secara umum dapat dilihat melalui kenampakan rona/warna hanya tiga yaitu vegetasi, tanah dan air. Interpretasi tutupan lahan diperoleh dari klasifikasi multispektral, dimana dalam penelitian ini klasifikasi multispektral dilakukan dengan sistim klasifikasi sub-piksel dengan menggunakan metode Linear Spectral Unmixing (LSMA). Berdasarkan
hasil
interpretasi
dan
klasifikasi
multispektral
dengan
menggunakan metode analisis sub-piksel dari citra Terra-MODIS komposit RGB143, hanya diperoleh 3 tutupan lahan meliputi Air, Tanah dan Vegetasi. Terbatasnya hasil klasifikasi tutupan lahan pada citra Terra-MODIS resolusi spasial 500 x 500 meter disebabkan julat nilai spektral yang digunakan hanya sebatas pada saluran 1(620 – 670 nm), saluran 2 (841 – 876 nm), saluran 3 (459 – 479 nm) dan saluran 4 (545 – 565 nm) yang dianggap mewakili endmember air, tanah, kedap air dan vegetasi. Selain itu beberapa pendekatan interpretasi dengan melihat hubungan ekologis dengan bentuk lahan serta dikontrol dengan cek lapangan dan peta tutupan lahan terkini juga diterapkan untuk meningkatkan interpretasi dari citra yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil yang diperoleh pada proses pasca klasifikasi dengan menggunakan Rule Classifier dengan input hasil analisis Linear Spektral Campuran (LSMA) merupakan gambaran luasan setiap fraksi endmember tutupan lahan dalam tiap piksel di Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya seperti dapat dilihat pada Tabel 4.12., Tabel 4.13 dan Tabel 4.14, serta divisualisasikan pada Gambar 4.17, Gambar 4.18 dan Gambar 4.19.
102 Tabel 4.12. Lokasi Sampling berdasarkan Global Positioning System (GPS) Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Satuan Lahan D1 II HKR 2 D1 III HKR 2 S5 II PMK 2 D1 III PMK 2 D1 III PMK 2 S3 III TB 2 D1 IV SB 2 D1 III HKR 2 D1 III HKR 2 S4 I HKR/HCAM 17 D1 IV LT 2 F3 II HKR 1 S4 I SB 19 S5 II HKR 18 S4 II HKR 17 S4 III HKT 1 D1 II SB 2 S5 II PMK 17 S4 IV LT 17 S4 IV HKT 2 F3 III HKT 1 S4 IV AL 5 S4 II PMK 10 S5 III Danau 15 S5 III HKR 15 S4 II AL 10 S1 III HKT 5 S4 II AL 14 S4 III HKS 7 S1 II HCAM 5 S5 III LD 16 D1 III TB 2 S4 II HKS 5 S5 II AL 13 S5 I D 14 S4 I HKS 9 D1 I HKR 2 S1 III HKS 3 S5 I AL 12 S5 III HKR 15 S5 II SB 13 S1 II HKS 3 S4 II HKT 7 S5 IV SB 33 S4 II HKS 7 S3 II HKS 3 S3 IV HKT 2 S4 III HKR 7 S5 III PMK 13 S5 II HKS 12 D1 II HKR 2
Sumber : Hasil Cek Lapangan April 2010.
Koordinat UTM X
Y
271136 275781 273421 284406 281384 287282 293622 278730 297996 284869 291815 287240 280862 278287 292811 285480 303234 290318 297615 307664 285439 301880 293468 279741 282436 296392 307460 292171 300122 311056 285247 316924 307460 289544 293208 298193 321845 304269 290184 291053 295214 312571 304976 291095 301151 315077 320331 306229 297309 297551 271136
9589809 9592021 9594454 9594454 9597034 9597845 9599098 9600425 9601672 9602310 9602732 9603902 9604506 9605218 9605586 9606648 9607294 9607722 9607757 9608606 9609641 9609715 9610368 9610803 9611064 9613216 9612272 9610901 9614235 9614543 285247 9615301 9615490 9615902 9611706 9616571 9617572 9618273 9617144 9619412 9619838 9620790 9621142 9621555 9622151 9623575 9624008 9624976 9625492 9621697 9589809
103 Tabel 4.13. Interpretasi dan Identifikasi Tutupan Lahan berdasarkan Warna, Tekstur, rata-rata nilai spektral/reflektansi Hasil Analisis hasil cek lapangan dengan Citra RGB 143 Kenampakan/ Teridentifikasi
Rata-rata nilai Reflektansi/ Spektral band 1 : 4 : 3
Biru berlokasi umumnya ditemukan di dataran alluvial atau sepanjang dataran memiliki tekstur yang halus sampai sedang
Air
76 : 0 : 255
coklat cerah, cakupan luas, umumnya membentuk batas yang tidak teratur
Tanah/Lahan Kering
154 : 108 : 197
Merah muda dengan tekstur sedang tidak memiliki batas secara alami, umumnya terdapat dekat sungai, jalan, daerah pemukiman dan terdapat pantulan cerah
Permukaan Kedap Air
227 : 106 : 197
Hijau, dengan tekstur halus, umumnya ditemukan disepanjang bentang lahan
Vegetasi
64 : 119 : 193
Karakteristik Warna dan Tekstur
Warna Citra
Sumber: Hasil Cek Lapang April 2010. catatan: nilai reflektansi/spektral citra terendah 0 (berwarna hitam/gelap) dan tertinggi 255 (berwarna putih).
Untuk memperoleh hasil tutupan lahan yang digunakan sebagai parameter masukan dalam mengestimasi limpasan permukaan, terlebih dahulu citra fraksi endmember hasil LSMA dikelaskan kembali dengan menggunakan fasilitas Rule Classifier. Rule Classifier merupakan metode klasifikasi pasca pengkelasan (post classification) yang digunakan untuk mengkelaskan kembali atau menggabungkan beberapa kelas dengan batas ambang yang baru, dengan asumsi bahwa satu piksel dikelaskan berdasarkan endmember yang paling dominan, yaitu endmember yang mempunyai nilai fraksi atau persentase terbesar dalam satu piksel. Selanjutnya untuk menentukan bobot baru pembentuk koefisien limpasan permukaan pada variabel vegetasi, diperoleh dari persamaan Linier Spectral Mixture Analysis (LSMA) seperti pada persamaan 3 dan 4 sebagai berikut (A.Klein, 1998): n
∑F j =1
j
=
f i1 + f i 2 + f13 + ... + f in = 1
0 ≤ fin ≤ 1 ........................(23)
104 Hasil dari persamaan Linier Spectral Mixture Analysis (LSMA) tersebut merupakan kombinasi linier tertimbang (terbobot) dari nilai piksel citra dari masingmasing proporsi (persentasi) kehadiran obyek dalam setiap piksel. Bobot (proporsi) masing-masing obyek yang dihasilkan dari persamaan 23 tersebut sudah merupakan nilai bobot yang dijadikan sebagai parameter masukan untuk menentukan parameter tutupan lahan pada klasifikasi metode Cook dengan Modifikasi. Penyesuaian klasifikasi penggunaan lahan terhadap klasifikasi vegetasi penutup hasil dari klasifikasi dengan menggunakan analisis Linier Spectral Mixture Analysis (LSMA) selanjutnya disesuaikan Tabel U.S. Forest Service (1980 dalam Asdak, 2004) dan Schwab, dkk (1981 dalam Arsyad, 2000) dapat dilihat pada Tabel 4.1.4. Tabel 4.1.4. Penyesuaian klasifikasi penggunaan lahan terhadap klasifikasi vegetasi penutup dalam metode Cook Dengan Modifikasi Karakteristik Tutupan Lahan Metode Cook Tanah terbuka tidak tertutup oleh vegetasi, daerah pertanian dan dataran banjir yang ditumbuhi oleh tanaman Campuran antara gedung dan tanaman termasuk perumahan dan tempat tinggal yang tidak tertutupi tumbuhan Hutan, vegetasi campuran khususnya pohon buah-buahan, status hutan
Harkat 0,31
Koefisien C 0,20 – 0,50
0,44
0,40 – 0,60
0,43
0,05 – 0,55
Sumber : Modifikasi Metode Linsley (1959); Meijerink (1970); Gunawan (1991) dan U.S. Forest Service (1980 dalam Asdak, 2004) dan Schwab, dkk (1981 dalam Arsyad, 2000)
Untuk mengetahui luasan per hektar hasil klasifikasi dengan menggunakan Rule Classification, terlebih dahulu dilakukan penyuntingan basis data atribut dengan menggunakan SIG (Arc.GIS 9.2) dalam arti menambah atau menyunting jumlah field. Untuk keperluan pengisian beberapa field seperti melakukan operasi tumpang susun (overlay), pengisian atribut score pada masing-masing variabel, dilakukan model konversi Raster-Vektor-Raster dengan catatan hasil akhir tetap berbasis Raster. Luasan tutupan lahan pasca klasifikasi dengan menggunakan Rule Classifier pada Citra Terra MODIS tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.15. berikut.
105 Tabel 4.15. Luas Tutupan Lahan Hasil Rule Classifier Citra Terra-MODIS Tahun 2009 Area
Endmember Tutupan Lahan
(ha)
(%)
Vegetasi 60.679,89 Tanah Terbuka 28.382,37 Air 7.733,51 Total 96.795,77 Sumber : Analisis Data Primer dan Cek Lapang April 2010
62,69 29,32 7,99 100,00
Pada Tabel 4.15 di atas dapat dilihat bahwa tutupan lahan di daerah Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya terdiri dari Vegetasi seluas 60.679,89 ha (62,69%), tanah terbuka seluas 28.382,37 (29,01 %), dan air seluas 7.733,51 (7,99%). Citra Terra-MODIS Tahun 2009
Luas (ha)
70000
60.679,89
60000 50000 28.382,37
40000 30000
7.733,51
20000 10000 0
endmember Tutupan Lahan Vegetasi
Tanah terbuka
Air
Gambar 4.19. Endmember Tutupan Lahan Hasil Klasifikasi LSMA Citra TerraMODIS Tahun 2009 Untuk menentukan keberadaan piksel murni (pure pixel) selain menggunakan Pure Pixel Index yang diperoleh dalam analisis LSMA, peneliti juga menggunakan citra resolusi sedang (Citra Landsat7 ETM+ Tahun 2009) sebagai acuan kemudian
106 dengan bantuan GPS posisi/koordinat daerah-daerah yang dicurigai mempunyai piksel murni diplotting, piksel murni inilah yang kemudian dijadikan acuan untuk menentukan piksel murni yang terdapat pada citra Terra MODIS. Penentuan piksel murni pada citra Terra MODIS selain menggunakan citra Landsat7 ETM+ dengan tahun yang sama dengan asumsi perubahan tutupan lahan yang terjadi tidak mengalami perubahan pada saat dilakukan penelitian, juga dipandu dengan peta penggunaan lahan yang dikeluarkan oleh BPKH Wilayah V Propinsi Kalimantan Selatan, hasil penelitian terdahulu dan pengamatan dengan menggunakan Google Earth, dan pengetahuan peneliti pada daerah penelitian (unknowlege research). Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kesalahan interpretasi dalam menentukan piksel murni yang dijadikan input/masukan dalam analisis LSMA. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas maka diperoleh interpretasi tutupan lahan di daerah Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya secara umum terdiri dari Vegetasi yang dibagi menjadi Hutan Kerapatan Sedang (HKS), Hutan Kerapatan Rendah/Hutan Campuran (HKT/HCAM), Sawah Berpindah (SB), AL (Alang-alang) serta Tanah (Tanah terbuka/TB), Lapisan Kedap Air (Pemukiman/PMK) dan Tubuh Air (Danau). (Terlampir pada Tabel 4.12 dan Lampiran 4).
107
Gambar 4.20. Tutupan Lahan Hasil Rule Classifier Citra Terra-MODIS Tahun 2009
108
No. 10
No. 7
No. 41
No. 25
No. 24
6
No. 48
No. 34
No. 4
No. 22
23
Legenda : No. 4. Hutan Pinus/PMK No. 7. Sawah/Tegalan Desa Bunglai No. 10. Hutan Kerapatan Rendah/ TW. Lama No. 22. Alang-Alang Desa Apuai No. 24. Tanah Terbuka Desa Rantau Bujur No. 25. Hutan Kerapatan Rendah/ Rantau Balai
No. 34
No. 37
No. 39
No. 34. Waduk Riam Kanan No. 41. Htn Krptn Rdh/Bungur No. 48. Pemukiman Desa B.Riam No. 23. Pemukiman Desa Kalaan No. 6. Tanah Terbuka D.Awang
Gambar 4.21. Tampilan Sebagian Kenampakan Objek Hasil Cek Lapangan pada Citra Terra-MODIS RGB431 serta Kondisi Lapangan
109 4.14. Hasil Interpretasi Kemiringan Lereng
Interpretasi kemiringan lereng tidak dapat diturunkan langsung dari citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini, oleh karena itu derivasi lereng dibantu dengan menggunakan data peta kontur digital untuk pemrosesan Digital Elevation Model (DEM). Dari DEM tersebut dengan menggunakan fasilitas Topo to Raster dibuat peta turunan kemiringan lereng dan selanjutnya dikelaskan dengan menggunakan sistim klasifikasi Metode Cook dengan modifikasi. Berikut visualisasi hasil ekstraksi DEM dari data kontur digital skala 1 : 50.000 (c.i. = 25 meter) dapat dilihat pada Histogram Gambar 4.20 dan Peta Lereng Gambar 4.21 serta luasan dari masing-masing kelas kemiringan lereng dan persebarannya di Sub DAS Riam Kanan dan sekitanya dapat dilihat pada Tabel 4.16. Tabel 4.16. Hasil Klasifikasi dan Luas Kemiringan Lereng Sub DAS Riam Kanan Konfigurasi Lereng Datar Bergelombang Berbukit Medan erjal
Lereng (%) <5 5 – 10 10 – 30 > 30
Luas Total (Ha) Sumber : Hasil Analisis Data Primer (2010)
Luas (Ha)
Luas (%)
7.324,200 40.462,392 23.517,407 25.330,177 96.634,176
7,58 41,87 24,34 26,21
Pada Tabel 4.16, dapat dilihat distribusi spasial hasil klasifikasi kelas lereng 5 – 10 % dengan konfigurasi lereng bergelombang paling banyak dijumpai pada lokasi penelitian yaitu seluas 40.462,392 ha atau sebesar 41,87 %. Kelas kemiringan lereng < 5 % dengan konfigurasi datar hanya menempati wilayah seluas 7.324,200 atau sebesar 7,58 % dari luas keseluruhan pada lokasi penelitian. Kondisi tersebut menggambarkan kemungkinan terjadinya limpasan permukaan relatif besar, karena semakin besar kemiringan kelas lereng, maka aliran permukaan yang akan terjadi juga semakin besar karena laju infiltrasi yang ada pada lokasi tersebut kecil.
110 Slope (%) 45000 40000 35000 30000 25000 Ha 20000 15000 10000 5000 0 Datar <5
Bergelombang 5 - 10
Berbukit 10 - 30
Medan Terjal >30
Gambar 4.22. Histogram Kelas Kemiringan Lereng di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
Gambar 4.23. Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
111
4.15. Hasil Interpretasi Infiltrasi Tanah
Interpretasi infiltasi tanah tidak dapat langsung disadap dari citra, akan tetapi dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi tanah seperti bentuk lahan, relief, tutupan lahan dan peta tematik jenis tanah hasil penelitian sebelumnya. Dalam proses interpretasi infiltrasi tanah, faktor yang paling pertama diperhatikan adalah bentuk lahan atau kemiringan lereng serta dikontrol dengan peta jenis tanah.
Bentuk lahan dapat memberikan gambaran informasi batuan induk
penyusun tanah, sehingga dapat mengestimasi kondisi tekstur tanah terkait dengan batuan penyusun serta pelapukan batuan. Sedangkan kemiringan lereng cenderung digunakan untuk estimasi kedalaman solum tanah, semakin curam lereng solum tanah semakin tipis sebaliknya semakin landai lereng dalam suatu wilayah solum yang terbentuk akan semakin tebal. Infiltrasi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat double ring infiltrometer. Perhitungan secara kuantitatif menggunakan metode Horton (1939, dalam Arsyad 1989) (Lampiran 22). Pada Gambar 4.22, Gambar 4,23, Gambar 4.24, dan Tabel 4.17, masing-masing dapat dilihat ilustrasi pengukuran infiltrasi tanah, peta sebaran spasial infiltrasi tanah, histogram klasifikasi infiltrasi tanah (ha) dan luasan (ha) infiltrasi tanah di Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya. Infiltrasi tanah di Sub DAS Riam Kanan dibagi menjadi kelas sangat rendah sampai dengan tinggi. Menurut Richard and Cossens (ILRI, 1974) infiltrasi tanah < 2,5 mm/jam diklasifikasikan sangat lambat, 2,5 – 15 mm/jam kelas lambat, 15 – 28 mm/jam kelas normal, 28 – 53 kelas tinggi dan > 53 kelas sangat tinggi.
112
Gambar 4.24. Ilustrasi Pengukuran Infiltrasi Tanah dengan menggunakan Double Ring Infiltrometer
Gambar 4.25. Peta Infiltrasi Tanah dan Titik Sampling Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
113 Tabel 4.17. Hasil Klasifikasi Infiltrasi Tanah di Sub DAS Riam Kanan Klasifikasi Sangat Lambat Lambat Sedang Cepat
Infiltrasi (mm/jam) <2,5 2,5 – 15 15 – 28 28 - 53
Luas Total (Ha) Sumber : Hasil Analisis Data Primer (2010)
Luas (Ha)
Luas (%)
3.726,605 92.907,347 0 0 96.633,952
3,86 96,14 0 0
Pada Tabel 4.17. dapat dilihat distribusi spasial hasil klasifikasi infiltrasi tanah diketahui sebagian besar wilayah Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya memiliki kelas infiltrasi tanah lambat yang menempati wilayah seluas 92.907,347 ha atau sebesar 96,14 %. Kondisi persebaran tanah di daerah penelitian terdiri dari kompleks Oxisols Incepticols, kompleks Kandiodox Hapludox, kompleks Hapludox Kandiudox, kompleks Hapludults Hapludox, kompleks Eutrodox Eutrodepts, kompleks Kanhapludults Hapludox Hapludults, dan kompleks Kandiudox Kanhapludults Hapludults, seperti pada ditunjukkan pada Gambar 4.24.
18
Infiltrasi (mm/jam)
15 12 9 6 3 0
p . Ha p.. pts x de l u_ do anha l d u p p r n u 0 3 4a 6ut 7a 8 a K 5 p2l H ep 1 _H _K a_ io_ nc Ha _E pl u an d pl u i _I nh n_ t ru x a a a a u K K H H O K E
Gambar 4.26. Boxplot Infiltrasi Tanah di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
114 Pada penelitian ini digunakan metode Kriging (Ordinary Kriging) dan Variogram untuk memprediksi nilai spasial pada lokasi tersampel pada lokasi lain yang belum dan atau tidak tersampel, dimana nilai prediksi tersebut tergantung pada kedekatannya terhadap lokasi tersampel. Nilai prediksi dianggap presisif dengan asumsi data berdistribusi normal dan scatter plot antara data spasial dengan bujur (x, satuan meter) dan lintang (y, satuan meter) tidak membentuk suatu pola (tren) atau berbentuk random yang menunjukkan bahwa rata-rata dan varians konstan untuk tiaptiap lokasi. Menurut Esri (2002), untuk mengetahui nilai prediksi dianggap presisif atau baik jika memenuhi kaidah sebagai berikut : - Average Estimated Standard Error = RMS Prediction Error = Baik Average Estimated Standard Error > RMS Prediction Error = Over Estimate Average Estimated Standard Error < RMS Prediction Error = Under Estimate Atau - RMS Standardized Error = 1 termasuk kriteria Baik RMS Standardized Error < 1 Over Estimate RMS Standardized Error > 1 Under Estimate ………………………………… (26) Dengan menggunakan fasilitas Tools Geostatistic Analysis Wizard pada ArcGIS 9.2, didapatkan peta kontur interpolasi yang mengandung nilai-nilai prediksi untuk semua titik yang masuk dalam wilayah peta interpolasi. Peta kontur interpolasi terbagi dalam cluster yang nilainya dinyatakan dalam interval, namun pada ArcGIS 9.2, operator dapat memperoleh nilai titik pada lokasi yang ingin diprediksi. Berdasarkan hasil dari perhitungan cross validation didapatkan rangkuman nilai RMSE data infiltrasi tanah dengan menggunakan model semivariogram sebagaimana pada tabel 4.18, serta divisualisasikan pada Gambar 4.27. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode Ordinary Kriging untuk parameter infiltrasi tanah yang telah dicoba pada keempat model spherical di atas telah memenuhi rule yang telah ditetapkan pada persamaan 26. pada model spherical I nilai Average Standard Error sebesar 2,19 sama dengan nilai RMS yaitu sebesar 2,322 atau (nilai RMS Standar = 1), hal ini menunjukkan bahwa model yang digunakan mempunyai prediksi yang cukup baik. Begitu pula pada model
115 spherical II nilai Average Standard Error sebesar 2,57 sama dengan nilai RMS yaitu sebesar 2,46 atau (nilai RMS Standar = 0,96), model spherical III nilai Average Standard Error sebesar 2,34 sama dengan nilai RMS yaitu sebesar 2,43 atau (nilai RMS Standar = 1,048) dan model spherical IV nilai Average Standard Error sebesar 2,23 sama dengan nilai RMS yaitu sebesar 2,25 atau (nilai RMS Standar = 1,029). Dengan demikian keempat model Semivariogram yang dicobakan telah memenuhi kaidah prediksi yang telah ditetapkan pada persamaan 26. Dalam penelitian ini digunakan model Spherical IV dengan besar Range = 5000, partial Sill = 4,9165, Nugget = 0, Lag Size = 12000, Number of Lag = 10 dan spatial korelasi = 0,8629. Tabel 4.18. Perhitungan Model Ordinary Kriging untuk Sampel Infiltrasi Tanah Model Spherical I
Analisis Semivariogram Range : 6000 Partial Sill : 4,9165 Nugget : 0 Lag Size : 12000 Number of Lag : 10
Spherical II
Range : 5000 Partial Sill : 4,9165 Nugget : 0 Lag Size : 12000 Number of Lag : 10
Spherical III
Range : 4500 Partial Sill : 4,9165 Nugget : 0 Lag Size : 12000 Number of Lag : 10
Spherical IV
Range : 5000 Partial Sill : 4,9165 Nugget : 0 Lag Size : 12000 Number of Lag : 10
Sumber : Hasil Analisis Semivariogram (2010)
Parameter Statistik (Cross Validation) Mean : 0,1244 RMS : 2,322 Avg.Standard Error : 2,19 Mean Standard Error : 0,0475 RMS Standard : 1,084 Korelasi Spasial : 0,8559 Mean : 0,1911 RMS : 2,461 Avg.Standard Error : 2,568 Mean Standard Error : 0,0638 RMS Standard : 0,9675 Korelasi Spasial : 0,8395 Mean : 0,05898 RMS : 2,431 Avg.Standard Error : 2,34 Mean Standard Error : 0,0197 RMS Standard : 1,048 Korelasi Spasial : 0,8391 Mean : 0,0607 RMS : 2,254 Avg.Standard Error : 2,223 Mean Standard Error : 0,0221 RMS Standard : 1,029 Korelasi Spasial : 0,8629
116
Avg.Lag x SemiVar = Spherical Model ο = Avg.Lag x SemiVar
Avg.Lag x SemiVar = Spherical Model ο = Avg.Lag x SemiVar
a. Korelasi Spasial 85, Nugget 0, Sill 4,9165, Range 6000
b. Korelasi Spasial 84, Nugget 0, Sill 4,9165, Range 5000 Avg.Lag x SemiVar
Avg.Lag x SemiVar = Spherical Model ο = Avg.Lag x SemiVar
a. Korelasi Spasial 85, Nugget 0, Sill 4,9165, Range 6000
Gambar 4.27. Semivariogram Sampel Infiltrasi Tanah
= Spherical Model ο = Avg.Lag x SemiVar
b. Korelasi Spasial 84, Nugget 0, Sill 4,9165, Range 5000
117 4.16. Simpanan Permukaan
Interpretasi simpanan permukaan dapat diketahui dari hasil interpretasi atau hasil perhitungan nilai kerapatan aliran dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat kerapatan aliran maka simpanan air permukaan semakin kecil. Dengan asumsi ini yang dikemukakan oleh Linsley (1949 dalam Gunawan, 1991) mengatakan suatu daerah akan mengalami penggenangan terus menerus jika kerapatan aliran daerah tersebut < 1 mil/mil2, jika kerapatan > 5 mil/mil2 daerah tersebut cepat kering. Berdasarkan hasil pengolahan data atribut, kerapatan aliran di daerah penelitian berkisar antara 0,11 – 0,40 Km/Km2 dengan klasifikasi kerapatan aliran dibawah 1 km/km2 (sangat lambat/kerapatan aliran kecil). Dengan kerapatan aliran yang kecil mengakibatkan simpanan air permukaan tergolong tinggi, sehingga di daerah penelitian menghasilkan limpasan permukaan yang rendah. Pada Tabel 4.19 dapat dilihat luas simpanan permukaan pada masing-masing SS DAS di daerah penelitian dan sebaran spasial dapat dilihat pada Gambar 4.29. Tabel 4.19. Hasil Klasifikasi Kerapatan Aliran Tanah di Sub DAS Riam Kanan
DAS
Luas (km2)
SS DAS Pa'au SS DAS Hajawa SS DAS Sekitar Waduk SS DAS Riam Besar SS DAS Tabatan SS DAS Kalaan Luas Total (Ha) Sumber : Hasil Analisis Data Primer (2010)
168.254 145.185 169.290 124.271 134.014 218.651
Panjang (km) 55,2166 16,4141 57,1150 34,9977 54,1624 46,6494 96.633,952
Kerapatan Aliran (km/km2) 0,33 0,11 0,34 0,28 0,40 0,21
118
Gambar 4.28. Peta Kerapatan Aliran di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya 4.17. Perhitungan Koefisien Runoff
Estimasi limpasan permukaan dilakukan dengan menjumlahkan koefisien limpasan permukaan masing-masing variabel vegetasi, lereng, infiltrasi tanah dan kerapatan aliran. Kriteria pembentukan limpasan permukaan untuk masing-masing variabel vegetasi yang ditentukan dari persamaan 23 kemudian disesuaikan dengan Tabel Schwab dkk (1981) dalam Arsyad (2000). Sedangkan variabel lereng, infiltrasi tanah dan kerapatan aliran ditentukan berdasarkan pada tabel Caltrants (Tabel 3.5). Keempat variabel vegetasi, lereng, infiltrasi tanah dan kerapatan aliran ditumpang susun (Overlay) untuk memperoleh peta distribusi spasial limpasan permukaan menurut persamaan berikut : C 2009 = C land cover + C slope + C infiltrasi + C kerapatan aliran
119 Peta distribusi spasial limpasan permukaan Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 4.30, Histogram Gambar 4.29, luasan koefisien aliran pada Tabel 4.20. Tabel 4.20. Hasil Klasifikasi Limpasan Permukaan (C) Estimasi di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Kelas I II III IV V VI VII VIII IX X
Interval C-Estimasi
Median
1 - 1,9 1,9 - 2,8 2,8 - 3,7 3,7 - 4,6 4,6 - 5,5 5,5 - 6,4 6,4 - 7,3 7,3 - 8,2 8,2 - 9,1 9,1 - 10
0,15 0,23 0,33 0,42 0,50 0,56 0,69 0,78 0,87 0,96
Jumlah Sumber : Hasil Analisis Data Primer (2010)
Luas (Ha) 20.633,33 7.453,64 4.656,61 6.251,46 29.493,82 4.880,18 2.745,42 5.351,36 9.354,46 3.876,91 94.697,20
% 21,79 7,87 4,92 6,60 31,15 5,15 2,90 5,65 9,88 4,09 100,00
Gambar 4.29. Boxplot Sebaran Koefisien Limpasan (C) Estimasi di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Untuk mengetahui sebaran atau distribusi limpasan permukaan (C) hasil estimasi terlebih dahulu dilakukan klasifikasi terhadap peta yang dihasilkan dari proses Raster Calculator menurut persamaan 19.
Klasifikasi dilakukan dengan
120 interval 0,01 – 1 sebanyak 10 kelas dengan asumsi 10 kelas tersebut mewakili besaran koefisien C yang digunakan yang berkisar antara 0 – 1. Proses klasifikasi ini juga diperlukan untuk memudahkan pengkelasan untuk mengkelaskan kelas limpasan permukaan (C) Metode Cook. Pada Tabel 4.19, dan Gambar 4.29., dapat dilihat bahwa hasil klasifikasi 10 kelas interval estimasi limpasan permukaan tertinggi terdapat pada kelas V (4,6 – 5,5) seluas 29.493,82 ha atau sebesar 31,15 % dari total wilayah, sedangkan terendah ditempati kelas VII (0,379 - 0,410) dengan luas 2.745,42 ha atau sebesar 2,90 % dari total wilayah. Kelas-kelas tersebut terdapat pada bagian hulu dan tengah sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya. Kelas tertinggi dengan limpasan sebesar 0,50 atau sebesar 50 % hujan yang jatuh akan menjadi limpasan dan mengalir melalui hampir seluruh kawasan baik di bagian hulu dan tengah sub DAS Riam Kanan dan akan terakumulasi di daerah yang mempunyai kemiringan lereng lebih rendah di luar kawasan Sub DAS Riam Kanan seperti daerah Kecamatan Pengaron, Kecamatan Astambul dan Kecamatan Sungai Pinang dan Kecamatan Simpang Empat di sebelah Utara. Sedangkan di sebelah Selatan akan mengalir melalui Kecamatan Kusan Hulu.
Gambar 4.30. Peta Distribusi Spasial Koefisien C-Raster Hasil Overlay di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
121 4.18. Analisis Data Hidrologi 4.18.1. Volume Hujan
Untuk memperoleh data curah hujan rerata DAS/Sub DAS, dibutuhkan lokasi stasiun serta data pengukuran curah hujan harian tahun tersebut. Lokasi stasiun dianalisis dengan metode polygon thiessen untuk memperoleh luas curah hujan dan faktor bobot masing-masing stasiun terhadap DAS/Sub DAS yang ditinjau. Metode ini digunakan karena hujan yang jatuh pada luasan DAS di daerah penelitian dianggap sama dengan hujan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada stasiun mewakili luasan DAS tersebut.
Disamping itu metode ini
digunakan dikarenakan penyebaran stasiun hujan di daerah penelitian tidak merata. Data yang digunakan adalah data curah hujan harian yang terjadi antara 1 September sampai dengan 30 September 2009. Setelah diperoleh faktor bobot tiap stasiun, maka curah hujan harian rerata selanjutnya ditentukan dengan menggunakan persamaan 22. Nilai curah hujan rata-rata yang diperoleh menggambarkan tebal hujan yang jatuh di seluruh permukaan DAS dalam satuan mm. Volume hujan diperoleh melalui perkalian curah hujan rata-rata DAS dengan luas DAS. contoh perhitungan curah hujan rata-rata dan volume hujan dapat dilihat pada Tabel 4.21, dan pada Gambar 4.31. Tabel 4.21. Luas Poligon dan Faktor Bobot Stasiun Curah Hujan Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Tahun 2009 Stasiun Penakar Hujan
Luas Poligon (km2)
Persentase (%)
Faktor Pembobot
Curah Hujan (mm)
1
2
3
4 (3:100)
5
Bunglai
Pembobot Curah Hujan (mm) 6 (4x2)
Volume Curah Hujan (m3) 7 (5x2)
122,531
12,77
0,13
0,02
15,646
1,976
80,399
8,38
0,08
0
6,736
0,00
Kalaan
164,005
17,09
0,17
0,18
28,030
30,156
Belangian
Tiwingan
196,219
20,45
0,20
0,02
40,122
3,165
Rantau Balai
73,130
7,62
0,08
0
5,573
0,00
Rantau Bujur
323,326
33,69
0,34
0
108,940
0,00
Jumlah 959,6099 Sumber : Hasil Analisis, (2010)
100
1
205,047
35,297
122
Gambar 4.31. Polygon Thiessen Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
4.18.2. Volume Aliran
Volume aliran permukaan adalah jumlah air yang mengalir melalui outlet sungai. Nilai volume aliran diperoleh dengan cara mengkonversi satuan debit harian, (m3/detik) menjadi m3. Karena keterbatasan Stasiun Pengamatan Air Sungai (SPAS) yang terdapat di daerah penelitian, maka data yang digunakan adalah data debit harian yang diperoleh dari pengukuran papan Duga Muka Air (DMA) yang terdapat di Waduk Riam Kanan yaitu titik yang ditentukan sebagai outlet dari ke 6 Sub DAS yang ada yaitu Sub DAS Pa’au, Sub DAS Hajawa, Sub DAS Sekitar Waduk, Sub DAS Riam Besar, Sub DAS Tabatan dan Sub DAS Kalaan.
Data debit yang
digunakan adalah data antara periode 1 September sampai 30 September 2009, yang disesuaikan dengan tanggal perekaman citra Terra-MODIS yang digunakan.
123 4.18.3. Nilai Koefisien Aliran
Karena terbatasnya Stasiun Pengukuran Air Sungai (SPAS) yang ada di daerah penelitian hanya berdasarkan pada pencatatan tinggi muka air di Waduk Riam Kanan berupa data pengamatan tinggi muka air melalui papan duga (DMA), maka debit aliran diperkirakan dari data curah hujan dan data DMA. Terlebih dahulu dibuat model hubungan hujan aliran antara data debit dan data hujan dalam periode waktu yang sama yaitu tahun 2009, selanjutnya berdasarkan hubungan tersebut dibangkitkan data debit berdasarkan data hujan yang tersedia.
Model regresi
sederhana yang dipakai seperti dirumuskan pada persamaan 20, yang memberikan hubungan antara hujan (mm) sebagai absis dan debit (m3/dt) sebagai ordinat (Gambar 4.31 dan Lampiran 17c). Persamaan garis tersebut mempunyai bentuk berikut: Q = 0,007p + 56,85 .............................................................
(26)
Dari persamaan tersebut maka dibangkitkan data volume air larian yaitu volume yang tercatat pada stasiun pengamatan air waduk Riam Kanan. Perhitungan koefisien aliran dilakukan terhadap pasangan data volume aliran yang tercatat pada papan duga muka air waduk (DMA) dan data hujan penyebabnya, dalam hal ini dipakai data curah hujan maksimum rata-rata bulanan yang tercatat pada 6 stasiun penakar hujan yaitu pada Stasiun Kalaan, Stasiun Rantau Balai, Stasiun Rantau Bujur, Stasiun Belangian, Stasiun Tiwingan dan Stasiun Bunglai. Pasangan data tersebut dapat diketahui melalui analisis volume hujan dan volume aliran yang diplot secara bersama-sama seperti ditunjukkan pada Gambar 4.32.
124
57,8 57,7 57,6
Q (mm/bln)
57,5 57,4 57,3 57,2 57,1 57
Q = 0,007x + 56,85 R 2 = 0,896
56,9 56,8 56,7 0
20
40
60
80
100
120
CH (mm/bln)
Gambar 4.32. Hubungan Debit Hasil dan Curah Hujan Bulanan Hasil Perhitungan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Bulan Januari – Desember Tahun 2009 . 75
Volume Aliran (m3)
Volume Aliran (m3)
Volume Hujan (mm)
60 45 30 15
De s
No p
O kt
Se p
Ag s
Ju l
Ju n
ei M
Ap r
ar M
Pe b
Ja n
0 Waktu
Gambar 4.33. Plot Volume Hujan dan Volume Aliran Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Bulan Januari – Desember Tahun 2009
Periode antara Januari hingga Desember 2009 dipilih karena merupakan periode perekaman citra, yang memiliki variasi curah hujan dan aliran cukup baik seperti ditunjukkan pada Gambar 4.33. Selanjutnya dengan menggunakan persamaan 26 dapat diturunkan pula debit aliran untuk 6 Sub DAS outlet Waduk Riam Kanan
125 untuk tahun 2009, hasil perhitungan ditunjukkan pada Tabel
4.22, dan cara
perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 19. Tabel 4.22. Nilai Koefisien Aliran Hasil Perhitungan Data Pengukuran
Stasiun Penakar Hujan
Luas Poligon (km2)
Persentase (%)
Faktor Pembobot
Curah Hujan (mm)
Pembobot Curah Hujan (mm)
Volume Curah Hujan (mm)
Volume Air Larian (m3)
Q-Aliran (m3/dt)
CAktual
1
2
3
4
5
6 (4x2)
7 (5x2)
8
9
10 (5:4)
Bunglai
122,531
12,77
0,13
45
15,6
5.503,7
11.686
4,51
0,1
Tiwingan
80,3989
8,38
0,08
23
6,7
1.825,1
5.598
2,16
0,1
Kalaan
164,005
17,09
0,17
40
28,0
6.535,6
16.827
6,49
0,2
Belangian
196,219
20,45
0,20
22
40,1
4.316,8
17.084
6,59
0,3
Rantau Balai
73,13
7,62
0,08
37
5,6
2.692,4
5.536
2,14
0,1
Rantau Bujur
323,326
33,69
0,34
37
108,9
12.092,4
45.750
17,65
0,5
960
100
1
205,0
32.966,0
Jumlah
Sumber : Hasil Perhitungan Lampiran 19
4.19. Ketepatan Nilai Estimasi Koefisien Aliran Penilaian ketepatan estimasi nilai koefisien aliran DAS dilakukan dengan 3 cara yaitu hasil C perhitungan data hidrologis dengan data C hasil estimasi, obyek homogen dalam satu piksel terhadap citra koefisien aliran yang ditumpangsusunkan di atas citra Terra-MODIS, dan membandingkan hasil c estimasi dengan perhitungan data hidrologis. 4.19.1. Perbandingan Terhadap Nilai Koefisien Aliran Piksel Homogen
Obyek homogen dalam satu piksel ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap piksel citra koefisien aliran yang ditumpangsusunkan di atas citra TerraMODIS. Piksel terpilih adalah obyek homogen yang tampak pada citra TerraMODIS yang hanya dapat dibagi menjadi obyek tanah, air, vegetasi dan lapisan kedap air. Sebaran piksel-piksel tersebut diperlihatkan pada Gambar 4.34. Nilai koefisien aliran estimasi pada piksel-piksel tersebut kemudian dibandingkan dengan koefisien aliran piksel yang sama nilainya ditentukan dengan menggunakan Tabel 3.9 (U.S. Forest Service, 1980) dan Tabel 3.10 (Schwab, dkk, 1980). Hasil perbandingan berupa persentase selisih keduanya dapat dilihat pada Tabel 4.23. Pada Tabel 4.23. dapat dilihat bahwa besarnya persentase antara nilai koefisien aliran estimasi dan nilai tabel sangat bervariasi. Piksel homogen dengan
126 obyek Tanah mempunyai persentase selisih yang besar, sedangkan obyek vegetasi.mempunyai persentase selisih yang kecil. Pada tabel dapat dilihat bahwa obyek homogen pada piksel mempunyai variasi pola yang tidak teratur dari tinggi hingga besar. Hal ini terjadi karena koefisien aliran untuk estimasi obyek homogen diperoleh melalui serangkaian proses estimasi dengan tumpang susun beberapa variabel pembentuk koefisien aliran (vegetasi, lereng, infiltrasi tanah, dan kerapatan aliran) sebagai masukan awalnya, sedangkan koefisien aliran pada tabel ditentukan berdasarkan macam daerah. Oleh karena itu, nilai koefisien aliran DAS/Sub DAS yagn dihasilkan sesuai digunakan sebagai pembanding terhadap nilai koefisien aliran rata-rata hasil estimasi. Sebagai contoh nilai estimasi untuk vegetasi berkisar antara 0,52 – 0,62, sedangkan nilai koefisien tabel pembanding adalah 0,50 tanah berat dengan vegetasi, hutan bervegetasi sebesar 0,25 dan ladang garapan tanpa vegetasi sebesar 0,60. Secara keseluruhan rata-rata persentase selisih antara nilai koefisien aliran tabel untuk 50 piksel homogen terpilih 0,05 %.
Gambar 4.34. Sebaran Lokasi Piksel Homogen
127 Tabel 4.23. Perbandingan Nilai C-Estimasi Piksel Homogen dengan C-Tabel No. 1. 2. 3.
Sub DAS
C-Estimasi C-Tabel 0,33 0,35 0,34 0,30 0,48 0,40 Selisih Rata-Rata
Vegetasi Tanah Air
Selisih -0,02 0,04 0,08 0,0
Sumber : Hasil Analisis, (2010)
4.19.2.
Perbandingan Terhadap Nilai Koefisien Aliran DAS Menggunakan Tabel
Nilai koefisien aliran DAS/Sub DAS hasil penerapan Tabel 3.9 (U.S. Forest Service, 1980) dan Tabel 3.10 (Schwab, dkk, 1981) terhadap tutupan lahan hasil klasifikasi citra Terra-MODIS tahun 2009 akan digunakan sebagai pembanding nilai koefisien aliran dalam Tabel 3.9 dan Tabel 3.10. Pembanding pada Tabel 3.9 dan Tabel 3.10 dianggap sesuai dijadikan pembanding terhadap nilai koefisien aliran hasil estimasi dikarenakan merupakan nilai yang diperoleh melalui penelitian yang panjang terhadap nilai koefisien aliran suatu jenis tutupan lahan pada berbagai kondisi. Persentase selisih antara nilai koefisien aliran hasil estimasi dan koefisien aliran Tabel dapat dilihat pada Tabel 4.24. Tabel 4.24. Perbandingan Nilai C-Estimasi Tutupan Lahan dengan C-Tabel No.
Obyek
1. 2. 3.
SS DAS Pa'au SS DAS Hajawa SS DAS Sekitar Waduk SS DAS Riam Besar SS DAS Tabatan SS DAS Kalaan
4. 5. 6.
Luas C-Estimasi (ha) 86412,398 0,257 82400,0138 0,483 1678,886 225,902 83671,604 7266,528
0,055 0,229 0,228 0,499
C-Proporsi
Selisih (%)
0,43 0,48
-17,3 0,3
0,33 0,44 0,23 0,49
-27,5 -21,1 -0,2 0,9 -10,4
Selisih Rata-rata Sumber : Hasil Analisis, (2010)
Pada Tabel 4.24. di atas dapat dilihat bahwa persentase selisih antara nilai koefisien aliran estimasi dan nilai estimasi proporsi sangat bervariasi. Sub DAS sekitar Waduk mempunyai persentase selisih yang besar, ini dikarenakan pada Sub
128 DAS Riam Besar sebagian besar terdiri dari badan air. Secara keseluruhan rata-rata persentase selisih antara nilai koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien proporsi adalah 10,4 %.
4.19.3.
Perbandingan Terhadap Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Aliran DAS dari Data Hidrologi
Karena keterbatasan Stasiun Pengamatan Air Sungai (SPAS) yang terdapat di daerah penelitian, maka data yang digunakan adalah data debit harian yang diperoleh dari pengukuran papan Duga Muka Air (DMA) yang terdapat di Waduk Riam Kanan yaitu titik yang ditentukan sebagai outlet dari ke 6 Sub DAS yang ada yaitu Sub DAS Pa’au, Sub DAS Hajawa, Sub DAS Sekitar Waduk, Sub DAS Riam Besar, Sub DAS Tabatan dan Sub DAS Kalaan. Data debit yang digunakan adalah data antara periode 1 September sampai 30 September 2009, yang disesuaikan dengan tanggal perekaman citra Terra-MODIS yang digunakan. Dari hasil analisis regresi, diperoleh bentuk persamaan Q = 0,007p + 56,85, dimana Q adalah Volume aliran (m3), dan p curah hujan (mm). Hasil perhitungan C terukur dengan C estimasi dapat dilihat pada Tabel 4.25. Tabel 4.25. Perbandingan Nilai C-Terukur C-Estimasi No.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Stasiun
Bunglai Tiwingan Kalaan Belangian Rantau Balai Rantau Bujur
Luas (ha) 86412,398 82400,0138 1678,886 225,902 83671,604 7266,528
C-Estimasi
C-Terukur
0,27 0,1 0,35 0,1 0,34 0,2 0,37 0,3 0,14 0,1 0,35 0,5 Selisih Rata-rata
Selisih
0,21 0,25 0,18 0,07 0,31 -0,12 0,15
Sumber : Hasil Analisis, (2010)
Pada Tabel 4.25. di atas dapat dilihat bahwa selisih antara nilai koefisien aliran estimasi dan nilai estimasi proporsi sangat bervariasi.
Sub DAS Kalaan
mempunyai selisih yang besar, ini dikarenakan pada Sub DAS Kalaan sebagian besar
129 terdiri dari badan air. Secara keseluruhan rata-rata persentase selisih antara nilai koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien proporsi adalah 0,15. 4.20. Uji Statistik
Uji statistik dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan hasil estimasi, dengan melihat perbedaan dan persentase selisih antara nilai hasil estimasi dengan nilai hasil pengukuran ataupun tabel. Uji beda dua kelompok data hanya dilakukan terhadap pasangan data nilai koefisien aliran DAS hasil estimasi dan nilai koefisen aliran DAS hasil perhitungan kelompok piksel homogen, koefisien aliran DAS hasil perhitungan dengan menggunakan Tabel dan koefisien aliran hasil perhitungan dengan koefisien hasil estimasi. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.26. Tabel 4.26. Hasil Uji Statistik t-student Nilai Koefisien Aliran (C) Estimasi No. 1 2 3
Pembanding C-Tutupan Lahan dan Tabel C-Piksel homogen dan Tabel C-terukur dan CEstimasi
Korelasi 0,6741
df 5
t-hitung 2,5706
t-tabel 12,85
0,9785
7
2,3646
16,01
0,5517
4
2,13
2,77
Sumber : Lampiran 12
Tabel 4.26. menunjukkan nilai thitung kedua pasangan data di atas terletak pada daerah penerimaan H0. Berdasarkan hipotesis yang telah dikemukan bahwa: H0 : ⏐µ1-µ2⏐ = 0 ; nilai rata-rata koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien aliran perhitungan tidak berbeda nyata H1 : ⏐µ1-µ2⏐ ≠ 0 ; nilai rata-rata koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien aliran perhitungan berbeda nyata Dengan Daerah Penolakan H0 terletak pada thitung <-ttabel dan thitung > ttabel ; taraf signifikansi 95 %, ini berarti kesimpulan yang dapat diambil adalah nilai ratarata koefiesien aliran estimasi dan nilai koefisien aliran hasil perhitungan tidak berebda nyata pada taraf signifikansi 95 %. Dengan demikian hasil estimasi koefisien aliran dianggap valid.
130 4.21. Distribusi Koefisien Aliran DAS
Nilai koefisien aliran hasil estimasi pada kondisi rata-rata dianggap dapat mewakili kondisi DAS karena sudah diperbandingkan dengan nilai koefisien aliran hasil perhitungan data piksel homogen dan hasil perhitungan dengan menggunakan tabel dan hasil perhitungan data hidrologi, dengan persentase selisih rata-rata masingmasing -9,28 % dan 14,65 % dan -0,64 %. Selain itu uji statistik menunjukkan ketiga kelompok data tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
Citra nilai
koefisien aliran hasil estimasi tersebut kemudian dikelaskan dengan mengacu klasifikasi nilai koefisien aliran menurut Cook dan Kazumi Ueda (1971, dalam Gunawan, 1991), untuk mengetahui persebaran nilai koefisien aliran normal, tinggi dan ekstrim pada Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya. Sebaran nilai koefisien limpasan hasil tumpang susun (overlay) dari variabel vegetasi, lereng, infiltrasi tanah dan kerapatan aliran (Drainage Density), terlebih dahulu dikelaskan menjadi 10 kelas dengan interval kelas 0,061. Hasil klasifikasi sebaran nilai C-estimasi tersebut kemudian dikelaskan kembali sesuai dengan ketentuan yang dikemukakan oleh Cook dalam Gunawan (1991) sehingga diperoleh peta sebaran spasial limpasan permukaan (C) hasil estimasi di Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya. Hasil pengkelasan dan luasan (ha) serta persentase masing-masing kelas menurut metode Cook dalam Gunawan (1991) dapat dilihat pada Tabel 4.27, dan secara visual ditampilkan sebagai Peta Koefisien Aliran Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya pada Gambar 4.35. Tabel 4.27.
Hasil Klasifikasi Koefisien Aliran (C) Metode Cook di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Kriteria Cook
Rendah (0 – 25 %) Normal (26 – 50 %) Tinggi (51 – 74 %) Ekstrim (75 – 100%) Total Sumber : Hasil Analisis Data Primer (2010)
Luas (ha) 28.955,16 39.043,10 9.415,94 17.242,00 94.656,19
% (ha) 30,59 41,25 9,95 18,22 100,00
131 Pada Tabel 4.27, dan Gambar 4.35, dapat dilihat bahwa hasil klasifikasi menurut Cook di daerah penelitian terdapat luasan Runoff terbesar terdapat dalam kelas normal seluas 39.043,10 ha atau sebesar 41,25 %. Kelas ini dijumpai pada perkebunan, hutan campuran dari bagian hulu hingga bagian tengah, serta beberapa daerah Sub DAS bagian tengah (Sub DAS Sekitar Waduk, Sub DAS Riam Besar, Sub DAS Tabatan dan Sub DAS Kalaan). Kemudian diikuti oleh kelas rendah seluas 28.955,16 ha atau sebesar 30,59 % dari wilayah keseluruhan. Kelas ini dijumpai pada perkebunan, hutan campuran dari bagian hulu hingga bagian tengah, serta beberapa daerah Sub DAS bagian tengah (Sub DAS Sekitar Waduk, Sub DAS Riam Besar, Sub DAS Tabatan dan Sub DAS Kalaan). Kelas koefisien aliran ekstrim menempati area seluas 17.242,00 ha atau sebesar 18,22 % dari luas wilayah keseluruhan.
Tanah terbuka dengan sedikit
vegetasi, tanah kosong bekas kegiatan pertanian semusim atau tegalan, tanah terbuka tanpa vegetasi dan bekas galian termasuk dalam kelas ini. Sedangkan kelas tinggi menempati wilayah seluas 9.415,94 ha atau sebesar 9,95 % dari wilayah keseluruhan. Kelas ini dijumpai pada tanah garapan (ladang/tegalan), perkebunan, hutan campuran, padang rumput, serta permukiman dengan kepadatan yang rendah. Pola sebaran kelas koefisien aliran di atas dianggap dapat mewakili kondisi Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya secara umum. Nilai koefisien aliran pada kawasan bervegetasi berkebalikan dengan kawasan yang tidak bervegetasi. Daerah bervegetasi termasuk dalam kelas normal tersebar dari bagian hulu dan tengah yang mengindikasikan nilai koefisien C yang rendah sedangkan lapisan kedap air (imperveous) dan tanah terbuka, mempunyai nilai C yang tinggi. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara daerah bervegetasi dengan koefisien aliran sehingga dapat dijadikan untuk estimasi nilai koefisien aliran suatu DAS.
132
Gambar 4.35. Peta Distribusi Spasial Kriteria Runoff menurut Cook di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM sebagai Latar Belakang
133 4.22. Distribusi Koefisien C-Total Sub DAS
Untuk menghitung distribusi C total pada daerah penelitian terlebih dahulu pada masing-masing Sub DAS C Sub DAS dihitung dengan menggunakan persamaan dengan modifikasi sebagai berikut (Asdak, 2002). CSubDAS = CsubDAS x Luas Poligon Kriteria Cook Luas Poligon Sub DAS
……………..………(27)
dimana : C = Koefisien Limpasan Permukaan Untuk masing-masing kriteria menurut Metode Cook persamaan 27 menjadi sebagai berikut : CSubDAS = {(CSubDAS x Luas Poligon Kriteria Rendah) + (CSubDAS x Luas Poligon Kriteria Normal) + (CSubDAS x Luas Poligon Kriteria Tinggi) + (CSubDAS x Luas Poligon Kriteria Ekstrim)} Luas Poligon Sub DAS …………………………(28) Karena dalam penelitian ini menggunakan rasterisasi dalam pengolahan data, maka persamaan 28 menjadi : CSubDAS = {(CSubDAS x Luas piksel Kriteria Rendah) + (CSubDAS x Luas Piksel Kriteria Normal) + (CSubDAS x Luas Piksel Kriteria Tinggi) + (CSubDAS x Luas Piksel Kriteria Ekstrim)} Luas Piksel Sub DAS ……………….……….…(29) Dari persamaan 29 kemudian dapat dihitung C-total dari keseluruhan Sub DAS dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : CTotal
= {(CSubDAS x Luas Piksel Sub DAS A) + (CSubDAS x Luas Sub DAS B) + (CSubDAS x Luas Sub DAS C) + (CSubDAS x Luas Sub DAS X)} Luas Sub DAS A + Luas Sub DAS B + Luas Sub DAS C + Luas Sub DAS X …………………………………………...(30) Untuk menghitung koefisien C dari data terukur digunakan persamaan
metode rasional sebagai berikut: (Asdak, 2002) Q = C.I.A.0,278 ……………………………………………………….(31) C = Q/I.A.0,278 ………………………………………………………..(32) dimana : Q = Debit aliran (m3/dt), C = koefisien aliran, I = intensitas Hujan (mm/jam), A = luas daerah tangkapan (km2).
134 Dengan menggunakan data hidrologi diperoleh hasil C-aktual dan C-total yang kemudian dibandingkan dengan hasil Cpiksel-estimasi dan Cpiksel-total yang dapat dianaggap mewakili kondisi DAS, dengan persentase selisih rata-rata masingmasing -0,10 untuk perhitungan menggunakan piksel dan -0,06, untuk perhitungan menggunakan vektor. Hasil perhitungan C-total dari data hidrologi sebesar 0,45 nilainya mendekati atau hampir sama dengan hasil perhitungan C-total berbasis piksel sebesar 0,55 dan C-total berbasis vektor sebesar 0,52. Untuk menghitung tingkat akurasi antara nilai C terukur dengan C hasil estimasi selain menggunakan uji t digunakan juga persamaan berikut : 100% - ( |selisih| x 100 %) ........................................................(33) (ref) dimana : |selisih| atau nilai mutlak dari selisih dihitung dari persamaan 34 ; Nilai C Referensi/Nilai C Terukur – Nilai C Estimasi x 100% ............. (34) Nilai C Referensi/Nilai C terukur Dengan menggunakan persamaan 33 diperoleh nilai akurasi perbandingan antara C terukur dan C estimasi berdasarkan piksel rata-rata sebesar 78,14 % sedangkan berdasarkan vektor rata-rata sebesar 86,90 %. Hasil perhitungan C-Aktual dari data hidrologi dan C-estimasi dapat dilihat pada Tabel 4.28 dan Tabel 4.29, serta secara visual ditampilkan sebagai Peta Sebaran Koefisien Aliran Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya pada Gambar 4.36 dan 4.37. Tabel 4.28. Perbandingan C-Terukur dan C-Estimasi No.
Luas
Sub DAS
(Piksel)
C-Terukur
C-Estimasi (Piksel)
C-Estimasi
Selisih
Selisih
(Vektor)
(Piksel)
(Vektor)
(Piksel)
Akurasi (%) (Vektor) 96,84
1.
SSDAS Paau
8640
0,48
0,55
0,50
-0,07
-0,02
85,81
2.
SSDAS Kalaan
77721
0,43
0,56
0,56
-0,13
-0,13
70,16
70,50
3.
19598
0,50
0,60
0,48
-0,10
0,02
79,27
103,26
30653
0,55
0,63
0,64
-0,08
-0,09
86,22
83,64
5.
SSDAS Hajawa SSDAS Tabatan SSDAS Sekitar Waduk
40091
0,29
0,51
0,44
-0,22
-0,15
25,70
47,65
6.
SSDAS Riam
66804
0,53
0,52
0,51
0,006
0,02
98,81
96,80
Selisih Rata-Rata =
-0,10
-0,06
78,14
86,90
-0,11
-0,07
76,13
83,24
4.
C-Total =
Sumber : Lampiran 26
0,45
0,55
0,52
135 Tabel 4.29. Hasil Uji Statistik t-student Nilai Koefisien Aliran (C) Estimasi No. 1 2
Pembanding C-Terukur dan CPiksel (Raster) C-Terukur dan CPoligon (Vektor)
Korelasi 0,63
df 4
t-hitung 2,67
t-tabel 2,77
0,64
4
2,67
2,77
Sumber : Lampiran 23
Gambar 4.36. Grafik Perbandingan antara C-Aktual dan C-Estimasi di Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya Tabel 4.29. menunjukkan nilai thitung kedua pasangan data di atas terletak pada daerah penerimaan H0. Berdasarkan hipotesis yang telah dikemukan bahwa: H0 : ⏐µ1-µ2⏐ = 0 ; nilai rata-rata koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien aliran perhitungan tidak berbeda nyata H1 : ⏐µ1-µ2⏐ ≠ 0 ; nilai rata-rata koefisien aliran estimasi dan nilai koefisien aliran perhitungan berbeda nyata Dengan Daerah Penolakan H0 terletak pada thitung <-ttabel dan thitung > ttabel ; taraf signifikansi 95 %, ini berarti kelompok data tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %, dengan demikian hasil perhitungan C-Aktual dari data hidrologi dan hasil perhitungan Cpiksel-estimasi dan Cvektor-estimasi sama. Dengan demikian hasil estimasi koefisien aliran terukur dan hasil estimasi dianggap valid.
136
Gambar 4.37. Peta Distribusi Spasial Koefisien C di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM sebagai Latar Belakang
137
4.23. Kendala-Kendala Penelitian
Satu piksel citra MODIS berukuran 500 x 500 meter dengan liputan 16,6 x 16,6 piksel atau sebanyak 280 buah piksel pada 1 piksel citra Landsat7 ETM+ yang beresolusi spasial 30 x 30 meter dalam penelitian ini hanya mencakup kira-kira sepertiga dari jumlah piksel yang seharusnya diperlukan untuk analisis. Padahal jumlah piksel untuk citra Terra MODIS dengan resolusi spasial 500 x 500 meter tersebut dibutuhkan kira-kira 1000 piksel untuk keperluan analisis. Penelitian ini menggunakan 280 buah piksel yang mencakup luasan DAS sekitar 966,44 km2 untuk keperluan analisis dengan asumsi bahwa jumlah piksel tersebut mempunyai tingkat akurasi yang hampir atau diharapkan sama untuk luasan DAS dengan ukuran yang lebih besar. Pengambilan area penelitian yang lebih besar akan menimbulkan permasalahan baik pada sisi waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan, selain itu juga akan menambah luasan sampel tanah yang akan diuji untuk keperluan analisis infiltrasi tanah. Dari segi pengolahan citra digital dengan menggunakan metode Linier Spektral Analysis (LSMA), penambahan luas daerah penelitian yang ideal untuk mencapai jumlah piksel yang sesuai citra Terra MODIS resolusi spasial 500 x 500 meter akan menimbulkan konsekuensi antara lain akan semakin banyak piksel murni yang terekam sebagai piksel ekstrim. Meskipun dengan semakin banyaknya piksel murni yang terekam akan memberi keuntungan pada tingginya tingkat akurasi, disisi lain akan menimbulkan permasalahan baru diantaranya sulitnya untuk menentukan nilai endmember yang digunakan sebagai input dalam proses analisis dengan menggunakan metode LSMA. Proses iterasi akan memakan waktu lama karena memerlukan beberapa kali uji coba (trial and error) untuk memperoleh nilai RMSE yang mempunyai tingkat akurasi yang tinggi.
Sebagai contoh dengan luasan
sepertiga dari luasan yang sesungguhnya dalam penelitian ini diperlukan kuran glebih 500 kali uji coba untuk menentukan endmember yang diperlukan untuk uji LSMA yang dapat mempresentasikan tutupan lahan untuk keperluan analisis DAS dalam penelitian ini.
138
Oleh sebab beberapa alasan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini diuji coba penggunaan citra resolusi menengah seperti Citra Terra MODIS dengan luasan yang kecil dengan harapan dalam penyadapan tutupan lahan dengan menggunakan metode LSMA akan menghasilkan tingkat akurasi yang mendekati atau hampir sama apabila diuji coba dengan luasan yang besar untuk keperluan analisis estimasi limpasan permukaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
139
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat diambil beberapa kesimpulan yang dapat menjawab tujuan penelitian yang telah ditetapkan yaitu sebagai berikut. 1. Citra fraksi yang dihasilkan dari metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) secara kuantitatif mampu memberikan informasi jumlah persentase setiap endmember tutupan lahan dalam setiap piksel Citra Terra-MODIS dalam setiap luasan (500 x 500)m, dengan jumlah total fraksi sama dengan 1. Hal ini menunjukkan bahwa metode LSMA dapat menyadap informasi tutupan lahan vegetasi, tanah, air dalam setiap piksel Citra Terra-MODIS dengan baik (RMS error rata-rata 0,2969 untuk citra Tera-MODIS tahun 2009). 2. Metode LSMA memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi tutupan lahan sehingga dapat menjadi salah satu metode alternatif yang lebih akurat dalam klasifikasi tutupan lahan, hal ini dibuktikan sangat baiknya uji akurasi fraksi endmember metode LSMA dengan citra Landsat7 ETM+ tahun 2009 dengan tingkat kesalahan relatif kecil yaitu RMS Error rata-rata sebesar 0,1227 atau tingkat akurasi rata-rata sebesar 87 %.
Metode ini dapat digunakan untuk
mendeteksi tutupan lahan dengan luasan yang sama dengan daerah penelitian yang dipakai dalam penelitian ini. 3. Pola distribusi sebaran kelas koefisien aliran Sub DAS Riam Kanan dikontrol oleh tutupan kerapatan vegetasi dan badan air dan tersebar di bagian hulu dan tengah Sub DAS. Koefisien aliran Sub DAS Riam Kanan didominasi oleh kelas rendah 30,59 %, kelas normal sebesar 41,25 %, dan kelas tinggi sebesar 139
140
9,95 % dan kelas Ekstrim sebesar 18,22 % dari luas total DAS. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hasil C estimasi tidak berbeda dengan hasil C aktual hasil perhitungan data hidrologi pada taraf kepercayaan 95% dengan tingkat akurasi rata-rata sedang yaitu sebesar 78,14 %, dengan demikian estimasi koefisien limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan Metode
Cook
modifikasi
berbasis
raster
dapat
digunakan
untuk
mengestimasi nilai koefisien aliran Sub DAS/DAS. 5.2. Saran
1. Perlu penelitian lanjutan dengan menggunakan metode LSMA untuk diujicoba pada citra resolusi rendah seperti Citra Terra MODIS dengan cakupan daerah yang lebih luas dan bebas awan. 2. Metode LSMA memerlukan nilai piksel murni dari setiap endmember yang akan digunakan dalam spectral library, dimana variasi dan jumlah jenis endmember akan mempengaruhi hasil yang didapatkan. Oleh karena itu pemilihan citra yang kaya nilai spektral dengan julat sempit dan penggunaan alat seperti spectrometer sangat dianjurkan. Metode dalam penelitian ini dapat digunakan untuk estimasi limpasan permukaan dengan kondisi dan karakteristik serta luasan DAS yang sama. 5.3. Permasalahan-Permasalahan Dalam Penelitian
1.
Daerah penelitian yang tercakup pada penelitian ini sangat sempit untuk citra resolusi rendah (Citra Terra MODIS) yang digunakan, pengambilan area yang lebih luas terbentur pada banyaknya sampel infiltrasi yang akan diambil.
2.
Munculnya stripping pada hasil analisis LSMA Citra Terra-MODIS, akan mempengaruhi interpretasi limpasan permukaan.
Masalah ini merupakan
masalah mendasar yang tidak dapat terpecahkan dalam penelitian ini. 3.
Banyaknya liputan awan Citra Terra MODIS masih merupakan kendala untuk daerah-daerah penelitian yang berada pada garis ekuator seperti di Kalimantan.
141
RINGKASAN PENDAHULUAN
Tutupan lahan merupakan faktor yang sangat dinamis. Banyak metode yang telah digunakan untuk mengindentifikasikan perubahan tutupan lahan terkendala akibat proses dinamisasi faktor tutupan lahan yang tidak diikuti dengan ketersediaan data dan informasi yang uptodate. Kalaupun ada tingkat kedetailannya kadang belum mampu mengakomodir berbagai kepentingan, akibat ketidak seragaman sistim klasifikasi tutupan lahan yang diacu (Danoedoro, 2004). Disisi lain, tingginya tingkat kerusakan DAS yang ditandai makin meningkatnya frekuensi banjir, serta cepatnya proses alih fungsi lahan merupakan kajian yang mendesak dalam analisis DAS. Untuk mengatasi kelangkaan informasi tersebut, maka pemanfaatan citra satelit dengan terapan teknik penginderaan jauh , merupakan pilihan yang tepat. Dalam konteks tutupan lahan, berbagai penelitian menunjukan bahwa citra satelit MODIS saat ini merupakan jenis citra yang paling diminati, khususnya di Indonesia. Selain spesifikasi teknis, harga yang jauh lebih murah dibandingkan citra jenis lain, mudah perolehannya, indeks perekaman yang jelas pada setiap wilayah, menjadikannya menjadi daya tarik tersendiri. Koefisien
limpasan permukaan merupakan faktor penting yang harus
diperhitungkan dalam penentuan volume limpasan. Selain faktor lain berupa relief, infiltrasi tanah, timbunan air permukaan, besar kecilnya koefisien permukaan suatu DAS dipengaruhi oleh buruknya tutupan lahan pada DAS tersebut.
Salah satu
pendekatan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan (landcover) untuk data citra digital multispektral dapat dilakukan melalui pendekatan pengenalan respon nilai spektral. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa obyek yang terdapat di permukaan bumi dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lain melalui respon nilai spektralnya.
Metode
klasifikasi
multispektral
yang
digunakan
dalam
mengklasifikasikan nilai spektral biasanya merujuk kepada metode-metode
139
142
konvensional seperti maximum likelihood, minimum distance, maupun menggunakan metode parallelepiped. Pada metode-metode klasifikasi multispektral di atas, satu piksel citra diasumsikan hanya mengandung satu jenis obyek saja (pure pixel). Namun pada kenyataannya satu piksel pada citra multisaluran seperti piksel yang dimiliki oleh citra MODIS dengan resolusi spasial 500 x 500 meter, dapat memiliki lebih dari satu obyek. Adanya piksel campuran (mixel) ini dapat mengganggu ketelitian dalam proses klasifikasi selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini mengantarkan peningkatan berbagai aplikasi dan pemanfaatan ilmu penginderaan jauh dalam berbagai aspek kajian termasuk kajian hidrologi.
Salah satu pemanfaatannya
teknologi tersebut adalah dapat mengatasi permasalahan piksel campuran yang dihasilkan oleh rendahnya resolusi spasial oleh sistim sensor satelit, misalnya satelit MODIS. Diantara metode klasifikasi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan piksel campuran (mixel) yaitu dengan menggunakan Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) dan Fuzzy Classification. 1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 4. Melihat sejauh mana efisiensi dan tingkat akurasi citra fraksi endmember citra Terra MODIS dalam menganalisis tutupan lahan di wilayah sub DAS Riam Kanan Propinsi Kalimantan Selatan? 5. Sejauh mana tingkat akurasi dari algoritma klasifikasi Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) dalam menyadap informasi tutupan lahan dari citra MODIS, dibandingkan dengan citra dengan resolusi yang lebih tinggi dalam hal ini Citra Landsat 7 ETM+. 6. Memetakan distribusi koefisien aliran di Sub DAS Riam Kanan Propinsi Kalimantan Selatan melalui Interpretasi Citra Satelit dan Sistem Informasi Geografis.
143
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand, et al., 2004). Hidrologi Daerah Aliran Sungai
DAS merupakan daerah dimana semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksud. Daerah ini umumnya dibatasi oleh batas topografi, yang berarti ditetapkan berdasarkan aliran permukaan. Batas ini tidak ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian (Sriharto, 1993). Aliran permukaan menurut Linsley (1982) akan dialirkan oleh suatu sistem sungai yang saling berhubungan sedemikian rupa, sehingga aliran-aliran yang berasal dari kawasan tersebut keluar melalui suatu aliran tunggal Peran Vegetasi dalam Hidrologi Daerah Aliran Sungai
Peran vegetasi dalam fungsi hidrologi DAS sangat penting karena berkaitan dengan aliran permukaan DAS tersebut.
Apabila vegetasi diubah dalam batas
tertentu, dapat mempengaruhi respon aliran air dalam DAS terhadap curah hujan tertentu (Asdak, 2002). Keberadaan vegetasi memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi air hujan yang jatuh untuk menguap dan terinfiltrasi, sehingga mengurangi kesempatan air untuk membentuk aliran permukaan. Infiltrasi Tanah
Infiltrasi adalah aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Dalam infiltrasi dikenal dua istilah yaitu kapasitas infiltrasi dan laju infiltrasi (dinyatakan dalam mm/ham). Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu
144
jenis tanah tertentu, sedang laju infiltrasi adalah kecepatan infiltrasi yang nilainya tergantung pada kondisi tanah dan intensitas hujan (Triatmodjo, 2009). Kemiringan Lereng
Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju air larian, dengan demikian akan mempercepat respon DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Bentuk topografi seperti kerimingan lereng, keadaan parit, bentuk-bentuk cekungan permukaan tanah lainnya akan mempengaruhi laju dan volume air larian. DAS dengan sebagian bentang lahan datar atau pada daerah cekungan-cekungan tanah tanpa saluran pembuangan (outlet) akan menghasilkan air larian yang lebih besar dibandingkan daerah DAS dengan kemiringan lereng yang lebih besar serta pola pengairan yang lebih baik. Analisis Timbunan Air Permukaan
Analisis timbunan air permukaan dapat didekati dengan pengukuran kerapatan aliran. Linsley (1949) dalam Asdak (2002) mengemukakan bahwa suatu daerah cepat kering atau mengalami penggenangan dapat dilihat dari penilaian kerapatan alirannya. Kerapatan kurang dari 1 mil/km2 menunjukan bahwa daerah tersebut selalu mengalami penggenangan, sedangkan lebih dari 5 mil/km2 daerah tersebut cepat kering. Hal ini dikarenakan daerah yang mempunyai alur-alur sungai rapat (kerapatan alirannya tinggi) berarti tidak memberikan kesempatan aliran permukaan ditahan oleh lereng-lereng sebelum mencapai sungai. Koefisien Limpasan (Runoff Coeficient)
Koefisien aliran adalah cara mudah yang digunakan untuk menggambarkan rasio dari rata-rata aliran dengan rata-rata hujan
(Hudson, 1995),
sedangkan
Sosrodarsono (1976) mengemukakan dua pengertian dari koefisien aliran. Pertama koefisien aliran mempunyai arti yaitu koefisien aliran puncak yang menunjukkan perbandingan antara besarnya puncak aliran dengan intensitas hujan rata-rata selama
145
waktu tiba banjir dan luas pengaliran. Pengertian kedua mengartikan koefisien aliran adalah perbandingan antara jumlah aliran langsung dengan jumlah curah hujan. Sistim Informasi Geografis Sistim Informasi Geografis (SIG) adalah himpunan alat (tools) yang
digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, pengaktifan sesuai kehendak, pentransformasian, serta penyajian data spasial dari suatu fenomena nyata di permukaan bumi untuk maksud-maksud tertentu, data yang dimaksud adalah data spasial atau keruangan maupun atribut yang bersifat keterangan (Burrough, 1986). Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA)
Linear Spectral Mixture Analysis menyediakan suatu strategi kuantitatif dalam mempelajari citra multispektral. Metode ini telah digunakan untuk melakukan deteksi subpiksel serta klasifikasi dari piksel campuran pada citra hasil penginderaan jauh (Aklein, 1988). Pada Linear Spectral Mixture Analysis, nilai spektral pada piksel dimodelkan sebagai kombinasi linear dari pantulan setiap endmember, yang besarnya sesuai dengan persentasi tutupan dari setiap endmember di lapangan.
Endmember
merupakan komponen fisik dasar yang secara fundamental dianggap tidak bercampur dengan komponen yang lainnya dalam sebuah piksel. Asumsi mengenai model linear diperlukan agar setiap komponen dapat dengan mudah diatur dan dipisahkan dari sebuah piksel. Model pemisahan spektral linier hasil pengukuran nilai kecerahan dari piksel tunggal dalam saluran tunggal dimodelkan sebagai berikut (Aklein, 1998) :
Rmeas ,b =
Dimana : Rmeas,b Rem,b Fem,b εb
= = = =
∑ (R n
em =1
em ,b
Fem ,b ) + ε b
................................................................. (1)
nilai kecerahan hasil pengamatan dalam setiap saluran nilai pantulan spektral dari endmember dalam setiap saluran nilai fraksi dari endmember pada setiap piksel dalam setiap saluran error atau kesalahan antara nilai kecerahan yang dimodelkan dan nilai kecerahan yang diukur dalam setiap saluran
146
Bila terdapat m saluran dengan n endmember, maka dalam bentuk matriks persamaan diatas menjadi : ⎡ Ri1 ⎤ ⎡ r11 r12 ⎢R ⎥ ⎢ r ⎢ i 2 ⎥ = ⎢ 21 r22 ⎢..... ⎥ ⎢..... ..... ⎢ ⎥ ⎢ ⎣ Ri 4 ⎦ ⎣ rm1 rm12
r1n ⎤ ⎡ f i1 ⎤ ⎡ ε i1 ⎤ ..... r2 n ⎥⎥ ⎢⎢ f i1 ⎥⎥ ⎢⎢ε i 2 ⎥⎥ + x ..... .....⎥ ⎢.....⎥ ⎢.....⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ..... rmn ⎦ ⎣ f in ⎦ ⎣ε im ⎦ .....
............................................... (2)
Sebagai batasan, jumlah dari semua fraksi endmember sama dengan satu (Aklein, 1998): n
∑F j =1
j
=1
.......................................................................................... (3)
f i1 + f i 2 + f 13 + ... + f in = 1 dan 0 ≤ fin ≤ 1 ............................................. (4) RMS (Root Mean Square) error dihitung untuk setiap piksel berdasarkan pada perbedaan antara nilai kecerahan yang dimodelkan dan nilai kecerahan yang diukur dari setiap piksel dalam saluran yang dinyatakan dengan (Aklein, 1998) :
⎡1 m ⎤ ε i = ⎢ ∑ (Rij − R mod el )2 ⎥ ⎣ m j =1 ⎦
1/ 2
2 n ⎡1 m ⎛ ⎞ ⎤ ε i = ⎢ ∑ ⎜ Rij − ∑ r jk * f ik ⎟ ⎥ k =1 ⎠ ⎦⎥ ⎣⎢ m j =1 ⎝
………………………………………(5)
1/ 2
………………………………….. (6)
Dimana : εi = error pada piksel ke-i m = jumlah saluran n = jumlah endmember Rij = nilai kecerahan pada piksel ke-i saluran ke-j Rjk = nilai piksel murni pada saluran ke-j endmember k = fraksi piksel ke-i, endmember k fk i = indeks piksel (1,2,3,..., jumlah baris x jumlah kolom)
147
j k
= indeks saluran (1,2,3,..., m) = indeks endmember (1,2,3,...)
Pixel Purity Index (PPI)
Pixel Purity Index (PPI) digunakan untuk menentukan nilai ekstrem spektral murni dari piksel. Hal ini berkaitan erat dengan respon nilai spektral dari setiap material yang memberikan kombinasi linier untuk menghasilkan semua nilai spektral pada citra. PPI dimodelkan dengan menggunakan proyeksi n-Dimensi dari Scatter Plot ke ruang 2-D yang kemudian ditandai dengan piksel yang ekstrem pada setiap hasil proyeksi. Piksel ekstrem yang dihasilkan dari setiap proyeksi akan direkam dan jumlah total dari waktu setiap piksel yang ditandai ekstrem akan dicatat. Transformasi Minimum Noise Fraction (MNF)
Transformasi Minimum Noise Fraction (MNF) merupakan algoritma yang terdiri dari dua operasi reduksi data yang dilakukan secara berurutan (Green et al., 1988).
Tahap pertama merupakan dasar untuk estimasi noise pada data yang
direpresentasikan menggunakan matriks korelasi. Transformasi ini menskalakan dan mengkorelasikan kembali noise yang ada pada data dengan varians. Maximum Likelihood Algoritma Maximum Likelihood merupakan algoritma yang secara statitstik paling mapan, karena memberikan hasil akurasi yang tinggi dalam pemetaan tutupan lahan. Pada algoritma ini, pixel dikelaskan sebagai objek tertentu tidak karena jarak equalidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space yang berupa elipsoida. Pengambilan keputusan yang memperhatikan Maximum Likelihood dilakukan berdasarkan persamaan berikut (Danoedoro, 1996) :
[
[
(
D = ln (ac ) − 0,5 ln ( Cov c ) − 0,5( X − M c ) Cov c T
−1
)( X − M )]] c
.................. (7)
148
Analisis Geostatistik
Bentuk Permukaan bumi mempunyai perbedaan pola spasial, contohnya nilai kecerahan (Brightness Value) dari sebuah citra diumpamakan terbentuk dari catatan tentang kekayaan ruang ini. Karakteristik spasial akan mengambil bentuk atau pola tertentu.
Seorang analis seringkali mencoba mengetahui perbedaan pola spasial
tersebut dengan cara menggambarkan dalam bentuk pola-pola spasial.
Untuk
mengukur perbedaan tersebut diperlukan sebuah piksel atau piksel tetangga untuk mengukur keterkaitan hubungan spasial pada sebuah data citra satelit. Kriging
Kriging merupakan metode gridding yang bersifat fleksibel dan geostatical yang sangat bermanfaat di berbagai bidang dan menyediakan tampilan visual dengan daya tarik yang kuat bagi data yang tersebar secara tidak teratur. Metode ini berusaha untuk mengekspresikan trends yang terkandung di dalam data hasil pengukuran sehingga titik-titik tinggi yang terdapat disepanjang punggung bukit
dapat
dihubungkan berbeda dengan titik tinggi yang terisolasi oleh garis kontur (bull’s eye). Terdapat beberapa metode kriging yaitu ; 1) Model Variogram , 2) Model Drift dan 3) model Nugget effect (Prahasta, 2008). Semi-Variogram
Semi-Variogram atau lebih sering disebut Variogram, merupakan ukuran perilaku data secara spasial. Variogram dipakai untuk menentukan jarak dimana nilainilai data pengamatan menjadi saling tidak tergantung atau tidak ada korelasinya korelasinya. Variogram adalah perangkat dasar Geostatistik untuk visualisasi, pemodelan, dan eksploitasi autokorelasi spasial dari variabel teregionalisasi. Secara umum persamaan semivariogram dirumuskan sebagai berikut :
γ ( h) =
[
1 N (h) ∑ Z ( xi + h) − Z ( xi ) 2 N ( h) i =1
]
2
……………………………………….(8)
149
Uji Akurasi Hasil Klasifikasi
Uji akurasi dengan metode LSMA dalam penelitian ini menggunakan pendekatan selisih antara hasil fraksi masing-masing endmember tiap piksel MODIS dengan hasil fraksi dari setiap endmember yang diperoleh dari pengamatan dengan citra resolusi lebih tinggi yaitu citra Landsat7 ETM+ .
Model evaluasi akurasi
dihitung dengan persamaan : fdifference = f LSU – fLandsat ........................................................................... (9) Selanjutnya Root Mean Square Error (RMSE) pada persamaan berikut digunakan untuk evaluasi akurasi dari model yang digunakan :
fRMSE =
( fLSU − fLandsat ) 2 ………………………………….(10) S
Dimana S adalah jumlah saluran yang digunakan pada proses LSU, fLSU adalah fraksi hasil LSU pada tiap piksel y dari citra Terra MODIS, fLandsat adalah persen setiap komponen tutupan lahan dari citra Landsat7 ETM+ Kerangka Pemikiran
Landasan teori dari penelitian ini adalah mempertimbangkan hubungan kenampakan bentang lahan (landscape features) dengan proses-proses hidrologi (hydrologic processes) melalui interpretasi citra satelit Terra-MODIS.
Untuk
mengkaji banyaknya pengaruh parameter yang mempengaruhi kondisi hidrologi skala DAS diperlukan model yang tepat yang lebih ditekankan kepada analisis empiris, terutama untuk menganalisis limpasan permukaan sebagai penyebab terjadinya banjir. Penggunaan SIG saat ini banyak digunakan untuk bidang-bidang terapan seperti terapan dalam bidang hidrologi. Dalam kajian Daerah Aliran Sungai misalnya untuk studi kerawanan banjir, besarnya estimasi limpasan permukaan dapat dengan
150
mudah diperoleh dengan menggunakan SIG dengan cara menurunkan peta satuan lahan dan mengintegrasikan tabel-tabel skor pada setiap satuan pemetaan hasil dari penggabungan berbagai peta (peta tutupan lahan, peta kerapatan aliran, peta lereng dan peta infiltrasi tanah). Selanjutnya informasi spasial baru berupa peta turunan estimasi limpasan permukaan diperoleh dengan mengkalkulasi (overlay) keempat veriabel pembentuk limpasan permukaan. Salah satu faktor penyebab terjadinya banjir adalah faktor perubahan tutupan lahan. Dalam konteks tutupan lahan diperlukan teknik interpretasi sistim klasifikasi tutupan lahan yang tepat dalam menyediakan informasi untuk keperluan analisis DAS. Penerapan sistim klasifikasi citra resolusi rendah untuk menganalisis tutupan lahan pada DAS dengan wilayah yang luas akan memberikan potensi masuknya mixed pixel jauh lebih besar daripada citra dengan resolusi spasial yang lebih tinggi. Penggunaan citra resolusi rendah seperti Citra Satelit MODIS dicoba pada daerah tutupan lahan seperti di Kalimantan dengan asumsi potensi masuknya mixel akan menjadi lebih banyak. Oleh karena itu diperlukan metode klasifikasi yang dapat mengatasi permasalahan mixel tersebut salah satunya yaitu dengan menggunakan Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA). Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
limpasan
permukaan suatu DAS dapat dianalisis melalui proses-proses yang terjadi dalam daur hidrologi dan pendekatan-pendekatan empiris.
Empat faktor yang berpengaruh
terhadap koefisien limpasan yaitu ; variabel infiltrasi, variabel vegetasi, variabel lereng dan variabel kerapatan alur drainase. Infiltrasi tanah dipengaruhi oleh permeabilitas dan kemampuan tanah dalam menampung air, yang selanjutnya akan berperan penting dalam menentukan besar kecilnya koefisien limpasan permukaan. Faktor vegetasi dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface detention).
Faktor lereng akan
mempengaruhi perilaku hidrograf dalam hal timing, semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju limpasan permukaan. Besar kecilnya kerapatan aliran (drainage density) suatu DAS akan memberikan pengaruh linier terhadap kecepatan
151
aliran, sebab semakin tinggi kerapatan aliran semakin besar pula kecepatan air larian untuk curah hujan yang sama. Keempat variabel penentu koefisien aliran masing-masing diklasfikasikan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi.
Klasifikasi kemiringan lereng dan
vegetasi tutupan lahan digunakan pendekatan sistim klasifikasi yang dikeluarkan oleh State of California Department of Transportation (SCDT), klasifikasi infiltrasi tanah menggunakan klasifikasi Richard dan Cossens yang disesuaikan dengan sistim klasifikasi metode SCDT. Sedangkan klasifikasi timbunan air permukaan digunakan dengan menggunakan metode klasifikasi kerapatan aliran yang diadaptasi dari Linsley (1959) dan Meijerink (1970), Gunawan (1991 dan SCDT (2000). Dengan menggunakan bantuan Sistim Informasi Geografis (SIG), parameterparameter fisik medan yang diekstraksi dari citra penginderaan jauh citra TerraMODIS (tutupan lahan), kerapatan aliran, peta-peta penunjang seperti ; peta kemiringan lereng, dan peta tanah (data tanah), dikuantitatifkan dengan teknik pengharkatan tertimbang selanjutnya dilakukan operasi tumpang susun (overlay) untuk mendapatkan nilai koefisien limpasan permukaan. Untuk membuktikan kebenaran dari estimasi koefisien limpasan permukaan hasil klasifikasi multispektral diuji dengan dengan menggunakan citra fraksi resolusi yang lebih tinggi dalam hal ini citra fraksi Landsat7 ETM+. Pengujian C estimasi dengan C aktual dilakukan dengan menggunakan tiga pembanding yaitu dengan menggunakan perhitungan data hidrologis, piksel homogen dan C-proporsi dari tabel. Hasil akurasi dikatakan akurat bila C hasil estimasi tidak berbeda dengan C-pembanding dengan menggunakan hipotesis dari uji beda t berpasangan. Hasil penelitian ini berupa citra fraksi endmember vegetasi, permukaan kedap air, tanah, tubuh air, tutupan lahan hasil klasifikasi metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA), serta informasi distribusi spasial koefisien limpasan permukaan. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan pijakan sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan pengelolaan konservasi tanah dan air khususnya sumberdaya air di sekitar DAS Riam Kanan termasuk didalamnya keberadaan waduk Riam kanan sebagai kawasan resapan air (Catchment Area) selanjutnya dengan ketersediaan dana
152
upaya-upaya untuk mitigasi bencana seperti banjir, dan longsor dapat diantisipasi secara dini. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis citra digital Citra TerraModis untuk mendeteksi tutupan vegetasi pada tingkat sub-piksel dengan menggunakan metode Linear Spectral Mixture Analysis sebagai salah satu parameter input untuk menentukan koefisien aliran permukaan. Sistim Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk pengolahan dan analisis data berupa tumpang susun (overlay) dan pengharkatan (scoring). Tumpang susun (Overlay) dilakukan untuk pembuatan peta satuan lahan, scoring digunakan untuk mengkuantitatifkan parameter penentu koefisien
limpasan permukaan, serta pemetaan untuk memperoleh informasi
distribusi spasial limpasan permukaan. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik citra dilakukan pada distorsi geometrik non sistimatis. Koreksi geometrik yang dilakukan yaitu georeference MODIS 1B yang meliputi proses scalling, rotating, translating, sebenarnya.
dan skewing citra sesuai dengan ukuran
Pada proses koreksi ini dibutuhkan transformasi polinomial yang
membutuhkan beberapa titik ikat medan untuk mentranformasikan koordinat citra pada posisi sebenarnya. Koreksi Bow Tie dilakukan untuk menghilangkan duplikasi data pada barisbaris tertentu, terutama yang jauh dari nadir.
Duplikasi data terjadi karena
peningkatan Instantaneous Field of View (IFOV) dari 1 x 1 km dari titik terendah. Titik hampir mendekati 2 x 5 km pada sudut penyiaman maksimum 55o. Koreksi dilakukan dengan menggunakan tools ENVI (Geoference Map) pada software ENVI 4.4. terhadap resolusi spasial 250 m saluran 1 (merah) dan saluran 2 (NIR), resolusi spasial 500 m pada saluran 3 (biru) dan 4 (hijau). Hasil koreksi geometrik dan bow-tie selanjutnya disimpan dalam format ENVI standar. Konversi DN menjadi nilai reflektansi dengan menggunakan transformasi data setiap saluran yang digunakan menjadi reflektansi dengan menerapkan algoritma linear
153
spectral mixture analysis (LSMA).
Metode yang dilakukan untuk membuat
reflektansi terkoreksi dari data digital 16 bit adalah dengan metode koreksi atmosfer yang dalam prosesnya memerlukan informasi jarak matahari-bumi dan posisi sudut matahari (zenith). Penentuan Indeks Kemurnian Piksel (Pixel Purity Index)
Penentuan nilai piksel murni dari setiap endmember merupakan tahap paling penting dari keseluruhan tahapan LSMA.
Piksel murni tersebut adalah piksel yang
mengandung nilai kecerahan (BV) dari suatu obyek (endmember) saja. Nilai murni dari setiap endmember
diperoleh dari masing-masing saluran pada citra yang
digunakan dalam penelitian ini.
Untuk mendefenisikan piksel murni dari setiap
endmember, dilakukan pemrosesan PPI (Pixel Purity Index) dengan menggunakan software ENVI 4.4. dengan input hasil dari transformasi Minimum Noise Fraction (MNF). Hasil dari PPI ini merupakan nilai piksel murni dari setiap endmember yang akan digunakan sebagai input dalam metode Linear Spectral Mixture Analysis. Linear Spectral Mixture Analysis
Penerapan Linear Spectral Unmixing Analysis dilakukan dengan menggunakan tools Linear Unmixing yang telah disediakan pada software ENVI 4.4. Input pada tahap ini adalah nilai spektral murni dari setiap endmember yag dihasilkan dari proses PPI. Hasil dari proses ini berupa nilai desimal atau presentase (%) fraksi setiap enmember yang berada pada satu piksel.
Proses ini menghasilkan citra fraksi dari setiap
enmember dan citra fraksi RMSE yang dihasilkan dari persamaan (2). Uji Akurasi Hasil Klasifikasi
Uji akurasi hasil klasifikasi/interpretasi diperlukan sebagai justifikasi ilmiah tentang layak tidaknya pendekatan atau metode yang dipakai dan untuk merekomendasikan seberapa besar tingkat kebenaran hasil interpretasi. Uji akurasi dilakukan dengan membandingkan hasil fraksi dari metode LSMA dengan menggunakan citra Terra MODIS tahun 2009 dengan hasil delineasi tutupan lahan
154
pada citra dengan resolusi yang lebih tinggi yaitu menggunakan citra Landsat7 ETM+ tahun yang sama yaitu tahun 2009. Metode yang digunakan untuk uji akurasi fraksi hasil LSMA adalah dengan menggunakan persamaan pendekatan RMSE pada persamaan (16). Penentuan Estimasi Koefisien limpasan
Koefisien limpasan permukaan diperoleh dari tumpang susun (overlay) empat variabel pembentuk koefisien limpasan permukaan (C) yaitu : kemiringan lereng (slope), infiltrasi tanah, kerapatan aliran dan tutupan lahan. hasil yang diperoleh kemudian disesuikan dengan Tabel 3.3. (Tabel karakteristik pembentuk koefisien aliran metode Cook dengan modifikasi.
Koefisien aliran (C) dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut : C 2009 = C land cover + C slope + C infiltrasi + C kerapatan aliran ……..(19) Evaluasi Hasil Estimasi Koefisien limpasan permukaan
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan hasil estimasi, dengan melihat perbedaan dan persentase selisih antara nilai hasil estimasi dengan nilai hasil pengukuran ataupun tabel. Pemetaan Distribusi Spasial Limpasan
Pemetaan agihan atau distribusi spasial melalui analisis agihan atau distribusi spasial
limpasan permukaan dilakukan limpasan permukaan pada lokasi
penelitian berdasarkan harga atau nilai koefisien limpasan permukaan pada setiap satuan lahan. Nilai koefisien limpasan permukaan setiap satuan lahan merupakan hasil nilai (score) total dari parameter fisik DAS yang dipertimbangkan sebagai parameter fisik lahan yang berpengaruh terhadap
limpasan permukaan. Untuk
mengetahui tingkatan dan distribusi spasial limpasan permukaan yang ada pada lokasi penelitian, maka nilai C setiap satuan lahan diklasifikasikan berdasarkan metode Cook dengan modifikasi.
155
HASIL DAN PEMBAHASAN Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik pada citra Terra MODIS dilakukan dengan menggunakan software ENVI 4.4. Koreksi ini dilakukan bertujuan mengembalikan posisi citra akibat proses gejala distorsi ke posisi yang sebenarnya di permukaan bumi. Koreksi geometrik dilakukan secara otomatis pada citra asli dalam format HDF untuk seluruh saluran dari saluran 1-7. Proses geometrik juga dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan menggunakan metode registrasi image to image. Proses registrasi dilakukan dengan pembuatan titik GCP (Ground Control Point) yang sama antara citra Terra-MODIS (Warp Image) dan citra Landsat ETM+ 1992 (Basic Image) yang telah dikoreksi bersumber dari BIOTROP.
Koreksi Bow Tie
Pada citra MODIS selain koreksi geometrik dilakukan juga koreksi bow tie untuk menghindarkan tumpang tindih pada seluruh saluran.
Koreksi bow tie
dilakukan untuk semua saluran (saluran 1 – 7), dan hasil citra MODIS yang belum terkoreksi dan yang sudah dikoreksi dapat dilihat pada Gambar 4.4. Koreksi Radiometrik
Terdapat dua proses klasifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu soft classification dengan menggunakan Spectral Mixture Analysis (SMA) dan hard classfication menggunakan klasifikasi Maximum Likelihood.
Format data yang
diperlukan untuk kedua data berbeda. Untuk klasifikasi LSMA menggunakan nilai suface reflectance, sedangkan untuk klasifikasi Maximum Likelihood menggunakan nilai digital (digital number). Oleh karena itu sebelum dilakukan proses klasifikasi
156
dengan LSMA, data digital landsat terlebih dahulu dikonversi ke nilai surface reflectance untuk keperluan pemrosesan selanjutnya. Pada tahap ini telah dilakukan koreksi radiometrik menggunakan software pengolahan citra digital dengan menggunakan tools band math yang tersedia pada software ENVI 4.4. dengan menggunakan rumus (11). Nilai piksel hasil dari kalibrasi citra MODIS mencerminkan nilai pantulan objek. Citra MODIS yang telah berubah nilai pikselnya menjadi nilai reflektansi tidak menunjukkan perbedaan secara visual. Perubahan secara signifikan tampak nyata pada histogram citra. Saluran yang telah dikalibrasi mempunyai nilai rentang 0 – 1. nD-Visualizer
Proses nD-Visualizer pada penelitian ini digunakan untuk mengkelaskan, mengidentifikasikan dan menentukan lokasi dari piksel murni hasil PPI. Input yang digunaka dalam analisis nD-Visualizer adalah citra hasil MNF, yang disesuaikan dengan ROI hasil analisis PPI.
nD-Visualizer juga dapat dipergunakan untuk
mengetahui separabilitas dari setiap kelas. Hasil nD-Visualizer empat endmember tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 4.7 Endmember
Endmember merupakan obyek atau material yang akan dipisahkan pada setiap piksel. Jumlah endmember yang digunakan untuk klasifikasi dengan metode LSMA tidak boleh lebih dari jumlah saluran yang digunakan. Penelitian ini menggunakan 6 saluran yaitu saluran 1 – 5 dan saluran 7, sedangkan jumlah endmember ditentukan yaitu 4 jenis endmember yaitu vegetasi, tanah, permukaan kedap air dan air. Pemilihan keempat endmember tersebut dengan melihat kondisi tutupan lahan di daerah penelitian secara umum yang dianggap telah mewakili sebagian besar jenis tutupan lahan yang ada. Penentuan nilai pantulan spektral dari setiap endmember ini bersifat trial and error. Endmember yang baik akan menghasilkan nilai error terkecil pada proses LSMA.
157
Analisis Linier Spektral Campuran (LSMA)
Hasil dari LSMA sangat ditentukan oleh input dari setiap spektral endmember tutupan lahan yang dikaji pada penelitian ini. Karena itu pemilihan spektral dari setiap endmember menjadi sangat penting pada proses klasifikasi dengan menggunakan metode ini. Untuk memenuhi julat spektral yang dibutuhkan untuk analisis algoritma matriks linear spectral unmixing dan keperluan sinkroninasi antara nilai spektral citra dan pustaka spektral (spectral library), maka saluran yang digunakan hanya sebatas pada saluran 1(620 – 670 nm), saluran 2 (841 – 876 nm), saluran 3 (459 – 479 nm) dan saluran 4 (545 – 565 nm) yang dianggap mewakili endmember air, tanah, kedap air dan vegetasi. Ketelitian pada proses klasifikasi dengan menggunakan metode ini ditentukan oleh nilai RMS error yang dihasilkan, juga nilai persentase dari setiap endmember pada setiap piksel. Idealnya nilai persentase yang dihasilkan oleh setiap endmember mempunyai range antara 0 sampai dengan 1, sehingga jumlah persentase pada setiap piksel harus sama dengan jumlah persentase setiap endmember pada piksel tersebut yaitu sebesar 1 atau 100 %. Citra fraksi yang dihasilkan menunjukan persentase endmember pada setiap piksel yang ditunjukkan dengan tingkat kecerahan piksel, yaitu semakin tinggi persentase suatu endmember, maka tingkat kecerahannya semakin mendekati putih, sebaliknya semakin rendah persentase suatu endmember akan semakin gelap atau mendekati hitam. Hasil citra fraksi secara keseluruhan (Gambar 4.11 – Gambar 4.15) menunjukkan bahwa pada citra fraksi endmember vegetasi juga terdapat tutupantutupan lahan lainnya yang terpisahkan menjadi endmember vegetasi, permukaan kedap air, air dan tanah terbuka.
Adanya kesulitan untuk membedakan antara
pantulan spektral permukaan kedap air yang hampir sama dengan pantulan spektral pada obyek tanah yang mempunyai rona yang hampir sama. Untuk menghindari kesalahan dalam menentukan endmember kelas permukaan kedap air dan tanah, pengambilan keputusan dikontrol dengan peta penggunaan lahan tahun 2009 dari BPKHV dan Citra Landsat ETM+ tahun 2009 (SLC-OFF) yang telah diperbaiki
158
dengan menggunakan fasilitas frame_and_fill. Dengan demikian diharapkan kesalahan dalam menentukan kelas endmember untuk kelas permukaan kedap air dan tanah terbuka dapat ditekan sekecil mungkin karena terbatasnya resolusi dari citra Terra-MODIS yang digunakan. Untuk hasil yang lebih baik sebaiknya penentuan spektral murni dari setiap endmember dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan menggunakan alat spektrometer. Dalam hal ini telah dilakukan beberapa kombinasi dari nilai spektral dari setiap endmember, sampai akhirnya menemukan hasil klasifikasi LSMA dengan nilai rata-rata RMS Error yang paling rendah untuk Citra Terra MODIS tahun 2009 yaitu sebesar 0,029. Klasifikasi Maximum Likelihood
Metode Maximum Likelihood yang dilakukan pada penelitian ini merupakan metode pembanding dalam proses klasifikasi.
Perbandingan kedua metode ini
dilakukan dengan uji akurasi. Uji akurasi dilakukan dengan komposisi kelas dan training area uji akurasi yang sama. Penyetaraan kelas dan training area uji akurasi dimaksudkan agar perbandingan akurasi hasil klasifikasi dan evaluasi dapat lebih obyektif. Metode Maximum Likelihood yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan asumsi probabilitas untuk semua kelas adalah sama. Metode ini akan berjalan baik jika setiap daerah contoh memiliki distribusi normal yang ditunjukkan oleh indeks separabilitas (Transformed Divergence) melalui perangkat lunak ENVI berkisar antara 1,900 – 2.000. karena keterbatasan resolusi dari citra Terra-MODIS yang digunakan, jumlah kelas tutupan lahan diklasifikasikan menjadi 4 kelas untuk klasifikasi yang mempunyai jenis tutupan lahan sama. Jumlah 4 kelas ini disesuaikan dengan kelas yang didapatkan pada metode LSMA, yang terdiri dari vegetasi, permukaan kedap air, tanah dan air. Uji akurasi dengan tabel Confusion Matrix dan Coefficient Kappa pada peta tutupan lahan hasil klasifikasi Maximum Likelihood menunjukkan tingkat akurasi keseluruhan (overall accuracy) yang sangat baik yaitu 99,71 % (Kappa sebesar
159
0,9934). Tingginya hasil akurasi tersebut bukan hanya pada nilai akurasi secara keseluruhan, namun juga pada nilai producer’s accuracy dan user’s accuracy. Pada matriks hasil klasifikasi Maximum Likelihood,, terlihat bahwa 2 kelas yang terdiri dari ; vegetasi, dan permukaan kedap air memiliki producer’s accuracy tertinggi yaitu 100 %, sedangkan user’s Accuracy tertinggi dimiliki oleh kelas air dan tanah sebesar 100 %. Akurasi terendah pada akurasi klasifikasi dimiliki oleh kelas tanah yaitu sebesar 97,25 % (Producer’s Accuracy) sedangkan akurasi terendah untuk pemetaan dimiliki oleh kelas kedap air sebesar 93,75 % (User’s Accuracy). Matriks akurasi menunjukkan bahwa sebagian nilai spektral permukaan kedap air terklasifikasi sebagai tanah terbuka dikarenakan pada resolusi Citra Terra-MODIS yang rendah mengakibatkan piksel permukaan kedap air warna/rona mirip dengan piksel tanah terbuka.
Uji Akurasi Metode LSMA
Uji akurasi yang digunakan untuk metode LSMA menggunakan dua metode uji, yaitu mengunakan confusion matrix dan RMS Error.
Uji akurasi dengan
confusion matrix digunakan untuk membandingkan hasil klasifikasi metode LSMA dan metode klasifikasi Maximum Likelihood. Sebelum dilakukan uji akurasi, citra fraksi endmember hasil LSMA terlebih dahulu dikelaskan kembali dengan menggunakan fasilitas Rule Classifier. Rule Classifier merupakan metode klasifikasi pasca pengkelasan (post classification) yang digunakan untuk mengkelaskan kembali atau menggabungkan beberapa kelas dengan batas ambang yang baru, dengan asumsi bahwa satu piksel dikelaskan berdasarkan endmember yang paling dominan, yaitu endmember yang mempunyai nilai fraksi atau persentase terbesar dalam satu piksel. Hasil dari Rule Classifier menghasilkan citra dengan jumlah kelas yang sama dengan citra yang digabungkan. Uji akurasi RMS Error digunakan untuk mengetahui sejauh mana akurasi dari metode LSMA dalam klasifikasi tutupan lahan pada level sub-piksel, dalam hal ini
160
dilakukan uji untuk setiap fraksi atau persentase dari tutupan lahan yang dihasilkan dari metode LSMA dengan menggunakan citra Landsat7 ETM+ tahun 2009. Satu piksel citra MODIS berukuran 500x500 meter akan meliputi 16,6 x 16,6 piksel atau sebanyak 280 buah piksel pada 1 piksel citra Landsat7 ETM+ yang beresolusi spasial 30 x 30 meter. Piksel Landsat sebanyak 280 ini selanjutnya yang akan diinterpretasi tutupan lahannya untuk menguji tingkat ketelitian metode LSMA pada 1 piksel citra Terra-MODIS. Hasil analisis uji akurasi ini menunjukkan akurasi diperoleh nilai rata-rata RMS Error 0,0682 untuk seluruh tutupan lahan sebesar atau dengan akurasi rata-rata sebesar 93 %. Hal ini menunjukkan bahwa metode LSMA dapat mempresentasikan setiap fraksi endmember tutupan lahan pada setiap piksel dari citra Landsat7 ETM+, sehingga
metode
ini
dapat
dijadikan
sebagai
metode
alternatif
dalam
mengklasifikasikan tutupan lahan pada suatu wilayah.
Distribusi Koefisien Aliran DAS
Nilai koefisien aliran hasil estimasi pada kondisi rata-rata dianggap dapat mewakili kondisi DAS karena sudah diperbandingkan dengan nilai koefisien aliran hasil perhitungan data piksel homogen dan hasil perhitungan dengan menggunakan tabel dan hasil perhitungan C-estimasi dengan data hidrologi, dengan persentase selisih rata-rata masing-masing -9,28 %, -14,65 * dan -0,64%. Hasil klasifikasi menurut Cook di daerah penelitian terdapat Runoff terbesar terdapat dalam kelas normal seluas 38.995,04 ha atau sebesar 41,18 %. Kelas ini dijumpai pada perkebunan, hutan campuran dari bagian hulu hingga bagian tengah, serta beberapa daerah Sub DAS bagian tengah (Sub DAS Sekitar Waduk, Sub DAS Riam Besar, Sub DAS Tabatan dan Sub DAS Kalaan). Kemudian diikuti oleh kelas tinggi seluas 37.119,43 ha atau sebesar 39,20 % dari wilayah keseluruhan. Kelas ini dijumpai pada tanah garapan (ladang/tegalan), perkebunan, hutan campuran, padang rumput, serta permukiman dengan kepadatan yang rendah. Kelas koefisien aliran ekstrim merupakan kelas dengan luas terendah yaitu seluas 18.582,73 ha atau sebesar 19,62 % dari luas wilayah keseluruhan. Tanah
161
terbuka dengan sedikit vegetasi, tanah kosong bekas kegiatan pertanian semusim atau tegalan, tanah terbuka tanpa vegetasi dan bekas galian termasuk dalam kelas ini. Pola sebaran kelas koefisien aliran di atas dianggap dapat mewakili kondisi Sub DAS Riam Kanan dan sekitarnya secara umum. Nilai koefisien aliran pada kawasan bervegetasi berkebalikan dengan kawasan yang tidak bervegetasi. Daerah bervegetasi termasuk dalam kelas normal tersebar dari bagian hulu dan tengah yang mengindikasikan nilai koefisien C yang rendah sedangkan lapisan kedap air (imperveous) dan tanah terbuka, mempunyai nilai C yang tinggi. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara daerah bervegetasi dengan koefisien aliran sehingga dapat dijadikan untuk estimasi nilai koefisien aliran suatu DAS. KESIMPULAN
1.
Citra fraksi yang dihasilkan dari metode Linear Spectral Mixture Analysis (LSMA) secara kuantitatif mampu memberikan informasi jumlah persentase setiap endmember tutupan lahan dalam setiap piksel Citra Terra-MODIS dalam setiap luasan (500 x 500)m, dengan jumlah total fraksi sama dengan 1. Hal ini menunjukkan bahwa metode LSMA dapat menyadap informasi tutupan lahan vegetasi, tanah, air dan permukaan kedap air dalam setiap piksel Citra Terra-MODIS dengan sangat baik (RMS error rata-rata 0,2969 untuk citra Tera-MODIS tahun 2009).
2. Metode LSMA memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi tutupan lahan sehingga dapat menjadi salah satu metode alternatif yang lebih akurat dalam klasifikasi tutupan lahan, hal ini dibuktikan sangat baiknya uji akurasi fraksi endmember metode LSMA dengan citra Landsat7 ETM+ tahun 2009 dengan tingkat kesalahan relatif kecil yaitu RMS Error rata-rata sebesar 0,1227 atau tingkat akurasi rata-rata sebesar 87 %.
Metode ini dapat digunakan untuk
mendeteksi tutupan lahan dengan luasan yang sama dengan daerah penelitian yang dipakai dalam penelitian ini. 3. Pola distribusi sebaran kelas koefisien aliran Sub DAS Riam Kanan dikontrol oleh tutupan kerapatan vegetasi dan badan air dan tersebar di bagian hulu dan
162
tengah Sub DAS. Koefisien aliran Sub DAS Riam Kanan didominasi oleh kelas rendah 30,59 %, kelas normal sebesar 41,25 %, dan kelas tinggi sebesar 9,95 % dan kelas Ekstrim sebesar 18,22 % dari luas total DAS. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa hasil C estimasi tidak berbeda dengan hasil C aktual hasil perhitungan data hidrologi pada taraf kepercayaan 95% dengan tingkat akurasi rata-rata cukup baik yaitu sebesar 78,14 %, dengan demikian estimasi koefisien limpasan permukaan dengan menggunakan pendekatan Metode
Cook
modifikasi
berbasis
raster
dapat
digunakan
untuk
mengestimasi nilai koefisien aliran Sub DAS/DAS.
5.2. Saran
1. Perlu penelitian lanjutan dengan menggunakan metode LSMA untuk diujicoba pada citra resolusi rendah seperti Citra Terra MODIS dengan cakupan daerah yang lebih luas dan bebas awan. 2. Metode LSMA memerlukan nilai piksel murni dari setiap endmember yang akan digunakan dalam spectral library, dimana variasi dan jumlah jenis endmember akan mempengaruhi hasil yang didapatkan. Oleh karena itu pemilihan citra yang kaya nilai spektral dengan julat sempit dan penggunaan alat seperti spectrometer sangat dianjurkan. Metode dalam penelitian ini dapat digunakan untuk estimasi limpasan permukaan dengan kondisi dan karakteristik serta luasan DAS yang sama. 5.3. Permasalahan-Permasalahan Dalam Penelitian
1. Daerah penelitian yang tercakup pada penelitian ini sangat sempit untuk citra resolusi rendah (Citra Terra MODIS) yang digunakan, pengambilan area yang lebih luas terbentur pada banyaknya sampel infiltrasi yang akan diambil. 2. Munculnya stripping pada hasil analisis LSMA Citra Terra-MODIS, akan mempengaruhi interpretasi limpasan permukaan. Masalah ini merupakan masalah mendasar yang tidak dapat terpecahkan dalam penelitian ini. 3. Banyaknya liputan awan Citra Terra MODIS masih merupakan kendala untuk daerah-daerah penelitian yang berada pada garis ekuator seperti di Kalimantan.
163
SARAN
Metode LSMA memerlukan nilai piksel murni dari setiap endmember yang akan digunakan dalam spectral library, dimana variasi dan jumlah jenis endmember akan mempengaruhi hasil yang didapatkan. Oleh karena itu pemilihan citra yang kaya nilai spektral dengan julat sempit dan penggunaan alat seperti spectrometer sangat dianjurkan. Metode dalam penelitian ini dapat digunakan untuk estimasi limpasan permukaan dengan kondisi dan karakteristik serta luasan DAS yang sama.
164
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor Arsyad, S, 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asdak, C., 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Klein, A.G. and Isacks, B.L., 1999. Spectral Mixture Analysis of Landsat Thematic Mapper Images Applied to the Detection of the Transient Snowline on Tropical Andean Glaciers. Global and Planetary Change, 22: 139-154. Borrough, P.A., 1986. Principles of Geographic Information System for Land and Resources Assesment, Claredon Press, Oxford. Chang., K.T., 2006. Introduction to Geographic Information Systems. Edition, International Edition. Mc.Graw Hill, New York.
Third
Chow, T. V., 1964. Handbook of Applied Hydrology. A Compendium of Water Resources Technology. Book Company, Mc. Graw Hill, New York. Chow, V.T., Maidment, D.R., and Mays, L.W., 1988. International Edition, Mc.Graw-Hill New York.
Applied Hydrology.
Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital. Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Danoedoro, P. 2004. Klasifikasi Tutupan lahan Secara Rinci : Pengalaman dengan Citra LANDSAT dan Quickbird. Sains Informasi Geografis, p. 147 – 176. Danoedoro, P. 2010. Beberapa Catatan Untuk Penyusunan Proposal Penelitian dan Tesis S2. Program Studi Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Dibyosaputro, S. 1997. Geomorfologi Dasar, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. El-Nahry, A.H., dan Altinbas U., 2006. Processing and Analyzing Advanced Hyperspectral Imagery Data for Identifying Clay Mineral A Case Studi, Journal of Applied Science Research 2 (4): 232-238.
165
ENVI, 2000. Tutorials, December Edition, ENVI is a Registered Trademark of Better Solutions Consulting LLC, ENVI Lafayette, Colorado. Farda, M. 2006. Tutorial Envi. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Frank, T.D., 1988. Mapping Dominant Vegetation Communities in The Colorado Rocky Mountain Front Range With Landsat TM and Digital Terrain Data. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. Vol. 54, No. 12 Gunawan, T. 2007. Pendekatan Ekosistem Bentang Lahan Sebagai Dasar Pembangunan Wilayah Berbasis Lingkungan Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Makalah. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Handayani, Ch. N.N., 2000. Pemanfaatan Citra Landsat TM/ETM dan SIG untuk Pemantauan Perubahan Terumbu Karang di Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil Kepulauan Karimun Jawa Jawa Tengah, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Huete and Liu. 1994. Remote Sensing for Natural Resources Management and Environmental Monitoring; Manual Remote Sensing. 3 Ed., Vol.4 John Wiley & Sons, Inc. New York. Hadi., M.P., 2006. Pemahaman Karakteristik Hujan Sebagai Dasar Pemilihan Model Hidrologi. Studi Kasus di DAS Bengawan Solo Hulu. Forum Geografi, Vol. 20, No. 1, Juli 2006: 13 – 26. Hadi., M.P., 2003, Hubungan antara Hujan dan Limpasan Selama Hujan sebagai Fungsi Karakteristik DAS, Suatu Studi Kasus Pemodelan Hidrologi di DAS Bengawan Solo Hulu, Indonesia, Disertasi (tidak dipublikasikan), Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Jensen, J.R., 1996. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. Prentice-Hall. New Jersey John, E.L., 2009. Pengaruh Klasifikasi Maximum Likelihood dan Mahalanobis Distance Dalam Analisis Hidrograf. (Studi Kasus pada DAS Garang, Jawa Tengah). Tesis. Program Studi Penginderaan Jauh, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Fakultas Geografi, Yogyakarta. Kompas, 2007. Enam DAS di Kalsel Kritis. Terbit tanggal 12 Agustus 2007. (di download tanggal 12 Oktober 2009 URL http://www.kompas.com) Kamal, M., 2008. Petunjuk Praktikum Pengolahan Citra Digital (Menggunakan Software Envi 4.0). Laboratorium Penginderaan Jauh Dasar Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.
166
Kamal, M., 2009. Petunjuk Pratikum SIG Permodelan Spasial. Fakultas Geografi UGM LAPAN, 2006. Analisis Citra Satelit Penginderaan Jauh untuk Kejadian Banjir dan Tanah Longsor Kabupaten Tanah Laut, Banjar dan Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jakarta. 6 halaman. (Di download tanggal 15 Oktober 2009). Linsley, R.K., Kohler and Paulhus, J.L., 1975. Hydrology for Engineers. Mc.GrawHill/Kogakusha Ltd. Tokyo. Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer and Jonathan, W.C., 2004. Remote Sensing and Image Interpretation. Fift Edition. John Wiley and Sons. New York. Lillesand, T.M., R.W., Kiefer, and J.W. Chipman, 1993. Remote Sensing and Image Interpretation. Fifth Edition. John Wiley and Sons. New York. Liang, S. 2004. Quantitative Remote Sensing of Land Surface. John Willey & Sons, Inc, New Jersey. Landsat Imagery, NASA. ftp://ftp.glcf.umiacs.umd.edu/glcf/Landsat/WRS2/. download tanggal 20 Oktober 2009).
(Di
Lu, D., P. Mausel, 2004. Change Detection Techniques, Jun 2004, Vol. 25, No. 12, P.2365 -2407. International J. Remote Sensing. Mather, P.M. 1987. Computer Processing of Remotely-Sensed Image. & Sons, London.
John Wiley
Mathias B., Martin, H., 2000. Monitoring State-Wide Urban Development Using Multitemporal, Multisensoral Satellite Data Covering a 40 Year-Time Span in North Rhine-Westphalia (Germany). Proceedings of the SPIE 10th International Symposium on Remote Sensing , 8 – 12 September 2000, Barcelona. Meijerink, A.M.J., 1970. Photo Interpretation in Hydrology A Geomorphological Approach. ITC. Delf. Malingreu, J.P., and Cristiani, R. 1982. A Land Cover/Landuse Classification for Indonesia. Puspics-UGM. Yogyakarta. Mirabito, Michael M.A., and Barbara L. Morgenstern., 2004 The New Communication Technologies: Applicatios, Policy, and Impact (Fifth Edition). MA: Elsevier, Inc.
167
Nurfaika. 2008. Pemanfaatan Citra Landsat ETM+ dan Sistim Informasi Geografis untuk Pendugaan limpasan permukaan di DAS Jene’Berang Hulu Provinsi Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nuarsa, I.W., 2005. Menganalisis Data Spasial dengan ArcView GIS 3.3. Penerbit PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. Nurlina, 2008. Linear Spectral Unmixing Analysis Untuk Kajian Perubahan Tutupan Lahan di Daerah Perkotaan Menggunakan Data Satelit Landsat Multitemporal. Tesis. Program Studi Penginderaan Jauh, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Fakultas Geografi, Yogyakarta. NASA. 2006. http://eosims.cr.usgs.gov:5725/DATA DOCS/Landsat7 dataset. html, januari. (Didownload tanggal 2 Nopember 2009). Oliver, M.A. 1990. Kriging: a Method of Interpolation for Geographical Information Systems. International Journal of Geographic Information Systems, 4 (4): 313-332. Prahasta, E. 2008. Model Permukaan Dijital. Pengolahan Data DTM (Digital Terrain Model) & DEM (Digital Elevation Model) Dengan Perangkat Lunak : Surfer, Global Mapper dan Quickgrid. Penerbit Informatika, Bandung. Purwadhi, 2000. Interpretasi Citra Digital. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana, Jakarta. Purwanto, T. 2000. Pengembangan Perhitungan Paralaks Dengan Digitizer, PC ArcInfo, dan TIN PC ArcInfo Untuk Pembentukan Model Medan Digital. Tesis, Penginderaan Jauh Program Pascasasarjana Universitas Gadjah Mada. (Tidak Diterbitkan). Purwanto, T.H, dan Suharyadi, 2008. Landslide Risk Spatial Modeling Using Geographical Information System. Tutorial Landslide. Laboratorium Sistim Informasi Geografis. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Pratisto, A., 2008. The Impact of Landcover Change on Discharge Response and Flood Hazard. A Case Studi in Gesing Subwatershed, Indonesia. Tesis. Double Degree, Program Studi Geo-Informasi Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan ITC. Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Rudorff C.D.M., Novo E.M.L., dan Galvao L.S., 2007. Linear Spectral Unmixing Analysis of EO-1 Hyperion Imagery Focused on the Spatial-Temporal Variability of the Amazon Floodplain Multicomponental Waters., Anais XIII Simposio Brasileiro de Sensoriamento Remoto, Florianopolis, Brasil, 21 – 26 April.
168
SCDT, 2000. Storm Water Quality Handbook. Department of Transportation. California.
Caltrans, State of California
Small, C., 2000. Estimation of Urban Vegetation Abundance by Linear Spectral Unmixing Analysis. International Journal of Remote Sensing, Vol.22, No. 7, p.1305 – 1334. Sudaryatno, 2000. Penerapan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Estimasi Volume limpasan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang Semarang, Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Suripin, 2000. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi, Yogyakarta. Sutanto, 1977. Penginderaan Jauh dan Sistim Informasi Geografis dalam Pembangunan Berkelanjutan. Makalah pada Pembukaan Kuliah Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 253 halaman. Suharyadi, 1991. Mengolah Data Spasial Dengan Sistim Informasi Geografis PC ArcInfo. Tutorial. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suharsono, P. 1998. Model Untuk Pendugaan Sediment Tersuspensi Menggunakan Data Pengideraan Jauh. Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sosrodarsono dan Takeda, K. 1987. Hidrologi Untuk Pengairan. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta. Stehman, S.V. dan Czaplewski, R.L., 1997. Design Analysis for Thematic Map Accuracy Assesment: Fundamental Principles. Remote Sensing of Environment. Vol. 64, p. 331 – 344. Triatmodjo, B., 2009. Hidrologi Terapan. Cetakan Kedua. Penerbit Beta Offset Yogyakarta. Usman, F., Indarto dan Faisol, A., 2008. Teori dan Aplikasi Opensource GIS Menggunakan MapWindows. Penerbit Andi, Yogyakarta. Vohland M., Stoffels J., Hou., C., and Schuler, G., 2007. Remote Sensing Techniques for Forest Parameter Assessment:Multispectral Classification and Linear Linear Spectral Unmixing Analysis. Silva Fennica, Research Articles Vol. 41 No.3, p. 441 – 456.
169
Wibowo, S., 2007. Modul Pelatihan Sistim Informasi Geografis dengan Arc.View.GIS 9.2. Laboratorium Sistim Informasi Geografis. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Wikantika, K., Yorda Prita Utama, Akhmad Riqqi, 2005. Deteksi Perubahan Vegetasi dengan Metode Linear Spectral Unmixing Analysis (SMA) dari Citra Landsat TM dan ETM, Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan, Vol. 1 No. 2, hal. 21-32. Yusuf, G, Sosro Darsono, S., Tominaga, M., 1985. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Penerbit PT. Pradnya Paramita. Jakarta. http://www.coloradocollege.edu/dept/ev/courses/EV211WWW/hydrological. Download tanggal 15 Desember 2009). http://www.uwsp.edu/geo/faculty/ritter/images/hydrosphere/hydrocyc_small.jpg&im grefurl=http://www.uwsp.edu/geo/faculty/ritter/glossary/h_k/hydrologic_cycl e.html. (Di download tanggal 15 Desember 2009). http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php. 2010).
Download tanggal 04 Maret
http://glovis.usgs.gov/. Download tanggal 04 Maret 2010). http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/handbook/software/gap_filling_software.html. Download tanggal 04 Maret 2010). Nadia, W.,P.,R., 2008. Soft Classification Of Hyperspectral Imagery Based On Linear Mixing Model And Supervised Fuzzy Logic Algorithms. Thesis. Electrical Engineering Programme. University of Puerto Rico. Brazil.
170
Lampiran 1. Data Nilai Fraksi Setiap Endmember Pada Setiap Piksel Hasil Metode LSMA ;Nilai Fraksi Endmember Air Hasil LSMA Citra Terra MODIS Tahun 2009 LSMA_2009 [Wed Jun 23 21:39:29 2010] ;Filename: D:\My_Thesis\MODISEnvi\Analisis Data\Analisis09 ;Dims: Full Scene (10,527 points) DN 0,117652 0,12726 0,136867 0,146475 0,156083 0,16569 0,175298 0,184906 0,194513 0,204121 0,213729 0,223336 0,232944 0,242552 0,252159 0,261767 0,271375 0,280982 0,29059 0,300198 0,309805 0,319413 0,329021 0,338628 0,348236 0,357844 0,367451 0,377059 0,386667 0,396274 0,405882 0,41549 0,425097 0,434705 0,444313 0,45392 0,463528 0,473136 0,482743 0,492351
Npts
Total 8 2 6 5 6 3 6 9 9 9 6 14 11 9 10 5 8 3 6 13 2 12 9 3 14 11 11 8 9 10 17 8 9 13 11 12 10 7 9 5
282 284 290 295 301 304 310 319 328 337 343 357 368 377 387 392 400 403 409 422 424 436 445 448 462 473 484 492 501 511 528 536 545 558 569 581 591 598 607 612
Percent 0,076 0,019 0,057 0,0475 0,057 0,0285 0,057 0,0855 0,0855 0,0855 0,057 0,133 0,1045 0,0855 0,095 0,0475 0,076 0,0285 0,057 0,1235 0,019 0,114 0,0855 0,0285 0,133 0,1045 0,1045 0,076 0,0855 0,095 0,1615 0,076 0,0855 0,1235 0,1045 0,114 0,095 0,0665 0,0855 0,0475
Acc Pct 26.788 26.978 27.548 28.023 28.593 28.878 29.448 30.303 31.158 32.013 32.583 33.913 34.958 35.813 36.763 37.238 37.998 38.283 38.852 40.087 40.277 41.417 42.272 42.557 43.887 44.932 45.977 46.737 47.592 48.542 50.157 50.917 51.772 53.007 54.051 55.191 56.141 56.806 57.661 58.136
171
Lanjutan Lampiran 1. ;Nilai Fraksi Endmember Kedap Air Hasil LSMA Citra Terra MODIS Tahun 2009 LSMA_2009 [Wed Jun 23 21:39:29 2010] ;Filename: D:\My_Thesis\MODISEnvi\Analisis Data\Analisis09 ;Dims: Full Scene (10,527 points) DN
Npts 0,341478 0,346773 0,352068 0,357362 0,362657 0,367952 0,373247 0,378541 0,383836 0,389131 0,394426 0,399721 0,405015 0,41031 0,415605 0,4209 0,426194 0,431489 0,436784 0,442079 0,447374 0,452668 0,457963 0,463258 0,468553 0,473847 0,479142 0,484437 0,489732 0,495027 0,500321 0,505616 0,510911 0,516206 0,5215 0,526795 0,53209 0,537385 0,54268 0,547974
Total 7 3 2 2 4 3 5 2 3 0 1 6 4 3 3 4 4 1 5 1 4 4 0 4 6 6 4 2 3 2 6 4 3 2 6 3 1 4 1 1
9966 9969 9971 9973 9977 9980 9985 9987 9990 9990 9991 9997 10001 10004 10007 10011 10015 10016 10021 10022 10026 10030 10030 10034 10040 10046 10050 10052 10055 10057 10063 10067 10070 10072 10078 10081 10082 10086 10087 10088
Percent 0,0665 0,0285 0,019 0,019 0,038 0,0285 0,0475 0,019 0,0285 0 0,0095 0,057 0,038 0,0285 0,0285 0,038 0,038 0,0095 0,0475 0,0095 0,038 0,038 0 0,038 0,057 0,057 0,038 0,019 0,0285 0,019 0,057 0,038 0,0285 0,019 0,057 0,0285 0,0095 0,038 0,0095 0,0095
Acc Pct 946.708 946.993 947.183 947.373 947.753 948.038 948.513 948.703 948.988 948.988 949.083 949.653 950.033 950.318 950.603 950.983 951.363 951.458 951.933 952.028 952.408 952.788 952.788 953.168 953.738 954.308 954.688 954.878 955.163 955.353 955.923 956.303 956.588 956.778 957.348 957.633 957.728 958.108 958.203 958.298
172
Lanjutan Lampiran 1. ;Nilai Fraksi Endmember Tanah Hasil LSMA Citra Terra MODIS Tahun 2009 LSMA_2009 [Wed Jun 23 21:39:29 2010] ;Filename: D:\My_Thesis\MODISEnvi\Analisis Data\Analisis09 ;Dims: Full Scene (10,527 points) DN
Npts -0,09717 -0,09018 -0,08319 -0,0762 -0,06921 -0,06222 -0,05523 -0,04824 -0,04125 -0,03425 -0,02726 -0,02027 -0,01328 -0,00629 0,000697 0,007687 0,014677 0,021668 0,028658 0,035648 0,042638 0,049628 0,056619 0,063609 0,070599 0,077589 0,08458 0,09157 0,09856 0,10555 0,112541 0,119531 0,126521 0,133511 0,140502 0,147492 0,154482 0,161472 0,168462 0,175453
Total 41 43 52 72 78 63 82 117 157 181 234 261 325 344 380 422 477 424 474 335 290 222 159 143 110 76 65 85 70 51 58 41 45 46 34 34 31 42 34 20
3622 3665 3717 3789 3867 3930 4012 4129 4286 4467 4701 4962 5287 5631 6011 6433 6910 7334 7808 8143 8433 8655 8814 8957 9067 9143 9208 9293 9363 9414 9472 9513 9558 9604 9638 9672 9703 9745 9779 9799
Percent 0,3895 0,4085 0,494 0,684 0,741 0,5985 0,7789 11.114 14.914 17.194 22.229 24.793 30.873 32.678 36.098 40.087 45.312 40.277 45.027 31.823 27.548 21.089 15.104 13.584 10.449 0,722 0,6175 0,8074 0,665 0,4845 0,551 0,3895 0,4275 0,437 0,323 0,323 0,2945 0,399 0,323 0,19
Acc Pct 344.068 348.152 353.092 359.932 367.341 373.326 381.115 392.230 407.144 424.337 446.566 471.359 502.232 534.910 571.008 611.095 656.407 696.685 741.712 773.535 801.083 822.172 837.276 850.860 861.309 868.529 874.703 882.778 889.427 894.272 899.782 903.676 907.951 912.321 915.550 918.780 921.725 925.715 928.945 930.844
173
Lanjutan Lampiran 1. ;Nilai Fraksi Endmember Vegetasi Hasil LSMA Citra Terra MODIS Tahun 2009 LSMA_2009 [Wed Jun 23 21:39:29 2010] ;Filename: D:\My_Thesis\MODISEnvi\Analisis Data\Analisis09 ;Dims: Full Scene (10,527 points) DN
Npts 0,350771 0,355307 0,359843 0,364379 0,368916 0,373452 0,377988 0,382524 0,38706 0,391596 0,396133 0,400669 0,405205 0,409741 0,414277 0,418814 0,42335 0,427886 0,432422 0,436958 0,441495 0,446031 0,450567 0,455103 0,459639 0,464176 0,468712 0,473248 0,477784 0,48232 0,486856 0,491393 0,495929 0,500465 0,505001 0,509537 0,514074 0,51861 0,523146 0,527682
Total 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Percent 10498 10498 10499 10499 10499 10499 10499 10500 10500 10500 10500 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10501 10502 10503 10503 10503 10503 10503 10503 10503 10503 10503 10503 10504 10504
0 0 0,0095 0 0 0 0 0,0095 0 0 0 0,0095 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,0095 0,0095 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,0095 0
Acc Pct 997.245 997.245 997.340 997.340 997.340 997.340 997.340 997.435 997.435 997.435 997.435 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.530 997.625 997.720 997.720 997.720 997.720 997.720 997.720 997.720 997.720 997.720 997.720 997.815 997.815
174
Lampiran 2. Ilustrasi Interpretasi Citra Terra-MODIS Uji Akurasi LSMA Citra Landsat RGB321 Dibatasi ukuran 1 piksel Landsat7 ETM+
Koordinat Piksel sampel dan nilai Fraksi dari endmember Citra MODIS
Fraksi Air Fraksi Kedap Air Fraksi Tanah Fraksi Vegetasi
175
Lampiran 3. Distribusi Titik Sampel untuk Uji Akurasi LSMA
176
Lampiran 4. Tutupan Lahan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Hasil Cek Lapangan Koordinat UTM X Y 1 271136 9589809 2 275781 9592021 3 273421 9594454 4 284406 9594454 5 281384 9597034 6 287282 9597845 7 293622 9599098 8 278730 9600425 9 297996 9601672 10 284869 9602310 11 291815 9602732 12 287240 9603902 13 280862 9604506 14 278287 9605218 15 292811 9605586 16 285480 9606648 17 303234 9607294 18 290318 9607722 19 297615 9607757 20 307664 9608606 21 285439 9609641 22 301880 9609715 23 293468 9610368 24 279741 9610803 25 282436 9611064 26 296392 9613216 27 307460 9612272 28 292171 9610901 29 300122 9614235 30 311056 9614543 31 285247 285247 32 316924 9615301 33 307460 9615490 34 289544 9615902 35 293208 9611706 36 298193 9616571 37 321845 9617572 38 304269 9618273 39 290184 9617144 40 291053 9619412 41 295214 9619838 42 312571 9620790 43 304976 9621142 44 291095 9621555 45 301151 9622151 46 315077 9623575 47 320331 9624008 48 306229 9624976 49 297309 9625492 50 297551 9621697 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2010) Keterangan : S = Struktural D = Denudisional F = Fluvial I = Datar II = Berbukit III = Bergelombang IV = Medan Terjal No.
SATUAN LAHAN D1 II Hutan Kerapatan Rendah (HKR) D1 III Hutan Kerapatan Rendah (HKR) S5 II Pemukiman (PMK) D1 III Pemukiman (PMK) D1 III Pemukiman (PMK) S3 III Pemukiman (PMK) D1 IV Hutan Kerapatan Rendah (HKR) D1 III Hutan Kerapatan Rendah (HKR) D1 III Hutan Kerapatan Rendah (HKR) S4 I Hutan Campuran (HCAM) D1 IV Ladang Tetap (LT) F3 II Hutan Kerapatan Rendah S4 I Alang-Alang (AL) S5 II Hutan Kerapatan Rendah (HKR) S4 II Hutan Kerapatan Rendah S4 III Hutan Kerapatan Tinggi (HKT) D1 II Sawah Berpindah (SB) S5 II Pemukiman (PMK) S4 IV Ladang Tetap (LT) S4 IV Hutan Kerapatan Tinggi (HKT) F3 III Hutan Kerapatan Tinggi (HKT) S4 IV Hutan Kerapatan Tinggi (HKT) S4 II Alang-alang (AL) S5 III Sawah Berpindah (SB) S5 III Ladang (LD) S4 II Alang-alang (AL) S1 III Hutan Kerapatan Tinggi S4 II Alang-alang (AL) S4 III Hutan Kerapatan Sedang (HKS) S1 II Hutan Campuran (HCAM) S5 III Ladang (LD) D1 III Tanah Terbuka (TB) S4 II Hutan Kerapatan Sedang (HKS) S5 II Alang-alang (AL) S5 I Ladang (LD) S4 I Hutan Kerapatan Sedang (HKS) D1 I Hutan Kerapatan Rendah (HKR) S1 III Hutan Kerapatan Sedang (HKS) S5 I Alang-alang S5 III Hutan Kerapatan Rendah (HKR) S5 II Sawah Berpindah S1 II Hutan Kerapatan Tinggi (HKT) S4 II Hutan Kerapatan Tinggi (HKT) S5 IV Sawah Berpindah (SB) S4 II Hutan Kerapatan Sedang (HKS) S3 II Hutan Kerapatan Sedang (HKS) S3 IV Hutan Kerapatan Tinggi (HKT) S4 III Hutan Kerapatan Rendah (HKR) S5 III Hutan Kerapatan Rendah (HKR) S5 II Hutan Kerapatan Sedang (HKS)
177
Lampiran 5. Satuan Lahan, Jenis Tanah, Kemiringan Lereng dan Koordinat Infiltrasi Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Hasil Cek Lapang
178
Lampiran 6. Perhitungan Koefisien Aliran Aplikasi Tabel Koefisien Aliran U.S. Forest Service (1980) dan Schab, dkk (1981) Perhitungan Nilai Koefisien Aliran Sub DAS Hajawa Luas No. Penggunaan Lahan (ha) 1 Tanah (kosong/vegetasi) 44,570 2 Hutan/Bervegetasi 0,640 3 Badan Air 2738,172 Jumlah 2783,382 Perhitungan Nilai Koefisien Aliran Sub DAS Kalaan Luas No. Penggunaan Lahan (ha) 1 Tanah (kosong/vegetasi) 1,007 2 Hutan/Bervegetasi 0,988 3 Badan air 19,376 Jumlah 21,371 Perhitungan Nilai Koefisien Aliran Sub DAS Pa'au Luas No. Penggunaan Lahan (ha) 1 Tanah (kosong/vegetasi) 1070,522 2 Hutan/Bervegetasi 8,3444 3 Badan air 84367,5645 Jumlah 86412,398
Bobot (%) 0,054 0,001 3,323 100
Nilai C Tabel 0,3 0,3 0 0
Bobot (%) 0,047 0,046 0,906 100
Bobot (%) 1,24 0,01 97,63 100
Perhitungan Nilai Koefisien Aliran Sub DAS Sekitar Waduk Luas Bobot No. Penggunaan Lahan (ha) (%) 1 Tanah (kosong/vegetasi) 0,306 0,018201 2 Hutan/Bervegetasi 1,1000 0,06552 3 Badan air 1040,5006 61,97564 Jumlah 1678,886 100
Proporsi C 0,000162 0,000002 0 0,4833
Nilai C Tabel 0,3 0,15 0
Proporsi C 0,00004 0,00002 0,00000 0,4986
Nilai C Tabel 0,3 0,25 0
Proporsi C 0,3037 0,0000 0 0,4273
Nilai C Tabel 0,3 0,15 0
Proporsi C 0,000055 0,000098 0 0,332146
179
Lanjutan Lampiran 6 Perhitungan Nilai Koefisien Aliran Sub DAS Riam Besar Luas No. Penggunaan Lahan (ha) 1 Tanah (kosong/vegetasi) 0,062 2 Hutan/Bervegetasi 22,4794 3 Badan air 195,2224 Jumlah 225,902 Perhitungan Nilai Koefisien Aliran Sub DAS Tabatan Luas No. Penggunaan Lahan (ha) 1 Hutan/Bervegetasi 76421,7000 2 Badan air 7239,2718 3 Tanah 10,6324 Jumlah 83671,604
Bobot (%) 0,03 9,95 86,42 100
Nilai C Tabel 0,3 0,25 0
Proporsi C 0,000082 0,324877 0 0,443
Bobot (%) 91,33529 8,652006 0,012707 100,000
Nilai C Tabel 0,25 0 0,5
Proporsi C 0,228338 0 0,000064 0,228
180
Lampiran 7. Uji Akurasi t-Student Hasil C-Estimasi I. C-Estimasi dengan piksel homogen dan Tabel t-Test: Paired Two Sample for Means 0,29 Mean 0,56375 Variance 0,074798214 Observations 8 Pearson Correlation 0,978537824 Hypothesized Mean Difference 0 df 7 t Stat 3,04240493 P(T<=t) one-tail 0,009391569 t Critical one-tail 1,894578604 P(T<=t) two-tail 0,018783138 t Critical two-tail 2,364624251 II. C-Estimasi dengan tutupan lahan dan Tabel t-Test: Paired Two Sample for Means Variable 1 Mean 0,291833333 Variance 0,028957767 Observations 6 Pearson Correlation 0,674067796 Hypothesized Mean Difference 0 df 5 t Stat -2,09504663 P(T<=t) one-tail 0,045159645 t Critical one-tail 2,015048372 P(T<=t) two-tail 0,090319289 t Critical two-tail 2,570581835 III. C-Estimasi dengan C-terukur t-Test: Paired Two Sample for Means 0,1 Mean 0,218 Variance 0,02812 Observations 5 Pearson Correlation 0,551728052 Hypothesized Mean Difference 0 df 4 t Stat -1,470541945 P(T<=t) one-tail 0,107684423 t Critical one-tail 2,131846782 P(T<=t) two-tail 0,215368845 t Critical two-tail 2,776445105
0,25 0,5 0,06214286 8
Variable 2 0,4 0,01016 6
0,27 0,31 0,00915 5
181
IV. Perbandingan C-Terukur dengan C-Estimasi Berbasis Piksel dan Vektor 1. C-Terukur dengan C-Estimasi Berbasis Piksel t-Test: Paired Two Sample for Means 0,48 Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
0,46 0,0111 5 0,629274 0 4 -2,79352 0,024568 2,131847 0,049135 2,676445
0,55 0,564 0,00263 5
2. C-Terukur dengan C-Estimasi Berbasis Vektor t-Test: Paired Two Sample for Means 0,48 Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
0,46 0,0111 5 0,64131916 0 4 -1,81247562 0,07206594 2,13184678 0,14413187 2,67644511
0,5 0,526 0,00598 5
182 Lampiran 8. Perhitungan C Terukur Dari Data Hidrologis SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0,838115416
R Square Adjusted R Square Standard Error
0,702437451 0,688151737 31,38946762
Observations
71
ANOVA df
SS
Regression
MS
Significance F 5,5066E-20
1
162815,3425
162815,343
Residual
70
68970,9074
985,298677
Total
71
231786,2499
Coefficients Intercept 75,25
Standard Error
t Stat
0
0
0
0,979098674
0,076166281
12,8547523
0
Predicted 57,37675
Residuals
Standard Residuals
Percentile
Lower 95,0% 0
0,827189819
1,13100 0,82719
PROBABILITY OUTPUT
RESIDUAL OUTPUT
Observation
Upper 95%
Lower 95%
57,37675
1
81,99951396
-24,56326396
-0,78810173
0,704225352
56,85
2
63,07027292
-5,769356257
-0,18510731
2,112676056
56,85
3
37,02624819
20,08846847
0,64452985
3,521126761
56,85
4
55,97180754
1,27835913
0,0410156
4,929577465
56,85
5
3,753211584
53,12362175
1,70444849
6,338028169
56,85782
6
25,21179086
31,81845914
1,02088154
7,746478873
56,871
7
0
56,85
1,82400773
9,154929577
56,87683
8
15,79612528
41,16680806
1,32081928
10,56338028
56,8864
9
21,75230888
35,25320779
1,13108396
11,97183099
56,8976
10
30,02569267
27,03897399
0,86753382
13,38028169
56,92875
11
38,83758074
18,29008593
0,58682952
14,78873239
56,94217
12
40,9589612
16,18387213
0,51925256
16,1971831
56,948
13
75,55378102
-18,16361435
-0,58277173
17,6056338
56,96293
14
53,19769463
4,032638707
0,12938547
19,01408451
56,96375
15
50,2603986
6,948934729
0,22295357
20,42253521
56,97483
16
33,61572114
23,47461219
0,75317281
21,83098592
56,99817
17
26,10929798
30,92736869
0,99229128
23,23943662
57,00552
18
13,70738144
43,24061856
1,38735659
24,64788732
57,01567
19
32,55503091
24,52771909
0,78696129
26,05633803
57,03025
20
115,8600098
-58,18167644
-1,86673399
27,46478873
57,0313
21
70,0055552
-12,6550552
-0,40603199
28,87323944
57,03667
22
30,22151241
26,84455426
0,86129594
30,28169014
57,04542
23
54,50315953
2,736507141
0,08779965
31,69014085
57,05417
24
62,82549826
-5,526331589
-0,17730997
33,09859155
57,05533
25
62,98868137
-5,688348034
-0,18250819
34,50704225
57,06467
26
73,43240056
-16,05740056
-0,51519477
35,91549296
57,06607
27
42,91715855
14,23967478
0,45687382
37,32394366
57,06875
Upper 95,0% 0
0 1,131008
183 28
59,15387823
-1,880961561
-0,06034984
38,73239437
57,07406
29
113,5754462
-55,9134462
-1,7939588
40,14084507
57,08275
30
12,89146588
44,05070079
1,41334773
41,54929577
57,08567
31
5,091313105
51,79508689
1,66182302
42,95774648
57,09033
32
2,937296022
53,93370398
1,73043963
44,36619718
57,09127
33
0
56,85
1,82400773
45,77464789
57,09383
34
40,14304564
16,99395436
0,54524369
47,18309859
57,10083
35
64,60093052
-7,289070518
-0,23386668
48,5915493
57,10433
36
56,37976532
0,873318016
0,02802003
50
57,11472
37
64,44101107
-7,130294401
-0,22877242
51,4084507
57,11658
38
47,07832791
10,10825542
0,32431901
52,81690141
57,12767
39
60,54093468
-3,258101349
-0,10453478
54,22535211
57,137
40
40,9589612
16,18387213
0,51925256
55,63380282
57,14283
41
27,33317132
29,71224535
0,95330457
57,04225352
57,14283
42
121,7998751
-64,07907506
-2,05594948
58,45070423
57,14633
43
44,50003474
12,66811526
0,40645101
59,85915493
57,15683
44
17,46059302
39,51424031
1,26779735
61,26760563
57,16558
45
23,17200195
33,84366471
1,08585938
62,67605634
57,16815
46
31,33931673
25,73474161
0,82568808
64,08450704
57,18658
47
44,14103189
13,02455144
0,41788711
65,49295775
57,19767
48
30,59683357
26,47191643
0,84934002
66,90140845
57,20933
49
28,55704466
28,49712201
0,91431787
68,30985915
57,2105
50
53,85042708
3,384572924
0,10859256
69,71830986
57,22567
51
32,96298869
24,12267797
0,77396572
71,12676056
57,23033
52
28,72022777
28,33510556
0,90911964
72,53521127
57,235
53
37,28734117
19,82924216
0,63621268
73,94366197
57,23967
54
0
56,85
1,82400773
75,35211268
57,25017
55
0
56,85
1,82400773
76,76056338
57,25308
56
20,72425527
36,2739114
1,1638328
78,16901408
57,27292
57
34,10527048
22,98856285
0,73757812
79,57746479
57,27875
58
35,57391849
21,53041484
0,69079407
80,98591549
57,28283
59
52,54496218
4,68070449
0,15017838
82,3943662
57,29917
60
33,74626763
23,34499903
0,74901422
83,8028169
57,30033
61
35,08436916
22,01646418
0,70638876
85,21126761
57,30092
62
69,51600586
-12,16900586
-0,3904373
86,61971831
57,31072
63
15,91035345
41,05339655
1,31718052
88,02816901
57,31186
64
48,62856748
8,569099186
0,27493585
89,43661972
57,347
65
11,01486008
45,91388992
1,47312735
90,84507042
57,3505
66
25,35865566
31,67264434
1,01620313
92,25352113
57,375
67
6,657870984
50,23972902
1,61192003
93,66197183
57,39017
68
1,093326853
55,76448981
1,7891796
95,07042254
57,43625
69
50,42358172
6,786918284
0,21775535
96,47887324
57,662
70
59,96979379
-2,691043789
-0,08634098
97,88732394
57,67833
71
41,44851054
15,6978228
0,50365787
99,29577465
57,7208
184
Lampiran 9. Peta Jenis Tanah di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
185
Lampiran 10. Peta Bentuk Lahan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
186
Lampiran 11. Peta Koefisien C Vegetasi Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
187
Lampiran 12. Peta Koefisien C Lereng di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
188
Lampiran 13. Peta Koefisien C Infiltrasi Tanah di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
189
Lampiran 14. Peta Koefisien C Kerapatan Aliran (Drainage Density) di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
190
Lampiran 15. Peta Distribusi Spasial Koefisien C-Raster Hasil Overlay di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
191
Lampiran 16. Peta Distribusi Limpasan Permukaan Hasil Klasifikasi Metode Cook di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
192
Lampiran 17. Peta Distribusi Spasial Koefisien C di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya dengan DEM sebagai Latar Belakang
193
Lampiran 18a. Rekapitulasi DMA Bulanan Tahun 2004 – 2009 di Waduk Ir. P.M. Noor Riam Kanan PT. PLN Persero Wilayah Kalimantan Selatan - Tengah Lampiran
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rerata
Rekapitulasi DMA Bulanan Tahun 2004 -2009 di Waduk Ir. P.M. Noor Riam Kanan Wilayah Kalsel-Teng
Jan 60 53 55 54 54 60 56
Peb 60 55 57 56 55 60 57
Mar 60 57 59 58 56 60 58
Apr 60 59 59 59 58 59 59
Mei 59 60 59 60 58 57 59
B u l a n Jun Jul 58 57 60 59 60 60 60 60 58 57 57 56 59 58
Ags 56 57 58 60 58 55 57
Sep 55 56 56 59 60 55 57
Okt 54 55 54 57 59 54 56
Nop 53 55 53 56 58 54 55
Des 53 54 53 55 58 55 55
Rerata 57 57 57 58 57 57
Lampiran 18b. Rekapitulasi DMA Bulanan Tahun 2004 – 2009 di Waduk Ir. P.M. Noor Riam Kanan PT. PLN Persero Wilayah Kalimantan Selatan - Tengah
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rerata
Jan 75 42 64 58 31 34 51
Peb 84 77 64 66 29 36 59
Mar 64 54 75 48 55 71 61
Apr 38 51 44 62 34 16 41
Mei 57 34 60 42 29 50 45
Bulan Jul 4 26 27 14 116 13 28 124 38 0 11 26 37 34
Jun
Ags 0 33 5 45 0 7 15
Sep 16 118 3 18 21 1 30
Okt 22 72 0 24 35 52 34
Nop 31 31 41 32 36 61 39
Des 40 56 66 45 54 42 50
Jumlah 457 609 552 592 363 407 497
194
Lampiran 18c. Rekapitulasi Debit (m3) Bulanan Tahun 2004 -2009 Hasil Perhitungan di Waduk Ir. P.M. Noor Riam Kanan PT. PLN Persero Wilayah Kalimantan Selatan - Tengah Tahun Jan Peb Mar Apr 2004 57,38 57,44 57,30 57,11 2005 57,14 57,39 57,23 57,21 2006 57,30 57,30 57,38 57,16 2007 57,25 57,31 57,19 57,28 2008 57,07 57,05 57,24 57,09 2009 57,09 57,10 57,35 56,96 Rerata 57,21 57,27 57,28 57,14 Persamaan Regresi = Q = 0,007p + 56,85
Mei 57,25 57,09 57,27 57,14 57,06 57,20 57,17
B u l a n Jun Jul 56,88 57,03 57,04 56,95 57,66 56,94 57,05 57,72 57,12 56,85 56,93 57,03 57,11 57,09
Ags 56,85 57,08 56,89 57,17 56,85 56,90 56,96
Sep 56,96 57,68 56,87 56,97 57,00 56,86 57,06
Okt 57,01 57,35 56,85 57,02 57,09 57,21 57,09
Nop 57,06 57,07 57,14 57,07 57,10 57,28 57,12
Des 57,13 57,24 57,31 57,17 57,23 57,15 57,20
Jumlah 685,40 686,46 686,06 686,34 684,74 685,05
195
Lampiran 19. Contoh Perhitungan C Terukur dari Data Hidrologis Stasiun Penakar Hujan 1 Bunglai Tiwingan Kalaan Belangian Rantau Balai Rantau Bujur Jumlah
Luas Poligon (km2) 2 122,531 80,3989 164,005 196,219 73,13 323,326 960
Persentase (%) 3 12,77 8,38 17,09 20,45 7,62 33,69 100
Faktor Pembobot
Curah Hujan (mm)
4
5 0,13 0,08 0,17 0,20 0,08 0,34 1
45 23 40 22 37 37
Keterangan : Contoh Perhitungan di Sub DAS Bunglai Q-Aliran = (0,007p+56,85) x Luas Sub DAS x 1000 m3/bln {(0,007x34,4)+56,85 x 122,53 x = 1000)} = 11686,49 / 30x24x3600 = 11686,49 /259200 = 4,51 m3/dt
Pembobot Curah Hujan (mm) 6 (4x2) 15,6 6,7 28,0 40,1 5,6 108,9 205,0
Volume Curah Hujan (mm) 7 (5x2) 5503,7 1825,1 6535,6 4316,8 2692,4 12092,4 32966,0
Volume Air Larian (m3) 8 11686 5598 16827 17084 5536 45750
Q-Aliran (m3/dt) 9 4,51 2,16 6,49 6,59 2,14 17,65
C-Aktual 10 (5:4) 0,1 0,1 0,2 0,3 0,1 0,5
196
Lampiran 20. Data DMA Waduk Riam Kanan per September dari Tahun 2000 - 2009 DMA WADUK PLTA Ir. P.M. NOOR SEPTEMBER 2000 - 2009 PT PLN (PERSERO) WKSKT SEKTOR BARITO UNIT PLTA IR.PM.NOOR Tgl
Tahun
01 September
2000
02 September
58,1
03 September
58,01
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
55,17
57,01
56,45
55,5
56,87
56,76
59,23
58,72
54,835
55,135
56,97
56,39
55,46
56,85
56,67
59,16
58,83
54,82 54,795
04 September
57,92
55,1
56,94
56,34
55,42
56,85
56,57
59,1
58,755
05 September
57,825
55,07
56,9
56,28
55,385
56,845
56,5
59,08
58,83
54,795
06 September
57,72
55,045
56,855
56,21
55,34
56,825
56,43
59,125
59,2
54,775
07 September
57,63
55,02
56,82
56,14
55,315
56,795
56,345
59,12
59,535
54,76
08 September
57,53
54,99
56,78
56,075
55,275
56,77
56,26
59,11
59,605
54,74
09 September
57,505
54,96
56,74
56,035
55,225
56,77
56,17
59,055
59,73
54,715
10 September
57,55
54,935
56,705
55,975
55,185
56,7
56,095
59,02
59,765
54,69
11 September
57,47
54,915
56,67
55,92
55,165
56,66
56,02
58,975
59,97
54,65
12 September
57,385
54,9
56,64
55,855
55,135
56,64
55,955
58,93
60
54,64
13 September
57,3
54,88
56,61
55,815
55,11
56,605
55,85
58,88
60,09
54,61
14 September
57,225
54,86
56,58
55,765
55,095
56,55
55,755
58,835
60,13
54,58
15 September
57,15
54,835
56,54
55,715
55,07
56,505
55,68
58,785
60,11
54,54
16 September
57,06
54,8
56,51
55,685
55,04
56,44
55,625
58,735
60,11
54,505
17 September
56,99
54,77
56,48
55,67
55
56,385
55,53
58,68
60,05
54,48
18 September
56,95
54,745
56,445
55,67
54,975
56,345
55,49
58,625
60
54,46
19 September
56,89
54,72
56,42
55,635
54,945
56,315
55,445
58,56
60
54,44
20 September
56,845
54,69
56,385
55,585
54,92
56,28
55,395
58,495
59,975
54,415
197
Lanjutan Lampiran 20. 21 September
56,785
54,665
56,355
55,54
54,905
56,23
55,35
58,445
59,93
54,395
22 September
56,72
54,635
56,325
55,5
54,89
56,185
55,3
58,405
59,9
54,39
23 September
56,67
54,615
56,295
55,47
54,85
56,14
55,26
58,33
59,86
54,37
24 September
56,64
54,615
56,27
55,43
54,81
56,075
55,23
58,3
59,82
54,36
25 September
56,61
54,615
56,23
55,37
54,77
56,035
55,19
58,27
59,78
54,34
26 September
56,6
54,62
56,195
55,31
54,725
56,005
55,15
58,215
59,73
54,34
27 September
56,555
54,615
56,175
55,25
54,69
55,97
55,095
58,135
59,671
54,305
28 September
56,49
54,59
56,135
55,195
54,66
55,915
55,045
58,07
59,62
54,23
29 September
56,425
54,565
56,1
55,14
54,615
55,87
55
58,01
59,57
54,21
30 September
56,365
54,565
56,065
55,1
54,575
55,895
54,935
57,95
59,53
54,18
31 September
56,33
54,56
56,03
55,03
54,53
55,91
54,89
57,89
59,485
54,15
198 Lampiran 21. Jenis Tutupan Lahan di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya
Hutan Kerapatan Tinggi (HKT)
Hutan Kerapatan Sedang (HKS)
Hutan Kerapatan Rendah (HKR)
Hutan Campuran (HKCAM)
Tanaman Perkebunan (Karet)
Sawah Berpindah/Ladang (SB/LD
199 Lanjutan Lampiran 21.
Pemukiman (PMK)
Padang Alang-Alang (AL)
Padang Alang-Alang (AL)
Tanah Terbuka (TB)
Tubuh Air (Danau)
Tubuh Air (Sungai)
200 Lampiran 22. SATUAN BENTUK LAHAN UNTUK PETA GEOMORFOLOGI Skala 1 : 50.000 (Sumber : Dibyosaputro, S., 1995) 1.
Bentuklahan Bentukan Asal Proses Denudasional : Pegunungan Terkikis (D1), Perbukitan Terkikis (D2), Bukit Sisa (D3), Bukit Terisolasi (D4), Dataran Nyaris (D5), Dataran Nyaris Yang Terangkat (D6), lereng kaki (D7), Pedimen (D8), Pediment (D9), Gawir (D10), Kipas Rombakan Lereng (D11) Derah Dengan Gerakan Massa Batuan Kuat (D12), Lahan Rusak (D13).
2.
Bentuklahan Bentukan Asal Fluvial : Dataran Alluvial (F1), Dasar Sungai (F2), Danau (F3), Rawa (F4), Rawa Belakag (F5), Saluran Sungai Mati (F6), Dataran Banjir (F7), Tanggul alam (F8), Ledok Fluvial (F9), Bekas Dasar Danau (F10), Hamparan Celah/Tonjolan Fluvial (F11),Gosong Lengkung Dalam (F12), Gosong Sungai (F13), Teras Fluvial (F14), Kipas Alluvial Aktif (F15), Kipas Alluvial Tidak Aktif (F16), Delta (F17), Igir Delta (F18), Ledok Delta (F19), Pantai Delta (F20), Rataan Delta (F21).
3.
Bentuklahan Bentukan Asal Vulkanis : Kawah, danau kawah, kaldera, danau kaaldera, kerucut gunung api, lereng atas gunung api, lereng tengah gunung api, lereng bawah gunung api, lereng kaki fluvial gunung api, lembah gunung api (barranca), medan lava, medan lahar, vulcanic neck, bocca, kubah lava, dataran tinggi lava, dataran fluvial gunung api, sumbat lava.
4.
Bentuklahan Bentukan Asal Struktural : Perbukitan/pegunungan (antiklinal, sinklinal, monoklinal, dome, block), cuesta, hogback, flatiron, gawir, igir (sinklinal, antiklinal), lembah (sinklinal, antiklinal), terban (graben), sembul (horst), nyaris dataran (peneplan).
5.
Bentuklahan Bentukan Asal Proses Marin : Rataan pasang surut (platform), cliff dan notch, bura (spit), ledok antar beting pasir laut, hamparan lumpur (mudflat), dataran pantai, gisik, beting gisik, tombolo, dataran aluvial pantai, teras, marin, laguna.
6.
Bentuklahan Bentukan Asal Proses Angin : Gumuk pasir, hamparan pasir, cekungan daerah pasir.
7.
Bentuklahan Bentukan Asal Proses Pelarutan : Dataran tinggi Karst, pebukitan/pegunungan karst monoklinal, kerucut karst, dataran aluvial karst, lembah buta, lembah karst, uvala, polye, kubah karst.
201 Lampiran 23. Contoh Perhitungan Infiltrasi Tanah Metode Horton
202 Lampiran 24. Perhitungan Koefisien C Masing-Masing Sub DAS dan C-Total Sub DAS Riam Kanan
203 Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Aliran (C) Masing-Masing SS DAS di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Berbasis Raster dan Vektor
204 Lanjutan Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Aliran (C) Masing-Masing SS DAS di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Berbasis Raster dan Vektor
205 Lanjutan Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Aliran (C) Masing-Masing SS DAS di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Berbasis Raster dan Vektor
206 Lanjutan Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Aliran (C) Masing-Masing SS DAS di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Berbasis Raster dan Vektor
207 Lanjutan Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Aliran (C) Masing-Masing SS DAS di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Berbasis Raster dan Vektor
208 Lanjutan Lampiran 25. Perhitungan Koefisien Aliran (C) Masing-Masing SS DAS di Sub DAS Riam Kanan dan Sekitarnya Berbasis Raster dan Vektor
Lampiran 26. Perbandingan Nilai C-Terukur dan C Estimasi serta Tingkat Akurasi
209 Lampiran 26. Perbandingan Nilai C-Terukur dan C Estimasi serta Tingkat Akurasi