PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH POLISI NEGARA PURWOKERTO (Kajian Terhadap Penerapan PP Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia)
Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
SKRIPSI
Oleh :
PRAMUTYAS VARENTINA E1A010095
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 i
ii
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: PramutyasVarentina
NIM
: E1A010095
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : ”PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH POLISI NEGARA PERWOKERTO (KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PP NO 2 TAHUN
2003
TENTANG
PERATURAN
DISIPLIN
ANGGOTA
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA)“ Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain dan semua sumber data maupun informasi telah dinyatakan secara jelas serta dapat diperiksa kebenarannya. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang telah saya peroleh. Purwokerto, 21 Februari 2015
Pramutyas Varentina E1A010095
iii
ABSTRAK PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH POLISI NEGARA PURWOKERTO (Kajian Terhadap Penerapan PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia) Oleh : Pramutyas Varentina E1A010095 Polri merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri. Peranan Polri yang berhubungan langsung dengan masyarakat menyebabkan adanya suatu penyimpangan penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Republik Indonesia dan juga merupakan kasus tindak pidana penggelapan yang terjadi di SPN Purwokerto. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian preskriptif, serta dengan menggunakan metode pendekatan yuridisnormatif. Kesimpulan dari penelitian adalah penegakan hukum dan disiplin terhadap anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Sanksi disiplin bagi anggota Polri yang melakukan penggelapan adalah diberhentikan secara tidak hormat, sesuai dengan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri. Upaya yang harus dilakukan oleh SPN Purwokerto dalam menciptakan disiplin anggota Polri yaitu dapat berupa upaya preventif yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pelanggaran disiplin dan juga upaya represif yang dilakukan sesuai prosedur penyelesaian pelanggaran disiplin yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia. Kata kunci : Polri, Penegakan hukuman disiplin, Penggelapan.
iv
ABSTRACT
Police is one of the functions of state administration. Role of the Police who deal directly with the public led the case of abuse of authority in receipt of prospective members of the Indonesian National Police, and is also a criminal offense embezzlement cases that occurred in the State Police School Navan. The method used in this study using prescriptive research specifications, as well as by using a normative juridical approach. The conclusion of the study is the rule of law and discipline of the members of the police who commit disciplinary offenses stipulated in Government Regulation No. 2 of 2003 on Police Discipline Regulations. Disciplinary sanctions for police officers who commit fraud was dishonorably discharged, in accordance with Article 11 of Government Regulation No. 1 of 2003 on Termination Police. Efforts must be made by SPN Purwokerto in creating a disciplined member of the Police which can be a preventive effort that works to prevent violations of discipline and repressive efforts undertaken in accordance settlement procedure disciplinary offense which has been committed by members of the Indonesian National Police. Keywords: Police, Enforcement disciplinary punishment, Embezzlement
v
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat, karunia serta hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul :"PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH POLISI NEGARA PERWOKERTO (KAJIAN TERHADAP PENERAPAN PP NO 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA)”dengan melalui proses yang panjang, serta suka dan duka telah penulis lewati. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa,S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Ibu Sri Hartini, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I, yang telah sudi meluangkan waktu untuk konsultasi dan berdiskusi dengan penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berfikir lebih baik; 3. Bapak Weda Kupita, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, atas segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 4. Bapak H. Kadar Pamuji, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji atas segala masukan yang diberikan kepada penulis; 5. Ibu Setiajeng Kadarsih, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 6. Seluruh Dosen, staf, dan karyawan Fakultas Hukum Unsoed yang telah mendidik dan membantu selama penulis menuntut ilmu di kampus ini. 7. Kedua orang tua, Bapak M. Amir Djoko Pranowo dan Ibu Titi Susanti, terima kasih atas doa, cinta dan kasih sayangnya, semoga aku bisa membalas segala vi
jerih payah Bapak dan Ibu dengan membanggakan Bapak dan Ibu. Aku teramat sangat mencintai kalian. 8. Ibu Setya Lindu Jayati, S.H. yang telah membiayai kuliahku dan menyemangatiku untuk masuk Fakultas Hukum, terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini. Terima kasih banyak Bu. 9. Adikku, Astrella Putri Prasasti. Terimakasih atas doa dan dukungan serta semangatnya selama ini, semoga aku bisa menjadi Kakak yang baik bagimu. 10. Keluarga tercinta, Pakti dan Bu Nuk yang telah memberikan dukungan moril dan materil padaku sehingga aku bisa sampai di tahap ini, terimakasih sudah seperti orangtua bagiku yang sudah membantuku dan membimbingku, serta keluarga yang lain yang selalu memberi motivasi dan membantu lancarnya skripsi ini. 11. Kesayanganku, Eko Prasetiyo. Terimakasih atas semangatnya, bantuannya, dukungannya dan kasih sayangnya. Terima kasih karena sudah selalu ada untukku. Aku sangat menyayangimu. 12. Sahabatku Nuuru, Arrin terimakasih sudah menjadi teman dalam suka dan duka selama ini. 13. Teman dan sahabatku Bella, Hanura, Nana, Ria, Nuna dan teman teman angkatan 2010 yang tak bisa aku sebutkan satu persatu. 14. Teman-teman Mayangsari Accesoris Girls Shop yang menjadi teman kerja part time selama ini, terimakasih atas motivasinya untukku. 15. Teman-teman seperjuangan skripsi. Terimakasih. 16. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak kekurangan, Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan. Purwokerto, 21 Februari 2015 Penulis
Pramutyas Varentina E1A010095
vii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
ABSTRACT .....................................................................................................
v
PRAKATA ......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................
viii
BAB I.
PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian ...................................................................
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Administrasi Negara (HAN) ..........................................
8
1. Pengertian Hukum Administrasi Negara .............................
8
2. Asas-asas Hukum Administrasi Negara .................................
13
3. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara .......................
17
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik………………...
19
5. Hukum Kepegawaian……………………………………….
27
B. Kepolisian Negara Republik Indonesia ......................................
32
1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia................
32
2. Fungsi dan Peranan POLRI ………………………………..
34
C. Penyelesaian Pelanggaran Anggota POLRI ……………...……
35
1. Kode Etik Anggota POLRI ……………………………….
35
2. Peraturan Disiplin POLRI………..………………………….
38
3. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota POLRI... 41
viii
BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ....................................................................
45
B. Spesifikasi Penelitian .................................................................
47
C. Sumber Bahan Hukum ................................................................
48
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum .........................................
50
E. Metode Pengolahan Bahan Hukum ............................................
51
F. Metode Penyajian Bahan Hukum ………………………………
51
G. Metode Analisis Bahan Hukum ..................................................
52
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...........................................................................
54
1. Bahan Hukum Primer ............................................................
54
2. Bahan Hukum Sekunder ........................................................
64
a. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2006…………...
64
b. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2007…………...
68
c. Pengertian Kode Etik ……………………………………...
72
d. Kode Etik Polri ………………………………………........
76
B. Pembahasan ................................................................................
79
1. Penerapan Hukuman Disiplin terhadap Anggota Polri yang melakukan Tindak Pidana di SPN Purwokerto.................. 79 2. Upaya Polri dalam menciptakan disiplin anggota di Sekolah Polisi Negara( SPN) Purwokerto………………… 102 BABV.
PENUTUP A. Simpulan .....................................................................................
112
B. Saran .......................................................................................... 114 DAFTAR PUSTAKA
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Indonesia merupakan negara hukum modern, dimana negara Indonesia ikut berperan serta dalam setiap kehidupan masyarakat.Tujuan dari negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat, yaitu bahwa negara Indonesia
merupakan
negara
hukum
yang
bertujuan
mewujudkan
kesejahteraan umum dan tata kehidupan bangsa, negara serta masyarakat yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan. Hukum di dalam negara hukum ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu sendiri antara lain “…opgelegd om de samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen” (diletakkan untuk menata masyarakat yang damai, adil, dan bermakna). Artinya sasaran dari Negara Hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan atau kebermaknaan.1
1
Ridwan HR. 2011, Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Rajawali Pers, hlm.22.
2
Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu negara hukum diatur dalam ketentuan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-peraturan yang terhimpun dalam Hukum Tata Negara. Meskipun demikian, untuk menyelenggarakan persoalan-persoalan yang bersifat teknis, Hukum Tata Negara itu tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan efektif. Hukum Tata Negara membutuhkan hukum lain yang lebih bersifat teknis, hukum tersebut adalah Hukum Administrasi Negara.2 E. Utrecht memberikan definisi tentang administrasi negara sebagai complex ambten/aPeraturan Pemerintaharaat atau gabungan jabatan-jabatan administrasi yang berada di bawah pimpinan Pemerintah melaksanakan tugas yang tidak ditugaskan kepada badan-badan Pengadilan dan Legislatif.3 Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Administrasi Negara adalah hukum
untuk
(voor)
mengatur
pemerintahan
atau
penyelenggaraan
pemerintahan, sebagian dibuat atau berasal dari (van) pemerintah, dan hukum itu digunakan dalam mengatur hubungan dengan pemerintah atau untuk mempengaruhi terhadap (tegen) tindakan pemerintah; “ Recht voor, van, en tegen het overheidsbestuur”. Sejalan dengan pemberian wewenang kepada pemerintah untuk menata, mengatur, dan memberikan pelayanan kehidupan warga negara, pembentukan peraturan–peraturan oleh administrasi negara atau pemerintah merupakan suatu yang tidak dapat dihindari dalam
2
ibid., hlm.23. ST. Marbun, Moh.Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, 2000, Yogyakarta : Liberty, hlm.7. 3
3
penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam suatu negara hukum yang modern, dengan alasan-alasan teoritik dan praktik.4 Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak lepas dari ciri negara hukum
yang
bercirikan
adanya
pembatasan
kekuasaan
dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara dengan membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu; (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang; (ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan yang menghakimi atau yudikatif. Menurut Montesquieu klasifikasi tersebut dikenal dengan pembagian kekuasaan negara modern dalam 3 fungsi, yaitu legislative (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial ( the judicial function).5 Bagian
dari
kekuasaan
eksekutif
yang
bertugas
untuk
menyelenggarakan pemerintahan salah satunya adalah Pegawai Negeri, dimana Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan mengenai Pegawai Negeri antara lain terdapat dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Mengenai jenis pegawai negeri diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang menyebutkan bahwa Pegawai 4
Ridwan HR, op.cit., hlm. 38. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2014, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 283. 5
4
Negeri dibagi menjadi 3 jenis yaitu : Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu jenis Pegawai Negeri yaitu Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut POLRI). Ketentuan mengenai POLRI diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menentukan bahwa anggota POLRI adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Fungsi POLRI ditentukan dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas POLRI yang berhubungan langsung dengan masyarakat dapat menyebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan adanya pelanggaran khususnya peanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota POLRI. Untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan pelenggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota POLRI, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota POLRI.
5
Contoh penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota POLRI pernah terjadi di lingkungan Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto. Terdapat 2 kasus yang serupa yaitu mengenai pelanggaran hukuman disiplin yang diatur dalam Pasal 5 huruf a dan/atau Pasal 6 huruf m Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin POLRI yaitu mengenai adanya penyalahgunaan pangkat dan jabatannya dalam penerima calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan juga perbuatan tindak pidana penipuan atau penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 dan/atau Pasal 378 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan oleh oknum SPN Purwokerto. Kedua oknum POLRI tersebut adalah AKP. Budi Utami dan Brigadir TS. Proses penyelesaian hukum atas pelanggaran disiplin tersebut terhadap kedua oknum tersebut berbeda. AKP BU dihukum kurungan (penjara) selama 4 bulan atas putusan dalam Peradilan Umum dan juga dijatuhi hukuman disiplin, sedangkan pada Brigadir TS hanya dijatuhi hukuman disiplin saja tanpa dihukum dalam Peradilan Umum.
Perbedaan penerapan hukuman
tersebut menimbulkan suatu persoalan hukum yang perlu dianalisis lebih lanjut mengenai logika yuridis dari perbedaan tersebut. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun penulisan hukum dengan judul ” PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN POLRI DI SEKOLAH POLISI NEGARA PURWOKERTO
(Kajian
Terhadap
Penerapan
PERATURAN
6
PEMERINTAH Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat rumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana penerapan hukuman disiplin terhadap anggota POLRI yang melakukan tindak Pidana di Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto?
2.
Bagaimanakah upaya POLRI dalam menciptakan disiplin anggota melalui penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran disiplin di Sekolah Polisi Negara Purwokerto ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitiannya yaitu : 1. Ingin mengetahui dan menganalisis penerapan hukuman disiplin terhadap anggota POLRI yang melakukan tindak Pidana di Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto. 2. Ingin mengetahui dan menganalisis upaya POLRI dalam menciptakan disiplin anggota melalui penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran disiplin di Sekolah Polisi Negara Purwokerto.
7
D. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat : 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan agar hasil penelitian nantinya dapat memberikan sumbangan pengetahuan di dalam penegakan hukum, terutama dalam Hukum Administrasi Negara di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan hukuman disiplin POLRI. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pembaca atuapun instansi yang terkait dalam hubungannya dengan penerapan hukuman disiplin bagi anggota POLRI yang melakukan pelanggaran.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Administrasi Negara 1. Pengertian Hukum Administrasi Negara (HAN) Hukum administrasi negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tentang tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan antar-organ pemerintahan. Hukum administrasi negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Dengan demikian hukum administrasi negara berisi aturan main yang berkenaan dengan fungsi organ-organ pemerintahan. Sjachran Basah, dalam hal ini berpendapat bahwa Hukum Administrasi Negara adalah seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri.6 Hukum Administrasi Negara diartikan sebagai rangkaianrangkaian aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat–alat perlengkapan Negara menjalankan tugasnya.7Alat-alat administrasi Negara dalam melaksanakan tugasnya, dengan sendirinya menimbulkan
6
Sjachran Basah. 1992.Perlindungan Hukum Terhadap Tindak Administrasi Negara. Bandung: Alumni. Hal. 4. 7 Hartono Hadisoeprapto. 1993. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta:Liberty. Hal.61.
9
hubungan-hubungan yang disebut hubungan hukum. Hubunganhubungan ini dapat dibedakan dalam dua jenis.8Hubungan-hubungan tersebut antara lain : a. Hubungan hukum antara alat administrasi negara yang satu dengan alat administrasi negara yang lain; b. Hubungan
hukum
antara
alat
administrasi
negara
dengan
perseorangan (individual), yakni para warga negara, atau dengan badan-badan hukum swasta. Dalam suatu negara hukum, hubungan–hubungan hukum tersebut disalurkan dalam kaidah-kaidah tertentu, dan kaidah-kaidah hukum inilah yang merupakan materi dari Hukum Administrasi Negara.9 Kaidah-kaidah hukum tersebut terdiri dari : a. Aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alatalat administrasi negara mengadakan kontak satu sama lain. b. Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat administrasi negara (pemerintah) dengan para warga negaranya. Dalam ilmu Hukum Administrasi Negara yang penting adalah perbuatan hukum alat administrasi negara dalam hubungannya dengan warga negara, dimana hubungan ini akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara.10 Hukum administrasi negara merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah yang secara aktif terlibat dalam kehidupan 8
Ibid. Hal. 62. Loc. cit. 10 Loc. cit. 9
10
kemasyarakatan, dan di sisi lain Hukum administrasi negara merupakan hukum yang dapat digunakan oleh anggota masyarakat untuk memperoleh perlindungan dari pemerintah. Diana Halim Koentjoro, memberikan pendapatnya mengenai pengertian Hukum Administrasi Negara sebagai berikut: Hukum administrasi negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara administrasi negara dengan warga masyarakat, di mana administrasi negara diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukumnya sebagai implementasi dari policy suatu pemerintahan.11 Philipus M. Hadjon, mengutip pendapat Belifante, memberikan batasan pengertian mengenai hukum administrasi negara sebagai berikut: Istilah hukum administrasi negara dalam bukunya Pengantar Hukum Administratif Negara, Administratief Recht berisi peraturan yang berhubungan dengan administrasi. Administrasi dapat dipersamakan artinya dengan “Bestuur”, dengan demikian “Administratief Recht” disebut juga “Bestuur Recht”. Dalam fungsi penyelenggaraan pemerintahan, Besturen mengandung pengertian fungsional dan institusional/struktural. Fungsional “Bestuur” berarti fungsi pemerintahan, sedangkan institusional/struktural “Bestuur” berarti keseluruhan organ pemerintah. Bestuur dapat diartikan sebagai fungsi pemerintahan, yaitu fungsi penguasa di luar lingkungan “regelgeving” (pembentukan peraturan) dan “rechtspraak” (peradilan)12
Dalam suatu Negara hukum diperlukan asas perlindungan, artinya dalam UUD ada ketentuan yang menjamin hak-hak asasi
11
Diana Halim Koentjoro. 2004. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal.4. 12 Philipus M. Hadjon, dkk. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.
11
manusia.13 Menurut Van Apeldorn, Hukum Administrasi Negara pada pokoknya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu : 1. Hukum Administrasi Formal (Formele Administratiefrecht atau Formele Bestuurrecht), yaitu serangkaian atau sekumpulan peraturan hukum yang mengatur perihal tata cara pelaksanaan atau penerapan Hukum Administrasi Materiil. 2. Hukum Administrasi Materiil (Materiele Administratiefrecht atau Matiriele Bestuurrecht) yaitu sekumpulan peraturan hukum yang harus diindahkan oleh para pejabat/petugas negara bila mereka melaksanakan tugas kenegaraan atau tugas pemerintahan atau tugas mereka dalam menjalankan pemerintahan.14 Pengertian hukum administrasi negara yang luas, terdiri atas tiga unsur yaitu: a.
Hukum Tata Pemerintahan, yaitu hukum eksekutif atau Hukum Tata Pelaksanaan Undang-Undang; dengan perkataan lain hukum mengenai aktivitas-aktivitas kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan Undang-undang);
b.
Hukum Administrasi Negara dalam arti sempit, yaitu hukum tata pengurusan rumah tangga negara (segala tugas-tugas yang ditetapkan undang-undang sebagai urusan negara);
13
Diana Halim Koentjoro. Op, Cit.Hal. 35-36. Halim A.Ridwan. 1988. Hukum Administrasi Negara Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia. Hal.13-14. dikutip dari Tedi Sudrajat. 2005. Relevansi dan Efektivitas Sumpah/Janji Pengangkatan Terhadap Pegawai Negeri Sipil di Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Banyumas. Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.Hal.30. 14
12
c.
Hukum Tata Usaha Negara, yaitu hukum mengenai suratmenyurat, rahasia dinas dan jabatan, kearsipan dan dokumentasi, pelaporan dan dan statistik, tata cara penyimpanan berita acara, pencatatan sipil, pencatatan nikah, talak dan rujuk, publikasi, penerbitan-penerbitan negara.15 Hukum administrasi negara mengandung dua aspek, yaitu aturan
hukum yang mengatur alat perlengkapan negara menjalankan fungsinya dan aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat perlengkapan pemerintah dengan warga negara, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soehino sebagai berikut: Dalam hukum administrasi negara terkandung dua aspek, yaitu pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturanaturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara alat perlengkapan negara atau pemerintah dengan para warga negaranya.16 Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi negara, termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan hukum dalam hukum administrasi negara, di samping dibuat oleh lembaga legislatif, juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi negara. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ridwan H.R. sebagai berikut: Hukum administrasi negara adalah hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau 15
SF Marbun dan Moh. Mahfud MD. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty. Hal.11. 16 Soehino 1984. Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta: Liberty. Hal.2.
13
administrasi negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur tindakan pemerintahan dalam hubungannya dengan warga negara, dan sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi negara. Pembentukan peraturanperaturan oleh administrasi negara atau pemerintah merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam suatu negara hukum yang modern.17 Dapat disimpulkan bahwa Hukum Administrasi Negara adalah Hukum mengenai pemerintah/Eksekutif didalam kedudukannya, tugastugasnya, fungsi dan wewenangnya sebagai Administrator Negara. Hukum
Administrasi
Negara
(HAN)
mengatur
tentang
penegakan hukum. Penegakan hukum hakikatnya adalah mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran. Penegakan hukum dalam HAN terdiri dari pengawasan dan penerapan sanksi. Menurut Soerjono Soekanto, ada 5 faktor yang memengaruhi penegakan hukum, yaitu :18 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 2. Asas-Asas Hukum Administrasi Negara (HAN) Asas dalam istilah asingnya adalah beginsel, asal kata dari begin, artinya permulaan atau awal. Asas adalah sesuatu yang mengawali atau yang menjadi permulaan ”sesuatu” dan yang dimaksud dengan sesuatu disini adalah “kaidah”, sedangkan kaidah/Norma adalah ketentuan17
Ridwan HR. 2007. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal.35-36. 18 Ibid., hlm. 293.
14
ketentuan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam pergaulan hidupnya dengan manusia lainnya. Jadi asas itu sendiri adalah dasar dari suatu kaidah19. Norma menurut Hans Kelsen diartikan sebagai imperatief voorsscrift, yaitu peraturan hukum yang harus diturut dan yang dilindungi oleh sanksi,E.Utrecht menyebut Norma itu sebagai kaidah, petunjuk hidup yang harus ditaati oleh anggota-anggota masyarakat yang diberi sanksi atas pelanggarannya. Adapun sanksi artinya ancaman hukuman atau hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang atau lebih yang telah melakukan pelanggaran atas suatu Norma. Jadi asas itu menjadi dasar dari Norma, dansanksi berfungsi melindungi Norma, karena memberikan ancaman hukuman terhadap si pelanggar Norma.20 Demikian banyak kaidah-kaidah hukum, baik hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara maupun hukum administrasi negara. Pembentukannya didasarkan kepada suatu asas dan asas yang menjadi dasar suatu kaidah disebut “asas hukum”, maka dalam lapangan hukum administrasi negara dikenal juga asas-asas hukum administrasi yaitu, sebagai berikut a). Asas Legalitas (Legaliteitsbeginsel) Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap Negara hukum terutama bagi Negara-negara 19
Soehino. Op, Cit.Hal.9. Bachsan Mustafa. 1985. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remadja Karya. Hal.97–
20
98.
15
hukum dalam sistem continental. Asas legalitas memiliki makna, “Dat het bestuur aan de wet is onderworpen21 (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau “Het legeliteitsbeginsel houdt in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten”22(asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga Negara harus didasarkan pada undang-undang). Dengan kata lain, pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. b). Asas Detournement de Pouvoir Menurut Ridwan HR, Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.
c). Asas Exes De Pouvoir Asas ini berarti bahwa apabila sudah diadakan pembagian tugas diantara para pejabat administrasi negara, hendaknya para pejabat melakukan tugas-tugasnya dalam batas-batas tugas yang telah 21
Ridwan HR. Op, Cit. Hal.65. S.F. Marbun dan Moh. Mahfud Md. Op, Cit. Hal.9.
22
16
diberikan oleh Undang-Undang agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam melaksanakan tugasnya. d). Asas Persamaan Hak Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya
didalam
hukum
dan
pemerintahan
dan
wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya, pemerintah tidak diperkenankan membedakan warga negara yang satu dengan warga negara lainnya dalam memberikan pelayanan atau melaksanakan tugas pemerintahan. e). Asas Upaya Pemaksa Asas upaya pemaksa atau disebut juga asas bersanksi dimaksudkan
untuk
memberikan
jaminan
penaatan
hukum
administrasi negara, sanksi administrasi, baik yang tercantum dalam peraturan hukum administrasi maupun yang ada di luar peraturan hukum administrasi, misalnya dalam KUHP. f). Asas Freies Ermessen Amrah Muslimin mengartikan freies Emerssen sebagai ”lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya” atau ”kebebasan kebijaksanaan”.23 Menurut Sjachran Basah freies ermessen adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan persoalan-persoalan penting dan mendesak yang muncul secara tiba23
Amrah Muslimin. 1985. Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi. Bandung : Alumni. Hal.73.
17
tiba
dimana
hukum
(peraturan
perundang-undangan)
tidak
mengaturnya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.24 3.
Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara Kekuasaan pemerintahan yang menjadi objek kajian Hukum Administrasi Negara sangat luas, oleh karena itu tidak mudah menentukan ruang lingkup hukum administrasi negara. Kesukaran menentukan
ruang
lingkup
Hukum
Administrasi
Negara
ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, hukum administrasi negara berkaitan dengan tindakan pemerintahan yang tidak semuanya dapat ditentukan secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan, seiring dengan perkembangan kemasyarakatan yang memerlukan pelayanan pemerintah dan masing-masing masyarakat di suatu daerah atau negara berbeda tuntutan dan kebutuhan. Kedua, pembuatan peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan instrumen yuridis bidang administrasi negara lainnya tidak hanya terletak pada satu tangan atau lembaga. Ketiga, hukum administrasi negara berkembang sejalan dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan dan kemasyarakatan, yang menyebabkan pertumbuhan bidang hukum administrasi negara tertentu berjalan secara sektoral.25 Secara garis besar Hukum Administrasi Negara meliputi bidang pengaturan sebagai berikut: a. peraturan mengenai penegakan ketertiban dan keamanan, kesehatan, dan kesopanan, dengan menggunakan aturan tingkah laku bagi warga negara yang ditegakkan dan ditentukan lebih lanjut oleh pemerintah; b. peraturan yang ditujukan untuk memberikan jaminan sosial bagi rakyat; c. peraturan mengenai tata ruang yang ditetapkan pemerintah; 24
Sjachran Basah. Op, Cit. Hal.151. Ibid.Hal.38.
25
18
d. peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemeliharaan dari pemerintah termasuk bantuan terhadap aktivitas swasta dalam rangka pelayanan umum; e. peraturan yang berkaitan dengan pemungutan pajak f. peraturan mengenai perlindungan hak dan kepentingan warga negara terhadap pemerintah; g. peraturan yang berkenaan dengan penegakan hukum administrasi; h. peraturan mengenai pengawasan organ pemerintahan yang lebih tinggi terhadap organ yang lebih rendah; i. peraturan mengenai kedudukan hukum pegawai pemerintahan.26 Berdasarkan bidang pengaturan tersebut di atas, tampak bahwa hukum administrasi negara itu sangat luas sehingga tidak dapat ditentukan secara tegas ruang lingkupnya. Di samping itu, khusus bagi negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, terdapat pula hukum administrasi daerah, yaitu peraturan-peraturan yang berkenaan dengan administrasi daerah atau pemerintahan daerah. Namun demikian, sekadar untuk memberikan gambaran, dapat disebutkan bahwa hukum administrasi negara mencakup hal-hal sebagai berikut: a. sarana-sarana (instrumen) bagi penguasa untuk mengatur, menyeimbangkan, dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat; b. mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat dalam proses penyusunan dan pengendalian tersebut, termasuk proses penentuankebijaksanaan; c. perlindungan hukum bagi warga masyarakat; d. menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik.27 Berdasarkan uraian di atas, dapat disebutkan bahwa hukum administrasi
negara
adalah
hukum
yang
berkenaan
dengan
pemerintahan dalam arti sempit, yaitu hukum yang cakupannya secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut: 26
Ibid. Hal.43. Ibid. Hal.43-44.
27
19
a. perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik; b. kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan di bidang publik tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara
apa,
dan
bagaimana
pemerintah
menggunakan
kewenangannya; penggunaan kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum sehingga diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum; c. akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintahan itu; d. penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidangn pemerintahan.28
4.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indonesia AAUPB di Indonesia berbeda dengan negeri Belanda, dalam Pasal
3
Undang-Undang
Nomor
28
Tahun
1999
tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) disebutkan asas umum penyelenggara negara, yaitu Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas. Pada awalnya asas-asas ini ditujukan untuk para penyelenggara secara keseluruhan, namun seiring berjalannya waktu asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintah dan dalam proses peradilan peradilan di PTUN, yakni setelah adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
28
Ibid. Hal. 44.
20
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.29 Berkenaan dengan keputusan (beschikking), AAUPB terbagi dalam dua bagian yaitu asas yang bersifat formal atau prosedural dan yang bersifat material atau substansial. Asas yang bersifat formal berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam setiap pembuatan keputusan seperti asas kecermatan yang menuntut pemerintah untuk mengambil keputusan dengan persiapan yang cermat dan asas permainan yang layak. Sehingga dirumuskan macammacam AAUPB sebagai berikut: a). Asas kepastian hukum (principle of legal security); Asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Sedangkan aspek yang bersifat
formal
terkait
pada
keputusan-keputusan
yang
menguntungkan, dan harus disusun dengan kata-kata yang jelas.30 Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu asas het vermoeden van rechtmstigheid atau presumtio justea causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama
29
Loc. Cit. Ridwan H.R., Op. Cit., Hlm. 245.
30
21
belum dibuktikan sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim administrasi.31
b). Asas keseimbangan (principle of proportionality); Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai juga persamaan perlakuan sejalan dengan kepastian hukum. Sehingga terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.32
c).Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality); Asas ini menghendaki agar badan pemerintah mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama.33 Meskipun tidak ada kasus yang mutlak sama dengan kasus lain kendatipun tampak serupa, maka ketika pemerintah menghadapi berbagai kasus yang tampaknya sama itu, ia harus bertindak cermat untuk mempertimbangkan titik-titik persamaan.34 Asas ini memperoleh landasan yuridis yang kuat dalam Pasal 27 UUD 1945, jo Tap. MPR Nomor II/MPR/1978 pada lampiran “Naskah
31
Ibid., Hlm. 246. Loc. Cit. 33 Ibid., Hlm. 247. 34 Ibid., Hlm. 248. 32
22
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”, khususnya dalam “Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.35
d). Asas bertindak cermat (principle of carefulness); Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan. Asas ini menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara.36 Timbulnya kerugian dapat terjadi sebagai akibat perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah atau dapat juga timbul karena akibat tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dilaksanakannya.37 Sebelum mengambil keputusan, asas kecermatan mensyaratkan kepada badan pemerintahan agar meneliti semua fakta yang relevan dan semua kepentingan yang relevan dalam perimbangan.bila faktafakta penting tidak diteliti, itu berarti tidak cermat. Selain itu tidak boleh dengan mudah menyimpangi nasihat yang diberikan apalagi panitia penasihat itu duduk ahli-ahli bidang tertentu. Penyimpangan dapat dilakukan dengan memberi alasan dan kecermatan yang tinggi.38
35
S.F. Marbun, dkk.,Op. Cit., hlm. 217. Ridwan H.R., Op. Cit., Hlm. 248. 37 S.F. Marbun, Op. Cit.,, Hlm. 214. 38 Ridwan H.R., Op. Cit., Hlm. 249. 36
23
e). Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation); Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan pemerintahan harus mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan keputusan dan sedapat mungkin alasan atau motivasi itu tercantum dalam keputusan,39 terutama bagi mereka yang terkena dan tidak puas terhadap keputusan itu, dapat mempergunakannya sebagai pangkal pembahasan dalam mengajukan banding terhadap keputusan tersebut.40
f). Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of Nomorn misuse of competence); Asas tidak mempercampuradukkan ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. Dimana terdapat dua jenis penyimpangan penggunaan wewenang dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan sewenangwenang (willekeur).41 Asas ini juga dapat dipergunakansebagai alasan untuk mengajukan banding terhadap putusan PTUN.42
39
Ibid., Hlm. 250. S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 217. 41 Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 252. 42 S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 218. 40
24
g). Asas permainan yang layak (principle of fair play); Asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasiargumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha negara.43 Asas ini dimaksudkan sekaligus untuk memberikan respons atas perlakuan dan penjelasan yang tidak menyenangkan yang diberikan oleh Badan Tata Usaha Negara. Kerena itu, adanya suatu instansi banding merupakan syarat mutlak bagi terealisirnya asas ini.44
h). Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness); Asas ini menghendaki agar setiap badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proposional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. Sedangkan asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah atau administrasi negara memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah
43 44
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 255. S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 222.
25
masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.45
i). Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation); Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Oleh karena itu, aparat pemerintahan harus memperhatikan asas ini sehingga jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun menguntungkan bagi pemerintah.46
j). Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the concequences of annulled decision); Asas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat dari pekerjaannya dengan suatu surat keputusan (beschikking). Seorang pegawai yang dipecat karena diduga melakukan kejahatan, tetapi setelah dilakukan proses pemeriksaan di pengadilan ternyata tidak bersalah. Hal ini berarti surat pemberhentian yang ditunjukan kepada pegawai yang bersangkutan itu harus dianggap batal. Sehingga pegawai yang tidak bersalah itu harus ditempatkan kembali pada tempat pekerjaan semula dan harus diberi ganti rugi dan/atau 45
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 258. Ibid.,hlm. 259.
46
26
kompensasi serta direhabilitasikan nama baiknya untuk meniadakan akibat keputusan yang batal atau tidak sah. Ketentuan asas ini terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.47
k). Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal may of life); Asas ini menghendaki agar pemerintah melindungi hak atas perlindungan pribadi setiap pegawai negeri dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga negara, sebagai konsekuensi negara hukum demokratis yang menjujung tinggi dalam melindungi hak asasi setiap warga negara. Dengan kata lain, asas ini merupakan pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum, yaitu perlindungan hak asasi. Bagi Indonesia penerapan asas ini harus pula dikaitkan dengan sistem keyakinan, kesusilaan, dan Norma-Norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, atau sebagaimana disebutkan Kuntjoro PurbopraNomorto, asas tersebut harus disesuaikan dengan pokok-pokok Pancasila dan UUD 1945.48
l). Asas kebijaksanaan (sapientia); Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk 47
Ibid.,hlm. 260. Ibid.,hlm. 261.
48
27
menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-undangan formal. Karena peraturan perundang-undangan dengan formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaan yang berupa tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua persoalaan serta cepat ketinggalan zaman, sementara perkembangan masyarakat itu bergerak dengan cepat dan dinamis.49
m). Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service) Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum yakni kepentingan yang mencangkup semua aspek kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan konsekuensi dianutnya konsepsi negara negara hukum modern (welfare state), yang menempatkan pemerintah selaku pihak yang
bertanggung
jawab
untuk
mewujudkan
bestuurszorg
(kesejahteraan umum) warga negaranya.50 Ketentuan mengenai hal ini dapat ditemukan secara yuridis pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33, 34 Batang Tubuh UUD 1945.51 5. Hukum Kepegawaian Hukum memberikan
kepegawaian pembatasan
merupakan
dan
hukum
penjabaran
tertulis
mengenai
yang
aktivitas
kepegawaian. Objek hukum kepegawaian adalah hukum kepegawaian 49
Ibid.,hlm. 262. Ibid.,hlm. 263. 51 S.F. Marbun, Op. Cit., hlm. 221. 50
28
yang dipelajari dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu hukum yang berlaku bagi pegawai negeri yang bekerja pada administrasi negara dan berkedudukan sebagai
pegawai negeri. Dengan demikian,
kepegawaian adalah segala hal-hal mengenai kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan Pegawai Negeri. Materi Hukum kepegawaian yang dikenal dalam studi HAN adalah mengenai subjek hukum yang mempunyai hubungan dinas publik, sedangkan pegawai-pegawai pada perusahaan swasta yang tidak mempunyai hubungan dinas publik menjadi lapangan studi sendiri, seperti Hukum Perburuhan atau Hukum Perjanjian Kerja seperti yang diatur di dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata.52Menurut Logemann, hubungan dinas publik bilamana seseorang tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan yang dalam melakukan suatu atau beberapa macam jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan lain. Jadi inti dari hubungan dinas publik itu adalah adanya kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan
tidak
menolak
pengangkatannya dalam satu jabatan
(menerima
tanpa
syarat)
yang telah ditentukan oleh
pemerintah. Ciri khas yang melekat pada lembaga pegawai negeri adalah hubungan dinas publik, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud M.D dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut: 52
Hal.1.
Moh.Mahfud M.D. 1988. Hukum Kepegawaian Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
29
Yang dimaksud hubungan dinas publik menurut Logemann adalah bilamana seorang pegawai negeri telah mengikatkan dirinya untuk tunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan yang dalam melakukan suatu jabatan atau beberapa macam jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan lain. Berarti inti dari hubungan dinas publik adalah kewajiban bagi pegawai yang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan dalam beberapa macam jabatan tertentu yang berakibat bahwa pegawai yang besangkutan tidak meNomorlak (menerima tanpa syarat) pengangkatannya dalam satu jabatan yang telah ditentukan oleh pemerintah, sebaliknya pemerintah tidak berhak mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa harus adanya penyesuaian kehendak dari yang bersangkutan.53 Dilihat dari hubungan antara tata hukum administrasi dan hukum kepegawaian di atas dapat dilihat betapa pentingnya kedudukan pegawai negeri yang sangat menentukan lancar tidaknya suatu penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah dalam menjalankan tugasnya diatur oleh suatu Norma hukum yaitu hukum adminstrasi negara. Hukum adminsitrasi negara mengatur aparaturnya, termasuk di dalamnya adalah pegawai-pegawainya. Pengaturan ini bermaksud agar dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan dengan hak, kewajiban dan wewenangnya masing-masing. Hukum Administrasi Negara merupakan hukum publik, yang mempelajari fungsi pemerintahan. Fungsi pemerintahan dirumuskan segala macam kegiatan penguasa yang tidak termasuk kegiatan perundang-undangan atau peradilan. Kegiatan penguasa merupakan kegiatan
53
pemerintahan,
dimana
kegiatan
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud M.D. Op, Cit. Hal. 98-99.
ini
sebagian
besar
30
dilaksanakan oleh eksekutif. Obyek hukum administrasi negara adalah kekuasaan pemerintah, jadi dalam hal ini yang dipelajari adalah pemerintah.
Penyelenggaraan
pemerintah
sebagian
besar
dilaksanankan oleh pegawai negeri. Sedangkan obyek hukum kepegawaian yang dipelajari adalah yang dipelajari dalam hukum administrasi negara, yaitu hukum yang berlaku bagi pegawai negeri yang bekerja pada administrasi negara sebagai pegawai negeri. Pada Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian ditegaskan bahwa: Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Pengertian ini berkaitan dengan masalah hubungan pegawai negeri dengan pemerintah atau mengenai kedudukan pegawai negeri. Pengertian pegawai negeri yang terdapat dalam Pasal 1 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1974 serta Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 43 Tahun 1999 inilah yang disebut dengan pengertian yang bersifat stipulatif. Muchsan, dengan mengutip pendapat Kranenburg Vegting dan Logemann, menyatakan sebagai berikut: Untuk membedakan pegawai negeri dan pegawai lainnya dilihat dari sistem pengangkatannya untuk menjabat dalam suatu dinas publik. Pegawai negeri adalah pejabat yang ditunjuk, jadi tidak termasuk mereka yang memangku suatu jabatan mewakili seperti seorang anggota parlemen, seorang menteri, seorang presiden dan sebagainya. Sedangkan Logemann menggunakan kriteria yang bersifat materiil yakni hubungan antara negara dengan pegawai negeri tersebut. Dikatakan selanjutnya bahwa pegawai negeri
31
adalah tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan negara.54 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Aparatur Sipil Negara,yang merupakan perubahan atas UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pada Pasal 6 membagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai berikut: a. Pegawai Negeri Sipil (PNS); b. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Dalam Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004, menyebutkan tentang jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dapat diisi dari: a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
54
Muchsan. 1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta: Bina Aksara. Hal.13.
32
B. KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Istilah kepolisian dalam Pasal 1 angkah 1 tersebut diatas mengandung dua pengertian, yaitu fungsi polisi dan lembaga polisi. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polisi adalah aparat penegak hukum dan penjaga kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) yang setiap saat harus berhubungan dengan masyarakat luas.55 Pengertian kepolisian sebagai lembaga adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai suatu lembaga yang diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jadi,apabila kita membicarakan persoalan kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan lembaga kepolisian. Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Pasal 4 KUHAP ini secara umum telah menentukan, bahwa setiap pejabat negara Republik Indonesia itu adalah penyelidik. Berarti semua pegawai kepolisian negara tanpa kecuali telah dilibatkan di dalam 55
Anton Tabah, Polisi Budaya dan Politik, Klaten: CV Sahabat, 1996, hlm.2.
33
tugas-tugas penyelidikan, yang pada hakekatnya merupakan salah bidang tugas dari sekian banyak tugas-tugas yang ditentukan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang ada hubungannya yang erat dengan tugas-tugas yang lain, yakni sebagai satu keseluruhan upaya para penegak hukum untuk membuat sesorang
pelaku
dari
suatu
tindak
pidana
itu
harus
mempertanggungjawabkan perilakunya menurut hukum pidana di depan hakim. Semua hal ini mempunyai hubungan yang erat dengan putusan kehendak
dari
pembentuk
undang-undang
untuk
memberikan
pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia dan untuk adanya ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.56 Polisi sebagai aparat Pemerintah, maka organisasinya berada dalam lingkup pemerintahan. Organisasi Polisi adalah bagian dari organisasi
Pemerintahan.
Maka
keberadaannya,
tumbuh
dan
berkembangnya, bentuk dan strukturnya ditentukan oleh visi pemerintah yang bersangkutan terhadap pelaksanaan tugas Polisinya.57
56
Drs. P. A. F. Lamintang, S.H. Theo Lamintang, S.H. PEMBAHASAN KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. SINAR GRAFIKA Jakarta 2010.Hal 48. 57 Kunarto, Perilaku Organisasi POLRI, Jakarta: PT CIPTA MANUNGGAL, 1997, hlm. 99.
34
2. Fungsi dan Peranan POLRI Fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi : “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Rumusan tersebut disetujui oleh Pansus pada tanggal 10 September 2001 dengan pembahasan lebih lanjut diserahkan kepada panitia kerja, dengan catatan diberi penjelasan Pasal bahwa “Fungsi Kepolisian” harus memperhatikan semangat penegakan hak asasi manusia, hukum dan keadilan. Rumusan fungsi kepolisian dalam pasal 2 tersebut merupakan aktualisasi dari UUD 1945 Pasal 30 ayat (4) dan Pasal 6 (1) TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, yang mengatur tentangan Kpolisian Negara Republik Indonesia yang di dalamnya memuat substansi pemeliharaan keamanandan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 58
Sedangkan peranan Kepolisian Republik Indonesia diatur didalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yaitu merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,
58
H.Pudi Rahardi M.H. Hukum Kepolisian.Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya.2007, hal. 55
35
pengayoman
dan
pelayanan
kepada
masyarakat
dalam
rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sebagai bagian integral dari fungsi pemerintahan negara, fungsi Kepolisian secara universal mencakup fungsi perlindungan, fungsi pelayanan, dan penegakan hukum yaitu menjamin hidup dan milik. Secara universal tataran fungsi Kepolisian mencakup tataran preventif dan tataran represif. Tataran preventif menampakan diri dalam bentuk tugas memelihara tertib dan ketertiban serta mencegah terjadinya pelanggaran hukum, sedangkan tataran represif
berupa penindakan
Kepolisian dan penegakan hukum (penyidikan tindak pidana sesuai Hukum Acara Pidana).59 C.
PENYELESAIAN PELANGGARAN ANGGOTA POLRI 1. Kode Etik Anggota POLRI Etika merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi perkembangan hidup manusia. Kemajuan peradaban dan budaya manusia tidak terlepas dari yang namanya etika karena, tanpa etika kehidupan tidak akan berjalan dengan teratur.Menurut H. Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan Norma
moral
yang
menentukan
perilaku
manusia
dalam
hidupnya.60Nilai-nilai atau Norma-Norma itu terkandung didalam suatu sistem yang dijadikan pedoman untuk bertingkah laku maupun dalam 59
Anton Tabah, Reformasi Kepolisian, Klaten: CV Sahabat, 1998, hlm.35. .http://id.shvoong.com/social-sciences/2159592-pengertian-dandefinisi-etika-menurut/#ixzz1t7BCc8fs. 60
36
menjalankan tugas yang berlaku bagi sekelompok orang yang terlibat dalam kelompok profesi.Hakikatnya kode etik memuat aturan-aturan atau Norma-Norma yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan fungsi semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi.61 Secara etimologis istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos yang artinya kebiasaan atau watak. Jadi, dalam hal ini Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang dibatasi dengan dasar nilai moral menyangkut pola perilaku atau kebiasaan yang diperbolehkan atau tidak, yang pantas atau tidak pantas pada perilaku manusia yang dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang atau suatu organisasi tertentu.62 Dalam hal ini, etika berkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan hidup seseorang ataupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi. Dalam kenyataan kehidupan sosial semua masyarakat mempunyai aturan moral yang membolehkan atau melarang perbuatan tertentu. Tata kelakuan itu harus diikuti oleh anggota masyarakat dan akan menimbulkan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian maka fungsi etika adalah untuk membina kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai moral tertentu.Secara teori menurut K. Bertens, pengertian etika meliputi pengertian etika sebagai sistem nilai dan pengertian etika sebagai filsafat moral.Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai sistem nilai, filsafat moral, dan sebagai kode etik. 61
Ibid. Desi Fernanda. Op, Cit. Hal. 2.
62
37
Pada hakekatnya kode etik diartikan sebagai nilai-nilai/NormaNorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Menurut Dr. A. Sonny Keraf, kode etik adalah seperangkat aturan moral dalam sebuah organisasi mengenai bagaimana semua anggota organisasi harus bersikap dan berperilaku. Kode etik diartikan sebagai nilai-nilai, NormaNorma, atau kaedah-kaedah untuk mengatur perilaku moral dari suatu profesi melalui ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dasar tertulis yang harus ditaati oleh setiap anggota organisasi. Maksud dan tujuan kode etik adalah untuk mengatur dan member kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi public yang memerlukan jasa-jasa baik professional. Kode etik jadinya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi. Profesi adalah pekerjaan tetap sebagai pelaksanaan fungsi kemasyarakatan
berupa
karya
pelayanan
yang
pelaksanaannya
dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan keahlian berkeilmuan dalam bidang tertentu yang pengembangannya dihayati sebagai panggilan hidup dan terikat pada etika umum dan etika khusus (etika profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesame demi kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia ( respect for human dignity). Jadi, profesi itu
38
berintikan praktis ilmu secara bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah konkret yang dihadapi seorang warga masyarakat. Pengemban profesi mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan salah satu nilainilai kemanusiaan yang fundamental, seperti keilahian (imam), keadilan (hukum), kesehatan (dokter), sosialisasi/pendidikan (guru), informasi (jurnalis). Menurut Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011, Kode Etik Profesi Polri adalah Norma-Norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis dengan peraturan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan. 2. Peraturan Disiplin POLRI Disiplin adalah kehormatan, kehormatan sangat erat kaitannya dengan kredibilitas dan komitmen. Disiplin anggota POLRI adalah kehormatan yang menunjukan kredibilitas dan komitmen sebagai anggota POLRI. Pembuatan peraturan disiplin bagi anggota POLRI bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kredibilitas dan komitmen yang teguh. Kredibilitas dan komitmen anggota POLRI adalah sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, serta sebagai penegak hukum dan pemelihara keamanan. Komitmen berbeda dengan loyalitas, karena loyalitas cenderung mengaruh pada sifat mutlak dan berujung
39
pada kecenderungan pemimpin untuk menyalahgunakan loyalitas tersebut (abuse of power). Pelaksanaan disiplin bagi anggota POLRI berbeda dengan loyalitas, karena pelaksanaan peraturan didiplin didasarkan pada kesadaran dari pada rasa takut, dan didasarkan pada komitmen dari pada loyalitas.63 Peraturan disiplin bagi anggota POLRI di samping mengatur tata kehidupan dalam pelaksanaan tugas juga mengatur tata kehidupan anggota POLRI selaku pribadi dalam kehidupan bermasyarakat. Peraturan disiplin POLRI memuat pokok-pokok kewajiban, larangan, dan sanksi apabila kewajiban seorang anggota polisi tidak laksanakan, atau terjadi pelanggaran atas larangan.64 Untuk membina persatuan dan kesatuan serta meningkatkan semangat kerja dan moril diadakan Peraturan Disiplin bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin anggota yang di dalamnya mengatur tentang kewajiban, larangan dan sanksi. Sesuai pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin POLRI menyebutkan bahwa Kewajiban anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka kehidupan bernegara dan bermasyarakat adalah : a. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah 63
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI), Surabaya: Laksbang Mediatama, 2007, hlm.124. 64 Ibid, hlm.125.
40
b. Mengutamakan kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan serta menghindari segala sesuatu yang dapat merugikan negara c. Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia d. Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik baiknya e. Hormat menghormati antar pemeluk agama f. Menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia g. Mentaati peraturan perundang undangan yang berlakun baik berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum h. Melaporkan kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan dan atau merugikan Negara / pemerintah i. Bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat j. Berpakaian rapi dan pantas Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin POLRI menyebutkan bahwa Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib untuk : a. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dengan sebaik baiknya kepada masyarakat b. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik baiknya laporan atau pengaduan dari masyarakat c. Mentaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku. d. Melaksanakan tugas sebaik baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab. e. Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia f. Mentaati segala peraturan perundang undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. g. Bertindak dan bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya h. Membimbing bawahannya dalam pelaksanaan tugas i. Memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya j. Mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja k. Memberikan kesempatan kepada bewahannya untuk mengembangkan karier
41
l. Mentaati perintah kedinasan yang syah dari atasan yang berwenang m. Mentaati jam kerja n. Menggunakan dan memelihara barang milik dinas dengan sebaik baiknya. Sesuai pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin POLRI menyebutkan bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang : a. Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia b. Melakukan kegiatan Politik praktis c. Mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa d. Bekerjasama dengan orang lain didalam atau diluar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara e. Bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor / instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi f. Memiliki saham / modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya. g. Bertindak sebagai pelindung ditempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan h. Menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang i. Menjadi perantara / makelar perkara j. Menelantarkan keluarga 3. Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota POLRI Suatu organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi, serta untuk
42
menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab institusi tersebut. Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang mempunyai aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Aturan tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik maupun kode jabatan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 telah diatur tentang penyelesaian pelanggaran disiplin. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan hukuman disiplin serta tata cara pengajuan keberatan apabila anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin tersebut merasa keberatan atas penjatuhan hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya. Sesuai pasal 17 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin akan dilakukan pemeriksaan oleh : a. b. c. d. e.
Atasan yang berhak menghukum ( Ankum ) Atasan langsung Atasan tidak langsung Unit Provoos POLRI atau Oleh pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Ankum,
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin agar berubaha menjadi baik. Oleh sebab itu setiap atasan yang berhak menghukum (Ankum) wajib memeriksa
43
lebih dahulu dengan seksama anggota POLRI yang melakukan pelanggaran disiplin sebelum dijatuhkan hukuman. Hukuman didiplin yang dijatuhkan haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan sehingga dapat diterima rasa keadilan.65 Yang dimaksud dengan pelanggaran Disiplin adalah ucapan, tulisan atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin, sesuai dengan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin POLRI. Apabila pelaku pelanggaran dijatuhi tindakan disiplin, maka penjatuhan tindakan disiplin tersebut dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran, namun apabila pelaku pelanggaran dijatuhi hukum disiplin maka penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam sidang disiplin dengan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap pelaku pelanggaran disiplin. Hal tersebut diatur dalam ketentuan pasal 17 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Sesuai Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Penyelesaian perkara pelanggaran disiplin dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut : a. b. c. d. 65
Loc.cit.
Laporan / pengaduan Pemeriksaan pendahuluan Pemeriksaan didepan sidang disiplin Penjatuhan Hukuman disiplin
44
e. Pelaksanaan hukuman f. Pencatatan dalam data personel perorangan. Apabila ternyata pelanggaran disiplin tersebut juga merupakan tindak pidana maka penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri.
45
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode merupakan cara kerja yang bersistem yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.66Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif atau legal aPeraturan Pemerintahroach, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau Norma-Norma dalam hukum positif.67Konsep ini memandang hukum identik dengan Norma-Norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem Normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.68Objek yang ada kemudian diteliti dengan pendekatan yang terdiri dari : 1. Pendekatan Undang-Undang (Statute APeraturan Pemerintahroach). Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkutpaut dengan permasalahan yang diteliti.69 Pendekatan Perundang-
66
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus BesarBahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Hal.652. 67 Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia. Hal. 295. 68 Ronny Hanitijo Soemitro.1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 13-14. 69 Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana. Hal. 70.
46
undangan digunakan berkenaan dengan peraturan hukum yang mengatur mengenai Disiplin Polri dan Kode Etik Polri sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang. Dalam penelitian ini, peneliti menelaah peraturan yang berkaitan dengan konsep pengaturan mengenai kualifikasi dan mekanisme penjatuhan hukuman terhadap pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh Polri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, dimana aturan yang diteliti merupakan sistem yang tertutup, artinya terpisah dari aspek-aspek yang lain, seperti sosial, budaya dan sebagainya.Tentunya peneliti juga tidak meninggalkan sifat dari pendekatan Undang-undang ini yaitu : a. Comprehensive artinya Norma-Norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. b. All-inclusivebahwa kumpulan Norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. c. Systematicbahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, Norma-Norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.70 2. PendekatanAnalisis (analytical aPeraturan Pemerintahroach) Pendekatan analisis adalah pendekatan dengan menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan.71 Pendekatan Analisis (Analytical APeraturan Pemerintahroach) dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah hukum yang berkaitan dengan kualifikasi dan mekanisme penjatuhan hukuman terhadap pelanggaran kode etik/disiplin yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan 70
Johny Ibrahim.Op.cit. Hal.302-303. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.54. 71
47
secara konsepsional dan penerapannya dalam praktik serta putusanputusan hukum.Tujuan dari penggunaan pendekatan perundang-undangan ini agar penelitian ini menghasilkan simpulan mengenai kualifikasi dan mekanisme penjatuhan hukuman terhadap pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Polri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan spesifikasi penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar,
prosedur,
ketentuan-ketentuan
dan
rambu-rambu
dalam
melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya dan diakhiri dengan memberikan rumusanrumusan tertentu.72 Dalam spesifikasi penelitian preskriptif ada dua macam spesifikasi penelitian yaitu inventarisasi peraturan perundang-undangan dan sinkronisasi penelitian untuk menemukan hukum in concreto. Penelitian ini akan menginventarisir peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kualifikasi pelanggaran disiplin POLRI dan juga untuk menemukan apakah hukuman yang sesuai untuk diterapkan in concreto guna menyelesaikan suatu perkara tertentu, yang dalam hal ini adalah mekanisme penjatuhan hukuman kepada POLRI yang melanggar disiplin POLRI dan dimanakah bunyi peraturan hukum itu dapat diketemukan termasuk kedalam penelitian hukum (legal research).
72
Ibid., hlm.22-23.
48
C. Sumber Bahan Hukum Pada penelitian Normatif Data sekunder merupakan data pokok atau utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literature maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan objek penelitian. Menurut Soerjono dan Sri Mamudji, data sekunder (bahan-bahan pustaka) terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.73 Dalam hal ini data sekunder dibagi menjadi tiga bagian, yakni 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum
primer
yaitu bahan hukum
yang terdiri
dariperaturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda).74 Adapun bahan hukum yang dikaji dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : a.
Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
b.
Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
d.
Undang-Undang
Nomor
43
Tahun
1999
Pokok
–
Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890). 73
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Op.cit.Hal.14. Soerdjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal.296.
74
49
e.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
f.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia.
g.
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Kepolisian Republik Indonesia.
h.
Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia.
2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas bukubuku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.75 Dengan demikian bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal hukum, serta artikel-artikel hukum yang berasal dari situs-situs internet yang berkaitan dengan kualifikasi dan mekanisme penjatuhan hukuman terhadap pelanggaran kode etik.
3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
75
Johnny Ibrahim. Op. Cit. Hal.296.
50
sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.76 Dengan demikian, bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum, kamus Nomorn hukum, eksiklopedi, serta jenis lain yang mendukung penelitian ini. D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum sekunder diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku literatur, dokumen dan artikel sebagai bahan yang telah diperoleh, dicatat kemudian dipelajari berdasarkan relevansi-relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pengkajian sebagai satu kesatuan yang utuh. Sehingga dalam penelitian ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang akan digunakan, kemudian dikumpulkan dengan menggunakan metode kepustakaan dan dokumenter. 1. Metode Kepustakaan adalah suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, perundangundangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah, dsb.) 2. Metode Dokumenter adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun Nomornpemerintah (putusan pengadilan, perjanjian, surat keputusan, memo, konsep pidato, buku harian, foto, risalah rapat, laporan-laporan, mass
76
Ibid.Hal. 296.
51
media, internet, pengumuman, intruksi, aturan suatu instansi, publikasi, arsip-arsip ilmiah, dsb).77 E. Metode Pengolahan Bahan Hukum Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan dan diinventarisir berdasarkan relevansi terhadap objek penelitian ini. Bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian dibahas dan dipaparkan, disusun secara sistematis, dan logis, dimana antara bahan hukum yang satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini. F.
Metode Penyajian Bahan Hukum Metode penyajian bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode display, suatu kegiatan memilah-milah bahan hukum ke dalam bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh bahan hukum yang dikumpulkan. Selanjutnya, bahan hukum disajikan dalam bentuk Teks Naratif, yaitu suatu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan sistematis. Setelah bahan hukum primer, sekunder dan tersier dikumpulkan, akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi. Dari hasil klasifikasi dan inventarisasi tersebut, hasil yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan logis untuk menyelesaikan masalah yang diteliti.
77
Tedi Sudrajat. 2010. Mata Kuliah Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum (MPPH). Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Hal.12.
52
G.
Metode Analisis Bahan Hukum Analisis dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung dari istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara konsep dan tekhnis penerapannya. Analisis bahan hukum bertujuan untuk menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan arti atau makna terhadap bahan hukum yang telah diolah sebelumnya. Penelitian ini menggunakan logika deduktif melalui metode analisis Normatif kualitatif. Metode analisis Normatif kualitatif merupakan cara menginterpretasikan berdasarkan
pengertian
hukum,
Norma
hukum,
teori-teori
hukum,
sertadoktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis miNomorr dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution). Analisis bahan hukum tersebut dilakukan dengan menggunakan model interpretasi sebagai berikut : 1.
Interpretasi sistematis Menurut
P.W.C.
Akkerman,
interpretasi
sistematis
adalah
interpretasi dengan melihat kepada hubungan dimana aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung. Disamping itu juga harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis
53
adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri.78 2.
Interpretasi gramatikal Merumuskan
suatu
aturan
perundang-undangan
atau
suatu
perjanjian seharusnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat yang menjadi tujuan pengaturan hukum tersebut, atau para pihak yang terkait dengan pembuatan suatu teks perjanjian.79 Peneliti menggunakan kedua model interpretasi tersebut untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya tentang Objek yang diteliti.
78
Peter Mahmud Marzuki. 2007 (cet.ke-7).Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Hal.112. 79
Johny Ibrahim.Op.cit. Hal.220.
54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBASAN A. Hasil Penelitian 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa peraturan perundang-undangan, yang akan disajikan secara sitematis sebagai berikut : a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1) Pasal 1 ayat(3) : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. 2) Pasal 30 ayat (2) : Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung 3) Pasal 30 ayat (4) : Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. 4) Pasal 30 ayat (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia , hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat
55
keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1) Pasal 372 : Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. 2) Pasal 378 : Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. c.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ( Pengganti Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian) 1) Pasal 1 angka (1) :Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil danpegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yangbekerja pada instansi pemerintah.
56
2) Pasal 6 : Pegawai ASN terdiri atas: a. PNS; dan b. PPPK. 3) Pasal 7 (1) PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional. (2) PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang ini. 4) Pasal 20 (1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN. (2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari: a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dariprajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggotaKepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada InstansiPusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undangtentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara RepublikIndonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan ASNtertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara RepublikIndonesia dan tata cara pengisian jabatan ASNsebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur denganPeraturan Pemerintah. 5) Pasal 136 : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun
57
1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” 6) Pasal 139 : Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini.”
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 1) Pasal 1 (1) Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia 2) Pasal 2 Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 3) Pasal 5 ayat(1) : Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalammemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, sertamemberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
58
kepada masyarakat dalamrangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 4) Pasal 13 ayat (1) : Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: 4.1 memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 4.2 menegakkan hukum; dan 4.3 memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 5) Pasal 14 ayat (1) : Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
59
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. 6) Pasal 15 ayat (1) :Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrative kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; 7) Pasal 18 : Ayat (1) : Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2): Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
60
8) Pasal 19 Ayat (1): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan Norma hukum dan mengindahkan Norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ayat (2):Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. 9) Pasal 34 (1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. (3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri. 10) Pasal 35 (1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri. 5
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri 5.1.1
Pasal 11
Anggota Kepolisian Negara Republik diberhentikan tidak dengan hormat apabila: a. melakukan tindak pidana; b. melakukan pelanggaran; c. meninggalkan tugas atau hal lain. 5.1.2 Pasal 12
Indonesia
yang
61
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesi diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila: a. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. melakukan usaha atau kegiatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan kegiatan yang menentang negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia secara tidak sah. (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 5.1.3
Pasal 13
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia karena melanggar sumpah/janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sumpah/janji jabatan, dan/atau Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan disiplin Anggota Polri 1) Pasal 1 (4) Pelanggaran Peraturan Disiplin adalah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin. (5) Tindakan disiplin adalah serangkaian teguran lisan dan/atau tindakan fisik yang bersifat membina, yang dijatuhkan
62
secara langsung kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum kepada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Disiplin. 2) Pasal 5 huruf a Bahwa dalam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia 3) Pasal 6 huruf m Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 4) Pasal 7 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin. 5) Pasal 8 (1) Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik. (2) Tindakan disiplin dalam ayat (1) tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin 6) Pasal 9 Hukuman disiplin berupa: a. teguran tertulis; b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun; c. penundaan kenaikan gaji berkala; d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu)tahun; e. mutasi yang bersifat demosi; f. pembebasan dari jabatan; g.penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
63
7) Pasal 12 (1) Penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana. (2) Penjatuhan hukuman disiplin gugur karena pelanggar disiplin: a. meninggal dunia, b. sakit jiwa yang dinyatakan oleh dokter dan/atau badan penguji kesehatan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 8) Pasal 15 Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan disiplin adalah: a. atasan langsung; b. atasan tidak langsung; dan c. anggota Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya. 9) Pasal 16 (1) Pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman disiplin adalah: a. Ankum, dan/atau b. Atasan Ankum. (2) Atasan Ankum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berwenang memeriksa dan memutus atas keberatan yang diajukan oleh terhukum. (3) Ankum di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia secara berjenjang adalah sebagai berikut: a. Ankum berwenang penuh, b. Ankum berwenang terbatas, dan c. Ankum berwenang sangat terbatas. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri. 10) Pasal 17 (1) Sebelum menjatuhkan hukuman disiplin, Ankum wajib memeriksa lebih dahulu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang disangka melakukan pelanggaran disiplin itu. (2) Pejabat yang berwenang memeriksa pelanggaran disiplin adalah: a. Ankum, b. Atasan langsung, c. Atasan tidak langsung,
64
d. Provos Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau e. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum. 7
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri 1) Pasal 15 Anggota Polri yang diputus pidana dengan hukuman pidana penjara minimum 3 (tiga) bulan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat direkomendasikan oleh anggota siding Komisi Kode Etik Polri tidak layak untuk tetap dipertahankan sebagai anggota Polri.
2. Bahan Hukum Sekunder 2.1. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2006 (Kasus Pertama) Dari penelitian didapatkan data bahwa pada tahun 2006 telah terjadi pelanggaran Disiplin yang dilakukan oleh Oknum Polri SPN Purwokerto dan dari perkara tersebut didapatkan fakta fakta sebagai berikut : a. Terperiksa Nama : BUDI UTAMI,Tempat tanggal lahir Purbalingga tanggal 6 Oktober 1965,Jenis kelamin Perempuan, Kebangsaan jawa – Indonesia, Alamat Jl. Ketuhu Wirasana – Purbalingga, Agama Islam, Pekerjaan POLRI Kesatuan SPN Purwokerto.
65
b. Permasalahan Telah terjadi perkara Pelanggaran Disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan PemerintahNomor 2 tahun 2003 tanggal 1 Januari 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri pasal 5 huruf a yaitu Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau pasal 6 huruf a dan m yaitu Anggota Polri dilarang mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Terperiksa AKP BU yaitu pada saat pelaksanaan seleksi penerimaan anggota Polri tahun penerimaan 2005 telah menerima sejumlah uang dari Sdr. ISMU ARI CAHYADI ( Korban ) uang sejumlah Rp. 55.000.000,- (LIMA PULUH LIMA JUTA RUPIAH ) dan ternyata uang tersebut telah digunakan untuk kepentingan pribadi AKP BU. Atas perkara yang dilaporkan, Unit Provos SPN Purwokerto kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh terperiksa dengan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada saksi saksi maupun menjadi terperiksa. Dan selanjutnya berdasarkan perintah Atasan yang berhak menghukum ( ANKUM ), melaksanakan prosedur penjatuhan hukuman disiplin kepada terperiksa atas
66
perbuatan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh terperiksa yaitu pelanggaran disiplin sesuai pasal 6 huruf m Peraturan PemerintahNomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. c. Putusan Ankum pada saat sidang Hakim Disiplin Dalam Surat Keputusan Hukuman Disiplin Nomor Pol. : SKHD/02/X/2006 tanggal 28 Juni 2006, Kepala Sekolah Polisi Negara Purwokerto selaku Atasan yang Berhak Menghukum (ANKUM) dengan memperhatikan hasil pemeriksaan Saksi, Alat Bukti dan Terperiksa pada sidang disiplin, menyatakan bahwa Terperiksa cukup bukti melakukan pelanggaran disiplin. Sehingga ANKUM memutuskan bahwa : Menyatakan AKP BU terbukti bersalah secara syah dan meyakinkan
melakukan
pelanggaran
Disiplin
berupa
Mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf m Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Menjatuhkan hukuman disiplin kepada AKP BU berupa teguran tertulis dan mutasi yang bersifat demosi.
67
d. Pertimbangan Ankum Dalam menjatuhkan hukuman disiplin kepada AKP BU selaku Terperiksa, KA Sekolah Polisi Negara (SPN Purwokerto) memiliki pertimbangan-pertimbangan selaku ANKUM, yaitu : 1) Adanya kesesuaian keterangan antara saksi saksi dan terperiksa sehingga dapat mengungkap fakta fakta yang membuktikan
benar
telah
terjadi
pelanggaran
disiplin
melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf a dan atau pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. 2) Sebelum sidang Hakim Disiplin menjatuhkan hukuman disiplin kepada terperiksa terlebih dahulu mempertimbangkan hal hal yang meringankan dan memberatkan sebagai berikut : Hal yang meringankan :Terperiksa belum pernah melakukan pelanggaran disiplin sebelumnya. Hal hal yang memberatkan:
68
1. Perbuatan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh terperiksa juga merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 372 KUHP yaitu pidana Penggelapan. 2. Terperiksa hanya dapat mengembalikan sebagian uang yang diterima dan digunakan untuk kepentingan pribadi terperiksa. e. Putusan Pidana dalam Peradilan Umum Perbuatan
pelanggaran
disiplin
yang
dilakukan
oleh
terperiksa juga merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu pidana Penggelapan. AKP BU juga dijatuhi hukuman pidana dalam Peradilan Umum. AKP BU dijatuhi hukuman penjara selama 4 (empat) bulan dan membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor : 11/Pid B/2007/PN. Pwt pada hari Kamis, 15 Maret 2007. 2.2. Kasus Posisi Pelanggaran Disiplin Tahun 2007 (Kasus Kedua) a. Terperiksa Nama :TASLIM, Tempat tanggal lahir Purbalingga tanggal 6 Nomorvember 1961, Jenis kelamin Laki laki, Kebangsaan jawa – Indonesia, Alamat Asrama Ksatrian SPN Purwokerto Blok B 20 – Purwokerto, Agama Islam, Pekerjaan POLRI Kesatuan SPN Purwokerto.
69
b. Permasalahan Telah terjadi perkara Pelanggaran Disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan PemerintahNomor 2 tahun 2003 tanggal 1 Januari 2002 tentang Peraturan Disiplin Polri pasal 5 huruf a yaitu Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau pasal 6 huruf a dan m yaitu Anggota Polri dilarang mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Terperiksa BRIGADIR TS yaitu pada saat pelaksanaan seleksi penerimaan anggota Polri tahun penerimaan 2004 telah menerima sejumlah uang dari Sdr. MAHRADJI ( Korban ) uang sejumlah Rp. 36.000.000,- (TIGA PULUH ENAM JUTA RUPIAH ) dan uang tersebut dan ternyata uang tersebut telah digunakan untuk kepentingan pribadi BRIGADIR TS. c. Putusan Ankum pada saat sidang Hakim Disiplin Dalam Surat Keputusan Hukuman Disiplin Nomor Pol. : SKHD/01/VII/2007 tanggal 15 Juli 2007, Kepala Sekolah Polisi Negara Purwokerto selaku Atasan yang Berhak Menghukum (ANKUM) dengan memperhatikan hasil pemeriksaan Saksi, Alat Bukti dan Terperiksa pada sidang disiplin, menyatakan bahwa
70
Terperiksa cukup bukti melakukan pelanggaran disiplin. Sehingga ANKUM memutuskan bahwa : 1) Menyatakan Brigadir TS terbukti bersalah secara syah dan meyakinkan
melakukan
pelanggaran
Disiplin
berupa
Melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf a dan atau pasal 6 huruf m Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. 2) Menjatuhkan hukuman disiplin kepada Brigadir TS berupa penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu ) tahun dan penempatan diruang khusus selama 15 hari dan hukuman disiplin tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Hukuman Disiplin Nomor Pol. : SKHD/01/VII/2007 tanggal 15 Juli 2007. d. Pertimbangan Ankum Dalam menjatuhkan hukuman disiplin kepada Brigadir TS selaku Terperiksa, KA Sekolah Polisi Negara (SPN Purwokerto) memiliki pertimbangan-pertimbangan selaku ANKUM, yaitu :
71
3) Adanya kesesuaian keterangan antara saksi saksi dan terperiksa sehingga dapat mengungkap fakta fakta yang membuktikan
benar
telah
terjadi
pelanggaran
disiplin
melakukan hal hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan atau mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf a dan atau pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. 4) Sebelum sidang Hakim Disiplin menjatuhkan hukuman disiplin kepada terperiksa terlebih dahulu mempertimbangkan hal hal yang meringankan dan memberatkan sebagai berikut : Hal yang meringankan : a.
Terperiksa belum pernah melakukan pelanggaran disiplin sebelumnya.
b.
Kesanggupan terperiksa untuk mengembalikan uang yang diterima dan digunakan untuk kepentingan pribadi terperiksa
Hal hal yang memberatkan: Perbuatan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh terperiksa juga merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 372 KUHP yaitu pidana Penggelapan.
72
2.3. Pengertian Kode Etik Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, setiap individu anggota masyarakat dalam interaksi pergaulannya dengan anggota masyarakat lainnya atau dengan lingkungannya, tampaknya cenderung semakin bebas, leluasa, dan terbuka. Akan tetapi tidak berarti tidak ada batasan sama sekali, karena sekali saja seseorang melakukan kesalahan dengan menyinggung atau melanggar batasan hak-hak asasi seorang lainnya, maka seseorang tersebut akan berhadapan dengan sanksi hukum berdasarkan tuntutan dari orang yang merasa dirugikan hak asasinya. Hal ini tentu saja berbeda dengan kondisi masyarakat di masa lalu, yang cenderung bersifat kaku dan tertutup karena kehidupan sehari-harinya sangat dibatasi oleh berbagai nilai Normatif serta berbagai larangan yang secara adat wajib dipatuhinya.80 Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap anggota masyarakat akan berhadapan dengan batasan-batasan nilai Normatif, yang berlaku pada setiap situasi tertentu yang cenderung berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri. Batasanbatasan nilai Normatif dalam interaksi dengan masyarakat dan lingkungannya itulah yang kemudian dapat kita katakan sebagai nilainilai etika. Sedangkan nilai-nilai dalam diri seseorang yang akan 80
37.
Adam Indrawijaya. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Hal
73
mengendalikan, dimunculkan atau tidaknya kepatuhan terhadap nilainilai etika dapat kita sebut dengan moral atau moralitas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mendefinisikan etik sebagai (1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; (2) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat sedangkan etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Jadi kode etik pada prinsipnya merupakan sistem dari prinsip-prinsip moral yang diberlakukan dalam suatu kelompok sosial yang ditetapkan secara bersama-sama. Etika merupakan
salah
satu
faktor
utama
yang
mempengaruhi
perkembangan hidup manusia. Kemajuan peradaban dan budaya manusia tidak terlepas dari yang namanya etika karena, tanpa etika kehidupan tidak akan berjalan dengan teratur. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, dan watak. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai untuk kata Etika, antara lain Etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau Norma-Norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Beberapa ahli
74
telah merumuskan pengertian kata etika atau lazim juga disebut etik, yang berasal dari kata Yunani ETHOS tersebut sebagai berikut ini81 : O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan Norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika merupakan refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat apabila dalam diri para elit professional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat hendak memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Menurut Undang-undang tentang pokok pokok kepegawaian, Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh tertua adalah Sumpah Hipokrates, yang dipandang sebagai 81
Binziad Kadafi. et. Al. 2001 Advokat Indonesia Mencari Legitimas; Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia.Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK). Hal. 253.
75
kode etik pertama untuk profesi dokter. Hipokrates adalah dokter Yunani kuno yang digelari : Bapak Ilmu Kedokteran. Beliau hidup dalam abad ke- 5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan oleh dokter Yunani ini. Dengan demikian, etika adalah Norma-Norma sosial yang mengatur perilaku manusia secara Normatif tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan, merupakan pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam
masyarakat.
Norma-Norma
sosial
tersebut
dapat
dikelompokkan dalam hal yaitu Norma kesopanan atau etiket, Norma hukum dan Norma moral atau etika. Etiket hanya berlaku pada pergaulan antar sesama, sedang etika berlaku kapan saja, dimana saja, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri. Etika dalam sebuah profesi disusun dalam sebuah Kode Etik. Dengan demikian Kode Etik dalam sebuah profesi berhubungan erat dengan nilai sosial manusia yang dibatasi oleh Norma-Norma yang mengatur sikap dan tingkah laku manusia itu sendiri agar terjadi keseimbangan kepentingan masing-masing di dalam masyarakat. Jadi Norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai untuk menilai sesuatu. Ada tiga macam norma sosial yang menjadi pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu norrma kesopanan atau etiket, norma hukum dan norma moral atau etika. Etika atau sopan
76
santun, mengandung norma yang harus kita lakukan. Rumusan konkret dari sistem etika bagi profesional dirumuskan dalam suatu kode etik profesi yang secara harfiah berarti etika yang dikodifikasi atau dituliskan. Bertens, menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di dalam anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatanperbuatan
yang akan
merugikan
kesejahteraan
materiil
para
anggotanya. Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.82 Maksud dan tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksanaan profesi serta untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional. Kode etik pada dasarnya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi. 2.4. Kode Etik Polri Kode etik adalah sistem Norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik
82
Biniziad Kadafi. et al.. Op. Cit. hal.252-253. mengutip K. Bertens.Etika.cet. V. 2000. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Hal.280-281.
77
menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Kode etik bertujuan untuk memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya secara profesional. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri. Kode etik bukan merupakan kode yang kaku akibat perkembangan zaman, tetapi kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Etika profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan keneagaraan, selanjutnya disusun ke dalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pencurahan perhatian yang sangat serius dilakukan dalam menyusun etika Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai landasan
78
etika Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata memberikan identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (1952).83 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia untuk pertama kali ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol : Skep/213/VII/1985 tanggal 1 Juli 1985 yang selanjutnya naskah dimaksud terkenal dengan Naskah Ikrar Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia beserta pedoman pengamalannya. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 dimana pada pasal 23 mempersyaratkan adanya Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia, maka pada tanggal 7 Maret 2001 diterbitkan buku Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia dengan Keputusan Kapolri Nomor Pol. : Kep/05/III/2001 serta buku Petunjuk Administrasi Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia dengan Keputusan Kapolri Nomor Pol. : Kep/04/III/2001.
Perkembangan selanjutnya dengan Ketetapan MPR-RI Nomor. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketetapan MPR-RI Nomor. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan amanar UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana tersebut dalam pasal 31 sampai dengan pasal 35, maka diperlukan perumusan kembali Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia yang lebih konkrit agar pelaksanaan tugas kepolisian lebih terarah dan sesuai dengan harapan masyarakat yang
83
Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius, Yogyakarta : 1975). Hal. 17.
79
mendambakan terciptanya supremasi hukum dan terwujudnya rasa keadilan.84 Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu etika pengabdian, kelembagaan, dan kenegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh seluruh anggota anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kristalisasi nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Tribrata dan dilandasi oleh nilai-nilai luhur Pancasila.85 B.
Pembahasan 1. Penerapan Hukuman Disiplin terhadap Anggota Polri yang melakukan Tindak Pidana di Sekolah Polisi Negara Purwokerto (SPN Purwokerto) Indonesia sebagai negara hukum disebutkan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Konsep negara hukum adalah merupakan hasil dari suatu perkembangan sejarah pemerintahan dan hukum, sekitar abad ke III sebelum masehi, Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkannya dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait pada 84 85
Ibid. Ibid.
80
„polis‟. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan yang menentukan baik-buruknya suatu hukum. Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik yang bersusila yang pada akhirnya akan menjadikan manusia yang bersikap adil. Apabila keadaan ini telah terwujud, maka terciptalah “negara hukum‟, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.86 Konsekuensi dianutnya negara hukum di Indonesia, maka segala hal yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan nasional dilandaskan pada hukum. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang sangat berbeda dengan negara lain, perbedaan tersebut dapat dilihat dari pembukaan undang-undang dasar yang memuat hal-hal yang mendasar diantaranya adalah pernyataan kemerdekaan, tujuan dan dasar negara. Dari pembukaan tersebut dapat diketahui arah dan tujuan yang akan dicapai oleh negara. Tujuan tersebut telah dirumuskan dan dicantumkan dalam alenia IV, yaitu sebagai berikut: 1.
2. 3. 4.
86
Membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
SF Marbun dkk. 2002. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : UII Pers. Hal. 1.
81
Penegasan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari upaya untuk mencapai tujuan nasional, karenanya negara memerlukan sarana dan prasarana yang mendukung, baik berupa sumber daya manusia maupun sarana yang berbentuk benda, karena negara tidak dapat melakukannya sendiri.87 Upaya yang harus dilakukan negara dalam mencapai tujuan nasional yaitu dengan peningkatan kualitas manusia secara berkelanjutan, berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan perkembangan sosial. Pengertian negara hukum yaitu Suatu negara dimana sikap pemerintah dan warga negara berdasarkan hukum dan harus dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum, hukum dijadikan panglima untuk
menyelesaikan
persoalan-persoalan
pemerintahan,
kemasyarakatan, maupun pembangunan. Berdasarkan konsep negara hukum, tindakan pemerintah dalam melakukan tindakan hukum harus berdasarkan
hukum,
hukum
yang
dimaksud
adalah
Hukum
Administrasi Negara (HAN). Pengertian Hukum Administrasi Negara dapat dilihat dari dua aspek yaitu:pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaiman alat-alat perlengkapan negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturan-aturan
87
hukum
yang
mengatur
hubungan
Muchsan. 1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta : Bina Aksara. Hal. 12.
hukum
82
(rechtsbetrekking) antara alat perlengkapan administrasi negara atau pemerintah dengan para warga negaranya.88 Hukum
Administrasi
Negara
adalah
hukum
mengenai
Pemerintah beserta aparaturnya yang terpenting, yakni administrasi negara.89
Tujuan
perlindungan
hukum
hukum
bagi
administrasi rakyat
negara
dalam
diarahkan
bentuk
pada
pembinaan,
pengayoman, dan partisipasi. Hubungannya dengan sumber daya manusia, sistem administrasi negara terbagi menjadi dua, yaitu pegawai negeri dan masyarakat yang merupakan dua organisasi aktivitas yang mempunyai tujuan yang sama, namun di dalamnya terdapat perbedaan wewenang dan pemerintahan. Pegawai Negeri mempunyai otoritas dan wewenang secara hukum, sedangkan masyarakat tidak mempunyai wewenang, sehingga hanya mengandalkan kerelaan berpartisipasi dalam lingkungan publik agar tujuan kemasyarakatan dapat terwujud. Pihak pemerintah mempunyai tugas-tugas terhadap masyarakat dengan melaksanakan suatu kebijakan lingkungan dalam bentuk wewenang, yaitu kekuasaan yuridis akan orang-orang pribadi, badan-badan hukum dan memberikannya kepada Pegawai Negeri bawahan hak dan kewajiban yang dapat mereka pegang menurut hukum.90 Menurut Utrecht, negara merupakan badan hukum yang terdiri dari persekutuan orang (Gemeenschaap Van Merten) yang ada karena perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah. Pengertian 88
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan hlm.2 SF. Marbun dkk.Op. cit. Hal. 22. 90 Philippus M. Hadjon, dkk. Op.Cit.Hal. 39. 89
83
badan hukum disini adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum). Negara akan mencapai tujuan dengan menggunakan statusnya sebagai badan hukum tersebut. Hak dan kewajiban dilaksanakan oleh aparatur negara yang melaksanakan hak dan kewajiban negara yang disebut dengan subyek hukum yaitu Pegawai Negeri91 yang sekarang disebut sebagai istilah Aparatur Sipil Negara (ASN). Undang-Undang yang berisi ketetuan mengenai kepegawaian pada mulanya adalah Undang-Undang Nomor
Tahun 1874 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian , yang telah diubah menjad UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undangndang ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan problematika kepegawaian. Oleh karena itu,Undang-Undang tersebut diganti menjadi Undang-Udang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah menjadiUndang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dinyatakan sudah tidak berlaku. Hal ini sebagamana telah ditentukan dalam Pasal 136
91
Muchsan. Loc. Cit. Hal.12.
84
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menentukan bahwa: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.” Berkaitan dengan Peraturan Perundang-Undangan sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 139 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menentukan bahwa : “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini.” Berkaitan dengan fungsi pemerintahan dalam suatu negara, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
85
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks trias politika, fungsi kepolisian adalah merupakan bagian dari eksekutif (aparatur pemerintah). Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
bertujuan
utuk
mewujudkan keamanan dalan negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselengaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sedangkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah : i. Memelihara keamanan dan ketetiban masyarakat; ii. Menegakkan hukum;dan iii. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, setiap individu anggota masyarakat dalam interaksi pergaulannya dengan anggota masyarakat lainnya atau dengan lingkungannya, tampaknya cenderung semakin bebas, leluasa, dan terbuka, akan tetapi tidak berarti tidak ada
86
batasan sama sekali, karena sekali saja seseorang melakukan kesalahan dengan menyinggung atau melanggar batasan hak-hak asasi seorang lainnya, maka seseorang tersebut akan berhadapan dengan sanksi hukum berdasarkan tuntutan dari orang yang merasa dirugikan hak asasinya. Hal ini tentu saja berbeda dengan kondisi masyarakat di masa lalu, yang cenderung bersifat kaku dan tertutup karena kehidupan sehari-harinya sangat dibatasi oleh berbagai nilai normatif serta berbagai larangan yang secara adat wajib dipatuhinya.92 Nilai-nilai atau norma-norma itu terkandung didalam suatu sistem yang dijadikan pedoman untuk bertingkah laku maupun dalam menjalankan tugas yang berlaku bagi sekelompok orang yang terlibat dalam kelompok profesi. Hakikatnya kode etik memuat aturan-aturan atau norma-norma yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas dan fungsi semua orang yang terlibat dalam suatu organisasi.93 Suatu organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan, kehormatan dan kredibilitas organisasi tersebut serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan, peranan, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab institusi tersebut. Organisasi yang baik dan kuat adalah organisasi yang mempunyai aturan tata tertib intern yang baik dan kuat pula. Aturan 92
Adam Indrawijaya. Op. Cit. Hal 37. Ibid.
93
87
tersebut dapat berbentuk peraturan disiplin, kode etik maupun kode jabatan. Dalam perkembangan pemerintahan modern, pengertian konsep negara hukum mengalami perluasan dan pengembangan. Dewasa ini dikenal adanya konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu negara yang pemerintahnya mencampuri urusan masyarakat secara intens, dengan maksud agar aparatur pemerintah secara aktif ikut mengupayakan
tercapainya
derajat
kesejahteraan
masyarakat.
Konsekuensi logis welfare state, hampir semua urusan individu menjadi “urusan pemerintahan”, sehingga ruang lingkup urusan pemerintahan menjadi sangat luas. Dalam kaitannya dengan ruang lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN), maka materi muatan HAN menjadi semakin luas dan tidak dapat dibatasi. Salah satu ruang lingkup Hukum Administrasi Negara yaitu terdapat materi muatan mengenai penegakan hukum. Penerapan hukuman disiplin merupakan suatu penegakan hukum. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati.94 Menurut Soerjono Soekanto, ada 5 faktor yang memengaruhi penegakan hukum, yaitu :95 6. Faktor hukumnya sendiri; 7. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 94
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 292. Ibid., hlm. 293.
95
88
8. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 9. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 10. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Diantara kelima faktor yang memengaruhi penegakan hukum tersebut di atas, faktor yang relevan untuk dibahas dalam tulisan ini yaitu dilihat dari faktor hukumnya sendiri dan faktor penegak hukumnya. Hukum yang berkaitan dengan hukum yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan PemerintahNomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan Peraturan PemerintahNomor2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Sedangkan mengenai faktor penegak hukumnya yaitu dilihat dari Kepala SPN Purwokerto yang bertindak sebagai atasan yang berhak menghukum (Ankum). Berdasarkan
ajaran
penegakan
hukum
dalam
Hukum
Administrasi Negara (HAN), penegakan hukum terdiri dari pengawasan dan penerapan sanksi. Secara teoritis penerapan sanksi dapat diberlakukan secara kumulatif, yaitu kumulatif internal dan kumulatif eksternal. Kumulatif internal yaitu penerapan beberapa sanksi yang bersifat sanksi administratif saja. Sedangkan kumulatif eksternal yaitu penerapan beberapa sanksi yang bersifat sanksi administrative dan saksi yang berupa pidana maupun perdata.
89
Anggota polri merupakan bagian dari jenis Pegawai Negeri yang berfungsi menjalankan pemerintahan. Polri bertanggung jawab dalam menjaga
ketertiban
dan
keamanan
dalam
masyarakat.
Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, Polri memiliki Kode Etik Profesi yang berfungsi sebagai pembimbing perilaku anggota Polri dalam menjalankan pengabdian profesinya dan sebagai pengawas hati nurani agar anggota Polri tidak melakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan nilai-nilai etis dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang atas profesi Kepolisian yang dijalankannya. Kode etik profesi kepolisian merupakan kristalisasi dari nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, etika kenegaraan, etika kelembagaan, dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.96 Selain memiliki kode etik profesi, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia telah diatur mengenai hak dan kewajiban POLRI dan dalam Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri juga telah diatur tentang penyelesaian pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Polri. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan hukuman disiplin serta tata cara pengajuan keberatan apabila anggota Kepolisian Negara Republik
96
H. Pudi Rahardi, M.H,.Op.Cit.Hal.149
90
Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin tersebut merasa keberatan atas penjatuhan hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya. Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan pelanggaran disiplin agar berubaha menjadi baik. Oleh sebab itu setiap ANKUM (atasan yang berhak menghukum) wajib memeriksa lebih dahulu dengan seksama anggota POLRI yang melakukan pelanggaran disiplin sebelum dijatuhkan hukuman. Hukuman didiplin yang dijatuhkan haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan sehingga dapat diterima rasa keadilan.97 Pelanggaran Disiplin adalah ucapan, tulisan atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin, sesuai dengan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin POLRI. Apabila pelaku pelanggaran dijatuhi tindakan disiplin, maka penjatuhan tindakan disiplin tersebut dilaksanakan seketika dan langsung pada saat diketahuinya pelanggaran, namun apabila pelaku pelanggaran dijatuhi hukum disiplin maka penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam sidang disiplin dengan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap pelaku pelanggaran disiplin. Hal tersebut diatur
97
Loc.cit.
91
dalam ketentuan pasal 17 ayat 1 Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Pelanggaran
disiplin
terbagi
menjadi
2
kategori
yaitu
pelanggaran disiplin murni dan pelangaran disiplin tindak murni. Pelanggaran disiplin murni adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan peraturan kedinasan. Pelanggaran disiplin tidak murni adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar ketentuan ketentuan dalam Hukum Pidana. Menurut Pasal 16 Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri, apabila terjadi
pelanggaran
kumulatif
antara
pelanggaran
disiplin
dan
pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Sidang Disiplin atau Sidang Komisi Kode Etik Polri berdasarkan pertimbangan atasan Ankum dari terperiksa dan pendapat serta saran hukum dari Pengemban Fungsi Pembinaan Hukum. Penanganan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dilakukan jika ada laporan atau pengaduan yang diajukan oleh masyarakat, anggota Polri atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Pengajuan laporan atau pengaduan disampaikan kepada pengemban fungsi Propam di setiap jenjang organisasi Polri. Berdasarkan laporan atau pengaduan tersebut Propam kemudian melakukan pemeriksaan pendahuluan.
92
Apabila dari hasil pemeriksaan pendahuluan diperoleh dugaan kuat telah terjadi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, maka Propam mengirimkan berkas perkara kepada Pejabat yang berwenang dan mengusulkan untuk dibentuk Komisi Kode Etik Polri untuk selanjutnya dilakukan sidang guna memeriksa Anggota Polri yang diduga melanggar Kode Etik Profesi Profesi Polri untuk dijatuhkan putusan yang bersifat final. 98 Peraturan disiplin Polri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Ruang lingkup berlakunya peraturan disiplin anggota polri ini tidak terbatas pada anggota polri saja, namun demikian diperluas meliputi mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tunduk yang berlaku bagi anggota polri, bahkan dikecualikan tidak berlaku bagi anggota polri yang sedang menjalani pidana penjara. Perlu dipahami, bahwa didalam organisasi kepolisian terdiri dari personil anggota polri dan pegawai negeri sipil yang bertugas di lingkuran organisasi polri. Perluasan lingkungan berlakunya bagianggota PNS yang bekerja di lingkungan Polri, karna eksistensinya dapat mempengaruhi kinerja Organisasi polri.99 Pandangan / sorotan negatif kepada Polri tidak lepas dari ulah, sikap dan perilaku dari petugas Polisi dalam pelaksanakan tugas. Tidak jarang masih ada oknum oknum Polisi yang kadang berbuat tercela dan
98
PudiRahardi, Op.Cit.Hal 172 Sadjijon.Memahami Hukum Kepolisian, LAKSBANG Presindo Yokyakarta. 2010.
99
Hal. 202.
93
nakal sehingga menodai citranya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Masyarakat berpendapat proses seleksi masuk menjadi anggota Polri pun harus menggunakan uang, dan hal inilah yang dimanfaatkan oleh Brigadir TS dan AKP BU untuk mendapatkan keuntungan secara finansial sehingga perbuatan keduanya telah terbukti benar melakukan perbuatan pelanggaran disiplin dan merusak citra serta kehormatan Polri. Berdasarkan hal tersebut, dalam penanganan kasus yang ada dalam hasil penelitian menyebutkan bahwa kedua oknum Polri yang melakukan pelanggaran disiplin tersebut telah diperiksa dan dijatuhi hukuman disiplin oleh KA SPN Purwokerto yang dalam hal ini bertindak sebagai ANKUM (Atasan yang berhak menghukum). Mekanisme tentang bagaimana cara penjatuhan hukuman disiplin terhadap anggota polri yang melakukan pelanggaran disiplin dan atau juga merupakan tindak pidana dapat dilihat dari bagan dibawah ini. Anggota Polri Kasus
Ankum/Provos
Bidbinkum
Kapolda/Pimpinan Eksternal/Peradilan
BAP Minta saran BAP
LAP
Disiplin Penjatuhan Hukuman
Sidang
Saran PU
PU
94
Dari skema tersebut dapat diketahui bahwa proses penanganan kasus penggelapan yang dilakukan oleh AKP BU dan Brigadir TS, baik pelanggaran dan tindak pidana yang dilaporkan, ditemukan, dan tertangkap tangan akan diperiksa oleh Provos untuk dibuatkan pemberkasan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan dan diserahkan kepada ANKUM. Provos melakukan hal tersebut atas perintah Ankum sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003. Provos dalam penerapan pasal terhadap kasus penggelapan dikenakan pasal 5 huruf a dan atau Pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 yaitu mengenai pelanggaran disiplin Polri. Berdasarkan Pasal 21 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia dan Pasal 28 Kep.Kapolri Nomor Pol: Kep/43/X/2004 Ankum diharuskan untuk meminta saran dan pendapat hukum kepada fungsi Pembina Hukum dalam hal ini Bidang Pembinaan Hukum. Bidang Pembinaan Hukum dalam penerapan Pasal terhadap penggelapan dikenakan Pasal 5 huruf a dan atau Pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Penggelapan juga merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut haruslah jelas karena berdasarkan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa anggota Polri tunduk pada Peradilan Umum, sehingga dapan
95
dilakukan sidang disiplin dan atau dilanjutkan untuk diproses secara pidana. Pemberian saran pendapat hukum yang sudah selesai, berkas perkara dikembalikan kepada Ankum/ Provos, yang selanjutnya kewenangan untuk dilaksanakan atau tidaknya sidang disiplin dan untuk dilanjutkan ke Peradilan Umum adalah keputusan dari Ankum. Apabila Ankum menghendaki untuk dilaksanakan siding disiplin, maka Provos yang bertugas untuk melaksanakan sidang disiplin atas perintah Ankum. Namun bila akan diajukan ke Peradilan Umum, maka Provos membuat surat pengantar untuk diserahkan ke Reskrim guna dilakukan penyelidikan dan diproses secara pidana. Sidang disiplin yang dilaksanakan akan menentukan hukuman disiplin bagi si pelaku. Hukuman disiplin tersebut sesuai dengan Pasal 9 Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri dan Pasal 11 Kep/42/XI/2004. Penjatuhan hukuman disiplin tersebut diatas terdiri dari 7 (tujuh) jenis hukuman disiplin yang bisa dijatuhkan secara alternative atau kumulatif. Penjatuhan secara alternative adalah Penjatuhan hukuman disiplin hanya dikenakan satu jenis hukuman saja, sedangkan penjatuhan hukuman secara kumulatif adalah penjatuhan hukuman bisa lebih dari satu jenis hukuman disiplin. Pelaku yang telah menjalani hukuman disiplin tersebut, setelah selesai harus meminta rehabilitasi kepada Bidpropam dalam hal ini Kasi Rehab yang akan membantu dalam pemulihan nama baik dan
96
memberikan keputusan pengakhiran hukuman yang nantinya dapat digunakan antara lain untuk mengikuti kenaikan pangkat, mengikuti pendidikan, untuk memperoleh jabatan kembali. Bagi anggota yang diproses pidana, maka disang disiplin tetap dilaksanakan dan proses pidana tetap dilanjutkan. Pelanggaran
disiplin
terbagi
menjadi
2
kategori
yaitu
pelanggaran disiplin murni dan pelangaran disiplin tindak murni. Pelanggaran disiplin murni adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan peraturan kedinasan. Pelanggaran disiplin tidak murni adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar ketentuan ketentuan dalam Hukum Pidana. Dan perbuatan yang dilakukan oleh Brigadir TS adalah termasuk suatu jenis pelanggaran disiplin tidak murni karena didalam perbuatan pelanggaran disiplin telah terjadi perbuatan pidana yaitu penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 372 KUHP. ANKUM berdasarkan pada Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri dalam sidang disiplin memutuskan untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada Brigadir TS yang tertuang didalam Surat Keputusan Hukuman Disiplin Nomor Pol. : SKHD/01/VII/2007 tanggal 15 Juli 2007 berupa penundaan pangkat untuk paling lama 1 (satu ) tahun dan penempatan diruang khusus selama 15 (lima belas) hari. AKP BU juga dinyatakan terbukti bersalah
97
secara syah dan meyakinkan melakukan pelanggaran disiplin berupa Mengurusi, mensponsori dan atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf m Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Atas dasar hal tersebut, ANKUM menjatuhkan hukuman disiplin kepada AKP BU berupa teguran tertulis dan mutasi yang bersifat demosi. Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri, menyatakan bahwa apabila ternyata pelanggaran disiplin tersebut juga merupakan tindak pidana maka penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan. Mengacu pada ketentuan Pasal 12 ini, seharusnya Brigadir TS yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin dan juga penggelapan dituntut secara pidana dalam Peradilan Umum seperti yang terjadi pada AKP BU. AKP BU selain mendapatkan hukuman disiplin dalam sidang disiplin juga mendapatkan sanksi pidana berupa pidana penjara selama 4 bulan dan membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,- ( dua ribu lima ratus rupiah). AKP BU yang dijatuhi hukuman pidana 4 bulan penjara berdasarkan suatu keputusan yang sah dan berkekuatan hukum tetap dapat diberhentikan dengan tidak hormat berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 dan juga perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur Pasal 15 PERKAP
98
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri, yaitu ”Anggota Polri yang diputus pidana dengan hukuman penjara minimum 3 (tiga) bulan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat direkomendasikan oleh anggota sidang komisi kode etik Polri tidak layak untuk tetap dipertahankan sebagai anggota Polri.” Untuk pelanggaran yang sama antara Brigadir TS dan AKP BU, AKP BU dihukum sanksi pidana dan juga hukuman disiplin sedangkan yang satunya lagi yaitu Brigadir TS tidak diterapkan sanksi pidana dan hanya dijatuhi hukuman disiplin saja, dengan pertimbangan karena AKP BU tidak dapat mengembalikan uang yang telah digelapkan kepada korban. Dalam perspektif peradilan pidana, pengembalian uang penggelapan
tidak
menghapus
penjatuhan
hukuman
pidana,
pengembalian uang tersebut hanya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan hakim sebagai unsur yang dapat meringankan hukuman yang nantinya akan dijatuhkan kepada terdakwa. Disamping itu, terjadinya perbedaan sanksi juga memperlihatkan terjadinya suatu ketidakadilan dalam suatu penerapan hukuman / penerapan sanksi. Penjatuhan hukuman/penerapan sanksi terhadap anggota Polri, sesuai dengan konsep Hukum Adminstrasi Negara, seharusnya penerapan sanksi tesebut harus memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUNomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang mengatur
99
ketentuan mengenai adanya asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi : a. Asas kepastian hukum (principle of legal security); b. Asas keseimbangan (principle of proportionality); c. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality); d. Asas bertindak cermat (principle of carefulness); e. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation); f. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of Nomorn misuse of competence); g. Asas permainan yang layak (principle of fair play); h. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness); i. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of j. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the concequences of annulled decision); k. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal may of life); l. Asas kebijaksanaan (sapientia); m. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service) Salah satu asas-asas umum penyelenggaraan negara yaitu asas kepastian hukum yang artinya asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Sehingga setiap tindakan pemerintah harus sesuai dan berdasarkan atas Perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan asas kepastian hukum dalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, penjatuhan hukuman terhadap kedua oknum POLRI di SPN Purwokerto tersebut harus berdasarkan pada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah berdasarkan Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
100
Republik Indonesia dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Penjatuhan Disiplin Polri. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, prosedur penyelesaian pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh kedua oknum tersebut harus diterapkan ketentuan yang sama, karena jenis dan tingkatan pelanggarannya juga sama, sehingga apabila tidak ditaatinya asas kepastian hukum, maka akan menimbulkan suatu ketidak adilan hukum. Menurut Ridwan HR, asas keadilan dan kewajaran menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap orang. Karena itu setiap pejabat pemerintah dalam melakukan tindakannya harus selalu memerhatikan aspek keadilan ini. Sedangkan asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah atau administrasi negara memerhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.100 Perbedaan hukuman yang diterapkan terhadap Brigadir TS dan AKP BU disamping tidak sesuai dengan asas keadilan, juga tidak sesuai dengan asas keseimbangan. Asas keseimbangan menghendaki Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai juga persamaan perlakuan
100
Ridwan H.R., Op. Cit., hlm. 258.
101
sejalan dengan kepastian hukum. Sehingga terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada dalam peraturan perundangundangan yang berlaku.101 Perbedaan penjatuhan sanksi tersebut juga telah bertentangan dengan asas kesamaan dalam mengambil keputusan. Asas ini menghendaki agar badan pemerintah mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama.102 Meskipun tidak ada kasus yang mutlak sama dengan kasus lain kendatipun tampak serupa, maka ketika pemerintah menghadapi berbagai kasus yang tampaknya sama itu, ia harus bertindak cermat untuk mempertimbangkan titik-titik persamaan.103 Seharusnya KA SPN Purwokerto yang berlaku sebagai Ankum mengambil tindakan yang sama dalam pengambilan tindakan penjatuhan sanksi dalam kasus yang sama, karena pelanggaran yang dilakukan oleh Brigadir TS dan AKP BU merupakan kasus yang sama, sehingga dalam penjatuhan hukumannya pun harus berdasarkan asas kesamaan dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, sudah seharusnya bahwa sanksi yang diterapkan kepada Brigadir TS dan AKP BU adalah berupa hukuman / sanksi yang sama yaitu hukuman disiplin dan juga sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
101
Ibid.,hlm246-247. Ibid., Hlm. 247. 103 Ibid., Hlm. 248. 102
102
B. Upaya Polri dalam menciptakan disiplin anggota di Sekolah Polisi Negara ( SPN) Purwokerto Polri sebagai bagian dari penegak hukum di Indonesia, mempunyai tugas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tujuan tersebut di atas tentunya tidak akan terwujud apabila tidak dilakukan dengan dedikasi tinggi, disiplin serta profesionalisme dari para anggota Polri itu sendiri untuk berusaha melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik dan bertanggung jawab. Bertolak dari arti pentingnya kedisiplinan bagi anggota Polri sebagai penegak hukum, pemerintah telah menerbitkan peraturan perundangundangan yang khusus mengatur tentang kedisiplinan anggota Polri, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia bahwa Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi. Dalam Kamus Besar
103
Bahasa Indonesia dijelaskan pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Menurut Liliana Tedjosaputro, agar suatu lapangan kerja dapat dikategorikan sebagai profesi diperlukan: 1. Pengetahuan; 2. Penerapan keadilan (competence of Pemerintahlication); 3. Tanggung jawab sosial (sosial responsibility); 4. Self control; 5. Pengakuan oleh masyarakat (social sanction).
aPeraturan
Mendasarkan pada syarat profesi tersebut di atas, terlihat bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memenuhinya sehingga dapat dikatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan profesi. Selanjutnya, guna menjamin kemampuan profesi kepolisian dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, disebutkan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut. Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu bahwa:
104
(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. (3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri. Sebagai tindak lanjut atas ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut di atas, telah diterbitkan Peraturan Kapolri Nomor Pol. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang isinya memberikan pedoman bagi anggota Polri dalam bertindak dan menjalankan tugasnya. Namun demikian, segala pengaturan tentang kedisiplinan dan etika tersebut di atas tentunya tidak akan dapat berjalan dengan efektif tanpa adanya upaya penegakannya. Upaya penegakan disiplin dan Kode Etik Kepolisian sangat dibutuhkan guna terwujudnya pelaksanaan tugas yang dibebankan dan tercapainya profesionalisme Polri. Sangat tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, apabila penegak hukumnya sendiri (Polri) tidak disiplin dan tidak profesional. Ketidakdisiplinan dan
105
ketidakprofesionalan Polri akan sangat berdampak dalam hal penegakan hukum atau pengungkapan kejahatan yang terjadi di masyarakat. Kondisi melemahnya disiplin dan profesionalisme anggota Polri yang terjadi pada saat ini mulai sering menjadi pembicaraan masyarakat luas. Dengan sering diberitakannya di berbagai media massa mengenai tindakan indisipliner yang dilakukan oleh anggota Polri, misalnya adanya anggota Polri yang terlibat dalam tindak pidana seperti dibahas dalam tulisan ini, tindakan sewenang-wenang anggota Polri, dan masih banyak kasus lain yang menggambarkan kurang disiplinnya anggota Polri, menjadikan keprihatinan sendiri bagi masyarakat terkait dalam pelaksanaan tugas pokok Polri yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dari pengamatan sementara terhadap penegakan disipilin, kode etik dan penegakan hukum terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana yang terjadi selama ini terdapat kerancuan atau ketumpangtindihan
penggunaan
dasar
hukumnya,
yakni
antara
penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Kapolri Nomor Pol. 7 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Misalnya saja terdapat salah seorang anggota Polri yang melakukan
106
tindak pidana penggelapan seperti yang dilakukan oleh oknum Polri Brigadir TS dan AKP BU, dalam hal ini jelas anggota Polri tersebut melakukan perbuatan tindak pidana, namun dalam praktiknya terhadap anggota Polri tersebut hanya dikenai tindakan disiplin, dan masih banyak lagi contoh lain. Sekolah Polisi Negara Purwokerto disingkat SPN Purwokerto adalah unsur pelaksana Pendidikan pada Polda Jawa Tengah yang berada dibawah Kapolda Jawa Tengah. Sekolah Polisi Negara Purwokerto bertugas menyelenggarakan Pendidikan Pembentukan Bintara Polri, Pelatihan Bintara Opsnal Polri serta Pendidikan dan Pelatihan lain sesuai dengan Program / bijak Pimpinan Polda Jawa Tengah.Dalam
melaksanakan
tugasnya
SPN
Purwokerto
menyelenggarakan Fungsi 104 : a. Penyelenggaraan Pendidikan Pembentukan Bintara Polri, Pendidikan Kejuruan dan Pelatihan Bintara Opsnal Polri serta Pendidikan dan Latihan lain yang dibebankan berdasarkan Program Pendidikan dan Pelatihan. b. Pembinaan Kepribadian termasuk kepemimpinan, disiplin dan tata tertib serta nilai-nilai moral dan etika profesi peserta didik / pelatihan. c. Menyelenggarakan kerjasama bidang pendidikan dan pelatihan dengan lembaga fungsi Kepolisian lainnya, dalam rangka pengembangan dan peningkatan penyelenggaraan pendidikan dan Pelatihan. d. Pembinaan dan penyelenggaraan pendidikan / pelatihan terhadap pengemban fungsi Kepolisian lainnya sesuai program kerjasama dengan pihak lain. e. Pembinaan dan penyelenggaraan peningkatan kemampuan tenaga pendidik / instruktur.
104
www.jateng.polri.go.id/home.php?menu=94
107
Sekolah Polisi Negara Purwokerto disingkat SPN Purwokerto adalah unsur pelaksana pendidikan Polda Jawa Tengah yang terdiri dari: a. Unsur Pimpinan. Kepala Sekolah Polisi Negara Purwokerto disingkat Ka SPN Purwokerto. b. Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf Sekretariat Lembaga disingkat Setlem, yang pelaksanaan tugasnya dibantu oleh : - Urusan Perencanaan, disingkat Urren. - Urusan Administrasi, disingkat Urmin - Urusan Tata Usaha, disingkat Urtu. - Urusan Dalam, disingkat Urdal. - Unit Provoost, disingkat Unit Prov. c. Unsur Pelaksana Staf Khusus dan Pelayanan, terdiri dari : - Poliklinik - Bendahara Satuan, disingkat Bensat d. Unsur Pelaksana - Bagian Pengajaran dan Pelatihan disingkat Bagjarlat - Korps Siswa, disingkat Korsis terdiri dari :Tenaga Pendidik / Instruktur, disingkat Gadik / Instruktur. Sekolah Polisi Negara Purwokerto dipimpin oleh Kepala Sekolah Polisi Negara Purwokerto disingkat Ka SPN Purwokerto, yang bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa tengah.
108
Dalam hal berhalangan melaksanakan tugasnya Ka SPN Purwokerto diwakili oleh Sekretaris Lembaga ( Seslem ) atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ka SPN Purwokerto. Ka SPN Purwokerto bertugas menyelenggarakan pendidikan pembentukan Bintara, Pelatihan Bintara Opsnal Polri serta pendidikan dan Pelatihan lain sesuai dengan Program dan bijak Pimpinan Polda Jawa Tengah. Dalam pelaksanaan tugasnya Ka SPN Purwokerto berkewajiban : 1) Mengajukan saran dan Pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Cq. Wakil Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah tentang penyelenggaraan pendidikan dan Latihan. 2) Berdasarkan Rencana Kerja Polda Jawa Tengah menetapkan Rencana Kerja SPN Purwokerto. 3) Menentukan kebijaksanaan pelaksanaan dan pengambilan Keputusan dalam rangka memimpin SPN Purwokerto guna terselenggarannya fungsi SPN. 4) Membina disiplin, tata–tertib dan kesadaran hukum dilingkungan SPN Purwokerto. 5) Melaksanakan tugas lain yang berhgubungan dengan tugas Ka SPN Dalam rangka menegakan disiplin anggota, KA SPN Purwokerto sesuai fungsinya bertugas untuk melakukan Pembinaan Kepribadian termasuk kepemimpinan, disiplin dan tata tertib serta nilai-nilai moral dan etika profesi baik bagi personil SPN Purwokerto maupun peserta didik / pelatihan. Yang dalam pelaksanaan hariannya dilaksanakan oleh Unit Provos SPN Purwokerto. Upaya upaya tersebut dilakukan dengan upaya Preventif maupun represif. Contoh upaya preventif yang dilakukan oleh Unit Provost SPN Purwokerto dilakukan dengan cara-cara antara lain : a. Membuat rencana Kegiatan Penegakkan, kedisiplinan personel SPN Purwokerto,
ketertiban
dan
109
b. Melaksanakan pemeliharaan ketertiban dan menegakkan Urusan dalam dilingkungan SPN Purwokerto, c. Melaksanakan Pemeriksaan Surat nyata diri, gampol, sikap tampang, kendaraan dinas dan kendaraan Personel baik Polri maupun PNS secara berkala, d. Melaksanakan Pengamanan markas, kesatuan, asrama dilingkungan SPN Purwokerto, baik Pengamanan VIP, proyek Vital, gudang Senpi, dokumen dinas dan barang – barang Inventaris Kantor termasuk pengamanan terhadap kegiatankegiatan yang bersifat protokoler, e. Melaksanakan upaya binluh hukum dan kedisiplinan secara berkala dan terprogram. Sedangkan upaya penegakan disiplin secara represif, dilakukan sesuai prosedur penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan PemerintahNomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri, apabila benar telah terjadi perkara pelanggaran disiplin. Dalam mewujudkan Polri yang disiplin dalam melaksanakan tugasnya dalam mengatur ketertiban masyarakat, perlu adanya strategi dalam mewujudkan citra Polisi yang baik dalam pemerintahan. Hal itu dapat dilakukan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.105 a.
Program Jangka Pendek ( 1 Tahun ) 1. Peningkatan kualitas Penyidik Provos Polda, 2. Meningkatkan kesadaran dan kepatuhan anggota Polri terhadap disiplin. 3. Pengadaan dan pengelolaan sarana pendukung tugas penegakan Hukum Disiplin. 4. Membangun pemahaman masyarakat tentang pelaksanaan penegakkan hukum disiplin anggota Polri sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kinerja Polri kepada masyarakat.
105
Agus Wijayanto, 2010. Tesis :Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota Polri guna mewujudkan Good governance dan Clean government Di internal polri Dalam rangka memantapkan citra Polri. Semarang
110
b.
Program Jangka Sedang ( 3 Tahun ) Dilaksanakan secara paralel dengan pelaksanaan kegiatan pada program Jangka Pendek, dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut: 1. Membangun dan memelihara komitmen Pimpinan Polri untuk tegaknya disiplin, anggota Poiri. 2. Melakukan kerja sama dengan Lembaga Kompolnas dalam rangka mempersiapkan dan mendukung peran Kompolnas tidak hanya sebatas pemberi saran kepada Presiden tentang kinerja Polri, akan tetapi juga sebagai kontrol sekaligus mitra bagi Polri dengan saling tukar informasi. 3. Memelihara dan meningkatkan hubungan kerja sama dengan media sehingga dapat berperan sebagai kontrol bagi anggota Polri, untuk tetap berpartisipasi aktif secara proporsional dengan penyebaran informasi yang tidak tendensius bahkan mengarah kepada fitnah dalarn penegakkan hukum disiplin anggota Polri. 4. Memelihara dan meningkatkan motivasi/dedikasi penegak hukum disiplin Polri.
c.
Program Jangka Panjang ( 5 Tahun ) Dilaksanakan secara Paralel bersamaan dengan Pelaksanaan kegiatan pada program Jangka Pendek dan Jangka Sedang, dengan melaksanakan kegiatan sebagai berikut : 1. Perbaikan atau merevisi aturan hukum disiplin. 2. Mengimplementasikan nilai-nilai paradigma baru Polri sebagai polisi yang berwatak sipil dan nilai-nilai reformasi Polridalam proses penegakkan hukum disiplin anggota Polri 3. Membangun dan memelihara hubungan kerja sama dengan pihak kontrol eksternal lainnya seperti DPR, Komnasham maupun BPK dengan maksud saling bertukar informasi secara proporsional dalam kaitan peningkatan penegakan hukum disiplin anggota Polri.
111
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Penerapan hukuman disiplin terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana di Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto : Penegakan hukum disiplin Polri terhadap anggota Polri yang melakukan tindak Pidana di SPN Purwokerto, khususnya dalam kasus tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh Brigadir TS dan AKP BU
menunjukkan
adanya
inkonsistensi
penerapan
hukum.
Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri, AKP BU dapat diberhentikan Tidak Dengan Hormat dari Dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana, dan telah memperoleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan penerapan sanksi terhadap Brigadir TS, hanya berupa hukuman disiplin saja tanpa mendapat sanksi pidana pada Peradilan Umum, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa pemberian hukuman disiplin
112
tidak menghapuskan tuntutan terhadap tindak pidana. Penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap kedua oknum tersebut telah memperlihatkan bahwa tidak terselenggaranya asas kepastian hukum, asas keseimbangan, asas keadilan dan kewajaran dan asas kesamaan dalam mengambil keputusan yang merupakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang seharusnya menjadi pedoman pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. 2. Upaya Polri dalam menciptakan disiplin anggota di Sekolah Polisi Negara (SPN) Purwokerto : Upaya yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini SPN Purwokerto adalah dengan upaya penegakan disiplin secara preventif yang bertujuan untuk mencegah adanya pelanggaran disiplin anggota Polri dan juga upaya penegakan disiplin secara represif yang dilakukan sesuai prosedur penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri, apabila benar telah terjadi perkara pelanggaran disiplin.
113
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis memberikan saran yaitu : 1)
Dalam penjatuhan sanksi terhadap anggota Kepolisian Republik Indonesia,
hendaknya
disamping
memperhatikan
Peraturan
Perundang-Undangan yang tertulis, seharusnya juga memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). 2)
Salah satu konsekuensi yuridis berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah anggota Polri tidak menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Berdasarkan hal tersebut, Penulis merekomendasikan agar diadakan perubahan/pembaharuan mengenai ketentuan yang berkaitan dengan status anggota Polri sebagai pegawai negeri dalamUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Asshiddiqie, Jimly. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Rajawali Pers. Basah, Sjachran. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara. Bandung : Alumni. Fernanda, Desi. 2003. Etika Organisasi Pemerintah. Jakarta :Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Hadisoeprapto, Hartono. 1993. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hadjon, Philipus M, dkk. 1999. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. Ibrahim, Johny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia. Indrawijaya, Adam. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Kadafi, Binziad. 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimas; Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK). K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Koentjoro, Diana Halim. 2004. Hukum Administrasi Negara. Jakarta :Ghalia Indonesia. Kunarto. 1997. Perilaku Organisasi POLRI. Jakarta: PT CIPTA MANUNGGAL. Lubis, Suhrawardi K..Etika Profesi Hukum. Sinar Grafika, Jakarta 2006 Marbun, SF dkk. 2002. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : UII Pers Marbun, S.F. dan Moh. Mahfud Md. 1997. Pokok-Pokok Hukum Administrasi. Yogyakarta : Liberty.
Marzuki, Peter Mahmud. 2007.Penelitian Hukum Normatif (cet.ke-7). Jakarta: Kencana. Muchsan. 1982. Hukum Kepegawaian. Jakarta :Bina Aksara Muslimin, Amrah. 1985. Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi. Bandung : Alumni. Mustafa, Bachsan. 1985. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remadja Karya P. A. F. Lamintang,Theo Lamintang. 2010. PEMBAHASAN KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi. Bandung : SINAR GRAFIKA. Rahardi, Pudi. 2007. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI), Surabaya: Laksbang Mediatama. Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers. Sadjijono. 2010. Memahami Hukum Kepolisian, LAKSBANG Presindo Yokyakarta. Soehino. 1984. Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta: Liberty. Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. ________________ dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Raja grafindo Persada. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius, Yogyakarta : 1975). Tabah, Anton. 1996. Polisi Budaya dan Politik. Klaten: CV Sahabat. _______1998.Reformasi Kepolisian, Klaten: CV Sahabat. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
B. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. TAP MPR Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-UndangNomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Polri. Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Organisasi Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri C. Sumber Lain www.jateng.polri.go.id/home.php?menu=94. Diakses pada tanggal 12 November 2014. http://id.shvoong.com/social-sciences/2159592-pengertian-dan-definisietika-menurut/#ixzz1t7BCc8fs.Diakses pada tanggal 15 November 2014.