PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DILIHAT DARI ASPEK KEBIJAKAN KRIMINAL PADA SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL MUI UNTUK PRODUK PENYEDAP MAKANAN AJI-NO-MOTO
SKRIPSI
Oleh : MASERATIH DEWINTHA E1A008109
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DILIHAT DARI ASPEK KEBIJAKAN KRIMINAL PADA SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL MUI UNTUK PRODUK PENYEDAP MAKANAN AJI-NO-MOTO Oleh: MASERATIH DEWINTHA E1A008109 Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan Pada Tanggal ......... Mei 2012
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Penguji,
I Ketut Karmi. N, S.H.,M. Hum NIP. 19610520 198703 1 002
Sunaryo, S.H., M. Hum NIP. 19531224 198601 1 001
Eti Purwiyantiningsih, S.H., M.H NIP. 19610707 198803 2 002
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini: NAMA
: MASERATIH DEWINTHA
NIM
: E1A008109
JUDUL
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DILIHAT DARI ASPEK KEBIJAKAN KRIMINAL PADA SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL MUI UNTUK PRODUK PENYEDAP MAKANAN AJI-NO-MOTO
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila penulisan Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum. Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Purwokerto, 30 Mei 2012
MASERATIH DEWINTHA NIM. E1A008109
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DILIHAT DARI ASPEK KEBIJAKAN KRIMINAL PADA SERTIFIKASI DAN LABELISASI HALAL MUI UNTUK PRODUK PENYEDAP MAKANAN AJI-NO-MOTO”. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada: 1. I Ketut Karmi. N, S.H., M.Hum selaku pembimbing I Skripsi sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini; 2. Sunaryo, S.H., M. Hum selaku pembimbing II Skripsi yang telah memberikan waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini; 3. Eti Purwiyantiningsih, S.H., M.H selaku dosen penguji skripsi atas segala bantuan, arahan dan masukan yang telah diberikan untuk skripsi ini; 4. Hj. Rochani Urip Salami, S.H, M.S, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 5. Edi Waluyo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata yang telah memberikan saran, kritik, dan arahan demi kesempurnaan skripsi ini;
6. Orang tua (Sukestopo Kardiasworo dan Tri Abri Marhaeningsih) dan adik-adikku yang cantik Nadia Nurmalasari dan Melviana Ainun Fajri yang selalu memberikan semangat dan motivasi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 7. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan sehingga dapat dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini, beserta karyawan dan staf Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 8. Ir. Hendra Utama selaku Auditor LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) Bogor yang telah memberikan ijin, bantuan dan informasinya kepada penulis untuk melakukan penelitian di LPPOM MUI Bogor; 9. Tiodora M. Sirait, S.H., M.H., selaku Kasubag Penyuluhan Hukum, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Jakarta dan keluarga yang telah memberikan ijin, bantuan dan informasinya kepada penulis untuk melakukan penelitian; 10. Tulus Abadi selaku anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta yang telah memberikan memberikan bantuan, informasi, data dan arahan selama melakukan penelitian; 11. Keluarga besar M. Soedijo dan Oerip Martodiharjo yang telah memberikan kasih sayang, mendoakan, perhatian dan dukungannya selama ini kepada penulis; 12. Sahabat-sahabat sekaligus saudara, Anita Meriam, Nuri Amallia, Lia Amalia, Kartika Aprilia Sukardi, Kiki Amalia, Shinta Listya Dewi, Fitri Ayu Respani dan
Maya Ruhtiani (Genkce ) aku sayang kalian. Terima kasih atas segala bantuannya, dukungan doa serta semangatnya, tanpa kalian semua sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 13. Semua teman-teman se-angkatan (2008) maupun yang tidak se-angkatan, terima kasih atas segala doa, masukan dan dukungannya; 14. Keluarga besar Marching Band Bahana Putera Soedirman (MB BPS) Universitas Jenderal Soedirman. Kalian adalah pelajaran hidup yang sangat berharga bagi penulis. Terima kasih atas doa, perhatian, dukungan, kasih sayang dan cintanya tim. Be The Best, Do The Best & For The Best Tim!! One Band One Sound... 15. Teman-teman KKN Desa Kenteng 2011, Subana, Didit, Ulfa “si rempong”, Erma “miss jutek”, Ririn “miss reject”, Raras “miss galau”, Linda “dokter galau”, kalian tim yang paling the best ... Terima kasih atas doa dan dukungan serta semangatnya; 16. Semua pihak-pihak yang ikut menbantu penulis dalam menyusun skripsi ini, namun tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu dalam prakata ini; Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Purwokerto, 30 Mei 2012
MASERATIH DEWINTHA NIM. E1A008109
ABSTRAK Penanganan masalah halal pada produk pangan di Indonesia memiliki dua hal yang saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi halal. Hal ini merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Pemerintah kepada konsumen agar mendapatkan hak yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 huruf (c) UUPK yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Apabila pelaku usaha ternyata melanggar hak tersebut maka pemerintah akan memberikan perlindungan hukum berupa penerapan kebijakan kriminal. Menurut teori kebijakan kriminal dibagi menjadi dua yaitu kebijakan penal (penerapan sanksi termuat dalam Pasal 61-63 UUPK) dan kebijakan non penal (pembinaan dan pengawasan termuat dalam Pasal 29 dan 30 UUPK). Penelitian ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan adanya data sekunder maupun data primer mengenai sertifikasi dan labelisasi halal. Melalui penelitian studi kepustakan yang kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode normatif kualitatif yang akhirnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Pada hasil penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa secara garis besar pemerintah telah melakukan kewajibannya dalam memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Namun dengan dikeluarkannya SP3 oleh pihak kepolisian tehadap kasus AJI-NO-MOTO, maka upaya perlindungan hukum dengan sarana penal dianggap belum memberikan jaminan terhadap masyarakat. Kata kunci : Perlindungan Hukum, Kebijakan Kriminal, Sertifikasi dan Labelisasi Halal.
ABSTRACT Handling of halal food products in Indonesia has two things are interrelated, that is halal certification and labeling. This is one form of legal protection provided by the Government to the consumers in order to get the rights as stipulated in Article 4 (c) UUPK the right to correct information, clear and honest about the condition and security of goods or services. If the bussiness was violating the rights of the government would provide legal protection in the form of the application of criminal policy. According to the theory of criminal policy is divided into two types: penal policy (sanctions set forth in Article 61-63 UUPK) and non penal policy (establishment and supervision contained in Articles 29 and 30 UUPK). The research was carried out with normative juridical studies, using approaches legislation and the secondary data and primary data on halal certification and labeling. Through the bibliography research afterwards was processed and analyzed by using qualitative methods are ultimately normative presented in descriptive form. On these findings, the conclusion that in general the government has done his duty inproviding legal protection for consumers. But with the release of SP3 by police cosmos case AJI-NO-MOTO, efforts by means of penal law protection is deemed not to give assurance to the public. Keywords
: Legal Protection, Criminal Policy, Halal Certification And Labeling.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ...........................................................
iii
PRAKATA ...................................................................................
iv
........
ABSTRAK ....................................................................................... ........
viii
ABSTRACT ...................................................................................... ........
ix
DAFTAR ISI ................................................................................... ........
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Perumusan Masalah .................................................................
10
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
10
D. Kegunaan Penelitian .................................................................
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Konsumen ................................................
12
B. Konsumen dan Pelaku Usaha 1. Pengertian Konsumen ..........................................................
20
2. Hak dan Kewajiban Konsumen .............................................
22
3. Pengertian Pelaku Usaha ......................................................
26
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha .........................................
27
C. Kebijakan Kriminal ...................................................................
29
D. Halalan Thayiban dan Haram .....................................................
35
E. Sertifikasi dan Labelisasi Halal ..................................................
40
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ...................................................................
43
B. Spesifikasi Penelitian ................................................................
44
C. Lokasi Penelitian ......................................................................
44
D. Sumber Data ............................................................................
45
E. Metode Pengumpulan Data .......................................................
46
F. Metode Penyajian Data .............................................................
47
G. Metode Analisis Data ...............................................................
47
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian ........................................................................
48
B. Pembahasan .............................................................................
71
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................
105
B. Saran ......................................................................................
106
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran I. Proses Sertifikasi Halal dalam Bentuk Diagram Alir Lampiran II. Organisasi Badan POM Lampiran III. Sertifikat Halal PT. Ajinomoto
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan wajib bagi setiap konsumen, terutama konsumen muslim. Baik itu produk berupa makanan, obat-obatan maupun barang-barang konsumsi lainnya. Seiring besarnya kuantitas konsumen muslim di Indonesia yang jumlahnya mencapai 204,8 juta jiwa penduduk Indonesia1, maka dengan sendirinya pasar Indonesia m erupakan pasar konsumen muslim yang sangat besar. Oleh karena itu, jaminan akan produk halal menjadi suatu yang penting untuk mendapatkan perhatian dari negara. Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Melihat dari beberapa kasus belakangan ini tentang jaminan halal suatu produk terutama pada produk makanan, yaitu masih banyak pelaku usaha yang belum memberikan label halal pada produknya dan tidak ada sertifikat halalnya. Hal ini dapat mengakibatkan konsumen terutama konsumen muslim, sulit untuk membedakan produk mana yang benar-benar halal dan dapat dikonsumsi sesuai dengan syariat Islam. Halal 1
Vivanews. Riset: Jumlah Muslim RI Akan Digeser Pakistan: Data Tahun 2010. Diakses tanggal 5 Mei 2012.
bagi umat muslim merupakan syarat mutlak yang harus dijalankan, hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 168, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah SWT, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”
Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa, Tuhan menyuruh manusia memakan apa saja di dunia ini yang diciptakan-Nya, sepanjang batas-batas yang halal dan baik (thayibah). Selain ayat diatas masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al Qur’an yang berisi suruhan atau perintah agar manusia berhati-hati dalam memilih makanan, yaitu dalam memisahkan mana yang halal (dibolehkan) dan mana yang haram (tidak dibolehkan), cara memperoleh makanan itu, maupun memilih makanan mana yang baik dari segi kesehatan jasmani maupun rohani. Katagori halal dan haramnya suatu makanan sudah ditegaskan pula didalam Al-Qur’an yaitu pada surat Al-Maidah ayat 3, yaitu: “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat menyembelihnya. Dan diharamkan pula bagi kalian binatang yang disembelih di sisi berhala”.
Ayat di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu makanan dianggap haram apabila makanan tersebut berupa bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas serta diharamkan pula binatang yang disembelih di sisi berhala. Makanan dianggap halal apabila makanan tersebut terbebas dari apa yang
diharamkan sesuai dengan bunyi salah satu surat yang ada di dalam Al-Qur’an, misalnya dalam surat Al-Maidah ayat 3. Sebenarnya berbagai larangan telah dikenakan bagi para pelaku usaha. Prinsipnya konsumen berada di posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan. Konsumen disini semata-mata bergantung pada informasi yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha. Kenyataannya informasi yang diberikan tanpa disertai dengan edukasi akan kurang dirasakan manfaatnya. Hal ini antara lain dilakukan melalui pemasangan label dan/atau standarisasi mutu. Adanya labelisasi produk sangat penting dirasakan, terutama pada produk-produk makanan. Hal ini sangat berhubungan erat dengan nyawa manusia, sekurang-kurangnya ada 2 (dua) persoalan2, yaitu: a.
Masalah pelabelan,
yaitu
sampai seberapa jauh produk makanan
menyantumkan informasi secara lengkap tentang produk tersebut dalam pelabelan. b.
Bagaimana mutu produk itu sendiri.
Produk halal sendiri menurut definisi Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)3 adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai syari’at Islam. Produk itu tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak menggunakan alkohol sebagai ingridient yang sengaja ditambahkan, selain itu daging yang digunakan juga harus berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. Produk 2
John Pieris & Wiwik Sri Widiarty. Negara Hukum Dan Perlindungan Konsumen: Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa. (Pelangi Cendikia. Jakarta). Hlm. 6-7. 3 Tempo Interaktif, http://www.tempo.co.id/harian/fokus/56/2,1,24,id.html Diakses tanggal 4 Januari 2012.
makanan yang halal termasuk juga semua bentuk minuman yang tidak beralkohol. Semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan tempat transportasinya pun tidak tercampur dengan babi atau barang yang tidak halal lainnya. Tempat itu harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari'at Islam. Masalahnya, kategorisasi suatu produk halal atau haram menjadi lebih rumit saat berkembangnya teknologi pangan di Indonesia, contoh yang paling gampang yaitu penggunaan bahan-bahan tambahan dalam suatu produk. Di antara bahan-bahan tambahan itu banyak orang awam tidak mengetahui asal usulnya. Untuk itu diperlukan ahli yang dapat meneliti secara pasti apakah di antara bahan tambahan makanan itu ada yang mengandung lemak babi. Bahan yang dapat juga diperoleh melalui reaksi kimia dengan menggunakan bahan awal salah satu komponen yang berasal dari lemak babi seperti kasus AJI-NO-MOTO, yang kasusnya berawal pada bulan Desember tahun 2000. Kegemparan luar biasa, yakni ketika Presiden Abdurrahman Wahid melalui juru bicara kepresidenan, Wimar Witoelar menyatakan bahwa AJI-NO-MOTO itu halal. Bersamaan dengan itu, masyarakat dibuat heboh akibat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan AJI-NO-MOTO. Sehubungan dengan akan berakhirnya sertifikat halal dari MUI untuk AJI-NO-MOTO pada September 2000, maka PT. Ajinomoto Indonesia mengajukan perpanjangan sertifikat halalnya pada akhir Juni 2000. Audit kemudian dilakukan oleh LPPOM-MUI Pusat (2 orang), LPPOM-MUI Jatim, BPOM Surabaya dan dari Departemen Agama pada tanggal 7 Agustus 2000. Setelah
melakukan
audit,
ditemukan
bahwa
pengembangan
bakteri
untuk
proses fermentasi tetes
tebu
(molase)
mengandung bactosoytone (nutrisi
untuk
pertumbuhan bakteri itu). Bactosoytone sendiri merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai dengan biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi. Pada 7 Oktober 2000, Komisi Fatwa memutuskan bahwa Bactosoytone tidak dapat digunakan sebagai bahan dalam media pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG. PT. Ajinomoto Indonesia lalu diminta untuk mencari alternatif bahan pengganti bactosoytone. Sesuai dengan instruksi Komisi Fatwa, PT. Ajinomoto Indonesia mengganti bactosoytone dengan mameno dalam tempo 2 bulan. Setelah itu, LPPOM-MUI melakukan audit sehubungan dengan penggantian bactosoytone dengan mameno pada 4 Desember 2000. LPPOMMUI memutuskan mameno dapat digunakan dalam proses pembiakan mikroba untuk menghasilkan MSG. Komisi Fatwa melakukan rapat kedua pada 16 November 2000 dan LPPOM-MUI menyampaikan hasil rapat tersebut kepada PT. Ajinomoto Indonesia pada 18 Desember 2000, bahwa produk yang menggunakan bactosoytone dinyatakan Haram. MUI lalu mengirim surat kepada PT. Ajinomoto Indonesia pada 19 Desember 2000 yang berisikan perintah untuk menarik semua produk AJI-NO-MOTO yang diproduksi dan diedarkan sebelum tanggal 23 November 2000 (Produk yang dihasilkan setelah 23 November 2000 sudah menggunakan mameno). Sekertaris Umum MUI mengumumkan di media massa pada 24 Desember 2000, bahwa produk AJI-NOMOTO mengandung babi dan masyarakat diminta untuk tidak mengonsumsi bumbu masak AJI-NO-MOTO yang diproduksi pada periode 13 Oktober hingga 16 November 2000. Pengumuman MUI ini lalu ditindaklanjuti dengan pertemuan antara jajaran Departemen Perindustrian Dan Perdagangan, Departemen Agama, Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GPMI), Dirjen POM dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 2 & 5 Januari 2001 yang menghasilkan keputusan bahwa PT. Ajinomoto Indonesia harus menarik seluruh produknya di pasaran dalam negeri termasuk produk lain yang tidak bermasalah dalam jangka waktu 3 minggu terhitung dari 3 Januari 2001.4 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan hal ini jelas-jelas dapat dikatakan telah melanggar ketentuan yang terdapat pada ketentuan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) terutama pada Pasal 8 huruf (a), (f) dan (h) tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 5 Pasal 8 huruf (a) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 huruf (f) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 8 huruf (h) menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagai pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Hal ini juga jelas-jelas melanggar hak dari konsumen yang termuat pada Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Perlindungan
4
Rita Mulia. Manajemen Resiko: Sejarah Perusahaan Ajinomonto. http://ritamulia.blogspot.com/. Diakses tanggal 16 Januari 2012. 5 Hukum Online. YLKI Tidak Perlu Bukti Baru dalam Kasus Ajinomoto. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3460/ylki--tidak-perlu-bukti-baru-dalam-kasus-ajinomoto. Diakses tanggal 22 Maret 2012.
Konsumen, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak atas mendapatkan informasi ini sangat penting, karena dengan tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur disini dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan atau sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Hak konsumen dalam mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dalam hal ini telah dilanggar oleh pelaku usaha, maka untuk dapat mengembalikan seperti keadaan semula dibutuhkan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen. Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.6 Pada umumnya perlindungan hukum merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional. Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan 6
Hlm. 874.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Buku Satu. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Wanprestasi.7 Pengertian perlindungan hukum lainnya menurut Soedikno Mertokusumo yaitu, perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain.8 Kata perlindungan diatas menunjukkan adanya pelaksanaan atas penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-usaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami. Peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menyelesaikan kasus diatas adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Di dalam undang-undang tersebut berlaku ketentuan hukum yang memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen secara penal maupun non penal. Kedua sarana ini juga berkaitan dengan kebijakan kriminal dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Menurut Muladi sendiri, pengertian kebijakan kriminal adalah:9 Usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal disamping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan sarana non penal melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi, dan sebagainya. Berdasarkan pernyataan di atas maka dapat diketahui bahwa dalam upaya penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen masih banyak menyimpan
7
Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 1991).
8
Ibid. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Alumni: Bandung, 1985). Hlm. 182.
Hlm.9. 9
permasalahan klasik, dan konsumen disini masih sering menjadi korban daripada pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab. Hal ini terlihat pada saat pelaku usaha mengganti bahan dasar produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO tanpa memberitahukan kepada masyarakat. Jelas ini telah melanggar hak konsumen pada Pasal 4 huruf (c) UndangUndang Perlindungan Konsumen. Konsumen membutuhkan perlindungan hukum demi haknya kembali terpenuhi, maka dilakukanlah upaya perlindungan hukum yang ditinjau dari aspek kebijakan kriminal. Upaya ini dapat ditempuh dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan sarana penal (penanggulangan kejahatan dengan sistim peradilan pidana) dan sarana non penal (pembinaan dan pengawasan). Kasus AJI-NO-MOTO ini kiranya perlu di kaji lebih mendalam. Pertama, tentang bagaimana upaya perlindungan hukum bagi konsumen, terutama untuk konsumen muslim yang sangat membutuhkan kejelasan halal atau tidaknya produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO. Kedua, bagaimanakah keberpihakkan upaya perlindungan hukum tersebut kepada konsumen saat itu. Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan diatas, maka saya sebagai penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen yang dilihat dari aspek kebijakan kriminal melalui penelitian dan penulisan skripsi tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat Dari Aspek Kebijakan Kriminal Pada Sertifikasi Dan Labelisasi Halal MUI Untuk Produk Penyedap Makanan AJI-NO-MOTO”.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu perumusan masalah sebagai berikut: a.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dilihat dari aspek kebijakan kriminal pada sertifikasi dan labelisasi halal MUI untuk kasus AJINO-MOTO ini?
b.
Bagaimanakah keberpihakkan bentuk perlindungan hukum tersebut kepada konsumen itu sendiri?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dilihat dari aspek kebijakan kriminal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
b.
Mengetahui seberapa jauh perlindungan hukum terhadap konsumen itu dapat melindungi masyarakat yang menggunakan produk-produk yang beredar dipasaran Indonesia.
D.
a.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran pada Ilmu Hukum untuk kemudian memberikan kontribusi pada perkembangan bidang hukum dan masyarakat, memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran terhadap wacana kehalalan produk di Indonesia yang diwujudkan dalam sertifikasi dan labelisasi halal sebagai pengaturannya serta memberikan masukan dan membuka wacana dengan menambah referensi mengenai adanya keterkaitan hukum positif Indonesia dengan hukum lainnya.
b.
Kegunaan Praktis Secara praktis, hasil penelitian yang berfokus pada kebijakan kriminal perlindungan konsumen ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan daya kritis dan pola penulis sebagai implementasi pengetahuan hukum yang diperoleh selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum UNSOED, diharapkan juga dapat memberikan referensi serta wacana terhadap pihak-pihak yang terkait untuk membantu sinkronisasi antara hukum positif Indonesia dengan hukum-hukum lainnya serta memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat agar tetap menjalankan syariat Islam secara benar disamping tetap menjalankan fungsi dan peran sebagai warga negara Indonesia yang baik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hukum Perlindungan Konsumen
Terlebih dahulu penulis akan memaparkan apa yang dimaksud dengan definisi perlindungan hukum sebelum membahas hukum perlindungan konsumen. Pengertian Perlindungan
adalah
tempat
berlindung,
hal
(perbuatan
dan
sebagainya)
memperlindungi.10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memberikan definisi perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Definisi perlindungan yang lain tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengertian selanjutnya tentang hukum, menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, 10
Kamus Besar Bahasa Indonesia. www.artikata.com. Diakses tanggal 10 April 2012.
yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, definisi hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.11 Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Pada umumnya perlindungan hukum merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional. Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan Wanprestasi.13
11
Pengertian
perlindungan
hukum
lainnya
menurut
Soedikno
Putra. 2009. Definisi Hukum Menurut Para Ahli: www. putracenter.net. Diakses tanggal 10 April 2012. 12 Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Buku Satu. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). Hlm. 874. 13 Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 1991). Hlm.9.
Mertokusumo yaitu, perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain.14 Kata perlindungan diatas menunjukkan adanya pelaksanaan atas penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usahausaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami. Berdasarkan masing-masing definisi tentang perlindungan hukum di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian perlindungan hukum adalah: Suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.15 Hukum konsumen terdiri dari rangkaian peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perilaku orang dalam pergaulan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Orang-orang tersebut terutama dari (pengusaha) penyedia barang dan/atau jasa yang merupakan kebutuhan hidup manusia serta konsumen pengguna barang dan/atau jasa tersebut. Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalahmasalah konsumen itu terdapat didalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, antara lain hukum perdata, hukum internasional, terutama konvensikonvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Oleh karena itu, menjadi penting penggunaan instrumen-instrumen hukum perdata, hukum pidana, 14 15
Ibid. Rahayu. 2009. Pengangkutan Orang: etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 10 April 2012.
hukum administrasi, hukum internasional dan hukum-hukum acara yang berkaitan dengan instrumen hukum itu, dalam pembahasan hubungan dengan masalah perlindungan konsumen. Secara universal, berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar, ternyata konsumen umumnya berada pada posisi yang lebih rendah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, baik secara ekonomis, tingkat pendidikan, maupun kemampuan atau daya bersaing/ daya tawar. Kedudukan konsumen ini, baik yang bergabung dalam suatu organisasi apalagi secara individu, tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu, untuk menyeimbangkan kedudukan tersebut dibutuhkan perlindungan kepada konsumen. Adapun pokok-pokok dan pedomannya telah termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR.16 Sejalan dengan batasan hukum konsumen, maka hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.17 Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.
16
UUD 1945, Pembukaan Alinea 4 yang berbunyi “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...” 17 Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. (Jakarta: Daya Widya, 1999)., Hlm 66.
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat, bahwa hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.18 Ketentuan dalam KUH Perdata yang paling banyak digunakan atau berkaitan dengan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum mengenai hubungan dan masalah konsumen adalah pada Buku Ketiga KUH Perdata tentang Perikatan dan Buku Keempat KUH Perdata tentang Pembuktian dan Daluarsa. Buku Ketiga KUH Perdata memuat berbagai hubungan dalam perikatan, terjadi baik berdasarkan suatu perjanjian maupun yang lahir karena undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Hubungan hukum konsumen itu adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).19 Hal ini berkaitan dengan perjanjian jual beli dimana akan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Di dalam Buku Keempat KUH Perdata tentang Pembuktian dan Daluarsa terdapat ketentuan-ketentuan tentang beban pembuktian dan alat-alat bukti. Hal ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban para pihak apabila terjadi sengketa dalam jual beli. Kepustakaan ilmu ekonomi, digunakan berbagai istilah untuk kedua jenis konsumen tersebut. Di antaranya untuk konsumen dengan tujuan komersial digunakan istilah intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer, atau consumer of the industrial market, sedangkan bagi konsumen pengguna barang dan/atau jasa untuk keperluan sendiri, keluarga atau rumah tangga (konsumen non-komersial), digunakan 18 19
Ibid. Hlm. 64. Ibid. Hlm. 101.
istilah ultimate consumer, ultimate buyer, end user, final consumer atau consumer of the consumer market.20 Posisi konsumen yang dianggap lemah, maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Pendapat lainnya menyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. Az. Nasution berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.21 Az. Nasution menyatakan bahwa asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.22 Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu, tidak seimbang. 20
Lazo H., Marketing, Alexander Hamilton Institute, 1971, New York. Hlm. 61. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2000). Hlm.9. 22 Ibid. Hlm. 10. 21
Merupakan kenyataan bahwa kedudukan konsumen yang berjumlah besar itu, mempunyai kedudukan sangat lemah dibandingkan dengan para penyedia kebutuhan konsumen, baik penyedia swasta maupun pemerintah (publik) seperti dalam kasus AJINO-MOTO ini. Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang disahkan pada tanggal 20 April 1999. Dan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu disebutkan bahwa: “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen” Melalui pengertian perlindungan konsumen diatas, muncullah kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:23 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha; Konsumen mempunyai hak; Pelaku usaha mempunyai kewajiban; Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional; Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat; Keterbukaan dalam promosi barang dan/atau jasa; Pemerintah selalu berperan aktif; Masyarakat juga perlu berperan serta; Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang; Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap. Menurut pendapat Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyani, untuk sebuah usaha
perlindungan konsumen ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:24 23
Happy Susanto. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Visimedia: Jakarta, 2008). Hlm.5.
a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan melindungi kepentingan pelaku usaha pada umumnya; c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan; e. Memadukan penyelenggaraan, pengembanagn dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.
Seyogianya dengan demikian, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan untuk mengartikan hukum, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain yang tidak bertanggungjawab.25
B.
1.
Konsumen dan Pelaku Usaha
Pengertian Konsumen Pengertian konsumen yang ada didalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: 24
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyani ed, Op. Cit., hlm.7 dalam buku Happy Susanto, Ibid.
25
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2006). Hlm.12.
Hlm. 18.
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Penjelasannya menyebutkan bahwa: “Didalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.” Istilah konsumen berasal dari alih bahasa kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/ konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument itu tergantung dalam posisi nama ia berada.26 Mariam Darus mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu semua individu mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil.27 Munculnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor II/MPR/1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang penjelasan pengertian konsumen itu sendiri. Salah satu ketentuan normatif yang memberikan definisi/ pengertian konsumen adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan pemerintah mulai 5 Maret 2000). Undang-Undang ini memuat definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai 26
Az. Nasution. Op. Cit., Hlm. 3. Mariam darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional Dan Permasalahannya, (Kumpulan Karangan, Alumni: Bandung, 1981). Hlm. 48. 27
dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.28 Menurut Munir Faudy, konsumen adalah pengguna terakhir (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.29 Hakikatnya manusia sebagai konsumen dimulai sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, bahkan untuk kondisi tertentu anak yang masih dalam kandungan pun sudah menjadi konsumen yaitu konsumen yang berkaitan dengan kesehatan tambahan berupa susu, baik berupa susu bubuk, instan atau jenis susu yang lain yang dikonsumsi oleh ibu untuk kepentingan anak yang masih di dalam kandungan. Konsumen tidak hanya terbatas terhadap suatu benda dan/atau barang saja tetapi juga pada jasa. Contoh konsumen terhadap suatu benda yaitu antara lain perumahan, makanan dll, sedangkan yang berkaitan dengan jasa antara lain listrik, transportasi, pos, kesehatan, pendidikan dll. Pengertian konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka (2), menentukan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.30 Kalimat tidak untuk diperdagangkan dari rumusan pasal tersebut di atas
menunjukan
28
bahwa
konsumen
yang
dimaksud
dalam
Undang-Undang
Shidarta, Op. Cit,. Hlm. 2. Munir Faudy, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Pasar Global (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), Hlm. 227. 30 Ibid. 29
Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir yang artinya tujuan penggunaan barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, sehingga mempunyai tujuan yang non-komersial, seperti untuk kepentingan pribadi atau rumah tangga, sedangkan konsumen antara yaitu konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasa untuk kepentingan dijual kembali (komersial).
2.
Hak dan Kewajiban Konsumen Terdapat 8 (delapan) hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sementara 1 (satu) hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak konsumen itu antara lain: a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana yang pertama kali dikemukakan oleh presiden Amerika Serikat, Jhon F. Kennedy di depan konggres pada
tanggal 15 Maret 1962, sebagaimana dikutip oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo31, yaitu terdiri atas: 1. Hak memperoleh keamanan Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau diri konsumen. 2. Hak memilih Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya. 3. Hak mendapat informasi Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang lengkap mengenai barang dan/atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan. 4. Hak untuk didengar Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijakan tersebut.32 Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union/ IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu33: a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi; c. Hak untuk memperoleh pendidikan kosumen; d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
31
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004). Hlm. 39. 32 Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, (Majalah Yudika: FH UNAIR, 1992). Hlm. 49-50. 33 Sidharta, Op. Cit., Hlm. 2.
Disamping itu, masyarakat Eropa (Europese Economische Gemeenschap atau EGG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Hak perlindungan kesehatan dan keamanan; Hak perlindungan kepentingan ekonomi; Hak mendapat ganti rugi; Hak atas penerangan; Hak untuk didengar.
Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, YLKI misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu lagi hak sebagai pelengkap hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhnnya dikenal sebagai panca hak konsumen.34 Memperhatikan hak-hak yang disebut di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak terhadap konsumen yaitu: a. Hak atas keamanan dan keselamatan; b. Hak untuk memperoleh informasi; c. Hak untuk memilih; d. Hak untuk didengar; e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian; g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat; i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya; j. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. Di samping hak-hak dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terdapat juga hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal berikutnya, khususnya 34
Ibid. Hlm. 16.
dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Karena hak dan kewajiban merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Sementara itu sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyebutkan kewajiban yang harus dijalankan oleh konsumen antara lain: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 3.
Pengertian Pelaku Usaha Pengertian pelaku usaha yang terdapat pada Pasal 1 angka (3) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.” Penjelasannya disebutkan bahwa: “Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut 4 (empat) kelompok besar kalangan pelaku ekonomi yang tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha; baik privat maupun publik), yaitu:35 a. Kelompok penyedia dana (investor), yaitu pelaku usaha atau orang-perorangan (konsumen), seperti perbankan, lembaga keuangan non bank (koperasi simpan pinjam atau perusahaan leasing) dan lain sebagainya. b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha yang berkaitan dengan pangan, orang/badan usaha yang memproduksi sandang, orang/badan usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/badan usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/badan usaha yang berkaitan dengan obatobatan, kesehatan, narkotika, dsb. c. Distributor, yaitu pelaku usaha mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, dsb. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dsb. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku, pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan nama atau tanda pengenal tertentu atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli ataupun pada produk tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplier) dalam hal identitas dari 35
Suyadi, Buku Ajar: Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2007. Hlm. 31.
produsen atau importir tidak ditentukan.36 Tampaklah bahwa pelaku usaha yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum.
4.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Sesuai dengan apa yang disebutkan pada Pasal 6 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, hak pelaku usaha adalah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan adanya hak bagi pelaku usaha, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang kewajiban pelaku usaha selama ia menjalankan kegiatan ekonomi didalam lalu lintas perdagangan di Indonesia. Kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 36
Johanes Gunawan, “Product Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia, Tahun XII, Nomor 2, April 1994, Hlm. 7.
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tantang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW, bahwa perjanjian harus dilaksanakan
dengan
itikad
baik.37
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
menyatakan bahwa pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi jual pembelian barang dan/atau jasa. Undang-Undang Perlindungan Konsumen didalamnya tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabakan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen,
37
Ahmadi Miru & Sutarma Yodo. Op. Cit., (Rajawali Pers: Jakarta, 2010). Hlm. 52.
kemungkinan untuk dapat merugikan produsen dimulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.38
C.
Kebijakan Kriminal
Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai: “Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan di suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud, sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran atau garis haluan”.39 Pembahasan yang berkaitan dengan kebijakan formulasi tidak lepas dari kebijakan kriminal. Hal ini dikarenakan kebijakan formulasi merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana yang juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal merupakan usaha rasional yang dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat. Sudarto mengemukakan kebijakan kriminal dapat didefinisikan secara sempit, lebih luas, dan paling luas. Secara sempit kebijakan kriminal dapat diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Arti yang lebih luas dari kebijakan kriminal adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Kebijakan kriminal dalam arti yang paling luas adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundangundangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.40
38
Ibid., Hlm.54. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka,Jakarta), Hlm. 131. 40 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 2006), Hlm. 113-114. 39
Tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) selain dalam rangka perlindungan masyarakat sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, juga dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut maka, kebijakan kriminal tidak dapat dipisahkan atau merupakan bagian dari kebijakan yang lebih luas lagi, yaitu kebijakan sosial.41 Kebijakan sosial merupakan usaha rasional untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan kriminal yang akan digunakan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan hendaknya harus benar-benar memperhatikan tujuan akhir dari kebijakan kriminal itu sendiri yaitu perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kriminal dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan dapat ditempuh melalui 2 (dua) sarana. Pertama, kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal atau bisa juga disebut sebagai kebijakan hukum pidana atau kebijakan penal (penal policy). Kedua, melalui kebijakan bukan dengan hukum pidana atau kebijakan non penal. Kebijakan penal yang digunakan dalam menanggulangi kejahatan memang sudah lazim digunakan di Indonesia. Kondisi semacam ini tentu saja tidak mengenyampingkan kebijakan non penal dalam menanggulangi kejahatan. Tidak dapat dipungkiri kebijakan non penal juga mempunyai peranan penting dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. Barda Nawawi Arief menyatakan kebijakan non penal itu sendiri yaitu: 41
Lihat bagan dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Alumni: Bandung)., Hlm. 3.
“Kebijakan non penal mempunyai tujuan utama yang strategis yaitu memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan, dengan demikian dilihat dari sudut kebijakan kriminal, keseluruhan kegiatan non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.”42 Melihat kebijakan non penal yang strategis seperti diatas, integrasi dan keselarasan kebijakan non penal kedalam kebijakan kriminal sebagai usaha preventif adalah penting adanya. Kebijakan penal dan kebijakan non penal harus dapat dipadukan secara tepat dalam kebijakan kriminal yang digunakan, sehingga dapat menanggulangi kejahatan
sekaligus
mencegah
terjadinya
kejahatan
dengan
menangkal
atau
meminimalisir faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya kejahatan. Istilah kebijakan penal dapat dikatakan sebagai “kebijakan hukum pidana” dan menurut Barda Nawawi Arief dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Pada kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.43 Pendapat lain mengenai definisi kebijakan hukum pidana dikemukakan oleh Marc Ancel, dimana ia memberikan definisi penal policy sebagai: Suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, yang dimaksud dengan peraturan hukum positif (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.44 Mulder berpendapat bahwa strafrechtspolitiek adalah: 42
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Alumni: Bandung, 1984)., Hlm. 159. 43 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Alumni: Bandung, 1984). Hlm. 24. 44 Ibid.
Garis kebijakan untuk menentukan: a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui; b. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Sesuai dengan kasus yang sedang diteliti oleh peneliti maka untuk kebijakan non penal ini dapat dilihat dari Pembinaan dan Pengawasan yang dilakukan Pemerintah dan pihak-pihak yang terkait didalamnya. Pembinaan dan Pengawasan termuat pada BAB VII Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi: Pasal 29 UUPK (1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. (2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. (4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk: a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 30 UUPK (1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. (2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. (4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundangundangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. (6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Kebijakan penal ini terdapat pada BAB XIII Pasal 61-63 tentang sanksi pidana, yang berbunyi: Pasal 61 UUPK Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62 UUPK (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Pasal 63 UUPK Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.
Kebijakan penal yang termuat di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, terutama pada Pasal 62 ayat (3) yang mengatur apabila terjadi pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap ataupun kematian maka akan diberlakukan ketentuan pidana telah menjelaskan bahwa apabila terjadi pelanggaran tersebut maka ketentuan pidanalah yang akan menyelesaikannya. Hal ini berkaitan dengan penegakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief penegakan hukum pidana adalah:45 Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law Enforcement Policy). Pendapat tersebut menunjukkan hubungan antara kebijakan hukum pidana dengan kebijakan penegakan hukum dalam rangka menanggulangi kejahatan, dengan kata lain perkembangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat juga mempengaruhi kebijakan hukum pidana yang akan digunakan untuk menanggulangi kejahatan tersebut. Kebijakan penanggulangan kejahatan seperti yang dikemukakan di atas merupakan bagian dari politik kriminal sehingga kebijakan tersebut juga merupakan bagian dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy) yang merupakan usaha untuk memberikan perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
45
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit., Hlm. 26.
Mempelajari kebijakan hukum pidana pada dasarnya mempelajari masalah bagaimana sebaiknya hukum pidana itu dibuat, disusun dan digunakan untuk mengatur/ mengendalikan tingkah laku manusia, khususnya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka melindungi dan menyejahterakan masyarakat.46
D.
Halalan Thayiban dan Haram
Kata halalan, bahasa arab, berasal dari kata halla, yang berarti lepas atau tidah terikat. Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat pada ketentuan-ketentuan yang melarangnya, atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Kata thayyib berarti lezat, baik, sehat, menentramkan dan paling utama.47 Konteks pada makanan kata thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau tercampur oleh najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengandung selera bagi yang akan mengkonsumsinya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya. Adapula yang mengartikan sebagai makanan yang sehat, proporsional dan aman. Bagi umat Islam, mengkonsumsi yang halal dan baik (thayyib) merupakan manivestasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Hal ini terkait dengan
46
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana., (Alumni: Bandung)., Hlm. 125. 47 Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal. Pustaka Jurnal Halal: LPPOM MUI. 2008.
perintah Allah SWT kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’an dalam (QS. Al Maidah: 88), yang artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepadaNya” (QS. Al Maidah: 88)
Memakan yang halal dan thayib merupakan perintah dari Allah yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia yang beriman. Bahkan perintah ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas. Perintah ini juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti yang terdapat pada (QS. Al Baqarah: 168), yang artinya: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al Baqarah: 168)
Memakan yang halal dan thayib akan berbenturan dengan keinginan syetan yang menghendaki agar manusia terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu menghindari yang haram merupakan sebuah upaya yang harus mengalahkan godaan syetan tersebut. Mengkonsumsi makanan halal dengan dilandasi iman dan taqwa karena semata-mata mengikuti perintah Allah merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dan memberikan kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya memakan yang haram, apalagi diikuti dengan sikap membangkang terhadap ketentuan Allah STW adalah perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa dan keburukan. Sebenarnya yang diharamkan atau
dilarang memakan (tidak halal) jumlahnya sedikit. Selebihnya, pada dasarnya apa yang ada di muka bumi ini adalah halal, kecuali yang dilarang secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut LPPOM MUI pada Panduan Umum Sistem Jaminan Halal ada beberapa ayat yang menyebutkan bahwa dalam Al-Qur’an hanya sedikit yang tidak halal. Namun dengan perkembangan teknologi, yang sedikit itu bisa menjadi banyak karena masuk ke dalam makanan olahan secara tidak terduga sebelumnya. Beberapa larangan yang terkait dengan makanan haram tersebut adalah: 48
a.
QS. Al-Baqarah: 168: “Hai sekalian umat manusia makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 168)
b.
QS. Al Maidah: 3: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tecekik, yang dipukul, yang jatuh ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya.” (QS. Al Maidah: 3)
48
42-44.
LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal (Jakarta: LPPOM MUI, 2008), Hlm.
c.
QS. Al-Anam: 145: “Katakanlah, saya tidak mendapat pada apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang tercurah, daging babi karena ia kotor atau binatang yang disembelih dengan atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” (QS. Al-Anam: 145)
d.
QS. Al Baqarah: 173: “Sesungguhnya Allah yang mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah.” (QS. Al Baqarah: 173)
e.
QS. Al-Maidah: 90-91: “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu hendak menimbulkan permusuhan dan perbencian di antara kalian lantaran meminum khamr dan berjudi dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka apakah kalian berhenti dari mengerjakan pekerjaan itu.” (QS. Al-Maidah: 90-91)
f.
QS. Al-A’raf: 157: “Dia menghalalkan kepada mereka segala yang baik dan mengharamkan kepada mereka segala yang kotor.”( QS. Al-A’raf: 157)
Berdasarkan serangkaian ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa jenis makanan yang diharamkan yaitu:
a.
Bangkai dan darah;
b.
Babi;
c.
Binatang yang disembelih selain menyebut nama Allah SWT; dan
d.
Khamer atau minuman yang memabukkan.
E.
Sertifikasi dan Labelisasi Halal
Peraturan yang menaungi atas ketentuan sertifikasi dan labelisasi halal antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri. Pasal 34 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan: “Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut”.
Penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Pasal 34 ayat (1) disebutkan: “Dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan tentang pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan,
bahan tambahan pangan, atau bahan bantu lain yang dipergunakan dalam memproduksi pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya”.
Selanjutnya
dalam
Undang-undang
Nomor
8
Tahun
1999
Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 8 huruf (h) disebutkan bahwa: “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”.
Sertifikasi halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Menurut pengertian LPPOM MUI definisi sertifikasi halal adalah suatu proses untuk memperoleh sertifikat halal melalui beberapa tahap untuk membuktikan bahwa penerapan SJH (Sistim Jaminan Halal) di perusahaan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan LPPOM MUI dengan melakukan pengujian secara sistematik. Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Di Indonesia lembaga yang otoritatif melaksanakan sertifikasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan dan Kosmetika (LPPOM)49, sedangkan labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk
49
HAS 23000. Persyaratan Sertifikasi Halal. (LPPOM MUI: IPB Bogor, 2012). Hlm.5.
yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.50 Kegiatan labelisasi halal dikelola oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Menurut Ir. Hendra Utama, disimpulkan bahwa sertifikasi halal berbeda dengan labelisasi halal. Sertifikasi halal diberikan oleh MUI apabila labelisasi halal diberikan oleh Badan POM, dengan terlebih dahulu pelaku usaha harus sudah mengantongi Sertifikat Halal dari MUI barulah pelaku usaha dapat memintakan pencantuman label halal pada produknya kepada Badan POM.51 Di Indonesia peraturan yang bersifat teknis yang mengatur masalah pelabelan halal yaitu keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 427/Men.Kes/SKBMII/1985 (Nomor 68 Tahun 1985) Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan, sedangkan ketentuan teknis tentang pelaksanaan labelisasi yang didasarkan atas hasil sertifikasi halal baru dikeluarkan tahun 1996 yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 924/Menkes/SK/VII/1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82 Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan, yaitu dengan menetukan hal yang temuat dalam Pasal 8, yaitu produsen dan importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan “halal” wajib siap diperiksa oleh petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal. Pasal 11 yang memuat tentang persetujuan pencantuman tulisan “Halal” diberikan berdasarkan fatwa dari Komisi Fatwa Majelis
50
Sertifikasi dan Labelisasi Halal. Web: http://lppommuikaltim.multiply.com/journal/item/14/Sertifikasi_dan_Labelisasi_Halal. Diakses tanggal 25 Maret 2011. 51 Hasil wawancara dengan Bapak Ir. Hendra Utama. LPPOM MUI Bogor. 5 Maret 2012.
Ulama Indonesia, serta pada Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa berdasarkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia. Direktur Jenderal memberikan persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat “Halal” dan penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat “Halal”.
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundangundangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Kalaupun ada digunakan pendekatan yuridis empiris hanyalah sebagai data pendukung dalam penelitian penelitian ini. Pendekatan peraturan
perundang-undangan
adalah pendekatan
dengan
menggunakan legislasi dan regulasi.52 Pendekatan perundang-undangan disini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang yang terkait. Yaitu dengan menelaah Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Sehingga peneliti akan memperoleh gambaran yang jelas tentang perlindungan konsumen dilihat dari aspek kebijakan kriminal pada sertifikasi dan labelisasi halal. Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas 52
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010), Hlm. 97.
kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum. Penelitian ini, penulis melihat dari kasus AJI-NO-MOTO yang terjadi pada tahun 2000 tentang penggunaan bahan baku bactosoytone dalam campuran penyedap rasanya.
B.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.53 Spesifikasi penelitian ini adalah Inventarisasi Hukum, yaitu dengan mengumpulkan dan mengklasifikasikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sertifikasi dan labelisasi halal.
C.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan
53
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI Press, Jakarta, 1981). Hlm. 10.
Universitas Jenderal Soedirman, LPPOM MUI Bogor, BPOM Jakarta dan YLKI Jakarta.
D.
Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. 1.
Data Sekunder (bahan-bahan pustaka), yang meliputi: 54 a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, PP Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan serta peraturan terkait lainnya. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain pustaka di bidang ilmu hukum dan artikel-artikel ilmiah. c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan pendukung di luar bidang hukum, seperti kamus, ensiklopedia ataupun koran/ majalah yang terkait dengan perlindungan konsumen dalam hal sertifikasi dan labelisasi halal.
2.
Data Primer, yakni data yang diperoleh dari pejabat dalam struktur organisasi, dalam hal ini adalah melakukan wawancara terhadap:
54
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Rajawali Press: Jakarta, 1995). Hlm. 39.
a. Tulus Abadi, S.H., selaku Anggota Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) cabang Jakarta; b. Ir. Hendra Utama selaku Auditor LPPOM MUI; dan c. Tiodora M. Sirait, S.H., M.H., selaku Kasubag Penyuluhan Hukum, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan.
E.
Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam hal pengumpulan bahan hukum penulis menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data, yaitu: 1.
Data Sekunder, diperoleh dengan studi pustaka atau dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, dokumen, arsip-arsip penelitian dan litertur yang memberikan pengaturan dan penjelasan mengenai bentuk perlindungan hukum konsumen dalam sertifikasi dan labelisasi halal. Metode pengumpulan data selain melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan literatur, juga berupa studi kepustakaan, internet browsing dan telaah artikel atau jurnal hukum.
2.
Data Primer, diperoleh dengan melakukan wawancara, yaitu proses komunikasi dan interaksi untuk memperoleh informasi dengan mengadakan tanya jawab secara langsung dengan narasumber yang terkait.
F.
Metode Penyajian Data
Data yang berupa bahan-bahan hukum akan disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
G.
Metode Analisis Data
Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul, maka seluruh data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Normatif disini dimaksudkan karena penelitian saya ini bertitik tolak pada peraturan perundangan-perundangan yang berlaku sebagai norma hukum positif. Sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas dan informasi dari narasumber.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, maka diperoleh data sebagai berikut: a. Data Sekunder 1.1.
Fatwa MUI
1.1.1. Fatwa yang Mengharamkan Penggunaan Bactosoytone Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rangka Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI), pada hari Sabtu, tanggal 20 Ramadhan 1421 H/ 16 Desember 2000 M: - Menetapkan:
FATWA TENTANG PRODUK PENYEDAP RASA (MONOSODIUM GLUTAMATE, MSG) DARI PT. AJI-NOMOTO INDONESIA YANG MENGGUNAKAN BACTOSOYTONE
1. Poduk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan bactosoytone dalam proses produksinya adalah haram. 2. Umat Islam yang karena ketidaktahuannya telah mengkonsumsi penyedap rasa (MSG) dimaksud tidak perlu merasa berdosa. 3. Menghimbau kepada umat islam agar berhati-hati dalam mengkonsumsi apapun yang diragukan atau diharamkan oleh agama.
4. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Agar setiap muslim dan pihak lain yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini. Ditetapkan di Jakarta, 20 Ramadhan 1421 H (16 Desember 200 M).
1.1.2. Fatwa Penggunaan Mameno sebagai Pengganti Bactosoytone Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI), pada hari Senin, tanggal 25 Dzul Qa’idah 1421 H/ 19 Februari 2001 M: - Menetapkan:
FATWA
TENTANG
PRODUK
PENYEDAP
RASA
(MONOSODIUM GLUTAMATE, MSG) DARI PT. AJI-NOMOTO INDONESIA YANG MENGGUNAKAN MAMENO 1. Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan mameno adalah halal. 2. Menhimbau kepada umat Islam agar berhati-hati dalam mengkonsumsi apapun yang diragukan atau diharamkan oleh agama. 3. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak lain yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini. Ditetapkan di Jakarta, 25 Dzul Qa’diah 1421 H (19 Februari 2001 M).
1.2.
Majalah Tempo yang menyoroti kasus AJI-NO-MOTO, antara lain:
1.2.1. Pernyataan Gusdur Bahwa AJI-NO-MOTO Halal Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa Ajinomoto halal untuk dikonsumsi. Presiden mengatakan hal ini setelah mendapat laporan dari BPPT, LIPI dan tiga perguruan tinggi. Alasannya, enzim pankreas babi yang dipakai dalam Ajinomoto itu dianggap sebagai katalis yang tidak menjadi substansi akhir. Demikian disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Wimar Witoelar usai mendampingi Presiden Wahid menemui enam orang delegasi hukum Jepang, di Istana Merdeka, Jakarta. Hal ini, menurut dia, akan diperjelas dalam konferensi pers yang akan digelar oleh BPPT, Dirjen POM dan LIPI, Rabu (10/1) pagi untuk memberikan keterangan ilmiah kepada publik. Saat itu, Gus Dur pun mengutip sebuah kaidah usul fikih yang menurutnya tepat untuk diterapkan dalam masalah ini. “Kaidah itu adalah, menghindari kesulitan diutamakan daripada mendatangkan kebaikan” ujarnya. Menurut presiden, jika Ajinomoto ditutup, maka akan terjadi penutupan penanam modal di bidang lain. Karena itu Indonesia akan kehilangan investor. “Untuk menutup Ajinomoto saja, kita akan kehilangan investasi asing sebesar US$ 1,3
milyar,” ujarnya. Gus Dur pun menggambarkan akan terjadinya pengangguran secara masif karena masalah ini. Pernyataan Presiden yang dikutip Wimar, serupa dengan pernyataan Menteri Kehakiman Jepang, Masahiko Koumura, yang menyatakan bahwa Presiden Wahid telah menyatakan kepada dirinya sebagai wakil pemerintah Jepang bahwa produk Ajinomoto boleh dimakan. Delegasi Jepang, dalam keterangan persnya yang singkat itu, juga sempat menegaskan kepada wartawan bahwa pemerintah Jepang selalu menekankan kepada perusahaan maupun pengusahanya yang melakukan aktifitas di Indonesia agar menaati undang-undang dan hukum yang ada di negara ini. Pemerintah Jepang juga menilai, proses hukum yang dilaksanakan oleh Indonesia sudah tepat. Sementara itu, mengenai proses hukum terhadap empat direksi PT Ajinomoto Indonesia yang ditangkap, Wimar menegaskan bahwa proses hukum tetap akan dilanjutkan dengan keterangan yang ada sekarang. Ia menambahkan, Presiden mengetahui bahwa ada aspek-aspek politik yang meresahkan masyarakat apabila masalah ini terus diperpanjang. “Presiden tidak memandang masalah ini sebagai masalah agama, namun masalah politik yang menggunakan ketidaktahuan masyarakat dengan simbol-simbol agama,” imbuh Wimar mengutip Presiden.
1.2.2. Sikap MUI Menyatakan AJI-NO-MOTO Haram Atas pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid soal kehalalan penyedap rasa Ajinomoto Selasa kemarin (9/1), Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun siap dengan
jawabannya. MUI tetap menyatakan bahwa bumbu masak itu haram. Din mengatakan bahwa MUI dapat memahami penjelasan dari sudut ilmu pengetahuan bahwa enzym babi pada bactosoytone tidak terbawa pada produk akhir Ajinomoto. Meskipun demikian, ada juga pakar yang menyatakan bahwa enzym babi itu telah mengalami interaksi dalam proses produksi. Karena itu, selain mempertimbangkan teori ilmiah, MUI mendasarkan pendapatnya atas alasan hukum agama yang mempunyai kaidah dan metodologi tertentu. Dalam penetapan status haram atas Ajinomoto, Komisi Fatwa MUI telah melalui beberapa kali sidang, termasuk kunjungan ke pabrik di Mojokerto, Jawa Timur, bersama LP POM MUI. Mereka mendasarkan pada alasan-alasan adanya pencampuran (ikhtilath) yang bersifat maknawi. Maksudnya, enzym babi yang digunakan dalam proses produksi Ajinomoto itu telah mengalami interaksi karena tidak mungkin tidak tercampur secara maknawi (bersenyawa) dengan produk. Alasan ke dua adalah adanya pemanfaatan (intifa) zat haram dalam proses produksi. Karena itu, produk akhirnya pun menjadi haram. Sementara itu, saat ditanya keputusan mana yang harus dipegang masyarakat, apakah penyataan presiden atau pernyataan MUI, Kiai Sahal Mahfudh menjawab dengan diplomatis “Silakan saja, terserah keyakinan masing-masing.”
1.2.3. YLKI Melaporkan PT. Ajinomoto Kepada Polda Metro Jaya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun telah melaporkan tindakan PT Ajinomoto Indonesia itu, dalam hal ini Tjokorda Bagus Sudarta sebagai
General Manager PT Ajinomoto Indonesia, ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, dianggap melakukan tindak pidana penipuan berdasarkan ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Persoalannya, bagi YLKI terletak pada pencantuman label halal dalam produk itu. Padahal, MUI telah mengeluarkan fatwa haram. “Ini kan jelas penipuan,” kata Indah. Sebab, label dalam suatu produk itu merupakan alat komunikasi produsen dengan konsumen yang paling efektif. Bila dalam produk itu ada label halal, konsumen dengan sendirinya akan mempercayai kalau produk itu memang sudah lolos uji. Meskipun demikian, tanda-tanda bakal selesainya kasus Ajinomoto sudah mulai kelihatan. Kamis (11/1) malam ini sekitar pukul 20.00 Presiden Direktur PT Ajinomoto Indonesia Mitsuo Arokawa dan dua manajernya, Tjokorda Bagus Sidharta dan Yosi R Pura dilepaskan karena ditangguhkan penahanannya. Di Jawa Timur, pabrik PT Ajinomoto juga telah dibuka segelnya oleh aparat Polda Jatim. Pembukaan pabrik itu dilakukan atas perintah Kapolda Inspektur Jenderal Soetanto. Peristiwa itu disaksikan oleh Wakil Presiden Direktur PT Ajinomoto, Yasusy Oda. Dengan demikian, tidak ada halangan bagi pabrik bumbu masak investasi Jepang tersebut untuk beroperasi lagi. Setelah segel pabrik di Mojokerto dibuka, empat bos PT Ajinomoto yang ditahan Polda Jatim pun menghirup udara segar. Permohonan penangguhan mereka diterima Kapolda. Keempat pimpinan PT Ajinomoto itu adalah Manajer Quality Control Haryono), Manajer Teknik Yosiko Ogama, Manajer Pabrik Hari Saksono, dan Manajer Produksi Hartono. Keempatnya ditahan di Polda Jatim, bersaman dengan penyegelan unit produksi
dan gudang PT Ajinomoto serta PT Ajinex. Mereka dituduh bertanggung jawab dalam penggunaan bactosoytone yang mengandung enzim porcine hasil diekstrak dari pankreas babi. Namun pengacara mereka, Wijono Subagjo, tak mau membeberkan alasan polisi di balik pembebasan itu. Uniknya, pembebasan itu terjadi hanya selang beberapa hari setelah Presiden Wahid bertemu Menteri Kehakiman Jepang dan mengeluarkan fatwa soal kehalalan Ajinomoto.
1.2.4. Kasus AJI-NO-MOTO Diambilalih oleh Mabes Polri Penanganan penyidikan kasus Ajinomoto diambilalih oleh Mabes Polri. Ini untuk menuntaskan dan menyeragamkan penanganan kasus tersebut. Hal tersebut dikatakan secara singkat oleh Kapolri Jendral S. Bimantoro yang menjelaskan, para tersangka yang sempat ditahan di Polda Jawa Timur dan Polda Metro Jaya kini berada di tahanan Mabes Polri. Menurut Bimantoro, walaupun Presiden Abdurrahman Wahid telah mengemukakan bumbu masak Ajinomoto telah halal dikonsumsi, namun Polri akan meneruskan penyidikan kasus tersebut. Menanggapi pernyataan Gus Dur, ia mengatakan bahwa pernyataan Presiden diungkapkan dalam kapasitasnya sebagai sesama ulama dan digunakan sebagai pembanding saja. Menteri Agama, Tholhach Hasan setuju dengan pendapat yang diutarakan oleh Kapolri. Menurut dia, perbedaan pendapat adalah hal yang biasa.
1.2.5. Fatwa MUI Menjadi Pegangan Polisi
Meski terjadi silang pendapat antara presiden dengan MUI, Kepala Polri mengaku tetap berpegang pada fatwa MUI sebagai dasar penanganan kasus Ajinomoto. Sebab, MUI adalah lembaga resmi penetap fatwa halal dan haram di Indonesia. Kapolri pun berargumen soal tindakan aparatnya yang telah menangkap delapan direksi PT Ajinomoto Indonesia. Menurut Bimantoro, polisi memiliki dasar untuk mengambil tindakan. Namun, dari Surabaya, Wijono Subagjo, kuasa hukum empat tersangka pimpinan Ajinomoto di Surabaya telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Sementara, Wakil Presiden Direktur PT Ajinomoto, Yasusi Oda, telah dibebaskan karena dinilai tidak mengetahui kebijakan penggunaan bactosoytone itu. Dalih Wijono mengajukan penangguhan penahanan itu adalah karena Presiden Abdurrahman
Wahid
telah menyampaikan
keyakinannya bahwa produk PT Ajinomoto halal. Namun, hingga kini, Polda Jatim belum memperlihatkan tanda-tanda akan menghentikan proses hukum terhadap kasus ini. Menurut Kapolri, pernyataan Presiden akan dijadikan pembanding. Namun polisi tetap berpatokan pada lembaga resmi. Menurutnya pembanding-pembanding itu akan digolongkan sebagai saksi-saksi ahli yang nantinya akan dimintakan keterangannya dalam proses penyelesaian penyelidikan itu, termasuk hasil penelitian laboratorium. Tindakan tegas Polri diambil karena melihat aspek-aspek keamanan. Akibat adanya perbedaan pendapat ini, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Binsar Pandjaitan pun mengaku belum akan mencabut ijin usaha PT Ajinomoto Indonesia. Karena pada dasarnya ia mengaku telah melakukan
pembinaan dan pengawasan dengan mengatur perdagangan makanan maupun minuman dengan sebelumnya harus melalui mekanisme pendaftaran yang dilakukan oleh Badan POM. Namun hal ini akan ditindak lanjuti bersamaan dengan instansi yang terkait dengan kasus tersebut. Karena pertimbangan ini, maka walau Luhut Binsar telah menetapkan untuk menarik produk yang telah beredar, pemerintah belum akan mengambil langkah pencabutan.
1.2.6. Badan POM Melakukan Penarikan Produk AJI-NO-MOTO Kendati sudah dinyatakan halal oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan tetap pada kebijakan menarik semua produk Ajinomoto yang mengandung Bactosoytone. Demikian dikemukakan Dirjen POM Depkes HM Sampurno kepada pers di Jakarta usai pertemuan soal Ajinomoto yang diselenggarakan di Departemen Agama Jakarta. Produk Ajinomoto yang ditarik dari pasaran itu nantinya sudah disepakati untuk dijadikan komoditi ekspor. Sedangkan produk baru Ajinomoto yang baru tentunya tanpa Bactosoytone akan diedarkan di pasaran Indonesia. Kesepakatan itu adalah komitmen dari Ajinomoto meskipun sudah ada pernyataan dari Presiden Abdurrahman Wahid bahwa bumbu masak itu halal dikonsumsi umat Islam. MUI sendiri juga masih mengharamkan produk Ajinomoto yang tengah ditarik dari pasaran. Bahkan sertifikasi halal produk Ajinomoto yang kini peredaran di pasaran sudah dicabut. Kehalalan Ajinomoto dipersoalkan MUI pada akhir Desember 2000 setelah ditemukan bahwa pengembangan bakteri untuk
proses fermentasi tetes tebu (molase) mengandung bactosoytone (nutrisi untuk pertumbuhan bakteri itu). Bactosoytone sendiri merupakan hasil hidrolisa enzim kedelai dengan biokatalisator porcine yang berasal dari pankreas babi. Ajinomoto diduga telah mengubah nutrisi itu pada produksi sejak bulan Juni 2000 dan sebelumnya mereka menggunakan polypeptone. Surat Peringatan MUI sendiri dilontarkan 19 Desember 2000 yang ditanda tangani oleh Ketua MUI Prof.Dr.Umar Shihab dan Sekretaris Umum Dr. Din Syamsudin. Dalam surat bernomor U-558/MUI/XII/2000 itu juga menyebutkan bahwa PT Ajinomoto telah mengubah salah satu bahan nutrisi yang digunakan dalam proses pengembangbiakkan kultur bakteri yaitu polypeptone menjadi bactosoytone sehingga produk bumbu masak itu tercampur enzim yang berasal dari babi. MUI juga meminta agar perusahaan bersangkutan sekuat tenaga segera melakukan penarikan itu secepat mungkin sehingga produk yang beredar di pasar hanya produk baru Ajinomoto yang tanpa Bactosoytone.
1.2.7. Hasil Kesepakatan Pemerintah terkait Kasus AJI-NO-MOTO Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Depkes dan Kesos memerintahkan PT Ajinomoto Indonesia untuk menarik produk bumbu masaknya dari pasaran dalam jangka waktu tiga minggu. Hal ini sesuai dengan hasil pertemuan antara unsur Depdag, Depkes, MUI dan Lembaga Pengawasan (LP) POM MUI yang memutuskan menarik produk Ajinomoto terhitung mulai tanggal 3 Januari 2001.
Di samping itu, pertemuan itu juga memutuskan bahwa PT Ajinomoto harus segera mengganti bahan baku yang mengandung enzim porcine (babi) Bactosoytone dengan bahan yang halal yakni mameno (asam chlorida). Ketika ditanya sistem untuk membedakan produk lama dan baru bumbu masak itu, Sampurno menjelaskan, dalam dua minggu mendatang, perusahaan itu akan melaporkan sistem proses produksinya yang menggunakan bahan halal dan mengganti label kemasannya dengan yang baru pula. Lebih lanjut dijelaskan, proses pembuatan bumbu masak itu menggunakan bakteri yang dibiakkan dalam media yang mengandung nutrisi Bactosoytone berbahan baku enzim dari kedelai dan porcine (babi). Bahan ini kemudian dipakai dalam fermentasi tetes tebu. Hasil fermentasi tersebut, melalui proses pemurnian dan kristalisasi, menghasilkan asam glutamat murni yang ditambah soda air. Selanjutnya, dilakukan pemurnian menjadi monosodium glutamat (MSG) atau bumbu masak. Mengutip laporan direksi Ajinomoto, Sampurno mengatakan, produksi bumbu masak yang menggunakan bahan tidak halal mulai dilakukan pada OktoberNovember 2000. Total produksinya mencapai 10 ribu ton. Tiga ribu ton di antaranya dipasarkan di dalam negeri, sedang 7.000 ton diekspor. Sebelumnya, Sekretaris Umum MUI, Din Syamsuddin, mengatakan, PT Ajinomoto telah mengubah sistem proses produksinya dari bahan yang halal menjadi tidak halal pada Oktober-November 2000. Untuk itu, MUI mengeluarkan Surat No.U-558/MUI/XII/2000 tertanggal 19 Desember 2000. Isinya meminta PT Ajinomoto Indonesia menarik produk bumbu masak yang diedarkan dan
diproduksi sebelum 23 November. Sebab, sesuai dengan pemeriksaan LP POM MUI, terdapat bahan Bactosoytone yang mengandung enzym babi. MUI juga meminta umat Islam untuk tidak mengkonsumsi bumbu masak Ajinomoto sebelum ada keputusan fatwa MUI baru yang menyatakan bahwa produk bumbu masak itu telah menggunakan bahan baku yang halal. PT Ajinomoto sendiri telah menyatakan kesanggupannya menarik semua produk tidak halal itu secepatnya.
1.2.8. YLKI menolak SP3 Kasus Ajinomoto Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) yang dikeluarkan oleh Mabes Polri atas kasus Ajinomoto. Demikian diungkapkan oleh Kepala Advokasi dan Bantuan Hukum YLKI, Diah Indriantari. Pihaknya menurut Tari mengadukan Ajinomoto, produsen konsumen bumbu masak itu kepada polisi, karena membuat ulah dengan mengganti polypeptone dengan bactosoytone dalam
produknya
itu. Bactosoytone yang dibuat dengan enzim porcine ini diduga keras dan menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengandung bahan yang diharamkan umat muslim di Indonesia. Bactosoytone diduga berasal dari lemak babi. Lebih lanjut Tari mengatakan, menurut pasal 22 Undang Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan konsumen, tidak diperlukan bukti-bukti baru. Hal ini bertentangan dengan alasan polisi mengeluarkan SP3, karena unsur kesalahannya adalah pembuktian terbalik.
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Dengan demikian, YLKI beranggapan bahwa SP3 yang dikeluarkan oleh pihak kepolisian tidak beralasan. Selain itu, YLKI menilai bahwa dengan dikeluarkannya SP3 oleh pihak kepolisian, berarti penegakan hukum, khususnya penegakan hukum di bidang hukum perlindungan konsumen telah tidak diselenggarakan oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu pula, YLKI mempertanyakan apakah dengan kondisi yang demikian, perlu penegakan hukum oleh rakyat sendiri. Misalnya, melalui pengadilan atau dengan pemboikotan atau penolakan terhadap Ajinomoto. Mengenai gugatan terhadap pihak Ajinomoto sendiri, pernah diajukan oleh Yasayan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Gugatan perdata yang diajukan oleh YLKI tersebut merupakan gugatan class action pertama yang berdasar pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran yang dimaksud adalah pelanggaran terhadap Pasal 4 huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut, konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Kondisi dimaksud, termasuk kondisi kehalalan produk dan jaminan
halal pada label
produk. Pelanggaran lain yang terjadi adalah pelanggaran pada kewajiban pelaku usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 huruf b Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Yaitu, kewajiban pihak Ajinomoto untuk memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang dan atau jasanya. Selain itu, YLKI juga melihat dengan jelas adanya pelanggaran pihak Ajinomoto terhadap ketentuan Pasal 8 huruf a, f, dan h Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasalnya, terdapat larangan bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa tidak sesuai standar dan perundang-undangan, tidak sesuai janji sebagaimana tercantum dalam label, dan tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan pada label. PT Ajinomoto Indonesia pun dapat digugat menurut UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Mereka diancam hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. Namun hingga kini, juga tidak jelas apakah proses gugat menggugat itu masih berjalan atau tidak.
1.3.
Putusan SP3 untuk kasus AJI-NO-MOTO oleh Mabes Polri, yaitu:
Penyidikan kasus Ajinomoto dihentikan oleh kepolisian karena dinilai tidak cukup bukti. Hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Polri maupun Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan pada saat itu, yang bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, tidak terdapat unsur babi dalam penyedap masakan (monosodium glutamat/ MSG) produksi PT Ajinomoto. Namun, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap berkeyakinan, MSG yang dibuat dengan bahan penolong bactosoytone haram. Kalaupun tidak terdeteksi, bukan berarti unsur babi tidak ada. Yang jelas,
bactosoytone sudah tercemar najis dan tidak disucikan secara Islam, sehingga produk akhirnya juga terkena najis. Walau tidak terdeteksi, bukan berarti tidak ada unsur babi. Najis dalam Islam, lanjut Hasanudin, ada dua. Yaitu, najis a'ini yang bisa dilihat, diraba, dicium (baunya), serta najis hukmi yang tidak terlihat, tercium (baunya), maupun teraba. MSG termasuk najis hukmi. Tanggal 19 Desember MUI memanggil manajemen PT Ajinomoto, meminta perusahaan terkait menarik produk dari peredaran serta minta maaf kepada masyarakat khususnya umat Islam. Pihak Ajinomoto mengakui hal itu. Bukan masalah materi, Menurut Dr Ir Anton Apriyantono dari Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), masalah halal dan haram bukan hanya masalah materi. Apalagi semua teknik deteksi yang dikenal di dunia ilmiah mempunyai keterbatasan. Bagaimana bisa memilah jenis protein dari enzim porcine protease dengan protein dari kacang kedelai. Selain itu, ada keterbatasan kemampuan mendeteksi, jika jumlah zat terlalu kecil. Dari sisi produksi bactosoytone, berdasarkan proses enzimatis yang dipelajari Anton dan kolega di IPB, secara komersial hampir tidak ada yang memisahkan enzim dari hidrolisat. Enzim adalah protein, demikian juga kandungan terbesar kedelai. Karena bactosoytone untuk makanan bakteri, bukan manusia, dianggap tidak ada gunanya memisahkan enzim. Kesimpulannya, enzim itu ada dalam bactosoytone. Komisaris Polisi Alex Rewos dari Sub Direktorat Industri dan Perdagangan Direktorat Pidana Tertentu Korps Reserse Mabes Polri menyatakan, penyidikan perkara Ajinomoto dihentikan karena tidak cukup bukti. Hal ini dikarenakan hasil
pemeriksaan Puslabfor maupun POM menyatakan, tidak ditemukan porcine dalam MSG. Selain itu, ada sertifikat dari Difco Australia yang menyatakan bactosoytone berasal dari unsur nabati. Ketika dicoba dikirim ke kejaksaan, berkas perkara tiga kali dikembalikan oleh jaksa penuntut umum untuk dilengkapi. Akhirnya diputuskan untuk dihentikan penyidikannya. Namun, jika kemudian ditemukan bukti-bukti baru yang mendukung tindak pidana, perkara dapat dibuka kembali.
b. Data Primer 2.1.
LPPOM MUI Berdasarkan hasil wawancara tanggal 5 Maret 2012 dengan Ir. Hendra
Utama selaku Auditor LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) yang berkantor di kampus IPB (Institut Teknologi Bogor), diperoleh keterangan sebagai berikut: 2.1.1. Sertifikasi Halal berbeda dengan Labelisasi Halal. Sertifikasi halal diberikan oleh MUI apabila Labelisasi Halal diberikan oleh Badan POM, dengan terlebih dahulu pelaku usaha harus sudah mengantongi Sertifikat Halal dari MUI barulah pelaku usaha dapat mencantumkan label halal pada produknya. 2.1.2. Menurut LPPOM MUI, pada saat itu memang benar produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO mengandung bactosoytone. Menurut pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh LPPOM MUI, sebenarnya penggunaan bactosoytone adalah hanya sebagai bahan medium saja, atau dapat diartikan
hanya digunakan sebagai enzim tambahan yang membantu untuk memotong-motong kecil mikroba dan bakteri baik yang ada di dalam komposisi pembuatan penyedap makanan AJI-NO-MOTO tersebut sehingga produk akhirnya memang tidak terkandung unsur babi. Terdapat perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh peneliti maupun MUI. Karena menurut MUI, mengapa mereka mengeluarkan fatwa haram adalah berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu: a. Dianggap haram apabila dalam proses produksinya bersentuhan/ bercampur dan/atau telah bersinggungan dengan unsur babi, dan b. Dianggap haram karena dalam proses produksinya ada pemanfaatan unsur babi. 2.1.3. LPPOM MUI selalu memberi rambu-rambu kepada setiap produsen yaitu apabila ingin mengganti bahan baku pembuatan produknya sebelum jangka waktu Sertifikat Halalnya masih berlaku, maka pelaku usaha wajib memberitahukan kepada LPPOM MUI agar dapat dilakukan audit. 2.1.4. Upaya
yang
dilakukan
LPPOM
MUI
sebagai
upaya
melakukan
perlindungan hukum terhadap konsumen antara lain adalah: a. Melakukan product record dengan mengisolasi semua produk yang memiliki page number atau kode produksi yang pada saat itu bahannya telah diganti dengan bactosoytone lalu produk tersebut ditarik dari pasaran di seluruh Indonesia.
b. Melakukan pengauditan ulang yang dilakukan oleh LPPOM MUI, Badan POM dan Departemen Agama. c. Setelah adanya kasus tersebut tindakan yang dilakukan adalah melakukan penarikan/ recall di pasaran wilayah Indonesia dan pemusnahan bahan yang telah dinyatakan ketidak-halalannya. Pemusnahan ini disaksikan oleh auditor internal. d. LPPOM MUI melakukan perintah penggantian bahan baku pembuatan produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO tersebut dari bactosoytone menjadi mameno. 2.1.5. Terjadinya kasus AJI-NO-MOTO tersebut telah dianggap sebagai pelajaran yang berharga bagi LPPOM MUI. Menurut Ir. Hendra Utama masih banyak kelemahan yang terjadi, yaitu: a. Masih kurang sejalannya koordinasi dengan instansi terkait; b. Masih belum berjalannya peraturan-peraturan yang telah dibuat; c. Kesadaran pelaku usaha untuk memberikan informasi bahan baku yang digunakan pada produknya masih kurang; d. Ketidaktahuan pemerintah dalam proses sertifikasi dan labelisasi halal secara menyeluruh; dan e. Ketidaksepahaman arti halal dan haram antara ahli dan ulama MUI. Karena MUI berpedoman kepada Al-Quran dan Hadist, sedangkan ahli berpedoman kepada teknologi.
2.2.
Badan POM Berdasarkan hasil wawancara tanggal 22 Februari 2012 dengan Tiodora M.
Sirait, S.H., M.H., selaku Kasubag Penyuluhan Hukum, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan, diperoleh keterangan sebagai berikut: 2.2.1. Badan POM melakukan pengawasan secara pre-market dan post-market. Evaluasi pre-market adalah pengawasan sebelum barang dipasarakan dengan
cara produsen/ pelaku usaha mengajukan fakta-fakta mengenai
produknya untuk dilakukann pra penilaian agar mendapatkan nomor regristrasi dengan syarat tertentu. Pengawasan post-market adalah pengawasan yang dilakukan setelah barang beredar untuk mengetahui apakah produk yang didaftarkan berubah atau tidak. Badan POM bertanggung jawab terhadap penilaian kembali terhadap produk yang telah memiliki izin edar. 2.2.2. Adapun tindakan represif saat itu adalah pemusnahan produk AJI-NOMOTO yang telah terindikasi menggunakan bactosoytone dan juga menginstruksikan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan produk yang telah mengandung bactosoytone. 2.2.3. Badan POM setelah terjadinya kasus ini juga membentuk ULPK (Unit Layanan pengaduan Konsumen) agar antara pemerintah dan konsumen dapat bekerjasama dalam memberantas produk-produk yang dinilai tidak layak edar.
2.2.4. Baik peran dan tanggung jawab yang dilakukan oleh Badan POM saat itu sebenarnya sudah melakukan pengawasan maupun pembinaan dengan maksimal. Pengawasan sudah diberikan dengan melakukan koordinasi tugas dan tanggung jawab masing-masing instansi. Yaitu dengan Departemen Perdagangan sebagai koordinator pembinaan dan pengawasan akan mengedarkan barang dan/atau jasa yang dihasilkan produsen apabila sudah lolos dari pemeriksaan MUI dengan penerbitan sertifikat halal maupun telah lolos pengujian dalam pemberian label halal oleh Badan POM. 2.3.
YLKI Berdasarkan hasil wawancara tanggal 22 Februari 2012 dengan Tulus Abadi
selaku anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Jakarta, diperoleh keterangan sebagai berikut: 2.3.1. Secara regulasi, baik di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Pangan untuk masalah sertifikasi halal adalah masih belum menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha/ bersifat fakultatif, namun akan menjadi wajib melakukan kegiatan sertifikasi halal apabila pelaku usaha telah mencantumkan label halal pada produknya. Jadi, apabila pelaku usaha telah mencantumkan label halal namun tidak memiliki Sertifikat Halal dari MUI maka ini dapat dikatakan pelaku usaha telah melakukan pelanggaran yang dapat dikenai sanksi secara perdata, pidana maupun administratif.
2.3.2. Secara teknis, dalam sertifikasi halal akan di cek 2 (dua) tahun sekali. Pengecekan
ini
dilakukan
secara
proaktif
oleh
perusahaan
yang
bersangkutan maupun oleh Badan POM. Terdapat kecenderungan bahwa sertifikasi halal hanya menjadi komoditas ekonomi. Hal ini dikarenakan di Indonesia memiliki penduduk yang mayoritas adalah beragama islam. Jadi produk halal adalah suatu hal yang sangat penting. 2.3.3. Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun peraturan perundang-undangan yang saling terkait, sudah merupakan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen. Jadi konsumen tidak perlu takut apabila ada indikasi konsumen dirugikan, namun konsumen lebih dihimbau untuk lebih berhati-hati dan lebih pintar dalam memilih produk-produk yang aman bagi mereka. 2.3.4. Saat terjadi kasus tersebut, baik pemerintah dan pihak kepolisian masih tidak serius. Karena saat itu, pihak kepolisian hanya melakukan recall atau penarikan kembali produk-produk dari pasaran sesuai dengan nomor produksi pada saat PT. Ajinomoto mengeluarkan produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO. Menurut YLKI sendiri, upaya tersebut masih merupakan upaya secara perdata saja, belum mencakup upaya lainnya, misal belum melakukan upaya pro justice/ melakukan upaya pada dimensi pidana. 2.3.5. Tindakan yang dilakukan oleh YLKI saat itu adalah melakukan pelaporan ke Polda Metro Jaya sebagai delik aduan, namun karena dinilai sudah menjadi kasus dengan level nasional maka perkara ini dilimpahkan kepada
Mabes POLRI. Alasan yang digunakan oleh YLKI dalam mengajukan pelaporan antara lain karena: a. Adanya fatwa MUI yang menyatakan bahwa produk AJI-NO-MOTO tersebut adalah haram; b. Adanya desakkan dari masyarakat untuk menyelesaikannya dalam ranah hukum. Pengaduan tersebut datang dari berbagai golongan masyarakat terutama ibu rumah tangga; c. Polisi dianggap belum menyentuh aspek kepidanaan, padahal ini jelasjelas telah melanggar dari hak-hak konsumen yang ada di UndangUndang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Pangan; d. Kasus ini ada aspek coorporate crime yang seharusnya ganti rugi yang diberikan akan lebih besar daripada apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh perseorangan; e. Upaya pembelajaran dalam menguji keeksistensian dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang pada saat itu masih berumur 1 (satu) tahun. 2.3.6. Kasus AJI-NO-MOTO tidak berjalan dengan lancar karena kasus tersebut dihentikan penyidikannya atau dengan kata lain di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Hal ini dikarenakan adanya alasan polisi karena adanya pembuktian terbalik dan ada indikasi dimensi politik yang pada saat itu Gusdur selaku Presiden melalui juru bicaranya yaitu Wimar Witoelar,
menyatakan bahwa produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO tersebut halal. 2.3.7. Menurut YLKI, eksistensi Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri ada 2 (dua) pendapat. Pertama, Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara teori telah dibuat dengan pengaturan pasal-pasal yang ada di dalamnya bersifat radikal/ sangat mendasar dan progressive/ sangat maju sesuai dengan perkembangan teknologi pada saat ini. Misalnya pada saat ini telah diatur tentang class action/ gugatan perwakilan. Kedua, UndangUndang Perlindungan Konsumen secara implementasi memang belum optimal. Mengetahui efektif atau tidaknya suatu hukum apalagi pada hukum yang baru, tidak hanya melihat dari konteks of law/ pasal-pasalnya saja, namun dipengaruhi oleh aspek culture/ kebudayaan yang ada di Indonesia. Ada 2 (dua) aspek yaitu dapat dilihat dari sistim penegakan hukumnya dan infrastruktur/ perangkat hukumnya. Misal pada saat kasus AJI-NO-MOTO itu muncul dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen baru berlaku selama 1 (satu) tahun, banyak hakim yang tidak mengerti bagaimana menerapkan hukum yang tepat. 2.3.8. Pihak-pihak yang berwenang dianggap masih belum bisa menuangkan pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ke dalam suatu sanksi yang tegas, YLKI selaku pelopor pembentuk UndangUndang Perlindungan Konsumen sering memberikan pendidikan, pelatihan maupun
ketrampilan
dalam
mengimplementasikan
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dalam sebuah kasus. Hal ini diharapkan apabila terjadi kasus yang dapat merugikan konsumen maupun pelaku usaha, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi konsumen maupun pelaku usaha.
B. Pembahasan 1.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat Dari Aspek Kebijakan Kriminal Terlebih dahulu penulis akan memaparkan apa yang dimaksud dengan definisi
perlindungan hukum, sebelum membahas rumusan masalah pertama. Pengertian perlindungan
adalah
tempat
berlindung,
hal
(perbuatan
dan
sebagainya)
memperlindungi.55 Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memberikan definisi perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Definisi perlindungan lainnya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, yaitu perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari 55
Kamus Besar Bahasa Indonesia. www.artikata.com. Diakses tanggal 10 April 2012.
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengertian Hukum selanjutnya dikemukakan oleh J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Menurut R. Soeroso SH, definisi hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.56 Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.57 Pada umumnya perlindungan hukum merupakan bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional.
56
Putra. 2009. Definisi Hukum Menurut Para Ahli: www. putracenter.net. Diakses tanggal 10 April 2012. 57 Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka. Jakarta. 1989, hlm. 874
Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang melakukan Wanprestasi.58
Pengertian
perlindungan
hukum
lainnya
menurut
Soedikno
Mertokusumo yaitu perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain.59 Kata perlindungan di atas menunjukkan adanya pelaksanaan atas penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usahausaha untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami. Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Pengertian hukum perlindungan konsumen merupkan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Misalnya yang dikemukakan oleh Az. Nasution, yang berpendapat: Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.60 Az. Nasution dalam bukunya Shidarta menyatakan, asas-asas dan kaidahkaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti
58
Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta. 1991,hlm.9. 15 Ibid 59 Ibid. 60 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2000). Hlm.9.
hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.61 Pengetian konsumen itu sendiri menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Penjelasannya menyebutkan bahwa: “Didalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.” Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dri kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/ konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument itu tergantung dalam posisi nama ia berada.62 Mariam Darus mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian uang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu semua individu mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil. 63 Pada kasus ini yang disebut konsumen adalah masyarakat yang terdapat di wilayah Indonesia
61
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). Hlm. 64. 62 Az. Nasution. Op. Cit., Hlm. 3. 63 Mariam darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional Dan Permasalahannya, (Kumpulan Karangan, Alumni: Bandung, 1981). Hlm. 48.
yang telah menggunakan produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO secara konkrit dan riil. Selain tentang hukum perlindungan konsumen, pembahasan ini mencakup materi dimensional tentang kebijakan kriminal. Hal ini dikarenakan ada hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha yaitu sesuai dengan Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Saat itu PT. Ajinomoto tidak memberitahukan kepada masyarakat karena telah mengganti salah satu bahan baku yang awalnya menggunakan polypeptone menjadi bactosoytone yang diindikasi oleh MUI merupakan enzim yang berasal dari pankreas babi. Adanya pelanggaran ini maka dibutuhkan upaya untuk memberikan suatu perlindungan hukum kepada konsumen. Upaya perlindungan hukum kepada konsumen ini tercermin pada penanggulangan kejahatan dengan kebijakan kriminal. Beberapa pendapat yang dikemukanan para sarjana tentang pengertian dari kebijakan kriminal, diantaranya yang dikemukakan oleh Sudarto maupun Muladi. Pertama menurut Sudarto, pengertian kebijakan kriminal adalah: Kebijakan kriminal dapat didefinisikan secara sempit, lebih luas, dan paling luas. Secara sempit kebijakan kriminal dapat diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Arti yang lebih luas dari kebijakan kriminal adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Kebijakan kriminal dalam arti yang paling luas adalah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.64
64
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 2006), Hlm. 113-114.
Kedua, menurut Muladi pengertian kebijakan kriminal adalah:65 Kebijakan kriminal adalah usaha rasional dan terorganisasi dari suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal disamping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) dapat pula dilakukan dengan sarana non penal melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana, misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi, dan sebagainya. Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan. Tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat, seperti yang digambarkan dalam skema berikut ini:66 Kebijakan Kesejahteraan Masyarakat (Social Welfare Policy) Kebijakan Sosial (Social Policy)
TUJUAN Kebijakan Perlindungan Masyarakat (Social Defence Policy) Dengan Hukum Pidana Penegakan Hukum Pidana (Penal)
Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Sarana lain bukan Pidana (Non Penal)
Gambar I. Antara Hubungan Penegakan Hukum Pidana, Politik Kriminal Dan Politik Sosial
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu untuk mewujudkan tujuan dari perlindungan hukum yang memberikan suatu keadilan, 65
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Alumni: Bandung, 1985). Hlm. 182. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Universitas Diponegoro: Semarang, 1995). Hlm. 8. 66
ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian, maka diperlukan bentuk-bentuk tindakan represif maupun preventif yang terdapat dalam kebijakan kriminal melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) maupun melalui pelbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana (pendekatan non penal) misalnya dengan melakukan usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum, pembaharuan hukum dll, sehingga tercapai tujuan utamanya yaitu memberikan perlindungan hukum kepada konsumen produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pengertian kebijakan kriminal yang telah dikemukakan oleh Muladi. Lebih jelasnya akan penulis jabarkan dalam penjelasan berikut. 1.1. Kebijakan Kriminal Dengan Sarana Non Penal Menurut Barda Nawawi Arief pengertian kebijakan non penal itu sendiri yaitu: “Kebijakan yang mempunyai tujuan utama yang strategis yaitu memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut kebijakan kriminal, keseluruhan kegiatan non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.” 67 Pada kasus ini sarana non penal yang dikehendakai adalah melalui pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Hal ini bertujuan agar produk yang diproduksi dapat
67
Barda Nawawi Arief dan Muladi. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana (Alumni: Bandung, 1984)., Hlm. 159.
memenuhi standar yang telah ditentukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Perilaku yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat halal dan/atau mencantumkan label halal yang tidak sesuai dengan kebenaran, pada dasarnya telah melanggar hak konsumen sesuai Pasal 4 huruf (c) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, serta untuk perbuatan pelaku usaha ini juga termuat dalam Pasal 8 ayat (1) huruf (f) dan (h) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu “pelaku usaha dilarang memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut” serta “pelaku usaha dilarang memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”. Pembinaan menurut Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah upaya yang dilakukan kepada pelaku usaha yang diselenggarakan oleh pemerintah dalam upaya untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilakukannya kewajiban masing-masing. Pengawasan menurut Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah pengawasan pada barang dan/atau jasa yang beredar di pasaran yang diselenggarakan secara bersama oleh Pemerintah, masyarakat dan LPKSM, dengan mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia serta diharapkan tumbuhnya hubungan usaha yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Pembinaan dan Pengawasan juga tercermin pada Pasal 45 (2) jo. Pasal 53 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Pasal 45 (2) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, menyebutkan bahwa dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan maka pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pasal 53 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, menyebutkan bahwa untuk mengawasi pemenuhan ketentuan Undang-undang ini, Pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut dengan jelas dapat dilihat bahwa dalam hal ini pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam penerapan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, adapun salah satu cara yang ditempuh guna tegaknya perlindungan konsumen tersebut adalah melalui Pengawasan. Pengawasan adalah salah satu faktor yang memberi perlindungan kepada konsumen atas peredaran barang dan/atau jasa di pasaran. Ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa: 1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait. 3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis. 6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pada dasarnya Pengawasan dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh LPKSM dan masyarakat. Pelaksanaan upaya ini, pemerintah berwenang untuk melakukan pengawasan sejak proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan dan cara menjual sampai barang dan/atau jasa tersebut beredar di pasaran. Mengingat luasnya aspek pengawasan, dalam ketentuan tersebut, terutama dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undangundang Perlindungan Konsumen dapat dilihat bahwa dalam melaksanakan pengawasan tersebut diperlukan adanya koordinasi atau kerja sama diantara para stakeholder penyelenggara perlindungan konsumen, khususnya koordinasi diantara sesama instansi terkait seperti Departemen Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, Badan POM dan Departemen terkait lainnya. Pengawasan dalam hal ini dapat pula dilakukan oleh masyarakat dan Lembaga Non Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Lembaga Non Pemerintah tersebut menyelenggarakan perlindungan konsumen yang bersifat preventif yaitu Badan Perlindungan Konsumen Indonesia (BPKN) dan Lembaga Pengawas Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM), maupun lembaga yang memberi perlindungan kepada konsumen yang bersifat represif yaitu (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)). Adapun yang menjadi kewenangan yang dimiliki oleh Masyarakat dan LPKSM dalam melaksanakan pengawasan tersebut adalah berupa pengawasan terhadap barang dan jasa yang sudah beredar di pasar, yang dalam hal ini berarti mengindikasikan bahwa kewenangan pengawasannya tidak seluas pengawasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Pengawasan tersebut selain dilaksanakan atas penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan peraturan perundang-undangan, juga dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dipasaran. Berdasarkan pemaparan diatas, maka yang menjadi unsur pemerintah pada saat itu adalah Departemen Perdagangan dan Badan POM Departemen Kesehatan serta yang termasuk dalam LPKSM adalah YLKI. Ini dapat dilihat dari data hasil penelitian yang telah penulis dapat yaitu data nomor 1.2.7 tentang hasil kesepakatan terhadap kasus tersebut. Lebih jelasnya penulis akan menjabarkannya sebagai berikut.
1.1.1. Departemen Perdagangan Departeman Perdagangan merupakan Kementerian Negara Republik Indonesia yang berbentuk Departemen sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1 huruf (b) Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik Indonesia. Departemen Perdagangan merupakan unsur pelaksana Pemerintah yang
dipimpin oleh Menteri Perdagangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sehingga mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang perdagangan.68 Departemen
Perdagangan
dalam
melaksanakan
tugasnya
akan
menyelenggarakan fungsi:69 a. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang perdagangan; b. Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang usahanya; c. Pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya; d. Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; e. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan
Perlindungan
Konsumen
mengatur
bahwa
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan, dalam kasus ini yang dimaksud menteri adalah Menteri Perdagangan. Tindakan Menteri Perdagangan pada saat itu dapat dilihat pada data sekunder nomor 1.2.5. Sesuai dengan data nomor 1.2.7 tentang hasil kesepakatan pemerintah yang didukung oleh data primer 2.2.4 lalu dikaitkan dengan Pasal 30 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan
68
Indonesia, (e) Peraturan Presiden Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Perpres Nomor 9 Tahun 2005, Pasal 25 jo. Pasal 43. 69 Ibid. Pasal 44.
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen serta dikaitkan dengan pengertian hukum perlindungan konsumen menurut Az. Nasution serta pengertian perlindungan hukum, maka dapat dideskripsikan bahwa Menteri Perdagangan yang pada saat itu dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan, dalam melaksanakan tindakan preventif berupa pengawasan untuk menciptakan upaya perlindungan hukum bagi konsumen yang telah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Terlihat dari dari data sekunder nomor 1.2.5 yang didukung oleh keterangan narasumber dari Badan POM, yaitu baik Departemen Perdagangan dan Badan POM telah melakukan koordinasi yang baik dalam tugas dan tanggungjawabnya. Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan telah melakukan pengawasan dengan mengatur perdagangan makanan maupun minuman dengan sebelumnya harus melalui mekanisme pendaftaran yang dilakukan kepada Badan POM. Misalnya pada saat Menteri Perdagangan akan memberikan izin usaha kepada produsen, maka produk tersebut sebelumnya harus lulus uji terlebih dahulu baik pada MUI sebagai lembaga yang memberikan sertifikat halal maupun pada saat dilakukan pengujian di Badan POM sebagai lembaga yang berwenang memberikan label halal. Sesuai dengan data sekunder nomor 1.2.5 sebagai tindakan represif maka setelah terjadinya pelanggaran tersebut, Menteri Perdagangan melakukan upaya penarikan produk-produk yang telah beredar di pasaran wilayah Indonesia, namun
tidak untuk melakukan pencabutan izin usaha, karena menurut Menteri Perdagangan kasus AJI-NO-MOTO ini menyangkut banyak pihak. Selain dengan upaya yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan saat itu guna memberikan perlindungan kepada konsumen seperti yang dipaparkan diatas, dengan adanya aturan-aturan yang memang telah diatur sebelumnya mengenai tugas dan wewenang dari Menteri Perdagangan tersebut yang termuat pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Peraturan Pemerintah yang terkait yaitu Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 4 s/d Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, maka dapat dikatakan peraturan tersebut sebagai asas dan kaidah yang bersifat mengatur dan memiliki sifat melindungi konsumen seperti yang dikatakan oleh Az. Nasution adalah telah dilakukan oleh Menteri Perdagangan yang pada saat itu dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan.
1.1.2. Badan POM Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) merupakan lembaga pemerintah pusat yang dibentuk Presiden untuk melaksanakan tugas dalam bidang pengawasan obat dan makanan yang berbentuk Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Badan POM dibentuk Presiden sehingga Badan POM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Hal tersebut diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah diubah beberapa kali dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Pasal 67 dalam Keppres tersebut menyatakan bahwa Badan POM memiliki tugas pemerintahan dalam bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan POM dalam melaksanakan
tugasnya
di
bidang
pengawasan
obat
dan
makanan
menyelenggarakan fungsi:70 a. b. c. d.
e.
pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan; pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan; koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM; pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan makanan; penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga. Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.6 tentang tindakan administratif
Badan POM berupa penarikan produk AJI-NO-MOTO dari pasaran wilayah Indonesia lalu dikaitkan dengan Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001, Pasal 67 70
Indonesia, (f) Keputusan Presiden Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001. Pasal 68.
Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen serta didukung oleh data primer, maka dapat dideskripsikan bahwa Badan POM pada saat itu telah melaksanakan tugasnya dalam memberikan pengawasan sebagai upaya preventif terhadap pelaku usaha maupun barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha tersebut. Tidak hanya pengawasan saja, namun berdasarkan data sekunder nomor 1.2.6 Badan POM juga melakukan tindakan represif sebagai penanggulangan kasus tersebut, yaitu dengan terlihat pada tindakan administratif yang dilakukan oleh Badan POM. Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi negara adalah instrumen hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administratif.71 Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasilhasil produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha/ penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran maka izin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah. Maupun adapula tindakan lainnya yang telah disebutkan dalam ketentuan Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Kaitannya
71
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Gramedia: Jakarta. Hlm. 117.
dengan pelabelan produk pangan, dalam Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 disebutkan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. peringatan secara tertulis; b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan atau; f. pencabutan izin produksi atau izin usaha. (3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, c, d, e dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan sebanyak-banyaknya tiga kali. (4) Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuai dengan kewenangannya berdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan. Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini:72 1.
72
Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian, karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi Pemerintah terkait. Sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk “membela diri”, antara lain mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif.
Ibid. Hlm. 119.
2.
Sanksi perdata dan/atau pidana sering kali tidak membawa efek “jera” bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibanding dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen dihadapkan pada posisi tawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si produsen. Berdasarkan data sekunder hasil penelitian nomor 1.2.6 dan 1.2.7
tindakan Badan POM saat itu dapat terlihat dari kesepakatan pada data sekunder nomor 1.2.7 yang dilakukan oleh Depdag, Badan POM, MUI maupun LPPOM MUI yang memutuskan bahwa: a. PT. Ajinomoto harus menarik semua produk AJI-NO-MOTO terhitung mulai tanggal 3 Januari 2001; b. PT Ajinomoto harus segera mengganti bahan baku yang mengandung enzim porcine (babi) Bactosoytone, dengan bahan yang halal yakni mameno (asam chlorida) sesuai dengan Fatwa MUI yang terdapat pada data sekunder nomor 1.1.2. Terlihat kesepakatan ini telah memenuhi unsur yang terdapat pada Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999, yaitu karena pelaku usaha melanggar ketentuan dalam hal pelabelan halal pada produknya, maka pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi administratif. Sebelum adanya tindakan administratif tersebut, terlebih dahulu MUI telah melontarkan Surat Peringatan
MUI sendiri tertanggal 19 Desember 2000 dan bernomor U-558/MUI/XII/2000 yang isinya menyebutkan bahwa:73 a. PT Ajinomoto telah mengubah salah satu bahan nutrisi yang digunakan dalam proses pengembangbiakkan kultur bakteri yaitu polypeptone menjadi bactosoytone sehingga produk bumbu masak itu tercampur enzim yang berasal dari babi. b. MUI juga meminta agar perusahaan bersangkutan sekuat tenaga segera melakukan penarikan itu secepat mungkin sehingga produk yang beredar di pasar hanya produk baru Ajinomoto yang tanpa Bactosoytone. Tindakan yang dilakukan Badan POM ini apabila dikaitkan dengan Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, maka terlihat unsur upaya tindakan administratif sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen. Sanksi administratif terhadap pelanggaran (Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan) yang dilakukan oleh pelaku usaha, antara lain sanksinya dapat berupa peringatan tertulis, penarikan produk dari pasaran termasuk penarikan iklan, penghentian sementara kegiatan produksi, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan produk ke pasaran, serta pembekuan dan/atau pencabutan izin edar produk tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Badan POM pada saat itu, menurut penulis telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam peraturan 73
TEMPO Interaktif, Ditjen POM Tetap Tarik Ajinomoto dari Pasar (13-1-2001 / 10:26 WIB). Diakses tanggal 10 April 2012.
perundang-undangan maupun pengertian perlindungan hukum maupun pengertian hukum perlindungan konsumen yang dikemukakan oleh Az. Nasution. Semua asas dan kaidah yang bersifat mengatur dan memiliki sifat melindungi kepentingan konsumen telah dilakukan dengan baik oleh Badan POM, yaitu dengan melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Pasal 30 UndangUndang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 68 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen jo. Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan demi menciptakan kesejahteraan dan melindungi masyarakat. 1.1.3. YLKI Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan sebuah organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan independen yang didirikan pada tanggal 11 Mei 1973. Keberadaan YLKI diarahkan pada usaha meningkatkan kepedulian kritis konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungannya. Tujuan berdirinya YLKI adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya
sehingga
dapat
melindungi
dirinya
sendiri,
keluarga
dan
lingkungannya.74 YLKI merupakan lembaga non-pemerintah sesuai dengan Pasal 1 angka 3 PP Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
74
YLKI, Tentang Kami: http://www.ylki.or.id/tentang-kami. Diakses tanggal 10 April 2012.
Swadaya Masyarakat, dapat dikatakan bahwa YLKI adalah sebagai LPKSM (Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, pada Pasal 3 menyatakan bahwa tugas LPKSM meliputi kegiatan:75 a.
b. c. d. e.
Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan; Melakukan kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.3 tentang pelaporan YLKI kepada
Polda Metro Jaya, yang didukung juga dengan data primer lalu dikaitkan dengan tugas LPKSM pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat jo. Pasal 44 UndangUndang Perlindungan Konsumen serta dikaitkan pula dengan pengertian perlindungan hukum serta hukum perlindungan konsumen yang dikemukakan oleh Az. Nasution, maka dapat dideskripsikan bahwa bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh YLKI kepada konsumen pada saat itu sudah dapat dikatakan telah sesuai berdasarkan dengan apa yang diamanatkan dalam undang-undang pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Terlihat dari YLKI yang 75
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
melakukan pengaduan/ pelaporan ke Polda Metro Jaya sebagai delik aduan. Saat itu permasalahan semakin meluas serta desakkan masyarakat semakin besar sehingga dalam penanganan kasus ini Polda Metro Jaya melimpahkan kepada Mabes Polri sesuai dengan data sekunder 1.2.4. Alasan melakukan pengaduan/ pelaporan tersebut sesuai dengan data sekunder nomor 1.2.3 yaitu adanya tindak pidana penipuan yang telah dilakukan oleh PT. Ajinomoto. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Persoalannya, bagi YLKI terletak pada pencantuman label halal dalam produk itu padahal pada saat bahan baku yang semula berupa polypeptone telah diganti dengan bactosoytone dengan alasan menghemat, tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat maka hal ini jelas-jelas penipuan. Apabila memperhatikan unsur-unsur yang ada pada Pasal 378 KUHP jo Pasal 379 KUHP, PT. Ajinomoto Indonesia dapat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 378 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun.
Pertama,
unsur
menguntungkan
diri
sendiri,
yakni
dengan
mengganti polypepton dengan bactosoytone yang dianggap lebih murah. Kedua, tindakan melawan hukum, yakni dengan melakukan perubahan itu tanpa melakukan sertifikasi “halal” ulang kepada MUI. Ketiga, dengan rangkaian kebohongan, yakni dengan tetap memproduksi dan memperdagangkan barang yang telah diubah tanpa adanya sertifikasi “halal” ulang, sehingga merugikan konsumen. Keempat, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, yakni dengan tetap mengiklankan produk Ajinomoto agar konsumen tetap membeli produk Ajinomoto dengan uang yang dimilikinya. Mengenai unsur keempat ini, perlu kiranya kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat ketentuan pasal-pasal lainnya yang berdekatan dengan Pasal 378 KUHP, yakni ketentuan Pasal 379 KUHP, dalam hal unsur “menyerahkan barang”. Maksudnya, apakah penyerahan uang sebagai harga pembelian Ajinomoto termasuk kategori “menyerahkan barang”. Pasal 379 KUHP dinyatakan, jika barang yang diserahkan atas perbuatan sebagaimana diatur Pasal 378 KUHP itu bukan ternak dan harga dari suatu barang, maka perbuatan yang dilakukan dikategorikan sebagai penipuan ringan. Artinya, penyerahan uang sebagai harga dari suatu barang termasuk dalam unsur “menyerahkan barang” sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP dan bukan termasuk unsur pada Pasal 379 KUHP. Maka apa yang dilakukan YLKI terhadap PT Ajinomoto Indonesia dapat dikatakan sangat tepat. Hal ini dikuatkan dengan data primer bahwa selain alasan diatas, saat itu YLKI merasakan baik pemerintah dan pihak kepolisian masih tidak serius. Karena saat itu, pihak kepolisian hanya melakukan recall atau penarikan kembali produkproduk dari pasaran sesuai dengan nomor produksi pada saat PT. Ajinomoto mengeluarkan produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO yang mengandung bactosoytone. Menurut YLKI sendiri, upaya tersebut belum mencakup dalam ranah pidana dengan melakukan upaya pro justice.
Selain melakukan pelaporan kepada Polda Metro Jaya sebagai suatu tindak pidana, saat itu gugatan terhadap pihak Ajinomoto sendiri, pernah diajukan oleh Yasayan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sesuai dengan data sekunder nomor 1.2.8. Gugatan perdata yang diajukan oleh YLKI tersebut merupakan gugatan class action pertama yang berdasar pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu berdasarkan pelanggaran sesuai dengan Pasal 4 huruf (c), Pasal 7 huruf (b) maupun Pasal 8 huruf (a), (f) dan (h) Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta berpegangan juga dengan adanya Fatwa MUI sesuai dengan data sekunder nomor 1.1.1 tentang diharamkannya penyedap rasa yang mengandung bactosoytone. Selain itu alasan YLKI melakukan gugatan class action karena banyak masyarakat yang mendesak adanya ganti rugi yang diberikan kepada korban demi terjaminnya perlindungan hukum terhadap korban. Namun hingga kini, juga tidak jelas apakah proses gugat menggugat itu masih berjalan atau tidak, seperti yang ada dalam data sekunder nomor 1.2.8 yang didukung juga data primer. Berdasarkan penjabaran diatas, maka upaya represif melalui tindakan pro-justice yang dilakukan oleh YLKI ini apabila dikaitkan dengan Pasal 3 huruf (d) jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat telah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu YLKI telah melakukan upaya dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, dengan
melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok.
1.2. Kebijakan Kriminal Dengan Sarana Penal Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan Pemerintah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, PP Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan adalah dimaksudkan dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai konsumen. Oleh karena itu, tanggung jawab pelaku usaha atas informasi yang tidak memadai dalam label menjadi kebutuhan yang mutlak. Tanggung jawab merupakan perlindungan hukum represif sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon.76 Apabila apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut dilanggar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, maka kebijakan penallah yang akan menyelesaikannya. Karena kebijakan penal disini merupakan bagian dari 76
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (PT. Bina Ilmu: Surabaya. 1987). Hlm. 3.
kebijakan
penegakan
hukum
(Law
Enforcement
Policy)
dalam
rangka
menanggulangi kejahatan. Istilah kebijakan penal dapat dikatakan sebagai kebijakan hukum pidana dan menurut Barda Nawawi Arief dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek.77 Pendapat lain mengenai definisi kebijakan hukum pidana dikemukakan oleh Marc Ancel, dimana ia memberikan definisi penal policy sebagai: Suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian yang dimaksud dengan peraturan hukum positif (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Oleh karena itu, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.78 Kendati hukum perlindungan konsumen banyak berkorelasi dengan hukum perikatan perdata, tidak berarti hukum perlindungan konsumen semata-mata ada dalam wilayah hukum perdata. Terdapat aspek-aspek hukum perlindungan konsumen yang berada dalam bidang hukum publik, terutama hukum pidana.79 Jelasnya, hakhak konsumen sebagaimana disebutkan di atas ada yang bernuansa publik sehingga dapat dipertahankan melalui hukum pidana, sehingga perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam tingkatan tertentu mungkin saja berdimensi pelanggaran. Artinya, perbuatan produsen yang merugikan dan/atau
77
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1984).
Hlm. 24. 78
Ibid. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (jakarta: PT. Grasindo Widiasarana Indonesia, 2006). Hlm. 13. 79
melanggar hak konsumen yang bertentangan dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dapat diselesaikan dalam ranah hukum pidana dan memakai instrumen pidana. Pengaturan sanksi pidana demi tercapainya suatu perlindungan hukum terhadap konsumen sebenarnya telah diatur secara tegas didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu pada Pasal 61 s/d 63. Selain Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 378 KUHP yang digunakan sebagai dasar pelaporan oleh YLKI, pengaturan tentang perlindungan terhadap konsumen sebenarnya juga telah diatur secara implisit didalam KUH Pidana (KUHP) sendiri walaupun tidak pernah disebutkan kata “konsumen“. Secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen terkait dengan kasus ini, antara lain: Pasal 204 KUHP, menyatakan: (1)Barang siapa menjual, menawarkan, menerimakan, atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itu didiamkannya dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun; (2)Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu si tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara selamalamanya dua puluh tahun. Pasal 205 KUHP, menyatakan: (1)Barang siapa karena salahnya menyebabkan barang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan atau dibagi-bagikan, sedang si pembeli atau yang memperolehnya tidak mengetahui akan sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau kurungan selamalamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah); (2)Kalau ada orang mati lantaran itu, maka si tersalah dihukum penjara selamalamanya satu tahun empat bulan atau kurungan selama-lamanya satu tahun. (3)Barang-barang itu dapat dirampas.
Pasal 386 KUHP, menyatakan: (1)Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahuinya bahwa itu palsu dan menyembunyikan hal itu, diancam pidana penjara paling lama empat tahun; (2)Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsukan jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampur dengan suatu bahan lain. Pada kasus AJI-NO-MOTO ini, maka tindakan kebijakan kriminal dengan sarana penal dengan instrumen pidana dapat terlihat dari penyelesaian secara projustice yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Berdasarkan data sekunder hasil penelitian nomor 1.2.3 dan 1.2.4 tentang penanganan terhadap PT. Ajinomoto serta dikaitkan dengan pengertian kebijakan penal oleh Marc Ancel dan Muladi, maka dapat dideskripsikan bahwa tindakan yang dilakukan represif oleh Kepolisian saat itu adalah sangat tepat dalam menangkap dan menahan keempat pimpinan PT. Ajinomoto sebagai tersangka karena pelanggaran yang telah dilakukan yaitu dengan mengganti
bahan
bakunya
dengan
bactosoytone
tanpa
memberitahukan/
menginformasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas adalah termasuk tindak pidana sesuai dengan yang dirumuskan dalam KUHP. Apabila dikaitkan juga dengan Pasal 61 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa penuntutan pidana dapat dilakukan kepada pelaku usaha dan/atau pengurusnya, maka tindakan yang saat itu dilakukan oleh YLKI, yang kemudian ditindaklanjuti pihak kepolisian adalah telah sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun KUHP. Saat itu walaupun pihak kepolisian telah menangkap dan menahan para tersangka, namun hal ini tidak menjamin adanya kelancaran dalam penyelesaiannya. Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.3, saat itu para tersangka melakukan
penangguhan penahanan dan akhirnya dikabulkan. Tidak ada alasan yang pasti, mengapa para tersangka ditangguhkan penahannya. Saat itu terdapat hal yang janggal yaitu, pembebasan itu terjadi hanya selang beberapa hari setelah Presiden Gusdur bertemu Menteri Kehakiman Jepang dan mengeluarkan pernyataan halal bagi produk AJI-NO-MOTO. Kejanggalan juga terjadi pada saat Mabes Polri mengeluarkan putusan terhadap kasus tersebut yang didukung dengan data primer, bahwa kasus tersebut dihentikan pada saat masih tahap penyidikan atau dengan kata lain, kasus tersebut di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Alasan polisi sesuai dengan keterangan pada data 1.3 adalah karena dinilai tidak cukup bukti. Pihak kepolisian saat itu lebih mengacu pada hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik Polri maupun Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan yang bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu dengan hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat unsur babi dalam penyedap masakan (monosodium glutamat/ MSG) produksi PT. Ajinomoto Indonesia. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu sangat merasa kecewa dan masih tetap berkeyakinan bahwa MSG yang dibuat dengan bahan penolong bactosoytone adalah haram. Alasan MUI menyatakan haram sehingga keluarlah Fatwa Haram MUI untuk produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO adalah karena adanya unsur pencampuran (ikhtilath) yang bersifat maknawi dan adanya unsur pemanfaatan (intifa) zat haram dalam proses produksi. Alasan MUI ini
terdapat pada data sekunder hasil penelitian nomor 1.2.2 tentang sikap MUI dalam menyatakan haram pada produk penyedap makanan AJI-NO-MOTO yang lalu dikaitkan juga dengan pengertian produk halal menurut Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI)80. Berdasarkan pemaparan penulis diatas, maka upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yang dilakukan oleh pihak kepolisian saat itu adalah belum memberikan hasil yang memuaskan kepada konsumen. Hal ini dikarenakan saat kasus tersebut bergulir di dalam tahap penyidikan, pihak kepolisian menyatakan bukti yang digunakan tidak cukup dan keluarlah SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang mengakibatkan ganti rugi yang seharusnya diterima konsumen menjadi tidak terwujud.
2.
Keberpihakkan
Bentuk
Perlindungan
Hukum
tersebut
Kepada
Konsumen dalam Kasus AJI-NO-MOTO Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana 80
Tempo Interaktif, http://www.tempo.co.id/harian/fokus/56/2,1,24,id.html. Diakses tanggal 4 Januari 2012. Produk Halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai syari’at Islam. Produk itu tidak mengandung babi atau produk-produk yang berasal dari babi serta tidak menggunakan alkohol sebagai ingridient yang sengaja ditambahkan. Selain itu, daging yang digunakan juga harus berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam. Produk makanan yang halal termasuk juga semua bentuk minuman yang tidak beralkohol. Selain itu, semua tempat penyimpanan, penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan tempat transportasi tidak tercampur dengan babi atau barang yang tidak halal lainnya. Tempat itu harus terlebih dahulu dibersihkan dengan tata cara yang diatur menurut syari'at Islam.
hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.81 Pengertian hukum perlindungan konsumen ada yang berpendapat bahwa merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution berpendapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.82 Az. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.83 Apabila dikaitkan dengan kasus yang diambil oleh penulis, maka sebenarnya konsumen akan terjamin perlindungannya apabila hak-haknya terpenuhi, seperti yang dikatakan oleh pihak YLKI pada data sekunder nomor 1.2.8. Ini juga terkait dengan salah satu hak konsumen maupun kewajiban dari pelaku usaha yang ada didalam Pasal 4 huruf (h) Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau 81
Rahayu. 2009. Pengangkutan Orang: etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 10 April 2012. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Grasindo: Jakarta, 2000). Hlm.9. 83 Ibid. Hlm. 10. 82
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, karena pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Apabila pelaku usaha sudah melakukan kewajibannya untuk membayar ganti rugi setelah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tersebut, barulah dapat dikatakan upaya perlindungan hukum terhadap konsumen akan tercapai. Membicarakan tentang kompensasi/ ganti rugi maka hal ini berkaitan dengan upaya pemberian sanksi, yang dalam hal ini adalah sebagai upaya kebijakan kriminal dengan sarana penal. Sarana penal yang saat itu dilakukan adalah melakukan penegakan hukum secara pidana terhadap tindakan pelaku usaha yang melanggar hak dan kepentingan korban sebagai konsumen. Di awali dengan kegemparan luar biasa, yakni ketika Presiden Abdurrahman Wahid melalui juru bicara kepresidenan Wimar Witoelar, menyatakan bahwa AJI-NOMOTO itu halal. Bersamaan dengan itu, masyarakat dibuat heboh akibat Fatwa MUI yang mengharamkan AJI-NO-MOTO. Pada saat itu YLKI sebagai lembaga perlindungan konsumen melaporkan kasus AJI-NO-MOTO kepada Polda Metro Jaya. Di dalam laporannya YLKI berpegang teguh dengan Pasal 378 KUHP serta bukti berupa Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Pada proses penyidikan pihak kepolisian menemukan fakta berupa ketidakcukupan bukti untuk menjerat pelaku usaha tersebut. Menurut pihak Mabes Polri hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Polri maupun Laboratorium Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan yang
bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa tidak terdapat unsur babi dalam penyedap masakan (monosodium glutamat/MSG) AJINO-MOTO. Saat itu dengan memegang hasil laboratorium ini, maka pihak kepolisian menetapkan proses penyidikan untuk kasus AJI-NO-MOTO dihentikan dan keluarlah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dikeluarkannya SP3 oleh pihak kepolisian maka bukan berarti kasus tersebut ditutup, karena SP3 hanyalah penghentian sementara terhadap suatu perkara karena adanya beberapa alasan, yang salah satunya dalam kasus ini adalah kurangnya bukti, apabila ditemukan bukti-bukti baru yang dapat menguatkan kasus tersebut maka pihak yang merasa dirugikan (korban) dapat melaporkan kembali kepada pihak yang berwenang asalkan terdapat bukti baru dan kasusnya tidak daluarsa (Pasal 78 KUHP). Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat dideskripsikan bahwa bentuk perlindungan hukum secara penal yang diupayakan oleh pihak kepolisian ini belum berpihak kepada konsumen sebagai korban. Adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus ini, maka ganti rugi yang seharusnya diberikan oleh pelaku usaha kepada korban tidak terwujud. Padahal sesuai dengan Pasal 4 huruf (h) jo. Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi dan/atau ganti rugi apabila pelaku usaha memberikan kerugian
akibat
diperdagangkan.
mengkonsumsi
barang dan/atau
jasa
yang dihasilkan
atau
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1.
Upaya perlindungan hukum terhadap konsumen dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan melakukan kebijakan penal dan kebijakan non penal. Kebijakan non penal dilakukan dengan upaya pembinaan dan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 29 dan 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Peraturan pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Upaya kebijakan penal dilakukan melalui instrumen hukum pidana dan instrumen hukum administratif. Instrumen pidananya dilakukan dengan upaya pihak kepolisian dalam menyelesaikan kasus Ajinomoto sesuai dengan ketentuan pidana yang ada, serta instrumen administratifnya dilakukan dengan upaya pemerintah melakukan penarikan semua produk AJI-NO-MOTO yang telah diubah dengan bactosoytone serta melakukan penggantian bahan baku yang mengandung enzim porcine (babi) bactosoytone dengan bahan yang halal yakni mameno (asam chlorida).
2.
Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen sebagai korban produk penyedap makanan AJINOMOTO yang mengandung bactosoytone, secara penal yang diupayakan oleh pihak kepolisian ini belum berpihak kepada konsumen karena
sebenarnya konsumen akan terjamin perlindungannya apabila hak-haknya terpenuhi. Hal ini seperti yang termuat didalam Pasal 4 huruf (h) jo. Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, karena pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Melihat pada saat itu, pihak kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus tersebut dikarenakan masih kurangnya bukti yang digunakan untuk menjerat pelaku usaha yang dalam hal ini adalah PT. Ajinomoto, maka upaya ganti rugi yang seharusnya diberikan oleh pelaku usaha kepada korban menjadi tidak terwujud.
B.
1.
Saran
Bagi pemerintah hendaknya menyerahkan sepenuhnya masalah penentuan halal atau tidaknya suatu produk makanan yang beredar di pasaran Indonesia kepada lembaga yang memang berwenang untuk itu, yaitu MUI.
2.
Bagi pihak kepolisian seharusnya tidak mudah terintervensi oleh pihak-pihak lainnya dalam memutuskan suatu kasus. Agar putusan yang dihasilkan berdasarkan bukti-bukti yang obyektif bukan subyektif.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur: Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. ________________. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. ________________. 2001. Masalah Penegakan Hukum Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
dan
Kebijakan
________________ dan Muladi. 1984. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni. Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Badan POM. 2005-2009. Rencana Strategi Badan POM. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Faudy, Munir. 2002. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Pasar Global. Bandung: Citra Aditya Bakti. Gunawan, Johanes. 1994. “Product Liability” dalam Hukum Bisnis Indonesia Tahun XII, Nomor 2. Jakarta: Pro Justitia. Hadjon, Philipus. M. 1987. Hukum Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu. LPPOM MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal. Jakarta: LPPOM MUI. Marzuki, Pieter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen; Cetakan Ke-6. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nasution, Az. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Daya Widya. Pieris, John & Wiwik Sri Widiarty. 2007. Negara Hukum Dan Perlindungan Konsumen: Terhadap Produk Pangan Kadaluarsa. Jakarta: Pelangi Cendikia. Sidabalok, Janus. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Sidharta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo. Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum; Cetakan 2010. Jakarta: UI Press. ________________ dan Sri Mamudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. Sudarto. 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta:Visimedia. Suyadi. 2007. Buku Ajar: Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaran Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 103. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001Tentang Keputusan Presiden Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Sumber lain: Artikata. Kamus Besar Bahasa Indonesia: www.artikata.com. Diakses tanggal 10 April 2012. Interaktif, Tempo. Haram dan Halal http://www.tempo.co.id/harian/fokus/56/2,1,24,id.html. Januari 2012. LPPOM
Harus Jelas: Diakses tanggal 4
MUI Kaltim. Sertifikasi dan Labelisasi Halal: http://lppommuikaltim.multiply.com/journal/item/14/Sertifikasi_dan_Labelisasi _Halal. Diakses tanggal 25 Maret 2011.
Mulia, Rita. Manajemen Resiko: Sejarah Perusahaan Ajinomonto: http://ritamulia.blogspot.com/. Diakses tanggal 16 Januari 2012. Online,
Hukum. YLKI Tidak Perlu Bukti Baru dalam Kasus Ajinomoto: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3460/ylki--tidak-perlu-buktibaru-dalam-kasus-ajinomoto. Diakses tanggal 22 Maret 2012.
Putra. 2009. Definisi Hukum Menurut Para Ahli: www.putracenter.net. Diakses tanggal 19 Desember 2011. Rahayu. 2009. Pengangkutan Orang: etd.eprints.ums.ac.id. Diakses tanggal 10 April 2012. Vivanews. Riset: Jumlah Muslim RI Akan Digeser Pakistan: Data Tahun 2010. www.vivanews.com. Diakses tanggal 5 Mei 2012.
YLKI. Tentang Kami: http://www.ylki.or.id/tentang-kami. Diakses tanggal 10 April 2012.
Lampiran I. Proses Sertifikasi Halal dalam Bentuk Diagram Alir PERSIAPAN SISTIM JAMINAN HALAL
PENDAFTARAN/ PENYERAHAN DOKUMEN SERTIFIKASI HALAL
PEMERIKSAAN KECUKUPAN DOKUMEN Tidak PEMBIAYAAN Tidak
DAPAT DIAUDIT?
PRE AUDIT MEMORANDUM
LUNAS? Ya Produk berbasis hewan
Ya
AUDIT
RAPAT AUDITOR
PENYERAHAN DOKUMEN SERTIFIKASI HALAL
Perlu Analisis Lab?
Ya
ANALISIS LAB
Tidak
AUDIT MEMORANDUM
Tidak
PERSYARATAN TERPENUHI? (Status SJH A/B)
Tidak
Mengandung Bahan Haram?
Ya Ya RAPAT KOMISI FATWA Tidak dapat Disertifikasi
Tidak Persyaratan Terpenuhi? Perusahaan LP POM MUI
Ya PENERBITAN SERTIFIKAT HALAL
Lampiran II. Organisasi Badan POM
Lampiran III. Sertifikat Halal PT. Ajinomoto 24 Juni 2010-23 Juni 2012