1|Page
بسم هللا الرمحن الرحيم NKRI dalam tinjauan syariat Islam
(1) Definisi negara Islam Pengetahuan tentang hal ini sangatlah penting karena memberikan banyak konsekwensi, yang paling penting adalah bahwa seseorang diharamkan menetap di negeri yang dihukumi kafir, dan dia diwajibkan untuk hijrah. Dalam hal ini baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ِ ِ ِ ْي َ ْي أَظ ُْه ِر ال ُْم ْش ِرك َ ْ َيم ب ُ أ َََن بَ ِرىءٌ م ْن ُك ِل ُم ْسل ٍم يُق “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim antara kaum musyrikin”.1 Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukan wajibnya hijrah dari negeri kafir”.2 Syaikh Khalid al-Anbari hafizahullah berkata: “Kekuasaan kaum muslimin atau orang-orang kafir atas satu negara adalah alasan hukum penetapan negeri Kafir atau Islam, kemudian diikuti oleh tanda-tanda lainnya yang terkadang kuat, dan terkadang lemah pada kesempatan lainnya, bahkan terkadang hilang, seperti rasa aman dan takut, juga penerapan hukum Islam atau kekufuran. Ulama Madzahibul Arba’ah sepakat dalam satu pandangan bahwa, satu negara menjadi negara Islam jika masuk dalam kekuasaan kaum muslimin, dimana mereka bisa menampakan hukum-hukum Islam dan mencegah musuh mereka..... Dan mesti diketahui bahwa, yang dimaksud dengan nampak hukumhukum Islam adalah nampaknya syiar-syiar Islam yang besar, seperti Jum’at, 1 2
Shahih, riwayat Ashabus Sunan. Syarhul Ilmam bi Ahaditsil Ahkam (IV/ 498)
2|Page
shalat dua hari raya, puasa romadhon dan haji tanpa ada kesulitan, bukan penerapan syariat Islam walaupun itu pun yang sangat diharapkan.3 Lalu beliau melanjutkan: “Kami sama sekali tidak mendapatkan perbedaan pendapat antara ulama Madzahibul Arba’ah dalam alasan ini, yang ada hanya perbedaan redaksi dalam mengungkapkannya”. Dalil para ulama tentang masalah ini: Pertama: Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hadits tersebut diungkapkan:
مث ادعهم إىل التحول من دارهم إىل دار املهاجرين “Kemudian ajaklah mereka untuk berpindah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengidhafatkan kata ad-Darr (negeri) pada kata al-Muhajirin karena keberadaan dan kekuasaan mereka di sana, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk hijrah ke negeri yang ada di bawah kekuasaan kaum muslimin, ini menunjukan bahwa negara itu dinisbatkan kepada kekuasaan, artinya jika kaum muslimin yang menguasainya maka itu adalah negara Islam dan demikian pula sebaliknya. Kedua: Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim yang muttafaq ‘alaihi:
كان رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يغري إذا طلع الفجر وكان يستمع األذان فإن مسع أذاَن أمسك وإال أغار 3
Takfirud Duwal wal Hukkam karya Syaikh DR Khalid al-Anbari, hal: 157, lihat pula Qadhaya Fiqhiyyah Muashirah (I/ 182).
3|Page
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menyerang ketika tiba waktu fajar, selalu beliau menunggu adzan, jika terdengar kumandang adzan maka beliau menahan diri, jika tidak maka menyerang”. Hadits di atas menunjukan bahwa, nampaknya sebagian hukum Islam menunjukan negeri tersebut adalah negeri Islam. Tentunya ini jika tidak ketahui bahwa kekuasaannya dibawah orang kafir, karena dalam hadits ini hanya tanda bukan Illah, seperti Amerika kita ketahui ada kumandang adzan di sana, maka tidak bisa kita tetapkan sebagai negeri Islam, hal itu karena kita ketahui bahwa, negeri tersebut dibawah kekuasaan orang-orang kafir. Pandangan ulama Madzahibul Ar’baah: Pertama: Ulama Hanafiyah. Imam as-Sarkhasi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Mabsuth: “Satu negeri dinisbatkan kepada kita atau kepada mereka karena kekuatan, setiap negeri yang nampak padanya hukum syirik maka kekuatan di negeri tersebut milik orang-orang musyrik, dan setiap negeri yang paling nampak padanya hukum Islam maka kekuatan milik kaum muslimin”.4 Al-Kasani rahimahullah berkata: “Tidak ada perbedaan diantara mazhab kami (Hanafiyah) bahwa, negeri kafir berubah menjadi negeri Islam dengan nampaknya hukum-hukum di negeri tersebut”.5 Lalu apa yang dimaksud dengan hukum-hukum Islam dalam perkataan ulama di atas, hal itu dijelaskan oleh penulis kitab ad-Durrul Mukhtar: “Dan negeri kafir berubah menjadi negeri Islam dengan berlakunya hukum-hukum Islam di negeri tersebut seperti pelaksanaan shalat jum’at dan ied”.6
4
Al-Mabsuth (X/ 114) Bada’ius Shana’I (VII/ 130) 6 Ad-Durrul Mukhtar (IV/ 130). 5
4|Page
Tentunya penafsiran tersebut berdasarkan hadits Anas bin Malik yang menjadi dasar dalam pembahasan ini. Kedua: Ulama Malikiyah. Ulama Malikiyah menjadikan adzan sebagai tanda yang membedakan antara negeri Islam dan kafir, ingat ini hanya sebatas tanda adapun illahnya jelas, yakni kekuasaan yang dimiliki oleh kaum muslimin. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: “Tidak saya ketahui adanya perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa, secara umum adzan itu wajib atas seluru penduduk negeri, karena ia adalah tanda yang membedakan antara negeri Islam dan Kafir, Nabi shallalalhu ‘alaihi wa sallam jika mengutus pasukan, beliau mengatakan: “Jika kalian mendengarkan adzan maka tahanlah”.7 Al-Mazari rahimahullah berkata: “Adzan itu memiliki dua tujuan penting, pertama: menampakan syiar Islam, kedua: mengenalkan bahwa negeri tersebut adalah negeri Islam”.8 Ketiga: Ulama Syafi’iyah. Ulama Syafiiyah membagi negeri Islam menjadi tiga: 1) Negeri Islam yang dimiliki secara paksa. 2) Negeri Islam yang dimiliki karena diberikan begitu saja oleh orangorang kafir, dan mereka keluar dari negeri tersebut. 3) Negeri Islam yang dimiliki dengan perdamaian, dengan syarat mereka membayar pajak. Pada macam yang ketiga ini, negeri tersebut masih disebut negeri Islam walaupun penduduknya kafir dan menerapkan syariat agama mereka, hal itu karena kekuasaan ada di tangan kaum muslimin.9
7
Al-Istidzkar (IV/ 18). Ad-Dzakhirah karya al-Qarrafi (II/ 58) 9 LIhat kitab Takfirud Duwal wal Hukkam, hal: 167. 8
5|Page
Imam ar-Rafii rahimahullah berkata: “Satu negeri sudah cukup dinamakan negeri Islam hanya karena dibawah kekuasaan penguasa muslim, bahkan seandainya tidak ada muslim di negeri tersebut”.10 Kalimat “Tidak ada muslim” menunjukan tidak ada penerapan hukum Islam di sana. Keempat: Ulama Hanabilah. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa, “Negeri Islam itu ada dua…..kedua: adalah negeri yang ditaklukan oleh kaum Muslimin seperti negeri-negeri di Syam, walaupun hanya ada seorang muslim di negeri tersebut maka negeri itu disebut negeri Islam….”11 Syaikh Khalid al-Anbari mengatakan: “Demikianlah perkataan para ulama, diantara mereka ada yang menyatakan bahwa, diantara negeri Islam adalah negeri yang ditaklukan oleh kaum muslimin dan orang-orang kafir menyerah dengan membayar jizyah, tentu tidak diragukan bahwa, mereka di negeri itu menetapkan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah. Ini menunjukan bahwa, negeri itu dinisbatkan kepada yang berkuasa padanya”.12 Abu Ya’la al-Hanbali berkata: “Setiap negeri yang didominasi dengan hukum Islam di atas hukum kafir, maka ia adalah negeri Islam”.13 Catatan: bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam adalah Syiar-syiar Islam sebagaimana dijelaskan di atas, dan berdasarkan hadits Anas bin Malik. Kesimpulannya adalah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm: “Negara
itu
dinisbatkan
memimpinnya”.14
10
Fathul Aziz (VIII/ 14) Al-Mugni (VI/ 35) 12 Takfirud Duwal wal Hukkam (169) 13 Al-Mu’tamad fi Ushuliddin (267) 14 Al-Muhalla (XIII/ 140). 11
kepada
yang
berkuasa
dan
yang
6|Page
Jadi negeri kita ini Indonesia adalah negeri Islam walaupun yang diterapkan adalah hukum positif, tentunya selama yang berkuasa adalah penguasa muslim dan syiar-syiar Islam nampak ditunaikan. Jika demikian maka tidak ada kewajiban hijrah dari negeri ini, yang ada adalah kewajiban untuk mensyukuri segala nikmat yang ada di dalamnya, diantaranya nikmat aman. Demikian pula memperbaiki segala kekurangannya yang ditempuh dengan Tashfiyah dan Tarbiyah, dan menjadikan dakwah Tauhid sebagai prioritas sebagaimana dilakukan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian adanya negeri Islam yang tidak menerapkan aturan Islam dalam aturan negara atau tidak berhukum dengan hukum Allah, itu tidak otomatis disebut sebagai negeri kafir, demikianlah yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah, berbeda dengan kaum Khawarij. Perbedaan tersebut disebabkan oleh: 1) Perbedaan mereka tentang alasan satu negeri itu disebut negeri Islam. 2) Perbedaan mereka tentang hukum penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah. 3) Tidak adanya pemahaman yang benar terhadap istilah-istilah yang diungkapkan oleh para ulama.
7|Page
(2) Definisi Ulil Amri Ulil amri adalah julukan yang diberikan kepada penguasa muslim yang berkuasa di negeri Islam. Syaikh Abu Bakar Jabil al-Jazairy berkata: “Ulil Amri adalah penguasa dan ulama dari kalangan Muslimin”.15 Dalam Tafsir al-Jalalain: “Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah para pemilik urusan, yakni para penguasa”.16 Artinya setiap penguasa muslim adalah ulil amri yang wajib di taati dalam perintahnya yang bukan maksiat, adapun jika penguasanya kafir maka pada aslinya tidak ada ketaatan kepadanya, demikian pula ketika yang diperintahkannya adalah perkara maksiat. Ubadah bin Shamit berkata:
ِول ه ِ يما أَ َخ َذ َعلَْي نَا أَ ْن ََبيَ َعنَا َعلَى ُ َد َع َاَن َر ُس َ فَ بَايَ ْعنَاهُ فَ َكا َن ف-صلى هللا عليه وسلم- اَّلل ال ه َ اع ِة ِِف َم ْن َ ش ِطنَا َوَم ْك َرِهنَا َوعُ ْس ِرََن َويُ ْس ِرََن َوأَثَ َرةٍ َعلَْي نَا َوأَ ْن الَ نُنَاز َ س ْم ِع َوالطه ُِع األَ ْم َر أ َْهلَه ِال « إِاله أَ ْن تَ روا ُك ْفرا ب واحا ِعنْ َد ُكم ِمن ه .» اَّلل فِ ِيه بُ ْرَها ٌن َ َق ً ََ ً ْ َ َ ْ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami, lalu kami membaitnya (janji setia), diantara isinya adalah agar kami mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang kami sukai atau dalam perkara yang kami benci, dalam keadaan sulit maupun dalam keadaan mudah, dan agar senantiasa mendahulukannya daripada kami (dalam urusan dunia), demikian pula agar kami tidak mengganggu urusan mereka, nabi menegaskan: “Kecuali
15 16
Aisarut Tafasir (I/ 496). Tafsir Jalalain (111)
8|Page
jika kalian melihat kekafiran yang terang-terangan dan kalian memiliki hujjah dalam kekufurannya itu”.17 Dalam hadits yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِاعةُ َعلَى الْمرِء الْمسلِ ِم ف ِ صي ٍة فَِإذَا أ ُِمر ِِبَ ْع ِ ب وَك ِرَه ما ََل ي ْؤمر ِِبَ ْع صيَ ٍة َح أ ا يم ه ال ه َ س ْم ُع َوالطه ْ َ َ ُ َ َ ْ َ ْ ُ َْ َ َ َاعة َ َفَ ََل َمسْ َع َوَال ط “Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.”18 Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika penguasa muslim tidak menerapkan syariat Islam, maka itu tidak menggugurkan kewajiban taat kepadanya dalam perkara yang bukan maksiat, hanya saja ada sekelompok ahli bid’ah yang berpandangan lain, seperti Khawarij, mereka berpandangan bahwa ketika penguasa tidak menerapkan syariat Islam maka otomatis dia kafir, karena dia kafir maka tidak ada kewajiban taat kepadanya, dalam hal ini mereka keliru ketika memahami firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 44:
َ ُ َٰ َ ۡ ُ ُ َ َٰٓ َ ْ ُ َ ُ َّ َ َ َ ٓ َ ُ ۡ َ ۡ َّ َ َ ٤٤ ومن لم َيكم بِما أنزل ٱّلل فأولئِك هم ٱلك ِفرون “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (Al-Maidah [5]: 44). Al-Imamul Kabir seorang Tabiin yang masyhur, yakni Said bin Jubair, beliau berkata: “Diantara yang menjadi dalil kaum Khawarij adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala (al-Maidah ayat: 44), lalu disandingkan dengan firman Allah (surat al-An’am: 1), ketika mereka melihat penguasa yang tidak berhukum 17 18
Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Shahih, diriwayatkan oleh Bukhari.
9|Page
dengan hukum Allah, mereka berkata: “Dia telah kafir”, dan barang siapa telah kafir maka dia berpaling dari Allah, barang siapa yang berpaling dari Allah maka mereka musyrik, maka mereka adalah para penguasa yang musyrik. Lalu mereka pun memberontak, mereka pun melakukan apa yang anda lihat”.19 Abu Hayyan rahimahullah dalam Tafsirnya al-Bahrul Muhith berkata: “Dengan ayat di atas kaum Khawarij berhujjah bahwa, setiap orang yang bermaksiat kepada Allah (melakukan dosa besar) maka dia kafir, kata mereka: apalagi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, maka dia kafir”.20 Al-Imamul Kabir Abu Bakar al-Jashshas rahimahullah berkata: “Kaum Khawarij berdalil dengan ayat di atas (Al-Maidah: 44) bahwa, orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka ia kafir walaupun tidak disertai dengan juhud (pengingkaran)”.21 Fatwa Syaikh bin Bazz rahimahullah, beliau pernah ditanya: “Apakah pemerintah negeri Kuwait termasuk Ulil Amri yang wajib ditaati sementara mereka tidak berhukum dengan hukum Syariat?” Jawab beliau: “Ya mereka adalah Ulil Amri, juga yang seperti mereka seperti Yordania dan Suriah22, mereka adalah Ulil Amri yang wajib ditaati dalam kebaikan....”23 Demikian pula fatwa ulama-ulama lainnya seperti Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Shalih al-Fauzan dan yang lainnya. Saya sebutkan ulama-ulama saudi karena tidak adanya potensi untuk menyatakan hal itu secara samar, sebabnya saudi adalah negara paling tegas dalam penerapan syariat Islam.
19
Al-Itisham karya asy-Syatibi (III/ 148). Al-Bahrul Muhith (XVII/ 16). 21 Ahkamul Qur’an (II/ 534). 22 Maksudnya dulu sebelum terjadi fitnah dan peperangan di sana, adapun sekarang yang terjadi di sana adalah Jihad. 23 Fatwa Ulama seputar penguasa di era KONTEMPORER disusun oleh Abul Fatih Rastian, hal: 4 20
10 | P a g e
Beberapa kondisi penguasa24: Pertama: berkaitan dengan perbuatannya sendiri. Dalam hal ini ada lima bentuk: 1) Perbuatannya dalam melakukan ketaatan kepada Allah, yang wajib maupun mustahab, amalan seperti memberikan konsekwensi agar kita berloyal dan mencintainya. 2) Perbuatannya dalam melakukan perkara-perkara mubah, ini tidak memeberikan efek untuk wala (loyal) maupun baro (berlepas diri). 3) Sikapnya yang meninggalkan perkara mustahab, atau melakukan perkara yang makruh, hal ini terbagi menjadi dua: a. Sikapnya itu hanya berakibat kepada diri sendiri, seperti meninggalkan shalat malam, perbuatan ini tidak menuntut pengingkaran. b. Sikapnya itu berakibat kepada yang lain, misalnya dia seorang penguasa dan imam masjid, lalu dia mengakhirnya shalatnya, perbuatannya ini mesti dinasihati dengan aturan yang syar’I semoga dengannya dia mendengarkan nasihat tersebut, jika tidak maka penguasa tersebut tetap wajib ditaati. 4) Perbuatannya dalam melakukan perkara-perkara haram yang tidak menjadikannya keluar dari Islam, baik memberikan efek kepada rakyat atau keburukannya hanya terbatas kepada dirinya, hal ini memberikan tiga perkara yang mesti ditunaikan oleh rakyat:
24
Diringkas dari kitab al-Ihkam fi Sabri Ahwalil Hukkam wama Yusrau fiha minal Ahkam karya Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili, hal: 18-
11 | P a g e
a. Membenci
perbuatannya
tersembunyi
dengan
dan
lemah
menasihatinya lembut,
ikhlas
secara dan
mendo’akannya. b. Bersabar bagi orang yang terzhalimi. c. Keadannya ini tidak menjadikan rakyat berhak untuk memberontak. 5) Perbuatan atau perkatannya yang mengandung kekufuran, ada lima hal yang mesti ditunaikan oleh rakyat dalam perkara tersebut: a. Menasihatinya secara tersembunyi, jika dia taubat maka kekuasannya harus tetap dipertahankan. b. Jika dia tetap dalam kekufuran setelah dinasihati, maka wajib ditumbangkan akan tetapi dengan syarat-syarat berikut: 1. Yang dilakukannya benar-benar perbuatan atau perkataan yang menjadikannya keluar dari Islam. 2. Perbuatan atau perkataan tersebut dilakukan secara jelas dan terang-terangan. 3. Kekufurannya jelas, tidak memberikan kemungkinan lain. 4. Sudah tegak padanya hujjah, artinya sudah benar-benar ada yang menasihati dan menjelaskan kepadanya, dia pun faham akan hal itu. 5. Kaum
muslimin
memiliki
kemampuan
untuk
menumbangkannya. 6. Menumbangkannya tidak menimbulkan efek yang lebih buruk. Kedua: yang berkaitan dengan perintah dan larangan penguasa. Dalam hal ini ada beberapa bentuk:
12 | P a g e
1) Penguasa memerintahkan yang wajib atau melarang yang munkar, kewajiban dalam mentaatinya ada dari dua sisi, pertama: karena wajib perbuatan tersebut, kedua: karena ia adalah perintah penguasa. 2) Penguasa memerintahkan yang mustahab atau melarang yang makruh, dalam hal ini ada dua keadaan: a. Jika perintahnya hanya sebatas anjuran, maka yang mustahab tetap mustahab dan yang makruh tetap makruh. b. Jika perintahnya bersifat wajib maka melaksanakan mustahab menjadi wajib dan meninggalkan yang makruh pun menjadi wajib. 3) Penguasa memerintahkan yang mubah, maka hukumnya wajib. 4) Penguasa memerintahkan yang makruh atau melarang yang mustahab, dalam hal ini ada dua keadaan: a. Penguasa memerintahkan yang makruh atau melarang yang mustahab tanpa ada maslahat, seperti melarang qiyamul lail atau puasa senin kamis. Dalam hal ini penguasa tidak wajib untuk ditaati. b. Penguasa memerintahkan yang makruh atau melarang yang mustahab karena maslahat. Dalam hal ini penguasa wajib ditaati. 5) Penguasa memerintahkan perkara yang bersifat Ijtihdiyyah, dalam hal ini penguasa wajib ditaati. 6) Penguasa memerintahkan yang haram atau melarang yang wajib. Dalam hal ini ada beberapa perkara yang mesti diperhatikan: 1. Perintahnya untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram tidak boleh ditaati. 2. Perbuatannya itu tidak menjatuhkan kekuasaannya dan tetap wajib ditaati dalam perkara yang ma’ruf. 3. Penguasa tersebut wajib dinasihati dengan sembunyi-sembunyi sesuai dengan aturan syariat.
13 | P a g e
(3) Fiqih Muamalah antara rakyat dan penguasa Dua kaidah fiqih muamalah antara rakyat dan penguasa: Pertama: Penguasa wajib adil. Berikut ini dalil-dalil yang berkaitan dengannya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن املقسطْي عند هللا على منابر من نور عن ميْي الرمحن عز و جل وكلتا يديه ميْي الذين يعدلون يف حكمهم وأهليهم وما ولوا “Sesungguhnya orang-orang yang adil ada di sisi Allah di atas minbar dari cahaya di sebelah kanan ar-Rahman, dan kedua tangannya adalah kanan, mereka adalah orang yang adil dalam hukum mereka dan rakyat mereka juga pada segala hal yang ada di bawah kekuasannya”.25 Dalam hadits lainnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللهم من وىل من أمر أميت شيئا فشق عليهم فاشقق عليه ومن وىل من أمر أميت شيئا فرفق هبم فارفق به “Ya Allah barang siapa menjadi penguasa untuk umatku lalu dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia, dan barang siapa menjadi penguasa untuk umatku lalu dia berlaku lembut kepada mereka, maka perlakukanlah ia dengan lembut”.26 Dan masih banyak hadits-hadits lainnya, sampai-sampai para ulama hadits mencantumkan bab khusus tentang keadilan para penguasa, misalnya Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi dan yang lainnya.
25 26
Shahih, riwayat Muslim. Shahih, riwayat Muslim.
14 | P a g e
Kedua: Rakyat wajib taat dalam perkara bukan maksiat walaupun penguasanya zhalim. Berikut ini dalil-dalil yang berkaitan dengannya:
ِ ِ ِ ِ ٌ وم فِي ِه ْم ِر َج وهبُ ْم ُ ُال قُل ُ سن ِهِت َو َسيَ ُق َ يَ ُكو ُن بَ ْعدى أَئ همةٌ الَ يَ ْهتَ ُدو َن هبُ َد ُ اى َوالَ يَ ْستَ نُّو َن ب ِول ه ِ قُلُوب ال ه ِ ْي ِِف جثْم ٍ ْان إِن ك َ َصنَ ُع ََي َر ُس َ َ ق.» س َ ْت َك ْي َ ِت َذل ُ اَّلل إِ ْن أَ ْد َرْك ُ ال قُل ْ فأ ُ َ ُ ِ شيَاط ِ ض ِرب ظَهر َك وأ ِ ِ ال « تَسمع وتُ ِط ِ امسَع وأ ».َط ْع َ َق َ ُُخ َذ َمال ُ َ َُْ َ ْ ْ َك ف َ ُ ْ َ ُ يع لألَم ِري َوإِ ْن “Nanti setelah aku akan ada para pemimpin yang tidak mendapatkan petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan ajaranku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” 27 Hadits tersebut tegas menjelaskan adanya penguasa yang ilmu dan amalnya bukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan fokus bahasan penguasa adalah mengatur negara, maka maksud dari hadits di atas mereka tidak menerapkan aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Demikianlah zhahir hadits di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ِ اصِِبُْوا َح هِت تَ ْل َق ْوِِنْ َعلَى ا ْْلَْو ض ْ َإِنه ُك ْم َستَ ْل َق ْو َن بَ ْعد ْي أَثَ َرًة ف
27
Shahih, riwayat Muslim.
15 | P a g e
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” .28 Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah
memperbaikinya
(kembali
taat
kepada
Allah
meninggalkan
kedhalimannya)”.29 Cara menasihati penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ٍ َاد أَ ْن ي ْنصح لِسلْط ان ِِب َْم ٍر فََلَ يُ ْب ِد لَهُ َعَلَنِيهةً َولَ ِك ْن لَيَأْ ُخ َذ بِيَ ِدهِ فَ يَ ْخلُ َو بِ ِه فَِإ ْن قَبِ َل َ َ َ َ َم ْن أ ََر اك َوإِال َكا َن قَ ْد أَدهى اله ِذ ْي َعلَْي ِه َ ِم ْنهُ فَ َذ “Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat). Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima),
28 29
Shahih, riwayat Al-Bukhari dan Muslim Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, [12/232].
16 | P a g e
maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya”.30
(4) Agar negeri ini penuh dengan berkah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
َۡ ْ َُ َ َٰ َ َٰ َّ ْ ُ َ َ ۡ ُ َ ۡ ُ َّ َو َع َد َۡرض َكما َ ٱّلل َّٱَّل ِ ت ل َي ۡس َتخلِف َّن ُه ۡم ِِف ٱۡل ِ ِين َءامنوا مِنكم وع ِملوا ٱلصلِح َّ َ َ َ َ َۡ َّ َ ِين مِن َق ۡبله ۡم َو ََلُ َمك َ َِن ل َ ُه ۡم د ۡ َ ٱس َت ۡخلَ َف َّٱَّل َٰ ِين ُه ُم ٱَّلِي ٱرت ض ل ُه ۡم َوَلُ َب ِدَلَّ ُهم ِم ۢن َب ۡع ِد ِِ َ ُ َٰ َ ۡ ُ ُ َ َٰٓ َ ْ ُ َ َ َٰ َ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ ُۡ َ َ َُُۡ َٗۡ ۡ ۡ َ ٗۡ َ َ َ سقون ِ ۡشكون ِِب شيا ۚ ومن كفر بعد ذل ِك فأولئِك هم ٱلف ِ خوف ِ ِهم أمنا ۚ يعبدون ِِن َل ي
٥٥ “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (an-Nur [22]: 55). Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan tiga perkara penting dalam ayat di atas: Pertama: Kekuasaan, kedua: keteguhan dalam agama, ketiga: keamanan. 30
[HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].
17 | P a g e
Janji ini diberikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, terutama mengamkan Tauhid dan meninggalkan kesyirikan, karena itulah dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah Tauhid, bahkan inilah dakwah seluruh para Nabi sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat anNahl ayat: 36. Dua langkah yang ditawarkan oleh para ulama semenjak dulu, bahkan diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian pula para shahabat, yakni Tashfiyah dan Tarbiyah. Tashfiyah adalah proses penjerinihan (pemurniaan) ajaran-ajaran Islam, dari segala yang berkaitan dengannya, berupa ijtihad-ijtihad lemah, yang bersandar kepada dalil-dalil dhaif, atau kesimpulan-kesimpulan hukum yang rapuh.31 Seperti membersihkan Islam dari pemikiran-pemikiran Khawarij, Syiah dan yang lainnya. Tarbiyah adalah meluruskan akhlak, dan berpegang teguh kepada akhlak Islam secara zhahir dan batin, dalam ibadah ataupun muamalah, di atas landasan utama, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.32 Dengan kata lain mendidik umat dengan ajaran Islam yang benar-benar telah ditashfiyah. Tegakan dengan benar Islam ini dalam kita, sibukan dengan ilmu dan amal Do’akan para penguasa agar mereka diberikan hidayah oleh Allah. Imam al-Barbahari rahimahullah berkata: “Jika anda melihat seseorang mendo’akan buruk bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu, dan jika anda mendengar seseorang mendo’akan baik kepada penguasa,
31 32
Al-Manhajus Salafi ‘indas Syaikh Nashiruddin al-Albani (207) Ibid.
18 | P a g e
maka ketahuilah sesungguhnya dia pengikus Sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)”.33
Pengaruh baiknya penguasa terhadap rakyatnya34: Pengaruh baiknya penguasa terhadap baiknya rakyat adalah perkara yang tidak samar, akan tetapi ketika baiknya penguasa itu sangat tergantung kepada baiknya rakyat, bukan sebaliknya, maka itulah yang menjadi perbedaan jelas dalam dakwah Nabi kepada penguasa dan rakyat, yakni perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperbaiki rakyat jauh lebih besar daripada perhatian Nabi kepada para raja. Dan tidak diragukan bahwa, rusaknya kaum muslimin di negeri mana pun disebabkan karena rusaknya penguasa dan rakyatnya. Jika sudah diketahui bahwa, buruknya penguasa bisa menyebabkan rusaknya rakyat yang disebabkan aturan-aturan yang menyelisihi syariat, akan tetapi yakinilah bahwa, awal rusaknya penguasa disebabkan oleh buruknya rakyat, hal itu karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
َٰ َّ َ ۡ ْ ُ َ ُ َ َ َ َ َ ٱلظلِم ۢ َ ي َب ۡع ١٢٩ س ُبون َوكذَٰل ِك ن َو ِّل َب ۡعض ِ ضا ب ِ َما َكنوا يَك ِ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”. (Al-An’am [6]: 129). Allah mengabarkan bahwa, diantara aturanNya memberikan penguasa zhalim kepada mereka yang zhalim. Diantara sebab kehancuran: Terkait dengan masalah ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
َ ۡ ُّ َ ٓ َ ۡ َ َ ٓ َ ِٗيها فَ َح َّق َعلَ ۡي َها ٱلۡ َق ۡو ُل فَ َد َّم ۡر َنَٰ َها تَ ۡدمِريا َ ِيها َف َف َس ُقوا ْ ف َ ۡتف َ ۡ ك قَ ۡر َي ًة أَ َم ۡرنَا ُم ِ ِإَوذا أردنا أن نهل ١٦
33 34
Lihat kitab Muamalatul Hukkam fi Dhauil Kitab was Sunnah, hal: 10. Dikutip dari kitab Tahdzirul Ulama at-Tsiqat minal Muzhaharat, hal: 276.
19 | P a g e
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Al-Isra [17]: 16). Allah mengabarkan bahwa, Allah memberikan kekuasaan kepada penguasa yang fasik atas penduduk negeri yang berhak untuk dihancurkan. Dan tidak diragukan bahwa, negeri itu tidak berhak untuk dihancurkan kecuali karena penduduk negeri itunya sendiri yang berlaku zhalim, hal itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
ۡ َ َ َ ْ ُ َ َ َّ َ ۡ ُ َ ۡ َ ۡ َ َٰٓ َ ُ ۡ َ ۡ َ ٗ ۡ َّ َ ۡ َ ٥٩ ك ِهم موعِدا ِ ِ وت ِلك ٱلقرى أهلكنَٰهم لما ظلموا وجعلنا ل ِمهل
“Dan (penduduk) negeri telah Kami binasakan ketika mereka berbuat zalim, dan telah Kami tetapkan waktu tertentu bagi kebinasaan mereka”. (AlKahfi [18]: 59). Dengan tafsiran seperti itulah sebagian salaf memahami ayat di atas: Abu Nuaim meriwayatkan (VI/ 30), demikian pula al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (7389), Abu Amr ad-Dani dalam as-Sunan al-Waridah fil Fitan (299) dengan sanadnya yang shahih dari Ka’ab al-Ahbar, beliau berkata: “Pada setiap zaman Allah mengirimkan penguasa yang sesuai dengan orang-orang yang ada pada zaman itu, jika Allah menghendaki kebaikan bagi satu kaum, maka Allah akan mengutus seseorang yang melakukan perbaikan, dan jika Allah menginginkan kerusakan, maka Allah akan mengutusnya orang fasik yang hidup dengan kemewahan, beliau membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
َ ۡ ُّ َ ٓ َ ۡ َ َ ٓ َ ِٗيها فَ َح َّق َعلَ ۡي َها ٱلۡ َق ۡو ُل فَ َد َّم ۡر َنَٰ َها تَ ۡدمِريا َ ِيها َف َف َس ُقوا ْ ف َ ۡتف َ ۡ ك قَ ۡر َي ًة أَ َم ۡرنَا ُم ِ ِإَوذا أردنا أن نهل ١٦
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”. (Al-Isra [17]: 16).
20 | P a g e
Al-Munawi berkata dalam kitabnya Faidhul Qadir (I/ 265): “Maknanya jika kami hendak menimpakan keburukan kepada kaum yang jelek, maka Allah akan menjadikan orang-orang fasik yang hidup mewah menguasai mereka karena mereka tidak istiqamah”. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa, adanya penguasa yang zhalim, awalnya disebabkan oleh dosa rakyat, Nabi bersabda:
ِ ِ ِ َالس ْلط ان َعلَْي ِه ْم َ َصوا ال ِْم ْكي ُّ َو َج ْوِر،ْي َو ِش هدةِ ال َْمئُونَِة َ ِال َوال ِْم َيزا َن إِهال أُخ ُذوا َِبلسن ُ َوََلْ يَ ْن ُق “Dan tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka dihukum dengan paceklik, beratnya biaya hidup, dan zhalimnya penguasa terhadap mereka”. (hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah [4019] dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ta’liqnya). Demikianlah perbuatan dosa, jika akibatnya telah menimpa satu kaum maka akan merusak hari-hari orang yang diberikan peringatan, musuh pun menghancurkan mereka, merampas rizki dan kehormatan mereka, mengekang kebebasan mereka, melakukan kemungkaran terhadap mereka sesuai dengan keburukan yang mereka lakukan, dan mereka akan kehilangan kebahagiaan sesuai dengan ketaatan yang mereka tinggalkan, dan hanya Allah lah yang maha adil dalam hukumNya, dan hanya kepadaNya pula kita memohon pertolongan. Memperbaiki diri, itulah satu-satunya jalan: Inilah dasarnya, karena itu pula Allah menjadikan perbaikan diri merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki pemimpin dan rakyatnya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ُ َ َ ْ ُ َ ُ َٰ َّ َ ۡ َ َ ُ َ ُ َ َ َّ َّ ۡۡۗسهم ِ ِ إِن ٱّلل َل يغ ِري ما بِقو ٍم حَّت يغ ِريوا ما بِأنف
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar-Ra’du [13]: 11). Nabi sebaik-baiknya Mushlihin (orang yang melakukan perbaikan) tidak pernah melewatkan dalam khutbahnya untuk memohon perlindungan keburukan diri, beliau bersabda:
ونعوذ َبهلل من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا
21 | P a g e
“Dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kami, dan kejelakan amal perbuatan kami”. (Diriwayatkan oleh Ashabus Sunah35 dan dishahihkan oleh al-Albani36).
Pentup: Saya bawakan pernyataan Sayyid Qutb sebelum dihukum mati: “Dan setelah mengkaji secara seksama dalam waktu yang panjang akan gerakan Ikhwanul Muslimin, juga membandingkannya dengan gerakan dakwah Islam pertama kali, jelaslah dalam pikiranku bahwa, objek dakwah yang dihadapi gerakan dakwah sekarang ini adalah serupa dengan keadaan masyarakat ketika pertama kali Islam datang, yakni dari sisi kebodohan akan hakikat Akidah Islam dan jauh dari nilai juga akhlaq Islam, bukan sebatas jauh dari aturan dan syariat Islam. Di waktu yang sama kita dapati adanya penjajahan zionis dan kaum salib yang sangat kuat dalam memerangi dakwah Islam dan berusaha untuk menghancurkannya melalui aturan dan perangkat lokal yang menunjang tujuantujuan mereka. Demikianlah, sementara gerakan Islam sibuk hanya dengan gerakan-gerakan politik yang sangat terbatas lagi bersifat lokal...... Beliau melanjutkan: Demikian pula, gerakannya hanya sibuk dengan menuntut penguasa untuk menerapkan aturan dan syariat Islam, sementara masyarakatnya sendiri – secara umum – jauh dari pemahaman tentang akidah Islam, juga tidak ada cemburu terhadap nilai dan akhlaq Islam. Maka setiap gerakan dakwah Islam mesti mengawalinya dengan kaidah dasar, yakni menghidupkan substansi dari akidah Islam dalam hati juga akal, dan mendidik mereka yang menerima dakwah ini dengan pendidikan islami yang
35
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2118), at-Tirmidzi (1105), Ibnu Majah (1892), an-Nasai (1404) dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. 36 Dalam Ta’liq al-Misyqat (3149).
22 | P a g e
benar, tidak menghabiskan waktu dengan isu-isu politik, juga tidak sibuk dengan memaksakan aturan Islami melalaui kekuasan sebelum kaidah islam yang ada dalam diri masyarakat – secara otomatis – menuntut terwujudnya aturan Islam, hal itu karena ia mengenal hakikatnya. Artinya, jalan untuk menerapkan aturan Islam dan berhukum dengan hukum Allah bukan tujuan jangka pendek, hal itu karena tidak bisa kita wujudkan kecuali setelah kita mengalihkan masyarakatnya itu sendiri, atau sejumlah masyarakat sholih yang benar-benar memiliki kedudukan di masyarakat umum pada pemahaman yang benar tentang akidah Islam dan aturan Islam, dan pada pendidikan akhlaq Islam yang benar, tentunya itu semua memerlukan waktu panjang dengan tahapan lamban tapi pasti.” (demikianlah pernyataan Sayyid Qutb dalam kitabnya Limadza A’damuni, hal: 28)37
Ditulis oleh: Beni Sarbeni Alumni Pondok pesantren Sukamanah Singaparna Angkatan 97 Semoga bermanfaat
37
Lihat Fiqih Syiyasah Syar’iyyah karya Khalid al-Anbari, hal: 109.