BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KHITBAH
A. Pengertian Khitbah lamaran dalam ilmu fiqh dikenal istilah khitbah, yang berasal dari suku kata: وﺧﻄﺒﺔ
- ﺧﻄﺒﺎ- ﻳﺨﻄﺐ-ﺧﻄﺐ1
Pengertian lamaran menurut hukum Islam adalah:
س ِ ﻦ اﻟﻨﱠﺎ َ ﺳ ْﻴَﻠ ِﺔ ا ْﻟ َﻤ ْﻌ ُﺮ ْو َﻓ ِﺔ َﺏ ْﻴ ِ ج ﺏِﺎ ْﻟ َﻮ ِ ﻃَﻠ َﺒﻬَﺎ ﻟِﻠ ﱠﺰوَا َ
2
Artinya:“Seseorang pria meminta kepada seorang wanita untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang berlaku diantara masyarakat”. Sedangkan menurut terminologi fiqh khitbah atau lamaran adalah merupakan pendahuluan atau masa pra perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai langkah awal sebelum keduanya melaksanakan akad nikah, agar masing-masing mengenal calonnya. Sehingga diharapkan akad nikah yang mereka lakukan benar-benar atas dasar kerelaan, suka sama suka dan dengan pandangan yang jauh, dengan demikian perkawinannya dapat berlangsung kekal tak mudah putus dan diputuskan.3 Jadi lamaran merupakan pendahuluan perkawinan dari segi petunjuk dan rasa hati, bukan merupakan akad perkawinan. Kadang orang yang meminang memberi mahar seluruhnya atau sebagian, ada juga yang memberi hadiah-hadiah sebagai penguat ikatan, untuk memperkokoh hubungan baru antara peminang dengan orang yang dipinang. 1
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, hlm. 118 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz II, al-Fatkhu lil-I’alm al-Araby, t.th., hlm. 138 3 Hadi Mufa’at Ahmad, Fiqh Munakahat (Hukum Perkawinan Islam dan Beberapa Permasalahannya), Duta Grafika, 1992, hlm. 31 2
11 10
12
Khitbah dalam hukum Islam bukan merupakan hal yang wajib dilalui, setidaknya merupakan suatu tahap yang lazim pada setiap yang akan melangsungkan perkawinan. Tradisi khitbah tidak saja berlangsung setelah agama Islam datang akan tetapi ada sebelum Islam datang. Dan kini tradisi khitbah sudah menjadi tradisi yang banyak dilakukan di semua tempat di belahan bumi ini, termasuk di dalam hukum adat kita, tentu dengan tata cara yang berbeda pula bagi setiap tempat. Berdasarkan nash-nash yang dapat kita pahami dari firman Allah swt dan Hadits Nabi saw, nash-nash tersebut antara lain:
ﻄ َﺒ ٍﺔ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء َا ْو َا ْآ َﻨ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ْ ﺧ ِ ﻦ ْ ﺿ ُﺘ ْﻢ ِﺏ ِﻪ ِﻡ ْ ﻋ ﱠﺮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻓ ْﻴﻤَﺎ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُﻻ َ َو (٢٣٥ : ﺴ ُﻜ ْﻢ )اﻟﺒﻘﺮة ِ ﻓِﻰ َا ْﻥ ُﻔ Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…” (Al Baqarah : 235)4 1. Ucapan Khitbah atau Lamaran Lamaran sebagaimana diterangkan dalam kitab fiqh ada 2 (dua) cara yaitu: 1) Khitbah yang dilakukan secara terang-terangan artinya pihak laki-laki menyatakan niatnya untuk mengawininya dengan permohonan yang jelas atau terang. Misalnya: Aku ingin mengawinimu. Hal ini dapat dilakukan kepada wanita yang habis iddahnya dan wanita yang masih sendirian statusnya.5
hlm. 57
4
Departemen Agama RI, al Qur'an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra, Semarang, t.th.,
5
Abdul Hadi, Fiqh Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1989, hlm. 26
12
13
2) Khitbah
dilakukan
secara
sindiran
artinya
peminang
dalam
mengungkapkan keinginannya tidak menggunakan kalimat yang jelas yang dapat dipahami. Misalnya: Kamu sudah sepantasnya untuk kawin.6 Meminang dengan kata kinayat Haram
: apabila wanita itu dalam keadaan iddah talak raj’i
Boleh
: apabila wanita itu dalam iddah karena ditinggal mati
suaminya. Sebagaimana firman Allah swt:
ﻄ َﺒ ٍﺔ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء َا ْو ْ ﺧ ِ ﻦ ْ ﺿ ُﺘ ْﻢ ِﺏ ِﻪ ِﻡ ْ ﻋ َﺮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻓ ْﻴﻤَﺎ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُﻻ َ َو (٢٣٥ : ﺴ ُﻜ ْﻢ )اﻟﺒﻘﺮة ِ َا ْآ َﻨ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﻓِﻰ َا ْﻥ ُﻔ Artinya: “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu…” (Al Baqarah : 235)7 2. Syarat-syarat khitbah Dalam melakukan sesuatu itu diharuskan memenuhi suatu syarat baik syarat itu diadakan sebelum maupun sesudah sesuatu itu terjadi, begitu juga dalam peminangan diharuskan adanya syarat yang harus dipenuhi, baik sesudah ataupun sebelum peminangan dilakukan. Dalam hal ini syarat peminangan dibagi jadi 2 yaitu:
6 7
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh AL_Islam wa Adzilatuhu, Juz VII, Beirut: t.th., hlm. 10 Departemen Agama RI, loc.cit.
13
14
1) Syarat Mustahsinah Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang wanita agar ia meneliti lebih dahulu yang akan dipinangnya itu apakah sudah sesuai dengan keinginannya atau belum, sehingga hal ini dapat menjamin kelangsungan hidup berumah tangga kelak.8 Syarat mustahsinah ini bukan merupakan syarat wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan akan tetapi berupa anjuran dan menjadi kebiasaan yang baik saja. Tanpa ada syarat-syarat mustahsinah peminang tetap sah. Yang termasuk syarat-syarat mustahsinah yaitu: a
Wanita yang dipinang itu hendaklah setara dengan laki-laki yang meminangnya, seperti sama-sama baik bentuknya, sama-sama berilmu dan sebagainya. Adanya keserasian yang harmonis dalam kehidupan suami istri sangat menunjang untuk tercapainya tujuan dari suatu perkawinan,9 sesuai dengan sabda Nabi saw:
:ﻋﻦ اﺏﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ اﻟﻨﺒﻰ ص م ﻗﺎل 10
ﺕﻨﻜﺤﺎﻟﻤﺮأة ﻻرﺏﺎع ﻟﻤﺎﻟﻬﺎ وﻟﺤﺴﺎﺏﻬﺎ وﻟﺠﻤﺎﻟﻬﺎ وﻟﺪﻳﻨﻬﺎ
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Saw bersabda: yaitu karena harta bendanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Tetapi pilihlah yang beragama agar kamu selamat.”
8
Hady Mufaat Ahmad, op.cit., hlm. 37 Ibid, hlm. 37-38 10 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shoheh Bukhari, Juz III, Dar al Fikr, Beirut, 1981, 9
hlm. 256
14
15
b
Wanita yang dipinang itu hendaklah mempunyai sifat kasih sayang dan bisa memberikan keturunan. Sesuai dengan anjuran Rasulullah saw:
آﺎن رﺳﻮل اﷲ ص م:ﻋﻦ اﻥﺲ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل :ﻳﺄﻡﺮ ﺏﺎﻟﺒﺄة وﻳﻨﻬﻰ ﻋﻦ اﻟﺘﺒﺘﻞ ﻥﻬﻴﺎ ﺷﺪﻳﺪا وﻳﻘﻮل ﺕﺰوﺟﻮا اﻟﻮﻟﺪود ﻓﺎﻥﻰ ﻡﻜﺎﺛﺮﺏﻜﻢ ﻡﻢ اﻟﻘﻴﺎﻡﺔ )رواﻩ أﺡﻤﺪ )وﺻﺤﺔ اﺏﻦ ﺡﺒﺎن Artinya: “Dari Anas r.a. ia berkata: Adalah Rasulullah saw menyuruh kawin dan melarang dengan sangat hidup sendirian (tidak kawin) dan beliau bersabda: kawinilah oleh wanita yang pencinta dan beranak. Maka sesungguhnya aku bermegah-megah dengan banyaknya kamu itu terhadap Nabi-Nabi yang lain di hari kiamat.” (HR. Ahmad di Shohiikan Ibn Hibban) c
Wanita yang akan dipinang itu sebaiknya jauh hubungan darahnya dengan laki-laki yang meminangnya. Karena agama melarang seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang sangat dekat hubungan darahnya. Sementara itu dalam hal ini sayyidina Umar bin Khatab menyatakan bahwa perkawinan antara seorang laki-laki yang dekat hubungan darahnya akan menurunkan keturunan yang lemah jasmani dan rohaninya.11
d
Sebaiknya mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita yang dipinang sebaliknya wanita yang
11
Djaman Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 15
15
16
dipinang
harus
mengetahui
pula
keadaan
orang
yang
meminangnya.12 2) Syarat Lazimah Yang dimaksud dengan syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan.13 Dengan demikian sahnya peminangan tergantung dengan adanya syarat-syarat lazimah, yang termasuk didalamnya yaitu: a
Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain atau apabila sedangkan dipinang oleh laki-laki lain, laki-laki tersebut telah melepaskan hak pinangnya,14 berdasarkan hadits Nabi saw:
ﺡﺘﻰ ﻳﺘﺮك اﻟﺨﺎﻃﺐ ﻗﺒﻠﻪ,ﻻﻳﺨﻄﺐ اﺡﺪآﻢ ﻋﻠﻰ ﺧﻄﺒﺔ (اوﻳﺄذن ﻟﻪ )ﻡﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ Artinya: “Janganlah seseorang dari kamu meminang (wanita) yang dipinang saudaranya, sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau lebih mengizinkannya.” (Mutafaq ‘Alaih) b Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah. Haram hukumnya meminang wanita yang dalam masa iddah talaq raj’I, karena yang lebih berhak mengawininya adalah bekas suaminya.15 Bekas suaminya boleh merujuknya kapan saja dia kehendaki dalam masa iddah itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:
12
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 30 13 Ibid, hlm. 33 14 A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 65 15 A. Rafiq, loc.cit.
16
17
ﻼﺡًﺎ َﺻ ْ ن َارَا ُدوْا ِا ْ ﻚ ِا َ ﻦ ﻓِﻰ َذِﻟ ﻖ ِﺏ َﺮ ﱢد ِه ﱠ ﺡﱡ َ َو ُﺏ ُﻌ ْﻮَﻟ ُﺘ ُﻬﻦﱠ َا (٢٢٨ )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: “Dan suaminya berhak merujuknya dalam masa idda menanti itu. Jika mereka (para suami) itu menghendaki islah…” (Al Baqarah: 228)16 Disamping itu fuqaha sepakat tentang dibolehkannya meminang wanita yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia dan iddah karena thalak bain mereka beralasan dengan firman Allah swt:
ﻄ َﺒ ٍﺔ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ ِء َا ْو ْ ﺧ ِ ﻦ ْ ﺿ ُﺘ ْﻢ ِﺏ ِﻪ ِﻡ ْ ﻋ َﺮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻓ ْﻴﻤَﺎ َ ح َ ﺟﻨَﺎ ُﻻ َ َو ﻦ ْ ﺳ َﺘ ْﺪ ُآ ُﺮ ْو َﻥ ُﻬﻦﱠ َوَﻟ ِﻜ َ ﷲ َا ﱠﻥ ُﻜ ْﻢ ُ ﻋِﻠ َﻢ ا َ ﺴ ُﻜ ْﻢ ِ َا ْآ َﻨ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﻓﻰ َا ْﻥ ُﻔ (٢٣٥ : ﺳِﺮًّا )اﻟﺒﻘﺮة
ﻋ ُﺪ ْو ُهﻦﱠ ِ ﻻ ُﺕﻮَا َ
Artinya: “Dan tidak ada dosa bagimu meminang wanita-wanita itu dengan saudara-saudara, yang baik/kamu sembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut janji kawin dengan mereka secara rahasia…” (al Baqarah: 235)17 Ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa wanita yang karena suaminya meninggal dan iddah thalak bain boleh dipinang dengan kinayah (sindiran). Dari uraian di atas dapat diambil suatu pemahaman, bahwa wanita yang statusnya berbeda dari yang dijelaskan di atas, maka terhalang untuk dipinang.
16 17
Depag RI, op.cit., hlm. 55 Ibid, hlm. 57
17
18
B. Tujuan Khitbah 1. Tujuan khitbah Tujuan diadakannya khitbah diantaranya adalah: a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu sudah dapat dilangsungkan dalam waktu dekat b. Sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat c. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal sehingga kelak mereka sebagai suami istri menjadi satu pasangan yang harmonis 2. Hikmah khitbah Adapun hikmah khitbah yaitu: Demi kelancaran khitbah ini, pelamar diperkenankan melihat dan berkenalan dengan wanita yang ia kehendaki agar mereka dapat saling memahami pribadi masing-masing dan dapat mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing yang berupa material maupun immaterial. Setelah proses ini diharapkan mereka semakin mantap untuk menuju ke jenjang perkawinan, sehingga kelak dapat dihindari hal-hal yang tidak diharapkan, penyesalah misalnya.18 Karena prinsip perkawinan dalam Islam adalah bukan hanya untuk sementara tetapi untuk selama hidup, karena perkawinan dalam Islam adalah atas dasar kerelaan, bukan paksaan. Agar terpenuhinya
18
Abdul Hadi, Fiqh Munakahat, Semarang : Duta Grafika, Seri I, 1989, hlm. 27
18
19
prinsip tersebut, hukum Islam mengatur agar sebelum melangsungkan perkawinan dilakukan khitbah terlebih dahulu. Selanjutnya juga Islam mengatur siapa yang boleh dipinang, kapan dan bagaimana sebaiknya meminang itu.19 Berkaitan dengan peminangan ini dalam masyarakay terdapat kebiasaan pada waktu pelaksanaannya, calon mempel;ai laki-laki memberikan suatu pemberian seperti perhiasaan sebagai tanda bahwa seseorang tersebut sungguh-sungguh berniat untuk melanjutkan kejenjang perkawinan. Pemberian ini harus dibedakan dengan mahar. Mahar adalah suatu pemberian dari calon suami kepada istri denganb sebab nikah.20Sedangkan pemberian ini termasuk kedalam pengertian hadiah, atau hitbah.Oleh karena itu akibat yang ditimbulkan oleh pemberian hadiah berbeda juga dengan pemberian dalam bentuk mahar.21Jika peminangan tersebut berlanjut kejenjang perkawinan memang tidak menimbulkan masalah, tetapi jika tidak, diperlukan penjelasan tentang status pemberian itu. Dalam masalah ini para fuqoha’ saling berbeda pendapat : a.
Fuqoha’ Syafi’iyah bewrpendapat bahwa peminang berhak
meminta kembali apa yang telah diberikan kepada terpinang, jika barang yang diberikan masih utuh maka diminta apa adanya, dan jika barang itu sudah rusak atau sudah habis (hilang) maka diminta kembali nilainya
19
Murni Jamal, Ilmu Fiqh,Jilid I, Jakarta: proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta, 1983, hlm. 92 20 A Ghozali, Fiqh Munakahat,Diktat Fakultas Syari’ah IAIN WS, Smarang: hlm 71 21 A Rofiq,Loc cIt.
19
20
seharga barangnya, melalui pembatalan itu dating dari pihak laki-laki maupun perempuan. b.
Fuqoha Hanafi berpendapat bahwa barang yang diberikan dapat
diminta kembali apabila barangnya masih utuh, apabila sudah dijual maka laki-laki tidak berhak meminta kembali barang tersebut. c.
Fuqoha Maliki berpendapat bahwa narang itu dating dari pihak
peminang maka baranmg yang pernah diberikan tidak boleh diminta kembali baik masih utuh maupun sudah berubah.Sebaliknya apabila pembatalan dating dari pihak yang dipinang jika barang itu masih utuh atau sudah berubah maka boleh diminta.apaboila barang rusak maka sarat dan adat itulah yang harus diikuti.22 Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya dalil-dalil yang menunjukkan permasaalahan ini dalam satu segi dan dalam segi lain memang ada kebolehan membatalkan peminangan karena sebab-sebab yang rasional dan dibenarkan syara’ 3. Hukum khitbah Di dalam syari’at Islam di kenal adanya lamaran atau pinangan yang dilakukan sebelum akad nikah baik dengan memakai tenggang waktu ataupun tidak memakainya. Di dalam masyarakat Indonesia, lamaran tersebut bervariasi tergantung kepada kondisi sosial, adat istiadat atau tradisi masyarakat setempat.23
22
Al Hamdani, Risalah Nikah ,(alih bahasa Agus Salim),Pekalongan: Raja Murah,1990, hlm 21 23 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. Ke-1, hlm. 215216
20
21
Khitbah merupakan langkah awal mengenal masing-masing pribadi antara pria dan wanita sebelum melangsungkan perkawinan. Dalam bahasa al Qur'an, peminangan disebut khitbah. Berkaitan dengan peminangan ini, jumhur ulama mengatakan bahwa hukum khitbah atau peminangan adalah tidak wajib. Namun prakteknya dalam masyarakat menunjukkan bahwa peminangan merupakan suatu hal yang hampir pasti dilakukan, sehingga seolah-olah masyarakat menganggap bahwa khitbah merupakan hal yang wajib dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Dawud al-Zahiry yang menyatakan meminang hukumnya wajib.24 C. Sunah-sunah dalam meminang 1.
Melihat wanita yang dipinang Mengenai melihat wanita yang dipinang sunnah hukumnya, berdasarkan hadits Nabi Saw, yang menyuruh kepada Mughiroh bin Syu’bah untuk melakukan khitbah.
اﻥﻈﺮاﻟﻴﻬﺎﻓﺎﻥﻪ اﺡﺮى ان ﻳﺆدم ﺏﻴﻨﻜﻤﺎ )رواﻩ اﺏﻦ ﻡﺎﺟﻪ 25
(واﻟﺘﺮﻡﺬ
Artinya: “Lihatlah! Karena dengan melihat itu akan lebih dijamin dapat menyatukan kamu berdua.” (HR. Ibnu Majah dan Turmudi). Melihat wanita yang akan dipinang merupakan suatu hal yang penting dan bukan sekedar melihat seperti orang yang bertemu di jalan,
2
24
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Jilid 2, (terj), Semarang: Usaha Keluarga, t.th., hlm.
25
Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Beirut: Darul Fikr, t.th.,
hlm. 585
21
22
oleh karena itu dalam hal ini diperlukan adanya batasan. Dalam hal ini ulama berselisih pendapat diantaranya: a) Jumhur ulama’ berpendapat bahwa seorang laki-laki disunnahkan melihat calon istri pada bagian wajah dan telapak tangan, dengan begitu diketahui kehalusan tubuh dan kecantikannya. Begitu juga calon wanita yang dipinang boleh melihat calon suaminya pada bagian-bagian badannya.26 Firman Allah surat an-Nur ayat 31:
ﻦ َﻈ ْ ﺤ َﻔ ْ ﻦ َو َﻳ ﻦ َا ْﺏﺼَﺎ ِر ِه ﱠ ْ ﻦ ِﻡ َﻀ ْ ﻀ ُ ﺖ َﻳ ْﻐ ِ ﻞ ِﻟ ْﻠ ُﻤ ْﺆﻡِﻨ ْ َو ُﻗ : ﻇ َﻬ َﺮ ِﻡ ْﻨﻬَﺎ )اﻟﻨﻮر َ ﻻﻡَﺎ ﻦ ِا ﱠ ﻦ ِز ْﻳ َﻨ َﺘ ُﻬ ﱠ َ ﻻ ُﻳ ْﺒ ِﺪ ْﻳ َ ﺟ ُﻬﻦﱠ َو َ ُﻓ ُﺮ ْو )٣١ Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan jagalah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”27 Dalam ayat tersebut yang dimaksud dengan perhiasan adalah sesuatu yang menarik dan memikat orang lain. Termasuk yang memikat dan menarik adalah wajah dan kedua telapak tangan.28 Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama yaitu diperbolehkannya melihat muka dan telapak tangan dan ditambah kedua telapak kaki.29 Sedangkan Abu Daud membolehkan melihat
26
Hadi Mufa’at, op.cit., hlm. 44 Depag RI., op.cit., hlm. 546 28 Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 3 29 Hadi Mufa’at, loc.cit. 27
22
23
seluruh badan dari wanita yang dipinang kecuali kedua alat kemaluan. Al-Auza’i membolehkan melihat tempat-tempat yang berdaging dari wanita yang dipinang.30 Begitu juga dengan jumhur ulama, berpendapat diperbolehkan melihat padawajah dan telapak tangannya saja dari wanita yang hendak dipinangnya. 31 Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan karena dalam permasalahan ini terdapat nash-nash yang berisi suruhan untuk melihat wanita yang dipinang secara mutlak,terdapat pula nash yang berisi tentang larangan melihat wanita secara mutlak dan ada juga nash yang memperbolehkan melihat wanita secara terbatas yaitu pada muka, telapak tangan. 2.
Khutbah Khutbah hukumnya sunnah bagi peminang atau wakilnya menyampaikan khutbah sebelum meminang ataupun sebelum akad.32 Khutbah ini dimulai dengan memuji alah dan shalawat atas Nabi Saw. Nabi Saw bersabda:
آﻞ اﻡﺮ ذىﺏﺎل ﻻﻳﺒﺪأ ﻓﻴﻪ ﺏﺤﻤﺪ اﷲ ﻓﻬﻮ اﺏﺘﺮ Artinya: Tiap-tiap perkara penting yang tidak dimulai dengan memuji Allah, maka akan terputus dari rahmat Allah. (HR. Ibnu Majah Bab Khutbah Nikah No. 1894)
30
Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 41 Ibrahim Muhammad Al Jamal, Fiqh Wanita, (Terj.Ansori Umar Sitanggal), Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998, hlm. 363 32 Abi Zakariya al-Anshor, Fathul Wahab, Juz II, Semarang: Toha Putra, t.th., hlm. 33 31
23
24
Sebagaimana menurut jumhur ulama’ khutbah hukumnya sunnah bagi peminang dan dapat pula diwakilkan pada orang yang dianggap lebih terpandang menurut anggota keluarga.
24