16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Maqashid Syariah 1. Pengertian Maqashid Syariah Menurut Bahasa Secara bahasa Maqashid Syariah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan Syari‟ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama‟ dari maqsud yang berasal dari suku kata qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.1Sedangkan syari‟ah secara bahasa berartijalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. 2 Didalam Alqur‟an Allah SWT menyebutkan beberapa kata Syari‟ah diantaranya sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Jassiyah dan al-Syura
ثن جعلٌل على شز ٌعت هي االهز فاتبعِاّالتتبع اُْاء الذٌي الٌعلوْى Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.( Q:S, 45 : 18)
شزع لكن هي الدٌي ها ّصى بَ ًْحاّالذي اّحٌٍاالٍل ّهاّصٌٍابَ ابزاٍُن ّهْسى .ٍَّعٍسى اى اقٍوْالدٌي ّالتتفزقْاف Artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agamadan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (Q:S, 42: 13) 1
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), h. 170 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), h. 140 2
17
Dari ayat di atas, dapat disebut juga bahwa agama yang ditetapkan untuk manusia disebut syari‟ah. Bentuk kesamaan syari‟at Islam dengan jalan air adalah siapa yang mengikuti syari‟at, ia akan bersih jiwanya. Allah menjadikan air penyebab kehidupan bagi setiap makhluk, sebagaimana menjadikan syari‟ah sebagai penyebab kehidupan yang insani. 3 Menurut istilah, syari‟at adalah segala khitab Allah yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia di luar yang yang mengenai akhlak yang diatur tersendiri. Menurut Manna al-Qathan4 yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Dengan demikian, syari‟at itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah.5Hasby ashShiddieqy6 memberi arti bahwa syari‟at adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya agar diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan sesama manusia. Sedangkan Farouk Abu Zaid7 menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Ismail Muhammad Syah bahwa syari‟at, adalah apa-apa yang ditetapkan Allahmelalui lisan nabi-Nya. Istilah “syariah” dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma yang merupakan hasil dari proses tasyri‟. 8 Menurut
3
Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h.13 4 http://paramujaddida.wordpress.com/2012/02/01/maqasid-syariah 5 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), h.11 6 Hasby ash-Ashiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 29 7 Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, . . . . . . . h. 4 8 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), h. 40
18
Jamaluddin, 9 kata tasyri‟ merupakan bentuk masdar dari kata syarra‟a yang berarti menciptakan dan menetapkan syari‟ah. Bila syari‟ah itu merupakan kata aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut tindak tanduk manusia, maka tasyri‟ adalah penetapan hukum dan tata aturan tersebut. Pengetahuan tentang tasyri‟
adalah
pengetahuan
tentang
cara,
proses,
dasar
dan
tujuan
Allahmenetapkan hukum bagi tindak-taduk manusia dalam kehidupan keagamaan dan keduniaan mereka. Sedangkan pengetahuan tentang syari‟ah adalah pengetahuan tentang hakikat dan rahasia dari hukum-hukum syara‟ yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Istilah syari‟ah juga terkadang berkonotasi dengan fiqih, yaitu normanorma amaliah beserta impliksi kajiannya. Mahmoud Syaltut 10mengartikan syari‟ah adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-Muslim, dengan alam maupun dalam menata kehidupan ini. Menurut Dede Rosyada, 11 pengertian tersebut relatif lebih akomodatif, karena dapat mewakili dua jenis syari‟ah, yaitu ketentuan-ketentuan yang diturunkan serta dikeluarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, juga norma-norma hukum hasil kajian para ulama‟ mujtahid, baik melalui qiyas maupun melalui maslahah.
9
A. Djazuli, Signifikasi Kaidah Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), h.
12 10
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh : Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), h. 19 11 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta : Grafindo Persada, 1993), h. 4
19
Melihat definisi syari‟ah sebagaimana tersebut di atas, syari‟ah dalam konotasi hukumIslam terbagi kepada dua macam, yaitu syari‟ah ilahi(tasyri‟ samawi) dan syari‟ah wadh‟i(tasyri‟ wadh‟i). Yang dimaksud syari‟ah ilahi(tasyri‟
samawi) adalah ketentuan-ketentuan hukum
yang langsung
dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Norma-norma hukum tersebut berlaku secara universal untuk semua waktu dan tempat, tidak bisa berubah karena tidak ada yang kompeten untuk mengubahnya. Sedangkan yang dimaksud dengan syari‟ah wadh‟i (tasyri‟ wadh‟i) adalah ketentuan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid, baik mujtahid mustanbith maupun mujtahid muthaliq. Kajian hukum para mujtahid ini tidak memiliki sifat keabadian dan bisa berubah sesuai dengan kondisi tempat dan waktu. Hasil kajian para mujtahid ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman keilmuan mereka dan juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan dinamika kultur kemasyarakatnya. Produk pemikiran yang termasuk dalam syari‟ah wadh‟i ini tetap diakui sebagai syari‟ah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada al-Qur‟an dan Sunnah, baik melalui qiyas maupun maslahah. 12 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa syari‟ah mengandung tiga dimensi, yaitu : 1. Dimensi Akidah Yaitu mencakup hukum-hukum yang berhubungan dengan dzat Allah swt, sifat-siatnya, iman kepada-Nya, kepada utusan-Nya, hari kiamat dan halhal yang mencakup dalam ilmu kalam.
12
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia,. . . . . . . . h. 42
20
2. Dimensi Moral Yaitu membahas secara spesifik tentang etika, pendidikan dan pembersihan jiwa, budi pekerti yang harus dimiliki oleh seseorang, dan sifatsifat buruk yang harus dihindari oleh seseorang. 3. Dimensi Hukum Yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia seperti ibadah, muamalah, hukuman, dan sebagainya yang termasuk dalam kajian ilmu fiqih. Setelah menjelaskan definisi maqashid dan Syari‟ah secara terpisah kiranya perlu mendefinisikan Maqashid dan Syari‟ah secara gabungan(Maqashid Syari‟ah) 2.
Pengertian Maqashid Syariah Menurut Istilah Pengertian Maqashid Syari‟ah secara istilah tidak ada definisi khusus
yang dibuat oleh para ulama Usul fiqh, boleh jadihal ini sudah maklum di kalangan mereka. Termasuk Syekh Maqasid (al-Syathibi) itu sendiri tidak membuat ta‟rif yang khusus,beliau menyebut maqashid syari‟ah dengan almaqashid al-syar‟iyyah fi al-syari‟ah dan maqashid min syar‟i al hukm.13Beliau mengungkapkan
tentang
syari‟ah
dan
fungsinya
bagi
manusia
seperti
ungkapannya dalam kitab al-Muwafakat14
ًُذٍ الشزٌعتّضعت لتحقٍق هقاصد الشارع فً قٍام هصالحِوف الدٌي ّالدىٌا ّاالخزة
13
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), h.64 14 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, selanjutnya disebut alMuwafaqat, (Kairo : Mustafa Muhammad, tt), h.6
21
Artinya: “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.
االحكام هشزّعت لوصالح العباد Artinya: “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba” Pengertian yang diberikan al-Syatibi tersebut bertolak dari pandangan bahwa semua kewajiban diciptakan oleh Allah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan menurut al-Syatibi sama dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan) dan hal ini tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Allah. Dalam
mengomentari pandangan al-Syatibi
ini,
Fathi al-Daraini
memperkuatnya. Ia mengatakan bahwa hukum-hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan lain, yakni kemaslahatan. 15 Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyari‟atkan baik dalam al-Qur‟an maupun Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Ajaran maqashid syari‟ah al-Syatibi, menurut Khalid Mas‟ud adalah upaya memantapkan maslahat sebagai unsur penting dari tujuan-tujuan hukum. 16 Agaknya tidak berlebihan apabila Wael B. Hallaq mengatakan bahwa
15
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), h.19 16 Muhammad Abu Zahrah, Usul al-fiqh, terj: Mahmud Nur, (Jakarta : Bulan Bintang, 1998), h. 366
22
maqashid syari‟ah al-Syatibi berupaya mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi. 17 Penekanan maqashid syari‟ah yang dilakukan oleh al-Syatibi secara umum bertitik tolak dari kandungan ayat-ayat al-Qur‟an yang menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung kemaslahatan.18Misalnya firman Allah Swt dalam Alqur‟an al-Anbiya ayat 107
ّها ارسلٌا ك االرحوت للعلوٍي Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Berdasarkan ayat tersebut, al-Syatibi mengatakan bahwa maqashid syari‟ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan. Artinya, apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui maqashid syari‟ah yang dilihat dari ruh syari‟at dan tujuan umum dari agama Islam yang hanif. Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam memberikan pondasi yang penting yakni The principle governing the interest of people(prinsip membentuk kemaslahatan manusia) terhadap syari‟ah. 19 Berbeda dengan ahli ushul fiqih lainnya,An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah „illat atau motif (al-ba„its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah), atau akibat („aqibah) dari penerapan syariat.An-Nabhani mengatakan
17
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, Pent. Abdul Haris Bin Wahid, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), h. 89 18 Al-Syatibi, I, . . . . . . h.6 19 Wael B. Hallaq, h. 84
23
hikmah berbeda dengan „illat. Karena menurutnya nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah menunjukkan adanya „illat (al„illiyah), namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat.20 Menurut An-Nabhani, Q.S al-Anbiya‟ ayat 107 tidak mengandung shighat ta„lil (bentuk kata yang menunjukkan „illat), misalnya dengan adanya lam ta‟lil. Jadi maksud ayat tersebut, bahwa hasil (al-natijah) diutusnya Muhammad saw adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syariat, bukan „illat dari penetapan syariat. Dari penjelasan diatas memang tidak ada satu ketegasan tentang definisi Maqashid Syari‟ah namun demikian ada sebagian Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A yaitu:21
الوقاصد العام للشارع فً تشزٌعت االحكام ُْ هصالح الٌاس بكفلت ضزّرٌاتِن ّتْقٍز حاجٍاتِن ّتحسٌاتِن Artinya: Maqashid Syari‟ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiat dan Tahsiniat mereka. Dari berbagai definisi yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwaMaqashid Syari‟ah adalah konsep untuk mengetahui Hikmah (nilai-nilai 20
Haidar, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung ; Mizan, 1992), h. 27 Definisi ini didengar dari bapak Prof, Dr. Nawir Yuslim, M.A, dalam mata kuliah Usul fiqih Perbandingan, pada semester 2, HUKI di kampus, IAIN, SU, pada tanggal 17-7-2009, dalam http://www.wahdah.or.id/wahdah-wahdah Islamiyah, diunduh pada 11 Mei 2012 21
24
dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat dalam Alqur‟an dan Hadits). yang ditetapkan oleh al-Syari' terhadap manusia, adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik didunia (dengan mu‟amalah) maupun di akhirat (dengan „aqidah dan Ibadah). sedangkan cara untuk tercapai kemaslahatan tersebut manusia harus memenuhi kebutuhan dharuriat (primer), dan menyempurnakan kebutuhan hajiat (sekunder), dan tahsiniat atau kamaliat (tersier). B.
Pembagian Maqashid Syari’ah Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan hukum Islam. 22Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi.Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan.hukum.apabila terjadi hal yang demikian maka sama artinya dengan taklif ma la yutaq‟ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan). 23 Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama ushul fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin
22
Asmuni A. Rahman, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta : Bulan Bintang, 1998),
h.20 23
Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqashid, . . . . . . . . h. 60
25
terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari‟ah / Maqashid alKhamsah) dimaksud adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.24 Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat maqashid atau tujuan syariah, yaitu :25 1) Maqashid al-Daruriyat 2) Maqashid al-Hajiyat 3) Maqashid al-Tahsiniyat. Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan signifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level dharuriyat menempati peringkat pertama disusul hajiyat dan tahsinyyat. Level dharuriyat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial (primer) bagi kehidupan manusia. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas. Sementara level hajiyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level tahsiniyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur agama, aspek daruriyatnya antara lain mendirikan shalat, shalat merupakan aspek dharuriyat, keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyat, dan menutup aurat merupakan aspek tahsiniyat.26Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.
24
Sulaiman Abdullah, Sumber hukum Islam:Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Sinar Grafika : Jakarta, 2007, h.39 25 Asafrie Jaya Bakrie, Konsep Maqashid, . . . . h.71 26 Ibid,h. 72
26
Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang teori maqashid syariah, berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing. 27 1.
Memelihara Agama ()حفظ الدٌي Menjaga
atau
memelihara
agama,
berdasarkan
tingkat
kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu: a. Memelihara agama dalam peringkat dharuriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi agama. b. Memelihara agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama‟ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya. c. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini eratkaitannya dengan akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan menganam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya. 27
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 128 - 131
27
Memelihara jiwa() حفظ النفس
2.
Menjaga atau memelihara jiwa dalam tingkatannya dibedakan menjadi : a. Memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia. b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya. c. Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang. 3.
Memelihara Akal()حفظ العقل Memelihara akal, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat, yaitu: a. Memelihara akal dalam peringkat dharuriyat,seperti diharamkan meminum minuman keras.Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal. b. Memelihara akal dalam peringkat hajiyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak
28
akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. c. Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung. 4.
Memelihara Keturunan ( )حفظ الٌسل Memelihara keturunan, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu: a. Memelihara keturunan dalam peringkat dharuriyat, seperti disyari‟atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam. b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis. c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyat, seperti disyari‟atkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak
29
akanmengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. 5). Memelihara Harta() حفظ المال Memelihara harta, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu: a.
Memelihara harta dalam peringkat dharuriyat, seperti syari‟at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
b.
Memelihara harta dalam peringkat hajiyat seperti syari‟at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
c.
Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu‟amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama. Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah
pensyari‟atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hukumIslam.
30
C. Relevansi Maqashid Syari’ah sebagai Pertimbangan Keputusan Hukum Sebagaimana dijelaskan diatas, pada dasarnya tujuan utama disyari‟atkan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan baik di dunia mamupun di akhirat. Segala macam masalah hukum baik yang secara khusus diatur dalam Al-Qur‟an dan Hadits maupun yang dihasilkan oleh ijtihad haruslah bertitik tolak pada tujuan tersebut. Ijtihad merupakan pencurahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum syar‟i.ijtihad ini biasa digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk mencari kemaslahatan suatu masalah. Berbagai macam istilah telah digunakan oleh ahli ushul fiqih untuk menyebut metode penemuan hukum.Namun pada dasarnya semua metode tersebut bermuara pada upaya penemuan maslahat dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan hukum yang permasalahannya tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an maupun Hadits.Maka atas dasar inilah maka dapat dikatakan bahwa setiap metode penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul fiqih seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan sebagainya bersumber dari Maqashid Syari‟ah.28 Adapun hubungan antara Maqashid Al-syari‟ah dengan beberapa metode ijtihad atau penetapan hukum dapat dikemukakan dalam beberapa aspek maslahat yang dapat dilihat dari : 1. Qiyas Secara bahasa, qiyas mempunyai arti mengukur, menyamakan dan menghimpun, sedang menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah mempersamakan 28
Fathur rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hal. 143
31
satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash. 29 Qiyas sebagai metode ijtihad dipakai hampir semua mazhab hukum dalam Islam, walaupun pemakaiannya dalam intensitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu qiyas termasuk dalam kategori dalil hukum yang muttafaq „alaih (disepakati) setelah al-Qur‟an, hadits dan ijma‟. Masuknya qiyas ke dalam dalil yang disepakati dapat ditinjau dari berbagai pertimbangan, antara lain : 30 1. Kedekatan qiyas dengan sumber nash hukum dalam mekanisme penalaran ta‟lili (illah hukum). 2. Pertimbangan pertama di atas sekaligus menjadikan qiyas sebagai langkah awal proses penggalian hukum. 3. Upaya ke arah pemikiran analogi dianjurkan oleh Allah dalm al-Qur‟an Qiyas sebagai istinbath ta‟lili merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas sebagai penalaran ta‟lili harus senantiasa dipertajam dengan pertimbnangan maqashid syariah, baik yang berkaitan dengan kemasyarakatan, ekonomi maupun politik dan moral. Pertimbangan maqashid syariah menjadikan metode qiyas lebih dinamis, sebagai solusi permasalahanpermasalahan hukum. 31
29
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, . . . . . . h. 82 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid . . . . . . . . h. 135 31 A. Ghufron Mas‟adi, Metodelogi Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), h. 174 30
32
2. Istihsan Secara bahasa istihsan berarti menjadikan/menganggap sesuatu itu baik, atau mengikuti sesuatu yang baik secara hissy (lahir) dan ma‟nawy. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul istihsan adalah berpindah dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekuensi dari suatu dalil syara‟ terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain kepadanya, karena adanya dalil syara‟ yang juga menuntut perpindahan tersebut, yang disebut sebagai sanad istihsan. 32 Contoh istihsan adalah suatu ketentuan yang selama ini dipegang teguh adalah ketidakbolehan melihat aurat. Akan tetapi pemberlakuan ketentuan ini secara umum tanpa pengecualian akan menimbulkan kesulitan dan kemaslahatan yang dikehendaki. Oleh karena itu ketentuan umum tersebut harus dikecualikan, yakni dengan tidak menerapkan ketentuan tersebut pada pada pengobatan. Karena jika tidak dikecualikan maka akan menimbulkan kesulitan dalam kelangsungan hidup manusia. Dengan metode istihsan, melihat aurat orang yang sedang dalampengobatan, tidak dilarang. Karena pertimbangan pengobatan untuk kemaslahatan jauh lebih kuat dan penting dibanding dengan keperluan menutup aurat.33 Menurut al-syatibi, istihsan harus selalu berorientasi pada usaha untuk mewujudkan maqashid syariah, serta memperhitungkan dampak positif dan negatif dari penerapan suatu hukum, yang dalam istilah al-Syatibi disebut an-
32 33
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, . . . . . . . . h. 131 A. Ghufron Mas‟adi, Metodelogi Pembaruan . . . . . . . h. 182
33
nadzar fi al-ma‟alat. Urgensi dari prinsip tersebut dalam istihsan adalah mempertajam analisis istihsan itu sendiri. 34
3. Maslahah al-Mursalah Maslahah ini biasa disebut dengan istishlah, yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara‟ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula penunjuk syara‟ yang menolaknya. 35 Pada dasarnya mayoritas ahi ushul fiqih menerima metode maslahat mursalat.Untuk menggunkan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Adapun beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan dasar hukum adalah sebagai berikut : 1. Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori dharuriyyat.Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan tingkat keperluannya harus diperhatikan. Apakah sampai mengancam lima unsur pokok maslahat atau belum sampai pada batas tersebut. 2. Kemaslahatan itu bersifat qath‟i. Artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan semata-mata. 3. Kemaslahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif tidak bersifat individual.
34 35
Ibid, h. 183 A. Ghufron Mas‟adi, Metodelogi Pembaruan, . . . . . . . h. 198
34
Berdasarkan persyaratan diatas maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode mashlahat mursalat dengan maqashid al-syari‟ah.Ungkapan Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkan hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan. 36 4. Saddu adz-Dzari’ah Menurut bahasa Dzari‟ah adalah wasilah/sarana. Sedangkan menurut istilah ialah sesuatu yang menjadi jalan bagi yang diharamkan atau yang dihalalkan maka ditetapkan hukum sarana itu menurut yang ditujunya. Misalnya pada haramnya perbuatan zina, maka melihat kepada aurat yang bisa membawa kepada zina adalah haram pula. 37 Ditempatkannya adz-dzari‟ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum, mengandung arti bahwa meskipun syara‟ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal itu menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah ituadalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara‟ terhadap perbuatan pokok.38 Dasar untuk menggunakan saddu adz-dzari‟ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika dalam menghadapi perbenturan antara mashlahat dan mafsadat. Bila mashlahat yang dominan, maka boleh dilakukan, dan bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk
36
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum . . . . . . h. 128 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum, . . . . . . . . h. 164 38 Rachmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), h. 90 37
35
menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang berlakudalam kaidah fikih yang telah dirumuskan.39
39
Amir Syarifuddin, Ushul, II, . . . . . . . .h. 405