1
Pembukaan بسم هللا الرحمن الرحٌم Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah amal saleh, Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada panutan kita, Rosulullah, Muhammad bin Abdillah, keluarga beliau dan para sahabat beliau semoga Allah meridhai mereka. Tamu yang mulia dan agung itulah yang tergambar dari sosok bulan yang penuh berkah, penuh kemuliaan, yang Allah telah memilihnya menjadi bulan yang mulia lagi utama untuk umat Islam. Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan bagi siapa saja yang menyambutnya dengan Iman dan Ihtisab(mengharap pahala) dari Allah. Buku ini disusun oleh Forum Dakwah Sunnah Kediri dan bekerja sama dengan Forum Silaturrahmi Mahasiswa as-Sunnah (FSMS) Surabaya. Buku ini disusun secara sederhana dengan mengambil referensi dari artikel-artikel 2
para asatidzah, diantaranya al-Ustadz Abdullah Zaen, al-Ustadz Aris Munandar, al-Ustadz Muhammad Abduh Tausikal dan para ustadz yang lain hafidzahumullah yang di publikasikan melalui www.muslim.or.id. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada saudara-saudara dari Kediri dan Surabya, yang telah membantu dan memberikan sumbangsihnya hingga tercetaklah buku ini. Demikian juga terima kasih kepada para donatur dan muhsinin yang memberikan dukungan hingga tercetaklah buku ini. Semuanya adalah kemudahan dari Allah dan pertolongan dari-Nya. Diantara yang harus diketahui tentang amalan di bulan Ramadhan adalah Puasa. Karena itulah dinamakan bulan puasa. Salah satu amalan yang dikhususkan untuk umat Islam selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan ini adalah puasa yang hukumnya wajib bagi setiap individu. Pada bagian awal buku ini akan dijelaskan secara singkat tentang puasa, selanjutnya tentang zakat 3
fithri.Dijelaskan juga beberapa kesalahan yang dilakukan sebagian orang ketika berhari raya idul fithri. Semoga buku ini bias bermanfaat untuk kita semua. Amiin.
Hormat Kami, Forum Dakwah Sunnah Kediri Sekretariat : Jamsaren Gang Masjid No. 21, Kediri HP : 085 655 337 083 Forum Silaturrahmi Mahasiswa as-Sunnah (FSMS) Sekretariat : Masjid Ahmad Yani Depan PENS Surabaya HP : 085 732 601 910
4
Daftar Isi Pembukaan
2
Daftar Isi
5
Hukum Puasa Ramadhan
7
Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa 8 Syarat Wajib Puasa
11
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
12
Syarat Sahnya Puasa
14
Rukun Puasa
21
Pembatal-pembatal Puasa
23
Menghidupkan Malam Dengan Sholat Tarawih 36 Sunnah-Sunnah Ketika Berpuasa
63
Yang Dibolehkan Ketika Puasa
79
Lailatul Qodar dan I’tikaf
88
Kesalahan–kesalahan di Bulan Ramadhan
103
5
6
Zakat Fithri
116
Beberapa Kemungkaran pada Idul Fithri
131
Kitab Rujukan
147
Referensi Web
147
Hukum Puasa Ramadhan Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus. Puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/ perjalanan jauh). Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadhan itu wajib adalah dalil Al Qur’an, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma’ ulama). Di antara dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183) 7
Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Wajibnya puasa ini juga sudah ma’lum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena puasa adalah bagian dari rukun Islam. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.
Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
8
bersabda, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinyasehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.” Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”(HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 7: 263, Al Hakim 1: 595 dalam mustadroknya. Adz 9
Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim namun tidak dikeluarkan olehnya. Penulis kitab Shifat Shaum Nabi (hal. 25) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.) Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku! Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya35. Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih
10
jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”(Fiqih Sunnah, 1: 434)
Syarat Wajib Puasa Syarat wajibnya puasa, disebut dengan syarat wujub shoum yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh, dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa. Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun 11
untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul.
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut. (1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit. (2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala, َ َ ََّام أ ُ َخر ٍ ٌَو َمنْ َكانَ م َِرٌضًا أ ْو َعلَى َس َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِنْ أ “Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang 12
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah. (3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah, ُ ت عَائِ َش َة َفقُ ْل ُ ت سَأ َ ْل ْ ََعنْ ُمعَا َذ َة َقال ِض َت ْقضِ ى الص َّْو َم ِ ت مَا بَا ُل ا ْلحَ ائ َ َ ٌ ْ ِّ ُ ْ َ َ َ َ ُ ُ ْ َ َ ُور ٌَّ ٍة َول ِكنى َّ َوالَ َت ْقضِ ى ال ِ ُورٌَّة أن ِ ت قلت لسْ ت بِحَ ر ِ صال َة فقالت أحَ ر ْ َ َقال.ُأَسْ أَل ك َف ُن ْؤ َم ُر ِب َقضَا ِء الص َّْو ِم َوالَ ُن ْؤ َم ُر ِب َقضَا ِء َ ِت َكانَ ٌُصِ ٌ ُب َنا َذل .صالَ ِة َّ ال Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ 13
shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR.Muslim) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.
Syarat Sahnya Puasa Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu: (1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa. (2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana
14
ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ت ِ إِ َّنمَا األَعْ مَا ُل ِبال ِّنٌَّا “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim) Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah. Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati (tidak perlu dilafadzkan dengan “nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya). Semoga Allah merahmati Imam Nawawi 15
rahimahullah –ulama besar dalam madzhab Syafi’iyang mengatakan, ُ ََال ٌَصِ ُّح الص َّْو َم إ ِ َّال ِبال ِّن ٌَّ ِة َومَحَ لُّهَا ال َق ْلبُ َو َال ٌُ ْش َتر ف ٍ ط ال ُّن ْط ُق ِبالَ خ َِال “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Roudhotuth Tholibin) Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, ُ ُّط ال َّتلَف ُ َ َو َال ٌُ ْش َتر، َان َق ْطعًا ظ بِهَا َق ْطعًا ِ َو َال َت ْكفًِ بِاللِّس، َُومَحَ لُّهَا ا ْل َق ْلب ض ِة َ َكمَا َقالَ ُه فًِ ال َّر ْو “Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.” (Lihat Kitab Mughnil Muhtaj, 1/620) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, 16
اق ا ْل ُعلَمَا ِء ؛ َفإِنْ َنوَ ى ِب َق ْل ِب ِه َولَ ْم ٌَ َت َكلَّ ْم ِبلِسَانِ ِه ِ َوال ِّن ٌَّ ُة مَحَ لُّهَا ا ْل َق ْلبُ ِبا ِّت َف أَجْ َزأَ ْت ُه ال ِّن ٌَّ ُة بِا ِّت َفاق ِِه ْم “Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”(Majmu’ Al Fatawa) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti
17
ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”(Majmu’ Al Fatawa) Wajib Berniat Sebelum Fajar Atau Shubuh Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ِّ َمنْ لَ ْم ٌُجْ م ِِع ال صٌَا َم َق ْب َل ا ْل َفجْ ِر َفالَ صِ ٌَا َم لَ ُه “Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”(HR. Abu Daud, Tirmidzi , dan Nasa’i.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26)) Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
18
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata, َذاتَ ٌ َْو ٍم َف َقا َل « َه ْل ِع ْن َد ُك ْم-صلى هللا علٌه وسلم- َُّد َخ َل َعلَىَّ ال َّنبِى َ ُث َّم أَ َتا َنا ٌ َْومًا.» َقا َل « َفإِ ِّنى إِ ًذا صَائِ ٌم.َ َفقُ ْل َنا ال.» َشىْ ٌء آخرَ َفقُ ْل َنا َّ ٌَا رَ سُو َل ُ ْ َف َقا َل « أَ ِرٌنٌِ ِه َفلَ َق ْد أَصْ َبح. ٌهللاِ أُهْ دِىَ لَ َنا حَ ٌْس ت صَائِمًا . َفأ َ َك َل.» “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” Kemudian beliau memakannya.” (HR. Muslim)
19
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.” Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masingmasing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat. Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat
20
semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.
Rukun Puasa Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, ُ ٌَو ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا حَ َّتى ٌَ َت َبٌَّنَ لَ ُك ُم ا ْل َخ َْط ْاألَ ْب ٌَضُ مِنَ ا ْل َخٌْطِ ْاألَسْ َو ِد مِن ِّ ا ْل َفجْ ِر ُث َّم أَتِمُّوا ال صٌَا َم إِلَى اللَّ ٌْ ِل “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan
21
gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki. Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya, َار مِنْ س ََوا ِد اللَّ ٌْ ِل َ إِ َّنمَا َذا ِ ك َب ٌَاضُ ال َّنه “Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”(HR. Tirmidzi, hadits hasan shohih). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim. (HR. Ahmad)
22
Pembatal-pembatal Puasa Berikut adalah penjelasan mengenai pembatalpembatal puasa. 1. Makan dan minum dengan sengaja. Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, ُ ٌَو ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا حَ َّتى ٌَ َت َبٌَّنَ لَ ُك ُم ا ْل َخ َْط ْاألَ ْب ٌَضُ مِنَ ا ْل َخٌْطِ ْاألَسْ َو ِد مِن ِّ ا ْل َفجْ ِر ُث َّم أَتِمُّوا ال صٌَا َم إِلَى اللَّ ٌْ ِل “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. 23
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َّ َفإِ َّنمَا أَ ْط َع َم ُه، إِ َذا َنسِ ىَ َفأ َ َك َل َو َش ِربَ َف ْل ٌُتِ َّم ص َْو َم ُه ُهللا ُ َو َس َقاه “Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”(HR. Bukhari dan Muslim) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, هللا َوضَعَ َعنْ أ ُ َّمتِى ا ْل َخ َطأ َ َوال ِّنسْ ٌَانَ َومَا اسْ ُت ْك ِرهُوا َعلَ ٌْ ِه َ َّ َّإِن “Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.”(HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) 24
Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum. Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama. 2. Muntah dengan sengaja. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ض ِ َمنْ َذرَ َع ُه َقىْ ٌء َو ُهوَ صَائِ ٌم َفلَ ٌْسَ َعلَ ٌْ ِه َقضَا ٌء َوإِ ِن اسْ َت َقا َء َف ْل ٌَ ْق “Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar
25
qodho’.”(HR. Abu Dawud. Syaikh mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Al
Albani
3. Haidh dan nifas. Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”(Majmu’ Al Fatawa) Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ْ أَلَ ٌْسَ إِ َذا حَ اض ْك مِن ُ ص ِّل َولَ ْم َت َ ِ َقا َل « َف َذل. قُ ْلنَ َبلَى. » ص ْم َ َت لَ ْم ُت َان دٌِنِهَا ِ » ُن ْقص “Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu
26
‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”(HR. Bukhari) Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.”(HR. Muslim) Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci. 4. Keluarnya mani dengan sengaja. Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama 27
Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ُ ٌَ ْت ُر ك َطعَا َم ُه َو َشرَ ا َب ُه َو َشه َْو َت ُه مِنْ أَجْ لِى “(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karenaKu”(HR, Bukhari). Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum. Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.(Lihat Syarhul Mumthi’, 3/53-54) Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal. Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 28
ْ هللا َتجَ َاو َز َعنْ أ ُ َّمتِى مَا حَ َّد َث مَا لَ ْم َتعْ َم ْل أَ ْو َت َت َكلَّ ْم، ت ِب ِه أَ ْنفُ َسهَا َ َّ َّإِن “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”(HR. Bukhari dan Muslim) 5. Berniat membatalkan puasa. Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ئ مَا َن َوى ٍ َوإِ َّنمَا لِ ُك ِّل ام ِْر “Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”(HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam 29
keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”(Al Muhalla) Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. 6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari. Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang keringanan untuk tidak berpuasa.
mendapat
Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi
30
istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, َب ٌْ َنمَا َنحْ نُ ُجلُوسٌ ِع ْن َد ال َّنبِىِّ – صلى هللا علٌه وسلم – إِ ْذ جَ ا َءهُ رَ ُجلٌ َ ،ف َقا َل ٌَا رَ سُو َل َّ ك » َ .قا َل َو َقعْ ُ هللاِ َهلَ ْك ُ ت َعلَى ت َ .قا َل « مَا لَ َ َّ َ َ ا ْمرَ أَتِى َوأَ َنا صَائِ ٌم .فقا َل رَ سُو ُل هللاِ – صلى هللا علٌه وسلم – « َه ْل ْن َت ِ ج ُد رَ َقب ًَة ُتعْ تِقُهَا » َ .قا َل الَ َ .قا َل « َف َه ْل َتسْ َتطِ ٌ ُع أَنْ َتصُو َم َش ْهرَ ٌ ِ ْ ج ُد إِطعَا َم سِ ِّتٌنَ مِسْ كٌِ ًنا » َ .قا َل ْن » َ .قا َل الَ َ .ف َقا َل « َف َه ْل َت ِ ُم َت َت ِابعَ ٌ ِ َ َ َّ َ َ َ َ َ َ ك الَ َ .قا َل ف َمكث النبِىُّ – صلى هللا علٌه وسلم – ،ف َب ٌْنا نحْ نُ َعلى ذلِ َ أُتِىَ ال َّن ِبىُّ – صلى هللا علٌه وسلم – ِبعَرَ ٍق فٌِهَا َت ْم ٌر – َوا ْلعَرَ ُق صد َّْق بِ ِه ا ْل ِم ْك َت ُل – َقا َل « أَ ٌْنَ السَّائِ ُل » َ .ف َقا َل أَ َنا َ .قا َل « ُخ ْذ َها َف َت َ هللاِ َف َو َّ » َ .ف َقا َل الرَّ ُج ُل أَ َعلَى أَ ْف َقرَ ِم ِّنى ٌَا رَ سُو َل َّ هللاِ مَا َب ٌْنَ الَ َب َت ٌْهَا – ك ال َّن ِبىُّ – صلى ْن – أَهْ ُل َب ٌْ ٍ ض ِ ح َ ت أَ ْف َق ُر مِنْ أَهْ ِل َب ٌْتِى َ ،ف َ ٌ ُِرٌ ُد ا ْلحَ رَّ َتٌ ِ َ ْ َ ُ َ ْ َ َّ هللا علٌه وسلم – حَ تى َبد ْ ك» َت أن ٌَا ُب ُه ث َّم َقا َل « أط ِع ْم ُه أهْ ل َ “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria 31
tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, 32
wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”(HR. Bukhari dan Muslim) Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan
33
antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai kafaroh. Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana mahar. Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.
34
a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat. b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturutturut. c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud makanan.Untuk ukuran makanan di sini sebenarnya tidak ada aturan baku. Jika sekedar memberi makan, sudah dianggap menunaikannya. (Satu mud sama dengan ¼ sho’. Satu sho’ kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga satu mud kurang lebih 0,75 kg) Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah. 35
Menghidupkan Malam Dengan Sholat Tarawih Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan. (Lihat Al Jaami’ li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630) Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)
36
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut Ahnaf, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631) Keutamaan Shalat Tarawih Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َمنْ َقا َم رَ َمضَانَ إٌِمَا ًنا َواحْ تِسَابًا ُغفِرَ لَ ُه مَا َت َق َّد َم مِنْ َذ ْن ِب ِه “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah
37
shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi. (Syarh Muslim, 3/101) Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. (Fathul Bari, 6/290) Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil. (Lihat Fathul Bari, 6/290) Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda, 38
َام حَ َّتى ٌَ ْنص َِرفَ ُكتِبَ لَ ُه قٌَِا ُم لَ ٌْلَ ًة ِ إِ َّن ُه َمنْ َقا َم مَعَ اإلِم “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai. Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat. Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana)
39
kemudian shalat tarawih. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9633) Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?” ‘Aisyah mengatakan, َّ مَا َكانَ رَ سُو ُل َ هللاِ – صلى هللا علٌه وسلم – ٌ َِزٌ ُد فِى رَ َمضَانَ َوال فِى َغٌ ِْر ِه َعلَى إِحْ دَى َع ْشرَ َة رَ ْكع ًَة “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan
40
Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21) As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 41
‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.” Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635) Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi
42
tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295) Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738) Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
43
َ َصالَةُ ال َّن ِبىِّ – صلى هللا علٌه وسلم – َثال ٌَعْ نِى. ث َع ْشرَ َة رَ ْكع ًَة َ ََكان بِاللٌَّ ِْل “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah) Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at? Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
44
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70) Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut. Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ح َد ٍة ُّ خ ْفتَ ال ِ ص ْب َح َفأ َ ْوتِرْ ِب َوا ِ صالَةُ اللَّ ٌْ ِل م َْث َنى م َْث َنى َفإِ َذا َ “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim) Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ك بِ َك ْثرَ ِة ال ُّسجُو ِد َ َِفأ َ ِع ِّنى َعلَى َن ْفس
45
“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489) Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, َّ ك ك بِهَا َخطِ ٌ َئ ًة َ هللا ُ بِهَا دَرَ جَ ًة َوحَ َّط َع ْن َ ّلِل َسجْ َد ًة إِالَّ رَ َف َع ِ َّ ِ ك الَ َتسْ ُج ُد َ َفإِ َّن “Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488) Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal: Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas. Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul. 46
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. …Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272) Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan 47
shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan. Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga
48
raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272) Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416) Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan 49
bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418) Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat. Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat
50
Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih. Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat. Al Kasaani mengatakan, “‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.” Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
51
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.” ‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.” Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636) Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419) Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini 52
dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267) Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. 53
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
54
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah. Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka. 55
Yang Paling Bagus adalah yang Panjang Bacaannya Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُ صالَ ِة ت َّ ض ُل ال ِ طو ُل ا ْلقُ ُنو َ أَ ْف “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756) Dari Abu Hurairah, beliau berkata, صلِّىَ الرَّ ُج ُل م ُْخ َتصِ رً ا َ ٌُ ْ أَ َّن ُه َنهَى أَن-صلى هللا علٌه وسلم- َِّن ال َّن ِبى ِ ع “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan
56
hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah) Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah. Salam Setiap Dua Raka’at
57
Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, صالَةُ اللَّ ٌْ ِل م َْث َنى م َْث َنى َ “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640) Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at
58
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117) Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ُ ت َفالَ َتسْ أ َ ْل َعنْ حُسْ ن ِِهنَّ َو صلِّى أَرْ َبعًا ٍ صلِّى أَرْ بَعَ رَ َكعَا َ ٌُ ُث َّم، َّطول ِِهن َ ٌُ ُ َ ََّفالَ َتسْ أ ْل َعنْ حُسْ ن ِِهنَّ وَ طول ِِهن “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738) 59
Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420) Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639) Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam 60
dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan. Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih. Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat Tarawih 1. Menyeru Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
61
2. Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189). 3. Bubar Sebelum Imam Selesai Shalat Malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan dalam hadits ini. Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat. 62
Sunnah-Sunnah Ketika Berpuasa Berikut penjelasan mengenai berbagai hal yang disunnahkan ketika puasa: 1. Mengakhirkan Sahur Disunnahkan bagi orang yang hendak berpuasa untuk makan sahur. Al Khottobi mengatakan bahwa makan sahur merupakan tanda bahwa agama Islam selalu mendatangkan kemudahan dan tidak mempersulit.(‘Aunul Ma’bud) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َمنْ أَرَ ا َد أَنْ ٌَصُو َم َف ْل ٌَ َت َسحَّرْ ِب َشىْ ٍء “Barangsiapa ingin berpuasa, maka hendaklah dia bersahur.”(HR. Ahmad, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits hasan lighairihi) Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian karena di dalam sahur terdapat keberkahan. Dari Anas bin Malik
63
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُور بَرَ َك ًة ِ َت َسحَّ رُوا َفإِنَّ فِى ال َّسح “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”(HR. Bukhari dan Muslim) Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Karena dengan makan sahur akan semakin kuat melaksanakan puasa.”(Al-Majmu’) Makan sahur juga merupakan pembeda antara puasa kaum muslimin dengan puasa YahudiNashrani (ahlul kitab). Dari Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َ ِ َفصْ ُل مَا َب ٌْنَ صِ ٌَا ِم َنا وَ صِ ٌَام أَهْ ِل ا ْل ِك َتا َّحَر ِ ب أ ْكلَ ُة الس ِ “Perbedaan antara puasa kita (umat Islam) dan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur.”(HR. Muslim) At Turbasyti mengatakan, “Perbedaan makan sahur kaum muslimin dengan ahlul kitab
64
adalah Allah Ta’ala membolehkan pada umat Islam untuk makan sahur hingga shubuh, yang sebelumnya hal ini dilarang pula di awal-awal Islam. Bagi ahli kitab dan di masa awal Islam, jika telah tertidur, (ketika bangun) tidak diperkenankan lagi untuk makan sahur. Perbedaan puasa umat Islam (saat ini) yang menyelisihi ahli kitab patut disyukuri karena sungguh ini adalah suatu nikmat.”(‘Aunul Ma’bud) Sahur ini hendaknya tidak ditinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ال َّسحُو ُر أَ ْكل ُ ُه بَرَ َك ٌة َفالَ َت َدعُوهُ َولَ ْو أَنْ ٌَجْ رَ عَ أَحَ ُد ُك ْم جَ رْ ع ًَة مِنْ مَا ٍء َّ ََّفإِن َصلُّونَ َعلَى ال ُم َت َسحِّ ِرٌن َ ٌُ هللاَ ع ََّز وَ جَ َّل َو َمالَئِ َك َت ُه “Sahur adalah makanan yang penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun hanya dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.”(HR.
65
Ahmad.Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits hasan lighairihi) Disunnahkan untuk mengakhirkan waktu sahur hingga menjelang fajar. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut. Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, َّ َت َسحَّ رْ َنا مَعَ رَ سُو ِل .ِصالَة َّ ُث َّم قُ ْم َنا إِلَى ال-صلى هللا علٌه وسلم- ِهللا ًت َك ْم َكانَ َق ْد ُر مَا َب ٌْ َن ُهمَا َقا َل َخمْسِ ٌنَ آٌَة ُ قُ ْل. “Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuhdan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60 ayat.” Ibnu Hajar mengatakan, “Maksud sekitar membaca 50 ayat artinya waktu makan sahur tersebut tidak terlalu lama dan tidak pula terlalu cepat.” Al 66
Qurthubi mengatakan, “Hadits ini adalah dalil bahwa batas makan sahur adalah sebelum terbit fajar.” Di antara faedah mengakhirkan waktu sahur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar yaitu akan semakin menguatkan orang yang berpuasa. Ibnu Abi Jamroh berkata, “Seandainya makan sahur diperintahkan di tengah malam, tentu akan berat karena ketika itu masih ada yang tertidur lelap, atau barangkali nantinya akan meninggalkan shalat shubuh atau malah akan begadang di malam hari.”(Lihat Fathul Bari, 4/138) Bolehkah Makan Sahur Setelah Waktu Imsak (10 Menit Sebelum Adzan Shubuh)? Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi fatwa Saudi Arabia)- pernah ditanya, “Beberapa organisasi dan yayasan membagibagikan Jadwal Imsakiyah di bulan Ramadhan yang
67
penuh berkah ini. Jadwal ini khusus berisi waktuwaktu shalat. Namun dalam jadwal tersebut ditetapkan bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum, -pen) adalah 15 menit sebelum adzan shubuh. Apakah seperti ini memiliki dasar dalam ajaran Islam? “ Syaikh rahimahullah menjawab: Saya tidak mengetahui adanya dalil tentang penetapan waktu imsak 15 menit sebelum adzan shubuh. Bahkan yang sesuai dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, imsak (yaitu menahan diri dari makan dan minum, -pen) adalah mulai terbitnya fajar (masuknya waktu shubuh). Dasarnya firman Allah Ta’ala, ُ ٌَو ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا حَ َّتى ٌَ َت َبٌَّنَ لَ ُك ُم ا ْل َخ َْط ْاألَ ْب ٌَضُ مِنَ ا ْل َخٌْطِ ْاألَسْ َو ِد مِن ا ْل َفجْ ِر “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al Baqarah: 187) 68
Juga dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, َّ َفجْ ٌر ٌُحْ رَ ُم، ان َو َفجْ ٌر ُتحْ رَ ُم، ُصالَة َّ ح ُّل فِ ٌْ ِه ال ِ الطعَا ُم وَ َت ِ َال َفجْ ُر َفجْ ر َ َّ َ ُ ح ُّل فِ ٌْ ِه الطعَا ُم ُّ صالة ال َّ فِ ٌْ ِه ال ِ ٌَ ْح) َو َ ْصالَةُ (أي ِ صب “Fajar ada dua macam: *Pertama+ fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk shalat (yaitu fajar shodiq, fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan [Kedua] fajar yang diharamkan untuk shalat shubuh dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang muncul sebelum fajar shodiq, pen).” (Diriwayatakan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro no. 8024 dalam “Puasa”, Bab “Waktu yang diharamkan untuk makan bagi orang yang berpuasa” dan Ad Daruquthni dalam “Puasa”, Bab “Waktu makan sahur” no. 2154. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan keduanya menshahihkannya sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom) Dasarnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 69
ُ ِّ ِّ وم ٍ إِنَّ ِبالَالً ٌ َُؤذنُ ِبلٌَ ٍْل َف ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا حَ َّتى ٌ َُؤذنَ ابْنُ أ ِّم َم ْك ُت “Bilal biasa mengumandangkan adzan di malam hari. Makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum.” (HR. Bukhari no. 623 dalam Adzan, Bab “Adzan sebelum shubuh” dan Muslim no. 1092, dalam Puasa, Bab “Penjelasan bahwa mulainya berpuasa adalah mulai dari terbitnya fajar”). Seorang periwayat hadits ini mengatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta dan beliau tidaklah mengumandangkan adzan sampai ada yang memberitahukan padanya “Waktu shubuh telah tiba, waktu shubuh telah tiba.”(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz) 2. Menyegerakan berbuka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َالَ ٌ ََزا ُل ال َّناسُ بِ َخٌ ٍْر مَا َعجَّ لُوا ا ْلف ِْطر
70
“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”(HR. Bukhari dan Muslim) Dalam hadits yang lain disebutkan, َال َت َزا ُل أ ُ َّمتِى َعلَى ُس َّنتِى مَا لَ ْم َت ْن َتظِ رْ ِبف ِْط ِرهَا ال ُنج ُْو َم “Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku (ajaranku) selama tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.”(HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) dan inilah yang ditiru oleh Rafidhah (Syi’ah), mereka meniru Yahudi dan Nashrani dalam berbuka puasa. Mereka baru berbuka ketika munculnya bintang. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka. Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat maghrib selesai dikerjakan. Inilah contoh dan akhlaq dari suri 71
tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, َّ َكانَ رَ سُو ُل ْت َق ْب َل أَن ٍ ٌُ ْفطِ ُر َعلَى ُر َطبَا-صلى هللا علٌه وسلم- ِهللا َ ُ ُ ٌ صلِّىَ َفإِنْ لَ ْم َتكنْ ُرطب ت ٍ ت َفإِنْ لَ ْم َتكنْ حَ سَا حَ س ََوا ٍ َات َف َعلَى َتمَرَ ا َ ٌُ مِنْ مَا ٍء “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.”(HR. Abu Dawud dan Ahmad, Syaikh Al Albani mengatakan hadits hasan shohih) 3. Berbuka dengan kurma jika mudah diperoleh atau dengan air. Dalilnya adalah hadits yang disebutkan di atas dari Anas. Hadits tersebut menunjukkan bahwa ketika berbuka disunnahkan pula untuk berbuka dengan kurma atau dengan air. Jika tidak mendapati kurma,
72
bisa digantikan dengan makan yang manis-manis. Di antara ulama ada yang menjelaskan bahwa dengan makan yang manis-manis (semacam kurma) ketika berbuka itu akan memulihkan kekuatan, sedangkan meminum air akan menyucikan. 4. Berdo’a ketika berbuka Perlu diketahui bersama bahwa ketika berbuka puasa adalah salah satu waktu terkabulnya do’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َُثالَ َث ٌة الَ ُترَ ُّد دَعْ َو ُت ُه ُم اإلِمَا ُم ا ْلعَا ِد ُل َوالصَّائِ ُم حٌِنَ ٌُ ْفطِ ُر َودَعْ وَ ة ْ وم ِ ُ ا ْلمَظل “Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”(HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.) Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan
73
ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.(Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/194.) Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka beliau membaca do’a berikut ini, َّ ََذهَب َّ ُوق َو َث َبتَ األَجْ ُر إِنْ َشا َء ُ ت ا ْل ُعر ِ َّالظمَأ ُ َوا ْب َتل ُ هللا “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)”(HR. Abu Dawud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Adapun do’a berbuka, ُ ْك أَ ْف َطر ُ صم ُ ك ت َ ِْت َو َعلَى ِر ْزق َ َاللَّ ُه َّم ل “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)”(HR. Abu Dawud, Hadits Mursal) Do’a ini berasal dari hadits hadits dho’if (lemah).
74
Begitu pula do’a berbuka, ُ ْك أَ ْف َطر ُ ك آ َم ْن ُ صم ُ ك ت َ ِت َو َعلَى ِر ْزق َ ْت َو ِب َ َاللّ ُه َّم ل “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka), Mula ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih. Sehingga cukup do’a shahih yang kami sebutkan di atas (dzahabazh zhomau) yang hendaknya jadi pegangan dalam beramal. 5. Memberi makan pada orang yang berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َّ َمنْ َف طرَ صَائِمًا َكانَ لَ ُه م ِْث ُل أَجْ ِر ِه َغ ٌْرَ أَ َّن ُه الَ ٌَ ْنقُصُ مِنْ أَجْ ِر الصَّائ ِِم َش ٌْ ًئا “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa 75
tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”(HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, dari Zaid bin Kholid Al Juhani. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.) 6. Lebih banyak berderma dan beribadah di bulan Ramadhan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, َ َو َكان، اس ِبا ْل َخٌ ِْر ِ َكانَ ال َّن ِبىُّ – صلى هللا علٌه وسلم – أَجْ َو َد ال َّن – جب ِْرٌ ُل ِ َ َو َكان، جب ِْرٌ ُل ِ ُ حٌِنَ ٌَ ْل َقاه، َأَجْ َو ُد مَا ٌَ ُكونُ فِى رَ َمضَان ُ ٌَعْ ِرض، َعلَ ٌْ ِه ال َّسالَ ُم – ٌَ ْل َقاهُ ُك َّل لَ ٌْلَ ٍة فِى رَ َمضَانَ حَ َّتى ٌَ ْن َسلِ َخ – جب ِْرٌ ُل ِ َفإِ َذا لَقِ ٌَ ُه، ََعلَ ٌْ ِه ال َّن ِبىُّ – صلى هللا علٌه وسلم – ا ْلقُرْ آن َ ْ ٌح ا ْلمُرْ َسلَ ِة ِ َِّعلَ ٌْ ِه ال َّسالَ ُم – َكانَ أجْ َو َد ِبال َخٌ ِْر مِنَ الر “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar melakukan kebaikan. Kedermawanan (kebaikan) yang beliau lakukan lebih lagi di bulan Ramadhan yaitu ketika Jibril ‘alaihis salam menemui beliau. Jibril ‘alaihis salam
76
datang menemui beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan Al Qur’an) hingga Al Qur’an selesai dibacakan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila Jibril ‘alaihi salam datang menemuinya, beliau adalah orang yang lebih cepat dalam kebaikan dari angin yang berhembus.”(HR. Bukhari dan Muslim) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak lagi melakukan kebaikan di bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak sedekah, berbuat baik, membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf.”(Zaadul Ma’ad) Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dan sedekah sunnah dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga. Dari ‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُ ُطونِهَا َوب ُ ظهُو ُرهَا مِنْ ب ُ «إِنَّ فِى ا ْلجَ َّن ِة ُغرَ ًفا ُترَ ى ُْطو ُنهَا مِن ُ َّ ْ َف َقا َم أَعْ رَ ِابىٌّ َف َقا َل لِ َمنْ هِىَ ٌَا رَ سُو َل هللاِ َقا َل « لِ َمن.» ُورهَا ِ ظه َّ أَ َطابَ ا ْل َكالَ َم َوأَ ْط َع َم ُصلَّى ِ َّّلِلِ بِاللٌَّ ِْل َوال َّناس ِّ الطعَا َم َوأَدَا َم ال َ َصٌَا َم و » نٌَِا ٌم 77
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari diwaktu manusia pada tidur.”(HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.)
78
Yang Dibolehkan Ketika Puasa 1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1926) 2. Bersiwak ketika berpuasa Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap kali berwudhu.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1: 73
79
dengan sanad lebih lengkap. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3: 345). Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga sore hari.” (112 Majmu’ Fatwa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17: 259) Adapun pasta gigi lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari
80
perkara yang dapat merusak puasanya. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17: 261-262) 3. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.” (HR. Abu Daud no. 142, Tirmidzi no. 788, An Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin Shobroh. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih) Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa dan hal ini disepakati oleh para ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa.
81
Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 266) 4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 36: 52-53 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111.) An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani”.( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7: 215) Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam 82
melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106) Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar bin Al Khaththab, beliau berkata, “Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan aku berkata, "Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?" Aku menjawab, "Seperti itu tidak mengapa." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Lalu apa masalahnya?" (HR. Ahmad 1: 21. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim) Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika 83
puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’.” (Riwayat ini disebutkan dalam Fathul Bari (4: 149), dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih) 5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938) Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940) Imam Asy Syafi’i rahimahullah dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan
84
bekam, aku tidak menganggap puasanya batal.” (Al Umm, 2: 106) Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun diqiyaskan (dianalogikan). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 113-114) 6. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 2: 304. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan). Yang termasuk dalam mencicipi adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah makanan untuk si kecil.
85
7. Bercelak dan tetes mata Bercelak dan tetes mata (Tetes mata diqiyaskan (dianalogikan) dengan bercelak.) tidaklah membatalkan puasa (Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 56 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 115). Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.” (Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih. Lihat Fathul Bari, 4: 154) 8. Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar Dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata, “Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat haus atau sangat terikdengan air sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. ” (HR. Abu Daud no. 2365)
86
9. Menelan dahak Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak (dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung atau lendir yang naik dari dada) tidak membatalkan puasa karena dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.( Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 65-66 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 117) 10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari, juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, puasanya jadi batal. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 118)
87
Lailatul Qodar dan I’tikaf Para pembaca -yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena itu suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu bersungguhsungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktuwaktu lainnya. Sebagaimana istri beliau -Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha- berkata, َّ َكانَ رَ سُو ُل َ ٌَجْ َت ِه ُد فِى ا ْل َع ْش ِر األَ َواخ ِِر مَا ال-صلى هللا علٌه وسلم- ِهللا ٌَجْ َت ِه ُد فِى َغٌ ِْر ِه. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir
88
dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim) Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan, َ َكانَ ال َّنبِىُّ – صلى هللا علٌه وسلم – إِ َذا د ، َُخ َل ا ْل َع ْش ُر َش َّد ِم ْئ َزرَ ه َوأَ ٌْ َق َظ أَهْ لَ ُه، َوأَحْ ٌَا لَ ٌْلَ ُه “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’, pen), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim) Maka perhatikanlah apa yang dilakukan oleh suri tauladan kita! Lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah malah mengisi hari-hari terakir Ramadhan dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan untuk persiapan lebaran (hari raya). Yang beliau lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah seperti shalat, membaca
89
Al Qur’an, dzikir, sedekah dan lain sebagainya. Renungkanlah hal ini! Keutamaan Lailatul Qadar Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman, ) فٌِهَا ٌُ ْفرَ ُق ُك ُّل أَم ٍْر3( َإِ َّنا أَ ْن َز ْل َناهُ فًِ لَ ٌْلَ ٍة ُمبَارَ َك ٍة إِ َّنا ُك َّنا ُم ْنذ ِِرٌن ٌِم ٍ حَ ك “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3-4)
90
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman, إِ َّنا أَ ْن َز ْل َناهُ فًِ لَ ٌْلَ ِة ا ْل َق ْد ِر “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97]: 1) Keberkahan dan kemuliaan yang disebutkan dalam ayat selanjutnya,
dimaksud
ُ ) َت َن َّز ُل ا ْلم ََال ِئ َك ُة َوال ُّرو3( ف َشه ٍْر ح فٌِهَا ِبإِ ْذ ِن ِ لَ ٌْلَ ُة ا ْل َق ْد ِر َخ ٌْ ٌر مِنْ أَ ْل ْ ) س ََال ٌم هًَِ حَ َّتى م4( رَ ب ِِّه ْم مِنْ ُك ِّل أَم ٍْر َطلَ ِع ا ْل َفجْ ِر “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)
91
Catatan: Perhatikanlah bahwa malam keberkahan tersebut adalah lailatul qadar. Dan Al Qur’an turun pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah Ta’ala, َش ْه ُر رَ َمضَانَ الذي أ ُ ْن ِز َل فٌِ ِه القرآن “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.” (QS. Al Baqarah [2] : 185) Maka sungguh sangat keliru yang beranggapan bahwasanya Al Qur’an itu turun pada pertengahan bulan Sya’ban atau pada 17 Ramadhan lalu diperingati dengan hari NUZULUL QUR’AN. Padahal Al Qur’an itu turun pada lailatul qadar. Dan lailatul qadar -sebagaimana pada penjelasan selanjutnyaterjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Renungkanlah hal ini!
92
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi ? Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ََتحَ رَّ ْوا لَ ٌْلَ َة ا ْل َق ْد ِر فِى ا ْل َع ْش ِر األَ َواخ ِِر مِنْ رَ َمضَان “Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari) Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ََتحَ رَّ ْوا لَ ٌْلَ َة ا ْل َق ْد ِر فِى ا ْل ِو ْت ِر مِنَ ا ْل َع ْش ِر األَ َواخ ِِر مِنْ رَ َمضَان “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari) Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan
93
sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ض ُعفَ أَحَ ُد ُك ْم َ ْا ْل َت ِمسُوهَا فِى ا ْل َع ْش ِر األَ َواخ ِِر – ٌَعْ نِى لَ ٌْلَ َة ا ْل َق ْد ِر – َفإِن أَ ْو َعجَ َز َفالَ ٌ ُْغلَبَنَّ َعلَى ال َّسب ِْع ا ْلب ََواقِى “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim) Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah 94
Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ، ا ْل َت ِمسُوهَا فِى ا ْل َع ْش ِر األَ َواخ ِِر مِنْ رَ َمضَانَ لَ ٌْلَ َة ا ْل َق ْد ِر فِى َتاسِ َع ٍة َت ْب َقى فِى َخا ِم َس ٍة َت ْب َقى، فِى سَابِ َع ٍة َت ْب َقى “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari) Catatan: Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita
95
memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.
Do’a di Malam Lailatul Qadar Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, َّ ت ٌَا رَ سُو َل ُ هللاِ أَرَ أٌَْتَ إِنْ َعلِم ُ قُ ْل ْت أَىُّ لَ ٌْلَ ٍة لَ ٌْلَ ُة ا ْل َق ْد ِر مَا أَقُو ُل فٌِهَا ك َعفُوٌّ ُتحِبُّ ا ْل َع ْف َو َفاعْ فُ َع ِّنى َ » َقا َل « قُولِى اللَّ ُه َّم إِ َّن “Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau
96
Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shohihah) Tanda-tanda Malam Lailatul Qadar [1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َُار َد ًة ُتصْ ِب ُح ال َشمْس ِ لَ ٌْلَ ُة ال َقد َِر لَ ٌْلَ ٌة َس ْمحَ ٌة َطلَ َق ٌة َال حَ ارَ ًة َو َال ب ض ِع ٌْ َف ٌة حَ ْمرَ اء َ ص َِب ٌْحَ ُتهَا “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya) [2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan
97
merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain. [3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat. [4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolaholah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150) I’tikaf dan Pensyari’atannya Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan) untuk melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan
98
pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari) Lalu apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab Lisanul Arab, i’tikaf bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya disebut mu’takifun atau ‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150) Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)
99
I’tikaf Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan berdasarkan firman Allah Ta’ala,
di
masjid
ج ِد ِ َو َال ُتبَاشِ رُوهُنَّ َوأَ ْن ُت ْم عَا ِكفُونَ فًِ ا ْل َمسَا “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187) Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga 100
masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151) Wanita Juga Boleh Beri’tikaf Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim) Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: [1] Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151-152) Waktu Minimal Lamanya I’tikaf I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa 101
sallammengatakan, “Tunaikan nadzarmu.” Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim) Dan jika beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam. Yang Membatalkan I’tikaf Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah: 1. Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), 2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156) Perbanyaklah dan sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti
102
berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan amalan sholih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesalahan–kesalahan di Bulan Ramadhan Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengahtengah kaum muslimin. 1. Mengkhususkan Ramadhan
Ziarah
Kubur
Menjelang
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”).Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena
103
mengingat kematian.Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar.Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini. 2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian.Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam.Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
104
3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ال َّش ْه ُر َه َك َذا َو َه َك َذا, ُ الَ َن ْك ُتبُ وَ الَ َنحْ سِ ب، إِ َّنا أُم ٌَّة أ ُ ِّمٌ ٌَّة “Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf.Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan).Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit 105
karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156) 4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ان ٌَصُو ُم صِ ٌَامًا َ ْن إِالَّ أَ َح ٌد َك ِ ٌالَ ٌَ َت َق َّد َمنَّ أَ َح ٌد ال َّشه َْر ِب ٌَ ْو ٍم َوالَ ٌَ ْو َم ُ ٌَ َق ْبلَ ُه َف ْل ص ْم ُه “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.”(HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i) Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َّ صلَّى هللا ُ َعلَ ٌْ ِه ُّ َمنْ صَا َم ا ْلٌ َْو َم الَّذِي ٌُ َش َ ك فٌِ ِه َف َق ْد َعصَى أَبَا ا ْل َقاسِ ِم َو َسلَّ َم 106
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi) 5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…” Sebenarnya tidak ada tuntunansama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan.An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan, ُ ََال ٌَصِ ُّح الص َّْو َم إ ِ َّال ِبال ِّن ٌَّ ِة َومَحَ لُّهَا ال َق ْلبُ َو َال ٌُ ْش َتر ف ٍ ط ال ُّن ْط ُق ِبالَ خ َِال “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat.Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth 107
Tholibin, I/268, Syamilah)
Mawqi’ul
Waroq-Maktabah
6. Membangunkan “Sahur … Sahur” Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh.Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua
108
kali adzan.Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum.Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336) 7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا َوالَ ٌ َِهٌ َد َّن ُك ُم السَّاطِ ُع ا ْلمُصْ ِع ُد َف ُكلُوا َوا ْشرَ بُوا حَ َّتى ٌَعْ َت ِرضَ لَ ُك ُم األَحْ َم ُر “Makan dan minumlah.Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang.Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih 109
wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih). Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh.Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?”Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.”(HR. Bukhari dan Muslim).Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan adzan? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit) 110
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…” Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah.Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits.Juga ada perowi yang meriwayatkanhadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy). Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah, َّ ََذهَب َّ ُوق َو َث َبتَ األَجْ ُر إِنْ َشا َء ُ ت ا ْل ُعر ِ َّالظمَأ ُ َوا ْب َتل ُ هللا “Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan 111
insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud) 9. Dzikir Jama’ah Dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189) 10. “Ash Sholaatul Jaami’ah…” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih Ulama-ulama Hambali berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut mereka, 112
ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah) 11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َام حَ َّتى ٌَ ْنص َِرفَ ُكتِبَ لَ ُه قٌَِا ُم لَ ٌْلَ ًة ِ إِ َّن ُه َمنْ َقا َم مَعَ اإلِم “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”(HR. Ahmad dan Tirmidzi.Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam.Itulah yang lebih tepat. 12. Perayaan Nuzulul Qur’an Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 113
juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan, لَ ْو َكانَ َخٌرْ اً لَ َس َبقُ ْو َنا إِلَ ٌْ ِه “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat.Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11) 13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa 114
sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan.Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut.Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211) 14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada Pemerintah Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi 115
perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no. 388)
Zakat Fithri Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri Di antara hikmah zakat fithri adalah untuk menyucikan hati orang yang berpuasa dari perkara yang tidak bermanfaat dan kata-kata yang kotor. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ُ َز َكا َة ا ْلف ِْطر-صلى هللا علٌه وسلم- ِهللا َّ َفرَ ضَ رَ سُو ُل ط ْهرَ ًة لِلصَّائ ِِم ِ ُ ٌِن ِ مِنَ اللَّ ْغ ِو َوالرَّ َف ِ ث َوطعْ م ًَة لِ ْل َمسَاك “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang
116
yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan) Selain itu juga, zakat fithri akan mencukupi kaum fakir dan miskin dari meminta-minta pada hari raya ‘idul fithri sehingga mereka dapat bersenangsenang dengan orang kaya pada hari tersebut dan syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini dapat dirasakan oleh semua kalangan. (Lihat Minhajul Muslim, 23 dan Majelis Bulan Ramadhan, 382) Hukum Zakat Fithri Zakat Fithri adalah shodaqoh yangwajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
117
َّ صلَّى هللا ُ َعلَ ٌْ ِه وَ َسلَّ َم َز َكا َة ا ْلف ِْط ِر صَاعًا مِنْ َتم ٍْر أَ ْو َ هللا ِ َّ َفرَ ضَ رَ سُو ُل ُ َّ ْ َ ْ ْ ْ ْ َ ٌر َّ ٌِر َعلى ال ُح ِّر َوال َع ْب ِد وَ الذ َك ِر َواألنثى َوال ٍ صَاعًا مِنْ َشع ِ ٌِِر َوال َكب ِ صغ َمِنْ ا ْلمُسْ لِمٌِن “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun yang budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa.” (HR. An Nasai. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Nasa’i, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih) Catatan: Perlu diperhatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (anggapan orang Arab) (Lihat Shifat Shaum Nabi, 102). Namun jika ada yang mau membayarkan zakat fithri untuk janin tidaklah mengapa karena dahulu sahabat Utsman bin ‘Affan
118
pernah mengeluarkan zakat fithri bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381) Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: 1. Setiap muslim sedangkan orang kafir tidak wajib untuk menunaikannya, namun mereka akan dihukum di akhirat karena tidak menunaikannya. 2. Yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasannya adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang demikian berarti dia mampu dan wajib mengeluarkan zakat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َ َّ ار » َف َقالُوا ٌَا رَ سُو َل ِهللا ِ َمنْ سَأ َل َو ِع ْن َدهُ مَا ٌ ُْغنٌِ ِه َفإِ َّنمَا ٌَسْ َت ْكثِ ُر مِنَ ال َّن َ َ َومَا ٌ ُْغنٌِ ِه َقا َل « أنْ ٌَ ُكونَ لَ ُه شِ َب ُع ٌ َْو ٍم َولَ ٌْلَ ٍة أ ْو لَ ٌْلَ ٍة َوٌ َْو ٍم
119
“Barangsiapa meminta dan padanya terdapat sesuatu yang mencukupinya, maka seseungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Seukuran makanan yang mengenyangkan sehari-semalam.” (HR. Abu Daud, Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Abi Daud) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/80) Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri? Menurut Imam Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi’i dan mayoritas ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, VII/59). Namun menurut Syaikh Ibnu Utsaimin, jika mereka mampu, sebaiknya mereka mengeluarkannya atas nama diri mereka sendiri, karena pada asalnya masing-masing mereka 120
terkena perintah untuk menunaikannya. (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 381). Wallahu a’lam. Kapan Seseorang Mulai Membayar Zakat Fithri?
Terkena
Kewajiban
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri pada saat terbenamnya matahari di malam hari raya. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi dalam Syarh Muslim VII/58, juga dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majlis Syahri Ramadhan. Alasannya karena zakat ini merupakan saat berbuka dari puasaRamadhan. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada waktu fithri tersebut. Misalnya adalah apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban
121
dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib untuk mengeluarkan zakat fithri darinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana perbuatan Utsman di atas. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 385). Macam Zakat Fithri Benda yang dijadikan zakat fithri adalah berupa makanan pokok manusia, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak dibatasi pada kurma atau gandum saja (Lihat Majelis Bulan Ramadhan, 383 &Shohih Fiqh Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa dan hal ini diselisihi oleh Hanabilah. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa
122
sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, َف َك َّفارَ ُت ُه إ ِ ْطعَا ُم َع َشرَ ِة َمسَاكٌِنَ مِنْ أَ ْوسَطِ مَا ُت ْط ِع ُمونَ أَهْ لٌِ ُك ْم “Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah [5] : 89). Dan zakat fithri merupakan bagian dari kafaroh. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/82)
123
Ukuran Zakat Fithri Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar di atas bahwa zakat fithri adalah seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran ‘empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Al Muhith. Dan apabila ditimbang akan mendekati ukuran 3 kg. Jadi kalau di Jawa makanan pokoknya adalah beras, maka ukuran zakat fithrinya sekitar 3 kg dan inilah yang lebih hati-hati. (Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya V/92 atau Majalah Al Furqon Th. I, ed 2) Bolehkan Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang ? Perlu diketahui bahwa pakaian, tempat tidur, bejana, perabot rumah tangga, serta benda-benda lainnya selain makanan tidak dapat digunakan untuk membayar zakat fithri. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan pembayaran zakat fithri dengan makanan (sebagaimana dapat dilihat 124
pada hadits Ibnu Abbas di atas), dan ketentuan beliau ini tidak boleh dilanggar. Oleh karena itu, tidak boleh mengganti makanan dengan uang yang seharga makanan dalam membayar zakat fithri karena ini berarti menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan alasan lainnya adalah: 1. Selain menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyelisihi amalan shabat radhiyallahu ‘anhum yang menunaikannya dengan satu sho’ kurma atau gandum. Ingatlah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk.” (HR. Abu Daud & Tirmidzi, dia mengatakan hadits ini hasan shohih) 2. Zakat fithri adalah suatu ibadah yang diwajibkan dari suatu jenis tertentu. Oleh sebab itu, posisi jenis barang yang dijadikan sebagai alat 125
pembayaran zakat fithri itu tidak dapat digantikan sebagaimana waktu pelaksanaannya juga tidak dapat digantikan. Jika ada yang mengatakan bahwa menggunakan uang ‘kan lebih bermanfaat. Maka kami katakan bahwa Nabi yang mensyariatkan zakat dengan makanan tentu lebih sayang kepada orang miskin dan tentu lebih tahu mana yang lebih manfaat bagi mereka. Allah yang mensyari’atkannya pula tentu lebih tahu kemaslahatan hamba-Nya yang fakir dan miskin, tetapi Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan dengan uang. Perlu diketahui pula bahwa pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terdapat mata uang. Tetapi kok beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan sahabatnya untuk membayar dengan uang? Seandainya diperbolehkan dengan uang, lalu apa hikmahnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dengan satu sho’ gandum atau kurma? Seandainya boleh menggunakan uang, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi 126
wa sallam akan mengatakan kepada umatnya, ‘Satu sho’ gandum atau harganya.’ Terakhir, menurut mayoritas ulama fiqh tidak boleh menggunakan uang yang senilai makanan untuk membayar zakat fithri, namun yang membolehkannya adalah Abu Hanifah juga Umar bin Abdul Aziz. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa perkataan Abu Hanifah ini tertolak. Karena “Tidaklah Rabbmu itu lupa”. Seandainya zakat fithri dengan uang itu dibolehkan tentu Allah dan Rasul-Nya akan menjelaskannya. (Lihat Majalah Al Furqon Th. I, ed-2 & Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 230-231) Penerima Zakat Fithri Penerima zakat fithri hanya dikhususkan untuk orang miskin dan bukanlah dibagikan kepada 8 golongan penerima zakat (sebagaimana terdapat dalam surat At Taubah : 60). Inilah pendapat Malikiyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang
127
menyelisihi mayoritas ulama. Pendapat ini lebih tepat karena lebih cocok dengan tujuan disyariatkannya zakat fithri yaitu untuk memberi makan orang miskin sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas, “ untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/85) Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, II/17 mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam zakat fithri itu hanya dikhususkan kepada orang miskin. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membagikannya kepada 8 ashnaf (sebagaiman dalam Surat At Taubah : 60) dan beliau juga tidak pernah memerintahkan demikian dan tidak ada seorang sahabat pun dan tabi’in yang melakukannya. Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri Zakat fithri disandarkan kepada kata ‘fithri (berbuka artinya tidak berpuasa lagi)’. Karena fithri inilah sebabnya, maka zakat ini dikaitkan dengan fithri 128
tersebut dan tidak boleh didahulukan. Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat itu ada dua macam. Pertama adalah waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied. Dan kedua adalah waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 &Minhajul Muslim, 231) Ibnu Abbas berkata, ُ َز َكا َة ا ْلف ِْطر-صلى هللا علٌه وسلم- ِهللا َّ َفرَ ضَ رَ سُو ُل ط ْهرَ ًة لِلصَّائ ِِم ِ َ ُ ٌصالَ ِة َف ِهىَ َز َكاة َّ ٌِن َمنْ أدَّاهَا َق ْب َل ال ِ مِنَ اللَّ ْغ ِو َوال َّر َف ِ ث وَ طعْ م ًَة لِ ْل َمسَاك ٌ .ت َّ ص َد َقة مِنَ ال َّ َم ْقبُولَ ٌة َو َمنْ أَدَّاهَا َبعْ َد ال ِ ص َد َقا َ َصالَ ِة َف ِهى “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘ied, maka itu adalah zakat yang diterima. Namun, barangsiapa 129
yang menunaikannya setelah salat ‘ied maka itu hanya sekedar shodaqoh.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan) Hadits ini merupakan dalil bahwa pembayaran zakat fithri setelah shalat ‘ied tidak sah karena hanya berstatus sebagaimana sedekah pada umumnya dan bukan termasuk zakat fithri (At Ta’liqot Ar Rodhiyah, I/553, ed) Namun kewajiban ini tidak gugur di luar waktunya. Kewajiban ini harus tetap ditunaikan walaupun statusnya hanya sedekah. Abu Malik Kamal (Penulis Shohih Fiqh Sunnah) mengatakan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama yaitu kewajiban membayar zakat fithri tidaklah gugur apabila keluar waktunya. Hal ini masih tetap menjadi kewajiban orang yang punya kewajiban zakat karena ini adalah utang yang tidak bisa gugur kecuali dengan dilunasi dan ini adalah hak sesama anak Adam. Adapun hak Allah, apabila hak tersebut
130
diakhirkan hingga keluar waktunya maka tidak dibolehkan dan tebusannya adalah istigfar dan bertaubat kepada-Nya. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/84).
Beberapa Kemungkaran pada Idul Fithri Setelah mengetahui tentang Bulan Ramadhan tibalah pada salah satu dari dua hari raya tahunan Umat Islam, yaitu Idul Fitri. Hari raya yang telah Allah pilihkan untuk umat Islam setelah sebulan penuh melakukan puasa di bulan Ramadhan. Idul fithri adalah hari raya umat Islam, yang perlu diperhatikan bahwasannya ada beberapa kemungkaran yang sering dilakukan oleh sebagian dari kita kaum muslimin, diantaranya: Hari raya ‘Idul Fithri adalah hari yang selalu dinantinanti kaum muslimin.Tak ada satu pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut. Apalagi di negeri kita, selain 131
memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman.Di antara alasan mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi.Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru dan mungkar.Satu sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak pernah ada dalil pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat. Pertama: Tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir dalam berpakaian. Terutama kita lihat bagaimana model pakaian muda-mudi saat ini ketika hari raya, tidak mencerminkan bahwa mereka muslim ataukah bukan. Sulit membedakan ketika melihat pakaian yang mereka kenakan. Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda, َمنْ َت َش َّب َه ِب َق ْو ٍم َف ُهوَ ِم ْن ُه ْم ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud.Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) 132
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/ bagus.Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269) Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).(Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) Kedua: Mendengarkan dan memainkan musik/nyanyian/nasyid di hari raya. Imam Al Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu beliau menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ، ََازف ِ لَ ٌَ ُكو َننَّ مِنْ أ ُ َّمتِى أَ ْق َوا ٌم ٌَسْ َت ِ حلُّونَ ا ْلحِرَ َوا ْلحَ ِرٌرَ َوا ْل َخ ْمرَ َوا ْل َمع ْ ُ ب َعلَ ٍم ٌَرُو – ٌِه ْم ِ َولَ ٌَ ْن ِزلَنَّ أَ ْق َوا ٌم إِلَى جَ ْن ِ ٌَأت، َارحَ ٍة لَ ُه ْم ِ ح َعلٌَ ِْه ْم ِبس
133
َّ َف ٌُ َب ٌِّ ُت ُه ُم. جعْ إِلَ ٌْ َنا َغ ًدا ض ُع ا ْل َع َل َم َ ٌَ هللا ُ َو ِ ٌَْعْ نِى ا ْل َفقٌِرَ – لِحَ اجَ ٍة َف ٌَقُولُوا ار ْ َ َ َو ٌَ ْم َس ُخ، ازٌرَ إِلى ٌ َْو ِم القٌَِا َم ِة ِ آخ ِرٌنَ قِرَ َد ًة وَ َخ َن “Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” (Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas) Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.” Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-
134
mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”(Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi) Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”(Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi) Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”(Majmu’ Al Fatawa) Ketiga: Wanita berhias diri ketika keluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini berdasarkan firman Allah, َو َقرْ نَ فًِ ُبٌُوتِ ُكنَّ َو َال َتبَرَّ جْ نَ َتبَرُّ َج ا ْلجَ ا ِهلِ ٌَّ ِة ْاألُولَى “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.”(QS. Al Ahzab: 33). Abu 135
‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.”Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.” (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi). Seharusnya berhias diri menjadi penampilan istimewa si istri di hadapan suami dan ketika di rumah saja, dan bukan di hadapan khalayak ramai. Keempat: Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya.Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati oleh Allah. Perbuatan ini terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ِّ َْن آ َد َم َنصِ ٌ ُب ُه مِن ٌ الز َنى م ُْد ِر ان َ ِك َذل ِ ك الَ مَحَ الَ َة َفا ْل َع ٌْ َن ِ ُكتِبَ َعلَى اب ُ ُ َ ُان ِز َنا ُهمَا االِسْ تِمَا ُع َواللِّ َسانُ ِز َناهُ ا ْل َكالَ ُم َوا ْل ٌَد ِ ِز َنا ُهمَا ال َّن َظ ُر َواألذن ْ ز َناهَا ا ْلب ص ِّد ُق َ ٌُ َطشُ َوالرِّ جْ ُل ِز َناهَا ا ْل ُخ َطا َوا ْل َق ْلبُ ٌَ ْهوَ ى َو ٌَ َت َم َّنى َو ِ ِّ ُ ْك ا ْل َفر ج َو ٌُ َكذ ُب ُه َ َِذل
136
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak.Zina kedua mata adalah dengan melihat.Zina kedua telinga dengan mendengar.Zina lisan adalah dengan berbicara.Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh).Zina kaki adalah dengan melangkah.Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan.Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”(HR. Muslim). Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram’.” (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Judai).
137
Lihat pula bagaimana contoh dari suri tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ح َد ٍة أَ ْو ِ إِ ِّنً َال أُصَافِ ُح ال ِّنسَا َء إِ َّنمَا َق ْولًِ لِمِا َئ ِة ا ْمرَ أَ ٍة َك َق ْولًِ ِال ْمرَ أَ ٍة َوا ح َد ٍة ِ م ِْث ِل َق ْولًِ ِال ْمرَ أَ ٍة َوا “Sesungguhnya aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita.“ (HR. Malik 2/982. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Kelima: Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘ied. Kita memang diperintahkan untuk ziarah kubur sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ََف ُزورُوا ا ْلقُ ُبورَ َفإِ َّنهَا ُت َذ ِّك ُر ا ْلم َْوت “Sekarang ziarah kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kematian.”(HR. Muslim)
138
Namun tidaklah tepat diyakini bahwa setelah Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian.Masalahnya, jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa setelah Ramadhan (saat Idul Fithri) adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini. Keenam: Tidak sedikit dari yang memeriahkan Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi. Kaum pria pun tidak memperhatikan shalat berjama’ah di masjid. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, َّ ا ْل َع ْه ُد الَّذِى َب ٌْ َن َنا َو َب ٌْ َن ُه ُم ال َصالَةُ َف َمنْ َترَ َكهَا َف َق ْد َك َفر 139
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat.Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR.An Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih) ‘Umar bin Khottob rahimahullah mengatakan di akhir-akhir hidupnya,
pernah
صالَ َة َّ ك ال َ َالَ إِسْ الَ َم لِ َمنْ َتر “Tidaklah disebut muslim orang yang meninggalkan shalat.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim) Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan 140
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah) Adapun mengenai hukum shalat jama’ah, menurut pendapat yang kuat adalah wajib bagi kaum pria. Di antara yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ُ َوالَّذِى َن ْفسِ ى ِب ٌَ ِد ِه لَ َق ْد َه َمم ُث َّم آ ُم َر، َب َفٌُحْ َطب ٍ ْت أَنْ آ ُمرَ ِبحَ َط ُث َّم أ ُ َخالِفَ إِلَى ِرجَ ا ٍل، َ ُث َّم آ ُمرَ رَ ُجالً َف ٌَؤُ َّم ال َّناس، صالَ ِة َفٌ َُؤ َّذنَ لَهَا َّ بِال َفأُحَ ِّرقَ َعلٌَ ِْه ْم ُبٌُو َت ُه ْم ”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
141
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, َوأَمَّا الجَ مَا َع ُة َفالَ اُرَ ِّخصُ فًِ َترْ ِكهَا إِالَّ مِنْ ع ُْذ ٍر “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” Ketujuh: Begadang saat malam ‘Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat shubuh dan shalat ‘ied di pagi harinya. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, هللا – صلى هللا علٌه وسلم – َكانَ ٌَ ْكرَ هُ ال َّن ْو َم َق ْب َل ا ْل ِع َشا ِء ِ َّ أَنَّ رَ سُو َل َ َوا ْلحَ د ٌِث َبعْ َدهَا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari) Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat 142
malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampaisampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol) Takbiran yang dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah terlarang. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ا ْلمُسْ لِ ُم َمنْ َسلِ َم ا ْلمُسْ لِ ُمونَ مِنْ لِسَانِ ِه َو ٌَ ِد ِه “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan,
143
tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya.Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.” (Syarh Al Bukhari). Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri.Seekor semut kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?! Kedelapan: Memeriahkan ‘Idul Fithri dengan petasan. Selain mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana dijelaskan di atas, petasan juga adalah suatu bentuk pemborosan. Karena pemborosan kata Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar. Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”(Tafsir Ibnu Katsir)
144
Allah Ta’ala berfirman, ٌن ِ َِوال ُتب َِّذرْ َت ْبذٌِرً ا إِنَّ ا ْل ُمب َِّذ ِرٌنَ َكا ُنوا إ ِ ْخ َوانَ ال َّشٌَاط “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.Sesungguhnya pemborospemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27). Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”.Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini. (Tafsir Ibnu Katsir) Akhir kata: “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepadaNya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
145
146
Kitab Rujukan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Shahih Fiqh Sunnah Roudhotuth Tholibin Mughni Muhtaj Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah Al Minhaj Syarh Shahih Muslim Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’ Bidayatul Mujtahid Syarhul Mumthi’ Shifat Shoum Nabi, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin Al Muhalla, Imam Ibnu Hazm Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar Syarh Muslim, ImamAn-Nawawi Shalat At Tarawih, Syaikh Al Albani
Referensi Web 1.
http://muslim.or.id
147