23
BAB III TINJAUAN UMUM JUAL BELI
A. Perngertian Jual Beli Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti Al-Bai’, AlTijarah, dan Al Mubadalah yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Bay’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu lafal Al-Syira yang berarti membeli. Dengan demikian makna kata Al-Ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli1. Menurut terminologi, yang dimaksud dengan jual beli adalah:
ْض َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻮ ْﺟ ِﻪ اﳌَﺄُذ ُْو ِن ﻓِْﻴ ِﻪ ٍ ْﻚ ﺑـَﻌَﻮ ٍ َض أ َْوﻧـَ ْﻘﻞُ ِﻣﻠ ِ اﻟﱰا َِﺎل َﻋﻠَﻰ َﺳﺒِﻴ ِْﻞ ﱠ ٍ َﺎل ﲟ َ ُﻣﺒَﺎ َدﻟَﺔُﻣ Artinya: “Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantiannya dengan cara yang dibolehkan”2. Menurut Hanafiah jual beli secara defenitif yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan dengan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabillah, bahwa jual beli yaitu tukar menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan3.
1
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012) HendiSuhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) 3 Mardani, Loc. Cit. 2
24
Dalam kamus bahasa Arab jual beli disebut
ﺑﯿﻌﺎ
ﯾﺒﯿﻊ
ﺑﺎع
artinya menukiar atau menjual4. Dalam kamus bahasa Indonesia, jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang menyerahkan harga barang yang dijual5. Jual beli dalam arti umum adalah tukar menukar harta atau menukar harta dengan manfaat. Dalam arti khusus adalah tukar menukar harta dengan uang menurut ketentuan Islam yang berlaku suka sama suka yang bertujuan untuk memiliki selamanya. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dilakukan dengan isyarat (sikap kedua belah pihak)6. Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli tersebut adalah suatu akad persetujuan atau perjanjian antara dua belah pihak atau lebih untuk menukarkan harta bendanya secara suka rela dan dapat dibenarkan oleh hukum Islam. Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang, maka terjadilah saling merelakan antara penjual dan pembeli. Dengan demikian terjadilah transaksi jual beli yang dibenarkan oleh syara’.
4
M. Yunus, kamus Arab- Indonesia, (Jakarta: PT. Hidayah Agung, 1990), cet. ke-1, h 75 DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet, ke-3,
5
h 478 6
h. 193
T.M. Hasbi Ash- Shidiqy, Al- Islam, (Semarang: PT. PustakaRizki Putra, 1998), Jilid, 2
25
Dengan demikian, perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu menjual dan membeli. Maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli. B. Hukum dan Dasar Hukum Jual Beli Hukum Islam adalah hukum yang lengkap dan sempurna, kesempurnaan sebagai ajaran kerohanian telah dibuktikan dengan seperangkat aturan-aturan untuk mengatur kehidupan, termasuk didalamnya menjalin hubungan dengan pencipta dalam bentuk ibadah dan peraturan antara sesama manusia yang disebut muamalah. Jual beli merupakan pembicaraan dari sisi muamalah secara hukum Islam telah ditentukan baik berdasarkan Al-Quran maupun As-Sunnah. Landasan Al-Qurannya Al-Baqarah: 275 Firman Allah:
َ وَ آَﺣَ ﻞَ ﱠﷲُ ا ْﻟﺒَ ْﯿ َﻊ وَ ﺣَ ﱠﺮ َم اﻟﺮﱢ ﺑﺎ Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba7. Kemudian dijelaskan pula dalam surat An-Nisa’: 29
7
Departemen Agama RI, Al- Quran danTerjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra,
1989), h. 69
26
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka”8. Landasan Sunnahnya Sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wassallam:
ي ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَﻴْﻪ َو َﺳﻠﱠ ِﻢ ُﺳـِٔ َﻞ أ ﱡ َ ﱠﱯ َﻋ ْﻦ ِرﻓَﺎ َﻋﺔَ ﺑْ ِﻦ رَاﻓِ ِﻊ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ أ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ َوُﻛ ﱡﻞ ﺑـَْﻴ ِﻊ َﻣْﺒـﺮُْوِر( َروَاﻩُ اﻟْﺒَـﺰﱠا ُر،ُِﻞ ﺑِﻴَ ِﺪﻩ ِ َﺎل ) َﻋﻤَﻞ اﻟﱠﺮﺟ َ َﺐ؟ ﻗ ُ ْﺐ أﻃْﻴ ِ اﻟْ َﻜﺴـ .ﺻ ﱠﺤ َﺤﻪُ اﳊَْﺎﻛِ ُﻢ َ و، َ Artinya: “Dari Rifa’ah RA, bahwasanya Rasulullah SAW ditanya pencaharian apakah yang paling baik? Beliau menjawab, ialah orang-orang yang bekerja dengan tangannyadan tiap-tiap jual beli yang bersih”(HR. Al- Bazar dan disahkan oleh Hakim)9. Berdasarkan beberapa sandaran berbagai dasar hukum yang telah disebutkan diatas membawa kita kepada suatu kesimpulan bahwa jual beli adalah suatu yang disyari’atkan dalam Islam, maka secara pasti dalam praktek ia tetap dibenarkan dengan memperhatikan persyaratan dan terdapat dalam jual beli itu sendiri.
8
Ibid, h. 122
9
3, h. 14
Abu Bakar Muhammad, SubulussalamTerj, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), cet. Ke- 1, Juz.
27
C. Prinsip- prinsip jual beli Muamalah mempunyai dua prinsip besar yang harus dipenuhi dalam bertransaksi dengan sesama manusia. Adapun prinsip besar yang terdapat didalam Al- Quran, yaitu La Tuzlamun Wa La Tuzhlimun dan Prinsip ‘Antaradin Minkum. Dua prinsip ini akan dipaparkan dibawah ini. 1. La Tuzlamun wa La Tuzhlimun (tidak menzhalimi dan tidak dizhalimi)
Artinya: ”SesungguhnyaDiatidakmenyukai orang-orang yang zalim" (AsSyura: 40)10. Kebalikan sikap zhalim adalah sikap adil. Sifat adil adalah sifat yang disukai oleh Allah. Sedangkan sifat zhalim sangat dibenci oleh Allah. Seperti dalam firman-Nya, "Ingatnya kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim ( QS. Al- hadid : 18). Begitupun sifat zhalim dalam jual beli mencakup bertransaksi yang dilarang, seperti pemaksaan, kesalahan, ketidakjelasan, Ba’i Najasy, menimbun barang (Ihtikar), Riba,Maysir dan Risywah. Kemudian Ibnu Rusyd menambahkan syaratsyarat yang mengakibatkan kepada salah satu dari dua hal (riba dan penipuan). 2. ‘Antaradin Minkum (Saling Merelakan)
10
Departemen Agama, Op.Cit, h. 789
28
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)11. Ayat ini telah jelas melarang segala bentuk kebathilan dalam bertransaksi seperti yang telah dijelaskan pada landasan hukum di atas. Dalam hal inipenipuan (Tadlis) atau Taghrir, menyangkut aspek : a. Kuantitas, misalnya mengurangi timbangan. b. Kualitas, missal penjual menyembunyikan cacat barang. c. Waktu penyerahan, seperti tidak menyerahkan barang yang dibeli tepat pada waktunya12. d. Harga, missal memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga produk di atas pasar. Ini akan mengakibatkan harga yang tidak adil. Harga yang adil adalah nilai harga dimana orangorang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu13.
11
Ibid, h. 122 Adiwarman A. Karim,Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 31 13 NurChamid, JejakLangkahSejarahPemikiranEkonomi Islam, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), Cetakan ke-1, h. 233. 12
29
Mekanisme suka sama suka adalah panduan dari garis Al-Quran dalam melakukan control terhadap perniagaan yang dilakukan. Teknik, system dan aturan main tentang tercapainya tujuan ayat tesebut menjadi ruang ijtihad bagi pakar muslim dalam menerjemahkan konsep dan implementasinya pada konteks modern saat ini14. D. Rukun dan Syarat Jual Beli Rukun jual beli adalah segala sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan jual beli, jadi jika tidak ada salah satu rukun dalam jual beli maka jual beli yang kita laksanakan tidak sah. Begitupun dengan syarat jual beli, apabila tidak memenuhi salah satu dari syarat jual beli baik si pembeli ataupun si penjual maka jual beli yang mereka lakukan tergolong tidak sah menurut syara’. 1. Rukun Jual Beli Jual beli merupakan suatu akad yang mempunyai rukun-rukun. Rukun menurut terminologi ulama ushul fiqh adalah sesuatu yang adanya sesuatu yang lain bergantung kepadanya, dan ia bergantung kepada hakikat tersebut15. Ulama berbeda pendapat tentang rukun jual beli. Kalangan Hanafiyyah mengatakan bahwa rukun dari akad jual beli adalah hanya ijab dan qabul (Sighat). Mereka berpendapat bahwa selain dari ijab qabul atau unsur-unsur lainnya yang menjadi fondasi akad seperti objek akad, dua pihak
14
Faisal Badroen, Dkk. EtikaBisnisdalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h.
49. 15
WahbahAz-Zuhaili, Fiqh Islam WaAdillatuhu 4, Terjemah oleh Abdul Hayyie AlKattani,(Jakarta: Gema Insani, 2011)., h. 429.
30
yang berakad adalah suatu kelaziman akad yang mesti ada untuk membentuk sebuah akad16. Ulama selain dari Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun akad dalam jual beli memiliki tiga rukun yaitu: 1. ‘Aqid(penjual dan pembeli) 2. Ma’qud ‘Alaih( harga dan barang) 3. Sighat ‘Aqid( ijab dan qabul)17. Bagaimanapun perbedaan yang ada, hal ini tidak merubah maksud dari substansi keduanya. Hanya saja para ulama ada yang membuat sebutan lebih umum dan ada yang lebih merincikan. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa akad jual beli memiliki beberapa unsur-unsur yaitu: 1. Ijab 2. Qabul 3. Penjual 4. Pembeli 5. Harga 6. Barang Ijab adalah ucapan pertama dalam sebuah jual beli, baik itu muncul dari penjual maupun pembeli. Apabila penjual menngatakan pertama kali ”saya jual dengan harga segini”, atau pembeli mengatakan “ saya beli dengan harga barang segini”, maka itu adalah ijab. Sedangkan qabul adalah apa yang disebutkan setelah itu oleh salah seorang diantara dua orang yang 16
Ibid. Ibid.
17
31
berakad yang menunjukkan persetujuan dan ridhanya atas ijab yang diucapkan olah pihak pertama. Jadi, semua unsur di atas telah menyatu dalam sebuah akad yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. 2. Syarat Jual beli Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan syarat- syarat jual beli, yaitu:18. a. Syarat Sighat (Ijab Qabul) 1. Adanya kejelasan maksud dari kedua belah pihak. Artinya ijab dan qabul jelas menunjukkan maksud dari kedua pengakad ketika mengucapkan lafazh ijab dan qabul. Apabila tidak diketahui secara pasti bahwa kedua pengakad menginginkan satu jenis akad tertentu, jelas tidak mungkin untuk menuntut keduanya berkomitmen terhadap hukum-hukum yang berkenaan dengan akad tersebut19. 2. Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul dalam hal objek dan harga20. Maksudnya, apa yang diucapkan atau yang diutarakan oleh pihak pertama (ijab), dijawab oleh pihak kedua dengan maksud yang diinginkan oleh pihak pertama. Apabila jawabannya bertolak belakang atau tidak sesuai dengan maksud dari pihak pertama, maka akad menjadi batal. 3. Adanya pertemuan antara ijab dan qabul. Maksudnya, penjual dan pembeli berada dalam majlis yang sama atau tidakpun dalam satu
18
Ibid., h. 438-440 Ibid., h. 439. 20 DimyauddinDjuwaini, PengantarFiqhMuamalah, ( Yogyakarta:PustakaPelajar, 2010), h. 19
55.
32
majlis, yang terpenting pihak yang tidak berada di majlis mengetahui dengan jelas maksud dari ijab. Syarat-syarat yang telah disusun oleh para ulama di atas merupakan bentuk-bentuk yang tidak lain mengantarkan kepada sebuah transaksi yang mengandung keridhaan kedua belah pihak. Apabila cara-cara ini telah dilalui dengan sempurna, maka tercapailah kesepakatan yang mengarah kepada persetujuan. Dan disyaratkan tidak menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan dari kedua belah pihak. Sebagaimana yang diketahui, penolakan menunjukkan ketidakrelaan. Dalam bertransaksi manusia dituntut untuk saling merelakan berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 29 berbunyi:
Artinya:”…dengan suka sama suka diantara kamu…” (Q.S An-Nisa’:29)
ُْﺲ ِﻣْﻨﻪ ٍ ْﺐ ﻧـَﻔ ِ ﺎل ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ُﻣ ْﺴﻠِ ٍﻢ إِﻻﱠ َﻋ ْﻦ ِﻃﻴ َ ﻻَ َِﳛ ﱡﻞ َﻣ Artinya: “Tidak halal harta seorang muslim kecuali kerelaan darinya”21. Jual beli berlangsung dengan ijab dan qabul, terkecuali untuk barang-barang kecil, tidak perlu dengan ijab qabul. Cukup dengan saling memberi sesuai dengan adat kebiasaan berlaku.22 Maka kerelaan akan tercapai dengan sendirinya. b. Aqid Syarat dari ‘Aqid mencakup dua hal di bawah ini:
21
WahbahAz-Zuhaili, Op.Cit., h. 512. SayyidSabiq, FikihSunnah 12, AlihBahasa H. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987), h. 46. 22
33
1. Ahliyah, maksudnya penjual maupun pembeli (pengakad) memiliki kecakapan dalam melakukan jual beli. Seorang yang cakap bisa dilihat dari kriteria seperti baligh dan berakal. Karena dalam melaksanakan transaksi jual beli tidak dibenarkan orang yang kurang akalnya. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang berada dalam kekuasaanmu”. (Q.S An-Nisa’:5)23. Kategori berakal di sini bukan hanya anak-anak yang belum baligh saja. Akan tetapi termasuk juga dalam kondisi dimana seseorang kehilangan akalnya selamanya (gila, idiot) atau sementara waktu (tidur, pingsan, mabuk). Dalam kondisi ini, seseorang tidak bisa melakukan transaksi, khususnya jual beli. Wahbah
Az-Zuhaili
menerangkan
bahwa
untuk
mencapai
kesempurnaan akal, seseorang harus melalui tahap-tahap yaitu fase janin, anak-anak, dan mumayyiz. Apabila fase-fase ini telah dilalui, maka tahap selanjutnya adalah baligh, dimana seseorang sudah bisa menerima bebanbeban syari’at, walaupun belum sampai pada tahap fase yang bisa mengelola serta mengembangkan harta secara mandiri (Rusyd)24. Untuk mengetahui seorang anak sudah bisa diserahkan hartanya, maka Allah menerangkan dalam Al-Quran sebagai berikut:
23
Departemen Agama, Op.Cit., h. 115. WahbahAz-Zuhaili, Op.Cit., h. 455-457
24
34
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisa’:6)25. 2.
Wilayah Wilayah bisa diartikan hak atau kewenangan seseorang yang
mendapat legalitas syar’i untuk melakukan transaksi atas suatu objek transaksi. Sehingga ia memiliki otoritas untuk mentransaksikannya.26 Kewenangan ini seperti seorang wali terhadap anaknya, seseorang yang bermandat serta mewakili dalam berjual beli. Seorang bapak berkewajiban memberi nafkah anak-anaknya yang belum bisa mencari nafkah sendiri. Dengan landasan sebagai berikut:
Artinya:”..dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut..”(Al-Baqarah: 233)27. Anak-anak yang belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya harus berada dalam pengasuhan orangtuanya. Apalagi jika anak tersebut memiliki harta
dan
belum
bisa
mengendalikannya.
Hal
ini
dikarenakan
kecenderungan anak-anak belum bisa mengendalikan harta dan bertransaksi
25
Loc.Cit. DimyauddinDjuwaini, Op.Cit., h. 56 27 Departemen Agama, Op.Cit., h. 57 26
35
dengan baik. Dengan keluguan anak tersebut, biasanya rawan terhadap penipuan serta suka membelanjakan hartanya tanpa mempertimbangkan pengeluaran. Sedangkan Allah melarang sifat boros. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudarasaudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al- Isra' 27)28. Ayat di atas menerangkan bahwa manusia tidak boleh bersifat boros. Dalam hal ini seorang anak yang belum dewasa. Maksudnya ia tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu menyangkut kepentingannya sendiri29. Oleh karena itu seorang anak harus berada dalam pengampuan orangtuanya. c. Syarat Mahall (objek) Mahall adalah sesuatu yang menjadi objek proses akad dan objek bagi tampaknya hukum atau efek dari sebuah akad. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1. Objek ada ketika akad Sebagaimana hadits di bawah ini:
28
Ibid., h. 428 Chairudin Pasaribu dan Suwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Bandung: Sinar Grafika, 1994), h. 79 29
36
ْﺐ َﻋ ْﻦ أ ﺑِْﻴ ِﻪ َﻋ ْﻦ َﺟ ﱢﺪﻩِ َر ِﺿ َﻰ ا ﷲُ ﻋﻨﻬم ﻗﺎَ َل ِ َو َﻋ ْﻦ َﻋ ـ ْﻤ ِﺮ و ﺑْ ِﻦ ُﺷ َﻌﻴ َﻒ َو ﺑـَﻴْ ُﻊ َو ُ ﺻﻠﱠﻰ ا ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ ِﻢ ﻻَ َِﳛ ﱡﻞ َﺳﻠ َ ِ ﻗَﺎ َل َر ﺳُﻮ ُل ا ﷲ: ﺲ َ ْ َو ﻻَ ﺑـَْﻴ ُﻊ ﻣَﺎ ﻟَﻴ،ْﻀ َﻤﻦ ْ َﻻَ ﺷَْﺮ َطﺎ ِن ِﰱ ﺑـَْﻴ ِﻊ َو ﻻَ ِر ﺑْ ُﺢ ﻣَﺎ ﱂْ ﻳ ى َو ا ﺑْ ُﻦ ُﺧَﺰ ﳝَْﺔَ َواْﳊَﺎ ﻛِ ُﻢ ﺻ ﱠﺤ َﺤﺔُ ا ﻟﺘـْﱢﺮ ِﻣ ِﺬ ﱡ َ روَاﻩُ ا ﻟﲬَْ َﺴﺔُ َو.ِﻋْﻨﺪَك Artinya: “Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya r.a ia berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Tidak halal pinjaman dan penjualan, dan tidak halal dua syarat dalam penjualan, dan tidak halal laba (keuntungan) pada barang yang tidak ada tanggungannya (tentang baiknya barang itu), dan tidak boleh menjual barang yang tidak ada padamu.” ( diriwayatkan oleh Imam yang Lima dan disahkan oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim)30. 2. Objek dibolehkan oleh syariat Fuqaha sepakat objek akad atau harta tersebut harus dimiliki dan mutaqawwim (dikuasai atau digenggam). Maka menjual sesuatu yang tidak dianggap harta secara syariat seperti bangkai dan darah, maka akad tersebut menjadi batal. Karena sesuatu yang bukan harta tidak sah untuk dimiliki sama sekali31. Sabda Nabi Muhammad SAW.
ْﺢ َوُﻫ َﻮ ِ ُﻮل ﻋَﺎ َم اﻟْ َﻔﺘ ُ ﻳـَﻘ. ُِﻮل اﷲ َ أَﻧﱠﻪُ ﲰََ َﻊ َرﺳ.َو َﻋ ْﻦ ﺟَﺎﺑِ ِﺮﺑْ ِﻦ َﻋْﺒﺪِاﷲ ﺻﻨَﺎم) ُﻣﺘﱠـ َﻔ ٌﻖ ْ َ إِ ﱠن اﷲَ َوَرﺳُﻮﳍَُ َﺤﱠﺮَﻣﺒَـْﻴـﻌَﺎﳋَْ ْﻤﺮِوَاﻟْ َﻤْﻴﺘَ ِﺔ وَاﳋْْﻨ ِﺰ ﻳﺮ َواْﻷ:َﲟَِ ﱠﻜﺔ (َﻋﻠَْﻴ ِﻪ Artinya:”Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun penaklukan kota Mekah, “sesungguhnya Allah melarang transaksi (jual 30
Al HafidhIbnuHajarAsqalany,Bulughul Maram, Alih Bahasa. Muh. Sjarief Sukandi. Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1978), h. 337 31 Wahbah Az-Zuhaili, Op.Cit, h. 496
37
beli) minuman keras, (Mutafaqun ‘Alaih)32.
bangkai,
babi,
dan
berhala…
3. Objek bisa diserahkan Akad tidak sah kalau seorang pengakad tidak bisa menyerahkan barang. Akan tetapi, jika barang belum ada di tempat dan dimungkinkan dikemudian hari, maka boleh saja asalkan bisa diserahkan. Itu semua tergantung pada kesepakatan pada waktu akad. Menurut para ulama selain Imam Malik, tidak sah menjual hewan yang lepas, hewan buruan setelah ia lari, barang yang dirampas di tangan perampasnya, karena semua hal tersebut tidak bisa diserahkan.
.ﺲ ِﻋﻨْﺪَك َ َو ﻻَ ﺑـَْﻴ ُﻊ ﻣَﺎ ﻟَْﻴ Artinya: “dan tidak boleh menjual barang yang tidak ada padamu”33.
4. Objek harus jelas dan diketahui oleh kedua pengakad. Transaksi jual beli harus terlepas dari ketidakjelasan (Gharar) serta terhindar dari ketidaktahuan (majhul). Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
( َﻋْﻨﺒَـْﻴﻌِﺎﳊَْﺼَﺎةِ َو َﻋْﻨﺒَـْﻴﻌِﺎﻟْﻐََﺮِر )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ُﻮﻻﷲ ُ ﻧـَﻬَﯩَﺮﺳ:ﻗَ َﻞ،ََو َﻋْﻨﺄَﺑِﯩ ُﻬَﺮﻳْـَﺮة Artinya: “Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara melempar batu dan jual beli
32 33
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.Cit., h. 330. Ibid., h. 337
38
gharar. (yang belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya)”. (HR Muslim)34. Barang dan harga yang tidak diketahui atau salah satu keduanya tidak diketahui, jual beli tidak sah, karena mengandung unsur penipuan. Oleh karena itu, barang tersebut bisa disaksikan oleh pembeli. Begitupun dengan harganya harus diketahui, baik itu sifat (jenis pembayaran), jumlah maupun masanya35. 5. Syafi’iyyah menambahkan barang harus bermanfaat menurut syara’, tidak boleh memperjualbelikan barang-barang yang tidak berguna menurut syara’36. Syarat-syarat yang disebutkan di atas merupakan syarat Al-In’iqad. Wahbah Az-Zuhaili membagi syarat kepada empat macam, yaitu syarat AlIn’iqad, syarat sah, syarat nafadz dan syarat luzum. Syarat Al-In’iqad adalah syarat-syarat yang mesti ada untuk membuat akad terjadi dalam pandangan syariat, kalau syarat ini tidak ada maka akad menjadi batal. Seperti yang telah dipaparkan tentang syarat-syarat sighat, aqid, serta objek jual beli di atas. Syarat-syarat sah adalah segala sesuatu yang disyaratkan agar sebuah akad mempunyai efek secara syariat. Jika syarat sah tidak ada maka akad tersebut menjadi fasid.Syarat tersebut lebih khusus, meliputi Jahalah (ketidaktahuan), Ikrah (paksaaan), Tauqit (dibatasi waktu), Gharar (ketidak pastian), Dharar (bahaya), dan syarat-syarat yang merusak (Fasid). Menurut 34
Ibid., h. 336. Sayyid Sabiq, Op.Cit., h. 60. 36 Syafii Jafri, Fiqh Muamalah, (Pekanbaru: Suska Press. 2008), h. 47. 35
39
Hanafiyyah syarat Fasid adalah syarat yang tidak dituntut oleh akad, tidak sesuai dengan Muqtadha akad, tidak terdapat dalam syariat dan tidak dikenal oleh manusia. Ia lebih kepada manfaat yang berlebih untuk salah seorang pengakad, seperti pinjaman dengan syarat penjualan, menjual rumah dengan syarat ditempat oleh penjual. Syarat-syarat Nafadz adalah syarat agar berlakunya sebuah akad. Jika tidak terpenuhi maka akad menjadi Mauquf (bergantung). Seperti kepemilikan harta oleh anak kecil, gila, atau dungu, maka syaratnya ialah harus diwakili oleh wali, barulah akad tersebut berlaku, serta dalam objek tidak terdapat hak kepemilikan orang lain. Sedangkan Syarat Luzum (semestinya) adalah syarat yang bersifat mengikat. Jika syarat luzum tidak terpenuhi, maka pihak yang bertransaksi memiliki hak khiyar. Pada asasnya semua akad yang telah memenuhi segala persyaratan, mengikat para pihak dan tidak boleh salah satu pihak menarik kembali atau membatalkan tanpa persetujuan pihak lainnya. Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat. Ini karena sifat akadnya dan karena adanya khiyar.
E. Macam- Macam Jual Beli 1. Akad Jual beli, bila ditinjau dari objek transaksinya dibagi menjadi empat macam: a. Ba’i Al Muqayyadlah, yaitu jual beli riil asset dengan riil asset (benda). b. Ba’i Al Muthlaq, yaitu jual beli antara riil asset (benda) dengan financial
40
asset (uang). c. As-Sharf, yaitu jual beli asset financial dengan aset financial (uang). d. As-Salam, yaitu jual beli aset financial dengan ril asset, artinya uang diserahkan pada saat kontrak, sedangkan barang diserahkan di kemudian hari37. 2. Ditinjau dari segi objeknya jual beli dapat dibagi jadi tiga sebagaimana menurut Imam Taqiyuddin dalam buku Kifayat Al-Akhyar halaman 32938. a. Jual beli benda kelihatan ialah pada waktu melakukan aqad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Seperti jual beli beras dipasar. b. Jual beli yang disebut sifat sifanya ialah jual beli pesanan (salam) atau tidak kontan. c. Jual beli benda yang tidak ada ialah jual beli yang dilarang oleh syara’ karena barang tersebut masih gelap dan tidak tentu. 3. Ditinjau dari akad jual beli terbagi menjadi tiga bagian39. a. Akad dengan lisan, ialah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat. b. Akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atu surat menyurat jual beli sama halnya dengan ijab qabul dengan ucapan. c. Jual beli dengan perbuatan, atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan kabul. Seperti kita membeli barang di alfamart yang mana barang tersebut sudah ada 37
Dimyauddin, Op.Cit., h. 102. HendiSuhendi, Op. Cit.,h. 75 39 Ibid., h. 77 38
41
label/bandrol harganya dankemudian membayarkan kepada kasir. 4. Jual beli yang dilarang oleh syara’ tapi sah hukumnya, Cuma pelakunya mendapatkan dosa40. a. Hadir Lilbad yaitu menemui orangorang Desa sebelum mereka masuk pasar, dan membeli benda-bendanya dengan harga yang semurahmurahnya sebelum mereka tahu harga psaran, kemudian menjual dengan harga yang setinggi-tingginya. Perbuatan ini sering terjadi dipsar yang berlokasi diperbatasan daerah. Rosulullah SAW bersabda: ”Tidak boeh menjual orang hadir barang orang dusun” (HR. Bukhari Muslim). b. Talaqqi Rukban Praktek ini adalah sebuah perbuatan seseorang dimana dia mencegat orang-orang yang membawa barang dari Desa dan membeli barang itu sebelum tiba di pasar. Rasulullah SAW melarang praktek semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Sabda nabi: Janganlah kalian menemui para kafilah di jalan (untuk membeli barang-barang mereka dengan niat membiarkan mereka tidak tahu harga yang berlaku di pasar), seorang penduduk kota tidak diperbolehkan menemui penjual di Desa. Dikatakan kepada Ibnu Abbas : “apa yang dimaksud dengan larangan itu?” Ia menjawab:”Tidak menjadi makelar mereka”. (HR. Imam Muslim, Shahih Muslim). c. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain. Seperti orang berkata toilklah harga tawaran itu nanti aku yang membeli dengan harga
40
Ibid., h. 82
42
tyang lebih mahal. Sabda Nabi : ”Tidak boleh menawar diatas tawaran saudaranya”. (HR bukhari dan muslim). d. Jual beli Najasy yaitu seseorang menambahkan harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang agar orang aitua membeli barang kawannya, hal ini dilarang syara’ sabda nabi Rosululllah SAW melarang melakukan jual beli dengan najsy (hR Bukhari muslim). e. Jual beli Hashah (kerikil) ialah jual beli dimana pembeli menggunakan krikil dalam jual beli. Kerikil tersebut dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual. Barang yang mengenai suatu barang akan dibeli dan ketika itu terjadilah jual beli. Dari sabda nabi: Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar. 5. Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:41 a. Barang-barang yang dihukumi najis oleh agama/syara’ seperti anjing berhala bangkai binatang, khmar. Sabda Rasulullah : dari jabir RA Rasulullah
SAW
sesungguhnya
Allah
dan
Rasul-Nya
telah
mnegkharamkan menjual arak, bankai babi dan berhala (HR bukhari muslim). b. Jual beli Madhamin ialah menjual sperma hewan, di mana si Penjual membawa hewan pejantan kepada hewan betina untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu menjadi milik pembeli. c. Jual beli Malaqih, Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan.
41
Ibid., h.78
43
d. Jual beli Habalul Habalah yaitu jual beli anak unta yang masih dalam kandungan. ”Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah saw telah melarang penjualan sesuatu (anak unta) yang masih dalam kandungan induknya” (H.R.Bukhari Muslim). e. Jual beli Mukhadharah, yaitu jual beli buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen. Seperti jual beli ijon. f. Jual beli Mulamasah yaitu jual beli yang dilakukan dnegan sentuh menyentuh barang yang diijual. Contoh anda datang ke pasar kemudian menyentuh kain maka anda harus membeli kain itu karena anda telah menyentuhnya. g. Jual beli Munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar melempar. Seperti lemparkan kepadaku apa yang ada padamu nanti aku juga akan melemparkan yang ada padaku. Jika dilakukan maka terjadilah jual beli. Jual beli ini dilarang karena terdapat maysir dan gharar. h. Jual beli two in one yaitu jual beli dengan menentukan dua harga untuk satu barang. i. Jual beli bersyarat yaitu jual beli dimana barang akan dijual apabila ada hal lain sebagai syarat. Seperti saya jual barang ini padamu, jika kamu jual jammu padaku. F. Hikmah Jual Beli Allah mensyari’atkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keluasan dari-Nya untuk hamba-hambanya, karena manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan sandang, pangan, dan lain-lain. Kebutuhan ini tidak
44
akan pernah terputus dan tidak henti-hentinya selama manusia masih hidup. Tidak seorangpun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu ia dituntut berhubungan dengan lainnya. Dalam hal ini tidak ada satu halpun yang lebih sempurna dari pertukaran dimana seseorang ia miliki untuk kemudian dia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhan masing-masing.