ما أضيف إلى الن بى صلى هللا عليه وسلم قوال أو فعال أو تقريرا أو صفة

1

AL-HADITS

A.

Pengertian Al-Hadi>th, Al-Sunnah, al-Khabar dan al-Athar. Para Muhaditsin ( ulama hadits ) berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan

al-

Hadits. Perbedaan tersebut disebabkan karena terpengaruh oleh batas dan luasnya objek kajian yang dibahas. Dari perbedaan tersebut melahirkan dua definisi yang terbatas disatu pihak dipihak lain definisi yang luas.

Ulama Hadits mendefinisikan Hadits, sebagaimana menurut Jumhur, yaitu :

‫ما أضيف إلى النبى صلى هللا عليه وسلم قوال أو فعال أو تقريرا أو نحوها‬ Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik perkataan, perbuatan serta pernyataan ( taqrir ), dan sebagainya. Definisi secara terperinci:

‫ما أضيف إلى ال ّنبى صلى هللا عليه وسلم قوال أو فعال أو تقريرا أو صفة‬ Ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw baik perkataan, perbuatan serta pernyataan ( taqrir ), dan sifat. Definisi yang mencakup empat asfek ini, disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang disebut marfu>' sedangkan yang disandarkan kepada shahabat disebut mauqu>f, sedangkan yang disandarkan kepada tabi'in disebut maqthu>'.

Dari definisi di atas Ibn Taymiyah memberikan, batasan, bahwa yang dinyatakan hadits adalah sesuatu disandarkan kepada nabi SAW sesudah menjadi Rasul, yang terdiri atas perkataan, perbuatan dan ketetapan. Sedangkan sesuatu yang disandarkan kepada beliau setelah diangkat menjadi rasul, bukanlah hadits. Menurut Ulama Ushul Fiqh yang dimaksud dengan hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW yang dikenal dengan al-Sunnah al-Qauliyah, yaitu :

. ّ‫أقوال الرسول صلى هللا عليه وسلم مما يصلح أن يكون دليال لحكم شرعي‬

2

Segala perkataan Nabi yang pantas untuk bisa dijadikan dalil dalam penetapan hukum syara'. Hal tersebut terjadi karena menurut pandangan mereka, karena as-Sunnah lebih umum dari hadits, pengertian mereka adalah meliputi perkataan, perbuatan, taqri>r

(

pengakuan persetujuan ) Rasul SAW, yang dapat dijadikan dalil dalam merumuskan hukum syara'. Dan istilah hadi>th sering disinonimkan dengan sunnah, khabar, dan athar. 1

Al-Sunnah Al-Sunnah secara etimologi berarti :

. ‫ حسنة كانت أو سيّئة‬, ‫الطريقة المستقيمة والسيرة المستمرة‬ Jalan yang lurus dan berkesinambungan, yang baik atau yang buruk. Pengertian as-Sunnah secara terminologis, yaitu : 1.

Menurut Ulama Hadits ( Muhadithi>n ),

‫تقرير أو‬ ‫فعل أو‬ ٍ ‫قول أو‬ ٍ ‫هى ك ّل ما أثر عن الرسول صلى هللا عليه وسّلم من‬ ٍ ‫صف ٍة خلقي ٍة أو خلقي ٍة أو سير ٍة سواء ٌ أكان ذالك قبل البعثة كتحنث ِه فى غار‬ . ‫حراء ٍ أم بعدها‬ Sunnah adalah setiap apa yang ditinggalkan ( diterima ) dari Rasul SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik atau akhlak atau perikehidupan, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti tahannus yang beliau lakukan di Gua Hiro' atau sesudah kerasulan beliau ".

2.

Menurut Ulama Ushul Fiqh ( Ushu>liyi>n )

‫فعل أو‬ ٍ ‫قول أو‬ ٍ ‫هى كل ما صدر عن ال ّنبى صلى هللا عليه وسلّم غير القرأن الكريم من‬ . ‫شرعى‬ ‫لحكم‬ ‫تقرير مما يصل ُح أن يكون دليال‬ ٍ ٍ ٍ As-sunnah adalah seluruh yang datang dari Rasul SAW selain Al-Qur'an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan, yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hokum Syara'. 1

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, ( Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya ), cet. 2001.h. 35-38,

3 3.

Menurut Ulama Fiqh ( Fuqaha>' )

.‫ب‬ ِ ‫هى كل ما ثبت عن النبى صلى هللا عليه وسّلم ولم يكن من باب الفرض وال الواج‬ Ulama Fiqh mendefinisikan Sunnah adalah : setiap yang datang dari Rasul SAW yang bukan Fardhu', dan tidak pula wajib. Al-Khabar 2 Khabar menurut bahasa adalah an-Naba', yang berarti : berita. Sedangkan pengertian menurut istilah, terdapat 3 pendapat, yaitu : a. Khabar adalah sinonim dengan hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik dari perkataan, perbuatan atau ketetapan atau sifat. b. Khabar berbeda dengan hadits, hadits adalah sesuatu ( berita ) yang datang dari Nabi SAW, sedangkan Khabar adalah berita yang datang dari selain nabi SAW. Atas dasar pendapat ini, maka seorang Ahli Hadits atau ahli Sunnah disebut Muhaddits, sedangkan mereka yang berkecimpung dalam kegiatan sejarah dan sejenisnya disebut dengan

akhbar. c. Khabar adalah lebih umum dari hadits, hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi SAW, sedangkan khabar adalah sesuatu yang datang dari nabi SAW atau selain Nabi SAW .

Al-Athar Atsar secara etimologi berarti baqiyatusy Syai'. ( sisa atau peninggalan sesuatu ). Sedangkan pengertian secara termonologis, terdapat dua pendapat, yaitu : a. Atsar adalah sinonim dengan hadits, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah. b. Pendapat kedua yang menyatakan, bahwa Athar adalah berbeda dengan hadits. Atsar adalah secara istilah menurut ulama yang kedua adalah : " Sesuatu yang disandarkan kepada shahabat dan tabi'in, yang terdiri atas perkataan atau perbuatan.

Mahmud Thahhan, Taysir Fi Must}alah al-Hadi>th, ( Riyad : Maktabah Al-Ma‟arif, 1405 / 1985 M ), Cet. Ke-7, h.15-16 2

4 Bentuk-bentuk Hadits terdiri, atas tiga bagian : 3 1. Hadits Qauly : Seluruh Hadits yang diucapkan Rasulullah SAW untuk sebagai tujuan dan dalam berbagai kesempatan. Contoh : hadits Rasulullah tentang status air laut. 2. Hadits Fi'ly : Yaitu seluruh perbuatan yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Contoh : contoh beberapa perbuatan nabi tentang pelaksaaan Shalat, haji dan lain sebagainya. Tentang shalat nabi bersabda :

) ‫ ( رواه البخارى‬........ ‫صلّوا كما رأيتمونى أصلى‬ Dan Shalatlah kamu Sebagaimana kamu Melihat saya Shalat …. ( HR. Bukhari ) 3. Hadits Taqririy :adalah diamnya Rasulullah SAW dari mengingkari perkataan, atau perbuatan yang dilakukan di hadapan beliau atau pada masa beliau dan hal tersebut diketahuinya. Hal tersebut adakalanya dengan menyataan persetujuan, atau penilaian, baik dari beliau atau tidak adanya pengingkaran beliau dan pengakuan.

B.

Kedudukan Hadits Terhadap Al-Qur’an Kedudukan hadits dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran Islam, menurut jumhur

adalah menempati posisi kedua setelah Al-Qur‟an.4 Hal tersebut ditinjau dari segi wurud atau tsubutnya al-Qur‟an yang bersifat qat}’i, sedangkan hadits, keculai yang bersifat berstatus Mutawattir, sifatnya adalah Z}anni al-Wuru>d. Oleh karenanya yang bersifat qat}’i (pasti) didahulukan dari pada yang z}anni (relatif). Berikut ini, diuraikan beberapa hal yang dikemukakan para Ulama tentang posisi hadits terhadap Al-Qur‟an, yaitu : 5 Pertama : Al-Qur‟an dengan sifatnya yang qat}’i al-wuru>d ( keberadaannya yang pasti dan diyakini ), baik secara per-ayat atau per-surat atau keseluruhan sudah seharusnya lebih tinggi dari pada hadits, atau hadits per-hadits. Kecuali yang berstatus mutawattir, adalah bersifat

z}anni al-wuru>d. 3

Mahmud Thahhan, Taysir Fi Must}alah al-Hadi>th, ( Riyad : Maktabah Al-Ma‟arif, 1405 / 1985 M ), Cet.

Ke-7, 46 4

Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at, ( Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/ 1991 M) Ju 4, h.5 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Juz I, h. 460 5 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Syari’at, ( Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/ 1991 M) Ju 4, h.5 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, Juz I, h. 461

5 Kedua : Kedudukan hadits yang berfungsi sebagai penjelas (al-baya>n) terhadap al-Qur‟an. Ini berarti yang dijelaskan (al-Qur‟an) adalah kedudukannya lebih tinggi dari pada penjelasan (al-baya>n), yaitu al-hadits. Dengan demikian dapat dipahami bahwa penjelas tidak perlu ada, jika sesuatu yang dijelaskan tidak ada, akan tetapi jika tidak ada al-bayan hal itu tidaklah berarti bahwa al-Mubayan juga tidak ada. Denagan demikian, eksistensi dan keberadaan hadits sebagai albayan tergantung pada eksistensi Al-Qur‟an sebagai Mubayyan, hal ini menunjukkan didahulukannya Al-Qur‟an dari hadits dalam hal status dan tingkatannya. Ketiga : Sikap para ulama dalam hal ini, slalu merujuk kepada Al-Qur‟an terlebih dahulu, apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar dalam suatu masalah. Dan jika di dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan penjelasannya, barulah mereka mengambil as-sunnah, atau menanyakan hadits kepada Shahabat yang lain. 6 Keempat : Hadits Muaz bin Jabal secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara Al-Qur‟an dan As-Sunnah ( hadits ) sebagaimana, berikut haditsnya :

‫ما رواه معاذ بن جبل رضى هللا عنه أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لما اراد أن يبعثه إلى‬ ‫ قال فإن‬, ‫ أقضى بما فى كتاب هللا‬: ‫ كيف تقضى إذا عرض لك قضاء ؟ قال‬: ‫قال له‬... ‫اليمن‬ ‫ فإن لم يكن فى سنة رسول هللا صلى هللا‬: ‫ قال‬,‫ فبسنة رسول هللا‬: ‫لم يكن فى كتاب هللا ؟ قال‬ ‫ فضرب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫ قال معاذ‬, ‫ أجتهد رأيى وال ألو‬: ‫عليه وسلم ؟ قال‬ ‫ ( أخرجه أبو‬, ‫ الحمد هلل الذى وفق رسول _ رسول هللا لما يرضى هللا ورسوله‬: ‫صدرى وقال‬ ) ‫داود و الترمذى‬ “ Sebagimana yang diriwayatkan oleh Muaz bin Jabal, Bahwasanya Rasulullah ketika mengutus seorang Shahabat ( Muaz Bin Jabal ) ke Yaman, beliau bertanya kepadanya ( Muaz ), bagaimana anda memutuskan perkara jika dihadapkan kepadamu ? Maka Muaz menjawab : Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an). Lalu Rasulullah bertanya lagi, apabila anda tidak mendapatkan jawabannya dalam Kitabullah ?,

Muaz menjawab, Saya akan

memutuskannya dengan as-Sunnah. Rasulullah lanjut bertanya lagi, jika anda tidak

6

Muhammad Hudhari Bek, Ushul Fiqh, ( Cairo : Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1969 M ), h. 241-242, Mushtafa al-Siba‟i, al-Sunnah Wamakantuha,h.70-71

6 mendapatkan dari keduanya ? Muaz manjawab lagi : Saya akan bertijtihad dengan menggunakan akal pikiran saya. Rasulullah SAW menepuk punggung Muaz, seraya berkata ; Al-Hamdulillah atas taufik yang telah dianugrahkan Allah kepada utusan Rasul-Nya. ” ( HR. Abu Daud dan Turmudzi)

C.

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an.7 Pada dasarnya fungsi hadits terhadap al-Qur'an dapat dibagi kepada tiga, yaitu : Pertama : Menegaskan kembali keterangan atau perintah yang terdapat di dalam AlQur'an, yang sering disebut dengan fungsi baya>n taqri>r. Dalam hal ini hadits datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan kandungan Al-Qur'an, bahkan persis sama, baik dari keumuman (mujmal),

maupun terperinci (tafshi>l), seperti,

keterangan Rasul SAW mengenai kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan sebgainya, yang termuat dalam hadits beliau.

‫ وإقام‬, ‫ شهاد ِة أنْ ال إله إال هللا وأنّ محمداً رسول هللا‬: ‫خمس‬ ‫بنى اإلسالم على‬ ٍ ‫ (رواه‬, ‫ وصوم رمضان وحج البيت من استطاع إليه سبيال‬, ‫الصال ِة وإيتاء الزكا ِة‬ ) ‫البخارى و مسلم‬ Hadits tersebut berfungsi menjelaskan kembali ( taqri>r ) ayat-ayat berikut ini :

ِ َّ ‫الصالَةَ و َءاتُوا‬ َ‫الزَكاة‬ ُ ‫َوأَق‬ َ َّ ‫يمو‬ “ dan kerjakanlah olehmu shalat dan bayarkanlah atasmu zakat……” QS. Al-Baqarah : 83 “ Demikian ayat ini , ….

ِ َِّ ‫ام‬ َ‫ب َعمَْي ُك ُم الص‬ َ ‫امُنوا ُكت‬ َ ‫َياأَُّيهَا الذ‬ َ ‫ين َء‬ ُ ‫ِّي‬ Mahmud Thahhan, Taysir Fi Must}alah al-Hadi>th, ( Riyad : Maktabah Al-Ma‟arif, 1405 / 1985 M ), Cet. Ke-7, 67-76 7

7 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa….. (QS.al-Baqarah : 183 ).

ِ‫و‬ ِ ِ ِ ‫الن‬ َّ ‫هلل َعمَى‬ ‫اع إِلَْي ِه َسبِيالا‬ َ َ‫است‬ َ ‫ط‬ ْ ‫اس ح ُّج ا ْلَب ْيت َم ِن‬ َ Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. ( QS. Ali Imran : 97 ) Dengan kata lain, hadits dalam hal ini hanya mengungkapkan kembali apa telah disampaikan dan dimuat dan terdapat dalam al-Qur‟an tanpa penambahan atau penjelasan apa yang memuat di dalam ayat-ayat tersebut.

Kedua : Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an yang datang secara Mujmal, „Am, Mutlaq, seperti ; penjelaan rasul tentang tata cara pelaksanaan shalat, jumlah rakaatnya, waktu-waktunya. 8 Ketiga : Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur'an, yang disebut dengan bayan tasyri'.

D.

Perbedaan antara Hadits Nabawi, Al-Qur'an, dan Hadits Qudsi. Perbedaan antara Al-Qur‟an dengan Hadits Qudsi, yaitu : 1. Bahwa Al-Qur‟an lafadz dan ma‟nanya dari Allah SWT sedangkan hadits Qudsi ma‟na dari Allah dan lafadznya dari nabi sendiri. 2. Al-Qur‟an menjadi amal ibadah bagi pembacanya, dan pembacanya akan mendapatkan balasan pahala 10 kali lipat ganda, sedangkan hadits Qudsi tidak demikian. 3. Al-Qur‟an mu‟jizat bagi manusia dan juga jin, sedangkan hadits qudsi tidak demikian. 4. Dan Al-Qur‟an tidak boleh diriwayatkan secara makna sedangkan hadits qudsi boleh seperti hadits nabawi. 5. Al-Qur‟an tidak dibolehkan untuk menyentuhnya bagi yang berhadats, dan juga yang junub membacanya, sedangkan hadits qudsi tidak apa-apa.

8

Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, h. 71-76

8 6. Al-Qur‟an disampaikan dengan cara mutawwatir maka kepastiannya sudah pasti, sedangkan hadits qudsi kebanyakan khabar ahad, sehingga kepastiannya adalah masih berupa dugaan ( z}an ). 7. Al-Qur‟an dibaca dalam sholat dan hadits qudsi tidak mejadi bacaan dalam sholat. 8. Bahwa yang ingkar dengan Al-Qur‟an adalah kafir sedangkan yang ingkar dengan hadits qudsi fasik.

Perbedaan antar hadits Qudsi dan Hadits Nabawi, diantaranya yaitu : Pertama : Hadits nabi ada dua bentuk, Pertama:Tauqi>fi yaitu yang isi kandungannya diterima Rasullulah dari wahyu, lalu ia menjelaskannya kepada manusia dengan kata-kata sendiri. Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah SWT, tetapi dari segi pembicaraan lebih banyak disandarkan kepada Rasulullah itu sendiri, karena kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya. Kedua : Taufiqi yaitu yang disimpulkan Rasulullah menurut pemahamannya tetang Al-Qur‟an atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad.bagian yang bersifat ijtihad inilah yang yang diperkuat oleh wahyu bila ia benar. dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. 9 Kedua : Dan Hadits Qudsi itu maknaya dari Allah SWT, dan disampaikan kepada Rasulullah melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedangkan lafadz dari Nabi SAW dan inilah lafadz yang kuat. Dan nisbah ( penyandaran ) hadits qudsi kepada Allah adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab jika lafadz itu dari Allah, maka tidak ada perbedaan antara hadits qudsi dan Al-Qur‟an. *

9

Contoh adalah apa yang terjadi mengenai urusan tawanan perang Badar, Rasulullah mengambil pendapat Abu Bakar dan menerima tebusan dari mereka, Maka turunlah wahyu dalam Al-Qur‟an yang mencela tindakan Nabi: “ ..Tidaklah patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan perang ….Al-Anfal : 67, Manna al-Qattan, op.cit. h. 28