عَلى َ حْبًوا َ ه َوَلْو ُ عو ُ ه َفَباِي ُ مو ُ َُفِإَذا َرأ َْيت ّ مهِد ي َ خِليَفُة الّلِه اْل َ ج َفِإّنُه ِ الّثْل
“Ketika kalian melihatnya (kehadiran Imam Mahdi), maka berbai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Abu Dawud)
Saya dibesarkan dalam lingkungan Cina Buddha dimana saya dipajankan kepada agama yang tercampur aduk dengan penghormatan leluhur dan adat kebiasaan. Di rumah kami terdapat altar kecil yang diletakkan di suatu rak yang tinggi berisi patung kecil Buddha dan potret dari almarhum kakek saya. Setelah pulang berbelanja, ibu saya biasa meletakkan buah yang terbaik dan jajanan lain di sebuah piring yang diletakkan di rak itu sebagai persembahan bagi Buddha dan para leluhur kami. Ibu saya mengganti isi piring itu secara periodik. Pada hari-hari raya khusus seperti Tahun Baru Cina, ibu saya akan memasak beberapa makanan yang lezat dan meletakkannya di atas meja berikut beberapa batang dupa wangi bagi para leluhur kami. Hidangan itu merupakan persembahan simbolik bagi mereka dan sebagai tanda kebaktian keluarga kami. Sambil mengharapkan bahwa para leluhur itu menikmati hidangan tersebut, kami bersujud di depan meja itu. Begitu juga sebelum melakukan suatu perjalanan atau ada suatu kegiatan penting (seperti ujian sekolah misalnya), kami diingatkan untuk berdo’a bagi keamanan dan keberhasilan. Sambil menggenggam dupa hio yang ujungnya menyala, masing-masing kami menggoyang-goyang cepat batang hio itu ke depan dan belakang. Mula-mula kami menghadap altar guna memohon berkat dari para leluhur kami sendiri dan kemudian menghadap ke jendela untuk menghormati para roh gentayangan yang tidak memiliki keluarga yang akan menghormati mereka.
2
Saya teringat suatu cara khusus untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Pada hari-hari raya tertentu, ibu saya akan berlutut di depan meja sambil mengocok dua keping mata uang logam dalam tangkupan kedua tangannya kemudian melemparkan koin itu ke lantai. Jawaban (ya, tidak atau barangkali) akan ditafsirkan dari kombinasi kepala atau buntut koin yang muncul. Meski orang tua saya percaya kepada Tuhan namun mereka tidak membedakan antara Tuhan dengan Buddha atau pun dengan leluhur yang disembah. Kebiasaan kami itu menurut hemat saya terlihat penuh hormat tetapi lebih berbau mistis dan bersifat kultural. Tanpa suatu konsep agama yang jelas, saya tidak merasa harus mencari suatu kedekatan dengan Tuhan. Saya meyakini adanya satu Pencipta namun menganggap mustahil bisa mengetahui inti kebenaran dari apa yang dimaksud sebagai Tuhan mau pun tentang kehidupan akhirat….. ---------------------------------Namaku Jeffrey Ahmad Pueme. Aku datang dari Papua New Guinea, sebuah negara di wilayah Pasifik. Penduduk negeriku lebih dari 5 juta orang, 99,5 persen dari mereka adalah penganut agama Kristen. Aku dilahirkan pada 24 Oktober 1982 di Kampung Uma, Mendi S.H.P. semua anggota keluarga kami adalah penganut Katolik. Aku sangat dekat dengan ibuku dan selalu mendengar beliau berdo’a tiap pagi dan malam menjelang tidur:
3
“O Gote anda a, ning si pandanedare para pirinalape Ora.” artinya: “Wahai Tuhan Yang Maha Agung, jadikanlah salah seorang dari enam putraku Pendeta Katolik.” Masih segar dalam ingatanku betapa beliau selalu mengucap kata-kata ini. Alhamdulillah, akhirnya aku dikirim ke Indonesia untuk mengikuti ujian Muallim dan aku lulus. Aku bersyukur kepada Allah, Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan do’a, sebab do’a ibundaku dikabulkan namun bukan dalam bentuk Kependetaan Katolik melainkan seorang Da’i Muslim. Akibat kerusuhan politik pada tahun 1995 di daerahku, aku pindah ke propinsi West New Britain untuk menyelesaikan sekolah tingkat menengah dan atas di sana. Aku tinggal bersama kakak sulungku yang bekerja di sana sebagai seorang desainer dan sign writer. Namanya Rali Muhammad Pueme. Beberapa minggu kemudian, di rumahnya mataku terpaku pada tiga buah buklet berwarna di atas 4
mejanya. Melihat buku-buku itu, aku sangat tergoda dan terpaksa mengambilnya dan mengamatinya lembar demi lembar. “Wahai Tuhan-ku Yesus Kristus! Apakah Yesus bukan Tuhan dan benarkah ia tidak mati di atas salib dan tidakkah ia akan kembali untuk kedua kalinya?”, aku bertanya-tanya. Aku sangat terkejut sehingga seluruh kulitku merinding. Aku kembalikan bukletbuklet itu ke atas meja sebagaimana sebelumnya dan aku masuk ke dalam kamarku dan berbaring. Masalah itu terus menghantui pikiranku. Nafsu makanku berkurang bahkan malam itu aku tak dapat tidur. Memohon Tanda Keesokan harinya sepulang sekolah, sebelum kakakku pulang dari bekerja, aku diam-diam mengambil dan membaca habis buklet-buklet itu berulang-ulang dengan merujuknya kepada Kitab Suci Bible milikku dan menggunakan referensi Bible yang terkandung dalam buklet itu. Itu kulakukan selama dua minggu. Hal itu membuatku berfikir keras, menganalisa dan memastikan semua pernyataan dan fenomena yang secara logis, ilmiah dan berdasarkan Bible. Aku tak pernah sebelumnya menyimpan keragu-raguan dan apa yang kupegang sesuai dengan kesadaranku. Dan sangat berat untuk 5
menolak serta melupakannya. Namun kini, aku tak memiliki pilihan lain melainkan kepada Yesus, Roh Kudus dan Maria agar diperlihatkan mukjizat atau tanda, aku berdo’a dengan khusyu selama beberapa hari. “Wahai Tuhan-ku Yesus dan Roh Kudus, jika Engkau benar-benar hidup dan bagian dari oknum Ketuhanan, perlihatkanlah kepadaku setidaknya sedikit tanda sehingga aku dapat memutuskan untuk tidak mempercayai apa yang mengusik pikiranku sekarang ini dan apa yang kupahami dari ketiga buklet ini.” …… ------------------------------------Semenjak saya duduk di sekolah dasar, saya sudah sering mendengar nama Ahmadiyah, tapi sebegitu jauh saya kurang mengetahui ajarannya. Saya pernah juga mendengar bahwa orang-orang Ahmadiyah mempunyai suatu kepercayaan bahwa setelah Nabi Muhammad saw. ada lagi nabi. Malahan sewaktu saya masih kecil pernah bapak saya bercerita mengenai perbedaan aqidah antara orang-orang Ahmadiyah dan orang-orang Islam pada umumnya. Beliau berkata, “Menurut kita Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir karena beliau adalah khotaman nabiyin, tetapi menurut orang-orang Ahmadiyah ada lagi nabi yaitu Mirza Ghulam Ahmad, karena menurut mereka khotaman nabiyin artinya cincin para nabi.” Demikian kurang lebih penjelasan orang tua saya ketika itu. Saya sebagai anak yang belum 6
dewasa tidak pikir panjang terhadap apa yang dikatakan oleh orang tua itu. Setelah saya dewasa dan menamatkan PGAM (Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah) di Tasikmalaya, saya melanjutkan sekolah di salah satu Perguruan Tinggi Islam Jakarta. Mulai saat inilah saya mengetahui dan mempelajari secara mendetail mengenai ajaran-ajaran Ahmadiyah melalui kakak misan saya sendiri yaitu saudara Memet Rakhmat. Saya sering bertukar pikiran dengan beliau mempermasalahkan hal yang dianggap penting, tetapi saya lebih banyak lagi mengetahui dan mengenal Jemaat Ahmadiyah melalui buku-buku yang beliau berikan kepada saya atau saya beli sendiri dari toko buku Jemaat Ahmadiyah. Dari sekian banyak buku yang saya baca ada suatu buku yang sangat menarik sekali untuk saya pelajari yaitu buku Nabi Isa Dari Palestina Ke Kashmir. Setelah saya baca berulang kali buku tersebut, akhirnya saya mendapat kepuasan dan jawaban yang konkret tentang Nabi isa a.s. yang selama ini saya bimbangkan. Di dalam buku itu dijelaskan, bahwa berdasarkan Al-Qur’an dan penemuan-penemuan ilmiah (penemuan kain kafan), yang dipakukan di tiang salib itu benar-benar Nabi Isa a.s. tetapi beliau tidak sampai meninggal, hanya diserupakan seperti orang yang mati. Setelah siuman kembali beliau pergi 7
mengembara ke arah timur yaitu Kashmir dan akhirnya disanalah beliau meninggal. Sejarah ini bertepatan dengan firman Allah swt. yang berbunyi : ... ت قََراٍر ّو َمِعۡیٍن ِ ّو ٰاَوۡیٰنہَُمۤا اِٰلی َرۡبَوٍۃ َذا “.. Kami selamatkan Isa dan ibunya kepada suatu dataran tinggi yang berair.” (QS.23 ayat 50). Jadi jelaslah bagi saya, ini merupakan suatu jawaban yang kongkrit tentang Nabi Isa a.s.. Sebagai seorang ghair dan sebagai seorang yang baru mengenal Jemaat Ahmadiyah dengan sendirinya bagi saya banyak sekali hal-hal yang baru saya ketahui dan banyak pula hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan-keyakinan saya ketika itu. Saya orang yang mencintai kebenaran, maka demi untuk menghilangkan keraguan, dan demi untuk mencari nilai kebenaran, saya sering bertanya-tanya baik kepada lawan maupun kawan. Pada suatu kali saya pernah menemui Dekan Fakultas dengan maksud untuk menanyakan masalah-masalah Ahmadiyah. Setelah saya mengemukakan beberapa masalah, beliau menjawab, “Sebenarnya bapak juga pernah mempelajari Jemaat Ahmadiyah sewaktu bapak masih kuliah di Yogyakarta dari seorang utusannya,” kemudian beliau menyambung, ”Sekarang coba saja diskusikan dengan teman-teman 8
mahasiswa.” Mendengar jawaban sang dekan itu saya sangat heran sekali, kenapa beliau bukannya menjawab pertanyaan yang saya ajukan tapi malahan menyuruh mendiskusikan dengan teman-teman mahasiswa? Tapi akhirnya saya mengerti juga, bahwa rupanya beliau tidak sanggup menjawab pertanyaanpertanyaan yang saya ajukan……. -------------------------------------Di mata Dedi Sunarya (34), Islam atau tidaknya Jemaat Ahmadiyah dibuktikan dari kalimat syahadat yang diucapkan orang-orang Ahmadiyah. Maka ketika Dedi mendengar kalimat syahadat yang diucapkan Ahmad Sutarwan (Tarwan), seorang Ahmadi dari Cianjur, Dedi yakin bahwa Ahmadiyah itu adalah Islam.
Pertemuan Dedi dengan Tarwan terjadi di pertengahan tahun 2006, ketika suasana Jemaat Ahmadiyah sedang tertekan oleh pihak yang menginginkan Jemaat Ahmadiyah bubar. Saat itu Tarwan berkunjung ke rumah orangtua dedi yang merupakan salah seorang murid Tarwan. Tarwan sendiri adalah pensiunan guru sekolah dasar di Cipeuyeum, Cianjur. Paska mengetahui kalimat syahadat Jemaat Ahmadiyah yang sama dengan ummat Islam lainnya, Dedi mulai meminta dan membaca buku-buku terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Walaupun kondisi Jemaat Ahmadiyah waktu itu sedang diserang dari berbagai arah, Dedi sama sekali tidak khawatir. 9
Memang Dedi mengakui ada beberapa keterangan dari Ahmadiyah yang belum sejalan dengan pikirannya, namun dengan terus bergulirnya waktu, sikap itu terus mencair. Dari sekian banyak bukubuku terbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang telah Dedi baca, hati Dedi tersentak dan kagum terhadap buku Filsafat Ajaran Islam karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Dedi mengaku perasaannya luluh terhadap Ahmadiyah setelah membaca habis buku fenomenal yang telah berusia satu abad lebih itu. Semenjak itu Dedi selalu mengikuti pengajian rutin yang diadakan oleh Jemaat Ahmadiyah Cipeuyeum. Dalam satu pengajian, Dedi ditanya oleh Tarwan tentang keyakinannya terhadap Ahmadiyah. Namun saat itu Dedi menjawab bahwa dirinya masih raguragu. Mendengar jawaban Dedi yang sangat terbuka, Tarwan memberi saran agar Dedi meminta petunjuk langsung kepada Allah swt. tentang kebenaran Ahmadiyah…….
10