KATA PENGANTAR
Sesungguhnya segala puji dan puja hanya bagi Allah. Kami memuji hanya kepada-Nya, bergantung hanya kepada-Nya, dan memohon ampunan juga hanya kepada-Nya. Dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan hati kami, serta amalanamalan kami sendiri. Sebab, barangsiapa yang telah diberi hidayah oleh Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya. Dan sebaliknya, barangsiapa yang telah disesatkan oleh Allah, niscaya tiada satu zat pun yang dapat memberinya hidayah (petunjuk ke jalan yang benar). Kami bersaksi kepada Allah, bahwa tiada Ilah selain Dia, dan kami tiada akan mempersekutukan Dia dengan makhluk-Nya. Juga kami bersaksi, bahwa Nabi Muhammad itu adalah hamba dan juga utusan-Nya. Krisis multidimensi yang melanda bangsa dan Negara saat ini bila dicari akar permasalahannya adalah bersumber dari lemahnya pembangunan Nation and Character Building, lemahnya pembangunan watak dan mental. Ketika bangsa kita mendapat suguhan memprimadonakan pembangunan ekonomi, maka di dalamnya terimplisit nilai-nilai material. Ukuran-ukuran yang dikedepankan pun adalah ukuran material, oleh karena itu bangsa kita secara sadar atau tidak sadar telah masuk perangkap materialistik yang menyampingkan nilainilai yang bersifat spiritual-mental. Ketika itu terjadi bagi anak bangsa, maka bukan sesuatu yang aneh bila ada sebagian anak bangsa bersemboyan: “menghalalkan segala cara untuk memperoleh materi”. Dampak dari ini semua berpengaruh luas
i
dalam kehidupan berbangsa, berpengaruh kepada penegakan hukum, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Maju bangsa karena akhlak (budi pekerti), akhlak pupus bangsa ambruk. Demikian kata pepatah. Ada juga pepatah yang mengatakan bahwa Negara yang baik berasal dari masyarakat yang baik, masyarakat yang baik berasal dari keluarga-keluarga yang baik, dan keluarga yang baik berasal dari pribadi-pribadi (individu) yang berperilaku baik. Ini artinya bila keadaan yang makro ingin baik harus di awali dengan memperbaiki keadaan yang mikro terlebih dahulu, atau dengan menggunakan Rumus Perubahan, yaitu: 3M (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil, dan Mulai dari sekarang). Nabi Muhammad saw bersabda:
ِ )ك (رواه مسلم والنساء والبيهقى َ ابْ َدأ بِنَ ْف ِس Mulailah dari dirimu sendiri (Mulailah dari yang terkecil dan Mulailah dari sekarang). (HR. Muslim, Nasā’i, Baihaqī)
Bila demikian, berarti Pendidikan Akhlak sebagai bagian dari ajaran agama Islam perlu disampaikan (diajarkan) dan direalisasikan dalam kehidupan nyata. Bagaimana menyampaikannya? Agar menyampaikannya tidak “keliru” tentu saja penyampaiannya harus mengacu pada buku pedoman Pendidikan Akhlak itu sendiri. Namun, mengingat minimnya buku ajar tentang Pendidikan Akhlak, penulis berikhtiar ikut berpartisipasi menghadirkan buku Pendidikan Akhlak, khususnya untuk kebutuhan bahan ajar Pendidikan Akhlak di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ya’mal Tangerang.
ii
Mudah-mudahan buku ini bisa menjadi pedoman pembaca pada umumnya, dan khususnya Mahasiswa STIT Ya’mal Tangerang dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas akhlak Islamnya_Insha Allah, serta menjadi nilai ibadah bagi penulisnya. Āmīn.
Tangerang, 7 Mei 2015 Penulis,
Maddais, S.Pd.I., MA NIK/NIDN. 510209203/2107057901
iii
YA’MAL
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya [21]: 107)
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR__ i DAFTAR ISI__ iii BAB I
: Urgensi & Ranah Pendidikan Islam__ 1 1. Urgensi Pendidikan Islam__ 1 2. Ranah Pendidikan Islam__ 5
BAB II
: Trilogi Ajaran Islam__ 9 1. Akidah sebagai Dasar Pandangan Hidup__ 9 2. Syariat sebagai Institusi Akidah__ 10 3. Akhlak__ 17 ۩ Tasawuf__ 19
BAB III
: Pendidikan Budi Pekerti Utama__ 21 A. Pengertian Budi Pekerti dan Sumbernya__ 21 B. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti__24 C. Sendi-sendi Agama Islam__ 26 D. Perbedaan Akhlak Islam dan Moral__ 27 E. Urgensi Akhlak Islam__ 28
BAB IV
: Tanggung jawab & Kriteria Perbuatan Manusia__ 29
BAB V
: Kewajiban Manusia__ 35
Standar penentuan Kriteria “Baik”__ 33
A. Kewajiban Manusia kepada Allah SwT__ 36 B. Kewajiban Mnusia terhadap Dirinya__ 38 C. Kewajiban Manusia terhadap Sesama__ 42
BAB VI
: Norma Budi Pekerti__ 47 A. Norma Dasar Budi Pekerti__ 48 B. Empat Pilar Budi Pekerti__ 48 C. Orientasi Manusia Berbudi Pekerti__ 50
BAB VII
: Etika Praktis__ 57 1. Etika Musyawarah__ 57 2. Etika Hubungan Suami & Istri__ 59 3. Etika Praktis Bertetangga__ 60 v
4. Adab Guru & Murid__ 61
BAB VIII
: Pembinaan Budi Pekerti__ 63 1. Pembinaan Budi Pekerti melalui Keteladanan__ 63 2. Sifat-sifat yang Harus dibina pada diri Muslim untuk Kesempurnaan Budi Pekertinya__ 65 3. Contoh-contoh Budi Pekerti__ 73
BAB IX
: Ikhlāṣ Beramal__ 79 1. Definisi Ikhlāṣ__ 79 2. Definisi Niat/Motivasi Beramal__ 81 3. Menjauhi Perbuatan Riya__ 83 4. Ikhlāṣ Beramal__ 86
BAB X
: Amal Utama__ 89 1. Amal Utama__ 91 2. Sedekah Utama__ 93
BAB XI
: Taubat & Istighfar__ 97 1. Taubatan Naṣūḥā __ 98 2. Istighfar__ 99 3. Baldatun Ṭayyibah wa Rabbun Ghafūr__ 100 4. Pentingnya Taubat & Istighfar__ 102
BAB XII
: Wisata Hati__ 105 1. Manajemen Qalbu__ 106 2. Tingkatan Hati Manusia__ 110 3. Pintu-pintu setan__ 115 4. Pentingnya Dhikir__ 122
BAB XIII
: Ḥusnul Khātimah (Akhir yang Baik)__ 125 1. Kematian adalah Kepastian__ 127 2. Kewajiban Sebelum Kematian __ 129 3. Sakaratul Maut __ 131 4. Kewajiban atas Muslim yang Sakaratul Maut__132 5. Ḥusnul Khātimah __ 135 6. Kehidupan Setelah Kematian __ 137
BAB XIV
: Kiat Ṣalat Khushu’__ 141 1. Persiapan Ilmu__ 141 2. Wuḍu yang baik__ 142 vi
3. Persiapan Pakaian__ 142 4. Persiapan Tempat__ 143 5. Persiapan Waktu__ 143 6. Pelaksanaan Ṣalat agar Khushu’__ 144 7. Salam Perpisahan__ 145
BAB XV
: Kunci Meraih Kesuksesan__ 149 1. Usaha-usaha untuk Meraih Mimpi__ 149 2. Berpikir Positif seperti Nabi Yusuf as__ 153
BAB XVI
: Kisah-kisah yang Menginspirasi__ 155 1. Sudah Tiba Saatnya__ 155 2. Menguji Kesadaran__ 157 3. Meraih Simpati__ 159 4. Lingkungan Ayam__ 161 5. Kerja Tuntas__ 163 6. Belajar dari Alam Semesta__ 164 7. Anak Kecil yang Berilmu Pengetahuan__ 165 8. Anak Menasihati Ayahnya__ 166 9. Lautan Cinta__ 167 10. Meniru Perbuatan Ayah__ 170 11. Aṣḥhābul Ukhdūd__ 175 12. Aṣḥhābul Kahfi__ 182 13. Shukur Nikmat__ 189 14. Balasan Allah SwT untuk Dermawan__ 192
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vii
... Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah...! (QS. an-Nisā [4]: 136)
Mengapa orang yang beriman masih masih diperintah untuk beriman…?
viii
BAB I URGENSI & RANAH PENDIDIKAN ISLAM
1. Urgensi Pendidikan Islam (Tarbiyah Islamiyah) Allah SwT berfirman: Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara totalitas, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuhmu yang paling nyata. (QS. al-Baqarah [2]: 208)
Untuk menjadi seorang muslim yang kāffah (totalitas), seorang muslim harus melakukan perubahan-perubahan perilaku pada dirinya. Seorang muslim harus merubah perilakunya yang tidak Islami menjadi Islami atau lebih Islami. Dari tidak mengerti Islam menjadi mengerti Islam, dari tidak respect (menghormati) terhadap Islam menjadi respect terhadap Islam, dan dari tidak mengamalkan Islam menjadi mengamalkan Islam. Usaha untuk mengadakan perubahan perilaku dikenal dengan istilah “Pendidikan” (tarbiyah). Memang pendidikan bukan segalanya, tapi segalanya berawal dari pendidikan. Dalam arti yang luas, tarbiyah Islamiyah memiliki urgensi sebagai berikut: a. Tarbiyah Islamiyah merupakan asas dalam membangun ummat. Firman Allah SwT:
1
2 Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad (kembali) di antara kamu daripada agamanya (Islam), nanti Allah akan mendatangkan satu kaum, Allah mengasihi mereka dan mereka mengasihi Allah, mereka lemah lembut terhadap orang-orang beriman dan keras terhadap orang-orang kafir; mereka berjuang di jalan Allah dan tidak takut akan cerca orang yang mencerca. Demikian itu karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Allah luas (karunia-Nya) lagi Mahamengetahui. (QS. al-Māidah [5]: 54)
Hai orang-orang yang beriman, takutlah (takwalah) kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya takut dan janganlah kamu mati, melainkan kamu orang Muslim. (QS. Ali ‘Imrān [3]: 102) Bagi manusia ada (malaikat) yang berganti-ganti mengintipnya, di hadapannya dan di belakangnya, mereka itu menjaganya dari perintah Allah. Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Apabila Allah menghendaki kejahatan pada suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolakkannya dan tidak ada bagi mereka wali, selain dari pada-Nya. (QS. ar-Ra’du *13+: 11)
b. Tarbiyah Islamiyah merupakan upaya penjagaan keseimbangan diri. Firman Allah SwT:
3 Disanalah Zakaria memohon kepada Tuhannya, ia berkata: Ya Tuhanku, anugerahilah aku seorang anak yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha mendengarkan do’a. (QS. Ali ‘Imrān [3]: 38)
c. Tarbiyah Islamiyah merupakan sarana penyatuan konsepsi dan pola pikir ummat. Firman Allah SwT: Berpeganglah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu berpecah-belah dan ingatlah akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, ketika kamu telah bermusuhmusuhan, lalu dipersatukan-Nya hatimu, sehingga kamu jadi bersaudara dengan nikmat-Nya, dan adalah kamu di atas ‘pinggir’ lubang neraka, lalu Allah melepaskan kamu dari padanya. Demikian-lah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, mudah-mudahan kamu menerima petunjuk. (QS. Ali „Imrān [3]: 103).
d. Tarbiyah Islamiyah merupakan program ilahiyah (Manhaj Robbani). Firman Allah SwT:
4 Allah mengajarkan kepada Adam sekalian nama-nama barang, kemudian dibawa barang-barang itu kepada malaikat, lalu Allah berfirman: Kabarkanlah kepada-Ku nama-nama barang itu, jika kamu yang benar. (QS. al-Baqarah [2]: 31)
Dia yang mengutus kepada ummat yang ummi (Arab) seorang rasul di antara mereka, yang membacakan kepada mereka ayatayat-Nya dan membersihkan mereka (dari kekafiran dan kelakuan yang tidak baik) dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. al-Jumu’ah *62+: 2)
Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan (1). Telah menciptakan manusia dari pada segumpal darah (2). Bacalah dan Tuhanmu amat pemurah (3). Yang mengajar kan (menulis) dengan pena (4). Yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tiada diketahuinya (5). (QS. al-‘Alaq [96]: 1-5)
e. Tarbiyah Islamiyah merupakan Ruhnya Perubahan (Ḥarakah).
5
2. Ranah (Ruang Lingkup, Aspek) Pendidikan Islam Ruang lingkup pendidikan Islam mencakup semua aspek diri seorang manusia, yaitu: Ruhani (Affective), Akal (Cognitive), dan Jasmani (Psychomotor). a. Tarbiyah Ruhiyah (Pendidikan Ruhani, Afektif) Dalam ranah ini, tarbiyah Islamiyah berupaya untuk mengadakan pembersihan ruhani seorang muslim dari segala kotoran-kotoran jiwa, dengan cara bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Sasaran dari tarbiyah ruhiyah ini untuk membentuk seseorang menjadi orang yang gemar beribadah (‘ābid) yang jiwanya selalu terkait dengan Allah (QS. al-Furqān [25]: 63-65). Bentuk kegiatan yang dilakukan; dzikir, memperbanyak ibadah sunnah, tadarrus alQur‟an, dll. Firman Allah SwT:
Hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih, ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan tenang (tidak sombong), jika mereka dicela oleh orang-orang jahil (jahat), mereka berkata: Selamat! (63). Dan orang-orang yang pada malam hari bersujud dan salat kepada Tuhannya (64). Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, hindarkanlah siksa neraka daripada kami. Sungguh siksanya itu mesti menimpa (orang-orang yang kafir) (65). (QS. al-Furqān [25]: 63-65)
b. Tarbiyah Aqliyah/Fikriyah (Pendidikan Intelegency; Cognitif) Dalam ranah ini, tarbiyah Islamiyah berupaya untuk membekali seorang muslim dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Oleh karena itu, tarbiyah Islamiyah mencakup keilmuan Islam dan keilmuan modern (kontemporer).
6 Sasaran dari tarbiyah fikriyah ini untuk membentuk seorang muslim yang intelektual. Firman Allah SwT: Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi dan pertikaian malam dan siang menjadi tanda (atas kekuasaan Allah) bagi orangorang yang berakal (190). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri, duduk dan waktu berbaring; dan mereka memikirkan kejadian langit dan bumi, (sambil berkata): Ya Tuhan kami, bukanlah Engkau jadikan ini dengan percuma (sia-sia), Maha Suci Engkau, maka peliharakanlah kami dari siksaan neraka (191). (QS. Ali ‘Imrān [3]: 190-191)
c. Tarbiyah Jasadiyah (Pendidikan Motorik; Psikomotor) Dalam ranah ini, tarbiyah Islamiyah berupaya agar seorang muslim dapat terampil dalam melakukan amal-amal Islam. Oleh karena itu, tarbiyah Islamiyah dalam aspek ini bersifat aktif bergerak (amalul haraki). Sasaran dari tarbiyah jasadiyah ini untuk membentuk seorang muslim yang mujahid (muharrik). Firman Allah SwT: Hai orang-orang yang beriman, maukah kutunjukkan kepadamu suatu perniagaan yang akan melepaskan kamu dari siksa yang pedih (QS. aṣ-Ṣaf [61]: 10)
7
Sesungguhnya Allah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman, bahwa untuk mereka itu surga. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, sebagai janji yang benar bagi Allah (yang termaktub) dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah? Sebab itu bergembiralah kamu dengan penjualan yang kamu jual itu. Demikian itulah kemenangan yang besar (111). Mereka orang-orang yang taubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang berpuasa (atau mengembara menuntut ilmu), yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh dengan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, lagi memelihara batas-batas (perintah) Allah. Berilah kabar gembira orang-orang yang beriman itu (dengan surga) (112). (QS. at-Taubah [9]: 111-112)
Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusahpayahlah, sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih dan ketika berhenti, ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tak meninggalkan busurnya, tak akan mengenai sasaran. Maka, ketika orang berangkat dan bekerja, dia akan mulia seperti bernilainya emas. Nasihat dari Imam Shāfi‟ī.
8
ِ ِ اد َعلَى النَّػ ْف اح ِ َّج ُ ا ِإل ْعت َم َ اس الن َسأ ٌ َس )(احملفوظات
Percaya Diri merupakan Sumber Keberhasilan
9
BAB II TRILOGI AJARAN ISLAM (Akidah, Syariat, dan Akhlak)
Trilogi ajaran Islam (akidah, syariat, dan akhlak) secara umum dipandang sebagai pokok ajaran Islam. 1. Akidah sebagai Dasar Pandangan Hidup Akidah mengajarkan keimanan dan keyakinan yang akan dijadikan sebagai landasan pandangan hidup. Aspek ajaran Islam tentang ketuhanan dan kepercayaan pada umumnya disebut akidah. Pada intinya, akidah mengandung keyakinan terhadap kemahaesaan Allah SwT (tauhid) dan hari akhirat sebagai hari pembalasan.1 Keyakinan demikian dilandasi oleh pemahaman dan penghayatan yang mendalam serta ikrar yang tulus terhadap Zat Yang Mutlak berdasarkan pemberitaan al-Qur’an, yang ditopang oleh argumen-argumen rasional, sehingga mewujudkan pandangan dunia (Weltanschauung, world outlook) dan pandangan hidup (Lebensanschauung, way of life) yang kokoh. Keyakinan demikian, oleh alQur’an, biasa disebut dengan iman. Tauhid sebagai bagian paling mendasar dari iman, dalam kehidupan nyata, akan mengimplikasikan pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan dan penyembahan terhadap selain Allah SwT. Sementara itu, keyakinan terhadap hari akhirat akan berdampak pada perwujudan tanggung jawab manusia atas segala tindakannya selama hidup di dunia, sehingga setiap insan akan senantiasa menjalani hidup dengan rasa tanggung jawab, bahwa segala yang diperbuatnya pasti akan mendapat balasan Allah SwT di akhirat nanti. Dengan demikian, manusia dapat menikmati kebebasan hidup, namun bukan kebebasan mutlak. Sebab, kebebasan mutlak justru membawa manusia kepada kehancuran. Kebebasan manusia adalah kebebasan terbatas; ia diikat oleh peraturan-peraturan sebagai rambu-rambu yang
1
Taufik Abdullah (et.al.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 1.
10
11 membatasinya dari perbenturan kepentingan antara satu individu dan individu lain. Kedua inti akidah Islam itu, sebagaimana diungkapkan Nabi saw dalam hadis (HR. Bukhari dan Muslim), terkait pula dengan ajaran tentang adanya malaikat, kitab suci, para rasul, dan kadar baik dan buruk. Dengan demikian, ajaran pokok dalam akidah mencakup enam elemen, yang biasa disebut Rukun Iman. Keyakinan akan kemahaesaan Allah SwT dan hari akhirat dipandang sebagai inti akidah, sedangkan yang selebihnya merupakan elemen-elemen yang mengukuhkan kedua inti akidah itu. Malaikat, khususnya Jibril, adalah perantara antara Allah SwT dan rasul-rasul-Nya dalam menyampaikan wahyu. Wahyu itu sendiri dikodifikasikan dalam wujud kitab suci yang disampaikan oleh para rasul kepada umat manusia. Dengan demikian, peran malaikat, kitab suci, dan para rasul adalah sebagai perantara yang mengkomunikasikan kedua inti akidah yang diajarkan Tuhan kepada manusia. Oleh sebab itu, setiap mukmin diwajibkan pula meyakini malaikat, kitab suci, dan para rasul sebagai bagian dari elemen keimanan. 2. Syariat sebagai Institusi Akidah Syariat (hukum Islam) mengajarkan pola hidup beraturan dalam suatu tatanan hukum komprehensif. Akidah tidak akan ada faedahnya jika tidak diiringi perbuatan. Dalam ajaran Islam, perbuatan yang tumbuh dari akidah (iman) disebut amal saleh. Al-Qur’an senantiasa menyebut iman dan amal saleh secara beriringan. Hal demikian mengisyaratkan bahwa iman tidak dapat terlepas dari amal saleh. Sebaliknya, amal saleh tidak ada maknanya tanpa iman. Inilah agaknya salah satu makna peringatan Allah SwT tentang besarnya dosa orang yang mengatakan sesuatu tanpa ditindaklanjuti perbuatan. Firman Allah SwT dalam Surat aṣ-Ṣaf [61] ayat 2-3:
12 Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengata-kan sesuatu yang tidak kamu perbuat? (2). Amat besar kebencian Allah, karena kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat (3). (QS. aṣ-Ṣaf [61]: 2-3)
Hubungan antara iman dan amal saleh ini diumpama-kan oleh Maududi (w. 1979), tokoh Islam asal Pakistan, sebagai hubungan antara tumbuhan dan benih atau bijinya. Tumbuhan tidak mungkin tumbuh tanpa benih, sebagaimana amal saleh tidak mungkin terwujud tanpa iman. Sebaliknya, kendati benih telah ditaburkan, tetapi karena sebabsebab tertentu, bisa jadi tumbuhan tidak tumbuh. Mungkin tumbuhan itu tumbuh, tapi kerdil atau layu. Demikian pula, mungkin saja seseorang memiliki iman, tetapi karena berbagai sebab, seperti kelemahan kemauan, kelemahan pendidikan, atau tidak didukung oleh lingkungan yang kondusif, maka imannya tidak menumbuhkan amal saleh. Amal saleh hanya akan tumbuh subur dari benih iman yang sempurna dan didukung oleh lingkungan yang baik. Amal saleh secara sistematis digariskan dalam suatu sistem peraturan yang disebut syariat. Istilah syariat pada mulanya mengacu kepada ajaran Islam secara keseluruhan, termasuk bidang akidah dan akhlak. Pengertian demikian diambil dari makna dalam Surat ash-Shūra [42] ayat 13: Dia telah mengaturkan agama bagimu, sebagaimana telah diwasiatkannya kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepadamu, dan yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa, yaitu: Hendaklah
13 kamu dirikan agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam agama. Berat bagi orang-orang musyrik (menerima) apa yang engkau serukan kepada mereka (yaitu mengesakan Allah). Allah memilih kepada-Nya siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang kembali kepadaNya. (QS. ash-Shūra [42]: 13)
dan dari Surat al-Jāthiyah [45] ayat 18: Kemudian Kami jadikan engkau (ya Muhammad) di atas syari’at (peraturan) di antara urusan (agama), maka ikutlah syari’at itu dan janganlah engkau turut hawa nafsu orang-orang yang tidak berilmu. (QS. al-Jāthiyah [45]: 18)
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, istilah itu mengalami penyempitan makna sebatas ajaran agama yang menyangkut hal-hal lahiriah (eksoterik), sehingga pengertian syariat menjadi identik dengan fikih (hukum Islam), kendati keduanya mengandung beberapa perbedaan kecil. Sementara itu fikih sendiri juga telah mengalami penyempitan makna dari pemakaian istilah semula. Pada mulanya, fikih (fiqh: pemahaman atau pengertian) mengandung makna pemahaman terhadap ajaran agama secara keseluruhan. Pengertian demikian berasal dari ekspresi al-Qur’an Surat at-Taubah [9] ayat 122: Tidak sepatutnya orang-orang yang beriman itu berangkat semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak berangkat pula dari tiap-tiap golongan itu satu rombongan lain untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, agar dapat memberi peringatan kepada kaumnya, bila rombongan itu telah kembali ke lingkungan mereka (di garis belakang),
14 semoga mereka waspada (pula di bidang ilmu dan agama). (QS. atTaubah [9]: 122)
Pengertian umum demikian terlihat pada abad kedua Hijriah dan dinisbahkan kepada Abu Hanifah (w. 150 H/767 M). Kemudian pengertian umum itu mengalami penyempitan makna, sehingga hanya mengandung pengertian ajaran Islam yang menyangkut aturan-aturan legal-formal. 2.1. Syariat dan Fikih Kendati fikih dan syariat memiliki makna yang hampir identik, keduanya masih dapat dibedakan, sekalipun pebedaan itu sangat kabur; apalagi para ulama sendiri sering menggunakan istilah-istilah itu dalam pengertian yang sama. Perbedaan yang mungkin dapat ditarik adalah bahwa syariat merupakan kandungan formal dari al-Qur’an dan hadis, sementara fikih adalah pemahaman seseorang atas al-Qur’an dan hadis tersebut. Jadi, arah dan tujuan syariat ditentukan oleh Allah SwT dan Rasul-Nya, sedangkan kandungan fikih adalah hasil interaksi pemahaman ulama (fakih) terhadap syariat. Syariat sebagai produk Ilahi akan senantiasa abadi dan tidak pernah mengalami perubahan, sementara fikih sebagai hasil ijtihad manusia akan dapat mengalami perubahan. Di sisi lain, syariat sebagai ajaran agama merupakan satu kesatuan yang utuh, yang disebut syariat Islam, sedangkan fikih yang dihasilkan oleh ijtihad seorang fakih bisa berbeda dengan fikih yang dihasilkan oleh ijtihad fakih yang lain. Oleh sebab itu, tidak heran kalau dalam fikih ditemukan beberapa mazhab, yang masing-masing memiliki pandangan tersendiri mengenai suatu masalah. Perbedaan pemahaman demikian sebenarnya juga bersumber dari teks-teks al-Qur’an sendiri yang memberikan peluang bagi para pakar untuk berbeda pendapat. Meskipun syariat dan fikih dapat dibedakan, keduanya senantiasa memiliki objek materi yang sama, yakni berkisar pada
15 norma-norma dan nilai-nilai yang menyangkut tindakan seorang mukallaf.2 Syariat dijadikan sebagai sumber tempat bertolak dalam mendapatkan suatu ketentuan hukum, sedangkan fikih adalah ketentuan teknis yang diperoleh dari upaya ijtihad terhadap syariat. Ketentuan teknis fikih itu mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan Allah SwT maupun dengan sesama manusia. Hubungan ritual dengan Allah SwT diatur dalam fikih ibadah; hubungan antarmanusia dalam keluarga diatur dalam fikih munākahāt (pernikahan) dan fikih mawārīs (kewarisan); sedangkan muamalah secara luas diatur dalam fikih muamalah keperdataan dan fikih muamalah kepidanaan; lebih luas lagi, hubungan masyarakat dalam bernegara diatur dalam fikih siyāsah (ketatanegaraan). Dalam aturanaturan fikih itu, lapangan muamalah dan siyasah merupakan objek ijtihad yang paling luas, karena dalam kedua bidang itu terdapat peluang besar untuk melakukan pemahaman secara rasional. Jadi, fikih tidak dapat dilepaskan dari ijtihad para ulama dan cendekiawan muslim, karena aktivitas ijtihad-lah yang membuahkan fikih. Dengan semakin intensifnya ijtihad, fikih akan semakin berkembang pula. Intensitas ijtihad itu sendiri sebenarnya tidak terlepas dari sisi internal pengetahuan para ulama dan sisi eksternal perkembangan dan perubahan sosial yang senantiasa bergerak dinamis. Dalam fikih, upaya ijtihad tidak dapat dilakukan tanpa pengetahuan yang memadai menyangkut sumber-sumber fikih. Pengetahuan tentang metodologi ijtihad dibicarakan secara luas dalam usul fikih. Dalam sejarah fikih terlihat betapa perkembangan fikih itu terkait dengan aktivitas ijtihad. Pada masa Nabi saw memang ijtihad belum dilakukan secara intensif, karena ketika itu segala permasalahan yang berkembang dalam masyarakat segera mendapat penyelesaian 2
Mukallaf: orang yang dianggap mampu (sah) menanggung beban hukum syar’i. Lihat, Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), 188.
16 dari Nabi saw. Akan tetapi, setelah Nabi saw wafat dan Islam telah melampaui tapal batas dunia Arab, kaum muslim, terutama kalangan ulama, berhadapan dengan masalah-masalah baru yang belum ditemukan jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis. Oleh sebab itu, ulama di kalangan sahabat tidak dapat mengelak dari aktivitas ijtihad untuk memberikan solusi terhadap masalah baru itu. Keadaan demikian berjalan sampai datangnya ulama mazhab yang mengembangkan ijtihad secara sangat kreatif, sehingga pada masa itu fikih mencapai masa keemasan. Tetapi, buku-buku fikih yang ditulis pada masa keemasan itu telah membuat ulama sesudahnya hanya terpaku kepada hasil yang telah ada. Di kalangan ulama terdapat kecenderungan untuk tidak melakukan ijtihad lagi, melainkan hanya berpegang pada hasil ijtihad para imam mazhab. Keadaan demikian berlanjut sampai awal abad ke-13 H, ketika penetrasi Barat meluas atas dunia Islam. Hal itu membuat para tokoh Islam sadar akan perlunya kebangkitan dunia Islam yang disertai oleh kebangkitan pemikiran dalam segala sektor kehidupan. Kesadaran terhadap Islam sebagai agama yang memiliki ajaran yang sempurna (kāffah) segera bersemai dalam pikiran kaum terpelajar, sehingga cahaya (nūr) Islam secara bertahap kembali menguak nuansa gelap yang telah lama menyelimutinya. 2.2. Syariat Sebagai Bagian dari Rahmat Ilahi Bila syariat Islam dikaji secara utuh dan komprehensif, akan segera kelihatan bahwa di dalamnya tersimpan norma-norma dan nilainiali luhur bagi segenap manusia yang akan mengantarkannya kepada makna hidup yang hakiki. Al-Qur’an menyebutnya rahmat bagi alam semesta (raḥmah li al-‘ālamīn), sebagaimana diterangkan dalam Surat al-Anbiya’ *21+ ayat 107: Dan tiadalah Kami mengutusmu (ya Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (QS. al-Anbiya’ *21+: 107)
17 Dengan demikian, muatan syariat senantiasa dituju-kan untuk menciptakan kedamaian bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini, syariat Islam terbuka untuk dipikirkan secara rasional oleh segenap manusia. Rahmat yang dikandung oleh syariat Islam antara lain mengejawantah pada sifat adil (al-‘adālah) ajaran Islam. Islam menempatkan keadilan sebagai tujuan hukum yang tertinggi. Keadilan yang hendak diterapkan oleh Islam adalah keadilan mutlak yang bersumber dari Yang Maha Mutlak, bukan keadilan semu yang bersumber dari pikiran manusia. Sebab, keadilan yang didasarkan atas pikiran manusia tak lepas dari interest tertentu yang tidak mungkin ditanggalkan dari diri manusia, sedangkan keadilan sejati adalah keadilan yang bersumber dari ajaran Ilahi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SwT dalam Surat an-Nisā [4] ayat 58: Jika kamu menetapkan hukum di antara manusia, maka tetapkanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepada kamu. (QS. an-Nisā [4]: 58)
Sifat adil syariat lebih jauh mengejawantah pada ajaran-ajaran yang mengandung muatan keseimbangan dan kemaslahatan umum bagi kehidupan manusia. Prinsip keseimbangan diterapkan Islam pada segenap ajarannya, sebagaimana diisyaratkan al-Qur‟an dalam Surat ash-Shūra [42] ayat 17: Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an dengan membawa kebenaran dan neraca [keseimbangan]. (QS. ash-Shūra [42]: 17)
Prinsip keseimbangan sebenarnya sejajar dengan sifat dualitas alam semesta yang senantiasa harus dijaga kelestariannya, sebagaimana firman Allah dalam Surat az-Zāriyāt [51] ayat 49:
18 Tiap-tiap sesuatu Kami jadikan berpasang-pasang (jantan dan betina), mudah-mudahan kamu menerima peringatan. (QS. adh-Dhāriyāt [51]: 49)
Dalam syariat senantiasa ada keseimbangan antara dunia dan akhirat, lahir dan batin, individu dan masyarakat, dan sebagainya. Prinsip kemaslahatan umum tidak kalah pentingnya dari prinsip keseimbangan. Para ulama fikih – misalnya asy-Syatibi (w. 790 H/1388 M), ulama usul fikih asal Andalusia (Spanyol) – memandang kemaslahatan sebagai tujuan syariat yang paling mendasar (maqāsid asy-syarī’ah). Oleh sebab itu, setiap produk hukum Islam senantiasa berpijak dari pinsip kemaslahatan. Dan prinsip kemaslahatan itu hanya akan terwujud dengan terpeliharanya lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Kelima unsur pokok ini dipandang oleh syariat sebagai kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia (ad-darūriyyāt). Penjagaan atas kelima unsur itu diikuti oleh upaya menghilangkan segala bentuk kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan manusia. Sifat adil syariat tidak akan dapat terealisasi secara utuh tanpa adanya kelapangan, kemudahan dan keluwesan. Islam sebagai rahmat bagi alam semesta memiliki ajaran yang lapang, mudah, dan luwes. Ajaran Islam tidak pernah melebihi kapasitas daya manusia, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam Surat al-Hajj [22] ayat 78: Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. al-Hajj [22]: 78)
Meskipun Islam membebankan suatu taklif sebagai kewajiban pokok (‘azīmah) atas manusia, Islam memberikan jalan alternatif berupa keringanan bagi yang tidak dapat melaksanakan kewajiban pokok itu karena adanya suatu halangan atau hambatan. Allah SwT tidak pernah memaksa manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu
19 dilakukannya, hal ini sesuai firman Allah SwT dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 185: Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 185)
Kelapangan, kemudahan, dan keluwesan senantiasa beriringan dengan kondisi fisik dan mental manusia yang tidak selalu stabil, yang dalam waktu tertentu bisa mengalami gangguan berupa sakit dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan yang mengitari kehidupan individual dan sosial manusia pun tidak selalu stabil. Oleh sebab itu, dengan kelapangan, kemudahan, dan keluwesan syariat Islam, maka ia dapat berinteraksi dengan segenap manusia dalam segala kondisi yang sedang dialaminya. Syariat Islam memberi kemudahan kepada manusia dalam memenuhi kebutuhan pelengkapnya (tahsīniyyāt). Syariat Islam juga mengizinkan manusia menikmati segala kelezatan duniawi sejauh tidak membahayakan dirinya.
3. Akhlak Akhlak menyadarkan muslim akan segala tindakan bermoral yang dilakukannya. Dalam rangka penyempurnaan martabat manusia dan pengharmonisan tatanan masyarakatnya, di samping aturan legal-formal yang terkandung dalam syariat, Islam juga membawa ajaran nilai etis (akhlak). Nabi Muhammad saw bahkan menempatkan ajaran nilai etis sebagai pokok kerasulannya,
ِ :إََِّّنَا بعِثْت ِِألَُتَّم م َكا ِرم (وِف ِرواي ٍة َخالَ ِق ْ صال َح) اْأل ُ ُ َ ََ َ َ َ َ
20 Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan (dalam riwayat lain: memperbaiki) akhlak yang mulia. (HR. Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi)3
Wilayah akhlak Islam memiliki cakupan luas, sama luasnya dengan keseluruhan ajaran Islam dan memiliki objek yang luas pula, sama luasnya dengan perilaku dan sikap manusia yang disadarinya. Ajaran Islam yang disampaikan Nabi saw secara total mengandung nilai akhlak yang luhur, mencakup akhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan alam sekitar.4 Nilai hakiki manusia terletak pada akhlaknya. Kendati manusia memiliki kesamaan biologis dengan hewan, manusia dipandang lebih tinggi dari hewan karena nilai akhlaknya. Manusia mempunyai akal dan kalbu yang memainkan peranan dalam menentukan baik buruknya tindakan dan sikap yang ditampilkannya. Pengetahuan baik buruknya tindakan dan sikap itu biasa disebut kesadaran etis. Kesadaran etis senantiasa berkembang sebagaimana pertumbuhan akal dan kalbu manusia. Hukum Islam mengatur bagaimana seorang muslim bertindak, sementara etika menyadarkan segenap tindakan yang terwujud dalam tindakan bermoral. Dengan demikian, hukum Islam, etika, dan moral tidak dapat dipisahkan karena satu dan lain hal yang saling menyempurnakan. Kesinambungan demikian sebenarnya telah tersirat dari ungkapan istri Nabi saw, Aisyah r.ha, ketika ditanya oleh Sa’id bin Hisyam tentang akhlak Nabi saw, bahwa akhlak Nabi saw ialah al-Qur’an (HR. Muslim). ۩ Tasawuf
3
HR. Bukhari, di kitabnya Adābul Mufrad (No. Hadits 273), dan Tārikh al-Kabīr (4/1/188), Ibnu Sa’ad, di kitabnya Athabaqāt (1/192), Al-Hakim (2/613), Ahmad (2/381), Ibnu Asakir, di kitabnya Tarikh Damsyiq (6/267/1). Berkata al-Hakim: Shahih ‘ala Syarat Muslim, disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi. Lihat, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahādits Ash-Shahīhah wa Syayyi min Fiqhihā wa Fawāidihā (Riyadh: Maktabah al-Maarif Linasyri Watuwaji’, 2002), cet. I, Jilid I, 112. 4 Drs. Affandi Muchtar, M.A., Akhlak, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, 325.
21 Ketiga ajaran pokok Islam di atas (akidah, syariat, dan akhlak) belum menyentuh aspek spiritual yang lebih dalam pada diri manusia, karena ketiga ajaran itu senantiasa lebih menitikberatkan pendekatan rasional terhadap al-Qur’an dan hadis, sehingga terkesan hanya dapat memenuhi kepuasan rasio daripada kepuasan rohani. Oleh sebab itu, muncul upaya melakukan pendekatan rohaniah atas kandungan al-Qur’an dan hadis yang melahirkan ajaran Islam spiritual, yakni tasawuf, yang di Barat biasa disebut sufism (sufisme).5 Ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis yang dipahami dengan akal, menurut pandangan sufisme, biasa disebut syariat (syarī’ah) atau ajaran Islam eksoterik, sebagai bandingan dari ajaran Islam esoterik yang biasa disebut hakikat (haqīqah). Sebenarnya, kedua sisi ajaran Islam ini menempatkan al-Qur’an dan hadis sebagai sumbernya. Hanya saja, eksoterik melakukan pendekatan melalui rasio, sedangkan esoterik melalui pengalaman kerohanian. Dilihat dari sisi syariat, kesempurnaan keberagamaan seseorang terletak pada penguasaan pengetahuannya atas sumber agama dan kemampuannya dalam melaksanakan aturan formal agama tersebut. Sementara itu kaum sufi melihat bahwa kesempurnaan seseorang terletak pada keutuhan pengalaman kerohaniannya dalam beragama. Jadi, ajaran syariat lebih mementingkan sisi lahir keberagamaan, sementara tasawuf lebih menitikberatkan sisi batin. Kedua paradigma tersebut tidak berarti bahwa ada dua sisi ajaran agama yang bertentangan secara vis a vis.6 Sebaliknya, keduanya merupakan dua sisi pendekatan ajaran agama yang saling melengkapi. Sisi syariat menduduki posisi sebagai aturan legal-formal yang menata kehidupan secara tertib; sisi hakikat menduduki posisi sebagai pelita yang akan menerangi kalbu manusia dalam menggapai ketenteraman yang hakiki.
5
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, S.H., M.A., Pendahuluan, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, 6. 6 Vis-à-vis: sebagai lawan, berhadap-hadapan.
22
ٍ ال ِِبَثْػو اب تُػَزيػّنُػ َها ْ س َ ُ اْلَ َم َ لَْي ِ َول ِ ال الْعِلْ ِم و ْاأل ََد ب َج ال م اْل ن ك ْ ُ َ َّ َ َ َ ََ َ
) ( احملفوظات
Tidaklah sebuah kecantikan itu disebabkan oleh pakaian yang menghias kita. Tetapi, sesungguhnya, kecantikan itu (lebih disebabkan) oleh ilmu dan budi pekerti.
23
BAB III PENDIDIKAN BUDI PEKERTI UTAMA ⌠AKHLAK ⌡
A. Pengertian Budi Pekerti (Akhlak) dan Sumbernya Secara bahasa (etimologi), budi berarti akal sebagai alat batiniah untuk menimbang baik-buruk, benar-tidak. Sedangkan pekerti berarti akhlak, tabiat, watak.7 Akhlak berasal dari kata khalaqa yang asal katanya khuluqun, yang berarti perangai, tabiat, kebiasaan, atau karakter. Menurut kamus alMunjid, kata tersebut memiliki akar kata yang sama dengan kata khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Juga erat hubungannya dengan kata khāliqun (Pencipta) dan makhlūqun (yang diciptakan).8 Berdasarkan pada pengertian akhlak tersebut, definisi terminologis mengenai akhlak yang diberikan oleh ulama juga mengacu pada masalah tabiat atau kondisi batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Dalam kitabnya, Tahzīb al-Akhlāq, Ibnu Maskawaih menyebutkan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan tanpa memerlukan pemikiran. Sejalan dengan definisi ini, al-Gazali juga menyatakan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran.9 Bertolak dari pengertian itu, maka ajaran akhlak dalam Islam pada dasarnya meliputi kualitas perbuatan manusia yang merupakan ekspresi dari kondisi kejiwaan. Akhlak dalam Islam bukanlah norma ideal yang tidak dapat diimplementasi-kan, dan bukan pula sekadar kumpulan etika yang terlepas dari norma kebaikan yang sejati. Pengertian akhlak dapat ditinjau dari dua sudut pandang, sebagai berikut: 7
Tim Pandom Media Nusantara, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru (Jakarta: Pandom Media Nusantara, 2014), 136, 645. 8 Kelompok Studi Islam Al-Ummah Jakarta, Panduan Aktivis Harokah (Jakarta: Nizhom, 2001), 85. 9 Kelompok Studi Islam Al-Ummah Jakarta, Panduan Aktivis Harokah, 86.
24
25 a. Secara umum, akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan landasan pergaulan oleh pribadi atau masyarakat. b. Secara khusus, akhlak Islam adalah seperangkat aturan dan prinsipprinsip yang mengatur perilaku manusia yang ditentukan wahyu, untuk mengatur kehidupan manusia dengan aturan yang baik, dalam rangka mencapai tujuan keberadaannya secara sempurna. Budi pekerti utama (akhlak) merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup sehari-hari, melaksanakan moralitas Islami sebagaimana yang telah diteladankan lewat tingkah laku dan sepak terjang kehidupan Nabi Muhammad saw.10 Akhlak Islam sepenuhnya bersumber dari Allah SwT Yang Mahamengetahui segala yang baik bagi manusia. Sedangkan Rasulullah saw merupakan perwujudan dari seluruh akhlak Islam. Oleh karena itu, beliau adalah uswah dalam akhlak Islam. Meskipun tidak menyebut istilah akhlāq (akhlak) secara eksplisit, selain bentuk tunggalnya khuluq. Al-Qur’an berkali-kali menyebutkan konsep yang berkaitan dengan kualitas mental dan perilaku manusia, seperti khair, birr, ṣālih, ma’rūf, ḥasan, qisṭ, sayyi’ah, dan fasad. Di samping itu, al-Qur’an juga menjelaskan norma etis yang bersifat perintah dan larangan, seperti keharusan berlaku adil dan larangan berbuat zalim,11 keharusan berbakti kepada orangtua dan larangan menyakiti mereka,12 serta keharusan saling menolong dalam kebaikan dan larangan menolong dalam kejelekan (berbuat dosa).13 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al-Qur’an merupakan ajaran akhlak Rasulullah saw (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Perhatian yang tinggi terhadap akhlak terlihat pula dalam sejumlah hadis yang menyatakan secara eksplisit istilah khuluq dan akhlak. Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa akhlak yang baik dapat menghapus kesalahan, bagaikan air yang 10
HOS. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (Jakarta: LPPSRI, 1966), 26. Baca, QS. al-Māidah [5]: 8, QS. al-Hujurat [49]: 9. 12 Baca, QS. al-Isra’ *17+: 23-24. 13 Baca, QS. al-Māidah [5]: 2. 11
26 menghancurkan tanah yang keras; sedangkan akhlak yang jahat merusak amal, seperti cuka merusak manisnya madu. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan bahwa Rasulullah saw berulang kali bertanya kepada para sahabat apakah mereka mau diberitahu tentang orang yang sangat dia kasihi dan duduk paling dekat dengan dirinya pada hari kiamat. Setelah mendengar jawaban “mau” dari para sahabat, Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling baik akhlaknya di antara kamu.” Demikian pentingnya budi pekerti luhur (akhlak) dan tingkah laku sehari-hari dalam Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw, sehingga Allah SwT menyebutnya, Sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai budi pekerti yang luhur (QS. al-Qalam [68]: 4)
Ayat itu memuji Nabi Muhammad saw yang memiliki senyuman tulus, pandangan teduh, pergaulan yang simpatik, dan perkataan yang berkesan karena standar moralnya yang kukuh, teguh, dan pantas diteladani. Akhlak menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Bahkan, bisa dikatakan, substansi dari Islam adalah akhlak. Islam adalah agama akhlak, baik akhlak terhadap Pencipta, diri sendiri, sesama, alam semesta, waktu, maupun hewan. Di dalam Islam, akhlak bukanlah kumpulan teori filsafat yang sulit untuk dipahami dan diamalkan. Akhlak bukan pula untuk diwacanakan, tetapi untuk dipraktekkan. Barometer (ukuran) yang bisa dijadikan contoh pun telah ada, yaitu Rasulullah saw. Dalam status apapun, seorang Muslim harus melaksanakan akhlak Islam dengan benar. Baik posisinya sebagai guru, murid, orangtua maupun anak. Ia merupakan bukti keberagamaan seorang Muslim. Karena, iman tanpa amal saleh (akhlak) tidak akan berarti apa-apa. Manusia yang baik dan bermanfaat adalah yang berakhlak mulia, ilmu
27 biarpun tinggi, gelar akademik biarpun berderet panjang (Prof. Dr. K.H. Ust., …), tetapi bila budi pekerti dan akhaknya buruk, pudarlah cahaya ilmu yang dimiliki.
B. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti (Akhlak) Pendidikan Budi Pekerti yang dimaksudkan ini menuju pada: a. Kejujuran dan kelurusan hati serta pemeliharaan tabiat-tabiat yang akan berguna besar bagi manusia dalam pergaulan hidupnya; b. Tertanamnya benih kebaikan sehingga cinta dan tertarik akan kebaikan selamanya serta benci (terjauh) akan segala kejahatan; c. Tertanamnya tabiat baik yang sangat berguna bagi pergaulan hidup bersama serta menjadi dasar bagi segala amal dunia dan akhirat.14 Keberanian, ketetapan hati, kehalusan perasaan, dan taat akan peraturan (disiplin dalam peraturan) kelak akan lekas tercapai sesuai dengan yang dimaksudkan oleh ahli pendidikan. Setiap orang tidak akan saling merugikan. Masing-masing juga tahu hak-haknya dan selalu berupaya menetapi kewajiban-kewajibannya serta meninggikan derajatnya dan bangsanya. Masing-masing akan bekerja dengan ringan hati meskipun mendapat bermacam-macam cobaan dan godaan. Pendidikan budi pekerti inilah yang khusus dibahas dalam ilmu tasawuf (penapis atau penjaring hati). Namun, tidak sedikit yang akhirnya melampaui batas kemanusiaan dan ke-Islam-an karena masuknya pengaruh dari luar Islam, misalnya Buddha dan Yahudi. Pendidikan budi pekerti ini mengandung semua sifat kebaikan, kemuliaan, kelurusan, keikhlasan, kesungguhan dalam bekerja, kebersihan, dan kepercayaan pada tenaga sendiri.
14
K.H. R. Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern (Solo: Tinta Medina, 2011), cet. I, 18.
28 Segala macam pendidikan, seperti pendidikan ke-Islama-an dan kerakyatan yang tersebut dalam tujuan pendidikan itu terletak dalam pendidikan budi pekerti ini dan itulah yang dituju oleh ilmu budi (ideologi). Sebenarnya, kejadian-kejadian dan keadaan yang tidak diingini oleh pergaulan umum itu tak lain karena kerusakan budi pekerti sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran hak dan kewajiban yang telah ada ketentuannya. Atau, boleh dikatakan karena kosongnya pendidikan sehingga akal dan kemanusiaan dihalau oleh nafsunya ke arah yang tidak berpedoman. Dengan tingginya pendidikan budi pekerti diharapkan tinggi pula derajat satu bangsa dan dengan demikian dunia akan menjadi makmur, aman, dan sentosa. Demikianlah yang menjadi semboyan orang-orang yang ahli dalam penyelidikan budi pekerti. Mendidik budi pekerti itu bukan sekedar mengajar, melainkan menanamkan apa saja yang dimaksud oleh pendidikan budi pekerti itu sehingga menjadi dasar atau mendarah daging (kebiasaan) bagi siapa saja yang dididik.15 Tentu saja cara mendidik itu tidak seperti mengajar. Tidak cukup hanya dengan memberi pengertian (nasihat) tentang kebaikan ini dan kejahatan itu, atau dengan cegahan begini dan perintah begitu karena jika cara yang ditempuh seperti itu saja, alangkah mudahnya dan cepatnya mendidik. Seseorang yang dididik harus “dibawa” bersama-sama ke arah yang dituju seraya ditunjukkan jalan (nasihat) yang tepat, sesuai dengan tempat dan masanya. Nasihat memang sangat diperlukan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, semua itu harus sesuai dengan tempat dan masanya agar bisa dimengerti lebih mendalam dan lebih berarti. Nasihat yang panjang disertai kemarahan dan kebencian, tidak bisa diharapkan hasilnya. Kesalahan anak didik itu harus dipandang sebagai perbuatan yang tidak disengaja.
15
K.H. R. Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, 19.
29 Nasihat kepada anak yang belum mengerti kalimat yang panjangpanjang, ibarat memberi nasihat kepada orang yang tuli (tidak mendengar). Nasihat kepada orang-orang atau anak-anak yang telah mengerti (dalam pengertiannya), tetapi tidak disertai dengan amalan (pimpinan dan pembawanya) ibarat perintah berjalan kepada orang buta (belum tahu jalan) yang artinya belum mampu menunjukkan jalan.16 Hal ini tentu akan sulit berhasil. Dengan demikian, segala kerja dan gerak-gerik itu harus disertai dengan pembawaan ke arah budi pekerti yang tinggi dan sesuai dengan saluran peradaban, baik di dalam maupun di luar sampai pada hal ihwal yang kecil-kecil sekalipun, seperti pakaian, makanan, dan hadiah-hadiah. Karena, semua itu sangat mudah memengaruhi budi pekerti manusia, terlebih bagi anak-anak. C. Sendi-sendi Agama Islam (iman, Islam dan ihsan) Dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari (Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah) dan Imam Muslim (Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi anNaisaburi) dari Abu Hurairah, ditegaskan bahwa unsur-unsur ajaran Islam meliputi iman, Islam, dan ihsan.17 Iman berhubungan dengan akidah (kepercayaan), sementara Islam berkaitan dengan amal ibadah serta muamalah, dan ihsan merupakan kondisi batin yang selalu merasa dalam pengawasan Allah SwT. Dalam sebuah hadis yang dikenal dengan hadis Arkān al-Dīn (Sendi-sendi Agama) yaitu iman, Islam dan ihsan. Khusus mengenai ihsan, Jibril bertanya kepada Nabi saw: “Beritahu aku tentang ihsan?” Nabi saw menjawab: 16
K.H. R. Zainuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, 20. Ahli tafsir Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, mengartikan kata “ihsan” sebagai “membalas kebaikan dengan yang lebih baik atau (membalas) kejahatan dengan kebaikan”. Intinya, ihsan adalah segala tingkah laku atau tindakan yang menguntungkan terutama terhadap pihak lain. Lihat, Damami, Ihsan dan Sikap AntiKorupsi, dalam Musa Asy’arie, dkk (ed.). Menuju Masyarakat Anti Korupsi: Serial Khutbah Jum’at (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2005), 156. 17
30
ِ فَاِ ْن َلْ تَ ُك ْن تَػَراهُ فَاِنَّوُ يَػَر َاك،ُك تَػَراه َ َّاال ْح َسا ُن أَ ْن تَػ ْعبُ َد للاَ َكأَن Engkau beribadah (dengan kesadaran) seakan-akan melihat Allah SwT, dan jika tidak dapat melihat-Nya, maka (engkau harus yakin) bahwa Dia melihatmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengapa kita semua perlu merasa seolah-olah melihat Allah SwT kalau sedang melakukan sesuatu atau paling tidak kita merasa diamati dan disoroti seolah-olah secara terus-menerus oleh Allah SwT terhadap seluruh tindakan kita? Sebabnya adalah karena Allah SwT itu Zat Yang Ghaib, Zat Yang Tidak Pernah Tidur Yang setiap waktu mampu Melihat secara utuh segala perbuatan dan tindakan kita, keyakinan seperti ini harus kita tanamkan dalam-dalam di hati kita. Kalau pada zaman modern ini telah ditemukan dan dipasang teknologi kamera, maka Allah SwT adalah Maha Kamera bagi keseluruhan hidup kita yang bersifat fana ini. Dengan perasaan dan kesadaran seperti ini, dapat dipastikan bahwa perilaku manusia akan terus dibimbing, dibiasakan, dan terarah sesuai dengan norma kebenaran dan kebaikan. Dalam konteks inilah, ajaran akhlak yang mulia dalam Islam dimasukkan dalam kategori ihsan. D. Perbedaan antara Akhlak Islamiyah dan Moral Akhlak adalah istilah yang khusus. Istilah lain yang mirip dengan kata akhlak adalah moral. Hakekat pengertian antara keduanya sangat berbeda. Di antara perbedaannya adalah, sebagai berikut: Akhlak Islamiyah
Moralitas Buatan Manusia
1. Bersumber pada wahyu Allah SwT
1. Bersumber Filsafat.18
18
pada
ajaran
Filsafat merupakan hasil kreasi pemikiran maksimal manusia secara logis, sistimatis, radikal dan universal tentang Tuhan, manusia dan alam semesta.
31 2. Bertujuan untuk mencari ridha Allah
2. Dipengaruhi oleh motif-motif material
3. Berhubungan erat dengan keberadaan Allah dan keyakinan terhadap-Nya
3. Bersifat sangat sekuler dan keduniaan
4. Universal; untuk seluruh umat manusia di manapun berada 5. Konsisten; tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitar (tetap) 6. Abadi; tidak berubah sampai akhir zaman.
4. Sektoral; sangat terbatas pada daerah tertentu 5. Inkonsisten; mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar (tidak tetap) 6. Fana; mudah goyah dan mudah hilang, sesuai perkembangan tuntutan kebudayaan manusia di lingkungannya.
E. Urgensi Akhlak Islamiyah 1. Akhlak merupakan bagian dari ajaran Islam 2. Di antara misi pokok Risalah Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sabda Rasulullah saw:
ِ َخالَ ِق ْ ت ِِألَُتََّم َم َكا ِرَم اْأل ُ ْإََِّّنَا بُعث Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan manusia. (HR. Imam Malik)
akhlak
3. Al-Qur’an dan as-Sunnah memberikan perhatian yang besar terhadap persoalan akhlak 4. Manusia dalam hubungan antar sesamanya (muamalah) sangat membutuhkan akhlak 5. Keluhuran perilaku Rasulullah saw sangat berkaitan dengan
32 kebaikan akhlaknya 6. Rasul mendidik para sahabatnya dengan kebaikan akhlak 7. Akhlak menentukan tegak dan runtuhnya suatu bangsa 8. Akhlak merupakan sarana penting dalam dakwah. Akhlak para da’i (ulama, guru) cenderung dijadikan fatwa oleh ummat. Oleh karena itu, para da’i harus menjaga akhlaknya. Di samping itu, orang akan tertarik pada Islam, bila aktivis dakwah Islam dilakukan oleh para da’i yang memiliki keluhuran akhlak 9. Nilai keimanan dan ibadah seorang muslim akan diukur berdasarkan akhlaknya.
BAB IV TANGGUNG JAWAB & KRITERIA PERBUATAN MANUSIA
Masalah dasar yang biasanya dibahas dalam ilmu akhlak adalah mengenai sifat dan kriteria perbuatan manusia serta berbagai kewajiban yang harus dipenuhinya. Karena manusia harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya, maka Islam mengajarkan kriteria perbuatan dan kewajiban yang mendatangkan kebahagiaan, bukan siksaan. Bertolak dari prinsip perbuatan manusia ini, maka materi akhlak membahas tentang norma luhur yang harus menjadi jiwa dari perbuatan manusia, serta tentang etika atau tata cara yang harus dipraktekkan dalam perbuatan manusia sesuai dengan jenis dan sasarannya. Manusia adalah makhluk Allah SwT yang paling sempurna 19 yang dibekali sejumlah potensi dan kemampuan untuk mengetahui, memilih, dan bertindak.20 Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia diberi kepercayaan untuk menjadi khalīfatullāh fī al-arḍ (pengganti Allah SwT di muka bumi).21 Dengan status ini, manusia dipercaya mengelola alam semesta sesuai dengan ketentuan kauniyah (sunatullah) dan qauliyah (syariat). Oleh karena itu, dalam pandangan Islam manusia diberi kebebasan untuk bertindak dan menggunakan akal pikirannya demi kemaslahatan umat manusia. Dalam kenyataannya, perilaku manusia selalu bergerak dan berubahubah dalam dua kategori, yaitu perilaku baik dan perilaku buruk. Allah SwT sendiri telah menjadikan kedua kriteria itu (baik dan buruk) sebagai pilihan
19
Baca, QS. at-Tīn [95]: 4. Struktur manusia terdiri dari unsur jasmaniah dan rohaniah, atau unsur fisiologis dan unsur psikologis. Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah tersebut, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas, yang menurut aliran psikologi behaviorisme disebut dengan prepotence reflexs (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang). Setiap makhluk mempunyai jenis ciptaan dan jalan hidup (way of life) sendiri yang harus dilaluinya sejak awal keberadaannya hingga mencapai kesempurnaannya. Begitu juga manusia mempunyai kecenderungan untuk berkembang ke arah kesempurnaannya. Keinginan manusia yang ingin selalu meningkatkan martabatnya merupakan indikasi yang jelas bahwa manusia merupakan makhluk yang dinamis. 21 Baca, QS. al-Baqarah [2]: 30. 20
33
34 yang tersedia dan mungkin ditempuh oleh manusia, seperti terdapat dalam Surat al-Balad [90] ayat 10 dan dalam Surat ash-Sham [91] ayat 7-8: Firman Allah SwT: Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua buah jalan (jalan yang baik dan jalan yang buruk). (QS. al-Balad [90]: 10)
Demi jiwa (manusia) dan Yang menyempurnakannya (Allah) (7). Lalu diilhamkan (Allah) kepadanya (jiwa) itu keburukan dan ketakwaannya (8). (QS. ash-Sham [91]: 7-8)
Adanya pergeseran dan perubahan tingkah laku manusia-antara baik dan buruk-terlihat secara jelas dalam perjalanan hidup Nabi Adam as bersama istrinya (Siti Hawa), sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Dengan demikian, harapan agar manusia sepenuhnya berlaku baik dan benar adalah harapan yang berlebihan. Dalam ajaran akhlak Islam, yang terpenting justru tindakan dan perbuatan manusia harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Dalam kedua potensi itu, manusia pada dasarnya berkecenderungan untuk memelihara perbuatan baik. Meskipun dalam aktualisasinya, kecenderungan dasar atau kecenderungan awal itu dapat terkalahkan oleh kecenderungan selanjutnya (belakangan). Akan tetapi, dalam kesadaran akhlak yang mulia, kecenderungan belakangan yang sudah terlanjur teraktualisasikan itu pun sangat mungkin untuk kembali pada kecenderungan awal (baik). Kisah Nabi Adam as secara kronologis sampai akhirnya diangkat menjadi khalīfatullāh fī al-arḍ membuktikan adanya kemungkinan perubahan dan pergerakan kualitas perilaku manusia. Pada awalnya, Adam as adalah penghuni surga-yang berarti makhluk Allah SwT yang baik-tetapi kemudian melakukan dosa dan kesalahan sehingga ia
35 terjerat dalam kesesatan, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an Surat Ṭāhā [20] ayat 115-117:
Sesungguhnya telah Kami janjikan kepada Adam sebelumnya, lalu ia lupa dan tiada Kami peroleh baginya cita-cita yang tetap (115). Ketika Kami berfirman kepada malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, lalu mereka sujud, kecuali iblis, ia enggan (116). (QS. Ṭāhā [20]: 115-117)
Namun demikian, meskipun tersesat, Nabi Adam as tidak kehilangan potensi baiknya. Ini terbukti dengan kesadaran dan kesanggupan Adam as untuk bertobat sampai akhirnya ia diutus ke muka bumi. Dalam ajaran Islam, potensi dasar manusia yang secara esensial tidak dapat diubah walaupun secara aktual tidak selalu muncul itu, dikenal dengan konsep “fitrah”. Dalam Surat ar-Rūm [30] ayat 30 Allah SwT menegaskan: Maka luruskanlah (hadapkanlah) mukamu ke arah agama, serta condong kepadanya. Itulah agama Allah yang dijadikan-Nya manusia sesuai dengan dia. Tiadalah berputar perbuatan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya. (QS. ar-Rūm [30]: 30)
Percaya akan ketauhidan Allah SwT (Islam) sebagai fitrah dasar manusia, meskipun dalam perkembangannya banyak yang melanggar karena berbagai alasan, juga diungkapkan dalam satu ḥadīth:
ٍِ ِ ِِ ِ صَرانِِو أ َْو ُُيَ ّج َسانِِو ّ َماَ م ْن َم ْولُْود االَّ يػُ ْولَ ُد َعلى الْفطَْرةِ فَأَبَػ َواهُ يػُ َه ّوَدانو أ َْو يػُن
36 Seseorang tidak dilahirkan melainkan dalam keadaan fithrah. Maka kedua orangtuanya (amat berperan) menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi, dalam riwayat lain Musyrik. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)22
Dengan fitrahnya, manusia mengemban tanggung jawab secara mandiri dalam bertingkah laku. Apa yang diperbuat manusia pada akhirnya akan dikembalikan pada dirinya sendiri. Dalam akhlak Islam, kebebasan memilih antara jalan yang baik dan jalan yang buruk diberikan kepada manusia secara penuh, sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan tindakannya sendiri. Faktor di luar diri pribadi-orang tua, teman, keluarga, sekolah, dan masyarakat-tidak menanggung beban tanggung jawab akhir perbuatan pribadi manusia, meskipun dalam kenyataannya ikut memengaruhi lahirnya suatu perbuatan. Hal ini tercermin dalam al-Qur’an Surat al-Isra’ *17+ ayat 14 yang menyatakan: Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu (QS. al-Isra’ *17+: 14)
Perbuatan yang dipertanggungjawabkan oleh manusia adalah tindakan yang lahir dari proses pemilihan atau usaha yang sadar (ikhtiar). Artinya, perbuatan itu dilakukan atas dasar pengetahuan, kesadaran, dan kemampuannya sendiri. Sebaliknya, perbuatan yang dilakukan seseorang karena kelalaian atau karena paksaan yang benar-benar menekan-padahal ia sendiri tidak menyukainya-tidak membebani manusia untuk mempertanggungjawabkannya. Surat al-Baqarah [2] ayat 225, menyatakan:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (QS. al-Baqarah [2]: 225) 22
Imam Jamaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Sayuthi, al-Jāmi’ al-Ṣaghir fi Ahadith al-Bashir al-Naẓir (Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967), 235.
37
Selanjutnya dalam Surat yang sama ayat 173 disebutkan: Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. al-Baqarah [2]: 173)
Lebih tegas lagi dalam Surat an-Naḥl [16] ayat 106, Allah SwT berfirman: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). (QS. an-Naḥl [16]: 106)
Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa ketentuan pertanggung jawaban manusia atas perbuatannya dibatasi oleh sekurangnya dua kondisi. Pertama, manusia tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang lahir di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri dalam pengertian yang sesungguhnya. Kedua, manusia tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang memang tidak dilakukannya. Manusia hanya memper-tanggungjawabkan sikap dan perbuatannya sendiri. Standar penentuan Kriteria “Baik” Islam mengajarkan manusia agar berbuat baik dengan ukuran yang bersumber pada Allah SwT sebagaimana sudah diperlihatkan oleh perilaku Rasulullah saw. Apa yang menjadi sifat dan digariskan “baik” oleh-Nya dapat dipastikan “baik” secara esensial oleh akal pikiran manusia. Dalam hal ini,
38 ketentuan Allah SwT menjadi standar penentuan kriteria “baik” yang rumusannya dapat dibuktikan dan dikembangkan oleh akal. Dalam al-Qur’an dikemukakan bahwa kriteria baik itu, antara lain bertumpu pada sifat Allah SwT sendiri yang terpuji (al-Asmā’ al-Ḥusnā). Karena itu, Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk berperilaku baik, sebagaimana “perilaku” Allah SwT. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa apa yang menjadi sifat Allah SwT pasti dinilai baik oleh manusia, sehingga harus dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari. Dalam mewujudkan sifat itu, manusia harus konsisten dengan esensi kebaikannya sehingga dapat diterapkan secara proporsional. Salah satu sifat Allah SwT yang sering kali dipraktekkan secara tidak tepat adalah sifat al-Kibriyā’ (Keangkuhan Tuhan). Esensi dari sifat ini terletak pada “peringatan atau ancaman atau tantangan terhadap kesombongan”, bukan pada kesombongan itu sendiri. Artinya, sifat alKibriyā’ itu diperlihatkan oleh Allah SwT dalam konteks ancaman dan tantangan terhadap para pembangkang atau orang yang merasa paling kuat dan paling hebat. Dalam Surat Luqman [31] ayat 18, Allah SwT berfirman: Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman [31]: 18)
Karena itu, dalam akhlak Islam diajarkan bahwa at-takabburu ‘alā almutakabbiri sadaqah (bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah). Begitu juga dengan sifat al-Ganīy (Maha Kaya) yang menjadi salah satu identitas Allah SwT. Berperilaku dengan ukuran sifat ini tidak berarti menumpuk materi secara berlebihan sehingga menjadi orang yang terkaya. Esensi sifat al-Ganīy adalah Allah SwT tidak butuh atau tidak bergantung sepenuhnya pada yang lain. Dalam mempraktekkan sifat ini, manusia harus bersifat tidak mengemis atau meminta-minta terhadap sesamanya. Pada hakikatnya, ketergantungan manusia hanya kepada Allah SwT, sebagaimana ditegaskan dalam Surat Fāṭir [35] ayat 15:
39
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS. Fāṭir [35]: 15)
Islam mengajarkan agar seluruh sifat Allah SwT itu menjadi standar perbuatan baik agar manusia tidak menyia-nyiakan tugas pertanggung jawabannya. Menentukan kriteria perbuatan dengan mengabaikan sifat Allah SwT ini cenderung menjerumuskan manusia pada ketentuan dan kriteria yang hedonistis, egois, dan materialistis. Kriteria yang ditetapkan berdasarkan sifat Allah SwT dipastikan menjamin manusia memperoleh kebahagiaan, kesuksesan, dan keselamatan di bawah riḍa-Nya.
BAB V KEWAJIBAN MANUSIA
Ajaran akhlak dalam Islam antara lain, menggariskan bentuk kewajiban yang harus dijalankan manusia. Dengan demikian, dalam berperilaku sehari-hari manusia tidak mengandalkan keinginannya sendiri secara liar dan membabi buta tanpa memperhatikan kewajiban yang harus dipenuhinya. Sebagai makhluk, manusia memiliki sejumlah kewajiban yang berhubungan dengan Sang Khalik Allah SwT. Sebagai pribadi yang mandiri, manusia juga mengemban kewajiban yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Kemudian, sebagai bagian dari warga masyarakat dan lingkungan sekitarnya, manusia pun mempunyai kewajiban yang bertalian dengan sesama manusia (seperti dengan kedua orangtua, guru, tetangga, pasangan hidup, lingkungan sekitar, dan masyarakat) dan dengan alam sekitarnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kewajiban manusia bertumpu pada ḥablun min Allāh (hubungan vertical dengan Allah SwT) dan ḥablun min an-nās (hubungan horizontal dengan sesama manusia).23 Di samping mengemban kewajiban, manusia juga memiliki hak yang merupakan kekhususan untuk dirinya secara individual. Dalam hal ini, seseorang dapat menuntut apa yang menjadi haknya, dan dengan sendirinya orang lain tidak dapat menghalang-halangi atau mencegahnya. Seorang muslim wajib merelakan seseorang mendapatkan haknya. Dengan demikian, hak bagi seseorang untuk mendapatkan haknya menjadi kewajiban bagi orang lain untuk menyerahkan haknya tersebut. Berdasarkan ketentuan ini, manusia pada dasarnya dituntut untuk memperhatikan hak seseorang, sehingga apa yang harus dilakukannya adalah segala hal yang menjadi kewajiban bagi dirinya sendiri. Dengan memenuhi kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya, seseorang berarti telah memberikan dan merelakan hak bagi orang lain. Dengan kata lain, etika Islam mengajarkan agar manusia mengutamakan pelaksanaan tugas kewajibannya yang substansial, tanpa harus mengabaikan haknya sendiri. Kategorisasi kewajiban manusia yang berdasarkan sasarannya itu juga merupakan pembagian akhlak menurut objeknya. Akhlak Islam memang senantiasa menyatu dalam setiap pelaksanaan kewajiban manusia. Dalam pelajaran akhlak, dikenal akhlak kepada Allah SwT, akhlak kepada 23
Baca, QS. Ali „Imrān [3]: 112.
40
41 manusia, dan akhlak pada alam raya. Karena itu, ketika menjalankan kewajiban terhadap Allah SwT, maka dalam nafas yang bersamaan, manusia juga menjalankan akhlak terhadap Allah SwT. Begitu pula ketika memenuhi tugas kewajiban kepada diri sendiri dan sesama, maka manusia pun berperilaku baik terhadap diri sendiri dan sesamanya.
A. Kewajiban Manusia kepada Allah SwT Kewajiban utama dan pertama manusia kepada Allah SwT adalah beriman akan ketauhidan-Nya. Kewajiban ini merupakan dasar yang amat pokok sehingga menentukan harkat manusia yang sebenarnya, apakah dia muslim atau kafir. Dalam al-Qur‟an Surat al-Ikhlāṣ [112] ayat 1 ditegaskan: Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. (QS. al-Ikhlāṣ [112]: 1)
Untuk menjadi seorang muslim, yang berarti patuh dan pasrah kepada Allah SwT, manusia harus berikrar Lā Ilāha Illā Allāh, yang berarti “tiada Tuhan selain Allah”. Sebagai konsekuensinya, dalam rangka memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya kepada Allah SwT, manusia harus menafikan segala kemungkinan “penuhanan” makhluk apa pun, baik dewa, penguasa, atau benda keramat. Bertolak dari prinsip ketauhidan itu, manusia kemudian berkewajiban untuk menghamba atau mengabdi kepada-Nya. Kewajiban ibadah ini ditegaskan dalam al-Qur’an Surat adh-Dhāriyāt [51] ayat 56: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. adh-Dhāriyāt [51]: 56)
Hal ini juga tercermin dalam salah satu ayat dari Surat al-Fātiḥah yang berbunyi iyyāka na’budu (beribadah) disebutkan lebih dahulu
42 daripada pernyataan iyyāka nasta’īn (memohon atau meminta pertolongan).24 Lebih jelas lagi dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah[2] ayat 21 ditegaskan: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah Menciptakan mu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah [2]: 21)
Sampai kapan manusia harus menyembah Allah? Allah SwT berfirman: Dan sembahlah Tuhanmu, sehingga sampai kepadamu keyakinan (mati). (QS. al-Ḥijr [15]: 99)
Dalam sebuah ḥadīth, Rasulullah saw menyebutkan hak Allah SwT kepada manusia-yang merupakan kewajiban manusia kepada Allah SwT adalah menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Rasulullah saw bersabda:
ِ ح ُّق للاِ على اْلعِب ) َوالَ يُ ْش ِرُك ْوا بِِو َش ْيػئًا (متفق عليو،ُاد أَ ْن تَػ ْعبُ ُد ْوه َ َ َ Hak Allah yang wajib dilaksanakan para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak memper-sekutukan sesuatu apapun dengan-Nya. (HR. Bukhari & Muslim)
Implikasi dari dua kewajiban utama itu adalah manusia berkewajiban untuk mempercayai seluruh sistem keimanan dan menjalankan semua bentuk peribadatan yang digariskan Tuhan secara 24
Baca, QS. al-Fātiḥah [1]: 5.
43 penuh dan sungguh-sungguh, seperti ditegaskan dalam al-Qur‟an Surat Ali „Imrān [3] ayat 102: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SwT dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali ‘Imrān [3]: 102)
Sebagai implikasi lebih lanjut adalah bahwa manusia harus berbuat atau beramal sesuai dengan syariat Islam (amal saleh). Ini termasuk kewajiban kepada Allah SwT. Dalam berbagai ayat diisyaratkan bahwa keimanan sering dipasang-kan dengan “amal saleh”, misalnya dalam Surat al-Bayyinah [98] ayat 7 disebutkan bahwa: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (QS. al-Bayyinah [98]: 7)
B. Kewajiban Manusia terhadap Dirinya Sendiri Kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri pada dasarnya berkaitan dengan keharusan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh dirinya sendiri, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan bahwa kehidupannya akan terganggu dan terancam, bahkan akan musnah. Karena itu, usaha memenuhi kebutuhan untuk dirinya sendiri dengan demikian berarti berusaha untuk menjaga eksistensi, harkat, dan martabatnya sebagai manusia dalam pengertian yang sempurna. Dalam hubungannya dengan aspek jasmani, manusia berkewajiban memenuhi kebutuhan primer, yakni, makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Berbeda dengan malaikat, manusia adalah makhluk Allah SwT yang kehidupannya secara biologis membutuhkan suplai makanan dan minuman yang sehat. Isyarat untuk berusaha dan
44 memenuhi kebutuhan makan antara lain terdapat dalam Surat al-Mulk [67] ayat 15: Dia yang menjadikan bumi untukmu dengan mudah kamu jalani, maka berjalanlah kamu pada beberapa penjurunya dan makanlah rizqi Allah, dan kepada-Nya (kamu) berbangkit. (QS. al-Mulk [67]: 15)
Di samping itu, manusia juga harus menyediakan pakaian untuk melindungi bagian tubuhnya yang sensitif (aurat), selain untuk menjaga keindahan tubuh. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah SwT telah menurunkan bagi manusia pakaian untuk menutupi aurat dan pakaian indah untuk perhiasan, tepatnya sebagaimana firman Allah dalam Surat al-A‟rāf [7] ayat 26: Hai sekalian anak Adam; sesungguhnya telah Kami turunkan pakaian kepadamu untuk menutupi kemaluanmu, begitu pula pakaian perhiasan. Tetapi pakaian takwa terlebih baik. Demikianlah ayat-ayat Allah (tanda kekuasaan-Nya) mudah-mudahan mereka menerima peringatan. (QS. alA‟rāf [7]: 26)
Hal lain yang juga amat penting adalah kewajiban manusia untuk menyediakan tempat tinggal yang dapat melindungi kehidupan dirinya sendiri dan keluarganya dari terpaan angin, sengatan terik matahari, dan guyuran hujan. Isyarat tentang hal ini ditemukan, misalnya, dalam alQur’an yang menyebutkan bahwa Allah SwT memerintahkan suami untuk menyediakan tempat yang layak bagi istrinya, bahkan yang dicerai sekalipun, sebagaimana disebutkan dalam Surat aṭ-Ṭalāq [65] ayat 6:
45
Suruh diamlah mereka (perempuan-perempuan yang dalam idah) di rumah tempat diam kamu, menurut tenagamu dan janganlah kamu memberi melarat kepada mereka, sehingga kamu menyempitkannya (menyusahkannya). Jika perempuan-perempuan itu dalam hamil, hendaklah kamu beri nafkah, sehingga mereka melahirkan kandungannya, dan jika mereka menyusukan anak itu, hendaklah kamu beri upahnya (gajinya). Dan bermufakatlah sesama kamu secara ma’ruf (yang baik). Jika kamu kedua-duanya dalam kesulitan, maka nanti perempuan yang lain akan menyusu-kannya. (QS. aṭ-Ṭalāq [65]: 6)
Adapun kewajiban manusia dalam hubungannya dengan kebutuhan batin atau rohani, terkait dengan unsur akal dan hati. Kewajiban manusia terhadap aspek rohani bagi dirinya sendiri dapat dikatakan lebih berat karena sifatnya yang abstrak. Namun demikian, kebutuhan dalam bidang ini dapat dianggap sebagai kebutuhan yang sangat esensial. Mengabaikan kebutuhan ini memang tidak akan menyebabkan kematian, tetapi pasti akan menyebabkan kehinaan dan kenistaan. Manusia berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan akalnya berupa ilmu. Dengan demikian, manusia berkewajiban untuk belajar sehingga terus menghidupkan akalnya dengan bekal pengetahuan yang cukup. Tanpa berfungsinya akal-karena ketiadaan ilmu-manusia menjadi bodoh dan menyebab-kan dirinya menjadi nista atau berderajat rendah. Dalam al-Qur’an dinyatakan secara tegas perbedaan antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu, sebagaimana diterangkan dalam Surat az-Zumar [39] ayat 9:
46 Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan (pandai) dengan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan (bodoh)? (Tentu tidak). Hanya yang menerima peringatan ialah orang-orang yang berakal. (QS. az-Zumar [39]: 9)
Sementara dalam Surat yang lain dinyatakan bahwa derajat orang yang beriman dan berilmu ditingkatkan oleh Allah SwT dengan sendirinya, tentu saja melebihi derajat orang kafir dan orang bodoh, sebagaimana diterangkan dalam Surat al-Mujādalah [58] ayat 11: Niscaya Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. (QS. al-Mujādalah [58]: 11)
Karena itu, dari sudut agama, menuntut ilmu-yang berarti memenuhi kebutuhan akal-merupakan kewajiban bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
ِ َطَل ضةٌ َعلَى ُك ّل ُم ْسلِ ٍم َ ْب الْعلْ ِم فَ ِري ُ
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.25
Ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari menurut az-Zarnuji terbagi dua. Pertama ilmu farḍu ‘ain, yaitu ilmu yang setiap Muslim secara individual wajib mempelajarinya, seperti ilmu fiqih dan ilmu uṣūl (dasar-dasar agama). Kedua ilmu farḍu kifāyah, yaitu ilmu di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas, bukan sebagai individu diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi dan lain sebagainya.26 25
Sunan Ibn Mājah (dalam Muqaddimah, no. 237, 1/48). Lebih jelasnya lihat, Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), cet. II, 109. 26
47 Pernyataan az-Zarnuji tersebut senada dengan yang dinyatakan imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulūm al-Dīn (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), bahwa mencari ilmu dapat digolongkan sebagai ilmu uṣūl dan ilmu furu’. Mempelajari ilmu ushul hukumnya adalah farḍu ‘ain. Kita harus tahu bagaimana berwudlu yang benar, bagaimana bershalat yang benar, berpuasa yang benar dan lain sebagainya. Sedangkan mencari atau mempelajari ilmu kauniyah yang berguna bagi masyarakat hukumnya paling tidak farḍu kifāyah. Sebab ilmu kedokteran, ilmu hukum, ilmu militer, ilmu teknik, dan lain-lainnya diperlukan untuk keselamatan, keamanan, dan tegaknya masyarakat muslim.27 Manusia juga berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hati yang merupakan sumber rasa. Hati yang tenteram akan menciptakan rasa aman dan bahagia. Sebaliknya, hati yang hampa dan tidak terbina akan menghasilkan rasa gundah, marah, dan tersiksa. Manusia yang mengabaikan kebutuhan hati akan kehilangan rasa yang sebenarnya, dan pada akhirnya akan menghancurkan jati dirinya. Rasa kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, dan rasa berani, pada kenyataannya merupakan kebutuhan naluriah yang wajib dipenuhi oleh setiap manusia. Dalam al-Qur’an Surat al-Fajr [89] ayat 27-30 ditegaskan:
Hai jiwa yang tenang (27). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya (28). Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku (29). dan masuklah ke dalam surga-Ku (30). (QS. alFajr [89]: 27-30)
C. Kewajiban Manusia terhadap Sesama
27
Lebih jelasnya lihat, Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ‘Ulūm al-Dīn (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz I, 14.
48 Manusia adalah makhluk sosial yang kehidupannya tidak dapat diisolasikan secara permanen dari sesamanya. Kelahiran manusia di muka bumi dimungkinkan karena kedua orangtuanya, yang kemudian menjadi lingkungan pertama dalam masa awal kehidupannya di dunia. Perkembangan manusia kemudian tergantung pada interaksi dengan kelompok masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Pada akhirnya, manusia-dalam hubungan dengan sesama-menempati posisi dan memerankan tugas tertentu, baik sebagai orangtua, murid, tetangga, maupun sebagai pemimpin. Dalam kaitan ini, maka kewajiban manusia dengan sesama harus dipenuhi sehingga tercipta kondisi yang harmonis dan dinamis yang menjamin kelangsungan hidupnya. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa manusia berada dalam kehinaan dan kehancuran kecuali berpegang teguh kepada agama Allah SwT (ḥablun min Allāh) dan berpegang teguh pada perjanjian antarmanusia (ḥablun min an-nās), sebagaimana diterangkan dalam Surat Ali „Imrān [3] ayat 112: Mereka itu ditimpa kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali dengan tali (agama) dari Allah dan tali (perdamaian) dari manusia. (QS. Ali ‘Imrān [3]: 112)
۞ 1. Kewajiban kepada Ayah dan Ibu Kewajiban utama manusia terhadap orangtuanya adalah berbakti secara tulus dengan memenuhi dan mematuhi permintaan serta nasihat mereka. Wujud dari sikap bakti itu, antara lain, ditunjukkan melalui sikap sayang dan hormat, khususnya kepada ibunda. Dalam berkomunikasi dengan kedua orangtua, hendaknya bertutur kata secara lembut dan ramah serta menghindari penggunaan kata-kata yang menyakitkan dan menyinggung perasaan mereka. Ketentuan ini dengan jelas diisyaratkan dalam al-Qur’an Surat al-Isrā [17] ayat 23-24:
49 Tuhanmu memerintahkan, supaya janganlah kamu sembah, kecuali Dia dan berbuat baiklah kepada ibu bapak. Jika seseorang di antara keduanya telah tua atau kedua-duanya, janganlah engkau katakana “cis” kepada keduanya dan jangan pula engkau hardik keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia (lemah lembut) (23). Rendahkanlah sayap kehinaan (berhina dirilah) kepada keduanya, karena kasih sayang dan katakanlah: Ya Tuhanku! Kasihanilah keduanya, sebagaimana keduanya telah mengasuhku ketika aku masih kecil (24). (QS. al-Isrā [17]: 23-24)
Kewajiban berbuat baik kepada orangtua harus dipenuhi oleh manusia secara permanen, meskipun keduanya telah tiada. Islam mengajarkan hendaknya manusia selalu memanjatkan doa pengampunan atas dosa dan kesalahan mereka, seperti,
ِ ر َّ ِل َولَِوالِ َد َّ َي ْ ِب ا ْغف ْر
و
Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtua ku, sayangilah keduanya, sebagaimana keduanya telah menyayangiku ketika aku masih kecil.
Menepati janji serta memelihara persahabatan dan persaudaraan yang telah dibangun kedua orangtua juga merupakan kewajiban manusia yang harus dipenuhi.
۞ 2. Kewajiban kepada Guru Guru adalah pihak yang berjasa dalam mendidik manusia setelah masa kanak-kanaknya. Tanpa bimbingan guru, maka
50 perkembangan mental, pengetahuan, dan keterampilan manusia tidak mungkin tercapai. Meskipun setiap manusia memiliki potensi dalam dirinya sendiri, tetapi tanpa sentuhan dan bimbingan guru-melalui pendidikan-manusia tidak dapat memperoleh derajat dan kepandaian yang berarti. Karena itu, manusia wajib menghormati dan mematuhi perintah serta petunjuk guru, seperti dikatakan sahabat Nabi saw, Ali bin Abi Thalib kw:
ِ استَػَر َق َ إِ ْن َشاءَ ََب،أ َََن َعْب ُد َم ْن َعلَّ َم ِِن َح ْرفًا َواح ًدا ْ َع َوإِ ْن َشاءَ أ َْعتَ َق َوإِ ْن َشاء Aku adalah budak orang yang mengajarkan aku meskipun hanya satu huruf. Ia bebas menjual, memerdekakan, atau tetap menjadikan aku budak.28
۞ 3. Kewajiban kepada Anak Sebagai orangtua yang melahirkan anak, manusia berkewajiban memelihara dengan mencukupi kebutuhan primer baik fisik maupun mental anak, terutama dalam hal keagamaan dan keimanan. Sejak dini-baik masih dalam rahim maupun pada waktu lahir-hendaknya anak sudah dibawa pada usaha pengenalan akan Tuhan melalui berbagai cara dengan memanfaatkan indera yang tersedia. Orangtua juga berkewajiban memberi nama kepada anaknya dengan nama yang baik dan bermakna. Dalam satu riwayat al-Hakim, Rasulullah saw memformulasikan kewajiban manusia-sebagai orangtua-kepada anaknya, Kewajiban orangtua kepada anaknya adalah memberi nama yang baik, mendidiknya sopan santun, mengajarinya tulis-baca, melatihnya berenang dan memanah, memberi rizqi kepada anak hanya dengan yang baik-baik saja dan mengantarkannya ke pintu gerbang pernikahan apabila mendapat jodoh. ۞ 4. Kewajiban kepada Tetangga
28
Syekh az-Zarnuji, Ta’līmul Muta’allim, Fasal IV.
51 Dalam ajaran akhlak Islam, manusia berkewajiban untuk memelihara dan mengembangkan hubungan baik dengan tetangga, termasuk ikut memperhatikan kebutuhannya. Kewajiban ini dipandang sangat penting karena berpengaruh pada kualitas keimanan seseorang. Diriwayatkan oleh Ibnu Zubair bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
ت َشبَػ ًعا َو َج ُارهُ َجائِ ٌع َ َما َام َن ِِب َم ْن ََب Bukanlah orang beriman, yang dia itu kenyang sedangkan tetangganya lapar.
Selanjutnya dalam salah satu ḥadīth riwayat Imam BukhariMuslim dinyatakan,
:ال َ َ َم ْن ََي َر ُس ْو َل للاِ؟ ق: َوللاِ الَ يػُ ْؤِم ُن! قِْي َل، َوللاِ الَ يػُ ْؤِم ُن،َوللاِ الَ يػُ ْؤِم ُن .ُاَلَّ ِذى الَ يػُ ْؤِم ُن َج َارهُ بَػ َوائَِقو Demi Allah, dia tidak beriman 3 x! Ditanya: Siapa dia ya Rasulullah? Jawabnya: Siapa yang tetangganya tidak aman dari gangguangangguannya.
Apakah kesulitan paling besar seorang raja ? Memerintahkan dirinya sendiri, melakukan apa yang diperintahkannya, mengakui kesalahannya sendiri. Siapakah sahabat sejati ? Orang yang menghibur ketika kita jatuh, orang yang mengulurkan tangan ketika kita butuh, orang yang menegur ketika kita salah. Siapakah yang pantas kita ratapi ? Bukan orang mati ! sebab mereka tidak akan kembali, ratapilah orang yang masih hidup, ketika mereka membutuhkan pertolongan, tetapi kita tak mampu berbuat apa-apa. Siapakah yang paling pantas disebut pahlawan ? Bukan yang paling mampu memenangkan peperangan, tetapi yang paling mampu mengusahakan perdamaian.
52
BAB VI NORMA BUDI PEKERTI (AKHLAK)
Inti ajaran akhlak dalam Islam terletak pada sejumlah norma dasar 29 yang menggambarkan kondisi jiwa. Kemuliaan perilaku seseorang pada dasarnya dikembalikan pada kondisi batin, bukan semata-mata pada bentuk kelakuan itu sendiri. Secara lahiriah, perilaku seseorang dalam hubungannya dengan sesama boleh jadi mengagumkan atau mengesankan, akan tetapi hakikat yang sesungguhnya mungkin saja sebaliknya. Begitu juga pada tindakan lahiriah yang buruk, sangat mungkin tertanam kondisi jiwa yang baik. Karena itu, kalangan sufi dalam Islam biasanya berteori bahwa kita jangan semata-mata melihat pada kondisi dan perilaku lahiriah, namun harus juga mempertimbang kan kemungkinan kondisi jiwa atau norma dasar yang melatarbelakanginya. Di atas semua itu, Islam menekankan pentingnya prinsip ḥusn-u aẓ-ẓan (berprasangka baik) dan menghindari sū’ aẓ-ẓan (berprasangka buruk).30 Dalam akhlak Islam, satu norma dasar atau satu kondisi jiwa tidak terikat oleh bentuk aktualisasi atau adab yang tunggal. Dalam kenyataannya, dari nilai atau norma luhur yang sama dapat diaktualisasikan dalam pola yang berbeda, tergantung pada sasaran, situasi, dan lokasi. Norma maaf, misalnya, dalam prakteknya ada perbedaan antara tata cara memaafkan atau meminta maaf kepada orangtua, anak, atau teman. Meskipun demikian, kondisi jiwa saja tidak cukup untuk mempertimbangkan seseorang sebagai orang yang berakhlak, jika tidak teraktualisasikan dalam tindakan nyata yang bersifat etis. Oleh karena itu, dalam akhlak Islam, kerangka etis atau tata krama dalam berperilaku juga dipandang penting sebagai sarana atau media untuk menuju jiwa atau budi pekerti luhur (akhlak yang mulia). Dengan demikian, berusaha untuk mematuhi dan mengikuti etika atau tata cara perbuatan suatu pekerjaan yang dianggap baik (ma’rūf) oleh agama dan lingkungan, juga dipandang 29
Pengertian Norma adalah 1. Suatu ketentuan atau aturan yang bersifat mengikat dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan diterima; patokan perilaku yang pantas; 2. Tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan; 3. Ukuran suatu fenomena yang dipakai untuk mengukur fenomena lainnya. Lihat, Tim Pandom Media Nusantara, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru, 600. 30 Baca, QS. al-Ḥujurāt [49]: 12.
53
54 sebagai bagian dari akhlak Islam. Dengan kata lain, akhlak dalam Islam terbagi dalam kategori akhlak batin dan akhlak lahir atau akhlak tujuan dan akhlak perantara. A. Norma Dasar Budi Pekerti (Akhlak) Norma dasar akhlak dalam Islam bertolak dari dua sifat, yakni baik dan buruk. Terhadap norma yang baik, Islam memerintahkan untuk mengaktualisasikannya dalam tindakan nyata. Sebaliknya, terhadap norma buruk, ajaran akhlak Islam menandaskan untuk menjauhi atau menghindarinya sekuat tenaga. Bahkan, karena pada dasarnya kecenderungan awal (fiṭrah) manusia mengarah pada tindakan baik, maka yang dititikberatkan dalam akhlak Islam adalah berusaha seoptimal mungkin untuk menekan munculnya norma atau akhlak tercela. Diasumsikan bahwa tanpa rintangan dari norma jelek, perilaku manusia pasti bersumber dari norma baik. Oleh karena itu, norma dasar yang buruk dipandang sebagai penyakit jiwa sehingga harus terus-menerus diusahakan untuk dibersihkan (tazkiyah) dari kondisi batin manusia. Menurut Islam, usaha yang sungguh-sungguh dalam hal ini dipandang sebagai jihad akbar atau perjuangan yang paling besar. Kondisi jiwa wasṭ (tengah-tengah) dalam pandangan kaum sufi, seperti al-Gazali, ditempatkan sebagai norma dasar yang mulia. Dengan norma ini, manusia dapat berperilaku secara baik dengan mengendalikan diri dari sikap buruk yang menjepit norma luhur. Seseorang yang berhasil menekan norma atau sifat rendah diri dan menekan sifat marah sekaligus berarti telah mencapai sifat berani (shajā’ah). Begitu juga, seseorang yang dapat menahan diri dari sifat kikir (bakhīl) dan dari sifat boros berarti ia telah bersifat pemurah. Bukanlah seorang pemberani jika ia dapat menahan sifat pengecut tetapi mengumbar sifat jiwa yang amarah. Bukan pula seorang pemurah jika ia dapat menghindar dari sikap bakhil tetapi membiarkan teraktualisasikannya sifat boros. B. Empat Pilar Budi Pekerti (Akhlak) yang Terpuji
55 Sebagaimana disebut dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn karya alGazali, akhlak Islam memiliki empat pilar atau induk semua akhlak yang terpuji (ummahāt mahāsin al-akhlāq), yaitu: hikmah, shajā’ah, lapang dada, dan adil. ۞ 1. Hikmah Hikmah adalah kondisi jiwa yang dapat mem -bedakan yang benar dari yang salah. Kondisi jiwa seperti ini merupakan pilar utama sebagaimana difirmankan Allah SwT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 269: Barangsiapa yang dianugerahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi kebajikan (karunia) yang banyak. (QS. al-Baqarah [2]: 269)
۞ 2. Shaja’ah Shajā’ah (keberanian) adalah keadaan jiwa yang dapat menundukkan amarah untuk patuh pada akal. ۞ 3. Lapang dada Lapang dada adalah situasi jiwa yang mampu menertibkan nafsu atas dasar pertimbangan akal dan syariat. ۞ 4. Adil Adapun adil adalah kondisi jiwa yang dapat mengendalikan hawa nafsu di bawah perintah akal dan syariat. Bertolak dari norma induk ini muncul norma cabang yang amat banyak variasinya. Dalam buku yang menguraikan tentang akhlak Islam biasanya terdapat daftar sejumlah norma, baik yang terpuji maupun tercela. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan pemahaman bagi
56 pembacanya sehingga mudah menerapkannya. Menurut pandangan yang sufistik, berakhlak sebetulnya tidak cukup dengan usaha menjalankan norma yang terpuji, tetapi secara harus juga sekaligus, berusaha menghilangkan norma tercela.
C. Orientasi Manusia yang Berbudi Pekerti Luhur ۞ 1. Tawakal Tawakal adalah norma terpuji yang menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh manusia yang berbudi pekerti luhur. Norma ini dapat didefinisikan sebagai kondisi jiwa yang senantiasa menyandarkan kepada Allah SwT, baik ketika memiliki kepentingan (cita-cita) maupun ketika sedang menghadapi kesukaran. Termasuk ke dalam sifat tawakal ini adalah berperangai tenang, tenteram, dan teguh dalam menerima cobaan, musibah, atau bencana. Dalam alQur‟an Surat Hūd [11] ayat 123. Allah SwT menegaskan: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Hūd [11]: 123)
Lawan dari norma tawakal adalah sikap putus asa dan keluh kesah yang mencerminkan kelemahan jiwa dalam kaitannya dengan janji dan kehendak Tuhan. Tawakal dapat dikembangkan tidak saja karena pembawaan, tetapi juga karena pengetahuan (ilmu) dan pekerjaan (amal). Ilmu yang dimaksud meliputi kepercayaan tentang tiga hal: keesaan Allah SwT, kekuasaan dan kodrat-Nya, rahmat dan
57 hikmah-Nya. Melalui amal atau pekerjaan dimaksudkan bahwa tawakal harus ditempuh dengan melakukan upaya nyata. Bukan tawakal jika melepaskan diri dari usaha praktis. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa esensi dasar tawakal juga bukan terletak pada usaha, melainkan pada kepercayaan diri akan rahmat dan hikmah Allah SwT.
۞ 2. Mahabah (Cinta) Akhlak Islam mengajarkan cinta (mahabbah) sebagai norma dasar yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SwT, seperti ditegaskan dalam al-Qur‟an Surat Ali „Imrān [3] ayat 31: Katakanlah: Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. (QS. Ali ‘Imrān [3]: 31)
Karena dengan sifat cinta yang asasi (al-ḥubb al-kāmil) maka manusia akan masuk dalam perasaan rindu yang mendalam, yang pusatnya tiada lain adalah ingin dekat dengan Allah SwT sebagai sumber rahmat. Akhirnya, ketinggian derajat kecintaan seseorang kepada Allah SwT di dunia ini akan menghasilkan keluhuran derajat kebahagiaannya di akhirat nanti. Dengan demikian, cinta adalah kondisi jiwa yang terus berusaha memburu kenikmatan dan kebahagiaan sejati atas dasar ketentuan akal dan agama. Cinta dalam akhlak Islam bukanlah perasaan yang ditimbulkan oleh sikap mencari keuntungan yang berlebihan atau hedonistis. Karena itu, cinta yang harus ditumbuhkan harus bertolak pada
58 komitmen cinta kepada Allah SwT. Untuk tujuan ini, akhlak Islam menawarkan prinsip cinta yang sempurna. Pertama, cinta hendaknya ditujukan kepada diri sendiri. Demi eksistensi dan kebahagiaan diri, manusia akan mencintai harta, istri, dan sanak keluarga. Kedua, cinta hendaknya dilandasi dengan sikap dermawan sehingga memungkinkannya untuk membagi cinta dengan sesama. Ketiga, cinta hendaknya diberikan kepada orang yang mencintai dirinya tanpa pamrih. Keempat, cinta harus dialamatkan pada sesuatu yang memang indah, bukan imitasi keindahan. Dan kelima, cinta harus diwujudkan dalam hubungan, kedekatan, dan keakraban yang tulus.
۞ 3. Riḍa Riḍa adalah norma atau kondisi jiwa terpuji yang merupakan efek tertinggi dari cinta. Sebelum mencapai riḍa, manusia biasanya melalui kondisi rindu dan mesra. Dengan riḍa karena cinta yang mendalam manusia bersikap menerima apa pun yang dilakukan oleh kekasihnya-Tuhan. Dalam hal perbuatan Sang Kekasih yang menyenangkan, kondisi riḍa tentu bukan kondisi yang mengherankan. Dalam banyak hal, manusia pasti rela menerima perlakuan baik dan menyenangkan dari Allah SwT. Akan tetapi, kondisi riḍa yang paling menakjubkan adalah jika dihadapkan pada ketentuan Tuhan yang dirasa menyakitkan atau kurang menyenangkan. Dalam hal ini, manusia harus berjuang meyakinkan dirinya sendiri bahwa ketidaksenangan yang dirasakannya adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Dengan demikian riḍa tetap merupakan bagian dari elemen cinta yang sempurna, sehingga dalam al-Qur’an Surat al-Bayyinah [98] ayat 8 dikatakan: Allah riḍa terhadap mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (QS. al-Bayyinah [98]: 8)
59
Akhlak Islam tetap bersifat dinamis, walaupun manusia yang berbudi pekerti luhur adalah manusia yang riḍa. Jika karena sifat riḍa, manusia tidak berusaha dan berdoa, maka orang itu tidak dapat dikategorikan berakhlak riḍa. Berusaha merupakan sarana yang menjamin manusia mencapai titik riḍa. Adapun doa dipandang sebagai sarana yang menghasilkan jiwa yang lembut, sesal, dan lapang dada, yang antara lain merupakan manifestasi dari kasih kepada Allah SwT. ۞ 4. Shajā’ah Shajā’ah (keberanian) adalah kondisi jiwa yang mengarahkan munculnya tindakan manusia untuk mencapai kemuliaan dan keutamaan. Dalam jiwa seperti ini, manusia dituntut berkorban, menekan hawa nafsu, dan menjaga kesucian perbuatan. Keberanian sebagai salah satu norma terpuji dalam Islam bukanlah semata-mata keberanian dalam medan perang suci.31 Keberanian yang sesungguhnya adalah kemauan dan kesanggupan untuk menahan hawa nafsu. Dalam hal ini, Rasulullah saw menyebutkan:
ِض )ب (متفق عليو َ َالْغ
ِ ُّ َّديد َِب ِ ِ ِ ك ِعْن َد ُ ْ ِ س الش ُ اََّّنَا الشَّديْ ُد الَّذ ْى ُيَْل،لصَر َع ِة َ لَْي
Bukanlah orang yang dinamakan berani itu orang yang kuat bergulat (berkelahi), sesungguhnya pemberani itu adalah orang yang sanggup menguasai hawa nafsunya pada waktu marah (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Keberanian adalah kekuatan yang luar biasa dalam diri manusia. Pribadi yang dapat mencapai sifat shāja’ah dengan menahan amarah adalah manusia yang dapat menjamin keamanan dan harga dirinya. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, diterangkan bahwa 31
Saat perang Badar, 300 kaum Muslimin bisa melawan hampir 1.000 orang. Perang yang sangat berat. Ketika perang usai, Rasulullah saw bersabda: “Kita baru menghadapi jihad yang kecil dan kita akan menghadapi jihad yang lebih besar lagi,” Sahabat bertanya: “Rasul, pertempuran seperti apakah itu?” Ternyata jihad yang lebih besar adalah melawan hawa nafsu.
60 Rasulullah saw bertanya kepada sahabat mengenai apa dan bagaimana yang mereka anggap sebagai kekuatan yang mereka miliki. Para sahabat menjawab bahwa kekuatan itu adalah orang yang tidak dapat dibanting dan orang yang berjumlah banyak. Menyangkal pendapat sahabat ini, Rasulullah saw bersabda:
ِض )ب (متفق عليو َ َالْغ
ِ ِ ِ ِ ك ِعْن َد ُ اََّّنَا الشَّديْ ُد الَّذ ْى ُيَْل
Orang yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika marah. (HR. Muttafaqun ‘alaih)
۞ 5. Amanah Akhlak Islam mengajarkan agar manusia memegang amanah, yaitu menjaga titipan dan menjaga kewajiban umat Islam. Akhlak Islam juga menekankan agar manusia meninggalkan sifat khianat, yaitu mengingkari titipan, janji, dan kewajiban. Nabi Muhammad saw mengisyaratkan bahwa inti beragama sebenarnya terletak pada komitmen atau amanah dalam menjalankan ajarannya. Hal ini seperti terungkap dalam sebuah ḥadīth yang menyebutkan:
ِ ِ ِ )ين لِ َم ْن الَ َع ْه َد لَوُ (أخرجو أمحد َ َوالَ د، ُالَ إُيَا َن ل َم ْن الَ أ ََمانَةَ لَو Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak beramanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji (HR. Imam Ahmad) 32
Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw memohon kepada Allah SwT agar dilindungi dari sifat khianat:
ِ ِ َّجيع وِمن ا ْْلِيانَِة فَِإنػَّها بِْئس ِ ِ ِ ك ِمن ا ْْل ِ ُ اللَّ ُه َّم إِ ّّن أ ُت الْبِطَانَة َ ْ َ ُ س الض ُ ْ َ َعوذُ ب َ َ َ وع فَإنَّوُ بْئ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, sebab ia adalah seburuk-buruk teman tidur. Dan aku berlindung kepada-Mu dari
32
HR. Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad Ahmad, dishahih-kan oleh syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami' no. 7179, dan Shahih at-Targhib wat Tarhib no. 3004. Dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Arna'uth rahimahullah dalam Ta'liq beliau terhadap Musnad imam Ahmad
61 khianat, sebab itu adalah seburuk-buruk perkara dalam hati. (HR. Nasāi No. 5374)
Seruan untuk meninggalkan sifat khianat ini lebih tegas dinyatakan dalam Surat al-Anfāl [8] ayat 27-28: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu khianat terhadap Allah dan rasul dan jangan pula khianat terhadap barang-barang yang diamanatkan kepadamu, sedang kamu mengetahui (27). Ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu menjadi cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar (28). (QS. al-Anfāl [8]: 27-28)
Implementasi sifat amanah hendaknya tercermin dalam berbagai hal yang menjadi ajaran dan kewajiban agama. Dengan demikian, suatu hal tidak termasuk menjalankan amanah jika titipan atau pesan yang diterimanya itu bertentangan dengan ajaran agama, misalnya memenuhi pesan orang yang bermaksud memenangkan kezaliman, menghalalkan pemerkosaan, atau memperkenankan perampasan harta benda. Sebaliknya, orang dianggap bertindak amanah jika ia mengabaikan pesan dan maksud pembicaraan seseorang yang bersifat menggunjing sesama. Begitu juga, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an Surat an-Nisā‟[4] ayat 58: Sesungguhnya Allah menyuruhmu, supaya kamu mem-bayarkan amanat kepada yang empunya, dan apabila kamu menghukum antara manusia, hendaklah kamu hukum dengan keadilan.
62 Sesungguhnya Allah sebaik-baik mengajar kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. an-Nisā‟[4]: 58)
Amanah harus didasarkan pada ahlinya atau yang berhak menerima amanah itu. Dalam konteks ini, akhlak Islam pada dasarnya mengajarkan sikap proporsional dan profesional sekaligus. ۞ 6. Adil Adil termasuk dalam kategori norma dasar yang terpuji karena efeknya yang sangat penting bagi kemanusiaan. Adil sebagai kondisi jiwa bukanlah sekadar tindakan memenuhi hak seseorang. Akan tetapi lebih dari itu, adil adalah jiwa atau norma yang dikendalikan di bawah perintah akal dan syariat. Sebaliknya, zalim adalah kondisi jiwa yang melahirkan sikap merugikan orang lain dengan mengalihkan haknya. Kezaliman, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain, harus dibersihkan dengan mengusahakan keadilan. Inti dari sifat adil adalah menjalankan kewajiban sendiri dengan tidak mengandalkan atau menggantungkan orang lain. Salah satu alasan yang mungkin menimbulkan tindakan zalim terhadap diri sendiri adalah karena manusia tidak menjalankan kewajibannya, seperti diriwayatkan dalam sebuah ḥadīth: Hai Fatimah, anak perempuan Muhammad, berbuatlah kebajikan, karena aku tidak dapat menjamin sedikit pun padamu tentang tugas kewajibanmu terhadap Allah (HR. Imam Bukhari)
Termasuk dalam konteks adil adalah bahwa manusia jangan menangguhkan siksaan atau hukuman bagi yang memang bersalah. Rasulullah saw menyatakan:
ٍ ِ َّ واَْْي للاِ لَو أ ت يَ َد َىا ْ َت ُُمَ َّمد َسَرق ُ ت لََقطَ ْع َ َن فَاط َمةَ بِْن ْ َُ Demi Allah! Jika sekiranya Fatimah binti Muhammad saw mencuri, pasti tangannya akan ku potong (HR. Imam Muslim)
63 Namun demikian, masih dalam batasan keadilan adalah manusia hendaknya tidak terpancing untuk melakukan ketidakadilan karena alasan benci. Dalam hal ini Allah SwT berfirman dalam Surat al-Māidah [5] ayat 8: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah kamu tertarik karena kebencianmu kepada satu kaum, sehingga kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa dan takutlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apaapa yang kamu kerjakan (QS. al-Māidah [5]: 8)
BAB VII ETIKA PRAKTIS
Dalam akhlak Islam, tersedia petunjuk operasional untuk menjalankan berbagai kegiatan dengan mengikuti norma dasar. Di samping karena norma itu memiliki cabang-cabangnya yang detail, operasionalisasi norma akhlak Islam juga sangat fleksibel. Di lingkungan tertentu mungkin berlaku etika praktis yang sangat ketat karena sudah menjadi tradisi. Akan tetapi, boleh jadi, etika praktis tersebut berlaku secara longgar dalam lingkungan yang lain. Etika belajar, misalnya, dalam praktiknya berbeda antara tradisi pendidikan di pesantren yang lebih menekankan norma tawadhu (rendah hati) dan tradisi pendidikan di perguruan tinggi yang lebih menekankan norma musyawarah. Berikut ini merupakan beberapa etika praktis yang sangat penting dan dilakukan di kalangan umum.
۞ 1. Etika Musyawarah Dalam doktrin Islam, musyawarah mendapat perhatian yang sangat tinggi. Surat ash-Shūrā [42] ayat 38 menyatakan bahwa musyawarah adalah salah satu identitas orang mukmin. Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antarmereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka (QS. ash-Shūrā [42]: 38)
Musyawarah bahkan merupakan bentuk hubungan yang penting dalam kehidupan keluarga, sebagaimana ditegaskan dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 233:
64
65 Ibu-ibu itu menyusukan anak-anaknya dua tahun genap, bagi orang yang menghendaki akan menyempurnakan susuan. (Kewajiban) atas bapak memberi belanja ibu anaknya itu dan pakaiannya secara ma’ruf. Tiadalah diberati seseorang, melainkan sekedar tenaganya. Tiadalah melarat ibu karena anaknya, dan tiada pula (melarat) bapak karena anaknya; dan terhadap waris pun seperti demikian pula. Jika kedua ibu bapak hendak menceraikan anaknya dari menyusu (sebelum dua tahun) dengan kesukaan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tiada berdosa keduanya. Jika kamu menghendaki perempuan lain menyusukan anakmu, maka tiada berdosa kamu bila kamu berikan upahnya secara ma’ruf. Takutlah kepada Allah dan ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Baqarah [2]: 233)
Beberapa prinsip praktis dalam bermusyawarah adalah sebagai berikut: a. Bermusyawarah dilakukan oleh setiap orang, sehingga praktik ini tidak menjadi monopoli kalangan tertentu. b. Musyawarah bukanlah pekerjaan yang sia-sia, dan karenanya harus terus dilakukan, meskipun hasilnya kemudian dianggap keliru. c. Masalah yang menjadi pembahasan musyawarah terbatas pada masalah yang memang tidak disediakan ketentuan definitifnya
66 dalam wahyu Allah SwT. Termasuk ke dalam tema pembahasan dalam musyawarah adalah masalah dunia. d. Pihak yang diajak musyawarah pada dasarnya adalah siapa sajamasyarakat umum-yang mungkin mampu dan dapat terlibat dalam pembahasan masalah yang dimusyawarahkan. Namun demikian, sunah Nabi saw mengisyaratkan bahwa pihak yang diajak musyawarah adalah orang yang memiliki lima karakter: cerdas atau pandai (berakal), lapang dada, berpengalaman, berminat atau berperhatian, dan bertakwa. Dalam tradisi fikih, dikenal ahl al-hall wa al-‘aqd atau ahl al-ijtihad untuk menyebut kelompok tertentu yang paling berwenang dilibatkan dalam musyawarah. e. Gagasan dan pendapat setiap peserta musyawarah dibiarkan berkembang dan mendapatkan perhatian serta pertimbangan yang sedalam-dalamnya. Dalam menyampaikan gagasan dan pendapat itu hendaknya digunakan cara yang sopan dan tidak saling menyinggung perasaan. f. Dalam mengambil keputusan akhir hendaknya disertai sikap tawaḍu, bahwa kebenaran yang sesungguhnya datang dari Allah SwT.
۞ 2. Etika Hubungan Suami dan Istri Hubungan suami dan istri dalam akhlak Islam memiliki nuansa yang sakral sehingga harus dilakukan dengan beberapa ketentuan etis. Sesuai dengan sifat dasar perkawinan dalam Islam, hubungan mereka tidak tertumpu semata-mata pada masalah biologis dan emosional. Dalam hal ini terdapat paling tidak lima ketentuan mengenai etika hubungan khusus suami dan istri. a. Suami dan istri berusaha berperilaku saling menyenangkan dan meningkatkan amal ibadah, seperti berpakaian yang rapih dan ṣalat berjamaah. b. Suami hendaknya dapat menjaga rasa sayang dan menjaga
67 kehormatan istri melalui bimbingan dan tutur kata yang lembut sesuai dengan karakter dirinya yang halus. c. Istri hendaknya memperlihatkan rasa hormat dan mengakui kewibawaan suami sambil menunjukkan sikap patuh yang tulus. d. Dalam hubungan seks hendaknya tidak terbius oleh keinginan dan perasaan yang berlebihan, selain tetap menjaga rasa cinta dan rasa sayang serta bertutur dengan lembut. Dianjurkan agar tidak melihat kemaluan yang membuat tertutupnya mata hati keduanya, baik sang suami maupun sang istri. Dalam ḥadīth Ṣaḥiḥain melalui Ibnu Abbas, Rasulullah saw telah bersabda:
َِب ْس ِم للاِ اَللّ ُه َّم َجنّػْبػنَا الشَّْيطَا َن:لَ ْو اَ َّن اَ َح َد ُك ْم اِ َذا اََر َاد اَ ْن ََيْتِ َى اَ ْىلَوُ قَ َال ِ ِ ِ ّو َجن ضَّرهُ الشَّْيطَا ُن اَبَ ًدا ُ ََّيطَا َن َما َرَزقْػتَػنَا فَانَّوُ ا ْن يػُ َقد َّْر بَػْيػنَػ ُه َما َولَ ٌد َلْ ي ْب الش َ Seandainya seseorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan, “Dengan menyebut nama Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau rizkikan (anugerahkan) kepada kami,” karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya, niscaya setan tidak akan dapat menimpakan mudharat terhadap anak itu untuk selama-lamanya.
۞ 3. Etika Praktis Bertetangga Bertetangga adalah bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat hidup terasing secara terus-menerus. Dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan, bertetanga dapat dikatakan sebagai bentuk hubungan primer kedua, setelah hubungan antaranggota keluarga. Dalam Islam bahkan bertetangga merupakan kewajiban manusia dengan sesama. Beberapa etika hubungan bertetangga yang sesuai dengan akhlak Islam, di antaranya: a. Memperlihatkan sikap bersahabat, seperti mengucapkan salam jika berjumpa.
68 b. Tidak memancing kecemburuan, khususnya dalam bidang materi. c. Utamakan memberi pertolongan kepada tetangga yang sedang kesusahan. d. Menjaga nama baik dan kehormatan tetangga dengan tidak menyebarkan berita jelek tentang mereka. e. Menjenguk mereka jika dalam keadaan sakit atau terkena musibah. f. Tidak ikut campur terlalu jauh dalam urusan keluarga tetangga, kecuali diminta dan dipandang bermanfaat demi kebaikan mereka sendiri.
۞ 4. Adab Guru dan Murid Guru dalam Islam biasanya didefinisikan sebagai pembimbing mental dan spiritual, tidak sekadar pengajar di depan kelas. Guru bertanggungjawab penuh dalam pembinaan kepribadian murid melalui usaha peneladanan. Dengan demikian, peran seorang guru bukan sekadar pengajar dalam batas tugas di kelas atau sekolah. Dalam pengertian ideal terdebut, maka hubungan guru dan murid pun hendaknya berlaku di atas kerangka etis yang luhur. Berikut beberapa ketentuan etika bagi seorang guru maupun seorang murid: a. Baik guru maupun murid hendaknya bersikap teguh dalam kaitannya dengan keimanan kepada Allah SwT sebagai sumber ilmu. Sebelum berangkat ke majelis pendidikan, mereka hendaknya menetapkan niat yang murni, membersihkan diri dari hadas, berpakaian sopan dan indah, serta mendirikan ṣalat ḍuha pada masa pelajaran pagi hari. b. Guru harus memperlihatkan kasih sayang kepada murid dan ikhlāṣ memberikan apa yang dimilikinya melalui tahapan yang proporsional. c. Murid hendaknya patuh kepada perintah dan bimbingan guru, tidak mengganggu proses belajar, seperti menyela guru yang
69 sedang mengajar dengan pertanyaan yang tidak perlu. d. Baik guru maupun murid harus berusaha menghargai dan memuliakan ilmu, tidak terpukau oleh materi atau kekayaan. Ajaran akhlak dalam Islam berisi tentang ketentuan hak dan kewajiban manusia. Namun demikian, inti perilaku berakhlak sesungguhnya kembali kepada jiwa, budi pekerti, dan perangai manusia. Menjalankan kewajiban dalam Islam harus disertai dengan perilaku akhlak yang sesuai dengan syariat Islam. Secara praktis, perilaku akhlak itu mungkin saja bersumber dari tradisi yang ma‟ruf atau undang-undang negara, tetapi prinsip utamanya tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan ḥadīth. Oleh karena itulah meskipun prinsipprinsipnya amat ketat, operasionalisasi akhlak Islam menjadi sangat fleksibel.
Firman Allah SwT tentang Keutamaan Kualitas (Mutu): Berapa banyak kejadian kaum yang sedikit (karena berkualitas) dapat mengalahkan kaum yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orangorang yang sabar. (QS. al-Baqarah [2]: 249)
Tidak berguna bagimu jamā‟ah kamu sedikit juga, sekalipun banyak bilangannya. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang beriman. (QS. alAnfāl [8]: 19)
Engkau kira mereka itu berkumpul (bersatu) tetapi sebenarnya hati mereka berpecah-belah. Demikian itu, karena mereka kaum yang tiada mengerti. (QS. al-Ḥashr [59]: 14)
70
BAB VIII PEMBINAAN BUDI PEKERTI (AKHLAK)
Pembinaan akhlak dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, seperti: pembinaan disiplin, pemupukan ukhuwah Islamiyah, dan diberlakukannya berbagai sanksi bagi yang melanggarnya. Hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan umum (ma’rūf), yang merupakan hal yang layak dilakukan oleh orang yang berbudi pekerti luhur adalah dengan mengetahui dan mempraktikkan budi pekerti luhur dalam kehidupan sehari-hari, seperti senantiasa bertindak sopan dan bertingkah laku dengan akhlak yang mulia. Akhlak itu bersumber dari iman, kepercayaan yang mantap pada Tuhan, serta keyakinan dan kesungguhan untuk meniru perilaku Nabi Muhammad saw. Beliau diutus memang untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia. Keimanan berada dalam qalbu yang memercikkan perasaan halus, dan menumbuhkan dalam hati nurani niat ikhlas serta i'tikad yang tulus. Dari dasar yang dalam itu tampillah tindakan-tindakan terpuji (sopan santun), kesederhanaan, dan perilaku yang wajar lagi tidak dibuat-buat. Sopan santun identik dengan kata adab dalam bahasa Arab. Bahkan ada satu ungkapan (pepatah) Arab. Man laisa lahu adab fahuwa dzubab (Barangsiapa yang tidak punya sopan santun bagaikan lalat). Sedangkan perilaku adalah sama dengan akhlak. Kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, bisa juga dikatakan tingkah laku ditentukan oleh keseluruhan pengalaman yang disadari oleh pribadi, artinya bahwa apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu itu menentukan apa yang dikerjakannya. 1. Pembinaan Akhlak melalui Keteladanan Bila kata teladan berarti perbuatan, barang, dan sebagainya yang patut ditiru/dicontoh. Maka keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau di contoh.33 33
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), cet. IX, 1025.
71
72 Dalam pandangan Charles Schaefer mengemukakan bahwa teladan atau modeling adalah berhubungan dengan contoh teladan dari orangtua untuk anak-anak, dengan perbuatan atau tindakan sehari-hari.34 Dalam bahasa Albert Bandura dan Skinner, teladan adalah proses imitasi (peniruan) kehidupan nyata untuk terbinanya moral seseorang.35 Rasulullah saw adalah sebaik-baik contoh teladan, dan beliau saw adalah contoh tercantik yang sepatutnya ditiru dan diikuti. Hal ini sebagaimana telah dinyatakan dalam al-Qur’an Surat al-Aḥzāb [33]: 21,
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan (contoh) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. al-Aḥzāb [33]: 21)
Pembinaan akhlak melalui keteladanan memang cukup representatif untuk diterapkan dalam pembinaan akhlak umat. Sehingga jika dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat simbol verbal, maka teladan ini jauh lebih efektif (faṣih). Nurcholis Madjid mengungkapkan: Lisān -ul-hāl-i afṣah-u min lisān-i maqāl-i (Bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan).36 Pestalozzi menyatakan: There is no impression without expression (Tidak ada kesan tanpa perbuatan). Artinya, perkataan tidak akan bermakna tanpa diikuti dengan perbuatan (praktik). 34
Charles Schaefer, How to Influence Children (Bagaimana Membimbing, Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif) Alih Bahasa: Turman Sirait (Jakarta: Restu Agung, 1997), 13. 35 A. Kosasih Djahiri, Menelusuri Dunia Afektif (Pendidikan Nilai dan Moral) (Bandung: Laboratorium IKIP, 1996), 50. 36 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997), 91.
73
2. Sifat-sifat yang Harus Dibina pada Diri Muslim untuk Kesempurnaan Akhlaknya 1. Bersikap wara’, yaitu lebih hati-hati, menjauhkan diri dari perkaraperkara yang haram dan yang subhat. Praktik wara’ dalam kehidupan jelas tidak mudah, misalnya dikatakan dalam sebuah Kitab Kuning bahwa orang yang „ālim (ulama atau kiai, dosen atau guru, santri…dst) sebaiknya tidak jajan sembarangan (makan) di kantin, mengapa? Karena, sangat dimungkinkan orang lain yang melihatnya dan kebetulan mereka sedang kesusahan dalam hal ekonomi (financial) menjadi terganggu.37 Hal lainnya adalah bahwa jajanan yang ada di kantin tidak terjamin status hukumnya (halal, haram, atau subhat). Disebutkan dalam sebuah Ḥadīth, bahwa hanya ada dua bangkai hewan yang boleh dikonsumsi yaitu belalang dan ikan. Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ ان فَا ْْلوت و ا ْْلراد و أ ََّما الدَّم ِ َان فَأ ََّما الْميػتَػت ِ ان و دم ِ ان فَالْ َكبِ ُد َو ْ َّأُحل َْ َ َ َ َ َت لَ ُك ْم َمْيػتَػت َ ُ ََ َ ُ ُْ ال ُ الطّ َح Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai yaitu belalang dan ikan. Adapun dua darah yaitu hati (lever) dan limpa (HR. Ibn Mājah no. 3314 disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah al-Ahadith al-Ṣaḥīḥah no. 1118)
Selain dua hewan tersebut, misalnya daging (sapi, kambing, atau ayam) sebelum dikonsumsi harus jelas terlebih dahulu, siapa yang memotongnya (muslim atau bukan), ketika memotong hewannya baca Bismillah atau tidak, …dst. Islam mengajarkan bahwa jenis makanan yang baik adalah 37
1978), 74.
Syekh Az-Zarnujiy, Ta’līm-u al-Muta’allim, terj. Aliy As’ad (Kudus: Menara Kudus,
74 makanan yang halālan ṭayyiban. Pada umumnya para ulama mengartikan ḥalāl itu adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at. Sedangkan dalam mengartikan kata baik (ṭayyib) mereka berbeda pendapat. Wahbah Zuhaili mengartikan bahwa yang dinamakan baik itu adalah tidak terdapat barang yang haram di dalamnya dan juga yang berbentuk dosa dan tidak ada di dalamnya hak-hak orang lain.38 Firman Allah SwT: Wahai sekalian manusia, makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. al-Baqarah [2]: 168)
Dalam Islam, makanan tidak cukup sekedar baik saja, tetapi juga harus ḥalāl. Sebab itu, bila ukuran makanan yang baik dalam konteks Indonesia itu adalah 4 Sehat [makanan pokok, ikan-ikanan, sayur-sayuran, buah-buahan], 5 Sempurna [susu], maka dalam Islam mesti dilengkapi dengan halal, dengan kata lain 4 Sehat 5 Sempurna plus Ḥalāl. 2. Menundukkan pandangan (QS. an-Nūr [24]: 30-31) Firman Allah SwT:
38
Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr: Fī al-Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Minhaj (Beirut: Dār al-Fikr, 1991), Jilid I, 73.
75 Katakanlah kepada orang-orang yang beriman laki-laki, supaya mereka merendahkan pemandangannya (melihat yang terlarang) dan menjaga kehormatannya (jangan berzina). Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang mereka usahakan (30). Katakanlah kepada orang-orang beriman perempuan, supaya mereka merendahkan pemandangannya dan menjaga kehormatannya, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali apa yang biasa lahir daripadanya, dan hendaklah mereka tutupkan kudungnya ke dadanya. Jangan mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali kepada suaminya, bapaknya, bapak suaminya (mertua), anaknya, anak suaminya (anak tiri), saudaranya, anak saudaranya yang laki-laki, anak saudaranya yang perempuan, perempuan muslimah, hamba sahayanya, orang-orang yang mengikutinya di antara laki-laki, yang tiada berhajat (syahwat) kepada perempuan atau kanakkanak yang belum (ingin) melihat ‘aurat perempuan. Janganlah mereka berjalan sambil menggoyangkan kakinya, supaya diketahui orang perhiasannya yang tersembunyi (gelang kaki). Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kamu mendapat kemenangan. (QS. an-Nūr [24]: 30-31)
Dalam kosakata verbal masyarakat umum, yang sering disebut mata keranjang adalah laki-laki. Sedangkan perempuan sering disebut mata duitan. Mengapa demikian? Untuk lebih mensyukuri nikmat mata yang telah Allah anugerahkan kepada kita, lihat dan belajarlah dari orang-orang yang tunanetra.
76 Mengapa mereka menjadi buta? Bagaimana kalau kita yang menjadi buta? Mungkin mereka yang buta ingin seperti kita yang bisa melihat yang baik-baik, bisa tadabbur alam, …, dsb.
3. Menjaga lisan (lidah) Seorang muslim hendaknya menjaga lidahnya dari pembicaraan tak berguna, obrolan-obrolan kotor, kata-kata dan ungkapan yang buruk, serta dari perkataan sia-sia, ghibah, dan fitnah. Praktik menjaga lisan dalam kehidupan tentu tidak mudah, karena dikatakan: Lidah itu tak bertulang. Dikatakan juga: Jaga mulutmu atau rontok gigimu. Tidak baik bicara yang tidak berguna (seperti: rumpi), bicara kotor dan ungkapan buruk ( seperti: hai kamu nama-nama yang ada di kebun binatang *kucing, tikus, … dst+, hai kamu nama buah-buahan [cabe-cabean, terong-terongan, …dst+ ). Meskipun memang ada juga perempuan yang ketika disebut cabecabean, tapi jawabannya: Tidak, saya bukan cabe-cabean lagi tapi sudah jadi sambel. Jika ada yang mengatakan hal tersebut kepada anda, maka jawablah: Tidak/Bukan. Saya tidak termasuk nama-nama seperti yang anda maksud. Itulah jawaban yang baik. Terkait dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda:
ِ َخ ِر فَػ ْليػ ُقل خيػرا اَو لِيصم ِ من َكا َن يػ ْؤِمن َِبللِ والْيػوِم اْأل َوَم ْن،ت ْ ليَ ْس ُك/ت ْ ُ ْ َ ْ ًَْ ْ َ َْ َْ َ ُ ُ ِ َكا َن يػ ْؤِمن َِبللِ والْيػوِم اْأل َوَم ْن َكا َن يػُ ْؤِم ُن َِبللِ َوالْيَػ ْوِم،َُخ ِر فَػلْيُ ْك ِرْم َج َاره َْ َ ُ ُ ِ )]47 :] ومسلم [رقم6018 :ض ْيػ َفوُ (رواه البخاري [رقم َ ْاألَخ ِر فَػلْيُ ْك ِرْم Barangsiapa mengaku beriman kepada Allah dan hari kemudian hendaklah ia berkata yang baik atau diam, memuliakan tetangganya, dan memuliakan tamunya (HR. Bukhari [No. 6018] dan Muslim [No. 47])
Untuk lebih mensyukuri nikmat lidah yang telah Allah
77 anugerahkan kepada kita, lihat dan belajarlah dari orang-orang yang tunawicara. Mengapa mereka tidak bisa bicara? Bagaimana kalau kita yang tunawicara? Mungkin mereka yang tidak bisa bicara ingin seperti kita yang bisa bicara yang baik, bisa mengaji al-Qur’an, …, dsb. 4. Malu (Iffah) Seorang muslim harus memiliki sifat malu, tanpa kehilangan keberanian dan kebenaran. Di antara bentuk sifat malu itu adalah tidak mencampuri urusan orang lain, menundukkan pandangan, rendah hati, tidak meninggikan suara, qana’ah (merasa cukup dengan yang ada), dsb. Rasulullah saw bersabda:
ِ َاَ ْْلياء ِمن اِْالُْي ان َ ُ ََ Malu itu sebagian dari Iman. (al-Ḥadīth)
5. Lemah lembut dan sabar Sikap ini dapat menimbulkan rasa cinta dan kebenaran, serta menghilangkan pertikaian dan perpecahan (QS. ash-Shūra [42]: 43, QS. al-Ḥijr [15]: 85, QS. al-Furqān [25]: 63). Firman Allah SwT: Barangsiapa yang sabar (atas kesakitan dari seseorang kepadanya) dan suka memaafkan, sungguh demikian itu masuk perbuatan yang dituntut (Agama).(QS. ash-Shūra [42]: 43)
78 Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan kebenaran. Sesungguhnya hari kiamat akan datang, sebab itu maafkanlah (mereka itu) dengan maafan yang baik. (QS. al-Ḥijr [15]: 85) Hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih, ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan tenang (tidak sombong), jika mereka dicela oleh orang-orang jahil (jahat), mereka berkata: Selamat! (QS. al-Furqān [25]: 63)
6. Jujur (berkata benar) Seorang muslim harus jujur, tidak suka berdusta. Berani mengatakan yang benar, meskipun mengandung resiko bagi dirinya, tanpa takut celaan orang. Dusta merupakan salah satu sifat buruk dan tercela merupakan pintu gerbang menuju godaan-godaan setan. Menjaga diri dari dusta, akan menciptakan imunitas (ketahanan) dalam jiwa yang melindungi dari bisikan dan godaan setan, sehingga ia tetap dalam kebersihan, kesucian, dan ketinggiannya. Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ ب ِريْػبَةٌ (رواه َ ُك إَِّال َما َال يُِريْػب َ َُد ْع َما يُِريْػب ّ فَِإ َّن،ك َ َوالْ َكذ،ٌالص ْد َق طُ َمأْنْيػنَة )الرتمذى
Hendaklah kamu tinggalkan hal-hal yang meragukan, dan lakukanlah yang tidak meragukan bagimu, sungguh berlaku benar/jujur itu dapat menciptakan jiwa tenteram, sedangkan dusta/bohong itu mengakibatkan jiwa gelisah/ragu. (HR. Tirmidhi)
7. Tawaḍu’ (rendah hati) Seorang muslim harus bersikap rendah hati (tawadhu’), terutama di kalangan saudara-saudaranya sesama muslim, jangan
79 membeda-bedakan antara yang kaya dengan yang miskin. Rasulullah saw bersabda:
ِ إِ َّن للا الَ يػْنظُر اِ َل صوِرُكم وأَموالِ ُكم و ك ْم (رواه مسلم ُ ِلك ْن يَػْنظُُر اِ َل قُػلُ ْوبِ ُك ْم َواَ ْع َمال َ ْ َ ْ َ ْ َُ ُ َ َ )عن ايب ىريرة Sesungguhnya Allah tidak melihat (memandang) kepada bentuk rupa (shuwar) mu dan harta kekayaan mu, tetapi Dia melihat kepada (niat dan keikhlasan dalam) hati dan perbuatanmu. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
8. Menjauhi prasangka, ghibah (menggunjing orang lain), dan mencari aib orang lain (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12, QS. al-Aḥzāb [33]: 58). Firman Allah SwT: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (dugaan terhadap sesama Muslim), karena sebagian prasangka itu ialah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari ‘aib orang dan jangan pula setengah kamu mengumpat yang lain. Sukakah salah seorang kamu bahwa ia memakan daging saudaranya yang telah mati (bangkainya)? Maka tentu kamu benci memakannya. Takutlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi Penyayang. (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12)
Orang yang menyakiti mu’min laki-laki dan mu’min perempuan
80 dengan sesuatu yang tidak diperbuatnya, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. alAḥzāb [33]: 58)
9. Murah hati dan dermawan Seorang muslim harus murah hati dan dermawan, dengan menyerahkan jiwa dan hartanya di jalan Allah. Satu hal yang paling mudah untuk mengetahui kekikiran jiwa adalah apabila jiwa itu telah bergaul dengan dinar dan dirham. Berapa banyak orang yang bertekuk lutut ketika berhadapan dengan harta. Di dalam al-Qur’an terdapat berpuluh-puluh ayat yang menggandengkan keimanan dengan masalah infaq, di antaranya; QS. al-Baqarah [2]: 3 & 272. Firman Allah SwT: (Yaitu) orang-orang yang beriman (percaya) kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. al-Baqarah [2]: 3)
Bukanlah kewajiban engkau menunjuki (memberi hidayah kepada) mereka, tetapi Allah lah yang menunjuki orang yang dikehendakiNya. Apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta, maka untuk dirimulah (faidahnya), dan tiadalah kamu menafkahkan sesuatu, melainkan karena menghendaki keridhaan Allah. Apa-apa yang kamu nafkahkan dari harta, disempurnakan Allah (balasannya) kepadamu dan kamu tidak teraniaya. (QS. al-Baqarah [2]: 272)
81 10. Qudwah ḥasanah Seorang muslim harus menjadi qudwah hasanah (teladan yang baik) di kalangan manusia dan menterjemahkan prinsip-prinsip serta aturan-aturan Islam dengan amal nyata ketika makan, minum, berpakaian, berbicara, bepergian, berada di rumah, dan dalam segala gerak dan diamnya.
3. Contoh-contoh Budi Pekerti (Akhlak) Berikuti ini adalah beberapa contoh akhlak Islam yang baik, seperti: a. Berpakaian rapi, b. Menghargai hasil kerja yang baik, c. Datang tepat waktu, d. Hidup sederhana, e. Tata krama/santun berbicara, f. Makan/minum dengan tangan kanan, g. Membaca basmallah dan hamdalah, h. Mengucapkan salam, i. Mendoakan orang yang bersin, j. Masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri dan ke luar dengan kaki kanan, k. Masuk ke masjid dengan kaki kanan dan ke luar dengan kaki kiri, l. Berdoa ketika ke luar rumah dan sebagainya. Secara lebih rinci K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi memberikan beberapa contoh akhlak Islam/ kesopanan (uswah yang layak untuk diteladani) mulai dari cara berpakaian, berkendaraan, bertamu, menerima tamu, meminjam barang, dan sebagainya.39
39
Contoh-contoh akhlak Islam/ sopan santun tersebut merupakan nasihat/ wejangan dari K.H. Ahmad Sahal dan K.H. Imam Zarkasyi di Pondok Modern Gontor. Lihat
82
☺1. Sopan santun berpakaian Pakaian yang sopan tidak mesti mewah, cukup yang sederhana, meski bukan berarti tidak boleh berpakaian yang bagus. Dalam berpakaian, yang penting adalah rapih dan bersih sesuai dengan situasi dan kondisinya. Jangan berpakaian asal tidak najis, sehingga tidak memperhatikan kerapihan. Dalam berpakaian, perlu diperhatikan kombinasi-nya, letaknya, tempatnya, dan kebersihannya, sebagai contoh saja, baju kaos dan celana pendek, kapan pantas dipakai? Pakaian tersebut hanya untuk pakaian dalam, dan di dalam kamar. Kain sarung, pantolan, jas dan kopiah, bagaimana cara memakainya? Intinya harus disesuaikan dengan keadaan. Umpamanya janganlah memakai sarung dan piama tatkala ke kantor, atau pakai bakiak ke super market, jangan pula memakai dasi sedang baju dikeluarkan.
☺2. Sopan santun bepergian/ berkendaraan Hal yang harus diingat ketika bepergian yaitu, berjalanlah yang lurus, tidak menengok kanan-kiri dengan pandangan liar. Di jalan besar, berjalanlah di sebelah kiri. Jangan menunjuk-nunjuk kepada sesuatu, cukup dengan isyarat. Karena kalau bertepatan mengenai orang yang tak suka ditunjuk dapat menjadi perkara. Di dalam kendaraan, duduk harus sopan, tanyakan terlebih dahulu kepada penumpang yang ada, apakah tempat duduk di sebelahnya masih kosong. Terhadap penumpang yang lebih tua atau wanita, tolong untuk mengangkatkan barang-barang sekiranya perlu, asal tidak ada udang di balik batu. Kalau terpaksa tertidur di dalam kendaraan, tutuplah muka dengan sapu tangan. Begitu pula ketika masuk hotel atau restoran, berlakulah secara sopan, jangan memerintah semau-maunya.
☺3. Sopan santun dalam majelis
Kaelany HD., Gontor dan Kemandirian (Pondok, Santri, dan Alumni) (Jakarta: PT. Bina Utama Publishing, 2002), cet. II, 38-42.
83 Dalam majelis ada juga tata kramanya. Duduklah secara sopan. Janganlah menggoyang-goyangkan kursi atau bersandar seenaknya. Jangan sekali-sekali meletakkan satu kaki di atas kaki yang lain, itu tidak sopan. Apalagi di hadapan orang yang lebih tua atau orang yang lebih tinggi kedudukannya. Tundukkan muka sedikit, pasang telinga ketika mendengarkan pembicaraan orang lain. Kalau memang tepat untuk menyambut, jangan memborong pembicaraan, jangan pula menonjol-nonjolkan pembicaraan ketika orang lain belum selesai bicara. Tapi kalau tidak mengerti, tidak tahu permasalahannya, lebih baik diam. Tidak sopan di dalam majelis melakukan hal-hal, seperti membersihkan kaki, telinga, mata, mengorek hidung, membuang ingus, meludah. Tidak sopan pula, menguap dengan mulut terbuka luas, bersendawa dengan dipaksa-paksa, menggeliat, menunjuknunjuk, dan yang lebih tidak sopan lagi adalah membuang angin (lebih-lebih bersuara). Di hadapan orang yang lebih tua sebaiknya tidak merokok. Kalau terpaksa merokok, buanglah abu rokok pada tempatnya, tidak sopan membuang sembarangan. Termasuk tercela menanyakan tingkat pangkat atau gaji seseorang atau menanyakan harga pakaian yang sedang dipakainya. Jika terpaksa memakai kata-kata asing harus tepat benar, baik ucapannya maupun pemakaiannya. Kalau tidak yakin, jangan pakai ucapan kata asing. Kesalahan menunjukkan kedangkalan pengetahuan. Dalam membantah atau tidak menyetujui pembicaraan orang lain, harus lebih hati-hati dan sopan, dan dengan kata-kata yang lebih halus, umpamanya: “Kalau tidak salah …”, “Menurut pendapat saya …”, dan sebagainya.
☺4. Sopan santun terhadap tamu Dalam menerima tamu harus dengan cara yang ramah, manis muka dan (kalau ada) berikan suguhan ala kadarnya. Di dalam percakapan baik kiranya untuk menanyakan atau memberitakan tentang kesehatan, kejadian-kejadian yang lalu, dan lain-lain. Tapi janganlah sekali-sekali menanyakan: “Di mana saudara nanti
84 bermalam…?”, “Akan ke mana sesudah di sini…?” atau “Apa maksud saudara datang ini …?” Bila tamu minta izin untuk pulang, perlu dinyatakan perasaan sayang dan menyesal atas pertemuan yang begitu singkat. Antarkan tamu ke muka pintu dan kemukakan pengharapan atas kedatangannya di hari-hari yang akan datang. Tatkala menjadi tamu, kalau tidak diterima atau sepertinya terasa tidak diterima dengan baik, tinggalkanlah rumah itu cepat-cepat dengan tanpa menunjukkan kekecewaan. Sebaliknya kalau sudah diterima dengan baik, janganlah berbuat di rumah itu dengan seenaknya, sekalipun sudah dikatakan oleh tuan rumah, anggaplah rumah ini sebagai rumah sendiri. Di rumah orang jangan pula berbuat sembarangan dan ingin tahu segalanya. Itu tidak baik.
☺5. Sopan santun bertamu Bagaimana sopan santun berkunjung? Tatkala memperkenalkan diri umpamanya, berjabatan tanganlah sekadarnya. Kepada orang yang lebih tua, tundukkan badan. Untuk memberikan selamat, tunjukkan bahwa kita pun turut bergembira, dan nyatakan ucapan selamat atas nikmat yang diperolehnya. Sebaliknya dalam menjenguk orang sakit, hiburlah dan berilah pengharapan serta semoga lekas sembuh. Ketika (ta’ziyah) kematian, nyatakan ikut bersedih atas musibah itu, tenangkan dan sabarkanlah keluarga yang ditinggalkan. Larangan bertamu: Dalam QS. an-Nūr [24] ayat 58-59 disebutkan tentang larangan (aurat) bertamu di tiga waktu, yaitu: 1). Sebelum ṣalat Ṣubuh, 2). Menjelang Zuhur, dan 3). Setelah ṣalat Isha. Firman Allah SwT:
85
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah minta izin (untuk masuk kepadamu) hamba sahayamu dan anak-anak yang belum sampai umur, dalam tiga waktu, yaitu sebelum shalat Shubuh, ketika kamu membuka pakaian mu di tengah hari, dan sesudah shalat Isya (malam hari). Inilah tiga ‘aurat untukmu. Kamu tiada berdosa dan tiada pula mereka, selain dari waktu yang tiga itu. Mereka bergaul dengan kamu, setengah kamu bergaul dengan yang lain. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu beberapa keterangan. Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana (58). Apabila anak-anakmu telah sampai umur (balig), hendaklah mereka minta izin (untuk masuk ke dalam kamarmu), sebagaimana orang-orang lain minta izin. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu. Allah Mahamengetahui, Mahabijaksana (59). (QS. an-Nūr [24]: 58-59)
☺6. Sopan santun meminjam barang Kalau meminjam sesuatu, janganlah dipinjamkan lagi kepada orang lain. Pinjaman harus dikembalikan dalam keadaan baik, bila rusak atau hilang, harus diganti dan juga minta maaf. Jangan lupa ucapan terima kasih atas pertolongan yang telah diberikannya. Jangan sekali-sekali mencari-cari rahasia orang lain. Termasuk dalam hal ini, mengambil sesuatu tanpa sepengetahuan si empunya, membaca-baca bukunya, melihat-lihat isi sakunya.
86 Demikian beberapa contoh akhlak Islam/sopan santun yang selayaknya diketahui dan dipraktekkan, masih banyak sebenarnya masalah kesopansantunan, termasuk dalam hal-hal yang tampak sederhana dalam pergaulan, umpamanya bagaimana cara berkirim surat, menulis surat atau menulis short message service (SMS),40 tata krama meletakkan prangko, membalas surat dan lain sebagainya.
Jadikanlah Hidupmu Berguna bagi Semua Orang dan Janganlah Kamu Menjadi Duri di antara Orang. Capailah Cita-cita dan Cintamu dengan Berdo’a dan Berusaha.
40
Walaupun arti dari SMS adalah pesan layanan singkat, dalam menulis Assalāmu „Alaikum WrWb sebaiknya tidak disingkat menjadi Ass… karena Ass… itu artinya 1. Keledai, 2. Orang bodoh. Lihat, John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2000), cet. XXIV, 41.
87
Your Future is Created By What You Do Today Not Tomorrow Your Dream Will Always Defeat Reality If You Give It A Chance Impian memang tidak menjamin Kesuksesan. Tapi, tanpa Impian jangan pernah Mimpi bisa Sukses Seseorang takkan pernah memahami arti keberhasilan yang sempurna, tanpa mengalami kegagalan sebelumnya Kegagalan yang nyata dalam hidup, hanyalah orang yang tidak belajar darinya Orang yang mempunyai tantangan adalah orang yang memberi ruang pada impian untuk menjadi kenyataan.
BAB IX IKHLĀṢ BERAMAL
Di dalam hidup, manusia di tuntut untuk beramal dan bersikap baik kepada sesama manusia khususnya terhadap orang yang beriman, karena itu merupakan perintah Allah SwT. Maka sikap dan kebiasaan beramal baik idealnya sudah dimulai sejak dini. Dalam hal bersikap dan beramal mempunyai kaitannya dengan hati, yaitu fenomena ikhlas dan tidak (ikhlas) nya dalam beramal. Selanjutnya yang jadi pertanyaan adalah apakah yang dimaksud Ikhlāṣ Beramal itu? Inilah yang menjadi fokus bahasan dalam bab ini. 1. Definisi Ikhlāṣ Kata “ikhlāṣ” seperti yang dikutip oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Madārijus-Sālikīn, antara lain berarti “membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk”. Artinya, apa saja yang dilakukan karena disandarkan kepada pencarian pahala dari Allah SwT, bukan karena ingin keuntungan yang berasal dari makhluk sesama manusia. Sementara itu, menurut M. Quraish Shihab, mufassir Indonesia, kata “ikhlas” berasal dari kata khāliṣ, yang berarti suci atau murni setelah sebelumnya terdapat kekeruhan.41 Dengan demikian, kata “ikhlāṣ” dapat diartikan memurnikan hati untuk semata-mata berkhidmat kehadirat Allah SwT dalam keseluruhan hidup di alam dunia fana ini. Meskipun dalam al-Qur’an istilah yang berkaitan dengan pengertian “ikhlāṣ” ini tidak banyak, kurang lebih hanya dalam 30 sebutan saja, namun konteks pembicaraan kata “ikhlāṣ” senantiasa dikaitkan dengan masalah doa, ibadah, agama, akhirat, kenabian, dan hamba yang luhur, maka dapat ditegaskan bahwa masalah “ikhlāṣ” merupakan hal yang sangat esensial dalam agama Islam. Mengapa dianggap esensial?
41
Damami, Ikhlas dan Sikap AntiKorupsi dalam Musa Asy’arie, dkk (ed.), Menuju Masyarakat Antikorupsi, 164.
88
89 Dalam pengalaman kehidupan, kita semua sering menemui apa yang disebut kebohongan. Kebohongan ini dapat diartikan ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan atau dinyatakan dengan kenyataan pelaksanaannya. Mengapa terjadi kebohongan? Kebohongan terjadi karena tidak kuatnya seseorang menjaga kemurnian hati. Kemurnian hati ini sering digadaikan dengan keuntungan duniawi yang bersifat temporal, misalnya saja nama baik (gengsi), harta, pangkat, pengaruh, pujian dan sebagainya. Karena itu, ikhlāṣ bertentangan langsung dengan kebohongan. Dalam ikhlāṣ ada unsur yang melekat dan tak terpisahkan, yaitu “kejujuran” (shidq). Karena itu, ikhlas sering juga diartikan sebagai kesamaan atau ketetapan antara amalan lahir dengan isi batin seseorang. Orang yang ikhlāṣ (mukhliṣ) terjauhkan dari dirinya rasa cemas atau takut misalnya takut jatuh gengsinya, status sosialnya, kehormatannya, takut jatuh miskin, melarat dan semacamnya, takut dianggap salah, keliru dan sejenisnya, takut dimusuhi, diancam dan sebagainya. Orang yang ikhlāṣ tidak pernah dikejar-kejar atau didera oleh rasa bersalah. Ada satu pituah yang menyatakan, bahwa amalan tanpa keikhlasan tidak akan mendapatkan nilai apa-apa, sedangkan amalan tanpa ilmu akan keliru. Hal tersebut menunjukkan bahwa suatu amalan baru akan bernilai bila diiringi dengan keikhlasan dan bukan terletak pada banyak atau sedikitnya amalan yang kita perbuat, dengan kata lain walaupun banyak amalan yang kita lakukan namun bila kita tidak ikhlāṣ dalam menjalankannya maka sia-sia saja. Demikian pula, amalan tanpa ilmu jelas akan keliru, karena hanya dengan ilmu saja kita dapat membedakan antara yang benar dan yang keliru (salah). Keadaan hati dan niat tidak dapat diketahui dengan jelas karena hanya si pelaku dan Tuhan saja yang mengetahui. Dalam suatu sikap seorang muslim mempunyai suatu indikasi di dalamnya yaitu fenomena ikhlāṣ dan tidak ikhlāṣ (riya).
90
2. Definisi Niat/Motivasi Beramal Bila motif dipahami sebagai suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu. Motivasi adalah “pendorongan”, suatu usaha yang disadari untuk memengaruhi tingkah laku seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.42 Motivasi merupakan pendorong bagi perbuatan seseorang. Ia menyangkut soal mengapa seseorang berbuat demikian dan apa tujuannya sehingga ia berbuat demikian. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, mungkin kita harus mencari pada faktor apa yang mendorongnya dari dalam (respons) dan atau pada faktor perangsang dari luar (stimulus) yang menariknya untuk melakukan perbuatan itu.43 Mungkin ia di dorong oleh nalurinya, atau oleh keinginannya memperoleh kepuasan, atau mungkin juga karena kebutuhan hidupnya yang sangat mendesak. Niat adalah asas segala perbuatan (amal). 44 Niat yang tulus dapat berpengaruh pada sesuatu yang netral (mubah) sehingga berubah menjadi amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhannya, mengingat bahwa berbagai cara atau sarana dapat memperoleh penilaian yang sama dengan tujuan.45 Contohnya, seseorang makan sesuatu sambil menyertakan niat “demi menguatkan tubuhnya untuk melaksanakan berbagai ketaatan kepada Allah”, atau pun mendatangi istrinya “guna mendapatkan seorang anak yang kelak beribadah kepada Allah”. Niat 42 43
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan (Bandung: Rosda, 2002), cet. XVII, 71. Aminuddin Rasyad, Teori Belajr dan Pembelajaran (Jakarta: Uhamka Press, 2003),
cet. IV, 14.
44
Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Risalah al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah wa al-Muwazarah li al-Raghibīn min al-Mu’minīn fī Suluk al-Ṭariq al-Akhirah (Ṭariqah Menuju Kebahagiaan), (terj). Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 2001), cet. XII, 85. 45 Allamah Sayyid Abdullah Haddad, Risalah al-Mu’awanah, 85.
91 seperti ini hanyalah dianggap tulus apabila benar-benar mengamalkannya. Sebagai contohnya: Seseorang menuntut ilmu seraya mengaku bahwa ia berniat “akan mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain”. Apabila ia tidak melaksanakan niatnya itu pada saat telah memiliki kemampuan untuk itu, maka niatnya yang dahulu tidaklah dapat disebut sebagai niat yang tulus. Demikian pula, seseorang mencari kekayaan duniawi seraya mendakwakan bahwa hal itu “semata-mata agar terlepas dari keharusan mengharapkan pemberian orang lain”, atau pun dengan itu ia “akan bersedekah kepada kaum fakir miskin serta sanak kerabat”. Jika kelak, setelah memiliki kemampuan, ia tidak melaksanakan niatnya di masa lalu, maka niatnya tidak berfaidah. Dalam mengabdikan diri kepada Allah SwT, disaat melaksanakan perintah-perintah-Nya, atau dikala meninggalkan larangan-larangan-Nya, hendaklah kita perlihatkan keikhlasan hati karena Allah semata dan menjauhkan hal-hal yang menyebabkan rusaknya amal-amal kita. Firman Allah SwT:
Padahal mereka tidak diperintah kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan diri kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan demikianlah agama yang lurus (QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Dari ayat di atas, kita lihat bahwa niat yang lurus adalah suatu sikap agama yang hanīf yaitu agama tauhid seperti agama nabi-nabi terdahulu. Untuk menjadi orang yang mukhliṣīn harus dihilangkan rasa pamrih yang ada, sebagaimana Allah SwT memerintahkan kita untuk mempunyai niat dalam segala apapun hanya karena-Nya. Rasulullah saw bersabda:
92
ِ َ َاب ق ِ َّاْلَط إََِّّنَا:ت َر ُس ْو َل للاِ صلى للا عليو وسلّم يَػ ُق ْو ُل ْ َع ْن ُع َم ِر بْ ِن ُ ََس ْع:ال ِ فَمن َكانَت ِىجرتُو إِ َل للاِ ورسولِو،ال َِبلنّػيَّ ِة وإََِّّنَا لِ ُكل ام ِر ٍئ ما نَػوى ُ اْأل َْع َم ُ َْ ْ َْ ْ ُ ََ َ َ َ ْ ّ ِ َ ومن َكان،فَ ِهجرتُو إِ َل للاِ ورسولِِو ِ الدنْػيا ي صْيػبُػ َها أَ ِو ْامَرأَةٍ يَػتَػَزَّو ُج َها ْ ُ َْ ُ َ ُّ ت ى ْجَرتُوُ إِ َل ْ َ َ ْ ُ ََ )اجَر إِلَْي ِو (رواه اْلماعة َ فَ ِه ْجَرتُوُ إِ َل َما َى Dari Umar bin Khaṭṭab, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya amal-amal itu harus dengan niat, dan sebenarnya bagi seseorang adalah menurut apa yang ia niatkan. Oleh karena itu, barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak ia peroleh atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hasil) hijrahnya itu adalah menurut apa yang ia hijrah kepadanya. (HR. Jama’ah)
Dari ḥadīth di atas, telah jelas dikatakan bahwa segala perbuatan manusia dilandasi oleh niat awal dari individu itu sendiri. Niat yang baik mempunyai posisi tertentu dalam Islam, tetapi niat saja belum cukup untuk membangun pahala, sebab ia akan dihitung setelah tercermin dalam bentuk perbuatan, begitu perbuatan muncul di sini peranan niat menentukan kwalitasnya, inilah makna ḥadīth: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya” perhatikan dalam hadis di atas, perbuatan digabung dengan niat, bukan niat saja. Segala amal perbuatan manusia selalu dipantau oleh Tuhan, maka faktor keikhlasan juga menjadi faktor penentu riḍa Tuhan menuju takwa. Dalam al-Qur’an terdapat lebih dari 50 ayat yang mengaitkan takwa dengan pekerjaan yang baik. Niat, kejujuran dan kesungguhan adalah kebajikan yang terbaik dari kehidupan moral. Ketiga-tiganya mewarnai hukum yang diwahyukan dari Islam. Pertanggungjawaban seorang mu’min untuk menjauhi yang dilarang dan melakukan yang wajib, berdasarkan konsep keagamaan. Dengan kepercayaan nya dan
93 pikirannya, manusia harus menggambarkan dirinya sebagai hidupnya di bawah pengawasan Tuhan.46
3. Menjauhi Perbuatan Riya Bila Ikhlāṣ yaitu beramal semata-mata karena Allah, tanpa riya dan tidak untuk mencari nama.47 Riya adalah penyakit hati yang harus dijauhi oleh seorang muslim yang sejati. Riya biasanya ada pada hati sebagian orang, yang akan melahirkan rasa ujub dan takabur. Untuk menjadikan hati yang mukhliṣīn diperlukan sikap zuhud sebagai anti tesis dari riya di hati. Apabila rasa riya telah sirna dalam hati seorang muslim, maka setiap tindak-tanduk seorang muslim akan selalu tertuju kepada Allah SwT. Keikhlasan dalam beragama menjadi faktor penting karena memengaruhi pahala atau ganjaran dari ibadah itu sendiri. Karena kita tahu bahwa amalan yang tidak diniatkan kepada Allah tentu tertolak oleh-Nya. Dalam ḥadīth Qudsi Allah SwT berfirman:
ٍف ُمُْتَمة ِ اْل ِدي ٍ ث الْ ُق ْد ِسى يػ ْؤتى يػوم اْ ِلقيام ِة بِصح َ َجاءَ َع ِن للاِ تَػبَ َارَك َوتَػ َع ْ َْ ال ِف ُ ُ َ َ َ َْ ُ َ ِِ ك َما َ ي يَ َد ِي للاِ تػَ َع َ ِال فَػيَػ ُق ْو ُل للاُ اَلْ ُقو ىذه! فَػيَػ ُق ْو ُل الْ َمالَئِ َكةُ َو َع َّن ن َ ْ ب بَػ َ ْفَػتُػن ُص ِ فَػيػ ُقو ُل للا اِ َّن ى َذا َكا َن لِغَ ِي وج ِهى واِن الَ اَقْػبل اِالَّ ما ابػتَػغَى بِو.رأَيػنَا اِالّ خيػرا ّ َ َْ ْ ْ َ َُ َْ ُ ْ َ ًَْ )َو ْج ِهى (رواه البزار والطربان Allah SwT berfirman dalam ḥadīth Qudsi: Nanti pada hari kiamat dihadirkan kitab amal yang tertutup maka ia meletakkannya di hadapan Allah, Allah berfirman: Lemparkanlah ini, malaikat menjawab: Demi kemuliaan Engkau, tidak kami lihat kecuali kebaikan, Allah berfirman: Ini 46
69.
47
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. I,
Muhammad Ibn Jamil Zainu, Khudh ‘Aqīdataka min al-Qur’an was-Sunnah aṣṢaḥīḥah (Jadikanlah Aqidah Anda Bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah), terj. Muhammad Yusuf Harun, (Jakarta: 1987), 39.
94 dilakukan semua karena yang lain dari wajah-Ku dan Aku sekali-kali tidak akan menerima amal kecuali apa yang dilakukan karena mengharap wajah-Ku belaka. (HR. Bazar dan Thabrani)48
Dari ḥadīth di atas kita lihat bahwa amal yang berdasarkan pamrih tidak akan diterima oleh Allah SwT. Karena Allah hanya menerima amalamal seseorang apabila segala amalnya jauh dari pamrih. Dalam ḥadīth lain dikatakan bahwa amal yang paling utama (afḍol) adalah amal yang “sembunyi-sembunyi” dengan artian bahwa tidak ada orang yang tahu dan karena takut terjebak dalam perspektif riya tentunya. Sesuai sabda Rasul saw berikut:
(رواه
ِ ْاَف ِِ َ َض ُل ل َم ْن اََر َاد اْإلقْت َداء
ُض ُل ِم ْن َع َم ِل اْ َلعالَنِيَ ِة َواْ َلعالَنِيَة َ ْالسّر اَف ّ َع َم ُل )البيهقى
Amal yang dilakukan dengan diam-diam lebih baik dari yang dilakukan dengan terang-terangan, dan amal yang dilakukan dengan terangterangan lebih baik supaya diikuti (ditiru orang lain). (HR. Baihaqi)49
Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ ْ ع ِن الزََي ِد َع ِن اْأل َْعَرِج َع ْن اَِِب ُىَريْػَرَة َ ّ ب َح َّدثػَنَا اَبُو ُ اْلَاكم بْن ََنفع اَ ْخبَػَرََن ُس َعْي ال للاُ تَػبَ َارَك َوتَػ َعال اَ ََن اَ ْغنِِِن الشَُّرَك ِاء َ َال َر ُس ْو ُل للاِ َصلَّى للاُ َعلَْي ِو َو َسلّ َم ق َ ََر ِض َى للاُ َعْنوُ ق )الش ْرِك َم ْن َع ِم َل َع َمالً اَ ْشَرَك فِْي ِو َمعِي َغ ِْيى تَػَرْكتُوُ َو ِش ْرَكوُ (رواه مسلم ّ َع ِن َ Dari Ḥākim bin Nāfi’ mengabarkan Su’aib berkata Abu Ziyad dari A’roj dari Abu Hurairah ra ia berkata bersabda Rasulullah saw bahwasanya
48 49
Firdaus AN, Jalan Ke Surga (Jakarta: Ilmu Jaya, 1990), 46. Kahar Mansur, Membina Moral dan Akhlak (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 39.
95 Allah SwT berfirman: Aku tidak butuh sekutu dalam segala-galanya, karena itu siapa yang mengamalkan suatu amalan itu dengan selainku, maka Aku tinggalkan amalan itu padanya dan pada sekutunya. (HR. Muslim)50
Dari ḥadīth tersebut dikatakan bahwa riya adalah manifestasi dari kemusyrikan kepada Allah, karena riya meng-ilah-kan sesuatu selain Allah bahkan Nurcholis Majid dalam bukunya Pintu-pintu Menuju Tuhan mengatakan bahwa riya adalah kemunafikan. Jika pamrih itu ialah untuk “di lihat” dalam istilah agama adalah riya, dan jika untuk “di dengar” orang misalnya nama menjadi terkenal, maka istilahnya itu sum’ah. Kedua-duanya itu adalah sejenis kemunafikan, karena mengandung semangat bahwa kita berbuat tidak untuk tujuan sesungguhnya seperti kita katakan atau kesankan pada orang lain, yang kita sembunyikan yang nilai tujuan itu, tidaklah terlalu mulia jadi tidak tulus dalam amal perbuatan kita.51 Ancaman terhadap riya terdapat pada al-Qur’an yaitu neraka yang pedih. Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang bersuka-ria atas perbuatannya dan suka dipuji orang dengan sesuatu yang bukan mereka perbuat, janganlah kamu kira bahwa mereka itu akan lepas dari siksaan, dan untuk mereka itu siksa yang pedih. (QS. Ali ‘Imrān[3]: 188)
Berdasarkan ayat di atas, riya itu terlarang dan Allah melarang keras dengan ancaman neraka.
50 51
Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 11-12 bab akhlaq. Nurcholis Majid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), 172.
96 4. Ikhlāṣ Beramal Setiap perbuatan harus senantiasa serasi antara niat dan tingkah laku. Hilangnya keserasian ini akan melahirkan ketimpangan, kalau tidak dikatakan sia-sia sama sekali. Dengan demikian, nampak bahwa setiap perbuatan terdiri dari dua unsur: 1. niat yang mengantarkan, dan 2. perbuatan yang diragakan.52 Niat saja tidak cukup melainkan harus tercermin dalam perbuatan. Perbuatan pun harus sesuai dengan petunjuk-Nya bukan karangan akalnya sendiri. Perbuatan apapun yang tidak sesuai dengan petunjuk-Nya (baca: kemaksiatan) sekalipun dihantarkan dengan niat ikhlāṣ juga tidak akan diterima disisi-Nya. Sebaliknya perbuatan yang benar secara syari’ah, tapi niat yang menghantarkannya tidak ikhlāṣ juga akan menggiring pada kecelakaan. Dalam sebuah ḥadīth Rasulullah saw pernah menyebutkan tiga orang yang sama-sama melakukan perbuatan baik secara ẓahir, tapi karena niatnya salah akhirnya ketiganya sama-sama masuk neraka: pertama, seorang yang berperang di jalan Allah dengan niat supaya disebut pemberani, kedua, seorang yang mengajarkan al-Qur’an supaya disebut ‘alim, dan ketiga, seorang dermawan.53
yang
menginfaqkan
hartanya
supaya
disebut
Keikhlasan (siḥḥatun niyah) dan benarnya perbuatan (siḥḥatul amal) adalah inti utama yang sangat menentukan. Keduanya ibarat dua sayap bagi seekor burung, ikhlāṣ dan kebenaran amal akan mengantarkan pelakunya kepada tujuan yang didambakan. Sudah barang tentu seekor burung tidak akan bisa terbang hanya dengan satu sayap. Perhatikan bagaimana Allah mengancam orang yang ṣalat, padahal ṣalat adalah 52 53
Amir Faishol Fath, “Keharusan Beramal”, Tatsqif, Edisi 8, Th I, (Agustus 2005), 42. Lihat, Ṣaḥīḥ Muslim, no. 1514.
97 ibadah yang sangat mulia dan utama dalam Islam hanya karena niatnya salah, Allah berfirman: Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang ṣalat (4). (yaitu) Orangorang yang lalai dari ṣalatnya (5). Orang-orang yang berbuat riya (6). dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna (7). (QS. al-Mā‟ūn [107]: 4 – 7)
Beramal (ṣalih) merupakan bukti keimanan seseorang. Beramal dan bergerak juga merupakan indikator kebaikan hidupnya. Ada sebuah ungkapan dan jawaban seorang Imam Ahmad yang perlu kita renungkan kembali, yaitu tatkala beliau ditanya oleh muridnya; Kapan seseorang itu akan menikmati rehat? Beliau menjawab: “Tatkala dia telah yakin meletakkan kakinya di surga”.54 Ikhlāṣ adalah suatu sikap jiwa menuju kezuhudan, sedangkan riya merupakan kemunafikan dan manifestasi dari kemusyrikan yang tidak akan diterima oleh Allah SwT serta mendapat ganjaran di neraka. Ikhlāṣ beramal (ṣalih) adalah inti utama yang sangat menentukan. Keduanya ibarat dua sayap bagi seekor burung, ikhlāṣ dan kebenaran amal akan mengantarkan pelakunya kepada tujuan yang didambakan. Sudah barang tentu seekor burung tidak akan bisa terbang hanya dengan satu sayap. Demikianlah tulisan tentang Ikhlāṣ Beramal dapat penulis sajikan dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat.
54
2005), 26.
Tholha Nuhim, Empat Kontribusi Kader Dakwah, Tatsqif, Edisi 8, Th I, (Agustus
98
َّ أ َح ِد ُك ْم َح ََّّت َ ََِّب صلّى للا عليو وسلّم ق َّ َِن الن َ َال تَػَز ُال الْ َم ْسأَلَةُ ِِب:ال )س ِف َو ْج ِه ِو ُم ْز َعةُ َْلٍْم (رواه مسلم َ يَػلْ َقى للاَ فَػلَْي Nabi saw bersabda: Seorang peminta-minta, kelak dihari kiamat dia akan menemui Allah dengan wajah tanpa daging. (HR.Muslim)
BAB X AMAL UTAMA
Dalam ajaran Islam, tepatnya dalam QS. al-Zalzalah [99]: 7-8, disebutkan tentang Amal utama yang disukai Allah SwT, firman Allah SwT: Maka barangsiapa mengerjakan perbuatan baik (meskipun hanya) seberat zarrah,55 niscaya dia akan melihat (balasan) nya (7). Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan (meskipun hanya) seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya (8). (QS. al-Zalzalah [99]: 7-8)
Dalam ayat yang lain, Allah SwT berfirman: Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki atau pun perempuan, sedang ia beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang lebih baik; dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. an-Naḥl [16]: 97)
Tentu kita ingin agar setiap amal ibadah yang kita lakukan diterima Allah SwT dan kita tidak menginginkan menjadi orang-orang yang beramal tapi rugi. Mengapa beramal jadi rugi? Terkait dengan hal ini Allah SwT telah berfirman:
55
Zarrah = debu halus atau semut halus.
99
100 Katakanlah (Muhammad): Maukah Kami kabarkan kepadamu, tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? (103). (Yaitu) orang-orang yang telah sesat perbuatannya waktu hidup di dunia, sedangkan mereka mengira (merasa), bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya56 (104). Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan dan (tidak percaya) akan menemui-Nya, maka sia-sialah (terhapus) amal mereka,57 dan tiada Kami adakan timbangan terhadap (amal) mereka pada hari kiamat (105). Itulah balasan mereka, (yaitu) Jahannam sebab mereka kafir dan mengambil ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan (106). (QS. al-Kahfi [18]: 103-106)
Rasulullah saw bersabda:
)َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَيْس َعلَْي ِو أ َْم ُرََن فَػ ُه َو َردٌّ (متفق عليو
َ
Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal ibadah tanpa ada dasar (perintah) nya dari kami (tuntunan agama), maka amalnya tersebut ditolak (tidak diterima). (HR. Bukhari & Muslim)
Rasulullah saw bersabda:
)ث ِف أ َْم ِرََن ى َذا َما لَْيس ِم ْنوُ فَػ ُه َو َردٌّ (متفق عليو َ َح َد ْ َم ْن أ
َ
Barangsiapa yang mengerjakan dalam urusan agama ini suatu (amalan) baru yang tidak berasal darinya, maka amalannya itu tidak diterima. (HR. Bukhari & Muslim)
56
Mereka mengira (merasa), bahwa mereka telah berbuat sebaik-baik nya, misalnya: mendarmakan hartanya, mendonorkan darahnya, … dst, dari pandangan manusia mungkin hal itu baik, tapi yang baik menurut manusia belum tentu baik menurut Allah SwT. 57 Ibarat orang yang sudah kerja keras tapi tidak digaji, siapa yang tidak dongkol?
101 1. Amal Utama Amal utama apakah yang paling disukai Allah SwT? Dalam beberapa ḥadīth disebutkan, bahwa Amal utama yang paling disukai Allah itu ada tiga yaitu Mendirikan ṣalat pada waktunya, berbakti kepada kedua orangtua, dan berjihad di jalan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
ِ ُُثَّ اْْلِهاد ِف سبِي ِل للا، ُُثَّ بُِّر اْلوالِ َدي ِن،لصالَةُ لِوقْتِها ِ ِ ُّ َح َْ ُ َ ْ َ َ َ َّ َ ا:ب اْأل َْع َمال إِ َل للا َأ
)(رواه البخارى
Amal yang paling dicintai Allah ialah: Menunaikan ṣalat pada awal waktu, berbakti kepada kedua orangtua, dan berjihad di jalan Allah. (HR. Bukhari)
Ḥadīth tersebut merupakan jawaban Rasulullah saw terhadap pertanyaan ketiga sahabatnya, dan itu merupakan jawaban yang luar biasa, sesuai dengan konteks atau kondisi penanya. Rasulullah tahu persis konteks dan kondisi penanya. Rasulullah saw menjawab kepada penanya pertama dengan jawaban bahwa: “Amal yang paling utama adalah mendirikan ṣalat pada waktunya,” karena Rasulullah tahu bahwa yang bertanya itu selalu mengulur-ngulur waktu pelaksanaan ṣalat. Dia tidak pernah melaksanakan ṣalat di awal waktu. Dengan jawaban itu, Rasulullah berharap agar dia melaksanakan ṣalat di awal waktu. Rasulullah saw menjawab kepada penanya kedua dengan jawaban: “Amal yang paling utama adalah berbuat baik kepada kedua orangtua,” karena Rasulullah tahu persis bahwa yang bertanya itu tidak berbuat baik kepada kedua orangtuanya, bahkan mungkin dia berdosa kepada kedua orangtuanya. Dengan jawabannya itu, Rasulullah menginginkan agar dia berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Rasulullah saw menjawab kepada penanya ketiga dengan jawaban: “Amal yang paling utama adalah berjihad di jalan Allah,” karena Rasulullah tahu persis bahwa yang bertanya itu tidak pernah mau berjihad di jalan Allah.
102 Jadi, berdasarkan ḥadīth tersebut, amal yang paling utama itu adalah ketiga-tiganya, karena ketiga amal utama itu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh siapa pun yang berpredikat muslim. Seorang muslim tidak boleh memilih salah satu dari ketiga amal utama itu, misalnya jika dia mengatakan bahwa amal yang paling utama itu adalah ṣalat pada waktunya, berarti dia mengabaikan dua yang lainnya. Dalam ḥadīth yang lain disebutkan, bahwa Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang berkelanjutan walaupun hanya sedikit, Rasulullah saw bersabda:
ِ ب اْأل َْعم )ال إِ َل للاِ أ َْد َوُم َها َوإِ ْن قَ َّل (رواه أمحد والبخارى ومسلم والنساء َأ َ ُّ َح Amal yang paling disukai Allah ialah yang paling langgeng/ berkelanjutan (continue), sekalipun hanya sedikit. (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim dan Nasā’i)
Rasulullah saw juga telah mengingatkan:
)ال ِِبََوِاَتِ َها (رواه ابن ماجة من أِب سعيد اْلدرى ُ َّإَّنَا ْاأل َْع َم Sesungguhnya amal itu terletak pada bagian penutupnya. (HR. Ibn Majah dari Abu Sa‟id al-Khudri)
Apa maksud ḥadīth tersebut? Ḥadīth ini mengajarkan tentang: akhir kehidupan yang bahagia atau Happy Ending (Ḥusn-u al-Khātimah) dan Error Ending (Sū-u alKhātimah). Mudah-mudahan Allah SwT memberikan Happy Ending kepada kita semua! Āmīn.
103
2. Sedekah Utama Setelah dijelaskan tentang Amal utama, selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang Sedekah utama. Dalam ajaran Islam, tepatnya dalam QS. al-Munāfiqūn [63]: 9-11, disebutkan tentang Sedekah utama (Keutamaan bersedekah), sebagaimana firman Allah SwT:
Hai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anakanakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (9). Dan infaqkanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian) ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang salih” (10). Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan (11). (QS. alMunāfiqūn [63]: 9-11)
Firman Allah SwT, Dan dalam harta mereka ada hak untuk orang yang meminta dan orang miskin yang (tidak) meminta. (QS. adz-Dzāriyāt [51]: 19)
104
Berkenaan dengan Sedekah utama, Rasulullah saw bersabda:
ِ ٍ ِ ِْ ات أ َْو ِعلْ ٍم يػُْنػتَػ َف ُع بِِو أ َْو،ص َدقَ ٍة َجا ِريٍَة َ إِذَا َم َ :اإلنْ َسا ُن انْػ َقطَ َع َع َملُوُ إَِّال م ْن ثََالث ٍ )صالِ ٍح يَ ْد ُع ْو لَوُ (رواه مسلم َ َولَد Ketika seorang manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara, yaitu: 1. Sedekah Jariyah (yang mengalir terus pahalanya); 2. Ilmu yang bermanfaat (bagi dirinya dan keluarganya, ataupun bagi umumnya masyarakat); atau 3. Anak shaleh yang selalu berdo‟a baginya, (dan bagi orangtua, serta umumnya umat Islam). (HR. Muslim)
Bila kita lihat ḥadīth tersebut, mengapa kedudukan sedekah itu berada di atas ilmu yang bermanfaat dan anak ṣaleh? Pasti ada rahasianya! Coba perhatikan, termasuk kelompok orang yang manakah kita? Kelompok kaya: 1. Ada orang kaya, pandai, dan punya anak ṣaleh (Orang ini, sangat mungkin tertolong oleh sedekah, ilmu, dan anaknya) 2. Ada orang kaya, pandai, tapi tidak punya anak ṣaleh (Orang ini, sangat mungkin tertolong oleh sedekah dan ilmunya) 3. Ada orang kaya, bodoh, dan tidak punya anak ṣaleh (Orang ini, sangat mungkin tertolong oleh sedekahnya). Kelompok miskin: 1. Ada orang miskin, pandai, dan punya anak ṣaleh (Orang ini, sangat mungkin tertolong oleh ilmu dan anaknya) 2. Ada orang miskin, pandai, tapi tidak punya anak ṣaleh (Orang ini, sangat mungkin tertolong oleh ilmunya) 3. Ada orang miskin, bodoh, dan tidak punya anak ṣaleh. (Orang ini, masih memungkinkan tertolong dengan sedekah – tentunya
105 jika ada sesuatu yang disedekahkannya) Gemarlah bersedekah, dan janganlah merasa rugi dengan sedekah yang anda keluarkan! Jika anda memberikan sedekah kepada suatu “lembaga,” janganlah beranggapan bahwa lembaga yang anda bantu itu telah beruntung, justru anda-lah yang beruntung! Mengapa demikian? Karena jika anda tidak mau memberi sedekah kepada “lembaga” yang dimaksud-pun, Insha Allah masih ada donatur lain – yang mau membantunya! Sedekahkanlah sesuatu yang paling anda cintai, mengapa? karena Allah SwT berfirman: Kamu tidak akan mendapat kebaikan kecuali kalau kamu menafkahkan sebagian barang yang paling kamu cintai. Barang sesuatu yang kamu nafkahkan, sungguh Allah Maha mengetahuinya. (QS. Ali „Imrān [3]: 92)
Secara lebih khusus Rasulullah saw menyebutkan bahwa sedekah yang paling utama itu adalah Mengajarkan Ilmu, sebagaimana sabdanya:
ِ ِ ِ َّ أَفْضل َخاهُ الْ ُم ْسلِم (رواه ابن َ الص َدقَة أَ ْن يػَّتَػ َعلَّ َم الْ َم ْرءُ الْ ُم ْسل ُم علْ ًما ُُثَّ يػُ َعلّ َموُ أ َُ )ماجو Sedekah yang paling utama adalah seorang Muslim menuntut ilmu, lalu mengajarkannya kepada saudaranya yang lain (HR. Ibnu Majah) 58
Perlu diketahui! Siapa yang menanam padi pasti akan tumbuh rumput. Sebaliknya, siapa yang menanam rumput, mustahil akan tumbuh padi. Begitulah hakikat keutamaan belajar dan mengajarkan ilmu agama Islam. Ilmu agama itu ibarat ilmu padi, sedangkan ilmu umum bagaikan rumput. 58
Lihat, Ibnu Mājah, Sunan Ibnu Mājah, kitab al-Muqaddimah, bab Ṭawab alMu’allim al-Nas al-Khayr, No. 239.
106 Bicara tentang ilmu padi, ada satu ajaran positif tentang perlunya kita belajar dari filosofi ilmu padi. Filosofi ilmu padi itu mengajarkan: Semakin berisi, semakin merunduk. Maksudnya, semakin dalam keilmuan seseorang, sejatinya orang itu semakin rendah hati, tawaḍu‟, dan tidak sombong. Selanjutnya, perhatikanlah ayat-ayat berikut ini: Maka terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang (9). Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah kamu menghardik(nya) (10). Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu nyatakan (dengan bershukur) (11). (QS. aḍ-Ḍuha [93]: 9-11)
Jika kamu meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Penyantun. (QS. at-Taghābun [64]: 17)
Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad [47]: 7)
Ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang janji-janji Allah terhadap orang yang beriman dan Pandai Bershukur (Shukur Nikmat)! Dan Allah tidak mungkin mengingkari janjinya!
107
BAB XI TAUBAT & ISTIGHFAR
Sekarang ini, kemaksiatan dan keẓaliman merupakan salah satu sebab timbulnya bencana-bencana. Banyak sekali kemunkaran-kemunkaran yang dilakukan manusia. Di antaranya seperti yang sering diberitakan media: terjadinya kasus-kasus korupsi, kolusi, perampokan, pencurian, pembunuhan, perjudian, perzinahan, makan harta riba, dan lain sebagainya. Begitu banyaknya bentuk kemunkaran menyebar di masyarakat. Dosa-dosa besar dan kecil banyak dilakukan manusia, atau bahkan oleh diri kita sendiri. Kita mungkin sering menganggap remeh dosa kecil. “Ah, Cuma dosa kecil saja!”, “Ah, Cuma dosa sedikit!”, dan seterusnya. Tidakkah kita menyadari bahwa dosa-dosa kecil yang sering dilakukan itu–jika terus dilakukan, akan menjadi dosa besar!. Padahal Rasulullah saw sudah menetapkan tentang istimewanya kepribadian orang mukmin dalam sabdanya:
ِ عجبا ِألَم ِر الْمؤِم ِن إِ َّن أَمره ُكلَّو لَو خيػر ولَي ِ ِ ٍ ك ِأل ْ ُ ْ ًَ َ َُصابَػْتو َ َحد إَِّال للْ ُم ْؤم ِن إِ ْن أ َ َ س ذل َ ْ َ ٌ ْ َ ُ ُ َُ ْ )صبَػَر فَ َكا َن َخ ْيػًرا لَوُ (رواه مسلم َ َُصابَػْتو َ ُضَّراء َ َوإِ ْن أ،َُسَّراءُ َش َكَر فَ َكا َن َخْيػًرا لَو Dari Abu Yahya bin Sinan ar-Rumi, Rasulullah saw bersabda: Hebat sekali kepribadian orang mu‟min itu karena setiap kejadian yang menimpa dirinya dianggap baik, hal ini tidak mungkin ada pada pribadi selain mu‟min. Kalau ia memperoleh kenikmatan, ia bersyukur, yang dengan syukur-nya itu ia memperoleh sesuatu yang lebih baik, dan kalau ia menderita kesusahan, ia bersabar, yang dengan sabarnya itu menjadi penghibur/lebih baik baginya. (HR. Muslim)
Maka dari itu_sekecil apapun dosa, tidak boleh kita meremehkannya. Lazimkanlah istighfar, agar Allah SwT senantiasa mendatangkan rizki dan karunia-Nya kepada setiap kita.
108
109
1. Taubatan Naṣūhā Taubat yang dikehendaki Allah SwT adalah Taubatan Naṣūḥā yaitu ‘taubat yang sebenar-benarnya.’ Hal ini sebagaimana diterangkan Allah SwT dalam QS. at-Taḥrīm [66]: 8 berikut: Hai orang-orang yang beriman, taubatlah kamu kepada Allah dengan taubat nashūhā. Mudah-mudahan Tuhanmu mengampuni kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir air sungai di bawahnya, pada hari Allah tiada akan menghinakan (memberi malu) Nabi dan orang-orang yang beriman sertanya, sedang cahaya mereka berjalan di hadapan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berkata: Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah (dosa) kami, sungguh Engkau Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu. (QS. al-Taḥrīm [66]: 8)
Imam an-Nawawi menjelaskan: Para Ulama berkata: “Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib. Jika maksiat yang dilakukan adalah dalam hubungan antara hamba dengan Allah, hendaklah ia melakukan tiga hal (rukun taubat). Pertama: Hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua: Ia harus menyesali perbuatan maksiatnya. Ketiga: Ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika hilang salah satunya, maka taubatnya tidak sah.” Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda:
َّ )إن للاَ َعَّز َو َج َّل يَػ ْقبَ ُل تَػ ْوبَةَ الْ َعبْ ِد َما َلْ يػُغَْر ِغ ْر (رواه الرتمذى
110 Bahwasanya Allah selalu menerima taubat seorang hamba (manusia), selama ruh belum melewati tenggorokannya. (HR. Tirmidhi)
Dari Abu Musa al-Ash’ari, Rasulullah saw bersabda:
ِ ط ي َده َِبللَّي ِل لِيػتُػوب م ِ َّها س ِم ْن َّم الش ع ل ط ت َّت ح ر ػ ن ال ئ س ْ َّ ُ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ ْ ُ َ ُ إِ َّن للاَ تَػ َعال يَػْب ُس َ ُ ُ )َم ْغ ِرِِبَا (رواه مسلم Bahwasanya Allah merentangkan kelapangan rahmat-Nya di malam hari, bagi orang-orang yang melanggar/berbuat maksiat di siang hari, supaya bertaubat. Demikian pula, Dia merentangkan kelapangan rahmat-Nya di siang hari, bagi orang-orang yang melanggar/berbuat dosa di malam hari, supaya bertaubat. Hal seperti itu terus terbuka hingga matahari terbit dari barat. (HR. Muslim)
2. Istighfar Adapun mengenai Istighfar, Imam ar-Raghib al-Asfahani menerangkan: “Istighfar adalah meminta ampunan dengan ucapan dan perbuatan.” Artinya kita tidak cukup mengucapkan: ya Allah ampunilah aku (astaghfirullah), sedang kita masih melakukan kemaksiatan. Beberapa naṣ al-Qur’an menunjukkan bahwa taubat dan istighfar termasuk sebab-sebab datangnya rizki atau karunia dari Allah SwT. Allah SwT menyebutkan tentang Nabi Nūḥ as yang berkata kepada kaumnya: Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun (10). Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat (11). Dan membanyakkan
111 harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (12). (QS. Nūḥ [71]: 10-12)
Al-Qurtubi berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa Istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan.” Sedangkan Ibn Kathīr dalam tafsirnya berkata: “Jika kalian bertaubat kepada Allah, beristighfar (minta ampun) kepada-Nya, dan senantiasa mentaati-Nya, niscaya Allah membanyakkan rizki kalian, menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, melimpahkan air susu perahan, memperbanyak harta dan anak-anak kalian, menjadikan kebunkebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan, dan mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu.” 3. Baldatun Ṭayyibah wa Rabbun Ghafūr Dunia ini akan menjadi bagaikan neraka bagi umat manusia apabila keberkatan dan keriḍaan Allah sudah tidak lagi terdapat di dalamnya; Dan dunia ini akan menjadi sepotong surga apabila keriḍaan dan keberkatan Allah memenuhi dunia ini. Dahulu kala pernah ada satu negeri yang dijuluki/ dikenal dengan “Baldatun Ṭayyibah wa Rabbun Ghafūr” negeri yang makmur, aman sentosa lagi diberkahi, tidak ada tanahnya yang tandus, tidak ada nyamuk, tidak ada lalat, tidak ada lalat pengisap darah, tidak ada kala jengking dan tidak ada ular. Seandainya ada orang asing lewat ke negeri itu dan pada bajunya terdapat kutu, maka otomatis kutu itu akan mati karena harum dan bersihnya udara negeri itu. Namun, karena penduduknya kufur (tiada berterima kasih), lalu Allah mendatangkan kepada mereka banjir yang besar dan mengganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuat pahit. Gambaran tentang negeri tersebut adalah sebagaimana firman Allah SwT dalam QS. as-Saba [34]: 15.
112
Firman Allah SwT:
Sesungguhnya bagi (penduduk) Saba’ di negeri mereka ada suatu ayat (tanda kekuasaan Allah), yaitu dua bidang kebun, di sebelah kanan dan di sebelah kiri (dikatakan kepada mereka): Makanlah rizki Tuhanmu dan berterimakasihlah kepada-Nya. (Inilah) negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun (15). Kemudian mereka berpaling (tiada mengikut), lalu Kami kirimkan kepada mereka banjir (yang merobohkan) bendungan dan Kami tukar kedua kebun mereka dengan dua kebun lain yang mempunyai buah yang pahit dan pohon atsl (pohon kayu yang tidak berbuah) dan sedikit pohon sidr (16). Demikian itulah mereka Kami balasi, karena kekafiran mereka. Kami tiada membalasi (menyiksa), kecuali orang-orang yang kafir (17). (QS. as-Saba’ *34+: 15-17)
Setiap kali Allah SwT membuat janji di dalam al-Qur’an, Allah selalu menyertakan di sana syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kita. Selama syarat-syarat itu tidak dipenuhi oleh kita, maka Allah pun tidak akan memenuhi janji-Nya. Ini perlu diketahui dan dicamkan oleh kita umat Islam yang menerima janji-janji dari Allah. Allah SwT berfirman:
113 Hai orang-orang yang beriman perkenankanlah (sahutilah, ikutilah seruan) Allah dan rasul, jika Ia menyeru kamu, untuk menghidupkan kamu, dan ketahuilah bahwa Allah membatas antara manusia dengan hatinya, dan sesungguh-nya kamu akan dihimpunkan kepada-Nya. (QS. al-Anfāl [8]: 24)
Apabila penduduk satu negara betul-betul beriman dan bertakwa (dengan menjalankan hukum-hukum dan perintah Allah, dan menjauhkan apa saja yang dilarang-Nya), maka bagi bangsa itu akan Allah bukakan pintu-pintu rahmat dan rizki yang ada di langit dan di bumi (bangsa itupun akan menjadi bangsa yang kuat ekonominya dan rakyatnyapun akan makmur). (QS. al-A’rāf [7]: 96)
4. Pentingnya Taubat & Istighfar Dari Ibn Abbas dan Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda:
ٍ َن ِالبْ ِن َاد َم و ِاد ًَي ِم ْن َذ َى َّ لَ ْو أ َولَ ْن ُيََْلَ فَ ُاه إَِّال،ب أَ ْن يَ ُك ْو َن لَوُ َو ِاد ََي ِن َّ َح َب أ َ )ب (متفق عليو َ ب للاُ َعلى َم ْن ََت ُ اب َويَػتُػ ْو ُ التػَُّر Kalau ada seorang manusia punya satu lembah emas, pasti ia menginginkan dua, dan tiada yang dapat menghentikan kerakusannya, kecuali kubur, dan Allah selalu menerima siapa saja yang mau bertaubat. (HR. Bukhari-Muslim)
Beristighfar dan bertaubat harusnya tidak hanya dilakukan sesudah berbuat kejahatan atau maksiat saja, dan tidak harus menunggu
114 kalau sudah tua/pensiun (lanjut usia), karena Raulullah saw saja yang selalu dipelihara dari berbuat dosa, yang sejak lahir dijamin kesucian pribadinya dari segala bentuk dosa/maksiat, setiap harinya memohon ampun tidak kurang dari 100 x, untuk itu hendaknya kita mengikuti jejak Nabi saw dalam hal bertaubat dan istighfar, terutama bagi mereka yang hampir setengah abad usianya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
ِ ِ ِ ِ وللاِ إِن َألَستَػغْ ِفر للا وأَتػُو )ي َمَّرةً (رواه البخارى َ ْ ب إِلَْيو ِف الْيَػ ْوم أَ ْكثَػَر م ْن َسْبع ُ ْ ََ ُ ْ ّ َ Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 x . (HR. Bukhari)
Dari al-Agharr bin Yasar, Rasulullah saw bersabda:
ِ َي أَيػُّها النَّاس تُػوبػوا إِ َل للاِ و )ب ِف الْيَػ ْوِم ِمائَةَ َمَّرةٍ (رواه مسلم َْ ُ استَػ ْغف ُرْوهُ فَِإ ّن أَتػُ ْو َ َ ُْ ْ ُ Hai masyarakat dunia, bertaubat dan beristighfarlah kepada Allah, sungguh aku lakukan hal itu 100 x setiap harinya. (HR. Muslim)
Allah SwT menjanjikan dua hal kepada orang yang beribadah kepadaNya dengan sepenuhnya, yaitu: Dia akan mengisi hati orang yang beribadah itu dengan kekayaan dan memenuhi kebutuhannya. Sebaliknya, Dia mengancam orang yang tidak mau beribadah kepada-Nya dengan sepenuhnya dengan dua siksa, yaitu: Dia memberikan berbagai kesibukan kepadanya, namun begitu_Dia tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Sebab itu, marilah kita selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SwT dan menjaga ketaatan kita kepada-Nya, selalu mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, selalu mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, serta melaksanakan ibadah tersebut dengan sebenar-benarnya. Ibadah dengan hati, jasad, khushu’ dan merendahkan diri di hadapan Allah SwT.
115
116
BAB XII WISATA HATI
Harusnya direnungi kehidupan ini, apa yang sudah kita perbuat untuk hari esok, apa yang sudah kita persiapkan untuk bekal akhirat. Kepayahan di dunia belum seberapa bila dibandingkan dengan siksa akhirat, karena itu sepatutnya kita menyesal di awal, dan bukan di akhir. Berakitrakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenangsenang kemudian. Firman Allah SwT, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah (setiap) orang memperhatikan apa yang diusahakan nya untuk hari esok (hari kiamat), bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Ḥasyr [59]: 18)
Setiap persoalan hidup yang komplek, terkadang menjadi beban pikiran yang tidak pernah berujung, selalu ada dan selalu ada saja walau tidak diundang sekalipun. Untuk mengatasi semua persoalan itu diperlukan pikiran yang sehat, jernih, dan sadar dengan upaya-upaya maksimal penyadaran diri (Wisata Hati) Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah, kelemahan ini membuatnya tidak selalu mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya dengan hidup sehari-hari. Karena itu, dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut, mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu. Pengetahuan terhadap dimensi batin tak mungkin diraih kecuali oleh orang yang suci dan selamat hatinya. Sebagaimana kitab al-Qur’an lahiriahnya tidak bisa disentuh kecuali oleh orang yang suci dari hadath, dan batinnya tidak bisa disentuh kecuali oleh orang yang suci dari kotoran dosa. 117
118
Firman Allah SwT: Sesungguhnya yang dibaca ini, ialah Qur’an yang mulia (77) Dalam kitab yang terpelihara (78) Tiadalah yang menyentuh-nya, melainkan mereka yang suci (79). (QS. al-Waqiah [56]: 77-79)
Begitu juga dengan lahiriah shalat tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang telah berwudlu atau mandi wajib dan batin shalat tidak mungkin diraih kecuali oleh orang yang suci dari nistanya pandangan kepada selain yang disembah disaat menunaikan shalat. Karena itu, bila dirasa diri kita masih sangat mudah tergelincir dalam maksiat (cinta dosa), itu mengindikasikan (tanda) bahwa ibadah kita masih buruk dan masih harus diperbaiki. Kini saatnya kita luruskan kembali arah dan orientasi hidup yang kita jalani. Adakah kita sudah berada pada jalur dan jalan yang benar sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya? Ataukah malah terjadi penyimpangan (deviasi) menuju jurang kehancuran?. 1. Manajemen Qalbu Allah SwT berfirman: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena
119 sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (QS. al-Ḥajj [22]: 46)
Dan firman-Nya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak tidak di pergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak di pergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. al-A‟rāf [7]:179)
Dua dari ayat tersebut memberi pemahaman bahwa jika manusia yang telah dianugerahi hati (qalbu) lalu ia mampu mengelola hatinya (ya’qilūna biha) ia dikatakan sebagai orang yang sadar diri, tapi jika ia tidak mampu mengarahkan hatinya (lā yafqahūna biha) ia dikatakan sebagai orang yang lalai (sesat). Seseorang bisa disebut sesat pada waktu ia telah yakin berada di jalan yang benar, padahal sesungguhnya ia menempuh jalan yang keliru59 dan seseorang yang memamerkan keshalehannya sebenarnya ia bukan orang shaleh. Al-Qur’an menggunakan istilah qalb (hati) sebanyak 132 kali. Makna dasar kata ini adalah membalik kembali, pergi maju-mundur, 59
Nurcholish Madjid, Makna Intrinsik dan Instrumen Ṣalat dalam Sukardi K.D, (ed.), Ṣalat dalam Perspektif Sufi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), 154.
120 berubah, bolak-balik, naik-turun, mengalami perubahan. Rasulullah saw mengatakan bahwa qalb karena sifat berubah-ubahnya bagaikan selembar bulu di gurun pasir; angin membolak-baliknya dari atas ke bawah.60 Pendeknya, qalb bukan sesuatu yang konstan, melainkan bisa mengalami pasang surut dan berubah-ubah dari satu keadaan ke keadaan lain. Nabi saw bersabda:
ِ اعى َعلَْي ُك ْم َ َ ق:ال َ ََع ْن ثَػ ْوََب َن ق ُ ال َر ُس ْو ُل للا صلّى للا عليو وسلّم يػُ ْو ِش َ ك االَُم ُم اَ ْن تَ َد ِ ال بَ ْل اَنْػتُ ْم َ َال قَائِ ٌل ِام ْن قِلَّ ٍة ََْن ُن يَػ ْوَمئِ ٍذ ق َ ص َعتِ َها فَػ َق َ َك َما تَ َد ْ َاعى االَ ْكلَةُ ا َل ق ِ َّ يَػ ْوَمئِ ٍذ َكثِْيػٌر َولَ ِكنَّ ُك ْم غُثَاءٌ َكغُثَ ِاء َص ُد ْوِر َع ُد ِّوُك ُم الْ َم َهايَة ُ السْي ِل َولَيَػنْ ِز َع َّن للاُ م ْن ب َ َال قَائِ ٌل ََي َر ُس ْو َل للاِ َوَما الْ َوْى ُن ق َ ِمنْ ُك ْم َولَيَػ ْق ِزفَ َّن للاُ ِف قُػلُ ْوبِ ُك ُم الْ َوْى ُن فَػ َق ُّ ال ُح ِ الدنْػيا وَكر ِاىيَّةُ الْمو )ت (رواه ابو داود َْ َ َ َ ُّ Diriwayatkan dari Tsauban bahwa Rasulullah saw bersabda: Hampir saja umat-umat (di luar kalian) mengerumuni kalian, sebagaimana orangorang yang menyantap makanan mengerumuni hidangan mereka, lalu ada yang bertanya: Apakah ketika itu kami minoritas (sedikit)? Rasulullah menjawab: Bahkan ketika itu kalian mayoritas (banyak), akan tetapi kalian bagaikan buih yang terbawa arus banjir dan Allah telah mencabut dari hati kalian ‘al-wahn’ lalu ada yang bertanya: wahai Rasulullah apakah (penyakit) wahn itu? Beliau menjawab: yaitu cinta dunia dan takut mati. (HR. Abu Daud)
Ḥadīth Rasulullah saw tersebut telah mengingatkan kita semua agar selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupan ini, tidak larut dan terbuai oleh kenikmatan duniawi yang sangat menggoda yang menyebabkan kita lalai menyiapkan perbekalan menuju kehidupan yang kekal abadi di akhirat kelak.
60
Lihat, Ahmad, IV, 419.
121 Penanaman kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita, mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuah ide atau citacita yang luhur dan ideal, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh kedamaian. Islam memandang bahwa semakin orang itu sadar, semakin Allah lapangkan dadanya. Semakin mampu ia melihat berbagai sudut pandang, ia bisa melihat persoalan secara utuh (comprehensive). Namun sering timbul paradoks61 kesadaran. Semakin lemah tingkat kesadarannya, semakin gampang melihat kebaikan dirinya. Ia terfokus pada kebaikan yang dilakukannya, sampai lupa dan tidak melihat kejelekan dan keburukan yang diperbuatnya. Sebaliknya, semakin seseorang mendekati kebenaran dan dekat dengan Tuhannya. Ia segera menyadari keterbatasan-keterbatasan dirinya. Kesadaran akan Allah SwT adalah kenyataan bahwa hubungan antara hamba dan Allah telah melahirkan cinta yang tak terperi. Cinta yang sampai pada penyaksian bahwa tiada yang Maha apapun, termasuk yang Maha Wujud, kecuali Allah SwT. Lalu umat manusia tidak bisa mengingkari dirinya, bahwa mentauhidkan Allah adalah puncak dari kesadaran yang sesungguhnya. Pelaksanaan tauhid itulah yang menjadi bagian utama dari akhlak kenabian, akhlak dalam hubungan hamba dengan Sang Khalik. Seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw dan dipraktikkan dalam kehidupan dunia adalah keteladanan akhlak seorang hamba Allah dengan Ilahi, akhlak lahir dan akhlak batin. Akhlak lahir diaktualisasikan melalui syari’at, sedangkan akhlak batin diwujudkan melalui tasawuf Rasulullah saw. Hati (qalb) setiap manusia pada dasarnya jernih, bening, dan bercahaya. Al-Ghazali mengatakan bahwa hati yang bersih itu ibarat cermin. Cermin yang cemerlang akan memantulkan realitas apa adanya. Al-Ghazali juga menuturkan bahwa dosa-dosa yang kita lakukan adalah
61
Paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks. Lihat, http://kbbi.web.id/paradoks.
122 seperti titik hitam yang menodai hati kita.62 Semakin banyak dosa, semakin banyak pula titik hitam yang melekat dalam hati. Semakin banyak titik hitam itu, maka semakin tinggi tingkat distorsi akan kebenaran. Kita menjadi buta terhadap realitas sebagaimana apa adanya. Bahkan, dengan banyaknya dosa yang diulang-ulang, hati kita tidak hanya menjadi hitam, tetapi bisa terbalik. Dalam al-Qur’an diceritakan, ketika dikatakan, “Janganlah kalian membuat kerusakan dimuka bumi ini,” mereka malah berkata, “Kamilah orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-Baqarah [2]: 11). Mereka tidak sadar bahwa dirinya telah membuat kerusakan. Firman Allah SwT: Apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu berbuat bencana di muka bumi, maka jawab mereka: Hanya kami berbuat kebaikan. (QS. alBaqarah [2]: 11)
Hati memang sering berubah-ubah. Kekuatan azzam, rencana, dan program yang baik, kadang-kadang berubah begitu saja karena perubahan suasana hati. Dengan demikian, kita dapat memahami mengapa Rasulullah saw pada awal tarbiyah (pendidikan) nya terhadap para sahabat memprioritas-kan masalah hati ini. Kemampuan mengendalikan hati adalah kunci dalam menghadapi tiap persoalan kehidupan, gerak anggota tubuh idealnya mengikuti tujuan hati. Hati yang bermasalah terlihat dari kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas, sebagaimana sakitnya mata akan terlihat dari kemampuan kita untuk melihat. Kekosongan hati dalam beribadah (dalam segala bentuknya) akan melahirkan kegersangan ruhani, karena ruhani pun memerlukan konsumsi sebagaimana jasmani. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk mengerahkan segenap kemampuan untuk 62
Agus Abubakar Arsal, Berkhalwat Bersama Para Sufi: Penarikan Diri dan Penyendirian Spiritual dalam Qamaruddin SF, (ed.), Zikir Sufi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), cet. III, 123.
123 menjinakkan hati, menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya, agar hati menjadi pusat (markaz) kebaikan.
2. Tingkatan Hati Manusia Pembicaraan tentang hati banyak terdapat dalam al-Qur’an. Dalam terminologi al-Qur’an, ada sebutan hati yang buta, sebagaimana terdapat dalam firman Allah QS. al-Ḥajj [22]: 46, Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada (QS. al-Ḥajj [22]: 46) Ada pula hati yang sakit, sebagaimana terdapat pada QS. alBaqarah [2]: 10, Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya (QS. al-Baqarah [2]: 10)
Ada juga hati yang terkunci dan tertutup, sebagaimana terdapat pada QS. al-Muṭaffifīn [83]: 14, Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang mereka usahakan itu menutup hati mereka (QS. al-Muṭaffifīn [83]: 14)
Dalam QS. al-Baqarah [2]: 7 Allah SwT berfirman:
124 Dan Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup (QS. al-Baqarah [2]: 7)
Ada hati yang tidak berakal, tidak mau memahami, dan tidak berpikir, sebagaimana terdapat pada QS. al-A’rāf [7]: 179, Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami (QS. al-A‟rāf [7]: 179)
Di samping itu, ada pula hati yang memperoleh petunjuk, sebagaimana dalam QS at-Taghābun [64]: 11, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (QS. al-Taghābun [64]: 11)
Berkaitan dengan persoalan hati ini, dalam ḥadīth Nabi saw bersabda:
ِ ِ اْلس ِد م ِ ت فَ َس َد ا ْْلَ َس ُد ْ صلُ َح ْ ُ َ َْ اَال ا َّن ِف ْ اْلَ َس ُد ُكلُّوُ َوا َذا فَ َس َد ْ صلُ َح َ ت َ ضغَةً ا َذا ِ )ب (رواه البخاري ومسلم ُ ُْكلُّوُ اَال َوى َي الْ َقل Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging yang bila dia baik, maka baik pula seluruh anggota tubuh, dan apabila dia rusak, maka rusak pula seluruh anggota tubuh yang lain, itulah hati (HR. Bukhari-Muslim)
125 Dari ḥadīth tersebut dapat dipahami bahwa tingkah laku manusia dan perbuatannya sangat dipengaruhi oleh apa yang ada di dalam hatinya. Karena hati adalah raja (central of body) bagi anggota tubuh manusia. Kalau hatinya putih (lurus), maka putih pula tingkah lakunya. Dan kalau dia hitam (keruh), maka hitam pula tingkah lakunya. Banyak orangtua yang sering berpesan kepada anak-anaknya, ketika akan pergi merantau dengan satu pesan: Hati-Hati nak (bukan otak-otak)! Dari sinilah maka kita perlu memahami hati kita masingmasing. Apakah hati kita itu baik atau buruk atau mungkin sedang sakit? Dalam hal ini Imam Ghazali membagi hati menjadi 4 (empat) macam, yakni hati yang bersih, hati yang terbalik, hati yang tertutup, dan hati yang campur aduk.63 1). Hati yang bersih Adapun yang dimaksud hati yang bersih adalah qalbun salīm sebagaimana yang dimaksud oleh firman Allah SwT: (yaitu) pada hari (akhirat yang) harta dan anak-anak (menjadi) tidak berguna (88). kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (89). (QS. ash-Shu‟arā [26]: 88-89)
Qalbun salim adalah hati yang tenang, tenteram, dan sejahtera. Hati ini ibarat lampu yang mampu menerangi dirinya sendiri dan orang lain. Orang yang memiliki hati yang bersih tindakannya akan bersih dan jujur, dan membawa ketenteraman pada lingkungan dan masyarakat secara luas. Hati semacam ini tegak di atas landasan iman yang kokoh. Dalam setiap gerakannya selalu didasarkan pada iman dan perintah
63
Lasa Harsana, Iman, Kebersihan Jiwa, dan Korupsi dalam Musa Asy’arie, dkk (ed.), Menuju Masyarakat Antikorupsi, 39-40.
126 Allah SwT, sehingga orang semacam ini akan tabah menghadapi segala godaan dan tidak mudah over acting ketika sedang di atas. 2). Hati yang terbalik Yang dimaksud hati yang terbalik di sini adalah hati yang betulbetul tertutup dan gelap gulita. Pemilik hati ini memang betul-betul buta, tidak bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah, mana yang halal dan mana yang haram. Semuanya dianggap sama. Mata, telinga, dan hatinya telah tertutup awan hitam sehingga apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan hati itu serba hitam kelam. Hati yang terbalik ini sulit untuk menerima masukan kebenaran. Mereka akan selalu menolak kebenaran entah datangnya dari manapun. Orang semacam ini benar-benar keras kepala dan bisa tersingkir dari pergaulan. Mereka sendiri tidak bisa menerangi dirinya apalagi akan memberikan manfaat kepada orang lain.
3). Hati yang tertutup Adapun hati semacam ini adalah hati yang di luar nampak dibungkus dengan bungkus yang manis dan sedap dipandang mata. Namun di dalamnya justru berbeda dari luarnya. Ibarat buah memang bagus kulitnya tetapi pahit rasanya. Orang-orang yang memiliki hati seperti ini berusaha tampil menyenangkan orang lain, namun di belakang ternyata mereka justru sering membuat keonaran. Lain di mulut lain di hati. Orang-orang semacam ini sangat membahayakan masyarakat pada umumnya. Karena mereka sering mengadu domba dan cari muka. Apabila diingatkan untuk kembali pada jalan Allah, mereka malah menunjukkan kesombongan. Keadaan ini digambarkan oleh Allah dalam firmanNya:
127
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya. Padahal ia adalah penantang yang paling keras (204). Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanamtanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan (205). Apabila di katakan kepadanya: Takutlah kepada Allah, kesombongannya mendorongnya berbuat dosa. Maka cukuplah neraka (untuk balasannya), yaitu sejahat-jahat tempat tinggal (206). (QS. al-Baqarah [2]: 204-206)
4). Hati yang campur aduk Mereka yang memiliki hati campur aduk ini tindakannya lebih tidak karuan lagi. Sebab sikapnya selalu berubah-ubah karena tidak memiliki pendirian yang kuat. Ketika sekelilingnya baik, mereka berusaha untuk menjadi baik. Tetapi apabila mereka itu bergabung dengan lingkungan yang jahat, mereka dengan mudah untuk mengikuti kejahatan tersebut. Suatu saat mereka menunjuk-kan sikap sebagai orang yang beriman dan shaleh, tetapi kali lain mereka menunjukkan sikap sebagai orang munafik. Mereka sangat mudah tergoda terhadap hal-hal yang sangat sepele. Hati memang menempati posisi penting dan strategis. Karena itu kebaikan dan keburukan berkompetisi (berebut lahan) di dalamnya. Setan menjadi pembimbing (promotor) dan ujung tombak perjuangan kejelekan di dalam hati. Setan selalu mengarahkan kita untuk memandang realitas secara parsial, particular, dan separatis. Sedangkan malaikat mengilhamkan perbuatan bajik kepada hati manusia. Ibarat
128 sebuah benteng, setan adalah pasukan asing yang ingin menerobos masuk, ia bekerja tanpa jemu karena ambisi untuk merebut dan menguasai hati. Benteng tersebut memiliki banyak pintu, ini yang dijadikan celah untuk menembusnya. Tentu melihat gejala itu pemilik benteng tak akan tinggal diam. Setiap pintu harus dikunci, harus dijaga ketat, agar tidak kecolongan apalagi kebobolan.
3. Pintu-pintu Setan: Perlu diketahui, bahwa pintu yang sering dijadikan sasaran setan untuk merusak hati di antaranya adalah: fanatisme, buruk sangka, iri dengki dan ambisi, tamak harta, terburu-buru, amarah syubhat dan syahwat, dan terlalu kenyang. Berikut ini sekilas penjelasannya. 1). Fanatisme Fanatisme kelompok atau madzhab diharamkan oleh Allah SwT, karena akan menyebabkan pertengkaran, kebencian, dan permusuhan sesama muslimin. Perbuatan seperti itu menyerupai perilaku musyrikin, memecah belah agama. Firman Allah SwT,
Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan bersilang selisih, setelah datang kepada mereka beberapa keterangan dan untuk mereka itulah siksaan yang besar. (QS. Ali „Imrān [3]: 105)
129 Taatlah (patuhlah) kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantah, nanti kamu lemah (kalah) serta hilang kekuatanmu; dan hendaklah kamu berhati-sabar. Sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar. (QS. al-Anfāl [8]: 46)
Hendaklah kamu kembali (taubat) kepada-Nya dan takutlah kepadaNya dan dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik (31). Yaitu orang-orang yang berpecah-belah dalam agamanya serta ber-golong-golongan. Tiap-tiap golongan gembira (bangga) dengan apa yang ada di sisinya (32). (QS. ar-Rūm [30]: 3132)
Dia telah mengaturkan agama bagimu, sebagaimana telah diwasiatkannya kepada Nuh, dan yang Kami wahyukan kepadamu, dan yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Hendaklah kamu dirikan agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam agama. Berat bagi orang-orang musyrik (menerima) apa yang engkau serukan kepada mereka (yaitu mengesakan Allah). Allah memilih kepada-Nya siapa yang di kehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang kembali kepada-Nya. (QS. ash-Shūra [42]: 13)
130
Fanatisme – baik kepada kelompok maupun tokoh – menjadikan seseorang mengorbankan prinsip, menerjang syari’at tanpa sadar. Inilah kelihaian setan mencari celah, sehingga seorang muslim mengira fanatismenya itu adalah bentuk keteguhan dalam beragama. Bagi seorang muslim, fanatik seharusnya hanya kepada kebenaran dalam al-Qur’an dan as-Sunnah rasul-Nya saw. Hanya ini yang pantas dibela mati-matian. 2). Buruk Sangka Ini merupakan pintu yang sering dimanfaatkan setan. Allah dan rasul-Nya memerintahkan agar kita selalu husnuẓan (baik sangka, berpikir positif) terhadap sesama muslim. Karena suuẓan (buruk sangka, berpikir negatif) hanya menyebabkan timbulnya sikap permusuhan dan kebencian. Dan kalau sikap itu sudah mendarah daging, dapat menyebabkan lupa diri tanpa sempat introspeksi. Pikirannya orang lain selalu salah, yang benar hanya dia. Kemudian disalurkan dengan ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan memfitnah. Semua itu tentu akan mengoyak ikatan persaudaraan yang diperintahkan oleh Allah SwT dan rasul-Nya saw. Allah melarang banyak prasangka, karena sebagian prasangka (suuẓan) adalah dosa. Firman Allah SwT, Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (dugaan terhadap sesama Muslim), karena sebagian prasangka itu ialah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari ‘aib orang dan jangan
131 pula setengah kamu mengumpat yang lain. Sukakah salah seorang kamu bahwa ia memakan daging saudaranya yang telah mati (bangkainya)? Maka tentu kamu benci memakannya. Takutlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi Penyayang. (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12)
(Padahal) tidak ada bagi mereka pengetahuan tentang demikian itu. Mereka tiada mengikut, kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak bermanfaat sedikitpun untuk (menetapkan) kebenaran. (QS. an-Najm [53]: 28)
3). Iri, Dengki, dan Ambisi Sikap dengki akan membutakan jiwa, sehingga sifat irinya akan menjadikannya benci pada orang yang menerima nikmat. Bahkan ini berlanjut menjadi harapan agar kenikmatan yang ada pada orang lain itu segera pergi walaupun dia sendiri tidak memiliki.64 Apalagi jika sikap ini disertai ambisi, ingin memiliki, ingin agar nikmat orang lain pindah ke tangan dia. Hal ini sering menimbulkan keẓaliman yang lebih lanjut, mencelakai teman demi terpenuhinya ambisi. Padahal sudah dimafhumi bahwa orang serakah itu jauh dari barokah. Fenomena ini menunjukkan, orang yang hasad itu tidak pernah ridha dengan takdir dan karunia yang ditentukan Allah Yang Kuasa.
4). Tamak Harta Tamak – begitu istilahnya – menyebabkan manusia lupa akan batasan dan aturan syari’at. Padahal menumpuk-numpuk harta yang diperoleh dengan cara yang halal saja tercela dan menjadikan 64
Ungkapan tentang sifat dengki ini dikenal dengan istilah SMS, tapi SMS disini
bukan berarti Short Message Service (
ِ الر َسالَِة ّ ُتَ ْدِخَة
) / Pesan Layanan Singkat, melainkan
Senang Melihat orang lain Susah, Susah Melihat orang lain Senang. Sejatinya SMS disini berarti Senang Melihat orang lain Senang dan Susah Melihat orang lain Susah.
132 sengsara di alam sana (akhirat), apalagi menumpuk hartanya dengan cara samber sana samber sini seakan tidak ada aturan yang membatasinya. Padahal Allah SwT telah memberitakan bahwa kesenangan dunia hanya sementara, sekedar permainan saja.
Firman Allah SwT, Dihiaskan kepada manusia, rasa cinta (keinginan nafsu), kepada perempuan-perempuan, anak-anak, dan harta benda yang banyak, dari emas, perak, kuda yang bagus, binatang-binatang ternak, dan tanam-tanaman. Demikian itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang sebaik-baiknya (yaitu surga). (QS. Ali „Imrān [3]: 14)
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hidup di dunia, hanya pergurauan, permainan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berlomba-lomba memperbanyak harta benda dan anak-anak.
133 Umpama demikian itu seperti air hujan yang menakjubkan orangorang kafir karena tumbuh-tumbuhannya, kemudian ia menjadi kering, lalu engkau lihat dia menjadi kuning, kemudian menjadi lumat (hancur). Dan di akhirat siksa yang keras (untuk orang-orang kafir), dan ampunan serta keridhaan Allah (untuk orang-orang mu‟min). Hidup di dunia tidak lain hanya kesenangan yang menipu. (QS. alḤadīd [57]: 20)
5). Terburu-buru Sikap terburu-buru dilarang Islam, karena membuahkan kejelekan. Tentu yang dimaksud bukan menunda-nunda mengerjakan amalan yang shalih. Terburu-buru dalam bertindak, menghukuni, memvonis, mengambil kesimpulan tanpa melihat berbagai penyebabnya. Sehingga hasilnya selalu keliru, salah, dan meresahkan, karena berangkat dari sikap yang gegabah. 6). Amarah, Shubhat, dan Shahwat Kemarahan sering menimbulkan beragam dosa dan kemaksiatan. Ia mampu menutup kecemerlangan akal (ilmu) seseorang, pada akhirnya menyebabkan langkahnya linglung, terseok tak menentu, tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tidak bisa memilah mana yang haq (benar) dan mana yang baṭil (salah) - karena lepas dari bimbingan ilmu - hanya menuruti emosi dan luapan hawa nafsu. Shubhat memang terasa enak bagi jiwa yang tidak sehat. Sehingga semua akan dilalap tanpa melihat shari’at, padahal shubhat menyebabkan agama terancam roboh. Shahwat tidak jauh berbeda. Shahwat yang diperturutkan akan membuat gelap mata, tidak mau tahu dengan akibat, tidak merasa terancam dosa, prinsip pokoknya adalah kepuasan. 7). Terlalu Kenyang Sedikit (cukup) makan melembutkan hati dan menguatkan daya pikir, selain mengekang dan melemahkan hawa nafsu. Banyak
134 makan berakibat sebaliknya, mengundang beraneka keburukan. Cenderung santai dan berleha-leha. Mendorong tubuh berbuat maksiat dan malas untuk ta’at ibadah. Itulah pintu-pintu yang setan selalu berusaha melewatinya untuk masuk ke hati manusia. Banyak berdhikir menyehatkan hati, menjernihkan pikiran. Tutuplah semua pintu-pintu itu, jaga sepenuhnya dengan hati-hati, dan jangan biarkan setan lewat. Dengan dibersihkannya hati (tazkiyah an-nufūs) secara istimrāri (terus-menerus) dengan memperbanyak ibadah dan istighfar, insya Allah berkah dan rahmat Allah akan tercurah. Akan tetapi bilamana masalah qalbiyah dan ruhiyah tidak dihiraukan (diacuhkan) sejak awal, maka percayalah bahwa permasalahan akan senantiasa bermunculan di sepanjang jalan Islami. Firman Allah SwT: Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang ẓalim itu, benarbenar dalam permusuhan yang sangat (53). Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur’an itulah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus (54). (QS. al-Ḥajj [22]: 53-54)
Di hadapan-Nya, seorang individu menyadari bahwa dalam menghadapi tantangan hidup bermoral, ia memerlukan rahmat dan keutamaan dari Allah, karena manusia tidak mungkin mencari dan menemukan sendiri secara sempurna dan tuntas jalan kebenaran itu tanpa bimbingan-Nya.
135 Iman tumbuh di dalam hati, sementara petunjuk mengalihkan hati menuju arah yang benar. Agar hati tetap hidup, tumbuh, jernih, dan bersinar hendaknya kita selalu merawatnya dengan cermat dan kontinyu. Allah SwT berfirman: Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: Bagi kami amalamal kami dan bagimu amal-amal kamu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang bodoh. (QS. al-Qaṣaṣ [28]: 55)
Maksud
الم َعلَْي ُك ْم ٌ َس
dari ayat ini adalah bukan bermakna
keselamatan/kesejahteraan atasmu, akan tetapi bermakna selamat tinggal. Selamat tinggal dari apa? Selamat tinggal dari maksiat, dosa, setan, … dst. Karenanya, tidak selayaknya orang yang beriman bergaul dengan orang-orang yang bodoh, juga tidak sepatutnya mereka berlamalama dalam kelalaian dan kesesatan. Dengan mengingat Allah (yang diresapkan ke dalam hati), hati seseorang akan menjadi lembut dan bercahaya. Sebaliknya, hati yang lupa kepada Allah dan dipenuhi oleh rekaman tentang berbagai dorongan nafsu dan kelezatan hidup semata, akan menjadi keras dan kering. Kelembutan hati dan ketentramannya merupakan rahmat Allah. Allah-lah yang memantulkan cahaya ke dalam hati seseorang (lantaran ia dhikir kepada Allah) dengan kasih sayangnya. 4. Pentingnya Dhikir Sebagai penguat dan penggugah kesadaran tentang pentingnya berdhikir dalam kehidupan manusia perlu dibaca ayat-ayat yang memberi makna tentang pentingnya dhikir, seperti:
136 1). QS. al-Baqarah [2]: 152: Maka ingatlah (dhikirlah) kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepadamu dan berterimakasihlah kepada-Ku dan janganlah kamu menyangkal (nikmat-Ku). (QS. al-Baqarah [2]: 152)
2). QS. ar-Ra’d *13+: 28: (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (dhikrullah) Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’d [13]: 28)
3). QS. al-„Ankabūt [29]: 45: Dan ingat kepada Allah adalah tindakan yang besar pengaruhnya. (QS. al-„Ankabūt [29]: 45)
4). QS. Ṭāha [20]: 124: Barangsiapa berpaling dari dhikir (mengingat) kepada-Ku, maka ia akan berpenghidupan yang sempit. (QS. Ṭāha [20]: 124)
5). QS. al-Zukhruf [43]: 36:
137 Barangsiapa yang (hatinya) berpaling dari dhikir kepada yang Maha Pengasih. Kami sertakan setan kepadanya, sehingga setan itu menjadi teman dekatnya. (QS. al-Zukhruf [43]: 36)
6). QS. al-Ḥasyr [59]: 19: Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. al-Ḥasyr [59]: 19)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang secara eksplisit dan implisit menyebutkan bahwa berdhikir (selalu mengingat Allah) itu amat penting.
138
Ziarah Kubur ke Makam Ir. Soekarno (Lahir 6 Juni 1901 – Wafat 21 Juni 1970) Proklamator Kemerdekaan & Presiden Pertama Republik Indonesia Blitar, Senin, 27 Juli 2015/ 11 Syawal 1436 H
Hidup itu bagaikan mengupas bawang, disaat kita berusaha menguliti untuk mendapatkan bagian terbaiknya.. terkadang kita harus mengeluarkan air mata.
BAB XIII ḤUSNUL KHĀTIMAH (Akhir yang Baik)
Kebanyakan manusia dewasa ini menjauh dari tuntunan Rasulullah saw dalam banyak bentuk peribadatan, bahkan menganggap aneh (antipati) kepada orang-orang yang mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Kenyataan ini seperti sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah saw:
)إِ َّن اْ ِإل ْسالَ َم بَ َدأَ َغ ِريْػبًا َو َسيَػعُ ْو ُد َغ ِريْػبًا فَطُ ْوََب لِْلغَُرََب (متفق عليو Sesungguhnya Islam itu awalnya aneh (asing), selanjutnya akan menjadi aneh lagi, maka berbahagialah orang-orang yang dianggap aneh itu. (HR. Bukhari & Muslim)
Mengapa bisa demikian? Hal ini disebabkan karena mereka meninggalkan pengkajian berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu Sunnah. Sementara di sisi lain mereka lebih banyak mencurahkan hidupnya demi menekuni ilmu keduniaan yang bersifat materi. Akhirnya mereka hanya sibuk mengumpulkan harta. Kesadaran akan kematian membuat setiap orang memahami makna hidup dan berpikir secara positif. Ia akan menempuh hidup ini dengan penuh optimis menuju satu tujuan akhir yang pasti, bertemu dengan Allah SwT yang ia cintai dan mencintainya. Kita dianjurkan untuk senantiasa mengingat kematian. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Perbanyaklah mengingat dan merenung pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian).” Dalam riwayat lain Rasulullah saw mendampingkan maut dengan al-Qur’an. Nabi saw bersabda: “Aku tinggalkan bagi kalian dua pemberi peringatan. Yang pertama memberikan peringatan dengan pembicaraannya. Yang kedua memberikan peringatan dengan kebisuannya. Yang pertama, al-Qur’an; yang kedua, kematian.” Maka dari itu, al-Qur’an sering dinamai al-Dhikr (peringatan). Ia adalah peringatan bagi orang yang hatinya terbuka. 139
140 Sesuai dengan anjuran Imam Ali kw, “Bacalah al-Qur’an seakan-akan ia berbicara pada kalian.” Saat berbicara tentang kematian, al-Qur’an menegaskan: Apakah kamu mengira bahwa Kami (Tuhan) menciptakan kalian dengan siasia atau tanpa tujuan? Katakanlah, Sesungguhnya mati yang kamu lari darinya, ia pasti menemuimu. Kemudian kamu dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dikabar-kannya kepadamu apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Jumu’ah *62+: 8)
Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu tadinya mati, lalu dihidupkan (oleh-Nya) kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan (lagi) kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya. (QS. al-Baqarah [2]: 28)
Al-Qur’an menyatakan bahwa hidup dan mati adalah hak Allah. “Tidak ada Tuhan selain-Nya. Ia menghidupkan dan mematikan, dan Tuhan dari kakek-kakek kalian yang pertama.” (QS. al-Dukhān [44]: 8). Kita senang dan tertawa sewaktu menyambut kelahiran seorang bayi, dan kita sedih dan menangis ketika kematian menjemput orang yang kita cintai. Ini mendapat konfirmasi dari al-Qur’an, “Dialah sesungguhnya yang membuat tertawa dan menangis, dan Dialah yang mematikan dan menghidupkan.” (QS. alNajm [53]: 44). Dengan demikian manusia tidak berhak untuk menentukan kematian dan kehidupan. Tuhan menciptakan kehidupan dan kematian untuk melihat karya manusia yang terbaik, aḥsanu ‘amalā (QS. al-Mulk [67]: 2). Ia menunjukkan jalan yang baik dan jalan yang buruk, dan manusia mendapat kebebasan
141 untuk memilih salah satu jalan itu. Pemilih jalan takwa akan selamat dan pemilih jalan kefasikan akan celaka.
1. Kematian adalah Kepastian Seperti halnya kehidupan, kematian adalah suatu kepastian. Sebagaimana firman Allah SwT: Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) akan mati dan sungguh mereka juga akan mati. (QS. az-Zumar [39]: 30)
Semua yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. (QS. Ali „Imrān [3]: 185)
Suka atau tidak suka, manusia pasti mengalami kematian. AlQur’an menjelaskan: Dimanapun kalian berada, kematian pasti mengejar kalian, sekalipun kalian berada di puncak menara yang kokoh. (QS. al-Nisā [4]: 78)
Sungguhpun demikian, kalau bukan ajal, seseorang pantang mati. Al-Qur’an menjelaskan:
142 Diri tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, yang ditentukan sesuai ajal. (QS. Ali-‘Imrān [3]: 145)
Manusia tidak mengetahui kapan dan dimana ia akan mati. (QS. Luqman [31]: 34)
Ketentuan hidup ada sepenuhnya di tangan Allah SwT. Ibarat buah kelapa, bila telah matang, maka ia akan jatuh sendiri ke tanah tempat asalnya. Ada yang jatuh sewaktu masih dalam bentuk putik atau numbang, dan ada yang jatuh setelah tua. Gejala ini diterangkan oleh alQur’an dengan sangat jelas: Wahai manusia! Sekiranya kalian ragu tentang kebangkitan (hidup kembali), ingatlah bahwa Kami menciptakan kalian dari tanah, kemudian dari air mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging, yang menjadi dan tidak menjadi, agar kami dapat menerangkannya kepada kalian. Kami membiarkan apa yang Kami kehendaki dalam rahim sampai waktu tertentu. Kemudian Kami melahirkan kalian sebagai bayi. Kemudian usia kalian menjadi lanjut. Sebagian kalian ada yang diwafatkan (sebelum usia lanjut) dan sebagian kalian disampaikan ke usia tua renta sehingga ia tidak mengetahui lagi apa yang pernah ia ketahui. (QS. al-Ḥajj [22]: 5)
143 Tidak ada yang dipanjangkan umurnya atau dipendekkan kecuali telah ada dalam ketentuan. Itu sesungguhnya mudah bagi Allah. (QS. Fāṭir [35]: 11)
Bagaimanapun situasi manusia, ia pasti akan mati dan kembali kepada Allah. Dalam pernyataan kepada Nabi Muhammad saw, Allah mempertanyakan sikap orang kafir yang seolah-olah tidak ingat bahwa satu hari nanti ia pasti mengalami kematian: Tidak kepada seorang pun sebelummu, Kami pernah menjadikan kehidupan ini abadi. Bila kamu nantinya mati, apakah mereka akan hidup abadi? (QS. al-Anbiyā [21]: 34)
Ingatlah, kepada Allah kita akan kembali. Janganlah terbuai oleh pesona dunia, yang melahirkan ‘wahn’ yaitu cinta dunia dan takut mati. Maka, dalam perjalanan menuju-Nya, kita harus melakukan persiapanpersiapan. Al-Qur’an mengatakan: Berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS. al-Baqarah [2]: 197)
2. Kewajiban Sebelum Kematian Seorang mu’min sebelum berucap maupun berbuat, sejatinya dia akan mempertimbangkannya terlebih dahulu. Dan pertimbangan ini berkaitan dengan ketakwaannya kepada Allah SwT. Sebelum kematian datang, orang beriman diminta untuk betulbetul bertakwa, sebagaimana firman Allah SwT:
144 Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan menyerahkan diri (Muslim). (QS. Ali „Imrān [3]: 102)
Takwa artinya bahwa kita selalu merasakan kehadiran Allah bersama kita, dan kita selalu berusaha untuk menghindari malapetaka. Takwa tentu saja bukan sekedar ṣalat, puasa, haji, dan sebagainya tetapi juga menghindarkan diri dari malapetaka di dunia ini. Dr. Imaduddin Abdurrahim menceritakan peristiwa menarik yang pernah terjadi di Padang. Pada suatu hari, hujan turun dengan sangat lebat disertai halilintar. Keesokan harinya, orang-orang menyaksi-kan gereja tetap berdiri megah, sementara masjid disambar petir dan terbakar. Lalu kaum muslim merasa kecewa, seakan-akan Allah tidak memelihara rumah-Nya.65 Masalahnya adalah, orang Islam sendiri yang tidak bertakwa secara penuh (kurang takwa); mereka tidak menghindarkan masjidnya dari malapetaka, yaitu dengan tidak memasang penangkal petir di masjid. Demikian pula dengan hukum-hukum Allah yang diterapkan untuk kebahagiaan kita dihari kemudian. Kalau kita nanti tidak siap dengan penangkal api neraka, maka kita akan terjerumus ke dalam api neraka. Jadi, takwa bukan hanya urusan akhirat, tetapi juga urusan dunia. Maka, persiapkanlah bekal akhirat kita dengan takwa kepada Allah, yaitu dengan mengikuti ketetapan Allah di dunia dan akhirat secara seimbang (balance). Orang yang tidak lulus ujian, tidak ingat (lupa) akan pesan Allah, akan mendapatkan kehidupan yang susah di dunia dan akan dibangkitkan dalam keadaan buta di akhirat (QS. Ṭāha [20]: 124). Ia akan bertanya kepada Allah kenapa ia di butakan. Allah menjawab bahwa semasa hidup di dunia ia melupakan Allah. Itulah sebabnya pada hari itu ia pun dilupakan. Firman Allah SwT:
65
Alwi Shihab, Zikir Maut (2): Menjemput Kematian dengan Bekal Takwa dalam Qamaruddin SF (ed.), Zikir Sufi, 149.
145
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku (al-Qur’an), maka untuknya penghidupan yang sempit, kemudian Kami akan himpunkan ia pada hari qiamat dalam keadaan buta (124). Dia berkata:Ya Tuhanku! Mengapa Engkau himpunkan aku dalam keadaan buta, sedang dahulu aku melihat (125). Allah berfirman: Demikianlah (Aku buat), (karena) telah datang kepadamu ayat-ayat (keterangan) Kami, lalu engkau lupakan dia. Sebab itu pada hari ini engkaupun dilupakan pula (126). (QS. Ṭāha [20]: 124-126)
Dalam al-Qur’an, Allah mendampingkan kematian dan kehidupan pada ayat yang sama, tetapi Dia menyebut kematian lebih dahulu daripada kehidupan. Dia menegaskan bahwa kehidupan akan bermakna dengan latar belakang kematian. Keduanya didampingkan sebagai ujian untuk mendorong manusia beramal shalih. Dalam hal ini, Allah SwT berfirman: Dia yang menjadikan kematian dan kehidupan supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. al-Mulk [67]: 2)
Maka dari itu, mati bukan untuk ditakuti, tapi untuk dihadapi. Kita mengingat mati untuk menumbuhkan etos kerja, semangat berprestasi, dan berkarya dengan sebaik-baiknya. 3. Sakaratul Maut Sakaratul maut adalah sesuatu yang selalu dihindari manusia, tetapi pasti datang (QS. Qaf [50]: 19). Abdullah Yusuf Ali menyebut sakaratul maut sebagai the stupor of death atau ketidaksadaran
146 terhadap kehidupan yang sementara ini, yang akan menjadi pembuka mata terhadap dunia spiritual. Mati adalah pintu gerbang antara dua hal. Pertama, melalui gerbang itu orang akan menyadari bahwa hal-hal yang ia lalaikan atau ia pandang jauh sebelum ini merupakan kenyataan yang dekat. Kedua, hal-hal yang kelihatan besar dalam kehidupan selama ini, pada waktu itu menjadi bayangan yang telah pergi. Hal-hal yang ingin kita hindari menjadi hal-hal yang benar-benar harus kita hadapi. Baik orang yang benar ataupun orang yang jahat sama-sama menyadari kenyataan yang tidak bisa dihindari ini.66 Kata Arab sakarat berarti mabuk kepayang karena menghadapi kenyataan yang tidak mungkin dihindari. Nabi saw dilaporkan pernah bersabda dalam sebuah ḥadīth ṣahih: “Subhanallah, kematian itu sesungguhnya mempunyai sakarat.”67 Di sini, Nabi saw menggunakan bentuk jamak. Jadi, tidak hanya satu atau dua sakarat, tapi lebih dari itu. Setan sebagai musuh manusia tentu akan berusaha dengan segala cara dan upaya untuk mengalihkan diri orang-orang yang sekarat dari ingat kepada Allah. Setan berusaha keras untuk datang ketika menjelang detik-detik kematian agar seseorang yang akan meninggal mengakhiri hidupnya dengan kejelekan, kekafiran, dan kemaksiatan sebagaimana setan juga bersungguh-sungguh datang mengganggu amalan seseorang. Dalilnya adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
ِِ ِ ٍ ِ ،ضَرهُ ِعْن َد طَ َع ِام ِو ُ َْح َد ُك ْم عْن َد ُك ّل َش ْيء م ْن َشأْنو َح ََّّت ََي ُ إِ َّن الشَّْيطَا َن ََْي َ ض ُر أ ِ َفَِإذَا س َقط ُُثَّ لِيَأْ ُكلْ َها َوَال.َح ِد ُك ْم اللُّ ْق َمةُ فَػلْيُ ِم ْط َما َكا َن ِِبَا ِم ْن أَذًى ْ َ َ ت م ْن أ ِ َي َد ْعها لِلشَّيط ِ ِ َ فَِإذَا فَػرغَ فَػلْيَػلْ َع ْق أ.ان ِ َي طَ َع ِام ِو تَ ُك ْو ُن ْ َ َ ّ فَإنَّوُ َال يَ ْدري ِف أ،َُصاب َعو َ )الْبَػَرَكةُ (رواه مسلم Sesungguhnya setan mendatangi setiap kalian dalam segala keadaan. Bahkan ia akan mendatanginya di saat makan. Maka apabila makanan 66
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary, 1349. Al-Imam Abul Fida Isma‟il Ibn Katsīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsīr, IV, terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), 287. 67
147 kalian tercecer, hendaklah ia menghilangkan kotoran (yang menempel pada makanan itu) kemudian memakannya. Dan janganlah mensisakannya untuk setan. Apabila ia telah selesai, hendaklah ia menjilati jari-jarinya karena ia tidak tahu pada makanan mana terdapat berkahnya. (HR. Muslim)
Karena itu, keberhasilan untuk mengalahkan godaan setan pada saat itu akan menjadi kunci kebahagiaan di alam akhirat. Nabi saw bersabda, “Orang yang ucapan terakhirnya lā ilāha illallah akan masuk surga.”
4. Kewajiban atas Muslim yang Sakaratul Maut Bila orang yang sekarat lupa membaca ucapan lā ilāha illallah ini, maka orang yang berada di sekitarnya mempunyai kewajiban moral untuk: A) Menalkin Menalkin yaitu membisikkan/membimbingnya mengucapkan berulang ulang dua kalimat syahadat atau ungkapan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah Yang Esa, tanpa sekutu, bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya—sehingga menjadi akhir ucapannya dalam melepas kehidupannya di dunia yang fana ini. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang dikisahkan oleh Anas bin Malik ra, ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah saw menengok salah seorang yang sedang sakit keras dari kalangan Anshor, lalu berkatalah Rasulullah saw kepada orang tersebut: ‘Wahai Paman ucapkanlah tidak ada Tuhan selain Allah’ Orang itu bertanya: ‘Kerabat ibumu ataukah saudara ayahmu?’ Beliau saw menjawab: ‘Bahkan kerabat ibuku.’ Orang sakit itu bertanya lagi: ‘Apakah lebih baik untukku mengucapkan Lā ilāha illallah?’ Nabi saw menjawab: ‘Benar’.” (HR. Ahmad dengan sanad yang shahih sesuai persyaratan Muslim)
148 Menalkin dengan syahadat, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Talkinilah orang yang akan wafat di antara kalian dengan , ‘Lā ilāha illallah.’ Barangsiapa yang pada akhir ucapannya, ketika hendak wafat, Lā ilāha illallah’, maka ia akan masuk surga suatu masa kelak, kendatipun akan mengalami sebelum itu musibah yang mungkin menimpanya.” Sabda Rasulullah saw:
لَّقنُػ ْوا َم ْو ََت ُك ْم الَ إِلوَ إِالَّ للا (رواه مسلم وأصحاب السنن من طريق أيب ىريرة
)وعائشة
Ajarkan orang yang hendak mati (masih hidup) di antaramu dengan Lā ilāha illallah. (HR. Muslim dan Aṣḥabussunan dari jalan Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
Rasulullah saw dalam ḥadīth yang lain bersabda:
َات َوُى َو يَػ ْعلَ ُم أَنَّوُ َال إِلوَ إَِّال للاُ َد َخ َل ا ْْلَنَّة َ َم ْن َم Siapa saja yang wafat sedang ia meyakini bahwa sanya tidak ada Tuhan selain Allah, maka ia masuk surga.
ْ ات َال يُ ْش ِرُك َِبللِ َشْيػئًا َد َخ َل َاْلَنَّة َ َم ْن َم Barangsiapa yang meninggal sedangkan ia tidak menyekutukan Tuhan dengan sesuatu apapun, maka ia masuk surga. (HR. Muslim)
B) Mendoakan Hendaklah mendoakannya dan janganlah meng-ucapkan di hadapannya kecuali kata-kata yang baik, berdasarkan hadis yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
149
ػت فَػ ُق ْولُػ ْػو َخْي ػ ًػرا فَػِإ َّن الْ َم َالئِ َك ػةَ يػُ َؤّمنُػ ْػو َن َعلػػى َمػػا َ إِ َذا َح َ ضػ ْػرُُُ الْ َم ػ ِريْ َ أَ ِو الْ َميِّػ تَػ ُق ْولُْو َن Apabila kalian mendatangi orang yang sedang sakit atau orang yang hampir mati, maka hendaklah kalian mengucapkan perkataan yang baik-baik karena para malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan. (HR. Muslim, al-Baihaqi)
Itulah tuntunan Rasulullah saw yang paling awal sekali yang mesti dilakukan seseorang yang ketika saudaranya sesama Muslim ditimpa sakit keras hendaknya ia mengingatkan akan ‘kampung akhirat’ dan beliau saw pun memerintahkan kepada orang-orang yang hadir saat itu untuk menalkin (membisikkan/membimbing orang yang hendak meninggal agar mengucapkan syahadat). Aturan lain yang tidak kalah esensialnya adalah larangan bagi keluarga yang ditinggalkan, melakukan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah saw. Misalnya menangis meraung-raung seraya memukuli anggota badan, merobek-robek pakaian, mencukur habis rambut di kepala sebagai rasa berduka cita yang dalam dan sebagainya. Ini merupakan prilaku yang lazim dilakukan oleh umat lain yang tidak mengimani kehidupan akhirat dan adanya kebangkitan setelah kematian.68 Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya agar bersifat khusyu (tenang) dalam menghadapi kematian. Kalaulah harus menangisinya maka hendaknya tanpa diikuti dengan suara ratapan. Kejadian seperti ini pernah di contohkan Rasulullah saw ketika putra tercintanya, Ibrahim meninggal dunia. Beliau hanya bersedih hati dan menangis seraya bersabda: “Mata ini meneteskan air matanya, dan hati menjadi sedih, oleh karena itu kita hendaknya tidak mengucapkan kecuali apa yang diriḍai Allah”. Beliau saw juga mensunnahkan kepada umatnya agar senantiasa memuji dan memasrahkan diri, bersikap ridha, akan segala yang telah 68
M. Nashiruddin al-Albani, Aḥkāmul-Janā’iz wa Bid’ihā (Beirut & Damaskus: AlMaktab al-Islami, 1986), 12.
150 menjadi keputusan Allah. Sikap demikian tentu saja, tidak bertentangan atau menghalangi munculnya rasa sedih disebabkan orang yang dicintainya meninggal dunia.
5. Ḥusnul Khātimah (Akhir yang Baik) Hidup dan mati sama saja, yang penting apakah kita dapat menutup mata dan meninggalkan kehidupan ini dengan ending yang baik, ḥusnul khātimah. Untuk itu, segala cacat dan nista yang selama ini bersemayam di dalam diri dan jiwa kita harus disingkirkan dengan ikhlas. Ikhlas untuk tidak bermaksiat, ikhlas untuk menjauhi setan, ikhlas dalam mengabdi kepada-Nya… Dalam al-Qur’an terdapat penuturan mengenai Nabi Ya’qub (yang bergelar Isra’il, yakni ‘abd Allah atau hamba Allah, konon karena sangat rajin beribadah) yang bertanya kepada anak-anaknya sewaktu menghadapi sakaratul maut: Adakah kamu menjadi saksi tatkala maut menghampiri Ya’qub, ketika ia bertanya kepada anak-anaknya, Apakah yang kamu sembah (beribadah kepada-Nya) sesudahku? Mereka menjawab: Kami menyembah (beribadah kepada) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, yaitu Tuhan yang Maha Esa, dan kami semua pasrah kepada-Nya. (QS. al-Baqarah [2]: 133)
Dari penuturan kitab suci itu, tergambar tentang tindakan ‘ubudiyah yang harus disertai dengan sikap pasrah sepenuhnya (Islam) kepada Allah. Sebab, melakukan tindakan ‘ubudiyah tanpa disertai sikap
151 pasrah yang tulus, akan membatalkan makna tindakan itu sendiri, yaitu pengalaman kedekatan dan keakraban dengan al-Khāliq (Allah). Tidak dilarang bagi seorang muslim mendatangi orang kafir yang tengah menghadapi kematian (sakaratul maut) dengan tujuan untuk menawarkan keislaman kepadanya, dengan harapan ia akan masuk Islam. Hal ini berdasarkan pada hadis Anas ra, ia berkata: “Ada seorang anak Yahudi yang dahulu pernah menjadi pelayan Rasulullah saw. Ketika ia sakit, beliau saw menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepala anak itu lalu berkata kepadanya, ‘Masuklah ke dalam agama Islam’, sambil melihat ke arah ayahnya yang berada di dekatnya. Sang ayah berkata kepada putranya yang sedang sakit itu, ‘Patuhilah Rasulullah’. Maka anak itupun memeluk agama Islam. Ketika keluar Rasulullah saw bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari api neraka.’ Dan ketika mendengar ia wafat, beliau memerintahkan para sahabat: ‘Ṣalatilah sahabat kalian itu.” (HR. Bukhary, al-Baihaqi, dan Ahmad) Rasulullah saw bersabda:
)ال ِِبََوِاَتِ َها (رواه ابن ماجة من أِب سعيد اْلدرى ُ َّإَّنَا ْاأل َْع َم
Sesungguhnya amal itu terletak pada bagian penutupnya. (HR. Ibn Mājah dari Abu Sa’id al-Khudri)
6. Kehidupan Setelah Kematian Setelah mati, kita kemana? Jawabannya sedehana: Tidak ada yang tahu! Sebagian orang mengira bahwa kematian adalah kelenyapan dan tidak ada kebangkitan. Kaum Humanis di Barat menganggap bahwa setelah mati tidak ada pembalasan atas kebaikan dan kejahatan. Bagi
152 mereka, kematian sama saja dengan matinya hewan atau keringnya daun maupun tanaman. Mereka meyakini kematian pasti menjemput mereka, tetapi tidak percaya terhadap kehidupan akhirat. Bagi mereka, surga dan neraka berada di dunia ini. Kalau dianggap tidak ada kehidupan setelah ini, maka dimanakah akan diperoleh keadilan yang sejati? Dimana keadilan, yang dimuka bumi terporak poranda, akan didapatkan oleh orang yang teraniaya selama ini? Seorang Mu’min selalu percaya bahwa kalau hari ini tidak mendapatkan optimis dalam hidupnya. Dia tidak pernah merasa pesimis (putus asa) dan frustasi. Ia percaya bahwa kalau hari ini tidak mendapatkan keadilan, maka nanti ia akan mendapatkannya di hari kemudian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang manusia, yang selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan (surga) atau berbagai macam siksa dan kenistaan (neraka). Tanpa kematian, manusia tidak pernah akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan pernah mempersiapkan diri menghadapinya. Al-Qur’an menyatakan bahwa sebenarnya hari-hari yang kita lalui di dunia ini tidak lain adalah hari-hari yang semu. Kehidupan yang sempurna adalah kehidupan akhirat. Firman Allah SwT: Hidup di dunia ini, tidak lain, hanya suatu kesenangan dan permainan. Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah hayawān (kehidupan yang sempurna). Jika mereka mengetahui. (QS. al-‘Ankabūt [29]: 64)
Kata hayawān adalah bentuk kata yang menunjukkan kesempurnaan dari kata dasar hayāt. Hayāt adalah kehidupan dan hayawān adalah kehidupan yang sempurna. Jadi kehidupan yang
153 sempurna adalah hari kemudian, karena disanalah diperoleh keadilan sejati yang didambakan setiap manusia dan kenikmatan yang tiada taranya. Demikian pula kata wafat, artinya sampai pada titik yang sempurna. Maka, ketika kehidupan kita telah mencapai titik kesempurnaan, kita di katakan telah wafat. Jadi, dalam bahasa Arab, wafat, di samping bermakna ‘mati’, juga bermakna ‘telah sempurna’ (pada kehidupan duniawi). Pada bagian akhir bab ini, mungkin ada baiknya jika kita bermuhasabah tentang adanya siksa dan nikmat kubur: Dalam Sunan Abu Daud dikatakan, bahwa Rasulullah saw pernah memasuki kebun kurma kepunyaan Bani Najar. Tiba-tiba beliau mendengar suara yang mengagetkan, sehingga beliau bertanya pada orang-orang yang mengiringnya: Siapa saja orang-orang yang berkubur disini? Mereka menjawab: Wahai Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang meninggal pada masa Jahiliyah. Beliau bersabda: Kita memohon perlindungan Allah dari siksa kubur dan dari fitnah Dajjal. Mereka bertanya: Kenapa demikian wahai Rasulullah? Beliau menjawab:
ِ إِ َّن الْعب َد إِذَا و ِضع ِف قَػ ِربه وتَػوَّل عْنو أَصحابو ح ََّّت إِنَّو يسمع قَػرع نِعػاهِِم أ َََته ملَ َك ػان َْ َ ُ ْ َ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َُ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ ُ ِِ ِ ِ :الر ُج ِػل؟ لِ ُم َح َّم ٍػد فَأ ََّمػا الْ ُم ْػؤِم ُن فَػيَػ ُق ْػو ُل َّ ػت تَػ ُق ْػو ُل ِف ىػ َذا َ ْ َمػا ُكن:ُفَػيُػ ْقع َدانو فَػيَػ ُق ْوَالن لَػو ِ ك للاُ بِِو َم ْق َع ًدا ُ أَ ْش َه ُد أَنَّوُ َعْب ُد للاِ َوَر ُس ْولُوُ فَػيُػ َق َ َ أُنْظُْر إِ َل َم ْق َعد َك ِم َن النَّا ِر قَ ْد أَبْ َدل:ال ِ ِ َجيػعػا ويػ َف َّسػح لَػو ِف قَػ ِػربه سػبػعو َن ِذراعػا وََتْ َػلُ علَي ِػو خ ِ ُ فَػيػر،اْلن َِّة ض ًػرا إِ َل يَػ ْػوِم َ ْ َ َ ً َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ُ ُ َ ً ْ َ اُهَا َ َ َْ م َن الر ُج ِػل؟ فَػيَػ ُق ْػو ُل َال ُ َوأ ََّما الْ َكافُِر أَ ِو الْ ُمنَافِ ُق فَػيُػ َق.يػُْبػ َعثُػ ْو َن َّ ت تَػ ُق ْػو ُل ِف ىػ َذا َ َما ُكْن:ُال لَو ب ِِطْػَر ٍاق ُ فَػيُػ َق،ػاس ْ ُػت ُُثَّ ي َ ػت َوَال تَػلَْي َ ْ َال َد َري:ُػال لَػو ُ ْأ َْد ِرى ُكن ُ ض َػر ُ َّت أَقُػ ْو ُل َمػا يَػ ُق ْػو ُل الن ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ْ صػ ْػي َحةً يَسػػم ُع َها َمػ ْػن يَلِْيػ ِػو َغْي ػػر الثَّػ َقلَػ ض ػيَّ ُق َ ُػي َوي َ مػ ْػن َحديْػػد َ ْ ضػ ْػربَةً بَػ َ ػي أُذُنَػْيػػو فَػيَصػ ْػي ُح َْ ُ ِ ِ َضػ َػال َعوُ (رواه أمحػػد والبخػػارى ومسػػلم وأبػػو داود والنسػػائ عػػن أنػػس بػػن ْ ػف أ َ َعلَْيػػو قَػْب ػ َػرهُ َحػ ّػَّت َِْتَلػ )مالك
154 Sesungguhnya, apabila manusia telah dibaringkan dalam kuburnya, dan sahabat handai taulan (yang mengantarkan) telah pulang, hingga ia mendengar derap sepatu mereka, ia akan didatangi dua malaikat. Lalu kedua malaikat itu mendudukannya, dan bertanya kepadanya: Apa pendapatmu tentang laki-laki ini (yakni Muhammad)? Maka adapun orangorang yang beriman akan menjawab: Aku bersaksi bahwa beliau adalah hamba Allah dan rasul-Nya. Maka di katakanlah kepadanya: Lihatlah neraka sebagai tempat kembalimu, (tetapi) sungguh Allah telah menggantinya dengan tempat kembali berupa surga. Maka ia pun melihat surga dan neraka tersebut. Lalu di lapangkanlah untuknya kuburnya seluas 70 hasta, yang penuh berisi tanaman (tumbuhan) segar sampai mereka di bangkitkan (pada hari kiamat). Adapun orang kafir atau munafik, maka di tanyakan kepadanya: Apa pendapatmu tentang laki-laki ini (yakni Muhammad)? Maka ia akan menjawab: Aku sama sekali tidak tahu. Dulu aku hanya mengatakan sesuatu yang di ucapkan orang (mengenai dirinya). Maka di katakanlah (oleh malaikat itu) kepadanaya: Engkau tidak tahu, engkau tidak membaca. Kemudian dipukulkan martil (palu) terbuat dari besi dengan pukulan (yang menimpa) antara kedua telinga-nya. Ia pun berteriak dengan teriakan yang di dengar oleh semua makhluk kecuali jin dan manusia. Lalu disempitkan kuburnya sampai beradu tulang-tulang rusuknya. (HR. Ahmad, Bukhary, Muslim, Abu Daud, an-Nasai dari Anas bin Malik)
Ḥadīth ini menetapkan tentang adanya siksa dan nikmat kubur. Kalimat “yang penuh berisi tanaman (tumbuhan) segar”, berarti di sana berhembus angin yang menyegarkan, tumbuh-tumbuhan yang keindahannya tidak membosankan mata memandang sampai datangnya hari berbangkit. Ucapan malaikat kepada orang kafir atau munafik “Engkau tidak tahu” artinya “engkau tidak faham dan tidak mengenal (Nabi) Muhammad itu”, dan makna “engkau tidak membaca” engkau tidak mengetahui karena engkau tidak membaca, dan engkau tidak mengetahui dengan ilmumu sendiri, engkau tidak mengikuti nasehat para ulama. Engkau tidak membaca al-Qur’an, dan tidak engkau ikuti siapa orang yang mengerti dengan agamanya.69 69
Ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi, Asbābul Wurud 2, terj. M. Suwarta dan Zafrullah Salim (Jakarta: Kalam Mulia, 2000), hadis ke- 552.
155
Allah SwT berfirman: Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggir-pinggir (dalam keraguan). Jika ia ditimpa kebajikan tentramlah (hatinya), tetapi jika ia ditimpa cobaan (malapetaka), ia berbalik menjadi kafir. Dia telah merugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. (QS. al-Hajj [22]: 11)
156
BAB XIV KIAT ṢALAT KHUSYU’
Bila seseorang berusaha bersungguh-sungguh menjaga ṣalatnya dengan baik –Allah SwT pasti sangat mengetahui perjuangan ini– tentu Allah tidak akan menyia-nyiakan kegigihan hamba-Nya ini. Bahkan salah satu bonus yang sangat penting baginya adalah disadarkan dan dihalang-halangi dengan karunia kebesaran Allah dari perbuatan maksiat. Karena itu, bila dirasa diri kita masih sangat mudah tergelincir dalam perbuatan maksiat, Ṣalat Terus Maksiat Jalan (STMJ), boleh jadi itu merupakan indikasi (tanda) bahwa kualitas ṣalat kita masih buruk, diragukan, dan masih harus diperbaiki. Kalau dosen/guru, mahasiswa, karyawan, anak-anak, suami/istri, atasan, atau teman-teman tidak melaksanakan ṣalat dengan baik, jangan heran bila terjadi suasana yang tidak menyenangkan. Untuk menggapai mutu ṣalat yang tinggi (khushu’),70 ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelumnya. Ingatlah, kunci dari segala kesuksesan, secara syari’at, bergantung pada persiapannya. Semakin matang dan mantap dalam persiapan, maka semakin dekat dengan kesuksesan. Begitu pula kesuksesan ṣalat sangat dipengaruhi oleh kesungguhan dalam persiapan ṣalat itu sendiri. 1. Persiapan Ilmu Milikilah segera buku tentang tata cara ṣalat yang benar; baca dan pelajari dengan sungguh-sungguh, jangan sungkan untuk bertanya kepada ahlinya.71 Pengetahuan yang dimiliki akan menghapus keraguan tentang ṣalat. Faktor utama kekhusyuan ṣalat adalah pemahaman terhadap bacaan ṣalat itu sendiri. Karena itu, kita wajib memiliki buku, atau wajib mempelajari arti setiap bacaan yang dibaca. Tanpa mengerti yang 70 71
Baca, QS. al-Baqarah [2]: 45-46. Baca, QS. an-Naḥl [16]: 43.
157
158 dibaca, apa yang bisa dinikmati! Jika ‘ngobrol’ dalam bahasa yang tidak dimengerti, tentu kita tidak akan pernah konsentrasi. 2. Wuḍu yang baik Ketahuilah, berwuḍu termasuk faktor kunci dalam kekhushu’an ṣalat. Allah sangat memperhatikan siapa pun yang berwuḍu, walaupun tampaknya hanya membasuh sebagian tubuh bagian luar dengan air atau bahkan dengan debu jika bertayamum, yang tentu saja tidak akan membersihkan sekujur tubuh. Makna terpentingnya, wuḍu harus menjadi bagian pembersih jiwa karena di antara hikmahnya adalah menggugurkan dosa-dosa kecil. Oleh karena itu, setiap kali membasuh anggota badan, usahakan batin kita seperti yang sedang membasuh maksiat yang pernah dilakukan anggota badan tersebut. Iringi tetesan air yang jatuh dengan istighfar di hati; insha Allah saat berwuḍu saja sudah menjadi saat yang mengasyikan. Wuḍu yang baik membuat mental kita menjadi lebih siap untuk bersujud kepada Allah. Jangan lupa membaca doa sesudah berwuḍu dan usahakan sekuat tenaga, untuk selalu berdhikir menuju tempat ṣalat. Jangan biarkan kembali sibuk dengan masalah duniawi. Hentikan sejenak dan pusatkan perhatian untuk bersiap ṣalat yang baik. 3. Persiapan Pakaian Selain memperhatikan kesucian air untuk berwuḍu, juga sangat penting untuk diperhatikan adalah kesucian pakaian dan perlengkapan ṣalat kita, setidaknya dari dua hal, yaitu dari yang tak halal dan dari najis. Pastikan setiap barang yang melekat pada tubuh kita, dalam bentuk pakaian atau apa pun, benar-benar halal, baik dari segi bahan maupun kepemilikan. Jangan sampai ada barang yang tidak halal kita gunakan, misalnya ghaṣab yaitu menggunakan barang milik orang lain tanpa izin. Diberitakan, sebuah masjid memiliki mukena inventaris 9 buah dan ternyata semuanya hilang. Kalau sang pencuri melakukan
159 ṣalat dengan menggunakan mukena tersebut, walaupun bersimbah air mata, niscaya ṣalatnya tidak akan diterima oleh Allah SwT dikarenakan barang haram yang dipergunakannya. Perhatikan pula keindahan pakaian yang dipakai, terutama kalau hendak ṣalat di masjid. Setidaknya milikilah rasa malu; mengapa bila kita hendak berhadapan dengan pejabat selalu berusaha berpenampilan terbaik, padahal Allah SwT lebih berhak mendapatkan yang terbaik. Ikat pinggang yang erat, saku atas jangan sampai menyimpan barang yang akan jatuh sehingga mengganggu ṣalat; dan jangan lupa pakailah wangi-wangian (khususnya laki-laki) karena sunnah Rasul saw memang demikian. 4. Persiapan Tempat Usahakan selalu untuk sekuatnya ṣalat berjama’ah di rumah Allah, di masjid, terutama bagi kaum laki-laki, pada ṣalat farḍu. Carilah barisan (ṣaf) yang paling utama yaitu ṣaf paling depan; lebih baik kalau di depan kita ada penghalang, misalnya dinding atau tiang, sehingga tidak ada yang lewat di depan kita. Jangan sekali-sekali dengan sengaja duduk menghalangi orang lain lewat, karena selain ṣalat kita akan terganggu, itu juga termasuk keẓaliman karena membuat kesulitan orang lain memasuki masjid. Perhatikan juga sajadah. Hendaklah sajadah itu bersih dan upayakan agar harum atau setidaknya jangan sampai sajadahnya banyak gambar yang akan ‘mencuri’ konsentrasi kita, karena apa yang kita lihat akan merangsang pikiran untuk berpikir. Jangan sekali-kali kaum laki-laki berdiri di belakang wanita, karena selain tidak benar – walaupun situasi darurat – dalam keadaan seperti itu akan sangat sulit dicapai kekhushu’an. 5. Persiapan Waktu Biasakanlah bersiap sebelum adhan tiba dengan berwuḍu, sehingga tak tergesa-gesa dan tak diburu waktu. Tunggu dan jawablah panggilan adhan dengan seksama, karena semua itu akan sangat
160 mempengaruhi ṣalat; kualitas ṣalatnya bisa dibandingkan dengan orang yang selalu lambat serta terburu-buru. Ketahuilah, di antara amalan yang paling utama dalam pandangan Allah SwT adalah ṣalat tepat pada waktunya, atau kalau situasi sangat darurat maka setiap berkumandang adhan siapkan niat dalam hati kita untuk bisa menyempurnakan ṣalat.
6. Pelaksanaan Ṣalat agar Khushu’ Untuk mendapatkan ṣalat khushu’, hal-hal di bawah ini dapat dilaksanakan: Berdirilah dengan tenang dan mantap, tarik nafas yang wajar, agar mulai terkonsentrasi. Tidak dilarang untuk membaca surat al-Ikhlāṣ, al-Falaq, dan an-Nās, tentu dengan cara serta waktu yang memungkinkan. Tujuannya, mengkondisikan diri dan juga berlindung kepada Allah SwT dari tipu daya setan yang pasti berusaha merusak ṣalat kita. Luruskan niat dan pancangkan dalam hati, kalau akan dilafalkan, benar-benar harus dimengerti dalam hati dan tak mengganggu orang lain. Yakinilah bahwa Allah SwT sedang menatap, memperhatikan, Maha Mendengar apa pun yang terucap bahkan yakinilah bahwa Allah Maha Tahu apa pun yang terlintas dalam hati. Katakanlah sebelum memulai ṣalat, siapa tahu umur kita tak panjang; mungkin ini ṣalat kita yang terakhir. Maka bulatkanlah tekad “Aku harus mempersembahkan ṣalat ini sebaik mungkin, khushu’ atau tak khushu’ tetap aku lakukan. Aku harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk khushu”. Ketika membaca takbir, usahakaanlah sekuat tenaga penuh dengan kesadaran, Lisan kita menyebut Allahu Akbar, dan hati kita mengikutinya dengan meyakini bahwa hanya Allah lah yang Maha Besar, Penguasa alam semesta. Dunia ini sangat tidak berarti bagi kebesaran Allah SwT. Apalagi diri kita. Kita teramat kecil, tidak ada apaapanya sama sekali. Upayakanlah untuk tidak membesarkan apa pun
161 dalam ṣalat kita, karena memang “segala sesuatu selain Allah tidak ada artinya bagi Allah yang Maha Besar”. Tundukkan kepala dengan tawaḍu’, pusatkan pandangan ke tempat sujud dengan teduh, tak perlu dipejamkan rapat-rapat karena kita pun harus tetap mengetahui situasi – siapa tahu ada yang membahayakan. Mulailah membaca bacaan ṣalat dengan tenang penuh pemahaman. Bacaan ṣalat harus dibaca dengan tartil; setiap bacaan yang disebut lisan, upayakan diikuti dengan pemahaman dalam hati sehingga sangat nikmat, komunikatif, dan khushu’. Jangan tergesa-gesa, begitu pula dalam bacaan surat pendek. Pilihlah surat yang paling dimengerti dan yang berkaitan dengan kebutuhan kita, karena ini pun akan membantu kita lebih khushu’, misalnya surat al-Baqarah 3 ayat terakhir atau surat al-Insyirah bisa dibaca ketika kita sedang menghadapi ujian karena isi surat tersebut harapan dan doa agar tidak diberi musibah yang berat serta keyakinan akan datangnya pertolongan Allah sesudah kesulitan. Seusai membaca bacaan sunnah, jangan langsung takbir; tunggu sesaat sehitungan nafas; lalu takbir lah dengan penuh penjiwaan dan ruku’ lah dengan tuma’ninah. Jangan tergesa-gesa; setiap bacaan ruku’, pahami artinya dan rasakanlah keagungan Allah yang menguasai alam ini: Maha Suci Allah yang Maha Agung. Lalu bacalah: “Sami’ Allahu liman hamidah”. Semoga Dia mengijabahi orang yang menshukuri-Nya. Kemudian kita tambahi dengan bacaan “Rabbana lakal hamdu” untuk memuji-Nya dengan sepenuh hati. Karena hanya Allah lah satu-satunya tujuan hidup kita. Dia lah yang layak dipuji. Perhatikan juga ketika sujud. Sujud merupakan derajat ketundukan yang paling tinggi, digambarkan dengan menempelkan anggota tubuh yang paling berharga, yaitu wajah, ke tanah sehingga kita berada di tempat kerendahan. Di situlah (dari tanah) kita berasal dan akan kembali menjadi tanah pula. Pada saat itulah hendaknya kita merasakan keagungan Allah dalam hati dengan mengucap “Subḥana Rabbiyal A’la” dan bersungguh-sungguh mengharap riḍa Allah. Karena sesungguhnya Dia lah sebaik-baik pemberi rahmat.
162 Ketika duduk, duduklah dengan penuh adab dan nyatakanlah bahwa semua shalawat serta kebaikan – yang berupa akhlak yang suci – semata-mata milik Allah; hadirkan Nabi saw dan pribadinya yang mulia dalam hati dengan harapan takut. Dan yakinlah bahwa doa kita sampai kepada-Nya. 7. Salam Perpisahan Setelah mengucap dua kali salam, berdoalah dengan sikap tawaḍu’, khushu’, merendah diri, dan berharap doa kita akan di ijabah. Sertakan kedua orangtua dalam setiap doa yang kita ucapkan, juga kaum Muslimin lainnya. Anggaplah bahwa ṣalat yang kita lakukan adalah ṣalat yang terakhir, karena siapa tahu kita tidak akan bertemu lagi dengan ṣalat selanjutnya, selama-lamanya, karena ajal telah tiba. ۞ Catatan 1: Sujūd Di antara sujud dan rukuk dalam ṣalat farḍu, akan kita dapatkan jumlah sujūd jauh lebih banyak dua kali daripada rukuk. Begitu pula organ-organ tubuh yang menopang terciptanya kesempurnaan sujūd, jelas lebih banyak. Hal ini menegaskan kepada kita sebagai hamba Allah SwT bahwa dengan sujudlah seseorang dapat lebih memahami eksistensi dirinya yang tercipta dari tanah dan akan kembali ke tanah pula. Di dalam al-Qur’an, begitu banyak ayat yang menjelaskan bahwa makhluk yang ada di langit maupun di bumi seluruhnya bersujūd dan bertasbih kepada Allah SwT. Bahkan, bayang-bayang pun bersujūd. Padahal, secara kasat mata ia hanya dapat bergerak mengikuti benda aslinya. Berkaitan dengan ini Allah SwT berfirman:
163 Hanya kepada Allah lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (QS. ar-Ra’d *13+: 15)
Maka dari itu, sujud dalam ṣalat adalah sujūd ibadah (penyembahan), dan merupakan salah satu dari rukun ṣalat yang tidak boleh ditinggalkan. Dengannya, Allah SwT mengajarkan kepada manusia satu-satunya bentuk pengagungan yang dikhususkan kepada yang Maha Agung (al-Aẓīm), pemuliaan kepada yang Maha Mulia (al-Karīm), dan pendekatan kepada yang Maha Pencipta (al-Khāliq), serta pengakuan akan segala kelemahan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya. Dalam kaitan ini, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya sujud dengan cara memanjangkannya. “Sesungguhnya waktu yang paling dekat dengan Allah SwT adalah di saat sujud, maka panjangkanlah sujūdmu.” Lalu, apakah sujūd terhadap Nabi Adam as yang Allah SwT perintahkan kepada para malaikat setelah penciptaannya sebagai khalifah merupakan sujūd ibadah (penyembahan)? Tidak. Sujūdnya para malaikat dan Iblis terhadap Nabi Adam as dikategorikan sebagi sujūd penghormatan. Di samping itu, sujud juga dipahami sebagai salah satu sarana dan waktu yang utama untuk berdoa dan bermunajat. Saat sujūd, seseorang dapat mengadukan dan meminta hanya kepada Allah SwT semata, tanpa tendensi ingin dipuji oleh orang lain. Imam Ṣadiq menegaskan dalam kitab Bihārul Anwār akan pentingnya waktu sujūd demi terkabulnya doa. Beliau berkata, “Hendaklah kalian berdoa di akhir-akhir ṣalat, sesungguhnya itu akan dikabulkan.” ۞ Catatan 2: Masuk Islam karena Urat Saraf Allah SwT berfirman:
164 Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (QS. Ali ‘Imrān [3]: 190)
Seorang dokter neurologi72 di Amerika telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang ditemukan dalam penyelidikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak dapat diterima oleh akal pikiran. Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk memeluk agama Islam, dokter tersebut mengatakan bahwa dalam kajian saraf yang dilakukannya, ia menemukan bahwa terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia yang tidak dapat dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara lebih normal. Setelah membuat kajian yang memakan waktu lama, akhirnya ia menemukan bahwa darah tidak dapat memasuki urat saraf tersebut, melainkan orang tersebut melakukan ṣalat yaitu ketika sujūd. Urat saraf tersebut memerlukan darah pada saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikuti kadar waktu ṣalat yang diwajibkan oleh Allah SwT.73
72
Neurologi adalah spesialisasi medis yang berkaitan dengan studi tentang struktur, fungsi, dan penyakit serta gangguan pada sistem saraf. Dokter spesialis neurologi disebut ahli saraf. Lihat, www.kamuskesehatan.com>arti>neurologi. 73 Masuk Islam karena Urat Syaraf, dalam majalah Annida No. 06/X/ Desember 2001, Jakarta.
165
BAB XV KUNCI MERAIH KESUKSESAN
1. Usaha-usaha untuk Meraih Mimpi Ketika kita menginginkan agar cita-cita kita tercapai tentu harus ada usaha-usaha yang kita lakukan, karena dalam al-Qur’an Allah SwT berfirman: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (QS. ar-Ra’du *13+: 11)
Rumus 1: Usaha-usaha Meraih Mimpi itu tidak lain adalah melakukan beberapa langkah berikut: (1). Kita harus punya niat yang baik, (2). Berpikir positif, (3). Istiqamah. Rumus 2: Ada nasihat bijak yang lain, bahwa setinggi apapun keinginan (cita-cita), insha Allah akan dapat diraih dengan dua syarat, yaitu: (1). Keyakinan (believe) untuk dapat meraihnya, (2). Cinta (love) dengan apa yang diinginkan. Dikatakan, bukan titik yang membuat tinta, tapi tinta yang membuat titik, bukan cantik yang membuat cinta, tapi cinta yang membuat cantik. Jadi, kalau sudah cinta apapun menjadi cantik. Karena, cantik itu relatif sedangkan jelek itu mutlak. 166
167
Rumus 3: Nasihat bijak lainnya, bila kita ingin meraih sesuatu yang kita citacitakan, rumusnya adalah 3Q 1U, yaitu:
ٌ ُع ْزلَة, قِلَّةُ الْ َكالَِم, قِلَّةُ الْ َمنَ ِام,قِلَّةُ الطَّ َع ِام
Qillah at-Tha’ām, Qillah al-Manām, Qillah al-Kalām,‘Uzlah. (1). Qillah at-Tha’ām (sedikit makan)
Qillah at-Tha’ām maksudnya adalah menyedikitkan makan atau banyak berpuasa. Makan banyak akan menambah gelap hati, sedangkan makan sedikit akan menambah tenang hati. Sedikit makan agar tidak pemalas, mengantuk dan bisa menekan nafsu syahwat. (2). Qillah al-Manām (sedikit tidur) Qillah al-Manām maksudnya adalah menyedikitkan tidur atau banyak bangun malam untuk membuat kegiatan positif, supaya bertambah kesadaran ruhani. Tidur kurang adalah untuk memperbanyak ibadah kepada Allah. Terkait dengan hal ini, Allah SwT berfirman: Sebutlah nama Tuhanmu setiap pagi dan petang (ṣalat ṣubuh, ẓuhur, dan aṣar) (25). Pada malam hari hendaklah engkau sujud kepadaNya (ṣalat maghrib dan isha) dan tasbihlah (ṣalat tahajud) pada malam yang panjang (26). (QS. ad-Dahr [76]: 25-26)
168 Dan pada sebagian malam, lakukanlah ṣalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat mu ke tempat (maqam) yang terpuji (QS. al-Isrā‟ [17]: 79)
(3). Qillah al-Kalām (sedikit bicara) Qillah al-Kalām maksudnya adalah menyedikitkan bicara atau hanya berbicara yang bermanfaat setelah melalui proses perhitungan terbaik, penuh hati-hati, agar supaya tidak sampai menyakiti lawan bicara ataupun mengandung dosa. Firman Allah SwT: Dan para hamba Allah (Ar-Rahmān) yang baik, yaitu orang-orang yang berjalan (menempuh perjalanan hidupnya) di atas bumi dengan tenang/ merendah hati, dan ketika disapa oleh para juhala (orangorang bodoh), dengan ejekan, maka jawaban mereka dengan ucapan yang penuh hati-hati/berisi selamat. (QS. al-Furqān [25]: 63)
Terkait dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda:
ِ َخ ِر فَػ ْليػ ُقل خيػرا اَو لِيصم ِ من َكا َن يػ ْؤِمن َِبللِ والْيػوِم اْأل َوَم ْن،ت ْ ليَ ْس ُك/ت ْ ُ ْ َ ْ ًَْ ْ َ َْ َْ َ ُ ُ ِ َكا َن يػ ْؤِمن َِبللِ والْيػوِم اْأل َوَم ْن َكا َن يػُ ْؤِم ُن َِبللِ َوالْيَػ ْوِم،َُخ ِر فَػ ْليُ ْك ِرْم َج َاره َْ َ ُ ُ ِ )]47 :] ومسلم [رقم6018 :ض ْيػ َفوُ (رواه البخاري [رقم َ ْاألَخ ِر فَػلْيُ ْك ِرْم Barangsiapa mengaku beriman kepada Allah dan hari kemudian hendaklah ia berkata yang baik atau diam, memuliakan tetangganya, dan memuliakan tamunya (HR. Bukhari [No. 6018] dan Muslim [No. 47])
169
(4). ‘Uzlah (fokus). ‘Uzlah maksudnya adalah mengisolir diri, mengurangi pergaulan dan menjauhi keramaian untuk fokus meraih sesuatu dengan tujuan tidak terganggu ketenangannya dan menghindari pengaruh negatif. Mengurangi pergaulan akan mempersempit kemungkinan untuk mengadakan percakapan yang tidak berguna atau fitnah serta bohong. Dikatakan, bahwa sebenarnya perbedaan antara Muhammad saw dengan umatnya (kita) itu hanya sedikit.
Nabi
Di mana perbedaannya? Kalau Nabi sedikit makan, kalau umatnya sedikit-sedikit makan. Kalau Nabi sedikit tidur, kalau umatnya sedikit-sedikit tidur. Kalau Nabi sedikit bicara, kalau umatnya sedikit-sedikit bicara. … Rumus 4: Nasihat lainnya adalah dari Syekh Al-Zarnuji dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim, sebagai berikut:
ِِ ِ ِأ ٍ اد َ ََخي لَ ْن تَػن ٌ اجتِ َه َ ال الْعِلْ َم إِالَّ بِ ِست ٍَّة َسأُنْبِْي ْ ص َو ٌ ذَ َكاءٌ َوح ْر:ك َع ْن تَػ ْفصْيل َها بِبَػيَان ٍ وِدرىم وصحبةُ أُستَ ٍاذ وطُو ُل َزم ان َ ْ َ ْ َْ ُ َ ٌ َْ َ Wahai saudaraku! Engkau tidak akan sampai pada puncak intelektual (mendapatkan ilmu) kecuali dengan enam perkara, yang akan ku kabarkan berikut perinciannya dengan jelas, yaitu: (1). Kecerdasan, (2). Semangat (haus terhadap ilmu), (3). Kesungguhan, (4). Harta benda (bekal), (5). Bergaul (tadzim) dengan guru, serta
170 (6). Waktu (jenjang) yang panjang. 74
2. Berpikir Positif seperti Nabi Yusuf as Kalau kita membaca sejarah Nabi Yusuf as yang ditinggalkan di padang pasir di sumur tua sendirian adalah trauma yang melebihi dari sakit kronis, karena orangtua meninggal, atau karena kesulitan ekonomi bahkan mungkin karena kesepian. Pertanyaannya: Kenapa ia tidak sakit jiwa? Kemudian ketika beliau ditanya bagaimana kalau ingat dahulu anda ditinggal di sumur tua di padang pasir, beliau dengan ringan menjawab: “Jika dahulu saya tidak ditinggalkan barangkali saya tidak jadi raja.” Begitulah jiwa yang mantap, pemaaf dan maju ke akhirat dengan bereaksi secara positif, sedangkan orang yang kepribadiannya rapuh cenderung bereaksi negatif atau juga mundur, pendendam, seperti anak kecil. Inilah kepribadian yang susah berkembang yang umumnya terjadi. Ada sebuah pertanyaan, Assalamu ‘alaikum: dokter yang saya hormati. Saya punya satu pertanyaan terkait dengan keluarga saya. Begini dok, saya memiliki saudara yang mengalami gangguan jiwa setelah ia dicerai oleh suaminya. Apakah perceraian itu yang menjadi penyebab penyakitnya? Atas jawabannya saya ucapkan banyak terima kasih. Wassalam. Jawabannya: Pertanyaan anda pertanyaan yang baik, bahkan sebagian besar teori mengatakan begitu. Dalam batas-batas tertentu hal itu mungkin saja, akan tetapi ada hal yang lebih berperan yaitu faktor dalam dirinya atau disebut juga sebagai faktor konstitusi. Faktor konstitusi ini memengaruhi cara bereaksinya. Kalau perceraian sebagai penyebab tentu setiap perceraian akan menyebabkan orang sakit jiwa.75
74
Lihat, kitab Ta’lim al-Muta’allim, Ṭarīq al-Ta’allum (Bimbingan bagi Para Penuntut Ilmu), Fasal: III. 75 Dr. Fuadi Yatim, SpKJ (Spesialis Kesehatan Jiwa), Gangguan Jiwa Karena Cerai?dalam Majalah Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Vol. II No 1/ Okt-Nov/ 2006, 13.
171
172
BAB XVI KISAH-KISAH YANG MENGINSPIRASI
۞ Kisah 1: SUDAH TIBA SAATNYA (Kisah Fuḍail bin Aiyaṭ)
Fuḍail bin Aiyaṭ hidup di zaman Harun al-Rashīd (Khalifah ke 5 Bani Abassiyah).76 Fuḍail pada permulaan hidupnya adalah seorang penjahat, suka mencuri dan merampok. Setiap malam ia pergi beroperasi. Pada suatu malam, ia ingin melakukan operasinya, akan mencuri pada sebuah rumah yang bertingkat tinggi. Ia memanjat naik ke atas loteng rumah, yang akan dijadikannya sasaran malam itu. Setelah sampai di atas loteng, ia mengintip ke bawah, terlihat olehnya seorang wanita sedang membaca al-Qur’an dengan suara yang sayup-sayup sampai. Didengarkan nya suara tersebut, baik-baik, kebetulan (ayat 16 surat al-Ḥadīd [57]): Belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman, supaya hati mereka khushu’ mengingat Allah dan kepada kebenaran (al-Qur’an) yang telah diturunkan-Nya (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya. Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu
76
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), cet. XV, 153-
155.
173
174 hati mereka menjadi keras dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang fasik. (QS. al-Ḥadīd [57]: 16)
Ketika ia mengintip dari atas loteng itu, tiada seorang pun yang tahu. Selesai satu ayat itu didengarnya, ia meluncur turun dan pulang ke rumahnya, rencana jahatnya semula diurungkannya. Sesudah peristiwa malam itu, ia tertarik untuk masuk Islam dan mempelajari ajaran Islam dengan tekun. Sampai akhirnya ia menjadi seorang ahli Tasawuf yang terkenal di zaman pemerintahan Harun alRashīd, masalah dunia tidak pernah dipikirkannya lagi, hari-harinya dihabiskan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Tidak banyak riwayat hidupnya, yang perlu diuraikan di sini, cukup sekedar gambaran betapa berubahnya Fuḍail dari seorang pencuri dan penjahat yang tak mengenal agama sama sekali, berubah seketika menjadi orang baik yang mengabdikan dirinya untuk agama.
Jadilah orang yang Pintar Merasa dan janganlah menjadi orang yang Merasa Pintar. Orang yang Merasa Pintar itu biasanya akan menjadi sombong, sedangkan orang yang Pintar Merasa akan menjadi bijaksana. Karena itu, orang yang Pintar seharusnya Pintar Merasa. Hadapilah orang yang Merasa Pintar dengan Pintar Merasa.
175
۞ Kisah 2: MENGUJI KESADARAN
Al-kisah, pada suatu ketika seorang raja yang sering mendapat kritik pedas dari rakyatnya, ingin menguji “kesadaran” rakyat di kotanya dengan memerintahkan setiap warga agar pada suatu malam yang ditetapkan membawa “sesendok madu” untuk dituangkan ke dalam sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota. Seluruh warga kotapun memahami benar perintah tersebut dan masingmasing menyatakan kesediaan untuk menyukseskan “hajatan akbar” tersebut dengan penuh kesungguhan. Tetapi dalam pikiran si fulan (sebut saja begitu) terlintas gagasan untuk mengelak, “Ah, aku bawa saja “sesendok air” untuk dituangkan ke dalam bejana. Toh sesendok air tidak akan mempengaruhi isi bejana yang kelak akan dipenuhi dengan isi madu oleh seluruh warga kota,” pikirnya. Maka waktu yang ditetapkan sang raja pun tiba. Apa yang terjadi? Ternyata seluruh isi bejana itu dipenuhi dengan air. Rupanya semua warga kota memiliki pikiran yang sama dengan si fulan. Tampaknya mereka saling mengharapkan sambil membebaskan diri dari tanggung jawab, agar warga lainnya siap membawa dan mengisi bejana itu dengan madu, namun kenyataannya semua warga ingin membebaskan diri dari tanggung jawab itu. Maka terjadilah malapetaka yang sebenarnya sudah diduga oleh sang raja bahwa tak sesendok pun madu akan tercurah ke dalam bejana. Raja tentu mafhūm sembari geleng-geleng kepala.77 “Ternyata rakyatku belum dewasa, mereka rajin mengkritik dan menuntut hak tapi tak rajin menjalankan dan memenuhi kewajibannya,” ucapnya getir.”
77
M. Amin Akkas, The Power of Santri (Jakarta: Mediacita, 2007), 71
176 Substansi cerita ini disampaikan kembali oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Pakar tafsir ini kemudian mengutip al-Qur’an yang menegaskan bahwa:
Katakanlah (hai Muhammad), inilah jalanku, aku mengajak ke jalan Allah disertai dengan “pembuktian” yang nyata, aku bersama orang-orang yang mengikutiku. Mahasuci Allah dan tidaklah aku termasuk orangorang yang musyrik. (QS. Yusuf [12]: 108)
Seolah-olah ingin menyindir watak masyarakat kita dewasa ini yang sering mengabaikan tanggung jawab, namun rajin menuntut hak yang kadang tak masuk akal itu. Quraish Shihab menuturkan, “Redaksi ayat di atas mencerminkan bahwa seseorang harus memulai dari dirinya sendiri disertai dengan pembuktian yang nyata atas ucapan-ucapannya, baru kemudian ia melibatkan orang lain yang menjadi pengikutpengikutnya.” Rasulullah saw bersabda:
ِ )ك (رواه مسلم والنساء والبيهقى َ ابْ َدأ بِنَػ ْف ِس Mulailah dari dirimu sendiri (Mulailah dari yang terkecil dan Mulailah 78 dari sekarang). (HR. Muslim, Nasā’i, Baihaqi).
78
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Irwaul Ghalil fī Takhrīj Ahādith-i Manaris Sabīl (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1979), Juz 3, No. Hadis 833, 315.
177
۞ Kisah 3: MERAIH SIMPATI (Kisah seorang Ayah berserta Anaknya dan Keledai)
Lukman al-Hakim berwasiat kepada anaknya, "Duhai anakku, janganlah kau jadikan hatimu terpaut dan tergantung pada simpati, pujian, dan makian manusia. Karena, hal itu tak akan bisa diraih sekalipun manusia berupaya keras untuk menggapainya sesuai dengan kemampuan maksimalnya." Sang anak kemudian meminta ayahnya memberikan contoh nyata yang bisa dilihatnya sendiri dari pesan tersebut. Keduanya keluar bersama hewan tunggangan (Keledai). Lalu, Lukman menaikinya dan membiarkan anaknya berjalan di belakangnya. Kemudian keduanya melewati suatu kaum dan mereka pun berkomentar (mengkritik). "Ini orangtua keras sekali hatinya, sama sekali tak punya belas kasihan, ia menaiki kendaraan, padahal ia lebih kuat dari anaknya, sementara anaknya dibiarkan berjalan di belakangnya. Ini penataan yang jelek." Lukman pun berucap kepada anaknya. "Kamu dengar ucapan dan penolakan mereka terhadapku yang menaiki hewan dan membiarkanmu berjalan?" Lukman kemudian meminta anaknya menaiki keledai itu. Begitu melintasi masyarakat yang lain, mereka berkata, "Ini orangtua dan anak jelek sekali kelakuannya. Mengapa orang tua itu tak mendidik anaknya sehingga ia sendiri naik kendaraan, sedangkan ayahnya dibiarkan berjalan di belakangnya. Padahal, orangtua lebih
178 berhak untuk dimuliakan dengan memberinya kesempatan naik kendaraan. Anak itu sungguh durhaka kepada orangtuanya." Mendengar ucapan itu, Lukman pun mengingatkan anaknya untuk tetap mendengarkan pendapat masyarakat atas perbuatan mereka. Ingin mendapatkan perkataan yang lain, Lukman dan anaknya lalu bersamasama menaiki keledai itu. Mereka pun melewati suatu kaum. Tak lama berselang, kembali muncul perkataan menyindir Lukman dan anaknya. "Kedua penunggang hewan ini sama sekali tak punya belas kasihan dan tiada kebaikan dari Allah sedikitpun pada keduanya. Seekor hewan dinaiki dua orang, sungguh sangat membebani dan dapat menyakiti hewan tunggangan itu. Padahal jika yang satu naik, lalu yang satunya lagi berjalan, itu lebih baik dan lebih punya rasa kasihan," ujar kaumnya. Lukman pun kembali bertanya kepada anaknya, "Kamu dengar ucapan mereka?" "Ya," jawab anaknya. "Kalau begitu, mari kita biarkan hewan itu berjalan sendiri dan tidak kita tunggangi." Keduanya menuntun hewan tersebut dengan diapit di antara keduanya. Dan ketika melewati suatu kaum, mereka pun berkata, "Aneh sekali kedua orang ini. Mereka biarkan hewan itu berjalan sendiri tanpa penumpang dan keduanya pun berjalan kaki." Lalu akhirnya keledai itu digotong oleh mereka berdua.” Mereka semua mengecam tindakan Lukman dan anaknya itu, sebagaimana keduanya mendapat kecaman dari masyarakat yang dijumpai sebelumnya. Lukman berkata kepada putranya. "Kamu lihat, bagaimana hasrat untuk meraih simpati manusia itu sebagai suatu keinginan yang mustahil (absurd)? Maka, janganlah kamu menoleh dan bergantung kepada mereka, tapi sibukkanlah dirimu dalam meraih riḍa Allah. Karena, di dalamnya ada aktivitas yang efektif, ada kebahagiaan dan penerimaan, baik di dunia maupun di saat hari penghitungan dan pertanyaan." Pada akhirnya, bagaimanapun kita harus memilih. Jangan seperti kisah seorang ayah berserta anaknya dan keledai. Itu adalah pelajaran mengenai apabila kita terlalu banyak memperhatikan pendapat orang. Oleh sebab itu, kita harus menggunakan falsafah yang dikenal dalam bahasa Arab,
179
ضى النَّاس َغايَةٌ الَ تُ ْد َرْك َ ِر Persetujuan semua orang itu, sebaik apa pun, adalah suatu hal yang tak pernah bisa dicapai.
Tetapi kemudian,
َُما الَ يُ ْد َرُك ُكلُّوُ الَ يػُْتػَرُك ُكلُّو Jadi, karena tidak bisa semuanya, maka yang ada saja dimanfaatkan.
۞ Kisah 4: LINGKUNGAN AYAM
Al-Kisah, ada seorang petani yang menemukan sebutir telur di ladangnya, dan baru sadar bahwa telur itu adalah telur seekor Elang, kemudian telur itu dibawa pulang ingin disantap, dimasak – tapi, karena bentuknya yang indah petani itu merasa sayang. Nah karena merasa sayang, kemudian daripada dia memakan telur itu, dia kemudian mengeramkan telur itu pada Ayam yang dimilikinya. Nah akhirnya, telur itu dierami oleh Ayam dan akhirnya menetas, dan dari telur Elang itu lahirlah anak Elang dan juga lahir anak-anak Ayam. Nah akhirnya, anak Elang ini bergaul, berinteraksi, kemudian berperilaku seperti anak-anak Ayam. Kenapa? Karena dipelihara oleh keluarga ayam. Nah akhirnya apa? Hari berganti hari, waktu berlalu demi waktu, Elang ini secara pisik berubah bentuknya, berbeda dengan anak-anak Ayam yang lain, kukunya tambah panjang, paruhnya tambah besar dan tambah panjang juga, sayapnya menjadi lebih lebar dan lebih kokoh. Tapi, karena hidup di lingkungan Ayam, sampai dia mati–dia tidak mampu mengepakkan
180 sayapnya, dia tidak mampu menggunakan paruhnya yang demikian tajam, dan juga tidak mampu menggunakan cengkramannya yang demikian luar biasa kekar. Nah pelajaran apa yang bisa diambil disini? Bahwa sebenarnya banyak anak-anak Negeri ini, mungkin terlahir punya kualitas seperti Elang yang mampu terbang menaklukkan berbagai lembah, mampu menaklukkan samudera dan lautan, tapi karena hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif, seperti lingkungan anak-anak Ayam, tak pernah potensi besar itu dipakainya untuk menaklukkan negeri ini bahkan menaklukkan wajah dunia.
Penulis bersama dengan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, melepas penerima program beasiswa 5.000 Doktor Tahun 2015 di halaman Kementerian Agama RI. Senin, 24 Agustus 2015/ 9 Dzulqa’dah 1436 H, jam 12.30 WIB. Mereka akan menempuh studi di sejumlah Perguruan Tinggi Dalam dan Luar Negeri.
181
۞ Kisah 5: KERJA TUNTAS
Bila diklasifikasikan, terdapat 4 istilah kerja, yaitu: Kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, dan kerja tuntas. Kerja keras dilakukan dengan menggunakan otot physique, kerja cerdas dengan akal, kerja ikhlas dengan hati, dan kerja tuntas dengan manajemen yang baik. Berkaitan dengan kerja tuntas, ada kisah menarik yang menunjukkan bahwa Pengalaman adalah Guru yang paling baik (Experience is the best Teacher), sbb: Dikisahkan bahwa dulu ada seorang anak muda yang profesinya adalah memecahkan batu menggunakan palu besar (godem), biasanya setiap satu batu besar dapat ia pecahkan dengan memukul batu tersebut sebanyak 100 kali pukul. Suatu hari anak muda tersebut mendapati satu batu besar yang akan dia pecahkan, tapi setelah 100 kali pukul, tetap saja batu tersebut tidak pecah juga, lalu ia tinggalkan batu tersebut. Lalu ada seorang kakek tua yang memukul batu tersebut hanya dengan 5 kali pukulan, lalu batu itu pecah.
182 Setelah itu, banyak orang yang memberi pujian dengan mengatakan bahwa kakek tua itu hebat, kuat, sakti, … dst. Lalu apa kata kakek tua tersebut? Kakek tua tersebut menjawab: Sebenarnya kakek tidak hebat …, memang untuk memecahkan batu yang ini syaratnya harus dengan 105 kali pukul, jadi anak muda itu kurang 5 kali pukulannya. Dengan belajar dari kisah tersebut, akan disadari bahwa bagaimanapun sulitnya persoalan (sebagaimana dialami anak muda dalam kisah di atas)_pasti ada solusinya. Belajarlah dari orangtua di atas. Belajarlah kepada banyak guru, namun ketahuilah, bahwa dari sekian banyak guru, pengalaman adalah guru yang paling baik, guru yang paling baik adalah guru yang berpengalaman, pengalaman yang paling baik adalah pengalaman menjadi guru, … “lama hidup banyak dirasai, jauh di jalan banyak dilihat”.79 ۞ Kisah 6: BELAJAR DARI ALAM SEMESTA
Suatu saat ketika Dzunnun al-Misri sedang bepergian, dia melihat kalajengking merayap ke pinggir sunggai Nil dengan cepat. Dzunnun alMisri mengikutinya karena ingin tahu. Ia ingin mendapat pelajaran dari apa yang ia lihat, bukan dari apa yang ia dengar. Ketika kalajengking itu mendekati tepian sungai Nil, tiba-tiba dari dalam sungai muncul katak. Kalajengking langsung menaiki punggung katak itu. Kemudian katak mengantarkannya ke seberang sungai. Melihat itu Dzunnun al-Misri mengambil perahu dan mengejarnya. Sampai di seberang sungai, kalajengking itu masih juga berjalan. Pada satu tempat di tepian sungai Nil, ada seorang anak muda sedang tertidur lelap. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, datang seekor ular berbisa yang mau mematuk anak muda itu. Belum sampai ular kepada pemuda itu, kalajengking menyergapnya. Terjadilah perkelahian antara kedua binatang itu dan berakhir dengan kekalahan ular. Ular mati dijepit kalajengking. 79
Aminuddin Rasyad, Teori Belajar dan Pembelajaran, 119.
183 Setelah itu kalajengking kembali lagi ke tepian sungai Nil. Lalu muncul lagi katak itu untuk menyebrangkannya ke tempat semula. Apa yang dapat diperoleh dari pelajaran itu? Dzunnun al-Misri menyimpulkan, betapa seringnya Allah melindungi kita tanpa kita ketahui. Begitu sayangnya Tuhan kepada kita, sampai ketika kita tidur dan tidak berdaya menghadapi bahaya, Tuhan masih melindungi kita. Tanpa sepengetahuan kita, Tuhan menjaga kita. Anak muda yang ditemukan Dzun Nun al-Misri itu bukan seorang waliyullah; ia hanya seorang manusia biasa. Tapi Tuhan tetap menjaga dia. Dzun Nun al-Misri memperoleh pelajaran yang sangat berharga, bukan dari nasihat mubaligh tetapi dari apa yang dia saksikan di alam semesta ini.80
۞ Kisah 7: ANAK KECIL YANG BERILMU PENGETAHUAN
Diriwayatkan dari Iyas ibn Muawiyah, beliau belajar berhitung di sekolah milik seorang Yahudi ahlu adz-dzimmah. Para sahabat guru tersebut sedang berkumpul, dan berbicara tentang ajaran agama. Iyas mendengarkan pembicaraan mereka tanpa mereka sadari. Guru itu berkata kepada para sahabat Yahudinya, “Apakah kamu tidak merasa heran dengan umat Islam, mereka mengatakan bahwa mereka makan di dalam surga dan mereka tidak buang air.” Iyas menoleh kepada gurunya dan berkata, “Wahai guru, apakah saya diizinkan untuk berbicara tentang apa yang kalian bicarakan?” Guru itu berkata, “Ya.”
80
Sukardi K.D, (ed.), Salat dalam Perspektif Sufi, 133.
184 Iyas berkata, “Apakah semua makanan yang dimakan di dunia dikeluarkan menjadi kotoran?” Guru Yahudi itu menjawab, “Tidak.” Iyas berkata, “Kemanakah perginya makanan yang tidak keluar itu?” Guru itu menjawab, “Menjadi gizi bagi tubuh.” Iyas berkata, “Jika sebagian makanan yang anda makan di dunia menjadi gizi bagi tubuh, mengapa anda mengingkari jika semua makanan surga itu menjadi gizi bagi tubuh?” Guru itu mengangkat tangannya dan berkata, “Sungguh kamu sangat cerdas, wahai bocah.”
۞ Kisah 8: ANAK MENASIHATI AYAHNYA
Diriwayatkan bahwa ketika Abu Yazid Ṭaifur ibn Isa al-Busṭami menghafal ayat, Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk ṣalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya). (QS. al-Muzammil [73:] 1-2),
ia berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, siapakah yang dikatakan Allah dalam ayat ini?”
185 Ayahnya menjawab, “Wahai anakku, dialah Nabi Muhammad saw.” Ṭaifur berkata, “Wahai ayah, mengapa engkau tidak melakukan seperti apa yang dilakukan Nabi?” Ayahnya menjawab, “Wahai anakku, Tahajjud itu dikhususkan untuk Nabi Muhammad saw, bukan untuk umatnya.” Ṭaifur terdiam. Selang beberapa hari Ṭaifur menghafal ayat, Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (ṣalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. (QS. al-Muzammil [73]: 20).
Ṭaifur berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, aku mendengar ada segolongan manusia melaksanakan ṣalat Tahajjud dan mendirikan malam. Siapakah golongan ini?” Ayahnya menjawab, “Wahai anakku, mereka adalah para sahabat. Semoga Allah meriḍai mereka semua.” Ṭaifur berkata, “Wahai ayahku, adakah kebaikan dengan meninggalkan perbuatan yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya?” Ayahnya menjawab, “Engkau benar, wahai anakku.” Setelah itu ayahnya melaksanakan ṣalat Tahajjud dan menghidupkan malam. Pada suatu malam Ṭaifur terjaga dari tidurnya, ia lihat ayahnya sedang ṣalat, ia berkata, “Wahai ayahku, ajarkan kepadaku bagaimana melaksanakan ṣalat malam”, Ayahnya berkata, “Wahai anakku, tidurlah, engkau masih kecil”. Ṭaifur berkata, “Wahai ayahku, ketika manusia bertebaran untuk melihat amal perbuatan mereka (maksudnya hari Kiamat), aku akan berkata kepada Tuhanku, “Aku pernah berkata kepada ayahku ajarkanlah
186 ṣalat malam kepadaku,’ tapi ayahku menolak dan berkata, “Tidurlah, engkau masih kecil.’ Apakah engkau menginginkan hal ini?” Ayahnya berkata, “Demi Allah, tidak, wahai anakku. Yang aku inginkan adalah ini.” Ayahnya mengajarkan ṣalat malam kepadanya, dan akhirnya ia melaksanakan ṣalat malam bersama ayahnya.”
۞ Kisah 9: LAUTAN CINTA Allah SwT menjadikan pada hati kedua orangtua rasa cinta yang begitu luas terhadap anak-anaknya, agar keduanya senantiasa merasa rindu untuk mendidik dan menjaga mereka, dan memperhatikan segala kebutuhan mereka. Kalau bukan karena rasa cinta yang diberikan Allah, niscaya manusia telah punah dari muka bumi ini. Tanpa cinta, kedua orangtua tidak akan pernah sabar dalam menjaga anak-anaknya, dan tidak akan pernah peduli dengan pendidikan dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Karena itu, tidak aneh apabila al-Qur’an mengungkapkan perasaan cinta yang begitu besar itu dengan ungkapan-ungkapan yang indah, seperti pada surat al-Kahfi, di mana pada ayat tersebut al-Qur’an menggambarkan bahwa anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalanamalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. al-Kahfi [18]: 46)
Pada surat al-Isrā [17] ayat 6, al-Qur‟an menggambarkan bahwa anak-anak adalah suatu nikmat yang besar yang wajib dishukuri,
187 Kemudian Kami berikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar. (QS. alIsrā [17]: 6)
Dan pada surat al-Furqān [25] ayat 74, al-Qur‟an menggambarkan bahwa anak-anak adalah qurratu a’yun (penyenang hati) jika mereka mengikuti jalan orang-orang yang bertakwa, Dan orang-orang yang berkata, Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. alFurqān [25]: 74)
Masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang lain, yang menggambarkan betapa besarnya rasa kasih dan sayang orangtua terhadap anak-anaknya. Cinta kedua orangtua terhadap anak-anaknya memang seperti darah yang mengalir di dalam tubuh. Akan tetapi dalam pengungkapan rasa cinta itu, mereka (para orangtua) terbagi ke dalam dua kelompok: Pertama, Kelompok orangtua yang dapat mengungkapkan rasa cinta mereka kepada anak-anaknya dengan baik, lemah lembut, adil, menasihati, dan selalu menjadi penyemangat bagi mereka. Kelompok inilah yang dicintai oleh Allah dan senantiasa mendapatkan kasih sayangNya, karena cinta dan kasih sayang mereka kepada anak-anaknya. Dalam sebuah Ḥadīth yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Anas ra, beliau berkata: “Suatu ketika, seorang wanita datang
188 menghampiri Aisyah r.ha, lalu Aisyah memberinya tiga butir kurma. Kemudian wanita tersebut memberikan dua butir kurma kepada kedua anaknya dan menyimpan kurma yang ketiga untuk dirinya. Akan tetapi, setelah kedua butir kurma yang diberikannya kepada kedua anaknya tersebut habis, dan kedua anaknya melihat ke arahnya, wanita itu pun membelah kurma yang ketiga menjadi dua bagian dan memberikan keduanya kepada kedua anaknya. Ketika Rasulullah saw datang, Aisyah segera memberitahukan hal itu kepadanya, dan Rasulullah saw menjawab: “Apa yang membuatmu merasa aneh? Sesungguhnya Allah telah mengasihinya sebab kasih sayangnya kepada kedua anaknya.” Kedua, Kelompok orangtua yang tidak dapat menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang yang memenuhi relung hatinya kepada anakanaknya. Mereka adalah para orangtua yang rona wajahnya, sikap dan perbuatannya, dan perkataan-perkataannya, senantiasa terlihat bertentangan dengan perasaan cinta dan kasih sayang. Para orangtua yang memiliki sikap seperti inilah yang sangat membutuhkan taburan benihbenih cinta dan kasih sayang di rumah mereka, agar mereka dapat meraih ampunan, cinta serta kasih sayang Tuhan mereka. Dalam sebuah Ḥadīth yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa Abu Hurairah ra, berkata: “Ketika al-Aqra‟ ibn Habis at-Tamimi duduk di samping Rasulullah saw, al-Aqra’ melihat Rasulullah saw mencium Hasan ibn Ali. Melihat itu al-Aqra’ berkata: “Sesungguhnya aku memiliki sepuluh orang anak, namun tidak seorang pun yang pernah aku cium.” Mendengar ucapannya tersebut, Rasulullah saw pun melihat ke arahnya dan bersabda: “Barangsiapa yang tidak menyayangi tidak akan disayangi.” ۞ Kisah 10: MENIRU PERBUATAN AYAH
Suatu hari, tatkala Amīrul Mu‟minīn Umar ibn Abdul Aziz selesai dari upacara pemakaman Khalifah sebelumnya, Sulaiman ibn Abdul
189 Malik, ia naik ke atas mimbar dan berpidato di hadapan kaum muslimin dengan kalimat yang menyentuh perasaan. Pertama sekali beliau mengajak umat agar bertakwa kepada Allah SwT, zuhud dalam hal dunia dan menarik perhatian mereka pada urusan akhirat. Kemudian Umar ibn Abdul Aziz turun dari atas mimbar dan terus pulang menuju kediamannya. Sesampainya di rumah, ia langsung memasuki kamar. Sepantasnya memang ia harus istirahat beberapa jam setelah seharian sangat sibuk sejak wafatnya Khalifah. Akan tetapi, belum lagi Umar ibn Abdul Aziz merebahkan tubuhnya, tiba-tiba putranya Abdul Malik – waktu itu umurnya menginjak tujuh belas tahun – datang menghampirinya seraya bertanya: “Wahai Amīrul Mu‟minīn, tugas apakah yang akan ayah rencanakan? Umar ibn Abdul Aziz menjawab: “Anakku, ayah mau tidur sebentar. Ayah kehabisan tenaga.” Abdul Malik bertanya lagi: “Apakah ayah masih sempat tidur-tiduran sedangkan ayah belum lagi berusaha mengembalikan hak-hak orang yang terẓalimi?” Umar ibn Abdul Aziz menjawab: “Anakku, kemarin malam ayah bergadang menjaga pamanmu Khalifah Sulaiman, dan nanti waktu ṣalat ẓuhur ayah akan ke masjid ṣalat berjama’ah bersama penduduk. Nah, Insha Allah ayah akan mengembalikan hak-hak orang yang terẓalimi.” Abdul Malik terus bertanya: “Wahai ayahku, Amīrul Mu’minīn, siapakah yang menjamin ayah akan tetap hidup sampai waktu ẓuhur?” Pertanyaan itu langsung menyambar nurani Umar ibn Abdul Aziz, rasa kantuknya terbang dan tubuhnya yang lelah kembali bertenaga. Umar ibn Abdul Aziz berkata pada anaknya: “Anakku, mendekatlah pada ayah.” Abdul Malik mendekat, lalu Umar ibn Abdul Aziz memeluk dan mencium kening anaknya seraya berkata: “Al-Hamdulillah, Allah telah memberiku seorang anak yang membantuku dalam urusan agamaku.” Kemudian Umar ibn Abdul Aziz bersiap-siap dan memerintahkan penduduk berkumpul lalu beliau berpidato di hadapan mereka: “Barangsiapa yang merasa terzalimi, maka dipersilahkan mengangkat permasalahannya.”
190 Siapakah gerangan Abdul Malik ini? Kenapa orang banyak mengatakan bahwa dialah yang memasukkan ayahnya ke dalam dunia ibadah dan mengarahkannya menjadi seorang yang paling zuhud?. Untuk itu, mari kita menelusuri kisah anak saleh yang masih muda ini sejak dari awal. Umar ibn Abdul Aziz dikaruniai lima belas anak, dan tiga di antaranya perempuan. Umar ibn Abdul Aziz beruntung mendapat anakanak yang bertakwa dan semuanya menjadi anak ṣaleh. Di antara sekian anak-anaknya, Abdul Malik-lah yang menjadi pengikat dalam keluarga dan keberadaannya bagaikan bintang terang di tengah-tengah mereka. Di samping umurnya yang masih tergolong muda dan memiliki akal cerdas, ia juga seorang sastrawan ulung. Umurnya muda, namun sikapnya dewasa. Sejak masa kecil hingga masa pertumbuhannya, dia senantiasa taat kepada Allah. Dialah yang paling konsisten dalam keluarga besar al-Khaṭṭab dan dia orang yang paling mirip dengan Abdullah ibn Umar, khususnya dalam ketakwaan kepada Allah dan ketakutannya terhadap tindakan ma’siat. Abdul Malik lebih suka ikut dengan rombongan angkatan perang ke perbatasan yang rawan dan tinggal di daerah sekitarnya, yaitu di negeri Syam. Ia meninggalkan kota Damaskus yang penuh pepohonan dan pemandangan sungai-sungai yang indah, lalu menetap di salah satu kampung di dekat perbatasan negeri Syam. Umar ibn Abdul Aziz – meskipun mengetahui bahwa Abdul Malik adalah anak yang shaleh dan bertakwa – sangat mengkwatirkan anaknya tergoda oleh setan. Ia takut anaknya terpengaruh pergaulan kawula muda. Ia selalu ingin tahu keadaan anaknya sebatas yang boleh ia ketahui dan tidak pernah lengah dari kebiasaan itu. Maimun ibn Mahran, seorang menteri Khalifah Umar ibn Abdul Aziz merangkap sebagai hakim dan penasehat Khalifah, menceritakan kisah Umar ibn Abdul Aziz dengan anaknya, Abdul Malik: “Pada suatu hari aku datang ke kediaman Umar ibn Abdul Aziz dan aku mendapatkannya sedang menulis surat buat anaknya yang berisi nasihat-nasihat. Dalam surat itu Umar ibn Abdul Aziz berusaha mencerahkan pikiran anaknya
191 dan mengingatkan agar selalu waspada. Di antara isi surat itu, Umar ibn Abdul Aziz menulis: Amma ba’du… Anakku, sesungguhnya hanya engkaulah yang lebih pantas ayah nasihati dan engkau juga yang bisa memahami ucapan ayah. Dalam berbagai masalah, baik itu masalah kecil atau pun besar, alHamdulillah Allah sama sekali telah memberikan yang terbaik buat kita. Ananda tercinta, janganlah engkau melupakan karunia Allah kepadamu dan kepada ayahmu. Jangan sekali-kali engkau angkuh dan menyombongkan diri. Sesungguhnya itu adalah perbuatan setan, dan setan adalah musuh yang nyata bagi orang-orang yang beriman. Ingatlah, wahai anakku, selama ini ini ayah tidak pernah menulis surat kepadamu karena kabar yang ayah terima tentang dirimu; ayah tahu engkau selalu baik. Tapi kali ini ayah mendengar kabar bahwa engkau merasa bangga pada dirimu sendiri. Kalau kekagumanmu ini mendorongmu untuk melakukan sesuatu yang ayah benci, engkau pasti akan melihat tindakan ayah yang paling engkau benci berlaku padamu.” Maimun ibn Mahran melanjutkan cerita: “Kemudian Umar ibn Abdul Aziz menoleh ke arahku seraya berkata: “Wahai Maimun, anakku Abdul Malik adalah buah hatiku dan aku menganggapnya demikian. Aku takut, karena kecintaanku padanya, tidak bisa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Akibatnya, aku menemukan pengalaman yang dialami para orangtua yang buta melihat kelemahan anak-anaknya. Aku minta tolong padamu pergi menemuinya dan engkau uji kepribadiannya serta selidiki apa yang ia sembunyikan. Jangan lupa engkau perhatikan apakah perawakannya mirip orang sombong dan tinggi hati. Dia adalah anak yang baru menginjak umur dewasa dan belum aman dari godaan setan. Aku berangkat menemui Abdul Malik. Sesampainya aku di tempat kediamannya, aku meminta izin lalu masuk. Aku melihatnya masih muda sekali: badannya tegap, wajahnya segar, berperilaku ramah dan rendah hati. Ia duduk di atas tilam berwarna putih di atas lantai yang beralaskan bulu. Ia langsung menyambutku, kemudian kami berbincang-bincang. Ia mengatakan sesuatu tentang aku dari cerita ayahnya: “Aku pernah mendengar ayah mengingatkan aku tentang engkau, bahwa engkau orang baik dan aku mengharapkan sekali engkau selalu mendapat manfaat dari Allah.” Aku pun bertanya: “Bagaimana keadaanmu?” Ia
192 menjawab: “Al-Hamdulillah, berkat nikmat-Nya aku selalu baik-baik saja. Hanya saja aku khawatir prasangka baik ayah terhadapku akan berakibat buruk pada diriku sendiri. Aku tidaklah memilih kelebihan, sebagaimana yang ayah duga. Aku sungguh takut kecintaan ayah terhadapku akan membuat ayah tidak mengetahui perilakuku yang sebenarnya. Akhirnya, aku malah menjadi duri dalam hidupnya.” Mendengar perkataan Abdul Malik ini, aku menjadi kagum karena secara kebetulan Umar ibn Abdul Aziz dengan anaknya memperhatikan hal yang serupa. Kemudian aku bertanya: “Bolehkah aku mengetahui dari mana sumber penghidupanmu?” Ia menjawab: “Penghidupanku selama ini bersumber dari hasil penyewaan tanah yang kubeli dari seorang yang menerima warisan ayahnya. Uang pembeli tanah itu juga uang yang bersih, bukan harta yang syubhat. Aku tidak lagi mengambil jatah subsidi kaum muslimin.” Aku bertanya lagi: “Apakah jenis makananmu?” Ia menjawab: “Kadang aku makan daging, kadang makan kacang campur minyak, dan kadang hanya minyak campur cuka. Bagiku, makanan semacam ini sudah lebih dari cukup.” Aku bertanya lagi: “Pernahkah engkau merasa bangga dengan dirimu sendiri?” Ia menjawab: “Aku pernah sedikit merasakan sifat itu, tapi tatkala ayah menasihatiku dan memberitahukan hakikat diriku yang sebenarnya, bahwa aku tidak ada apa-apanya. Allah menunjuki aku. Aku sangat berterimakasih kepada ayah atas nasihatnya itu.” Aku duduk beramah-tamah dengannya beberapa saat saja. Aku senang dengan gaya bicaranya yang sopan. Selama ini aku belum pernah melihat anak muda yang setampan dan sepintar dia, apalagi belum ada anak muda yang sesopan dia dalam usia seperti dia. Ketika hari hampir sore, tiba-tiba datang seorang laki-laki seraya berkata: “Terima kasih, kami sudah kosongkan.” Abdul Malik diam tidak menjawab ucapan lakilaki itu. Lantas aku bertanya: “Apakah yang mereka kosongkan itu?” Ia menjawab: “Mereka mengosongkan pemandian.” Aku bertanya: “Kenapa bisa demikian?” Ia menjelaskan: “Mereka mengosongkan pemandian itu jangan dulu ada orang yang masuk karena aku mau masuk.”
193 Aku berkata: “Dari tadi aku memperkirakan ada peristiwa hebat pada dirimu dan itu baru aku tahu setelah penjelasanmu ini.” Tiba-tiba ia kelihatan takut dan mengucap istirja (inna lillah) terus bertanya: “Apakah maksud paman, tolong paman jelaskan masalahnya?” Aku bertanya: “Bukankah pemandian itu milikmu?” Ia menjawab: “Bukan, itu bukan punyaku.” Aku bertanya: “Kalau begitu, kenapa engkau harus menyuruh orang mengosongkan pemandian itu, seolah-olah engkau mau mengangkat derajatmu di atas mereka dan merugikan pemilik pemandian karena pendapatannya berkurang dari situ?” Lalu Abdul Malik menjawab: “Adapun masalah pemilik pemandian itu, aku tidak merugikannya karena aku selalu membayar sewa setiap hari.” Aku menyela ucapannya: “Pembayaran yang engkau lakukan ini termasuk pemborosan bercampur dengan gaya sombong. Apa salahnya jika engkau masuk ke pemandian itu bersama orang lain, sedangkan engkau tidak ada bedanya dari mereka, sama-sama orang biasa.” Abdul Malik menjelaskan: “Aku tidak bisa melakukan itu sebab ada beberapa orang yang tidak punya rasa malu. Mereka masuk ke pemandian tanpa kain penutup. Aku tidak suka melihat aurat mereka dan aku juga enggan memaksa mereka memakai kain, sebab mereka akan menganggap memerintah. Padahal aku selalu berharap hal itu tidak terjadi. Jadi, aku tidak tahu harus berbuat bagaimana. Maka, tolong berikan aku nasihat untuk mengatasi permasalahan ini.” Aku mengusulkan: “Tunggu sampai mereka keluar dari pemandian di malam hari. Biarkan mereka pulang ke rumah mereka masing-masing, kemudian barulah engkau masuk.” Abdul Malik berkata: Aku berjanji, mulai hari ini aku tak akan pernah memasukinya lagi buat selama-lamanya.” Kemudian aku melihatnya mengetuk-ngetuk lantai sambil memikirkan sesuatu dan tiba-tiba ia menoleh kepadaku langsung bertanya: “Aku harap engkau tidak membocorkan masalah ini pada ayah. Aku tidak mau ayah marah kepadaku. Yang paling aku takutkan adalah aku mati di saat ayah tidak menyukaiku.” Setelah mendengar kekhawatiran Abdul Malik ini, aku bermaksud menguji mentalnya. Aku bertanya, “Jika Amīrul Mu‟minīn bertanya, apakah aku mengetahui sesuatu tentang engkau, apakah engkau menyetujui aku membohonginya? Ia menjawab, “Jangan, aku tidak setuju,
194 na’udhu billah! Katakanlah padanya begini, ‘aku mengetahui masalah tentang dia lalu aku menasihatinya dan aku membesarkan masalah itu di depannya,’ maka Ayah pasti mengurungkan niat ingin mengetahui apa masalahnya. Sebab Ayah tidak akan menanyai engkau tentang hal yang rahasia.” Maimun ibn Mahran menanggapi prinsip Abdul Malik ini, katanya, “Aku belum pernah melihat seorang Ayah atau seorang anak yang sebaik mereka. Semoga Allah selalu merahmati mereka berdua.” ۞ Kisah 11: AṢḤĀBUL UKHDŪD Demi langit yang mempunyai gugusan bintang (1). Dan hari yang dijanjikan (2). Dan yang menyaksikan dan yang disaksikan (3). Binasalah orang-orang yang membuat parit (4). Yang berapi kayu bakar (5). Ketika mereka duduk di sekitarnya (6). Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman (7). Dan mereka tidak menyiksa orang-orang Mu‟min itu melainkan karena mereka beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (8). Yang mempunyai kerajaan dilangit dan dibumi, dan Allah menyaksikan segala sesuatu (9). (QS. al-Burūj [85]: 1-9)
Rasulullah saw bersabda:
195
ص َهْي ٍ ب ت َع ْن َعْب ِد َّ َخبَػَرََن ََثبِ ٌ اد بْ ُن َسلَ َمةَ أ ْ َح َّدثػَنَا َعفَّا ُن َح َّدثػَنَا َمحَّ ُ الر ْمح ِن بْ ِن أَِِب لَْيػلَى َع ْن ُ ِ ِ ك فِيمن َكا َن قَػبػلَ ُكم وَكا َن لَو س ِ أ َّ احٌر فَػلَ َّما َن َر ُس ْوَل للا صلّى للا عليو وسلّم قَ َال َكا َن َمل ٌ ْ َ ْ ْ َْ ُ َ ِ ِ ك إِّن قَ ْد َكِرب ِ َكِرب َّ ِ َجلِي فَ ْادفَ ْع إِ َ َّ ت س ّن َو َح َ َْ الساح ُر قَ َال للْ َمل ِ ّ ِل غُ َال ًما فَ َل َ ُعلّ ُموُ ضَر أ َ َ ِ ِ السحر فَ َدفَع إِلَي ِو غُ َالما فَ َكا َن يػعلّمو السحر وَكا َن بػي َّ ِ ِ ب فَأَتَى الساح ِر َوبَػ َْ ُ َ ُ ُ ّ ْ َ َ َ َْ ّ َْ َ ْ ً ي الْ َملك َراى ٌ ِ َعجبو ََْنوه وَك َالمو فَ َكا َن إِذَا أَتَى َّ ِ ِِ الراى ِ ِ ِ الْغَُال ُم َعلَى َّ الساحَر َ ضَربَوُ ب فَ َسم َع م ْن َك َالمو فَأ ْ َ َ ُ ُ ُ َ ُ ُ ِ الر ِاى ِ ب فَػ َق َال إِذَا ك إِ َل َّ ك فَ َش َكا ذل َ ضَربُوهُ َوقَالُْوا َما َحبَ َس َ َوقَ َال َما َحبَ َس َ ك َوإِذَا أَتَى أ َْىلَوُ َ ِ الس ِ وك فَػ ُق ْل َحبَ َس ِن ض ِربُ َ أ ََر َاد َّ ك أَ ْن يَ ْ اح ُر أَ ْن يَ ْ ك فَػ ُق ْل َحبَ َس ِن أ َْىلي َوإِذَا أ ََر َاد أ َْىلُ َ ض ِربَ َ ِ الس ِ ك إِ ْذ أَتَى َذات يػوٍم علَى دابٍَّة فَ ِظيػع ٍة ع ِظيم ٍة وقَ ْد حبس ِ ت َّ اح ُر َوقَ َال فَػبَػْيػنَ َما ُى َو َكذل َ َ َْ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ََ َ ب إِ َل ِ الس ِ الر ِاى ِ اح ِر َح ُّ وزوا فَػ َق َال الْيَػ ْوَم أ َْعلَ ُم أ َْم ُر َّ للا أ َْم أ َْم ُر َّ َّاس فَ َال يَ ْستَ ِطْيػعُ ْو َن أَ ْن ََيُ ُ بأَ الن َ الس ِ الر ِاى ِ اح ِر فَاقْػتُ ْل َح َّ َخ َذ َح َجًرا فَػ َق َال اَللّ ُه َّم إِ ْن َكا َن أ َْم ُر َّ ك ِم َن َّ ضى لَ َ ب إِلَْي َ ك َوأ َْر َ فَأ َ بأَ ِ ىذ ِه الدَّابََّة ح ََّّت ََيوز النَّاس ورماىا فَػ َقتػلَها ومضى النَّاس فَأَخبػر َّ ِ ِ َي ب بِذل َ َ ُ ْ َ ُ َ ََ َ َ َ َ َ َ ك فَػ َق َال أ ْ الراى َ ُ ْ ََ ِ ِ ئ ْاألَ ْك َم َو ت فََال تَ ُد َّل َعلَ َّي فَ َكا َن الْغَُالمُ يػُ ِْرب ُ ضلُ ِم ّن َوإِن َ ت أَفْ َ بػُ ََّ َّك َستُػْبػتَػلَى فَِإن ابْػتُلْي َ ن أَنْ َ وسائِر ْاأل َْدو ِاء وي ْش ِفي ِهم وَكا َن جلِيس لِْلملِ ِ ك فَػ َع ِم َي فَ َس ِم َع بِِو فَأ َََتهُ ِبِِ َد َاَي َكثِْيػَرٍة فَػ َق َال َْ ٌ َ َ َ َ َ ََ ْ ْ َ ِ ِ ِ ت اىنَا أ ْ ا ْشف ِن َولَ َ َح ًدا إََِّّنَا يَ ْشفي للاُ َعَّز َو َج َّل فَِإ ْن أَنْ َ ك َما َى ُ ََجَ ُع فَػ َق َال َما أَ ْشفي أ َََن أ َ ِ آمْن ِ س ِمْنوُ ََْن َو َما ت للاَ فَ َش َف َ آم َن فَ َد َعا للاَ لَوُ فَ َش َفاهُ ُُثَّ أَتَى الْ َمل َ ت بِو فَ َد َع ْو ُ َ َ اك فَ َ ك فَ َجلَ َ ِ ِ صَرَك فَػ َق َال َر ّيب قَ َال أ َََن قَ َال َال لَ ِك ْن ك ََي فَُال ُن َم ْن َرَّد َعلَيْ َ س فَػ َق َال لَوُ الْ َمل ُ ك بَ َ َكا َن ََْيل ُ ث ك َر ٌّ ب َغ ِْيي قَ َال نَػ َع ْم فَػلَ ْم يَػَزْل يػُ َع ّذبُوُ َح ََّّت َدلَّوُ َعلَى الْغَُالِم فَػبَػ َع َ ك للاُ قَ َال أ ََولَ َ َر ّيب َوَربُّ َ ِ ِ ِِ ص َوى ِذ ِه ْاأل َْد َواءَ قَ َال َما َي بػُ ََّ ن قَ ْد بَػلَ َغ م ْن س ْح ِرَك أَ ْن تػُ ِْرب َئ ْاألَ ْك َم َو َو ْاألَبْػَر َ إلَْيو فَػ َق َال أ ْ ِ ِ ِ ب َغ ِْيي قَ َال نَػ َع ْم ك َر ٌّ َح ًدا َما يَ ْشفي َغْيػ ُر للا َعَّز َو َج َّل قَ َال أ َََن قَ َال َال قَ َال أ ََولَ َ أَ ْشفي أ َََن أ َ ضا َِبلْع َذ ِ ب فَأَتَى َِب َّلر ِاى ِ الر ِاى ِ ب فَػ َق َال اب فَػلَ ْم يَػَزْل بِِو َح ََّّت َد َّل َعلَى َّ َر ّيب َوَربُّ َ ك للاُ فَأ َ َخ َذهُ أَيْ ً َ ِ ِ ِ َع َمى ْارِج ْع ض َع الْ ِمْن َش َار ِف َم ْف ِرِق َرأْ ِس ِو َح ََّّت َوقَ َع ِشقَّاهُ َوقَ َال ل ْل ْ ْارج ْع َع ْن ديْنِ َ ك فَأ ََِب فَػ َو َ ِ نش َار ِف َم ْف ِرِق َرأْ ِس ِو َح ََّّت َوقَ َع ِشقَّاهُ ِف ْاأل َْر ِ ض َوقَ َال لِلْغَُالِم ْارِج ْع ض َع الْ ِم َ َع ْن ديْنِ َ ك فَأ ََِب فَػ َو َ
196
ِ ث بِِو َم َع نػَ َف ٍر إِ َل َجبَ ِل َك َذا َوَك َذا فَػ َق َال إِذَا بَػلَغْتُ ْم ذُْرَوتَوُ فَِإ ْن َر َج َع َع ْن ك فَأ ََِب فَػبَػ َع َ َع ْن ديْنِ َ ِديْنِ ِو َوإَِّال فَ َد ْى ِد ُىوهُ ِم ْن فَػ ْوقِ ِو فَ َذ َىبُوا بِِو فَػلَ َّما َعلَ ْوا بِِو ا ْْلَبَ َل قَ َال اَلل ُّهمَّ َّا ْك ِفنِْي ِه َّْم َِِّبَا َّ ِشئْ ََّ ت ِ ََجَعو َن وجاء الْغَُالم يػتَػلَ َّمس ح ََّّت َدخل َعلَى الْملِ ِ ك فَػ َق َال َما ف ِبِِ ُم ْ فَػَر َج َ َ اْلَبَ ُل فَ ُد ْىد ُىوا أ ْ ُ ْ َ َ َ َُ ُ َ ََ ك فَػ َق َال َك َفانِْي ِه ُم للاُ َعَّز َو َج َّل فَػبَػ َعثَوُ َم َع نَػ َف ٍر ِف قػُ ْرقُوٍر فَػ َق َال إِذَا َْلَ ْجتُ ْم بِِو َص َحابُ َ فَػ َع َل أ ْ الْبَ ْحَر فَِإ ْن َر َج َع َع ْن ِديْنِ ِو َوإَِّال فَػغَّرقُوهُ فَػلَ َّج ُجوا بِِو الْبَ ْحَر فَػ َق َال الْغَُالمُ اَلل ُّهمَّ َّا ْك ِفنِْي ِه َّْم َِِّبَاَّ ِِ ك ِش ْئ ََّ ت فَػغَ ِرقُوا أ ْ َص َحابُ َ س َح ََّّت َد َخ َل َعلَى الْ َملك فَػ َق َال َما فَػ َع َل أ ْ ََجَعُ ْو َن َو َجاءَ الْغَُال ُم يَػتَػلَ َّم ُ ك إِنَّك لَس ِ ِِ قَ َال َك َفانِي ِهم للا َعَّز وج َّل ُُثَّ قَ َال لِلْملِ ِ آم ُرَك بِِو فَِإ ْن َ ْ َ ت ب َقاتلي َح ََّّت تَػ ْف َع َل َما ُ ْ ُ ُ ََ َ ِ ِ َّاس ِف آم ُرَك بِِو فَػتَػلْتَِن َوإَِّال فَِإن َ ت فَػ َعلْ َ أَنْ َ ت َما ُ َّك َال تَ ْستَطيْ ُع قَػْتلي قَ َال َوَما ُى َو قَ َال ََْت َم ُع الن َ ٍِ َّك إِ َذا للاَّ َر َّّ صلُبُِن َعلَى ِج ْذٍع فَػتَأْ ُخ ُذ َس ْه ًما ِم ْن كِنَانَِت ُُثَّ قُ ْل بِ ْس َِّمَّ َِّ بَّالْغََُلَِّم فَِإن َ صعْيد ُُثَّ تَ ْ َ فَػعلْ ِ ِ ِ ِِ ب الْغَُالِم ض َع َّ ت ذل َ ك قَػتَػلْتَِن فَػ َف َع َل َوَو َ َ َ الس ْه َم ِف َكبِد قَػ ْوسو ُُثَّ َرَمى فَػ َق َال بِ ْس ِم للا َر ّ السهم ِف ِ ِ ب ض َع الْغَُال ُم يَ َدهُ َعلَى َم ْو ِض ِع َّ ص ْدغو فَػ َو َ فَػ َو َ الس ْه ِم َوَم َ َّاس َآمنَّا بَِر ّ ض َع َّ ْ َ ُ ات فَػ َق َال الن ُ ِ ِ ِ ِِ َّاس ُكلُّ ُه ْم فَأ ََمَر ت ََْت َذ ُر فَػ َق ْد َوللا نَػَزَل بِ َ ت َما ُكْن َ الْغَُالِم فَقْي َل للْ َملك أ ََرأَيْ َ ك قَ ْد َآم َن الن ُ ك فَخ ّدد ِ ِ ِ ت فِْيػ َها النّػْيػَرا ُن َوقَ َال َم ْن َر َج َع َع ْن ِديْنِ ِو ود َوأ ْ ُض ِرَم ْ الس َك ِ ُ َ ْ ت فْيػ َها ْاأل ْ ُخ ُد ُ ِبَفْػ َواه ّ فَ َدعُوهُ َوإَِّال فَأَقْ ِح ُم ْوهُ فِْيػ َها قَ َال فَ َكانُوا يَػتَػ َع َاد ْو َن فِْيػ َها َويَػتَ َدافَػعُ ْو َن فَ َجاءَ ِت ْامَرأَةٌ َِببْ ٍن َهَا ِ ِ اصِ ِربي فَِإنَّك َعلَى ا ْْلَ ّق (رواه ت أَ ْن تَػ َق َع ِف النَّا ِر فَػ َق َال َّ اع َس ْ الصِ ُّ تػُْرضعُوُ فَ َكأَنػ ََّها تَػ َق َ ب ََي أ َُّمو ْ مسلم وامحد) Berkata kepada kami ‘Affān, berkata kepada kami Hammād bin Salmah dari Thābit dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Ṣuhaib bahwa Rasulullah saw bersabda: “Pada zaman dahulu ada seorang raja, ia memiliki seorang penyihir, ketika penyihir itu telah lanjut usia, ia berkata kepada raja: “Sesungguhnya aku sudah tua dan sebentar lagi kematian akan menjemputku, maka datangkanlah kepadaku seorang pemuda untuk kuajari ia tentang sihir,” maka raja mendatangkan seorang pemuda kepadanya dan penyihir itu mengajarinya sihir. Antara penyihir dan raja terdapat seorang pendeta, lalu pemuda itu mendatangi pendeta serta mendengarkan ucapannya, pemuda itu
197 kagum dengan ucapan pendeta itu, dan jika pemuda itu datang kepada penyihir maka ia akan dipukul oleh penyihir itu dengan berkata: “Apakah yang telah mengurungmu?,“ dan jika pemuda itu datang kepada keluarganya maka ia dipukul oleh keluarganya itu sambil berkata: “Apakah yang telah mengurungmu?,“ kemudian pemuda itu melaporkan kejadian itu kepada pendeta, maka pendeta itu berkata: “Jika penyihir hendak memukulmu maka katakanlah yang mengurungku adalah keluargaku, dan jika keluargamu hendak memukulmu maka katakanlah yang mengurungku adalah penyihir.” Rasulullah saw bersabda: “Pada suatu hari, tiba-tiba datang seekor binatang melata yang besar serta menakutkan, binatang itu telah mengurung manusia sehingga manusia tidak bisa keluar dari kurungannya itu, maka berkata pemuda itu: “Hari ini saya akan mengetahui siapa yang lebih dicintai Allah, pendeta itu atau penyihir itu,” Rasulullah saw bersabda: “Pemuda itu mengambil sepotong batu dan berkata: “Ya Allah jika pendeta itu lebih Engkau cintai dan Engkau ridhai daripada penyihir itu, maka bunuhlah binatang ini hingga manusia terlepas dari kurungannya,“ dan pemuda itu melemparkan batu ke arah binatang itu, maka binatang itu mati dan manusia terlepas dari kurungan binatang itu, lalu sang pemuda mengabarkan kejadian itu kepada pendeta maka berkatalah sang pendeta: “Wahai anakku sesungguhnya engkau adalah lebih baik daripada diriku dan sesungguhnya engkau akan mengalami cobaan yang amat besar, dan jika engkau mengalami cobaan itu maka janganlah engkau menunjuk kepadaku,“ lalu pemuda itu dapat menyembuhkan manusia dari berbagai macam penyakit. Raja tersebut mempunyai seorang teman yang tertimpa penyakit buta, lalu teman raja itu mendengar tentang pemuda itu, maka ia datang menemui pemuda dengan membawa berbagai macam hadiah, teman raja itu berkata: “Sembuhkanlah aku dari penyakit ini maka milikmulah seluruh hadiah-hadiah ini,“ maka sang pemuda berkata: “Saya tidak bisa menyembuhkan seseorang, sesungguhnya yang menyembuhkan hanyalah Allah, jika engkau percaya kepada Allah maka aku akan berdo’a kepada Allah untuk menyembuhkanmu,“ lalu teman raja itu beriman kepada Allah dan sang pemuda berdo’a kepada Allah maka teman raja itu sembuh dari penyakitnya. Kemudian teman raja itu mendatangi raja dan duduk di sisi raja seperti biasanya, maka sang raja berkata kepada temannya: “Wahai Fulan siapakah yang telah menyembuhkan penglihatanmu kepadamu?” maka
198 temannya menjawab: “Tuhanku,” berkata raja: “Sayakah!” teman raja menjawab: “Bukan melainkan Tuhanku dan Tuhanmu juga yaitu Allah.” raja berkata: “Jadi engkau mempunyai Tuhan selain aku?” temannya menjawab: “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah,“ maka sang raja terus menyiksa temannya itu hingga ia menunjuk kepada sang pemuda, maka sang pemuda itu dipanggil ke hadapan raja, berkata raja kepada pemuda itu: “Wahai anakku telah sampai kepadaku berita tentangmu bahwa engkau dapat menyembuhkan kebutaan dan penyakit kusta serta penyakit-penyakit lainnya!,“ pemuda itu berkata: “Saya tidak dapat menyembuhkan seseorang, sesungguhnya hanya Allah yang dapat menyembuhkan,“ raja berkata: “Sayakah?,“ pemuda itu menjawab: “Bukan,” “Ataukah engkau mempunyai Tuhan selain aku?“ pemuda itu menjawab: “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” Maka raja pun menyiksa pemuda itu, pemuda itu terus disiksa hingga ia menunjukkan pendeta itu, maka pendeta itu dibawa kepada raja, dan raja berkata: “Kembalilah engkau kepada agamamu!,“ pendeta itu menolak, maka diletakkannya gergaji di lehernya hingga membinasakannya, lalu berkata raja kepada temannya yang dulu buta: “Kembalilah engkau kepada agamamu!,“ temannya itu juga menolak, maka diletakkanlah gergaji di leher temannya itu hingga membinasakannya. Dan berkata raja kepada pemuda: “Kembalilah engkau kepada agamamu!,“ pemuda itu menolak, lalu pemuda itu dibawa ke suatu gunung oleh beberapa orang, dan raja berkata: “Jika kalian sampai di puncak gunung itu dan dia belum juga mau kembali kepada agamanya semula maka lemparkanlah pemuda ini dari atas gunung!.” Maka pergilah mereka, dan ketika mereka telah berada di atas gunung, berkata pemuda itu:
ِ ِ ِِ ت َ اَللّ ُه َّم ا ْكفنْي ِه ْم َا شْئ Ya Allah lakukanlah sesuatu kepada mereka sesuai kehendakMu, maka gunung itu berguncang hingga mereka semua terlempar dari atas gunung, kemudian pemuda itu datang dan menemui raja, maka raja berkata: “Apa yang telah dilakukan oleh teman-temanmu?” pemuda itu menjawab: “Allah telah menolongku,” kemudian sang raja memerintahkan untuk membawa pemuda itu ke tengah laut oleh
199 beberapa orang dengan menggunakan perahu yang panjang lalu sang raja berkata: “Jika kalian telah sampai di tengah laut dan ia belum juga kembali kepada agamanya yang semula maka tenggelamkanlah ia di laut,” lalu pemuda itu berkata:
ِ ِ ِِ ت َ اَللّ ُه َّم ا ْكفنْي ِه ْم َا شْئ Ya Allah lakukanlah sesuatu pada mereka sesuai dengan kehendak-Mu, maka tenggelamlah orang-orang itu semua. Dan pemuda itu datang menemui raja, maka berkata raja: “Apa yang telah dilakukan oleh teman-temanmu?,” pemuda itu menjawab: “Allah telah menolongku,” kemudian pemuda itu berkata raja: “Sesungguhnya engkau tidak dapat membunuhku sebelum engkau melakukan sesuatu yang aku perintahkan kepadamu, dan jika engkau telah melaksanakan apa yang aku perintahkan kepadamu itu, maka engkau bisa membunuhku, dan jika tidak engkau lakukan maka engkau tak akan bisa membunuhku,” berkata raja: “Apakah itu?,” sang pemuda menjawab: “Engkau kumpulkan manusia di suatu tempat terbuka, kemudian engkau salib aku pada sebatang pohon lalu mengambil satu anak panah dari tempat menyimpan anak panahku, kemudian katakanlah:
ِ ب الْغَُالِم ّ بِ ْس ِم للا َر
Dengan menyebut nama Allah Tuhan pemuda ini, jika engkau melakukan itu maka engkau dapat membunuh ku,” maka sang raja melaksanakan perintah itu, dan dengan membaca: “Dengan menyebut nama Allah Tuhan pemuda ini” ia melepaskan anak panah dari busurnya hingga anak panah itu menancap pada pelipis matanya, lalu pemuda itu meletakkan tangannya pada tempat menancapnya anak panah seraya menghembuskan nafasnya yang terakhir (mati), maka saat itu pula orang-orang yang berkumpul percaya (beriman) kepada Tuhan pemuda ini. Maka dikatakanlah kepada raja itu: “Tahukah engkau sesungguhnya engkau tidak berhati-hati?,” lihatlah semua manusia telah beriman, maka raja itu memerintahkan untuk membuat parit-parit kemudian dinyalakan api, lalu raja berkata: “Barangsiapa yang tidak mau kembali kepada agama yang semula maka masukkanlah mereka ke dalam parit itu,” Rasulullah saw bersabda: “Mereka saat itu saling dorong untuk
200 masuk ke dalam parit itu, hingga tiba seorang wanita beserta anak bayinya yang masih menyusu, seakan-akan wanita itu hendak mundur dari api itu, maka bayinya berkata kepadanya: “Bersabarlah engkau wahai ibuku, karena sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Sesungguhnya kisah Aṣḥābul Ukhdūd, sebagaimana diceritakan dalam surat al-Burūj, patut diperhatikan oleh orang-orang Mu’min yang menyeru kepada Allah. Ia adalah kisah sekelompok orang yang beriman kepada Rabb-nya, kemudian mengumumkan keimanannya dan menjadi mulia karenanya. Mereka menghadapi fitnah dari musuhnya yang kejam dan tirani yang menodai hak asasi manusia (HAM) untuk meyakini kebenaran. Hati mereka telah terbebas dari ‘ubudiyah (penyembahan) kepada kehidupan, sehingga tidak dapat dikalahkan oleh kehidupan dunia. Orang-orang yang berhati suci itu harus berhadapan dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buas yang menyiksa mereka dengan memasukkan ke dalam parit api yang membakar, seraya duduk mengelilingi parit menikmati pemandangan api yang dinyalakan dari jasad-jasad kaum Mu’min yang suci. Akhir jalan dakwah yang menyedihkan ini, menurut ukuran manusia, mungkin dapat mengguncang dada (kaum Mu‟minīn). Tetapi alQur‟an yang mulia menolak pandangan ini dan menghapus pengaruhnya yang meresahkan itu dengan mengajarkan dan menyingkapkan hakikat yang lain kepada kaum Mu‟minīn. Hakikat itu ialah bahwa kehidupan dengan segala kenikmatan dan penderitaan yang menyertainya bukanlah nilai terbesar dalam timbangan Ilahi. Sesungguhnya nilai terbesar dalam timbangan Ilahi ialah nilai akidah dan kemenangan ruh atas materi (jasad). Dan, inilah kemenangan yang dicapai oleh Aṣḥābul Ukhdūd.
Mu’min itu ada tiga: 1. Mu’min merpati, baru mau ibadah kalau ada makanan 2. Mu’min pedati, baru mau ibadah kalau dipukul dulu 3. Mu’min sejati, beribadah betul-betul mengharap ridha Allah SwT.
201
۞ Kisah 12: PEMUDA AṢḤĀBUL KAHFI
Sepanjang pengetahuan penulis, al-Qur’an menyebut istilah Pemuda dengan menggunakan perkataan al-Fata, disebut sebanyak 10 kali. Namun yang secara tegas mempunyai makna Pemuda hanya terdapat pada dua surat yaitu surat al-Anbiyā‟ [21]: 6081 sehubungan dengan kisah Nabi Ibrahim as:
81
VI, 280.
Abdul Qadir Hasan, Qamus Al-Qur’an (Bangil: Yayasan al-Muslimun, 1991), cet.
202 Mereka itu berkata: Kami dengar seorang pemuda, yang mencela Tuhan kita, namanya Ibrahim. (QS. al-Anbiyā‟ [21]: 60)
dan surat al-Kahfi [18]: 10 dan 1382 sehubungan dengan kisah Aṣḥābul Kahfi. Ketika berdiam (berlindung) pemuda-pemuda ke dalam gua, lalu mereka berkata: Ya Tuhan kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu, dan siapkanlah untuk kami (keadaan) yang lebih baik dalam urusan kami. (QS. al-Kahfi [18]: 10)
Kami kisahkan kepada engkau perkabaran mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan dan Kami tambahi mereka itu dengan petunjuk. (QS. al-Kahfi [18]: 13)
Adapun diskursus Pemuda Islam yang terdapat pada surat al-Kahfi [18]: 10 dan 13, berikut ini kisahnya: ۩ Kisah Aṣḥābul Kahfi Salah satu nama dari surat al-Qur‟an adalah “al-Kahfi” yang artinya “Gua”. Sedangkan “Aṣḥābul Kahfi” artinya “Penghuni-penghuni Gua”. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam surat alKahfi itu sendiri, yang terdapat dalam ayat 9 sampai dengan 26.83 Ayatayat tersebut menceritakan tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam gua bertahun-tahun lamanya. 82
Abdul Qadir Hasan, Qamus Al-Qur’an, 281. Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. VIII, 178-179. 83
203 Pada kira-kira abad ke-4 Sebelum Masehi, atau 900 tahun sebelum turunnya al-Qur’an, di kota Ufsus (Yunani) berkuasa seorang raja yang bernama Dikyanus (Decius). Raja ini penyembah berhala, bahkan secara kejam ia memaksa rakyatnya supaya menyembah berhala. Sehingga rakyatnya yang memiliki lemah iman, terpaksa mengikuti kehendak raja tersebut. Jika tidak, pasti mereka akan dibunuh. Raja Dikyanus mempunyai seorang panglima perang yang gagah perkasa bernama Yamilha. Yamilha adalah panglima perang yang cerdas dan disayangi oleh Dikyanus, namun secara diam-diam Yamilha adalah penyembah Allah SwT. Meskipun disayangi oleh raja, ia merasa tidak tenang dan sering pergi ke luar kota untuk beribadah kepada Allah, demi keselamatan bangsanya. Dengan perbuatannya itu Yamilha diikuti oleh sebagian bangsawan. Yamilha bersama pengikutnya sering mengadakan pertemuan di kaki gunung dan lembah bukit, untuk beribadah dan berdoa. Selain itu, mereka juga membangun kekuatan untuk menghadapi raja yang kejam itu. Pada suatu hari Yamilha yang gagah dan masih muda itu dicari oleh raja, bersama kelompoknya mereka akan di bunuh apabila mereka ditemukan. Raja memerintahkan kepada Barkyus, seorang menteri nya untuk mencari di mana Yamilha dan kelompoknya berada. Dengan susah payah akhirnya mereka dapat ditangkap dan dihadapkan kepada raja. Yamilha dan pengikutnya diadili di hadapan seluruh penduduk. Raja bertanya, “Hai para bangsawan dan para penggembala, benarkah kalian orangorang yang beriman kepada Allah?” Dengan serentak mereka menjawab: “Benar tuanku”. Lebih lanjut raja bertanya, “Tidakkah kalian percaya kepada Tuhan kami?” Dijawab: “Tidak tuanku! Tuhan anda hanyalah benda mati belaka”. Kalau begitu, siapa Tuhan kalian? “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi, kami tidak akan menyembah selain Dia”. Dengan sikap yang garang, raja memerintahkan agar Yamilha dan pengikutnya dihukum mati. Sebelum hukuman mati dilaksanakan, mereka terlebih dahulu di masukkan ke dalam penjara. Dalam penjara mereka tetap melakukan ibadah menyembah Allah dan tidak gentar menghadapi hukuman mati. Hal tersebut menunjukkan kekokohan iman mereka. Mereka pasrah jiwa dan raga demi memelihara iman dan
204 membela kebenaran. Mereka tidak merasa takut kecuali kepada Allah. Tidak ada yang mereka harapkan kecuali pertolongan Allah. Di saat-saat penjaga penjara sedang merenung karena kasihan dengan Yamilha dan kawan-kawannya, datanglah tuan putri dengan membawa kunci penjara untuk membebaskannya. Akhirnya dengan diantar oleh putri raja, Yamilha bersama para pengikutnya yang di penjara keluar dari penjara. Dengan pertolongan seorang penggembala ternak, mereka menuju ke sebuah bukit yang jauh, diiringi seekor anjing yang setia menjaga mereka. Mereka bersembunyi di dalam gua yang dalam. Seperti difirmankan Allah SwT dalam surat al-Kahfi ayat 10: (Ingat) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini). (QS. al-Kahfi [18]: 10)
Di kota Ufsus, penduduk kota bersiap-siap untuk menyaksikan hukuman mati. Namun raja terkejut mendengar berita bahwa para tawanan telah meloloskan diri dari penjara. Dengan sikap marah raja memerintahkan para menteri dan tentaranya untuk mengejar dan mencari tawanan tersebut. Sebelumnya telah diduga bahwa mereka akan bersembunyi di dalam gua yang gelap di gunung Benjalus sebelah utara kota Ufsus. Raja dan pasukannya sampai di depan gua dan memerintahkan anak buahnya supaya menyeret tawanan itu keluar untuk dibunuh. Namun tidak berhasil karena di dalam gua terdengar suara harimau dan ular. Mereka mengira tempat itu dihuni oleh jin. Raja marah pasukannya tidak berhasil, namun menteri Barkyus mengusulkan agar pintu gua ditutup, dengan demikian para tawanan akan mati di dalam. Usul tersebut diterima oleh raja, kemudian dilakukan penutupan gua itu dengan batu yang besar.
205 Sementara itu, penghuni gua yang lazim disebut Aṣḥābul Kahfi tertidur dan sama sekali tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh para pengikut raja. Hari demi hari, tahun berganti tahun, generasi telah berganti, namun penghuni gua (Aṣḥābul Kahfi) tetap saja tertidur nyenyak. Adapun jumlah lamanya mereka tertidur, seperti dijelaskan Allah SwT dalam surat al-Kahfi ayat 25: Dan mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun ditambah sembilan tahun (lagi). (QS. al-Kahfi [18]: 25)
Penduduk Ufsus telah melupakan mereka. Raja Dikyanus telah lama meninggal dan telah berkali-kali pula terjadi pergantian raja. Kota Ufsus semakin luas. Penduduknya telah banyak yang beriman dan banyak masjid yang dibangun. Sementara itu, penghuni gua yang tertidur bangkit dari tidurnya, setelah melihat cahaya di balik reruntuhan pintu gua. Mereka menggosok-gosok matanya dan menghilangkan bekas-bekas yang telah melekat pada badannya selama bertahun-tahun itu. Salah seorang di antara mereka bertanya: “Sudah berapa lamakah kita tinggal di dalam gua ini?” Ada yang mengatakan sehari, ada yang mengatakan setengah hari dan ada pula yang mengatakan satu minggu. Padahal sesuai dengan ayat 25 dari surat al-Kahfi, mereka tinggal di dalam gua selama 309 ( tiga ratus sembilan) tahun. ۩ Kota Ufsus di Masa Pemerintahan Raja Aryus Yamilha diutus oleh teman-temannya untuk membeli makanan di kota, karena mereka sangat lapar. Setelah Yamilha keluar dari gua dan melihat ke kanan dan ke kiri, dia amat terkejut, karena keadaan negeri itu sudah jauh berubah. Didapatinya pohon-pohon kayu yang rindang, banyak bergantungan tulisan-tulisan yang melambangkan bahwa orangorang yang ada di kota itu sudah beriman kepada Allah. Manusia yang ada tidak satu pun yang ia kenal. Yamilha sangat heran, maka ia
206 menjumpai seorang pemuda dan bertanya: “Apakah nama kota ini hai pemuda?” Pemuda itu menjawab, ini kota Ufsus. Akhirnya ia bergegas untuk membeli makanan dan dikeluarkan uang logam dari kantongnya. Penjual makanan yang menerima uang logam Yamilha merasa heran, karena uang Yamilha sudah tidak laku lagi. Uang itu bergambar Raja Dikyanus yang sudah meninggal 3 abad yang lalu. Akhirnya Yamilha di kerumuni orang-orang di sekitar warung. Dan ia juga terheran-heran, mengapa pedagang makanan tidak mau menerima uang pembayarannya, bahkan mengatakan uang itu tidak laku lagi. Padahal ia merasa bahwa uang itu baru diterima kemarin pagi. Ia bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Di antara orang yang berkerumun di dekat warung ada yang menuduhnya akan menipu penjual makanan. Ada lagi yang mengatakan pemuda itu kurang waras serta ada yang mengira bahwa Yamilha mengetahui tempat tersimpannya harta karun yang tiada bernilai harganya. Yamilha terus digeledah dan terdapatlah dua buah uang logam yang sama. Mereka mendesak, dimana lagi uang semacam itu disimpan. Yamilha semakin bingung, bahkan salah seorang mengancam akan diserahkan kepada raja. Oleh salah seorang petugas kerajaan, Yamilha di hadapkan kepada raja. Yamilha merasa heran ketika melihat raja yang duduk di atas tahta kerajaan bukan Dikyanus. Dalam pembicaraan itu, Raja Aryus menjelaskan bahwa sesungguhnya uang ini adalah uang yang sudah lama berlalu yaitu masa Raja Dikyanus. Kami menganggap bahwa engkau mendapatkannya dari harta yang terpendam. Raja mengatakan: “Kami akan membebaskan engkau dan akan memberikan sebagian harta itu apabila sudah engkau tunjukkan”. Yamilha berkata: “Saya tidak mengerti sedikit pun tentang harta benda yang diperbincangkan tuan ini”. Kalau demikian, “dari mana engkau dapatkan uang ini?” Jawabnya: “Saya memperoleh uang itu dari bapakku. Dia salah seorang kaya di kota ini dan aku membawa uang ini kemarin”. Pembicaraan raja dan Yamilha terus berlangsung. kesimpulannya Yamilha tidak membenarkan bahwa dia menimbun karun. Sementara raja mengancam akan memenjarakan menyiksanya apabila dia tidak mau menunjukkan dimana tempat karun itu berada.
Pada harta dan harta
207 Dari dialog tersebut, akhirnya Yamilha berkata lagi: “Kami telah melarikan diri dari kekejaman Raja Dikyanus yang menyembah berhala. Kami bersembunyi di gua dekat gunung Benjalus dan kami tidur di sana semalam suntuk. Sesungguhnya kalaulah kawan-kawan tidak merasa lapar, saya tidak akan kembali ke kota ini, karena kami tidak mau mengikuti penduduk yang menyembah berhala.” Di antara orang yang mendengarkan dialog antara Raja Aryus dengan Yamilha, ada seorang arif lagi bijaksana dan dia berkata: “Jika semua yang dikatakan pemuda itu benar, maka dia adalah penghuni gua yang beriman yang melarikan diri dari keẓaliman Raja Dikyanus sejak 309 tahun silam”. Mendengar penjelasan tersebut, Yamilha dan raja merasa bershukur dan lega, karena persoalan menjadi jelas. Sebagai rasa shukur, raja beserta rakyat bermaksud mengadakan penyambutan keluarnya “Pemuda Ṣāhibul Kahfi” dari dalam gua dengan meriah. Setelah Pemuda Aṣḥābul Kahfi kembali ke tengah masyarakat, mereka tertidur (mati) dengan nyenyak untuk tidak bangun lagi selamalamanya. Mereka kembali kepada Allah SwT setelah memberikan contoh kepada umat akan kebesaran Allah dan kebenaran ajaran yang difirmankan-Nya melalui rasul-rasul-Nya. ۩ Pelajaran dari Kisah Aṣḥābul Kahfi 1. Kita harus memiliki iman yang kuat, iman tidak boleh surut walaupun nyawa taruhannya. Seperti yang di contohkan Yamilha dan kawankawannya, yang tidak tunduk dengan perintah rajanya yang ingkar memerintahkan untuk menyembah berhala. 2. Kita harus mempunyai keberanian mempertahankan kebenaran. Ketika Yamilha dihadapkan kepada Raja Dikyanus yang kejam, ia tetap mengatakan yang benar, yaitu ia dan kawan-kawannya memang menyembah Allah SwT, tanpa ragu-ragu sedikitpun. Keberanian seperti itu patut kita tiru. 3. Membuktikan kekuasaan Allah SwT sangat besar. Allah Yang Maha Kuasa mampu untuk menjadikan sesuatu dari tiada menjadi ada. Dia mampu menciptakan manusia, dan sangat mudah menghidupkan orang yang sudah mati. Begitu pula sebaliknya mematikan yang hidup.
208 Kisah Aṣḥābul Kahfi yang tidur selama 309 tahun membuktikan betapa Allah Maha Kuasa. 4. Membuktikan kebenaran kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur‟an. Kisah Aṣḥābul Kahfi memang terdapat dalam al-Qur‟an, bahkan “alKahfi” merupakan salah satu nama surat dari al-Qur‟an. Ini membuktikan bahwa al-Qur‟an adalah benar-benar wahyu Allah yang membawa kebenaran. Isinya merupakan berita, kisah-kisah nyata yang kebenarannya oleh ahli sejarah tidak diragukan lagi. 5. Menambah keyakinan bahwa Hari Kebangkitan manusia pasti akan terjadi. Hal tersebut seperti dihidupkannya kembali Pemuda Aṣḥābul Kahfi yang telah tertidur selama 309 tahun. Waktu tersebut bukanlah waktu yang pendek. Begitulah nanti manusia di padang mahsyar akan dibangkitkan dan dihidupkan kembali oleh Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia. Kebangkitan manusia di akhirat kelak, telah dicontohkan Allah di dunia ini.
Pemimpin yang baik, lakukan yang benar dalam kondisi apapun Siapa pun diri kita, ditentukan oleh Pilihan kita Ketika kita dihadapkan pada suatu pilihan, tugas kita adalah memilih Kita bisa menentukan pilihan yang benar. Insha Allah.
209
۞ Kisah 13: SHUKUR NIKMAT
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw bersabda: “Bahwasanya tiga orang bani Israil masing-masing punya penyakit yang berbeda, yakni orang pertama (belang), kedua (botak) dan ketiga (buta). Ketiganya mendapat uji-coba dari Allah SwT, Kepada orang pertama datanglah malaikat yang menjelma manusia, katanya: “Hai belang, saat ini apa yang kau sukai? Jawabnya: “Tentu saja, kulit dan paras yang indah menarik dan lenyapnya belangku yang mengakibatkan masyarakat enggan bergaul denganku. Alkisah, sesudah diusap oleh malaikat tadi, lenyaplah penyakit belangnya dan berubahlah kulit dan parasnya menjadi indah menarik. Lalu ditawari harta kekayaan apakah yang disukai? Jawabnya: “unta.” Kemudian diberikan kepadanya seekor unta yang tengah bunting, disertai dengan doa:
)ك فِْيػ َها (متفق عليو َ َََب َرَك للاُ ل Mudah-mudahan Allah memberkahi kamu selama kamu berusaha/ bekerja.
Kepada orang kedua, malaikat datang dan bertanya: “Hai botak, selama ini apa yang kau idam-idamkan? Jawabnya: “Tentu saja, rambut indah menarik dan lenyapnya penyakitku ini, yang mengakibatkan aku dianggap rendah oleh umumnya masyarakat. Alkisah, sesudah diusap, tumbuh suburlah rambutnya kelihatan bagus mempesona. Lalu ditawarkan kepadanya harta kekayaan apakah yang disukai? Jawabnya: “Aku senang memelihara sapi perah.” Kemudian diberikan sapi perah
210 kepadanya yang tengah bunting, diiringi doa sebagaimana yang dibacakan kepada orang pertama. Kepada orang ketiga, malaikat datang dan bertanya: “Hai buta, selama ini apa keinginanmu? Jawabnya: “Tentu saja, pulihnya penglihatanku sehingga bertambahlah kenikmatanku dapat melihat manusia. Alkisah, sesudah diusap, terbukalah penglihatan matanya. Lalu ditawarkan pula kekayaan apakah yang disenangi? Jawabnya: “Aku senang memelihara domba/kambing. Kemudian diberikan seekor domba yang tengah bunting, diiringi doa seperti tersebut di atas. Alkisah, sesudah beberapa tahun berkembangbiaklah hewan ternak mereka, dan masing-masing sudah punya lokasi/daerah tersendiri, melimpah ruahlah kekayaan mereka masing-masing, orang pertama penuh dengan ternak unta, orang kedua penuh dengan ternak sapi perahnya, dan orang ketiga penuh dengan ternak dombanya. Kemudian datanglah malaikat yang dulu, ia menjelma seorang miskin belang yang menjijikan pandangan masyarakat umumnya, sahutnya: “Permisi tuan, aku musafir miskin yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, rasanya tiada yang dapat meneruskan perjalananku (pulang ke rumahku), kecuali dengan pertolongan Allah, lalu bantuan tuan, itulah sebabnya aku berharap tuan merelakan seekor unta saja supaya perjalananku kembali tidak terputus di tengah jalan, demi Allah Yang telah berkenan memberi kulit dan paras tuan menarik, serta harta kekayaan yang melimpah ruah. Jawab orang pertama (yang dulu belang): “Maafkanlah, tanggunganku yang harus dibayar terlalu banyak, mana gajih karyawan, ongkos angkutan, promosi hasil produksi dan lain-lain, lagi pula buat orang seperti kamu (permohonan yang bersifat pribadi) sama sekali tidak ada anggaran buat itu. Lalu berkatalah malaikat itu: “Maaf tuan, kalau tidak khilaf aku pernah berkenalan dengan anda, sewaktu anda menderita penyakit belang dulu, semua orang enggan bergaul dengan anda yang menjijikan itu, lebih-lebih anda seorang miskin dahulu, sekarang ini saja anda jadi orang kaya dan terpandang di masyarakat, karena diberi rizki oleh Allah. Jawabnya: “Sembarangan kamu punya omong, harta kekayaanku ini semua kuterima dari hasil jerih payah leluhurku (harta warisan orang-orang tua). Berkatalah malaikat: “Kamu telah mengingkari karunia pemberian dari Allah, oleh sebab itu
211 Allah akan menarik segala karunia yang telah diberikan kepadamu, dan kamu kembali menderita seperti keadaanmu semula. Kemudian malaikat mendatangi orang kedua (yang dulu botak) dan ia menjelma seorang botak, lalu mengatakan seperti yang dikatakan kepada orang pertama (belang), jawabannya tidak berbeda dengan orang belang, dan malaikat itupun mengatakan seperti yang telah disampaikan kepada orang belang, yakni “Allah akan menarik karunia-Nya dan kamu kembali menderita seperti keadaanmu semula.” Akhirnya datang pula malaikat itu kepada orang ketiga (yang buta asalnya) dan menyamar seperti orang buta miskin, katanya: “Permisi tuan, aku musafir miskin tengah bepergian kehabisan bekal, rasanya tiada yang dapat melangsungkan bepergianku ini, kecuali dengan pertolongan Allah dan bantuan tuan, itulah sebabnya aku berharap tuan merelakan seekor domba saja, buat meneruskan perjalananku ini, demi Allah Yang telah memulihkan penglihatan matamu itu. Jawabnya: “Tiada hentinya aku bershukur kepada Allah Yang telah memulihkan penglihatan mataku yang semula buta, oleh karena itu ambillah sesuka hatimu, sedikitpun tidak ada rasa keberatan atas harta yang kau ambil karena Allah. Lalu malaikat itu berkata: “Pelihara baik-baik harta kekayaanmu ini, sungguh kedatanganku ini semata hanya menguji-coba sampai sejauh mana rasa terima kasihmu atas karunia pemberian dari Allah SwT, dengan demikian Allah riḍa kepadamu dan marah kepada kedua kawanmu itu.” ( HR. Bukhari-Muslim) Dari kisah yang dituturkan Nabi Muhammad saw tersebut, hendaknya kita dapat mengambil pelajarannya. Bershukurlah bila memperoleh banyak kenikmatan dan bersabarlah bila mendapat kesusahan. Tanda shukur seorang hamba kepada khalik-Nya dapat dilihat dari sejauh mana mereka meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SwT dan meninggalkan maksiat-maksiat dalam segala bentuknya.
212
۞ Kisah 14: BALASAN ALLAH SwT UNTUK ORANG YANG DERMAWAN
Allah SwT berfirman: Dan dalam harta mereka ada hak untuk orang yang meminta dan orang miskin yang (tidak) meminta. (QS. adh-Dhāriyāt [51]: 19)
Berikut ini penggalan kisah yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw terkait dengan „orang yang Dermawan‟ seperti diliris dalam al-Mawa’iẓ al-Uṣfuriyah karya Syekh Muhammad bin Abu Bakr alUṣfuri. Alkisah, istri Ali bin Abi Ṭalib, Fatimah sedang memintal bulubulu domba untuk ditenun. Beberapa saat kemudian, Ali datang dari rumah baginda Rasulullah saw. “Adakah makanan yang bisa saya makan, wahai wanita mulia?” tanyanya kepada Fatimah.
213 “Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa. Hanya ada uang enam dirham, yang sebenarnya akan saya belikan makanan untuk anak-anak: Ḥasan dan Ḥusain.” “Ya sudah, mana uang itu. Biar saya yang membelikannya.” Begitu Fatimah memberikan uang, Ali langsung pergi keluar rumah untuk membeli makanan. Di tengah perjalanan, Ali bertemu dengan seorang pengemis. “Ya tuan, kasihanilah kami, semoga Allah membalas kebaikan tuan,” rintih pengemis itu. Karena iba dan niat tulus untuk menolong. Ali memberikan seluruh uang yang dipegangnya. Lalu, Ali pulang dengan tangan hampa. Ketika Fatimah tahu suaminya tidak membawa pulang makanan, ia menangis. “Mengapa engkau pulang tanpa membawa apa-apa?” tanyanya sambil sesenggukan. “Wahai wanita mulia, saya telah memberikan uang itu kepada pengemis.” “Baiklah kalau begitu,” Fatimah mengangguk. Ali kemudian bermaksud keluar untuk menemui Rasulullah saw. Tapi, tiba-tiba ada orang menuntun unta. “Ya Abu Ḥasan –panggilan lain Ali– belilah unta ini,” tawarnya. “Saya tidak punya uang,” jawab Ali. “Gampang itu… uangnya bisa belakangan…” “Berapa kau jual.” “Seratus dirham.” “Baiklah, saya beli.” Selang beberapa langkah, ada orang lain yang menemui Ali. Lalu menawar unta yang baru saja dibelinya itu. “Berapa kau jual unta itu?” “Tiga ratus dirham,” jawab Ali. “Baiklah.” Orang itu memberikan uangnya lalu membawa unta itu. Ali melanjutkan perjalanan menemui Rasulullah saw di masjid. Ia bercerita kepada nabi tentang peristiwa yang baru saja dialami.
214 Kemudian nabi bersabda: “Berbahagialah engkau, Ali. Engkau telah meminjamkan uangmu kepada Allah. Kemudian Allah telah memberikan ganti (melipatgandakan): tiap satu dirham menjadi 50 dirham.” Memberi harta kepada orang yang membutuhkan, dalam Islam, itu ibarat meminjamkan harta kepada Allah. Allah SwT berfirman: Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong Allah (agama-Nya), niscaya Dia menolong kamu dan menetapkan telapak kaki (meneguhkan kedudukan) mu. (QS. Muhammad [47]: 7)
Jika kamu meminjami Allah (berderma kepada orang-orang miskin) dengan pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat-gandakan (balasannya) bagimu dan mengampuni kamu. Allah Penerima kasih (memberi pahala) lagi penyantun. (QS. at-Taghābun [64]: 17)
215
Siapakah orang yang paling indah ucapannya selain dari pada orang yang menyeru ke jalan Allah (agama-Nya) dan orang yang beramal ṣalih (berkarya nyata) dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (muslimīn). (QS. Fuṣṣilat [41]: 33)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik (et.al.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002 Akkas, M. Amin. The Power of Santri. Jakarta: Mediacita, 2007 Albani, Muhammad Nashiruddin al-. Irwaul Ghalil fī Takhrīj Ahādith-i Manaris Sabīl. Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1979, Juz 3 -------. Aḥkāmul-Janā’iz wa Bid’ihā. Beirut & Damaskus: Al-Maktab al-Islami, 1986 -------. Silsilah al-Ahādith Aṣ-Ṣahīhah wa Syayyi min Fiqhihā wa Fawāidihā. Riyadh: Maktabah al-Maarif Linasyri Watuwaji’, 2002 AN, Firdaus AN. Jalan ke Surga. Jakarta: Ilmu Jaya, 1990 Arsal, Agus Abubakar. Berkhalwat Bersama Para Sufi: Penarikan Diri dan Penyendirian Spiritual dalam Qamaruddin SF, (ed.), Zikir Sufi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002, cet. III, Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1980 Damami. Ikhlas dan Sikap AntiKorupsi dalam Musa Asy’arie, dkk (ed.). Menuju Masyarakat Antikorupsi; Serial Khutbah Jum’at. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informasi, 200 Damsyiqi, Ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-. Asbābul Wurud 2, terj. M. Suwarta dan Zafrullah Salim. Jakarta: Kalam Mulia, 2000 Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet. XV Dimasyqi, Al-Imam Abul Fida Isma‟il Ibn Katsīr ad-. Tafsīr Ibnu Kathīr, IV, terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000 Djahiri, A. Kosasih. Menelusuri Dunia Afektif (Pendidikan Nilai dan Moral). Bandung: Laboratorium IKIP, 1996 Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2000, cet. XXIV Fath, Amir Faishol. “Keharusan Beramal”, Tatsqif, Edisi 8, Th I, Agustus, 2005 Ganiem, Leila Mona. ‘Cerdas dan Humanis’, Republika, 23 Januari 2010 Ghazali, Abu Hamid al-. Ihya ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz I
216
217 Haddad, Allamah Sayyid Abdullah. Risalah al-Mu’awanah wa al-Muẓaharah wa alMuwazarah li al-Raghibīn min al-Mu’minīn fī Suluk al-Ṭarīq al-Akhirah (Ṭariqah Menuju Kebahagiaan), (terj). Muhammad al-Baqir Bandung: Mizan, 2001, cet. XII Hasan, Abdul Qadir. Qamus Al-Qur’an. Bangil: Yayasan al-Muslimun, 1991, cet. VI HD, Kaelany. Gontor dan Kemandirian (Pondok, Santri, dan Alumni). Jakarta: PT. Bina Utama Publishing, 2002 Kelompok Studi Islam Al-Ummah Jakarta. Panduan Aktivis Harokah. Jakarta: Nizhom, 2001 Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin. Jakarta: Pustaka Amani, 2003 Madjid, Nurcholis. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 1995 -------. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 1997 -------. Makna Intrinsik dan Instrumen Salat dalam Sukardi K.D, (ed.), Salat dalam Perspektif Sufi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001 Mansur, Kahar. Membina Moral dan Akhlak. Jakarta: Rineka Cipta, 1990 Nasution, S. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara, 1999 Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001 Nuhim, Tholha. Empat Kontribusi Kader Dakwah, Tatsqif, Edisi 8, Th I, Agustus, 2005 Rasyad, Aminuddin. Teori Belajr dan Pembelajaran. Jakarta: Uhamka Press, 2003, cet. IV Sayuthi, Imam Jamaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-. al-Jāmi’ al-Ṣaghr fī Ahadith al-Bashīr al-Naẓīr. Kairo: Dar al-Katib al-‘Arabi, 1967 Schaefer, Charles. How to Influence Children (Bagaimana Membimbing, Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif) Alih Bahasa: Turman Sirait. Jakarta: Restu Agung, 1997 Shaleh, Abdul Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. SP, Choiruddin Hadhiri. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet. VIII
218 Tim Pandom Media Nusantara. Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: Pandom Media Nusantara, 2014 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. IX Tjokroaminoto, HOS. Islam dan Sosialisme. Jakarta: LPPSRI, 1966 Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda, 2002, cet. XVII Yatim, Fuadi. Gangguan Jiwa Karena Cerai? dalam Majalah Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Vol. II No 1/ Okt-Nov/ 2006 Zainu, Muhammad Ibn Jamil. Khudh ‘Aqīdataka min al-Qur’an was-Sunnah aṣṢahīhah (Jadikanlah Aqidah Anda Bersumber dari al-Qur’an dan asSunnah), terj. Muhammad Yusuf Harun. Jakarta: 1987
219
Firman Allah SwT: Boleh jadi kamu benci pada sesuatu, padahal ia baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, tetapi kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 216)
Boleh jadi kamu benci kepada sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya. (QS. anNisā [4]: 19)
Sayidina Ali kw berkata:
ِ ك يَػ ْوًم َاما َض َ َب َحبِْيػب َ ك َى ْو ًَن َما َع َسى أَ ْن يَ ُك ْو َن يَغْي ْأ ْ َِحب
ِ ِ ك يَػ ْوًم َاما َ َك َى ْو ًَن َما َع َسى أَ ْن يَ ُك ْو َن َحبِْيػب َض َ َوأَبْغ ْ يَغْي Cintailah kekasihmu sedang-sedang saja, karena boleh jadi suatu hari ia akan berubah menjadi orang yang kamu benci; dan bencilah orang yang kamu benci sedang-sedang saja, karena boleh jadi suatu hari ia akan berubah menjadi kekasihmu yang setia.
220
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Umur Tempat Tgl Lahir Bangsa Agama Istri Anak
: : : : : : :
Tempat Tinggal Sekarang
:
Maddais 36 Tahun Tangerang, 7 Mei 1979 Indonesia Islam Hajjah Alfi Nashriyah (29-11-1980) 1. Nashuhā Amīratunnisā (30-11-2006) 2. Kāmilah Khasyyatunnisā (14-02-2008) 3. Yamilha Fahmī Mujtahid (29-02-2012) Jl. Sabi Raya No. 27 RT. 005 RW. 02 Kel. Bencongan Kec. Kelapa Dua Kab. Tangerang – Banten 15811 HP: 085287681450/08881824369 E-mail:
[email protected]
Menerangkan dengan sebenarnya PENDIDIKAN 1
Tamatan
:
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Bencongan III, Desa Bencongan Kec. Curug Kab. Tangerang, tahun 1992 Berijazah Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Miftahul Khair, Jl. Sabi Raya Desa Bencongan Kec. Curug Kab. Tangerang, tahun 1992 Berijazah
221
222 2
Tamatan
:
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Dārul Hikam Kel. Cibodas Baru Kec. Cibodas Kota Tangerang, tahun 1995 Berijazah
3
Tamatan
:
Sekolah Menengah Umum (SMU) Mathla’ul Anwar, Buaran Jati Kec. Mauk Kab. Tangerang, tahun 1998 Berijazah
4
Tamatan
:
S-1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA), tahun 2003 Berijazah
5
Tamatan
:
S-2 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, tahun 2008 Berijazah
6
Tamatan
:
S-3 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, tahun masuk 2011 (Sedang Research Disertasi)
PENGALAMAN ORGANISASI DAN KERJA 1
Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SLTP Dārul Hikam, Cibodas Baru Kec. Cibodas Kota Tangerang, tahun 1994.
Kel.
2
Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMU Mathla’ul Anwar, Buaran Jati Kec. Mauk Kab. Tangerang, tahun 1997.
3
Anggota Himpunan Qori dan Qori’ah Mahasiswa (HIQMA) IAIN Syarif Hidayatullah, tahun 1998 – 2000.
4
Pengasuh Pondok Pesantren Bābul Jaṉah, Jl. Sabi Raya Kel. Bencongan Kec. Kelapa Dua Kab. Tangerang, tahun 2003 – Sekarang
5
Pengasuh Majelis Ta’lim Bābul Jaṉah, Desa Rawakepuh Kec. Pakuhaji Kab. Tangerang, tahun 2000 – Sekarang
6
Wakil Kepala Madrasah dan Staf Pengajar (Guru bidang) Bahasa Arab MIS Miftahul Khair, Jl. Sabi Raya Kel. Bencongan Kec. Kelapa Dua Kab. Tangerang, tahun 2004 – 2007.
Desa
223 7
Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ya’mal Tangerang, Jl. Raya KPR BTN Kutabumi Desa Karet Kec. Sepatan Kab. Tangerang, tahun 2008 – sekarang
8
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Ya’mal Tangerang, Jl. Raya KPR BTN Kutabumi Desa Karet Kec. Sepatan Kab. Tangerang, tahun 2010 – 2012 (12 Juni 2010 – 25 Juli 2012).
9
Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Binamadani, Jl. KH. Hasyim Ashari Kav. DPR Nerogtok No. 236 Kec. Pinang Kota Tangerang, tahun 2008 – 2010.
10
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jl. KH. Ahmad Dahlan, Cirendeu Ciputat Jakarta Selatan, tahun 2010 – 2012.
11
Dosen Universitas Pramita Indonesia (UNPRI), Jl. Bulevar Taman Ubud, Lipo Karawaci, Tangerang, tahun 2010 – 2011.
12
Guru Bahasa Arab, Sejarah Indonesia, Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ), dan Budi Pekerti SMK Kesehatan Bhakti Insan Persada (BIP) Kutabumi Sepatan, Tangerang, tahun 2011 – sekarang
13
Pembina/Pendiri Yayasan Madīnatul Jannah Indonesia (YASMIIN), Jl. Sabi Raya RT. 005 RW. 02 No. 27 Kel. Bencongan Kec. Kelapa Dua Kab. Tangerang 15811, tahun 2014.
PENGALAMAN KEPANGKATAN 1
Assisten Ahli/ Penata Muda Tk. I (III/b), dalam Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam (SPI) Terhitung Mulai Tanggal (TMT) 1 Mei 2011
2
Lektor/ Penata (III/c), dalam Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam (SPI) Terhitung Mulai Tanggal (TMT) 1 Oktober 2014
3 4
Lektor (III/d), TMT Lektor Kepala (IV/a), TMT
KARYA TULIS 1
Ahamiyyah Talafudz Makhārij al-Hurūf fī Ta‟līm al-Qirā‟ah al-Jahriyah lada
224 Talāmīdz ash-Shaf ats-Tsālits min Madrasah Dārul Hikam al-Mutawasithah al-Islāmiyyah Cibodas Baru Cibodas Kota Tangerang, (Penelitian Skripsi, tahun 2003). 2
Manajemen Pendidikan Islam Mathla’ul Anwar: Studi Kasus Perubahan Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar (MA MA) Buaranjati menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Mauk Tangerang, (Penelitian Tesis, tahun 2007).
3
Pemikiran K.H. Mas Abdurrahman tentang Pendidikan Sistem Madrasah dan Praksisnya, (Sedang Penelitian Disertasi, tahun 2012 – sekarang).
4
The Art of Teaching: Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), Buku Ajar Perguruan Tinggi, tahun 2010.
5
Sejarah Pendidikan Islam I & II, Buku Ajar Perguruan Tinggi, tahun 2010.
Tangerang, 7 Mei 2015 Saya yang bersangkutan
Maddais, S.Pd.I., MA NIK/NIDN. 510209203/2107057901
225