ii
!
" #
" "
"
%
$
"
"
#
% & "
(
' "
" # ) *
# +
*
# ,
#
# " -$
" !!+
.//0
iii
Daftar Isi BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar dan Definisi 1. Definisi a. Definisi Schmitthoff b. Definisi Rafiqul Islam c. Definisi Michelle Sanson d. Definisi Hercules Booysen 2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional a. Hubungan Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum Lainnya b. Hukum Perdagangan Internasional bersifat Interdisipliner B. Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Internasional 1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak 2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda 3. Prinsip Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase 4. Prinsip Kebebasan Komunikasi (Navigasi) C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional 1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional 2. Lembaga-lembaga Yang Bergerak dalam Unifikasi dan Harmonisasi Hukum a. World Trade Organization (WTO) b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) c. The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) d. Kamar Dagang Internasional (ICC) F. Penutup BAB II. SUBYEK HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar B. Negara 1. Peran Negara 2. Imunitas Negara C. Organisasi Perdagangan Internasional D. Individu 1. Perusahaan Multinasional 2. Bank E. Penutup BAB III. SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
iv A. Pengantar B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional 1. Perjanjian Internasional 2. Hukum Kebiasaan Internasional 3. Prinsip-prinsip Hukum Umum 4. Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin 5. Kontrak 6. Hukum Nasional C. Penutup BAB IV. ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT A. Pengantar B. Sejarah GATT C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT D. Prinsip-prinsip GATT E. Garis-garis besar Ketentuan GATT F. Penutup BAB V. LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional 1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit) 2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen C. Penutup BAB VI. E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC COMMERCE 1996 A. Pengantar B. Masalah Hukum: Pengawasan C. UNCITRAL Model Law 1. Pengantar 2. Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data 3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data 4. Penyimpanan Pesan Data 5. Komunikasi Pesan Data 6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak 7. Pengakuan terhadap Pesan Data 8. Pengakuan Penerimaan 9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data 10. Bagian II: Obyek tertentu: Pengiriman Brg 11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading) 12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi D. Penutup BaAB VII. PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
v A. Pengantar B. Para Pihak dalam Sengketa C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa 1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus) 2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa 3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum 4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) 5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies D. Forum Penyelesaian Sengketa 1. Negosiasi 2. Mediasi 3. Konsiliasi 4. Arbitrase 5. Pengadilan (Nasional dan Internasional) E. Hukum Yang Berlaku 1. Pengantar 2. Kebebasan Para Pihak F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang 1. Pengantar 1. Pelaksanaan Putusan APS 2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing) 3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan G. Penutup
BAB I PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar dan Definisi Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan-hubungan
dagang
yang
sifatnya
lintas
batas
dapat
mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari
barter,
pertanian,
jual
beli
perkebunan,
barang
dan
atau
komoditi
sejenisnya),
(produk-produk
hingga
hubungan
atau
transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya ini
sedikit
(khususnya
hubungan
banyak
teknologi
atau
transaksi
dagang
disebabkan
oleh
adanya
informasi).
Sehingga,
internasional
jasa
teknologi
transaksi-transaksi
dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi
halangan
dalam
bertransaksi.
Bahkan
dengan
pesatnya
teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek hukum
(pelaku
internasional.
dalam Yang
perdagangan) menjadi
melakukan
fakta
adalah
transaksi bahwa
dagang
perdagangan
internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam sejarah perkembangan dunia. Besar
dan
jayanya
negara-negara
di
dunia
tidak
terlepas
dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam perdagangan
internasional.
masa lalu tidak
Sebagai
satu
contoh,
kejayaan
Cina
terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal
dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-
saudagar
Cina
untuk
berdagang
dengan
bangsa-bangsa
lain
di
1
dunia.
Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti Spanyol
dengan
Spanish
British
Empire-nya
Conquistadors-nya,
(beserta
perusahaan
Inggris
dengan
multinasionalnya
The yang
pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan VOC-nya,
dll.
kebijakan
Kejayaan
pemerintahnya
negara-negara untuk
ini
tidak
melakukan
terlepas
transaksi
dari
dagang
internasional. Kesadaran
untuk
melakukan
transaksi
dagang
internasional
ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis yang
sadar
kesejahteraan
akan
pentingnya
sukunya.
dagang
Keunggulan
suku
(dan bugis
pelayaran) dalam
bagi
berlayar
dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah Singapura dan Malaysia).2 Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah
1
Jonathan Reuvid, (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997, para. xv. 2 PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977, hlm. 154. Di Singapura, misalnya, ada suatu daerah yang khusus untuk menghormati suku Bugis ini karena keunggulan mereka sebagai pelaut dan pedagang. Pemerintah Singapura memberi nama pada suatu daerah di tengah Singapura dengan nama Bugis (di wilayah Bugis Junction). Di Bugis Junction ini kita dapat melihat replika perahu kecil suku Bugis yang berlayar ke Malaka (sekarang Singapura). Bahkan pernah ada data yang mengungkapkan bahwa perahu Bugis telah juga mengunjungi wilayah utara benua Australia. Prestasi ini telah membuat kagum banyak bangsa di dunia. Bahkan banyak ahli hukum dari berbagai dunia, khususnya Inggris dan Belanda, yang mempelajari hukum-hukum bangsa Bugis ini yang disalin oleh Amanna Gappa. Mereka mempelajari hukum-hukum pelayaran dan hukum dagang bangsa Bugis untuk kemungkinan diterapkan pada keadaan dewasa ini. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, apa yang diperbuat oleh ahliahli hukum Belanda dan ahli hukum Inggris tersebut merupakan pukulan telak pada ahli hukum di tanah air. Kenapa justru ahli hukum asing yang mempelajari dan menggali hukum dagang (internasional) Bugis, bukannya bangsa kita sendiri.
suatu
“kebebasan
kebebasan berdagang.
ini
fundamental”
siapa
Kebebasan
saja ini
(fundamental
harus tidak
memiliki
boleh
freedom).3 kebebasan
dibatasi
oleh
Dengan untuk adanya
perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll. Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).
3
Lihat buku penulis, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, Bab I.
1. Definisi
Cepatnya perkembangan bidang hukum ini ternyata masih belum ada kesepakatan tentang definisi untuk bidang hukum ini. Hingga dewasa
ini
terdapat
berbagai
definisi
yang
satu
sama
lain
dikeluarkan
oleh
berbeda. a. Definisi Schmitthoff Definisi
pertama
adalah
definisi
yang
4
Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966.
Definisi
ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama dalam hukum dagang internasional dari City of London College, yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff. Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship of a private law nature involving different nations”.5 Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut: 1) Hukum yang
perdagangan mengatur
internasional
hubungan-hubungan
adalah
sekumpulan
komersial
yang
aturan
sifatnya
hukum perdata, 2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara. Definisi
di
atas
menunjukkan
dengan
jelas
bahwa
aturan-
aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan hukum publik. Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang lingkup
bidang
hukum
ini
tidak
termasuk
hubungan-hubungan
komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam 4
United Nations, Progressive Development of the Law of International Trade: Report of the Secretary General of the United Nations 1966, New York: United Nations, 1966, hlm. 1. (Selanjutnya disebut Secreatry General Report). 5 Secretary General Report, op.cit., para. 10.
bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah laku
atau
perilaku
negara-negara
dalam
mengatur
perilaku
6
perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya. Dengan perdagangan
kata
lain,
internasional
Schmitthoff tidak
menegaskan
termasuk
atau
wilayah
hukum
terlepas
dari
aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubunganhubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturanaturan
yang
mengatur
blok-blok
perdagangan
regional,
aturan-
aturan yang mengatur komoditi, dsb.7 Dalam salah satu tulisannya Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut: “First, the modern law of international trade is not a branch of international law; it does not form part of the jus gentium, but it is applied in every national jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose public policy may override or qualify a particular rule of that law.”8 Dari latar belakang definisi tersebut pun berdampak pada ruang
lingkup
cakupan
hukum
dagang
internasional.
Schmitthoff
menguraikan bidang-bidang berikut sebagai bidang cakupan bidang hukum ini: 1) Jual beli dagang internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii) perwakilan-perwakilan
dagang
(agency);
(iii)
Pengaturan
penjualan eksklusif; 6
Secretary General Report, op.cit., para. 11. Secretary General Report, op.cit., para. 11. 8 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,” (1968) JBL 109 (pendapat Schmitthoff ini juga adalah pendapat sarjana terkemuka hukum perdagangan internasional Profesor Aleksander Goldštajn). Menurut hemat penulis salah satu kelemahan dari definisi ini adalah sulitnya diterima bahwa berlakunya hukum perdagangan internasional ke dalam jurisdiksi nasional negara-negara di dunia adalah berdasarkan apa yang beliau sebut “tolerance of the national sovereign.” Dalam hukum, sulit diterima adanya toleransi ini. Yang ada adalah penundukan diri baik secara diam-diam maupun tegas seperti dalam ratifikasi atau aksesi suatu perjanjian internasional (dalam hal ini hukum perdagangan internasional) oleh suatu negara. Seperti kita ketahui, masalah ratifikasi atau aksesi terhadap suatu perjanjian internasional (tidak terkecuali perjanjian di bidang hukum perdagangan 7
2) Surat-surat berharga 3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai perdagangan internasional 4) Asuransi 5) Pengangkutan
melalui
darat
dan
kereta
api,
laut,
udara,
definisi
hukum
perairan pedalaman 6) Hak milik industri 7) Arbitrase komersial.9 b. Definisi M. Rafiqul Islam Dalam
upayanya
memberi
batasan
atau
perdagangan internasional, Rafiqul Islam menekankan keterkaitan erat
antara
(financial
perdagangan
relations).
internasional
Dalam
hal
ini
dan
hubungan
Rafiqul
keuangan
Islam
memberi
batasan perdagangan internasional sebagai "... a wide ranging, transnational, commercial exchange of goods and services between individual business persons, trading bodies and States".10 Hubungan internasional.
finansial keterkaitan
terkait erat
ini
erat
dengan
tampak
karena
perdagangan hubungan-
hubungan keuangan ini mendampingi transaksi perdagangan antara para pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau countertrade).11
internasional) tunduk pada prinsip-prinsip hukum internasional publik, dalam hal ini prinsip hukum perjanjian internasional. 9 Secretary General Report, op.cit., para. 10. 10 Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 1. Sarjana-sarjana dewasa ini cenderung untuk membagi ruang lingkup perdagangan internasional ke dalam dua bagian:perdagangan barang dan jasa (sebagaimana halnya dengan Rafiqul Islam di atas). Lihat misalnya, Pablo Vilanueva, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page (tt), hlm 3. (Villanueva menggambarkan bidang perdagangan internasional ke dalam dua bidang: (1) Perdagangan barang (merchandise trade) yang mencakup mineral, produk pertanian, barang industri; dan (2) jasa komersial (commercial services) yang mencakup perbankan, konsultasi dan pariwisata). 11 Pengecualian terhadap kedua bentuk transaksi tersebut karena memang untuk kedua transasi tersebut tidak terkait dengan adanya hubungan keuangan. (Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1).
Dengan
adanya
keterkaitan
erat
antara
perdagangan
internasional dan keuangan, Rafiqul Islam mendefinisikan "hukum perdagangan dan keuangan ("international trade and finance law") sebagai suatu kumpulan aturan, prinsip, norma dan praktek yang menciptakan suatu pengaturan (regulatory regime) untuk transaksitransaksi
perdagangan
transnasional
dan
sistem
pembayarannya,
yang memiliki dampak terhadap perilaku komersial lembaga-lembaga perdagangan.12 Kegiatan-kegiatan komersial tersebut dapat dibagi ke dalam kegiatan "komersial" yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional atau Conflict of Laws; perdagangan antar
pemerintah
atau
antar
negara,
yang
diatur
oleh
hukum
lingkup
hukum
13
internasional publik. Dari perdagangan kajian
batasan
tersebut
internasional
bidang
hukum
ini
tampak
sangat
bahwa 14
luas.
sifatnya
ruang Karena
adalah
ruang
lintas
lingkup
batas
atau
transnasional, konsekuensinya adalah terkaitnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda. c. Definisi Michelle Sanson Sarjana lainnya yang mencoba memberi batasan bidang hukum ini
adalah
sarjana
Australia
Sanson.
Sanson
memberi
batasan
bidang ini sesuai dengan pengeritan kata-kata dari bidang hukum ini, yaitu hukum, dagang dan internasional (dengan kata dasar nasion atau negara). Hukum
perdagangan
internasional
menurut
definisi
Sanson
‘can be defined as the regulation of the conduct of parties
12
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Selengkapanya Rafiqul Islam menulis sebagai berikut: "international trade and finance law is a body of rules, principles, norms and their associated payments systems, with a controlling impact on the commercial behaviour of the trading entities"). 14 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. 13
involved
in
the
exchange
of
goods,
services
and
technology
15
between nations.’
Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat, publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan teknologi. Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian utama,
yaitu
interntional
hukum trade
perdagangan law)
dan
internasional
hukum
publik
perdagangan
(public
internasional
privat (private international trade law).16 Yang pertama, public international trade law adalah hukum yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua, private perilaku
international dagang
secara
trade orang
law
adalah
perorangan
hukum
yang
(private
mengatur
traders)
di
17
negara-negara yang berbeda. Meskipun
ada
pembedaan
ini,
namun
para
sarjana
mengakui
bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development is that the distinction between publik and privat international trade law has less meaning.’18
15
M. Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 3. 16 M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Lihat pula pendekatan Rafiqul Islam, supra, dan Schmitthoff, supra.. 17 M. Sanson, op.cit., hlm. 4. 18 M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Sanson dengan benar memberi contoh tentang hukum WTO. Perjanjian WTO adalah bidang hukum perdagangan internasional publik. Tetapi aturan hukumnya terjewantahkan ke dalam bidang-bidang privat, misalnya saja dalam hal tarif, dumping, perpajakan. (Ibid).
Mirip dengan Sanson, Rafiqul Islam melihat hubungan atau keterkaitan ini juga sulit untuk tidak bersentuhan dan saling mempengaruhi. Beliau menulis: ‘The effect of public international law on private transactons is indirect but can be very profound in certain aspects. Some such aspects of private transactions will be considered merely because public international law has shaped, or is in the process of reshaping, their legal order.’19
d. Definisi Hercules Booysen Booysen secara
sarjana
tegas.
Afrika
Beliau
Selatan
menyadari
tidak
bahwa
ilmu
memberi
definisi
hukum
sangatlah
kompleks. Karena itu, upaya untuk membuat definisi bidang hukum, termasuk
hukum
perdagangan
internasional,
sangatlah
sulit
dan
20
jarang tepat.
Karena itu dalam upayanya memberi definisi tersebut, beliau hanya mengungkapkan unsur-unsur dari definisi hukum perdagangan internasional. Menurut beliau ada tiga unsur, yakni: (1) Hukum perdagangan internasional dapat dipandang sebagai suatu cabang khusus dari hukum internasional (international trade law
may
also
be
regarded
as
a
specialised
branch
of
international law). (2) Hukum perdagangan internasional adalah aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terhadap perdagangan barang, jasa dan
perlindungan
hak
atas
kekayaan
intelektual
(HAKI).
(International trade law can be described as those rules of international law which are applicable to trade in goods, services
and
Bentuk-bentuk 19
the hukum
protection perdagangan
of
intellectual
internasional
property). seperti
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm). Bandingkan dengan pendapat Reuvid, bahwa istilah ‘Perdagangan internasional’ mencakup bidang dan teknik dagang yang sangat luas (‘internasional trade covers a bewildering mumber of activities and procedures’ (Jonathan Reuvid, (ed.), hlm. xv).) 20
ini
misalnya
saja
multilateral GATT,
adalah
mengenai
perjanjian
aturan-aturan
perdagnagan
mengenai
WTO,
mengenai
perdagangan
perjanjian
barang
di
seperti
bidang
jasa
(GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait dengan HAKI (TRIPS).21 Dalam
lingkup
semata-mata
definisi pelaku
internasional.
ini
diakui
utama
Negara
bahwa
dalam
lebih
negara
bidang
berperan
bukanlah
perdagangan
sebagai
regulator
(pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga mencakup
aturan-aturan
transaksi
nyata
pedagang
(international
international
yang
internasional
law
bersifat
internasional
law
merchants
mengenai
transaksidari
merchants).
ini
adalah
para
Karenanya,
bagian
dari
hukum
22
perdagangan internasional.
(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturanaturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh dari
aturan
undangan
hukum
yang
nasional
seperti
ekstrateritorial
itu
adalah
(the
perundang-
extraterritorial
23
legislation). Dari
4
(empat)
definisi
di
atas
tampak
semuanya
ada
benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam. Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan erat
antara
internasional
hukum
perdagangan
publik.
Memang
internasional
sekilas
tampak
dengan
bahwa
hukum
dampak
dan
pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun demikian 21
pengaruh
ini
dapat
berdampak
cukup
luas
terhadap
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm). 22 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm). 23 Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm).
beberapa
aspek
dari
hukum
perdagangan
internasional.
Hal
ini
disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuanketentuan
yang
mengatur
aspek-aspek 24
perdagangan internasional.
24
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
perdata
dari
transaksi
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang Hukum lainnya Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait dengan
perdagangan
tampak
luasnya
internasional.
bidang
cakupan
Di
hukum
bagian
awal
perdagangan
tulisan
ini
internasional
ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya dengan
hukum
ekonomi
internasional,
hukum
transaksi
bisnis
25
internasional, hukum komersial internasional, dll.
Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari hukum internasional.26 Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara hukum
perdagangan
dengan
bidang-bidang
hukum
lain
disebut
di
atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja, pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua bidang hukum sedikit banyak hampir sama.27 Sementara
ini
pendekatan
yang
ditempuh
untuk
membedakan
kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy), seperti
misalnya
hubungan-hubungan
di
bidang
ekonomi
yang
dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan
25
Cf., M. Sanson, op.cit., hlm. 2. Lihat buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I. 27 Lihat lebih lanjut mengenai hukum ekonomi internasional ini, buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I dst. 26
hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubunganhubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat. Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid. Hukum
ekonomi
internasional
kegiatan-kegiatan
atau
dalam
kenyataannya
transaksi-transaksi
juga
badan
mengatur
hukum
privat
atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai perlindungan
dan
nasionalisasi
atau
ekspropriasi
perusahaan
asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur subyek-subyek
hukum
publik
atau
negara,
namun
aturan-aturan
tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.
b. Hukum Perdagangan Internasional Bersifat Interdisipliner Karakteristik lain dari hukum perdagangan internasional ini adalah pendekatannya yang interdisipliner. Untuk dapat memahami bidang hukum ini secara komprehensif, dibutuhkan sedikit banyak bantuan disiplin-disiplin (ilmu) lain. Dalam bidang hukum ini terkait dengan bidang pengangkutan (darat, udara dan khususnya laut). Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman disiplin ilmu pelayaran. Keterkaitan
dengan
pembayaran
dalam
perdagangan
internasional akan terkait dengan praktik perbankan dan lembaga keuangan
lainnya.
Hal
ini
membutuhkan
bantuan
dan
pemahaman
disiplin ilmu perbankan dan keuangan. Keterkaitan
dengan
perdagangan
itu
sendiri
akan
terkait
dengan praktik dan teknik-teknik perdagangan. Hal ini membutuhkan bantuan dan pemahaman ilmu praktik perdagangan. Disiplin-disiplin
ilmu
lainnya
yang
terkait
lainnya
misalnya adalah teknologi, ekonomi. Yang juga penting adalah ilmu politik,
yaitu
bagaimana
kebijakan
politik
suatu
berpengaruh terhadap kebijakan dagang suatu negara.
negara
yang
B. Prinsip-prinsip Dasar Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana hukum
perdagangan
internasional
Profesor
Aleksancer
Goldštajn.
Beliau memperkenalkan 3 (tiga) prinsip dasar tersebut, yaitu (1) prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt servanda; dan (3) prinsip penggunaan arbitrase.28 1. Prinsip Dasar Kebebasan Berkontrak Prinsip
pertama,
kebebasan
berkontrak,
sebenarnya
adalah
prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Setiap sistem hukum pada bidang hukum dagang mengakui kebebasan para pihak ini untuk membuat kontrak-kontrak dagang (internasional). Schmitthoff
menanggapi
secara
positif
kebebasan
pertama
ini. Beliau menyatakan: “The autonomy of the parties’ will in the law of contract is the foundation on which an autonomous law of international trade can be built. The national sovereign has,..., no objection that in that area an autonomous law of international trade is developed by the parties, provided always that that law respects in every national jurisdiction the limitations imposed by public policy.”29 Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas. Ia meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati. Ia termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya. Ia mencakup pula kebebasan untuk memilih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dll. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum. 2. Prinsip Dasar Pacta Sunt Servanda
28
Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12. Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22. (Selanjutnya disebut “Commercial Law”).
29
Prinsip
kedua,
mensyaratkan
bahwa
pacta
sunt
servanda
kesepakatan
atau
adalah kontrak
prinsip yang
yang telah
ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di dunia menghormati prinsip ini. 3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Prinsip terdengar
ketiga,
agak
ganjil.
menyebut prinsip dalam
prinsip
penggunaan
arbitrase
tampaknya
demikian
pengakuan
Goldštajn
Namun
ini bukan tanpa
perdagangan
internasional
alasan yang kuat. adalah
forum
Arbitrase
penyelesaian
sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang.30 Oleh karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan. Goldštajn
menguraikan
kelebihan
dan
alasan
mengapa
penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional: “Moreover, to the extent that the settlement of differences is referred to arbitration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other than those applied in courts. Arbitrators appear more ready to interpret rules freely, taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy than the enforcement of foreign court decisions is conducive to a preference for arbitration.”31 4. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi) Di
samping
tiga
prinsip
dasar
tersebut,
prinsip
dasar
lainnya yang menurut penulis relevan adalah prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasonal, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para
pihak
siapa
pun
30
untuk juga
berkomunikasi
dengan
melalui
untuk
keperluan
berbagai
sarana
dagang
dengan
navigasi
atau
Lihat secara khusus, Rene David, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer, 1985 (membahas panjang lebar tentang peran arbitrase dalam perdagangan internasional). 31 Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
komunikasi,
baik
darat,
laut,
elektronik.
Kebebasan
perdagangan
internasional.
ini
sangat
udara,
atau
esensial
Aturan-aturan
melalui
bagi
hukum
sarana
terlaksananya
(internasional)
memfasilitasi kebebasan ini.32 Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan para
pihak
tidak
boleh
dibatasi
oleh
sistem
ekonomi,
sistem
politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara sistem
ekonomi
dan
politik
dalam
kaitannya
dengan
hukum
perdagangan internasional: “The law governing trade transactions is neither capitalist nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the fact that the beneficiaries of such transactions are different in this or that country is no obstacle to the development of international trade. The law of international trade is based on the general principles accepted in the entire world.”33 (Huruf miring oleh penulis). Pernyataan terakhir Goldštajn di atas, yaitu bahwa hukum perdagangan
internasional
didasarkan
pada
prinsip-prinsip
umum
yang diterima di seluruh dunia menyatakan seolah-seolah hukum perdagangan internasional dapat diterima oleh sistem hukum di dunia. Pendapat ini benar. Sarjana terkemuka lainnya, Profesor Tammer, memperkuat pernyataan tersebut: “The law of external trade of the countries of planned economy does not differ in its fundamental principles from the law of external trade of other countries, such as, e.g., Austria or Switzerland. Consequently, international trade law specialists of all countries have found without difficulty that they speak a ‘common language.”34
32
Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2003, hlm. 29. 33 Schmitthoff, op.cit., (Commercial Law), hlm. 19. 34 Schmitthoff, ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’ (1968) JBL 109 (mengutip Tammer, The Sources of the Law International Trade, 1964, hlm. 42).
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional Hubungan-hubungan sudah
ada
sejak
lama.
perdagangan
internasional
Hubungan-hubungan
ini
antar
sudah
negara
ada
sejak
adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentukbentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini
untuk
memperoleh
kemandirian
dan
pengawasan
(kontrol)
terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.35 Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.36 Cara
pandang
ini
sedikit
banyak
dilatarbelakangi
dan
dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran yang
mula
lahir
berpendirian
adalah
teori
perdagangan
merkantilisme.
internasional
Para
merkantilis
sebagai
instrumen
kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesarbesarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas). Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif yang
diperkenalkan
oleh
David
Ricardo
(1772-1823).
Ricardo
menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap perdagangan
internasional
sebagai
salah
satu
bagian
dari
keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori beliau
35
menyatakan
bahwa
untuk
menjadi
pemain
utama
dalam
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Lihat antara lain: Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone, 1999, hlm. 3-4.
36
perdagangan,
faktor
yang
penting
bukanlah
ukuran,
tetapi
37
bagaimana memaksimalkan potensi.
Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi dengan
kekuatan
negeri
ini
manajemen
berhasil
dalam
perdagangan
menjadikannya
sebuah
internasionalnya,
negara
yang
paling
penting di dunia dewasa ini. Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau pasar
internasional
melaksanakan
yang
stabil
perdagangan
untuk
internasional
memberikan
modal
untuk
tersebut.
Karena
itu,
keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan atau moneter internasional menjadi semakin penting.38 Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional kemudian
menyelenggarakan
konperensi
Bretton
Woods
guna
mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2 lembaga
keuangan
ini
semata-mata
untuk
menjaga
agar
sistem
moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi pinjaman
jangka
pembayaran
yang
pendek
guna
disebabkan 39
ekspor-impor negara-negara.
menanggulangi
oleh
adanya
kesulitan
defisit
neraca
perdagangan
Krisis keuangan internasional pada
tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat ini. Dalam
upaya
negara-negara
ini
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam kecenderungan
ini
pun
peran
perjanjian
internasional
menjadi
semakin penting.40
37
Lihat misalnya, Ademuni-Odeke, Ibid., hlm. 3-4, M. Sanson, op.cit., hlm. 3; Jonathan Reuvid, op.cit., para. xv. 38 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. 39 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. 40 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
Semakin
pentingnya
peran
perjanjian-perjanjian
di
bidang
ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa dan penamaman modal di antara negara-negara.41 Tujuan
hukum
perdagangan
internasional
sebenarnya
berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on
tidak
Tariffs and
Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut adalah: (a) untuk
mencapai
menghindari
perdagangan
internasional
kebijakan-kebijakan
dan
yang
stabil
dan
praktek-praktek
perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya. (b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan ekonomi semua negara; (c) meningkatkan standar hidup umat manusia; dan (d)
meningkatkan lapangan tenaga kerja. Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
(e) untuk
mengembangkan
sistem
perdagangan
multilateral,
bukan
sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi semua negara;42 dan (f) meningkatkan
pemanfaatan
sumber-sumber
kekayaan
dunia
dan
meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.43 Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan internasional perdamaian
dan
juga
pada
keamanan
analisis
akhirnya
internasional.
Hal
akan ini
menciptakan antara
lain
dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya 41
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander Goldštajn yang menyatakan: “only deliberate regulation on the international level will make it possible to do justice, on the basis of equality, to the interests and general welfare of all members of the international community.” (Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
42
benar.
Manakala
dua
bertransaksi
dagang
perdagangan
tersebut,
banyak
lebih
baik.
atau dan
lebih
mereka
otomatis
Artinya,
negara
berhubungan
memperoleh
keadaan
situasi
keuntungan
dunia
dan
menjadi
kondisi
dan dari
sedikit
dunia
akan
semakin kondusif. Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak hukum
internasional.
Dalam
tulisannya
berjudul
‘On
Eternal
Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist with war.’44 Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan (unifikasi)
hukum
dagang
adalah
antara suku bangsanya dan juga
untuk
mencegah
persaingan
memajukan kerjasama 45
mereka guna kesejahteraan di antara mereka.
di
di antara
Terjemahan saduran
hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal dengan
hukum
pelayaran
dan
dagangnya
tergambarkan
sebagai
berikut: “One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a very intelligent and energetic man and he may have been the first to realize the great importance of navigation and trade for his people as the only fields of endeavour in which they could earn a living. We may assume that this was the bacground of his taking initiative in inviting his colleagues from other parts of Indonesia in order to collect the different rules which were in force in their respective regions and to compile a uniform navigation and trade law. By doing so he tried to prevent heavy competition among his countrymen and to stimulate cooperation for their own welfare.”46 (Huruf miring oleh kami).
43
Cf., Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement Establishing The World Trade Organization). 44 Lihat, Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983, hlm. Xxi. 45 Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154. 46 Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.
Meskipun
adanya
tujuan
bagus
tersebut
di
atas,
hukum
perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan. Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidangbidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian atau
klausul-klausul
'penyelamat'
yang
bersifat
memperlonggar
kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu: (a) hukum
perdagangan
internasional
sebagian
besar
bersifat
pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan hukum
perdagangan
'memaksakan'
internasional
negara-negara
kurang
untuk
obyektif
tunduk
pada
di
dalam
hukum.
Dalam
kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan ekonomi
memanfaatkan
perdagangan
sebagai
sarana
kebijakan
internasional
bersifat
politisnya. (b) Aturan-aturan mendamaikan
hukum dan
perdagangan
persuasif
(tidak
memaksa).
Kelemahan
ini
sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan hukum ini di tengah krisis.47
47
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2-3.
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional Dari
uraian
di
atas
tampak
bahwa
hukum
perdagangan
internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern. Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan
yang
cukup
pesat
sesuai
dengan
perkembangan
hubungan-hubungan perdagangan. Dilihat
dari
perkembangan
sumber
hukumnya
(dalam
arti
materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni: (1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan. Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).48 Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari adanya 4 faktor berikut: (a) lahirnya
aturan-aturan
yang
timbul
dari
kebiasaan
dalam
berbagai pekan raya (the law of the fairs); (b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut; (c) lahirnya
kebiasaan-kebiasaan
yang
timbul
dari
praktek
penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan (d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan jasa-jasa hukum(dagang).49 (2) Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum nasional Dalam
tahap
perkembangan
ini,
negara-negara
mulai
sadar
perlunya pengaturan hukum perdagangan internasional. Mereka lalu mencantumkan aturan-aturan perdagangan internasional dalam kitab 48
United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966, para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988, hlm. 21. 49 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,” (1968) JBL 106.
undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka. Aturanaturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807, Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.50 (3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan Munculnya
Lembaga-lembaga
Internasional
yang
mengurusi
Perdagangan Internasional. Dalam
perkembangan
ketiga
ini,
aturan-aturan
hukum
perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi oleh
semakin
banyaknya
ditandatangani
baik
berbagai secara
perjanjian bilateral,
internasional regional,
yang
maupun
51
multilateral. Secara setelah
khusus
tahap
berakhirnya
ketiga
Perang
ini
Dunia
muncul
II.
secara
signifikan
satu
perjanjian
Salah
multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut: “We are beginning to rediscover the international character of commercial law and the circle now contemplates itself: the general trend of commercial law everywhere is to move away from the restrictions of national law to a universal, international conception of the law of international trade.”52 Sejak berdiri hingga dewasa ini aturan-aturan perdagangan GATT
telah
penting.
berkembang
Bahkan
dalam
dan
mengalami
putaran
pembangunan
perundingan
tahun
yang
cukup
1986-1994,
negara-negara anggota GATT telah sepakat untuk membentuk suatu badan atau lembaga internasional baru, yaitu WTO. Perubahan dari GATT ke WTO berdampak luas terhadap bidang hukum 50
perdagangan
internasional.
Alasannya,
bidang
pengaturan
United Nations, op.cit., para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 48. 51 United Nations, op.cit., para. 20. 52 Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,” (1968) JBL 108.
yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur jasa,
hak
kekayaan
intelektual,
penanaman
modal,
lingkungan,
dll.53 Ciri
kedua
munculnya
dalam
organisasi
menonjol
adalah
perkembangan
tahap
ketiga
internasional.
Salah
satu
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB).
ini
yakni
badan
yang
Sebetulnya
peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung. Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam pasal
1:3
mencapai
Piagam
PBB,
kerjasama
yakni
aturan
internasional
tentang di
tujuan
dalam
PBB
yakni
antara
lain
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional. Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui berbagai langkah berikut: i.
Negara-negara
anggota
PBB
mendirikan
the
United
Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut
serta dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
khusus
negara-negara
sedang
berkembang
54
ini.
ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya the Declaration and Programme of Action on the Establishment of the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini diawali
dengan
langkah
Majelis
Umum
PBB
mengesahkan
the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966.
53
Uraian tentang perkembangan dari GATT ke WTO, lihat antara lain: Ray August, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000, hlm. 355-360. 54 Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.
Dokumen-dokumen
penting
ini
pada
pokoknya
mengakui
dan
memberi perlakuan khusus kepada negara-negara sedang berkembang di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.55 Ciri
ketiga
yang
juga
menonjol
adalah
disepakatinya
pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region tertentu.
Blok
perdagangan
regional
yang
mula-mula
membawa
pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994). Di
kawasan
Asia
Tenggara,
negara-negara
ASEAN
mengikuti
langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA). AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.56 Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di satu
sisi
regional
positif. tersebut
Namun
di
sisi
menimbulkan
lain
organisasi-organisasi
kekhawatiran
dari
masyarakat
internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata menyimpangi
ketentuan-ketentuan
umum
yang
terdapat
dalam
GATT/WTO.
55
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6. Uraian lebih lanjut mengenai AFTA ini lihat: Ekonomi Internasional ..., op.cit., hlm. 110-124.
56
Huala
Adolf,
Hukum
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional 1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Di
atas
dikemukakan
atuaran-aturan
hukum
bahwa
negara-negara
mencantumkan
perdagangan
internasional
dalam
hukum
nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan internasional
ini
karenanya
menjadi
sumber
hukum
yang
cukup
penting dalam hukum perdagangan internasional. Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak
kemungkinan
Perbedaan
ini
dapat
kemudian
berbeda
antara
dikhawatirkan
satu
akan
sama
juga
lainnya.
mempengaruhi
kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri. Masalah bangsa-bangsa
ini di
sebelumnya dunia,
sudah
termasuk
cukup
lama
organisasi
disadari
dunia
PBB.
oleh Dalam
resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa: "Conflicts and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstacle to the development of world trade."57 Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat
dilakukan.
Pertama,
negara-negara
sepakat
untuk
tidak
menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka. Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum
nasional
yang
akan
berlaku
dapat
digunakan
melalui
penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.58 57
United Nations, op.cit., para. 14. Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya (apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari (Lihat Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 26.
58
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan
internasional.59
Teknik
ketiga
ini
dipandang
cukup
efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti upaya
atau
sistem
proses
hukum
menyeragamkan
yang
ada.
substansi
pengaturan
Penyeragaman
tersebut
sistemmencakup
pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan penyeragaman
kedua
kata
tersebut.
tersebut
Dalam
terletak
unifikasi
hukum,
pada
derajat
penyeragaman
mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru.60 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO. Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO dagang,
yang
mencakup
indikasi
ketentuan
geografis,
mengenai
disain
hak
industri,
cipta,
merek
paten,
dll.,
meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturanaturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO.
(Sudargo Gautama menulis: “Tegaslah apabila tidak dilakukan pilihan hukum, maka berbagai kemungkinan dan berbagai kesulitan yang akan timbul tentang hukum yang harus dipakai ii. Maka para lawyers condong untuk selalu menganjurkan para clientnya jangan lewati kesempatan untuk menentukan hukum yang berlaku itu. Dan jika mungkin, maka kamu harus selalu pakai hukum nasional dari negaramu sendiri karena ini adalah hukum yang paling kamu kenal dan paling dikenal oleh Hakim-Hakim yang akan mengadili perkaramu itu”). 59 United Nations, op.cit., para. 15. 60 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. UNCITRAL, badan PBB yang mengurus hukum perdagangan internasional menggambarkan perbedaan kedua kata tersebut: “While the terms are closely interrelated, "harmonization" may conceptually be thought of as the process through which domestic laws may modified to enhance predictability in crossborder commercial transactions; and "unification" may be seen as the adoption by States of a common legal standard governing particular aspects of international business transactions.” (http://www.uncitral.org/en-index.htm).
Harmonisasi
hukum
tidak
sedalam
unifiksi
hukum.
Tujuan
utama harmonisasi hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada (yang akan diharmonisasikan).61 Untuk dapat melaksanakan unifikasi dan harmonisasi hukum ini
karenanya
mendalami
hanya
atau
dapat
menguasai
dicapai
oleh
perbandingan
para
hukum.
ahli
hukum
yang
Upaya
ini
dapat
dilakukan oleh suatu tim ahli perbandingan hukum yang terdiri dari para ahli hukum yang berlatar belakang sistem hukum yang berbeda-beda
yang
hendak
diupayakan
unifikasi
dan
harmonisasi
hukumnya. Dalam
upaya
esensialnya
unifikasi
adalah
bagaimana
dan
harmonisasi
metode
yang
hukum,
akan
masalah
diterapkannya.
Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan
bahasa
yang
terdapat
dalam
berbagai
sistem
hukum
tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metoda komparatif.62 Menurut
Schmitthoff,
dalam
metode
komparatif,
dikenal
3
metode, yaitu metode dengan memberlakukan: a. perjanjian/konvensi internasional (international convention); b. hukum seragam (uniform laws); dan c. aturan seragam (uniform rules).63 Ad. a. Perjanjian atau Konvensi Internasional Penerapan internasional 61
atau adalah
pemberlakuan cara
yang
perjanjian
paling
banyak
atau
konvensi
digunakan
dalam
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109. 63 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110. Cf., Katerina Pistor mengemukakan pula (1) perjanjian bilateral sebagai instrumen untuk unifikasi hukum (bandingkan dengan perjanjian internasional dari konsep Schmitthoff); dan (2) aturan-aturan yang bersifat rekomendatif (bandingkan dengan uniform laws and uniform rules-nya Schmitthoff). (Katerina Pistor, "The Standardization of Law and Its Effect on Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002). Pistor mengungkapkan pula, dengan adanya upaya ini maka biaya utnuk transaksi dagang dapat menjadi berkurang. Selain itu, yang juga penting, unifikasi hukum dapat 62
mencapai
unifikasi
hukum.
Cara
ini
dipandang
tepat
untuk
memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke dalam sistem hukum nasional.64 Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO di atas merupakan salah satu contoh. Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai Kontrak
Jual
Beli
Barang
Internasional.
Konvensi
ini
dapat
dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law. Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari sesuatu
negara
perjanjian
untuk
atau
mengikatkan
konvensi
diri
internasional
atau
meratifikasi
tersebut.
Dalam
kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll. b. Hukum seragam (Uniform Laws) Hukum
seragam
tidak
lain
adalah
model-model
hukum
yang
dapat kita lihat misalnya dalam model hukum arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya. Keleluasaan
tersebut
mencakup
keleluasaan
kepada
negara
yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturanaturan substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut memutuskan untuk menerapkannya dengan melakukan beberapa revisi atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-aturan di dalamnya. Sifat
hukum
persuasif.
Karena
seragam itu
tidak
derajat
mengikat. pengadopsian
Ia
hanya
atau
bersifat
penerapannya
sangat bergantung kepada masing-masing negara. Model hukum ini
memberi sumbangan bagi perbaikan kualitas (lembaga-lembaga) hukum di suatu negara (ibid). 64 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110.
karena itu berbeda dengan perjanjian atau konvensi internasional. Pada saat suatu suatu
negara turut serta, aksesi atau
perjanjian
atau
konvensi
internasional,
meratifikasi maka
pada
prinsipnya seluruh aturan perjanjian mengikat negara tersebut. c. Aturan Seragam (Uniform Rules) Aturan-aturan
seragam
lebih
rendah
tingkatannya
daripada
hukum seragam (Uniform Laws). Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak baku. Contoh bentuk aturan seperti ini adalah the Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (1974) yang dikeluarkan oleh ICC. Aturan hukum ini telah
diterapkan dan dipraktekkan oleh para subyek
hukum perdagangan internasional di dunia.65 Bentuk
lainnya
adalah
klausul
standar
(baku)
yang
dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-kontrak yang mereka buat.66 Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para pihak hendak memanfaatkan fasilitas lembaga atau asosiasi yang bersangkutan. Hal ini antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase
baik
nasional
maupun
asing.
Klausul-kluasul
standar
arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi merancang klausul choice of forum-nya, dalam hal ini arbitrase.67 Bagaimana
unifikasi
dan
harmonisasi
dapat
bekerja,
agak
sulit untuk dipaparkan di sini. Namun demikian, Katerina Pistor, guru besar di
Columbia Law School, mengemukakan istilah yang
dinamakannya standardization of law (standardisasi hukum). Maksud
standardisasi
di
sini
mengacu
kepada
suatu
tahap
dari kekhususan dari suatu hukum (the level of specificity of law).
Standar
hanya
mencakup
prinsip-prinsip
hukum
(legal
65
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111. Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111. 67 Lihat Huala Adolf, Arbitrase Komersial Rajagrafindo, cet. 3, 2003. 66
Internasional,
Jakarta:
principles),
bukan
atau
tidak
aturan-aturan
hukumnya
(legal
68
rules).
Upaya serius
unifikasi
dilakukan
dan
khususnya
harmonisasi oleh
the
hukum World
ini Trade
telah
cukup
Organization
(WTO), the International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law dan PBB khususnya the United Nations Commission on International Trade
Law
(UNCITRAL)
dan
the
United
Nations
Conference
on
International Trade and Law (UNCTAD). Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang Internasional),
dan
International
Law
Association
(ILA
atau
Asosiasi Hukum Internasional).69 2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi Hukum Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya badanbadan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan. Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC.
68
Katarina Pistor, op.cit., hlm 97. Schmitthoff, op.cit., “Commercial Law,” hlm. 24 (beliau mengemukakan formulating agencies dalam mengupayakan unifikasi hukum perdagangan internasional, yaitu: (1) UNCITRAL; (2) The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT, Rome); (3) The Hague Conference on Private International Law (The Hague); dan (4) The Council for Mutual Economic Assistance (CMEA, Moscow). Sedangkan organisasi internasional swasta (non pemerintah) yaitu: (5) ICC; (6) The International Maritime Committee (IMC, Antwerp); dan (7) The International Law Association (ILA, London).
69
a. World Trade Organization (WTO) 1. Pengantar World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948). Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional (yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau ITO). Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini terdiri
dari
keputusan
para
mengenai
perwakilan kebijakan
dari yang
semua
anggota
berkaitan
dengan
WTO.
Semua
perdagangan
multilateral dilakukan melalui badan ini. Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum (General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada the Ministerial Conference. General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai suatu
Badan
Penyelesaian
sengketa
(Dispute
Settlement
Body).
Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negaranegara anggota GATT (Trade Policy Review Body). Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for Trade in Services, dan Council for TRIPs. The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex 1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian-pejanjian
tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu. Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council. Ketiga
badan
tersebut
adalah
the
Committee
on
Trade
and
Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalahmasalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua, the
Committee
on
Balance
of
Payments
bertanggung
jawab
untuk
menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya. Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration bergerak
dalam
mengatur
masalah-masalah
keuangan
dan
anggaran
WTO.70 Di samping badan-badan tersebut, WTO membentuk pula badanbadan
khusus
plurilateral perdagangan
yang (yang
pesawat
mengawasi
pelaksanaan
sifatnya
sukarela),
udara
sipil,
badan
perjanjian-perjanjian yakni
untuk
badan
untuk
pengadaan
barang
pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan
khusus ini
melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council. Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai oleh
seorang
Direktur
Jenderal
(Diretor
General)
dan
4
orang
pembantu Direktur Jenderal. Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam hal
konsensus
ini
gagal,
maka
putusan
akan
pemungutan suara atau voting.
70
WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995, hlm. 13.
diambil
melalui
Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari anggota
WTO
diperlukan
untuk
mengesahkan
suatu
penafsiran
perjanjian perdagangan multilateral. Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the Ministerial kewajiban
Conference yang
untuk
dikenakan
memutuskan
terhadap
suatu
penanggalan negara
suatu
oleh
suatu
perjanjian multilateral. Ketiga,
keputusan
untuk
merubah
ketentuan
perjanjian
multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan demikian
hanyalah
berlaku
bagi
negara-negara
yang
menerimanya
saja. Keempat,
suatu
mayoritas
2/3
dari
negara
anggota
WTO
diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota WTO.71 2. Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO WTO adalah salah satu contoh yang telah di sebut di atas, di
mana
unifikasi
aturan-aturan
atau
hukum
perdagangan
internasional diterapkan terhadap negara-negara anggotanya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures
with
its
obligations
as
provided
in
the
annexed
Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization). Ketentuan bagaimana menyesuaikan
WTO
pasal
tersebut
mewajibkan
aturan-aturan
menjadi
indikator
negara-negara atau
hukum
penting
anggotanya
untuk
perdagangannya
dengan
aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya untuk
menyesuaikan
administrative
procedures-nya
sesuai dengan administrative procedure-nya WTO. 71
WTO, Trading into the Future, Geneva, 1995, hlm. 14.
(birokrasi)
3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex) WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah: GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade; Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994); Preshipment Subsidies
Inspection; and
Rules
Countervailing
of
Origin;
Measures;
Import
Licensing;
Safeguards;
General
Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of Intellectual
Property
Rights
(TRIPS);
Dispute
Settlement
Understanding. Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar teknis-nya.
Upaya
harmonisasi
ini
telah
lama
diupayakan
GATT
(pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The GATT Code on Technical Standards (Standard Code). Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya untuk
mengharmonisasikan
standar-standar
produk
domestiknya.
Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.72 Perjanjian harmonisasi bawah
lainnya
hukum
adalah
'Plurilateral
yang
dapat
digolongkan
perjanjian-perjanjian
Agreement'(Annex
4
yang
ke
dalam
berada
Perjanjian
di
WTO).
Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil Aircraft (Annex
4
(Annex (b));
4
(a));
Agreement
International
Dairy
on
Government
Agreement
Procurement
(Annex
4
(c));
International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).
72
Michael Trebilcock and Robert Howse, The Regulation of International Trade, London: Routledge, 1995, hlm. 29.
b. The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT). 1. Pengantar The International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai suatu
badan
pelengkap
bubar,
UNIDROIT
suatu
perjanjian
Liga
dibentuk
Bangsa-Bangsa
kembali
multilateral
pada
(LBB).
tahun
yakni
Sewaktu
1940
Statuta
LBB
berdasarkan
UNIDROIT
(the
UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma. Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk memodernisasi,
mengharmonisasi
dan
mengkoordinasikan
hukum
privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau di antara sekelompok negara. Keanggotaan
UNIDROIT
terbatas
hanya
untuk
negara-negara
yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum, ekonomi, politik dan budaya yang berbeda. Dewasa
ini
UNIDROIT
memiliki
59
negara
anggota,
yakni:
Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil, Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus, Republik
Czech,
Denmark,
Mesir,
Estonia,
Federasi
Rusia
Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria, India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg, Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay, Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia, Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki, Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal Republic of), Yunani. 2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT Tujuan harmonisasi penting
utama
UNIDROIT
aturan-aturan
mengingat
sebenarnya
hukum
perkembangan
privat.
teknologi
adalah Upaya baru,
mempersiapkan ini
dipandang
praktek-praktek
pedagangan,
dll
aturan-aturan
memerlukan
baru
aturan
hukum
juga
dibuat
tersebut
yang
baru.
oleh
Biasanya
negara-negara.
Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan tersebut
perlu
diharmonisasi,
atau
bahkan
diunifikasi
guna
memperlancar perdagangan internasional. Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut banyak
bergantung
kepada
keinginan
dan
kerelaan
negara-negara
untuk mau menerimanya. Meskipun UNIDROIT
memiliki
organsiasi menerapkan yang
menyadari
antar
kedudukannya pemerintah.
pemberlakuan
mensyaratkan
adanya
yang Dalam
konvensi
penerimaan
kesulitan
tersebut,
menguntungkan kaitan
atau
dari
upaya ini,
perjanjian
sebagai UNDIROIT
internasional
negara-negara
anggotanya.
Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut. Penerimaan
suatu
aturan
konvensi
oleh
negara
akan
jauh
lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut). 3. Konvensi atau Perjanjian Yang Dihasilkan UNIDROIT Selama
berdiri
UNIDROIT
telah
melakukan
lebih
dari
70
kajian. Kajian-kajian ini ada yang telah menghasilkan berbagai perjanjian atau konvensi internasional berikut: (1) Convention relating to a Uniform Law on the Formation of Contracts for the International Sale of Goods (The Hague 1964); (2) Convention relating to a Uniform Law on the International Sale of Goods (The Hague, 1964); (3) International Convention on the Travel Contract (Brussels, 1970);
(4) Convention
providing
a
Uniform
Law
on
the
Form
of
an
International Will (Washington, 1973); (5) Convention
on
Agency
in
the
International
on
International
Sale
of
Goods
(Geneva, 1983); (6) UNIDROIT
Convention
Financial
Leasing
(Ottawa, 1988); (7) UNIDROIT
Convention
on
International
Factoring
(Ottawa,
1988); (8) UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (Rome, 1995); (9) Convention
on
International
Interests
in
Mobile
Equipment
(Cape Town, 2001); (10) Protocol
to
the
Convention
on
International
Interests
in
Mobile Equipment on Matters specific to Aircraft Equipment (Cape Town, 2001).
c.
The
United
Nations
Commission
on
International
Trade
Law
73
(UNCITRAL)
1. Pengantar 1.
The United Nations Commission on International Trade Law
(UNCITRAL) adalah badan kelengkapan khusus dari Majelis Umum PBB. Badan ini dibentuk pada tahun 1966. Pembentukannya didasarkan pada
Resolusi
Majelis
Umum
PBB
Nomor
2205
(XXI)
tanggal
17
Desember 1966. Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan UNCITRAL
internasional.
berupaya
Untuk
memajukan
melaksanakan
perkembangan
tugas
tersebut
harmonisasi
dan
unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif (the progressive
harmonization
and
unification
of
the
law
of
international trade). Sejak
berdiri
UNCITRAL
telah
mempersiapkan
berbagai
Konvensi, Model Hukum dan instrumen hukum lainnya yang mengatur transaksi perdagangan atau aspek-aspek hukum bisnis lainnya yang memiliki pengaruh terhadap perdagangan internasional. 2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNCITRAL Dua
kata
harmonisasi
dan
unifikasi
di
atas
memiliki
pengertian tersendiri bagi UNICTRAL. UNCITRAL beranggapan mandat "Harmonization" internasional dapat
dan ini
berlangsung
"unification"
dimaksudkan secara
agar
lancar.
hukum
perdagangan
perdagangan
internasional
Hal
ini
penting
mengingat
perdagangan internasional acapkali terhalang atau tidak lancar karena faktor-faktor seperti tidak adanya kepastian hukum (lack of
a
predictable
governing
law),
hukum
yang
ada
sudah
tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
73
http://www.uncitral.org/en-index.htm. Lihat pula: Gerold Hermann, “United Nations Commission on International Trade Law,” dalam: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment 5, 1983, hlm. 298-301; Schmitthoff, op.cit., Commercial Law, hlm. 2425.
Karena membuat
itu
produk
memberi
upaya atau
badan
ini
instrumen
kebutuhan
hukum
tidak
hukum
untuk
lain
yang
adalah
modern
memperlancar
berupaya
yang
dapat
perdagangan
internasional dan perkembangan ekonomi dunia.74 UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap instrumen hukum. Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut serta. Hanya
negara-negara
tertentu
saja
yang
merupakan
wakil
dari
75
region-regiona di dunia. Pihak
lain
yang
juga
dapat
turut
serta
dalam
proses
perancangan tersebut adalah LSM internasional atau organisasiorganisasi
antar
pemerintah
yang
berminat.
Keputusan
untuk
mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus. Instrumen legislative
74
hukum
texts
yang
umumnya
dirancang
berupa
UNCITRAL
Konvensi.76
bisa
Legislative
berupa texts
Cf., mirip mandatnya dengan UNIDROIT., supra. Terdapat lima kelompok regional yang terwakili dalam UNCITRAL. Mereka adalah: (1) Negara-negara Afrika, yakni: Benin, Burkina Faso, Cameroon, Kenya, Morocco, Rwanda, Sierra Leone, Sudan and Uganda; (2) Negara-negara Asia:- China, Fiji, India, Iran (Islamic Rep. of), Japan, Singapore, and Thailand; (3) Negara-negara Eropa Timur: Hungary, Lithuania, Romania, Russian Federation, The former Yugoslav Republic of Macedonia; (4) Amerika Latin dan Karibia: Argentina, Brazil, Colombia, Honduras, Mexico, Paraguay and Uruguay; (5) Eropa Barat dan Lainnya:Austria, Canada, France, Germany, Italy, Spain, Sweden, United States of America and United Kingdom. 76 Konvensi tersebut adalah: Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New York, 1974); United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna, 1980); United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg Rules); United Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade (1991); United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit New York, 1995); Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York 1958) (the "New York" Convention); United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna 1980) ("CISG"); Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods (New York 1974); United Nations Convention on International Bills of Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit (New York, 1995); United Nations Convention on the Assignment of Receivables in International Trade (2001); United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea (1978) (the "Hamburg Rules"); United 75
misalnya saja: United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods; Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods; United Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United Nations
Convention
on
International
Bills
of
Exchange
and
International Promissory Notes; United Nations Convention on the Carriage
of
Goods
by
Sea,
1978
(Hamburg);
United
Nations
Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade; and the United Nations Convention on the Assignment of Receivables in International Trade. Sedangkan instrumen hukum lainnya berupa legislative guides dan non-legislative guides. Legislative guides misalnya adalah instrumen-instrumen hukum berupa model law dan rules. Instrumen ini
merupakan
Negara
instrumen
anggota
bebas
yang untuk
tidak
mengikat
mengikui
atau
negara tidak
anggota. mengikuti
legislative guides tersebut. Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang sifatnya juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini misalnya saja: UNCITRAL Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation Rules;
UNCITRAL
Notes
on
Organizing
Arbitral
Proceedings;
UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on International Countertrade Transactions.
Nations Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals in International Trade (Vienna, 1991).
d. Kamar Dagang Internasional (ICC)77 1. Pengantar The International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia
usaha
dengan
memajukan
perdagangan,
penanaman
modal,
membuka pasar untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal (to serve world business by promoting trade and investment, open markets for goods and services, and the free flow of capital). Selama
ini
ICC
dipandang
sebagai
corongnya
dunia
usaha
(pengusaha) untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan
dunia
kebijakan
saat
atau
ini.
Negara-negara
keputusan-keputusan
di
yang
dunia dapat
kerap
membuat
mempengaruhi
perdagangan. Karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan (suatu) negara menjadi sangat penting. Untuk itu, ICC memiliki akses langsung kepada pemerintah negara-negara di dunia melalui national committee ICC (KADIN Nasional) yang terdapat hampir di setiap negara di dunia. Peran penting lain ICC adalah sebagai badan dalam membuat kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang dapat memfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang juga cukup penting adalah: (1) sebagai
forum
penyelesaian
sengketa
khususnya
melalui
78
arbitrase;
77
http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp; op.cit., Commercial Law, hlm. 24-25.
78
Schmitthoff,
ICC memiliki badan arbitrase serta aturan (rules) arbitrasenya. The ICC International Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1923 atas jasa Presiden ICC pertama, yaitu Etienne Clémentel, mantan menteri perdagangan Perancis. Badan arbitrase ICC telah terkenal menjadi badan penyelesaian sengketa bisnis ternama. Pada tahun 2002 saja badan arbitrase ICC menerima 590 kasus atau kira-kira 50 kasus per bulan. (http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp).
(2) sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta
aturan-aturan
hukum
dagang
internasional
di
antara
teknik-teknik
dalam
pengusaha-pengusaha di dunia; dan (3) memberikan merancang
pelatihan-pelatihan kontrak
serta
dan
keahlian-keahlian
praktis
lainnya
dalam perdagangan internasional. 2. Kebijakan Harmonisasi Hukum ICC ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang
ditempuhnya
standar
(Rules
adalah and
memberikan
Standards)
aturan-aturan
di
bidang
dan
hukum
standar-
perdagangan
internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari pendirian ICC bahwa dunia usaha sebaiknya tidak atau dipengaruhi sedikit mungkin oleh campur
tangan
menjadi
penguasa
penguasa
(pemerintah).
seperti
itu.
Ia
ICC
karenanya
berpendirian,
tidak
biarlah
mau
dunia
usaha saja yang mengatur atau membuat aturan bagi mereka sendiri. Dana
turan-aturan
termasuk
yang
aturan-aturan
sifatnya yang
atau
dibuat
yang
datang
dari
ICC,
haruslah
luar,
bersfiat
sukarelah saja. Namun demikian aturan-aturan ICC (termasuk standar-standar ICC) ini memiliki pengaruh yang cukup tinggi. Bahkan beberapa aturan (Rules)-nya telah diikuti dengan sukarela dan seksama oleh para pelaku dagang, seperti misalnya perbankan. Bahkan standarstandar
yang
dikeluarkan
oleh
ICC telah
banyak
dimasukkan
ke
dalam kontrak-kontrak dagang yang dibuat oleh para pelaku bisnis. 3. Aturan-aturan dan Standar yang Dikeluarkan ICC Dewasa ini ICC memiliki 16 Komisi para ahli yang berasal dari
sektor
swasta.
Para
ahli
ini
terdiri
berbagai
bidang
keahlian di bidang bisnis internasional. Keahlian bidang mereka antara
lain
perpajakan,
mencakup hukum
teknis-teknis
persaingan,
perbankan
telekomunikasi,
(jasa HAKI,
keuangan), teknologi
informasi, pengangkutan (udara dan laut), penanaman modal dan kebijakan perdagangan.
Para
ahli
dalam
komisi-komisi
tersebut
berperan
cukup
penting dalam merumuskan kebijakan, aturan-aturan dan standarstandar
yang
digunakan
atau
diterapkan
terhadap
perdagangan
internasional, termasuk kontrak internasional, meskipun sifatnya tidak mengikat. Maksud utama dengan adanya aturan-aturan tersebut adalah untuk
mempermudah
perusahaan-perusahaan
atau
para
pedagang
di
seluruh dunia untuk bertransaksi dagang. Selain itu yang juga penting adalah untuk mempermudah mereka membuat kontrak-kontrak dagang. Selama ini, aturan-aturan yang sifatnya tidak mengikat atau sukarelah tersebut adalah:79 (1) ICC International Code on Sponsorship (September 2030); (2) Compendium of ICC Rules on Children and Young People and Marketing (April 2003); (3) Rules for Expertise (Januari 2003); (4) Paction - the online model sales contract application Create, negotiate and sign your model contracts online, 2002 (5) ICC DOCDEX Rules (Oktober 1997 dan Maret 2002); (6) ICC International Code of Sales Promotion (Mei 2002); (7) GUIDEC II: General Usage for International Digitally Ensured Commerce (Oktober 2001); dan GUIDEC I (6 November 1997); (8) Compendium of Rules for Users of the Telephone in Sales, Marketing and Research (Juni 2001); (9) ICC International Code of Direct Marketing (September 1998 dan Juni 2001); (10) ICC International Code of Direct Selling (Juni 1999); (11) ICC Rules of Conduct to Combat Extortion and Bribery (1999); (12) ICC Recommended Code of Practice for Competition Authorities on Searches and Subpoenas of Computer Records (16 Oktober 1998); (13) Model Clauses for use in Contracts involving Transborder Data Flows (23 September 1998); (14) ICC Guidelines on Advertising and Marketing on the Internet (April 1998); (15) The Rules of Arbitration of the ICC (1 Januari 1998); 79
(16) ICC International Code of Advertising Practice (April 1997); (17) ICC International Customs Guidelines (10 Juli 1997); (18) The Business Charter for Sustainable Development (1996); (19) Rules for Pre-arbitral referee, (1 Januari 1990); (20) The Uniform Customs (UCP) 1933 dan 1994.
and
Practice
for
Documentary
Credits
(21) The International Commercial Terms (Incoterms) (1936, 2000). Dua produk hukum ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan Incoterms perlu mendapat sedikit catatan. UCP mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500, yang mulai berlaku Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh dunia. Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian doumen elektronik. Incoterms dibentuk untuk memberikan definisi baku secara universal mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi perdagangan internasional, seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB. Seperti halnya UCP, Incoterms telah mengalami beberapa revisi. Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2000 (Incoterms 2000), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000. Schmitthoff
memuji
merumuskan
unifikasi
menyatakan
bahwa
peran
hukum
“(ICC)
badan
ini
perdagangan
contribution
dalam
upayanya
internasional
to
the
dengan
unification
of
international trade law has been singular successful.”80 Sebagai
catatan
akhir
dari
bagian
ini,
penting
pula
mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembagalembaga internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan perdagangan
internasional
ini
adalah
positif.
Namun
beliau
mengingatkan agar lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar upaya unifikasi efektif.81
80
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 213.
81
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 214.
F. Penutup Dari
uraian
internasional
di
adalah
atas
tampak
bidang
hukum
bahwa yang
hukum
perdagangan
sangat
luas
ruang
lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi para mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini. Dari hukum
perkembangannya,
ini
yang
kekurangannya manusia orang
dalam
mulai
sederhana:
sudah
sudah
ada
sejak
pemenuhan
berdagang.
barter
tersirat
atau
Metode
mulai
menerapkan
Untuk
awalnya
Dalam
bidang
merasakan
hidupnya.
transaksi
menukar.
dengan
pertumbuhan
manusia
kebutuhan
tukar
transaksi
pula
itu
sangatlah
perkembangannya,
teknologi
canggih:
perdagangan dengan sarana telekomunikasi. Canggihnya transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi hukum perdagangan internasional. Bidang hukum ini ditantang untuk mengakomodasi
perkembangan
cepat
ini
melalui
aturan-aturan
hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku perdagangan untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan perlindungan hukumnya. Upaya kewenangan
hukum
nasional
hukumnya
untuk
sudah
barang
mengatur
tentu
sangat
terbatas
transaksi-tansaksi
lintas
batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya mencakup aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang dalam wilayahnya. Karena
itu,
upaya-upaya
internasional
sedikit
internasional
baik
banyak
yang
pengaturan
bergantung
sifatnya
antar
pada
perdagangan
peran
negara,
organisasi
misalnya
WTO,
maupun yang sifatnya privat, misalnya Kamar Dagang Internasional (International Chamber of Commerce). Upaya organisasi internasional pun hingga dewasa ini lebih banyak
pada
upaya
harmonisasi
hukum
daripada
upaya
unifikasi
hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat perkembangan hukum
perdagangan
mengkristalisasi
internasional
aturan
hukum
yang
cukup
perdagangan
progresif.
Upaya
internasional
dalam
suatu dokumen perjanjian internasional yang sifatnya stabil dan berlaku lama tampaknya sangat sulit. Tujuan sebenarnya
akhir adalah
dari tujuan
hukum dari
perdagangan
eksistensi
internasional
hukum
perdagangan
internasional itu sendiri. Di bagian awal Bab ini (yaitu bagian B.
Eksistensi
dan
Tujuan
Hukum
Perdagangan
Internasional),
terungkap beberapa tujuan bidang hukum perdagangan internasional ini
yang
terdengar
sangat
positif,
yaitu
antara
lain,
mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya). Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa untuk
mencapai
dibarengi
tujuan
dengan
positif
pemahaman
tersebut
terhadap
mau
hukum
tidak
mau
harus
perdagangan
itu
sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui aturan-aturan hukum perdagangan internasional janganlah berharap dapat mengambil manfaat dari hukum perdagangan internasional.
DAFTAR PUSTAKA Ademuni-Odeke, 1999.
The
Law
of
International
Trade,
London:
Blackstone,
August, Ray, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000. Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff & Graham & Trotman, 1988. David, Rene, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer, 1985. Goldštajn, Aleksander, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12. Hermann, Gerold, “United Nations Commission on International Trade Law,” dalam: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment 5, 1983. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003. Huala
Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Rajawali Pers, cet. 3, 2002. Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/ definitions.htm).
Jakarta:
Islam, Rafiqul M., International Trade Law, NSW: LBC, 1999. Lew
and Stanbrook, Interational Euromoney, 1983.
Trade:
Law
and
Practice,
Bath:
PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977. Reuvid, Jonathan (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997. Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002. Schmitthoff, Clive M., ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’ (1968) JBL 106. Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981. Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977. Pistor, Katerina, "The Standardization of Law and Its Effect on Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002). Trebilcock, Michael and Robert Howse, The Regulation of International Trade, London: Routledge, 1995. United Nations, Progressive Development of the Law of International Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, New York: United Nations, 1966. Vilanueva, Pablo, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan page (tt),. WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995.
1
BAB II SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subyek hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Maksud subyek hukum di sini adalah: (1)
para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang mampu mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan
(2)
para pelaku (stake holders) dalam perdagangan internasional yang
mampu
dan
berwenang
untuk
merumuskan
aturan-aturan
hukum di bidang hukum perdagangan internasional. Dari batasan tersebut sebagai tolok ukur, maka subyek hukum yang
dapat
tergolong
ke
dalam
lingkup
hukum
perdagangan
internasional adalah negara, organisasi internasional, individu, dan
bank.
Uraian
berikut
akan
menganalisa
lebih
lanjut
tiga
dalam
hukum
subyek hukum ini. B. Negara 1. Peran Negara Negara
merupakan
subyek
hukum
terpenting
di
perdagangan internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah subyek
hukum
yang
paling
sempurna.
Pertama,
ia
satu-satunya
subyek hukum yang memiliki kedaulatan. Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari wilayahnya.1 Booysen menggambarkan kedaulatan negara ini sebagai berikut:
1
Hercules Boosen, International Trade Pretoria: Interlegal, 1999, hlm. 2.
Law
on
Goods
and
Services,
2 “... a state can absolutely determine whether anything from outside the state. The state would also have the power to determine the conditions on which the goods may be imported into the state or exported to another country. ... Every state would have the power to regulate arbitrarily the conditions of trade.”2 Dengan
atribut
kedaulatannya
ini,
negara
antara
lain
berwenang membuat hukum (regulator) yang mengikat segala subyek hukum lainnya (yaitu individu, perusahaan), mengikat benda dan peristiwa
hukum
yang
terjadi
di
dalam
wilayahnya,
termasuk
3
perdagangan, di wilayahnya. Kedua, tidak
negara
langsung
(perdagangan) UNCITRAL,
berperan
dalam
baik
di
dunia,
Organisasi-organisasi
internasional
secara
pembentukan
internasional
dll.4
perdagangan
juga
inilah
yang
langsung
maupun
organisasi-organisasi misalnya
WTO,
internasional kemudian
UNCTAD,
di
bidang
berperan
dalam
membentuk aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Ketiga,
peran
penting
bersama-sama
dengan
internasional
guna
mereka.
Contoh
negara
negara
mengatur
perjanjian
lainnya
lain transaksi seperti
adalah
negara
juga
mengadakan
perjanjian
perdagangan
di
ini
adalah
antara
perjanjian
Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda, dll.5 Keempat, negara berperan juga sebagai subyek hukum dalam posisinya sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku utama dalam perdagangan internasional. Dalam awal tulisan ini, negara dengan perusahaan negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya. Negara memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, dll. Bahan-bahan alam ini disamping 2
dikelola
untuk
kebutuhan
di
dalam
negeri
juga
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2. Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2. 4 Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, hlm. 31. 5 Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 31. 3
3 diperdagangkan
(dijual)
ke
subyek
hukum
lainnya
yang
memerlukannya. Dalam
melaksanakan
fungsinya
ini,
tidak
jarang
negara
membuat badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya, untuk
mengeksplorasi,
mengeksploitasi
dan
memasarkan
hasil
pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina. Untuk mengelola sumber
daya
air
untuk
kepentingan
rakyat
negara
mendirikan
perusahaan air minum, dst. Sebagai
suatu
institusi
yang
besar,
negara
membutuhkan
teknologi, infrastruktur, kendaraan, pesawat kenegaraan, sumbersumber kebutuhan yang dibutuhkan rakyatnya (pengadaan barang dan jasa
atau
membelinya
procurement). dari
para
Untuk
pihak
yang
memenuhi
semua
menyediakannya
ini,
negara
(penjual
atau
supplier). Dengan demikian, negara dapat bertindak sebagai pelaku dalam transaksi perdagangan.6 Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturanaturan hukum yang bentuk dan muatan pengaturannya bergantung pada jenis
transaksi.
Manakala
negara
bertransaksi
dagang
dengan
negara lain, kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional. Manakala negara bertransaksi dengan subyek hukum lainnya, maka hukum yang mengaturnya adalah hukum nasional (dari salah satu pihak).7
6 7
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 4-5. Hercules Booysen, Op.cit., hlm. 4.
4 2. Imunitas Negara Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan negara adalah atribut kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum yang
diakui
adalah
bahwa
dengan
atribut
kedaulatan,
negara
memiliki imunitas terhadap pengadilan negara lain. Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki hak
untuk
mengklaim
kekebalannya
terhadap
tuntutan
(klaim)
terhadap dirinya. Sheldrick dengan tepat menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut: “Sovereign immunity is a long-established precept of public international law which requires that a foreign government or head of state cannot be sued without its consent. In its traditional form, this rule applied to all types of suit, criminal and civil, including those arising out of purely commercial transactions undertaken by the foreign sovereign.”8 Dalam
perkembangannya,
konsep
imunitas
ini
mengalami
pembatasan. Minimal ada 4 pembatasan terhadap muatan imunitas suatu negara ini. Pertama, bertransaksi
pembatasan dagang,
oleh
hukum
hukum
internasional.
internasional
meskipun
Dalam
mengakui
imunitas negara ini, tetapi juga sekaligus membatasinya. Hukum internasional regional di Eropa misalnya memiliki the European Convention
on
State
Immunity
(16
Mei
1972).
Konvensi
beranggotakan Austria, Belgia, Belanda, Siprus, Jerman, Inggris, Luxemburg, dan Swis.9 Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk bekerjasama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai
prinsip-prinsip
hukum
internasional
antara
lain
menyatakan bahwa:
8
Andrew W. Sheldrick, “Capacity, sovereign immunity and acts of state,” dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983, hlm. 164. 9 Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 33.
5 “... states have the duty to co-operate with one another, irrespective of the difference in their political, economic and social system,...”10 Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa negara
memiliki
UU
mengenai
imunitas
yang
sifatnya
membatasi
imunitas negara-negara (asing) yang melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya atau dengan
warga negaranya. Negara-negara yang
memiliki UU seperti ini misalnya: 1982);
Australia
(Foreign
States
Serikat
(Foreign
Sovereign
Canada (State Immunity
Immunities
Act
Act
Immunity Act
1985),
1976),
dan
Amerika Inggris
(State Immunity Act 1978). UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang terkait dengan: (a)
sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dagang) yang dilakukan oleh suatu negara;
(b)
sengketa-sengketa
yang
lahir
dari
adanya
kontrak
yang
dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris; (c)
kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris atau yang berkaitan dengan jasa-jasa yang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya di Inggris;
(d)
tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita semacam
perbuatan
melawan
hukum)
untuk
menuntut
ganti
rugi karena meninggal, luka-luka, atau kerugian terhadap harta
benda,
di
mana
tindakan
tersebut
terjadi
di
Inggris; (e)
sengketa-sengketa yang terkait dengan keanggotaan dalam suatu perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki kegiatan usaha utamanya di Inggris;
10
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 33 dan 33n.
6 (f)
sengketa-sengketa
yang
terkait
dengan
klaim-klaim
pengangkutan di laut terhadap kapal atau muatan atau yang digunakan untuk tujuan-tujuan komersial; dan (g)
sengketa-sengeta
yang
terkait
dengan
perpajakan
atau
cukai.11 Ketiga, Pembatasan
pembatasan
ini
dianggap
secara terjadi
diam-diam manakala
dan
suatu
sukarela.
negara
secara
sukarela menundukkan dirinya ke hadapan suatu badan peradilan yang mengadili sengketanya. Apabila pengadilan memanggil negara tersebut
untuk
mengadiri
persidangan
dan
negara
tersebut
mematuhinya, maka negara tersebut dianggap telah dengan sukarela menanggalkan imunitasnya.12 Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasn imunitas ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa negara tersebut telah menanggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan
arbitrase
yang
dipilihnya
untuk
menyelesaikan
sengketa
dagangnya.13 Dengan
adanya
pembatasan-pembatasan
tersebut,
kekebalan
suatu negara untuk hadir di hadapan badan peradilan (nasional asing, internasional atau arbitrase) tidak lagi berlaku. Namun masalah sesungguhnya dalam kaitanya dengan pembatasan negara di hadapan badan peradilan adalah pelaksanaan putusan pengadilannya. Hal inilah yang menjadi nasalah utama yang justru sangat krusial. Percumalah
11
doktrin
dan
aturan-aturan
mengenai
imunitas
ini
Scheldrick, op.cit., hlm. 163 dan 164. Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. 13 Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. Dengan adanya pembatasanpembatasan terhadap imunitas ini kemudian lahir teori yang disebut dengan teori pembatasan imunitas negara (“restrictive theory doctrine”). (Scheldrick, op.cit., hlm. 163). Teori ini juga menyatakan bahwa negara dengan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat nonpemerintah (publik) atau ‘non-governmental activities’, negara tersebut secara implisit telah menanggalkan hak-haknya untuk mengklaim imunitas. (Scheldrick, op.cit., hlm. 163). 12
7 apabila di kemudian hari ternyata putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan tidak
dapat
hukum
menyita
internasional,
harta
milik
negara
suatu lain
badan
peradilan
atau
memaksakan
putusannya terhadap harta milik negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi pelayanan publik (public services).14 Hukum internasional melarang suatu negara menahan kapal perang asing yang
sedang
menyandar
di
pelabuhan
suatu
negara
asing
atau
menyita bangunan kedutaan negara asing.15 Menurut memungkinkan bersangkutan
Houtte,
pelaksanaan
terhadap
aset-aset
tidak
dibutuhkan
untuk
putusan yang
pengadilan
negara
melaksanakan
hanya
asing
yang
fungsi-fungsi
pelayanan publik.16
14
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. 16 Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. berbgai sarjana antara lain C. Schreur). 15
(Pendapat
ini
juga
mengutip
8 C. Organisasi Perdagangan Internasional 1. Organisasi Internsional Antar Pemerintah (Publik)17 Organisasi perdagangan
internasional
internasional
yang
memainkan
bergerak peran
di
yang
bidang
signifikan.
Organisasi internasional dibentuk oleh dua atau lebih ngara guna mencapai tujuan bersama. Untuk dibentuk
mendirikan
suatu
dasar
suatu hukum
organisasi yang
internasional
biasanya
adalah
perlu
perjanjian
internasional. Dalam perjanjian inilah termuat tujuan, fungsi, dan
struktur
organisasi
perdagangan
internasional
yang
bersangkutan. Biasanya peran organisasi internasional dalam perdagangan internasional
kurang
internasional
membeli
begitu
signifikan.
Memang
kebutuhan-kebutuhannya
organisasi
dari
penjual
(procurement). Misalnya komputer, peralatan kantor/administrasi, telekomunikasi, transportasi, dll. Namun
procurement
organisasi
internasional
tidak
terlalu
besar kuantitasnya. Dari segi hukum perdagangan internasional pun organisasi seperti ini lebih banyak bergerak sebagai regulator. Dalam
kapasitasnya
mengeluarkan 18
guidelines.
ini
organisasi
peraturan-peraturan
internasional
yang
bersifat
lebih
banyak
rekomendasi
dan
Biasanya pun aturan-aturan seperti rekomendasi atau
guidelines tersebut lebih banyak ditujukan kepada negara. Jarang dimaksudkan untuk mengatur individu.19
17
Kajian ekstensif tentang organisasi internasional publik, lihat antara lain: M.A.G. Meerhaeghe, International Economic Institutions, The Netherlands: Kluwer, 1998, 7th.ed., 1998. 18 Michael P. Ryan, W.C. Lenhardt and K. Tamai, “International Governmental Organization: Knowledge Management for Multilateral Trade Law Making,” 15 Am. U.J.Int’l.L. Rev 1360 (2000) (Ryan et.al., menyebut pembuatan peraturan ini sebagai fungsi ke-lima dari organisasi internasional publik. Fungsi lainnya adalah: fungsi administratif, fungsi penyebarluasan informasi, fungsi penelitian, fungsi dukungan hukum [legal support]). 19 Michael P. Ryan et.al., ibid.; Booysen, op.cit., hlm. 26.
9 Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini, organisasi perdagangan internasional di bawah PBB,20 seperti UNCITRAL atau UNCTAD. UNCITRAL adalah organisasi internasional yang berperan cukup penting dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. Badan ini didirikan pada tahun 1966 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI), 12 Desember 1966. Tujuan atau mandat utama badan ini adalah mendorong harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif. Dalam
upayanya
tersebut
UNCITRAL
disyaratkan
juga
untuk
mempertimbangkan kepentingan semua negara khususnya negara sedang berkembang dalam mengembangkan perdagangan internasional secara ekstensif. Dalam teks aslinya, mandat dalam Resolusi tahun 1966 tersebut berbunyi: “With a mandate to further the progressive development of the law of internatonal trade and in that respect to bear in mind the interests of all people, in particular those of developing countries, in the extensive development of international trade.” UNCITRAL misalnya, telah melahirkan Vienna Convention on the
International
Sale
of
Goods
(1980);
Convention
on
the
international Multi-moda Transport (1980); UNCITRAL Arbitration Rules (1976); UNCITRAL Model Law on Arbitration (1985), dll. UNCTAD telah melahirkan berbagai kesepakatan internasional di
bidang
perdagangan
yang
juga
cukup
penting,
antara
lain
misalnya: UN Convention on a Code of Conduct for Liner Conference (1974); GSP (1968); UN Convention on Carriage of Goods by Sea (1978). Di luar keluarga PBB, organisasi perdagangan internasional yang dewasa ini berpengaruh luas adalah GATT (1947). GATT dengan 20
Selama ini PBB lebih dikenal sebagai organisasi internasional yang bersifat politis. Bab IX Piagam PBB sebenarnya memuat aturan-aturan khusus untuk pengembangan dan majuan ekonomi dan sosial yang bertujuan,
10 ke-38
pasalnya
semula
hanya
mengatur
tarif
dan
perdagangan.
Perannya pada tahun 1994 digantikan oleh WTO. Lahirnya
WTO,
bidang
pengaturannya
menjadi
sangat
luas.
Hampir semua sektor perdagangan, jasa, penanaman modal, hingga hak atas kekayaan intelektual, menjadi bidang cakupan pengaturan (perjanjian) WTO.
antara lain, meningkatkan standar hidup dan pembangunan ekonomi dan sosial. (Lihat, Houtte, op.cit., hlm. 39-40).
11
2. Organisasi Internasional Non-Pemerintah Di
samping
organisasi
internasional
antar
pemerintah
di
atas, terdapat subyek hukum lainnya yang juga cukup penting yaitu NGO (Non-Governmental Organization) swasta (non-pemerintah atau yang kerap kali disebut pula dengan LSM internasional). NGO Internasional dibentuk oleh pihak swasta (pengusaha) atau
asosiasi
dagang.
aturan-aturan dipandang Chamber
dengan
of
berhasil
hukum
sebelah
merancang dan
penting
perdagangan
NGO
Misalnya,
atau
Kamar
Dagang
dan
melahirkan
keuangan
dalam
internasional
mata.
Commerce
perdagangan
Peran
ICC
mengembangkan tidak
(International
Internasional),
berbagai
internasional,
dapat
bidang
misalnya:
telah hukum
INCOTERMS,
Arbitration Rules dan Court of Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for Documentary Credits (UCP). Khusus untuk UCP, misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah menjadi
acuan
hukum
sangat
penting
bagi
pengusaha
dalam
melaksanakan transaksi perdagangan internasional. Aturan-aturan UCP yang terkait dengan sistem pembayaran melalui perbankan telah ditaati
dan
dihormati
oleh
sebagian
besar
pengusaha-pengusaha
besar di dunia. Gambaran
lainnya
adalah
ICC
Arbitration
Rules.
Banyak
pengusaha besar di dunia telah memanfaatkan aturan arbitrase ICC untuk
menyelesaikan
klausul-klausul
sengketa-sengketa
kontrak
dagang
dagang
internasional,
mereka. para
Dalam
pengusaha
telah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dengan mengacu kepada
ICC
Arbitration
Rules
untuk
hukum
acara
badan
21
arbitrasenya.
21
Lihat lebih lanjut: George Curmi, “The Role of the Internatonal Chamber of Commerce,” dalam J. Reuvid (ed.), op.cit., hlm. 79 et.seq.,; Houtte, op.cit., hlm. 48-49 (memberi contoh NGO lainnya yang cukup penting. Misalnya saja, FIDIC (Fèdèration Internationale des ingènieurs des conseils), kumpulan para insinyur dari berbagai negara yang telah merumuskan berbagai kontrak standar untuk pembangunan konstruksi atau proyek pembangunan.; atau IATA (International Association of Transport
12 D. Individu Individu perdagangan
atau
perusahaan
internasional.
adalah
Adalah
pelaku
individu
utama
yang
pada
dalam
akhirnya
akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional. Selain
itu,
memiliki
aturan-aturan
tujuan
untuk
hukum
yang
memfasilitasi
dibentuk
oleh
perdagangan
negara
internasional
yang dilakukan individu.22 Dibanding
dengan
negara
atau
organisasi
internasional,
status individu dalam hukum perdagangan internasional tidaklah terlalu penting. Biasanya individu dipandang sebagai subyek hukum dengan
sifat
hukum
perdata
(legal
persons
of
a
private
law
23
nature).
Individu itu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuanketentuan hukum nasional yang negaranya buat. Karena itu individu tunduk
pada
hukum
nasionalnya
(tidak
pada
aturan
hukum
perdagangan internasional). Dia pun hanya dapat mempertahankan hak dan kewajibannya yang berasal dari hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badan peradilan nasional.24 Negara jarang sekali membuat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat
individu.
Umumnya
kesepakatan
negara-negara
hanya
mengikat mereka. AFTA antara lain adalah organisasi yang hanya mengatur
komitmen
negara-negara
anggotanya
saja.
Dalam
hukum
perdagangan internasional, ia adalah subyek hukum dalam arti yang terbatas. Apabila perdagangannya
individu terganggu
merasa atau
bahwa
hak-hak
dirugikan,
maka
dalam yang
bidang
dapat
ia
lakukan adalah meminta bantuan negaranya untuk memajukan klaim terhadap
negara
yang
merugikannya
ke
hadapan
badan-badan
Association), kumpulan para perusahaan penerbangan, yang merumuskan misalnya saja aturan-aturan pengangkutan udara dan pengaturan mengenai tarif penerbangan. 22 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 7. 23 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 13. 24 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 7.
13 peradilan internasional. Mekanisme seperti ini misalnya tampak pada GATT/ WTO dan Mahkamah Internasional. Hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja suatu individu dapat
mempertahankan
hak-haknya
berdasarkan
suatu
perjanjian
internasional. Individu misalnya diperkenankan untuk mengajukan tuntutan kepada negara berdasarkan Konvensi ICSID. Konvensi
ICSID
mengakui
hak-hak
individu
untuk
menjadi
pihak di hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian hak ini bersifat
terbatas.
sengketa-sengketa
Pertama, di
sengketanya
bidang
penanaman
hanya modal
dibatasi yang
untuk
sebelumnya
tertuang dalam kontrak. Kedua, negara dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk telah menjadi anggota Konvensi ICSID (Konvensi Washington
1965).
Persyaratan
ini
sifatnya
mutlak.
RI
telah
meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap Konvensi ICSID melalui UU Nomor 5 tahun 1968. Status
individu
sebagai
subyek
hukum
perdagangan
internasional tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan di
bidang
perdagangan
yang
mereka
buat
sendiri
kadang-kadang
memiliki kekuatan mengikat seperti halnya hukum nasional. Contoh nyata adalah aturan-aturan yang tergolong ke dalam Lex Mercatoria atau hukum para pedagang. Salah satu wujudnya, seperti telah diutarakan di atas, adalah the Uniform Customs and Practice
for
diundangkan pengusaha
Documentay
sebagaimana sangat
Credit
(UCP).
layaknya
menghormati
hukum
dan
Meskipun nasional,
menaati
UCP
tidak
namun
para
ketentuan-ketentuan
dalam UCP. Disebutkan dengan
sifat
di
hukum
atas
bahwa
perdata
individu
(legal
adalah
persons
of
subyek a
hukum
private
law
nature). Subyek hukum lainnya yang termasuk ke dalam kategori ini adalah (a) perusahaan multinasional; dan (b) bank.
14 1 Perusahaan Multinasional Perusahaan Corporations) berperan
multinasional
telah
penting
lama
dalam
diakui
(MNCs
atau
sebagai
perdagangan
Multinational
subyek
hukum
internasional.
Peran
yang ini
sangat mungkin karena kekuatan finansial yang dimilikinya. Dengan kemampuan
finansialnya,
hukum
(perdagangan)
internasional
berupaya mengaturnya. Pasal 2 (2) (b) Piagam Hak dan Kewajiban Ekonomi Negaranegara antara lain menyebutkan bahwa MNCs tidak
boleh campur
tangan terhadap masalah-masalah dalam negeri dari suatu negara. Pasal 2 (2) (b) Piagam antara lain berbunyi sebagai berikut: “... Transnational corporation shall not intervene in the internal affairs of a host State.”25 Alasan pengaturan ini tampaknya masuk akal. Tidak jarang MNCs seperti Freport McMoran Company (yang beroperasi di Papua), Mitsubishi, Singapore
atau
MNCs
di
Telecommunication
bidang
telekomunikasi,
(Singtel
yang
ABC,
memiliki
CNN, saham
mayoritas PT Indosat), sedikit banyak dapat mempengaruhi situasi dan kondisi politik dan ekonomi di Indonesia. Kekuatan dan kekayaan yang sangat besar ini memang dapat berdampak yang cukup besar. The Economist menggambarkan dengan tepat peran dan keberadaan MNCs: “Many people ... now think of multinationals as more powerful than nation states, and see them as bent on destroying livelihoods, the environment, left-wing political opposition and anything else that stands in the way of their profits.” 26 Perlunya memang
perlu
aturan-aturan untuk
yang
mengontrol
menjembatani
aktivitas
perbedaan
MNCs
kepentingan.
kepentingan negara tuan rumah, apalagi negara sedang berkembang,
25
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14. The Economist, “The World’s View of Multinationals,” 29 January 2000, hlm. 19.
26
15 biasanya
adalah
mengharapkan
masuknya
MNCs
ke
dalam
wilayah
negaranya dapat memberi kontribusi bagi pembangunannya. Sedangkan
perspektif
MNCs
berbeda.
Sebagaimana
halnya
dengan perusahaan umumnya, MNCs bertujuan mencapai target utama perusahaan,
yaitu
mendapatkan
keuntungan
sebesar-besarnya.27
Karena itu agar kedua kepentingan ini pada titik tertentu dapat bertemu, maka perlu aturan-aturan hukum untuk menjembataninya.28 2. Bank Memang agak mengherankan bahwa para sarjana memasukkan bank sebagai subyek hukum dengan kategori private law nature. Sama seperti individu atau MNCs, bank dapat digolongkan sebagai subyek hukum perdagangan internasional dalam arti yang terbatas. Bank pun tunduk pada hukum nasional di mana bank tersebut didirikan. Yang membuat subyek hukum ini penting adalah: (a) peran bank dalam perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemain kunci. Tanpa bank, perdagangan internasional mungkin tidak dapat berjalan.29 (b) Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di negara yang berbeda. Perannya di sini adalah peran bank dalam memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli. (c) Bank berperan penting dalam menciptakan aturan-aturan hukum dalam perdagangan internasional khususnya dalam mengembangkan hukum
perbankan
internasional.
Salah
satu
instrumen
hukum
yang bank telah kembangkan adalah sistem pembayaran dalam transaksi
perdagangan
internasional.
Misalnya
adalah
terbentuknya ‘kredit berdokumen’ yang disebut ‘documentary credit’. Mekanisme dan praktek ini kemudian dikodifikasi dan dirumuskan secara sistematis oleh ICC menjadi UCP (di atas). 27 28 29
The Economist, Ibid. Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 273. Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14.
16 E. Penutup Uraian
di
atas
menggambarkan
stake-holders,
aktor,
atau
subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional, yaitu negara, organisasi
internasional
dan
individu
(yang
terdiri
dari
perusahaan multinasional dan bank). Subyek-subyek
hukum
tersebut
di
atas
menunjukkan
terbatasnya subyek hukum dalam hukum perdagangan internasional. Hal ini tidak terlepas dari realita pragmatis dari perdagangan internasional. Imunitas negara dengan statusnya sebagai subyek hukum penuh atau lengkap dalam hukum perdagangan internasional tampak semakin terbatas.
Hukum
nasional,
hukum
internasional,
dan
penundukan
diri kepada suatu lembaga peradilan (arbitrase) menghendaki dan mensyaratkan tidak mungkinnya bagi suatu negara untuk membawa atribut imunitasnya dalam perdagangan internasional. Dari ketiga stake-holders hukum perdagangan internasional, yang
paling
unik
adalah
keuangan.
Ia
bukan
Fungsinya
menjembatani
bank.
pelaku dan
Bank
utama
hanyalah
perdagangan
memfasilitasi
suatu
lembaga
internasional.
pembayaran
antara
penjual dan pembeli. Namun demikian bank telah menciptakan suatu praktek
kebiasaan
di
bidang
perdagangan
holders lainnya yang berhubungan dengannya.
yang
mengikat
stake-
17
DAFTAR PUSTAKA Booysen, Hercules, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999. Curmi, George, “The Role of the Internatonal Chamber of Commerce,” dalam J. Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997. Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995. Islam, Rafiqul, International Trade Law, NSW: LBC, 1999. Meerhaeghe, M.A.G., International Economic Institutions, The Netherlands: Kluwer, 1998, 7th.ed., 1998. Ryan, Michael P., W.C. Lenhardt and K. Tamai, “International Governmental Organization: Knowledge Management for Multilateral Trade Law Making,” 15 Am. U.J.Int’l.L. Rev 1360 (2000). Sheldrick, Andrew W., “Capacity, sovereign immunity and acts of state,” dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath: Euromoney, 1983. The Economist, “The World’s View of Multinationals,” 29 January 2000.
1
BAB III SUMBER HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar Sumber hukum perdagangan internasional merupakan bab yang penting. Dari sumber hukum inilah
kita dapat menemukan hukum
tersebut untuk dapat diterapkan kepada suatu fakta tertentu dalam perdagangan internasional. Dalam Bab I buku ini, penulis mengikuti pendirian Houtte, Rafiqul Islam, dan Booysen. Inti terkemuka ini adalah bahwa ada
dari pendirian para sarjana
keterkaitan erat antara hukum
perdagangan internasional dan hukum internasional. Keterkaitan antara dua bidang hukum ini membawa konsekuensi bahwa
sumber-sumber
lapangan
ini,
hukum
yaitu:(1)
internasional
perjanjian
yang
dikenal
internasional;
(2)
dalm hukum
kebiasaan internasional; (3) prinsip-prinsip hukum umum; dan (4) putusan-putusan
pengadilan
dan
publikasi
sarjana-sarjana
terkemuka (doktrin), juga dapat diadopsi sebagai sumber-sumber hukum dalam hukum perdagangan internasional.1 Namun demikian, di samping keempat sumber hukum tersebut, khusus satu
dalam
bidang
bidang hukum
hukum lainnya
perdagangan yang
juga
internasional, berperan
terdapat
penting
dalam
mengatur transaksi perdagangan internasional. Hukum ‘kelima’ ini adalah hukum nsional. Hukum nasional dalam banyak hal ternyata justru memiliki peran
‘lebih’
dibandingkan
ke-4
sumber
hukum
yang
tersebut
sebelumnya. peran dan diakuinya hukum nasional sebagai sumber
1
Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Cf., Perlu dikemukakan di sini bahwa dalam literatur hukum perdagangan internasional, apa yang menjadi sumber hukum perdagangan internasional belum ada kesepakatan. Sarjana terkemuka hukum perdagangan internasional Profesor Clive Schmitthoff hanya mengakui 2 (dua) sumber hukum saja, yaitu (1) perjanjian internasional (istilah beliau: international legislation); dan (2) hukum kebiasaan internasional (istilah beliau: international commercial custom). (Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22 et.seq.).
2
hukum perdagangan internasional tidaklah terelakan karena sejak awal
atau
tahap
awal
suatu
pihak
akan
memulai
transaksi-
transaksinya, selalu atau acapkali diawali dengan keterkaitannya pada hukum nasional negaranya.2 B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional 1. Perjanjian Internasional Perjanjian
internasional
adalah
salah
satu
sumber
hukum
yang terpenting. Secara umum, perjanjian internasional terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu perjanjian multilateral, regional dan bilateral. Perjanjian
internasional
atau
multilateral
adalah
kesepakatan tertulis yang mengikat lebih dari dua pihak (negara) dan tunduk pada aturan hukum internasional.3 Beberapa perjanjian internasional sifatnya
membentuk
umum
internasional
di yang
suatu
antara
pengaturan
para
memberikan
pihak.
perdagangan
Ada
kekuasaan
juga
tertentu
yang
perjanjian di
bidang
perdagangan atau keuangan kepada suatu organisasi internasional. Perjanjian internasional kadang kala juga berupaya mencari suatu pengaturan yang seragam guna mempercepat transaksi perdagangan. Perjanjian
regional
adalah
kesepakatan-kesepakatan
di
bidang perdagangan internasional yang dibuat oleh negara-negara yang tergolong atau berada dalam suatu regional tertentu. Di Asia Tenggara
misalnya,
perjanjian-perjanjian
seperti
ini
adalah
perjanjian pembentukan AFTA. Suatu tersebut
2
perjanjian
hanya
mengikat
adalah hanya
bilateral dua
subyek
manakala hukum
perjanjian
internasional
Lihat lebih lanjut dalam uraian di bawah ini. Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (the Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969). Pengertian perjanjian termuat dalam Pasal 2 (1) (1) Konvensi: “treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instrumetns and whatever its particular designation; ….
3
3
(negara atau organisasi internasional). Termasuk dalam kelompok perjanjian ini adalah perjanjian penghindaraan pajak berganda.4 Dalam memberikan
perjanjian beberapa
persahabatan
preferensi
atau
bilateral, perlakuan
kedua khusus
negara tertentu
berkaitan dengan kegiata ekspor-impor kedua negara. Perjanjian ini bisanya disebut juga dengan nama FCN-Treaties (Friendship, Navigation and Commerce).5 a. Daya Mengikat Perjanjian (Perdagangan) Internasional Suatu
perjanjian
perdagangan
internasional
mengikat
berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Karena itu, sebagaimana perjanjian
halnya
perjanjian
perdagangan
internasional
internasional
pun
hanya
pada akan
umumnya, mengikat
suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya. Manakala suatu negara telah meratifikasinya, maka adalah kewajiban negara tersebut untuk mengundangkannya ke dalam aturan hukum
nasionalnya.
Perjanjian
internasional
yang
telah
diratifikasi tersebut kemudian menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut. Kadangkala negara
untuk
pengaturan sebaliknya,
perjanjian tidak
atau suatu
internasional
menerapkan
pasal
dari
perjanjian
atau
membolehkan
mengecualikan
perjanjian
beberapa
internasional.
internaisonal
tidak
suatu Atau
mengijinkan
adanya pensyaratan ini. GATT atau Perjanjian WTO misalnya tidak menghendaki adanya pensyaratan ini. Artinya, GATT dan Perjanjian WTO mensyaratkan pemberlakuan keseluruhan pasal-pasalnya. Salah satu cara lainnya bagi suatu negara untuk terikat kepada suatu perjanjian internasional adalah melalui penundukan 4
Hans Van Houtte, , The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, hlm. 3. 5 Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 3. Untuk kumpulan perjanjian-perjanjian internasional (Konvensi, Protokol, dll., dalam hukum perdagangan internasional), lihat: Indira Carr and Richard Kidner, Statutes and Convention on International Trade Law, London: Cavendish, 1993, hlm. 263-446).
4
secara diam-diam. Artinya, tanpa mengikatkan diri secara tegas melalui penandatanganan dan ratifikasi (yang biasanya instrumen ratifikasi
tersebut
didepositkan
berwenang,
misalnya
Sekjen
mengikatkan
dirinya
PBB),
dengan
cara
kepada
suatu
badan
yang
suatu
negara
dapat
saja
mengadopsi
muatan
suatu
perjanjian internasional ke dalam hukum nasionalnya. Biasanya penundukan secara diam-diam dilakukan antara lain karena negara tersebut tidak mau secara tegas terikat terhadap suatu perjanjian internasional. Misalnya, RI tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Perjanjian. Tetapi dalam UU
Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, sebagian besar muatannya sama dengan Konvensi Win 1969 tersebut. Tetapi
perlu
pula
diingat
bahwa
penundukan
diri
secara
diam-diam ini tidak akan berlaku apabila perjanjian internasional tersebut secara tegas mensyaratkan demikian. Atau, apabila muatan perjanjian
internasional
tersebut
memberikan
hak-hak
(konsesi)
tertentu kepada suatu negara anggotanya, dan tidak kepada nonanggota. Negara-negara non-anggota yang berupaya secara diam-diam untuk menundukan dirinya kepada aturan tersebut karenanya tidak akan efektif. GATT,
Misalnya,
adalah
suatu
perdagangan dan tarif. Siapa saja
kesepakatan
umum
yang menjadi
di
bidang
anggota harus
terlebih dahulu bernegosiasi dengan negara-negara anggota GATT mengenai konsesi-konsesi yang akan diberikannya sebelum ia dapat memanfaatkan ke-38 pasal GATT. b. Isi Perjanjian Dari
muatan
yang
terkandung
di
dalamnya,
perjanjian
perdagangan internasional pada umumnya memuat hal-hal berikut: 1) liberalisasi perdagangan Perjanjian
yang
memuat
liberalisasi
perdagangan
adalah
meliberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara anggota suatu
perjanjian
rintangan
internasional
pengaturan
atau
berupaya
kebijakan
menanggalkan (negara)
berbagai
yang
dapat
5
menghambat
atau
mengganggu
kelancaran
transaksi
perdaganagn
internasional. 2) Integrasi ekonomi Perjanjian Negara-negara berupaya
seperti anggota
mencapai
ini
berkembang
dalam
suatu
suatu
integrasi
belum
perjanjian ekonomi
begitu
lama.
internasional
melalui
pencapaian
kesatuan kepabeanan (customs union), suatu kawasan perdagangan bebas
(free
(economic
trade
zone),
union).
atau
Perjanjian
bahkan
suatu
seperti
ini
kesatuan biasanya
ekonomi memberi
kewenangan kepada suatu organisasi internasional guna mencapai tujuan integrasi ekonomi ini. 3) Harmonisasi Hukum Tujuan
utama
harmonisasi
hukum
hanya
berupaya
mencari
keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental
dari
berbagai
sistem
hukum
yang
ada
(yang
akan
diharmonisasikan).6 4) Unifikasi Hukum Dalam dan
unifikasi
penggantian
suatu
hukum, sistem
penyeragaman hukum
mencakup
dengan
sistem
penghapusan hukum
yang
baru.7 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian TRIPS/WTO. Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian TRIPS/WTO dagang,
yang
mencakup
indikasi
ketentuan
geografis,
mengenai
disain
hak
industri,
cipta,
merek
paten,
dll.,
meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturanaturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian TRIPS/WTO. 5) Model Hukum dan Legal Guide Pembentukan Model Hukum dan Legal Guide sebenarnyat idak terlepas dari upaya harmonisasi di atas. Bentuk hukum seperti ini biasanya ditempuh karena didasari sulitnya bidang hukum yang akan 6 7
Lihat Bab I di atas. Lihat Bab I di atas.
6
disepakati atau diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini yang sifatnya tidak mengikat. Pembuat atau perancang Model Hukum berharap, meski namanya model hukum atau legal guide, negaranegara dapat mengacu muatan aturan-aturan model hukum atau legal guide ini ke dalam hukum nasionalnya. Dengan
(semakin)
banyaknya
negara
yang
mengadopsi
model
hukum atau legal guide ini, akhirnya diharapkan akan tercipta keseragaman atau harmonisasi di bidang muatan model hukum atau legal guide tersebut. Contoh
terkenal
Model
Hukum
seperti
ini
adalah
UNCITRAL
Model Law on International Commercial Arbitration tahun 1985. Model Hukum 1985 negara-negara
di
perundangannya
di
Dengan
diadopsinya
ini memuat aturan-aturan model (acuan) bagi dunia bidang model
dalam arbitrase
hukum
mengundangkan komersial
arbitrase
ini
peraturan
internasional. diharapkan
akan
tercipta pengaturan arbitrase yang bersifat universal. Artinya, diharapkan aturan-aturan UU arbitrase suatu negara sedikit banyak tidak akan berbeda dengan aturan UU arbitrase negara lainnya. Legal guide yang cukup terkenal adalah UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for the Construction of Industrial Works 1988. Legal Guide 1988 bertujuan terciptanya keseragaman pengaturan klausul-klausul dalam menyusun kontrak di bidang konstruksi.
7
c. Standar Internasional Standar untuk
ada
di
internasional dalam
adalh
perjanjian
norma-norma
yang
internasional,
disyaratkan
yang
merupakan
syarat penting di dalam tata ekonomi internasional, serta syarat suatu
negara
untuk
berpartisipasi
di
dalam
transaksi
ekonomi
internasional. Syarat-syarat dasar tersebut adalah: i. Minimumstandard or equitable treatment; ii. Most-favoured nation clause; iii. Equal Treatment; dan iv. Preferential Treatment. ad. i. Minimum-standard atau equitable treatment Minimum-standard atau equitable treatment adalah norma atau aturan dasar yang semua negara harus taati untuk dapat turut serta
dalam
transaksi-transaksi
perdagangan
internasional.8
Contoh standar minimum ini antara lain tampak dalam perjanjianperjanjian
di
bidang
perlindungan
Misalnya Berne Convention for the Artistic
Works.
Konvensi
ini
hak
kekayaan
intelektual.
Protection of
Literary and
meletakkan
persyaratan
standar
minimum mengenai perlindungan hukum bagi karya cipta dan karya seni.9 ad. ii. Most-Favoured Nation Clause Klausul
Most-Favoured
Nation
(MFN)
adalah
klausul
yang
mensyaratkan perlakun non-diskriminasi dari suatu negara terhadap negara
lainnya.
Perlakuan
ini
diberikan
karena
masing-masing
negara terikat dalam suatu perjanjian internasional. Berdasarkan klausul ini salah satu negara yang memberikan perlakuan khusus atau
preferensi
kepada
suatu
negara,
maka
perlakuan
tersebut
harus juga diberikan kepada negara-negara lainnya yang tergabung dalam suatu perjanjian.10
8
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6. RI meratifikasi Konvensi Bern melalui UU Nomor 18 tahun 1997 (Lembaran Negara No 35 tahun 1977). Mengenai Konvensi Bern ini, lihat lebih lanjut: Anthony D’Amato dan Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997, hlm. 241). 10 Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6. 9
8
Peran memberikan dalam
klausul suatu
hubungan
ini
penting.
derajat ekonomi
Klausul
perlakuan
sama
internasional.
ini
menurut
(equitable Dengan
Houtte,
treatment)
klausul
ini,
hubungan-hubungan perdagangan internasional dapat berkembang.11 Menurut Houtte, klausul MFN biasanya diikuti oleh dua sifat cukup penting, yaitu: (a)
reciprocal
(timbal
balik),
artinya
pemberian
MFN
ini
diberikan dan disyaratkan oleh masing-masing negara. Jadi sifatnya timbal balik; dan (b)
unconditional lainnya
(tidak
dalam
suatu
bersyarat),
artinya
perjanjain
berhak
negara atas
anggota
perlakuan-
perlakuan khusus yang diberikan kepada negara ketiga.12 Ad. iii. Equal treatment Equal yang
juga
treatment
(perlakuan
disyaratkan
harus
sama)
ada
adalah
dalam
klausul
lainnya
perjanjian-perjanjian
internasional. Menurut klausul ini, negara-negara peserta dalam suatu perjanjian disyaratkan utuk memberikan perlakuan yang sama satu sama lain. Klausul ini karena itu menyatakan bahwa warga negara dari suatu negara anggota harus juga diperlakukan sama halnya seperti warga negara di negara anggota lainnya. Klausul seperti ini hingga sekarang ini jarang ditemukan dalam
praktek
perjanjian
antar
negara.13
Memang,
sulit
untuk
menemukan klausul ini dalam praktik. Suatu negara bagaimana pun juga memiliki kewajiban utama kepada negaranya daripada kepada warga
negara
asing.
Adalah
kewajiban
suatu
negara
untuk
mensejahterakan warga negaranya (daripada mensejahterakan warga negara anggota lain yang berada di dalam wilayahnya). Namun demikian klausul ini tampak nyata dalam kesepakatankesepakatan hukum internasional di bidang penyelesaian sengketa,
11 12 13
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 7. Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8. Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
9
misalnya
arbitrase
internasional.
Misalnya
pasal
18
UNCITRAL
Model Law on International Commercial Arbitration. Pasal 18 ini yang
berada
di
bawah
judul
‘Equal
Treatment
of
Parties’,
menyebutkan: “The parties shall be treated with equality and each party shall be given a full opportunity of presenting his case.” Pasal
18
ini
menggambarkan
prinsip
universal
mengenai
perlakuan sama di depan hukum. Pasal ini mensyaratkan perlakuan sama
terhadap
para
pihak
yang
bersengketa.
Mereka
pun
harus
diberi kesempatan yang sama untuk membela perkaranya di hadapan badan arbitrase. Dalam berbagai sistem hukum di dunia, tidak ada ketentuan yang dapat mengenyampingkan prinsip ini. Ad. iv. Preferential Treatment Prinsip ini sebenarnya adalah pengecualian terhadap prinsip non-diskriminasi. negara-negara Berdasarkan perlakuan
Prinsip
yang prinsip
khusus
ini
memiliki ini
biasanya hubungan
suatu
yang
negara
lebih
diterapkan politis
atau
dapat
saja
menguntungkan
di
antara
ekonomis. memberikan
(preferential
treatment) kepada suatu negara daripada kepada negara lainnya.14 Biasanya perlakuan demikian diberikan kepada negara-negara yang sedang berkembang atau miskin. Perlakuan berbeda dan khusus biasa
juga
keterkaitan
diberikan sejarah
kepada
sebelumnya.
negara-negara Misalnya,
yang
memiliki
negara-negara
eks
jajahan atau eks-koloninya. d. Resolusi-resolusi Organisasi Internasional Dewasa ini berbagai organisasi internasional acap kali pula mengeluarkan sifatnya
keputusan-keputusan
tidaklah
mengikat.
berupa
Daya
resolusi-resolusi
mengikat
yang
resolusi-resolusi
seperti ini biasanya disebut juga sebagai soft-law. Karena memang negara-negara pesertanya tidak menginginkan keputusan-keputusan
14
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
10
yang dibuat oleh organisasi internasional tidak mengikat mereka secara hukum. Tetapi resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional instrumen
kadang
terkenal
kala
yang
juga
mengikat.
dipandang
Salah
soft-law
oleh
satu
contoh
negara-negara
(maju) tetapi ternyata daya berlakunya sangat luas adalah Piagam Hak-hak Economic
dan
Kewajiban
Rights
and
Ekonomi
Duties
of
Negara-negara States
atau
(Charter CERDS).
on
the
Sepertiga
bagian (11 pasal) dari dari keseluruhan pasal Piagam ini mengatur mengenai perdagangan internasional. Meskipun CERDS bersifat soft law, namun jiwa dan nilainilai hukum yang
terdapat di dalamnya berpengaruh
cukup luas
terhadap aturan-aturan atau perjanjian-perjanjian internasional yang lahir kemudian.15
15
Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003.
11
2. Hukum Kebiasaan Internasional Sebagai
suatu
sumber
hukum,
hukum
kebiasaan
perdagangan
merupakan sumber hukum yang dapat dianggap sebagai sumber hukum yang pertama-tama lahir dalam hukum perdagangan internasional. Dari awal perkembangannya, yang disebut dengan hukum perdagangan internasional
justru
lahir
dari
adanya
praktek-praktek
para
pedagang yang dilakukan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga kebiasaan
yang
berulang-ulang
dengan
waktu
yang
relatif
lama
tersebut menjadi mengikat.16 Dalam studi hukum perdagangan internasional, sumber hukum ini disebut juga sebagai lex mercatoria atau hukum para pedagang (the law of the merchants). Istilah ini logis karena memang para pedagang-lah berlaku
yang
bagi
mula-mula
mereka
untuk
‘menciptakan’
aturan
transaksi-transaksi
hukum
dagang
yang
mereka.
Contoh (lembaga hukum) yang mula-mula para pedagang lakukan dan kembangkan adalah barter17 dan counter-trade. Suatu
kebiasaan
tidak
selamanya
menjadi
mengikat
dan
karenanya menjadi hukum. Suatu praktek kebiasaan untuk menjadi mengikat harus memenuhi syarat-syarat berikut: (1) Suatu praktek yang berulang-ulang dilakukan dan diikuti oleh lebih dari dua pihak (praktek negara); dan (2) Praktek
ini
diterima
sebagai
mengikat
(opnio
iuris
sive
necessitatis). Ketentuan
Lex
Mercatoria
dapat
ditemukan
antara
lain
di
dalam kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dan dituangkan dalam
16
Tetapi, bandingkan dengan pendapat sarjana yang menyatakan bahwa hukum kebiasaan internasional hanya memiliki peran yang terbatas (misalnya Zamora atau Heutte, dalam Hans van Houtte, op.cit., hlm. 10). Houtte berpendapat bahwa “… international customary law has a role (albeit a limited one) to play in international and finance law”. Penulis sependapat dengan Booysen yang berpendapat bahwa: “Because of the frequency of contact between states in international trade, customary law is and should be very relevant.” (Hercules Booysen, op.cit., hlm. 58). 17 Michelle Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 6.
12
kontrak-kontrak
perdagangan
internasional,
misalnya
berupa
klausul-klausul kontrak standar (baku), atau kontrak-kontrak di bidang pengangkutan (maritim). Kontrak-kontrak biasanya
dirancang
atau oleh
klausul
asosiasi
kontrak atau
perdagangan
organisasi
yang
perdagangan
tertentu (misalnya oleh ICC, FIDIC, dll) dan diikuti oleh anggota dari organisasi atau asosiasi tersebut. Kebiasaan-kebiasaan perdagangan memiliki peran yang sangat penting
di
dalam
Misalnya,
sesuatu
kebiasaan
transaksi
tersebut
perdagangan
terkodifikasi
internasional. dalam
kontrak
konstruksi atau pengiriman barang, fob, cif, dll. Masalah utama yang menjadi ganjalan bagi pemberlakuan lex mercatoria ini adalah masih disangsikannya kekuatan mengikatnya. Seperti
dapat
dimaklumi,
bagi
para
pedagang
atau
pelaku
perdagangan, daya atau kekuatan mengikat lex mercatoria tidaklah sulit
bagi
mereka.
Mereka
secara
sukarelah
menaati
dan
melaksanakan serta memandangnya mengikat karena merekalah yang menciptakannya. Kekuatan mengikat karena kebiasaan praktek perdagangan ini sebenarnya juga diakui oleh berbagai hukum nasional. Tidaklah sulit menemukan hukum nasional mengakui kekuatan hukum adanya praktek kebiasaan ini. Hukum Indonesia misalnya mengakui praktek kebiasaan
ini.
Pasal
1339
tentang
akibat
suatu
perjanjian
misalnya menyatakan: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” (Huruf miring oleh penulis). Bunyi pasal di atas secara tegas mengakui kebiasaan. Tetapi khusus
untuk
mengambil seperti
kebiasaan
jarak. ini,
keabsahannya.
Bahkan
pengadilan
internasional, untuk tidak
kebiasaan jarang
banyak
negara
dagang
internasional
masih
yang
mempertanyakan
13
Pendirian perdagangan
ini
antara
internasional,
lembaga-lembaga Internasional,
lain
meskipun
internasional UNCITRAL,
disebabkan
terkodifikasi
seperti
dll.,
karena
ICC
bukanlah
atau
kebiasaan oleh
Kamar
bersifat
upaya Dagang
perjanjian
internasional. Aturan-aturan internasional yang dibuat oleh ICC menurut badan pengadilan dapat digolongkan soft-law. Aturannya tidak mengikat. Misalnya, ICC merumuskan UCP 500 untuk Letter of Credit. UCP 500 tidak mensyaratkan ratifikasi oleh negara-negara untuk
mengikat.18
Karena
sifatnya
itu
pula,
UCP
tidak
pernah
meletakkan kewajiban bagi negara untuk terikat terhadapnya.19
18
Hal ini logis saja karena ICC adalah lembaga yang anggotanya adalah swasta, bukan negara. Lihat pula: Clive Schmitthoff, op.cit., hlm. 27. 19 Di negara-negara sedang berkembang yang pengadilannya masih kental menganut aliran positif hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan yang tidak dibuat sesuai dengan konstitusi, misalnya melalui proses pengundangan suatu ketentuan secara formal, misalnya melalui pengumuman di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya tidak mengikat. Uraian lebih lanjut mengenai lex mercatoria lihat: Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.
14
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum Sebenarnya apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum belum ada pengertian yang diterima luas. Peran sumber hukum ini
biasanya
diyakini
lahir
baik
dari
sistem
hukum
nasional
maupun hukum internasional. Sumber perjanjian
hukum
ini
akan
(internasional)
mulai
dan
berfungsi
hukum
manakala
kebiasaan
hukum
internasional
tidak memberi jawaban atas sesuatu persoalan. Karena itu prinsipprinsip hukum umum ini dipandang sebagai sumber hukum penting dalam upaya mengembangkan hukum,20 termasuk sudah barang tentu hukum perdagangan internasional. Beberapa contoh dari prinsip-prinsip hukum umum ini antara lain adalah prinsip itikad baik, prinsip pacta sunt servanda, dan prinsip ganti rugi.21 Ketiga prinsip ini terdapat dan diakui dalam hampir semua sistem hukum di dunia,22 dan terdapat pula dalam hukum (perdagangan) internasional.
20
Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999, hlm 58. 21 Sanson, op.cit., hlm. 6. 22 Sanson, op.cit., hlm. 6.
15
4. Putusan-putusan Badan Pengadilan dan Doktrin Sumber hukum ke-4 ini tampaknya memiliki fungsi dan peran pelengkap seperti halnya prinsip-prinsip hukum umum. Sumber hukum ini akan memainkan perannya apabila sumber-sumber hukum terdahulu tidak memberi kepastian atau jawaban atas suatu persoalan hukum (di bidang perdagangan internasional). Putusan-putusan
pengadilan
dalam
hukum
perdagangan
internasional tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat seperti yang
dikenal
Statusnya
dalam
sedikit
sistem
banyak
hukum
sama
Common
seperti
Law
yang
(Anglo
kita
Saxon).
kenal
dalam
sistem hukum kontinental (Civil Law). Bahwa putusan pengadilan sebelumnya
hanya
untuk
dipertimbangkan.
Jadi
ada
semacam
‘kewajiban’ yang tidak mengikat bagi badan-badan pengadilan untuk mempertimbangkan
putusan-putusan
pengadilan
sebelumnya
(dalam
sengketa yang terkait dengan perdagangan internasional). Sifat Japan-Taxes
putusan on
pengadilan
Alcoholic
ini
ditegaskan
Beverages
yang
dalam
diputus
sengketa
oleh
Badan
Penyelesaian Sengketa (DSB atau Dispute Settlement Body) WTO. Dalam tahap banding di DSB, Badan Banding (Appellate Body) antara lain menyatakan: “Adopted panel reports ... are often considered by subsequent panels. They create legitimate expectations among WTO members, and, therefore, should be taken into account where they are relevant to any dispute.”23 [Huruf miring oleh penulis].
Begitu pula dengan doktrin, yaitu pendapat-pendapat atau tulisan-tulisan sarjana terkemuka (dalam hal ini di bidang hukum perdagangan
internasional).
Peran
dan
fungsinya
cukup
penting
dalam menjelaskan sesuatu hukum perdagangan internasional. Bahkan doktrin dapat pula digunakan untuk menemukan hukum.24 Doktrin ini penting
23
manakala
sumber-sumber
hukum
sebelumnya
ternyata
juga
Japan - Taxes on Alocholic Beverages, [WT/DS8, 10,11/AB/R, 4 October 1996, hlm. 15; terkutip dalam Booysen, op.cit., hlm. 61. 24 Hercules Booysen, op.cit., hlm. 62.
16
tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di bidang perdagangan internasional.25
25
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.
17
5. Kontrak Sumber merupakan
hukum
sumber
perdagangan
utama
dan
internasional
terpenting
adalah
yang
sebenarnya
perjanjian
atau
kontrak yang dibuat oleh para pedagang sendiri. Seperti kita dapat pahami, kontrak tersebut adalah ‘undang-undang’ bagi para pihak yang membuatnya.26 Dapat
pula
(pedagang)
kita
atau
internasional
dalam
sadari
bahwa
stake-holders melakukan
para
dalam
pelaku
perdagangan
hukum
perdagangan
transaksi-transaksi
perdagangan
internasional, mereka menuangkannya dalam perjanjian-perjanjian tertulis (kontrak). Karena itu, kontrak adalah sangat esensial. Karena itu kontrak berperan sebagai sumber hukum yang perlu dan terlebih dahulu mereka jadikan acuan penting dalam melaksanakan hak dan kewajiban mereka dalam perdagangan internasional. Dalam
hukum
kontrak,
kita
mengenal
penghormatan
dan
pengakuan terhadap prinsip konsensus dan kebebasan para pihak (party
autonomy).
Syarat-syarat
perdagangan
dan
hak
serta
kewajiban para pihak seluruhnya diserahkan kepada para pihak dan hukum menghormati kesepakatan ini yang tertuang dalam perjanjian. Meskipun
kebebasan
para
pihak
sangatlah
esensial,
namun
kebebasan tersebut ada batas-batasnya. Ia tunduk pada berbagai pembatasan
yang
melingkupinya.
Pertama,
pembatasan
yang
utama
adalah bahwa kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, dan dalam taraf tertentu, dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan kesopanan. Pembatasan kedua adalah status dari kontrak itu sendiri. Kontrak dalam perdagangan internasional tidak lain adalah kontrak nasional yang ada unsur asingnya.27 Artinya, kontrak tersebut,
26
Cf., Alinea pasal 1 Pasal 1338 KUH Perdata: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” 27 Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976 (Gautama menyatakan bahwa kontrak dengan orang asing adalah kontrak yang terdapat unsur asing atau foreign element).
18
meskipun
di
bidang
perdagangan
internasional,
sedikit
banyak
tunduk dan dibatasi oleh hukum nasional (suatu negara tertentu).28 Ketiga, menurut Sanson, pembatasan lain yang juga penting dan
mengikat
para
pihak
adalah
kesepakatan-kesepakatan
atau
‘kebiasaan’ dagang yang sebelumnya dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan.
Daya
mengikat
kesepakatan-kesepakatan
sebelumnya
ini meskipun tidak tertulis tetapi mengikat ini, digambarkannya sebagai berikut: “In addition to the contractual terms agreed by the parties, the course of past dealings between traders may result in terms becoming part of an agreement between them. These past dealings, or trade ‘usages’ between the parties, may apply to the contractual relationship despite their not being incorporated into it in written form.”29
28
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7. Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7; lihat pula Hans van Houtte, op.cit., hlm. 12 (Houtte menekankan bukan kontrak yang dibuat oleh para pedagang, tetapi kontrak-kontrak negara (state contracts).
29
19
6. Hukum Nasional Signifikansi hukum
hukum
perdagangan
nasional
internasional
sebagai tampak
sumber
dalam
hukum
uraian
dalam
mengenai
kontrak sebagai sumber hukum perdagangan internasional di atas. Peran hukum nasional ini antara lain akan mulai lahir manakala timbul
sengketa
sebagai
pelaksanaan
dari
kontrak.
Dalam
hal
demikian ini maka pengadilan (badan arbitrase) pertama-tama akan melihat
klausul
pilihan
hukum
dalam
kontrak
untuk
menentukan
hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketanya. Peran hukum nasional sebenarnya sangatlah luas dari sekedar mengatur
kontrak
dagang
internasional.
Peran
signifikan
dari
hukum nasional lahir dari adanya jurisdiksi (kewenangan) negara. Kewenangan ini sifatnya mutlak dan eksklusif. Artinya, apabila tidak
ada
pengecualian
lain,
maka
kekuasaan
itu
tidak
dapat
diganggu gugat. Jurisdiksi atau kewenangan tersebut adalah kewenangan suatu negara untuk mengatur segala (a)
peristiwa hukum,
(b) subyek
hukum, dan (c) benda yang berada di dalam wilayahnya. Kewenangan mengatur ini mencakup membuat hukum (nasional) baik yang sifatnya hukum publik maupun hukum perdata (privat). Kewenangan
atas
peristiwa
hukum
di
sini
dapat
berupa
transaksi jual beli dagang internasional, atau transaksi dagang internasional. Dalam hal ini maka suatu
negara
dapat
ketenaga-kerjaan, kesehatan,
mencakup
persaingan
perlindungan
HAKI
hukum nasional
hukum sehat,
perpajakan,
yang dibuat kepabeanan,
perlindungan
(intellectual
property
konsumen, rights),
hingga perizinan ekspor-impor suatu produk. Kewenangan atas subyek hukum (pelaku atau stake-holders) dalam perdagangan internasional, mencakup kewenangan negara dalam membuat dan meletakkan syarat-syarat (dan izin) berdirinya suatu perusahaan,
bentuk-bentuk
perusahaan
beserta
syarat-syaratnya,
hingga pengaturan pengakhiran perusahaan (dalam hal perusahaan pailit, dsb).
20
Kewenangan
suatu
negara
untuk
mengatur
atas
suatu
benda
yang berada di dalam wilayahnya mencakup pengaturan obyek-obyek apa saja yang dapat atau tidak dapat untuk diperjual-belikan. Termasuk di dalamnya adalah larangan untuk masuknya produk-produk yang
dianggap
membahayakan
moral,
lingkungan, produk tiruan, dll.
kesehatan
manusia,
tanaman,
21
C. Penutup Sumber-sumber hukum perdagangan internasional adalah materi bahasan menemukan
yang
penting.
hukum
Dari
sumber-sumber
perdagangan
internasional.
inilah Dari
kita
dapat
sumber-sumber
inilah kita dapat mengomentari, menganalisis dan menilai sesuatu persoalan dalam hukum perdagangan internasional. Dibanding terdapat
dengan
sumber-sumber
hukum
konvensional
hukum
internasional,
dalam
hukum
dalam
internasional
dapat
ditemui
sumber-sumber
yang
yang
perdagangan
dibuat
secara
khusus oleh para pihak (aktor) dalam perdagangan internasional. Sumber hukum ini yaitu kontrak (dan kebiasaan-kebiasaan dagang) memang sesungguhnya adalah hukum bagi para pihak yang membuatnya. Pengakuan terhadap kontrak sebagai salah satu sumber dalam hukum
perdagangan
Pertama,
kontrak
internasional sebagai
salah
mencerminkan
dua
satu
hukum
sumber
hal
berikut.
perdagangan
internasional merefleksikan unsur private law nature dari hukum perdagangan internasional. Kedua,
kontrak
sebagai
salah
satu
sumber
dari
hukum
perdagangan internasional mencerminkan saling keterkaitan antara bidang hukum perdagangan internasional dengan bidang hukum lain, khususnya
hukum
internasional, modal, dll.
kontrak
hukum
internasional
ekonomi
di
internasional,
samping hukum
hukum
penanaman
22
DAFTAR PUSTAKA Booysen, Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services, Pretoria: Interlegal, 1999. Carr, Indira and Richard Kidner, Statutes and Convention on International Trade Law, London: Cavendish, 1993. D’Amato, Anthnoy, dan Doris Estelle Long, International Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997. Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003. Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003. Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002. Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981. Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976.
1 BAB IV ATURAN-ATURAN HUKUM PERDAGANGAN MENURUT GATT A. Pengantar Salah
satu
sumber
hukum
yang
penting
dalam
hukum
perdagangan internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan
GATT).
Muatan
kebijakan tertentu
(General
di
Agreement
dalamnya
perdagangan aturannya
tidak
antar
menyangkut
on
saja
negara pula
Tariff
and
penting
tetapi aturan
Trade
dalam
juga
atau
mengatur
dalam
perdagangan
taraf antara
pengusaha. Contoh yang terakhir ini adalah pengaturan mengenai barang tiruan atau kepabeanan. GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. Lahirnya WTO pada tahun 1994 membawa dua perubahan yang cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam Perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (TRIPs). Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptkan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis,
serta
untuk
menciptakan
liberalisasi
perdagangan
yang
berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang sehat. Untuk mencapai tujuan itu, sistem perdagangan internasional yang diupayakan GATT adalah sistem yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia.1 Tujuan utama GATT dapat tampak dengan jelas pada preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT: 1) meningkatkan taraf hidup umat manusia;
1
Olivier Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publishers, 1987, hlm. 101.
2 2) meningkatkan kesempatan kerja; 3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan 4) meningkatkan produksi dan tukar menukar barang. Ada
tiga
fungsi
utama
GATT
dalam
mencapai
tujuannya:
pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan (aturan) multilateral yang mengatur transaksi perdagangan yang dilakukan oleh negaranegara anggota GATT dengan memberikan suatu perangkat ketentuan perdagangan (the ‘rules of the road’ for trade). Kedua, sebagai suatu forum (wadah) perundingan perdagangan. Di sini diupayakan agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan-rintangan yang mengganggu (liberalisasi perdagangan). Selain
itu,
GATT
mengupayakan
agar
aturan
atau
praktek
perdagangan demikian itu menjadi jelas (predictable) baik melalui pembukaan
pasar
nasional
atau
melalui
penegakan
dan
penyebarluasan pemberlakuan peraturannya. Dalam
perundingan
tersebut,
keputusan-keputusan
mengenai
materi-materi yang penting khususnya yang menyangkut ketentuanketentuan atau pasal-pasal GATT, keputusannya dibuat berdasarkan mayoritas
biasa
keputusan
demikian
pengambilan
(Pasal
putusan
XXV).
Namun
diambil
tanpa
yang
formal:
pada
harus
umumnya
mengikuti
umumnya
keputusansuatu
keputusan
cara
diambil
berdasarkan konsensus.2 Sejak
berdiri,
GATT
perundingan-perundingan dengan
istilah
perundingan
ini
telah
utama/pokok
putaran
(rounds).
bertujuan
untuk
mensponsori yang
berbagai
biasanya
Tujuan
dari
mempercepat
disebut putaran
macam juga atau
liberalisasi
perdagangan internasional. Putaran perundingan perdagangan ini mempunyai keuntungankeuntungan sebagai berikut:
2
Gunther Jaenicke, “General Agreement om Tariffs and Trade (1946), dalam Bernhard (ed)., Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5 (1983), hlm. 21.
3 Pertama,
perundingan
perdagangan
memungkinkan
para
pihak
secara bersama-sama dapat memecahkan masalah-masalah perdagangan yang cukup luas; Kedua, komitmen
para
pihak
perdagangan
akan
di
lebih
suatu
mudah
putaran
membahas
komitmen-
perundingan
daripada
membahasnya dalam lingkup bilateral; Ketiga, negara-negara sedang berkembang dan negara-negara kurang maju akan lebih memiliki kesempatan yang lebih luas dalam membahas
sistem
perundingan
dan
perdagangan akan
lebih
multilateral
dalam
menguntungkan
lingkup
negara-negara
suatu sedang
berkembang dibandingkan apabila mereka berunding langsung dengan negara-negara maju; dan Keempat, dalam merundingkan sektor perdagangan dunia yang sensitif, pembahasan atau perundingan akan relatif dapat lebih mudah dalam konteks suatu forum yang sifatnya global. Misalnya adalah pembahasan isu pertanian dalam Perundingan Uruguay.3 Putaran-putaran pertama GATT pada umumnya difokuskan kepada upaya
penurunan
tarif.
Penurunan
tarif
ini
sudah
berlangsung
sejak pembentukan GATT pada tahun 1947. Sejak tahun 1947, putaran yang telah dilaksanakan adalah Putaran Jenewa (1947 – diikuti oleh 23 negara);
Putaran Annecy-Perancis (1947 –
13 negara);
Putaran Torquay-Inggris (1951 – 38 negara); Putaran Jenewa (1956 – 26 negara); Putaran Jenewa atau Putaran Dillon (1960-61 – 26 negara).
Proses
liberalisasi
perdagangan
ini
terus
berlanjut
dalam putaran-putaran berikutnya, yaitu Putaran Kennedy (1964-67 diikuti
oleh
dumping),
62
negara
Putaran
Tokyo
yang
khusus
(1973-1979,
membahas
tarif
diikuti
102
dan
anti-
negara)
dan
Putaran Uruguay (1986 – 1994 diikuti oleh 123 negara). Putaran Tokyo (1973 – 1979) dapat pula dianggap sebagai putaran yang terpenting sebelum Putaran Uruguay. Putaran Tokyo dipandang
sebagai
suatu
‘percobaan
pertama’
mereformasi sistem perdagangan internasional. 3
WTO, The Roots of the WTO, No. Publ., 1996, hlm. 1.
yang
berupaya
4 Seperti
umumnya
putaran-putaran
perdagangan
GATT
sebelumnya, Putaran Tokyo bertujuan untuk terus menurunkan tarif secara
progresif.
Di
akhir
perundingan,
negara-negara
sepakat
untuk memotong 1/3 dari tingkat tarif yang berlaku pada waktu itu. Putaran Tokyo mengalami kegagalan dan beberapa kesepakatan. Kegagalan
yang
dialaminya
antara
lain,
tidak
tercapainya
kesepakatan negara-negara mengenai masalah-masalah yang melilit sektor
pertanian
dan
kegagalan
untuk
membuat
rumusan
aturan
mengenai ‘safeguards’, (tindakan-tindakan pengamanan). Keberhasilan Putaran Tokyo yang patut dicatat antara lain tercapainya
serangkaian
kesepakatan
aturan-aturan
GATT,
dan
berhasilnya dicapainya 9 kesepakatan lainnya yakni : 1) Subsidi dan tindakan balasan (Subsidies and countervalling measures), yakni kesepakatan yang menafsirkan Pasal VI, XVI dan XXIII GATT; 2) Rintangan-rintangan teknik terhadap perdagangan (technical barrier to trade), yang kadang-kala disebut pula sebagai ‘Standard Code’); 3) Prosedur lisensi impor; 4) Kesepakatan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah (Government procurement); 5) Penaksiran bea cukai (Customs Valuation) yang menafsirkan pasal VII GATT; 6) Anti-Dumping, yang menafsirkan Pasal VI dan menggantikan the Kennedy Round Anti-Dumping Code; 7) Pengaturan
mengenai
daging
olahan
(Bovine
Meat
Arrangement); 8) Perdagangan
dalam
pesawat
udara
sipil
(Trade
in
Civil
Aircraft). Pada waktu putaran Tokyo dirampungkan, hanya sedikit negara yang
mengikatkan
diri
kepada
perjanjian-perjanjian
atau
5 kesepakatan hasil putaran Tokyo tersebut. Itu pun umumnya adalah negara-negara maju saja. Di putaran Uruguay, sebagian dari kesepakatan tersebut di atas
telah
mengalami
kesepakatan
mengenai
pembahasan subsidi
dan
dan
perluasan.
Kesepakatan-
countervailing
measures,
rintangan-rintangan teknis terhadap perdagangan, lisensi impor, penaksiran bea cukai dan kesepakatan anti-dumping sekarang telah terlebur ke dalam komitmen WTO.
Hal tersebut berarti bahwa semua negara anggota WTO mau tidak mau tunduk perjanjian
dan terikat terhadap semua kesepakatan atau
tersebut.
barang-barang
bagi
Sedangkan
pemerintah
kesepakatan (government
mengenai
pengadaan
procurement),
bovine
meat, dairy products dan pesawat udara sipil masih tetap berada di bawah kesepakatan ‘plurilateral’ yang sifatnya terbuka bagi negara anggota WTO untuk tunduk atau tidak (sukarela) terhadap kesepakatan-kesepakatan ketiga
GATT
adalah
yang
disebut
sebagai
suatu
terakhir
tersebut.
‘pengadilan’
Fungsi
internasional
dimana para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota GATT lainnya. Fungsi
penyelesaian
pengaturannya dikemukakan mengenai
di
mengalami atas,
perdagangan
sengketa
ini
perkembangan
GATT
semula
internasional.
sifatnya yang
hanyalah GATT
penting
menarik. aturan
bukan
dan Telah
kesepakatan
lembaga
khusus
yang dilengkapi dengan badan khusus atau aturan khusus tentang penyelesaian sengketa perdagangan multilateral.
B. Sejarah GATT GATT
dibentuk
sebagai
suatu
dasar
(atau
wadah)
yang
sifatnya sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul
6 kesadaran masyarakat internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral di samping Bank Dunia dan IMF.4 Kebutuhan
akan
adanya
suatu
lembaga
multilateral
yang
khusus ini pada waktu itu sangat dirasakan benar. Pada waktu itu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan kuantitatif untuk
serta
mencegah
diskriminasi
perdagangan.
terulangnya
praktek
Hal
ini
dilakukan
proteksionisme
yang
berlangsung pada tahun 1930-an yang memukul perekonomian dunia.5 Seperti
disebutkan
di
muka,
pada
waktu
pembentukannya,
negara-negara yang pertama kali menjadi anggota adalah 23 negara. Ke-23 ini juga yang membuat dan merancang Piagam International Trade
Organization
(Organisasi
Perdagangan
Internasional)
yang
pada waktu itu direncanakan sebagai suatu badan khusus PBB. Piagam
tersebut
ketentuan-ketentuan
dimaksudkan
atau
bukan
aturan-aturan
saja dalam
untuk
memberikan
perdagangan
dunia
tetapi juga membuat keputusan-keputusan mengenai ketenagakerjaan (employment),
persetujuan
komoditi,
praktek-praktek
restriktif
(pembatasan) perdagangan, penanaman modal internasional dan jasa. Benih sejarah pembentukan GATT sebenarnya berawal dari pada waktu ditandatanganinya Piagam Atlantik (Atlantic Charter) pada bulan Agustus
1941.
Salah
satu
tujuan
dari
piagam
ini
adalah
menciptakan suatu sistem perdagangan dunia yang didasarkan pada non-diskriminasi dan kebebasan tukar menukar barang dan jasa. Dengan
tujuan
tersebut,
serangkaian
pembahasan
dan
perundingan telah berlangsung antara tahun 1943-1944, khususnya antara
Amerika
Serikat,
Inggris
dan
Kanada.
Pada
tanggal
6
Desember, Amerika Serikat pertama kalinya mengusulkan perlunya pembentukan suatu Organisasi Perdagangan Internasional (ITO). Tujuan organisasi ini, menurut versi Amerika Serikat pada waktu 4
itu,
adalah
untuk
menciptakan
Lihat Olivier Long,, Op.cit., hlm. 1.
liberalisasi
perdagangan
7 secara
bertahap,
memerangi
monopoli,
memperluas
permintaan
komoditi dan mengkoordinasi kebijakan perdagangan negara-negara.6 Usul pembentukan suatu organisasi perdagangan ini disambut baik oleh ECOSOC (Economic and Social Council). Badan khusus PBB ini
menyatakan
keinginannya
untuk
menyelenggarakan
suatu
konperensi. Untuk maksud itu, negara-negara berhasil membentuk suatu
komisi
persiapan.
Persidangan-persidangan
komisi
berlangsung di London dari tanggal 18 Oktober sampai dengan 26 1946.7
Desember
Komisi
berhasil
mengeluarkan
Piagam London (the London Draft peserta
pertemuan
ini
gagal
suatu
Rancangan
Charter). Namun para anggota mencapai
kata
sepakat
untuk
mengesahkan Rancangan Piagam tersebut. Dengan adanya kegagalan ini kemudian negara-negara besar tersebut Amerika
membentuk Serikat,
Benelux.
Tugas
suatu
Kanada,
komisi
komisi
perancang
Inggris,
ini
adalah
yang
beranggotakan
dan
negara-negara
Perancis mencari
rumusan
baru
untuk
merancang suatu organisasi perdagangan baru.8 Komisi baru ini mengadakan pertemuan kedua yang berlangsung di
Lake
Succes,
New
York
dari
tanggal
20
Januari
sampai
25
Februari 1947. Pertemuan ini membahas masalah-masalah tertentu atau terbatas saja. Pertemuan tidak membahas hal-hal penting.9 Pertemuan
penting
diselenggarakan
di
Jenewa
dari
bulan
April sampai November 1947. Dari tanggal 10 April sampai dengan 22
Agustus,
rancangan Oktober,
panitia
Piagam
ITO,
persiapan dan
dari
perundingan-perundingan
melanjutkan tanggal
10
bilateral
tugasnya April
membuat
sampai
berlangsung
30
antar
negara-negara anggota komisi, antara lain, Brazil, Burma, Ceylon, Pakistan dan Rhodesia Selatan. 5
Lihat, M.A.G. Van Meerghaeghe, International Economic institutions, The Netherlands: Kluwer, 1987, hlm. 101. 6 M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101. 7 M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101. 8 M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101. 9 John H. Jackson, et.al., The Legal Problems of International Economic Relations,.St Paul Minn.: West, 1995, hlm. 32.
8 Hasil perundingan mengenai konsesi timbal balik (reciprocal tariff concession) dicantumkan ke dalam GATT yang ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947. Hasil perundingan tersebut berisi pula
suatu
perdagangan
kodifikasi di
antara
sementara
mengenai
negara-negara
hubungan-hubungan
penandatangan.
Berdasarkan
persyaratan-persyaratan protokol tanggal 30 Oktober 1947, GATT ditetapkan sejak tanggal 1 Januari 1948, sambil berlakunya ITO.10 Pertemuan
penting
keempat
berlangsung
di
Havana
(21
November 1947 – 24 Maret 1948). Pertemuan ini membahas Piagam ITO oleh
delegasi
dari
66
negara.
Pertemuan
berhasil
mengesahkan
Piagam Havana. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya.11 Hal
ini
lebih
disebabkan
karena
Amerika
Seriakt,
pelaku
utama dalam perdagangan dunia, pada tahun 1958, menyatakan bahwa negaranya
tidak
akan
meratifikasi
Piagam
tersebut.
Sejak
itu
pulalah ITO secara efektif menjadi tidak berfungsi sama sekali. Meskipun tidak pernah berlaku, namun minimnya ratifikasi tersebut
tidak
menyebabkan
GATT
menjadi
tidak
berlaku.
Para
perunding GATT mengeluarkan suatu perjanjian internasional baru yaitu
the
protokol
Protocol
of
(perjanjian)
(provisional).
Sejak
Provisional
yang
Application,
memberlakukan
dikeluarkannya
GATT
yaitu
untuk
protokol
suatu
sementara
inilah,
GATT
kemudian terus berlaku sampai saat ini. Pada tahun 1954 – 1955, teks GATT mengalami perubahan. Ada dua
perubahan
protokol
yang
penting
yang
merubah
bagian
terjadi. 1
dan
Pertama, Pasal
XXIX
dikeluarkannya dan
XXX
dan
protokol yang merubah preambule dan bagian 2 dan 3. Protokol pertama mensyaratkan penerimaan oleh semua negara peserta. Namun karena Uruguay tidak meratifikasinya, protokol ini menjadi tidak
10
M.A.G. Van Meerghaeghe, Loc.cit. Sampai dengan tahuan 1950-an, hanya meratifikasi Piagam ini, yakni Liberia dan Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 102).
11
dua negara saja yang Australian (M.A.G. Van
9 berlaku sejak tanggal 1 Januari 1968. Sedangkan protokol kedua mulai berlaku sejak tanggal 28 November 1957. Pada tahun 1965, GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu bagian keempat. Bagian ini berlaku secara de facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27 Juni 1965. Bagian
ini
khusus
mengatur
kepentingan
perluasan
ekspor
bagi
negara-negara sedang berkembang (Pasal XXXVI – XXXVIII).12
C. Ketentuan-ketentuan Perdagangan dalam GATT. Ketentuan-ketentuan perdagangan yang membentuk suatu sistem perdagangan multilateral yang terkandung dalam GATT, memiliki 3 ketentuan utama. Pertama, dan yang paling penting adalah GATT itu sendiri beserta ke-38 pasalnya. Ketentuan kedua, yang dihasilkan dari perundingan putaran Tokyo
(Tokyo
mencakup
Round
1973-1979)
anti-dumping,
adalah
subsidi
dan
ketentuan-ketentuan ketentuan
non-tarif
yang atau
masalah-masalah sektoral. Meskipun keanggotaan pada ketentuan ke2
ini
terbatas
sifatnya,
yaitu
berkisar
30-an
negara,
namun
demikian negara-negara ini menguasai sebagian besar perdagangan dunia.13
12
M.A.G. Van Meerhaeghe, Op.cit., hlm. 103. Putaran Tokyo menghasilkan 6 kesepakatan yang tertuang dalam dokumen berjudul the Tokyo Round Codes. Keenam kesepakatan tersebut yaitu 1) the Agreement on technical Barrier to Trade (Standards Code); yaitu kesepakatan bahwa pemerintah maupun badan-badan lainnya dalam membuat dan menerapkan peraturan dan standar teknis, tidak menimbulkan hambatan terhadap perdagangan; 2) the Agreement on Government Procurement, yaitu kesepakatan mengenai jaminan terlaksananya kesempatan secara internasional yang lebih luas dalam tender untuk mendapatkan kontrakkontrak pemerintah; 3) the Agreement on Interpretation and Application of Article VI, XVI and XXIII (Subsidies Codes), yaitu kesepakatan untuk menjamin bahwa setiap pelaksanaan kebijakan subsidi tidak menimbulkan akibat negatif terhadap perdagangan negara lain; 4) the Agreement on Implementation of Article VII (Customs Valuation Code), yaitu kesepakatan mengenai sistem penilaian barang yang netral, seragam dan adil untuk kepentingan bea dan cukai; 5) the Agreement on Import Licensing Procedures, yaitu kesepakatan mengenai jaminan bahwa pemberian lisensi tidak menimbulkan hambatan terhadap impor; dan terakhir, 6) the Agreement on Implementation of Article VI (Anti Dumping Code), yakni kesepakatan mengenai perubahan Anti Dumping Code
13
10 Yang
ketiga
arrangements”.
adalah
Ketentuan
ketentuan ini
mengenai
merupakan
“multi
pengecualian
fibre
terhadap
ketentuan-ketentuan GATT umumnya terutama menyangkut tekstil dan pakaian.
D. Prinsip-prinsip GATT. Untuk
mencapai
tujuan-tujuannya,
GATT
berpedoman
pada
5
prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah: 1. Prinsip most-favoured-nation. Prinsip ‘most-favoured-nation (MFN) ini termuat dalam pasal I GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.14 Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan
tanpa
produk
syarat
yang
(‘immediately
berasal
atau
yang
and
unconditionally’)
diajukan
kepada
semua
terhadap anggota
GATT.15 Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa
kepada
diskriminasi
negara
terhadapnya.
lainnya Prinsip
atau ini
melakukan
tampak
tindakan
dalam
pasal
4
perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPS) dan tercantum pula dalam pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS). Pendek yang
sama
kata, dan
semua
semua
negara
negara
harus
menikmati
diperlakukan
atas
dasar
keuntungan
dari
suatu
kebijaksanaan perdagangan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
yang dihasilkan pada Putaran Kennedy (1964 – 1967). (Departemen Perdagangan RI, GATT dan Uruguay Round, Seri Informasi Perdagangan Internasional no. 14, 1993/1994, hlm. 7-9). 14 Cf. Olivier Long, Op.cit., hlm. 8-11. 15 Gunther Jaenicke, Op.cit., hlm. 22. Namun demikian prinsip ini tidak berlaku terhadap transaksi-transaksi komersial di antara anggota GATT yang secara teknis bukan merupakan impor atau ekspor ‘produk-produk’ seperti pengangkutan internasional, pengalihan paten, lisensi dan hakhak tak berwujud lainnya atau aliran modal.
11 prinsip
ini
mendapat
pengecualian-pengecualiannya,
khususnya
dalam menyangkut kepentingan negara sedang berkembang. Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota lain. Namun demikian ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini. Pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal
GATT
itu
sendiri
dan
sebagian
lagi
ada
yang
ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konperensi-konperensi GATT melalui
suatu
penanggalan
(waiver)
dan
prinsip-prinsip
GATT
berdasarkan Pasal XXV. Pengecualian yang dimaksud adalah: (a)
keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas
(frontier
traffic
advantage),
tidak
boleh
dikenakan
terhadap anggota GATT lainnya (Pasal VI); (b)
perlakuan
preferensi
di
wilayah-wilayah
tertentu
yang sudah ada (misalnya kerjasama ekonomi dalam ‘British Commonwealth’; the French Union (Perancis dengan negaranegara bekas koloninya); dan Banelux (Banelux Economic Union),
tetap
boleh
terus
dilaksanakan
namun
tingkat
batas preferensinya tidak boleh dinaikan (Pasal I ayat 24); (c) Union
anggota-anggota GATT yang membentuk suatu Customs atau
Free
Trade
Area
yang
memenuhi
persyaratan
Pasal XXIV tidak harus memberikan perlakuan yang sama kepada negara anggota lainnya. Untuk
negara-negara
yang
membentuk
pengaturan-
pengaturan preferensial regional dan bilateral yang tidak memenuhi
persyaratan
pengecualian
dengan
Pasal
XXIV,
menggunakan
dapat
alasan
membentuk
‘penanggalan’
(waiver) terhadap ketentuan GATT. Penanggalan ini dapat pula dilakukan atau diminta oleh suatu negara anggota. Menurut prinsip ini suatu negara dapat, manakala ekonominya atau keadaan perdagangannya
12 dalam keadaan yang sulit, dapat memohon pengecualian dari kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh GATT. (d)
pemberian
prefensi
tarif
olef
negara-negara
maju
kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau
negara-negara
developed)
melalui
yang
kurang
fasilitas
beruntung
Generalised
(least
System
of
Preference (sistem preferensi umum).16 Pengecualian ketentuan
lainnya
‘pengamanan’
adalah
apa
(safeguard
yang
rule).
disebut
dengan
Pengecualian
ini
mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya. Pengaturan memperbolehkan
‘safeguard’ kebijakan
keadaan-keadaan membatasi
atau
ini
yang
demikian
tertentu
saja.
menangguhkan
diatur
namun Suatu
suatu
dalam
hanya negara
konsesi
Pasal
XIX,
dipakai
dalam
anggota
dapat
tarif
pada
produk-
produk yang diimpor dalam suatu jumlah (kuantitas) yang meningkat dan yang menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri. Dalam tahun-tahun belakangan ini, cukup banyak anggota GATT yang menerapkan pengaturan bilateral diskriminatif
yang juga
seringkali disebut dengan ‘voluntary export restraints’ (VERs). Kebijakan perdagangan ini dilakukan untuk menghindari salah satu isu
yang
cukup
hangat
dibahas
dalam
Putaran
Uruguay
yakni
perdagangan tekstil. VERs adalah cara 'halus' negara maju untuk menekan negara sedang berkembang yang umumnya adalah penghasil tekstil. Untuk membatasi masuknya produk tekstil ke dalam pasar dalam negerinya, negara
maju
secara
halus
menyatakan
kepada
negara
berkembang
untuk mengekspor tekstilnya dalam jumlah tertentu saja. Dalam hal ini,
16
negara
maju
menekankan
bahwa
Gunther Jaenicke, Op.cit., hlm. 23.
pembatasan
jumlah
tersebut
13 semata-mata haruslah sukarela sifatnya yang datang atau berasal dari kehendak negara berkembang.
2. Prinsip National Treatment. Prinsip National Treatment terdapat dalam pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.17 Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.18 Prinsip
national
treatment
dan
prinsip
MFN
merupakan
prinsip sentral dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT. Kedua prinsip ini menjadi prinsip pada pengaturan bidangbidang perdagangan yang kelak lahir di dalam perjanjian putaran Uruguay. Misalnya, prinsip ini tercantum dalam pasal 3 Perjanjian TRIPs.
Kedua
prinsip
diberlakukan
pula
dalam
the
General
Agreement on Trade in Service (GATS). Dalam GATS, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama (MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dari suatu negara dengan negara lainnya. Meskipun demikian, perjanjian WTO membolehkan suatu negara untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini yang mencakup
upaya-upaya
tertentu
(specific
measures)
yang
pada
mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian. Untuk
maksud
tersebut,
manakala
suatu
negara
meminta
pembebasan kewajiban MFN, maka permintaan tersebut akan ditinjau 17 18
Olivier Long, Op.cit., hlm. 9. Ibid.
14 setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun. Prinsip national treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS yang mana negara-negara secara eksplisit harus menerapkan prinsip ini terhadap jasa-jasa atau kegiatan jasa-jasa tertentu. Oleh
karena
itulah
prinsip
national
treatment
atau
perlakuan
nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota.
15 3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif. Yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif
yang
merupakan
rintangan
terbesar
terhadap
GATT.
Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan
lisensi
impor
atau
ekspor,
pengawasan
pembayaran
produk-produk impor atau ekspor), pada umumnya dilarang (Pasal IX).
Hal
ini
disebabkan
karena
praktek
demikian
mengganggu
praktek perdagangan yang normal. Restriksi
kuantitatif
dewasa
ini
tidak
begitu
meluas
di
negara maju. Namun demikian, tekstil, logam, dan beberapa produk tertentu,
yang
kebanyakan
berasal
dari
negara-negara
sedang
berkembang masih acapkali terkena rintangan ini. Namun
demikian
dalam
pelaksanaannya,
hal
tersebut
dapat
dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produkproduk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasal dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri
sebagai
upaya
untuk
melindungi,
misalnya,
terancamnya
produksi dalam negeri. keempat,
untuk
melindungi
neraca
pembayaran
(luar
negerinya)
(Pasal XII). Meskipun demikian restriksi tersebut tidak boleh diterapkan di luar yang diperlukan untuk melindungi neraca pembayarannya. Restriksi
itu
pun
secara
progesif
harus
dikurangi
bahkan
dihilangkan apabila tidak dibutuhkan kembali. Dengan
adanya
pengakuan
sebagaimana
diatur
dalam
Pasal
XVII, pengecualian itu telah diperluas pada negara-negara sedang berkembang. Dalam hal ini negara tersebut dapat memberlakukan restriksi (devisa)
kuantitatif mereka
yang
untuk
mencegah
disebabkan
oleh
terkurasnya adanya
valuta
asing
permintaan
untuk
16 impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena mereka sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya. Bagi kepentingan negara tersebut, GATT menyelenggararakan konsultasi
secara
reguler
yang
diadakan
dengan
negara
yang
mengajukan restriksi impor untuk melindungi neraca pembayarannya. Menurut
Pasal
XIII,
restriksi
kuantitatif
ini,
meskipun
diperbolehkan, tidak boleh diterapkan secara diskriminatif. 4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif. Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikan tingkat tarif bea
masuk)
dan
tidak
melalui
upaya-upaya
perdagangan
lainnya
(non-tarif commercial measures).19 Perlindungan
melalui
tarif
ini
menunjukan
dengan
jelas
tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat.20 Sebagai
kebijakan
dari luar negeri, GATT.
untuk
mengatur
pengenaan tarif
Negara-negara
GATT
umumnya
masuknya
barang
ekspor
ini masih dibolehkan dalam banyak
menggunakan
cara
ini
untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan. Meskipun dibolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan atau penerapan tarif tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO. Komitmen
tarif
ini
maksudnya
adalah
tingkat
tarif
dari
suatu negara terhadap suatu produk tertentu. Tingkat tarif ini menjadi komitmen negara tersebut yang sifatnya mengikat. Karena itu, suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif, ia tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah
19 20
ia
sepakati,
kecuali
diikuti
dengan
Departement Perdagangan RI, Op.cit., hlm. 3. Olivier Long, Op.cit., hlm. 10.
negoisasi
mengenai
17 pemberian mengenai kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal XXVII). Perlu dikemukakan di sini bahwa negoisasi tarif di antara negara-negara
merupakan
salah
satu
pekerjaan
GATT
(yang
juga
sekarang dilanjutkan oleh WTO). Tujuan GATT dalam hal ini adalah berupaya
menurunkan
tingkat
tarif
terbentuk
pada
ke
titik
atau
level
yang
serendah-rendahnya. Ketika
GATT
tahun
1948
sampai
dengan
disahkannya perjanjian hasil Putaran Uruguay, tingkat tarif yang diterapkan negara-negara telah turun cukup tajam. Dari rata-rata sebesar 38% di tahun 1948, pada tahun 1994 telah jatuh menjadi sekitar 4% saja. Dalam akses
putaran
pasar
yang
Uruguay, lebih
komitmen
besar
negara-negara
dicapai,
antara
terhadap
lain,
melalui
penurunan suku bunga yang dilakukan oleh lebih dari 120 negara. Komitmen
negara-negara
ini
dituangkan
dalam
22.500
halaman
national tarif schedules. Dalam
pengurangan
pengurangan terhadap
tersebut
produk-produk
tarif
dapat
ini,
WTO
diturunkan
industri
di
mensyaratkan
sampai
40%
negara-negara
agar
(khususnya maju)
untuk
jangka waktu 5 tahun (tahun 2000). Pada waktu putaran Uruguay ditutup (1994), tingkat tarif yang umumnya berlaku adalah sekitar 6,8%. Dengan tingkat tarif yang menurun demikian, diharapkan akan terjadi peningkatan penerimaan produk-produk industri maju yang memperoleh pembebasan bea masuk (yakni dari 20% menjadi 4% di negara-negara maju). Seperti halnya tarif, GATT juga mensyaratkan negara-negara anggotanya
untuk
menerapkan
prinsip
transparansi.
Prinsip
ini
pula yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan yang pasti (predictable). Prinsip
transparansi
ini
mensyaratkan
keterbukaan
atau
transparansi hukum atau perundang-undangan nasional dan praktek perdagangan suatu negara. Cukup banyak aturan dalam perjanjian
18 WTO memuat prinsip transparansi yang mensyaratkan negara-negara anggotanya
untuk
mengumumkan
pada
lingkup
nasional
dengan
menerbitkan pada lembaran-lembaran resmi negara atau dengan cara memberitahukannya secara formal kepada WTO. 5. Prinsip Resiprositas. Prinsip Prinsip
ini
ini
merupakan
tampak
pada
prinsip
fundamental
preambule
GATT
dan
dalam
GATT.
berlaku
dalam
perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.21 Paragraph 3 Preambul GATT menyatakan: "Being desirous of contributing to these objectives by entering
into
arrangements
reciprocal
directed
to
and the
mutually
substantial
advantageous reduction
of
tarifs and other varriers to trade and to the eliminations of discriminatory treatment in international commerce."
21
Lihat lebih lanjut: Olivier Long, Op.cit., hlm. 10-11.
19 6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang. Sekitar
dua
pertiga
negara-negara
anggota
GATT
adalah
negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT. pasal
baru
dalam
bagian
tersebut
dimaksudkan
untuk
Tiga
mendorong
negara-negara industri membantu pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang. Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga
melarang
negara-negara
maju
untuk
membuat
rintangan-
rintangan baru terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta
balasan
penghilangan
dalam
tarif
perundingan
dan
mengenai
penurunan
rintangan-rintangan
lain
atau
terhadap
perdagangan negara-negara sedang berkembang. Pada sepakat
waktu
dan
Putaran
mengeluarkan
Tokyo
1979
putusan
berakhir,
mengenai
negara-negara
pemberian
perlakuan
yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar bagi negara
sedang
clause’). berkembang
berkembang
Keputusan juga
dalam
tersebut
adalah
perdagangan
dunia
mengakui
bahwa
yang
permanen
pelaku
(‘enabling
negara
sedang
dalam
sistem
perdagangan dunia. Pengakuan ini juga merupakan dasar hukum bagi negara
industri
Preferences
untuk
atau
sedang berkembang.
sistem
memberikan preferensi
GSP
(Generalized
umum)
kepada
System
of
negara-negara
20 E. Garis-garis Besar Ketentuan GATT22 GATT memiliki 38 pasal. Secara garis besarnya, dari pasalpasal tersebut dibagi ke dalam 4 bagian: Bagian Pertama mengandung dua pasal, yaitu: a) Pasal I, berisi pasal utama yang menetapkan prinsip utama
GATT,
menerapkan
yaitu
klausul
keharusan ‘most
negara
favoured
anggota
nation’
untuk
treatment,
kepada semua anggotanya. b) Pasal
II
berisi
tentang
penurunan
tarif
yang
disepakati berdasarkan penurunan tarif yang disepakati. Kesepakatan penurunan tarif dicantumkan dalam lampiran ketentuan GATT dan menjadi bagian dari GATT. Bagian dua memuat 30 pasal, dari Pasal III sampai Pasal XXII. Pasal III berisi larangan pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif terhadap produk-produk impor dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri. Pengertian upayaupaya lainnya disini adalah segala upaya, apa itu pungutan di dalam
negeri
atau
penerbitan
persyaratan-persyaratan penjualan,
penawaran
Undang-undang,
administratif
pembelian,
peraturan
yang
pengangkutan,
atau
mempengaruhi distribusi
atau
penggunaan produk. Berdasarkan prinsip perlakuan nasional ini, semua produk impor yang sudah memenuhi aturan-aturan kepabeanan harus mendapat perlakuan yang sama seperti halnya produk-produk dalam negeri di negara tersebut. Pasal IV berada di bawah judul ketentuan-ketentuan khusus mengenai
film
sinematografi
(cinematograph
film).
Pasal
ini
membolehkan suatu negara untuk menetapkan kuota terhadap filmfilm melalui peraturan tentang pembatasan film. Namun demukian pembatasan-pembatasan atau kuota ini harus tetap tunduk kepada
22
Lihat GATT, Op.cit., hlm. 19 et.seqq.
21 negoisasi
dengan
pihak-pihak
yang
terpengaruh
oleh
adanya
pembatasan-pembatasan dalam bentuk kuota ini. Pasal
V
mengatur
adanya
kebebasan
sarana
angkutan
dengan
kebebasan
transit lainnya
menggunakan
transit.
Pasal
barang-barang, melalui
rute-rute
wilayah
yang
ini
termasuk suatu
digunakan
mengakui
perahu
dan
negara
anggota
untuk
transit
internasional guna melakukan transit ke atau dari wilayah negara anggota GATT lainnya (ayat 2). Dalam hal adanya transit ini, setiap negara anggota dapat mengenakan transit
bea-bea
ke
dan
dan
dari
menetapkan
peraturan-peraturan
wilayah-wilayah
negara
anggota
terhadap lainnya.
Pengenaan biaya dan pembuatan peraturan tersebut haruslah wajar dengan
memperhatikan
keadaan-keadaan
atau
kondisi
dari
lalu
lintas transit (ayat 4). Pasal
VI
mengatur
anti-dumping
dan
bea
masuk
tambahan.
Pasal ini berperan cukup penting dan cukup banyak digunakan oleh negara-negara berkembang. (tertentu)
maju
terhadap
Negara telah
maju
produk-produk
menuduh
memasukkan
negara
barangnya
ke
negara
sedang pasar
sedang
berkembang
mereka
dengan
harga dumping. Dumping adalah praktek suatu negara yang menjual produknya di negara lain dengan harga yang lebih murah (di bawah harga normal) dengan maksud untuk merebut pasar (persaingan tidak jujur). Pasal VI ini dengan tegas memberikan batasan mengenai pengertian harga di bawah harga normal, yaitu: a.
lebih rendah dari harga untuk produk di negara di mana
produk tersebut akan dikonsumsi di negara pengekspor (harga domesik);
b.
manakala
tidak
ada
petunjuk
mengenai
harga
domestik, maka harga normal adalah harga tertinggi untuk produk ketiga;
tersebut atau
c.
yang
ditunjuk
biaya
atau
produksi
diekspor
untuk
produk
ke
negara tersebut
ditambah biaya tambahan (ongkos-ongkos) dan keuntungan yang layak.
22 Apabila suatu negara menemukan bukti-bukti positif bahwa suatu produk tertentu adalah dumping, maka negara tersebut dapat mengenakan bea masuk anti dumping dan bea masuk tambahan atas produk tersebut. Pasal atas
VII
barang
(valuation
impor
untuk
for
custom
purposes
maksud-maksud
atau
kepabeanan).
penilaian Pasal
ini
menetapkan kriteria mengenai penilaian atas barang impor oleh pejabat-pejabat
(bea
cukai)
dari
negara-negara
anggota
GATT
terhadap barang impor. Pasal
ini
mensyaratkan
bahwa
nilai
barang-barang
impor
untuk maksud kepabeanan harus didasarkan pada nilai nyata barang (actual value of the imported merchandise), bukan pada nilai asal barang
atau
pada
nilai
yang
tanpa
dasar
atau
dibuat-buat
and
formalities
(arbitrary or fictitious values). Pasal
VIII
berada
di
bawah
judul
fees
(biaya-biaya dan formalitas-formalitas). Pasal ini mensyaratkan agar semua biaya dan pungutan (selain daripada bea masuk impor dan
ekspor
serta
pajak
yang
diatur
dalam
pasal
III)
yang
dikenakan atas atau dalam hubungannya dengan impor atau ekspor harus dibatasi. Pasal ini menegaskan bahwa pungutan-pungutan seperti itu tidak boleh dijadikan sebagai proteksi tidak langsung terhadap produk-produk domestik atau merupakan suatu pemajakan terhadap impor atau ekspor untuk maksud fiskal (Pasal VIII ayat 1 (a). Ayat 1 (b) pasal ini mensyaratkan negara-negara anggota untuk mengurangi jumlah-jumlah biaya dan pungutan seperti itu. Pasal VIII ayat 1 (c) mensyaratkan negara-negara anggota untuk:
1)
menyederhanakan
pengaturan
dan
rumitnya
formalitas-
formalitas impor dan ekspor; 2) mengurangi dan menyederhanakan persyaratan-persyaratan dokumentasi impor dan ekspor. Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku pula terhadap biayabiaya,
pungutan,
formalitas
dan
persyaratan-persyaratan
yang
23 dikenakan oleh pejabat-pejabat pemerintah berkaitan dengan impor dan ekspor, termasuk: a) transaksi-transaksi konsuler, seperti faktur-faktur dan sertifikat konsuler; b) pembatasan kuantitatif; c) lisensi; d)
pengawasan
statistik;
devisa
f)
(exchange
dokumen,
control);
dokumentasi
dan
e)
jasa-jasa
sertifikasi;
g)
analisis dan inspeksi; h) karantina atau sanitasi. Pasal
IX
mengatur
tanda
asal
(marks
of
origin).
Pada
prinsipnya pasal ini mensyaratkan agar semua negara anggota harus memberikan perlakuan yang sama (no lees favourable treatment) berkaitan produk
dengan
dari
persyaratan
negara-negara
asal
anggota
barang
ini
seperti
terhadap
halnya
semua
perlakuan
terhadap produk serupa dari negara ketiga (ayat 1). Ayat 6 pasal IX ini mensyaratkan agar negara-negara anggota harus bekerja sama dalam mencegah penggunaan nama dagang yang tidak menggambarkan asal barang suatu produk, dengan merugikan nama-nama
regional
atau
geografis
dari
produk
suatu
negara
anggota yang dilindungi oleh hukum. Pasal
X
mengatur
pengaturan-pengaturan Undang-undang, dan
persyaratan
perdagangan.
peraturan-peraturan,
administratif
mengenai
publikasi Pasal
dan
ini
administrasi
menegaskan
putusan-putusan
klasifikasi
atau
bahwa
pengadilan
penilaian
produk
untuk tujuan kepabeanan, pajak, pungutan, atau segala persyaratan yang mempengaruhi penjualan, distribusi, transportasi, asuransi, inspeksi, secara
pemrosesan,
wajar
sehingga
penggunaan, para
negara
dll.,
harus
anggota
dipublikasikan
dan
para
pedagang
mengetahuinya. Pasal
XI
kuantitatif.
sampai
Restriksi
adalah pengenaan
XV
mengatur
kuantitatif
restriksi yang
atau
sering
pembatasan
dipraktekkan
kuota, lisensi impor atau ekspor
atau upaya
lainnya disamping bea masuk, pajak atau pungutan lainnya. Pasal
XI
menegaskan
bahwa
praktek
seperti
ini
dilarang.
Pasal XII membolehkan suatu negara untuk menerapkan pembatasan-
24 pembatasan masuknya produk impor demi untuk mengamankan neraca pembayarannya (restriction to safeguard the balance of payment). Pasal
XIII
mensyaratkan
bahwa
penerapan
restriksi
kuantitatif tersebut harus dilaksanakan tanpa diskriminasi. Jadi, misalnya suatu negara membatasi masuknya suatu produk dari suatu negara, misalnya
dari B, maka pembatasan tersebut
harus juga
diberlakukan terhadap negara ketiga, misalnya C. Pasal
XIV
mengatur
pengecualian-pengecualian
penerapan
restriksi kuantitatif dalam hal pembatasan masuknya produk-produk impor karena alasan-alasan moneter tertentu. Pasal XV mengatur pengaturan mengenai pembayaran. Pasal ini mensyaratkan perlunya kerjasama antara GATT dengan IMF. Pasal praktek
XVI
mengatur
negara-negara
subsidi.
yang
masih
Pasal
ini
memberikan
mengakui subsidi
adanya
terhadap
produk-produk dalam negerinya dengan maksud agar dapat bersaing di
pasar
internasional.
Namun
pasal
ini
mewajibkan
negara
tersebut untuk memberitahu GATT tentang adanya subsidi ini. Dalam
perkembangan
pengaturan
GATT
sebagaimana
kemudian
tercantum dalam ayat 2, 3, dan 4 pasal XVI ini, GATT mensyaratkan negara-negara anggotanya untuk menghapus subsidi ini.23 Pasal XVII mengatur perusahaan dagang negara (state trading enterprises). GATT menyadari bahwa perusahaan dagang negara dapat menimbulkan praktek-praktek perdagangan yang tidak ‘fair’. Oleh karena itu, pasal ini dengan tegas menyatakan bahwa perusahaanperusahaan seperti ini harus bertindak sesuai dengan prinsipprinsip umum mengenai perlakuan non-diskriminatif dalam kaitannya dengan upaya-upaya pemerintah yang mempengaruhi impor dan ekspor oleh para pedagang. Pasal XVIII berada di bawah judul ‘governmental assistance to economic development’ (bantuan pemerintah kepada pembangunan
23
Dalam perkembangan mengenai pengaturan mengenai subsidi ini, Putaran Uruguay berhasil merumuskan aturan mengenai isu ini yang termuat dalam the Agreement on Subsidy.
25 ekonomi).
Pasal
ini
mengakui
bahwa
negara-negara
sedang
berkembang membutuhkan tarif yang fleksibel dan dapat menerapkan beberapa restriksi kuantitatif untuk mempertahankan alat tukar luar negerinya untuk kebutuhan pembangunannya. Pasal
XIX
mengatur
tindakan
darurat
atas
impor
produk-
produk tertentu. Pasal ini memberi hak atau pembenaran bagi suatu negara
untuk
menangguhkan
sebagian
atau
seluruh
kewajibannya
berdasarkan GATT atau menarik atau memodifikasi sebagian atau seluruh konsesinya. Pasal baru ini dapat diterapkan apabila suatu produk impor masuk ke dalam suatu negara yang kehadiran jumlah produk tersebut telah mengakibatkan atau mengancam akan memukul secara
serius
mensyaratkan
produsen
negara
dalam
yang
negerinya.
hendak
Ayat
menerapkan
2
pasal
pasal ini
ini untuk
terlebih dahulu memberitahu dan mengkonsultasikannya dengan GATT. Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions), yakni
pengecualian-pengecualian
yang
dimungkinkan
untuk
menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara terhadap GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk: (a) m elindungi moral masyarakat; (b) melindungi
kehidupan
atau
kesehatan
manusia,
hewan
atau
tanaman; (c) impor atau ekspor emas atau perak; (d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual; (e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana; (f) perlindungan
kekayaan
nasional,
kesenian,
sejarah
atau
purbakala; (g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis; (h) dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian komoditi antar pemerintah; dll.
26 Pasal XXI GATT membenarkan suatu negara untuk menanggalkan kewajibannya
berdasar
GATT
dengan
alasan
keamanan
(security
exeption). Pasal
XXII
dan
XXIII
mengatur
penyelesaian
sengketa
di
dalam GATT. Bagian
ketiga
berisi
11
pasal.
Pasal
XXIV
mengatur
bagaimana customs union and free trade area dapat memanfaatkan pengecualian-pengecualian
terhadap
prinsip
most-favored-nation.
Pasal XXV menetapkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pemerintah dari negara-negara anggota GATT. Pasal ini mengakui pula
diperbolehkannya
beberapa
pengecualian
(waiver)
terhadap
aturan GATT. Pasal XXVI sampai XXXV adalah pasal-pasal berisi tentang pemberlakuan
GATT,
GATT
XXVI);
(Pasal
anggota
(Pasal
berupa status
XXVII);
penerimaan (kondisi)
ketentuan
dan
berlakunya
tarif
untuk
dari
ketentuan
negara
perundingan
bukan
tarif
dan
perubahan-perubahan dalam daftar tarif (Pasal XXVIII), hubungan antara GATT dengan Piagam Havana (Pasal XXIX), perubahan terhadap GATT (Pasal XXX), penarikan atau pengunduran diri anggota dari GATT (Pasal XXXI), batasan contracting parties (keanggotaan GATT) (Pasal XXXII), masuknya menjadi anggota GATT (Pasal XXXIV), dan tidak
diterapkannya
beberapa
aturan
GATT
di
antara
anggota-
anggota GATT tertentu (Pasal XXXV). Bagian keempat terdiri dari 3 pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII) yang ditambahkan pada tahun 1965. pasal XXXVI menyadari adanya kebutuhan-kebutuhan
khusus
negara-negara
sedang
Berkembang
di
bidang perdagangan internasional. Pasal XXXVII mengatur komitmen negara-negara (maju), kecuali ada alasan-alasan mendesak untuk tidak melaksanakan pasal ini, untuk memberikan bantuan ekonomi dan perdagangan kepada negara sedang berkembang. Pasal XXXVIII mengatur
tindakan
bersama
oleh
para
perdagangan negara sedang berkembang.
anggota
untuk
membantu
27 F. Penutup Uraian di atas menyiratkan beberapa catatan berikut. GATT sebagai aturan perdagangan yang dibuat pada tahun 1947 ternyata masih relevan bahkan masih terus relevan untuk masa yang akan datang. Aturan dan prinsip yang diaturnya memuat aturanaturan yang dapat diterima oleh hampir banyak negara (meskipun dari keanggotaannya masing-masing negara memiliki sistem hukum yang
berbeda).
Khususnya
prinsip
non-diskriminasi
merupakan
prinsip yang memang dapat diterima universal. Sebenarnya masalah utama dari adanya aturan GATT ini adalah bagaimana
dapat
memanfaatkannya,
khususnya
bagi
negara
sedang
berkembang. Dari preambul GATT tersirat tujuan pentingnya, yaitu meningkatkan taraf hidup umat manusia; meningkatkan kesempatan kerja;
meningkatkan
pemanfaatan
kekayaan
alam
dunia;
dan
memberi
aturan
yang
negara-negara
para
meningkatkan produksi dan tukar menukar barang. Aturan-aturan seimbang,
antara
pesertanya.
Bagi
GATT hak
tampaknya
dan
negara
telah
kewajiban
sedang
bagi
berkembang,
meskipun
aturannya
tidak jelas dan tidak memberi ‘muatan’ yang jelas, tetapi yang penting aturan khusus untuk negara sedang berkembang sudah ada.24 Tujuan
penting
itu
menyiratkan
satu
hal
penting.
Tujuan
tersebut hanya akan dapat terealisasi apabila negara (berkembang) yang
bersangkutan
memahami
aturan-aturan
GATT.
Pemahaman
yang
baik akan memungkinkan negara tersebut untuk dapat memanfaatkan aturan-aturan GATT bagi kepentingan perdagangannya. Sebaliknya mengakibatkan kepentingan
kekurang-pahaman
sulitnya
pemanfaatan
perdagangan
negara
aturan-aturan aturan-aturan yang
GATT
akan
tersebut
bagi
bersangkutan.
Artinya,
tujuan-tujuan yang baik di atas, tidak akan tercapai.
24
Ketidak-tegasan pengaturan untuk kepentingan negara sedang berkembang sebenarnya juga adalah kelemahan dari aturan GATT itu sendiri.
28 Daftar Pustaka Departemen Perdagangan RI, GATT dan Uruguay Round, Seri Informasi Perdagangan Internasional no. 14, 1993/1994. Jackson, John H. Jackson, et.al., The Legal Problems of International Economic Relations,.St Paul Minn.: West, 1995. Jaenicke, Gunther, “General Agreement om Tariffs and Trade (1946), dalam Bernhard (ed)., Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5 (1983). Long, Olivier, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, Martinus Nijhoff Publishers, 1987. Meerghaeghe, M.A.G. Van, International Economic Netherlands: Kluwer, 1987. WTO, The Roots of the WTO, No. Publ., 1996.
institutions,
The
BAB V LETTER OF CREDIT DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar Perdagangan internasional terwujud karena adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli yang mereka tuangkan dalam kontrak. Dalam kontrak ini biasanya mereka juga cantumkan bagaimana cara, sistem atau klausul pembayarannya. Sistem pembayaran ini merupakan salah satu hal yang penting dalam transaksi perdagangan. Dalam transaksi dagang yang sifatnya terbatas di mana penjual dan pembeli berada dalam wilayah atau tempat
yang
dilakukan
sama,
secara
pembayaran langsung.
dan
Lain
penyerahan halnya
barang
dengan
dapat
perdagangan
internasional. Para pihak mungkin kurang begitu saling kenal. Domisili mereka berjauhan. Di samping sistem pembayaran, sistem pembiayaannya pun akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran perdagangan internasional. Karena itu pula dapat dinyatakan bahwa perdagangan Internasional akan
lebih
pembiayaan
berjalan (kredit)
lancar
bagi
dengan
jual-beli
tersedianya
barang
dalam
fasilitas perdagangan
internasional.1 Dalam
perdagangan
Internasional,
pembeli
dan
penjual
terpisah oleh jarak yang jauh. Mereka juga acap kali memiliki praktek pembiayaan yang berbeda di masing-masing negara. Di samping itu pula, terdapat kepentingan para pihak yang berbeda
dalam
perdagangan
internasional.
Penjual
berupaya
dan
berkepentingan untuk menguasai dan mengontrol barangnya sampai ia menerima harga yang disepakati dalam kontrak. Selain itu penjual juga berkepentingan agar pembayaran (proceeds atau dana hasil ekspor) dapat segera diterimanya tanpa harus menunggu berbulanbulan lamanya tatkala barangnya masih dalam perjalanan di kapal (in transit).
1
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, 257; Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM, Edisi 2, Juli 2001, hlm. 2.
Di pihak lain, pembeli berkepentingan untuk tidak segera membayar sejumlah uang yang dia janjikan sesuai kontrak selama ia belum memeriksa barangnya apakah sesuai dengan spesifikasi yang dicantumkan dalam kontrak, atau setidaknya ada bukti tertulis bahwa barangnya telah dikapalkan. Hal ini berarti menimbulkan kesulitan bagi penjual untuk menentukan asing.
cara
Demikian
pembayaran
yang
juga
pembeli
bagi
akan
digunakan
mengalami
oleh
pembeli
kesulitan
untuk
mempercayai reputasi dan integritas penjual asing. Dalam hal demikian, Bank memainkan peran penting yang dapat menjembatani kedua kepentingan yang berbeda antara penjual dan pembeli.
Dalam
hal
ini
Bank
memberi
jaminan
kelaikan
kredit
sebagai jaminan untuk transaski jual beli barang tersebut. Peran bank ini tampak pula pada upayanya dalam mengembangkan sistem pembiayaan dan pembayaran selama bertahun-tahun lamanya dengan semakin meningkatnya permintaan kredit bagi perdagangan internasional.2
2
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 257.
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional Disebutkan di atas bahwa Bank telah mengembangkan berbagai sistem
pembiayaan
berbagai
sistem
dalam yang
perdagangan
cukup
banyak
internasional. tersebut,
Di
antara
berikut
adalah
sistem-sistem yang umum digunakan: 1. Kredit berdokumen (Documentary Credit); 2. Kredit
komersial
jangka
pendek,
menengah
dan
panjang
(Short, Medium and Long term commercial credit); 3. Bentuk-bentuk
pembiayaan
techniques),
terutama:
(Intenasional
factoring);
khusus (i) (ii)
(Particular
factoring
financing
internasional
Forfaiting;
dan
(iii)
Leasing internasional (International leasing). 4. Jaminan Bank (Bank Guarantee atau Auotonomous Guarantee) Dalam bab ini, pembahasan hanya akan mengkonsentrasikan pada ad. 1 di atas, yaitu kredit berdokumen. Alasan utama dan alasan praktis
adalah
kredit
berdokumen
ini
lebih
banyak
digunakan
(penting) dan telah lama mengalami perkembangan pengaturannya. Praktil
menggunakan
kredit
berdokumen
ini 3
dilakukan, khususnya sejak awal tahun 1700-an.
telah
lama
Pengaturannya pun
telah berkembang lama. Ellinger menyatakan bahwa aturan mengenai kredit berdokujmen ini telah sedikit banyak mencapai harmoniasi dan keseragaman pengaturan.4
3
E.P. Ellinger, “Letters of Credit” dalam: Norbert Horn and Clive M. Schmitthoff (eds.), The Transnational Law of International Commercial Transactions, Deventer: Kluwer, 1982, hlm. 242. 4 E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 271.
1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit) a. Pendahuluan Di atas dikemukakan tentang beda kepentingan antara pembeli dan penjual. Pembeli (importir) tidak mau membayar sebelum ia memiliki barangnya dan memeriksa barangnya apakah barang tersebut sesuai
dengan
kontrak.
Penjual
(eksportir)
juga
tidak
akan
mengirim barangnya selama ia belum mendapat kepastian bahwa harga yang telah disepakati dalam kontrak dibayar. Karena jarak kedua pihak, praktek perdagangan yang mungkin berbeda dan mungkin saja satu sama lain tidak kenal, maka semua perbedaan
ini
dapat
menjadi
hambatan
bagi
perdagangan
internasional. Namun dengan lahirnya sistem kredit berdokumen (documentary credits),
yang
juga
dikenal
dengan
Letters
of
Credit
(L/C),
perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani. Kredit berdokumen ini terus berkembang. Sistem inilah yang paling banyak digunakan dan berperan
penting
sangat
penting
untuk
membayar
barang-barang
dalam perdagangan internasional.5 Dalam
kaitannya
dengan
perdagangan
internasional,
L/C
memainkan peran yang cukup penting. Pengadilan Inggris misalnya telah lama mengakui bahwa L/C adalah mekanisme pembayara yang paling
penting
dalam
perdagangan
internasional.6
Pengadilan
Inggris memandang L/C sebagai “the life blood of international commerce.”7 Peran tersebut adalah: (1) memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor; (2) mengamankan
dana
yang
disediakan
importir
untuk
membayar
barang impor;
5
Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM, Edisi 2, Juli 2001, hlm. 1 Ramlan Ginting, Letter of Credit: Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000, hlm 1. (Ramlan Ginting menyebutkan pula bahwa L/C ini adalah primadona dalam pembayaran transaksi ekspor-impor. Dari sini tergambar bahwa L/C mempunyai fungsi sebagai suatu sistem pembayaran). 6 Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essays on International Trade Law, London: Martinus Nijhoff Publ., 1988, hlm. 574. 7 Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 574.
(3) menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.8 Karena itu tampak bahwa L/C merupakan jaminan atas pelunasan barang yang akan dikirim oleh penjual (eksportir). Jadi untuk kepentingan eksportir, L/C harus dibuka terlebih dahulu sebelum barang dikirim. Di pihak lain, pembukaan L/C merupakan jaminan pula bagi importir untuk memperoleh pengapalan barang secara utuh sesuai dengan kontrak. Sedangkan dana L/C tersebut tidak akan dicairkan tanpa penyerahan dokumen pengapalan. Dengan demikian L/C tampak sebagai
suatu
memudahkan
instrumen
lalu
lintas
yang
ditawarkan
pembiayaan
dalam
bank
devisa
transaksi
untuk dagang
9
internasional.
Dari uraian di atas, tampak bahwa sangatlah wajar bila L/C kemudian menjadi lebih banyak disukai oleh para pihak, khususnya penjual
dan
pembeli
dalam
bertransaksi
dagang
secara
lintas
batas. Alasan utama para pedagang menyukai sistem ini, adalah karena adanya unsur janji bayar yang ada pada sistem ini.10 Ramlan Ginting menggambarkan sebagai berikut: “Penerima yang menjual barang kepada pemohon merasa aman dibayar dengan cara L/C karena adanya janji pembayaran dari bank penerbit kepadanya. Sebaliknya, pemohon juga merasa aman membeli barang dengan cara L/C karena akan menerima dokumen-dokumen yang dikehendakinya sebab pemenuhannya merupakan syarat pembayaran langsung.”11
8
Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM, edisi 2, Juli 2001, hlm. 1; M. Rafiqul Islam, International Trade Law, Sydney: LBC, 1999, hlm. 340-341. 9 Amir M.S., op.cit., hlm. 2. 10 Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 18 11 Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 18
b. Batasan Hans van Houtte mendefinisikan kredit berdokumen ini sebagai berikut: "... an arrangement in which the bank, acting for and on behalf of the buyer (customer), undertakes to pay the seller (beneficiary) a sum of money or to accept a bill of exchange drawn by the seller, or to authorize another bank to do so on presentation by the seller of specified document and on condition that all other credit terms are met."12 Amir M.S. menggambarkan L/C sebagai berikut: "L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir di luar negara yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu menyatakan bahwa eksportir penerma L/C diberi hak oleh importir untuk menarik wewel (surat perintah untuk melunasi utang) atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin untuk megnakseptir atau menghonorir wesel yang ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di dalam surat itu."13 UCP (Pasal 2 UCP 500) memberi definisi L/C sebagai berikut: "L/C adalah janji membayar dari bank penerbit kepada penerima yang pembayarannya hanya dapat dilakukan oleh bank penerbit jika penerima menyerahkan kepada bank penerbit dokumen-dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C.”14 12
Hans Van Houtte, 258. Definisi ini disarikan beliau dari batasan yang terdapat dalam Pasal 2 the Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berbunyi sebagai berikut: "Any arrangement, however named or described, whereby a bank (the Issuing Bank), acting at the request and on the instructions of a customer (the Applicant) or on its own behalf, (i) is to make a payment to or to the order of a third party (the Beneficiary), or is to accept and pay bills of exchange (draft(s)) drawn by the Beneficiary; or (ii) authorises another bank to effect such payment, or to accept and pay such bills of exchange (draft(s)); or (iii) authorises another bank to negotiate; against stipulated document(s), provided that the terms and conditions of the Credit are complied with." 13 Amir M.S., op.cit., 2001, hlm. 1. 14 Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 11 (Ramlan Ginting juga memberikan aneka definisi yang diberikan oleh para sarjana, op.cit., hlm. 11 dst. Teks inggris Pasal 2 UCP berbunyi: "For the purposes of these articles, the expressions "Documentary /credit(s)" and "Standby Letter(s) of Credit" (hereinafter referred to as "Credit(s)", means any arrangement, however, named or described, whereby a bank (the "issuing bank") acting
Beberapa hal penting dari definisi di atas yaitu: (a) Bank yang memberikan jaminan pembayaran tersebut adalah bank yang menerbitkan Kredit Dokumenter L/C tersebut (bank penerbit atau Issuing Bank). (b) Dokumen-dokumen
yang
disyaratkan
dapat
berupa
dokumen
perdagangan ataupun dokumen yang diterbitkan instansi-instansi pemerintah, asuransi maupun pengangkutan.15 (c) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan Jaminan bersyarat, maka
pembayaran
(pembeli),
dan
sudah
tentu
pembayaran
itu
dilakukan
atas
dilaksanakan
nama
bila
Buyer
dokumen-
dokumen yang disyaratkan telah diserahkan. (d) Karena
dokumen-dokumen
tersebut
mewakili
barang,
maka
penyerahan dokumen itu berarti memberikan hak kepada buyer (pembeli)
atas
pemilikan
barang-barang
yang
dikapalkan
tersebut. (e) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan jaminan bank, maka segera
setelah
pembayaran
dari
pengapalan Bank,
barang,
bukan
Seller
mengandalkan
akan
meminta
kemampuan
dan
kesediaan Buyer (pembeli) untuk membayar. Namun sekalipun demikian, berhubung jaminan tersebut adalah jaminan bersyarat, maka seller (penjual) hanya berhak meminta pembayaran apabila dia sudah memenuhi semua syarat yang telah ditetapkan dalam Kredit Dokumenter tersebut. f. Untuk kelancaran pembayaran atas dasar Kredit Berdokumen (L/C) diperlukan paling tidak dua buah bank, yaitu Bank pembeli at the request and on the instructions of a customer (the "Applicant") or on its own behalf, i. is to make a payment to or to the order of a third party (the "beneficiary") or is to accept and pay bills of exchange (Draft(s)) drawn by the Benficiary, or ii. authorises another bank to effect such payment, or to accept and pay such bills of exchangge (Draft(s)), or iii. authorises another bank to negotiate, against stipulated document(s), provided that the terms and conditions of the Credit are complied with. For the purpose of these Articles, branches of a bank in different countries are considered another bank. 15 Secara umum dokumen-dokumen itu antara lain: Commercial Invoice (Faktur Dagang), Packing and Weight List, Certificate of Origin, Polis/Sertifikat Asuransi serta Bill of Lading/Airway Bill (dokumen pengangkutan) atau dokumen pengangkutan lainnya, seperti Certificate of Inspection. (khusus di Indonesia dengan penambahan LKP yang dikeluarkan SGS untuk impor dan ekspor barang-barang tertentu), dll.
sebagai penerbit L/C (Issuing Bank atau bank penerbit) dan Bank penjual yang terletak di negara penjual itu sendiri.
c. Kontrak Penjualan Sebagai Dasar Terbitnya L/C Persiapan yang harus ada untuk terbitnya kesepakatan
antara
Seller
dan
Buyer
untuk
L/C
adalah
membuat
dan
menandatangani sebuah sales contract (kontrak penjualan). Yang mendasari terbitnya sebuah L/C adalah kontrak jual beli atau sales contract yang sudah disepakati bersama dan kemudian disahkan dengan penandatanganan oleh masing-masing pihak antara penjual dan pembeli. Kontrak
penjualan
tersebut
biasanya
mencantumkan
pula
bagaimana barang tersebut akan dikirim: apakah melalui darat, laut atau udara; dan pihak mana yang akan menutup asuransi. Kredit
berdokumen
juga
konstruksi
internasional
investasi.16
Pasal
4
UCP
dikeluarkan
jangka
untuk
proyek-proyek
dan
proyek-proyek
panjang
memberlakukan
kredit
berdokumen
ini
terhadap bukan saja untuk barang tetapi juga terhadap jasa dan bentuk-bentuk
lainnya
('services
and/or
other
performances'),
meskipun untuk hal-hal yang terakhir ini lebih banyak digunakan Standby L/C atau Bank Garansi.17 L/C kedudukan
sendiri L/C
adalah
sebagai
dokumen
suatu
kontrak.
Namun
demikian,
kontrak dan kontrak jual belinya
sifatnya adalah terpisah atau independen.18 Sifat independen L/C tampak pada aplikasi L/C dan realisasi pembayaran L/C. Dalam
aplikasi
L/C,
bank
penerbit
(issuing
bank)
tidak
meminta atau mensyaratkan diperlihatkannya kontrak penjualan dari pemohon (buyer atau pembeli). Dalam realisasi pembayaran L/C, bank hanya memeriksa apakah dokumen-dokumen yang dipersyaratkan
16
Hans Van Houtte, op.cit., 257. Hans Van Houtte, op.cit., 258n. 18 Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 15; Hans van Houtte, op.cit., hlm 259. (Menurut van Houtte, dengan tidak adanya hubungan antara kontrak penjualan atau jual beli dengan L/C, seorang nasabah (penjual) tidak dapat meminta bank penerbit untuk tidak melakukan pembayaran dengan alasan bahwa barang yang dikirim kepadanya tidak sesuai dengan kontrak). 17
L/C
telah
terpenuhi.19
Hal
inilah
yang
disebut
juga
sebagai
prinsip otonomi dari L/C.20 Pasal 3 UCP 500 menegaskan sifat independen ini: "Credits, by their nature, are separate transactions from the sales or other contract(s) on which they may be based and banks are in no way concerned with or bound by such contract(s), even if any reference whatsoever to such contract(s) is included in the Credit. Consequently, the undertaking of a bank to pay, accept and pay Draft(s) or negotiate and/or to fulfill any other obligation under the Credit, is not subject to claims or defences by the Applicant resulting from his relationships with the issuing bank or the beneficiary." (Huruf miring oleh penulis).
19
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 15. E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 263 (menyebutkan ‘the principle of the autonomy of the L/C’. Prinsip ini didasarkan pada fakta bahwa bank lebih berkepentingan atau lebih peduli dengan dokumen-dokumen, bukan denga barang-barang yang tercantum di dalamnya).
20
d. Hubungan Hukum antara Para Pihak dalam Transaksi L/C
Pada
umumnya,
para
pihak
yang
terlibat
dalam
pembukaan
transaksi L/C adalah: (1) Applicant (buyer atau pembeli): adalah pihak yang meminta kepada sebuah bank untuk membuka L/C atas namanya (sebagai pembeli). (2) Penerima (Beneficiary) adalah pihak yang disebutkan dalam L/C (sebagai penjual). (3) Bank penerbit (Opening Bank atau issuing bank) adalah bank yang membuka atau menerbitkan L/C (Bank pembeli). (4) Bank penerus atau Advising Bank adalah Bank yang meneruskan L/C yang diterima dari opening bank kepada beneficiary (bisa Bank penjual).21 Di antara para pihak tersebut di atas, hubungan hukum yang timbul adalah sebagai berikut: (1) Nasabah dengan Bank Nasabah atau disebut juga pemohon dengan banknya biasanya menandantangani
kesepakatan
atau
perjanjian
tentang
permintaan
penerbitan L/C. Kesepakatan ini sudah barang tentu tunduk pada syarat yang ditetapkan oleh pihak bank. Dalam hal ini biasanya bank mensyaratkan adanya jaminan dari nasabahnya. Misalnya, bank mensyaratkan
21
dokumen-dokumen
pengapalan
(bill
of
lading
atau
Di samping 4 pihak tersebut di atas, pihak-phak lain yang dapat terkait adalah: (1) Negotiating Bank adalah Bank yang melakukan negosiasi atas draft (wesel) dan dokumen pengapalan milik seller (biasanya advising bank juga merupakan negotiating bank). (2) Reimbursing Bank adalah Bank kepada siapa penagihan atas pengapalan barang dilakukan (bisa opening bank atau bank lain yang berfungsi sebagai imbursing bank). Penunjukan bank ini biasanya terjadi apabila antara eksportir dan importir tidak ada hubungan rekening untuk menyelesaikan pembayarannya. (3)Confirming Bank (bank pengkonfirmasi) adalah Bank yang diminta oleh bank untuk menambahkan konfirmasi pada L/C. (4) Pihak lainnya yang tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan L/C, yakni: Perusahaan Pelayaran/Perkapalan; Bea dan Cukai/Pabean; Perusahaan Asuransi; Badan-badan pemeriksa (perwakilan Sucofindo); Badan-badan penelitian lainnya. (Amir M.S., op.cit. (note 1), hlm. 3,4).
konosemen). Bank, jika menurutnya diperlukan, menahan dokumendokumen ini sampai klien telah membayar.22 (2) Bank Penerbit dan Penerima Bank penerbit menandatangani L/C untuk kepentingan penjual. L/C di dalamnya mengandung persyaratan dari Bank untuk membayar atau menerima atau menegosiasikan suatu bill of exchange segera setelah
dokumen
diperlihatkan.
L/C
yang
dipersyaratkan
menetapkan
tanggal
dalam jatuh
kontrak
tempo
dan
dasar tempat
23
untuk mengajukan dokumen untuk pembayaran.
Dalam hal ini, hukum nasional negara-negara berbeda mengenai hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima ini. Misalnya, menurut
negara-negara
Amerika
Serikat),
Common
hubungan
Law
(misalnya
hukum
antara
hukum bank
Inggris
dan
penerbit
dan
24
penerima termuat dalam kontrak (kontraktual).
Sedangkan menurut negara dengan sistem hukum Civil, misalnya hukum Belgia dan Belanda, hubungan hukum tersebut tampak pada kehendak tegas dari para pihak. Perbedaan dalam sistem hukum ini menjadi penting dalam praktek.25 Jika
prestasi
bank
bersifat
kontraktual,
maka
dalam
hal
demikian itu prestasi tersebut harus diperlihatkan bahwa penerima telah
menerima
usulan
tersebut.
Eksportir
atau
penjual
dapat
mengajukan gugatan terhadap bank penerbit berasarkan L/C. Dalam hal ini ia berhak atas pembayaran jika ia telah memenuhi syaratsyarat dalam L/C.26 (3) Bank Penerbit dan Bank Penerus Hubungan hukum antara bank penerbit dan bank penerus seperti halnya antara seorang prinsipal dan agen. Dalam hal ini bank penerbit bertindak atas nama dan untuk bank penerbit. Jika bank penerbit 22
telah
membayar
sejumlah
uang
Hans Van Houtte, op.cit., 263; Chia-Jui Hans Van Houtte, op.cit., 263; Chia-Jui 24 Hans Van Houtte, op.cit., 264. 25 Hans Van Houtte, op.cit., 264. 26 Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat hlm. 88-89; Chia-Jui Cheng, op.cit., hlm. 23
kepada
penerima
sesuai
Cheng, op.cit., hlm. 581. Cheng, op.cit., hlm. 581.
pula Ramlan Ginting, op.cit., 582.
dengan (wesel)
mandatnya, yang
atau
ditarik
telah oleh
menerima suatu bill of exchange penerima,
maka
ia
berhak
atas
pembayaran dari bank penerbit.27 (4) Penerima dan Bank Penerus Terhadap
penerima,
bank
penerus
seolah-olah
bertindak
sebagai agen dari bank penerbit. Karenanya, penerima tidak berhak untuk menggugat bank penerbit.28 (5) Bank Penerbit dan Bank Pengkonfirmasi Jika
bank
lain
menjadi
Confirming
Bank
(Bank
Pengkonfirmasi), yakni bank yang turut menjamin pembayaran L/C, maka ia bersama-sama dengan bank penerbit bertanggung jawab untuk membayar suatu bill of exchange.29
27
Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat pula Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 89. 28 Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat pula Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 92. 29 Hans Van Houtte, op.cit., 264.
e. Pembukaan L/C 1). Aplikasi (Application) Segera setelah penjual dan pembeli menandatangani kontrak penjualan.
Dalam
kontrak
tersebut
memuat
kesepakatan
bahwa
transaksi akan diselesaikan dengan Letter of Credit (L/C), maka pembeli akan meminta kepada banknya untuk membuka L/C. Data-data
yang
harus
tercantum
dalam
formulir
aplikasi
terdiri dari: (1) Nama dan alamat Beneficiary; (2) Nama dan alamat pembeli/pemohon; (3) Nilai
L/C
yang
dibuka
dengan
shipping
terms
yang
talah
disetujui (FOB/CIF/C&F); (4) Jenis L/C (Revocable/Irrevocable); (5) Syarat pembayaran (Sight/Usance); (6) Uraian barang; (7) Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik jenis maupun jumlahnya; (8) Masa
berlakunya
L/C
(Validity
of
the
Credit)
dengan
menetapkan “expire date”; (9) Tanggal pengapalan terakhir; (10) Pelabuhan bongkar muat; (11) Persyaratan barang yang harus dikirim oleh penjual; (12) Ketentuan-ketentuan khusus yang diperlukan (misalnya: boleh tidaknya penggantian kapal; atau boleh tidaknya pengapalan sebagian); (13) Cara penyampaian L/C lewat surat atau teleks, dan sebagainya. 2) Pembukaan/Penerbitan L/C (Opening/Issuing of the Credit) Atas dasar aplikasi pembukaan L/C yang telah disetujui, bank penerbit
membuka
dan
penerima,
yang
isinya
menerbitkan sesuai
L/C
benar
yang dengan
ditujukan apa
kepada
yang
telah
tercantum pada formulir aplikasi. Ketentuan-ketentuan
yang
tersebut umumnya terdiri dari:
ditambahkan
oleh
bank
penerbit
(1) Syarat
pengapalan,
seperti:
larangan
terhadap
penggunaan
kapal-kapal berbendera negara tertentu; (2) jangka waktu penyerahan dokumen; (3) ketentuan-ketentuan
tentang
endorsement
terhadap
dokumen-
dokumen yang negotiable seperti B/L, Draft dan sebagainya; (4) reimbursement instruction (perintah kepada negotiating bank untuk penagihan terhadapnya); (5) ketentuan
pengiriman
dokumen,
ke
mana
dan
berapa
kali
pengiriman,. 3) Syarat-syarat L/C L/C yang dibuka oleh suatu bank harus memenuhi syarat-syarat umum yaitu: (1) Menyebutkan nama dan alamat penerima dan pemohon dengan jelas; (2) Menyebutkan masa berlakunya L/C; (3) mencantumkan nama bank penerus (advising bank) yang dituju; (4) Mencantumkan dengan tegas jenis L/C; (5) Uraian barang harus jelas dan tegas; (6) Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat dalam L/C harus jelas tidak berbelit-belit dan tidak mensyaratkan hal-hal yang tidak mungkin dipenuhi oleh penerima (beneficiary); dan (7) Menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCPDC dengan mencantumkan klausul yang berbunyi: “This credit is subject to Uniform Costums and Practice for Documentary Credit 1993 revision, ICC Publication 500.”
f. Aturan Hukum Yang Berlaku (Applicable Rules) Kredit
berdokumen
digunakan
untuk
membiayai
transaksi
perdagangan internasional. Karena itu masalah hukum apa yang akan mengaturnya merupakan salah satu persoalan yang penting. Di samping itu, ada juga negara-negara yang mengeluarkan hukumnya
sendiri
demikian,
dapat
guna saja
mengatur antara
Kredit
Dokumenter.
Dalam
hal
hukum nasional suatu negara akan
menjadi konflik dengan hukum nasional negara lainnya.30 Guna mencegah agar konflik tersebut tidak menjadi hambatan bagi perdagangan internasional, suatu pemecahan atau jalan keluar perlu
ditempuh.
Salah
adalah
dengan
mengacu
satu
pemecahan
kepada
yang
acapkali
prinsip-prinsip
ditempuh
hukum
perdata
internasional yang relevan dalam mengatur L/C. Ada
juga
keinginan
agar
hukum
yang
mengatur
kredit
berdokumen itu tercipta adanya suatu keseragaman hukum. Salah satu upaya ke arah unifikasi hukum tersebut adalah lahirnya UCP oleh ICC. Berdasarkan kredit
uraian
berdokumen
ini
di
atas,
adalah:
aturan
(1)
hukum
yang
mengatur
Ketentuan-ketentuan
Hukum
Perdata Internasional; dan (2) The Uniform Customs and Practice (UCP).31 (1) Hukum Perdata Internasional Hukum yang berlaku terhadap L/C sebenarnya harus dibedakan dengan hukum yang berlaku terhadap kontrak induk (yakni kontrak penjualan yang menjadi dasar lahirnya L/C). Menurut van Houtte, prinsip-prinsip
berikut
adalah
yang
biasanya
berlaku
dalam
praktek: (a) Dalam hubungan antara nasabah dan bank penerbit (the issuing bank), jika kesepakatan atau perjanjian kredit memuat klausul pilihan hukum, maka hukum yang dipilih para pihaklah yang akan berlaku terhadap kontrak. 30
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 574 (Schmitthoff menggambarkan hukum nasional Inggris tentang L/C, yakni Section 72 dari the Bills of Exchange Act 1882).
Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hubungan hukum antara nasabah dan bank penerbit (the issuing bank) pada umumnya diatur oleh hukum di negara di mana 'the most characteristic performance'
(pelaksanaan
kontrak
yang
paling
berkarakteristik) adalah yang akan digunakan, atau di mana pihak
melaksanakan
performance
(prestasi)
berdomisi,
yaitu
biasanya negara di mana bank yang memberikan kredit berada;32 (b) dalam hal kaitannya antara bank penerbit (the issuing bank), bank
penerus
(the
beneficiary),
maka
adivising hukum
yang
bank) berlaku
dan
penerima
adalah
hukum
(the yang
33
dipilih mereka.
Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hukum yang berlaku adallah hukum di negara di mana kredit tersebut dicairkan. Hal ini adalah hukum di (negara) mana penerima (beneficiary) atau penjual
menerima
dokumen
dan
menerima
pembayaran,
yaitu
biasanya negara dari bank penerus (the adivising bank) atau bank pengkonfirmasi (confirming bank).34 (c) Jika tidak ada hukum yang dipilih oleh bank, maka hubungan antara bank penerbit (the issuing bank) dan bank penerus (the advising
bank)
diatur
oleh
hukum
di
mana
bank
penerbit
(advising bank) berada (didirikan). Hal ini biasanya berlaku terhadap hubungan antara bank penerus (the advising bank) dan penerima (the beneficiary). Sulit untuk diterima bila sistem hukum yang berbeda diterapkan terhadap dua aspek dari satu atau transaksi yang sama.35
31
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 25; Hans Van Houtte, op.cit., 265. Hans Van Houtte, op.cit., 264. Di negara-negara Common Law, penerapan hukum perdata internasional menunjukkan bahwa dalam hubungan hukum antar para pemohon (nasabah) dengan bank penerbit prinsip hukum perdata interansional yang akan diterapkan adalah the law of the closest connection and most real connection (Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 580. 33 M. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 350 (mengaskan bahwa “... the parties to the underlying transaction specify a choice of law and forum and submit themselves to the law and jurisdictions of that country in the case of a dispute”); Lihat pula Ramlan Ginting, op.cit., 25. 34 Hans Van Houtte, op.cit., 265. 32
(2) Uniform Customs and Practice36 International Chamber of Commerce (ICC) yaitu Kamar Dagang International
telah
menerbitkan
ketentuan
mengenai
kredit
berdokumen. Ketentuan tersebut yakni Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCPDC). Aturan-aturan yang termuat di dalamnya
merupakan
kodifikasi
dari
praktek-praktek
perdagangan
internasional dan praktek perbankan.37 ICC untuk pertama kali menerbitkan UCP pada tahun 1933. UCP mengalami beberapa kali revisi. Revisi dilakukan pada tahun 1951, 1962, 1974, 1983 dan terakhir 1993 (UCP DC No 500 tahun 1993 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1994). Revisi ini dilakukan untuk mengakomodasi
perkembangan
teknologi,
perkembangan
teknik
dan
perkembangan di bidang pengangkutan. Dalam pelaksanaan Kredit Dokumenter, bank-bank pada umumnya di lebih dari 170 negara telah menundukkan diri kepada UCP. Dalam dokumen L/C mereka mencantumkan klausul berbunyi: "This credit is subject to Uniform Custems and practice for Documentary Credit, ICC Publication No 500 1993 Revision."38 UCP
500
memuat
ketentuan-ketentuan
dan
penjelasan
-
penjelasan tentang Kredit Dokumenter (L/C). UCP terdiri dari 49 pasal, yang dikelompokkan ke dalam sub bagian berikut: A. B. C. D. E. F. G.
35
General provisions and definitions Form and notification of credits Liabilities and responsibilities Documents Miscellaneuous provisions Transferable credits Assignment of proceeds.
Han van Houte, op.cit., hlm. 265. Lihat antara lain, E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 248 et.seq., George Curmi, "Documentary Credits and Their Administration," dalam Jonathan Reuvid (ed.), Strategic Guide to International Trade, Kogan Page, 1997, hlm. 133 et.seqq.; M. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 350-351. 37 Ellinger mengungkapkan bahwa praktik awal penggunaan kredit berdokumen in bermula pada praktik perbankan Amerika Serikat, yaitu ketika dilangsungkannya the New American Commercial Credit Conference di New York pada tahun 1920. (E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 248). 38 Sesuai dengan bunyi ketentuan pasal 1 UCP. 36
Aturan-turan UCP sifat atau kekuatan hukumnya semata-mata mengatur.
Kesepakatan
kesepakatan ketentuan
para dari
para
pihak UCP.
pihak
dapat
Hal
tetap
berlaku.
Bahkan
mengenyampingkan
beberapa
aturan
manakala
mereka
ini
masih
dapat
terjadi
beranggapan bahwa aturan tertentu dari UCP tidak sesuai dengan keinginan mereka.39 Meskipun UCP telah diimplementasikan di banyak negara, UCP sendiri memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut: (1) UCP pada prinsipnya akan berlaku hanya atau sepanjang bank penerbit mencantumkan atau memilih UCP secara tegas sebagai aturan
yang
mengatur
L/C.40
Dalam
kaitan
ini
Ellinger
menyatakan bahwa: “... it would appear advisable to regard the Code ... as being applicable by reason of its incorporation in documentary credit transaction. It would, thus, constitute a contractual document and would not enjoy the status of a set of norms consecreated by usage.”41 (2) UCP
tidak
mengatur
masalah
penipuan
dalam
transaksi
L/C.
Menurut Ginting, unsur penipuan ini merupakan alasan hukum bagi
bank
penerbit
atau
kuasanya
untuk
menolak
melakukan
pembayaran L/C kepada penerima meskipun semua dokumen yang disyaratkan sesuai dengan persyaratan.42 (3) UCP tidak memuat aturan mengenai pilihan hukum. Disebutkan di atas,
bahwa
hukum
nasional
terjadinya
negara-negara yang
konflik
pun
mengatur hukum,
kadang kredit
UCP
tidak
kala
memiliki
berdokumen. memuat
aturan
Dalam
aturan
hal
tegas
mengenai penyelesaiannya.
39
Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone, 1999, hlm. 271. (Beliau menegaskan bahwa "... the UCP is subject to the express terms of the credit"); lihat pula E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 251 et.seq. (mengungkapkan kekuatan mengikat UCP di berbagai negara yang ternyata berbeda-beda). 40 Lihat pasal 1 UCP; Lihat pula Clive M. Schmitthoff, “The New Uniform Customs for Letters of Credit,” dalam: Chia-Jui Chen (ed.), op.cit., hlm. 449. 41 E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 252-253. 42 Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 3.
g. Klasifikasi L/C (1). Jenis-jenis L/C. (1) Revocable L/C Jenis L/C dapat berupa Irrevocable L/C dan Revocable L/C.43 Menurut UCP, para pihak harus menegaska apakah suatu L/C adalah Revocable atau Irrevocable.44 Revocable L/C adalah L/C yang dapat diubah atau dibatalkan oleh
penerbit
secara
sepihak
tanpa
persetujuan
dari
pihak
penerima. Pasal 8 UCP menyatakan: “A revocable credit may be amended
or
cancelled
by
the
Issuing
Bank
at
any
moment
and
without prior notice to the Beneficiary.” Dalam
hal
ini,
kedudukan
penerima
lemah.
Ia
menanggung
resiko yang tidak ringan. Hal ini antara lain karena sifatnya, maka L/C tersebut tiba-tiba dibatalkan atau diubah oleh penerbit. Namun demikian UCP tetap melindungi penerima (bank penerima) yang beritikad membayar
baik. L/C
Bank
penerima
(negotiating
bank)
kepada
penerima
sebelum
diberitahu
ia
yang
telah adanya
pembatalan sepihak dari penerbit, ia tetap berhak atas pembayaran dari
penerbit.
Pembayaran
L/C
dapat
dilakukan
dengan
cara
pembayaran secara unjuk (sight payment), akseptasi (acceptance), negosiasi
(negotiation),
dan
pembayaan
kemudian
(deferred
payment).45 Pasal 8 UCP menyatakan: “...the Issuing Bank must: i.
ii.
43 44 45
reimburse another bank with which revocable Credit has been made available for sight payment, acceptance or negotiation – for any payment, acceptance or negotiation made by such bank – prior to receipt by it of notice of amendment or cancellation against documents which appear on their face to be in compliance with the terms and conditions of the Credit; reimburse another bank with which a revocable Credit has been made available for deferred payment, if such a bank has, prior to receipt by it of notice of amndment or cancellation, taken up documents which
Pasal 6 (a) UCP. Pasal 6 (b) UCP. Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 36.
appear on their face to be in compliance with the terms and conditions of the Credit.
(2) Irrevocable L/C Disebutkan di atas bahwa para pihak harus menegaskan jenis L/C-nya. Dalam hal tidak ada penegasan tersebut, maka suatu L/C dianggap sebagai Irrevocable L/C.46 Contoh klausul Irrevocable L/C memuat ketentuan atau bunyi klausul berikut: “We undertake to honour such drafts on presentation provided that they are drawn and presented in conformity with the terms of this credit.”47 Irrevocable L/C adalah L/C yang tidak dapat dibatalkan atau diubah secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi L/C yaitu penerima dan bank penerbit. Kedudukan penerima lebih terjamin dari risiko. Tiap-tiap perubahan harus ada persetujuannya. Karena sifatnya yang tidak dapat banyak
diubah
secara
disukai
oleh
sepihak,
maka
jenis
dan
bank
penerima
menyediakan kredit ekspor).
46 47
Pasal 6 (c) UCP. Ademuni-Odeke, op.cit., hlm. 277.
L/C
ini
(bank
yang
penerima
paling yang
(3) Irrevocable Confirmed L/C Jenis
L/C
mendapatkan
adalah
konfirmasi
Irrevocable
sebuah
bank
apabila
L/C
pengkonfirmasi
tersebut
(Confirming
Bank). Dalam hal ini bank pengkonfirmasi turut menjamin kewajiban bank penerbit dengan memberikan konfirmassi atau janjinya untuk membayar L/C. Tampak bahwa jenis L/C ini memberi kepastian jaminan kepada penerima.
Jika
bank
penerbit
tidak
melakukan
pembayaran
atas
barang yang dikapalkan, maka bank pengkonfirmasi akan membayar barang yang telah dikapalkan. Permintaan
demikian
demikian
biasanya
dituliskan
dengan
kata-kata sebagai berikut dalam L/C: “Please advice beneficiary with adding your confirmation”. Yang dapat menjadi bank pengkonfirmasi bisa bank penerus atau bank lain yang diminta oleh bank penerbit. Dengan adanya permohonan
korfirmasi
tersebut,
dan
jika
bank
yang
diminta
confirm L/C tersebut menyepakatinya, maka ia akan menambahkan konfirmasinya dalam L/C, sebelum L/C diserahkan kepada penerima.
(4) Sight (Payment) L/C Jenis Sight L/C (Payment L/C) adalah L/C yang pembayaranya dilakukan
secara
tunai
segera
setelah
dokumen-dokumen
yang
disyaratkan diajukan atau diserahkan. Setelah penerima mengapalkan barang, maka dia dapat langsung minta
pembayaran
dokoumen-dokumen
kepada
negotiating
pengapalan
yang
bank
dengan
diperlukan
menyerahkan
disertai
dengan
wesel/draf-nya. Atas
pembayaran
(negotiating
bank)
yang
dilakukan,
segera
melakukan
maka
bank
penegosiasi
penagihan/reimbursement
kepada bank penerbit (opening/issuing bank). Bank penerbit akan segera
pula
melakukan
dokumen tersebut.
pembayaran
pada
saat
menerima
dokumen-
(5) Acceptance L/C Jenis Acceptance L/C atau L/C berjangka adalah L/C yang pembayarannya dilakukan pada suatu jangka waktu tertentu setelah wesel diunjukan atau setelah barang dikapalkan. Acceptance L/C merupakan pemberian kredit kepada pembeli oleh penjual sebab pembeli di luar negeri akan menerima barangbarang tanpa melakukan pembayaran pada saat yang sama melainkan pada jangka waktu tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam L/C.
2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen (1) Standby L/C Jenis Standby L/C lebih dikenal sebagai alat atau sarana penjamin. Jenis L/C ini acapkali disebut pula sebagai Guarantee L/C. Jenis ini cenderung digunakan di wilayah suatu negara di mana isu jaminan itu tidak dimungkinkan atau tidak dibolehkan.48 Jenis L/C ini dimaksudkan untuk melindungi penerima jika pihak lainnya wanresptasi (berdasarkan kontrak). Menurut Ginting, jenis L/C ini adalah “bahwa bank penerbit bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibannya dalam hal pemohon wanprestasi.”49 Perlu pula dinyatakan di sini bahwa Standby L/C dalam hal tertentu berbeda dengan bank guarantee (garansi bank). Perbedaan tersebut
Standby
L/C
merupakan
kewajiban
utama
dari
bank
penerbit.50 Yang membedakan jenis L/C ini dengan jaminan bank adalah bahwa Standby L/C tunduk pada UCP.51 Sedangkan Bank garansi tunduk pada hukum nasional. Di samping itu, dalam hal adanya default (non-performance), pencairan dana langsung dilaksanakan oleh Bank berdasarkan klaim yang diterima. Sedangkan pada bank garansi, bank penerbit garansi bank baru mencairkan dana atau membayar
penerima
(beneficiary)
setelah
berhasil
dibuktikan
adanya default (non performance).52
48
George Curmi, op.cit., hlm. 134. Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 50. Cf., Ellinger menyatakan bahwa standby credit ini “... is furnished at the instruction of the seller to protect the buyer if the goods turn out to be faulty” (E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 247). 50 Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 50. 51 George Curmi, op.cit., hlm. 134. 52 Masukan dari Sdr. Pitman, 23 Oktober 2004. 49
(2) Transferable L/C Transferable L/C adalah jenis L/C yang dapat dialihkan dari penerima I kepada satu atau lebih penerima lainnya. Kredit yang dialihkan dapat seluruh atau sebagiannya.53 Dalam hal ini penerima 1 hanya dapat mengajukan permohonan. Ia tidak dapat memerintah bank-nya untuk mengalihkan kredit. Keputusan untuk mengahlihkan atau tidak tetap berada pada keputusan bank penerus (atau bank pengkonfirmasi).54 Jenis
L/C
ini
diatur
dalam
pasal
48
UCP.
Pasal
ini
menyatakan: “A transferable Credit is a Credit under which the Beneficiary (First Beneficiary) may request the bank authorised to pay, incur a deferred payment undertaking, accept or negotiate (the “Transferring Bank” or in the case of a freely negotiable Credit, the bank specifically authorised in the Credit as a Transferring Bank, to make the Credit available in whole or in part to one or more other Beneficiary(ies) (Second Beneficiary(ies)).”
53 54
George Curmi, op.cit., hlm. 133. George Curmi, op.cit., hlm. 134.
(3) Back to Back L/C Back to Back L/C adalah L/C yang dibuka oleh penerima I dari sebuah L/C kepada penerima lainnya. Di dalam jenis ini, transaksi L/C melibatkan dua L/C, L/C induk (Master L/C) dan L/C anak (Baby L/C). Dalam L/C back to Back penerima I semata-mata bertindak sebagai
pemohon.
Ia
bertanggung
jawab
penuh
terhadap
pembayarannya kepada penerima II. Kewajiban penerima II adalah memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai dengan yang ditetapkan dalam Back to Back L/C, tanpa melihat syarat dan ketentuan yang ada pada L/C induknya (Master L/C). L/C
induk
dan
L/C
anak
masing-masing
terpisah,
meskipun
persyaratannya sama. Yang berbeda adalah nilai L/C dan tanggal jatuh tempo L/C. L/C induk lainnya relatif lebih besar daripada L/C
anak.
L/C
Induk
memiliki
jatuh
tempo
yang
lebih
lama
kredit
yang
55
dibandingkan jatuh tempo L/C anak. Jenis
L/C
ini
lebih
banyak
digunakan
jika
ditransfer tidak dapat digunakan karena berbagai alasan. Misalnya adanya perbedaan dalam nilai mata uang pembelian dan nilai mata uang penjualan barang dan dokumen-dokumen pengapalan barang yang harus diubah atau diganti.56
55 56
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 47. George Curmi, op.cit., hlm. 134.
(4) Revolving L/C Revolving L/C adalah L/C yang secara otomatis berlaku secara berulang-ulang oleh penerima dalam jumlah tertentu selama jangka waktu tertentu, tanpa harus memasukkan permohonan penerbitan L/C baru atau memohon perubahan terhadap L/C.57 Revolving L/C dapat bersifat Kummulatif atau Non-kummulatif. Dalam
hal
Revolving
L/C
direalisasi
seluruhnya,
ditambahkan
dengan
nilai
berikutnya.
Dalam
hal
kumulatif,
maka
sisa
L/C
semula
bila
nilai untuk
Non-kummulatif,
nilai L/C
L/C
tersebut
pengapalan
sisa
tidak
L/C
yang
akan
periode tidak
direalisasi dihapus, dan untuk masa berlaku/ periode berikutnya adalah sebesar nilai L/C semula.58
57 58
Lihat pula George Curmi, op.cit., hlm. 134. Amir M.S., op.cit., hlm. [FIND PLS].
(5) Red Clause L/C Red Clause L/C adalah jenis L/C yang dibayar di muka setelah terpenuhinya
syarat-syarat
tertentu.
Misalnya,
dengan
diperlihatkannya tanda terima yang sederhana (yang ada), invoice dan dokumen pengapalan. Nilai pembayaran di muka ini dinyatakan dalam L/C. misalnya, 30 % atau 40 % dari nilai barang.59 Jenis L/C ini memuat klausul khusus yang memberi wewenang kepada bank penerus (advising bank) untuk melakukan pembayaran sejumlah
uang
muka
kepada
penerima
sebelum
dokumen-dokumen
diserahkan atau pun sebelum barang dikapalkan. Klausul Red Clause yang dicantumkan dan dicetak dengan “warna merah” (red clause) yang
isinya
memungkinkan
penerima
menarik
pembayaran
L/C
di
60
muka.
59
George Curmi, op.cit., hlm. 134. Jenis yang sama dengan Red Clause L/C adalah Green Clause L/C. Kedua jenis L/C ini pada prinsipnya adalah sama. Hanya dalam Green Clause, biasanya bank mensyaratkan dokumendokumen tambahan yang membuktikan lebih kuat adanya barang yang diperjual-belikan. Misalnya saja, tanda terima gudang barang, dsb. (George Curmi, op.cit., hlm. 134). 60 Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 47.
C. Penutup Dari
uraian
di
atas
dapat
dikemukakan
beberapa
catatan
berikut: (1) Kredit
berdokumen
pembayaran
yang
(L/C)
lahir
merupakan
dari
salah
praktek
satu
kebiasaan
instrumen
yang
sangat
dibutuhkan oleh para pihak (penjual dan pembeli). (2) Kredit berdokumen merupakan salah satu instrumen yang lahir karena
peran
perdagangan
perbankan
dalam
internasional.
Peran
memfasilitasi inilah
transaksi
yang
menjadikan
indikasi mengapa dalam hukum perdagangan internasional bank dipandang pula sebagai salah satu subyek hukum yang cukup penting.61 (3) Sebagai sarana pembayaran, salah satu keunikan dari L/C ini adalah sifatnya yang independen atau terlepas dari kontrak penjualan. Dengan sifatnya ini, ketidakabsahan suatu kontrak penjualan tidak mengakibatkan tidak sahnya pembayaran yang dilakukan melalui L/C. (4) Yang dapat menjadi masalah dalam L/C ini adalah kekuatan hukumnya, khususnya aturan-aturan L/C yang tercantum dalam UCPDC (UCP). UCP pun sebenarnya adalah instrumen hukum yang lahir
karena
kebiasaan
dagang.
Kebiasaan
dagang
yang
dilakukan terus menerus dan kemudian adanya perasaan atau anggapan bahwa kebiasaan tersebut mengikat, maka sebenarnya kebiasaan tersebut adalah hukum. Namun khusus untuk UCP ini, meskipun hukum, tetapi masih perlu adanya penegasan dari para pihak untuk menundukkan dirinya secara tegas pada UCP. (5) Yang
mungkin
dapat
pula
menjadi
masalah
adalah
bagaimana
posisi badan peradilan terhadap penundukan diri para pihak terhadap
UCP.
Sesuai
dengan
prinsip
hukum
perdagangan
internasional, khususnya prinsip kebebasan para pihak, maka seyogyanyalah badan peradilan menghormati kehendak para pihak tersebut terhadap aturan-aturan UCP yang mengikat mereka.
61
Lihat Bab 2 buku internasional,supra.
ini
mengenai
subyek
hukum
perdagangan
DAFTAR PUSTAKA Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone, 1999. Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM, Edisi 2, Juli 2001. Bugeja, John, "Trade Finance and Its Sources," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan Page, 1997. Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essays on International Trade Law, London: Martinus Nijhoff Publ., 1988. Curmi, George, "Demand Guarantees and Contracts Bonds," dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan Page, 1997. Ellinger, E.P., ‘Letter of Credit,’ dalam: Norbert Horn and Clive M. Schmitthoff (eds.), The Transnational Law of International Commercial Transactions, Deventer: Kluwer, 1982. Islam, Rafiqul M., International Trade Law, Sydney: LDC, 1999. Ramlan Ginting, Letter of Credit: Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000. Siswanto Sutojo, Membiayai Perdagangan Ekspor Impor: International Trade Financing. Seri Manajemen No. 3, Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka, 2001. Van Houtte, Hans, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995.
1
BAB VI E-COMMERCE MENURUT UNCITRAL MODEL LAW ON ELECTRONIC COMMERCE 1996 A. Pengantar Perkembangan terlepas
dari
perdagangan
perkembangan
internasional 1
teknologi.
tidak
Karenanya
akan
pernah
dalam
upaya
bangsa-bangsa mencapai kemakmuran, teknologi tidak terlepas dari upaya tersebut. Perkembangan aturan-aturan perdagangan juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh tersebut dewasa ini
semakin
nyata
dengan
lahirnya
e-commerce
(electronic
commerce). Perkembangan ini cukup signifikan antara lain tampak dari kuantitas transaksi melalui sarana ini. John Nielson, salah seorang kurun
pimpinan
waktu
30
perusahaan tahun,
30
Microsoft, %
dari
menyatakan
transaksi
bahwa
dalam
penjualan
kepada
transaksi-transaksi
dalam
konsumen akan dilakukan melalui e-commerce.2 Batasan
e-commerce
adalah
perdagangan internasional yang dilakukan melalui pertukaran data elektronik
dan
cara-cara
komunikasi
lainnya.3
Pertukaran
data
elektronik tersebut dilakukan melalui berbagai teknologi. Salah satunya adalah melalui electronic data interchange (EDI).4 Perkembangan e-commerce mulai berkembang secara signifikan ketika internet mulai diperkenalkan. Perkembangan internet ini 1
Cf., Assafa Endeshaw, Internet and E-commerce Law, Singapore: Prentice Hall, 2001, hlm. 3 (mengutip Nathan Rosenberg, 1982, bahwa “the history of mankind is also a history of the development of artefacts, the history of technology”). 2 Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges, Malaysia, Singapore, Hong Kong: Butterworths Asia, 1999, hlm. 205. 3 Definisi UNCITRAL, dalam Resolusi Majelis Umum-PBB, 51/162 (“transactions in international trade which are carried out by means of electonic data interchange and other means of communications”). 4 EDI mulai digunakan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1960-an. Sistem ini menghemat biaya, waktu dan kertas. Namun penggunaan EDI kurang begitu populer. Hanya 5 % dari perusahaan-perusahaan di dunia yang menggunakan EDI. (Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205); Assafa Endeshaw, op.cit., hlm. 243, et.seq.
2
mendorong transaksi-transaksi perdagangan internasional semakin cepat. Dengan internet batas-batas wilayah negara dalam melakukan transkasi
dagang
perdagangan
menjadi
melalui
tidak
internet
lagi
signifikan.
digambarkan
juga
sebagai
Praktek 'final
5
frontiers of commerce' pada abad ke-21 ini. Transaksi
melalui
e-commerce
ini
memiliki
beberapa
ciri
berikut: (1) transaksi secara e-commerce memungkinkan para pihak memasuki pasar global secara cepat tanpa dirintangi oleh batas-batas negara; (2) transaksi
secara
e-commerce
memungkinkan
para
pihak
berhubungan tanpa mengenal satu sama lainnya; (3) transaksi
melalui
(teknologi)
yang
e-commerce
sangat
keandalannya
bergantung
kurang
dijamin.
pada
sarana
Karena
itu
transaksi secara e-commerce ini keamanannya belum atau tidak begitu dapat diandalkan.6 Transaksi melalui e-commerce memiliki beberapa keuntungan: (1) transaksi dagang menjadi lebih efektif dan cepat; (2) transaksi
dagang
menjadi
lebih
efisien,
produktif
dan
bersaing; (3) lebih memberi kecepatan dan ketepatan kepada konsumen; (4) mengurangi biaya administratif; (5) memperkecil masalah-masalah sebagai akibat perbedaan budaya, bahasa dan praktek perdagangan; (6) meningkatkan pendistribusian logistik;7 dan (7) Memungkinkan
perusahaan-perusahaan
kecil
untuk
menjual
8
produknya secara global. 5
Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205. Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205; Sanson, op.cit., hlm. 144 (Sanson mengungkapkan pula 4 masalah dalam bertransaksi secara e-commerce, ini: (1) kerahasiaan; (2) keaslian data (authentication); (3) integritas data; dan (4) masalah non-repudiation, yaitu masalah pengakuan pengirim data bahwa memang ia telah mengirim data tersebut). 7 Rafiqul Islam, International Trade Law, London: LBC, 1999, hlm. 426. 6
3
B. Masalah Hukum: Pengawasan Meningkatnya transaksi-transaksi dagang melalui e-commerce ternyata juga telah melahirkan berbagai masalah lain dalam hukum perdagangan internasional. Masalah ini timbul mengingat transaksi secara e-commerce adalah praktik baru di bidang perdagangan dan berkembang progresif. Sedangkan aturan-aturan hukum dibuat untuk mengatur hal-hal atau hubungan-hubungan hukum yang sedang atau telah terjadi sehingga sifatnya agak statis. Masalah
utamanya
aturan-aturan
hukum
adalah yang
apakah
ada
ketentuan-ketentuan
dapat
mengakomodasi
atau
lahirnya
transaksi-transkasi yang dilahirkan melalui media e-commerce ini yang sifatnya transnasional ini. Di samping itu masalah lain yang juga penting adalah apakah peraturan hukum perdagangan inernasional yang ada sekarang dapat memberi
perlindungan
atau
keseimbangan
pengaturan
antara
pengusaha, konsumen dan pemerintah. Secara
khusus
masalah-masalah
tersebut
dapat
diuraikan
lebih lanjut menjadi masalah-maalah berikut: (1) masalah pembuktian mengenai data-data yang terdapat dalam ecommerce; (2) masalah keabsahan suatu kontrak dan bentuk kontrak e-commerce ini,
khususnya
mengenai
pembuktian
orisinalitas
data
(originality); syarat tertulis (writing); dan masalah tanda tangan (signature); (3) masalah
kapan
kata
sepakat
telah
terjadi
dalam
transaksi-
transaksi yang dilakukan secara e-commerce; (4) masalah
pengesahan,
pengakuan
penerimaan,
penyimpanan
data
elektronik; (5) masalah hilangnya wewenang bank sentral untuk mengawasi nilai tukar
mata
uang
dan
penerimaan
pemerintah
dari
transaksi-
transaksi dagang yang dikeluarkan secara elektronik;9 dan 8 9
Sanson, op.cit., hlm. 143. Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 426.
4
(6) masalah
rintangan-rintangan
kebijakan-kebijakan
(perdagangan)
(perdagangan)
transaksi-transaksi
e-commerce
negara ini
dari
yang
menjadi
adanya
mengakibatkan tidak
lancar
(terganggu). Negara-negara masalah-masalah
di
yang
dunia
lahir
menjadi
dari
semakin
sadar
transaksi-transaksi
tentang
e-commerce
ini. Kekhawatiran ini tidak bisa tidak harus segera diantisipasi mengingat
transaksi-transkasi
e-commerce
menjadi
semakin
meningkat sehubungan dengan meningkatnya globalisasi ekonomi dan hubungan-hubungan dagang. Menghadapi perkembangan ini, umumnya negara-negara di dunia mengeluarkan
aturan-aturan
mengantisipasinya.
Namun
hukum
aturan
hukum
nasionalnya nasional
untuk
tersebut
yang
cenderung berbeda dengan aturan hukum nasional negara lainnya dapat
menjadi
rintangan
cukup
serius
efektif
yang
terhadap
perdagangan
10
internasional.
Sebenarnya
ada
cara
dapat
ditempuh
negara-
negara untuk membuat atau menciptakan aturan internasional di bidang e-commerce. Cara tersebut adalah membuat suatu perjanjian atau konvensi internasional yang berlaku bagi negara-negara di dunia.
(Sudah
barang
tentu
setelah
menempuh
cara-cara
atau
prosedur normal untuk terikatnya suatu perjanjian internasional terhadap suatu negara). Badan
atau
organisasi
internasional
yang
berkpentingan
dengan aturan internasional antara lain adalah UNCITRAL.11 Tetapi yang ditempuh UNCITRAL adalah justru menempuh cara yang tidak tersebut di atas, tetapi merumuskan suatu Model Law. Sesuai dengan namanya, yaitu Model Law, aturan-aturannya tidak
mengikat
negara.
Negara-negara
bebas
untuk
mengikuti
sepenuhnya mengikuti sebagian atau menolak Model Law tersebut. 10
Negara yang mula-mula berinisiatif menyusun aturan-aturan hukum di bidang e-commerce ini adalah Amerika Serikat yang kemudian diikuti negara-negara Eropa Barat.
5
Pada tahun 1996,UNCITRAL berhasil merumuskan suatu aturan hukum
cukup 12
Commerce.
penting
yakni
UNCITRAL
Model
Law
on
Electronic
Tujuan dari Model Law ini adalah menggalakkan aturan-
aturan hukum yang seragam dalam penggunaan jaringan komputer guna transaksi-transaksi komersial. Alasan utama digunakannya instrumen Model Law tampak dalam resolusi No 51/162 tahun 1996 yang menyatakan sebagai berikut: “Convinced that the establishment of a model law facilitating the use of electronic commerce that is acceptable to States with different legal, social and economic systems, could contribute significantly to the development of harmonious international economic relations, Noting that the Model Law on Electronic Commerce was adopted by the Commission at its twenty-ninth session after consideration of the observations of Governments and interested organizations, Believing that the adoption of the Model Law on Electronic Commerce by the Commission will assist all States significantly in enhancing their legislation governing the use of alternatives to paper-based methods of communication and storage of information and in formulating such legislation where none currently exists,...”. Dari bunyi resolusi di atas, terdapat 3 (tujuan) alasan utama pemilihan Model Law ini, yaitu: (1)
Model Law yang sifatnya dapat diterima oleh negara-negara dengan sistem hukum, sosial dan ekonomi yang berbeda. Model Law
dapat
terhadap
pula
memberi
perkembangan
perkembangan
secara
signifikan
hubungan-hubungan
ekonomi
internasional yang harmonis; (2)
Model Law dipilih karena memang sebelumnya negara-negara (dan
organisasi
internasional
yang
berkepentingan)
mengusulkan digunakannya instrumen hukum ini; dan (3)
Digunakannya
Model
Law
dapat
membantu
negara-negara
di
dalam membuat perundangan nasionalnya di bidang e-commerce. 11
Lihat Bab I di atas mengenai upaya UNCITRAL dalam mengupayakan harmonisasi (dan unifikasi) hukum perdagangan internasional. 12 UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment, 1996, with additional article 5 bis as adopted in 1998. (Selanjutnya disebut “Guide to Enactment”).
6
Sebenarnya masalah
hukum
organisasi e-commerce
internasional
ini
tidak
yang
hanya
memperhatikan
UNCITRAL.
Berbagai
lembaga internasional yang juga menjadikan masalah (hukum) ecommerce
ini
dalam
agendanya
antara
lain
adalah
WTO,
International Telecommunication Union (ITU); World Intellectual Property
Organization
(WIPO);
Kamar
Dagang
Internasional
(International Chamber of Commerce atau ICC), dll.13
C. UNCITRAL MODEL LAW 1. Pengantar Majelis
Umum
PBB
mengesahkan
UNCITRAL
Model
Law
dengan
Resolusi 51/162 tanggal 16 Desember 1996. UNCITRAL Model Law ini dibentuk pengakuan, messaging)
sebagai dan
aturan
akibat
yang
dari
didasarkan
dasar
untuk
pesan-pesan pada
mengatur
keabsahan,
elektronik
(electronic
penggunaan
komputer
dalam
perdagangan.14 Tujuan utama atau tujuan khusus dari Model Law ini adalah: (1) memberikan aturan-aturan mengenai e-commerce yang ditujukan kepada badan-badan legislatif nasional atau badan pembuat UU suatu negara; (2) memberikan
aturan-aturan
yang
besifat
lebih
pasti
untuk
15
transaksi-transaksi perdagangan secara elektronik.
Model Law terdiri dari 17 pasal yang terbagi ke dalam 2 bagian dan 4 Bab. Bagian I Bab 1 memuat ketentuan umum. Bab 2 mengatur penerapan persyaratan-persyaratan hukum terhadap pesan data. Bab 3 mengatur komunikasi pesan data. Bagian II mengatur e-
13
Lihat lebih lanjut: E. Saefullah dan Danrivanto Budhijanto, ’Perspektif Hukum Internasional tentang Cyber Law,’ dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), op.cit., hlm. 93-94; Sanson, op.cit., hlm. 145. 14 Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 426. 15 Abdul Bakar Munir, Op.cit., hlm. 213.
7
commerce dalam bidang-bidang khusus. Bagian II ini hanya terdiri dari 1 bab saja, yaitu bab mengenai pengangkutan barang.16 Maksud adalah
"pesan
pengiriman
data dan
melalui
cara-cara
seperti
EDI,
elektronik
penerimaan
elektronik,
electronic
mail,
(electronic
dan
optik
data
message)
penyimpananan atau
telegram,
informasi
cara-cara
telex
atau
lainnya telecopy.
(Dalam tulisan ini selanjutnya, penggunaan data elektronik dan pesan data mempunyai pengertian yang sama). Sedangkan kata perdagangan (commerce) mengandung pengertian luas, yakni semua hubungan yang bersifat komersial. Hubunganhubungan
tersebut
dapat
lahir
karena
adanya
hubungan-hubungan
yang bersifat kontraktual atau bukan. Lebih lanjut memberikan
ilustrasi
hubungan-hubungan
komersial
Model Law
(dagang)
yang
luas tersebut, yakni: “Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions: any trade transaction for the supply or exchange of goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of works; consulting; engineering; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business cooperation; carriage of goods or passengers by air, sea, rail or road.”17 Model terhadap
Law
mensyaratkan
aturan-aturannya.
penafsiran
Penafsiran
secara
tersebut
itikad harus
baik sesuai
dengan:
16
Dari struktur atau komposisi Bab yang diaturnya tampak sekilas bahwa bab-bab UNCITRAL Model Law tidak lengkap. Khususnya bab terakhir yaitu bidang-bidang khusus (specific areas), ternyata hanya memuat 1 bab saja yaitu bab mengenai pengangkutan barang. Hal ini memang oleh perancang Model Law sengaja dibuat demikian. Perancang Model Law sebenarnya berharap bahwa di kemudian hari ada perkembangan pengaturan yang khusus mengenai bidang-bidang lainnya. Sehingga Model Law memuat ketentuan demikian. Lihat pula para. 11 dan 12 Guide to Enactment. Sebagai contoh pada tahun 1998, UNCITRAL memasukkan pasal tambahan baru untuk pasal 5 yaitu pasal 5 bis. 17 Pasal 1 Model Law.
8
(1) prinsip hukum internasional tentang penafsiran;18 (2) kebutuhan-kebutuhan khusus untuk memajukan keseragaman dalam penerapannya.19 Dalam mengesahkan Model Law ini, para pihak dapat mengubah atau
menyesuaikan
aturan-aturan
muatan
Model
Law
berdasarkan
kesepakatan, sesuai dengan kebutuhannya, terutama Bab II dan III. UNCITRAL Model Law memuat dua prinsip pendekatan penting yang
menjadi
landasan
pengaturannya.
Dua
prinsip
pendekatan
tersebut adalah (i) functional equivalence approach; dan (ii) technology neutrality approach. Maksud secara
functional
fungsinya
komunikasi
equivalence
sama)
elektronik
adalah memiliki
approach
bahwa
(pendekatan
dokumen
fungsi
dan
dan
yang
komunikasi-
tujuan
yang
sama
20
seperti halnya dokumen-dokumen kertas dan komunikasi. Maksud
technology
kenetralan
suatu
elektronik
diperlakukan
neutrality
teknologi) sama
berarti
approach bahwa
terhadap
(pendekatan
suatu
komunikasi
teknologi
komunikasi
elektronik lainnya. Dengan demikian persyaratan-persyaratan umum untuk dianggap sebagai teknologi berlaku secara umum.21
18
Cf., lihat Bab III di atas mengenai sumber-sumber hukum perdagangan internasional. Dalam hal mengenai penafsiran, hukum internasional telah memberi aturan mengenai penafsiran dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian (the Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969). 19 Pasal 3 UNCITRAL Model Law tidak secara tegas menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebutuhan-kebutuhan khusus ini. Tetapi dalam Guide to Enactment kita dapat pahami bahwa yang dimaksud dengan kebutuhankebutuhan khusus tersebut tidak lain adalah Model Law itu sendiri. Para. 5 Guide to Enactment berbunyi sebagai berikut: “... Furthermore, at an international level, the Model Law may be useful in certain cases as a tool for interpreting existing international conventions and other international instruments that create legal obstacles to the use of electronic commerce, for example by prescribing that certain documents or contractual clauses be made in written form. As between those States parties to such international instruments, the adoption of the Model Law as a rule of interpretation might provide the means to recognize the use of electronic commerce and obviate the need to negotiate a protocol to the international instrument involved.” (Huruf tebal oleh penulis). 20 Para. 16 Guide to Enactment; Sanson, Op.cit., hlm. 145. 21 Sanson, Op.cit., hlm. 145.
9
Pada intinya muatan UNCITRAL Model Law memuat ketentuanketentuan umum berikut: (1)
suatu data elektronik seperti halnya dokumen-dokumen hukum lainnya harus mengikat secara hukum;
(2)
suatu data elektronik dapat berisikan informasi yang dapat digunakan sebagai referensi;
(3)
suata
data
elektronik
adalah
suatu
tulisan
untuk
tujuan
hukum, apabila dapat diakses sebagai referensi di kemudian hari; (4)
suatu data elektronik mencakup suatu tanda tangan, apabila dapat diidentifikasi orang yang mengirim pesan tersebut dan indikasi bahwa orang tersebut telah menyetujui informasi dalam data tersebut;
(5)
suatu
data
elektronik
merupakan
suatu
dokumen
asli
(original) apabila informasi yang dikandung dapat secara terpercaya dipertahankan dalam bentuk aslinya; dan (6)
suatu pertukaran data elektronik dapat menimbulkan suatu penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance) dan karenanya membentuk suatu kontrak yang sah.22
22
Mieke Komar Kantaatmadja, “Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan Elektronik (E-Contracts),” dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: ELIPS, 2002, hlm. 3-4 (mengacu kepada Gerald R. Ferrera, et.al., Cyber Law, Ohio: SouthWestern College, 2001, hlm. 363.
10
2. Penerapan Persyaratan Hukum Terhadap Pesan Data Bab 2 Model Law diawali dengan judul ‘Penerapan Persyaratan Hukum terhadap Pesan Data.’ Bab ini diawali dengan pasal 5 yang juga dianggap sebagai inti dari Model Law. Pasal ini mengakui akibat hukum, keabsahan dan dapat dipaksanakannya informasi dalam bentuk pesan/data elektronik (electronic message) yang digunakan dalam transaksi-transaksi dagang.23 Model
Law
meletakkan
aturan-aturan
hukum
mengenai
kapan
suatu pesan data elektronik (electornic data messages) memenuhi persyaratan hukum mengenai syarat "tertulis", tanda tangan atau keasliannya (original). Ketiga syarat ini termuat dalam pasal 6 – 8 Model Law. Dan ketiga pasal tersebut harus dibaca bersama-sama (satu kesatuan).24 Maksud
dari
pengaturan-pengaturan
ini
adalah
untuk
memecahkan masalah pembuktian, khususnya bukti-bukti dokumen atau persyaratan dokumen asli dalam sistem hukum di dunia. Model Law mengakui
atau
memperbolehkan
dokumen-dokumen
elektronik
ini
sebagai bukti yang diakui keabsahannya (menurut hukum).
a. Syarat Tertulis Persyaratan hukum tertulis terpenuhi oleh adanya pesan data ini apabila informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses ("accessible") setiap saat. Selain itu pula, pesan data tersebut selanjutnya atau dapat digunakan dan dirujuk sebagai referensi (bahan acuan) selanjutnya.25 b. Syarat Tanda Tangan Persyaratan tanda tangan terpenuhi oleh adanya pesan data apabila: (1) si
pembuat
(originator)
dapat
mengenali
informasi
terdapat di dalamnya oleh suatu metode tertentu; dan 23 24
Pasal 5 UNCITRAL Model Law. Para. 47 Guide to Enactment.
yang
11
(2) Metoda
tertentu
tersebut
dapat
diandalkan
dan
layak
untuk
(penampilan)
atau
26
dapat mengetahui pesan data tersebut. c. Syarat Keaslian Persyaratan
hukum
dari
presentasi
penyimpanan suatu informasi dalam bentuk aslinya terpenuhi pada suatu pesan data, apabila: (1) Terdapat
jaminan
mengenai
integritas
informasi
pada
waktu
pertama kali dituangkan dalam bentuk akhir sebagai suatu pesan data; dan (2) informasi
dapat
ditampilkan
kepada
suatu
pihak
yang
disyaratkan untuk ditampilkan terhadapnya. Integritas
suatu
informasi
ditentukan
berdasarkan
pada
sifat pesan data tersebut yaitu, bahwa informasi tersebut tetap atau tidak berubah. Jadi di sini yang ditekankan adalah status atau kestabilan muatan dari pesan data tersebut. Model Law di sini mensyaratkan bahwa pesan data atau data elektronik tersebut harus tidak dapat diubah. Model Law melihat ke-3 syarat ini cukup sulit sebab syarat keaslian suatu ‘dokumen’ dari suatu pesan data sudah barang tentu sangat
berbeda
disyaratkan
denga
untuk
dokumen-dokumen
transaksi-transaksi
asli
yang
tertentu,
pada
umumnya
misalnya
akte
tanah, polis asuransi, dll. Dokumen-dokumen tertulis terakhir ini relatif agak sulit untuk dipalsukan atau diubah oleh salah satu pihak. Hal ini berbeda dengan pesan data atau data elektronik. Oleh karena itu, pendekatan yang ditempuh oleh Model Law adalah
mengenakan
persyaratan
minim
(‘minimum
requirement’),
seperti tampak dalam pasal 8 tersebut di atas. Pendekatan ini dianggap juga sama sebagai ‘functional equivalent” dari suatu sifat atau tujuan dari keaslian dokumen.27
25 26 27
Pasal 6 UNCITRAL Model Law. Pasal 7 UNCITRAL Model Law. Para. 63 dan 64 Guide To Enactment.
12
3. Kekuatan Pembuktian Pesan Data Model
Law
pembuktian,
secara
tegas
pengadilan
menyatakan
nasional
tidak
bahwa
boleh
untuk
masalah
mempermasalahkan
pesan data ini sebagai bukti semata-mata karena bukti tersebut terdapat dalam bentuk pesan data. Pengaturan ini tampaknya sederhana. Tetapi justru inilah yang akan menjadi masalah khususnya di negara-negara yang secara tradisional
telah
lama
mengakui
bukti-bukti
konvensional
yang
diakui oleh sistem hukum nasionalnya.28 Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan nilai-nilai dari suatu pesan data adalah: (1) asal dari pesan data, disimpan atau dikomunikasikan; (2) integritas dari informasi; (3) dikenalnya si pembuat aslinya (originator); (4) faktor-faktor lainnya yang relevan dengan informasi.29 4. Penyimpanan Pesan Data Manakala suatu informasi atau dokumen disimpan dan dibuka (ditampilkan) kritieria (record
melalui
atau
media
syarat-syarat
retention)
dan
elektronik, hukum
Model
mengenai
penampilannya
Law
meletakkan
penyimpanan 30
(kembali).
data
Kriteria-
kriteria ini adalah: (1) informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses sehingga dapat digunakan untuk rujukan (referensi) selanjutnya;
28
Di Indonesia misalnya, tidaklah gampang untuk menyatakan bahwa data elektronik dapat dijadikan bukti sebagaimana dinyatakan dalam UNCITRAL Model Law tersebut. Cf., lihat Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67 (mengungkapkan kemungkinan timbulnya masalah dalam pembuktian pesan data elektronik sebagai alat bukti, yaitu: (1) pesan data tidak banyak berbeda dari salinan pesan itu sendiri; (2) pesan data tidak terdapat tanda tangan; (3) pesan data itu tidak termuat dalam secarik kertas (paperless); dan (4) masih dimungkinkannya penipuan pesan data); Cf., masalah-masalah dalam e-commerce, supra, khususnya Sanson, op.cit., hlm. 144. 29 Pasal 9 UNCITRAL Model Law. 30 Pasal 10 UNCITRAL Model Law.
13
(2) pesan data disimpan dalam format yang sama dengan semula, dikirim
atau
diterima,
atau
dalam
bentuk
yang
dapat
ditampilkan sehingga informasi yang akurat sejak awal, dikirim atau diterima; dan (3) informasi
tersebut
disimpan
guna
memungkinkan
atau
mengidentifikasi asal mula dan tujuan dari suatu pesan data, dan tanggal dan waktu data tersebut dikirim atau diterima.
5. Komunikasi Pesan Data Bab III menguraikan aturan-aturan mengenai masalah-masalah kontraktual yang timbul dalam penggunaan teknologi komputer dalam transaksi internasional. Maksud Bab ini sebenarnya tidak untuk mempermasalahkan hukum mengenai pembentukan suatu kontrak. Bab ini hanya menyinggung isu-isu pembentukan kontrak dan bagaimana para pihak dalam kontrak dapat mengemukakan offer dan acceptance mereka dalam kontrak melalui berbagai cara (khususnya melalui sarana elektronik). Tujuan
Bab
hubungan-hubungan secara
ini
adalah
komersial
elektronik.
Dengan
untuk dan
menciptakan
kepercayaan
tujuan
ini
kepastian
dalam
dalam
perdagangan
diharapkan
perdagangan
internasional dapat berkembang. Model Law bermaksud menghapus keragu-raguan yang mungkin timbul
dari
elektronik
pengungkapan tersebut.
offer
Masalahnya
dan
acceptance
adalah
melalui
penyampaian
sarana
kehendak
(offer dan acceptance) tersebut tidak diungkapkan secara langsung oleh para pihak tetapi diungkapkan melalui ‘cara’ lain (yaitu komunikasi elektronik dan tidak adanya dokumen tertulis).31
31
Para. 76 Guide to Enactment.
14
6. Bentuk dan Keabsahan Kontrak Model autonomy) membuat
Law dan
mengakui kebebasan
kontrak
mereka
prinsip
otonomi
berkontrak. melalui
para
Para
offer
pihak dan
pihak
(party
berhak
acceptance
untuk yang
32
dinyatakan oleh cara-cara elektronik. Pembuatan mengikat
(valid
kontrak and
melalui
enforceable
e-commerce 33
contract).
adalah
sah
Penegasan
dan
tentang
keabsahan berkontrak ini ditegaskan dalam pasal 11 ayat (1) yang berbunyi: “(1) In the context of contract formation, unless otherwise agreed by the parties, an offer and the acceptance of an offer may be expressed by means of data messages. Where a data message is used in the formation of a contract, that contract shall not be denied validity or enforceability on the sole ground that a data message was used for that purpose. Begitu
pula
suatu
pernyataan
kehendak
atau
pernyataan
lainnya yang dinyatakan dalam bentuk suatu pesan data oleh si pembuat
(originator)
suatu pesan harus
dan
alamat
si
mempunyai akibat
penerima
(addressee)
hukum, keabsahan
dari
dan daya
mengikatnya (enforceability).34
32
Dilihat dari syarat-syarat yang ditetapkannya, tampak bahwa Model Law lebih cenderung mengacu kepada syarat-syarat sahnya suatu kontrak berdasarkan sistem Common Law. Berdasarkan Common Law, syarat sahnya suatu kontrak adalah: (1) kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri. Syarat ini mencakup: “(a) adanya suatu penawaran (offer) dari pihak offeror sebagai pihak pertama; (b) adanya penyampaian penawaran tersebut kepada offeree sebagai pihak kedua; (c) adanya penerimaan penawaran oleh pihak kedua yang menyatakan kehendaknya untuk terikat pada persyaratan dalam penawaran tersebut; dan (d) adanya penyampaian penerimaan (acceptance) oleh pihak kedua kepada pihak pertama; (2) Consideration (‘something of value’) yang dipertukarkan antara para pihak; (3) kecakapan untuk membuat perjanjian; dan (4) suatu obyek yang halal.” (Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 4-5; mengutip Henry R. Cheeseman, Business Law, Prentice Hall, hlm 180-181). 33 Pasal 11 UNCITRAL Model Law. 34 Pasal 12 UNCITRAL Model Law. Pasal ini disusun pada tahap akhir perumusan Model Law. Pasal ini dibuat untuk menegaskan prinsip dari akibat dari suatu kontrak yang sah. (Para. 81 Guide to Enactment).
15
7. Pengakuan terhadap Pesan Data Masalah
pengakuan
terhadap
pesan
data
menjadi
relevan
manakala timbul masalah mengenai apakah suatu pesan data benarbenar dikirim oleh si pembuat asli (originator). Untuk menjawab masalah ini Model Law memberi jawabannya dalam pasal 13.35 Pasal ini menyatakan bahwa suatu pesan data dianggap berasal dari orang yang membuatnya manakala: (1) pesan data tersebut dikirim oleh: (a) pihak pembuat sendiri; (b) orang yang memiliki wewenang atau kuasa untuk bertindak atas
nama
pihak
originator
(pembuat
asli)
atau
(c)
suatu
sistem informasi yang terprogram oleh atau atas nama pihak pembuat
asli
(originator)
untuk
mengoperasikannya
secara
otomatis; (2) bahwa
pihak
persetujuan
penerima mengenai
(addressee)
suatu
prosedur
sebelumnya untuk
memberikan
memastikan
bahwa
suatu pesan data berasal dari pembuat asli (originator); atau (3) bahwa pesan data yang diterima oleh pihak penerima (addressee) berasal dari tindakan-tindakan agent dari pembuat asli yang memungkinkan agent tersebut untuk memperoleh akses terhadap suatu
metoda
yang
digunakan
oleh
pihak
originator
untuk
36
mengidentifikasi data-data sebagai miliknya.
Ketentuan terakhir pasal 13, yaitu ayat (6) memuat aturan mengenai duplikasi pesan data yang salah. Ayat ini meletakkan kewajiban kepada pihak penerima untuk melakukan tindakan kehatihatian (‘standard of care’) untuk membedakan apakah suatu pesan data duplikasi yang keliru (salah) dan pesan data yang terpisah (‘separate data message’). Model Law dalam hal ini menyatakan 35
Bunyi pasal ini sebenarnya mengacu kepada pasal 5 dari Model Law UNCITRAL mengenai transfer kredit internasional (UNCITRAL Model Law on International Credit Transfer). Pasal ini meletakkan kewajibankewajiban dari pengirim dalam melakukan tansfer kredit. (Para. 83 Guide to Enactment). 36 Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 429. Maksud utama pasal ini bukan untuk menentukan siapa yang akan bertanggung jawab tetapi untuk memberi kriteria mengenai pengiriman pesan-pesan data denga menetapkan suatu praduga kapan suatu pesan data berasal dari pengirim asli (originator). [CEK APA BENAR INI PENJELASANNYA, BUKANNYA MASUK KE FN No 35].
16
bahwa pihak penerima (addressee) berhak untuk menduga bahwa suatu pesan
data
berasal/milik
pemilik
asli
yang
bermaksud
untuk
mengirimnya kepadanya. Pihak penerima berhak untuk memperlakukan setiap pesan data yang diterimanya sebagai suatu pesan data yang terpisah, kecuali pesan data tersebut adalah atau berupa salinan dari
yang
aslinya
tersebut.
Namun
si
penerima
menjadi
tidak
berhak manakala: (1) ia telah menerima pemberitahuan dari originator (pihak pembuat asli) bahwa pesan datanya bukan berasal darinya, dan waktu yang layak tidak digunakannya untuk pesan data; atau (2) ia
mengetahui
atau
seharusnya
telah
mengetahui
dengan
menggunakan tata cara dan prosedur yang disepakati bahwa: (a) pesan data tidak berasal dari pembuat asli (originator); (2) transmisi
pengirim
pesan
merupakan salinan.37
37
Pasal 13 UNCITRAL Model Law.
data
gagal;
atau
(c)
pesan
data
17
8. Pengakuan Penerimaan Ketentuan mengenai pengakuan penerimaan suatu pesan data semata-mata merupakan masalah persyaratan mengenai adanya bukti bahwa offer telah diterima. Masalah ini bukan mengenai akibat hukum dari adanya penerimaan suatu pesan data (dalam hal ini adalah offer).38 Pihak mengirim
originator
suatu
(addressee),
data
bahwa
dapat
atau
meminta
telah
penerimaan
pada
setuju
pesan
saat
dengan
data
atau pihak
diakuinya
sebelum penerima
dan
bahwa
mereka masing-masing sepakat mengenai bentuk khusus atau metode tertentu untuk maksud itu. Dalam hal tidak adanya bentuk atau metode, suatu pengakuan dapat diberikan oleh setiap alat komunikasi tertentu itu, yang cukup untuk menunjukkan kepada originator bahwa pesan data telah diterima. penerima
Jika
pesan
pengakuan,
data maka
dibuat pesan
dengan data
persyaratan
dianggap
mengenai
tidak
pernah
dikirimkan sampai pengakuan telah diterima. Dalam hal tidak adanya persyaratan atau kesepakatan yang ditentukan/disepakati,
orginator
yang
belum
menerima
suatu
pengakuan dapat memberikan pemberitahuan dalam jangka waktu yang layak kepada pihak penerima bahwa ia akan mengirim pemberitahuan kepada pihak penerima. Dan dengan memberikan jangka waktu yang layak, ia mengharapkan penerimaan pengakuan dari penerima. Kelalaian bahwa
pesan
untuk
data
memenuhi
dianggap
jangka
belum
waktu
pernah
ini
akan
dikirim
dianggap
oleh
pihak
39
originator.
Dalam hal suatu pengakuan diterima oleh pihak originator, asumsinya adalah bahwa pesan data diterima oleh pihak penerima. Apabila pengakuan menunjukkan bahwa pesan data diterima telah 38
Para. 93 Guide to Enactment. Lihat pula Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 430; lihat pula Assafa Endeshaw, op.cit., hlm. 254 (beliau menyatakan bahwa Model Law tidak mengatur ... ”which party will have the rights and which party bears the liabiities in the specific contractual arrangement”). 39 Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 429.
18
memenuhi standar atau persyaratan teknis yang berlaku, asumsinya adalah bahwa standar dan persyaratan-persyaratan tersebut telah terpenuhi. 9. Waktu dan Tempat Pengiriman dan Penerimaan Pesan Data Model Law mengangkat masalah waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan pesan data ini dalam pasal 15. Diaturnya masalah ini sebab transaksi-transaksi melalui elektronik ini sangatlah sulit untuk menentukan kapan secara pasti mengenai di mana dan kapan salah satu pihak telah menerima suatu pesan data. Seperti
kita
maklumi
dalam
sistem
hukum
pada
umumnya,
termasuk RI, kapan terjadinya kesepakatan dan dimana kesepakatan terjadi adalah faktor-faktor yang relevan yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu perikatan. Kesulitan
transaksi
melalui
elektronik
ini
adalah
bahwa
salah satu pihak tidak tahu di mana pihak lainnya berada. Apa yang diupayakan oleh Model Law di sini adalah bahwa lokasi di mana sistem informasi berada tidaklah relevan. Model Law hanya menyatakan bahwa kriteria obyektif untuk menentukan tempat adalah tempat usaha para pihak. Oleh karena itu ketentuan pasal mengenai waktu dan tempat tidak menjadi acuan bagi pengaturan dalam hukum perdata internasional.40 Menurut pasal 15 Model Law, suatu pesan data dianggap telah dikirim informasi
ketika di
pesan luar
data
kontrol
tersebut dari
memasuki
originator
suatu
atau
agen
sistem yang
disepakati untuk bertindak atas namanya. Waktu penerimaan suatu pesan data terjadi karena keadaan-keadaan berikut: (1) Segera setelah pesan data memasuki suatu sistem informasi yang dibuat/ditetapkan oleh pihak penerima (addressee) untuk maksud menerima pesan data tersebut; (2) Jika pesan data dikirim kepada suatu sistem informasi dari pihak penerima yang tidak dibuat/ditetapkan untuk maksud itu,
40
Para. 100 Guide to Enactment.
19
maka penerimaan suatu pesan data terjadi segera setelah pesan data dibuka (retrieved) olehnya; dan (3) Jika tidak ada sistem informasi yang dibuat/ditetapkan oleh pihak
penerima,
maka
waktu
penerimaan
pesan
data
terjadi
segera setelah pesan data memasuki sistem informasi dari pihak penerima.41 Aturan-aturan informasi
dan
ini
tempat
berlaku
di
mana
meski
pesan
lokasi
data
dari
tersebut
sistem
yang
akan
diterima ternyata berbeda. Tempat pengiriman dan penerimaan pesan data
adalah
tempat
usaha
dari
pihak
originator
dan
juga
si
penerima (addressee).42 Dalam hal terdapat lebih dari satu tempat usaha (place of business),
tempat
usaha
adalah
tempat
yang
memiliki
hubungan
terdekat (closest link) dengan transaksi yang bersangkutan. Dalam hal tidak ada hubungan terdekat tersebut, maka tempat usahanya adalah tempat usaha pokoknya (the principal place of business). Dalam hal tidak adanya tempat usaha, maka pengiriman dan penerimaan suatu pesan data akan berlangsung di tempat kediaman biasanya (their habitual residence). Namun demikian baik pihak originator dan pihak penerima (addressee) dapat menyepakati untuk membuat aturan-aturan tersendiri bagi mereka. Para pihak tidak perlu untuk menetapkan kriteria-kriteria tersebut di atas.
41
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 430. Perlu untuk dikemukakan di sini bahwa suatu pesan data tidak boleh dipertimbangkan isinya apabila pesan data tersebut sekedar sampai pada sistem informasi si penerima, tetapi gagal untuk masuk ke dalamnya. Dalam hal ini Model Law tidak secara tegas mengatur masalah kemungkinan tidak berfungsinya (rusaknya) sistem informasi sebagai dasar untuk lahirnya tanggung jawab, khususnya manakala sistem informasi penerima tidak berfungsi sama sekali atau berfungsi tetapi ada kerusakan atau meskipun dapat berfungsi dengan baik namun tidak dapat dimasuki oleh adanya pesan data. Karena itu pengiriman berdasarkan Model Law tidak terjadi. (Para. 104 Guide to Enactment).
42
20
10. Bagian II: Obyek Tertentu: Pengiriman Barang Bagian I Model Law di atas memuat aturan-aturan umum dari e-commerce. Dalam bagian kedua sekarang ini, Model Law memuat aturan-aturan khusus mengenai pengiriman barang yang dilakukan melalui
pesan
data
melalui
sistem
komunikasi
komputer
(elektronik). Informasi yang dikomputerkan dapat digunakan dalam hubungannya dengan suatu kontrak pengiriman barang dan dokumendokumen pengangkutan terkait. Perlu
ditekankan
di
sini
bahwa
bagian
dua
ini
sifatnya
tidaklah eksklusif atau berdiri sendiri. Aturan dalam bagian I, khususnya
aturan-aturan
mengenai
persyaratan
tertulis,
tanda
tangan dan keaslian suatu ‘dokumen’ (pasal 6 – 8 Model Law) juga berlaku terhadap bagian II ini.43 Pasal 16 memuat daftar mengenai hal-hal pesan data secara elektronik (electronic data message) yang dapat berlaku. Daftar tersebut adalah: (1) pemberian tanda, angka, jumlah dan berat barang; (2) memuat sifat atau nilai barang; (3) penerbitan surat penerimaan untuk barang; (4) perintah kepada kapal pengangkut; (5) klaim pengiriman barang; (6) perintah/kuasa untuk melepaskan barang (7) memuat pemberitahuan mengenai hilang atau kerusakan terhadap barang; (8) memberikan
pemberitahuan
lainnya
mengenai
pelaksanaan
kontrak; (9) upaya
untuk
mengirim
barang
kepada
orang
yang
telah
ditentukan atau seseorang yang mengklaim pengiriman; dan
43
Model Law menyatakan: “... Part two of the Model Law does not in any way limit or restrict the field of application of the general provisions of the Model Law.” (Para. 109 Guide to Enactment).
21
(10) hal-hal lain yang terkait dengan hak atas barang, hak dan kewajiban berdasarkan kontrak.44 11. Dokumen Pengangkutan (Bill of Lading) Pasal
17
memuat
aturan-aturan
untuk
memfasilitasi
penggunaan bill of lading elektronis yang dapat digunakan untuk moda-moda
pengangkutan
lainnya
di
samping
pengangkutan
laut.
Termasuk di dalamnya moda angkutan melalui jalan raya, kereta api, dan pengangkutan udara.45 Persyaratan hukum mengenai syarat tertulis dan penggunaan suatu dokumen kertas, dapat terpenuhi dengan penggunaan satu atau lebih pesan data. Model Law hanya mensyaratkan bahwa metode atau cara pengiriman pesan data tersebut dapat diandalkan. Model
Law
mengakui
dokumen-dokumen
pengangkutan
secara
elektronik ini. Dalam Model Law ternyata yang menjadi aturan(aturan)
khusus
di
sini
baru
atau
hanya
dokumen
pengangkutan
(laut, darat, kereta api, udara). Dilihat bahwa
Model
dari Law
kata masih
yang
digunakannya,
melihat
adanya
yaitu
kemungkinan
areas,
jelas
pengaturan-
pengaturan untuk bidang-bidang khusus lainnya di samping dokumen pengangkutan secara elektronik (e-bill of lading).
44
Daftar-daftar di atas tidak bersifat sebagai ilustrasi semata. Daftar tersebut juga tidak hanya untuk sektor pengangkutan laut (maritim), tetapi juga moda-moda angkutan lainnya (Para. 122 Guide to Enactment). 45 Para. 110 Guide to Enactment.
22
12. Tanda Tangan Digital dan Pejabat Verifikasi a. Tanda Tangan Digital (Digital Signature) Di samping Model Law 1996 tersebut di atas, UNCITRAL telah pula
secara
aktif
merancang
aturan-aturan
untuk
tanda
tangan
digital dan pejabat verifikasi. Untuk itu, UNCITRAL membentuk suatu badan khusus, yaitu UNCITRAL Working Group. Sejak
bulan
mempersiapkan
Februari
1997,
aturan-aturan
'Certifying
Authority'
UNCITRAL
mengenai
(CA
atau
Working
'digital
Group
telah
signature'
pejabat
atau
dan
lembaga
sertifikasi). Pembentukan kelompok kerja ini sebagai implementasi dari pasal 7 Model Law 1996. Digital
signature
adalah
‘sejumlah
karakter
alphanumerik
yang dihasilkan dari operasi matematik dan kriptografi’.46 Hingga saat
ini
"cryptography"
masih
dipandang
cara
terbaik
untuk
memproteksi data dari kemungkinan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan.47 Cryptography
telah
digunakan
secara
umum.
Penggunaannya
acapkali didasarkan pada penggunaan fungsi-fungsi 'algorithmic' (algoritma). saja.
Pada
prinsipnya
Cryptography
mengubah
cara
kerja
informasi
cryptograhy
menjadi
sederhana
kode.
Pengirim
mengirim informasi melalui kode-kode. Penerima kode (informasi) kemudian
membuka
mengirim-menerima
kode code,
tersebut
untuk
dilakukan
dapat
dengan
membacanya.
menggunakan
Dalam
2
kunci.
dan
untuk
Kunci ini tidak lain adalah angka-angka. Satu
kunci
mengkonfirmasi
digunakan
digital
untuk
signature
menerjemahkan (kunci
data
privat
atau
private
keys). Kunci lainnya, yaitu kunci publik (public keys), digunakan untuk meverifikasi suatu tanda tangan digital dari pesan yang kembali ke bentuk aslinya (public key).48 46
Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67. Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67. 48 Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431; Danrivanto Budhijanto, op.cit., hlm. 68 dan 72; Sanson, op.cit., hlm. 144. 47
23
b. Certification Authority Certification
Authority
(CA)
adalah
konsep
yang
baru
berkembang, yakni suatu provider jasa pihak ke-3 yang netral dan independen. CA mengeluarkan serifikat 'untuk menghubungkan suatu kunci dengan si penandantangan. CA juga bertugas mendaftarkan suatu
public
key
bersama-sama
dengan
nama
dari
pelanggan
(pengguna) sertifikat sebagai 'subyek' sertifikat. Dengan
dimulainya
diskusi
secara
umum
mengenai
isu
yang
dibahas, Working Group mempersiapkan teks-teks mengenai aturanaturan seragam pada akhir 1997. Aturan-aturan hukum seragam ini disahkan oleh Working Group pada sidangnya yang ke-32 di Wina pada tangggal 19-30 Januari 1998. UNCITRAL mengesahkannya pada sidangnya yang ke 31 di New York, pada tanggal 1 - 12 Juni 1998. Aturan-aturan hukum seragam ini antara lain mengatur ruang lingkup berlakunya aturan (Bab I), tanda tangan elektronik (Bab 2),
pejabat
sertifikasi
dan
isu-isu
terkait
(Bab
3),
dan
pengakuan tanda tangan elektronik asing (Bab 4).49
49
Digital Signatures, Certification Authorities and Related Legal Issues, Doc. Nos. A/CV.9/WG.IV/WP/73 dan A/CN.9/457); Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431.
24
D. Penutup UNCITRAL telah menempuh suatu pendekatan fungsional dalam Model Law. UNCITRAL tidak menempuh upaya menyusun kembali aturanaturan
yang
ada
untuk
mengakomodasi
e-commerce.
Namun
yang
dilakukan UNCITRAL adalah menemukan pemecahan secara teknis untuk memenuhi persyaratan-persyaratan hukum yang ada (dengan sedikit penyesuaian).
Misalnya,
masalah
integritas
dan
keaslian
(authenticity) dari suatu pesan data dari tanda tangan elektronis telah diselesaikan dengan penggunaan metode cryptography.50 Di
samping
penggunaan
cryptography,
sebenarnya
apa
yang
Model Law sumbangkan secara signifikan adalah pengakuan hukum terhadap
data.51
pesan
semata-mata
menetapkan
Endeshaw “legal
mentakan
bahwa
recognition
Model
of
Law
data
ini
message
transmitted via electronic or other form.” Oleh karena itulah mengapa beberapa negara telah membuat rancangan
UU-nya
mengenai
perdagangan
secara
e-commerce
ini
dengan didasarkan kepada seluruh atau sebagian ketentuan dari Model
Law
ini.
Termasuk
antara
lain
Amerika
Serikat
dalam
'Uniform Commercial Code'-nya, the Illinois Electronic Commerce Security Signature.
Act,
dan
the
Malaysia
Danish
telah
Bill
for
mengundangkan
an
Act
on
Digital
perundang-undangannya
mengenai electronic commerce dan tanda tangan digital. Negaranegara lainnya telah pula mempertimbangkan UU nasionalnya untuk bidang electronic commerce dan tanda tangan digital ini. Sejak bulan
Oktober
elektronik-nya
1997, di
Inggris
pasar
telah
modalnya
memperkenalkan
(Stock
Exchange).
perdagangan Di
Jerman
telah pula mengundangkan the Digital Signature Ordinance pada tahun 1997 (mulai berlaku pada tanggal 1 November 1997).52
50
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431. Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431. 52 Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431; lihat pula: Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 3 dan 9 (mengungkapkan upaya Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam mempersiapkan aturan-aturan hukum di bidang e-commercenya). 51
25
Salah
satu
tantangan
yang
dihadapi
Indonesia
adalah
menyikapi hadirnya e-commerce ini. Sebenarnya masalah utamanya adalah sederhana, aturan hukum RI hanya perlu mengakui keabsahan transaksi-transaksi melalui e-commerce.53 Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengakuan terhadap data elektronik sebagai alat bukti di hadapan pengadilan. Alat bukti yang diakui hukum Indonesia adalah: (1) bukti tulisan; (2) bukti
saksi-saksi;
(3)
persangkaan-persangkaan;
(4)
pengakuan;
dan (5) bukti sumpah.54 Bukti data elektronik hingga tulisan ini dibuat belum ada pengakuan.55 Sebagai
perbandingan,
Cina. Pada bulan
negara
berkembang
lainnya
adalah
Maret 1999, Cina mengeluarkan hukum kontrak
yaitu the Contract Law of the People’s Republic of China. UU tahun 1999 ini menyatakan bahwa tulisan dapat berupa berbagai wujud atau bentuk, termasuk tulisan-tulisan yang ‘disimpan secara visual’
(‘visually
recorded’).
Dalam
pengertian
tersebut
yang
tercakup ke dalamnya adalah kontrak-kontrak elektronik. Karena kontrak-kontrak tersebut dapat ‘dilihat’, maka kontrak demikian sah menurut hukum kontrak Cina.
53
Cf., Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 1 (pengakuan ini perlu untuk menciptakan kepastian hukum dalam bertransaksi melalui e-commerce di Indonesia). 54 Pasal 1866 BW dan 154 HIR. 55 Sebenarnya UU kita secara tidak langsung mengakui dokumen perusahaan sebagai alat bukti tertulis otentik. UU Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan telah mengakui adanya data elektronik ini. (Lihat lebih lanjut: Isis Ikhwansyah, ‘Prinsip-prinsip Universal Bagi Kontrak Melalui E-Commerce dan Sistem Hukum pembuktian Perdata dalam Teknologi Informasi,’ dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 33).
26
DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges, Malaysia, Singapore, Hong kong: Butterworths Asia, 1999. Danrivanto Budhijanto, ‘Aspek Hukum “Digital Signature” dan “Certification Authority” dalam Transaksi E-Commerce,” dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips, 2002. Endeshaw, Assafa, Internet and Ecommerce Law, Singapore: prentice Hall, 2001. Isis Ikhwansyah, ‘Prinsip-prinsip Universal Bagi Kontrak Melalui E-Commerce dan Sistem Hukum pembuktian Perdata dalam Teknologi Informasi,’ dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips, 2002. Islam, Rafiqul, International Trade Law, London: LBC, 1999. Mieke Komar Kantaatmadja, “Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan Elektronik (E-Contracts),” dalam: Mieke Komar Kantaatmadka, et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips, 2002. Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips, 2002. UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment, 1996, with additional Article 5 bis as adopted in 1998.
1
BAB VII PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Pengantar Transaksi-tansaksi
atau
hubungan
dagang
banyak
bentuknya.
Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dll. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa. Umumnya
sengketa-sengketa
dagang
kerap
didahului
oleh
penyelesaian oleh negosiasi. Manakala cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.1 Penyerahan
sengketa
baik
kepada
pengadilan
maupun
ke
arbitrase kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara para
pihak.
suatu
Langkah
perjanjian
yang
atau
biasa
ditempuh
memasukkan
adalah
suatu
dengan
klausul
membuat
penyelesaian
sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.2 Yang menjadi dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian sengketa
yang
akan
menangani
sengketa
adalah
kesepakatan
para
pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut diletakkan baik
pada
waktu
kontrak
ditandatangani
atau
setelah
sengketa
timbul. Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini akan
berakibat
pada
kesulitan
Karena,
dengan
adanya
menjadi
alasan
yang
dalam
kekosongan
kuat
bagi
penyelesaian
pilihan
setiap
forum
forum
sengketanya. tersebut
untuk
akan
menyatakan
dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa.
1
Gerald Cooke, ‘Disputes Resolution in International Trading,’ in: Jonathan Reuvid (ed)., The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997, p. 193. 2 Pada umumnya di samping menyepakati lembaga atau forum yang akan menyelesaikan sengketa, para pihak perlu juga menyepakati hokum apa yang akan diterapkan oleh badan peradilan yang baru disepakati para pihak. (Gerald Cooke, op. cit., p. 193).
2
Lazimnya konsep
'long
dalam arm'
sistem
hukum
jurisdiction.
(Common Dengan
Law)
dikenal
konsep
ini,
dengan
pengadilan
dapat menyatakan kewenangannya untuk menerima setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya meskipun hubungan antara pengadilan dengan sengketa Amerika yang
tersebut Serikat
para
keterkaitan
tipis
dan
pihak
sekali.3
Inggris
serahkan
sengketa
Misalnya,
kerapkali
selalu
kehadapannya
dengan
badan
badan
menerima
meskipun
peradilan
peradilan
di
sengketa
hubungan
sangatlah
atau
kecil.
Misalnya, pihak termohon memiliki usaha di Amerika Serikat atau dalam kontrak tersebut secara tegas atau diam-diam mengacu kepada salah satu negara bagian Amerika Serikat atau hukum Inggris.4 Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak dapat
pula
menyerahkan
sengketanya
kepada
cara
alternatif
penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal sebagai ADR (alternative dispute resolution) atau APS (alternatif penyelesaian sengketa).5 Pengaturan samping
alternatif
pengadilan.
di
sini
Bisa
juga
dapat
berupa
berarti
cara
alternatif
altrnatif
di
penyelesaian
secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang para pihak dapat gunakan, termasuk alternatif penyelesaian melalui pengadilan.6 Biasanya
pula
dalam
klausul
tersebut
dimasukkan
atau
dinyatakan pula hukum yang akan diterapkan oleh badan penyelesaian sengketa.
3 Bandingkan pula dengan prinsip hukum di Indonesia, bahwa badan peradilan tidak boleh menolak setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya. 4 Gerald Cooke, op. cit., p. 194. 5 Gerald Cooke, op. cit., p. 194. 6 Penulis berpandangan pada yang luas ini. Kata alternatif mencakup semua alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan para pihak, termasuk di dalamnya pengadilan.
3
B. Para Pihak dalam Sengketa Bab 3 memuat beberapa stake-holders atau subyek hukum dalam hukum
perdagangan
individu,
dll.
pembahasan
internasional,
Dalam
dibatasi
individu)
dan
uraian pada
negara.
yaitu
negara,
berikut,
pihak
Karena
para
pihak
pedagang sifat
perusahaan yang
(badan
dari
menjadi
hukum
hukum
atau atau
perdagangan
internasional adalah lintas batas, pembahasan pun dibatasi hanya antara 1. pedagang dan pedagang; dan 2. Pedagang dan negara asing. Ad. 1. Sengketa antara pedagang dan pedagang. Sengketa antara dua pedagang adalah sengketa yang sering dan paling banyak terjadi. Sengketa seperti ini terjadi hampir setiap hari.
Sengketanya
diselesaikan
melalui
berbagai
cara.
Cara
tersebut semuanya bergantung pada kebebasan dan kesepakatan para pihak. Kesepakatan
dan
kebebasan
akan
pula
menentukan
forum
pengadilan apa yang akan menyelesaian sengketa mereka. Kesepakatan dan
kebebasan
pula
yang
akan
menentukan
hukum
apa
yang
akan
diberlakukan dan diterapkan oleh badan pengadilan yang mengadili sengketanya. Kesepakatan dan kebebasan para pihak adalah esensil. Hukum menghormati tentu,
kesepakatan
kesepakatan
Biasanya
dan
batas-batas
dan
kebebasan
kebebasan
tersebut
tersebut.
tersebut
adalah
ada
tidak
Sudah
barang
batas-batasnya.
melanggar
UU
dan
ketertiban umum. Ad.2. Sengketa antara pedagang dan negara asing Sengketa kekecualian.
antara
pedagang
Kontrak-kontrak
dan
negara
dagang
antara
juga
bukan
pedagang
merupakan
dan
negara
sudah lazim ditandatangani. Kontrak-kontrak seperti ini biasanya dalam adalah
jumlah
(nilai)
yang
kontrak-kontrak
relatif
besar.
pembangunan
Termasuk
(development
Misalnya, kontrak di bidang pertambangan.
di
dalamnya
contracts).
4
yang menjadi masalah adalah adanya konsep imunitas negara yang diakui hukum internasional. Dengan adanya konsep iimunitas inilah yang sedikit banyak berpengaruh terhadap keputusan pedagang untuk menentukan penyelesain sengketanya. Masalah utamnya adalah dengan
adanya
konsep
imunitas
ini,
suatu
negara
dalam
situasi
apapun, tidak akan pernah dapat diadili di hadapan badan-badan peradilan asing. Namun demikian hukum internasional ternyata fleksibel. Hukum internasional tidak semata-mata mengakui atribut negara sebagai subyek hukum internasional yang sempurna (par excellence). Hukum internasional menghormati pula individu (pedagang) sebagai subyek hukum internasional terbatas. Karena itu dalam hukum internasional berkembang pengertian jure imperii dan jure gestiones. Yang pertama adalah tindakantindakan negara di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. Karena itu tindakan-tindakan seperti itu tidak
akan
pernah
dapat
diuji
atau
diadili
di
hadapan
badan
peradilan. Konsep kedua, jure gesiones, yaitu tindakan-tindaka negara di bidang
keperdataan
seperti
itu
kapasitasnya Sehingga
tidak
atau
dagang.
lain
adalah
seperti
Karena
tindakan-tindakan
tindakan-tindakan
orang-perorangan
tindakan-tindakan
itu,
seperti
(pedagang
itu
dapat
negara atau
dianggap
dalam
privat). sebagai
tindakan-tindakan sebagaimana layaknya para pedagang biasa. Karena itu
tindakan-tindakan
seperti
itu
yang
kemudian
menimbulkan
sengketa, dapat saja diselesaikan di hadapan badan-badan peradilan umum, arbitrase, dll. Sebaliknya
negara-negara
yang
mengajukan
bantahannya
bahwa
suatu badan peradilan tidak memiliki jurisdiksi untuk mengadili neggara
sebagai
pihak
dalam
sengketa
bisnis,
biasanya
ditolak.
Badan peradilan umumnya menganut adanya konsep jure gestiones ini.7 7
Lihat selanjutnya, Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2002, hlm. 255 et.seq.
5
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa Dalam hukum perdagangan internasional, dapat dikemukakan di sini
prinsip-prinsip
mengenai
penyelesaian
sengketa
perdagangan
internasional. 1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus) Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
penyelesaian
sengketa
perdagangan
internasional.
Prinsip
inilah yang menjadi dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa. Prinsip
ini
pula
penyelesaian
sengketa
prinsip
sangat
ini
dapat
menjadi
yang
sudah
esensial.
dasar
apakah
berlangsung
Badan-badan
suatu
proses
diakhiri.
peradilan
Jadi
(termasuk
arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati. Termasuk dalam lingkup pengertian kesepaktan ini adalah: (1)
bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
(2)
bahwa
perubahan
kesepakatan kesepakatan
atas
kedua atau
kesepakatan
belah
revisi
pihak.
terhadap
harus
berasal
Artinya,
muatan
dari
pengakhiran
kesepakatan
harus
8
pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa Prinsip
penting
kedua
adalah
prinsip
dimana
para
pihak
memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choice of means). Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model
Law
on
International
Commercial
Arbitration.
Pasal
ini
memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini
6
penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase
haruslah
berdasarkan
pada
kebebasan
para
pihak
untuk
memilihnya.9 3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk
menentukan
sengketanya terhadap
sendiri
hukum
diselesaikan)
pokok
sengketa.
apa
oleh
yang
badan
Kebebasan
akan
diterapkan
peradilan
para
pihak
untuk
(bila
(arbitrase) menentukan
hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).10 Yang
terakhir
ini
adalah
sumber
di
mana
pengadilan
akan
memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau
kelayakan
suatu
penyelesaian
sengketa.
Contoh
kebebasan
memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal 28
ayat
(1)
UNCITRAL
Model
Law
on
International
Commercial
Arbitration: “The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules.”
8
Cf., Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia. Pasal 7 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbtration: ‘“Arbitration Agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship , whether contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.’ 10 Pasal 38:2 Statuta Mahkamah Internasional: "This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree hereon." 9
7
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) Prinsi
itikad
fundamental
dan
baik
paling
dapat
sentral
dikatakan dalam
sebagai
penyelesaian
prinsip sengketa.
Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.
Pertama,
prinsip
itikad
baik
disyaratkan
untuk
mencegah
timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara. Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang
dikenal
dalam
hukum
(perdagangan)
internasional,
yakni
negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau caracara pilihan para pihak lainnya.11 5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari
prinsip
merumuskan
hukum
pengaturan
Internasional
PBB
kebiasaan mengenai
(International
internasional. prinsip Law
ini,
Commission)
Dalam
upayanya
Komisi
Hukum
memuat
aturan
khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22 mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility. Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut: “When the conduct of a State has created a situation not in conformity with the result of it by an international obligation concerning the treatment too be accorded to 11
Dalam instrumen-instrumen hukum internasional, prinsip ini jarang sekali ditemui. Hal ini mungkin disebabkan karena sulitnya patokan yang dapat digunakan untuk mengukur sesuatu pihak telah atau tidak melaksanakan sesuatu perbuatan dengan itikad baik. Dalam hukum naisonal, prinsip ini antara lain tampak dalam pasal 1338 KUH Perdata dan UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat (1) UU No 30 tahun 1999 menyatakan: “(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.“
8
aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.”12 Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa
sebelum
para
pihak
mengajukan
internasional,
maka
langkah-langkah
sengketanya penyelesaian
ke
pengadilan
sengketa
yang
tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih
dahulu
ditempuh
(exhausted).
Dalam
sengketa
the
Interhandel Case (1959), Mahkamah Internasional menegaskan: "Before resort may be had to an international court... the state where the violation occured should have an opportunity to redress it by its own means, within the framework of its own domestic legal system."13
12
Terkutip dari D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 5th.ed., 1998, hlm. 617. 13 Lihat lebih lanjut uraian tentang exhaustion of local remedies ini dalam tulisan kami: Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, hlm. 276 et.seq.
9
D. Forum Penyelesaian Sengketa Forum
penyelesaian
sengketa
dalam
hukum
perdagangan
internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya. Forum
tersebut
(inquiry), hukum
adalah
mediasi,
atau
negosiasi,
konsiliasi,
melalui
penyelidikan
arbitrase,
pengadilan,
atau
fakta-fakta
penyelesaian
cara-cara
melalui
penyelesaian
sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.14 Cara-cara
sengketa
di
atas
telah
dikenal
dalam
berbagai
negara dan sistem hukum di dunia. Cara-cara tersebut dipandang sebagai dalam
bagian
sistem
integral
hukumnya.
dari
penyelesaian
Misalnya,
hukum
sengketa
nasional
yang
Ri
diakui
yang
dapat
ditemukan dalam pasal 6 UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa.
Negara
lainnya
adalah
15
Amerika Serikat, Inggris dan Australia.
Berikut adalah uraian singkat mengenai forum-forum tersebut. Tidak semua forum dibahas, tetapi akan dibatasi pada negosiasi, mediasi,
konsiliasi,
penyelidikan
fakta
pengadilan
(inquiry)
atau
dan
arbitrase.
cara-cara
lainnya
Sedangkan yang
para
pihak sepakati tidak termasuk dalam bahasan. 1. Negosiasi Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan.16
Penyelesaian melalui negosiasi
merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan
14
Cf., pasal 33 Piagam PBB: “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution be negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice.” (Huruf tebal oleh kami). 15 Gerald Cooke, op.cit., hlm. 200. 16 W. Poeggel and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects, Paris: UNESCO and Martinus Nijhoff, 1991, hlm. 514.
10
setiap
hari
oleh
negosiasi
ini
tanpa
adanya
publisitas
atau
menarik perhatian publik.17 Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat
mengawasi
penyelesaiannya 18
para pihak.
prosedur
pun
penyelesaian
didasarkan
pada
sengketanya.
kesepakatan
atau
Setiap
konsensus
Senada dengan itu Kohona mengatakan bahwa negosiasi
adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants."
19
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.20 Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya
permasalahan-prmasalahan
yang
timbul
di
antara
para
pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas waktu
bagi
para
pihak
untuk
menyelesaian
sengketanya
melalui
21
negosiasi ini.
17
F.V. Garcia-Amador, The Canging Law of International Claims, USA: Oceana Publications, Inc., 1984, hlm. 518. 18 Peter Behrens, "Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations," dalam: Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992.op.cit., hlm. 14. 19 Palitha TB. Kohona, , The Regulation of International Economic Relations through Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ., 1985op.cit., hlm. 161. 20 G. Malinverni, "The Settlement of Disputes within International Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui, op.cit., hlm. 550; Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 159. 21 G. Malirveni, "The Settlement of Disputes within International Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law:
11
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan
pendiriannya.
Keadaan
ini
dapat
mengakibatkan
proses
22
negosiasi ini menjadi tidak produktif. Mengenai terdapat
di
pelaksanaan
dalamnya
perlu
negosiasi, dibedakan
prosedur-prosedur sebagai
berikut:
yang
pertama,
negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses
penyelesaian
sengketa
oleh
para
pihak
(dalam
arti
negosiasi).
Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers and UNESCO, 1991, hlm. 159. 22 Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 159.
12
2. Mediasi Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau
dagang.
negosiasi. netral
Mediator
Biasanya
berupa
ia
ikut
serta
dengan
mendamaikan
para
secara
kapasitasnya pihak
aktif
dalam
sebagai
dengan
proses
pihak
memberikan
yang saran
penyelesaian sengketa.23 Usulah-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi
(informal).
informasi
yang
Usulan
ini
diberikan
dibuat
oleh
berdasarkan
para
pihak.
informasiBukan
atas
24
penyelidikannya.
Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai
solusi
(penyelesaian),
mengidentifikasi
hal-hal
yang
dapat disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.25 Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulah-usulan
yang
diberikan
oleh
mediator,
sampai
kepada
pengakhiran tugas mediator. Gerald
Cooke
menggambarkan
kelebihan
mediasi
ini
sebagai
berikut:26 23
W. Poeggel and E. Oeser, op.cit., hlm. 515. Peter Behrens, op. cit., hlm. 22. 25 ibid., hlm. 23. 26 Gerald Cooke, op. cit., p. 200. Lihat pula Michelle Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 132. (Sanson menyatakan bahwa mediasi lebih banyak dipraktekkan oleh negara-negara di Asia khususnya Taiwan dan Vietnam), Hong Kong dan Filipina). Di Indonesia cara mediasi juga cukup aktif diterapkan untuk sengketa-sengketa bisnis khususnya oleh pengadilan dan badan arbitrase. Dalam pengadilan dan 24
13
“Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.” (Huruf tebal oleh penulis). Cooke
juga
dengan
benar
mengingatkan
bahwa
penyelesaian
melalui mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah
sepakat
namun
mereka
untuk tidak
menyelesaikan wajib
atau
senketanya
harus
melalui
menyelesaikan
mendiasi,
sengketanya
melalui mediasi. Manakala para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.
arbitrase, adalah suatu ‘kewajiban’ bagi hakim dan arbiter untuk menawarkan terlebih dahulu kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase. Mediasi juga aktif diperkenalkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan antara pengusaha dan penduduk setempat.
14
3. Konsiliasi Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah
melibatkan
secara
damai.
pihak
ketiga
untuk
dan
mediasi
Konsiliasi
menyelesaikan sulit
untuk 27
Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian.
sengketanya dibedakan.
Namun menurut
Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.28 Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu
badan
Komisi
yang
disebut
konsiliasi
(sementara) persyaratan
bisa
yang
dengan yang
sudah
berfungsi
penyelesaian
yang
badan
atau
komisi
terlembaga
untuk
atau
menetapkan
diterima
oleh
para
konsiliasi. ad
hoc
persyaratanpihak.
Namun
putusannya tidaklah mengikat para pihak.29 Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan
secara
tertulis)
diserahkan
kepada
badan
konsiliasi.
Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya. Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan
konsiliasi
disertai
akan
dengan
menyerahkan
kesimpulan
laporannya
dan
kepada
usulan-usulan
para
pihak
penyelesaian
sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.30 Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk
27 28 29 30
oleh
Bank
Dunia
untuk
Sanson, op. cit., hlm. 132. Peter Behrens, op. cit., hlm. 22. Peter Behrens, op. cit., hlm. 24. Peter Behrens, op.cit., hlm. 23.
menyelesaikan
sengketa-sengketa
15
penanaman modal asing, yaitu the Conciliaiton
Proceedings
ICSID Rules of Procedure for
(Conciliaiton
Rules).31
Namun
dalam
prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer. Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua
kasus.
Kasus
pertama
diterima
pada
5
Oktober
1982.
(Jadi
selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya. Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad
and
diselesaikan
Tobago pada
diterima
tahun
1985
tahun setelah
1983.32 para
Kasus pihak
ini
berhasil
sepakat
untuk
menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.33
31
Cf. I. Seidl-Hohenveldern, "General Course on Public International Law," 198 Recueil des Cours 198 (1986): Sanson, op.cit., hlm. 132-133. 32 ICSID Case No. CONC/83/1. 33 Huala Adolf, “The Settlement of Investment Disputes under the ICSID Arbitration”, Thesis, Department of Law, Sheffield University, 1995, hlm. 1.
16
4. Arbitrase.34 a. Mengapa Arbitrase Dipilih? Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak
ketiga
arbitrase
yang
netral.
terlembaga
atau
Pihak
ketiga
arbitrase
ini
sementara
bisa (ad
individu,
hoc).
Badan
arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin
banyak
digunakan
dalam
menyelesaikan
sengketa-sengketa
dagang nasional maupun internasional. Adapun
alasan
utama
mengapa
badan
arbitrase
ini
semakin
banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut: (1) kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha. (2) Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini
adalah
sifat
kerahasiaannya.
Baik
kerahasiaan
mengenai
persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya. (3) Dalam
penyelesaian
kebebasan
untuk
melalui
memilih
arbitrase,
‘hakimnya’
para
(arbiter)
pihak yang
memiliki menurut
mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia
34
Pembahasan mengenai hal ini lihat lebih lanjut antara lain: Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet.2., 1994; Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, 1994.
17
bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.35 (4) Keuntungan
lainnya
dimungkinkannya
dari
para
badan
arbiter
arbitrase
untuk
ini
menerapkan
adalah
sengketanya
berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).36 (5) Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi
New
York
1958
mengenai
Pengakuan
dan
Pelaksanaan
37
Putusan Arbitrase Asing. b. Perjanjian Arbitrase
Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan
tertentu,
termasuk
arbitrase,
termuat
dalam
klausul
penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’. Kedua berbeda.
istilah
Istilah
tersebut
choice
of
mengandung forum
pengertian
berarti
pilihan
yang cara
agak untuk
menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase. Istilah
35
choice
of
jurisdiction
berarti
pilihan
tempat
dimana
Namun dalam praktek, dewan arbitrase yang menangani kasus, peranan ahli hukum tetap minimal ada dalam komposisi dewan. Misalnya, dalam kasus terkenal dalam GATT, yaitu the DISC, Panel GATT yang mengadili kasus ini terdiri dari 2 orang ahli ekonomi dan seorang ahli hukum. Peranan ahli hukum bagaimana pun juga tetap signifikan dalam proses beracara, penentuan hak dan kewajiban para pihak dan penentuan prinsip-prinsip hukum dalam suatu sengketa. 36 Hans Bagner, op.cit., hlm. 173. 37 Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan Keppres Nomor 34 tahun 1981.
18
pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dll.38 Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase atau
suatu
melalui
perjanjian
sengketa
pembuatan
sebelum
yang suatu
sengketanya
telah
lahir.
klausul lahir
Alternatif
arbitrase
lainnya,
dalam
(klausul
arbitrase
arbitration
clause
suatu atau
arbitration clause). Baik
submission
clause
atau
harus
tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Dalam
instrumen
hukum
internasional,
termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan
menerima
suatu
sengketa
yang
di
dalam
kontraknya
terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.39 c. Lembaga-lembaga Arbitrase
38
Gerald Cooke, op.cit., hlm. 194. Lihat, misalnya, pasal 3 dan pasal 11 UU Nomor 30 tahun 1999; pasal 8 ayat (1) UNCITRAL Model Law mengenai Arbitrase Komersial Internaisonal 1985; dan pasal II ayat (3) Konvensi New York 1958. Pasal II ayat (3) Konvensi 1958 ini dipandang penting mengingat ketentuan ini dibuat sudah cukup relatif lama (sejak 1958). Pengakuan kewenangan arbitrase ini dalam suatu klausul arbitrase ini berbunyi sebagai berikut: “3. The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed.” 39
19
Peran
arbitrase
difasilitasi
oleh
adanya
lembaga-lembaga
arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court
of
Arbitration
of
the
International
Chamber
of
Commerce
(ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC). Di
samping
kelembagaan,
pengaturan
arbitrase
sekarang
ini
ditunjang pula oleh adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi acuan
bagi
banyak
negara
di
dunia,
yaitu
Model
Law
on
International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).40
40
Gerald Cooke, op. cit., p. 196.
20
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional) Metode yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa selain cara-cara tersebut di atas adalah melalui pengadilan nasional atau internasional. Penggunaan cara ini biasanya ditempuh apabila caracara penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil.41 Penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan biasanya hanya dimungkinkan manakala para pihak sepakat. Kesepakatan ini tertuang dalam klausul penyelesaian sengketa dalam kontrak dagang para
pihak.
Dalam
klausul
tersebut
biasanya
ditegaskan
bahwa
manakala timbul sengketa dari hubungan dagang mereka, maka mereka sepakat
untuk
menyerahkan
sengketanya
kepada
suatu
pengadilan
(negeri) suatu negara tertentu. Kemungkinan kedua, para pihak dapat menyerahkan sengketanya kepada badan pengadilan internasional. Salah satu badan peradilan yang menangani sengketa dagang ini misalnya saja adalah WTO. Namun perlu
ditekankan
di
sini,
WTO
hanya
menangani
sengketa
antar
negara anggota WTO. Umumnya pun sengketanya lahir karena adanya suatu pihak (pengusaha atau negara) yang dirugikan karena adanya kebijakan perdagangan negara lain anggota WTO yang merugikannya. Alternatif badan peradilan lain adalah Mahkamah Internasional (International
Court
of
Justice).
Namun
penyerahan
sengketa
ke
Mahkamah Internasional, menurut hasil pengamatan beberapa sarjana, kurang begitu diminati oleh negara-negara.42 Sebagai ilustrasi adalah peranan Mahkamah Internasional (the International menyelesaikan
41
Court
of
Justice).
sengketa-sengketa
Peranan
ekonomi
Mahkamah
(termasuk
dalam
perdagangan),
Cf. Prinsip exhaustion of local remedies, di atas. Palith TB. Kohona, op.cit., hlm. 192; Verloren van Themaat, The Changing Structure of International Economic Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1981, hlm. 189. 42
21
menurut
Mann,
'suram'.43
sangatlah
Selama
berdiri
(sejak
1945)
sampai tulisan ini dibuat, Mahkamah Internasional hanya mengadili 2
kasus
di
bidang
ekonomi
internasional,
yakni
the
ELSI
Case
antara Amerika Serikat melawan Italia,44 dan the Barcelona Traction Case antara Belgia melawan Spanyol.45 Sengketa
The
Barcelona
Traction
adalah
sengketa
terkenal.
Dalam sengketa ini sebuah perusahaan Kanada, Barcelona Traction, Light and Power, Co., didirikan pada tahun 1911. Perusahaan ini mengoperasilan
pembangunan
dan
pengadaan
tenaga
listrik
Spanyol
memutuskan
di
Spanyol. Pada
tahun
1968,
pengadilan
perusahaan
tersebut pailit. Keputusan ini ditindak-lanjuti oleh serangkaian tindakan
dalam
rangka
kepailitan
tersebut.
Pemerintah
Kanada
kemudian turut campur dalam sengketa ini dalam upayanya melindungi kepentingan
warga
negaranya.
ternyata
pemegang
dimiliki
warga
saham
negara
Masalahnya
mayoritas
Belgia,
yaitu
dalam
menjadi
rumit
perusahaan
sebesar
88
%.
karena tersebut
Pemerintah
Belgia dalam upaya melindungi warga negaranya yang dirugikan oleh tindakan pemerintah Spanyol itu membawa sengketanya ke Mahkamah Internasional. Spanyol menolak gugatan pemerintah Belgia dengan dalil bahwa Belgia tidak memiliki dasar hukum yang sah (locus standi)
untuk
membawa
kasus
ini.
Dalam
putusannya,
Mahkamah
Internasional setuju dengan Spanyol.46 Alasan Internasional
F.A. ini
Mann
menyatakan
'suram',
pada
'hasil
dasarnya
kerja'
karena
dua
Mahkamah alasan.
Pertama, kurang adanya penghargaan terhadap fakta-fakta spesifik mengenai
43
duduk
perkaranya.
Kedua,
kurangnya
keahlian
atau
F.A. Mann, "Foreign Investment in the International Court of Justice: the ELSI Case," 86 AJIL 92 (1992). 44 1989 ICJ Rep. 15 (Judgment of July 20). 45 1970 ICJ Rep. 3, (Judgment of Feb. 5). 46 Lihat lebih lanjut, D.J. Harris, op.cit., (Cases and Materials on International Law), hlm. 604, et.seq.
22
kemampuan Mahkamah pada permasalahan-permasalahan bidang (hukum) ekonomi atau perdagangan internasional.47 Selain itu, pengadilan-pengadilan permanen internasional ini juga jurisdiksinya kadangkala terbatas hanya kepada negara saja, misalnya Mahkamah Internasional. Sedangkan kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan subyek-subyek
perdagangan
hukum
internasional
perdagangan
dewasa
internasional
ini
peranan
non-negara
juga
penting.48 Bentuk kedua adalah pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Dibandingkan dengan pengadilan permanen, pengadilan ad hoc atau khusus ini lebih populer, terutama dalam kerangka suatu organisasi perdagangan internasional. Badan pengadilan ini berfungsi cukup penting
dalam
menyelesaikan
sengketa-sengketa
yang
timbul
dari
perjanjian-perjanjian perdagangan internasional.49 Contoh yang menonjol adalah peranan badan-badan pengadilan khusus dalam kerangka GATT (kemudian digantikan oleh WTO), yakni dengan
adanya
sengketa
badan-badan
ekonomi
panel
internasional
yang
menyelesaikan
antar
sengketa-
negara-negara
anggota
GATT/WTO. Faktor penting yang mendorong negara-negara untuk menyerahkan sengketanya kepada badan-badan peradilan seperti ini adalah karena hakim-hakimnya yang tidak harus seorang ahli hukum. Ia bisa saja seorang ahli atau spesialis mengenai pokok sengketa. Kedua, adanya perasaan dari sebagian besar negara yang kurang percaya kepada suatu badan peradilan (internasional) yang dianggap kurang tepat untuk
menyelesaikan
sengketa-sengketa
dalam
bidang
perdagangan
internasional.50 47
F.A. Mann, loc.cit. Cf., I. Seidl-Hohenveldern, op.cit., hlm. 199. 49 Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 197. 50 Cf., Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 152. Cf., supra, mengenai keengganan masyarakat internasional menyerahkan sengketanya kepada Mahkamah Internasional. 48
23
E. Hukum Yang Berlaku 1. Pengantar Masalah hukum yang akan diberlakukan atau diterapkan oleh badan
peradilan
termasuk
arbitrase
adalah
salah
satu
masalah
krusial dalam hukum kontrak internasional, termasuk dalam hukum perdagangan internasional.51 Masalahnya kepastian
hukum
adalah
hukum
terutama
yang
bagi
berlaku
badan
ini
peradilan
menjadi bahwa
penentu
ia
telah
menerapkan hukumnya dengan benar. Dalam hal ini, badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam menerapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa ke hadapannya. Perlu ditegaskan di sini bahwa pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan negara tesebut secara
otomatis
yang
berwenang
menyelesaikan
sengketanya.
Yang
terakhir ini disebut juga choice of forum (pembahasan di atas). Artinya, choice of law tidak sama dengan choice of forum.52 Peran choice of law di sini adalah hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase) untuk: (1) menentukan keabsahan suatu kontrak dagang; (2) menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak; (3) menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi (pelaksanaan suatu kontrak dagang); dan (4) menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak.53 51
Mauro Rubino-Sammartano, International Arbitration Law, Deventer, Boston: Kluwer Law, 1990, hlm. 251. 52 Gerald Cooke, op.cit., hlm. 195. 53 Tetapi perlu dicatat di sini bahwa praktek negara (badan peradilannya) berbeda mengenai pandangannya terhadap choice of law dan choice of forum ini. Di Inggris dan Wales, pemilihan suatu hukum tertentu, dalam hal ini hukum Inggris atau Wales, mensyaratkan jurisdiksi pengadilan tersebut untuk mengadili suatu sengketa. Dasarnya dalah bahwa para pihak dianggap secara diam-diam telah memilih jurisdiksi (keweangan badan peradilan Inggris atau Wales) dengan memilih hukum Inggris atau hukum Wales untuk mengatur kontraknya. (Gerald Cooke, op.cit., hlm. 195).
24
Hukum yang akan berlaku ini dapat mencakup beberapa macam hukum. Hukum-hukum tersebut adalah: (1) hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa (applicable substantive law atau lex causae); (2) hukum yang akan berlaku untuk persidangan (procedural law); Hukum yang akan berlaku akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak. Hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa
hukum
nasional
suatu
negara
tertentu.
Biasanya
hukum
nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak. Cara pemilihan inilah yang lazim diterapkan dewasa ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai
salah
satu
hukum
nasional
tersebut,
biasanya
kemudian
mereka akan berupaya mencari hukum nasional yang relatif lebih netral. Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan internasional
adalah
menerapkan
prinsip-prinsip
kepatutan
dan
kelayakan (ex aequo et bono). Namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada kesepakatan para pihak.54 2. Kebebasan Para Pihak Di atas telah dikemukakan bahwa dalam menentukan hukum yang akan berlaku, prinsip yang berlaku adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada kebebasan para pihak dalam membuat perjanjian atau kesepakatan (party autonomy). Kebebasan
para
pihak
ini
tampaknya
sudah
menjadi
prinsip
hukum umum. Artinya, hampir setiap sistem hukum di dunia, yaitu Common Law, Civil Law, dll., mengakui eksistensinya. Bahkan,
praktek
para
pelaku
bisnis
atau
pedagang
melihat
prinsip kebebasan para pihak untuk menetapkan aturan-aturan dagang yang berlaku di antara mereka, merupakan suatu prinsip yang telah terkristalisasi.
Prinsip
inilah
yang
antara
lain
melahirkan
prinsip atau doktrin lex mercatoria. 54
Lihat Mauro Rubino-Sammartano, International Arbitration Law, Deventer, Boston: Kluwer Law and Taxation Publsihers, 1990, hlm. 251-255.
25
Kebebasan dalam memilih hukum yang berlaku ini (lex causae) sudah barang tentu ada batas-batasnya. Yang paling umum dikenal adalah bahwa kebebasan memilih hukum tersebut adalah: (1) tidak bertentangan dengan UU atau ketertiban umum; (2) kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;55 (3) hanya berlaku untuk hubungan dagang; (4) hanya berlaku dalam bidang hukum kontrak (dagang); (5) tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan (6) tidak untuk menyelundupkan hukum. Menurut
Cooke,
kebebasan
para
pihak
ini
pun
akan
banyak
dipengaruhi oleh sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh
salah
satu
pihak
atau
kedua
pihak).
Tidak
sekedar
hanya
menentukan hukum suatu negara, tetapi juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak. Artinya, apakah hukum di sesuatu negara tertentu sering berubah-ubah tidak. Gerald Cooke dengan tepas menyatakan sebagai berikut: “The significance of needing to provide for the 'proper' law is that the parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps independent of each of the parties or which is recognised to have highly sophisticated and consistent trading laws.”56 Dalam hukum nasional Indonesia mengenai arbitrase, yaitu UU Nomor 30 tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Pasal 56 UU tersebut menyatakan: "(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. (2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah timbul antara para pihak."
55
M. Hulieatt-James and N. Gould, International Commercial Arbitration, London: LLP, 1996, hlm. 16. 56 Gerald Cooke, op. cit., p. 195.
26
Model Arbitration Law 1985 juga menghormati kebebasan para pihak untuk memilih hukum yang akan berlaku. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut: "(1) The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute. Any designation of the law or legal system of a given State shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that State and not to its conflict of laws rules." (2) Failing any designation by the parties, the arbitral tribunal shall apply the law determined by the conflict of laws rules which it considers applicable. (3) The arbitral tribunal shall decide ex aequo et bono or amiable compositeur only if the parties expressly authorized to do so. (4) In all cases, the arbitral tribunal shall decide in accordance with the terms of the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction.' Dari kedua instrumen hukum di atas, terdapat beberapa catatan pinggir yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen berbeda di dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum
yang
menekankan
berlaku
terhadap
bahwa
arbitrator
kontrak. atau
UU
Nomor
badan
30
tahun
arbitrase
1999 harus
menyandarkan pada hukum untuk mengambil putusan. Pasal ini tidak menentukan
atau
mensyaratkan
bahwa
hukum
yang
akan
diterapkan
tersebut haruslah pilihan hukum para pihak. Sedangkan Model Law dengan
tegas
menyatakan
bahwa
badan
arbitrase
harus
menerapkan
hukum yang dipilih para pihak. Tampaknya, ketentuan UU Nomor 30 tahun
1999
ini
perlu
disempurnakan
dengan
mengacu
atau
mencantumkan klausul Model Law ini. Kedua, UU Nomor 30 tahun 1999 membolehkan arbitrator atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo et bono (pasal 56 ayat 1). Ketentuan yang sama dalam Model Law tercantum dalam pasal 28 ayat
3.
Bedanya
adalah,
UU
nasional
kita
tidak
tegas
bahwa
penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan
27
apabila para pihak dengan tegas diperintahkan oleh para pihak. Penjelasan
pasal
kebebasan...'). kebebasan
56
hanya
Rumusan
untuk
menyebut:
ini
memberikan
tidak
'Dalam tegas
hal
arbiter
diberi
siapa
yang
memberi
putusan
berdasarkan
keadilan
manakala
para
tidak
dan
kepatutan. Ketiga, hukum
yang
nasional
adalah akan
kita
masalah
berlaku
dan
Model
terhadap Law
pihak
kontrak.
memuat
Dalam
aturan
yang
hal
memilih ini,
UU
berbeda.
UU
nasional kita tampaknya menganut jalan pintas. Penjelasan pasal 56 UU
Arbitrase
dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa
menyebutkan,
apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbitrator atau
badan
arbitrase
harus
menerapkan
hukum
tempat
arbitrase
dilakukan. Sedangkan Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, maka badan arbitrase atau arbitrator harus mengacu kepada perdata
hukum
yang
ditentukan
internasional
berdasarkan
(conflict
of
laws
aturan-aturan rules)
arbitrator atau badan arbitrase dianggap berlaku.
yang
hukum oleh
28
F. Pelaksanaan Putusan Sengketa Dagang 1. Pengantar Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang
dibuat
di
luar
negeri)
hingga
kini
masih
menjadi
suatu
masalah yang tidak mudah. Hal ini disebabkan karena pihak yang kalah
di
dalam
suatu
sengketa
tidak
jarang
merasa
keberatan
melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu, pengadilan di dalam
negeri
pelaksanaan
tersebut putusan
yang
diharapkan
ternyata
kurang
dapat
membantu
memberikan
proses
respon
yang
konstruktif. Masalah ini pula yang saat ini menjadi ciri utama kelemahan dari
putusan-putusan
penyelesaian
sengketa
oleh
badan-badan
penyelesaian sengketa asing. Inti masalahnya adalah dilaksanakan sutau putusan mencerminkan efektivitas suatu putusan.57 Dalam
bagian
ini,
uraian
akan
melihat
secara
singkat
pelaksanaan putusan dari masing-masing cara penyelesaian sengketa, yaitu putusan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase asing dan pengadilan (asing). 2. Pelaksanaan Putusan APS Penyelesaian
sengketa
melalui
alternatif
penyelesaian
sengketa (APS) memiliki risiko yang cukup tinggi dalam hal pihak yang
kalah
Pelaksanaan itikad
baik
tidak
mau
melaksanakan
putusan
melalui
para
pihaknya.
APS
putusan
lebih
Hal
ini
banyak
yang
dikeluarkan.
bergantung
semata-mata
kepada
karena
sifat
putusannya yang sejak awal dilandasi oleh asas konsensuil. Masalahnya tersebut
dibuat
berupaya
agar
akan di
menjadi
luar
putusan
lebih
negeri. APS
dapat
sulit
Upaya
apabila
pihak
yang
dilaksanakan
putusan
APS
menang
yang
semakin
sangat
bergantung kepada itikad baik ini. Tidak ada kepastian hukum kapan dan apakah pihak yang kalah mau melaksanakan putusan APS tersebut.
57
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995, p. 369.
29
3. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing) Pelaksanaan putusan arbitrase asing sudah menjadi isu yang lama. Masalah ini pula yang menjadi kelemahan utama dari cara penyelesaian melalui pengadilan atau hakim partikelir ini. Seperti telah disebut di muka, umumnya yang menjadi kendala dalam masalah ini adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan oleh pihak yang kalah. Upaya
masyarakat
internasional
dalam
mengurangi
dan
memperbaiki kelemahan ini telah lama dilakukan, yaitu sejak tahun 1927.
Waktu
Jenewa
itu
masyarakat
tentang
Pengakuan
internasional dan
mengeluarkan
Pelaksanaan
Putusan
Konvensi
Arbitrase.
Konvensi ini kemudian direvisi oleh Konvensi New York 1958. Sebenarnya
timbulnya
konvensi-konvensi New
York
seperti hanya
1958
ini
Konvensi
internasional ini.
tidak
mengatur
Masalahnya
mengatur
hal-hal
internasional
pelaksanaannya
masalah
pada
merupakan
umumnya,
adalah
ini
saja.
ibarat
oleh
Dalam
dari
Konvensi
internasional
yang
detail.
lingkup
Undang-undang
Peraturan
refleksi
termasuk
konvensi
peraturan-peraturan
pokoknya
dijabarkan
ini
nasional,
Pokok
Pemerintah,
Ia
yang
Keputusan
Presiden, dan seterusnya (implementing legislation-nya). Kalau di dalam lingkup nasional ada hierarki pengaturan yang jelas, sebaliknya dalam lingkup internasional tidak ada. Masinmasing negara memiliki cara melaksanakan implementing legislationnya. Keadaan demikian jelas menambah ruwetnya masalah pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing.58 Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement
of
Foreign
Arbitral
Awards)
ditandatangani
10
Juni
1958 di kota New York. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959.
58
Konvensi
ini
hanya
mensyaratkan
tiga
ratifikasi
agar
Lihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Karl Heinz Boockstiegel yang menyimpulkan sebagai berikut: “if we now turn to the enforcement of arbitration awards ... the information collected shows many variations between national laws. (Karl Heinz Bockstiegel, Arbitration and State Enterprises, KlUwer Law and Taxation Publishers, 1989, h1m. 50).
30
berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.59 Konvensi
mengandung
16
pasal.
Dari
pasal-pasal
ini
dapat
ditarik 5 (lima) prinsip berikut di bawah ini: (1) Konvensi
ini
menerapkan
prinsip
pengakuan
dan
pelaksanaan
putusan arbitrase luar negeri dan menempatkan putusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan putusan peradilan nasional. (2) Konvensi ini mengakui prinsip putusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu dicantumkan dalam putusannya. (3) Konvensi
ini
menghindari
proses
pelaksanaan
ganda
(double
enforcement process). (4) Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan putusan. Dalam hal ini Konvensi hanya mensyaratkan dua dokumen saja untuk dapat melaksanakan suatu putusan, yaitu: (a) Dokumen putusan atau salinannya yang sah dan (b) dokumen perjanjian arbitrase atau salinannya yang sah (pasal IV).60 (5) Konvensi New York lebih lengkap dan komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Konvensi New York di samping mengatur pelaksanaan,
juga
mengatur
pengakuan
(recognition)
terhadap
61
suatu putusan arbirase asing. Indonesia
adalah
anggota
Konvensi
New
York
melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, 5
dengan
aksesi
Agustus 1981.
Aksesi ini didaftar di Sekretaris Jenderal PBB 7 Oktober 1981.
59
Lihat, pasal XII Konvensi. Rene David berpendapat bahwa pasal ini memberi keuntungan kepada pihak yang menang di dalam memohon eksekusi karena ia cukup menunjukkan dua dokumen tersebut kepada Pengadilan (Rene David, Arbitration in International Trade, Netherlands: Kluwer, 1985, h1m. 96). 61 Samir Saleh, "The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in the States of the Arab Middle East", dalam Julian DM Lew, (ed)., Contemporary Problems in International Arbitration, Netherlands: Martinus Nijhoff Publ., 1986, h1m. 344. 60
31
3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Masalah
pelaksanaan
putusan
pengadilan
juga
masih
menjadi
masalah yang cukup serius. Pengadilan adalah refleksi kedaulatan negara
dalam
karenanya
mengadili
tidak
sesuatu
secara
otomatis
sengketa. dapat
Putusan
dilaksanakan
pengadilan di
wilayah
kedaulatan negara lain. Untuk supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan di suatu negara lain, ada dua kemungkinan berikut: (1) menyidangkan kembali kasus tersebut dari awal sebagai suatu sengketa
baru
di
pengadilan
tersebut
(di
mana
putusan
dimintakan pelaksanaannya); (2) pelaksanaan dilaksanakan negara,
putusan apabila
dimana
pengadilan
di
negara-negara
pelaksanaa
putusan
suatu yang
negara terkait
dimintakan)
dapat (ke-dua
terikat
baik
apda suatu perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral mengenai pelaksanaan putusan pengadilan di bidang sengketasengketa dagang (padanan kata asingnya yaitu sengketa-sengketa komersial). Untuk hal yang pertama, sudah barang tentu sulit. Prosesnya jadi
panjang
yang
akan
dan
berlarut-larut.
dikeluarkan
untuk
Belum
proses
lagi
pertimbangan
tersebut.
Biasanya
biaya proses
berperkara di pengadilan di luar negeri tidaklah murah. Belum lagi timbul ketidak-pastian apakah putusannya akan sama dengan putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan sebelumnya. Untuk hal yang kedua, adalah alternatif yang cukup layak. Sayangnya,
perjanjian-perjanjian
perjanjian bilateral dalam
bilateral dapat
hal
dan
ditemukan
pengakuan
dan
regional di
seperti di
antara
pelaksanaan
Eropa
ini
Barat.
negara-negara putusan
baru
berupa
Perjanjian Eropa
pengadilan
Barat secara
bilateral.62
62
Hans Van Houtte, op. cit., p. 356. (Biasanya perjanjian bilateral ini memuat hal-hal yang tidak tercakup dalam Perjanjian Regional mengenai
32
a. Konvensi Brussel 1968 Perjanjian
regional
di
Eropa
Barat
mengenai
pelaksanaan
putusan pengadilan ini adalah the Convention on Jurisdiction and the
Enforcement
(Konvensi
of
Judgment
Brussel),
27
in
Civil
september
and
1968.
Commercial
Konvensi
Matters
Brussel
ini
beranggotakan Belgia, Belanda, Luxembourg, Perancis, Jerman, dan Italia). Selanjutnya negara-negara yang bergabung adalah Inggris, Irlandia, dan Denmark (1978), Spanyol dan Portugal (26 Mei 1989). Konvensi Brussel bertujuan: (1) mengatur jurisdiksi pengadilan di negara-negara anggotanya; (2) memperkenalkan
prosedur
sederhana
untuk
pengakuan
dan
otentik
dari
pelaksanaan putusan; dan (3) mengatur
pengakuan
terhadap
dokumen-dokumen
negara-negara anggotanya.63 b. Konvensi Lugano 1988 Konvensi kedua yaitu the Convention on Jurisdiction and the Enforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters (Konvensi Lugano)
ditandatangani
anggota
Konvensi
ini
di
Lugano,
adalah
12
16
negara
September Masyarakat
1988.
Negara
Eropa
dan
6
negara anggota European Free Trade Area (EFTA) yaitu Finlandia, Islandia, Norwegia, Austria, Swedia dan Swis. Tujuan
Konvensi
ini
adalah
sama
dengan
Konvensi
Brussel,
yaitu mendorong pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan di antara negara anggotanya. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan halhal yang tidak diatur dalam Konvensi Brussel.64
masalah pelaksanaan putusan dagang oleh pengadilan di antara negaranegara anggota Konvensi Brussel dan Konvensi Lugano, lihat infra). 63 Hans Van Houtte, op. cit., p. 355. 64
Hans Van Houtte, op. cit., p. 356 (menurut Houtte, hal lain yang membedakannya adalah bahwa Konvensi Lugano tidak memberikan jaminan penafsiran yang seragam dibandingkan dengan Konvensi Brussel. Houtte, op.cit., hlm. 356).
33
G. Penutup Dari
uraian
internasional
di
memberi
atas
tampak
kebebasan
bahwa
dan
hukum
peluang
yang
perdagagan cukup
besar
kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan untuk
memilih
sengketa.
hukum
Untuk
yang
kedua
akan
diterapkan
hal
ini
untuk
badan
menyelesaikan
peradilan
harus
menghormatinya. Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak masing-masing
memiliki
kekuatan
dan
kelemahannya.
Baik
itu
APS
atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak menyelesaikan sengketanya. Mengenai
kebebasan
para
pihak
untuk
menentukan
hukumnya,
faktor yang penting adalah kestabilan hukum tersebut. Di dalam pengertian tersebut.
ini
adalah
Selain
pendekatan
itu
yang
menyelesaikannya.
pengetahuan pula
perlu
diterapkan Seperti
para
terhadap
diperhatikan
badan
diuraikan
pihak
di
praktik
peradilan atas,
hukum
para
dan
yang
akan
pihak
perlu
menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya. Pertimbangan adalah
penting
pertimbangan
lainnya
kemungkinan
yang dapat
justru atau
sangat
esensial
tidak
dapatnya
dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau kealpaan untuk mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya penyelesaian sengketa
yang
tidak berarti.
dipilih
berdasarkan
kebebasan
para
pihak
menjadi
34
DAFTAR PUSTAKA Bagner, Hans, “Dispute Settlement,” dalam: Julian D.M. Lew and Clive Stanbrook (eds.), International Trade: Law and Practice, London: Euromoney, 1983. Beherens, Peter, "Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations," dalam: Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992. Cooke, Gerald, “Disputes Resolution in International Trading,” dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, London: Kogan Page, 1997. David, Rene, Arbitration in International Trade, Netherlands: Kluwer, 1985. Garcia-Amador, F.V., The Canging Law of International Claims, USA: Oceana Publications, Inc., 1984. Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 5th.ed., 1998. Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet and Maxwell, 1995. Huala Adolf, “The Settlement of Investment Disputes under the ICSID Arbitration”, Thesis, Department of Law, Sheffield University, 1995. Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet.2., 1994. Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002. Hulieatt-James M., and N. Gould, International Commercial Arbitration, London: LLP, 1996. Islam, M. Rafiqul, International Trade Law, Sydney: LBC, 1999. Kohona, Palitha TB., , The Regulation of International Economic Relations through Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ., 1985. Malirveni, G., "The Settlement of Disputes within International Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers and UNESCO, 1991. Mann, F.A., "Foreign Investment in the International Court of Justice: the ELSI Case," 86 AJIL 92 (1992). Poeggel W., and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects, Paris: UNESCO and Martinus Nijhoff, 1991.
35
Rubino-Sammartano, Mauro, International Arbitration Law, Deventer, Boston: Kluwer Law and Taxation Publsihers, 1990. Saleh, Samir, "The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in the States of the Arab Middle East", dalam Julian DM Lew, (ed)., Contemporary Problems in International Arbitration, Netherlands: Martinus Nijhoff Publ., 1986. Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002. Seidl-Hohenveldern, I., "General Course on Public International Law," 198 Recueil des Cours 198 (1986). Themaat, Verloren van, The Changing Structure of International Economic Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 1981.