Winter Chemistry in Amsterdam Oleh:
JL Singgih
Disain Sampul: nulisbuku.com
Penerbit: Nida Dwi Karya Publishing
Tamu yang hadir bertepuk tangan keras tatkala denting terakhir berhenti. Prila berdiri membungkukkan tubuhnya. Mulutnya lirih mengucapkan,”Thank you very much, thank you.” Matanya berkaca-kaca dipenuhi haru. Dia kembali ke tempatnya semula. Prof. Wijtman ikut berdiri sambil bertepuk tangan,”What a lovely voice! Thank you, Prila! It was a nice surprise, really!” katanya. Prof. Martine, landlady-nya, juga berdiri menghampiri Prila sambil berkata,”You have a melodious voice, Prila!” Brian merasakan sesuatu menghimpit dadanya. Dialah satu-satunya yang mengenal Bahasa Indonesia. Walaupun dia tidak sepenuhnya mengerti arti lirik lagu yang dinyanyikan Prila, namun dari nada sendu yang Prila tuangkan, Brian merasa mengerti. She has many talents, and why am I not too surprised? I always knew that she is unique! batinnya. Suara Prila yang bening masih terngiang di telinganya. Suara yang mengharubirukan emosinya. Dia melirik Prila yang sudah duduk di sebelahnya. Diam-diam Brian mengulurkan tangannya menggenggam tangan Prila. Dingin sekali. Prila menoleh, bola matanya bundar dan hitam menyorotkan ketulusan. Jacqueline dan Fikrican berbisik,”Wow I never knew that you sing and play! It’s awesome!” Mereka bergantian menyalaminya. Suasana yang agak tegang mencair kembali.
2
Tepat pukul 2, ketika tamu-tamu telah pulang, mereka berempat membantu Mevrouw Wijtman membereskan ruangan. “You are very kind, young ladies. You too, young men!” perempuan tua yang masih anggun itu berterima kasih. Mevrouw Wijtman membekali mereka cookies dan beberapa potong daging panggang. Brian dan Jacqueline menerima makanan itu dengan senang. Perjalanan ke Madurodam yang terletak di Jalan George Maduroplein mereka tempuh menggunakan bis. Tempat wisata itu terletak di wilayah Distrik Scheveningen. Perjalanan berjarak dua puluh menit tak terasa lama karena keempat sahabat itu mengisinya dengan penuh canda. Madurodam dibuka secara resmi pada tanggal 2 Juli 1952. Kota miniatur ini berisi replika kastil-kastil dan bangunan-bangunan penting lainnya yang terdapat di Belanda. Semuanya dibuat secara rinci dengan skala 1:25. Nama Madurodam diambil dari George Maduro, seorang mahasiswa Yahudi dari Fakultas Hukum, yang ikut berperang melawan Nazi. Dia tewas mengenaskan di Dachau Concentration Camp tahun 1945. Berkat jasanya, Maduro mendapatkan penghargaan Medal of Knight 4th class of the Military Order of William dari Kerajaan Belanda pada tahun 1946. 3
“Let’s take our photo here,” usul Prila di depan pintu masuk kaca bertuliskan Entrée Madurodam. Jacqueline cepat-cepat berpose memeluk Prila. Kedua gadis itu tersenyum ceria ditangkap oleh kamera Brian. Fikrican jadi tertular ingin berfoto juga. Bergantian mereka berfoto, tak peduli dengan tatapan pengunjung lainnya. Brian mengumpulkan uang pembeli tiket dari temantemannya, kemudian berbaris mengantri di loket. Ruang tempat penjualan tiket itu terasa hangat. Beberapa anak kecil tampak berlarian, sementara orangtuanya duduk menikmati minuman mereka di coffee-shop. Madurodam dibasahi jutaan rintik gerimis membentang di hadapan mereka. Turis-turis berpayung serta pasangan-pasangan muda mendorong stroller bayi, tampak menyemut di sekitar bangunan-bangunan mini tersebut. “Look!” seru Jacqueline. “I want to sit on that clog! Come Prila, stand by me, and you Fiko, take our photos. Make it pretty!” Kecerewetan Jacqueline muncul kembali. Hujan gerimis tak melunturkan semangatnya. Prila dan teman-temannya bergantian berpose duduk di sepatu kayu raksasa berwarna 4
kuning yang berada di dekat pintu. Brian dan Fikrican bergantian menjadi fotografer.
Miniatur Amsterdam Central Station di Madurodam Kemudian mereka mengunjungi miniatur pelabuhan Amsterdam. Pelabuhan ini dibangun lengkap dengan jembatan dan kapal-kapalnya. Mereka juga mengunjungi bangunan berdinding merah yang sangat familier di hati, Amsterdam Central Station. Stasiun mini itu sangat mirip dengan aslinya, dilengkapi dengan pohon-pohon, kereta di atas relnya, dan orang-orang yang sebagian berjalan sebagian duduk di bangku kayu di depan stasiun.
5
“Look here, girls!” teriak Fikrican. “Guess what’s this?” tebaknya kepada kedua teman gadis-nya itu. Prila berpikir keras memperhatikan bangunan yang terlihat tak asing. Brian tersenyum kecil kepadanya seakan hendak memberitahu jawabannya. Jacqueline menolong menjawabkan dengan nada sok tahu,”I know, Fiko! Very easy! It’s Rijksmuseum!” Rijksmuseum Amsterdam itu juga disertai mobilmobil mini terparkir di tepi jalan, jembatan di atas kanal, dan manusia-manusia mini pengunjung museum. Diam-diam Brian mengambil pose Prila sedang berpayung di sebelah kompleks bangunan Schiphol airport. Miniatur bandara itu sangat rinci menyertakan puluhan mobil kecil terparkir berikut pesawat-pesawat terbang dan orang-orangnya. Jacqueline dan Fikrican berbisik-bisik melihat kejadian itu,lalu gadis Perancis itu menggamit lengan Prila,”I think he has a crush on you, Prila. Don’t deny, it’s very clear to me. Fiko has noticed too!” Prila menggelengkan kepalanya, mau membantah tapi kehabisan kata. Pipinya terasa hangat. “No, you’re wrong, Jacqueline. We’re only friends!” akhirnya dia berbisik. Takut terdengar oleh Brian.
6
Jacqueline menggoyang-goyangkan telunjuknya. Matanya berkedip menggoda. Pipi Prila makin panas. Dia menyeret tangan Jacqueline menjauhi Brian dan Fikrican. Jacqueline terkikik menyebalkan. Prila mencubitnya agar diam. Gadis Perancis itu mengaduh dan berteriak seperti anak kecil,”Briaaan! Look at thiis! It’s beautifuuul. Take our picture here!” Mereka berada di depan bangunan abu-abu St John’s Basilica. Brian memotret keduanya dari kejauhan. Mereka juga berfoto di depan miniatur Vredespaleis, kincir angin khas Belanda, dan masih banyak lagi. “I feel like giant Gulliver, a lot luckier of course, because there are no liliput troopers attacking me haha!” gurau Prila. “Silly girl!” Jacqueline mencubit pipinya. Prila tertawa. Mereka berempat menghabiskan Madurodam hingga senja menjelang.
waktu
di
Sebelum pulang,”I’ll buy souvenirs for friends. You want to join me?” Prila mengajak Jacqueline. “Certainly! Jacques my little brother would love to have a shirt with Madurodam written on it!” timpal gadis Perancis itu.
7
Kedua gadis itu mampir di toko souvenir. Prila sebenarnya ingin membeli mug-mug lucu, namun dia ingat kalau bagasinya tidak boleh lebih dari dua puluh lima kilogram. Ah sayang yaa… Sambil menunggu kedua gadis itu berbelanja, Brian dan Fikrican memesan minuman di coffee-shop. Cappuccino panas menarikan uap yang harum menggoda di depan hidung mereka. Hari Sabtu yang indah itu diakhiri dengan perjalanan kereta malam ke Amsterdam. Selamat tinggal Madurodam, selamat tinggal Den Haag…entah kapan aku bisa mengunjungimu kembali. Semua yang aku alami
hari ini, tak akan pernah kulupakan seumur hidupku, bisik Prila di dalam hati. -----
8