WARNA LOKAL BETAWI DALAM KUMPULAN CERPEN TERANG BULAN TERANG DI KALI : CERITA KELILING JAKARTAKARYA S.M. ARDAN Ahmad Bahtiar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email :
[email protected]
Abstrak Warna lokal dalam sastra Indonesia banyak ditemui sejak kelahiran sastra Indonesia. Selain menggambarkan warna lokal Minangkabau, berbagai warnalokaldaerah lain memperkayakhasanahsastra Indonesia. Warna lokal Betawi dapat ditemukan pada kumpulan cerpen Terang Bulan Terang di Kali:Cerita Keliling Jakarta karya S.M. Ardan. Kumpulan ini tidak hanya menggunakan bahasa Betawi secara utuh, tetapi menggambarkan masyarakat Betawi pinggiran denganberbagaiprofesinya. Kebiasan-kebiasaan, nama-nama khas orang Betawi, tempat-tempat yang sering didatangi, religiusitas,berbagai permainan serta nyanyian anak-anak diceritakan dengan cermat. Penggunaan warna lokal tersebut membuktikan bahwa warna lokal Betawi tak kalah penting dengan warna lokal daerah yang lain sebagai kreativitas para pengarang. Kata Kunci : warna lokal, Betawi, kumpulan cerpen Terang Bulan Terang di Kali; Cerita Keliling Jakarta, S.M Ardan
Pendahuluan Sebuah cerita yang baik didukung oleh latar yang tajam dan jelas. Latar yang tajam dan jelas membenarkan dan memberikan kesaksian bahwa memang di sanalah sebuah cerita berlangsung. Latar yang tajam dan jelas yang menggambarkan waktu dan tempat juga sosial budaya dinamakan warna lokal (local color) atau warna setempat. Warna lokal bagian dari struktur karya sastra, khususnya salah satu aspek dari latar, atmosfer, dan penggunaan bahasa. Sebagai bagian dari latar fisik dan ruang, warna lokal dikaitkan dengan geografi yang mencakup ciri-ciri kultur setempat, misalnya adat istiadat dan ritual, dan bahkan kecenderungan interferensi leksikal-idiomatis bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang digunakan di dalamnya (Murniah, 2007:141).
1
Selanjutnya Purba (dalam Bahadur, 2014 :81-82) menjelaskan sastra warna lokal ditandai oleh ciri-ciri pemakaian bahasa daerah, gaya bahasa daerah, penggambaran latar, tokoh, penokohan, cara berpakaian, makan, minum, adat istiadat, keyakinan, kepercayaan agama, dan filsafat hidup. Penggunaan warna lokal dalam cerita Indonesia telah dimulai sejak awal sejarah sastra Indonesia. Kalau kita perhatikan karya-karya pengarang yang biasa dikenal dengan istilah “Angkatan Balai Pustaka”, maka sangat tajamlah warna lokal Minangkabau pada cerita-cerita pengarang yang berasal dari daerah tersebut. Oleh karena itu, bukan gejala baru apabila warna lokal dari daerah lain muncul dalam khasanah sastra Indonesia. Sebutlah diantaranya warna lokal Dayak dalam Upacara (Korrie Layun Rampan), Jawa dalam Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), Ronggeng Dukuh Paruk, (Ahmad Tohari), Burung-burung Manyar, (Y.B. Mangunwijaya), Para Priyayi (Umar Kayam, 1993), Melayu dalam Parang Tak Berbulu (Raudal Tanjung Banua), Sandiwara Hang Tuah (Taufik Ikram Jamil, 1997) , danBali Tarian Bumi, (Oka Rusmini) Namun, sangat sedikit pengarang yang mengangkat warna lokal Jakarta (Betawi). Padahal sejak ratusan lalu, Jakarta menjadi tempat pertemuan dan tempat tinggal pelbagai suku dan bangsa. Kota ini merupakan representasi dari orang Indonesia dalam arti sebenarnya. Membicarakan Jakarta dulu dan sekarang seperti tidak ada habisnya. Persoalan-persoalan itu berakar dari berbagai persoalan yang nyaris sama pada masa lalu. Sebut saja aspek demografi, morfologi perkotaan, lingkungan hidup, lalu lintas hingga banjir. Diantara yang sedikit itu ialah S.M. Ardan yang nama sebenarnya Syamardan. Lahir di Medan 2 Februari 1932, tetapi sejak usia beberapa bulan tinggal di Jakarta sampai meninggal, 26 November 2006. Selain dikenal sebagai “Ensiklopedi Berjalan Film Indonesia”, ia adalah sastrawan-budayawan Betawi. Ia tidak hanya menulis tentang Betawi baik berupa puisi atau cerita tetapi juga membina teater lenong, teater Betawi sejak 1970-an di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan TVRI. Karena itu boleh jadi,
2
menurut Maman Mahayana, S.M Ardan lebih dikenal Seniman Betawi daripada sastrawan. Sebagai sastrawan, ia menulis kumpulan puisi Ketemu di Jalan (1956)bersama Ajip Rosidi dan Sobron Aidit. Kemudian terbit noveletnyaNyai Dasima (1965) yang sebelumnya cerita bersambung dalam koran Warta Berita (1960). Novel tersebut merupakan tulisan ulang dari cerita rekaaan karya G. Francis. Sebelumnya naskah dramanya paling awal, Kubangandimuat majalah Drama, no. 2, I, 1953. Namanya mulai dikenal saat diterbitkan kumpulan cerpen Terang Bulan Terang di Kali (1955) oleh penerbit Gunung Agung. Kemudian buku kumpulan 10 cerpen tersebut dicetak ulang oleh Pustaka Jaya (1971). Terang Bulang Terang di Kali dianggap sebagai pemula yang menggunakan dialek Betawi secara utuh. Bahasa Betawi yang digunakan tidak hanya untuk membangun latar tetapi digunakan dalam dialog (percakapan) hampir semua ceritanya.
Penggunaan dialek Betawi ini meski pada awalya menimbulkan
polemik, namun diterima sebagai bagian untuk mengenalkan tradisi budaya Betawi selain kemungkinan baru bagi sastra Indonesia. Langkah Ardan tersebut diikuti oleh pengarang lain di daerah di luar Betawi. Untuk memperkaya cerita tentang Betawi, J.J. Rizal menambah 12 cerita pendek karya Ardan yang masih terserak dalam pelbagai terbitan majalah (Mimbar Indonesia, Kisah, Indonesia, Tjerita, dan Siasat) dan yang masih berupa dokumentasi pribadi. Karya-karya yang tersebar itu disatukan di dalam bagian “Cerita Keliling Jakarta” dan menjadi tambahan kumpulan cerpen Ardan sebelumnya. Untuk itu Terang Bulan Terang di Kali :Cerita Keliling Jakartaini memuat 22 cerita pendek yang terdiri dua bagian. Bagian pertama “Terang Bulan Terang di Kali” memuat seluruh cerpen dalam kumpulan pertama dan bagian “Cerita Keliling Jakarta”. Tulisan ini menjelaskan bagaimana warna lokal Betawi pada kumpulan cerpen ini yang mencakup orang-orang Betawi dengan profesinya, bahasa, adat istiadat, makanan, dan sebagainya. Selain untuk memaknai nilai-nilai sastranya
3
juga sebagai pengantar mengenalkan Betawi dalam sejarah dan keanekaragaman budayanya. Pembahasan Judul bagian pertama yang menjadi kumpulan cerpen yang terbit 1954, diambil dari syair lagu terkenal di kalangan orang-orang Betawi. Lirik tersebut pernah dijadikan film dengan judul Terang Boelan (1937). Lagu tersebut sangat digemari masyarakat sehingga film tersebut sukses di pasaran. Di antara lirik lagu tersebut adalah : Terang bulan terang di kali/Buaya nimbul disangka mati/Jangan percaya mulut lelaki/Berani sumpah tapi takut mati. Ardan dalam buku ini mencoba mengangkat warna lokal Betawi dengan segala kehidupan sehari-harinya. Dalam buku ini, Ardan menggunakan kalimatkalimat dan ungkapan-ungkapan khas Betawi. Penggunaan kata ganti dialek Betawi seperti gue, die, lu, kite, ente, ane,diucapkan tokoh-tokoh ciptaan Ardan tersebut dalam setiap percakapan. Berbagai ungkapan seperti gegares(makan), cepo(tidak
punya
mewek(menangis), ngudak(mengejar),
uang),
rerep(sejuk,
pere(tidak
bekerja
mulai), atau
tege(sampai
libur),
menggerip(magrib),
hati),
ngelebok(makan),
sebet(cekatan,
sigap),
ngederes(membaca Qur an), aleman(manja, banyak tingkah)digunakan Ardan tidak hanya untuk menghidupkan percakapan tetapi juga untuk mengungkapan pikiran dan emosi para tokohnya. Untuk itu makian khas orang Betawi seperti sompret, tai luh, tai kucing, gua gampar luh, bacot luh, gua kojorin, ngebacot aja, sialan luh, ngehe, tidak ketinggalan dalam setiap percakapan setiap tokohnya. Satuan uang yang sekarang sudah tidak ada
lagi sepertiseringgit (2,5
rupiah), seperak(100 sen atau serupiah), cetun(serupiah), talen(25 sen), picis(10 sen),masih ditemukan dalam cerita-cerita di buku ini. Berbagai istilah dan ungkapan Betawi tersebut tidak menimbulkan salah penafsiran dalam memahami setiap cerita. Justru penggunaan dialog Betawi tersebut menjadikan cerita menjadi hidup dan wajar.
4
Identitas Betawi ditandai ciri khas nama-nama warganya. Masyarakat Betawi tengahan mempunyai ciri khas nama yang dipengaruhi oleh pengaruh keislaman dan kearaban, baik untuk nama perempuan maupun nama lelaki.Cerita “Belum Selesai” terdapat nama-nama yang menggambarkan hal itu : Kosim, Fatma, Amsar, dan Mak Minah. Kosim, Fatmah (Fatimah), Mak Minah (Aminah) nama-nama yang berasal dari keluarga Nabi Muhammad saw. Nama lainnya ialah Ayup, Karim, Sahri, Sairun, dan Sinah. Sedangkan masyarakat Betawi pinggiranselain ditandai nama asli Betawi seperti Jiman, Siun, Icem, Senan, Tinah, Icang, Maseum, Japra, Ni’ung, dan Sanip juga memakai nama Sunda atau Jawa seperti Acah, Mimin, dan Sulastri. Masesun, dan Sanip. Identitas Betawi lainnya ditandai dalam istilah sapaan kekerabatan seperti bapak, abah, babeh, abang, mamang, empok, neng, nok, atau sebutan saja seperti, “Si Botak”, “Si Bocah”, “Si Topi Cepiau”, Si Gemuk”, “Si Topi Tikar” dan “Si Kaos Kutang”. Nama yang sering dipakai orang Betawi ialah Mamat, dipanggil Mat. Untuk mencegah kekeliruan biasanya dipakai gelar di belakang nama Mat. Sehingga ada yang dipangil Mat Tikus karena telinganya mirip tikus sedangkan yang matanya besar melotot dipanggil Mat Belo. Cerita “Penimbang Berat Badan” berkisah tentang tokoh yang sebelumnya dipanggil Mat Kurus kemudian diganti Mat Gagal karena pernah dianggap gagal bunuh diri. Sisi orang religius orang Betawi tempo dulu digambarkan oleh Ardan dalam cerita “Bang Senan Mau ke Mekah” dan “Sanip Membuat Lelucon.” Bang Senan dan Sanip adalah gambaran orang Betawi religius. Mereka berprinsip lebih mengutamakan akhirat dibandingkan dunia. Dengan berpegang teguh kepada agama hidup akan berkah, selamat dunia dan akhirat. Bang Senan hanya ingin anaknya pintar ngederes (mengaji qur an) hingga ia lebih mengutamakan anaknya mengaji, masuk ke madrasah, daripada ke sekolah. Ia beralasan,“...Tinggi-tinggi di sekolahin jadi gak bener buat ape, percume dong. Ente kan tahu sendiri anak-anak sekarang pade ude lupe igame. Ninggal Ibadat.
5
Nonton! Jalan-jalan! Maen Perempuan! (Ardan, 2007 : 30). Sekolah, terutama buat anak perempuan bukan prioritas buat orang Betawi. Meskipun gurunya menganggap “otaknya encer” Tinah menghentikan sekolahnya karena ayahnya berpendapat, “Perempuan sih gak usah tinggi-tinggi sekolah. Asal pinter masak gampang dapat laki. Lu tinggi-tinggi sekolah ke dapur-dapur juga (Ardan, 2007: 181).” Selain dikenal pedagang yang jujur dan mudah memberikan utang, Bang Senan tidak menjual lagi bir yang dianggapnya haram. Ketika menjual bir, Bang Senan merasa usahanya tidak berkah sehingga tidak mendapatkan kemajuan. Oleh karena itu, ia hanya berjualan kopi, rokok, kue pisang dan makanan warung lainnya. Sedangkan Sanip, meskipun pengangguran ia tidak ingin meninggalkan ibadat. Menurutnya lebih baik bersenang-senang di akhirat nanti daripada menjadi kafir-kafir. Meskipun di dunia kaya raya, namun matinya akan dibakar api neraka karena selama hidupnya hanya memikirkan keduniaan. Selain mereka yang dari mudanya sudah religius, dalam “Betapa Enak Bisa Ketawa” menceritakan Ayah Tinah yang insaf pada masa tuanya. Ketika muda, ia terkenal sebagai jagoan, buaya perempuan, juga tukang pukul.Kegilaannya waktu masih muda, ia sering ceritakan kepada anak-anak muda sekalian menganjurkan dan mengajari mereka. Meskipun demikian, ia lebih menyukai orang alim dan rajin ibadah sedari mudanya. Di balik sisi religius orang Betawi, Ardan juga menampilkan sisi lain orang Betawi. “Mulutnya Komat-Kamit” mengisahkan Japra, penarik becak yang dianggap kurang beres pikirannya. Meskipun sering komat-kamit yang tak jelas bunyinya, ia dikenal sebagai orang jujur. Selain dalam hal setoran, ia pun jujur mengembalikan dompet penumpang yang tertinggal di becaknya. Saat menarik becak,ia mengenjot becak dengan pelan. Tidak pernah mengambil jalan dan selalu mengalah termasuk kepada pengedara sepeda.
6
Mirin dalam “Es Krim” mendadak gila karena kematian istrinya. Saat kamatian istrinya yang sudah sakit sebelumnya, ia baru gaji terima dari bengkel tempatnya bekerja. Gajinya yang baru diterima itu, ia habiskan dengan Miran, anaknya, untuk makan di restoran “Ratna” memesan makanan dan es krim. Sisi gelapnya orang Betawi dapat dilihat dalam cerita “Malam Terang dan Langit Cerah”. Dalam cerita itu Ardan menggambarkan
orang-orang Betawi
yang memiliki kesukaan akan maen (berjudi), mabok-mabokan (minum bir) dan menghabiskan di kalangan (galangan) pada malam bulan baru atau
malam
minggu dengan para ronggeng atau doger. Di kalangan itu, para ronggeng menggoyang-goyangkan pantatnya, kadang cepat, kadang lambat. Dengan diiringi gamelan, mereka menyanyikan lagu-lagu sesuai permintaan para pengunjung seperti “Gaplek”, “Ucing-ucingan”, “Geboy”, “Ujang Boin”, dan “Waru Doyong”. Selain itu, mereka mengibing bersama para lelaki yang sudah limbung, melayang-layang pengaruh minuman. Salah satu tempat yang dijadikan kalangan tersebut adalah sebuah jalan antara Stasiun Senen dan jalan rel kerata api buntu di Senen Lama. Sebelum Gubernur Ali Sadikin merelokasi ke Kramat Tunggak, daerah tersebut dikenal “Planet Senen” dan tempat “lokalisasi” sejak sore hingga menjelang subuh. Para ronggeng tersebut berasal dari pinggiran Jakarta yang datang mencari nafkah sambil menunggu panen, jika panen tiba mereka kembali ke desanya menjadi kuli menuai. Eles dalam “Soto Mih” adalah ronggeng yang berasal dari Rengasdengklok Banten. Selain meronggeng, ia pun menjadi pelacur seperti Tasmi dalam “Oh, Tasmi”, pelacur yang dicari-cari Mansur sampai ke kamar sewaannya yang berada di gang sempit dan becek. Orang Betawi banyak yang hidup berjualan. Hal ini terbukti dari banyaknya pasar di sekitar Betawi. Umumnya menggunakan nama-nama hari seperti pasar Senen, tempat yang menjadi latar
sebagian besar
cerita dalam
buku ini.
Berjualan juga merupakan mata pencaharian orang-orang dalam beberapa cerita seperti, penjual kopi (“Bang Senan Naik Haji”), penjual minyak dan rokok
7
(“Bulan Menyaksikan”) dan penjual daging, cendol, sayur di Kwitang (“Rekaman”) dan penjual susu (“Fajar Pagi [Fragmen Rumah Tak Bepintu]”). Diantara para penjual tersebut, penjual daging termasuk yang menghilang dari peredaran jalan di Jakarta saat ini. Dulu tukang daging berjualan menggunakan sepeda yang di belakangnya atau diboncengnya diletakan kotak kayu atau kotal alumunium besar berisi daging. Perkembangan Kota Jakarta yang melebar menyebabkan mata pencaharian orang Betawi pun mengalami perubahan. Oleh karena itu, usaha dalam jasa diambil orang Betawi yang diantaranya adalah menarik becak. Istilah khas Betawi yang biasa dipakai penarik becak seperti, narik(membecak), serepin,(cadangan atau
pengganti),
dan
nembak(membawa
muatan
dengan
becakorang
lain)ditemukan pada kumpulan cerpen ini. Pada tahun 1950-an yang menjadi latar cerita dalam kumpulan ini, becak sudah membuat semerawut jalan-jalan di Jakarta. Jiman dan Siung (“Pulang Pesta”),
dan
Icang
(“Bulan
Menyaksikan”)
adalah
orang-orang
yang
kesehariannya menarik becak di berbagai jalan di daerah Senen. Tokoh Dia yang juga menarik beca (“Kucing Kawin”) menganggap, “Siapa bilang narik becak tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup. Asal kita jalan dengan benar. Asal tidak main dadu, tidak main perempuan. Buat apa tidak setor-setor, yang rugikan bukan tauke tapi kita juga. Bikin susah sendiri namanya itu? Benar tidak?” (Ardan, 2007: 210).Sejak akhir 1980-an becak dilarang beroperasi di Jakarta. Selain becak, jalanan di Jakarta diramaikan pengendara sepeda yang menyelinap di antara kendaraan lainnya. Anak-anak muda dalam “Bang Senan Mau ke Mekah” dengan bercelana jengki bersepeda menonton primer, pemutaran pertama filmdi bioskop di Astoria. Menonton bioskop adalah salah satu kebiasan anak-anak muda Betawi pada saat itu. Selain Astoria, tahun 50-an beberapa bioskoptelah dibuka seperti Metropole yang terletak di daerah Cikini. Bioskop itu memiliki arsitektur indah yang di sekitarnya terdapat pertokoan dan restoran
8
megah di bagian atasnya. Bioskop lainya ialah Grand di daerah Senen yang sudah berdiri sebelumnya. Transportasi lainnya yang populer pada waktu itu ialah trem. Cerita “Bonceng, Bung”, berkisah perjalanan tokoh Aku pulang kerja dengan trem melewati jalan-jalan di Jakarta beserta oplet dan sepeda. Sepanjang jalan, ia melihat perempuan-perempuan pencuci pakaian memenuhi sungai-sungai. Kuli nyuci dan menjadi babu, pembantu, termasuk pekerjaan istri-istri orang Betawi seperti Ibu Si Mimin (“Pulang Siang”). Ia bekerja untuk membantu biaya hidup karena suaminya hanyapenjual es sirup di Stasiun Gambir. Mimi berjualan Kopi dan Putu (“Wajahnya Senyum-senyum Saja”) sedangkan Tinah (“Belum Selesai”)
berjualan makanan seperti rebus ubi, goreng singkong, dan
ketimus.Makanan lainnya yang bisa kita temukan pada cerita-cerita Betawi ini diantaranya toge goreng, soto mie, sekoteng, dan ketan serta sambalnya. Tempat pekerjaan yang percetakan. Tokoh Aku
disebutkan dalam kumpulan cerita ini adalah
(“Bonceng, Bung!) merasakan enaknya pulang dari
pekerjaannya. Selain bebas dari bising, ia bebas dari bau timah. Sebelum tahun 1970-an proses cetak (koran, dll.) melalu cetak dari timah. Selain tokoh Aku, Tinah (“Betapa Enak Bisa Ketawa”) bekerja di percetakan besar, bagian penjilidan. Tak kalah pentingnya adalah jasa mengobati anak kecil. Cerita “Pulang Siang” menceritakan Pak Sairun yang biasa memantrai anak-anak kecil yang sakit. Karena kemiskinan, orang-orang dalam cerita tersebut mengandalkan Pak Sairun untuk menyembuhkan anaknya. Mimin yang berusia tiga tahun, akhirnya sembuh setelah dimantrai dan minum air yang diberikan Pak Sairun. Berbagai nyanyian dan permainan anak-anak saat malam terang bulan diceritakan dalam “Pulang Pesta”. Cerita itu menggambarkan bagaimana Tokoh Jiman, yang hidupnya tidak seterang bulan teringat teriakan-teriakan khas permainan nenek gerondong berlangsung,
9
“Tok-tok kenniiing.” “Sape ittuuu.” “Nenek Gerondong.” “Minta appeee?’ “Minta ubi.” “Ubinya baru berdaun atu!” (Ardan, 2007 : 4). Atau sayup teriakan-teriakan “asiiin”,”asiiin”, dalam permainan gala asin.Selain karena kedua permainan itu, keriuhan anak-anak disebutkan teriakan saling bersautan anak-anak yang memainkan Cici-goci. Cici-cici goci tembako tiga kati. Mak none mak none none siiii...Nanah mau!” Kembang ape!” Seorang bocah yang lucu menjawab dengan penuh perhatian teman-teman sekelilingnya, serta tilikan senyum orang tuanya. Eeehhh kembang walu Ci-ci goci tembakau tiga kati. Mak None-mak none, Si Nanah mau Kembang....waru! ...pulang-puuulang bapaknya bawa duit Seribu. (Ardan, 2007 : 191-192) Berbagai permainan yang biasa dimainkan anak-anak sore hari atau saat bulan terang tersebut mungkin sudah tidak dimainkan bahkan hilang pada saat sekarang. Kegembiraan dirasakan orang-orang ketika perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Cerita “Rekaman” menggambarkan bagaimana mereka dengan caranya masing-masing menyambut hari yang dianggap keramat tersebut. Selain memasang bendera, setiap rumah yang memiliki radio memasang radio sekeras-kerasnya mengikuti perayaan di Istana Negara. Sebagian lainnya datang berbondong-bondong datang upacara di berbagai tempat. Meski untuk itu harus berdesak-desakan sampai ada anak kecil mati tergencet.
10
Untuk menyambut hari penting itu, pelajar dan pekerja diliburkan, namun hari itu tidak menghentikan kegiatan para tukang daging, tukang sayur, tukang soto mie, tukang cuci termasuk tukang becak dan tukang cendol yang memasang bendera ikut meramaikan “pesta” kemerdekaan tersebut. Kebiasaan yang banyak dilakukan orang Betawi adalah kongkow-kongkow. Kata ini berasal dari Cina-Betawi yang kemudian menjadi bahasa Betawi. Kata ini sama artinya dengan ngerumpi yang merupakan kata bentukan baru yang berasal dari
dari bahasa remaja Jakarta yang berarti berbicara ke sana ke mari,
bergunjing, atau mengobrol omong kosong dan membicarakan obyek tertentu atau tentang orang lain. Kegiatan tersebut dilakukan orang-orang yang saling bertetangga, Jiman dan Siun (“Pulang Pesta”), suami dan istri (“Pulang Siang” dan “Belum Selesai”), penjual dan pembeli (“Bang Senan Mau ke Mekah”), para pengantre (“Pawai di Bawah Bulan”), dan para kekasih (“Bulan Menyaksikan” dan “Bulan Sabit di Langit Barat”). Meskipun lebih banyak membicarakan hal yang sepele, kongkow-kongkow ini dapat memberikan berbagai fungsi : rekreasi dan refresing (“Pulang Pesta”, “Bulan Menyaksikan”, dan “Bulan Sabit di Langit Barat”), media komunikasi (“Pawai di Bawah Bulan” dan “Bang Senan Mau Ke Mekah), menunjukkan eksistensi bahkan menyelesaikan berbagai persoalan hidup (“Pulang Siang” dan “Belum Selesai”).
Penutup Demikianlah
Ardan
memberikan
gambaran
masyarakat
Betawi
kebanyakan dengan berbagai profesi seperti tukang beca, pedagang es, pemilik warung, pengemis, ronggeng, babu, dan semacamnya. Kebiasaan-kebiasaan orang Betawi yang hidup di pinggir-pinggir kali di “rekam” oleh Ardan dengan cermat. Mereka senantiasa beranggapan bahwa hidup ini indah, segalanya indah seperti
11
terang bulan. Oleh karena itu, harus selalu diisi dengan canda dan humor meskipun hidup pada kenyataannya tak seperti bulan yang selalu molek, indah, dan terang di malam hari. Oleh karena itu, humor dalam kumpulan cerita ini menjadi sangat dominan. Penggunaan warna lokal dalam kumpulan cerita pendek tersebut tidak hanya menjadi latar belakang budaya, tetapi menawarkan paradigma berpikir bagaimana orang menyelesaikan persoalan dan konflik secara lokal.Beberapa tempat yang digambarkan dalam kumpulan cerita ini seperti daerah Senen, Menteng, Cikini dan sebagainya seakan-akan menjadi hidup dengan membaca buku ini. Beberapa cerita dari buku ini menurut Ajip Rosidi tidaklah benar-benar sebuah cerita, hanya lukisan kehidupan atau potret sehari-hari. Tetapi potret tersebut menurut H.B. Jassin membantu ahli ilmu bahasa dan ilmu bangsa-bangsa dan kemasyarakatan (Antropologi-Sosiologi) dalam penyelidikan menyangkut masyarakat Betawi termasuk bahasanya. Berbagai adat kebiasaan, dialek, termasuk permainan dan nyanian anak-anak Betawi terdokumentasikan dengan baik oleh Ardan. Penggunaan warna lokal Betawi dalam karya S.M. Ardan ini membuktikan bahwa warna lokal Betawi tak kalah penting dengan warna lokal daerah yang lain sebagai kreativitas para pengarang dan diharapkan menegaskan kembali setiap identitas budaya lokal yang ada seperti yang dilakukan bangsa-bangsa lain.
12
Daftar Pustaka Alkatiri, Zeffry. 2012. Jakarta Punya Cara. Jakarta : Masup Jakarta. Ardan, S.M. 2007. Terang Bulan Terang di Kal :Cerita Keliling Betawi. Jakarta : Pustaka Jaya. Bahadur, Ishadi. 2014. “Peran Novel-novel Indonesia Warna Lokal dalam Upaya Membangun Keragaman Budaya” dalam Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya, Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia. Prosiding Seminar Internasional. Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Marahimin, Ismail, 1994. Menulis Secara Populer, Jakarta : Pustaka Jaya. Mahayana, Maman. 2015. Kitab Kritik Sastra. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Murniah, Dad. 2007. “Warna Lokal dalam Sastra Indonesia” dalam Amin Sweeney (ed.) Keindonesian dan Kemelayuan dalam Sastra. Depok : Desantara. Santoso, Puji.“Keberagaman Sastra Indonesia dalam Membangun Keindonesiaan” www. badan bahasa. Kemdikbud.go.id. diakses 10 November 2014 Shihab, Alwi. 2013. Bukurepublika.
Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia, Jakarta:
------------------, 2007. Kasino Bernama Kepulauan Seribu, Jakarta: Lentera.
13