VI. TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH PERBATASAN KABUPATEN BENGKAYANG Abstrak Pelaksanaan pembangunan wilayah di era desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar terjadi keseimbangan pembangunan wilayah perbatasan dengan wilayah perkotaan di sekitarnya. Salah satu konsep pembangunan desa-kota berimbang yang dapat dilakukan adalah pengembangan kawasan agropolitan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan. Metode analisis data yang digunakan meliputi analisis tipologi, skalogram, AHP, dan ISM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang termasuk dalam strata prakawasan agropolitan II dengan 2 desa termasuk desa maju, 11 desa berkembang sedang, dan 16 desa tertinggal. Jenis agropolitan yang perlu dikembangkan adalah agropolitan terpadu (perkebunan-tanaman pangan-peternakan) dimana peran pemerintah sangat dibutuhkan terutama kebijakannya dalam pengembangan kawasan agropolitan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya infrastruktur dan rendahnya kualitas SDM sehingga dibutuhkan program peningkatan kualitas SDM dan penyediaan infrastruktur yang memadai. Kata kunci : perkembangan wilayah, wilayah perbatasan
6.1. Pendahuluan Percepatan pembangunan wilayah terutama wilayah perbatasan sangat diperlukan
keberpihakan
pemerintah
terhadap
pembangunan
wilayah
di
perbatasan tersebut. Pada prinsipnya, komitmen pemerintah untuk memperpecat pembangunan
wilayah
perbatasan
telah
tercermin
dalam
kebijakan
pembangunan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1993 yang masih konsisten dengan GBHN tahun 1999 – 2004. Dalam GBHN tahun 1999 – 2004 pada Bab IV Butir G dinyatakan bahwa perlu peningkatan pembangunan di seluruh daerah termasuk wilayah perbatasan dengan tetap berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Namun pada kenyataanya, hingga saat ini belum memperlihatkan hasil yang nyata, dimana masih terjadi ketimpangan pembangunan antara wilayah perbatasan yang didominasi oleh wilayah perdesaan dibandingkan dengan pembangunan wilayah perkotaan. Teti (2005) menyatakan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan perdesaan termasuk di wilayah perbatasan, ternyata tidak mudah dijalankan. Kesulitan ini bermula dari asumsi dasar bekerjanya kebijakan ekonomi, sosial, dan politik bahwa aktifitas tersebut sebagian besar berada di perkotaan
dengan
cara
kerja
formal,
terencana,
terregulasi,
sehingga
89 mengakibatkan kebijakan nasional mengenai pembangunan regional tidak dapat langsung diterapkan di perdesaan. Dalam rangka penanganan pembangunan di wilayah perbatasan, paradigma pembangunan yang orientasinya lebih dominan ke wilayah perkotaan perlu dirubah dengan cara menyeimbangkan pembangunan wilayah perdesaan di perbatasan dengan wilayah perkotaan. Salah satu konsep pembangunan desa–kota
berimbang
yang
diharapkan
dapat
mengangkat
kualitas
kesejahteraan masyarakat dan kemajuan wilayah perdesaan termasuk wilayah perbatasan yang didasarkan pada potensi lokal wilayah dengan memberdayakan masyarakat setempat dan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan adalah pengembangan kawasan agropolitan sebagaimana dicanangkan pemerintah pada tahun 2002. Dalam rangak penetapan suatu wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan, sebaiknya terlebih dahulu dikaji selauhmana tingkat perkembangan wilayah tersebut sehingga dapat diketahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang untuk pengembangan kawasan agropolitan.
6.2.
Metode Analisis Kajian Tingkat Perkembangan Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
a. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan yang berkaitan dengan analisis tingkat perkembangan wilayah kawasan agropolitan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan berupa data persepsi masyarakat dan pendapat pakar berkaitan alternatif pengembangan kawasan agropolitan, sedangkan data sekunder yang diperlukan berupa data jumlah dan tingkat kepadatan penduduk, jumlah kepala keluarga (KK), jumlah keluarga pra sejahtera, banyak desa terpencil, jarak desa ke kecamatan dan kabupaten, sarana dan prasarana umum, sarana dan prasarana pertanian, luas kawasan agropolitan, luas tanam dan panen, komoditas unggulan, produksi pertanian, tingkat pendidikan, keberadaan kelembagaan pertanian, kelembagaan sosial, dan regulasi atau peraturan-peraturan yang ada. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dari para stakeholder yang berperan dalam menyusun strategi pengembangan agropolitan, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi kepustakaan pada berbagai instansi yang terkait.
90 b. Metode Pengumpulan Data Data primer diperoleh dari hasil wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi, sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa sumber kepustakaan dan dokumen dari beberapa instansi yang terkait dengan penelitian.
c. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam mengkaji tingkat perkembangan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang terdiri atas analisis tipologi, analisis skalogram, Analisis Hierarkhi Proses (AHP), dan analisis Interpretatif Stuktural Modeling (ISM). c.1 Analisis Tipologi Kawasan Analisis tipologi kawasan diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai karakteristik dari masing-masing kawasan. Dalam analisis tipologi kawasan ini digunakan analisis berstrata, analisis komponen utana (Principal Component Analysis/PCA), dan analisis cluster. Pada analisis strata, kawasan dibagi atas tiga strata yaitu Pra Kawasan Agropolitan I, Pra Kawasan Agropolitan II dan Kawasan Agropolitan. Dalam analisis strata, Departemen Pertanian (2002), membagi wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan atas tiga strata yaitu strata Pra Kawasan Agropolitan I, strata Pra Kawasan Agropolitan II, dan strata Kawasan Agropolitan. Ada lima variabel penciri yang digunakan sebagai indikator penilaian yaitu komoditas unggulan yang dikembangkan, kelembagaan pasar, kelembagaan petani, kelembagaan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dan kelengkapan sarana dan prasarana wilayah yang dimiliki. Dalam analisis komponen utama
digunakan untuk menentukan
peubah-peubah yang paling dominan mempengaruhi strata kawasan agropolitan. Penggunaan analisis komponen utama dimaksudkan untuk mendapatkan variabel baru dalam jumlah lebih kecil dari sejumlah variabel yang dianalisis dimana variabel baru tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap peningkatan strata kawasan. Variabel yang lebih kecil dapat 2 atau 3 atau lebih tergantung subjektivitas analis, tetapi menurut Iriawan dan Astuti (2006), bahwa apabila total variasi populasi sekitar 80 – 90 % untuk jumlah variabel yang besar dapat diterangkan oleh 2 atau 3 komponen utama (Principal Component), maka kedua atau ketiga komponen dapat menggantikan variabel semula tanpa
91 menghilangkan banyak informasi dan multikolinearitas (hubungan korelasi antar variabel-variabel
penjelas).
Selanjutnya
dilakukan
analisis
cluster
untuk
mengelompokkan unit-unit wilayah ke dalam kelompok yang labih homogen berdasarkan kemiripan yang dimiliki. analisis komponen utama dan analisis cluster dilakukan dengan menggunakan software Minitab 14.
c.2 Analisis Skalogram Analisis skalogram digunakan untuk mengetahui jumlah dan jenis sarana pelayanan (fasilitas) yang dimiliki oleh setiap wilayah. Dalam metode ini, seluruh fasilitas yang dimiliki setiap wilayah didata dan disusun dalam satu tabel dimana unit wilayah yang memiliki fasilitas lebih lengkap diletakkan paling atas, dan selanjutnya unit wilayah yang memiliki fasilitas kurang lengkap. Secara umum, fasilitas yang dimiliki oleh setiap unit wilayah dikelompokkan menjadi enam yaitu fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas ibadah, fasilitas olah raga, fasilitas keamanan, dan fasilitas ekonomi. Selanjutnya dilakukan analisis sentralitas untuk mengelompokkan hierarkhi wilayah berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki. 1. Kelompok I (tingkat perkembangan tinggi) diasumsikan sebagai kelompok desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, serta kepadatan penduduk yang lebih besar atau sama dengan rata-rata + 2 x standar deviasi 2.
Kelompok II (tingkat perkembangan sedang) diasumsikan sebagai kelompok desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana, dan kepadatan penduduk antara rata-rata sampai rata-rata + 2 x standar deviasi
3. Kelompok III (tingkat perkembangan rendah) diasumsikan sebagai kelompok desa yang memiliki jumlah jenis, jumlah unit sarana dan prasarana dan kepadatan penduduk kurang dari nilai rata-rata.
c.3 Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menentukan elemen-elemen kunci untuk ditangani. Analisis AHP ini diharapkan persoalanpersoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya.
Dalam analisis AHP didasarkan pada hasil
pendapat pakar (expert judgment) untuk menjaring berbagai informasi dari beberapa
elemen-elemen
yang
berpengaruh
dalam
penyelesaian
suatu
92 persoalan. Skala penilaian oleh pakar didasarkan pada skala nilai yang dikeluarkan oleh Saaty (1993) yang berkisar antara nilai 1 – 9, seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Tingkat Keterangan Kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
5
7
9
2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Penjelasan Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas lainnya Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan jika ada dua kompromi diantara dua pilihan
Sumber : Saaty, 1993
Dalam analisis AHP, urutan prioritas setiap elemen dinyatakan dalam nilai numerik atau persentasi. Elemen-elemen yang dikaji disusun dalam lima level seperti pada Gambar 16.
93
Fokus
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI WILAYAH PERBATASAN
Faktor
SUMBERDAYA ALAM
PEMERINTAH
PERUSAHAAN
Aktor
SUMBERDAYA MANUSIA
Tujuan
PERLUASAN LAPANGAN PEKERJAAN
Alternatif
AGROPOLITAN TANAMAN PANGAN
MODAL
PETANI
PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT
AGROPOLITAN PERKEBUNAN
PEMASARAN
PERBANKAN
PENGEMBANGAN WILAYAH
AGROPOLITAN PETERNAKAN
KEBIJAKAN KEBIJAKAN PEMERINTAH PEMERINTAH
PEDAGANG/ INVESTOR
PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH
AGROPOLITAN TERPADU
Gambar 16. Hierarkhi Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang.
c.4 Interpretative Structural Modeling (ISM) Analisis ISM bertujuan untuk mengkaji alternatif-alternatif yang dapat dipilih dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sesuai dengan karakteristik wilayah dan
kondisi
masyarakat setempat. Dalam analisis kelembagaan ini digunakan teknik pemodelan
interpretasi struktur (Interpretative Structural Modeling-ISM). Ada
sembilan elemen yang dapat dikaji dalam permodelan ISM (Saxena, 1992 dalam Marimin, 2004), antara lain : 1. Sektor masyarakat yang terpengaruh. 2. Kebutuhan dari program. 3. Kendala utama program. 4. Perubahan yang dimungkinkan. 5. Tujuan dari program. 6. Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan. 7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan.
94 8. Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas. 9. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam analisis ISM adalah menentukan elemen-elemen yang sesuai dengan topik penelitian dan kondisi wilayah studi. Selanjutnya disusun sub-subelemen pada setiap elemen yang terpilih. Pemilihan elemen dan penyusunan subelemen dilakukan hasil diskusi dengan pakar. Penilaian subelemen menggunakan perbandingan berpasangan dengan simbol VAXO dimana : V jika Eij = 1 dan Eji = 0
X jika Eij = 1 dan Eji = 1
A jika Eij = 0 dan Eji = 1
O jika Eij = 0 dan Eji = 0
dimana nilai Eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, dedangkan Eji = 0 berarti tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j. Hasil penilaian tersebut, tersusun dalam structural Self Interaction Matrix (SSIM) yang dibuat dalam bentuk tabel Rechability Matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks tersebut kemudian diubah menjadi matriks tertutup. Hal ini dilakukan untuk mengoraksi matriks tersebut memenuhi kaidah transitivity yaitu jika mempengaruhi B dan B mempengaruhi C, maka A harus mempengaruhi C. Langkah berikutnya adalah menyusun hierarkhi setiap subelemen pada elemen yang dikaji dan mengklasifikasikannya dalam empat sektor, apakah sub elemen tersebut termasik dalam sektor Autonomus, Dependent, Linkage, atau Independent (Gambar 17) : Sektor I : weak driver-weak dependent variable (Autonomus) yang berarti bahwa subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan yang sedikit meskipun hubungannya bisa saja kuat. Sektor II : weak driver-strongly dependent variables (Dependent) yang berarti bahwa subelemen pada sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Sektor III : strong driver-strongly dependent variables (Linkage) yang berati bahwa subelemen yang masuk sektor ini harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antara subelemen tidak stabil. Sektor IV : strong driver-weak dependent variables (Independent) yang berarti bahwa subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem yang disebut peubah bebas.
95 12 Sektor IV Independent)
Sektor III Lingkage
10
Driver Power
8 0
2
4
6
8
10
12
4 Sektor I Autonomous
2
Sektor II Dependent
0 Dependence Gambar 17. Matrik driver power-dependence dalam analisis ISM (Marimin, 2004)
6.3.
Hasil dan Pembahasan Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
6.3.1. Tipologi Wilayah Perbatasan Berdasarkan hasil analisis tipologi wilayah, kawasan agropolitan di kecamatan dekat perbatasan Kabupaten Bengkayang termasuk dalam strata pra Kawasan Agropolitan II, baik untuk Kecamatan Sanggau Ledo, Kecamatan Seluas, Kecamatan Jagoi Babang, dan Kecamatan Siding dengan nilai skor masing-masing 13, 9, 9, dan 8, seperti terlihat pada Lampiran 6. Status pra kawasan agropolitan II pada empat kecamatan dekat perbatasan Kabupaten Bengkayang memberikan gambaran bahwa secara umum masih banyak variabel-variabel sebagai indikator penilaian untuk meningkatkan strata kawasan menuju strata kawasan agropolitan belum terpenuhi secara lengkap. Khusus yang berkaitan variabel komoditas unggulan, jika dikaitkan dengan hasil analisis komoditas unggulan dan andalan, terlihat bahwa terdapat lebih dari satu komoditas unggulan yang telah dikembangkan oleh masyarakat, baik di Kecamatan Sanggau Ledo, kecamatan Seluas, Kecamatan Jagoi Babang, dan Kecamatan Siding, namun demikian tidak satupun komoditas unggulan tersebut yang mengalami proses pengolahan di wilayah tersebut. Petani langsung menjual hasil panenanya kepada Pedagang Pengumpul Desa (PPD) untuk selanjutnya dijual kepada Pedagang Pengumpul Kabupaten (PPK) atau langsung dipasarkan ke wilayah sekitarnya seperti Kota Singkawang, Pontianak, bahkan dijual ke negara tetangga Malaysia. Demikian pula dengan kelembagaan serta sarana dan prasarana yang ada, baik sarana dan prasarana jalan maupun
96 sarana dan prasarana umum seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan dan sarana dan prasarana sosial lainnya serta sarana dan prasarana agribisnis masih terlihat sangat minim. Khusus berkaitan dengan sarana dan prasarana jalan, beberapa desa di kecamatan
dekat
perbatasan
Kabupaten
Bengkayang
belum
memiliki
aksesibilitas penghubung dengan desa lainnya. Di Kecamatan Siding sendiri, aksesibilitas penghubung berupa jalan darat yang menghubungkan dengan kecamatan lain disekitarnya belum tersedia secara lengkap dan belum memadai sehingga semua aktivitas barang dan jasa serta hasil pertanian yang akan keluar masuk ke Kecamatan Siding membutuhkan waktu yang cukup lama bahkan terhambat. Masyarakat di Kecamatan Siding lebih cenderung menjual hasil pertaniannya ke negara tetangga Malaysia dibandingakn di dalam wilayah Indonesia sendiri karena aksesnya lebih mudah Serawak walaupun hanya melalui jalan setapak. Kecamatan terdekat yang dapat dilalui untuk masuk ke Kecamatan Siding adalah Kecamatan Seluas tetapi itupun hanya dapat ditempuh dengan memanfaatkan sarana transportasi air. Di Kecamatan Jagoi Babang, banyak warga Indonesia yang berdagang ke negara Malaysia melalui pintu perlintasan darat Jagoi Babang, bahkan secara khusus mereka dibuatkan pasar di Serikin untuk menjual produk pertaniannya. Demikian pula dengan warga Malaysia, banyak yang datang berbelanja ke Indonesia terutama hasil-hasil pertanian. Ini menunjukkan bahwa interaksi warga antar ke dua negara tersebut telah
terjalin
dengan
baik
yang
dapat
berdampak
pada
peningkatan
perekonomian kedua belah pihak. Dilihat dari kelengkapan Lembaga Penyuluh Pertanian (BPP), hampir semua kecamatan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang telah memiki BPP kecuali Kecamatan Siding, yang BPP-nya masih bergabung dengan Kecamatan Seluas. Tipologi kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang berupa pra kawasan agropolitan II yang menggambarkan tingkat perkembangan wilayah perbatasan untuk pengembangan kawasan agropolitan, masih didasarkan pada variabel-variabel yang bersifat umum sebagaimana yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian pada tahun 2002. Sementara itu, untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan masih banyak faktor-faktor pendukung lain yang bersifat spesifik yang menggambarkan variabilitas kawasan yang dapat dijadikan sebagai indikator penilaian. Analisis tipologi kawasan yang didasarkan pada variabel-
97 variabel yang lebih spesifik dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Principal Component Analysis (PCA) atau lebih dikenal dengan Analisis Komponen Utama (AKU). Dalam penelitian ini, variabel-variabel terpilih yang dianalisis dengan menggunakan teknik PCA antara lain kepadatan penduduk (jiwa/km2),
jarak
kecamatan ke kabupaten (km), jumlah kepala keluarga (KK)B, jumlah sarana dan prasarana umum (unit), jumlah sarana dan prasarana agribisnis (unit), jumlah komoditas unggulan (jenis), jumlah keluarga yang memakai PLN (KK), banyaknya desa/kelurahan terpencil (Desa), banyaknya keluarga pra sejahtera (jiwa), banyaknya keluarga sejahtera (jiwa), produksi tanaman pangan (kw/ha), luas tanam tanaman perkebunan (ha), dan produksi peternakan (ekor). Keragaman setiap variabel seperti terlihat pada Tabel 18. Tabel 18. Keragaman Variabel yang Menggambarkan Perkembangan Wilayah Perbatasan di Kabupaten Bengkayang. No.
Kecamatan
Variabel
1.
Jumlah penduduk (jiwa/km)
2.
Jarak kecamatan ke kabupaten (km)
3.
Jumlah kepala keluarga (KK)
4.
Sarana dan prasarana Umum (unit)
5.
Sarana dan prasarana agribisnis (unit)
6.
Jumlah komoditas pertanian (jenis)
7.
Keluarga pemakai PLN (KK)
8.
Desa/Kelurahan terpencil (Desa)
S.Ledo Seluas J.Babang Siding 22.091,0 14.043,0 8.500,0 5.490,0 49,6
76,1
4.823,0
3.188,0
533,0
320
197,0
122,0
19,0
2,0
1,0
1,0
9,0
6,0
10,0
8,0
2.866,0
1.325,0
491,0
0
5,0
5,0
5,0
8,0
153,0
447,0
95,0
86,0
3236,0
1751,0
642,3
152,9
226,2
142,5
12. Luas tanam tanaman perkebunan (ton)
11.231,0
8.781,0
2.232,0
473,0
13. Produksi peternakan (ekor)
80.823,0 53.012,0
90. Jumlah keluarga pra sejahtera (Jiwa) 10. Jumlah keluarga sejahtera (jiwa) 11. Produksi tanaman pangan (kw/ha)
89,9
103,7
1.329,0 1.289,0
972,0 1.039,0
8.223 4.465,0
Sumber : BPS Kab. Bengkayang, 2005.
Hasil analisis komponen utama (Tabel 18), menunjukkan bahwa setiap variabel memberikan pengaruh yang berbeda-beda antara satu variabel dengan variabel
lainnya
yang
menggambarkan
keragaman
tipologi
wilayah
pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bengkayang. Namun demikian, keragaman tipologi wilayah yang disebabkan oleh keseluruhan variabel yang dianalisis dapat disederhanakan menjadi kelompok variabel yang lebih kecil yang dapat menggambarkan keseluruhan informasi yang terkandung
98 dalam semua variabel. Dengan berpedoman pada total persentase kumulatif sebagaimana ditetapkan oleh Iriawan dan Astuti yaitu sebesar 80 – 90 %, maka dari 13 variabel yang dianalisis, dapat disederhanakan menjadi 5 variabel yang menyebar dalam 2 komponen utama (PC) yaitu komponen utama 1 (PC1) dan komponen utama 2 (PC2) dengan nilai proporsi eigenvalue masing-masing 75,5 % dan 17,9 % atau persentase kumulatifnya menjadi 93,6 %. Hasil analisis komponen utama seperti terlihat pada lampiran 7. Adapun variabel-variabel dari kedua komponen utama (PC1 dan PC2) hasil penyederhanaan variabel meliputi jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, jumlah sarana dan prasarana umum, jumlah komoditas pertanian dan banyaknya keluarga pra sejahtera. Ini berarti bahwa kelima variabel tersebut di atas dapat menjelaskan variabilitas ketiga belas variabel yang berpengaruh terhadap tipologi wilayah pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang atau dengan kata lain kelima variabel baru hasil analisis komponen utama dapat menjelaskan sekitar 93,6 % dari totalitas variabilitas variabel. Adanya perbedaan tipologi wilayah terhadap kecamatan dekat perbatasan di Kabupaten Bengkayang sangat dipengaruhi oleh keragaman variabel-variabel spesifik yang dimiliki setiap desa pada setiap kecamatan. Namun
demikian
keragaman
setiap
variabel
pada
setiap
desa
dapat
dikelompokkan menjadi kelompok variabel yang lebih kecil dan homogen berdasarkan kemiripan setiap variabel yang dimiliki oleh setiap desa. Untuk mengelompokkan desa-desa yang memiliki kemiripan berdasarkan keragaman variabel, dapat dilakukan dengan analisis cluster. Tujuan dilakukannya analisis cluster terhadap desa-desa di kecamatan dekat perbatasan Kabupaten Bengkayang adalah untuk memaksimumkan keragaman antar kelompok desa dan meminimumkan keragaman dalam kelompok desa. Dalam analisis cluster ini, ada 29 desa di empat kecamatan wilayah studi masing-masing 9 desa di Kecamatan Sanggau Ledo, 6 desa di Kecamatan Seluas, 6 di Kecamatan Jagoi Babang, dan 8 desa di Kecamatan Siding, dimana 29 desa tersebut akan dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil berdasarkan kemiripan karakteristik yang dimiliki. Karakteristik setiap desa disajkan dalam Lampiran 8 dan hasil analisis cluster seperti pada Gambar 18.
99
Dendrogram with Average Linkage and Correlation Coefficient Distance
Correlation Coefficient
95.50
97.00
98.50
100.00 n Be
i i i i il u u h ak sak ak ua a n y a ida g o n g ua s go ge n t a n ba si k lo n ng ng g I II ma i ng Bu u h a ru y a g k a m u d P i ay G ah Ja e k an b a e l Ja Ban D a a w u m e r Ka m o wa un ng e r i d hi gg B Ja G S S u S b u S M L a n a r i ng m K e a iS gk K T a Ta ngk g k g P T Le T S in y ng go en r u un jan a B a a t J S un n n n i S i m S S Se Se
De sa
Gambar 18. Dendrogram Koefisien Korelasi Beberapa Variabel Penciri Tipologi Desa di Kecamatan Dekat Perbatasan Kabupaten Bengkayang
Pada Gambar 18 di atas, terlihat bahwa secara garis besar tipologi wilayah desa berdasarkan kemiripan karakteristik yang dimiliki setiap desa di empat kecamatan dekat perbatasan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipologi wilayah yaitu tipologi I, tipologi II dan Tipologi III. Kelompok desa yang termasuk dalam tipologi I meliputi 14 desa yaitu Desa Bengkilu, Kamuh, Sinar Tebudak, Pisak, Mayak, Gua, Sahan, Sentangau Jaya, Jagoi Sekida, Sango, Lembang, Seluas, Jagoi, dan Bange. dengan nilai koefisien korelasi > 98,75 %. Karakteristik yang dimiliki kelompok desa pada tipologi I ini, terlihat bahwa secara geografis memiliki luas desa yang lebih kecil dengan rata-rata luas desa sekitar 74,61 km2, dimana desa paling kecil adalah Desa Sinar Tebudak dengan luas desa sebesar 29 km2 dan desa paling luas adalah Desa Pisak sebesar 127 km2, dengan jumlah penduduk yang lebih banyak. Kelompok desa ini sudah memiliki sarana dan prasarana umum yang lebih lengkap, sarana dan prasarana agribisnis seperti kios-kios tani sebagian desa sudah tersedia, dan umumnya memiliki sarana PLN dengan jumlah pelanggan yang banyak. Persentase keluarga petani berkisar antara 70 – 90 %, kecuali Desa Lembang hanya sekitar 65 % dan Desa Bengkilu mencapai 99 %. Kelompok desa yang termasuk dalam tipologi II meliputi 13 desa yaitu Desa Danti, Bengkawan, Kumba, Gersik, kalon, Tamong, Tawang, Sungkung I,
100 Sungkung II, Sinjang permai, Siding, Tangguh dan Lhi Bui, dengan nilai koefisien korelasi sebesar 98,75 – 97,75 %. Kelompok desa tipologi II ini secara umum memiliki luas desa relatif lebih besar dibandingkan dengan tipologi I dengan ratarata luas desa sebesar 81,63 km2. Desa paling kecil adalah Desa 35,55 km2 dan Desa paling luas adalah desa Bengkawan sebesar 133,00 km2, tetapi memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit. Kelompok desa ini umumnya memiliki sarana dan prasarana umum namun dalam jumlah yang lebih minim. Sarana dan prasarana agribisnis seperti keberadaan kios-kios pertanian, hanya terdapat di desa Kalon, Jagoi, dan Sinjang Permai, sedangkan desa-desa lainnya belum tersedia. Masyarakat pada kelompok tipologi II ini, secara umum belum memiliki sarana PLN, hal ini terlihat di Kecamatan Siding yang semua desanya masuk dalam tipologi II sama sekali belum memiliki sarana penerangan dari PLN. Demikian pula Desa Bengkawan dan Kalon di Kecamatan Seluas, serta Desa Kumba dan Gersik di Kecamatan Jagoi Babang belum tersedia sarana PLN. Posisi kelompok desa tipologi II terhadap ibukota kabupaten juga umumnya masih jauh. Desa paling dekat dengan ibukota kabupaten adalah Desa Kalon dengan jarak sejauh 78 km dan desa paling jauh adalah semua desa di Kecamatan Siding dengan rata-rata jarak sejauh 98 km. Kelompok desa yang termasuk ke dalam tipologi III meliputi dua desa yaitu Desa Sinar Baru dan Desa Semunying Jaya dengan koefisien korelasi < 97,75 %. Kelompok desa pada tipologi III ini, secara geografis memiliki luas wilayah desa yang lebih lebar dibandingkan dengan desa-desa pada tipologi I dan II dengan rata-rata luas desa sebesar 162,5 km2. Desa paling kecil adalah Desa Semunying Jaya dengan luas wilayah sebesar 75 km2 dan desa paling luas wilayahnya adalah Desa Sinar Baru dengan luas wilayah sebesar 250 km2. Dari sekitar 900 penduduk yang bermukim pada kedua desa ini, sekitar 85 persen adalah keluarga petani. Namun demikian di desa ini belum tersedia sarana dan prasarana usahatani, sehingga semua kebutuhan untuk kegiatan usahatani semuanya dipenuhi dari desa lain atau ke ibukota kabupaten seperti membeli perlatan bertani, membeli pupuk dan pestisida dan lain-lain. Demikian pula sarana dan prasarana umum juga masih minim serta sarana penerangan dari PLN belum tersedia. Berdasarkan kemiripan karakteristik desa yang dimiliki setiap tipologi wilayah kecamatan dekat perbatasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tipologi wilayah I terlihat lebih berkembang dibandingkan dengan tipologi
101 wilayah II dan III. Namun demikian untuk tujuan pengembangan kawasan agropolitan ke depan di wilayah perbatasan kabupaten Bengkayang, maka semua kelompok desa baik yang termasuk dalan tipologi I, II dan III ini memerlukan penanganan yang serius terutama dalam melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan, baik sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasarana pendukung agribisnis. Hasil analisis Tipologi wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Tipologi Wilayah Desa di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang Berdasarkan Kemiripan Karakteristiknya Tipologi
Kelompok Desa
Karakteristik
Tipologi I
Bengkilu, Kamuh, Sinar Tebudak, Pisak, Mayak, Gua, Sahan, Sentangau Jaya, Jagoi Sekida, Sango, Lembang, Seluas, Jagoi, dan Bange
Luas desa relatif kecil, jumlah penduduk relatif besar, jumlah KK pemakai PLN tinggi, sapras umum dan agribisnis relatif lebih lengkap, jarak keibukota kecamatan agak jauh dan ibukota kabupaten relatif dekat
Tipologi II
Danti, Bengkawan, Kumba, Gersik, kalon, Tamong, Tawang, Sungkung I, Sungkung II, Sinjang permai, Siding, Tangguh dan Lhi Bui
Luas desa relatif besar, jumlah penduduk relatif agar besar, jumlah KK pemakai PLN kurang, sapras umum dan agribisnis relatif kurang, persentase keluarga tani relatif tinggi jarak keibukota kecamatan dan ibukota kabupaten relatif jauh
Sinar Baru dan Semunying Jaya
Luas desa relatif agak besar, jumlah penduduk relatif sedikit, keluarga pemakai PLN tidak ada, persentase keluarga tani relatif tinggi, jarak keibukota kecamatan agak dekat, jarak keibukota kabupaten retaif jauh
Tipologi III
Sumber : Data di Olah dari Data Sekunder Dep PU Kalbar (2006); Kecamatan SanggauLedo, Seluas, Jagoi Babang, dan Siding (2006).
6.3.2. Perkembangan Wilayah Berdasarkan Kelengkapan Fasilitas. Tingkat perkembangan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sangat berhubungan dengan potensi yang dimiliki baik potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, maupun kelengkapan fasilitas yang dimiliki. Dilihat dari potensi sumberdaya manusia, wilayah ini memiliki jumlah penduduk yang besar. Dari empat kecamatan yang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten bengkayang telah memiliki jumlah penduduk sekitar 50.124 jiwa (BPS Kab. Bengkayang, 2005). Jumlah penduduk yang besar ini telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai satu kawasan pengembangan
agropolitan
(Friedmann
dan
Douglass,
1976).
Namun
permasalahan yang dihadapi adalah bahwa kualitas sumberdaya manusia di wilayah ini masih tergolong rendah, mereka hanya dapat mengecap pendidikan rendah bahkan banyak yang tidak bersekolah dan hanya sebagian kecil yang
102 dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi baik pada tingkat Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Umum (SMU) maupun melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah ini, disebabkan oleh minimnya sarana pendidikan terutama sarana pendidikan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Dilihat dari potensi sumberdaya alam, sektor pertanian merupakan tulang punggung penggerak perekonomian di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, baik sebagai sumber konsumsi masyarakat dan penghasilan atau penyedia lapangan kerja sebagian besar penduduknya, maupun sebagai penghasil nilai tambah dan devisa daerah. Dari keseluruhan penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, sekitar 70 – 90 % masyarakatnya adalah keluarga petani. Mereka menggantungkan hidup dan keluarganya dari kegiatan bertani. Namun demikian fasilitas pendukung untuk meningkatkan produksi pertanian mereka masih minim, sehingga produksi pertanian mereka masih tergolong rendah. Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki, wilayah ini memiliki fasilitas yang beragam dari fasilitas yang sangat minim sampai fasilitas yang lebih lengkap yang menyebar pada setiap desa. Untuk mengetaui tingkat perkembangan kawasan pengembangan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dapat dilakukan dengan menggunakan analisis skalogram. Dalam analisis skalogram, akan dihasilkan hierarkhi wilayah berdasarkan kelengkapan fasilitas yang dimiliki, dimana hierarkhi wilayah yang paling tinggi ditentukan oleh semakin banyaknya jenis dan jumlah fasilitas yang dimiliki dan demikian sebaliknya, semakin sedikitnya fasilitas yang dimiliki terutama dari segi jenis fasilitas, menggambarkan semakin rendahnya hierarkhi wilayah. Fasilitas-fasilitas yang dapat dikaji berupa fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial, serta fasilitas penunjang lainnya seperti fasilitas pendukung agribisnis. Hierarkhi wilayah desa berdasarkan hasil analisis skalogram pada empat di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang seperti terlihat pada Tabel 20.
103 Tabel 20. Hierarkhi wilayah Desa di Empat Dekat Perbatasan Kabupaten Bengkayang Berdasarkan Kelengkapan fasilitas No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Kecamatan
Sanggau Ledo Seluas Sanggau Ledo Sanggau Ledo Jagoi Babang Sanggau Ledo Sanggau Ledo Seluas Sanggau Ledo Sanggau Ledo Sanggau Ledo Sanggau Ledo Seluas Jagoi Babang Seluas Seluas Siding Jagoi Babang Seluas Jagoi Babang Siding Siding Jagoi Babang Siding Siding Jagoi Babang Siding Siding Siding
Desa
Lembang Seluas Bange Sinar Tebudak Jagoi Gua Kamuh Sahan Bengkilu Pisak Sango Danti Mayak Kumba Kalon Bengkawan Siding Jagoi Sekida Sentangau Jaya Gersik Lhi Bui Sinjang Permai Sinar Baru Sungkung I Tangguh Semunying Jaya Tawang Sungkung II Tamong Jumlah :
Jumlah Penduduk (jiwa)
2.797 3.444 745 5.629 2.034 2.085 3.055 4.084 2.738 2.649 1.249 1.144 2.727 994 694 1.162 808 1.347 1.286 882 917 1.000 579 1.163 728 293 576 972 631
Jumlah Jenis
Jumlah Unit
44 32 26 21 21 20 20 20 19 17 16 16 14 14 14 13 13 12 12 11 11 9 9 8 7 7 7 6 6
137 157 62 80 65 69 64 55 43 40 32 25 39 29 24 21 17 33 26 34 15 27 25 15 14 12 7 15 12
Hasil analisis skalogram pada Tabel 20 menunjukkan bahwa desa yang menduduki hierarkhi wilayah tertinggi berdasarkan kelengkapan jenis fasilitas yang dimiliki adalah Desa Lembang dengan jumlah jenis dan banyaknya fasilitas
sebanyak 44 jenis dan 137 unit. Desa Lembang terletak di Ibukota
Kecamatan Sanggau Ledo, merupakan desa paling dekat dengan ibukota kabupaten dengan jarak perjalanan sejauh 57 km setelah Desa Bange. Desa ini terlihat lebih berkembang dibandingkan dengan desa-desa lainnya, hal ini dicirikan dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki baik fasilitas umum maupun fasilitas pendukung, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, telekomunikasi, lembaga keuangan, lembaga pertanian, dan fasilitas sosial serta fasilitas pendukung agribisnis. Fasilitas pendidikan tersedia cukup lengkap
104 seperti Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Sekolah menengah umum baik negeri maupun swasta termasuk pondok pesantren. Demikian juga lembaga pendidikan komputer sudah ada di desa ini. Fasilitas kesehatan juga tersedia cukup lengkap. Di desa ini telah memiliki fasilitas kesehatan seperti Puskesmas, tempat praktek dokter dan bidan, posyandu, poliklinik desa, dan toko obat/jamu. Sedangkan fasilitas sosial dan kelembagaan juga sudah tersedia seperti sarana ibadah baik agama islam, kristen protestan, kristen katolik, klenteng/vihara, majelis taklim/kebaktian dan yayasan kematian, lembaga perbankan, kantor pos, dan lembaga penyuluh pertanian. Ditetapkannya Kecamatan Sanggau Ledo sebagai Kawasan Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) dengan komoditas jagung sebagai komoditas prioritas oleh Dinas Pertanian Propinsi Kalimantan Barat, maka Desa Lembang di Kecamatan Sanggau Ledo merupakan sentra pengembangan komoditas jagung yang diharapkan dapat mensuplai kebutuhan akan jagung daerah sekitarnya seperti Singkawang, Pontianak bahkan ke negara tetangga Malaysia. Sebagai kawasan KUAT, perhatian pemerintah sangat tinggi untuk mempercepat pertumbuhan kawasan ini dengan melengkapi fasilitas umum dan fasilitas pendukung peningkatan produksi pertanian seperti pengadaan sarana produksi (saprodi) pertanian dan pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan) seperti alat pengolah tanah, bibit, pupuk, pestisida, termasuk fasilitas penanganan panen dan pasca panen seperti mesin pemipill dan alat pengering jagung. Hierarkhi wilayah desa yang kedua adalah Desa Seluas di Kecamatan Seluas. Untuk menuju ke Desa Seluas, dibutuhkan perjalanan sejauh 90 km dari ibukota kabupaten dengan sarana jalan darat yang cukup baik. Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki, perkembangan wilayah desa ini lebih lambat dibandingkan dengan Desa Lembang dimana fasilitas yang dimiliki hanya sebanyak 32 jenis dan 157 unit. Desa Seluas merupakan desa pusat layanan khusus di Kecamatan Seluas yang terletak di ibukota kecamatan. Desa ini telah memiliki akses penghubung berupa jalan darat yang mudah dilalui dengan kondisi jalan beraspal yang sudah dihotmix. Jumlah penduduk yang bermukim di desa ini lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Lembang yaitu sebanyak 3.444 jiwa. Desa Seluas merupakan pintu gerbang keluar masuk ke Kecamatan Siding melalui jalur transportasi air karena akses penghubung berupa jalan darat belum ada. Fasilitas pendidikan dan kesehatan seperti Sekolah Dasar, SLTP, SMU, puskesmas, posyandu, polindes dan toko obat/jamu sudah tersedia kecuali
105 Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), pondok pesantren, lembaga pendidikan komputer dan tempat praktek dokter dan bidan yang belum ada. Untuk fasilitas sosial dan keagamaan serta kelembagaan juga tersedia cukup lengkap kecuali klenten dan lembaga perbankan yang belum tersedia. Sedangkan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) masih bergabung dengan Kecamatan Siding untuk memberikan pelayahan penyuluhan pertanian kepada masyarakat di kedua kecamatan tersebut. Hierarkhi wilayah desa paling rendah adalah Desa Tamong di Kecamatan Siding. Jumlah penduduk yang bermukim di desa ini sekitar 631 jiwa dengan kepadatan penduduk hanya sekitar 9 jiwa/km2. Desa Tamong cukup terpencil dari ibukota kecamatan maupun ibukota kabupaten. Untuk menuju ke wilayah ini dibutuhkan perjalanan sejauh 98 km dari ibukota kabupaten. Jumlah fasilitas yang dimiliki sekitar 6 jenis dan 12 unit yang merupakan jumlah yang sangat minim dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Di desa ini hanya memiliki fasilitas pendidikan berupa Sekolah Dasar, sedangkan fasilitas pendidikan lainnya belum tersedia. Demikian pula dengan fasilitas kesehatan, yang ada hanya puskesmas pembantu dan polindes sehingga jika ada masyarakatnya yang sakit keras sangat sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Fasilitas sosial, keagamaan dan kelembagaan juga masih minim. Hal ini terlihat seperti sarana peribadatan berupa mesjid dan surau/langgar, lembaga perbankan belum tersedia, Sedangkan Lembaga Penyuluh Pertanian (BPP) masih bergabung dengan Kecamatan Seluas dan berkantor di Seluas. Selanjutnya untuk mengelompokkan hierarkhi wilayah desa dapat dilakukan dengan analisis sentralitas. Dalam analisis sentralitas, parameter yang diukur adalah kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa. Hasil analisis ini akan menggambarkan tingkat perkembangan desa yang dapat dibagi atas tiga kelompok yaitu : a. Kelompok I adalah adalah desa dengan tingkat perkembangan tinggi (maju) yaitu apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai ratarata + 2 kali standar deviasi. b. Kelompok II adalah desa dengan tingkat perkembangan sedang yaitu apabila memiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas sebesar nilai rata-rata sampai rata-rata + 2 kali standar deviasi
106 c. Kelompok III adalah desa dengan tingkat perkembangan rendah (relatif tertinggal) yaitu apabila mamiliki nilai indeks sentralitas jenis fasilitas kurang dari nilai rata-rata. Berdasarkan hasil analisis sentralitas terhadap kelengkapan fasilitas yang dimiliki seluruh desa di empat kecamatan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang (Lampiran 9), diperoleh tiga kelompok perkembangan desa seperti pada Tabel 21. Tabel 21. Tingkat Perkembangan Desa di Wilayah Perbatasan Dekat Perbatasan Kabupaten Bengkayang Berdasarkan Analisis Sentralitas. No. 1.
2.
Perkembangan Desa Tingkat perkembangan tinggi (maju) Tingkat perkembangan sedang
Indeks Sentralitas
Kecamatan Sanggau Ledo
> 32,00
Seluas Sanggau Ledo
15,30 - 32,00 Seluas Jagoi Babang Seluas
3.
Tingkat perkembangan rendah (relatif tertinggal
Jagoi Babang < 15,30 Siding
Kelompok Desa Lembang Seluas Bengkilu, Pisak, Kamuh, Sinar Tebudak, Bange, Sango, Gua, Danti Sahan, Bengkawan Jagoi Sentangau Jaya, Mayak, Kalon Kumba, Jagoi Sekida, Sinar Baru, Gersik, Semunying Jaya Tamong, Tawang, Sungkung I, Sungkung II, Sinjang Permai, Siding, Tangguh, Lhi Bui
Tabel 21 menunjukkan Desa Lembang di Kecamatan Sanggau Ledo dan Desa Seluas di Kecamatan Seluas merupakan kelompok desa yang sudah mengalami tingkat perkembangan wilayah tinggi atau lebih maju dengan nilai indeks sentralitas > 32,00. Dilihat dari posisi geografisnya, kedua desa tersebut berada di ibukota kecamatan dan merupakan desa penghubung menuju wilayah perbatasan dari ibukota kabupaten, Kota Singkawan, atau dari Pontianak. Kedua desa ini memiliki fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan desa-desa lain disekitarnya terutama fasilitas pendidikan, kesehatan, sosial, dan fasilitas pendukung lainnya.
107 6.3.3. Persepsi Masyarakat dan Alternatif Pengambilan Keputusan Untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. a. Persepsi Masyarakat. Hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan formal penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan reaponden
hanya menempuh pendidikan rendah yaitu
berpendidikan sekolah dasar (SD) sekitar 46 % dan hanya sebagian kecil yang dapat melanjutkan pendidikan pada pendidikan tingkat lanjut sampai perguruan tinggi masing-masing SLTP 24 %, SMU 24 %. Sedangkan yang berpendidikan diploma/sarjana (S1) hanya sekita 6 %. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang ini disebabkan oleh kurangnya sarana pendidikan terutama sarana pendididkan tingkat lanjut, minimnya sarana transportasi untuk menjangkau wilayah yang memiliki sarana pendidikan tingkat lanjut, kurangnya biaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka, dan adanya keengganan para orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi setelah tamat sekolah dasar dan lebih cenderung memanfaatkan tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan mereka dalam kegiatan sehari-hari. Sebaran tingkat pendidikan penduduk di wilayah perbatasan kabupaten Bengkayang seperti pada Gambar 19. 6% 24% 46%
Keterangan : SD SLTP SMU Diplom a/Sarjana
24%
Gambar 19. Tingkat Pendidikan Responden di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang Berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tentang agropolitan, pada Gambar 20 terlihat bahwa hanya sekitar 32 % penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang yang sudah mengetahui mengenai adanya rencana pengembangangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dan sisanya yaitu sekitar 68 % belum mengetahui bahkan belum pernah mendengar tentang kata agropolitan. Hal ini menggambarkan bahwa sosialisasi mengenai rencana pengembangan kawasan agropolitan di wilayah
108 perbatasan tersebut masih kurang. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah
disebabkan
pencanangan
rencana
pengembangan
kawasan
agropolitan baru dimulai pada bulan Juli 2006 dan sampai saat ini belum dilakukan pengkajian secara mendalam. 32 %
Keterangan : Tahu tidak Tahu
68 %
Gambar 20.Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Rencana Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang dan
rencana
pengembangannya di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang
diperoleh
Sumber
informasi
mengenai
agropolitan
dari hasil sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan dari media massa, tetapi lebih banyak responden yang belum mengetahui mengenai rencana tersebut. Responden yang memperoleh informasi melalui kegiatan sosialisasi seperti penyuluhan sekitar 24 %, yang memperoleh informasi dari media massa seperti koran, radio, dan penyebaran selebaran yang ditempel di Balai Desa hanya sekitar 8 %. Responden yang memperoleh informasi tentang agropolitan pada umumnya berdomisili di Kecamatan Sanggau Ledo dan Kecamatan Seluas, sedangkan yang berdomisili di Kecamatan Siding dan Jagoi Babang umumnya belum mendapatkan informasi tentang agropolitan tersebut. Sumber informasi responden berkaitan rencana pengembangan kawasan Agropolitan seperti pada Gambar 21. 24 %
Keterangan : Sosialisasi Media Massa
8%
Tidak Dapat
68 %
Gambar 21. Sumber Informasi Responden terhadap Rencana Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
109 Meskipun hanya sebagian kecil penduduk yang mengetahui tentang agropolitan dan rencana pengembangannya di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang, namun ketika ditanyakan mengenai persetujuan mereka apabila wilayah perbatasan ini dikembangkan sebagai kawasan agropolitan, sekitar 92 % dari seluruh responden menyatakan setuju dan hanya sekitar 2 % yang tidak setuju. Sedangkan yang ragu-ragu sekitar 6 %. Mereka setuju karena mereka yakin bahwa pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang dapat membukakan lapangan pekerjaan bagi mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berkaitan dengan pembukaan lapangan kerja baru, sekitar 84 % responden mengaku yakin bahwa pengembangan kawasan agropolitan dapat membuka lapangan kerja baru apabila dilaksanakan dengan penuh keseriusan dan tanggungjawab yang tinggi dari para pengambil kebijakan, serta keingingan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Responden yang ragu-ragu terhadap pembukaan lapangan kerja baru sekitar 16 %. Persetujuan masyarakat dan keyakinan pembukaan lapangan kerja baru dari rencana pengembangan kawasan agropolitan di wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang seperti pada Gambar 22 dan 23. 2%
6%
Keterangan : Setuju Tidak Setuju Ragu-Ragu
Gambar
22.
92 % Persepsi Responden Berkaitan Persetujuan Mengenai Pengembangan Kawasan Agropolitan Di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
16 % Menciptakan Lapangan Kerja Tidak Menciptakan Lapangan Kerja
84 %
Gambar 23. Persepsi Responden bahwa Pengembangan Kawasan Agropolian Menciptakan Lapangan Kerja Baru
110 Salah satu permasalahan yang prinsip dialami masyarakat saat ini di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan, adalah kondisi jalan dan faktor keamanan. Responden mengakui bahwa ketersediaan jalan penghubung masih minim dengan kualitas jalan yang masih jelek sehingga perlu upaya peningkatan sarana jalan ini baik secara kuantitas dengan membuka jalan-jalan baru terutama jalan antar desa dan antar kecamatan maupun kualitas jalan dengan meningkatkan mutu arana jalan dari jalan tanah menjadi jalan pengerasan atau beraspal. Hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan dan memperlancar arus tranportasi barang dan jasa antar wilayah. Demikian pula dengan faktor keamanan, responden mengakui bahwa kondisi keamanan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang masih relatif kurang aman. Pemerasan dan perampokan masih sering terjadi terutama bagi warga negara Malaysia yang datang berkunjung ke Indonesia. Faktor ketidakamanan di wilayah perbatasan ini yang menyebabkan pasar yang sebelumnya berada di wilayah Indonesia, kemudian pasar tersebut dipindahkan ke Malaysia yaitu di Serikin. Pasar di Serikin merupakan pasar rakyat yang khusus di peruntukkan bagi warga Indonesia untuk berjualan di sana. Berbagai bahan kebutuhan yang mereka jual seperti hasil-hasil pertanian sampai bahan kebutuhan lainnya seperti sembako, pakaian, sepatu, dan barang kerajinan lainnya. Pasar dibuka pada hari Jumat dan tutup pada hari Minggu dan selanjutnya dibuka lagi pada hari Jumat berikutnya dan seterusnya. Kondisi jalan dan keamanan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang disajikan pada Gambar 24 dan 25. 2% 36%
Keterangan : Sedang Jelek
62%
Sangat Jelek
Gambar 24. Kondisi Jalan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
111 10%
Keterangan :
42%
Aman Cukup Aman Tidak Aman
48%
Gambar 25. Kondisi Keamanan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan di Wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, salah satu faktor yang juga perlu diperhatikan adalah dalam hal pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat ini penting dalam kaitannya bagi kebutuhan pemulihan ekonomi mereka.
Sekitar
78
%
responden
mengharapkan
ada
kebersamaan
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah
perbatasan
Kabupaten
Bengkayang
antara
masyarakat
lokal,
masyarakat perkotaan, dan masyarakat dari negara lain, sedangkan yang mengharapkan pemberdayaan masyarakat lokal saja hanya sekitar 22 %. Hal ini penting karena dalam pengembangan kawasan agropolitan diperlukan adanya keterlibatan dari para pihak (Stakeholder) yang terkait. Mereka mengharapkan keterlibatan masyarakat perkotaan dan masyarakat dari negara lain dalam pengembangan
kawasan
agropolitan
di
wilayah
perbatasan
Kabupaten
Bengkayang bukan berarti mereka harus datang dan tinggal menetap di kawasan pengembangan menyumbangkan
agropolitan pemikiran
melainkan dan
modal
untuk dalam
berbagi
(sharing)
pengembangan
dalam
kawasan
agropolitan dan pemasaran, sedangkan masyarakat lokal yaitu masyarakat petani beserta masyarakat akar rumput (grassroot community level) diharapkan dapat terlibat secara langsung dalam setiap kegiatan pengembangan kawasan. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan kawasan agropolitan ini penting mengingat pada masa lalu sampai sekarang sering mengalami sebagai bagian kelompok yang terlupakan dimana mereka pada umumnya menjadi tersisihkan dari manfaat-manfaat pembangunan. Dalam pemberdayaan masyarakat, ada empat unsur-unsur kunci yang harus selalu hadir dalam setiap pemberdayaan agar upaya pemberdayaan tersebut dapat berhasil yaitu akses terhadap informasi, keterlibatan dan partisipasi, akuntabilitas, dan kapasitas organisasi lokal. Akses terhadap
112 informasi ditekankan bahwa setiap anggota masyarakat berhak mendapatkan informasi dan perlu difasilitasi untuk mendapatkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan berkaitan dengan kegiatan yang sedang digelutinya. Keterlibatan dan partisipasi mengacu kepada bagaimana anggota masyarakat dapat berperan dan berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan baik pada tahan perencanaan, pelaksanaan, maupun pada tahap pengendalian. Dalam pelibatan dan partisipasi anggota masyarakat diperlukan jaminan bahwa penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang terbatas oleh kelompok masyarakat, dipergunakan berdasar pengetahuan lokal dan prioritas dengan tetap mempertimbangkan keberlanjutannya. Unsur akuntabilitas ditekankan pada bagaimana mengikutsertakan setiap stakeholder agar dapat memberikan jawaban terhadap kebijakan dan tindakan-tindakan mereka yang dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat lokal, sedangkan unsur kapasitas organisasi lokal berkaitan dengan kemampuan orang-orang untuk dapat bekerjasama dan mengorganisasikannya sendiri serta mampu memobilisasi sumberdaya-sumberdaya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menjadi perhatian bersama seluruh anggota masyarakat (Deptan, 2004).
b. Alternatif Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, banyak faktor-faktor (elemen-elemen) yang sangat berpengaruh dalam usaha pengembangan kawasan tersebut, baik elemenelemen yang mendukung perkembangan wilayah maupun elemen-elemen yang dapat menghambat usaha pengembangan wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan. Permasalahan yang muncul adalah kesulitan dalam menentukan skala prioritas penanganan elemen-elemen tersebut karena tidak mungkin semua elemen dapat ditangani dalam waktu bersamaan karena adanya keterbatasan biaya, waktu, dan tenaga, sehingga perlu penanganan secara bertahap dengan cara menentukan elemen-elemen kunci yang dapat diatasi lebih awal dan selanjutnya penanganan elemen berikutnya. Dengan menentukan elemen-elemen kunci untuk ditangani, diharapkan persoalan-persoalan yang kompleks
dapat
sederhanakan
dan
dipercepat
proses
pengambilan
keputusannya. Penentuan elemen-elemen kunci atau pemilihan elemen sebagai elemen alternatif yang paling disukai dapat dilakukan dengan menggunakan alat
113 analisis yaitu Proses Hierarkhi Analitik (Analytical Hierarchy Process) atau disingkat AHP. Dalam analisis AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar (Expert Judgment) untuk menjaring berbagai informasi dari beberapa elemenelemen yang berpengaruh dalam penyelesaian suatu persoalan . Prinsip kerja AHP pada adalah untuk penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian yang tertata dalam suatu hierarkhi. Urutan prioritas setiap elemen hasil analisis AHP dinyatakan dalam bentuk nilai numerik atau persentasi. Dalam analisis AHP untuk pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, ditetapkan lima level. Level 1 merupakan fokus yaitu pengembangan kawasan agropolitan; level 2 adalah faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan agropolitan yaitu sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya alam (SDA), permodalan, pemasaran, dan kebijakan pemerintah; level 3 adalah aktor yang berperanan yaitu pemerintah, petani, perusahaan, perbankan, dan pedagang; level 4 adalah tujuan pengembangan kawasan agropolitan yang meliputi perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, pengembangan wilayah, dan peningkatan
pendapatan
daerah
(PAD);
dan
level
5
adalah
alternatif
pengembangan kawasan agropolitan yaitu pengembangan kawasan agropolitan berbasis tanaman pangan, kawasan agropolitan berbasis perkebunan, kawasan agropolitan berbasis peternakan, dan kawasan agropolitan berbasis terpadu. Agropolitan berbasis perikanan tidak dimasukkan sebagai pilihan alternatif dalam analisis ini karena berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, wilayah ini kurang potensial untuk pengembangan sektor perikanan baik perikanan laut maupun perikanan darat (air tawar) khususnya di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, kecuali di bagian pesisir tetapi tidak termasuk objek kajian. Hasil analisis AHP, memperlihatkan bahwa alternatif pengembangan kawasan agropolitan secara terpadu memberikan nilai skoring tertinggi yaitu sebesar 0,539 (53,9 %) dan selanjutnya agropolitan perkebunan, tanaman pangan, dan peternakan, dengan nilai skoring masing-masing 0,220 (22,0 %), 0,165 (16,5 %), dan 0,075 (7,5 %) seperti terlihat pada Gambar 26.
114 PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN DI WILAYAH PERBATASAN
FOKUS
FAKTOR
AKTOR
Sumberdaya Manusia (0,259)
Sumberdaya Alam (0,228)
Permodalan
Pemasaran
(0,173)
(0,051)
Pemerintah (0,345)
Petani (0,249)
Perusahaan (0,171)
Perluasan Lapangan Pekerjaan (0,305)
TUJUAN
ALTERNATIF
AGROPOLITAN TANAMAN PANGAN (0,165)
Peningkatan Pendapatan Masyarakat 0,386)
Perbankan (0,102)
Pengembangan Wilayah
Kebijakan Pemerintah (0,289)
Pedagang (0,134)
(0,220)
Peningkatan Pendapatan Daerah (0,088)
AGROPOLITAN PERKEBUNAN
AGROPOLITAN PETERNAKAN
AGROPOLITAN TERPADU
(0,220)
(0,075)
(0,539)
Gambar 26. Struktur Hierarki pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang
Apabila dilihat dari nilai skoring masing-masing alternatif, maka alternatif yang dapat dipilih dalam
perencanaan pengembangan kawasan di
wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang ke depan adalah pengembangan kawasan agropolitan terpadu karena memberikan nilai skoring yang paling tinggi diantara pilihan agropolitan lainnya. Jenis agropolitan yang dapat dipadukan adalah agropolitan perkebunan-tanaman pangan-peternakan. Keterpaduan yang dimaksud adalah bahwa ketiga jenis agropolitan mempunyai keterkaitan dan ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Agropolitan ternak misalnya, sangat tergantung pada agropolitan tanaman pangan dimana biomassa dan produksi yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber pakan ternak terutama ternak besar, ternak sedang, maupun ternak kecil. Bahan organik yang dihasilkan dari agropolitan ternak bersama-sama dengan sisa biomassa dari agropolitan tanaman pangan dapat diolah menjadi pupuk organik yang ramah lingkungan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah bagi agropolitan tanaman pangan dan agropolitan perkebunan. Di dalam
115 kawasan agropolitan perkebunan, petani dapat mengembangkan agropolitan tanaman pangan dengan menanam tanaman pangan sebagai tanaman sela diantara tanaman perkebunan sambil mengusahakan ternaknya. Dengan demikian, pengembangan kawasan agropolitan terpadu ini, dapat memberikan keuntungan ganda bagi petani yaitu memberikan tambahan sumber pendapatan dan kotorannya dapat dijadikan sebagai sumber pupuk organik. Pertimbangan pakar dalam memilih agropolitan agropolitan terpadu perkebunan, tanaman pangan dan peternakan adalah bahwa wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang merupakan wilayah yang cukup potensial untuk pengembangan ketiga sub sektor pertanian tersebut. Komoditas unggulan yang dapat dikembangkan pada agropolitan perkebunan adalah kelapa sawit. Hal ini dilihat dari potensi luas lahan yang tersedia cukup besar yang didukung oleh kondisi agroekologi dan agroklimat yang sesuai bagi pengembangan komoditas ini. Disisi lain industri kelapa sawit dalam bentuk minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) sangat menjanjikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tingkat kesesuaian lahan dan iklim, tanaman kelapa sawit tumbuh optimum pada suhu 24 – 28 oC dengan kelembaban relatif > 75 %, rata-rata curah hujan 2000 – 2500 mm/tahun dengan penyebaran merata, intensitas cahaya 5 – 7 jam/hari, ketinggian tempat 0 – 400 m dpl, kemiringan 0 – 15 % dan kedalaman air > 80 cm, serta drainase baik (Dirjenbun, 1997 dalam LPPM IPB, 2006). Berdasarkan kondisi tersebut, sesuai dengan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang. Namun demikian untuk mendukung pengembangan agropolitan perkebunan ini ke depan, komoditas unggulan perkebunan lainnya juga perlu dikembangkan seperti komoditas karet dan lada. Pola perkebunan kelapa sawit yang layak dikembangkan dalam agropolitan perkebunan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang ini adalah Shering
stakeholder
(SHAREHOLDER)
antara
Perusahaan-Transmigrasi-
Masyarakat Lokal. SHAREHOLDER ini dimaksudkan untuk menselaraskan program pengembangan perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan pemerintah dengan tujuan untuk mengangkat harkat hidup petani dan keluarganya dengan cara meningkatkan produksi dan pendapatan usahataninya. Hal ini sesuai mengingat jumlah penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang masih sangat kurang yaitu hanya sekitar 22 jiwa/km2. Beberapa
pertimbangan
yang
melatarbelakangi
diterapkannya
pola
SHAREHOLDER antara lain peningkatan produksi komoditas non migas,
116 meningkatkan pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah, dan menunjang keberhasilan program transmigrasi. Peserta SHERHOLDER ini mengacu pada pola PIR-Trans sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7, Bab IV Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 333/Kpts/KB.510/6/1986 (Fauzi, et al. 2002) adalah sebagai berikut : 1. Peserta transmigrasi (ditetapkan oleh Menteri Pertanian) 2. Penduduk setempat, termasuk petani yang tanahnya termasuk dalam proyek PIR-Trans (ditetapkan oleh Pemerintah Daerah) 3. Petani atau peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan untuk proyek (ditetapkan oleh Pemerintah Daerah) Persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan dalam pola SHERHOLDER
sebagaimana
dalam
pola
PIR-Trans
adalah
memiliki
kemampuan yang cukup dari segi dana, tenaga, dan manajemen untuk melakukan fungsinya sebagai perusahaan inti berdasarkan penilaian pemerintah, baik perkebunan milik negara, swasta, atau asing yang berbadan hukum Indonesia (Fauzi et al. 2002). Agar dapat berjalan dengan baik, maka pola SHERHOLDER dapat mengacu pada sistem syariah melalui sistem bagi hasil. Artinya apabila perusahaan merugi, maka petani juga ikut menanggung kerugian tersebut, sebaliknya apabila perusahaan mendapatkan keuntungan, maka keuntungan tersebut juga dirasakan oleh petani. Tentunya harus diatur oleh regulasi yang jelas dari pemerintah. Berdasarkan pengalaman selama ini, penerapan pola PIR-Trans dalam pengembangan perkebunan di Indonesia banyak kurang berhasil karena petani sebagai mitra kerja bagi perusahaan inti lebih banyak dirugikan oleh perusahaan ketimbang mendapatkan keuntungan yang besar dari perusahaan. Komoditas unggulan yang dapat dikembangkan pada agropolitan perkebunan, tanaman pangan, dan peternakan adalah komoditas kelapa sawit, jagung, ternak sapi, kambing, dan ayam dengan pertimbangan : 1. Mempunyai dukungan kebijakan pemerintah daerah, kelembagaan, dan teknologi, serta modal sehingga memiliki peluang pengembangan produk yang tinggi. Ini terlihat dengan dicanangkangnya program Kawasan usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) dengan komoditas prioritas yang dikembangkan adalah tanaman jagung. 2. Dapat memberikan dampak ganda (multifier effect) terhadap berkembangnya sektor lain seperti sektor sektor peternakan dan industri.
117 3. Merupakan komoditas yang telah diusahakan oleh masyarakat setempat (lokal), dapat diterima dan lebih mudah dalam pengembangannya. 4. Mempunyai tingkat kesesuaian agroekosistem yang tinggi, 5. Mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menciptakan nilai tambah dibandingkan komoditas lainnya serta memberikan kesempatan kerja. 6. Memiliki prospek dan orientasi pasar yang jelas, baik sasaran pasar lokal, regional, maupun internasional dengan peluang pasar yang tinggi. 7. Layak untuk dikembangkan karena secara ekonomi memiliki kelayakan investasi yang tinggi sehingga dapat menarik banyak investor. Namun demikian di wilayah ini masih banyak komoditas unggulan yang dapat dikembangkan untuk mendukung pengembangan agropolitan tanaman pangan selain jagung seperti padi ladang, padi sawah, kedelai, kacang tanah, ubi jalan dan ubi kayu. Oleh karena itu dalam pengembangan kawasan agropolitan tanaman pangan yang berbasis tanaman jagung ini perlu didukung oleh komoditas lainnya. Pada sub sistem pemasaran berkaitan dengan pendistribusian barang dan jasa, kegiatan promosi, penyediaan informasi pasar, dan kebijakan perdagangan. Sedangkan pada susb sistem jasa dan penunjang agribisnis diperlukan adanya sarana perkreditan dan asuransi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan penyuluhan, saran transportasi, dan kelengkapan sarana dan prasarana, serta kebijakan pemerintah. Manajemen pengembangan agribinsis di kawasan agropolitan terpadu dikawasan perbatasan Kabupaten Bengkayang dapat diilustrasikan seperti Gambar 27 di bawah ini. Sub Sistem Agribisnis Hulu - Industri perbenihan/ Pembibitan - Industri pengomposan - Industri Alsintas
Sub Sistem Usaha Tani (on Farm - Usaha tanaman pangan dan Perkebunan - Usaha Peternakan - Diversivikasi Tanaman
Agribisnis Hilir Sub Sistem Pemasaran
Sub Sistem Pengolahan - Industri Pangan - Industri Pakan - Industri lainnya
-
Distribusi Promosi Informasi Pasar Kebijakan Perdagangan
Sub Sistem Jasa dan Penunjang Agribisnis - Perkreditan dan asuransi - Penelitian dan Pengembangan - Pendidikan dan Penyuluhan
- Transportasi dan pergudangan - Kebijakan pemerintah - Sarana dan prasarana
Gambar 27. Manajemen Pengembangan Agribisnis di Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang (Udin, 2004).
118 Berkaitan dengan pengembangan agropolitan peternakan, wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sangat potensial untuk pengembangan sub sektor ini baik peternakan besar, peternakan menengah, maupun peternakan kecil. Komoditas unggulan ternak yang dapat dikembangkan adalah ternak sapi untuk peternakan besar, kambing untuk peternakan menengah, dan ayam untuk peternakan kecil. Hal ini dimungkinkan oleh tingginya produksi ternak di wilayah ini. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bengkayang pada tahun 2005, terdapat ternak sapi sebanyak 4.925 ekor, kambing 5.314 ekor, dan ayam 131.879. Keberadaan agropolitan peternakan diharapkan dapat lebih meningkatkan pendapatan masyarakat karena dapat memberikan penghasilan tambahan diluar dari kegiatan utamanya sebagai petani. Ternak sapi dapat memanfaatkan sisa panenan (biomassa) berupa batang, dedaunan dan tongkol sebagai sumber makanan. sedangkan biji jagung dapat diolah menjadi pakan ternak ayam. Selain itu, sisa panenan bersama kotoran ternak yang ada dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik (kompos) yang ramah lingkungan untuk meningkatkan kesuburan tanah baik kesuburan fisik, kimia, maupun biologi tanah. Peningkatan penggunaan pupuk organik selain ramah lingkungan, juga dapat meningkatkan produktivitas lahan akibat meningkatnya kesuburan tanah, serta dapat berfungsi konservasi karena dapat meningkatkan kapasitas infiltasi dan menurunkan run off tanah. Keberadaan industri pengolahan hasil pertanian dan pembuatan pupuk organik ini tentunya dapat memberikan nilai tambah (added value) bagi peningkatan pendapatan petani, karena dapat menghasilkan produk pertanian yang aman (bebas bahan kimia) untuk dikonsumsi dengan nilai ekonomi yang tinggi dan dapat dijual dalam bentuk produk olahan. Disisi lain, dapat menghemat biaya untuk membeli pupuk buatan yang mengandung bahan kimia yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Besarnya peluang pengembangan agropolitan perkebunan, tanaman pangan, dan peternakan didukung oleh beberapa hal seperti kesesuaian lahan, luasan ketersediaan lahan, dan terbuka kesempatan pengembangan usaha kemitraan strategis antara pelaku usaha swasta dan pemerintah yang saling menguntungkan, serta memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia sehingga memiliki peluang pasar besar untuk pengembangan komoditas yang berorientasi ekspor. Oleh karena itu, upaya pemanfaatan dan optimalisasi potensi wilayah tersebut perlu dilakukan. Berdasarkan hasil analisis
119 potensi dan tingkat perkembangan wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang, maka strategi pengembangan kawasan agropolitan dapat diarahkan pada : 1. Kecamatan Sangau Ledo dan Seluas dapat dibentuk Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) khususnya di Desa Lembang dan Desa Seluas. Pada desa tersebut dapat dibangun fasilitas industri hilir seperti industri pengolahan jagung, industri pengolahan susu, dan industri pengolahan pakan ternak, serta terminal agribisnis. Sedangkan daerah hinterland-nya dijadikan sebagai sentra pengembangan komoditas jagung, perkebunan kelapa sawit dan lada, serta peternakan, baik peternakan kecil, sedang, dan besar yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung lainnya termasuk industri hulu. 2. Kecamatan Jagoi Babang dan Siding dapat dijadikan sebagai kawasan pengembangan perkebunan kelapa sawit dan karet, serta peternakan kecil dan sedang. Pada wilayah ini pula perlu dibangun industri pengolahan minyak sawit (CPO) yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung lainnya termasuk industri hulu. Strategi pengembangan kawasan agropolitan terpadu di wilayah Kabupaten Bengkayang disajikan pada Gambagr 28
Industri Pengolahan Minyak Sawit
Peternakan Kecil dan Sedang
Sentra Pengembangan Komoditas Sawit dan Karet
Industri Pengolahan Karet
Industri Pengolahan Jagung
Sentra pengembangan Komoditas jagung, kelapa sawit, dan lada
Peternakan Besar
Terminal Agribisnis
Gambar 28. Strategi Pengembangan Kawasan Perbatasan Kabupaten Bengkayang.
Industri Pengolahan Susu dan Pakan
Agropolitan
di
Wilayah
120 Berbagai tujuan yang diharapkan dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang seperti perluasan lapangan
pekerjaan,
peningkatan
pendapatan
masyarakat
setempat,
peningkatan pendapatan daerah, dan pengembangan wilayah. Berdasarkan hasil analisis AHP memperlihatkan tujuan peningkatan pendapatan masyarakat setempat merupakan pilihan strategis yang perlu diprioritaskan karena memiliki nilai skoring tertingg yaitu sebesar 0,386 dan selanjutnya pembukaan lapangan kerja, pengembangan wilayah, dan peningkatan pendapatan daerah dengan nilai skoring masing-masing 0,305, 0,220, dan 0,088. Adapun kontribusi setiap tujuan dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang seperti terlihat pada gambar 29 di bawah ini.
\ Gambar
29.
Kontribusi setiap Tujuan dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
Kenyataan menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang berada dekat perbatasan dengan negara lain dicirikan oleh tingkat kemiskinan masyarakatnya yang cukup tinggi, termasuk di Kabupaten Bengkayang. Hal ini disebabkan paradigma pembangunan selama ini yang lebih berorientasi pada pembangunan perkotaan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan untuk menyerap sumberdaya yang ada di perdesaan sementara wilayah perdesaan terutama di wilayah perbatasan kurang tersentuh oleh pembangunan. Akibatnya wilayah perbatasan umumnya terisolasi dan masyarakatnya terasing karena minimnya sarana dan prasarana yang ada baik sarana dan prasarana penghubung antar wilayah, pendidikan, kesehatan, maupun sarana dan prasarana agribisnis. Minimnya
pembangunan
di
wilayah
perbatasan
Kabupaten
Bengkayang, tentunya berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Pada beberapa desa di kecamatan dekat perbatasan, masyarakat
121 sangat sulit untuk mengakses keperluan sehari-harinya karena terbatasnya sarana transportasi darat. Mereka harus berjalan kaki dan membutuhkan waktu yang
lama
untuk
memperoleh
sumberdaya
yang
dibutuhkan
termasuk
memasarkan hasil pertaniannya. Masyarakat di Kecamatan Siding misalnya, umumnya mereka memasarkan hasil pertanian ke Malaysia dengan cara berjalan kaki. Penyebab lain adalah tingkat pendidikan masyarakat perbatasan yang umumnya rata-rata berpendidikan rendah. Akibatnya kemampuan mereka dalam bercocok tanam juga rendah sehingga produksi pertanian mereka juga rendah. Mereka umumnya bercocok tanam secara tradisional dengan menggunakan peralatan sederhana, bahkan masih ada yang melakukan kegiatan perladangan berpindah. Dalam kegiatan bercocok tanam, tanah biasanya hanya diolah seadanya saja dengan menggunakan cangkul bahkan kadang-kadang tidak dilakukan pengolahan tanah, tanpa dilakukan pemupukan dan tanaman dibiarkan tumbuh seadanya tanpa dilakukan pemeliharaan. Namun demikian masyarakat yang berada pada
desa-desa yang dekat dengan ibukota kecamatan, telah
sering mendapatkan bimbingan dari penyuluh pertanian setempat. Mereka terlihat telah mampu menerapkan pengetahuan pertanian dalam kegiatan bertani. Untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sebagaimana tesebut di atas, sangat dipengaruhi berbagai faktor dan aktor yang berperan dalam pengembangan kawasan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan kawasan agropolitan adalah kemampuan dari sumberdaya manusia yang ada, kondisi sumberdaya alam untuk mendukung pengembangan agropolitan, kemampuan permodalan dalam berusahatani, pemasaran hasil dan produk olahan, serta kebijakan pemerintah terkait pengembangan agropolitan. Berdasarkan hasil AHP, kebijakan pemerintah memegang peranan penting dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dengan nilai skoring tertinggi sebesar 0,289 dan selanjutnya
sumberdaya
manusia,
sumberdaya
alam,
permodalan,
dan
pemasaran dengan nilai skoring masing-masing 0,259, 0,228, 0,173, dan 0,051. Kontribusi setiap faktor terhadap pengembangan kawasan agropolitan seperti terlihat pada Gambar 30. Tingginya skoring faktor kebijakan pemerintah dalam pengembangan kawasan agropolitan memberikan pengertian bahwa dalam pengembangan wilayah perbatasan agar dapat tumbuh dan berkembang sejajar dengan wilayah-
122 wilayah lainnya terutama wilayah perkotaan dengan mengembangkan potensi lokal wilayah yang dimiliki khususnya melalui program pengembangan kawasan agropolitan, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah melalui penerapan kebijakan pengembangan wilayah. Hal Ini pula telah ditegaskan dalam GarisGaris
Besar
Haluan
Negara
(GBHN)
tahun
1999-2004
yang
telah
mengamanatkan arah kebijakan pengembangan daerah perbatasan yaitu meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama daerah perbatasan dan wilayah tertinggal lainnya yang berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
Gambar
30.
Kontribusi setiap Faktor dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang.
Amanat GBHN ini yang selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004
yang
menekankan
bahwa
program
pengembangan
daerah
perbatasan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi wilayah perbatasan , dan memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan negara lain dengan sasaran adalah terwujudnya peningkatan kehidupan sosialekonomi, ketahanan sosial masyarakat, dan terkelolanya potensi wilayah perbatasan, serta terjaminnya ketertiban dan keamanan wilayah perbatasan. Seiring dengan era desentralisasi dan otonomi daerah dan dalam rangkan merespon kebijakan pemerintah pusat sebagaimana diamanatkan dalam GBHN tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Propenas, maka pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Bengkayang berupaya menerapkan berbagai kebijakan pembangunan untuk pengembangan wilayah perbatasan melalui
pengembangan potensi daerah
123 untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perbatasan. Pada tahun 2004, Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat melalui Dinas Pertanian menetapkan program pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang yang dikenal dengan nama
Kawasan Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) Sanggau
Ledo Komplek di Kecamatan Sanggau Ledo, dengan komoditas jagung sebagai komoditas prioritas untuk dikembangkan, kemudian diperkuat dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Bengkayang No. 194 tahun 2006 tentang Penetapan Kawasan Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT) di Kecamatan Sanggau Ledo. Pengembangan agribisnis di Kabupaten Bengkayang ini diharapkan dapat memberikan keuntungan dan dampak ganda (multiplier effect) yang nyata terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu strategi pengembangan kawasan agribisnis tidak terbatas pada pembangunan
pertanian
(on-farm
agribusiness)
saja,
tetapi
harus
mengembangkan keseluruhan sub sistem secara terintegrasi dan simultan dimana kelima sub sistem agribisnis yang meliputi sub sistem agribisnis hulu (upstream agribusinenn), sub sistem usaha tani (on-farm agribusiness), sub sistem hilir (down-stream agribusiness), sub sistem pemasaran, dan sub sistem jasa harus dibangun dan dikembangkan secara harmonis. Pengembangan kawasan agribisnis ini tidak akan berhasil jika hanya dikembangkan pada salah satu sub sistem saja, tetapi harus sekaligus mengembangkan kelima sub sistem tersebut karena kawasan agribisnis tidak saja didukung oleh
berkembangnya usaha
budidaya (on farm) dan produk olahannya dalam skala rumah tangga (off farm) tetapi juga dibutuhkan penyediaan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran hasil atau produk pertanian. Perlu diketahui bahwa pengembangan kawasan agribisnis yang dilakukan selama ini menemui berbagai permasalahan, diantaranya adalah bahwa
pengembangan
kawasan
agribisnis
belum
mampu
menjamin
keseimbangan pertumbuhan wilayah antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan. Penyediaan fasilitas pada kawasan agribisnis hanya diarahkan pada fasilitas pendukung agribisnis sementara pembangunan desa-kota berimbang sangat diharapkan agar arus urban penduduk dari desa ke kota dapat dikurangi atau dihindari dengan menyediakan fasilitas yang memadai baik fasilitas
124 pendukung pengembangan agribisnis maupun penyediaan fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya. Salah satu konsep pembangunan desa-kota berimbang adalah pengembangan kawasan agropolitan. Konsep ini bertujuan untuk membangun kota pertanian di desa setara dengan kota. Konsep pengembangan kawasan agropolitan pertama kali dicetuskan oleh Departemen Pertanian bekejasama dengan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) pada tahun 2002 dan sampai saat ini telah terdapat 61 kabupaten/kota sebagai kawasan agropolitan di 29 propinsi di Indonesia (Deptan, 2004). Menyikapi konsep pengembangan kawasan agropolitan yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2002, maka pada bulan Juli 2006, pemerintah Kabupaten Bengkayang mencanangkan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan yaitu di Kecamatan Sanggau Ledo dan sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Bengkayang No. 185 tahun 2006 tentang Penetapan Lokasi Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Bengkayang di Kecamatan Sanggau Ledo, yang selanjutnya disusul dengan pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Pengembangan Kawasan Agropolitan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Kabupaten Bengkayang No. 349 tahun 2006. Namun sampai saat ini belum ada kajian yang dilakukan secara mendalam oleh pemerintah setempat berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan termasuk penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan. Setelah penetapan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan, maka faktor selanjutnya yang perlu mendapat perhatian seperti telah disebutkan di atas adalah faktor sumberdaya manusia, sumberdaya alam, permodalan, dan pemasaran. Faktor sumberdaya manusia sangat memegang peranan penting dalam pengembangan kawasan agropolitan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas menunjukkan bahwa jumlah penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten bengkayang masih tergolong rendah yaitu hanya mencapai sekitar 50.000 jiwa di empat kecamatan wilayah studi dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 22 jiwa/km2. Secara kualitas menunjukkan sumberdaya manusia di wilayah ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pendidikan nasional. Dari segi sumberdaya alam, wilayah ini sangat potensial untuk pengembangan sektor pertanian terutama sub sektor perkebunan, tanaman pangan dan peternakan. Hal ini terlihat dari kondisi
125 agroekologi dan agroklimat yang sangat mendukung bagi sektor pertanian tersebut. Dari segi permodalan, umumnya petani di wilayah ini menggunakan modal sendiri dalam kegiatan berusahatani, namun para petani juga dapat menambah modal usahataninya melalui pinjaman kredit pada lembaga keuangan mikro yang ada seperti Credit Union (CU). Dilihat
dari
faktor
pemasaran,
wilayah
perbatasan
Kabupaten
Bengkayang memiliki posisi strategis untuk memasarkan hasil pertanian dan hasil oalahnnya karena berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Beberapa komoditas unggulan memiliki prospek pemasaran yang baik dengan nilai tawar yang tinggi baik di pasar lokal maupun internasional. Di pasar lokal, hasil pertanian lebih banyak dipasarkan ke ibukota kabupaten dan daerah sekitarnya seperti kota Singkawang, Sintang, Sambas, Sanggau, dan kota Pontianak. Sedangkan pasar internasional lebih banyak dipasarkan di negara tetangga Malaysia khususnya di kota Serikin. Adapun jalur pemasaran hasil pertanian wilayah perbatasan seperti pada Gambar 31 di bawah ini.
Sarawak Sambas
Sanggau Pontianak
Sintang
Gambar 31. Peluang Pasar Hasil Pertanian di Pasar Lokal dan Pasar Internasional. Besarnya pengaruh setiap faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang sangat dipengaruhi oleh para aktor yang berperan. Beberapa aktor yang besar pengaruhnya dalam pengembangan kawasan agropolita diantaranya adalah pemerintah, petani, perusahaan, perbankan, dan pedagang. Berdasarkan hasil analisis AHP menunjukkan bahwa pemerintah sangat memegang peranan penting dalam
126 pengembangan kawasan agropolitan. Hal ini terlihat dari tingginya nilai skoring yang diberikan oleh para pakar yaitu sebesar 0,345 dan selanjutnya petani, pedagang, perusahaan,dan
perbankan dengan nilai skoring masing-masing
0,249, 0,171, 0,134, dan 0,102 seperti pada Gambar 32.
Gambar 32. Kontribusi setiap Aktor dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
Peran pemerintah sangat diharapkan sebagai motivator dan fasilitator dalam pengembangan kawasan agropolitan, baik pemerintah pusat dan terutama pemerintah daerah. Peran pemerintah kabupaten, dalam hal ini dinas dan instansi yang terkait (Faperta IPB, 2004) dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perkebuan, Dinas Peternakan dan Dinas Perikanan berperan dalam : a. memfasilitasi, melakukan kontrol, dan menjamin pelayanan ketersediaan input dan teknologi pertanian bermutu. b. memfasilitasi ketersediaan sarana pendukung (yang dapat diakses petani secara tepat waktu) c. memfasilitasi penyuluhan yang partisipatif yang berparadigma self-help. 2. Dinas Pekerjaan Umum (PU) atau Dinas Pemurmukiman dan Prasarana Wilayah
(Kimpraswil)
berperan
dalam
melaksakan
pengembangan
infrastruktur transportasi dan infrastruktur lainnya yang diperlukan dalam pengembangan kawasan agropolitan 3. Badan Perencanaan Pembangunan daerah (BAPPEDA) berperan dalam : a. melakukan koordinasi penganggrana dan perencanaan pembangunan kawasan.
127 b. merumuskan kebijakan tentang pengaturan kejelasan penggunaan lahan untuk pertanian dalam bentuk Peraturan daerah (Perda). Keterlibatan berbagai aktor selain pemerintah diharapkan untuk lebih mengembangkan sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan. Perusahaan dan pedagang memegang peranan penting dalam menanamkan investasinya untuk pengembangan agropolitan, penyediaan input pertanian, pengolahan hasil pertanian, dan pemasaran hasil dan produk olahan pertanian. Lembaga Keuangan seperti perbankan diperlukan dalam permodalan usaha tani dan kegiatan agribisnis. Sedangkan petani merupakan pelaku utama dari setiap kegiatan dalam kawasan agropolitan, baik petani sebagai sumber permodalan, petani sebagai pelaku proses produksi, petani sebagai sub sistem agroindusitri yang harus mampu meningkatkan nilai tambah dari produk pertaniannya, ataupun petani sebagai sub sistem pemasaran yang dapat memanfaatkan seluruh fasilitas yang disediakan oleh pemerintah untuk memasarkan produk pertaniannya serta mampu meningkatkan daya tawarnya melalui pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB). Agar peran petani dalam pengembangan kawasan agropolitan dapat lebih optimal, maka dipelukan hal-hal sebagai berikut : 1. Pemberdayaan terhadap petani. Dalam pemberdayaan petani seyogyanya dilakukan pada tahap perencanaan/penyusunan, pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi program pengembangan kawasan agropolitan. Pelaksanaan pemberdayaan petani harus dilaksanakan secara sistematis dan mendidik dengan berpegang pada prinsip : (a) Kerakyatan dimana pembangunan diutamakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat banyak, bukan kesejahteraan orang per orang atau kelompok, (b) Swadaya dengan memberikan bimbingan dan dukungan kemudahan (fasilitas) yang mampu menumbuhkan
keswadayaan
dan
kemadirian,
bukan
menumbuhkan
ketergantungan, (c) kemitraan yaitu memperlakukan petani sebagai mitra kerja pembangunan yang berperan serta aktif dalam pengambulan keputusan, dan (d) bertahap dan berkelanjutan yang menekankan bahwa pembangunan agropolitan
dilaksanakan
sesuai
dengan
potensi
dan
kemampuan
masyarakat setempat, serta memperhatikan kelestarian lingkungan (Suwandi, 2005). 2. Menjalin kerjasama kemitraan antara petani, pelaku usaha bermodal dan pemerintah. Dengan pola kemitraan seperti kemitraan permodalan, produksi,
128 pengolahan, dan pemasaran akan menjamin terhindarnya eksploitasi petani di tingkat perdesaan oleh pelaku usaha lain di satu pihak dan memungkinkan terjadinya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh petani. Ini akan menjamin peningkatan pendapatan dan peningkatan pendapatan memungkinkan kawasan perdesaan melakukan investasi baik yang berupa pendidikan maupun pendiptaan lapangan kerja baru. Hal penting diperhatikan dalam menjalin kerjasama kemitraan adalah yang bersangkutan dapat saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi. Hubungan kerjasama kemitraan ini dapat berjalan efektif dan saling menguntungkan apabila (Suwarjo, 2004 dalam Faperta IPB, 2004) : a. Terjadi kerjasama yang saling membutuhkan sehingga keberadaan satu pihak tidak membebani pihak lain yang saling bekerjasama (Kemitraan bersifat interdependen). b. Kerjasama setara yang saling menghargai, tidak terjadi satu pihak menindas (mengeksploitasi) pihak lain dengan keuntungan/kepentingan sepihak (kemitraan bersifat egaliter dan adil). c. Masing-masing pihak menyadari betul kebutuhan satu sama lain dan memelihara hubungan yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut, masing-masing dapat dipercaya dan diandalkan dalam menjaga kualitas (mutu) pemenuhan kebutuhan tersebut sehingga dihasilkan daya saing bersama untuk kepentingan bersama. 3. Penguatan kelembagaan petani baik kelembagaan non formal seperti kelompok pengajian/kebaktian, kelompok arisan, kelompok gotong royong, karang taruna, dan paguyuban, dan Pedagang Pengumpul Desa (PPD) maupun kelembagaan formal seperti kelompok tani dan Bapali Penyuluhan Pertanian BPP), lembaga keuangan, Unit/Badan Pengelola Kawasan Agropolitan, dan Pusat pelatihan dan konsultasi milik petani atau biasa disebut Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) yang masing-masing harus berperan sesuai dengan fungsinya masing-masing. BPP misalnya, bertugas memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada petani dan pelaku agribisnis lainnya, lembaga keuangan bertugas mengurus fungsi perkreditan, Badan/unit pengelola kawasan agropolitan bertugas mensinkronkan dan mensinergikan semua program/proyek dan investasi yang masuk dalam kawasan agropolitan, dan pusat pelatihan berfungsi
129 sebagai klinik konsultasi agribisnis yaitu sebagai pusat pelayanan jasa konsultasi, pelayanan informasi pasar, dan tempat pelatihan.
6.3.4. Kendala, Kebutuhan, dan Lembaga yang terlibat Dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang juga dikaji kendala-kendala, kebutuhan, dan lembaga yang terlibat dalam program pengembangan kawasan agropolitan. a. Kendala Dalam Pengembangan Kawaan Agropolitan Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang. Berdasarkan hasil pendapat pakar, ditemukan
12 sub elemen kendala, yaitu (1) terbatasnya
infstruktur, (2) modal usaha terbatas dan kredit sulit diperoleh,
(3) masih
rendahnya kualitas SDM, (4) produktivitas pertanian masih rendah, (5) mutu hasil pertanian masih rendah untuk mendukung agroindustri, (6) belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak, (7) terbatasnya sarana dan prasarana agribisnis, (8) Tanggung jawab pemerintah masih lemah, (9) kerjasama lintas sektoral masih lemah, (10) kurangnya kerjasama antar negara di perbatasan, (11) kurangnya partisipasi aktif koperasi dalam memajukan industri kecil, menengah, dan besar, dan (12) akses pemasaran yang masih kurang. Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan sebaran setiap sub elemen kendala menempat tiga sektor masing-masing sektor II, III, dan IV seperti terlihat pada gambar 33. Pada Gambar 33 tersebut, terlihat bahwa sub elemen kendala terbatasnya infrastruktur (1) dan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (3), terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang. Sub elemen tersebut merupakan
kekuatan
penggerak
(driver
power)
yang
besar
dalam
pengembangan kawasan dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub elemen kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik akan menjadi faktor penghambat utama terhadap laju perkembangan kawasan. Kenyataan menunjukkan bahwa pada beberapa desa di empat kecamatan dekat perbatasan belum memiliki infrastruktur yang
130 memadai seperti belum tersedianya sarana jalan darat penghubung antar desa bahkan antar kecamatan seperti Kecamatan Siding. 12 1, 3
11 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12
10 9
Driver Power
Sektor IV Indepencence
Sektor III Linkage
8 7
0
1
2
3
4
Sektor I Autonomous
5
6 65
7
4 3
8
9
10
11
12
13
Sektor II Depencence
2 1
10
0
Dependence
Gambar 33. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Kendala Dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Terbatasnya sarana penghubung jalan darat ini menyebabkan Kecamatan Siding masih sulit ditempuh dengan perjalanan darat sehingga untuk mencapai daerah tersebut harus ditempuh dengan menggunakan sarana transportasi air. Disisi lain, sarana telekomunikasi baik berupa telepon maupun televisi yang masih terbatas yang menyebabkan wilayah ini sulit untuk mengakses informasi dari dalam negeri. Umumnya desa-desa dekat perbatasan Kabupaten Bengkayang lebih banyak mengakses siaran-siaran televisi dari Malaysia dibandingkan dengan siaran dari Indonesia kecuali bagi masyarakat yang telah menggunakan parabola yang mampu mengakses barbagai macam siaran televisi. Sedangkan untuk sarana komunikasi, umumnya masyarakat menggunakan sarana telepon seluler karena di wilayah ini belum tersedia sarana telepon umum yang disediakan oleh kantor telekomunikasi setempat. Pemanfaat telepon seluler ini selain biayanya mahal juga kadang-kadang kehilangan sinyal sehingga masyarakat sangat terbatas untuk memanfaatkan fasilitas komunikasi yang ada. Kualitas sumberdaya manusia di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang masih tergolong rendah. Rendahnya sumberdaya manusia ini merupakan faktor penghambat laju perkembangan pembangunan di wilayah ini.
131 Penduduk di empak kecamatan dekat perbatasan umumnya hanya mampu menikmati pendidikan dasar sampai pendidikan menengah pertama, bahkan banyak yang tidak tamat SD atau tidak sekolah sama sekali. Demikian pula dengan pendidikan informal yang jarang mereka peroleh terutama pendidikan dalam kegiatan bertani yang merupakan matapencaharian utama sebagian besar penduduk di wilayah ini. Penduduk di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang masih banyak yang menggunakan cara-cara tradisional dalam kegiatan bertani seperti mengadakan perladangan berpindah, membuka lahan dengan cara dibakar, menanam tanpa pengolahan tanah, dan tidak melakukan pemupukan, serta pemeliharaan tanaman dilakukan seperlunya saja. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian mereka karena selain kualitas yang jelek, produksi yang diharapkan juga menurun. Jika dikaitan dengan elemen kebutuhan program di atas, maka penyediaan infrastrukutr dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan kebutuhan utama yang harus segera dipenuhi dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang. Sub elemen lain yang merupakan kendala dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan adalah modal usaha terbatas dan kredit usaha sulit diperoleh (2), produktivitas pertanian yang masih rendah (4), mutu hasil pertanian masih rendah untuk mendukung agroindustri (5), belum terbinanya kemitraan yang menguntungkan semua pihak (6), terbatasnya sarana dan prasarana agribisnis (7), tanggung jawab pemerintah masih lemah (8), kerjasama lintas sektoral masih
lemah (9), dan kurangnya partisipasi aktif
koperasi dalam memajukan industri kecil, menengah, dan besar (11), serta akses pemasaran yang masih terbatas (12). Sub elemen ini terletak pada sektor III (linkages) yang merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) terhadap keberhasilan program pengembangan kawasan agropolitan, namun memiliki ketergantungan (dependence) dengan sub elemen kendala lainnya. Setiap tindakan terhadap tujuan pada sub elemen ini akan mempengaruhi suksesnya program pengembangan kawasan agropolitan dan sebaliknya apabila sub elemen ini mendapatkan perhatian yang kurang, maka dapat berpengaruh terhadap kegagalan program pengembangan kawasan agropolitan. Sedangkan sub elemen kendala kurangnya kerjasama antar negara di perbatasan (10), merupakan sub elemen akibat dari tindakan perbaikan kendala
132 program lainnya. Dengan kata lain, apabila beberapa sub elemen kendala seperti tersebut di atas terpenuhi, maka upaya meningkatkan hubungan yang baik dengan negara tetangga di perbatasan merupakan suatu yang penting untuk dirintis. Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kendala program pengembangan
kawasan
agropolitan
di
wilayah
perbatasan
Kabupaten
Bengkayang secara rinci dapat dilihat pada Gambar 34 di bawah ini.
Level 3
Level 2
10
2
Level 1
4
5
6
7
1
8
9
11
12
3
Gambar 34. Struktur Hierarkhi Sub Elemen Kendala Program Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
Pada Gambar 34 terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang dapat dilakukan melalui tiga tahap. Pada tahap pertama yang perlu dilakukan adalah melengkapi infrastruktur yang diperlukan dalam pengembangan kawasan agropolitan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dengan membekali berbagai keterampilan dan penguasaan teknologi khususnya dalam kegiatan bertani bagi masyarakat lokal karena masyarakat lokal merupakan unsur utama atau unsur penggerak yang nantinya harus berprakarsa secara mandiri dan kreatif untuk mencari langkah-langkah yang harus dilakukan agar selain kegiatan budidaya yang dapat dilakukan, tetapi juga dapat menciptakan dan menumbuh-kembangkan usaha-usaha off farm seperti penyediaan sarana produksi (agroinput) dan pengolahan hasil pertanian (processing) termasuk pemasarannya (marketing). b. Kebutuhan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan Berdasarkan hasil pendapat pakar, ditemukan 14 sub elemen kebutuhan yang diperlukan dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang. Adapun sub elemen tersebuat
133 yaitu (1) Ketersediaan infrastruktur (jembatan, jalan, irigasi listrik, telekomunikasi, dll); (2) sarana dan prasarana produksi pertanian (pupuk, alat, dan mesin pertanian); (3) industri pengolahan hasil pertanian; (4) ketersediaan benih/bibit; (5) SDM pertanian yang terampil; (6) kemudahan birokrasi (insentif dan disintensif); (7) permodalan dan fasilitas pinjaman/kredit; (8) manajemen usaha tani konservasi; (9) kebijakan penetapan kawasan agropolitan; (10) keberadaan lembaga penyuluh pertanian; (11) pemasaran yang baik; (12) keamanan dalam berinvestasi; (13) kerjasama lintas sektoral; dan
(14) kerjasama antar negara.
Keempat belas sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode ISM untuk mendapatkan elemen kunci yang merupakan kebutuhan utama program pengembangan kawasan agropolitan. Hasil analisis ISM seperti disajikan pada Gambar 35.
1 5, 9
Sektor IV Indepencence Driver Power
0
1
2
3
4
Sektor I Autonomous
5
6
15 14 13 12 11 10 9 8 7 7 6 5 4 3 2 1 0
2, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13
Sektor III Linkage
8
9
10
11
12
13
14
15
Sektor II Dependence 14
Dependence
Gambar
35. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Kebutuhan Program Berdasarkan
hasil
analisis
seperti
pada
Gambar
35
tersebut
memperlihatkan bahwa sub elemen ketersediaan infrastruktur yang memadai (1), peningkatan sumberdaya manusia pertanian yang terampil (5), dan kebijakan penetapan kawasan agropolitan (9), terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang
besar
dalam
pengembangan
kawasan
agropolitan,
dan
memiliki
ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program. Ketiga sub
134 elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program. Sedangkan sub elemen sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian (2), industri pengolahan hasil pertanian (3), ketersediaan benih/bibit (4), kemudahan birokrasi seperti pemberian insentif dan disinsentif (6), permodalan dan fasilitas pinjaman kredit (7), manajemen usahatani konservasi (8), keberadaan lembaga penyuluh pertanian (10), pemasaran yang baik (11), keamanan dalam berinvestasi (12), dan kerjasama lintas sektoral (13), terletak pada sektor III yang merupakan sub elemen pengait (linkages) dari sub elemen lainnya. Sub elemen pada sektor ini memiliki kekuatan pendorong (driver power) yang besar terhadap suksesnya program tetapi memiliki ketergantungan (dependence) yang besar pula. Setiap tindakan terhadap tujuan pada sub elemen ini akan mempengaruhi suksesnya program pengembangan kawasan agropolitan dan sebaliknya apabila sub elemen ini mendapatkan perhatian yang kurang, maka dapat berpengaruh terhadap kegagalan program pengembangan kawasan agropolitan. Adapun sub elemen kebutuhan adanya kerjasama antar negara (14), terutama dengan negara Malaysia yang berbatasan darat langsung dengan Kabupaten Bengkayang, terletak pada sektor II yang merupakan sub elemen akibat dari tindakan pemenuhan kebutuhan program lainnya. Dengan kata lain, apabila beberapa sub elemen kebutuhan selain menjalin hubungan dengan negara tetangga seperti tersebut di atas terpenuhi, maka menjalin hubungan yang baik dengan negara tetangga di perbatasan merupakan suatu yang penting untuk dirintis terutama dalam hal pemasarana hasil pertanian dan produk olahannya. Namun demikian, posisi kebutuhan untuk menjalin kerjasama dengan negara tetangga dalam analisis ini berada pada sektor II yang berarti memiliki ketergantungan (dependence) yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan program lainnya dan tidak memiliki kekuatan pendorong (driver power) yang tinggi.
Struktur
pengembangan
hierarkhi kawasan
hubungan agropolitan
sub di
elemen
wilayah
kebutuhan
perbatasan
program Kabupaten
Bengkayang secara rinci dapat dilihat pada Gambar 36. Pada gambar 47 memperlihatkan bahwa ada empat tahap yang dapat ditempuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan program pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang. Kebutuhan yang sangat mendesak pada tahap pertama adalah penyediaan infrastruktur kawasan yang memadai untuk memperlancar hubungan dan membuka
135 keterisolasian antar kawasan di wilayah perbatasan baik dalam hal penyediaan infrastruktur jalan, pembangunan jembatan, penyediaan sarana irigasi, listrik, telekomunikasi, dan infrastruktur lainnya karena pada beberapa desa di empat kecamatan dekat perbatasan, masih sangat terisolasi baik antar desa, ke ibukota kecamatan, maupun ke ibukota kabupaten yang disebabkan oleh minimnya infrastruktur yang dimiliki.
Level 4
14
Level 3
2
3
4
6
7
Level 2
8
5
10
11
12
13
9
1
Level 1
Gambar 36. Struktur Hierarkhi Sub Elemen Kebutuhan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang Pada tahap kedua yang perlu dilakukan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kebijakan penetapan kawasan agropolitan. Melihat posisi sub elemen penyediaan infrastruktur, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan kebijakan penetapan kawasan agropolitan yng juga berada pada satu sektor yaitu terletak pada sektor IV dimana pada sektor ini, semua sub elemen memiliki kekuatan pendorong yang besar dan tergantungan yang rendah terhadap keberhasilan program pengembangan kawasan agropolitan, maka ketiganya dapat dilakukan secara bersama-sama tergantung kemampuan dan kemauan politik (Political will) dari pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah propinsi,
maupun
mengembangkan
pemerintah wilayah
daerah
perbatasan
Kabupaten dengan
bengkayang
pengembangan
untuk
kawasan
agropolitan. Khusus b erkaitan dengan kebijakan, pemerintah Kabupaten Bengkayang telah mencanangkan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang yang dipusatkan di Kecatamana Sanggau Ledo yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati Bengkayang Nomor 185 tahun 2006 tentang Penetapan Lokasi Pengembangan Kawasan
136 Agopolitan, pada tanggal 07 Juli 2006. Untuk mendukung program pemerintah tersebut,
maka
sumberdaya
berbagai
manusia
upaya
terutama
perlu
dilakukan
sumberdaya
termasuk
pertanian
peningkatan
agar
memiliki
keterampilan yang memadai dalam mengembangkan kawasan agropolitan. Tahap berikutnya atau tahap ketiga yang perlu dilakukan adalah penyediaan sarana produksi pertanian, penyediaan industri pengolahan hasil pertanian, penyediaan bibit/benih berkualitas, kemudahan dalam birokrasi, permodalan dan fasilitas pinjaman kredit, manajemen usahatani konservasi, keberadaan lembaga penyuluh pertanian, pemasaran yang baik, keamanan dalam
berinvestasi,
dan
perlunya
kerjasama
lintas
sektoral
dalam
pengembangan kawasan, dimana semua sub elemen kebutuhan program ini, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan sehingga dapat dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan kawasan, kemudian pada tahap terakhir adalah menjalin kerjasama dengan negara tetangga dimana keberadaan negara tetangga ini memiliki posisi strategis terhadap keberhasilan program agropolitan baik melalui investasi dalam pengembangan kawasan maupun sebagai media pemasaran yang baik bagi hasil pertanian dan produk olahannya.
c. Lembaga yang Terlibat dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan Berdasarkan pendapat pakar, ditemukan 12 sub elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang yaitu (1) Pemerintah Pusat, (2) Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, (3) Pemerintah Kabupaten Bengkayang, (4) Dinas/Instansi yang terkait, (5) Perbankan, (6) Koperasi, (7) Lembaga Keuangan Mikro, (8) Investor asing, (9) Industri Pengolahan Hasil Pertanian, (10) Lembaga Swadaya Masyarakat, (11) Perguruan Tinggi, dan (12) Perusahaan Perkebunan. Posisi setiap sub elemen hasil analisis dengan menggunakan metode ISM seperti terlihat pada gambar 37 di bawah ini. Pada gambar 37, terlihat bahwa sub elemen lembaga pemerintah pusat (1) pemerintah propinsi Kalimantan Barat (2), dan pemerintah Kabupaten Bengkayang (3), terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen lembaga yang sangat berpengaruh dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang. Sub elemen ini mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengembangan kawasan agropolitan,
137 dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap lembaga lainnya. Ketiga sub elemen ini merupakan sub elemen kunci lembaga yang terlibat dalam program pengembangan kawasan agropolitan. Sedangkan sub elemen dinas/instansi yang terkait (4), lembaga perbankan (5), koperasi (6), lembaga keuangan mikro (7), industri pengolahan hasil pertanian (9), dan perguruan tinggi (11) terletak pada sektor III yang merupakan sub elemen pengait (linkages) dari sub elemen lainnya. Sub elemen pada sektor ini memiliki kekuatan pendorong (driver power) yang besar terhadap suksesnya program tetapi memiliki ketergantungan (dependence) yang besar pula terhadap lembaga lainnya terutama lembaga pemerintah. Namun demikian, setiap tindakan terhadap tujuan pada sub elemen ini akan mempengaruhi suksesnya program pengembangan kawasan agropolitan dan sebaliknya apabila sub elemen ini mendapatkan perhatian yang kurang, maka dapat berpengaruh terhadap kegagalan program pengembangan kawasan agropolitan. 12 1
11
3
2
10 4, 5, 6, 7, 9, 11
9
Driver Power
Sektor IV Indepencence 0
1
2
3
4
5
8
Sektor III Linkage
7 6 65
7
8
9
10
11
12
13
4
Sektor I Autonomous
12
3 2 1
Sektor II depencence
10 8
0
Dependence
Gambar 37. Matriks Driver Power – Dependence untuk Elemen Lembaga yang Terlibat Dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan
Sub elemen investor asing (8), lembaga swadaya masyarakat (10), dan perusahaan perkebunan (12) merupakan sub elemen akibat dari tindakan pemenuhan kebutuhan program lainnya. Dengan kata lain, apabila beberapa sub elemen lembaga lainnya seperti tersebut di atas terpenuhi, maka sub elemen ini menjadi sangat penting. Menjalin hubungan yang baik dengan Pemerintah Malaysia merupakan hal yang penting untuk dirintis untuk lebih mengembangkan
138 kawasan agropolitan. Hubungan ini dapat dalam bentuk kerjasama investasi yang berkaitan dengan pengembangan agropolitan. Disisi lain, keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat penting dalam memberikan pengawasan perjalanan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bengkayang. Struktur hierarkhi hubungan sub elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang secara rinci dapat dilihat pada Gambar 38. Level 6
8
Level 5
10
Level 4
Level 3
12
4
Level 2
5
6
7
2
Level 1
9
11
3
1
Gambar 38. Struktur Hierarkhi Sub Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Program Pengembangan Kawasan Agropolitan di Wilayah Perbatasan Kabupaten Bengkayang
Pada gambar 38, terlihat bahwa ada enam tahap atau level keterlibatan setiap lembaga dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan
Kabupaten
Bengkayang.
Lembaga
yang
diharapkan
sangat
berperanan dalam pengembangan kawasan agropolitan pada tahap pertama adalah Pemerintah Pusat, kemudian disusul pada tahap kedua yaitu Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Kabupaten Bengkayang. Namun demikian, jika dilihat pada gambar matrik Driver Power - Dependence (Gambar 37) sebenarnya ketiga lembaga tersebut dapat bekerja bersama-sama dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang karena ketiganya terletak dalam satu sektor yaitu sektor IV dan merupakan sub elemen kunci yang sangat diharapkan peranannya untuk
139 mendukung keberhasilan pengembangan kawasan. Peran yang diharapkan adalah komitmen yang kuat dari pemerintah melalui penerapan kebijakan pengembangan wilayah. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004 yaitu meningkatkan pembangunan di seluruh daerah, terutama daerah perbatasan
dan wilayah
tertinggal lainnya yang berlandaskan pada prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Salah satu kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan di wilayah perbatasan di Kabupaten Bengkayang sesuai dengan potensi wilayah yang dimiliki adalan pengembangan kawasan agropolitan yang disertai dengan penyusunan program-program unggulan untuk mempercepat pembangunan kawasan. Program pengembangan kawasan agropolitan dilaksanakan secara bertahap, berorientasi jangka panjang, dan dimulai dengan program yang bersifat rintisan dan stimulan yang dikembangkan oleh pemerintah. Waktu yang dibutuhkan untuk pengembangan kawasan agropolitan bisa mencapai lima tahun, tergantung kondisi kawasan yang dikembangkan. Dalam tahap perkembangan awal pengembangan kawasan agropolitan, pemerintah harus memfasilitasi untuk terbentuknya satu unit kawasan pengembangan agropolitan baik pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Perkembangan berikutnya, peran pemerintah mulai dikurangi
dan hanya pada sektor-sektor
publik saja. Dalam perkembangan terakhir, peran pemerintah diharapkan keluar dari sektor privat yang telah dilaksanakan oleh masyarakat agar tercipta kemandirian kawasan agropolitan, kecuali pada sektor-sektor yang benar-benar publik seperti penanganan pertahanan dan keamanan, penegakan hukum, dan fasilitator. Adapun peran pemerintah dalam pengembangan kawasan agropolitan menurut Deptan, (2003) adalah sebagai berikut : 1. Peran pemerintah pusat adalah membantu pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut lintas propinsi. Peran pemerintah pusat adalah : a. Menyusun rencana program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan dalam bentuk pedoman umum dan pedoman yang terkait pengembangan kawasan.
140 b. Pelayanan informasi dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta memfasilitasi kerjasama lintas propinsi dan internasional dalam pengembangan kawasan agropolitan c. Pengembangan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia. d. Penyelenggaraan pengkajian-pengkajian untuk pengembangan kawasan agropolitan e. Pembangunan sarana dan prasarana publik, yang bersifat strategis. 2. Peran pemerintah propinsi adalah membantu memfasilitasi pemerintah kabupaten/kota
dalam
pengembangan
kawasan
agropolitan,
dan
bertanggung jawab dalam pengembangan kawasan agropolitan ditingkat propinsi, serta kegiatan pemerintah yang bersifat lintas kabupaten/kota. Peran pemerintah propinsi adalah : a. Mengkoordinasikan rencana program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah propinsi b. Memberikan
pelayanan
informasi
(pasar,
teknologi,
agroinput,
permodalan dan jasa) dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dalam pengembangan kawasan agropolitan. c. Menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan pengembangan wilayah. d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia. e. Membantu
memecahkan
masalah
yang
diminta
oleh
pemerintah
kabupaten/kota. f.
Membangun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis.
3. Peran pemerintah kabupaten/kota sesuai titik berat otonomi daerah adalah sebagai penanggung jawab program pengembangan kawasan agropolitan di kabupaten/kota. Peran pemerintah kabupaten/kota tersebut adalah : a. Merumuskan
program,
kebijakan
operasional,
dan
koordinasi
perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan. b. Mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan master plan, program, dan melaksanakan program kawasan agropolitan. c. Menumbuhkembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan. Program pengembangan kawasan agropolitan merupakan urusan pilihan pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah propinsi dan pemerintah
141 Titik
berat
pengembangan
kawasan
agropolitan
terdapat
di
kabupaten/kota, oleh karena itu pemerintah kabupaten/kota perlu membentuk Kelompok
Kerja
(POKJA)
untuk
membantu
peran
pemerintah
dalam
pengembangan kawasan agropolitan secara sinergi mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan program. Keanggotaan kelompok kerja terdiri dari unsur-unsur yang terkait seperti dinas/instansi lingkup pertanian, Bappeda, Dinas Kimpraswil, Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Perguruan Tinggi, Perbankan, Pengusaha, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Camat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Petani, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), serta unsur lainnya yang dianggap penting (Deptan, 2003). Keanggotaan kelompok kerja ini terlihat bahwa aktor-aktor lainnya seperti yang telah disebutkan di atas, terwakili di dalam POKJA yang dibentuk oleh pemerintah. Berkaitan
Kelompok
Kerja
(POKJA),
Pemerintah
Kabupaten
Bengkayang telah membentuk Kelompok Kerja dalam pengembangan kawasan agropolitan yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati Kabupaten Bengkayang Nomor : 349 tahun 2006 (SK Terlampir dalam lampiran 13) dengan susunan keanggotaan sebagai berikut : 1. Penanggung jawab : Bupati dan Sekretariat Daerah (Sekda) setempat. 2. Ketua
: Kepala BAPPEDA Kabupaten Bengkayang
3. Wakil ketua
: Asisten I Sekretariat Kabupaten Bengkayang
4. Ketua harian
: Kepala dinas Pertanian kabupaten Bengkayang
5. Sekretaris
: Kasubdin Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Kepala Bidang Ekonomi BAPPEDA Kabupaten Bengkayang
6. Anggota
: Dinas/Instansi terkait, Kepala Bank Kalbar kabupaten Bengakayang, Kontak tani nelayan andalan, Kadin, Camat setempat dan tokoh masyarakat.
Pada tahap ketiga, lembaga yang terlibat adalah dinas/instansi yang terkait, perbankan, koperasi, lembaga keuangan mikro, industri pengolahan hasil pertanian, dan perguruan tinggi dengan tugas dan fungsinya dari masing-masing. Sedangkan
pada
tahap
keempat,
kelima
dan
keenam
masing-masing
perusahaan perkebunan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Pemerintah Malaysia.
142 6.4. Kesimpulan Tingkat perkembangan wilayah termasuk dalam strata Pra Kawasan agropolitan II. Untuk meningkatkan strata kawasan, variabel lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, jumlah sarana dan prasarana umum, jumlah komoditas pertanian dan banyaknya keluarga pra sejahtera. Dilihat dari kelengkapan fasilitas yang dimiliki setiap desa, terdapat 2 desa dengan tingkat perkembangan lebih maju, 11 desa dengan tingkat perkembangan sedang, dan 16 desa dengan tingkat perkembangan relatif tertinggal. Masyarakat wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang setuju jika daerahnya direncanakan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Jenis agropolitan yang dapat dikembangkan adalah perkebunan,
tanaman
pangan,
dan
agropolitan terpadu antara
peternakan
dengan
tujuan
untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat. Faktor paling penting diperhatikan adalah
kebijakan pengembangan kawasan agropolitan dan pemerintah
merupakan aktor yang paling berperan. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang adalah terbatasnya infrastruktur dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Untuk mengatasinya dibutuhkan penyediaan infrastruktur yang memadai dan peningkatan sumberdaya manusia yang terampil. Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting terutama kebijakan dalam pengembangan kawasan agropolitan baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, maupun Pemerintah Kabupaten Bengkayang. Pemerintah pusat dan propinsi berfungsi sebagai fasilitator dan motivator dalam pengembangan kawasan, sedangkan pemerintah kabupaten sebagai pelaksana langsung dilapangan.