Vol. III No. 1, September 2012
Jurnal Mathematics Paedagogic
UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE TYPE JIGSAW II Bayu Saputra1 dan Sri Rahma Dewi Saragih2
Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Asahan 2
e-mail:
[email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian tindakan kelas ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa pada dengan menerapkan model pembelajaran cooperative type jigsaw II. Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti mengubah pembelajaran dengan konvensional dengan menerapkan model pembelajaran cooperative type jigsaw II. Data penelitian ini diperoleh dari observasi terhadap siswa, dan hasil tes evaluasi siswa. Dari hasil dua siklus diperoleh peningkatan ketuntasan hasil belajar dari 64,2% pada siklus pertama menjadi 89,2% pada siklus kedua. Selain itu juga terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa yang signifikan. Dapat disimpulkan bahwa menerapkan model pembelajaran cooperative type jigsaw II layak untuk diterapkan dalam proses pembelajaran Matematika di SMK Yayasan Citra Abdi Negoro, kabupaten Asahan. Kata Kunci : Pembelajaran Cooperative, Jigsaw II
PENDAHULUAN Pendidikan nasional diarahkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun demikian, untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut tidak semudah yang dibayangkan, berbagai upaya harus Diterima 1 Feb 2012, Direvisi 11 Jun 2012, Disyahkan untuk publikasi 8 Ags 2012
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
11
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
dilakukan untuk mewujudkannya. Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia sampai sekarang, peranan matematika semakin penting, baik bagi perkembangan peradaban manusia secara keseluruhan (misalnya bagi perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi) maupun bagi perkembangan setiap individu. Bagi individu, matematika berguna untuk memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu dan untuk mengembangkan cara berpikir. Selain itu, matematika berfungsi sebagai alat bantu dan pelayanan ilmu, artinya tidak hanya untuk matematika itu sendiri tetapi untuk ilmu-ilmu yang lain, baik untuk kepentingan teoritis maupun kepentingan praktis sebagai aplikasi dari matematika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika diajarkan bukan hanya untuk mengetahui dan memahami apa yang terkandung dalam matematika itu sendiri, tetapi matematika dianjurkan pada dasarnya juga bertujuan untuk membantu melatih pola pikir siswa agar dapat memecahkan masalah dengan kritis, logis, cermat dan tepat. Di samping itu, agar siswa terbentuk kepribadiannya dan terampil menggunakan matematika dalam kehidupan seharihari. Berdasarkan realita yang ada kebanyakan siswa kurang antusias dalam menerima pelajaran matematika, mereka lebih bersifat pasif, enggan, takut atau malu untuk mengemukakan pendapatnya. Tidak jarang siswa kurang mampu dalam mempelajari matematika sebab matematika dianggap sulit, menakutkan bahkan sebagian dari mereka ada yang membencinya. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Ibu Zaini Yuliana guru matematika yang mengajar di kelas X SMK Yayasan Citra Abdi Negoro mengatakan bahwa penguasaan dan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika masih tergolong rendah, 55% dari keseluruhan siswa mendapatkan nilai dibawah KKM yaitu 65. Salah satu materi matematika yang penguasaan dan hasil belajar siswa masih rendah adalah pada pokok bahasan persamaan kuadrat, di mana pada materi tersebut banyak siswa yang belum bisa menentukan cara yang mudah dalam menyelesaikan suatu persamaan kuadrat dari beberapa cara yang ada. Hal ini didasari karena siswa tidak menyukai pelajaran matematika dan metode yang digunakan guru masih bersifat konvensional karena guru hanya mengandalkan metode ceramah dan demonstrasi selama pembelajaran, sehingga siswa kurang antusias bahkan takut untuk mengikuti pelajaran matematika. Ketakutan yang muncul dari dalam diri siswa tidak hanya disebabkan oleh siswa itu sendiri, tetapi juga didukung oleh ketidakmampuan guru menciptakan situasi yang membawa siswa tertarik pada matematika. Guru merupakan salah satu penentu dalam pendidikan, sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina dan mengembangkan kemampuan siswa agar menjadi manusia yang cerdas, terampil dan bermoral tinggi. Sebagai penentu, guru dituntut memiliki kemampuan sebagai pendidik dan pengajar. Sebagai pengajar, paling tidak guru harus menguasai bahan yang diajarkan dan terampil dalam hal cara mengajarkannya. Guru Matematika yang berhasil adalah guru yang mampu mengatasi dan menyelesaikan masalah pembelajaran di kelas secara bijaksana. Sehubungan dengan itu, tentulah tidak mencukupi bagi seorang guru matematika hanya bergantung pada strategi dan teknik yang lama dalam mengajar matematika, tetapi Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
12
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
harus dengan cara yang lain yang dapat menarik siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar mengajar, karena tujuan setiap proses belajar megajar adalah diperolehnya hasil belajar yang optimal. Hal ini dapat dilakukan apabila siswa terlibat secara aktif baik fisik, mental maupun emosi. Keberhasilan proses pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah. Dalam proses pembelajaran komponen utama adalah guru dan siswa. Dalam pembelajaran seringkali dijumpai adanya kecenderungan siswa yang tidak mau bertanya kepada guru meskipun mereka sebenarnya belum mengerti tentang materi yang disampaikan guru. Masalah ini membuat hubungan antara guru dan siswa menjadi pasif sehingga tidak terjadi umpan balik siswa hanya diam dlam menerima penyampaian materi pembelajaran dari guru. Agar dalam pelaksanaan pembelajaran matematika tidak membosankan sehingga siswa senang dalam pembelajaran matematika maka dalam pelaksanaannya dapat menerapkan berbagai strategi. Salah satunya adalah melalui penggunaan model pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran yang dipilih diharapkan mampu mengembangkan dan meningkatkan kompetensi, kreativitas, kemandirian, kerjasama (cooperative), kepemimpinan, toleransi dan kecakapan hidup siswa. Model pembelajaran yang sesuai dengan maksud di atas, salah satunya adalah model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II. Model pembelajaran Jigsaw II merupakan model pembelajaran yang mempunyai strategi pembelajaran penerapan bimbingan antar teman. Melalui model pembelajaran Jigsaw II siswa diajak belajar mandiri, dilatih untuk mengoptimalkan kemampuannya dalam menyerap informasi ilmiah yang dicari, dilatih untuk menjelaskan temuannya kepada pihak lain dan dilatih untuk memecahkan masalah. Jadi melalui model pembelajaran ini siswa diajak berpikir dan memahami materi tidak hanya mendengar, menerima dan mengingat-ingat saja. Namun dengan model pembelajaran ini keaktifan, kemandirian dan keterampilan siswa dapat dikembangkan dan akhirnya pemahaman konsep yang diperoleh dapat berkembang secara efektif. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X SMK Yayasan Citra Abdi Negoro, kabupaten Asahan pada materi persamaan kuadrat? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas X SMK Yayasan Citra Abdi Negoro, kabupaten Asahan pada materi persamaan kuadrat. Cooperative Type Jigsaw II Menurut Meyer (dalam Trianto, 2010) menjelasakan bahwa secara kaffah model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu hal. Sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
13
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
Dalam matematika kita juga mengenal istilah model matematika yaitu sebuah model yang bagian-bagiannya terdiri dari konsep matematik, seperti ketetapan (konstanta), variable, fungsi, persamaan, pertidaksamaan, dan sebagainya. Menurut Uno (2011) pembelajaran dalam suatu defenisi dipandang sebagai upaya mempengaruhi siswa agar belajar. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa pembelajaran sebagai upaya membelajarkan siswa. Akibat yang mungkin tampak dari tindakan pembelajaran adalah siswa akan, (1) belajar sesuatu yang mereka tidak akan pelajari tanpa adanya tindakan pembelajar, atau (2) mempelajari sesuatu dengan cara yang lebih efisien. Menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2010) bahwa istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada strategi, metode atau prosedur. Model pembelajaran mempunyai empat cirri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah: (1) Rasional teoritis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat terlaksanakan dengan berhasil; dan (4) Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai. Dalam mengajarkan suatu materi tertentu harus dipilih model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu, dalam memilih suatu model pembelajaran harus memiliki pertimbanganpertimbangan. Dengan demikian, merupakan hal yang sangat penting bagi para pengajar untuk mempelajari dan menambah wawasan tentang model pembelajaran yang telah dikehui. Karena dengan menguasai beberapa model pembelajaran, seorang guru akan merasakan adanya kemudahan di dalam pelaksanaan pembelajaraan di kelas, sehingga tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran dapat tercapai dan tuntas sesuai yang diharapkan. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran koopeartif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran (Isjoni:2009). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Trianto (2010:56) bahwa pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat social dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif. Menurut Lie (2010:29) menjelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
14
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif. Tabel. 1 Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan Kelompok Belajar Konvensional Kelompok Belajar Kooperatif Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif. Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memeberikan bantuan. Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademis, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan. Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok.
Kelompok Belajar Konvensional Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok. Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya mendompleng keberhasilan pemborong.
Keterampilan social yang diperlukan dalam kerja gotong royong sepertiii kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan. Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok.
Keterampilan social sering tidak secara langsung diajarkan.
Kelompok homogen.
belajar
biasanya
Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masingmasing.
Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
15
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
Guru memperhatikan secara proses Guru sering tidak memperhatikan kelompok yang terjadi dalam proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. kelompok-kelompok belajar. Penekanan tidak hanya pada Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas. penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai). Sumber : Killen (dalam Trianto, 2010 : 59) Zamroni (dalam Trianto:2010) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Suprijono (2009) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu model pembelajaran kooperatif memiliki enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran. Langkahlangkah itu ditunjukkan pada table. 1 Tabel. 2 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Fase Tingkah Laku Guru Fase-1 Guru menyampaikan semua Menyampaikan tujuan dan tujuan pelajaran yang ingin memotivasi siswa dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa. Fase-2 Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase-3 Mengorganisasikan siswa kedalam kelompok kooperatif
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase-4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompokkelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase-5 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
16
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
kerjanya. Fase-6 Memberi penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Sumber : Ibrahim, dkk. (dalam Trianto:2010) Menurut Suherman (2003), ada beberapa hal yang perlu dipenuhi dalam pembelajaran kooperatif supaya lebih menjamin para siswa bekerja secara kooperatif. Hal-hal tersebut meliputi: (1) para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai; (2) para siswa yang tergabung dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidaknya kelompok itu adalah menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu; (3) untuk mencapai hasil yang maksimum, para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang dihadapinya. Akhirnya, para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harus menyadari bahwa setiap pekerjaan siswa mempunyai akibat langsung pada keberhasilan kelompoknya. Beberapa model Cooperative Learning telah dikembangkan oleh para ahli. Beberapa model yang dikembangkan oleh para ahli di antaranya adalah Jigsaw II. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw telah dikembangkan dan di uji coba oleh Elliot Aronson dan kawan-kawan di Universitas Texas dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawan di Universitas John Hopkins yang kemudian dikenal dengan Jigsaw II. Menurut Trianto (2010) ada perbedaan mendasar antara pembelajaran Jigsaw I dan Jigsaw II, kalau pada tipe I, awalnya siswa hanya belajar konsep tertentu yang akan menjadi spesialisnya sementara konsep-konsep yang lain ia dapatkan melalui diskusi dengan teman grupnya. Sedangkan pada tipe II ini setiap siswa memperoleh kesempatan belajar secara keseluruhan konsep (scan read) sebelum ia belajar spesialisnya untuk menjadi expert. Hal ini untuk memperoleh gambara menyeluruh dari konsep yang akan dibicarakan. Slavin (2005) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran Jigsaw II para siswa diberikan tugas untuk membaca beberapa bab atau unit, dan diberikan “lembar ahli” yang terdiri dari atas topik-topik yang berbeda yang harus menjadi fokus perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua anak selesai membaca, siswa-siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik yang sama bertemu dalam “kelompok ahli” untuk mendiskusikan topik mereka sekitar tiga puluh menit. Para ahli tersebut kemudian kembali kepada tim mereka dan secara bergantian mengajari teman satu timnya mengenai topik mereka. Yang terakhir adalah, para siswa menerima penilaian/kuis yang mencakup seluruh topik.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
17
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
Menurut Trianto (2010) adapun langkah-langkah dalam pembelajaran dengan Jigsaw II adalah sebagai berikut: (a) Orientasi; (b) Pengelompokkan; (c) Pembentukan dan pembinaan kelompok expert; (d) Diskusi (pemaparan) kelompok ahli kedalam grup; (e) Tes (penilaian); (f) Pengakuan kelompok. Uraian dari masing-masing tahapan adalah sebagai beriku: (a) Orientasi, pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan diberikan. Memberikan penekanan tentang manfaat penggunaan metode Jigsaw II dalam proses pembelajaran; (b) Pengelompokkan, misalkan dalam kelas ada 20 siswa yang kita tahu kemampuan matematikanya dan sudah di ranking (siswa tidak perlu tahu), kita bagi dalam 25% (ranking 1-5) kelompok sangat baik, 25% (ranking 6-10) kelompok baik, 25% selanjutnya (ranking 11-15) kelompok sedang, 25% (ranking 16-20) rendah. Selanjutnya dibagi menjadi 5 grup (A-E) yang isi tiap-tiap grupnya heterogen dalam kemapuan matematika, kemudian beri indeks 1 untuk siswa dalam kelompok sangat baik, indeks 2 untuk kelompok baik, indeks 3 untuk kelompok sedang dan indeks 4 untuk kelompok rendah. Maka tiap grup akan berisi: Grup A {A1, A2, A3, A4}, Grup B {B1, B2, B3, B4}, Grup C {C1, C2, C3, C4}, Grup D {D1, D2, D3,D4}, Grup E {E1, E2, E3, E4}; (c) Pembentukan dan pembinaan kelompok expert, selanjutnya grup itu dipecah menjadi kelompok yang akan mempelajari materi yang diberikan dan dibina supaya jadi expert, berdasrkan indeksnya: Kelompok 1 {A1, B1, C1, D1, E1, F1, G1}, Kelompok 2 {A2, B2, C2, D2, E2, F2, G2}, Kelompok 3 { A3, B3, C3, D3, E3, F3, G3}, Kelompok 4 { A4, B4, C4, D4, E4, F4, G5}.Tiap kelompok ini diberikan materi/topic sesuai dengan kemampuannya. Setiap kelompok diharapkan bisa belajar topik yang diberikan dengan sebaik-baiknya sebelum ia kembali ke dalam grup sebagai tim ahli “expert”. (c) Diskusi (pemaparan), kelompok ahli kedalam grup expertist (siswa ahli) dalam konsep tertentu ini, masing-masing kembali dalam grup semula. Pada fase ini setiap grup memiliki ahli dalam konsep-konsep tertentu. Selanjutnya pendidik mempersilakan anggota grup untuk mempresentasikan keahliannya kepada grupnya masing-masing, satu persatu. Proses ini diharapkan akan terjadi shearing pengetahuan antara mereka. Aturan dalam fase ini adalah: (1) Siswa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anggota tim mempelajari materi yang diberikan, (2) Memperoleh pengetahuan baru adalah tanggung jawab bersama, jadi tidak ada yang selesai belajar sampai setiap anggota menguasai konsep/materi, (3) Tanyakan pada anggota grup sebelum Tanya pada pendidik, (4) Pembicaraan dilakukan secara pelan agar tidak mengganggu grup lain, (5) Tes (penilaian). Pada fase ini guru memberikan tes tulis untuk dikerjakan oleh siswa yang memuat seluruh konsep yang didiskusikan. Pada tes ini siswa tidak diperkenankan untuk bekerja sama; (d) Pengakuan Kelompok, penilaian pada pembelajaran kooperatif berdasarkan skor peningkatan individu, tidak didasarkan pada skor akhir yang diperoleh siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
18
Vol. III No. 1, September 2012
Jurnal Mathematics Paedagogic
Gambar. 1 Diagram Diskusi Kelompok Expert Grup A
Grup B
A1, A2, A3, A4
B1, B2, B3, B4
Kel. 1 A1,B1 C1, D1 E1
Grup C C1, C2, C3, C4
Kel. 2 A2,B2 C2,D2 E2
Kel. 4 A4,B4 C4, D4 E4
Kel. 3 A3,B3 C3, D3 E3
Grup D D1, D2, D3, D4
Grup E E1, E2, E3, E4
METODE Lokasi penelitian ini dilaksanakan di SMK Yayasan Citra Abdi Negoro, kabupaten Asahan. Subjek digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMK Yayasan Citra Abdi Negoro. Sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah hasil belajar siswa pada materi persamaan kuadrat melalui penerapan model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus dimana setiap siklusnya memiliki 4 (empat) tahapan, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Menurut Wiriaatmadja (2007) Penelitian tindakan kelas adalah suatu proses penelitian dan pembelajaran yang menggabungkan teori dengan praktik di kelas.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
19
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: Perencanaan, Sebelum melakukan penelitian ke lapangan, peneliti perlu mempersiapkan semua yang dibutuhkan dalam penelitian: Mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah, Menyiapkan rencana pembelajaran, Menentukan fokus observasi dan aspek-aspek yang diamati, Menetapkan cara pelaksanaan Membuat soal latihan. Tindakan: (1) Menjelaskan pada siswa pelaksanaan pembelajaran yang akan dilaksanakan, (2) Memberikan apersepsi secara klasikal untuk mengingat prasyarat yang harus dikuasai sebelum mempelajari persamaan kuadrat, (3) Menyampaikan tujuan pembelajaran, (4) Membagi siswa kedalam kelompok yang beranggotakan 4-5 orang secara heterogen, (5) Memberikan materi kepada setiap siswa dalam kelompok, (6) Siswa melaksanakan diskusi kelompok dengan menggunakan tahapan-tahapan pada pembelajaran Jigsaw II, (7) Guru mengawasi kerja kelompok siswa, serta memberikan bimbingan jika terdapat masalah yang dihadapai dalam kelompok, (8) Memberikan soal latihan. Observasi, Observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang berlangsung, meliputi: Mengamati jalannya proses pembelajaran, Mengamati pemahaman siswa terhadap materi, Mengamati pemecahan masalah matematika berupa soal yang dikerjakan siswa. Refleksi, Data yang telah terkumpul pada siklus pertama dianalisis dan didiskusikan bersama guru mata pelajaran tentang kelebihan dan kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran, kemudian dideskripsikan sebagai bahan penyusunan perencanaan tindakan pada pembelajaran siklus selanjutnya. Adapun alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan tes: Observasi, pengumpulan data dilakukan sendiri oleh peneliti pada kelas yang dijadikan subjek untuk mendapatkan gambaran secara langsung kegiatan belajar siswa dikelas; Tes, tes dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam belajar. Tes dilakukan bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah diterapkan pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II. Bentuk tes atau instrument berupa uraian dapat menilai kemampuan siswa mempresentasikan setiap soal yang diberikan disamping melihat langkah-langkah pengerjaan soal. Analisis hasil observasi dianalisis dengan mendiskripsikan aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran yang berlangsung sesuai dengan lembar observasi kegiatan pembelajaran. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh guru sebagai pengamat dengan menggunakan lembar observasi yang telah disusun. !"#$ × ())% Persentase Indikator Observasi = %#&%'% Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa maka dalam penelitian ini, sesuai dengan KKM mata pelajaran matematika di sekolah tempat meneliti, ketuntasan individual adalah 65 dan ketuntasan secara klasikal adalah 85%. Trianto (2010: 241) menjelaskan bahwa penentuan ketuntasan belajar ditentukan sendiri oleh masing-masing sekolah yang dikenal dengan istilah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan apabila siswa telah memperoleh skor ≥ 65 sesuai dengan KKM, maka siswa tersebut dikatakan tuntas. Apabila kelas tersebut terdapat ≥ 85% siswa tuntas sesuai KKM, maka kelas tersebut dikatakan tuntas secara klasikal.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
20
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil Penelitian Siklus I Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dapat disimpulkan beberapa permasalahan yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa, yaitu; (1) Siswa kurang antusias dalam mengikuti atau menerima pembelajaran, (2) Siswa takut bertanya kepada guru walaupun belum memahami materi pembelajaran, (3) Metode pembelajaran yang digunakan masih bersifat konvensional, karena guru hanya mengandalkan metode ceramah dan demonstrasi dalam penyampaian pembelajaran, (4) Hasil belajar siswa rendah. Perencanaan, Dalam penelitian ini kegiatan awal yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah, (2) Menyiapkan rencana pembelajaran, (3) Membagi kelas ke dalam 7 kelompok sesuai model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II dan setiap kelompok terdiri dari 4 siswa, (4) Menyiapkan materi diskusi untuk siswa dan menyesuaikannya dengan kemampuannya, (5) Menentukan fokus observasi dan aspek-aspek yang diamati, (6) Membuat soal latihan. Tindakan, Pelaksanaan tindakan siklus I terdiri dari 2 (dua) kali pertemuan dengan alokasi waktu 5 jam pelajaran. Dalam hal ini peneliti berperan sebagai guru. Materi yang dibahas dalam siklus I adalah materi pokok bahasan persamaan kuadrat dengan menggunakan model pembelajaraan Cooperative Tye Jigsaw II. Pembelajaraan dilakukan di kelas X, dimana pada awal pembelajaran peneliti membagi siswa kedalam 7 (tujuh) kelompok yang setiap kelompok terdiri dari 4 (empat) orang siswa yang dibagi secara heterogen. Selanjutnya guru memberikan penjelasan mengenai prosedur atau langkah-langkah di dalam pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II, setelah siswa mengerti kemudian guru membagikan materi yang telah disiapkan oleh guru untuk didiskusikan oleh siswa (tim ahli) secara kelompok dimana di dalam pembagiannya tima ahli 1 dan 2 bertugas untuk mendiskusikan materi menentukan himpunan penyelesaian persamaan kuadrat sedangkan tim ahli 3 dan 4 menentukan diskriminan pada persamaan kuadrat. Setelah selesai membagikan materi yang akan didiskusikan masingmasing tim ahli, guru meminta masing-masing tim ahli yang mendapatkan bahan yang sama agar berkumpul menjadi satu kelompok untuk mendiskusikannya. Selanjutnya setelah seleseai mendiskusikan materinya siswa atau tim ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menpresentasikan hasil diskusinya kepada kelompok asalnya secara bergantian. Tahap selanjutnya setelah siswa menyelesaikan diskusi kelompoknya guru memberikan kuis secara individual dimana pada saat kuis sedang berlangsung siswa dalam satu kelomok tidak diperkenankan untuk salinng bekerja sama. Diakhir siklus masing-masing siswa (tidak dalam kelompok) mengerjakan tes hasil belajar guna meihat hasil pada pembelajaran siklus I. Observasi, Analisis hasil observasi dianalisis dengan mendiskripsikan aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran yang berlangsung sesuai dengan lembar observasi kegiatan pembelajaran. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
21
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
oleh guru kelas X SMK Citra Abdi Negoro yaitu Ibu Zaini Yuliana yang bertindak sebagai pengamat dengan menggunakan lembar observasi yang telah disusun. Hasil observasi dapat dilihat pada lampiran 7 dan 8. Analisis Data, Dari hasil tes belajar I diperoleh nilai dari 28 orang siswa, terdapat 18 orang siswa (64,2%) telah mencapai tingkat ketuntasan belajar (yang mendapat nilai ³ 65) sedangkan 10 orang siswa (35,8%) belum mencapai tingkat ketuntasan belajar. Nilai terendah 50, nilai tertinggi 85. Grafik. 1 Persentase Ketuntasan Belajar Siswa Siklus I Tuntas
Tidak Tuntas
64,2% 35,8%
Persentase Ketuntasan
Refleksi, Pada pelaksanaan tindakan siklus I ditemukan beberapa kelemahan yang menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa atau tidak tuntasnya penelitian. Di dalam pelaksanaan tindakan siklus I guru belum optimal di dalam melakukan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II,selain itu peran partisipasi aktif siswa juga masih kurang. Di dalam pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II seharusnya siswa lebih aktif. Disamping itu siswa juga belum mengoptimalkan penggunaan waktu diskusi sehingga pembelajaran tidak dapat berjalan secara efektif. Pada saat diskusi tim ahli siswa masih belum terbiasa dalam melakukan diskusi sehingga masih terlihat terjadinya dominasi oleh siswa yang memiliki kemampuan tinggi, disamping itu ketika siswa kembali ke dalam kelompok asalnya untuk menyampaikan atau mengajarkan materi yang telah didiskusikan masih terlihat kaku dan masih merasa malu karena siswa beranggapan bahwa dirinya kurang pandai dibandingkan dengan teman yang ada di dalam satu keolompoknya. Sehingga tujuan pembelajaran tidak sepenuhnya tercapai. Guru juga hendaknya memberikan bimbingan secara merata ketika siswa melakukan diskusi tim ahli maupun ketika kembali ke dalam kelompk asalnya. Sehingga diharapkan saat tahap penularan materi tidak terjadi kekacauan atau kesalahan. Disamping itu pada pelaksanaan tindakan siklus I aktivitas belajar siswa belum cukup baik, berdasarkan catatan penelitian ada bebrapa hal aktivitas siswa dalam pembelajaran siklus I masih rendah, siswa belum dapat melakukan kerja sama atau saling ketergantungan positif dikarenakan siswa masih belum terbiasa dengan suasana pembelajaran kooperatif jigsaw II. Interaksi siswa dalam diskusi tim ahli maupun pada kelompok asal belum terlihat baik, siswa juga belum dapat memanfaatkan waktu untuk bertanya dengan baik sehingga siswa yang bertanya didominasi hanya oleh siswa tertentu saja, sehingga keaktifan siswa dalam
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
22
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
bertanya masih belum baik bahkan keberanian siswa dalam mengerjakan soal di depan kelas juga belum terlihat baik. Pelaksanaan tindakan siklus I belum dinyatakan berhasil karena masih terdapat beberapa siswa yang belum tuntas. Maka penelitian ini dilanjutkan ke siklus II. Hasil Penelitian Siklus II Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I dapat disimpulkan beberapa permasalahan yang terjadi selama siklus I berlangsung, yaitu: (1) Masih terjadi dominasi oleh siswa tertentu dalam diskusi tim ahli, (2) Terdapat beberapa siswa yang kurang percaya diri dalam menyampaikan hasil diskusi tim ahli pada kelompok asalnya, (3) Kurangnya interaksi antar siswa dalam diskusi kelompok, (4) Siswa kurang efektif dalam menggunakan waktu yang telah ditentukan dlam melakukan diskusi. Perencanaan, Dalam penelitian ini kegiatan awal yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah, (2) Menyiapkan rencana pembelajaran, (3) Membagi kelas ke dalam 7 kelompok sesuai model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II dan setiap kelompok terdiri dari 4 siswa, (4) Menyiapkan materi yang akan didiskusikan sesuai dengan kemampuan siswa, (5) Menentukan fokus observasi dan aspek-aspek yang diamati, (6) Membuat soal latihan. Tindakan, Pelaksanaan tindakan siklus II terdiri dari 2 (dua) kali pertemuan dengan alokasi waktu 5 jam pelajaran. Dalam hal ini peneliti berperan sebagai guru. Materi yang dibahas dalam siklus I adalah materi pokok bahasan persamaan kuadrat dengan menggunakan model pembelajaraan Cooperative Tye Jigsaw II. Pembelajaraan dilakukan di kelas X, dimana pada awal pembelajaran peneliti membagi siswa kedalam 7 (tujuh) kelompok yang setiap kelompok terdiri dari 4 (empat) orang siswa yang dibagi secara heterogen. Selanjutnya guru memberikan penjelasan kembali mengenai prosedur atau langkah-langkah di dalam pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II, setelah siswa mengerti kemudian guru membagikan materi yang telah disiapkan oleh guru untuk didiskusikan oleh siswa (tim ahli) secara kelompok dimana di dalam pembagiannya tima ahli 1 dan 2 bertugas untuk mendiskusikan materi menentukan jumlah dan hasil kali akar-akar persamaan kuadrat sedangkan tim ahli 3 dan 4 menyusun persamaan kuadrat. Setelah selesai membagikan materi yang akan didiskusikan masingmasing tim ahli, guru meminta masing-masing tim ahli yang mendapatkan bahan yang sama agar berkumpul menjadi satu kelompok untuk mendiskusikannya. Selanjutnya setelah seleseai mendiskusikan materinya siswa atau tim ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menpresentasikan hasil diskusinya kepada kelompok asalnya secara bergantian. Tahap selanjutnya setelah siswa menyelesaikan diskusi kelompoknya guru memberikan kuis secara individual dimana pada saat kuis sedang berlangsung siswa dalam satu kelomok tidak diperkenankan untuk salinng bekerja sama. Diakhir siklus masing-masing siswa (tidak dalam kelompok) mengerjakan tes hasil belajar guna meihat hasil pada pembelajaran siklus II.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
23
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
Observasi, analisis hasil observasi dianalisis dengan mendiskripsikan aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran yang berlangsung sesuai dengan lembar observasi kegiatan pembelajaran. Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh guru kelas X SMK Citra Abdi Negoro yaitu Ibu Zaini Yuliana yang bertindak sebagai pengamat dengan menggunakan lembar observasi yang telah disusun. Analisis Data, dari hasil tes belajar II diperoleh nilai dari 28 orang siswa, terdapat 25 orang siswa (89,2%) telah mencapai tingkat ketuntasan belajar (yang mendapat nilai ³ 65) sedangkan 3 orang siswa (10,8%) belum mencapai tingkat ketuntasan belajar. Nilai terendah 55, nilai tertinggi 95. Grafik. 2 Persentase ketuntasan Belajar Siswa Siklus II Tuntas
Tidak Tuntas
89,2%
10,8% Persentase Ketuntasan
Refleksi, berdasarkan hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi peningkatan kemampuan siswa. Peningkatan ini terjadi setelah pemberian tindakan yang sesuai dengan kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan tes hasil belajar. Tindakan yang berupa pembelajaraan Cooperative Type Jigsaw II, dimana peneliti bertindak sebagai guru dalam membimbing dan mengarahkan siswa dalama menyelesaikan masalah yang dihadapi. Disamping itu hasil belajar yang diperoleh siswa pada siklus II ini mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya ketuntasan belajar siswa yaitu dari 64,2% pada siklus I menjadi 89,2% pada tes siklus II. Dengan demikian berdasarkan data hasil Tes Hasil Belajar II pada siklus II sudah mencapai ketuntasan belajar klasikal yang telah ditetapkan maka penelitian tidak dilanjutkan ke siklus selanjutnya. Pembahasan Mencermati hasil penelitian yang diuraikan di atas, diketahui bahwa melalui model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II telah terjadi peningkatan ketuntasan hasil belajar dari 64,2% pada siklus I menjadi 89,2% pada siklus II. Kenaikan jumlah siswa yang tuntas dalam kegiatan pembelajaran sebesar 25% memberikan indikasi bahwa usaha perbaikan yang dilakukan pada siklus II telah berhasil, sekalipun kenaikan yang diperoleh masih relative kecil. Dengan demikian kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II dapat meningkatkan hasil belajar siswa,
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
24
Vol. III No. 1, September 2012
Jurnal Mathematics Paedagogic
selain itu siswa berperan aktif di dalam mencapai tujuan pembelajaran. Interaksi siswa didalam pembelajaraan juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka di dalam kelompok dan mempertimbangkan jawaban yang paling benar dalam menyelesaikan masalah. Grafik. 3 Persentase Ketuntasan Klasikal Tiap Siklus
Persentase Ketuntasan Klasikal 100 89.2
90 80 70 60
64.2
50
Persentase Ketuntasan Klasikal
40 30 20 10 0 Siklus I
Siklus II
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa melalui pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II meningkatkan hasil belajar siswa di kelas X SMK Yayasan Citra Abdi Negoro. Hasil belajar siswa setelah diterapkannya pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II pada siklus I melalui tes hasil belajar siklus I diperoleh 18 orang siswa (64,2%) telah mencapai tingkat ketuntasan belajar (yang mendapat nilai ³ 65) sedangkan 10 orang siswa (35,8%). Sedangkan hasil belajar siswa pada siklus II melalui tes hasil belajar II diperoleh 25 orang siswa (89,2%) telah mencapai tingkat ketuntasan belajar (yang mendapat nilai ³ 65) sedangkan 3 orang siswa (10,8%) belum mencapai tingkat ketuntasan belajar. Maka dapat dilihat dari siklus ke siklus terjadi peningkatan ketuntasan belajar siswa sebesar 25%. Demikian halnya dengan keaktifan siswa dalam pembelajaran yang terjadi peningkatan yang lebih baik dari siklus I dan siklus II. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam Bab IV maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) Model pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas X SMK
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
25
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
Yayasan Citra Abdi Negoro pada materi persamaan kuadrat sehingga dianjurkan dalam penerapannya untuk kelas yang memiliki masalah yang sama, (2) Agar tidak terjadi kejenuhan dalam belajar sebaiknya guru menciptakan lingkungan dimana siswa dapat terlibat secara aktif dalam banyak kegiatan pembelajaran yang bermanfaat, (3) Guru hendaknya dapat menerapkan pembelajaran Cooperative Type Jigsaw II dengan baik sesuai dengan runtunan langkah-langkah yang ada sehingga dapat bermanfaat bagi keberhasilan belajar matematika, dan merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkan potensi siswa, (4) Guru dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, hendaknya lebih kreatif dalam menggunakan model pembelajaran dan inovatif dalam menggunakan alat peraga, sehingga siswa akan termotivasi dalam mengikuti pembelajaran di dalam kelas
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, Dini. 2008. Matematika untuk SMK Kelas X Jilid 1. Jakarta: Grafindo Media Pratama. Amir, M. T. 2010. Inovasi Pendidikan melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana. Arikunto, S., Suhardjono, & Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Uno, Hamzah. 2011. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Daryanto. 2010. Belajar dan Mengajar. Bandung. Yrama Widya. Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Isjoni. 2009. Pembelajaran kooperatif: Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning: Teori Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
26
Jurnal Mathematics Paedagogic
Vol. III No. 1, September 2012
Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya. Suherman, E. (2003). Evaluasi Pengajaran Matematika. Bandung: UPI. Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning: Teori dan Praktik Paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana. Wiriaatmadja, R. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Program Studi Pendidikan Matematika – Universitas Asahan
27